73
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara garis besar peneliti mengemukakan beberapa latar belakang dan alasan-alasan penting telaah wacana sosiologis pada Novel Laskar Pelangi karya Andrea hirata. Alasan-alasan tersebut meliputi beberapa pertimbangan: Dari sisi sumber data, karya sastra ini tergolong karya sastra ‘ Indonesia’s Most Powerful Book’ , sehingga banyak yang memperoleh pujian dan komentar positif, sebagaimana disinyalir oleh Damono (Damono dalam Hirata, 2008) yang mengatakan bahwa karya sastra ini tergolong memiliki ramuan penglaman dan imaginasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antar gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan dewasa ini. Oleh karena itu, novel Laskar Pelangi termasuk katagori ‘ high cultural context’ , atau memiliki nuansa wacana budaya yang tinggi, sehingga termasuk katagori layak unuk diteliti. Penelitian dan analisis ilmiah dan karya tulis pada karya sastra memang sudah banyak dilakukan, namun cenderung hanya 1

ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

  • Upload
    lykiet

  • View
    239

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara garis besar peneliti mengemukakan beberapa latar belakang dan alasan-alasan

penting telaah wacana sosiologis pada Novel Laskar Pelangi karya Andrea hirata. Alasan-

alasan tersebut meliputi beberapa pertimbangan: Dari sisi sumber data, karya sastra ini

tergolong karya sastra ‘Indonesia’s Most Powerful Book’, sehingga banyak yang memperoleh

pujian dan komentar positif, sebagaimana disinyalir oleh Damono (Damono dalam Hirata,

2008) yang mengatakan bahwa karya sastra ini tergolong memiliki ramuan penglaman dan

imaginasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antar

gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan dewasa ini. Oleh karena itu, novel Laskar

Pelangi termasuk katagori ‘high cultural context’, atau memiliki nuansa wacana budaya yang

tinggi, sehingga termasuk katagori layak unuk diteliti.

Penelitian dan analisis ilmiah dan karya tulis pada karya sastra memang sudah banyak

dilakukan, namun cenderung hanya ditelaah dari sisi surface structure atau masih sebatas pada

telaah struktur dan tekstual semata. Telaah yang demikian, menghasilkan telaah yang belum

mencapai makna yang maksimal, dan kurang menyentuh pada aspek makna kontekstual yang

secara sosial dan fungsional terkair dengan fenomena yang ada di masyarakat, sekalipun tidak

menafikkan elemen fiksionalitas sebagai ornamen stilistik yang menjadikan karya sastra

semakin indah untuk dinikmati dan diapresisiasi secara sosial fungsional karya yang komplek

dan menyentuk fenomena kemasyarakatan (literary is sosiocultural bounds).

Cumings menegaskan bahma karya sastra pada hakeketnya sebagai model dan potret

1

Page 2: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

kehidupan nyata yang ada di masyarakat, dan sebagai wacana dan sarana komunikasi sosial

(cultural and pragmatical bounds, Cuming, 2005:5). Dengan kata lain, karya sastra memilik

standard ganda; secara tekstual karya sastra merupakan wacana yang berdemensi estetika, dan

secara kontekstual karya sastra merupakan meniatur potret struktur sosial budaya manusia dan

segala pernik-pernik yang melekat pada karya dimaksud.

Untuk mendapatkan pemaknaan total, diperlukan telaah yang tidak saja berdemensi

tekstual (mikro semata), tetapi seharusnya diintegrasikan dengan kontekstualitas fenomena

kehidupan, agar terbangun pemaknaan yang lebih komprehensif dan natural, yang meliputi baik

elemen mikro kesastraan dan kebahasaan maupun elemen makro kesastraan.

Sejalan dengan adanya wacana kesastraan bukanlah teks yang otonom, paradigma itu

dipengaruhi adanya dinamika transpsransi dan era kesejagatan perkembangan teori bahasa dan

kesusasteraan yang semakin integral, dan seiring dengan perkembangan pendekatan penelitian

posmoderen yang mengisyaratkan pentingya telaah multidisiplin, maka pemaknaan teks dan

konteks menjadi kajian yang memiliki spektrum lateral dan pemahaman yang multikultutal

(Darma, 2005)

Telaah blending ini diharapkan dapat menjembatani kebuntuhan telaah dan opini yang

menganggap bahwa telaah sastra dan linguistik seolah-oleh kedunya sebagai disiplin ilmu yang

tak dapat dirujuk, padahal kedua telaah tersebut memiliki objek material dan bahan dasar yang

sama yaitu, elemen linguistik sebagai bahan bakunya. Sementara, elemen rekaan imajinatif

merupakan demensi sensualitas yang selalu melekat pada penutur dan penulis karya sastra,

sehingga karya sastra yang dihasilkan merupakan karya kebahsaan yang indah (basa rinengga).

Demensi inilah merupakan wahana keunikan dan keindahan tindak tutur karya sastra.Telaah

blending juga memungkinkan adanya ketercapaian pemaknaan lateral; pemaknaan yang

2

Page 3: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

demikian dapat menghantarkan pada pemaknaan yang integral dan mendalam, sehingga

meghasikan pemaknaan yang melibatkan prinsip pemaknaan tektual, kontekstual dan

intertekstual (Gonzalez, and Tanno, 1999:5)

Dikemukakan Preminger dkk. (1974: 981) bahwa kebahasaan dan kesastraan tidak lepas

dari tindakan sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa : sistem linguistik) yang

mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis. Penelitian harus menandakan satuan-satuan

minimal yang digunakan oleh sistem tersebut; penelitian harus menentukan kontras-kontras di

antara satuan-satuan yang menghasilkan arti, (hubungan-hubungan paradigmatik) dan aturan-

aturan kombinasi yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama-sama

sebagai pembentuk-pembentuk struktur yang lebih luas (hubungan-hubungan sintagmatik).

Dikatakan selanjutnya oleh Preminger bahwa studi wacana sosiologis sastra adalah usaha untuk

menganalisis sebuah sistem wacana kebahasaan dan kesasteraan yang melibatkan analisis

mikro sampai analisis makro dalam perspektif wacana sosiologis. Telaah yang demikian

dimulai dari telaah teks kebahasaan dan kesatraan yang dapat menentukan konvensi-konvensi

apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti secara gramatikal dan selanjutnya

diperoleh makna (intended Message) yang lebih mengakar dengan kontes sosiologis sebuah

wacana (discourse is cultutal bound), karena karya sastra merupakan ‘memetic’ atau refleksi

dari wacana social (Supratno, 2005)

Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri.

Dalam sastra ada jenis sastra (genre) dan ragam-ragam, jenis sastra prosa dan puisi, prosa

mempunyai ragam : puisi lirik, syair, pantun, soneta, balada dan sebagainya. Tiap ragam itu

merupakan sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri

3

Page 4: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Pemaknaan tersebut semestinya memerlukan konteks ungkapan wacana kesasteraan .

Dalam menganalisis karya sasta, peneliti harus menganalisis sistem tanda itu dan menentukan

konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam

rangka sastra itu mempunyai maknam sebagai perwujudan bahwa karya sastra secara

substansial diramu dengan bahan dasar ‘bahasa’ yang dirancang dari konstruksi dengan

‘linguistic enginering’, sehingga melahirkan bahasa yang memiliki estetika tinggi (bahasa

sastram / bahasa rinenggo), sebagai contohnya, genre novel merupakan sistem tanda, yang

mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan yang sensual,

diantaranya : personifikasi, simile, metafora, dan metonimi. Tanda-tanda itu mempunyai makna

berdasarkan konvensi-konvensi (dalam) sastra, yang dapat berupa ungkapan-unkapan

perbandingan kias, perbandingan dan disampaikan secara elegan, mataporik, dan estetik,

sehingga melahirkan efek kompetensi estetika yaaang menimbulkan rasa haru, senang, bahagia,

tegang, celamas, iba dan bahkan menjadikan pembaca hanyut dalam perangkap pikiran,

idiologi, dan persaan pencipta karya sastra.yang berprinsip pada ketidaklangsungan and

ambiguitas. Hal ini, sejalan dengan pandangan Robert Frost yang mengatakan bahwa karya

sastra memiliki prinsip ‘saying one thing meaning another’ artinya mengatakan sesuatu, tetapi

bermakna lain. Oleh karena itu. Untuk memperoleh pemaknaan yang diharapkan (intended

meaning) secara tektual dan kontekstual sebuah wacana kesastran sangat diperlukan aspek-aspek

budaya, ideologi, religi, politik dan bahkan aspek psikologi (Cummings, 2005:42).

Arti atau makna satuan itu tidak lepas dari konvensi-konvensi sastra pada umumnya

ataupun konvensi-konvensi tanda-tanda kebahasaan. Seperti telah diterangkan, tanda-tanda itu

mempunyai arti atau makna disebabkan oleh konvensi-konvensi tersebut. Konvensi itu

4

Page 5: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

merupakan perjanjian masyarakat, baik masyarakat bahasa maupun masyarakat sastra,

perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun temurun, bahkan

kemudian sudah menjadi hakekat sastra sendiri. Sastrawan dalam menulis karya sastranya

terikat oleh hakikat sastra dan konvensi-konvensi tersebut. Tanpa demikian, karya sastra tidak

dapat dibumikan maknanya secara optimal sampai ke akar-akarnya, seiring dengan paradigm

posmoderen.

Pandangan wacana diatas, mengilhami peneliti untuk melakukan analisis wacana

sosiologis karya sastra yang menggunakan pendekatan integral telaah kesastra dan kebahasaan,

dengan maksud agar dapat dimaknahi secara tekstual maupun kontekstual, sehingga

memperoleh pemaknaan secara terpadu yang tercermin dalam fenomena karya sastra, terutama

karya sastra sebagai wahana / kendaraan penulis untuk menghantarkan pikiran, perasaan dan

imiginasi pengarang yang terkait dengan fenomena sosial secara dal perspektif sosiologi sastra.

B. Fokus Masalah

Terkait dengan pengantar telah sosiosemiotika diatas, pemakalah mencoba

memformulasikan fokus permasalahan pada makalah ini, dengan rumusan sebagai berikut:

1) Elemen tekstual wacana apa saja yang digunakan dalam menciptakan

wahana estetika dalam kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata,

sehingga melahirkan sensualitas kesasteraan bagi pembacanya?

