Upload
vuonghanh
View
235
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS TINDAK KEKERASAN DALAM
DONGENG LE PETIT POUCET
KARYA CHARLES PERRAULT
skripsi
diajukan untuk mendapatkan gelar Sarjana Sastra jurusan Bahasa dan Sastra Asing
program studi Sastra Prancis
oleh
Titah Furi Hadiyanti 2350403035
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2010
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang panitia ujian skripsi
Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Program Studi Sastra Prancis S1, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Hari :
Tanggal :
Panitia Ujian
Ketua Sekretaris
Prof. Dr. Rustono, M. Hum Dra. Dyah Vitri Widayanti, DEA NIP. 195801271983031003 NIP. 196508271989012001
Penguji I
Dra. Anastasia Pudjitriherwanti, M. Hum NIP. 196407121989012001
Penguji II/ Pembimbing I Penguji III/ Pembimbing II
Dra.Conny Handayani Dr. B. Wahyudi Joko S, M. Hum NIP. 194704261971062001 NIP. 1961102619911031001
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya:
Nama : Titah Furi Hadiyanti
NIM : 2350403035
Prodi/ Jurusan : Sastra Prancis/ Bahasa dan Sastra Asing
Fakultas : Bahasa dan Seni
Skripsi berjudul “Analisis Tindak Kekerasan dalam Dongeng Le Petit Poucet
Karya Charles Perrault” yang saya tulis dalam rangka memenuhi syarat untuk
memperoleh gelar sarjana ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri. Skripsi
ini saya hasilkan setelah melalui penelitian, pembimbingan, diskusi, dan
pemaparan atau ujian. Semua kutipan baik langsung dan tidak langsung, maupun
sumber lainnya telah disertai identitas sumbernya dengan cara sebagaimana yang
lazim dalam penulisan karya ilmiah. Dengan demikian, walaupun tim penguji dan
pembimbing telah membubuhkan tanda tangan sebagai tanda keabsahannya,
seluruh isi karya ilmiah ini tetap menjadi tanggung jawab saya sendiri. Jika
kemudian ditemukan ketidakberesan, saya bersedia menerima akibatnya.
Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.
Semarang, Februari 2010
Titah Furi Hadiyanti NIM: 2350403035
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Tiga dasar penting untuk mencapai segala sesuatu yang berharga adalah pertama,
kerja keras, kedua, tetap berpegang pada kepastian, ketiga, berpikiran sehat.
(Thomas Edison)
Je dédie ce mémoire pour:
1. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu
mendoakan keberhasilanku.
2. Untuk adikku, Tyas, yang sudah memberikan
semangat dan doanya.
3. Untuk diri sendiri, tetap semangat.
4. Almamaterku.
v
PRAKATA
Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis
Tindak Kekerasan dalam Dongeng Le Petit Poucet karya Charles Perrault”.
Skripsi ini adalah perwujudan kemurahan hati puluhan orang karena
penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan serta saran-saran dari
berbagai pihak, baik yang berbentuk moral maupun material sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik. Dari lubuk hati yang terdalam, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Rustono, M.Hum., Dekan FBS yang telah memberikan
kesempatan untuk menulis skripsi ini,
2. Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA., Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing
yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini kepada penulis,
3. Dra. Conny Handayani, M.Hum., pembimbing I dan Dr. B. Wahyudi Joko
Santoso, M.Hum., pembimbing II yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik,
4. Dra. Anastasia Pudjitriherwanti, M.Hum., dosen penguji skripsi,
5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah
memberikan bekal ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis,
6. Orang tuaku tercinta yang selalu mendoakan kesuksesanku di setiap sujud
panjangnya,
7. Kakak-kakak dan adikku yang aku sayangi. Perhatian dan senyum penuh
kasih kalian telah menghangatkan hati dan menjadi sumber cinta dan
inspirasiku. Je vous aime bien,
8. Sahabat-sahabatku tersayang di Angel Hoss Community dan Wisma
Priyangan yang tak akan pernah kulupakan. Terima kasih atas warna-
warna indah yang telah kalian torehkan di dalam hatiku sehingga
melengkapi perjalanan hidupku,
vi
9. Sahabat-sahabat terkasih Sastra Prancis angkatan ‘03, ‘04, dan ‘05 yang
akan selalu kurindukan,
10. Semua orang-orang terdekatku yang selalu ada saat aku memerlukannya.
Senyum kalian telah membesarkan hati dan membangkitkan semangatku,
dan
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Semarang, Februari 2010
Penulis
vii
ABSTRAK
Hadiyanti, Titah Furi. Analisis Tindak Kekerasan Dalam Dongeng Le Petit
Poucet Karya Charles Perrault. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: I. Dra. Conny Handayani, M.Hum. II. Dr. B. Wahyudi Santoso, M.Hum.
Kata Kunci: Tindak Kekerasan, Dongeng Le Petit Poucet, Charles Perrault
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak mempunyai latar tempat serta waktu yang pasti.
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan tindak kekerasan yang terjadi dalam dongeng Le Petit Poucet dan penyebabnya.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan strukturalisme dan psikologi sastra. Sumber data yang diambil adalah dongeng Le Petit Poucet, karya Charles Perrault yang terdapat dalam kumpulan dongeng berjudul Contes Édition de Jean-Pierre Collinet. Metode dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu metode simak dan teknik catat.
Tindak kekerasan yang terdapat dalam dongeng Le Petit Poucet dilakukan hampir oleh semua tokoh. Hanya satu tokoh yang tidak melakukan kekerasan yaitu istri raksasa. Tindak kekerasan yang ditampilkan dalam dongeng ini adalah kekerasan fisik dan kekerasan psikologis.
Tindak kekerasan yang terjadi dalam dongeng Le Petit Poucet mempunyai bentuk serta penyebab yang berbeda-beda. Melalui analisis tersebut dapat ditemukan makna dari kekerasan itu sendiri yaitu tindakan melukai suatu pihak, baik secara fisik maupun psikologis, dengan penyebab yang bermacam-macam, baik itu kebiasaan maupun keterpaksaan untuk mempertahankan hidup. Segala bentuk kekerasan yang ditampilkan dalam dongeng ini menunjukkan bahwa semua hal dapat terjadi dan segala sesuatu dapat dihadapi. Pesan moral yang dapat diambil dari tindakan para tokoh antara lain untuk tidak meremehkan orang yang terlihat lemah dan ringkih namun ternyata kecerdasannya melebihi orang lain, semua hal dapat diatasi dengan kecerdikan dan keberanian, serta untuk tidak mempunyai niat buruk karena nantinya sesuatu yang buruk akan menimpa kita.
viii
RÉSUMÉ
Hadiyanti, Titah Furi. 2010. L’analyse de la Violence dans le Conte de « Le Petit
Poucet » de Charles Perrault. Mémoire. Département de Langues et de
Littératures Étrangères. Faculté des Langues et des Arts. Université d’État
de Semarang. Directeurs: I. Dra. Conny Handayani, M.Hum, II. Dr. B.
Wahyudi Joko Santoso, M.Hum.
Mots Clés: violence physique, violence psychologique, conte.
A. L’INTRODUCTION
Selon Danandjaya (2002: 83), le conte est l’histoire de personnes et
d’animaux qui est considérée comme une prose, ne se passe pas dans la vie réelle
et n'a pas de place et de temps précis. Habituellement, il raconte l’histoire des
aventures d'animaux ou bien d'hommes. Dans le conte toutes choses peuvent se
produire, il est aussi considéré comme une imagination.
Les éléments intrinsèques dans le conte sont différents des choses qui se
passent dans la vie réelle. Le conte présente une des valeurs morales positives et
en général finit avec la joie ou le bonheur. On a l’impression que le conte est
présenté pour les enfants. En réalité, ce qui se passe est le contraire parce que ce
conte présente souvent la violence, le meurtre, la lutte et la souffrance.
Selon Anti Aarne et Stith Thompson (en Danandjaja 2002: 86) le genre
d'histoires se divise en quatre groupes principaux, ce sont: 1) conte d’animaux
(animal tales), 2) contes ordinaire (ordinary folktales), 3) blagues et des anecdotes
(jokes et anecdotes), et 4) contes formule (formula tales).
Il ya beaucoup d’auteurs de conte en France, l’un des auteurs du conte est
Charles Perrault. Il ne réécrit que les contes qui sont connus dans la société, mais
il a changé des contes et adapté d’abord en voyant la situation sociale culturelle à
l'époque là, par exemple, il a décrit la famine en 1693 dans le conte de « Le Petit
Poucet ». Après avoir lu ses œuvres, on a trouvé plusieurs violences physiques (le
loup a mangé la petite fille dans Le Petit Chaperon Rouge et la négligence des
ix
enfants dans Le Petit Poucet) et les violences psychologiques (le bûcheron a
menacé de battre sa femme).
Dans http://republikdamai.blogspot.com/2007/06/kekerasan.html, la
violence est un acte d'agression et des violations (torture, sévices, viols, etc.) qui
provoquent des souffrances ou blessent d’autres personnes. Les causes de la
violence dans une famille sont très variées, par exemple la pauvreté et la pression
de la vie qui augmente.
Pour savoir la violence dans le conte de « Le Petit Poucet », je raconte
l'histoire suivante : Le Petit Poucet et ses frères sont des garçons du bûcheron qui
ont été abandonnés dans la forêt par leurs parents à cause des raisons
économiques. Grace à son intelligence, ils peuvent s’enfuir et rentrer chez eux
sain et sauf.
Basé sur l’explication ci-dessus, les problèmes de cette recherche peuvent
être formulés suivants:
1. Quelles sont les violences qui se trouvent dans le conte de « Le Petit
Poucet » de Charles Perrault?
2. Quelles sont les causes de la violence dans le conte de « Le Petit Poucet »
de Charles Perrault?
Les buts de cette recherche sont de trouver:
1. les violences dans le conte de « Le Petit Poucet » de Charles Perrault.
2. les causes de la violence qui se trouvent dans le conte de « Le Petit
Poucet » de Charles Perrault.
J’espère que les résultats de cette recherche peuvent:
1. donner aux lecteurs les connaissances sur les violences pour qu’ils ne les
imitent pas.
2. donner une modèle d’analyser les œuvres littéraires aux apprenants.
3. donner une inspiration de recherche aux apprenants qui vont faire leurs
mémoires.
x
B. LE CONTE
En général, le conte possède les fonctions récréatives, projectives,
évaluatives, donne le contrôle de la communauté. (Danandjaya 2002: 140-141).
D’après Blask (1951) la violence est l'utilisation de la force qui n'est pas
équitable et n’est pas justifiée, accompagnée d'une grande émotion ou d’une
colère dé contrôlée.
(http://www.oaseonline.org/oaseintim/doku2007/ngantung_kekerasan.htm).
Dans le KUHP à l'article 89, ce la se dit que faire la violence est
d’utilisation de la force physique illégalement.
Souvent, le problème de la violence implique des enfants. Leurs positions
sont si vulnérables en raison de la faiblesse physique, sociale et culturelle. À cause
de cela, les adultes peuvent exploiter leur faiblesse facilement. Étant victimes, ils
n’ont pas de force de résister contre les adultes.
Les facteurs de la pauvreté et les pressions de la vie qui ont augmenté, et
qui sont accompagnés de colère ou de déception des adultes influencent les gens à
faire la violence physiquement ou psychologiquement. Les enfants, comme des
êtres humains faibles et vulnérables sont des victimes de leurs parents.
Les formes de violence contenues dans la loi no. 23 en 2004
(www.kowani.or.id) sur l'élimination de la violence domestique (PKDRT),
comprennent le mari, la femme, et les enfants. D’après cette loi ci-dessus, les
formes de la violence sont : dans lequel le ménage dans la présente loi comprend
mari, femme et enfants, à savoir:
1. la violence physique est un acte qui provoque la douleur, la maladie, la
peine, ou de graves blessures, par exemple: l’assassiner, le massacre, etc.
2. la violence psychologique est un acte qui fait naître la peur, la perte de
confiance, perte de la capacité d'agir, de sentiment d'impuissance, des
souffrances psychologiques, par exemple: l’humiliation, la menace etc.
Roland Barthes, dans Nurgiyantoro (2005 : 47), dit qu’il y a 2 types
d’analyse : l’analyse syntagmatique et paradigmatique.
xi
C. L’ANALYSE SYNTAGMATIQUE
Barthes dit qu’une séquence de récit est réglée d’une façon linéaire, si bien
qu’elle forme une relation horizontale.
Les autres théories des séquences sont également soulevées par Schmitt et
A. Viala dans Handayani (1994: 35). D’après eux :
a. la séquence doit être centrée sur un point, par exemple, le même
événement, le même chiffre, la même idée, ou la même pensée.
b. la séquence doit confiner une période de temps et d'espace cohérente.
Cela veut dire que quelque chose est arrivé en même lieu ou en même
temps.
c. en outre, les séquences qui ont une restriction comme mentionné ci-
dessus, peuvent être des éléments d'une plus grande séquence.
D. L’ANALYSE PARADIGMATIQUE
L’analyse paradigmatique étudie les éléments qui se relient à la
signification de l'histoire. Nurgiyantoro (2005: 47) a affirmé que l'étude de
l'analyse paradigmatique dans les œuvres littéraires est d’étudier les personnages,
les caractères des personnages, et la relation entre l’histoire (du conte) et le fond.
E. MÉTHODOLOGIE DE LA RECHERCHE
La méthodologie de la recherche se divise en trois étapes. Ce sont la
méthode et la technique de collecter des données, d’analyser des données, et de
présenter le résultat de l’analyse.
La méthode de collecter des données est « simak » ou « lire
attentivement ». La technique utilisée est « catat » ou « noter » des données
trouvées directement dans le conte de « Le Petit Poucet » de Charles Perrault.
La méthode d’analyser est « padan » ou « faire correspondre ». La
technique de la base est PUP « Triage de Constituant Déterminant ». La méthode
de présenter le résultat de cette recherche est la méthode informelle.
xii
F. L’ANALYSE
Dans l'analyse syntagmatique, j’ai fait les séquences pour chercher et
trouver l’intrigue de ce conte, et les fonctions principales pour chercher et trouver
une relation de cause et de conséquence dans ce conte. Il y a 76 séquences et 23
fonctions principales dans ce conte.
Les séquencés sont :
1. la description de la famille de « Le Petit Poucet » qui était fort pauvre
(p.191).
2. la description de la condition sociale et la condition économique qui étaient
fâcheuses (p.191).
3. l’incompétence du bûcheron de nourrir ses enfants et de laisser leurs enfants
dans le bois (p.191).
4. la tristesse de la bûcheronne qui ne pouvait rien faire sauf obéir son mari
(p.192).
5. la conversation du bûcheron et sa femme qui a été entendu par le petit Poucet
(p.192).
Les séquences au-dessus sont basées de leurs ordres dans le texte du conte.
Voici sera présenté les fonctions principales des séquences pour déterminer un
lien de causalité et de conséquence du conte. Ce sont :
1. la condition économique de la famille du petit Poucet qui était mauvaise
(p.191).
2. la conversation du bûcheron avec sa femme sur le plan d’abandonner leurs
sept enfants au bois (p.191).
3. le plan du bûcheron et sa femme qui a été entendu par Le Petit Poucet
(p.192).
4. le ramasse des petits cailloux blancs par Le Petit Poucet (p.192).
5. l’abandonne de « Le Petit Poucet » et ses frères au bois par les parents
(p.192).
Dans l'analyse paradigmatique, j’ai fait une analyse des personnages pour
trouver leurs comportements de sorte que je puisse trouver les violences qui s’est
passé dans ce conte. Il y a 7 personnages, ce sont Le Petit Poucet, le bûcheron, la
xiii
bûcheronne, l’Ogre, l’Ogresse, les frères de « Le Petit Poucet », et les filles de
l’Ogre. Mais je n’analyse que 2 personnages, ce sont Le Petit Poucet et l’Ogre
comme les personnages principaux.
(1) Le petit Poucet
Le petit Poucet est le personnage principal dans ce conte. Il avait sept
ans. Il était petit, faible, et calme. Il s’appelait Le Petit Poucet parce que juste
après l’accouchement de sa mère, elle a trouvé Le Petit Poucet était si petit
comme la pouce. En fait, Le Petit Poucet était le plus intelligent de ses frères,
mais il était toujours sous-estimé par ses six frères.
Il a fait la violence psychologique quand il est allé à la maison de
l’Ogre pour tromper l’Ogresse.
(1) Ce qui les chagrinait encore, c'est que le plus jeune était fort délicat et
ne disait mot : prenant pour bêtise ce qui était une marque de la bonté
de son esprit.
Il était fort petit, et, quand il vint au monde, il n'était guère plus gros
que le pouce, ce qui fit qu'on l'appela le petit Poucet. Ce pauvre enfant
était le souffre-douleur de la maison, et on lui donnait toujours tort.
(p.191)
(2) Cependant il était le plus fin et le plus avisé de tous ses frères, et, s'il
parlait peu, il écoutait beaucoup. (p.191)
(3) Il alla droit à la maison de l'Ogre, où il trouva sa femme qui pleurait
auprès de ses filles égorgées. " Votre mari, lui dit le petit Poucet, est
en grand danger; car il a été pris par une troupe de voleurs, qui ont
juré de le tuer s'il ne leur donne tout son or et tout son argent. (p.199)
(2) L’Ogre
Dans ce conte, l’Ogre est un personnage qui aime avaler les petits
enfants. Il sait la présence des petits enfants à leur insu. Le caractère de l’Ogre
était de traiter maladroitement.
L’action de violence psychologique qu’il a faite est de menacer à tuer
Le Petit Poucet et insulter à sa femme. Ses traitements peuvent être catégorises
xiv
comme des mesures de violence psychologique qui torturent complètement sa
femme.
(4) Le mouton était encore tout sanglant, mais il ne lui en sembla que
meilleur. Il flairait à droite et à gauche, disant qu'il sentait la chair
fraîche.
(5) " Ah! dit-il, voilà donc comme tu veux me tromper, maudite femme! Je
ne sais à quoi il tient que je ne te mange aussi : bien t'en prend d'être
une vieille bête. Voilà du gibier qui me vient bien à propos pour traiter
trois ogres de mes amis, qui doivent me venir voir ces jours-ci. "
(p.196)
Par l’analyse des caractères des personnages, je conclus que presque tous
les personnages ont fait la violence. Un seul personnage qui ne l’a pas fait est
femme de l’Ogre. Au contraire, elle est devenue la victime de la violence faite par
Le Petit Poucet.
Les actions de violences se sont produites dans la maison de « Le Petit
Poucet », la maison de l’Ogre, et la forêt. La maison de « Le Petit Poucet » est le
lieu où s’est passé souvent la violence psychologique. Cela se révèle par les
mauvais traitements de ses frères, plus encore Le Petit Poucet a éprouvé un
sentiment injuste de sa mère. Mais la plupart des actions de violence se sont
passées à la maison de l’Ogre. Surtout dans la salle à manger où il a déposé ses
petits animaux et dans la chambre de ses filles où l’Ogre a décapité leur tête. D’un
autre côté, il s’est passé aussi la violence physique dans la salle à manger de
l’Ogre, indiquée par son action de menacer Le Petit Poucet et ses frères, ainsi les
insultes dites par l’Ogre à sa femme.
G. LA CONCLUSION
Les actions de violence trouvée dans ce conte sont très divers, soit
physiquement soit psychologiquement. Par exemple, à cause de les impuissances
xv
des parents à nourrir leurs enfants, ils les flanquent dans une forêt (la violence
psychologique). Des autres exemples de violence physique que je trouve dans ce
conte sont : l’Ogre aimait manger les petits enfants et des animaux. Il a coupé la
gorge de ses sept filles. Il a pensé qu’elles étaient Le Petit Poucet et ses frères. Le
Petit Poucet a échangé les bonnets des ses frères et le sien avec les couronnes de
sept filles de l’Ogre de sorte qu’elles soient tuées par l’Ogre, et sept filles de
l’Ogre aimait aussi manger des enfants et des animaux comme son père.
