Upload
eva-harunouzumaki-simbolon
View
76
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Diagnosis dan Penatalaksanaan Anemia Aplastik
IA Sri Wijayanti, Ni Luh Putri Primasari, Losen Adnyana
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSU Sanglah
Denpasar, April 2008
PENDAHULUAN
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh penurunan
produksi eritroid, myeloid dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan akibat adanya
pansitopenia pada darah tepi, dimana tidak dijumpai adanya keganasan sistem
hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum tulang. Aplasia ini dapat
terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem hematopoiesis. Aplasia yang hanya
mengenai sistem eritropoitik disebut dengan anemia hipoplastik (eritroblastopenia),
aplasia yang mengenai sistem granulopoitik disebut agranulositosis sedangkan yang hanya
mengenai sistem megakariosit disebut Purpura Trombositopenik Amegakariositik (PTA).
Bila mengenai ketiga sistem disebut panmielositis atau lazimnya disebut anemia aplastik.
Berdasarkan The International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS)
disebut anemia aplastik bila kadar hemoglobin ≤ 10 g/dL atau hematokrit ≤ 30 %; hitung
trombosit ≤ 50.000/mm3 ; hitung lekosit ≤ 3.500/mm3 atau granulosit ≤ 1,5 x 109/L 1.
Sebagian besar kasus anemia aplastik disebabkan oleh sumsum tulang yang
inkomplet dan mengalami hipoplasia, keadaan inilah yang mendasari timbulnya
pansitopenia, sehingga keadaan anemia ini sering disebut sebagai anemia hipoplastik.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang
wanita muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala
anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien
tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904
Chauffard pertama kali menggunakan istilah anemia aplastik. Pada tahun 1959, Wintrobe
membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat,
atau aplasia sumsusum tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi,
mengganti atau menekan jaringan hematopoiesis sumsum tulang 10.
1
Insiden anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2
sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis10. Penyakit ini
termasuk penyakit yang jarang dijumpai di Negara barat dengan insiden 1 – 3 kasus per 1
juta penduduk/tahun. Namun di Negara timur seperti Thailand, Indonesia, Taiwan dan
Cina, insidennya jauh lebih tinggi. Perbedaan insiden ini diperkirakan oleh karena adanya
faktor lingkungan seperti pemakaian obat – obat yang tidak pada tempatnya, pemakaian
pestisida, serta insiden virus hepatitis yang lebih tinggi 3,4.
Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat. Perbedaan antara keduanya
bukan pada usia pasien, melainkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Oleh karena itu, pasien dewasa mungkin membawa kelainan
herediter yang muncul di usia dewasa 10,12. Anemia aplastik yang didapat
umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun, dengan puncak insiden kedua
dalam jumlah yang lebih kecil yaitu setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis
kelamin bervariasi secara geografis. Perjalanan penyakit pada pria juga lebih
berat daripada perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin
disebabkan oleh resiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis mungkin
disebabkan oleh pengaruh lingkungan 10.
Mekanisme primer terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui kerusakan pada
sel induk (seed theory), kerusakan lingkungan mikro (soil theory) dan melalui mekanisme
imunologi (immune suppression). Mekanisme ini terjadi melalui berbagai faktor (multi
faktorial) yaitu : familial (herediter), idiopatik (penyebabnya tidak dapat ditemukan) dan
didapat yang disebabkan oleh obat-obatan, bahan kimia, radiasi ion, infeksi, dan kelainan
imunologis2. Anemia aplastik merupakan kegagalan hematopoiesis yang relatif jarang
dijumpai namun berpotensi mengancam nyawa 10.
Gejala klinis pada anemia aplastik timbul akibat terjadinya pansitopenia pada darah
tepi (anemia, trombositopenia dan leukopenia). Sindroma anemia menyebabkan rasa
lemah, cepat lelah, malas, telinga berdenging dan mata berkunang-kunang.
Trombositopenia menyebabkan perdarahan pada kulit, gusi, saluran cerna dan retina
serta hematesis/melena. Leukopenia menimbulkan tanda-tanda infeksi seperti ulserasi
pada mulut atau tenggorokan, sellulitis, febris, sepsis atau bahkan menyebabkan
terjadinya syok septik 1.
2
Saat ini perkembangan bidang hematologi berlangsung demikian cepat, terutama
akibat perkembangan imunologi, biologi molekuler dan genetika. Hal ini merupakan
tantangan bagi para klinisi untuk dapat mengidentifikasi diagnosis penyakit darah dengan
menerapkan strategi-strategi tertentu dalam memecahkan masalah tersebut. Melalui
pendekatan strategi kausa dan kategorikal, urutan tata cara akan dijabarkan dalam
berbagai lingkup hematologi yang berbeda. Kemudian, tata cara tesebut akan digunakan
sebagai dasar algoritma bagi pemecahan masalah diagnostik dan terapi dalam
hematologi 9 .
Anemia aplastik merupakan kasus yang jarang ditemukan dan karena sulitnya
mendiagnosa penyebab dari suatu anemia aplastik maka deteksi dini dan penanganan
yang tepat dan cepat sangat diperlukan. Pada tinjauan kasus ini akan dibahas mengenai
pendekatan diagnostik dan penatalaksanaan pada penderita dengan anemia aplastik.
KASUS
Seorang penderita laki-laki 28 tahun, Hindu, Bali, menikah, beralamat di jalan
Pulau Maluku II no 10, datang pada tanggal 7 April 2008 dalam keadaan sadar dengan
keluhan utama badan terasa lemas. Lemas dirasakan sejak satu setengah bulan sebelum
masuk rumah sakit dan dirasakan memberat dua hari sebelum masuk rumah sakit. Lemas
oleh penderita dirasakan pada seluruh tubuh seperti tidak ada tenaga dan penderita
menjadi mudah mengantuk dan penderita terlihat pucat. Keluhan lemas ini berlangsung
sepanjang hari, sehingga membuat penderita tidak bisa melakukan aktivitasnya sehari-
hari. Karena merasa lemas, penderita sulit untuk bangun pagi dan menjadi tidak
bersemangat dalam bekerja. Penderita hanya bisa terbaring di tempat tidur. Lemas
dikatakan tidak berkurang walaupun penderita sudah cukup tidur. Lemas muncul secara
tiba-tiba, dan keadaan lemas ini disertai pandangan berkunang-kunang serta rasa dingin
pada telapak tangan dan kaki.
