47
Antologi Puisi POTRET HITAM – PUTIH Darwin Badaruddin Sadasiva, Yogyakarta Cetakan Pertama, Februari 2011 Copyright © 2011 by Darwin Badaruddin Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Pengantar Yudhistira Sukatanya Desain Sampul & Layout Wahyudi Muslimin Penerbit Sadasiva, Yogyakarta Jl. Taman Siswa Gg. Permadi No. 1591 Nyutran MG II Yogyakarta 55151 Surat-e:[email protected] Perpusataan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) Badaruddin, Darwin Antologi Puisi Potret Hitam Putih, Cet. 1. Yogyakarta Sadasiva, 2011, 91 Hlm; 21 cm Antologi Puisi Potret Hitam Putih Darwin Badaruddin j j

Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

Antologi PuisiPOTRET HITAM – PUTIHDarwin Badaruddin

Sadasiva, YogyakartaCetakan Pertama, Februari 2011

Copyright © 2011 by Darwin BadaruddinHak cipta dilindungi undang-undangAll rights reserved

Pengantar Yudhistira SukatanyaDesain Sampul & Layout Wahyudi Muslimin

Penerbit Sadasiva, YogyakartaJl. Taman Siswa Gg. Permadi No. 1591Nyutran MG II Yogyakarta 55151Surat-e:[email protected]

Perpusataan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)Badaruddin, DarwinAntologi Puisi Potret Hitam Putih, Cet. 1. YogyakartaSadasiva, 2011, 91 Hlm; 21 cm

Antologi Puisi

Potret Hitam Putih

Darwin Badaruddin

j

j

Page 2: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihv

| Darwin Badaruddin

“Kupersembahkan kepada Ibu, Ayah, Istri, anak-anakku, tanah airku,

sahabat-sahabatku, masa laluku, masa depanku, dan kepada diriku sendiri.”

S A T U

BICARA riwayat Puisi bisa juga dengan menghayati riwayat air.

Lahir dari mata air, jernih, gurih, indah. Kemudian bulir-bulir air

bertemu cahaya, warna, rasa. Lalu menyusur tanah, terus mengalir

di batang dan reranting sungai, menyentuh benda-benda, riwayat,

waktu, bercampur aroma, menyatu merekam ragam nuansa,

merekam liat pengalaman, terus menuju muara, menemui riak-riak

ombak yang bergelombang datang. Tapi perjalanan itu belum lagi

akhir.

Di muara air bertemu asinnya aneka kehidupan, jazad

renik, karang, renang ikan, plankton, rumput laut. Kemudian

air menyandang rasa baru. Mengecapnya pada sedikit takar bisa

beroleh aneka rasa, irupan aroma. Jika meneguknya tergesa-gesa,

terlebih dalam jumlah tak tertakar dapat mencekik kerongkongan.

Menelannya pun memang perlu cara tersendiri. Proses. Sabar,

PengantarAir Mata Air Telah Mengalir ke MuaraTiga respons atas penerbitan buku puisi “ Potret Hitam Putih” Darwin Badarudin

Page 3: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihvi

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihvii

| Darwin Badaruddin

cermat, mereka-reka, menghayati segala unsur dikandungan air

itu. Setelah menikmati rasa dan aroma, pada riak air siapa pun bisa

berkaca, mematut-matut, mereguk nikmat telan apa yang disuka,

atau segera memuntahkan sesuatu yang mengganggu kenikmatan

pencernaannya. Perjalanan itu belum lagi akhir.

Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata

cipta dari benak penyair, kata jadi kalimat setelah bertaut. Kalimat

bisa menyandang riwayat, kisah benda-benda, sapihan saripati

rasa manusia, rumus golak pikir, matematika waktu. Kemudian

bergelut, berpadu lagi, menyatu jadi larik langgam rangkai kalimat,

potret aneka pengalaman, peristiwa, renungan yang mengalir lalui

tatah jemari, menelusuri lorong-lorong penciptaan, menembus

halang rintang berliku. Selanjutnya dirancang maujud di celah-

celah kemungkinan. Adalah rangkaian bait, batang tubuh kuplet,

menampilkan sosok jepret potret pilihan. Tapi itu pun tentu belum

lagi akhir.

Di muara penciptaan Puisi, kumpulannya akan terbit, bertemu

ombak aneka apresiasi. Orang-orang awam, akademisi, praktisi

sastra. Gelombang timbang para kritisi. Masing-masing mematut-

matut dari berbagai sisi, membanding dengan cara dan sudut telaah

sendiri. Adalah kesan, adalah rasa, adalah paham, adalah ukuran,

adalah penghayatan dalam endapan kontemplasi di aneka kadar.

Tapi juga belum lagi akhir.

Akan selalu ada pengingkaran atas status berakhir yang berhakiki

selesai. Selalu ada metamorfosa imajinasi, janin lain, kelahiran baru.

Ada kehadiran berbeda dalam bentuk aneka cipta. Itulah rekayasa

alami, impian, harapan. Selalu hadir lagi, bertunas lagi, berkembang

lagi di ladang-ladang penciptaan yang maha multi dimensi.

D U A

Adalah antologi puisi “ Potret Hitam Putih” (PHP) karya Darwin

Badarudin. Puisi-puisi hadir dan mengalir dari hulu ke hilir. Terbit

dan menjelang muaranya di ranah gelombang sambutan pembaca.

Antologi PHP menayang sejumlah puisi, ragam tema, disajikan

dalam elegi, religi, soliloqui juga kritik sosial. Inilah sejumlah perasan

dari pencermatan penyair atas situasi yang bergerak disekelilingnya

dalam kurun waktu melewati beberapa dasa warsa 1978 - 2010.

Rekam jejak itu menyematkan penanda bagi pembaca, tentang apa-

apa yang penyair anggap perlu berbagi.

Menyimak judul kumpulan puisi “Potret Hitam Putih” sepertinya

penyair telah dengan siaga, sengaja menggiring pembacanya untuk

menyimak sejumlah potret masa ke masa. Memilih kata potret

bukannya foto, tentu pilihan yang telah digodok dalam kawah

intelektualitas penyairnya. Tentunya, Hitam putih juga adalah

sedikit pilihan atas nilai juga makna yang dijajakan. Rekaman

kesadaran atas peristiwa yang dilihat, dialami, direnungi, kemudian

berkontemplasi di rahim penciptaan untuk kelahiran senarai puisi.

Di segmen elegy, simaklah bagian ini: ..........................................Ke manakah denting kecapi yang mengiringi nyanyian anak-anak nelayan,ketika ombak masih setia memainkan buih,ketika tangan dan wajah kita masih terbasuh cinta kasih,ketika persatuan belum dibumihanguskan,ketika sajak-sajak masih punya aksara,ketika anak-anak kita belajar tentang budi pekerti,ketika mahasiswa sibuk di ruang praktikum,ketika wajah kita belum pucat pasi ; kita telah kehilangan.

Page 4: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihviii

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihix

| Darwin Badaruddin

Dengan apa harus menyembuhkan jiwa raga yang terkoyak,oleh perang saudara dan ledakan bom, sementara sukma kita dibubuhi racundan benih-benih kematian.

Satu saja yang tersisa hari ini ;Kita telah kehilangan.

( puisi ; Kita Telah Kehilangan )

Dalam puisi KITA TELAH KEHILANGAN ini, pembaca

dimanjakan dengan lirik prosais. Penyairnya tidak genit

menyembunyikan ungkapan dengan menggunakan metafora

pelik. Hadirnya seperti pencerita lisan, langsung menjamu jantung

persoalan. Suara anak bangsa yang meradang. Meski sederhana,

bersahaja, kita tidak lalu jadi kehilangan matra keindahan dalam

sastra. Demikian pula pada TOBATKU DI ATAS TOBA :

Tabuhan taganing*) melengking mengiringi gerak gemulai patung kayu si Gale-gale**),lalu seutas tali mengikat kita dalam gerak tanpa kemudi,tanpa batas,karena maut dan kehidupan tengah bersandingdalam dingin Samosir

Parapat, 2001

Seseorang dihadapan budaya Batak, coba membuka dialog

budaya. Disisi lain sebenarnya penyair kita ini berasal dari

lingkungan alam dan masyarakat yang maha kaya. Potensi budaya

yang kuat. “Mandar”. Suku bangsa yang punya karakter khas putra

laut. Orang-orang yang sejak kecil diajari mengenali tantangan laut,

segala belai kemanjaan sekaligus garang keganasannya. Simaklah

ungkapan lirik SKETSA SANDEQ

dengan sandeq aku mengenalmu di antara cericit burung laut,dengan sandeq aku kirimkan mantra-mantra cinta,kutitip lewat syair badai teluk mandar,dan menyimpannya di setiap butir pasir.dengan sandeqaku melamarmu menjadi darah daging dan belahan jantungku,negeri kita kujadikan mahar tak ternilaihingga ke tepi zaman.

dengan sandeqaku teteskan cinta ke dalam rahim sukmamuyang kelak akan melahirkan anak-anak lautyang candanya pecah di hempasan ombak

dengan sandeqkelak aku akan mengajakmu pulangke rumah tuhanPolewali, 2 Agustus 2010

*) Sandeq adalah sejenis perahu tradisional masyarakat Mandar yang sangat tangguh mengarungi lautan dan menjadi andalan para pelaut.

Sebuah potret melankolia yang mendebarkan dari Tanah

Mandar. Alas cinta sekaligus tantangan untuk anak-anak laut yang

kuat, berani menyongsong hadang kehidupan....... dengan sandeq

kelak aku akan mengajakmu pulang ke rumah tuhan sungguh

suatu keteguhan dalam pernyataan yang giris tapi manis. Ditangan

penyair kegarangan jadi melodi syair yang indah. Ungkapan senada

terbaca pada DI MAMASA KUTEMUKAN SATU DETIK Dalam dingin yang menghujam, aku telah kehilangan sujud-sujudku,tengadah memandang langit-langit hampa,menembus detik,dan lagi aku kehilangan zikir

Page 5: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihx

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihxi

| Darwin Badaruddin

Pagi,kueja salam,begitu hambar, dalam lafal yang beku,hanyut di antara batuan dan gemuruh,lalu,kucoba menangis,tapi di mataku ada kemarau,kering,meranggas. Mamasa 2004

*) Mamasa adalah suatu perkampungan di wilayah Mandar, bertempat di ketinggian pegunungan yang sulit diakses orang luar. Hawanya dingin

menyengat dapat menyesakkan dada.

Penggambaran suasana religiusitas yang kental. Bentuk

pengakuan kepapaan ini jangan disalah tafsir. Kehilangan sujud-

sujudku, kehilangan zikir dikebekuan suhu udara, tentu adalah

peristiwa berat yang sangat mungkin terjadi, apalagi terhadap insan

yang lemah iman. Tetapi bila mencoba mengatasinya sungguh

upaya yang luar biasa. Tentu bukan semata sekedar penanda tentang

insan yang kehilangan keimanan melainkan penegas kesadaran

betapa papanya pun manusia ketika kekeringan iman mendera

jiwa raganya, ia tetap harus bisa berusaha bangkit meski untuk

melafal sepatah salam. Tanpa mengenali kegarangan alam Mamasa

di wilayah ketinggian, kampung sulit dikunjungi, yang mesti

ditaklukkan dengan kekuatan jiwa dan raga, tentulah sulit memahami

kedalaman makna puisi ini. Tetapi dengan menemukenali Mamasa

akan menjadi gambaran sempurna memahami lirik menyentuh

ini. Sebuah pencapaian estetik panyairnya yang mempertautkan

renungan dengan lingkungan sekitarnya. Potensi lingkungan

seperti ini, sesungguhnya begitu mempesona, akhirnya mencuatkan

pertanyaan , mengapa hanya beberapa yang diusung dalam antologi

puisi PHP ini.

Coba, geledah lagi puisi yang ini ATAS NAMA NYANYIAN

tanpa menemukenali Mak Cammana, akan mempersulit menyelami

kedalaman maknanya. Kesetiaan pada pilihan.

