Upload
nguyenthuy
View
245
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PENGELOLAAN TANAMAN KEMIRI RAKYAT
DI KECAMATAN TANAH PINEM KABUPATEN DAIRI
PROPINSI SUMATERA UTARA
TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pengelolaan Tanaman
Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera
Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Tetty Pryska Herawaty Sihombing
NRP. E151090101
ABSTRACT
TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING. Analysis of Candlenut Tree
Management in Tanah Pinem District, Dairi Regency, North Sumatera Province.
Under Direction of HARDJANTO and NURHENI WIJAYANTO
One orientation in the long-term development of forest by the Indonesian
government is the resulted welfare and active role of the people in forest
management by expanding the people’s forest acreage. The type of plants selected
for the community’s forest that will be developed must be suited to the local
environmental conditions in terms of technical, economic, ecological, social and
cultural aspects so that economically the activities of community’s forest can
become the people’s choice of productive and sustainable business activities.
Candlenut is one of the trees growing in the community environment.
Economically the plants are very beneficial as their income sources and
ecologically can serve to improve the functions of environment. The objectives of
this study were (1) to determine the influential factors in the management
candlenut trees and (2) to examine the sustainability of the people’s candlenut tree
management for the ecological, economic and social aspects. The data was
analyzed with a binary logistic regression and the sustainability analysis includes
ecological, economic and social aspects. The factors that affect the candlenut
management are age, land size, income, land origin, and land accessibility. The
sustainability of candlenut management falls into the category of “sustainable
with some considerations” based on “Lembaga Ekolabel Indonesia” standard
because the community’s management of candlenut has not indicated a
continuous or sustainable management.
Keywords: candlenut, community forest, management, sustainable
RINGKASAN
TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING. Analisis Pengelolaan Tanaman
Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera
Utara. Dibimbing oleh HARDJANTO dan NURHENI WIJAYANTO.
Salah satu arah Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan tahun 2006-2025
adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan peran aktif masyarakat dalam
pengelolaan hutan yang adil dan bertanggung jawab. Strategi yang dilakukan
dengan meningkatkan luasan hutan rakyat yang mandiri dan mendukung fungsi
hutan sebagai penyangga kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Target luas
hutan rakyat yang akan dibangun sampai tahun 2025 adalah 8 juta ha.
Jenis-jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan rakyat
harus memperhatikan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungan setempat
dengan tujuan agar lebih produktif dan lestari. Salah satu potensi tanaman hutan
rakyat yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat adalah tanaman
kemiri. Kemiri merupakan salah satu jenis tanaman hasil hutan bukan kayu yang
memiliki banyak manfaat dari buah, kayu, kulit biji, ampas minyak kemiri dan
pohon kemiri. Tanaman kemiri memiliki banyak keunggulan karena dapat
menjadi sumber pendapatan bagi petani dan berperan dalam fungsi ekologis.
Lokasi penelitian adalah Kecamatan Tanah Pinem yang terdapat di
Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Tanaman kemiri rakyat yang ada di
Kecamatan Tanah Pinem adalah tanaman yang sudah ada sejak dahulu yang tetap
diusahakan sampai sekarang.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat dan menganalisis
keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek
ekologi, ekonomi dan sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
survey dan metode evaluasi. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan lapang,
diskusi, studi literatur dan pengumpulan data serta laporan dari instansi terkait.
Analisis data untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan
tanaman kemiri rakyat digunakan regressi logistik biner sedangkan penilaian
untuk analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dari aspek ekologi,
ekonomi dan sosial menggunakan pendekatan dari Lembaga Ekolabel Indonesia.
Tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem ditanam
dengan pola monokultur (sejenis) dan agroforestry yaitu kombinasi antara kemiri
dengan sirih, cokelat, kelapa, pinang, durian, cengkeh dan lain-lain. Keberadaan
tanaman lain di antara tanaman kemiri berperan dalam menambah penghasilan
petani. Penanaman kemiri sudah menggunakan jarak tanam dengan jarak tanam
yang lebar dengan tujuan menghasilkan buah. Rata-rata luas tanaman kemiri
rakyat adalah 2,67 ha. Umur rata-rata tanaman kemiri adalah 37,37 tahun.
Kondisi umur tanaman beragam dan umumnya sudah memasuki umur tidak
produktif (di atas 35 tahun), dimana 50,6% tanaman kemiri rakyat sudah
melewati batas umur produktif yang menunjukkan bahwa proses regenerasi
tanaman kemiri tidak berlangsung secara berkelanjutan.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman
kemiri rakyat, diduga ada 17 variabel yang mempengaruhinya. Setelah dilakukan
analisis regressi logistik biner, hanya 5 variabel yang signifikan menjelaskan
alasan masyarakat memilih mengelola kemiri pada lahan miliknya, yaitu umur
petani, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul tanah dan aksesibilitas ke
ladang.
Analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dilakukan dari aspek
ekologi, ekonomi dan sosial. Penilaian pengelolaan tanaman kemiri rakyat di
Kecamatan Tanah Pinem menunjukkan pengelolaan yang “berkelanjutan dengan
catatan”. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan kemiri rakyat yang ada belum
menunjukkan pengelolaan yang menuju ke arah yang berkelanjutan. Untuk itu,
dalam mencapai pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang berkelanjutan, perlu
dilakukan perbaikan pada setiap indikator yang bernilai cukup dan jelek melalui
program dan kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan
yang melibatkan instansi terkait.
Kata kunci: kemiri, hutan rakyat, pengelolaan, berkelanjutan
5
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS PENGELOLAAN TANAMAN KEMIRI RAKYAT
DI KECAMATAN TANAH PINEM KABUPATEN DAIRI
PROPINSI SUMATERA UTARA
TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
xi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Muhammad Buce Saleh, MS
Judul Tesis : Analisis Pengelolaan Tanaman Kemiri Rakyat di Kecamatan
Tanah Pinem, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara
Nama : Tetty Pryska Herawaty Sihombing
NRP : E151090101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengelolaan Hutan
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr
Tanggal Ujian: 22 September 2011 Tanggal Lulus:
xiii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
berjudul “Analisis Pengelolaan Tanaman Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah
Pinem Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto,
MS. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS. selaku pembimbing yang
telah memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Juga
kepada seluruh instansi dan pihak terkait di tingkat pusat (Kementerian
Kehutanan dan Pusat Diklat Kehutanan), tingkat propinsi dan kabupaten atas
bantuan fasilitas, data dan informasi yang diberikan selama penulis melaksanakan
penelitian. Serta kepada semua masyarakat di Kecamatan Tanah Pinem yang telah
memberikan bantuan kepada saya pada saat pengumpulan data di lapangan.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada ayah dan ibu serta semua keluarga atas
bantuan, dukungan serta doanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2011
Tetty Pryska Herawaty Sihombing
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Huta Bangun, 27 Mei 1977 dari Bapak T. E Sihombing dan
Ibu R. Silaban. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD ST Yosef Sidikalang,
Sekolah Menengah Pertama di SMP ST Paulus Sidikalang dan Sekolah Menengah
Atas Negeri 1 Sidikalang Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara dan lulus tahun
1996. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000.
Penulis bekerja sebagai fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) pada
Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun di Propinsi Sumatera Utara sejak tahun
2003. Tahun 2009 penulis mendapat Beasiswa dari Kementrian Kehutanan melalui
Pusat Diklat Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu
Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ….....………………………….………………………….. xii
DAFTAR GAMBAR …....…………………………………………………… xiv
DAFTAR LAMPIRAN …….....………………………………………………… xvi
1 PENDAHULUAN …………....…………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang …………….......………………………………………. 1
1.2 Perumusan Masalah ……………......……….…………………………. 7
1.3 Tujuan Penelitian ……………………......….…………………………. 8
1.4 Manfaat Penelitian ……………………….......………………………. 9
1.5 Kerangka Pemikiran …….…………………….......…………………… 9
2 TINJAUAN PUSTAKA ..……………………………….....……...………… 11
2.1 Hutan Rakyat …………………………………………......…………… 11
2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat ………………….………….…...………… 14
2.2.1 Aspek Sosial ………………………….……………….....……… 14
2.2.2 Aspek Ekonomi …………………..….…………………......…… 15
2.2.3 Aspek Ekologi ……………………….....…………..…………… 18
2.3 Pengelolaan Hutan Lestari ……………………….....…….…………… 19
2.4 Tanaman Kemiri ……………………………….….….......…………… 24
2.5 Beberapa Studi Terdahulu...........…….....................…………….……… 27
3 METODE PENELITIAN ….…………………......………………………… 29
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ….…………….....……………………… 29
3.2 Metode Pengumpulan Data …….……………........………….……… 29
3.3 Penentuan Responden …………….…………………………....…… 30
3.4 Metode Pengolahan dan Analisa Data ……..………………….........… 31
3.5 Definisi Operasional ................…….....................…………….……… 35
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK
RESPONDEN ………………………………………………............….…… 37
4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian ……………….......……….....…… 37
4.1.1 Letak Administrasi ……………….....…………………........…..… 37
4.1.2 Letak Geografis ……………….....………………….......…........… 37
4.1.3 Iklim……………….....………………….......…..........................… 37
4.1.4 Topografi ……................………….....……………....….......…..… 37
4.1.5 Penduduk ……................………….....……………....….......…..… 38
4.1.6 Penggunaan Lahan ……................………….....……………..….... 38
4.2 Karakteristik Responden ……................………….....……………..…... 39
4.2.1 Umur Responden ……................………….....……….……..…...... 39
4.2.2 Pendidikan……................………….....……………..….........…..... 40
4.2.3 Jumlah Anggota Keluarga……................…………....…….……… 40
4.2.4 Mata Pencaharian Responden …….................……….…................. 41
xi
4.2.5 Status Kepemilikan Lahan dan Asal Usul Lahan .…….............…... 42
4.2.6 Luas Kepemilikan Lahan ........................………….....…….……… 43
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ……................………….....……………... 45
5.1 Pengelolaan Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem .………….…. 45
5.2 Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengelola Kemiri................... 55
5.3 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat ……...................… 69
5.3.1 Aspek Ekologi……................………….....……………..…........... 69
5.3.2 Aspek Ekonomi……................………….....……………..…......... 81
5.3.3 Aspek Sosial……................………….....……………..…........….. 97
5.3.4 Analisis keberlanjutan ................………….....……………..…...... 107
6 KESIMPULAN DAN SARAN ……................………….....………….….. 121
6.1 Kesimpulan ……................………….....……………..…........….......… 121
6.2 Saran ……................………….....……………..….......…..................… 122
DAFTAR PUSTAKA………………………………………......……………….. 123
LAMPIRAN ……….………………………………………......……………….. 129
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Potensi dan luas hutan rakyat di Indonesia tahun 2004 .....……………. 2
2 Potensi luas hutan rakyat di Jawa-Madura......………………........….... 2
3 Luas hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara ......……………….. ...... 3
4 Luas dan produksi kebun kemiri di Indonesia sejak tahun 1984-2009 ... 4
5 Luas, produksi dan jumlah petani kemiri di Indonesia tahun 2004-2009 5
6 Luas, produksi dan jumlah petani kemiri tahun 2007 di Sumatera Utara 5
7 Sebaran kemiri rakyat di Kabupaten Dairi pada tahun 2008 ......……… 6
8 Dimensi ekologi, produksi dan sosial dalam analisis kelestarian ......…. 21
9 Kriteria dan indikator PHBML ......………………........………………. 23
10 Kondisi topografi di Kecamatan Tanah Pinem ......………………......... 38
11 Penggunaan lahan di Kecamatan Tanah Pinem tahun 2008 ......……..... 39
12 Sebaran umur responden ......………………........………………........... 40
13 Tingkat pendidikan responden ......………………........……………….. 40
14 Jumlah anggota keluarga responden ......………………........…………. 41
15 Mata pencaharian responden ......………………........……………….... 42
16 Status kepemilikan lahan responden ......………………........…………. 42
17 Asal usul lahan yang dimiliki oleh responden ......……………….......... 42
18 Status lahan yang digunakan oleh responden ......………………........... 42
19 Luas kepemilikan lahan ......………………........………………............ 43
20 Pola tanaman kemiri rakyat......………………........………………....... 45
21 Produksi tanaman kemiri rakyat tahun 2010 ......………………............ 49
22 Intensitas kunjungan petani pada tanaman kemiri ......……………….... 52
23 Hasil estimasi menggunakan regressi logistic......………………........... 56
24 Hasil penilaian aspek ekologi pada pengelolaan tanaman kemiri …….. 69
25 Prediksi tingkat bahaya erosi potensial di Kecamatan Tanah Pinem ..... 71
26 Produktivitas 4 jenis komoditi utama tahun 2005 sampai tahun 2009 ... 73
27 Hasil penilaian aspek ekonomi pada pengelolaan tanaman kemiri …… 81
28 Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri untuk luas 1 ha ......………... 84
29 Kodisi sebaran kesejahteraan penduduk di Desa Kutabuluh, Pamah
xiii
dan Pasir Tengah tahun 2009-2010 ....………..........………...........… 87
30 Hasil estimasi fungsi produksi tanaman kemiri ......………..........…….. 89
31 Hasil penilaian aspek sosial pada pengelolaan tanaman kemiri …….… 97
32 Kondisi penduduk tidak bekerja tahun 2005-2009 ............……......… 101
33 Kondisi penduduk yang datang dan yang pergi tahun 2005-2009 ......… 103
34 Luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem ......……….........………. 111
35 Prioritas perbaikan dan kegiatan yang perlu dilakukan ….........………. 116
36 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi .........………..…...................
117
37 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dari aspek ekonomi.........………..…..................
118
38 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dari aspek sosial .........………..…......................
118
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran ......……….........………........…….......………...... 10
2 Volume ekspor kemiri Indonesia tahun 1975-2007 ......……….........…. 26
3 Pola tanaman kemiri rakyat …….........………........…….......……….... 46
4 Buah kemiri yang disimpan yang akan dijual pada saat dibutuhkan ….. 47
5 Kondisi jarak tanaman kemiri rakyat ...………........…….......……….... 48
6 Kondisi umur tanaman kemiri rakyat ..………........…….......……….... 48
7 Perbedaan antara buah yang jatuh alami dan buah yang jatuh karena
penyakit gugur buah …........………........……......…….......……….......
51
8 Pohon kemiri sedang berbunga dan berbuah …......…….......………..... 53
9 Proses pengupasan kemiri ...………........……......…….......………....... 54
10 Pengangkutan kulit kemiri yang dijual ke industri di Medan ………..... 55
11 Tumbuhan bawah pada tegakan kemiri berperan dalam mencegah
terjadinya erosi ……….........………........……......…….......………......
72
12 Luas dan produktivitas kemiri selama 10 tahun terakhir ......………...... 73
13 Tegakan pohon (kemiri) berperan menjamin ketersediaan air lokal ….. 74
14 Tajuk tanaman kemiri yang lebar berperan menutupi permukaan tanah 80
15 Pemasaran buah kemiri kupas di pasar lokal .....………........…........…. 96
16 Batas kepemilikan lahan dapat diketahui dari jenis tanaman pagar yang
ada (seperti pinang) ……….........………........……......…….......……...
105
17 Fluktuasi harga kemiri di lokasi penelitian ......……….........………...... 109
xv
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap pengelolaan
kemiri rakyat dan penjelasan dari setiap variabel bebas..........................
129
2 Aspek analisis sustainability (keberlanjutan) pengelolaan kemiri ......... 131
3 Kriteria setiap indikator keberlanjutan ………...……………………… 135
4 Karakteristik responden petani kemiri ………………………………… 138
5 Analisis pendapatan dari tanaman kemiri, persentase pendapatan dari
kemiri terhadap pendapatan total petani dan pengeluaran per kapita per
bulan ........................................................................................................
139
6 Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri pada lahan milik, pada lahan
sewa dan pada lahan yang di beli ............................................................
140
7 Hasil pengolahan data dengan Logistic Regression................................. 146
8 Hasil pengolahan data untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
produksi kemiri dengan Regressi Linier Berganda.................................
154
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan membagi hutan
menjadi hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada
tanah yang tidak dibebani hak atas tanah sedangkan hutan hak adalah hutan yang
berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan hak selanjutnya dikenal
dengan hutan rakyat yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah milik yang dibuktikan
dengan alas titel atau sertifikat.
Hutan rakyat sudah berkembang di lingkungan masyarakat sejak dahulu
yang dilakukan atas inisiatif masyarakat di lahan-lahan milik. Hal ini dapat dilihat
dari adanya hutan rakyat tradisional yang diusahakan secara swadaya berupa
tanaman sejenis maupun pola tanaman campuran, yang dilatarbelakangi oleh asal
mula sistem perladangan berpindah dan kemudian berkembang menjadi pertanian
menetap. Pada saat pertanian menetap, masyarakat menanam tanaman pertanian
karena memberi hasil jangka pendek dan menanam tanaman kayu-kayuan untuk
hasil jangka menengah dan jangka panjang.
Pemerintah sejak tahun 1960-an telah mengembangkan hutan rakyat
sebagai kegiatan penghijauan untuk mengatasi lahan kritis pada lahan milik
masyarakat (Awang et al. 2007). Kegiatan penghijauan adalah upaya memulihkan
atau memperbaiki keadaan lahan kritis di luar kawasan hutan melalui kegiatan
penanaman dan bangunan konservasi tanah agar dapat berfungsi sebagai media
produksi dan sebagai media pengatur tata air yang baik serta upaya
mempertahankan dan meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan
peruntukkannya. Kegiatan penghijauan yang dilaksanakan pemerintah bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penyediaan bahan baku industri
dan peningkatan mutu lingkungan. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman
keras, MPTS (Multi Purpose Trees Species) dan buah-buahan (Kemenhut 2010).
Keberadaan hutan rakyat di Indonesia sampai saat ini sudah cukup luas dan
sudah memberikan hasil produksi kayu yang cukup besar. Luasan dan potensi
hutan rakyat yang ada di Indonesia sampai tahun 2004 sudah mencapai
1.568.415,6 ha dengan potensi kayu sebesar 39.416.557,5 m3 dan yang paling
2
luas adalah hutan rakyat yang dilakukan secara swadaya yang mencapai
966.722,3 ha dengan potensi kayu sebesar 33.650.443,1 m3 (Tabel 1). Pemerintah
telah melakukan penghijauan di luar kawasan hutan termasuk hutan rakyat seluas
1.785.149 ha sejak tahun 2000 sampai tahun 2004 (Dephut 2006) dan pembuatan
hutan rakyat seluas 1.810.601 ha sejak tahun 2004 sampai 2008 (Dephut 2009).
Tabel 1 Potensi dan luas hutan rakyat di Indonesia tahun 2004
No Jenis Sumber Dana Luas (ha) Perkiraan Potensi (m3)
1 Hutan rakyat swadaya 966.722,3 33.650.443,1
2 Hutan rakyat subsidi 131.090,5 4.935.417,5
3 Hutan rakyat melalui KUHR 41.785,9 744.129,9
4 Hutan rakyat DAK DR 18.917,9 86.567,0
5 Hutan rakyat kegiatan GNRHL 409.899,0 0,0
Jumlah 1.568.415,6 39.416.557,5 Sumber : Hindra (2006)
Perkembangan hutan rakyat di Pulau Jawa setiap tahunnya cenderung
meningkat. Walaupun ketersediaan lahan mulai menyempit akibat tekanan
pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi sehingga permintaan lahan untuk
perumahan dan lahan pertanian juga semakin tinggi, tetapi kegiatan pengusahaan
hutan rakyat masih tetap berkembang.
Tabel 2 Potensi luas hutan rakyat di Jawa-Madura
No Klasifikasi penutupan
lahan
Periode 2006-
2008 (ha)
Periode 2000-
2003 (ha)
Periode
1990-1993
(ha)
Perubahan
(%)
1 Hutan lahan
kering/primer*) 107.706,97 65.961,24 45.572,19 136,34
2 Hutan tanaman*) 374.057,31 384.869,50 304.461,12 22,86
3 Perkebunan 153.441,62 166.553,30 80.322,79 91,03
4 Pertanian lahan kering*) 935.069,26 1.098.215,20 837.379,82 11,67
5 Pertanian lahan kering
campur semak 977.796,44 984.066,80 601.042,74 62,68
6 Semak belukar 36.942,46 30.946,00 32.018,48 15,38
Total 2.585.014,06 2.730.612,04 1.900.797,14 35,99 Keterangan : *) Klasifikasi lahan yang tergolong hutan rakyat
Sumber : BPKH Wilayah XI Jawa Madura (2009)
Potensi hutan rakyat untuk Pulau Jawa dan Madura menurut Balai
Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa Madura tahun 2009
mencapai luas 1.416.833,54 ha. Potensi ini diketahui melalui pendekatan GIS
dimana klasifikasi penutupan lahan yang masuk kriteria hutan rakyat adalah hutan
3
lahan kering sekunder/primer, hutan tanaman dan pertanian lahan kering. Adapun
luas masing-masing setiap kriteria dapat dilihat pada Tabel 2.
Hutan rakyat di luar Pulau Jawa masih belum berkembang, sementara
ketersediaan lahan cukup luas. Kegiatan hutan rakyat berlangsung secara
tradisional dengan jenis tanaman yang ada merupakan tanaman-tanaman yang
tumbuh secara alami di lahan-lahan milik rakyat yang dikombinasikan dengan
tanaman lain seperti buah-buahan dan tanaman pertanian.
Perkembangan hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara tidak secepat yang
ada di Jawa. Ada yang dilakukan secara swadaya pada lahan milik, tanah marga
dan pekarangan, kegiatan pemerintah dan kerjasama kemitraan. Luas hutan rakyat
di Propinsi Sumatera Utara (Hindra 2006) dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan
luas hutan rakyat yang dikembangkan oleh pemerintah sejak tahun 2004 sampai
tahun 2008 mencapai 40.155 ha (Dephut 2009). Jenis tanaman pada lahan milik
rakyat antara lain kopi, aren, pinang, kayu manis, kemiri, cengkeh, durian,
mangga, kemenyan, pinus, suren, eukaliptus, pinus, jati putih dan karet.
Tabel 3 Luas hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara
No Jenis Sumber Dana Luas (ha)
1 Hutan rakyat swadaya 45.692,10
2 Hutan rakyat subsidi 1.075,00
3 Hutan rakyat melalui KUHR 677,00
4 Hutan rakyat DAK DR 280,00
5 Hutan rakyat kegiatan GNRHL 8.480,00
Jumlah 56.204,10 Sumber : Hindra (2006)
Salah satu jenis tanaman hutan rakyat yang berkembang secara tradisional
adalah kemiri. Tanaman kemiri merupakan tanaman yang memiliki prospek untuk
dikembangkan dalam kegiatan hutan rakyat karena menghasilkan buah dan kayu
sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi. Buahnya bermanfaat sebagai penyedap
makanan (bumbu masak), obat-obatan (pencahar, sariawan, disentri, bisul,
merangsang pertumbuhan rambut, obat kulit, obat linu pada pinggang), minyak
kemiri digunakan sebagai bahan cat, pernis, sabun, pelapis perahu, minyak lampu,
industri batik, kosmetik (Paimin 1994; Sunanto 1994; Winarbowo dan Manoko
2006) dan melindungi kayu dari serangan rayap (Nakayama dan Obsbrink 2010).
Kulit biji (cangkang) dapat dimanfaatkan untuk bahan baku obat nyamuk bakar
4
dan arang (Paimin 1994; Wibowo 2007). Ampas pengelolaan minyak dapat
digunakan untuk pakan ternak dan pupuk tanaman karena mengandung unsur
NPK yang cukup tinggi, sementara kayu kemiri berguna sebagai kayu bakar,
bahan baku korek api, sumpit, perabot rumah tangga, papan pengepak, pulp,
vinir/kayu lapis (Paimin 1994; Winarbowo dan Manoko 2006). Pohon kemiri juga
bermanfaat sebagai tanaman rehabilitasi. Perum Perhutani di Jawa dan Nusa
Tenggara Timur menggunakan kemiri sebagai tanaman untuk menghutankan
kembali tanah kosong (Djajapertjunda 2003; Koji 2002) dan berfungsi sebagai
tanaman konservasi tanah dan air terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) serta
daerah bertopografi miring dan curam (Wibowo 2007).
Tabel 4 Luas dan produksi kebun kemiri di Indonesia sejak tahun 1984-2009
Tahun Luas (ha) Produksi (ton)
Tahun Luas (ha) Produksi (ton)
1984 74.736 29.246
1997 179.621 69.776
1985 68.444 56.819
1998 174.798 66.302
1986 84.668 28.852
1999 193.805 65.394
1987 69.632 27.778
2000 205.532 74.319
1988 70.621 24.274
2001 205.322 77.375
1989 85.177 28.497
2002 212.487 88.481
1990 109.806 35.576
2003 212.677 95.870
1991 130.122 36.819
2004 206.321 94.005
1992 135.486 37.926
2005 196.407 92.667
1993 148.024 56.929
2006 205.454 102.308
1994 170.098 64.182
2007 209.375 102.609
1995 178.378 71.240
2008*) 209.734 107.116
1996 182.587 78.613
2009**) 210.198 111.058 Keterangan : *) Angka sementara, **) angka estimasi
Sumber : Deptan (2009)
Luas dan produksi tanaman kemiri di Indonesia setiap tahunnya cenderung
meningkat. Menurut Deptan (2009), tanaman kemiri yang tumbuh di Indonesia
100% adalah tanaman kemiri yang diusahakan oleh masyarakat dalam bentuk
kebun penduduk (perkebunan rakyat). Potensi luas dan produksi tanaman kemiri
yang ada di Indonesia sejak tahun 1984 sampai 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.
Perkembangan tanaman kemiri juga melibatkan sejumlah petani sebagai tenaga
kerja yang yang melakukan pengelolaan. Jumlah petani yang terlibat dalam
pengelolaan tanaman kemiri di Indonesia untuk tahun 2004 sampai 2009 dapat
dilihat pada Tabel 5.
5
Tabel 5 Luas, produksi dan jumlah petani kemiri di Indonesia tahun 2004-2009
Tahun Luas (ha) Produksi (ton) Rerata Produksi (kg/ha)
Jumlah Petani
(KK)
2004 206.321 94.005 769 348.728
2005 209.264 92.667 766 354.293
2006 205.455 102.308 844 342.435
2007 209.375 102.609 797 362.644
2008*) 209.734 107.116 802 363.248
2009**) 210.198 111.058 805 363.977 Keterangan : *) Angka sementara, **) angka estimasi
Sumber : Deptan (2009)
Tanaman kemiri di Propinsi Sumatera Utara hampir tersebar di semua
kabupaten, seperti terlihat pada Tabel 6. Deptan (2009) menyebutkan bahwa luas
tanaman kemiri di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2007 mencapai 11.636 ha
dengan produksi buah mencapai 13.761 ton, yang melibatkan 15.691 petani.
Rerata produktivitas hasil kemiri rakyat adalah 1.498 kg/ha dan rerata
kepemilikan luas lahan kemiri sekitar 0,74 ha.
Tabel 6 Luas, produksi dan jumlah petani kemiri tahun 2007 di Sumatera Utara
No Kabupaten Luas
(ha)
Produksi
(ton)
Rerata Produksi
(kg/ha)
Jumlah Petani
(KK)
1 Deli Serdang 857 465 658 1.742
2 Langkat 543 432 814 837
3 Simalungun 459 786 1.774 1.154
4 Karo 2.560 2.358 1.384 1.232
5 Dairi 3.518 7.057 2.074 4.637
6 Tapanuli Utara 451 184 767 597
7 Tapanuli Tengah 150 116 935 876
8 Nias 194 8 571 190
9 Nias Selatan 18 4 500 120
10 Tapanuli Selatan 689 738 1.570 766
11 Asahan 13 7 500 41
12 Mandailing Natal 688 276 600 276
13 Toba Samosir 269 106 520 654
14 Humbang Hasundutan 581 200 623 832
15 Pak-pak Barat 0 0 0 0
16 Samosir 538 926 2.086 973
17 Serdang Bedagai 108 98 1.010 764
Jumlah 11.636 13.761 1.498
15.691 Sumber : Deptan (2009)
Salah satu kabupaten penghasil kemiri adalah Dairi. BPS (2009)
menyebutkan bahwa luas tanaman kemiri pada tahun 2008 mencapai 4.463 ha
dengan produksi mencapai 8.273,6 ton. Tanaman kemiri hampir tumbuh di
6
beberapa kecamatan, paling banyak di Kecamatan Tanah Pinem dengan
luas 3.846 ha dan produksi buah sampai 6.446 ton. Pada Tabel 7 dapat dilihat
sebaran tanaman kemiri rakyat dan produksinya di Kabupaten Dairi pada tahun
2008. Rerata produksi hasil kemiri di Kabupaten Dairi adalah 2.074 kg/ha dan
jumlah petani yang mengelolanya mencapai 4.637 KK.
Tabel 7 Sebaran kemiri rakyat di Kabupaten Dairi pada tahun 2008
No Kecamatan Luas (ha) Produksi Buah (ton)
1 Sidikalang 9,50 11,70
2 Sitinjo 0 0
3 Berampu 0 0
4 Parbuluan 23,00 38,00
5 Sumbul 30.00 31,20
6 Silahisabungan 25,50 39,50
7 Silima Pungga-pungga 47.00 828,00
8 Lae Parira 39,00 64,80
9 Siempat Nempu 25,00 19,80
10 Siempat Nempu Hulu 82,00 147,60
11 Siempat Nempu Hilir 71,00 141,00
12 Tigalingga 138,00 260,00
13 Gunung Sitember 97,00 191,00
14 Pegagan Hilir 30,00 55,00
15 Tanah Pinem 3.846,00 6.446,00
Jumlah 4.463,00 8.273,60 Sumber : BPS Kabupaten Dairi (2009)
Pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem sudah berlangsung
sangat lama, turun temurun dan merupakan salah satu usaha yang dikembangkan
menjadi mata pencaharian penduduk sebagai sumber penghasilan. Perkembangan
pengelolaan tanaman kemiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan
eksternal dalam pengambilan keputusan untuk mengelola atau tidak mengelola.
Seorang petani kemiri akan menjual kemirinya dengan kondisi dikupas dan
tidak dikupas. Kemiri yang dikupas dijual lebih mahal dari kemiri yang belum
dikupas. Untuk kemiri yang tidak dikupas, biasanya dibeli oleh pihak lain untuk
kemudian dikupas agar harga jualnya lebih tinggi dari harga belinya. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan tanaman kemiri di Kecamatan Tanah Pinem
dapat membuka lapangan pekerjaan bagi pihak lain.
Salah satu arah Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan tahun 2006-2025
adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan peran aktif masyarakat dalam
pengelolaan hutan yang adil dan bertanggung jawab. Strategi yang ditempuh yaitu
7
meningkatkan luasan hutan rakyat yang mandiri dan mendukung fungsi hutan
sebagai penyangga kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Target luas hutan
rakyat yang akan dibangun sampai tahun 2025 adalah 8 juta ha (Dephut 2006).
Widiarti dan Mindawati (2007) menyebutkan bahwa pemilihan jenis pohon
yang tepat dalam pengembangan hutan rakyat harus berorientasi pada kecukupan
pangan keluarga, kelangsungan hasil dan kelestarian sumberdaya. Sehingga,
pemilihan jenis tanaman untuk program pemerintah untuk kepentingan
masyarakat pada suatu wilayah harus sesuai dengan kondisi lingkungan wilayah
tersebut atau bersifat site spesifik dengan pertimbangan faktor teknis, ekonomis,
ekologis dan sosial budaya, agar kegiatan hutan rakyat dapat menjadi pilihan
usaha yang produktif dan lestari. Dari penjelasan ini, maka salah satu sasaran
pengembangan kegiatan hutan rakyat sebaiknya adalah potensi-potensi tanaman
yang sudah ada di daerah yang bisa menjadi pertimbangan untuk dikembangkan
dalam meningkatkan pendapatan petani, pendapatan daerah dan mendukung
dalam pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi ekologi.
Sehubungan dengan berbagai latar belakang kondisi perkembangan hutan
rakyat yang ada dan dengan adanya rencana pemerintah mengembangkan hutan
rakyat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka dilakukan
suatu penelitian tentang pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang sudah tumbuh
dan berkembang di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi.
1.2 Perumusan Masalah
Pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem merupakan
kegiatan yang sudah turun temurun dan sudah berlangsung sejak dahulu.
Keberadaannya yang tetap bertahan sampai sekarang menunjukkan bahwa kemiri
telah menjadi komoditi andalan masyarakat sebagai sumber penghasilan.
Perkembangan pengelolaan tanaman kemiri rakyat sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal dan eksternal dari masyarakat, dimana faktor-faktor tersebut
bersifat mendukung dan menghambat dalam perkembangan pengelolaannya.
Davis et al. (2001), LEI (2001) dan Dephut et al. (1997) menyebutkan
bahwa pelaksanaan suatu kegiatan pada suatu lahan harus memperhatikan aspek
ekologi, ekonomi dan sosial. Pengelolaan suatu kegiatan tidak akan berhasil jika
8
hanya didasarkan pada suatu sisi saja, tetapi harus menyeluruh (integratif)
sehingga akan tercapai keberlanjutannya dalam pelaksanaan dan
pengembangannya.
Kajian tentang keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang ada
di Kecamatan Tanah Pinem belum ada, sehingga belum diketahui bagaimana
kondisi keberlanjutan pengelolaannya saat ini. Informasi-informasi mengenai
kondisi sosial masyarakat, sistem produksi buah dan kayu, pemasaran, analisis
finansial, tingkat kesejahteraan penduduk, penyerapan tenaga kerja, kondisi bio-
fisik dan lain-lain diperlukan untuk mengetahui kondisi pengelolaan tanaman
kemiri yang ada. Data-data ini diperlukan untuk mengetahui keberlanjutan
(sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat. Analisis keberlanjutan
pengelolaan kemiri rakyat ini akan menjadi masukan dalam upaya pengembangan
kegiatan yang sama untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan
hutan rakyat.
Jika pengelolaannya dapat dilakukan secara berkelanjutan dari aspek
ekologi, ekonomi dan sosial, maka kegiatan ini dapat berperan dalam
meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kualitas lingkungan dan
peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan.
Adapun pertanyaan yang ingin dijawab dan dijadikan sebagai permasalahan
dalam penelitian adalah
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri
rakyat?
2. Bagaimana keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat
yang ada sekarang?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri
rakyat.
2. Menganalisis keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri
rakyat dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial.
9
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian adalah
memberikan masukan bagi pemerintah dalam mengembangkan potensi tanaman
rakyat melalui kegiatan hutan rakyat dan sebagai bahan informasi dan referensi
bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan usaha tanaman kemiri.
1.5 Kerangka Pemikiran
Salah satu jenis tanaman yang ditanam pada hutan rakyat adalah kemiri.
Pohon kemiri adalah salah satu tanaman yang memiliki prospek untuk
dikembangkan karena bermanfaat dari segi ekologi, ekonomi dan sosial. Tanaman
kemiri adalah tanaman yang tumbuh secara alami di alam tetapi dalam
perkembangannya menjadi tanaman yang ditanam oleh masyarakat di lahan
miliknya karena menghasilkan buah dan kayu. Salah satu daerah yang
menghasilkan kemiri adalah Kecamatan Tanah Pinem. Pada tahun 2008, luas
tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem mencapai 3.846 ha dengan
produksi 6.446 ton (BPS 2009).
Pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem sudah berlangsung
sangat lama, turun temurun dan merupakan salah satu kegiatan yang bertahan
menjadi mata pencaharian penduduk sebagai salah satu sumber penghasilan.
Pengembangan pengelolaan tanaman kemiri rakyat sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal dan eksternal dari masyarakat, dimana faktor-faktor tersebut
ada yang bersifat mendukung maupun menghambat dalam pengembangan
pengelolaan kemiri rakyat yang ada. Sementara dalam perkembangan
keberlanjutan pengelolaannya, terkait dengan aspek ekologi, ekonomi dan sosial
(Davis et al. 2001; LEI 2001; Dephut et al. 1997)
Penelitian ini hendak melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pengelolaan tanaman kemiri rakyat dan analisis keberlanjutannya dari aspek
ekologi, ekonomi dan sosial. Hasil yang diperoleh nantinya dapat menjadi
masukan untuk dapat dikembangkan menjadi kegiatan hutan rakyat agar dapat
meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kualitas lingkungan dan
peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan. Adapun
kerangka pemikiran penelitian dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.
10
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
Pengelolaan tanaman kemiri rakyat
di Kecamatan Tanah Pinem
Identifikasi faktor-faktor eksternal
Identifikasi faktor-faktor internal
Hutan Rakyat di Prop. Sumut
Hutan Rakyat
Hutan Rakyat di Kab. Dairi
Analisis faktor-faktor
pengelolaan kemiri rakyat
Dapat menjadi
alternatif pilihan
pengembangan
kegiatan RHL di
luar kawasan hutan
khususnya untuk
hutan rakyat
Aspek Ekonomi
Aspek Ekologi
Aspek Sosial
Tercapainya tujuan pengelolaan hutan
rakyat yang dapat meningkatkan
pendapatan petani, peningkatan
kualitas lingkungan dan peningkatan
pendapatan pemerintah daerah secara
berkesinambungan
Analisis keberlanjutan
pengelolaan kemiri rakyat
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat
Hutan rakyat merupakan kegiatan yang sudah berlangsung sejak dahulu
sampai sekarang khususnya di daerah pedesaan. Hutan rakyat memiliki ciri yang
berbeda di setiap tempat, seperti jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam, luas
lahan, pola atau sistem penanaman, pola pengelolaan dan tujuan pelaksanaan.
Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa pola pemanfaatan dan interaksi
masyarakat desa dengan hutan rakyat cukup beragam dan berbeda-beda satu
dengan yang lain, tergantung kondisi kesuburan tanah, kultur masyarakat secara
umum dan kebijakan lokal yang terkait dengan pembangunan hutan rakyat.