Penderita juga mengalami panas badan. Panas badan dirasakan sumer-sumer sejak
tiga hari sebelum masuk rumah sakit, namun penderita tidak mengukur berapa panasnya
dan mengaku tidak minum obat untuk menurunkan panas. Panas badan turun dengan
sendirinya dan selama dirawat di rumah sakit panas badan seringkali muncul dan turun
dengan obat penurun panas tetapi kemudian muncul kembali.
3
Penderita juga mengeluh sakit kepala yang sangat sejak beberapa hari sebelum
masuk rumah sakit. Sakit kepala dirasakan seperti dipukul-pukul dan tidak berkurang
dengan istirahat ataupun dengan obat sakit kepala.
Penderita juga mengeluhkan adanya gusi berdarah dua hari sebelum masuk
rumah sakit. Gusi berdarah awalnya muncul ketika penderita sedang menggosok
gigi, tetapi keluhan ini kemudian muncul di luar waktu menggosok gigi. Darah
keluar dari sela-sela gusi, berwarna merah segar, tidak terlalu banyak dan tidak
sampai menetes. Menurut penderita, keluhan ini tidak terlalu mengganggu karena
penderita mengaku sering mengalaminya. Saat pemeriksaan keluhan sudah tidak
dirasakan. Tidak terdapat perdarahan di hidung. Pada bahu, tangan dan kaki
penderita banyak timbul lebam atau memar-memar warna merah keunguan
sampai ungu kecoklatan. Lebam tersebut timbul sejak 2 bulan yang lalu. Lebam
tersebut ada yang timbul sendirinya dengan awalnya berupa bercak kemerahan
yang kemudian makin luas dan berubah menjadi ungu kecoklatan, ada pula lebam
yang muncul ketika terbentur sesuatu dan melebar. Lebam tidak hilang, dengan
besar lebam yang bervariasi.
Selain keluhan tersebut, penderita mengaku sering merasa tidak enak pada bagian
perut kanan atas. Keluhan ini dirasakan sejak lama, dan dirasakan hilang timbul.
Penderita mengaku tidak merasakan adanya nyeri yang hebat, hanya merasa sakit apabila
di tekan agak keras pada bagian perut tersebut. Penderita mengaku sering mengalami
perut kembung. Keluhan ini akan hilang dengan sendirinya tanpa memperoleh
pengobatan.
Penderita juga mengeluhkan perubahan warna pada kedua matanya. Penderita
mengaku matanya berwarna agak kekuningan sejak beberapa bulan yang lalu. Perubahan
warna ini sifatnya menetap. Warna kuning ini diakui hanya terjadi di kedua mata saja,
tidak ditemukan perubahan warna pada kulit tubuh dan telapak tangan. Penderita tidak
sedang mengkonsumsi wortel dalam jumlah yang banyak sebelumnya.
Buang air kecil berwarna merah seperti teh, jumlah ± ½ gelas dengan frekuensi
3-4 kali sehari. Keluhan dirasakan sudah sejak lama namun penderita tidak tahu kapan
pastinya. Kencing berbuih tidak ada, riwayat kencing keluar batu tidak ada. Buang air
4
besar 1 kali sehari, jumlah sedikit, warna kuning kecoklatan, konsistensi lunak, tidak ada
nyeri saat BAB dan tidak ada darah saat BAB.
Penderita pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya dan didiagnosa
dengan anemia aplastik sekitar 13 tahun yang lalu. Setiap keluhan penyakit muncul
penderita mendapat transfusi darah sampai kadar hemoglobinnya 10 g%, terakhir
penderita mendapatkan transfusi pada Februari 2008. Sebelum didiagnosa anemia
aplastik penderita tidak pernah mengalami sakit berat atau opname.
Tak satu pun dari anggota keluarga penderita yang mengalami keluhan yang sama
sebelumnya. Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit darah, penyakit
kuning, hipertensi, kencing manis, jantung dan asma
Penderita merupakan seorang mahasiswa. Penderita tidak pernah merokok
ataupun minum alkohol. Tidak ada riwayat penderita menjalani terapi radiasi atau
kemoterapi, ataupun minum obat-obatan. Penderita sudah menikah selama 2 tahun dan
saat ini istri penderita sedang hamil.
Pada pemeriksaan fisik umum pada tanggal 9 April 2008 didapatkan kesan sakit
sedang, kesadaran kompos mentis, tinggi badan 165 cm, berat badan 50 kg dan IMT =
18,36 kg/m2, status gizi baik.
Pada pemeriksaan fisik khusus didapatkan, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut
nadi 106 kali/menit, pernafasan 20 kali/menit, temperatur axila 38,0ºC. Penderita tampak
lemah dan pucat. Tampak adanya hematom pada beberapa bagian tubuh penderita.
Pada pemeriksaan kedua mata tampak anemik dan pucat. Selain itu pada
pemeriksaan mata juga ditemukan adanya ikterus. Pada telinga hidung dan tenggorokan
tidak didapatkan perdarahan pada gusi, ataupun hidung. Pada pemeriksaan leher tidak
didapatkan peningkatan JVP.