2) Elemen Konteks wacana konteks sosiolinguistis apakah yang digunakan

dalam kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata?

5

Page 6: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

3) Bagimanakah kosepsi teori kontekstual sosiologis yang di digunakan dalam

kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata?

4) Bagimana pula idiologi nilai- nilai religi secara sosiologis tercermin dalam

wacana kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus permasalahan yang telah ditetapkan diatas penulis merumuskan

tujuan penulisan sebagai berikut:

1) Mendiskripsikan elemen-elemen tekstual wacana yang digunakan dalam

menciptakan wahana estetika dalam kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.

2) Mengelaborasikan Elemen Konteks wacana yang digunakan dalam kaya sastra

Laskar Pelangi karya Andrea Hirata

3) Memberikan alasan-alasan kosepsi teori kontekstual sosilogis yang di digunakan

dalam kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata

4) Memaparkan konstruk nilai-nilai religi yang secara idiologis sosilogis tercermin

dalam wacana kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapakan dapat menambah khasanah pengetahuan bagi semua pihak dan

bermanfaat terutama bagi mereka yang berkepentingan dalam pengembangan dunia kajian

blending antara keilmuan linguistik dan sastra dan sekaligus bermanfat bagi perkembangan ilmu

kebahasaan dan kesatraan secara lebih luasm seiring dengan perkembangan model penelitian

6

Page 7: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

posmoderen yang memberikan angin segar bagi peneliti untuk mengekplorasi sumber data

dengan telaah secara integral dan independent antara tekstual karya sastra dan kontekstual

sosiologi sastra

2. Manfaat Teoritis

Sedangkan secara teoritis, diharapkan penelitian ini memberikan pemahaman konsep dan

teori ynag menyangkut ilmu kebahasan dan kesasteraan, khususnya yang mengungkap teorima

wacana sosiologis sastra khususnya pada kajian sastra agar dapat memperkaya keilmuan ynag

berhubungan dengan teori-teori mikro dan makro linguistik yang terkait dengan kajian mikro dan

makro kesasteraan sering dengan interdisipin kajian cabang-cabang bahasa dan sastra

E. Batas dan Cakupan Penelitian

1. Batasan penelitian:

Penelitian ini dibatasi pada kaya sastra novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata,

sebagai sumber data dan selanjutnya dipilah secara fragmentatif dijadikan data dan

eviden yang terkait dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan oleh peneliti.

2. Cakupan penelitian:

Penelitian ini hanya difokuskan pada analis wacana sosiologis yang secara ekplisit akan

menggunakan beberapa teori blending antar pendekatan kebahasaan, kesastraan dan

sosiologi sastra, yaitu grand teori wacana tekstual estetika, wacana ethnography

sosiologis dan teori sruktur, dalam system sosial dalam perspektif sosiologi sastra.

F. Batasan Istilah

1. Analisis wacana:

Wacana berarti melibatkan bagaimana manusia mengunakan bahasa dalam

berkomunikasi dan bagaimana pembicara menggunakan “linguistic message” untuk

pendengar, dan bagaimana pendengar menafsirkannya. Proses yang demikian haruslah

terjadi agar tercipta komunikasi yang berarti, memahami teks yang terungkap dibutuhkan

7

Page 8: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

pemahaman yang melibatkan aspek petanda kebahasaan maupun petanda kesasteraan

yang terkait secara sosilogis

2. Aspek sosiologis:

Wacana baik wacana kesastraan dan kebahasaan bukan merupakan sebuak teks

yang berdiri sendiri dan otonom.Teks pencerminan atau potret kehidupan masyarakat.

karena itu, karya harus dipahami dengan pendekatan sosiologis, sastra yang berarti

melibatkan telaah kolaborasi antara teks dan konteks (TedLock, 198:7).

3. Multidisiplin studi:

Model telaah untuk mendapatkan pemaknaan total, diperlukan telaah yang tidak

saja berdemensi tekstual (mikro semata), tetapi seharusnya diintegrasikan dengan

kontekstualitas fenomena kehidupan, agar terbangun pemaknaan yang lebih

komprehensif dan natural, yang meliputi elemen mikro dan makro kesastraan

kebahasaan (Gonzalez, and Tanno, 1999:5).

4. Pencitraan adalah elemen intrinsik (wacana mikro)

Pada sebuah karya sastra yang sering dimanfaatkan oleh pengarang dalam rangka

melahirkan suasana emotional psikologis bagi pembaca dan pendengar (penikmat) karya

sastra. Sarana wacana tekstual ini terkait dengan pemanfaatan organ dan indera manusia

dalam mengamati sebuah objek dan fenomena alam yang secara indrawi meliputi

penglihatan, pendengaran, perabaan, gerakan dan rasa (Perrine, 1974: 560)

5. Majas atau Gaya Penuturan

Pilihan gaya dan diksi dalam bentuk majas berfungsi sebagai visualisasi pikiran

dan persaan yang dituangkan secara verbal. Pengarang melakukan pilihan diksi agar

gagasan, pikiran dan persaan yang disampikan secara verbal dapat merasuk secara sensual

8

Page 9: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

emosional dalam relung pembaca tehadap pesan yang disampaikan (Chapman, 1973),

Pradopo (1997), and Blake (1990) (Perrine (1974:609).

6. Konstuk idiologi religi

Konstruk idilogi religi yang dimaksud adalah poteit elemen elemen wacana yang

dapat dikaitkan sebagai pesan-pesan religi yang tersurat dan tersirat dalam wacana karya

sastra Laskar Pelangi, yang selanjutnya di diskripsikan sebagai bahasan temuan, analisis

dan kesimpulan dalam penelitian novel ini.

G. Kajian Terdahulu

Furoidatul Khusnia (2006) dalam tesis yang berjudul gaya penuturan pada shalwat nabi.

Analisis tulisan ini lebih menekankan pada analisis secara tekstual dan stilistika yang ada pada

sumber data semata dan tidak banyak dikaitkan dengan telaah konteks yang terkait dengan pola

wacana sebagai cermin masyarakai. Bentuk temuan dan analisisnya masih bertumpu pada analisis

elemen-elemen kebahsaan secara makro, sehingga maghasilkan temuan yang lebih

berorentasikan pada konvensi kebahasaan.

Ida Setyawati (2006) tesis tersebut mengetengahkan analisis pragmatik novel. Analsis dan

temuannya lebih ditekankan pada analisis penggunaan teori dan analisis tindak tutur. Diskusi dan

deskripsi pada pembahasan dan temuan diprioritaskan pada bagaimana memahami novel pada

telaah klasifikasi tindak tutur yang menggunakan teori Searle dan Austen.

Ainurokhim, (2007) desertasi tersebut menekankan analisis teks Tembang Jawa yang

lebih menekankan spektrum retorika yang dilihat dari perspektif teks, konteks dan pelantunan.

Temuan yang unik ada pada analisis gelombang bunyi Tembang Jawa yang memiliki ragam

9

Page 10: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

amplitude, frequensi, dan fiberasi yang beragam dan memiliki genre rasa dan makna yang

beragam pula sesuai dengan katakter ganre lagu tembang.

Trilaksono, (2008) desertasi tentang analisis wacana pada sebuah drama ‘ Mayor

Barbara’ karya George Benardshow yang terfokus pada analis argumentasi, dilihat dari analisis

retorika dan pragmatik. Analisis ini juga mengedepankan tetang analisis karya sastra yang

diekplorasi dari segmen analisis linguistik mikro dan makro yang berbasis pada analisis teks dan

konteks pragmatik yang juga memanfaatkan teori tindak tutur dan retorikan sebagi basis teorinya.

10

Page 11: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

BAB II

KERANGKA TEORI

Untuk mendapatkan pemaknaan yang berdemensi tekstual dan kontektual,

penelitian ini mengunakan berbagai teori yang terkait dengan beberapa kajian teori Analisis

Wacana sisiologis melibatkan telaah tekstual dan konteks yang secara garis besar meliputi 3

kelompok grand theori: theori wacana tekstual estetika, teori kontekstual etnografi dan teori

sosiologi yang terkait dengan srtuktur, system, bentuk sosial dan konsep religi yang

dielaborasikan secara teoritis dan integral berikut ini:

1. Wacana Tekstual

Dalam telaah Sastra sebagai alat komunikasi, media berfikir, alat berinteraksi dan

transaksi, yang menngunakan wacana dan bahasa sebagai sarana penyampaian pesan dan idiologi

sebuah karya sastra, maka wacana tesebut dapat dicermati dari alur verbal yang dimunculkan

dalam struktur teks yang dimunculkan (surface struktur) yang berupa bahasa yang dituturkan oleh

pengrang. Media lingual kesasteraan tersebut berperan sebagai falolitator yntuk menstranfer

idiologi yang hendak ditransaksikanya, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Brown dan Yule

(1983:1) ”Language has both transactional and interactional functions”, maka bahasa tidak

dapat dipahami secara terpisah secara linguistik saja. Sebab tentu kita tidak akan memahami

sebuah makna secara terpisah antara teks yang dinyatakan dengan konteks yang dimaksudkan

antara penutur dan petutur, mereka diikat dengan aturan yang jelas agar dalam berkomunikasi

tidak ngambang, dan mudah untuk diinterpretasikan satu sama lain. Demikian pula dalam dunia

sastra, sastra merupakan model wacana yang hendak dikomunikasikan kepada pembaca atau

pendengar.

11

Page 12: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Ketika kita berbicara atau mendengarkan sesuatu, berarti kita berbicara wacana, karena

kita sudah melakukan dan memanfatkan bahasa untuk dipakai sebagai alat komunikasi. Seiring

dengan hal tersebut, Mey (1994: 187) mengatakan bahwa ”discourse is cansidered as the use of

language”. Oleh karena itu, berbicara wacana atau wacana berarti melibatkan bagaimana manusia

mengunakan bahasa dalam berkomunikasi dan bagaimana pembicara menggunakan “linguistic

message” untuk pendengar, dan bagaimana pendengar menafsirkannya. Proses yang demikian

haruslah terjadi agar tercipta komunikasi yang berarti, sehigga dalam memahami teks yang

terungkap dibutuhkan pemahaman yang melibatkan aspek linguistik dan aspek non linguistik.

Berbicara wacana, secara natural sebenarnya bukanlah hal yang baru, meskipun secara

historis pengembangan analisis wacana secara ilmu baru berkembang sekitar tahun 60 dan 70-an.