ATAS NAMA NYANYIANatas nama nyanyian,ada yang datang berkali-kali membawa dukanyaduka bulan yang kesepianbertahun-tahun melukis bayangnya sendiridi pasir sambil menunggu perahu yang telah membawa kekasihnya entah ke mana atas nama nyanyian,ada yang tak pernah datangtapi rindunya melekat di dinding-dinding waktumenghitung purnamadi atas bukit dekat rumahmu.atas nama nyanyian,ada yang akan datang menemuimumembawa rebana tua yang bakal menemani tidurmumenyeruak dari belukar zaman yang terhampar luasmembawa cahayanyayang menerangi heningdi gunung,di hulu,di sungai,di batu,di muara,di laut,di ombak,di pohon,di daun,di sujud,di puncak hening,

Page 6: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihxii

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihxiii

| Darwin Badaruddin

lengking suaramu,getarkan rindu,berabad-abad. (kepada bunda Cammana*)

*) Bunda Cammanaq adalah penabuh rebana perempuan dari Limboro, Polewali Mandar yang pada tahun 2010 telah ditetapkan sebagai Maestero seni tradisional rebana oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia

Polewali, 2010

T I G A

Ungkapan-ungkapan bernuansa lokalitas sesungguhnya adalah

potensi luar biasa yang masih terasa minim hadir dalam antologi

puisi PHP ini. Patut disayangkan, sebab lirik-lirik yang bernuansa

dan berjiwa lokal adalah suatu pembeda dengan lainnya. Kekhasan

lokal yang hanya bisa disanding tak bisa dibanding dengan yang lain.

Kekayaan lokal selalu menjadi ladang petualangan yang menantang

bagi pembaca sastra untuk lebih mengenali kekayaan budaya suatu

suku bangsa. Mengenali keragaman manusia. Eksplorasi ke khasan

lokal ibaratnya mengasah berlian tinggal menunggu kilapnya.

Akhirnya antologi puisi PHP ini sudah ada di muara, dimana

pembaca akan bergelombang mengapresiasinya. Asam, garam, pahit

manis, hitam, putih adalah citra yang ditawarkan dari balik bingkai

hasil jepretan potret masa lalu sang penyair. Ia sudah berbagi,

silahkan menerima sebagaimana adanya.

*) Yudhistira Sukatanya, lahir di Bandung, 17 Desember. Pendiri Sanggar Merah Putih Makassar, pernah jadi Sekretaris BKKNI Sulsel, Dewan Kesenian Sulsel, Dewan Kesenian Makassar, kini mengabdi di LPP RRI.

Daftar Isi

Halaman Judul ...............................................................iiHalaman Persembahan ................................................iiiPengantar Air Mata Air Telah Mengalir ke Muara ........................................... vDaftar Isi ................................................................... xiii

Puisi-Puisi Darwin Badaruddin

SUNYI ...........................................................................................17

RAHASIA .....................................................................................18

DI BAWAH BULAN ..................................................................19

DI DALAM BUS .........................................................................19

DI GETAR NAFAS ....................................................................19

TOBATKU DI ATAS TOBA ...................................................20

DI ATAS BUKIT GUNDALING ...........................................21

KITA TELAH KEHILANGAN .............................................22

DALAM DIAM STUPA BOROBUDUR .............................24

SKETSA PARANG TRITIS ...................................................25

( Episode 1 )

Page 7: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihxiv

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihxv

| Darwin Badaruddin

SKETSA PARANG TRITIS ...................................................26

( Episode 2 )

JAKARTA .....................................................................................27

BIARKAN ZIKIRKU ................................................................28

PERJALANAN OMBAK ..........................................................29

SKETSA PARANG TRITIS ...................................................30

( Episode 3 )

MALIOBORO ..............................................................................31

MIMPI ...........................................................................................32

KAREBOSI ...................................................................................33

MAUT ............................................................................................34

KIAMAT ......................................................................................35

ANTARA BUKIT SAFA DAN MARWAH .........................36

GURUKU BERNAMA WULAN ..........................................37

DI MAMASA KUTEMUKAN SATU DETIK ..................38

SAMUDERA ...............................................................................39

DI TERMINAL KEBERANGKATAN ................................40

32.000 KAKI DI ATAS MASALEMBO ..............................41

PRASASTI ....................................................................................42

LANGIT ........................................................................................43

BOUGENVILLE .........................................................................44

BERI KAMI SEKOLAH ...........................................................45

PEREMPUAN ITU

MENEMUI TUHANNYA ......................................................46

(Catatan harian seorang anak)

MI’RAJ .........................................................................................48

SKETSA SANDEQ ..................................................................49

DOSA .............................................................................................50

DOA PENYAIR KAMPUNG..................................................51

DOA SEORANG PELACUR ...................................................52

ALIF ..............................................................................................54

PUISI CINTA .............................................................................55

PESTA MALAM BERSAMA FIR’AUN ..........................56

ATAS NAMA NYANYIAN .....................................................57

(kepada bunda Cammana

SAJAK PENDEK BUAT KIKIM KOMALASARI .............59

BULAN RINDU .........................................................................60

KUN FAYAKUUN .....................................................................61

BATU .............................................................................................63

Apresiasi PuisiDi antara Harapan dan Kecemasan ........................................66Drs. Subriadi BakriSebuah Interpretasi .....................................................................76Ety Sabaryati D. PalontjongiSisi Lain Darwin Badaruddin ...................................................79H. Mahyuddin IbrahimPotret Hitam-Putih Kehidupan ................................................81HalimahMelawat ke Titik Singgah, Memasuki Ceruk Personal .....85Muhammad Syariat Tajuddin

Page 8: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih17

| Darwin Badaruddin

Puisi-Puisi

Darwin Badaruddin

j

j

SUNYI

Duduk aku sendiri,

Di bawah langit-Mu aku kembara ,

Menghitung dedaunan kering yang luruh di tiap rimbaraya,

Menghitung bebatuan di padang pasir,

menghitung nafas,

tak berbatas.

Polewali, 1978

Page 9: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih18

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih19

| Darwin Badaruddin

RAHASIA

Cuma satu yang tersisa dari sebuah peristiwa,

kehidupan,

Cuma satu yang tersisa dari sebuah kehidupan,

rahasia

Polewali, 1980

DI BAWAH BULANDI DALAM BUSDI GETAR NAFAS

Dan terminal pun tertinggal jauh,

bulan menapaki langit kelam,

angin terbang dari keterasingan menebarkan gerimis,

dan kita mereguknya.

Di bawah bulan,

di dalam bus,

di getar nafas,

aku menyelam ke dasar sukmamu,

lalu engkau terbenam dalam mimpi-mimpi

yang tak pernah dapat kueja.

Polewali, 1984

Page 10: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih20

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih21

| Darwin Badaruddin

TOBATKU DI ATAS TOBA

Tabuhan taganing*) melengking mengiringi gerak gemulai

patung kayu si Gale-gale**),

lalu seutas tali mengikat kita dalam gerak tanpa kemudi,

tanpa batas,

karena maut dan kehidupan tengah bersanding

dalam dingin Samosir

Parapat, 2001

*) Sejenis alat musik perkusi tradisonal di Sumatera Utara**) Patung kayu di Samosir yang bisa menari dengan menggerakkan tali

DI ATAS BUKIT GUNDALING*)

Mimpi panjang baru saja aku gelar di atas permadani hijau

sengaja kutangkap bayang-Mu

ketika pepohonan karet merangkai ruku’ dan sujud

dalam ruang tanpa jarak

dalam detik tanpa waktu

dalam lelah tanpa keluh

dalam jerit tanpa suara

dalam tangis tanpa isak

dalam dingin tanpa getar

dalam sujud tanpa tasbih

aku biarkan angin berlalu

Berastagi, 2001

*)nama bukit di Berastagi, Sumatera Utara

Page 11: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih22

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih23

| Darwin Badaruddin

KITA TELAH KEHILANGAN

Satu saja yang tersisa hari ini,

kita telah kehilangan.

Kezaliman telah mencabik cakrawala,

bulan pecah di atas ubun-ubun

sedang darah dan nanah menjadi begitu nikmat tereguk

hingga tetes terakhir ;

kita telah kehilangan.

Dengan apa membangunkan tulang-belulang para patriot,

yang dengan gagah perkasa mengoyak tirani,

bukan memangsa daging saudara sendiri ;

kita telah kehilangan.

Ke manakah denting kecapi

yang mengiringi nyanyian anak-anak nelayan,

ketika ombak masih setia memainkan buih,

ketika tangan dan wajah kita masih terbasuh cinta kasih,

ketika persatuan belum dibumihanguskan,

ketika sajak-sajak masih punya aksara,

ketika anak-anak kita belajar tentang budi pekerti,

ketika mahasiswa sibuk di ruang praktikum,

ketika wajah kita belum pucat pasi ;

kita telah kehilangan.

Dengan apa harus menyembuhkan jiwa raga yang terkoyak,

oleh perang saudara dan ledakan bom,

sementara sukma kita dibubuhi racun

dan benih-benih kematian.

Satu saja yang tersisa hari ini ;

Kita telah kehilangan.

Polewali, 2 Nopember 2002

Page 12: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih24

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih25

| Darwin Badaruddin

DALAM DIAM STUPA BOROBUDUR

Dalam diam arca,

kubaca kesetiaan abadi meski terpanggang matahari

kupersembahkan sesaji pertanyaan ;

“Siapakah yang menyimpanmu di sini?”

Dalam diam stupa,

kusentuh jemarimu bersama sukma angin

yang telah membawaku ke sini.

Borobudur, 10 Juni 2003

SKETSA PARANG TRITIS( Episode 1 )

Di atas kanvas biru Pantai laut selatan,

kutarik garis putih tegak lurus menembus cakrawala,

dan menghempas di dinding-dinding karang,

menebar bersama butiran pasir,

hilang,

entah ke mana.

Kucari engkau,

Wahai,

garis putih yang lahir dari rahim sukmaku yang papa,

dalam deru ombak yang terus menjulurkan maut,

dalam hiruk pikuk canda ria,

dalam desah nafas birahi percintaan,

dalam kembara panjang yang meletihkan.

Lalu,

kutemukan engkau,

dalam tembang,

dalam kanvas yang terkoyak,

dalam kesendirian,

sepi.

Parang Tritis, 12 Juni 2003

Page 13: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih26

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih27

| Darwin Badaruddin

SKETSA PARANG TRITIS( Episode 2 )

Gerimis itu telah meneteskan warna-warni di setiap jengkal

langkah,

tak ada lagi yang tersisa

ketika mataku nanar memandang sepasang kekasih

melukis harapan di atas pasir.

Saksikanlah;

air mataku telah menjadi samudera

bagi sampan-sampanmu yang bakal karam

karena ombakku adalah kerinduan yang hampa,

nafasku telah menjadi badai

bagi rumah-rumahmu yang bakal porak-poranda

karena hembusanku adalah kerinduan

bagi sajak-sajak tanpa aksara.

Parang Tritis, 12 Juni 2003

JAKARTA

Beri aku sepiring nasi,

dan kuberi engkau bintang

yang telah kugantung di setiap sudut kamarku

dan membawamu terbang

mengitari ladang-ladang berbunga;

dosa

Jakarta, 16 Juni 2003

Page 14: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih28

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih29

| Darwin Badaruddin

BIARKAN ZIKIRKU

Biarkan zikirku mengembara bersama angin,

menuju negeri tanpa tirai,

menusuki dinding-dinding waktu,

perjalanan panjang adalah anggur yang memabukkan

di atas laut terpagar batas pandang

Biarkan zikirku,

menembus laut kelam,

yang telah memadamkan lampu-lampu diskotik,

segala terangkai,

dalam getar sujudku yang melahirkan embun,

menetes,

kering,

lenyap.

KM. Ciremai, 17 Juni 2003

PERJALANAN OMBAK

Dari mana ombak

menempuh perjalanan,

pecah di buritan,

menjilati sampan pelaut gagah berani,

menuai hidup tanpa batas.

