178
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan utama digulirkannya reformasi adalah mendorong pertumbuhan demokrasi dan mempertegas eksistensi Pemerintah Daerah di seluruh lapisan pemerintahan. Lebih lanjut lagi, upaya untuk mendorong pertumbuhan demokrasi secara nyata dilakukan dengan mendorong dan memperbesar peranan Pemerintah Daerah, sehingga digulirkan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya untuk meningkatkan peran serta Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi daerah 1 . Sebagai bukti pemberdayaan Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi daerah, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2 Pasal 18 ayat (2) telah ditegaskan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan 1 Peraturan Perundang-undangan terkait dengan eksistensi pemerintahan daerah dalam bentuk undang-undang yang terbaru adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hasil dari 4 (empat) kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Adapun perubahan tersebut secara kronologis adalah sebagai berikut: a. Perubahan pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999; b. Perubahan kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000; c. Perubahan ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001; d. Perubahan keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. .

(apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan utama digulirkannya reformasi adalah mendorong

pertumbuhan demokrasi dan mempertegas eksistensi Pemerintah Daerah di

seluruh lapisan pemerintahan. Lebih lanjut lagi, upaya untuk mendorong

pertumbuhan demokrasi secara nyata dilakukan dengan mendorong dan

memperbesar peranan Pemerintah Daerah, sehingga digulirkan berbagai produk

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya untuk meningkatkan

peran serta Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi daerah1.

Sebagai bukti pemberdayaan Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi

daerah, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452

Pasal 18 ayat (2) telah ditegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah

kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

1Peraturan Perundang-undangan terkait dengan eksistensi pemerintahan daerah dalam

bentuk undang-undang yang terbaru adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia No.

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

2Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hasil dari 4

(empat) kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Adapun perubahan tersebut secara

kronologis adalah sebagai berikut:

a. Perubahan pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999;

b. Perubahan kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000;

c. Perubahan ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001;

d. Perubahan keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.

.

Page 2: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

2

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Penegasan ini sekaligus juga

merupakan bukti nyata adanya tekad untuk memberikan keleluasaan kepada

seluruh lapisan Pemerintahan Daerah baik di tingkat provinsi maupun

kabupaten/kota untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pemberian otonomi

tersebut pada hakekatnya bertujuan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan

peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan

kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia3.

Tiap-tiap daerah otonom baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota

diberikan kewenangan yang seluas-luasnya dan disertai dengan pemberian hak

dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan pemerintahan Negara. Hal ini dilakukan agar masing-masing

daerah otonom mampu menerjemahkan keinginannya untuk maju dan

berkembang dengan mengedepankan kepentingan masyarakat demi terciptanya

kemakmuran rakyat, dengan memperhatikan keunggulan dan ciri khas masing-

masing daerah otonom.

Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, telah membawa perubahan besar dalam setiap segmen

penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang diungkapkan Soekarwo

3Dasar Pertimbangan/Konsideran huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Page 3: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

3

sebagaimana dapat dilihat bukunya dalam Akmal Boedianto4. Dalam penjelasan

umum UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga menegaskan

bahwa:

Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas

penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar

susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan

keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan

kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan

sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan

selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam

persaingan global dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberi kewenangan

yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban

menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan

negara.

Dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, segenap warga negara

dituntut untuk bersatu dalam keragaman (unity in diversity), dan dalam wadah

negara kesatuan ini juga termasuk dimungkinkan adanya ketidakseragaman dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Semua daerah harus mendapatkan

kewajiban dan hak, tugas dan wewenang yang serupa untuk seluruh Indonesia,

hanya saja untuk daerah-daerah tertentu yang mempunyai latar belakang historis,

politik dan ekonomi yang berbeda, dapat diterapkan kebijakan yang bersifat

khusus sebagai tambahan ciri terhadap ciri-ciri umum otonomi yang berlaku bagi

seluruh daerah.

Dalam pelaksanaan pemerintahan pada seluruh daerah otonom, sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi Negara Kesatuan Republik

4 Akmal Boedianto, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda APBD

Partisipatif) Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 1

Page 4: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

4

Indonesia sebagai negara hukum, tiap-tiap Pemerintah Daerah selalu melandaskan

seluruh kebijakan dan tindakannya pada suatu dasar hukum sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Dalam perspektif daerah otonom, salah satu

landasan hukum yang dipergunakan oleh Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan

pemerintahan adalah berbagai peraturan daerah yang telah ditetapkan sebelumnya.

Di dalam Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

ditegaskan bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah

mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya

dalam ayat (2) hal tersebut lebih dipertegas, dengen menegaskan bahwa peraturan

daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

Dalam perkembangan pemerintahan daerah otonom, eksistensi peraturan

daerah ternyata banyak memberikan warna bagi masing-masing pelaksanaan

pemerintahan daerah itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya

peraturan daerah yang dihasilkan oleh masing-masing pemerintah daerah dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perihal adanya pemerintahan

daerah otonom, tentu saja terkait dengan pembentukan suatu peraturan

pemerintahan daerah iru sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie5:

Dalam keadaan yang normal, sistem norma hukum diberlakukan

berdasarkan undang-undang dasar dan perangkat peraturan perundang-

undangan yang secara resmi diadakan untuk mengatur berbagai aspek

yang berkenaan dengan penyelenggaraan kegiatan bernegara pada

umumnya, akan tetapi kadang-kadang kurang terbayangkan bahwa aka

nada keadaan lain yang bersifat tidak normal, dimana sistem hukum yang

5 Jimly Asshiddiqie, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada,

Jakarta, hal. 1

Page 5: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

5

biasa itu tidak dapat diharapkan efektif untuk mewujudkan tujuan hukum

itu sendiri.

Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia, saat ini telah

mengakibatkan pula terjadinya pergeseran paradigma dari sentralistik ke arah

desentralisasi, yang ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah.

Pengalaman dari banyak negara mengungkapkan bahwa pemberian otonomi

kepada daerah-daerah merupakan salah satu resep politik penting untuk mencapai

sebuah stabilitas sistem dan sekaligus membuka kemungkinan bagi proses

demokratisasi yang pada gilirannya nanti akan semakin mengukuhkan stabilitas

sistem secara keseluruhan.

Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian otonomi kepada daerah tidak

demikian mudahnya memenuhi keinginan daerah bahwa dengan otonomi daerah

segalanya akan berjalan lancar dan mulus. Keberhasilan otonomi daerah sangat

bergantung pada pemerintah daerah dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah, serta Perangkat Daerah lainnya.

Dengan demikian, perlu adanya hubungan yang harmonis antara DPRD dan

Kepala Daerah.

Salah satu unsur penting dalam gagasan desentralisasi dan otonomi daerah

ini adalah keinginan yang sangat kuat agar proses pembangunan di masa depan

benar-benar bertumpu pada kepentingan rakyat terutama mereka yang ada di

daerah-daerah. Keinginan yang sangat kuat ini di dasarkan pada kenyataan di

masa lampau yang lebih mengedepankan pandangan pusat yang dianggap telah

mencerminkan dan mewakili kepentingan masyarakat di daerah.

Page 6: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

6

Dalam pelaksanaan otonomi daerah ini selain diselenggarakan sesuai

dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah mengalami beberapa perubahan, dan mana perubahan terakhir

telah ditetapkan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, di mana hal ini tentu saja memerlukan

berbagai produk peraturan perundangan lainnya yang bersifat kedaerahan yang

disebut Peraturan Daerah, yang juga merupakan produk hukum dari pemerintah

daerah itu sendiri yang diharapkan akan mampu menunjang perwujudan otonomi

daerah yang sesuai dengan harapan.

Peraturan daerah ini menjadi sangat penting karena selain merupakan

penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya atau yang

lebih tinggi, peraturan daerah ini juga harus memperhatikan kebutuhan dan

perkembangan daerah yang bersangkutan, artinya dengan diterbitkannya

peraturan daerah ini jangan sampai mengakibatkan terganggunya kerukunan antar

warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan ketentraman/ketertiban

umum serta menimbulkan kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah ini sangat diperlukan sebagai suatu pedoman khusus dalam

membentuk suatu Peraturan Perundang-undangan, sehingga akan terjadi

keseragaman bentuk aturan Perundang-undangan antar daerah yang satu dengan

yang lainnya.

Berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah telah pula diatur dalam

UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Page 7: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

7

yang selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur tentang prosedur

dan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan yang termasuk

didalamnya adalah peraturan daerah. Sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang

Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa rancangan peraturan daerah dapat

berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Gubernur, atau

Bupati/Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,

kabupaten, atau kota. Sedangkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia

No. 12 Tahun 2011, diatur dalam Pasal 32, yang menegaskan bahwa,

“Perencanaan penyusunan Peraturan daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda

Provinsi”, dan telah diatur juga dalam Pasal-Pasal berikutnya, yaitu Pasal 32

sampai dengan Pasal 38, terkait dengan prosedur dan teknis pembentukan

peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah

Dalam pembentukannya, setiap peraturan daerah dapat dipastikan akan

melalui proses pembahasan yang dilakukan secara bersama-sama antara Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Dalam hal ini,

berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 42 ayat (1), telah ditegaskan

bahwa rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh

pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Gubernur atau

Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Selanjutnya UU No,

Page 8: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

8

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah

diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, dalam Pasal 32 sebagaimana yang telah dipaparkan

sebelumnya bahwa Perencanaan penyusunan Perda Provinsi dilakukan dalam

Prolegda Provinsi”, kemudian pada Pasal selanjutnya yaitu Pasal 33 UU No. 12

tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan:

(1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program

pembentukan Perda Provinsi dengan judul Rancangan Perda Provinsi,

materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-

undangan lainnya

(2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-

undangan lainnnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

keterangan mengenai konsepsi rancangan Perda yang meliputi:

a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;

b. Sasaran yang ingin diwujudkan;

c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan

d. Jangkauan dan arah pengaturan

(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah

melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah

akademik.

Kemudian pada Pasal selanjutnya dipaparkan lebih jelas lagi terutama mengenai

Perda APBD, yaitu :

Pasal 34

(1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan

Pemerintah Daerah Provinsi.

(2) Prolegda Provinsi ditetapkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun

berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Perda Provinsi.

(3) Penyusunan dan Penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun

sebelum penetapan Rancangan Perda Provinsi tentang Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah Provinsi.

Page 9: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

9

Pasal 35

Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat

(1), penyusunan daftar rancangan Perda Provinsi didasarkan atas:

a. Perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;

b. Rencana pembangunan daerah;

c. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan

d. Aspirasi masyarakat daerah.

Pasal 36

(1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah

Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat

kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi

dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus

menangani bidang legislasi.

(3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi

dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi

vertical terkait.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi

di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur

dengan Peraturan DPRD Provinsi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi

di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 37

(1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan

Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat

(1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat

Paripurna DPRD Provinsi.

(2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan

Keputusan DPRD Provinsi.

Pasal 38

(1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang

terdiri atas :

a. Akibat putusan Mahkamah Agung; dan

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi

Page 10: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

10

(2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi:

a. Untuk mengatsi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana

alam;

b. Akibat kerja sama dengan pihak lain; dan

c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu

Rancangan peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama

oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang

legislasi dan biro hukum.

Bunyi dari beberapa Pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang

Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, yang menggantikan UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan perundang-undangan, secara teks berbeda, dimana

penyebutan rancangan perda provinsi dikategorikan kedalam program dari

Prolegda Provinsi sedangkan Prolegda itu sendiri dilaksanakan oleh DPRD

Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi, tidak menyebutkan kepala daerah

provinsi yakni Gubernur, sebagaimana isi dari UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Meskipun demikian hal tersebut

tidak menjadi masalah sebab istilah Pemerintah Daerah Provinsi didalam UU No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 1 (3), menyebutkan bahwa

“pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah

sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”, selanjutnya pada ayat (4)

menyebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya

disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah. Jadi jelas bahwa pemerintah daerah yang

dimaksud pada UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan adalah Gubernur, bupati dan/atau walikota,.walaupun

Page 11: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

11

didalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, tidak ada

pemisahan pengertian antara Pemerintah daerah dengan Pemerintah Daerah

Provinsi.

Ketentuan mengenai penetapan rancangan peraturan daerah menjadi

peraturan daerah sebagaimana dipaparkan di atas juga diatur dalam Undang-

Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

yaitu dalam Pasal 144 yang menentukan sebagai berikut:

(1) Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD

dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan

DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan

sebagai peraturan daerah.

(2) Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu palin lama 7 (tujuh) hari

terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

(3) Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30

(tiga puluh) hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.

(4) Dalam hal rancangan peraturan daerah tidak ditetapkan Gubernur atau

Bupati/Walikota dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi peraturan daerah dan

wajib diundangkan dengan memuatnya dalam lembaran daerah.

(5) Dalam hal sahnya rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (4), rumusan kalimat pengesahannya berbunyi, “Peraturan

Daerah ini dinyatakan sah,” dengan mencantumkan tanggal sahnya.

(6) Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus

dibubuhkan pada halaman terakhir peraturan daerah sebelum

pengundangan naskah peraturan daerah ke dalam lembaran daerah.

Selain ketentuan mengenai penetapan rancangan peraturan daerah menjadi

peraturan daerah, dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah juga mengatur mekanisme pembatalan peraturan

daerah, di mana dalam Pasal 145 ayat (2) ditegaskan bahwa peraturan daerah

sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan

Page 12: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

12

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan

oleh Pemerintah.

Dalam kurun waktu pelaksanaan otonomi daerah pasca reformasi,

pemerintahan daerah ditenggarai banyak melakukan penyimpangan dan kesalahan

persepsi mengenai otonomi daerah. Implementasi Undang-Undang Republik

Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kebanyakan hanya

berorientasi keuangan dengan menciptakan berbagai peraturan daerah yang

menekankan kepentingan ekonomi dari pada kepentingan publik. Berbagai kasus

pembatalan peraturan daerah yang dilakukan pemerintah pusat dalam hal ini

melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri akhirnya muncul sebagai suatu

kenyataan yang mesti diterima oleh Pemerintah Daerah. Berbagai peraturan

daerah yang dibatalkan tersebut semuanya bersentuhan dengan masalah

pengelolaan keuangan daerah. Dari data yang berhasil dihimpun, Departemen

Dalam Negeri (Depdagri) pada tahun 2003 telah pula mengumumkan kurang

lebih 7000 (tujuh ribu) buah peraturan daerah yang harus dibatalkan karena

dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dan memberatkan

publik6

Terkait dengan pembatalan peraturan daerah, berdasarkan Undang-

Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 145 ayat (3), telah ditegaskan bahwa keputusan pembatalan peraturan

daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 145 ayat (2) ditetapkan dengan

Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya peraturan

6 Akmal Boedianto, 2010,Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda APBD

Partisipatif) Laksbang Presindo, Yogyakarta, hal. 5

Page 13: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

13

daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 145 ayat (1). Namun demikian, dalam

kenyataannya selama ini pembatalan suatu peraturan daerah hanya dilakukan

dengan ditetapkannya suatu Keputusan Menteri Dalam Negeri. Sejak tahun 2002

sampai dengan tahun 2009 terdapat 406 (empat ratus enam) buah peraturan daerah

yang dibatalkan melalui keputusan Menteri Dalam Negeri7

Pembatalan suatu peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam

Negeri tentunya bertentangan dengan ketentuan yang dipaparkan sebelumnya,

yang menjelaskan dengan tegas berdasarkan amanat Undang-Undang Republik

Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembatalan

suatu peraturan daerah hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Presiden. Salah

satu Peraturan Daerah yang dapat dijadikan contoh adanya pembatalan Peraturan

Daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, adalah Keputusan Menteri

Dalam Negeri Nomor 348 Tahun 2009, tentang Pembatalan Peraturan Daerah

Kabupaten Pasaman No. 4 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pengusahaan

Sarang Burung Walet.

Lebih lanjut lagi, hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang atau

alasan utama untuk melakukan kajian mengenai pembatalan peraturan daerah

melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Dengan demikian, kajian akan

dilakukan dengan mengedepankan perspektif pembatalan peraturan daerah yang

ditinjau dari berbagai sudut pandang dan konsep-konsep serta teori yang terkait

dengan latar belakang permasalahan yang selanjutnya akan menjadi topik kajian

yang akan dipaparkan.

7 http://www.depdagri.go.id, Produk Hukum – Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri,

tanggal 10-02-2011.

Page 14: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

14

Adanya kenyataan bahwa selama ini peraturan daerah hanya dibatalkan

dengan suatu Keputusan Menteri Dalam Negeri telah menjadi suatu fakta menarik

untuk dikaji, yang selanjutnya memicu munculnya berbagai pertanyaan terkait

dengan fakta dimaksud, serta kemudian menjadi latar belakang penelitian. Hal ini

disebabkan karena ketentuan mengenai pembatalan suatu peraturan daerah telah

diatur dalam Pasal 145 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas akan kita pahami bahwa pada hakikatnya

pembatalan suatu Peraturan Daerah hanya dapat dibatalkan melalui suatu

Peraturan Presiden.

Namun dengan demikian, mekanisme pembatalan suatu peraturan daerah

ternyata diatur juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58

Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 47 ayat (6), yang

menegaskan sebagai berikut:

“Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan

Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan

Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan

peraturan gubernur. Menteri Dalam Negeri membatalkan peraturan daerah

dan peraturan gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu

APBD tahun sebelumnya”

Dalam pembentukan peraturan daerah tentang APBD (Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah), hasil yang akan diperoleh merupakan suatu bentuk

penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-

Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Page 15: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

15

beserta peraturan pelaksanaannya. Peraturan pelaksanaan yang dimaksud adalah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah, yang mengatur pembentukan peraturan daerah

APBD dan pembatalan peraturan daerah APBD, namun dalam kenyataannya

pengaturan tentang mekanisme pembatalan peraturan daerah telah diatur secara

tegas di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Dimana kedudukan Undang-Undang lebih tinggi dari

pada Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Undang-

Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, yang telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Meskipun di dalam UU. No 12

Tahun 2011 ada penambahan dalam jenis peraturan perundang-undangan, namun

tetap menegaskan bahwa kedudukan UU lebih tinggi daripada PP.

Mekanisme pembatalan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal

47 ayat (6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah tersebut pada hakikatnya bertentangan dengan

mekanisme pembatalan Peraturan Daerah yang telah diatur dalam Pasal 145

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Dengan demikian akan dapat terlihat bahwa di antara substansi kedua

peraturan perundang-undangan tersebut telah terjadi suatu pertentangan norma

atau konflik norma.

Berdasarkan berbagai pertanyaan terkait dengan latar belakang dengan

topik kajian sebagaimana dipaparkan tersebut di atas, selanjutnya akan dijadikan

Page 16: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

16

sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian terhadap tema penelitian dengan

judul “Pembatalan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja

Daerah (APBD) di Tingkat Provinsi Melalui Keputusan Menteri Dalam

Negeri”. Dengan demikian, melalui penelitian dimaksud, maka berbagai

pertanyaan sebagaimana telah dikemukakan akan dapat terjawab secara

komprehensif dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan.

1.2. Rumusan Masalah

Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, topik kajian

mengenai pembatalan peraturan daerah APBD tingkat provinsi melalui Keputusan

Menteri Dalam Negeri telah menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dengan

topik kajian dimaksud. Namun demikian, keseluruhan pertanyaan tersebut pada

hakekatnya dapat di jelaskan dua rumusan permasalahan

utama. Dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas, dalam kajian ini

rumusan masalah yang akan diketengahkan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana keabsahan pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan

Menteri Dalam Negeri ?.

2. Bagaimana akibat hukum terhadap Peraturan Daerah APBD yang dibatalkan

melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri?

Page 17: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

17

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu kajian akademik yang

diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap berbagai bahasan

mengenai mekanisme pembatalan suatu produk Peraturan Perundang-undangan

sesuai dengan kedudukan hukumnya dalam hierarki atau tata urutan peraturan

perundang-undangan di Indonesia, yang dalam pembahasan terfokus pada

pembatalan suatu peraturan daerah APBD melalui Keputusan Menteri Dalam

Negeri.

Pemahaman mengenai mekanisme pembatalan suatu peraturan

perundang-undangan harus dipahami sebagai suatu mekanisme yang di dalamnya

juga termasuk mekanisme pengujian terhadap Peraturan Perundang-undangan itu

sendiri. Dengan demikian, dalam kajian mekanisme pembatalan terhadap suatu

peraturan daerah juga harus dipahami sebagai suatu kajian mengenai mekanisme

pengujian peraturan daerah itu sendiri. Melalui kajian ini, diharapkan pada masa

mendatang akan terwujud suatu pemahaman mengenai mekanisme pembatalan

suatu peraturan daerah yang merupakan salah satu jenis peraturan perundang-

undangan di Indonesia yang tepat dan sesuai dengan proses dan prosedur yang

ada, baik yang diatur secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam peraturan perundang-undangan

lainnya yang terkait dengan topik kajian, sehingga dapat mewujudkan paradigma

berpikir tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dalam

kerangka atau konsep negara hukum (rechsstaat).

Page 18: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

18

Oleh Karena itu dalam memahami mekanisme pembatalan suatu peraturan

dalam hal ini adalah peraturan daerah, maka penelitian hukumnya diperlukan juga

dengan melihat hakekat suatu sitem hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh

Morris L. Cohen dan Kent C.Olson 8, yang menegaskan bahwa “Effective legal

research requires more than knowledge of the nature of the legal system”.

1.3.2. Tujuan Khusus

Selain tujuan umum sebagaimana tersebut di atas, tujuan khusus dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui bagaimana keabsahan suatu pembatalan peraturan

daerah APBD ditingkat Provinsi melalui Keputusan Menteri Dalam

Negeri.

2) Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum terhadap peraturan daerah

APBD yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri.

1.4. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, akan dilakukan suatu analisis yang mendalam

terhadap pokok permasalahan yang telah dirumuskan dengan memperhatikan latar

belakang sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya untuk menemukan

suatu pemecahan yang terkait dengan pokok permasalahan, yaitu tindakan

Menteri Dalam Negeri yang mengeluarkan keputusan pembatalan terhadap

berbagai peraturan daerah, dikhususkan pada peraturan daerah APBD di tingkat

8 Morris L.Cohen and Kent C.Olson, 2000, Legal Research, St, Paul, Minn, West Group,

p. 5.

Page 19: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

19

Provinsi, yang dalam hal ini dikaji dengan tolok ukur mekanisme pembatalan

peraturan daerah sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-

undangan. Telaah yang akan dilakukan terkait dengan pokok kajian tentunya

akan disesuaikan dengan berbagai aspek dan faktor yang mendasarinya.

Selanjutnya, temuan mengenai mekanisme pembatalan peraturan daerah

tersebut akan ditindaklanjuti dengan melakukan analisis mengenai kewenangan

pihak-pihak yang untuk melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah. Aspek

kewenangan ini tentunya ditinjau dari perspektif konstitusi, sehingga akan

menghasilkan suatu kajian terhadap suatu kewenangan untuk membatalkan

peraturan daerah yang lahir secara konstitusional.

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian mengenai pembatalan peraturan daerah melalui keputusan

Menteri Dalam Negeri akan ditekankan pada keabsahan kewenangan yang

dimiliki oleh suatu lembaga dalam mengeluarkan suatu peraturan, dengan

menekankan pada beberapa aspek, termasuk di dalamnya kedudukan hukum

peraturan daerah, baik bentuk, isi, materi, muatan, maupun pihak yang berwenang

membentuk dan membatalkan, selanjutnya akan menghasilkan keabsahan dari

suatu pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga menimbulkan

akibat hukum yang bermuara pada pengujian dari peraturan daerah tersebut.

Secara teoritis, hal ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

perkembangan teori maupun asas-asas dalam ilmu hukum. Selain itu, penelitian

Page 20: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

20

ini diharapkan juga dapat memberikan kontribusi teoritis mengenai keabsahan

suatu pembentukan peraturan perundang-undangan dan akibat hukumnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Adanya identifikasi mengenai keabsahan suatu peraturan perundang-

undangan dan akibat hukumnya, diharapkan dapat memberikan suatu manfaat

dalam melakukan pengujian terhadap peraturan daerah. Setelah melakukan

analisis terhadap keabsahan peraturan daerah dan akibat hukumnya, selanjutnya

menimbulkan suatu proses pengujiannya, maka diharapkan agar terdapat

kejelasan mengenai bagaimana suatu cara atau mekanisme yang tepat dalam

pembatalan suatu peraturan daerah, dan hal ini adalah tergantung pada hasil

analisis yang akan dilakukan, yang akan menemukan secara akademis derajat atau

kedudukan peraturan daerah dalam arti bagaimana peraturan daerah itu dapat

dibatalkan.

1.5. Originalitas Penelitian

Kajian terkait peraturan daerah ini sebelumnya telah dikemukakan oleh

Bagus Arya Wisnu Wardhana9 dengan judul tesis “Perda Tata Ruang Kota

Semarang dan implementasinya (studi analisis konsistensi dan harmonisasinya

dengan UU Lingkungan Hidup) , dengan kajian sebagai berikut:

Rumusan Masalah yang disajikan adalah:

a. Bagaimanakah analisis konsistensi dan harmonisasi perda tata ruang

kota Semarang dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup?

9 Bagus Arya Wisnu Wardhana, 2008, Perda Tata Ruang Kota Semarang dan

Implementasinya (Studi Analisis Konsistensi dan Harmonisasinya dengan Undang-Undang

Lingkungan Hidup), Tesis, Program Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas

Diponegoro.

Page 21: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

21

b. Bagaimana implementasi perda tata ruang kota Semarang bila

dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup?

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi perda tentang tata

ruang kota Semarang dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan

Hidup?

Kesimpulan penelitian yang dihasilkan adalah:

a. Pengaturan permukiman, penataan ruang tersebut tercantum dalam

peraturan daerah RTRW sehingga sudah terdapat konsistensi dan

harmonisasi antara peraturan daerah RTRW dengan UULH;

b. Implementasi kebijakan penataan ruang bila dikaitkan dengan Undang-

Undang Lingkungan Hidup telah mengalami pergeseran yang sangat

signifikan, karena sebagian kebijakan pengembangan ruang kota

Semarang tidak sesuai dengan fungsi peruntukan lahan;

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Peraturan Daerah

Tata Ruang Kota Semarang bila dikaitkan dengan Undang-Undang

Lingkungan Hidup tidak dapat terlepas dari pertimbangan-

pertimbangan sosiologis antara lain faktor perkembangan penduduk,

faktor ekonomi yang menjadi faktor utama, factor estetika, serta faktor

filosofis. Belum lagi ditambah dengan faktor-faktor lainnya seperti

pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak swasta, kebijakan pimpinan

yang menyalahi peraturan perundang-undangan, dan belum adanya

tindakan yang konkrit dari pemerintah.

Di dalam kajian tersebut di atas menelaah perda tata ruang kota dengan

melihat pelaksanaannya yang kemudian dihubungkan dengan melihat harmonisasi

perda RTRW dengan UULH, berbeda dengan kajian tersebut dalam kajian yang

saya telaah pada tesis ini adalah terkait peraturan daerah APBD, yang kemudian

menjadi rumusan masalahnya adalah “bagaimana keabsahan pembatalan peraturan

daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri” selanjutnya rumusan masalah

keduanya adalah “bagaimana akibat hukum terhadap peraturan daerah APBD

yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri”. Kemudian dalam

kesimpulan tesis saya, bahwa pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan

Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah sedangkan akibat hukumnya adalah dapat

dibatalkan atau batal demi hukum, berdasarkan pada asas-asas serta aturan-aturan

yang melandaskan kajian yang saya telaah. Oleh karena itu jelas terlihat

Page 22: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

22

perbedaan substansi dari isi tesis antara saya dengan Bagus Arya Wisnu

Wardhana.

