25
Angiofibroma nasofring Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak (cranial vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngeal angiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini tidak sepenuhnya tepat karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya, bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan. Tugas angiofibroma 1

Angio Fibroma

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Angio Fibroma

Angiofibroma nasofring

Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal

angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak

namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan

sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak (cranial vault), serta

sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh

darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada

perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma

nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngeal angiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini

tidak sepenuhnya tepat karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien

yang lebih tua. Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile

angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal

tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor,

angiofibroma nasofaring belia. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-

mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun

(Harrison, 1976). Jaraknya, bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich

dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun.

Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom

atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan.

Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada

nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Insiden

dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur

Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap

tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and

Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976)

mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear

Hospital dimana didapat kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London

dibanding di New York. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.

Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.

Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis.

Eksisi JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu

pada eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor mikroskopik.

Tugas angiofibroma 1

Page 2: Angio Fibroma

ETIOLOGI

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak

dikemukakan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal dari

sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage.

Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA

jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). Banyak bukti

memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor

androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor

ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul

pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan

mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma

nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan studi imunositokimia

menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus

endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3%

positif antibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil membuktikan

langsung adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi

proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1

(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan

dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak

diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal

sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan

sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma

nasofaring juvenile.

Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil

mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene

p53 sama seperti Her-2/neu oncogene. Gen glutation-S-transferase M1 (GSTM1)

yang biasa terdapat pada sel manusia dan mempunyai fungsi sebagai sitoprotektor

terhadap antioksidan biasanya gen ini menghilang pada para perokok. Hilangnya

GSTM1 memicu keganasan pada traktus respiratorius bagian atas. Gautham dkk

menyelidiki hubungan perubahan pada GSTM1 pada pasien non perokok yang

Tugas angiofibroma 2

Page 3: Angio Fibroma

menderita JNA. Hasilnya menunjukkan tiga dari delapan pasien tidak menunjukkan

tidak terdapatnya GSTM1.

Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah protein perangsang

pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan janin. IGFFII ditemukan bersamaan

dengan pertumbuhan jaringan tumor pada 53 % dari pasien JNA. Ini juga

membuktikan bahwa gen IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan tumor JNA.

Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar

adenomatous polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi autosomal

dominan yang ditandai dengan beberapa adenoma di traktus gastrointestinal,

kecenderungan terjadinya adenokarsinoma dan keganasan-keganasan lain di

ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP ekstrakolon dengan JNA

yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada pasien dengan sindrom ini.

Pengetahuan tentang patologi dari JNA sudah mulai ditelti sejak beberapa

dekade yang lalu. Dengan kemajuan di bidang studi anatomopato;ogik masih sedikit

penelitian mengenai aspek genetik dan molekular dari JNA. Kebanyakan penelitian

tentang genetika JNA memberikan hasil yang tidak bisa disimpulkan atau tidak

menambah banyak informasi tambahan terhadap pengetahuan tentang tumor tersebut.

LOKASI

Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari

akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya

muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen

sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring

dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus

maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.

PATOLOGI

Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai massa keras, berlobulasi

membengkak agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya

bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring

dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian

Tugas angiofibroma 3

Page 4: Angio Fibroma

yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau

abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa

padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi.

Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari

endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus,

pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma,

menyebabkan perdarahan yang berlimpah.

Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari

sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel,

sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat

dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas,

mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis

tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin

padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.

Gambar 1. Reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak sebuah massa yang besar,

tidak bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang sebelumnya berada dalam

nasofaring. JNA juga dapat berbentuk bertangkai (pedunculated) atau polypoid

Tugas angiofibroma 4

Page 5: Angio Fibroma

Gambar 2. Gambaran histologis dari JNA. Tampak gambaran fibrosit

berbentuk bintang (tanda *) dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh darah

berdinding tipis (tanda panah)

PATOFISIOLOGI

Menurut Mansfield E (2006) , asal mula JNA terletak di sepanjang dinding

posterior-lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen

sfenopalatina dan aspek posterior dari middle turbinate. Histologi janin

mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di daerah ini. Bukannya menyerbu

jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah menyandarkan diri

pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan melalui

perbatasan yang banyak tulangnya. Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial.

