Upload
lykiet
View
239
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara garis besar peneliti mengemukakan beberapa latar belakang dan alasan-alasan
penting telaah wacana sosiologis pada Novel Laskar Pelangi karya Andrea hirata. Alasan-
alasan tersebut meliputi beberapa pertimbangan: Dari sisi sumber data, karya sastra ini
tergolong karya sastra ‘Indonesia’s Most Powerful Book’, sehingga banyak yang memperoleh
pujian dan komentar positif, sebagaimana disinyalir oleh Damono (Damono dalam Hirata,
2008) yang mengatakan bahwa karya sastra ini tergolong memiliki ramuan penglaman dan
imaginasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antar
gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan dewasa ini. Oleh karena itu, novel Laskar
Pelangi termasuk katagori ‘high cultural context’, atau memiliki nuansa wacana budaya yang
tinggi, sehingga termasuk katagori layak unuk diteliti.
Penelitian dan analisis ilmiah dan karya tulis pada karya sastra memang sudah banyak
dilakukan, namun cenderung hanya ditelaah dari sisi surface structure atau masih sebatas pada
telaah struktur dan tekstual semata. Telaah yang demikian, menghasilkan telaah yang belum
mencapai makna yang maksimal, dan kurang menyentuh pada aspek makna kontekstual yang
secara sosial dan fungsional terkair dengan fenomena yang ada di masyarakat, sekalipun tidak
menafikkan elemen fiksionalitas sebagai ornamen stilistik yang menjadikan karya sastra
semakin indah untuk dinikmati dan diapresisiasi secara sosial fungsional karya yang komplek
dan menyentuk fenomena kemasyarakatan (literary is sosiocultural bounds).
Cumings menegaskan bahma karya sastra pada hakeketnya sebagai model dan potret
1
kehidupan nyata yang ada di masyarakat, dan sebagai wacana dan sarana komunikasi sosial
(cultural and pragmatical bounds, Cuming, 2005:5). Dengan kata lain, karya sastra memilik
standard ganda; secara tekstual karya sastra merupakan wacana yang berdemensi estetika, dan
secara kontekstual karya sastra merupakan meniatur potret struktur sosial budaya manusia dan
segala pernik-pernik yang melekat pada karya dimaksud.
Untuk mendapatkan pemaknaan total, diperlukan telaah yang tidak saja berdemensi
tekstual (mikro semata), tetapi seharusnya diintegrasikan dengan kontekstualitas fenomena
kehidupan, agar terbangun pemaknaan yang lebih komprehensif dan natural, yang meliputi baik
elemen mikro kesastraan dan kebahasaan maupun elemen makro kesastraan.
Sejalan dengan adanya wacana kesastraan bukanlah teks yang otonom, paradigma itu
dipengaruhi adanya dinamika transpsransi dan era kesejagatan perkembangan teori bahasa dan
kesusasteraan yang semakin integral, dan seiring dengan perkembangan pendekatan penelitian
posmoderen yang mengisyaratkan pentingya telaah multidisiplin, maka pemaknaan teks dan
konteks menjadi kajian yang memiliki spektrum lateral dan pemahaman yang multikultutal
(Darma, 2005)
Telaah blending ini diharapkan dapat menjembatani kebuntuhan telaah dan opini yang
menganggap bahwa telaah sastra dan linguistik seolah-oleh kedunya sebagai disiplin ilmu yang
tak dapat dirujuk, padahal kedua telaah tersebut memiliki objek material dan bahan dasar yang
sama yaitu, elemen linguistik sebagai bahan bakunya. Sementara, elemen rekaan imajinatif
merupakan demensi sensualitas yang selalu melekat pada penutur dan penulis karya sastra,
sehingga karya sastra yang dihasilkan merupakan karya kebahsaan yang indah (basa rinengga).
Demensi inilah merupakan wahana keunikan dan keindahan tindak tutur karya sastra.Telaah
blending juga memungkinkan adanya ketercapaian pemaknaan lateral; pemaknaan yang
2
demikian dapat menghantarkan pada pemaknaan yang integral dan mendalam, sehingga
meghasikan pemaknaan yang melibatkan prinsip pemaknaan tektual, kontekstual dan
intertekstual (Gonzalez, and Tanno, 1999:5)
Dikemukakan Preminger dkk. (1974: 981) bahwa kebahasaan dan kesastraan tidak lepas
dari tindakan sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa : sistem linguistik) yang
mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis. Penelitian harus menandakan satuan-satuan
minimal yang digunakan oleh sistem tersebut; penelitian harus menentukan kontras-kontras di
antara satuan-satuan yang menghasilkan arti, (hubungan-hubungan paradigmatik) dan aturan-
aturan kombinasi yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama-sama
sebagai pembentuk-pembentuk struktur yang lebih luas (hubungan-hubungan sintagmatik).
Dikatakan selanjutnya oleh Preminger bahwa studi wacana sosiologis sastra adalah usaha untuk
menganalisis sebuah sistem wacana kebahasaan dan kesasteraan yang melibatkan analisis
mikro sampai analisis makro dalam perspektif wacana sosiologis. Telaah yang demikian
dimulai dari telaah teks kebahasaan dan kesatraan yang dapat menentukan konvensi-konvensi
apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti secara gramatikal dan selanjutnya
diperoleh makna (intended Message) yang lebih mengakar dengan kontes sosiologis sebuah
wacana (discourse is cultutal bound), karena karya sastra merupakan ‘memetic’ atau refleksi
dari wacana social (Supratno, 2005)
Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri.
Dalam sastra ada jenis sastra (genre) dan ragam-ragam, jenis sastra prosa dan puisi, prosa
mempunyai ragam : puisi lirik, syair, pantun, soneta, balada dan sebagainya. Tiap ragam itu
merupakan sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri
3
Pemaknaan tersebut semestinya memerlukan konteks ungkapan wacana kesasteraan .
Dalam menganalisis karya sasta, peneliti harus menganalisis sistem tanda itu dan menentukan
konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam
rangka sastra itu mempunyai maknam sebagai perwujudan bahwa karya sastra secara
substansial diramu dengan bahan dasar ‘bahasa’ yang dirancang dari konstruksi dengan
‘linguistic enginering’, sehingga melahirkan bahasa yang memiliki estetika tinggi (bahasa
sastram / bahasa rinenggo), sebagai contohnya, genre novel merupakan sistem tanda, yang
mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan yang sensual,
diantaranya : personifikasi, simile, metafora, dan metonimi. Tanda-tanda itu mempunyai makna
berdasarkan konvensi-konvensi (dalam) sastra, yang dapat berupa ungkapan-unkapan
perbandingan kias, perbandingan dan disampaikan secara elegan, mataporik, dan estetik,
sehingga melahirkan efek kompetensi estetika yaaang menimbulkan rasa haru, senang, bahagia,
tegang, celamas, iba dan bahkan menjadikan pembaca hanyut dalam perangkap pikiran,
idiologi, dan persaan pencipta karya sastra.yang berprinsip pada ketidaklangsungan and
ambiguitas. Hal ini, sejalan dengan pandangan Robert Frost yang mengatakan bahwa karya
sastra memiliki prinsip ‘saying one thing meaning another’ artinya mengatakan sesuatu, tetapi
bermakna lain. Oleh karena itu. Untuk memperoleh pemaknaan yang diharapkan (intended
meaning) secara tektual dan kontekstual sebuah wacana kesastran sangat diperlukan aspek-aspek
budaya, ideologi, religi, politik dan bahkan aspek psikologi (Cummings, 2005:42).
Arti atau makna satuan itu tidak lepas dari konvensi-konvensi sastra pada umumnya
ataupun konvensi-konvensi tanda-tanda kebahasaan. Seperti telah diterangkan, tanda-tanda itu
mempunyai arti atau makna disebabkan oleh konvensi-konvensi tersebut. Konvensi itu
4
merupakan perjanjian masyarakat, baik masyarakat bahasa maupun masyarakat sastra,
perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun temurun, bahkan
kemudian sudah menjadi hakekat sastra sendiri. Sastrawan dalam menulis karya sastranya
terikat oleh hakikat sastra dan konvensi-konvensi tersebut. Tanpa demikian, karya sastra tidak
dapat dibumikan maknanya secara optimal sampai ke akar-akarnya, seiring dengan paradigm
posmoderen.
Pandangan wacana diatas, mengilhami peneliti untuk melakukan analisis wacana
sosiologis karya sastra yang menggunakan pendekatan integral telaah kesastra dan kebahasaan,
dengan maksud agar dapat dimaknahi secara tekstual maupun kontekstual, sehingga
memperoleh pemaknaan secara terpadu yang tercermin dalam fenomena karya sastra, terutama
karya sastra sebagai wahana / kendaraan penulis untuk menghantarkan pikiran, perasaan dan
imiginasi pengarang yang terkait dengan fenomena sosial secara dal perspektif sosiologi sastra.
B. Fokus Masalah
Terkait dengan pengantar telah sosiosemiotika diatas, pemakalah mencoba
memformulasikan fokus permasalahan pada makalah ini, dengan rumusan sebagai berikut:
1) Elemen tekstual wacana apa saja yang digunakan dalam menciptakan
wahana estetika dalam kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata,
sehingga melahirkan sensualitas kesasteraan bagi pembacanya?
2) Elemen Konteks wacana konteks sosiolinguistis apakah yang digunakan
dalam kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata?
5
3) Bagimanakah kosepsi teori kontekstual sosiologis yang di digunakan dalam
kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata?