Dari mana angin

menempuh perjalanan,

bertualang,

hingga ke kaki langit

yang telah kubuat dalam garis tipis.

Bersama ombak,

aku berangkat menjemputmu,

dalam hingar bingar dermaga.

Tanjung Priuk, 17 Juni 2003

Page 15: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih30

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih31

| Darwin Badaruddin

SKETSA PARANG TRITIS( Episode 3 )

Entah,

kali ini aku begitu rindu pada kesendirian

memandangmu menyusuri pantai

dan deru angin menerbangkan harapan.

Entah,

berapa lama lagi aku menikmati kesendirian,

ketika engkau berlalu,

meninggalkan jejak di jantungku.

Parang Tritis, 7 Juli 2003

MALIOBORO

Duduklah di sini,

mengurai bayang kusut masa silam,

menyimak nyanyian anak jalanan,

dan izinkan kulukis danau bening di matamu.

Duduklah di sini,

kekasih para penyair,

dan jangan pergi

sebelum kutulis lagi satu puisi.

Yogyakarta, 8 Juli 2003

Page 16: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih32

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih33

| Darwin Badaruddin

MIMPI

Gaun merahmu kusingkap,

dan aku mengembara di atas padang pasir

menebar kesenyapan dalam gelora badai,

mengejar fatamorgana.

Jakarta, 12 Juli 2003

KAREBOSI

Menyaksikan kaki-kaki berdebu menerjang waktu,

menembus kegelapan,

meneteskan amarah di sudut jalan,

sumpah serapah,

lalu tertidur pulas,

menikmati khianat dari sepotong pizza.

Makassar, 7 September 2003

Page 17: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih34

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih35

| Darwin Badaruddin

MAUT

Kepada siapa biduk kita tambatkan

Karena malam telah membenamkan

sajak para penyair

Jalan panjang,

Berliku,

Luka,

Tak juga sembuh.

Polewali, 14 Oktober 2003

KIAMAT

Seorang kiyai memainkan tasbih menunggu iqomat ashar,air matanya jatuh di atas ubin putih,dingin.

Air mata itu kemudian berubah menjadi danau yang menenggelamkan istri, anak, cucu dan buyutnya.

Air mata itu jatuh lagi,dan membentuk danau,semakin banyak,semakin dalam.

Tak terhitung lagi berapa banyak danau yang menenggelamkan orang-orang yang dicintainya.

Menjelang magrib ia kembali dan memandangi langit-langit masjid yang kusam,di depan mihrab ia duduk bersimpuh menghembuskan nafas,dan nafas itu berubah menjadi topan,meremukkan tulang orang-orang di sekelilingnya.

Nafas itu berhembus lagi,menjadi topan,semakin kencang,semakin garang.

ketika ia berbalik,masjid tetap sepi.

Polewali, 28 Nopember 2003

Page 18: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih36

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih37

| Darwin Badaruddin

ANTARA BUKIT SAFA DAN MARWAH

Dalam ihram langit bening,

ternyata aku tak lagi perkasa,

oleh cinta

Antara Bukit Safa dan Marwah,

aku berlari mencari bayang-bayang di antara pilar,

semakin dekat

semakin lekat

semakin pekat

dekat tak berjarak.

Antara bukit Safa dan Marwah

terjerat aku dalam nikmat jaring putih

Makkah, 2004

GURUKU BERNAMA WULAN

Dalam temaram lampu dan hingar bingar nyanyian,

engkau mengajarkan bagaimana mensyukuri pemberian

meski sebesar zarrah

dan aku tengadah,

menatap arasy,

mencari wajahku,

yang sekian lama terbenam dalam keangkuhan.

Lalu,

engkau mendesah,

ada danau bening di matamu,

syahdu.

kugenggam jemarimu,

dan kau sebut namamu ;

Wulan,

lalu mengajariku tentang bagaimana melahirkan tawa

meski dalam tangis lirih

Mamuju, 2004

Page 19: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih38

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih39

| Darwin Badaruddin

DI MAMASA KUTEMUKAN SATU DETIK

Dalam dingin yang menghujam,

aku telah kehilangan sujud-sujudku,

tengadah memandang langit-langit hampa,

menembus detik,

dan lagi aku kehilangan zikir

Pagi,

kueja salam,

begitu hambar,

dalam lafal yang beku,

hanyut di antara batuan dan gemuruh,

lalu,

kucoba menangis,

tapi di mataku ada kemarau,

kering,

meranggas.

Mamasa 2004

SAMUDERA

Di sini telah kuteteskan air mata

membentang samudera menggenang rinduku

biarkan lelah jadi aroma

bagi dosa-dosaku,

dan aku bermain dalam badai

batu hitam

dalam semerbak cinta,

berikan aku samudera yang akan kualirkan ke muara tak bertepi

tak pernah sepi

karena sepi telah dilumat api

dan terkubur dalam terik.

Samudra itu membawaku dalam badai

puisi tak bertepi

tiada henti

hanyut dalam tawaf

Makkah, 2004

Page 20: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih40

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih41

| Darwin Badaruddin

DI TERMINAL KEBERANGKATAN

yang lalu lalang berlari mengejar harapan

entah sampai dimana

yang duduk termenung menunggu berita

entah sampai kapan

yang tengadah memandang langit

yang tertunduk menatap tanah

lalu lalang memandang langit

duduk termenung memandang tanah

menghitung jarak

menghitung waktu

tak terbilang

dalam kuasa tuhan

Cengkareng, 16 September 2004

32.000 KAKI DI ATAS MASALEMBO

ada gelegar panas dalam dingin malam,

menjulurkan sepi di antara hiruk pikuk,

langit pucat pasi,

semua terkulai,

gumpalan awan membenamkan nyali dalam gelap malam,

pecah dalam gelegar halilintar,

sendiri kita melintasi hidup di seberang maut,

tak ada lagi aroma parfum dari perempuan yang berseliweran,

alangkah malangnya kita yang kerap terpasung fatamorgana,

segalanya lenyap dalam degup jantung

32.000 kaki di atas masalembo,

kita pun berbalik arah,

memilih hidup yang semu,

ketimbang maut yang abadi.

Surabaya-Makasar, 23 Desember 2004

Page 21: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih42

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih43

| Darwin Badaruddin

PRASASTI

Entah siapa,

datang menembus kabut pagi dalam nyanyian sayup-sayup

air sungai mengalir,

tiada henti,

karena hidup memang harus patahkan ranting-ranting

yang menghalangi setiap langkah,

menuliskan makna,

bahwa maut tak pernah tinggalkan hidup.

entah siapa,

menoreh prasasti lalu bersembunyi dalam gelap malam,

dan malu-malu memetik cinta

dari mimpi yang tersisa.

Polewali 20 januari 2005

LANGIT

teramat jauh tangan menggapai bayang-bayang biru, tempat kita

pernah menyimpan bara api dan buah khuldi, menuangnya dalam

cawan bersama anggur dan aku mencarimu hingga ke arsy tak

bertepi.

esok mungkin engkau akan pulang dan mencari mata air yang

pernah kita gali, membenamkan cinta kasih di dasar danau,

lalu diam,

sejak itu aku tahu matamu sembab dalam bait-bait sajak,

kenangan telah kita kuburkan di sini,

di langit tak bertepi.

Polewali, 28 Januari 2006

Page 22: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih44

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih45

| Darwin Badaruddin

BOUGENVILLE

Pernah kusimpan setangkai bogenville di belakang rumahmu

dan berharap suatu saat kelak kita akan memetik bunganya,

menaburkan di setiap jengkal tanah yang kita lalui, menyanyikan

lagu asmara dari mimpi-mimpi panjang.

Kini bogenville itu telah menjadi belukar, menebar aroma

menyesakkan dada, tak ada nyanyian, juga warna-warni, dan kita

pun sepakat mengakhiri mimpi.

Polewali, 5 Pebruari 2006

BERI KAMI SEKOLAH

Beri kami sekolah meski tanpa dinding dan bangku

karena kami telah mengenal angin dari segenap penjuru ketika

duduk disela bebatuan,

Beri kami sekolah meski tanpa guru berhitung

karena kemiskinan telah mengajarkan kami bagaimana mengenal

angka dan menghitungnya dari hari ke hari

Beri kami sekolah agar kami dapat belajar tentang ketiadaan yang

menyesakkan dada,

agar di lereng ini kami bisa memilih:

menanam padi ladang atau menganyam harapan.

Beri kami sekolah,

agar kami bisa menyeruak kegelapan,

meski dengan obor yang kian redup.

Polewali, 2006

Page 23: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih46

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih47

| Darwin Badaruddin

PEREMPUAN ITU MENEMUI TUHANNYA(Catatan harian seorang anak)

Perempuan itu melahirkan tujuh orang anak, berangkat menemui

Tuhan-Nya di pagi buta. Sesaat sebelum menghembuskan

nafasnya yang terakhir, perempuan Perkasa itu menuntaskan

sujud Tahajjud terakhirnya. Wajah damainya mengulum senyum,

meninggalkan waktu dan kehidupan duniawi yang semu.

Ia “PERKASA”, bukan karena semasa hidupnya ia memanggul

senjata, atau berdiri tegap menghadang sang Penjajah ketika

umurnya masih belia. Tidak...dan Bukan itu. Tapi...ia perkasa

karena telah berhasil menuntaskan baktinya sebagai Ibu bagi

anak-anaknya. Betapa tidak....ketika cintanya tumbuh merona

bersama suami yang dicintainya, tiba-tiba ia harus berhadapan

dengan kenyataan untuk ditinggalkan oleh seorang suami sebagai

kepala rumah tangga.

Awalnya....ia bagai tersungkur menemui kenyataan getir itu,

tapi anak-anaknya sedang berlari mengejar cita-cita mereka. Ia

pun kemudian tengadah, memandang ke langit masa depan.

Hidup tak sampai disini, ujarnya di tengah matanya yang

sembab. Dirajutnya satu demi satu benang-benang kusut yang

membelenggu diri dan anan-anaknya, dia merawat anak-anak

titipan suami dan Tuhannya. ia merangkai doa-doa dalam sujud

malam dan pagi, ia menangis dalam taubatnya, ia terus mencari

benih-benih kehidupan yang halalan thoyyiban bagi anak-

anaknya.

Kini, Perempuan perkasa itu tiada lagi. Ia berangkat menemui

Tuhannya, ketika anak-anaknya tertidur lelap.

(Ibu.....maafkan...aku tak sanggup menulis banyak untukmu,

jujur...aku tak seperkasa kamu)

Polewali, 29 April 2009

Page 24: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih48

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih49

| Darwin Badaruddin

MI’RAJ

malam itu tak ada kata yang bisa terangkai dan cahaya gemintang

merangkulnya dalam senyap,

lelaki itu menjadi tamu agung para nabi di gerbang langit merajut

rindu,

dan ia pun bergegas menapak waktu,

tak terhitung.

malam itu tak ada yang sanggup menebar wangi langit,

merebak mengiring cahaya di atas cahaya,

wahai….lelaki itu bersimpuh,

mengeja takbir dalam sujud, ruku’ dan tuma’nina,

dalam cinta tiada tara.

dan ketika jubah fajar tersingkap,

lelaki itu kembali ke biliknya yang sepi,

mengulang takbir,

sujud,

ruku’

tuma’nina,

dan menitipnya pada zaman.

