Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
ANALISIS PERCEPATAN TANAH MAKSIMUM MENGGUNAKAN METODE PROBABILISTIC SEISMIC HAZARD ANALYSIS (PSHA) DI
WILAYAH PROVINSI DKI JAKARTA
Nazaellya Tsabita Nurazisha, Ruhul Firdaus, S.T., M.T., Cahli Suhendi, S.Si., M.T.
Program Studi Teknik Geofisika, Institut Teknologi Sumatera e-mail : [email protected]
Abstrak. Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah dengan pengembangan lahan yang dinamis serta
memiliki risiko kebencanaan tingkat menengah. Pemetaan bahaya kegempaan dapat digunakan sebagai upaya mitigasi bencana serta komponen awal dalam membuat acuan perencanaan dan audit bangunan. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan nilai PGA serta percepatan spektra untuk Provinsi DKI Jakarta menggunakan metode Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data katalog gempa untuk periode 1900 - 2020 dengan radius 500 km dari koordinat
pusat 6.23°LS dan 106.83°BT, serta kedalaman maksimum 300 km yang diperoleh dari USGS dan BMKG.
Analisis percepatan tanah maksimum dilakukan dengan menggunakan software USGS PSHA untuk menentukan nilai PGA pada batuan dasar yang kemudian dikalikan dengan koefisien situs. Hasil analisis bahaya gempa menunjukkan nilai PGAM dan spektra percepatan di permukaan yang diperoleh bervariasi antara 0,45 - 0,59 g untuk PGA, 0,91 - 1,2 g untuk periode 0,2 detik, 0,48 - 0,73 g untuk periode 1 detik . Nilai PGA dan spektra percepatan di kota-kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur relatif lebih tinggi dibandingkan kota-kota lain karena lokasi tersebut lebih dekat dengan sumber gempa patahan dan subduksi, serta kondisi geologinya yang didominasi oleh klasifikasi situs tanah sedang (SD).
Kata Kunci: PSHA, Percepatan Tanah Maksimum, Spektra Percepatan, Vs30, Provinsi DKI Jakarta
Abstract. DKI Jakarta Province is an area with dynamic land development and has a considerable risk of
disaster. Seismic hazard mapping can be used as a disaster mitigation effort as well as an initial component in making planning references and building audits. This study aims to map the PGA value and acceleration spectra for DKI Jakarta using the Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) method. The data used in this study is the earthquake catalog data for the period 1900 - 2020 with a radius of 500 km
from central coordinates of 6.23°S and 106.83°E, and a maximum depth of 300 km obtained from the
USGS and BMKG. Analysis of the peak ground acceleration was performed using USGS PSHA software to determine the PGA value in the bedrock which was then multiplied by the site coefficient. The results of the earthquake hazard analysis shows that the PGAM values and acceleration spectra on the surface were obtained varies from 0.45 - 0.59 g for PGA, 0.91 - 1.2 g for a period of 0.2 seconds, 0.48 - 0.73 g for a period of 1 second. The PGA value and acceleration spectra in the cities of South Jakarta and East Jakarta are relatively higher compared to other cities because these locations are closer to the fault and subduction earthquake sources, also stiff soil (SD) dominates their geological conditions. Keywords: PSHA, Peak Ground Acceleration, Spectral Acceleration, Vs30, DKI JakartaProvince
PENDAHULUAN
Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah
dengan pengembangan lahan yang dinamis serta
memiliki risiko kebencanaan tingkat menengah. DKI
Jakarta memiliki populasi kepadatan penduduk yang
sangat tinggi, menurut Badan Pusat Statistik pada
tahun 2020 tercatat jumlah penduduk DKI Jakarta
mencapai 10.644.986 jiwa. Selain itu, Jakarta juga
memiliki berbagai sarana infrastruktur penting
sebagai fasilitas pendukung aktivitas masyarakat
yang rawan rusak akibat gempa.
Di sekitar DKI Jakarta terdapat 3 patahan besar
di antaranya yaitu patahan Cimandiri, patahan
Semangko, dan patahan Lembang (Gambar 1) [1].
Indonesia bagian selatan memiliki tingkat
seismisitas yang tinggi karena Indonesia berada
pada area tektonik yang sangat aktif terutama di
selatan Indonesia yang dipengaruhi oleh lempeng
Indo-Australia yang bergeser ke utara sehingga
2
bertabrakan dengan lempeng Eurasia. Adanya
interaksi antar lempeng tersebut menjadikan
Indonesia sebagai kawasan yang sangat rawan akan
gempa bumi [2].
