Analisis Perbandingan Usaha Tani.pdf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

analisa usaha tani

Citation preview

  • BAB VI

    ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

    Keragaan usahatani pada penelitian ini dijelaskan secara deskriptif.

    Penjelasan keragaan usahatani meliputi penggunaan input dan cara budidaya padi

    dengan metode SRI organik yang dibandingkan dengan pertanian konvensional.

    Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam memahami perbedaan dari

    kedua metode tersebut.

    6.1. Penggunaan Input

    6.1.1. Lahan

    Lahan yang digunakan dalam budidaya padi SRI organik memiliki luas

    kurang lebih 2000 m2 atau penduduk sekitar sering mengistilahkannya dengan

    satu iring. Satu iring setara dengan 130 ubin, dengan luas per ubinnya 12 cm x 14

    cm. Harga sewa yang ditetapkan per iringnya yaitu Rp 1.700.000 pertahun dan

    dibayarkan pada musim tanam pertama. Untuk pajak lahan sawah dibedakan atas

    letak sawah tersebut. Apabila letak sawah berada dekat dengan jalan utama atau

    saluran irigasi, maka pajak lahan sawah semakin besar dan sebaliknya bila lahan

    sawah berada jauh dari jalan utama atau saluran irigasi maka pembayaran pajak

    akan semakin kecil. Pembayaran pajak dilakukan pada akhir tahun saat musim

    tanam pertama.

    6.1.2. Bibit

    Bibit yang digunakan oleh petani SRI organik Desa Ringgit merupakan

    bibit yang dibuat sendiri baik oleh anggota maupun ketua kelompok tani, yang

    nantinya ketua kelompok tani akan membagikan bibit tersebut kepada petani

    anggota lain yang tidak mampu membuat bibitnya sendiri. Varietas bibit yang

    ditanam yaitu Sintanur, Pandan Wangi, atau Janur. Varietas Janur merupakan

    persilangan antara Sintanur dan Jasmin yang disilangkan oleh ketua kelompok

    Pemuda Tani Lestari (PTL). Varietas Janur digunakan oleh sebagian besar petani

    SRI organik, karena varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada metode SRI.

    Jumlah bibit yang digunakan dalam metode SRI organik untuk luasan lahan satu

  • 45

    iring yaitu 1-2 kg. Penggunaan jumlah bibit sebenarnya hanya 7-8 ons, kelebihan

    bibit digunakan untuk penyulaman tanaman.

    Untuk pertanian konvensional, varietas bibit yang digunakan yaitu IR 64,

    Janur, Ciherang, Pandan Wangi, dan Sintanur. Kebutuhan bibit pada pertanian

    konvensional per iringnya yaitu 5-7 kg. Perbedaan jumlah penggunaan bibit

    dikarenakan oleh jarak tanam dan jumlah bibit per lubang tanam dalam kegiatan

    penanaman yang dijelaskan di sub bab budidaya. Penggunaan bibit pada pertanian

    konvensional berasal dari produsen bibit dengan harga beli Rp 8000-Rp 9000 per

    kilogram. Bibit yang dijual berada pada kemasan lima kiloan dengan harga Rp

    40.000-Rp 45.000 berdasarkan varietas bibit.

    6.1.3. Pupuk

    Penggunaan pupuk pada pertanian SRI organik yaitu dengan pupuk

    kandang yang dibuat oleh petani kelompok PTL. Pupuk kandang yang dibuat

    berasal dari kotoran sapi. Ada pula petani yang menggunakan kotoran hewan lain

    seperti ayam, kambing, serta burung sebagai pupuk kandangnya. Untuk pupuk

    kandang yang berasal dari kotoran sapi memiliki nilai jual seharga Rp 6.000 per

    kg, Rp 8.889 per kg untuk kotoran ayam, dan untuk kotoran kambing Rp 10.000

    per kg. Pupuk kandang diberikan setelah lahan dibajak pertama kali (di luku). Ciri

    kompos yang siap untuk digunakan adalah berwarna kehitaman dan remah seperti

    tanah. Banyaknya kompos yang dibutuhkan tanaman tergantung kesuburan tanah,

    kondisi agroklimat, dan jenis tanaman.

