Upload
vandien
View
232
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
APLIKASI SIG DALAM PENENTUAN LOKASI HUTAN KOTA
SEBAGAI MITIGASI BENCANA ANGIN PUTING BELIUNG
DI KABUPATEN BONDOWOSO
INDRA PURNAMA BAHRI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi SIG dalam
Penentuan Lokasi Hutan Kota Sebagai Mitigasi Bencana Angin Puting Beliung
di Kabupaten Bondowoso, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Indra Purnama Bahri
NIM E34080080
ABSTRAK
INDRA PURNAMA BAHRI. Aplikasi SIG dalam Penentuan Lokasi Hutan Kota
Sebagai Mitigasi Bencana Angin Puting Beliung di Kabupaten Bondowoso.
Dibimbing oleh ENDES N DACHLAN dan LILIK BUDI PRASETYO.
Bencana angin puting beliung yang terjadi di Kabupaten Bondowoso
merupakan bencana alam tahunan yang telah menimbulkan banyak kerugian.
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2009 - 2013), 95 kejadian bencana angin
puting beliung telah melanda 75 desa di Kabupaten Bondowoso. Pembangunan
hutan kota diharapkan dapat menjadi solusi yang tepat dalam mengatasi atau
mencegah terjadinya bencana angin puting beliung. Karakteristik desa yang paling
sering mengalami bencana angin puting beliung antara lain merupakan daerah
dataran rendah yang berada di ketinggian di bawah 500 mdpl, merupakan daerah
yang datar, memiliki kelerengan 0-8% seluas 1045,07 ha atau sebesar 89,21%,
memiliki suhu permukaan antara 30˚-35˚C seluas 909,45 ha atau sebesar 77,63%,
dan merupakan tempat yang didominasi oleh jenis tutupan lahan yang cukup
terbuka berupa persawahan seluas 853,45 ha atau sebesar 72,85%. Daerah dengan
bobot nilai tertinggi yang perlu untuk dibangun hutan kota yang berfungsi sebagai
mitigasi bencana angin puting beliung yang tersebar di 201 desa dengan luas
32420,35 ha atau sebesar 20,83% dari luas keseluruhan Kabupaten Bondowoso
yang diperoleh dari hasil skoring dan overlay empat karakteristik tersebut.
Kata kunci: angin puting beliung, Bondowoso, hutan kota, mitigasi
ABSTRACT
Cyclones disaster in Bondowoso regency is an annual natural disaster
caused a lot of losses. Within the last 5 years (2009-2013), 95 incidences of
cyclone have hit 75 villages in Bondowoso regency. Development of urban forest
is expected to be the best solution to overcome or prevent the occurrence of
cyclones disaster. Characteristics of the villages with most frequent cyclones
disaster is a low area at an altitude below 500 meters above sea level, is a flat area
with 0-8 % slope as big as 1045.07 ha or 89.21 %, had a temperature surface
between 30˚ - 35˚C as big as 909.45 ha or 77.63 %, and is a place dominated by
the type of land cover in the form of a fairly open area as big as 853.45 ha of rice
fields or by 72.85 %. Area with the highest weight value that needs to be built
urban forest that serves as a disaster mitigation cyclones scattered in 201 villages
with an area of 32420.35 ha or 20.83 % of the total area of Bondowoso regency
obtained from the scoring and overlay the four characteristics.
Keywords: Bondowoso, cyclone, mitigation, urban forest
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
APLIKASI SIG DALAM PENENTUAN LOKASI HUTAN KOTA
SEBAGAI MITIGASI BENCANA ANGIN PUTING BELIUNG
DI KABUPATEN BONDOWOSO
INDRA PURNAMA BAHRI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Aplikasi SIG dalam Penentuan Lokasi Hutan Kota Sebagai Mitigasi
Bencana Angin Puting Beliung di Kabupaten Bondowoso
Nama : Indra Purnama Bahri
NIM : E34080080
Disetujui oleh
Dr Ir Endes N. Dachlan, MS
Pembimbing I
Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc.
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan berkah serta rahmat-Nya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Aplikasi SIG dalam Penentuan Lokasi Hutan Kota Sebagai
Mitigasi Bencana Angin Puting Beliung di Kabupaten Bondowoso”. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Dr Ir Endes N. Dachlan, MS dan Prof Dr Ir
Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
arahan serta bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar
sarjana dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini menggambarkan penerapan
Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam penentuan lokasi hutan kota sebagai
upaya mitigasi bencana angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso.
Selama penyusunan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi. Berkat
kemurahan-Nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua
pihak yang berkepentingan dengan karya ini. Akhirnya dengan segala kemampuan
dan kekurangan, penulis berharap semoga karya ini dapat memberi manfaat dan
kebaikan bagi semua pihak.
Bogor, Juli 2014
Indra Purnama Bahri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 2
Waktu dan Lokasi 2
Bahan dan Alat 3
Prosedur Analisis Data 3
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Karakteristik Wilayah Rawan Puting Beliung 7
Daerah Rawan Puting Beliung dan Lokasi Pembangunan Hutan Kota 15
SIMPULAN DAN SARAN 18
Simpulan 18
Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19
DAFTAR TABEL
1 Bahan dan Alat penelitian 3
2 Pembobotan parameter hutan kota untuk mitigasi puting beliung 7 3 Luas ketinggian tempat di empat desa dengan kejadian tertinggi 9
4 Luas kelerengan tempat di empat desa dengan kejadian tertinggi 10 5 Luas sebaran suhu permukaan tempat di empat desa 11
6 Luas tutupan lahan di empat desa dengan kejadian tertinggi 13
DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian 2 2 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 8 OLI TIRS 4
3 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra ASTER GDEM 4 4 Bagan alur tahapan pembuatan peta kemiringan lereng 5
5 Bagan alur tahapan pembuatan peta tutupan lahan 6 6 Peta frekuensi kejadian puting beliung 8
7 Peta ketinggian Kabupaten Bondowoso 9 8 Peta kelerengan Kabupaten Bondowoso 11
9 Peta sebaran suhu permukaan Kabupaten Bondowoso 12
10 Jenis tutupan lahan persawahan di Desa Tapen 13
11 Peta tutupan lahan Kabupaten Bondowoso 14 12 Peta kerawanan tinggi angin puting beliung Kabupaten Bondowoso 15
13 Peta RTRW Kabupaten Bondowoso 16
14 Peta rekomendasi pembangunan hutan kota 17
15 Lahan yang dapat dioptimalkan untuk ditanami pohon penahan angin 18
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota atau kabupaten merupakan pusat kegiatan manusia antara lain sebagai
tempat tinggal, belajar, bekerja, ekonomi dan pusat pemerintahan di daerah.
