Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Saini
Berjudul Civilization of Light
pada Ajang Pameran Foto Jurnalistik
“Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
Oleh:
Eva Fauziah
NIM 1112051100034
JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARI HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019
LEMBAR PERSETUJUAN
ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA
BEDU SAINI BERJUDUL CIVILIZATION OF LIGHT
PADA AJANG PAMERAN FOTO JURNALISTIK
“PERADABAN CAHAYA DAN BENCANA” 2017
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
Oleh:
Eva Fauziah
NIM : 1112051100034
Pembimbing
Ade Rina Farida, M.Si
NIP. 197705132007012018
JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Eva Fauziah
NIM : 1112051100034
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul
ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA
BEDU SAINIBERJUDUL CIVILIZATION OF LIGHT PADA
AJANG PAMERAN FOTO JURNALISTIK“PERADABAN
CAHAYA DAN BENCANA” 2017 adalah benar merupakan
karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam
penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan
karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi.
Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini
sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang
lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan
seperlunya.
Jakarta, 12 Juli 2019
Eva Fauziah
NIM 1112051100034
i
ABSTRAK
Eva Fauziah
Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Saini
Berjudul Civilization of Light Pada Ajang Pameran Foto
Jurnalistik “Peradaban Cahaya Dan Bencana” 2017
Dalam rangka memperingati 11 tahun gempa dan tsunami
Aceh, digelar sebuah peluncuran buku fotografi bertajuk
Civilization of Light (Peradaban Cahaya) di Museum Tsunami,
Aceh. Menarik ketika fotografer foto-foto Bedu Saini bercerita
saat-saat gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya
pada 26 Desember 2004 hingga dampak yang ditimbulkan akibat
bencana tersebut.
Latar belakang di atas seraya memunculkan pertanyaan
tentang apa makna peradaban dan bencana dalam foto jurnalistik
di buku foto Civilization of Light mengenai dampak gempa dan
tsunami Aceh dengan mengungkap, apa makna denotasi,
konotasi, dan makna mitos yang terkandung dalam buku foto
Civilization of Light.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis
dengan pendekatan kualitatif. Analisa foto dikaji dengan
menggunakan metode penelitian semiotika Roland Barthes.
Metode penelitian ini memberikan titik tekan pada makna
denotatif, konotatif, dan mitos.
Makna denotasi yang memberikan gambaran bahwa
bencana yang tidak terduga dapat menimbulkan dampak yang
sangat besar. Analisis makna konotasi mengungkapkan bahwa
bencana alam yang terjadi menimbulkan dampak yang tidak
hanya berupa materi namun berdampak pula pada kehidupan
yang dialami para korban setelahnya. Dari Analisa mitos, dapat
diketahui bahwa bagaimana kuasa Tuhan yang menegur manusia.
Atas hasil penelitian ini juga kembali dibuktikan
bahwasanya foto jurnalistik mampu mengungkapkan objektifitas
terhadap sebuah fenomena bencana alam yang terjadi. Melalui
foto-foto yang ditampilkan diharap menjadi salah satu kontribusi
fotografer untuk menjadi panji visual perekam sejarah.
Kata Kunci: Fotografi, Semiotika, Bencana Alam, Civilization of
Light, Aceh.
ii
KATA PENGATAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur peneliti
panjatkan kepada Allah SWT karena atas nikmat dan karuniaNya
penelitian skripsi ini dapat berjalan dengan baik tanpa halangan
yang berarti. Shalawat dan serta salam juga tidak lupa
ditunjukkan kepada Nabi besar Muhamad SAW.
Begitu banyak kesan dan manfaat yang dirasakan oleh
peneliti saat menyelesaikan skripsi ini. Peneliti tidak hanya
mendapatkan ilmu tetapi juga mendapatkan pelajaran bahwa
tidak ada kesuksesan tanpa usaha dan kerja keras. Selain itu,
peneliti menjadi lebih terbuka dalam berpikir bahwa Islam adalah
agama yang begitu menjunjung tinggi perbedaan serta penuh
cinta kepada seluruh manusia.
Peneliti skripsi ini tentu memiliki beragam tantangan dalam
pengerjaannya. Namun, dengan adanya dukungan dan semangat
dari berbagai pihak, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan
sebaik-baiknya. Karena itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin
mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Orangtua tercinta, Ayahnda Bapak Muji dan Ibunda Nur
Laila yang sangat luar biasa memerjuangkan dan mendukung
peneliti untuk bisa meraih pendidikan setinggi-tingginya,
memberikan kasih sayang doa yang tak terhingga sehingga
peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.
3. Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Dr. Suparto, M.Ed., Ph.D., Wakil
Dekan I Bidang Akdemik Dr. Siti Napsiyah, Wakil Dekan II
Bidang Administrasi Umum Dr. Ruli Nasrullah, Wakil
Dekan III Bidang Kemahasiswaan Cecep Sastra Wijaya MA.
4. Ketua Jurusan Jurnalistik Kholis Ridho, M.Si., Serketaris
Jurusan Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang
telah meluangkan waktunya untuk sekedar berkonsultasi dan
meminta bantuan dalam hal perkulihan.
iii
5. Ibu Ade Rina Farida, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing yang
telah begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada peneliti
di tengah kesibukan yang padat, serta membimbing peneliti
dengan sabar agar skripsi ini selesai dengan baik dan juga
bermanfaat.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
yang telah mengajari dan memberi ilmu kepada peneliti.
Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau sikap yang
menyinggung selama perkuliahan.
7. Segenap Staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
yang tela berbaik hati dalam meberikan buku-buku yang
dibutuhkan oleh peneliti.
8. Teruntuk adikku Farhan Kamil yang baru saja menyelesaikan
studinya, semoga bisa menjadi manusia yang berguna bagi
nusa, bangsa, dan agama.
9. Para tokoh-tokoh besar yang mempengaruhi pemikiran, foto,
dan penulisan penulis. Jalaludin Rumi, Ayatollah Khomeini,
Joseph Stanlin, Lao Tzu, Karl Marx, Bakunin, Che Guevara,
Fidel Castro, Haruki Murakami, Albert Camus, Leo Tolstoy,
Franz Kafka, W.S Rendra, Chairil Anwar, Seno Gumira
Ajidarma, Mahbub Djunaidi, Gunawan Muhamad, dan
Hanafi.
10. Segenap keluarga besar Klise Fotografi, yang selalu
memberikan tempat dan waktu bagi penulis untuk belajar.
11. Untuk teman-teman Jurnalistik 2012. Terima kasih telah
memberikan banyak moment yang menyenangkan sehingga
perkuliahan ini berkesan. Semoga silaturahmi di antara kami
tidak terputus sampai di sini.
12. Keluarga besar Galeri Jalanan Bau Tanah, Galeri Foto
Jurnalistik Antara, dan Panna Foto. Untuk ilmu fotografi
yang telah diberikan dan diskusi yang hangat.
13. Keluarga besar Djakarta Vespa UIN (Djavu) yang telah
memberikan semangat dan selalu mengingatkan penulis
untuk menyelesaikan skripsinya.
iv
14. Segenap keluarga besar Mawar Merona dan Mompunk,
terima kasih untuk diskusi-diskusi feminisme dan seni yang
sangat menarik. Panjang umur perjuangan!
15. Untuk kawan-kawanku, Rahma Sari, Shinta Rosdiana, Ana
Nurjanah, Imroatus Sholihah, Ahmad Syaifullah, Andri
Setiawan, Dwi Qori Aprilliani, Budi Nur Hidayar, Rizky
Yati Rabiah, Zaki Mubarak, Adi Taruna, Kasyfi Sabastari,
Wawaw teater Akar Teras, Ridlo Sorak, Rizal Pranoto, Riza
Hamdani. Terima kasih untuk memberikan motivasi dan
semangat kepada penulis.
16. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi yang
tidak dapat disebutan stau persatu. Semoga amal dan
kebaikan kalian selalu dijabah oleh Allah SWT.
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan peneliti dalam
menyelesaikan skripsi ini, semoga apa yang telah peneliti lakukan
dapat bermanfaat untuk para pembaca, memberikan nilai
kebaikan khususnya bagi peneliti maupun pembaca sekalian dan
semoga dapat menjadi kebaikan dalam bidang dakwah dan
komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Aamiin Ya Rabbal Alamiiin.
Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Jakarta, 10 Juli 2019
Eva Fauziah
v
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ......................................................................
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..............................
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................
ABSTRAK ....................................................................................i
KATA PENGANTAR ................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................. v
DAFTAR TABEL...................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ....................................... 9
C. Tujuan Penelitian ........................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ......................................................... 11
1. Manfaat Teoritis ...................................................... 11
2. Manfaat Praktis ....................................................... 11
E. Metodelogi Penelitian .................................................... 12
1. Paradigma Penelitian .............................................. 12
2. PendekatanPenelitian .............................................. 12
3. Metode Penelitian ................................................... 13
4. Sumber Data .......................................................... 14
5. Teknik Pengumpulan Data ...................................... 15
vi
6. Teknik Analisis Data ............................................. 16
7. Subjek, Objek, Tempat Penelitian, dan
Narasumber ............................................................ 16
F. Tinjauan Pustaka ............................................................ 17
G. Sistematika Penulisan .................................................... 18
BAB II LANDASAN TEORI
A. Semiotika Sebagai Upaya Pemaknaan ........................... 21
1. Pengertian Semiotika .............................................. 21
2. Tokoh Semiotika ..................................................... 26
3. Konsep Semiotika Roland Barthes ......................... 35
B. Fotografi Sebagai Representasi Realitas ........................ 45
1. Pengertian Fotografi ............................................... 45
2. Sekilas Sejarah Fotografi ........................................ 53
3. Unsur-unsur Dalam Fotografi ................................. 56
C. Fotografi Bencana ......................................................... 68
BAB III GAMBARAN UMUM BUKU CIVILIZATION oF
LIGHT KARYA BEDU SAINI DAN ANUGERAH
PEWARTA FOTO INDONESIA (APFI)
A. Gambaran Umum Tentang Buku
Civilization of Light ............................................................ 72
B. Profil Bedu Saini ............................................................ 80
C. Anugerah Pewarta Foto Indonesia ................................. 81
vii
BAB IV ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO
KARYA BEDU SAINI DALAM BUKU
CIVILIZATION OF LIGHT
A. Data Foto 1 ..................................................................... 91
B. Analisis Data Foto 1....................................................... 91
C. Data Foto 2 ..................................................................... 98
D. Analisis Data Foto 2....................................................... 98
E. Data Foto 3 ................................................................... 105
F. Analisis Data Foto 3..................................................... 106
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................. 113
B. Saran ............................................................................ 118
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 122
LAMPIRAN .............................................................................. 126
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel Tanda Roland Barthes ................................. 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ........................................................................... 91
Gambar 2 ........................................................................... 98
Gambar 3 ......................................................................... 105
1
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Bencana alam (natural disaster) adalah suatu
kejadian alam yang berlebihan yang dapat mengganggu
aktivitas normal kehidupan manusia, misalnya luka ringan,
luka berat bahkan sampai merenggut jiwa manusia. Bencana
alam mempengaruhi kehidupan sosial akibat rusaknya alam
dan bangunan sipil, seperti rumah, bangunan, tempat ibadah,
jalan, jembatan, dan pelabuhan). Berimbas pula pada
rusaknya sarana telekomunikasi dan pelayanan umum kepada
masyarakat.
Bencana alam sering terjadi dan sebagian besar
terjadi di negara berkembang seperti di Asia Pasifik. Gempa
di Aceh pada 26 Desember 2004 silam juga membuktikan
bahwa ancaman alam yang tetap besar. Tsunami yang
diakibatkan gempa berskala 9,3 pada skala Richter di Barat
Aceh dan oleh dua gempa di Kepulauan Nicobar serta
Andaman di India. Selang waktu dua jam kemudian
menewaskan sekitar 160 ribu penduduk Aceh.
Di era kemajuan teknologi informasi, kehadiran
media massa cetak, elektronik dan online sangat diperlukan
di daerah rawan becana, yaitu daerah yang masyarakatnya
terancam bahaya, yang berisiko terjadi bencana atau di
2
daerah yang telah terjadi bencana. Kecepatan kehadiran
media agar dapat dengan cepat memberikan informasi
kepada publik dan kepada semua pihak yang berkepentingan,
agar dapat dengan cepat melakukan pengurangan resiko dan
penanggulangan bencana.
Ketika ingatan memudar dan daya ingat terpengaruh
usia, justru foto-foto yang diharapkan dapat membantu.
Artinya, alih-alih foto menjadi ilustrasi cerita, dalam
beberapa hal adalah dari foto-foto tersebut menyusun
kembali sebuah ingatan. Bencana yang terjadi beberapa
tahun belakangan menjadi sebuah informasi yang dicari oleh
masyarakat Indonesia. Informasi tersebut tidak hanya didapat
dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi
sebuah gambar atau foto-foto menjadi hal menarik untuk
dilihat masyarakat agar mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi secara visual tanpa harus menginterpreasikannya dari
tulisan.
Adalah Bedu Saini pria kelahiran Salang, Pulau
Simelue, Aceh. Berusia 63 tahun yang mencoba bercerita
melalui foto jurnalstik mengenai bencana gempa dan tsunami
di Aceh pada 2004 silam. Bedu Saini mencoba membuat
foto-fotonya menjadi sebuah buku yang ia buat selama 11
tahun di tanah Serambi Mekah, Aceh. Faktanya Bedu Saini
adalah satu-satunya jurnalis foto yang berhasil mengabadikan
3
dahsyatnya detik-detik gempa dan tsunami Aceh saat
kejadian berlangsung.
Bedu Saini mengawali karirnya menjadi seorang
fotografer profesional dari seorang petugas kebersihan
selama tiga tahun di Koran Harian Serambi Indonesia pada
1990. Karena mempunyai ketertarikan pada dunia fotografi,
ia kemudian memberanikan diri untuk belajar. Lalu pihak
redaksi Serambi Indonesia mempercayakan Bedu Saini
bertugas mencetak film di kamar gelap (dark room). Enam
tahun berkutat dengan proses cuci cetak foto, Bedu kemudian
pindah ke bagian teknologi informasi (TI). Selama setahun
bergulat dengan masalah TI, lalu dipindah lagi ke bagian
penelitian dan pengembangan selama satu tahun. Sebelum
akhirnya, pada tahun 2002 resmi menjadi fotografer Serambi
Indonesia.
Bedu Saini belajar secara otodidak semua
keahliannya itu, mulai dari memegang sapu hingga kemudian
kamera digital. Hidup lelaki yang tak menamatkan kuliahnya
di salah satu perguruan tinggi swasta di Banda Aceh ini
memang penuh perjuangan. Dia harus berjuang keras untuk
menghidupi keluarga. Tetapi, lebih dari itu, dia sangat
mencintai profesi terakhirnya sebagai wartawan foto. Karena
kecintaannya pada fotografi, Bedua Saini meninggalkan
4
keluarganya dan memotret detik-detik tragedi yang
menewaskan ibu dan dua anaknya.
Diperkirakan gelombang tsunami yang terjadi 26
Desember 2004 silam menerjang wilayah pantai barat dan
timur dua provinsi seluas 100.000 kilometer persegi. Di
antara kota-kota di Nangroe Aceh Darussalam yang tersapu
ombak, Meulaboh dan Banda Aceh tergolong daerah terparah
karena hampir seluruh wilayahnya merupakan dataran rendah
dengan elevasi di bawah 20 meter di atas permukaan laut.
Gempa bumi merupakan peristiwa bergesernya
lempengan bumi di daratan maupun dasar laut yang
merambat ke permukaan bumi. Gempa bumi disebabkan oleh
aktivitas tektonik sepanjang jalur-jalur rawan bencana.
Gempa bumi yang berpusat di dasar laut dapat menyebabkan
tsunami atau disebut gelombang pasang besar dan mampu
menghancurkan wilayah pesisir.
Gempa bumi yang berpusat tidak jauh dari kota atau
pusat permukiman penduduk akan mengakibatkan kerusakan.
Hentakan gempa yang besar dapat mengakibatkan tanah
longsor, bangunan roboh, atau retak. Merusak bangunan
waduk atau tanggul sehingga air meluap dan banjir besar.
Menyebabkan kebakaran karena rusaknya instalasi
bangunan. Tanah, jalan raya, atau jembatan merekah atau
5
ambuk. Memakan korban jiwa makhluk hidup karena
tertimpa reruntuhan atau tersapu oleh gelombang tsunami.
Foto jurnalistik Bedu Saini bercerita tentang detik-
detik gempa dan tsunami, serta keadaan Aceh setelah tragedi
tersebut. Foto jurnalistik merupakan sajian gambar atau foto
yang dapat berdiri sendiri sebagai visualisasi suatu peristiwa.
Foto jurnalistik pun dapat menjadi pelengkap dan penguat
pesan yang disampaikan dalam berita. Melihat penjelasan
tersebut, foto jurnalistik ternyata dapat memiliki peran
ganda, yang pertama sebagai pendamping atau pelengkap
berita, dan selanjutnya disatu sisi menjadi berita itu sendiri.
Berita dan rupa-rupa artikel menyajikan persepsi, namun
fotografi jurnalistik dengan gamblang mengungkapkan
atmosfir peristiwa yang secara hakiki menjadi pondasi
jurnalisme.
Adapula pengertian fotografi jurnalistik yang
diungkap Oscar Matullah, seorang fotografer jurnalistik,
penulis buku Soul Scape Road, dan selaku Direktur Eksekutif
Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). Bahwa fotografi
jurnalistik adalah bagian dari pencatatan visual atas
perjalanan perihal kehidupan dalam peradaban dunia. Satu
siklus di mana bencana, derita, dan kematian merupakan
bagian daripadanya. Fotografi jurnalistik merupakan medium
6
utama yang paling dibutuhkan untuk mendapatkan seeing is
believing perihal peliputan bencana dalam berbagai skalanya.
Kisah dalam buku foto Civilization Of Light juga
membawa Bedu Saini mendapatkan penghargaan Life Time
Achievement atau fotografer sepanjang masa pada malam
Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2017 yang
diadakan di Kota Tua, Jakarta. APFI merupakan ajang
penghargaan foto jurnalistik tertinggi di Indonesia.
Penghargaan ini diberikan karena Bedu telah berkarya dalam
dunia jurnalistik selama 25 tahun dan menjadi orang pertama
yang mendapat penghargaan ini selama organisasi Pewarta
Foto Indonesia (PFI) hadir di tanah air.
Begitu juga yang terjadi pada karya foto jurnalistik
Civilization Of Light yang dibuat oleh Bedu Saini. Karya foto
yang diterbitkan oleh Galeri Foto Jurnalistik Antara pada
2015 tersebut memiliki berbagai makna yang dapat
ditangkap oleh para penikmatnya. Berbagai makna tentang
bencana alam gempa dan tsunami yang menghasilkan makna
tentang kehidupan, kematian, dan perjuangan.
Lalu apakah yang sebenarnya ingin disampaikan oleh
Bedu Saini dalam buku fotografi Civilization Of Light ini.
Dengan dasar itulah peneliti mencoba menganalisis maksud
yang terkandung dalam buku foto Civilization Of Light
dengan cara analisis semiotika.
7
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, analisis merupakan
penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya seperti sebab musabab, duduk
perkara dan lain sebagainya.Sedangkan, Benny H. Hoed
mengungkapkan dalam bukunya Semiotika dan Dinamika
Sosial Budaya, bahwa semiotika merupakan „pisau‟ yang
digunakan untuk membedah dan membagi bagian-bagian
dalam hal ini adalah foto dan teks yang kemudian
menghubungkan kembali semua itu menjadi satu kesatuan
bahasa komunikasi yang lebih luas dan mendalam.
Dalam penelitian ini pisau bedah analisis semiotika
dirasa sangat tepat untuk menjabarkan atau mencari arti yang
terkandung dalam foto-foto bencana alam gempa dan
tsunami di Aceh karya Bedu Saini. Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan dengan singkat bahwa semua yang ada
dalam kehidupan kita sebenarnya memiliki makna atau pesan
yang ingin disampaikan.
Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Roland
Barthes dalam buku The Phographic Message (1961) yang
dikutip oleh Seno Gumira Ajidarma dalam buku Kisah Mata
mengungkapkan bahwa:
Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh
sumberemisi, saluran transisi dan titik resepsi. Struktur
sebuah foto bukanlah sebuahs truktur yang terisolasi, karena
8
selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni
teks tertulis judul, keterangan, artikel yang selalu mengiringi
foto. Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh
ko-operasi dua struktur yang berbeda.
Oleh karena itu, kajian analisis tentang tanda-tanda
atau semiotik dirasa sangat tepat untuk mengungkapkan
makna-makna yang ingin disampaikan oleh Bedu Saini
kepada para penikmat dan orang-orang yang fokus dalam
mengkaji karya fotografi dalam foto demi foto yang ia buat.
Penulis memiliki ketertarikan khusus dengan
fotografi. Karena penulis menggeluti kegiatan mahasiswa di
bidang fotografi. Hal tersebut menjadi alasan yang kuat
kenapa penulis ingin meneliti buku foto “Civilization Of
Light” guna mengetahui dan memahami bagaimana
membedah esensi suatu buku foto dengan menggunakan
teroti Roland Barthes yang membaca gambar dari makna
konotasi, denotasi, dan mitos.
Dengan dasar pemikiran di atas,maka peneliti
memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul
“ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA
BEDU SAINI BERJUDUL CIVILIZATION OF LIGHT
PADA MALAM ANUGERAH PEWARTA FOTO
INDONESIA (APFI) 2017”.
9
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada
karya Bedu Saini berjudul Civilization Of Light pada ajang
pameran foto jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” di
Kota Tua, Jakarta. Penulis hanya mengambil tiga dari
sepuluh foto seri yang dipamerkan karena menurut penulis
kelima foto tersebut sudah mewakili apa yang ingin
disampaikan oleh fotografer.
Karya Bedu Saini tersebut bercerita tentang bencana
alam gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 2004
silam, serta masa pembangunan Aceh setelah tragedi
tersebut. Buku ini adalah persembahan Galeri Foto
Jurnalistik Antara (GFJA) dan Para Profesional serta mitra
institusi sejati untuk mengobarkan semangat
pendokumentasian intisari sejarah atas bencana alam maha
dasyat yang pernah terjadi di bumi sepanjang abad ini.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka
masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
10
1. Apa makna denotasi foto karya Bedu Saini yang
terkandung dalam buku Civilization Of Light yang juga
dipamerkan dalam ajang foto jurnalistik “Peradaban
Cahaya dan Bencana” 2017?
2. Apa makna konotasi foto karya Bedu Saini yang
terkandung dalam buku Civilization Of Light yang juga
dipamerkan dalam ajang foto jurnalistik “Peradaban
Cahaya dan Bencana” 2017?
3. Apa makna mitos foto karya Bedu Saini yang terkandung
dalam buku Civilization Of Light yang juga dipamerkan
dalam ajang foto jurnalistik “Peradaban Cahaya dan
Bencana” 2017?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami makna denotasi foto
karya Bedu Saini yang terkandung dalam buku
Civilization Of Light yang juga dipamerkan dalam ajang
foto jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017.
2. Untuk mengetahui dan memahami makna konotasi foto
karya Bedu Saini yang terkandung dalam buku
11
Civilization Of Light yang juga dipamerkan dalam ajang
foto jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017.
3. Untuk mengetahui dan memahami makna mitos foto
karya Bedu Saini yang terkandung dalam buku
Civilization Of Light yang juga dipamerkan dalam ajang
foto jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai
kajian tentang teori yang diangkat dari penelitian ini yaitu
dalam bidang semiotika khususnya pada bahasan
mengenai fotografi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan
bagi para penggiat fotografi khususnya yang menekuni
fotografi jurnalistik dan dokumenter. Terutama gambaran
kejadian dan pasca gempa tsunami yang melanda Aceh
2004 silam serta 11 tahun pembangunan Aceh setelah
tragedi tersebut. Foto-foto bersejarah yang diabadikan
Bedu Saini juga memperkaya khasanah fotografi
jurnalistik Indonesia.
12
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini
adalah paradigma konstruktivis. Paradigma ini menafsirkan
makna yang bersifat subjektif. Data yang diambil adalah
sesuatu yang menjadi perasaan serta keinginan pihak yang
diteliti untuk menyampaikan pesan melalui penafsiran pada
makna.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bersifat interpretatif (menggunakan
penafsiran) yang melibatkan banyak metode, dalam
menelaah masalah penelitiannya. Melalui pendekatan
kualitatif ini peneliti bertujuan untuk menjelaskan foto-foto
bencana alam gempa dan tsunami di Aceh atau serta
perbaikan setelahnya dengan pengumpulan data dan analisis
yang mendalam. Maka penelitian kualitatif dianggap lebih
cocok digunakan untuk peneliti yang mempertimbangkan
kehidupan manusia yang selalu berubah.
Bisa banyak data yang dapat diperoleh dari penelitian
kualitatif ini, seperti beragam makna atau penafsiran,
pandangan, nilai, kepercayaan, dan interpretasi-interpretasi
13
dalam masyarakat merupakan kekayaan data yang nantinya
juga akan dianalisis oleh peneliti dan menimbulkan suatu
makna yang mungkin berbeda-beda tergantung dari latar
belakang peneliti. Oleh karena itu, dapat juga dikatakan
bahwa dalam penelitian kualitatif tidak ada suatu kebenaran
yang mutlak, juga tidak ada penelitian yang salah jika semua
penafsiran-penafsiran dari analisis terhadap data yang
diperoleh dapat dipertanggung jawabkan.
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah
semiotika, biasanya diartikan sebagai pengkajian tanda-tanda
(study of signs). Pada dasarnya merupakan sebuah studi atas
kode-kode, yaitu sistem yang memungkinkan kita
memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau
sebagai sesuatu yang bermakna.Mengerucut pada analisis
semiotika Roland Barthes.
Ketika kita mempertimbangkan: iklan, berita, dan TV atau
teks film, hal itu akan menjadi jelas bahwa lingustik, visual
dan jenis tanda lain digunakan tidak semata-mata untuk
menunjukkan sesuatu, tetapi juga memicu berbagai konotasi
yang melekat pada tanda.
14
Semiotika Barthes ini memaparkan cara membaca
symbol atau tanda-tanda yang terkandung dalam makna
denotasi, konotasi dan mitos.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua yaitu
sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer
merupakan sasaran utama dalam penelitian ini sedangkan
sumber data sekunder merupakan pengaplikasian dari sumber
data primer di mana sumber data ini sebagai pendukung dan
penguat dalam penelitian.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui
hasil foto yang dipilih penulis sesuai dengan objek
penelitian. Penulis lebih memfokuskan pada lima foto karya
Bedu Saini yang terkandung dalam buku foto Civilization Of
Light yang juga dipamerkan pada ajang pameran foto
jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” tahun 2015.
Karena menurut peneliti foto-foto tersebut mewakili apa
yang ingin disampaikan oleh fotografer dan dapat
menyangkup keseluruhan cerita dalam keseluruhan karya.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari wawancara
dengan fotografer yang karyanya akan diteliti, yaitu Bedu
Saini, buku-buku, artikel dan serta menambahkan beberapa
referensi yang berkaitan dengan penelitian.
15
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang
digunakan penulis adalah sebagai berikut:
a. Observasi
Karl Weick (dikutip dari Seitiz, Wringhtsan, dan Cook
1976:253) mendefinisikan observasi sebagai “Pemilihan,
pengubahan, pencatatan, dan pengodean serangkaian
perilaku dan suasana yang berkenaan dengan organisme,
sesuai dengan tujuan-tujuan empiris”. Tehnik observasi
yang peneliti lakukan adalah melakukan pengamatan
secara langsung dan bebas terhadap objek penelitian
dengan cara mengamati, mencatat, memilih, dan
menganalisa foto-foto tersebut dengan model penelitian
yang digunakan.
b. Wawancara
Wawancara adalah salah satu cara untuk mencari fakta
dengan meminjam indera (mengingat dan
merekonstruksi) sebuah peristiwa, mengutip pendapat,
dan opini narasumber. Wawancara ini ditujukan kepada
pihak yang terlibat untuk mendapat data yang akurat,
dalam hal ini adalah Bedu Saini sebagai fotografer dari
buku Civilization Of Light.
16
c. Dokumentasi
Yaitu peneliti mendokumetasikan segala kegiatan
pencari informasi yang dibutuhkan sesuai tujuan penulis
dan mengumpulkan data-data melalui telaah. Yang
kemudian dijadikan bahan argumentasi, seperti buku,
arsip, internet dan mencetak beberapa dokumen yang
memberikan informasi tambahan sesuai dengan tujuan
penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland
Barthes (1915-1980). Dikenal sebagai salah satu pemikir
strukturalis yang getol mempraktekkan model linguistik dan
Semiologi Seussurean. Barthes mempunyai konsep tentang
konotasi dan denotasi sebagai kunci analisisnya. Denotasi
adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek.
Konotasi adalah signifikasi tahap kedua yang menggunakan
tanda tahap pertama (penanda dan petanda) sebagai penanda
dan memberikannya petanda tambahan.
7. Subjek, Objek, Tempat Penelitian dan Narasumber
Subjek dari penelitian ini adalah buku foto karya
Bedu Saini yang berjudul Civilization Of Light tahun 2015
yang juga dipamerkan pada ajang pameran foto jurnalistik
“Peradaban Cahaya dan Bencana” tahun 2017. Sedangkan
17
objek penelitiannya adalah lima foto dalam buku tersebut,
karena foto-foto tersebut dirasa oleh peneliti mewakili apa
yang ingin disampaikan oleh fotografer secara
menyeluruh.Tempat penelitian akan dilakukan di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H.
Juanda N0. 95 Ciputat, Jakarta, Indonesia. Narasumber
utama penelitian ini adalah Bedu Saini.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berjudul “Analisis Semiotika
Terhadap Foto Karya Bedu Saini Berjudul Civilization Of
Light Pada Ajang Pameran Foto Jurnalistik Peradaban
Cahaya dan Bencana 2017” terinspirasi oleh skripsi :
1. “Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Romi
Perbawa Berjudul The Riders of Destiny Pada Ajang
PameranThe Jakarta International Photo Summit
Tahun 2014” oleh M. Hanggi Tyo, mahasiswa
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi jurusan
Jurnalistik UIN Jakarta yang membahas pengorbanan
para Juki Jara cilik dalam menjalankan adat istiadat
Pacoa Jara yang terjadi di kabupaten yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, Bima, Nusa Tenggara
Barat, Indonesia.
18
2. “Analisis Semiotika Foto pada Buku Foto Jakarta
Estetika Banal karya Erik Prasetya”, mahasiswa
mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi jurusan Jurnalistik UIN Jakarta yang
bercerita tentang emosi kota Jakarta dalam kegiatan
sehari-hari.
Dari beberapa skripsi yang telah disebutkan di
atas belum ada yang membahas tentang ANALISIS
SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA BEDU
SAINI BERJUDUL CIVILIZATION OF LIGHT
PADA AJANG PAMERAN FOTO JURNALISTIK
PERADABAN CAHAYA DAN BENCANA 2017.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Pembahasan mengenai berbagai dasar
tentang penelitian yang berisi pendahuluan di
mana di dalam itu terdapat latar belakang
masalah, batasan dan rumusa nmasalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika
penulisan yang seluruhnya mendasari
penelitian“Analisis Semiotika Terhadap Foto
Karya Bedu Saini Berjudul Civilization Of
Light Pada Ajang Pameran Foto Jurnalistik
Peradaban Cahaya Dan Bencana 2017”.
19
BAB II : Penjabaran mengenai landasan teori yang
digunakan untuk penelitian ini, yaitu berisi
tentang tinjauan umum mengenai fotografi
(pengertian fotografi, sejarah dan tokoh
fotografi, unsur-unsur fotografi, perkembangan
fotografi dunia, aliran-aliran fotografi, fotografi
jurnalistik dan fotografi dokumenter), tinjauan
umum tentang pemaknaan visual dan semiotika.
BAB III : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang
bencana alam gempa dan tsunami di Aceh,
gambaran umum tentang buku foto Civilization
of Light, tentang buku foto jurnalistik
“Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017,
Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) dan
biodata atau profil Bedu Saini.
BAB IV : Hasil penelitian Analisis Semiotika. Pada bab
ini, berisi deskripsi hasil penelitian yaitu
pembahasan mengenai foto-foto bencana alam
gempa dan tsunami serta rehabilitasi, dan
rekonstruksi hingga 2014. Terdapat pada buku
foto Civilization Of Light karya Bedu Saini
mendapatkan penghargaan pada malam
Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2017.
20
BAB V : Merupakan penutup, yaitu kesimpulan dari
hasil penelitian serta saran-saran untuk
memajukan para fotografer dan yang ingin
menggeluti bidang fotografi jurnalistik atau
dokumenter agar tidak sembarang dan memiliki
konsep yang matang dalam setiap pengambilan
foto.
21
BAB II
LANDASAN TEORI
A. SEMIOTIKA SEBAGAI `UPAYA PEMAKNAAN
1. Pengertian Semiotika
Semiotika didefinisikan sebagai pengkajian tada-tanda (the
study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-
kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan untuk
memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau
sebagai sesuatu yang bermakna. Sejak pertengahan abad ke-20,
semiotika telah tumbuh menjadi bidang kajian yang sungguh
besar, melampaui di antaranya kajian bahasa tubuh, bentuk-
bentuk seni, wacana retoris, komunikasi visual, media, mitos,
naratif, bahasa, artefak, isyarat, kontak mata, pakaian, iklan,
makanan, atau diadopsi manusia untuk memproduksi makna.
Semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai
suatu tanda-tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat
dilekati (dimaknai) sebagai penggantian yang signifikan untuk
sesuatu yang lainnya. Sebenarnya, istilah semeiotics (dilafalkan
demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates (460-377 SM),
penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala. Gejala,
menurut Hippocrates, merupkan semion-bahasa Yunani untuk
“penunjuk” (mark) atau “tanda” (sign) fisik. Maka, semiotika
berarti studi tentang tanda (sign) dan bagaimana tanda itu bekerja.
22
Istilah ini telah digunakan oleh pakar filsafat Stoik dalam
ilmu bahasa Yunani kuno. Orang-orang stoik merupakan orang
pertama yang mengembangkan teori tentang tanda ini dalam abad
ketiga dan kedua sebelum masehi. Tanda mengalami perdebatan
antara penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena.
Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara “tanda
natural” dan “tanda konvensional”. Semiotika itu sendiri
merupakan ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda,
lambang-lambang, sistem-sistemnya, dan prosesnya lebih dalam.
Semiotika telah dikembangkan oleh beberapa ahli dalam
berbagai perspektif penelitian maupun ilmu pengetahuan. Seperti
kajian tentang foto dan musik oleh Roland Barthes, film oleh
Christian Metz, Psikoanalisis oleh Gilles Deleuze, media dan
identitas masyarakat oleh Jean Baudrillard, dan lainnya. Pada
dasarnya semiotika tidak pernah berkembang sendirian, baik
sebagai metode atau pendekatan. Pada akhirya akan bertemu
dengan beragam disiplin ilmu, teori, budaya, dan karya seni.
Dalam perkembanganya, semiotika mempunyai dua tokoh
sentral yang memiliki latar belakang berbeda, yaitu Charles
Sanders Pierce dan Ferdinand de Saussure. Tokoh pertama
Charles Sanders Pierce merupakan seorang filsuf Amerika yang
terlahir dari keluarga intelektual pada 1839. Pierce memandang
bahwa semiotika merupakan sesuatu yang berkaitan dengan
logika. Logika memperlajari bagaimana manusia bernalar yang
23
menurut Pirce dapat dilakukan melalaui tanda-tanda. Tanda-tanda
tesebut memungkinkan manusia dalam berpikir, berkomunikasi
dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang
ditampikan oleh kehidupan manusia.
Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Pierce berkehendak
untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia.
Teori Pierce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini
sehingga tidak mengherankan apabila ia mentimpulkan bahwa
semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim logika.
Tanda yang dimaksud Pierce dapat berupa tanda visual dan
bersifat verbal maupun non-verbal. Selain itu dapat juga berupa
lambang, contohnya lampu merah yang mewakili sebuah
larangan.
Pemikiran berbeda datang dari tokoh semiotika asal Swedia,
Ferdinand De Saussure, berpandangan bahwa semiotika
merupakan sebuah kajian yang mempelajari tentang tanda-tanda
yang menjadi bagian dari kehidupan sosial. Saussure memiliki
latar belakang keilmuan linguistik. Ia memandang tanda sebagai
sesuatu yang dapat dimaknai dengan meliht beberapa antara
petanda dan penanda yang biasa disebut signifikasi. Dalam hal ini
Saussure mengatakan bahwa dalam memaknai sebuah tanda perlu
adanya kesepakatan sosial, tanda-tanda tersebut berupa bunyi-
bunyian dan gambar.
24
Saussure juga menyebutkan objek yang dimaknai sebagai
unsur tambahan dalam proses penandaan. Contohnya, ketika
orang menyebut kata “babi” dengan nada mengumpat maka hal
tersebut merupakan tanda kesialan. Penanda dan petanda yang
dikemukakan Saussure merupakan sebuah kesatuan, tak dapat
dipisahkan, seperti dua sisi sebuah koin. Jadi Saussure lebih
mengembangkan bahasa dalam pandangannya.
Perbedaan kedua tokoh ini dalam mengkaji semiotika
terlihat jelas bagaimana tanda dapat dimaknai. Saussure mengkaji
semiotika melalui bahasa yang dituturkan oleh manusia.
Sedangkan Pierce lebih kepada logika atau cara berpikir manusia
dalam melihat suatu tanda yang dapat dimaknai di kehidupan
sehari-hari berkaitan dengan makna.
Terdapat tiga cabang penelitian (branches of inquiry) dalam
semiotika, yaitu sintatik, semantik, dan pragmatik. Pertama
sintatik merupakam suatu cabang penyelidikan yang mengkaji
tentang hubungan formal antara satu tanda dengan tanda yang
lain yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Kedua,
semantik yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari
hubungan antara tanda dengan design objek-objek yang diacunya.
Menurut Moris, desain yang dimaksud adala makna tanda-tanda
sebelum digunakan dalam urutan tertentu. Ketiga, pragmatik
adalah cabang penyelidikam semiotika yang mempelajari
hubungan antara tanda dengan interpretasi. Cabang yang
25
dikemukakan Moris tersebut memiliki keterkaitan antara satu
sama lain yang dapat dimaknai sebagai tingkatan suatu makna
dalam tanda.
Ketiga cabang tersebut juga memiliki spesifikasi kerja dan
objek kajian tersendiri, sehingga apabila dipakai untuk metode
analisa akan menghasilkan “pembacaan” yang mendalam. Selain
itu terdapat beberapa elemen penting dalam semiotik, yaitu
komponen tangga, aksis tangga, tingkatan tanda, dan relasi antar
tangga. Komponen tangga yang merupakan komponen penting
yang pertama dalam semiotik memandang praktik sosial, politik,
ekonomi, budaya, dan seni selain sebagai fenomena bahasa, juga
dapat dipandang sebagai tanda.
Komponen penting selanjutnya adalah aksis tangga, analisis
tangga yang mengkombinasikan pembendaharaan tanda atau kata
dengan cara pemilihan dan pengkombinasian pembendaharaan
tanda berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga
menghasilkan ekspresi yang memiliki makna. Selanjutnya adalah
tingkatan tanda. Dalam tingakatan tanda yang dikembangkan
Roland Barthes ini terdapat dua tingkatan lainnya, yaitu denotasi
(makna sebenarnya) dan konotasi (makna tidak sebenarnya).
Terakhir adalah relasi tanda relasi atau hubungan tangga ini
terdapat dua bentuk interaksi, yaitu metafore dan metomimi.
Studi semiotika dibagi menjadi tiga macam, yaitu tanda,
kode, dan kebudayaan. Tanda adalah kode, kode adalah suatu
26
medan asosiatif yang memiliki gagasan-gagasan struktural. Kode
ini merupakan beberapa jenis dari hal yang sudah pernah dilihat,
dibaca, didengar, dirasakan dengan itu konstitutif bagi enulisan
yang dilakukan.
