Upload
jabar-aljufri
View
23
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PKMRS
Citation preview
ANEMIA APLASTIK
A. PENDAHULUAN
Menurut definisi, anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal
jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells
(hematokrit) per 100 ml darah. Rata – rata manusia memiliki jumlah sel darah
merah kira – kira 5 juta per milimeter kubik yang masing – masing sel darah
merah memiliki siklus hidup sekitar 120 hari, tetapi keseimbangan sel darah
merah tetap dipertahankan antara kehilangan dan penggantian normal sel darah
merah sehari – hari.1
Penyakit anemia aplastik pertama kali di deskripsikan oleh Ehrlich tahun
1988, sampai sekarang penyakit ini mempunyai reputasi yang menakutkan.
Banyak pasien anemia aplastik meninggal karena proses penyakitnya yang
progresif. Insiden penyakit ini bervariasi antara 2 sampai 6 kasus tiap 1 juta
populasi. Pada penelitian yang dilakukan The International Agranulocytosis and
aplastic anemia study (IAAS) di Eropa dan Israel awal tahun 1980 mendapatkan 2
kasus tiap 1 juta populasi, tetapi penelitian pada tahun 1991 di Bangkok di
dapatkan insiden 3-7/1 juta/tahun. Perbedaan insiden ini diperkirakan oleh karena
adanya faktor lingkungan, seperti pemakaian obat-obat yang tidak pada
tempatnya, pemakaian pestisida, insidens virus hepatitis yang lebih tinggi dan
variasi geografis.3,4
1
B. DEFINISI
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh
penurunan produksi eritroid, mieloid dan megakariosit dalam sumsum tulang
dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya
keganasan sistem hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum
tulang. Aplasia ini dapat terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem
hematopoitik. Bila mengenai ketiga dari sistem tersebut maka disebut
panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia aplastik. Menurut The International
Agranulocytosis and aplastic anemia study (IAAS) disebut anemia aplastik bila :
kadar hemoglobin ≤ 10 g/dl atau hematokrit ≤ 30; hitung trombosit ≤
50.000/mm3, hitung leukosit ≤ 3.500/mm3, atau granulosit ≤ 1,5 x 109/l. 3
C. EPIDEMIOLOGI
Perbandingan insiden antara laki – laki dan perempuan menurut data
menunjukkan laki – laki sedikit lebih sering terkena anemia aplastik. Penyakit ini
termasuk penyakit yang jarang dijumpai di negara barat dengan insiden 1-3/1
juta/tahun. Namun di negara asia seperti Thailand, Indonesia, Taiwan dan Cina,
insidennya jauh lebih tinggi. 4
D. ETIOLOGI
Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak diketahui, atau
bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan
oleh proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. 5
2
Paparan terhadap beberapa obat-obatan ataupun bahan-bahan kimia dapat
meningkatkan faktor risiko terkena anemia aplastik. Sangat penting menyadari
bahwa penggunaan obat-obat tertentu aman bagi orang yang menggunakannya.
Pada beberapa kasus, misalnya, beberapa orang menderita anemia aplastik setelah
menggunakan beberapa obat-obatan. Demikian juga beberapa virus dihubungkan
dengan anemia aplastik. Namun, anemia aplastik yang terjadi akibat infeksi virus
sangat kecil persentasinya. 5
1. Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut dari radiasi yang dimana
stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan
jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif.
Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka akan terjadi anemia aplastik.
Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan
fibrosis. 6
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan
luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat
digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda tanda kerusakan
sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar
sumsum tulang. 7
2. Bahan-bahan kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan
anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang
3
lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang
berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia. 7
3. Obat – obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seorang
dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat obat lain yang juga sering dilaporkan adalah fenibutazon,
senyawa sulfur, emas,dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya
mieleran atau nitrosourea. 6
4. Infeksi
Anemia palsatik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang
paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah
terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang disebebkan oleh hepatitis
akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan
anemia aplastik. 7
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum
tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus
dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan
infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara langsung melalui induksi imun
sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan
progenitor sel atau destruksi jaringanstroma penunjang. 8
4
5. Faktor Genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian
dari padanya diturunkan menurut Hukum Mendell, contohnya Anemia Fanconi.
Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh
hipoplasia sumsum tulang disertai pigmentasi coklat di kulit, hipoplasia ibu jari
atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual kelainan ginjal dan limpa. 6
5
Tabel 1 : Penyebab anemia aplastik9
PENYEBAB JENIS CONTOH
1. Obat-obatan NSAID Indometasin(Indocin®),
Piroxicam (Feldene®), dan Diclofenac (Foltaren®).
Amfetamin MDMA(ekstasi)
Antibiotik Sulfonamid, Penisilin, Kloramfenikol
Anti-tiroid Propylthiouracil, Metimazole (Tapazole®)
Carbonic Anhydrase Inhibitor Azetasolamide, Methazolamide
Obat Diabetes Tolbutamide, Carbutamide, Chlorpropamide
Diuretik Furosemide (Lasix®), Thiazide
Obat Malaria Kloroquin
Golongan Phenothiazine Thorazine®, Compazine®
Allopurinol Zyloprim®
Anti Agregasi Ticlodipine
Obat Anti Kejang Karbamazepin (Tegretol®), Fenitoin (Dilantin®), dan Asam Valproat
Golongan aminosalisilat Mesalazine
2. Bahan Kimia Benzena Bensin, Asap buangan kendaraan, Rokok, Gas emisi dari pabrik, Limbah
industri
Pestisida Organofosfat
3. Faktor Resiko Lain
Hepatitis
Virus Epstein-Barr virus, Cytomegalovirus (CMV), Parvovirus B19, HIV
Kehamilan
Penyakit Autoimun Systemic Lupus Eritematous(SLE), Rheumatoid Arthritis
Radiasi
E. KLASIFIKASI
6
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik dapat
diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat. Risiko morbiditas
dan mortalitas lebih berkolerasi dengan derajat keparahan pansitopenia ketimbang
selularitas sumsum tulang. Infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan
penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa
dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi. 5
Tabel 2 : Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan derajatnya10
F. MANIFESTASI KLINIK
7
Klasifikasi Kriteria
Anemia aplastik tidak berat
Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum
tulang
Sitopenia sedikitnya
dua dari tiga seri sel
darah
Anemia aplastik sangat berat
Sumsum tulang hiposeluler namun
sitopenia tidak memenuhi kriteria berat
< 25% ( < 50% jika sel hematopoietik pada
sumsum tulang < 30%
Hitung neutrofil < 0.5 x 109/L
Hitung trombosit < 20 x 109/L
Hitung retikulosit absolut < 20 x 109/L
Sama seperti di atas, kecuali hitung
neutrofil < 0.2 x 109/L
A. Sindrom anemia : Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom
anemia, atau anemic syndrome. Gejala umum anemia atau sindrom anemia
adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin
yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini
timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh
terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila
diklasifikasikan menurut sistem organ adalah sebagai berikut : 3,5
1. Sistem kardiovaskuler : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu
kerja, angina pectoris, dan gagal jantung.
2. Sistem saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-
kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas.
3. Epitel : warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun,
rambut tipis, dan halus.
8
Sel Induk Hemopoetik
Kerusakan sel indukGangguan lingkungan mikro
Mekanisme imunologik
Perdarahan (kulit, mukosa, organ dalam) (c)
Sindrom anemia (a) A(a(aa *(a)
Eritrosit↓↓ Leukosit ↓↓ Trombosit ↓↓
Pansitopenia
Mudah infeksi (febris, ulkus mulut/faring, sepsis) (b)
B. Tanda-tanda infeksi dapat berupa ulserasi mulut atau tenggorok, selulitis
leher, febris, dan sepsis atau syok septik. Organomegali berupa
hepatomegali, splenomegali, atau limfadenopati tidak dijumpai. 3,5
C. Gejala perdarahan : paling sering timbul dalam bentuk perdarahan kulit
seperti peteki dan ekimosis. Perdarahan mukosa dapat berupa epistaksis,
perdarahan subkonjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis/melena, dan pada
wanita dapat dijumpai menorhagia. Perdarahan organ dalam jarang
dijumpai, tetapi jika terjadi perdarahan otak, sering bersifat fatal. 3,5
Selain dapat ditentukan dengan gejala klinik, dapat juga ditemukan dalam
pemeriksaan laboratorium dan radiologi sebagai berikut : 11
1. Pemeriksaan hitung darah lengkap
Pada pemeriksaan darah lengkap menunjukkan indikasi pansitopenia
meskipun jumlah leukosit kembali terjaga. Pada banyak kasus jumlah
hemoglobin, neutrofil, dan trombosit secara bersamaan mengalami penurunan,
tetapi di fase awal sitopenia yang terisolasi secara khusus trombositopenia dapat
terjadi. Anemia disertai dengan retikulopeni dan makrositosis bisa juga terjadi.
