Upload
febriyanti-eka
View
99
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
Angiofibroma nasofring
Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal
angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan
sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak (cranial vault), serta
sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh
darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada
perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma
nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngeal angiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini
tidak sepenuhnya tepat karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien
yang lebih tua. Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile
angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal
tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor,
angiofibroma nasofaring belia. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-
mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun
(Harrison, 1976). Jaraknya, bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich
dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun.
Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom
atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan.
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada
nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Insiden
dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur
Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap
tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and
Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976)
mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear
Hospital dimana didapat kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London
dibanding di New York. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.
Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis.
Eksisi JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu
pada eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor mikroskopik.
Tugas angiofibroma 1
ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
dikemukakan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal dari
sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage.
Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA
jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). Banyak bukti
memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor
androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor
ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul
pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan
mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma
nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan studi imunositokimia
menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus
endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3%
positif antibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil membuktikan
langsung adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi
proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1
(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan
dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak
diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal
sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan
sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma
nasofaring juvenile.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil
mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene
p53 sama seperti Her-2/neu oncogene. Gen glutation-S-transferase M1 (GSTM1)
yang biasa terdapat pada sel manusia dan mempunyai fungsi sebagai sitoprotektor
terhadap antioksidan biasanya gen ini menghilang pada para perokok. Hilangnya
GSTM1 memicu keganasan pada traktus respiratorius bagian atas. Gautham dkk
menyelidiki hubungan perubahan pada GSTM1 pada pasien non perokok yang
Tugas angiofibroma 2
menderita JNA. Hasilnya menunjukkan tiga dari delapan pasien tidak menunjukkan
tidak terdapatnya GSTM1.
Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah protein perangsang
pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan janin. IGFFII ditemukan bersamaan
dengan pertumbuhan jaringan tumor pada 53 % dari pasien JNA. Ini juga
membuktikan bahwa gen IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan tumor JNA.
Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar
adenomatous polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi autosomal
dominan yang ditandai dengan beberapa adenoma di traktus gastrointestinal,
kecenderungan terjadinya adenokarsinoma dan keganasan-keganasan lain di
ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP ekstrakolon dengan JNA
yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada pasien dengan sindrom ini.
Pengetahuan tentang patologi dari JNA sudah mulai ditelti sejak beberapa
dekade yang lalu. Dengan kemajuan di bidang studi anatomopato;ogik masih sedikit
penelitian mengenai aspek genetik dan molekular dari JNA. Kebanyakan penelitian
tentang genetika JNA memberikan hasil yang tidak bisa disimpulkan atau tidak
menambah banyak informasi tambahan terhadap pengetahuan tentang tumor tersebut.
LOKASI
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari
akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya
muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen
sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring
dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus
maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.
PATOLOGI
Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai massa keras, berlobulasi
membengkak agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya
bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring
dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian
Tugas angiofibroma 3
yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau
abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa
padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi.
Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari
endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus,
pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma,
menyebabkan perdarahan yang berlimpah.
Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari
sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel,
sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat
dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas,
mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis
tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin
padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.
Gambar 1. Reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak sebuah massa yang besar,
tidak bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang sebelumnya berada dalam
nasofaring. JNA juga dapat berbentuk bertangkai (pedunculated) atau polypoid
Tugas angiofibroma 4
Gambar 2. Gambaran histologis dari JNA. Tampak gambaran fibrosit
berbentuk bintang (tanda *) dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh darah
berdinding tipis (tanda panah)
PATOFISIOLOGI
Menurut Mansfield E (2006) , asal mula JNA terletak di sepanjang dinding
posterior-lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen
sfenopalatina dan aspek posterior dari middle turbinate. Histologi janin
mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di daerah ini. Bukannya menyerbu
jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah menyandarkan diri
pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan melalui
perbatasan yang banyak tulangnya. Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial.