Gambar 1. Zona Patahan Kerak Dangkal di Sekitar
DKI Jakarta [1].
Seperti gempa bumi yang melanda provinsi
Banten pada tanggal 2 Agustus 2019, dilansir dari
rilis pers BMKG tercatat gempa bumi tersebut
memiliki kekuatan 7,4 Mw yang kemudian
dimutakhirkan menjadi 6,9 Mw. Guncangan gempa
bumi tersebut dirasakan di wilayah DKI Jakarta
dengan skala III-IV MMI. Guncangan tersebut
menyebabkan ribuan orang di berbagai gedung
berlarian keluar untuk menyelamatkan diri dari
gempa bumi, terutama bagi mereka yang sedang
berada di tingkat atas gedung - gedung tinggi di
wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya [3].
Mitigasi bencana gempa bumi sangat
diperlukan sebagai upaya mengantisipasi risiko
bahaya yang disebabkan oleh bencana gempa bumi,
salah satunya dengan membuat peta bahaya
gempa. Peta bahaya gempa dapat dimanfaatkan
untuk merencanakan bangunan tahan gempa
berdasarkan penelitian gempa bumi seperti analisis
bahaya gempa [4]-[5].
Dalam analisis bahaya gempa, salah satu
metode yang biasa digunakan adalah metode
probabilistik (Probabilistic Seismic Hazard
Analysis/PSHA). Metode PSHA didasarkan oleh
suatu fungsi distribusi probabilitas total yang
mempertimbangkan pengaruh faktor-faktor
ketidakpastian dari magnitudo, waktu kejadian, dan
lokasi gempa bumi yang dikemukakan oleh Cornell
pada tahun 1968 [6]. Probabilistic Seismic Hazard
Analysis (PSHA) bertujuan untuk mengukur
ketidakpastian ini, dan menggabungkannya untuk
menghasilkan deskripsi aktual tentang distribusi
potensi guncangan di masa depan yang mungkin
terjadi di suatu lokasi serta dasar yang kredibel
untuk mengantisipasi risiko pada suatu area
pemukiman atau infrastruktur yang ada [7].
Berdasarkan NEHRP 1997 dan IBC 2000, peraturan
terbaru mengenai bangunan internasional untuk
bangunan tahan gempa sudah menggunakan peta
bahaya gempa dengan risiko terlampaui sebesar 2%
selama masa bangunan 50 tahun [8].
Penelitian terhadap analisis percepatan tanah
sebelumnya telah dilakukan oleh Tim Revisi Peta
Gempa 2010, namun peta PGA pada penelitian
tersebut masih belum tersedia untuk skala lokal di
Indonesia, serta peta PGAM dan percepatan spektral
di permukaan belum tersedia. Penelitian dengan
menggunakan metode PSHA ini diharapkan mampu
membantu menentukan tingkat bahaya bencana
gempa bumi sebagai upaya mitigasi bencana serta
sebagai komponen awal dalam membuat acuan
perencanaan struktur bangunan dan audit
bangunan gedung bertingkat khususnya di wilayah
Provinsi DKI Jakarta.
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Daerah penelitian berada di Pulau Jawa dan
termasuk dalam wilayah provinsi DKI Jakarta yang
terletak pada posisi antara 5°19'12"-6°23'54" LS dan
106°22'42" - 106°58'18" BT.
Pulau Jawa bagian barat terbagi atas 4 bagian
zona fisiografi, yaitu : Zona Dataran Pantai Jakarta,
Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan
Selatan Jawa Barat [9]. Daerah penelitian secara
regional terletak pada Zona Dataran Pantai Jakarta
berdasarkan pembagian zona fisiografi Jawa Barat
tersebut. Zona ini terletak di bagian paling utara
Jawa Barat dengan penampakkan bentang alam
yang memanjang barat- timur mulai dari ujung kota
Serang hingga kota Cirebon dengan lebar kurang
lebih mencapai 40 km.