Terdapat juga kajian terkait dengan peraturan daerah yang dilakukan oleh

Bima Fathurrahman10

, dengan judul “Proses pembentukan peraturan daerah

berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 (studi di kota Bima)”, dan kajian sebagai

berikut:

Rumusan Masalah yang disajikan adalah:

a. Apakah pembentukan peraturan daerah di Kota Bima sudah

mencerminkan asas teknik pembentukan peraturan perundang-

undangan sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10

Tahun 2004?

b. Apakah asas materi muatan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun

2004 sudah tercermin dalam pembentukan peraturan daerah Kota

Bima?

Kesimpulan penelitian yang dihasilkan adalah:

a. Pembentukan peraturan daerah di Kota Bima masih menunjukkan

adanya kekurangan dari segi kejelasan bahasa dan ketentuan pasal,

serta adanya kesalahan dalam penentuan orang pribadi dan atau badan

sebagai obyek peraturan tersebut.

b. Masih adanya kalimat atau kata-kata yang multi interpretasi, sehingga

mengaburkan makna dan sasaran dari peraturan daerah tersebut.

Di dalam isi tesis tersebut di atas menelaah terhadap pembentukan

peraturan daerah di kota Bima dengan melihat apakah perda tersebut telah

memenuhi asas-asas tekhnik maupun materi peraturan perundang-undangan,

sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan dalam tesis yang saya

10

Fathurrahman, 2009, Proses Pembentukan Perda berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004

(studi di kota Bima), Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana

Universitas Mataram.

Page 23: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

23

telaah adalah dengan rumusan masalah “bagaimana keabsahan pembatalan

peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri” dan “bagaimana

akibat hukum terhadap Peaturan Daerah APBD yang dibatalkan melalui

Keputusan Menteri Dalam Negeri” dengan kesimpulannya bahwa Peraturan

Daerah APBD yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah

tidak sah dan akibat hukum peraturan daerah tersebut adalah batal demi hukum

atau dapat dibatalkan. Hal tersebut tetap berpedoman pada asas-asas teknik dan

materi serta aturan-aturan yang melandasinya. Aturan yang dipergunakan untuk

melihat asas-asas dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan dengan

berdasar pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu jelas

terlihat substansi tesis antara saya dan Bima Fathurrahman adalah berbeda.

Selanjutnya, penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Agus Budi

Setiyono11

, dengan judul “Pembentukan Peraturan Hukum Daerah Yang

Demokratis Oleh Pemerintah Daerah”. Kemudian mengetengahkan kajian

sebagai berikut:

Rumusan Masalah yang disajikan adalah:

a. Bagaimanakah penerapan asas-asas perundang-undangan yang

demokratis dalam pembentukan peraturan hukum daerah oleh

pemerintah daerah?

b. Bagaimanakah implementasi asas demokratis pada pembentukan

peraturan daerah?

Kesimpulan penelitian yang dihasilkan adalah:

11

Agus Budi Setiyono, 2008, Pembentukan Peraturan Hukum Daerah yang Demokratis

Oleh Pemerintah Daerah, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana

Universitas Diponegoro,

Page 24: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

24

a. Eksistensi peraturan hukum daerah dalam pembentukannya oleh

pemerintah daerah telah sesuai dengan asas-asas perundang-undangan

yang baik, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

b. Asas demokrasi telah diterapkan dalam pembentukan peraturan hokum

daerah oleh Kepala Daerah yang terdapat pada: usulan rancangan

peraturan daerah berasal dari Pemerintah Daerah maupun DPRD; proses

pembuatan peraturan perundang-undangan secara terencana, terpadu dan

sistematis.

Kajian pada tesis yang ditulis Agus Budi Setiyono adalah bagaimana suatu

pembentukan peraturan hukum daerah dengan menerapkan asas-asas perundang-

undangan yang demokratis oleh pemerintah daerah serta implementasinya,

berbeda halnya dengan tesis kajian saya terkait mekanisme pembatalan peraturan

daerah anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), dengan rumusan masalah

“bagaimana keabsahan pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri

Dalam Negeri” dan “bagaimana akibat hukum terhadap peraturan daerah

anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang dibatalkan melalui Keputusan

Menteri Dalam Negeri dengan kesimpulan bahwa peraturan daerah yang

dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah dan akibat

hukum yang dihasilkan peraturan daerah tersebut dapat dibatalkan atau batal

demi hukum. Dengan berdasar pada asas-asas dan aturan yang melandasinya.

Dengan demikian maka secara jelas bahwa substansi dari tesis saya dan Agus

Budi Setiyono adalah berbeda.

Page 25: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

25

1.6. Landasan Teoritis

1.6.1. Teori Negara Hukum

Secara konstitusional, penegasan mengenai eksistensi Negara Republik

Indonesia sebagai negara hukum telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Penegasan ini

menandakan bahwa setiap aktivitas pemerintahan termasuk dibidang penyusunan

APBD, yang dituangkan dalam suatu perangkat peraturan perundang-undangan

serta mekanisme pembatalan peraturan daerah tentang APBD harus memiliki

dasar-dasar pengaturan hukum.

Jika dikaitkan dengan eksistensi pemerintahan daerah, dalam kaitan negara

hukum inilah diperlukan berbagai perangkat peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lainnya yang dalam hal ini dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah

untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan12

.

Kembali kepada konsep negara hukum, dalam hal ini terdapat dua unsur

utama yang membentuknya, yaitu negara dan hukum. Dengan demikan, untuk

melakukan kajian terhadap negara hukum sebagai suatu frase kata, maka langkah

tepat yang harus diambil adalah dengan melakukan telaah terhadap unsur-unsur

pembentuk frase kata negara hukum tersebut.

12

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (6)

menegaskan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Page 26: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

26

Kajian terhadap konsep negara akan diawali dengan pendapat Bellefroid

dalam N.H.T. Siahaan13

bahwa:“Negara adalah suatu masyarakat hukum, yang

secara kekal menempati suatu daerah tertentu dan yang diperlengkapi dengan

kekuasaan tertinggi untuk mengurus kepentingan umum”. Selanjutnya pada

penegasan Kelsen, yang menganggap negara sebagai komunita hukum bukan

sebagai sesuatu yang terpisah dari tata hukumnya, sesuatu selain korporasi yang

berbeda dari tata pembentuknya (anggaran dasarnya)14

.”

Dengan demikian, dari penegasan Kelsen ini, eksistensi suatu negara

tidak akan terlepas dari eksistensi hukum atau tata hukumnya. Lebih lanjut lagi,

melalui penegasan ini akan dapat dipahami bahwa Kelsen menganggap negara

sebagai organisasi hukum yang bersifat teratur dan terstruktur, yang akan selalu

dilekati dengan suatu tata hukum, serta akan selalu mengedepankan hukum

sebagai tata bentuk maupun tata pemerintahannya.

Eksistensi negara juga didefinisikan oleh Nasroen, yang memberi

penegasan terhadap eksistensi negara, dengan menegaskan bahwa negara

merupakan suatu bentuk pergaulan hidup, yang mempunyai anggota tertentu,

yang disebut sebagai rakyat dari negara itu dan yang mempunyai daerah,

pemerintahan dan tujuan tertentu pula15

.

13

Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta,

hal. 92 14

Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum

Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia

Jakarta, hal. 226. 15

M. Nasroen, 1986, Asal Mula Negara, Cetakan Kedua, Aksara Baru Jakarta, hal. 97.

Page 27: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

27

Ditinjau dari perspektif esensi suatu negara, aspek ketaatan merupakan

suatu unsure utama dari eksistensi suatu Negara. Sebagaimana yang dikutip

dalam C.F. Strong16

, yang menegaskan bahwa “ The Essence of a state, then as

distint from all others forms of association, is the obedience of its members to the

law”.

Dari pendapat tersebut, sekali lagi Strong menegaskan bahwa esensi dari

suatu negara, yang menjadikan faktor pembeda dari negara lainnya adalah bentuk-

bentuk asosiasi lainnya, tergantung atau terletak pada ketaatan hukum anggotanya

atau masyarakat dari suatu negara tersebut.

Selanjutnya dari penegasan Nasroen dapat di pahami bahwa negara

sebagai suatu entitas yang teratur dan terstruktur. Berbeda dengan Kelsen, dalam

memberikan definisi tentang negara Nasroen tidak memberikan penekanan

terhadap eksistensi hukum. Namun demikian, adanya perspektif pemerintah dan

tujuan tertentu yang disampaikan terkait dengan definisi negara, kiranya tidak

berlebihan apabila disimpulkan bahwa Nasroen juga memperhatikan aspek hukum

sebagai unsur yang terkait erat dengan eksistensi negara, karena pada hakekatnya

suatu tata pemerintahan dan tujuan yang telah ditetapkan merupakan suatu

hukum, yang tentunya telah ditetapkan sebelumnya.

Kata kedua dari frase kata negara hukum adalah kata hukum, yang dengan

demikian kajian selanjutnya adalah merupakan upaya untuk menemukan rumusan

atau definisi dari kata hukum itu sendiri. Dalam penelitian ini, beberapa definisi

16

Strong, C.F, 1966, Modern Political Constitutions, The Engglish Languange Book

Society and Sidgwick and Jakcson Limited, London, p. 6

Page 28: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

28

dari para ahli hukum akan dipergunakan sebagai landasan teori, sehingga secara

komprehensif akan dipergunakan sebagai titik tolak untuk merumuskan definisi

dari negara hukum itu sendiri.Sampai dengan saat ini, telah terdapat banyak sekali

ahli hukum yang menegaskan definisi tentang hukum. Definisi yang

dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut seringkali berbeda di antara ahli

hukum yang satu dengan ahli hukum yang lainnya.

Perbedaan tersebut di atas pada hakekatnya disebabkan karena pada

hakekatnya eksistensi hukum itu sendiri terkait dengan berbagai faktor yang

melingkupinya, serta adanya berbagai sudut pandang dari masing-masing ahli

hukum yang mencoba untuk merumuskan definisi tentang hukum itu sendiri. Di

sisi lain, adanya berbagai pendapat mengenai definisi hukum telah memberikan

bukti nyata bahwa pada hakekatnya definisi hukum mempunyai sifat yang terbuka

terhadap berbagai faktor pengaruh, di mana faktior pengaruh itu sendiri pada

hakekatnya mengikuti perkembangan kehidupan manusia. Keterbukaan definisi

hukum terhadap berbagai faktor dan sudut pandang ini selaras dengan penegasan

Ali17

, yang menegaskan bahwa hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu

yang abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Olehnya

pertanyaan tentang apakah hukum, senantiasa merupakan pertanyaan yang

jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain perkataan, persepsi orang

tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka

memandangnya. Penegasan Ali tersebut akan memberikan suatu pemahaman

17

Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum Cetakan Pertama, Chandra Pratama,

Jakarta, selanjutnya disebut Achmad Ali I, hal. 21-22.

Page 29: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

29

bahwa definisi hukum bersifat sangat terbuka terhadap berbagai faktor pengaruh,

dan seringkali berbeda tergantung dari sudut pandangnya.

Definisi mengenai hukum juga dikemukakan oleh Morris L. Cohen dan

Kent C. Olson18

, yang menyebutkan bahwa “The law consist of those recorded

rules that society will enforce and the procedures that can implement them”.

Adanya sifat definisi hukum yang sangat terbuka terhadap berbagai faktor

pengaruh akan menyebabkan berbagai kesulitan dalam merumuskan definisi

hukum secara tunggal dan pasti. Dengan kata lain, bukanlah merupakan suatu hal

yang mudah untuk memberikan suatu definisi yang tepat terhadap suatu konsep

hukum, sebagaimana disampaikan oleh K.N. Llewellyn (1893-1962)19

yang

menyebutkan bahwa “The difficulty in framing any concept of “law” is that there

are so many things to be included, and the things to be included are so

unbelievably different from each other. Perhaps it is possible to get them all

under one verbal roof. But I do not see what you have accomplished if you do.”

Namun demikian, dalam kajian ini upaya untuk menemukan rumusan atau

definisi hukum akan dikaitkan dengan topik kajian yaitu pembatalan peraturan

daerah APBD tingkat provinsi melalui keputusan Menteri Dalam Negeri. Dengan

demikian, faktor pengaruh dan sudut pandang yang dijadikan titik tolak kajian

tentunya adalah faktor-faktor yang terkait dengan entitas aturan atau peraturan,

serta entitas pemerintahan sebagai kata kunci yang akan dipergunakan dalam

18

Morris L. Cohen and Kent C.Olson, 2000, Legal Research, West Group, St. Paul,

Minn, p. 2. 19

K.N. Llewellyn. t.t, Law and the ”Behavior Analysis”, In: Golding, M.P. Columbia

University. editor. The Nature Of Law, New York: Random House, p. 227.

Page 30: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

30

kajian selanjutnya. Harus diakui, sebagian besar manusia akan selalu

mengkaitkan hukum dengan suatu peraturan.

Kewenangan negara dalam menetapkan hukum pada hakekatnya

merupakan suatu kewenangan yang menjadi prasyarat dalam menetapkan suatu

hukum, dan akan selalu dibutuhkan secara mutlak agar suatu hukum ditaati.

Namun demikian, kewenangan dalam menetapkan suatu hukum tidak lantas

menjadikan suatu hukum memiliki ketergantungan, karena pada hakekatnya

hukum akan selalu memiliki sifat kemandirian dalam artian tidak akan dapat

dipengaruhi oleh siapapun juga pada saat hukum tersebut telah ditetapkan dan

disepakati.

Kemandirian merupakan suatu atribut hukum yang bersifat hakiki atau

melekat sejak saat hukum ditetapkan, sesuai dengan penegasan Pospisil yang

menyebutnya sebagai attribute of authority20

. Hukum akan selalu dipergunakan

oleh negara sebagai alat untuk mencapai tujuan negara yang telah diciptakan dan

disepakati sebelumnya. Hukum sekaligus juga dapat berperan sebagai suatu alat

rekayasa sosial kemasyarakatan (law as a tool of social engineering) yang

diselaraskan dengan tujuan dan cita-cita negara.

Negara hukum sebagaimana diungkapkan oleh ahli-ahli hukum Eropa

Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Fredrich Julius Stahl

memakai istilah Rechsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon seperti A.V. Dicey

20

Achmad Ali, 1999, Pengadilan Dan Masyarakat, Cetakan Pertama, Lembaga

Penerbitan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, selanjutnya disebut Achmad Ali 2, hal. 157.

Page 31: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

31

memakai istilah Rule of Law 21

. Selanjutnya oleh Stahl disebut empat unsur

Rechtsstaat dalam arti klasik, yaitu:

a. Hak-hak manusia

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di

negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut Trias Politika)

c. Pemerintah berdasarkan Peraturan-peraturan (wetmatigheid van

bestuur)

d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Sedangkan unsur-unsur Rule of Law dalam arti klasik, seperti yang di

kemukakan oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the law Constitution

mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya

kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti

bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.

b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the

law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat.

c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh

undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.

Selanjutnya Ridwan yang mengambil inti sari dari pendapat Ten Berge

dalam W. Riawan Tjandra, menguraikan prinsip-prinsip yang harus terpenuhi

dalam negara hukum22

, yaitu:

1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh Pemerintah)

harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan

peraturan umum yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara

umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan

21

Miriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan keempat,

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 113. 22

W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma

Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 12-13

Page 32: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

32

(pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan

yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus

dikembalikan dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undang-

undang formal.

2. Perlindungan hak asasi;

3. Pemerintah terikat pada hukum;

4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum

harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah

harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrument yuridis

penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar

hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik

secara prinsip merupakan tugas pemerintah.

5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum yang dapat

ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ

pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap negara hukum diperlukan

pengawasan oleh hakim yang merdeka.

Terkait dengan kajian ini, maka didalam unsur Rechsstaat, terlihat dalam

poin ketiga, yakni Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatighed van

bestuur), sedangkan di dalam unsur Rule of law, kaitannya terlihat dalam poin

pertama, yakni Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the Law). Dari dua

poin tersebut yang terbagi antara unsur Rectsstaat dengan Rule of Law, terlihat

secara jelas bahwa suatu negara hukum tentunya memiliki kepastian hukum atau

memiliki asas legalitas, karena asas ini merupakan konsekuensi logis daripada

negara hukum sehingga setiap perbuatan atau tindakan aparatur pemerintah

haruslah selalu didasarkan pada aturan-aturan hukum.

Begitupun halnya dengan suatu produk hukum tentunya memiliki

kepastian hukum yang jelas, juga mekanisme pembentukan maupun

pembatalannya. Terkait dengan hal tersebut dalam kajian ini yang akan

diketengahkan adalah produk hukum peraturan daerah APBD ditingkat provinsi,

Page 33: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

33

yang telah jelas diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan yakni UU No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, namun di sisi lain juga di atur

dalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Dalam hal

mekanisme pembatalan peraturan daerah APBD, ternyata terdapat perbedaab di

antara kedua produk peraturan Perundang-Undangan tersebut, adanya perbedaan

pengaturan mekanisme pembatalan itu pada hakikatnya merupakan suatu

pertentangan norma yang dapat menimbulkan persoalan dalam perspektif Negara

Hukum.

1.6.2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Kajian mengenai pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat provinsi

melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri pada hakekatnya memiliki keterkaitan

yang sangat erat dengan konsep atau teori pembentukan peraturan perundang-

undangan. Dalam hal ini, Yuliandri23

menegaskan bahwa pembentukan peraturan

perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan

hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan

metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang

berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

Di sisi lain, konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan

cara dan metode yang pasti, baku, dan memiliki standar yang mengikat, pada

hakekatnya juga harus diikuti pula dengan mekanisme pembatalan atau

23

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.

2.

Page 34: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

34

pencabutan yang memiliki cara dan metode yang pasti, baku, dan memiliki

standar yang mengikat pula. Pemahaman mengenai cara, metode dan standar

yang baku dalam hal ini harus diartikan dengan suatu mekanisme yang dilandasi

dengan ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam perspektif

kajian pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat provinsi melalui keputusan

Menteri Dalam Negeri juga merupakan suatu upaya pembangunan atau

pembinaan hukum di Negara Indonesia. Pembinaan hukum bahkan harus diawali

dengan adanya suatu kajian mengenai konsep pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, hal ini ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo24

, yang menegaskan bahwa:

”Apabila kita ingin berbicara mengenai pembinaan hukum dalam arti yang

lengkap, masalah pembuatan hukum pun termasuk di dalamnya. Tentulah

tidak dapat diharapkan berbicara tentang pembinaan hukum secara

bersungguh-sungguh, apabila hanya mempersoalkan tentang bagaimana

meningkatkan efisisensi suatu peraturan yang ada serta meningkatkan

efisiensi kerja dari lembaga-lembaga hukum. Pada suatu ketika, usaha

untuk meningkatkan efisiensi hukum juga dimulai dari pembuatan

peraturannya sendiri. Dengan demikian, akan dijumpai wilayah-wilayah

tempat kaitan antara pembangunan, perubahan, dan pembinaan hukum

tersebut bertemu”.

Dapat dikatakan, bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan

merupakan manifestasi konkret dari tekad untuk mewujudkan negara hukum.

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga merupakan suatu titik tolak

dari arah pembangunan hukum, dan merupakan upaya untuk mewujudkan suatu

negara hukum, di mana dalam hal ini Usfunan menegaskan bahwa asas legalitas

24

Satjipto Rahardjo, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Genta

Publishing, Yogyakarta, hal. 16.

Page 35: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

35

dalam konsep rechsstaat, mensyaratkan bahwa segala tindakan pemerintah harus

berdasarkan hukum25

.

Suatu bentuk keberlakuan Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini

adalah kaidah hukum, memiliki bentuk keberlakuan yuridik, sebagaimana

pendapat Arief Sidharta26

, keberlakuan yuridik dimaksudkan bahwa suatu kaidah

hukum dibentuk sesuai aturan-aturan hukum prosedur yang berlaku oleh badan

yang berwenang dan bahwa ia juga lebih dri itu dalam aspek lain secara

substansial tidak bertetangan dengan kaidah hukum lainnya (kaidah yang lebih

tinggi).

Oleh karena itu, aspek pembentukan Peraturan Perundang-undangan

merupakan suatu aspek yang harus diperhatikan, serta dalam pelaksanaannya

harus memperhatikan asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan

yang baik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik

Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, yang selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari:

a) Asas kejelasan tujuan;

b) Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c) Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d) Asas dapat dilaksanakan;

e) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f) Asas kejelasan rumusan dan

25

Johanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik

Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis, (Orasi Ilmiah pada Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Udayana Tanggal 1 Mei 2004), selanjutnya disebut Johanes Usfunan I, hal. 2. 26

Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum dan Filsafat Hukum, Refika aditama, Bandung, hal. 47.

Page 36: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

36

g) Asas keterbukaan.

Selain asas dan metode dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan menurut Kant dalam LG Saraswati dkk, 27

adalah prinsip kebebasan,

prinsip kesetaraan dan prinsip otonomi. Selanjutnya diuraikan bahwa prinsip

kebebasan adalah pemerintah disini adalah yang memikirkan kebahagiaan

rakyatnya, untuk prinsip kesetaraan, bahwa setiap anggota masyarakat berhak

untuk menolak hukum-hukum yang tidak disepakati dan prinsip otonomi sebagai

anggota masyarakat ataupun sebagai legislator, harus bebas dan setara dalam

menyepakati hukum.

Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya telah

melalui suatu pertimbangan tertentu, dan merupakan suatu kegiatan pemerintah.

Menurut Usfunan28

, beranjak dari macam-macam kegiatan pemerintahan kiranya

dapat dipahami bahwa, konsekuensinya yakni diperlukan adanya pengaturan.

Pendapat tersebut senada dengan pendapat Jimmly Asshidiqie29

, yang

menyebutkan bahwa kegiatan legislasi dan pembentukan peraturan perundang-

undangan merupakan salah satu kegiatan-kegiatan kenegaraan dan pemerintahan

yang tercakup dalam bidang hukum tata negara dan tata usaha negara atau

administrasi negara.

27

Kant dalam LG Saraswati, dkk, 2006, Hak Asasi Manusia, filsafat –UI Press, Jakarta,

hal. 83-84 28

Johanes Yusfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan,

Jakarta, selanjutnya disebut Johanes Usfunan II, hal. 17.

29

Jimmly Asshidiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan

Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 45.

Page 37: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

37

Suatu kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan juga

merupakan suatu kegiatan awal yang bertujuan untuk membentuk atau membawa

suatu perubahan. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya suatu undang-

undang akan mampu membawa suatu perubahan, sebagaimana ditegaskan oleh

Seidman dan kawan-kawan30

, yang memberikan penegasan sebagai berikut:

“Dalam sebuah undang-undang yang diharapkan mampu membawa

perubahan, maka rincian rancangan akan memiliki arti penting tersendiri.

Undang-undang itu hanya akan efektif berguna bila mampu mendorong

timbulnya perilaku yang diharapkan. Apabila undang-undang tersebut

menyerahkan pilihan untuk berperilaku terhadap kebijaksanaan si pelaku

sendiri maka perilaku tersebut mustahil akan sesuai dengan apa yang

dimaksudkan oleh pembuat rancangan”.

Penegasan Seidman tersebut di atas sekaligus juga memberikan pemahaman,

bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan senantiasa akan

disertai dengan suatu maksud untuk mengarahkan atau membawa perubahan

dalam kehidupan masyarakat untuk membentuk suatu tatanan kehidupan yang

sesuai dengan cita-cita bangsa dan negara.

Berbagai pendapat para ahli hukum tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan di atas merupakan suatu penegasan akan arti pentingnya

pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itulah, asas-asas

sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana

yang telah diganti dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

30

Ann Seidman dkk, 2000, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Untuk Perubahan

Sosial Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, hal. 7.

Page 38: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

38

Perundang-undangan harus benar-benar ditaati dan dijadikan pedoman. Secara

konkret, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik ini

seringkali diletakkan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di

Indonesia. Terkait dengan hal ini, Indrati S31

menyebutkan bahwa dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini (sejak era

reformasi) terdapat kecenderungan untuk meletakkan asas-asas hukum atau asas-

asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut di dalam salah satu

pasal-pasal awal, atau dalam Bab Ketentuan Umum.

1.6.3. Perjenjangan Norma Peraturan Perundang-undangan

Dalam hal perjenjangan norma, kajian ini mempergunakan Teori

Stufenbau dari Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan

sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang lebih

tinggi dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegang pada

norma hukum yang paling mendasar.

Hans Nawiasky dalam Maria Farida Indrati32

menyebutkan bahwa norma-

norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.

Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih

tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.

Teori stufenbau dari Hans Kelsen, yang mengajarkan tentang berlakunya

hukum jika sesuai dengan kaidah yang lebih tinggi, yang juga sesuai dengan asas

31

Maria Farida Indriati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan, (Bukiu 1: Jenis, Fungsi dan

Materi Muatan), Penerbit Yogyakarta, hal. 264. 32

Ibid, hal. 44.

Page 39: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

39

lex superiori derogate legi inferiori, dengan demikian suatu norma hukum pada

hakekatnya tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang secara hierarkis

berada di atasnya.

Terkait dengan bahasan yang dikaji, yakni pembatalan peraturan daerah

melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, telah ditegaskan sebelumnya bahwa

dalam hal ini telah terjadi suatu terjadi konflik norma, karena didalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, telah jelas diatur mengenai pembatalan peraturan

derah, namun dalam aplikasinya terlihat adanya konflik dari norma tersebut,

dimana pembatalan peraturan daerah tersebut melalui Keputusan Menteri Dalam

Negeri.

1.6.4. Konsep Otonomi Daerah

Konsepsi pemerintahan daerah bukanlah dalam artian sebuah lembaga,

melainkan menunjuk pada tempat proses penyelenggaraan urusan atau tugas

negara, yakni di daerah sebagai perpanjangan penyelenggaraan pemerintahan oleh

Pemerintah Pusat33

Dalam hal pemerintahan daerah yang menjadi fokus perhatian adalah asas

otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat

dan pemerintah daerah, sebagaimana yang ditulis oleh Yamin, 34

bahwa:

“Susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan

pemerintahan pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian

33

I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Denpasar, hal. 37 34

Yamin dalam Mahfud, 2009, Politik Hukum, PT. Rja Grafindo Persada, hal. 92

Page 40: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

40

kekuasaan itu antara pusat dan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi tenaga

pemerintahan ini berlawanan dengan asas hendak mengumpulkan segala-galanya

pada pusat pemerintahan.”

Terkait konsep otonomi dalam konteks organisasi pemerintahan daerah

melahirkan berbagai macam pengertian, walaupun dalam substansinya mengarah

pada pengertian yang sama. Pengertian-pengertian yang berkembang sesuai

dengan tuntutan kebutuhan yang dapat disebutkan antara lain oleh pakar dalam

ilmu pemerintahan dirumuskan sebagai pengaturan sendiri yang ditujukan untuk

keperluan wilayah atau bagian negara atau kelompok yang memerintah sendiri.35

Sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia pada hakekatnya

memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih

menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan

dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Surianingrat36

menegaskan bahwa dalam tata pemerintahan di daerah

otonomi diartikan sebagai mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri.

Rumusan yang sama pula diberikan oleh Pot dalam Marzuki37

, agak berbeda

dalam rumusan yang dikemukakan oleh Koesoemahatmadja38

yang menyebutkan

bahwa otonomi daerah mengandung arti “membuat perundang-undangan sendiri”

35

Bayu surianingrat, 1987, Mengenai Ilmu Pemerintahan, Aksara Baru, Jakarta. 1987,

hal. 6. 36

Ibid, hal.7. 37

Laica Marzuki, 1987, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Makasar

tanpa tahun, hal. 2. 38

Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia,

Binacipta, Bandung, , hal. 14.

Page 41: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

41

(selfwetgeving) yang dalam perkembangannya juga mencukupi “zelfbestur”

(pemerintah sendiri).