Hal ini diawali dari perkembanga ilmu filsafat dan retorika, namun secara historis wacana itu bila

dirujuk dari filosofi religi ternyata wacana dapat dikatakan ada sebelum manusia ada, lihat perang

wacana antara Tuhan dan malaikat ketika akan diciptakan Adam, dialog antara Tuhan dan

Malaikat itu secara religi dapat dijadikan sebagai eviden adanya wacana pertama dan asal usul

mausia pertama diciptakan Tuhan (albaqoroh).

Seiring dengan perkembangan linguistik makro dan sastra makro, sebuah wacana dapat

dibedah dengan berbagai macam teori wacana. Salah satu model analisis wacana yang dapat

digunakan untuk memahami sebuah teks yaitu teori ethnografi. Secara ekplisit, menurut Hymes

(1972) menyebut unsur-unsur wacana secara sosiolinguistis melibatkan berbagai demensi secara

kontekstual, sehingga akan melahirkan pemaknaan yang simultan. Haymes mengklasifikasikan

makna wacana.

Selanjutnya, pemahaman wacana secara sempurna terjadi bila melibatkan beberapa

kompetensi komunikasi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Menurut Celce-Murcia et al.

12

Page 13: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

(1995:10), mengatakan bahwa komunikasi itu memerlukan kompetensi yang disebut dengan

istilah kompetensi komunikatif yang melibatkan berbagai kompetensi, termasuk kompetensi

wacana.

Kompetensi ini akan dapat terwujud secara terpadu bila dalam proses komunikasi tersebut

ditopang dengan berbagai kompetensi antara lain: Socio-cultural competence, yang berarti dalam

berkomuniasi akan berhasil apabiala saling dapat memahami jika terjadi saling meperhatikan

aspek budaya dan kultur untuk dipahami. actional competence; mencakup kompetensi tindakan-

tindakan yang dapat mendukung kejelasan berkomunikasi, linguistic competence; melibatkan

seperangkat kompetensi terhadap penguasaan komponen-komponen linguistik, dan strategic

competence; tehnik-tehnik yang efektif sehingga terjadi komunikasi.

Kajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama

secara konteks, prakmatik dan analisa wacana mempelajari makna kata-kata dalam konteks, yang

melibatkan bagian makna kata yang dapat dijelaskan dari segi sosial fisik dan aspek-aspek sosio-

psykologis yang mempengaruhi komunikasi, demikian juga yang mencakup waktu dan tempat

dimana kata-kata itu diucapkan dan ditulis (Yule dalam Cutting2000:2). Semua aspek yang

menunjang terbentuk wacana secara kontekstual tersebut akan menentukan makna.

Berbicara bahasa sebagai sistem komunikasi, tidak terlepas dari konteks budaya, konteks

situasi, yang harus dipahami oleh penutur dan petutur, yang berarti mereka yang terlibat dalam

suatu wacana yang intregral dan tidak dapat dipisakan antara bahasa yang dipahami dengan

budaya yang melekat pada pemakai bahasa tersebut.

13

Page 14: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

2. Pencitraan

Pencitran adalah elemen intrinsik tekstual wacana pada sebuah karya sastra yang sering di

manfatkan oleh pengarang dalam rangka melahirkan suasana emotional psikologis bagi pembaca

dan pendengar (penikmat) karya sastra. Sarana wacana tekstual ini terkait dengan pemanfaatan

organ dan indera manusia dalam mengamati sebuah objek dan fenomena alam yang secara

indrawi meliputi penglihatan, pendengaran, perabaan, gerakan dan rasa (Perrine, 1974: 560)

Jika konponen indra tersebut dilibatkat dalam proses telaah suatu objek, maka akan

melahirkan telah yang lebih mendalam dan akurat. Kondisi seperti tersebut diatas dapat dijadikan

kerangka filosofis untuk pemetaan teks-teks karya sastra, dengan maksud diperoleh pengindaraan

dan telaah yang melibatkan demensi akal dan rasa (sense), sehingga melahirkan kedalaman

apresisi akal dan rasa yang mendalam bagi penikmat karya sastra.

Bagi pengarang, pencitraan pada karya sastra dapat dilakukan dengan cara melahirhan ide

dan perasaan (sense) melalui rangkaian ekspresi verbal dalam bentuk kata-kata dan frase yang

imaginatif (vehicle atau kendaraan), rangkaian retorika semiotika tersebut diharapkan melahirkan

kesan emotional dan sensual (imagery) pendengar atau pembaca. Ekpresi verbal penyair dan

novelis yang terwujud dalam bentuk wacana karya satra puisi, novel maupun karta sastra yang

berfungsi multi demensi. psikologis, antara lain: pertama, pencintran, pilihan diksi, dan gaya

penuturan akan dapat mencerahkan emosional psikologis pembaca, sehingga pembaca memasuki

sikap apresiasi yang mendalam (katarsis). Fungsi kedua pencitran dan pilihan diksi tersebut akan

menambah nuansa estetis pencitraan karya sastra yang dapat menciptakan rasa keindahan bagi

pembaca, sehingga karya sastra dapat berguna sebagai terapi kepanatan dalam hidup bagi

pecintra dan penikmat karya sastra. Fungsi terpenting adalah keindahan pencintraan karya sastra

14

Page 15: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

sebenarnaya dapat dijadikan kendaraan transfer idiologi dan amanat dari seorang pengarang

kepada pembaca maupun pendengar.

Secara rinci Pradopo (1993), menggolongkan pencitraan menjadi 6 yaitu : 1. Citra

Penglihatan (visual imagery) 2.Citra Pendengaran (Audio Imagery) 3. Citraan Penciuman 4.

Citra Gerak (Movement imagery) 5. Citra Percepatan dan Citra Rabaan ( Tactic termal ) dan yang

ke 6. Citra Kekotaan dan Kehidupan Modern.

Adapun keenam pencitraan tersebut termasuk golongan unsur instrinsik dalam sebuah

karya sastra. Pandangan lain tentang citraan dikemukakan oleh Burhan Nugriantoro (1998)

menjadi 5 golongan yang termasuk dalam kelima indera yaitu citra penglihatan, citra

pendengaran, citra gerak dan citra rabaan serta citra penciuman citraan atau Imagery jika ingin

lebih ilmiah sebenarnya dapat dikembangkan menjadi lebih banyak dari yang disebut

sebelumnya, karena sebagaimana ahli psikologi hanya menggolongkan lima, namun untuk

pengkajian teks karya sastra tertentu dapat dikembangkan dengan jenis-jenis lainnya.

Berbicara masalah ragam pencitraan, secara substansif menurut Wallek dan Warren

(1989: 180), pencitraan tak bisa dilepaskan dari masalah citra metaphor, simbol dan mitos yang

sering kali digunakan secara tumpang tindih, citra, diformulasikan sebagai reproduksi mental,

satu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi. Dan tidak selalu bersifat

universal (Wallek dan Warren,1989:236). Sementara Pradopo menyatakan pemaknaan citra

sebagai gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkanya (Pradopo, 1993: 70-

80).

Berdasarkan argumentasi diatas dapatlah diformulasikan bahwa pencitraan merupakan

media estetika secara tekstual diciptakan oleh pengarang dengan cara melakukan ‘rekayasa

linguistik’ baik secara phonetis, semantis, maupun morfologis, agar melahirkan rasa estetik pagi

15

Page 16: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

pembacanya, dengan melibatkan domain emotional psikologis bagi pembacanya.sehingga

menyentuh kesan dan perasaan yang mendalam bagi pembaca, melalui rekonstruksi pengalaman

impiris dari ‘schemata’ anak manusia; efek psikilogis pada saatnya akan menyebabkan adaya

keterlibatan pembaca secara emosional dan melahirkan rasa lepas (Wallek and Warren 1990: 90).

Oleh karena itum pencitraan adalah sarana retorika yang efektif untuk mencapai target idiologi

dan amanat karya sastra agar sampai kedalam lubuk hati para penikmat karya sastra, yang sering

disebut phatos; upaya bagaimana sebuah wacana dapat dijadikan sebagai pemboyong amanat

melalui pintu estetika karya sastra, namun target akhirnya proses perubahan empati, sikap dan

prilalaku insaniah.

3. Gaya Penuturan

Secara pragmatism sarana retorika untuk mencapai maksim kelembutan dan kesopanan

yang sering dimanfaatkan oleh pengarang untuk mempengaruhi pembaca yaitu gaya bahasa /gaya

penuturan yang sering disebut sebagai majas. Pada prinsipnya, gaya penuturan memiliki fungsi

yang hampir sama dengan pencitraan. Pilihan gaya dan diksi dalam bentuk majas berfungsi

sebagai visualisasi pikiran dan perasaan yang dituangkan secara verbal yang masih verbalism dan

abstrak. Keterbatasan lingkup untuk melakukan wacana dengan pembaca, agar dapat berjalan

lacar dan efektif dan berpengaruh secara emosional bagi pembaca, maka pengarang melakukan

pilihan diksi agar gagasan, pikiran dan perasaan yang disampaikan secara verbal dapat merasuk

secara sensual emosional dalam relung pembaca tehadap pesan yang disampaikan(Chapman,

1973), Pradopo (1997), and Blake (1990) (Perrine (1974:609). Dalam konteks ini, Perrine

menegaskan bahwa penggunaan ‘figure of speech’ atau majas dimaksudkan agar wacana

kesasteraan yang diciptkan memiliki kekuatan yang lebih signifikan dalam pencapaian pesan dari

16

Page 17: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

pada disampaikan dengan bahasa yang sederhan dan lugas. Perrine, menambahkan bahwa

penggunaan majas secara tidak langsung diharapkan akan melahirkan demensi ekstra kebahasaan

suatu wacana sastra (ibid, 1974: 610). Ia mengatakan bahwa majas mampu menembus, apa yang

anda maksudkan, dapat bermakna lebih dari apa yang anda maksudkan, atau bias berlawanan dari

apa yang anda maksudkan, atau anda sesuatu lainya dari apa yang anda maksudkan. Kekuatan

majas inilah mampu menciptakan kedalaman makna wacana kesastraan dan sekaligus melahirkan

multiintepretasi bagi pembaca, tanpa pencitraan yang tajam dan sensual agaknya hanya

menghasilkan karya yang kering dari pemaknaan rasa secara kontekstual.