Tanda memiliki cara penyampaian makna yang berbeda dan
hanya dapat dipahami oleh seseorang yang menggunakannya.
Sedangkan untuk studi yang membahas tentang kode,
mencangkup cara bagaimana kode dikembangkan dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mengeksploitasi saluran
komunikasi yang tersedia. Kebudayaan yang menjadi tempat
tanda dan kode bekera menjelaskan bagaimana keberadaan dan
bentuk dan penggunaan kode-kode tersebut. Tanda atau kode
dapat ditemukan di mana saja. Misal sebuah rambu lalu lintas
“tanjakan terjal” yang terletak di pinggir jalan. Rambu tersebut
berisi peringatan bagi para pengguna jalan bahwa di depan ada
kemungkinan bahaya atau tempat berbahaya yang harus dilewati
dengan hati-hati. Rambu tersebut merupakan sebuah tanda atau
kode yang ditempatkan sesuai dengan fungsinya.
2. Tokoh Semiotika
a. Ferdinand de Saussure
Saussure memang terkenal karena teorinya tentang tanda.
Ia sebetulnya tidak pernah mencetak pemikirannya menjadi buku,
catatan-catatannya dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi
27
sebuah outline. Karyanya yang disusun dari tiga kumplan catatan
kuiah saai ia memberi kuliah linguistik umum di Universitas
Jenewa pada tahun 1907, 1908-1909, dan 1910-1911 ini
kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Course in
General Linguistics (Lechte, 2001:232). Karya ini di kemudian
hari merupakan sumber teori linguistik yang paling berpengaruh
dan dikenal dengan istilah “strukturalisme”.
Ferdinad de Saussure merupakan tokoh semiotika yang
berasal dari Swedia. Pengaruh Saussure memang menjadi faktor
utama yang membuat semiotika berhubungan sangat erat dengan
linguistik struktural. Sebagai perintis ilmu bahasa struktural,
nama Saussure berkaitan erat dengan semiotika. Dapat dikatakan
bahwa muara semiotika modern yang berkembang di Eropa
adalah pemikiran Saussure. Ia berbicara mengenai keberadaan
tanda dengan menggunakan istilah semiologi.
Bertumpu pada konsepnya mengenai tanda, Saussure
mendefinisikan bahasa sebagai sitem tanda. Maksudnya bahasa
terjadi dari berbagai tanda. Maksudnya, terjadi dari berbagai
tanda, yang terkait satu sama lain sehingga membentuk sistem,
seperti sistem kosa kata, sistem pembentukan kata, sistem
kalimat, dan sebagainya. Kemudian, secara keseluruhan semua
sistem dalam bahasa yang bersangkutan membentuk sistem yang
lebih besar, yaitu sistem tanda bahasa. Jadi, manakala berbicara
tentang bahasa, kita dapat mempelajarinya sebagai sistem tanda.
28
Maka, ketika mempelajari bahasa sebagai sistem tanda,
mempergunakan konsep Saussure yang sudah disebutkan
(parole, langue, dan seterusnya). Begitulah yang dilakukan
Saussure ketika menerapkan semiotika dalam bidang linguistik.
Sehingga dalam kaitan antara semiotika dengan konsepsi
struktual Saussure mengenai bahasa terlihat jelas sekali.
b. Charles Sanders Pierce
Pierce kerapkali disebut bahwa selain menjadi menjadi
seorang pendiri pragmatisme. Ia juga memberikan sumbangan
yang penting pada logika filsafat dan matematika, khususnya
semiotika yang jarang disebut adalah bahwa Pierce melihat teori
semiotikanya (karyanya tentang tanda) sebagai yang tak
terpisahkan dari logika. Menurut Pierce bahwa secara umum
tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.
Pierce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle
meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign),
object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk
fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan
merupakan sesuatu yang merujuk pada hal lain di luar tanda itu
sendiri. Tanda menurut Pierce terdiri dari Simbol (tanda yang
muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari
perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan
sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek
29
atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi
dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
mengunakan tanda itu dan menurukannya ke suatu makna
tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang
objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam
proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah
tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contohnya, seperti saat seorang perempuan memiliki tato dan
merokok, maka wanita itu sedang mengomunikasi dirinya kepada
orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol
kenakalan. Begitu pula ketika Fahrani muncul di film Punk In
Love dengan akting dan penampilan fisiknya yang penuh tato,
para penonton bisa saja memaknainya sebagai ikon perempuan
nakal dan memiliki pergaulan yang bebas.
c. Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir
strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan
semiologi Saussurean. Ia dengan kajian tentang denotasi,
konotasi, dan mitos. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes
pada tahun 1915-1980, dalam teorinya tesebut Barthes
mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan penandaan,
yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat penandaan
yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
30
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi
adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda
dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna dan tidak
eksplisit tidak langsung, dan tidak pasti.
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure.
Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan
cara-cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa
saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang
berbeda situasinya.
Meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antar teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunaannya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Order of Signification”
mencakup denotasi makna sebenarnya dan konotasi makna ganda
yang lahir dari pengalaman kultural dan personal. Di sinilah titik
perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap
menggunakan istilah signifier dan signified yang diusung
Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu
“mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut
Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan
31
menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua
dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna
denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya seperti memakai pakaian berwarna hijau saat
berenang di pantai selatan menimbulkan konotasi „tabu‟ akan
hilang atau tenggelam karena akan diculik oleh penguasa pantai
selatan „Nyi Roro Kidul‟. Konotasi tabu ini kemudian
berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol
pakaian berwarna hijau di pantai selatan. Sehingga memakai
pakaian berwarna hijau di pantai selatan bukan lagi menjadi
sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan
tingkat kedua. Pada tahap ini “memakai pakaian kaberwarna
hijau di pantai selatan” akhirnya dianggap sebuah Mitos.
Dalam argumennya tentang mitos, Barthes mencontohkan
foto Paris Match dengan cover seorang pemuda kulit hitam
hormat pada bendera Prancis. Mari kita membayangkan foto
seorang pemuda Papua yang sedang hormat pada Merah Putih.
Dalam tataran makna pertama, foto ini adalah signifier (sebuah
gambar) yang bermakna denotasi atau satu peristiwa, yaitu
pemuda Papua hormat pada bendera. Di tataran kedua pada level
mitos, foto ini bermakna lain: bahwa Indonesia adalah sebuah
idntitas bebar (Barthes menggunakan “imprelialisme”) yang
menguasai Papua. Karena mitos selalu dikonfrontasi oleh
32
counter-myth, maka foto semacam ini adalah pertentangan atas
foto-foto tentang Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang
menuntut melepaskan dii dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sifat mitos adalah meniadakan realitas sejarah dan
konstruksi sosial. Karena mitos menghilangkan atau
menyebunyikan konteks tanda sebelumnya dan menggantinya
dengan makna yang berbeda.
d. Jacques Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika
dekonstruksinya. Dekonstruksi menurut Derrida adalah sebagai
alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun
bentuk kesimpulan yang baku. Konsep dekonstruksi yang dimulai
dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran
rasional yang percaya pada kemurniaan realitas, pada dasarnya
menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (signifier)
melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori
Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah
membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda
senantiasa sudah mengandung artikulasi lain.
Dekonstruksi, pertama kali, adalah usaha membalik secara
terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan
bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat,
33
fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi
fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan
dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen
sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal
bisa mereflkesikan banyak hal. Maknanya bisa merefleksikan
ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan.
Seseorang bisa menafsirkan baha ajaran yang dihantarkan dalam
gereja tersebut cenderung sesat atau menggiring jemaatnya pada
hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan
yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-
persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda,
sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti
dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat
menyingkirkan makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti
hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak
terbatas. Berbeda dari Baudrillard yang meihat tanda sebagai
hasil konstruksi simulatif suatu realitas Derrida lebih melihat
tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah
ideologi yang membentuk atau dibentuk oeh makna tertentu.
Makna-makna dan ideologi itu dibongar melalui teknik
dekonstruksi. Namun, baik Baudrillard maupun Derrida sepakat
34
bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk
makna tersebut.
e. Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn, membentuk Umberto Eco sebagai
ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai
tanda yang paling kompherensif dan kontemporer. Menurut
Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-
teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih
mendalam.
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan
menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada
modofikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda
menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimpulkan bahwa satu
tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan
suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen yang
berasal dari dua sistem berbeda, dari dua tingkat yang berbeda
yakni, ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan
pengkodean.
Eco juga menggunakan kode yang dipakai sesuai struktur
bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki
arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak
berfugsi secara linguistik kode bisa bersifat denotatif bila suatu
pernyataan bisa dipahami secara harfiah atau konotatif bila
35
tampak kode lain dalam pernyataan yang sama. Penggunaan
istilah ini hampir sama dengan karya Saussure, namun Eco ingin
memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode yang lebih
versifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure,
di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
2. Konsep Semiotika Roland Barthes
Pernyataan Barthes dalam buku Imaji, Musik, dan Teks,
bahwa penafsiran terhadap foto selalu bersifat historis, di mana
pembaca harus mengerti sisi dari latar belakang suatu gambar
yang akan ditelaah dalam beberapa rangkaian visual. Ungkapan
tersebut relevan digunakan dalam menafsirkan atau mengartikan
tanda dalam sebuah buku foto yang memiliki genre dokumenter
seperti Civilization of Light. Merekam visual sejarah
perkembangan Aceh pasca gempa dan tsunami yang begitu
relevan terhadap makna mitos yang akan dikaji dengan konsep
semiotika Barthes terhadap dinamika sosial budaya.
Tanda atau kode dapat ditemukan di mana saja. Misalnya,
sebuah rambu lalu lintas “tikungan tajam” yang terletak di
pinggir jalan. Rambu tersebut untuk memberitahukan bahwa
terdapat sebuah tinkungan yang harus dilewati secara hati-hati.
Rambu tersebut merupakan sebuah tanda atau kode yang
ditempatkan sesuai dengan fungsinya yang berguna membaca
tanda. Semasa hidupnya Bartes telah banyak menulis buku, di
antaranya adalah le degree zero de l‟ecriture atau “nol derajat di
36
bidang menulis” (diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, writing
degree zero 1977).
Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan
hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda
terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda . konotasi adalah
istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi
tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika
tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta
nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada signifikasi tahap kedua yang
berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos.
a. Makna Denotasi
Makna denotasi adalah tingkat penandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna yang eksplisit dan pasti. Dengan kata lain
denotasi merupakan kata yang memiliki arti sesuai dengan apa
yang ada dalam kamus bahasa Indonesia, yang dapat
merupakan makna sesungguhnya atau makna sebenarnya dari
apa yang tertulis atau terlihat. Dalam terminologi Barthes,
denotasi adalah sistem signifikasi tahap pertama yang umum.
Dalam terminologi Barthes, konotasi adalah sistem signifikasi
tahap kedua.
37
Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang
deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota
suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan penaffsiran
terhadap tanda denotatif tersebut, tanda disebut juga sebagai
analogan. Pada tingkat makna lapiasan kedua, yaitu konotasi,
makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda
dengan aspek kebudayaan yang lebih luas: keyakinan-
keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu
formasi sosial tertentu.
Barthes menyebut realitas dalam foto yang kita alami
sebagai real unreality. Disebut unreality karena apa yang
dihadirkan sudah lewat (temporal anteriority), tidak pernah
dapat memenuhi kategori sekarang disini dan disebut nyata
karena fotografi tidak menghadirkan ilusi melainkan presence
secara spasial. Kategori ini merupakan pengalaman orang
modern yang hidup dalam mass image akan realitas.
Komunikasi visual dalam bentuk foto menurut Barthes ialah
meliputi pesan tanpa kode message without a code dan juga
sekaligus pesan dengan kode message with a code.
Foto yang pada hakikatnya merupakan representasi
sempurna atau analogon dari realitas yang sebenarnya
(denotasi) ternyata sampai pada pembaca sudah dalam bentuk
konotasi dan mitos. Barthes mengajukan ssebuah hipotesis
bahwa dalam foto beritapun rupanya terdapat konotasi. Akan
38
tetapi konotasi ini tidak terdapat pada tahap pesan itu sendiri
melainkan pada tahap proses produksi foto. Disamping itu,
konotasi muncul karena foto berita akan dibaca oleh publik
dengan kode mereka. Dua hal inilah yang memungkinkan foto
berita mempunyai konotasi atau mengandung kode.
Pengertian kode di dalam strukturalisme dan semiotik
adalah sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang
entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda menjadi sesuatu
yang dapat dimaknai. Umberto Eco meyebut kode sebagai
aturan yang menjadi tanda tampilan yang konkrit dalam sistem
komunikasi. Dalam foto, Barthes tidak membicarakan
pentingnya kode dalam membaca tulisan pada foto, dengan
asumsi bahwa kita hanya membaca berita dalam bahasa yang
sudah kita kuasai.
b. Makna Konotasi
Makna konotasi berbanding balik dengan denotasi di mana
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan
petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang implisit dan
tidak pasti. Secara sederhana konotasi dapat dijelaskan sebagai
tanda yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu atau
nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Dalam
terminologi Barthes, konotasi adalah sistem signifikasi tahap
kedua. Barthes mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto
39
yang bersifat konseptual/diskursif, yaitu: perseptif, konotasi
kognitif, dan etis-ideologis.
Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke
kategori verbal atau verbalisasi gambar yang bersifat
imajinatif. Sedangkan tahap konotasi kognitif adalah tahap
pengumpulan dan upaya menghubungkan unsur-unsur sejarah
dari analogon (denotasi) ke dalam imajinasi paradigmatik.
Dengan demikian pengetahuan kultural sangat menentukan.
Kemudian tahap Etisideologis adalah tahap pengumpulan
berbagai penanda yang siap dikalimatkan sehingga motifnya
dapat ditentukan.
Ketiga tahap di atas tersebut merupakan tahapan-tahapan
konseptual atau diskursif untuk menentuka wacana suatu foto
dan ideologi atau moralitas yang berkaitan. Dengan demikian
objektifitas pesan foto dapat diamati dan diukur.
Foto ibarat kata kerja tanpa kata dasar, Barthes
menyebutkan enam produser atau kemungkinan untuk
mempengaruhi gambar sebagai analogon. Analogon yaitu apa
yang dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar,
menulis dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan intervensi
pada tingkat kode. Menurut Barthes, citra pesan iconic
message dapat kita lihat, baik berupa adegan, lanskap, atau
realitas harfiah yang terekam, dapat dibedakan lagi dalam dua
40
tataran. Tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan
pesan simbolik.
Pesan simbolik atau pesan ikonik berkode (coded iconic
message), sebagai analogan yang berada pada tataran konotasi
yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau
familiaritas terhadap steorotip tertentu. Pada tataran ini,
Barthes mengemukakan enam produser konotasi citra
khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan
konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes.
Produser-produser tersebut terbagi dalam dua bagian besar,
yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau
intervensi langsung terhadap realita itu sendiri seperti Trick
Effect, Pose, dan Objects. Kemudian konotasi yang diproduksi
melalui wilayah estetis foto seperti Photogenia, Aestheticism,
dan Syntax.
Trick Effect ialah memanipulasi gambar secara artifisial,
artinya apakah suatu gambar memiliki penambahan,
pengurangan, penggantian dalam bentuk analogon, sehingga
membuat keaslian dari sebuah foto memiliki makna yang
berkurang.
Pose adalah posisi subjek dalam suatu gambar, ekspresi
terhadap analogon yang ditemukan, sikap objek yang ada
dalam gambar dan gaya subjek foto. Pose dalah tahap konotasi
41
menjadi begitu penting ketika karena merupakan penentuan
penafsiran makna yang ada di dalam foto itu sendiri.
Object merupakan suatu penentuan point of interest atau
pusat perhatian dalam sebuah foto. Dalam hal ini, penentuan
object berdasarkan beberapa temuan yang ada di dalam
analogon kemudian dapat ditafsirkan secara subjektif dalam
pemaknaan konotasi.
Photogenia adalah teknik dalam pengambilan gambar,
seperti teknik pemotretan apa yang digunakan dalam
pencahayaan, ketajaman gambar, sudut pandang, dan lainnya.
Aestheticism yaitu suatu format gambar atau estetika
komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan
makna konotasi. Komposisi begitu menjadi penentu dalam
menafsirkan makna konotasi.
Sintaksis yaitu rangkaian cerita dari isi foto, yang
biasanya berada pada caption dalam foto dokumenter dan
dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, denotasi ialah
apa yang difoto yang memunculkan pertanyaan, sedangkan
konotasi adalah bagaimana ia bisa difoto, atau menitikberatkan
pertanyaan mengapa fotonya ditampilakan dengan cara seperti
itu.
42
c. Makna Mitos
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan
operasi ideologi, yang disebut dengan „mitos‟ dan berfungsi
untuk mengungkapkan dan memberikan bagi nilai-nilai
dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Jadi
nitos adalah suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menadi makna denotasi, maka makna
denotasi tersebut akan menjadi mitos atau singkatnya mitos
merupakan suatu kejadian yang terjadi berulang-ulang di
suatu kelompok masyarakat sehingga diakui sebagai
kebudayaan yang ada di dalam kalangan atau masyarakat
tersebut.
Mitos oleh Barthes disebut sebagai tipe wicara. Ia
juga menegaskan bahwa mitos merupakan sistem
komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini
memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tak
bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide; mitos adalah
cara penandaan (signification), sebuah bentuk, segala sesuatu
bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana.
Mitos dalam pengalaman Barthes adalah pengkodean makna
dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter dan konotatif)
sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Mitos menurut Alex
Sobur dalam buku Semiotika Komunikasi adalah bagaimana
43
kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek
tentang yang ada dianggap sebagai realitas.
Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola dimensi
yang disebut Barthes sebagai: penenda, petanda, dan tanda.
Ini bisa dilihat dala peta tanda Barthes yang dikutip dari buku
Semiotika Komunikasi, karya Alex Sobur:
Tabel 1
Tabel tanda Roland Barthes
Signifier
(Penanda)
Signified
(Petanda)
Denotative Sign (tanda
denotatif)
CONNOTATIVE
SIGNIFIER
(PENANDA
KONOTATIF)
CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004) h. 69
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3)
terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat
44
bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4).
Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material:
hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi
seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi
mungkin. Jadi dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif
yang bukan hanya sekedar memiliki makna tambahan, namun
juga mengandung kedua bagian tanda denotasi yang melandasi
keberadaannya.
Berdasarkan pemaparan di atas, semiotik Roland Barthes
bertumpu pada tiga hal yaitu: denotasi, konotasi, dan mitos.
Makna denotasi adalah makna yang paling nyata dari tanda
yang memiliki arti sebenarnya dari tanda yang terlihat, dengan
kata lain denotasi merupakan kata yang tidak mengandung
makna atau perasaan-perasaan tambahan yang terdapat dalam
buku foto Civilization Of Light dalam bentuk kalimat-kalimat
yang menjelaskan visualisasi gambar tersebut.
Sedangkan makna konotasi adalah tanda yang
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi dari pembaca seta nilai-nilai dari
kebudayaannya dan mempunyai makna yang sejektif sehingga
kehadirannya tidak disadari. Pada makna konotasi ini peneliti
membuat interpretasi dari makna denotasi yang didasarkan
pada rumusan masalah yang dibuat oleh peneliti, sehingga
konotasinya akan mempresentasikan citra bencana gempa dan
45
tsunami Aceh yang terlihat dalam buku foto Civilization Of
Light.
Kemudian peneliti akan menemukan makna mitos yang
terkandung dalam suatu gambar dengan menggabungkan
makna denotasi dan makna konotasinya. Dalam penelitian ini,
mitos merupakan wacana bencana gempa dan tsunami Aceh
yang dipakai dalam buku foto Civilization Of Light, yang
terlihat dalam setiap rangkaian visualnya.
B. Fotografi Sebagai Representasi Realitas
1. Pengertian Fotografi
Secara etimologi, fotografi berasal dari bahasa Inggris, yakni
Photography. Sedangkan kata photography didaptasi dari bahasa
Yunani, yakni photos yang berarti cahaya atau graphein yang
berarti gambar atau menggambar. Dengan demikian, secara
harfiah, fotografi bermakna „menggambar dengan cahaya‟.