Secara umum teridentifikasi bahwa hutan rakyat memegang peranan penting
dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat desa.
Proses pengelolaan lahan pertanian menjadi lahan yang lebih intensif
berlangsung dari pengalaman petani. Menurut Awang et al. (2007), pada suatu
hamparan lahan masyarakat Jawa, ditemukan adanya simbiosis antara tanaman
pangan, tanaman pakan ternak dan tanaman pohon-pohonan. Ini merupakan hasil
kebudayaan masyarakat yang mampu membentuk ekologi tersendiri. Tanaman
keras yang ditanam hanya terfokus pada tanaman tertentu, yaitu pada pohon-
pohon yang sudah terdomestifikasi (sudah dibudidayakan oleh masyarakat).
Pepohonan yang ditanam oleh masyarakat dalam lahan miliknya beraneka
ragam. Hutan rakyat yang hasil utamanya kayu, seperti sengon (Paraserianthes
falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp.), mahoni (Swetenia
mahagoni), surian/suren (Toona sureni) dan lain-lain. Hutan rakyat yang hasil
utamanya getah, seperti kemenyan (Styrax benzoin) dan damar (Shorea javanica).
Sementara yang hasil utamanya berupa buah, antara lain kemiri (Aleurites
moluccana), durian (Durio zibethinus), tengkawang (Shorea spp.) dan kelapa
(Cocos nucifera). Keberadaan pohon-pohon pada lahan pertanian masyarakat
berperan (1) memelihara dan memperbaiki lingkungan fisik dalam rangka
melestarikan tanaman pertanian dengan cara memperbaiki asupan nutrisi lahan
dan energi, dan (2) melestarikan sumber-sumber ekonomi keluarga. Semua
12
pohon-pohon yang ditanam di lahan milik, memiliki fungsi ekonomi, lingkungan
dan sosial budaya (Awang et al. 2007).
Pola pengembangan hutan rakyat di Indonesia dibagi menjadi tiga (Supriadi
2004), yaitu (1) Pola swadaya yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok
atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau
perorangan itu sendiri; (2) Pola subsidi yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui
subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya; dan (3)
Pola kemitraan yaitu hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan
perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat
dengan bunga ringan. Pola hutan rakyat yang akan diteliti adalah pola swadaya
yaitu hutan rakyat yang dibangun di atas lahan milik dengan modal dan tenaga
kerja sendiri. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah jenis tanaman penghasil
buah dan termasuk pada tumbuhan berguna yaitu kemiri. Deptan (2009),
menyebutkan bahwa hampir 100% tanaman kemiri yang ada di Indonesia adalah
tanaman yang dihasilkan oleh rakyat dalam kebun-kebun rakyat.
Hutan rakyat yang dikembangkan secara swakelola masih memiliki banyak
kendala dalam pengelolaannya. Hal ini dijelaskan oleh Awang et al. (2007) yang
menyebutkan bahwa konsep pengelolaan hutan rakyat sangat sederhana yaitu
hanya menanami tanah milik dengan tanaman berkayu dan membiarkannya
tumbuh tanpa pengelolaan intensif. Dalam perkembangannya masyarakat mulai
melakukan teknik-teknik budidaya, dengan menanam beragam jenis dan beragam
lapisan tanaman (multi layer) serta cara pemanenan yang tidak merusak pohon.
Namun, perkembangan ini tidak bersamaan dengan peningkatan kapasitas
manajerial yang memadai yang berpengaruh terhadap proses pengaturan hasil
yang hampir dapat dikatakan tidak ada karena keberadaan hutan rakyat di
masyarakat selalu dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan mendadak.Pemenuhan
kebutuhan ini membuat petani hutan rakyat sebagai produsen (hasil hutan rakyat)
selalu menjadi pihak lemah dalam posisi tawar-menawar harga produk.
Beberapa karakteristik hutan rakyat ditinjau dari aspek manajemen hutan,
yaitu: (1) Hutan rakyat berada di tanah milik dengan alasan tertentu, seperti lahan
kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan
pemeliharaan dan faktor resiko kegagalan yang kecil; (2) Hutan rakyat tidak
13
mengelompok dan tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta
keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan; (3) Pengelolaan hutan
rakyat berbasis keluarga yaitu masing-masing keluarga melakukan
pengembangan dan pengaturan secara terpisah; (4) Pemanenan hutan rakyat
berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil belum
berdasarkan kontinuitas hasil, yang dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan
yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman; (5) Belum terbentuk
organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat; (6)
Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani
hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu
bagi industri; dan (7) Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani
hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan
hutan tidak dirasakan oleh petani hutan rakyat.
Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah
bersifat individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki
manajemen formal, tidak responsif, subsisten dan hanya sebagai tabungan bagi
keluarga pemilik. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangannya ke depan
dinilai kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi
dengan pedagang dan industri dan tidak dapat menjamin adanya sinkronisasi
konservasi dan kelestarian hutan.
Pembangunan kehutanan saat ini semakin memperhatikan pembangunan
hutan rakyat (Widiarti dan Mindawati 2007), karena selain sangat strategis dalam
pemenuhan kebutuhan kayu dalam negeri, juga sangat menguntungkan ditinjau
dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Jenis tanaman yang
dikembangkan untuk program hutan rakyat adalah jenis penghasil kayu, jenis
hasil hutan non kayu dan tumbuhan berguna. Pemilihan jenis tanaman untuk
hutan rakyat sebaiknya dikembangkan jenis yang site spesifik dengan
pertimbangan teknis, ekonomis, ekologis dan sosial/budaya dengan maksud agar
usaha tani hutan rakyat menjadi pilihan usaha yang produktif dan lestari.
Komposisi jenis pohon mutlak diperlukan sebagai (1) sumber pendapatan, (2)
sumber energi, (3) sumber bahan baku industri, (4) sumber bahan organik, (5)
upaya memperbaiki iklim mikro, ketersediaan air dan mengurangi erosi.
14
Kondisi hutan rakyat tidak berbeda dengan kondisi hutan yang terdiri atas
berbagai jenis pepohonan sebagai tanaman utama, maka peranan hutan rakyat
tidak banyak berbeda dalam hal (1) ekonomi karena hutan rakyat memproduksi
kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan
dan jaringan ekonomi rakyat, (2) sosial karena membuka kesempatan kerja, (3)
ekologi karena berfungsi untuk mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi
dan memelihara kualitas lingkungan (penyerap CO2 dan penghasil O2), (4)
estetika berupa keindahan alam dan (5) sumber ilmu pengetahuan.
2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat
2.2.1 Aspek Sosial
Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara individu (perorangan) pada
lahan miliknya sehingga cenderung menyebar berdasarkan letak, luas
kepemilikan lahan dan keragaman pola usaha taninya. Pengembangan hutan
rakyat melibatkan banyak pihak, selain petani sebagai pelaku utama juga
didukung adanya kelembagaan yang berperan dalam pengembangannya.
Beberapa lembaga yang berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat adalah
kelompok tani, instansi pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga
perekonomian seperti bank, koperasi, pasar, industri, dll (Diniyati et al. 2008).
Kelembagaan ini dapat berperan dalam pelaksanaan suatu kegiatan sehingga
mampu mendorong masyarakat petani dalam melakukan kegiatan ke arah yang
lebih baik dengan mendapatkan hasil yang lebih baik juga.
Aspek kelembagaan dapat berupa lembaga pemerintah dan non pemerintah.
Dari aspek kelembagaan dapat diketahui sejauhmana pembangunan pedesaan
sudah berkembang. Menurut Mosher dalam Soekartawi (2002), ada tiga unsur
yang dikategorikan sebagai aspek kelembagaan dalam struktur pedesaan, yaitu
adanya pasar, adanya pelayan penyuluh dan adanya lembaga perkreditan. Pasar
sebagai tempat jual beli barang dan jasa. Penyuluh berfungsi untuk
pengembangan usaha rakyat dengan teknologi baru dan perkreditan berfungsi
untuk meningkatkan kemampuan rakyat dalam mengadakan faktor produksi.
Perkembangan hutan rakyat di setiap tempat dipengaruhi oleh kebiasaan
budaya dan pengetahuan lokal. Suharjito (2000) menyebutkan keberadaan hutan
15
rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani,
mikroorganisme, mineral tanah, air, udara, melainkan adanya peran manusia dan
kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan
hutan ini berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Hasil budaya ini terwujud
dalam pola tanam yang bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu
kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.
Hutan rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang
status haknya telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian
menjadi tanah dengan status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak
milik dengan sertifikat. Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi
hutan rakyat (Djajapertjunda 2003). Kepemilikan lahan (land tenure) merupakan
hal yang paling penting dalam pelaksanaan hutan rakyat, karena kepemilikan
lahan merupakan jaminan bagi petani untuk menentukan akses dan pengendalian
atas tanah dan sumberdaya yang ada di atasnya.
Aspek sosial yang dapat dilihat dari kegiatan hutan rakyat secara langsung
adalah terbukanya lapangan pekerjaan (Djajapertjunda 2003). Hal ini dapat
diketahui bahwa pada saat kegiatan hutan rakyat berkembang, maka industri
pengelolaannya juga akan meningkat, dimana kegiatan ini membutuhkan tenaga
kerja. Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat yang
dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa.
Pada beberapa propinsi, pengembangan budidaya kemiri di daerah pedesaan akan
mendorong agribisnis dan agroindustri yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat menciptakan lapangan kerja. Deptan (2006b) memperkirakan
bahwa pengusahaan kemiri melibatkan sekitar 352.000 KK dan mampu
mendorong berkembangnya ekonomi wilayah.
2.2.2 Aspek Ekonomi
Sumodiningrat (1999) menjelaskan bahwa perekonomian yang
diselenggarakan oleh rakyat adalah usaha ekonomi yang menjadi sumber
penghasilan keluarga atau orang per orang, yang dilakukan oleh rakyat yang
secara swadaya mengelola sumber daya setempat dan ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya dan keluarganya. Ekonomi rakyat bisa juga didefinisikan
sebagai segala kegiatan dan upaya rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasar
16
hidupnya (basic needs) yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.
Jadi, perekonomian rakyat berarti perekonomian yang berakar pada potensi dan
kekuatan masyarakat secara luas dalam menjalankan roda perekonomian mereka
sendiri, sehingga ekonomi rakyat adalah ekonomi pribumi (people’s economy is
indigenous economy). Ekonomi rakyat biasanya berkembang relatif lambat sesuai
dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu upaya untuk
meningkatkan perekonomian rakyat adalah dengan pemberdayaan masyarakat
melalui penguatan kelembagaan. Permasalahan dalam pengembangan hasil rakyat
adalah kualitas produk yang masih rendah, lemahnya posisi tawar petani dalam
perdagangan, informasi harga yang tidak ada, pengaruh harga pasar dan sarana
aksesibilitas dalam pengangkutan yang terbatas sehingga yang berperan dalam
pemasaran hasil hutan rakyat umumnya adalah tengkulak.
Hutan rakyat dikembangkan petani apabila memberikan kenaikan
pendapatan. Manfaat ekonomi akan sangat dirasakan oleh petani khususnya pada
pola agroforestry karena pendapatan yang diperoleh dapat berkelanjutan dari
hasil pertanian dan tanaman kayu-kayuan. Sedangkan pola monokultur hanya
memberikan penghasilan jangka panjang dan memenuhi kebutuhan mendesak.
Pada berbagai hasil penelitian di beberapa tempat di Pulau Jawa, hutan rakyat
berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan perekonomian daerah
(Hayono 1996; Romansyah 2007; Dirgantara 2008).
Untuk struktur pendapatan petani, pendapatan dari hutan rakyat adalah
pendapatan tambahan dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari total pendapatan
petani (Hardjanto 2000; Darusman dan Hardjanto 2006). Hardjanto (2001)
menyebutkan bahwa pendapatan hutan rakyat pada Sub DAS Cimanuk Hulu
berbeda pada zona atas, tengah dan bawah yaitu 31,5%, 5,6% dan 10,2%.
Pendapatan masyarakat dibagian atas lebih besar karena hutan rakyat di bagian
atas merupakan kegiatan yang menjadi sumber penghasilan andalan bagi
masyarakat dan intensitas pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat cukup
tinggi, sedangkan pendapatan masyarakat pada bagian tengah dan bawah adalah
rendah karena masyarakat kurang mengelola secara intensif, tingkat kesuburan
lahan yang rendah dan masyarakat lebih mengharapkan sumber pendapatan dari
sektor lain.
17
Untuk pendapatan dari berbagai jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK),
Wijayanto (2001) menyebutkan bahwa kontribusi pendapatan petani dari getah
damar sebelum krisis ekonomi di Pesisir Krui adalah sebesar 51,37%, pada saat
krisis ekonomi sebesar 65% dan setelah krisis ekonomi sebesar 47,37%.
Nurrochmat (2001) menyebutkan bahwa pendapatan dari getah kemenyan
memberikan kontribusi yang dominan yaitu lebih dari 50% terhadap pendapatan
masyarakat, sedangkan menurut Sitompul (2011) sebesar 60,69%. Pendapatan
yang cukup besar dari HHBK menunjukkan bahwa HHBK berperan besar
menjadi sumber pendapatan andalan masyarakat karena pendapatan dari HHBK
seperti getah damar dan getah kemenyan dapat diperoleh hampir setiap tahun,
sedangkan pendapatan dari kayu hanya dapat diperoleh pada akhir masa daur
tanam atau pada saat usia panen sudah tiba.
Pemasaran merupakan aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran ini
terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran
sangat tergantung pada sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang
yang dipasarkan. Saluran pamasaran dapat berbentuk sederhana dan kompleks,
tergantung dari jenis komoditi, lembaga pemasaran dan sistem pasar. Dalam
sistem saluran pemasaran, ada produsen, pedagang pengumpul, pengecer,
tengkulak, pedagang besar, eksportir dan konsumen. Semua yang terlibat
memiliki peranan dan fungsi berbeda dicirikan oleh aktivitas yang dilakukan dan
skala usaha (Soekartawi 2002).
Untuk memasarkan hasil produk hutan rakyat, Hardjanto (2000, 2003)
menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi tawar yang lemah jika
dibandingkan dengan para tengkulak, industri kecil dan industri besar. Jumlah
petani hutan rakyat yang banyak, memiliki sumberdaya yang terbatas, tidak
membentuk usaha bersama dan tidak menguasai pasar maka berdampak pada
posisi tawar yang lebih rendah. Sementara itu, para tengkulak dan pihak industri
bersifat lebih solid, memiliki perencanaan usaha yang lebih baik, menguasai
informasi pasar sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Perbedaan posisi
ini menyebabkan pendapatan petani hutan rakyat selalu lebih kecil dan pada
gilirannya tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usahanya.
18
Untuk mengetahui sejauh mana suatu usaha hutan rakyat dapat memberikan
keuntungan maka dapat dilakukan analisis yang berbasis finansial. Analisis ini
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang
dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan
pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Kelayakan
finansial meliputi struktur penerimaan, biaya dan pendapatan.
Untuk menilai kelayakan finansial suatu kegiatan/proyek, ada tiga kriteria
yang umum digunakan (Kadariah, Karlina dan Gray 1999; Nurmalina, Sarianti
dan Karyadi 2010) yaitu net benefit cost ratio (Net B/C), net present value (NPV)
dan internal rate of return (IRR), dengan kriteria suatu usaha tani dikatakan layak
jika NPV > 0, BCR > 1 dan IRR > i. BCR diperoleh dengan cara membagi jumlah
pendapatan dengan jumlah biaya dari suatu proyek, dengan kriteria kelayakan
proyek bila BCR lebih besar dari satu. Dalam menghitung nilai sekarang
digunakan faktor diskonto, sedangkan nilai absolut dari rasio pendapatan
bervariasi tergantung dari suku bunga yang digunakan. Semakin tinggi suku
bunga, maka nilai BCR mungkin akan lebih dari satu. NPV adalah nilai diskonto
dari selisih manfaat dan biaya untuk setiap tahun atau aliran keluar masuknya
uang yang juga berarti pendapatan bersih. Sedangkan IRR adalah suatu tingkat
bunga (discounte rate) yang menunjukkan NPV sama dengan jumlah seluruh
biaya investasi proyek. IRR bermanfaat untuk mengukur keuntungan proyek.
Cara yang digunakan untuk menentukan tingkat suku bunga yang ideal adalah
melakukan percobaan-percobaan dengan interpolasi diantara suku bunga yang
lebih rendah (menghasilkan NPV positif) ataupun dengan tingkat suku bunga
yang lebih tinggi (menghasilkan NPV negatif). IRR adalah suku bunga yang
menyebabkan NPV adalah nol. Usaha dipandang baik dari sudut peminjaman
modal bila IRR-nya paling tinggi dan diatas suku bunga yang berlaku.
2.2.3 Aspek Ekologi
Penggunaan lahan pada permukaan tanah akan sangat berpengaruh pada
kualitas lahan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan hutan rakyat adalah model
agroforestry. Mahendra (2009), pengaruh penerapan sistem agroforestry terhadap
aspek ekologi adalah signifikan. Tanaman pohon-pohon akan memiliki peranan
19
terhadap peningkatan kesuburan tanah, mengurangi laju erosi karena serasah yang
ada dipermukaan tanah, terciptanya iklim mikro, membaiknya karakteristik
hidrologi, melimpahnya keragaman flora dan fauna tanah dan lain-lain. Secara
umum disebutkan bahwa secara ekologi agroforestry terbukti dapat menjaga
kelestarian lingkungan.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa Madura
(2009) menyebutkan bahwa ada beberapa fakta tentang peran hutan rakyat
terhadap lingkungan terutama dengan ketersediaan sumber air secara lokal.
Beberapa fakta menunjukkan bahwa keberadaan hutan rakyat telah memunculkan
sumber-sumber air yang menjadi sumber air bersih dan untuk keperluan irigasi,
seperti di Dusun Pagersengon Wonogiri, Hutan Bambu di Malang Selatan, Dusun
Kedungkeris dan Dusun Sendowo Kidul Gunung Kidul.
Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa umumnya masyarakat menanam
jenis kayu-kayuan dan buah-buahan pada lahan kering pekarangan dan tegalan,
dimana pengembangan lahan kering ini adalah lahan-lahan kurang produktif,
kurang subur, dan umumnya kondisi kritis. Dengan hutan rakyat, kegiatan ini
dapat memulihkan kesuburan tanah dan produktivitas lahan-lahan kritis dapat
pulih sehingga dapat memberikan manfaat pada keseimbangan lingkungan.
Haryadi (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat sangat berperan dalam
pelestarian lingkungan. Pola hutan rakyat campuran memberikan banyak
keuntungan seperti keanekaragaman hayati, habitat satwa liar, mempertahankan
kesuburan tanah, menjaga stabilitas suhu tanah dan organisme yang terkandung
didalamnya, mengurangi CO2 dan pemanasan global dan penahan erosi.
2.3 Pengelolaan Hutan Lestari
Untuk mengembangkan suatu usaha, maka keberlanjutan usaha merupakan
hal utama yang harus diperhatikan sehingga dapat memberikan manfaat saat ini
maupun untuk masa mendatang. Fauzi (2006) menyatakan bahwa konsep
keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana tetapi kompleks, sehingga
konsep ini bersifat multi-dimensi dan multi-interpretasi. Dalam tulisannya, Fauzi
menyatakan bahwa konsep keberlanjutan yang dipakai adalah konsep yang
disepakati oleh Komisi Bruntland yang menyebutkan bahwa “pembangunan
20
berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka”. Pembangunan berkelanjutan untuk sumberdaya alam yang terbarukan
adalah apabila laju pemanenan harus sama dengan laju regenerasi (produksi
lestari). Haris (2000) dalam Fauzi (2006) menyebutkan bahwa konsep
keberlanjutan dapat dirinci dalam tiga aspek yaitu (1) keberlanjutan ekonomi
yaitu pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu
untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri.
(2) Keberlanjutan lingkungan yaitu sistem yang harus mampu memelihara
sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep lingkungan
menyangkut keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara dan fungsi ekosistem,
di dalamnya tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. (3) Keberlanjutan
sosial yaitu sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan
sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender dan akuntabilitas politik.
Davis et al. (2001) menyatakan, kelestarian secara umum terdiri dari
elemen yang saling ketergantungan antara elemen ekologi, ekonomi dan sosial.
Dalam konteks visi, kelestarian berarti memenuhi kebutuhan generasi sekarang
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya. Perspektif ekologi, ekonomi dan sosial dalam pengelolaan hutan
meliputi prinsip dan indikator.
Prinsip ekologi. Ekologi kehutanan menganalisis sumberdaya hutan dari
sudut pandang konservasi keragaman hayati dan produktivitas ekologi. Hal-hal
yang menjadi perhatian adalah pola dan proses gangguan alami dan bagaimana
mengatasi gangguan tersebut dan dampaknya dan keragaman jenis sebagai
panduan dalam pengelolaan.
Prinsip ekonomi. Ekonomi kehutanan menganalisis sumberdaya hutan dari
sudut pandang memaksimumkan manfaat hutan untuk manusia yang dapat dilihat
dari sudut pandang mikro (perusahaan) dan makro (daerah dan nasional).
Perspektif makro ekonomi menganalisis manfaat dari segi ekonomi dan fokus
pada kesehatan ekonomi seperti tenaga kerja, pendapatan dan produk nasional
21
bruto. Mikro ekonomi menganalisis manfaat dari sudut pandang individu
perusahaan dan fokus pada akumulasi kesejahteraan.
Prinsip sosial. Prinsip ini menganalisis sumberdaya hutan dari sudut
pandang kelestarian kesejahteraan manusia, komunitas dan masyarakat. Konsep
dasarnya dalam prinsip ini adalah bahwa sumberdaya hutan harus memberikan
manfaat langsung pada kesejahteraan manusia dan komunitas. Elemen-elemen
dari manfaat sosial ini adalah distribusi manfaat hutan, kapasitas masyarakat
untuk mengakomodasi perubahan, aksesibilitas sosial dan demokrasi partisipatif.
Indikator yang banyak digunakan untuk mengukur kelestarian kondisi dan
outcame hutan dalam rencana pengelolaan hutan adalah (1) pertumbuhan pohon;
(2) hasil kayu; (3) daya dukung masyarakat; (4) komposisi hutan, struktur hutan
dan proses yang terjadi dalam hutan; dan (5) habitat untuk spesies tertentu.
Indikator 1 sampai 3 digunakan untuk mengukur kelestarian ekonomi dan sosial
sedangkan indikator 4 dan 5 digunakan untuk membantu mengukur kelestarian
ekologi. Adapun beberapa penilaian yang dilakukan untuk menganalisis
kelestarian pengelolaan hutan menurut dimensi ekologi, ekonomi dan sosial
berdasarkan Davis et al. (2001) dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Dimensi ekologi, produksi dan sosial dalam analisis kelestarian
Dimensi Jenis data Penjelasn
Ekologi 1. Adanya gangguan (kebakaran, hama penyakit, banjir, tanah longsor dll)
Selang waktu terjadinya suatu gangguan, intensitas terjadinya gangguan, pola penyebaran
2. Pemilihan sistem silvikultur
3. Pemilihan rotasi (umur) dan distribusi kelas umur 4. Pemilihan pola spasial pemanenan
Ekonomi Maksimasi manfaat bagi manusia dari sudut pandang
1. Mikroekonomi
2. Makro ekonomi
Usaha individu, kesejahteraan Ukuran agregat ekonomi (tenaga kerja, income,
GNP, dll)
Sosial 1. Distribusi manfaat hutan Tingkat kemiskinan, pengangguran dan migrasi
populasi
2. Kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan
Tingkat pendidikan, kohesif dan kepemimpinan masyarakat, jumlah dan tipe infrastruktur (jalan,
sistem sekolah, dll) 3. Akseptabilitas sosial Keputusan pengelolaan hutan yang diambil
harus diterima secara ekonomi, ekologi dan
nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat 4. Demokrasi partisipatif Keterlibatan publik dalam pengambilan
keputusan pengelolaan hutan (misalnya
perlindungan, monitoring dan implementasi rencana)
Sumber : Davis et al. (2001)
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) tahun 2001 sudah mengembangkan sistem dan
standar sertifikasi untuk pengelolaan hutan baik hutan alam, hutan tanaman dan
22
pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat
(community based forest management) adalah hutan yang dikelola sebagai hutan rakyat
(hutan milik) atau hutan adat. Standar untuk kegiatan pengelolaan ini disebut dengan
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) yang diartikan sebagai segala
bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-
cara tradisional baik dalam bentuk unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas
(koperasi dalam arti luas), maupun individual berskala kecil sampai sedang yang
dilakukan secara lestari. Untuk mendapatkan sertifikat PHBML, maka ada prosedur yang
harus dipenuhi yang dinilai sesuai dengan standar dan kriteria yang ditentukan yang
mencakup pada aspek sosial, produksi dan ekologi yang berhubungan dengan kegiatan
pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan.
Standar kriteria dan indikator dalam dokumen PHBML masih dibatasi pada
ukuran-ukuran kelestarian PHBM dengan produk utama kayu. Pengelolaan hutan
berbasis masyarakat lestari dapat diwujudkan apabila dimensi hasil (outcame) dapat
dicapai melalui strategi dan kegiatan manajemen yang tepat. Pada Tabel 9 dapat dilihat
kriteria dan indikator PHBML.
23
Tabel 9 Kriteria dan Indikator PHBML
No Prinsip Kriteria Indikator
1 Kelestarian
fungsi produksi
1.Kelestarian
sumberdaya
P.1.1. Lokasi HBM sesuai dengan peruntukan lahan
P.1.2. Status dan batas lahan jelas P.1.3. Perubahan luas penutupan lahan
P.1.4. Managemen pemeliharaan hutan P.1.5. Sistem silvikultur sesuai daya dukung hutan
2. Kelestarian hasil P.2.1. Penataan areal pengelolaan hutan
P.2.2. Kepastian Adanya Potensi Produksi untuk Dipanen Lestari P.2.3. Pengaturan hasil
P.2.4. Efisiensi pemanfaatan hutan
P.2.5. Keabsyahan Sistem Lacak Balak dalam hutan P.2.6. Prasarana pengelolaan hutan
P.2.7. Pengaturan manfaat hasil
3. Kelestarian usaha P.3.1. Kesehatan usaha P.3.2. Kemampuan akses pasar
P.3.3. Sistem Informasi Managemen (SIM)
P.3.4. Tersedia tenaga trampil P.3.5. Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan
P.3.6. Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi
setempat kelestarian 2 Kelestarian
fungsi
ekologi
1.Stabilitas
ekosistem
E1.1 Tersedianya aturan kelola produksi yang meminimasi gangguan
terhadap integritas lingkungan
E1.2 Proporsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap keseluruhan kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata
batas di lapangan
E1.3 Dampak kegiatan kelola produksi terhadap stabilitas ekosistem (tanah, air, struktur dan komposisi hutan) dan intensitasnya
terdokumentasi
E1.4 Adanya rencana kelola lingkungan dan efektifitas kegiatannya 2. Sintasan spesies
langka/endemik/
dilindungi
E2.1 Tersedianya informasi mengenai spesies langka/endemik/dilindungi
dan agihan habitatnya yang penting dalam kawasan
E2.2 Adanya upaya minimasi dampak kelola produksi terhadap spesies langka/ endemik/dilindungi
3 Kelestarian
fungsi sosial
1. Kejelasan sistem
tenurial lahan dan hutan komunitas
S1.1. Status lahan/areal tidak dalam proses konflik dengan warga
anggota komunitasnya maupun pihak lain;
S1.2. Kejelasan batas-batas areal dengan pihak lain;
S1.3. Fungsi kawasan menurut kepentingan komunitas/publik secara jelas
diakui sebagai kawasan hutan tetap;
S1.4. Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang demokratis dan adil terhadap pertentangan klaim atas hutan
yang sama;
S1.5. Pelaku pengelolaan PHBM benar-benar warga komunitas, baik dijalankan sendiri atau bermitra.
2.Terjaminnya
ketahanan dan pengembangan
ekonomi komunitas
S2.1. Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu
mendukung kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi; S2.2. Penerapan teknik-teknik produksi minimal tetap mempertahankan
tingkat penyerapan tenaga kerja yang ada, baik laki-laki maupun
perempuan; S2.3. Kegiatan pengelolaan hutan maupun paska panen sejauh mungkin
dikembangkan di dalam wilayah komunitas dan menggunakan
tenaga kerja komunitas. 3.Terbangunnya
pola hubungan
sosial yang simetris dalam proses
produksi
S3.1. Pola hubungan sosial yang terbangun antara berbagai pihak dalam
pengelolaan hutan merupakan hubungan sosial relatif sejajar.
S3.2. Pembagian kewenangan jelas dan demokratis dalam organisasi penyelenggaraan PHBM
4. Keadilan manfaat
menurut
kepentingan komunitas
S4.1. Ada kompensasi atas kerugian yang diderita komunitas secara
keseluruhan akibat pengelolaan hutan oleh kelompok dan
disepakati seluruh warga komunitas;
S4.2. Seluruh warga komunitas dan publik terbuka untuk terlibat dalam
penyelenggaraan PHBM S4.3. Ada mekanisme pertanggungjawaban publik dari kelompok
pengelola terhadap komunitas dan/atau publik
Sumber: LEI (2001)
24
2.4 Tanaman Kemiri
Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) menyebutkan bahwa kemiri termasuk pada kelompok minyak lemak,
pati dan buah-buahan dengan produk minyak kemiri dan kelompok tumbuhan
obat dengan produk ekstrak pepagan. Permenhut No. P.03/Menhut-V/2004
tentang pedoman pembuatan tanaman hutan rakyat Gerakan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan menyebutkan bahwa kemiri adalah tanaman MPTS yaitu jenis
tanaman serba guna yang dapat diambil buah, bunga, kulit dan daunnya. Tanaman
kemiri merupakan tanaman yang dapat memberikan manfaat sosial kepada
masyarakat, manfaat ekonomi untuk meningkatkan devisa negara dan manfaat
lingkungan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Kemiri termasuk jenis
tanaman untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, mencegah erosi,
peningkatan kualitas lingkungan dan pengatur tata air.
Pohon kemiri (Aleurites moluccana) merupakan family Euphorbiaceae
dapat tumbuh pada ketinggian 0-800 (bisa juga sampai 1200) m diatas permukaan
laut. Tanaman kemiri tidak memerlukan persyaratan khusus karena kemiri dapat
tumbuh pada lapangan yang berkonfigurasi datar sampai pada tempat-tempat
bergelombang dan curam, pada tanah yang subur sampai kurang subur dan pada
daerah yang beriklim kering sampai daerah beriklim basah (Djajapertjunda 2003;
Sunanto 1994; Paimin 1994). Kemiri dapat tumbuh pada daerah dengan jumlah
curah hujan 1.500-2.400 mm/tahun dan suhu 200-27
0C (Deptan 2006a). Dalam
Warta litbang Deptan tahun 2006 disebutkan bahwa tanaman kemiri dapat
tumbuh pada suhu 210-28
0C, kelembaban udara rata-rata 75%, curah hujan 1.100-
2.400 mm/tahun dan dengan jumlah hari hujan antara 80-100 hari.
Manfaat tanaman kemiri sangat banyak. Menurut Sunanto (1994) manfaat
tanaman kemiri adalah untuk bumbu masak, bahan baku industri, dan pohon
kemiri digunakan untuk membuat perabot rumah tangga, kayu bakar, bahan baku
korek api dan pembuatan bahan pulp (bahan pembuat kertas). Tanaman kemiri
digunakan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) di daerah Nusa Tenggara
Barat, cocok untuk tanaman reboisasi, penghijauan dan tempat berlindung ternak
pada areal penggembalaan.
25
Permintaan buah kemiri akan semakin meningkat seiring dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan bahan baku
industri. Menurut Paimin (1994) peningkatan permintaan kemiri diperkirakan
akan mencapai 10-20% setiap tahunnya. Peningkatan ini diharapkan dapat
mendorong peningkatan ekonomi melalui perkembangan industri dan dapat
meningkatkan lapangan kerja.
Tanaman kemiri menyebar di beberapa daerah di Indonesia dengan sebaran
terbanyak terdapat di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Aceh dan
Sumatera Utara (Koji 2002). Sunanto (1994) menyebutkan bahwa awalnya
tanaman kemiri merupakan tanaman yang tumbuh secara alami, namun kemudian
ditanam masyarakat di daerah-daerah yang penduduknya telah tinggal secara
menetap karena buahnya dapat dimanfaatkan penduduk.
Tanaman kemiri dapat menghasilkan buah 2-3 kali dalam setahun (musim
berbuah setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada iklim. Musim berbunga
terjadi pada awal musim hujan dan buah terbentuk setelah 3-4 bulan atau pada
akhir musim penghujan). Jumlah panen buah tergantung pada umur tanaman dan
pertumbuhan pohon. Pohon kemiri yang tumbuh pada daerah subur, panen
pertamanya dapat mencapai 10 kg biji kupasan/pohon. Pada umur 6 tahun
menghasilkan 25 kg biji kupasan. Pada usia 11-20 tahun produksinya akan stabil
sekitar 35-50 kg/pohon/tahun. Produksi pohon kemiri dewasa yang tumbuh
dengan baik dapat mencapai 200 kg biji kupasan per pohon. Setelah berumur di
atas 50 tahun produksinya mulai menurun. Produksi kemiri per hektar dapat
mencapai 2 ton biji atau 0,5 ton biji kupasan (Deptan 2006a; Paimin 1994).
Koji (2002) menyebutkan bahwa budidaya kemiri sangat mudah. Setelah
menanam kemiri di kebun, petani hanya melakukan pembersihan gulma sekali
setahun dan menunggu sampai waktu panen tiba. Secara konvensional, pohon
kemiri ditanam dengan jarak yang cukup besar atau lebih, karena dapat
memberikan kesempatan kepada petani untuk membudidayakan berbagai
tanaman dalam ruang terbuka. Panen buah dapat dilakukan mulai tahun ketiga
dan produksi buah biasanya mulai menurun pada usia 35 tahun ke atas.
Kemiri adalah tanaman berguna yang penting di Indonesia karena telah
tumbuh baik untuk tujuan subsisten dan komersial dan penting dalam
26
-200
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010
Vo
lum
e e
ksp
or (
To
n)
Tahun
mempertahankan kehidupan masyarakat sehari-hari (Koji 2002). Peran tanaman
kemiri dalam rehabilitasi hutan di Indonesia, dibagi menjadi dua periode yaitu
Jaman Kolonial dan Jaman Orde Baru. Pada tahun 1920 dan 1930-an, di Sulawesi
Selatan, Lembaga Kehutanan Belanda menganjurkan menanam kemiri untuk
merehabilitasi lahan perladangan berpindah yang telah ditinggalkan. Pada rezim
Orde Baru, untuk mengatasi masalah perambahan lahan, dilakukan kebijakan
kegiatan pertanian yang diakui di dalam kawasan hutan jika dikombinasikan
dengan tumbuhan berguna seperti kemiri.
Kemiri dari Indonesia sudah pernah di ekspor dengan tujuan Amerika, Arab
Saudi, Hongkong, Singapura dan Australia. Sementara kemiri dari Sumatera
Utara telah diekspor ke Malaysia dan Singapura (Sunanto 1994). Namun, untuk
volume ekspor kemiri ke luar negeri menunjukkan kondisi yang naik turun.
Sumber : Deptan (2009)
Gambar 2 Volume ekspor kemiri Indonesia tahun 1975-2007.
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa ekspor kemiri cenderung tidak stabil
sejak tahun 1975 sampai tahun 2007. Ekspor tertinggi dicapai tahun 1993 yaitu
mencapai 1.379 ton dan pada tahun 1996 sampai tahun 2003 dan tahun 2006
sampai 2007 tidak ada ekspor. Dari data statistik Deptan (2009) juga diperoleh
data bahwa pada tahun 2004 dan 2005, Indonesia malah mengimpor kemiri
sebanyak masing-masing 13 ton dan 15 ton.
27
2.5 Beberapa Studi Terdahulu
Penelitian tentang kemiri sudah cukup berkembang. Adapun beberapa hasil-
hasil penelitian yang sudah dilakukan sehubungan dengan pengelolaan kemiri
rakyat sebagai berikut:
1) Pada tahun 1999, Yusran melakukan penelitian tentang analisis model
pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi
Selatan. Hasilnya adalah (1) Keadaan sosial ekonomi masyarakat mendukung
pengembangan hutan kemiri rakyat; (2) Potensi tanaman kemiri rakyat cukup
tinggi tetapi umur tegakan tidak produktif sehingga tidak menjamin kelestarian
hasil; (3) Kontribusi kemiri hanya 7,6% tetapi mempunyai nilai strategis dalam
ekonomi petani; (4) Usaha kemiri rakyat secara finansial menguntungkan dan
layak untuk dikembangkan; (5) Sistem pasar kemiri di Kabupaten Maros
mendekati sistem pasar persaingan sempurna; dan (6) Sistem kelembagaan
pengelolaan hutan kemiri rakyat lebih bersifat non formal dan lembaga formal
yang ada belum berperan dalam pengembangan kemiri rakyat.
2) Pada tahun 2005, Yusran melakukan penelitian tentang analisis performansi
dan pengembangan hutan kemiri rakyat di kawasan pegunungan Bulusaruang.