    Pupuk yang digunakan untuk pertanian konvensional merupakan pupuk

    kimia berupa urea, ponskha, SP 36, dan Za. Pengaplikasian pupuk dengan cara

    mencampur beberapa jenis pupuk yang digunakan kemudian di sebar pada saat

    tanaman sudah mencapai usia 10-15 hari setelah tanaman di watun. Hal tersebut

    dilakukan agar pupuk yang disebar di sekitar tanaman mampu diserap dengan

    sempurna. Meskipun pada kenyataannya pupuk yang disebar akan menguap,

    mengalir bersama aliran air, dan mengendap yang pada akhirnya akan membuat

    tanah menjadi keras dan sulit diolah karena tekstur pupuk kimia rapat dan tidak

    bercelah. Adapun jumlah penggunaan pupuk yang diaplikasikan dapat dilihat pada

    Tabel 13.

  • 46

    Tabel 43. Penggunaan Input Pupuk Rata-Rata 1 Ha Pada Pertanian

    Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit Musim Tanam II

    Tahun 2011

    No. Jenis pupuk Harga Satuan

    (Rp/kg)

    Penggunaan Pupuk (kg)

    Petani

    Konvensional

    Petani SRI

    Organik

    1. Urea 1.600 214,83

    Ponskha 2.300 156,50

    SP 36 2.200 109,17

    Za 1.200 40,83

    2. Kotoran Ayam 120 3.662,5

    Kotoran Sapi 177,78 5.593,05

    Kotoran Kambing 200 2.733,33

    6.1.4. Pestisida

    Dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani

    organik tidak boleh menggunakan pestisida. Hal ini dikarenakan dapat

    berpengaruh terhadap kualitas beras organik yang dihasilkan. Oleh karena itu,

    untuk pengendalian hama dan penyakitnya dilakukan dengan beberapa macam

    cara misalnya penyemprotan mol, penambahan pupuk kandang, mengurangi atau

    menambah volume air genangan, serta menghadirkan musuh alami. Mol

    merupakan salah satu bentuk pestisida nabati yang terbuat dari beberapa jenis

    tanaman dengan kegunaannya masing-masing. Rata-rata takaran perbandingan

    antara mol dan air yaitu 1 : 2, dengan jumlah mol sebanyak lima liter dan air

    sepuluh liter. Hal ini disebabkan karena mol berupa cairan yang tidak begitu

    pekat.

    Berbeda dengan SRI organik, petani konvensional melakukan

    pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan pestisida. Pestisida yang

    digunakan oleh petani konvensional memiliki beragam merek dagang seperti

    Spontan, Fastac, dan Score. Petani biasanya melakukan penyemprotan pestisida

    bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun pada beberapa

    petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama

    sebagai tindakan pencegahan. Takaran penggunaan pestisida umumnya 20 30 ml

    dalam satu tangki sprayer volume 14 L. Penggunaan takaran pestisida yang sedikit

    disebabkan oleh bentuk pestisida yang berupa cairan pekat.

  • 47

    6.1.5. Tenaga Kerja

    Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki

    pengaruh besar terhadap biaya usahatani. Oleh karena itu, dalam penggunaannya

    petani harus memperhitungkannya. Tenaga kerja yang digunakan petani berasal

    dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK).

    TKDK dan TKLK memiliki porsi yang sama dalam jumlah jam kerja per harinya

    yaitu delapan jam.