Pada pemeriksaan thoraks, dari inspeksi didapatkan ictus cordis tidak tampak. Pada
palpasi, ictus cordis teraba di ICS V, satu centimeter lateral linea midklavikularis kiri,
kuat angkat. Pada perkusi didapatkan batas jantung kanan di satu centimeter lateral linea
parasternal kanan, batas jantung kiri di satu centimeter lateral linea midklavikularis kiri,
dan ada pinggang jantung. Pada auskultasi jantung didapatkan suara jantung S1S2 tunggal
reguler tidak didapatkan murmur. Pada pemeriksaan paru tidak dijumpai adanya kelainan.
Pada pemeriksaan abdomen, palpasi hepar dan lien tidak teraba. Dari perkusi, traube
5
space tymphani. Pemeriksaan sendi ekstremitas didapatkan akral penderita hangat saat
pemeriksaan.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil yaitu: Dari darah lengkap
didapatkan : leukosit 3,17 k/uL; neutrofil 1,55 K/uL; hemoglobin 5,46 g/dl; hematokrit
16,9 %; MCV 95,4; MCH 30,8 dan platelet 43 K/uL. Pemeriksaan kimia darah
didapatkan Albumin 3,3; BUN 12,8; Creatinin 0,89; Ureum 33 mg/dL; Glukosa 99; Total
Bilirubin 2,48; Bilirubin Direk 0,64; AST 155; ALT 22; Na 132,2; K 3,79. Pemeriksaan
patologi anatomi (4 Februari 1997):
Makroskopik: Diterima 1 tempat sediaan berisi 1,5 cc cairan warna merah
Mikroskopik: Sediaan aspirasi sumsum tulang terdiri dari eritrosit dan kelompok-
kelompok sumsum tulang dengan selularitas yang normal. Sumsum tulang terdiri dari
komponen haemopoeitik terutama terdiri dari seri myeloid dan eritroid. Tampak
hiperplasia eritroid fokal. Tampak pula promyelosit, sel plasma, eosinofil, stab dan
segmen. Pada satu kelompok tampak deplesi jumlah megakariosit yang berukuran kecil.
Kesimpulan: aspirasi sumsum tulang menunjang diagnosa klinis Anemia aplastik
Ket: mohon konfirmasi klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, maka penderita
kami diagnosis dengan Anemia Aplastik (Anemia berat, Leukopenia, Trombositopenia)
dan suspek infeksi hepatitis virus.
Penatalaksanaan pada penderita ini meliputi MRS, Diet tinggi kalori tinggi
protein, IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, Transfusi PRC 2 kolf/ hari hingga Hb ≥ 10 gr
%, Prednison 3 x 15 mg. Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
darah lengkap post transfusi serta pemeriksaan HbsAg dan Anti HCV.
Pada penderita ini dilakukan monitoring keluhan, tanda-tanda perdarahan serta
vital sign.
Progonosis pada penderita ini adalah Dubius ad malam.
6
PEMBAHASAN
Secara fungsional anemia aplastik didefinisikan sebagai kegagalan sel induk
hemopoetik untuk berproliferasi dan berdiferensiasi tanpa adanya sebab-sebab yang bisa
diramalkan. Kegagalan sumsum tulang sulit dinilai secara langsung. Hal ini hanya dapat
diperkirakan dengan melihat adanya aplasia atau hipoplasia sumsum tulang disertai
dengan pansitopenia pada darah tepi 1.
Secara klinis anemia aplastik didefinisikan sebagai pansitopenia pada darah tepi
yang disertai dengan hiposelularitas sumsum tulang dimana jaringan hemopoetik
digantikan oleh jaringan lemak 1.
Pada dasarnya diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia
atau bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang, serta dengan
menyingkirkan adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang 9.
Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak diketahui atau bersifat
idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses
penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Di samping itu juga disebabkan oleh belum
tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar penelusuran etiologi
dilakukan melalui penelitian epidemiologik. Penyebab anemia aplastik diibedakan
menjadi 2, yaitu penyebab primer dan penyebab sekunder 1,5,,9,12,13.
1. Primer
a. Faktor Genetik
Anemia Fanconi
Tipe ini merupakan jenis anemia heriditer dengan pewarisan yang bersifat
autosomal resesif. Diperkirakan terdapat satu kasus diantara satu juta
penduduk. Kelainan hematologi dijumpai dalam bentuk pansitopenia yang
muncul pada umur 5 - 10 tahun. Sering disertai gangguan pertumbuhan dan
defek kongenital pada tulang yaitu mikrosefali, tidak ada tulang radius dan
ibu jari dan juga kelainan pada kulit seperti timbulnya hiperpigmentasi dan
hipopigmentasi. Kadang-kadang disertai dengan retardasi mental,
hipogonadisme, gangguan jantung, ginjal dan mata 7.
7
Anemia Estren-Dameshek
Menunjukan gejala seperti anemia aplastik Fanconi tetapi tanpa
abnormaliltas tulang 5.
Dyskeratosis congenital
Memiliki pola pewarisan autosomal resesif yang terikat dengan kromosom-
X. penyakit ini menunjukan gejala pigmentasi kulit reticulate, leukoplakia,
distrofi dari kuku, kelainan kelenjar keringat, retardasi mental, dan
gangguan pertumbuhan. Lesi pada mukosa dan kulit muncul pada waktu
remaja, sedangkan anemia aplastik muncul pada dewasa muda. Pada
penyakit ini terdapat kerusakan pada gen 5.
b. Idiopatik
Merupakan penyebab terbanyak dari anemia aplastik. Meskipun
mekanismenya belum diketahui dengan pasti diperkirakan penyebabnya karena
paparan akut obat atau bahan kimia serta melalui mekanisme autoimun
diperantai oleh sel T yang menekan sel induk 5.