Hasilnya adalah (1) Perbedaan status penggunaan lahan mempengaruhi
performansi hutan kemiri rakyat; (2) Semakin kuat status lahan yang dikelola,
semakin intensif pengelolaan, semakin besar nilai ekonominya dan terjamin
kelestarian sistem kelembagaan lokal yang memiliki nilai-nilai sosial. Tetapi,
cenderung semakin menurunkan nilai keanekaragaman jenis tanaman; (3)
Penguatan status lahan penting dilakukan untuk menjamin kelestarian hutan
kemiri yang mempertimbangkan aspek ekologi, nilai-nilai sosial dan ancaman
fragmentasi lahan; dan (4) Ketidakpastian status pengusahaan hutan
merupakan kelemahan yang menjadi sumber ancaman dalam pengelolaan
hutan kemiri yang juga mempengaruhi kelestarian tanaman.
3) Wibowo (2007) melakukan penelitian tentang pengusahaan tanaman kemiri di
Desa Kuala, Tanah Karo. Hasilnya adalah bahwa pengusahaan kemiri cukup
memberikan kontribusi ekonomi bagi petani, pedagang pengumpul dan
pengecer dan kegiatan penanaman kemiri menumbuhkan usaha jasa
pengupasan kemiri. Usaha pengupasan kemiri dengan cara sederhana hanya
28
menghasilkan 48% kernel utuh dan sisanya adalah pecah. Hal ini
mempengaruhi nilai jual kemiri di pasar. Pengusahaan kemiri belum
dilaksanakan secara intensif dan masih bersifat usaha sampingan.
4) Darmawan dan Kurniadi (2007) melakukan penelitian tentang studi
pengusahaan kemiri di Flores dan Lombok. Hasilnya adalah pengusahaan
kemiri yang dilakukan masyarakat hanya terbatas pada pengusahaan kemiri isi
(kemiri kupas/kernel). Pengusahaan kemiri mempunyai pengaruh secara
ekonomi dan bagi kelestarian lingkungan karena pohon kemiri dapat ditanam
pada tanah-tanah marjinal. Kegiatan usaha jual beli kemiri bersifat multiflier
effect yang memberikan manfaat bagi para pelakunya.
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penyusunan proposal sampai penyelesaian pembuatan laporan akhir
dilakukan dari bulan September 2010 sampai September 2011. Penelitian
lapangan dilakukan bulan Maret sampai bulan Mei 2011 di Kecamatan Tanah
Pinem, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu penentuan
lokasi secara sengaja dengan pertimbangan bahwa desa yang dipilih adalah desa
yang memiliki tanaman kemiri yang paling luas, yaitu Desa Pasir Tengah, Desa
Pamah dan Desa Kuta Buluh.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dan metode
evaluasi. Metode survey adalah penelitian yang diadakan untuk memperoleh
fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara
aktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok
ataupun suatu daerah (Nazir 2005). Metode evaluasi digunakan untuk mengetahui
kualitas hal-hal, program, dan sebagainya yang sudah terjadi, biasanya dengan
membandingkan suatu standar (Irawan 2007).
Metode survey difokuskan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri. Metode evaluasi difokuskan untuk
menganalisis sejauh mana keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman
kemiri rakyat yang sudah dilakukan sesuai dengan indikator LEI (2001), indikator
pengelolaan hutan lestari menurut Davis et al. (2001) dan indikator pengelolaan
yang keberlanjutan dalam melakukan suatu proyek menurut Dephut et al. (1997).
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer dikumpulkan melalui observasi secara langsung di lapangan dan
melakukan wawancara terhadap responden melalui pertanyaan-pertanyaan yang
telah disusun sebelumnya sehubungan dengan hal-hal yang hendak diketahui.
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan
cara bertanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya (pewawancara)
30
dengan si penjawab (responden) dengan menggunakan alat panduan wawancara
(Nazir 2005).
Untuk data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi literatur dan
studi data-data laporan hasil kegiatan pada instansi terkait. Data sekunder sifatnya
sebagai data pendukung dan penunjang untuk melengkapi data primer. Data
sekunder berasal dari hasil-hasil penelitian, stakeholder dan instansi terkait,
seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas
Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta instansi-instansi
pemerintahan lainnya.
3.3 Penentuan Responden
Responden yang diwawancarai adalah petani yang memiliki lahan milik
yang menanam kemiri dan yang tidak menanam kemiri. Petani yang tidak
menanam kemiri bisa saja adalah petani yang pernah menanam kemiri tetapi
dalam perkembangannya kemudian beralih ke tanaman lain ataupun petani yang
tidak pernah menanam kemiri. Sedangkan petani yang menanam kemiri adalah
petani yang memiliki tanaman kemiri pada lahan miliknya pada saat dilakukan
penelitian. Jumlah responden yang diwawancarai ditentukan dengan rumus Slovin
(Umar 2000) yaitu :
n = 𝑁
1 + 𝑁𝑒2
dimana :
N : Populasi (petani menanam kemiri dan petani tidak menanam kemiri)
n : Jumlah sampel (responden)
e : Tingkat kesalahan yang masih ditolerir
Jumlah populasi petani di ketiga desa yang dipilih adalah 1467 KK. Tingkat
kesalahan yang masih ditolerir ditentukan 8,5%, maka jumlah sampel adalah 126
KK. Petani yang menanam kemiri dan petani yang tidak menanam kemiri diambil
secara proporsional dari ketiga desa yang ditentukan. Sampel Desa Kuta Buluh
adalah 58 responden, terdiri dari 29 petani kemiri dan 29 petani yang tidak
menanam kemiri, Desa Pamah dan Pasir Tengah masing-masing 34 responden
dengan rincian masing-masing 17 petani kemiri dan 17 petani yang tidak
menanam kemiri.
31
Penelitian juga akan melakukan wawancara lebih mendalam dengan orang-
orang yang dianggap lebih mengetahui tentang pengelolaan tanaman kemiri
rakyat yang sudah berlangsung sejak dahulu sampai sekarang, diantaranya tokoh
masyarakat/raja adat, kepala desa dan pejabat dari instansi yang berkaitan, yang
bisa disebut sebagai informan kunci. Informan kunci diketahui dengan cara
snowball sampling atau pemilihan informan secara berantai.
Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan pengelolaan kemiri rakyat,
dilakukan wawancara dengan instansi terkait seperti Dinas kehutanan dan
Perkebunan, Dinas Pertanian (penyuluh), Kepala Desa dan pihak kecamatan.
Informasi yang diperoleh, diharapkan akan melengkapi informasi-informasi yang
diperoleh dari responden (petani kemiri dan petani non kemiri) dan hasil studi
literatur dalam melakukan analisis pengelolaan tanaman kemiri rakyat.
3.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif
dan kualitatif dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi
pengelolaan kemiri rakyat dan untuk mengetahui bagaimana kegiatan pengelolaan
yang sudah dilakukan masyarakat sampai sekarang. Analisis deskriptif digunakan
untuk menjelaskan kegiatan pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang sudah ada,
pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap tanaman kemiri, peran
masyarakat dan lembaga-lembaga yang ada dalam pengembangannya, kegiatan
pemanenan buah dan kayu, kegiatan pemasaran, teknik penanaman dan
pemeliharaan yang dilakukan dan karakteristik petani responden secara umun.
Untuk menjawab tujuan penelitian, metode analisis yang digunakan adalah
a. Analisis regresi logistik biner.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola
tanaman kemiri, maka dilakukan analisis limited devendent variable atau dikenal
dengan analisis Regressi Logistik Bineri (Gujarati 2006). Model regressi logistik
biner adalah suatu model yang mengukur seberapa besar peluang suatu kejadian
satu dengan kejadian yang lainnya, dimana datanya mengikuti sebaran normal.
Misalnya suatu kejadian dapat dikategorikan sukses dan tidak sukses (mengikuti
32
sebaran binomial), dengan model logit dapat dicari berapa besar peluang kejadian
sukses dibandingkan dengan kejadian tidak sukses.
Untuk penelitian ini akan dilakukan analisis regresi dimana variabel tak
bebasnya bersifat dikotomi (dichotomous) yang mengambil nilai 1 dan 0
(Gujarati 2006), untuk mengetahui seberapa besar peluang masyarakat untuk
mengelola tanaman kemiri dan seberapa peluang masyarakat untuk tidak
mengelola tanaman kemiri. Pengertian pengelolaan kemiri dalam penelitian ini
adalah masyarakat yang melakukan budidaya tanaman kemiri (mulai dari
penanaman sampai pemasaran hasil) dari lahan milik maupun pada lahan yang
disewa. Dua pilihan masyarakat merupakan kejadian biner (dummy variable)
yang bernilai 1 dan 0, dimana nilai 1 untuk petani yang mengelola tanaman
kemiri dan nilai 0 untuk petani yang tidak mengelola tanaman kemiri (pernah
mengelola tetapi kemudian berhenti dan tidak mengelola lagi dan serta beralih
menanam tanaman lain). Peluang masyarakat mengelola tanaman kemiri
dinotasikan dengan Pi, maka peluang masyarakat tidak mengelola tanaman kemiri
adalah 1-Pi karena total peluang semua kejadian adalah satu. Adapun bentuk
persamaan model logistik yang digunakan adalah sebagai berikut:
Ln Pi = + 1 X1+ 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5X5 … iXi +
1 - Pi
Dimana:
Pi = peluang petani mengelola tanaman kemiri
α = intersep
X1, 2....i = variabel bebas
i = koefesien regresi
= error/galat
Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap keputusan pengelolaan
kemiri dilihat dari aspek-aspek yang dianggap mempengaruhi petani untuk
mengelolanya baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan karakteristik dari
petani yang dianggap sebagai variabel bebas dalam suatu model. Faktor-faktor
33
ini selanjutnya dijadikan sebagai faktor internal dan faktor eksternal yang
mempengaruhi pengelolaan kemiri rakyat. Adapun faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi masyarakat mengelola kemiri adalah umur petani, lama tinggal di
desa, luas lahan yang dikelola, pekerjaan sampingan, status kepemilikan lahan,
jumlah anak sekolah, jumlah anggota keluarga produktif, jumlah tanggungan
dalam keluarga, jumlah pendapatan per bulan, asal usul lahan, aksesibilitas
menuju ladang, pekerjaan utama, pengalaman bertani, jarak dari rumah ke ladang,
status lahan yang dipakai saat ini, tingkat pendidikan dan jumlah anak yang
sekolah di luar daerah. Parameter yang diukur dan definisi operasional setiap
faktor dapat dilihat pada Lampiran 1.
b. Analisis keberlanjutan (sustainability)
Analisis keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat
dapat dianalisis dari aspek sosial, ekonomi/produksi dan ekologi/lingkungan yang
dikembangkan menurut Davis et al. (2001), LEI (2001) dan Dephut et al. (1997).
Davis et al. (2001) menyatakan bahwa kelestarian secara umum terdiri dari
elemen yang saling tergantung antara elemen ekologi, ekonomi dan sosial,
dimana kelestarian berarti memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
LEI (2001) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat
adalah hutan yang dikelola sebagai hutan rakyat (hutan milik) atau hutan adat.
Untuk mengetahui kelestariannya, PHBML dinilai sesuai dengan kriteria dan
indikator yang ditentukan, mencakup aspek sosial, produksi dan ekologi yang
berhubungan dengan kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan.
Indikator dalam dokumen PHBML masih dibatasi pada ukuran kelestarian produk
utama kayu. Untuk analisis keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat,
akan memakai beberapa indikator yang ada dalam LEI dengan melakukan
pemilihan indikator-indikator yang sesuai.
Dephut et al. (1997) menyebutkan bahwa untuk mengetahui keberlanjutan
suatu kegiatan (proyek), maka perlu dilakukan evaluasi agar dapat diketahui
perkembangannya dengan model yang menyeluruh (integratif) dengan
menggunakan indikator sosial, ekonomi dan lingkungan.
34
Untuk selanjutnya, analisis keberlanjutan (sustainability) pengelolaan
tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem akan menggunakan
pendekatan yang digunakan dalam Davis et al. (2001), LEI (2001) dan Dephut et
al. (1997), karena ketiga pendekatan tersebut sama-sama menggunakan
pendekatan aspek sosial, ekonomi/produksi dan ekologi/lingkungan.
Kriteria dan indikator yang akan digunakan untuk melakukan penilaian,
dibangun dan dimodifikasi dari Davis et al. (2001), LEI (2001) dan Dephut et al.
(1997) sesuai keperluan analisis yang diperlukan untuk jenis hasil hutan bukan
kayu. Dari hasil seleksi, diperoleh 28 kriteria dan indikator, masing-masing terdiri
dari 10 kriteria dan indikator untuk aspek ekologi, 8 kriteria dan indikator untuk
aspek ekonomi dan 10 kriteria dan indikator untuk aspek sosial. Adapun hal-hal
yang akan dianalisis untuk mengetahui keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri
rakyat dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Untuk menilai keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat, maka
digunakan pendekatan penilaian dari LEI. LEI (2001) menyebutkan, pencapaian
kelestarian PHBM dinilai dengan indikator yang dapat diukur secara kuantitatif
dan kualitatif. Sumber data dan analisis setiap inidkator dapat dilihat pada
Lampiran 2. Setiap indikator diukur skala intensitasnya menjadi baik, cukup dan
jelek. Seluruh indikator mempunyai bobot yang sama, maka nilai total
penjumlahan dari seluruh indikator akan mencerminkan performance kelestarian
praktek PHBM yang dinilai.
Untuk melakukan penilaian terhadap setiap indikator, diperoleh dari hasil
wawancara dengan petani (kemiri dan non kemiri), penyuluh, pedagang
pengumpul (buah, kulit cangkang dan kayu), tokoh masyarakat, pihak kecamatan,
kepala desa dan informan lainnya yang bisa menjadi sumber informasi yang
diperlukan. Untuk beberapa indikator dan bagaimana keberlanjutan pengelolaan
kemiri rakyat yang sudah ada diperoleh melalui Focus Group Disscussion (FGD)
dengan tujuan agar diperoleh penjelasan yang lebih mendalam sehingga penilaian
dari indikator-indikator yang diperoleh lebih jelas dan dapat memberikan
gambaran yang sebenarnya.
Setelah setiap indikator dinilai, maka keberlanjutan pengelolaan tanaman
kemiri rakyat merupakan penjumlahan dari seluruh indikator. Jumlah indikator
35
yang digunakan dalam evaluasi pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek
ekologi, ekonomi dan sosial ini adalah berjumlah 28. Hasil analisis keberlanjutan
pengelolaan kemiri rakyat yang dinilai akan memenuhi kriteria berikut:
a. Pengelolaan kemiri rakyat dinyatakan “berkelanjutan” bila prakteknya
memenuhi persyaratan minimum, yaitu: nilai B > 50% x n; nilai C > 25% x
n; nilai J < 25% x n
b. Pengelolaan kemiri rakyat dinyatakan “berkelanjutan dengan catatan” bila
prakteknya memenuhi persyaratan minimum, yaitu: nilai B > 25% x n; nilai
C > 50% x n; nilai J < 25% x n
c. Pengelolaan kemiri rakyat dinyatakan “tidak berkelanjutan” bila prakteknya
memenuhi persyaratan minimum, yaitu: nilai B < 25% x n; nilai C < 50% x n;
nilai J > 50% x n
Apabila hasil penilaian keberlanjutan telah diperoleh, hasil tersebut
dijelaskan secara deskriptif yang didukung dengan data yang diperoleh dari hasil
penelitian. Hasil analisis keberlanjutan yang diperoleh selanjutnya dijadikan
bahan untuk menyusun rekomendasi program dan kegiatan-kegiatan yang dapat
dilakukan untuk menjadikan kegiatan tanaman kemiri rakyat tersebut menjadi
berkelanjutan pada masa yang akan datang.
3.5 Definisi Operasional
Adapun definisi dari beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
a. Keberlanjutan fungsi ekologi adalah terjaminnya keberlanjutan fungsi lahan
sebagai penyangga kehidupan dan menjamin produktivitas lahan
b. Keberlanjutan fungsi ekonomi adalah terjaminnya keberlanjutan pemanfaatan
hasil hutan dan usahanya dapat memberikan keuntungan kepada
pengelolannya sesuai dengan kemampuan daya dukung lahan
c. Kelestarian fungsi sosial adalah terjaminnya keberlanjutan fungsi
pengusahaan lahan bagi kehidupan masyarakat setempat yang tergantung
pada lahan, baik langsung maupun tidak langsung secara lintas generasi.
36
37
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN
4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian
4.1.1 Letak Administrasi
Kecamatan Tanah Pinem terletak di Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera
Utara dengan luas wilayah 439,40 Km2. Ibu kota Kecamatan Tanah Pinem adalah
Kuta Buluh, yang berjarak 55 km dari Sidikalang (ibukota Kabupaten Dairi) atau
sekitar 141 km dari Medan (ibukota Propinsi Sumatera Utara), dengan batas-
batas: Sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Kabupaten Karo, Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tiga Lingga, Kecamatan Gunung Sitember
dan Kecamatan Siempat Nempu Hilir dan sebelah Barat berbatasan dengan
Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Aceh Selatan (Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam).
4.1.2 Letak Geografis
Kecamatan Tanah Pinem terletak pada 20
53’ - 30
07’ Lintang Utara dan
950 23’ - 97
0 57’ Bujur Timur dan berada pada ketinggian 650 sampai dengan
950 meter di atas permukaan laut.
4.1.3 Iklim
Iklim di Kecamatan Tanah Pinem adalah iklim hujan tropis yang
dipengaruhi oleh angin musim. Kondisi iklim pada saat ini tidak menentu,
adakalanya musim penghujan dan ada kalanya musim kemarau terus menerus
dimana bisa sampai 3 bulan tidak turun hujan. Curah hujan tahun 2009 adalah
1.360 mm yang berkisar antara 90 mm sampai 150 mm per bulan. Kondisi udara
adalah sedang karena pada siang hari tidak terlalu panas dan pada malam hari
tidak terlalu dingin dengan suhu udara berkisar antara 230 sampai 25
0 C.
4.1.4 Topografi
Kecamatan Tanah Pinem terdapat pada lahan yang memiliki topografi yang
bergelombang sampai terjal sehingga kurang cocok untuk usaha pertanian seperti
sawah. Kondisi topografi Kecamatan Tanah Pinem dapat dilihat pada Tabel 10.
38
Tanaman yang cocok dikembangkan adalah jenis tanaman kayu-kayuan seperti
kemiri, cokelat dan buah-buahan. Pemilihan jenis tanaman kayu-kayuan sangat
sesuai dengan kondisi topografi lahan, karena hampir 90% lahannya masuk pada
kategori curam dan terjal dengan kemiringan di atas 25%. Tanaman kayu-kayuan
sangat sesuai ditanam dalam upaya konservasi tanah karena memiliki sistem
perakaran yang kuat sehingga bermanfaat dalam melindungi tanah dari bahaya
longsor.
Tabel 10 Kondisi topografi di Kecamatan Tanah Pinem No Kondisi lahan Luas (ha) Persentase (%)
1 Datar ( 00-8
0) 879 2,00
2 Berombak (80-15
0) 1.318 3,00
3 Bergelombang (150-25
0) 2.197 5,00
4 Curam (250-40
0) 3.955 9,00
5 Terjal (>400) 35.591 81,00
Jumlah 43.940 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Dairi (2010)
4.1.5 Penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Tanah Pinem tahun 2010 adalah 20.008 jiwa
yang terdiri dari laki-laki 10.531 jiwa dan perempuan 10.477 jiwa dan jumlah
rumah tangga sebanyak 6.463 KK dengan kepadatan penduduk 45,53 jiwa per
km². Semua penduduk tersebut adalah warga Negara Indonesia yang didominasi
oleh suku Karo. Suku lainnya adalah Batak Toba, Melayu, Jawa, Pakpak,
Simalungun, dan lain-lain.
4.1.6 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kecamatan Tanah Pinem terdiri dari lahan sawah,
hutan negara, perkebunan, kebun/tegal,ladang/huma dan lain-lain. Kawasan hutan
mencapai luas 24.000 ha (54,62%) sedangkan penggunaan lahan dalam bentuk
tegal/kebun, ladang/huma dan perkebunan mencapai luas 17.288 ha (39,34%).
Lahan sawah hanya 0,1% dari total luas lahan yang ada. Hal ini disebabkan
karena topografi lahan yang sebagian besar berada pada kategori bergunung
sampai terjal dan dipengaruhi oleh keadaan sungai-sungai yang berada pada
daerah yang dalam dan sempit sehingga sangat sulit untuk dijangkau dan
39
digunakan oleh masyarakat untuk pembukaan sawah. Adapun rincian penggunaan
lahan di Kecamatan Tanah Pinem dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Penggunaan lahan di Kecamatan Tanah Pinem tahun 2008
No Penggunaan lahan Luas (ha) Persentase (%)
1 Sawah 45 0,10
2 Hutan negara 24.000 54,62
3 Padang rumput/penggembalaan 743 1,69
4 Tegal/kebun 7.936 18,06
5 Ladang/huma 1.772 4,03
6 Perkebunan 7.580 17,25
7 Kolam/empang 5 0,01
8 Ladang yang tidak sedang diusahakan 730 1,66
9 Lainnya 1.129 2,57
Jumlah 43.940 100 Sumber : BPS Kabupaten Dairi (2009)
Sumber dari kecamatan tahun 2011 menyebutkan bahwa luas lahan
tanaman pertanian di Kecamatan Tanah Pinem pada tahun 2010 adalah 11.015 ha
yang terdiri dari tanaman padi sawah, padi gogo, jagung, cabe dan tomat.
Sementara tanaman lainnya adalah tanaman perkebunan seperti cokelat, kemiri,
tembakau dan sawit dengan luas 4.357 ha. Luas tanaman kemiri di Kecamatan
Tanah Pinem pada tahun 2010 adalah 3.800 ha.
4.2 Karakteristik Responden
4.2.1 Umur Responden
Rata-rata umur keseluruhan responden adalah 49,83 tahun dengan selang
antara 20 sampai 80 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
tergolong dalam umur produktif (di atas 15 tahun) sehingga tenaga kerja yang
tersedia di daerah penelitian masih potensial dan produktif untuk melakukan
kegiatan pertanian dan kegiatan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Petani kemiri yang berada di atas 50 tahun sebanyak 41 responden (65,08%)
sedangkan petani non kemiri yang berada di atas 50 tahun sebanyak 20 responden
(31,75%). Rata-rata umur responden petani kemiri lebih tinggi yaitu 52,90 tahun
sedangkan rata-rata umur petani non kemiri adalah 46,75 tahun. Dari hasil ini
dapat dilihat bahwa kecenderungan masyarakat yang menanam kemiri dan yang
40
mempertahankannya adalah petani yang sudah mulai memasuki usia lanjut yang
mulai pasif dalam melakukan kegiatan pertanian yang rutin.
Tabel 12 Sebaran umur responden
No Kelompok umur
(tahun)
Petani non kemiri Petani kemiri
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
1 20 – 29 2 3,17 1 1,59
2 30 – 39 14 22,22 4 6,35
3 40 – 49 27 42,86 17 26,98
4 50 – 59 10 15,87 26 41,27
5 60 – 69 7 11,11 9 14,29
6 70 ke atas 3 4,76 6 9,52
Jumlah 63 100 63 100
Rata-rata 46,75 tahun 52,90 tahun
Rata-rata umur keseluruhan responden 49,83 tahun
4.2.2 Pendidikan
Tingkat pendidikan formal responden termasuk pada kategori rendah.
Hampir sebagian besar responden (63,49%) hanya sampai pada tingkat SLTP.
Terdapat sebanyak 45 responden (71,43%) petani kemiri berpendidikan di bawah
SMA/SMU sedangakan petani non kemiri hanya sebanyak 35 responden
(55,56%). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir, perilaku dan
respon terhadap suatu informasi atau dalam mengambil keputusan untuk
melakukan kegiatan pertanian yang akan diusahakannya.
Tabel 13 Tingkat pendidikan responden
No Pendidikan Petani non kemiri Petani kemiri
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
1 Tidak
sekolah
1 1,59 5 7,94
2 SR/SD 17 26,98 25 39,68
3 SLTP 17 26,98 15 23,81
4 SMA/SMU 28 44,44 17 26,98
5 D1/D2/D3 0 0 1 1,59
Jumlah 63 100 63 100
4.2.3 Jumlah Anggota Keluarga
Rata-rata jumlah anggota keluarga responden secara keseluruhan adalah
3,94 jiwa, artinya bahwa jumlah anggota keluarga ini akan memberikan
kontribusi dalam ketersediaan tenaga kerja dan akan mempengaruhi pemasukan
41
keluarga serta mempengaruhi besar kecilnya konsumsi keluarga. Pada Tabel 14
dapat dilihat bahwa responden yang memiliki jumlah anggota keluarga di bawah
4 orang adalah 72 responden (57,14%), sedangkan responden yang memiliki
jumlah anggota keluarga lebih dari 4 orang sebanyak 54 responden (42,86%).
Anggota keluarga merupakan sumber tenaga kerja utama dalam kegiatan
pertanian yang sedang diusahakan oleh keluarga petani. Bila ketersediaan tenaga
kerja tidak ada, masyarakat akan memanfaatkan tenaga kerja dari pihak keluarga
terdekat, tetangga maupun tenaga kerja dari luar daerah. Tenaga kerja dari luar
daerah baru dimanfaatkan bila ketersediaan tenaga kerja yang akan digunakan
dalam jumlah besar dan keberadaan dalam lingkungan desa tidak cukup.
Tabel 14 Jumlah anggota keluarga responden
No Jumlah anggota
keluarga (jiwa)
Petani non kemiri Petani kemiri
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase (%)
1 1 – 2 12 19,00 14 22,22
2 3 – 4 25 39,68 21 33,33
3 5 - 6 24 38,10 27 42,86
4 7 ke atas 2 3,17 1 1,59
Jumlah 63 100 63 100
Rata-rata 4,03 jiwa 3,86 jiwa
Rata-rata keseluruhan 3,94 jiwa
4.2.4 Mata Pencaharian Responden
Sebahagian besar mata pencaharian utama responden adalah bertani yaitu
sebanyak 97 responden (76,98%). Bagi responden yang mempunyai pekerjaan
utama bukan petani seperti PNS/Pensiunan PNS, buruh/tukang, berdagang dan
perangkat desa, juga melakukan kegiatan usaha pertanian seperti menanam
jagung, cokelat, kemiri, padi, kelapa dan lain-lain. Kegiatan pertanian dilakukan
oleh anggota keluarga seperti istri/suami serta anak-anak dan atau responden
tersebut pada saat waktu senggang atau di luar jam kerja dalam melakukan
pekerjaan utamanya.
42
Tabel 15 Mata pencaharian responden
No Mata
pencaharian
Petani non kemiri Petani kemiri
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase (%)
1 Petani 45 71,43 52 82,54
2 PNS/Pensiunan 12 19,05 7 11,11
3 Berdagang 3 4,76 3 4,76
4 Buruh, tukang 0 0 1 1,59
5 Perangkat
Desa
3 4,76 0 0
Jumlah 63 100 63 100
4.2.5 Status Kepemilikan Lahan dan Asal Usul Lahan
Kepemilikan lahan dari responden yang diwawancarai menunjukkan bahwa
96 responden (76,19%) belum memiliki sertifikat tanah sedangkan 30 responden
(23,81%) sudah memiliki sertifikat tanah. Kepemilikan lahan responden
berhubungan dengan asal usul lahan tersebut dimiliki, dimana 71 responden
(56,35%) memiliki tanah yang berasal dari warisan orang tua, 41 responden
(32,54%) memiliki tanah yang dibeli dari pihak lain atau anggota keluarga dan 14
responden (11,11%) memiliki tanah dari hasil garapan sendiri.
Tabel 16 Status kepemilikan lahan responden
No Status kepemilikan
lahan
Petani non kemiri Petani kemiri
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
1 Belum bersertifikat 42 66,67 54 85,71
2 Sudah bersertifikat 21 33,33 9 14,29
Jumlah 63 100 63 100
Tabel 17 Asal usul lahan yang dimiliki oleh responden
No Asal usul tanah Petani non kemiri Petani kemiri
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
1 Warisan 41 65,08 30 47,62
2 Beli 22 34,92 19 30,16
3 Garap sendiri 0 0 14 22,22
Jumlah 63 100 63 100
Tabel 18 Status lahan yang digunakan oleh responden
No Status lahan
yang digunakan
Petani non kemiri Petani kemiri
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
1 Lahan milik 58 92,06 62 98,41
2 Lahan sewa 5 7,94 1 1,59
Jumlah 63 100 63 100
43
Status lahan yang digunakan oleh responden saat dilakukan penelitian
menunjukkan bahwa 120 responden (95,2%) menggunakan lahan miliknya
sendiri dengan menanam jenis tanaman seperti tanaman jagung, cokelat, durian,
cengkeh, kemiri, pinang, kelapa dan lain-lain. Penyewa lahan hanya 6 responden
(4,76%), yang disewa dari kalangan keluarga sendiri maupun bukan keluarga.
Penyewa lahan akan menanam tanaman pertanian pada lahan yang memang
sebelumnya ditanami tanaman pertanian seperti jagung. Bagi penyewa lahan yang
sudah ada tanaman keras seperti kemiri dan cokelat, masyarakat biasanya hanya
sebatas mengambil buah dan merawat tanaman tersebut.
4.2.6 Luas Kepemilikan Lahan
Rata-rata luas kepemilikan lahan untuk seluruh responden adalah 2,24 ha,
artinya bahwa kepemilikan lahan masyarakat secara umum masih sangat luas.
Jumlah responden yang memiliki luas lahan di atas 1 ha sebanyak 111 responden
(88,10%). Dari data ini dapat dilihat bahwa rata-rata luas kepemilikan lahan di
daerah penelitian masih lebih tinggi jika di bandingkan dengan rata-rata luas
kepemilikan lahan di Pulau Jawa. Luas kepemilikan lahan akan berpengaruh pada
besarnya pendapatan yang akan diterima oleh masyarakat yang dipengaruhi jenis
usaha yang dikembangkan pada lahan tersebut.
Tabel 19 Luas kepemilikan lahan
No Luas lahan
(ha)
Petani non kemiri Petani kemiri
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
1 < 1 ha 13 20,63 3 4,76
2 1 – 1,99 28 44,44 19 30,16
3 2 – 2,99 15 23,81 17 26,98
4 3 ke atas 7 11,11 24 38,10
Jumlah 63 100 63 100
Rata-rata 1,54 ha 2,67 ha
Rata-rata kepemilikan lahan keseluruhan 2,24 ha
44
45
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengelolaan Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem
Kemiri merupakan tanaman yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan
Tanah Pinem sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaan tanaman ini sudah
berlangsung turun temurun. Tanaman kemiri berperan dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat dan menjadi sumber penghasilan masyarakat. Berikut ini
adalah gambaran mengenai keadaan tanaman kemiri rakyat yang yang ada di
Kecamatan Tanah Pinem meliputi pola tanam, kondisi tanaman, teknik budidaya,
pengelolaan hasil dan pemasarannya.
Pola penanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat adalah sejenis
(monokultur) dan agroforestry yaitu campuran dengan tanaman lain seperti sirih,
cokelat, kelapa, pinang, durian, cengkeh dan lain-lain (Tabel 20). Responden
yang menanam kemiri saja sebanyak 35 responden (55,56%) sedangkan yang
menanam dengan kombinasi tanaman lain sebanyak 28 responden (44,44%).
Keberadaan tanaman lain di antara tanaman kemiri berperan dalam menambah
penghasilan petani, seperti sirih yang tumbuh secara alami maupun ditanam, tidak
perlu ada perawatan dan pemeliharaan khusus tetapi dapat menghasilkan
sebanyak 4 kali dalam setahun. Pola pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan
Tanah Pinem mirip dengan pola pengelolaan kemiri rakyat di Kabupaten Maros
dengan pola monokultur dan agroforestry yaitu kombinasi antara kemiri dengan
palawija, pisang dan coklat (Yusran 1999; Ichwandi 2001).
Tabel 20 Pola tanaman kemiri rakyat
No Pola tanaman Jumlah Responden Persentase
1 Kemiri 35 55,56
2 Kemiri + sirih 8 12,70
3 Kemiri + cokelat 4 6,35
4 Kemiri + cokelat + pinang + sirih + dll 16 25,40
Jumlah 63 100,00
Pada Gambar 3 dapat dilihat pola tanaman kemiri rakyat yang ada di
Kecamatan Tanah Pinem.
46
(a) monokultur
(b) agroforestry
Gambar 3 Pola tanaman kemiri rakyat.
Rata-rata luas lahan yang ditanami tanaman kemiri cukup lebar yaitu 2,67
ha, yang paling kecil adalah 0,45 ha dan yang paling besar adalah 6 ha. Besar
kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh petani yang ditanami kemiri
mempengaruhi jumlah pohon yang tumbuh dan besaran produksi yang diperoleh
yang tergantung pada jarak tanam yang ada.
47
Tanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat saat ini adalah tanaman
yang diwariskan dari orang tua, ada juga yang ditanam sendiri dan ada yang
dibeli dalam kondisi sudah ada tanaman kemirinya. Masyarakat yang menanam
sendiri adalah masyarakat yang membuka lahan di dalam dan luar kawasan hutan.
Pada saat awal penanaman, masyarakat mendapatkan bibit dari tanaman yang
tumbuh secara alami di ladang dan hutan. Alasan masyarakat mempertahankan
tanaman kemiri sampai saat ini, antara lain perawatan tidak susah atau tidak ada
perawatan khusus, tidak perlu ada pemupukan, bisa mendatangkan hasil setiap
hari, bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, cocok untuk lahan
miring dan bersifat sebagai tabungan untuk masa depan.
Gambar 4 Buah kemiri yang disimpan yang akan dijual pada saat dibutuhkan.
Pada saat awal penanaman, masyarakat sebagian besar sudah menggunakan
jarak tanam. Tetapi, kondisi tanaman yang ada saat ini umumnya sudah tidak
memiliki jarak tanam yang teratur karena sebagian besar sudah ada yang tumbang
dan ada juga yang dibiarkan tumbuh secara alami (permudaan alami). Jumlah
responden yang memiliki jarak tanam teratur sebanyak 29 responden (46,03%)
yaitu antara 5m x 5m sampai 10m x 12m, sedangkan 34 responden (53,97)
menyebutkan bahwa jarak tanam yang ada di lahan miliknya tidak teratur lagi.
48
(a) jarak tanam teratur (b) jarak tanam tidak teratur
Gambar 5 Kondisi jarak tanaman kemiri rakyat.
Kondisi umur tanaman yang ada saat ini adalah beragam. Secara umum,
tanaman-tanaman yang ada sudah memasuki umur tidak produktif. Umur rata-rata
tanaman kemiri adalah 37,37 tahun. Tanaman yang paling muda berumur 13
tahun sedangkan tanaman paling tua berumur 80 tahun. Dari semua responden,
hanya 5 responden (7,94%) yang pernah melakukan peremajaan. Alasan
peremajaan dilakukan karena memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang
curam, pemeliharaannya tidak sulit dan merasakan bahwa kemiri masih
mendatangkan hasil yang lumayan bagi hidupnya.
(a) tanaman produktif (b) tanaman tua (tidak produktif)
Gambar 6 Kondisi tanaman kemiri rakyat.
49
Paimin (1994); Koji (2002); Deptan (2006a) menyebutkan bahwa batas
produksi kemiri sampai umur 35 tahun. Tanaman kemiri di atas umur 35 tahun
tetap berproduksi, tetapi cenderung menurun sampai umur 50 tahun. Bila tanaman
kemiri produktif sampai umur 35 tahun, maka terdapat 32 responden (50,79%)
memiliki tanaman kemiri yang masih produktif dan 31 responden (49,21%)
memiliki tanaman kemiri yang tidak produktif. Ichwandi (2001) menyebutkan
bahwa kriteria kelas umur muda untuk kemiri adalah dibawah 10 tahun, produktif
pada umur 11-35 tahun dan umur tua di atas 35 tahun. Pada Tabel 21 dapat dilihat
bahwa hampir 50,6% tanaman kemiri rakyat sudah melewati umur produktif,
yang menunjukkan bahwa proses regenerasi kemiri rakyat di Kecamatan Tanah
Pinem tidak berlangsung secara berkelanjutan (Yusran 1999). Walaupun tanaman
kemiri sudah melewati umur produktif, tanaman kemiri akan tetap menghasilkan
buah, tetapi hasilnya akan menurun seiring dengan pertambahan umur karena
tanaman sudah lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit dan lebih
mudah tumbang.
Tabel 21 Produksi tanaman kemiri rakyat tahun 2010
No Umur
(tahun)
Luas
(ha)
Produksi
(kg)
Jumlah pohon
(batang)
Produksi per ha
(kg/ha)
Produksi per pohon
(kg/pohon)
1 13 – 35 83 55.686 10.209 670,92 5,45
2 > 35 84,95 42.284 9.071 497,75 4,66
Total 167,95 97.970 19.280 - -
Rata-rata 583,33 5,08
Pada tabel di atas dapat dilihat produksi buah kemiri rakyat yang sudah
dikupas pada tahun 2010. Jika dilihat dari luas tanaman, maka tanaman kemiri
yang masuk kategori menghasilkan adalah 83 ha dengan rata-rata produksi biji
kupasan 670,92 kg/ha, sedangkan 84,95 ha lainnya termasuk pada kategori
tanaman tua menghasilkan dengan rata-rata produksi biji kupasan 497,75 kg/ha.
Produksi buah per ha secara keseluruhan adalah rata-rata 583,33 kg/ha. PPL
(2010) menyebutkan produktivitas tanaman kemiri di Kecamatan Tanah Pinem
pada tahun 2010 adalah 520 kg/ha. Hasil ini lebih kecil dengan produksi kemiri di
Indonesia tahun 2007 yaitu 797 kg/ha (Deptan 2009). Produksi kemiri yang
dihasilkan di Kecamatan Tanah Pinem hampir sama dengan rata-rata produksi
kemiri di Indonesia sekitar 0,5 ton/ha/tahun biji kupasan (Paimin 1994).