    Pemberian upah bagi TKLK terbagi menjadi dua, yaitu borongan dan

    perorangan. Pemberian upah secara borongan biasanya dilakukan pada saat

    kegiatan membajak sawah, penanaman, serta pemanenan. Untuk tenaga kerja

    perorangan, perhitungan pemberian upah diberikan per dua jam kerja (1

    HKW/HKP = 2 jam kerja) sebanyak Rp 7.000 untuk wanita dan Rp 8.000 untuk

    pria. Dengan demikian, dalam satu hari terdapat delapan jam kerja (1 HOK = 8

    jam kerja) dengan upah sebesar Rp 28.000 untuk wanita dan Rp 32.000 untuk

    pria.

    Penggunaan tenaga kerja pada metode konvensional dan SRI organik tidak

    terlalu berbeda kuantitasnya. Hanya saja dari segi kualitas bekerja, tenaga kerja

    SRI organik lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat dari segi upah yang diberikan

    dan perbedaan metode yang dilakukan. Misalnya pada kegiatan pembajakan dan

    penanaman. Kegiatan membajak pada lahan konvensional cukup berat karena

    lahan keras dan sulit untuk diolah, sehingga membutuhkan tenaga yang cukup

    besar. Pada lahan SRI organik, karena selama budidaya menggunakan pupuk

    kandang maka saat dibajak lahan tidak terlalu keras dan mudah untuk diolah. Oleh

    sebab itu, dengan penetapan upah borongan pada kegiatan membajak Rp 100.000

    per iring, pembajak sawah SRI organik lebih untung karena dengan lahan yang

    mudah diolah dapat menghemat waktu dan tenaga, sehingga pembajak sawah

    dapat membajak sawah petani lainnya. Untuk penggunaan TKDK dan TKLK

    dalam metode konvensional dan SRI organik dapat dilihat pada Tabel 14.

  • 48

    Tabel 14. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Keluarga Metode

    Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit pada MT II

    No. Jenis Tenaga Kerja Penggunaan Tenaga Kerja

    Petani Konvensional Petani SRI Organik

    1. Dalam Keluarga :

    Pria 12,84 HKP 24,73 HKP

    Wanita 7,5 HKW 13,57 HKW

    2. Luar Keluarga :

    Pria 36,86 HKP 35,66 HKP

    Wanita 40,33 HKW 31,78 HKW

    Total 457,25 HOK 420,29 HOK

    Berdasarkan Tabel 14. dapat diketahui bahwa rata-rata penggunaan TKDK

    lebih banyak pada petani SRI organik, sedangkan rata-rata penggunaan TKLK

    lebih banyak digunakan pada pertanian konvensional. Hal tersebut dapat

    disebabkan karena pertanian SRI organik pada dasarnya membutuhkan banyak

    tenaga kerja untuk kegiatan pemupukan dan penyiangan. Kegiatan pemupukan

    membutuhkan banyak tenaga kerja atau waktu karena pupuk kandang yang

    dibutuhkan cukup banyak, serta pengangkutan pupuk dari tempat pupuk dibuat

    dan dibawa ke lahan cukup jauh. Dengan demikian, petani lebih memilih

    menggunakan tenaga kerja keluarga untuk membantu kegiatan pemupukan.

    6.1.6. Peralatan Pertanian

    Alat pertanian yang digunakan dalam membudidayakan tanaman padi baik

    secara konvensional maupun SRI organik sebagian besar sama, yaitu cangkul,

    traktor, arit, sprayer, gathak atau penggaris untuk menggaris lahan saat kegiatan

    penanaman pada metode SRI organik, tambang, serta karung untuk menempatkan

    gabah yang sudah dirontokkan. Metode perhitungan penyusutan alat pertanian

    menggunakan metode garis lurus. Nilai penyusutan dihitung dalam komponen

    biaya diperhitungkan.

