Upload
lykien
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA PNEUMONIA
PADA BALITA DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2011-2015
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh :
ISNAENI WAHYU SAPUTRI
NIM: 1112101000024
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/ 2016 H
i
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA PNEUMONIA
PADA BALITA DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2011-2015
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
ISNAENI WAHYU SAPUTRI
NIM: 1112101000024
Jakarta, Desember 2016
Mengetahui
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes
NIP. 19721002 200604 2 001
Catur Rosidati, MKM
NIP. 19750210 200801 2 018
ii
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Disusun Oleh:
ISNAENI WAHYU SAPUTRI
NIM: 1112101000024
Jakarta, Desember 2016
Penguji I
Hoirun Nisa, M. Kes, Ph.D
NIP. 197904272005012005
Penguji II
Siti Rahmah, MKKK
Penguji III
Andi Asnifatimah, SKM, M.Kes
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Desember 2016
Isnaeni Wahyu Saputri
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Isnaeni Wahyu Saputri
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Purwokerto, 23 Agustus 1994
Usia : 22 Tahun
Agama : Islam
No. Telpon : 089661824299
Alamat : Gg. H. Sapri, RT 07 RW 03, no. 79, Kelurahan Parung
Serab, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
2012 - sekarang : Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2009 – 2012 : SMAN 12 Tangerang
2006 – 2009 : SMPN 3 Tangerang
2000 – 2006 : SDN Peninggilan 03
v
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Desember 2016
Isnaeni Wahyu Saputri, NIM: 1112101000024
Analisis Spasial Faktor Lingkungan Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita di
Provinsi Banten Tahun 2011-2015
xix + 122 halaman, 2 bagan, 2 grafik, 4 tabel, 9 peta, 2 lampiran
ABSTRAK
Penyakit ISPA pneumonia merupakan pembunuh nomor satu balita di Indonesia
dengan estimasi kematian sebesar 80-90%. Sejak tahun 2011-2013 penyakit ini menjadi
10 penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat di Provinsi Banten. Bahkan
Provinsi Banten termasuk kedalam 10 Provinsi dengan kasus ISPA terbesar di
Indonesia. Dibutuhkan analisis situasi penyakit ISPA pneumonia di Provinsi Banten
menggunakan analisis spasial untuk menghadirkan informasi faktor-faktor lingkungan
yang memiliki kecenderungan berkontribusi dalam terjadinya penyakit ISPA pneumonia
pada balita secara lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi dan memetakan distribusi
penyakit ISPA pneumonia pada balita beserta faktor lingkungan seperti faktor
lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, jenis bahan bakar memasak,
kepadatan ternak, dan kepadatan industri) dan faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis
pekerjaan dan kemiskinan) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten
tahun 2011-2015.
Disain studi penelitian ini adalah ecological study dengan pendekatan Sistem
Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus ISPA
pneumonia pada balita per Kabupaten/Kota yang terlaporkan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi Banten selama tahun 2011-2015.
Distribusi kejadian penyakit ISPA pneumonia yang tinggi pada balita selama
tahun 2011-2015 memperlihatkan adanya kecenderungan lebih terpusat di wilayah timur
Provinsi Banten. Kemudian, terdapat pola persebaran penyakit, dimana tingkat kejadian
ISPA pneumonia pada balita yang sama terjadi di wilayah yang berdekatan. Pola
persebaran penyakit ISPA pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa
kepadatan ternak, kepadatan industri, dan jenis pekerjaan industri memiliki
kecenderungan ke arah positif. Sedangkan pola persebaran penyakit ISPA pneumonia
pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai, jenis dinding, jenis bahan
bakar, jenis pekerjaan pertanian dan kemiskinan memiliki kecenderungan ke arah
negatif.
Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk menanggulangi
permasalahan ISPA pneumonia pada balita dimulai dengan kabupaten/kota dengan kasus
vi
tertinggi kemudian dilanjutkan dengan wilayah yang ada di sekitarnya, meningkatkan
upaya dalam memperbaiki kesehatan lingkungan di sektor industri dan peternakan, serta
meningkatkan ketersediaan data yang lebih baik.
Kata Kunci: Analisis spasial, faktor lingkungan, ISPA pneumonia balita, Provinsi
Banten.
vii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduate Thesis, December 2016
Isnaeni Wahyu Saputri, NIM: 1112101000024
Spatial Analysis Environmental Factors of Pneumonia Acute Respiratory Infection In
Children Under Five Years in Banten Province 2011-2015
xix + 122 pages, 2 charts, 2 graph, 4 tables, 9 maps, 2 attachments
ABSTRACT
Pneumonia Acute Respiratory Infection (ARI) is the number one killer of
children under five years in Indonesia with an estimated mortality of 80-90%. Since
2011-2013, the illness becomes 10 diseases suffered by people in the Banten Province.
Even Banten included into 10 provinces with the largest ARI cases in Indonesia. An
analysis of the situation of Pneumonia ARI in Banten use spatial analysis to present a
better information about environmental factors that allow contribute to the occurrence
of respiratory diseases in children under five years.
This study aimed to determine the frequency and map the distribution of
Pneumonia ARI in children under five years and environmental factors such as physical
environmental factors (type of floor, type of walls, type of cooking fuel, stocking density,
and industry density) and socioeconomic environmental factors (type employment and
poverty) based on the regency / cities in Banten Province 2011-2015.
The design of this research study is an ecological study with approach of
Geographic Information Systems (GIS). The population in this study are all Pneumonia
ARI cases in children under five years per regency/city reported by the Banten
Provincial Health Office during the years 2011-2015.
The distribution of the incidence of pneumonia in children under five years that
have high cases during 2011-2015 show a pattern of spread of the disease that have a
tendency centrally in east area of Banten Province. Then, there is the pattern which the
incidence rate of pneumonia in children under five years same is occur in the adjacent
territory. The pattern of the spread of pneumonia in children against environmental
factors such as stocking density, industries density, and types of industrial work have a
tendency toward positive. The pattern of spread of Pneumonia in children against
environmental factors such as the type of floor, wall type, fuel type, the type of
agricultural work, and poverty have a tendency towards negative.
It is suggested that the Provincial Health Office of Banten to cope pneumonia in
children under five years starting with regency/cities with highest cases and then
proceed with the area around it, an increased effort to improve environmental health in
industry and agriculture, and increase cooperation for a better database availability.
Keywords: Spatial analysis, Environmental factors, Pneumonia in Children under five
years, Banten Province.
viii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad,
ath-Thabrani, ad-Daruqutni)
“Barang siapa yang memudahkan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-
kesulitan dunia, Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat.
Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang dalam kesulitan niscaya akan Allah
mudahkan baginya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim).
Skripsi ini aku persembahkan untuk:
Bapak dan Mamah yang sangat aku cintai
Kakak dan Adikku tersayang
Sahabat-sahabatku terkasih
Almamaterku UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya laporan hasil penelitian ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam
tidak lupa senantiasa dilimpahkan keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa umat Nya dari zaman yang gelap gulita menuju ke zaman yang terang
benderang. Laporan ini disusun untuk menunjang gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Laporan skripsi dengan judul “Analisis Spasial Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita di
Provinsi Banten Tahun 2011-2015” dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya
berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terimakasih dituturkan
secara ikhlas dan penuh kerendahan hati atas terselesaikannya laporan skripsi ini kepada:
1. Keluarga tercinta, Bapak, Mamah, Mba Puput dan Shanti, terima kasih atas
dukungan dan doa yang tiada hentinya, perhatian, serta kasih sayang kalian yang
sangat luar biasa.
2. Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, dan Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.KM selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat.
3. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing 1 yang selalu siap
memberikan bimbingan, masukan, dan nasihat yang selalu saya ingat.
x
4. Ibu Catur Rosidati, MKM selaku pembimbing 2 yang banyak membantu dalam
memberikan bimbingan dan masukan-masukan yang sangat baik dalam penelitian
ini.
5. Ibu Hoirun Nisa, M. Kes, Ph.D, Ibu Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, MKKK, dan
Ibu Andi Asnifatima, SKM, M. Kes, selaku penguji yang telah banyak
memberikan penilaian dan masukan untuk perbaikan.
6. Bapak Fajar Nugraha, yang telah memberikan ilmu tentang Sistem Informasi
Geografis, selalu bersedia menyediakan waktu untuk bimbingan dan diskusi,
membantu dalam memberi masukan, pendapat, nasihat-nasihat yang akan selalu
saya ingat, saya ucapkan banyak terima kasih.
7. Jajaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Banten yang telah memberikan saya izin untuk melaksanakan penelitian
ini. Terima kasih kepada seluruh staff bagian P2 Dinas Kesehatan Provinsi Banten
terutama Teh Ratna karena telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi
dan memberikan data yang dibutuhkan untuk penelitian ini.
8. Sahabat-sahabat tercinta yang selalu ada saat senang maupun sedih, terima kasih
untuk doanya, semangatnya, bantuannya, terima kasih Abd Rohim, Yufa Zuriya,
Tyas Indah, Sri Widiyastuti, Nuril Hidayah, dan Lilis Yuliarti.
9. Seluruh teman peminatan Kesehatan Lingkungan angkatan 2012 yang selalu
memberi semangat, dukungan dan doa sampai penelitian ini selesai.
10. Teman-teman seperjuangan jurusan kesehatan masyarakat angkatan 2012 yang
memberi dukungan selama melaksanakan penelitian ini.
xi
11. Semua civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut memberikan
berbagai fasilitas yang mendukung penelitian ini serta berbagai pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan kontribusi dalam
proses penyusunan penelitian ini.
Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri,
mahasiswa, peneliti lainnya, pihak Dinas Kesehatan Provinsi Banten dan masyarakat
pada umumnya. Namun, dalam laporan ini tentu tidak lepas dari kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan
laporan ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh
Ciputat, Desember 2016
Penulis
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................................................... i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ........................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................................... v
LEMBAR PERSEMBAHAN ...................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................................. xii
DAFTAR BAGAN ......................................................................................................... xvi
DAFTAR GRAFIK ..................................................................................................... xvii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xviii
DAFTAR PETA ............................................................................................................ xix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian .......................................................................................... 7
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 8
1.4.1 Tujuan Umum .............................................................................................. 8
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................. 8
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 9
1.5.1 Bagi Penelitian Selanjutnya ......................................................................... 9
1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Banten ....................................................... 9
1.5.3 Bagi Masyarakat......................................................................................... 10
1.6 Ruang Lingkup .................................................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 11
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) .......................................................... 11
xiii
2.2 Klasifikasi ISPA pada Balita ............................................................................. 12
2.3 Mekanisme Terjadinya ISPA ............................................................................ 13
2.4 Faktor Risiko ISPA ........................................................................................... 15
2.4.1 Faktor Individu ........................................................................................... 15
2.4.2 Faktor Lingkungan Fisik ............................................................................ 20
2.4.3 Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi........................................................... 30
2.5 Program Penanggulangan ISPA ........................................................................ 35
2.6 Analisis Spasial ................................................................................................. 38
2.7 Kerangka Teori .................................................................................................. 39
BAB III KERANGKA KONSEP .................................................................................. 42
3.1 Kerangka Konsep .............................................................................................. 42
3.2 Definisi Operasional .......................................................................................... 44
BAB IV METODOLOGI .............................................................................................. 47
4.1 Desain Penelitian ............................................................................................... 47
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................................. 47
4.3 Populasi Penelitian ............................................................................................ 47
4.4 Manajemen Data ................................................................................................ 47
4.4.1 Pengumpulan Data ..................................................................................... 47
4.4.2 Pengolahan Data......................................................................................... 48
4.5 Instrumen Penelitian .......................................................................................... 50
4.6 Analisis Data ..................................................................................................... 51
BAB V HASIL ................................................................................................................ 52
5.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................................... 52
5.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Berdasarkan Faktor Lingkungan Fisik Di
Provinsi Banten Tahun 2011-2015.................................................................... 58
5.2.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai
Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................... 58
xiv
5.2.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis
Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 61
5.2.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan
Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 64
5.2.4 Distribusi Frekuensi Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan
Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 70
5.2.5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jumlah
Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................................... 73
5.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Faktor
Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ................ 76
5.3.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis
Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ...................................... 76
5.3.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan
Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ....................................................... 79
BAB VI PEMBAHASAN ............................................................................................... 82
6.1 Keterbatasan Penelitian ..................................................................................... 82
6.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................................... 82
6.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Faktor
Lingkungan Fisik Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ................................. 86
6.3.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai
Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................... 86
6.3.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis
Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 90
6.3.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan
Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 93
6.3.4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kepadatan
Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .............................. 96
6.3.5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jumlah
Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................................... 98
6.4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Faktor
Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .............. 100
xv
6.4.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis
Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 .................................... 100
6.4.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan
Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ..................................................... 104
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 107
7.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 107
7.2 Saran ................................................................................................................ 109
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 111
LAMPIRAN .................................................................................................................. 124
xvi
DAFTAR BAGAN
DAFTAR BAGAN
Bagan 2. 1 Kerangka Teori .............................................................................................. 41
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 43
xvii
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5. 1 Distribusi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota
di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............................................................ 52
Grafik 5. 2 Insidens ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota
di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............................................................ 54
xviii
DAFTAR TABEL
DAFTAR TABEL Tabel 2. 1 Kategori Status Gizi Pada Balita .................................................................................. 16
Tabel 2. 2 Perbandingan Jumlah Kamar dan Penghuninya........................................................... 24
Tabel 3. 1 Definisi Operasional .................................................................................................... 44
Tabel 4. 1 Daftar Variabel, Instrument, dan Instansi Data Sekunder Penelitian .......................... 50
xix
DAFTAR PETA
DAFTAR PETA
Peta 5. 1 Distribusi Insidens Penyakit ISPA Pnemonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................................... 56
Peta 5. 2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis
Lantai Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ........................................ 59
Peta 5. 3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis
Dinding Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ..................................... 62
Peta 5. 4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis
Bahan Bakar Memasak di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ......................... 65
Peta 5. 5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis
Lantai Kayu, Jenis Dinding Kayu, dan Jenis Bahan Bakar Kayu di Provinsi
Banten Tahun 2011-2015 .................................................................................. 68
Peta 5. 6 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................... 71
Peta 5. 7 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Kepadatan Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ................................ 74
Peta 5. 8 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis
Pekerjaan di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ............................................... 77
Peta 5. 9 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Kemiskinan Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 .......................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi masalah
kesehatan utama di dunia. Penyakit ini menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas penyakit infeksi di seluruh dunia (WHO, 2014) dengan angka kejadian
sebesar 18,8 miliar kasus dan jumlah kematian sebesar 4 juta orang setiap tahunnya
(WHO, 2015). Secara global, ISPA menjadi penyebab ke-7 terbesar dari terjadinya
kematian terkait lingkungan (WHO, 2016). Penyakit ini terjadi di seluruh wilayah
mulai dari negara miskin, negara berkembang sampai negara maju. Seperti di
wilayah Sub Sahara Afrika, China, dan Australia dimana penyebab utama kunjungan
masyarakat ke pelayanan kesehatan adalah ISPA (Jary, et al., 2015, Juan, et al.,
2014, Clucas, et al., 2008). Selama tahun 2015, jumlah kematian akibat ISPA
tertinggi terjadi di wilayah Afrika, yang selanjutnya diikuti oleh Asia Tenggara
(WHO, 2016).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu
infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran pernapasan bawah (Simoes et al,
2006). Pneumonia merupakan salah satu dari jenis infeksi saluran pernapasan bawah
dan telah menjadi perhatian serius, karena merupakan penyebab utama dari kematian
2
balita terutama di negara berkembang dengan 3 juta kematian setiap tahunnya
(WHO, 2015).
Balita merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap
penyakit ISPA. Sepanjang tahun 2015, pneumonia telah menyebabkan 5,9 juta balita
meninggal dunia (WHO, 2016). Hal ini menjadikan ISPA pneumonia menjadi
penyebab terbesar atas kematian anak di seluruh dunia, terutama di wilayah Asia
Tenggara dan Sub Sahara Afrika (WHO, 2015) dengan perkiraan jumlah kematian
sebesar 51 % (Dawood, 2012).
Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan jumlah
kematian akibat ISPA tertinggi yaitu sebesar 25.000 jiwa selama tahun 2015,
kemudian diikuti oleh Philipina, Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja (WHO,
2016). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2013 period
prevalence ISPA pneumonia di Indonesia sebesar 2,7 % yang mengalami
peningkatan dari hasil sebelumnya pada tahun 2007 yaitu sebesar 2,1 % (Kemenkes
RI, 2013). Bahkan, pneumonia sempat menjadi penyebab terbesar kematian bayi
yang terjadi di 10 provinsi di Indonesia pada tahun 2005, yaitu sebesar 22,30 % dari
seluruh kematian bayi (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). Sehingga penyakit
ISPA pneumonia menjadi pembunuh balita nomor satu di Indonesia dengan
perkiraan kematian sebesar 80-90% (Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, 2014).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 Provinsi Banten masuk kedalam 10
provinsi dengan ISPA tertinggi di Indonesia, dimana periode prevalence ISPA
pneumonia pada balita sebesar 19,3 permil dan telah melebihi angka Indonesia yaitu
3
18,5 permil (Kemenkes RI, 2013). Sementara itu, berdasarkan hasil Riskesdas
Banten tahun 2007 rasio prevalensi pneumonia klinis sebulan terakhir adalah lebih
dari 1 per 10 dari prevalensi klinis ISPA (Depkes RI, 2009 & 2013). Penyakit
Pneumonia pada balita di Provinsi Banten cenderung mengalami fluktuasi, dimana
pada tahun 2009 terdapat 13.098 kasus (1,6 %), kemudian mengalami peningkatan
pada tahun 2010 menjadi 35.767 kasus (2,6 %), tahun 2011 mengalami penurunan
kembali menjadi 20.475 kasus (1,8 %), dan terjadi lagi peningkatan yang cukup
tinggi pada tahun 2012 menjadi 116.906 kasus (10,8%). Dan setiap tahun ISPA
selalu menjadi urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak yang terjadi di Provinsi
Banten (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011, 2012, 2013).
Salah satu indikator yang ingin dicapai pada Millenium Development Goals
(MDGs) adalah menurunkan angka kematian bayi dan balita. Namun berdasarkan
hasil pencapaian MDGs 2000-2015 indikator tersebut tidak tercapai di Indonesia dan
hingga kini masih menjadi masalah yang dibutuhkan kerja keras untuk mengatasinya
(Kemenkes RI, 2015). Karena ISPA pneumonia merupakan penyebab utama
kematian pada bayi dan balita di Indonesia, maka penanggulangan dan
pemberantasan penyakit ISPA pneumonia sangat diperlukan sebagai upaya
pencapaian indikator tersebut. Perencanaan program pemberantasan penyakit ISPA
harus dibentuk secara baik, dan berdasarkan pedoman pelaksanaan Sustainable
Development Goals (SDGs) di Indonesia bahwa peran pemerintah provinsi menjadi
kekuatan dasar dalam mewujudkan indikator yang ingin dicapai (Kemenkes RI,
2015), maka perencanaan program pemberantasan penyakit ISPA terutama
4
pneumonia di tingkat Provinsi perlu dibuat dengan melakukan analisis situasi
penyakit yang sedang terjadi, mulai dari jumlah kasus, distribusi, serta karakteristik
dan faktor yang berkontribusi terhadap situasi penyakit tersebut.
Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa kondisi lingkungan pada
kelompok masyarakat di suatu wilayah merupakan penyebab dari terjadinya penyakit
ISPA. Keberadaan sumber-sumber pencemaran udara seperti gas buang kendaraan
bermotor, industri (Wardhani et al, 2010), pemeliharaan ternak di sekitar tempat
tinggal (Herawati & Sukoco, 2011) dapat menciptakan kondisi lingkungan udara
yang buruk dan merupakan faktor utama penyebab penyakit ISPA. Selain itu faktor
lingkungan dalam rumah juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
penyakit ISPA (Shibata et al, 2014), seperti kondisi dinding rumah (Soesanto, Lubis,
& Atmosukarto, 2000), lantai rumah, sampai dengan penggunaan bahan-bahan yang
dapat menimbulkan pencemaran udara di dalam rumah seperti obat nyamuk bakar
(Yulianti, Setiani, & Hanani, 2012) dan bahan bakar memasak (Acharya, Mishra, &
Beckhoff, 2014) berperan dalam terjadinya penyakit ISPA. Bahkan faktor sosial dan
ekonomi masyarakat seperti kepadatan penduduk (Breiman, et al., 2015), pendapatan
(Prakash, 2014), dan pekerjaan (Cohen, 2006) juga ikut mempengaruhi kejadian
penyakit ISPA. Berbagai pencemaran udara tersebut dapat menimbulkan penyakit
ISPA dan dapat memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita ISPA
terutama pneumonia pada Balita (Ditjen P2PL, 2012)
Untuk melihat gambaran situasi penyakit ISPA beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya di Provinsi Banten, maka pemetaan distribusi penyakit ISPA
5
dengan menggunakan analisis spasial dapat sangat membantu menghadirkan
informasi tersebut secara lebih baik. Analisis spasial merupakan analisis data yang
dilakukan terhadap data spasial (data yang berorientasi keruangan), yang dapat
dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi
Geografis adalah sebuah sistem yang mampu membangun, memanipulasi dan
menampilkan informasi yang memiliki referensi geografis (Ramadona & Kusnanto,
2012). Analisis spasial menggunakan SIG memiliki keunggulan dibandingkan hanya
menggunakan analisis data tabular, karena memungkinkan untuk melihat,
memahami, menginterpretasi dan menampilkan data spasial dalam banyak cara, yang
memperlihatkan hubungan, pola dan trend secara spasial, dalam bentuk peta, globe,
laporan dan grafik (Marjuki, 2014).
Penggunaan analisis spasial terhadap suatu populasi di wilayah yang luas
merupakan langkah awal dalam menggambarkan situasi penyakit beserta
karakteristik yang melekat di wilayah tersebut. Analisis ini dapat sangat membantu
pemerintah dan petugas kesehatan di Provinsi Banten dalam mengetahui pola
distribusi penyakit ISPA pneumonia dan faktor-faktor yang menyertainya secara
lebih jelas. Dengan mengetahui pola distribusi penyakit dan kemungkinan
penyebabnya maka akan lebih mudah bagi petugas dalam melakukan perencanaan
upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit ISPA pneumonia secara lebih
efektif, berbasis komunitas, ataupun mempermudah dalam merancang
pengembangan program penanggulangan selanjutnya (Ramadona & Kusnanto,
6
2012), data yang ditampilkan pun mudah dipahami dan hasilnya mudah
disebarluaskan (Marjuki, 2014).
Analisis spasial penyakit ISPA pneumonia di Provinsi Banten mampu
menghadirkan peta distribusi penyakit dalam kurun waktu tertentu sehingga dapat
diketahui perkembangan penyakit yang terjadi. Maka dengan mengetahui informasi
tersebut dapat membantu membangun hipotesis terkait faktor risiko penyakit ISPA
pneumonia untuk kemudian merencanakan program penanggulangan secara efektif
dan tepat sasaran. Dengan demikian peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai analisis spasial penyakit ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten
tahun 2011-2015.