Tugas angiofibroma 5
Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen
sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau
dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang
lainnya meluas ke fossa pterigopalatina. Pertumbuhan anterior terjadi pada membran
mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior dan inferior menuju ke ruang
postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan septumnya
berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya. Pertumbuhan superior langsung menuju sinus
sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus)
dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih lanjut. Penyebaran
lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus
maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the
sphenoid) dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi
nervus optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor. Kejadian angiofibroma
ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua,
terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah
(less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang
paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah
(blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya
satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke
rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi
(unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya
Tugas angiofibroma 6
sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye
pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit
mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek),
dan rhinolalia.
Tanda
1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;
nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai
(sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung
(nasal mass) ini mencapai 80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging
palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa
mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya
disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata
(orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata
menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang
merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga
terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun
hal ini jarang terjadi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
Biopsi
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah
dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam
pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan
endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi
secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi
perdarahan.
Tugas angiofibroma 7
Karena karakteristik klinis dan gambaran raadiografi mungkin banyak klinisi yang
merasa perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi biopsi dari lesi JNA dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring
juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun
didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut
dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa,
seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan,
biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.
Pemeriksaa Radiologis
FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring.
Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral,
yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fissura pterigopalatina
membesar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang
dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah di sekitar nasofaring.
CT SCAN dan MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau
invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.
MRI sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari lesi
JNA sehingga bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan keganasan
yang lain. Lesi juga menunjukkan peningkatan kontras pada CT scan dan MRI dan
aliran vaskulerdalam lesi akan teridentifikasi pada MRI. Gambaran pembesaran yang
hampir homogen dari lesi ini membedakannya dengan massa vaskuler lain seperti
arteriovenous malformation. Untuk membedakan dengan gambaran jaringan lunak
homogen lainnya seperti peradangan sinus dan mukosa hidung akan dapat jelas
dibedakan dengan MRI. Slain itu CT scan dan MRI dapat menggambarkan dan
menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatanintrakranial.
Tugas angiofibroma 8
ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada
Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri
maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan
adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan
sebelumnya gagal.
STADIUM
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang
terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging
System diperlukan untuk memilih pendekatan bedah untuk mengeluarkan JNA,
Chandler dkk merekomendasikan sistem stadium untuk kanker nasofaring oleh AJC :
Stadium I : Tumor di nasofaring.
Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa
pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Klasifikasi Menurut Sessions
Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.
Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring
dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.
Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.
Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa
erosi superior dari tulang-tulang orbita.
Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial
fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.
Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa
perluasan ke sinus kavernosus.
Tugas angiofibroma 9
Klasifikasi Menurut Fisch
Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa kerusakan
tulang.
Stadium II – Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal
dengan kerusakan tulang.
Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio
parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.
Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan
atau fossa pituitari.
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal,
teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma,
karsinoma sel skumous).
2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.
3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.
4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
5. Polip koanal (choanal polyp).
6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
8. Kordoma (chordoma).
9. Karsinoma nasofaring.
PENATALAKSAAN
EMBOLISASI
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi
jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan
Tugas angiofibroma 10
memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah.
Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis eksterna lalu ke arteri
maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih bisa didapat dari arteri karotis
interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan embolisasi saja cukup untuk
menghentikan perdarahan hidung, atau dapat langsung diikuti dengan pembedahan
untuk mengangkat tumor. Embolisasi mampu untuk mengurangi pendarahan saat
pembedahan sebanyak 60 – 80%
OPERASI
Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs anatomis
di basis cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan stadium
tumor. Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim operator mungkin berbeda.
Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk tumor-tumor yang kecil (tunor
stadium I) ,metode endoskop ini menjadi metode yang dipilih untuk tumor-tumor
tertentu di beberapa RS.
Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan JNA dari nasofaring
dimana sudah terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral. Untuk lesi dengan
pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin memilih pendekatan transfacial
melalui lateral rhinotomy dan medial maxillectomy. Teknik midfacial degloving bisa
juga digunakan. Lesi dengan penyebaran yang luas ke luar nasofaring akan
memerlukan kombinasi dari pendekatan-pendekatan pembedahan basis cranii untuk
mendapatkan pembukaan yang cukup untuk mengeluarkan lesi. Pendekatan facial
translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan untuk perluasan
koronal digunakan frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies untuk
jalan masuk. Pendekatan lateral melalui fossa infratemporal diperlukan untuk
mereseksi tumor yang membesar ke regio tersebut.