4) Bagimana pula idiologi nilai- nilai religi secara sosiologis tercermin dalam
wacana kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus permasalahan yang telah ditetapkan diatas penulis merumuskan
tujuan penulisan sebagai berikut:
1) Mendiskripsikan elemen-elemen tekstual wacana yang digunakan dalam
menciptakan wahana estetika dalam kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
2) Mengelaborasikan Elemen Konteks wacana yang digunakan dalam kaya sastra
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
3) Memberikan alasan-alasan kosepsi teori kontekstual sosilogis yang di digunakan
dalam kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
4) Memaparkan konstruk nilai-nilai religi yang secara idiologis sosilogis tercermin
dalam wacana kaya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapakan dapat menambah khasanah pengetahuan bagi semua pihak dan
bermanfaat terutama bagi mereka yang berkepentingan dalam pengembangan dunia kajian
blending antara keilmuan linguistik dan sastra dan sekaligus bermanfat bagi perkembangan ilmu
kebahasaan dan kesatraan secara lebih luasm seiring dengan perkembangan model penelitian
6
posmoderen yang memberikan angin segar bagi peneliti untuk mengekplorasi sumber data
dengan telaah secara integral dan independent antara tekstual karya sastra dan kontekstual
sosiologi sastra
2. Manfaat Teoritis
Sedangkan secara teoritis, diharapkan penelitian ini memberikan pemahaman konsep dan
teori ynag menyangkut ilmu kebahasan dan kesasteraan, khususnya yang mengungkap teorima
wacana sosiologis sastra khususnya pada kajian sastra agar dapat memperkaya keilmuan ynag
berhubungan dengan teori-teori mikro dan makro linguistik yang terkait dengan kajian mikro dan
makro kesasteraan sering dengan interdisipin kajian cabang-cabang bahasa dan sastra
E. Batas dan Cakupan Penelitian
1. Batasan penelitian:
Penelitian ini dibatasi pada kaya sastra novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata,
sebagai sumber data dan selanjutnya dipilah secara fragmentatif dijadikan data dan
eviden yang terkait dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan oleh peneliti.
2. Cakupan penelitian:
Penelitian ini hanya difokuskan pada analis wacana sosiologis yang secara ekplisit akan
menggunakan beberapa teori blending antar pendekatan kebahasaan, kesastraan dan
sosiologi sastra, yaitu grand teori wacana tekstual estetika, wacana ethnography
sosiologis dan teori sruktur, dalam system sosial dalam perspektif sosiologi sastra.
F. Batasan Istilah
1. Analisis wacana:
Wacana berarti melibatkan bagaimana manusia mengunakan bahasa dalam
berkomunikasi dan bagaimana pembicara menggunakan “linguistic message” untuk
pendengar, dan bagaimana pendengar menafsirkannya. Proses yang demikian haruslah
terjadi agar tercipta komunikasi yang berarti, memahami teks yang terungkap dibutuhkan
7
pemahaman yang melibatkan aspek petanda kebahasaan maupun petanda kesasteraan
yang terkait secara sosilogis
2. Aspek sosiologis:
Wacana baik wacana kesastraan dan kebahasaan bukan merupakan sebuak teks
yang berdiri sendiri dan otonom.Teks pencerminan atau potret kehidupan masyarakat.
karena itu, karya harus dipahami dengan pendekatan sosiologis, sastra yang berarti
melibatkan telaah kolaborasi antara teks dan konteks (TedLock, 198:7).
3. Multidisiplin studi:
Model telaah untuk mendapatkan pemaknaan total, diperlukan telaah yang tidak
saja berdemensi tekstual (mikro semata), tetapi seharusnya diintegrasikan dengan
kontekstualitas fenomena kehidupan, agar terbangun pemaknaan yang lebih
komprehensif dan natural, yang meliputi elemen mikro dan makro kesastraan
kebahasaan (Gonzalez, and Tanno, 1999:5).
4. Pencitraan adalah elemen intrinsik (wacana mikro)
Pada sebuah karya sastra yang sering dimanfaatkan oleh pengarang dalam rangka
melahirkan suasana emotional psikologis bagi pembaca dan pendengar (penikmat) karya
sastra. Sarana wacana tekstual ini terkait dengan pemanfaatan organ dan indera manusia
dalam mengamati sebuah objek dan fenomena alam yang secara indrawi meliputi
penglihatan, pendengaran, perabaan, gerakan dan rasa (Perrine, 1974: 560)
5. Majas atau Gaya Penuturan
Pilihan gaya dan diksi dalam bentuk majas berfungsi sebagai visualisasi pikiran
dan persaan yang dituangkan secara verbal. Pengarang melakukan pilihan diksi agar
gagasan, pikiran dan persaan yang disampikan secara verbal dapat merasuk secara sensual
8
emosional dalam relung pembaca tehadap pesan yang disampaikan (Chapman, 1973),
Pradopo (1997), and Blake (1990) (Perrine (1974:609).
6. Konstuk idiologi religi
Konstruk idilogi religi yang dimaksud adalah poteit elemen elemen wacana yang
dapat dikaitkan sebagai pesan-pesan religi yang tersurat dan tersirat dalam wacana karya
sastra Laskar Pelangi, yang selanjutnya di diskripsikan sebagai bahasan temuan, analisis
dan kesimpulan dalam penelitian novel ini.
G. Kajian Terdahulu
Furoidatul Khusnia (2006) dalam tesis yang berjudul gaya penuturan pada shalwat nabi.
Analisis tulisan ini lebih menekankan pada analisis secara tekstual dan stilistika yang ada pada
sumber data semata dan tidak banyak dikaitkan dengan telaah konteks yang terkait dengan pola
wacana sebagai cermin masyarakai. Bentuk temuan dan analisisnya masih bertumpu pada analisis
elemen-elemen kebahsaan secara makro, sehingga maghasilkan temuan yang lebih
berorentasikan pada konvensi kebahasaan.
Ida Setyawati (2006) tesis tersebut mengetengahkan analisis pragmatik novel. Analsis dan
temuannya lebih ditekankan pada analisis penggunaan teori dan analisis tindak tutur. Diskusi dan
deskripsi pada pembahasan dan temuan diprioritaskan pada bagaimana memahami novel pada
telaah klasifikasi tindak tutur yang menggunakan teori Searle dan Austen.
Ainurokhim, (2007) desertasi tersebut menekankan analisis teks Tembang Jawa yang
lebih menekankan spektrum retorika yang dilihat dari perspektif teks, konteks dan pelantunan.
Temuan yang unik ada pada analisis gelombang bunyi Tembang Jawa yang memiliki ragam
9
amplitude, frequensi, dan fiberasi yang beragam dan memiliki genre rasa dan makna yang
beragam pula sesuai dengan katakter ganre lagu tembang.
Trilaksono, (2008) desertasi tentang analisis wacana pada sebuah drama ‘ Mayor
Barbara’ karya George Benardshow yang terfokus pada analis argumentasi, dilihat dari analisis
retorika dan pragmatik. Analisis ini juga mengedepankan tetang analisis karya sastra yang
diekplorasi dari segmen analisis linguistik mikro dan makro yang berbasis pada analisis teks dan
konteks pragmatik yang juga memanfaatkan teori tindak tutur dan retorikan sebagi basis teorinya.
10
BAB II
KERANGKA TEORI
Untuk mendapatkan pemaknaan yang berdemensi tekstual dan kontektual,
penelitian ini mengunakan berbagai teori yang terkait dengan beberapa kajian teori Analisis
Wacana sisiologis melibatkan telaah tekstual dan konteks yang secara garis besar meliputi 3
kelompok grand theori: theori wacana tekstual estetika, teori kontekstual etnografi dan teori
sosiologi yang terkait dengan srtuktur, system, bentuk sosial dan konsep religi yang
dielaborasikan secara teoritis dan integral berikut ini:
1. Wacana Tekstual
Dalam telaah Sastra sebagai alat komunikasi, media berfikir, alat berinteraksi dan
transaksi, yang menngunakan wacana dan bahasa sebagai sarana penyampaian pesan dan idiologi
sebuah karya sastra, maka wacana tesebut dapat dicermati dari alur verbal yang dimunculkan
dalam struktur teks yang dimunculkan (surface struktur) yang berupa bahasa yang dituturkan oleh
pengrang. Media lingual kesasteraan tersebut berperan sebagai falolitator yntuk menstranfer
idiologi yang hendak ditransaksikanya, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Brown dan Yule
(1983:1) ”Language has both transactional and interactional functions”, maka bahasa tidak
dapat dipahami secara terpisah secara linguistik saja. Sebab tentu kita tidak akan memahami
sebuah makna secara terpisah antara teks yang dinyatakan dengan konteks yang dimaksudkan
antara penutur dan petutur, mereka diikat dengan aturan yang jelas agar dalam berkomunikasi
tidak ngambang, dan mudah untuk diinterpretasikan satu sama lain. Demikian pula dalam dunia
sastra, sastra merupakan model wacana yang hendak dikomunikasikan kepada pembaca atau
pendengar.
11
Ketika kita berbicara atau mendengarkan sesuatu, berarti kita berbicara wacana, karena
kita sudah melakukan dan memanfatkan bahasa untuk dipakai sebagai alat komunikasi. Seiring
dengan hal tersebut, Mey (1994: 187) mengatakan bahwa ”discourse is cansidered as the use of
language”. Oleh karena itu, berbicara wacana atau wacana berarti melibatkan bagaimana manusia
mengunakan bahasa dalam berkomunikasi dan bagaimana pembicara menggunakan “linguistic
message” untuk pendengar, dan bagaimana pendengar menafsirkannya. Proses yang demikian
haruslah terjadi agar tercipta komunikasi yang berarti, sehigga dalam memahami teks yang
terungkap dibutuhkan pemahaman yang melibatkan aspek linguistik dan aspek non linguistik.
Berbicara wacana, secara natural sebenarnya bukanlah hal yang baru, meskipun secara
historis pengembangan analisis wacana secara ilmu baru berkembang sekitar tahun 60 dan 70-an.
Hal ini diawali dari perkembanga ilmu filsafat dan retorika, namun secara historis wacana itu bila
dirujuk dari filosofi religi ternyata wacana dapat dikatakan ada sebelum manusia ada, lihat perang
wacana antara Tuhan dan malaikat ketika akan diciptakan Adam, dialog antara Tuhan dan
Malaikat itu secara religi dapat dijadikan sebagai eviden adanya wacana pertama dan asal usul
mausia pertama diciptakan Tuhan (albaqoroh).