1.2 Rumusan Masalah
Penyakit ISPA pneumonia merupakan pembunuh nomor satu balita di
Indonesia dengan estimasi kematian sebesar 80-90%. Sejak tahun 2011-2013
penyakit ini menjadi 10 penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat di
Provinsi Banten. Bahkan Provinsi Banten termasuk kedalam 10 Provinsi dengan
kasus ISPA terbesar di Indonesia. Situasi tersebut dimungkinkan menjadi salah satu
penyebab dari tidak tercapainya salah satu indikator MDGs 2000-2015 yaitu
menurunkan angka kematian bayi dan balita. Sehingga pada perencanaan SDGs
indikator tersebut masih dimasukkan sebagai salah satu indikator yang harus dicapai
dengan kerja keras.
Untuk membuat perencanaan program penanggulangan penyakit ISPA secara
tepat sebagai salah satu upaya mencapai indikator SDGs, maka perlu diketahui
7
informasi frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita beserta faktor
yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan penyakit tersebut secara lebih
baik di tingkat provinsi, termasuk Provinsi Banten. Informasi tersebut dapat
dihasilkan secara lebih baik dengan membuat pemetaan distribusi penyakit ISPA
pneumonia menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dengan demikian, peneliti
ingin mengangkat permasalahan ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten
beserta faktor-faktor yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan penyakit
ISPA pneumonia pada balita menggunakan analisis spasial.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada
balita berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-2015?
2. Bagaimana distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada
balita dilihat dari faktor lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis dinding
rumah, jenis bahan bakar memasak, kepadatan ternak unggas, dan kepadatan
industri) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-
2015?
3. Bagaimana distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada
balita dilihat dari faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan
kemiskinan) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-
2015?
8
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA
pneumonia pada balita secara spasial dilihat dari faktor lingkungan
berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-2015.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia
pada balita berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun
2011-2015.
2. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia
pada balita dilihat dari faktor lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis
dinding rumah, jenis bahan bakar memasak, kepadatan ternak unggas, dan
kepadatan industri) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi
Banten tahun 2011-2015.
3. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia
pada balita dilihat dari faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan
dan kemiskinan) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten
tahun 2011-2015.
9
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Penelitian Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi berkaitan
dengan distribusi dan frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita
berdasarkan faktor-faktor lingkungan yang memiliki kecenderungan ke arah
positif ataupun negatif dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita tersebut.
Hasil penelitian ini juga dapat membantu penelitian selanjutnya dalam
mengetahui lokasi wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun
2011-2015 yang paling bermasalah, sehingga dapat membantu dalam
menentukan lokasi penelitian selanjutnya.
1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Banten
Dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk mengetahui frekuensi
kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita di masing-masing wilayah
kabupaten/kota, kemudian mengetahui letak wilayah kabupaten/kota yang
memiliki frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita tertinggi atau
wilayah yang paling bermasalah dan faktor-faktor yang memiliki
kecenderungan ke arah positif ataupun negatif terhadap penyakit tersebut di
Provinsi Banten tahun 2011-2015. Sehingga dapat dijadikan salah satu dasar
informasi dalam membuat keputusan selanjutnya yang berkaitan dengan
perencanaan program penanggulangan penyakit ISPA di Provinsi Banten.
10
1.5.3 Bagi Masyarakat
Dapat dijadikan sumber informasi untuk menambah pengetahuan
masyarakat tentang distribusi dan frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada
balita dan faktor-faktor yang memiliki kecenderungan ke arah positif ataupun
negatif dengan penyakit tersebut yang terjadi di Provinsi Banten.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi dan memetakan
distribusi penyakit ISPA pneumonia pada balita dan faktor lingkungan yang
memiliki kecenderungan ke arah positif ataupun negatif dengan penyakit tersebut
seperti faktor lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, jenis bahan
bakar memasak, kepadatan ternak unggas, dan kepadatan industri) dan faktor
lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan kemiskinan) di Provinsi Banten.
Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli-Desember 2016 di wilayah Provinsi
Banten. Disain studi penelitian ini adalah ecological study dengan pendekatan
Sistem Informasi Geografis (SIG), sehingga akan dihasilkan peta distribusi kejadian
penyakit ISPA pneumonia pada balita beserta faktor-faktor yang memiliki
kecenderungan ke arah positif ataupun negatif dengan penyakit tersebut di Provinsi
Banten. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2011-2015
dan Laporan Banten Dalam Angka oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Banten Tahun
2012-2016.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi yang menyerang
saluran pernapasan baik itu saluran pernapasan atas ataupun saluran pernapasan
bawah. Saluran pernapasan atas dimulai dari bagian lubang hidung, pita suara,
laring, sinus paranasal, serta telinga tengah, dan saluran pernapasan bawah terdiri
dari trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveoli (Simoes, et al., 2006). ISPA yang
terjadi pada saluran pernapasan atas sering ditemui sebagai common cold, influenza,
sinusitis, tonsillitis, bahkan dapat meluas hingga menyebabkan otitis media.
Sementara ISPA yang menyerang saluran pernapasan bawah adalah bronchitis dan
pneumonia (Asih & Effendy, 2004).
ISPA pneumonia merupakan infeksi salurah pernafasan bawah atau biasa
disebut radang paru yang disebabkan oleh bakteri, dimana Streptococcus
pneumonia merupakan jenis bakteri penyebab utamanya (WHO, 2007). Selain
bakteri, fungi (Maryani dan Kristiana, 2004), virus (WHO, 2007), dan polutan
udara (WHO, 2009) juga merupakan agen penyebab penyakit ISPA pada umumnya,
dimana bukan hanya pajanan tunggal tetapi pajanan gabungan dari beberapa jenis
agen penyakit tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit ISPA termasuk jenis
pneumonia.
12
Walaupun penyakit ini menyerang saluran pernapasan, tetapi dampak yang
ditimbulkannya bersifat sistemik, sehingga dapat menyebabkan penyakit pada organ
dan sistem tubuh lainnya. Contoh dampak dari penyakit ISPA yang tidak
ditanggulangi adalah timbulnya penyakit berbahaya lainnya seperti penyakit difteri,
pertussis, dan campak (Simoes, et al., 2006). Penyakit ini menjadi penyebab utama
dari buruknya status kesehatan dan kematian pada anak-anak (WHO, 2009).
2.2 Klasifikasi ISPA pada Balita
Menurut Program Pemberantasan Penyakit ISPA terdapat 2 golongan
klasifikasi penyakit ISPA yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Berdasarkan
derajat beratnya penyakit, pneumonia itu sendiri dibagi lagi menjadi pneumonia
berat dan pneumonia tidak berat (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). Secara
lebih jelasnya Kementerian Kesehatan (2012) mengklasifikasikan penyakit ISPA
kedalam beberapa kelompok yaitu
1. Untuk kelompok usia 2 bulan sampai < 5 tahun, dibedakan dalam 3 klasifikasi,
antara lain:
- Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas,
serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing)
- Pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas, napas
cepat sebanyak 50 kali atau lebih/menit untuk usia 2 bulan sampai < 1
tahun, 40 kali atau lebih/menit untuk usia 1 sampai < 5 tahun.
13
- Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas,
tidak ada napas cepat serta tidak adanya tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam.
2. Untuk usia < 2 bulan, klasifikasi terdiri dari:
- Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas,
napas cepat 60 kali atau lebih per menit atau tarikan kuat dinding dada
bagian bawah ke dalam
- Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas,
tidak adanya napas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam.
2.3 Mekanisme Terjadinya ISPA Pneumonia
Dalam mekanisme atau proses terjadinya penyakit ISPA pneumonia,
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu sumber keberadaan agen
penyebab, wahana lingkungan sebagai media penularan, kontak atau pajanan
terhadap host, dan kemampuan tubuh untuk melakukan metabolisme agen yang
telah masuk untuk menentukan kondisi sakit atau tidak sakit, yang dikenal dengan
Teori Simpul (Anies, 2006).
Sumber agen pada penyakit ISPA dapat berupa bakteri, virus, atau polutan
udara. Sumber agen berupa bakteri dan virus dapat berasal dari lingkungan rumah
yang tidak baik, atau dapat berasal dari orang lain yang menderita penyakit ISPA
pneumonia, sementara agen berupa polutan udara dapat bersumber dari aktivitas
manusia didalam rumah seperti memasak, merokok, menggunakan obat nyamuk
14
bakar, atau aktivitas manusia di luar rumah yang menyebabkan timbulnya emisi
kendaraan, emisi pabrik, gas buang dari tempat sampah atau kandang ternak yang
selanjutnya akan memasuki lingkungan udara.
Percikan air liur merupakan media bagi agen penyakit untuk dapat
menularkan penyakit ini (Depkes RI, 2009). Dalam proses penularannya, penyakit
ini dapat terjadi akibat terpapar oleh agen penyebabnya baik terjadi kontak langsung
antar permukaan badan dan perpindahan mikro-organisme dari orang yang
terinfeksi ke orang sehat yang rentan, maupun melalui benda perantara yang
terkontaminasi (terkena percikan air liur penderita) dan memindahkan agen
penyebabnya, cara ini dikenal dengan transmisi kontak.
Selain transmisi kontak, penularan penyakit ini juga dapat terjadi melalui
transmisi droplet. Terjadinya batuk, bersin, dan berbicara dari orang yang terinfeksi
merupakan sumber droplet agen penyebab ISPA pneumonia. Droplet yang
mengandung mikroorganisme penyebab ISPA jika tersembur dalam jarak dekat (<
1m) melalui udara dan terdeposit di mukosa mata, mulut, hidung, tenggorokan, atau
faring orang lain maka selanjutnya agen tersebut akan menyerang sistem
pernapasan manusia. (WHO, 2007). Pada fase ini maka agent penyakit telah masuk
ke dalam tubuh host.
Agen yang telah masuk akan memicu timbulnya reaksi oleh tubuh host. Jika
masih berada dalam saluran pernapasan atas maka akan menimbulkan reaksi berupa
peradangan yang memicu terjadinya gejala ringan yang diawali dengan panas atau
demam, tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek, dan batuk (Kemenkes RI, 2013). Jika
telah memasuki saluran pernapasan yang lebih dalam, maka agen dapat menyerang
15
paru-paru dan menyebabkan timbulnya nanah (pus) dan cairan yang memenuhi
alveoli, sehingga terjadi sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas (WHO, 2007)
karena kesulitan dalam penyerapan oksigen. Hal ini menyebabkan berkurangnya
kemampuan paru-paru untuk mengembang sehingga tubuh bereaksi dengan adanya
pernapasan yang cepat untuk menghindari terjadinya hipoksia. Jika keadaan ini
semakin memburuk, paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam. Pada fase ini maka host telah berada pada kondisi sakit
ISPA pneumonia. Jika hipoksia atau sepsis (infeksi menyeluruh) terjadi, dapat
berisiko untuk terjadinya kematian (Kemenkes RI, 2012).
2.4 Faktor Risiko ISPA Pneumonia
Terjadinya penyakit ISPA pneumonia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
itu dari individu itu sendiri maupun dari lingkungan disekitarnya seperti lingkungan
fisik dan sosial ekonomi. Faktor-faktor tersebut antara lain,
2.4.1 Faktor Individu
a. Usia
Kelompok usia tertentu memiliki kerentanan yang lebih tinggi
untuk terserang penyakit ISPA (WHO, 2007). Salah satu yang paling
rentan terhadap berbagai masalah kesehatan termasuk ISPA pneumonia
adalah balita dan anak-anak (Ditjen P2PL, 2012), karena pada masa
tersebut sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang
dewasa (Hafid et al, 2013). Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka
16
mortalitas dan morbiditas pada balita terutama di negara berkembang
yang penyebab utamanya adalah penyakit ISPA (Mirji, et al, 2015).
b. Status gizi
Status gizi adalah suatu keadaan kesehatan tubuh yang
dipengaruhi oleh asupan zat gizi yang diperoleh melalui makanan dan
minuman yang dihubungkan dengan kebutuhan (Sutomo & Anggraini,
2010). Status gizi anak usia dibawah lima tahun merupakan indikator
kesehatan publik yang secara international dikenal untuk memonitor
kesehatan dan status gizi penduduk (LPEM FEUI, 2010). Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia menetapkan kategori dan ambang batas
yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi anak berdasarkan
indeks sebagai berikut
Tabel 2. 1
Kategori Status Gizi Pada Balita
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010
17
Status gizi dapat sangat menentukan kerentanan seseorang untuk
menderita penyakit tertentu, termasuk ISPA (WHO, 2007). Seseorang
dengan status gizi yang rendah akan memiliki sistem kekebalan tubuh
yang rendah, sehingga akan lebih mudah terserang berbagai penyakit. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Pore, Ghattargi, & Rayate (2010) yang
menyatakan bahwa status gizi berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada
balita, dimana 5,17 kali lebih tinggi risiko balita untuk terkena ISPA jika
berada pada kondisi gizi kurang. Mairuhu, Birawida, & Manyullei (2008)
dalam penelitiannya juga menyatakan terdapat hubungan antara status
gizi dengan kejadian ISPA, dimana terdapat sebesar 94,1% balita dengan
gizi kurang menderita penyakit ISPA. Balita merupakan kelompok rentan
terhadap berbagai masalah kesehatan sehingga apabila kekurangan gizi
maka akan sangat mudah terserang infeksi termasuk ISPA pneumonia
(Ditjen P2PL, 2012).
c. ASI eksklusif
ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah
pemberian ASI (air susu ibu) sedini mungkin setelah persalinan,
diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain baik itu tambahan
cairan lain seperti air putih, susu formula, jeruk, madu, air teh, maupun
tambahan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur susu, biskuit,
bubur nasi, dan tim, sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan, bayi
mulai dikenalkan dengan makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai
18
bayi berumur dua tahun atau bahkan lebih (Purwanti, 2004 & Roesli,
2001).
ASI eksklusif dapat memberikan manfaat yang sangat besar untuk
kesehatan anak karena kandungan gizinya yang sangat baik. Anak yang
mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki kekebalan tubuh yang baik,
sehingga tubuhnya akan lebih mampu dalam menangkal berbagai agen
penyakit yang kontak atau masuk ke dalam tubuh. Sebaliknya anak yang
tidak mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki kekebalan tubuh yang
lebih rendah, sehingga akan mudah terserang penyakit seperti ISPA
pneumonia. Hal ini sesuai dengan penelitian Mirji et al (2015) yang
menyatakan bahwa ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian ISPA,
dimana semakin sedikit durasi ibu memberikan ASI, semakin besar risiko
balita untuk terserang penyakit ISPA. Bhat & Manjunath (2013) dalam
penelitiannya di India juga menemukan bahwa balita yang mendapatkan
ASI dalam periode waktu yang tidak memenuhi standar lebih berisiko
3,01 kali lebih besar untuk terkena ISPA pada saluran pernapasan bawah.
Hasil penelitian Sugihartono & Nurjazuli (2012) juga menyatakan bahwa
balita yang mengkonsumsi ASI tanpa cairan lainnya kurang enam bulan
berisiko 8,958 kali lebih besar menderita pneumonia dibandingkan
dengan balita yang mengkonsumsi ASI tanpa cairan lainnya lebih atau
sama dengan enam bulan.
19
d. Status Imunisasi
Imunisasi adalah memasukkan sesuatu (agen penyakit) ke dalam
tubuh untuk membentuk kekebalan terhadap suatu penyakit agar tubuh
tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi
seseorang. Pemberian imunisasi bertujuan untuk melindungi bayi dan
anak yang masih sangat rentan dari penyakit yang bisa menyebabkan
kesakitan, kecacatan, bahkan kematian karena imunitas tubuhnya masih
rendah (Hafid et al, 2013).
Pemberian imunisasi pada balita dapat menurunkan risiko untuk
terkena ISPA terutama pneumonia. Imunisasi tersebut terdiri dari
imunisasi pertussis (DTP), campak, haemophilus influenza (Hib), dan
pneumokokus (PCV). Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa penurunan bermakna kejadian pneumonia pada anak dan
keluarganya terutama para lansia terjadi setelah penggunaan vaksin
secara rutin pada bayi. Hasil penelitian di Gambia (Afrika) menemukan
bahwa setelah pemberian imunisasi PCV 9 terjadi penurunan kasus
pneumonia sebesar 37 %, pengurangan penderita yang harus dirawat di
rumah sakit sebesar 15 %, dan pengurangan kematian pada anak sebesar
16 % (Kartasasmita, 2010).
Di Indonesia imunisasi masuk kedalam program upaya penurunan
angka morbiditas dan mortalitas pada balita, termasuk yang diakibatkan
oleh ISPA. Imunisasi pertussis (DPT) dan campak masuk kedalam
imunisasi dasar wajib bagi balita bersama dengan imunisasi BCG dan
20
Polio (Hidayat, 2008). Sementara imunisasi haemophilus influenza (Hib)
dan pneumokokus (PCV) termasuk imunisasi yang dianjurkan (Said,
2010) dan merupakan salah satu alternatif dalam pencegahan pneumonia
(Weber & Handy, 2010).
Program imunisasi tersebut berpengaruh terhadap kejadian ISPA
pada balita. Hasil penelitian Nasution et al (2009) menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara imunisasi dengan kejadian ISPA. Prajapati, et al
(2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa kejadian ISPA lebih
banyak terjadi pada balita yang tidak mendapatkan imunisasi
dibandingkan yang telah diimunisasi. Lebih lanjut Fanada (2012)
menemukan bahwa balita yang status imunisasinya tidak lengkap
memiliki risiko 7,6 kali untuk terkena penyakit pneumonia dibandingkan
dengan balita yang status imunisasinya lengkap.
2.4.2 Faktor Lingkungan Fisik
2.7.2.1 Lingkungan Fisik Dalam Rumah
a. Luas ventilasi
Ventilasi udara dapat menciptakan hawa ruangan tetap segar
karena pertukaran udara yang cukup menyebabkan ruangan mengandung
oksigen yang cukup. Jendela yang memadai merupakan salah satu bentuk
ventilasi udara yang harus ada dalam sebuah rumah. Luas jendela secara
keseluruhan kurang lebih 15 % dari luas lantai. Susunan ruangan juga
harus diatur sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika
21
jendela dan pintu dibuka (Chandra, 2007). Kementerian Kesehatan
mengatur luas ventilasi dalam sebuah hunian atau rumah sebaiknya
adalah sebesar 10% dari luas lantai (Kemenkes RI, 1999).
Agen penyebab penyakit ISPA seperti bakteri maupun virus
memiliki lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan
hidupnya, dimana kondisi yang lembab merupakan salah satunya.
Kelembaban dipengaruhi oleh suhu, pergerakan udara, dan cahaya
matahari. Rumah yang memiliki sedikit ventilasi akan menyebabkan
kurangnya intensitas cahaya yang masuk, pergerakan udara, dan suhu
yang rendah, sehingga akan menciptakan kondisi lingkungan yang
kondusif bagi agen penyakit ISPA. Hal ini menyebabkan seseorang yang
tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang kurang atau tidak sesuai akan
lebih mudah untuk terserang penyakit ISPA termasuk pneumonia (Ditjen
P2PL, 2012).
Hasil penelitian Prajapati, Talsania, & Sonaliya (2011) di India
menunjukkan bahwa luas ventilasi rumah memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian penyakit ISPA pada balita, dimana anak yang
menderita ISPA lebih banyak terjadi pada rumah dengan ventilasi yang
tidak mencukupi dibandingkan dengan rumah yang memiliki ventilasi
yang mencukupi. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Goel et all
(2012) di India pada daerah yang berbeda bahwa prevalensi ISPA lebih
tinggi terjadi pada anak yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang
22
tidak mencukupi dibandingkan dengan rumah dengan ventilasi yang
mencukupi.
b. Jenis lantai
Jenis lantai berhubungan dengan kondisi kebersihan suatu rumah.
Berdasarkan kriteria rumah sehat sederhana (RSS) yang diterapkan di
Indonesia, suatu rumah harus memiliki lantai yang kering dan mudah
dibersihkan (Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002),
persyaratan tersebut dapat terpenuhi jika lantai rumah terbuat dari ubin
keramik (Chandra, 2007).
Hasil penelitian Geberetsadik, Worku, & Berhane (2015)
menunjukkan bahwa jenis lantai rumah berhubungan secara signifikan
dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Pramudiyani & Prameswari (2011) juga menunjukkan bahwa kondisi
lantai menjadi salah satu faktor lingkungan rumah yang berhubungan
dengan kejadian penyakit pneumonia. Hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian Wayangkau, Wambrauw, & Simanjuntak (2015) yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis
lantai rumah dengan kejadian ISPA, dimana anak yang tinggal dirumah
dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat berisiko 3,538 kali lebih besar
untuk menderita ISPA dibanding dengan balita yang tinggal di rumah
dengan jenis lantai memenuhi syarat.
23
c. Jenis dinding
Jenis dinding rumah sangat menentukan kualitas udara di dalam
rumah. Dinding rumah yang kurang baik seperti terdapat lubang dan
celah-celah ataupun terbuat dari material yang memungkinkan bagi
mikroorganisme untuk hidup dan berkembang biak akan memungkinkan
meningkatnya berbagai agen panyakit ISPA pneumonia seperti polutan
udara dan bakteri di dalam rumah. Sehingga jenis dinding tersebut akan
memberikan dampak pada lebih mudahnya seseorang untuk terserang
penyakit ISPA termasuk pneumonia. Oleh sebab itu sebuah rumah harus
memiliki persyaratan dinding yang terbuat dari conblock (Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002) atau batu bata dan telah
diplester (Chandra, 2007).
Hasil penelitian Lubis, et al. (1996) menyatakan bahwa jenis
tembok berpengaruh terhadap proporsi balita yang sakit batuk dengan
napas cepat. Hasil penelitian Sikolia, et all (2002) juga menunjukkan
hasil yang serupa, bahwa jenis dinding rumah berpengaruh terhadap
kejadian penyakit ISPA pada balita, dimana balita yang tinggal di rumah
dengan kondisi dinding yang buruk memiliki risiko 1,13 kali lebih besar
untuk terkena penyakit ISPA dibanding dengan balita yang tinggal di
rumah dengan kondisi dinding yang telah diplester.
d. Kepadatan hunian rumah
Karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang dapat ditularkan
melalui media udara dari satu penderita ke orang yang sehat, maka
24
kepadatan hunian memiliki peran dalam terjadinya penyakit ini. Rumah
yang memiliki kepadatan hunian yang tinggi maka sirkulasi dan
pertukaran udara lebih rendah, juga memiliki kemungkinan lebih mudah
terserang penyakit jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit, karena
penularan kasus ISPA pneumonia akan lebih cepat apabila terjadi
pengumpulan massa (Ditjen P2PL, 2012).