Zona Dataran Pantai Jakarta umumnya
memiliki morfologi berupa dataran yang sebagian
besar ditutupi endapan aluvial yang
ditransportasikan oleh sungai- sungai yang melintasi
3
Jakarta dan bermuara di laut Jawa. Endapan lahar
dari Gunung yang berdekatan dengan Jakarta
seperti Gunung Pangrango yang menutupi sebagian
zona ini dalam bentuk volcanic alluvial fan (endapan
kipas aluvial) khususnya yang berbatasan dengan
Zona Jakarta-Bogor pada bagian Selatan Jakarta [9].
Struktur geologi yang terdapat di wilayah
Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya umumnya
berupa patahan/sesar yaitu patahan Cimandiri,
Patahan Semangko, dan Patahan Lembang [1].
METODOLOGI
Analisis bahaya kegempaan adalah suatu
analisis yang dilakukan di wilayah penelitian
tertentu yang bertujuan untuk menentukan batas
intensitas gempa berdasarkan nilai probabilitas
terlampaui dalam suatu periode tertentu. Hasil
analisis bahaya kegempaan berupa percepatan
tanah di batuan dasar (bedrock) maupun di
permukaan, spektra percepatan, serta time-
histories. Hasil analisis ini dapat dimanfaatkan
sebagai pembuatan peta bahaya gempa.
Pada penelitian ini metode yang digunakan
adalah metode Probabilistic Seismic Hazard Analysis
(PSHA). Metode PSHA adalah metode analisis
bahaya gempa probabilistik dengan
memperhitungkan dan menggabungkan faktor
ketidakpastian dari besaran magnitudo, lokasi, dan
waktu kejadian gempa [6]. Hasil analisis ini berupa
probabilitas parameter gempa pada tingkat
selesainya periode tertentu. Analisis PSHA
menguntungkan karena berbagai asumsi tentang
sumber gempa potensial dan keberulangan kejadian
gempa diintegrasikan menjadi satu [10].
Teori PSHA mengasumsikan magnitudo gempa
bumi M dan jarak R adalah variabel acak kontinu
dan independen [11]. Dalam bentuk umum, teori
probabilitas dapat dinyatakan dalam persamaan (1)
[7]:
Dimana P (IM > x | m,r) berasal dari model
ground motion, fM(m) merupakan fungsi distribusi
dari magnitudo, dan fR(r) merupakan fungsi
distribusi jarak, kemudian semua magnitudo dan
jarak yang dianggap diintegrasikan. Operasi
integrasi menambahkan probabilitas kondisional
pelampauan yang terkait dengan semua
kemungkinan magnitudo dan jarak. Persamaan (1)
adalah probabilitas terlampaui yang diberikan dari
gempa bumi.
1. Pemodelan Sumber Gempa
Pemodelan sumber gempa dilakukan
berdasarkan interpretasi terhadap kondisi
seismotektonik yang diketahui dari data geologi,
geofisika dan seismologi. Model sumber gempa
dapat diklasifikasikan dalam tiga (3) macam meliputi
:
a. Zona sumber gempa subduksi atau
megathrust
Zona gempa yang terdapat di dekat batas
pertemuan antar lempeng.
b. Zona sumber gempa patahan atau fault
Zona gempa akibat patahan dangkal yang
terjadi pada patahan yang sudah terdefinisi dengn
jelas lokasi, mekanisme, slip-rate, dip, dan
panjangnya.
c. Zona sumber gempa background
Zona gempa yang belum diketahui secara jelas.
Dibagi berdasarkan kedalamannya yaitu shallow
background (kedalaman kurang dari 50 km) dan
deep background (kedalaman 50 km hingga 300
km).
2. Karakterisasi Sumber Gempa
Parameter yang digunakan dalam analisis
bahaya gempa di antaranya adalah a-value, b-
value, slip-rate, magnitudo maksimum, mekanisme,
dimensi patahan dan lain-lain [12].
a. a-value dan b-value diperoleh dari
Guttenberg- Richter reccurence relationship.
Log 𝜆 = 𝑎 − 𝑏. (2)
Nilai 𝑎 menunjukkan keaktifan seismik yang
tergantung pada periode dan daerah tertentu.
Nilai 𝑏 menunjukkan gradien/kemiringan dari
persamaan linier hubungan frekuensi dan
magnitudo atau karakteristik kerentanan batuan.
b. Magnitudo maksimum dan slip-rate
Magnitudo maksimum adalah nilai magnitudo
gempa bumi terbesar yang pernah terjadi pada
4
suatu wilayah penelitian dan pada periode waktu
tertentu. Laju geser (slip-rate) merupakan salahsatu
parameter yang digunakan dalam analisis bahaya
kegempaan di suatu daerah, besar maupun
arahnya dapat ditentukan menggunakan metode
survei GPS.