2. Sekunder
Beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya anemia aplastik sekunder
yaitu: radiasi, obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus, kehamilan 1.
a. Radiasi
Energi radiasi yang tinggi dapat menyebabkan anemia akibat kerusakan
sumsum tulang dan pansitopenia. Derajat kerusakan tergantung dari jenis radiasi
(sinar alfa,beta atau gama), besarnya dosis, lama penyinaran dan sumsum tulang
yang terpapar. Radiasi akut terutama mengenai sel-sel yang sedang membelah,
sedangkan sel-sel yang istirahat masih tersisa, oleh karena itu mielosupresi
sering bersifat transient. Pada radiasi menahun dan berulang, sel induk dalam
fase istirahat menjadi aktif sehingga terkena pengaruh radiasi yang
menimbulkan kerusakan permanen. Radiasi kronik dapat menimbulkan
leukemia, keganasan hematologik lain serta anemia aplastik. Radiasi dengan
tingkat energi yang tinggi dapat digunakan untuk keperluan terapi dan tidak
menyebabkan kerusakan pada sumsum tulang selama daerah yang mendapat
radiasi tidak terlalu luas 1.
8
Radiasi akan merusak DNA terutama pada jaringan yang mengalami
mitosis aktif. Kerusakan DNA bisa terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Secara tidak langsung melalui interaksi dengan molekul kecil yang
sangat reaktif atau dengan radikal bebas yang dihasilkan pada ionisasi 3.
Paparan radiasi yang lama atau berulang dengan dosis rendah berhubungan
dengan peningkatan resiko terjadinya anemia aplastik dan leukemia akut.
Paparan singkat radiasi dengan dosis besar berhubungan dengan terjadinya
aplasia sumsum tulang dan sindrom gastrointestinal. Paparan total pada tubuh
antara 1 sampai 2,5 Gray (100 sampai 250 rad) menyebabkan gejala
gastrointestinal dan penurunan jumlah leukosit, tetapi sebagian besar pasien akan
membaik sendiri. Dosis yang lebih besar yaitu diatas 10 Gray fatal bagi pasien
walaupun sesudahnya mendapat terapi suportif yang dilanjutkan dengan
transplantasi sumsum tulang 5.
b.Obat-obatan
Beberapa obat yang dapat menyebabkan anemia aplastik antara lain
kloramfenikol, fenilbutazon, dan klorpromasin. Mekanisme imun tidak
menjelaskan kegagalan sumsum tulang pada reaksi penggunaan obat 2,4.
DeGruchy membagi obat dalam dua golongan yaitu : obat dengan resiko
tinggi, dengan kejadian kejadian > 1:10.000 pemakaian obat dan obat dengan
resiko rendah, dengan kejadian < 1: 10.000 1.
Tabel 2.1 Daftar obat yang dihubungkan dengan anemia aplastik1
Obat dengan risiko tinggi:
Kloramfeniol Mesantion
Arsen organic Tridione
Quinarcrine Fenilbutason
Senyawa emas Klorpromasin
9
Obat dengan risiko lebih rendah:
Salisiat Phenantoin Klorpropamid
Kalium perklorat Tolbutamid Sulfonamid
Paramethadione Penisilin Oxphenbutazon
Indometasin Diklofenak Karbimasol
c. Bahan kimia
Benzen merupakan bahan kimia yang banyak dihubungkan dengan timbulnya
anemia aplastik. Benzen merupakan senyawa hidrokarbon (C6H6) yang
banyak digunakan sebagai pelarut dalam industri karet, penyamakan kulit,
pabrik cat, dan sebagai zat pembersih dalam rumah tangga 1.
Produk degradasi benzen (p-benzoquinone) dapat menekan sintesa DNA
dan RNA sehingga menimbulkan kerusakan kromosom. Pemaparan jangka
panjang dapat menimbulkan anemia aplastik 1.
Anemia aplastik tidak timbul pada semua individu yang terpapar oleh
benzen. Timbulnya penyakit ini tergantung dari 1 :
1.Suseptibilitas individual
2.Lama pemaparan
3.Konsentrasi uap benzene
d. Infeksi Virus
Infeksi virus sejak lama telah diketahui dapat menimbulkan pansitopenia
bahkan sampai gagal sumsum tulang. Virus yang dihubungkan dengan
timbulnya anemia aplastik adalah: virus Epstein Barr (EBV), parvovirus B19,
virus hepatitis dan Humam Immunodeficiency Virus (HIV)
Mononukleosis infeksiosa yang disebabkan oleh EBV sering disertai
netropenia ringan, trombositopenia dan anemia hemolitik. Infeksi EBV yang
disertai anemia aplastik lebih jarang dilaporkan. Parvovirus B19 khas
menimbulkan pure red cell aplasia atau krisis aplastik pada penderita anemia
hemolitik, jarang sekali menimbulkan anemia aplastik 1.
10
Virus hepatitis diduga merupakan salah satu penyebab anemia aplastik,
dengan cirinya dijumpai pada umur lebih muda (2-20 tahun), timbul 24-30
minggu setelah infeksi hepatitis, beratnya hepatitis tidak berhubungan dengan
beratnya anemia, paling banyak ditemukan pada penduduk Asia yang sosial
ekonominya rendah, prognosisnya lebih jelek dengan angka kematian lebih
dari 90%. Sekitar 80% disebabkan oleh virus hepatitis C, sedangkan virus
hepatitis B lebih jarang. Resiko anemia aplastik pada penderita hepatitis virus
adalah 0,1-0,2 %, dimana 5% penderita anemia aplastik mempunyai riwayat
hepatitis. Patogenesis anemia aplastik akibat virus hepatitis belum diketahui
pasti. Mungkin virus mempunyai efek toksik langsung pada sel induk
hemopoetik atau sel stoma, atau melalui gangguan imunologik 1.
e. Kehamilan
Kadang-kadang dijumpai anemia aplastik pada wanita hamil, meskipun belum
dapat dipastikan apakah hal ini merupakan suatu koinsiden atau hubungan
sebab akibat, Patogenesisnya belum diketahui pasti, ada yang menghubungkan
dengan tingginya hormon estrogen yang dapat menekan hemopoesis 1.