Pegertian sederhana ini dekemukakan oleh John Hedgecoe dalam
bukunya yang berjudul John Hedgeoe‟s Complete Guide to
Photography; A Srep-by-Step Course from The World‟s Best-
Selling Photographer. Ia menyataan bahwa, “The words
„photography‟ means drawing with light...” (Hedgecoe, 1990: 6).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fotografi
merupakan seni dan proses penghasilan gambar melalui cahaya
pada film atau permukaan yang dipekakan. Fotografi juga
46
merupakan sebuah proses pengambilan gambar dimana seorang
fotografer dapat membekukan gerak, waktu, dan peristiwa. Hal
tersebut didukung pula teknologi yang telah ada pada saat proses
tersebut ditemukan, seperti kertas film atau bahan yang mudah
peka terhadap cahaya.
Fotografi memiliki kelebihan dibandingkan dengan
tulisan. Foto dapat memberikan gambaran secara langsung
kepada masyarakat mengenai sebuah peristiwa tanpa harus
membayangkannya terlebih dahulu. Karena foto dapat
mengabadikan peristiwa yang mungkin tidak akan terulang
kembali. Saat ini kebanyakan orang lebih memilih untuk melihat
sebuah gambar dibandingkan dengan membaca tulisan untuk
mengetahui informasi, karena gambar tersebut dapat dengan
mudah dipahami dan dimengerti.
Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Arnold Gassan dan
A.J. Meek dalam bukunya Exploring Black and White
Photography (1993) yang mengungkapkan bahwa:
“The earlist photographs widely known by the public
were made Daguerre, painter. When is small metal plate images
were first presented, another painter examined them and
proclaimed that from that day, painting was dead ! he meant that
the painter‟s struggle to describe the visible world with such
sufficient detail and exactitude to fool the eye was no longer the
first goal for the artist.”
47
Pada tahun 1558 ilmuan Italia Giambasista Della Forta
menyebut kamera “Camera Obscura” pada sebuah kotak yang
membantu pelukis menangkap bayangan gambar. Suatu fakta
bahwa fotografi lahir sebagai upaya menyempurnakan karya seni
visual dan bentuk prototif sebuah kamera yang disebut kamera
Obscura. Meski percobaan alat rekam gambar sudah mencapai
taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari saat ke saat
semakin behasil tetap saja belum bisa disebut fotografi karena
media perekam gambarnya masih belum bisa membuat gambar
permanen.
Sejarah fotografi mencatat, sejak masa pra fotografi pada
abad 17, para astronom memanfaatkan camera obcsura untuk
merekam konstelasi bintang-bintang secara tepat. Alat bantu ini
kemudian digunakan pula untuk bidang-bidang kegiatan lain,
termasuk seni lukis, terutama untuk bagian realisme dan
naturalisme, dalam abad 18 dan 19, sebagai mesin gambar yang
sangat berguna untuk merekam dan menghadirkan kembali
realitas visual.
Aktivitas fotografi sejatinya adalah kegiatan merekam
sebuah peristiwa menjadi gambar. Fotografi juga merupakan
suatu produk dari seni rupa, selain karena arti harfiahnya, yaitu
melukis dengan cahaya, dalam proses perekaman momentum
dalam satu frame (bingkai) bukan hanya melibatkan kamera
48
sebagai alat, namun juga melibatkan emosional yang ada dalam
diri seorang fotografer.
Prinsip fotografi adalah mefokuskan cahaya dengan
bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium
penangkap cahaya. Medium yang telah dibakar dengan ukuran
luminitas cahaya yang tepat akan menghasilkan bayangan identik
dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya
disebut lensa).
Hal tersebut kemudian mengingatkan pada satu nama,
Hendry Cartier- Bresson, seorang pelukis dan fotografer dari
Perancis yang mendirikan agensi foto internasional – Magnum
Photo, sekaligus sebagai pencetus teori yang terkenal dalam
bidang fotografi, dessesive moment, yaitu saat dimana mata, hati,
dan pikiran melebur ketika menekan shutter kamera dalam
merekam sebuah gambar.
Hal demikian seraya menjelaskan, bahwa fotografi bukan
hanya bertumpu pada penguasaan teknis operasional kamera
secara jitu, melainkan dibutuhkan pula sentuhan nilai estetis saat
menyusun komposisi yang baik untuk menghasilkan sebuah
karya foto. Kemanapun fotografi sebagai sarana pencipta imaji
visual yang terpercaya dimanfaatkan dalam berbagai tujuan dan
fungsi. Fotografi selanjutnya berkembang menjadi sarana yang
berguna bagi pengembangan ilmu dan teknologi untuk
kemaslahatan manusia.
49
Barthes mengajukan tesis di dalam bukunya Image Music
Text, tentang pesan fotografi, ia mengatakan apa isi pesan
fotografi? Apa yang foto itu sampaikan? Tentu gambar bukanlah
realitas tapi setidaknya itu adalah analogon sempurna dan itu
adalah persis kesempurnaan analogis ini yang ada, dengan akal
sehat. Fotografi itu adalah pesan tanpa kode, dari mana proporsi
merupakan konsekuensi penting yang harus segera ditarik: pesan
fotografi adalah pesan yang terus menerus.
Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi,
saluran transmisi dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah
sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam
komunikasi dengan struktur lain, yakni teknis tertulis, judul,
keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto. Dengan
demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua
struktur yang berbeda.
Kalau salah satu fungsi bahasa adalah representatif
(fungsi menghadirkan), munculnya foto harus mendapatkan
perhatian secara serius karena foto mempunyai kemampuan
representatif yang sempurna. Foto menjadi bentuk yang lain dari
informasi yang disajikan dalam bentuk kajian jurnalistik, selain
sebagai pendamping berita, foto dapat sebagai daya tarik sendiri
untuk dikaji dan didalami sebagai sebuah cabang dari bahasa
visual yang ada dalam foto tersebut. Melalui kajian semiotika
dapat terungkap yang tersirat dan tersurat dalam foto tersebut
50
karea kelebihan fotografi terletak pada kemampuannya untuk
merekam semua hal yang dilihat oleh fotografer lewat lensanya.
Hasil karya fotografi dikerjakan dengan menggunakan
kamera, yang memiliki cara kerja yang sama dengan cara kerja
mata manusia, kamera memiliki lensa, dan mengambil pantulan
cahaya terhadap suatu objek agar menjadi sebuah gambar, sebuah
kamera dapat merekam sebuah gambar ke dalam sebuah film dan
hasilnya dapat diperbanyak, dan diperlihatkan kepada orang lain.
Sedangkan mata, hanya dapat merekam gambar ke dalam otak
dan tidak bisa dilihat secara langsung kepada orang lain.
Fotografi menjadi sebuah perubahan dalam cara pandang
manusia, kemudian fotografi bukan hanya menciptkan citraan
yang begitu akurat, rinci, dan obyektif dalam menangkap realitas
lewat sebuah kamera, namun lebih dari pada itu fotografi bagi
Moholy Nagy adalah dapat menyelesaikan atau melengkapi alat
optik kita, mata. Dan bagi Moholy Nagy, perkembangan
penglihatan manusia di luar yang diberikan oleh mata demikian
terhubung dengan kapasitas sosial dan biologis untuk
berpartisipasi dalam representasi.
Kemanapun fotografi sebagai sarana pencipta imaji visual
yang terpercaya dimanfaatkan dalam berbagai tujuan dan fungsi.
Fotografi selanjutnya berkembang menjadi sarana yang berguna
bagi pengembangan ilmu dan teknologi untuk kemaslahatan
manusia. Perkembangan teknologi yang semakin maju, seraya
51
membuat fotografi menjadi lebih dekat dengan masyarakat.
Komunikasi saat ini bukan hanya terjadi lewat budaya yang
disepakati bersama, yaitu secara verbal maupun non verbal.
Fotografi mampu menempatkan posisinya sebagai media
penyampai pesan lewat medium visual.
Selain penguasaan teknis operasional kamera seara jitu,
dibutuhkan pula sentuhan nilai estetis saat menyusun komposisi
yang baik untuk menghasilkan sebuah karya foto, sehingga dalam
merekam peristiwa sejarah juga menghasilkan kandunga seni di
dalamnya dan membuat foto lebih menarik. Oleh karena itu,
beberapa rangkaian foto di dalam buku Civilization Of Light ini,
Bedu Saini selaku fotografer merekam peristiwa penting dalam
sejarah perkembangan Aceh secara khusus pasca gempa dan
tsunami selama 10 tahun terakhir secara umum dengan
memasukan unsur seni di dalam gambar.
2. Sekilas Sejarah Fotografi
A. Sejarah Fotografi Dunia
Dalam perkembangan fotografi di dunia, beberapa
universitas melakukan penelitian terkait dengan sejarah
dan peradaban teknologi fotografi. Abad ke 17, tepatnya
pada 1725, sebuah eksperimen yang tidak berkaitan,
Johan Heinrich Schulze, seorang profesor ilmu
kedokteran dari Universitas Altdorf di Jerman, membuat
gambar pertama yang juga tidak bisa bertahan lama.
52
Schulze meletakan sebuah botol berisi campuran asam
garam perak pada cahaya matahari. Ketika ia
memeriksanya beberapa menit kemudian, ia menemukan
bahwa sisi cairan yang terkena sinar matahari langsung,
telah berubah menjadi warna lembayung tua, sedangkan
sisi cairan yang tidak terkena sinar tetap berwarna
keputihan.
Ketika ia mengguncang botol, warna
lembayungnya menghilang. Schulze kemudian
melekatkan selembar kertas stensil pada botol dan
meletakannya langsung menghadap matahari. Kemudia ia
mencabut kertas stensil, pada kertas stensil itu terdapat
sketsa dari endapan berwarna gelap di sekitarnya, yaitu
pola keputih-putihan, siluet negatif, dari cahaya yang
tertahan di sekitar kertas. Untuk memastikan apakah sinar
matahari atau kepanasan menyebabkan senyawa kimia
berubah menjadi gelap, Schulze meletakkan botol lain
yang berisi bahan kimia yang sama dalam oven. Senyawa
dalam botol tersebut tidak bereaksi; ternyata cahaya yang
menyebabkan perubahan.
Fotografi mulai populer sejak tahun 1901 setelah
Kodak Brownie diperkenalkan. Memasuki perkembangan
teknologi modern fotografi, peralatan modern dalam
bentuk Kodak dan gulungan film yang digunakan
53
sekarang, baru mulai ditemukan oleh George Eastman
pada tahun 1877, di New York. Ketika itu ia sedang
bekerja sebagai seorang karyawan bank di kota Rochester,
New York. Eastman kemudian mengembangkan
temuannya itu, hingga pada tahun 1889 ia membuka
usaha dalam bidang fotografi yang lebih modern. Ketika
itu ia memperkenalkan film transparan dalam entuk
flexibel film. Bentuk kamera kecil mulai populer di
Amerika pada tahun 1920-an. Demikianlah seterusnya,
dunia fotografi berkembang hingga seperti apa yang kita
lihat sekarang.
B. Sejarah Fotografi Indonesia
Fotografi masuk dan berkembang di bumi
Nusantara sejak masa kolonialisme yang dilakukan oleh
Belanda. Umur fotografi yang cukup tua di Indonesia
tidak dibarengi dengan lahirnya fotografer lokal, selain itu
kamera masih termasuk barang mewah, juga tentu saja
karena Belanda hanya mempercayakan proses pemotretan
pada ilmuan dari negaranya serta fungsi fotografi yang
masih berkaitan dengan kepentingan riset kolonialisasi.
Tahun 1841, Juriaan Munich seorang pegawai
kesehatan Belanda mendapat perintah dari Kementerian
Kolonial untuk berlayar ke Batavia dengan membawa
daguerreotype guna mengabadikan tanaman-tanaman
54
serta mengumpulkan informasi mengenai kondisi
alamnya.
Adalah Kassian Cephas seorang fotografer
berdarah pribumi pertama yang merupakan anak angkat
dari pasangan 7 Belanda dengan foto pertamanya yang
diidentifikasikan tahun 1975. Cephas kemudian dikenal
dalam dunia fotografi sebagai fotografer Keraton
Yogyakarta, tepatnya pada era kekuasaan Sri Sultan
Hamengkubuwono ke-VII.
Kassian Cephas adalah seseorang yang menjadi
pelopor fotografi di tanah nusantara, hal ini sebagai titik
awal perkembangan dan kemajuan fotografi di Indonesia.
Fotografi diawali sebagai dokumen bagi seseorang atau
kelompok, dan selanjutnya foto menjadi santapan
khalayak umum baik sebagai seni maupun sumber
informasi.
Foto-foto Franz Mendur tahun 1945 adalah bukti
bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia telah teradi
pada 17 Agustus tahun itu. Subuh di bulan yang
mencekam karena tentara Nippon bersenjata lengkap
masih rutin berpatroli di jalanan Jakarta, dua bersaudara
Alex dan Franz membawa kamera menuju kediaman
Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Mereka
55
berangkat karena mendengar informasi adanya peristiwa
penting terkait perjuangan.
Peristiwa itu adalah proklamasi kemerdekaan.
Sekitar pukul 10.00 WIB, momen bersejarah itu terekam
dalam lembaran film. Tentara Jepang yang mengetahui
pendokumentasian proklamasi berhasil merampas kamera
Alex Mendur dan menghancurkan isinya. Namun, Franz
beruntung dan sempat menyembunyikan negatif karyanya.
Ia menanam film itu di bawah pohon di halaman kantor
Asia Raya. Saat tentara Jepang menggeledahnya ia
mengaku filmnya telah dirampas oleh Barisan Pelopor.
Ketika keadaan berangsur aman, Alex dan Franz mencuri-
curi kesempatan untuk mencetak foto itu di kamar gelap
Kantor Berita Domei.
Perkembangan fotografi di tanah air semakin
konsisten dan berkelanjutan setelah kantor berita Antara
mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara tahun 1992,
selain berisi galeri, GFJA juga mendirikan sekolah untuk
para penikmat fotografi dan banyak melahirkan
fotografer berkualitas. Hingga saat ini keberadaan dan
perkembangan fotografi di Indonesia semakin menjamur
ke setiap generasi, ke institusi pendidikan dan fotografi
juga menjadi kebutuhan dalam bersosial media pada saat
ini.
56
3. Unsur-unsur dalam Fotografi
Sebuah foto tidak akan terlihat bagus dan bisa
menyampaikan makna jika tidak didukung dengan
kualitas fotografer. Fotografer harus mampu mendapatkan
momen tertentu atau decisive moment tentang suatu
peristiwa, karena itu yang membedakan foto dengan
video.
Kapabilitas fotografer mempengaruhi karya foto
yang diabadikannya, dengan menciptakan sebuah foto
dengan nilai informatif yang didukung dengan unsur
teknis dalam fotografi seperti unsur pengambilan, teknik
foto, komposisi, dan elemen visual lain sebagai penguat
informasi tersebut. Sebuah foto tidak semata tercipta
dengan sebatas memfoto saja, seorang fotografer harus
mampu menyampaikan pesan melalui foto tersebut.
Unsur-unsur yang harus diperhatikan dibagi menjadi dua
macam yaitu unsur teknis dan estetis.
a. Pencahayaan
Fotografi memiliki arti melukis dengan
cahaya, maka peran utama dalam
menghasilkan karya foto ialah cahaya.
Pencahayaan sebagai hal yang sangat penting,
karena jika tidak ada maka tidak akan jadi.
57
Dalam pemahaman dasar fotografi,
menghasilkan sebuah foto perlu memahami
bagaimana mengendalikan cahaya tersebut,
membuat objek dengan pencahayaan yang
dibutukan. Pemahaman dasar dalam materi
fotografi disebut dengan triangle fotografi.
Triangle fotografi terdiri dari International
Organization for Standardization (ISO),
diafragma, dan shutter speed (kecepatan rana).
Triangle ini sebagai dasar pemahaman
fotografer untuk menciptakan sebuah foto
dengan pencahayaan yang sempurna. Terdapat
tiga istilah pencahayaan dalam dunia fotografi,
yaitu normal exposure (normal), under
exposure (rendah), dan over exposure (tinggi).
Pencahayaan (exposure) adalah proses
pemasukan cahaya untuk mengekspos medium
peka cahaya berupa film maupun sensor digital
pada luminitas tertentu hingga tercipta sebuah
gambar. Ada tiga unsur dalam pengaturan
tingkat pencahayaan, antara lain:
1. Shutter Speed atau tombol rana (s),
yaitu jendela pada kamera yang
mengatur masuknya cahaya dengan
58
cara buka-tutup dalam satuan waktu
tertentu sehingga dapat mengatur
cepat-lambatnya cahaya masuk ke
dalam kamera. Satuan angka indikator
dimulai dari: blub; 1/4; 1/5; 1/8; 1/10;
1/13; 1/15; 1/20; 1/25; 1/30; 1/40; 1/50;
1/60; 1/80; 1/100; 1/125; 1/160; 1/200;
1/250; 1/320; 1/400; 1/500; 1/640;
1/800; 1/1000; 1/1250; 1/1600; 1/2000;
1/2500; 1/3200; 1/4000.
2. Diafragma (f/), mengatur lebar
sempitnya bukaan lubang cahaya pada
lensa yang bekerja untuk menyesuaikan
sedikit-banyaknya lubang cahaya yang
masuk ke dalam kamera. Satuan angka
indikatornya dimulai dari: 1,2; 1,4; 1,8;
2; 2,8; 3,5; 4; 4,5; 5,0; 5,6; 6,3; 7,1; 8;
9; 10; 11; 13; 14; 16; 18; 20; 22; 25;
29; 32.
3. Tingkat kepekaan film atau sendor
digital dalam menangkap cahaya yang
dinyatakan dalam satuan International
Standard Organization (ISO). Angka
59
indikatornya dimulai dari: 50; 100;
200; 400; 800; 1600; 3200; 6400.
Untuk mengatur ketepatan
pencahayaan pada suatu tingkat
luminitas tertentu digunakan light
meter, baik yang terdapat kamera
maupun light meter genggam (hand
healt). Light meter berguna sebagai
petunjuk untuk mendapatkan
pencahayaan dengan kombinasi dari
bukaan diafragma (f/), speed (s), dan
ISO dalam satuan tepat
(normal/correct), kurang (under), dan
lebih (over) dalam suatu kondisi
cahaya tertentu.
Light meter berupa senyawa kimia
yang peka terhadap cahaya. Saat
cahaya menerpa light meter, light meter
lalu memberitahukan berapa kecepatan
dan berapa diafragma yang harus
digunakan.
Bila dilihat dari sumbernya, cahaya
memiliki dua jenis pencahayaan, yaitu
cahaya natural (available light), yaitu:
60
matahari; dan cahaya buatan (artificial
light), yaitu cahaya yang bersumber
baik dari berbagai jenis lampu, cahaya
lilin, maupun flash/blitz. Untuk
mendapatkan cahaya normal, fotografer
harus mengerti bagaimana cara
mengatur bukaan diafragma, speed, dan
ruang tajam.
Kecepatan rana merupakan ukuran
kecepatan membuka dan menutup
jendela rana. Semakin cepat jendela
rana tersebut menutup dan membuka
(kecepatan tinggi, angka besar),
semakin sedikit cahaya yang masuk.
Sebaliknya, semakin lama jendela rana
tersebut menutup dan membuka
(kecepatan rendah, angka kecil),
semakin banyak cahaya yang masuk.
Sedangkan diafragma adalah
sebuah lempengan baja yang terdapat
dalam kamera yang dapat diatur besar
kecilnya. Pengaturan diafragma dapat
diakukan dengan cara mengubah angka
skala yang terdapat pada gelang yang
61
melingkar di lensa atau pada badan
kamera itu sendiri.