Pengertian terakhir inilah yang memberi kesan bahwa konsep otonomi

dapat saja dipergunakan dalam berbagai konteks, namun yang memberikan arahan

atas kebutuhan pemakaiannya adalah konteks dimana konteks itu diletakkan. Jika

hal itu diletakkan dalam konteks daerah, maka yang dimaksudkan dengan

“selfwetgeving”, adalah membuat peraturan-peraturan daerah39

dan apa yang

dimaksudkan dengan pemerintahan sendiri dapat diartikan sebagai rumah tangga

sendiri.

Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas, memberikan petunjuk

atas substansi otonomi daerah sebagai peraturan atas rumah tangga sendiri, rumah

tangga itu diletakkan adalah jelas pada daerah atau bagian wilayah suatu

organisasi negara.

Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang

Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, konsep

otonomi daerah dalam konteks pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan

urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

39

Laica Marzuki, op cit., hal. 5.

Page 42: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

42

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka (3), yang dimaksud dengan

Pemerintah Daerah adalah gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah

sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya, dalam Pasal

40 juga disebutkan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah

dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Lebih jauh lagi, ketentuan mengenai penyelenggaraan penerintahan daerah

juga diatur dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi daerah

dan tugas pembantuan. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah

dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta

dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Dengan demikian, daerah otonom akan diartikan sebagai kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Page 43: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

43

Tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah dan wakil daerah

diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Pasal 25, yaitu terdiri dari:

1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan

yang ditetapkan bersama DPRD;

2) Mengajukan rancangan peraturan daerah;

3) Menetapkan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan DPRD;

4) Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah kepada DPRD untuk dibahas dan

ditetapkan bersama;

5) Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

6) Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk

kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan; dan

7) Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Di antara tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah dan wakil

kepala daerah tersebut di atas, terdapat beberapa tugas yang terkait erat dengan

kajian mengenai pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam

Negeri, serta konsep perancangan peraturan perundang-undangan, yaitu:

1) mengajukan rancangan peraturan daerah;

2) menetapkan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

3) menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada

DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama. Berbagai tugas terkait dengan

perancangan dan penetapan peraturan daerah inilah yang kemudian menjadi

suatu fakor relevan yang mendukung dan mempertajam kajian yang akan

dilakukan.

Page 44: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

44

Eksistensi pemerintahan daerah dan peraturan daerah juga mencerminkan

suatu tatanan hukum nasional, yang menurut pendapat Sidharta sebagaimana

dikutip oleh Syaukani dan A. Ahsin Thohari40

harus mengandung ciri-ciri sebagai

berikut:

1) Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;

2) Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan

keyakinan keagamaan;

3) Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;

4) Bersifat nasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas

kewajaran (redelijkheid), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;

5) Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan

kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;

6) Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

Terkait dengan eksistensi peraturan daerah, pada hakekatnya eksistensi

peraturan daerah merupakan salah satu ciri tatanan hukum nasional, yang berjalan

seiring dengan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dikenal

dalam struktur atau hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan

tatanan hukum yang baik, maka diharapkan akan terbentuk suatu hukum nasional

sebagaimana dihasilkan dalam seminar tentang hukum nasional di Fakultas

Hukum Universitas Islam Indonesia, yang merekomendasikan bahwa hukum

nasional yang sedang dibangun haruslah41

:

1) Berlandaskan Pancasila (filosofis) dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (konstitusional);

40

Syaukani, Imam & A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT.

Rajagrafindo Persada Jakarta, hal. 70-71.

41

Rekomendasi ini sebagaimana dikutip dari Syaukani, Imam & A. Ahsin Thohari, 2004,

Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 71.

Page 45: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

45

2) Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertuban sosial, mendukung

pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil pembangunan.

1.6.5. Teori Kewenangan

Wewenang pemerintahan menurut sifatnya selalu terikat kepada suatu

masa waktu tertentu, tidak berlaku untuk selama-lamanya. Selain itu baik

pemberian wewenang, maupun sifat serta luasnya wewenang pemerintahan serta

pelaksanaannya dari suatu wewenang selalu tunduk pada batas-batas yang

diadakan oleh hukum. Mengenai pemberian wewenang maupun pencabutannya,

terdapat batasan-batasan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Demikian

juga mengenai pelaksanaan suatu wewenang pemerintahan, ia selalu tunduk pada

batasan-batasan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis, dalam hal ini asas-asas

umum pemerintahan yang baik.

Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, secara tegas

Indroharto42

menyebutkan sebagai berikut:

“asas-asas umum pemerintahan yang baik, mencanangkan, bahwa tanpa

adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-

undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu tidak

akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah

keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Ini berarti, bahwa setiap

wewenang pemerintahan untuk melakukan kebijaksanaan dan tindakan

hukum Tata Usaha Negara, baik mengenai bentuk dari tindakan-tindakan

hukum serta isi hubungan hukum yang diciptakan olehnya harus ada dasar

atau sumbernya pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-

undangan (hukum tertulis)”.

42

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Buku 1 Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, hal. 83.

Page 46: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

46

Sebagaimana pula yang diatur di dalam Undang-Undang Republik

Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada Pasal 1

ayat (2), telah ditegaskan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, adalah

Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang kemudian dijelaskan lebih

lanjut oleh Indroharto43

, bahwa, yang dimaksudkan dengan ketentuan tersebut

adalah:

1. dalam kata “berdasarkan” pada rumusan itu yang dimaksudkan adalah,

bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh para

Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu harus ada dasarnya dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut sajalah yang

memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang

mereka laksanakan;

2. Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan, bahwa wewenang Badan

atau Jabatan Tata Usaha Negara untuk melaksanakan suatu bidang urusan

pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh

suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Kedua makna tersebut pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan

dari berlakunya ide (cita) negara hukum dalam negara kita.

Dalam suatu pelaksanaan pemerintahan esensi keteraturan dalam

administrasi akan tampak pada hubungan pemerintahan yang berlangsung secara

fungsional yang diciptakan oleh para subjek administrasi sebagai pemerintah

dengan para subjek yang diatur sebagai pihak yang diperintah44

43

Ibid, hal. 81. 44

Faried Ali, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.3

Page 47: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

47

Berdasarkan asas legalitas, yang pada hakekatnya merupakan pilar utama

dalam negara hukum, tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari

peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang pemerintah adalah

peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan, tentu saja melahirkan

adanya suatu keputusan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, permasalahan

akan timbul dalam suatu keputusan yang dilahirkan, adalah mengenai tidak

sahnya suatu keputusan yang dibuat.

Kewenangan yang berdasar pada peraturan perundang-undangan dapat

juga disebut dengan kewenangan konstitusionalisme yang secara sederhana

didefinisikan sebagai, sejumlah ketentuan hukum yang tersusun secara sistematis

untuk menata dan mengatur struktur dan fungsi-fungsi lembaga-lembaga negara

termasuk dalam ihwal kewenangan45

.

Di dalam hukum administrasi, syarat keputusan agar sah, apabila

keputusan tersebut memenuhi syarat materiil dan formil.46

Adapun syarat Materiil

meliputi:

1). Aparat pembuat keputusan harus memiliki kewenangan. Sumber

kewenangan bisa karena atribusi, delegasi dan mandat.

Ketidakwenangan dalam membuat keputusan dikarenakan: ratione

materi; ratione loci dan ratione temporis;

2). Dalam kehendak tidak boleh mengalami kondisi kekurangan yuridis

yang disebabkan karena dwang; dwaling; dan bedrog;

3). Isi dan tujuan dari pembuatan keputusan harus sama dengan isi dan

tujuan dari peraturan dasarnya.

45

Jazim Hamidi dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka

Publisher, hal. 11 46

http://edipranoto.blogspot.com/2010/11/12syarat-keputusan.html?zx=7

Page 48: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

48

Sedangkan syarat formil terkait dengan formalitas atau prosedur yang

harus ditempuh untuk pembuatan keputusan tersebut yang meliputi:

1). keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya;

2). Prosedur dan syarat sebelum keputusan dibuat,

3). Apa yang harus dilaksanakan ketika keputusan di buat. Kalau kedua

syarat terus dipenuhi, maka keputusan tersebut akan menjadi

keputusan yang sah, walau ada gugatan tidak akan menimbulkan

masalah.

Menurut Philipus M. Hadjon47

, keabsahan tindakan pemerintah pada

hakekatnya ditentukan oleh 3 (tiga) unsur utama, yaitu wewenang, prosedur dan

substansi, dengan menggunakan parameter peraturan perundang-undangan dan

asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Perihal 3 (tiga) unsur utama, keabsahan tindakan pemerintah sebagaimana

yang dikemukakan di atas, maka dijabarkan lebih lanjut:

1. Wewenang,

Dalam hal ini pihak yang mengambil atau melakukan suatu tindakan

haruslah pihak yang memiliki kewenangan baik atributif maupun delegatif.

2. Prosedur,

Keabsahan tindakan pemerintah harus memenuhi prosedur sebagaimana

ditetapkan dalam tata cara atau prosedur tindakan pemerintah yang telah

ditetapkan sebelumnya.

3. Substansi,

Substansi tindakan pemerintah pada hakekatnya tidak boleh bertentangan

dengan segala bentuk peraturan perundangan, konsepsi Hak Asasi

Manusia, maupun norma-norma yang ada dan hidup di masyarakat.

Ketiga unsur utama keabsahan tindakan pemerintah dapat diukur dengan

tolok ukur berupa peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum

47

Philipus M. Hadjon, Beleidsvrijheid dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintah.

www.appsi-online.com, 03/02/2011.

Page 49: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

49

pemerintahan yang baik. Dengan demikian setiap unsur dari tindakan pemerintah

di satu sisi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan di

sisi lain harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).

Apabila pada salah satu unsur keabsahan tindakan pemerintah terbukti

bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, maka keabsahan suatu

tindakan pemerintah tidak akan terpenuhi, demikian juga apabila tindakan

pemerintah tidak memenuhi atau bertentangan dengan AAUPB, maka keabsahan

tindakan tersebut juga tidak akan terpenuhi.48

Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB),

menurut Philipus M. Hadjon dalam Ridwan HR49

bahwa:

“AAUPB haruslah dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang

senantiasa harus ditaati o9leh pemerintah, yang meskipun arti yang tepat dari

AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti.

Dapat dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana

untuk keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan”.

Bahasan mengenai keabsahan itu sendiri setara jika berbicara mengenai

keberadaan hukum, sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo50

bahwa

hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan

hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada

dasarnya bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah.

48

Ibid, 03/02/2011. 49

Ridwan HR 2011, Hukum Administrasi Negara (edisi revisi), PT RajaGrafindo

Persada, Jakarta, hal. 237. 50

Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas

Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 25

Page 50: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

50

Selanjutnya kembali perihal kewenangan yang dimiliki, maka dapat

disebut bahwa pada hakekatnya diskresi merupakan suatu kewenangan yang

bersifat bebas, sehingga kewenangan ini memberikan suatu kebebasan untuk

melakukan suatu tindakan diskresi terkait erat dengan suatu tindakan yang dapat

dilakukan oleh pemerintah.

Dengan demikian, dalam melakukan diskresi pada hakekatnya terdapat

beberapa pilihan tindakan yang dapat diambil, dimana dalam menentukan pilihan

ini terdapat berbagai faktor penentu, yaitu:

1. adanya suatu keadaan tertentu;

2. suatu tindakan yang seharusnya di ambil;

3. suatu tindakan yang sepatutnya di ambil;

4. adanya pertimbangan “demi kepentingan umum”.

Diskresi pada hakekatnya harus dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu,

misalnya dalam hal terjadi suatu bencana atau dalam hal terjadi suatu keadaan

darurat51

. Menurut Indroharto52

, pada umumnya disebut adanya dua cara pokok

dari mana para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu memperoleh wewenang

pemerintahan, yaitu dengan jalan atribusi dan delegasi.

Pada Atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh

suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau

diciptakan suatu wewenang pemerintahan baru. Dapat diberi uraian bahwa

ketentuan hukum yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan yang

51

Ibid, 03/02/2011 52

Indroharto, op.cit., hal. 91.

Page 51: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

51

disengketakan itu mungkin menyebut dengan jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha

negara (TUN) yang diberi wewenang pemerintah, jadi dasar wewenang tersebut

dinamakan bersifat atributif53

.

Sedangkan pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang

telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh

suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau jabatan Tata

Usaha Negara lainnya. Dengan demikian, suatu delegasi selalu di dahului oleh

adanya atribusi wewenang, adalah sangat penting untuk mengetahui apakah suatu

Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu pada waktu mengeluarkan suatu

keputusan yang berisi suatu pendelegasian wewenang berdasarkan suatu

wewenang pemerintah atributif yang sah atau tidak.

Pada atribusi wewenang, terjadi pemberian suatu wewenang oleh suatu

ketentuan perundang-undangan, sedangkan pada delegasi wewenang, terjadi

pelimpahan atau pemindahan suatu wewenang yang telah ada, sebagaimana yang

telah di paparkan sebelumnya. Sedangkan pada mandat menurut Indroharto54

,

adalah sebaliknya pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang

baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara

yang satu kepada yang lain. Dalam hal mandat maka di situ tidak terjadi

perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada, yang ada hanya

suatu hubungan intern, umpamanya antara Menteri dengan Dirjen atau Irjennya,

di mana Menteri (mandans) menugaskan Dirjen atau Sekjennya (mandataris)

53

A. Siti Soetami, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama,

Bandung, hal. 4.

54

Ibid, hal. 92.

Page 52: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

52

untuk atas nama Menteri melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta

mengeluarkan keputusan-keputusan Tata Usaha Negara tertentu. Jadi pada

mandat, wewenang pemerintahan tersebut dilakukan oleh mandataris atas nama

dan tanggung jawab mandans.

1.7.Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian normatif, di mana

hal ini disebabkan karena karakter ilmu hukum itu sendiri. Menurut Philipus M.

Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Ciri

khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif55

.

1.7.2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian Hukum Normatif pada umumnya mengenal 5 (lima)

jenis pendekatan yakni56

:

1. Pendekatan undang-undang (statute approach)

2. Pendekatan kasus (case approach)

3. Pendekatan historis (historical approach)

4. Pendekatan komparatif (comparative approach)

5. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Pendekatan penelitian yang akan dipergunakan adalah pendekatan

penelitian yang dikenal dalam metode penelitian normatif, yaitu pendekatan

55

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan

ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 1. 56

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan keenam, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, hal. 93.

Page 53: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

53

Undang-Undangan, pendekatan historis, dan pendekatan konseptual. Pendekatan-

pendekatan tersebut dipergunakan dalam penelitian ini, mengingat adanya

karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, yang berarti ilmu hukum

merupakan ilmu jenis tersendiri57

.

1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder58

. Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum, di mana asas

dan kaidah hukum tersebut dapat berupa peraturan dasar, konvensi

ketatanegaraan, peraturan perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis,

putusan pengadilan, serta keputusan tata usaha negara. Bahan hukum sekunder

dalam hal ini terdiri atas buku-buku hukum atau yang relevan dengan topik kajian,

jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat

dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum , serta sumber bahan hukum

yang berasal dari internet.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan dan akan digunakan dalam

penelitian ini, akan lebih ditekankan pada berbagai norma dan kaidah yang terkait

dengan menggunakan metode dan teknik pengumpulan sistem kartu (card

system), yang selanjutnya akan di analisis dengan dukungan berbagai asas, konsep

dan teori yang relevan dengan topik kajian yang diketengahkan.

57

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, op.cit.,, hal. 2. 58

Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi

Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 11.

Page 54: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

54

1.7.5. Analisis Bahan Hukum

Hasil analisis data akan disajikan tidak saja secara informal dalam bentuk

naratif, namun juga akan disajikan formal dalam bentuk bagan, grafik dan lain-

lain, sehingga mampu menampilkan suatu pertimbangan-alas hukum (legal

reasoning) yang diperlukan, sesuai pendapat Abraham Amos59

, yang

menyebutkan bahwa secara prinsipil, untuk menuangkan pertimbangan – alas

hukum (legal reasoning) diperlukan sistematika konstruksi berpikir sesuai dengan

fungsi peraturan dan standarisasi cara kerja hukum yang berlaku atau yang sering

dipraktekkan oleh badan-badan institusi peradilan sesuai predikat dan hierarki

hukum.

59

Abraham Amos, 2008. Legal Opinion, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 22-23.

Page 55: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

55

BAB II

TINJAUAN UMUM PERATURAN DAERAH

2.1. Tinjauan Historis Pengaturan Peraturan Daerah

Terkait historisasi pengaturan peraturan daerah, telaah pada sejarah

dimana mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, mengenai

apa yang berlaku, untuk, maksud dan tujuan yang akhirnya menentukan dalil-dalil

atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan60

Aspek historis dari tinjauan umum terhadap eksistensi peraturan daerah di

Indonesia akan dimulai dengan kajian mengenai pemerintahan daerah, karena

pembentukan peraturan daerah tidak terlepas dari kewenangan pemerintah daerah,

serta berbagai persoalan mengenai pemerintahan daerah dan yang berkaitan

dengan desentralisasi. Pengaturan mengenai pemerintahan daerah, telah dilakukan

sejak tahun 1903 sampai dengan sekarang, dengan berbagai bentuk peraturan

perundang-undangan. Secara historis, pengaturan dimaksud dapat diketahui dari

berbagai produk peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah

seperti dibawah ini 61

, yaitu:

a. Decentralisatie wet Tahun 1903;

b. BestuurS.H.ervorming Tahun 1922;

c. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945;

d. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah;

e. Undang-Undang No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah-

daerah Indonesia Timur;

60

John Gilissen dan Frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum, PT Refika Aditama, hal. 11 61

Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca

Reformasi, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal. 395-396

Page 56: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

56

f. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Daerah;

g. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah;

h. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960;

i. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah;

j. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

di Daerah;

k. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;

l. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

beserta berbagai peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan pada tahun

1999 dan tahun 2000;

m. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan

pelaksanaannya;

n. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sampai sekarang.

Pilihan kebijakan yang terkandung dalam berbagai peraturan tersebut

adalah kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah. Penyelenggaraan

desentralisasi dalam sejarah Indonesia telah berlangsung jauh sebelum

Decentralisatie Wet ditetapkan pada tanggal 23 Juli 190362

. Awalnya

desentralisasi diatur dalam Regering Reglement yang disingkat RR63

yang

ditetapkan pada tahun 1854. RR ini kemudian diganti dengan Wet op de

Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling

(IS) Tahun 1925.

Setelah kemerdekaan, desentralisasi sebagai prinsip penyelenggaraan

negara tercantum dalam berbagai ketentuan dasar, yaitu pada Pasal 18 Undang-

Undang Dasar 1945, Pasal 42 sampai dengan Pasal 67 Undang-Undang Dasar

62

Menurut G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, dalam

Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca reformasi,PT

Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal.396. 63

Ibid, hal.397

Page 57: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

57

Republik Indonseia Serikat Tahun 1949, dan Pasal 131 serta Pasal 132 Undang-

Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Penjabarannya dituangkan dalam berbagai

ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan-

peraturan pelaksanaannya sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar. Dalam

penjabarannya itu diatur tentang pembagian wilayah nasional menjadi wilayah-

wilayah provinsi, kabupaten/kota atau wilayah yang lebih rendah.

Wilayah-wilayah negara yang dibagi itu diberi otonomi untuk mengatur

dan melaksanakan sendiri rumah tangga pemerintahan masing-masing. Karena itu,

setiap wilayah memiliki pemerintahan sendiri yang secara hierarkis disebut daerah

provinsi yang disebut sebagai Daerah Tingkat 1 dan daerah kabupaten/kota yang

disebut Daerah Tingkat II. Susunan hierarkis tersbut pada umumnya dimaksudkan

oleh pemerintah pusat sebagai bentuk kewenangan yang lebih tinggi dan/atau

lebih luas wilayah yang lebih tinggi atas wilayah yang lebih rendah, sekaligus

sebagai bentuk kontrol kepala daerah yang lebih tinggi terhadap kepala daerah

yang lebih rendah.

Setelah kemerdekaan, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas,

kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah pertama kali diatur dengan Undang-

Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai

Kedudukan Komite Nasional Daerah, dengan kata lain undang-undang pertama

yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia merdeka adalah mengenai kebijakan

desentralisasi pemerintahan daerah, akan tetapi materi yang diatur dalam undang-

undang terlalu sederhana sehingga dalam pelaksanaannya timbul banyak

kesulitan, karena itu pada tahun 1948 diterbitkan Undang-Undang Republik

Page 58: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

58

Indonesia No. 22 Tahun 1948 tentang Peraturan Tentang Penetapan Aturan-

Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Dari Daerah-Daerah Yang Berhak

Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1948 tersebut menegaskan bahwa

daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu: provinsi,

kabupaten (kota besar) dan desa (kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang

berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Setiap wilayah tersebut

otonom atau dalam istilah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun

1948 disebut swatantra (menyelenggarakan pemerintah sendiri) dan masing-

masing disebut Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III (Dati

III) sama dengan desa (kota kecil) nagari, marga dan lain-lain dalam Undang-

Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948.

Selanjutnya setelah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun

1948 tentang Pemerintahan di Daerah dicabut dan selanjutnya diganti dengan

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah. Undang-Undang tersebut merupakan hasil kerja DPR hasil

Pemilu Tahun 1955. Namun menurut Soetardjo64

Undang-Undang ini, di satu

pihak menganjurkan Negara Kesatuan, tetapi dipihak lain juga menganjurkan

Negara Federasi.

Setelah berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dengan Dekrit

Presiden Tanggal 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi

64

Soetardjo Kartohadikoesoemo, dalam Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum

Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal. 403

Page 59: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

59

terpimpin. Dampak langsungnya terhadap otonomi daerah adalah diberlakukannya

Penpres (penetapan presiden) No. 6 Tahun 1959 dan Penpres (Penetapan

Presiden) No. 5 Tahun 1960. Penetapan Presiden (Penpres) ini sebenarnya

bermaksud memulihkan dan bahkan memperkokoh kewibawaan Kepala Daerah

(KDH) sebagai alat pemerintah pusat dengan diberi kedudukan dan fungsi

rangkap sebagai alat dekonsentrasi (gubernur, bupati, atau walikota) dan sekaligus

desentralisasi (KDH).

Tinjauan historis peraturan daerah, apabila dilihat dari pengaturan

peraturan Perundang-Undangan maka selanjutnya adanya Undang-Undang

Republik Indonesia No. 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah

menggantikan posisi Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah serta melanjutkan ide Penpres No. 6

Tahun 1959. Bahkan ketentuan didalam Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres

No. 5 Tahun 1960, seluruhnya diadopsi ke dalam Undang-Undang Repubik

Indonesia No. 18 Tahun 1965 ini, yang mengacu kepada konsep demokrasi

terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang

ini membagi wilayah negara dalam tingkatan daerah-daerah otonom (Pasal 2 ayat

(1) yang terdiri atas provinsi atau kotapraja sebagai dati I, kabupaten atau

kotamadya sebagai Dati II dan kecamatan atau kotapraja sebagai Dati III.

Selanjutnya adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun

1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menggantikan posisi Undang-

Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah. Prinsip penting yang dianut dalam Undang-Undang No.

Page 60: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

60

5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah adalah otonomi

daerah. Dalam Undang-Undang ini dengan jelas ditentukan bahwa: “tujuan

pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan

hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan

pembangunan dan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan

pembinaan dan kestabilan politik dan kesatuan bangsa”.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di

Daerah ini prinsipnya sama dengan Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun

1959 yaitu kestabilan pemerintahan ditingkat lokal dengan cara menempatkan

Kepala Daerah (KDH) sebagai penguasa tunggal di daerah.

Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

menggantikan posisi UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

di Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebagai jawaban terhadap krisis

pada tahun 1998 yang menyebabkan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Desentralisasi dikonstruksikan dengan

otonomi seluas-luasnya. Hubungan provinsi dan kabupaten ditentukan tidak lagi

bersifat hierarkis, seperti dalam Undang-Undang sebelumnya. Menurut UU No.

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa gubernur/kepala daerah

provinsi tidak mengontrol bupati/walikota yang dicirikan oleh tidak ada lagi peran

gubernur dalam proses pemilihan bupati/walikota.

Page 61: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

61

Selanjutnya adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

yang menggantikan posisi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Banyak perubahan yang sangat penting yang terdapat di dalam UU No. 32 tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, jika dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan aerah, diantaranya adalah soal hubungan antara pusat,

daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Pengaturan mengenai pembagian wilayah materi UU. No 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya adalah sama dengan UU No. 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi, hubungan antara

pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota pengaturannya tidak lagi sama

dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur

dan bupati/walikota tidak memiliki hubungan hierarkis satu dengan yang lain,

sedangkan menurut versi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sebaliknya. Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak

seperti UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah,

tetapi sifat hierarkis dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah

provinsi dan daerah kabupaten/kota dihidupkan kembali sebagaimana mestinya.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat pula

perubahan penting yang sangat mendasar, yaitu ketentuan Pasal 24 ayat (5) yang

mengatur bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung

oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Selanjutnya dalam Pasal 109 UU No. 32

Page 62: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

62

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur dinyatakan berwenang

mengajukan pengusulan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan

wakil walikota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam

waktu tiga hari, kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan

pengangkatan.

Selain pemilihan dan pelantikan juga soal pemberhentian kepala daerah,

terjadi juga perbedaan antara UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD dapat mengusulkan

pemberhentian kepala daerah, sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah pemberhentian kepala daerah dilakukan melalui prosedur

impeachment ke Mahkamah Agung. Mekanisme yang ditempuh adalah melalui

proses peradilan di Mahkamah Konstitusi sebelum diajukan pemberhentiannya

dalam forum Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dari latar belakang adanya pengaturan mengenai Pemerintahan daerah,

yang termasuk didalamnya mengenai pemilihan, pengangkatan serta

permberhentian seorang kepala daerah, dalam hal ini adalah merupakan unsur

penyelenggara pemerintah daerah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3)

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tugas dalam

menetapkan peraturan daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 136 ayat (1)

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mengenai rancangan

peraturan daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

atau gubernur atau bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah provinsi,

Page 63: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

63

kabupaten atau kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 UU No. 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang selanjutnya

telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara tidak langsung

juga mengatur peraturan daerah yang menjadi suatu dasar pijakan dalam

mengambil kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah,

sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai

manifestasi dari upaya tinjauan historis mengenai peraturan daerah.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada seluruh daerah otonom,

sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dengan berpegang pada pilar hukum sebagai mana yang tercantum

dalam Pasal 1 ayat (3), bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Oleh

sebab itu dalam penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah daerah

melandaskan seluruh kebijakan dan tindakannya pada suatu dasar hukum sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan

kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara

proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pemanfaatan, sumber daya

nasional yang berkeadilan, serta pembagian keuangan pemerintah pusat dan

daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan

Page 64: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

64

keuangan pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi

dan tugas pembantuan (medebewind)

Pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian integral dan totalitas

manajemen penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu pemerintah

daerah perlu membuat pengaturan hukum pengelolaan kekuangan daerah, yang

dituangkan di dalam Peraturan Daerah.

Selanjutnya pula yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, diantaranya menentukan tugas dan kewenangan kepala

daerah, lebih jelas bahwa kepala daerah disini adalah sesuai dengan Pasal 18 (4)

UU No. 32 Tahun 2004, “Gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai

kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”,

dapat diartikan bahwa gubernur sebagai kepala pemerintah daerah provinsi

sedangkan bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah

kabupaten dan kota.