Par cette analyse, je trouve aussi les violences psychologiques. Ce sont :
l’Ogre a menacé Le Petit Poucet et ses frères de les tuer, l’Ogre a crié des insultes
à sa femme, le bûcheron a menacé sa femme de la battre si elle ne se taisait pas,
quand il a abandonné ses propres enfants dans la forêt qui était très dangereuse, la
bûcheronne était injuste à ses enfants parce qu’elle aimait l’aîné plus que les
autres, les frères de « Le Petit Poucet » sous-estimaient Le Petit Poucet parce qu’il
était petit, fable, et calme. Le Petit Poucet a fait aussi la violence psychologique
quand il a trompé l’Ogresse pour acquérir la richesse de l’Ogre.
En général, la cause principale des violences qui est faite par les
personnages dans ce conte est la pauvreté, par exemple le bûcheron et sa femme
ont abandonnés ses enfants et Le Petit Poucet a trompé l’Ogresse à cause de leur
pauvreté. Une autre cause de la violence est l’habitude de l’Ogre et ses filles qui
aimaient manger des animaux et des petits enfants.
Enfin, je constate que le conte écrit et destine aux enfants contient
l’histoire sur la violence. En conséquence, cela permet aux enfants d’imiter ces
actions et ces caractères négatifs des personnages ci-dessus. Il sera possible que ce
conte puisse leur donner des mauvais effets.
xvi
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................................................. iv
PRAKATA .................................................................................................. v
ABSTRAK ........................................................................................... ........... vii
RÉSUMÉ ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Permasalahan ................................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
1.5 Sistematika Skripsi ........................................................................ 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Dongeng ........................................................................ 8
2.2 Fungsi Dongeng .............................................................................. 11
2.3 Pengertian Kekerasan ...................................................................... 12
2.4 Faktor Terjadinya Kekerasan ............................................................ 13
2.5 Bentuk-Bentuk Kekerasan ............................................................... 15
2.6 Biografi Charles Perrault .................................................................. 16
2.7 Relasi Sintagmatik dan Relasi Paradigmatik ................................... 17
2.7.1 Relasi Sintagmatik .......................................................... 17
2.7.2 Relasi Paradigmatik ........................................................ 19
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian ..................................................................... 21
3.2 Sumber Data Penelitian .................................................................. 22
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ........................................... 22
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ................................................... 22
xvii
3.5 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ........................... 23
BAB 4 BERBAGAI TINDAK KEKERASAN DAN PENYEBABNYA
4.1 Analisis Sintagmatik ....................................................................... 24
4.2 Analisis Paradigmatik ...................................................................... 42
4.2.1 Analisis Latar Waktu ...................................................... 42
4.2.2 Analisis Latar Ruang ...................................................... 43
4.2.2.1 Latar Ruang Tertutup ...................................... 43
4.2.2.1.1 Rumah Keluarga Penebang Kayu .... 43
4.2.2.1.2 Rumah Raksasa ............................... 44
4.2.2.2 Latar Ruang Terbuka ...................................... 46
4.2.2.2.1 Hutan .............................................. 46
4.2.2.2.2 Jalan Dekat Rumah Le Petit Poucet 47
4.2.3 Analisis Tokoh ................................................................ 49
4.2.3.1 Le Petit Poucet .................................................. 49
4.2.3.2 Raksasa ............................................................. 56
4.2.3.3 Ayah Le Petit Poucet ......................................... 58
4.2.3.4 Ibu Le Petit Poucet ............................................ 61
4.2.3.5 Istri Raksasa ...................................................... 63
4.2.3.6 Saudara-saudara Le Petit Poucet ....................... 64
4.2.3.7 Anak-anak Perempuan Sang Raksasa ................ 65
4.3 Analisis Tindak Kekerasan ............................................................. 67
4.3.1 Kekerasan Fisik ................................................................ 69
4.3.1.1 Raksasa .............................................................. 68
4.3.1.2 Ayah Le Petit Poucet ......................................... 70
4.3.1.3 Le Petit Poucet ................................................... 71
4.3.1.4 Ibu Le Petit Poucet ............................................. 72
4.3.1.5 Anak-anak Perempuan Sang Raksasa ................. 72
4.3.2 Kekerasan Psikis ............................................................... 72
4.3.2.1 Sang Raksasa ..................................................... 73
4.3.2.2 Ayah Le Petit Poucet ......................................... 74
4.3.2.3 Ibu Le Petit Poucet ............................................. 75
xviii
4.3.2.4 Saudara-saudara Le Petit Poucet ........................ 76
4.3.2.5 Le Petit Poucet ................................................... 76
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 78
5.2 Saran ................................................................................................. 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar
terjadi dan tidak mempunyai latar tempat serta waktu yang pasti (Danandjaja
2002: 83). Hal ini ditandai dengan digunakan kalimat pembuka seperti ‘il était une
fois’ atau ‘pada suatu ketika’. Gaya penulisan seperti itu memberi kesan bahwa
segala sesuatu yang terjadi di dalam dongeng tidak benar-benar terjadi dalam
dunia nyata. Dongeng biasanya menceritakan petualangan binatang/manusia dan
dalam dongeng semua hal dapat terjadi, sehingga dongeng dianggap tidak
realistis.
Unsur-unsur yang terdapat dalam dunia dongeng berbeda dengan yang
berlaku dalam dunia nyata. Dongeng hampir selalu berakhir dengan bahagia dan
menyajikan nilai moral yang positif sehingga memberi kesan diperuntukkan bagi
anak-anak. Pada kenyataannya, dongeng tidak selalu ditujukan bagi anak-anak
tetapi juga orang dewasa karena sering menampilkan kekerasan, pembunuhan,
perkelahian, serta penderitaan.
Charles Perrault menuliskan dongeng-dongeng yang dikenal dalam
masyarakat ketika dongeng masih ditujukan untuk orang dewasa. Dalam
penyajiannya, dongeng tidak secara langsung menampilkan nilai-nilai moral
2
dengan penggunaan metafora sehingga membiarkan para pembacanya
mengembangkan kreativitas mereka dalam berimajinasi.
Gaya penulisan dongeng biasanya berbentuk narasi yang terkesan
sederhana, naif, dan lembut. (http://www.anthologie.free..fr/anthologie/
perrault/perrault.htm). Perrault tidak hanya menuliskan kembali dongeng-
dongeng yang sudah dikenal masyarakat secara langsung, tetapi mengubah
dongeng-dongeng tersebut dan mengadaptasinya terlebih dahulu sesuai dengan
konteks jaman yang sedang berlaku pada masa itu, misalnya melukiskan kembali
bencana kelaparan di tahun 1693 seperti dalam cerita Le Petit Poucet.
(http://www.Hattemer.fr/Nöel_contes/Bio_Perrault.htm).
Setelah membaca beberapa karya Perrault, ternyata terlihat suatu bentuk
kekerasan dalam beberapa karyanya, yaitu antara lain perlakuan jahat ibu tiri
dalam Cendrillon, dimangsanya seorang anak perempuan kecil dalam Le Petit
Chaperon Rouge, keinginan seorang penyihir untuk membunuh seorang gadis
dalam La Belle Au Bois Dormant, dan tindakan menelantarkan anak dalam Le
Petit Poucet.
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan,
pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan penderitaan atau
menyakiti orang lain. Hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat
dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang
terkait dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah "kekerasan" juga
mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak
(http://republikdamai.blogspot.com/2007/06/kekerasan.html).
3
Penyebab terjadinya kekerasan dalam sebuah keluarga bermacam-macam,
antara lain faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat, seperti
kebutuhan keluarga yang tidak dapat terpenuhi, disertai kemarahan atau
kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah
ekonomi, menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan,
kekecewaan, dan ketidakmampuannya kepada orang terdekatnya.
Untuk mengetahui tindak kekerasan yang terdapat dalam dongeng Le Petit
Poucet, selanjutnya akan dipaparkan kisahnya berikut ini.
Dongeng Le Petit Poucet menceritakan tentang tujuh anak laki-laki yang
ditinggalkan dengan sengaja di dalam hutan oleh kedua orang tua mereka karena
alasan ekonomi. Le Petit Poucet adalah julukan untuk anak bungsu dari tujuh
bersaudara tersebut karena ukuran tubuhnya yang sangat kecil seperti jari jempol.
Berkat kecerdikannya, ia dan kakak-kakaknya dapat kembali ke rumah mereka
dengan selamat walaupun mereka nyaris dimangsa oleh raksasa. Le Petit Poucet
berhasil mengecoh raksasa dan istri raksasa sehingga ia dan keluarganya menjadi
hidup berkecukupan dengan uang milik raksasa.
Dalam dongeng-dongengnya, Perrault selalu menuangkan nilai moral
serta menggambarkan situasi dengan realita hidup secara metaforis. Metaforis
yaitu membandingkan dua hal atau benda yang berbeda untuk menciptakan suatu
kesan yang hidup walaupun tidak dinyatakan dengan penggunaan kata-kata bak,
seperti, laksana, ibarat, umpama, sebagai seperti pada perumpamaan (Dale dalam
Tarigan 1995: 121).
4
Dalam dongeng Le Petit Poucet terdapat nilai moral yang sesuai dengan
realita masyarakat saat ini terutama di bidang ekonomi. Kemiskinan membuat
para orang tua menempuh segala cara untuk mendapatkan uang, tak terkecuali
memanfaatkan anak-anak mereka atau bahkan menelantarkan anak-anak mereka.
Le Petit Poucet merupakan tokoh yang mewakili sosok anak yang diremehkan,
namun pada akhirnya ia dapat membuktikan bahwa dirinya bermanfaat bagi
keluarganya. Le Petit Poucet merupakan salah satu dongeng yang berbeda dari
dongeng-dongeng lainnya karena menampilkan anak sebagai tokoh utama yang
menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan. Le Petit Poucet melakukan penipuan
tidak hanya kepada sosok yang jahat (raksasa), tetapi juga terhadap sosok yang
baik (istri raksasa). Ia membalas perlakuan istri raksasa yang melindunginya dan
kakak-kakaknya dari raksasa dengan kematian ketujuh anak perempuan raksasa.
Walaupun bukan Le Petit Poucet sendiri yang membunuh mereka, tetap saja ia
menjadi penyebab secara tidak langsung dari kematian anak-anak perempuan itu.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang kekerasan dalam salah
satu dongeng karya Charles Perrault. Penulis memilih untuk membahas dongeng
karena tertarik alur cerita dongeng yang sederhana namun mempunyai makna
serta nilai moral yang penting bagi pembacanya. Dongeng karya Perrault yang
berjudul Le Petit Poucet ini merupakan dongeng yang menampilkan kekerasan
dengan jelas. Kekerasan yang terkandung dalam dongeng tersebut cukup
mengejutkan penulis, mengingat terdapat anggapan bahwa dongeng akrab dengan
dunia anak dan selalu menampilkan kebaikan. Hal inilah yang menarik perhatian
penulis untuk membahas dongeng ini secara lebih lanjut.
5
Untuk menemukan tindak kekerasan dalam dongeng Le Petit Poucet dan
penyebab terjadinya kekerasan tersebut, penulis menggunakan analisis
sintagmatik dan paradigmatik. Analisis sintagmatik dipergunakan untuk
mengetahui jalannya alur cerita dan hubungan sebab akibat dalam dongeng Le
Petit Poucet. Dalam karya fiksi wujud hubungan itu dapat berupa hubungan kata,
peristiwa, atau tokoh.
Adapun dalam analisis paradigmatik, unsur-unsur yang dibahas adalah
unsur-unsur yang berkaitan dengan makna cerita, tentang tokoh, perwatakan
tokoh, dan latar.
1.2 Permasalahan
Bertolak pada latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam
skripsi ini adalah:
1. Apa sajakah kekerasan yang ditampilkan dalam dongeng Le Petit Poucet,
karya Charles Perrault?
2. Apa sajakah penyebab kekerasan yang ada dalam dongeng Le Petit Poucet,
karya Charles Perrault?
6
1.3 Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menemukan:
1. Kekerasan yang ditampilkan dalam dongeng Le Petit Poucet karya Charles
Perrault.
2. Penyebab kekerasan yang ditampilkan dalam dongeng Le Petit Poucet karya
Charles Perrault.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang tindak kekerasan pada dongeng Le Petit Poucet karya
Charles Perrault diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan masukan yang berguna bagi pembaca untuk mengetahui tindak
kekerasan yang terjadi dalam dongeng Le Petit Poucet sehingga pembaca bisa
mengambil pelajaran dengan tidak meniru dan mencontoh perbuatan yang
tidak terpuji tersebut.
2. Memberi pengetahuan kepada mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Asing,
yakni dalam mata kuliah Apresiasi Sastra dan Théorie de Prose et de Poésie,
khususnya tentang analisis strukturalisme karya sastra.
7
1.5 Sistematika Skripsi
Agar deskripsi kajian tentang skripsi ini dapat dipahami dengan baik oleh
pembaca, maka penulis mengetengahkan skripsi ini dalam suatu susunan yang
sistematis. Penelitian ini tersusun dalam lima bab, yaitu:
Bab 1 merupakan bab Pendahuluan yang memaparkan Latar Belakang,
Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika
Skripsi.
Bab 2 merupakan Tinjauan Pustaka yang berisi tentang kerangka teori yang
digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini
khususnya teori kekerasan dan faktor-faktor penyebabnya.
Bab 3 mengutarakan Metode Penelitian yang mencakup Pendekatan Penelitian,
Sumber Data Penelitian, Metode dan Teknik Pengumpulan Data, Metode
dan Teknik Analisis Data, dan Metode Penyajian Hasil Analisis.
Bab 4 merupakan Hasil Analisis Penelitian dan Pembahasan.
Bab 5 merupakan Penutup yang di dalamnya memuat Simpulan dari hasil
penelitian dan Saran. Bagian akhir skripsi berisi Daftar Pustaka dan
Lampiran.
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab 2 ini akan diuraikan tentang beberapa landasan teori yang
berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu mengenai tindak
kekerasan dalam dongeng Le Petit Poucet karya Charles Perrault. Pada bagian
awal pembahasan ini, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai dongeng,
kekerasan, dan analisis sintagmatik dan paradigmatik yang akan digunakan untuk
menemukan tindak kekerasan yang terkandung dalam dongeng tersebut serta
penyebabnya.
2.1 Pengertian Dongeng
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar
terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang
melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran
(Danandjaja 2002: 83).
Dilihat dari jenis-jenis dongeng, sebenarnya tidak ada klasifikasi yang
dikatakan paling tepat karena beberapa cerita dapat berubah-ubah sesuai dengan
situasi yang ada. Klasifikasi dongeng yang bersifat internasional pertama kali
dikemukakan oleh Anti Aarne pada tahun 1910, setelah diterbitkannya koleksi
dongeng Grimm Bersaudara untuk pertama kalinya. Pada tahun 1920-an, Stith
Thompson membuat revisi dari klasifikasi tersebut sebanyak dua kali. Pada
9
akhirnya klasifikasi itu dipublikasikan pada tahun 1961 dan menjadi salah satu
klasifikasi dongeng yang dikenal secara internasional.
2.2 Jenis-jenis Dongeng
Menurut Anti Aarne dan Stith Thompson (dalam Danandjaja 2002: 86)
jenis-jenis dongeng dibagi dalam empat golongan besar, yakni:
3. Dongeng binatang (animal tales)
Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi binatang, baik binatang
peliharaan maupun binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang
melata (reptilia), ikan, dan serangga. Binatang-binatang dalam cerita jenis ini
dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia. Contoh: dongeng Si Kancil.
4. Dongeng biasa (ordinary folktales)
Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya
adalah kisah suka duka seseorang. Contohnya adalah dongeng Upik Abu dan
Ande-Ande Lumut.
5. Lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes)
Pada dasarnya lelucon dan anekdot adalah jenis dongeng yang dapat
menimbulkan rasa geli sehingga menimbulkan tawa bagi yang mendengarnya
maupun yang menceritakannya.
Lelucon adalah kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku
bangsa, golongan, bangsa, dan ras. Contohnya adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari, sebuah kapal berisi penumpang dari berbagai bangsa karam di tengah lautan yang sangat luas. Ada tiga orang yang selamat. Masing-masing dari Prancis, Amerika, dan Indonesia. Mereka
10
terapung-apung di tengah laut hanya dengan mengandalkan sekeping papan.
Tiba-tiba muncul jin yang baik hati. Dia bersimpati pada nasib ketiga bangsa manusia itu dan menawarkan jasa. “Aku akan memenuhi semua permintaan kalian.”, kata sang jin. Yang pertama ditanya adalah si orang Prancis.
“Saya ini petugas lembaga sosial di Paris. Banyak orang yang memerlukan tenaga saya. Jadi, tolonglah saya dikembalikan ke negara saya.”, katanya. Dalam sekejap orang itu lenyap, kembali ke negaranya.
“Kamu, orang Amerika, apa permintaanmu?”, tanya sang jin. “Saya ini pejabat pemerintah. Banyak tugas saya yang terlantar karena kecelakaan ini. Tolonglah saya dikembalikan ke Washington.”, jawab si orang Amerika. “Oke.”, kata jin sambil menjentikkan jarinya. Dan orang Amerika lenyap seketika, kembali ke negaranya. “Nah, sekarang tinggal kamu, orang Indonesia. Sebut saja apa maumu?”. Duh, Pak Jin. Sepi banget di sini.”, keluh si orang Indonesia. “Tolonglah kedua teman saya tadi dikembalikan ke sini.” Zutt, orang Prancis dan pria Amerika itu muncul lagi.
Anekdot adalah kisah lucu fiktif pribadi seorang tokoh atau beberapa
tokoh yang benar-benar ada. Contoh anekdot adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari Mbak Tutut, putri Presiden Soeharto pada masa itu,
lewat jalan tol di Jakarta.
Penjaga Tol : “3000 rupiah.”
Mbak Tutut yang memang tidak memiliki uang seribuan, mengeluarkan
uang 50 ribuan dan langsung menyodorkan uang tersebut kepada penjaga
tol.
Penjaga tol : “Ini Bu, kembaliannya.”
Mbak Tutut : “Sudah, simpan saja untuk keluarga anda!”
Penjaga tol merasa senang karena menerima 47 ribu rupiah dan langsung
berterima kasih kepada Mbak Tutut.
11
Setelah beberapa jam kemudian, Mas Tommy melewati jalan tol tersebut.
Karena dia juga merupakan putra Presiden Soeharto, dia juga tidak
mempunyai uang receh. Mas Tommy mengeluarkan uang 20 ribuan.
Penjaga Tol : “Ini Pak, kembaliannya 17 ribu.”
Mas Tommy : “Sudahlah, simpan saja untuk anak anda!”
Penjaga langsung memasukkan kembalian itu ke kantongnya dan
berterima kasih banyak kepada Mas Tommy.
Beberapa jam kemudian Pak Presiden Soeharto dengan mobilnya melewati
jalan tol yan sama. Pak Harto mengeluarkan uang 5 ribuan dan
menyodorkannya ke penjaga tol. Pak Harto menunggu uang kembaliannya
itu. Setelah menunggu beberapa menit, Pak Harto bertanya kepada penjaga
tol.
Pak Harto : “Lho, mana uang kembalian saya?”
Penjaga Tol : “Ah Bapak, masa uang 2000 saja diminta? Tadi Mbak
Tutut dan Mas Tommy lewat, kembaliannya 47 ribu dan 17
ribu saja diberikan kepada saya. Masa Bapak yang 2000
saja minta kembalian?”
Pak Harto : “Tunggu dulu, Mas. Anda tahu siapa Mbak Tutut dan Mas
Tommy?”
Penjaga Tol : (dengan cekatan) “Ya tahu Pak. Pertanyaan gampang,
jelas Mbak Tutut dan Mas Tommy anak Presiden.”
Pak Harto : “Pintar kamu, tahu mereka anak Presiden. Nah, sedangkan
saya hanya anak petani. Sekarang mana kembalian saya?”
12
Penjaga Tol : “@$@!$!%!^$@^…”
6. Dongeng berumus (formula tales)
Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya terdiri dari
pengulangan. Contohnya yaitu:
“Alkisah pada suatu hari di sebuah lorong sepi terlihat seorang nyonya lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor tikus kecil. Si Tikus lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor kucing. Si Kucing lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor anjing. Si Anjing lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seorang Batak. Si orang Batak lari terbirit-birit ketakutan karena diburu polisi. Polisi lari terbirit-birit ketakutan karena diburu OPSTIB (Operasi Tertib).