Pemeriksaan yang detail pada darah dibutuhkan untuk mengeliminasi
kemungkinan neutrophil diplastik dan trombosit abnormal, sel blast dan sel
lainnya seperti hairy sel. Jumlah monosit biasanya menurun, meski keberadaannya
perlu dicurigai sebagai gejala klinik hairy cell leukemia. Pada anemia aplastik,
anisopoikilositosis merupakan gejala umum dan neutrofil menunjukkan keracunan
granulasi. Secara kuantitatif jumlah hemoglobin <100 g/l, platelet <50 x 109/l dan
jumlah neutrofil <1,5 x 109/l.
2. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang dan biopsy trephine, keduanya dibutuhkan untuk
pemeriksaan sumsum tulang. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang dilakikan pada
trombositopenia berat. Fragmen biasanya didapatkan dari aspirasi, kesulitan
mendapatkan fragmen perlu dicurigai kemungkinan gangguan selain anemia
aplastik. Fragmen biasanya hiposeluler dengan penonjolan jaringan lemak dan
jumlah sel hematopoetik residual yang bervariasi. Eritropoesis mengalami
9
penurunan atau tidak ada, diseritropoesis merupakan hal yang ditandai secara
umum. Megakariosit dan granulosit biasa juga mengalami penurunan atau tidak
ada, megakariosit dan granulosit yang diplastik tidak terlihat pada anemia anemia
aplsatik. Limfosit, magrofag, sel mast dan sel plasma biasa masih tetap ada. Pada
pemeriksaan ini ditemukan selularitas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan
<30% sel hematopoetik residual.
Gambar 1. Bone Marrow Biopsy
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan x-ray thoraks dibutuhkan untuk menghindari kemungkinan
gangguan infeksi. Pemeriksaan USG abdominal, jika ditemukan pembesaran lien
meningkatkan kemungkinan gangguan hematologi malignant sebagai penyebab
pansitopenia. Pada pasien berusia muda, lokasi ginjal yang abnormal sebagai
penanda Anemia Fanconi.
G. PATOFISIOLOGI
Penyebab anemia aplstik sulit ditentukan, terutama karena banyak
kemungkinan yang harus disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti
maka digolongkan ke dalam penyakit idiopatik. Pendapat lain menyatakan bahwa
penyebab terbanyak dari kegagalan sumsum tulang adalah iatrogenik karena
kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi. Kerusakan yang terjadi pada anemia
aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan jaringan sumsum tulang
untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi seperti toksisitas langsung
10
atau defisiensi sel – sel stroma. Penyimpangan proses imunologis yang terjadi
pada anemia aplastik berhubungan dengan infeksi virus atau obat-obatan yang
digunakan atau zat kimia. 4
Mekanisme terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui :
1. Kerusakan sel induk (seed theory)
Defek yang mendasari pada semua kasus tampaknya adalah pengurangan
yang bermakna dalam jumlah sel induk pluripotensial hemopoietik, dan kelainan
pada sel induk yang ada atau reaksi imun terhadap sel induk tersebut yang
membuatnya tidak mampu membelah dan berdiferensiasi secukupnya untuk
mengisi sumsum tulang.5 keberadaan sel induk hematopoitik dapat diketahui lewat
petanda sel yaitu CD34, atau dengan biakan sel. Dalam biakan sel padanan sel
induk hematopitik dikenal sebagai longterm culture-initiating cell (LTC-IC), long-
term marrow culture (LTMC), jumlah sel induk /CD34 sangat menurun hingga 1-
10% dari normal. Demikian juga pematangan pada cobble-stone area forming
cells jumlah sel induk sangat menurun. Bukti klinis yang menyokong teori
gangguan sel induk ini adalah keberhasilan transplantasi sumsum tulang pada 60 –
80% kasus. Hal ini membuktikan bahwa dengan pemberian sel induk dari luar
akan terjadi rekonstruksi sumsum tulang pada pasien anemia aplastik. Beberapa
peneliti menganggap gangguan ini dapat disebabkan oleh proses imunologik.3
Antigen yang menjadi pencetus timbulnya proses autoimun belum
diketahui. Mediator yang menyebabkan supresi hematopoesis mungkin adalah
proliferasi limfosit T sitotoksik : CD-8 dan HLA-DR yang dapat dideteksi baik
dalam darah tepi maupun dalam sumsum tulang penderita anemia aplastik. Sel-sel
ini memproduksi sitokin inhibitor seperti TNF dan interferon-γ yang dapat