Tugas angiofibroma 5

Page 6: Angio Fibroma

Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen

sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau

dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang

lainnya meluas ke fossa pterigopalatina. Pertumbuhan anterior terjadi pada membran

mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior dan inferior menuju ke ruang

postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan septumnya

berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya. Pertumbuhan superior langsung menuju sinus

sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus)

dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih lanjut. Penyebaran

lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus

maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.

Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the

sphenoid) dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi

nervus optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor. Kejadian angiofibroma

ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua,

terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah

(less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala

1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang

paling sering, terutama pada permulaan penyakit.

2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah

(blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya

satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).

3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.

4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.

5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.

6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke

rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.

7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi

(unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya

Tugas angiofibroma 6

Page 7: Angio Fibroma

sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye

pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit

mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek),

dan rhinolalia.

Tanda

1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;

nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai

(sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung

(nasal mass) ini mencapai 80%.

2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging

palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa

mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya

disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata

(orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata

menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.

3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,

pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang

merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga

terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun

hal ini jarang terjadi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.

Biopsi

Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah

dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam

pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan

endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi

secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi

perdarahan.

Tugas angiofibroma 7

Page 8: Angio Fibroma

Karena karakteristik klinis dan gambaran raadiografi mungkin banyak klinisi yang

merasa perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi biopsi dari lesi JNA dapat

mengakibatkan perdarahan hebat. Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring

juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun

didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut

dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa,

seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan,

biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.

Pemeriksaa Radiologis

FOTO SINAR-X

Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring.

Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral,

yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fissura pterigopalatina

membesar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang

dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah di sekitar nasofaring.

CT SCAN dan MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)

Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau

invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.

MRI sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari lesi

JNA sehingga bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan keganasan

yang lain. Lesi juga menunjukkan peningkatan kontras pada CT scan dan MRI dan

aliran vaskulerdalam lesi akan teridentifikasi pada MRI. Gambaran pembesaran yang

hampir homogen dari lesi ini membedakannya dengan massa vaskuler lain seperti

arteriovenous malformation. Untuk membedakan dengan gambaran jaringan lunak

homogen lainnya seperti peradangan sinus dan mukosa hidung akan dapat jelas

dibedakan dengan MRI. Slain itu CT scan dan MRI dapat menggambarkan dan

menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatanintrakranial.

Tugas angiofibroma 8

Page 9: Angio Fibroma

ANGIOGRAFI

Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada

Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri

maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan

adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan

sebelumnya gagal.

STADIUM

Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang

terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging

System diperlukan untuk memilih pendekatan bedah untuk mengeluarkan JNA,

Chandler dkk merekomendasikan sistem stadium untuk kanker nasofaring oleh AJC :

Stadium I : Tumor di nasofaring.

Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.

Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa

pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.

Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Klasifikasi Menurut Sessions

Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.

Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring

dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.

Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.

Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa

erosi superior dari tulang-tulang orbita.

Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial

fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.

Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa

perluasan ke sinus kavernosus.

Tugas angiofibroma 9

Page 10: Angio Fibroma

Klasifikasi Menurut Fisch

Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa kerusakan

tulang.

Stadium II – Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal

dengan kerusakan tulang.

Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio

parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.

Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan

atau fossa pituitari.

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal,

teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma,

karsinoma sel skumous).

2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.

3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.

4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).

5. Polip koanal (choanal polyp).

6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).

7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).

8. Kordoma (chordoma).

9. Karsinoma nasofaring.

PENATALAKSAAN

EMBOLISASI

Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi

jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan

Tugas angiofibroma 10

Page 11: Angio Fibroma

memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah.

Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis eksterna lalu ke arteri

maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih bisa didapat dari arteri karotis

interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan embolisasi saja cukup untuk

menghentikan perdarahan hidung, atau dapat langsung diikuti dengan pembedahan

untuk mengangkat tumor. Embolisasi mampu untuk mengurangi pendarahan saat

pembedahan sebanyak 60 – 80%

OPERASI

Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs anatomis

di basis cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan stadium

tumor. Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim operator mungkin berbeda.

Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk tumor-tumor yang kecil (tunor

stadium I) ,metode endoskop ini menjadi metode yang dipilih untuk tumor-tumor

tertentu di beberapa RS.

Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan JNA dari nasofaring

dimana sudah terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral. Untuk lesi dengan

pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin memilih pendekatan transfacial

melalui lateral rhinotomy dan medial maxillectomy. Teknik midfacial degloving bisa

juga digunakan. Lesi dengan penyebaran yang luas ke luar nasofaring akan

memerlukan kombinasi dari pendekatan-pendekatan pembedahan basis cranii untuk

mendapatkan pembukaan yang cukup untuk mengeluarkan lesi. Pendekatan facial

translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan untuk perluasan

koronal digunakan frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies untuk

jalan masuk. Pendekatan lateral melalui fossa infratemporal diperlukan untuk

mereseksi tumor yang membesar ke regio tersebut.

Terapi medikamentosa dengan diethylstilbestrol 2-3 minggu pre-operatif

untuk mengurangi perdarahan saat operasi. Anastesi yang bersifat hipotensif juga

dipilih untuk lebih baik lagi mengurangi perdarahan.

Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan terapi

hormonal digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat reseptor

testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%.

Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.

Tugas angiofibroma 11

Page 12: Angio Fibroma

Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren atau

ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau

resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan

pembedahan. Biasanya dosis sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard

untuk mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi

tumor tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif radioterapi

sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan. Beberapa institusi melaporkan

rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Penggunaan radioterapi sebagai

modalitas utama untuk penatalaksanaan JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh

UCLA. Dari 27 pasien yang dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23 (85%)

dan empat pasien akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan

tetapi komplikasi jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%)

yaitu gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis, katarak,

dan keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala dan

leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap JNA.

Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi

radiasi tidak berguna dalam banyak kasus. Selain itu perlu diperhatikan juga efek

samping dari radioterapi. Prognosis dari radioterapi sendiri ditentukan oleh stadium

tumor. Yang mana lebih baik pada tumor stadium rendah tapi kurang memberi hasil

pada tumor stadium akhir.

KOMPLIKASI

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit

stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury

terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila tumor

sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii.

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).

Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang

terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-

Ferguson.

Untuk komplikasi dari radioterapi Osteoradionecrosis dan atau kebutaan

karena kerusakan saraf mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant

Tugas angiofibroma 12

Page 13: Angio Fibroma

transformation), gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, dan nekrosis lobus

temporalis.

PROGNOSIS

Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah:

keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan

intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya

sisa tumor.

Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan

(recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100%

dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial.

Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika terjadi

kekambuhan.

Radiosurgery

Radiosurgery adalah prosedur medis yang masih cukup baru. Pertama kali

dikembangkan pada 1951. Teknologi canggih dan alat yang rumit dan mahal

membuat belum banyak instansi kesehatan memilikinya. Apalagi di negara

berkembang seperti Indonesia. Radiosurgery mempunyai prinsip dasar seperti

radioterapi yaitu menggunakan radiasi pengion untuk membunuh sel-sel tumor.

Perbedaannya adalah sinar pengion diarahkan dengan presisi tinggi sehingga tidak

merusak sel-sel yang sehat.

Radiosurgery umumnya digunakan untuk keganasan-keganasan SSP yang

biasanya lokasinya cukup sulit untuk dijangkau dengan pembedahan terbuka atau

beresiko melukai jaringan-jaringan vital disekitarnya seperti arteri dan nervus. Untuk

JNA sendiri Radiosurgery belum menjadi indikasinya akan tetapi ada satu kasus yang

dilaporkan oleh Chul Kee Park dkk yang berhasil menangani JNA rekuren dengan

salah satu alat radiosurgery yang disebut Gamma Knife surgery (GKS).

Tugas angiofibroma 13

Page 14: Angio Fibroma

Baik bedah maupun radioterapi sudah dilaporkan sangat efektif sebagai

penatalaksanaan JNA dengan angka rata-rata kesembuhan mencapai 80%. Akan tetapi

perlu dipikirkan komplikasi serius dari dari kedua moda terapi. Jika komplikasi serius

intervensi bedah seperti perdarahan masif dan infeksi bersifat langsung, komplikasi

dari radioterapi lebih lama dengan masa laten sekitar 20 tahun sebelum munculnya

komplikasi. Jadi menentukan penatalaksanaan yang paling optimal diantara 2 moda

tersebut menjadi sumber kontroversi. Cummings dan Harwood dkk menganalisa

resiko komplikasi kumulatif relatif diantara kedua moda terapi secara numerik, dan