Kepadatan hunian dapat dilihat dari jumlah ruangan atau kamar
beserta penghuninya. Ruang atau kamar diperhitungkan berdasarkan
jumlah penghuni atau jumlah orang yang tinggal bersama di dalam satu
rumah dengan persyaratan 5 m2 per orang (Chandra, 2007). Perbandingan
jumlah kamar dan penghuni dalam rumah dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Tabel 2. 2
Perbandingan Jumlah Kamar dan Penghuninya
Jumlah kamar Jumlah orang
1 2
2 3
3 5
4 7
5 10 Sumber: Chandra (2007)
Sementara itu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (1999)
menetapkan standar luas ruang tidur minimal adalah 8 m2 dan tidak
dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruangan, kecuali anak
di bawah umur 5 tahun.
25
Hasil penelitian Taksande & Yeole (2016) menunjukkan bahwa
balita yang tinggal di lingkungan rumah dengan kepadatan hunian yang
tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3,84 kali lebih tinggi untuk
terkena ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan
kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Fakunle, Ana, & Ayede (2014)
juga menemukan bahwa anak yang tinggal di rumah dengan kamar yang
dihuni lebih dari 2 orang memiliki 14 kali risiko yang lebih besar untuk
terkena ISPA dari pada anak yang tinggal di rumah dengan kamar yang
dihuni oleh kurang dari 2 orang.
e. Suhu dan kelembaban
Pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu agen penyakit ISPA
seperti bakteri dan virus akan lebih mudah untuk tumbuh dan
berkembang. Begitu pula pada jenis-jenis polutan udara tertentu yang
dapat bertahan atau bahkan bereaksi pada lingkungan dengan suhu dan
kelembaban tertentu. Oleh sebab itu sebaiknya suhu ruangan harus dijaga
tetap berkisar antara 18-20o C (Chandra, 2007) atau 18-30o C dan
kelembaban ruangan sebesar 40% - 70% (Kemenkes RI, 1999). Hasil
penelitian Choube, et all (2014) menemukan bahwa kelembaban rumah
merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya
penyakit ISPA pada balita. Yuwono (2008) juga menemukan hasil yang
serupa bahwa balita yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban
yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2.7 kali lebih besar untuk
26
terkena pneumonia dari pada balita yang tinggal di rumah dengan tingkat
kelembaban yang memenuhi syarat.
f. Pencemaran udara dalam rumah
Salah satu agen penyebab penyakit ISPA adalah polutan udara.
Polutan udara ini dapat bersumber dari berbagai aktivitas manusia
didalam rumah, seperti aktivitas memasak, penggunaan obat nyamuk
bakar dan merokok. Rumah yang didalamnya masih menggunakan bahan
bakar fosil untuk memasak seperti kayu bakar atau minyak tanah akan
menghasilkan polutan udara yang lebih tinggi (Vanker, et al., 2015).
Sukar, et al (1996) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara ISPA dan tingkat pencemaran udara
karena kebiasaan ibu membawa bayi dan anak-anak mereka ketika
memasak didapur. Hasil penelitian lainnya di India (Rosdiana &
Hermawati, 2015) juga menunjukkan bahwa kejadian ISPA 4,312 kali
lebih berisiko pada balita yang di rumahnya menggunakan kayu bakar
untuk memasak dibandingkan dengan balita yang di rumahnya
menggunakan bahan bakar gas atau minyak tanah. Begitu pula pada
penelitian Wichman & Voyi (2006) yang menunjukkan bahwa terdapat
1,27 kali risiko yang lebih besar bagi anak untuk menderita pneumonia
bila tinggal di rumah yang menggunakan bahan bakar yang menimbulkan
pencemaran dibanding dengan yang menggunakan listrik atau gas.
Dalam penelitian Mairuhu, Birawida, & Manyullei (2008)
menyatakan bahwa penggunaan obat anti nyamuk memiliki hubungan
27
yang signifikan dengan terjadinya penyakit ISPA pada balita, dimana
penderita ISPA lebih banyak terdapat di rumah yang masih menggunakan
obat nyamuk dibandingkan dengan rumah yang tidak menggunakan obat
nyamuk. Yulianti, Setiani, & Hanani (2012) juga menemukan bahwa
penggunaan obat nyamuk bakar merupakan faktor risiko kejadian
pneumonia pada balita, dimana balita yang tinggal di rumah dengan
menggunakan obat nyamuk bakar mempunyai risiko menderita
pneumonia 3,949 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang
tinggal di rumah dengan tidak menggunakan obat nyamuk bakar.
Begitu pula jika terdapat anggota keluarga yang merokok didalam
rumah, tentu asap rokok tersebut akan mengeluarkan berbagai bahan
pencemar udara yang dapat menyebabkan gangguan pada saluran
pernapasan jika terhirup. Seperti pada penelitian Bielska, et al., (2015)
yang menyatakan bahwa anak yang tinggal di dalam kondisi lingkungan
rumah yang terdapat polusi asap rokok akan lebih sering mengalami
penyakit ISPA. Winarni, Ummah, & Salim, (2010) juga menyatakan
bahwa jika salah satu anggota keluarga merokok di dalam rumah, maka
akan menyebabkan anggota keluarga lainnya terserang penyakit ISPA.
2.7.2.2 Lingkungan Fisik Luar Rumah
a. Suhu dan kelembaban
Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor lingkungan
yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA (WHO, 2007). Suhu dan
28
kelembaban di lingkungan luar atau udara ambien dapat mempengaruhi
kondisi pencemaran udara. Syech, Sugianto, dan Anthika (2014) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa suhu udara yang rendah dan
kelembaban udara yang tinggi menyebabkan konsentrasi zat pencemar
menjadi tinggi. Kondisi pencemaran udara ini dapat menyebabkan
lingkungan sekitar rumah menjadi rentan untuk menyebabkan penyakit
ISPA akibat adanya agen penyakit ISPA berupa polutan udara dan
mikroorganisme, bahkan bila kondisi fisik rumah memungkinkan,
polutan yang ada di lingkungan luar rumah dapat masuk ke dalam rumah.
b. Pencemaran udara ambien
Keberadaan polutan di udara ambien atau sekitar rumah menjadi
salah satu kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA
termasuk pneumonia. Polutan tersebut dapat berasal dari berbagai
aktivitas manusia, seperti penggunaan kendaraan bermotor, aktivitas
pabrik atau industri, memelihara ternak di sekitar tempat tinggal, sampai
aktivitas pembuangan sampah.
Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil penelitian yang
menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara beberapa
jenis polutan udara dengan gangguan saluran pernapasan, antara lain SO2
dengan ISPA, SO2 dengan bronchitis, NO dengan bronchitis, dan NOx
dengan ISPA dimana sumber polutan tersebut dapat berasal dari
transportasi, industri, dan pembuangan limbah padat (Agustin, 2004).
Sugiarti (2008) juga menyatakan bahwa hasil aktivitas yang
29
menggunakan sulfur dalam bahan bakar dan pelumas akan menghasilkan
emisi SOx yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan karena
menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan, hingga paru-paru,
bahkan peradangan hebat dapat terjadi pada paparan yang lama. Hasil
penelitian Ardianto & Yudhastuti (2012) menyatakan bahwa lama tinggal
responden di kawasan industri berpengaruh terhadap kejadian ISPA,
dimana penduduk yang tinggal di kawasan industri ≥ 2 tahun berisiko
9,58 kali lebih tinggi untuk menderita ISPA dibandingkan yang belum
lama tinggal di kawasan industri.
Keberadaan ternak disekitar tempat tinggal juga memberikan
pengaruh terhadap kondisi lingkungan udara yang memicu timbulnya
ISPA. Penelitian Herawati dan Sukoco (2011) menyatakan bahwa
terdapat kecenderungan peningkatan risiko ISPA terhadap masyarakat
yang memelihara ternak, terutama pada mereka yang memelihara unggas
yang dikandangkan di dalam rumah. Hasil penelitian Yousef dan Hamed
(2016) terhadap anak-anak usia sekolah di Mesir menemukan bahwa
keberadaan sumber pencemar udara di dalam rumah seperti hewan
peliharaan, unggas, atau binatang pertanian dapat meningkatkan risiko
terjadinya ISPA.
Kualitas udara yang buruk juga dapat disebabkan oleh
pembuangan sampah. Penelitian Suhartini (2013) menemukan bahwa
udara di sekitar TPA mengandung mikroba penyebab ISPA yang terdiri
dari Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiella, Corynebacterium,
30
Aspergillus dan Candida, dimana semakin dekat dengan titik pusat TPA
maka jumlah mikroba semakin tinggi, dan semakin tinggi jumlah
populasi mikroba udara semakin tinggi pula kejadian ISPA.
Pencemaran udara tersebut dapat menimbulkan penyakit ISPA
dan dapat memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita ISPA
terutama pneumonia pada Balita (Ditjen P2PL, 2012). Oleh sebab itu,
terdapat persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi dari dibangunnya
sebuah rumah atau perumahan, yaitu letak perumahan harus jauh dari
sumber pencemaran dengan jarak minimal sekitar 5 Km dan memiliki
daerah penyangga atau daerah hijau (green belt) (Chandra, 2007).
2.4.3 Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi
a. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk adalah angka yang menunjukkan rasio
banyaknya penduduk per kilometer persegi (Banten Dalam Angka, 2016).
Kepadatan penduduk merupakan salah satu kriteria dalam menentukan
prioritas wilayah dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama
kesehatan lingkungan karena memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi
(Fauziah, 2006). Standar Nasional Indonesia mengkategorikan kepadatan
penduduk kedalam tiga kelompok yaitu, kepadatan penduduk rendah jika
<150 jiwa/ha, kepadatan penduduk sedang jika sama dengan 150-200
jiwa/ha, dan kepadatan penduduk tinggi jika >200 jiwa/ha.
31
Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah erat kaitannya
dengan kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki
penduduk yang padat maka akan memiliki jarak antara satu rumah ke
rumah yang lain lebih dekat bahkan sempit, sehingga aktivitas yang
dilakukan oleh satu keluarga kemungkinan besar akan memberikan
pengaruh pada orang-orang disekitarnya, terutama aktivitas yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit ISPA termasuk pneumonia seperti
pencemaran udara yang dihasilkan dari kegiatan memasak terutama bila
masih menggunakan kayu bakar, aktivitas merokok anggota keluarga,
membakar sampah, emisi kendaraan bermotor, dan lainnya. Selain itu,
jarak rumah yang berdekatan akan memungkinkan anak untuk lebih
sering kontak dengan orang-orang disekitarnya yang bila berada dalam
kondisi sakit akan memungkinkan terjadinya penularan yang lebih besar.
Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah juga memungkinkan
terbentuknya lingkungan yang kumuh, dimana pada kondisi lingkungan
kumuh akan meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit termasuk
ISPA. Hasil Riskesdas menunjukkan bahwa kondisi tempat tinggal
penduduk menentukan kejadian ISPA, pada daerah rural anak-anak lebih
sedikit menderita penyakit ISPA dari pada anak yang tinggal di daerah
urban, dimana daerah rural dan urban tersebut dihubungkan dengan
perbedaan pada tingkat kepadatan penduduknya (Daroham &
Mutiatikum, 2009). Pandemik Influenza A (H1N1) juga pernah terjadi di
Utah pada tahun 2009, dimana terjadi pada daerah yang memiliki
32
kepadatan penduduk tertinggi (CDC, 2011). Sebuah penelitian di Kiberia
juga menyatakan bahwa kepadatan penduduk diduga menjadi salah satu
penyebab dari penyebaran virus ISPA di wilayah perkotaan (Breiman, et
al., 2015). Penelitian di Malaysia terhadap 6 area strategis di Kota Kuala
Lumpur juga menemukan bahwa kasus ISPA yang tinggi lebih banyak
terjadi pada area perkotaan dengan kepadatan penduduk yang tinggi (Leh,
et al, 2011).
b. Jenis Pekerjaan
Bekerja merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh
pendapatan atau keuntungan (Banten Dalam Angka, 2016). Dengan
memperoleh pendapatan dari hasil bekerja maka masyarakat dapat
memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan untuk
memenuhi kesehatannya.
Jenis pekerjaan penduduk secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kejadian ISPA di suatu wilayah. Berbagai jenis pekerjaan
akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit karena sebagian
hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan (Budiarto & Anggraeni, 2003).
Seseorang yang bekerja di tempat yang berisiko seperti parbik yang
menghasilkan pencemaran udara, atau di pinggir jalan yang merupakan
pusat kepadatan lalu lintas sehingga menghirup banyak polusi, dan
tempat-tempat berisiko lainnya akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk terkena penyakit ISPA, dibandingkan orang yang bekerja di
33
lingkungan yang sehat dan jauh dari sumber penyebab ISPA. Seperti
dalam penelitian Dewi (2009) dimana pekerja polisi lalu lintas memiliki
risiko untuk mengalami ISPA 1,97 kali lebih besar dari pada polisi bagian
administrasi. Begitu pula pada orang yang bekerja di lingkungan yang
berisiko terhadap pencemaran udara lainnya seperti Rumah Pemotongan
Unggas, dimana pekerja mengalami keluhan subjektif seperti sesak
napas, batuk, serta flu/bersin yang merupakan gejala dari penyakit ISPA
(Septantiana & Asfawi, 2015). Hasil penelitian Muhe (1994) menemukan
bahwa tinggal dalam keluarga yang ayahnya bekerja sebagai petani
memiliki keterkaitan dengan meningkatnya kejadian penyakit ISPA pada
anak. Goel et al (2012) juga menemukan bahwa prevalensi ISPA paling
tinggi terjadi pada anak yang pekerjaan ayahnya di bidang pertanian.
Hasil penelitian Geberetsadik, Worku, & Berhane, (2015) juga
menemukan bahwa status pekerjaan ibu berpengaruh terhadap kejadian
ISPA pada balita, dimana ibu yang memiliki pekerjaan
tetap/professional/teknik merupakan faktor protektif dari terjadinya ISPA.
c. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
menilai status ekonomi penduduk. Kemiskinan dipandang sebagai suatu
keadaan dimana terdapat ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar baik berupa makanan maupun non makanan yang
diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
34
per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut sebagai penduduk
miskin (Banten Dalam Angka, 2016).
Kemiskinan juga dapat mempengaruhi kejadian penyakit ISPA di
suatu wilayah. Penduduk yang memiliki status ekonomi yang rendah atau
dikategorikan sebagai penduduk miskin cenderung akan memiliki tempat
tinggal atau rumah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, selain itu
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan terhadap makanan yang
bergizi juga dapat terjadi sehingga masyarakatnya akan lebih rentan terserang
penyakit termasuk ISPA pneumonia. Kemiskinan juga akan mempengaruhi
kondisi lingkungan yang tercipta di wilayah mereka tinggal dan cenderung
memiliki kondisi yang tidak baik bahkan dapat menciptakan kondisi yang
kumuh. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Machmud (2009)
yang menemukan bahwa balita yang tinggal dalam lingkungan rumah tangga
miskin memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena pneumonia, yang
disebabkan oleh pencemaran di dalam rumah.
Hasil penelitian (Hapsari, Dharmayanti, & Supraptini, 2013) dalam
kurun waktu 10 tahun menyatakan bahwa penyakit ISPA terus mengalami
peningkatan seiring dengan jumlah rumah sehat yang mengalami penurunan,
dan penurunan rumah sehat tersebut terjadi pada penduduk dengan status
ekonomi yang rendah. Hasil penelitian (Biradar, 2013) juga menemukan
bahwa kejadian penyakit ISPA sangat berkaitan dengan status ekonomi
penduduknya, dimana kejadian ISPA yang tinggi terjadi pada masyarakat
yang memiliki status ekonomi yang rendah. Penelitian Rahman & Rahman
35
(1997) juga menyatakan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kejadian
ISPA, dimana ISPA pada anak lebih banyak terjadi pada keluarga yang
tergolong miskin. Hasil penelitian (Rojas, 2007) juga menyatakan bahwa
kemiskinan berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada
penduduk di Chili, terutama pada wilayah yang ditempati oleh penduduk
pribumi.
2.5 Program Penanggulangan ISPA
Sebagai upaya dalam menanggulangi penyakit ISPA, pemerintah
memfokuskan pengendalian ISPA pada beberapa hal, yaitu pengendalian
pneumonia balita, kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta
penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah, pengendalian ISPA
umur ≥ 5 tahun, dan faktor risiko ISPA (Ditjen P2PL, 2012), dengan penjelasan
sebagai berikut:
1. Pengendalian pneumonia balita
Pneumonia merupakan salah satu jenis ISPA yang menjadi pembunuh
nomor dua pada balita (13,2%). Salah satu penyebab tingginya angka
kematian yang disebabkan oleh pneumonia adalah tidak tertanganinya
penderita secara maksimal, hal ini disebabkan karena hanya sebagian kecil
saja kasus yang terlaporkan dan tertangani dengan baik. Sejak tahun 2000,
angka cakupan penemuan pneumonia Balita berkisar antara 20%-36% yang
masih jauh dari target nasional yaitu 86% pada periode 2000-2004, 46%-86%
pada periode 2005-2009. Oleh sebab itu, cakupan penemuan pneumonia
36
balita secara maksimal dan sesuai dengan target nasional adalah salah satu
bentuk upaya dalam penanggulangan masalah ISPA di Indonesia.
2. Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran
pernapasan lain yang berpotensi wabah
Kasus flu burung pernah terjadi di Indonesia dan telah tersebar di 13
provinsi serta 53 kabupaten/kota. Indonesia merupakan negara dengan kasus
flu burung terbesar di dunia dengan kematian 149 orang dari 181 kasus
positif (CFR 82,3%) dan 15 klaster (Oktober 2011). Walaupun penyakit
tersebut masih dalam fase penularan hewan ke manusia, namun terdapat
kekhawatiran kemungkinan akan terjadi mutasi virus flu burung dengan
patogenitas yang lebih tinggi dan dapat menular antar manusia. Oleh karena
itu, Indonesia telah menyusun Rencana Strategi Penanggulangan Flu Burung
dan Kesiapsiagaan Pandemi Influenza tahun 2005, dengan upaya
pengendalian antara lain penyiapan rumah sakit rujukan, penguatan
surveilans, laboratorium virologi dan BSL-3, KIE, aspek hukum, logistik,
koordinasi LP/LS, kerjasama internasional dan simulasi.
3. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun
Pada pengendalian ini dikembangkan Surveilans Sentinel Pneumonia
di seluruh Provinsi di Indonesia, dengan tujuan:
- Mengetahui gambaran kejadian pneumonia dalam distribusi epidemiologi
menurut waktu, tempat dan orang di wilayah sentinel
- Mengetahui jumlah kematian, angka fatalitas kasus (CFR) pneumonia
usia 0 – 59 bulan (Balita) dan ≥ 5 tahun
37
- Tersedianya data dan informasi faktor risiko untuk kewaspadaan adanya
sinyal epidemiologi episenter pandemi influenza
- Terpantaunya pelaksanaan program ISPA
4. Faktor risiko ISPA
Penanggulangan penyakit ISPA juga dilakukan dengan cara
menanggulangi dan mengurangi faktor-faktor risiko seperti polusi udara
ambien, polusi udara dalam rumah terutama pada penggunaan kayu bakar
sebagai bahan bakar memasak, kondisi ventilasi rumah yang tidak memenuhi
syarat, kepadatan hunian maupun kepadatan penduduk, status gizi yang
rendah, dan penyakit campak.
Di dalam program penanggulangan penyakit ISPA terdapat beberapa
kegiatan-kegiatan pokok seperti advokasi dan sosialisasi, penemuan dan
tatalaksana pneumonia balita, ketersediaan logistik, supervisi, pencatatan dan
pelaporan, kemitraan dan jejaring, pengembangan program, autopsi verbal, serta
monitoring dan evaluasi. Berbagai bentuk kegiatan dalam upaya penanggulangan
penyakit ISPA tersebut harus dilakukan dengan mengikutsertakan seluruh
komponen mulai dari pemerintah sebagai penentu kebijakan, tenaga kesehatan,
berbagai sektor terkait, sampai dengan seluruh masyarakat harus bekerjasama
dengan baik untuk mencapai keberhasilan penanggulangan penyakit ISPA
termasuk pneumonia.
38
2.6 Analisis Spasial
Analisis spasial merupakan istilah yang sering digunakan dalam melakukan
analisis data dengan menggunakan sistem informasi geografis, yang memiliki
keunikan dan berbeda dengan analisis lainnya karena mengikutsertakan dimensi
ruang atau geografi (Handayani, Soelistijadi, & Sunardi, 2005). Analisis spasial
berhubungan dengan bagaimana data diolah dan dianalisis untuk menghasilkan
sebuah informasi yang dilakukan dengan pengukuran (measurement), reklasifikasi
spasial (spatial reclassification), analisa jaringan, analisa permukaan (surface
analysis), vector geoprocessing, dan raster geoprocessing, dan hasilnya dapat
ditampilkan dalam bentuk peta, table, grafik, maupun laporan, yang dapat disimpan
kembali dalam basis data, serta dapat dimanfaatkan untuk aplikasi lain (Marjuki,
2014).
Hubungan antara lingkungan dan kesehatan secara lebih baik dapat
digambarkan dengan menggunakan teknik pemetaan. Selain lingkungan geografis,
faktor-faktor lainnya seperti sosial ekonomi dalam kaitannya dengan kesehatan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi pola persebaran penyakit, yang dapat diselidiki
lebih lanjut untuk mengetahui korelasi antara faktor-faktor tersebut. Selain
mengetahui hubungan kausal, analisis spasial juga dapat dikembangkan untuk
memprediksi perubahan kesehatan berdasarkan perubahan lingkungan yang terjadi,
sebagai contoh pemetaan kerentanan masyarakat terhadap wabah penyakit dapat
diketahui dengan menggunakan analisis spasial yang didasarkan pada informasi
kualitas air, suhu, dan curah hujan (WHO, 2016).
39
Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui bahwa penggunaan analisis
spasial dapat memberikan manfaat dalam penelitian berbagai penyakit. Seperti
dalam penelitian Wardani et al (2013) yang memanfaatkan analisis spasial untuk
mengetahui pola persebaran penyakit tuberkulosis, hasil penelitian tersebut
menunjukkan informasi tentang lokasi populasi yang berisiko yaitu pada wilayah
dengan determinan sosial yang rendah, hasil penelitian tersebut digunakan sebagai
dasar dalam upaya pengendalian tuberkulosis. Hasil penelitian Widiarti, Heriyanto,
& Widyastuti (2014) yang menggunakan analisis spasial mampu menggambarkan
pola persebaran kejadian luar biasa penyakit malaria di Kabupaten Purbalingga yaitu
berpola mengelompok terhadap keberadaan mata air yang merupakan faktor
lingkungan yang berpengaruh pada keberadaan vektor penyakit. Pemanfaatan
analisis spasial pada penyakit lainnya seperti leptospirosis (Febrian & Solikhah,
2013), filariasis (Wulandhari, 2015) dapat menggambarkan pola persebaran penyakit
berdasarkan faktor lingkungan, serta dapat memprediksi daerah rawan pada penyakit
ISPA (Ni’mah, 2014), daerah rentan penyakit TB, demam berdarah, dan diare
(Fitria, Wahjudi, & Wati, 2014).