Teori diafragma yaitu, “makin
besar diafragma (ditunjukkan dengan
angka kecil), makin banyak cahaya
yang bisa lolos ke kamera melalui
lensa”. Sebaliknya, “makin kecil
diafragma (ditunjukkan dengan angka
besar) maka makin sedikit cahaya yang
bisa lolos ke dalam kamera melalui
lensa”.
b. Teknik Pemotretan
Setelah memahami tiga unsur pencahayaan di
atas atau biasa disebut triangle photography,
selanjutnya fotografer harus memahami
teknik-teknik dasar pemotretan dalam dunia
fotografi, antara lain:
1) Moving
Moving atau yang berarti gerak
adalah teknik foto dengan menghasilkan
karya foto berunsur gerak. Maksudnya
adalah, objek atau subjek yang ada di foto
memiliki perpaduan sebuah hasil karya
62
yang gerak atau tidak statis. Melakukan
teknik ini dengan menggunakan speed
menengah hingga rendah untuk
mendapatkan sebuah foto dengan
pergerakan si objek atau subjek.
2) Freeze
Freeze adalah teknik memotret
pada objek atau subjek bergerak.
Menginginkan objek atau subjek tersebut
berhenti (diam/freeze) setelah dipotret.
Layaknya suatu momen sebagai klimaks
dari suatu peristiwa.
3) Panning
Adalah teknik memotret dengan
menggerakan kamera sesuai gerakan objek
atau subjek foto. Tujuannya adalah supaya
gerakan tersebut terekam kamera hanya
lintasannya saja pada latar belakang objek
atau subjek foto secara blur bergaris.
4) Siluet
Adalah teknik memotret dengan
menempatkan kamera menghadap
63
langsung sumber cahaya, sementara objek
atau subjek foto berada di tengah-tengah
sumber cahaya dengan kamera. Hasil
fotonya, objek atau subjek foto akan gelap,
sementara latar belakang (sumber cahaya)
terang. Sehingga terjadi teknik yang
bernama siluet (objek atau subjek lebih
gelap dari latar belakang).
Dengan memanfaatkan teknik
tersebut, foto akan terlihat lebih menarik
dan dinamis serta tidak monoton.
Menghasilkan sebuah foto sesuai dengan
situasi dan kondisi menggunakan teknik
yang dibutuhkan, agar objek tampak
seperti kondisi aslinya.
c. Sudut Pandang (Angle)
Terdapat lima sudut pandang (angle)
dalam pengambilan gambar. Pertama adalah
Frog Eye, kamera jauh lebih rendah daripada
objek atau subjek, Frog Eye yang berarti mata
kodok, memiliki posisi yang hampir sama
dengan mata kodok itu sendiri yang selalu
melihat objek ke atas. Melalui angle ini, objek
atau subjek yang ditampilkan menjadi terlihat
64
lebih tinggi dan besar dengan arti tertentu yang
mengikutinya. Posisi kamera hampir tegak
lurus ke atas, dengan sudut pandang di atas 45
derajat di bawah menghadap ke atas.
Kedua adalah Low Angle, menepatkan
kamera lebih rendah dari objek atau subjek.
Atau berada berada lebih tinggi dari kamera
sehingga objek atau subjek terkesan tinggi dan
membesar. Sudut pandang kamera sekitar 45
derajat di bawah menghadap ke atas.
Sudut pandang selanjutnya adalah Eye
Level, merupakan sudut pandang yang
menempatkan kamera sejajar dengan objek
atau subjek. Untuk menghasilkan sebuah foto
pada objek atau subjek hampir mendekati
dengan pola pandangan mata manusia saat
melihatnya.
High Angle adalah sudut pandang yang
menempatkan objek atau subjek lebih rendah
dari pada kamera atau kamera lebih tinggi dari
pada objek atau subjek. Sehingga yang terlihat
pada kaca pembidik objek atau subjek yang
terkesan mengecil. Sudut pengambilan gambar
tepat di atas objek atau subjek, pengambilan
65
seperti ini memiliki arti yang dramatis yaitu
kecil atau kerdil. Sudut pandang kamera
sekitar 45 derajat di atas menghadap ke bawah
namun tidak terlalu angle yang tinggi.
Terakhir, adalah sudut pandang Bird Eye,
yaitu pengambilan gambar yang dilakukan dari
atas ketinggian tertentu, sehingga
memperlihatkan lingkungan yang sedemikian
luas dengan benda-benda lain yang tampak di
bawah sedemekian kecil. pengambilan gambar
biasanya menggunakan helikopter maupun dari
gedung-gedung tinggi. Posisi kamera hampir
tegak lurus ke bawah, dengan sudut pandang di
atas 45 derajat di atas menghadap ke bawah.
d. Komposisi
Komposisi merupakan pengaturan tatanan
dari elemen-elemen dalam sebuah foto.
Menciptakan keselarasan antara objek atau
subjek sebagai Point of Interest dengan
elemen-elemen lain yang mendukung dan
menguatkan objek tersebut. Mengatur
komposisi dalam menciptakan sebuah foto bisa
dilakukan dengan beberapa teknik,
diantaranya:
66
1) Rule of Third (1/3)
Rule of Third atau berarti 1/3
adalah perpaduan komposisi peletakan
objek dengan ruang yang ada di sekitar
objek tersebut. Menyelaraskan objek atau
subjek utama dengan lokasi dirinya berada.
Objek atau subjek utama biasanya hanya
memiliki ruang 1/3 dan total 3/3 ruang
yang ada.
2) Diagonal
Komposisi diagonal merupakan
komposisi dalam fotografi yang objek atau
subjeknya terletak dari sudut gambar
sehingga terlihat membentuk silang pada
gambar. Komposisi ini banyak digunakan
di dalam suatu gambar fotografi arsitektur.
3) Kurva
Kurva adalah komposisi yang objek
atau subjeknya berupa suatu gambar
berbentuk huruf letter “S” sehingga
membuat suatu gambar menjadi lebih
menarik.
67
4) Warna
Dalam makalah visual literasi yang
dikeluarkan oleh Pannafoto Institute
dengan mentor Edy Purnomo selaku
freelancer fotografer menjelaskan
menjelaskan bahwa warna masuk dalam
kajian tersebut. Warna merupakan simbol
maa suatu warna memiliki interpetasinya
sendiri yang juga mendukung dan
menguatkan simbol lain.
Daftar warna ini berada dalam
kebudayaan barat, dalam kebudayaan
berbeda, asosiasi warna pun berbeda.
Seperti di negara-negara asia jika warna
putih menyimbolkan kesucian, sementara
Meksiko menggunakan warna biru. Namun
pemaknaan warna-warna tersebut memiliki
dominasi di banyak negara.
Warna juga berfungsi sebagai
penanda dan budaya tergantung konteks
yang meyertai. Berikut daftar warna
sebagai penanda: hitam mengkilap
menunjukkan pakaian resmi, dan tingkatan
kelas, sementara hitam kusam
68
menunjukkan kesedihan atau kematian.
Biru: kesopanan, maskulin, dan kedamaian
batin. Hijau: lingkungan hidup, kesehatan,
dan kesuburan. Coklat: umi kenyamanan.
Kuning: kebahagiaan, sukses, intelek.
Jingga: sedih, penguasaan spiritual. Merah:
passion, vitalitas, kreatifitas, dan hangat.
Mengatur komposisi gambar, selain
bermanfaat sebagai pemanis tampilan foto,
juga berguna untuk memperkaya pesan
yang ingin disampaikan fotografer dalam
karyanya. Komposisi layaknya
penyempurnaan estetika sebuah foto, selain
foto menyampaikan pesan dan nilai
informasi, estetika sebagai pemanis dan
penguat elemen visual dari sebuah foto.
C. Fotografi Bencana
Fotografi bencana adalah bidang foto jurnalstik yang
penuh dengan tantangan. Foto jurnalis sering menghadapi
hambatan fisik dan emosional tetapi harus tetap tenang dalam
menagkap gambar. Tidak ada yang tahu kapan bencana akan
terjadi, tidak ada yang siap untuk itu, bahkan seorang
fotografer. Memotret foto bencana mungkin tidak cocok
untuk semua orang, tetapi foto-foto ini memiliki banyak
69
tujuan. Bagi sebagaian orang, mereka adalah pengingat akan
pengalaman yang tidak ingin mereka lalui lagi. Bagi yang
lain, foto bencana dapat digunakan untuk mendapatkan
dukungan dan bantuan bagi para korban dan penyintas.
Hal pertama yang perlu diingat ketika mengambil foto
bencana adalah kepekaan. Fotografer harus peka tentang
bagaimana foto dapat mempengaruhi seseorang, hindari
mengambil foto yang terlalu menggangu korban atau
merusak grafis. Penting juga untuk mengambil foto dengan
jujur karena cara terbaik untuk menyampaikan emosi dan
pesan yang ingin disampaikan. Ketika memotret bencana
gempa dan tsunami, selama gempa akan sulit bagi fotografer
mengambil foto saat bencana terjadi. Pilihan terbaik adalam
mengambil foto setelah bencana termasuk dampak bencana
bagi orang-orang. Hal terpenting yang harus diingat ketika
mengambil foto bencana adalah keamanan. Fotografer bisa
mendapatkan hasil yang sangat baik, tetapi jika itu berarti
mempertaruhkan hidup, itu tidak akan berarti apa-apa.
Peralatan yang dibutuhkan dalam merekam sebuah foto
bencana adalah kamera tetapi karena inilah fotografer perlu
membawa peralatan ekstra, khususnya yang akan menjaga
kamera dari air, debu bahkan api. Anda harus memiliki
sesuatu seperti pelindung tahan air dan tahan guncangan
untuk kamera. Kamera yang tahan air dan tahan guncangan
70
sehingga fotografer tidak perlu membawa benda besar seperti
peralatan pelindung. Ada DSLR yang tahan debu dan
lembab, jadi kamera akan aman bahkan ketika fotografer
perlu mengambil foto di tengah tanah longsor atau letusan
gunung berapi. jika fotografer memotret kebakaran hutan,
jangan menggunakan plastik apapun untuk melindungi
kamera karena panas akan melelehkan plastik tersebut. Cara
terbaik untuk melindungi kamera adalah dengan
membungkusnya dengan kain yang dilapisi alumunium foil
Jika fotografer mengambil foto letusan gunung berapi,
tanah longsor, angin topan atau kebakaran hutan, berhati-
hatilah setiap saat. Ambil foto dari jarak yang aman tetapi
pastikan bahwa sudut pandang fotografer berada di sudut
yang tepat. Lakukan hal yang sama saat mengambil foto
tanah longsor, banjir, atau longsoran salju. Jika anda ingin
mengambil foto orang-orang, terutama para korban dan
orang yang selamat, hasil bidikan menggunakan angle close
up karena paling baik menangkap emosi namun, pastikan
bahwa foto tidak terlalu dramatis karena fotografi bencana
seharusnya menangkap kenyataan bukan sesuatu yang tidak
di rekayasa. Penting untuk menjadi sensitif karena para
korban berurusan dihadapkan dengan kehilangan,
kehancuran, dan kesedihan.
71
Sebagai fotografer bencana, ada banyak hal yang bisa
terjadi seperti fasilitas yang tidak memadai pasca bencana.
Kelelahan fisik dan mental, gangguan psikologis hingga
ancaman keselamatan jiwa. Hal tersebut diperkuat oleh
pernyataa Beawiharta selaku fotografer Reuters saat mengisi
dialog fotografi kebencanaan dalam Journalis Literacy di
Kampus STIK-P Medan pada 9 Juli 2019.
Adalah hal memilukan ketika berdiri dihadapkan ratusan
jenazah dan orang-rang yang mencari anggota
keluarganya yang hilang dengan pandangan kosong.
Beban isi yang tak dapat saya tanggung, sehingga saya
sempat dibawa ke psikiater. Berhadapan dengan resiko
gangguan psikologi adalah konsekuensi yang penting
untuk dapat diatasi bagi fotografer kebencanaan,
sehingga memulihkan psikologi adalah hal yang wajib
dilakukan pasca penugasan.
Moralitas sebagai dasar kemanusiaan sangat
tergerak ketika momentum itu menjadi tanggung jawab
seorang pewarta foto untuk dapat menyampaikan
informasi kepada khalayak ramai. Metode utama yang
dilakukan saat di lokasi bencana adalah observasi,
eksekusi dan perangkuman materi. Dalam observasi, akan
menentukan bekal yang penting untuk dipersiapkan, baik
itu makanan, peralatan, terutama mental.
72
BAB III
GAMBARAN UMUM BUKU FOTO CIVILIZATION OF
LIGHT KARYABEDU SAINI dan ANUGERAH PEWARTA
FOTO INDONEIA (APFI)
A. Gambaran Umum Tentang Buku Civiliazation Of Light
Gempa dan tsunami secara jurnalisme adalah peristiwa
visual. Dalam panji visual, fotografi jurnalistik menjadi
kesaksian terdepan yang diusung segenap pewarta foto
kepada khalayak global seluas-luasnya. Sebentuk kesaksian
yang juga menjadi suara kemanusiaan dari lubuk sanubari
terdalam para pencipta imaji. Fotografi jurnalistik merupakan
medium utama yang paling dibutuhkan untuk mendapatkan
seeing is believing perihal peliputan bencana dalam berbagai
skalanya. Jika menilik spektrum jurnalisme dalam siklus
mata rantai sastra-cita, foto dan narasi maka momentum dari
peristiwa sedasyat tsunami Aceh 15 tahun silam, adalah porsi
yang menundukkan fotografi jurnalistik sebagai gerbang
menuju analisis-analisis kritis selanjutnya.
Hanya beberapa saat setelah gempa akbar episentrumnya
terletak di dekat pulau Simelue itu, beritanya telah
menggema ke segenap penjuru dunia. Namun sebelum
masyarakat dunia melihat atmosfir peristiwa yang tertangkap
secara visual, maka artikel ataupun esei seputar bencana yang
73
mengakibatkan tsunami maha dasyat itu tetap menyisakan
seberkas tanda tanya. Kehadiran fotografi jurnalistik menjadi
kesaksian yang sesungguhnya pada setiap peristiwa luar
biasa termasuk bencana alam dan juga tragedi yang
diakibatkan oleh manusia. Berita dan rupa-rupa artikel
menyajikan persepsi, namun fotografi jurnalistik dengan
gamblang mengungkapkan atmosfir peristiwa yang secara
hakiki menjadi pondasi jurnalisme.
Saat tahap jurnalisme bencana memasuki periode
penyintasan (survival) maka fotografi jurnalistik mengemban
tugas untuk terus menyalakan realita pada lensa mereka
sebagai harapan. Ketika masa darurat telah berlalu secara
waktu, maka tahapan rekonstuksi, rehabilitasi dan revitalisasi
menjadi elemen-elemen fotografi jurnalistik selanjutnya.
Jurnalisme, citra dan narasi, secara utuh harus mendorong
bagaimana suasana para penyintas menjadi inspirasi bagi
kehidupan. kehidupan yang dibaca sebagai peradaban. Pada
setiap lapis spektrumnya, fotografi senantiasa merupakan alat
utama untuk terus mengabarkan secara visual bagaimana
spirit kebersamaan mampu membangkitkan kota dan jiwa
dari keterpurukan tsunami.
Fotografi jurnalistik adalah bagian dari pencatatan visual
atas perjalanan perihal kehidupan dalam peradaban dunia.
Suatu siklus di mana bencana, derita dan kematian
74
merupakan bagian daripadanya. Karena sumber pencatatan
sejarah tsunami dan proses kebangkitannya sejak 15 tahun
silam telah ditorehkan melalui lensa Bedu Saini yang
membela pemberitaaan di atas segala-galanya. Maka kiranya
kita semakin mafhum, bahwa fotografi jurnalistik bukanlah
profesi yang rampung setelah shutter ditekan. Namun
bagaimana muatan para pencipta imaji itu disajikan dengan
penu dedikasi dan rasa tanggung jawa pada profesinya.
Atasnya, tak berlebihan jika memberi apresiasi kepada para
pembela visual kita, seperti Bedu dan para pionir fotografi
jurnalistik Indonesia, yang telah mengantarkan barometer
kehidupan pada peradaban cahaya.
Buku fotografi Civilization of Light, disertai cakram video
mini dokumentasi karya Eddy Hasby dan kawan-kawan
secara sukarela, bukanlah diterbitkan untuk merayakan
sebentuk momentum dalam pengertian verbal perihal
bencana dan tsunami sebagai artefak fana. Buku ini adalah
persembahan Galeri Foto Jurnalistik Antara yang dikuratori
Oscar Motuloh, bekerjasama dengan Solidaritas Fotografer
dan Para Profesional serta mitra institusi sejarah atas bencana
alam yang pernah terjadi di bumi sepanjang abad ini.
Hakekat dari kompilasi karya fotografi jurnalistik ini
sejatinya juga diarahkan pada kesungguhan para pejuang
negeri melawan lupa. Sekaligus untuk memetakan bencana
itu sendiri sebagai jalan keluar. Kita hidup di atas kepulauan
75
bernama cincin api di mana tragedi itu pasti akan terulang.
Tanpa pernah kita tahu kapan fotografer asal Indonesia, Bedu
Saini menjadi saksi mata terhadap sejarah saat peristiwa
dasyat tersebut sedang terjadi.
“Awal pertemuan dengan Oscar Motuloh saat ia
berkunjung ke Banda Aceh termasuk Eddy Hasby Kompas,
ternyata di luar dugaan saya mereka sangat mendukung
pembuatan buku Civilization of Light. Saat itu Oscar
Mutuloh menyarankan ke saya memotret ulang tempat
kejadian yang pernah saya motret saat tsunami dan kendala
saat itu hampir tidak ada, paling saat mencari tempat
memotret ulang di mana lokasinya sudah berbeda. Dalam
buku tersebut berceita tentang foto-foto tsunami di Aceh dan
semoga suata saat nanti bisa dijadikan sebagai saksi sejarah,
bahwa di aceh pernah terjadi tsunami pada 2004 silam,” Ujar
Bedu Saini.
Sebuah rumah kecil di Lambaro Skep, Kecamatan Kuta
Alam, Banda Aceh, Minggu pagi 26 Desember 2004. Bedu
saini tengah bersantai di dalam rumah sambil menonton
televisi bersama ibunya, Rawani (65), dua anaknya, Nisrina
alifa (6), dan Qatrun Nada (4). Sedangkan istrinya, Khalidah
(35), menggendong si bungsu, bayi laki-laki usia empat
bulan yang belum diberi nama. Semangatnya untuk memotret
itu pula yang membuatnya meninggalkan keluarga beberapa
76
saat setelah goncangan itu. Hampir pukul 08.00 pagi, tak
lama kemudian Bedu Saini memutuskan untuk pergi sambil
bergegas masuk ke rumah untuk mengambil kameranya,
Nikon D1000.
Gempa adalah keseharian warga Banda Aceh, namun
Bedu merasakan gempa pagi itu lebih besar dari biasanya.
Lelaki berprawakan kecil itu, meloncat keluar rumah sambil
menenteng kamera. Ibunya memintanya tetap di rumah,
Bedu bersikeras pergi. Sebuah dorongan yang bertahun-
tahun mengalir dalam nadinya mengalahkan semuanya:
dorongan untuk meliput, melihat dari dekat apa yang tengah
terjadi, dan mengabadikannya dalam kamera. Sepeda motor
dikebutnya ke arah pusat kota Banda Aceh di Simpang Lima.
Dan di sana, Bedu dibuat tersentak oleh ribuan orang yang
berlarian dikejar lidah air hitam bergulung-gulung. Suasana
panik dan mencekam.
Sepeda motor ditepikan. Bedu Saini segera beraksi
dengan kameranya. Dari arah Pasae Peuyanong, Bedu
memotret orang-orang berlarian, mobil-mobil terapung
dihanyut air hitam pekat, seorang lelaki yang membopong
anak kecil tak berbaju, dua pemuda yang mencoba menarik
lelaki tua yang terjebak dalam air, dan beberapa foto lain.
Dia terus memotret, tanpa jeda. Air yang terus medekat tak
menciutkan nyalinya. Bedu naik ke tempat yang lebih tinggi
77
untuk menghindari air. Nalurinya sebagai fotografer
melupakan segala resiko dan bahaya, termasuk sejenak
melupakan nasib keluarga yang ditinggalkan di rumah.
Hingga itu sudah lewat tengah hari. Bergegas dipacunya
sepeda motor pulang ke rumah. Jarak sekitar lima kilometer
terasa jauh. Jalanan dipenuhi orang dan air juga mulai
menggenang. Sepeda motor diparkirnya di pertokoan di
depan RS Zainoel Abidin. Lalu tas berisi kamera ditaruhnya
di lantai dua di dalam toko itu. Kemudian berjalan ke arah
Lembaro Skep. Sekitar 500 meter dari rumahnya dia terhenti.