Cerita dalam dongeng di atas mengulang kata lari terbirit-birit ketakutan
karena diburu… yang membedakan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain
adalah subjek dan objeknya.
2.3 Fungsi Dongeng
Dalam lingkungan masyarakat tradisional, dongeng biasanya ditujukan
untuk orang dewasa. Baru sejak abad ke-17 dongeng diperuntukkan bagi anak-
anak. Menurut Grimm Bersaudara, dongeng sebenarnya tidak diperuntukkan bagi
anak jika dilihat dari cara penyampaiannya, namun mereka menerbitkan cetakan
pertama kumpulan dongeng rakyat untuk anak agar anak-anak dapat belajar
sesuatu dari dongeng tersebut.
13
Dongeng pada umumnya diceritakan terutama untuk menghibur namun
selain itu ternyata dongeng mempunyai fungsi lain, yaitu sebagai proyeksi,
sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, alat pendidikan anak,
penyalur ketegangan yang ada dalam masyarakat, dan sebagai kendali masyarakat
(Danandjaya 2002: 140-141).
2.4 Pengertian Kekerasan
Definisi kekerasan atau violence menurut Blask (1951), adalah pemakaian
kekuatan (force) yang tidak adil dan tidak dapat dibenarkan, disertai dengan emosi
yang hebat atau kemarahan yang tak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar, dan
menghina. Kekuatan itu biasanya kekuatan fisik yang disalahgunakan terhadap
hak-hak umum, aturan hukum, dan kebebasan umum sehingga bertentangan
dengan hukum. Menurut Webster, kekerasan adalah rough or injurious physical
force, action, or treatment, or an unjust or unwarranted exertion of force or
power, as against rights, laws, etc.
(http://www.oaseonline.org/oaseintim/doku2007/ngantung_kekerasan.htm).
Ada dua jenis kekerasan menurut bentuknya, yaitu kekerasan fisik dan
kekerasan psikologis.
(http://www.commondreams.org/archive/org/2007/04/23/701/)
Menurut KUHP pasal 89, melakukan kekerasan artinya mempergunakan
tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin, secara tidak
sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata,
14
menyepak, menendang, dan sebagainya, sehingga orang yang terkena tindakan itu
merasa kesakitan.
Seringkali masalah kekerasan melibatkan anak-anak. Posisi anak yang
begitu rentan karena lemah fisik, sosial dan budaya membuatnya mudah
dimanfaatkan atau menjadi sasaran tindakan kekerasan, pengabaian, eksploitasi,
dan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada saat menjadi korban, anak
tidak memiliki kekuatan untuk melawan karena dilihat dari segi fisik, jelaslah
bahwa kemampuan atau kekuatannya lebih kecil dibandingkan dengan orang
dewasa.
2.5 Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat, disertai
kemarahan atau kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam
mengatasi masalah ekonomi, menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan
emosi, kemarahan, kekecewaan, dan ketidakmampuannya kepada orang
terdekatnya. Anak, sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap sebagai “milik”
orang tua, paling mudah menjadi sasaran.
(http:/72.14.235.104/search?q=cache:Hhv_v7IVVNoJ:www.kontras.org/baru/Kovensi%2520Hak%2520Anak.pdf+anak+konvensi+internasional&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id)
Tidak hanya orang dewasa saja yang menjadi pelaku kekerasan, terkadang
anak dapat menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Hal itu dapat saja terjadi akibat
pengaruh dari media atau lingkungan sekitar anak. Terkadang tindakan kekerasan
dilakukan tanpa unsur kesengajaan karena mereka belum paham betul bahwa
perbuatan mereka dapat berakibat fatal. Hal ini terlihat dari perilaku seorang anak
15
yang masih duduk di bangku sekolah dasar yang memukuli temannya sampai
meninggal. Pada awalnya, ia dan temannya itu hanya sekedar meniru acara
smackdown yang sering diputar di televisi. Tak disangka niat bermain-main
berujung pada kematian. Kekerasan juga dapat tertanam dalam anak secara
psikologis jika lingkungan di sekitarnya turut berperan mendidik anak tersebut ke
arah yang tidak baik, seperti misalnya dalam komunitas anak jalanan, pencurian
atau berkelahi merupakan hal wajar karena mereka terbiasa melihat teman-
temannya melakukan hal tersebut. Terlepas dari kesadaran pada mereka bahwa
kekerasan adalah hal yang tidak baik, mereka tetap melakukan hal itu.
Cara anak memandang kekerasan dalam media, khususnya karya fiksi
tentunya berbeda dengan cara pandang orang dewasa. Jika orang dewasa
menganggap pemukulan yang terjadi dalam suatu cerita adalah salah satu bentuk
kekerasan, anak-anak hanya melihat hal itu sebagai sesuatu yang lucu, seperti
misalnya dalam film-film kartun yang menampilkan adegan saat tokoh tertentu
memukul tokoh lawannya dengan palu atau menabraknya hingga terlindas. Tokoh
yang mengalami kekerasan tersebut tidak mati, tubuhnya menjadi pipih tapi
dengan cepat ia pulih kembali. Bagi anak, peristiwa ini merupakan suatu hal lucu,
bukanlah kekerasan. Pada akhirnya anak akan menganggap bahwa peristiwa-
peristiwa yang menunjukkan kekerasan merupakan sesuatu yang wajar.
Menurut anak, apa yang mereka lihat di televisi adalah orang hebat dan
terkenal. Lalu, anak meniru perilaku smack down di televisi agar dianggap sebagai
orang hebat. Anak-anak belum bisa berpikir jernih, apakah perilakunya berbahaya
bagi dirinya dan juga orang lain. Anak mencoba menirukan apa yang mereka
16
saksikan. Anak hanya memikirkan kesenangan dan bagaimana memamerkan
kekuatannya ke orang lain. Anak-anak sangat senang memamerkan kekuatannya
di depan orang tua, teman, dan orang lain yang mereka temui. Dunia anak-anak
penuh sensasi, mereka senang mencoba hal-hal baru. Perilaku memicu anak
mencoba meniru tayangan smack down dari televisi, membuat anak sering
melakukan perilaku smack down di dunia nyata untuk memamerkan kekuatannya
ke orang lain. Smack down anak-anak telah menuai korban, seperti anak menderita
sakit patah tulang, terkilir, terluka, bahkan meninggal dunia.
(http://najlah.blogspot.com/2006/12/smack-down-dan-kekerasan-anak.html)
Menurut Leonard Irwin, seorang dosen psikologi dari Universitas Illionis,
Amerika Serikat, saat anak-anak berusia 8 tahun dan pernah menyaksikan
tayangan tindak kekerasan melalui televisi, ketika mencapai usia dewasa, mereka
cenderung tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat dan kejam, tidak
memiliki rasa belas kasihan terhadap anak-anak kecil lainnya.
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat
pada seseorang.
Tanpa disadari dan disengaja, orang tua sering melakukan kekerasan
psikologis terhadap anak-anaknya. Kita mungkin sering melihat seorang anak
yang melakukan kesalahan mendapatkan bentakan atau hukuman kemarahan yang
tidak perlu. Melihat, rapor anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua, si
17
anak malang langsung dicubiti dan dibanding-bandingkan dengan anak tetangga
yang jadi bintang kelas.
Anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan
penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia
nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia
(takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh
diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau
didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.
Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan
dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina
persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan
obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
(http://duniapsikologi.dagdigdug.com/tag/kekerasan-anak/)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya
kekerasan terdiri atas:
1. Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang
melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi
menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak
seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua,
2. Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana
seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan
peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi,
3. Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya
18
kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang
banyak terjadi,
4. Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap
bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola
asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.
5.
2.6 Bentuk-bentuk Kekerasan
Bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam Undang-undang no.
23 tahun 2004 (www.kowani.or.id) mengenai Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT), di mana lingkup rumah tangga dalam
Undang-Undang ini meliputi suami, isteri, dan anak, yaitu:
1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat. Contoh: pembunuhan, pembantaian, dsb.
2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Contoh: pengancaman,
penghinaan, dsb.
(http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/27/bentuk-bentuk-kekerasan-
anak-child-abuse/
2.7 Biografi Charles Perrault
Selanjutnya, akan dijelaskan tentang biografi Charles Perrault. Charles
Perrault lahir pada tanggal 12 Januari 1628. Ayahnya bernama Pierre Perrault,
advokat Paris kelahiran Touraine, dan ibunya bernama Pâquette Leclerc. Ia
19
berasal dari kalangan atas sehingga bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik di
Perancis.
Sejak kecil kejeniusan, Perrault terutama pada bidang kesusastraan, mulai
tampak. Tahun 1636, ia masuk collège de Beauvais dan segera menjadi salah satu
siswa terbaik. Pada usia sembilan tahun Perrault telah menciptakan sajak-sajak
yang indah untuk ukuran anak seusianya. Sekitar tahun 1643, Perrault
meninggalkan collège setelah berselisih dengan salah seorang pengawas. Charles
mengambil jurusan hukum sebagai mata pelajarannya sebelum terjun menjadi
pegawai pemerintahan. Saat berumur 62 tahun, dia berhenti bekerja di
pemerintahan dan memutuskan untuk mendedikasikan dirinya pada anak-anaknya
dan saat itulah dia menerbitkan buku Tales and Stories of the Past with Morals
(Histoires ou Contes du Temps Passé), dengan subtitle Tales of Mother Goose
(Les Contes de ma Mère l'Oye) yang memuat cerita-cerita dongeng yang kita
kenal sekarang.
Charles Perrault adalah pengarang dari Prancis yang meletakkan dasar-
dasar bagi literatur cerita dongeng dan terkenal dengan cerita dongeng seperti Le
Petit Chaperon Rouge (Gadis Kecil dengan Kerudung Merah), La Belle au Bois
Dormant (Putri Tidur), Le Maître Chat ou Le Chat Botté (Kucing Bersepatu
Boot), Cendrillon ou Le Petit Pantoufle de Verre (Cinderella), La Barbe Bleue
(Janggut Biru), Le Petit Poucet, Les Fées (Katak dan Permata), La Marquise de
Salhsses ou la Patience de Griselidis (Griselda yang Sabar), dan banyak cerita
terkenal lainnya. Cerita dongeng tersebut kemudian dikumpulkan dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Grimm Bersaudara bersama-sama
20
dengan koleksi cerita rakyat dari seluruh dunia. Perrault meninggal di Paris pada
1703 pada usia 75 tahun.
2.8 Relasi Sintagmatik dan Relasi Paradigmatik
Bahasa sebagai suatu sistem memiliki satuan-satuan. Satuan-satuan dalam
bahasa memiliki hubungan (relasi) dengan satuan yang lainnya. Setiap satuan,
bagi terbentuknya satuan yang lebih besar, merupakan unsur (constituent). Jadi,
dalam setiap bahasa terjadi relasi antarunsur.
Relasi antarunsur dapat dilihat dari dua dimensi, yakni dimensi horisontal
dan dimensi vertikal. Relasi antarunsur yang berdimensi horisontal dikenal
dengan relasi sintagmatik dan relasi antarunsur yang berdimensi vertikal disebut
relasi paradigmatik (Oka 1994: 75).
2.8.1 Relasi Sintagmatik
Relasi sintagmatik merupakan relasi antarunsur bahasa yang hadir dalam
suatu tuturan. Dalam tuturan itu, unsur-unsur yang berelasi itu diucapkan. Dalam
bahasa tulis, unsur-unsur itu dituliskan. Relasi antarunsur yang bersifat linear itu
terjadi atau terdapat pada berbagai tataran, misal dalam tataran fonologis,
misalnya, terdapat bunyi-bunyi /b/, /a/, /t/, dan /u/. Dalam bahasa Indonesia, relasi
sintagmatiknya bermacam-macam dan memungkinkan terbentuknya kata batu,
buta, buat, baut, tuba, dan tabu. Dalam tataran morfologis, tampak adanya relasi
antarunsur pembentuk kata. Dalam konteks ini, imbuhan dan bentuk dasar atau
bentuk akar tidak dapat bertukar tempat. Ada kata nonaktif tetapi tidak ada kata
aktifnon. Dalam tataran frase, urutan unsur membentuk relasi yang berdampak
21
pada status unsur itu dalam frase. Frase tetangga adik teman saya memiliki makna
yang berbeda dengan adik teman tetangga saya, tetangga teman adik saya, teman
adik tetangga saya, atau teman tetangga adik saya karena urutan unsur
pembentuknya (Oka 1994: 75-77).
Analisis sintagmatik dipergunakan untuk mengetahui jalannya alur cerita
serta fungsi utama untuk mengetahui hubungan sebab akibat dalam suatu karya
sastra. Dalam karya fiksi wujud hubungan itu dapat berupa hubungan kata,
peristiwa, atau tokoh. Jadi, bagaimana peristiwa yang satu diikuti oleh peristiwa-
peristiwa yang lain yang bersebab akibat, kata-kata saling berhubungan dengan
makna penuh, dan tokoh-tokoh membentuk antitese dan gradasi. Untuk menelaah
struktur teks, yang pertama dilakukan adalah menentukan satuan-satuan cerita dan
fungsinya dengan mendasarkan diri pada kriteria makna (Barthes dalam
Nurgiyantoro 2005: 46).
Satuan cerita atau sekuen disusun secara berurutan dan linear sehingga
menunjukkan hubungan yang horisontal. Menurut Barthes (dalam Nurgiyantoro
2005: 46) satuan cerita atau sekuen mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi utama
dan katalisator. Fungsi utama adalah sekuen yang memiliki hubungan sebab
akibat yang mengarahkan jalan cerita (plot). Katalisator berfungsi untuk
melengkapi dan mendukung fungsi utama serta mempunyai hubungan kronologis
dengan satuan cerita lainnya.
Contoh sekuen:
1. Deskripsi keluarga le petit Poucet yang miskin. (fungsi utama)
2. Deskripsi kondisi sosial ekonomi pada masa itu yang buruk. (katalisator)
22
3. Ketidaksanggupan penebang kayu memberi nafkah anak-anaknya
sehingga ia membuang mereka di hutan. (fungsi utama)
4. Kesedihan istri penebang kayu yang tidak dapat berbuat apapun kecuali
menerima keputusan suami. (katalisator)
Teori mengenai sekuen lainnya juga dikemukakan oleh M.P. Schmitt dan
A. Viala dalam Handayani (1994: 35) melalui gagasan sebagai berikut:
1. Sekuen harus terpusat pada satu titik tertentu, misalnya peristiwa yang sama,
tokoh yang sama, gagasan yang sama, ide atau pikiran yang sama.
2. Sekuen harus mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren: sesuatu
terjadi pada tempat atau waktu yang sama. Hal itu dapat juga merupakan
gabungan beberapa tempat namun dalam waktu yang tercakup dalam satu
tahapan, misalnya suatu periode dalam kurun waktu yang tercakup dalam
kehidupan seorang tokoh, serangkaian contoh dan bukti-bukti untuk
mendukung suatu gagasan.
3. Selain itu, sekuen yang diberi batasan seperti tersebut di atas, masing-masing
dapat menjadi elemen dari sekuen yang lebih besar, sehingga seluruh teks
membentuk teks yang maksimal.
2.8.2 Relasi Paradigmatik
Relasi paradigmatik yakni relasi yang berdimensi vertikal dan merupakan
relasi antarunsur yang tidak hadir dalam tuturan. Unsur yang tidak hadir adalah
unsur yang diasosiasikan. Kata-kata kekerabatan, misalnya, memiliki hubungan
asosiatif. Begitu kata saudara dituturkan atau didengarkan, kata itu memiliki
23
asosiasi atau berparadigma dengan kata-kata adik, kakak, keponakan, paman,
tante, dll.
Dalam analisis paradigmatik, unsur-unsur yang dibahas adalah unsur-
unsur yang berkaitan dengan makna cerita. Nurgiyantoro (2005: 47) menyatakan
bahwa kajian analisis paradigmatik dalam karya sastra berupa kajian tentang
tokoh, perwatakan tokoh, dan latar. Lebih jelasnya, kajian ini dibedakan menjadi
dua, yakni indeks dan informan.
2.8.2.1 Indeks
Indeks menerangkan tentang sifat tokoh atau biasa dikenal dengan
penokohan. Tokoh dalam suatu teks karya sastra sangatlah penting karena dapat
menjelaskan bagaimana jalan cerita. Menurut Nurgiyantoro (2005: 165) istilah
tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, watak, perwatakan dan karakter
menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih
menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Dalam setiap cerita narasi terdapat
beberapa tokoh sentral yang memegang peranan penting dalam cerita.
Contoh: Le Petit Poucet merupakan anak yang paling cerdas di antara kakak-
kakaknya. Ia anak yang pendiam namun pendengar yang baik.
2.8.2.2 Informan
Pembahasan mengenai informan berkisar pada masalah ruang dan waktu,
yaitu keterangan mengenai tempat terjadinya peristiwa dan keterangan mengenai
kapan waktu peristiwa cerita berlangsung dalam sebuah karya fiksi. Nurgiyantoro
(2005: 229) menyatakan bahwa latar tempat dalam sebuah karya fiksi berupa
24
lokasi yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan
perkembangan plot dan tokoh.
Contoh: Rumah keluarga penebang kayu. Terdapat tiga ruang yang menjadi latar
tempat dari peristiwa yang terjadi. Yang pertama adalah ruang keluarga
tempat penebang kayu dan istrinya merencanakan untuk menelantarkan
anak-anaknya.
25
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan analisis sintagmatik dan paradigmatik, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan objektif. Pendekatan objektif adalah pendekatan
yang mendasarkan pada suatu karya sastra itu, yaitu memusatkan perhatian
semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan unsur instrinsik.
Konsekuensi yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur
ekstrinsik seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural
lainnya, termasuk biografi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-
unsur dalam dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak, dan
unsur-unsur dengan totalitas di pihak lain. Pendekatan objektif seringkali disebut
juga dengan pendekatan struktural karena menelaah karya sastra terlepas dari
alam sekitar pembaca (Ratna 2008:73).
Namun selain menggunakan pendekatan struktural, penelitian ini juga
menggunakan pendekatan psikologi sastra. Psikologi sastra digunakan untuk
menentukan tindak kekerasan yang terdapat dalam dongeng yang akan dianalisis.
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai
aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam
berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari
kejiwaan masing-masing (Endraswara 2003: 96).
26
3.2 Sumber Data Penelitian
Sumber data skripsi ini adalah dongeng Le Petit Poucet, karya Charles
Perrault yang terdapat dalam kumpulan dongeng berjudul Contes Édition de Jean-
Pierre Collinet, yang diterbitkan oleh Éditions Gallimard pada tahun 1981.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan teknik
catat. Menurut Sudaryanto (1993: 133), metode simak yaitu metode penyimakan
terhadap sumber data yang digunakan. Teknik catat yaitu teknik pencatatan
dengan menyusun sekuen-sekuen dan fungsi utama dongeng Le Petit Poucet dan
terhadap kalimat atau tuturan yang mengandung tindak kekerasan.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta
yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna 2008: 53). Penelitian ini tidak
berkaitan dengan data berupa angka namun lebih mengutamakan pendalaman
tentang struktur yang terdapat di dalamnya. Data pada penelitian skripsi ini
diambil dengan cara melakukan analisis sintagmatik dan paradigmatik yang
dilanjutkan dengan menentukan tindakan-tindakan kekerasan yang terdapat dalam
dongeng Le Petit Poucet. Data dianalisis menggunakan teknik Pilah Unsur
Penentu.
27
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data dalam
penelitian ini adalah:
1. Membaca keseluruhan cerita dongeng Le Petit Poucet secara berulang-ulang
untuk memperoleh pemahaman isi.
2. Menyusun sekuen dan fungsi utama dongeng Le Petit Poucet.
3. Menyusun hubungan sebab akibat yang terjadi dari fungsi utama yang telah
ada.
4. Membuat analisis tokoh. latar waktu, dan latar tempat.
5. Menentukan tindak kekerasan yang terjadi dalam dongeng Le Petit Poucet
dari analisis latar dan tokoh yang telah dibuat.
6. Membuat kesimpulan dari pembahasan yang telah dilakukan.
3.5 Metode Penyajian Hasil Analisis
Metode penyajian hasil analisis yang digunakan peneliti dalam penelitian
ini adalah metode informal. Metode penyajian informal yaitu perumusan dengan
kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto
1993: 145).