2.7 Kerangka Teori
Dari Berbagai teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka status
kesehatan masyarakat terhadap terjadinya penyakit ISPA pada balita dapat dijelaskan
berdasarkan teori H. L. Blum. Menurut teori tersebut, terdapat empat faktor utama
yang berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat yaitu faktor lingkungan,
faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (Ryadi, 2016). Faktor
40
lingkungan merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling besar, kemudian
diikuti oleh faktor perilaku, pelayanan kesehatan, dan yang paling sedikit
memberikan pengaruh adalah faktor genetik. Jika status kesehatan masyarakat yang
rendah dalam kaitannya dengan kejadian penyakit ISPA pneumonia yang tinggi pada
balita digambarkan berdasarkan teori H. L. Blum, maka faktor lingkungan yang
berperan adalah faktor lingkungan dalam rumah seperti luas ventilasi, jenis lantai,
jenis dinding, kepadatan hunian rumah, suhu, kelembaban, dan pencemaran udara
dalam rumah; faktor lingkungan fisik luar rumah seperti suhu, kelembaban, dan
pencemaran udara ambien; serta lingkungan sosial dan ekonomi seperti kepadatan
penduduk, jenis pekerjaan, dan kemiskinan penduduk. Kemudian faktor perilaku itu
sendiri dapat dikaitkan dengan faktor lingkungan sosial dan ekonomi, dimana faktor-
faktor itulah yang turut serta membentuk perilaku masyarakat terhadap pencegahan
penyakit ISPA pneumonia. Selanjutnya faktor pelayanan kesehatan dalam hal ini
maka adanya program penanggulangan penyakit ISPA, serta faktor genetik berupa
faktor individu yang terdiri dari usia, status imunisasi, status gizi, dan ASI eksklusif.
Hubungan berbagai faktor tersebut dapat terlihat lebih jelas dalam Bagan 2.1
Kerangka Teori berikut ini,
41
Bagan 2. 1 Kerangka Teori
Faktor lingkungan sosial dan
ekonomi : kepadatan penduduk,
jenis pekerjaan, dan kemiskinan
Bakteri dan virus dalam tubuh penderita
Polutan udara dari emisi kendaraan, TPA, industri, dan kandang ternak
Masuk ke udara ambien
Terhirup oleh manusia (balita)
Masuk kedalam saluran
pernapasan balita
Metabolisme tubuh
Keluar melalui sistem
ekskresi
Replikasi pada alveoli menimbulka
n cairan, sehingga
mengalami kesulitan bernapas
Sakit ISPA pneumonia
Tidak sakit Urin
Karakteristik individu: - Usia - Status
imunisasi, - Status gizi, - ASI eksklusif
Faktor lingkungan dalam rumah : - Luas ventilasi, - Jenis lantai, - Jenis dinding, - Kepadatan hunian
rumah, - Suhu dan kelembaban - Pencemaran udara
dalam rumah
Faktor lingkungan luar rumah : - Suhu - Kelembaban
Genetik
Pelayanan
Kesehatan
Perilaku
42
BAB III
KERANGKA KONSEP
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini mengacu kepada kerangka teori pada pembahasan
sebelumnya dimana terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya
ISPA pneumonia pada balita, yaitu faktor individu yang terdiri dari usia, status gizi,
status imunisasi, dan ASI eksklusif; kemudian faktor lingkungan dalam rumah yang
terdiri dari jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian rumah, luas ventilasi, suhu,
kelembaban, dan pencemaran udara dalam rumah; kemudian faktor lingkungan luar
rumah yang terdiri dari suhu, kelembaban, sumber pencemaran udara ambien; serta
faktor lingkungan sosial ekonomi seperti jenis pekerjaan dan kemiskinan.
Namun, pada penelitian ini tidak semua variabel tersebut dapat diteliti.
Faktor individu tidak diteliti karena variabel tersebut tidak sesuai untuk desain studi
ekologi yang unit analisisnya merupakan populasi, selain itu penelitian ini juga
lebih terfokus pada faktor lingkungan, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial
ekonomi. Selanjutnya pada faktor lingkungan fisik dalam rumah, hanya variabel
jenis lantai, jenis dinding, dan bahan bakar memasak yang dapat dilakukan
penelitian, hal ini disebabkan oleh keterbatasan data yang tersedia. Sementara untuk
faktor lingkungan luar rumah, variabel status merokok, penggunaan obat anti
nyamuk, keberadaan TPA, serta suhu dan kelembaban udara tidak dilakukan
pengukuran karena keterbatasan data yang tersedia.
43
Kerangka konsep terdiri dari variabel dependen dan variabel independen.
Yang merupakan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA
pneumonia pada balita. Dan yang merupakan variabel independen adalah faktor
lingkungan fisik dalam rumah (jenis lantai, jenis dinding, dan bahan bakar
memasak), faktor lingkungan fisik luar rumah (kepadatan ternak unggas dan
industri), dan faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan kemiskinan).
Hubungan antara variabel-variabel tersebut dapat digambarkan dalam Bagan 3.1
sebagai berikut.
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep
Faktor lingkungan fisik :
- jenis lantai rumah - jenis dinding rumah - jenis bahan bakar memasak - kepadatan ternak unggas - kepadatan industri
Faktor lingkungan sosial ekonomi : - Jenis pekerjaan - Kemiskinan
Kejadian ISPA Pneumonia
Pada Balita
44
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3. 1 Definisi Operasional
Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil pengukuran Skala
ukur
1. Kejadian
ISPA
pneumonia
pada balita
Balita yang menderita infeksi saluran
pernafasan bawah jenis pneumonia
dibandingkan dengan jumlah balita
yang ada pada masing-masing
kabupaten/kota di Provinsi Banten
yang tercatat dalam Laporan Tahunan
Dinas Kesehatan Provinsi Banten
selama tahun 2011-2015
Observasi data
sekunder
Laporan Tahunan
Dinas Kesehatan
Provinsi Banten
Tahun 2011-2015
1. < 1%
2. 1% - 4%
3. > 4%
(Kemenkes RI, 2010)
Ordinal
2. Jenis lantai
rumah
Bahan atau material dari bagian dasar
dalam ruangan rumah penduduk per
kabupaten/kota yang diperoleh dari
hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
yang tercatat dalam Laporan Banten
Dalam Angka selama tahun 2012-
2016
Observasi data
sekunder
Laporan Banten
Dalam Angka tahun
2012-2016
1. Lantai tanah (%)
2. Lantai non tanah
(%)
Ordinal
3. Jenis
dinding
rumah
Bahan atau material dari salah satu
elemen bagunan untuk memisahkan
atau membentuk ruangan dalam
rumah penduduk per kabupaten/kota
yang diperoleh dari hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional yang tercatat dalam
Laporan Banten Dalam Angka selama
tahun 2012-2016
Observasi data
sekunder
Laporan Banten
Dalam Angka tahun
2012-2016
1. Dinding tembok
(%)
2. Dinding kayu (%)
3. Dinding lainnya
(%)
Ordinal
4. Jenis bahan Bahan atau material yang digunakan Observasi data Laporan Banten 1. Listrik (%) Ordinal
45
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil pengukuran Skala
ukur
bakar
memasak
oleh penduduk untuk memasak per
kabupaten/kota yang diperoleh dari
hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
yang tercatat dalam Laporan Banten
Dalam Angka selama tahun 2012-
2016
sekunder Dalam Angka tahun
2012-2016
2. Gas (%)
3. Minyak tanah
(%)
4. Kayu bakar (%)
5. Lainnya (%)
5. Kepadatan
industri
Banyaknya perusahaan industri
pengolahan yang memiliki tenaga
kerja 20 orang atau lebih di tiap
wilayah kabupaten/kota yang
dibandingkan dengan jumlah seluruh
perusahaan industri pengolahan yang
ada di Provinsi Banten yang diperoleh
dari hasil survei oleh Badan Pusat
Statistik dan tercatat dalam Laporan
Banten Dalam Angka selama tahun
2012-2016
Observasi data
sekunder,
kemudian
dilakukan
perhitungan
dengan rumus:
(Jumlah industri
di
kabupaten/kota
÷ jumlah
industri di
Provinsi) × 100
%
Laporan Banten
Dalam Angka per
setiap tahunnya
selama kurun waktu
2012-2016
1. < 5 %
2. 5 – 10 %
3. > 10 %
(Sopari, 2007)
Ordinal
6. Kepadatan
ternak
unggas
Banyaknya jenis hewan dari Famili
Phasianidae (keluarga burung) yang
dikembangbiakkan untuk
dimanfaatkan daging dan telurnya
dalam satuan ternak (ST) yang
dibandingkan dengan luas wilayah
kabupaten/kota dalam satuan Km2
yang diperoleh dari Dinas Pertanian
dan Peternakan Provinsi Banten yang
tercatat dalam Laporan Banten Dalam
Observasi data
sekunder,
kemudian
dilakukan
perhitungan
dengan rumus:
Jumlah unggas
(Satuan Ternak)
÷ luas wilayah
Laporan Banten
Dalam Angka tahun
2012-2016
1. Jarang (< 10)
2. Sedang (10 – 20)
3. Padat (20 – 50)
4. Sangat padat (>
50)
(Modifikasi dari teori
Ashari, Juarini, Sumanto,
Wibowo, dan Suratman,
Ordinal
46
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil pengukuran Skala
ukur
Angka selama tahun 2012-2016 (Km2) 1995)
7. Jenis
pekerjaan
Persentase jumlah penduduk yang
bekerja di bidang pertanian dan di
bidang industri tiap wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Banten.
Observasi data
sekunder
Laporan Banten
Dalam Angka tahun
2012-2016
1. Pekerjaan bidang
pertanian (%)
2. Pekerjaan bidang
industri (%)
Ordinal
8. Kemiskinan Jumlah penduduk yang dikategorikan
sebagai penduduk miskin, yaitu
penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan
dibawah Garis Kemiskinan pada
masing-masing kabupaten/kota di
Provinsi Banten yang dinyatakan
dalam persentase.
Observasi data
sekunder
Laporan Banten
Dalam Angka per
setiap tahunnya
selama kurun waktu
2012-2016
1. < 10 %
2. 10 – 20 %
3. 20 – 30 %
4. > 30 %
(BPS & Kementerian
Sosial RI, 2012)
Ordinal
47
BAB IV
METODOLOGI
BAB IV METODOLOGI
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain
studi ekologi, karena pada penelitian ini menggunakan data sekunder berbasis
populasi (aggregate). Metode yang digunakan adalah analisis spasial, karena
variabel pada penelitian ini berupa faktor risiko atau karakteristik yang
keberadaannya konstan di masyarakat, dan selanjutnya akan dianalisis terhadap
distribusi penyakit (Chandra, 2009) yang dibatasi secara geografik.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Desember
tahun 2016. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Provinsi
Banten yang mencakup 4 kabupaten dan 4 kota.
4.3 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus ISPA pneumonia pada
balita per Kabupaten/Kota yang terlaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten
selama tahun 2011-2015.
4.4 Manajemen Data
4.4.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan bersumber pada data sekunder.
Data sekunder yang digunakan terdiri dari data spasial dan non spasial. Data
48
spasial adalah data yang berorientasi geografis, dalam hal ini maka yang
termasuk dalam data spasial adalah peta digital Provinsi Banten berdasarkan
wilayah Kabupaten/Kota yang diperoleh secara open source dari Badan
Informasi Geospasial (BIG). Sementara data non spasial merupakan data
tabular atau data yang berisi informasi deskriptif, dalam hal ini maka yang
termasuk data non spasial adalah:
- Data kasus penyakit ISPA pneumonia di Provinsi Banten per
Kabupaten/Kota selama tahun 2011-2015 yang tercatat dalam Laporan
Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Banten yang diperoleh dari Bagian P2
(Penanggulangan Penyakit) Dinas Kesehatan Provinsi Banten.
- Data jenis lantai rumah penduduk, jenis dinding rumah penduduk, jenis
bahan bakar memasak penduduk, kepadatan ternak unggas, kepadatan
industri, jenis pekerjaan penduduk, dan kemiskinan di Provinsi Banten per
Kabupaten/Kota yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dalam Laporan
Banten Dalam Angka Tahun 2012-2016.
4.4.2 Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Data
Pada tahapan ini semua data yang telah dikumpulkan dari
beberapa sumber akan diperiksa mana sajakah data yang dibutuhkan dan
49
digunakan dalam penelitian, kemudian dilakukan pemeriksaan kembali
terkait kelengkapan dari data yang dibutuhkan tersebut.
2. Pemasukan Data
Setelah data dipilih dan diperiksa kelengkapannya selanjutnya
data yang dibutuhkan dimasukkan kedalam komputer menggunakan
software pengolah data tabular. Maka data yang akan diolah diubah
tampilannya kedalam bentuk tabel. Pada proses pemasukan data
dilakukan tahap normalisasi data. Tahapan ini dilakukan dengan cara
mengedit baris dan kolom yang tidak diperlukan pada setiap variabel
penelitian, sehingga tampilan tabel akan menjadi sesederhana mungkin.
Tampilan tabel tersebut akan membantu dalam proses analisis data tahap
selanjutnya.
3. Pemberian Kode
Tahapan selanjutnya adalah membuat kode pada setiap variabel
penelitian. Kode dibuat dengan panjang maksimal 10 huruf. Setelah
diberikan kode pada setiap variabel penelitian, selanjutnya menetapkan
primary key, dalam hal ini maka primary key adalah nama
kabupaten/kota. Kemudian tahap berikutnya adalah membuka file dbf
dari atribut shapfile yang telah tersedia dari BIG. Setelah filenya terbuka,
salin (copy dan paste) kolom primary key ke file berisi tabel kerja yang
dilakukan normalisasi, kemudian pindahkan dan samakan kolom primary
key ke dalam kolom kabupaten/kota dengan teknik dragging. Lalu
50
lakukan pengecekkan kembali agar tidak terjadi kesalahan pada data yang
telah dimasukkan.
4. Perubahan Format File
Tahap berikutnya adalah menyimpan lembar kerja pengolahan
data tabular yang telah dilakukan normalisasi sebelumnya dalam bentuk
CSV. Selanjutnya data tersebut akan dijoin ke dalam software pengolah
data spasial yaitu Quantum GIS 2.8.1.
4.5 Instrumen Penelitian
Instrument dalam penelitian ini berupa laporan yang telah dikumpulkan dari
beberapa instansi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini
Tabel 4. 1 Daftar Variabel, Instrument, dan Instansi Data Sekunder Penelitian
Daftar Variabel, Instrument, dan Instansi Data Sekunder Penelitian
No Variabel Instrument Instansi
1. Kejadian ISPA pneumonia
pada balita
Laporan tahunan
Dinas Kesehatan
Provinsi Banten
Tahun 2011-2015
Dinas Kesehatan
Provinsi Banten
2. Jenis lantai rumah
penduduk, jenis dinding
rumah penduduk, jenis
bahan bakar memasak,
kepadatan ternak unggas,
kepadatan industri, jenis
pekerjaan penduduk, dan
kemiskinan
Laporan Banten
Dalam Angka
tahun 2012-2016
Badan Pusat
Statistik Provinsi
Banten
51
4.6 Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan
analisis spasial. Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi
penyakit ISPA pneumonia berdasarkan variabel jenis lantai rumah penduduk, jenis
dinding rumah penduduk, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak,
kepadatan ternak unggas, kepadatan industri, jenis pekerjaan penduduk, dan
kemiskinan. Hasil dari analisis univariat berupa proporsi yang ditampilkan dalam
bentuk grafik dan diagram.
Selanjutnya distribusi penyakit ISPA pneumonia tersebut akan dianalisis
menggunakan analisis spasial sehingga akan dihasilkan peta distribusi penyakit
berdasarkan variabel-variabel penelitian yang dipisahkan dan dibandingkan
berdasarkan letak geografis yaitu dibatasi oleh wilayah masing-masing
kabupaten/kota dan trend penyakit dalam kurun waktu 5 tahun. Analisis ini
dilakukan dengan cara menggabungkan (join) database peta digital wilayah Provinsi
Banten dengan jumlah kasus ISPA pneumonia pada masing-masing kabupaten/kota.
Kemudian pada attributable, tiap wilayah kabupaten/kota akan diberi warna sesuai
klasifikasi dari masing-masing variabel penelitian dan jumlah kasus ISPA
pneumonia.
52
BAB V
HASIL
BAB V HASIL
5.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi
distribusi frekuensi penyakit ISPA pada balita secara umum yang dilihat dari proporsi
penyakit berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten dari tahun 2011-2015.
Perkembangan tren penyakit ISPA pada balita selama kurun waktu 5 tahun terakhir
dapat dilihat pada Grafik 5.1 berikut,
Grafik 5. 1 Distribusi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten Tahun 2011-2015
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011-2015
53
Berdasarkan Grafik 5.1, dapat diketahui bahwa frekuensi penyakit ISPA pada
balita selama lima tahun mengalami fluktuasi pada semua wilayah kabupaten/kota.
Dapat terlihat bahwa kenaikan frekuensi penyakit cenderung terjadi pada tahun 2012,
sedangkan penurunan frekuensi penyakit cenderung terjadi pada tahun 2013. Secara
umum, pada tahun 2014 juga terjadi peningkatan frekuensi penyakit ISPA pada balita
di sebagian besar wilayah kabupaten/kota, kecuali Kota Cilegon, begitu pula pada tahun
2015 dimana juga terus mengalami peningkatan pada sebagian besar wilayah
kabupaten/kota kecuali Kota Tangerang. Sehingga dapat terlihat adanya perkembangan
penyakit ISPA pada balita yang mengalami peningkatan tahun 2012, kemudian
menurun pada tahun 2013, yang selanjutnya cenderung terus mengalami peningkatan
hingga tahun 2015.
Frekuensi penyakit ISPA pada balita yang paling tinggi terjadi di Kota Cilegon
setiap tahunnya, dengan angka yang paling tinggi sebesar 100% pada tahun 2011 dan
2012. Sedangkan untuk kasus terendah tersebar di beberapa wilayah lainnya, dengan
angka terendah sebesar 13,13% terjadi pada tahun 2013 di Kota Serang. Berdasarkan
data tersebut, maka dapat terlihat jumlah kabupaten/kota yang telah melebihi prevalensi
penyakit ISPA pada balita di tingkat Provinsi Banten terus meningkat dalam 2 tahun
terakhir.
Sedangkan informasi perkembangan tren penyakit ISPA yang lebih terfokus
pada jenis ISPA pneumonia pada balita yang dilihat dari angka insidens penyakit
berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama kurun waktu 5 tahun
terakhir dapat dilihat pada Grafik 5.2 sebagai berikut,
54
Grafik 5. 2 Insidens IS PA Pneum onia Pada Balita Berda sarkan Wilaya h Ka bupaten/Kota di Provinsi Ba nten Tahun 20 11-2015
Insidens Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Berdasarkan Grafik 5.2, dapat terlihat bahwa insidens penyakit ISPA
pneumonia pada balita selama lima tahun mengalami fluktuasi pada sebagian besar
wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Terdapat dua kabupaten/kota yang memliki
tren penyakit ISPA pneumonia yang cenderung meningkat, yaitu pada Kabupaten
Serang dan Kabupaten Tangerang, sementara Kota Tangerang Selatan terus mengalami
peningkatan selama lima tahun.
Dapat terlihat bahwa kenaikan frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita
cenderung terjadi pada tahun 2014, sedangkan penurunan frekuensi penyakit cenderung
terjadi pada tahun 2013. Angka tertinggi dari insidens penyakit ISPA pneumonia pada
balita tersebut adalah sebesar 4,61 % yang terjadi di Kota Tangerang tahun 2012 dan
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011-2015
55
angka terendah sebesar 0,43 % yang terjadi di Kabupaten Lebak tahun 2013.
Berdasarkan grafik tersebut, dapat terlihat bahwa jumlah kabupaten/kota yang telah
melebihi insidens penyakit ISPA pneumonia pada balita di tingkat Provinsi Banten juga
mengalami fluktuasi dalam 5 tahun terakhir.
Untuk melihat distribusi penyakit ISPA pneumonia pada balita tersebut
berdasarkan keruangan, dapat dilihat pada Peta 5.1 berikut,
56
Peta 5. 1 Distribusi Ins idens Penyakit I SPA Pnemonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Distribusi Insidens Penyakit ISPA Pnemonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Tahun 2011 Tahun 2012
Tahun 2013 Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan:
Insidens ISPA Pneumonia Balita
Batas wilayah
Utara = Laut Jawa
Selatan = Samudera Hindia
Barat = Selat Sunda
Timur = Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat
57
Peta 5.1 memperlihatkan distribusi frekuensi penyakit ISPA pada balita yang
lebih difokuskan pada jenis ISPA Pneumonia. Berdasarkan peta tersebut dapat terlihat 3
area yang memiliki warna berbeda. Wilayah dengan warna hijau (zona hijau)
menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah, kemudian wilayah
dengan warna kuning (zona kuning) menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada
balita yang sedang, sedangkan wilayah dengan warna merah (zona merah)
menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi.
Pada tahun 2011, dapat terlihat bahwa insidens ISPA Pneumonia pada balita
antara 1 – 4 % (zona kuning) tersebar merata pada seluruh wilayah kabupaten/kota di
Provinsi Banten. Kemudian di tahun 2012 terdapat peningkatan kejadian ISPA
Pneumonia pada balita di Kota Cilegon dan Kota Tangerang, sehingga terdapat
peningkatan jumlah kabupaten/kota yang berada pada zona merah yaitu 2 dari 8
kabupaten/kota. Pada tahun 2013 terjadi perbaikan yang ditandai dengan adanya
penurunan kejadian ISPA Pneumonia balita pada 2 kabupaten/kota yang sebelumnya
berada pada zona merah menjadi zona kuning, kemudian terjadi juga penurunan
kejadian ISPA Pneumonia pada balita di Kabupaten Lebak menjadi zona hijau,
sehingga tidak terdapat lagi kabupaten/kota yang berada pada zona merah. Namun di
tahun 2014 kembali terjadi peningkatan kasus ISPA Pneumonia pada balita di Kota
Tangerang dan Kota Tangerang Selatan sehingga terdapat 2 dari 8 kabupaten/kota yang
berada pada zona merah seperti di tahun 2012. Walaupun terdapat penurunan kasus
ISPA Pneumonia di tahun berikutnya (2015), namun tetap terdapat wilayah yang
58
berada pada zona merah yang menunjukkan masih terdapat kejadian ISPA Pneumonia
pada balita yang tinggi, yaitu di Kota Tangerang Selatan.