Air membuncah di mana-mana. Bedu mencoba meerobos
genangan air itu. Namun, dia terperosok ke dalam lubang di
selokan dan tenggelam. Seseorang menariknya. Bedu tak
jera. Dia kembali berjuang menuju rumahnya.
“aku kehilangan dua anak, ibu, dan seluruh harta benda
akibat tsunami. Aku memang mendapat kepuasan batin
sebagai wartawan foto, namun sekaligus perasaan gagal
sebagai ayah dan anak,” kata Bedu Saini, 42 tahun, redaktur
foto Harian Serambi Indonesia.”
Dua puluh hari setelah tsunami yang merenggut dua
anaknya, sekaligus keceriannya. Siang itu Bedu kembali
berbahagia, kameranya kembali ditemukan leh tetangganya,
Chairul Amri. Dia seperti menemukan kembali separuh
jiwanya yang yang hilang. Bukan hanya kamera kamera itu
78
yang membuat Bedu Saini serasa menemukan kembali
jiwanya setelah kehilangan dua anaknya, tetapi 28 frame foto
yang sempat dibuatnya pada tragedi 26 Desember itu yang
berhasil diselamatkan bersama kembalinya kamera itu. Foto-
foto Bedu yang langka dan eksklusif itu segera diburu kantor
berita kantor berita asing, juga dipakai banyak media massa
di Indonesia.
Aceh sepuluh tahun setelah tsunami adalah kehidupan
yang baru. Datangnya perdamaian seiring dengan bencana itu
turut menjadi katalisator perubahan. Dari segi pembangunan
fisik, Aceh kini jauh berubah, bahkan lebih maju
dibandingkan sebelum tsunami yang melanda pada 2004.
Jalan mulus menyerupai tol membentang dari Banda Aceh
hingga Calang, Aceh Jaya, sepanjang 145 kilometer.
Sekalipun tak sebaik kualitas jalan Banda Aceh-Calang, jalan
Calan ke Kota Meulaboh sepanjang 120 kilometer relatif
mulus.
Rangkaian foto di dalam buku Civilization of Light
dikemas melalui pendekatan foto dokumenter dan cenderung
beraliran jurnalistik. Kumpulan foto di dalam buku ini
berjumlah 111 foto termasuk sampul buku. Buku ini
diterbitkan pada tanggal 25 Desember 2015 di Museum
Tsunami Aceh dan bertepatan dengan 11 tahun tsunami.
Acara yang dibuat oleh Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh
79
ini turut dihadiri Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin
dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Serta mantan
Gubernur Aceh Irwwandi Yusuf, anggota DPD RI Rafly
Kande, Kabid Humas Polda Aceh, Kapendam IM.
Buku foto Civilization of Light merupakan salah satu dari
sedikitnya buku literasi kebudayaan Aceh dalam bentuk
komunikasi visual di Indonesia, terlihat dari hampir semua
halaman berisi rangkaian foto . buku foto yang merekam
aktivitas dari tiga daerah di Aceh yakni, Banda Aceh, Aceh
Besar, dan Aceh Tengah, secara tidak langsung akan
menambah kekayaan pemikiran fotografi Indonesia. Proses
pengambilan foto-foto pada buku Civilization of Light
dimulai pada 26 Desember 2004 hingga 20 Desember 2014.
Secara teknis, buku ini begitu menarik dengan desain dan
tampilan yang sederhana. Pengantar kuratorial dari Osacar
Motuloh sebagai Kurator, berfungsi untuk mengetahui
tentang buku ini secara umum. Kemudian berikutnya masuk
ke bagian utama, foto-foto terjadi tanpa teks, hanya tanggal
dan lokasi pengambilan foto. Serta bagian akhir Postscript
yang terdapat CD mini-doku, keterangan cetak, ISBN buku.
Terdapat tulisan dari Ahmad Arif selaku wartawan Harian
Kompas dan tulisan suara dari sahabat.
Buku foto ini juga dikemas dalam ukuran A5, 15 cm X 21
cm, sehingga memudahkan pemirsa untuk membaca foto-
80
foto yang menggunakan pendekatan dokumenter. Buku ini
merupakan buku perdana Bedu Saini yang banyak juga
dipublikasikan dibeberapa acara fotografi yang saat ini sudah
menjadi daya tarik masyarakat fotografi di Indonesia, yang
umumnya masih baru dapat perhelatan fotografi dunia.
Indonesia banyak memiliki fotografer yang membukukan
karyanya dalam bentuk foto dokumenter, salah satunya buku
ini.
“Selama pengerjaan buku foto Civilization of Light tidak
ada kendala yang berarti, sebab semua dikerjakan bersama
dengan kawan-kawan fotografer di Jakarta yang
dikoodinasikan secara langsung oleh Oscar Motuloh dan
Eddy Hasbi,” Ungkap Bedu Saini melalui wawancaranya.
Secara umum, titik puncak seorang fotografer adalah
memiliki karya, dalam bentuk pameran ataupun buku sebagai
masterpiece yang mereka raih. Begitu pun dengan Bedu
Saini, sebagai seorang yang bergelut di dunia fotografi, buku
Civilization of Light ini merupakan buku perdana fotografer
yang bekerja untuk Harian Serambi Indonesia.
B. Profil Bedu Saini
Lelaki yang lahir di Sinabang, 10 Maret 1963, ini mulai
bekerja di Serambi Indonesia tahun 1990. Dia memulai
karirnya sebagai tukang sapu, yang dijalaninya selama tiga
81
tahun. Kemudian pindah ke bagian laboraturium foto, yang
waktu itu masih menggunakan film. Enam tahun berkutat
dengan proses cuci cetak foto, Bedu kemudian dipindah ke
bagian teknologi informasi (TI). Selama setahun dia bergulat
dengan masalah TI. Kemudian dia dipindah lagi ke bagian
penelitian dan pengembangan juga selama satu tahun,
sebelum akhirnnya, pada tahun 2002 resmi menjadi fotografer
Serambi Indonesia.
Bedu belajar secara otodidak semua keahliannya itu,
mulai dari memegang sapu hingga kemudian kamera digital.
Hidup lelaki yang tak menamatkan kuliahnya di salah satu
perguruan tinggi swasta di Banda Aceh ini memang penuh
perjuangan. Dia harus beruang keras untuk menghidupi
keluarga. Tetapi, lebih dari itu, dia sangat mencintai profesi
terakhirnya: wartawan foto.
C. Anugerah Pewarta Foto Indonesia
Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) telah
menyelenggarakan penganugerahan karya foto jurnalistik sejak
2010. APFI merupakanajang kompetisi sekaligus penghargaan
dari Pewarta Foto Indonesia untuk pewarta foto. APFI sebagai
ajang prestisius di dunia foto jurnalistik nasional, karena menjadi
wadah berkumpulnya karya-karya terbaik pewarta foto dari
seluruh Indonesia. Ribuan karya foto berlomba-lomba untuk
82
memenangkan dalam setiap kategori dan terpilih menjadi karya
terbaik tahunan (Photo of TheYear).
Selain itu, APFI juga memberikan penghargaan khusus
kepada tokoh yang memberikan andil besar dalam sejarah
perkembangan fotojurnalistik di Indonesia. Apresiasi foto
jurnalistik juga diberikan kepada masyarakat umum melalui
kategori foto warga. Penyelenggaraan APFI 2017
diselenggarakan di cagar budaya kawasan Kota Tua, Jakarta.
Tahun ini, penghargaan foto stori diberikan pada setiap kategori
dan menambahkan kategori multimedia.
Terdapat 11 kategori penghargaan yang diberikan pada
malam penghargaan APFI 2017. Pemenang APFI 2017 diberikan
kepada Jessica Helena Wusyang pewarta foto yang bekerja di
Antara Foto yang dinobatkan sebagai Photo of The Year. Selain
itu terdapat 10 penghargaan, antara lain:
1. Arts and Entertainment
Pemenang 1 : Maman Sukirman (Koran Sindo)
Pemenang 2 : Dedi Sinuhaji (European Pressphoto Agency)
Pemenang 3 : Wienda Parwitasari (thejakartapost.com)
Pemenang Foto Story : Agung Parameswara (Getty Image)
2. Daily Life
83
Pemenang 1 : Dhoni Setiawan (The Jakarta Post)
Pemenang 2 : Adhi Wicaksono (CNN Indonesia)
Pemenang 3 : Sahrul Manda Tikupandang (Antara Foto)
Pemenang Foto Story : Adhy Wicaksono (Antara Foto)
3. Nature Environment
Pemenang 1 : Edwin Agustyan (Kaltim Post)
Pemenang 2 : Iggoy El Fitra (Antara Foto)
Pemenang 3 : Agatha Capri (Xinhua)
Pemenang Foto Story : Nova Wahyudi (Antara Foto)
4. General News
Pemenang 1 : Bambang Ekoros Purnama (Bintang.com)
Pemenang 2 : Irsan Mulyadi (Antara Foto)
Pemenang 3 : Grandyos Zafna (detik.com)
Pemenang Foto Story : Resa Esnir (hukumonline.com)
5. People in The News
Pemenang 1 : Isra Triansyah (sindonews.com)
84
Pemenang 2 : Wisnu Widiantoro (Kompas)
Pememang 3 : Wihdan Hidayat (Republika)
Pemenang Foto Story : Ramdani (Media Indonesia)
6. Spot News
Pemenang 1 : Jessica elena Wusyang (Antara Foto)
Pemenang 2 : Veri Sanovri (Xinhua)
Pemenang 3 : Arie Basuki (merdeka.com)
Pemenang Foto Story : Aditia Noviansyah (Tempo)
7. Sport
Pemenang 1 : Kris Samiaji (Sumatera Ekspress)
Pemenang 2 : Rommy Pujianto (Media Indonesia)
Pemenang 3 : Wahyudin (Jawapos)
Pemenang Foto Story : Edi Ismail (Barcoft Media)
8. Citizen Journalist
Pemenang 1 : Muhammad Rifqi Riyanto
Pemenang 2 : Achmad Basarudin
85
Pemenang 3 : Mukhamad Faeis
9. Multimedia
Pemenang 1 : Clara Prima
Pemenang 2 : Kurniawan Mas‟ud
Pemenang 3 : Ramdani Roderick Adrian Mozen
Organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) menobatkan
Bedu Saini yang sekarang menjadi Redaktur Foto Harian
Bedu Saini sebagai “Fotografer Sebagai Masa” (Life Time
Achievement). Penghargaan tersebut diserahkan oleh Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Anak Agung Gusti
Ngurah Puspayoga pada malam anugerah PFI di Gedung Pos
Indonesia, Kota Tua, Jakarta, pada Jumat (21/4/2017).
Penghargaan ini diberikan karena Bedu Saini sudah berkarya
dalam dunia jurnalistik selama 25 tahun dan menjadi orang
pertama yang mendapat penghargaan ini selama organisasi
PFI hadir di Indonesia.
Organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) lahir di saat
euphoria reformasi 1998 menggelora di Indonesia. Sebuah
periode dramatis yang dimulai sejak 1997 akhirnya
menemukan momentum sejarah di bulan Mei 1998, saat
kekuasaan Orde Baru berakhir. Momen itu membawa
pengaruh besar terhadap kebebasan pers. Dideklarasikan
86
pada 22 Maret 1992 dengan nama Focus, dan atas prakarsa
pewarta foto media cetak di Jakarta pada 19 Desember 1998,
didirikan menjadi Pewarta Foto Indonesia.
PFI sebagai organisasi nirlaba, berdiri dengan tujuan
memajukan dan melindungi kepentingan pewarta foto
sebagai profesi yang terhormat. PFI dibentuk untuk
menyusun dan menegakkan standar etika dan profesi pewarta
foto, melakukan advokasi bagi anggotanya dan pewarta foto
pada umumnya, menjalin jaringan kerjasama internasional,
serta meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap profesi
dan karya pewarta foto melalui kegiatan pameran,
pendidikan, penerbitan, dan penghargaan.
Seperti halnya jurnalis, pewarta foto menghasilkan karya
jurnalistik dalam bentuk foto. Foto jurnalistik merupakan
produk atau karya visual dari jurnalisme yang memiliki nilai
berita atau pesan yang penting diketahui khalayak dan
disebarluaskan melalui media massa (Laba, Laba,
Rusmiwari, & Diahloka, 2013). Foto jurnalistik memiliki
sifat serupa seperti berita tulis yakni memuat unsur apa
(what), siapa (who), dimana (where), kapan (when), dan
mengapa (why), dengan kekuatan pada penyampaian tentang
bagaimana (how) yaitu: pembaca tidak perlu berandai-andai
tentang bagaimana kejadian berlangsung karena hal tersebut
jelas dalam foto, secara langsung foto jurnalistik
87
menciptakan persepsi kejadian, serta foto jurnalistik mampu
menimbulkan respon emosional lebih cepat daripada tulisan
(Novia, 2012).
Pewarta foto merekam berbagai obyek atau peristiwa
untuk disampaikan kembali kepada khalayak ramai. Oleh
karena itu, seorang pewarta foto perlu memiliki kompetensi
tertentu dalam mengungkapkan obyek foto sebagai fakta
yang kemudian diolah sebagai produk jurnalistik. Di
Indonesia, Pewarta Foto Indonesia menjadi wadah bagi
mereka yang berprofesi sebagai pewarta foto, baik yang
berstatus karyawan di media tertentu maupun freelance atau
dikenal juga dengan istilah stringer.
Pewarta Foto Indonesia menjelaskan bagaimana
organisasi profesi ini berawal. Sejarah pewarta foto
Indonesia dimulai ketika pewarta foto kantor berita Jepang,
Domei, Alex Mendur, dan adiknya Frans yang bekerja
sebagai fotografer koran Asia Raya, mengabadikan Soekarno
yang membacakan Proklamasi Kemerdekaan di Pegangsaan
Timur 56 pada pagi tanggal 17 Agustus 1945. Sejarawan
Asvi Warman Adam bahkan menggugah, seandainya
Mendur bersaudara tidak ada di Pegangsaan Timur 56 ketika
itu, maka boleh jadi Proklamasi diyakini tidak benar terjadi.
Sejarah Indonesia kemudian bergerak terus sampai
bergulirnya reformasi menandai berakhirnya kekuasaan Orde
88
Baru yang kemudian jadi tonggak lahirnya kebebasan pers di
Indonesia. Perusahaan pers tumbuh subur seiring hilangnya
pemberlakuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)
untuk mendirikan perusahaan pers. Seiring dengan itu lahir
banyak pewarta foto sejalan dengan meningkatnya kebutuhan
akan profesi tersebut. Proses transisi politik menuju era
reformasi dalam perjalanannya mengalami banyak turbulensi
dimana kebebasan pers belum sesuai dengan marwahnya dan
tindakan represif dialami insan pers terutama pewarta foto.
Oleh karenanya, dilandasi nafas yang sama untuk
membangun sistem perlindungan profesi yang kuat, maka
sejumlah pewarta foto kemudian menggagas dibentuknya
organisasi Pewarta Foto Indonesia
89
BAB IV
ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA
BEDU SAINI DALAM BUKU CIVILIZATION OF LIGHT
Bencana alam merupakan suatu kejadian yang tidak
direncanakan sebelumnya. Bencana tersebut menimbulkan
dampak yang tidak sedikit bagi kehidupan masyarakat sekitar.
Selain harta benda yang rusak ataupun hilang, tidak sedikit pula
korban jiwa yang berjatuhan. Berita tentang bencana alam pun
telah disiarkan oleh berbagai media baik cetak, elektronik
maupun online sesaat setelah bencana tersebut terjadi. Untuk
mendapatkan berita atau informasi yang akurat, wartawan harus
rela terjun langsung ke tempat terjadinya bencana alam. Berita
yang diberikan kepada masyarakat bukan hanya sekedar tulisan,
namun terdapat foto untuk mendukung berita atau informasi
tersebut.
Memasuki bab ini, peneliti akan mengalisis tiga foto
sebagai sampling data yang mewakilkan keseluruhan foto di
dalam buku foto Civilization Of Light. Peneliti memutuskan
hanya menganalisis tiga foto karena ingin fokus kepada foto-foto
yang bercerita mengenai dampak dari gempa dan tsunami Aceh.
Bencana alam merupakan keadaan yang mengerikan karena
bencana alam umumnya menimbulkan dampak yang sangat
besar. Seperti dampak terhadap lingkungan, terhadap
infrastruktur, dan terhadap kehidupan.
90
Peneliti akan menggunakan pendekatan semiotika konsep
Roland Barthes dalam menganalisis tiga foto terkait dampak dan
tsunami yang ada di dalam buku tersebut. Seperti apa yang telah
peneliti jabarkan pada bab dua, terdapat tiga tahap dalam konsep
semiotika Roland Barthes. Pertama, tahap Denotasi, peneliti akan
menjabarkan elemen yang terdapat di dalam foto. Kedua tahap
Konotasi, terdapat enam komponen, yang pembagiannya
menjelaskan secara rinci makna dalam suatu elemen gambar,
yakni Trick Effect (efek tiruan), pose atau gestur tubuh, objek,
Photogenia (teknik foto), Aestheticsm (komposisi), dan Sintaktis.
Dan yang ketiga adalah tahap Mitos.
Karena pendekatan semiotika konsep Roland Barthes
lebih relevan dalam memaknai dinamika sosial dan budaya. Oleh
karena itu, peneliti memahami bahwa tujuan dari analisis tentang
kebudayaan menggunakan konsep Roland Barthes ini, bukanlah
mencari suatu kebenaran atau mengatakan itu suatu kesalahan,
melainkan untuk menguji sejauh mana peneliti dapat memahami
dan menganalisis beberapa foto yang terkandung dalam buku
Civilization of Light.
91
A. Data Foto 1
B. Analisis Data Foto 1
1. Tahap Denotasi
Tahap denotasi adalah tahap pemaknaan pada lapisan
pertama. Pemaknaan dilakukan secara deskriptif dan literal
serta dapat dipahami oleh pembaca tanpa harus melakukan
penafsiran terlebih dahulu. Tahap ini dapat dilihat secara
jelas oleh mata. Dalam data foto pertama ini, didapati objek
(analogan) apa saja yang terdapat dalam foto tersebut, antara
lain sebagai berikut:
92
a. Tampak dua orang pria sedang membantu salah satu
korban tsunami. Pria paruh baya yang berada di tengah foto
terlihat sangat ketakutan karena terhanyut oleh gelombang
tsunami yang cukup deras.
b. Gelombang tsunami yang mulai naik ke jalan raya,
terlihat dari trotoar yang terdapat pada foto pertama. Trotoar
merupakan jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan
jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk
menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan.
c. Terdapat puing-puing kayu dan bangunan yang dapat
diartikan sebagai kehancuran akibat dampak dari gempa dan
tsunami.
Data foto 1 tercipta dengan pencahayaan normal yang
berasal dari samping objek gambar, sehingga posisi
fotografer menyampingi cahaya matahari. Dengan posisi
cahaya berada di samping, maka bagian depan objek akan
terlihat jelas. Dalam pencahayaan fotografi disebut Side
Light. Pencahayaan normal ini disebut menerpadukan antara
kecepatan rana, diafragma, dan ISO dalam unsur fotografi
dikenal dengan Triangle Photography di mana unsur ini
menjadi bagian paling mendasar dalam pembuatan foto.
93
2. Tahap Konotasi
Tahap konotasi adalah tahap dimana kita
menghubungkan petanda-petanda yang terdapat dalam foto
dengan aspek kebudayaan secara umum, sehingga tercipta
sebuah makna dari foto tersebut.
a. Trick Effect
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa trick effect
merupakan suatu upaya manipulasi gambar pada tingkat
yang berlebihan guna menyampaikan maksud si fotografer.
Dalam wilayah foto jurnalistik hal ini jelas merupakan hal
yang dilarang karena sama saja memanipulasi realitas.
Walaupun sebuah foto jurnalistik sebenarnya bukan berarti
100% atas realitas, artinya hasil foto adalah apa yang
menjadi pikiran seorang fotografer.