Polewali, 20 Juli 2009

SKETSA SANDEQ

dengan sandeq

aku mengenalmu di antara cericit burung laut,

dengan sandeq aku kirimkan mantra-mantra cinta,

kutitip lewat syair badai teluk mandar,

dan menyimpannya di setiap butir pasir.

dengan sandeq

aku melamarmu menjadi darah daging dan belahan jantungku,

negeri kita kujadikan mahar tak ternilai

hingga ke tepi zaman.

dengan sandeq

aku teteskan cinta ke dalam rahim sukmamu

yang kelak akan melahirkan anak-anak laut

yang candanya pecah di hempasan ombak

dengan sandeq

kelak aku akan mengajakmu pulang

ke rumah tuhan

Polewali, 2 Agustus 2010

Page 25: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih50

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih51

| Darwin Badaruddin

DOSA

susah payah kuseka darah yang menetes

di sajadahku

entah darah siapa

atau mungkin darahku sendiri yang nadinya pecah

karena tak kuasa mengurai dosa

tapi aku ingin sujud Tuhanku,

ajarkan aku makna kesunyian langit

yang akan kulafadzkan dalam tasbih berkali-kali

meski tak pernah lalai

aku melupakan-Mu

Polewali, 2 Nopember 2010

DOA PENYAIR KAMPUNG

Surau ini masih seperti dulu

dindingnya kusam

di sini aku pernah meminangmu pada Tuhan

maharnya hanya selembar sajadah kusam

tapi langit terus meneteskan hujan

dan menyimpannya

di danau

di sisi surau.

Aku hanya bisa melahirkan anak-anak kita

dari kata-kata

mengasuhnya menjadi puisi

karena impianku menjadi penyair tak pernah pupus

meski tak bisa membedakan

do’a dan puisi

karena doaku untuk langit

karena puisiku untuk langit

karena langit selalu ada

untuk kita.

Polewali, 2010

Page 26: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih52

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih53

| Darwin Badaruddin

DOA SEORANG PELACUR

Hari ini aku ingin sholat magrib meski dari menara masjid dekat

lokalisasi tempatku mengais hidup sudah terdengar adzan isya,

mukenaku masih putih bersih hadiah dari ibu ketika mengantarku

ke gerbang pesantren.

Biarlah kucukupkan sujudku karena malam ini aku takkan

meminta apapun dari lelaki yang berseliweran hingga pagi.

Malam ini,

Aku ingin berdoa, tapi tak persis sama dengan doa yang diajarkan

oleh guru-guruku, karena aku telah belajar pada guru terakhirku

yang tak pernah kuberi nama.

Tuhanku.....!,

Jika kelak aku tak cantik lagi untuk jadi pelengkap birahi, tolong

beri aku kesempatan duduk di pinggir kali yang membelah

kota ini, karena aku tahu di atas sampah yang mengapung ada

semut yang pernah mendengar desah nafasku dan tawa manjaku

berharap mendapat bayaran lebih dari biasanya.

Tuhanku....!,

Jika kelak Engkau masukkan aku ke dalam neraka-Mu, tolong

jangan sumpal mulutku dengan bara amarah-Mu, karena betapa

aku ingin mencintai-Mu,

tapi jazadku berlumur nanah.

Tuhanku....!,

Jika kelak Engkau masukkan aku ke syurga-Mu,

akan kucari telaga airmata ibuku yang tak pernah kering,

yang terus menyimpan bayang bulan purnama,

sedetik saja,

meski sesudah itu Engkau bakar tubuhku,

karena kutahu :

cinta ibuku,

adalah serpihan cinta-Mu.

Polewali, 2010

Page 27: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih54

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih55

| Darwin Badaruddin

ALIF

I ?I ?I ?kutanya apapada siapa alif menghadap langitalif menghujam bumialif di langit alif di bumi alif di bulan alif di awanalif di lautalif di ombak alif di daun alif di semut alif di baraalif di salju alif di tawa alif di tangisalif di makkah alif di mandar alif di mana saja tapi alif masih juga satutidak beranaktidak diperanakkanbahkan oleh alif sendirikarena alifsegala sebab.

Polewali, 10 Nopember 2010

PUISI CINTA

Dulu

perempuan itu menyematkan kembang di rambutnya

tergerai hingga ke bahunya yang lancip

menebar aroma cinta,

dan malam ini,

ketika rambut perempuan itu kubelai,

beberapa helai rambutnya mulai memutih,

kuhitung bersama waktu

aroma cinta itu masih lekat,

tapi waktu semakin renta :

(kekasih...

biarkan lampu pijar itu terus menyala

menemani kita ke batas fajar).

Polewali, 13 Oktober 2010

Page 28: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih56

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih57

| Darwin Badaruddin

PESTA MALAM BERSAMA FIR’AUN

berapa banyak fir’aun yang membangun singgasananya di sini

singgasana bagi pesta anggur di malam pengantin

yang bakal menyisakan mimpi di kelopak bunga

mimpinya sendiri

berapa lama fir’aun akan duduk di sini

menghitung pelangi pucat pasi yang warnanya tak perawan lagi

karena telah direnggut oleh malam

malamnya sendiri

berapa lagi fir’aun yang bakal lahir dari rahim tanpa tali pusar

yang menyambung ikrar :

qolu bala syahidna

karena tuhan-tuhan mereka telah datang menuang anggur

anggurnya sendiri.

Polewali, 2010

ATAS NAMA NYANYIAN(kepada bunda Cammana*) atas nama nyanyian,

ada yang datang berkali-kali membawa dukanya

duka bulan yang kesepian

bertahun-tahun melukis bayangnya sendiri

di pasir sambil menunggu perahu yang telah membawa

kekasihnya entah ke mana

atas nama nyanyian,

ada yang tak pernah datang

tapi rindunya melekat di dinding-dinding waktu

menghitung purnama

di atas bukit dekat rumahmu.

atas nama nyanyian,

ada yang akan datang menemuimu

membawa rebana tua yang bakal menemani tidurmu

menyeruak dari belukar zaman yang terhampar luas

membawa cahayanya

yang menerangi hening

Page 29: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih58

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih59

| Darwin Badaruddin

di gunung,

di hulu,

di sungai,

di batu,

di muara,

di laut,

di ombak,

di pohon,

di daun,

di sujud,

di puncak hening,

lengking suaramu,

getarkan rindu,

berabad-abad.

Polewali, 2010

*) Bunda Cammanaq adalah penabuh rebana perempuan dari Limboro, Polewali Mandar yang pada tahun 2010 telah ditetapkan sebagai Maestero seni tradisional rebana oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia

SAJAK PENDEK BUAT KIKIM KOMALASARI

pahlawan itu mati di medan perang

melawan sumpah serapah

menemui Tuhannya di tong sampah.

Polewali, 19 Nopember 2010

Page 30: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih60

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih61

| Darwin Badaruddin

BULAN RINDU

bulan rindu

menghias malam-malam yang bopeng

luka lama

bertahun-tahun

sengaja kusimpan

karena aku lebih pintar dari pada pikiranku sendiri

bulan rindu

nyanyian madu

sayup-sayup mengitari langit ketujuh

menghitung berapa banyak goresan kuku iblis

gurat luka

bertahun-tahun

bulan rindu

bulan para nabi

yang menitip lapar di kampung-kampung para penyair

duka lama

duka lara

tanpa puisi

bulan rindu

bulan cinta :

dua orang lelaki menghunus badik

membunuh dendam

dengan tikaman yang sama

di malam yang sama

Polewali, Desember 2010

KUN FAYAKUUN

jadilah mata air dari kun

karena fayakuun maka jadilah air mata

jadilah hulu dari kun

karena fayakuun maka jadilah muara

jadilah asal dari kun

karena fayakuun maka jadilah akhir

jadilah fira’aun dari kun

karena fayakuun maka jadilah musa

jadilah maryam dari kun

karena fayakuun maka jadilah isa

jadilah hati dari kun

karena fayakuun maka jadilah cinta

jadilah tanah dari kun

karena fayakuun maka jadilah tubuh

Page 31: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih62

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih63

| Darwin Badaruddin

jadilah angin dari kun

karena fayakuun maka jadilah ruh

jadilah api dari kun

karena fayakuun maka jadilah nafsu

jadilah air dari kun

karena fayakuun maka jadilah darah

jadilah sepi dari kun

karena fayakuun maka jadilah waktu

jadilah nur dari kun

karena fayakun maka jadilah muhammad

jadilah muhammad dari kun

karena fayakuun maka jadilah semua

Polewali, 24 Nopember 2010

BATU

ada batu seperti hati

ada hati seperti batu

batu seperti hati tempatnya di etalase

hati seperti batu tempatnya di comberan

batu di kuburan

nisan namanya

batu di kali

batu kali namanya

batu di laut

batu karang namanya

batu di palestina

intifada namanya

batu di ka’bah

hajar ashwad namanya

batu di etalase

permata namanya

batu di ginjal

batu ginjal namanya

batu dibakar

batu bata namanya

Page 32: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih64

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih65

| Darwin Badaruddin

batu di mina untuk melontar jamarat

melontar nafsu

melontar dosa

batu di kampus untuk melempar polisi

batu menerkam polisi

polisi menerkam demonstan

batu

membatu

batu

membuta

batu

buta

karena batu tak punya mata

tak punya hati

karena hati yang batu

tak punya mata

buta hati

buta

hati

buta

batu

Polewali, 2010

APRESIASI

jj

Page 33: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih66

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih67

| Darwin Badaruddin

dapat berbahaya jika “Intuisi” pribadi mengarah pada “apresiasi”

yang bersifat emosional hingga hasil akhir berujung pada subyektivitas

total. Penekanan pada individualitas dan keunikan karya sastra

– walaupun merupakan reaksi sehat terhadap kecenderungan main

generalisasi – dapat membuat orang lupa bahwa tak ada satu karya

sastra pun yang seratus persen “unik”.

Perlu diingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat

indiviual dan sekaligus bersifat umum. Individual yang dimaksudkan

tidak sama dengan unik atau khusus. Seperti setiap manusia – yang

memiliki kesamaan dengan umat manusia lainnya, dengan sesama

jenisnya, dengan bangsanya, dengan kelasnya, dengan rekan-rekan

seprofesinya.

Sastra tidak memakai sistem tanda tunggal untuk menyampaikan

secara konsisten suatu sistem abstraksi. Tapi obyek dan tanda dalam

puisi dipakai dengan cara yang tidak dapat diduga oleh sistem di

luar puisi. Begitu pula halnya dengan Darwin Badaruddin dalam

Antologi Puisi “Potret Hitam Putih”.

II

Cara dan atau Pencitraan yang bisa diartikan sebagai reproduksi

mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan

persepsi. Pencitraan tidak selalu bersifat visual. Pencitraan ada yang

berkaitan dengan cita rasa pencicipan, penciuman, serta suhu dan

tekanan (gerak, sentuhan, dan rasa empati). Pada sisi lain pencitraan

juga bisa sebagai analogi dan perbandingan. Ezra Pound menjabarkan

citra bukan sebagai gambaran fisik, melainkan sebagai “sesuatu yang

dalam waktu sekejap dalam menampilkan kaitan pikiran dan emosi

yang rumit”. Suatu penggabungan ide-ide yang berlainan.

Aku-lirik dalam “Potret Hitam Putih” dengan jeli memanfaatkan

pencitraan sebagai perwujudan dari kehalusan cita rasa penciuman

Di antara Harapan dan Kecemasan Darwin Badaruddin dalam Antologi Puisi Potret Hitam-Putih

Oleh : Drs. Subriadi Bakri*)

I

BAGAIMANAKAH menelaah karya sastra secara ilmiah? Apakah

bisa? Kalau bisa, bagaimana caranya? Salah satu jawaban yang pernah

diberikan adalah dengan menerapkan metode yang dikembangkan

oleh ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Misalnya, sikap-sikap ilmiah

seperti objektifitas, kepastian, dan sikap tidak terlibat, yang biasanya

hanya terbatas pada pengumpulan fakta-fakta yang netral saja.

Usaha lain adalah meniru metode genetik melalui studi sumber, dan

kausalitasnya. Dalam prakteknya memperbolehkan penelusuran

hubungan apa saja, asalkan bersifat kronologis. Kausalitas ilmiah

semacam ini digunakan untuk menjelaskan fenomena sastra dengan

mengacu pada kondisi ekonomi, sosial, dan politik.