Oleh karena itu kata pemerintah dapat disebut hanya menunjuk pada

institusi pelaksana atau eksekutif saja yaitu dalam rangka melaksanakan peraturan

perundang-undangan pusat dan daerah yang berisi kebijakan kenegaraan di daerah

dan kebijakan pemerintahan daerah itu sendiri. Fungsi pelaksana atau eksekutif itu

sebenarnya secara historis memang terkait dengan fungsi untuk melaksanakan

peraturan yang berisi aturan normatif, baik dalam bentuk general rules ataupun

yang berbentuk policy-rules (beleid-regels).

Page 65: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

65

General-rules itu sendiri dapat berupa peraturan yang ditetapkan dalam

bentuk peraturan perundang-undangan tingkat pusat, dan dapat pula ditetapkan

dalam bentuk peraturan daerah ataupun peraturan lainnya sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945, yang menentukan

bahwa,”Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Dalam

rangka melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan itu sebagaimana

yang isi dari Pasal 18 ayat (2) UU NRI Tahun 1945, pemerintah daerah

dinyatakan berhak menetapkan: (i) peraturan daerah; dan (ii) peraturan-peraturan

lain.

Yang dimaksud dengan peraturan daerah tentulah peraturan daerah

provinsi, yaitu peraturan yang ditetapkan yang dibentuk oleh DPRD bersama-

sama dengan dengan gubernur selaku kepala pemerintah daerah provinsi,

sedangkan yang dimaksud dengan peraturan lainnya adalah peraturan yang

tingkatannya lebih rendah dan merupakan pelaksanaan dari peraturan daerah

provinsi tersebut, yaitu peraturan gubernur dalam rangka melaksanakan peraturan

daerah provinsi itu atau peraturan daerah kabupaten dan/atau daerah kota.

2.2. Unsur Pembentuk Peraturan Daerah

Secara konstitusional, eksistensi Peraturan daerah, sebelum

diberlakukannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. diatur secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) yang selanjutnya

Page 66: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

66

telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, yang menempatkan peraturan daerah pada urutan kelima

dalam jenis dan hierarkis Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian dalam

ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, yang kemudian telah diganti dalam UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Peraturan daerah

sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi:

a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah provinsi bersama dengan Gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah kabupaten/kota bersama Bupati/Walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan

desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama

lainnya.

Selanjutnya pengertian Peraturan Daerah sebagaimana yang tertuang di

dalam Pasal 1 ayat (10) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah,

bahwa: Peraturan Daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah

provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Dari pengertian Peraturan

Daerah tersebut, maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam

suatu peraturan daerah adalah:

1. adanya suatu peraturan;

2. ditingkat provinsi;

3. ditingkat kabupaten/kota.

Page 67: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

67

Pemahaman adanya suatu peraturan berarti dapat dilihat dari kata dasarnya

yaitu aturan, sesuatu ketentuan berdasarkan suatu kewenangan yang dimiliki, dan

kewenangan tersebut telah memiliki dasar atau legitimasi, sehingga aturan yang

dibuat adalah suatu aturan yang sah dan mengikat bagi seluruhnya dalam arti baik

orang, kondisi ataupun tempat dimana aturan tersebut diberlakukan. Jika melihat

pemahaman mengenai aturan, di buat oleh pihak yang berwenang, dan tempat

aturan diberlakukan, maka dalam unsur pengertian peraturan daerah ditingkat

provinsi, kabupaten dan/atau kota telah tercakup didalamnya, namun lebih jelas

dapat dilihat ditingkat provinsi maupun kabupaten dan/atau kota siapa yang

mengepalai.

Untuk tingkat Provinsi dikepalai oleh kepala daerah yaitu yang disebut

Gubernur sedangkan ditingkat kabupaten dan/atau kota dikepalai oleh kepala

daerah yaitu yang disebut Bupati atau walikota. Di dalam kamus Bahasa

Indonesia, pengertian dari peraturan adalah: ketentuan yang harus dijalankan dan

dipatuhi, kaidah yang dibuat untuk mengatur, petunjuk yang dipakai untuk menata

sesuatu dengan aturan65

.

Selain ketiga unsur yang dapat ditarik berdasarkan pengertian dari

Peraturan Daerah tersebut, maka setelah memahaminya akan terlihat bagaimana

suatu aturan dalam hal ini adalah peraturan daerah tersebut dibuat oleh siapa,

sebagaimana yang telah disinggung diatas. Didalam Pasal 136 ayat (1) UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa Perda ditetapkan

oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Oleh karena itu

65

Tim Penyusun Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Agung Mulia.

Page 68: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

68

suatu peraturan daerah memiliki campur tangan dari DPRD, karena peraturan

daerah dapat ditetapkan jika ada persetujuan bersama dengan DPRD.

Jika dilihat dari sistem pemerintahan yang dianut di Negara Indonesia,

yaitu sistem pemerintahan presidensiil, yaitu jabatan Presiden tercakup dua

kepemimpinan sekaligus yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,

maka dapat diterapkan pada daerah provinsi, kabupaten dan/atau kota yang

dikepalai oleh seorang kepala daerah yang disebut gubernur, bupati dan/atau

walikota.

Masing-masing kepala daerah juga disebut sebagai kepala pemerintahan

daerah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945,

yaitu “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah

daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Juga di dalam

Pasal 1 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu

“pemerintah daerah adalah gubernur, bupati dan/atau walikota dan perangkat

daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah”. Oleh karena itu

dapat dikatakan jabatan gubernur, bupati dan/atau walikota adalah sebagai kepala

daerah dan kepala pemerintahan atau dapat disebut sebagai termasuk di dalam

lembaga eksekutif atau pemerintahan seperti halnya Presiden, namun terbatas di

tingkat provinsi, kabupaten dan/atau kota

Perumusan suatu peraturan dalam hal ini adalah peraturan daerah,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Malinowski dalam Chand66

bahwa “The

66

Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, p.117

Page 69: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

69

true problem is not to study how human life submits to rules – it simply does not;

the real problem is how the rules become adapted to life.”

Namun dalam suatu perumusan peraturan daerah tidak hanya dengan

melihat aturan dan pemberlakuannya saja, namun juga kewenangan dari pihak

yang merumuskannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam peraturan daerah tidak hanya melihat perumusannya namun juga

mekanisme pembatalannya, maka jika dikaitkan dengan unsur kewenangannya

dapat dilihat suatu peraturan daerah tersebut mengenai keabsahannya

sebagaimana kajian yang akan ditelaah.

Terkait dengan keabsahan suatu keputusan tidak terlepas dari dasar

kewenangan yang dimiliki oleh suatu jabatan sebagaimana yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan. Kemampuan untuk menimbulkan akibat-akibat

hukum juga berarti berwenang untuk berbuat sesuatu, namun hak untuk berbuat

demikian itu juga dalam batas-batas (dibatasi) oleh yang ditetapkan hukum positif,

atau dapat diartikan bahwa setiap pelaksanaan wewenang pemerintahan itu tunduk

kepada hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Suatu kewenangan tentu saja melibatkan asas legalitas (asas wetmatigheid

van het bestuur), mengingat negara Indonesia adalah Negara Hukum. Menurut

Indroharto67

bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu

peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat

67

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Jakarta, hal. 83

Page 70: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

70

pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau

mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.

Hal tersebut di atas berarti, bahwa setiap wewenang pemerintahan untuk

melakukan kebijaksanaan dan tindakan hukum tata usaha negara, baik mengenai

bentuk dari tindakan-tindakan hukum demikian itu serta isi hubungan hukum yang

diciptakan olehnya harus ada dasar atau sumbernya (diberikan oleh) suatu

ketentuan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis). Asas legalitas

pemerintahan juga menunjang berlakunya kepastian hukum, sebab tindakan

hukum pemerintahan itu hanya dimungkinkan kalau ada pengaturannya dalam

undang-undang.

Jika menelaah keabsahan suatu keputusan, tidak terlepas dari kewenangan

sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, oleh karena itu penting adanya

jika sebelumnya menelaah mengenai sumber kewenangan atau lahirnya suatu

kewenangan. Pada umumnya disebut adanya dua cara pokok dari mana para

Badan atau jabatan tata usaha Negara itu memperoleh wewenang pemerintahan,

yaitu dengan jalan atribusi dan delegasi.

Menurut Indroharto68

, Pada atribusi terjadi pemberian wewenang

pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan. Legislator yang kompoten untuk memberikan atribusi wewenang

pemerintahan itu dibedakan antara:

68

Ibid, hal. 91

Page 71: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

71

a. yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita ditingkat

pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitutie (Konstituante) dan

DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu

undang-undang, dan ditingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang

melahirkan Pemda; dan

b. yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti Presiden yang

berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu

Peraturan Pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang

pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.

Sedangkan pada delegasi menurut Indroharto69

terjadi pelimpahan suatu

wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh

suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN

lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi

wewenang. Adalah sangat penting untuk mengetahui apakah suatu Badan atau

Jabatan TUN itu pada waktu mengeluarkan suatu keputusan TUN yang sah pula.

69

Indroharto, op.cit., hal. 91

Page 72: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

72

BAB III

KEABSAHAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH TENTANG

ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH DI TINGKAT

PROVINSI MELALUI KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

3.1. Hakikat keabsahan Pembatalan Peraturan Daerah Tentang APBD di

Tingkat Provinsi Melalui keputusan Menteri Dalam Negeri.

Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, identifikasi

terhadap keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah tentang APBD di tingkat

provinsi melalui keputusan menteri dalam negeri merupakan faktor kunci dalam

menentukan akibat hukum terhadap suatu peraturan daerah tentang APBD di

tingkat provinsi yang dibatalkan melalui keputusan menteri dalam negeri.

Mengidentifikasi suatu keabsahan pembatalan peraturan daerah sebagai suatu

bentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan mengingat adanya

ketentuan yang mengatur mekanisme suatu pembatalan peraturan daerah, yang

mana ketentuan tersebut juga merupakan ketentuan sebagaimana juga yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

Keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah tentang APBD di tingkat

provinsi melalui keputusan menteri dalam negeri, dapat dilihat dari ketentuan

yang mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah itu sendiri, yaitu pada

Pasal 145 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang

intinya menegaskan bahwa keputusan pembatalan peraturan daerah ditetapkan

dengan Peraturan Presiden (PP). Namun dalam kenyataan keputusan pembatalan

peraturan daerah tersebut dilakukan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri,

Page 73: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

73

sebagaimana yang di atur dalam PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Negara pada Pasal 47 ayat (6), yang intinya menegaskan pembatalan

peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Maka hal ini dapat

lebih dikaji lagi dengan melihat kewenangan berdasarkan sistem pemerintahan

yang kita anut di Indonesia, yaitu sistem presidensil

Dalam penjelasan UUD NRI Tahun 1945 tentang Sistem Pemerintahan

Negara antara lain dikatakan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasar atas

hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Dari

penjelasan tersebut dan juga secara tegas ditentukan dalam batang tubuh UUD

NRI Tahun 1945, untuk mewujudkan tujuan negara harus dilakukan melalui atau

mempergunakan antara lain asas demokrasi dan asas negara hukum. Dengan kata

lain UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi dalam

sistem ketatanegaraan Republik Indonesia harus menjadi acuan dan pegangan bagi

penyelenggara negara dalam menentukan kebijakan-kebijakan kenegaraan dan

pemerintahan. Kebijakan politik, ekonomi dan sosial budaya harus mengacu pada

ketentuan hukum dasar atau ketentuan hukum tertinggi dalam UUD NRI Tahun

1945. Setiap kebijakan yang yang dituangkan dalam bentuk undang-undang di

bidang politik, ekonomi dan kebudayaan tidak boleh bertentangan dengan

ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Oleh sebab itu teori tentang negara hukum tidak

dapat terpisahkan dari teori tentang demokrasi.

Terkait dengan keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah APBD

melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri maka yang menjadi fokus adalah

Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut. Kewenangan Menteri Dalam Negeri

Page 74: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

74

tersebut berkaitan dengan sistem pemerintahan yang di anut di negara Indonesia,

dalam hal ini adalah penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya

dengan fungsi legislatif.

Terkait dengan keabsahan pembatalan suatu peraturan daerah, maka

alangkah baiknya melihat bagaimana pembentukan peraturan daerah tersebut

sebagai suatu produk peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang diatur

dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa peraturan

daerah adalah produk bersama antara DPRD dengan Pemerintah Daerah yang

dipimpin oleh gubernur untuk provinsi dan/atau bupati/walikota untuk

kabupaten/kota. Jika dilihat di tingkat pusat, baik presiden, DPR dan DPD yang

berperan dalam proses pembentukan suatu undang-undang, maka di tingkat

provinsi dan kabupaten/kota DPRD dan kepala daerah masing-masing daerah juga

sama-sama dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala

daerah secara langsung. Oleh karena itu, jelas sangat berbeda antara produk

peraturan yang dihasilkan oleh lembaga legislatif bersama-sama dengan lembaga

eksekutif yang sama-sama dipilih oleh rakyat, dengan peraturan yang semata-mata

disusun dan ditetapkan secara sepihak oleh pihak eksekutif atau pemerintah, oleh

karena itu ada pembedaan antara produk legislatif (legislative acts) dengan produk

eksekutif (executive acts).

Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, identifikasi terhadap

kedudukan hukum peraturan daerah merupakan faktor kunci untuk menelaah

mekanisme pembatalan perda oleh pihak yang lebih berwenang. Identifikasi

kedudukan hukum peraturan daerah itu sendiri sangat diperlukan mengingat

Page 75: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

75

adanya ketentuan terhadap masing-masing bentuk peraturan perundang-undangan

yang dikenal dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia.

Kedudukan hukum suatu peraturan perundang-undangan akan menentukan

lembaga yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan suatu mekanisme baik

pembentukan, maupun pembatalan suatu peraturan perundang-undangan, serta

untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang

dimaksud. Dalam hal pengujian telah diatur secara tegas dalam batang tubuh

UUD NRI Tahun 1945, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, di

mana dalam hal pengujian tersebut kewenangan yang dimaksud adalah sebagai

berikut:

1. Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menguji Peraturan

Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-

Undang.

2. Mahkamah Konstiusi memiliki kewenangan untuk menguji Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

3.2.Analisis Peraturan Daerah

3.2.1. Analisis Kedudukan Hukum Peraturan Daerah

Identifikasi terhadap kedudukan hukum perda akan dilakukan melalui

analisis atau kajian terhadap eksistensi perda secara obyektif. Dengan demikian,

analisis tersebut akan dilakukan terhadap berbagai unsur obyektif perda, yang

Page 76: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

76

akan terbagi menjadi analisis terhadap bentuk perda, analisis terhadap proses

pembentukan perda, analisis terhadap pihak yang memegang kekuasaan

membentuk perda dan analisis terhadap materi atau substansi perda itu sendiri,

selanjutnya analisis terhadap berbagai unsur atau elemen obyektif perda dimaksud

akan dijabarkan pada bagian selanjutnya.

Untuk melihat kedudukan hukum peraturan daerah secara hierarki

Peraturan Perundang-Undangan, sebagai dasar hukumnya terdapat didalam UU

No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 7, yang menempatkan peraturan daerah

kedalam urutan ke enam.

Dengan melihat kedudukan hukum peraturan daerah didalam hierarki

Peraturan Perundang-undangan, maka peraturan daerah diakui keberadaannya dan

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan,

sebagaimana yang diatur secara tegas didalam Pasal 8 (2) UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

3.2.2. Analisis Terhadap Bentuk Perda

Secara konstitusinal, istilah “Peraturan Daerah” sebagai suatu frase kata

yang utuh tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, namun demikian, istilah “Peraturan Daerah” disebut juga di dalam

UUD NRI Tahun 1945 pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 18

Page 77: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

77

ayat (6), yang menyebutkan, “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan

daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan”.

Ketentuan lain mengenai eksisitensi perda terdapat didalam Undang-

Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dimulai pada Pasal 1

(7) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

menjelaskan bahwa: “Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan

yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan

bersama kepala daerah. Di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan lebih spesifik menyebutkan kepala daerah dalam

hal ini untuk peraturan daerah provinsi adalah gubernur dan peraturan daerah

kabupaten/kota adalah bupati/walikota. Selanjutnya Pasal 7 baik UU No. 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun UU

No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sama

menegaskan bahwa peraturan daerah termasuk didalam jenis dan hierarki

Peraturan Perundang-Undangan, meskipun dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan urutan peraturan

daerah provinsi selanjutnya peraturan daerah kabupaten/kota. Dalam bagian ketiga

mengenai persiapan pembentukan peraturan daerah, yang termuat dalam Pasal 26,

27, 28, 29, 30, 31 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Page 78: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

78

Perundang-Undangan , juga di dalam Bab VII mengenai pembahasan dan

pengesahan rancangan peraturan daerah pada Pasal 40, 41, 42 dan 43.

Selanjutnya mengenai peraturan daerah, juga diatur dalam UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 1 (10), Pasal 24 paragraf

kedua,mengenai tugas dan wewenag kepala daerah dan wakil kepala daerah yang

termasuk didalamnya mengajukan rancangan perda dan menetapkan perda yang

telah mendapat persetujuan DPRD, selanjutnya pada Pasal 136 sampai dengan

Pasal 148.

3.2.3. Analisis Terhadap Proses Pembentukan Perda

Proses pembentukan perda secara konstitusional diatur dalam UUD NRI

Tahun 1945, pada Pasal 18 ayat (6) yang menegaskan bahwa “Pemerintahan

daerah berhak menetapkan perda dan peraturan-peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat

(7) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, ditegaskan bahwa “Peraturan daerah adalah

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah”. Juga di dalam Pasal 136 ayat

(1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang

menegaskan bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah

mendapat persetujuan bersama DPRD dan peraturan daerah dibentuk dalam

Page 79: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

79

rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas

pembantuan.

Secara spesifik, tata cara penyusunan rancangan peraturan daerah

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 10

Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang

kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Di dalam Pasal 40 UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan sebagai berikut:

(1) Pembahasan rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan akyat Daerah bersama

Gubernur atau Bupati/Walikota.

(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

melalui tingkat-tingkat pembicaraan.

(3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi

dan rapat paripurna.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata carapembahasan Rancangan

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan

Peraturan Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Selanjutnya pengaturan tentang perencanaan penyusunan rancangan perda

atau tata cara penyusunannya di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah diatur secara jelas dalam

Pasal 32 sampai dengan Pasal 38, sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab

sebelumnya, dan di dalam Pasal 40 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa, “ketentuan mengenai

perencanaan penyusunan perda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 32

Page 80: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

80

sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan

penyusunan perda Kabupaten/Kota”.

Peraturan daerah baik ditingkat provinsi dan kabupaten/kota, jika dilihat

dari sudut pembentukannya dapat diidentikkan dengan undang-undang di tingkat

pusat, namun perda bersifat lokal. Menurut ketentuan UU No. 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti

dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, kedudukan hierarki perda berada dibawah tingkatan Peraturan

Presiden, namun bagaimana dengan kedudukan peraturan menteri, sebagaimana

yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa Presiden

dibantu oleh menteri-menteri negara. Hubungan hierarki menurut Pasal 7 UU No.

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

kemudian diganti dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan , perda berada dibawah peraturan presiden, namun UU No.

10 Tahun 2004 yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengakui keberadaan

Peraturan Menteri, namun tidak ditentukan secara jelas.

Jika dipandang dari latar belakang perumusannya, penghapusan peraturan

menteri dari hierarki peraturan perundang-undangan dalam UU No. 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian

diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan

perundang-undangan disebabkan oleh dorongan untuk meningkatkan kedudukan

perda. Kajian pembatalan perda melalui keputusan menteri dalam negeri, tentu

Page 81: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

81

saja berbeda jika mengartikan antara peraturan dengan keputusan menteri itu

sendiri, sedangkan keputusan menteri didalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU

No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , baik

secara eksplisit dan implisit tidak termuat, namun keputusan menteri tersebut

dapat dilihat dengan mengkaji kedudukan menteri dalam suatu sistem

pemerintahan di Indonesia.

Negara Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensil merupakan

sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala

pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Presiden Republik Indonesia

menurut Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memegang kekuasaan

pemerintahan negara menurut UUD, inilah yang disebut sebagai prinsip

“constitutional government”.

Rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu:

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan negara

menurut undang-undang dasar”.Selanjutnya dalam ayat (2), yaitu: “Dalam

melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”. Juga

dalam Pasal 17 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan bahwa, “Presiden

dibantu oleh menteri-menteri negara”, dan dalam ayat (2), menegaskan, “Menteri-

menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, berdasarkan hal tersebut,

maka para menteri negara tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai

satu kesatuan institusi.

Page 82: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

82

Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, pada bab V Pasal 17 terkait

kementerian negara, menyebutkan:

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(3) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

(4) Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur

dalam undang-undang.

Walaupun demikian, menteri-menteri dalam melaksanakan tugasnya tetap

bergantung adanya pendelegasian kewenangan, jadi tidak serta merta memiliki

kekuasaan, namun tetap adanya penyeraha kewenangan dari Presiden kepada

menteri-menterinya. Selanjutnya kajian berikut adalah terkait pada sistem

pemerintahan di negara Indonesia.

Dalam sistem pemerintahan presidensil juga terdapat beberapa prinsip

pokok yang bersifat universal70

yaitu;

1). Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan

eksekutif dan legislatif;

2) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden

tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;

3). Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya,

kepala negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan;

4). Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai

bawahan yang bertanggung jawab kepadanya;

5). Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan

demikian pula sebaliknya;

70

Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Cetakan kedua,

PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jaakarta, hal. 316.

Page 83: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

83

6). Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen;

7). Jika dalam sistem palementer berlaku prinsip supremasi parlemen,

maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi.

Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada

konstitusi;

8). Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat;

9). Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem

parlementer yang terpusat pada parlemen.

Selain sistem pemerintahan presidensil yang bersifat universal, ada juga

sistem pemerintahan yang bersifat murni71

:

a). Presiden memegang kekuasaan pemerintahan eksekutif tunggal;

b). Dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara

itu terkandung pula status kepala negara (head of state), sehingga

kedudukan kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan

eksekutif menyatu secara tidak terpisahkan dalam jabatan presiden;

c). Presiden tidak diangkat atau dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat;

d) Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat,

sehingga tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen karena alasan politik;

e). Presiden memangku jabatannya selama kurun waktu yang tetap (fixed

term), misalnya di Amerika Serikat ditentukan untuk waktu empat

tahun, di Indonesia lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih lagi

untuk satu periode berikutnya;

f). Presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya melalui prosedur

yang diknal dengan “impeachment” karena alasan pelamnggaran

hukum sebagaimana ditentukan dalam UUD.

Sistem pemerintahan tentu saja dipengaruhi oleh bentuk negara Indonesia

itu sendiri, bangsa Indonesia bertekad untuk mendirikan suatu Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1)

71

Ibid, hal. 335

Page 84: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

84

yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang

berbentuk republik. Namun demikian, perjalanan sejarah kenegaraan Republik

Indonesia sejak kemerdekaannya diwarnai dengan adanya beberapa perubahan

bentuk negara yang juga diikuti dengan perubahan konstitusi. Adanya perubahan

konstitusi tersebut lebih jauh lagi ternyata juga menimbulkan perubahan terhadap

bentuk peraturan perundang-undangan.

Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah menjadi Negara

Republik Indonesia Serikat. Bentuk Negara Republik Indonesia Serikat ini

ditandai dengan diberlakukannya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)

yang dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan

17 Agustus 1950. Konstitusi RIS ini berlaku untuk seluruh wilayah Republik

Indonesia Serikat yang terdiri atas daerah-daerah bagian, di mana Negara

Republik Indonesia menjadi salah satu bagian dari Negara Republik Indonesia

serikat. Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, ketentuan mengenai peraturan

perundang-undangan diatur dalam Bagian 2 mengenai peraturan Perundang-

undanmgan yang terdiri dari 17 (tujuh belas) pasal.

Fase perubahan bentuk negara terus berlanjut, yang juga membawa

perubahan terhadap konstitusi yang diberlakukan. Pada tanggal 17 Agustus 1950,

Konstitusi RIS diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara, melalui

pengesahan Undang-Undang Republik Serikat No. 7 Tahun 1950 tentang

Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-

Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, yang kemudian diberlakukan

sebagai Undang-Undang Dasar Sementara atau Konstitusi Sementara Negara

Page 85: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

85

Kesatuan Republik Indonesia yang pada saat ini telah berubah kembali menjadi

negara dengan bentuk kesatuan, sehingga kembali disebut dengan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Penegasan mengenai diberlakukannya Undang-Undang Dasar Sementara

ini terdapat pada Pasal 1 Undang-Undang Republik Serikat No. 7 Tahun 1950

yang menyebutkan bahwa “Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat

diubah menjadi Undang-Undang Sementara Republik Indonesia”, selanjutnya,

dalam Pasal II ditegaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Sementara Republik

Indonesia ini mulai berlaku pada hari tanggal 17 Agustus 1950”.

Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950.

Ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan diatur pada Pasal 1 Bagian II

tentang perundang-undangan yang terdiri dari 12 (dua belas) pasal, yaitu dari

Pasal 89 sampai dengan Pasal 100. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Republik

Indonesia mengeluarkan dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang

tentang Kembali kepada UUD 1945 melalui Keputusan Presiden Republik

Indonesia No. 150 Tahun 1959, Lembaran Negara Tahun 1959 No. 75. Dengan

demikian, ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan kembali

berdasarkan pada ketentuan yang digariskan dalam UUD 1945.

Dalam ketiga bentuk konstitusi di atas (UUD 1945, Konstitusi RIS dan

UUDS 1950), sebutan peraturan yang dikenal adalah undang-undang, peraturan

pemerintah pengganti undang-undang dan peraturan pemerintah. Di samping itu,

guna memenuhi kebutuhan untuk mengadakan peraturan-peraturan yang lebih

Page 86: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

86

operasional, ketiga bentuk peraturan itu saja dianggap kirang memadai. Karena

itu, berdasarkan Surat Presiden Republik Indonesia yang ditujukan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Nomor: 22/62/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959,

ditetapkanlah beberapa bentuk peraturan yang lain, yaitu: 72

1. Penetapan Presiden atau biasa disingkat Penpres untuk melaksanakan

Dekrit presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959

tentang kembali kepada Undang-undang Dasar 1945;

2. Peraturan Presiden yang terdiri atas:

a. Peraturan Presiden yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Pasal 4

ayat (1) UUD 1945;

b. Peraturan Presiden yang dimaksudkan untuk melaksanakan Penetapan

Presiden;

3. Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan untuk melaksanakan Peraturan

Presiden yang berbeda dari pengertian peraturan pemerintah yang

dimaksud oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945;

4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan

pengangkatan-pengangkatan dalam jabatan;

5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh kementerian-

kementerian negara atau departemen-departemen pemerintahan untuk

mengatur segala sesuatu yang diperlukan dibidangnya masing-masing

serta untuk meresmikan pengangkatan-pengangkatan jabatan di

lingkungan tanggung jawabnya masing-masing.

Dari aspek hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan, bentuk

peraturan perundang-undangan berdasarkan Surat Presiden Republik Indonesia

yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Nomor: 226/HK/1959 tanggal

20 Agustus 1959, telah menimbulkan kerancuan, sehingga ditetapkanlah

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor: XX/MPRS/1966

tenang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Yang Tidak Sesuai Dengan UUD

72

Jimly Asshiddiqie,op.cit., hal.212-213

Page 87: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

87

1945, dimana menurut ketetapan MPRS tersebut tata urutan peraturan perundang-

undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Keputusan Presiden;

6. Peraturan-Peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi

Menteri dan lain-lain.

Pada Tahun 2000 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor: III/MPR/2000 tentang

Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Lahirnya

Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dengan maksud untuk menertibkan sumber

tertib hukum yang selama masa orde baru dianggap tidak sempurna. Dalam

pertimbangannya dinyatakan bahwa dari pengalaman sejarah bangsa dan dalam

menghadapi masa depan yang penuh tantanagan, maka bangsa Indonesia telah

sampai pada kesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara,

supremasi hukum harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.

Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum,

perlu mempertegas sumber hukum yang merupakan pedoman bagi penyusunan

peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Selanjutnya dinyatakan pula

bahwa dalam rangka memantapkan perwujudan otonomi daerah perlu

Page 88: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

88

menempatkan peraturan daerah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

Bahwa sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan

perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XX/MPRS/1966,

menimbulkan kekacauan pengertian, sehingga tidak dapat lagi dijadikan landasan

penyusunan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, dalam Pasal 1 TAP MPR No. III/MPR/2000 itu

ditentukan bahwa (1) sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk

penyusunan peraturan perundang-undangan; (2) sumber hukum terdiri atas

sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis; (3) sumber hukum dasar

nasional adalah (i) Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD

1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,

Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan

dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan

Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan (ii) batang tubuh Undang-Undang Dasar

1945. Tata urutan peraturan perundang-undangan, menurut Pasal 2 Ketetapan

MPR ini merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata

urutan peraturan perundang-undangan RI adalah:

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3) Undang-Undang;

4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);

5) Peraturan Pemerintah;

6) Keputusan Presiden;

7) Peraturan Daerah.

Page 89: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

89

Peraturan Daerah yang ditempatkan dalam urutan ketujuh peraturan

perundang-undangan Republik Indonesia di bawah Keputusan Presiden. Dalam

Pasal 3 ayat (7) dinyatakan bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk

melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari

daerah yang bersangkutan. Peraturan Daerah tersebut mencakup (a) Peraturan

Daerah Provinsi yang dibuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan gubernur; (b)

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota

bersama bupati/walikota; dan (c) Peraturan Desa atau yang setingkat, sedangkan

tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat itu diatur oleh pembuatan

peraturan desa atau yang setingkat itu diatur oleh Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Namun ketentuan yang diatur dalam

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 ini tetap

mengandung banyak kelemahan yang sangat serius,oleh sebab itu koreksi dan

penyempurnaan dilakuka dengan diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan UU ini dimaksudkan sebagai upaya

untuk memenuhi terwujud apabila didikung oleh cara dan metode yang pasti, baku

dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan

perundang-undangan. Selain itu, pembentukan undang-undang ini dimaksudkan

untuk lebih meningkatkan koordinasi8 dan kelancaran proses pembentukan

peraturan perundang-undangan, sehingga negara Republik Indonesia sebagai

negara yang berdasar hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan

peraturan perundang-undangan.

Page 90: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

90

Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya diganti dengan

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

ditegaskan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah

sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah.

Di dalam Pasal 7 (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan menegaskan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , Peraturan Daerah yang dimaksud

di atas meliputi: (a) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan

rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; (b) Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten kota

bersama bupati/walikota; (c) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh

Page 91: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

91

badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama

lainnya. Sedangkan Pasal 7 (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa, “kekuatan hukum peraturan

perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dibandingkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan

sebagaimana diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara

Nomor: XIX/MPRS/1966 maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Nomor: III/MPR/2000, terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam

penetapan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana

dimaksud dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Perbedaan tersebut adalah semakin sedikitnya jenis Peraturan Perundang-

undangan yang dimaksudkan dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia. Pada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.

XIX/MPRS/1966, terdapat 6 (enam) jenis peraturan perundang-undangan yang

menduduki hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia,

yaitu undang-undang dasar, ketetapan majelis permusyawaratan rakyat, undang-

undang, peraturan pemerintah, keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan

lainnya (peraturan menteri, instruksi menteri, dan lain-lain)

Jenis peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan dalam hirarki atau

tata urutan peraturan perundang-undangan pada Ketetapan Majelis

Page 92: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

92

Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 dari sisi jumlah tidak berbeda dengan

jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/1966, yaitu

sebanyak 6 (enam) jenis. Namun demikian, Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Nomor: III/MPR/2000 tidak memasukkan peraturan pelaksanaan lainnya

(peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lain) dalam hirarki atau tata urutan

peraturan perundang-undangan. Sebagai gantinya, peraturan daerah dimasukkan

ke dalam urutan terakhir hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di

Indonesia. Dengan demikian, jenis peraturan perundang-undangan yang masuk ke

dalam atau tata urutan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 adalah undang-undang

dasar, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 adalah

undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan preseiden

dan peraturan daerah.

Di sisi lain, jenis peraturan perundang-undangan yang masuk dalam

hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan perundang-undangan adalah sebanyak 5 (lima) jenis,

yaitu Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, dan Peraturan Daerah. Dengan demikian, eksistensi Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat dan keputusan Presiden tidak dikenal lagi dalam hirarki

atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Namun di dalam UU

Page 93: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

93

No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat termasuk kedalam urutan kedua di

dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Perbedaan dalam

menetapkan jenis Peraturan Perundang-undangan yang dimasukkan ke dalam

hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari

adanya reformasi yang berlangsung di Indonesia yang kemudian diikuti dengan

beberapa kali perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945,

di mana perubahan pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan

kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan ketiga disahkan pada

tanggal 10 November 2001 dan perubahan keempat disahkan pada tanggal 10

Agustus 2002.

Dari aspek eksistensi peraturan daerah apabila dikaitkan dengan keempat

perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945, pada hakekatnya

menunjukkan bahwa pengaturan hukum Pemerintahan Daerah yang terdapat

dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengalami perkembangan yang dinamis, yang

semula di jabarkan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-

Pokok Pemerintahan daerah. Sebelum amandemen pengaturan hukum tentang

pemerintahann daerah yang secara otomatis melahirkan peraturan daerah yang

merupakan produk hukum pemerintah daerah. Diatur dalam Pasal 18, 18A dan

18B (terjadi pada amandemen kedua), dan selanjutnya tidak berubah lagi.

Pelaksanaan yuridis otonomi daerah dalam UUD 1945 yang semula

dijabarkan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 terkesan tidak

merefleksikan realitas politik, ekonomik, sosiologis, geografis, demografis dan

Page 94: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

94

historis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Undang-Undang No. 5

Tahun 1974 cenderung menyeragamkan berbagai keaneka-ragamanan daerah

yang mengenal pemerintahan lokal maupun adatnya sendiri. Kenyataan normatif

tersebut secara hukum memang tampak mengabaikan ketentuan UUD 1945

mengenai pemerintahan daerah dan otonomi daerah yang mengakui keberadaan

pemerintahan daerah dari masyarakat adat yang otonom.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU No. 5 Tahun 1974

dipandang sangat sentralistis dan mengganggu kemandirian daerah dalam

mengatur otonominya, oleh sebab itu penyelenggaraan pemerintahan daerah

berjalan kurang sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Kondisi praktis yang muncul

secara fenomenal adalah ekspresi ketidakpuasan daerah terhadap pusat,

selanjutnya keberadaan UU No. 5 Tahun 1974 ditinjau kembali oleh pemerintah

atas masukan dari publik untuk disesuaikan dengan piranti substansi UUD 1945

sebalum diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah (UU Pemda 1999) maupun Undang-Undang No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004).

Dalam kurun waktu pelaksanaan otonomi daerah pasca reformasi,

pemerintahan daerah ditengarai banyak melakukan penyimpangan dan kesalahan

persepsi mengenai otonomi daerah. Implementasi UU Pemda kebanyakan hanya

mengedepankan orientasi keuangan dengan menciptakan peraturan daerah yang

menekankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan pelayanan publik.

Berbagai kasus pembatalan peraturan daerah yang dilakukan oleh pemerintah

pusat akhirnya muncul sebagai suatu kenyataan yang mesti diterima oleh

Page 95: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

95

Pemerintah Daerah, dan beberapa peraturan daerah yang dibatalkan bersentuhan

dengan masalah pengelolaan keuangan daerah.Kenyataan tersebut merupakan

suatu realitas faktual dari kecenderungan yang justru tidak sesuai dengan

semangat dan filosofi otonomi daerah berdasarkan UU Pemda untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Identifikasi terhadap kedudukan hukum perda akan dilakukan melalui

analisis atau kajian terhadap eksistensi perda itu sendiri secara obyektif. Dengan

demikian, analisis tersebut akan dilakukan terhadap berbagai unsur obyektif

perda, yang akan terbagi menjadi analisis terhadap bentuk perda, analisis terhadap

proses pembentukan perda, analisis terhadap pihak yang memegang kekuasaan

membentuk perda dan analisis terhadap pihak yang memegang kekuasaan untuk

membatalkan perda. Analisis terhadap berbagai unsure atau elemen obyektif perda

dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut.

Ditinjau dari perspektif bahasa, secara eksplisit istilah “Peraturan Daerah”

sebagai suatu frase kata yang utuh tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun demikian istilah “peraturan

daerah” dikenal secara implisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, dengan adanya penegasan terkait dengan pemerintahan

daerah dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Secara konstitusional, pasal-pasal dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan secara implisit

tentang “peraturan daerah” dalam kajian mengenai pemerintahan daerah adalah

sebagai berikut:

Page 96: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

96

- Pasal 18 (1) menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas derah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu

mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-

undang”.

- Pasal 18 (2) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi,

daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

- Pasal 18 (3) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi,

daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.

- Pasal 18 (4) menegaskan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota

masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten

dan kota dipilih secara demokratis”.

- Pasal 18 (5) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan

otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”.

- Pasal 18 (6) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.

- Pasal 18 (7) menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara

penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.

- Pasal 18A (1) menegaskan bahwa “Hubungan wewenang antara

pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan

kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan

undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman

daerah”.

- Pasal 18A (2) menegaskan bahwa “Hubungan keuangan, pemanfaatan

sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat

dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan

selaras berdasarkan undang-undang”.

- Pasal 18B (1) menegaskan bahwa “Negara mengakui dan meghormati

satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat

istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

Ketentuan lain mengenai eksistensi peraturan daerah terdapat dalam

Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , terdapat dalam Pasal

1 angka 7 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-

Page 97: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

97

undangan menegaskan bahwa “Peraturan daerah adalah peraturan perundang-

undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan

persetujuan bersama kepala daerah. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1),

menempatkan peraturan daerah pada urutan kelima dalam jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya diatur pula di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 angka 10 menegaskan

bahwa “Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah

provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Selanjutnya pada Pasal 136

ayat (1) menegaskan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat

persetujuan bersama DPRD.

Terkait dengan eksistensi perda tersebut, maka dari pengertian-pengertian

di atas maka dapat dijelaskan bahwa peraturan daerah (PERDA) adalah peraturan

perundang-undangan yang di tetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat

persetujuan bersama DPRD. Eksistensi yang berarti penetapan perda yang telah

sah dan mengalami suatu proses, maka yang dimaksud adalah suatu penetapan

perda bukan pembentukannya. Penetapan suatu perda juga dilarang bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi sebagaimana yang diatur pula dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

Untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, sebagaimana yang

diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,

Page 98: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

98

secara keseluruhan juga menyebutkan bahwa pemerintahan daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain, dalam hal ini adalah

juga termasuk peraturan kepala daerah. Oleh sebab itu pemerintahan daerah selain

produk hukumnya adalah perda juga termasuk di dalamnya adalah peraturan

kepala daerah.

Pembentukan dan penetapan peraturan kepala daerah diatur di dalam UU

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana terlihat adanya

perbedaan antara perda dan peraturan kepala daerah. Terlihat bahwa kedudukan

peraturan kepala daerah dibawah dari peraturan daerah, sebagaimana yang diatur

dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, menempatkan perda pada urutan ke lima dalam hierarki peraturan

perundang-undangan dan tidak menempatkan peraturan kepala daerah dalam

hierarki peraturan perundang-undangan. Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah juga mengatur bahwa peraturan kepala daerah dan atau

keputusan kepala daerah dalam hal pelaksanaannya tidak boleh bertentangan

dengan kepentingan umum, perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.

Terkait dengan kajian mengenai pembatalan suatu peraturan daerah, dalam

hal ini adalah peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

(PERDA APBD), maka eksistensi perda tersebut secara tegas telah diakui dan

pelaksanaannya tidak terlepas dari sistem pemerintahan daerah yang merupakan

satu kesatuan dari negara republik Indonesia. Pembentukan peraturan daerah

tentang APBD sebagai bentuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah

Page 99: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

99

sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

maupun UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah beserta peraturan pelaksanaan lainnya.

Hal ini berarti bahwa penyusunan perda APBD tetaplah berada dalam kerangka

hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah yang saat ini berdasarkan UU

Pemerintahan Daerah yang berlandaskan prinsip-prinsip otonomi daerah.

Eksistensi perda dapat juga terlihat dari proses pembentukan perda itu

sendiri. Pembentukan peraturan daerah merupakan bagian penting untuk

melakukan pembentukan hukum di daeerah, merupakan esensi dari “legal

formulation” yang harus diagendakan oleh pemerintah daerah,termasuk

didalamnya pembentukan perda tentang APBD dalam menata keuangan

daerahnya.

Peraturan daerah yang dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum

untuk mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam bentuk APBD harus

dipahami sebagai bagian konsepsi pembentukan hukum. Dengan demikian

keberadaan hukum menjadi sesuatu yang sangat substansial secara teoritik dan

paradigmatik bagi jalinan pengelolaan keuangan daerah dalam seluruh segmen

penyelenggaraan pemerintahan negara. Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa

melalui sarana perangkat hukum, pengelolaan keuangan daerah diharapkan

memiliki dan menjamin terbangunnya suatu kondisi bermuatan ketertiban,

kepastian dan keadilan. Maka peraturan daerah tentang APBD harus diterima

sebagai instrument untuk menjamin pengelolaan keuangan daerah yang member

ketertiban, kepastian dan keadilan tersebut.

Page 100: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

100

Istilah keuangan daerah yang bersumber dari istilah keuangan negara,

dimana pendapat dari Adrian Sutedi73

mengemukakan bahwa, keuangan negara

dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Keuangan negara pada Perjan, Perum,

PN-PN dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit,

hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan

mempertanggungjawabkannya. APBN, APBD,BUMN dan BUMD lebih tepat

menggunakan istilah Keuangan Publik.

Secara yuridis diberikan pengaturan bahwa pembentukan peraturan daerah

mengenai APBD harus memperhatikan asas-asas umum pembentukan peraturan

perundang-undangan. Asas pembentukan peraturan daerah tentang APBD berarti

tetap terikat pada perangkat hukum nasional mengenai asas pembentukan

peraturan perundang-undangan nasional berdasarkan Undang-Undang No. 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Pearaturan Perundang-undangan (UU No. 10

Tahun 2004). Pada Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 yang selanjutnya telah diganti

dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan mengatur asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

meliputi;

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. Kejelasan umum;

g. Keterbukaan.

73

Adrian Sutedi, 2010, Hukum Keuangan Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10

Page 101: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

101

Secara konstitusional dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa

“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini menandakan bahwa setiap

aktivitas pemerintahan termasuk di bidang penyusunan perda tentang APBD harus

memiliki dasar-dasar pengaturan hukum. APBD yang efektif dan efisien jelas

membutuhkan pengaturan hukum yang dituangkan dalam perangkat peraturan

perundang-undangan (legal aspect) agar memiliki landasan filosofis, yuridis dan

sosiologis.

Dalam teori pembentukan peraturan perundang-undangan diketahui bahwa

dimensi pengaturan hukum mengenai Peraturan Daerah tentang APBD merupakan

komponen hukum public. Maka dalam kepustakaan hukum pemerintahan

(administrasi) maupun hukum ketatanegaraan, masalah peraturan perundang-

undangan lazimnya masuk dalam bidang “hukum publik”. Seperti yang telah

dipahami bahwa hukum publik mengatur hubungan antara penguasa dan

masyarakat. Oleh karena itu pengaturan hukumnya memadukan antara kepeutusan

pemerintahan (negara) dan kepentingan kemasyarakatan (warga negara), maka

pembentukan hukum yang berpa Peraturan Daerah tentang APBD menjadi

memiliki landasan hukum dan menjamin terciptanya ketertiban dan tata kelola

keuangan yang tertuang dalam perda APBD.

Pengaturan hukum APBD menjadi “basic needs” yang tidak dapat

dielakkan sebagai piranti yang akan memberikan kepastian dan ketertiban hukum

mengenai penggunaan anggaran publik bagi kepentingan penyelenggaraan

pemerintahan daerah.Ujung dari setiap pengelolaan keuangan daerah pada

prakteknya adalah peraturan daerah tentang APBD. Pembentukan peraturan

Page 102: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

102

daerah tentang APBD merupakan bagian penting dari konsep pengelolaan

keuangan daerah yang terdapat dalam peraturan daerah tentang APBD secara

teknis yuridis terikat pada hierarki peraturan perundang-undangan national

(national legislation) sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara

atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

Dalam hal pembentukan peraturan daerah, selain secara yuridis, juga

kedudukan masyarakat mempengaruhi pembentukan peraturan daerah tergambar

dalam konsep partisipasi masyarakat (public participation), memang masyarakat

harus diberi peluang besar untuk terlibat dalam pembentukan peraturan daerah

karena hukum dibuat oleh masyarakat, dalam arti dalam pembentukan perda tetap

mendengarkan aspirasi dari masyarakat.

Terkait dengan kajian pembatalan perda, tersebut, sebagaimana telah di

paparkan pada penjelasan sebelumnya, bahwa pembentukan perda selain secara

yuridis dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakan dengan tetap memakai

asas pembentukan hukum sebagaimana yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004

tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, maka dalam hal

mekanisme pambatalan perda APBD selain diatur didalam UU No. 32 Tahun

2004 diatur juga didalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Daerah, hanya saja terjadi ketimpangan aatau terjadi pengaturan yang berbeda,

sehingga dari analisis pembentukan peraturan daerah ini akan lebih memberi arah

dari tulisan yang mengangkat kajian tentang mekanisme pembatalan perda APBD

ini.

Page 103: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

103

3.2.4. Analisis Terhadap Pihak Yang Berwenang Membuat Perda dan

Membatalkan Perda.

Terkait dengan kajian analisis terhadap pihak yang berwenang dalam

membentuk dan membatalkan perda. Maka sebelumnya menelusuri kewenangan

pengelolaan keuangan daerah dengan melihat sumber dari sejarahnya. Secara

historis dapat ditelusuru bahwa kewenangan pengelolaan keuangan daerah tetap

bermuara pada kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI

dengan segala kekuasaannya (state’s outhorities) lahir sejak dikumandangkannya

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tertanggal 17 Agustus 1945 sebagai produk

revolusioner, kedudukan hukum naskah Proklamasi Kemerdekaan RI merupakan

sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.

Kedudukan hukum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjadi sangat

penting artinya bagi perkembangan ketatanegaraan. Selanjutnya UUD 1945 yang

di sahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 secara yuridis-ketatanegaraan menjadi

landasan awal tata hukum baru, yang di sebut tata hukum Indonesia dan tata

hukum tersebut berlaku bagi suatu masyarakat tertentu dan ditetapkan atas daya

penguasa NKRI. UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam

perjalanannya mengalami dinamika keberlakuan hukum sehubungan dengan

perkembangan politik ketatanegaraan Indonesia.

Bangsa Indonesia bertekad untuk mendirikan suatu Negara kesatuan

Republik Indonesia, yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1)

yang menegaskan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan berbentuk

Page 104: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

104

republik. Namun demikian, perjalanan sejarah kenegaraan Republik Indonesia

sejak kemerdekaannya diwarnai dengan adanya beberapa perubahan bentuk

negara yang juga diikuti dengan perubahan konstitusi. Adanya perubahan

konstitusi tersebut lebih jauh lagi ternyata juga menimbulkan perubahan terhadap

bentuk perundang-undangan.

Anggaran pendapatan Belanja Daerah yang disingkat APBD merupakan

bagian esesnsial dari perbicangan tentang pengelolaan keuangan negara. Hal ini

disadari karena APBD adalah kristalisasi dari suatu langkah pendayagunaan

keuangan daerah yang dilakukan secara terencana dan teratur sesuai dengan

kebutuhan publik. Pembentukan peraturan daerah APBD sebagai bentuk

pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini berarti bahwa

penyusunan APBD tetaplah berada dalam kerangka hukum penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang saat ini berdasarkan UU Pemerintahan Daerah yang

berlandaskan prinsip-prinsip otonomi daerah.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Pemda) telah memberikan pengaturan mengenai Penyelenggaraan Pemerintahan

dalam Bab IV. Menurut Pasal 19 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

daerah menyebutkan bahwa penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dengan

dibantu oleh satu orang wakil Presiden, dan oleh menteri negara, selanjutnya pada

ayat berikutnya menyebutkan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah dalah

pemerintah daerah dan DPRD. Selanjutnya di dalam Pasal 20 UU No. 32 Tahun

Page 105: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

105

2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan asas-asas umumk

penyelenggaraan pemerintahan adalah:

(1). Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum

Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:

a. asas kepastian hukum;

b. asas tertib penyelenggara negara;

c. asas kepentingan umum;

d. asas keterbukaan;

e. asas proporsionalitas;

f. asas profesionalitas;

g. asas akuntabilitas;

h. asas efisiensi; dan

i. asas efektifitas.

(2) Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas

desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan

peraturan perundang-undnagan.

(3). Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah

menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Ketentuan tersebut merupakan dasar yang menjadi pedoman dalam

pengembangan Pemerintahan Daerah termasuk dalam pengelolaan keuangan

daerah yang dirumuskan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dalam

suatu peraturan daerah. Mengenai organ pemerintahan daerah dalam

penyelenggaraan otonomi daerah termasuk dalam kerangka pengelolaan keuangan

daerah telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.

Penyelenggaraan otonomi daerah yang diterapkan tidak terjadi begitu saja

namun tetap bertumpu pada pengaturan hukum mengenai otonomi daerah yang

terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD). Otonomi daerah dalam

konteks UUD 1945 mengalami pasang surut pengaturan dari Undang-Undang No.

Page 106: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

106

5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (UU No. 5 Tahun

1974), Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Pemda 1999) maupun Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (UU Pemda 2004) yang terus mengalami perkembangan.

Dengan demikian pengkajian yang diformatkan pada peraturan daerah

tentang APBD jelas memiliki hubungan yang jelas dalam memberikan penjabaran

sampai pada takaran “ideal” pemerintahan Daerah NKRI. Pemerintahan daerah

yang dibutuhkan tentu saja Pemerintahan Daerah yang memberi peluang

keterbukaan yntuk melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan

daerah tentang APBD. Dengan keterlibatan publik dalam penyelenggaraan

Pemerintahan daerah termasuk dalam pengelolaan keuangan daerah adalah

indikasi demokratis otonomi daerah yang sejalan dengan UUD 1945.

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan prinsip desentralisasi

dibentuklah organ Pemerintahan daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1, UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah adalah

penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Page 107: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

107

Selanjutnya di dalam Pasal 19 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah

adalah pemerintah daerah dan DPRD. Ini berarti bahwa Pemerintah Daerah dan

DPRD secara yuridis merupakan organ pemerintahan daerah yang utama. Lebih

jelas lagi di dalam Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

menegaskan bahwa:

(1) Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut

kepala daerah.

(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi

disebut Gubernur, untu kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota

disebut walikota.

(3) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu

orang wakil kepala daerah.

(4) Wakil kepala daerah sebagaiman dimaksud pada ayat (3) untuk

provinsi disebut wakil Gubernur untuk kabupaten disebut wakil bupati

dan untuk kota disebut wakil walikota.

(5) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh

rakyat di daerah yang bersangkutan.

Ketentuan tersebut memberikan pengaturan bahwa Kepala daerah yang

berupa Gubernur dan Bupati/walikota adalah organ pemerintahan daerah.

Mengenai DPRD telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 40 UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa DPRD merupakan

lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah.

Sebagaimana yang ditegaskan didalam Pasal 1 (7) UU No. 10 tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan perundang-udangan yang selanjutnya telah

diganti dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-

Page 108: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

108

undangan, bahwa peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama

kepala daerah, selanjutnya didalam Pasal 1 (10) UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, juga mengaskan bahwa peraturan daerah selanjutnya

disebut perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah

kabupaten/kota. Selanjutnya lebih jauh lagi dalam hal penetapan perda diatur

dalam Pasal 136 (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

menegaskan bahwa perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat

persetujuan bersama DPRD.

Dengan demikian jelaslah bahwa secara organisatoris organ

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyangkut pembuatan perda juga

termasuk perda APBD adalah kepala daerah dan DPRD. Kepala Daerah Provinsi

disebut Gubernur dan Kepala Daerah kabupaten dinamakan Bupati serta Kepala

Daerah Kota diistilahkan dengan sebutan Walikota. Kepala daerah dalam

menjalankan pemerintahan daerah dibantu secara kelembagaan oleh perangkat

daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah merupakan

elemen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pada kerangka

otonomi daerah. Dinamika hubungan kelembagaan di antara institusi politik dan

administratif DPRD dan Kepala Daerah sangat cepat dan penuh tarik ulur,

khususnya di bidang keuangan daerah. Secara politik telah terjadi pergeseran

kekuasaan pembentukan peraturan daerah dari Kepala daerah kepada DPRD.

Namun demikian DPRD selalu mengalami perkembangan yang sangat drastic

Page 109: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

109

secara politik selalu bersentuhan dengan kelemahan administrative pemerintahan

yang menempatkan DPRD seolah-olah berada di bawah Departemen Dalam

Negeri.

Kepala Daerah dan DPRD (Provinsi) tersebut dalam menjalankan tugas

dan wewenangnya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku di bidang otonomi daeeah. Pembuatan kebijakan di bidang keuangan

daerah yang dirumuskan dalam peraturan daerah tentang APBD menjadi salah

satu fungsi pemerintahan yang harus dijalankan oleh organ pemerintahan daerah

termaksud yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD (Provinsi/Kabupaten/Kota)

dengan sejarahnya masing-masing.

Di dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah, dengan produk hukum dari pemerintah daerah, maka yang

menjadi tolak ukur pemerintahan daerah dalam menyusun Peraturan Daerah

tentang APBD harus mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, dengan

adanya peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,

pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem

NKRI secara efisien dan efektif.

Selanjutnya organ atau unsur yang berwenang atas pembatalan suatu

peraturan daerah tersebut diatur pula didalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah pada Pasal 145 adalah sebagai berikut:

Page 110: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

110

(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari

setelah ditetapkan.

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh)

hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan

pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah

mencabut Perda dimaksud.

(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan

pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan

yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala

daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan

sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut

menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai

kekuatan hukum.

(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk

membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda

dimaksud dinyatakan berlaku.

Namun berbeda dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58

Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (PP No. 58 Tahun 2005) pada

Pasal 47 (6), yang menyebutkan bahwa:

“Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan

gubernur tetap menetapkan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan

rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD menjadi peraturan

daerah dan peraturan gubernur. Menteri Dalam Negeri membatalkan

peraturan daerah dan peraturan gubernur dimaksud sekaligus menyatakan

berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.”

Tetapi sebelum mengkaji lebih jauh isi pasal dari PP No. 58 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, maka sebelumnya dapat melihat aturan

Page 111: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

111

sebelumnya yang menyebutkan bahwa evaluasi peraturan daerah dilakukan oleh

Menteri Dalam Negeri. Sebagaimana yang diatur dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah bahwa perihal pengawasan yang dilaksanakan oleh

pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya

terahadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan

terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pemerintah

melakukan dua cara sebagai berikut74

:

1. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (raperda) yaitu

terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah,

retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala

daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk

raperda provinsi dan oleh gubernur terhadap raperda kabupaten/kota.

Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal tersebut dapat

mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.

2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah yang tersebut di atas,

yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri

Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/kota

untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang

bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih

tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku

Terkait dengan hal tersebut di atas, maka lebih dulu kajiannya dimulai

dengan sistem pemerintahan yang di anut di negara Indonesia, pemahaman

mengenai sistem pemerintahan di negara Indonjesia memberikan perluasan

pengertian terhadap suatu peraturan daerah yang dibatalkan melalui keputusan

menteri dalam negeri, dengan melihat kedudukan menteri-menteri dalam

penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Sistem

74

HAW. Widjaja, 2005, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Jakarta, PT

RajaGrafindo Persada, hal. 147-148.