50
Produksi buah per pohon adalah berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi umur
pohon dan kondisi kesehatan tanaman. Pada Tabel 21, produksi kemiri pada
kategori umur menghasilkan (umur 5 sampai 35 tahun) adalah 5,45 kg biji
kupasan/pohon sedangkan produksi kemiri pada kategori tanaman tua
menghasilkan (di atas 35 tahun) menurun menjadi 4,66 kg biji kupasan/pohon.
Rata-rata produksi buah kemiri untuk keseluruhan sampel adalah 5,08 kg biji
kupasan/pohon. Produksi kemiri per pohon di atas masih sangat kecil jika
dibandingkan dengan Dephut (2006a) dan Paimin (1994) yang menyebutkan
produksi pohon kemiri pada saat panen pertamanya adalah 10 kg biji
kupasan/pohon (umur 5 tahun), 25 kg biji kupasan (umur 6 sampai 10 tahun) dan
akan menghasilkan produksi yang stabil berkisar 35 sampai 50 kg/pohon/tahun
(umur 11 sampai 20 tahun).
Perbedaan produktivitas kemiri ini sangat dipengaruhi oleh jumlah tanaman
per satuan luas, kondisi kesehatan tanaman, kondisi tempat tumbuh dan intensitas
pemeliharaan. Jumlah pohon pada suatu lahan dipengaruhi oleh jarak tanam yang
ada. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada saat awal penanaman terdapat
jarak tanam seperti 8m x 8m, 8m x 10m dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya
waktu, tanaman kemiri adalah tanaman yang mudah busuk sehingga dapat
tumbang pada saat angin kencang maupun pada musim penghujan. Ada juga
penambahan tanaman yang tumbuh secara alami yang dibiarkan berkembang
menjadi tanaman besar. Akibatnya adalah jarak tanam menjadi tidak beraturan.
Rata-rata jumlah pohon per ha untuk keseluruhan responden adalah 115 pohon.
Rendahnya hasil produksi yang diperoleh petani berhubungan dengan
tingkat intensitas kegiatan perawatan yang dilakukan terhadap tanaman dan
adanya pengaruh penyakit yang selama ini sudah sering terjadi tetapi belum
ditemukan cara mengatasinya yaitu terjadinya gugur buah pada saat buah sudah
hampir mencapai kondisi panen. Buah yang gugur tidak bisa dipanen karena
belum menghasilkan biji kupasan (kernel). Untuk kegiatan pemeliharaan
tanaman, sebagian besar responden menyebutkan bahwa tidak ada kegiatan
pemupukan yang dilakukan karena jika dipupuk, buah akan banyak dan pada saat
buah mulai besar, cabang atau ranting pohon banyak yang patah sehingga
menyebabkan kerugian bagi petani.
51
Gambar 7 Perbedaan antara buah yang jatuh alami dan buah yang jatuh karena
penyakit gugur buah.
Jika dibandingkan dengan produksi kemiri dari tempat lain, maka produksi
kemiri di beberapa tempat di Indonesia adalah berbeda-beda. Yusran (1999)
menyebutkan bahwa produktivitas kemiri rakyat di Kabupaten Maros adalah 72,1
kg/ha. Darmawan dan Kurniadi (2007) menyebutkan bahwa produktivitas kemiri
Propinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Ngada (2001) berkisar
3,67–5 kg/pohon/tahun, di Kecamatan Soa dan Bajawa rata-rata 13,02
kg/pohon/tahun, di Kabupaten Ende rata-rata 7,25 kg/pohon/tahun dan di
Kecamatan Ende Selatan dan Kecamatan Ndona rata-rata 15,09 kg/pohon/tahun.
Wibowo (2007) menyebutkan produksi kemiri di Desa Kuala adalah 62,5 kg per
pohon. Besar kecilnya produktivitas kemiri di berbagai tempat menunjukkan
bahwa produksi kemiri berbeda-beda antara tempat yang satu dengan tempat yang
lain, yang dapat disebabkan oleh faktor tempat tumbuh, umur tegakan, kondisi
tanaman (sehat atau sakit) dan faktor lingkungan (perubahan musim).
Umumnya masyarakat menyatakan bahwa menanam kemiri tidak sulit
karena hanya melakukan penanaman, pembersihan tumbuhan bawah dan tinggal
menunggu hasil, tidak perlu penggunaan pupuk dan dapat ditinggalkan dalam
Buah matang yang
jatuh secara alami
Buah yang jatuh karena penyakit gugur buah
(belum matang dan tidak dapat dipanen)
52
waktu yang lama, yang berhubungan dengan intensitas masyarakat melakukan
pemeliharaan terhadap tanaman kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan
tanaman kemiri rakyat sangat sederhana dan tidak intensif (Koji 2002; Wibowo
2007; Awang et al. 2007). Dari keseluruhan responden, hanya 3 responden yang
rutin pergi ke ladang, 21 responden hanya pergi pada saat-saat tertentu, 37
responden melakukan pemeliharaan kemiri pada saat panen dan 2 responden
hampir tidak pernah melakukan pemeliharaan.
Tabel 22 Intensitas kunjungan petani pada tanaman kemiri
No Intensitas pemeliharaan Jumlah
Responden
Persentase
1 Rutin ke ladang 3 4,76
2 Jarang pergi (pada saat tertentu saja) 21 33,33
3 Pada saat panen 37 58,73
4 Tidak pernah melakukan pemeliharaan 2 3,17
Jumlah 63 100,00
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat pada tanaman
kemiri adalah pembersihan tumbuhan bawah karena mengganggu pada saat
dilakukan pengumpulan buah. Pembersihan tumbuhan bawah dilakukan dua kali
setahun yaitu pada saat musim berbuah besar yang dilakukan dengan cara
membabat ataupun dengan menggunakan round-up untuk mematikan tumbuhan
bawah. Pembersihan tumbuhan bawah yang dilakukan dengan membabat akan
membutuhkan waktu yang agak lama sedangkan bila menggunakan zat kimia,
akan lebih cepat dan praktis.
Tanaman kemiri pada dasarnya bisa berbuah sepanjang tahun, tetapi
(Deptan 2006a) menyebutkan bahwa panen buah dapat dilakukan 2-3 kali
setahun. Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sekarang
dengan musim berbuah dulu (tahun 1980-an) sudah jauh berbeda. Pada waktu
dulu, masyarakat dapat memperoleh hasil sepanjang tahun, tetapi sekarang
hampir tidak menentu. Deptan (2006a) menyebutkan untuk merangsang
pembentukan bunga tanaman kemiri, maka dibutuhkan musim kemarau yang
tegas, bila setelah penyerbukan hujan turun, maka bunga akan gugur dan
persentase bunga menjadi buah akan semakin kecil. Perubahan musim berbuah
dan besar kecilnya jumlah buah yang dihasilkan di lokasi penelitian, diduga
53
terjadi karena perubahan musim penghujan dan musim kering yang tidak menentu
akhir-akhir ini.
Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan bahwa musim berbuah
paling besar terjadi 1 kali setahun dan ada juga yang menyebutkan 2 kali setahun.
Perbedaannya hanya pada besaran produksi yang dihasilkan. Musim berbuah
besar adalah musim berbuah paling banyak dibandingkan dengan musim berbuah
lainnya sedangkan musim kedua adalah musim berbuah besar tetapi hasilnya
tidak seperti pada musim berbuah besar yang pertama. Adapun kisaran bulan
musim berbuah kemiri adalah antara bulan Mei sampai Juli dan bulan Nopember
sampai Januari. Tetapi ada juga yang menyebutkan bulan lainnya selain bulan di
atas. Hal ini terjadi karena memang tidak semua tanaman kemiri memiliki musim
berbuah yang sama secara keseluruhan, ada yang berbuah di luar musim berbuah
biasanya.
(a) berbunga (b) berbuah
Gambar 8 Pohon kemiri sedang berbunga dan berbuah.
Pemanenan buah dilakukan dengan cara menunggu buah jatuh ke tanah.
Tidak ada kegiatan pengambilan buah secara sengaja, karena hal ini berhubungan
dengan tingkat kematangan buah yang akan diperoleh. Buah yang dipanen adalah
buah yang sudah jatuh ke tanah, kemudian dikumpulkan, dikupas dari daging
buah dan diangkut ke rumah. Pengangkutan kemiri sangat sulit dilakukan karena
berat dan jarak tempuh dari ladang ke rumah. Masyarakat mengatakan bahwa jika
membawa kemiri dengan cara menjujung di atas kepala seperti membawa batu.
Sehingga, saat ini dilakukan dengan menggunakan sepeda motor yang disebut
dengan sistem “langsir”. Pengangkutan bagi petani yang memiliki sepeda motor
54
tidak ada masalah, tetapi bagi petani yang tidak memiliki sepeda motor, hal ini
menjadi biaya pengeluaran.
Sebelum kemiri dikupas, dilakukan penjemuran selama 3-4 hari bila cuaca
cerah atau 5-6 hari bila cuaca tidak cerah. Masyarakat umumnya menjual kemiri
yang dimilikinya dengan mengupas terlebih dahulu (biji kupasan) karena
berhubungan dengan harga jual yang lebih tinggi. Ada juga yang menjual kemiri
tanpa dikupas dengan alasan memenuhi kebutuhan mendesak seperti membeli
beras. Harga jual kemiri kupasan pada saat penelitian berkisar antara Rp22.000
sampai Rp25.200 per kg, sedangkan harga biji kemiri yang tidak dikupas adalah
Rp6.000 sampai Rp8.000 per tumba (1 tumba=2 liter).
(a) Kemiri di jemur (b) kemiri kering
(c) Pengupasan kemiri (d) Kemiri setelah dikupas
Gambar 9 Proses pengupasan kemiri.
Untuk melakukan pemasaran hasil, masyarakat tidak mengalami kesulitan
karena hampir di semua desa ada pembeli lokal (toke) dan ada juga pedagang
pengumpul yang datang dari luar desa. Harga di pasar dengan harga di rumah
55
adalah sama. Karena itu, masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam pemasaran
dan tidak ada biaya yang keluar. Selain buah, kulit biji kemiri juga sudah laku
dijual dengan harga Rp10.000 sampai Rp13.000 per karung (ukuran karung urea).
Kulit biji kemiri mulai laku dijual sejak tahun 2009 yang digunakan untuk
industri-industri yang menggunakan pengering (dryer) dalam bentuk tungku yang
membutuhkan bahan baku kayu bakar. Sejak kesulitan dalam menemukan bahan
bakar kayu, banyak industri-industri yang beralih menggunakan kulit kemiri
karena bara api yang lebih tahan lama.
(a) Kulit kemiri (cangkang) (b) Pengangkutan kulit kemiri
Gambar 10 Pengangkutan kulit kemiri yang dijual ke industri di Medan.
Setelah melakukan rangkaian pengumpulan data primer, data sekunder dan
juga melakukan kunjungan lapangan, wawancara dan diskusi dengan masyarakat,
tokoh masyarakat dan pihak terkait, adapun hasil penelitian yang diperoleh untuk
menjawab tujuan penelitian dapat dilihat pada pembahasan berikutnya.
5.2 Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengelola Kemiri
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola
tanaman kemiri, dilakukan analisis dengan model regressi logistik. Adapun
variabel bebas yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat untuk mengelola tanaman kemiri adalah umur petani
56
(tahun), lama tinggal di desa (tahun), luas lahan yang dikelola (ha), pekerjaan
sampingan (ada atau tidak ada), status kepemilikan lahan (belum
bersertifikat/sudah bersertifikat), jumlah anak sekolah (orang), jumlah anggota
keluarga produktif (orang), jumlah tanggungan dalam keluarga (orang), jumlah
pendapatan per bulan (Rp/bulan), asal usul tanah (beli/warisan/garap sendiri),
kondisi jalan atau aksesibilitas ke ladang (mudah atau sulit), pekerjaan utama
(petani/non petani), pengalaman bertani (tahun), jarak dari rumah ke ladang
(meter), status lahan yang dipakai (sewa/milik), tingkat pendidikan sekolah (tidak
sekolah, SD/SR, SLTP, SMU, Sarjana) dan jumlah anak yang sekolah di luar
daerah (orang).
Tabel 23 Hasil estimasi menggunakan regressi logistic
Peubah B Sig Exp (B)
Konstanta -7,815 0,015 0,000
Umur petani (X1) 0,087 0,027* 1,091
Luas lahan (X3) 0,955 0,001* 2,600
Pendapatan per bulan (X9(3)) -2,315 0,040* 0,099
Asal usul tanah (X10(2)) 3,213 0,038* 24,843
Aksesibilitas ke ladang (X11(1)) -1,411 0,054**
0,244 Keterangan : *= signifikan pada taraf nyata 5%, **=signifikan pada taraf nyata 10%
Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengambil
keputusan untuk mengelola tanaman kemiri dapat dilihat pada Tabel 23. Hasil
analisis menunjukkan bahwa dari 17 faktor yang diduga mempengaruhi seorang
untuk mengelola tanaman kemiri, hanya 4 faktor yang signifikan pada taraf nyata
5%, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan dan asal usul tanah serta
1 faktor yang signifikan pada taraf nyata 10%, yaitu aksesibilitas ke ladang.
Adapun model regressi logistik yang diperoleh adalah
Ln(p/1-p) =-7,815+ 0,087 umur petani + 0,955 luas lahan - 2,315 pendapatan per
bulan + 3,213 asal usul tanah – 1,411 aksesibilitas ke ladang
Untuk menilai kelayakan model dalam memprediksi, digunakan uji Chi
Square Hosmer dan Lemshow. Adapun hipotesis yang digunakan adalah
57
H0 = Tidak ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi
yang diamati
H1 = Ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang
diamati
Hasil pengujian yang diperoleh adalah nilai Chi Square sebesar 3,679 dan
nilai Sig sebesar 0,885. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Sig lebih besar dari α
sebesar 0,1 sehingga kesimpulannya adalah menerima H0, artinya tidak ada
perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati
sehingga model regressi logistik bisa digunakan untuk analisis selanjutnya.
Untuk melihat keakuratan model regressi logistik, dapat dilihat dari
count-R2, Nagelkerke-R
2 dan Cox & Snell–R
2. Untuk mengetahui count-R
2 dapat
dilihat pada clasification table (Bock 1:Metode = Enter), dimana banyaknya
prediksi pengamatan yang benar sebanyak 101 dan jumlah pengamatan
keseluruhan 126 sehingga count-R2
= 101/126 = 0,802. Hal ini menunjukkan
bahwa keakuratan model regressi logistik dapat dikatakan tinggi sebesar 80,2%
dan model tersebut dapat digunakan untuk mengalokasikan responden yang
mengelola dan yang tidak mengelola kemiri. Nilai berdasarkan Nagelkerke-R2
mengindikasikan bahwa peluang mengelola kemiri dapat diterangkan oleh
variabel umur, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul lahan dan aksesibilitas
ke ladang sebesar 54.4% sedangkan menurut Cox & Snell-R2 sebesar 40.8%.
Berikut ini adalah analisis faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat
mengelola kemiri, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul
tanah dan aksesibilitas ke ladang.
a. Faktor umur petani
Umur merupakan faktor yang mempengaruhi kekuatan fisik, cara
berpikir dan bertindak seseorang. Seorang petani yang berumur muda akan
mempunyai tubuh atau fisik yang kuat dan cenderung mudah menerima dan
mempraktekkan teknik baru dalam bertani. Pada kondisi ini, seorang petani
muda akan lebih memilih jenis tanaman yang cepat menghasilkan walaupun
membutuhkan waktu dan tenaga yang besar untuk mengelolanya. Ichwandi
(2001) menyebutkan bahwa usia produktif menunjukkan tersedianya sumber
58
tenaga kerja yang baik, karena umur produktif akan lebih mudah menerima
perubahan, ide-ide dan inovasi.
Sementara itu, seorang petani yang sudah berumur tua, mempunyai
pengalaman lebih banyak, lebih matang, tetapi memiliki kekuatan fisik yang
cenderung menurun dan lebih berani mempraktekkan teknik bertani yang
lama yang sudah pernah dialami sebelumnya. Akibatnya, petani yang
berumur tua cenderung menanam tanaman yang tidak memerlukan intensitas
tinggi ke ladang tetapi tetap dapat memberikan hasil yang dapat diperoleh
setiap saat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa umur petani mempunyai nilai
koefisien positif dengan nilai odd ratio 1,091. Setiap penambahan 1 tahun
umur responden, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 1,091
kalinya dibanding peluang seseorang tidak mengelola kemiri, ceteris paribus.
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa kelompok umur petani kemiri lebih
banyak di atas 50 tahun yaitu 41 responden (65,08%) dibandingkan
kelompok umur petani non kemiri yaitu 20 responden (31,75%). Hal ini
menunjukkan bahwa petani yang menanam serta mempertahankan mengelola
kemiri adalah yang sudah memasuki usia tua atau sudah mulai tidak
produktif.
Hardono dan Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang peluang
masyarakat melakukan diversifikasi usaha, menyebutkan bahwa semakin tua
umur KK kecenderungan melakukan diversifikasi usaha semakin berkurang.
Hal ini disebutnya wajar karena mengingat dalam melakukan diversifikasi
usaha membutuhkan dukungan kondisi jasmani yang sehat, sehingga
diversifikasi usaha pada rumah tangga yang KK-nya masih produktif
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga dengan KK yang
sudah tidak produktif.
Jika hal ini dihubungkan dengan peluang menanam dan mengelola
kemiri, seseorang yang semakin tua umurnya maka kemampuan fisiknya
akan berkurang (sudah mulai tidak produktif) akan lebih berpeluang
menanam dan mengelola kemiri, karena tidak memerlukan waktu dan tenaga
yang besar dalam pengelolaannya.
59
b. Faktor luas lahan
Luas lahan yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi jenis
usaha yang akan dilakukannya pada lahan tersebut. Semakin luas lahan yang
dimiliki oleh seseorang, maka ada kemungkinan untuk menanam lebih dari
satu jenis tanaman. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa responden petani
kemiri memiliki luas lahan yang cukup besar. Terdapat 41 responden
(65,01%) petani kemiri memiliki luas lahan di atas 2 ha, sedangkan 41
responden (65,01%) petani non kemiri memiliki luas lahan rata-rata di bawah
2 ha. Rata-rata luas kepemilikan lahan petani non kemiri adalah 1,54 ha,
lebih kecil dibanding dengan rata-rata luas kepemilikan lahan petani kemiri
yaitu 2,67 ha. Hasil ini menunjukkan bahwa pemilik lahan yang luas akan
cenderung menanam jenis tanaman kemiri disamping jenis tanaman lain
seperti pola agroforestry atau tanaman campuran. Alasan lain, mengapa
pemilik lahan yang lebih luas menanam kemiri adalah karena sebagian besar
responden yang diwawancarai adalah petani yang memiliki lahan pada
daerah yang curam sampai terjal dengan tingkat kelerengan di atas 250,
dimana lahan ini umumnya tidak cocok untuk ditanami tanaman pertanian.
Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa luas lahan berpengaruh
nyata terhadap pengambilan keputusan untuk mengelola kemiri dengan nilai
koefisien positif dan dengan nilai odd ratio 2,600. Setiap peningkatan luas
lahan 1 hektar, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 2,600
kalinya dibanding peluang seseorang tidak menanam kemiri, ceteris paribus.
Sumaryanto (2006) dalam penelitiannya tentang faktor yang
mempengaruhi keputusan melakukan diversifikasi, menyebutkan bahwa
faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata dalam menjelaskan diversifikasi
usahatani, artinya rata-rata luas kepemilikan lahan tidak menjadi kendala
dalam melakukan diversifikasi usahatani. Hasil ini berbeda dengan hasil
analisis di atas yang menyebutkan bahwa luas lahan signifikan dalam
menjelaskan peluang untuk mengelola kemiri, ini terjadi karena masyarakat
yang menanam dan mengelola kemiri pada lahan miliknya adalah masyarakat
yang memiliki lahan pada kondisi topografi yang curam dan terjal.
Masyarakat mengatakan bahwa tidak memiliki pilihan lain selain menanam
60
kemiri karena hanya kemiri yang bisa ditanam dan dapat mendatangkan
penghasilan bagi mereka. Apabila menanam tanaman pertanian, biaya usaha
besar, bahaya erosi dan longsor serta resiko tanaman dimakan oleh hama
(monyet dan babi hutan). Jika kondisi lapangan datar, ada kemungkinan
masyarakat bisa beralih menanam tanaman lain yang dapat mendatangkan
penghasilan besar.
c. Faktor pendapatan per bulan
Besar kecilnya pendapatan petani mempengaruhi keputusan apa yang
akan dikerjakan dan jenis usaha yang akan dilakukannya pada sebidang lahan
yang dimilikinya. Bila pendapatan petani cukup besar, kemungkinan petani
tersebut akan memilih menanam tanaman yang mendatangkan hasil yang
banyak walaupun dengan resiko harus mengeluarkan modal yang cukup
besar. Andayani (2002) menyebutkan, pemilik lahan yang berlatar belakang
sosial ekonominya cukup mampu akan memilih jenis usaha yang memiliki
nilai komersial tinggi pada lahan miliknya dan pada pemilik lahan yang
kurang mampu, pemilihan jenis terkendala oleh faktor ekonomi tersebut.
Pada faktor ini, pendapatan petani per bulan dikategorikan menjadi 4
kelompok, yaitu: pendapatan rendah, pendapatan sedang, pendapatan tinggi
dan pendapatan sangat tinggi. Pengelompokkan data dilakukan untuk
memudahkan analisis data yang akan diolah. Bila angka pendapatan
digunakan secara langsung, akan menimbulkan kesenjangan (gap) pada hasil
yang diperoleh karena angka yang digunakan sangat besar.
Dari hasil pengolahan data diperoleh, petani dengan pendapatan per
bulan sangat tinggi berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan
untuk menanam kemiri dengan nilai odd ratio 0,099, tetapi memiliki nilai
koefisien yang negatif. Peluang seseorang yang memiliki pendapatan sangat
tinggi untuk mengelola kemiri adalah 0,099 kalinya dibanding dari seseorang
yang pendapatannya rendah, atau peluang seseorang yang berpendapatan
rendah untuk mengelola kemiri adalah 10,10 (1/0,099) kalinya dibanding dari
seseorang yang berpendapatan sangat tinggi, ceteris paribus. Hasil akhir ini
menunjukkan bahwa petani dengan penghasilan yang rendah akan cenderung
lebih memilih menanam kemiri, ini terjadi karena berhubungan dengan
61
modal usaha yang tidak besar dalam mengelolanya, khususnya dalam
kegiatan penanaman dan pemeliharannya. Hal ini didukung oleh Andayani
(2002) yang menyebutkan bahwa pemilihan jenis usaha pada sebidang lahan
akan terkendala oleh faktor ekonomi. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa
pemilik kayu rakyat (yang mengusahakan hutan rakyat) umumnya adalah
petani miskin dengan modal yang sangat terbatas, karena biaya pengelolaan
kayu rakyat hampir tidak ada dan tenaga kerja yang digunakan untuk
pemeliharaan kayu rakyat dapat dikerjakan oleh anggota keluarga. Suharjito
(2002) menyebutkan salah satu alasan mengapa masyarakat memilih
menanam jenis tertentu pada kebun talun adalah mudah memelihara. Hal ini
merujuk pada orientasi hemat input produksi (tenaga kerja, pupuk dan obat-
obatan) dan pengelolaannya kurang intensif.
Hasil dari analisis yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian
Hardono dan Saliem (2006) dan penelitian Fatmawati (2011). Hardono dan
Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang diversifikasi pendapatan rumah
tangga menyebutkan bahwa peluang diversifikasi usaha lebih tinggi pada
rumah tangga yang sumber pendapatannya terbatas, akibatnya diversifikasi
usaha menjadi suatu kebutuhan atau suatu strategi mempertahankan
kesejahteraan (livelihood strategy) hidupnya.
Fatmawati (2011) juga menyebutkan bahwa faktor pendapatan yang
semakin tinggi akan memberi peluang yang lebih besar kepada masyarakat
untuk memiliki (menanam) cendana. Hal ini disebabkan karena pendapatan
dari cendana sangat besar dan berhubungan dengan biaya pemeliharaan yang
intensif dan modal usaha untuk menanam cendana.
Kedua hasil penelitian di atas berbeda dengan hasil yang diperoleh dari
pengolahan data, karena peluang menanam kemiri lebih besar pada seseorang
yang berpenghasilan lebih rendah. Seseorang yang berpenghasilan rendah
akan berjuang mendapatkan penghasilan yang lebih besar dengan menanam
tanaman yang lebih mudah dikelola, lebih cepat mendatangkan penghasilan
dan tidak memerlukan modal yang tinggi. Tetapi, dalam hal ini masyarakat
dengan penghasilan lebih rendah lebih memilih menanam kemiri karena
petani berpenghasilan rendah sudah merasakan manfaat dari tanaman kemiri
62
sehingga cenderung lebih memilih untuk tetap mempertahankannya daripada
mengganti tanaman lain yang belum tentu mendapatkan keuntungan yang
besar dan lebih berpeluang untuk mencari penghasilan sampingan dari
sumber lain karena tanaman kemiri tidak memerlukan pengelolaan yang
intensif. Sehingga alasan mengapa masyarakat yang berpendapatan rendah
menanam kemiri adalah karena biaya usaha yang tidak besar.
d. Faktor asal usul tanah
Ichwandi (2001) menyebutkan hak kepemilikan lahan di Kabupaten
Maros diperoleh melalui jalur warisan, pembelian dan membuka lahan
sendiri. Hal ini juga berlangsung di Kecamatan Tanah Pinem. Asal usul
kepemilikan lahan biasanya berhubungan dengan jenis tanaman apa yang
sebelumnya dikelola pada lahan tersebut. Seseorang yang membeli lahan,
akan mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan tanaman yang ada
diatasnya atau mengganti dengan jenis tanaman baru. Bila warisan, maka
biasanya akan mempertahankan jenis tanaman yang ada. Suharjito (2002)
menyebutkan bahwa salah satu alasan masyarakat Desa Buniwangi-
Sukabumi memilih jenis tanaman yang diusahakan pada kebun talun adalah
warisan dari orang tua. Hal yang sama juga terjadi pada pewarisan repong
damar di Pesisir Krui-Lampung (Wijayanto 2002).
Sedangkan bila tanah tersebut berasal dari hasil garapan, apalagi lahan
tersebut adalah kawasan hutan, maka jenis tanaman yang akan ditanam
adalah jenis tanaman yang mendatangkan manfaat bagi petani yang
bersangkutan dan jenis yang dipilih berdasarkan jenis tanaman yang ada
disekitarnya. Jenis tanaman yang dipilih biasanya adalah jenis tanaman keras
yang menghasilkan, memiliki daya tahan yang cukup tinggi, tidak dimakan
hama seperti monyet ataupun babi hutan. Beberapa responden yang
membuka hutan menyatakan bahwa mereka lebih memilih jenis tanaman
kayu-kayuan karena bisa ditinggal dalam waktu lama.
Hasil analisis menunjukkan bahwa asal usul lahan mempunyai nilai
koefisien positif dengan nilai odd rasio 24,843. Peluang seseorang yang
memiliki lahan hasil garapan sendiri dari lahan hutan untuk mengelola kemiri
adalah 24,843 kalinya dari seseorang yang memiliki lahan dari hasil
63
membeli, ceteris paribus. Kecenderungan orang yang membuka hutan untuk
digarap sendiri akan memilih menanam dan mengelola kemiri dibanding
dengan orang yang membeli lahan ataupun yang memperolehnya dari
warisan.
Yusran (2005) menyebutkan bahwa status lahan kemiri yang dikelola
masyarakat di Kawasan Pegunungan Bulusaruang terdiri dari tanah milik,
tanah negara dan hutan negara, yang akan berpengaruh pada performansi
hutan kemiri rakyat. Semakin kuat status lahan yang dikelola maka semakin
intensif pengelolaannya dan menjamin kelestariannya. Sementara di
Kecamatan Tanah Pinem, pengelolaan lahan kemiri belum secara intensif,
khususnya pada lahan hutan karena berhubungan dengan status lahan yang
berhubungan dengan tingkat resiko kerugian yang akan dihadapi bila
sewaktu-waktu ada larangan memasuki kawasan hutan.
e. Faktor aksesibilitas ke ladang
Tingkat kesulitan ataupun kemudahan menjangkau suatu ladang, akan
mempengaruhi jenis tanaman apa yang akan ditanam. Semakin dekat ladang
dan semakin mudah menjangkaunya dengan sarana transportasi seperti
sepeda motor, maka jenis tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman
yang cepat mendatangkan hasil, sedangkan semakin jauh ladangnya dan
semakin sulit menjangkaunya dengan sarana transportasi maka akan lebih
memilih menanam jenis tanaman tahunan. Keputusan menanam jenis
tanaman pertanian atau tanaman tahunan sangat berhubungan dengan jarak
tempuh dan tingkat kesulitan menjangkaunya. Hal ini berhubungan dengan
intensitas seseorang pergi ke ladang dan tingkat kemudahan dalam
pengangkutan sarana dan prasarana produksi serta hasil.
Hasil analisis menunjukkan bahwa aksesibilitas ke ladang mempunyai
nilai koefisien negatif dengan nilai odd ratio 0,244. Peluang seseorang untuk
mengelola kemiri pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang lebih
mudah adalah sebesar 0,244 kalinya dibanding dari seseorang yang memiliki
aksesibilitas ke ladang sulit, atau peluang seseorang untuk mengelola kemiri
pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang sulit adalah 4,09 (1/0,244)
kali daripada yang memiliki aksesibilitas ke ladang mudah, ceteris paribus.
64
Dari kelima faktor yang signifikan mempengaruhi petani mengelola kemiri,
faktor yang paling besar memberi pengaruh adalah asal usul tanah khususnya
tanah yang berasal dari lahan garapan karena memiliki nilai koefisien yang besar
(3,213) yang menyebabkan nilai odd ratio juga besar (24,843). Semua masyarakat
yang memiliki lahan hasil garapan dari hutan memilih jenis kemiri sebagai
tanaman yang ditanam karena dapat memberikan pendapatan bagi petani. Hiola
(2011) menyebutkan bahwa status penguasaan lahan akan mempengaruhi
masyarakat untuk menanam jenis tanaman tertentu pada lahan miliknya. Jenis
kemiri merupakan jenis tanaman yang banyak ditanam masyarakat pada kawasan
hutan (tanah negara) karena menanam kemiri pada tanah negara tidak menjadi
ancaman bagi petani. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam pada lahan milik
akan dipengaruhi oleh adanya rasa aman untuk menanam dan mendapatkan hasil
dari tanaman tersebut tanpa ada rasa takut atau ancaman jika sewaktu-waktu ada
peraturan dari pemerintah yang berhubungan dengan status lahan yang belum
jelas (khususnya pada kawasan hutan).
Faktor yang berpengaruh kepada petani untuk mengelola kemiri pada
urutan kedua adalah pendapatan petani perbulan khususnya petani yang memiliki
pendapatan perbulan yang rendah (<1,5 juta per bulan). Hal ini terjadi karena
petani dengan pendapatan yang rendah akan memiliki keterbatasan modal dalam
mengembangkan usaha yang akan dilakukannya. Faktor ketiga yang berpengaruh
adalah faktor aksesibilitas ke ladang yang sulit dijangkau, intensitas kunjungan
dan ancaman bahaya serangan hama (monyet dan babi hutan) akan berkurang bila
menanam jenis tanaman keras seperti jenis kayu-kayuan.
Faktor keempat yang berpengaruh adalah luas kepemilikan lahan yang
masih cukup lebar. Umumnya masyarakat yang mengelola kemiri adalah
masyarakat yang memiliki lahan yang berada pada lahan-lahan miring dengan
luas lahan yang cukup lebar. Pilihan menanam kemiri menjadi pilihan yang utama
karena cocok ditanam pada lahan miring, hasilnya dapat dijual secara
berkelanjutan dan menjadi sumber pendapatan bagi petani. Bila beralih menanam
tanaman lain (pertanian), akan memerlukan biaya usaha yang besar dan adanya
resiko yang terjadi seperti erosi dan tanah longsor.
65
Faktor yang mempengaruhi petani mengelola kemiri dengan nilai yang
lebih kecil adalah faktor umur petani. Walaupun faktor umur petani memiliki
nilai odd ratio yang kecil tetapi faktor ini menjadi alasan beberapa petani yang
sudah mulai kurang produktif untuk memilih menanam serta mempertahankan
tanaman kemiri pada lahan miliknya karena kekuatan petani dalam mengelola
lahan sudah mulai berkurang sehingga pengelolaannyapun nantinya akan menjadi
tidak intensif dan disisi lain ada jaminan pendapatan yang masih dapat diperoleh
dari tanaman tersebut secara berkelanjutan.
Faktor-faktor yang tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang
masyarakat menanam kemiri adalah lama tinggal di desa, pekerjaan utama dan
sampingan, status kepemilikan lahan, jumlah anak sekolah di desa dan di luar
daerah, jumlah anggota keluarga produktif, jumlah tanggungan dalam keluarga,
pengalaman bertani, jarak dari rumah ke ladang, status lahan yang dipakai dan
tingkat pendidikan. Berikut ini adalah penjelasan mengapa faktor-faktor tersebut
di atas tidak berpengaruh.
a. Lama tinggal di desa
Faktor lama tinggal di desa akan berpengaruh pada pengalaman
seseorang dalam menganalisa berbagai jenis tanaman yang berkembang
dalam lingkungan masyarakat sekitarnya. Pola perubahan penggunaan lahan
dan besar kecilnya produktivitas yang diperoleh akan mempengaruhi
seseorang untuk memilih menanam jenis tanaman tertentu. Pada masa
kejayaan kemiri, kemiri merupakan sumber penghasilan utama masyarakat
dan tanaman kemiri hampir ditanam semua masyarakat. Tetapi, pada saat
hasil dan produksi menurun, maka ada keinginan beralih pada jenis tanaman
lain yang bisa menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Peralihan
ini terjadi karena berbagai alasan, salah satunya adalah pengalaman
masyarakat lain disekitarnya yang sudah menanam cokelat dan jagung.
Sekitar tahun 2005, masyarakat pelahan-lahan mulai menebang kemiri dan
beralih menanam tanaman cokelat dan jagung.
b. Pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan
Faktor ini berhubungan dengan kesempatan melakukan kegiatan pada
lahan miliknya. Seseorang yang memiliki pekerjaan utama bukan petani akan
66
berpeluang lebih besar menanam kemiri karena waktu yang dimilikinya akan
lebih banyak dalam pekerjaan utamanya. Responden yang memiliki
pekerjaan utama bukan petani, akan cenderung mempekerjaan orang lain
untuk mengelola lahan miliknya. Sementara seseorang petani yang memiliki
pekerjaan sampingan, kemungkinan memberi peluang menanam kemiri juga
semakin besar, seperti pedagang, sopir dan buruh bangunan. Ternyata, hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pekerjaan
utama sebagai petani dan ada atau tidaknya pekerjaan sampingan tidak
berpengaruh nyata dalam menentukan keputusan untuk menanam kemiri.
c. Status kepemilikan lahan
Status lahan bersertifikat dan belum bersertifikat tidak berpengaruh
dalam mendorong masyarakat untuk menanam kemiri. Hal ini menunjukkan
bahwa kepemilikan sertifikat tidak akan mempengaruhi seseorang untuk
menanam atau tidak menanam kemiri. Petani kemiri yang tidak memiliki
sertifikat 85,71% dan petani non kemiri yang tidak bersertifikat 66,67%. Ini
menunjukkan bahwa apapun status lahan, masyarakat bebas menentukan
untuk menanam kemiri dan non kemiri. Faktor status lahan milik atau lahan
sewa juga tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang menanam kemiri.
Adanya masyarakat yang menyewakan lahan yang ditanami kemiri
menunjukkan bahwa jenis tanaman apapun yang ada pada sebidang lahan
tidak mempengaruhi seseorang untuk menyewa lahan sepanjang usaha
tersebut memberikan pendapatan bagi penyewa. Masyarakat yang menyewa
kemiri hanya bersifat memungut hasil, menjaga dan tidak untuk mengganti
tanaman kemiri. Hal ini didukung dengan penelitian Sumaryanto (2006)
bahwa sikap petani pemilik dan penyewa tidak berbeda dalam menentukan
pola tanaman pada lahan miliknya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor status
kepemilikan lahan dan penguasaan lahan tidak mempengaruhi masyarakat
untuk menanam kemiri.
d. Jumlah anggota keluarga
Hal ini berhubungan dengan jumlah anak sekolah, jumlah anggota
keluarga produktif dan jumlah anak sekolah di luar daerah. Dalam melakukan
usaha tani, idealnya semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak
67
tenaga kerja yang berperan dalam kegiatan usaha taninya. Ternyata pada
hasil pengolahan data menunjukkan bahwa besar kecilnya jumlah anggota
keluarga tidak berpengaruh dalam menentukan untuk menanam kemiri pada
lahan milik masyarakat. Jumlah anggota keluarga yang besar belum tentu
keseluruhannya berperan dalam melakukan kegiatan pertanian. Ini terjadi
karena anggota keluarga terdiri dari anak-anak yang masih bersekolah, ada
anggota keluarga yang bersekolah di luar daerah dan ada tanggungan yang
sudah berusia lanjut (tidak produktif). Hal ini berbeda dengan Sumaryanto
(2006) yang menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga akan berperan
dalam melakukan diversifikasi usaha. Perbedaan ini bisa terjadi karena usaha
tanaman pertanian memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak
karena pengelolaannya yang lebih intensif sedangkan dalam mengelola
tanaman kemiri kurang intensif.
e. Pengalaman bertani
Pada hasil pengolahan data diketahui bahwa pengalaman bertani
responden tidak berpengaruh dalam memilih untuk mengelola kemiri.
Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa pengalaman dalam usaha tani dapat
menunjukkan tersedianya tenaga kerja yang telah mempunyai keterampilan
awal yang cukup memadai. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian
karena adanya berbagai latar belakang yang dialami oleh petani kemiri,
seperti harga kemiri yang tidak mendukung, perolehan hasil yang semakin
berkurang, masalah hama dan penyakit, pengangkutan yang sulit serta
pengolahan hasil (pengupasan). Latar belakang inilah yang menjadi salah
satu kendala dalam pengembangan tanaman kemiri pada lahan milik.
Akibatnya, beberapa petani mulai melakukan konversi lahan menjadi lahan
pertanian, baik pada lahan datar maupun pada lahan yang miring.
f. Jarak dari rumah ke ladang
Untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam pada lahan
masyarakat, dipengaruhi oleh jarak dari rumah ke ladang. Jenis tanaman
kayu-kayuan akan lebih cenderung ditanam masyarakat pada lahan miliknya
yang jaraknya sangat jauh dari rumah karena berhubungan dengan intensitas
kunjungan yang lebih sedikit dan dapat ditinggalkan dalam waktu yang lama.
68
Tetapi pada penelitian ini, faktor jarak dari rumah ke ladang tidak
berpengaruh pada peluang untuk menanam kemiri. Penyebabnya adalah
karena hampir sebagian besar lahan masyarakat berada pada kondisi
topografi yang curam dan terjal dan berada disekitar lingkungan masyarakat.
Tanaman kemiri yang ditanam pada lahan yang jauh adalah lahan-lahan hasil
garapan yang merupakan lahan hutan yang jaraknya cukup jauh dari rumah
masyarakat.
Hasil berbeda dengan penelitian Fatmawati (2011) yang menyebutkan
bahwa jarak akan mempengaruhi peluang masyarakat menanam cendana.
Semakin dekat jarak dari rumah, peluang menanam cendana akan semakin
besar, karena menanam cendana dekat rumah akan lebih aman dari
pencurian, bahaya kebakaran, pengembalaan liar dan penebangan illegal.
Untuk menanam jenis tanaman kayu komersil yang memiliki nilai jual tinggi
memang lebih baik ditanam pada lahan yang dekat dengan rumah penduduk.
g. Tingkat pendidikan sekolah
Pendidikan akan mempengaruhi pengambilan keputusan petani. Hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak
mempengaruhi masyarakat menanam kemiri. Hal ini didukung oleh
Sumaryanto (2006) yang menyebutkan bahwa faktor pendidikan tidak
mempengaruhi petani melakukan diversifikasi usaha. Hardjanto (2003)
menyebutkan bahwa tingkat pendidikan petani umumnya sangat terbatas
(rendah), yang berdampak pada keterbatasan pengetahuan. Akibatnya untuk
memulai suatu yang baru akan memakan waktu yang lama, seperti
penggunaan teknologi pertanian.
Silamon (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki
kecenderungan hubungan berbanding terbalik dengan keputusan
mengusahakan hutan rakyat, dimana semakin tinggi pendidikan maka
semakin kecil peluang untuk mengusahakan hutan rakyat atau petani dengan
pendidikan yang semakin rendah akan semakin besar peluangnya untuk
mengusahakan hutan rakyat. Pada akhirnya, faktor pendidikan yang rendah
menyebabkan petani memilih menanam jenis tanaman yang tidak intensif
karena dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang terbatas.
69
Hasil analisis faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi masyarakat
mengelola kemiri menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan kegiatan hutan rakyat
dengan jenis tanaman kemiri yaitu pada lahan masyarakat yang diperoleh dari
membuka hutan, pendapatan masyarakat khususnya pada masyarakat yang
berpenghasilan rendah, lahan-lahan masyarakat yang sulit dijangkau, luas
kepemilikan lahan khususnya pada masyarakat yang memiliki lahan yang berada
pada lahan miring (curam dan terjal) dan kelompok masyarakat yang kurang
produktif.
5.3 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat
Untuk melakukan analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri diketahui dari
aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Aspek yang digunakan dalam analisis ini
merupakan kombinasi yang sudah dimodifikasi sesuai kebutuhan analisis
keberlanjutan pengelolaan untuk jenis tanaman hasil hutan bukan kayu
berdasarkan pendekatan indikator LEI (2001), Davis et al. (2001) dan Dephut et
al. (1997). Selanjutnya adalah hasil penilaian terhadap masing-masing indikator.
5.3.1 Aspek Ekologi
Hasil penilaian setiap indikator dari aspek ekologi adalah yang bernilai Baik
sebanyak 3 (30%); yang bernilai Cukup sebanyak 7 (70%); dan yang bernilai
Jelek tidak ada. Adapun penjelasan setiap indikator adalah sebagai berikut:
Tabel 24 Hasil penilaian aspek ekologi pada pengelolaan tanaman kemiri No Indikator Penilaian Keterangan
1 Erosi B
2 Produksi lahan C
3 Karakteristik air B
4 Kualitas air C
5 Cara mengambil manfaat B
6 Pengendalian hama dan penyakit C
7 Adanya gangguan (kebakaran, hama & penyakit, banjir,
tanah longsor, dll)
C
8 Struktur tegakan C
9 Penutupan lahan C
10 Konservasi tanah C Keterangan : B= Baik, C= Cukup
70
1 Erosi tanah
Erosi adalah peristiwa terangkutnya partikel tanah oleh air ke tempat yang
lebih rendah. Peristiwa erosi merupakan hal alami yang tidak dapat dihindarkan
dan erosi alami tidak akan menimbulkan kerusakan. Erosi yang menimbulkan
kerusakan adalah erosi yang mengangkut partikel tanah dalam jumlah yang sangat
besar dan menyebabkan terkikisnya lapisan solum tanah, yang pada akhirnya
menimbulkan lahan kritis. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya erosi
adalah iklim (curah hujan), topografi, pola penggunaan lahan, jenis tanah dan
kegiatan/aktivitas manusia.
Hutan rakyat adalah salah satu pola yang dapat diadopsi untuk mengatasi
erosi, seperti hutan rakyat pola agroforestry. Mahendra (2009) menyebutkan
bahwa dengan sistem agroforestry memungkinkan terciptanya multi strata tajuk.
Pohon yang dominan akan menempati tajuk paling atas dan tanaman pangan akan
menempati strata paling bawah.Akar pohon akan berfungsi sebagai spon pengikat
air, dapat mengurangi laju infiltrasi dan tajuk dapat mengurangi kerusakan akibat
air hujan. Penerapan sistem agroforestry akan meningkatkan konservasi tanah
dan air suatu lahan. Haryadi (2006) menyebutkan, hutan rakyat pola campuran
berperan dalam mencegah terjadinya erosi karena (1) kerapatan lapisan tajuk, (2)
perakaran tanaman yang kuat dan (3) adanya kegiatan pengelolaan lahan.
Peran hutan rakyat sengon dengan sistem agroforestry telah membuat
masyarakat Desa Pecekelan sadar akan keberadaan hutan rakyat yang dapat
memberikan keamanan lingkungan seperti dari aspek konservasi tanah, yaitu
berkurangnya tanah longsor oleh run off (Rahayu dan Awang 2003). Tentu hal ini
berkaitan dengan tingkat erosi yang dihasilkan hutan rakyat adalah kecil.
Lapisan tanah yang ditumbuhi oleh tanaman keras akan berperan dalam
mencegah terjadinya erosi. Suripin (2004) menyatakan hutan yang terpelihara
dengan baik yang dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah (rumput, perdu,
semak dan belukar) merupakan pelindung tanah yang ideal dalam mencegah
terjadinya erosi. Pengaruh vegetasi dalam memperkecil laju erosi adalah (1)
vegetasi mampu menangkap (intersepsi) butir air hujan sehingga energi
kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam langsung pada tanah; (2)
tanaman penutup mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran sehingga
71
mengurangi kecepatan aliran permukaan; (3) perakaran tanaman meningkatkan
stabilitas tanah dengan meningkatkan kekuatan tanah, granularitas dan porositas;
(4) aktivitas biologi yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman memberikan
dampak positif pada porositas tanah; dan (5) tanaman mendorong transpirasi air
sehingga lapisan tanah atas menjadi kering dan memadatkan lapisan bawahnya.
Kecamatan Tanah Pinem adalah kecamatan yang berada di daerah yang
cukup berbukit dengan kondisi topografi seperti pada Tabel 10, dengan curah
hujan yang cukup tinggi serta kegiatan masyarakat yang umumnya bertani dengan
pola penggunaan lahan seperti ladang/huma, kebun/tegalan dan perkebunan.
Dengan kondisi di atas, maka segala bentuk aktifitas masyarakat dalam
pengelolaan lahan akan berdampak terhadap terjadinya erosi.
Dari hasil perhitungan prediksi erosi tanah di Kecamatan Tanah Pinem
dengan menggunakan pendekatan dari Universal Soil Loss Equation (USLE)
yaitu memprediksi laju erosi rata-rata lahan pada suatu kemiringan lahan dengan
pola hujan tertentu untuk setiap jenis tanah dan penerapan pengelolaan lahan,
diperoleh data seperti Tabel 25. Tingkat bahaya erosi pada lokasi penelitian
berada pada kategori ringan sampai sedang. Hal ini dapat dipengaruhi dari
keberadaan hutan yang ada di daerah bertopografi bergelombang sampai terjal,
sehingga ada pelindung tanah yang bersifat mencegah terjadinya erosi tanah. Data
ini menunjukkan bahwa kondisi lahan masih cukup baik.
Tabel 25 Prediksi tingkat bahaya erosi potensial di Kecamatan Tanah Pinem
No Tingkat bahaya erosi aktual
(ton/ha/tahun)
Luas
(ha)
Persentase
(%)
1 Bahaya erosi I (< 15 ton/ha/tahun) 10.050,65 22,87
2 Bahaya erosi II (16 – 60 ton/ha/tahun) 32.061,46 72,97
3 Bahaya erosi III (60 – 180 ton/ha/tahun) 57,38 0,13
4 Bahaya erosi IV (180-480 ton/ha/tahun) - -
5 Bahaya erosi V (>480 ton/ha/tahun) - -
6 Tidak ada data 1.770,51 4,03
Jumlah 43.940,00 100 Sumber : BPKH Wilayah 1 Medan (2001)
Keberadaan tanaman kemiri, pada lahan-lahan yang bertopografi
bergelombang sampai terjal di Kecamatan Tanah Pinem akan berperan dalam
menjaga tanah agar terhindar dari erosi dan tanah longsor. Pada lahan-lahan yang
72
ditanami tanaman kemiri, tampak bahwa lapisan permukaan tanah dalam kondisi
ditumbuhi tumbuhan bawah yang berperan dalam mencegah terjadinya erosi.
Pada lahan-lahan yang ditanami tanaman kemiri tidak ada dijumpai penipisan
lapisan tanah karena tajuk yang lebat dan lebar serta tumbuhan bawah yang
tumbuh rapat berperan melindungi tanah dari pengaruh tumbukan air hujan
sehingga tidak menimbulkan erosi. Lain halnya pada lahan-lahan yang ditumbuhi
oleh tanaman pertanian berdaur pendek seperti tanaman jagung, tampak adanya
erosi alur yang membentuk parit-parit kecil tempat berlalunya air yang
mengangkut partikel tanah. Hal ini terjadi karena tidak adanya perlindungan
terhadap permukaan tanah pada saat hujan turun.
Gambar 11 Tumbuhan bawah pada tegakan kemiri berperan dalam mencegah
terjadinya erosi.
2 Produktivitas lahan
Produktivitas lahan untuk jenis tanaman kemiri yang ada di Kecamatan
Tanah Pinem selama 10 (sepuluh) tahun terakhir disajikan pada Gambar 12.
Tampak pada gambar bahwa produktivitas kemiri naik turun seiring dengan naik
turunnya luas tanaman kemiri. Produksi kemiri dipengaruhi oleh umur tanaman,
yang rata-rata tanaman sudah termasuk pada kategori tidak produktif dan kondisi
kesehatan tanaman.
73
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem (2001-2010)
Gambar 12 Luas dan produktivitas kemiri selama 10 tahun terakhir.
Untuk perbandingan, pada Tabel 26 dapat dilihat produktivitas empat jenis
komoditi utama di Kecamatan Tanah Pinem seperti jagung, padi ladang, cokelat
dan kemiri sejak tahun 2005 sampai tahun 2009. Produktivitas untuk ke-4
komoditas setiap tahunnya adalah meningkat, walaupun pada tahun tertentu ada
yang menurun. Informasi dari kecamatan, rata-rata produktivitas jagung masih
sangat rendah yaitu berkisar 6-7 ton/ha. Bila dilakukan pengelolaan lahan yang
intensif, maka dapat mencapai hasil yang cukup tinggi yaitu 8–10 ton/ha.
Produktivitas kemiri masih cukup besar yaitu antara 0,50 sampai 0,77 ton/ha jika
dibandingkan dengan produktivitas kemiri untuk tingkat Indonesia pada tahun
2007 adalah 0,797 ton/ha. Produktivitas tanaman kemiri dari sampel yang diambil
rata-ratanya adalah 583,33 kg/ha/tahun, mendekati rata-rata produksi kemiri di
Indonesia sebesar 0,5 ton/ha/tahun (Paimin 1994).
Tabel 26 Produktivitas 4 jenis komoditi utama tahun 2005 sampai tahun 2009
No Tahun Produktivitas (ton/ha)
Jagung Padi Ladang Cokelat Kemiri
1 2005 5,63 2,63 38,85 0,50
2 2006 6,33 1,87 0,70 0,65
3 2007 6,16 2,30 0,75 0,50
4 2008 6,23 2,30 0,93 0,75
5 2009 6,63 2,32 1,01 0,77 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)
Luas (Ha)Produksi (Ton)
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
74
Salah satu alasan masyarakat memilih untuk menanam jenis tanaman
tertentu pada lahannya adalah sesuai dengan kondisi tanahnya, yang mengarah
pada produktivitas lahan dengan harapan hasilnya banyak (Suharjito 2002).
Kondisi ini juga dialami oleh masyarakat pada lokasi penelitian, menanam kemiri
merupakan tanaman yang menghasilkan bagi masyarakat (khususnya pemilik
lahan pada lahan miring) dan produksinya masih ada walaupun produktivitas
lahan cenderung menurun.
3 Karakteristik air
Kondisi sungai-sungai di lokasi penelitian umumnya mengalir sepanjang
tahun. Sungai-sungai di Kecamatan Tanah Pinem umumnya sulit dimanfaatkan
oleh masyarakat karena keberadaannya yang berada pada daerah jurang yang
dalam dan diantara bebatuan yang curam dan terjal. Untuk kehidupan sehari-hari,
masyarakat memanfaatkan sungai-sungai yang mengalir di dekat perkampungan
yang bersumber dari kawasan hutan. Mata-mata air mengalir dari bebatuan yang
dibagian hulunya terdapat pepohonan, termasuk tanaman kemiri. Hal ini sesuai
dengan BPKH (2009) yang menyebutkan bahwa dengan keberadaan hutan rakyat
berperan dalam menjamin ketersediaan air lokal. Wijayanto (2002) juga
menyebutkan bahwa ada keterpaduan repong damar dengan agro-ekosistem
dalam sistem tata air yang akan menjamin ketersediaan air sepanjang tahun.
Masyarakat Desa Pecekelan menyatakan bahwa hutan rakyat berperan dalam
menjaga keberadaan mata air dan menjamin tidak pernah kering pada musim
kemarau (Rahayu dan Awang 2003).
Gambar 13 Tegakan pohon (kemiri) berperan menjamin ketersediaan air lokal.
75
4 Kualitas air
Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh semua mahluk
hidup. Salah satu hal yang menjadi perhatian utama dalam penggunaan air adalah
kualitas air. Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau
kecocokan air untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk air minum, perikanan,
pengairan/irigasi, industri dan sebagainya. Mengetahui kualitas air berarti
mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam
penggunaannya. Kualitas air dapat dilihat dari parameter kemasaman (pH) air,
Biological Oxygen demand (BOD), Chemichal Oxygen Demand (COD), residu
terlarut dan temperatur air.
Kecamatan Tanah Pinem secara keseluruhan berada di daerah DAS Singkil.
Berdasarkan data dari BPDAS Wampu Sei Ular (2009), pH air berkisar antara
nilai 6 sampai di bawah 7,5, BOD berkisar kurang dari 0,7 mg/l, COD berkisar
pada nilai 3,19 sampai 22,31 mg/l dan residu terlarut (sedimen) bernilai antara
20,75 sampai 444,5 mg/l. Dari hasil tersebut di atas dinyatakan bahwa sungai-
sungai yang termasuk dalam DAS Singkil secara keseluruhan masih dalam
kondisi yang baik sesuai kriteria PP No.82 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Syarat kelas mutu air menurut PP
No.82 tahun 2001 adalah pH berkisar 6-9, BOD berkisar 2-12 mg/l, COD berkisar
10-100 mg/l dan residu terlarut berkisar 1000-2000 mg/l.
Bila dilihat dari tingkat kejernihan air, maka air yang mengalir pada sungai-
sungai pada musim kemarau umumnya bersih dan keruh pada musim penghujan.
Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan sumber mata air dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
5 Cara-cara mengambil manfaat (kayu dan buah)
Manfaat yang diambil masyarakat dari tanaman kemiri secara umum adalah
buahnya. Cara-cara mengambil manfaat buah yang dilakukan oleh masyarakat
masih sederhana, tidak merusak dan ramah lingkungan. Buah yang diambil
adalah buah yang jatuh secara alami yang ada di bawah tegakan tanaman kemiri.
Pada saat pengambilan manfaat dilakukan pembabatan tanaman bawah untuk
pembersihan lahan. Pembabatan dilakukan sebanyak dua kali setahun yaitu
sebanyak musim berbuah banyak. Selain dilakukan pembabatan, juga dilakukan
76
dengan cara kimia seperti penggunaan round-up. Bahan kimia ini merupakan
sejenis racun tanaman yang dapat mematikan tanaman bawah seperti rumput dan
alang-alang. Penggunaan round-up sudah sangat banyak digunakan oleh
masyarakat karena lebih mudah, praktis dan tidak memerlukan biaya yang besar.
Pengambilan manfaat kayu belum banyak dilakukan masyarakat. Pada
umumnya masyarakat belum memikirkan untuk menjual kayu kemiri yang sudah
tidak produktif. Dari 63 responden petani kemiri yang di wawancarai,
hanya 7 responden (11,11%) yang pernah menjual kayu kemiri yang dimilikinya.
Tidak semua responden dapat menjual kayu kemiri yang dimilikinya karena tidak
mengetahui informasi tentang penjualan kayu kemiri, kondisi tanaman kemiri
yang tidak bagus (percabangannya banyak), jumlah kayu yang berdiameter besar
dan bulat sangat jarang dan pengaruh jarak lokasi tanaman kemiri dari jalan
angkutan. Semakin jauh jarak dari jalan, harga kayu kemiri akan sangat murah
dan bahkan tidak laku.
Responden yang menjual kayu menyebutkan bahwa kayunya laku dijual
karena dekat dengan jalan, sudah berdiameter besar dan kondisi batang lurus dan
bulat cukup banyak. Penentuan harga kayu kemiri yang dimiliki oleh masyarakat
adalah dengan sistem taksir. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah pohon yang dapat
diangkut sesuai kriteria yang diperlukan pembeli, jarak lokasi ke jalan dan semua
biaya tebang sampai angkut ditanggung oleh pembeli, sehingga posisi tawar
pemilik kayu adalah lemah. Umumnya masyarakat menerima setiap harga yang
ditentukan dengan alasan daripada tidak laku. Dalam hal pemasaran kayu kemiri,
posisi tawar masyarakat sangat lemah dalam penentuan harga (Sumodiningrat
1999; Hardjanto 2000; Awang et al 2007).
Hardjanto (2000) menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi
tawar yang lebih rendah dibanding tengkulak, industri kecil dan industri besar.
Hal ini terjadi karena tengkulak, industri kecil dan besar sudah memiliki posisi
tawar yang lebih kuat. Untuk kegiatan penebangan, penyaradan dan
pengangkutan kayu dari lahan masyarakat dilakukan oleh pembeli kayu,
akibatnya berdampak pada kekuatan pembeli untuk menentukan harga. Hal ini
berdampak pada pendapatan petani yang kecil dan tidak dapat merangsang petani
untuk mengembangkan usaha yang sama.
77
Masyarakat yang memiliki pohon kemiri yang tidak laku dijual, akan
menebangnya dan hanya membiarkan kayunya begitu saja sampai membusuk dan
menjadi pupuk bagi tanaman lain yang ditanaminya. Masyarakat kurang tertarik
menggunakan kayu kemiri menjadi kayu bakar, karena kurang bagus dalam
proses pembakaran, terutama kalau kayunya pernah basah.
6 Pengendalian hama dan penyakit
Permasalahan yang dihadapi masyarakat pada umumnya adalah adanya
hama dan penyakit. Hama yang pernah terjadi adalah serangan ulat yang
memakan daun sehingga meninggalkan kayu kemiri dengan kondisi tidak berdaun
(hanya meninggalkan kayu dan ranting). Hal ini terjadi sekitar tahun 1987 sampai
tahun 1990-an. Hama ulat ini menyerang semua tanaman kemiri masyarakat
hampir di semua desa yang ada di Kecamatan Tanah Pinem. Semua responden
yang diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak dapat melakukan upaya
pencegahan, mengingat ulat yang ada sangat banyak dan cukup sulit untuk
mengatasinya.
Sementara untuk jenis penyakit yang dihadapi oleh masyarakat secara
umum adalah gugur buah. Hampir semua responden menyatakan menghadapi
permasalahan gugur buah. Buah kemiri akan gugur ketika buah hampir mencapai
kondisi setengah tua (hampir masak pohon). Buah yang gugur ini tidak bisa
dipanen karena belum membentuk buah kemiri yang bagus (belum menjadi
kernel). Permasalahan ini belum bisa diatasi oleh masyarakat dan beberapa hasil
penelitian belum mampu menjelaskan penyebab terjadinya gugur buah ini.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah adanya benalu yang tumbuh pada pohon
kemiri yang lama kelamaan makin banyak yang akhirnya mengganggu
pertumbuhan tanaman kemiri.
Berbagai hama dan penyakit di atas adalah masalah-masalah yang
umumnya banyak ditemui pada tanaman kemiri (Sunanto 1994, Paimin 1994 dan
Deptan 2006a). Untuk upaya pencegahan dan pengobatan, akan menemui
kesulitan karena ukuran tanaman yang tinggi dan membutuhkan biaya untuk
membeli obat-obatan. Informasi yang diperoleh dari masyarakat dan penyuluh
menyebutkan bahwa beberapa upaya pencegahan terhadap hama dan penyakit
yang umum terjadi pada tanaman kemiri adalah dengan melakukan pengasapan
78
dari bawah tegakan dengan membakar kayu ataupun belerang dan menebas
batang bagian bawah pohon tetapi tidak sampai merusak kayu (hanya sebatas
kulit luar saja). Sementara itu, ada juga masyarakat yang mengambil keputusan
membiarkan saja atau menebang tanamannya dan beralih ke tanaman lain.
7 Adanya gangguan (kebakaran, hama dan penyakit, banjir, tanah
longsor, dan lain-lain)
Gangguan terhadap tanaman kemiri dan dampaknya bagi lingkungan sekitar
pernah terjadi tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan dan korban jiwa dan
korban materi. Gangguan seperti kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi.
Tetapi gangguan hama dan penyakit pernah terjadi seperti pada poin 6 di atas.
Gangguan seperti banjir bandang pernah terjadi di Pamah sekitar tahun 2006.
Banjir bandang terjadi di daerah alur perlaluan air yang diangkut dari daerah yang
tinggi (dataran tinggi) yang melewati Pamah (daerah yang ada di dataran rendah).
Sementara tanah longsor terjadi pada lahan-lahan yang bertopografi curam,
khususnya di daerah pinggir jalan, pinggir sungai dan pinggir lahan-lahan terjal
yang sudah gundul. Tanah longsor yang terjadi masih cukup ringan dan tidak
menimbulkan bahaya. Tetapi, menurut pengamatan di lapangan, dengan kondisi
topografi yang bergelombang, curah hujan yang tinggi, pola peralihan
penggunaan lahan dari tanaman keras menjadi tanaman semusim, bila tidak
diantisipasi dengan baik, bisa menimbulkan banjir bandang dan tanah longsor
yang lebih besar di tahun-tahun yang akan datang.
Deptan (2006b) menyebutkan bahwa pengembangan kemiri dapat
memperbaiki kondisi hidro-orologis setempat seperti mengurangi erosi dan banjir,
kebakaran, ketersediaan oksigen dan penyerapan CO2. Gangguan banjir bandang
yang terjadi di Pamah dan longsor di beberapa tempat dapat disebabkan karena
struktur tegakan kemiri yang sudah mulai rusak oleh peralihatan dari tanaman
kemiri menjadi tanaman berumur pendek pada lahan-lahan yang bertopografi
curam dan terjal.
8 Struktur tegakan hutan
Struktur tegakan kemiri pada lokasi tanaman kemiri yang diamati
menunjukkan kondisi yang sangat rapat, masih baik dan utuh serta bermanfaat
dalam melindungi lapisan tanah dari erosi dan tanah longsor. Tetapi, dari
79
pengamatan dan pemantauan di lapangan secara keseluruhan dapat dilihat bahwa
struktur tegakan hutan umumnya sudah mulai terganggu dengan adanya peralihan
lahan-lahan yang ditanami tanaman keras menjadi tanaman semusim, baik di
lahan datar maupun lahan miring yang menyebabkan keterbukaan sebagian
permukaan lahan. Tetapi, beberapa kawasan hutan keberadaannya tetap terjaga.
Seperti di daerah Pasir Tengah, ada kawasan hutan yang tidak boleh diganggu
(tidak boleh dirusak dan ditebang) karena dipercayai sebagai kawasan hutan
keramat. Kawasan ini dikeramatkan karena masyarakat percaya ada roh-roh yang
menjaga hutan tersebut, jika ada yang merusak hutan maka akan diganggu oleh
roh penjaga. Kawasan hutan yang dikeramatkan akan berperan dalam menjaga
kawasan hutan sehingga tidak ada kegiatan perusakan oleh masyarakat. Hal yang
sama juga terjadi pada masyarakat Kasepuhan di Banten. Suharjito dan Saputro
(2008) menyebutkan bahwa Leuweung titipan pada lingkungan masyarakat
Kasepuhan adalah hutan yang tidak boleh dipungut hasilnya atau kawasannya
tidak dapat dimanfaatkan karena dianggap keramat. Leuweung titipan bagi warga
Kasepuhan merupakan titipan dari Karuhun yang harus dijaga kelestarian dan
keasliannya.
9 Jaminan penutupan lahan
Penanaman tanaman kemiri yang dilakukan oleh masyarakat secara umum
menjamin penutupan lahan. Penutupan lahan ini terlihat dari besarnya tajuk
tanaman kemiri yang menutupi lahan sehingga berperan dalam melindungi
permukaan tanah. Penanaman kemiri dengan jarak tanam tertentu akan menjamin
luas lahan yang akan ditutupi oleh tajuk pohon. Penanaman yang dilakukan oleh
masyarakat bertujuan untuk mendapatkan buah, maka jarak tanam kemiri yang
digunakan masyarakat adalah berkisar antara 8m x 8m, 8m x 10m, 10m x 10m,
10m x 12m. Tetapi ada juga beberapa penduduk yang menanam dengan jarak
tanaman yang lebih sempit yaitu dengan jarak tanam 5m x 5m sampai 6m x 6m.
Tujuan penanaman dengan jarak tanaman yang lebar adalah agar tajuk tanaman
kemiri lebar dan besar sehingga buah yang akan dihasilkan lebih banyak.
Penanaman kemiri untuk tujuan menghasilkan buah dapat menjamin penutupan
lahan sehingga berperan menjaga tanah tidak rusak, menjaga kesuburan tanah dan
mencegah erosi. Berapapun jarak tanam yang dibuat, secara umum struktur
80
tegakan kemiri pada suatu bentang lahan akan menjamin penutupan lahan, yang
kemudian akan berperan dalam mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor
(Haryadi 2006; Mahendra 2009).
Gambar 14 Tajuk tanaman kemiri yang lebar berperan menutupi permukaan tanah
10 Adanya upaya konservasi tanah
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa di beberapa lokasi yang
diamati, tidak ada upaya konservasi tanah yang sengaja dilakukan. Tetapi, untuk
beberapa tempat, seperti daerah terjal, pinggir-pinggir sungai, lembah curam dan
alur-alur sungai, masyarakat masih mempertahankan keberadaan tanaman kemiri.
Apalagi untuk beberapa responden menyebutkan bahwa mereka masih mau
menanami tanaman kemiri pada lahan milik mereka khususnya pada lahan miring
karena tidak bisa dikelola menjadi tanaman pertanian. Jika masyarakat beralih
menanam tanaman lain pada lahan miliknya yang miring, maka akan
membutuhkan biaya yang besar. Suripin (2004) menyebutkan untuk kondisi
lapangan yang curam dan terjal dan untuk menjamin produktivitas lahan
sebaiknya menerapkan kaidah konservasi tanah dengan cara pengolahan tanah
menurut kontur, guludan, teras dan lain-lain sesuai dengan kondisi lapangan.
Dengan menerapkan kaidah konservasi pada lahan miring, maka masyarakat
dapat memperoleh penghasilan dan bermanfaat bagi lingkungan.
Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di
Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekologi masuk pada kategori berkelanjutan
dengan catatan yaitu harus ada pembenahan dan perbaikan dalam pengelolaan
agar pengelolaannya sampai pada tahap berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari
81
hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan yang belum sepenuhnya dilakukan
kearah pengelolaan yang keberlajutan seperti belum adanya upaya penanganan
hama dan penyakit yang berdampak pada menurunnya produktivitas, luas
tanaman kemiri yang terus menurun yang berdampak pada jaminan penutupan
lahan khususnya pada lahan miring, belum adanya kegiatan yang aktif dalam
konservasi tanah seperti penanaman pada lahan miring dan lain-lain. Adanya
gangguan hama dan penyakit menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kemiri
belum intensif dan adanya bencana banjir bandang akibat dari perubahan
penggunaan lahan pada lahan miring menunjukkan terjadinya pola penggunaan
lahan yang tidak tepat pada lahan-lahan miring. Jika pengelolaan tanaman kemiri
rakyat berkelanjutan, maka peran tanaman kemiri dari aspek ekologi (lingkungan)
akan tercapai seperti menyimpan keanekaragaman hayati, habitat satwa,
mempertahankan kesuburan tanah, menjaga kestabilan suhu tanah dan organisme
penghuninya, mengurangi karbon dioksida, mengurangi pemanasan global dan
penahan erosi (Haryadi 2006).
5.3.2 Aspek Ekonomi
Hasil penilaian setiap indikator yang diperoleh dari aspek ekonomi adalah
yang bernilai Baik sebanyak 3 (37,5%); yang bernilai Cukup sebanyak 3 (37,5%);
dan yang bernilai Jelek sebanyak 2 (25%). Penjelasan setiap indikator adalah
sebagai berikut:
Tabel 27 Hasil penilaian aspek ekonomi pada pengelolaan tanaman kemiri
No Indikator Penilaian Keterangan
1 Sumber modal J
2 Peningkatan pendapatan C
3 Kelayakan usaha B
4 Penyerapan tenaga kerja B
5 Kesejahteraan penduduk J
6 Kepastian potensi produksi di panen (buah) C
7 Keuntungan usaha C
8 Akses pasar B Keterangan : B= Baik, C= Cukup, J= Jelek
1 Sumber modal
Sumber modal untuk berbudidaya tanaman kemiri berasal dari pemilik
lahan. Sumber modal dalam tanaman keras belum dapat diajukan ke bank dalam
82
bentuk kredit karena tingkat pengembalian modal yang cukup lama. Bank hanya
mengeluarkan dana pinjaman seperti untuk kegiatan usaha pertanian dan
peternakan. Diniyati et al. (2008) menyebutkan bahwa bank dan koperasi dapat
berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat. Sementara Mosher dalam
Soekartawi (2002) menyebutkan bahwa salah satu unsur kelembagaan yang dapat
digunakan untuk mengetahui sejauhmana pembangunan pedesaan sudah
berkembang adalah adanya perkreditan yang berfungsi untuk meningkatkan
kemampuan rakyat dalam mengadakan faktor produksi.
Jika hal di atas dihubungkan dengan pinjaman yang mudah pada jenis usaha
pertanian, tentu mendukung kegiatan pengembangan usaha tanaman pertanian,
tetapi tidak untuk tanaman keras (kayu-kayuan) yang menghasilkan agak lambat.
Nugroho (2010) lembaga keuangan seperti bank masih enggan untuk mendanai
pengusahaan hutan rakyat berdasarkan sifat manfaat sosial, ekonomi dan
lingkungan yang dapat dihasilkan dari pengusahaan hutan rakyat. Tidak adanya
akses untuk mendapatkan kredit dari bank dalam pengusahaan kemiri,
menyebabkan penanaman kemiri hanya dilakukan berdasarkan pengalaman
dengan modal lahan yang tersedia, tenaga kerja dari keluarga dan pengadaan bibit
diperoleh dari bibit tanaman kemiri yang tumbuh di lahan-lahan sekitar, sehingga
usaha pengembangan tanaman kemiri sebagai tanaman yang dapat bermanfaat
dari aspek ekologi dan ekonomi kurang berkembang.
2 Peningkatan pendapatan
Untuk mendapatkan peningkatan pendapatan, maka suatu jenis kegiatan
haruslah mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya. Tanaman kemiri merupakan
salah satu sumber pendapatan keluarga bagi pemiliknya. Petani kemiri tidak
hanya menanam kemiri saja, tetapi juga menanam tanaman lain seperti jagung
dan cokelat. Sumber penghasilan masyarakat selain dari tanaman pertanian adalah
dari gaji, berdagang, supir, tukang dan lain-lain. Jika pendapatan dari kemiri
dibandingkan dengan pendapatan total per tahun, maka pendapatan yang
diperoleh petani dari tanaman kemiri adalah sekitar 35,79% terhadap pendapatan
total (Lampiran 5). Sementara penelitian lainnya menyebutkan bahwa kontribusi
pendapatan petani dari kemiri terhadap pendapatan total per bulan di Kecamatan
83
Kuta Buluh, Tiga Binanga, Lau Balang dan Mardinding (Kabupaten Karo) adalah
antara 10,34% sampai 39,43% (Hutasoit 2008).
Jika hasil pendapatan dari HHBK kemiri di atas dibandingkan dengan hasil
pendapatan dari kayu hutan rakyat, maka pendapatan ini masih lebih besar dari
hasil kayu karena kontribusi hasil hutan rakyat kayu masih lebih kecil dari HHBK
seperti getah damar dan kemenyan (Hardjanto 2000; Hardjanto 2001; Wijayanto
2001; Nurrochmat 2001; Darusman dan Hardjanto 2006; Sitompul 2011). Hal ini
terjadi karena pendapatan dari HHBK dapat diperoleh petani hampir sepanjang
tahun pada saat usia tanaman masih produktif sedangkan dari hasil dari kayu
hanya dapat dirasakan pada saat masa penjarang ataupun pada masa panen akhir.
Pendapatan dari HHBK akan berfluktuasi sepanjang tahun tergantung dari besar
kecilnya produksi HHBK yang diperoleh sedangkan pendapatan dari hasil kayu
yang sangat besar akan diperoleh pada saat akhir panen.
Data di atas menunjukkan bahwa tanaman kemiri berperan sebagai sumber
penghasilan petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti
kebutuhan primer dan sekunder (Sumodiningrat 1999). Peran pendapatan dari
tanaman kemiri terhadap petani yang cukup besar disebabkan karena responden
yang diwawancarai umumnya adalah responden yang memang menggantungkan
hidupnya dari hasil tanaman kemiri. Hal ini juga dipengaruhi karena kondisi
harga kemiri yang meningkat secara tajam. Menurut informasi, harga kemiri
tahun 2005-2008 berkisar antara Rp6.000-Rp7.000/kg, pada tahun 2009 sampai
awal 2010 berkisar antara Rp8.000-Rp9.000/kg, pada tahun 2010 berkisar
Rp20.000-23.000/kg. Pada saat penelitian dilakukan, harga kemiri antara
Rp22.000-25.200/kg. Tentu peningkatan harga kemiri ini akan mempengaruhi
peningkatan pendapatan masyarakat secara umum.
3 Kelayakan usaha
Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha tanaman
kemiri. Analisis dilakukan dengan menggunakan aliran biaya dan pendapatan
yang terdiskonto (discounted cash flow analysis). Jangka waktu analisis dimulai
sejak tahuk pertama sampai tahun ke-50 dengan asumsi bahwa produksi buah
masih dapat diperoleh sampai umur 50 tahun. Asumsi lain yang digunakan
adalah bahwa kondis lahan adalah subur, jarak tanam 8m x 8m dengan perkiraan
84
produksi buah pertahun berdasarkan Deptan (2006a) dan Paimin (1994). Tingkat
suku bunga yang digunakan adalah 24% yaitu besaran kisaran tingkat suku bunga
yang berlaku di lokasi penelitian.