Pada dasarnya, secara ekstrim ada dua cara yang bisa ditempuh

untuk menelaah karya sastra. Pertama, mengikuti pola ilmiah

dengan sekedar mengumpulkan fakta-fakta yang berkaitan dengan

karya sastra itu. Kedua, adalah menekankan subyektivitas dan

individualitas, serta keunikan karya sastra itu. Cara yang kedua ini

Page 34: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih68

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih69

| Darwin Badaruddin

sebagaimana yang tergambar dalam puisi yang berjudul “32.000

kaki di atas Masalembo”;..........................gumpalan awan membenamkan nyali dalam gelap malam,pecah dalam gelegar halilintar,sendiri kita melintasi hidup di seberang maut,tak ada lagi aroma Parfum dari perempuan yang berseliweran,alangkah malangnya kita yang kerap terpasung fatamorgana,segalanya lenyap dalam degup jantung,..........................

Dalam puisi yang berjudul “Prasasti”, dengan sangat apik,

Aku-lirik, mengemas imaji penglihatan dan pendengaran dalam

konstruksi daya ungkap yang padu;Entah siapa,datang menembus kabut pagi dalam nyanyian sayup-sayup air sungai mengalir,tiada henti,karena hidup memang harus patahkan ranting-rantingyang menghalangi setiap langkah,menuliskan makna,bahwa maut tak pernah tinggalkan hidup.Entah siapa,menoreh prasasti lalu bersembunyi dalam gelap malam,dan malu-malu memetik cintadari mimpi yang tersisa

Barangkali Aku-lirik beranjak dari pemikiran tentang

ketidakjelasan prinsip dasar matra dan masih bayaknya terminalogi

yang kacau sehingga dalam antologi puisi “Potret Hitam Putih”,

Aku-lirik sepertinya mengabaikan eksistensi matra sebagai salah

satu elemen penting susunan puisi sebagaimana yang diungkapkan

oleh Coleridge dalam “Biographia Literaria” bahwa ada dua prinsip

yang mendasari susunan sebuah puisi, yaitu matra dan metafora. Di

sisi lain, puisi kontemporer kerap menisbikan eksistensi penyusunan

baris sajak yang berkaitan dengan ukuran jumlah, panjang, atau

tekanan suku kata seperti pada puisi-puisi lama yang kerap diajarkan

di bangku-bangku sekolah.

Antologi puisi “Potret Hitam Putih” yang ditulis oleh Darwin

Badaruddin meskipun sangat akrab dengan pemakaian personifikasi,

hiporbola, eufimisme, serta metonimia, ia tak melupakan unsur

metafora sebagai sebuah perlambang yang bertujuan membandingkan

atau menyamakan sesuatu hal dengan hal lainnya yang berbeda

karakter dan bentuk – dengan stylishnya yang estetis ia munculkan

dalam puisinya yang berjudul “Sketsa Parang Tritis (episoe I)”: di atas kanvas biru pantai laut selatan,kutarik garis putih tegak lurus menembus cakrawala,dan menghempas di dinding-dinding karang, menebar bersama butiran pasir,hilang, entah ke mana.

Seperti citra atau imaji, simbol muncul dalam konteks yang

sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbol

adalah suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotika,

dan epistomologi. Dalam teori kesusastraan, simbol digunakan

sebagai obyek yang mengacu kepada obyek lain, tetapi juga

menuntut pada dirinya sendiri sebagai sebuah perwujudan. Untuk

antologi puisi “Potret Hitam Putih” agak sulit menemukan simbol

yang jelas terebab memang ada kecenderungan jika citra dipertajam

melalui metafora dan metonimia maka perwujudannya akan hampir

sama dengan simbol. Aku-lirik menggunakan “simbolis pribadi”

sebagaiman halnya yang dilakukan oleh penyair modern lainnya.

Berikut beberapa puisinya menggambarkan hal itu.

1. Biarkan DzikirkuBiarkan dzikirku mengembara bersama angin,Menuju negeri tanpa tirai, menusuki dinding-dinding waktu,Perjalanan panjang adalah anggur yang memabukkan Di atas laut terpagar batas pandang

.......................................................................

Page 35: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih70

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih71

| Darwin Badaruddin

2. Dalam Diam Stupa BorobudurDalam diam arca,Kubaca kesetiaan abadi meski terpanggang matahariKupersembahkan sesaji pertanyaan ;Siapakah yang menyimpanmu di sini?Dalam diam stupa,Kusentuh jemarimu bersama sukma angin Yang telah membawaku ke sini.

3. Langit Teramat jauh tangan menggapai bayang-bayang biru,Tempat kita pernah menyimpan bara api dan khuldi,Menuangnya dalam cawan anggurDan aku mencarimu hingga ke arasy tak bertepi..........................................................................

Aku-lirik dengan jeli memilah dan memilah diksi alam, budaya,

dan lingkungan secara cermat sebagai perwujudan cita rasa yang

estetis. Meskipun demikian, dalam konteks diksi sebagai pilihan kata

yang berkolerasi dengan semantik dan semiotika, Aku-lirik mungkin

terdorong oleh keinginan menuntaskan informasi, membuat

beberapa larik dari beberapa puisinya jadi kehilangan daya sugesti

dan imajinatif. Pada puisi yang berjudul Antara Bukit Safa dan

Marwah, bait ketiga Antara Bukit Safa dan Marwah / terjerat aku

dalam nikmat jaring putih. Bukankah Aku-lirik berpakaian serba

putih ketika berlari-lari kecil di antara bukit Safa dan Marwah? Dan

ketika “Sang Terdamba” telah begitu dekat, bukankah ada nuansa

kenikmatan yang menggeliat?

Begitu pula halnya pada puisi yang berjudul Jakarta. Larik

ketiga serasa mengganggu tersebab idiom-idiom yang seyogyanya

melahirkan keluasan interpretasi dan apresiasi justru jadi terbatas

pada keberadaan ruang dan waktu. Jika idiom alam berupa bintang

telah memberi keluasan nilai, mengapa harus mengekangnya dengan

sudut kamar?

III

Jika ditilik dari cara bertutur puisi-puisi Darwin Badaruddin

dalam antologi puisi “Potret Hitam Putih” maka terlihat

kecenderungan bersifat lirik-naratif. Dalam puisi liris, kita seringkali

hanya berhadapan dengan citra-citraan, bayang-bayang, gambar

imajinatif yang tidak jelas acuan maknanya, tetpi suasana tertentu bisa

kita rasakan. Suasana itulah yang seringkali memberikan kesegaran

pada setiap kali membacanya, yakni sesuatu yang tak terkatakan

namun amat terasakan. Bukankah kita seringkali merasakan sesuatu

yang tak bisa terkatakan? Misalnya, puisi Darwin Badaruddin yang

berjudul “Karebosi” berikut ini (Antologi Puisi “Potret Hitam

Putih”, 2010:1);Menyaksikan kaki-kaki berdebu menerjang waktu,menembus kegelepan,meneteskan amarah di sudut jalan,sumpah serapah,lalu tertidur pulas,menikmati khianat sepotong pizza.

Terhadap puisi liris sejenis ini, yakni puisi yang sulit ditangkap

pesan atau amanatnya, Subagio Sastrowardoyo mengajukan

pertanyaan (“Subagio Sastrowardoyo”, 1982:218);

...apakah itu sajak-sajak yang dengan sengaja tidak memerlukan

tafsiran dan cukup dinikmati saja perbauran bayang dan angan-

angannya, ataukah itu sajak-sajak yang gagal membawa makna, dan

tinggal puas dengan teka-teki dan rahasia alam surrealisme, seperti

mimpi yang tidak mampu memberi makna?

Masalah kualitas atau kematangan puisi memang tidak

bergantung pada masa penulisan, juga kemampuan mengaplikasikan

segala fenomena sekitar. Puisi adalah puisi, ia bertutur – bertindak

– bersikap melampaui segala yang bernama indikator, bahkan

linguistik yang menjadi mediumnya tak dapat memenjarakannya

Page 36: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih72

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih73

| Darwin Badaruddin

dalam kaidah kebahasan. Itulah sebabnya, dengan enjoynya puisi

memanfaatkan semiotika dalam wujudnya tanpa peduli apakah

bentuk idiom dalam metafora, eufimisme, simbolisme, alegori, dan

berbagai bentuk majas lainnya yang digunakan telah klop dengan

pemahaman dasar sebagaimana yang berlaku secara umum.

Pada awalnya saya berpikir akan bertemu dengan sejumlah

puisi yang banyak menyuarakan denotatif maupun konotatif soal

keganasan laut, desiran ombak, keperkasaan nelayan, kegigihan

perempuan-perempuan marginal, bahkan keindahan panorama

bahari sebagaimana letak geografis yang menjadi tempat kelahiran

sang penulis.

Aku-lirik dalam antologi puisi “Potret Hitam Putih” meskipun

di hampir seluruh puisi-puisinya meneriakkan lagu tentang cinta

dan kerinduan bahkan nyeletuk tentang religi tetapi terasa Aku-lirik

seolah terjebak di antara harapan dan kecemasan. Harapan pada

suatu kondisi yang dapat menenggelamkan jiwa pada kedamaian.

Damai bagi diri, damai bagi lingkungan, dan damai bagi negeriku.

Harapan aku-lirik secara tersirat dikemas oleh penyair dalam puisi

berjudul “Samudera” :

SAMUDERAdi sini telah kuteteskan air matamembentang samudera menggenang rindukubiarkan lelah jadi aromabagi dosa-dosaku,dan aku bermain dalam badaibatu hitamdalam semerbak cinta,berikan aku samuderayang akan kualirkan ke muara tak bertepitak pernah sepikarena sepi telah dilumat api

dan terkubur dalam terik.Samudera itu membawaku dalam badai puisitak bertepihkantiada hentihanyut dalam tawaf

Pada sisi yang lain, ada kecemasan pada realitas kekinian di mana

hampir tak ada lagi belahan lain dari bumi ini yang tidak terkoyak

oleh ketidakadilan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, ketidaklainnya

yang masuk di ranah nilai kebaikan dan keagungan yang seharusnya

menjadi acuan makhluk Tuhan yang diberi amanah sebagai khalifah

mulia yang bernama manusia. Hampir tak ada lagi tempat berpijak

yang tak tersentuh oleh kemaksiatan.

Kecemasan Aku-lirik pada segala hal yang kini mengoyak

nurani kemanusiaan membuat penyair mencari tahu bahkan

berupaya mencari solusi alternatif, kendati pada akhirnya Aku-lirik

menyadari bahwa kita telah kehilangan segala-galanya. Marilah

kita nikmati harapan dan kecemasan penyair dalam puisinya yang

berjudul; “Kita Telah Kehilangan” berikut ini :

KITA TELAH KEHILANGANSatu saja yang tersisa hari ini,kita telah kehilangan.

Kezaliman telah mencabik cakrawala,bulan pecah di atas ubun-ubunsedang darah dan nanah menjadi begitu nikmat teregukhingga tetes terakhir ;kita telah kehilangan.

Dengan apa membangunkan tulang-belulang para patriot,yang dengan gagah perkasa mengoyak tirani,bukan memangsa daging saudara sendiri ;kita telah kehilangan.

Page 37: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih74

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih75

| Darwin Badaruddin

Ke manakah denting kecapi yang mengiringi nyanyian anak-anak nelayan,ketika ombak masih setia memainkan buih,ketika tangan dan wajah kita masih terbasuh cinta kasih,ketika persatuan belum dibumihanguskan,ketika sajak-sajak masih punya aksara,ketika anak-anak kita belajar tentang budi pekerti,ketika mahasiswa sibuk di ruang praktikum,ketika wajah kita belum pucat pasi ; kita telah kehilangan.

Dengan apa harus menyembuhkan jiwa raga yang terkoyak,oleh perang saudara dan ledakan bom, sementara sukma kita dibubuhi racundan benih-benih kematian.

Satu saja yang tersisa hari ini ;Kita telah kehilangan.