Pertambahan penduduk memberi dampak terhadap peningkatan penggunaan ruang
dan lahan pada kota untuk mendukung kegiatan masyarakat. Dahlan (1992)
menyatakan dengan meningkatnya pembangunan berbagai kegiatan seperti
pembangunan jalan, kegiatan transportasi, industri, pemukiman dan kegiatan
lainnya sering mengakibatkan luasan ruang terbuka hijau menurun dan sering juga
disertai dengan menurunnya mutu lingkungan hidup. Kualitas hidup masyarakat
kota dapat menurun karena keseimbangan lingkungan perkotaan telah terganggu
akibat proses pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan.
Kabupaten Bondowoso memiliki permasalahan lingkungan tersendiri yang
perlu mendapat perhatian yaitu bencana angin puting beliung. Dalam kurun waktu
5 tahun terakhir (2009 - 2013), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kabupaten Bondowoso mencatat, sebanyak 95 kali bencana angin puting beliung
terjadi 75 desa di Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan data yang dikeluarkan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2011, Kabupaten Bondowoso
memiliki kelas rawan bencana yang tinggi dalam indeks rawan bencana angin
topan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang menyatakan bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik
Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan
ruang yang berbasis mitigasi yaitu peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan
upaya untuk mengurangi resiko dampak yang terjadi akibat bencana sebagai
upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu pembangunan yang dilakukan pemerintah harus beriringan dengan
usaha melindungi kenyamanan dan bentuk alami suatu kota.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, pembangunan hutan kota sebagai
mitigasi bencana puting beliung dalam perencanaan tata ruang kota merupakan
cara yang efektif dan efisien dalam penerapan konsep pembangunan berwawasan
lingkungan untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang ada atau diperkirakan
akan terjadi di masa yang akan datang. Bencana tidak pernah diketahui kapan
akan melanda suatu daerah, untuk itu dibutuhkan kesiapan maupun pencegahan
akan terjadinya bencana, terutama di daerah rawan bencana.
Pembangunan hutan kota pada lokasi yang tepat dengan menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat memaksimalkan fungsi hutan kota
tersebut, sehingga pengumpulan informasi mengenai kondisi wilayah yang
mendukung dibangunnya hutan kota menjadi suatu unsur yang sangat penting.
Informasi mengenai data spasial sangat diperlukan untuk mengetahui karakteristik
daerah yang sering mengalami bencana angin puting beliung. Sehingga dengan
data tersebut dapat digunakan untuk menentukan daerah rawan bencana puting
beliung yang kemudian ditentukan sebagai daerah yang perlu untuk dibangun
hutan kota sebagai mitigasi bencana angin puting beliung.
2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah menentukan karakteristik desa yang mengalami
bencana angin puting beliung, serta menentukan lokasi prioritas dalam
pembangunan hutan kota yang berfungsi sebagai mitigasi bencana angin puting
beliung di Kabupaten Bondowoso.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan tata ruang wilayah agar tetap
memperhatikan aspek lingkungan dan menjadi bahan pertimbangan bagi
pemerintah daerah dalam menentukan lokasi pembangunan hutan kota yang sesuai
sebagai mitigasi bencana angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso.
METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur.
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2013 sampai Februari 2014.
Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan
Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan IPB.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
3
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian beserta fungsinya disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Bahan dan Alat penelitian
Bahan dan Alat Fungsi
A. Bahan
1. Peta Administrasi Kabupaten
Bondowoso
Bahan untuk menentukan batas wilayah
kabupaten dan desa di Bondowoso
2. Citra ASTER GDEM Bahan untuk mendapatkan data kelerengan
lahan dan data kontur di lokasi penelitian
3. Citra Landsat 8 OLI TIRS
Bahan untuk estimasi suhu permukaan
bumi, bahan untuk membuat peta
penutupan lahan
B. Alat
1. Alat tulis Mencatat data dan hasil penelitian
2. GPS (Global Positioning
System)
Untuk menandai dan mengambil posisi
koordinat geografi lapangan
3. Kamera Mengambil gambar di lokasi penelitian
4. Komputer Menjalankan software yang digunakan
dalam penelitian
5. Perangkat lunak ArcGIS 9.3 Mengolah data spasial
6. Perangkat lunak ERDAS 9.1 Mengolah data spasial
Prosedur Analisis Data
Pengumpulan Data
Penentuan karakteristik daerah rawan bencana puting beliung di Kabupaten
Bondowoso berdasarkan data kejadian bencana puting beliung dari tahun 2009
sampai tahun 2013 yang diperoleh dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kabupaten Bondowoso. Untuk data spasial, ada dua cara dalam mengumpulkan
data dalam penelitian ini yaitu dengan cara pengukuran/pengamatan lapang dan
interpretasi pada peta. Data yang dikumpulkan dengan pengamatan lapang
(groundcheck) bertujuan untuk meningkatkan keakuratan data tutupan lahan. Data
yang yang dikumpulkan dengan cara interpretasi pada peta adalah data ketinggian,
kelerengan, suhu, dan tutupan lahan.