Ragam majas dapat di golongkan ke dalam berbagai bentuk dan klasifikasi. Masing-

masing pakar, memiliki beberapa perbedaan klasifikasi, diantara para pakar tersebut: Haley,

(1980:139), secara teoritis ia melibatkan kondisi alam dan lingkungan dijadikan sarana

penciptaan diksi yang dapat melahirkan ‘psycho-lexical space’ dalam rangka menciptakan

pengalaman-pengalaman sensualitas pada penikmat karya sastra. Sementara itu, Pradopo

mengklasifikasikan atas jenis-jenis gaya penuturan karya sastra meliputi: simile, metafor,

synecdoche, metonimia, meiosis, hiperbola, anafora, epistrofe, Blake (1990:79-80) menyebutkan

bahwa ragam majas terdiri dari: antanaclasis, antometabole, asyndeton, nalepsis, isocolon,

parison, paronomasia, ploce, polyptoton, syllepsis, dan zengma.

Namun secara umum majas-majas tersebut di atas, dapat diuraikan dengan beberapa

terminologi, antara lain: pertama, adalah metaphor. Secara filosofis semua majas dapat

digolongkan sebagai fenomena metaforis, karena semua majas pada hakeketnya merupakan

ungkapan perbandingan tehadap sesuatu yang ada di ala minim, namun pakar tertentu

menyebutnya bahwa metafor lebih diasosiasikan dengan ungkapan majas yang bersifat

perbandingan langsung. Kedua, majas paradox, terkait dengan pilihan diksi yang bernuansa

paradox atau pertentangan ide dan gagasan. Ketiga, Personifikasi, klasifikasi majas ini

didefinisikan sebagai penggunaan diksi yang terkait dengan proses penandaan ide dan gagasan

yang bersifat ‘human characteristics to non-human objects’. Sehingga benda dan objek yang

divisualisasikan seolah berprilaku sebagaimana lazimnnya manusia (Perrine, 1974:600). Katagori

keempat, simile: majas tersebut dapaf diformulasikan sebagai majas yang bernuansa perbandingan

17

Page 18: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

langsung dengan objek dan lingkungan alam manusiam, majas ini memiliki penanda diksi sambung

seperti, seumpama, dan bagaikan. Katagori kelima, yaitu majas hiperbola: majas ini ditandai dengan

expresi pikiran dan persaan yang meyatakan diksi semantis yang bernuansa berlibih lebihan dalam

mengambarkan dan mengekpresikan sesuatu objek atapun keadaan. Penulis menyadari, bahwa

pemetakan konsep dan definisi ragam majas tersebut bukan harga mati. kesastraan yang dapat

melahirkan analisis tekstual dan kontekstual secara terintegrasi.

4. Konteks

Telaah konteks sebuah wacana kesastraan menjadi model dan pendekatan terpenting

dalam menganalisis sebuah wacana. Wacana karya sastra seharusnya dapat direkonstruksi dan

bahkan dapat di resoreksi (dibangkitkan kembali) bagaiman dan mengapa sebuah wacana karya

sastra itu muncul. Setiap teks teks karya sastra sudak dibukukan dan terjilid rapi dalam sebuah

karya yang beredar di tangan pembaca bukanlah rekaan sematam namun rekaan tersebut

dilahirkan dari potret dan fragmentasi kejadian nyata dalam kehidupan masyarakatm sekalipun

telah mengalami rekayasa wacana, namun setiap teks sebuah wacana yang telah diciptakan para

penyair secara kontekstual merupakan tiruan wacana masyarakat dimana mereka berada.

Konteks dapat dimaknai kapan dan dimana bahasa itu dipakai (Brown and Yule,

1996:25). Berpijak dari konsep di atas, ini berarti selain teks yang melekat pada bahasa baik lisan

maupun tulisan yang tersususn dengan baik secara gramatikal namun untuk mendapatkan makna

bahasa yang sempurna maka seorang petutur dan penutur tidak dapat mengabaikan unsur konteks

yang melingkupi dimana, kapan, bsgaimana, dan kepada siapa wacana itu disamapikan. Hal ini

berarti, apabila kita menganalisis sebuah wacana disamping kita mengedepankan unsur

morpologi, semantik dan unsur sintaksis namun agar mendapatkan interpretasi yang tepat, maka

petutur membutuhkan pemahaman unsur konteks prakmatik. Hal ini sejalan dengan pendapat

Morris dalam Brown, (1986:26) yang menyatakan bahwa prakmatik merupakan relasi antara

18

Page 19: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

tanda dan para penafsir, hubungannya menjadi sangat jelas. Para analisa wacana memperhatikan

benar-benar orang yang memakai bahasa, menerangkan ciri-ciri bahasa yang dipakai sebagai

sarana yang mereka lakukan.

5. Teori Sosiologis Karya Sastra

Sastra dalam prespektif sosiologi sastra merupakan sebuah cermin dari realitas yang terjadi

di masyarakat. Dalam pandangan Lowethal (Laurenson & Swingewood dalam Endraswara,

2004:88) sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang

terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui

struktur sosial. Hal ini mengakibatkan realitas yang terdapat dalam sastra tidak berbeda jauh

dengan realitas yang terdapat dalam masyarakat(memetik). Pada kondisi ini, nilai imajinasi sastra

memiliki peran yang minimum. Ini bukan berarti menihilkan nilai fiksional, sebab dalam sastra

merupakan bentukan fiksi dan realitas. Namun demikian, sastra pada konteks ini akan melahirkan

nilai historis yang tinggi. Sastra akan menjadi saksi jaman dan sejarah.

Kemampuan sastra sebagai cerminan masyarakat, tidak terlepas dari peran pengarang.

Menurut Ratna (2006:334), pada umumnya para pengarang yang berhasil adalah para pengamat

sosial sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam

masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Sastra, dengan demikian merupakan gabungan dari dua

elemen, yakni fakta dan fiksi. Keduanya tidak dapat dipisahkan.

Andera Hirata sebagai pengarang Laskar Pelangi berhasil membangun sinergisitas elemen

sastra tersebut. Selain itu LaskarPelangi dapat memberikan cerminan masyrakat Belitong di

mana Andrea Hiarata. Mahayana (2005:41) mengatakan, karya sastra dalam hal ini, merupakan

tanggapan evaluatif sastrawan atas kondisi sosio-kultural masyrakatnya.

19

Page 20: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Keberadaan masyrakat yang diceritakan dalam Laskar Pelangi, tidak terlepas dari persoalan

yang hadir dalam dunia nyata. Kajian sosiologi sastra dengan demikian memiliki relevansinya

yang kuat terhadap kehadiran novel itu. Oleh karenanya, peneliti secarra sossio-kultural akan

melihat karya satra Laskar Pelangi dalam tiga perspektif aspek sosiologis.

Aspek sosiologis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi konsep struktur sosial,

system sosial perubahan sosial dan perspetif nilai-nilai relegi yang dimanahkan pengarang

melalui telaah tekstual dan kontekstual karya sastra. Pembahasan struktur sosial menggunakan

konsep Max Weber tentang stratifikasi sosial. Pada pembahasan system sosial, digunakan konsep

dari Nikhlas Luhmann, dan pada perubahan sosial, mengggunakan konsep dari Karl Marxm

sedangkan analisis nilai-nilai relegi ditelaah dengan meggunakan pendekan dan konsep-konsep

religi yang merupakan bagian dari aspek dan fenomena objek sosilogi karya sastra.

6. Struktur Sosial

Pandangan Weber tentang struktur sosial masih dipengaruhi oleh ide Marx. Marx

memandang bahwa struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh

pemilik modal (kapitalis). Marx melihat bahwa materi memberikan pengaruh besar terhadap pola

pikir masyarakat. Artinya, pemilik modal memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi

sekaligus mengendalikan pola pikir masyarakat. Konsekuensi dari hal itu ialah terjadinya

stratifikasi sosial yang berpijak pada kehidupan ekonomi. Bagi Marx, stratifikasi itu terdiri atas

kelas borjuis dan kelas proletar, keangka hegomoni lapisan atas terhadap lapisan bawah menurut

pandangan dan paradikma diatas merupakan model gerkan kapitalis untuk bertahan dan

bercengkerama untuk menguasai sektor kehiduan politik dan power ekonomi.

20

Page 21: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Berangkat dari pemikiran Marx, Weber memberikan konsep berbeda dengan konsep yang

disampaikan Marx di atas. Bagi Weber, pola pikir masyarakat yang pada dasarnya memberikan

pengaruh besar terhadap keberadaan materi. Itu dapat diterima dengan melihat keberadaan alat-

alat produksi yang dihasilkan akibat keinginan dalam mempermudah sistem produksi. Di sinilah

cikalbakal gagasan besar Weber tentang rasionaliasi berkembang. Rasionalitas formal meliputi

proses berpikir aktor dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan (Ritzer & Goodman,

2007:37).

Konsep Weber tentang struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat merupakan wujud dari

adanya stratifikasi dan pembentukan kelas-kelas sosial. Ketika Marx mengungkapkan bahwa

stratifikasi sosial itu terbentuk dari faktor ekonomi, maka Weber memiliki konsep tambahan yang

berbeda dengan Marx. Meski demikian, konsep yang diungkapkan Weber tidak menghadirkan

pertentangan.

a. Kelas Sosial

Secara sosiologis, Marx maupun Weber, menempatkan kelas sosial berdasarkan pada

determinan ekonomi. Weber memandang Marx dan para penganut Marxis pada zamannya

sebagai determinis ekonomi yang mengemukakan teori-teori berpenyebab tunggal tentang

kehidupan sosial (Ritzer & Goodman, 2007:35). Kekuatan pemilik modal memiliki peran

penting dalam menempatkan dirinya pada tataran kelas sosial teratas.

Kelas menurut Weber adalah sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal

peluang untuk hidup atau nasib (life chances) (Arioadityo, 2008). Kesempatan hidup dalam

masyarakat sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi. Itu dapat berupa penguasaan

barang dan jasa. Selain itu, kesempatan untuk penghasilan dan pekerjaan yang lebih

21

Page 22: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

nyaman, menjadi faktor lain yang turut mendukung. Lebih lanjut dikatan (Arioadityo, 2008)

bahwa sebagai akibat dari dipunyainya persamaan untuk menguasai barang dan jasa

sehingga diperoleh penghasilan tertentu, mka orang yang berada di kelas yang sama

mempunyai persamaan yang dinamakan situasi kelas.