28
BAB 4
ANALISIS BERBAGAI TINDAK KEKERASAN
DAN PENYEBABNYA
Dalam bab ini akan dilakukan analisis sintagmatik untuk mengetahui
jalannya alur cerita dan hubungan sebab akibat dalam dongeng Le Petit Poucet
dan analisis paradigmatik untuk mengetahui perilaku tokoh-tokoh yang ada untuk
mengetahui karakter tokoh tersebut sehingga dapat menemukan tindak kekerasan
yang terkandung dalam karya ini.
4.1 Analisis Sintagmatik
Dalam subbab ini akan dilakukan analisis sintagmatik dengan membuat
sekuen-sekuen untuk mengetahui jalannya alur cerita serta fungsi utama untuk
mengetahui hubungan sebab akibat dalam dongeng ini. Katalisator tidak akan
dibuat karena hanya berfungsi untuk melengkapi dan mendukung fungsi utama,
serta tidak diperlukan dalam analisis tindak kekerasan.
Berikut ini satuan isi cerita berdasarkan satuannya:
5. La déscription de la famille de « Le Petit Poucet » qui était fort pauvre
(p.191).
‘Deskripsi keluarga Le Petit Poucet yang miskin.’
29
6. La déscription de la condition sociale et la condition économique qui étaient
fâcheuses (p.191).
‘Deskripsi kondisi sosial ekonomi pada masa itu yang buruk.’
7. L’incompétence du bûcheron de nourir ses enfants et de laisser leurs enfants
dans le bois (p.191).
‘Ketidaksanggupan penebang kayu memberi nafkah anak-anaknya sehingga ia
membuang mereka di hutan.’
8. La tristesse de la bûcheronne qui ne pouvait rien faire sauf obéir son mari
(p.192).
‘Kesedihan istri penebang kayu yang tidak dapat berbuat apapun kecuali
menerima keputusan suami.’
9. La conversation du bûcheron et sa femme qui a été entendu par Le Petit
Poucet (p.192).
‘Pembicaraan penebang kayu dan istrinya yang terdengar oleh Le Petit
Poucet.’
10. L’idée de « Le Petit Poucet » pour dépasser ses problèmes (p.192).
‘Gagasan Le Petit Poucet untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.’
11. Le départ de « Le Petit Poucet » au bord d’un ruisseau pour emplir ses
poches des petits cailloux blancs (p.192).
‘Kepergian Le Petit Poucet di pagi hari ke tepi sungai untuk mengumpulkan
batu-batu kerikil putih di kantongnya.’
12. Le retour de « Le Petit Poucet » chez lui (p.192).
‘Kepulangan Le Petit Poucet ke rumahnya.’
30
13. La déscription du voyage de la famille du bûcheron au bois:
‘Deskripsi perjalanan keluarga penebang kayu ke hutan.’
a. Le Petit Poucet n’ébruite rien tout ce qu’il savait à ses frères (p.192).
‘Le Petit Poucet tidak menceritakan apa yang diketahuinya kepada kakak-
kakaknya.’
b. Pendant le voyage vers sa maison, il avait laissé tomber les petits cailloux
blancs qu’il avait ramassés (p.192).
‘Selama perjalanan dari rumahnya ia sengaja menjatuhkan satu persatu
batu-batu kerikil yang telah dikumpulkannya.’
14. Le Petit Poucet et ses frères ont été abandonnés au bois par ses parents quand
ils étaient indifférents par ses parents (p.192).
‘Ditinggalkannya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya oleh orang tua mereka
di dalam hutan ketika anak-anak itu sedang lengah.’
15. La panique de ces garçons quand ils savaient que ses parents n’étaient pas là
(p.192).
‘Kepanikan anak-anak penebang kayu ketika mengetahui bahwa orang tua
mereka tidak ada.’
16. L’idée de « Le Petit Poucet » pour suivre les petits cailloux blancs (p.192).
‘Saran Le Petit Poucet untuk mengikuti batu-batu kerikil putih.’
17. La lâcheté de « Le Petit Poucet » et ses frères pour entrer chez eux (p.192).
‘Ketidakberanian Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya masuk ke dalam
rumah mereka.’
31
18. 10 écus du Seigneur du village au bûcheron et sa femme (p193).
‘Uang 10 écus dari tuan tanah desa kepada penebang kayu dan istrinya.’
19. L’acquisition de trois fois plus de viande à la Bucherie par la bûcheronne
(p.193).
‘Pembelian tiga porsi daging oleh istri penebang kayu di toko daging.’
20. La colère du bûcheron à sa femme car elle redit plus de vingt fois qu’ils s’en
repentiraient (p.193).
‘Kemarahan penebang kayu terhadap istrinya yang terus menerus
menyalahkannya.’
21. Les voix des garçons à la porte (p.193).
‘Suara anak dari balik pintu.’
22. La porte a été ouverte par la bûcheronne (p.193).
‘Dibukanya pintu oleh istri penebang kayu.’
23. La joie de « Le Petit Poucet » et ses frères quand ils ont rentrée chez eux
(p.193).
‘Kegembiraan Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya ketika mereka pulang ke
rumah mereka.’
24. La racontée du petit Poucet et ses frères sur leur expériences au bois quand
ils avaient pris le dîner (p.194).
‘Cerita Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya saat makan malam bersama
mengenai pengalaman mereka di dalam hutan.’
32
25. L’argent de la famille du petit Poucet a diminué jusqu’à ce que le bûcheron et
sa femme décident de reprendre ses enfants dans l’endroit plus loin qu’avant
(p194).
‘Persediaan uang keluarga penebang kayu menipis sehingga ia dan istrinya
memutuskan untuk membawa kembali anak-anak mereka ke tempat yang
lebih jauh daripada sebelumnya.’
26. Le plan de ses parents a été su par Le Petit Poucet (p194).
‘Rencana kedua orang tua mereka diketahui oleh Le Petit Poucet.’
27. Son échec au parti chez lui pour ramasser des petits cailloux (p.194).
‘Ketidakberhasilan Le Petit Poucet ke luar dari rumahnya untuk
mengumpulkan batu-batu kerikil.’
28. L’idée de « Le Petit Poucet » pour utiliser les morceaux du pain comme le
guide (p.194).
‘Gagasan Le Petit Poucet untuk menggunakan serpihan roti sebagai penunjuk
jalan.’
29. Le départ de la famille du bûcheron au bois qui était plus épaisse et obscur
(p.194).
‘Kepergian keluarga penebang kayu ke bagian hutan yang lebih lebat dan
gelap.’
30. Le Petit Poucet et ses frères ont été laissés par ses parents (p194).
‘Ditinggalkannya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya oleh orang tua
mereka.’
33
31. La surprise du petit Poucet quand il savait que les morceaux du pain comme
le guide était mangé par les oiseaux (p194).
‘Keterkejutan Le Petit Poucet ketika mengetahui bahwa serpihan roti yang
digunakannya untuk penunjuk jalan telah dimakan oleh burung-burung.’
32. La description autour de l’endroit de « Le Petit Poucet » et ses frères étaient
là, la nuit vint, il s’éleva un grand vent, il survint une grosse pluie et ils ont
entendu les hurlements de loups (p.194).
‘Deskripsi alam di sekitar tempat Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya berada,
hari sudah gelap, angin berembus kencang, hujan deras, dan terdengar
lolongan serigala.’
33. La description de la condition de « Le Petit Poucet » et ses frères au bois:
‘Deskripsi keadaan Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya di dalam hutan.’
a. Ils étaient saisi de la peur et par le froid (p.194).
‘Mereka ketakutan dan kedinginan.’
b. Ils glissaient à chaque pas et tombaient dans la boue (p.194).
‘Mereka terpeleset setiap kali melangkah dan jatuh ke dalam lumpur.’
34. Une petite lueur qui était vu par Le Petit Poucet sur de l’arbre (p.194).
‘Terlihatnya secercah cahaya di kejauhan oleh Le Petit Poucet dari atas batang
pohon.’
35. La déception de « Le Petit Poucet » qui n’a plus vu la petite lueur quand il
descendit de l’arbre (p.194).
‘Kekecewaan Le Petit Poucet yang tidak lagi melihat cahaya yang tadi
dilihatnya ketika turun dari pohon.’
34
36. La venue de « Le Petit Poucet » et ses frères à une maison au côté du bois
(p.195).
‘Kedatangan Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya di sebuah rumah di sisi luar
hutan.’
37. La porte de cette maison a été frappée par Le Petit Poucet et ses frères
(p.195).
‘Diketuknya pintu rumah tersebut oleh Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya.’
38. L’annonce de la femme a « Le Petit Poucet » et ses frères que cette maison
etait la maison d’un Ogre qui aimait manger les petits enfants (p.195).
‘Pemberitahuan wanita pemilik rumah kepada Le Petit Poucet dan kakak-
kakaknya bahwa rumah tersebut adalah milik raksasa yang suka memakan
anak-anak kecil.’
39. L’assertion de « Le Petit Poucet » qu’ils étaient plus peur les loups que l’Ogre
(p.195).
‘Pernyataan Le Petit Poucet bahwa mereka lebih takut serigala daripada
raksasa.’
40. La décision de l’Ogresse pour permettre ces garçons entrent chez lui et se
chauffer (p.195).
‘Keputusan istri raksasa untuk membiarkan anak-anak itu masuk ke rumahnya
dan menghangatkan tubuh mereka.’
41. Le Petit Poucet et ses frères sont cachés sous le lit par l’Ogresse pour qu’ils
n’aient pas vu par l’Ogre qui vient juste d’arriver (p.195).
35
‘Disembunyikannya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya di bawah tempat
tidur oleh istri raksasa agar tidak terlihat oleh raksasa yang baru saja tiba di
rumahnya.’
42. La question de l’Ogre si le souper était prêt (p.195).
‘Pertanyaan raksasa mengenai hidangan untuk makan.’
43. La chair fraîche a été senti par l’ogre (p.195).
‘Terciumnya bau daging segar oleh hidung sang raksasa.’
44. L’assertion de l’Ogresse que cette odeur soit ce veau qu’elle vient d’habiller
(p195).
‘Pernyataan istri raksasa bahwa bau itu berasal dari daging sapi yang telah
dikulitinya.’
45. Le Petit Poucet et ses frères sont trouvés sous le lit par l’Ogre (p195).
‘Ditemukannya Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya oleh raksasa di bawah
tempat tidur.’
46. La colère de l’Ogre à sa femme qui lui avait trompé (p.196).
‘Kemarahan raksasa kepada istrinya yang telah berbohong kepadanya.’
47. La demande en pitié de l’Ogre par Le Petit Poucet et ses frères (p.196).
‘Permintaan akan belas kasihan raksasa oleh Le Petit Poucet dan saudara-
saudaranya.’
48. La cruauté de l’Ogre quand il a pris un grand couteau et l’aiguisait sur une
longue pierre à sa main gauche en approchant de ces enfants (p.196).
36
‘Kekejaman raksasa yang terlihat saat ia mengambil pisau besar dan mengasah
pisau dengan batu berbentuk panjang di tangan kirinya sambil mendekati
anak-anak itu.’
49. La prévention de l’Ogresse à meurtre faisant par son mari à ces enfants en
disant qu’ils ont assez de provisions (p.196).
‘Pencegahan istri raksasa akan pembunuhan yang akan dilakukan suaminya
terhadap anak-anak itu dengan mengatakan bahwa persediaan makanan yang
mereka miliki sudah cukup banyak.’
50. L’ordre de l’Ogre à sa femme pour donner leur bien à souper et va les mener
coucher (p.196).
‘Perintah raksasa kepada istrinya untuk memberi anak-anak itu makan dan
tempat untuk tidur.’
51. La joie de l’Ogre et sa femme:
‘Kegembiraan raksasa dan istrinya.’
a. L’Ogre ravi d’avoir de quoi si bien régaler ses amis (p.196).
‘Raksasa senang mengetahui bahwa ia sudah mempunyai hidangan untuk
teman-temannya.’
b. L’Ogresse fut ravie de joie parce que son homme ne tue pas ces garçons
(p.196).
‘Istri raksasa bahagia bahwa suaminya tidak jadi membunuh anak-anak
itu.’
52. La peur de « Le Petit Poucet » et ses frères de la menace de l’ogre (p.196).
‘Ketakutan Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya akan ancaman raksasa.’
37
53. L’Ogre s’est couché après il but une douzaine de coups plus qu’à l’ordinaire
(p.196).
‘Kepergian raksasa untuk tidur setelah menenggak duabelas gelas anggur lebih
banyak dari biasanya.’
54. Le Petit Poucet et ses frères se sont couchés dans une chambre (p.197).
‘Ditempatkannya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya oleh istri raksasa di
tempat tidur yang terletak di dalam kamar anak-anaknya.’
55. Les couronnes de sept filles ogres ont été échangées avec les bonnes de « Le
Petit Poucet et ses frères par Le Petit Poucet (p.197).
‘Ditukarnya mahkota milik anak-anak raksasa oleh Le Petit Poucet dengan
topi miliknya dan keenam kakaknya.’
56. À minuit l’Ogre a été réveillé pour tuer Le Petit Poucet et ses frères (p.197).
‘Terbangunnya raksasa pada tengah malam untuk membunuh Le Petit Poucet
dan kakak-kakaknya.’
57. La tête de « Le Petit Poucet », ses frères, et des sept filles de l’Ogre ont été
tâtées par l’ogre (p.197).
‘Dirabanya kepala Le Petit Poucet, kakak-kakaknya, serta anak-anak raksasa
oleh sang raksasa.’
58. La gorge de sept filles a été coupée par l’Ogre, il pense que ses filles soient Le
Petit Poucet et ses frères (p.197).
‘Ditebasnya kepala anak-anak raksasa oleh raksasa sendiri, ia menyangka
bahwa anak-anaknya adalah Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya.’
59. Le retour de l’Ogre à son lit pour se recoucher (p.197).
38
‘Kembalinya raksasa ke kamarnya untuk tidur.’
60. L’Ogre ronflait (p.197).
‘Terdengarnya dengkuran sang raksasa.’
61. Ses frères ont été réveillés par Le Petit Poucet (p.197).
‘Dibangunkannya kakak-kakak Le Petit Poucet oleh Le Petit Poucet.’
62. Le depart de « Le Petit Poucet » et ses frères en silence de la maison de
l’Ogre (p.198).
‘Kepergian Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya secara diam-diam dari rumah
raksasa.’
63. L’ordre de l’Ogre à sa femme pour habiller Le Petit Poucet et ses frères
(p.198).
‘Perintah raksasa yang sudah bangun kepada istrinya untuk menguliti Le Petit
Poucet dan saudara-saudaranya.’
64. L’Ogresse est entrée la chambre où Le Petit Poucet et ses frères se recoucher
(p.198).
‘Masuknya istri raksasa ke kamar tempat Le Petit Poucet dan saudara-
saudaranya tidur.’
65. La stupéfaction de l’Ogresse lorsqu’elle aperçut ses sept filles égorgées
(p.198).
‘Keterkejutan istri raksasa melihat anak-anaknya bersimbah darah dengan
kepala terpenggal.’
66. L’Ogresse s’est évanouit (p.198)
‘Hilangnya kesadaran istri raksasa.’
39
67. L’Ogre est entré la chambre pour aider sa femme (p.198).
‘Masuknya raksasa ke dalam kamar anak-anaknya untuk membantu istrinya.’
68. La surprise et la colère de l’Ogre quand il vit la condition de ses filles
(p.198).
‘Keterkejutan dan kemarahan raksasa melihat keadaan anak-anaknya.’
69. Les moyens de l’Ogre pour ranimer sa femme (p.198).
‘Upaya raksasa menyadarkan kembali istrinya.’
70. L’ordre de l’Ogre à sa femme pour prendre ses bottes de sept lieues afin qu’il
aille attraper Le Petit Poucet et les frères (p.198).
‘Perintah raksasa kepada istrinya untuk mengambilkan sepatu bot miliknya
yang akan digunakannya untuk mengejar Le Petit Poucet dan kakak-
kakaknya.’
71. La poursuite de l’Ogre a « Le Petit Poucet » et ses frères de tous côtés enfin il
est entré dans le chemin où marchaient ces pauvres enfants (p.198).
‘Pengejaran yang dilakukan raksasa terhadap Le Petit Poucet dan kakak-
kakaknya ke berbagai sudut desa sampai ke tempat persembunyian Le Petit
Poucet dan kakak-kakaknya berada.’
72. Le Petit Poucet et ses frères s’étaient cachés derrière la roche (p.198).
‘Bersembunyinya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya di balik batu.’
73. L’Ogre qui était fatigué s’est endormit sur la roche où Le Petit Poucet et ses
frères s’étaient cachés (p.198).
‘Tertidurnya raksasa yang kelelahan di atas batu tempat persembunyian Le
Petit Poucet dan kakak-kakaknya.’
40
74. L’ordre de « Le Petit Poucet » à ses frères de s’enfuir promptement à la
maison (p.199).
‘Perintah Le Petit Poucet kepada saudara-saudaranya untuk melarikan diri
secara perlahan-lahan sampai ke rumah mereka.’
75. Le Petit Poucet a mit les bottes de l’Ogre qui avaient le don de l’agrandir et
de l’apetisser selon la jambe (p.199).
‘Dikenakannya sepatu ajaib yang menyesuaikan ukurannya dengan kaki
pemakainya milik raksasa ole Le Petit Poucet.’
76. Le départ de « Le Petit Poucet » à la maison de l’Ogre afin qu’il trouve
l’Ogresse (p.199).
‘Kepergian Le Petit Poucet ke rumah raksasa untuk bertemu dengan istri
raksasa.’
77. Le mensonge de « Le Petit Poucet » à l’Ogresse qu’il était demandé de l’Ogre
pour prendre toutes les richesses de l’Ogre parce que l’Ogre a été pris par un
groupe de voleurs (p.199).
‘Kebohongan Le Petit Poucet kepada istri raksasa bahwa ia disuruh raksasa
mengambil seluruh hartanya untuk diberikan kepada perampok yang akan
membunuhnya.’
78. Le don de toutes les richesses de l’Ogre à « Le Petit Poucet » (p.199).
‘Pemberian seluruh harta raksasa kepada Le Petit Poucet oleh istri raksasa.’
79. Le retour de « Le Petit Poucet » chez lui, il a apporté beaucoup d’argent
(p.200).
41
‘Pulangnya kembali Le Petit Poucet ke rumah orang tuanya dengan membawa
uang yang banyak.’
80. La joie de la famille de « Le Petit Poucet » comme ils reçurent les richesses de
l’Ogre (p.200).
‘Kebahagiaan keluarga Le Petit Poucet memperoleh uang raksasa.’
Berdasarkan urutan satuan isi cerita di atas, terdapat 76 sekuen. Dari
jumlah itu, 3 di antaranya memiliki subsatuan cerita masing-masing 2 subsatuan
cerita, sehingga jika ditambah dengan subsatuan cerita, jumlahnya menjadi 82
buah.
Urutan satuan isi cerita di atas hanya disusun berdasarkan urutannya di
dalam teks cerita. Seperti telah dikemukakan dalam kerangka teori, setiap satuan
cerita dapat bergabung menjadi satuan cerita yang lebih besar. Berikut ini akan
dikemukakan fungsi utama dari sekuen yang telah disusun untuk mengetahui
hubungan sebab akibat dari cerita ini.
6. La condition économique de la famille du petit Poucet qui était mauvais
(p.191).
‘Kondisi ekonomi keluarga Le Petit Poucet yang buruk.’
7. La conversation du bûcheron avec sa femme sur le plan de l’abandon de sept
enfants au bois (p.191).
‘Pembicaraan penebang kayu dan istrinya untuk menelantarkan ketujuh
anaknya di hutan.’
8. Le plan du bûcheron et sa femme a été entendu par Le Petit Poucet (p.192).
‘Terdengarnya rencana penebang kayu dan istrinya oleh Le Petit Poucet.’
42
9. Le Petit Poucet était ramassé les petits cailloux blancs (p.192).
‘Dikumpulkannya batu-batu kerikil oleh Le Petit Poucet untuk digunakan
sebagai penunjuk jalan.’