Data foto 1 tidak mengandung Trick Effect atau
mengubah keaslian foto. Dalam data foto 1 ini, fotografer
sama sekali tidak mengubah keaslian gambar tidak ada
gambar yang digabungkan ataupun dirubah. Secara warna
gambar juga tidak terlihat fotografer mengubah warna
gambar, karena jelas warna tersebut asli ketika seorang
melihat warna gambar ini tampak dengan jelas tidak ada
perubahan warna yang dilakukan karena rangkaian foto ini
merupakan foto jurnalistik di mana seorang fotografer tidak
94
dapat merubah gambar secara digital imaging, harus benar-
benar memperlihatkan keaslian gambar tersebut.
b. Pose
Pose yang dimaksud di dalam data foto 1 ini adalah
gestur dan sikap tubuh objek yang ada pada data foto 1 ini.
c. Objek
Bermacam-macam objek terdapat dalam foto 1 ini, antara
lain seperti terdapat tiga laki-laki yang sedang berada di
antara gelombang tsunami yang cukup deras. Terlihat trotoar
yang berarti gelombang tsunami mulai naik ke jalan raya dan
puing-puing reruntuhan yang ikut terbawa arus. penempatan
objek berada di samping tengah foto. Objek yang menjadi
Point of Interest (POI) adalah ketiga laki-laki, di mana saat
pertama kali pembaca melihat foto tersebut, mata kita akan
langsung tertuju kepada ketiga laki-laki.
d. Photogenia (Teknik Foto)
Terdapat beberapa teknik foto yang digunakan fotografer
ketika menjempret moment yang ada di dalam foto pertama
ini. Freeze digunakan fotografer dalam membuat foto ini,
terlihat semua objek seperti memiliki kesan membeku,
kecepatan rana dalam menangkap cahaya yang ada dalam
foto ini, membuat semua objek tidak ada yang bergerak.
95
Kemudian menggunakan angle atau sudut pandang eye level,
dimana lensa kamera sejajar dengan kepala dua laki-laki
yang sedang menyelamatkan seorang lelaki paruh baya yang
sedang terbawa arus tsunami. Secara pencahayaan,
lightmeter yang digunakan fotografer begitu normal
perpaduan dalam triangle fotografi.
Bukaan rana yang digunakan oleh fotografer adalah
bukaan luas karena tidak ada objek atau gambar lain yang
dibuat buram. Penulis melihat bahwa dengan menggunakan
teknik bukaan luas, fotografer ingin memperlihatkan
bagaimana
Fotogafer mengambil cahaya dari depan, mata fotografer
begitu tajam dalam pengambilan cahaya, karena beda arah
datangnya cahaya akan membuat makna objek foto berbeda.
Fotografer menggunakan kecepatan rana yang begitu tinggi
sehingga objek gambar tidak terlihat moving. Kepekaan
fotografer begitu baik dalam rasa, sehingga membuat makna
dalam data foto 1 ini begitu terasa.
e. Aestheticism (Komposisi)
Setelah diamati, komposisi dalam foto ini terlihat
menarik walaupun pada kenyataannya fotografer tidak
memikirkan komposisi karena sedang terburu-buru. Menurut
penulis, dalam foto ini dituntut keprofesionalan seorang
96
fotografer, apakah dia tetap ingin menyelamatkan diri sendiri
tanpa mengabadikan moment tersebut atau tetap mengambil
gambar untuk disampaikan kepada masyarakat apa yang
sedang terjadi pada saat itu dengan tidak mengabaikan
keselamatannya sendiri.
f. Syntax
Tanpa adanya caption pada foto 1 ini, pesan yang ingin
disampaikan oleh fotografer dapat diterima oleh masyarakat.
3. Mitos
Mitos merupakan salah satu kebudayaan yang telah
ada sejak masa lampau. Mitos dapat berkembang dari
bagaimana cara masyarakat menanggapinya. Terjadinya
bencana alam selalu dikaitkan dengan mitos yang telah ada
sebelumnya. Masih banyak masyarakat yang percaya
terhadap mitos walaupun belum diketahui benar atau
tidaknya. Dalam foto ini mitos yang dapat dikembangkan
adalah dahsyatnya kekuatan alam. Betapa tidak berdayanya
manusia ketika alam sudah menunjukkan kekuatan sejatinya.
Kekacauan hingga kematian bisa muncul di mana-mana,
dalam hal ini tidak ada satupun senjata manusia yang mampu
menandinginya.
Apapun mitos yang marak dibicarakan masyarakat
terkait dengan bencana yang terjadi, kehendak Tuhan tetap
97
yang paling menentukan. Apabila Tuhan sudah berkehendak,
tidak ada satupun manusia yang mampu menghindarinya.
Mungkin itu sebuah teguran dari Tuhan kepada manusia
yang kurang menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.
Bencana alam merupakan hal yang sangat tidak
diinginkan oleh siapapun begitu pula warga disekitar pantai
di Aceh. Mereka juga tidak menyangka bahwa bencana yang
terjadi pada tahun 2004 itu menimbulkan banyak korban
jiwa. Pada saat terjadi bencana, warga yang menjadi korban
dari amukan gelombang tsunami tersebut mungkin tidak bisa
menyelamatkan diri karena sedang berada dekat dengan
pantai.
98
C. Data Foto 2
D. Analisis Data Foto 2
1. Tahap denotasi
Pada data kedua, didapati objek (analogon) apa saja yang
terdapat dalam foto tersebut, antara lain sebagai berikut:
a. Pohon kelapa sebagai identitas masyarakat pesisir. Pohon
kelapa dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis serta
daerah yang dekat dengan garis khatulistiwa. Indonesia
adalah negara kepualauan yang termasuk dalam daerah
tropis, cocok sekali untuk tempat tumbuh kelapa. Laut yang
menghubungkan pulau-pulau di Indonesia juga sekaligus
99
menjadi alat untuk menyebarkan kelapa, itu sebabnya pohon
kelapa tumbuh di pantai-pantai Indonesia.
b. terlihat puing-puing bangunan pada foto kedua. Puing
menurut KBBI adalah peninggalan reruntuhan bangunan,
gedung, pesawat terbang, dan sebagainya. Bencana alam
menyisakan berbagai puing sisa bangunan, puing dapat
diartikan sebagai sebuah kehancuran.
c. Terlihat perempuan mengenakan jilbab biru menatap puing-
puing bangunan. Aceh sebagai daerah yang menerapkan
hukum Syariat Islam ditantandai dengan kewajiban
mengenakan jilbab bagi kaum perempuan. Jilbab berfungsi
sebagai bahasa yang menyampaikan pesan-pesan sosial dan
budaya. Tradisi berjilbab pada awal kemunculannya
merupakan penegasan dan pembentukan keberagamaan
seseorang. Dimulai pada abad ke 15 M pernah mendapat
gelar yang sangat terhormat dari umat islam nusantara, Aceh
dijuluki Serambi Mekkah. Sebuah gelar yang penuh nuansa
keagamaan, keimanan, dan ketaqwaaan.
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, trick effect
adalah sebuah proses manipulasi foto secara berlebihan yang
dilakukan oleh fotografer. Dalam foto ini, penulis tidak
100
menemukan adanya manipulasi foto yang dimaksud.
Memanipulasi foto terutama foto jurnalistik sama saja
dengan memanipulasi realita yang sebenarnya terjadi. Foto
jurnalistik adalah foto yang diambil berdasarkan realita yang
ada tanpa unsur editing yang berlebihan.
b. Pose
Sikap tubuh atau gesture yang ada di dalam data foto
kedua ini, terdapat seorang wanita paruh baya yang sedang
melihat ke arah reruntuhan bangunan dengan tatapan mata
yang kosong, seperti tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Posisi badannya yang menyamping dari kamera,
sehingga ekspresi wajahnya tidak terlihat jelas. Sedangkan
sikap yang ditunjukkan memperlihatkan sosok pendiam. Hal
itu terlihat dari sorotan mata yang mengarah ke puing
bangunan.
c. Objek
Keseluruhan elemen yang ada dalam satu bingkai foto
sebenarnya bisa dikatakan sebagai objek foto. Namun terkait
dengan objek dalam membaca foto disini, sebagaimana yang
penulis jabarkan dalam bab 2, objek dipahami sebagai satu
subjek utama (point of interest) dalam satu bingkai foto.
Point of interest dalam fotografi dipahami penulis
101
merupakan bagian yang paling menarik atau menonjol dalam
sebuah foto.
Fotografer menjadikan wanita paruh baya yang
menghadap kearah puing-puing bangunan menjadi sebagai
latar depan (foreground). Sedangkan latar belakangnya
(background) adalah reruntuhan bangunan seperti kayu, besi,
dan tembok serta pohon-pohon kelapa yang masih berdiri
kokoh. Terlihat sebelum terjadinya bencan agempa dan
tsunami, daerah tersebut merupakan perkampungan
penduduk.
d. Photogenia
Photogenia memperlihatkan bagaimana teknik
pengambilan foto yang dilakukan fotografer, seperti
pencahayaan (lighting), ketajaman foto (exposure),
keburaman (bluring), efek gerak (moving), efek beku
(freezing), efek kecepatan (panning), dan sudut pandang
(angle). Penulis dapat mengamati bahwa foto ini diambil
diluar ruangan dengan bantuan cahaya matahari dan
pengaturan pada kamera sehingga terlihat normal (normal
exposure). Tidak ada teknik yang menampilkan efek beku
(freezing), efek kecepatan (panning), dan efek gerak
(moving) dalam foto ini. Sedangkan untuk teknik keburaman
dipakai untuk latar belakang foto walaupun tidak terlalu
terlihat keburamannya.
102
Seperti pada foto kedua, pemilihan angle tersebut tidak
memiliki makna khusus. Eye level adalah sudut standar atau
normal. Pada sudut ini, kamera diletakkan sejajar dengan
objek. Efek yang ditimbulkan dari sudut pandang ini adalah
pandangan normal atau seperti kita melihat langsung ke
objek dengan mata kita. Foto yang diambil diluar ruangan
tersebut memperlihatkan teknik pencahayaan normal, namun
sedikit gelap karena fotografer ingin memberikan kesan
yang lebih mendalam.
e. Aestheticism (komposisi)
Seperti pada foto sebelumnya, komposisi yang dapat
diamati dalam foto II ini tidak terlalu sulit. Objek dalam foto
tersebut diletakan sebagai foreground (latar depan). Terdapat
istilah rule of third atau komposisi 1/3, yaitu objek berada
pada bagian sepertiga kanan atau kiri foto. Rule of Thirds
adalah sebuah teknik komposisi yang paling banyak
digunakan oleh fotografer. Dengan rule of third, pusat
perhatian ditempatkan pada setiap titik simpang garis yang
membagi gambar atau foto dari atas ke bawah dan dari kiri
ke kanan.
Pengambilan foto yang cenderung close up ini
memperlihatkan bahwa fotografer ingin menyampaikan
bagaimana perasaaan kehilangan yang dialami oleh wanita
paruh baya dengan terfokus pada latar belakang
103
(background) foto yaitu reruntuhan bangunan akibat
dahsyatnya gelombang tsunami. Komposisi yang terdapat
pada foto kedua ini, menempatkan objek di sebelah kanan
dalam keseluruhan porsi gambar.
Selain menjadi nilai estetisme, penempatan yang
digunakan fotografer dalam menambah komposisi ini. Setiap
foto portrait, biasanya banyak menggunakan komposisi atau
penempatan objek di tengah dalam porsi keseluruhan
gambar, tetapi kepekaan fotografer dalam merekam suatu
momen itu menjadi lebih bermakna dan berkarakter.
f. Syntax
Syntax merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam
penyajian suatu karya yang biasanya terdapat pada foto atau
teks. Namun dalam foto ini, peneliti tidak menemukan teks
pada data foto kedua, oleh karena itu peneliti lebih melihat
dari susunan elemen yang terdapat dalam foto ini. Dalam
data foto ini, pembaca diajak untuk melihat bahwa korban
bencana alam gempa dan tsunami di Aceh meninggalkan
luka mendalam bagi korbannya, terlihat dari ratapan wanita
paruh baya yang kosong melihat hamparan reruntuhan
bangunan. Sintaksis dalam foto dibangun dengan
penempatan objek sesuai dengan pesan yang akan
disampaikan oleh fotografer.
104
3. Mitos
Bencana alam merupakan hal yang sangat tidak
diinginkan oleh siapapun begitu pula warga disekitar pesisir
atau pantai Aceh. Mereka juga tidak menyangka bahwa
bencana yang terjadi pada tahun 2004 itu menimbulkan
banyak korban jiwa. Pada saat terjadi bencana, warga yang
menjadi korban dari amukan gelombang tsunami tersebut
mungkin tidak bisa menyelamatkan diri karena sedang
berada dekat dengan pesisir atau pantai.
Bencana kerap kali dikaitkan dengan aktivitas manusia
disekitarnya. Banyak yang mengatakan bahwa bencana alam
terjadi akibat pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan
manusia. Dengan demikian, manusia hendaknya merenungi
dan mengambil hikmah dari berbagai bencana alam yang
bertubi-tubi mengguncang negeri ini. Pada dasarnya, bencana
alam yang biasa terjadi, ataupun merupakan teguran atas
dosa-dosa manusia.
Bencana alam yang melanda berbagai tempat di muka
bumi ini mungkin saja memiliki makna untuk mengingatkan
manusia agar tidak lupa mensyukuri nikmat dan bermaksud
untuk membangunkan manusia dari tidur lelapnya. Mulai
dari kelalaian yang menenggelamkannya dalam kenikmatan
duniawi hingga keserakahannya mengambil keuntungan
dengan merusak sumber daya lain, sehinnga dapat memicu
105
reaksi alam yang sewaktu-waktu merespon perlakuan
manusia.DroeKeu Droe
C. Data Foto 3
106
D. Analisis Data Foto 3
1. Tahap Denotasi
Pada data foto ketiga, didapati objek (analogon)
apa saja yang terdapat dalam foto tersebut, antara lain
sebagai berikut:
a. Terlihat lima orang laki-laki sedang bersantai di dalam
Masjid Raya Baiturrahman. Salah satu unsur penting
dalam struktur masyarakat Islam adalah masjid. Selain
sebagai tempat ibadah masjid berfungsi sebagai kegiatan
ibadah sosial atau Muamalah, seperti penerimaan dan
penampungan. Dalam kondisi darurat, seperti terjadinya
bencana alam, masjid punya peran sosial sebagai tempat
perlindngan warga. Karena itu, masjid dibangun sekokoh
dan senyaman mungkin dengan kapasitas ruang memadai
dan sarana pendukung. Terbukti masjid menjadi tempat
mengungsi sementara warga saat terjadinya bencana.
b. Ornamen di dalam masjid mengalami kerusakan akibat
gempa. Ornamen masjid adalah sebuah elemen hiasan
atau dekorasi yang terdapat pada bangunan arsitektural
masjid, baik interior maupun eksterior masjid. Sementara
Masjid Raya Aceh Darussalam yang lebih dikenal dengan
nama Masid Raya Baiturrahman, sebagaimana diceritakan
dalam Bustan as-Salatin dan Hikayat Aceh, pada waktu
107
Perang Aceh sekitar 1873 M terbakar dan kemudian
diganti dengan bentuk masjid bergaya Timur Tengah.
Masjid-masjid kuno di Indonesia ditinjau dari
fungsi utamanya tetap sebagai tempat peribadatan umat
Islam. Sebagai salah satu aspek kebudayaan materian
yang mengandung nilai-nilai budaya spiritual atau
nonmaterial dari keagamaan Islam dengan ciri-ciri
arsitektur ditambah beberapa ragam hiasnya yang
merupakan tradisi sebelumnya serta mengandung makna
keagamaan atau kepercayaan pra-Islam.
2. Tahap Konotasi
a. Trick effect
Pada data foto ketiga juga tidak terdapat unsur
dalam memanipulasi gambar, terlihat dari kesempurnaan
cahaya dan tidak ada yang ganjal pada data foto 3. Data
foto 3 ini juga tidak mengandung trick effect karena ini
merupakan bagian dari foto jurnalistik, di mana fotografer
tidak diperkenankan untuk menambah, mengurangi,
mengganti apapun yang ada di dalam suatu foto.
Dalam retouching atau pengeditan foto, fotografer
hanya sekedar merapikan cahaya jika ada yang terlalu
gelap ataupun terlalu terang, fotografer juga dapat
melakukan cropping jika dibutuhkan.
108
b. Pose
Sikap tubuh atau gesture yang ada di dalam data foto 3
ini, terdapat lima orang laki-laki yang sedang duduk di dalam
masjid. Terlihat satu dari mereka sedang berbaring yang
menandakan istirahat dan empat lainnya sedang berbicara satu
sama lain.
c. Objek
Bermacam-macam objek terdapat dalam data foto ketiga,
terdapat lima orang laki-laki yang sedang duduk di dalam
masjid. Dalam foto juga terlihat bangunan masjid yang rusak
akibat gempa. Salah satu dampak gempa adalah rusaknya
sarana ibadah yang ada di masyarakat. Kerusakan pada
bangunan di foto tersebut termasuk kerusakan struktur, ciri
utamanya adanya keretakan dengan lebih lebih dari 2 mm dan
tembus pada sisi dinding lainnya.
d. Photogenia
Teknik dalam foto ini memperlihatkan bahwa fotografer
ingin memfokuskan dampak yang terjadi akibat gempa dan
tsunami. angle yang diambil pun tidak terlalu ekstrim, yaitu
eye level. Seperti pada foto ketiga, pemilihan angle tersebut
tidak memiliki makna khusus. Eye level adalah sudut standar
atau normal. Pada sudut ini, kamera diletakkan sejajar dengan
objek. Efek yang ditimbulkan dari sudut pandang ini adalah
109
pandangan normal atau seperti kita melihat langsung ke objek
dengan mata kita. Foto yang diambil diluar ruangan tersebut
memperlihatkan teknik pencahayaan normal, namun sedikit
gelap karena fotografer ingin memberikan kesan yang lebih
mendalam., yaitu kerusakan akibat gempa dan tsunami yang
merugikan manusia.
e. Aestheticism
Pengambilan foto yang cenderung long shot ini
memperlihatkan bahwa fotografer ingin menyampaikan
bagaimana kondisi masjid Baiturrahman yang mengalami
kerusakan yang cukup parah akibat dahsyatnya gelombang
tsunami. Kepekaan fotografer dalam merekam suatu momen
itu menjadi lebih bermakna dan berkarakter.
f. Syntax
Syntax merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam
penyajian suatu karya yang biasanya terdapat pada foto atau
teks. Namun dalam foto ini, peneliti tidak menemukan teks
pada data foto ketiga, oleh karena itu peneliti lebih melihat
dari susunan elemen yang terdapat dalam foto ini. Dalam
data foto ini, pembaca diajak untuk melihat bahwa bencana
alam gempa dan tsunami di Aceh meninggalkan dampak
tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada bangunan
yang digunakan manusia.
110
Jika dilihat dari beberapa aspek yang telah
disebutkan sebelumnya, pada foto ini terlihat bagaimana
dampak pasca terjadinya gempa dan tsunami yang telah
menimbulkan dampak berupa kerusakan bangunan.
Penulis mengamati bahwa fotografer ingin menyampaikan
mengenai bangunan yang tersisa dari bencana tersebut.
Kawasan pesisir pantai Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa,
Kota Banda Aceh, menjadi salah satu lokasi terparah di
mana masjid Baiturrahman berdiri. Tsunami menyampu
seluruh permukaan warga hingga rata dengan tanah,
padahal letajnya hanya terpaut 300m dari bibir pantai.
Empat dusun di wilayah itu hilang ditelan gelombang
dengan 6 ribu penduduk di dalam dan sekitarnya menjadi
korban.
3. Mitos
Dalam foto ketiga ini, mitos yang dikembangkan
adalah kuasa Tuhan dalam bencana alam. Di tengah porak
porandanya pusat ibu kota Aceh, Masjid Raya
Baiturrahman ikon kebanggaan masyarakat Aceh ini,
masih berdiri kokoh. Meski di sekelilingnya dipenuhi
lumpur dan puing-puing reruntuhan akibat hanyut dibawa
air. Masjid ini menjadi saksi bisu keganasan gelombang
tsunami menggulung bumi Serambi Mekkah.