Seiring dengan perkembangan linguistik makro dan sastra makro, sebuah wacana dapat
dibedah dengan berbagai macam teori wacana. Salah satu model analisis wacana yang dapat
digunakan untuk memahami sebuah teks yaitu teori ethnografi. Secara ekplisit, menurut Hymes
(1972) menyebut unsur-unsur wacana secara sosiolinguistis melibatkan berbagai demensi secara
kontekstual, sehingga akan melahirkan pemaknaan yang simultan. Haymes mengklasifikasikan
makna wacana.
Selanjutnya, pemahaman wacana secara sempurna terjadi bila melibatkan beberapa
kompetensi komunikasi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Menurut Celce-Murcia et al.
12
(1995:10), mengatakan bahwa komunikasi itu memerlukan kompetensi yang disebut dengan
istilah kompetensi komunikatif yang melibatkan berbagai kompetensi, termasuk kompetensi
wacana.
Kompetensi ini akan dapat terwujud secara terpadu bila dalam proses komunikasi tersebut
ditopang dengan berbagai kompetensi antara lain: Socio-cultural competence, yang berarti dalam
berkomuniasi akan berhasil apabiala saling dapat memahami jika terjadi saling meperhatikan
aspek budaya dan kultur untuk dipahami. actional competence; mencakup kompetensi tindakan-
tindakan yang dapat mendukung kejelasan berkomunikasi, linguistic competence; melibatkan
seperangkat kompetensi terhadap penguasaan komponen-komponen linguistik, dan strategic
competence; tehnik-tehnik yang efektif sehingga terjadi komunikasi.
Kajian dan analisa wacana tidak dapat lipas dari kajian konteks, teks dan fungsi. Pertama
secara konteks, prakmatik dan analisa wacana mempelajari makna kata-kata dalam konteks, yang
melibatkan bagian makna kata yang dapat dijelaskan dari segi sosial fisik dan aspek-aspek sosio-
psykologis yang mempengaruhi komunikasi, demikian juga yang mencakup waktu dan tempat
dimana kata-kata itu diucapkan dan ditulis (Yule dalam Cutting2000:2). Semua aspek yang
menunjang terbentuk wacana secara kontekstual tersebut akan menentukan makna.
Berbicara bahasa sebagai sistem komunikasi, tidak terlepas dari konteks budaya, konteks
situasi, yang harus dipahami oleh penutur dan petutur, yang berarti mereka yang terlibat dalam
suatu wacana yang intregral dan tidak dapat dipisakan antara bahasa yang dipahami dengan
budaya yang melekat pada pemakai bahasa tersebut.
13
2. Pencitraan
Pencitran adalah elemen intrinsik tekstual wacana pada sebuah karya sastra yang sering di
manfatkan oleh pengarang dalam rangka melahirkan suasana emotional psikologis bagi pembaca
dan pendengar (penikmat) karya sastra. Sarana wacana tekstual ini terkait dengan pemanfaatan
organ dan indera manusia dalam mengamati sebuah objek dan fenomena alam yang secara
indrawi meliputi penglihatan, pendengaran, perabaan, gerakan dan rasa (Perrine, 1974: 560)
Jika konponen indra tersebut dilibatkat dalam proses telaah suatu objek, maka akan
melahirkan telah yang lebih mendalam dan akurat. Kondisi seperti tersebut diatas dapat dijadikan
kerangka filosofis untuk pemetaan teks-teks karya sastra, dengan maksud diperoleh pengindaraan
dan telaah yang melibatkan demensi akal dan rasa (sense), sehingga melahirkan kedalaman
apresisi akal dan rasa yang mendalam bagi penikmat karya sastra.
Bagi pengarang, pencitraan pada karya sastra dapat dilakukan dengan cara melahirhan ide
dan perasaan (sense) melalui rangkaian ekspresi verbal dalam bentuk kata-kata dan frase yang
imaginatif (vehicle atau kendaraan), rangkaian retorika semiotika tersebut diharapkan melahirkan
kesan emotional dan sensual (imagery) pendengar atau pembaca. Ekpresi verbal penyair dan
novelis yang terwujud dalam bentuk wacana karya satra puisi, novel maupun karta sastra yang
berfungsi multi demensi. psikologis, antara lain: pertama, pencintran, pilihan diksi, dan gaya
penuturan akan dapat mencerahkan emosional psikologis pembaca, sehingga pembaca memasuki
sikap apresiasi yang mendalam (katarsis). Fungsi kedua pencitran dan pilihan diksi tersebut akan
menambah nuansa estetis pencitraan karya sastra yang dapat menciptakan rasa keindahan bagi
pembaca, sehingga karya sastra dapat berguna sebagai terapi kepanatan dalam hidup bagi
pecintra dan penikmat karya sastra. Fungsi terpenting adalah keindahan pencintraan karya sastra
14
sebenarnaya dapat dijadikan kendaraan transfer idiologi dan amanat dari seorang pengarang
kepada pembaca maupun pendengar.
Secara rinci Pradopo (1993), menggolongkan pencitraan menjadi 6 yaitu : 1. Citra
Penglihatan (visual imagery) 2.Citra Pendengaran (Audio Imagery) 3. Citraan Penciuman 4.
Citra Gerak (Movement imagery) 5. Citra Percepatan dan Citra Rabaan ( Tactic termal ) dan yang
ke 6. Citra Kekotaan dan Kehidupan Modern.
Adapun keenam pencitraan tersebut termasuk golongan unsur instrinsik dalam sebuah
karya sastra. Pandangan lain tentang citraan dikemukakan oleh Burhan Nugriantoro (1998)
menjadi 5 golongan yang termasuk dalam kelima indera yaitu citra penglihatan, citra
pendengaran, citra gerak dan citra rabaan serta citra penciuman citraan atau Imagery jika ingin
lebih ilmiah sebenarnya dapat dikembangkan menjadi lebih banyak dari yang disebut
sebelumnya, karena sebagaimana ahli psikologi hanya menggolongkan lima, namun untuk
pengkajian teks karya sastra tertentu dapat dikembangkan dengan jenis-jenis lainnya.
Berbicara masalah ragam pencitraan, secara substansif menurut Wallek dan Warren
(1989: 180), pencitraan tak bisa dilepaskan dari masalah citra metaphor, simbol dan mitos yang
sering kali digunakan secara tumpang tindih, citra, diformulasikan sebagai reproduksi mental,
satu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi. Dan tidak selalu bersifat
universal (Wallek dan Warren,1989:236). Sementara Pradopo menyatakan pemaknaan citra
sebagai gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkanya (Pradopo, 1993: 70-
80).
Berdasarkan argumentasi diatas dapatlah diformulasikan bahwa pencitraan merupakan
media estetika secara tekstual diciptakan oleh pengarang dengan cara melakukan ‘rekayasa
linguistik’ baik secara phonetis, semantis, maupun morfologis, agar melahirkan rasa estetik pagi
15
pembacanya, dengan melibatkan domain emotional psikologis bagi pembacanya.sehingga
menyentuh kesan dan perasaan yang mendalam bagi pembaca, melalui rekonstruksi pengalaman
impiris dari ‘schemata’ anak manusia; efek psikilogis pada saatnya akan menyebabkan adaya
keterlibatan pembaca secara emosional dan melahirkan rasa lepas (Wallek and Warren 1990: 90).
Oleh karena itum pencitraan adalah sarana retorika yang efektif untuk mencapai target idiologi
dan amanat karya sastra agar sampai kedalam lubuk hati para penikmat karya sastra, yang sering
disebut phatos; upaya bagaimana sebuah wacana dapat dijadikan sebagai pemboyong amanat
melalui pintu estetika karya sastra, namun target akhirnya proses perubahan empati, sikap dan
prilalaku insaniah.
3. Gaya Penuturan
Secara pragmatism sarana retorika untuk mencapai maksim kelembutan dan kesopanan
yang sering dimanfaatkan oleh pengarang untuk mempengaruhi pembaca yaitu gaya bahasa /gaya
penuturan yang sering disebut sebagai majas. Pada prinsipnya, gaya penuturan memiliki fungsi
yang hampir sama dengan pencitraan. Pilihan gaya dan diksi dalam bentuk majas berfungsi
sebagai visualisasi pikiran dan perasaan yang dituangkan secara verbal yang masih verbalism dan
abstrak. Keterbatasan lingkup untuk melakukan wacana dengan pembaca, agar dapat berjalan
lacar dan efektif dan berpengaruh secara emosional bagi pembaca, maka pengarang melakukan
pilihan diksi agar gagasan, pikiran dan perasaan yang disampaikan secara verbal dapat merasuk
secara sensual emosional dalam relung pembaca tehadap pesan yang disampaikan(Chapman,
1973), Pradopo (1997), and Blake (1990) (Perrine (1974:609). Dalam konteks ini, Perrine
menegaskan bahwa penggunaan ‘figure of speech’ atau majas dimaksudkan agar wacana
kesasteraan yang diciptkan memiliki kekuatan yang lebih signifikan dalam pencapaian pesan dari
16
pada disampaikan dengan bahasa yang sederhan dan lugas. Perrine, menambahkan bahwa
penggunaan majas secara tidak langsung diharapkan akan melahirkan demensi ekstra kebahasaan
suatu wacana sastra (ibid, 1974: 610). Ia mengatakan bahwa majas mampu menembus, apa yang
anda maksudkan, dapat bermakna lebih dari apa yang anda maksudkan, atau bias berlawanan dari
apa yang anda maksudkan, atau anda sesuatu lainya dari apa yang anda maksudkan. Kekuatan
majas inilah mampu menciptakan kedalaman makna wacana kesastraan dan sekaligus melahirkan
multiintepretasi bagi pembaca, tanpa pencitraan yang tajam dan sensual agaknya hanya
menghasilkan karya yang kering dari pemaknaan rasa secara kontekstual.
Ragam majas dapat di golongkan ke dalam berbagai bentuk dan klasifikasi. Masing-
masing pakar, memiliki beberapa perbedaan klasifikasi, diantara para pakar tersebut: Haley,
(1980:139), secara teoritis ia melibatkan kondisi alam dan lingkungan dijadikan sarana
penciptaan diksi yang dapat melahirkan ‘psycho-lexical space’ dalam rangka menciptakan
pengalaman-pengalaman sensualitas pada penikmat karya sastra. Sementara itu, Pradopo
mengklasifikasikan atas jenis-jenis gaya penuturan karya sastra meliputi: simile, metafor,
synecdoche, metonimia, meiosis, hiperbola, anafora, epistrofe, Blake (1990:79-80) menyebutkan
bahwa ragam majas terdiri dari: antanaclasis, antometabole, asyndeton, nalepsis, isocolon,
parison, paronomasia, ploce, polyptoton, syllepsis, dan zengma.