Keberaan kelas mendorong terjadinya peluang dalam usaha untuk meningkatkan

kelas. Peluang itu dapat hadir dengan sikap dan semangat kerja yang baik. Dengan cara

seperti itu, faktor ekonomi akan mengalami peningkatan. Sebab, dalam pandangan Weber,

kehidupan akan meningkat ketika jumlah produksi yang dihasilkan memiliki korelasi yang

sepatan dengan upah pekerja. Dengan demikian, determinisme ekonomi (kekayaan) pekerja

akan meningkat. Kategori dasar untuk membedakan kelas ialah kekayaan yang dimilikinya,

dan faktor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi, pada titik ini konsep kelas

Marx dan Weber adalah sama, yaitu pembedaan kelas dan faktor yang mendorong

terciptanya kelas (Arioadityo, 2008).

b. Status Sosial

Kedudukan status sosial, memiliki hubungan yang tidak selamanya berbanding lurus

dengan peran sosial, meskipun pada umumnya, hubungan keduanya kali sering berbanding

lurus. Masyarakat cenderung menempatkan stastus sosial tinggi ke dalam jajaran struktur

sosial yang tinggi pula disbanding dengan status sosial rendah..

Weber melihat bahwa manusia dikelompokan dalam kelompok status. Kelompok

stastus ini cenderung diletakkan pada kondisi yang sama. Umumnya, penempatan status

sosial ini disebabkan oleh adanya kehormatan yang melekat di dalam sebuah individu

maupun kelompok. Baik itu berupa kekayaan maupun tingkat intelektualitas.

7. Kekuasaan

Weber tidak sekadar melihat fenomena masyarakat berdasar dari pembedaan ekonomi yang

menciptakan perbedaan kelas sosial, dan kehormatan yang menciptakan status sosial, namun juga

melihat adanya perbedaan dalam masyarakat dalam hubungannya pengakomodasian kekuasaan.

22

Page 23: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Bagi Weber hal ini dapat dilihat dari adanya partai yang memiliki sistem kekuatan yang sangat

kuat. Kekuasaan menurut Weber adalah peluang bagi seseorang atau sejumlah orang untuk

mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun mengalami

tentangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal itu (Arioadityo, 2008).

Kehadiran partai itulah yang dimaknai sebagai tindakan komunal oleh Weber.

Perkembangan kekuasaan pada akhirnya tidak sekadar pada kehadiran partai, namun lebih

dilihat dari upaya penguasaan sistem produksi. Ini sama halnya dengan konsep Mark tentang

masyarakat kapitalis yang memberikan tekanan khusus pada para pemilik modal untuk mengatur

dan menekan masyarakat. Dalam hal ini, pola konsep dasar yang diangkat Weber dalam situasi

ini memiliki kesamaan. Kesenjangan itulah secara sosiologis akan melahirkan perjuangan hak-

hak bagi mereka yang tertindas demi perjuangan nasib dan perubahan kelas sosial.

Laskar Pelangi menghadirkan sistem kekuasaan dalam masyarakat yang berpijak pada PN

Timah. PN Timah memiliki kekuatan modal untuk memperkerjakan 14.000 tenaga kerja. Secara

langsung, ini memberikan gambaran bahwa masyarakat Belitong memiliki hubungan kuat dengan

PN Timah dalam hal ekonomi. Tanpa PN Timah, kesempatan kerja menjadi kecil. Dan akibat

dari hadirnya PN Timah, hampir seluruh angkatan kerja di Belitong berhasil diserap.

PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang memperkerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar.

(Hirata, 2004:39).

Namun, sebab kehadiran PN Timah itu juga, dengan sistem penguasaan yang tidak dilakukan

secara adil, mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial. Kesenjangan ini pada akhirnya

menimbulkan perubahan sosial yang dimulai dari tindakan masyarakat yang anarkis, penjarahan

dan pengerusakan sarana dan prasarana PN Timah. Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang

mempunyai makna subjektif bagi pelakunya (www.nie07independent.wordpress.com).

Pada konteks ini, konsep Marx tentang pandangan hidup yang dipengaruhi oleh materi,

menjadi benar. Sebab, tindakan masyarakat itu dipicu oleh kehadiran PN Timah yang lengkap

dengan sarana dan prasarananya yang memicu kesenjangan sosial di Belitong.

23

Page 24: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

8. Sistem Sosial

Sistem sosial masyarakat memiliki kaitan dengan aturan dan norma serta pandangan hidup

masyarakat. Dalam Laskar Pelangi, sistem sosial ini tampak pada pandangan hidup masyarakat

dalam bidang pendidikan dan kepercayaan. Dalam bidang pendidikan, masyrakat Belitong lebih

memiliki pandangan untuk menyekolahkan anaknya akibat desakan dari aturan pemerintah. Jadi,

bukan atas dasar kebutahan akan pentingnya dunia pendidikan.

Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini mereka terpakasa berada di sekolah ini untuk menghindari diri dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf.

(Hirata, 2008:3).

Tampak jelas pada teks di atas bahwa pandangan masyrakat Belitong tentang dunia

pendidikan lebih mengarah kepada agar tidak mendapat celaan dari aparat desa. Sedangkan pada

sistem kepercayaan, konsep tentang taulogi Islam kadangkala masih berbaur dengan kekuatan-

kekuatan yang condong pada sikap fetitisme, yakni mengakui kekuatan lain dalam sebuah benda,

baik itu berupa benda mati maupun benda hidup. Inilah yang menarik, sebab, ketika sebagian

masyarakat memeluk agama Islam, namun konsep seperti ini masih mempengaruhi pandangan

hidup mereka. Padahal pada situasi lain, konsep Islam ini sangat kuat seperti pada kasus

menjauhi Bodenga karena menyembah buaya sebagai Tuhan. Situasi ini terlihat dari usaha

masyarakat untuk mencari Flo kepada Tuk Bayan Tula.

Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orang-orang sudah tidak lagi mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk meminta bantuan Tuk Bayan Tula.

(Hirata, 2008:315).

9. Perubahan Soial

Perubahan sosial terjadi akibat adanya mobilisasi, yakni adanya perpindahan sekelompok

orang maupun individu dari suatu wilayah ke wilayah lain. Contoh sederhana pada khasus ini

ialah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Mobilisasi tersebut akan memberikan dampak

24

Page 25: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

sosial yang sangat besar. Satu di antara dampak yang akan terjadi yakni terbukanya peluang

pengangguran. Maka, kondisi sosial masyarakat kota pun akan mengalami perubahan. Struktur

sosial yang ada akan semakin bertambah dengan hadirnya pengangguran itu. Dalam

perkembangannya, mobilisasi ini tidak sebatas pada perpindahan manusia namun juga

perpindahan kondisi masyarakat dari suatu masa (pemerintahan) ke masa (pemerintahan)

selanjutnya.

Perubahan sosial yang terjadi dalam Laskar Pelangi dimulai dari lumpuhnya PN Timah.

Dalam konsep Marx, lumpuhnya sistem kapitalisasi ini memberikan pengaruh besar terhadap

perubahan kelas sosial dan status sosial masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat dapat

menimbulkan chaos (kerusuhan). Hal itu dapat dipahami ketika terdapat kesenjangan sosial

antara masyarakat borjois (pemilik modal) dan mayrakat ploletar (pekerja).

Kesenjangan sosial yang begitu tinggi dari keberadaan PN Timah, membuat masyarakat

Belitong menjadi orang-orang liar dan lepas kendali. Tindakan penyerbuan dan penjarahan asset

PN Timah menjadi konsekoensi logis dari kesenjangan yang sengaja diciptakan dari pengelolaan

barang tambang oleh PN Timah.

Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victorua mewah di kawasan prestesius tak bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan berjois, mereka merubuhkan dinding, menariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, mencabuti pagar, mencuri daun pintu dan jendela, mencongkel kosen, memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa lari gorden.

(Hirata, 2008:483).

Kesenjangan-kesenjangan yang dapat dilihat dari kehadiran PN Timah ialah adanya batasan

dalam hal sosialiasi dengan masyarakat sekitar pertambangan. Berbagai bentuk perubahan

terwujud.Batasan itu menyebabkan adanya pembagian kelas sekaligus status sosial masyarakat.

Posisi inilah yang merupakan bentuk kesenjangan yang disengaja.

10. Nilai-nilai Religi

Perubahan sosial terjadi akibat adanya mobilisasi, yakni adanya perpindahan

sekelompok orang maupun individu dari suatu wilayah ke wilayah lain. Mobilisasi

25

Page 26: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

tersebut akan memberikan dampak sosial yang sangat besar. Satu di antara dampak yang

akan terjadi yakni terbukanya peluang pengangguran. Maka, kondisi sosial masyarakat

kota pun akan mengalami perubahan. Struktur sosial yang ada akan semakin bertambah

dengan hadirnya pengangguran itu. Dalam perkembangannya, mobilisasi ini tidak sebatas

pada perpindahan manusia namun juga perpindahan kondisi masyarakat dari suatu masa,

fenomene ketimpangan-ketimpangan sosial setidaknya dapat dikaitkan dengan konsepsi –

konsepsi relegi, karena potret penyimpangan itu sendiri secara filosofis sangat erat

hubungannya dengan idologi religi seseorang yang tehimpun dalam sebuah komunitas

sosial. Manusia yang terhimpun dalam komunitas memiliki landasan idiologi religi yang

melikat di hati-hati manusiam sebagai pijakan dan landasan untuk melakukan gerakan dan

tindakan. Bentuk-bentuk prilaku manusia sangat ditentikan fondasi keimanan sesesorang.

Keimanan sebagai muara bersarangannya totailtas prilaku manusiam baik berupa amal

kebajikan yang berupa kesabaran, keikhlasan, kesunguhan dan keuletan dalam

memperjuangkan dan menghadapi kesulitan dan dan tantangan kehidupan. sebaliknya

amal angkara murka yang berupa kecongkaan, gaya hidup serakah, monopoli, eksploitasi

sesama, egoistias, hedonism dan berbagai prilaku yang menyimpang sebagai fenomena

sosial, tidak lain juga merupakan potreit penyimpangan nilai-nilai religi.