Tabel 28 Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri untuk luas 1 ha
No Kondisi Kriteria
investasi
Kriteria
layak
Hasil
perhitungan
Kesimpulan
1 Lahan milik NPV (Rp)
IRR (%)
BCR
NPV>0
IRR>DR
BCR>1
130.123.463
79,66
7,61
Layak
2 Lahan sewa NPV (Rp)
IRR (%)
BCR
NPV>0
IRR>DR
BCR>1
124.981.450
78,99
6,04
Layak
3 Lahan dibeli NPV (Rp)
IRR (%)
BCR
NPV>0
IRR>DR
BCR>1
13.852.311
25,75
1,10
Layak
Perhitungan biaya, pendapatan, NPV, BCR dan IRR dapat dilihat pada
Lampiran 6. Analisis NPV, BCR dan IRR dilakukan pada tiga kondisi yaitu lahan
milik, lahan sewa dan lahan yang dibeli. Suatu kegiatan atau usaha disebut layak
jika jumlah seluruh manfaat yang diterimanya melebihi biaya yang dikeluarkan,
yang disebut dengan manfaat bersih. Suatu kegiatan dinyatakan layak bila NPV
lebih besar dari 0 (NPV>0) yang artinya usaha menguntungkan atau memberikan
manfaat. Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa hasil perhitungan NPV pada lahan
milik, lahan sewa dan lahan dibeli adalah lebih besar dari 0, sehingga usaha
kemiri dapat memberikan keuntungan kepada yang mengusahakannya.
Nilai BCR digunakan untuk mengetahui pengaruh adanya tambahan biaya
terhadap tambahan manfaat yang diterima. Suatu kegiatan dinyatakan layak bila
BCR lebih besar dari 1 (BCR>1) yang artinya bahwa usaha layak untuk
dijalankan. Nilai BCR pada lahan milik adalah 7,61, artinya bahwa investasi satu
rupiah akan memberikan tambahan pendapatan sebesar 7,61 rupiah, demikian
halnya pada lahan sewa dan lahan yang dibeli. Dari hasil nilai BCR di atas, dapat
diketahui bahwa usaha menanam kemiri layak dilakukan.
Nilai IRR digunakan untuk mengetahui tingkat pengembalian usaha
terhadap investasi yang ditanamkan. IRR adalah tingkat discount rate (DR) yang
menghasilkan NPV sama dengan 0. Suatu usaha disebut layak apabila IRR-nya
85
lebih besar dari opportunity cost of capital-nya (DR). Pada Tabel 28 dapat dilihat
bahwa nilai IRR pada lahan milik, lahan sewa dan lahan yang dibeli, masing-
masing berada di atas tingkat suku bunga awal perhitungan (DR) sebesar 24%.
Hasil analisis kelayakan usaha tanaman kemiri dari nilai NPV, BCR dan
IRR menunjukkan bahwa kegiatan penanaman kemiri layak untuk dikembangkan,
baik pada lahan milik, lahan sewa maupun lahan yang dibeli. Tetapi untuk lahan
yang dibeli, tingkat keuntungan yang akan diperoleh hanya sedikit. Hal ini
dilatarbelakangi oleh harga tanah yang sangat tinggi yaitu sekitar 144.000.000/ha.
Untuk investasi kemiri sebaiknya dilakukan pada lahan sewa dan lahan milik.
Hasil penelitian tanaman kemiri yang ada di Kabupaten Maros oleh Yusran
(1999) menunjukkan bahwa nilai NPV sebesar Rp6.392.526, BCR > 3,59 dan
IRR sebesar 53,51% pada tingkat suku bunga 19%, dan disebutkan bahwa
pengusahaan tanaman kemiri juga layak untuk diusahakan. Untuk kegiatan
tanaman rakyat lain yang tergolong HHBK juga menunjukkan layak untuk
dikembangkan seperti kemenyan karena nilai NPV sebesar Rp17.226.420, BCR
sebesar 2,37 dan IRR sebesar 22,6% pada lahan sewa dan nilai NPV sebesar
Rp24.902.670, BCR > 2,85 dan IRR sebesar 28,8% pada lahan yang tidak disewa
pada tingkat suku bunga 13% (Sitompul 2011).
4 Penyerapan tenaga kerja
Aktivitas pengelolaan kemiri cukup menyerap tenaga kerja baik dari
lingkungan keluarga petani dan dari luar anggota keluarga petani. Terdapat 33
responden (52,38%) yang menyebutkan bahwa aktivitas pengelolaan kemiri
menyerap tenaga kerja dari lingkungan keluarga petani itu sendiri sedangkan 30
responden (47,62%) menyebutkan selain menyerap tenaga kerja dari lingkungan
keluarga petani juga menyerap tenaga kerja dari luar anggota keluarga.
Aktivitas penanaman kemiri sangat menyerap tenaga kerja bagi anggota
keluarga pemilik lahan seperti pembersihan tumbuhan bawah, pengumpulan buah
dan pengupasan. Tentu hal ini tidak jadi masalah bagi keluarga yang memiliki
anggota keluarga usia produktif. Lain halnya dengan petani yang sudah kurang
produktif. Jumlah responden yang memiliki tanaman kemiri yang sudah berumur
di atas usia produktif (di atas 60 tahun) sebanyak 15 orang (23,81%). Responden
ini tidak dapat melakukan kegiatan pertanian yang aktif karena berhubungan
86
dengan kekuatan fisik. Sehingga pengelolaan lahan yang dimilikinya akan
diserahkan kepada keluarga atau disewakan.
Sementara itu, tanaman kemiri juga dimiliki oleh masyarakat yang
melakukan pekerjaan lain seperti berdagang, tukang dan PNS, dimana mereka ini
tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk mengelolanya. Bagi keluarga
pemilik lahan yang memiliki pekerjaan pokok di luar bertani, maka untuk
kegiatan tertentu seperti mengumpulkan buah dan membabat atau membersihkan
tumbuhan bawah akan mempekerjakan orang lain baik dari anggota keluarga
terdekat, tetangga maupun penduduk sekampung. Hal ini menunjukkan bahwa
penanaman kemiri menyerap tenaga kerja dari lingkungan anggota keluarga dan
di luar anggota keluarga.
Untuk mempekerjakan orang lain, tidak dilakukan dengan sistem gajian
tetapi dibayar dengan cara “sistem dibelahkan”. Seseorang yang memiliki
tanaman kemiri, tetapi tidak punya waktu untuk mengumpulkan kemirinya, maka
dia akan mempekerjakan orang lain dan orang tersebut akan dibayar dengan
menyerahkan setengah hasil kemiri yang dikumpulkannya. Sedangkan kegiatan
membabat atau mematikan tanaman bawah dengan round-up dilakukan dengan
pembayaran upah kerja per hari.
Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat yang
dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa.
Hal ini juga berlaku untuk kegiatan hutan rakyat pada jenis HHBK. Kegiatan lain
yang menyerap tenaga kerja dalam usaha tanaman kemiri selain dalam hal
pengelolaan adalah kegiatan pengupasan kemiri yang dilakukan oleh masyarakat
baik yang memiliki tanaman kemiri maupun yang tidak memiliki tanaman kemiri.
Beberapa masyarakat menjual kemiri dengan kulitnya langsung. Tetapi ada juga
yang lebih dahulu mengupasnya. Kemiri yang dijual dengan dikupas akan lebih
mahal. Untuk masyarakat yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki
pekerjaan, akan mencari nafkah dengan cara membeli kemiri berkulit lalu
mengupasnya. Wibowo (2007) menyebutkan bahwa kegiatan penanaman kemiri
mampu menumbuhkan usaha jasa pengusapan kemiri. Hal ini menunjukkan
bahwa kegiatan penanaman kemiri bersifat sebagai efek pengganda (multiflier
87
effect) dimana mampu meningkatkan pendapatan bagi petaninya, meningkatkan
lapangan kerja dan bermanfaat dalam menjaga lingkungan.
5 Kesejahteraan penduduk
Kesejahteraan dalam lingkup masyarakat sangat tergantung pada tingkat
kesejahteraan keluarga-keluarga yang ada pada suatu tempat. Tingkat
kesejahteraan menurut BKKBN tahun 1999 adalah suatu tingkatan yang
menyatakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material
yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang
serasi, selaras dan seimbang antara keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Pengukuran kesejahteraan keluarga dibagi menjadi 5 kelompok seperti pada
kriteria BPS sedangkan analisis kesejahteraan penduduk dalam penelitian ini,
dikelompokkan menjadi 3 bagian seperti pada Tabel 29.
Pada tabel dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk di lokasi penelitian
pada tahun 2008 dan 2009 berada pada kriteria pra sejahtera sampai sejahtera II.
Pada tahun 2009, terjadi peningkatan jumlah penduduk tidak sejahtera dan terjadi
penurunan jumlah penduduk pada kriteria cukup sejahtera jika dibandingkan
dengan tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat
kesejahteraan penduduk walaupun sangat kecil.
Peran tanaman kemiri dalam meningkatkan kesejahteraan petani adalah
melalui pendapatan yang diperoleh dari hasil kemiri yang berperan dalam
memenuhi kebutuhan hidup petani terutama kebutuhan sehari-hari. Apabila
pendapatan tersebut dapat memenuhi kebutuhan lain selain kebutuhan sehari-hari,
maka kesejahteraan hidup petani akan lebih baik.
Tabel 29 Kodisi sebaran kesejahteraan penduduk di Desa Kutabuluh, Pamah dan
Pasir Tengah tahun 2009-2010
Tahun 2008 Tahun 2009
Kriteria Jumlah Kriteria untuk
analisis Jumlah Kriteria Jumlah
Kriteria untuk
analisis Jumlah
Pra sejahtera 663 Tidak sejahtera 663 Pra sejahtera 692 Tidak sejahtera 692
Sejahtera I 415 Cukup sejahtera 722
Sejahtera I 408 Cukup
sejahtera 712
Sejahtera II 307 Sejahtera II 304 Sejahtera III 47
Sejahtera 60
Sejahtera III 48
Sejahtera 61 Sejahtera III
Plus
13 Sejahtera III
Plus
13
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2009-2010)
88
6 Potensi produksi
Dalam suatu perusahaan, faktor-faktor produksi sangat menentukan besar
kecilnya produksi yang akan diperoleh. Untuk mengetahui potensi produksi
tanaman kemiri, maka ada 4 faktor yang dianggap paling berperan dalam
menentukan besar kecilnya hasil yang diperoleh setiap periode waktu, yaitu luas
lahan, umur tanaman, jumlah tanaman yang menghasilkan serta tenaga kerja.
Faktor lain yang umumnya paling berperan adalah pupuk, tetapi petani tidak
melakukan pemupukan karena dengan pemupukan bisa menyebabkan kerugian
sebab banyak ranting yang patah pada saat buah sudah besar.
Tenaga kerja pada kegiatan usaha kemiri umumnya berasal dari kalangan
keluarga sendiri. Tetapi bagi petani yang sudah memasuki usia tidak produktif
dan bagi keluarga yang memiliki mata pencaharian yang lainnya, seperti PNS,
tukang, supir, dagang, dan lain-lain, cenderung mempekerjakan tenaga kerja dari
anggota keluarga terdekat atau masyarakat sekitarnya (Yusran 1999, 2005;
Simatupang 2001; Sihotang 2007). Pekerjaan yang dilakukan antara lain
membersihkan tumbuhan bawah, pengumpulan buah dan pengolahan hasil.
Ketersediaan lahan merupakan hal penting dalam melakukan usaha tanaman
kemiri. Keberadaan lahan tanaman kemiri yang ada di lokasi penelitian cukup
luas yaitu rata-rata 2,67 ha, luas paling kecil 0,45 ha dan luas paling besar 6 ha.
Luas kepemilikan lahan ini berbeda dengan rata-rata luas kepemilikan lahan yang
ada di Jawa yang hanya berkisar 0,25 ha (Hardjanto 2003). Tanaman kemiri
rakyat yang ada saat ini banyak terdapat pada lahan yang bertopografi curam
sampai terjal dengan kemiringan 250
ke atas, pada tepi sungai, jurang dan lembah.
Umur tanaman akan mempengaruhi besar kecilnya produksi per pohon.
Umur tanaman kemiri akan berproduksi pada tahun ke-5 sampai tahun ke-35.
Umur tanaman bisa lebih dari 50 tahun, tetapi tidak akan sampai di atas 100
tahun, hal ini terkait dengan kekuatan batang tanaman yang rendah. Tanaman
kemiri dikenal sebagai tanaman yang mudah busuk, mudah roboh dan mudah
terserang hama dan penyakit. Walaupun tanaman kemiri sudah melewati umur 35
tahun, kemiri akan tetap menghasilkan, tetapi hasilnya akan terus menurun seiring
dengan pertambahan umurnya (Paimin 1994, Deptan 2006a).
89
Produksi kemiri per satuan luas sangat berpengaruh pada jumlah pohon
yang menghasilkan dimana hal ini terkait dengan jarak tanamnya. Untuk tujuan
menghasilkan buah, jarak tanaman yang paling baik adalah jarak tanam yang
lebar seperti 8m x 8m (Paimin 1994) sampai 10m x 10m (Sunanto 1994; Deptan
2006a), dengan tujuan agar kemiri yang tumbuh menghasilkan tajuk yang lebar
sehingga menghasilkan buah yang banyak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kemiri yang akan diperoleh
petani dipengaruhi oleh faktor jumlah tenaga kerja, luas lahan, umur tanaman, dan
jumlah pohon menghasilkan. Hasil pengolahan data dengan menggunakan fungsi
produksi cobb-douglas (Soekartawi 2002) adalah seperti pada Tabel 30.
Tabel 30 Hasil estimasi fungsi produksi tanaman kemiri
Predictor Coef P
Konstanta 1,252 0,000
Tenaga Kerja (X1) 0,791 0,000*
Luas lahan (X2) 0,078 0,423
Umur tanaman (X3) -0,126 0,160
Jumlah pohon (X4) 0,150 0,057** Keterangan : * Signifikan pada taraf nyata 5%, ** Signifikan pada taraf nyata 10%
Untuk analisis data yang menggunakan model regressi linier berganda,
maka ada empat asumsi yang harus terpenuhi, yaitu asumsi multikolinearitas,
heterokedastisitas, autokorelasi dan komponen sisaan menyebar normal
(normalitas).
Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sesama
variabel bebas (independen) saling berhubungan atau berkorelasi. Jika model
regressi baik, maka tidak terjadi korelasi di antara variabel bebasnya. Ada atau
tidaknya multikolinearitas dapat diketahui dari nilai Variance Inflation Factor
(VIF). Jika nilai VIF tidak melebihi 10 dan nilai Tolerance tidak kurang dari 0,1
(nilai tolerance diperoleh dari 1/VIF atau 1/10), maka dapat dikatakan bahwa data
terbebas dari multikolinearitas. Pada Lampiran 8 dapat dilihat bahwa tidak ada
variabel yang memiliki nilai VIF yang melebihi 10 dan nilai tolerance (1/VIF)
masih di atas 0,1, sehingga dapat dikatakan bahwa model regresssi linier
berganda yang dihasilkan tidak ada multikolinearitas.
90
Asumsi heterokedastisitas adalah asumsi dimana varians dari residual tidak
sama untuk satu pengamatan ke pengamatan yang lain atau hasil pengamatan
tidak memiliki pola tertentu. Pola yang tidak sama ini ditunjukkan dengan nilai
yang tidak sama antar satu varians dari residual atau disebut dengan gejala
heterokedastisitas, sedangkan gejala varians dari residual yang sama dari satu
pengamatan dengan pengamaan lainnya disebut dengan homokedastisitas. Untuk
mengetahui ada tidaknya gejala heterokedastisitas dapat dilihat dari gambar
residual versus fitted value. Pada gambar grafik di Lampiran 8 terlihat bahwa
residual versus fitted value memiliki sebaran data cenderung acak dan tidak
membentuk pola tertentu sehingga dapat dikatakan bahwa asumsi
heterokedastisitas telah dipenuhi.
Uji autokorelasi digunakan untuk pengujian asumsi dimana variabel
dependen (Y) tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri, artinya bahwa nilai dari
variabel dependen tidak berhubungan dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai
periode sebelumnya atau nilai periode sesudahnya. Untuk mengetahui gejala
autokorelasi diketahui dari gambar observation order dengan residual, dimana
hasilnya akan menunjukkan acak tidak beraturan. Pada gambar di Lampiran 8
dapat dilihat bahwa hasil pengamatan adalah acak tidak beraturan sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada gejala autokorelasi.
Asumsi normalitas dapat diketahui melalui plot Normal Probability Plot.
Apabila setiap pencaran data residual berada di sekitar garis lurus melintang,
maka dikatakan bahwa residual mengikuti fungsi distribusi normal. Pada gambar
di Lampiran 8 dapat dilihat bahwa sebaran residual berada dalam garis lurus
melintang dan sebaran residual cenderung membentuk garis lurus. Hasil ini
menunjukkan bahwa asumsi komponen sisaan menyebar normal atau mengikuti
distribusi normal.
Untuk melihat pengaruh variabel yang dianggap mempengaruhi produksi
secara bersamaan, maka dilakukan uji F. Hasil uji F pada model adalah F = 99,48
> F(4,57,0,1) = 3,649 dan nilai α = 0,10 > P = 0,000, maka model yang diperoleh
dapat secara bersama digunakan untuk menerangkan produksi kemiri atau faktor
luas lahan, tenaga kerja, umur tanaman dan jumlah pohon menghasilkan
berpengaruh secara signifikan terhadap produksi kemiri. Hasil analisis regresi
91
memperlihatkan nilai R-Sg (adj) 86,6%, artinya bahwa 86,6% produksi kemiri
dapat dijelaskan oleh faktor luas lahan, faktor tenaga kerja, faktor umur tanaman
dan faktor jumlah pohon menghasilkan, sedangkan sisanya sebesar 13,4%
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model.
Adapun persamaan regressi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Log Y = log 1,252 + log 0,791 X1 + log 0,078 X2 – log 0,126 X3 + log 0,150 X4
Persamaan di atas perlu dikembalikan kepersamaan semula dengan cara
meng-anti-log-kan persamaan yang sudah diperoleh, dan hasilnya adalah
Y = 0,097 X1 0,791
X2 0,078
X3-0,126
X40,150
Pada persamaan dapat dilihat bahwa koefisien b1, b2 dan b4 adalah positif,
maka peningkatkan tenaga kerja, luas lahan dan jumlah pohon menghasilkan
cenderung meningkatkan produksi kemiri. Sedangkan nilai koefisien b3 adalah
negatif, maka peningkatkan umur tanaman akan mengurangi produksi kemiri.
Bila ditinjau dari nilai P, maka tenaga kerja dan jumlah pohon signifikan pada
taraf nyata 10%, sedangkan luas lahan dan umur tanaman masing-masing tidak
signifikan.
Pada faktor tenaga kerja, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan jumlah tenaga kerja akan diikuti
peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh
bahwa faktor tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan
nilai koefisien 0,791. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri cukup respon
terhadap penggunaan tenaga kerja, apabila dilakukan penambahan tenaga kerja
sebanyak 10% akan diikuti dengan kenaikan produksi kemiri sebesar 7,91%,
ceteris paribus. Untuk pengelolaan kemiri, tenaga kerja diperlukan dalam
kegiatan pembersihan lahan, pengumpulan buah, penjemuran dan pengupasan
kemiri. Sehingga tenaga kerja sangat berperan dalam menghasilkan dan
meningkatkan produksi kemiri masyarakat.
Pada faktor luas lahan, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan luas lahan akan diikuti
peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh
bahwa faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan
92
nilai koefisien 0,078. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri tidak respon
terhadap luas lahan atau tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi kemiri.
Besar kecilnya luas lahan, pada dasarnya akan memberikan pengaruh pada
produksi kemiri yang akan diperoleh. Tetapi pada hasil analisis ini, luas lahan
tidak berpengaruh dalam meningkatkan produksi kemiri. Hal ini dapat
dihubungkan dengan jumlah tanaman pada suatu lahan. Jarak tanam kemiri rakyat
adalah berbeda-beda, maka jumlah tanaman pada setiap lahan yang dimiliki oleh
petani juga berbeda-beda. Pada pemilik tertentu, mungkin lahan yang dimilikinya
luas dan jumlah tanamannya sangat banyak, tetapi pada pemilik lahan lainnya,
lahannya mungkin luas tetapi jumlah tanamannya sangat sedikit. Sehingga, faktor
luas lahan kurang berpengaruh dalam meningkatkan produksi kemiri, tetapi luas
lahan mungkin akan berpengaruh jika setiap contoh yang diperoleh menggunakan
pola jarak tanam yang sama sehingga pada luasan yang sama jumlah tanaman
yang ada juga sama.
Pada faktor umur tanaman, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai negatif, artinya jika terjadi penambahan umur tanaman maka akan diikuti
dengan penurunan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial
diperoleh bahwa faktor umur tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap produksi
kemiri dengan nilai koefisien 0,126. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri
tidak respon terhadap umur tanaman atau tidak signifikan dalam mempengaruhi
produksi kemiri. Walaupun umur tanaman tidak signifikan dalam mempengaruhi
produksi kemiri, tetapi nilai keofisien yang negatif menunjukkan bahwa telah
terjadi penurunan produksi kemiri seiring dengan penambahan umur tanaman.
Penurunan produksi kemiri pada model sangat dipengaruhi oleh pertambahan
umur tanaman, semakin tinggi umur tanaman apalagi jika sudah melewati umur
produktif, maka hasil yang diperoleh juga akan menurun. Umur rata-rata tanaman
kemiri pada sampel adalah 37,37 tahun. Paimin (1994) menyebutkan bahwa
produksi tanaman kemiri akan meningkat dari tahun ke-6 sampai umur 35 tahun.
Sementara jika umur tanaman lewat 35 tahun, maka produksi kemiri pelahan-
lahan akan menurun dan pada saat tertentu akhirnya tidak produktif lagi.
Jika mengikuti kondisi di atas, luas lahan yang produktif adalah 83 ha
dengan produksi rata-rata 670,92 kg/ha. Sedangkan luas lahan di atas 35 tahun
93
adalah 84,95 ha dengan rata-rata produksi sudah dalam kondisi menurun yaitu
497,75 kg/ha. Perbedaan produksi rata-rata pada usia di bawah 35 tahun dengan
rata-rata produksi di atas 35 tahun adalah 173,16 kg/ha. Hal ini menunjukkan
bahwa produksi kemiri yang dihasilkan akan menurun karena dipengaruhi oleh
umur tanaman yang sudah melewati batas produktif. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah kondisi kesehatan tanaman, kondisi kesuburan lahan dan
tingkat keintensifan dalam mengelola lahan dan memelihara tanaman. Untuk
meningkatkan produksi kemiri, maka sebaiknya dilakukan peremajaan tanaman
pada tanaman yang sudah berumur tua khususnya tanaman yang sudah melewati
umur produktif di atas 35 tahun.
Pada faktor jumlah pohon, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan jumlah pohon, maka akan diikuti
peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh
bahwa faktor jumlah pohon berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan
nilai koefisien 0,15. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri cukup respon
terhadap jumlah pohon. Apabila terjadi penambahan pohon sebanyak 10%, akan
diikuti dengan kenaikan produksi kemiri sebesar 1,5%, ceteris paribus.
Sebenarnya, kondisi ini bisa diterima atau bisa juga tidak, karena produksi kemiri
akan dipengaruhi oleh jarak tanam. Jika tujuan penanaman kemiri adalah untuk
menghasilkan buah maka jarak tanam sebaiknya 10m x 10m (Deptan 2006a;
Sunanto 1994), 8m x 8m atau 8m x 10m (Paimin 1994). Sedangkan bila tujuan
penanaman adalah untuk menghasilkan kayu maka jarak tanamnya adalah 4m x
4m (Paimin 1994; Sunanto 1994).
Jumlah pohon yang ada pada satuan luas lahan sangat tergantung pada jarak
tanam yang digunakan oleh petani. Rata-rata jumlah pohon per satuan luas pada
lokasi penelitian adalah 115 pohon/ha. Jika luas lahan 1 ha, maka jarak tanam
yang mendekati jumlah pohon di atas adalah 8m x 10m atau 10m x 10m. Jika
kondisi di lapangan dibandingkan dengan jarak tanam yang dianjurkan untuk
tujuan menghasilkan buah (Paimin 1994; Sunanto 1994; Deptan 2006a), maka
kondisi jumlah pohon kemiri di lapangan sudah sesuai dengan tujuan untuk
menghasilkan buah yaitu sekitar 100 pohon/ha untuk jarak tanam 10m x 10m dan
125 pohon untuk jarak tanam 8m x 10m. Sementara itu, rata-rata jumlah pohon
94
menghasilkan sampai umur 35 tahun adalah 123 pohon/ha dan rata-rata jumlah
pohon menghasilkan pada usia di atas 35 tahun (produksi mulai menurun) adalah
107 pohon/ha. Penurunan ini terjadi karena banyak pohon yang mati.
Tabel 30 menunjukkan bahwa jumlah koefisien regressi fungsi produksi
tanaman kemiri sebesar 0,893. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri
berlangsung pada tahapan ”decreasing retun to scale”, yaitu penambahan jumlah
seluruh faktor produksi secara bersamaan akan memberikan penambahan proporsi
hasil produksi yang lebih kecil. Artinya, bahwa setiap penambahan faktor
produksi secara bersamaan sebanyak 100% maka akan terjadi penambahan hasil
atau produksi kemiri sebesar 89,3%.
Simatupang (2001) pernah melakukan penelitian tentang faktor yang
mempengaruhi produksi kemiri pada tahun 2000 dengan sampel yang berbeda.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor luas lahan dan tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri sedangkan faktor umur tanaman dan
jumlah pohon tidak berpengaruh nyata. Sementara penjumlahan koefisien
regressi yang di peroleh berada pada tahap ”increasing retun to scale” sebesar
1,002, maka penambahan jumlah seluruh faktor produksi secara bersamaan akan
memberikan penambahan proporsi hasil produksi yang lebih besar. Artinya,
bahwa setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama 100% (variabel
luas lahan, umur tanaman, tenaga kerja dan jumlah tanaman) akan meningkatkan
produksi sebesar 100,2%.
Sihotang (2007) juga pernah melakukan penelitian tentang faktor yang
mempengaruhi produksi getah kemenyan. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor
umur tanaman, jumlah pohon dan tenaga kerja signifikan dalam mempengaruhi
produksi getah kemenyan sedangkan faktor luas lahan tidak signifikan.
Dari hasil ketiga penelitian ini menunjukkan bahwa setiap faktor
memberikan nilai dan pengaruh yang berbeda-beda. Faktor tenaga kerja adalah
faktor yang memberikan pengaruh signifikan dalam meningkatkan produksi
kemiri dan kemenyan, hal ini terkait dengan proses pengelolaan lahan dan proses
lanjutan sampai hasil dapat dijual. Sementara faktor umur tanaman menghasilkan
koefisien regressi yang bernilai negatif, hal ini menunjukkan bahwa umur
tanaman yang diteliti sudah memasuki umur tidak produktif sehingga
95
penambahan umur tanaman akan cenderung memberikan hasil yang makin
sedikit.
7 Keuntungan usaha
Untuk mengembangkan suatu kegiatan budidaya tanaman keras, maka perlu
diketahui tingkat keuntungan yang diperoleh per periode waktu tertentu untuk
satuan luas tertentu. Setelah melakukan perhitungan maka diketahui bahwa rata-
rata pendapatan yang diperoleh petani dari tanaman kemiri adalah
Rp8.544.924/ha/tahun. Sementara rata-rata pengeluarannya per tahun sekitar
Rp1.197.757/ha/tahun. Adapun keuntungan yang diperoleh adalah
Rp7.347.167/ha/tahun. Biaya yang kecil disebabkan karena tidak ada petani yang
melakukan pemupukan terhadap tanaman kemiri. Biaya yang keluar hanya untuk
membeli racun rumput (round-up), biaya membabat, biaya sewa, biaya tenaga
kerja panen, menjemur dan mengupas kemiri. Hasil wawancara dengan
masyarakat menyatakan, bahwa sebenarnya menanam kemiri tidak selalu untung.
Hasil perhitungan pada Lampiran 5 menunjukkan keuntungan yang cukup besar
karena posisi harga jual yang cukup tinggi. Sedangkan kalau harga sangat kecil
yaitu sekitar Rp8.000 sampai Rp9.000, maka tingkat keuntungan yang diperoleh
pasti lebih kecil dan bahkan mungkin akan menyebabkan kerugian bagi petani
bila kegiatan pengusahaan yang dilakukan petani termasuk ongkos biaya
pengeluaran dengan harga 1 HOK adalah Rp50.000,-
Kenaikan harga jual kemiri yang terjadi dua tahun terakhir telah
menumbuhkan kembali niat petani untuk mengusahakan kemiri miliknya yang
sudah lama ditinggalkan. Ada beberapa petani yang memiliki niatnya untuk
menjual kemiri tetapi pada akhirnya mengurungkan niatnya karena harga yang
tinggi dan luas lahan kemiri miliknya sangat luas.
8 Akses pasar
Salah satu syarat yang diperlukan agar suatu produk yang dihasilkan disebut
berhasil apabila didukung oleh pemasarannya. Petani kemiri di Kecamatan Tanah
Pinem tidak ada menemui kesulitan dalam pemasaran kemiri, karena selain
masyarakat dapat menjual kemiri di pasar lokal, mereka juga dapat menjual
kemiri di rumah. Harga di rumah dengan harga di pasar adalah sama. Karena
tidak perlu mengeluarkan biaya dalam menjual kemiri, maka masyarakat
96
umumnya menunggu pembeli datang ke rumah-rumah. Rata-rata setiap desa ada
pengumpul sehingga dalam hal pemasaran buah kemiri tidak ada masalah.
Kemiri dijual dalam bentuk berkulit dan sudah dikupas. Kemiri berkulit
dijual oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup mendesak seperti beras.
Kemiri berkulit dibeli masyarakat yang usahanya adalah mengupas kemiri.
Penjualan dalam bentuk kemiri kupas lebih banyak dilakukan masyarakat karena
lebih tinggi harga jualnya. Pendapatan masyarakat selain dari biji kupas (kernel)
juga dari kulit cangkang. Saluran pemasaran kemiri masyarakat adalah produsen,
pedagang pengumpul desa/kecamatan, pedagang pengumpul besar (propinsi),
pedagang antar pulau dan konsumen. Sampai tahun 2005, kemiri rakyat dari
Kecamatan Tanah Pinem dapat memasuki pasar ekspor tetapi setelah tahun 2005
tidak ada lagi ekspor. Kemiri rakyat yang ada saat ini adalah untuk memenuhi
kebutuhan lokal dan daerah.
Gambar 15 Pemasaran buah kemiri kupas di pasar lokal.
Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di
Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekonomi masuk pada kategori berkelanjutan
dengan catatan. Pada dasarnya penanaman kemiri pada lahan milik masyarakat
dapat memberikan keuntungan pada petani, khususnya petani pemilik lahan pada
lahan-lahan miring. Tanaman kemiri juga bisa berperan menjadi sumber
pendapatan petani karena dapat memberikan tambahan pendapatan yang berperan
dalam memenuhi kebutuhan sandang dan pangan masyarakat. Untuk investasi
kemiri, hasil penilaian NPV, BCR dan IRR pada lahan milik dan lahan sewa
menunjukkan bahwa usaha tanaman kemiri layak dilakukan. Aspek pemasaran
97
hasil bukanlah masalah untuk mengelola kemiri karena pemasaran hasil sangat
mudah dan menguntungkan bagi petani. Agar tanaman kemiri memberikan
keuntungan yang berkelanjutan kepada masyarakat, maka produksi yang
diperoleh harus terjamin dan disertai dengan harga yang lebih baik. Produksi
buah umumnya sudah menurun karena umur tanaman kemiri sudah memasuki
kategori tidak produktif dan kondisi kesehatan tanaman sehingga keterjaminan
hasil tidak menentu. Pengaruh harga saat penelitian telah mendorong masyarakat
kembali melirik untuk mengelola lahan kemiri yang masih dimilikinya. Tetapi
usaha ini terhambat oleh faktor modal yang sulit diperoleh dari lembaga
keuangan. Sementara masyarakat umumnya hanya memiliki modal yang terbatas
sehingga dalam pengelolaannyapun tidak memperhatikan teknik silvikultur yang
baik yang berdampak pada produktivitas hasil yang sedikit.
5.3.3 Aspek Sosial
Hasil penilaian setiap indikator yang diperoleh dari aspek sosial adalah
yang bernilai Baik sebanyak 4 (40%); yang bernilai Cukup sebanyak 5 (50%);
dan yang bernilai Jelek sebanyak 1 (10%). Adapun penjelasan setiap indikator
adalah sebagai berikut:
Tabel 31 Hasil penilaian aspek sosial pada pengelolaan tanaman kemiri No Indikator Penilaian Keterangan
1 Partisipasi masyarakat C
2 Peraturan pemanfaatan sumberdaya alam C
3 Akses terhadap pelayanan pendukung C
4 Pengangguran B
5 Kemiskinan B
6 Migrasi J
7 Akomodasi perubahan C
8 Status lahan B
9 Kejelasan batas lahan B
10 Hubungan sosial C Keterangan : B= Baik, C= Cukup, J= Jelek
1 Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat yang dimaksud di sini adalah kemauan masyarakat
menanam kemiri pada lahan miliknya dan masih mempertahankannya sampai saat
ini, serta ada peran aktif masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaannya.
98
Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan pembangunan kehutanan adalah partisipasi atau keikutsertaan
masyarakat. Dari hasil survei diketahui bahwa partisipasi masyarakat untuk
menanam kemiri sudah menurun, hal ini ditunjukkan dengan keberadaan luas
tanaman kemiri setiap tahunnya cenderung menurun (Gambar 3). Penyebabnya
adalah masyarakat lebih tertarik menanam tanaman berumur pendek karena dapat
memberikan penghasilan yang lebih besar dan lebih cepat, adanya perubahan
musim berbuah (tidak sepanjang tahun lagi), adanya penyakit gugur buah, hawar
daun dan serangan ulat, produksi buah yang cenderung menurun dan harga kemiri
yang murah. Wibowo (2007) juga menyampaikan hal yang sama bahwa
penurunan luas tanaman kemiri yang ada di Kecamatan Tiga Binanga disebabkan
karena petani kemiri tidak merasakan keuntungan dari usaha kemiri sehingga
mengkonversinya menjadi usaha pertanian lain yang lebih menguntungkan.
Tanaman kemiri yang masih ada, tumbuh dan berkembang saat ini adalah
tanaman kemiri yang ada pada lahan-lahan miring, pinggir-pinggir sungai dan
lembah-lembah yang cukup sulit untuk dikelola bila diganti menjadi tanaman
lainnya. Masyarakat yang masih mau menanam kemiri adalah masyarakat yang
memiliki lahan yang sulit dikelola pada lahan curam dan terjal, karena lebih
sesuai ditanam pada kondisi lapangan tersebut dan telah menjadi sumber
penghasilan selama bertahun-tahun. Wawancara dengan masyarakat dan penyuluh
menyebutkan bahwa petani masih mau menanam kemiri karena merasakan bahwa
tanaman kemiri masih memberikan hasil yang lumayan, dapat menjadi tabungan
masa depan dan karena hanya kemiri yang sesuai tumbuh pada lahannya.
Kemauan menanam dan mempertahankan tanaman kemiri untuk beberapa
masyarakat juga dilatarbelakangi oleh faktor harga yang membaik.
2 Peraturan masyarakat
Peraturan masyarakat adalah peraturan-peraturan yang ada dalam
lingkungan masyarakat (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang
mengatur pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya alam, dimana peraturan ini
juga berlaku dalam kelompok masyarakat untuk pengelolaan tanaman kemiri.
Peraturan-peraturan dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam lingkungan
masyarakat adalah dalam hal pelarangan penebangan pohon di kawasan sumber
99
mata air dan larangan penebangan pohon pada kawasan hutan yang dikeramatkan.
Hal ini tentu berperan dalam menjaga keberadaan hutan agar tidak dirusak.
Peraturan larangan yang sama juga terdapat pada masyarakat Kasepuhan di
Banten (Suharjito dan Saputro 2008).
Peraturan lainnya adalah adanya sanksi yang dikenakan kepada seseorang
jika terbukti bersalah dengan melakukan kesalahan seperti mencuri hasil-hasil
pertanian. Jika terbukti melakukan pencurian hasil-hasil pertanian (termasuk
kemiri), maka akan dikenakan sanksi tegas sesuai dengan kesepakatan yang sudah
disepakati sebelumnya. Seperti di Pamah, dikenakan sanksi membayar denda
seharga 1 mayam emas. Hal ini juga berlaku di Desa Pasir Tengah, tetapi sudah
mulai lemah, karena bila ada terjadi pencurian, sanksi yang diterima sudah
berubah dan biasanya sudah ada komunikasi dalam menuju perdamaian. Pada
perkembangan saat ini, bila ada permasalahan dalam lingkungan masyarakat,
maka akan dibawa dalam lembaga adat dan lembaga desa untuk mencari solusi
yang terbaik dalam mengatasinya.
Rahayu dan Awang (2003) menyebutkan bahwa keuntungan finansial yang
masyarakat Desa Pecekelan rasakan dari hutan rakyat telah mendorong
terbentuknya suatu peraturan desa yang mengatur tentang pencurian kayu dan
pakan ternak atau hasil lainnya dari hutan rakyat. Sanksi yang diberikan biasanya
berupa denda yang besarnya diatur berdasarkan keputusan bersama antara yang
punya hutan dengan pencuri dan perangkat desa yang berwenang.
Keberadaan suatu sumber daya alam yang memberikan manfaat kepada
masyarakat akan mendorong timbulnya peraturan-peraturan yang akan menjaga
hak-hak dari masyarakat dari suatu tindakan-tindakan yang merugikan pemilik
sumber daya seperti hasil tanaman kemiri di Desa Pasir Tengah dan Desa Pamah
dan hasil hutan rakyat di Desa Pecekelan.