menghambat pertumbuhan sel-sel progenitor dengan cara mempengaruhi mitosis
dan mengadakan apoptosis (kematian sel terprogram). Sel-sel ini juga merangsang
sumsum tulang untuk memproduksi asam nitrat yang membantu timbulnya
sitotoksisitas melalui proses imun sehingga menyebabkan eliminasi sel-sel
hematopoetik. 5
11
Gambar 2 : Destruksi imunologik dari hematopoiesis12
Oleh karena kebanyakan pasien anemia aplastik berespon baik terhadap
terapi immunosupresif, dan hasil penelitian terhadap limfosit penderita anemia
aplastik mendukung patofisiologi peranan limfosit dan limfokin dalam merusak
sel hematopoietik, maka diduga bahwa proses imunologik yang berperan penting
dalam patomekanisme terjadinya anemia aplastik karena sel limfosit T tipe 1
sitioksik yang teraktivasi12
2. Kerusakan lingkungan mikro (soil theory)
Teori kerusakan lingkungan mikro ini dibuktikan melalui percobaan pada
tikus yang diberikan radiasi. Teori kerusakan pada lingkungan mikro sumsum
tulang disangkal karena ternyata sel-sel stroma fungsinya masih normal masih
dapat memproduksi faktor-faktor pertumbuhan dalam jumlah cukup berdasarkan
penelitian yang dilakukan dengan transplantasi sel induk (Stem Cell
Transplantation) yang memperlihatkan bahwa hal ini jarang terjadi karena sel
induk donor yang normal biasanya mampu hidup dalam rongga sumsum tulang
resepien. 5
12
Gambar 3. Stimulus Antigenik yang Menginisiasi Kerusakan Sumsum Tulang 12
Kenyataan bahwa terapi imunosupresif memberikan kesembuhan pada
sebagian besar pasien anemia aplasik merupakan bukti meyakinkan tentang peran
mekanisme imunologik dalam patifisiologi penyakit ini. Pemakaian gangguan sel
induk dengan siklosporin atau metilprednisolon memberi kesembuhan sekitar
75% dengan ketahanan hidup jangka panjang menyamai hasil transplantasi
sumsum tulang. Keberhasilan imunosupresif ini sangat mendukung teori proses
imunologik. 3
H. DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat, perdarahan, tanpa
adanya organomegali (hepato splenomegali). Gambaran darah tepi menunjukan
pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan
pemeriksaan biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak
jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik
13
dan trombopoetik. Diantara sel sumsum tulang sedikit ini banyak ditemukan
limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel). 3
Pada dasarnya diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya
pansitopenia atau bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang,
serta dengan menyingkirkan adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang.
Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International Agranulocytosis and
Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah: 5
1. Satu dari tiga sebagai berikut :
a. Hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30%
b. Trombosit kurang dari 50 x109/L
c. Leukosit kurang dari 3,5 x109L, atau netrofil kurang dari 1,5 x109/L
2. Dengan retikulosit <30x109L (<1%)
3. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) :
a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel
hemopetik atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan deplesi
seri granulosit dan megakariosit.
b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik
4. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus diekslusi.
Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia
aplastik. Hal ini sangat penting dilakukan karena menentukan strategi terapi.
Tergolong anemia aplastik sangat berat bila netrofil < 0,2 x 109/L.
Tergolong anemia aplastik berat bila memenuhi kriteria berikut:
1. Paling sedikit dua dari tiga:
a) Granulosit < 0,5 x 109/L
b) Platelet < 20 x 109/L
c) Koreksi Retikulosit < 1%
2. Selularitas sumsum tulang < 25%, atau selularitas < 50% dengan < 30%
sel-sel hematopoetik. 4
14
I. PENATALAKSANAAN
Secara garis besar, terapi untuk anemia aplastik terdiri atas :
1. Terapi kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab.
Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi
sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya
tidak dapat dikoreksi. 5
2. Terapi suportif 3,5,6
Terapi untuk mengatasi akibat pansitopenia.