Polewali, 2 Nopember 2002

Saya ingin menutup uraian ini dengan mengutip satu puisi

Darwin Badaruddin yang lain, yang pada hemat saya menunjukkan

kecemasan penyair membangun suasana, citraan, pergumulan

perasaan dengan realitas kekinian, dan khususnya kecemasan dalam

mengontrol dan memilih diksi yang tepat. Dengan kecemasan

itulah puisi senantiansa memberikan kesegaran bahasa. Tugas puisi

dengan demikian tampaknya bukan terutama untuk menyampaikan

makna, pesan, atau amanat. Kalau lukisan dan musik tidak

bertugas menyampaikan pesan dan amanah, kenapa puisi harus

memikulnya?

MIMPI

Gaun merahmu kusingkapDan aku mengembara di atas padang pasirMenebar kesenyapan dalam gelora badaiMengejar fatamorgana(Jakarta, 12 Juli 2003)

Sekian....tabeq diii.... Campalagian, 13 Nopember 2010

*) Drs. Subriadi Bakri, lahir tanggal 17 April 1963 di Polmas, Alumni IKIP Ujung Pandang pada Fakultas Bahasa dan Seni. Dengan nama samaran Asriadhy JH-JR, pernah aktif menulis diberbagai media cetak seperti; Pedoman Rakyat, Harian Fajar, Horison Sastra, Sarinah dalam bentuk artikel, esai, cerpen dan puisi. Bersama Sri Musdikawati dan teman-teman alumni SMA Negeri 1 Polewali menerbitkan tabloid “Banniq”. Kini bertugas sebagai penanggungjawab kolektif pada SMA Negeri 1 Alu Kabupaten Polewali Mandar

Page 38: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih76

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih77

| Darwin Badaruddin

Potret Hitam Putih Darwin Badaruddin

Sebuah InterpretasiOleh: Ety Sabaryati D. Palontjongi*)

LELAKI kekar paruh baya itu lahir di tengah lingkungan yang buta-

tuli ilmu kesastraan, miskin spirit, papah motivasi. Ia membesarkan

diri di lingkungan yang tak pernah melazimkan penghargaan untuk

sebuah karya sastra dalam bentuk apapun.

Tapi, apapun itu, Antologi puisi Potret Hitam Putih karya

Darwin Badaruddin (DeBe) seakan tak terbendung untuk lahir dari

perkawinan sukma religius dan balada romantik. Sungguh renyah

untuk konsumsi nurani yang haus akan perenungan dalam.

Puisi datang pertama kali kepada kita lewat nadanya.

Setidaknya inilah kesan awal yang saya temui pada sosok penciptaan

kinarya DeBe. Sajak-sajak Debe adalah sajak nada rendah nan

sarat makna tersirat yang dibaptis dari tuturan sehari-hari yang

dipadatkan. Sehingga menjadi sebuah idiom yang sangat menarik

lagi sarat makna. Semua dironceh dan disajikan dalam bahasa yang

sederhana dan tidak berbelit belit. Cetusan-cetusan emosi kalbunya

seakan mengalir lebih deras lagi tatkala raganya tanpa sadar

berada di suatu tempat, ruang dan waktu tertentu, sebagai bukti

mari kita simak judul karyanya yang bertajuk “Karebosi”, “32.000

kaki di atas Masalembo”, “Tobatku di atas Toba”, Antara Bukit

Safa & Marwah”, “Dalam Diam Stupa Borobudur”, “Di Mamasa

Kutemukan satu detik”. Setidaknya Inilah rahasia karakter seorang

DeBe yang dapat saya tukil dari perjalanan singkat membedah karya

ini.

Persoalan sastra adalah persoalan manusia di dalam menghadapi

kehidupan ini, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota

masyarakat. Inilah yang terkadang dapat menyebabkan kita lupa

apa yang sedang terjadi. Pengalaman dalam menghadapi kehidupan

ini sangat menarik, demikian juga yang terjadi dalam diri DeBe,

terkesan seakan mengalami goncangan-goncangan hebat dalam

mengarungi kehidupan. Puisinya seolah lahir dari rentetan gumam

yang ditulis tanpa memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras

atau kesibukan di luar dirinya. Ia justru lebih mewakili penggambaran

suatu perlawanan terhadap gerak, suara keras atau kesibukan di

luar. DeBe memilih diam dan memenangkan diam sehingga lebih

nampak sebagai sebuah misteri atau rahasia kehidupan pribadinya.

Seperti yang tersaji dan sangat terasa dalam puisinya yang berjudul

“Guruku Bernama Wulan”, “Di Mamasa Kutemukan Satu Detik”,

“Mimpi”, dan “Jakarta”.

Puisi dan pengalaman DeBe seakan menyadarkan dan

menggiring kita mengarungi aspek aspek kehidupan yang mungkin

belum pernah kita rasakan atau alami ataupun jika pernah kita

rasakan, hal itu tidak sedalam apa yang disampaikannya, penuh kias

dan pengandaian tingkat tinggi.

Perhelatan potret hitam putih dalam kehidupan DeBe pun

melahirkan puisi-puisi religi, gambaran-gambaran yang memberi

kesan gerak terasa mempunyai arti imajinal tentang ketidakpastian

dan kefanaan seperti yang terasa ketika mencoba menggerayangi

rentetan puisinya yang berjudul ”Terminal”, “Maut”, “Sunyi”,

“Rahasia”, dan “Dosa”. Makna yang sangat mendalam, dalam

kebeningan intuitif menangkap hidup dalam helaannya..

Page 39: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih78

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih79

| Darwin Badaruddin

Secara umum, Antologi ini terbilang sukses mewakili rasa

pengarangnya, sehingga hampir tak terdapat cela. Sebagai masukan

untuk kinarya DeBe selanjutnya mungkin tak ada salahnya jika

dalam menyusun halaman demi halamannya kiranya berpedoman

pada proses kejadian atau waktu lahirnya puisi per puisi sehingga

aliran lava kreatifitas bersastra penulis dapat lebih berkesan teratur

dan sistematik hingga sanggup makin menghayutkan pembacanya

ke ruang-renung masing-masing.**)

Akhirnya, Selamat datang untuk sebuah karya baru, ini adalah

salah sebuah bentuk sumbangsih bagi geliat dunia sastra khususnya

di Sulawesi Barat. Diharapkan karya ini mampu menjadi perangsang

bagi tumbuhnya karya-karya baru demi meramaikan kancah

dunia susastra. Untuk kemudian dikemas lebih apik dan lux lalu

diterbit-edarkan sebagai suplemen kurikulum alternatif bagi dunia

pendidikan dan konsumsi umum.

*) Ety Sabaryati D. Palontjongi, salah satu tenaga edukatif SMA Negeri 1 Polewali,Jadi PNS sejak thn 1999. Lahir di Polewali tanggal 26 April 1975, SD (1987), SMP (1990). SMA (1993), IKIP Ujung Pandang sekarang Univesitas Negeri Makassar (UNM) Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan, Bahasa dan Sastra Indonesia tamat 1997, pernah mengikuti lomba menulis cerpen, cerita rakyat yang diselenggarakan Balai Pusat Bahasa, sebagai salah satu tim Balai bahasa Ujung Pandang pada program pemetaan bahasa daerah dan gerakan cinta bahasa Indonesia untuk wilayah Sulbar. Karya : Jerigen Tak Bertutup (cerpen) Untuk apa Aku Menutup Aurat (cerpen). Jelagah (cerpen) Perempuan (antologi Puisi) nyanyian Jiwa (antologi Puisi). Dialek Pattaeq (penelitian bahasa) Dialek Pannei (penelitian bahasa) Dialek Dakka (penelitian bahasa), dialek Jawa Trans (penelitian bahasa).

**) usulan telah diakomodir

Potret Hitam-Putih;

Sisi Lain Darwin BadaruddinH. Mahyuddin Ibrahim*)

MENCENGANGKAN....!! sepenggal kata itu terucap tanpa saya

sadari pada saat memulai membuka dan menyimak satu demi satu

rangkaian puisi yang tertulis dalam Antologi Puisi “Potret Hitam-

Putih” karya Darwin Badaruddin.

Mencengangkan bagi diri saya, karena jujur saya katakan sosok

Darwin Badaruddin belum lama saya kenal, sehingga pemahaman

saya terhadap beliau dan segala yang terpendam dalam dirinya masih

sangat terbatas. Kesan yang mendalam selama saya mengenal beliau

sosok Darwin Badaruddin memeiliki banyak kelebihan, supel dan

gampang bergaul, pribadi yang humoris serta enak diajak bicara dan

diskusi. Tapi ternyata di balik kelebihan-kelebihan yang beliau miliki

masih tersimpan kelebihan lain seperti potensi seni yang luar biasa

khususnya seni sastra yang langka dilahirkan di jazirah Mandar.

Saya tidak dalam kapasitas untuk menilai puisi-puisi beliau

di mana kelebihan dan kekurangannya termasuk membandingkan

dengan karya orang lain, tapi yang pasti sosok Darwin Badaruddin

memiliki naluri seni yang tinggi, mengalir dari kekagumannya

terhadap keindahan dan fenomena alam semesta di manapun ia

Page 40: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih80

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih81

| Darwin Badaruddin

berada, kecintaannya terhadap sesama, keyakinannya terhadap

hukum sebab-akibat, serta ketaatannya terhadap agama dan

Tuhannya, semua terangkai menjadi penyejuk bagi dunia sastra

yang telah lama gersang di Jazirah ini, karena dalam kurun waktu

yang begitu lama tidak pernah lagi melahirkan seorang sastrawan.

Menjadi sastrawan membutuhkan jalan yang panjang, tapi bukan

mustahil seorang sastrawan lahir kembali di Jazirah Mandar lewat

sosok Darwin Badaruddin dan bila hal itu menjadi kenyataan saya

berharap jangan lahir hanya sebatas menjadi kebanggaan saja tapi

jadilah kebanggaan yang terbungkus rasa memiliki lewat interaksi

sosial dan karya yang sarat dengan suasana ke-Mandar-an.

Polewali, 12 Nopember 2010

*) H. Mahyuddin Ibrahim, Inspektur Inspketorat Kab. Polewali Mandar

Potret Hitam-Putih KehidupanHalimah*)

BERBAGAI macam rasa bisa muncrat dalam puisi. Sedih, kecewa,

marah, gelisah, getir, gembira, bahagia, cinta, dan sejenisnya sudah

biasa kita temukan dalam puisi. Tidak berlebihan rasanya bila

sejarah puisi, karya sastra umumnya, adalah sejarah kesedihan,

kekecewaan, kemarahan, kegelisahan, kegetiran, kebahagiaan umat

manusia ketika bersentuhan dengan dunia di dalam dirinya maupun

dunia sekelilingnya. Puisi adalah suara penyair, suara zaman yang

memantulkan berbagai potret suatu zaman, mungkin potret itu terang

benderang, remang-remang, sedikit mencong, zig-zag, tumpang

tindih, terbalik, bahkan jungkir-balik berhadapan dengan realitas di

sekitarnya. Pada titik ini, selain menikmati kreativitas bahasa, ruang

dalam diri penyair, membaca puisi bisa jadi merupakan kegiatan

membaca kondisi masyarakat dan perjalanan sejarah suatu tempat.

Sekurang-kurangnya Antologi Puisi “Potret Hitam-Putih” karya

Darwin Badaruddin (selanjutnya disebut penyair) memperlihatkan

gambaran suatu masyarakat dan karena kita sesungguhnya tengah

membaca masyarakat itu sendiri. Penyair dalam antologi puisinya

menyebut suatu tempat yang cukup dikenal, penyair menyebutnya

“Karebosi”, kemarahan dikatakannya begini /Menyaksikan kaki-kaki berdebu menerjang waktu/ menembus kegelapan/ meneteskan amarah

Page 41: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih82

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih83

| Darwin Badaruddin

di sudut jalan/ sumpah serapah/. Seperti masyarakat kita sekarang

penuh kemarahan. Sedikit saja pemicu yang menimbulkan rasa

kecewa dalam dirinya, maka akan menumpahkan rasa kecewa itu

dengan kemarahan yang tiada tara, sumpah serapah. Tak siang, tak

malam, penuh pekik dan teriak, penuh kepal dan kata-kata yang

sebal dan kecewa, berkelahi dan berperang dengan saudara sendiri

telah menjadi kebiasaan.