Dari hasil anamnesa yang dilakukan pada penderita, penderita tidak pernah
menjalani radiasi, kemoterapi, menderita suatu penyakit selain flu dan gastroenteritis,
serta penderita juga tidak minum obat-obatan sebelumnya yang berisiko menimbulkan
anemia aplastik, tidak pernah tinggal ataupun bekerja pada pabrik ataupun industri yang
berhubungan dengan kulit, cat, zat-zat pembersih rumah tangga, dan anggota keluarga
penderita tidak ada yang mengalami keluhan yang sama sehingga diduga etiologi anemia
aplastik pada penderita ini, kami simpulkan adalah ididopatik. Hal ini juga dikuatkan
dengan terdiagnosanya penderita ketika berusia 16 tahun dan tidak ditemukan adanya
tanda-tanda gejala anemia fanconi ataupun dyskeratosis congenital sehingga penyebab
akibat kelainan kongenital dapat disingkirkan, walaupun untuk diagnosis pastinya masih
memerlukan pemeriksaan sitogenetik lebih lanjut.
Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopenia dan
trombositopenia 9 :
1. Sindrom anemia yang bervariasi dari ringan sampai berat, berupa:
- Sistem kardiovaskuler : berdebar, lesu, cepat lelah, sesak waktu kerja
11
- Sistem saraf : sakit kepala, pusing, telinga berdenging, mata bekunang-
kunang, kelemahan otot, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas
- Epitel : warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun,
rambut tipis dan halus
2. Gejala perdarahan : paling sering berupa petechie dan echymosis pada kulit.
Perdarahan mukosa dapat berupa epistaxis, perdarahan sub konjungtiva,
perdarahan gusi, hematemesis atau melena. Pada anemia yang berat atau
trombositopenia dapat dijumpai perdarahan retina1. Perdarahan organ dalam
lebih jarang, tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
3. Gejala infeksi : dapat berupa nyeri tenggorokan, luka pada mulut dan faring,
demam disertai menggigil dan berkeringat, dan pada tingkat yang lebih
berat dijumpai sepsis sampai syok septik.
4. Organomegali berupa hepatomegali, splenomegali atau limfadenopati tidak
dijumpai. Jika terdapat organomegali diagnosis anemia aplastik maka perlu
untuk dikaji ulang.
Berdasarkan anamnesa pada penderita ini didapatkan keluhan pada saat ini
keluhan utama dari penderita adalah badan lemas dirasakan sejak 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Lemas oleh penderita dirasakan pada seluruh tubuh. Lemas muncul secara
tiba-tiba, dan keadaan lemas ini disertai pandangan berkunang-kunang dan rasa dingin
pada kedua telapak tangan dan kaki. Keadaan tersebut merupakan gejala umum anemia,
disebut juga sindrom anemia, yang timbul karena terjadinya iskemia organ target serta
akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini
muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu
(Hb<7 g/dL)
Pada penderita ini juga didapatkan lebam pada beberapa bagian tubuh seperti
pada bahu, kedua tangan dan kaki dengan warna merah keunguan sampai ungu
kecoklatan. Lebam tersebut ada yang timbul sendirinya dengan awalnya berupa bercak
kemerahan yang kemudian makin luas dan berubah menjadi ungu kecoklatan, ada pula
lebam yang muncul ketika terbentur sesuatu dan melebar. Lebam tidak hilang dengan
besar lebam yang bervariasi. Keluhan memar atau lebam tersebut timbul sejak 2 bulan
yang lalu dan lebam terutama pada lengan, tungkai, telapak tangan dan kaki, dan bahkan
12
pada bahu. Hal ini merupakan salah satu gejala perdarahan pada anemia aplastik juga
yaitu perdarahan pada kulit. Manifestasi perdarahan tersebut diatas terjadi oleh karena
pada anemia aplastik terjadi trombositopenia yang termasuk dalam pansitopenia akibat
dari kelainan primer pada sumsum tulang entah kerusakan pada sel induk, gangguan
lingkungan makro ataupun mekanisme imunologik.
Penderita juga mengeluh sakit kepala yang sangat sejak beberapa hari sebelum
masuk rumah sakit dan sempat demam sumer-sumer naik turun sejak tiga hari sebelum
masuk rumah sakit. Hal ini termasuk keluhan dari anemia aplastik yang mungkin
disebabkan terjadinya infeksi akibat leukopeni pada penderita anemia aplastik.
Penderita juga mengeluh mual, dan sempat muntah, merasa lemas dan terlihat
pucat sejak sore sebelum masuk rumah sakit. Penderita juga merasa lemas saat
melakukan aktivitas sehari-hari. Nafsu makan penderita juga menurun, sering berkunang-
kunang, pusing, tangan dan kaki sering terasa dingin. Ini menunjukkan gejala klinis
manifestasi anemia yang juga merupakan salah satu gejala pada anemia aplastik.
Pada pemeriksaan fisik umum pada tanggal 9 April 2008 didapatkan takikardi
dimana denyut nadi 106 kali/menit yang merupakan salah satu gejala anemia dan
penderita tampak lemah, pucat, kedua mata tampak anemik dan pucat. Kulit penderita
tampak hematom pada berbagai tempat yang menunjukkan salah satu gejala klinis dari
trombositopenia pada anemia aplastik.
Pada pemeriksaan abdomen, palpasi hepar dan lien tidak teraba. Dari perkusi,
traube space tymphani. Hal ini sesuai dengan anemia aplastik dimana kelainan pada
anemia aplastik adalah gangguan produksi pada sumsum tulang sehingga tidak dijumpai
pembesaran organ seperti hepatomegali, splenomegali ataupun limfadenopati.