a. Mengatasi infeksi antara lain :
Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan
adekuat yang tidak meyebabkan depresi sumsum tulang. Sebelum ada hasil biakan
berikan antibiotik berspektrum luas yang dapat mengatasi kuman gram positif dan
negatif. Biasanya dipakai derivat penisilin semisintetik (ampisilin) dan
gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil
biakan sudah datang, sesuaikan antibiotik dengan hasil tes kepekaan. Jika dalam
5-7 hari panas tidak turun, pikirkan infeksi jamur, dapat diberikan amphoterisin-B
atau flukonasol parenteral.
b. Mengatasi anemia :
Berikan transfusi Packed Red Cell (PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau ada
tanda payah jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9-
10% tidak perlu sampai Hb normal karena dengan transfusi darah yang terlampau
sering akan menimbulkan depresi sumsum tulang atau dapat menyebabkan
timbulnya reaksi hemolitik akibat dibentuknya antibodi terhadap sel darah merah,
leukosit dan trombosit.
c. Mengatasi perdarahan
Berikan transfusi konsentrat trombosit jika terdapat perdarahan mayor atau
trombosit <20.000/mm3. Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan
efektivitas trombosit karena timbulnya antibodi antitrombosit. Kortikosteroid
dapat mengurangi perdarahan kulit.
3. Terapi definitif yang terdiri atas : 5,6
15
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka
panjang. Terapi definitif untuk anemia aplastik terdiri atas 2 jenis pilihan terapi :
a. Trapi imunosupresif antara lain :
1. Pemberian anti-lymphocyte globuline
2. Terapi imunosupresif lain :
Pemberian metilprednisolon dosis tinggi dengan/ atau siklosporin-A
dilaporkan memberikan hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan
konfirmasi lebih lanjut. Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian
siklofosfamid dosis tinggi.
b. Tansplantasi sumsum tulang 5,6
Transplasntasi sumsum tulang merupakan terapi definitif yang
memberikan harapan kesembuhan jangka panjang pada 60-70 kasus, tetapi
biayanya sangat mahal, membutuhkan peralatan canggih, serta adanya kesulitan
mencari donor yang kompatible. Transplantasi sumsum tulang yaitu :
1. Merpakan pilihan untuk kasus di bawah 40 tahun
2. Diberikan siklosporin A untuk mengatasi GvHD (graft versus host
disease)
J. DIAGNOSA BANDING 3
1. Purpura Trombositopenik Imun (PTI). Pemeriksaan darah tepi dari kedua
kelainan ini hanya menunjukkan trombositopenia tanpa retikulositopenia
atau granulositopenia/leukopenia. Pada pemeriksaan dari PTI
menunjukkan gambaran yang normal atau ada peningkatan megakariosit.
2. Leukimia akut jenis aleukemik, terutama Leukimia Limfoblastik Akut
(LLA) dengan jumlah leukosit yang kurang dari 6000/mm3. Kecuali pada
stadium dini, biasanya pada LLA ditemukan splenomegali. Pemeriksaan
darah tepi sukar dibedakan karena kedua penyakit gambaran yang serupa
(pansitopenia dan relatif limfositosis) kecuali bila terdapat sel blas dan
limfositosis yang dari 90% diagnosis lebih cenderung pada LLA.
3. Stadium praleukemik dari leukemia akut
16
Keadaan ini sukar dibedakan baik gambaran klinis, darah tepi, maupun
sumsum tulang karena masih menunjukkan gambaran sitopenia dari ketiga
sistem hematopoetik. Setelah beberapa bulan kemudian baru terlihat
gambaran khas LLA. 3
K. PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada :
1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.
2. Kadar Hb F yang lebih dari 200 mg% memperlihatkan prognosis yang lebih
baik.
3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih
baik.
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutana di Indonesia karena kejadian infeksi
masih tinggi. Gambaran sumsum tulang merupakan parameter terbaik untuk
menentukan prognosis.
Adanya remisi dapat terlihat dengan memperhatikan jumlah retikulosit,
granulosit/leukosit dengan hitung jenisnya dan jumlah trombosit. Pemeriksaan
sumsum tulang sebulan sekali merupakan indikator terbaik untuk menilai keadaan
remisi. Sebaiknya pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah hitung
trombosit mencapai 50.000-100.000/mm3. 3
Penyembuhan spontan jarang terjadi. Pansitopenia berat yang dibiarkan
tidak terobati memiliki angka rata-rata kematian secara keseluruhan sebesar 50%
selama 6 bulan setelah diagnosis dan lebih dari 75% angka kematian dan
kecacatan disebabkan oleh infeksi dan perdarahan sebagai penyebab utamanya.