mereka menyimpulkan kedua moda tersebut memiliki angka kumulatif resiko sebesar

1:100

Radiosurgery mempunyai beberapa kelebihan dibanding bedah dan

radioterapi. Radiosurgery tidak invasif dan bebas dari komplikasi akut bedah seperti

perdarahan masif. Selain itu waktu pemulihan tentu lebih cepat ketimbang pemulihan

post-operasi. Untuk komplikasi jangka panjang, radiosurgery mempunyai resiko lebih

kecil ketimbang radioterapi konvensional secara teori karena perencanaan dosimetri

yang lebih akurat dengan jaringan sehat yang lebih sedikit terpapar radiasi. Walaupun

begitu radiosurgery bukan tanpa kelemahan. Radiosurgery sulit untuk massa yang

berukuran lebih dari 3cm karena dibutuhkan dosis radiasi yang besar. Selain itu waktu

untuk mencapai hasil yang diinginkan juga tetap lebih lama karena massa tumor

memerlukan waktu untuk regresi. Tentu ini bukan pilihan bagi kasus-kasus yang

gawat. Laporan keberhasilan terapi JNA dengan radiosurgery ini mungkin bisa

menjadikan JNA sebagai indikasi dilakukan radiosurgery. Akan tetapi penelitian dan

pengalaman lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi efektifitas radiosurgery

untuk terapi JNA. Terutama untuk efek samping jangka panjangnya.

Tugas angiofibroma 14

Page 15: Angio Fibroma

Referensi

1) Fauci, et.al. (Ed.) Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.

McGraw-Hill Companies, Inc. USA. 2008; Part 6: Chapter 79.

2) Goodenberger J, Ross PJ. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Radiol

Technol. Jul-Aug 2000;71(6):595-8.

3) Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine Specialties > Vascular Surgery >

Medical Topics. Jun 26, 2006.

4) Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam:

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.

Edisi Keenam. Editor: Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.

5) Schick B, Veldung B, Wemmert S, et al. p53 and Her-2/neu in juvenile

angiofibromas. Oncol Rep. Mar 2005;13(3):453-7.

6) Schuon R, Brieger J, Heinrich UR, et al. Immunohistochemical analysis of

growth mechanisms in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Eur Arch

Otorhinolaryngol. Dec 20 2006;

7) Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In: eMedicine Specialties

> Otolaryngology and Facial Plastic Surgery > Pediatric Otolaryngology. Feb

23, 2007.

8) Tyagi I, Syal R, Goyal A. Recurrent and residual juvenile angiofibromas. J

Laryngol Otol. Jan 9 2007;1-8.

9) Windfuhr JP, Remmert S. Extranasopharyngeal angiofibroma: etiology,

incidence and management. Acta Otolaryngol. Oct 2004;124(8):880-9.

Tugas angiofibroma 15

Page 16: Angio Fibroma

10) Ondrey FG, Wright SK. Neoplasm of the Nasopharynx. In:Bellenger’s

Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck surgery.BC Decker. 2003;

492-495

11) Tony R, Bull. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th Edition. Thieme. 2003; 148

12) Anurogo,Dito. Misteri Dibalik Keajaiban Tumor Hidung Angiofibroma.

Dalam: http://netsains.com/2009/05/misteri-di-balik-keajaiban-tumor-hidung-

angiofibroma/ . Mei 9 2009

13) Ali, Alhamsyah. Referat: Angiofibroma Nasofaring Juvenile. Dalam:

http://www.alhamsyah.com/2007/01/28/referat-angiofibroma-nasofaring/ .

Januari 28 2007

14) Andrade, Nilvano Alves et.al. Nasopharyngeal Angiofibroma: Review of the

Genetic and Molecular Aspects. In:

http://www.arquivosdeorl.org.br/conteudo/acervo_eng.asp?id=553 .

International Archives of Otorhinolaryngology. No.3, Vol 12, 2008

15) Park, Chul-Kee et.al. Recurrent Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma

Treated with Gamma Knife Surgery. In: http://jkms.org/fulltext/html/jkms-21-

773.html . Korean Academy of Medical Sciences. August 21 2006

16) Rahmani, Shervin et.al. Meningitis And Coma As The First Manifestation Of

Juvenile Angiofibroma. In:

http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_otorhinolaryngology/

volume_4_number_1_37/article/

meningitis_and_coma_as_the_first_manifestation_of_juvenile_angiofibroma.

html . The Internet Journal of Otolaryngology ISSN:1528-8420.

Tugas angiofibroma 16