10. Le Petit Poucet et ses frères ont été laissés au bois par les parents (p.192).
‘Ditinggalkannya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya di dalam hutan oleh
orang tua mereka.’
11. Le Petit Poucet et ses frères suivaient les petits cailloux blancs jusqu’à chez
eux (p.192).
‘Diikutinya batu-batu kerikil yang telah dijatuhkan Le Petit Poucet selama
perjalanan oleh Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya sampai ke rumah.’
12. La joie de la famille du bûcheron quand ils reçurent 10 écus du Seigneur du
village (p.193).
‘Kebahagiaan keluarga penebang kayu mendapat uang dari tuan tanah sebesar
10 écus.’
13. L’argent du bûcheron a diminué (p.194).
‘Menipisnya persediaan uang milik keluarga penebang kayu.’
14. Le Petit Poucet et ses frères ont été laissés au bois par les parents (p.194).
‘Ditelantarkannya kembali Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya ke dalam
hutan oleh orang tuanya.’
15. Les morceaux du pain ont été mangés par les oiseaux (p.194).
‘Dimakannya serpihan roti oleh burung yang sebetulnya digunakan sebagai
petunjuk jalan.’
16. Le Petit Poucet et ses frères étaient perdus au bois (p.194).
43
‘Tersesatnya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya di dalam hutan.’
17. L’arrivée de « Le Petit Poucet » et ses frères à une maison d’un Ogre et ils
ont demandé la permission de l’Ogresse pour passer la nuit (p.195).
‘Tibanya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya di sebuah rumah milik raksasa
dan meminta ijin istri raksasa untuk bermalam di situ.’
18. Le Petit Poucet et ses frères ont été cachés par l’ogresse (p.195).
‘Disembunyikannya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya oleh istri raksasa
dari suaminya.’
19. L’Ogre savait qu’il y avait Le Petit Poucet et ses frères (p.196).
‘Diketahuinya oleh raksasa keberadaan Le Petit Poucet beserta saudara-
saudaranya.’
20. L’idée de l’Ogresse pour ne tuer pas ces garçons (p.196).
‘Saran istri raksasa kepada raksasa untuk menunda pembunuhan Le Petit
Poucet dan saudara-saudaranya.’
21. L’idée de l’Ogresse pour permettre Le Petit Poucet et ses frères coucher dans
la chambre de ses filles a reçu par l’Ogre (p.196).
‘Diterimanya saran istri raksasa untuk membiarkan mereka tidur di kamar
anak-anaknya.’
22. Les couronnes de sept filles de l’Ogre ont été échangées avec les bonnes de
« Le Petit Poucet » et ses frères par Le Petit Poucet (p.197).
‘Ditukarnya mahkota yang dikenakan anak-anak raksasa oleh Le Petit Poucet
dengan topi miliknya dan kakak-kakaknya.’
23. La gorge de sept filles était coupée par l’Ogre (p.197).
44
‘Dipenggalnya kepala anak-anak raksasa oleh raksasa sendiri.’
24. Le depart de « Le Petit Poucet » et ses frères de la maison de l’Ogre (p.197).
‘Kepergian Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya dari dalam rumah raksasa.’
25. La poursuite de l’Ogre à « Le Petit Poucet » et ses frères (p.198).
‘Pengejaran raksasa terhadap Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya dengan
menggunakan sepatu ajaib.’
26. Les bottes de l’Ogre ont été tiré et mit par Le Petit Poucet quand l’Ogre
s’endormit (p.199).
‘Dilepasnya dan dikenakannya sepatu ajaib raksasa oleh Le Petit Poucet
ketika raksasa tertidur lelap.’
27. Le depart de « Le Petit Poucet » à la maison de l’Ogre (p.199).
‘Kepergian Le Petit Poucet ke rumah raksasa.’
28. La réussite de « Le Petit Poucet » tromper l’Ogresse pour obtenir les
richesses de l’Ogre (p.199).
‘Keberhasilan Le Petit Poucet menipu istri raksasa untuk mendapatkan harta
kekayaan raksasa.’
Kondisi ekonomi keluarga Le Petit Poucet yang buruk (1) mengakibatkan
penebang kayu dan istrinya memutuskan untuk menelantarkan ketujuh anaknya di
hutan (2). Pembicaraan suami istri tersebut ternyata didengar oleh anak bungsu
mereka yang bernama Le Petit Poucet (3). Hal itu membuat Le Petit Poucet
mencari jalan keluar dengan mengumpulkan batu kerikil untuk digunakan sebagai
petunjuk jalan (4). Berdasarkan rencana yang telah dibuat penebang kayu dan
istrinya (2), mereka membawa ketujuh anaknya ke dalam hutan dan meninggalkan
45
mereka di sana (5). Berkat batu kerikil yang telah dijatuhkan Le Petit Poucet
selama perjalanan (4), ia dan kakak-kakaknya dapat pulang ke rumah mereka
dengan mengikuti batu kerikil tersebut (6). Kepulangan mereka yang disertai
dengan kiriman uang dari tuan tanah sebesar 10 écus membuat mereka sekeluarga
merasa bahagia (7). Lama kelamaan persediaan uang mereka pun menipis (8) dan
menyebabkan penebang kayu dan istrinya menelantarkan anak-anak mereka
kembali di dalam hutan (9). Serpihan roti yang semula digunakan sebagai
petunjuk jalan oleh Le Petit Poucet habis dimakan oleh burung (10). Hal itu
menyebabkan Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya tersesat di dalam hutan (11).
Setelah berjalan beberapa lama, mereka tiba di sebuah rumah raksasa dan
meminta ijin kepada istri raksasa untuk bermalam di situ (12). Istri raksasa
mengijinkan mereka bermalam di rumahnya dan untuk itu ia harus
menyembunyikan Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya dari suaminya (13).
Walaupun istri raksasa telah berusaha menyembunyikan ketujuh anak itu,
suaminya tetap mengetahui keberadaan Le Petit Poucet beserta saudara-
saudaranya (14). Istri raksasa berusaha menyarankan kepada suaminya untuk
menunda membunuh mereka (15) dan suaminya akhirnya menyetujui sarannya,
membiarkan anak-anak itu tidur di kamar anak-anak perempuannya (16).
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Le Petit Poucet yang menukar mahkota
yang dikenakan anak-anak raksasa dengan topi miliknya dan kakak-kakaknya
untuk mengecoh raksasa (17). Raksasa yang tertipu oleh ulah Le Petit Poucet,
memenggal kepala anak-anaknya sendiri tanpa disadarinya (18). Le Petit Poucet
dan kakak-kakaknya melarikan diri setelah memastikan raksasa telah tertidur
46
kembali (19). Setelah raksasa mengetahui kematian anak-anaknya pada keesokan
harinya, ia segera mengejar Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya dengan
menggunakan sepatu ajaib (20). Ketika raksasa tertidur karena kelelahan mengejar
ketujuh anak itu, Le Petit Poucet melepas dan mengenakan sepatu ajaib raksasa
(21). Berkat sepatu ajaib tersebut, Le Petit Poucet dapat tiba di rumah raksasa
dengan cepat (22) dan berhasil menipu istri raksasa untuk mendapatkan harta
kekayaan raksasa (23).
4.2 Analisis Paradigmatik
Dalam subbab ini akan dilakukan analisis paradigmatik dengan membuat
analisis tokoh untuk mengetahui perilaku tokoh-tokoh yang ada sehingga dapat
menemukan tindak kekerasan yang terkandung dalam karya ini, yaitu berupa
indeks yang menerangkan sifat-sifat para tokoh, identitas, perasaan, dan pendapat
para tokoh. Sedangkan kajian analisis informan adalah analisis mengenai latar
untuk mengetahui keterangan mengenai tempat dan waktu.
4.2.1 Analisis Latar Waktu
Segala peristiwa yang terjadi di dalam cerita ini tidak mempunyai latar
waktu yang pasti dengan penggunaan keterangan waktu yang tidak pasti, layaknya
dongeng pada umumnya. Hal itu tampak pada cuplikan data berikut:
(6) Il était une fois un Bûcheron et une Bûcheronne qui avaient sept enfants, tous Garçons. L'aîné n'avait que dix ans, et le plus jeune n'en avait que sept. (p.191)
‘Pada suatu ketika hiduplah sepasang suami istri penebang kayu yang mempunyai tujuh orang anak laki-laki, anak sulung mereka berusia sepuluh tahun dan yang bungsu berusia tujuh tahun.
47
Di dalam cerita hanya disebutkan bahwa saat terjadi bencana kelaparan,
menyebabkan sebagian besar orang miskin menelantarkan anak-anaknya.
(7) Il vint une année très fâcheuse, et la famine fut si grande, que ces pauvres gens résolurent de se défaire de leurs enfants. (p.191) ‘Saat itu merupakan masa-masa sulit dan bencana kelaparan yang melanda sangat besar sehingga orang-orang miskin mencoba mengatasi hal itu dengan menelantarkan anak-anak mereka. ‘
Latar waktu yang terjadi dalam cerita ini adalah masa-masa sulit ketika
bencana kelaparan melanda masyarakat Prancis, yaitu tahun 1693.
4.2.2 Analisis Latar Ruang
Latar ruang yang terdapat dalam cerita ini terdiri dari dua kelompok, yaitu
latar ruang tertutup dan latar ruang terbuka. Latar ruang tertutup terdiri atas rumah
penebang kayu dan rumah raksasa, sedangkan latar ruang terbuka adalah hutan
tempat Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya dibuang oleh orang tua mereka serta
jalan yang berada di dekat rumah Le Petit Poucet.
4.2.2.1 Latar Ruang Tertutup
4.2.2.1.1 Rumah Keluarga Penebang Kayu
Terdapat tiga ruang yang menjadi latar tempat dari peristiwa yang terjadi.
Yang pertama adalah ruang keluarga tempat penebang kayu dan istrinya
merencanakan untuk menelantarkan anak-anaknya.
(8) Un soir que ces enfants étaient couchés, et que le Bûcheron était auprès du feu avec sa femme, il lui dit, le coeur serré de douleur: (p.191)
‘Pada suatu malam ketika anak-anaknya sedang tertidur dan si penebang kayu berada di dekat perapian bersama istrinya, ia berkata berkata kepada istrinya dengan sedih,:’
48
Yang kedua adalah kamar tidur Le Petit Poucet, tempat ia mendengar
suara kedua orang tuanya dan kemudian menyelinap di bawah bangku ayahnya
agar dapat mendengar pembicaraan mereka dengan lebih jelas.
(9) Le Petit Poucet ouït tout ce qu'ils dirent, car ayant entendu de dedans son lit qu'ils parlaient d'affaires, il s'était levé doucement, et s'était glissé sous l'escabelle de son père pour les écouter sans être vu. (p.192)
‘Le Petit Poucet mendengar semua apa yang mereka bicarakan. Dari dalam kamarnya ia mendengar apa yang mereka bicarakan. Ia bangun perlahan-lahan dan menyelinap di bawah bangku ayahnya untuk mendengarkan mereka tanpa terlihat.’
Yang terakhir adalah ruang makan, tempat keluarga penebang kayu
berkumpul kembali setelah anak-anaknya dapat menemukan jalan pulang dari
hutan.
Terdapat tiga tempat yang menjadi latar ruang cerita yaitu kamar tidur Le
Petit Poucet, ruang keluarga, serta ruang makan. Peristiwa yang terjadi dalam
cerita ini berawal dan berakhir di dalam rumah Le Petit Poucet, dari pembicaraan
penebang kayu dan istrinya mengenai rencana mereka membuang anak-anaknya
hingga kembalinya Le Petit Poucet membawa uang raksasa dan memberikannya
kepada orang tuanya sehingga mereka hidup berkecukupan.
4.2.2.1.2 Rumah Raksasa
Dalam rumah raksasa terdapat tiga ruangan yang menjadi latar ruang
tertutup yaitu ruang makan dan kamar tidur anak-anak perempuan raksasa. Ruang
makan merupakan tempat raksasa makan dan mencium tanda-tanda keberadaan Le
Petit Poucet dan saudara-saudaranya.
(10) Comme ils commençaient à se chauffer, ils entendirent heurter trois ou quatre grands coups à la porte : c'était l'Ogre qui
49
revenait. Aussitôt sa femme les fit cacher sous le lit et alla ouvrir la porte. L'Ogre demanda d'abord si le souper était prêt, et si on avait tiré du vin, et aussitôt se mit à table. Le Mouton était encore tout sanglant, mais il ne lui en sembla que meilleur. Il fleurait à droite et à gauche, disant qu'il sentait la chair fraîche. (p.195)
‘Ketika mereka mulai menghangatkan badan, mereka mendengar suara ketukan yang sangat keras di pintu. Ternyata sang Raksasa pulang. Istri raksasa segera menyembunyikan Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya di bawah tempat tidur lalu membuka pintu. Sang Raksasa bertanya apakah supnya sudah siap. Istrinya segera mengeluarkan anggur dan menyiapkannya di meja. Kambing yang masih berlumuran darah yang disiapkan istrinya membuat sang Raksasa merasa lebih baik. Namun ia mengendus ke kanan kirinya sambil berkata bahwa ia mencium bau darah segar.’
Latar ruang selanjutnya adalah kamar tidur anak-anak perempuan raksasa
yang menjadi tempat Le Petit Poucet beserta keenam kakaknya tidur dan juga
tempat sang Raksasa memenggal kepala anak-anaknya sendiri.
(11) Il monta donc à tâtons à la Chambre de ses filles et s'approcha du lit où étaient les petits garçons, qui dormaient tous, excepté Le Petit Poucet, qui eut bien peur lorsqu'il sentit la main de l'Ogre qui lui tâtait la tête, comme il avait tâté celles de tous ses frères. L'Ogre, qui sentit les Couronnes d'or : " Vraiment, dit- il, j'allais faire là un bel ouvrage; je vois bien que
je bus trop hier au soir. "
Il alla ensuite au lit de ses filles, où ayant senti les petits bonnets
des garçons:
" Ah ! les voilà, dit-il, nos gaillards! travaillons hardiment. "
En disant ces mots, il coupa sans balancer la gorge à ses sept filles. (p.197)
‘Dia masuk ke dalam kamar anak-anaknya dengan diam-diam, menghampiri tempat tidur di mana anak-anak tersebut terlelap kecuali Le Petit Poucet yang ketakutan saat ia merasakan tangan sang Raksasa yang meraba kepalanya. Ketika sang Raksasa meraba kepala anak-anak tersebut, ia menyentuh mahkota emas milik anak-
50
anaknya: “Benar”, katanya. “Saya akan melakukan sebuah pekerjaan yang sangat benar, saya tahu bahwa saya kemarin malam saya minum terlalu banyak.”“Ah! Ini dia anak laki-laki kita,” katanya. “Ayo bekerja keras.” Sambil mengatakannya, ia memotong leher ketujuh anaknya tanpa ragu-ragu.’
Terdapat dua ruang di dalam rumah raksasa, yaitu ruang makan dan kamar
tidur anak-anak perempuan sang Raksasa.
4.2.2.2 Latar Ruang Terbuka
4.2.2.2.1 Hutan
Hutan merupakan tempat penebang kayu dan istrinya membawa ketujuh
anak mereka yang kemudian mereka tinggalkan di sana.
(12) Ils allèrent dans une forêt fort épaisse, où à dix pas de distance on ne se voyait pas l'un l'autre. Le Bûcheron se mit à couper du bois et ses enfants à ramasser des broutilles pour faire des fagots. Le père et la mère, les voyant occupés à travailler, s'éloignèrent d'eux insensiblement, et puis s'enfuirent tout à coup par un petit sentier détourné. (p.192)
‘Mereka pergi ke dalam hutan yang sangat lebat, berjalan saling
berjauhan sehingga mereka tidak dapat saling melihat satu dengan
yang lainnya. Si penebang kayu mulai memotong kayu, anak-
anaknya mengumpulkan ranting-ranting untuk diikat. Penebang
kayu dan istrinya memperhatikan anak-anaknya sedang sibuk
bekerja. Mereka menjauh sedikit demi sedikit dan kemudian pergi
cepat-cepat melewati jalan-jalan kecil yang berbelok.’
51
Di dalam hutan ini pula Le Petit Poucet dan keenam saudaranya berjuang
mengatasi rasa takut mereka terhadap serigala serta rasa dingin yang menyerang
mereka saat hujan lebat tiba.
(13) La nuit vint, et il s'éleva un grand vent qui leur faisait des peurs épouvantables. Ils croyaient n'entendre de tous côtés que les hurlements de Loups qui venaient à eux pour les manger. Ils n'osaient presque se parler ni tourner la tête. Il survint une grosse pluie qui les perça jusqu'aux os; ils glissaient à chaque pas et tombaient dans la boue, d'où ils se relevaient tout crottés,..... (p.194)
‘Malam tiba, angin berembus sangat kencang yang membuat mereka sangat ketakutan. Mereka mendengar lolongan serigala di sekitar mereka yang akan datang untuk memakan mereka. Mereka tidak berani berbicara maupun menengok. Tiba-tiba hujan turun sangat lebat sampai-sampai dinginnya menusuk sampai ke tulang. Mereka terpeleset saat berjalan, terjatuh ke dalam lumpur dan bangun dengan badan penuh lumpur,.....’
Hutan merupakan tempat yang penuh dengan cobaan dan bahaya. Hal ini
mendukung latar hutan dalam karya ini karena hutan digambarkan tempat
terdapatnya bahaya bagi manusia seperti hewan buas serta bencana alam, seperti
hujan lebat.
4.2.2.2.2 Jalan Dekat Rumah Le Petit Poucet
Jalan dekat rumah Le Petit Poucet yang berjarak sepuluh langkah dari
rumah Le Petit Poucet. Di tempat ini Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya
hampir bertemu dengan raksasa.
(14) L'Ogre, craignant que sa femme ne fût trop longtemps à faire la besogne dont il l'avait chargée, monta en haut pour lui aider. Il ne fut pas moins étonné que sa femme lorsqu'il vit cet affreux spectacle. "Ah! Qu’ai-je fait là? s'écria-t-il. Ils me le payeront, les
malheureux, et tout à l'heure. "
52
Il jeta aussitôt une potée d'eau dans le nez de sa femme et l'ayant
fait revenir:
" Donne-moi vite mes bottes de sept lieues, lui dit-il, afin que j'aille
les attraper. "
Il se mit en campagne, et après avoir couru bien loin de tous les côtés, enfin il entra dans le chemin où marchaient ces pauvres enfants qui n'étaient plus qu'à cent pas du logis de leur père. (p.198)
‘Sang Raksasa khawatir saat istrinya terlalu lama melakukan pekerjaan yang membuatnya lelah. Ia datang untuk membantunya namun ia melihat pemandangan yang mengerikan. “Ah! Apa yang aku lakukan?”, teriaknya. “Mereka harus membayar atas semua ini.” Ia melempar masakan yang dibawanya kepada istrinya: “Cepat ambilkan aku sepatu bot ajaibku! Aku akan pergi untuk menangkap mereka.” Ia melewati sebuah perkampungan. Setelah berlari sangat jauh ke seluruh penjuru, akhirnya ia masuk ke sebuah jalan di mana anak-anak malang itu berjalan yang jaraknya tidak lebih dari seratus meter dari rumah mereka.’
Di tempat ini pula Le Petit Poucet dan keenam saudaranya sembunyi di
balik batu. Ketika sang Raksasa tertidur di atas batu itu, Le Petit Poucet mencoba
melepaskan sepatu ajaib yang dikenakan raksasa sementara keenam kakaknya
pulang ke rumah mereka.