    6.2. Teknik Budidaya

    6.2.1. Pengolahan Tanah

    Persiapan lahan untuk bertani dimulai dengan mengolah lahan sebelum

    tanam menggunakan traktor. Traktor yang digunakan umumnya merupakan

    traktor milik kelompok, meskipun sebenarnya setiap petani memiliki traktor

  • 49

    masing-masing. Hal ini dikarenakan penggunaan traktor sudah termasuk tenaga

    kerja khusus untuk membajak sawah SRI organik. Biaya yang dikenakan untuk

    membajak sawah hingga selesai yaitu Rp 100.000 per iring (2000 m2).

    Pembajakan dengan traktor untuk sepetak lahan seluas 2000 m2 dapat diselesaikan

    setengah hari (2HKP = 4 jam kerja).

    Pembajakan lahan dilakukan dalam dua langkah, yaitu di luku kemudian di

    garu. Perbedaan antara ngeluku dan ngegaru yaitu terletak pada model alat yang

    digunakan pada traktor yang dipasang di bagian depan. Pada saat ngeluku, pupuk

    organik disebar sebanyak kurang lebih 30-40 karung dengan berat per karungnya

    50 kg. Setelah sawah selesai dibajak, tanah diratakan dan di bagian pinggir dan

    tengah tiap petakan sawah dibuat parit untuk memudahkan pengaturan air serta

    mencegah tanaman terserang hama keong.

    Untuk pertanian konvensional, kegiatan membajak sawah dilakukan

    dengan cara yang sama. Perbedaannya adalah pertanian konvensional memberikan

    pupuk pada saat tanaman sudah ditanam. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa

    perilaku usahatani pada umumnya lebih tertuju pada cara memupuk tanaman,

    bukan cara memupuk tanah agar tanah menjadi subur, sehingga dapat

    menyediakan sekaligus memberikan banyak nutrisi pada tanaman.

    6.2.2. Persiapan Benih

    Benih yang dibutuhkan untuk persemaian adalah 1-2 kg per iring.

    Sebenarnya pada saat proses penanaman benih yang dibutuhkan hanya 7-8 ons.

    Akan tetapi, kelebihan benih yang ada digunakan untuk kegiatan penyulaman

    tanaman yang mati karena tertiup angin, terinjak, atau dimakan oleh keong. Hal

    ini dikarenakan benih yang dipindah dari lahan persemaian ke lahan sawah masih

    sangat muda (7-14 hari) dan belum kokoh, sehingga sangat rentan terhadap

    kondisi lingkungan.

    Penggunaan bibit muda dalam metode SRI membantu tanaman dalam

    mempermudah menyerap makanan, sehingga mampu menghasilkan banyak

    anakan. Pada metode konvensional, bibit relatif tua saat ditanam, yakni sekitar 25-

    30 hari. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa bibit tua akan menghasilkan

    tanaman yang tahan terhadap hama dan mudah dalam pencabutan bibit.

    Kenyataannya, penggunaan bibit berumur tua berakibat pada produksi jumlah

  • 50

    anakan padi yang tidak maksimal. Selain itu, umumnya pertumbuhan tanaman

    mengalami keterlambatan. Karena pada saat pemindahan tanaman, terjadi kondisi

    stagnasi dan adaptasi sehingga daya jelajah akar dalam mencari makanan terbatas.

    Dalam menyeleksi benih yang akan disemai, petani SRI organik

    menggunakan metode larutan garam. Benih yang mengapung adalah benih yang

    kurang baik kualitasnya, sedangkan benih yang tenggelam adalah benih yang

    baik. Benih-benih yang baik kemudian diambil dan dicuci untuk menghilangkan

    larutan garam yang menempel pada benih. Setelah benih berkualitas baik telah

    dicuci, benih harus diperam dulu selama satu hari satu malam. Ini dilakukan agar

    benih tumbuh seragam. Setelah diperam, akan terlihat adanya bintik pada lembaga

    atau embrio benih (tetapi belum tumbuh akar) yang merupakan tanda benih yang

    baik dan siap disemai. Tempat untuk menyemai benih ada yang dilakukan di

    sawah persemaian atau di besek.