Kondisi tersebut diperjelas lagi dalam puisi “Kita telah

Kehilangan”. Penyair mengungkapkan begini /kezaliman telah mencabik cakrawala/ bulan pecah di ubun-ubun/ sedang darah dan nanah menjadi begitu nikmat tereguk/ hingga tetes terakhir/. Sungguh suatu

gambaran masyarakat yang tidak diinginkan tentunya. Kita telah

kehilangan rasa persaudaraan, kekeluargaan, tolong-menolong, dan

cinta sesama yang telah diwariskan nenek moyang kita. Kehidupan

yang indah telah sirna. Semua itu kini berganti dengan rasa kecewa,

marah, sedih, dan getir tumpah ruah. Namun, kondisi tersebut

ternyata belum berakhir. Penyair masih menulis tentang “Maut”.

Itulah sebabnya penyair mengatakan /kepada siapa biduk kita tambatkan/ karena malam telah membenamkan sajak para penyair/ jalan panjang/ berliku/ luka/ tak juga sembuh/.

Semua yang terjadi tampaknya belum kunjung usai, kacau-

balaunya kondisi ternyata bak kiamat. Tak dapat lagi dilukiskan

dengan kata-kata manusia. Sehingga penyair mengungkapkannya

dengan “Qiamat”. /Air mata itu kemudian berubah menjadi danau yang/ menenggelamkan istri, anak, cucu, dan buyutnya/. Sungguh memilukan

dan memiriskan hati. Rasanya tak ada nestapa yang lebih pedih dari

perbuatan yang mengorbankan keluarga sendiri. Akankah kondisi

itu akan berlangsung lama dan terus menerus? Atau tak ada lagikah

ikhtiar yang dapat kita lakukan untuk membalik keadaan? Atau

siapakah yang dapat melakukan perubahan dan mampu menerobos

gelapnya malam hingga menemukan siang?

Suasana dan rasa kecewa serta marah yang mencekam tentu

tidak diinginkan untuk berlangsung selamanya, sehingga penyair

mengungkapkan perlu adanya pengakuan terhadap dosa-dosa

yang telah dilakukan. Seperti dalam puisi “Dosa” dan mengatakan /tapi aku ingin sujud Tuhanku/ ajarkan ku makna kesunyian langit/. Keinginan agar semua elemen masyarakat segera menyadari semua

kesalahan dan kekeliruan yang terjadi. Semua harus meninggalkan

kemarahan dan kegetiran berlarut-larut yang selama ini telah

dirasakan. Oleh karena itu, kita semua perlu “Mi’raj”. Sebagaimana

makna umum kata mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW.

untuk menerima shalat lima waktu. Mampu untuk menciptakan

kedamaian dalam diri dan lingkungan sekitar, kita harus kembali

memaknai kata mi’raj tersebut. Penyair mengungkapkan /mengeja takbir dalam sujud, ruku’, dan tuma’nina/ dalam cinta tiada tara/. Sungguh imbauan yang menyejukkan hati. Segala masalah tak perlu

diselesaikan dengan menumpahkan darah atau mereguk nanah dari

luka saudara sendiri. Hanya dengan kembali bersujud kepada Sang

Pencipta siang dan malam, kita dapat menghilangkan kekecewaan

serta kemarahan, dan selanjutnya akan menemukan cinta abadi dan

indah.

Ajakan penyair untuk bertobat juga terungkap dalam “Tobatku

di Atas Toba”. Penyair menyadari bahwa dalam hidup ada dua hal

yang memang tidak dapat dipisahkan, maut dan kehidupan, sedih

dan gembira, silih berganti.

Selain ungkapan kecewa, sedih, marah, getir, dan berbagai

ungkapan duka yang lain, dalam antologi puisi “Potret Hitam-Putih”

penyair juga masih mengungkapkan tentang sisi indahnya negeri ini.

Dengan menyebut beberapa tempat indah seperti Borobudur, Parang

Tritis, Malioboro, dan bunga indah bernama bougenville. Bahkan

dengan “Sketsa Sandeq”, penyair bercerita tentang keindahan Teluk

Mandar, keriangan anak-anak nelayan. Sungguh negeri yang indah.

Page 42: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih84

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih85

| Darwin Badaruddin

Dan terakhir, antologi puisi ditutup dengan kenangan terindah

kepada “Ibu” yang telah menghadap Sang Khalik.

Dengan demikian, menurut hemat penulis, segala yang

diungkapkan oleh penyair dalam antologi puisi “Potret Hitam-

Putih” lebih menggambarkan kondisi pada kehidupan masyarakat

yang lebih luas, meskipun puisi-puisi yang ada seakan-akan menjadi

potret perjalanan hidup pribadi penyair. Pemberian judul “Potret

Hitam-Putih” pun dinilai tepat karena telah menggambarkan sisi

hitam dan sisi putihnya kehidupan manusia dalam mengarungi

samudera hidupnya sampai menghadap kembali ke Penguasa

Alam.

Polewali, 30 November 2010

*) Halimah, S.Pd., M.Pd. Lahir di Soppeng, 31 Desember 1970, Pendidikan formal SD, SMP, SPG diSoppeng, S1 Bahasa Indonesia IKIP Ujung Pandang (1998), S2 Pendidikan Indonesia UNM Makassar (2006). Tahun 2000 mengajar di SMPN 4 Campalagian. Tahun 2008 mengajar di SMA Negeri 1 Polewali. Tahun 2009 menjadi Finalis Lomba Menulis Cerpen, yang diselenggarakan oleh Depdiknas.

Melawat ke Titik Singgah, Memasuki Ceruk PersonalOleh : Muhammad Syariat Tajuddin*)

DISEPAKATI atau tidak, setiap karya sastra yang terlahirkan

membutuhkan respon pembacaan untuk menangkap kelahirannya

tidak hanya sebagai sebuah kesia-siaan, sekaligus untuk memahami

kehadirannya sebagai sebuah momentum kelahiran yang padanya

bisa diurai rangkai prosesnya.

Selain itu, melalui respon pembacaan kita akan bisa memahami

deret jarak panjang ketelatenan dan beban keringat yang serba

melelahkan dalam mengawalnya menuju muara dan menemukan

nasibnya sebagai sejatinya karya. Dan sebagai amsal muara,

kelahiran karya adalah etape akhir sekaligus awal. Terlebih, jika

upaya menyatukan karya sastra yang terserak dalam sebuah buku

kumpulan puisi dapat disebut sebagai kegiatan “pengawetan”

karya.

Sampai disini, sebagai momentum kelahiran dan kehadiran,

setiap penerbitan buku karya sastra juga seyogyanya diamati sebagai

perayaan proses lepas pisah dari cangkang imajinasi pekaryanya

untuk segera menjadi milik publik. Disini perjalanan baru saja

diakhiri, tetapi sekaligus juga dimulai.

Page 43: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih86

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih87

| Darwin Badaruddin

Sebagaimana karya sastra selalunya dipahami memiliki tugas

sejati untuk menjadi penyampai dan pelontar idea dan atau gagasan

kepada khalayak pembacanya. Ia merdeka untuk mengungkapkan

apa saja yang lahir sebagai ilham dan imajinasi, atau sebagai

respon nyata atas setiap fenomena dan gejala yang ditangkap

oleh penyairnya. Sehingga ia menjadi tak “terkekang” untuk

diberikan tafsiran pula arsiran oleh pembacanya. Keduanya sama

merdekanya.

Tentu saja dengan satu catatan bahwa, untuk menangkap

dan menyalami kandungan keindahan dalam setiap puisi yang

merupakan hasil kerja keras penyairnya, akan menjadi fungsional

jika pembacanya sungguh-sungguh menyelam masuk ke dalam diri

puisi dengan mata dan hati yang terbuka lebar.

Nah, khusus di Buku Kumpulan Puisi Hitam Putih karya

Darwin Badaruddin yang ada ditangan pembaca ini, secara nyata

dan tegas tengah menyuarakan, minimal dua hal, yakni sebuah

upaya merefleksikan kenyataan alam luar sekaligus menarasikan

secara sufistik alam dalam. Yang tentu saja berangkat dari setiap

gejala yang kemudian ditelan bulat dan diendapkan lalu menjadi

karya sastra yang bernama puisi.

Melongok Ruang, Mendedah Diri

Tesis diatas tentu saja tidak lalu seluruhnya benar, namun untuk

kedua ihwal yang ada itu, kentara sekali betapa Darwin Badaruddin

begitu piawai “menyulap” tempat ia berada sebagai pijakan, untuk

“menggorengnya” lalu menyajikannya sebagai karya imajinatif.

Walau dalam waktu yang bersamaam dirinya juga tengah berbicara

dengan dirinya sendiri.

Pada puisi Jakarta, misalnya : beri aku sepiring nasi, dan kuberi engkau bintang yang telah kugantung di setiap sudut kamarkudan membawamu terbang mengitari ladang-ladang berbunga dosa

Tampak nyata betapa penyairnya tengah menemukan dirinya

remuk redam tanpa daya dan mencoba membangun pemberontakan

dan menyuarakan ketidaksetujuannya melalui capaian leterer.

Sebagaimana Mathew Arnold mengatakan, bahwa puisi selalu

membuka kemungkinan untuk tampil sebagai kritik atas kehidupan.

Hal yang sama dari bentuk ini, juga dapat ditemu kenali pada puisi

berjudul Malioboro : duduklah disini, mengurai banyak kusut masa silam, menyimak nyanyian anak jalanan,dan izinkan kulukis danau bening di matamu

duduklah disini kekasih penyair, dan jangan bergi sebelum kutulis lagi satu puisi

Puisi ini mengisyaratkan, bahwa kota dan tempat atawa ruang

seakan menjadi kenyataan yang memaksakan dan seakan selalu

“mencubitnya” untuk menulis puisi. Hanya saja, capaiannya acapkali

tak terlalu memperhitungkan secara matang kedalaman penyelaman

atas ruang tempat dimana ia melahirkan karya. Sehingga jadilah

kemudian karya-karya itu murni dan secara sungguh-sungguh

sebagai dialog personal penyairnya. Dan meninggalkan kesan,

bahwa penyairnya tidaklah begitu menerima kenyataan ruang yang

ditandanginya, kendati ia telah berusaha untuk “mengais” gagasan

Page 44: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih88

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih89

| Darwin Badaruddin

dari ruang itu, namun hanya sebagai titik singgah belaka, bukan titik

pijak bagi penciptaan karya.

Kendati demikian, penyair cukup diuntungkan dan diselamatkan

ketajamannya untuk mengolah dunia dalam, sebagai mata pisau

untuk mengiris-iris setiap kedatangannya pada setiap tempat sebagai

perangkat puitiknya. Artinya penyair kita yang satu ini, telah berhasil

untuk setia menelan bulat-bulat setiap kunjungannya tanpa berupaya

untuk menyisakan sedikit ruang bagi kemungkinan pencapaian daya

ungkap yang baru berdasarkan kekhasan ruang yang didatanginya

itu.

Kenyataan ini kian menguat, tatkala kita melongok ke dalam

puisi Biarkan Dzikirku :

Biarkan dzikirku mengembara bersama angin, Menuju negeri tanpa tirai, Menusuk dinding waktu, Perjalanan panjang adalah anggur yang memabukkan Di atas laut terpagar batas pandangBairkan dzikirku Menembus laut kelam, Yang telah memadamkan lampu-lampu diskotik, Segala terangkai, Dalam getar sujudku yang melahirkan embun, Menetes, Kering, Lenyap.

Pada puisi ini, yang tampak kemudian adalah ketidak berhasilan

penyair untuk mewakilkan ruang yang didatanginya. Tentu saja

tanpa ia harus terjebak untuk melahirkan karya yang terkesan

hanya sebagai reportase. Bila kecenderungan ini terpelihara, kelak

akan beresiko untuk terjebak pada formalitas yang cenderung kaku.