Pengolahan Data
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data dasar yang memiliki format
yang berbeda yakni peta administrasi Kabupaten Bondowoso dan citra satelit.
Data tersebut perlu diolah terlebih dahulu agar memiliki format yang sama antara
satu data dengan data yang lainnya sehingga memudahkan kegiatan analisis data
tersebut. Kegiatan pengolahan awal data, antara lain :
4
a. Import data
Import data merupakan kegiatan menyesuaikan format data yang dimiliki
sehingga data tersebut dapat diolah dengan perangkat lunak yang akan
digunakan.
b. Layer stacking
Layer stacking merupakan proses penggabungan band pada citra satelit.
Layer stacking dilakukan karena citra satelit memiliki lebih dari satu band.
c. Koreksi geometrik
Koreksi geometrik atau rektifikasi merupakan kegiatan memperbaiki
pergeseran, rotasi dan perspektif citra sehingga orientasi, proyeksi dan
anotasinya sesuai dengan peta batas penelitian.
d. Pemotongan citra satelit
Pemotongan peta dilakukan dengan tujuan untuk memperjelas batasan
wilayah penelitian (wilayah studi). Hasil dari pemotongan peta adalah peta
kerja.
Alur tahapan dalam pengolahan awal Citra Lansat 8 OLI TIRS dan
Citra ASTER GDEM dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.
Citra Landsat 8
Import Data
Layer Stacking
Koreksi Geometrik
Pemotongan Citra
Citra Terkoreksi
Citra sesuai
wilayah studi
Batas Wilayah Kabupaten Bondowoso
Citra ASTER GDEM
Pemotongan Citra
Import Data
Citra Terkoreksi
Koreksi Geometrik
Citra sesuai
wilayah studi
Batas Wilayah Kabupaten Bondowoso
Gambar 2 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 8 OLI TIRS
Gambar 3 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra ASTER GDEM
5
Analisis Data
Pembuatan Peta Ketinggian dan Kemiringan Lereng
Peta ketinggian dan kemiringan lereng di Kecamatan Bondowoso diperoleh
melalui proses analisis Citra ASTER GDEM mengunakan software ArcGIS 9.3
(Gambar 4). Data spasial lereng merupakan data yang memberi infomasi
kemiringan suatu lahan yang mempunyai nilai satuan persen (%) berdasarkan
derajat sudut kemiringan derajat (°). Lereng dengan nilai 100 % = 45° sudut
kemiringan. Data spasial kemiringan lereng dibangun dengan melakukan proses
analisis lereng pada data DEM (Digital Elevation Modeling), kemudian data
tersebut dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kecuraman suatu kawasan
(klasifikasi lereng).
Analisis Penutupan Lahan
Data tutupan lahan diperoleh dari hasil analisis interprestasi citra satelit
(Citra Landsat 8 OLI TIRS) dengan mengunakan software ERDAS Imagine 9.1.
Penentuan dan pembuatan kelas penutupan lahan didasarkan atas interpretasi
warna pixel – pixel Citra Landsat 8 OLI TIRS. Hasil interpretasi tersebut
kemudian dicocokkan dengan data survey lapangan untuk menentukan tingkat
akurasi pembuatan kelas tutupan lahan tersebut. Analisis penutupan lahan tersebut
bertujuan untuk mengetahui lokasi-lokasi yang memiliki prioritas untuk
pembangunan hutan kota sebagai mitigasi bencana angin puting beliung di
Kabupaten Bondowoso. Tahapan dalam pembuatan peta tutupan lahan dapat
dilihat pada Gambar 5.
Peta
Kelerengan
Slope
Surface
Citra
ASTER GDEM
Peta
Ketinggian
Gambar 4 Bagan alur tahapan pembuatan peta kemiringan lereng
6
Pengolahan Band 10 untuk Estimasi Suhu Permukaan
Peta distribusi suhu permukaan diolah menggunakan bahan berupa band 10
pada Citra Landsat 8 OLI TIRS. Estimasi nilai suhu permukaan dilakukan dengan
mengunakan software ERDAS imagine 9.1, proses dilakukan dengan membuat
model pada menu Model Maker ERDAS imagine 9.1 yang sudah tersedia untuk
mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat 8 OLI TIRS band 10. DN (Digital
Number) merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan konversi
menjadi nilai radiansi. Konversi nilai digital number menjadi nilai radiansi
dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
𝑳𝝀= 𝑴𝑳𝑸𝒄𝒂𝒍+ 𝑨𝑳
Keterangan :
L𝛌 = Radiance spectral TOA (watts/cm3 srad 𝜇m)
ML = (Radiance_mult_band x), x = nomor band
AL = (Radiance_add_band x), x = nomor band
Qcal = Quatized and calibrated standard product pixel values (Digital Number)
Suhu permukaan didapatkan setelah dilakukan proses konversi Radian
Spektral (Spectral Radiance) menjadi temperatur. Citra band thermal (band 10)
dapat dikonversi menjadi peubah fisik dengan asumsi bahwa emisinya adalah satu.