3. Fungsi Atenuasi
Fungsi atenuasi merupakan suatu fungsi yang
menggambarkan hubungan antara parameter
pergerakan tanah (spektra percepatan),
magnitudo (M), dan jarak (R) dari suatu sumber titik
dalam daerah penelitian. Fungsi atenuasi
merupakan suatu fungsi khas yang diturunkan dari
data gempa pada suatu lokasi tertentu. Namun,
hingga saat ini belum ada fungsi atenuasi yang
dihasilkan dari catatan gempa di wilayah Indonesia.
Maka untuk penelitian seismic hazard kali ini,
digunakan fungsi atenuasi dari negara lain.
Penentuan fungsi atenuasi didasarkan pada
persamaan kondisi geologi dan tektonik dari wilayah
di mana fungsi atenuasi tersebut dibuat [12].
4. Logic Tree
Logic Tree merupakan suatu metode untuk
memperhitungkan atau membobotkan seluruh
ketidakpastian pada parameter yang digunakan
ketika melakukan perhitungan analisis bahaya
kegempaan dengan pendekatan probabilitas [12].
5. Kecepatan Gelombang Geser (Vs30)
Dari nilai kecepatan rata rata gelombang geser
sedalam 30 meter (Vs30) yang mewakili suatu lokasi
maka dapat diketahui kondisi tanah permukaan
yang menjadi dasar untuk menentukan klasifikasi
jenis tanah di lokasi penelitian. Dalam penelitian
tugas akhir ini klasifikasi jenis tanah akan mengacu
pada Peraturan Gempa Indonesia dalam SNI
1726:2019 [13].
Tabel 1. Klasifikasi Situs
Kelas Situs (m/detik) atau
(kPa)
SA (batuan keras) >1500 N/A N/A
SB (batuan) 750 sampai 1500
N/A N/A
SC (tanah keras,
sangat padat dan
batuan lunak)
350 sampai
750
>50
100
SD (tanah
sedang) 175 sampai
350
15 sampai
50
50 sampai
100
SE (tanah lunak) < 175 < 15 < 50
Atau setiap profil tanah yang
mengandung lebih dari 3 m tanah
dengan karateristik sebagai berikut
:
1. Indeks plastisitas, ,
2. Kadar air, ,
3. Kuat geser niralir, 𝑎
SF (tanah khusus,
yang
membutuhkan
investigasi
geoteknik spesifik
dan analisis
respons spesifik-
situs yang
mengikuti 0)
Setiap profil lapisan tanah yang
memiliki salah satu atau lebih dari
karakteristik berikut:
- Rawan dan berpotensi gagal atau
runtuh akibat beban gempa seperti
mudah likuifaksi, lempung sangat
sensitif, tanah tersementasi lemah
- Lempung sangat organik dan/atau
gambut (ketebalan H > 3 m)
6. Faktor Amplifikasi
Gelombang gempa yang menjalar dari batuan dasar
ke permukaan akan mengalami amplifikasi. Besar
nilai amplifikasi ini tergantung dari jenis atau sifat
fisik tanah itu sendiri. Sampai sekarang, umumnya
standar besar amplifikasi yang dipakai adalah nilai
kecepatan gelombang permukaan sampai
kedalaman 30 meter (Vs30).
7. Percepatan Tanah di Permukaan
Nilai percepatan tanah di permukaan dapat
diperoleh dengan cara mengalikan besar
percepataan tanah di batuan dasar yang telah
diperoleh sebelumnya menggunakan metode
probabilitas dengan faktor amplifikasi. Untuk
mendapatkan nilai Peak Surface Acceleration (PSA)
digunakan persamaan (3) :
PSA = FPGA x PGA (3)
dimana PSA adalah percepatan tanah maksimum di
permukaan (g), FPGA merupakan faktor amplifikasi
untuk PGA, PGA merupakan percepatan tanah
maksimum di batuan dasar (g). Sedangkan untuk
nilai percepatan di permukaan pada kondisi spektral
5
T=0,2 detik dan T=1 detik ditentukan dengan
perumusan (4) dan (5) sebagai berikut :
SMS = Fa x Ss (4)
dimana SMS adalah percepatan tanah maksimum
di permukaan pada T=0,2 detik (g), Fa merupakan
faktor amplifikasi T=0,2 detik, Ss merupakan
percepatan tanah maksimum di batuan dasar pada
T=0,2 detik (g).