Terapi medikamentosa dengan diethylstilbestrol 2-3 minggu pre-operatif
untuk mengurangi perdarahan saat operasi. Anastesi yang bersifat hipotensif juga
dipilih untuk lebih baik lagi mengurangi perdarahan.
Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan terapi
hormonal digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat reseptor
testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%.
Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.
Tugas angiofibroma 11
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren atau
ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau
resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan
pembedahan. Biasanya dosis sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard
untuk mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi
tumor tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif radioterapi
sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan. Beberapa institusi melaporkan
rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Penggunaan radioterapi sebagai
modalitas utama untuk penatalaksanaan JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh
UCLA. Dari 27 pasien yang dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23 (85%)
dan empat pasien akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan
tetapi komplikasi jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%)
yaitu gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis, katarak,
dan keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala dan
leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap JNA.
Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi
radiasi tidak berguna dalam banyak kasus. Selain itu perlu diperhatikan juga efek
samping dari radioterapi. Prognosis dari radioterapi sendiri ditentukan oleh stadium
tumor. Yang mana lebih baik pada tumor stadium rendah tapi kurang memberi hasil
pada tumor stadium akhir.
KOMPLIKASI
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit
stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury
terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila tumor
sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii.
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).
Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang
terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-
Ferguson.
Untuk komplikasi dari radioterapi Osteoradionecrosis dan atau kebutaan
karena kerusakan saraf mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant
Tugas angiofibroma 12
transformation), gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, dan nekrosis lobus
temporalis.
PROGNOSIS
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah:
keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan
intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya
sisa tumor.
Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan
(recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100%
dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial.
Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika terjadi
kekambuhan.
Radiosurgery
Radiosurgery adalah prosedur medis yang masih cukup baru. Pertama kali
dikembangkan pada 1951. Teknologi canggih dan alat yang rumit dan mahal
membuat belum banyak instansi kesehatan memilikinya. Apalagi di negara
berkembang seperti Indonesia. Radiosurgery mempunyai prinsip dasar seperti
radioterapi yaitu menggunakan radiasi pengion untuk membunuh sel-sel tumor.
Perbedaannya adalah sinar pengion diarahkan dengan presisi tinggi sehingga tidak
merusak sel-sel yang sehat.
Radiosurgery umumnya digunakan untuk keganasan-keganasan SSP yang
biasanya lokasinya cukup sulit untuk dijangkau dengan pembedahan terbuka atau
beresiko melukai jaringan-jaringan vital disekitarnya seperti arteri dan nervus. Untuk
JNA sendiri Radiosurgery belum menjadi indikasinya akan tetapi ada satu kasus yang
dilaporkan oleh Chul Kee Park dkk yang berhasil menangani JNA rekuren dengan
salah satu alat radiosurgery yang disebut Gamma Knife surgery (GKS).