3 Akses terhadap pelayanan pendukung
Pengelolaan kemiri masyarakat akan berkembang bila didukung oleh akses
yang mendukung seperti penyuluhan, kredit dan teknologi. Untuk bidang
penyuluhan cukup berkembang karena adanya penyuluhan bidang pertanian dan
berjalan secara rutin tetapi untuk bidang tanaman kehutanan tidak ada. Akses
pada bidang kredit juga berkembang tetapi lebih cenderung untuk tanaman
100
pertanian dan peternakan (Mosher dalam Soekartawi 2002). Sementara akses
tekhnologi juga cenderung untuk bidang pertanian. Akses yang mendukung
pengembangan penanaman tanaman kemiri hampir tidak ada karena kemiri belum
menjadi tanaman yang diinginkan saat ini oleh beberapa masyarakat, bukan
merupakan jenis tanaman yang dapat mengembalikan modal dalam waktu singkat
dan teknologi pemanfaatan hasil yang belum ada, seperti pengupasan kemiri
masih dilakukan manual.
4 Pengangguran
Purnomo (2006) menyebutkan bahwa bidang kehutanan dapat menciptakan
lapangan kerja melalui aktivitas pembalakan di hutan, industri, pengolahan kayu,
program reforestasi hutan, hutan kemasyarakatan dan lain-lain. Pengelolaan hutan
skala kecil mampu menyerap tenaga kerja dan dengan nilai tambah yang lebih
besar dari pengusahaan jenis tanaman lain di sela-sela jenis tanaman utamanya.
Lapangan kerja yang banyak terserap dan uang hasil usaha yang beredar akan
menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat.
Nugroho (2010) menyebutkan pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh
tenaga kerja rumah tangga yang berperan sebagai buruh dan sekaligus manajer.
Skala usaha hutan rakyat umumnya kecil dan bersifar padat karya (labour
intensive) sehingga mampu menyerap tenaga kerja pedesaan dalam jumlah besar.
Pencipataan lapangan kerja bidang hutan rakyat terjadi, seperti kegiatan
penebangan, pengangkutan dan industri-industri kayu rakyat. Hal ini juga terjadi
pada pengusahaan kemiri yang dilakukan di Kecamatan Tanah Pinem, yaitu
dengan munculnya usaha-usaha pengupasan kemiri di rumah-rumah penduduk
dan bagi keluarga yang tidak memiliki lahan. Padat karya terjadi pada petani
dengan pola tanaman yang beraneka ragam seperti agroforestry.
Anggota keluarga yang diwawancarai yang berada pada usia produktif
secara umum sudah bekerja dengan ikut melakukan kegiatan usaha tani yang
dilakukan oleh keluarganya ataupun yang ikut upahan dengan petani lainnya.
Pekerjaan lain yang dilakukan adalah dengan bekerja melakukan pengupasan
kemiri dan mengikat sirih. Walaupun secara jelas banyak orang yang tidak
memiliki pekerjaan tetap, tetapi masyarakat secara umum sudah bisa mencari
sumber penghasilan bagi dirinya sendiri dan anggota keluarga dengan ikut
101
bekerja diladangnya sendiri, bekerja di ladang orang lain dan melakukan
pekerjaan lain seperti mengikat sirih, panjat sirih, panen coklat, membabat, dan
lain-lain. Kondisi jumlah penduduk yang tidak bekerja di lokasi penelitian selama
5 tahun (2005-2009) dapat dilihat pada Tabel 32. Jumlah penduduk yang tidak
bekerja setiap tahunnya cenderung menurun. Djajapertjunda (2003) menyebutkan
bahwa hutan rakyat secara langsung akan berdampak pada terbukanya lapangan
pekerjaan. Lapangan pekerjaan ini bisa dalam anggota keluarga petani dan bisa
dari luar anggota keluarga petani. Darusman dan Hardjanto (2006) juga
menyebutkan bahwa hutan rakyat mampu menyerap tenaga kerja di desa.
Penyerapan tenaga kerja dalam bidang usaha kemiri adalah pembabatan
tumbuhan bawah, pengumpulan dan pengangkutan buah serta pengolahan hasil.
Tabel 32 Kondisi penduduk tidak bekerja tahun 2005-2009
No Tahun Desa Total
Kutabuluh Pamah Pasir Tengah
1 2005 331 366 223 920
2 2006 331 366 223 920
3 2007 241 184 230 655
4 2008 145 144 107 396
5 2009 140 146 112 398 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)
5 Kemiskinan
BPS (2008) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs approach) dalam mengetahui tingkat kemiskinan penduduk.
Pendekatan ini dipandang dari ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan
untuk Propinsi Sumatera Utara menurut BPS (2008) di tingkat desa tahun 2007
adalah Rp154.827 dan tahun 2008 adalah Rp171.922 dalam Rp/Kapita/bulan.
Dari hasil pengolahan data, besaran pengeluaran responden per bulan dibagi
dengan jumlah anggota keluarga menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita per
bulan terendah adalah Rp233.333. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
responden yang berada dalam kategori keluarga miskin karena rata-rata
102
pengeluarannya perbulan masih di atas garis kemiskinan yang sudah ditetapkan
propinsi yaitu Rp171.922,- Sedangkan jika keseluruhan pengeluaran responden
dibagi dengan jumlah keseluruhan anggota keluarga, maka diperoleh rata-rata
tingkat pengeluaran per kapita semua responden adalah Rp616.677 artinya bahwa
keseluruhan reponden bukan termasuk keluarga miskin karena pengeluaran per
kapitanya masih di atas standar BPS pada tahun 2008.
6 Migrasi penduduk
Perkembangan dan kemajuan suatu tempat dapat dilihat dari jumlah
penduduk yang datang dan yang pergi. Hal ini menunjukkan bahwa suatu tempat
mempengaruhi orang untuk datang dan pergi bila di tempat tersebut ada suatu
kegiatan yang membuat orang untuk datang. Hal ini bisa terjadi karena pada suatu
tempat ada perusahaan baru, lokasi tujuan wisata, kawasan industri, pertanian
modern, kawasan pendidikan dan lain-lain. Misalnya pada suatu kawasan
industri, jumlah penduduk disekitarnya akan cenderung berkembang karena
masyarakat yang datang bekerja, penjual makanan, usaha penginapan, membuka
toko, usaha transportasi dan lain-lain.
Perkembangan suatu tanamanpun akan mempengaruhi orang untuk datang
dan pergi, hal ini berhubungan dengan proses produksi dan pemasaran. Kondisi
perubahan penduduk di lokasi penelitian sejak tahun 2005 sampai tahun 2009
dapat dilihat pada Tabel 33. Pada tabel dapat dilihat bahwa grafik perubahan
jumlah penduduk yang datang dan yang pergi cenderung meningkat. Tetapi, dari
informasi yang diperoleh, hal ini terjadi bukan karena pengaruh dari tanaman
kemiri, tetapi karena mobilitas penduduk yang pindah, menikah ataupun keluarga
yang datang ataupun pergi karena alasan lain. Adanya migrasi penduduk yang
cukup besar sehubungan dengan perkembangan hutan rakyat sebagai dampak dari
penyerapan tenaga kerja dari bidang perkembangan usaha hutan rakyat tidak
dapat ditunjukkan secara signifikan. Dari 63 responden yang diwawancarai,
hanya 1 responden sebagai pendatang untuk mengelola tanaman kemiri keluarga.
103
Tabel 33 Kondisi penduduk yang datang dan yang pergi tahun 2005-2009
No Tahun Kutabuluh Pamah Pasir Tengah
Datang Pergi Datang Pergi Datang Pergi
1 2005 2 3 3 3 4 2
2 2006 Tidak ada data
3 2007 8 4 7 4 4 3
4 2008 Sama dengan tahun 2007
5 2009 16 17 18 16 16 14 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)
7 Kapasitas mengakomodasi perubahan
Kapasitas mengakomodasi perubahan dapat dilihat dari tingkat pendidikan
masyarakat, pembangunan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas lainnya yang
mendukung perkembangan masyarakat.Untuk tingkat pendidikan, dapat diketahui
dari minat masyarakat yang menyekolahkan anaknya di sekolah lokal (SD, SMP,
SMA) maupun di luar daerah (untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti
SMA atau universitas). Untuk infrastruktur juga mengalami perkembangan
seperti bangunan sekolah, jalan, layanan kesehatan, layanan pertanian dan lain-
lain. Masyarakat secara umum sudah sangat mengakomodasi perubahan yang
diterima dari dunia luar (luar desa) dari media lain seperti televisi, radio, internet,
hp dan lain-lain. Perubahan yang diterima oleh masyarakat adalah perubahan
yang membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih baik dan lebih
mudah. Misalnya penggunaan obat-obatan dalam mengatasi penyakit tanaman,
penggunaan zat-zat kimia yang bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas
lahan, sarana pengelolaan lahan dengan traktor, sarana teknologi hasil pertanian
seperti pemipil jagung, dll. Sementara untuk kehidupan sehari-hari, juga sudah
menggunakan teknologi dalam bentuk sarana dan prasarana kebutuhan keluarga.
8 Status lahan
Status lahan yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat petani kemiri
adalah lahan yang diperoleh dengan proses membeli, diwariskan orang tua
(Suharjito 2002) maupun yang digarap sendiri atau dibuka sendiri (Yusran 1999;
2005). Gambaran asal usul kepemilikan lahan responden yang menanam kemiri
adalah 30 responden (47,62%) memiliki tanah yang berasal dari warisan orang
tua, 19 responden (30,16%) memiliki tanah yang dibeli dan 14 responden
(22,22%) memiliki tanah dari hasil garapan sendiri.
104
Status kepemilikan lahan dapat diketahui dari surat-surat kepemilikan
lahan. Pada Tabel 16 dapat dilihat status surat-surat kepemilikan lahan yang
dimiliki oleh responden. Jumlah petani kemiri yang memiliki surat sertifikat lahan
hanya 9 responden (14,29%) sedangkan yang belum memiliki surat sertifikat
tanah sebanyak 54 responden (85,71%).
Tanaman kemiri rakyat yang ada pada lahan-lahan milik masyarakat, jika
dilihat menurut kriteria hutan hak (UU No. 41 tahun 1999), hanya 14,29% yang
memenuhi kriteria tersebut. Tetapi, tidak serta merta 85,71% lainnya tidak dapat
disebut hutan rakyat. Keterangan yang diperoleh dari responden adalah bahwa
semua lahan yang ada pada masyarakat adalah lahan yang sudah menjadi milik
masyarakat itu sendiri yang diperoleh melalui jalur warisan, dibeli dan dibuka
sendiri. Lahan-lahan yang sudah diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya,
tidak akan diganggu gugat oleh siapapun karena sudah ada jelas pemiliknya.
Pembuktian kepemilikan lahan bagi masyarakat yang tidak memiliki
sertifikat dapat dibuktikan dengan kepemilikan fisik tanaman di lahan-lahan
miliknya yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat secara sosial dan tidak
ada klaim dari pihak lain.
Status lahan sudah dimiliki oleh responden dan sudah dikelola dalam waktu
yang lama dan ada yang diperoleh dari orang tua, maka tanaman kemiri rakyat
dapat disebut hutan rakyat. Djajapertjunda (2003) menyebutkan bahwa hutan
rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang status haknya
telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian menjadi tanah dengan
status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak milik dengan sertifikat.
Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi hutan rakyat. Proses
pembuatan surat sertifikatlah yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat agar
kepemilikan lahan menjadi terjamin sehingga masyarakat bebas untuk
menentukan akses dan pengendalian atas tanah dan sumberdaya yang ada di
atasnya.
Adapun permasalahan konflik kepemilikan lahan terjadi apabila ada lahan
yang dulu diberikan seseorang kepada orang lain, kemudian ada keluarga
(keturunan pemilik lahan) meng-klaim kembali kepemilikan lahan yang sudah
105
diberikan tersebut. Permasalahan seperti ini sangat jarang terjadi dan umumnya
dapat diselesaikan dengan baik.
9 Kejelasan batas lahan
Kejelasan status lahan yang dimiliki oleh masyarakat akan disertai dengan
kejelasan batas lahan. Lahan milik masyarakat umumnya sudah memiliki batas-
batas lahan yang sudah diakui oleh masyarakat, dimana hal ini dapat mencegah
terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Batas lahan-lahan yang dimiliki oleh
seseorang dengan batas lahan yang dimiliki oleh orang lain secara jelas dapat
dilihat dilapangan. Batas-batas lahan milik dapat dilihat dengan adanya pembatas
yaitu jalan, sungai, tanaman pinang, tanaman kapuk, tanaman kemiri, jenis
tanaman yang berbeda dan lain-lain.
Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat menyatakan bahwa tidak
ada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat mengenai batas kepemilikan
lahan. Konflik mengenai batas lahan pernah terjadi, tetapi hal ini terjadi pada ahli
waris yang tidak mengetahui batas awal lahan yang diwariskan oleh orang tua
atau tanah warisan yang sudah ditinggalkan lama oleh ahli warisnya yang
kemudian beralih ke pihak lain dan lama kelamaan menjadi permasalahan
khususnya pada pemilik lahan disekitarnya. Penyelesaian konflik batas lahan
dapat diatasi dengan jalur pertemuan dengan pihak-pihak yang bertikai.
Gambar 16 Batas kepermilikan lahan dapat diketahui dari jenis tanaman pagar
yang ada (seperti pinang).
106
10 Terbangunnya hubungan sosial antara masyarakat
Hubungan sosial masyarakat terbangun dengan adanya kebutuhan bersama
dalam lingkungan masyarakat yang memiliki adat istiadat dan latar belakang yang
sama. Hubungan sosial terbentuk dalam lingkungan komunitas yang sama,
sehingga dalam berbagai kondisi, peranan sosial masyarakat sangat berperan
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya seperti dalam acara adat kematian dan adat
pernikahan. Hubungan sosial yang terbentuk untuk pengelolaan sumberdaya alam
adalah dalam hal tolong menolong pada saat panen, penanaman dan penggunaan
sarana produksi atau alat-alat pertanian. Hubungan sosial yang sama juga tercipta
pada masyarakat di Desa Buniwangi-Sukabumi (Suharjito 2002). Mehendra
(2009) menyebutkan bahwa salah satu pengaruh hutan rakyat dari aspek sosial
dapat dilihat dari hubungan sosial yang terjalin dan budaya bercocok tanam
menjadi budaya semua orang dalam domain semua kelas umur.
Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di
Kecamatan Tanah Pinem dari aspek sosial masuk pada kategori berkelanjutan
dengan catatan. Hal ini dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat menanam
kemiri sudah mulai menurun karena dampak dari berbagai permasalahan yang
muncul seperti produksi yang menurun, kondisi kesehatan tanaman dan lain-lain.
Sementara dari aspek kepemilikan lahan, batas lahan, peraturan dalam lingkungan
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, hubungan sosial, akses
terhadap pelayanan pendukung dapat membantu dalam mencapai pengelolaan
sumberdaya alam yang berkelanjutan, tetapi perlu pembenahan-pembenahan yang
lebih baik dari instansi terkait untuk mendorong minat masyarakat kembali
menanam kemiri pada lahan-lahan miring. Kelestarian pengelolaan suatu
sumberdaya alam yang tumbuh dalam lingkup lokal masyarakat dapat dilihat dari
sudut sejauhmana sumberdaya tersebut memberikan manfaat pada kesejahteraan
masyarakat, distribusi manfaat sumberdaya alam bagi masyarakat, kapasitas
masyarakat untuk mengakomodasi perubahan dan akseptabilitas sosial atau
pengelolaan sumberdaya alam diterima secara ekologi, ekonomi dan nilai sosial
yang berlaku dalam lingkungan masyarakat (Davis et al. 2001).
107
5.3.4 Analisis keberlanjutan
Secara keseluruhan hasil penilaian terhadap indikator dari semua aspek
yang diperoleh sebagai berikut:
1. Indikator yang bernilai Baik sebanyak 10 (35,71%) atau masih di bawah 50%
dari keseluruhan indikator yang dinilai, tetapi berada di atas 25% dari
keseluruhan indikator yang dinilai.
2. Indikator yang bernilai Cukup sebanyak 15 (53,57%) atau berada diatas 50%
dari keseluruhan indikator yang dinilai.
3. Indikator yang bernilai Jelek sebanyak 3 (10,72%) atau berada dibawah 25%
dari keseluruhan indikator yang dinilai.
Dari hasil penilaian ini, maka keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dari
aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial adalah “berkelanjutan dengan
catatan” karena hanya memenuhi persyaratan: Baik > 25% x n; Cukup > 50% x n;
Jelek < 25% x n.
Tanaman kemiri adalah salah satu tanaman hasil hutan bukan kayu
penghasil buah. Tanaman ini memiliki banyak manfaat, buahnya untuk bahan
baku industri dan penyedap makanan, kulit buah yang keras sebagai bahan baku
obat nyamuk bakar dan saat ini dijadikan sebagai bahan bakar industri yang
menggunakan pengering (dryer), kayunya sebagai bahan baku kayu lapis dan
tanamannya sendiri sebagai tanaman yang cocok untuk merehabilitasi lahan-lahan
kritis. Jika dilihat, maka sebenarnya tanaman kemiri memiliki multi manfaat baik
pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Tetapi, manfaat ini belum sepenuhnya
dilirik dan dijadikan pemerintah sebagai program dalam mengatasi luas lahan
kritis yang meningkat dan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat.
Tanaman kemiri hampir tumbuh dan berkembang di semua tempat di
Indonesia. Keberadaan tanaman kemiri pada suatu tempat sangat berlatar
belakang dengan sejarah keberadaannya pada tempat tersebut. Tanaman kemiri
rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem sudah ada sejak dahulu.
Tanaman kemiri adalah tanaman yang tumbuh secara alami di lahan-lahan
milik dan kawasan hutan. Kepemilikan lahan tanaman kemiri adalah berasal dari
tanah adat yang kemudian diwariskan kepada keturunannya. Terdapat 30
responden (47,62%) yang memiliki tanaman kemiri dari warisan, hal ini
108
menunjukkan bahwa tanaman kemiri telah menjadi tanaman yang berlangsung
secara turun temurun yang berlanjut sampai sekarang. Kemudian, untuk beberapa
pihak terjadi transaksi jual beli baik pada penduduk asli maupun pada penduduk
pendatang. Kepemilikan lahan tanaman kemiri tidak hanya dari warisan atau
dibeli, tetapi ada juga yang membuka hutan dan menjadikannya sebagai milik.
Pada saat kemiri belum laku diperjualbelikan, buahnya hanya dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti bumbu
dapur, obat sakit perut, obat bisul dan bahan bakar untuk lampu penerang.
Kemudian pelahan-lahan kemiri dibawa ke pasar dan mulai laku dan
diperjualbelikan. Sekitar tahun 1955 disebutkan bahwa kemiri sudah laku
diperdagangkan. Sejak itu, kemiri menjadi tanaman yang menghasilkan bagi
masyarakat dan umumnya tanaman kemiri pada periode tersebut menghasilkan
buah hampir sepanjang tahun.
Pada tahun 1980-an disebutkan bahwa setiap minggunya ada sekitar 100 ton
buah kemiri kupas yang siap angkut keluar dari Kecamatan Tanah Pinem. Bahkan
karena banyaknya, kadang-kadang tidak dapat diangkut karena keterbatasan
sarana pengangkutan. Kondisi ini berbeda dengan kondisi yang ada sekarang.
Dari hasil pengolahan data yang diperoleh, produksi kemiri kupas yang dihasilkan
pada tahun 2010 hanya 583,33 kg/ha. Berarti ada penyimpangan yang sangat jauh
antara produksi tahun 1980-an dengan tahun 2010. Hal ini dapat dijelaskan oleh
penurunan luas tanaman kemiri, kondisi kesehatan tanaman dan umur tanaman
yang memasuki kategori tidak produktif cukup banyak.
Pada saat tanaman kemiri masih berperan dalam kehidupan masyarakat,
masyarakat sangat menggantungkan kehidupannya dari kemiri. Masyarakat dari
usia muda sampai tua mendapatkan uang dari kemiri. Banyak anak-anak yang
sudah kenal uang dan bisa mencarinya dengan bekerja sebagai upahan baik untuk
mengumpulkan kemiri di ladang maupun mengupasnya.
Keadaan ini mulai berubah dengan adanya serangan hama dan penyakit,
seperti ulat pemakan daun, penggerak batang dan gugur buah. Perubahan musim
penghujan dan musim kemarau yang tidak jelas, mempengaruhi musim berbunga
dari tanaman kemiri yang berdampak pada musim berbuah. Pada akhir-akhir ini,
109
masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sudah berubah dan buah tidak
lagi dapat diperoleh sepanjang tahun.
Perubahan dan permasalahan yang terjadi, telah mempengaruhi masyarakat
beralih untuk menanam tanaman lain. Pada daerah yang lebih landai, masyarakat
mulai beralih menanam tanaman seperti jagung, cokelat, pisang, pepaya dan
sawit. Selain karena perubahan produksi yang menurun, salah satu faktor yang
juga kurang mendukung adalah fluktuasi harga. Fluktuasi harga kemiri antara
tahun 1997 sampai awal tahun 2011 adalah seperti Gambar 17.
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem (1997 – 2004) dan hasil wawancara untuk data tahun 2005-2011
Gambar 17 Fluktuasi harga kemiri di lokasi penelitian.
Pola perubahan penggunaan lahan yang mulai beralih ke tanaman muda
disebabkan karena pengaruh harga pasar yang lebih besar dan stabil, pendapatan
yang diperoleh lebih besar dan cepat (jagung bisa panen 2 kali setahun dan
cokelat bisa memberikan penghasilan bulanan). Peralihan ini juga dipengaruhi
oleh umur tanaman kemiri yang sudah melewati umur produktif. Masyarakat
yang melakukan replanting pada tanaman kemirinya adalah masyarakat yang
memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang tidak bisa ditanami dengan tanaman
pertanian seperti padi dan jagung.
Tanaman kemiri rakyat yang masih utuh keberadaannya adalah lahan-lahan
milik yang ada pada daerah lahan miring, pinggir sungai, lembah/jurang dan
daerah terjal dan juga pada lahan masyarakat yang masih merasakan manfaat dari
110
tanaman tersebut. Juga lahan-lahan yang datar tetapi dimiliki oleh masyarakat
yang kurang produktif dan atau memiliki pekerjaan utama bukan sebagai petani.
Di Desa Kutabuluh, tanaman kemiri masih terjaga diantara tanaman lain,
sementara di Pamah dan Pasir Tengah, tanaman kemiri rakyat yang masih tinggal
terdapat pada lahan-lahan miring, jaraknya cukup jauh dari perumahan penduduk
dan di sekitar kawasan hutan.
Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri berdasarkan
indikator yang diperoleh adalah “berkelanjutan dengan catatan”. Jika pengelolaan
yang dilakukan masih sama dan tidak ada upaya memperbaiki kondisi tanaman
maka pengelolaan tanaman kemiri dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial bisa
menjadi tidak berkelanjutan. Untuk mencapai pengelolaan yang berkelanjutan,
maka perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan dengan dasar pertimbangan sbb:
1 Kondisi topografi
Luas wilayah Kecamatan Tanah Pinem yang termasuk pada kategori
curam dan terjal adalah 39.546 ha atau hampir 90% dari total luas lahan.
Maka jenis tanaman yang cocok dan sesuai untuk dikembangkan adalah jenis
tanaman yang memiliki sistem perakaran kuat, tanaman tahunan dan jenis
endemik setempat. Penanaman tanaman pertanian seperti jagung, kurang
sesuai ditanam pada lahan miring karena pengelolaan lahan dengan sistem
land clearing (tebang habis) dapat menyebabkan terjadinya erosi sangat
tinggi. Apalagi dengan proses tanam dan panen yang cukup cepat (2 kali
setahun) sehingga dapat menimbulkan penurunan unsur hara tanah. Dengan
kondisi ini, sebaiknya lahan-lahan milik masyarakat yang ada pada daerah
miring ditanami kembali jenis tanaman kayu-kayuan seperti kemiri, karena
kemiri merupakan ciri khas tanaman setempat atau jenis tanaman lain yang
cepat tumbuh (fast growing) maupun jenis MPTS lainnya sehingga bisa
bermanfaat bagi masyarakat dari aspek ekonomi dan aspek ekologi.
2 Lahan kritis
Luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem menurut BPDAS Wampu
Sei Ular tahun 2010 adalah 30.718,44 ha atau sekitar 70% dari total luas
lahan. Adapun rincian luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem
berdasarkan arahan fungsi lahan adalah seperti Tabel 34. Hal ini
111
menunjukkan bahwa perlu dilakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan
dalam rangka meningkatkan peran lahan sebagai media produksi dan sebagai
media pengatur tata air. Kegiatan yang bisa dilaksanakan dalam bidang
kehutanan adalah reboisasi pada kawasan hutan dan penghijauan di luar
kawasan hutan.
Tabel 34 Luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem
No Kriteria
lahan kritis
Arah fungsi penggunaan lahan Jumlah
APL HL HSA (HK) HP/HPT
1 Sangat kritis 2661,73 - - 82,93 2.744,66
2 Kritis 5.164,68 8.106,89 - 4.369,76 17.641,33
3 Agak kritis 2.937,10 3.110,75 - 4.284,60 10.332,45
Jumlah 10.763,51 11.217,64 - 8.737,29 30.718,44 Sumber : BPDAS Wampu Sei Ular (2010)
3 Regenerasi tanaman
Tanaman masyarakat umumnya belum menunjukkan regenerasi yang
berkelanjutan dalam menghasilkan buah. Untuk memulihkan kembali fungsi
tanaman kemiri sebagai produksi hasil tanaman rakyat, maka perlu dilakukan
regenerasi tanaman. Regenerasi tanaman pada satuan luas, dapat dilakukan
secara bertahap dengan tujuan agar tetap dapat menghasilkan bagi
masyarakat. Metode regenerasi dapat dilakukan dengan mendekati kriteria
lestari pada hutan tanaman. Sebagai contoh: luas lahan 1 ha, jarak tanam 10m
x 10m, maka jumlah pohon adalah 100 batang. Daur tanaman ditentukan
selama 7 tahun. Maka, luas lahan dibagi menjadi 5 petak dengan luas masing-
masing petak adalah 2.000 m2. Kondisi tanaman pada saat sudah berumur 35
tahun, sudah layak dilakukan regenerasi penanaman. Jika dilakukan
penebangan pohon secara keseluruhan, maka pendapatan dari buah akan
terhenti pada saat itu juga. Tetapi jika penebangan hanya dilakukan pada satu
petak saja, maka luas areal yang menghasilkan buah akan berkurang dan
tinggal 8.000 m2. Setelah penebangan pada petak pertama, maka kembali
dilakukan penanaman, pemupukan dan pemeliharaan. Pada tahun ke-5,
tanaman sudah kembali dapat menghasilkan buah. Tujuh tahun kemudian
(daur ke-2), dilakukan penebangan pada petak ke-2 dan kemudian dilakukan
penanaman kembali pada lahan tersebut. Hal ini dilakukan sampai daur ke-5.
112
Setelah daur ke-5, petak ke-1 sudah berumur 35 tahun, maka bisa dilakukan
kembali peremajaan dengan kembali melakukan kegiatan seperti langkah di
atas. Jika tujuan penanaman adalah komersil untuk mendapatkan penghasilan
dari buah kemiri, maka proses pengelolaan dengan sistem peremajaan secara
bertahap bisa dilakukan agar keberlanjutan mendapatkan buah terjamin. Pada
saat yang sama, setiap hasil penebangan tanaman kemiri dapat dijual pada
pasar yang tersedia dan didukung oleh aksesibilitas pengangkutan. Penjualan
kayu kemiri cukup berpotensi dilakukan karena di Sumatera Utara terdapat
industri yang menggunakan kayu kemiri sebagai bahan baku kayu lapis.
4 Rehabilitasi dengan teknik konservasi
Kondisi lahan di Kecamatan Tanah Pinem adalah 90% masuk pada
kategori curam dan terjal. Hal ini menunjukkan bahwa lahan-lahan di
kecamatan Tanah Pinem sangat rawan terhadap bahaya erosi dan tanah
longsor. Untuk lahan-lahan yang saat ini sudah tidak produktif, berada pada
lahan miring curam dan terjal, maka perlu dilakukan rehabilitasi lahan
dengan penanaman tanaman keras dan dengan teknik konservasi tanah.
Teknik konservasi tanah dan air yang dapat dilakukan secara mekanis antara
lain pengolahan tanah menurut kontur, guludan, teras dan lain-lain (Suripin
2004). Penanaman kemiri pada lahan miring harus dilakukan menurut garis
kontur (melintang terhadap lereng) dengan sistem teras, tujuannya agar akar
tanaman berperan dalam menghambat aliran permukaan, memungkinkan
adanya penyerapan air dan menghindarkan hilangnya humus tanah akibat
erosi.
5 Menerapkan pola tanam yang efektif
Untuk mengefektifkan fungsi lahan sebagai media tumbuh pohon dan
meningkatkan produksi lahan, maka pola tanaman yang digunakan sebaiknya
menggunakan metode segitiga karena jumlah pohon yang ditanam akan lebih
banyak jika ditanam dengan metode bujursangkar. Jika jarak tanam 8m x 8m,
maka jumlah pohon yang ditanam adalah 156 pohon/ha apabila mengikuti
kaidah bujursangkar, sedangkan bila mengikuti kaidah segitiga, jumlah
pohon yang ditanam adalah 175 pohon/ha (Paimin 1994). Pola tanam ini juga
sesuai dilakukan pada lahan yang bertopografi curam dan terjal.
113
6 Penyuluhan Kehutanan Lapangan
Keberadaan kelompok tani sudah mengindikasikan bahwa akses
penyuluhan pada lingkungan masyarakat sudah berjalan dan berperan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakarat melalui pengenalan sarana dan
prasarana pertanian yang sudah berkembang. Pemberdayaan kelompok tani
dapat diperluas dalam bidang kehutanan. Hal ini disebabkan karena penyuluh
lapangan bidang kehutanan hampir tidak ada. Tujuan dari kegiatan ini adalah
dalam melakukan pemulihan fungsi dan peran lahan masyarakat dalam
mendatangkan manfaat dengan tujuan memulihkan fungsi lahan sebagai
media produksi dan media pengatur tata air. Penyuluh ini nantinya akan
berperan dalam melatih masyarakat dalam melakukan penanaman kemiri
(dan jenis tanaman kehutanan lainnya) sesuai dengan teknik budidayanya
untuk tujuan mendapatkan produksi yang bermanfaat sebagai sumber
penghasilan masyarakat yang memiliki lahan pada lahan-lahan miring.
7 Pasar dan hubungannya dengan pengembangan
Produksi berhubungan dengan pemasaran. Pemasaran buah kemiri
sebenarnya tidak sulit, karena permintaan akan kemiri setiap tahun cenderung
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Paimin (1994)
menyebutkan permintaan kebutuhan kemiri setiap tahunnya akan naik
sebesar 10-20%. Pada tahun 1975 sampai tahun 1995, Indonesia merupakan
salah satu negara yang mengekspor kemiri. Tahun 1996 sampai 2003 tidak
ada ekspor dan kembali mengeskpor tahun 2004 dan 2005. Ekspor terakhir
kemiri Indonesia adalah tahun 2005. Sampai tahun 2010 tidak ada lagi ekspor
kemiri. Sementara itu, pada tahun 2004 dan 2005, Indonesia melakukan
impor kemiri sebanyak masing-masing 13 ton (62.000 US$) dan 15 ton
(27.000 US$). Seharusnya, Indonesia tidak perlu mengimpor kemiri karena
kemiri adalah tanaman yang hampir tumbuh di semua tempat di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dalam
pengembangan tanaman kemiri dalam memenuhi kebutuhan domestik. Jika
pengelolaan kemiri dilakukan oleh pemerintah dengan mengembangkan pola
penanaman kemiri yang ada pada lahan-lahan milik rakyat, maka peran
kemiri sebagai sumber devisa negara, sumber pendapatan daerah, sumber
114
pendapatan masyarakat dan sebagai tanaman yang bermanfaat bagi
lingkungan akan sangat dapat dirasakan. Untuk itu, pemerintah perlu
melakukan program khusus pemberdayaan masyarakat dalam memulihkan
peran tanaman kemiri dalam bentuk hutan rakyat, hutan kemasyarakatan dan
hutan tanaman rakyat (lahan yang ada dalam kawasan hutan) serta hutan
tanaman industri untuk mendukung penyediaan bahan baku kayu lapis.
Tanaman kemiri dapat dijadikan sebagai tanaman industri (untuk
menghasilkan kayu) dengan jarak tanaman yang lebih sempit (4m x 4m)
sehingga batang yang dihasilkan bulat dan lurus.
8 Sinergi antar sektor
Perlu adanya sinergi antara instansi seperti dinas kehutanan dan
perkebunan, dinas pertanian, dinas perdagangan dan dinas pemberdayaan
masyarakat serta dinas terkait lainnya dalam mendukung potensi tanaman
kemiri sebagai tanaman yang multi manfaat, yaitu sebagai sumber
penghasilan masyarakat, sumber pendapatan daerah, manfaat lingkungan dan
lain-lain. Peran antar sektor diharapkan saling mendukung sehingga tujuan
setiap sektor tidak overlapping yang bertujuan untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional dan daerah.
Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi bahan pertimbangan dan dapat
dilakukan dengan tujuan agar pengelolaan tanaman kemiri pada masa yang akan
datang menjadi berkelanjutan, dapat berperan dalam mendatangkan penghasilan
petani, meningkatkan pendapatan daerah dan berperan dalam menjaga fungsi
hutan dan lahan. Sebaliknya, jika tanaman kemiri tidak dijadikan sebagai tanaman
yang layak untuk diusahakan, terjadi penebangan serta peralihan menjadi tanaman
lain, maka keberlanjutan pengelolaan kemiri pada masa yang akan datang akan
turun menjadi “tidak berkelanjutan”.
Untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan kemiri, maka perlu dibuat
prioritas kegiatan yang dapat diperbaiki dari beberapa indikator, khususnya
indikator yang bernilai Cukup dan Jelek. Pada Tabel 35 dapat dilihat prioritas
indikator yang dapat diperbaiki dan kegiatan yang harus dilakukan untuk
mencapai keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri. Selanjutnya, dari prioritas
kegiatan yang yang sudah dibuat, dikembangkan menjadi program-program yang
115
perlu dilakukan yang kemudian menentukan kegiatan-kegiatan yang lebih
spesifik dari setiap program yang perlu dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
yang diharapkan dalam mencapai keberlanjutan yang diharapkan. Adapun
rekomendasi program dan kegiatan yang perlu dilakukan agar pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dapat mencapai keberlanjutan adalah seperti Tabel 36, 37
dan 38. Pada rekomendasi ini juga ditentukan pihak-pihak yang perlu berperan
dalam kegiatan tertentu sehingga setiap pihak mengetahui perannya masing-
masing.
116
Tabel 35 Prioritas perbaikan dan kegiatan yang perlu dilakukan
No Aspek Indikator Nilai Kegiatan Rencana Program Prioritas
1 Ekologi Erosi B - - -
Produktivitas lahan C Pengelolaan lahan yang
intensif, regenerasi tanaman
Regenerasi
penanaman
2
Karakteristik air B - - -
Kualitas air C Pengelolaan air (dinas terkait)
- -
Cara-cara mengambil
manfaat
B - - -
Pengendalian hama dan
penyakit
C Penelitian tentang hama
dan penyakit tanaman kemiri
Penelitian 5
Adanya gangguan
(kebakaran, hama penyakit, banjir,tanah
longsor, dll)
C Pencegahan dan
pengendalian
Penyuluhan dan
sosialisasi dalam upaya mengatasi
gangguan
4
Struktur tegakan hutan C Penanaman lahan-lahan
yang sudah rusak, lahan-
lahan kosong, lahan kritis,
dan lain-lain
Rehabilitasi hutan
dan lahan melalui
HR, HTR, HKm,
Reboisasi dan Agroforestry
1
Aktivitas penanaman
menjamin penutupan
lahan
C
Adanya upaya
konservasi tanah
C Pembuatan bangunan KTA
& konservasi secara mekanis
Pembuatan
bangunan KTA
3
2 Ekonomi Sumber modal untuk
kegiatan penanaman
J Bantuan kredit dari
pemerintah, swasta, LSM
dan mitra
Penyaluran bantuan
kredit, kemitraan
1
Peningkatan
pendapatan
C Pengelolaan intensif,
agroforestry
RHL (Agroforestry) 2
Kelayakan usaha B - - - Penyerapan tenaga
kerja
B - - -
Kesejahteraan masyarakat
J Kegiatan dari BKKBN - -
Kepastian potensi
produksi buah dan kayu
C Regenerasi tanaman dan
pencegahan hama dan penyakit
Regenerasi
penanaman
3
Keuntungan usaha C - - -
Akses pasar B - - -
3 Sosial Partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan
sumberdaya alam
C Sosialisasi penanaman
kayu-kayuan (khususnya
jenis-jenis yang dapat mendatangkan manfaat
bagi masyarakat dan aspek
ekologi). Misalnya: Jenis tanaman yang cepat
tumbuh (fast growing) dan
MPTS.