    6.2.3. Penanaman

    Bibit siap dipindahkan ke lahan setelah mencapai umur 10 - 14 hari setelah

    semai. Bibit yang akan di tanam dalam keadaan utuh (akar tidak putus) dan

    rentang waktu antara pencabutan dan penanaman tidak terlalu lama (maksimal 30

    menit) agar bibit tidak stres. Kondisi air pada saat tanam adalah macak-macak

    yaitu kondisi tanah yang basah tetapi bukan tergenang. Bibit yang ditanam setiap

    lubangnya berisi satu benih dan ditanam dangkal, yaitu pada kedalaman 2-3 cm

    dengan bentuk perakaran horizontal (seperti huruf L). Jarak tanam yang

    digunakan bervariasi, yaitu 25x25 cm dan 30x30 cm. Pembuatan jarak tanam

    menggunakan penggaris yang dibuat oleh petani (Gambar 2.).

    Perlakuan terhadap benih yang ingin ditanam pada pertanian konvensional

    yaitu (a) daun di potong karena benih yang digunakan sudah tua, (b) batang diikat

    untuk memudahkan pembagian saat tanam, (c) benih dilempar, (d) benih ditanam

    banyak, (e) benih ditanam dalam dan akhirnya di petakan sawah direndam.

    Penanaman dengan metode konvensional menggunakan gathak. Gathak

    merupakan alat tanam terbuat dari kayu dengan sepanjang kayu tersebut diberi

    lengkungan kecil. Jarak antar lengkungan disesuaikan dengan jarak tanam yang

    biasa digunakan untuk menanam padi konvensional yaitu 15 cm x 15 cm dan 20

    cm x 20 cm. Pada Lampiran 1. terdapat gambar kegiatan menanam padi dengan

  • 51

    metode konvensional. Dari gambar tersebut dapat terlihat di pinggiran sawah

    terdapat tambang yang digunakan untuk memastikan bahwa jarak penanaman

    tetap rapih, sebab panjang gathak hanya setengah dari panjang sawah pada

    umumnya.

    Penanaman jarak tanam yang lebar yaitu 25 cm x 25 cm sampai 30 cm x

    30 cm dalam prinsip SRI mendorong pertumbuhan akar secara optimal serta

    memaksimalkan sinar matahari yang cukup secara optimal. Namun kebiasaan

    yang dilakukan oleh petani konvensional dalam menanam padi biasanya

    menggunakan jarak tanam yang rapat, yaitu 20 cm x 20 cm atau bahkan 15 cm x

    15 cm. Kebiasaan ini didasarkan oleh bermacam-macam alasan diantaranya

    adalah kepemilikan lahan yang sempit.

    Penggunaan jarak tanam yang sempit, petani berpikiran akan

    menghasilkan padi lebih banyak karena jumlah tanamannya lebih banyak. Namun

    di dalam prakteknya, harapan yang dijadikan alasan oleh petani tersebut seringkali

    berbeda, karena jarak tanam yang rapat menyebabkan tanaman lembab dan gelap

    sehingga akan disenangi hama seperti wereng dan tikus. Di samping itu, tanaman

    yang lembab sangat berpotensi terhadap berkembangnya jamur. Penanaman

    dengan bibit yang banyak dalam satu lubang pula akan mengakibatkan tanaman

    tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan terjadi persaingan dalam

    memperebutkan makanan dan kekurangan sinar yang diperlukan bagi tanaman.

    6.2.4. Pemupukan Setelah Tanam

    Terdapat perlakuan yang berbeda dalam kegiatan pemupukan setelah

    tanam pada kedua metode ini. Untuk metode SRI organik, pupuk yang digunakan

    setelah benih ditanam yaitu dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL).