Tugas angiofibroma 13
Baik bedah maupun radioterapi sudah dilaporkan sangat efektif sebagai
penatalaksanaan JNA dengan angka rata-rata kesembuhan mencapai 80%. Akan tetapi
perlu dipikirkan komplikasi serius dari dari kedua moda terapi. Jika komplikasi serius
intervensi bedah seperti perdarahan masif dan infeksi bersifat langsung, komplikasi
dari radioterapi lebih lama dengan masa laten sekitar 20 tahun sebelum munculnya
komplikasi. Jadi menentukan penatalaksanaan yang paling optimal diantara 2 moda
tersebut menjadi sumber kontroversi. Cummings dan Harwood dkk menganalisa
resiko komplikasi kumulatif relatif diantara kedua moda terapi secara numerik, dan
mereka menyimpulkan kedua moda tersebut memiliki angka kumulatif resiko sebesar
1:100
Radiosurgery mempunyai beberapa kelebihan dibanding bedah dan
radioterapi. Radiosurgery tidak invasif dan bebas dari komplikasi akut bedah seperti
perdarahan masif. Selain itu waktu pemulihan tentu lebih cepat ketimbang pemulihan
post-operasi. Untuk komplikasi jangka panjang, radiosurgery mempunyai resiko lebih
kecil ketimbang radioterapi konvensional secara teori karena perencanaan dosimetri
yang lebih akurat dengan jaringan sehat yang lebih sedikit terpapar radiasi. Walaupun
begitu radiosurgery bukan tanpa kelemahan. Radiosurgery sulit untuk massa yang
berukuran lebih dari 3cm karena dibutuhkan dosis radiasi yang besar. Selain itu waktu
untuk mencapai hasil yang diinginkan juga tetap lebih lama karena massa tumor
memerlukan waktu untuk regresi. Tentu ini bukan pilihan bagi kasus-kasus yang
gawat. Laporan keberhasilan terapi JNA dengan radiosurgery ini mungkin bisa
menjadikan JNA sebagai indikasi dilakukan radiosurgery. Akan tetapi penelitian dan
pengalaman lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi efektifitas radiosurgery
untuk terapi JNA. Terutama untuk efek samping jangka panjangnya.
Tugas angiofibroma 14
Referensi
1) Fauci, et.al. (Ed.) Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.
McGraw-Hill Companies, Inc. USA. 2008; Part 6: Chapter 79.
2) Goodenberger J, Ross PJ. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Radiol
Technol. Jul-Aug 2000;71(6):595-8.
3) Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine Specialties > Vascular Surgery >
Medical Topics. Jun 26, 2006.
4) Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam:
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Editor: Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.
5) Schick B, Veldung B, Wemmert S, et al. p53 and Her-2/neu in juvenile
angiofibromas. Oncol Rep. Mar 2005;13(3):453-7.
6) Schuon R, Brieger J, Heinrich UR, et al. Immunohistochemical analysis of
growth mechanisms in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Eur Arch
Otorhinolaryngol. Dec 20 2006;
7) Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In: eMedicine Specialties
> Otolaryngology and Facial Plastic Surgery > Pediatric Otolaryngology. Feb
23, 2007.
8) Tyagi I, Syal R, Goyal A. Recurrent and residual juvenile angiofibromas. J
Laryngol Otol. Jan 9 2007;1-8.
9) Windfuhr JP, Remmert S. Extranasopharyngeal angiofibroma: etiology,
incidence and management. Acta Otolaryngol. Oct 2004;124(8):880-9.
Tugas angiofibroma 15
10) Ondrey FG, Wright SK. Neoplasm of the Nasopharynx. In:Bellenger’s
Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck surgery.BC Decker. 2003;
492-495
11) Tony R, Bull. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th Edition. Thieme. 2003; 148
12) Anurogo,Dito. Misteri Dibalik Keajaiban Tumor Hidung Angiofibroma.
Dalam: http://netsains.com/2009/05/misteri-di-balik-keajaiban-tumor-hidung-
angiofibroma/ . Mei 9 2009
13) Ali, Alhamsyah. Referat: Angiofibroma Nasofaring Juvenile. Dalam:
http://www.alhamsyah.com/2007/01/28/referat-angiofibroma-nasofaring/ .
Januari 28 2007
14) Andrade, Nilvano Alves et.al. Nasopharyngeal Angiofibroma: Review of the
Genetic and Molecular Aspects. In:
http://www.arquivosdeorl.org.br/conteudo/acervo_eng.asp?id=553 .
International Archives of Otorhinolaryngology. No.3, Vol 12, 2008
15) Park, Chul-Kee et.al. Recurrent Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Treated with Gamma Knife Surgery. In: http://jkms.org/fulltext/html/jkms-21-
773.html . Korean Academy of Medical Sciences. August 21 2006
16) Rahmani, Shervin et.al. Meningitis And Coma As The First Manifestation Of
Juvenile Angiofibroma. In:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_otorhinolaryngology/
volume_4_number_1_37/article/
meningitis_and_coma_as_the_first_manifestation_of_juvenile_angiofibroma.
html . The Internet Journal of Otolaryngology ISSN:1528-8420.
Tugas angiofibroma 16