111
Masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh
itu merupakan ikon Provinsi Aceh. Masjid ini merupakan
salah satu pusat pembelajaran Islam tempo dulu. Masjid
yang dibangun pada masa Kesultanan Iskandar Muda
tahun 1022 H/1612 M mempunyai sejarah panjang pada
masa penjajahan Belanda. Masjid Raya Baiturrahman
pernah dibakar oleh tentara Belanda pada bulan April
1873 M. Pimpinan pasukan tentara Belanda kala itu,
Mayjen Khohler, juga turut menjadi korban tewas. Untuk
meredam kemarahan warga Aceh, pertengahan tahun
1877 M, Belanda kembali membangun masjid Masjid
Raya Baiturrahman. Pada saat itu, Aceh berada di bawah
pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah Johan atau
Sultan Aceh yang terakhir.
Masjid Baiturrahman menarik perhatian karena
masih bisa berdiri tegak, sementara bangunan di
sekitarnya rata dengan tanah. Meski masih berdiri kokoh,
masjid ini sempat ditelan tsunami. Air masuk ke dalam
masjid hingga ketinggian 20 meter.
Mitos dapat diartikan sebagai unsur penting yang
membentuk sebuah ideologi atau pemahaman yang telah
tertanam dalam suatu masyarakat. Hal tersebut yang
menyebabkan mengapa mitos merupakan bagian penting
dari sebuah ideologi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
112
Kolektor Manuskrip Kuno, Tarmizi Abdul Hamid,
mengatakan kekokohan masjid Raya Baiturrahman,
merupakan bukti kebesaran Tuhan. Selain itu, kekokohan
masjid-masjid yang ada di Aceh tidak terlepas dari usaha
manusia dalam membangun masjid itu sendiri. Di Aceh
masid dibangun secara gotong royong oleh masyarakat
dengan niat ikhlas dan tulus.
Konstruksi bangunan masjid pada zaman dahulu
dikerjakan oleh Utoh (tukang) pada bidangnya masing-
masing. Setelah dirancang kemudian baru dikerjakan
bersama oleh masyarakat. Selain itu, adat istiadat
masyarakat Aceh, sebelum memulai pembangunan atau
saat peletakan batu pertama didahului dengan kenduri
(syukuran).
113
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil interpretasi dan penjelasan peneliti
tentang pemaknaan foto melalui pendekatan semiotika
konsep Roland Barthes, dimana pemaknaan tersebut
melalui tiga tahap yakni, tahap denotasi, tahap konotasi,
dan tahap mitos pada buku foto Civilization of Light karya
Bedu Saini. Oleh karena itu, peneliti dapat memberikan
kesimpulan terhadap penelitian sebagai berikut:
1. Tahap Denotasi
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan
terhadap ketiga foto yang merupakan bagian dari
rangkaian buku foto Civilization of Light ini
memberikan gambaran tentang upaya fotografer
dalam menyampaikan sebuah informasi mengenai
suatu bencana alam. Melalui foto-foto ini, terlihat
jelas bagaimana kondisi setelah terjadinya bencana
yang menimbulkan banyak korban jiwa tersebut.
Fotografer dalam penyampaian pesan atau
informasinya, tidak menggunakan manipulasi foto
yang mengakibatkan perubahan makna pada foto itu
114
sendiri. Foto-foto tersebut menunjukkan bagaimana
realita yang terjadi.
Dalam tahap ini juga dapat disimpulkan bahwa
fotografer ingin memberikan informasi kepada
masyarakat secara akurat tanpa adanya rekayasa dan
opini visual. Dengan gambaran mengenai kondisi
pada saat dan setelah terjadinya bencana tersebut,
fotografer menyampaikan pesan kepada masyarakat
bahwa bencana yang tidak terduga dapat
menimbulkan dampak yang sangat besar. Sehingga
masyarakat akan lebih waspada dalam menghadapi
bencana yang suatu saat akan terjadi kembali.
Tugas fotografer bencana tidak hanya merekam
dampak yang ditimbulkan dari sebuah bencana, tidak
sekedar menggugurkan tugas sebagai seorang jurnalis
foto untuk menyampaikan fakta kepada khalayak.
Lebih dari itu, tugas mulia seorang fotografer bencana
adalah untuk menumbuhkan empati kepada pembaca
yang melihat foto-toto tersebut. Fotografi dapat
digunakan sebagai media komunikasi dalam
masyarakat yang memiliki pengaruh besar terhadap
emosi seseorang.
Semenjak kehadirannya fotografi disebut sebagai
alat perekam dan penghadir ulang kenyataan yang
115
paling ampuh. Kepekaannya terhadap detail dan
ketepatannya akan waktu akan membuat kita, manusia
modern, megagungkannya sebagai bagian dari
kemajuan manusia dalam merekam sejarah umum
maupun diri kita sendiri. Kenyataan ini turut
menggiring kita kepada anggapan bahwa fotografi
merupakan media penghadir
2. Tahap Konotasi
Dalam tahap ini penulis menemukan makna-
makna konotasi yang terdapat pada ketiga foto
tersebut. Selain itu tahap ini juga memperlihatkan
bahwa foto dapat dipahami tidak hanya dengan
melihat fotonya saja tetapi terdapat cara-cara dalam
membaca foto agar pesan yang diterima sesuai dengan
apa yang ingin disampaikan oleh fotografer.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa makna
konotasi yang terdapat pada foto Civilizatin of Light
antara lain, mengenai bencana alam yang terjadi
menimbulkan dampak yang tidak hanya berupa materi
namun berdampak pula pada kehidupan yang dialami
para korban setelahnya. Makna selanjutnya
menunjukkan bahwa korban gempa dan tsunami
mengalami suatu kesedihan yang mendalam. Mereka
terlihat sudah tidak memiliki harapan untuk
116
melanjutkan hidup karena bencana alam telah
merenggut apa yang mereka miliki, seperti harta
benda bahkan sanak saudara. Beberapa makna yang
dapat penulis pahami menunjukkan bahwa bencana
alam tidak hanya menimbulkan dampak pada
kerusakan infrastruktur saja tetapi mental serta
psikologis para korban juga mengalami dampak cukup
besar terutama pada anak-anak. Lalu terdapat makna
bagaimana dampak pasca terjadinya gempa dan
tsunami yang telah menimbulkan dampak berupa
kerusakan bangunan. Penulis mengamati bahwa
fotografer ingin menyampaikan mengenai bangunan
yang tersisa dari bencana tersebut yaitu Masjid
Baiturrahman yang masih berdiri kokoh di antara
bangunan yang telah hancur.
3. Tahap Mitos
Bencana gempa dan tsunami di Aceh 2004
silam tidak terlepas dari mitos yang berkembang di
masyarakat. Mitos sudah menjadi kebudayaan
masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat
pedesaan. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat
sekitar pantai atau laut yang masih percaya pada
mitos. Mitos dibangun dari kepercayaan masyarakat
secara turun menurun. Pada buku foto Bedu Saini ini
117
menunjukkan bahwa sebuah bencana alam seperti
gempa dan tsunami yang terjadi di daerah Aceh dan
sekitarnya ini menimbulkan dampak yang tidak
sedikit. Kehilangan harta benda bahkan sanak saudara
dapat dialami oleh korban bencana alam. Dalam foto
ini juga memperlihatkan bagaimana kuasa Tuhan yang
menegur manusia dengan mendatangkan sebuah
bencana besar sebagai akibat dari ulah manusia itu
sendiri yang lalai akan perintah-Nya.
Pada foto pertama mitos yang dapat
dikembangkan adalah dahsyatnya kekuatan alam.
Berlokasi di Cincin Api Pasifik (wilayah dengan
banyak aktivitas tektonik), Indonesia harus terus
menghadapi resiko letusan gunung berapi, gempa
bumi, banjir dan tsunami. Bencana-bencana alam yang
mengerikan dan menyebabkan kematian ratusan ribu
manusia dan hewan, serta menghancurkan wilayah
daratannya (termasuk banyak infrastruktur sehingga
mengakibatkan kerugian ekonomi).
Foto kedua mengenai bencana alam yang
melanda berbagai tempat di muka bumi ini mungkin
saja memiliki makna untuk mengingatkan manusia
agar tidak lupa mensyukuri nikmat dan bermaksud
untuk membangunkan manusia dari tidur lelapnya.
118
Mulai dari kelalaian yang menenggelamkannya dalam
kenikmatan duniawi hingga keserakahannya
mengambil keuntungan dengan merusak sumber daya
lain, sehinnga dapat memicu reaksi alam yang
sewaktu-waktu merespon perlakuan manusia.
Dalam foto ke 3 ini, mitos yang dikembangkan
adalah kuasa Tuhan dalam bencana alam. Di tengah
porak porandanya pusat ibu kota Aceh, Masjid Raya
Baiturrahman ikon kebanggaan masyarakat Aceh ini,
masih berdiri kokoh. Meski di sekelilingnya dipenuhi
lumpur dan puing-puing reruntuhan akibat hanyut
dibawa air. Masjid ini menjadi saksi bisu keganasan
gelombang tsunami menggulung bumi Serambi
Mekkah.
Selain masjid Baiturrahman di Aceh,
fenomena masjid yang tetap berdiri kokoh meski
dihantam gempa dan tsunami terjadi juga di empat
masjid di daerah Palu dan Donggala. Yaitu masjid Ar
Raham, masjid Babul Jannah, masjid Al-Amin, dan
masjid Terapung
B. Saran
Wacana tentang seni fotografi khususnya, tidak
lagi hanya mendebatkan foto dari segi teknis bagaimana
foto itu dibuat, melainkan sudah harus bergerak pada
119
ranah filosofis. Sehingga budaya visual di Indonesia dapat
terus berjalan kearah perkembangan, dan bukan hanya
sekedar pengulangan. Oleh karena, ternyata ranah
fotografi dapat terintegrasi dengan banyak hal yang
berkaitan dengan fenomena budaya yang berkembang di
masyarakat, bekal wawasan budaya secara meluas dapat
membuat sebuah karya foto jurnalistik lebih
kayainformasi.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ada
beberapa hal yang dapat menjadi saran baik kepada
segenap akademisi Fakultas Ilmu Dakwah dan
Komunikasi, khususnya Program Studi Jurusan Jurnalistik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta bagi para peminat
fotografi khususnya yang menekuni foto jurnalistik, yaitu:
1. Melihat hasil analisis atas makna denotasi yang di
dapat dari keempat foto yang penulis teliti,
memberikan suatu referensi tentang tampilan foto-
foto mengenai sebuah bencana alam. Referensi
tampilan foto-foto tersebut menjadi acuan bagi
para fotografer khususnya pemula. Tampilan
tersebut dapat dilihat dari sisi komposisi yang
digunakan oleh fotografer.
2. Sedangkan dari hasil analisis atas makna konotasi
yang di dapat dari keempat foto yang diteliti, dapat
120
dijadikan sebuah kamus visual bagi para penikmat
fotografi, khususnya fotografi jurnalistik. Metode
Roland Barthes dalam membaca foto juga dapat
menjadi acuan seorang fotografer untuk
memahami bagaimana suatu kesan dapat
terbentuk, ketika menyampaikan suatu pesan
melalui foto.
3. Melihat dari hasil analisis pada makna mitos yang
terdapat pada kelima foto tersebut, secara umum
memuat fakta-fakta atas fenomena alam yang
terjadi dapat menjadi sebuah peringatan untuk
lebih waspada dalam menghadapinya. Kemudian
bagi para akademisi yang juga concern dalam seni
membaca sebuah foto, metode semiotika yang
dikemukakan oleh Barthes ini dapat pula menjadi
pegangan dalam mengembangkan paradigma
konstruktivis dan menggabungkannya dengan
fenomena yang terjadi pada masyarakat zaman
sekarang.
4. Selain yang telah disebutkan diatas, penulis juga
dapat menyimpulkan bahwa sebagai seorang
pewarta foto, Bedu Saini ingin memberikan
informasi kepada masyarakat tentang bagaimana
dampak dari bencana yang terjadi dengan
menampilkan foto-foto yang berisi realita tanpa
121
adanya proses editing yang berlebihan ataupun
opini visual. Ia ingin masyarakat benar-benar
melihat apa yang sebenarnya terjadi melalui foto-
foto tersebut.
122
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno G. 2002. Kisah Mata,
FotografiantaraDuasubjek: Perbincangantentang Ada.
Yogyakarta: Galang Press
Ajidarma, Seno G. 2015. JejakMata Pyongyang. Bandung: Mizan
Media Utama
Asa Berger, Arthur. 2010. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda
dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara
Wacana
Bachtiar, Ray. 2005. Ritual Fotografi, Chip Foto Video edisi
spesial
Barthes, Roland. 2010. Imaji, Musik, Teks. Yogyakarta: Jalasutra
Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. New
York: Mancester University Press
Birowo, Antonius M. 2004. Metode Penelitian Komunikasi: Teori
dan Aplikasi. Yogyakarta: Gitanyali
Budiman, Kris. 2011. Semotika Visual, Konsep, Isu, dan
Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra
Christomy, Tommy. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Universitas
Indonesia
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta:
Jalasutra
Darmawan, Ferry. 2009. Dunia dalam Bingkai dari Fotografi
Film hingga Fotografi Digital. Yogyakarta: Graha Ilmu
123
Freedy Susanto, Anthon. 2005. Semiotika Hukum dari
Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna. Bandung:
PT. Refika Aditama
Gani, Rita dan Ratri Rizki Kusuma lestari. 2013. Jurnalistik Foto
Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
H. Hoed, Benny. 2008.Semiotik dan DinamikaSosialBudaya.
Depok: KomunitasBambu
Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa,Konteks dan
Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik
Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University
Ida, Rachmah. 2014. Studi Media dan KajianBudaya. Jakarta:
Prenada Media Group
Ikawati, Yuni. 2005. Bencana Gempa dan Tsunami Nangroe
Aceh Darussalam dan Sumatra Utara. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas
Kusumaningrat, Hikmat. 2005. Jurnalistik, Teori, dan Praktik.
Bandung: Remaja Rosda Karya
Morissan. MetodePenelitianSurvei. 2014.Jakarta:
KencanaPrenada Media Group
Natawijayaa, Danny H. 2005. Bencana Gempa dan Tsunami
Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas
Noth, Winfried. 1990. Hand Book Of Semiotics. Indiana
University Press
124
Pawirodikromo, Widodo. 2012. Seismologi Teknik dan Rekayasa
Kegempaan. Jogja: Pustaka Pelajar
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Metode Penelitian Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosda Karya
Saini, Bedu. 2015. Civilization Of Light. Jakarta: Galeri Foto
Jurnalistik Antara
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Penerbit
Remaja Rosada
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk
Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Soedjono, Soeprapto. 2007. Pot-Pourri Fotografi. Jakarta:
Universitas Trisakti
Soelarko. 1978. Fotografi untuk Salon Foto dan Lomba Foto.
Bandung: PT Karya Nusantara
Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media da Pertarungan Wacana.
Yogyakarta: LKIS
Tim RedaksiKamus Bahasa Indonesia. 2008.Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Wijaya, Taufan. 2018. Literasi Visual, Manfaat dan Muslihat
Fotografi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wijaya, Taufan. 2011. Foto Jurnalistik. Klaten: CV Sahabat
Yunus, Syafrudin. 2010. Jurnalistik Terapan. Jakarta: PT Ghalia
Indonesia.
125
Referensi Lain:
Afif. “Foto gelombang tsunami menerjang Aceh karya Bedu
Saini dibukukan” Artikeldiakses pada 15 September 2018,
darihttp://merdeka.com/peristiwa/foto-gelombang-
tsunami-menerjang-aceh-karya-bedu-saini-
dibukukan.html
Nurdin, Nasir “Luar Biasa, Bedu Saini Jadi 'Fotografer Sepanjang
Masa”. Artikel diakses pada 28 Oktober 2018,
darihttps://aceh.tribunnews.com/2017/04/21/luar-biasa-
bedu-saini-jadi-fotografer-sepanjang-masa
Saputra, Aidil “Bedu Saini Luncurkan Buku Civilization of Light.
Artikel diakses pada 28 Oktober 2018, dari
https://www.kanalaceh.com/2015/12/27/bedu-saini-
luncurkan-buku-civilization-of-light/
126
LAMPIRAN
Naskah Wawancara 1
Nama : Bedu Saini
Tempat Tanggal Lahir : Sinabang, 10 Maret 1963
Alamat : Meunsah Manyang PA, Ingin
jaya, Aceh Besar
Pekerjaan : Fotografer
Keterangan : Wawancara untuk penelitian
Analisis Semiotika Terhadap Foto
Karya Bedu Saini Berjudul
Civilization Of Light Pada Ajang
Pameran Foto Jurnalistik
“Peradaban Cahaya Dan
Bencana” 2015
Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana latar belakang cerita dibuatnya buku foto
Civilization Of Light?
Jawab: awalnya ketemu dengan Oscar Motuloh di Banda
Aceh termasuk Eddy Hasby Kompas, ternyata diluar
dugaan saya mereka sangat mendukung pembuatan buku
tersebut.
2. Berapa lama proses pemotretannya dan apa saja
kendalanya?
127
Jawab : Saat itu Oscar Muruloh menyarankan ke saya
memotret ulang tempat kejadian yang pernah saya motret
saat tsunami dan kendala saat itu hampir tidak ada,
paling saat mencari tempat motret ulang di mana
lokasinya sudah berbeda.
3. Apa pesan yang ingin disampaikan melalui buku foto
tersebut?
Jawab: Dalam buku tersebut hanya berceita tentang foto-
foto tsunami di Aceh dan semoga suata saat nanti bisa
dijadikan sebagai saksi sejarah, bahwa di aceh pernah
terjadi tsunami 2004.
4. Apa saja kendala proses pembuatan buku foto Civilization
Of Light?
Jawab : kendala pembuatan buku itu sepertinya tidak ada
kendala sebab semua dikerjakan kawan-kawan fotografer
di Jakarta yang yang dikoordinasi oleah Oscar Motuloh
dan Eddy hasby.
5. Siapa saja yang mendorong anda untuk membukukan
foto-foto anda?
Jawab: Yang berperan dalam buku itu Ocar Mutuloh dan
Eddy hasby serta dibantu kawan-kawan fotografer di
Jakarta.
6. Saya membaca sebuah berita, bahwa foto-foto tsunami
Aceh anda telah dipublikasikan oleh beberapa media
128
internasional. Media apa sajakah yang menerbitkan foto-
foto anda?
Jawab : Saya lupa nama medianya, salah satunya Media
cetak Ashahi Simbun Jepang dan pernah juga di Majalah
Time.
7. Bagaimana pengalaman anda ketikakarya anda diapresiasi
di luar negeri?
Jawab : Kalau pengalaman biasa saja.
8. Apa buku foto yang anda buat ini sudah terkonsep
sebelumnya atau seperti apa ?
Jawab : Belum terkonsep sbelumnya tiba-tiba ketemu
Oscar Motuloh, beliau langsung merespon.
9. Mengapa buku foto anda berjudul “Civilization of Light”?
Jawab: Tanyakan saja sama Oscar Motuloh beliau yang
betul judul buku itu.
10. Kurator foto Civilization Of Light adalah Oscar Matuloh,
mengapa anda memilih Oscar Matuloh dan apa tanggapan
beliau terkait foto-foto anda?
Jawab : Bukan memilih beliau kebetulan ketemua di aceh
waktu itu dan saya beranikan diri bercerita tentang foto
tsunami, ternyata beliau langsung respon.
11. Untuk teknis pemotretan, jenis kamera dan lensa apa yang
anda gunakan?
Jawab: saya gak ada teknis untuk motret hanya secara
manual aja aja yang bisa ditangkap kamera.
129
12. Foto tsunami Aceh anda pernah dipamerkan dibeberapa
tempat, bagaimana proses pemilihan foto-foto tersebut?
Jawab : Proses sederhana aja apa yang bisa dipamerkan.
13. Apa harapan anda dengan terbitnya buku foto Civilization
of Light bagi perkembangan fotografi Indonesia?
Jawab : Harapan semoga para fotogarafer yang ada di
Indonesia tetaplah berkarya dan hargailah karya orang
laen sejelek apapun, karena itu karya dia sendiri.
Aceh, 10 Mei 2019
Bedu Saini.
*Wawancara dilakukan via Email
130
Lampiran
131