(15) L'Ogre, qui se trouvait fort las du long chemin qu'il avait fait inutilement (car les bottes de sept lieues fatiguent fort leur homme), voulut se reposer, et par hasard, il alla s'asseoir sur la roche où les petits garçons s'étaient cachés. Comme il n'en pouvait plus de fatigue, il s'endormit après s'être reposé quelque temps, et vint à ronfler si effroyablement que les pauvres enfants n'eurent pas moins de peur que quand il tenait son grand Couteau pour leur couper la gorge. Le Petit Poucet en eut moins de peur, et dit à ses frères de s'enfuir promptement à la maison pendant que l'Ogre dormait bien fort, et qu'ils ne se missent point en peine de lui. Ils crurent son conseil, et gagnèrent vite la maison. Le Petit Poucet s'étant approché de l'Ogre lui tira doucement ses bottes, et les mit
53
aussitôt. (p.198-199)
‘Raksasa menemukan jalan panjang yang tak pernah dilewati (sepatu bot ajaib yang dipakainya lelah), ingin beristirahat ia duduk di atas sebuah batu di mana Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya bersembunyi. Karena raksasa terlalu lelah, ia tertidur setelah beristirahat beberapa saat dan mendengkur dengan sangat mengerikan sehingga anak-anak malang itu ketakutan apalagi saat mereka melihat raksasa memegang sebilah pisau yang sangat besar untuk memotong leher mereka. Le Petit Poucet tidak merasa takut, ia berkata kepada saudara-saudaranya untuk pergi dengan cepat menuju rumah mereka selama raksasa tertidur. Mereka meninggalkan raksasa, mengikuti saran Le Petit Poucet dan sampai di rumah dengan cepat. Le Petit Poucet menghampiri raksasa, melepas sepatu bot ajaib milik raksasa perlahan-lahan lalu mengenakannya dengan cepat.’
Dalam latar ruang terbuka yang terdapat dalam dongeng ini ditemukan dua
tempat, yaitu hutan dan jalan yang berada di dekat rumah Le Petit Poucet.
4.2.3 Analisis Tokoh
Melalui analisis tokoh dapat diketahui berbagai karakter yang menjadi ciri
khas dari setiap tokoh yaitu Le Petit Poucet, saudara-saudara Le Petit Poucet,
ayah Le Petit Poucet, ibu Le Petit Poucet, istri raksasa, raksasa, serta anak-anak
perempuan raksasa. Dari tokoh-tokoh tersebut, tokoh yang menonjol dalam
dongeng ini adalah Le Petit Poucet dan raksasa.
4.2.3.1 Le Petit Poucet
Le Petit Poucet adalah tokoh utama dalam dongeng ini. Ia adalah anak
laki-laki yang masih berusia tujuh tahun. Dalam dongeng ini, ia digambarkan
memiliki berbagai kelebihan dan kelemahan. Berikut akan dipaparkan tokoh dan
penokohan dari Le Petit Poucet.
54
4.2.3.1.1 Anak seorang penebang kayu
Ia merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. Orang tuanya bekerja
sebagai penebang kayu.
(16) Il était une fois un bûcheron et une bûcheronne qui avaient sept enfants, tous garçons; l'aîné n'avait que dix ans, et le plus jeune n'en avait que sept. (p.191)
‘Pada suatu ketika hiduplah sepasang suami istri penebang kayu yang mempunyai tujuh orang anak laki-laki. Anak tertua berusia sepuluh tahun dan yang paling muda berusia tujuh tahun.’
4.2.3.1.2 Bertubuh Kecil dan Lemah
Le Petit Poucet bertubuh kecil dan lemah serta pendiam. Ia dijuluki Le
Petit Poucet karena ketika ia lahir, ukuran tubuhnya sangat kecil menyerupai jari
jempol. Sebenarnya Le Petit Poucet adalah anak yang paling cerdik di antara
saudara-saudaranya, namun ia selalu diremehkan oleh keenam kakaknya.
(17) Ce qui les chagrinait encore, c'est que le plus jeune était fort délicat et ne disait mot : prenant pour bêtise ce qui était une marque de la bonté de son esprit. Il était fort petit, et, quand il vint au monde, il n'était guère plus gros que le pouce, ce qui fit qu'on l'appela Le Petit Poucet. Ce pauvre enfant était le souffre-douleur de la maison, et on lui donnait toujours tort. (p.191)
‘Yang membuat mereka semakin bersedih adalah bahwa si bungsu sangat ringkih dan jarang berbicara, tidak mengucapkan hal-hal buruk, yang menandakan bahwa ia berhati baik. Ia bertubuh sangat kecil, dan ketika ia lahir, ukuran tubuhnya hampir tidak lebih besar dari jari jempol sehingga ia dijuluki Le Petit Poucet. Anak malang itu merupakan anak yang paling menderita dalam keluarganya karena mereka selalu menyalahkan dirinya.
55
4.2.3.1.3 Cerdik
Le Petit Poucet merupakan anak yang paling cerdas di antara kakak-
kakaknya. Ia anak yang pendiam namun pendengar yang baik.
(18) Cependant il était le plus fin et le plus avisé de tous ses frères, et, s'il parlait peu, il écoutait beaucoup. (p.191) ‘Walaupun begitu ia adalah anak yang paling cerdas dan bijaksana dibandingkan keenam kakaknya, dan karena ia sedikit berbicara, ia selalu mendengarkan.’
Ia selalu menggunakan akalnya agar dapat mengatasi berbagai masalah
yang dihadapinya. Sebelum melakukan sesuatu, ia terlebih dahulu memikirkan
akibat yang akan terjadi sehingga dapat dikatakan bahwa ia selalu merencanakan
segala tindakannya dengan matang.
(19) Il alla se recoucher et ne dormit point du reste de la nuit, songeant à ce qu'il avait à faire. Il se leva de bon matin, et alla au bord d'un ruisseau, où il emplit ses poches de petits cailloux blancs, et ensuite revint à la maison. On partit, et Le Petit Poucet ne découvrit rien de tout ce qu'il savait à ses frères. (p.192)
’Ia kembali ke tempat tidurnya namun tidak dapat tidur
sepanjang malam karena ia terus memikirkan apa yang dapat
dilakukannya. Ia bangun pagi-pagi sekali dan segera pergi ke
tepi kali untuk mengumpulkan kerikil putih, kemudian pulang
kembali ke rumahnya. Ketika mereka sekeluarga berangkatpun,
Le Petit Poucet tidak mengatakan apa yang diketahuinya
kepada keenam kakaknya.’
56
Berkat kecerdikannya, ia dapat memanfaatkan situasi yang ada agar dapat
mencapai keinginannya. Ia meminta belas kasihan kepada istri raksasa yang baik
hati sehingga mereka diijinkan untuk bermalam di situ.
(20) Le Petit Poucet lui dit qu'ils étaient de pauvres enfants qui s'étaient perdus dans la forêt, et qui demandaient à coucher par charité. (p.195)
‘Le Petit Poucet mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak
malang yang tersesat di dalam hutan dan meminta belas
kasihan untuk dapat bermalam di rumahnya.’
4.2.3.1.4 Berjiwa Pemimpin
Walaupun Le Petit Poucet diremehkan oleh saudara-saudaranya, ia selalu
bertindak menjadi pemimpin dari keenam kakaknya. Ketika mereka bingung dan
menangis karena tersesat di hutan, ia menenangkan mereka dan menyuruh mereka
mengikutinya berjalan pulang.
(21) Le Petit Poucet les laissait crier, sachant bien par où il reviendrait à la maison, car en marchant il avait laissé tomber le long du chemin les petits cailloux blancs qu'il avait dans ses poches. Il leur dit donc: " Ne craignez point, mes frères; mon père et ma mère nous ont
laissés ici, mais je vous ramènerai bien au logis: suivez-moi
seulement. "
Ils le suivirent, et il les mena jusqu'à leur maison, par le même chemin qu'ils étaient venus dans la forêt. (p.192)
‘Le Petit Poucet membiarkan mereka menangis karena mengetahui bahwa ia dapat kembali ke rumah dengan cara mengikuti kerikil-kerikil putih yang telah dijatuhkannya di sepanjang jalan dari rumah menuju hutan. Ia berkata kepada mereka,
57
“Jangan takut, kakak-kakakku, orang tua kita telah meninggalkan kita di sini tetapi aku akan membawa kalian pulang. Ikuti aku.” Mereka mengikutinya dan ia membawa mereka sampai ke rumah mereka dengan melewati jalan yang sama seperti yang mereka lewati sebelumnya saat pergi ke hutan.’
4.2.3.1.5 Penyayang
Dalam cerita ini Le Petit Poucet terlihat sangat menyayangi keenam
saudaranya. Ia selalu menggunakan akalnya untuk dapat menyelamatkan mereka.
(22) Il ne savait que faire, lorsque, la bûcheronne leur ayant donné à chacun un morceau de pain pour leur déjeuner, il songea qu'il pourrait se servir de son pain au lieu de cailloux, en rejetant par miettes le long des chemins où ils passeraient: il le serra donc dans sa poche (p.194).
‘Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Pada saat ibunya
memberikan kepada mereka masing-masing sepotong roti, ia
berpikir bahwa ia dapat menjatuhkan rotinya sebagai pengganti
batu kerikil sepanjang jalan yang mereka lewati. Maka ia pun
memasukkan rotinya ke dalam sakunya.’
Sebelum berhadapan dengan sang Raksasa pun, ia memikirkan kakak-
kakaknya dan menyuruh mereka untuk pergi menyelamatkan diri mereka masing-
masing.
(23) Le Petit Poucet en eut moins de peur, et dit à ses frères de s'enfuir promptement à la maison pendant que l'Ogre dormait bien fort, et qu'ils ne se missent point en peine de lui. Ils crurent son conseil, et gagnèrent vite la maison. (p.198-199).
58
‘Le Petit Poucet tidak merasa takut, ia berkata kepada saudara-
saudaranya untuk pergi dengan cepat menuju rumah mereka
selama raksasa tertidur. Mereka meninggalkan raksasa,
mengikuti saran Le Petit Poucet dan sampai di rumah dengan
cepat.’
4.2.3.1.6 Pemberani
Dari perkataan Le Petit Poucet terlihat bahwa ia berani mengambil resiko
dimangsa oleh raksasa dengan meminta ijin istri raksasa untuk dapat bermalam di
rumahnya. Sikap ini dilatarbelakangi oleh kecerdikannya. Ia yakin bahwa ia pasti
akan menemukan jalan keluar agar ia dan keenam kakaknya selamat. Ia juga dapat
memilih peluang lebih besar untuk dapat selamat. Jika mereka bertujuh tetap
berada di hutan, mereka tidak akan sanggup menghadapi serigala-serigala yang
buas. Walaupun bermalam di rumah raksasa juga merupakan pilihan yang
beresiko, hal itu masih dapat diatasinya karena ia mengetahui kebaikan hati istri
sang Raksasa.
(24) “Hélas ! madame, lui répondit Le Petit Poucet, qui tremblait de toute sa force, aussi bien que ses frères, que ferons-nous ? Il est bien sûr que les loups de la forêt ne manqueront pas de nous manger cette nuit si vous ne voulez pas nous retirer chez vous, et cela étant, nous aimons mieux que ce soit Monsieur qui nous mange ; peut-être qu'il aura pitié de nous si vous voulez bien l'en prier." (p.195)
“Sayang sekali, Nyonya,” jawab Le Petit Poucet dengan
gemetar, sama seperti kakak-kakaknya, “Apa yang dapat kami
perbuat? Sudah pasti serigala-serigala di hutan tidak akan
59
menyia-nyiakan kesempatan mereka untuk memangsa kami
malam ini jika anda tidak mengijinkan kami untuk beristirahat
di rumah anda. Kami bahkan lebih memilih untuk dimangsa
oleh suami anda, mungkin ia akan mengasihani kami bila anda
meminta kepadanya.”
4.2.3.1.7 Berbakti kepada Orang Tua
Ia selalu ingat orang tuanya walaupun mereka menelantarkannya dan
kakak-kakaknya. Ia hanya berpikir bahwa jika keluarganya hidup berkecukupan,
orang tuanya pasti tidak akan menelantarkannya dan keenam saudaranya lagi di
hutan.
(25) Le Petit Poucet, étant donc chargé de toutes les richesses de l'Ogre, s'en revint au logis de son père, où il fut reçu avec bien de la joie. (p.199)
‘Le Petit Poucet, yang sudah memperoleh semua kekayaan raksasa, kembali ke rumahnya dan disambut dengan suka cita.’
4.2.3.1.8 Tidak Tahu Berterima Kasih
Setelah Le Petit Poucet berhasil memohon kepada istri raksasa agar
memperbolehkan mereka bermalam di rumahnya, ia seakan melupakan kebaikan
hati istri raksasa yang telah melindunginya dari raksasa yang hendak
memangsanya. Ketika istri raksasa berhasil membujuk suaminya untuk menunda
memangsa mereka, Le Petit Poucet dan keenam kakaknya diperbolehkan oleh
raksasa untuk tidur di kamar anak-anak perempuannya. Bukannya membalas
kebaikan istri sang Raksasa dengan tindakan yang mengungkapkan rasa terima
kasih, Le Petit Poucet malah menjadi penyebab kematian anak-anak perempuan
60
raksasa. Pada saat kedatangannya ke rumah raksasa mengenakan sepatu ajaib
milik raksasa, ia bertemu dengan istri raksasa yang sedang menangisi ketujuh
anak perempuannya yang sudah tewas. Ia tidak meminta maaf, melainkan menipu
istri raksasa dengan mengatakan bahwa ia diutus raksasa untuk mengambil
uangnya.
(26) Il alla droit à la maison de l'Ogre, où il trouva sa femme qui pleurait auprès de ses filles égorgées. " Votre mari, lui dit Le Petit Poucet, est en grand danger; car il a été pris par une troupe de voleurs, qui ont juré de le tuer s'il ne leur donne tout son or et tout son argent. Dans le moment qu'ils lui tenaient le poignard sur la gorge, il m'a aperçu et m'a prié de vous venir avertir de l'état où il est, et de vous dire de me donner tout ce qu'il a de vaillant, sans en rien retenir, parce qu'autrement ils le tueront sans miséricorde. Comme la chose presse beaucoup, il a voulu que je prisse ses bottes de sept lieues que voilà, pour faire diligence, et aussi afin que vous ne croyiez pas que je sois un affronteur." (p.199).
‘Ia pergi menuju rumah sang Raksasa dan menemukan istri raksasa yang sedang menangisi kematian anak-anaknya. Le Petit Poucet berkata kepadanya, “Suami anda berada dalam bahaya, karena ia sedang ditawan oleh sekawanan perampok yang mengancam akan membunuhnya jika ia tidak memberikan semua emas atau uangnya. Pada saat mereka menempelkan pisau ke leher suami anda, ia melihat saya dan memohon kepada saya dan ia memohon kepada kepada saya untuk datang kepada anda dan memberitahu keadaannya dan ia menyuruh anda untuk memberikan seluruh uangnya kepada saya agar saya dapat mengantarkannya kepada para perampok itu. Karena waktu yang mendesak, suami anda menyuruh saya untuk memakai sepatu ajaibnya agar saya dapat berjalan dengan cepat, dan agar anda tidak menyangka bahwa saya adalah seseorang yang dapat melakukan tantangan itu.”
Dari pemaparan mengenai karakter Le Petit Poucet di atas, dapat
dikatakan bahwa tokoh ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya
adalah ia cerdik sehingga dapat menyelamatkan saudara-saudaranya dari bahaya,
61
dapat memimpin keenam kakaknya dalam menghadapi berbagai rintangan untuk
dapat kembali ke rumah mereka, dan berbakti kepada orang tuanya. Sementara
kelemahan dari tokoh ini adalah kondisi tubuhnya yang kecil dan lemah.
Meskipun demikian, ia mampu menyelamatkan keluarganya dari kemiskinan
dengan melakukan penipuan terhadap istri raksasa untuk mendapatkan harta milik
raksasa. Kelemahan lainnya adalah ia hanya memikirkan kepentingan dirinya dan
keluarganya sehingga merugikan orang lain, serta membalas kebaikan orang lain
yang telah menolongnya dengan tindakan yang merugikan orang yang telah
menolongnya.
4.2.3.2 Raksasa
4.2.3.2.1 Pemakan Anak Kecil
Dalam dongeng ini, sang Raksasa adalah tokoh yang suka memakan anak-
anak kecil. Ia dapat mencium keberadaan anak kecil di sekitarnya tanpa melihat
mereka.
(27) Le mouton était encore tout sanglant, mais il ne lui en sembla que meilleur. Il flairait à droite et à gauche, disant qu'il sentait la chair fraîche. " Il faut, lui dit sa femme, que ce soit ce veau que je viens
d'habiller, que vous sentez.
Je sens la chair fraiche, te dis-je encore une fois, reprit l'Ogre,
en regardant sa femme de travers, et il y a ici quelque chose
que je n'entends pas. "
En disant ces mots, il se leva de table, et alla droit au lit.
(p.195)
62
’Daging domba yang dihidangkan masih berlumuran darah
namun raksasa merasakan ada yang lebih enak lagi. Ia menoleh
ke kiri dan ke kanan sambil berkata bahwa ia mencium aroma
daging segar.
Istrinya berkata, ”Pasti yang kau cium itu berasal dari daging
sapi yang telah kau kuliti.”
”Kukatakan sekali lagi bahwa aku mencium bau daging segar,”
ulang raksasa sambil memandang istrinya dengan pandangan
mencurigai, ”dan ada sesuatu di sini yang tidak kuketahui.”
Sambil mengatakan itu, ia bangkit dari meja dan berjalan
menuju tempat tidur.
4.2.3.2.2 Kasar
Karakter tokoh raksasa yang kasar terlihat dari setiap tindakannya yang
semena-mena terhadap orang lain.
(28) " Ah! dit-il, voilà donc comme tu veux me tromper, maudite femme! Je ne sais à quoi il tient que je ne te mange aussi : bien t'en prend d'être une vieille bête. Voilà du gibier qui me vient bien à propos pour traiter trois ogres de mes amis, qui doivent me venir voir ces jours-ci. " (p.196)
‘”Ah! Jadi ini yang ingin kau sembunyikan dariku, wahai
wanita terkutuk! Aku tidak tahu mengapa aku tidak
memakanmu juga walaupun kau sudah menjadi hewan yang tua
sekalipun. Inilah buruan yang dapat kusajikan untuk ketiga
63
teman raksasaku yang akan datang berkunjung dalam waktu
dekat.”
4.2.3.2.3 Sadis
Sang Raksasa merupakan raksasa yang paling sadis di antara raksasa-
raksasa yang lain. Ketika ia menemukan Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya,
tanpa ragu ia hendak membunuh mereka.
(29) Il les tira de dessous le lit, l'un après l'autre. Ces pauvres enfants se mirent à genoux, en lui demandant pardon; mais ils avaient affaire au plus cruel de tous les ogres, qui, bien loin d'avoir de la pitié, les dévorait déjà des yeux, et disait à sa femme que ce seraient là de friands morceaux, lorsqu'elle leur aurait fait une bonne sauce. (p.196) ‘Ia menarik mereka dari bawah tempat tidur, satu persatu. Anak-anak itu berlutut dan meminta ampun kepada sang Raksasa namun mereka berhadapan dengan raksasa yang paling kejam di antara raksasa yang lain, yang jauh dari rasa kasihan, dengan sinar mata yang seakan-akan mencabik mereka. Ia mengatakan kepada istrinya bahwa mereka akan menjadi makanan yang lezat bila istrinya membuatkan saus yang enak.
Ia juga digambarkan pembunuh berdarah dingin, terlihat ketika ia
memenggal kepala anak-anaknya tanpa disadarinya.
(30) En disant ces mots, il coupa sans balancer la gorge à ses sept filles. (p.197)
‘Sambil mengatakannya, ia memotong leher ketujuh anaknya tanpa ragu-ragu.’
Tokoh ini, sama seperti tokoh penebang kayu, juga menggambarkan sosok
ayah yang gagal melindungi anak-anaknya.
4.2.3.3 Ayah Le Petit Poucet
4.2.3.3.1 Seorang Penebang Kayu yang Miskin
64
Si penebang kayu mengusulkan dengan berat hati kepada istrinya untuk
membawa anak-anak mereka ke hutan dan meninggalkan mereka di sana karena
keadaan keluarganya yang miskin dan tidak sanggup lagi membesarkan ketujuh
anaknya. Ia mengambil keputusan tersebut karena menurutnya hal itu lebih baik
daripada melihat anak-anaknya mati kelaparan.