Berdasarkan berbagai perkembangan persebaran ISPA Pneumonia pada balita
selama lima tahun tersebut, dapat terlihat bahwa penyakit ISPA Pneumonia pada balita
didominasi oleh wilayah kabupaten/kota yang berada pada zona kuning, dan persebaran
penyakit yang lebih tinggi cenderung terjadi di wilayah Timur Provinsi Banten.
5.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Berdasarkan Faktor Lingkungan
Fisik Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
5.2.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Jenis Lantai Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi
perkembangan jenis lantai rumah yang dimiliki penduduk berdasarkan wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Jenis lantai rumah
penduduk tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan
frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten
untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan yang
dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.2 berikut,
59
Peta 5. 2 Distribus i Peny akit I SPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Distribusi Pe nyakit ISPA P neumonia P ada Balita Berdasar kan Je nis Lantai Tanah di Prov insi Bante n Tahun 2011-2015 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis
Lantai Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Tahun 2011 Tahun 2012
Tahun 2013 Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan:
Insidens ISPA Pneumonia Balita
Proporsi Jenis Lantai
60
Peta 5.2 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA
Pneumonia pada balita berdasarkan jenis lantai rumah penduduk selama lima
tahun. Dapat terlihat bahwa pada semua wilayah kabupaten/kota di Provinsi
Banten sebagian besar penduduknya telah memiliki rumah dengan lantai non
tanah, artinya terdapat kecenderungan kondisi rumah penduduk dilihat
berdasarkan jenis lantainya sudah cukup baik.
Bila dilihat berdasarkan proporsi lantai tanah penduduk, maka Kabupaten
Pandeglang memiliki proporsi tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lain
(dengan angka sebesar 11,66 % pada tahun 2013), namun wilayah tersebut berada
pada zona kuning dan terdapat zona hijau namun memiliki proporsi lantai tanah
yang cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lain yaitu Kabupaten Lebak pada
tahun 2013 (3,99 %) yang menunjukkan adanya kecenderungan kasus yang
rendah. Pada kondisi sebaliknya dapat terlihat bahwa proporsi kepemilikan lantai
tanah penduduk yang lebih rendah berada di Kota Tangerang (2,25 % pada tahun
2012 dan 0,30 % pada tahun 2014) dan Kota Tangerang Selatan (0,14 % pada
tahun 2014 dan tidak terdapat lagi penduduk yang menggunakan lantai tanah pada
tahun 2015), namun wilayah tersebut memiliki kejadian ISPA Pneumonia balita
yang berada pada zona kuning dan zona merah yang menunjukkan kecenderungan
kasus yang tinggi. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit
ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai
memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya proporsi kepemilikan jenis
lantai tanah penduduk yang tinggi justru menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia
pada balita yang rendah, begitu pula sebaliknya.
61
5.2.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Jenis Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi
perkembangan jenis dinding rumah yang dimiliki penduduk berdasarkan wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Jenis dinding rumah
penduduk merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi
penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk
melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan yang dapat
dilihat secara keruangan pada Peta 5.3 berikut,
62
Peta 5. 3
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Dinding Rumah
di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Tahun 2011 Tahun 2012
Tahun 2013 Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan:
Insidens ISPA Pneumonia Balita
Proporsi Jenis Dinding
63
Peta 5.3 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA
Pneumonia pada balita berdasarkan jenis dinding rumah penduduk selama lima
tahun. Dapat terlihat bahwa pada semua wilayah kabupaten/kota di Provinsi
Banten sebagian besar penduduknya telah memiliki rumah dengan jenis dinding
tembok, kemudian diikuti dengan jenis dinding lainnya, dan sebagian kecil yang
masih memiliki dinding kayu, artinya terdapat kecenderungan kondisi rumah
penduduk dilihat berdasarkan jenis dindingnya sudah cukup baik.
Bila dilihat berdasarkan proporsi dinding kayu maupun dinding lainnya,
maka Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang lah yang memiliki proporsi
tertinggi (dengan angka masing-masing sebesar 3,12 % dan 6,73 % pada tahun
2013). Namun wilayah tersebut berada pada zona kuning dan zona hijau yang
menunjukkan adanya kecenderungan kasus yang rendah. Pada kondisi sebaliknya
dapat terlihat bahwa proporsi kepemilikan jenis dinding kayu yang rendah terjadi
pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan perkembangan
kasus yang tinggi seperti pada Kota Tangerang (2,99 % pada tahun 2012 dan 2,67
% pada tahun 2014), dan Kota Tangerang Selatan (0,85 % pada tahun 2014 dan
0,47 % pada tahun 2015). Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran
penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis
dinding rumah memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya proporsi
kepemilikan jenis dinding kayu penduduk yang tinggi justru menunjukkan
kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah.
Persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang rendah dengan
proporsi kepemilikan dinding kayu yang tinggi memiliki kecenderungan terjadi di
64
wilayah selatan Provinsi Banten, dimana wilayah tersebut merupakan wilayah
yang masih didominasi oleh area rural. Begitu pula pada persebaran penyakit
ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi dengan proporsi kepemilikan dinding
kayu yang rendah memiliki kecenderungan terjadi di wilayah Timur Provinsi
Banten, dimana wilayah tersebut didominasi oleh area urban bahkan termasuk
kedalam wilayah penyangga ibu kota.
5.2.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Jenis Bahan Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-
2015
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi
perkembangan jenis bahan bakar yang digunakan penduduk untuk memasak
berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015.
Jenis bahan bakar penduduk tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan
dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di
Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor
lingkungan yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.4 berikut,
65
Peta 5. 4 Distribusi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Penggunaan Bahan Bakar Kayu Untuk Memasak Oleh Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan Bakar
Memasak di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Tahun 2011 Tahun 2012
Tahun 2013 Tahun 2014
Tahun 2015 Keterangan:
Insidens ISPA Pneumonia Balita
Proporsi Jenis Bahan Bakar
66
Peta 5.4 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA
Pneumonia pada balita selama lima tahun berdasarkan jenis bahan bakar yang
digunakan oleh penduduk untuk memasak. Dapat terlihat bahwa pada wilayah
utara Provinsi Banten (Kota Cilegon, Kabupaten Serang, Kota Serang, Kabupaten
Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) sebagian besar
penduduknya telah menggunakan jenis bahan bakar gas, sementara pada wilayah
Selatan Provinsi Banten (Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak) sebagian
besar penduduknya masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat dua jenis bahan bakar yang paling dominan
digunakan oleh sebagian besar masyarakat di Provinsi Banten yaitu bahan bakar
gas dan kayu bakar, sementara untuk jenis bahan bakar lainnya hanya sebagian
kecil saja yang menggunakannya.
Bila dilihat berdasarkan proporsi bahan bakar kayu, maka Kabupaten
Lebak dan Kabupaten Pandeglang lah yang memiliki proporsi tertinggi (dengan
angka masing-masing sebesar 65,02 % dan 64,72% pada tahun 2013). Namun
wilayah tersebut berada pada zona kuning, bahkan pada tahun 2013 Kabupaten
Lebak berada pada zona hijau yang menunjukkan adanya kecenderungan kasus
yang rendah. Pada kondisi sebaliknya dapat terlihat bahwa proporsi kepemilikan
jenis bahan bakar kayu yang rendah terjadi pada zona kuning dan merah yang
menunjukkan kecenderungan perkembangan kasus yang semakin tinggi seperti
Kota Tangerang (1,02 % pada tahun 2012 dan 0,56 % pada tahun 2014) dan Kota
Tangerang Selatan (0,39 % pada tahun 2012 dan 0,30 % pada tahun 2014). Hal
tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada
67
balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis bahan bakar untuk memasak
memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya proporsi penggunaan jenis
bahan bakar kayu untuk memasak yang tinggi justru menunjukkan kejadian ISPA
Pneumonia pada balita yang rendah, begitu pula sebaliknya.
Persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang rendah dengan
proporsi penggunaan bahan bakar kayu yang tinggi memiliki kecenderungan
terjadi di wilayah selatan Provinsi Banten, dimana wilayah tersebut merupakan
wilayah yang masih didominasi oleh area rural. Begitu pula pada persebaran
penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi dengan proporsi penggunaan
bahan bakar kayu yang rendah memiliki kecenderungan terjadi di wilayah Utara
Provinsi Banten, dimana wilayah tersebut didominasi oleh area urban, seperti
Kota Serang yang merupakan Ibu Kota dan pusat pemerintahan Provinsi Banten,
begitu pula Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan
yang termasuk kedalam wilayah penyangga ibu kota.
68
Peta 5. 5 Distribusi Frekuensi Penyakit I SPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jen is Lantai Kayu, Jenis D inding Kayu, dan Jenis Bahan Bakar Kayu di Provins i Banten Tahun 2011-2015
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai
Tanah, Jenis Dinding Kayu, dan Jenis Bahan Bakar Kayu di Provinsi Banten Tahun 2011-
2015
Tahun 2011 Tahun 2012
Tahun 2013 Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan:
Insidens ISPA Pneumonia Balita
Faktor Lingkungan
69
Peta 5.5 menunjukkan persebaran kejadian ISPA Pneumonia pada balita
selama lima tahun dilihat berdasarkan 3 faktor lingkungan yang sebelumnya telah
dijelaskan yang lebih terfokus pada jenis faktor lingkungan yang paling
berpengaruh terhadap kejadian ISPA Pneumonia pada balita yaitu jenis lantai
tanah, dinding kayu, dan bahan bakar kayu. Dapat terlihat bahwa proporsi yang
paling tinggi dari ketiga faktor lingkungan tersebut justru terjadi pada wilayah
yang memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang cenderung rendah,
seperti pada Kabupaten Lebak tahun 2013, begitu pula sebaliknya proporsi yang
paling rendah dari ketiga faktor lingkungan tersebut justru terjadi pada wilayah
yang memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang cenderung tinggi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kejadian ISPA Pneumonia pada balita terhadap
faktor lingkungan berupa jenis lantai, dinding, dan bahan bakar memiliki
kecenderungan ke arah negatif.
Bila dilihat berdasarkan keruangan maka wilayah yang memiliki kejadian
ISPA Pneumonia pada balita yang rendah dengan proporsi lantai tanah, dinding
kayu, dan bahan bakar kayu yang tinggi terjadi pada daerah pedesaan. Sedangkan
wilayah yang memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi dengan
proporsi lantai tanah, dinding kayu, dan bahan bakar kayu yang rendah terjadi
pada daerah perkotaan.
70
5.2.4 Distribusi Frekuensi Kejadian Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita
Berdasarkan Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-
2015
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi
perkembangan kepadatan ternak unggas berdasarkan wilayah kabupaten/kota di
Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Kepadatan ternak unggas tersebut
merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit
ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat
kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan tersebut yang dapat
dilihat secara keruangan pada Peta 5.6 berikut,
71
Peta 5. 6 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pne umonia Pada Balita Berda sarkan Kepa datan Ternak Unggas di Provinsi Bante n Tahun 201 1-2 015
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Tahun 2011 Tahun 2012
Tahun 2013 Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan:
Insidens ISPA Pneumonia Balita
Kepadatan Ternak Unggas
72
Peta 5.6 memperlihatkan persebaran kejadian ISPA Pneumonia pada balita
berdasarkan faktor lingkungan berupa kepadatan ternak unggas selama lima
tahun. Dapat terlihat bahwa wilayah yang memiliki ternak unggas sangat padat
terdapat di zona merah seperti di wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang pada tahun 2012 dan 2014, kemudian wilayah yang memiliki ternak
unggas sangat padat juga terdapat di zona kuning seperti yang terjadi di
Kabupaten Serang dan Kota Serang. Selain itu dapat terlihat juga adanya
peningkatan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang seiring juga dengan
peningkatan kepadatan ternak unggas, begitu pula terjadinya penurunan kejadian
ISPA Pneumonia pada balita yang seiring dengan penurunan kepadatan ternak
unggas, pola persebaran penyakit ini terjadi pada wilayah Kota Tangerang selama
lima tahun. Hal ini memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA
Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak
memiliki kecenderungan ke arah positif. Artinya wilayah dengan kepadatan
ternak yang tinggi menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang
tinggi pula.
Namun pada sebagian kecil wilayah kabupaten/kota lainnya menunjukkan
hasil yang berbeda. Dimana wilayah dengan kepadatan ternak unggas yang jarang
terdapat di zona merah seperti di Kota Cilegon tahun 2012, begitu pula sebaliknya
wilayah yang memiliki ternak unggas padat justru terjadi di zona hijau seperti
yang terjadi di Kabupaten Lebak tahun 2013. Selain itu terdapat peningkatan
ataupun penurunan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tidak disertai
73
dengan peningkatan ataupun penurunan kepadatan ternak unggas, seperti yang
terjadi di Kota Cilegon tahun 2012 dan Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2014.
Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia
pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak unggas memiliki
kecenderungan ke arah negatif. Artinya kepadatan ternak unggas yang tinggi
menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah, begitu pula
sebaliknya.
5.2.5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Kepadatan Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi
perkembangan kepadatan industri berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi
Banten selama tahun 2011-2015. Kepadatan industri tersebut merupakan faktor
lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada
balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan
persebarannya berdasarkan faktor lingkungan tersebut yang dapat dilihat secara
keruangan pada Peta 5.7 berikut,
74
Peta 5. 7 Distribusi Frekue nsi Penyakit IS PA Pneumonia Pada Balita Berda sarkan Jumla h Industri di Pr ovinsi Ba nten Ta hun 2011 -20 15
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Industri di
Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Tahun 2011 Tahun 2012
Tahun 2013 Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan:
Insidens ISPA Pneumonia Balita
Kepadatan Industri
75
Peta 5.7 memperlihatkan persebaran kejadian ISPA Pneumonia pada balita
berdasarkan faktor lingkungan berupa kepadatan industri selama lima tahun.
Dapat terlihat bahwa terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada
balita terhadap kepadatan industri memiliki kecenderungan ke arah positif. Tetapi
pola tersebut hanya terjadi di wilayah utara dan timur Provinsi Banten, yaitu
Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang yang termasuk ke
dalam zona kuning dan merah yang disertai juga dengan kepadatan industri yang
sedang dan tinggi.
Sedangkan pada wilayah lainnya, menunjukkan kecenderungan ke arah
negatif. Walaupun pada tahun 2013 wilayah Kabupaten Lebak berada pada zona
hijau yang disertai juga dengan kepadatan industri yang rendah sehingga
menunjukkan adanya kecenderungan positif, namun pada dua tahun sebelumnya
sudah terlihat kondisi kepadatan industri yang sama, tetapi kepadatan industri
yang ada tidak menunjukkan kesesuaian dengan kejadian ISPA Pneumonia pada
balita yang ada, dan kondisi tersebut juga terulang di tahun berikutnya, sehingga
kecenderungan ke arah negatif antara kejadian ISPA Pneumonia pada balita
dengan kepadatan industri menjadi lebih besar.
Berbagai kondisi tersebut memperlihatkan bahwa dalam satu wilayah
Provinsi Banten dapat menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda bila dilihat
dari distribusi dan frekuensi penyakitnya berdasarkan faktor yang
mempengaruhinya. Kejadian penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang
memiliki kecenderungan ke arah positif dengan faktor lingkungan berupa
76
kepadatan industri terjadi di wilayah utara dan timur Provinsi Banten terutama
Kabupaten Serang yang berbatasan langsung dengan ibu kota provinsi, serta
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan
DKI Jakarta dan merupakan wilayah penyangga ibu kota negara, sedangkan pada
wilayah lainnya memiliki kecenderungan ke araf negatif dengan kepadatan
industri yang ada.
5.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Faktor
Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014
5.3.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Jenis Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi
perkembangan jenis pekerjaan penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota di
Provinsi Banten selama tahun 2011-2014. Jenis pekerjaan penduduk merupakan
faktor lingkungan sosial ekonomi yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit
ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat
kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan sosial ekonomi
tersebut yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.8 berikut,
77
Peta 5. 8 Distribusi Frekue nsi Penyakit IS PA Pneumonia Pada Balita Berda sarkan Je nis Pek erjaan di Pr ovinsi Ba nten Ta hun 2011 -20 15
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Pekerjaan di
Provinsi Banten Tahun 2011-2014
Tahun 2011 Tahun 2012
Tahun 2013 Tahun 2014
Keterangan:
Insidens ISPA Pneumonia Balita
Proporsi Jenis Pekerjaan
78
Peta 5.8 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA
Pneumonia pada balita selama lima tahun berdasarkan jenis pekerjaan penduduk.
Dapat terlihat bahwa pada wilayah utara Provinsi Banten (Kota Cilegon, Kota
Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan)
sebagian besar penduduknya lebih banyak yang bekerja dibidang industri,
sementara pada wilayah Selatan Provinsi Banten (Kabupaten Pandeglang dan
Kabupaten Lebak) sebagian besar penduduknya lebih banyak bekerja di bidang
pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan di bidang industri lebih
banyak terdapat di daerah urban, sedangkan jenis pekerjaan di bidang pertanian
lebih banyak terdapat di daerah rural.
Dapat terlihat bahwa wilayah kabupaten/kota yang termasuk dalam zona
merah memiliki proporsi jenis pekerjaan di bidang industri yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan proporsi jenis pekerjaan di bidang pertanian, seperti yang
terjadi di Kota Cilegon (18,90 % pada tahun 2012), Kota Tangerang (32,11 %
pada tahun 2012 dan 34,33 % pada tahun 2014), dan Kota Tangerang Selatan
(7,16 % pada tahun 2014). Sedangkan proporsi pekerjaan bidang pertanian yang
paling tinggi terjadi di Kabupaten Lebak dan Pandeglang (dengan angka masing-
masing 37,69 % dan 43,11 % pada tahun 2013), dimana kedua wilayah tersebut
termasuk kedalam zona kuning dan zona hijau yang menunjukkan kejadian
penyakit ISPA Pneumonia yang rendah. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola
persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan
berupa jenis pekerjaan bidang industri memiliki kecenderungan ke arah positif,
79
sedangkan jenis pekerjaan bidang pertanian memiliki kecenderungan ke arah
negatif. Artinya proporsi pekerjaan bidang industri yang tinggi juga menunjukkan
kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi, sedangkan proporsi pekerjaan
bidang pertanian yang tinggi menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita
yang rendah.
5.3.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Kemiskinan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi
perkembangan kemiskinan penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota di
Provinsi Banten selama tahun 2011-2014. Kemiskinan penduduk tersebut dilihat
dari besarnya persentase penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin pada
setiap wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2014.
Proporsi penduduk miskin tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan
dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di
Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor
lingkungan sosial ekonomi tersebut yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta
5.9 berikut,
80
Peta 5. 9 Distribusi Frekue nsi Penyakit IS PA Pneumonia Pada Balita Berda sarkan Kemiski nan Penduduk di Provi nsi Bante n Tahun 2 011 -2014
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan
Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2014
Tahun 2011 Tahun 2012
Tahun 2013 Tahun 2014
Keterangan:
Insidens ISPA Pneumonia Balita
Proporsi Penduduk Miskin
81
Peta 5.9 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA
Pneumonia pada balita selama empat tahun berdasarkan persentase penduduk
miskin. Dapat terlihat bahwa selama tahun 2011-2014 wilayah kabupaten/kota di
Provinsi Banten didominasi oleh tingkat proporsi penduduk miskin yang rendah
yaitu di bawah 10 %, dan hanya terdapat 1 kabupaten/kota yang memiliki
proporsi penduduk miskin antara 10 – 20 % yaitu di Kabupaten Pandeglang pada
tahun 2013. Wilayah kabupaten/kota yang hamir seluruhnya memiliki proporsi
penduduk miskin yang rendah selama lima tahun menunjukkan bahwa Provinsi
Banten termasuk ke dalam provinsi dengan tingkat kemiskinan yang rendah.
Selama kurun waktu 2011-2014 dapat terlihat bahwa terdapat
kabupaten/kota yang memiliki proporsi penduduk miskin rendah berada pada
zona hijau yang menunjukkan kasus yang rendah, seperti yang terjadi pada
Kabupaten Lebak pada tahun 2013. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya pola
persebaran penyakit ISPA pneumonia pada balita terhadap kemiskinan penduduk
memiliki kecenderungan ke arah positif. Walaupun demikian, kabupaten/kota
yang memiliki proporsi penduduk miskin yang rendah dan berada pada zona
kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi
jumlahnya jauh lebih besar. Sehingga pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia
pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kemiskinan penduduk lebih
memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya wilayah dengan proporsi
penduduk miskin yang tinggi menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita
yang rendah.
82
BAB VI
PEMBAHASAN
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan, yaitu:
1. Penelitian ini merupakan jenis penelitian univariat, dimana hasilnya hanya berupa
distribusi dan frekuensi penyakit dilihat berdasarkan faktor lingkungan, sehingga
tidak dapat menyimpulkan adanya hubungan antara faktor lingkungan yang
diteliti dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita yang ada.
2. Data penyakit ISPA pneumonia pada balita merupakan data sekunder yang
diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten, data tersebut diperoleh dari
masing-masing dinas kesehatan kabupaten/kota yang bersumber dari fasilitas
pelayanan kesehatan yang terdapat di wilayah kabupaten/kota tersebut, sehingga
data yang diperoleh merupakan penderita yang datang ke pelayanan kesehatan,
yang menandakan data yang ada belum merupakan seluruh kasus yang
sebenarnya, karena terdapat kemungkinan penderita yang tidak berobat.
3. Kejadian ISPA pada balita yang diteliti hanya difokuskan pada jenis ISPA
Pneumonia saja, karena keterbatasan standar baku yang dapat digunakan.
6.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui persebaran penyakit ISPA
pada balita di Provinsi Banten selama 5 tahun (2011-2015). Terlihat bahwa
83
Kabupaten Cilegon selalu memiliki kejadian ISPA yang tinggi, hal ini dimungkinkan
karena beberapa faktor, salah satunya adalah kondisi ekosistem di wilayah tersebut
yang termasuk sebagai daerah pemukiman dan industri. Terbentuknya area tertentu di
muka bumi seperti halnya area pemukiman dan perkotaan akan menciptakan kondisi
lingkungan tertentu, dimana kondisi lingkungan ini dapat berpengaruh pada kesehatan
masyarakat di area tersebut. Pengaruh yang dapat terlihat pada area pemukiman
adalah adanya aktivitas urbanisasi yang berpengaruh kepada timbulnya kepadatan
penduduk, adanya kepadatan tersebut menuntut ketersediaan lahan untuk tempat
tinggal, keterbatasan lahan yang ada menimbulkan adanya daerah slum/kumuh, dan
pada daerah tersebut sanitasi kesehatan lingkungan akan memburuk (Alhamda &
Sriani, 2015) yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Area pemukiman juga
cenderung memiliki aktivitas/kegiatan yang tinggi seperti lalu lintas, tingginya
aktivitas alat transportasi sehingga menimbulkan emisi gas yang dapat mencemari
udara, dan pencemaran udara ini jika terhirup masyarakat dapat memicu timbulnya
penyakit ISPA.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Novirsa dan Achmadi (2012) yang
menyatakan bahwa penduduk yang tinggal di area yang dekat dengan sumber
pencemar pabrik semen memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena ISPA,
sehingga jarak paling aman bagi pemukiman dari sumber pabrik semen adalah diatas
2,5 Km. Gertrudis (2010) dalam penelitiannya terhadap masyarakat yang tinggal di
sekitar pabrik semen menemukan bahwa terdapat hubungan bermakna antara PM10
dengan kejadian ISPA pada balita dimana balita yang tinggal dalam rumah dengan
kadar PM10 tidak memenuhi syarat berisiko 3,1 kali untuk mengalami ISPA
84
dibanding balita yang tinggal dalam rumah dengan kadar PM10 memenuhi syarat.