Persamaan konversi radian spektral menjadi temperatur adalah sebagai berikut:
Τ = Κ2
ln Κ1
𝙻𝜆+ 1
Keterangan :
T : Suhu dalam satuan Kelvin
K2 : Konstanta Kalibrasi 2 (1321.08)
K1 : Konstanta Kalibrasi 1 (774.89)
L𝛌 : Radiance spectral TOA (watts/cm3 srad 𝜇m)
Klasifikasi
Sementara
Peta Penutupan
Lahan
Citra Sesuai
Wilayah Studi
Pengecekan
Lapang Analisis Tutupan
Lahan
Gambar 5 Bagan alur tahapan pembuatan peta tutupan lahan
7
Penentuan Daerah Kerawanan Puting Beliung dan Lokasi Hutan Kota
Penentuan daerah rawan bencana angin puting beliung dilakukan dengan
cara skoring. Setiap kriteria yang digunakan (peta suhu permukaan, peta
kelerengan, peta ketinggian, dan peta tutupan lahan) di klasifikasikan kemudian
diberi nilai yang berbeda-beda berdasarkan pengaruhnya terhadap terjadinya
angin puting beliung, Kemudian setiap parameter dikalikan 0,25 seperti pada
rumus berikut:
0,25 (Suhu Permukaan) + 0,25 (Tutupan lahan ) + 0,25 (Ketinggian) + 0,25 (Kelerengan)
Skor total merupakan penjumlahan nilai dari peta suhu permukaan, peta tutupan
lahan, peta ketinggian, dan peta kelerengan. Kombinasi penjumlahan dari kelima
kriteria tersebut akan menghasilkan nilai maksimal (5). Nilai maksimal tersebut
yang menjadi daerah dengan tingkat kerawanan angin puting beliung yang tinggi.
Berdasarkan daerah kerawanan tinggi tersebut ditentukan lokasi hutan kota yang
disesuaikan dengan RTRW Kabupaten Bondowoso. Pembobotan parameter hutan
kota untuk mitigasi puting beliung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Pembobotan parameter hutan kota untuk mitigasi puting beliung
No
.
Tutupan Lahan Suhu (˚C) Ketinggian
Tempat (mdpl)
Kelerengan
(%)
Skor
1 Lahan Terbuka & Sawah 30 - 35 < 500 0 - 8 5
2 Tegalan 25 - 30 500 - 1000 8 - 15 4
3 Semak Belukar 35 - 40 1000 - 1500 15 - 25 3 4 Perkebunan,
Kebun Campuran,
Lahan Terbangun
20 - 25 1500 - 2500 25 - 40 2
5 Badan Air, Hutan Alam, Hutan Tanaman, Awan
< 15 – 20 & >40
2500 - 3287 > 40 1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah Rawan Puting Beliung
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan definisi angin puting beliung adalah angin kencang yang datang
secara tiba-tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan
kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang
dalam waktu singkat (3-5 menit). Sudibyakto (2008) menyatakan, puting beliung
adalah angin yang berputar dengan kecepatan lebih dari 60 – 90 km/jam yang
berlangsung 5 - 10 menit akibat adanya perbedaan tekanan sangat besar dalam
area skala sangat lokal yang terjadi di bawah atau di sekitar awan Cumulonimbus
(Cb).
8
Peta lokasi hutan kota untuk mitigasi bencana angin puting beliung
diperoleh dari penggabungan/tumpang tindih (overlay) dari empat peta. Peta-peta
tersebut terdiri dari Peta Ketinggian, Kelerengan, Sebaran Suhu Permukaan, dan
Peta Tutupan Lahan. Berdasarkan data kejadian dari tahun 2009 – 2013 yang
diperoleh dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bondowoso,
telah terjadi 95 kejadian bencana angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso.
Dari 95 kejadian bencana yang terjadi, terdapat 4 Desa yang memiliki frekuensi
kejadian paling tinggi, yaitu sebanyak tiga kali dalam kurun waktu lima tahun
terakhir. Desa-desa tersebut yaitu Desa Cidongo, Desa Jurangsapi, Desa Mangli,
dan Desa Tapen.
Gambar 6 Peta Frekuensi Kejadian Puting Beliung
Peta Ketinggian
Peta Ketinggian diperoleh dari hasil analisis citra satelit ASTER GDEM
dengan menggunakan software ArcGis. Klasifikasi ketinggian yang dibuat adalah
7 kelas menggunakan cara pembagian rata (equal interval), yaitu < 500, 500-1000,
1000-1500, 1500-2000, 2000-2500, 2500-3000, dan 3000-3287 mdpl.
Pengaruh ketinggian terhadap terjadinya bencana puting beliung yaitu
semakin rendah letak suatu tempat maka semakin besar kemungkinan angin
puting beliung terjadi, begitu pula sebaliknya. Hasil penelitian RePPProT (1990)
dalam Djaenudin et al. (2002) menyatakan bahwa “ketinggian suatu tempat
berhubungan erat dengan suhu udara, yakni semakin tinggi suatu tempat, maka
suhu udaranya semakin rendah”. Karena ketinggian suatu tempat dapat
mempengaruhi suhu udara di tempat tersebut, maka akan mempengaruhi keadaan
9
tekanan udara di tempat tersebut. Berdasarkan Komite Koordinasi Penyadaran
Publik Untuk Pengurangan Resiko Bencana Provinsi Aceh (2011), “Secara
meteorologis angin puting beliung dapat terjadi dimana saja terutama di dataran
rendah dan daerah yang terbuka”. Ketinggian untuk masing-masing desa dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Luas ketinggian tempat di empat desa dengan kejadian tertinggi
Desa
Ketinggian (mdpl)
< 500 500 –
1000
1000 –
1500
1500 –
2000
2000 –
2500
2500 –
3000
3000 –
3287
Desa Cindogo 332.04 - - - - - -
Desa Jurangsapi 295.81 - - - - - -
Desa Mangli 152.03 - - - - - -
Desa Tapen 391.58 - - - - - -
Total 1171.46
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa keempat desa yang memiliki
frekuensi bencana putting beliung tertinggi seluruhnya berada pada ketinggian
dibawah 500 mdpl. Hal ini sesuai dengan pernyataan diatas bahwa semakin
rendah suatu lokasi, maka akan semakin besar potensi terjadinya bencana angin
puting beliung. Sebaran ketinggian tempat di Kabupaten Bondowoso dapat dilihat
pada Gambar 7.
Gambar 7 Peta Ketinggian Kabupaten Bondowoso
10
Peta Kelerengan
Kelerangan dapat diketahui sama halnya dengan ketinggian, yaitu
berdasarkan hasil analisis citra satelit ASTER GDEM dengan menggunakan
software ArcGis. Pembagian kelas lereng didasarkan pada SK. Menteri Pertanian
No. 837/Kpts/II/1981 menjadi 5 kelas kelerengan, yaitu 0-8 % (datar), 8-15%
(landai), 15-25% (agak curam), 25-40% (curam), dan > 40% (sangat curam).
Menurut Zakir (2009), “angin puting beliung terjadi pada siang atau sore
hari, malam jarang terjadi. Terjadi pada tanah lapang yang vegetasinya kurang.
Jarang terjadi pada daerah perbukitan atau hutan yang lebat”. Nurjani (2012)
menyatakan “pergerakan angin dipengaruhi oleh kondisi kekasaran permukaan
suatu wilayah terkait dengan gaya gesekan. Gaya gesekan yang besar
menyebabkan pergerakan angin melemah. Pada daerah yang permukaannya datar
dan halus memiliki gaya gesek lemah, maka kecepatan angin akan besar. Oleh
karena itu angin kencang sering terjadi pada daerah dataran dan pesisir”.
Pengaruh kelerengan terhadap bencana puting beliung yaitu semakin landai
suatu tempat, maka makin besar kemungkinan angin puting beliung terjadi, begitu
pula sebaliknya sehingga angin puting beliung jarang terjadi daerah berbukit yang
memiliki kelerengan yang curam. Pada daerah yang landai, angin akan bebas
bergerak karena tidak ada penghalang sehingga angin dengan mudah
berakumulasi dengan angin yang berasal dari tempat lain.
Akibat akumulasi angin yang berasal dari daerah lain mengakibatkan
terjadinya pergolakan angin pada daerah datar yang luas, terlebih apabila pada
daerah datar tersebut tidak memiliki tutupan lahan atau vegetasi yang baik seperti
lahan terbuka dan persawahan, sehingga dapat meningkatkan potensi terjadinya
angin puting beliung karena tidak ada penghalang seperti tegakan pohon yang
dapat menahan, membelokkan, dan mengurangi kecepatan angin yang datang
menuju daerah yang datar tersebut. Klasifikasi kelerengan lahan untuk masing-
masing desa dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Luas kelerengan tempat di empat desa dengan kejadian tertinggi
Kelerengan
Desa 0 - 8 % 8 - 15 % 15 - 25 % 25 - 40 % > 40 %
Desa Cindogo 282.37 42.45 7.03 0.19 -
Desa Jurangsapi 282.18 13.47 0.15 - -
Desa Mangli 129.41 21.83 0.80 - -
Desa Tapen 351.12 37.18 3.29 - -
Total 1045.07 114.94 11.27 0.19
Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa keempat desa yang memiliki
frekuensi bencana puting beliung tertinggi memiliki kelerengan 0-8% (datar)
seluas 1045,07 ha atau sebesar 89,21% dari luas keseluruhan keempat desa
tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan diatas bahwa semakin landai suatu
tempat, maka akan semakin tinggi potensi terjadinya bencana angin puting
beliung. Sebaran tingkat kelerengan di Kabupaten Bondowoso dapat dilihat pada
Gambar 8.
11
Gambar 8 Peta Kelerengan Kabupaten Bondowoso
Peta Sebaran Suhu Permukaan
Peta Sebaran Suhu Permukaan didapat dari hasil analisis citra satelit
LANDSAT 8 dengan menggunakan software ArcGis. Klasifikasi suhu yang
dibuat adalah 7 kelas dengan cara pembagian rata (equal interval) yaitu < 15º,
15º-20º, 20º-25º, 25º-30º, 30º-35º, 35º-40º, dan >40º C.
Pengaruh suhu terhadap bencana angin puting beliung yaitu semakin tinggi
suhu permukaan suatu tempat maka semakin tinggi kemungkinan angin puting
beliung terjadi, begitu pula sebaliknya. Menurut June (1994) “Gaya primer yang
menyebabkan terjadinya aliran udara horizontal (angin) adalah gaya gradien
tekanan. Gaya ini timbul karena adanya perbedaan tekanan yang disebabkan oleh
perbedaan suhu”. Peta suhu untuk masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Luas Sebaran Suhu Permukaan tempat di empat desa
Suhu (˚C)
DESA < 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 > 40
Desa Cindogo - - - 77.62 254.15 0.27 -
Desa Jurangsapi - - - 17.65 277.98 0.18 -
Desa Mangli - - - 60.50 91.53 - -
Desa Tapen - - - 103.54 285.79 2.25 -
Total
259.32 909.45 2.70
12
Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa sebaran suhu permukaan pada
empat desa yang memiliki frekuensi bencana puting tertinggi berada pada suhu
30º-35º C seluas 909,45 Ha atau sebesar 77,63%. Udara pada daerah yang bersuhu
tinggi akan mengembang dan bergerak keatas sehingga tekanannya menjadi lebih
rendah dari sekitarnya. Perbedaan tekanan ini menimbulkan gradien tekanan yang
memicu terjadinya angin. Udara bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah
dan semakin tinggi perbedaan tekanan akan semakin cepat udara bergerak.
Hal ini sesuai dengan pernyataan diatas bahwa semaki tinggi suhu di suatu
lokasi, maka akan semakin tinggi pula potensi terjadinya bencana angin puting
beliung. Sebaran suhu permukaan di Kabupaten Bondowoso dapat dilihat pada
Gambar 9.
Gambar 9 Peta Sebaran Suhu Permukaan Kabupaten Bondowoso
Peta Tutupan Lahan
Peta Tutupan Lahan didapat dari hasil analisis citra satelit LANDSAT 8
dengan menggunakan software ArcGis. Klasifikasi tutupan lahan yang dibuat
adalah 11 kelas, yaitu badan air, hutan alam, hutan tanaman, kebun, kebun
campuran, lahan terbangun, lahan terbuka, sawah, semak belukar, tegalan, dan
tidak ada data.
Pengaruh tutupan lahan terhadap bencana angin puting beliung yaitu
semakin jarang tutupan vegetasi suatu tempat maka semakin tinggi kemungkinan
angin puting beliung terjadi, begitu pula sebaliknya. Peta tutupan untuk masing-
masing desa dapat dilihat pada Tabel 6.
13
Tabel 6 Luas Tutupan Lahan di empat desa dengan kejadian tertinggi
Tutupan Lahan
Desa BA HA
L HT
M KB
N KBC LTG LTK SWH SBK TGL
Cindongo 2.18 - - 2.54 13.03 26.96 22.05 219.07 10.60 35.59
Jurangsapi - - - 0.86 5.73 32.23 4.83 222.23 0.09 29.83
Mangli - - 0.35 1.05 6.78 15.10 2.06 109.31 0.35 17.04
Tapen 8.12 0.36 2.29 0.49 27.05 39.91 4.76 302.84 0.81 4.95
Total 10.30 0.36 2.64 4.95 52.60 114.20 33.71 853.45 11.85 87.41 BA= Badan Air; HAL= Hutan Alam; HTM= Hutan Tanaman; KBN; Perkebunan; KBC= Kebun
Campuran; LTG= Lahan Terbangun; LTK= Lahan Terbuka; SWH= Sawah; SBK= Semak
Belukar; TGL= Tegalan
Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa tutupan lahan berupa sawah
merupakan luasan tutupan lahan paling luas atau dominan di keempat desa dengan
tingkat kejadian bencana puting beliung tertinggi yakni seluas 853,45 Ha atau
sebesar 72,85%. Hal ini sesuai dengan pernyataan diatas bahwa semakin jarang
tutupan vegetasi di suatu tempat maka akan semakin tinggi potensi terjadinya
bencana angin puting beliung. Dalam hubungan ini, permukaan bumi menerima
energi radiasi matahari tetapi laju pemanasannya berbeda – beda dari suatu tempat
ke tempat lainnya yang diakibatkan perbedaan jenis tutupan vegetasi. Perbedaan
pemanasan ini tercermin dari suhu udara yang berada langsung diatas permukaan
yang terpanasi, ketidak seimbangan suhu udara ini menimbulkan perbedaan
tekanan yang akan menimbulkan angin. Salah satu contoh daerah persawahan luas
yang terdapat di Desa Tapen dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Jenis tutupan lahan persawahan di Desa Tapen
14
Setiawati (2012) menyatakan kualitas RTH berkaitan dengan jumlah
pepohonan yang rindang. Semakin banyak jumlah pohon yang rindang di
perkotaan, maka radiasi matahari tidak langsung sampai ke bumi tetapi tertahan
oleh tajuk pohon sehingga suhu udara disekitarnya menjadi menurun atau rendah
yang memberikan kenyamanan kepada masyarakat di sekitarnya.
Hubungan lain antara bencana puting beliung dengan tutupan lahan yakni
dengan adanya tutupan vegetasi yang baik seperti hutan kota, dapat menurunkan
suhu udara disekitarnya, sehingga mengurangi terjadinya perbedaan suhu udara
yang nantinya akan menciptakan gradien tekanan udara yang tinggi antara suatu
tempat dengan tempat yang lain. Beda tekanan inilah yang mengakibatkan
terjadinya pergerakan udara dari tempat bertekanan udara tinggi menuju tempat
bertekanan rendah yang disebut dengan angin. Sebaran tutupan lahan di
Kabupaten Bondowoso dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Peta Tutupan Lahan Kabupaten Bondowoso
Berdasarkan analisis empat desa yang memiliki frekuensi kejadian puting
beliung tertinggi, didapatkan bahwa kondisi empat desa tersebut berada pada
ketinggian 73 – 500 mdpl, memiliki kelerengan 0-8% seluas 1045,07 ha atau
sebesar 89,21%, memiliki suhu permukaan 30º-35º C seluas 909,45 Ha atau
sebesar 77,63%, dan didominasi oleh tutupan lahan berupa sawah seluas 853,45
Ha atau sebesar 72,85%. Dari keempat parameter diatas, dapat dilihat bahwa
kriteria lokasi rawan bencana puting beliung yakni berada pada lokasi yang
memiliki ketinggian rendah, kelerengan landai, suhu udara yang tinggi, dan
memiliki tutupan lahan yang jarang sehingga tempat dengan kriteria tersebut
merupakan tempat yang memiliki kerawanan terhadap bencana puting beliung.
15
Daerah Rawan Puting Beliung dan Lokasi Pembangunan Hutan Kota
Dari hasil penelitian, kawasan prioritas Hutan Kota sebagai mitigasi
bencana angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso diketahui seluas
32420.35 ha yang meliputi 201 desa, penelitian ini mengasumsikan bahwa di
daerah tersebut belum terdapat hutan kota sehingga perlu diketahui di daerah
mana saja yang perlu di bangun hutan kota khususnya yang berfungsi sebagai
mitigasi untuk bencana angin puting beliung berdasarkan kerawanan daerah
tersebut terhadap potensi terjadinya angin puting beliung. Sebaran daerah
kerawanan tinggi angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso dapat dilihat
pada Gambar 12.
Gambar 12 Peta Kerawanan tinggi Angin Puting Beliung Kabupaten Bondowoso
Kriteria yang digunakan dalam penetuan lokasi hutan kota di Kabupaten
Bondowoso didasarkan faktor yang mempengaruhi terjadinya angin puting
beliung antara lain: Ketinggian Tempat, Kelerengan, Suhu Permukaan, dan
Tutupan Lahan. Setiap kriteria dibagi menjadi beberapa kelas dan kemudian tiap
kelas diberi bobot skor tertentu berdasarkan tingkat pengaruhnya terhadap
kejadian bencana angin puting beliung. Kombinasi dari beberapa kelas akan
menghasilkan nilai maksimal dan minimal, nilai maksimal kemudian akan
digunakan sebagai acuan penentuan lokasi prioritas pembangunan hutan kota di
Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan nilai maksimal tersebut, kemudian
disesuaikan dengan peta RTRW Kabupaten Bondowoso (Gambar 13) untuk
mengetahui dimana saja daerah yang dapat dibangun hutan kota sesuai dengan
RTRW yang ada.
16
Gambar 13 Peta RTRW Kabupaten Bondowoso
Hutan Kota memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah menstabilkan
suhu udara karena hutan kota memiliki suhu udara yang lebih rendah dari pada
tutupan lahan lainnya seperti lahan terbangun dan lahan pertanian yang memiliki
kerapatan vegetasi yang lebih rendah dari pada hutan kota. Asumsi penentuan
lokasi tersebut diharapkan Hutan Kota dapat menstabilkan suhu udara di
Kabupaten Bondowoso sehingga nantinya akan mengurangi gradien tekanan
udara yang terlalu besar yang dapat menciptakan gerakan angin yang terlalu
kencang yang dapat menciptakan angin puting beliung. Prioritas pembangunan
hutan kota diutamakan pada daerah yang memiliki suhu udara antara 30˚C sampai
35˚C.
Kriteria ketinggian tempat untuk penetuan lokasi hutan kota sebagai
mitigasi bencana angin puting beliung didasarkan bahwa suatu tempat yang
berada di ketinggian rendah (dataran rendah) memiliki suhu udara yang tinggi
dibandingkan dengan tempat yang lebih tinggi (dataran tinggi). Sehingga prioritas
penentuan lokasi pembangunan hutan kota diutamakan pada daerah yang memiliki
ketinggian rendah yakni dibawah 500 mdpl.
Kriteria kelerengan tempat untuk penetuan lokasi hutan kota sebagai
mitigasi bencana angin puting beliung didasarkan bahwa angin bergerak dengan
bebas di atas daerah yang landai/datar terlebih apabila daerah tersebut tidak
terdapat penghalang seperti perbukitan atau vegetasi berupa tegakan pohon yang
dapat memecah angin. Prioritas penentuan lokasi pembangunan hutan kota
diutamakan pada daerah yang memiliki kelerengan datar antara 0 hingga 8%.
Tutupan lahan memiliki peranan penting dalam penetuan lokasi hutan kota
sebagai mitigasi bencana angin puting beliung. Kartasapoetra (2006), menjelaskan
bahwa kondisi iklim mikro di lingkungan bervegetasi lebih baik dibandingkan
dengan lapangan terbuka. Hal ini didasarkan bahwa daerah dengan jenis tutupan
17
lahan yang jarang atau terbuka dapat lebih cepat memanaskan udara diatasnya,
sehingga dapat menciptakan sistem tekanan udara rendah. Tekanan udara rendah
inilah yang dapat memicu terjadinya angin puting beliung. Sehingga pada daerah
tersebut diutamakan dibangun hutan kota. Penentuan lokasi hutan kota
diutamakan pada tutupan lahan berupa lahan yang belum terbangun.
Setiawati (2012) menyatakan struktur pohon merupakan struktur dengan
kemampuan mereduksi suhu udara yang paling tinggi dibandingkan struktur RTH
lainnya. hal tersebut karena pohon memiliki tajuk lebih tinggi dan lebih padat
sehingga memiliki kemampuan yang baik untuk menaungi dan menyerap radiasi
matahari oleh karena itu dapat mereduksi suhu udara dengan baik.
Berdasarkan penyesuaian dengan RTRW Kabupaten Bondowoso,
didapatkan daerah yang dapat dibangun hutan kota yakni tersebar di 28 desa
dengan luas 2878,42 ha atau sebesar 1,84% dari luas keseluruhan Kabupaten
Bondowoso. Sebaran daerah yang dapat direkomendasikan untuk dibangun hutan
kota yang berfungsi sebagai mitigasi bencana angin puting beliung yang
disesuaikan berdasarkan penunjukan lokasi pembangunan hutan dalam RTRW
Kabupaten Bondowoso dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Peta Rekomendasi Pembangunan Hutan Kota
Peraturan Pemerintah RI No 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota
menyatakan persentase luas hutan kota paling sedikit 10% dari luas total wilayah.
Sehingga dalam memenuhi kebutuhan hutan kota sebagai mitigasi bencana angin
puting beliung dapat dioptimalkan pada daerah – daerah seperti badan air dan
pematang sawah yang tidak memiliki tegakan seperti pada Gambar 15.
18
Gambar 15 Lahan yang dapat dioptimalkan untuk ditanami pohon penahan angin
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Karakteristik desa yang paling sering mengalami bencana angin puting
beliung antara lain merupakan daerah dataran rendah yang berada di ketinggian di
bawah 500 mdpl, merupakan daerah yang datar, memiliki kelerengan 0-8% seluas
1045,07 ha atau sebesar 89,21%, memiliki suhu permukaan antara 30˚-35˚C
seluas 909,45 ha atau sebesar 77,63%, dan merupakan tempat yang didominasi
oleh jenis tutupan lahan yang cukup terbuka berupa persawahan seluas 853,45 ha
atau sebesar 72,85%.