Demikian juga, setiap prilaku positif dalam menghadapi setiap tantangan

yang dihadapi oleh manusia ataupun sekelompok manusia dalam berinteraksi dengan

manusia lain dalam kehidupan sosial, merupakan cermin manefestasi keimanan yang

menghujam pada setiap insan. Nilai-nilai yang melekat akan menjadi kekuatan dan

landasan dalam mewujudkan segala bentuk prilaku pribadi maupun sisial. Insan yang

demikian dalam perspektif religi dapat dinamakan sebagai insan yang bertakwa. Manusia-

manusia yang demikian dalam konseps religi akan menunjukan berbagai prilaku dan

perangai yang bersifat positif dan terrrpuji secara ilahiyah maupun secara insaniah.

Adapun bentuk- bentuk prilaku positif dapat berupa berbagai prilaku yang terpuji seperti:

kesabaran, keiklasan, keuletan, kesederhanan, penuh pengabdian, kejujuran di dalam

menghadap kehidupan sosil.

26

Page 27: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

11. Study TerdahuluFuroidatul Khusnia, 2006 dalam tesis yang berjudul gaya penuturan pada shalwat nabi,

analisis tulisan ini lebih menekankan pada analisis secata tekstual dan stilistikan yang ada pada

suber data semata dan tidak banyak dikaitkan dengan telaah konteks yang terkait dengan pola

wacana sebagai cermin masyarakai, bentuk temuan dan analisisnya masih bertumbu pada analisis

elemen-elemen kebahsaan secara makro, sehingga maghasilkan temuan yang lebih

berorentasikan pada konvensi kebahasaan

Ida setyawati, 2006 tesis tersebut mengetengahkan analisis pragmatik novel, analsis dan

temuannya lebih ditekankan pada analisis penggunaan teori dan analisis tindak tutur. Diskusi dan

deskripsi pada pembahasan dan temuan di prioritaskan pada bagaimana memahami novel pada

telah klasifikasi tindak tutur yang menggunakan teori Searle dan Austen.

Dari beberapa analisis yang penulis sebutkan diatas, nampaknnya jauh berbeda dari

rencana proposal telaah dan analisi tulisan tesis ini. Kekhususan tulisan ini drancang dengan

mengetengahkan pespetif blending antara pendekatan yang berkonvensi linguistik dan sekaligus

pendekatan yang berkonvensi sastra. Penulis secara tekstual dan kontekstual dalam rencana

proposal ini mengetengahkan bahwa wacana sastra secara teoritis dan praktis dapat dibedah

dengan cara memadukan telaah interdisiplin teori dan analisis. Penulisan tesis ini berupaya

melakukan kolaborasi analisi baik dari perspektif linguistik dan sastra secara mikro dan makro.

Analisis sosiolinguistik dan sosiologi sastra agar memperoleh hasil temuan telaah wacana teks

sastra yang terkait dengan paradigma memetik, yaitu karya sastra iu adalah refleksi dan cermin

fenomena masyarakat.

27

Page 28: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

BAB III

Metode Penelitian

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berarti studi yang mencakup

penggunaaan dan pengumpulan berbagai data empirik yang bisa dilakuka melalui interview,

observasi dan interaksi, dalam hal ini, Denzin & Lincoln dalam Murray (2003:2), ditegaskan

bahwa pendekatan deskriptif kualitatif selalu mendasarkan hal-halyang bersifat phenomena

dianalisis dan dideskripsikan dan akhirnya disimpulkan berdasarkan temuan dan analisis yang

telah diakukan. Dalam hal ini Glaser dalam Thomas (2003) meyatakan bahwa” as a research

method, consist of discovering theory from data” yaitu dengan cara triangulasi, yaitu dengan

melakukan interview, serta pencatatan data dengan beberapa pakar dan penulis karya sastra

tersebut.

Peneliti melakuakan pembacaan dan penelahan secara langsung baik yang menyangkut

Berbagai data yang ada dalam sumber data sebagaimana yang telah ditetapkan dalam fokus

masalah. Selanjutnya dideskripsikan dan diintreprestasikan, dan disimpulkan atas dasar

trianggulasi yang sudah dilakukan (Bodgan dan taylor dalam Maleong (1991:3).

A. Objek Penelitian

Penelitian ini diterapkan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata sebagai objek dan

sekaligus sebagai sumber data.

28

Page 29: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

B. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang kami lakukan dengan cara pembacan yang intensif

wawancara dengan pakar, pencatatan data, dihimpun dan selanjutnya dianalisa dan

dideskripsikan.

D. Prosedur Analisa Data

Prosedur analisa data yaitu dengan cara mendeskripsikan ketiga fokus permasalahan yang

sudah ditetapkan, dan selanjutnya di analisa dan di simpulkan, yang secara rinci dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Reduksi Data

Kegiatan reduksi data meliputi; selesksi, simplikasi, abstraksi dan pemindahandat

yang masih mentah dari catatan yang dilakuakan dilapangan. Selanjutnya data diferifikasi

menurut kelompok data sesuai dengan fokus yang diteliti yaitu, memilih novel Laskar

Pelangi karya Andrea Hirata kedalam slot-slot framen yang terkait dengan focus masalah

data yang ada.

Kegiatan ini meliputi presentasi data yang sudah diperoleh berdasarkan masing-

masing kelompok fokus, disajikan dan dianalisa, dan selanjutnya disimpulkan sesuai

dengan fokus yang sudah ditetapkan, dalam bentuk tabel, matrik, ataupun dalam bentuk

penjelasan lainya.

b. Verifikasi

Verifikasi dilakukan dalam rangka melakukan pemikiran induktif untuk

mendapatkan kesimpulan terakhir, yaitu dengan cara “cross chesk” data satu dengan data

yang lainya. Cara yang lazim dipakai yaitu dengan system “Trianggulasi”, yang meliputi

29

Page 30: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

tiga tahapan, pertama dengan cara membanding antara data satu dengan data yang lain,

data-data yang sudah didapatkan dari sumber data Novel Laskar Pelangi yang sudah

terjaring berdasarkan fokus masalah diadakan pengejekan secara cermat dengan cara

melilah, memilih dan membangdingkan antara data satu terhadap data lain, sehingga data

yang terpilih merupakan data yang akurat isinya dengan fokus masalah yang dibahas dalam

penelitian ini. Tahapan penelitian ini diterapkan pada semua rumusan masalah 1, 2, dan 3.

(trianggulasi Data). Selanjutnya, Tahapan kedua, Peneliti melakukan trianggulasi personal

dengan melibatkan pakar dan promoter/ pembimbing agar setiap temuan data valid dan

akurat, dan bila mana perlu diadakan konsultasi untuk mendpatkan temuan yang berkalitas

secara akademis.

Ketiga tahapan trianggulasi data, yaitu untuk memperoleh data yang akurat pada

sumber data tersebut, dijelaskan dan disarankan oleh Miles dan Hubberman.

30

Page 31: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

BAB IV

Teknik analisis data

Teknik dilakukan dengan cara pembacaan intensif ditelaah, secara pembacaan semiotik,

heuristik (dianalisi dari konvensi linguistik) hermeneutik dan retroaktif (kovensi sastra)

disempurnakan dengan fragmentasi, penyajian, diskusi dan elaborasi dan pengintepretasian yang

selanjutnya dideskripsikan dan disimpulkan, jadi tidak melalui uji hepotesa (Anwar, 1998:126).

a. Pembacaan Heruistik Dan Diteruskan Retroaktif

Tehnik analisis ini digunakan sejak awal penelitian, yaitu dengan cara membaca

secara seksama dan telaah secara teks dan konteks. Tehnik ini sebenarnya diilhami oleh

model stretegi telaah hermeneutik; strategi ini ditempuh agar penulis memperoleh

gambaran yang jelas isi dan maksud, isi dan maksud secara kontekstual akan lebih berarti

jika diteruskan membaca retroaktif; membaca secara berulang sehingga semakain valid

dan jelas pemaknaannya teratama ketika membaca teks yang berkonvensi kesasteraan.

Pembacaan yang demikian akan meperoleh pemaknaan teks yang lebih mendekati

kontekstual maksud sebuah teks yang sebenarnya (Yabrohim, 2004:950) dan Refatterre

(1978: 5-6).

b. Fragmentasi (fragmentating)

Setelah melakukan pemetaan isi dari sumber data, peneliti melakukan fragmentasi;

pemilihan bagian sumber data yang terkait dengan focus masalah yang terdapat dalam

rumusan masalah atau focus masalah 1, 2, dan 3 yang telah diformulasikan dalam bab satu.

Selanjutnya, setelah melakukah pembacaan dengan cara pemenggalan sumber data secara

akurat yang berupa frase ataupun kalimat yang dipastiakan terkait dengan rumusan masalah

dan sumber data yang telah ditetapkan, dan sekaligus sebagai elemen signifikan yang

31

Page 32: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

menjadi sentral analisi dan temuan, yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi; yang

selanjutjya disebut dengan fragmentasi (Soekemi, 2005)

c. Penyajian

Hasil pemetaan yang sudah akuurat dari fragmentasi perlu disajikan dalam bentuk

paparan, table dan bagan agar mudah dicerna dan sistemetik dalam penampilan pembahasan

dan diskusi. Model penyajian ini berfungsi sebagai pendukung fakta dan eviden dari sumber

data yang telah dikaitkan dengan focus masalah.

d. Diskusi dan Elaborasi

Tahapan analisis ini merupakan kegiatan utama dan paling penting seriring paradigm

dan pendekatan kualitatif memang intinya mencari makna dibalik data yang tersurat, dan

yang tersirat; yaitu dengan cara mendiskusikan dan mengelaborasi setiap elemen sumber

data dengan landasan teori yang digunakan dan menggunakan logika dan intuitif yang

dituangkan melalui expresi kata-kata. Frase dan kalimat baik berupa penjelasan, sanggahan

penegasan, evaluasi, generalisasi ataupun penyimpulan

32

Page 33: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

BAB V

KESIMPULAN

Sebagaimana dikatakan sebuah analisis wacana sastra dapat ditelaah melalui dua

klasifikasi, klasifikasi pertama, peneliti meneliti dan mengalisi wacana dari elemen teks yang

tersurat, maupun tersirat. Keindahan teks sastra Larkar Pelangi baik dari wacana linguistik dan

sastra memberdayakan media retoris psikologis yang dapat mempengaruhi pembaca dengan cara

melakuakan pemilihan diksiyang dapat dipilah menjadi dua elemen, yaitu elemen Pencitraan dan

elemen Gaya Penuturan, pemanfaatan elemen tekstual kesastraan yang melekat pada novel

tersebut, secara sistimatis, analisis dan temuan tesis ini dipaparkan sebagai berikut:

Fragmentasi 1:

Kusen pintu itu miring karena seluruh bangunan sudah doyong seolah akan roboh. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah yang paling miskin Balitong (Hirata, 2008:2-4).