Hasil penelitian yang sejalan juga dilakukan oleh Maywati dan Novianti (2014)
terhadap kesehatan balita di lingkungan pemukiman sekitar industri mebeul yang
menunjukkan bahwa 74,5% tempat tinggal balita mempunyai kadar debu melebihi
standar, dan sebanyak 58,8% balita mengalami ISPA.
Distribusi penyakit ISPA pneumonia pada balita berdasarkan hasil penelitian
(Peta 5.1) jika dilihat secara spasial dan temporal, dapat terlihat selama kurun waktu
lima tahun terdapat kecenderungan persebaran penyakit ISPA pneumonia yang tinggi
lebih terpusat pada wilayah timur Provinsi Banten, terutama pada Kota Tangerang
dan Kota Tangerang Selatan. Jika diperhatikan, maka terdapat pola persebaran
penyakit, dimana terdapat tingkat kejadian ISPA pneumonia pada balita yang sama
terjadi pada wilayah yang berdekatan. Hal tersebut terjadi dimungkinkan karena
adanya pengaruh dari wilayah dengan kejadian ISPA pneumonia yang tinggi,
sehingga wilayah disekitarnya ikut mengalami peningkatan kasus. Menurut WHO
(2007) pengendalian administrasi dan lingkungan untuk mengurangi penularan
infeksi pernapasan akut sangat penting untuk dilakukan, karena walaupun cara
penularan utama sebagian besar ISPA adalah melalui droplet, tetapi penularan
melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang diikuti oleh inokulasi tak sengaja)
dalam jarak dekat bisa juga terjadi untuk sebagian pathogen, sehingga resiko
penularan tinggi dapat terjadi di sekitar tempat yang terdapat banyak penderita.
Penularan dan persebaran penyakit ISPA yang menembus batas wilayah
pernah terjadi secara luas dan global, seperti wabah SARS yang pernah terjadi,
dimana penyakit ini pertama kali dilaporkan di Asia pada bulan Februari 2003 dan
85
kemudian menular dan menyebar di lebih 24 negara di Asia, Amerika Utara, Amerika
Selatan, dan Eropa sebelum wabah tersebut terbendung (WHO, 2007). Penyakit
menular seperti ISPA termasuk pneumonia bersifat tidak mengenal batas wilayah
administratif dan sistem pemerintahan, maka perlu dikembangkan pengendalian
penyakit menular dan penyehatan lingkungan secara terpadu,
menyeluruh/komprehensif berbasis wilayah melalui peningkatan surveilans, advokasi
dan kemitraan (Ditjen P2PL, 2012).
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan
merupakan wilayah yang berbatasan secara langsung dengan Ibu Kota Negara
Indonesia yaitu DKI Jakarta. Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan ibu
kota, maka wilayah-wilayah tersebut menjadi daerah penyangga ibu kota yang
menyebabkan terpengaruhnya budaya serta karakteristik secara sosiodemografi yang
turut memberikan dampak pada status kesehatan masyarakatnya. Wilayah-wilayah
tersebut didominasi oleh area pemukiman dan industri, dengan kepadatan penduduk
yang tinggi, memungkinkan adanya daerah slum/kumuh sehingga sanitasi kesehatan
lingkungan akan memburuk (Alhamda & Sriani, 2015) seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, kondisi tersebut dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan bakteri penyebab ISPA Pneumonia (Ditjen P2PL, 2012).
Selain faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, masih terdapat faktor-faktor
lingkungan lainnya yang dimungkinkan memiliki keterkaitan terhadap kejadian ISPA
pneumonia pada balita di Provinsi Banten. Gambaran status kesehatan masyarakat
terhadap kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten selama
tahun 2011-2015 yang dilihat berdasarkan kondisi lingkungan berupa jenis lantai,
86
jenis dinding, bahan bakar memasak, kepadatan industri, kepadatan ternak unggas,
jenis pekerjaan, dan kemiskinan dapat dilihat pada penjelasan selanjutnya.
6.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Faktor
Lingkungan Fisik Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
6.3.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Jenis Lantai Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Lantai merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan untuk
dapat menciptakan rumah yang sehat, kondisi lantai harus kedap air dan tidak
lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan,
untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu (Ditjen
Cipta Karya, 1997). Kondisi lantai rumah yang tidak memenuhi syarat dapat
menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA
Pneumonia pada balita. Ruangan di dalam rumah akan menjadi lebih panas dan
lembab jika lantai rumah masih terbuat dari tanah, bahkan kandungan pencemar
dari bahan bangunan rumah juga akan mengalami peningkatan karena terjadi
penguapan di dalam ruangan akibat suhu panas yang meningkat. Sel-sel bakteri
termasuk Pneumococus akan mengalami pertumbuhan yang cepat pada
kelembaban yang tinggi karena kandungan uap air di udara cukup tinggi, sehingga
kondisi ini sangat kondusif bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup agen
penyakit ISPA Pneumonia tersebut (Gould & Brooker, 2003).
Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Pramudiyani &
Prameswari (2011) yang menunjukkan bahwa kondisi lantai menjadi salah satu
87
faktor lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian penyakit
pneumonia. Wayangkau, Wambrauw, & Simanjuntak (2015) juga menemukan
bahwa anak yang tinggal dirumah dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat
berisiko 3,538 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibanding dengan balita
yang tinggal di rumah dengan jenis lantai memenuhi syarat. Bahkan, hasil
penelitian Suriyasa et al (2006) membuktikan bahwa lantai rumah yang
memenuhi syarat dan berada dalam kondisi yang bersih mampu menurunkan
risiko ISPA sebesar 51%.
Namun, dalam penelitian ini menghasilkan gambaran yang berbeda,
dimana terdapat wilayah dengan proporsi lantai tanah penduduk yang tinggi
berada pada zona kuning dan zona hijau yang menunjukkan kecenderungan kasus
yang rendah. Kemudian terdapat proporsi kepemilikan lantai tanah penduduk
yang rendah berada pada zona kuning dan merah yang menunjukkan
kecenderungan perkembangan kasus yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan
berupa jenis lantai memiliki kecenderungan ke arah negatif. Pernyataan tersebut
sesuai dengan hasil penelitian Safitri dan Keman (2007) yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA
pada balita. Begitu pula pada penelitian Yousef dan Hamed (2016) yang
menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara lantai yang berbahan
keramik ataupun yang masih berupa tanah terhadap kejadian ISPA pada balita.
Untuk menciptakan kondisi rumah yang sehat tidak hanya ditentukan dari
jenis lantainya saja, tetapi juga beberapa kondisi lainnya seperti bangunan, jendela
88
dan ventilasi, dinding, langit-langit, serta atap rumah (Ditjen Cipta Karya, 1997),
sehingga terdapat kemungkinan kejadian ISPA pneumonia pada balita
dipengaruhi oleh komponen lainnya selain jenis lantai tanah. Selain faktor
lingkungan dalam rumah, terdapat kemungkinan adanya pengaruh dari faktor lain
seperti geografi, demografi, maupun sosio ekonomi (Chen, Williams, dan Kirk,
2014), mengingat penyakit ISPA pneumonia merupakan penyakit yang tidak
hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja.
Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa terdapat wilayah dengan
proporsi lantai tanah yang tinggi, namun memiliki kasus ISPA Pneumonia pada
balita yang rendah, seperti yang terjadi di Kabupaten Lebak tahun 2013. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada di Kabupaten Lebak, yang
secara morfologi didominasi oleh daerah perbukitan dan pegunungan (Pokja
AMPL Kabupaten Lebak, 2013). Daerah perbukitan merupakan daerah yang
didominasi oleh area hutan dan perkebunan sehingga kualitas udara di area
tersebut masih sejuk dan bersih (KLHK, 2015), kondisi lingkungan tersebut dapat
memungkinkan menjadi faktor yang mendukung dari kejadian ISPA Pneumonia
pada balita yang rendah. Seperti dalam hasil penelitian Sulistiyani (n.d.) yang
menemukan bahwa terdapat perbedaan kualitas udara di daerah pantai, peralihan
ataupun pegunungan, dimana daerah pegunungan memiliki kualitas udara yang
lebih baik dari daerah lain karena memiliki kadar debu yang paling rendah. Hasil
penelitian Daroham & Mutiatikum (2009) juga menemukan bahwa anak-anak
yang tinggal di daerah rural lebih sedikit menderita penyakit ISPA dari pada anak
yang tinggal di daerah urban.
89
Jika dilihat berdasarkan teori H. L. Blum, maka terdapat kemungkinan
adanya pengaruh yang lebih besar dari faktor lainnya, yaitu faktor pelayanan
kesehatan dan faktor genetik seperti yang terjadi di Kota Tangerang tahun 2012.
Pada faktor pelayanan kesehatan, persentase penemuan kasus pneumonia balita di
Kota Tangerang masih sangat rendah, yaitu 37,7% (Dinas Kesehatan Provinsi
Banten, 2012). Angka penemuan kasus pneumonia yang memenuhi target
merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk dapat menanggulangi penyakit
ISPA pada balita, bila angka penemuan kasus pneumonia pada balita rendah maka
terdapat kemungkinan masih banyaknya penderita yang tidak ditangani oleh
petugas kesehatan, sehingga memungkinkan untuk terjadinya penularan yang
lebih luas bahkan dapat meningkatkan risiko kematian (Ditjen P2PL, 2012).
Kemudian pada faktor genetik dapat dikaitkan oleh status gizi balita, dimana Kota
Tangerang memiliki persentase balita gizi buruk tertinggi dibandingkan dengan
kabupaten/kota lainnya yaitu sebesar 1,4% (Dinas Kesehatan Provinsi Banten,
2012). Status gizi yang buruk pada balita dapat mempengaruhi rendahnya
imunitas tubuh balita dalam melawan pathogen penyakit, sehingga balita akan
lebih mudah terserang penyakit termasuk ISPA (WHO, 2007).
Jadi, terdapat kecenderungan bahwa kejadian ISPA pada balita yang ada
di masyarakat tidak hanya berkaitan dengan kondisi lantai, tetapi juga berkaitan
dengan kondisi kesehatan lingkungan lainnya, dan dapat juga berkaitan dengan
faktor selain lingkungan seperti pelayanan kesehatan dan genetik.
90
6.3.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Jenis Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Menurut kemenkes RI (1999), salah satu persyaratan rumah yang sehat
adalah memiliki dinding yang terbuat dari conblock (Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah, 2002) atau batu bata dan telah diplester (Chandra, 2007). Hal
ini difungsikan untuk memberikan perlindungan penghuninya dari berbagai
kondisi lingkungan luar rumah yang dapat membahayakan kesehatan dan
keselamatan, salah satunya adalah kondisi udara luar rumah (ambien) yang
mengalami pencemaran seperti gas-gas beracun dari alam ataupun aktivitas
manusia (Kemenkes RI, 1999). Selain itu, bahan bangunan rumah tidak boleh
terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat membahayakan
kesehatan (Kemenkes RI, 1999), sementara kayu merupakan bahan yang bersifat
higroskopis (menyerap dan melepaskan kelembaban), memiliki pori-pori atau
serat-serat, sehingga memiliki kemampuan untuk menyerap udara yang ada
disekitarnya, terlebih lagi bila kayu memiliki ketebalan yang rendah, maka
kemungkinan besar polusi udara yang berada di luar rumah dapat memasuki
ruangan dalam rumah melewati serat-serat atau celah-celah pada dinding yang
terbuat dari kayu tersebut, selain itu juga dapat memungkinkan bagi
mikroorganisme terutama bakteri untuk hidup dan melekat pada permukaan kayu
(Dumanau, 2007) yang dapat menjadi agen penyakit ISPA. Kondisi dinding
rumah ini akan berpengaruh juga pada kelembaban. Kelembaban rumah akan
menjadi tidak normal jika dinding rumah memiliki kondisi yang tidak memenuhi
syarat, dan kelembaban yang tidak normal tersebut akan menjadi prakondisi
91
pertumbuhan kuman maupun bakteri pathogen yang dapat menimbulkan penyakit
bagi penghuinya (Padmonobo, Setiani, dan Joko, 2012).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lubis, et al. (1996) yang
menyatakan bahwa jenis tembok berpengaruh terhadap proporsi balita yang sakit
batuk dengan napas cepat. Hasil penelitian Sikolia, et all (2002) juga
menunjukkan hal yang serupa, bahwa jenis dinding rumah berpengaruh terhadap
kejadian penyakit ISPA pada balita, dimana balita yang tinggal di rumah dengan
kondisi dinding yang buruk memiliki risiko 1,13 kali lebih besar untuk terkena
penyakit ISPA dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan kondisi
dinding yang telah diplester. Lebih lanjut Sunarsih dan Purba (2015) dalam hasil
penelitiannya menyatakan bahwa materi dinding yang tidak diplester, yang
terbuat dari kayu atau papan akan memproduksi partikel debu halus yang dapat
mengiritasi saluran pernapasan bila terhirup, dan iritasi tersebut akan
memudahkan seseorang untuk terserang pneumonia.
Namun, penelitian ini menghasilkan kondisi yang berbeda. Berdasarkan
Peta 5.3 dapat terlihat bahwa wilayah dengan proporsi dinding kayu yang tinggi
berada pada zona kuning dan hijau yang menunjukkan kecenderungan kasus yang
rendah. Kemudian proporsi kepemilikan jenis dinding kayu yang rendah terjadi
pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang
tinggi. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA
Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis dinding rumah
memiliki kecenderungan ke arah negatif.
92
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Winardi, Umboh, dan Rattu
(2015) yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara jenis dinding rumah
terhadap penyakit ISPA pada anak balita. Maka terdapat kemungkinan adanya
faktor lingkungan lain yang mempengaruhinya, salah satunya adalah kondisi
lingkungan geografis wilayah tersebut. Kota Tangerang termasuk kedalam daerah
penyangga ibukota yang didominasi oleh area pemukiman (50%), pertanian
(20%), dan industri (15%). Kota Tangerang terdapat sistem jaringan transportasi
terpadu dengan kawasan Jabodetabek, serta memiliki aksesibilitas yang baik
terhadap simpul transportasi berskala nasional dan internasional, seperti Bandar
Udara Internasional Soekarno Hatta, Pelabuhan Internasional Tanjung Priok, serta
Pelabuhan Bojonegara, menjadikan letak geografis Kota Tangerang yang strategis
dan memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga mendorong pertumbuhan aktivitas
industri, perdagangan dan jasa (Pokja AMPL Kota Tangerang, 2013).
Tingkat kepadatan penduduk di Kota Tangerang juga merupakan yang
tertinggi jika dibandingkan wilayah kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten
yang dapat berkaitan juga dengan sanitasi rumah dan pemukiman penduduknya
yang kurang baik. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan adanya peningkatan
aktivitas manusia yang berdampak pada penurunan kualitas udara ambien di
wilayah Kota Tangerang, sehingga terjadinya kontak antara pathogen dan
penderita bisa saja tidak hanya berasal dari dalam rumah, melainkan dari
lingkungan udara ambien di luar rumah.
Jika dilihat berdasarkan teori H. L. Blum, maka terdapat kemungkinan
adanya pengaruh dari faktor lainnya, yaitu faktor genetik. Berdasarkan faktor
93
genetik dapat dilihat dari masih rendahnya pemberian ASI ekslusif di Kota
Tangerang (34,8%), kemudian jumlah balita yang mengalami gizi kurang (10,5
%) dan gizi buruk (1,7 %) merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan
Kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten (Dinas Kesehatan Provinsi Banten,
2012). ASI eksklusif dan status gizi balita akan berpengaruh pada terbentuknya
imunitas balita menjadi lebih baik yang dapat melindungi dari berbagai penyakit.
Sehingga kedua faktor ini dapat berkaitan dengan tingginya kasus ISPA
pneumonia pada balita di Kota Tangerang walaupun proporsi dinding kayu yang
ada sudah rendah.
6.3.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Jenis Bahan Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-
2015
Salah satu penyebab ISPA Pneumonia pada balita dapat bersumber dari
dalam rumah sendiri, yang berasal dari asap rumah tangga yang masih
menggunakan kayu bakar untuk memasak, hal ini dapat diperburuk apabila
ventilasi rumah kurang baik dan dapur menyatu dengan ruang keluarga atau
kamar (Ditjen P2PL, 2012). Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu
menghasilkan beberapa jenis polutan udara seperti particulate matter, carbon
monoxide, nitrogen oxide, formaldehyde, benzene, 1,3 butadiene, polycyclic
aromatic hydrocarbons yang berbahaya bagi kesehatan termasuk bagi saluran
pernapasan (Krauss, 2003). Bila polutan tersebut terhirup kedalam saluran
pernapasan, maka dapat menimbulkan iritasi. Adanya iritasi pada saluran
94
pernapasan akan mengganggu fungsi mukosilier dalam mencegah masuknya
kuman ke dalam saluran pernapasan, sehingga kuman dan bakteri penyebab
penyakit ISPA Pneumonia akan lebih mudah menyerang sistem pernapasan pada
balita (Wahyuni & Ikhsan, 2010).
Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian di India (Rosdiana &
Hermawati, 2015) yang menemukan bahwa kejadian ISPA 4,312 kali lebih
berisiko pada balita yang di rumahnya menggunakan kayu bakar untuk memasak
dibandingkan dengan balita yang di rumahnya menggunakan bahan bakar gas atau
minyak tanah. Hasil penelitian Sanbata, Asfaw, dan Kumie (2014) di Ethiopia
juga menemukan bahwa penggunaan kayu bakar memiliki risiko 2,97 kali lebih
besar bagi balita untuk terserang penyakit ISPA. Penelitian Wichman & Voyi
(2006) juga menunjukkan bahwa terdapat 1,27 kali risiko yang lebih besar bagi
anak untuk menderita pneumonia bila tinggal di rumah yang menggunakan bahan
bakar yang menimbulkan pencemaran dibanding dengan yang menggunakan
listrik atau gas. Perubahan jenis bahan bakar biomasa dan kayu bakar (arang)
untuk memasak menjadi bahan bakar bersih seperti gas dan listrik dapat menjadi
salah satu upaya dalam mengurangi prevalensi penyakit ISPA (Kilabuko & Nakai,
2007).
Namun hasil penelitian ini menunjukkan kondisi yang berbeda. Dimana
terdapat wilayah dengan proporsi bahan bakar kayu yang tinggi berada pada zona
kuning dan zona hijau yang menunjukkan kecenderungan kasus yang rendah.
Terdapat juga proporsi kepemilikan jenis bahan bakar kayu yang rendah dan jenis
bahan bakar gas yang tinggi terjadi di wilayah yang berada pada zona kuning dan
95
merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi. Hal tersebut
memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita
terhadap faktor lingkungan berupa jenis bahan bakar untuk memasak memiliki
kecenderungan ke arah negatif.
Hal tersebut dapat terjadi tergantung pada kondisi lingkungan rumah, jika
di ruangan dapur terdapat lubang penghawaan keluar (baik berupa lubang
ventilasi, maupun peralatan bantu elektrikal seperti blower atau exhaust fan) maka
asap pembakaran dari dapur tidak akan memasuki ruangan keluarga, ruang tidur,
ruang tamu dan ruang kerja, sehingga tidak mengganggu kenyamanan ruangan
dalam bangunan dimana anggota keluarga termasuk balita berada (Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002). Bila ruang dapur memiliki ventilasi
yang baik, maka kejadian ISPA Pneumonia pada balita dapat dicegah, karena
konsentrasi emisi partikel asap dari sisa pembakaran dapat berkurang dengan
adanya sirkulasi udara yang baik dari keberadaan ventilasi tersebut
(Sunyatiningkamto, et al., 2004 & Yadama, et al., 2012). Oleh sebab itu
pemanfaatan ventilasi udara di dapur menjadi salah satu metode untuk
menurunkan risiko pneumonia pada balita yang diakibatkan bahan bakar
memasak (Fahimah, Kusumowardani, dan Susanna, 2014).
Selain faktor lingkungan dari ruang dapur, terdapat kemungkinan adanya
pengaruh dari faktor lainnya yaitu faktor perilaku. Berdasarkan faktor perilaku
terdapat kemungkinan kebiasaan ibu ketika memasak tidak membawa balita ke
dapur, sehingga risiko untuk menghirup asap yang ditimbulkan berkurang, seperti
dalam penelitian Sukar, et al (1996) yang menemukan bahwa terdapat hubungan
96
yang signifikan antara ISPA dan kebiasaan ibu membawa bayi dan anak-anak
mereka ketika memasak didapur. Maka dalam hal ini letak atau posisi dapur yang
terpisah dari ruang lainnya di dalam rumah menjadi hal yang sangat penting,
karena asap pembakaran dari kegiatan memasak dapat mencemari ruang lainnya
di dalam rumah, termasuk ruang kamar tempat balita lebih banyak menghabiskan
waktunya (Anwar & Dharmayanti, 2012).
6.3.4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Berdasarkan Peta 5.6 dapat terlihat bahwa wilayah yang memiliki ternak
unggas padat dan sangat padat terdapat di zona merah dan zona kuning yang
menunjukkan adanya kecenderungan kasus yang tinggi. Selain itu dapat terlihat
juga adanya peningkatan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang seiring juga
dengan peningkatan kepadatan ternak unggas, begitu pula sebaliknya. Hal ini
memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita
terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak memiliki kecenderungan ke
arah positif.
Keberadaan unggas di sekitar tempat tinggal merupakan salah satu faktor
risiko dari penyakit ISPA pada balita (WHO, 2007). Kegiatan memelihara unggas
memiliki risiko terhadap penurunan kualitas lingkungan karena dapat
meningkatkan keberadaan bakteri, protozoa, fungi, virus, atau parasit lainnya
yang dapat menyebabkan atau menularkan penyakit ke manusia (Krauss, et al.,
2003), dan berbagai mikroorganisme tersebut merupakan agent penyebab
97
penyakit ISPA Pneumonia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Herawati
dan Sukoco (2011) serta Yousef dan Hamed (2016) yang juga menyatakan bahwa
terdapat kecenderungan peningkatan risiko ISPA terhadap masyarakat yang
memelihara unggas. Bahkan beberapa jenis virus telah terbukti dapat menularkan
penyakit dari unggas secara langsung ke manusia, seperti wabah flu burung yang
pernah terjadi di Indonesia dan telah tersebar di 13 provinsi serta 53
kabupaten/kota yang merupakan kasus terbesar di dunia dengan kematian 149
orang dari 181 kasus positif (CFR 82,3%) (Ditjen P2PL, 2012). Hal ini
menunjukkan bahwa faktor lingkungan berupa keberadaan ternak unggas yang
tinggi memiliki kecenderungan untuk menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia
yang tinggi pula.