Kebanyakan anak-anak dengan anemia aplastik berat yang berespon terhadap
transplantasi sumsum tulang, imunosupresan atau sitokin akan memiliki jumlah
sel-sel darah yang normal atau hamper normal. 11
KESIMPULAN
17
1. Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh
penurunan produksi eritroid, mieloid dan megakariosit dalam sumsum
tulang dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi.
2. Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak diketahui, atau
bersifat idiopatik, bisa juga akibat penggunaan obat-obatan, radiasi, bahan
kimia.
3. Diagnosa anemia aplastik dibutuhkan pemeriksaan complete blood count
dan pemeriksaan sumsum tulang untuk melihat morfologi dan selularitas sel
darahnya.
4. Pengobatan pada anemia aplastik berupa terapi kausal, terapi suportif, dan
terapi definitif.
5. Prognosis anemia aplastik tergantung pada gambaran sumsum tulang
hiposeluler, kadar Hb F, jumlah granulosit dan pencegahan infeksi
sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Price, Sylvia A.2005. patofisiologi: konsep klinis proses – proses penyakit
edisi 6 volume 1. Jakarta :EGC. hal 255-260.
2. Sherwood, lauralee. 2011. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem edisi 6,
Jakarta : EGC. Hal 421-427.
3. Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku
Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan ketiga. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI; 2010.
4. Isyanto, maria A. 2005. Masalah pada tatalaksana anemia aplastik didapat.
Jakarta : SARI pediatric no.7. 26-33
5. Bakta, I Made. 2006. Hematolodi klinik ringkas. Jakarta : EGC. Hal 97-
1112
6. Widjanarko A, Sudowo AW, Salonder H. Anemia Aplastik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid 2 edisi V. Jakarta: Internal Publishing; 2009.
7. Hillman RS, AultKA, Rinder HM. Hematology in clinical practice 4th
edition. New York: Large Mcgraw Hill.2005.
8. Niazzi M, Rafiq F. the incidens of underlying pathology in pancytopenia.
Available in URL : http://www.jpmi.org/org_detail.asp
9. Aplastic Anemia. [Philadelphia] : American Cancer Society; 2013. [updated
March 23rd 2013, cited December 23rd 2013]. Available from :
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/002279-
pdf.pdf
10. Guinan, Eva C. Aplastic Anemia : Management of Pediatric Patients.
American Society of Hematology; 2005.
11. J. Marsh, S.E. Ball, J.Cavenanh. Guideline for the diagnose and
management of aplastic anemia. England : British Commite for standarts in
haematology; 2009.
12. Young NS. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. New
England Journal; 1997
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRS
19
FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2014UNIVERSITAS HASANUDDIN
ANEMIA APLASTIK
Disusun Oleh :Akhmad FauziC111 10 818
Pembimbing :dr.M.Nafis Qulyuby
Supervisor :Dr. dr. Nadirah Rasyid Ridha, Sp.A. M.Kes
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIKDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR201
HALAMAN PENGESAHAN
20
Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Akhmad Fauzi
NIM : c 111 10 818
Judul PKMRS : Anemia Aplastik
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Oktober 2014
Pembimbing Penyusun,
dr. M. Nafis Qulyuby Akhmad Fauzi
Supervisor Pembimbing,
Dr. dr. Nadirah Rasyid Ridha, Sp.A. M.Kes
HALAMAN PENGESAHAN
21
Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Akhmad Fauzi
NIM : c 111 10 818
Judul PKMRS : Anemia Aplastik
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Oktober 2014
Pembimbing Penyusun,
dr. M. Nafis Qulyuby Akhmad Fauzi
Supervisor Pembacaan PKMRS,
DAFTAR ISI
22
Halaman Pengesahan………………………………………….………………… ii
Daftar Isi………...………………………………………………………………. iv
I. Pendahuluan……………………………………………………..….............. 1
II. Definisi……………….…………………………………………………...... 2
III. Epidemiologi………………..………………………………….……............ 2
IV. Etiologi…………………………………………………………………...... 2
V. Klasifikasi…………………………………………………….................... 7
VI. Manifestasi Klinik…………………………………………………………. 8
VII. Patofisiologi………………………………………………..………......... 10
VIII. Diagnosis……………………………………………………………......... 13
IX. Penatalaksanaan…………………............................................................. 15
X. Diagnosa Banding………….………………………………………… 16
XI. Prognosis…………………………………………………….................... 17
XII. Kesimpulan…………………………………………………………......... 18
Daftar Pustaka
23