    Mol digunakan sebagai katalisator dalam pembuatan pupuk organik cair. Mol

    berfungsi dalam membantu pertumbuhan tanaman dan kesehatan ekosistem, serta

    dapat melarutkan unsur hara makro dan mikro tanah. Pada metode SRI, petani

    diharuskan untuk membuat mol sendiri. Hal ini dilakukan agar petani dapat lebih

    mandiri dan mampu memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan sekitar.

    Untuk petani SRI di Desa Ringgit, tidak semua petani mampu membuat mol, tapi

    mol dibuat oleh kepala kelompok tani yang nantinya dibagi-bagikan kepada

    seluruh anggota kelompok.

  • 52

    Gambar 4. Jenis-Jenis Mol yang Digunakan Petani Padi SRI Organik di Desa

    Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011

    Sumber : Pak Wuryanto (anggota kelompok Pemuda Tani Lestari)

    Pengaplikasian mol dalam SRI organik dibagi menjadi empat jenis yaitu

    mol tunas (Giberelin), mol batang (Sitokinin), mol daun (Auxin), mol Inhibitor,

    serta mol untuk pengisian bulir. Masing-masing mol diberikan setiap 10 hari

    sekali secara berurutan dimulai pada 10 Hari Setelah Tanam (HST). Mol tunas,

    mol batang, dan mol daun berfungsi dalam mempercepat proses pertumbuhan dan

    menghasilkan anakan lebih banyak. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat

    ketiga mol tersebut yaitu jenis tanaman yang cepat tumbuh seperti bambu muda

    (rebung), bonggol pisang, buah mojo, dan lain-lain. Mol inhibitor berfungsi untuk

    menghentikan pembuatan anakan agar nutrisi dapat terserap dengan baik oleh

    malai yang sedang berbuah. Mol inhibitor sering pula disebut dengan mol buah

    karena bahan pembuatnya berasal dari buah-buahan yang mengandung rasa

    manis. Mol yang terakhir digunakan untuk membantu bulir padi lebih berisi.

    Untuk metode konvensional, pemupukan dilakukan setelah tanam, yang

    dilanjutkan dengan penyemprotan pestisida dan insektisida guna mempermudah

    petani dalam merawat tanaman padinya. Petani konvensional menganggap bahwa

    seluruh serangga atau mahkluk hidup yang hidup bersamaan dengan tanaman padi

    adalah hama dan musuh tanaman yang harus dibasmi. Pada kenyatannya, tidak

    semua serangga tersebut merusak tanaman. Sebab, ada serangga yang menjadi

    musuh alami serangga yang sebenarnya menjadi perusak tanaman padi. Ilmu

    inilah yang tidak didapat dari petani konvensional, karena penyuluh pertanian

    hanya mengajarkan bagaimana cara menggunakan pestisida sesuai dengan dosis

    yang dianjurkan.

  • 53

    Penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang digunakan dalam budidaya

    tanaman padi seperti pupuk kimia, pestisida, dan insektisida, selain dapat merusak

    lingkungan karena merubah susunan ekosistem, pula membuat petani menjadi

    ketergantungan. Sebagian besar petani tidak memiliki pengetahuan yang cukup

    untuk dapat meracik pupuk kimia buatannya sendiri, sehingga petani hanya dapat

    menerima dan menunggu pupuk yang telah dihasilkan oleh industri-industri

    pupuk sintetis.

    6.2.5. Pengelolaan Air dan Penyiangan

    Proses pengelolaan air dan penyiangan dalam metode SRI Desa Ringgit

    dilakukan sebagai berikut :

    1. Ketika padi mencapai umur 1 8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air

    di lahan adalah macak-macak.

    2. Sesudah padi mencapai umur 9 10 HST air kembali digenangkan dengan

    ketinggian 2 3 cm selama satu malam. Hal ini dilakukan untuk

    memudahkan penyiangan tahap pertama.

    3. Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai padi mencapai

    umur 18 HST.

    4. Pada umur 19 20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkan

    penyiangan tahap kedua.