Namun secara umum majas-majas tersebut di atas, dapat diuraikan dengan beberapa
terminologi, antara lain: pertama, adalah metaphor. Secara filosofis semua majas dapat
digolongkan sebagai fenomena metaforis, karena semua majas pada hakeketnya merupakan
ungkapan perbandingan tehadap sesuatu yang ada di ala minim, namun pakar tertentu
menyebutnya bahwa metafor lebih diasosiasikan dengan ungkapan majas yang bersifat
perbandingan langsung. Kedua, majas paradox, terkait dengan pilihan diksi yang bernuansa
paradox atau pertentangan ide dan gagasan. Ketiga, Personifikasi, klasifikasi majas ini
didefinisikan sebagai penggunaan diksi yang terkait dengan proses penandaan ide dan gagasan
yang bersifat ‘human characteristics to non-human objects’. Sehingga benda dan objek yang
divisualisasikan seolah berprilaku sebagaimana lazimnnya manusia (Perrine, 1974:600). Katagori
keempat, simile: majas tersebut dapaf diformulasikan sebagai majas yang bernuansa perbandingan
17
langsung dengan objek dan lingkungan alam manusiam, majas ini memiliki penanda diksi sambung
seperti, seumpama, dan bagaikan. Katagori kelima, yaitu majas hiperbola: majas ini ditandai dengan
expresi pikiran dan persaan yang meyatakan diksi semantis yang bernuansa berlibih lebihan dalam
mengambarkan dan mengekpresikan sesuatu objek atapun keadaan. Penulis menyadari, bahwa
pemetakan konsep dan definisi ragam majas tersebut bukan harga mati. kesastraan yang dapat
melahirkan analisis tekstual dan kontekstual secara terintegrasi.
4. Konteks
Telaah konteks sebuah wacana kesastraan menjadi model dan pendekatan terpenting
dalam menganalisis sebuah wacana. Wacana karya sastra seharusnya dapat direkonstruksi dan
bahkan dapat di resoreksi (dibangkitkan kembali) bagaiman dan mengapa sebuah wacana karya
sastra itu muncul. Setiap teks teks karya sastra sudak dibukukan dan terjilid rapi dalam sebuah
karya yang beredar di tangan pembaca bukanlah rekaan sematam namun rekaan tersebut
dilahirkan dari potret dan fragmentasi kejadian nyata dalam kehidupan masyarakatm sekalipun
telah mengalami rekayasa wacana, namun setiap teks sebuah wacana yang telah diciptakan para
penyair secara kontekstual merupakan tiruan wacana masyarakat dimana mereka berada.
Konteks dapat dimaknai kapan dan dimana bahasa itu dipakai (Brown and Yule,
1996:25). Berpijak dari konsep di atas, ini berarti selain teks yang melekat pada bahasa baik lisan
maupun tulisan yang tersususn dengan baik secara gramatikal namun untuk mendapatkan makna
bahasa yang sempurna maka seorang petutur dan penutur tidak dapat mengabaikan unsur konteks
yang melingkupi dimana, kapan, bsgaimana, dan kepada siapa wacana itu disamapikan. Hal ini
berarti, apabila kita menganalisis sebuah wacana disamping kita mengedepankan unsur
morpologi, semantik dan unsur sintaksis namun agar mendapatkan interpretasi yang tepat, maka
petutur membutuhkan pemahaman unsur konteks prakmatik. Hal ini sejalan dengan pendapat
Morris dalam Brown, (1986:26) yang menyatakan bahwa prakmatik merupakan relasi antara
18
tanda dan para penafsir, hubungannya menjadi sangat jelas. Para analisa wacana memperhatikan
benar-benar orang yang memakai bahasa, menerangkan ciri-ciri bahasa yang dipakai sebagai
sarana yang mereka lakukan.
5. Teori Sosiologis Karya Sastra
Sastra dalam prespektif sosiologi sastra merupakan sebuah cermin dari realitas yang terjadi
di masyarakat. Dalam pandangan Lowethal (Laurenson & Swingewood dalam Endraswara,
2004:88) sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang
terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui
struktur sosial. Hal ini mengakibatkan realitas yang terdapat dalam sastra tidak berbeda jauh
dengan realitas yang terdapat dalam masyarakat(memetik). Pada kondisi ini, nilai imajinasi sastra
memiliki peran yang minimum. Ini bukan berarti menihilkan nilai fiksional, sebab dalam sastra
merupakan bentukan fiksi dan realitas. Namun demikian, sastra pada konteks ini akan melahirkan
nilai historis yang tinggi. Sastra akan menjadi saksi jaman dan sejarah.
Kemampuan sastra sebagai cerminan masyarakat, tidak terlepas dari peran pengarang.
Menurut Ratna (2006:334), pada umumnya para pengarang yang berhasil adalah para pengamat
sosial sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam
masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Sastra, dengan demikian merupakan gabungan dari dua
elemen, yakni fakta dan fiksi. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Andera Hirata sebagai pengarang Laskar Pelangi berhasil membangun sinergisitas elemen
sastra tersebut. Selain itu LaskarPelangi dapat memberikan cerminan masyrakat Belitong di
mana Andrea Hiarata. Mahayana (2005:41) mengatakan, karya sastra dalam hal ini, merupakan
tanggapan evaluatif sastrawan atas kondisi sosio-kultural masyrakatnya.
19
Keberadaan masyrakat yang diceritakan dalam Laskar Pelangi, tidak terlepas dari persoalan
yang hadir dalam dunia nyata. Kajian sosiologi sastra dengan demikian memiliki relevansinya
yang kuat terhadap kehadiran novel itu. Oleh karenanya, peneliti secarra sossio-kultural akan
melihat karya satra Laskar Pelangi dalam tiga perspektif aspek sosiologis.
Aspek sosiologis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi konsep struktur sosial,
system sosial perubahan sosial dan perspetif nilai-nilai relegi yang dimanahkan pengarang
melalui telaah tekstual dan kontekstual karya sastra. Pembahasan struktur sosial menggunakan
konsep Max Weber tentang stratifikasi sosial. Pada pembahasan system sosial, digunakan konsep
dari Nikhlas Luhmann, dan pada perubahan sosial, mengggunakan konsep dari Karl Marxm
sedangkan analisis nilai-nilai relegi ditelaah dengan meggunakan pendekan dan konsep-konsep
religi yang merupakan bagian dari aspek dan fenomena objek sosilogi karya sastra.
6. Struktur Sosial
Pandangan Weber tentang struktur sosial masih dipengaruhi oleh ide Marx. Marx
memandang bahwa struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh
pemilik modal (kapitalis). Marx melihat bahwa materi memberikan pengaruh besar terhadap pola
pikir masyarakat. Artinya, pemilik modal memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi
sekaligus mengendalikan pola pikir masyarakat. Konsekuensi dari hal itu ialah terjadinya
stratifikasi sosial yang berpijak pada kehidupan ekonomi. Bagi Marx, stratifikasi itu terdiri atas
kelas borjuis dan kelas proletar, keangka hegomoni lapisan atas terhadap lapisan bawah menurut
pandangan dan paradikma diatas merupakan model gerkan kapitalis untuk bertahan dan
bercengkerama untuk menguasai sektor kehiduan politik dan power ekonomi.
20
Berangkat dari pemikiran Marx, Weber memberikan konsep berbeda dengan konsep yang
disampaikan Marx di atas. Bagi Weber, pola pikir masyarakat yang pada dasarnya memberikan
pengaruh besar terhadap keberadaan materi. Itu dapat diterima dengan melihat keberadaan alat-
alat produksi yang dihasilkan akibat keinginan dalam mempermudah sistem produksi. Di sinilah
cikalbakal gagasan besar Weber tentang rasionaliasi berkembang. Rasionalitas formal meliputi
proses berpikir aktor dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan (Ritzer & Goodman,
2007:37).
Konsep Weber tentang struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat merupakan wujud dari
adanya stratifikasi dan pembentukan kelas-kelas sosial. Ketika Marx mengungkapkan bahwa
stratifikasi sosial itu terbentuk dari faktor ekonomi, maka Weber memiliki konsep tambahan yang
berbeda dengan Marx. Meski demikian, konsep yang diungkapkan Weber tidak menghadirkan
pertentangan.
a. Kelas Sosial
Secara sosiologis, Marx maupun Weber, menempatkan kelas sosial berdasarkan pada
determinan ekonomi. Weber memandang Marx dan para penganut Marxis pada zamannya
sebagai determinis ekonomi yang mengemukakan teori-teori berpenyebab tunggal tentang
kehidupan sosial (Ritzer & Goodman, 2007:35). Kekuatan pemilik modal memiliki peran
penting dalam menempatkan dirinya pada tataran kelas sosial teratas.
Kelas menurut Weber adalah sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal
peluang untuk hidup atau nasib (life chances) (Arioadityo, 2008). Kesempatan hidup dalam
masyarakat sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi. Itu dapat berupa penguasaan
barang dan jasa. Selain itu, kesempatan untuk penghasilan dan pekerjaan yang lebih
21
nyaman, menjadi faktor lain yang turut mendukung. Lebih lanjut dikatan (Arioadityo, 2008)
bahwa sebagai akibat dari dipunyainya persamaan untuk menguasai barang dan jasa
sehingga diperoleh penghasilan tertentu, mka orang yang berada di kelas yang sama
mempunyai persamaan yang dinamakan situasi kelas.