Page 112: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

112

pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad penyelenggaraan

pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.

Sistem pemerintahan yang dikenal didunia secara garis besar dapat

dibedakan dalam tiga macam, yaitu sistem pemerintahan presidensil (presidential

system), sitem pemerintahan parlementer (parliamentary system) dan sistem

campuran (mixed system atau hybrid system). Dalam sistem pemerintahan

presidensil juga terdapat beberapa prinsip pokok yang bersifat universal, yaitu75

:

1) Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang

kekuasaan eksekutif dan legislatif;

2) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif

presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil

presiden saja;

3) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau

sebaliknya, kepala negara adalah sekaligusnmerupakan kepala

pemerintahan;

4) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau

sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya;

5) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan

demikian pula sebaliknya;

6) Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa

parlemen;

7) Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi

parlemen, maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip

supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif

bertanggung jawab kepada Konstitusi;

8) Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang

berdaulat;

9) Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem

parlementer yang terpusat pada parlemen.

Kesembilan prinsip sistem presidensil yang diuraikan tersebut di atas, juga

berlaku dalam sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia. Karena itu, sistem

75

Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca reformasi,

PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta Barat, hal. 316

Page 113: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

113

pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 dapat dikatakan merupakan sistem

presidensil. Bahkan, apabila dibandingkan dengan sistem presidensil yang telah

dianut oleh UUD 1945 sejak sebelum diadakan perubahan, maka sistem

pemerintahan presidensil yang sekarang dapat dikatakan sebagai sistem

pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya. Presiden Republik Indonesia

adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dengan tugas dan

wewenangnya masing-masing menurut Undang-Undang Dasar.

Kajian mengenai sistem pemerintahan juga dapat terlihat jika bermula

pada asas Negara Hukum sebagaimana yang dianut di negara Indonesia dengan

berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945, untuk melihat perwujudan dari asas

Negara Hukum itu sendiri maka menurut Sri Soemantri bahwa76

unsur-unsur

terpenting negara hukum ada empat, yaitu:

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

3. Adanya pembagian kekuasaab dalam negara;

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke

controle).

Selanjutnya dipaparkan lebih jelas oleh Sri Soemantri77

mengenai hal tersebut di

atas dengan penjelasan sebagai berikut:

Ad.1. Seperti ditentukan dalam UUD 1945, dalam mencapai tujuan negara

yang dirumuskan dalam paragrap 4 Pembukaan UUD 1945, telah dibentuk

alat-alat perlengkapan negara, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Pertimbangan Agung,

76

Sri Soemantri, 1992 , Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, cetakan pertama,

Penerbit Alumni, Bandung, hal. 29 77

Ibid, hal 30-32

Page 114: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

114

Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sesuai dengan

kedudukannya MPR diberi tugas dan wewenang yang sangat penting, di

antaranya menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar

Haluan Negara. Walaupun MPR merupakan alat perlengkapan negara

yang penting, karena badan itulah yang menetapkan garis-garis besar

kebijaksanaan umum dalam negara, akan tetapi yang mempunyai peranan

penting dalam pemerintahan adalah Presiden. Dalam menjalankan tugas-

tugasnya Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden dan menteri-

menteri negara. Oleh karena itu Penjelasan Umum UUD 1945 antara lain

mengatakan:

a. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di

bawah majelis;

b. Kekuasaan Kepala Negara (Presiden) tidak tak terbatas.

Walaupun kekuasaan presiden itu sangat besr (sebagai kepala

negara, sebagai pemerintah dan sebagai mandataris MPR) akan tetapi

dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus selalu berpijak pada

Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan yang lain.

Dengan perkataan lain, presiden menjalankan tugas dan kewajibannya

sesuai dengan yang ditentukan dalam peraturan. Hal ini berlaku juga

terhadap para pembantu presiden, seperti antara lain aparat administrasi.

Ad. 2. Seperti diketahui, dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya

jaminan terhadap hak-hak asasi warga negara. Hal ini kita temukan juga

dalam Undang-Undang dasar 1945. Dengan dicantumkannya hak-hak

asasi manusia/ warga negara dalam undang-undang dasar mengandung

arti bahwa pihak penguasa harus menghormati warga negaranya dan

penduduk negara.

Ad.3. Sejak munculnya teori Trias Politica, sekarang ini tidak ada lagi

negara yang memusatkan kekuasaannya pada satu tangan atau satu badan.

Ini berarti bahwa kekuasaan dalam negara harus dibagi-bagikan kepada

masing-masing alat perlengkapan negara atau kepada masing-masing

aparat administrasi. Dengan perkataan lain, dalam negara harus ada

pembagian kekuasaan (machtsverdeling).

Ad.4. Telah dikemukakan bahwa pemerintah atau pemegang kekuasaan

eksekutif mempunyai wewenang yang tidak kecil. Hal ini dapat

dimengerti, Karena setelah beralihnya negara hukum dalam arti formal

menjadi negara kesejahteraan, pemerintah mempunyai wewenang dan

peranan yang sangat besar dalam mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena

itu ada kemungkinan pemerintah menyalahgunakan wewenang atau

melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berdasarkan hukum. Untuk

keperluan ini harus ada hakim yang tidak memihak, yang dapat mengadili

Page 115: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

115

tindakan-tindakan pemerintah atau aparat-aparatnya. Di Indonesia hal itu

ditempuh melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kemudian tentang pengertian pemerintahan konstitusional, dapat dikutip

dari pendapat K.C. Wheare78

, yang menegaskan bahwa “Constitutional

government according to the terms of constitution. It means government

according to rule as apposed to arbitrary government; it means government

limited by the terms of a constitution, not government limited only by desires and

capacities of those who exercise power”

Istilah pemerintah berasal dari kata dasar “perintah” yang berarti

menyuruh melakukan sesuatu, dari kata tersebut dapat disebut bahwa

“pemerintah” adalah kekuasaan memerintah suatu negara seperti kepala

pemerintahan dan kabinet merupakan suatu pemerintah79

Pengertian pemerintah memiliki dua macam pengertian, pertama dalam

arti luas, yang meliputi cabang kekuasaan dalam negara, yang terbentuk dalam

alat-alat perlengkapan negara (lembaga-lembaga) dan kedua, dalam arti sempit,

yang hanya mengenai satu cabang kekuasaan saja. Kalau seperti di Indonesia,

cabang-cabang kekuasaan dalam negara itu terdiri atas Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan

Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA).

Maka pemerintah dalam arti luas meliputi keenam alat-alat perlengkapan negara

78

Wheare, K.C, Modern Constitutions, Oxford University Press, New York, London, P.

137 79

Sudono Ayueb, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah, Laksbang Meditama,

hal. 19.

Page 116: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

116

(lembaga negara) itu. Kalau demikian, pemerintah dalam arti sempit, dengan

merujuk pada Pasal 4 jo Pasal 17 UUD 1945, hanya terdiri dari Presiden yang

dalam menjalankan tugas kewajibannya dibantu oleh seorang Wakil Presiden dan

Menteri-Menteri Negara.

Sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang

disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, juga menganut sistem

campuran. Pada pokoknya, sistem yang dianut adalah sistem presidensil, tetapi

Presiden ditentukan tunduk dan bertanggung jawab kepada lembaga MPR yang

terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan-utusan

golongan fungsional80

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia di masa lalu, praktik mengenai

sistem pemerintahan presidensil yang bersifat campuran ini juga dilaksanakan

secara tidak konsisten. Mislnya, dalam waktu tidak sampai tiga bulan sejak

disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menganut sistem presidensil itu

sudah dilaksanakan menyimpang, yaitu dengan dibentuknya Kabinet Parlementer

Pertama dibawah Perdana Menteri Sutan Syahrir pada tanggal 14 November

194581

. Padahal, UUD 1945 yang baru disahkan jelas tidak menganut sistem

pemerintahan parlementer ini terus menerus dipraktikkan sampai periode

berlakunya UUD RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Bahkan, setelah Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 yang kembali memberlakukan UUD 1945 sebagai konstitusi

80

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi, “MPR

terdiri atas angota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan

golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” 81

Penjelasan UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran Dekrit Presiden 5 Juli

1959.

Page 117: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

117

Republik Indonesia, sistem pemerintahan yang dipraktikkan juga adalah sistem

cabinet parlementer.

Dapat dikatakan bahwa UUD 1945 itu baru dipakai sebagai referensi

ketatanegaraan dalam praktik yang nyata pada masa orde baru. Jargon yang biasa

dipakai oleh pemerintah orde baru adalah “pelaksaan UUD 1945 secara murni dan

konsekuen”. Dengan jargon tersebut akhirnya presiden pun berkembang menjadi

diktator yang tidak pernah berganti selama 32 tahun.

Di masa orde baru, sistem pemerintahan presidensil yang diatur dalam

UUD 1945 juga diterapkan penuh dengan memusatkan tanggung jawab kekuasaan

pemerintahan negara di tangan presiden, dengan kuatnya kedudukan presiden,

maka meskipun MPR diakui sebaga lembaga tertinggi negara, tempat presiden

diharuskan tunduk dan bertanggung jawab, tetapi dalam kenyataan praktik,

kedudukannya justru tergantung kepada presiden. Adanya unsure

pertanggungjawaban presiden kepada MPR itu justru memperlihatkan cirri

parlementer dalam sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh UUD 1945.

Karena itulah, secara normatif sebenarnya, sistem yang dianut oleh UUD 1945 itu

bukanlah murni sistem presidensil, tetapib hanya quasi presidensil.

Sifat quasi atau sistem presidensil yang tidak murni itulah yang diubah

ketika UUD 1945 diubah pada tahun 1999 sampai tahun 2002. Yaitu dengan

mengubah kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara,

melainkan lembaga negara yang sederajat dengan presiden. Di samping itu,

ditentukan pula bahwa presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat

Page 118: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

118

melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Karena itu, dapat dikatakan

bahwa dalam perubahan pertama sampai perubahan keempat UUD 1945,

tergambar adanya semangat untuk mengadakan purifikasi atau pemurnian sistem

pemerintahan presidensil Indonesia dari sistem sebelumnya yang dianggap tidak

murni presidensil.

Jika sistem pemerintahan yang dianut dalam republik itu adalah sistem

presidensil, maka seperti uraian terdahulu, presiden berfungsi sebagai kepala

negara (head of statet) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of

government). Presiden Republik Indonesia menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan

negara menurut undang-undang dasar. Inilah yang disebut sebagai prinsip

“constitutional government”, rumusan ini adalah rumusan asli BPUPKI yang

tidak mengalami perubahan.

Dengan demikian, prinsip constitutional government sebagai salah satu

cirri penting negara hukum, telah dirumuskan oleh the founding fathers sejak

sebelum kemerdekaan. Selanjutnya dalam ayat (2), “Dalam melakukan

kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Dari ayat (2)

tersebut diketahui bahwa pertama wakil preside nada satu orang, yang artinya,

wakil presiden itu tidak boleh lebih dari satu orang. Kedua, wakil presiden itu

sendiri mempunyai kedudukan sebagai pembantu presiden dalam melakukan

kewajibannya menurut UUD 1945. Lebih lanjut lagi dalam penyelenggaraan

pemerintahan termasuk pula menteri, sebagaimana yang diatur dalam bab V

tentang Kementerian Negara, yaitu pada Pasal 17 adalah:

Page 119: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

119

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara

diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan pasal tersebut maka dapat dimaksudkan bahwa para menteri

negara tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai satu kesatuan

institusi. Prinsip yang bersifat umum adalah administrasi pemerintahn pusat pada

umumnya ditempatkan di bawah kewenangan menteri atau diorganisasikan

sebagai kementerian atau departemen. Meneteri dan kementerian negara

dibedakan. Menteri adalah jabatan politik, sedangkan kementerian negara diisi

oleh pegawai negeri sipil dengan jabatan-jabatan yang diisi melalui pengangkatan

dan pemberhentian secara administratif.

Dalam penjelasan UUD 1945 yang sekarang hanya berlaku sebagai

dokumen historis, tercantum uraian bahwa jabatan menteri itu merupakan jabatan

yang sangat penting. Menteri adalah pejabat tinggi yang secara nyata bertindk

sebagai pemimpin pemerintahan sehari-hari dalam bidangnya masing-masing.

Karena itu, tidak semua orang dapat bekerja sebagai menteri jika tidak

melengkapi diri dengan sifat-sifat kepemimpinan dan kemampuan-kemampuan

yang dibutuhkan untuk itu.

Jabatan menteri dalam sistem pemerintahan presidensil juga harus

dipahami berbeda dari jabatan menteri dalam sistem pemerintahan parlementer

yang murni bersifat politik. Dalam sistem pemerintahan presidensil, yang murni

Page 120: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

120

bersifat politik adalah presiden dan wakil presiden, sedangkan jabatan menterinya

di samping bersifat politik juga bersifay teknis. Oleh karena itu, menteri dalam

sistem presidensil membutuhkan kualifikasi teknis. Apalagi, menteri yang akan

diserahi tugas tugas memimpin suatu departemen pemerintahan republic dengan

penduduk besar dan komleksitas persoalan pembangunan yang demikian rumit

seperti Indonesia, tentulah diperlukan kualifikasi politis dan teknis yang benar-

benar memenuhi syarat kapabilitas (kualifikasi teknis) dan syarat akseptabilitas

(kualifikasi politik) yang sangat tinggi.

Tentang istilah menteri negara, terdapat kebiasaan untuk mengartikan

seolah menteri negara itu adalah menteri yang tidak memimpin departemen.

Umpamanya, Menteri Negara Urusan badan Usaha Milik Negara disebut dengan

singkatan Meneg BUMN, sedangkan menteri yang dipimpin departemen, seperti

Menteri Perhubungan disingkat dengan istilah Menhub, Menteri Pendidikan

Nasional dengan istilah Mendiknas dan sebagainya. Namun, dalam rumusan

ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan bahkan dalam judul bab V UUD 1945 jelas

dipakai istilah menteri negara dan kementerian negara untuk pengertian yang

bersifat umum dan berlaku untuk semua menteri. Hanya saja ada yang memimpin

departemen atau biasa diistilahkan dengan menteri dengan portofolio, dan ada

menteri yang tanpa portofolio.

Pembedaan keduanya sangat penting karena berkaitan dengan jangkauan

luas dan wewenangnya sebagai pejabat publik pembantu presiden. Menteri

dengan portofolio departemen memiliki aparatur pemerintahan pendukung yang

menjangkau sampai ke lapisan pemerintahan di daerah melalui aparatur

Page 121: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

121

dekonsentrasi di tingkat provinsi dan/atau bahkan sampai ke tingkat

kabupaten/kota. Sedangkan menteri tanpa portofolio departemen tidak memiliki

jaringan aparatur sampai ke daerah-daerah. Menteri yang tergolong tidak memiliki

aparatur di daerah-daerah ini umpamanya adalah Menteri Sekretaris Negara,

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Riset dan Teknologi,

dan lain sebagainya. Sedangkan menteri-menteri yang memimpin departemen,

umpamanya adalah Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Menteri

Perindustrian, Menteri Kesehatan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan

lain sebagainya.

Di samping itu, dalam praktik, dikenal pula adanya Menteri Koordinator

dan Menteri Muda. Jabatan menteri muda pernah diadakan baik di zaman era

pemerintahan presiden Soekarno maupu di zaman pemerintahan Presiden

Soeharto. Pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah

diadakan Kementerian Negara urusan Otonomi Daerah yang pada hakikatnya juga

merupakan bentuk lain dari Menteri Muda seperti di zaman sebelumnya, yaitu

menteri yang terkait erat tugasnya dan membutuhkan koordinasi dengan Menteri

Dalam Negeri. Akan tetapi, istilah yang dipakai pada waktu itu adalah menteri

negara yang seolah mandiri dan terlepas sama sekali dari tugas Menteri dalam

negeri. Sementara itu, jabatan menteri koordinator dari dulu sampai sekarang

selalu diadakan. Jabatan menteri koordinator ini sesuai dengan kebutuhan

biasanya dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu menteri koordinator bidang

politik, hukum, dan keamanan, menteri koordinator bidang ekonomi dan

keuangan, dan menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat.

Page 122: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

122

Setelah perubahan UUD 1945, istilah kementerian negara dan menteri

negara merujuk kepada pengertian yang bersifat umum, yaitu bahwa semua

menteri adalah termasuk ke dalam pengertian menteri negara menurut UUD 1945.

Dalam praktik, kita mengenal adanya tiga macam menteri negara, yaitu (i) menteri

koordinator; (ii) menteri pemimpin departemen; dan (iii) menteri tanpa portofolio.

Ketiga macam menteri ini dapat ditambah dengan yang keempat (iv) yaitu menteri

muda yang pernah ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden

Soeharto. Dari keempat macam menteri itu, yang memiliki daya jangkau birokrasi

sampai ke daerah-daerah adalah menteri dengan portofolio departemen,

sedangkan yang lain tidak.

Menurut beberapa sarjana, seperti misalnya Awaludin Jamin 82

. Menteri

tanpa portofolio tidak dapat mengatur public, melainkan hanya menjalankan

tugas-tugas eksekutif murni, yaitu membantu presiden dalam melaksanakan

ketentuan peraturan perundang-undngan yanga ada. Artinya, menteri tanpa

portofolio itu karena tidak memilki aparatur birokrasi yang dapat mendukung

pelaksanaan tugas untuk mengimplementasikan pengaturan yang dibuatnya, maka

menteri tersebut tidak boleh diberi kewenangan (regeling).

Selain kewenangan-kewenangan yang melekat dalam sifat kekuasaan

eksekutif, pemerintahan negara memiliki kewenangan-kewenangan konstitusional

yang terkait dengan fungsi legislative atau regulative dan bahkan fungsi yudikatif

(yudisial). Dalam praktik, ke dalam kekuasaan pemerintahan negara yang

82

Awaludin Jamin dalam Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara

Indonesia, PT Bhuana Ilmu Polupler Kelompok Gramedia, Jakarta, hal. 371.

Page 123: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

123

dipegang oleh kepala negara dan/atau kepala pemerintahan selalu ditambahkan

adanya kekuasaan untuk mengatur, baik karena delegasi kewenangan yang

mengalir dari kewenangan lembaga legislatif berdasarkan undang-undang ataupun

karena dimungkinkn secara langsung oleh undang-undang dasar. Dalam hal ini,

presiden Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undamg Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) jo Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian

diganti dengan UU No. 12 Tahun 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan

Perundang-undangan memiliki kewenangan untuk (i) mengesahkan rancangan

undang-undang (RUU) menjadi undang-undang (UU), (ii) menetapkan Peraturan

Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undangn (Perpu), (iii) Peraturan

Pemerintah, dan (iv) Peraturan Presiden.

Kewenangan presiden untuk mengesahkan rancangan undang-undang

menjadi undang-undang adalah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD

1945 yang menentukan, bahwa, “Presiden mengesahkan rancangan undang-

undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”.

Kewenangan presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-

undang (Perpu) didasarkan atas ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang

menentukan bahwa, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden

berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”

Kewenangan presiden untuk menetapkan peraturan Pemerintah di dasarkan atas

ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan, “Presiden menetapkan

peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”

Page 124: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

124

Sedangkan Peraturan Presiden didasarkan atas ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf d

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan..

Di samping itu, semua pejabat pelaksana undang-undang sepanjang tegas

diberi kewenangan untuk mengatur atau kewenangan regulatif/ legislatif oleh

undang-undang (delegation of rule-making power by statute) , dapat pula

mengeluarkan produk-produk peraturan tersendiri yang bersifat spesifik, khusus,

ataupun yang hanya berlaku secara internal. Syaratnya adalah bahwa kewenangan

semacam itu harus dengan tegas dinyatakan dalam undang-undang yang

bersangkutan kepada pejabat atau lembaga negara yang bersangkutan. Inilah yang

biasa dinamakan dengan “delegation of rule making power”.

Terkadang, kewenangan yang diperoleh dari pendelegasian tersebut

(delegated power for legislation or rule making) memberikan lagi kewenangan

untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang didelegasikan itu kepada instansi atau

pejabat yang diberi delegasi. Misalnya undang-undang memberi delegasi

kewenangan pengaturan presiden. Atas dasar itu, presiden menetapkan suatu

Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah

atau Peraturan Presiden tersebut memberikan lagi delegasi kewenangan

pengaturan atau kewenangan regulasi kepada Menteri yang diberi delegasi

kewenangan. Proses pemberian kewenagan tingkat kedua ini biasa disebut juga

Page 125: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

125

dengan “sub delegasi” atau “sub-delegation of rule making power”83

berdasarkan

kewenangan sub delegasi itulah, maka dikenal pula adanya bentuk-bentuk

peraturan, seperti peraturan menteri dan sebagainya yang juga bersifat mengatur

dan mengikat juga untuk umum.

Oleh karena itu, sebagaimana uraian di atas maka tentunya yang diteliti

apakah dalam hal pembatalan peraturan daerah yang dibatalkan oleh Menteri

Dalam Negeri melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut telah sesuai

dengan adanya pendelegasian wewenang dari Presiden selaku pemegang

wewenang atribusi, namun kenyataannya setelah penulis melakukan penelitian

secara normatif dari aturan kewenangan yang timbul, menunjukkan tidak adanya

dasar kewenangan bagi menteri Dalam Negeri untuk dapat membatalkan suatu

peraturan daerah, walaupun didalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang menyebutkan kewenangan dari Menteri, namun

terbatas hanya dalam hal evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah untuk

rancangan peraturan daerah provinsi dan evaluasi oleh Gubernur untuk rancangan

peraturan daerah kabupaten/kota, yang difokuskan terhadap rancangan peraturan

daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR.

Selanjutnya hal tersebut dilakukan untuk memperoleh klarifikasi. Hal tersebut

adalah merupakan bentuk kontrol pemerintah pusat kepada daerah.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa mekanisme

pembatalannya mesti berdasar pada peraturan yang mengaturnya dalam hal ini

83

Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, hal.

341.

Page 126: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

126

adalah yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Oleh karena itu terjadi konflik

antara UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerinrahan daerah dengan PP No. 58

Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dengan berdasar pada asas

lex superiori derogate legi inferiori karena yang satu diperintahkan oleh Undang-

Undang dan yang lainnya diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah, dengan

melihat hierarki peraturan perundang-undangan maka UU No. 32 Tahun 2004

lebih tinggi kedudukannya, oleh sebab itu tetap merunut kepada UU tersebut.

Dalam hal ini mekanisme pembatalan dilakukan melalui peraturan Presiden. Oleh

karena itu maka dapat terjawab pokok permasalahan yang kedua, bahwa suatu

perda yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah.

Page 127: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

127

BAB IV

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERATURAN DAERAH

TENTANG APBD YANG DIBATALKAN MELALUI KEPUTUSAN

MENTERI DALAM NEGERI

4.1. Pengujian Peraturan Daerah

4.1.1. Perspektif Bentuk, Proses Pembentukan, dan Pihak Yang Memiliki

Kewenangan Pembentukan

Pada bagian terdahulu telah dilakukan analisis sebagai upaya identifikasi

kedudukan hukum Peraturan Daerah, dari analisis tersebut, ditemukan suatu tata

urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang dikaitkan dengan

kewenangan lembaga yang memegang kekuasaan untuk menguji suatu produk

Peraturan Perundang-undangan. Hasil uraian pada bab sebelumnya dengan

mengkaji sistem pemerintahan di Indonesia, sehingga terlihat beberapa

kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun yudisial, yang selanjutnya secara

otomatis melihat sumber-sumber kewenangan yang dimiliki, untuk mengkaji

pokok permasalahan yang kedua dalam penelitian ini secara normatif dengan

tetap berdasar pada peraturan perundang-undangan serta asas-asas dalam ilmu

hukum itu sendiri.

Selanjutnya untuk mengkaji lebih jauh mengenai akibat hukum dari

peraturan daerah tentang APBD yang telah dibatalkan melalui Keputusan

Menteri Dalam Negeri, secara terkait akan berawal dari lembaga yang memiliki

kewenangan untuk menguji suatu produk peraturan perundang-undangan dalam

Page 128: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

128

hal ini adalah peraturan daerah. Yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki

kewenangan menguji suatu produk peraturan perundang-undangan adalah

berbagai lembaga yang disebut secara tegas dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Dari ketiga lembaga ini, apabila dikaitkan dengan kewenangan untuk

menguji suatu produk peraturan perundang-undangan itu sendiri, akan

menghasilkan suatu garis besar urutan berbagai Peraturan Perundang-undangan

dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Adapun hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan dimaksud

adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang;

3. Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang, yang terdiri

dari :

a. Peraturan Pemerintah;

b. Peraturan Presiden;

c. Peraturan Daerah.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

merupakan produk Peraturan Perundang-undangan yang menempati kedudukan

hukum tertinggi dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia. Lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-

Page 129: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

129

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah Majelis

Permusyawaratan Rakyat, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Majelis

Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang

Dasar.

Undang-Undang merupakan produk Peraturan Perundang-undangan yang

menempati kedudukan hukum kedua dalam hierarki atau tata urutan Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia, setelah Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk

menguji undang-undang adalah Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 C ayat (1), yang

menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undng

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa wewenang lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum”.

Tempat ketiga kedudukan hukum dalam hierarki atau tata urutan Peraturan

Perundang-undangan di Indonsia ditempati oleh berbagai Peraturan Perundang-

undangan di bawah Undang-Undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, dan Peraturan Daerah. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk

menguji berbagai produk Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-

Undang ini adalah Mahkamah Agung,berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Page 130: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

130

Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 A ayat (1) yang menegaskan bahwa

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan

Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang dan

mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”.

Penegasan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 A ayat (1) dan Pasal 24 C tersebut di atas dengan

jelas telah menyebutkan beberapa produk Peraturan Perundang-undangan beserta

lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji, maka hanya 3 (tiga) tingkat

kedudukan hukum Peraturan Perundang-undangan yang dimiliki secara

konstitusional, yaitu sebagai berikut:

1. Tingkat kedudukan hukum bagi produk Peraturan Perundang-undangan yang

berbentuk Undang-Undang Dasar;

2. Tingkat kedudukan hukum bagi produk Peraturan Perundang-Undangan yang

berbentuk Undang-Undang;

3. Tingkat kedudukan hukum bagi berbagai bentuk produk Peraturan Perundang-

undangan di bawah Undang-Undang;

Dari 3 (tiga) tingkat kedudukan hukum tersebut di atas, perlu dilakukan

identifikasi tempat yang tepat bagi masing-masing produk Peraturan Perundang-

undangan. Analisis ini perlu dilakukan untuk mengetahui peringkat dari ketiga

jenis produk Peraturan Perundang-undangan yang dikaitkan dengan kewenangan

suatu lembaga untuk menguji produk Peraturan Perundang-undangan dimaksud.