Pemeriksaan sendi ekstremitas didapatkan dari hasil inspeksi adanya hematom
pada keempat ekstremitas tanpa disertai nyeri tekan. Ini menunjukkan salah satu
manifestasi dari trombositopenia pada anemia aplastik. Akral penderita hangat pada saat
pemeriksaan yang bisa dipengaruhi oleh penderita yang agak sumer-sumer dan tidak
dijumpai odem.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi pemeriksaan laboratorium darah,
kimia darah, radiologi dan patologi anatomi. Dari hasil laboratorium dijumpai adanya
anemia berat dimana Hb kurang dari 6, normokromik normositer, MCV dan MCH
13
normal, leukopenia, dan trombositopenia yang sesuai dengan laboratorium pada anemia
aplastik.
Pada penderita kami juga curigai terjadinya infeksi hepatitis virus. Hal ini
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan
anamnesa ditemukan bahwa penderita mengalami keluhan-keluhan yang tidak spesifik
tetapi dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti badan lemas, cepat lelah , rasa tidak
enak di perut bagian kanan atas dan nafsu makan yang menurun. Penderita juga mengaku
warna kencingnya berwarna merah seperti teh, keadaan ini juga sudah dialami penderita
sejak lama. Sekilas keluhan tersebut menyerupai sindrom anemia. Sedangkan dari
pemeriksaan fisik, kami temukan kedua mata mengalami ikterus. Selain itu hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan AST (155 U/L), Total Bilirubin
(2,48), Bilirubin Direk (0,64). Infeksi hepatitis virus dapat didefinisikan sebagai suatu
infeksi sistemik yang menimbulkan peradangan dan nekrosis sel hati, yang
mengakibatkan terjadinya serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik dan
morfologik. Untuk membuktikan tipe infeksi virus yang dialami penderita, maka kami
usulkan untuk melakukan pemeriksaan serologi. Tes serologi dapat menunjang penentuan
etiologi penyakit hati disamping pula dipakai untuk menentukan status penyakit, serta
memantau perjalanan penyakit dan pengobatan. Selain itu, tes serologi penting ditinjau
dari segi epidemiologi karena dapat dipakai untuk menentukan apakah seseorang yang
secara klinis sehat dengan faal hati yang normal pernah terinfeksi dan merupakan sumber
penularan bagi sekitarnya atau tidak. Tes serologi dapat pula menentukan berbagai
parameter seperti petanda keganasan, autoantibodi dan berbagai protein spesifik yang
sulit dideteksi dengan tes laboratorium yang lain.
Penularan infeksi virus hepatitis dapat terjadi secara parenteral maupun non
parenteral. Cara penularan parenteral dapat berupa suntikan, transfusi darah atau
pemberian produk yang berasal dari darah, tindakan operasi, tusuk jarum, pembuatan
tatto, tindik ataupun sunat. Penelitian menunjukkan bahwa cara penularan parenteral
hanya memegang peran penting dalam lingkungan serta keadaan tertentu, misalnya dalam
lingkungan para pemakai narkoba suntikan. Cara penularan melewati kulit yang tidak
utuh dapat terjadi melalui lesi, goresan atau abrasi maupun keradangan pada kulit yang
mengalami kontak dengan bahan yang infektif. Cara penularan melewati selaput lendir,
14
antara lain melalui selaput lendir mulut, hidung, mata dan alat kelamin (hubungan
seksual). Selain cara penularan parenteral terdapat cara penularan lain yaitu melalui
perinatal (vertikal). Faktor utama yang mempengaruhi besarnya frekuensi penularan
infeksi virus hepatitis secara vertikal (terutama pada penularan infeksi HBV) adalah
status HBeAg dan anti-HBe ibu, disamping faktor rasial dan etnik. Sebagian besar ibu-
ibu dengan anti HBeAg positif menularkan infeksi HBV vertikal kepada bayi yang
dilahirkannya, sedangkan ibu-ibu dengan anti HBe positif tidak menularkan infeksi HBV
kepada bayinya. Penularan infeksi HBV vertikal sangat penting artinya karena sebagian
besar dari anak yang terkena penularan vertikal akan mengidap infeksi yang menetap dan
berisiko tinggi untuk menderita penyakit hati kronik. Selain itu virus Hepatitis juga dapat
ditularkan dari hubungan seksual. Apabila salah satu pasangan terinfeksi virus tersebut,
besar kemungkinannya dapat menularkan kepada pasangannya. Dari wawancara yang
kami lakukan terhadap pasien serta ibunya, kami belum dapat mengetahui dari mana
pasien mendapat infeksi Hepatitis tersebut. Virus tersebut mungkin didapat dari ibunya
yang sebelumnya sudah terinfeksi namun pada pasien baru muncul setelah dewasa
(cronic carrier). Virus tersebut mungkin pula berasal dari istrinya yang sebelumnya
sudah terinfeksi dan kemudian menginfeksi pasien melalui hubungan seksual. Untuk
memastikan sumber penularannya diperlukan pemeriksaan serologi terhadap faktor-
faktor yang beresiko menularkan virus.
Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International Agranulocytosis and
Anemia Study Group (IAASG).
1. Satu dari tiga:
- Hemoglobin kurang dari 10 gr/dl, atau hematokrit kurang dari 30%
- Trombosit kurang dari 50 x 10 9/L
- Leukosit kurang dari 3,5 x 10 9/L, atau neutrofil kurang dari 1,5 x 109/L
2. Retikulosit < 30 x 109/L (< 1 %)
3. Dengan gambaran sumsum tulang ( harus ada spesimen adekuat ):
- Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel
hemopoetik atau selularitas normal oleh karena hiperplasia eritroid fokal
dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit
- Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik
15
4. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus dieksklusi.