Frakmentasi 1 (F1), dari halaman 1 dan 4 tersebut menggambarkan fenomena

kemiskinan dan kemlaratan masyarakat Balitong yang bersekolah SD Muhaamadiyah, disini

penyair menggunakan pencitraan visual, disebut pencintraan visual, karena dengan kata kata:

miring, doyong, mau roboh dan paling miskin, adalah kata-kata yang secara indrawi penglihatan

(visual) dapat diamati dengan mata.Dengan menggunakan pilahan kata yang mengganbarkan

pengamatan kondisi yang amat meprihatinkan, seluruh bangunan sudah doyong seolah akan

roboh SD Muhammadiyah, juga sekolah yang paling miskin Balitong, diharapakan pembaca

secara sensual dapat memperoleh gambaran dan keadaan sekolah SD yang ada di Balitong.

Pencitraan demikian, bagi pembaca yang cerdas rasa ibanya, ia dapat dipastikan akan tumbuh

rasa empati untuk untuk membantu dan ikut memikirkan kondisi yang amat menyedihkan itu.

33

Page 34: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Fragmentasi 2 (F 2), dapat di kutip sebagaimana fragmentasi teks berikut ini:

‘Ia tidak peduli peluh yang mengalir masuk ke pelapuk matanya. Titik-titik keringat yang bertunbulan di seputar hidungnya menghapuskan bedak bedak tepung beras yang dikenakannya, membuat wajahnya coreng-moreng seperti pameran emban bagi permaisuri, dalam ‘Dul Muluk’ sandiwara kuno kampung kami ( Hirata, 2008: 2).’

Framentasi diatas, nmenggamabarkan bahwa pengarang menggunakan pencitraan

gerakan (movement) dan sekaligus pencintraan visual, seperti pada pilhan kata:’peluh yang

mengalir, keringat yang bertunbulan, menghapuskan bedak bedak tepung beras yang

dikenakannya, membuat wajahnya coreng-moreng, kata-kata megalir, , dan menghapus; liebh

menggambarkan nuansa aktifitas dan gerakan, oleh karene itu dpat digolongkan dalam katagori

pencitraan gerakan. Sedangkan diksi bertumbulan dan coreng moreng lebih bernuansa

pencintraan visual, karena menggambarkan keadaan dari hasil pengamatan indra penglihatan.

Kedua ragam pencitraan tersebut adalah sebagai upaya visualisasi konsep yang

abstrak dan masih berupa kata-kata. Agar ungkapan-ungkapan tindak tutur tersebut secara

psikologis berimplikasi sensual yang mendalam bagi pembaca dan penikmat karya sastra, maka

pengarang melakukan rekayasa semantik, agar mencapai efek emotional pada pembaca. Dengan

kata lain, seorang sastrawan agar dpat melahirkan teks-teks yang indah dan sensual, ia harus

memanfaatkan semantis kebahasaan (semantic competence), demi terealisasinya wacana sastra

yang unggul. Kelas-kelas sosial pada masyarakat Belitong terdiri atas tiga kelas, yakni kelas atas,

menengah dan bawah. Pembagian kelas ini berdasar pada teks berikut.

Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para camat, para kepada dinas dan pejabat-pejabat public yang korupsi kecil-kecilan, dan aparat penegak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukong-cukong itu.

34

Page 35: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaanya sangat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tiongoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga hororer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampong—kecuali guru dan kepala sekolah PN.(Hirata, 2008:55)

Teks Kesenjangan SosialMasyarakat Belitong dalam Laskar Pelangi

Teks

Kehidupan Kelas Atas Kehidupan Kelas Bawah

Di meja makan mewah dengan kayu cinnamon glaze, mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup, lalu hadir Caesar salad atau menu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale, atau…., Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with strawberry puree, buah-buah persik dan prem.

Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan music klasik yang elegan: Mozart Haffner No.35 in D Major. Mereka mematuhi table manner. Setelah melampirkan serbet di atas pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan tak ada seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya.

(Hirata, 2008:44—45).

Tidak seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer sebagai perangsang selera, tak mengenal main course, ataupun dessert. Bagi mereka semuanya adalah menu utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu utama itu adalah ikan gabus. Para kuli yang nafsu makannya besar sesuai dengan pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar lebih praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah diguyue semangkuk gangan, yaitu masakan tradisional dengan bumbu kunir. Ketika makan mereka tak diiringi karya Mozart Haffner No.35 in D Major tapi diiringi rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan baju pramuka.

Setiap subuh para isteri meniup siong (potongan bambu) untuk mengidupkan tumpukan kayu bakar. Asap menepul masuk ke dalam rumah, menyembul keluar melalui celah dinding papan, dan membangunkan

35

Page 36: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

entok yang dipelihara di bawah rumah panggung. Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntai-juntai seperti cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan setiap pagi. Sebelum berangkat para kuli itu tidak minum the Earlgrey atau capoccino, melainkan minum air gula aren dicampur jadam untuk menimbulkan efek tenaga kerbau yang akan digunakan sepanjang hari.

Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yag diasap untuk sarapan, lauk yang diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat dari ikan gabus. (Hirata, 2008:53—54).

PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang memperkerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploitasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.

(Hirata, 2008:39).

PN Timah melakukan bentuk monolopi dalam mengelola alam Belitong. Namun demikian,

upaya eksploitasi itu tidak diimbangi dengan usaha mensejahterakan masyarakat. Yang terjadi

ialah upaya membeda-bedakan status sosial. Itu dapat dilihat dari dibangunnya pagar yang

membatasi antara Gedong dan masyarakat di sekitar PN Timah. Di sinilah keberadaan status

sosial pun muncul. Gaya hidup dalam hubungan pergaulan tampak dari diskriminasi sosial.

36

Page 37: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri daru tanah Sumatera yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis mengekslpoitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa istalasi penambangan serta warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah.

(Hirata, 2008:41).

Diskriminasi status itu, selaian berpengarauh terhadap posisi kelas sosial, juga memiliki

relevansi dalam bidang yang lain, yakni pendidikan dan hubungan sosial. Kehidupan pendidikan

tampak terlihat dari keberadaan sekolah SD MD Muahammadiyah dan sekolah di PN Timah.

Diskriminasi dalam bidang pendidikan yang sangat mencolok itu dapat disajikan pada tebel 2 di

bawah ini. Diskriminasi itu memberikan bukti adanya perbedaan status sosial yang sengaja

diciptakan.

Tabel 2Perbandingan Sekolah SD MD Muhammadiyah dengan Sekolah PN Timah

PembandingTeks

Sekolah SD MD Muhammadiyah Sekolah PN TImah

Fisik

bangunan

Tak usah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantreo negeri ini jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.

(Hirata, 2008:17).

Gedung-degung sekolah PN Timah didesain dengan arsitektue yang tak kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster opeasi dasar matematika, tabel pemetaam unsur kimia, peta dunia, jam dinding, thermometer, foto para ilmuan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anotomi

Jika dilihat dari jauh sekolah kami akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Kostruksi bangunan yang menyalahi prinsip

37

Page 38: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

arsitektur ini menyebabkan taka da daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi, buat apa pula dikunci?

(Hirata, 2008:19)

tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi planet-plenet.

(Hirata, 2008:58).

Jumlah guru

Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal.

(Hirata, 2008:17).

“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.”

(Hirata, 2008:59).Tipikal

Kepala

Sekolah

Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu oang yang tak hanya menstransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan.

(Hirata, 2008:24).

Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya ber-make up jelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah kampong. Gerak geriknya di atur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi

(Hirata, 2008:60).Beliau menorrehkan benang

merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengorbankan semangat kami untuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan member kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai

Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakulikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menjadi dokter, insiyur, ahli ekonomu, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota bahkan atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang

38

Page 39: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

cita-cita. Beliau menyakinkan kami bahwa hidup bisa sedemikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesame. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta member arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.

(Hirata, 2008:24).

waktu itu masih kecil, masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.

Tamasya Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kuta 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa.

(Hirata, 2008:178—179).

Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berrekreasi ke Tanjong Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandang, bahkan verloop bersama orangtuanya ke Jakarta. (Hirata, 2008:178).

Terdapatnya sekolah PN Timah merupakan sebuah bentuk diskriminasi status yang paling

menonjol. Gaya hidup yang antara kedua sekolah tersebut sangat bertolak belakang. Bagai langit

dan bumi. Padahal, secara geografis, kedua sekolah tersebut berada di tempat yang sama, yakni

Belitong. Namun, akibat tatanan birokrasi, hal tersebut menimbulkan diskriminasi sosial. Tatanan

birokrasi ini berupakan sebuah topik pembicaraan yang kali sering muncul dalam gagasan Weber

tentang masyarakat sosial. Bentuk birokrasi yang terjadi pada kasus Belitong dalam Laskar

Pelangi itu ialah terdapatnya tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI

HAK” yang dibuat oleh PN Timah.

Status SD MD Muhammadiyah dengan kondisi seperti itu member peluang terjadinya hinaan

atau pelecehan sosial. Itu tampak ketika SD itu mengikuti lomba cerdas cermat. Ketika

keistimewaan tim sekolah Muhammadiyah terlihat begitu menjulang tinggi, terdapat usaha untuk

menurutkan martabat sekolah itu. Hal itu terlihat dari sikap Pak Zulfikar yang mencoba menghina

sekaligus melumpuhkan tim sekolah Muhammadiyah.

39

Page 40: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya ingin mengina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menjatuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk mengingatkan semua orang bahwa kami hanya sebuah sekolah kampong yang tak penting.

(Hirata, 2008:377).

Diskriminasi sosial yang berimbang pada perbedaan status, semakin diperparah dengan

kehadiran diskriminasi dalam ruang publik. Bentuk diskriminasi status sosial itu misalnya dari

hadirnya gedong biskop yang masih dibeda-bedakan antara yang boleh dimasuki oleh orang staf

dan keluarganya dengan anak-anak Beliotong. Diskriminasi itu tampak terlihat dari teks di bawah

ini.

Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini beridiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas tembok ini hanya tidak ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina yang melindungi berbagai dinasti dari serbuan suku-suku Mongol dari utara, di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial.

(Hirata, 2008:36).

Teks di atas menjelaskan bahwa kondisi sosial dalam masyarakat Belitong diwarnai dengan

usaha untuk memberikan perbedaan status sosial oleh PN Timah. Usaha tersebut di antaranya

ialah dengan membangun tembok tinggi panjang untuk memberi batasan antara status sosial bagi

orang-orang Gedong dengan masyarakat Belitong yang tinggal di luar Gedong. Itu merupakan

sebuah upaya diskriminasi dalam hubungan kemasyarakatan.

Upaya diskriminasi status sosial tidak sekadar pada pembatasan wilayah antara orang

Gedong dengan masyarakat pribumi (orang-orang Belitong), namun juga menyangkut sarana dan

prasarana yang ada di Belitong. Selain sekolah misalnya, pembagian gedong biskop pun turut

diciptakan untuk membedakan status sosial.

Kami menontong film yang diputar habis magrib itu di bioskop MPB (Markas Pertemuan Buruh) yang khusus disediakan oleh PN Timah bagi anak-anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena lantainya tidak didesain selayaknya bioskop maka agar penonton yang

40

Page 41: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

paling belakang tidak terhalang pandangannya, di bagian belakang disediakan bangku tinggi-tinggi. Dan kami, sepuluh orang—termasuk Flo—duduk berjejer di bangku paling belajang.

Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda, namanya Wisma Ria. Di sana film diputar dua kali seminggu. Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di bioskop itu juga terpampang peringatan keras “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK.”

(Hirata, 2008:425—226).

Teks di atas sangat jelas menegaskan bahwa perbedaan status sosial semakin ditekankan

dalam masyarakat Belitong. Posisi yang menekan ialah PN Timah. Ini menjadi sesuai dengan

konsep Weber dan Marx bahwa status sosial pun pada akhirnya selalu berasal dari determinisme

ekonomi.

PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang memperkerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploitasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.

(Hirata, 2008:39).

PN Timah melakukan bentuk monolopi dalam mengelola alam Belitong. Namun demikian,

upaya eksploitasi itu tidak diimbangi dengan usaha mensejahterakan masyarakat. Yang terjadi

ialah upaya membeda-bedakan status sosial. Itu dapat dilihat dari dibangunnya pagar yang

membatasi antara Gedong dan masyarakat di sekitar PN Timah. Di sinilah keberadaan status

sosial pun muncul. Gaya hidup dalam hubungan pergaulan tampak dari diskriminasi sosial.

Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri daru tanah Sumatera yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis mengekslpoitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa istalasi penambangan serta warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah.

(Hirata, 2008:41).

41

Page 42: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Diskriminasi status itu, selaian berpengarauh terhadap posisi kelas sosial, juga memiliki

relevansi dalam bidang yang lain, yakni pendidikan dan hubungan sosial. Kehidupan pendidikan

tampak terlihat dari keberadaan sekolah SD MD Muahammadiyah dan sekolah di PN Timah.

Diskriminasi dalam bidang pendidikan yang sangat mencolok itu dapat disajikan pada tebel 2 di

bawah ini. Diskriminasi itu memberikan bukti adanya perbedaan status sosial yang sengaja

diciptakan.

Tabel 2Perbandingan Sekolah SD MD Muhammadiyah dengan Sekolah PN Timah

PembandingTeks

Sekolah SD MD Muhammadiyah Sekolah PN TImah

Fisik

bangunan

Tak usah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantreo negeri ini jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.

(Hirata, 2008:17).

Gedung-degung sekolah PN Timah didesain dengan arsitektue yang tak kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster opeasi dasar matematika, tabel pemetaam unsur kimia, peta dunia, jam dinding, thermometer, foto para ilmuan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anotomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi planet-plenet.

(Hirata, 2008:58).

Jika dilihat dari jauh sekolah kami akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Kostruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan taka da daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi, buat apa pula dikunci?

(Hirata, 2008:19)

Jumlah guru

Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal.

(Hirata, 2008:17).

“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.”

(Hirata, 2008:59).Tipikal Pak Harfan tampak amat Kepala sekolahnya adalah

42

Page 43: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Kepala

Sekolah

bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu oang yang tak hanya menstransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan.

(Hirata, 2008:24).

seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya ber-make up jelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah kampong. Gerak geriknya di atur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi

(Hirata, 2008:60).Beliau menorrehkan benang

merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengorbankan semangat kami untuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan member kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau menyakinkan kami bahwa hidup bisa sedemikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesame. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta member arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk

Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakulikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menjadi dokter, insiyur, ahli ekonomu, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota bahkan atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.

43

Page 44: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

menerima sebanyak-banyaknya.(Hirata, 2008:24).

Tamasya Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kuta 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa.

(Hirata, 2008:178—179).

Ketika anak-anak AMP PN dengan bus birunya berrekreasi ke Tanjong Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandang, bahkan verloop bersama orangtuanya ke Jakarta. (Hirata, 2008:178).

Terdapatnya sekolah PN Timah merupakan sebuah bentuk diskriminasi status yang paling

menonjol. Gaya hidup yang antara kedua sekolah tersebut sangat bertolak belakang. Bagai langit

dan bumi. Padahal, secara geografis, kedua sekolah tersebut berada di tempat yang sama, yakni

Belitong. Namun, akibat tatanan birokrasi, hal tersebut menimbulkan diskriminasi sosial. Tatanan

birokrasi ini berupakan sebuah topik pembicaraan yang kali sering muncul dalam gagasan Weber

tentang masyarakat sosial. Bentuk birokrasi yang terjadi pada kasus Belitong dalam Laskar

Pelangi itu ialah terdapatnya tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI

HAK” yang dibuat oleh PN Timah.

Status SD MD Muhammadiyah dengan kondisi seperti itu member peluang terjadinya hinaan

atau pelecehan sosial. Itu tampak ketika SD itu mengikuti lomba cerdas cermat. Ketika

keistimewaan tim sekolah Muhammadiyah terlihat begitu menjulang tinggi, terdapat usaha untuk

menurutkan martabat sekolah itu. Hal itu terlihat dari sikap Pak Zulfikar yang mencoba menghina

sekaligus melumpuhkan tim sekolah Muhammadiyah.

Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya ingin mengina sekaligus melumpuhkan

mental kami dan dewan juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal tadi

sekaligus menjatuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk mengingatkan semua orang bahwa kami

hanya sebuah sekolah kampong yang tak penting.(Hirata, 2008:377).

44

Page 45: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Daftar Pustaka

Ariodityo. 2008. Statafikasi Sosial Sebuah Pendahuluan (Online), http://arioadityo.multiply.com/journal/item/7/Stratifikasi_Sosial, diakses 24 Februari 2009.

Azwar. 1998. Metode Penelitian. Jogja: Pustaka pelajar.

Brown, Gillian and Yule, George. 1996. analisis Wacana. DiIndonesiakan oleh I.Soetikno. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.

Culler, Jonathan. 1997. Structuralis Poetics. London: Methuen & Co. Ltd.

Cummings, Louis. 2005. Pragmatics A Multidisciplinary Perspective. George Square: Edinburgh University Press

Darma, Budi. 2005. Handout Perkuliahan Teori Sastra, Pasca Sarjana Unesa

Gonzalez, and Tanno. 1999. Rhetoric in Intercultural Contexts. London: Sage Publication. Inc.

Halliday, M.A.K, Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotik Sosial, diterjemahkan oleh Asruddin Barori Tou, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co.Ltd

Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Cetakan XVII. Yogyakarta: Bentang.

Hornby, A.S. 1986. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English: Fourth Edition. London: Oxford University Press.

http://nie07independent.wordpress.com/2008/11/18/teori-perubahan-sosial-karl-marx-dan-max-weber/

http://organisasi.org/jenis-jenis-macam-macam-status-sosial-stratifikasi-sosial-dalam-masyarakat-sosiologi

Hudson, R.A. 1980, Sociolinguistics, Cambridge: Cambridge University Press.

Hutagalung, M. S. 1989. Sajak-Sajak Dalam Analisis. Jakarta: Tulila.

Hymes, Dell. 1976. Foundation in Sociolinguistics: An Etnographic Approach. Philadelphia: University of Pensylvania.

45

Page 46: ANALISIS WACANA SOSIOLOGIS DALAM KARYA ... · Web viewKajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama secara konteks, prakmatik dan analisa

Jacobson, Roman. 1978. “Clossing Statement” dalam Seboek (ed.). Style in Language. Masssachusetts: The M.I.T. Press.

Joss, Martin.1976. The Style Of the Five Clocks. New York: Hartcourt Brace Worl Inc.

Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Sinar Harapan: Jakarta.

Kutting, Joan. 2002. Pragmatics and Discourse: resource book for students . New York. Internationmal Ltd.

Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening.

Perrine, Laurence. 1974. Literature Structure, Sound, and Sense. USA: Second Edition.

Preminger, Alex. dkk.. 1974. Princetown Encyclopedia of Poetr and Poetics. Princetown: Princetown University Press.

Ratna, Nyoman Kuntha. 2006. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Prespektif Wacana Naratif. Cetakan II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, George & Goodman, Douglas J. 2007. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan oleh Alimandan. Cetakan IV. Jakarta: Prenada Media Group.

Skilleas, Ole Martin. Philosophy and Literature. Edinburgh University Press, 2001

Slametmuljana dan B. Simorangkir Simanjuntak. Tanpa Tahun. Ragam Bahasa Indonesia. Jakarta: J. B. Wolters-Groningen.

Supratno, Haris. 2005. Handout Perkuliahan Teori Sastra, Pasca Sarjana Unesa

Tedlock, Dennis. 1983. The Spoken Word and the Work of Interpretation. Philadelphia: University of Pennsylvania press.

Thomas, R. Murray. 2003. Blending Qualitative& Quantitative Research Methods in Theses and Disesrtations. California: Corwin Press, IN

Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wells, K. Lynn. 2004. The Articulate Voice an Introduction and Voice. Boston: Person seddleback College

Wellek, Rene and Warren, Austin. 1956. Theory of Literature. London: Cox & Wymann Ltd

46