Keberaan kelas mendorong terjadinya peluang dalam usaha untuk meningkatkan
kelas. Peluang itu dapat hadir dengan sikap dan semangat kerja yang baik. Dengan cara
seperti itu, faktor ekonomi akan mengalami peningkatan. Sebab, dalam pandangan Weber,
kehidupan akan meningkat ketika jumlah produksi yang dihasilkan memiliki korelasi yang
sepatan dengan upah pekerja. Dengan demikian, determinisme ekonomi (kekayaan) pekerja
akan meningkat. Kategori dasar untuk membedakan kelas ialah kekayaan yang dimilikinya,
dan faktor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi, pada titik ini konsep kelas
Marx dan Weber adalah sama, yaitu pembedaan kelas dan faktor yang mendorong
terciptanya kelas (Arioadityo, 2008).
b. Status Sosial
Kedudukan status sosial, memiliki hubungan yang tidak selamanya berbanding lurus
dengan peran sosial, meskipun pada umumnya, hubungan keduanya kali sering berbanding
lurus. Masyarakat cenderung menempatkan stastus sosial tinggi ke dalam jajaran struktur
sosial yang tinggi pula disbanding dengan status sosial rendah..
Weber melihat bahwa manusia dikelompokan dalam kelompok status. Kelompok
stastus ini cenderung diletakkan pada kondisi yang sama. Umumnya, penempatan status
sosial ini disebabkan oleh adanya kehormatan yang melekat di dalam sebuah individu
maupun kelompok. Baik itu berupa kekayaan maupun tingkat intelektualitas.
7. Kekuasaan
Weber tidak sekadar melihat fenomena masyarakat berdasar dari pembedaan ekonomi yang
menciptakan perbedaan kelas sosial, dan kehormatan yang menciptakan status sosial, namun juga
melihat adanya perbedaan dalam masyarakat dalam hubungannya pengakomodasian kekuasaan.
22
Bagi Weber hal ini dapat dilihat dari adanya partai yang memiliki sistem kekuatan yang sangat
kuat. Kekuasaan menurut Weber adalah peluang bagi seseorang atau sejumlah orang untuk
mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun mengalami
tentangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal itu (Arioadityo, 2008).
Kehadiran partai itulah yang dimaknai sebagai tindakan komunal oleh Weber.
Perkembangan kekuasaan pada akhirnya tidak sekadar pada kehadiran partai, namun lebih
dilihat dari upaya penguasaan sistem produksi. Ini sama halnya dengan konsep Mark tentang
masyarakat kapitalis yang memberikan tekanan khusus pada para pemilik modal untuk mengatur
dan menekan masyarakat. Dalam hal ini, pola konsep dasar yang diangkat Weber dalam situasi
ini memiliki kesamaan. Kesenjangan itulah secara sosiologis akan melahirkan perjuangan hak-
hak bagi mereka yang tertindas demi perjuangan nasib dan perubahan kelas sosial.
Laskar Pelangi menghadirkan sistem kekuasaan dalam masyarakat yang berpijak pada PN
Timah. PN Timah memiliki kekuatan modal untuk memperkerjakan 14.000 tenaga kerja. Secara
langsung, ini memberikan gambaran bahwa masyarakat Belitong memiliki hubungan kuat dengan
PN Timah dalam hal ekonomi. Tanpa PN Timah, kesempatan kerja menjadi kecil. Dan akibat
dari hadirnya PN Timah, hampir seluruh angkatan kerja di Belitong berhasil diserap.
PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang memperkerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar.
(Hirata, 2004:39).
Namun, sebab kehadiran PN Timah itu juga, dengan sistem penguasaan yang tidak dilakukan
secara adil, mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial. Kesenjangan ini pada akhirnya
menimbulkan perubahan sosial yang dimulai dari tindakan masyarakat yang anarkis, penjarahan
dan pengerusakan sarana dan prasarana PN Timah. Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang
mempunyai makna subjektif bagi pelakunya (www.nie07independent.wordpress.com).
Pada konteks ini, konsep Marx tentang pandangan hidup yang dipengaruhi oleh materi,
menjadi benar. Sebab, tindakan masyarakat itu dipicu oleh kehadiran PN Timah yang lengkap
dengan sarana dan prasarananya yang memicu kesenjangan sosial di Belitong.
23
8. Sistem Sosial
Sistem sosial masyarakat memiliki kaitan dengan aturan dan norma serta pandangan hidup
masyarakat. Dalam Laskar Pelangi, sistem sosial ini tampak pada pandangan hidup masyarakat
dalam bidang pendidikan dan kepercayaan. Dalam bidang pendidikan, masyrakat Belitong lebih
memiliki pandangan untuk menyekolahkan anaknya akibat desakan dari aturan pemerintah. Jadi,
bukan atas dasar kebutahan akan pentingnya dunia pendidikan.
Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini mereka terpakasa berada di sekolah ini untuk menghindari diri dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf.
(Hirata, 2008:3).
Tampak jelas pada teks di atas bahwa pandangan masyrakat Belitong tentang dunia
pendidikan lebih mengarah kepada agar tidak mendapat celaan dari aparat desa. Sedangkan pada
sistem kepercayaan, konsep tentang taulogi Islam kadangkala masih berbaur dengan kekuatan-
kekuatan yang condong pada sikap fetitisme, yakni mengakui kekuatan lain dalam sebuah benda,
baik itu berupa benda mati maupun benda hidup. Inilah yang menarik, sebab, ketika sebagian
masyarakat memeluk agama Islam, namun konsep seperti ini masih mempengaruhi pandangan
hidup mereka. Padahal pada situasi lain, konsep Islam ini sangat kuat seperti pada kasus
menjauhi Bodenga karena menyembah buaya sebagai Tuhan. Situasi ini terlihat dari usaha
masyarakat untuk mencari Flo kepada Tuk Bayan Tula.
Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orang-orang sudah tidak lagi mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk meminta bantuan Tuk Bayan Tula.
(Hirata, 2008:315).
9. Perubahan Soial
Perubahan sosial terjadi akibat adanya mobilisasi, yakni adanya perpindahan sekelompok
orang maupun individu dari suatu wilayah ke wilayah lain. Contoh sederhana pada khasus ini
ialah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Mobilisasi tersebut akan memberikan dampak
24
sosial yang sangat besar. Satu di antara dampak yang akan terjadi yakni terbukanya peluang
pengangguran. Maka, kondisi sosial masyarakat kota pun akan mengalami perubahan. Struktur
sosial yang ada akan semakin bertambah dengan hadirnya pengangguran itu. Dalam
perkembangannya, mobilisasi ini tidak sebatas pada perpindahan manusia namun juga
perpindahan kondisi masyarakat dari suatu masa (pemerintahan) ke masa (pemerintahan)
selanjutnya.
Perubahan sosial yang terjadi dalam Laskar Pelangi dimulai dari lumpuhnya PN Timah.
Dalam konsep Marx, lumpuhnya sistem kapitalisasi ini memberikan pengaruh besar terhadap
perubahan kelas sosial dan status sosial masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat dapat
menimbulkan chaos (kerusuhan). Hal itu dapat dipahami ketika terdapat kesenjangan sosial
antara masyarakat borjois (pemilik modal) dan mayrakat ploletar (pekerja).
Kesenjangan sosial yang begitu tinggi dari keberadaan PN Timah, membuat masyarakat
Belitong menjadi orang-orang liar dan lepas kendali. Tindakan penyerbuan dan penjarahan asset
PN Timah menjadi konsekoensi logis dari kesenjangan yang sengaja diciptakan dari pengelolaan
barang tambang oleh PN Timah.
Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victorua mewah di kawasan prestesius tak bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan berjois, mereka merubuhkan dinding, menariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, mencabuti pagar, mencuri daun pintu dan jendela, mencongkel kosen, memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa lari gorden.
(Hirata, 2008:483).
Kesenjangan-kesenjangan yang dapat dilihat dari kehadiran PN Timah ialah adanya batasan
dalam hal sosialiasi dengan masyarakat sekitar pertambangan. Berbagai bentuk perubahan
terwujud.Batasan itu menyebabkan adanya pembagian kelas sekaligus status sosial masyarakat.
Posisi inilah yang merupakan bentuk kesenjangan yang disengaja.
10. Nilai-nilai Religi
Perubahan sosial terjadi akibat adanya mobilisasi, yakni adanya perpindahan
sekelompok orang maupun individu dari suatu wilayah ke wilayah lain. Mobilisasi
25
tersebut akan memberikan dampak sosial yang sangat besar. Satu di antara dampak yang
akan terjadi yakni terbukanya peluang pengangguran. Maka, kondisi sosial masyarakat
kota pun akan mengalami perubahan. Struktur sosial yang ada akan semakin bertambah
dengan hadirnya pengangguran itu. Dalam perkembangannya, mobilisasi ini tidak sebatas
pada perpindahan manusia namun juga perpindahan kondisi masyarakat dari suatu masa,
fenomene ketimpangan-ketimpangan sosial setidaknya dapat dikaitkan dengan konsepsi –
konsepsi relegi, karena potret penyimpangan itu sendiri secara filosofis sangat erat
hubungannya dengan idologi religi seseorang yang tehimpun dalam sebuah komunitas
sosial. Manusia yang terhimpun dalam komunitas memiliki landasan idiologi religi yang
melikat di hati-hati manusiam sebagai pijakan dan landasan untuk melakukan gerakan dan
tindakan. Bentuk-bentuk prilaku manusia sangat ditentikan fondasi keimanan sesesorang.
Keimanan sebagai muara bersarangannya totailtas prilaku manusiam baik berupa amal
kebajikan yang berupa kesabaran, keikhlasan, kesunguhan dan keuletan dalam
memperjuangkan dan menghadapi kesulitan dan dan tantangan kehidupan. sebaliknya
amal angkara murka yang berupa kecongkaan, gaya hidup serakah, monopoli, eksploitasi
sesama, egoistias, hedonism dan berbagai prilaku yang menyimpang sebagai fenomena
sosial, tidak lain juga merupakan potreit penyimpangan nilai-nilai religi.