Namun hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Hemsworth
(2006) yang menunjukkan bahwa memelihara ternak unggas tidak selalu
menyebabkan penyakit ISPA, karena dengan menjaga kebersihan dan sanitasi
unggas serta melindungi diri dari kontaminasi secara langsung dapat mencegah
timbulnya infeksi atau penyakit yang ditularkan oleh unggas tersebut. Memelihara
kebersihan kandang, kotoran, dan mengatur jarak kandang unggas dengan tempat
tinggal secara baik juga dapat menurunkan risiko terkena ISPA yang disebabkan
oleh unggas (Puspita, 2014), sehingga keberadaan unggas tidak akan
memperburuk kondisi lingkungan fisik dalam rumah (Afandi, 2012). Maka
terdapat kemungkinan bahwa jika perilaku masyarakat dalam memelihara unggas
sudah baik, dan ternak unggas berada pada jarak yang jauh dari rumah penduduk,
tidak akan memberikan dampak buruk pada masyarakat.
98
6.3.5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Kepadatan Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Berdasarkan Peta 5.7 dapat diketahui bahwa terdapat kabupaten/kota yang
termasuk ke dalam zona merah dan disertai juga dengan kepadatan industri yang
tinggi. Maka terdapat pola kejadian ISPA pneumonia pada balita terhadap
kepadatan industri memiliki kecenderungan ke arah positif, tetapi pola tersebut
hanya terjadi pada wilayah timur Provinsi Banten.
Berdasarkan hal tersebut terdapat kecenderungan bahwa masyarakat yang
tinggal di wilayah yang memiliki kepadatan industri yang tinggi juga memiliki
kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi pula. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Ardianto & Yudhastuti (2012) yang menyatakan bahwa lama
tinggal responden di kawasan industri berpengaruh terhadap kejadian ISPA,
dimana penduduk yang tinggal di kawasan industri ≥ 2 tahun berisiko 9,58 kali
lebih tinggi untuk menderita ISPA dibandingkan yang belum lama tinggal di
kawasan industri.
Salah satu penyebab penyakit ISPA pneumonia adalah polutan udara.
Aktivitas industri akan menghasilkan beberapa jenis polutan udara yang dapat
membahayakan kesehatan khususnya pada sistem pernapasan, dan jika terhirup
oleh manusia dapat menyebabkan adanya reaksi peradangan pada saluran
pernapasan, kondisi yang lebih buruk dapat terjadi bila terhirup oleh balita dan
anak-anak yang imunitas tubuhnya masih rendah. Hasil penelitian Agustin (2004)
menemukan bahwa beberapa jenis polutan seperti SO2, NO, dan NOx yang
berasal dari transportasi, industri, dan pembuangan limbah padat berhubungan
99
dengan gangguan saluran pernapasan termasuk ISPA. Sugiarti (2008)
menambahkan bahwa paparan SOx dapat menyebabkan peradangan pada selaput
lendir di hidung, tenggorokan, hingga paru-paru, bahkan jika paparan terjadi
dalam waktu yang lama peradangan hebat dapat terjadi. Peradangan tersebut
menjadi satu kondisi yang menguntungkan bagi bakteri penyebab pneumonia
untuk menyerang saluran pernapasan bawah, sehingga akan lebih mudah bagi
balita untuk menderita pneumonia (Wahyuni & Ikhsan, 2010).
Namun penelitian ini juga menghasilkan kondisi yang berbeda pada
wilayah lainnya, dimana terdapat wilayah dengan kepadatan industri yang rendah
namun memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa kejadian ISPA pneumonia yang tinggi bisa saja tidak
berkaitan dengan jumlah industri yang ada, tetapi karena pengaruh dari faktor
lainnya.
Selain faktor lingkungan, menurut H. L. Blum pelayanan kesehatan juga
merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan status kesehatan masyarakat
(Ryadi, 2016). Berdasarkan pedoman penanggulangan ISPA di Indonesia, salah
satu upaya untuk menurunkan kejadian ISPA pada balita yang tinggi adalah
dengan meningkatkan angka cakupan penemuan kasus pneumonia sesuai dengan
target yang telah ditetapkan yaitu 70% pada tahun 2011 dan 80% pada tahun 2012
(Ditjen P2PL2, 2012). Namun di Kabupaten Pandeglang penemuan kasus
pneumonia balita hanya mencapai 1,9% bahkan menjadi yang terendah
dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya, walaupun terjadi peningkatan yang
cukup tinggi pada tahun 2012 menjadi 23,1%, namun tetap masih jauh dari target
100
yang harus dicapai (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011 & 2012). Faktor
tersebutlah yang dimungkinkan menjadi salah satu penyebab adanya
kecenderungan penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi walaupun
jumlah industri di wilayah tersebut sudah rendah.
6.4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Faktor
Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
6.4.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Jenis Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014
Status kesehatan seseorang dapat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang
digeluti oleh orang tersebut. Jenis pekerjaan seseorang akan berhubungan dengan
keterpaparan penyakit akibat pekerjaannya (Daroham & Mutiatikum, 2009).
Pekerjaan di bidang pertanian dapat menjadi faktor risiko dari terjadinya infeksi
saluran pernapasan, karena dalam kegiatan pertanian terdapat beberapa polutan
yang sering kontak dengan pekerja, polutan tersebut antara lain debu organik,
debu anorganik, gas-gas yang berasal dari kandang hewan seperti hydrogen
sulfide (H2S), ammonia (NH3), carbon dioxide (CO2) dan methane (CH4), serta
gas, asap, maupun bahan-bahan kimia lain yang bersifat toksik (Kirkhorn, n.d).
Bila berbagai polutan tersebut terhirup oleh pekerja maka dapat menyebabkan
iritasi pada saluran pernapasan sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
infeksi saluran pernapasan termasuk pneumonia (Daud & Sedionoto, 2010.,
Fahimah, Kusumowardani, dan Susanna, 2014). Pernyataan tersebut sesuai
dengan hasil penelitian Muhe (1994) yang menemukan bahwa tinggal dalam
101
keluarga yang ayahnya bekerja sebagai petani memiliki keterkaitan dengan
meningkatnya kejadian penyakit ISPA pada anak. Goel et al (2012) juga
menemukan bahwa prevalensi ISPA paling tinggi terjadi pada anak yang
pekerjaan ayahnya di bidang pertanian.
Namun, hasil penelitian ini memberikan gambaran yang berbeda. Dapat
terlihat bahwa proporsi pekerjaan bidang pertanian yang tinggi terjadi pada zona
kuning dan zona hijau, yang menunjukkan kejadian ISPA pneumonia pada balita
yang rendah. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA
Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis pekerjaan bidang
pertanian memiliki kecenderungan ke arah negatif. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Sofiyatun, Rahayuningsih (2014) dan Suriyasa, et al. (2006) yang
menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan baik itu
tidak bekerja, pekerja petani, pekerja kantoran, polisi, ataupun jenis pekerjaan
lainnya dengan kejadian ISPA. Kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor
lainnya yang melekat pada wilayah masing-masing, yaitu pada karakteristik
wilayah secara morfologi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
Kabupaten Lebak memiliki wilayah yang didominasi oleh daerah perbukitan dan
pegunungan dimana kualitas udara masih segar dan bersih (memiliki tingkat
pencemaran udara yang rendah), sehingga kejadian ISPA Pneumonia pada balita
rendah walaupun penduduk yang bekerja di bidang pertanian tinggi.
Sementara itu, pada jenis pekerjaan di bidang industri memberikan hasil
yang berbeda. Dapat terlihat bahwa proporsi pekerjaan bidang industri yang tinggi
terjadi pada zona kuning dan zona merah, yang menunjukkan kejadian ISPA
102
pneumonia pada balita yang tinggi. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola
persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan
berupa jenis pekerjaan bidang industri memiliki kecenderungan ke arah positif.
Emisi udara, limbah buangan, dan sampah padat yang dapat mengandung
berbagai jenis polutan kimia berpotensi dihasilkan dari kegiatan pokok di dalam
industri (Widyastuti, 2006). Sehingga orang yang bekerja di lingkungan industri
memiliki potensi besar untuk terpapar oleh zat-zat kimia berbahaya yang dapat
menyebabkan penyakit salurah pernapasan. Contoh bahaya kesehatan pekerja di
industri adalah paparan uap zat kimia yang dapat mengakibatkan iritasi dan
peradangan pada saluran pernapasan yang ditandai dengan batuk, pilek, sesak
napas, dan demam (Lestari, 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Yusnabeti, Wulandari, & Luciana (2010) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara pekerjaan industri dengan kejadian ISPA, dimana proses
produksi dan aktivitas industri dapat menghasilkan polutan PM10 yang melebihi
nilai ambang batas sehingga berperan dalam kejadian ISPA pada pekerja, hal ini
diperkuat lagi dengan kondisi lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat
kesehatan.
Adanya pola kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang memiliki
kecenderungan ke arah positif dengan pekerjaan bidang industri menunjukkan
bahwa terdapat kecenderungan penyakit ISPA Pneumonia yang diderita oleh
balita disebabkan karena penularan dari anggota keluarga yang terkena ISPA,
terutama dengan anggota keluarga yang bekerja di bidang industri. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Banda, et al., (2016) yang menyatakan bahwa ada
103
hubungan antara anggota keluarga yang menderita ISPA dengan kejadian ISPA
pada balita, dimana anggota keluarga terutama ibu dan saudara kandung yang
tinggal serumah dengan riwayat penyakit ISPA sebulan terakhir memiliki risiko
untuk menularkan kepada balita. Selain itu, terdapat kemungkinan pula orang
yang bekerja di bidang industri adalah penduduk setempat yang berada atau
tinggal di sekitar area industri, sehingga terdapat kemungkinan rumah penduduk
berada pada jarak yang dekat dengan area industri sehingga meningkatkan risiko
balita untuk terkena ISPA Pneumonia.
Namun dalam hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Etiler,
Velipasaoglu, & Aktekin (2002) yang menemukan bahwa tidak terdapat
hubungan antara status pekerjaan anggota keluarga (ayah) dengan kejadian ISPA
pada balita. Seseorang yang bekerja di bidang industri memang memiliki risiko
untuk menderita ISPA dan memungkinkan untuk menularkan kepada balita atau
anggota keluarga lain di lingkungan rumah. Namun pekerja maupun masyarakat
dapat terlindungi dari paparan zat kimia yang dikeluarkan dari proses industri
selama bekerja jika prosedur industri dan tindakan pencegahan tepat dijalankan
dengan benar (Widyastuti, 2006). Sehingga walaupun terdapat anggota keluarga
yang bekerja di tempat kerja yang memiliki risiko untuk terserang penyakit ISPA,
ia tidak akan terserang penyakit tersebut bila selama bekerja menerapkan prosedur
pencegahan keterpaparan agen-agen penyakit ISPA di tempat kerja dengan baik,
dan bila ia dapat menjaga kebersihan diri ketika berada di rumah dan kontak
dengan balita, maka akan menurunkan risiko terjadinya penularan.
104
6.4.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan
Kemiskinan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014
Penyakit ISPA merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak diderita
oleh masyarakat miskin (Kasim, 2006). Badan organisasi dunia WHO
menjelaskan bahwa penyakit ISPA pada dasarnya bukan penyakit mematikan dan
jarang menjadi fatal bila sistem pelayanan kesehatan memiliki sumber daya yang
baik dan efektif, namun di negara berkembang penyakit ISPA pneumonia menjadi
salah satu penyebab kematian terbesar pada balita dan anak-anak, hal ini
disebabkan oleh pelayanan kesehatan yang kurang memadai, akses yang buruk
terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia, kurangnya sumber daya yang
dibutuhkan dan berbagai penyebab lainnya yang dipengaruhi oleh masalah
kemiskinan (Apriningsih, 2009). Kondisi kemiskinan tersebut juga akan
berpengaruh pada ketidaktercapaian kebutuhan asupan gizi yang baik bagi balita
sehingga berpengaruh pada rendahnya status gizi balita, dan berkaitan erat dengan
kondisi sanitasi lingkungan rumah yang buruk (pencemaran lingkungan dalam
rumah) (Machmud, 2009). Kedua faktor tersebut akan berpengaruh pada kondisi
fisik balita sehingga lebih mudah terserang ISPA Pneumonia (Pore, Ghattargi, &
Rayate 2010., Machmud, 2009).
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Hapsari, Dharmayanti, & Supraptini
(2013), Rojas (2007), Biradar (2013) yang menyatakan bahwa kemiskinan
berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA, dimana kejadian ISPA
yang tinggi terjadi pada masyarakat yang memiliki status ekonomi yang rendah.
105
Penelitian Rahman & Rahman (1997) juga menyatakan bahwa kejadian ISPA
pada anak lebih banyak terjadi pada keluarga yang tergolong miskin.
Namun, hasil penelitian ini menunjukkan kondisi yang berbeda. Jumlah
kabupaten/kota yang memiliki proporsi penduduk miskin yang rendah dan berada
pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi
jumlahnya jauh lebih besar, yang menunjukkan pola persebaran penyakit ISPA
Pneumonia pada balita terhadap kemiskinan penduduk memiliki kecenderungan
ke arah negatif. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Duarte & Botelho
(2000) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendapatan
keluarga dengan kejadian penyakit ISPA pada anak.
Adanya kondisi pola penyakit ISPA pneumonia terhadap faktor
lingkungan sosial ekonomi berupa kemiskinan penduduk yang memiliki
kecenderungan ke arah negatif paling terlihat di wilayah Kota Tangerang.
Wilayah tersebut memiliki angka kepadatan Industri yang paling tinggi
dibandingkan dengan wilayah lainnya di Provinsi Banten selama lima tahun.
Selain itu pada hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya pola persebaran
penyakit yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan faktor lingkungan
berupa kepadatan industri. Sehingga terdapat kecenderungan bahwa faktor
tersebutlah yang berperan terhadap kejadian ISPA pneumonia pada balita yang
tinggi walaupun proporsi kemiskinan penduduknya rendah.
Dengan demikian, dapat terlihat bahwa pada wilayah timur Provinsi
Banten, terutama Kota Tangerang menunjukkan kecenderungan sebagai wilayah
yang paling bermasalah, karena pada beberapa faktor lingkungan yang
106
menunjukkan hasil adanya kecenderungan ke arah positif terhadap penyakit ISPA
pneumonia pada balita selalu terjadi pada wilayah tersebut.
107
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Distribusi frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita yang tinggi di Provinsi
Banten selama tahun 2011-2015 memiliki kecenderungan lebih terpusat pada wilayah
timur Provinsi Banten, terutama pada Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Kemudian, terdapat pola persebaran penyakit, dimana tingkat kejadian ISPA
pneumonia pada balita yang sama terjadi pada wilayah yang berdekatan.
2. Distribusi frekuensi penyakit ISPA pneumonia berdasarkan faktor lingkungan fisik di
Provinsi Banten tahun 2011-2015 yaitu:
2.1 Kabupaten/kota dengan proporsi lantai tanah penduduk yang tinggi tersebar pada
wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang rendah, dan
begitu pula sebaliknya. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA
Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai yang
memiliki kecenderungan ke arah negatif.
2.2 Kabupaten/kota dengan proporsi dinding kayu yang tinggi tersebar pada wilayah
yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang rendah, dan begitu pula
sebaliknya. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada
balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis dinding yang memiliki
kecenderungan ke arah negatif.
2.3 Kabupaten/kota dengan proporsi bahan bakar kayu yang tinggi tersebar pada
wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang rendah, dan
108
begitu pula sebaliknya. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA
Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis bahan bakar yang
memiliki kecenderungan ke arah negatif.
2.4 Kabupaten/kota yang memiliki ternak unggas padat dan sangat padat tersebar di
wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi. Selain
itu terdapat peningkatan dan penurunan kejadian ISPA Pneumonia pada balita
yang seiring juga dengan peningkatan dan penurunan kepadatan ternak unggas.
Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap
faktor lingkungan berupa kepadatan ternak yang memiliki kecenderungan ke arah
positif.
2.5 Kabupaten/kota dengan kepadatan industri yang tinggi tersebar pada wilayah
yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi. Sehingga
terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor
lingkungan berupa kepadatan industri yang memiliki kecenderungan ke arah
positif.
3. Distribusi kejadian penyakit ISPA pneumonia berdasarkan faktor lingkungan sosial
ekonomi di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015 yaitu:
3.1 Kabupaten/kota dengan proporsi pekerjaan bidang industri yang tinggi tersebar
pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi.
Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap
faktor lingkungan berupa jenis pekerjaan industri yang memiliki kecenderungan
ke arah positif, sementara pada jenis pekerjaan pertanian memiliki kecenderungan
ke arah negatif.
109
3.2 Kabupaten/kota dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi
tersebar pada wilayah yang memiliki proporsi penduduk miskin yang rendah.
Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap
faktor lingkungan berupa kemiskinan yang memiliki kecenderungan ke arah
negatif.
7.2 Saran
1. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Banten
1.1 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk lebih meningkatkan
kerjasama antar Kabupaten/kota di seluruh Provinsi Banten dalam menanggulangi
permasalahan ISPA pneumonia pada balita dimulai dengan wilayah yang paling
tinggi kasusnya (Kota Cilegon, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan)
kemudian dilanjutkan dengan wilayah yang ada di sekitarnya.
1.2 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk meningkatkan upaya
dalam memperbaiki kesehatan lingkungan tidak hanya pada kesehatan lingkungan
rumah penduduk tetapi juga kesehatan lingkungan di sektor industri dan
peternakan.
1.3 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk meningkatkan
kerjasama dengan berbagai sektor dalam melakukan surveilans, sehingga dapat
membantu dalam ketersediaan data yang lebih baik untuk analisis situasi kejadian
ISPA dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
110
1.4 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk menetapkan target
pencapaian pada berbagai komponen status kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat, terutama pada program pemberantasan penyakit ISPA.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
2.1 Melakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan beberapa faktor
lingkungan yang dalam hasil penelitian ini memiliki kecenderungan ke arah
positif dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita seperti faktor kepadatan
ternak, kepadatan industri, dan pekerjaan industri.
2.2 Penelitian lanjutan yang lebih terfokus pada wilayah yang lebih kecil seperti
kabupaten/kota dengan kasus tertinggi seperti di Kota Cilegon, Kota Tangerang,
dan Kota Tangerang Selatan sangat baik dilakukan dengan menggunakan metode
point penyakit, sehingga dapat dilakukan analisis hubungan antar berbagai faktor
lingkungan dengan kejadian penyakit ISPA pneumonia secara lebih mendalam.
111
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, Pawan., Mishra, Shiva Raj., & Beckhoff, Gabriele Berg. (2015). Solid Fuel in
Kitchen and Acute Respiratory Tract Infection Among Under Five Children:
Evidence from Nepal Demographic and Health Survey 2011. Journal Community
Health, Vol. 40: 515-521.
Afandi, A. I. (2012). Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernafasan Akuta Pada Anak Balita di Kabupaten Wonosobo Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2012. Depok: Universitas Indonesia.
Agustin. (2004). Hubungan Kualitas Udara Ambien Dengan Kasus ISPA, Bronkitis dan
Asma di DKI Jakarta Tahun 2003-2004 (Studi Ekologi di 15 Kecamatan). Tesis.
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Epidemiologi Kesehatan
Lingkungan, Universitas Indonesia.
Alhamda, S., & Sriani, Y. (2015). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM). Padang:
Deepublish.
Anies. (2006). Manajemen Berbasis Lingkungan, Solusi Mencegah dan Menanggulangi
Penyakit Menular: Seri Lingkungan dan Penyakit. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Anwar, Athena., & Dharmayanti, Ika. (2012). Pneumonia Pada Anak Balita di Indonesia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8 (8): 359-365.
Apriningsih. (2009). Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Ardianto, Y. Denny., & Yudhastuti, Ririh. (2012). Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut pada Pekerja Pabrik. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 6 (5): 230-
233.
Ashari E, Juarini E, Sumanto, Wibowo, Suratman. (1995). Pedoman Analisis Potensi
Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Jakarta: Balai Penelitian
Ternak dan Direktorat Bina Penyebaran dan Pengembangan Peternakan.
Asih, Niluh Gede Yasmin., & Effendy, Christantie. (2004). Medikal Bedah: Klien
Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.
Badan Pusat Statistik (BPS) & Kementerian Sosial RI. (2012). Analisis Data Kemiskinan
Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011.
Jakarta: BPS.
112
Banda, e. a. (2016). Risk Factors Associated With Acute Respiratory Infections Among
Under-Five Children Admitted to Arthur's Children Hospital, Ndola, Zambia.
Asian Pacific Journal Of Health Science, 3 (3), 153-159.
Bhat, R. Y., & Manjunath, N. (2013). Correlates of Acute Lower Respiratory Tract
Infections in Children Under 5 Years of Age in India. The International Journal
of Tuberculosis and Lung Disease, 17 (3): 418-422.
Bielska, D. E., et al. (2015). Exposure to Environmental Tobacco Smoke and Respiratory
Tract Infections in Pre-School Chlidren - a Cross Sectional Study in Poland.
Annals of Agricultural and Environmental Medicine, 22 (3), 524-529.
Biradar, M. K. (2013). Epidemiologi Factors Contributing To Acute Respiratory
Infection In Under Five Children In An Urban Slum. International Journal Of
Pharma and Bio Sciences, 4 (1), 364-369.
Breiman, Robert F., et al. (2015). Severe Acute Respiratory Infection in Children in A
Denely Populated Urban Slum in Kenya 2007-2011. BioMed Central Infectious
Disease, 15 (95): 1-11.
Budiarto, E., & Anggraeni, D. (2003). Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). (2011). Severe Illness from 2009
Pandemic Influenza A (H1N1)-Utah, 2009-2010 Influenza Season. Utah:
Morbidity and Mortality Weekly Report.
Chandra, Budiman. (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.
Choube, et al. (2014). Potential Risk Factors Contributing to Acute Respiratory Infections
in Under Five Age Group Children. International Journal of Medical Science and
Public Health, 3 (11).
Clucas, D. B., et al., (2008). Disease Burden and Health-Care Clinic Attendances for
Young Children in Remote Aboriginal Communities of Northen Australia.
Bulletin of World Health Organization, 86 (4): 275-281.
Cohen, S. (2006). Social Status and Susceptibility to Respiratory Infection. Annals New
York Academy Of Sciences, 15213-3890.
Daroham, N. I., & Mutiatikum. (2009). Penyakit ISPA Hasil Riskesdas Di Indonesia.
Buletin Penelitian Kesehatan, 50-55.