(31) Un soir que ces enfants étaient couchés, et que le bûcheron était auprès du feu avec sa femme, il lui dit, le coeur serré de douleur : " Tu vois bien que nous ne pouvons plus nourrir nos enfants; je
ne saurais les voir mourir de faim devant mes yeux, et je suis
résolu de les mener perdre demain au bois, ce qui sera bien
aisé, car, tandis qu'ils s'amuseront à fagoter, nous n'avons qu'à
nous enfuir sans qu'ils nous voient. (p.191-192)
‘Pada suatu malam ketika anak-anaknya sedang tertidur dan si
penebang kayu berada di dekat perapian bersama istrinya, ia
berkata berkata kepada istrinya dengan sedih, “Kamu tahu betul
bahwa kita sudah tidak sanggup lagi memberi makan anak-
anak kita. Aku tidak mau melihat mereka mati kelaparan di
depan mataku dan aku memutuskan untuk membawa mereka
ke hutan besok dan hal itu adalah sesuatu yang dapat dilakukan
dengan mudah karena di saat mereka sedang bersenang-senang
sambil mengumpulkan ranting-ranting, kita dapat pergi secara
diam-diam tanpa terlihat oleh mereka.”
65
Alasan yang menyebabkan si penebang kayu menelantarkan anak-anaknya
di dalam hutan adalah kondisi ekonominya yang sangat buruk. Sebenarnya
keputusan yang dibuat si penebang kayu adalah keputusan yang egois karena ia
hanya mementingkan dirinya serta istrinya. Ia tidak mau berusaha lebih keras lagi
agar keluarganya dapat hidup lebih baik tanpa terpisah satu sama lain.
Bagaimanapun juga anak-anaknya adalah darah dagingnya sendiri yang harus
dilindungi dan dijaga dengan baik.
4.2.3.3.2 Kasar
Dari sini tokoh penebang kayu digambarkan kasar. Sikap istrinya yang
tidak henti-hentinya menyesali perbuatannya dan selalu mengingatkannya akan
kesalahannya, membuatnya mengancam akan memukul istrinya jika istrinya tidak
segera diam.
(32) Le bûcheron s'impatienta à la fin ; car elle redit plus de vingt fois qu'ils s'en repentiraient, et qu'elle l'avait bien dit. Il la menaça de la battre si elle ne se taisait. (p.193)
‘Si penebang kayu hilang kesabaran pada akhirnya karena
istrinya selalu mengulang kata-katanya bahwa ia menyesal
telah meninggalkan anak-anaknya di hutan. Ia mengancam
akan memukul istrinya jika tidak bisa diam.’
4.2.3.3.3 Egois
Penebang kayu dapat dikatakan lebih mementingkan dirinya dan istrinya
daripada anak-anaknya karena ia tidak hanya sekali menelantarkan mereka di
dalam hutan yang penuh bahaya, melainkan dua kali. Jika ia memikirkan anak-
66
anaknya, ia pasti akan berusaha lebih keras untuk mendapatkan uang agar dapat
menghidupi ketujuh anaknya.
(33) Mais, lorsque l'argent fut dépensé, ils retombèrent dans leur premier chagrin, et résolurent de les perdre encore ; et, pour ne pas manquer leur coup, de les mener bien plus loin que la première fois. (p.194)
‘Tapi saat uang mereka habis, mereka kembali pada kesedihan
mereka. Dan jalan keluar satu-satunya adalah membuang
mereka lagi. Agar mereka tidak gagal lagi, mereka akan
meninggalkan mereka lebih jauh lagi dari yang pertama.’
Tokoh penebang kayu yang berperan sebagai ayah digambarkan sebagai
tokoh ayah yang tidak dapat melindungi anak-anaknya dengan baik karena ia
lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anak-anaknya.
Akibat perbuatannya, anak-anaknya yang tidak berdosa harus menghadapi bahaya
tanpa ada
sosok yang melindungi mereka.
4.2.3.4 Ibu Le Petit Poucet
4.2.3.4.1 Penyayang
Sebagai ibu, ia sangat menyayangi anak-anaknya. Walaupun pada
awalmya ia tidak menyetujui keputusan suaminya yang akan meninggalkan anak-
anaknya di hutan, namun akhirnya ia menerimanya dengan rasa sedih. Setidaknya
67
dengan ia membuang anak-anaknya di hutan, ia tidak menyaksikan anak-anaknya
mati di depan matanya.
(34) Son mari avait beau lui représenter leur grande pauvreté, elle ne pouvait y consentir; elle était pauvre, mais elle était leur mère. Cependant, ayant considéré quelle douleur ce lui serait de les voir mourir de faim, elle y consentit, et alla se coucher en pleurant. (p.192)
‘Suaminya menjelaskan kembali tentang kemiskinan mereka tapi istrinya tetap tidak menyetujuinya. Ia miskin namun ia tetap ibu mereka. Meskipun demikian, ketika ia membayangkan kesedihannya bila melihat anak-anaknya mati kelaparan, ia menyetujui suaminya. Lalu ia pergi tidur sambil menangis.’
4.2.3.4.2 Tidak Bertanggungjawab
Ia terus menyalahkan suaminya atas perbuatan yang juga dilakukannya.
Hal itu didasari oleh rasa bersalahnya sebagai ibu yang menelantarkan anak-
anaknya sendiri dan tidak dapat melindungi mereka sehingga ia melampiaskan
emosinya kepada suaminya. Jika ia adalah ibu yang bertanggung jawab atas
perbuatannya, ia tidak hanya menyalahkan suaminya saja.
(35) " Hélas ! où sont maintenant nos pauvres enfants ? Ils feraient bonne chère de ce qui nous reste là. Mais aussi, Guillaume, c'est toi qui les as voulu perdre ; j'avais bien dit que nous nous en repentirions. Que font-ils maintenant dans cette forêt ? Hélas! mon Dieu, les loups les ont peut-être déjà mangés! Tu es bien inhumain d'avoir perdu ainsi tes enfants ! " (p.193)
‘”Sayang! Sekarang di mana anak-anak malang kita? Mereka anak-anak yang baik saat kita meninggalkannya di sana. Tapi, Guillaume, kamu yang ingin membuang mereka, aku sangat menyesal. Apa yang mereka sedang mereka lakukan di dalam hutan? Sayang! Tuhanku, serigala-serigala pasti telah memakan mereka! Kamu tidak berperikemanusiaan telah menelantarkan anak-anakmu sendiri!”
68
4.2.3.4.3 Tidak Adil
Tokoh ini digambarkan tidak adil dalam memberikan kasih sayang kepada
anak-anaknya karena ia lebih menyayangi anak sulungnya hanya karena mirip
dengannya, bukan karena sikapnya yang baik atau kepintarannya. Seharusnya
sebagai ibu, ia harus bertindak bijaksana dan adil terhadap anaknya agar menjadi
contoh yang baik bagi mereka.
(36) " Que je suis aise de vous revoir, mes chers enfants ! Vous êtes bien las, et vous avez bien faim ; et toi, Pierrot, comme te voilà crotté, viens que je te débarbouille." Ce Pierrot était son fils aîné, qu'elle aimait plus que tous les
autres, parce qu'il était un peu rousseau, et qu'elle était un peu
rousse. (p.193)
‘”Betapa senangnya aku melihat kalian lagi, anak-anakku sayang! Kalian pasti lelah dan kelaparan. Pierrot, kamu kotor sekali. Ke sini, aku akan membersihkanmu.” Pierrot merupakan anak sulungnya yang paling disayang daripada yang lainnya karena ia memiliki kulit merah kecoklatan yang sama dengan kulitnya.’
4.2.3.5 Istri Raksasa
4.2.3.5.1 Baik Hati
Tokoh istri raksasa adalah tokoh yang baik hati. Sejak awal ia sudah
mengingatkan Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya bahwa suaminya suka
memakan anak-anak kecil.
(37) Cette femme, les voyant tous si jolis, se mit à pleurer, et leur dit:
69
" Hélas ! mes pauvres enfants, où êtes-vous venus ? Savez-vous
bien que c'est ici la maison d'un Ogre qui mange les petits
enfants? (p.195)
‘Wanita itu memandang mereka dengan iba kemudian mulai menangis dan berkata: “Anak-anakku yang malang, ke mana kalian datang? Tahukah kalian bahwa di sini rumah seorang raksasa yang senang makan anak-anak?’
Kebaikan hatinya juga terlihat ketika suaminya datang, ia
menyembunyikan mereka di bawah tempat tidur dan membujuk suaminya
sehingga Le Petit Poucet beserta keenam kakaknya tidak jadi dibunuh oleh
suaminya dengan mengingatkan suaminya bahwa mereka masih mempunyai
persediaan makanan yang banyak. Tindakannya ini berhasil menyelamatkan
nyawa Le Petit Poucet beserta kakak-kakaknya.
4.2.3.5.2 Penyayang
Istri raksasa merupakan ibu yang baik dan menyayangi semua anak
walaupun mereka bukan anaknya sendiri. Ia tidak tega bila Le Petit Poucet dan
kakak-kakaknya dibunuh, terlebih lagi bila menyangkut anak-anak perempuannya.
Rasa sayang dan sedih yang menyelimuti hati istri raksasa membuatnya tak
sadarkan diri karena semua anak-anaknya telah mati.
(38) L'Ogresse fut fort étonnée de la bonté de son mari, ne se doutant point de la manière qu'il entendait qu'elle les habillât, et croyant qu'il lui ordonnait de les aller vêtir, elle monta en haut, où elle fut bien surprise, lorsqu'elle aperçut ses sept filles égorgées et nageant dans leur sang. Elle commença par
70
s'évanouir, car c'est le premier expédient que trouvent presque toutes les femmes en pareilles rencontres. (p.198)
‘Istri raksasa sangat heran melihat kebaikan suaminya. Ia tidak
mencurigai apa yang telah dilakukan suaminya. Ia percaya pada
suaminya. Ia masuk ke kamar anak-anaknya dan betapa
terkejutnya ia saat ia melihat ketujuh anaknya tergorok dan
berlumuran darah. Ia pingsan. Itu yang akan terjadi pada
hampir semua wanita saat mengalami hal yang sama.’
Tokoh ini merupakan tokoh yang selalu menampilkan kebaikan. Walaupun
kebaikan hatinya diabaikan oleh orang-orang yang ditolongnya, ia tetap tidak
menaruh dendam kepada mereka.
4.2.3.6 Saudara-saudara Le Petit Poucet
4.2.3.6.1 Sombong
Keenam saudara Le Petit Poucet selalu menganggap remeh adik mereka
karena ukuran tubuhnya yang sangat kecil dan kondisi badannya yang ringkih.
(39) Il était fort petit, et, quand il vint au monde, il n'était guère plus gros que le pouce, ce qui fit qu'on l'appela Le Petit Poucet. Ce pauvre enfant était le souffre-douleur de la maison, et on lui donnait toujours tort. (p.191)
‘Ia bertubuh sangat kecil, dan ketika ia lahir, ukuran tubuhnya hampir tidak lebih besar dari jari jempol sehingga ia dijuluki Le Petit Poucet. Anak malang itu merupakan anak yang paling menderita dalam keluarganya karena mereka selalu menyalahkan dirinya.’
71
4.2.3.7 Anak-anak Perempuan Sang Raksasa
4.2.3.7.1 Kanibal
Anak-anak perempuan raksasa berjumlah tujuh orang dan mereka masih
kecil-kecil. Mereka menyerupai ayahnya karena sama-sama memakan daging
manusia.
(40) L'Ogre avait sept filles, qui n'étaient encore que des enfants. Ces petites ogresses avaient toutes le teint fort beau, parce qu'elles mangeaient de la chair fraîche, comme leur père ; mais elles avaient de petits yeux gris et tout ronds, le nez crochu, et une fort grande bouche, avec de longues dents fort aiguës et fort éloignées l'une de l'autre. Elles n'étaient pas encore fort méchantes; mais elles promettaient beaucoup, car elles mordaient déjà les petits enfants pour en sucer le sang. (p.196)
‘Sang Raksasa mempunyai tujuh anak perempuan yang masih kecil. Mereka mempunyai kulit yang bagus karena mereka memakan daging segar seperti ayah mereka namun mereka mempunyai mata yang kecil dan bulat berwarna abu-abu, hidung yang bengkok, serta mulut yang besar dengan gigi yang panjang, runcing, dan terletak berjauhan satu sama lain. Mereka belum cukup jahat tetapi mereka mempunyai peluang untuk menjadi jahat karena mereka sudah membunuh anak-anak kecil untuk dihisap darahnya.
4.3 Analisis Tindak Kekerasan
Dari analisis sintagmatik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
alur yang terdapat dalam dongeng Le Petit Poucet bergerak maju. Hal ini sesuai
dengan alur dongeng pada umumnya yang sederhana tanpa adanya alur yang
bergerak mundur.
Alur diakhiri dengan kebahagiaan keluarga penebang kayu karena anak-
anaknya selamat berkat kecerdikan dan keberanian Le Petit Poucet dan hidup
mereka berkecukupan dengan uang milik raksasa.
72
Alur digerakkan oleh berbagai kekerasan yang dilakukan, baik oleh
keluarga Le Petit Poucet sendiri, yaitu kedua orang tuanya yang menelantarkan
anak-anak mereka di dalam hutan yang terdapat dalam sekuen (2) dan (9),
penipuan yang dilakukan Le Petit Poucet terhadap istri raksasa (23), maupun oleh
raksasa yang memenggal kepala anak-anaknya sendiri (18).
4.3.1 Jenis Tindak Kekerasan
Dari analisis latar dan tokoh yang telah dikemukakan di atas, dapat
ditemukan berbagai jenis kekerasan yang ditampilkan melalui tindakan para
tokohnya dengan menggunakan latar tempat serta waktu tertentu. Tindakan
kekerasan sebagian besar terjadi di dalam rumah Le Petit Poucet, rumah raksasa,
serta hutan. Rumah Le Petit Poucet merupakan tempat terjadinya kekerasan psikis
dengan perlakuan saudara-saudara Le Petit Poucet kepada Le Petit Poucet serta
ketidakadilan ibu Le Petit Poucet dalam membagi kasih sayangnya kepada
ketujuh anaknya. Rumah raksasa merupakan tempat yang paling banyak terjadi
kekerasan, terutama kekerasan fisik yaitu ruang makan tempat raksasa menaruh
binatang kecil buruannya dan kamar tidur anak-anak perempuannya yang menjadi
latar peristiwa pemenggalan kepala anak-anak raksasa oleh raksasa sendiri. Selain
itu, kekerasan psikis juga terjadi di ruang makan di rumah raksasa, yang ditandai
ketika raksasa mengancam akan membunuh Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya
serta kata-kata penghinaan yang dilontarkannya kepada istrinya.
Dari analisis sintagmatik dan paradigmatik di atas, di bawah ini akan
dipaparkan berbagai jenis tindak kekerasan yang terdapat dalam dongeng Le Petit
Poucet.
73
4.3.1.1 Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik yang terdapat dalam dongeng ini sebagian besar dilakukan
oleh sang Raksasa. Pelaku tindak kekerasan lainnya adalah penebang kayu dan
istrinya, Le Petit Poucet, dan ketujuh anak sang Raksasa.
4.3.1.1.1 Raksasa
Dalam dongeng ini, sang Raksasa merupakan tokoh yang suka memakan
anak-anak kecil. (... ”Savez-vous bien que c'est ici la maison d'un Ogre qui mange
les petits enfants?”). Untuk lebih lebih jelasnya dapat dilihat pada data (36) di
bawah ini:
(36 ) Ils heurtèrent à la porte, et une bonne femme vint leur ouvrir. Elle leur demanda ce qu'ils voulaient. Le Petit Poucet lui dit qu'ils étaient de pauvres enfants qui s'étaient perdus dans la forêt, et qui demandaient à coucher par charité. Cette femme, les voyant tous si jolis, se mit à pleurer, et leur dit :
" Hélas ! mes pauvres enfants, où êtes-vous venus ? Savez-vous bien que c'est ici la maison d'un Ogre qui mange les petits enfants?
‘Mereka mengetuk pintu dan seorang wanita yang baik hati datang membuka pintu. Ia bertanya apa yang mereka inginkan. Le Petit Poucet berkata padanya bahwa mereka adalah anak-anak yang tersesat di hutan dan bertanya apakah mereka bisa menginap. Wanita itu memandang mereka dengan kasihan, ia menangis dan kemudian berkata: “Anak-anak yang malang, apakah kalian tahu ke mana kalian datang? Tahukah kalian bahwa ini adalah rumah seorang raksasa yang memakan anak-anak kecil?”
Selain itu, sang Raksasa melakukan tindak kekerasan fisik dengan
membunuh anak-anaknya sendiri meskipun itu karena ketidaksengajaan. Ia
menyangka bahwa anak-anaknya adalah Le Petit Poucet dan keenam saudaranya
74
(...En disant ces mots, il coupa sans balancer la gorge à ses sept filles).
Selengkapnya dapat dilihat dari data (37) di bawah ini:
(37) Il monta donc à tâtons à la Chambre de ses filles et s'approcha du lit où étaient les petits garçons, qui dormaient tous, excepté Le Petit Poucet, qui eut bien peur lorsqu'il sentit la main de l'Ogre qui lui tâtait la tête, comme il avait tâté celles de tous ses frères. L'Ogre, qui sentit les Couronnes d'or : " Vraiment, dit- il, j'allais faire là un bel ouvrage; je vois bien que je bus trop hier au soir. " Il alla ensuite au lit de ses filles, où ayant senti les petits bonnets des garçons: " Ah ! les voilà, dit-il, nos gaillards! travaillons hardiment. " En disant ces mots, il coupa sans balancer la gorge à ses sept filles. (p.197)
‘Dia masuk ke dalam kamar anak-anaknya dengan diam-diam, menghampiri tempat tidur di mana anak-anak tersebut terlelap kecuali Le Petit Poucet yang ketakutan saat ia merasakan tangan sang Raksasa yang meraba kepalanya. Ketika sang Raksasa meraba kepala anak-anak tersebut, ia menyentuh mahkota emas milik anak-anaknya: “Benar”, katanya. “Saya akan membuat suatu karya yang istimewa, saya tahu bahwa saya kemarin malam minum terlalu banyak.” Ia menuju ke tempat tidur anak-anaknya, ia merasakan topi milik Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya. “Ah! Ini dia anak laki-laki kita,” katanya. “Ayo bekerja keras.” Sambil mengatakannya, ia memotong leher ketujuh anaknya tanpa ragu-ragu.’
Kedua cuplikan cerita di atas merupakan contoh tindak kekerasan fisik
yang dilakukan oleh sang Raksasa. Tokoh sang Raksasa merupakan tokoh yang
paling kejam dalam cerita ini karena ia telah membunuh ketujuh anak
perempuannya dengan tangannya sendiri. Kebiasaannya memakan anak-anak
kecil dan binatang-binatang juga dapat dikategorikan dalam kekerasan fisik.
4.3.1.1.2 Ayah Le Petit Poucet
Tokoh penebang kayu digambarkan sebagai tokoh yang tidak dapat
melindungi anak-anaknya karena ia menelantarkan anak-anaknya sendiri di dalam
75
hutan yang sangat berbahaya (...s'éloignèrent d'eux insensiblement, et puis
s'enfuirent tout à coup par un petit sentier détourné...).
(38) Ils allèrent dans une forêt fort épaisse, où à dix pas de distance on ne se voyait pas l'un l'autre. Le Bûcheron se mit à couper du bois et ses enfants à ramasser des broutilles pour faire des fagots. Le père et la mère, les voyant occupés à travailler, s'éloignèrent d'eux insensiblement, et puis s'enfuirent tout à coup par un petit sentier détourné. (p.192)
‘Mereka pergi ke dalam hutan yang sangat lebat, berjalan saling berjauhan sehingga mereka tidak dapat saling melihat satu dengan yang lainnya. Si penebang kayu mulai memotong kayu, anak-anaknya mengumpulkan ranting-ranting untuk diikat. Penebang kayu dan istrinya memperhatikan anak-anaknya sedang sibuk bekerja. Mereka menjauh sedikit demi sedikit dan kemudian pergi cepat-cepat melewati jalan-jalan kecil yang berbelok.’
Perilaku menelantarkan anak-anak di dalam hutan termasuk tindak
kekerasan fisik karena dapat membahayakan mereka. Hutan merupakan tempat
yang penuh dengan cobaan dan bahaya. Dengan meninggalkan ketujuh anaknya di
dalam hutan, dapat dikatakan ia melakukan kekerasan fisik secara tidak langsung.