Berdasarkan kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International Agranulocytosis
and Anemia Study Group (IAASG) memenuhi kriteria pertama yaitu hemoglobin kurang
dari 10 g/dl, trombosit kurang dari 50 x 109 /L , leukosit kurang dari 3,5 x 109/L dan
neutrofil kurang dari 1,5 x 109/L serta kriteria ketiga berdasarkan gambaran sumsum
tulang pasien dimana didapatkan eritrosit dan kelompok-kelompok sumsum tulang
dengan selularitas yang normal. Sumsum tulang terdiri dari komponen haemopoeitik
terutama terdiri dari seri myeloid dan eritroid. Tampak hiperplasia eritroid fokal. Tampak
pula promyelosit, sel plasma, eosinofil, stab dan segmen. Pada satu kelompok tampak
deplesi jumlah megakariosit yang berukuran kecil. Pansitopenia karena obat sitostatika
atau radiasi terapeutik juga sudah dieksklusi. Namun untuk kriteria berdasarkan hapusan
darah tepi seperti retikulosit belum dapat ditentukan karena pada penderita ini belum
dilakukan hapusan darah tepi
Setelah diagnosis maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia aplastik. Hal ini
sangat penting dilakukan karena menentukan strategi terapi. Kriteria yang dipakai pada
umumnya ialah kriteria Camitta et al. Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic
anemia) bila memenuhi kriteria berikut:
I. Paling sedikit dua dari tiga:
- granulosit < 500 x 109/L
- trombosit < 20 x 1012/L
- corrected reticulocyte < 1 %
II. Selularitas sumsum tulang < 25 %, atau selularitas < 50% dengan < 30%
sel-sel hematopoietik
Tergolong anemia aplastik sangat berat bila neutrofil < 200 x 1009/L. Anemia aplastik
yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik tidak berat (non-
severe aplastic anemia). Atau dapat pula berdasarkan klasifikasi yang telah disebutkan
diatas. Namun pada penderita ini oleh karena belum dilakukannya hapusan darah tepi
maka belum dapat diklasifikasikan atau ditentukan derajat beratnya.
Sebelum ditegakkan anemia aplastik, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang
yang memerlukan perawatan inap di rumah sakit (misal: bone marrow puncture).
Penderita ini (anemia aplastik dengan neutropenia) juga memerlukan perawatan khusus
16
untuk mencegah/mengurangi kontaminasi terhadap kuman-kuman di rumah sakit (infeksi
nosokomial) yang dapat memperberat infeksi yang sudah ada atau menambah infeksi
baru.
Penderita ini rentan terhadap infeksi, sehingga kondisi tubuhnya harus dijaga
seoptimal mungkin dengan melakukan tirah baring yang cukup. Selain itu, tirah baring
juga berfungsi mencegah meluasnya perdarahan intraserebral yang mungkin terjadi pada
trombositopenia berat (PLT<20.000/mm3).
Penatalaksanaan pada penderita ini dimulai dengan Terapi suportif yaitu dengan
pemberian transfusi Packed Red Cell (PRC) sampai Hb ≥10 gr%. Pada penderita ini
sangat perlu diberikan PRC oleh karena Hb penderita yang < 7 g/dl dan anemia sangat
simptomatik. Akan tetapi koreksi dapat dilakukan sampai Hb 9-10 g%, tak perlu sampai
normal karena malah akan menekan eritropoiesis internal. Karena trombosit penderita
>20.000/mm3 maka belum perlu diberikan transfusi konsentrat trombosit. Pada penderita
tidak ada terapi kausal oleh karena kausalnya belum dapat ditentukan. Pada penderita ini
diberikan terapi prednison 3 x 20 mg sebagai kortikosteroid dosis rendah sampai
menengah yang berfungsi untuk memperbaiki sumsum tulang, namun sebaiknya bila
dalam 4 minggu tak ada respon sebaiknya dihentikan, apalagi pada penderita tersebut
sudah diberikan dalam waktu kurang lebih 4 bulan maka pada penderita ini prednison
tersebut ditapering dan kemudian dihentikan. Pada penderita ini sebaiknya diberikan
terapi definitif berupa imunosupresif bukan transplantasi sumsum tulang oleh karena
selain harganya mahal, memerlukan peralatan yang canggih (di Indonesia belum ada)
serta sulit untuk mencari donor yang kompatibel. Pada penderita ini jika memungkinkan
sebaiknya diberikan Anti Lymphocyte Globuline atau Anti Thymocyte Globuline untuk
koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal, stimulasi langsung atau
tidak langsung terhadap hemopoiesis. ATG yang diberikan lebih sering ATG dari kuda
(ATGam dosis 20 mg/hari selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5
mg/kg per hari selama 5 hari) plus CsA (12-15mg/kg, bid). Umumnya diberikan selama 6
bulan. Namun ATG sulit atau bahkan tidak terdapat di Indonesia. ATG lebih unggul
dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA memberikan hasil lebih baik
dibandingkan pemberian ATG atau CsA saja. Pada terapi dengan menggunakan ATG
dapat terjadi efek samping berupa alergi ringan sampai berat, hal ini terjadi karena ATG
17
merupakan produk biologis, sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid. Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum intrinsik
terhadap terapi ATG, yaitu prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu pertama pemberian
ATG.
Siklosporin dapat juga diberikan untuk menghambat aktivasi dan proliferasi
prekursor limfosit sitotoksik dengan dosis 3-10 mg/KgBB/hari per oral dan diberikan
selama 4-6 bulan. Siklosporin juga dapat diberikan secara intravena. Pemberian GM-CSF
atau G-CSF dapat juga dilakukan untuk meningkatkan jumlah neutrofil, karena pada
penderita ini terjadi neutropenia. Namun GM-CSF atau G-CSF harus diberikan secara
terus-menerus. Eritropoietin juga dapat diberikan untuk mengurangi transfusi sel darah
merah. Pemberian diet tinggi kalori, tinggi protein diberikan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi penderita dan diharapkan diet ini dapat meningkatkan daya tahan tubuh. IVFD
NaCl 0,9% selain untuk kebutuhan cairan juga sebagai tempat masuk obat. Pada
penderita dapat diberikan Paracetamol 3 x 500 mg (k/p) yang bekerja sebagai analgetik
dan antipiretik untuk mengatasi keluhan demam maupun nyeri kepala.