Dimana setiap karya yang terlahirkan pada ruang yang berbeda

melulu hanya akan menjadi semacam imajinasi yang menyalak dari

ruang personal penyairnya. Namun mengembara jauh dan lepas

bahkan tercerabut dari ruang pijak penciptaan karya itu sendiri.

Padahal disisi lain, jelas terbaca bahwa sang penyair kita ini,

juga tidak mau begitu saja melewatkan setiap kedatangan dan

perjumpaannya dengan setiap ruang. Itu terbaca pada kalimat

puitiknya pada puisi Malioboro diatas tadi, “dan jangan pergi

sebelum kutulis lagi satu puisi”. Pun demikian pada karya berjudul

"Mimpi" berikut ini : Gaun merahmu kusingkap Dan aku mengembara di atas padang pasir Menebar kesenyapan dalam gelora badai Mengejar fatamorgana

Pada puisi inipun sekali lagi kita bertemu dengan kenyataan

itu, kita seakan menemukan otentisitas keterwakilan ruang yang

didatanginya meraib, tertutupi oleh kekuatan bacaan dari dunia

dalam yang jauh sebelumnya telah terpatron sebelum kedatangan

penyairnya ke tempat itu. Bukan penjelasan tandas dunia luar atau

titik pijak yang ditandanginya.

Perjalanan Ombak dan Aroma Sublim

Namun kesan ini, amat berbeda pula kontras dengan puisi-

puisinya tentang laut. Yang jelas seakan tengah menyatakan kepada

kita betapa fasihnya penyair ini untuk merentangkan “pukat” dan

“jalanya” dalam pencapaian sublimitasnya pada laut pula pantai. Hal

ini lalu kemudian menjadi semacam “gamitan” kepada kita bahwa

sungguh Darwin Badaruddin adalah anak yang lahir, “ditimang-

timang” dan dibesarkan oleh atmosfere pantai dan laut. Sehingga

jadilah puisi-puisi yang beraroma laut itu serasa menjadi semacam

“Perjalanan Ombak,” sebagaimana judul salah satu puisi yang ada

dalam kumpulan ini.

Page 45: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih90

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih91

| Darwin Badaruddin

Artinya kita seakan diperhadapkan pada bacaan “suara anak

laut” yang memang tidak asing dan tidak tengah mengada-ada. Pada

karya, selain Perjalanan Ombak itu sendiri, Sketsa Parang Tritis

yang dibuat dalam tiga episode dan Samudera serta pada puisi yang

berjudul Sketsa Sandeq hal yang samapun kita temukan.

Khusus, pada puisi Samudera misalnya, kita menemukan

capaian Darwin yang unik sekaligus menarik, “samudera itu membawaku dalam badai/ puisi tak bertepi/ tiada henti/ hanyut dalam tawaf”. Puisi ini meyakinkan kita bahwa menemui Tuhan sekaligus

suasana transendental itu amat memungkinkan dilakukan pada laut.

Dan ini nyata sekali pada pilihan-pilihan diksi yang ia gunakan,

semisal, dalam badai, ke muara tak bertepi dan kesemua itu

terwakilkan pada “dari mana ombak / menempuh perjalanan / pecah di buritan / menjilati sampan pelaut gagah berani / menuai hidup tanpa batas / dari mana angin / menempuh perjalanan / bertualang / hingga ke kaki langit / yang kubuat dalam garis tipis”. Pesan perjalanan yang

berpiling kelindan dalam ruang terdalam yang serba personal. Dan

karenanya ia menjadi transendental.

Suasana sublim yang cenderung sufistik kemudian kian menguat,

tatkala kita melongok pada puisi-puisi Darwin Badaruddin yang

lahir di kampung pijakan atau tanah ibu yang menjadi sejatinya

ruang tempat penyair banyak menandaskan waktunya di Polewali

yang dalam peta merupakan wilayah pesisir.

Tampak telah jauh membawanya untuk sungguh-sungguh masuk

ke relung puisi dengan menggunakan perangkat diksi puitik. Bahkan

sesekali menukik begitu tajam dan menohok ke ceruk terdalam, dan

itu terbaca pada penggunaan diksi yang acap kali menjadi pilihan

memberikan warna khusus, walau untuk urusan yang satu ini, tak

melulu bisa digeneralisir secara serampangan. Taruh misal dalam

karya "Sunyi" berikut ini:

duduk sendiri di bawah langit-Mu aku kembara,menghitung dedaunan kering yang luruh di tiap rimbaraya,menghitung bebatuan di padang pasir, menghitung nafas, tak terbatas.

atau pada puisi rahasia :

cuma satu yang tersisa dari sebuah peristiwa, kehidupan, cuma satu yang tersisa dari sebuah kehidupan, rahasia

Penyairnya sungguh telah bermain-main dengan perangkat

literernya namun begitu tajam mengiris hingga ke suasana yang tak

lagi sekedar jelaga pula absurd, tetapi disini aroma otentisitas ke-

Ilahia-an menemui dirinya dalam puisi.

Selain itu, kesan romantikpun tak pelak menjadi wilayah

garapan yang coba dimainkan oleh penyair kita ini, seperti dalam

karya, Bougenville : Pernah kusimpan setengah bougenville di belakang rumahmu dan berharap suatu saat kelak kita akan memetik bunganya, menaburkan di setiap jengkal tanah yang kita lalui, menyanyikan lagu asmara dari mimpi-mimpi

panjanag.

Kini bougenville itu telah menjadi belukar, menebar aroma menyesakkan dada, tak ada nyanyian, juga warna-warni dan kita pun sepakat mengakhiri mimpi

Kesan bermain-main pada ihwal yang serius inipun sesungguhnya

menyisakan rasa simpatik kita pada laku kata untuk menyiasati

sebuah kenyataan dengan jalan yang amat piawai. Artinya, kendati

Page 46: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih92

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih93

| Darwin Badaruddin

romantis dan sejatinya serius, namun di tangan Darwin Badaruddin,

kesan kenes tidak kita temui. Sungguh sebuah pencapaian yang

membutuhkan proses kreatif yang panjang dan tak instan.

Pada puisi Doa Seorang Pelacur-pun Darwin Badaruddin

menyatakan kesungguhannya sebagai penyair yang banyak

menggunakan perangkat spiritual-sufistik kendati judul dan gagasan

yang diangkat cukup menggoda untuk di ekplorasi dengan jalan

menelusurinya secara detail setiap lekukan. Artinya kesan pertama

begitu membaca judulnya, boleh jadi, pembaca akan menengarai

bahkan menunggu kemunculan perangkat simbolik seorang

pelacur, minimal pada penggunaan diksinya. Namun bagi Darwin

Badaruddin hal itu ternyata tidak kita temui, selain aroma sublim.

Berikut Puisi Doa Seorang Pelacur : Hari ini aku ingin sholat magrib meski dari menara masjid dekat

lokalisasi tempatku mengais hidup sudah terdengar adzan isya, mukenaku masih putih bersih hadiah dari ibu ketika mengantarku ke gerbang pesantren.

Biarlah kucukupkan sujudku karena malam ini aku takkan meminta apapun dari lelaki yang berseliweran hingga pagi.

Malam ini,Aku ingin berdoa, tapi tak persis sama dengan doa yang diajarkan

oleh guru-guruku, karena aku telah belajar pada guru terakhirku yang tak pernah kuberi nama.

Tuhanku.....!,Jika kelak aku tak cantik lagi untuk jadi pelengkap birahi, tolong beri

aku kesempatan duduk di pinggir kali yang membelah kota ini, karena aku tahu di atas sampah yang mengapung ada semut yang pernah mendengar desah nafasku dan tawa manjaku berharap mendapat bayaran lebih dari biasanya.

Tuhanku....!,Jika kelak Engkau masukkan aku ke dalam neraka-Mu, tolong

jangan sumpal mulutku dengan bara amarah-Mu, karena betapa aku ingin mencintai-Mu,

tapi jazadku berlumur nanah. Tuhanku....!,Jika kelak Engkau masukkan aku ke syurga-Mu,akan kucari telaga airmata ibuku yang tak pernah kering,yang terus menyimpan bayang bulan purnama,sedetik saja,meski sesudah itu Engkau bakar tubuhku,karena kutahu :cinta ibuku,adalah serpihan cinta-Mu.

Tidak itu saja, dalam beberapa puisi, kita juga menemukan

kemampuannya untuk meniadakan hal-hal yang cengeng pada

hal ihwal yang semestinya menguras air mata. Kenyataan ini bisa

kita temukan pada puisi Perempuan itu Menemui Tuhannya. Puisi

naratif ini nyata sekali tengah mencoba membangun kesan sekaligus

kesadaran lain pada sebuah kematian yang biasanya dirayakan

dengan tumpahan tangis dan lelehan duka.

Namun di tangan Darwin Badaruddin, kita justru diminta

untuk “mengejanya” seraya menangkap pesan dan nilai lain. Yakni

aroma patriotik dan humanis yang syarat dengan suasana religiusitas

dalam teksnya. Sebagaimana Julia Kristeva pernah menyetir bahwa,

teks sastra adalah juga mosaik dan kutipan-kutipan yang merupakan

penyerapan serta transformasi dari teks-teks lain.

Khusus, suasana religiusitas yang magis inipun kian menegas

dengan gaya teriakan yang parau pada puisi Alif berikut ini :

Page 47: Antologi Puisi Potret Hitam Putihdarwinbadaruddin.weebly.com/uploads/1/1/7/6/11769014/antologi_pra... · Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak

| Darwin Badaruddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih94

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih95

| Darwin Badaruddin

I ?I ?I ?kutanya apapada siapaalif menghadap langitalif menghujam bumialif di langitalif di bumialif di bulanalif di awanalif di lautalif di ombakalif di daunalif di semutalif di baraalif di saljualif di tawaalif di tangisalif di makkahalif di mandaralif di mana sajatapi alif masih juga satutidak beranaktidak diperanakkanbahkan oleh alif sendirikarena alifsegala sebab.

Akhirnya apapun yang ada pada buku Kumpulan Puisi Hitam

Putih ini seakan tengah meminta kita untuk tidak sekedar melihat

segenap persoalan hidup dengan frame berfikir hitam putih atau

“kaca mata kuda” belaka. Sebab di tangan seorang penyair yang telah

mematang rentangkan garis hidupnya dalam dunia kepenyairan,

boleh jadi akan menjadi berbeda. Sebagaimana yang kita baca dalam

buku kumpulan puisi ini.

Selebihnya catatan ini kiranya tidak tengah dimandatkan dirinya

untuk menjadi “guide” bagi pembaca, sebab biarlah kemerdekaan

penciptaan pada karya-karya yang ada dalam buku ini juga

berbanding sebangun dengan kemerdekaan pembaca untuk memilih

gaya merespon, membaca, mentafsir dus mengapresiasinya.

Dan tak usalah catatan ini terlalu panjang dan merepek begitu

liar, menyita ruang serta waktu kita semua. Kepada para pembaca,

bersegeralah membaca karya ini, sebab hanya dengan begitu kita akan

segera menangkap suasana kebatinan dan imaji yang sebelumnya

telah dibaca pikirkan oleh penyairnya.

Selamat merayakan perjumpaan itu, tidak hanya sebagai

terminal persinggahan belaka. Tetapi sebagai upaya untuk masuk

dan berdiam dalam wilayah yang sungguh personal sebagaimana

yang telah dilakukan oleh penyairnya, sekaligus diharapkan mampu

menyulut persepsi kita sebagai pembaca. Sebagaimana sejatinya kita

membaca sastra untuk membangun persepsi dan mencecap nilai

kemuliaan kemanusiaan.

Dan begitulah puisi yang sejatinya adalah ruang meditatif.

Semoga katarsis !

*) Muhammad Syariat Tajuddin, Sastrawan Muda Mandar, Kini tinggal di Mandar dan ikut mengelolah media online www.suaramandar.com