Daud A, & Sedionoto B. (2010). Analisis Risiko Konsentrasi SO2 dan PM2,5 Terhadap
Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Penduduk di Sekitar Kawasan Industri
Makassar. Jurnal Lingkungan Tropis, 4 (2): 129-137.
113
Dawood, Fatimah S, et al. (2012). Estimated Global Mortality Associated With The First
12 Months Of 2009 Pandemic Influenza A H1N1 Virus Circulation: A Modelling
Study. The Lancet Infectious Diseases Journal, 12 (9): 687-695.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). (2009). Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Banten Tahun 2007. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). (2013). Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Banten Tahun 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Dewi, H. R. (2009). Hubungan Antara Lingkungan Kerja dan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) Pada Polisi Lalu Lintas Di Polwiltabes Semarang.
Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. (2014). Profil Kesehatan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2014. Tangerang Selatan: Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan.
Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2011). Profil Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2010.
Serang: Dinas Kesehatan Provinsi Banten.
Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2011.
Serang: Dinas Kesehatan Provinsi Banten.
Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2012.
Serang: Dinas Kesehatan Provinsi Banten.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL).
(2012). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Ditjen Cipta Karya. (1997). Rumah dan Lingkungan Pemukiman Sehat. Jakarta:
Departemen Pekerjaan Umum RI.
Duarte, D. M., & Botelho, C. (2000). Clinical Profile in Children Under Five Year Old
With Acute Respiratory Tract Infections. Journal de Pediatria, 76 (3), 207-212.
Dumanau, J.F. (2007). Mengenal Kayu. Yogyakarta: Kanisius.
Etiler, N., Velipasaoglu, S., & Aktekin, M. (2002). Incidence of Acute Respiratory
Infections and The Relationship With Some Factors in Infancy in Antalya,
Turkey. Pediatrics International, 44, 64-69.
114
Fahimah, Rilla., Kusumowardhani, Endah., dan Susanna, Dewi. (2014). Kualitas Udara
Rumah Dengan Kejadian Pneumonia Anak Bawah Lima Tahun (di Puskesmas
Cimahi Selatan dan Leuwi Gajah Kota Cimahi). Makara Journal Health
Respiratory, 18 (1): 25-33.
Fakunle, G. A., Ana, G. R., & Ayede, A. I. (2014). Environmental Risk Factors for Acute
Respiratory Infections in Hospitalized Children Under 5 Years of Age in Ibadan,
Nigeria. Journal of Paediatrics and International Child Health, 34 (2): 120-124.
Fanada, Mery. (2012). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit
Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang Tahun
2012. Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan.
Fauziah, M. (2006). Bencana Alam: Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Febrian, Ferry., & Solikhah. (2013). Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di
Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 7 (1): 1-54.
Fitria, Laras., Wahjudi, Pudjo., & Wati, Dwi Martiana. (2014). Pemetaan Tingkat
Kerentanan Daerah Terhadap Penyakit Menular (TB Paru, DBD, dan Diare) di
Kabupaten Lumajang Tahun 2012. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 2 (3): 460-467.
Geberetsadik, A., Worku, A., & Berhane, Y. (2015). Facors Associated With Acute
Respiratory Infection in Children Under The Age of 5 Years: Evidence From The
2011 Ethiopia Demographic and Health Survey. Pediatric Health, Medicine and
Therapeutics, 6, 9-13.
Gertrudis T. (2010). Hubungan Antara Kadar Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal
Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Sekitar Pabrik Semen PT Indocement,
Citeureup, Tahun 2010. Depok: Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Goel, Kapil, et all. (2012). A Cross Sectional Study on Prevalence of Acute Respiratory
Infections (ARI) in Under-Five Children of Meerut District, India. Journal
Community Medical Health Education, 2 (9): 1-4.
Gould D., & Brooker, C. (2003). Mikrobiologi Terapan Untuk Perawat. Jakarta: EGC.
Hafid, et al. (2013). Majalah Kesehatan Muslim: Antara Tawakal dan Pengobatan (Edisi
III). Yogyakarta: Pustaka Muslim.
Hapsari, D., Dharmayanti, I., & Supraptini. (2013). Pola Penyakit ISPA dan Diare
Berdasarkan Gambaran Rumah Sehat di Indonesia Dalam Kurun Waktu Sepuluh
Tahun Terakhir. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 16 (4), 363-372.
115
Hemsworth S, P. B. (2006). Pet ownership in immunocompromised children—a review
of the literature and survey of existing guidelines. Eur J Oncol Nurs, 10, 117-127.
Herawati, Maria Holly., & Sukoco, Noor Edi Widya. (2011). Pengaruh Memelihara
Ternak Dalam Rumah Terhadap Kecenderungan Meningkatnya Risiko Infeksi
Saluran Pernapasan Akut. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 15 (1): 83-90.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Jary, H., et al. (2015). Study Protocol: The Effects of Air Pollution Exposure and Chronic
Respiratory Disease on Pneumonia Risk in Urban Malawian Adults - The Acute
Infection of The Respiratory Tract Study (The AIR Study). BMC Pulmonary
Medicine: 1-8.
Juan, G. L., et al. (2014). Association Between Ambient Air Pollution and Outpatient
Visit for Acute Bronchitis in a Chinese City. Biomed Environ Sci, 27 (11), 833-
840.
Kartasasmita, Cissy B. (2010). Pneumonia Pembunuh Balita. Buletin Jendela
Epidemiologi: Pneumonia Balita, 3: 22-26.
Kasim, M. (2006). Karakteristik Kemiskinan di Indonesia dan Strategi
Penanggulangannya. Jakarta: Indomedia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (1999). Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan
Perumahan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2010). Pneumonia Balita.
Buletin Jendela Epidemiologi, 3: 1-10.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2012). Modul Tatalaksana
Standar Pneumonia: Lihat dan Dengarkan dan Selamatkan Balita Indonesia dari
Kematian. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2013). Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2015). Kesehatan Dalam
Kerangka Sustainable Development Goals (SDGs). Jakarta: RAKORPOP
Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2015). Statistik Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
116
Kilabuko, J. H., & Nakai, S. (2007). Effects of Cooking Fuels on Acute Respiratory
Infections in Children in Tanzania. International Journal of Environmental
Research and Public Health, 4 (4), 283-288.
Kirkhorn, S. R. (n.d.). Agricultural Respiratory Hazards and Disease. Waseca:
University of Minnesota Family Practice and Community Health.
Krauss H, W. A., & al., e. (2003). Zoonoses: Infectious Diseases Transmissible From
Animals to Humans, 3rd edition. Washington, DC: American Society for
Microbiology Press.
Leh, O. L., et al. (2011). Urban Environmental Health : Respiratory Illness and Urban
Factors in Kuala Lumpur City, Malaysia. Journal of EnvironmentAsia, 4 (1), 39-
46.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (LPEM FEUI). (2010). Indonesia Macroeconomic Outlook 2010.
Jakarta: Grasindo.
Lestari, F. (2010). Bahaya Kimia : Sampling & Pengukuran Kontaminan Kimia di
Udara. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Lubis, A., et al. (1996). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Batuk
Dengan Nafas Cepat Pada Balita. Buletin Penelitian Kesehatan, 24 (2 & 3): 55-
64.
Mairuhu, V., Birawida, A. B., & Manyullei, S. (2008). Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Pulau Barrang Lompo Kecamatan Ujung
Tanah Subdistrct Makassar City. Hasanudin University Repository, Bagian
Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin:
1-8.
Marjuki, Bramantiyo. (2014). Sistem Informasi Geografi Menggunakan Quantum GIS
2.0.1 Durfour.
Maryani, H., & Kristiana, L. (2004). Tanaman Obat Untuk Influenza. Depok: PT.
AgroMedia Pustaka.
Maywati, S., & Novianti, S. (2014). Dampak Aktivitas Home Industri Meubel Terhadap
Kesehatan Balita di Sekitas Industri Meubel Sektor Informal Kel. Kahuripan Kec.
Tawang Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia, 10 (1), 923-
930.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. (2002). Keputusan
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002
Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat).
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia.
117
Mirji, G., et al. (2015). Influence of Breast Feeding Practices and Immunization Status
Among Under Five Children Suffering From Acute Respiratory Infection. Indian
Journal of Health and Wellbeing, 6 (1): 100-102.
Muhe, L. (1994). Child Health And Acute Respiratory Infections In Ethiopia,
Epidemiology For Prevention And Control. Umea: Dissertations. Department of
Epidemiology and Public Health, Umea University and Depatment of Paediatrics
and Chilf Health Addis Ababa University.
Nasution, K., et al. (2009). Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban
Jakarta. Sari Pediatri, 11 (4): 223-228.
Ni’mah, Risma Muti Setyandri An. (2014). Sistem Informasi Geografis Visualisasi
Clustering Penyakit ISPA di Kecamatan Kaliwungu. Jurusan Teknik Informatika,
Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
Novirsa, Randy., & Achmadi, Umar Fahmi. (2012). Analisis Risiko Pajanan PM2,5 di
Udara Ambien Siang Hari Terhadap Masyarakat di Kawasan Industri Semen.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 7 (4): 173-179.
Padmonobo, H., Setiani, O., & Joko, T. (2012). Hubungan Faktor-faktor Lingkungan
Fisik Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia, 11 (2), 194-198.
Pokja AMPL Kabupaten Lebak. (2013). Buku Putih Sanitasi Kabupaten Lebak Provinsi
Banten. Pemerintah Kabupaten Lebak.
Pokja AMPL Kota Tangerang. (2013). Buku Putih Sanitasi Kota Tangerang Provinsi
Banten. Pemerintah Kota Tangerang.
Pore, Prasad D., Ghattargi, Chandrashekhar H.,, & Rayate, Madhavi V. (2010). Study of
Risk Factors of Acute Respiratory Infection (ARI) in Underfives in Solapur.
National Journal of Community Medicine, 1 (2): 63-66.
Prajapati, Bipin., Talsania, Nitiben., & Sonaliya K N. (2011). A Study On Prevalence Of
Acute Respiratory Tract Infections (ARI) In Under Five Children In Urban And
Rural Communities Of Ahmedabad District, Gujarat. National Journal of
Community Medicine, 2 (2) : 255-259.
Prajapati, et al. (2012). A Study of Risk Factors of Acute Respiratory Tract Infection
(ARI) of Under Five Age Group in Urban and Rural Communities of Ahmedabad
District, Gujarat. Healthline, 3 (1): 16-20.
Prakash, L. K. (2014). Acute Respiratory Infection Among Children and Health Seeking
Behaviour in India. International Journal of Scientific and Research Publications,
4 (11), 1-6.
118
Pramudiyani, N. A., & Prameswari, G. N. (2011). Hubungan Antara Sanitasi Rumah Dan
Perilaku Dengan Kejadian Pneumonia Balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6
(2): 71-78.
Purwanti, Hubertin Sri. (2004). Konsep Penerapan ASI Eksklusif: Buku Saku Untuk
Bidan. Jakarta: EGC.
Puspita, A. D. (2014). Hubungan Pemeliharaan Ternak Dengan Kejadian ISPA di Desa
Patokan Kecamatan Bantaran Kabupaten Probolinggo. Jurnal Universitas
Airlangga.
Rahman, M., & Rahman, A. (1997). Prevalence of Acute Respiratory Tract Infection And
Its Risk Factors in Under Five Children. Bangladesh Media Respiratory Council
Bulletin, 47-50.
Ramadona, Aditya L., & Kusnanto, Hari. (2012). Open Source GIS: Aplikasi Quantum
GIS Untuk Sistem Informasi Lingkungan. Yogyakarta: BPFE
Roesli, Utami. (2001). Mengenal ASI Eksklusif (Seri 1). Jakarta: Trubus Agriwidya.
Rojas, F. (2007). Poverty Determinants of Acute Respiratory Infections Among Mapuche
Indigenous People in Chile's Ninth Region of Araucania, Using GIS and Spatial
Statistics to Identify Health Disparities. International Journal of Health
Geographics, 6 (26), 1-12.
Rosdiana, Dian., & Hermawati, Ema. (2015). Hubungan Kualitas Mikrobiologi Udara
dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita.
Journal of Respiration Indonesia, 35 (2): 83-96.
Ryadi, Alexander Lucas Slamet. (2016). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta:
ANDI.
Said, Mardjanis. (2010). Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam Rangka
Pencapaian MDG4. Buletin Jendela Epidemiologi: Pneumonia Balita. 3: 16-21.
Sanbata, H., Asfaw, A., & Kumie, A. (2014). Association of Biomass Fuel Use With
Acute Respiratory Infections Among Under-Five Children in a Slum Urban of
Addis Ababa, Ethiopia. MBC Public Health, 14 (1122), 1-8.
Septantiana, N., & Asfawi, S. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan
Subjektif Pernapasan Pada Pedagang Unggas Wanita Akibat Kondisi Udara di
RPU Penggaron Kota Semarang Tahun 2015. Jurnal Universitas Dian
Nuswantoro, 1-15.
Shibata, T., et al. (2014). Childhood Acute Respiratory Infections and Household
Environment in an Eastern Indonesia Urban Setting. Internasional Journal of
Environmental Research and Public Health, 12190-12203.
119
Sikolia DN, et all. (2002). The Prevalence of Acute Respiratory Infections and The
Associated Risk Factors: A Study of Children Under Five Years of Age in Kibera
Lindi Village, Nairobi, Kenya. Journal National Institute Public Health, 51 (1):
67-72.
Simoes, E. A., et al. (2006). Acute Respiratory Infections in Children (Chapter 25). The
International Bank for Reconstruction and Development/The Wolrd Bank Grup,
Disease Control Priorities in Developing Countries, second edition (NCBI), 483-
497.
Soesanto, Sri Soewasti., Lubis Agustina., & Atmosukarto, Kusnindar. (2000). Hubungan
Kondisi Perumahan Dengan Penularan Penyakit ISPA dan TB Paru. Media
Litbang Kesehatan. 10 (2): 27-31.
Sofiyatun, E., & Rahayuningsih, B. V. (2014). Risk Factors Study Of Acute Infection
Respiratory Syndrome in District of Banjarnegara. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
8 (1), 77-82.
Sopari, Asep. (2007). Analisis Spasial Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Pneumonia Pada Balita di Kabupaten Tangerang 2004. Tesis. Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Sugihartono, & Nurjazuli. (2012). Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 11 (1): 82-86.
Suhartini, Nin. (2013). Hubungan Antara Populasi Mikroorganisme Udara Dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Terjun Medan. Tesis: Universitas Sumatera Utara.
Sukar, et al. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang (Indoor) Terhadap
Penyakit ISPA-Pneumonia Di Indramayu, Jawa Barat. Buletin Penelitian
Kesehatan, 24 (1): 13-20.
Sulistiyani. (n.d.). Status Kesehatan Masyarakat dan Kualitas Lingkungan Pada DAS
Garang Kabupaten dan Kota Semarang (Studi Analisis Spasial Pada Daerah
Urban, Rural, Pantai, Pegunungan). Http://jurnal.unimus.ac.id, 1-10.
Sunarsih, E., & Purba, I. G. (2015). Risk Factor Analysis of Acute Respiratory Infection
on Children Under Five Years Old in Tanjung Pering Village Ogan Ilir.
International Journal of Sciences: Basic and Applied Research, 22 (1), 21-30.
Sunyatiningkamto, et al. (2004). The Role Of Indoor Air Pollution And Other Factors In
The Incidence Of Pneumonia In Under-Five Children. Journal of Paediatrica
Indonesiana, 44 (1-2): 25-29.
120
Suriyasa, P., & al., e. (2006). Non-dirt House Floor and The Stimulant of Environmental
Health Decreased The Risk Acute Respiratory Infection (ARI). Med J
Indonesia,15 (1), 60-65.
Sutomo, Budi., & Anggraini, Dwi Yanti. (2010). Menu Sehat Alami Untuk Batita &
Balita. Jakarta: Demedia.
Syech, Riad., Sugianto, & Anthika. (2014). Faktor-faktor Fisis Yang Mempengaruhi
Akumulasi Nitrogen Monoksida dan Nitrogen Dioksida di Udara Pekanbaru.
Jurnal Universitas Riau: 516-523.
Taksande, Amar M., & Yeole, Mayuri. (2016). Risk Factors of Acute Respiratory
Infection (ARI) in Under-Five in a Rural Hospital of Central India. Journal of
Pediatric and Neonatal Individualized Medicine, 5 (1): 1-6.
Vanker, A., et al. (2015). Home Environment and Indoor Air Pollution Exposure in an
African Birth Cohort Study. Journal of The Science of the total environment: 7-
362.
Wahyuni TD., & Ikhsan M. (2010). Perubahan Iklim dan Kesehatan Paru. Journal
Respiratory Indonesia, 30: 230-237.
Wardani, Dyah Wulan Sumekar Rengganis., et al. (2013). Pentingnya Analisis Cluster
Berbasis Spasial dalam Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional,. 8 (4): 147-151.
Wardhani, Eka., et al. (2010). Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial-Ekonomi, dan
Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Pada Balita di Kelurahan Cicadas Kota Bandung. Seminar Nasional Sains &
Teknologi III, Lembaga Penelitian Universitas Lampung.
Wayangkau, E. C., Wambrauw, A., & Simanjuntak, T. P. (2015). The Correlation Of
Physical Of A House To The Acute Respiratory Tract Infection (ARTI) Cases On
Toddler At Nendali Village, East Sentani District. International Journal of
Research In Medical and Health Sciences, 5 (4), 1-7.
Weber, Martin., & Handy, Fransisca. (2010). Action Against Pneumonia In Children,
Outline of a Global Action Plan (GAPP) – Aksi Global Melawan Pneumonia
Pada Anak. Buletin Jendela Epidemiologi: Pneumonia Balita. Vol. 3, ISSN 2087-
1546.
Wichman J., & Voyi, KVV. (2006). Impact of Cooking and Heating Fuel Use On Acute
Respiratory Health of Preschool Children in South Africa. The Southern Africa
Journal of Epidemiology and Infection, 21 (2): 48-54.
Widiarti., Heriyanto, Bambang., & Widyastuti Umi. (2014). Analisis Spasial Pada
Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria di Desa Panusupan Kecamatan Rembang dan
121
Desa Sidareja Kecamatan Kaligodang Kabupaten Purbalingga. Media Litbangkes,
24 (4):169-180.
Widyastuti, P. (2006). Bahaya Bahan Kimia Pada Kesehatan Manusia dan Lingkungan.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Winardi, W., Umboh, J. M., & Ratuu, A. J. (2015). Hubungan Antara Kondisi
Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Sario Kecamatan Sario Kota Manado. Manado: Tesis,
Universitas Sam Ratulangi.
Winarni., Ummah, B. A., & Salim, S. A. (2010). Hubungan Antara Perilaku Merokok
Orang Tua dan Anggota Keuarga yang Tinggal Dalam Satu Rumah Dengan
Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sempor II Kabupaten
Kebumen Tahun 2009. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 6 (1): 16-21.
World Health Organization (WHO). (2007). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Pedoman Interm WHO, Waspada dan Tanggap
Epidemi dan Pandemi, 1-100.
World Health Organization (WHO). (2009). Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan
Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
World Health Organization (WHO). (2014). Infection Prevention and Control of
Epidemic- and Pandemic-prone Acute Respiratory Infection in Health Care. WHO
Inatitutional Repository, 1-156.
World Health Organization (WHO). (2015). Pneumonia. Media centre: fact sheet.
(Online). Tersedia: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/, diakses
pada 27 April 2016.
World Health Organization (WHO). (2016). Children: Reducing Mortality. Media centre:
fact sheet. (Online). Tersedia:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs178/en/, diakses pada 7 Mei 2016.
World Health Organization (WHO). (2015). Protocol For The Investigation of Acute
Respiratory Illness Outbreaks of Unknown Etiology. Brazzaville: Integrated
Disease Surveillance Programme Health Security and Emergencies Cluster,
World Healt Organization Regional Officer for Africa.
World Health Organization (WHO). (2016). Map and Spatial Information Technologies
(Geographical Information Systems) in Health and Environment Decision-
Making. Scientific data and assessment tools, The Health and Environment
Linkages Initiative (HELI). (Online). Tersedia:
http://www.who.int/heli/tools/maps/en/, diakses pada 7 Mei 2016.
122
World Health Organization (WHO). (2016). An Estimated 12.6 Million Deaths Each Year
Are Attributable to Unhealthy Environments. Geneva: Media Center, World
Health Organization.
Wulandhari, Shobiechah Aldillah. (2015). Analisis Spasial Aspek Kesehatan Lingkungan
Dengan Kejadian Filariasis di Kota Pekalongan. Skripsi: Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Yadama GN, et al. (2012). Social, Economic, and Resource Predictors of Variability in
Household Air Pollution From Cookstove Emissions. Plos One, 7 (10): 1-8.
Yulianti, Lina., Setiani, Onny., & Hanani D, Yusniar. (2012). Faktor-faktor Lingkungan
Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pangandaran Kabupaten Ciamis. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 11 (2) :187-193.
Yusnabeti, Wulandari, R. A., & Luciana, R. (2010). PM10 dan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut Pada Pekerja Industri Mebel. Jurnal Makara Kesehatan, 14 (1) ,
25-30.
Yuwono, T. A. (2008). Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Kawunganten Kabupaten Cilacap. Tesis: Magister Kesehatan Lingkungan,
Universitas Diponegoro.
LAMPIRAN
124
LAMPIRAN
Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kabupaten/kota di Provinsi Banten
Tahun 2011-2015
Kabupaten/kota Kejadian ISPA Pada Balita (%)
2011 2012 2013 2014 2015
Pandeglang 23.09 48.17 41.89 48.87 52.33
Lebak 40.56 59.73 27.68 47.21 47.58
Tangerang 29.66 35.60 24.13 31.86 32.91
Serang 27.33 32.20 25.83 36.69 40.56
Tangerang (K) 55.33 58.84 45.81 51.03 40.27
Cilegon (K) 100.00 100.00 79.58 66.97 73.51
Serang (K) 32.54 35.01 13.13 35.94 41.75
Tangerang Selatan (K) 30.08 36.28 25.23 38.35 42.75
Banten 35.81 48.66 32.45 41.49 41.89
Insidens ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kabupaten/kota di Provinsi Banten
Tahun 2011-2015
Kabupaten/kota Insidens ISPA Pneumonia Pada Balita (%)
2011 2012 2013 2014 2015
Pandeglang 1.01 2.57 1.65 2.05 1.56
Lebak 1.64 1.25 0.43 1.72 1.68
Tangerang 1.34 1.61 1.78 2.44 2.81
Serang 1.07 1.70 1.44 2.31 3.02
Tangerang (K) 3.10 4.61 3.77 4.18 3.58
Cilegon (K) 3.69 4.51 3.20 2.94 2.56
Serang (K) 3.98 3.24 1.20 3.44 3.16
Tangerang Selatan (K) 1.17 1.47 3.15 4.15 4.07
Banten 1.71 2.37 2.16 2.89 2.91
LAMPIRAN 1
125
LAMPIRAN 3
LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 2
126