Demikian juga, setiap prilaku positif dalam menghadapi setiap tantangan
yang dihadapi oleh manusia ataupun sekelompok manusia dalam berinteraksi dengan
manusia lain dalam kehidupan sosial, merupakan cermin manefestasi keimanan yang
menghujam pada setiap insan. Nilai-nilai yang melekat akan menjadi kekuatan dan
landasan dalam mewujudkan segala bentuk prilaku pribadi maupun sisial. Insan yang
demikian dalam perspektif religi dapat dinamakan sebagai insan yang bertakwa. Manusia-
manusia yang demikian dalam konseps religi akan menunjukan berbagai prilaku dan
perangai yang bersifat positif dan terrrpuji secara ilahiyah maupun secara insaniah.
Adapun bentuk- bentuk prilaku positif dapat berupa berbagai prilaku yang terpuji seperti:
kesabaran, keiklasan, keuletan, kesederhanan, penuh pengabdian, kejujuran di dalam
menghadap kehidupan sosil.
26
11. Study TerdahuluFuroidatul Khusnia, 2006 dalam tesis yang berjudul gaya penuturan pada shalwat nabi,
analisis tulisan ini lebih menekankan pada analisis secata tekstual dan stilistikan yang ada pada
suber data semata dan tidak banyak dikaitkan dengan telaah konteks yang terkait dengan pola
wacana sebagai cermin masyarakai, bentuk temuan dan analisisnya masih bertumbu pada analisis
elemen-elemen kebahsaan secara makro, sehingga maghasilkan temuan yang lebih
berorentasikan pada konvensi kebahasaan
Ida setyawati, 2006 tesis tersebut mengetengahkan analisis pragmatik novel, analsis dan
temuannya lebih ditekankan pada analisis penggunaan teori dan analisis tindak tutur. Diskusi dan
deskripsi pada pembahasan dan temuan di prioritaskan pada bagaimana memahami novel pada
telah klasifikasi tindak tutur yang menggunakan teori Searle dan Austen.
Dari beberapa analisis yang penulis sebutkan diatas, nampaknnya jauh berbeda dari
rencana proposal telaah dan analisi tulisan tesis ini. Kekhususan tulisan ini drancang dengan
mengetengahkan pespetif blending antara pendekatan yang berkonvensi linguistik dan sekaligus
pendekatan yang berkonvensi sastra. Penulis secara tekstual dan kontekstual dalam rencana
proposal ini mengetengahkan bahwa wacana sastra secara teoritis dan praktis dapat dibedah
dengan cara memadukan telaah interdisiplin teori dan analisis. Penulisan tesis ini berupaya
melakukan kolaborasi analisi baik dari perspektif linguistik dan sastra secara mikro dan makro.
Analisis sosiolinguistik dan sosiologi sastra agar memperoleh hasil temuan telaah wacana teks
sastra yang terkait dengan paradigma memetik, yaitu karya sastra iu adalah refleksi dan cermin
fenomena masyarakat.
27
BAB III
Metode Penelitian
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berarti studi yang mencakup
penggunaaan dan pengumpulan berbagai data empirik yang bisa dilakuka melalui interview,
observasi dan interaksi, dalam hal ini, Denzin & Lincoln dalam Murray (2003:2), ditegaskan
bahwa pendekatan deskriptif kualitatif selalu mendasarkan hal-halyang bersifat phenomena
dianalisis dan dideskripsikan dan akhirnya disimpulkan berdasarkan temuan dan analisis yang
telah diakukan. Dalam hal ini Glaser dalam Thomas (2003) meyatakan bahwa” as a research
method, consist of discovering theory from data” yaitu dengan cara triangulasi, yaitu dengan
melakukan interview, serta pencatatan data dengan beberapa pakar dan penulis karya sastra
tersebut.
Peneliti melakuakan pembacaan dan penelahan secara langsung baik yang menyangkut
Berbagai data yang ada dalam sumber data sebagaimana yang telah ditetapkan dalam fokus
masalah. Selanjutnya dideskripsikan dan diintreprestasikan, dan disimpulkan atas dasar
trianggulasi yang sudah dilakukan (Bodgan dan taylor dalam Maleong (1991:3).
A. Objek Penelitian
Penelitian ini diterapkan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata sebagai objek dan
sekaligus sebagai sumber data.
28
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang kami lakukan dengan cara pembacan yang intensif
wawancara dengan pakar, pencatatan data, dihimpun dan selanjutnya dianalisa dan
dideskripsikan.
D. Prosedur Analisa Data
Prosedur analisa data yaitu dengan cara mendeskripsikan ketiga fokus permasalahan yang
sudah ditetapkan, dan selanjutnya di analisa dan di simpulkan, yang secara rinci dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Kegiatan reduksi data meliputi; selesksi, simplikasi, abstraksi dan pemindahandat
yang masih mentah dari catatan yang dilakuakan dilapangan. Selanjutnya data diferifikasi
menurut kelompok data sesuai dengan fokus yang diteliti yaitu, memilih novel Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata kedalam slot-slot framen yang terkait dengan focus masalah
data yang ada.
Kegiatan ini meliputi presentasi data yang sudah diperoleh berdasarkan masing-
masing kelompok fokus, disajikan dan dianalisa, dan selanjutnya disimpulkan sesuai
dengan fokus yang sudah ditetapkan, dalam bentuk tabel, matrik, ataupun dalam bentuk
penjelasan lainya.
b. Verifikasi
Verifikasi dilakukan dalam rangka melakukan pemikiran induktif untuk
mendapatkan kesimpulan terakhir, yaitu dengan cara “cross chesk” data satu dengan data
yang lainya. Cara yang lazim dipakai yaitu dengan system “Trianggulasi”, yang meliputi
29
tiga tahapan, pertama dengan cara membanding antara data satu dengan data yang lain,
data-data yang sudah didapatkan dari sumber data Novel Laskar Pelangi yang sudah
terjaring berdasarkan fokus masalah diadakan pengejekan secara cermat dengan cara
melilah, memilih dan membangdingkan antara data satu terhadap data lain, sehingga data
yang terpilih merupakan data yang akurat isinya dengan fokus masalah yang dibahas dalam
penelitian ini. Tahapan penelitian ini diterapkan pada semua rumusan masalah 1, 2, dan 3.
(trianggulasi Data). Selanjutnya, Tahapan kedua, Peneliti melakukan trianggulasi personal
dengan melibatkan pakar dan promoter/ pembimbing agar setiap temuan data valid dan
akurat, dan bila mana perlu diadakan konsultasi untuk mendpatkan temuan yang berkalitas
secara akademis.
Ketiga tahapan trianggulasi data, yaitu untuk memperoleh data yang akurat pada
sumber data tersebut, dijelaskan dan disarankan oleh Miles dan Hubberman.
30
BAB IV
Teknik analisis data
Teknik dilakukan dengan cara pembacaan intensif ditelaah, secara pembacaan semiotik,
heuristik (dianalisi dari konvensi linguistik) hermeneutik dan retroaktif (kovensi sastra)
disempurnakan dengan fragmentasi, penyajian, diskusi dan elaborasi dan pengintepretasian yang
selanjutnya dideskripsikan dan disimpulkan, jadi tidak melalui uji hepotesa (Anwar, 1998:126).
a. Pembacaan Heruistik Dan Diteruskan Retroaktif
Tehnik analisis ini digunakan sejak awal penelitian, yaitu dengan cara membaca
secara seksama dan telaah secara teks dan konteks. Tehnik ini sebenarnya diilhami oleh
model stretegi telaah hermeneutik; strategi ini ditempuh agar penulis memperoleh
gambaran yang jelas isi dan maksud, isi dan maksud secara kontekstual akan lebih berarti
jika diteruskan membaca retroaktif; membaca secara berulang sehingga semakain valid
dan jelas pemaknaannya teratama ketika membaca teks yang berkonvensi kesasteraan.
Pembacaan yang demikian akan meperoleh pemaknaan teks yang lebih mendekati
kontekstual maksud sebuah teks yang sebenarnya (Yabrohim, 2004:950) dan Refatterre
(1978: 5-6).
b. Fragmentasi (fragmentating)
Setelah melakukan pemetaan isi dari sumber data, peneliti melakukan fragmentasi;
pemilihan bagian sumber data yang terkait dengan focus masalah yang terdapat dalam
rumusan masalah atau focus masalah 1, 2, dan 3 yang telah diformulasikan dalam bab satu.
Selanjutnya, setelah melakukah pembacaan dengan cara pemenggalan sumber data secara
akurat yang berupa frase ataupun kalimat yang dipastiakan terkait dengan rumusan masalah
dan sumber data yang telah ditetapkan, dan sekaligus sebagai elemen signifikan yang
31
menjadi sentral analisi dan temuan, yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi; yang
selanjutjya disebut dengan fragmentasi (Soekemi, 2005)
c. Penyajian
Hasil pemetaan yang sudah akuurat dari fragmentasi perlu disajikan dalam bentuk
paparan, table dan bagan agar mudah dicerna dan sistemetik dalam penampilan pembahasan
dan diskusi. Model penyajian ini berfungsi sebagai pendukung fakta dan eviden dari sumber
data yang telah dikaitkan dengan focus masalah.
d. Diskusi dan Elaborasi
Tahapan analisis ini merupakan kegiatan utama dan paling penting seriring paradigm
dan pendekatan kualitatif memang intinya mencari makna dibalik data yang tersurat, dan
yang tersirat; yaitu dengan cara mendiskusikan dan mengelaborasi setiap elemen sumber
data dengan landasan teori yang digunakan dan menggunakan logika dan intuitif yang
dituangkan melalui expresi kata-kata. Frase dan kalimat baik berupa penjelasan, sanggahan
penegasan, evaluasi, generalisasi ataupun penyimpulan
32
BAB V
KESIMPULAN
Sebagaimana dikatakan sebuah analisis wacana sastra dapat ditelaah melalui dua
klasifikasi, klasifikasi pertama, peneliti meneliti dan mengalisi wacana dari elemen teks yang
tersurat, maupun tersirat. Keindahan teks sastra Larkar Pelangi baik dari wacana linguistik dan
sastra memberdayakan media retoris psikologis yang dapat mempengaruhi pembaca dengan cara
melakuakan pemilihan diksiyang dapat dipilah menjadi dua elemen, yaitu elemen Pencitraan dan
elemen Gaya Penuturan, pemanfaatan elemen tekstual kesastraan yang melekat pada novel
tersebut, secara sistimatis, analisis dan temuan tesis ini dipaparkan sebagai berikut:
Fragmentasi 1:
Kusen pintu itu miring karena seluruh bangunan sudah doyong seolah akan roboh. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah yang paling miskin Balitong (Hirata, 2008:2-4).