Analisis untuk mengetahui tempat masing-masing Produk Peraturan Perundang-

Page 131: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

131

undangan dilakukan secara konstitusional dengan cara melakukan analisis

tingkatan suatu produk Peraturan Perundang-undangan melalui penegasan-

penegasan yang ada dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Analisis terkait dengan kewenangan untuk menguji ini

menghasilkan tingkatan-tingkatan sebagai berikut:

1. Tingkatan pertama kedudukan hukum atau tingkatan tertinggi diduduki oleh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini

disebabkan karena selain secara umum suatu Undang-Undang Dasar

merupakan suatu dokumen hukum yang tertinggi di mana semua tatanan

hukum bersandar kepadanya, serta berisi berbagai pengakuan keyakinan dan

ideologi bangsa dan negara, sebagaimana diungkapkan oleh Wheare84

, yang

menegaskan bahwa “ Constitutions as primarily and almost exclusively a legal

document in which, therefore, there is a place for rules of law but for

practically manifesto, a confession of faith, a statement of ideals, a charter of

the land”.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1

ayat (2) telah menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan pada hakekatnya

merupakan suatu kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara dan untuk

melaksanakan ternyata disandarkan pada suatu Undang-Undang Dasar, bukan

pada Undang-Undang atau bahkan pada setiap atau suatu Produk Peraturan

Perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Hal ini menunjukkan bahwa

84

Wheare, KC, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford, hal. 32

Page 132: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

132

pada hakekatnya undang-undang dasar menempati kedudukan yang tertinggi

dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Terkait dengan hal ini, dalam tanggapannya terhadap Rancangan

Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

Indriati85

menegaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 merupakan Konstitusi Negara Republik Indonesia.

Konstitusi bukan merupakan suatu Peraturan Perundang-undangan, tetapi

dialah sumber dan pedoman bagi pembentukan Peraturan Perundang-

undangan”.

Di sisi lain, Asshiddiqie dan Safa’at86

menegaskan bahwa

“Dipreuposisikan sebagai norma dasar, konstitusi adalah level paling tinggi

dalam hukum nasional. Konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen

nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubah hanya menurut

ketentuan khusus yang dimaksudkan agar perubahan norma sulit dilakukan”.

Dari pernyataan tersebut akan dapat dipahami, bahwa apabila terdapat

Undang-Undang yang ternyata bertentangan dengan konstitusi, maka Undang-

Undang itu akan dikalahkan atau dikesampingkan atau dengan kata lain batal

demi hukum. Di sisi lain Syueb 87

menegaskan bahwa sebagai hukum dasar,

85

Maria F. Indrati, 2004, Tanggapan Maria F. Indrati terhadap Rancangan Undang-

Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-udangan, Pusat Studi Ilmu

Hukum dan Kebijakan Indonesia, Angka 6, www.parlemen.net Available at:

http://www.parlemen.net/site/idetails.php?guid=2adc2735b3b3db3ib7,1/10/2011 86

Jimmly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans kelsen Tentang Hukum,

Penerbit Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 11 87

Sudono Syueb, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah: Sejak Kemerdekaan

Sampai Era Reformasi, Cetakan Pertama, Laksbang Meditama, Surabaya, hal. 24

Page 133: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

133

maka Undang-Undang Dasar perlu diberi sifat luhur dan kekal, sifat yang

luhur dari Undang-Undang Dasar berarti bahwa Undang-Undang Dasar diberi

sifat sebagai bentuk peraturan tertinggi kalau dibandingkan dengan bentuk

peraturan dan ketetapan lainnya.

Terkait dengan hal ini, penegasan tentang kedudukan hukum Undang-

Undang Dasar Negara Republik Injdonesia Tahun 1945 juga terdapat dalam

Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian telah diganti

dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, pada Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam

Peraturan Perundang-undangan”. Dengan demikian, kedudukan hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai

produk Peraturan Perundang-undangan yang menempati tempat tertinggi

dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan semakin dipertegas lagi.

Bukti selanjutnya yang mengukuhkan eksistensi Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai Produk Peraturan

Perundang-undangan yang menempati tingkat pertama dari hierarki atau tata

urutan Perundang-undangan adalah adanya penegasan dalam Pasal 24 c ayat

(1), yang menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa wewenang lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

Page 134: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

134

pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum.

Kata-kata yang perlu digaris bawahi adalah “Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar” dimana dalam hal ini kata-kata tersebut memberikan

bahwa Undang-Undang diuji atau diperhadapkan dengan sesuatu yang lebih

tinggi tingkatannya, dan itu adalah Undang-Undang dasar, Dengan demikian,

dapat dipahami bahwa arti dari kata-kata “Undang-Undang terhadap Undang-

Undang Dasar” menimbulkan arti bahwa memiliki kedudukan hukum yang

lebih rendah dari pada Undang-Undang Dasar, dan demikian pula sebaliknya,

suatu Undang-Undang Dasar memiliki kedudukan yang lebih tinggi

dibandingkan Undang-Undang.

Undang-Undang Dasar menjadi suatu tolok ukur dalam menguji suatu

Undang-Undang. Hal ini berarti menimbulkan suatu konsekuensi

konstitusional yang mengharuskan suatu Undang-Undang tidak boleh

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Ketentuan tentang dijadikannya

Undang-Undang Dasar sebagai tolok ukur sehingga Undang-Undang tidak

boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dipertegas lagi dalam

Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dalam

pasal-pasal berikut:

a. Pasal 57 ayat (1) menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi yang

amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan atau

bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal

dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat”.

Page 135: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

135

b. Pasal 57 ayat (2) menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi yang

amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang

dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat”.

Penjabaran pada pasal-pasal tersebut di atas akan semakin memperkuat

kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sebagai tolok ukur atau acuan bagi pembentukan Undang-Undang, dengan

kata lain telah menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 baik sebagian, seluruhnya, ataupun proses

pembentukannya, tidak akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat lagi.

2. Tingkatan kedua kedudukan hukum dalam tata urutan Peraturan Perundang-

undangan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 di duduki oleh Undang-Undang. Hal ini juga didasarkan pada penegasan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 c

ayat (1), yang menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi” berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa wewenang lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum”

Page 136: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

136

Sekali lagi, kata-kata “Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar” telah menimbulkan pemahaman bahwa suatu Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai produk Peraturan Perundang-

undangan yang memiliki kedudukan hukum tertinggi dalam tata urutan

Peraturan Perundang-undangan. Analisis terhadap pasal-pasal dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menunjukkan

bahwa selain Undang-Undang tidak ada lagi produk Peraturan Perundang-

undangan yang harus diperhadapkan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini menunjukkan bahwa secara

konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, undang-undang menempati tingkatan kedua setelah Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam tata urutan

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Eksistensi Undang-Undang yang menempati tingkatan kedua dalam

tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia pada hakekatnya

merupakan suatu implikasi dari lembaga yang berwenang untuk

membentuknya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang berdasarkan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 20 ayat (1)

memiliki kekuasaan membentuk Undang-Undang. Eksistensi Dewan

Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif yang pada hakekatnya memiliki

kekuasaan membentuk Undang-Undang inilah, yang kemudian semakin

memperkokoh kedudukan hukum Undang-Undang pada tingkatan kedua

Page 137: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

137

dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia setelah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Tingkatan ketiga kedudukan hukum dalam tata urutan Peraturan Perundang-

undangan di Indonesia pada hakekatnya terkait dengan kewenangan untuk

mengujinya ditempati oleh berbagai Peraturan Perundang-undangan dibawah

Undang-Undang yang ada di Indonesia. Hal ini berdasarkan penegasan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 A

ayat (1) yang menegaskan bahwa,

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang dan mempunyai

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”

Dalam pasal tersebut di atas terdapat kata-kata “menguji Peraturan

Perundang-undangan terhadap Undang-Undang”, di mana apabila dikaitkan

dengan eksistensi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 tingkatan pertama dan Undang-Undang yang menempati tingkatan kedua

dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, akan

menimbulkan pemahaman bahwa di bawah Undang-Undang terdapat

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, akan menimbulkan pemahaman

bahwa di bawah Undang-Undang terdapat Peraturan Perundang-undangan

laiinya. Dengan kata lain, setelah Undang-Undang terdapat berbagai Peraturan

Perundang-undangan lainnya yang menempati tingkatan ketiga dalam tata

urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Page 138: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

138

Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang” adalah

segala peraturan selain Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945 dan Undang-Undang yang dikenal dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara di Indonesia. Secara konstitusional, berdasarkan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Peraturan Perundang-

undangan di bawah Undang-Undang” yang disebut secara tegas adalah

Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (1).

Eksistensi Peraturan Pemerintah dalam hal ini terkait dengan eksistensi

presiden sebagai kepala pemerintahan yang memegang kekuasaan

pemerintahan berdasarkan Pasal 4 ayat (1). Namun demikian, dalam

melaksanakan kekuasaan pemerintahan, selain Peraturan Pemerintah juga

diperlukan berbagai peraturan lainnya, terutama terkait dengan upaya untuk

memberdayakan berbagai daerah otonom. Terkait dengan hal ini, berdasarkan

Pasal 18 ayat (6) dikenal adanya suatu peraturan daerah.

Produk Peraturan Perundang-undangan pada hakekatnya diperlukan

secara mutlak. Oleh karena itu perlu diadakan berbagai Peraturan Perundang-

undangan sebagain instrument dalam menjalankan roda-roda pemerintahan

serta kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana berdasarkan Undang-

Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang selain peraturan

pemerintah (PP) adalah peraturan presiden (Perpres) dan peraturan daerah

(Perda) terkait dengan eksistensi pemerintahan daerah, yang oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberikan keleluasaan

Page 139: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

139

untuk menyelenggarakan otonomi daerah, sebagaimana diungkapkan oleh

Widjaja88

yang menegaskan bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

menyelenggarakan otonomi daerah.

Terkait dengan eksistensi pemerintahan daerah pada dasarnya tengah

diupayakan suatu penguatan daerah melalui penajaman desentralisasi, di mana

menurut Mardiasmo89

, secara teoritis desentralisasi ini diharapkan akan

menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu:

a. Mendorong peningkatan, partisipasi, prakarsa dan kreatifitas

masyarakat dalam pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan

memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-

masing daerah.

b. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran

pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling

rendah yang memilki informasi yang paling lengkap.

Selanjutnya khusus bagi Peraturan Perundang-undangan di bawah

Undang-Undang, yang terdiri dari peraturan pemerintah (PP), peraturan

presiden (Perpres) dan peraturan daerah (Perda), berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 7 ayat

(1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

88

HAW Widjaja, 2007, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangka

Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PT. Rajagrafindo Persada,

Jakarta, hal. 36. 89

Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen keuangan daerah, Penerbit Andi,

Yogyakarta, hal. 6

Page 140: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

140

undangan akan dapat dipahami bahwa untuk masing-masing Peraturan

Perundang-undangan dimaksud memilki urutan sebagai berikut:

1. Peraturan Pemerintah;

2. Peraturan Presiden;

3. Peraturan Daerah.

Sedangkan di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan memberi urutan atas perda itu sendiri dengan berurut mulai

dari Perda Provinsi selanjutnya Perda Kabupaten/Kota.

Dari berbagai paparan tersebut di atas, akan dapat dipahami bahwa urut-

urutan Peraturan Perundang-undangan dalam hierarki atau tata urutan perundang-

undangan di Indonesia secara konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang;

3. Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dimana sesuai

tingkatannya masing-masing terdiri dari:

a. Peraturan Pemerintah

b. Peraturan Presiden

c. Peraturan Daerah

Selanjutnya kembali pada penelitian terhadap pembatalan peraturan

daerah itu sendiri, sebagaimana yang telah teruraikan pada bagian terdahulu

Page 141: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

141

juga dilakukan analisis terhadap eksistensi peraturan daerah melalui berbagai

unsur atau elemen obyektif peraturan daerah itu sendiri, yaitu bentuknya,

proses pembentukannya, pihak yang memiliki kewenangan pembentukannya,

serta isi, materi atau substansi peraturan daerah.

Dari hasil analisis terhadap berbagai unsur atau elemen obyektif

peraturan daerah dimaksud, diketahui bahwa apabila ditinjau dari bentuk,

proses pembentukan, serta pihak yang memiliki kewenangan pembentukannya

maka peraturan daerah merupakan suatu Peraturan Perundang-undangan yang

termasuk dalam hierarki atau tata uutan Peraturan perundang-undangan yang

secara tegas menunjukkan walaupun peraturan daerah adalah produk hukum

pemerintahan daerah namun tetap termasuk didalam hierarki Peraturan

Perundangan, hal tersebut membuktikan bahwa adanya penyelenggaraan

pemerintahan di daerah, dengan tetap berpegang pada asas otonomi dan tugas

pembantuan.

Penyelenggaraan pemerintahan didaerah juga melibatkan para aparatur

pemerintah daerah, baik kepala daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat

daerah, selaku penyelenggara pemerintahan daerah, sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, yaitu sebagai berikut:

“Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan oleh

pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945”

Page 142: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

142

Selanjutnya dalam ayat berikutnya menyebutkan: “Pemerintah daerah

adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah”.Dan lebih tegas lagi diatur dalam Bab IV

tentang Penyelenggaraan Pemerintahan pada Pasal 19 ayat (2) bahwa:

“Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD”.

Tugas dari penyelenggara pemerintah daerah atau dapat disebut lembaga

eksekutif di tingkat daerah yaitu kepala daerah dan DPRD, adalah menetapkan

peraturan daerah, atau lebih jelas lagi di atur dalam Pasal 136 (1) UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu “ Perda ditetapkan oleh

kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”. Walaupun

ditingkat pusat bahwa DPR adalah merupakan suatu lembaga legislatif, namun

di tingkat daerah DPRD merupakan suatu lembaga eksekutif atau

penyelenggara pemerintahan.

Konsep otonomi daerah membawa serta implikasi praktis terdapatnya

pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah. Otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

menjadi tuntutatn sejarah yang telah dilaksanakan secara yuridis dengan

pembagian wilayah NKRI sebagai suatu entitas hukum yang terus perlu

dikembangkan.

Konsep hukum otonomi daerah dengan segala urusan pemerintahan

daerah dijalankan oleh penyelenggara pemerintah daerah terutama oleh

Page 143: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

143

Kepala daerah. Pemerintahan daerah menjadi memiliki dimensi hukum yang

terbagi secara berjenjang dalam kerangka otonomi daerah. Pasal 3 Undang-

Undang No.. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan

bahwa:

(1) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)

adalah:

a. Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah

provinsi dan DPRD provinsi;

b. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah

daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.

(2) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas

kepala daerah dan perangkat daerah.

Urusan keuangan daerah yang dirumuskan melalui APBD yang

dijalankan oleh Kepala Daerah tentu tidak lepas dari urusan pemerintahan

yang diserahkan oleh pemerintah berdasarkan perangkat hukum. Pembagian

urusan pemerintahan sebagai implementasi otonomi daerah diatur dalam Pasal

10 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai berikut:

(1) Pemerintahan daerah menyeloenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah;

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi

dan tugas pembantuan;

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Politik luar negeri;

b. Pertahanan;

c. Keamanan;

d. Yustisi;

e. Moneter dan fiskal nasional; dan

f. Agama.

Page 144: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

144

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri atau

dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat

pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan

kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.

(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di

luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 93),

pemerintah dapat:

(a) Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

(b) Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur

selakuy wakil pemerintah; atau

(c) Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah

dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Ketentuan tersebut menandaskan bahwa penyelenggaraan otonomi

daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan Kepala Daerah tetap sebatas

pada urusan pemerintahan yang diberikan kepada Kepala Daerah. Kepala

Daerah hanya bertindak sesuai dengan kewenangan yang memang diberikan

oleh Peraturan Perundang-undangan, termasuk dibidang pengelolaan

keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Secara lebih rinci

Pasal 11 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan

batas tentang kriteria implementasi urusan pemerintahan, yaitu:

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bagi berdasarkan kriteria

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan

keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

(2) Penyelenggara urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) merupakan pelaksanaan, hubungan kewenangan antara pemerintah

dengan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar

pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis

sebagai satu sistem pemerintahan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah,

yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Page 145: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

145

(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang, bersifat wajib yang

berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara

bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut secara hukum dilakukan

oleh pemerintah daerah dengan disertai kelengkapan pendukung yang regulasi

yuridis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah:

(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan

sumber pendanaan , pengalihan sarana dan prasarana, serta

kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.

(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai

dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.

Pengaturan ini menegaskan bahwa pemerintahan pusat tidak dapat serta

merta memberikan pelimpahan urusan kepada pemerintah daerah untuk

dijalankan oleh Kepala Daerah termasuk dalam pengelolaan keuangan daerah

tanpa ada dukungan administratif dan finansial. Apa yang menjadi tugas dan dan

wewenang kepala daerah secara umum sesuangguhnya tidak boleh lepas dari

koridor yang ditentukan oleh urusan yang digariskan dalam UU No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tugas dan wewenang Kepala daerah

menjadi sangat ditentukan serta mempengaruhi jalannya penyelenggaraan

otonomi daerah diwilayahnya. .

Dari uraian-uraian di atas telah jelas bahwa eksistensi, bentuk serta pihak

yang berwenang dalam pembentukan peraturan daerah sebagaimana yang telah

dibahas dalam analisa bab sebelumnya telah menjabarkan sangat jelas mengenai

Page 146: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

146

perda tersebut, selanjutnya terkait pada pembatalan peraturan daerah, juga telah

dipaparkan pada bab terdahulu dengan merujuk pada suatu sistem pemerintahan,

sehingga menemukan solusi bahwa peraturan daerah yang telah dibatalkan

melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah. Selanjutnya seperti

pada judul Bab IV, terkait akibat hukum dari perda yang telah dibatalkan tersebut,

Hasil analisa tersebut juga memberikan suatu pemahaman bahwa

kedudukan hukum peraturan daerah yang termasuk dalam hierarki Peraturan

Perundang-undangan, dimana mekanisme peraturan daerah, baik penetapan

maupun pembatalannya oleh kepala daerah dan DPRD, merujuk atau sebagaimana

yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Selanjutnya pengaturan yang juga mengatur mekanisme peraturan daerah terkait

pembatalannya yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri yang merujuk pada

Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,

dari kedua isi peraturan yang termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-

undangan, baik UU maupun PP terjadi konflik norma, menurut asas lex superior

derogate legi inferiori menurut asas ini, apabila terjadi pertentangan antara

Peraturan Perundang-undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan yang

lebih tinggi, Peraturan Perundang-undangan yang hierarkisnya lebih rendah

disisihkan.

Terkait hal tersebut di atas, maka dari analisa adanya solusi bahwa

mekanisme pembatalan peraturan daerah yang dilakukan melalui Keputusan

Menteri Dalam Negeri sebagaimana yang diatur dalam PP No. 58 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, adalah tidak sah. Keabsahan dari

Page 147: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

147

pembatalan peraturan daerah yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri setelah

dinyatakan tidak sah, maka akibat hukum dari peraturan daerah yang telah

dibatalkan tersebut akan merujuk dengan menganalisa lembaga yang menguji

peraturan perundang-undangan tersebut.

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa lembaga yang memiliki

kewenangan untuk menguji berbagai produk Peraturan Perundang-undangan

dibawah Undang-Undang ini adalah Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24 A

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 Mekanisme pengujian terhadap peraturan daerah

tidak berbeda dengan mekanisme pengujian Peraturan Perundang-undangan

lainnya dibawah UU, yang secara rinci telah dijabarkan dalam Undang-Undang

Republik Indonesia No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana

telah diubah dengan UU Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 tentang

Mahkamah Agung. Mengacu pada Pasal 31 A UU dimaksud akan dapat dipahami

bahwa mekanisme pengujian peraturan daerah dilakukan dengan tata cara sebagai

berikut:

1. Permohonan pengujian diajukan langsung oleh pemohon atau

kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara tertulis dalam

Bahasa Indonesia;

2. Permohonan tersebut di atas sekurang-kurangnya harus memuat:

a. Nama dan alamat pemohon;

b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan

wajib menguraikan dengan jelas bahwa :

1) Materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian peraturan

perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau

2) Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi

ketentuan yang berlaku.

c. Hal-hal yang diminta untuk dihapus.

Page 148: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

148

3. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau

permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan

permohonan tidak diterima;

4. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan

beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan;

5. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada angka

(5), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,

dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

6. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak

bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan

permohonan ditolak.

Berbagai paparan tesebut di atas, memberi pemahaman bahwa suatu

peraturan daerah yang dibatalkan melalui keputusan Menteri Dalam Negeri selain

tidak sah, karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka

menimbulkan akibat hukum terhadap peraturan daerah yang telah dibatalkan

tersebut, oleh karena itu maka diajukan kepada lembaga yang berwenang untuk

menguji produk peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan

daerah.

Hasil dari pengujian terhadap peraturan daerah tersebut menimbulkan

akibat hukum terhadap peraturan daerah tersebut. Sebelum melihat solusi atau

akibat hukum yang ditimbulkan, maka selanjutnya kajiannya diarahkan kepada

asas-asas Peraturan Perundang-undangan yang baik, asas-asas ini baik dipahami

dalam menyusun suatu Peraturan Perundang-undangan. Sebagaimana pendapat

dari I.C.Van Der Vlies90

dalam bukunya yang berjudul “Het wetbegsrip en

90

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Badan Standardisasi Nasional

(BSN), http://jdih.bsn.go.id, Tanggal 30/September/2011

Page 149: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

149

beginselen van behoorlijke regelgeving” membagi asas-asas dalam pembentukan

peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam

asas-asas yang formal dan materiil. Asas-asas yang formal meliputi:

1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);

2. Asas organ atau lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);

3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkeheids beginsel);

4. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);

5. Asas konsensus (het beginsel van consensus).

Adapun asas-asas yang bersifat material meliputi:

1. Asas tentang terminology dan sistematika yang benar;

2. Asas tentang dapat dikenali;

3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum;

4. Asas kepastian hukum;

5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual;

Selanjutnya Hamid S. Atamimi91

berpendapat, bahwa pembentukan

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang patut adalah sebagai berikut:

1. Cita hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang berlaku

sebagai “Bintang Pemandu”.

2. Asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan undang-undang

sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum,

dan asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan

undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-

kegiatan pemerintahan.

3. Asas-Asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum yang

menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas

berada dalam keutamaan hukum dan asas-asas pemerintahan berdasar

sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan

batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.

91

Ibid, tanggal 30/September/2011

Page 150: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

150

Asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang patut itu meliputi

juga:

1. Asas tujuan yang jelas;

2. Asas perlunya pengaturan;

3. Asas organ.lembaga materi muatan yang tepat;

4. Asas dapatnya dilaksanakan;

5. Asas dapatnya dikenali;

6. Asas perlakuan yang sama dalam hukum;

7. Asas kepastian hukum;

8. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.

Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas

yang material, maka A Hamid Atamimi cenderung untuk membagi asas-asas

pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam:

a. Asas formal dengan perincian:

(1) Asas tujuan yang jelas;

(2) Asas perlunya pengaturan;

(3) Asas organ/lembaga yang tepat;

(4) Asas materi muatan yang tepat;

(5) Asas dapatnya dilaksanakan;

(6) Dan asas yang dapatnya dikenali.

b. Asas-asas material dengan perincian:

1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia;

2. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;

3. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum

dan;

4. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem

konstitusi.

Asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik juga

dirumuskan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12

Page 151: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

151

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , khususnya

pada Pasal 5 dan Pasal 6 meliputi:

Pasal 5:

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada

asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang, yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ dan materi muatan;

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

Selanjutnya Penjelasan dari Pasal 5 adalah:

Huruf a

Yang dimaksud dengan “Kejelasan tujuan: adalah bahwa setiap Pembentukan

peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang

hendak dicapai.

Huruf b

Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang

tepat” adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat

oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang

berwenang. Peraturan perundang0undangan tersebut dapat dibatalkan atau

batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak

berwenang.

Huruf c

Yang dimaksud dengan asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan”

adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus

benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan

perundang-undangannya.

Huruf d

Yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan

efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik

secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

Page 152: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

152

Huruf e

Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah

bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

Huruf f

Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap

peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan peraturan perundang-undangan. Sistimatika dan pilihan kata

atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti,

sehingga tidak menimbulkan berbagai maca interpretasi dalam

pelaksanaannya.

Huruf g

Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan: adalah bahwa dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,

persiapan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan

demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-

luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 6

(1) Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas:

a. Pengayoman;

b. Kemanusiaan;

c. Kebangsaan;

d. Kekeluargaan;

e. Kenusantaraan;

f. Bhineka Tunggal Ika;

g. Keadilan;

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau;

j. Keseimbangan, Keserasian, dan keselarasan.

(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan perundang-

undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Page 153: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

153

Selanjutnya penjelasan dari Pasal 6 adalah:

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap materi

muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan

perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi

muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan

penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga

negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa

Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip

Negara Kesatuan Rapublik Indonesia.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap materi

muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah

untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap materi

muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan

perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem

hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas bhineka tunggal ika” adalah bahwa materi

muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman

penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah dan budaya

khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Page 154: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

154

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan

latar belakang, antara lain agama, suku, ras,golongan, gender atau status

sosial.

Huruf i

Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa

setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat

menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian

hukum.

Huruf j

Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan”

adalah bahsetiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

mencerminkan keseimbangan, keserasian, keselarasan antara kepentingan

individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:

a. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukum tanpa

kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian antara lain,

asas kesepakatan, kebebasan berkontrak dan itikad baik.

Berdasarkan pada pemaparan-pemaparan para pakar hukum serta isi Pasal

5 dan 6 serta penjelasannya pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut, terutama didalam

penjelasan Pasal 5 huruf b yang mengacu pada asas “kelembagaan atau organ

pembentuk yang tepat”. Apabila salah satu dari asas tersebut tidak terpenuhi

Page 155: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

155

maka suatu hasil dari peraturan perundang-undangan yang diajukan pada lembaga

yang berwenang untuk menetapkan, mengubah dan/atau menguji peraturan

perundang-undangan tersebut, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut

dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Perihal suatu Peraturan Perundang-undangan yang batal demi hukum dan

dapat dibatalkan sebagaiman uraian pada penjelasan Pasal 5 huruf b, terkait

dengan “asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat”, maka jika suatu

Peraturan Perundang-undangan dalam mekanisme pengujiannya tidak memenuhi

asas tersebut, maka batal demi hukum atau dapat dibatalkan jika suatu Peraturan

Perundang-undangan tersebut dibuat oleh lembaga yang tidak berwenang, dengan

adanya suatu upaya hukum, dengan mengacu pada Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam hal lembaga yang berwenang untuk menguji suatu Peraturan

Perundang-undangan, untuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun

1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan Undang-Undang (UU) lembaga yang

berwenang untuk menguji suatu Peraturan Perundang-undangan adalah

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 A ayat (1),

sedangkan Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang yaitu

Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden Perpres) dan Peraturan Daerah

(Perda), yang menguji adalah Mahkamah Agung (MA), sebagaimana yang diatur

oleh dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Page 156: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

156

4.1.2.Perspektif Isi, Muatan, atau Materi

Kajian terhadap kedudukan hukum peraturan daerah terkait dengan

bentuk, proses pembentukannya, serta pihak yang memiliki kewenangan

pembentukannya, telah memberikan suatu jawaban bahwa pengujiann terhadap

Peraturan Daerah harus dilakukan melalui Mahkamah Agung. Selanjutnya terkait

dengan kajian pembatalan peraturan daerah melalui keputusan Menteri Dalam

negeri , maka sebelumnya kajian tersebut ditinjau melalui perspektif isi, materi

atau muatan peraturan daerah dan selanjutnya akan dijabarkan secara lebih rinci.

Isi dari suatu Peraturan Perundang-undangan memegang peranan yang

sangat penting bagi efektifitas keberlakuan produk hukum tersebut. Dengan

demikian, isi atau substansi suatu Peraturan Perundang-undangan harus mampu

bersifat efektif sehingga mencapai tujuan utama sebagai suatu alat perubah atau

alat kontrol sosial, begitupun halnya dengan Peraturan Perundang-undnagan

dalam hal ini adalah peraturan daerah.

Dengan demikian pengaturan hukum dalam pembahasan ini jelas harus

memadukan antara keputusan pemerintah (negara) dan kepentingan masyarakat.

Dengan materi yang seperti ini, maka pembentukan hukum suatu peraturan

perundang-undangan yang berupa peraturan daerah memiliki landasan hukum

dan menjamin terciptanya ketertiban sesuai dengan kajian mengenai peraturan

daerah tentang APBD, maka mewujudkan ketertiban tata kelola keuangan yang

terdapat pada peraturan APBD.