Lokasi prioritas pembangunan hutan kota yang berfungsi sebagai mitigasi
bencana puting beliung didasarkan pada empat kriteria yang telah diberi nilai
pembobotan sebelumnya yang berpengaruh terhadap potensi terjadinya angin
puting beliung antara lain: ketinggian tempat, kelerengan, suhu permukaan, dan
jenis tutupan lahan. Didapatkan luasan dengan bobot nilai tertinggi yang perlu
untuk dibangunan hutan kota yang tersebar di 28 desa dengan luas 2878,42 ha
atau sebesar 1,84% dari luas keseluruhan Kabupaten Bondowoso yang diperoleh
dari hasil skoring dan overlay empat kriteria tersebut.
Saran
1. Perlu dilakukan pengumpulan data yang lebih akurat berupa data titik
koordinat geografis dan arah pergerakan angin puting beliung di Kabupaten
Bondowoso.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor tambahan yang dapat
mempengaruhi terjadinya angin puting beliung antara lain musim dan jenis
tanah.
3. Perlu dilakukan uji akurasi pembobotan pada faktor – faktor yang
mempengaruhi terjadinya angin puting beliung bila diterapkan di tempat lain.
19
4. Perlu dilakukan penelitian dengan area yang lebih luas mencakup kabupaten
lain yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bondowoso untuk
mengetahui adakah keterkaitan keadaan alam di kabupaten lainnya yang dapat
mempengaruhi terjadinya angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso.
5. Perlu dibangun hutan kota dengan fungsi pemecah dan penahan angin dengan
jenis tanaman yang memiliki kriteria: dahan yang kuat dan lentur, evergreen,
daunnya tidak mudah gugur, perakaran yang kuat, dan terdiri dari beberapa
strata. Beberapa jenis yang dapat digunakan dan sering dimanfaatkan masyarakat di
Kabupaten Bondowoso antara lain : Asam Jawa, Bungur, Melinjo, Turi, dan Pala.
DAFTAR PUSTAKA
[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2012. Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bondowoso. Bondowoso (ID): Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2007. Undang-undang Nomor
24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta (ID): Badan
Nasional Penanggulangan Bencana.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana. Jakarta (ID): Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
Dahlan EN. 1992. Hutan Kota (Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas
Lingkungan Hidup). Jakarta (ID): Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan Kota.
Bogor (ID): IPB Press.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Jakarta (ID):
Departemen Kehutanan.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Departemen
Kehutanan.
Djaenudin D, Sulaeman Y, Abdurachman A. 2002. Pendekatan Pewilayahan
Komoditas Pertanian Menurut Pedo-Agroklimat di Kawasan Timur Indonesia.
Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Grey WG, Deneke FJ. 1978. Urban Forestry. New York (US): J Wiley.
Sudibyakto, Daryono. 2008. Waspadai Puting Beliung. Yogyakarta (ID): Fakultas
Geografi dan Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada.
[USGS] United States Geological Survey. 2002. Landsat 7 Science Data Users
Handbook [terhubung berkala]. Waktu pembaharuan[13 Agustus 2010].
Tersedia pada : http://landsathandbook. gscf.nasa. gov/handbook /handbook
htmls /chapter11/html.
Irwan ZD. 1994. Peranan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas
lingkungan kota: studi kasus lokasi pemukiman kota Jakarta [disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
20
June T. 1994. Klimatologi Dasar (Landasan pemahaman fisika atmosfer dan
unsur-unsur iklim). Handoko, editor. Bogor (ID): Pustaka Jaya.
[KKPPPRB] Komite Koordinasi Penyadaran Publik Untuk Pengurangan Resiko
Bencana. 2011. Angin Puting Beliung. Aceh (ID): Komite Koordinasi
Penyadaran Publik Untuk Pengurangan Resiko Bencana Provinsi Aceh.
Lillesand TM, Kiefer RW. 1997. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra.
Dulbahri, Suharsono, Hartono, Surhayadi, penerjemah; Sustanto, editor.
Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan Terjemahan. Jakarta (ID): Penerbit
Universitas Indonesia.
Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung (ID):
Informatika Bandung.
Setiawati P. 2012. Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro (Studi
Kasus Kebun Raya Cibodas, Cianjur) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung (ID): Penerbit ITB.
Wardhani DE. 2006. Pengkajian suhu udara dan indeks kenyamanan dalam
hubungan dengan ruang terbuka hijau: studi kasus Kota Semarang [skripsi].
Bogor (ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Zakir A. 2009. Angin Puting Beliung [internet]. [diunduh 2013 Apr 9]. Tersedia
pada: http//bmg.go.id.
21
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bondowoso pada tanggal 10 Desember 1989 dari ayah
bernama Syamsul Bahri dan ibu Susmiani. Penulis merupakan anak tunggal.
Penulis menempuh pendidikan di TK Kartika Chandra Wijaya Kusuma,
dilanjutkan ke SD Dabasah 1 Bondowoso. Penulis kemudian melanjutkan jenjang
pendidikan ke SMPN 2 Bondowoso lalu ke SMAN 2 Bondowoso. Melalui
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis berhasil masuk ke Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE), Fakultas Kehutanan IPB.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi IFSA LC-IPB
(International Forestry Students’ Association Local Committee-IPB) pada periode
2009-2011. Penulis juga mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) sebagai
anggota Kelompok Pemerhati Fotografi Konservasi (FOKA)-Himakova, staf dari
Biro INFOKOM pada tahun 2010/2011. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten
praktikum pada mata kuliah Analisis Spasial Lingkungan (2013).
Penulis melaksanakan praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di
Cagar Alam Gunung Papandayan dan Sancang pada tahun 2010, Praktek
Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2011,
dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri pada
tahun 2012. Penulis pernah mengikuti Pelatihan Dasar Kemiliteran Kodam
Siliwangi di Gunung Bunder pada tahun 2009.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan
penelitian skripsi dengan judul Aplikasi SIG Dalam Penentuan Lokasi Hutan Kota
Sebagai Mitigasi Bencana Angin Puting Beliung di Kabupaten Bondowoso di
bawah bimbingan Dr Ir Endes N. Dachlan, MS dan Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo,
MSc.