Frakmentasi 1 (F1), dari halaman 1 dan 4 tersebut menggambarkan fenomena
kemiskinan dan kemlaratan masyarakat Balitong yang bersekolah SD Muhaamadiyah, disini
penyair menggunakan pencitraan visual, disebut pencintraan visual, karena dengan kata kata:
miring, doyong, mau roboh dan paling miskin, adalah kata-kata yang secara indrawi penglihatan
(visual) dapat diamati dengan mata.Dengan menggunakan pilahan kata yang mengganbarkan
pengamatan kondisi yang amat meprihatinkan, seluruh bangunan sudah doyong seolah akan
roboh SD Muhammadiyah, juga sekolah yang paling miskin Balitong, diharapakan pembaca
secara sensual dapat memperoleh gambaran dan keadaan sekolah SD yang ada di Balitong.
Pencitraan demikian, bagi pembaca yang cerdas rasa ibanya, ia dapat dipastikan akan tumbuh
rasa empati untuk untuk membantu dan ikut memikirkan kondisi yang amat menyedihkan itu.
33
Fragmentasi 2 (F 2), dapat di kutip sebagaimana fragmentasi teks berikut ini:
‘Ia tidak peduli peluh yang mengalir masuk ke pelapuk matanya. Titik-titik keringat yang bertunbulan di seputar hidungnya menghapuskan bedak bedak tepung beras yang dikenakannya, membuat wajahnya coreng-moreng seperti pameran emban bagi permaisuri, dalam ‘Dul Muluk’ sandiwara kuno kampung kami ( Hirata, 2008: 2).’
Framentasi diatas, nmenggamabarkan bahwa pengarang menggunakan pencitraan
gerakan (movement) dan sekaligus pencintraan visual, seperti pada pilhan kata:’peluh yang
mengalir, keringat yang bertunbulan, menghapuskan bedak bedak tepung beras yang
dikenakannya, membuat wajahnya coreng-moreng, kata-kata megalir, , dan menghapus; liebh
menggambarkan nuansa aktifitas dan gerakan, oleh karene itu dpat digolongkan dalam katagori
pencitraan gerakan. Sedangkan diksi bertumbulan dan coreng moreng lebih bernuansa
pencintraan visual, karena menggambarkan keadaan dari hasil pengamatan indra penglihatan.
Kedua ragam pencitraan tersebut adalah sebagai upaya visualisasi konsep yang
abstrak dan masih berupa kata-kata. Agar ungkapan-ungkapan tindak tutur tersebut secara
psikologis berimplikasi sensual yang mendalam bagi pembaca dan penikmat karya sastra, maka
pengarang melakukan rekayasa semantik, agar mencapai efek emotional pada pembaca. Dengan
kata lain, seorang sastrawan agar dpat melahirkan teks-teks yang indah dan sensual, ia harus
memanfaatkan semantis kebahasaan (semantic competence), demi terealisasinya wacana sastra
yang unggul. Kelas-kelas sosial pada masyarakat Belitong terdiri atas tiga kelas, yakni kelas atas,
menengah dan bawah. Pembagian kelas ini berdasar pada teks berikut.
Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para camat, para kepada dinas dan pejabat-pejabat public yang korupsi kecil-kecilan, dan aparat penegak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukong-cukong itu.
34
Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaanya sangat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tiongoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga hororer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampong—kecuali guru dan kepala sekolah PN.(Hirata, 2008:55)
Teks Kesenjangan SosialMasyarakat Belitong dalam Laskar Pelangi
Teks
Kehidupan Kelas Atas Kehidupan Kelas Bawah
Di meja makan mewah dengan kayu cinnamon glaze, mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup, lalu hadir Caesar salad atau menu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale, atau…., Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with strawberry puree, buah-buah persik dan prem.
Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan music klasik yang elegan: Mozart Haffner No.35 in D Major. Mereka mematuhi table manner. Setelah melampirkan serbet di atas pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan tak ada seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya.
(Hirata, 2008:44—45).
Tidak seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer sebagai perangsang selera, tak mengenal main course, ataupun dessert. Bagi mereka semuanya adalah menu utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu utama itu adalah ikan gabus. Para kuli yang nafsu makannya besar sesuai dengan pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar lebih praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah diguyue semangkuk gangan, yaitu masakan tradisional dengan bumbu kunir. Ketika makan mereka tak diiringi karya Mozart Haffner No.35 in D Major tapi diiringi rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan baju pramuka.
Setiap subuh para isteri meniup siong (potongan bambu) untuk mengidupkan tumpukan kayu bakar. Asap menepul masuk ke dalam rumah, menyembul keluar melalui celah dinding papan, dan membangunkan
35
entok yang dipelihara di bawah rumah panggung. Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntai-juntai seperti cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan setiap pagi. Sebelum berangkat para kuli itu tidak minum the Earlgrey atau capoccino, melainkan minum air gula aren dicampur jadam untuk menimbulkan efek tenaga kerbau yang akan digunakan sepanjang hari.
Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yag diasap untuk sarapan, lauk yang diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat dari ikan gabus. (Hirata, 2008:53—54).
PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang memperkerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploitasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.
(Hirata, 2008:39).
PN Timah melakukan bentuk monolopi dalam mengelola alam Belitong. Namun demikian,
upaya eksploitasi itu tidak diimbangi dengan usaha mensejahterakan masyarakat. Yang terjadi
ialah upaya membeda-bedakan status sosial. Itu dapat dilihat dari dibangunnya pagar yang
membatasi antara Gedong dan masyarakat di sekitar PN Timah. Di sinilah keberadaan status
sosial pun muncul. Gaya hidup dalam hubungan pergaulan tampak dari diskriminasi sosial.
36
Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri daru tanah Sumatera yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis mengekslpoitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa istalasi penambangan serta warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah.
(Hirata, 2008:41).
Diskriminasi status itu, selaian berpengarauh terhadap posisi kelas sosial, juga memiliki
relevansi dalam bidang yang lain, yakni pendidikan dan hubungan sosial. Kehidupan pendidikan
tampak terlihat dari keberadaan sekolah SD MD Muahammadiyah dan sekolah di PN Timah.
Diskriminasi dalam bidang pendidikan yang sangat mencolok itu dapat disajikan pada tebel 2 di
bawah ini. Diskriminasi itu memberikan bukti adanya perbedaan status sosial yang sengaja
diciptakan.
Tabel 2Perbandingan Sekolah SD MD Muhammadiyah dengan Sekolah PN Timah
PembandingTeks
Sekolah SD MD Muhammadiyah Sekolah PN TImah
Fisik
bangunan
Tak usah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantreo negeri ini jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
(Hirata, 2008:17).
Gedung-degung sekolah PN Timah didesain dengan arsitektue yang tak kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster opeasi dasar matematika, tabel pemetaam unsur kimia, peta dunia, jam dinding, thermometer, foto para ilmuan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anotomi
Jika dilihat dari jauh sekolah kami akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Kostruksi bangunan yang menyalahi prinsip
37
arsitektur ini menyebabkan taka da daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi, buat apa pula dikunci?
(Hirata, 2008:19)
tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi planet-plenet.
(Hirata, 2008:58).
Jumlah guru
Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal.
(Hirata, 2008:17).
“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.”
(Hirata, 2008:59).Tipikal
Kepala
Sekolah
Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu oang yang tak hanya menstransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
(Hirata, 2008:24).
Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya ber-make up jelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah kampong. Gerak geriknya di atur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi
(Hirata, 2008:60).Beliau menorrehkan benang
merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengorbankan semangat kami untuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan member kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai
Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakulikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menjadi dokter, insiyur, ahli ekonomu, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota bahkan atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang
38
cita-cita. Beliau menyakinkan kami bahwa hidup bisa sedemikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesame. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta member arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
(Hirata, 2008:24).
waktu itu masih kecil, masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.
Tamasya Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kuta 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa.
(Hirata, 2008:178—179).
Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berrekreasi ke Tanjong Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandang, bahkan verloop bersama orangtuanya ke Jakarta. (Hirata, 2008:178).
Terdapatnya sekolah PN Timah merupakan sebuah bentuk diskriminasi status yang paling
menonjol. Gaya hidup yang antara kedua sekolah tersebut sangat bertolak belakang. Bagai langit
dan bumi. Padahal, secara geografis, kedua sekolah tersebut berada di tempat yang sama, yakni
Belitong. Namun, akibat tatanan birokrasi, hal tersebut menimbulkan diskriminasi sosial. Tatanan
birokrasi ini berupakan sebuah topik pembicaraan yang kali sering muncul dalam gagasan Weber
tentang masyarakat sosial. Bentuk birokrasi yang terjadi pada kasus Belitong dalam Laskar
Pelangi itu ialah terdapatnya tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI
HAK” yang dibuat oleh PN Timah.
Status SD MD Muhammadiyah dengan kondisi seperti itu member peluang terjadinya hinaan
atau pelecehan sosial. Itu tampak ketika SD itu mengikuti lomba cerdas cermat. Ketika
keistimewaan tim sekolah Muhammadiyah terlihat begitu menjulang tinggi, terdapat usaha untuk
menurutkan martabat sekolah itu. Hal itu terlihat dari sikap Pak Zulfikar yang mencoba menghina
sekaligus melumpuhkan tim sekolah Muhammadiyah.
39
Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya ingin mengina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menjatuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk mengingatkan semua orang bahwa kami hanya sebuah sekolah kampong yang tak penting.
(Hirata, 2008:377).
Diskriminasi sosial yang berimbang pada perbedaan status, semakin diperparah dengan
kehadiran diskriminasi dalam ruang publik. Bentuk diskriminasi status sosial itu misalnya dari
hadirnya gedong biskop yang masih dibeda-bedakan antara yang boleh dimasuki oleh orang staf
dan keluarganya dengan anak-anak Beliotong. Diskriminasi itu tampak terlihat dari teks di bawah
ini.
Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini beridiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas tembok ini hanya tidak ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina yang melindungi berbagai dinasti dari serbuan suku-suku Mongol dari utara, di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial.
(Hirata, 2008:36).
Teks di atas menjelaskan bahwa kondisi sosial dalam masyarakat Belitong diwarnai dengan
usaha untuk memberikan perbedaan status sosial oleh PN Timah. Usaha tersebut di antaranya
ialah dengan membangun tembok tinggi panjang untuk memberi batasan antara status sosial bagi
orang-orang Gedong dengan masyarakat Belitong yang tinggal di luar Gedong. Itu merupakan
sebuah upaya diskriminasi dalam hubungan kemasyarakatan.
Upaya diskriminasi status sosial tidak sekadar pada pembatasan wilayah antara orang
Gedong dengan masyarakat pribumi (orang-orang Belitong), namun juga menyangkut sarana dan
prasarana yang ada di Belitong. Selain sekolah misalnya, pembagian gedong biskop pun turut
diciptakan untuk membedakan status sosial.
Kami menontong film yang diputar habis magrib itu di bioskop MPB (Markas Pertemuan Buruh) yang khusus disediakan oleh PN Timah bagi anak-anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena lantainya tidak didesain selayaknya bioskop maka agar penonton yang
40
paling belakang tidak terhalang pandangannya, di bagian belakang disediakan bangku tinggi-tinggi. Dan kami, sepuluh orang—termasuk Flo—duduk berjejer di bangku paling belajang.
Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda, namanya Wisma Ria. Di sana film diputar dua kali seminggu. Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di bioskop itu juga terpampang peringatan keras “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK.”
(Hirata, 2008:425—226).
Teks di atas sangat jelas menegaskan bahwa perbedaan status sosial semakin ditekankan
dalam masyarakat Belitong. Posisi yang menekan ialah PN Timah. Ini menjadi sesuai dengan
konsep Weber dan Marx bahwa status sosial pun pada akhirnya selalu berasal dari determinisme
ekonomi.
PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang memperkerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploitasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.
(Hirata, 2008:39).
PN Timah melakukan bentuk monolopi dalam mengelola alam Belitong. Namun demikian,
upaya eksploitasi itu tidak diimbangi dengan usaha mensejahterakan masyarakat. Yang terjadi
ialah upaya membeda-bedakan status sosial. Itu dapat dilihat dari dibangunnya pagar yang
membatasi antara Gedong dan masyarakat di sekitar PN Timah. Di sinilah keberadaan status
sosial pun muncul. Gaya hidup dalam hubungan pergaulan tampak dari diskriminasi sosial.
Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri daru tanah Sumatera yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis mengekslpoitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa istalasi penambangan serta warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah.
(Hirata, 2008:41).
41
Diskriminasi status itu, selaian berpengarauh terhadap posisi kelas sosial, juga memiliki
relevansi dalam bidang yang lain, yakni pendidikan dan hubungan sosial. Kehidupan pendidikan
tampak terlihat dari keberadaan sekolah SD MD Muahammadiyah dan sekolah di PN Timah.
Diskriminasi dalam bidang pendidikan yang sangat mencolok itu dapat disajikan pada tebel 2 di
bawah ini. Diskriminasi itu memberikan bukti adanya perbedaan status sosial yang sengaja
diciptakan.
Tabel 2Perbandingan Sekolah SD MD Muhammadiyah dengan Sekolah PN Timah
PembandingTeks
Sekolah SD MD Muhammadiyah Sekolah PN TImah
Fisik
bangunan
Tak usah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantreo negeri ini jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
(Hirata, 2008:17).
Gedung-degung sekolah PN Timah didesain dengan arsitektue yang tak kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster opeasi dasar matematika, tabel pemetaam unsur kimia, peta dunia, jam dinding, thermometer, foto para ilmuan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anotomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi planet-plenet.
(Hirata, 2008:58).
Jika dilihat dari jauh sekolah kami akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Kostruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan taka da daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi, buat apa pula dikunci?
(Hirata, 2008:19)
Jumlah guru
Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal.
(Hirata, 2008:17).
“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.”
(Hirata, 2008:59).Tipikal Pak Harfan tampak amat Kepala sekolahnya adalah
42
Kepala
Sekolah
bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu oang yang tak hanya menstransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
(Hirata, 2008:24).
seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya ber-make up jelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah kampong. Gerak geriknya di atur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi
(Hirata, 2008:60).Beliau menorrehkan benang
merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengorbankan semangat kami untuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan member kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau menyakinkan kami bahwa hidup bisa sedemikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesame. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta member arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk
Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakulikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menjadi dokter, insiyur, ahli ekonomu, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota bahkan atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.
43
menerima sebanyak-banyaknya.(Hirata, 2008:24).
Tamasya Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kuta 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa.
(Hirata, 2008:178—179).
Ketika anak-anak AMP PN dengan bus birunya berrekreasi ke Tanjong Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandang, bahkan verloop bersama orangtuanya ke Jakarta. (Hirata, 2008:178).
Terdapatnya sekolah PN Timah merupakan sebuah bentuk diskriminasi status yang paling
menonjol. Gaya hidup yang antara kedua sekolah tersebut sangat bertolak belakang. Bagai langit
dan bumi. Padahal, secara geografis, kedua sekolah tersebut berada di tempat yang sama, yakni
Belitong. Namun, akibat tatanan birokrasi, hal tersebut menimbulkan diskriminasi sosial. Tatanan
birokrasi ini berupakan sebuah topik pembicaraan yang kali sering muncul dalam gagasan Weber
tentang masyarakat sosial. Bentuk birokrasi yang terjadi pada kasus Belitong dalam Laskar
Pelangi itu ialah terdapatnya tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI
HAK” yang dibuat oleh PN Timah.
Status SD MD Muhammadiyah dengan kondisi seperti itu member peluang terjadinya hinaan
atau pelecehan sosial. Itu tampak ketika SD itu mengikuti lomba cerdas cermat. Ketika
keistimewaan tim sekolah Muhammadiyah terlihat begitu menjulang tinggi, terdapat usaha untuk
menurutkan martabat sekolah itu. Hal itu terlihat dari sikap Pak Zulfikar yang mencoba menghina
sekaligus melumpuhkan tim sekolah Muhammadiyah.
Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya ingin mengina sekaligus melumpuhkan
mental kami dan dewan juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal tadi
sekaligus menjatuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk mengingatkan semua orang bahwa kami
hanya sebuah sekolah kampong yang tak penting.(Hirata, 2008:377).
44
Daftar Pustaka
Ariodityo. 2008. Statafikasi Sosial Sebuah Pendahuluan (Online), http://arioadityo.multiply.com/journal/item/7/Stratifikasi_Sosial, diakses 24 Februari 2009.
Azwar. 1998. Metode Penelitian. Jogja: Pustaka pelajar.
Brown, Gillian and Yule, George. 1996. analisis Wacana. DiIndonesiakan oleh I.Soetikno. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
Culler, Jonathan. 1997. Structuralis Poetics. London: Methuen & Co. Ltd.
Cummings, Louis. 2005. Pragmatics A Multidisciplinary Perspective. George Square: Edinburgh University Press
Darma, Budi. 2005. Handout Perkuliahan Teori Sastra, Pasca Sarjana Unesa
Gonzalez, and Tanno. 1999. Rhetoric in Intercultural Contexts. London: Sage Publication. Inc.
Halliday, M.A.K, Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotik Sosial, diterjemahkan oleh Asruddin Barori Tou, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co.Ltd
Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Cetakan XVII. Yogyakarta: Bentang.
Hornby, A.S. 1986. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English: Fourth Edition. London: Oxford University Press.
http://nie07independent.wordpress.com/2008/11/18/teori-perubahan-sosial-karl-marx-dan-max-weber/
http://organisasi.org/jenis-jenis-macam-macam-status-sosial-stratifikasi-sosial-dalam-masyarakat-sosiologi
Hudson, R.A. 1980, Sociolinguistics, Cambridge: Cambridge University Press.
Hutagalung, M. S. 1989. Sajak-Sajak Dalam Analisis. Jakarta: Tulila.
Hymes, Dell. 1976. Foundation in Sociolinguistics: An Etnographic Approach. Philadelphia: University of Pensylvania.
45
Jacobson, Roman. 1978. “Clossing Statement” dalam Seboek (ed.). Style in Language. Masssachusetts: The M.I.T. Press.
Joss, Martin.1976. The Style Of the Five Clocks. New York: Hartcourt Brace Worl Inc.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Sinar Harapan: Jakarta.
Kutting, Joan. 2002. Pragmatics and Discourse: resource book for students . New York. Internationmal Ltd.
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening.
Perrine, Laurence. 1974. Literature Structure, Sound, and Sense. USA: Second Edition.
Preminger, Alex. dkk.. 1974. Princetown Encyclopedia of Poetr and Poetics. Princetown: Princetown University Press.
Ratna, Nyoman Kuntha. 2006. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Prespektif Wacana Naratif. Cetakan II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George & Goodman, Douglas J. 2007. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan oleh Alimandan. Cetakan IV. Jakarta: Prenada Media Group.
Skilleas, Ole Martin. Philosophy and Literature. Edinburgh University Press, 2001
Slametmuljana dan B. Simorangkir Simanjuntak. Tanpa Tahun. Ragam Bahasa Indonesia. Jakarta: J. B. Wolters-Groningen.
Supratno, Haris. 2005. Handout Perkuliahan Teori Sastra, Pasca Sarjana Unesa
Tedlock, Dennis. 1983. The Spoken Word and the Work of Interpretation. Philadelphia: University of Pennsylvania press.
Thomas, R. Murray. 2003. Blending Qualitative& Quantitative Research Methods in Theses and Disesrtations. California: Corwin Press, IN
Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wells, K. Lynn. 2004. The Articulate Voice an Introduction and Voice. Boston: Person seddleback College
Wellek, Rene and Warren, Austin. 1956. Theory of Literature. London: Cox & Wymann Ltd
46