SM1 = Fv x S1 (5)
dimana SM1 adalah percepatan tanah maksimum di
permukaan pada T=1 detik (g), Fv merupakan faktor
amplifikasi T=1 detik, S1 merupakan percepatan
tanah maksimum di batuan dasar pada T=1 detik
(g).
Analisis bahaya gempa untuk memberikan estimasi
kuantitatif dari guncangan gempa di wilayah
Provinsi DKI Jakarta pada topik penelitian ini
menggunakan data gempa dari katalog Badan
Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) dan
United States Geological Survey USGS pada tahun
1900 hingga tahun 2020. Data katalog BMKG
dibatasi untuk koordinat 1°45' - 10°47'5 LS dan 102°
15' - 111° 20' BT. Data katalog USGS memiliki
koordinat pusat pusat 6.23°LS dan 106.83°BT
dengan radius 500 km dan kedalaman maksimum
300 km. Selain itu data yang dibutuhkan yaitu data
kecepatan gelombang geser sampai dengan
kedalaman 30 meter (Vs30) di wilayah Provinsi DKI
Jakarta dari katalog USGS. Berikut merupakan
tahapan yang dilakukan untuk mensolusikan
permasalahan dalam penelitian tugas akhir ini :
a. Penyeragaman Skala Magnitudo
Pada penelitian ini megnitudo dikonversikan ke
dalammagnitudo momen (Mw) menggunakan
persamaan yng diajukan oleh Irsyam, M., .dkk [10].
Korelasi konversi ini dinilai cocok untuk wilayah
Indonesia sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 di
bawah ini :
Tabel 2. Korelasi Konversi Skala Magnitudo untuk
Wilayah Indonesia[10].
Korelasi Konversi Jumlah
Data (Events)
Range Data
Kesesuaian (R2)
M = 0.143M 2 – W S
1.051MS + 7.285 3.173
4.5 MS 8.6
93.9%
M = 0.114m 2 –
W b
0.556mb + 5.560 978
4.9 mb 8.2 72.0%
MW = 0.787ME + 1.537
154 5.2 ME 7.3
71.2% 2
mb = 0.125ML – 0.389ML + 3.513
722 3.0 ML 6.2
56.1%
ML = 0.717MD + 1.003
384 3.0 MD 5.8 29.1%
b. Declustering
Declustering merupakan proses pemisahan
antara gempa utama (mainshock) dan gempa
susulan (afterschock) dengan menggunakan kriteria
rentang waktu dan jarak. Pada penelitian tugas
akhir kali ini, kriteria yang digunakan dalam
declustering adalah kriteria dari Gardner & Knopoff
untuk mengeliminasi gempa susulan dari katalog
gempa. Proses declustering dilakukan menggunakan
software ZMAP, hasil yang diperoleh dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2. Hasil declustering data gempa.
c. Karakterisasi Sumber Gempa dan Fungsi
Atenuasi
Dalam analisis bahaya gempa dengan
pendekatan probabilistik, membutuhkan beberapa
parameter input seperti nilai a, b, magnitudo
maksimum, slip-rate, dan recurrence rate. Pada
wilayah penelitian, karakterisasi sumber gempa dan
fungsi atenuasi yang digunakan untuk analisis
bahaya gempa yang diajukan oleh penelitian
sebelumnya oleh Tim Revisi Peta Gempa 2010.
Kemudian antara fungsi atenuasi satu dengan fungsi
6
atenuasi lainnya dilakukan komparasi akurasi
menggunakan metode logic tree.
d. Analisis Bahaya Gempa
Penelitian analisis bahaya gempa pada topik
tugas akhir ini dilakukan menggunakan software
USGS Probabilistic Seismic Hazard Analysis (USGS
PSHA). Hasil akhir dari program tersebut berupa
nilai percepatan tanah di batuan dasar yang
menunjukkan nilai percepatan tanah maksimum
(PGA), respon spektra percepatan pada periode
pendek (T = 0,2 detik), dan respon spektra
percepatan pada periode panjang (T = 1 detik) di
batuan dasar untuk probabilitas terlampaui 2%
dalam 50 tahun.
e. Percepatan Tanah di Permukaan
Pada tahap ini dilakukan analisis dalam
penentuan klasifikasi jenis tanah di wilayah Provinsi
DKI Jakarta berdasarkan nilai kecepatan rata rata
gelombang geser sedalam 30 meter (Vs30).
Persebaran nilai Vs30 ditunjukkan oleh Gambar 3.
Gambar 3. Peta Persebaran Nilai Vs30
Setelah mendapatkan kelas situs atau jenis
tanah, kita akan mendapatkan nilai faktor
amplifikasi pada tiap site. Untuk mendapatkan nilai
percepatan tanah di permukaan, dilakukan dengan
cara mengalikan besar percepataan tanah di batuan
dasar yang telah diperoleh sebelumnya
menggunakan metode probabilitas dengan faktor
amplifikasi. Hasil akhirnya digunakan untuk
pembuatan peta percepatan maksimum tanah di
permukaan dan respon spektra percepatan di
permukaan untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, tiga jenis sumber gempa
yaitu sumber gempa background, sumber gempa
patahan (fault), dan sumber gempa subduksi
(megathrust) dikombinasikan untuk memperoleh
nilai perhitungan percepatan tanah maksimum
(peak ground acceleration) di batuan dasar untuk
periode ulang gempa 2.475 tahun.
a. Peta Percepatan Tanah Maksimum (PGA) di
Batuan Dasar
Hasil analisis bahaya gempa pada Gambar 4
menunjukkan nilai PGA di batuan dasar untuk
wilayah DKI Jakarta memiliki nilai antara 0,37 g
hingga 0,51 g. Semakin ke arah selatan pola
distribusi nilai PGA yang diperoleh akan semakin
besar, hal ini disebabkan karena letaknya yang
semakin dekat dengan sumber gempa patahan
(fault) dan subduksi (megathrust). Jika dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Tim Revisi Peta Gempa 2010, nilai PGA yang
diperoleh mengalami peningkatan. Pada
penelitian tersebut untuk wilayah DKI Jakarta
memiliki nilai PGA berkisar antara 0,30 g hingga 0,45
g. Peningkatan nilai tersebut terjadi karenapada
penelitian ini digunakan data event gempa terbaru
hingga tahun 2020 yang memungkinkan munculnya
event-event gempa baru dengan magnitudo yang
lebih tinggi.
Gambar 4. Peta Percepatan Tanah di Batuan Dasar pada
Kondisi PGA untuk Probabilitas Terlampaui 2% dalam 50
Tahun.
7
b. Peta Percepatan Tanah di Batuan Dasar
pada Kondisi Spektra T=0,2 detik
Selanjutnya ditunjukkan oleh Gambar 5,
diperoleh peta spektra percepatan tanah di batuan
dasar pada periode pendek (T = 0,2 detik). Pada
spektra percepatan, periode yang dihasilkan oleh
gempa yang semakin jauh akan terlihat. Gambar 5.2
menunjukkan peta percepatan tanah di batuan
dasar pada kondisi spektra T = 0,2 detik untuk
wilayah DKI Jakarta memiliki nilai antara 0,74 g
hingga 1,0 g. Dibandingkan nilai PGA, nilai
percepatan tanah pada kondisi spektra T=0,2 detik
memiliki nilai lebih tinggi. Jika dibandingkan
dengan hasil penelitian Tim Revisi Peta Gempa 2010
hasil yang diperoleh mengalami sedikit peningkatan
nilai, pada penelitian tersebut diperoleh nilai
berkisar antara 0,7 g hingga 0,9 g. Pola distribusi
nilai percepatan tanah pada kondisi spektra T=0,2
detik semakin ke arah selatan akan semakin besar
sebagaimana pola distribusi nilai percepatan tanah
pada kondisi PGA.
Gambar 5. Peta Percepatan Tanah di Batuan Dasar Pada
Kondisi Spektra T = 0,2 detik untuk Probabilitas
Terlampaui 2% dalam 50 Tahun.
c. Peta Percepatan Tanah di Batuan Dasar
pada Kondisi Spektra T=1 detik
Selain peta percepatan spektra pada periode
pendek, pada penelitian ini juga diperoleh peta
spektra percepatan tanah di batuan dasar pada
periode panjang (T = 1 detik). Peta percepatan
tanah di batuan dasar pada kondisi spektra T = 1
untuk wilayah DKI Jakarta diperoleh nilai 0,32 g
hingga 0,37g. Jika dibandingkan dengan penelitian
yang telah dilakukan oleh Tim Revisi Peta Gempa
2010 hasil yang diperoleh tidak terlalu signifikan.
Gambar 6. Peta Percepatan Tanah di Batuan Dasar Pada
Kondisi Spektra T = 1 detik untuk Probabilitas Terlampaui
2% dalam 50 Tahun.
d. Peta Percepatan Tanah Maksimum di
Permukaan (PGAM)
Peta percepatan tanah maksimum di
permukaan (PGAM) yang telah disesuaikan dengan
efek klasifikasi situs untuk wilayah DKI Jakarta
ditunjukkan pada Gambar 7. Nilai PGAM untuk
wilayah DKI Jakarta bervariasi antara 0,45 hingga
0,59 g. Di wilayah kota Jakarta Selatan dan Jakarta
Timur nilai PGAM yang diperoleh relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan kota lainnya. Kondisi ini
terkait dengan lokasi yang relatif lebih dekat
dengan sumber gempa patahan (fault) dan subduksi
(megathrust) serta kondisi geologi yang didominasi
oleh tanah sedang (SD). Perbandingan nilai antara
PGAM dengan PGA menunjukkan nilai faktor
ampilifikasi sekitar 1,21.
8
Gambar 7. Peta Percepatan Tanah di Permukaan (PGAM)
untuk Probabilitas Terlampaui 2% dalam 50 Tahun.
e. Peta Percepatan Tanah di Permukaan pada
Kondisi Spektra T=0,2 detik
Peta percepatan tanah di permukaan pada
kondisi spektra T =0,2 detik yang telah disesuaikan
dengan efek klasifikasi situs untuk wilayah DKI
Jakarta ditunjukkan pada Gambar 8. Nilai spektra
percepatan pada periode T=0,2 detik untuk wilayah
DKI Jakarta bervariasi antara 0,91 g hingga 1,2 g. Di
wilayah kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur nilai
spektra percepatan yang diperoleh relatif lebih
tinggi, sedangkan di kota Jakarta Utara nilai spektra
percepatan relatif lebih rendah. Dari hasil spektra
percepatan yang diperoleh di permukaan jika
dibandingkan dengan nilai spektra percepatan di
batuan dasar, menunjukkan nilai faktor amplifikasi
sekitar 1,24.
Gambar 8. Peta Percepatan Tanah di Permukaan Pada
Kondisi Spektra T = 0,2 detik untuk Probabilitas
Terlampaui 2% dalam 50 Tahun.
f. Peta Percepatan Tanah di Permukaan pada
Kondisi Spektra T=1 detik
Gambar 9 menunjukkan peta percepatan tanah
di permukaan pada kondisi spektra T =1 detik yang
telah disesuaikan dengan efek klasifikasi situs untuk
wilayah DKI Jakarta. Nilai spektra percepatan pada
periode T=1 detik untuk wilayah DKI Jakarta
bervariasi antara 0,48 g hingga 0,73 g. Di wilayah
kota Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan
dan Jakarta Timur nilai spektra percepatan yang
diperoleh relatif lebih tinggi, sedangkan di kota
Jakarta Utara nilai spektra percepatan relatif lebih
rendah. Dari hasil spektra percepatan yang
diperoleh di permukaan jika dibandingkan dengan
nilai spektra percepatan di batuan dasar,
menunjukkan nilai faktor amplifikasi sekitar 1,70.
Amplifikasi tanah umumnya lebih besar pada
periode yang lebih lama daripada pada periode
yang lebih pendek. Periode getaran alami situs (1D)
akan muncul dengan karakter periode panjang.
Sedangkan jika gempa merambat di lokasi dengan
ketebalan yang cukup, frekuensi yang lebih tinggi
(periode yang lebih pendek) akan tersaring.
Frekuensi gempa akan lebih mendekati periode
getaran alami lokasi dan amplifikasi tanah akan
lebih besar
Gambar 9. Peta Percepatan Tanah di Permukaan Pada
Kondisi Spektra T = 1 detik untuk Probabilitas Terlampaui
2% dalam 50 Tahun.
9
KESIMPULAN
Hasil analisis bahaya gempa menunjukkan nilai
PGA dan spektra percepatan di batuan dasar
dengan probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun
untuk wilayah DKI Jakarta memiliki nilai antara
0,37 g – 0,51 g untuk PGA, 0.74 g – 1,0 g untuk
periode pendek T = 0,2 detik, 0,32 g – 0,37 g untuk
periode panjang T = 1 detik. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, jika dibandingkan dengan Peta
Gempa 2017 menunjukkan peningkatan nilai.
Peningkatan nilai tersebut terjadi karena pada
penelitian ini digunakan data event gempa terbaru
hingga tahun 2020 yang memungkinkan munculnya
event-event gempa baru dengan magnitudo yang
lebih tinggi
Nilai percepatan tanah maksimum dan spektra
percepatan di permukaan (PGAM) dengan
probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun untuk
wilayah DKI Jakarta memiliki nilai antara 0,45 g –
0,59 g untuk PGA, 0.91 g – 1,2 g untuk periode
pendek T = 0,2 detik, 0,48 g – 0,73 g untuk periode
panjang T = 1 detik. Peta percepatan tanah
maksimum di permukaan (PGAM) telah
disesuaikan dengan efek klasifikasi situs untuk
wilayah DKI Jakarta. Kota Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur memiliki nilai PGA dan spektra
percepatan relatif lebih tinggi dibandingkan kota
lainnya dikarenakan lokasi tersebut lebih dekat
dengan sumber gempa patahan dan subduksi serta
kondisi geologinya yang didominasi oleh jenis tanah
sedang (SD).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
kedua orang tua penulis yang selalu mendukung
serta memotivasi. Tidak lupa penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing serta dosen penguji penulis, bapak
Ruhul Firdaus, S.T., M.T., bapak Cahli Suhendi, S.Si.,
M.T., bapak Erlangga Ibrahim Fattah, M.Si., M.T.,
dan bapak Andri Yadi Paembonan, S.Si., M.Sc yang
telah meluangkan waktu serta memberikan ilmunya
untuk penulis sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
[1] I. W. Sengara et al., “Laporan Akhir
Pendayagunaan Peta Mikrozonasi Gempa di DKI
Jakarta,” 2010.
[2] J. Milsom et al., “The Manokwari Trough
and The Western End of The New Guinea Trench,”
Tectonics, vol. 11, no. 1, pp. 145– 153, 1992.
[3] Bidang Seismologi Teknik, “Ulasan
Guncangan Tanah Akibat Gempabumi 02 Agustus
2019 Jam 19:03:25 WIB,” 2019.
[4] J. Nugraha, G. Pasau, B. Sunardi, and S.
Widiyantoro, “Analisis Hazard Gempa dan
Isoseismal untuk Wilayah Jawa-Bali-NTB,” Meteorol.
dan Geofis., vol. 15, no. 1, pp. 1–11, 2014.
[5] S. A. Kumala, D. N. Huda, and M. C. Irawan,
“Analisis PGA (Peak Ground Acceleration)
Berdasarkan Data Gempa untuk Wilayah Jakarta
Timur Menggunakan Software PSHA,” Inersia, vol.
XII, no. 1, pp. 37–43, 2016.
[6] C. A. Cornell, “Engineering Seismic Risk
Analysis,” vol. 58, no. 5, pp. 1583–1606, 1968.
[7] J. W. Baker, “Introduction To Probabilistic
Seismic Hazard Analysis,” Introd. to probabilistic
Seism. hazard Anal., 2013.
[8] I. Imran and B. Boediono, “Mengapa
Gedung-gedung Kita Runtuh Saat Gempa?,” 2010.
[9] R. W. Van Bemmelen, The Geology of
Indonesia: General Geology of Indonesia and
Adjacent Archipelagoes, vol. I A, no.
1. The Hague: Government Printing Office,
1949.
[10] Tim Pusat Studi Gempa Nasional, Peta
Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, 2017
[11] A. Susilo and Z. Adnan, “Probabilistic
Seismic Hazard Analysis of East Java Region,
Indonesia,” Int. J. Comput. Electr. Eng., vol. 5, no. 3,
pp. 341–344, 2013.
[12] B. Sunardi, “Peta Deagregasi Hazard Gempa
Wilayah Jawa dan Rekomendasi Ground Motion di
Empat Daerah,” Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 2013.
10
[13] SNI 1726:2019, Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan
Gedung dan Non Gedung. Jakarta: BSN, 2019