    5. Setelah padi berbunga, sawah diairi kembali setinggi 1 2 cm dan kondisi

    ini dipertahankan sampai padi masak susu ( 15 20 hari sebelum

    panen). Kemudian sawah kembali dikeringkan sampai saat panen tiba.

    Kegiatan penyiangan (watun) dilakukan sebanyak 2 4 kali setiap 10 hari

    sekali sebelum disemprot dengan mol. Hal ini ditujukan agar tanaman dapat

    menyerap dengan sempurna nutrisi yang diberikan melalui mol tersebut.

    Penyiangan dilakukan dengan alat buatan sendiri yang disebut gosrok. Gosrok

    merupakan alat yang terbuat dari bambu dengan bentuk seperti sikat pada

    ujungnya, namun sikat tersebut diganti dengan paku agar rumput dapat tercabut.

    Selain dengan menggunakan gosrok, seringkali petani juga menyiangi dengan

    cara manual yaitu dengan tangan, apabila rumput tidak tumbuh terlalu banyak dan

    tinggi. Pada pertanian konvensional penyiangan hanya dilakukan sebanyak 1 2

    kali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Meskipun pada

  • 54

    kenyataannya, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyiangi lahan konvensional

    sangat banyak. Dalam satu iring luasan lahan membutuhkan 12 24 orang dalam

    satu hari kerja.

    6.2.6. Panen dan Pasca Panen

    Umur panen dipengaruhi oleh varietas yang ditanam, umumnya berkisar

    antara 100-120 hari sejak masa tanam. Kegiatan panen yang dilakukan untuk

    metode SRI organik biasanya dengan dipekerjakannya tenaga kerja luar keluarga

    (TKLK) yang terbentuk dalam suatu tim dengan jumlah 10 orang atau lebih.

    Sistem pengupahannya disebut dengan sistem bawon, yaitu memberikan upah

    dalam bentuk gabah dengan proporsi yang biasanya digunakan yaitu 1 : 8. Jadi

    apabila hasil panen mencapai 10 kuintal per iringnya, maka 8,75 kuintal menjadi

    bagian pemilik hasil panen sedangkan sisanya yaitu 1,25 kuintal menjadi upah

    bagi tenaga kerja yang memanen.

    Untuk pertanian dengan cara konvensional, cara panen terbagi menjadi

    dua yaitu dengan sistem bawon dan tebasan. Tebasan atau tebas di sawah

    merupakan salah satu cara panen yang beresiko. Sebab kegiatan tawar menawar

    harga dilakukan sebelum padi mulai siap panen. Dengan demikian petani hanya

    mampu mengira-ngira jumlah hasil panen yang akan dihasilkan apabila dikonversi

    ke nilai uang yang akan diterima dengan sistem tebasan. Kebaikan sistem tebasan

    ini yaitu apabila terjadi kegagalan panen atau harga gabah turun, maka penebas

    menanggung risiko atas kegagalan tersebut. Akan tetapi, bila saat panen terjadi

    lonjakan harga maka petani tidak dapat menikmatinya karena tanaman di

    sawahnya sudah tidak menjadi miliknya.

    Hasil panen tanaman padi yaitu berupa gabah dan jerami. Gabah yang

    sudah dikeringkan dan digiling menyisakan kulit gabah dan dedak. Kulit gabah

    yang dibakar dapat digunakan sebagai pupuk yang disebut dengan merang,

    sedangkan dedak dapat digunakan sebagai pakan ternak seperti ayam, bebek, sapi,

    dan lain-lain. Untuk jerami dalam metode SRI harus dikembalikan kembali ke

    lahan yang dijadikan sebagai kompos. Sebab, dalam satu kilogram jerami terdapat

    unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman seperti Nitrogen (N), Phosfor (P),

    Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), serta Silikat (Si) yang berfungsi

    sebagai imun bagi tanaman padi.