Pada penderita ini direncanakan foto thorax untuk melihat ada atau tidaknya
kelainan pada jantung, pemeriksaan darah tepi untuk mengetahui derajat beratnya anemia
aplastik, pemeriksaan darah lengkap post transfusi untuk melihat perkembangan dari
anemia, leukopeni dan trombositopeni serta pemeriksaan serologi hepatitis untuk
mengetahui jenis virus hepatitis yang diderita penderita dan sumber penularan virusnya.
Monitoring terhadap keluhan, tanda-tanda perdarahan dan vital sign untuk melihat
progresi penyakit.
Perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, dimana ada penderita yang
cepat memburuk dan ada sebagian lagi mempunyai perjalanan penyakit yang berlahan-
lahan. Faktor prognostik yang paling penting adalah pansitopenia 1.
Pengalaman klinis menunjukkan prognosis sangat ditentukan oleh derajat
penyakit serta jenis pengobatan yang diberikan. Keberhasilan TST (Transplantasi
sumsum tulang) memberikan ketahanan hidup jangka panjang yang sempurna.
Sedangkan ALG dapat disertai kekambuhan pada sebagian penderita serta timbul
kelainan hemopoetik klonal di kemudian hari 1,7.
18
Perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa pengobatan
pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat dibagi menjadi 3
yaitu 9
1. Kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam waktu 3 bulan. Keadaan ini
mencakup 10-15% kasus.
2. Penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relaps. Meninggal
dalam waktu 1 tahun, merupakan 50% kasus.
3. Penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya merupakan sebagian
kecil dari penderita.
Penyebab kematian utama anemia aplastik adalah perdarahan dan infeksi. Oleh
karena itu derajat trombositopenia dan neutropenia sangat menentukan prognosis
ditunjang pula oleh terapi suportif yang baik saat menunggu terapi definitif 1. KIE
keluarga dan pasien diperlukan sehingga dokter yang memberikan perawatan dapat
memberikan pengertian kepada keluarga dan pasien mengenai penyakit, perjalanan
penyakit, kemungkinan perburukan serta keberhasilan pengobatan sehingga pasien dapat
menerima keadaannya dan tetap berusaha untuk menjalani pengobatan.
19
RESUME
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang ditemukan
namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia
sumsum tulang. Pansitopenia ini memberikan manifestasi gejala akibat anemia, leukopeni
dan trombositopenia. Pada penderita ditemukan. Berbagai gejala dari pansitopenia, mulai
dari anemia, leukopenia dan trombositopenia seperti keluhan utama penderita yaitu
perdarahan dalam hal ini menoragia, gejala perdarahan lainnya, gejala anemia dan gejala
infeksi. Juga ditemukan berbagai klinis pada pemeriksaan fisik yang menunjang
diagnostik anemia aplastik. Pada penderita ini diagnosis baru dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium saja oleh karena belum
adanya hapusan darah tepi, dan aspirasi sumsum tulang yang menunjang.
Penatalaksanaan bersifat suportif dan definitif oleh karena kausal anemia aplastik
pada penderita ini belum ditemukan. Terapi definitif pada penderita ini lebih dianjurkan
terapi imunosupresif dibandingkan transplantasi sumsum tulang dengan berbagai
pertimbangan. Penatalaksanaan pada penderita perlu lebih intensif dan perlu lebih
diperhatikan. Pada penderita juga harus lebih diperhatikan baik dari fisik maupun
psikologis.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta, IM. Anemia Aplastik dan Gagal Sumsum Tulang lainnya. Denpasar :
Laboratorium/SMF Penyakit Dalam FK Universitas Udayana, 1996. p. 3-40.
2. Hilman RS, Kenneth AA. Hematology in Clinical Practice. Third edition. New
York: Mc-Graw Hill, 2002. p. 27-40.
3. Young NS, Shimamura A. Acquired Bone Marrow Failure Syndromes. In : Blood
Principles and practise of Hematology. 2nd editions. United States of America:
Lippicott Williams and Wilkins, 2003. p. 273-297.
4. Jandl, JH. Blood Pathophysiology. Boston: Blackwell Scientific Publication,
1991. p. 91-105.
5. Shadduk RK. Aplastic Anemia. In: Williams Hematology. Fifth edition. United
States of America: The Mcgraw Hill Companies, 2000. p. 238-249.
6. Bakhsi, S. (2006, Maret 12-last updated). Aplastic Anemia. Avilable from :
http://www.emedicine.com/med/topic162.htm. Akses 18 Maret 2008.
7. Aplastic Anemia. Available from : http://www.medlib.med.utah.edu/web path/
HEMEHTML/HEME052.htm. Akses 18 Maret 2008.
8. Young, NS. Aplastic Anemia. In: Harrison’s Principles Of Internal Medicine.
Volume I. Fifteen edition. United states of America: the McGraw Hill Companies,
2001. p. 692-697.
9. Bakta, IM. Buku Ajar Hematologi Klinik Ringkas. Denpasar: UPT Penerbit
Universitas Udayana, 2001. p. 98-109.
10. Widjanarko, A. Anemia Aplastik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001. p. 637-643.
11. Hoffbrand AV, Pettit JE. Essential Haematology. 4th Edition. Oxford: Blackwell
Science, 2001. p. 91-96.
12.William DM, Pancytopenia, Aplastic Anemia and Pure Red Cell Aplasia. In:
Wintrobe’s Clinical Hematology Volume I. Ninth Edition. Philadephia London:
Lea&Febringer, 1993. p 911-937.
21
13. Turgeon ML, Aplastic and Related Anemias. In: Clinical Hematology Theory and
Procedures. Fourth edition. London: Lippicott Williams and Wilkins, 2005. p. 120-
129.
22