4.3.1.1.3 Le Petit Poucet
Dalam dongeng ini, tokoh utama yang mewakili sosok anak ditampilkan
sebagai korban kekerasan yang dilakukan oleh orang tua yang menelantarkannya,
keenam saudaranya yang selalu meremehkannya, serta raksasa yang mengancam
akan memangsanya. Akan tetapi selain berada di posisi korban, ia juga menjadi
pelaku tindakan kekerasan yang terlihat ketika secara tidak langsung, ia menjadi
penyebab kematian anak-anak perempuan raksasa dan pada saat ia menipu istri
raksasa agar ia mendapatkan uang milik raksasa (...et prenant les bonnets de ses
76
frères et le sien, il alla tout doucement les mettre sur la tête des sept filles de
l'Ogre,..).
(39) Le Petit Poucet, qui avait remarqué que les filles de l'Ogre avaient des couronnes d'or sur la tête, et qui craignait qu'il ne prît à l'Ogre quelques remords de ne les avoir pas égorgés dès le soir même, se leva vers le milieu de la nuit, et prenant les bonnets de ses frères et le sien, il alla tout doucement les mettre sur la tête des sept filles de l'Ogre, après leur avoir ôté leurs couronnes d'or, qu'il mit sur la tête de ses frères, et sur la sienne afin que l'Ogre les prît pour ses filles, et ses filles pour les garçons qu'il voulait égorger. (p.197)
‘Le Petit Poucet memperhatikan bahwa ketujuh anak perempuan raksasa mengenakan mahkota dari emas. Ketika mereka semua telah tertidur, ia bangun dan mengambil topi yang dikenakannya dan kakak-kakaknya. Perlahan-lahan, ia meletakkan topi-topinya di kepala anak-anak raksasa itu dan mengenakan mahkota milik ketujuh anak raksasa di kepalanya dan keenam kakaknya agar sang Raksasa menyangka mereka adalah anak-anaknya ketika raksasa ingin membunuh mereka.’
4.3.1.1.4 Anak-anak Perempuan Sang Raksasa
Tokoh anak-anak raksasa tidak berperan banyak dalam cerita ini. Mereka
menjadi pelaku kekerasan fisik dengan membunuh anak-anak kecil untuk dihisap
darahnya (...car elles mordaient déjà les petits enfants pour en sucer le sang...).
(40) L'Ogre avait sept filles, qui n'étaient encore que des enfants. Ces petites ogresses avaient toutes le teint fort beau, parce qu'elles mangeaient de la chair fraîche, comme leur père ; mais elles avaient de petits yeux gris et tout ronds, le nez crochu, et une fort grande bouche, avec de longues dents fort aiguës et fort éloignées l'une de l'autre. Elles n'étaient pas encore fort méchantes; mais elles promettaient beaucoup, car elles mordaient déjà les petits enfants pour en sucer le sang. (p.196)
‘Sang Raksasa mempunyai tujuh anak perempuan yang masih kecil. Mereka mempunyai kulit yang bagus karena mereka memakan daging segar seperti ayah mereka namun mereka
77
mempunyai mata yang kecil dan bulat berwarna abu-abu, hidung yang bengkok, serta mulut yang besar dengan gigi yang panjang, runcing dan terletak berjauhan satu sama lain. Mereka belum cukup jahat tetapi mereka mempunyai peluang untuk menjadi jahat karena mereka sudah membunuh anak-anak kecil untuk dihisap darahnya.
4.3.1.2 Kekerasan Psikis
Hampir semua tokoh melakukan kekerasan termasuk kekerasan psikis.
Kekerasan psikis yang terjadi dalam cerita ini dilakukan oleh raksasa, suami istri
penebang kayu, saudara-saudara Le Petit Poucet, dan Le Petit Poucet.
4.3.1.2.1 Sang Raksasa
Kekerasan psikis yang dilakukannya terlihat saat ia mengancam akan
membunuh Le Petit Poucet dan ketika ia menghina istrinya dengan kata-kata yang
kasar.
Dalam dongeng ini ia mengeluarkan kata-kata kasar kepada istrinya.
Perlakuannya tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan psikis yang
menyakiti perasaan istrinya (" Ah! dit-il, voilà donc comme tu veux me tromper,
maudite femme!).
(41) " Ah! dit-il, voilà donc comme tu veux me tromper, maudite femme! Je ne sais à quoi il tient que je ne te mange aussi : bien t'en prend d'être une vieille bête. Voilà du gibier qui me vient bien à propos pour traiter trois ogres de mes amis, qui doivent me venir voir ces jours-ci. " (p.196)
‘”Ah! Jadi ini yang ingin kau sembunyikan dariku, wahai wanita terkutuk! Aku tidak tahu mengapa aku tidak memakanmu juga walaupun kau sudah menjadi hewan yang tua sekalipun. Inilah buruan yang dapat kusajikan untuk ketiga
78
teman raksasaku yang akan datang berkunjung dalam waktu dekat.”
Sang Raksasa juga melakukan tindak kekerasan psikis terhadap Le Petit
Poucet dan saudara-saudaranya yaitu dengan mengancam akan membunuh
mereka (...ce seraient là de friands morceaux, lorsqu'elle leur aurait fait une
bonne sauce.).
(42) Il les tira de dessous le lit, l'un après l'autre. Ces pauvres enfants se mirent à genoux, en lui demandant pardon; mais ils avaient affaire au plus cruel de tous les ogres, qui, bien loin d'avoir de la pitié, les dévorait déjà des yeux, et disait à sa femme que ce seraient là de friands morceaux, lorsqu'elle leur aurait fait une bonne sauce. Il alla prendre un grand couteau ; et en approchant de ces pauvres enfants, il l'aiguisait sur une longue pierre, qu'il tenait à sa main gauche. (p.196)
‘Ia menarik mereka dari bawah tempat tidur, satu persatu. Anak-anak itu berlutut dan meminta ampun kepada sang Raksasa namun mereka berhadapan dengan raksasa yang paling kejam di antara raksasa yang lain, yang jauh dari rasa kasihan, dengan sinar mata yang seakan-akan mencabik mereka. Ia mengatakan kepada istrinya bahwa mereka akan menjadi makanan yang lezat bila istrinya membuatkan saus yang enak.
4.3.1.2.2 Ayah Le Petit Poucet
Kekerasan psikis yang dilakukan penebang ditunjukkan dari sikapnya
yang mengancam akan memukul istrinya bila istrinya tidak berhenti
menyalahkannya atas hilangnya anak-anak mereka (Il la menaça de la battre si
elle ne se taisait.).
(43) Le bûcheron s'impatienta à la fin ; car elle redit plus de vingt fois qu'ils s'en repentiraient, et qu'elle l'avait bien dit. Il la menaça de la battre si elle ne se taisait. (p.193)
79
‘Si penebang kayu hilang kesabaran pada akhirnya karena istrinya selalu mengulang kata-katanya bahwa ia menyesal telsh meninggalkan anak-anaknya di hutan. Ia mengancam akan memukul istrinya jika tidak bisa diam.’
Penebang kayu dapat dikatakan melakukan kekerasan psikis karena ia
membiarkan anak-anaknya berada di suatu tempat yang penuh dengan bahaya.
Hal itu menyebabkan anak-anaknya merasa sedih karena diabaikan dan ketakutan
karena harus menghadapi bahaya yang ada tanpa mendapatkan perlindungan (...ils
glissaient à chaque pas et tombaient dans la boue, d'où ils se relevaient tout
crottés,...).
(44) La nuit vint, et il s'éleva un grand vent qui leur faisait des peurs épouvantables. Ils croyaient n'entendre de tous côtés que les hurlements de Loups qui venaient à eux pour les manger. Ils n'osaient presque se parler ni tourner la tête. Il survint une grosse pluie qui les perça jusqu'aux os; ils glissaient à chaque pas et tombaient dans la boue, d'où ils se relevaient tout crottés,...(p.194)
‘Malam tiba, angin berembus sangat kencang yang membuat mereka sangat ketakutan. Mereka mendengar lolongan serigala di sekitar mereka yang akan datang untuk memakan mereka. Mereka tidak berani berbicara maupun menengok. Tiba-tiba hujan turun sangat lebat sampai-sampai dinginnya menusuk sampai ke tulang. Mereka terpeleset saat berjalan, terjatuh ke dalam lumpur dan bangun dengan badan penuh lumpur,…’
4.3.1.2.3 Ibu Le Petit Poucet
Kekerasan psikis yang dilakukannya adalah dalam hal pembagian kasih
sayang yang tidak adil terhadap anak-anaknya. Ia lebih menyayangi anak
sulungnya hanya karena mirip dengannya (Ce Pierrot était son fils aîné, qu'elle
aimait plus que tous les autres,...).
(45) " Que je suis aise de vous revoir, mes chers enfants ! Vous êtes
80
bien las, et vous avez bien faim ; et toi, Pierrot, comme te voilà crotté, viens que je te débarbouille." Ce Pierrot était son fils aîné, qu'elle aimait plus que tous les autres, parce qu'il était un peu rousseau, et qu'elle était un peu rousse. (p.193)
‘”Betapa senangnya aku melihat kalian lagi, anak-anakku sayang! Kalian pasti lelah dan kelaparan. Pierrot, kamu kotor sekali. Ke sini, aku akan membersihkanmu.” Pierrot merupakan anak sulungnya yang paling disayang daripada yang lainnya karena ia memiliki kulit merah kecoklatan yang sama dengan kulitnya.’
4.3.1.2.4 Saudara-saudara Le Petit Poucet
Tokoh-tokoh ini mewakili sosok anak yang melakukan tindak kekerasan,
terutama kekerasan psikis dengan meremehkan adik mereka (Ce pauvre enfant
était le souffre-douleur de la maison, et on lui donnait toujours tort.).
(46) Il était fort petit, et, quand il vint au monde, il n'était guère plus gros que le pouce, ce qui fit qu'on l'appela Le Petit Poucet. Ce pauvre enfant était le souffre-douleur de la maison, et on lui donnait toujours tort. (p.191)
‘Ia bertubuh sangat kecil, dan ketika ia lahir, ukuran tubuhnya hampir tidak lebih besar dari jari jempol sehingga ia dijuluki Le Petit Poucet. Anak malang itu merupakan anak yang paling menderita dalam keluarganya karena mereka selalu menyalahkan dirinya.’
4.3.1.2.5 Le Petit Poucet
Le Petit Poucet melakukan tindak kekerasan psikis saat ia melakukan
penipuan terhadap istri raksasa untuk mendapatkan harta milik sang Raksasa
padahal istri raksasa sangat baik terhadapnya dan keenam kakaknya.
(47) Il alla droit à la maison de l'Ogre, où il trouva sa femme qui pleurait auprès de ses filles égorgées. " Votre mari, lui dit Le Petit Poucet, est en grand danger; car il a été pris par une
81
troupe de voleurs, qui ont juré de le tuer s'il ne leur donne tout son or et tout son argent. Dans le moment qu'ils lui tenaient le poignard sur la gorge, il m'a aperçu et m'a prié de vous venir avertir de l'état où il est, et de vous dire de me donner tout ce qu'il a de vaillant, sans en rien retenir, parce qu'autrement ils le tueront sans miséricorde. Comme la chose presse beaucoup, il a voulu que je prisse ses bottes de sept lieues que voilà, pour faire diligence, et aussi afin que vous ne croyiez pas que je sois un affronteur." (p.199).
‘Ia pergi menuju rumah sang raksasa dan menemukan istri raksasa yang sedang menangisi kematian anak-anaknya. Le Petit Poucet berkata kepadanya, “Suami anda berada dalam bahaya, karena ia sedang ditawan oleh sekawanan perampok yang mengancam akan membunuhnya jika ia tidak memberikan semua emas atau uangnya. Pada saat mereka menempelkan pisau ke leher suami anda, ia melihat saya dan memohon kepada kepada saya untuk datang kepada anda dan memberitahu keadaannya dan ia menyuruh anda untuk memberikan seluruh uangnya kepada saya agar saya dapat mengantarkannya kepada para perampok itu. Karena waktu yang mendesak, suami anda menyuruh saya untuk memakai sepatu ajaibnya agar saya dapat berjalan dengan cepat, dan agar anda tidak menyangka bahwa saya adalah seseorang yang dapat melakukan tantangan itu.”
Dari pemaparan mengenai tokoh, dapat disimpulkan bahwa hampir semua
tokoh melakukan kekerasan dalam jenis yang berbeda-beda. Hanya satu tokoh
yang tidak melakukan kekerasan yaitu istri raksasa. Ia malah menjadi korban dari
kekerasan yang dilakukan tokoh Le Petit Poucet.
4.3.2 Penyebab Terjadinya Kekerasan
Segala tindakan kekerasan yang terjadi dalam cerita ini disebabkan oleh
faktor yang berbeda-beda, baik dari diri sendiri, seperti tokoh raksasa yang
melakukan pembunuhan karena ia memang suka membunuh, maupun dari
keadaan yang mendesak seperti penebang kayu yang menelantarkan anak-anaknya
karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan. Semua urutan peristiwa
82
dalam dongeng ini menunjukkan adanya hubungan sebab akibat serta peningkatan
bentuk kekerasan yang terjadi. Dari peristiwa ditelantarkannya Le Petit Poucet
dan kakak-kakaknya, hingga peristiwa dibunuhnya anak-anak perempuan raksasa
oleh raksasa sendiri.
Berdasarkan sebab akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
para tokoh, dapat terlihat bahwa tindakan kekerasan tersebut terdiri atas kekerasan
yang dilakukan karena keinginan dari pelaku kekerasan, seperti misalnya sang
Raksasa mengancam akan membunuh Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya karena
ia memang ingin memakan mereka, dan kekerasan yang dilakukan karena adanya
faktor lain dari luar pelaku itu sendiri, seperti keadaan yang memaksa pelaku
melakukan kekerasan. Misalnya, penebang kayu yang menelantarkan anak-
anaknya di dalam hutan.
83
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Setelah peneliti melakukan pembacaan dan analisis perilaku tokoh-
tokohnya, ternyata ditemukan bahwa dongeng Le Petit Poucet menampilkan
tindak kekerasan dengan jelas. Terlihat pula berbagai tindakan kekerasan yang
mengalami peningkatan, dari tindakan orang tua, yaitu penebang kayu yang
menelantarkan anak-anaknya, hingga pembunuhan yang dilakukan oleh sang
Raksasa kepada anak-anaknya.
Latar yang digunakan dalam dongeng ini, baik latar waktu maupun latar
tempat, juga mendukung adanya tindakan kekerasan. Latar waktu yang di maksud
adalah ketika terjadi bencana kelaparan yang menyebabkan orang tua Le Petit
Poucet memutuskan untuk menelantarkan anak-anaknya. Latar tempat yang
mendukung tindakan kekerasan antara lain hutan sebagai tempat yang berbahaya
dan juga rumah raksasa yang menyimpan banyak hewan hasil buruan raksasa.
Peran tokoh-tokohnya pun mendukung tema kekerasan tersebut. Dari
pihak keluarga Le Petit Poucet, semua anggota keluarganya melakukan tindakan
kekerasan. Tokoh Le Petit Poucet melakukan kekerasan psikis yang berupa
penipuan terhadap istri raksasa; keenam saudara Le Petit Poucet melakukan
kekerasan psikis dengan selalu meremehkan Le Petit Poucet; ayah mereka
melakukan kekerasan fisik dengan membuang anak-anaknya di hutan dan
84
kekerasan psikis yang tampak dari perbuatannya, yakni mengancam istrinya; serta
ibu mereka yang melakukan kekerasan fisik dan psikis dengan menelantarkan
mereka dan berlaku tidak adil dalam membagi kasih sayangnya kepada anak-
anaknya dengan lebih menyayangi anak sulungnya karena anaknya tersebut
memiliki wajah yang paling mirip dengannya.
Dari pihak keluarga raksasa, walaupun ditampilkan sebagai tokoh-tokoh
yang mewakili kejahatan, ternyata tidak semua tokohnya melakukan kekerasan.
Kekerasan yang diperbuat oleh Raksasa adalah kekerasan fisik dan psikis.
Kekerasan fisik berupa kekejaman seorang ayah yang terlihat ketika sang Raksasa
memenggal kepala anak-anaknya meskipun ia menyangka bahwa anak-anaknya
adalah Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya. Sementara itu kekerasan psikis
tampak pada saat Raksasa mengancam Le Petit Poucet beserta keenam kakaknya
dan juga saat mengucapkan kata-kata penghinaan yang kasar kepada istrinya.
Anak-anak perempuan Raksasa merupakan korban dari kekerasan yang
diperbuat ayah mereka, akan tetapi sebelumnya telah diceritakan bahwa mereka
pernah membunuh anak-anak kecil untuk dihisap darahnya. Oleh karena itu,
mereka termasuk tokoh yang melakukan kekerasan fisik yang berupa
pembunuhan.
Berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya, tokoh istri raksasa digambarkan
sebagai tokoh yang baik hati dan tidak pernah melakukan kekerasan. Melalui
tindakan-tindakan yang dilakukan para tokoh itulah tampak dua jenis kekerasan
yang ditampilkan, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan psikis.
85
Dari pemaparan di atas, terlihat pula penyebab tindak kekerasan dalam
cerita ini, yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai kebiasaan, seperti misalnya
sang Raksasa yang sudah biasa membunuh dan memangsa anak-anak kecil, serta
kekerasan yang dilakukan untuk mempertahankan hidup atau karena
keterpaksaan, seperti tindakan penebang kayu yang membuang anak-anaknya di
dalam hutan.
Analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tindak kekerasan yang
terjadi dalam dongeng Le Petit Poucet mempunyai bentuk kekerasan serta
penyebab yang berbeda-beda. Melalui analisis tersebut dapat ditemukan makna
dari kekerasan itu sendiri, yaitu tindakan melukai satu pihak, baik secara fisik
maupun psikis, dengan penyebab yang bermacam-macam, baik itu kebiasaan
maupun keterpaksaan untuk mempertahankan hidup. Segala bentuk kekerasan
yang ditampilkan dalam dongeng ini menunjukkan bahwa semua hal dapat terjadi,
yaitu orang tua yang tega membuang anak-anaknya di dalam hutan karena tidak
mampu menafkahi mereka, dan segala sesuatu juga dapat dihadapi, yaitu
kemiskinan yang dialami penebang kayu dan bahaya yang dihadapi Le Petit
Poucet dapat dihadapi berkat kecerdikan Le Petit Poucet.
Selain itu, peneliti menyimpulkan bahwa adanya tindak kekerasan dalam
dongeng bertujuan agar pembaca dapat memilah hal baik dan hal yang kurang
baik. Diharapkan para pembaca tidak meniru tindak kekerasan tersebut, terutama
anak-anak. Tentunya, ketika mereka membaca atau mendengar suatu cerita
dongeng, mereka tidak ingin menjadi tokoh yang jahat.
86
5.2 Saran
Dari simpulan di atas, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Tindak kekerasan hanyalah salah satu dari beberapa aspek yang dapat
diteliti dalam dongeng Le Petit Poucet sehingga tidak tertutup
kemungkinan untuk meneliti aspek-aspek lain dari karya ini, seperti aspek
instrinsik, aspek ekstrinsik, dan lain-lain.
2. Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme dan psikologi
sastra, dongeng ini masih dapat diteliti dengan menggunakan pendekatan
lain, contohnya pendekatan sosiologi sastra, antropologi sastra, dan
sebagainya.
87
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Handayani, Conny. 1994. Idaman dalam Cerpen Karya Guy de Maupassant. Tesis. Depok: UI.
Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Oka, dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Collinet, Jean-Pierre. 1981. Contes Édition de Jean-Pierre Collinet. Paris: Éditions Gallimard.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
(http://www.oaseonline.org/oaseimtim/doku2007/ngantungkekerasan.htm)
(http://najlah.blogspot.com/2006/12/smack-down-dan-kekerasan-anak.html)
(http://www.anthologie.free..fr/anthologie/perrault/perrault.htm)
(http://www.hattemer.fr/Nöel_contes/Bio_Perrault.htm)
(http://www.commondreams.org/archive/org/2007/04/23/701/)
(http:/72.14.235.104/search?q=cache:Hhv_v7IVVNoJ:www.kontras.org/baru/Kovensi%2520Hak%2520Anak.pdf+anak+konvensi+internasional&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id)
(http://republikdamai.blogspot.com/2007/06/kekerasan.html)
88