Page 157: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

157

Tentunya dalam suatu peraturan daerah tentang APBD tidak diinginkan

satu kondisi penataan keuangan yang bekerja tanpa hukum, sebagaimana

pandangan dari R.C. Allickson dalam Akmal Boedianto 92

, didalam buku R.C.

Alickson yang berjudul “Order Without Law”, bahwa” norma hukum harus

menjadi identitas setiap perilaku secara substantif”. Hal tersebut berlaku juga

dalam pelaksanaan pembentukan peraturan daerah. Dapat disebutkan bahwa

keberadaan hukum menjadi sesuatu yang sangat substansial secara teoritik

terutama dalam pembentukan peraturan daerah tentang APBD, dimana merujuk

pada isi, muatan atau materi dari peraturan daerah tentang APBD tersebut. Hal

tersebut juga sejalan dengan konsep universal tentang ketertiban hukum yang

etis, sebagaimana yang dikutip O. Notohamidjojo dalam Akmal boedianto93

.

Pengaturan hukum mengenai APBD secara teoritik memang harus didasarkan

pada suatu pandangan bahwa hukum juga memiliki unsure etis. Unsur etis dalam

hukum memberikan pemahaman bahwa hukum mempunyai sasaran yang hendak

dicapai atau untuk tujuan akhir menuju kepada keadilan, justitia dalam lingkup

“provide justice”. Hal ini merupakan landasan dasar dari pengembangan

pembentukan peraturan daerah mengenai APBD sesuai konsepsi keilmuan

hukum.

Dalam konteks demikianlah jelas dapat dipahami bahwa pembentukan

peraturan daerah tentang APBD baik isi, materi atau muatan, juga suatu proses

92

Akmal Boedianto, 2002, Hukum Pemerintahan Daerah: Pembentukan Perda APBD

Partisipatif, Laksbang Pressindo, Yokyakarta, hal. 26

93

Ibid , hal. 26

Page 158: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

158

hukum yang seharusnya berkekuatan normatif, etis dan partisipatif. Suatu bentuk

pengaturan tersebut diharapkan akan mampu memberikan kejelasan norma

hukum dan sikap agar tidak multi-interpretasi.

Selanjutnya terkait pada isi, materi ataupun muatan dari peraturan daerah

tersebut, maka dalam suatu penelitian dengan pendekatan peraturan perundang-

undangan, yang dilihat bukan hanya bentuk peraturan perundang-undangannya

saja, melainkan juga menelaah materi muatannya, dengan mempelajari dasar

ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang dan ratio

logis dari ketentuan undang-undang, termasuk regulasi dari undang-undang atau

peraturan perundang-undangan tersebut.

Untuk memahami dasar ontologis dari suatu peraturan perundang-

undangan. Hal ini dapat diperoleh dari kementerian negara atau lembaga yang

mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut. Di kementerian

atau lembaga yang mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan

tersebut seyogianya masih tersimpan Naskah Akademis yang menyertai

rancangan peraturan perundang-undangan tersebut. Di dalam Naskah akademis

termuat mengapa kementerian atau lembaga itu mengajukan rancangan peraturan

perundang-undangan tersebut. Di situ akan terungkap kebutuhan akan hadirnya

peraturan perundangan tersebut. Selanjutnya di dalam Naskah Akademis akan

dimuat landasan filosofis mengapa Peraturan Perundang-undangan itu

diperlukan.

Page 159: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

159

Secara filosofis dimasukkannya Peraturan Perundang-undangan ke dalam

Lembaran Negara berlaku bagi peraturan Perundang-undangan tertentu yang

sudah menjadi norma atau Undang-Undang (UU), yakni peraturan yang telah

memuat secara tegas tentang kewajiban dan larangan yang disertai sanksi hukum

dan ditentukan keharusan penempatannya di dalam Lembaran Negara oleh UU.94

Sedangkan untuk ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan dari

peraturan perundang-undangan, mengenai alasan mengapa ada ketentuan

tersebut.

Analisis terhadap isi, substansi ataupun materi yang diikuti dengan

paparan mengenai pembentukan hukum peraturan daerah tentang APBD serta

pendekatan-pendekatan perundang-undangan yang dilakuakan dalam melakukan

suatu penelitian, dalam hal ini terkait dengan dasar ontologis, filosofis maupun

ratio logis suatu pembentukan peraturan perundang-undangan, yang sekaligus

mempengaruhi isi, materi serta muatan dari peraturan daerah tentang APBD

tersebut.

Terkait paparan tersebut dengan tetap melihat lembaga yang berwenang

dalam menetapkan, mengubah atau menguji suatu peraturan perundang-

undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah, maka jika dikaitkan dengan

pembatalan peraturan daerah yang dilakukan melalui keputusan Meneteri Dalam

negeri sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dimana telah

mendapakan suatu solusi bahwa peraturan daerah tersebut adalah tidak sah, serta

akibat hukum dari peraturan daerah yang telah dibatalkan tersebut menyatakan

94

Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum tata Negara, PT. RajaGrafindo Persada, hal. 44

Page 160: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

160

bahwa perda tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan dengan mengacu

pada asas yang diatur dalam Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian telah diganti

dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Sebagaimana di dalam penjelasan Pasal 5 huruf b tersebut yang

menyatakan suatu peraturan perundang-undangan dapat batal demi hukum atau

dapat dibatalkan jika Peraturan Perundang-undangan tersebut di buat oleh

lembaga yang tidak berwenang.

Selanjutnya dalam memahami hal tersebut, maka jika dilihat dari

perspektif peraturan daerah, dari isi, materi maupun muatannya secara filosofis,

dengan melihat mengapa suatu peraturan daerah tentang APBD tersebut

dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, oleh karena itu harus

disesuaikan dengan prinsip a contrario actus dimana menunjukkan bahwa suatu

produk hukum yang dibuat, maka produk hukum itu pula yang membatalkan atau

mencabut. Hal ini disebabkan karena untuk mengubah suatu Peraturan

Perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah haruslah dengan

peraturan daerah itu pula, sesuai dengan prinsip atau asas a contrario actus, yang

berlaku universal dalam ilmu hukum, yang menegaskan bahwa pembatalan suatu

tindakan hukum harus dilakukan menurut cara dan oleh badan yang sama dalam

pembentukannya95

95

Prinsip a contrario actus ini sering digunakan sebagai dasar pijakan atau dasar

pertimbangan dalam memutus perkara permohonan pengujian di Mahkamah Konstitusi, di

antaranya dalam Putusan Perkara Nomor: 004/SKLN-IV/2006

Page 161: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

161

Dalam hal pembentukan peraturan daerah sebagaimana yang telah

ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga

sebagaimana yang telah dipaparkan pada uraian-uraian sebelumnya, bahwa

peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan

bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagai suatu lembaga

eksekutif atau lembaga penyelenggara pemerintahan, walaupun DPRD juga

disebut lembaga legislatif sebagaimana lembaga legislatif di tingkat pusat untuk

DPR, namun jika berdasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah bahwa DPRD adalah termasuk lembaga penyelenggara

pemerintahan atau eksekutif, oleh karenaya berdasarkan prinsip a contrario actus,

maka yang melakukan pembatalan adalah pada produk hukumnya dengan

melihat figur hukumnya dalam hal ini dibatalkan melalui peraturan daerah.

Temuan ini tetap menjadi suatu solusi, walaupun pada bab sebelumnya

bahwa konflik norma yang terjadi tersebut berdasarkan asas lex superior derogat

legi inferiori, jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang hierarkinya lebih

rendah dengan Peraturan Perundang-undangan yang hierarkinya lebih tinggi

terjadi konflik, maka Peraturan Perundang-undangan yang hierarkinya lebih

rendah disisihkan. Lebih jelas lagi konflik norma antara PP No. 58 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur bahwa pembatalan

peraturan daerah melalui Keputusan Menteri dalam Negeri dengan Undang-

Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana mengatur

pembatalan daerah melalui Peraturan Presiden, maka yang disisihkan adalah PP

No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur bahwa

Page 162: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

162

pembatalan peraturan daerah dilakukan melalui Keputusan Menteri dalam negeri.

Namun untuk adanya suatu temuan berdasarkan prinsip a contrario actus, maka

pembatalan peraturan daerah tersebut dilakukan dengan mempergunakan produk

hukum itu sendiri dengan melihat figur hukumnya, yakni penetapan peraturan

daerah, sebagaimana diketahui berdasar UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah suatu produk hukum dari pemerintah daerah dengan

melihat figur hukumnya adalah peraturan daerah.

4.2. Pembahasan Terkait Keabsahan Pembatalan Peraturan Daerah

Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Dengan Berdasar Pada Asas

A contrario Actus

Pencanangan otonomi daerah tidak dapat berhasil begitu saja tanpa peran

penting penyelenggara pemerintahannya dalam hal ini adalah Kepala Daerah

dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta perangkat daerah dan

masyarakatnya untuk bekerja keras, terampil, dsiplin dan berperilaku dan atau

sesuai dengan nilai, norma dan moral, sebagaimana yang telah diatur secara jelas

didalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah pusat kepada daerah otonom. Otonomi daerah adalah kewenangan

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

Pendelegasian kewenangan politik, pendelegasian kewenangan urusan daerah,

Page 163: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

163

pendelegasian kewenangan urusan daerah, pendelegasian kewenangan

pengelolaan kewenangan.

Substansi kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang

pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang pertahanan dan keamanan, ,

peradilan, moneter dan fiskal, serta agama dan kewenangan bidang lain,

sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) yang menegaskan bahwa

terdapat beberapa urusan yang tidak dapat diselenggarakan oleh Pemerintah

Daerah, melainkan harus diselenggarakana oleh Pemerintah Pusat. Adapun

berbagai urusan pemerintahan yang tidak dapat diselenggarakan oleh Pemerintah

Daerah dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Politik luar negeri;

b. Pertahanan;

c. Keamanan;

d. Yustisi;

e. Moneter dan fiskal nasional; dan

f. Agama.

Sebelumnya pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah

ditegaskan bahwa:

a. Kewenangan daerah kabupaten/kota mencakup semua kewenangan yang

dikecualikan Pasal 7 dan yang diatur Pasal 9.

b. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan

daerah kota kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan

kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri, dan perdagangan,

penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga

kerja.

Page 164: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

164

Perihal keuangan daerah yang termasuk kewenangan pemerintahan daerah

dituangkan dalam suatu bentuk produk hukum dalam hal ini mengenai Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, sebagaimana yang

tercantum didalam Pasal 1 angka (14), menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan

Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah

yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

Terkait penetapan peraturan daerah tentang APBD, serta mekanisme

pembatalannya sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberi kewenangan pada

pemerintah dalam hal pembatalan peraturan daerah melalui Peraturan Presiden.

Pada Uraian bab sebelumnya telah mengurai bahwa telah terjadi suatu konflik

norma yang mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah tentang APBD,

dan dengan berdasar pada asas preferensi yakni lex superior derogate inferiori,

maka Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah

yang dipergunakan dalam mekanisme pembatalan peraturan daerah.

Setelah adanya penelusuran-penelusuran terhadap peraturan daerah yang

telah dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, dengan melihat suatu

sistem pemerintahan di Indonesia dimana adanya pendelegasian suatu

kewenangan, namun ternyata dalam peraturan daerah yang telah dibatalkan

tersebut tidak terlihat adanya suatu pendelegasian kewenangan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan atau dapat terjawab bahwa

perda yang telah dibatalkan tersebut adalah tidak sah.

Page 165: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

165

Upaya untuk mengkaji keabsahan suatu Peraturan Perundang-undangan

secara tidak langsung akan mengarah pada penggunaan suatu asas dalam ilmu

hukum, yaitu asas legalitas, di mana dalam asas tersebut mencanangkan suatu hal

tertentu, yang menurut pendapat Indroharto96

disebutkan bahwa:

Asas legalitas mencanangkan bahwa, tanpa adanya dasar wewenang yang

diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka

segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat

mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga

masyarakatnya, Ini berarti setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan

kebijaksanaan dan tindakan hukum Tata Usaha Negara (TUN), baik

mengenai bentuk dari tindakan-tindakan hukum demikian itu serta isi

hubungan hukum yang diciptakan olehnya harus ada dasar atau sumbernya

pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan

(hukum tertulis).

Pelaksanaan asas legalitas tersebut menunjang berlakunya kepastian

hukum, sebab tindakan hukum pemerintahan itu hanya dapat dimungkinkan kalau

ada pengaturannya dalam undang-undang. Selain asas legalitas, maka suatu dasar

wewenang juga di atur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik

Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan

urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya

menurut Indroharto97

yang dimaksudkan dengan ketentuan itu adalah:

1. Dalam kata “berdasarkan” pada rumusan itu yang dimaksudkan adalah,

bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh para

Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) itu harus ada dasarnya

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; karena hanya

96

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Pustaka Sinar harapan, hal. 83 97

Ibid, hal. 81

Page 166: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

166

peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut sajalah yang

memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang

mereka laksanakan;

2. Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan, bahwa wewenang Badan

atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) untuk melaksanakan suatu bidang

urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan

oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

3. Kedua makna tersebut pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan

dari berlakunya ide (cita) negara hukum dalam negara kita.

Berdasar pada asas legalitas dan maksud dari isi Pasal 1 ayat (2) Undang-

Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, memberikan suatu dasar dari keabsahan suatu peraturan perundang-

undangan terkait dengan wewenang pembuat peraturan perundang-undangan

tersebut, begitu pula halnya dengan peraturan daerah yang telah dibatalkan

melalui keputusan Menteri dalam negeri, bahwa dasar wewenang yang dimiliki

Menteri Dalam Negeri adalah tidak tepat, karena walaupun diatur dalam PP No.

58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah namun telah diatur dalam

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengenai

mekanisme pembatalan peraturan daerah dilakukan melalui pemerintah melalui

peraturan Presiden. Selain hal tersebut di dalam peraturan daerah yang telah

dibatalkan setelah dilakukan pemeriksaan tidak terdapat adanya pendelegasian

wewenang antara Presiden kepada Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya kembali terkait pada keabsahan tindakan pemerintah dalam

membuat suatu peraturan perundang-undangan, pada hakekatnya menurut

Page 167: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

167

Philipus M. Hadjon 98

ada 3 (tiga) unsur utama dalam melihat keabsahan tindakan

pemerintah dalam pembuatan suatu Peraturan Perundang-undangan, yakni:

wewenang, prosedur, substansi sebagaimana telah dipaparkan pada bab

sebelumnya.

Selanjutnya pada peraturan daerah yang telah dibatalkan oleh Menteri

Dalam Negeri tersebut menimbulkan akibat hukum, peraturan daerah tersebut

dapat dibatalkan atau batal demi hukum sebagaimana yang telah diatur dalam

Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan pada Pasal 5, terkait pada asasnya, sebagaimana yang telah dipaparkan

pada uraian sebelumnya.

Akibat hukum yang diperoleh setelah dilakukan pengujian terhadap

Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah yang telah

dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut dengan diajukan

melalui Mahkamah Agung selaku penguji Peraturan Perundang-undangan

dibawah Undang-Undang (UU), maka dinyatakan peraturan daerah tersebut batal

demi hukum atau dapat dibatalkan.

Apabila dilihat dari perspektif penetapan peraturan daerah, yang

merupakan kewenangan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD), dan mekanisme pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah melalui

Peraturan Presiden, berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selanjutnya terjadi konflik dimana

98

Philipus M. Hadjon. Beleidsvrijheid dan Tanggung Jawab Pejabat pemerintah.

www.appsi-online.com, 1/10/2011.

Page 168: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

168

ada peraturan perundang-undangan lainnya yang juga mengatur mekanisme

pembatalan peraturan daerah yaitu Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005

tentang Pengelolan Keuangan Daerah, maka secara filosofis kajian pengaturan

tersebut mesti lebih ditelaah kembali, oleh karena itu walaupun sesuai dengan asas

preferensi yakni lex superior derogae legi inferiori dimana peraturan perundanga-

undangan yang lebih rendah yakni Peraturan Pemerintah (PP) disisihkan dan

mengedepankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkinya yani

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Maka apabila

terkait dengan prinsip atau asas a contrario actus, dinyatakan badan yang yang

berwenang melakukan tindakan hukum dalam hal pembentukannya maka badan

yang sama dengan produk hukumnya yang juga membatalkannya.

Perihal dalam suatu persidangan untuk menguji suatu peraturan

perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah dimana pengujiannya

melalui Mahkamah Agung (MA), setelah diputuskan oleh hakim mengenai akibat

hukumnya dan dinyatakan tidak sah, maka pencabutan dari perda tersebut

dilakukan dengan perda , sesuai dengan asas a contrario actus.

Page 169: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

169

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

5.1.1. Pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam

Negeri adalah tidak sah. Hal tersebut disebabkan karena dengan hasil

penelitian yang telah dilakukan tersebut dari hasil telaah yang

bertumpu pada analisa pengkajian dalam pembahasan, terungkap

bahwa Peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan

pemerintahan daerah, yang memberikan pengaturan hukum terhadap

penyusunan peraturan daerah yang merupakan tugas dan wewenang

kepala daerah dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD). Di

dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga

mengatur mengenai mekanisme pembatalan peraturan daerah yang

merupakan kajian dalam penelitian ini, mekanisme tersebut mengatur

bahwa pembatalan peraturan daerah tersebut dilakukan oleh

pemerintah melalui peraturan Presiden, sedangkan ada peraturan

perundang-undangan, yakni Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang juga mengatur mekanisme

pembatalan peraturan daerah, dan pengaturan tersebut berbeda dengan

UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

menimbulkan konflik norma. Konflik norma tersebut menghasilkan

bahwa UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

dijadikan pedoman dalam mekanisme pembatalan peraturan daerah

Page 170: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

170

sebab sesuai dengan azas preferensi, yakni lex superior derogate legi

inferiori, hal tersebut berdasar pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya diganti

dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Daerah yang

berisi juga tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Undang-

Undang tersebut juga mengatur tentang asas-asas yang harus dipenuhi

dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga

memperoleh hasil atau adanya keabsahan dari suatu peraturan

perundang-undangan. Terkait dengan keabsahan suatu peraturan

perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah, maka

dikaji dengan berpegang pada asas legalitas, dan pendapat para pakar

hukum sebagaimana yang telah dikutip. Dengan melihat dasar

kewenangan yang dimiliki Menteri dalam Negeri untuk membatalkan

peraturan daerah, namun setelah dilakukan telaah terhadap penelitian

ini, tidak adanya pendelegasian wewenang, sehingga peraturan daerah

yang dibatalkan melalui keputusan Meneri Dalam Negeri tidak sah.

5.1.2. Didalam rumusan masalah yang kedua bahwa akibat hukum terhadap

peraturan daerah tentang APBD yang dibatalkan melalui Keputusan

Menteri Dalam Negeri adalah dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Dalam menelaah hal tesebut, maka kajian nya mengarah pada lembaga

yang berwenang menguji suatu Peraturan Perundang-undangan dalam hal

ini adalah Mahkamah Agung (MA) berdasarkan Pasal 24 A ayat (1) yang

menyebutkan Mahkamah Agung (MA) berwenang menguji Peraturan

Page 171: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

171

Perundang-undangan dibawah Undang-Undang termasuk peraturan daerah

didalamnya. Pengujian peraturan daerah merupakan suatu pengujian yang

diawali dengan diajukannya permohonan atau uji materi, Dalam hal ini

akan memberikan temuan bahwa akibat hukum peraturan daerah tersebut

adalah batal demi hukum atau dapat dibatalkan berdasarkan asas-asas

hukum yang diatur dalam Undang-Undang No, 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudin telah diganti

dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan , dimana Menteri Dalam Negeri tidak memiliki

kewenangan untuk membatalkan, Secara filosofis, suatu pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, dengan memakai atau berdasar asas a

contrario actus, yang menyebutkan suatu pembatalan tindakan hukum

harus dilakukan menurut cara dan oleh badan yang sama dalam

pembentukannya. Dengan kata lain perda dibatalkan dengan perda.

5.2. Saran

5.2.1. Agar dalam suatu pembuatan Peraturan Perundang-yang baik maka

prosedur pembentukan Peraturan Perundang-undangan memiliki suatu

naskah akademik. Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004

yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didalam Pasal 5 terkait pada

asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas

kelembagaan, agar kalimat yang menegaskan pada “batal demi hukum” dan

Page 172: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

172

“dapat dibatalkan” dapat diperinci secara jelas didalam penjelasan Pasal

tersebut, sehingga tidak terjadi suatu ketimpangan dalam menafsirkan isi

Pasal dari suatu UU. Selanjutnya Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan tersebut harus di susun berdasarkan asas-asas umum

pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dengan

menuangkan prinsip-prinsip baik pembentukannya maupun mekanisme

pembatalannya, sehingga tidak terjadi pembatalan peraturan daerah yang

dilakukan oleh lembaga yang tidak berwenang, kalaupun ada maka harus

diatur secara jelas adanya pendelegasin kewenangan, sehingga suatu

peraturan daerah dapat diuji keabsahannya.

5.2.1. Dalam hal pencabutan suatu perda seyogianya didasarkan atas asas a

contrario actus yang artinya pejabat yang mencabut adalah juga juga

pejabat yang membentuknya, dalam hal ini perda dicabut dengan perda.

Page 173: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

173

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Literatur

Ali, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Pertama, Chandra Pratama,

Jakarta.

_______, 1999, Pengadilan Dan Masyarakat, Cetakan Pertama, Lembaga

Penerbitan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

_______, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Cetakan Pertama,

PT Yarsif Watampone, Jakarta

Ali, Faried, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

_______, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

_______, 2005, Redefinisi Administrasi Dalam Lintasan Pemikiran Filsafat,

Analisis Alternatif Pencegahan Korupsi Dan Malpraktek Administrasi

Serta Penyakit birokrasi, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap

Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Hasanuddin Makassar

Amiruddin dan Azikin H Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Amos, Abraham, 2008, Legal Opinion, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimmly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan

Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

_______, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Boedianto, Akmal, 2010, Hukum PemerintahanDaerah, Cetakan Kedua, Penerbit

Laksbang Pressindo, Yogyakarta.

Bruggink, J.J. H, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan Pertama, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Budiardjo, Miriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan

Keempat, PT Gramedia Pustaka Utam, Jakarta

Page 174: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

174

Basah, Sjahran, 1987, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah

Perkembangan, Cetakan III, Penerbit Alumni Bandung.

Cohen.L Morris and Olson. C. Kent, 2000, Legal Research, ST. Paul, Minn

Dirdjosisworo, Sudjono, 1996, Sosiologi Hukum, Edisi ketiga, PT RajaGrafindo

Persada, Jakarta

Farida Indrati, Maria, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1, Jenis, fungsi, dan

Materi Muatan (Dikembangkan dari Perkuliahan Prof.Dr. hamid S

Attamini, SH), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

_______, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 2, Proses dan Teknik

Pembentukannya (Dikembangkan dari Perkuliahan Prof. Dr.A. Hamid S.

Attamini, SH), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Golding, M.P. (Columbia University), Editor, tt, The Nature Of Law, Readings In

Legal Philosophy; Random House, New York.

Gilissen, John dan Gorle, Frits, 2007, Sejarah Hukum Suatu Pengantar

(Historische Inleiding tot het Recht), Cetakan Ketiga, PT Refika Aditama,

Bandung

Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum,

Cetakan ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

_______ dkk, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To

The Indonesian Administrative Law), Cetakan ketiga, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services

Hamidi, Jazim dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi

Pustaka Publisher, Jakarta.

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, Edisi Revisi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum

Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik (General Theory of law

and state), Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta.

_______, 2008, Pengantar Teori Hukum (Pure Theory of Law), Pengantar Stanley

L. Poulson, Penerbit Nusa Media, Bandung.

Page 175: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

175

Llewellyn, K.N, t.t. Law and the ”Behavior Analysis”, In: Golding, M.P.

Columbia University, editor. The Nature Of Law. New York: Random

House.

Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi

Yogyakarta, Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas

Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Mahfud, MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi, Cetakan Pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

_______, 2009, Politik Hukum, Edisi Revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Nasroen, M, 1986, Asal Mula Negara, Cetakan Kedua, Aksara Baru, Jakarta.

Marzuki, Mahmud, Peter, Penelitian Hukum, Cetaka Keenam, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Genta

Publishing, Yogyakarta.

Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta.

Salman, H.R. Otje dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat,

Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT. Refika Aditama, Bandung.

Saraswati, LG, dkk, 2006, Hak Asasi Manusia, Filsafat –UI Press, Cetakan

Pertama, Jakarta

Sidharta, Arief, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum,

Teori hukum, dan Filsafat Hukum( judul buku asli, Van Apeldoorns

dengan judul artikel vilf Stellingen over Rechtsfilosofie), , Refika

Aditama, Bandung.

Siahaan, N.H.T., 2009, Hukum Lingkungan, Cetakan Kedua Edisi Revisi,

Pancuran Alam, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1994, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Cetakan Pertama,

Sinar Grafika, Jakarta.

Page 176: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

176

Soetami, Siti, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan

Keenam, Refika Aditama, Bandung.

Syaukani, Imam & A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT.

Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Keuangan Negara, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,

Jakarta

Salman, otje dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat,

Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Cetakan Keempat, PT. Refika

Aditama, Bandung.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu

Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemantri, Sri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni:

Bandung

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, 1992, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas. PT.

Pradnya Paramita, Jakarta.

Syueb, Sudono, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah: Sejak

Kemerdekaan Sampai era Reformasi, Cetakan Pertama, Laksbang

Mediatama, Surabaya

Strong, C,F, 1966, Modern Political Constitution, The English Languange Book

Society and Sidgwick & Jackson Limited London

Tjandra, Riawan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atna Jaya

Yogyakarta, Yogyakarta.

Tjahjadi, S.P. Lili, 1991, Hukum Moral, Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika

Dan Imperatif Kategoris, Kanisius, Jakarta.

Usfunan, Johanes, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat,

Djambatan, Jakarta.

Usfunan, Johanes, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang

Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis (Orasi

Ilmiah pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam

Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Tanggal 1 Mei 2004), Denpasar.

Page 177: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

177

Utama, Arya I Made, 2007, Hukum Lingkungan, Cetakan Pertama, Penerbit

Pustaka Sutra, Bandung.

Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,

Jakarta.

Wheare, K.C, 1966, Modern Constitution, University Press, Oxford

Widjaja, HAW, 2007, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka

Sosialisasi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PT.

Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Wibawa,Samodra, 1994, Kebijakan Publik: Proses dan Analisis, Jakarta:

Intermedia, Jakarta

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang

Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi

Magister Ilmu Hukum. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program

Pasca Sarjana Universitas Udayana. Denpasar.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.(Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan

Retribusi Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 130).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73)

Page 178: (apbd) di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam

178

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986

Nomor 77)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2005 Nomor 140).

C. Internet

http://edipranoto.blogspot.com/2010/11/12/Syarat-keputusan.html?zx=7.

Hadjon, Philipus M, Beleidsvrijheid dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintah,

Makalah, www.appsi-online.com, tanggal 03/02/2011.

Sumber Kementerian Dalam Negeri, http://www.depdagri.go.id, Daftar

Keputusan Menteri Dalam Negeri, tanggal 10/02/2011.

Farida Indrati, Maria, 2004, Tanggapan Maria F. Indrati terhadap Rancangan

Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Parlemen.net,

Available at:

http://www.parlemen.net/site/idetails.php?guid=2adc2735b3b3db3lb7

Kalsoem, Sanny, tt, Pembaharuan Tertib Peraturan Perundang-Undangan

Available from:

http://unsur.ac.id/images/articles/FH.06_PEMBAHARUAN_TERTIB_P

ERATURAN.pdf

Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas, 2008, Teori Stufenbau,

Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau