Upload
luthfie-wahyu-widodo
View
53
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
analisa usaha tani
Citation preview
BAB VI
ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI
Keragaan usahatani pada penelitian ini dijelaskan secara deskriptif.
Penjelasan keragaan usahatani meliputi penggunaan input dan cara budidaya padi
dengan metode SRI organik yang dibandingkan dengan pertanian konvensional.
Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam memahami perbedaan dari
kedua metode tersebut.
6.1. Penggunaan Input
6.1.1. Lahan
Lahan yang digunakan dalam budidaya padi SRI organik memiliki luas
kurang lebih 2000 m2 atau penduduk sekitar sering mengistilahkannya dengan
satu iring. Satu iring setara dengan 130 ubin, dengan luas per ubinnya 12 cm x 14
cm. Harga sewa yang ditetapkan per iringnya yaitu Rp 1.700.000 pertahun dan
dibayarkan pada musim tanam pertama. Untuk pajak lahan sawah dibedakan atas
letak sawah tersebut. Apabila letak sawah berada dekat dengan jalan utama atau
saluran irigasi, maka pajak lahan sawah semakin besar dan sebaliknya bila lahan
sawah berada jauh dari jalan utama atau saluran irigasi maka pembayaran pajak
akan semakin kecil. Pembayaran pajak dilakukan pada akhir tahun saat musim
tanam pertama.
6.1.2. Bibit
Bibit yang digunakan oleh petani SRI organik Desa Ringgit merupakan
bibit yang dibuat sendiri baik oleh anggota maupun ketua kelompok tani, yang
nantinya ketua kelompok tani akan membagikan bibit tersebut kepada petani
anggota lain yang tidak mampu membuat bibitnya sendiri. Varietas bibit yang
ditanam yaitu Sintanur, Pandan Wangi, atau Janur. Varietas Janur merupakan
persilangan antara Sintanur dan Jasmin yang disilangkan oleh ketua kelompok
Pemuda Tani Lestari (PTL). Varietas Janur digunakan oleh sebagian besar petani
SRI organik, karena varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada metode SRI.
Jumlah bibit yang digunakan dalam metode SRI organik untuk luasan lahan satu
45
iring yaitu 1-2 kg. Penggunaan jumlah bibit sebenarnya hanya 7-8 ons, kelebihan
bibit digunakan untuk penyulaman tanaman.
Untuk pertanian konvensional, varietas bibit yang digunakan yaitu IR 64,
Janur, Ciherang, Pandan Wangi, dan Sintanur. Kebutuhan bibit pada pertanian
konvensional per iringnya yaitu 5-7 kg. Perbedaan jumlah penggunaan bibit
dikarenakan oleh jarak tanam dan jumlah bibit per lubang tanam dalam kegiatan
penanaman yang dijelaskan di sub bab budidaya. Penggunaan bibit pada pertanian
konvensional berasal dari produsen bibit dengan harga beli Rp 8000-Rp 9000 per
kilogram. Bibit yang dijual berada pada kemasan lima kiloan dengan harga Rp
40.000-Rp 45.000 berdasarkan varietas bibit.
6.1.3. Pupuk
Penggunaan pupuk pada pertanian SRI organik yaitu dengan pupuk
kandang yang dibuat oleh petani kelompok PTL. Pupuk kandang yang dibuat
berasal dari kotoran sapi. Ada pula petani yang menggunakan kotoran hewan lain
seperti ayam, kambing, serta burung sebagai pupuk kandangnya. Untuk pupuk
kandang yang berasal dari kotoran sapi memiliki nilai jual seharga Rp 6.000 per
kg, Rp 8.889 per kg untuk kotoran ayam, dan untuk kotoran kambing Rp 10.000
per kg. Pupuk kandang diberikan setelah lahan dibajak pertama kali (di luku). Ciri
kompos yang siap untuk digunakan adalah berwarna kehitaman dan remah seperti
tanah. Banyaknya kompos yang dibutuhkan tanaman tergantung kesuburan tanah,
kondisi agroklimat, dan jenis tanaman.
Pupuk yang digunakan untuk pertanian konvensional merupakan pupuk
kimia berupa urea, ponskha, SP 36, dan Za. Pengaplikasian pupuk dengan cara
mencampur beberapa jenis pupuk yang digunakan kemudian di sebar pada saat
tanaman sudah mencapai usia 10-15 hari setelah tanaman di watun. Hal tersebut
dilakukan agar pupuk yang disebar di sekitar tanaman mampu diserap dengan
sempurna. Meskipun pada kenyataannya pupuk yang disebar akan menguap,
mengalir bersama aliran air, dan mengendap yang pada akhirnya akan membuat
tanah menjadi keras dan sulit diolah karena tekstur pupuk kimia rapat dan tidak
bercelah. Adapun jumlah penggunaan pupuk yang diaplikasikan dapat dilihat pada
Tabel 13.
46
Tabel 43. Penggunaan Input Pupuk Rata-Rata 1 Ha Pada Pertanian
Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit Musim Tanam II
Tahun 2011
No. Jenis pupuk Harga Satuan
(Rp/kg)
Penggunaan Pupuk (kg)
Petani
Konvensional
Petani SRI
Organik
1. Urea 1.600 214,83
Ponskha 2.300 156,50
SP 36 2.200 109,17
Za 1.200 40,83
2. Kotoran Ayam 120 3.662,5
Kotoran Sapi 177,78 5.593,05
Kotoran Kambing 200 2.733,33
6.1.4. Pestisida
Dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani
organik tidak boleh menggunakan pestisida. Hal ini dikarenakan dapat
berpengaruh terhadap kualitas beras organik yang dihasilkan. Oleh karena itu,
untuk pengendalian hama dan penyakitnya dilakukan dengan beberapa macam
cara misalnya penyemprotan mol, penambahan pupuk kandang, mengurangi atau
menambah volume air genangan, serta menghadirkan musuh alami. Mol
merupakan salah satu bentuk pestisida nabati yang terbuat dari beberapa jenis
tanaman dengan kegunaannya masing-masing. Rata-rata takaran perbandingan
antara mol dan air yaitu 1 : 2, dengan jumlah mol sebanyak lima liter dan air
sepuluh liter. Hal ini disebabkan karena mol berupa cairan yang tidak begitu
pekat.
Berbeda dengan SRI organik, petani konvensional melakukan
pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan pestisida. Pestisida yang
digunakan oleh petani konvensional memiliki beragam merek dagang seperti
Spontan, Fastac, dan Score. Petani biasanya melakukan penyemprotan pestisida
bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun pada beberapa
petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama
sebagai tindakan pencegahan. Takaran penggunaan pestisida umumnya 20 30 ml
dalam satu tangki sprayer volume 14 L. Penggunaan takaran pestisida yang sedikit
disebabkan oleh bentuk pestisida yang berupa cairan pekat.
47
6.1.5. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki
pengaruh besar terhadap biaya usahatani. Oleh karena itu, dalam penggunaannya
petani harus memperhitungkannya. Tenaga kerja yang digunakan petani berasal
dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK).
TKDK dan TKLK memiliki porsi yang sama dalam jumlah jam kerja per harinya
yaitu delapan jam.
Pemberian upah bagi TKLK terbagi menjadi dua, yaitu borongan dan
perorangan. Pemberian upah secara borongan biasanya dilakukan pada saat
kegiatan membajak sawah, penanaman, serta pemanenan. Untuk tenaga kerja
perorangan, perhitungan pemberian upah diberikan per dua jam kerja (1
HKW/HKP = 2 jam kerja) sebanyak Rp 7.000 untuk wanita dan Rp 8.000 untuk
pria. Dengan demikian, dalam satu hari terdapat delapan jam kerja (1 HOK = 8
jam kerja) dengan upah sebesar Rp 28.000 untuk wanita dan Rp 32.000 untuk
pria.
Penggunaan tenaga kerja pada metode konvensional dan SRI organik tidak
terlalu berbeda kuantitasnya. Hanya saja dari segi kualitas bekerja, tenaga kerja
SRI organik lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat dari segi upah yang diberikan
dan perbedaan metode yang dilakukan. Misalnya pada kegiatan pembajakan dan
penanaman. Kegiatan membajak pada lahan konvensional cukup berat karena
lahan keras dan sulit untuk diolah, sehingga membutuhkan tenaga yang cukup
besar. Pada lahan SRI organik, karena selama budidaya menggunakan pupuk
kandang maka saat dibajak lahan tidak terlalu keras dan mudah untuk diolah. Oleh
sebab itu, dengan penetapan upah borongan pada kegiatan membajak Rp 100.000
per iring, pembajak sawah SRI organik lebih untung karena dengan lahan yang
mudah diolah dapat menghemat waktu dan tenaga, sehingga pembajak sawah
dapat membajak sawah petani lainnya. Untuk penggunaan TKDK dan TKLK
dalam metode konvensional dan SRI organik dapat dilihat pada Tabel 14.
48
Tabel 14. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Keluarga Metode
Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit pada MT II
No. Jenis Tenaga Kerja Penggunaan Tenaga Kerja
Petani Konvensional Petani SRI Organik
1. Dalam Keluarga :
Pria 12,84 HKP 24,73 HKP
Wanita 7,5 HKW 13,57 HKW
2. Luar Keluarga :
Pria 36,86 HKP 35,66 HKP
Wanita 40,33 HKW 31,78 HKW
Total 457,25 HOK 420,29 HOK
Berdasarkan Tabel 14. dapat diketahui bahwa rata-rata penggunaan TKDK
lebih banyak pada petani SRI organik, sedangkan rata-rata penggunaan TKLK
lebih banyak digunakan pada pertanian konvensional. Hal tersebut dapat
disebabkan karena pertanian SRI organik pada dasarnya membutuhkan banyak
tenaga kerja untuk kegiatan pemupukan dan penyiangan. Kegiatan pemupukan
membutuhkan banyak tenaga kerja atau waktu karena pupuk kandang yang
dibutuhkan cukup banyak, serta pengangkutan pupuk dari tempat pupuk dibuat
dan dibawa ke lahan cukup jauh. Dengan demikian, petani lebih memilih
menggunakan tenaga kerja keluarga untuk membantu kegiatan pemupukan.
6.1.6. Peralatan Pertanian
Alat pertanian yang digunakan dalam membudidayakan tanaman padi baik
secara konvensional maupun SRI organik sebagian besar sama, yaitu cangkul,
traktor, arit, sprayer, gathak atau penggaris untuk menggaris lahan saat kegiatan
penanaman pada metode SRI organik, tambang, serta karung untuk menempatkan
gabah yang sudah dirontokkan. Metode perhitungan penyusutan alat pertanian
menggunakan metode garis lurus. Nilai penyusutan dihitung dalam komponen
biaya diperhitungkan.
6.2. Teknik Budidaya
6.2.1. Pengolahan Tanah
Persiapan lahan untuk bertani dimulai dengan mengolah lahan sebelum
tanam menggunakan traktor. Traktor yang digunakan umumnya merupakan
traktor milik kelompok, meskipun sebenarnya setiap petani memiliki traktor
49
masing-masing. Hal ini dikarenakan penggunaan traktor sudah termasuk tenaga
kerja khusus untuk membajak sawah SRI organik. Biaya yang dikenakan untuk
membajak sawah hingga selesai yaitu Rp 100.000 per iring (2000 m2).
Pembajakan dengan traktor untuk sepetak lahan seluas 2000 m2 dapat diselesaikan
setengah hari (2HKP = 4 jam kerja).
Pembajakan lahan dilakukan dalam dua langkah, yaitu di luku kemudian di
garu. Perbedaan antara ngeluku dan ngegaru yaitu terletak pada model alat yang
digunakan pada traktor yang dipasang di bagian depan. Pada saat ngeluku, pupuk
organik disebar sebanyak kurang lebih 30-40 karung dengan berat per karungnya
50 kg. Setelah sawah selesai dibajak, tanah diratakan dan di bagian pinggir dan
tengah tiap petakan sawah dibuat parit untuk memudahkan pengaturan air serta
mencegah tanaman terserang hama keong.
Untuk pertanian konvensional, kegiatan membajak sawah dilakukan
dengan cara yang sama. Perbedaannya adalah pertanian konvensional memberikan
pupuk pada saat tanaman sudah ditanam. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa
perilaku usahatani pada umumnya lebih tertuju pada cara memupuk tanaman,
bukan cara memupuk tanah agar tanah menjadi subur, sehingga dapat
menyediakan sekaligus memberikan banyak nutrisi pada tanaman.
6.2.2. Persiapan Benih
Benih yang dibutuhkan untuk persemaian adalah 1-2 kg per iring.
Sebenarnya pada saat proses penanaman benih yang dibutuhkan hanya 7-8 ons.
Akan tetapi, kelebihan benih yang ada digunakan untuk kegiatan penyulaman
tanaman yang mati karena tertiup angin, terinjak, atau dimakan oleh keong. Hal
ini dikarenakan benih yang dipindah dari lahan persemaian ke lahan sawah masih
sangat muda (7-14 hari) dan belum kokoh, sehingga sangat rentan terhadap
kondisi lingkungan.
Penggunaan bibit muda dalam metode SRI membantu tanaman dalam
mempermudah menyerap makanan, sehingga mampu menghasilkan banyak
anakan. Pada metode konvensional, bibit relatif tua saat ditanam, yakni sekitar 25-
30 hari. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa bibit tua akan menghasilkan
tanaman yang tahan terhadap hama dan mudah dalam pencabutan bibit.
Kenyataannya, penggunaan bibit berumur tua berakibat pada produksi jumlah
50
anakan padi yang tidak maksimal. Selain itu, umumnya pertumbuhan tanaman
mengalami keterlambatan. Karena pada saat pemindahan tanaman, terjadi kondisi
stagnasi dan adaptasi sehingga daya jelajah akar dalam mencari makanan terbatas.
Dalam menyeleksi benih yang akan disemai, petani SRI organik
menggunakan metode larutan garam. Benih yang mengapung adalah benih yang
kurang baik kualitasnya, sedangkan benih yang tenggelam adalah benih yang
baik. Benih-benih yang baik kemudian diambil dan dicuci untuk menghilangkan
larutan garam yang menempel pada benih. Setelah benih berkualitas baik telah
dicuci, benih harus diperam dulu selama satu hari satu malam. Ini dilakukan agar
benih tumbuh seragam. Setelah diperam, akan terlihat adanya bintik pada lembaga
atau embrio benih (tetapi belum tumbuh akar) yang merupakan tanda benih yang
baik dan siap disemai. Tempat untuk menyemai benih ada yang dilakukan di
sawah persemaian atau di besek.
6.2.3. Penanaman
Bibit siap dipindahkan ke lahan setelah mencapai umur 10 - 14 hari setelah
semai. Bibit yang akan di tanam dalam keadaan utuh (akar tidak putus) dan
rentang waktu antara pencabutan dan penanaman tidak terlalu lama (maksimal 30
menit) agar bibit tidak stres. Kondisi air pada saat tanam adalah macak-macak
yaitu kondisi tanah yang basah tetapi bukan tergenang. Bibit yang ditanam setiap
lubangnya berisi satu benih dan ditanam dangkal, yaitu pada kedalaman 2-3 cm
dengan bentuk perakaran horizontal (seperti huruf L). Jarak tanam yang
digunakan bervariasi, yaitu 25x25 cm dan 30x30 cm. Pembuatan jarak tanam
menggunakan penggaris yang dibuat oleh petani (Gambar 2.).
Perlakuan terhadap benih yang ingin ditanam pada pertanian konvensional
yaitu (a) daun di potong karena benih yang digunakan sudah tua, (b) batang diikat
untuk memudahkan pembagian saat tanam, (c) benih dilempar, (d) benih ditanam
banyak, (e) benih ditanam dalam dan akhirnya di petakan sawah direndam.
Penanaman dengan metode konvensional menggunakan gathak. Gathak
merupakan alat tanam terbuat dari kayu dengan sepanjang kayu tersebut diberi
lengkungan kecil. Jarak antar lengkungan disesuaikan dengan jarak tanam yang
biasa digunakan untuk menanam padi konvensional yaitu 15 cm x 15 cm dan 20
cm x 20 cm. Pada Lampiran 1. terdapat gambar kegiatan menanam padi dengan
51
metode konvensional. Dari gambar tersebut dapat terlihat di pinggiran sawah
terdapat tambang yang digunakan untuk memastikan bahwa jarak penanaman
tetap rapih, sebab panjang gathak hanya setengah dari panjang sawah pada
umumnya.
Penanaman jarak tanam yang lebar yaitu 25 cm x 25 cm sampai 30 cm x
30 cm dalam prinsip SRI mendorong pertumbuhan akar secara optimal serta
memaksimalkan sinar matahari yang cukup secara optimal. Namun kebiasaan
yang dilakukan oleh petani konvensional dalam menanam padi biasanya
menggunakan jarak tanam yang rapat, yaitu 20 cm x 20 cm atau bahkan 15 cm x
15 cm. Kebiasaan ini didasarkan oleh bermacam-macam alasan diantaranya
adalah kepemilikan lahan yang sempit.
Penggunaan jarak tanam yang sempit, petani berpikiran akan
menghasilkan padi lebih banyak karena jumlah tanamannya lebih banyak. Namun
di dalam prakteknya, harapan yang dijadikan alasan oleh petani tersebut seringkali
berbeda, karena jarak tanam yang rapat menyebabkan tanaman lembab dan gelap
sehingga akan disenangi hama seperti wereng dan tikus. Di samping itu, tanaman
yang lembab sangat berpotensi terhadap berkembangnya jamur. Penanaman
dengan bibit yang banyak dalam satu lubang pula akan mengakibatkan tanaman
tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan terjadi persaingan dalam
memperebutkan makanan dan kekurangan sinar yang diperlukan bagi tanaman.
6.2.4. Pemupukan Setelah Tanam
Terdapat perlakuan yang berbeda dalam kegiatan pemupukan setelah
tanam pada kedua metode ini. Untuk metode SRI organik, pupuk yang digunakan
setelah benih ditanam yaitu dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL).
Mol digunakan sebagai katalisator dalam pembuatan pupuk organik cair. Mol
berfungsi dalam membantu pertumbuhan tanaman dan kesehatan ekosistem, serta
dapat melarutkan unsur hara makro dan mikro tanah. Pada metode SRI, petani
diharuskan untuk membuat mol sendiri. Hal ini dilakukan agar petani dapat lebih
mandiri dan mampu memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan sekitar.
Untuk petani SRI di Desa Ringgit, tidak semua petani mampu membuat mol, tapi
mol dibuat oleh kepala kelompok tani yang nantinya dibagi-bagikan kepada
seluruh anggota kelompok.
52
Gambar 4. Jenis-Jenis Mol yang Digunakan Petani Padi SRI Organik di Desa
Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Sumber : Pak Wuryanto (anggota kelompok Pemuda Tani Lestari)
Pengaplikasian mol dalam SRI organik dibagi menjadi empat jenis yaitu
mol tunas (Giberelin), mol batang (Sitokinin), mol daun (Auxin), mol Inhibitor,
serta mol untuk pengisian bulir. Masing-masing mol diberikan setiap 10 hari
sekali secara berurutan dimulai pada 10 Hari Setelah Tanam (HST). Mol tunas,
mol batang, dan mol daun berfungsi dalam mempercepat proses pertumbuhan dan
menghasilkan anakan lebih banyak. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat
ketiga mol tersebut yaitu jenis tanaman yang cepat tumbuh seperti bambu muda
(rebung), bonggol pisang, buah mojo, dan lain-lain. Mol inhibitor berfungsi untuk
menghentikan pembuatan anakan agar nutrisi dapat terserap dengan baik oleh
malai yang sedang berbuah. Mol inhibitor sering pula disebut dengan mol buah
karena bahan pembuatnya berasal dari buah-buahan yang mengandung rasa
manis. Mol yang terakhir digunakan untuk membantu bulir padi lebih berisi.
Untuk metode konvensional, pemupukan dilakukan setelah tanam, yang
dilanjutkan dengan penyemprotan pestisida dan insektisida guna mempermudah
petani dalam merawat tanaman padinya. Petani konvensional menganggap bahwa
seluruh serangga atau mahkluk hidup yang hidup bersamaan dengan tanaman padi
adalah hama dan musuh tanaman yang harus dibasmi. Pada kenyatannya, tidak
semua serangga tersebut merusak tanaman. Sebab, ada serangga yang menjadi
musuh alami serangga yang sebenarnya menjadi perusak tanaman padi. Ilmu
inilah yang tidak didapat dari petani konvensional, karena penyuluh pertanian
hanya mengajarkan bagaimana cara menggunakan pestisida sesuai dengan dosis
yang dianjurkan.
53
Penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang digunakan dalam budidaya
tanaman padi seperti pupuk kimia, pestisida, dan insektisida, selain dapat merusak
lingkungan karena merubah susunan ekosistem, pula membuat petani menjadi
ketergantungan. Sebagian besar petani tidak memiliki pengetahuan yang cukup
untuk dapat meracik pupuk kimia buatannya sendiri, sehingga petani hanya dapat
menerima dan menunggu pupuk yang telah dihasilkan oleh industri-industri
pupuk sintetis.
6.2.5. Pengelolaan Air dan Penyiangan
Proses pengelolaan air dan penyiangan dalam metode SRI Desa Ringgit
dilakukan sebagai berikut :
1. Ketika padi mencapai umur 1 8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air
di lahan adalah macak-macak.
2. Sesudah padi mencapai umur 9 10 HST air kembali digenangkan dengan
ketinggian 2 3 cm selama satu malam. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan penyiangan tahap pertama.
3. Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai padi mencapai
umur 18 HST.
4. Pada umur 19 20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkan
penyiangan tahap kedua.
5. Setelah padi berbunga, sawah diairi kembali setinggi 1 2 cm dan kondisi
ini dipertahankan sampai padi masak susu ( 15 20 hari sebelum
panen). Kemudian sawah kembali dikeringkan sampai saat panen tiba.
Kegiatan penyiangan (watun) dilakukan sebanyak 2 4 kali setiap 10 hari
sekali sebelum disemprot dengan mol. Hal ini ditujukan agar tanaman dapat
menyerap dengan sempurna nutrisi yang diberikan melalui mol tersebut.
Penyiangan dilakukan dengan alat buatan sendiri yang disebut gosrok. Gosrok
merupakan alat yang terbuat dari bambu dengan bentuk seperti sikat pada
ujungnya, namun sikat tersebut diganti dengan paku agar rumput dapat tercabut.
Selain dengan menggunakan gosrok, seringkali petani juga menyiangi dengan
cara manual yaitu dengan tangan, apabila rumput tidak tumbuh terlalu banyak dan
tinggi. Pada pertanian konvensional penyiangan hanya dilakukan sebanyak 1 2
kali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Meskipun pada
54
kenyataannya, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyiangi lahan konvensional
sangat banyak. Dalam satu iring luasan lahan membutuhkan 12 24 orang dalam
satu hari kerja.
6.2.6. Panen dan Pasca Panen
Umur panen dipengaruhi oleh varietas yang ditanam, umumnya berkisar
antara 100-120 hari sejak masa tanam. Kegiatan panen yang dilakukan untuk
metode SRI organik biasanya dengan dipekerjakannya tenaga kerja luar keluarga
(TKLK) yang terbentuk dalam suatu tim dengan jumlah 10 orang atau lebih.
Sistem pengupahannya disebut dengan sistem bawon, yaitu memberikan upah
dalam bentuk gabah dengan proporsi yang biasanya digunakan yaitu 1 : 8. Jadi
apabila hasil panen mencapai 10 kuintal per iringnya, maka 8,75 kuintal menjadi
bagian pemilik hasil panen sedangkan sisanya yaitu 1,25 kuintal menjadi upah
bagi tenaga kerja yang memanen.
Untuk pertanian dengan cara konvensional, cara panen terbagi menjadi
dua yaitu dengan sistem bawon dan tebasan. Tebasan atau tebas di sawah
merupakan salah satu cara panen yang beresiko. Sebab kegiatan tawar menawar
harga dilakukan sebelum padi mulai siap panen. Dengan demikian petani hanya
mampu mengira-ngira jumlah hasil panen yang akan dihasilkan apabila dikonversi
ke nilai uang yang akan diterima dengan sistem tebasan. Kebaikan sistem tebasan
ini yaitu apabila terjadi kegagalan panen atau harga gabah turun, maka penebas
menanggung risiko atas kegagalan tersebut. Akan tetapi, bila saat panen terjadi
lonjakan harga maka petani tidak dapat menikmatinya karena tanaman di
sawahnya sudah tidak menjadi miliknya.
Hasil panen tanaman padi yaitu berupa gabah dan jerami. Gabah yang
sudah dikeringkan dan digiling menyisakan kulit gabah dan dedak. Kulit gabah
yang dibakar dapat digunakan sebagai pupuk yang disebut dengan merang,
sedangkan dedak dapat digunakan sebagai pakan ternak seperti ayam, bebek, sapi,
dan lain-lain. Untuk jerami dalam metode SRI harus dikembalikan kembali ke
lahan yang dijadikan sebagai kompos. Sebab, dalam satu kilogram jerami terdapat
unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman seperti Nitrogen (N), Phosfor (P),
Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), serta Silikat (Si) yang berfungsi
sebagai imun bagi tanaman padi.