Penyuluhan 1
Peraturan di
masyarakat dalam
pemanfaatan sumberdaya alam
C - - -
Akses terhadap pelayan
pendukung (kredit, penyuluhan dan
masukan tekhnologi)
C Mempermudah masyarakat
dalam menjangkau akses pelayanan yang
mendukung
Penyuluhan 2
Pengangguran B - - - Kemiskinan B - - -
Migrasi penduduk J - - -
Kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi
perubahan
C Pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan
penyuluhan dan meningkatkan infrastruktur
pembangunan daerah
Penyuluhan dan pembangunan
daerah
3
Status lahan B - - - Kejelasan batas lahan B - - -
Terbangunnya
hubungan sosial antara masyarakat
C - - -
117
Tabel 36 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi
No Program Kegiatan Tujuan yang ingin dicapai Pelaksana
1
Rehabilitasi
hutan dan
lahan
Hutan rakyat,
agroforestry
Hutan
kemasyarakatan
(HKm) dan hutan
tanaman rakyat
(HTR)
Reboisasi (lahan
kritis pada
kawasan hutan)
Penghijauan lahan-lahan
milik masyarakat khususnya
lahan-lahan yang ada di
daerah bertopografi curam
dan terjal (>250) dengan
tujuan meningkatkan fungsi
ekologi bagi lingkungan dan
fungsi ekonomi bagi
masyarakat
Pemberdayaan masyarakat
lokal yang diberi kesempatan
memanfaatkan sumberdaya
hutan pada kawasan hutan
lindung dan/atau kawasan
hutan produksi
Penanaman kembali lahan-
lahan hutan yang sudah rusak
untuk memulihkan fungsi
hutan sebagai media tata air
dan media produksi
1. Masyarakat
2. Pemda
3. Dishutbun
kabupaten
4. Dishutprop
5. Kemenhut
1. Dishutbun
kabupaten
2. Pemda
3. Dishutprop
4. Masyarakat
5. Kemenhut
1. Dishutbun
kabupaten
2. Dishutprop
3. Kemenhut
4. Pemda
2
Regenerasi
penanaman
Penerapan
metode
penanaman
dengan teknik
silvikultur yang
berkelanjutan
Manfaat yang akan diperoleh
masyarakat akan
berkelanjutan dan hasil yang
diperoleh berkesinambungan
dengan metode daur tanam
1. Penyuluh
2. Dishutbun
3. Peneliti
4. Universitas
3
Konservasi
Tanah dan
Air
Pembuatan
bangunan
konservasi tanah
dan air
Mencegah terjadinya banjir,
tanah longsor, erosi dan
kekeringan dengan kegiatan
pembuatan teras, guludan,
gully plug, dam pengendali,
sumur resapan, embung dan
lain-lain
1. Pekerjaan umum
2. Pemda
3. Dishutbun
kabupaten
4. Masyarakat
4
Penyuluhan
Penyuluhan dan
sosialisasi dalam
upaya mengatasi
gangguan yang
terjadi (hama dan
penyakit, banjir
dan longsor)
Meningkatkan kemampuan
masyarakat mengatasi
permasalahan hama dan
penyakit serta upaya
penanggulangannya
Meningkatkan pemahaman
masyarakat tentang
pentingnya pohon dalam
mencegah terjadinya banjir
dan tanah longsor
1. Penyuluh
(Kehutanan dan
pertanian)
2. Pemda
(Kabupaten,
kecamatan dan
desa)
3. LSM
5
Penelitian
Penelitian untuk
mengatasi hama
dan penyakit
Untuk mendapatkan cara atau
metode yang dapat digunakan
untuk mengatasi masalah
penyakit yang menyerang
tanaman kemiri seperti gugur
buah
1. Peneliti
2. Universitas
3. LSM
4. Penyuluh
118
Tabel 37 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dari aspek ekonomi
No Program Kegiatan Tujuan yang ingin dicapai Pelaksana
1
2
Penyaluran
kredit
Kemitraan
Pemberian modal usaha
bagi masyarakat lemah
dengan kredit ringan
Pembangunan
kerjasama kemitraan
dengan industri
pengguna bahan baku
kemiri
Memberdayakan masyarakat
pemilik lahan dengan bantuan
modal kredit bunga ringan
Mitra dapat menyalurkan bantuan
dana bagi masyarakat dan mitra
dapat menampung produksi kemiri
rakyat dengan harga yang terjamin
1. Pemda
2. BPR
3. Bank
4. Mitra usaha
5. Penyuluh
6. Masyarakat
1. Disperindag
2. Masyarakat
3. Industri/
perusahaan
4. Pemda
3 RHL
(Agroforestr
y)
Pola tanaman campuran
antara tanaman kayu-
kayuan dan tanaman
pertanian
Meningkatkan pendapatan petani
dari tanaman pertanian dan
tanaman kayu-kayuan secara
berkelanjutan yang berperan dalam
menjamin kesinambungan
penghasilan masyarakat
1. Masyarakat
2. Penyuluh
3. LSM
4. Dishutbun
kabupaten
5. Dinas
pertanian
kabupaten
4 Regenerasi
penanaman
Pengaturan daur
tanaman
Agar potensi produksi kemiri yang
diperoleh petani dapat
berkelanjutan
1. Masyarakat
2. Penyuluh
3. Dishutbun
kabupaten
Tabel 38 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dari aspek sosial
No Program Kegiatan Tujuan yang ingin dicapai Pelaksana
1 Penyuluhan
dan
sosialisasi
Sosialisasi penanaman
kayu-kayuan (khususnya
jenis-jenis yang dapat
mendatangkan manfaat
bagi masyarakat dan
aspek ekologi). Misalnya:
Jenis tanaman yang cepat
tumbuh (fast growing)
dan MPTS.
Meningkatnya pemahaman dan
pengetahuan masyarakat tentang
tanaman-tanaman kehutanan
yang dapat berproduksi cepat,
layak untuk ditanam dan dapat
meningkatkan pendapatan
masyarakat sehingga
menimbulkan minat bagi
masyarakat untuk mau menanam
di lahan-lahan miliknya
1. Penyuluh
2. Masyarakat
3. Dishutbun
kabupaten
4. LSM
Mempermudah
masyarakat dalam
menjangkau akses
pelayanan kredit,
penyuluhan dan teknologi
Mudahnya petani menjangkau
layanan pendukung dalam
meningkatkan kemampuannya
dalam mengembangkan usahanya
melalui akses kredit, penyuluhan
dan teknologi
1. Penyuluh
2. Masyarakat
3. Dishutbun
kabupaten
4. Dinas
pertanian
2 Percepatan
pembangun
an
infrastruktur
Pembangunan sarana dan
prasarana umum untuk
meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam
mengakomodasi
perubahan (sekolah,
jalan, puskesmas, dan
lain-lain)
Meningkatnya kapasitas
masyarakat dalam mengakomdasi
perubahan seperti perbaikan
mutu pendidikan, mempermudah
akses masyarakat dalam
menjangkau perkotaan dalam
melakukan transaksi hasil-hasil
pertanian, dan lain-lain
1. Pemda
2. Pihak
kecamatan dan
desa
119
Jika kegiatan-kegiatan tersebut di atas dapat dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan, maka diharapkan dapat sampai pada tujuan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat yang berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan, jika sumberdaya alam tersebut saat ini dapat dimanfaatkan oleh
generasi sekarang dan pemanfaatan itu tidak mengganggu kesempatan generasi
yang akan datang untuk memperolehnya (Davis et al. 2001; Fauzi 2006). Untuk
menjamin manfaat tanaman kemiri dapat diperoleh generasi yang akan datang,
maka keberlanjutan pengelolaan kemiri harus diperhatikan.
Masyarakat Kecamatan Tanah Pinem masih sangat tergantung pada usaha
pertanian. Dengan kondisi topografi curam dan terjal, sebaiknya jenis tanaman
yang ditanam adalah tanaman-tanaman yang mampu mendatangkan penghasilan
bagi penduduk secara berkelanjutan. Tanaman kemiri adalah salah satu jenis
tanaman yang multi manfaat karena dapat memberikan hasil buah untuk dipanen
setiap tahun (umur 5-35 tahun), berfungsi sebagai tanaman perlindungan tanah
dan air dan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Tanaman kemiri dapat
menjadi sumber, menyediakan lapangan kerja dan berperan dalam fungsi
ekologis, menunjukkan bahwa tanaman kemiri memiliki sifat multiflier effect.
Pembahasan tentang pengelolaan kemiri dari aspek ekologi, ekonomi dan
sosial menunjukkan bahwa pengembangan tanaman kemiri dalam kegiatan hutan
rakyat dapat berperan dalam mencapai tujuan pengembangan hutan rakyat. Dari
aspek ekologi, pohon kemiri berperan dalam melindungi tanah dari erosi dan
menjamin penutupan permukaan tanah karena tajuknya yang lebar. Dari aspek
ekonomi, tanaman kemiri berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat
karena buah, kulit cangkang dan kayunya dapat dijual. Sedangkan dari aspek
sosial menunjukkan bahwa tanaman kemiri dapat mengurangi pengangguran
karena menyerap tenaga kerja dari dalam keluarga dan luar keluarga. Jika usaha
yang sama dikembangkan dalam bentuk hutan rakyat yang dikelola secara
intensif, maka pengembangan hutan rakyat dengan jenis tanaman kemiri dapat
sampai pada tujuannya yaitu meningkatkan pendapatan petani, peningkatan
kualitas lingkungan dan peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara
berkesinambungan.
120
121
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengelola tanaman
kemiri adalah umur petani, luas lahan, pendapatan, asal usul lahan dan
aksesibilitas ke ladang. Kelima faktor tersebut berperan dalam memberikan
peluang bagi pengembangan tanaman kemiri. Faktor yang dapat menjadi peluang
bagi pemerintah untuk mengembangkan penanaman kemiri adalah lahan-lahan
masyarakat di sekitar kawasan hutan, masyarakat berpenghasilan rendah, lahan-
lahan yang sulit dijangkau, lahan-lahan milik masyarakat yang masih luas dan
umur petani yang mulai kurang produktif. Salah satu faktor yang sangat berperan
mendukung pengembangan penanaman kemiri pada lahan masyarakat adalah
kondisi biofisik lapangan yang curam dan terjal. Pada satu sisi, masyarakat
mengharapkan hasil yang maksimal dari lahan miliknya, pada sisi lain
pengelolaan lahan harus menerapkan kaidah konservasi tanah pada lahan-lahan
yang cukup rawan terjadi erosi dan longsor. Penanaman pohon merupakan
alternatif pilihan masyarakat untuk mencegah bahaya yang tidak dikehendaki.
Salah satu jenis tanaman yang bermanfaat adalah kemiri karena kemiri
bermanfaat untuk mencegah terjadinya erosi dan longsor serta berperan dalam
mendatangkan penghasilan bagi masyarakat.
Analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri adalah ”berkelanjutan dengan
catatan”. Pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi cukup berperan
dalam melindungi tanah dari erosi dan tanah longsor, tetapi praktek budidaya
yang tidak berkelanjutan menyebabkan hasil yang menurun. Pengelolaan tanaman
kemiri rakyat dari aspek ekonomi cukup memberikan manfaat bagi petani,
menyerap tenaga kerja dan layak untuk diusahakan, tetapi pengembangannya
terbatas oleh modal yang dimiliki petani. Pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari
aspek sosial menunjukkan bahwa distribusi manfaat dari tanaman kemiri cukup
memberi dampak yang baik dalam kehidupan masyarakat secara umum, tetapi
partisipasi masyarakat untuk mengembangkannya sudah mulai berkurang.
122
6.2 Saran
Untuk memulihkan kembali tanaman kemiri sebagai salah satu tanaman ciri
khas dari Kecamatan Tanah Pinem, maka disarankan hal-hal berikut ini: (1)
Upaya perbaikan pengelolaan tanaman kemiri rakyat dengan melakukan program
dan kegiatan-kegiatan yang mendorong tercapainya pengelolaan yang
berkelanjutan. (2) Melakukan penanaman kembali lahan-lahan yang sudah tidak
produktif, lahan marjinal dan lahan-lahan miring dengan kemiringan di atas 250
melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. (3) Mengembangkan pola sistem
agroforestry bagi pengembangan kegiatan hutan rakyat dalam memulihkan fungsi
lahan dari aspek ekologi dan ekonomi. (4) Perlu adanya peran pemerintah dalam
pengadaan tenaga penyuluh bidang kehutanan, penyaluran bantuan kredit,
kerjasama kemitraan dan penelitian untuk mengatasi tentang hama dan penyakit
serta penanganan hasil pasca panen.
123
DAFTAR PUSTAKA
Andayani W. 2002. Optimalisasi pemanfaatan lahan usahatani pola agroforestry.
Tinjauan Teoritis. Jurnal Hutan Rakyat Vol IV No.1:55-68
Awang SA, Wiyono EB, Sadiyo S. 2007. Unit Manajemen Hutan Rakyat: Proses
Konstruksi Pengetahuan Lokal. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Banyumili
Art Network
[BPDAS WU] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu Sei Ular. 2010.
Up Dating/Riview Lahan Kritis di SWP DAS Wampu Sei Ular. Buku:
Laporan Akhir. Medan: BPDAS WU
[BPDAS WU] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu Sei Ular. 2009.
Karakteristik DAS Singkil. Buku I. Medan: BPDAS WU
[BPKH] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa Madura. 2009.
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arah Kebijakan Hutan Rakyat di
Pulau Jawa. Yogyakarta: Laporan BPKH Wilayah XI Jawa Madura Tahun
2009
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi. 2009. Kabupaten Dairi Dalam
Angka 2009. Sidikalang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi. Kecamatan Tanah Pinem Dalam
Angka dari tahun 1997 sampai 2010. Sidikalang: Koordinator Statistik
Darmawan S, Kurniadi R. 2007. Studi pengusahaan kemiri di Flores, NTT dan
Lombok, NTB. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Info Sosial Ekonomi Vol.7
No.2:117-129
Darusman D, Hardjanto. 2006. Tinjauan ekonomi hutan rakyat. Di dalam:
Kontribusi Hutan Rakyat Dalam Kesinambungan Industri Kehutanan.
Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006; Bogor, 21 September
2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, hlm 7-13
Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management: To
Sustain Ecological, Economic and Social Value. Fourth Edition. New York:
Published by McGraw-Hill
[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2009. Statistik Kehutanan Indonesia.
Forestry Statistics of Indonesia 2008. Jakarta
[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
124
[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Kehutanan Tahun 2006-2025. Pusat Rencana dan Statistik
Kehutanan. Jakarta: Badan Planologi Kehutanan
[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan
No.P.03/Menhut-V/2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan
Rakyat Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
[DEPHUT] Departemen Kehutanan, FORDA, APAN, GTZ. 1997. Pengelolaan
Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia. Kumpulan Informasi.
[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Teknis Budidaya Kemiri
(Aleurites moluccana Willd). Informasi Teknis No.2/1994
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2009. Kemiri (Candlenut). Statistik
Perkebunan Indonesia (The Crops Estate Statistic of Indonesia) 2007-2009.
Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006a. Pedoman Budidaya Kemiri (Aleurites
moluccana Willd). Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006b. Rancangan Pengembangan Kemiri
2005-2010. Jakarta: Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan. Direktorat
Jenderal Perkebunan
Diniyati D, Sulistyati TW, Achmad B, Fauziyah E. 2008. Sikap petani Priangan
Timur terhadap kelembagaan hutan rakyat. Puslitsosek. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Bogor. Info Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Vol. 8 No. 3:169-188
Dirgantara U. 2008. Analisis potensi fisik, sosial dan ekonomi untuk
pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi [tesis]. Bogor.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Djajapertjunda S. 2003. Mengembangkan Hutan Milik di Jawa. Cetakan I.
Sumedang: Alqaprint Jatinangor
Fatmawati. 2001. Analisis kebijakan pengelolaan cendana di Kabupaten Timor
Tengah Selatan [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor
Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi.
Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Gujarati D. 2006. Ekonometrika Dasar. Alih bahasa: Sumarno Zain. Jakarta:
Erlangga
125
Hardjanto. 2003. Keragaan dan pengembangan usaha kayu rakyat di Pulau Jawa
[disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Hardjanto. 2001. Kontribusia hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga di
Sub DAS Cimanuk Hulu. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol VII
No.2:47-61
Hardjanto. 2000. Beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat di Jawa. Di dalam:
Didik S, penyunting. Hutan Rakyat di Jawa. Peranannya dalam
Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Masyarakat Fakultas Kehutanan IPB, hlm 7-11
Hardono GS, Saliem HP. 2006. Diversifikasi pendapatan rumah tangga di
Indonesia: analisis data susenas. Di dalam: Kedi S, Yusmichad Y,
Masdjidin S, Ketut K, penyunting. Diversifikasi Usahatani dan Konsumsi:
Suatu Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Monograph Series 27:81-98
Haryadi N. 2006. Peranan hutan rakyat bagi pelestarian lingkungan. Di dalam:
Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari. Prosiding
Seminar Pekan Hutan Rakyat Nasional I; Ciamis, 6 September 2006. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, hlm 190-195
Hayono Y. 1996. Analisis pengembangan pengusahaan hutan rakyat di
Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor
Hindra B. 2006. Potensi dan kelembagaan hutan rakyat. Di dalam: Kontribusi
Hutan Rakyat Dalam Kesinambungan Industri Kehutanan. Prosiding
Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006; Bogor, 21 September 2006.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, hlm 14-20
Hiola AS. 2011. Agroforestri Ilengi: Suatu kajian pelestarian dan pemanfaatan
jenis pohon (Studi kasus di Desa Dulamayo Selatan, Kecamatan Telaga,
Kabupaten Gorontalo,Propinsi Gorontalo) [tesis]. Bogor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Hutasoit A. 2008. Potensi kemiri dan durian di Kabupaten Karo Propinsi
Sumatera Utara [skripsi]. Medan. Universitas Sumatera Utara
Ichwandi I. 2001. Dampak krisis ekonomi terhadap usaha kehutanan masyarakat:
studi kasus di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di dalam: Dudung D,
editor. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Bogor: Debut
Press, hlm 119-141
Irawan P. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Cetakan Kedua. Departemen Ilmu Administrasi. Jakarta: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
126
Kadariyah L, Karlina, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
[KEMENHUT] Kementerian Kehutanan. 2010. Statistik Pembangunan RLPS
Tahun 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial
Koji T. 2002. Kemiri (Aleurites moluccana) and forest resource management in
Eastern Indonesia: An Eco-historical Perspective. Asian and African Area
Studies No. 2: 5-2
[LEI] Lembaga Ekolabel Indonesia. 2001. Pedoman Sertifikasi Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). http://www.lei.or.id/id [10
November 2010]
Mahendra F. 2009. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Nakayama FS, Osbrink WL. 2010. Evaluation of Kukui oli (Aleurites moluccana)
for controlling termites. Industrial Crops and Products 31:312-315
Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Cetakan ke-6. Bogor Selatan: Ghalia
Indonesia
Nugroho B. 2010. Pembangunan kelembagaan pinjaman dana bergulir hutan
rakyat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XVI (3):118-125
Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A. 2010. Analisis Kelayakan Bisnis.
Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor
Nurrochmat DR. 2001. Dampak krisis ekonomi dan moneter terhadap usaha
kehutanan masyarakat: Kemenyan di Tapanuli Utara. Di dalam: Dudung
D, editor. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Bogor: Debut
Press, hlm 72-97
Paimin FR. 1994. Kemiri, Budidaya dan Prospek Bisnis. Jakarta: Penerbit
Swadaya
[PPL] Penyuluh Pertanian Lapangan. 2010. Data Rekapitulasi luas areal, produksi
dan produktivitas perkebunan rakyat Kecamatan Tanah Pinem. Keadaan
Semester 1 (Januari sampai Juni)
Purnomo H. 2006. Degradasi hutan dan pengangguran: menuju pengelolaan hutan
skala kecil. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol XII N0.2:44-56
Rahayu YDS dan Awang SA. 2003. Analisis jender dalam pengelolaan hutan
rakyat. Jurnal Hutan Rakyat Vol V No.1:9-36
127
Romansyah D. 2007. Peran hutan rakyat dalam perekonomian wilayah di
Kabupaten Sumedang [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor
Sihotang IV. 2007. Analisis efesiensi produksi getah kemenyan di wilayah
Tapanuli Utara Bagian Utara [tesis]. Banda Aceh: Program Pascasarjana,
Universitas Syiah Kuala
Silamon RF. 2011. Karakteristik pengelolaan dan analisis ketersediaan lahan
pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bima [tesis]. Bogor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Simatupang JT. 2001. Analisis ekonomi usahatani kemiri serta hubungannya
dengan pengembangan wilayah di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten
Dairi [tesis]. Medan: Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara
Sitompul M. 2011. Kajian pengelolaan hutan kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten
Humbang Hasundutan, Propinsi Sumatera Utara [tesis]. Bogor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. Edisi
Revisi 2002. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Suharjito D. 2002. Pemilihan jenis tanaman kebun talun: suatu kajian
pengambilan keputusan oleh petani. Jurnal Manajemen Hutan Tropika
Vol.VIII No.2:47-56
Suharjito D. 2002. Strategi adaptasi sosial kultural dan ekologi masyarakat
pertanian lahan kering di Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa Barat
[disertasi]. Jakarta. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia
Suharjito D. 2000. Hutan rakyat: kreasi budaya bangsa. Di dalam: Didik S,
penyunting. Hutan Rakyat di Jawa. Peranannya dalam Perekonomian
Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Masyarakat Fakultas Kehutanan IPB, hlm 1-6
Suharjito D, Saputro E. 2008. Modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan
pada masyarakat Kasepuhan, Banten Kidul. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan Vol.5 No.4:317-335
Sumaryanto. 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani
menerapkan pola tanam diversifikasi: Kasus di wilayah persawahan irigasi
teknis DAS Brantas. Di dalam: Kedi S, Yusmichad Y, Masdjidin S, Ketut
K, penyunting. Diversifikasi Usahatani dan Konsumsi: Suatu Alternatif
Peningkatan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Monograph Series 27:14-32
128
Sumodiningrat G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengaman
Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Sunanto H. 1994. Budidaya Kemiri Komoditas Ekspor. Cetakan pertama.
Yogyakarta: Kanisius
Supriadi D. 2002. Pengembangan hutan rakyat di Indoensia. Jurnal Hutan Rakyat
Vol.4 No.1:55-68
Suripin. 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta: Andi
Umar H. 2000. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
Wibowo S. 2007. Pengusahaan kemiri (Aleurites mollucana) di Desa Kuala, Tiga
Binanga, Tanah Karo. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Info Sosial
Ekonomi Vol.7 No.2:71-77
Widiarti A, Mindawati N. 2007. Dasar pemilihan jenis pohon hutan rakyat. Di
dalam: Pemanfaatan IPTEK Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Prosiding
Gelar Teknologi; Purworejo, 30-31 Oktober 2007. Purworejo: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, hlm 217-235
Wijayanto N. 2002. Analisis strategis sistem pengelolaan repong damar di Pesisir
Krui, Lampung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. VIII No.1:39-49
Wijayanto N. 2001. Dampak krisis ekonomi dan moneter terhadap usaha
kehutanan masyarakat: Repong damar di Pesisir Krui, Lampung. Di dalam:
Dudung D, editor. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Bogor:
Debut Press, hlm 27-39
Winarbowo S, Manoko IP. 2006. Kemiri (Aleurites moluccana L. Willd).
tanaman industri potensial. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Departemen Pertanian.
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Vol. 12 No. 2:13-
15
Yusran. 2005. Analisis performansi dan pengembangan hutan kemiri rakyat di
kawasan pegunungan Bulusaraung Sulawesi Selatan [disertasi]. Bogor.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Yusran. 1999. Analisis model pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten
Maros Propinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor
129
Lampiran 1 Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap pengelolaan
kemiri rakyat dan penjelasan dari setiap variabel bebas
a. Faktor internal No Variabel Definisi Operasional Parameter Pengukuran Keterangan
1 Umur
(X1)
Usia responden sampai
dengan wawancara
dilakukan
Umur responden
dinyatakan dalam
tahun
Tahun
2 Lama tinggal
di desa (X2)
Lama responden tinggal di
desa (sejak lahir atau sejak
pertama kali datang ke
desa sampai penelitian)
Tahun Tahun
3 Luas lahan
yang dimiliki
(ha)
(X3)
Total luas lahan yang
dikelola responden untuk
tujuan produksi usahatani,
meliputi sawah, kebun, dll
Total luas lahan
dinyatakan dalam
hektar
Hektar
4 Pekerjaan
sampingan
(X4)
Pekerjaan lain responden
selain adanya pekerjaan
utama
Pekerjaan lain diluar
pekerjaan utama
Dummy.
Ada (1),
tidak ada (0)
5 Status lahan
yang dimiliki
(X5)
Status lahan yang dimiliki
ditunjukkan dengan
keberadaan surat-surat
kepemilikan lahan
Sudah bersertifikat
(SB) dan Belum
bersertifikat (BB)
Dummy.
SB (1),
BB (0)
6 Jumlah anak
sekolah (X6)
Jumlah anak responden
yang sekolah secara
keseluruhan, baik yang
ada di desa maupun di luar
desa
Jumlah orang dalam
keluarga
Orang
7 Jumlah
anggota
keluarga
produktif (X7)
Jumlah anggota keluarga
yang berusia diatas 15
tahun yang kerja pada
usahatani (orang)
Jumlah orang dalam
keluarga
Orang
8 Jumlah
tanggungan
dalam keluarga
(X8)
Jumlah anggota keluarga
yang menetap dan menjadi
tanggungan dalam 1
rumah tangga (orang)
Jumlah orang dalam
keluarga
Orang
9 Jumlah
pendapatan per
bulan
(X9)
Penghasilan responden
yang diperoleh tiap bulan
dari usaha tani dan diluar
usaha tani.
Jumlah pendapatan:
rupiah/bulan
Data Kategori:
<=1,5 juta (0),
1,5 – 3 juta
(1), 3-4,5 juta
(2), >=4,5 juta
(3)
10 Asal usul tanah
(X10)
Asal usul tanah yang
dimiliki saat ini
Beli, warisan dan
garap sendiri
Data kategori:
Beli (0),
warisan (1),
garap sendiri
(2)
130
Lampiran 1 Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh …….(lanjutan)
No Variabel Definisi Operasional Parameter Pengukuran Keterangan
11 Pekerjaan
utama (X12)
Pekerjaan utama yang
dilakukan responden pada
saat penelitian
Petani dan non petani Dummy.
Petani (0);
non petani (1)
12 Pengalaman
bertani (X13)
Lama seorang responden
melakukan kegiatan usaha
tani
Tahun Tahun
13 Tingkat
pendidikan
(X16)
Tingkat pendidikan formal
terakhir yang pernah
diikuti oleh responden
Tidak sekolah, SD/SR,
SLTP, SMU/SMA
Data
kategori:Tidak
sekolah (0),
SR/SD (1),
SLTP (2),
SMU/SMA ke
atas (3)
14 Jumlah anak
sekolah di
luar daerah
(X17)
Jumlah anak responden
yang sekolah di luar
daerah dan masih
tanggungan dalam
keluarga tetapi tidak bisa
membantu keluarga dalam
melakukan usaha tani
Orang Orang
b. Faktor eksternal
No Variabel Definisi Operasional Parameter Pengukuran Keterangan
1 Aksesibilitas
menuju ladang
(X11)
Keberadaan jalan yang
memudahkan akses petani
dalam melakukan usaha
taninya dan dapat
dijangkau dengan
kendaraan
Dinyatakan dengan
kemudahan atau tingkat
kesulitan aksesibilitas
dalam menuju ladang
Dummy.
Mudah (1),
Sulit (0)
2 Jarak dari
rumah ke
ladang (X14)
Jarak yang ditempuh dari
rumah ke ladang
Meter Data
kategori:
<=1000 m
(0),1000-
2000 m (1),
>=2000 (2)
3 Status lahan
yang digunakan
saat ini (X15)
Status lahan yang
digunakan responden pada
saat penelitian
Milik atau sewa Dummy.
Milik (1),
Sewa (0)
131
Lampiran 2 Aspek analisis keberlanjutan (sustainability) pengelolaan kemiri
No Aspek Sumber Indikator Penilaian Sumber Data Analisis
1 Ekologi/
lingkungan
Dephut
et al. (1997)
Erosi tanah
pada lahan hutan rakyat
J. Erosi berat (erosi parit)
C. Erosi sedang (erosi permukaan)
B. Erosi ringan
Pengamatan 12
lokasi tanaman kemiri; Data
BPKH
Deskriptif
Produktivitas
lahan
J. Produktivitas rendah
C. Cukup baik, tetapi sudah menurun
B. Produktivitas tinggi
Data BPS 10
tahun terakhir; Wawancara
petani kemiri
Tabulasi dan
deskriptif
Karakteristik
air
J. Meluap setelah hujan
C. Kering pada musim
kemarau B. Mengalir pada semua
musim
Pengamatan 5
lokasi sungai;
Wawancara penduduk
Deskriptif
Kualitas air J. Jelek (keruh)
C. Sedang (kadang keruh,
kadang bersih) B. Baik (bersih setiap saat)
Pengamatan 5
lokasi sungai;
Data BPDAS Wampu Sei Ular
Deskriptif
Cara-cara mengambil
manfaat
(kayu dan buah)
J. Tidak merusak C. Seperlunya tanpa merusak
B. Melalui perencanaan dan
tidak merusak
Pengamatan lapang; penyuluh;
Wawancara
petani kemiri dan penduduk
Tabulasi dan deskriptif
Pengendalian hama dan
penyakit
J. Dengan bahan kimia C. Dengan cara biologis/
mekanis, & pengetahuan
setempat B. Cara biologi dan
pengetahuan setempat,
pengendalian ramah lingkungan
Pengamatan lapang;
Wawancara
petani kemiri dan penduduk;
penyuluh;
Tabulasi dan deskriptif
Davis et al.
(2001)
Adanya gangguan
(kebakaran,
hama dan penyakit,
banjir, tanah
longsor, dll)
J. Selang waktu terjadi: sering
C. Selang waktu terjadi:
jarang B. Tidak pernah terjadi
Wawancara pihak kecamatan;
penyuluh dan
masyarakat
Tabulasi dan deskriptif
Struktur
tegakan hutan
J. Sudah rusak
C. Masih ada tetapi sudah terganggu
B. Masih utuh
Pengamatan 12
lokasi tanaman kemiri dan
bentang alam
Deskriptif
LEI
(2001)
Aktivitas
penanaman
menjamin penutupan
lahan
J. Tidak ada jaminan
C. Ya tetapi masih banyak
yang terbuka B. Ya, dan tertata dengan
baik
Pengamatan 12
lokasi tanaman
kemiri dan bentang alam
Deskriptif
Adanya
upaya konservasi
tanah
J. Tidak ada menanam
kemiri pada lahan miring, lahan
kosong dan pinggir sungai
C. Tidak ada menanam, tetapi mempertahankan
tanaman pada lahan
miring, kosong dan pinggir sungai
B. Menanam dan
mempertahankan kemiri pada lahan miring,
lahan kosong dan pinggir
sungai
Pengamatan 12
lokasi tanaman kemiri dan
bentang alam;
wawancara penduduk
Deskriptif
132
Lampiran 2 Aspek analisis keberlanjutan (sustainability) ….….(lanjutan)
No Aspek Sumber Indikator Penilaian Sumber Data Analisis
2 Ekonomi Dephut
et al. (1997)
Sumber
modal untuk kegiatan
penanaman
J. Diperoleh dari modal
sendiri C. Dari keluarga dan
patungan B. Dari kredit, patungan dan
keluarga
Wawancara
petani kemiri; penyuluh dan
pihak bank
Deskriptif
Davis et
al.
(2001)
Peningkatan
pendapatan
J: Pendapatan sangat kecil : <
25% terhadap total
pendapatan C: Pendapatan sedang : 25%-
50% terhadap total
pendapatan B: Pendapatan cukup besar :
>50% terhadap total
pendapatan
Wawancara
petani kemiri
Penghitungan
pendapatan
dari kemiri terhadap
pendapatan
total
Kelayakan
usaha
J. Tidak layak diusahakan
(Tidak memenuhi semua kriteria)
C. Kurang layak diusahakan
(memenuhi salah satu kriteria kelayakan usaha)
B. Cukup layak diusahakan
(Bila memenuhi semua kriteria kelayakan
usaha)
Survey
lapangan; wawancara
penduduk dan
petani kemiri; penyuluh
Analisis
kelayakan finansial
dengan
menghitung NPV, BCR
dan IRR
Penyerapan
tenaga kerja
J: Tidak ada : bila kegiatan
pengelolaan kemiri rakyat
tidak menyerap tenaga kerja dari dalam keluarga
petani dan dari luar
anggota keluarga petani C: Ada, tetapi kecil : bila
kegiatan pengelolaan
kemiri rakyat menyerap tenaga kerja hanya dari
lingkungan anggota
keluarga petani saja B: Ada, cukup menyerap
tenaga kerja kerja: bila
kegiatan pengelolaan kemiri rakyat menyerap
tenaga kerja dari dalam
anggota keluarga petani dan di luar anggota
keluarga petani
Wawancara
petani kemiri
Analisis
tabulasi
penyerapan tenaga kerja
Kesejahteraa
n masyarakat
J: Tingkat kesejahteraan
penduduk makin menurun
dan tidak ada peran dari kemiri
C: Tingkat kesejahteraan
penduduk tidak berubah dan ada peran tanaman
kemiri tetapi kecil B: Tingkat kesejahteraan
penduduk cenderung
meningkat dan ada peran tanaman kemiri dan
besar
Data BPS Tabulasi dan
deskriptif
133
Lampiran 2 Aspek analisis keberlanjutan (sustainability) …….(lanjutan)
No Aspek Sumber Indikator Penilaian Sumber Data Analisis
LEI
(2001)
Kepastian
potensi produksi yang
akan dipanen
J: Tidak ada produksi kemiri
yang dapat dipanen setiap tahunnya
C: Adanya produksi kemiri
yang dapat dipanen setiap tahunnya dan
cenderung menurun
B: Adanya produksi kemiri yang dapat dipanen
setiap tahunnya dan
cenderung meningkat
Survey lapangan
dan wawancara petani kemiri
Analisis
fungsi produksi
cobb douglas
Keuntungan
usaha
J. Tidak ada untung
C. Ada untung dan tidak menentu
B. Selalu untung
Wawancara
petani kemiri dan penyuluh
Analisis
manfaat biaya
Akses pasar J. Sangat sulit
C. Mudah tetapi tidak
memberi untung B. Sangat mudah dan
Menguntungkan
Wawancara
petani kemiri dan
penyuluh
Analisis
pemasaran
buah dan kayu
(deskriptif)
3 Aspek
sosial
Dephut
et al. (1997)
Partisipasi
masyarakat dalam
pengelolaan
sumberdaya alam
J. Partisipasi tidak ada
C. Partisipasi kurang B. Partisipasi aktif
Wawancara
petani kemiri dan petani non kemiri
dan pengamatan
lapang; penyuluh
Tabulasi dan
deskriptif
Peraturan di masyarakat
dalam
pemanfaatan sumberdaya
alam
J. Tidak ada peraturan C. Ada peraturan tetapi tidak
berjalan dengan baik
B. Ada peraturan yang tegas
Wawancara penduduk, tokoh
masyarakat dan
pengamatan lapang
Deskriptif
Akses terhadap
pelayan
pendukung (kredit,
penyuluhan dan
masukan teknologi)
J. Tidak ada
C. Pelayanan pendukung ada
tetapi kurang berperan B. Pelayanan pendukung ada
dan sangat berperan
Wawancara
penduduk,
penyuluh dan dinas terkait
Deskriptif
Davis et al.
(2001)
Pengangguran J: Meningkat : bila tren pengangguran setiap tahun
adalah meningkat
C: Tidak berubah : bila pengangguran tidak
mengalami perubahan
untuk selang waktu tertentu
B: Menurun : bila
pengangguran cenderung menurun setiap tahunnya
Data BPS dan wawancara
penduduk
Tabulasi dan deskriptif
Kemiskinan J: Jumlah keluarga miskin > 50% dari total responden
C: Jumlah keluarga miskin
antara 10%-50% dari total responden
B: Jumlah keluarga miskin <
10% dari total responden
Wawancara petani kemiri
Tabulasi sesuai
kriteria BPS
dan deskriptif
134
Lampiran 2 Aspek analisis keberlanjutan (sustainability) …….(lanjutan)
No Aspek Sumber Indikator Penilaian Sumber Data Analisis
Migrasi
penduduk
J. Tidak ada pengaruh
C. Ada pengaruh, tetapi sedikit B. Ada pengaruh, dan tinggi
Data BPS dan
wawancara penduduk
Tabulasi dan
deskriptif
Kapasitas masyarakat
untuk
mengakomodasi perubahan
J. Akomodasi perubahan tidak ada
C. Akomodasi perubahan ada
tetapi sangat lambat B. Akomodasi perubahan ada
dan cepat
Wawancara penduduk
Deskriptif
LEI
(2001)
Status lahan J. Status tidak jelas dan tidak
diakui oleh masyarakat
C. Status tidak jelas tetapi diakui oleh masyarakat
B. Status jelas dan diakui oleh
masyarakat
Wawancara
penduduk; pihak
kecamatan; tokoh masyarakat
Deskriptif
Kejelasan batas
lahan
J. Batas lahan tidak jelas
C. Batas lahan kurang jelas B. Batas lahan cukup jelas
Wawancara
penduduk; pihak kecamatan; tokoh
masyarakat
Deskriptif
Terbanggunnya
hubungan sosial antara
masyarakat
J. Tidak ada
C. Ada terbentuk tetapi tidak aktif
B. Ada dan aktif
Wawancara
penduduk
Deskriptif
Keterangan: J (Jelek), C (Cukup) dan B (Baik)
135
Lampiran 3 Kriteria setiap indikator keberlanjutan
No Aspek Sumber Indikator Kriteria
1 Ekologi/
lingkungan
Dephut et
al. (1997)
Erosi tanah
pada lahan
hutan rakyat
Erosi merupakan hal yang alami yang tidak
dapat dihindarkan dan erosi alami tidak akan
menimbulkan kerusakan. Yang dimaksud
dengan erosi di sini adalah erosi pada
permukaan tanah yang tidak menimbulkan
kerusakan permukaan tanah.
Produktivitas
lahan
Produktivitas lahan setiap tahun cenderung
tidak jauh berubah (cenderung menetap) dan
atau bahkan meningkat
Karakteristik
air
Karakteristik air pada lokasi hutan rakyat
setiap musim terus mengalir (pada musim
kemarau/kering dan musim penghujan).
Kualitas air Kualitas air menunjukkan air yang bersih dan
tidak berwarna pada semua musim (musim
penghujan dan musim kering).
Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan
disekitarnya masih bagus dan belum
mengalami kerusakan.
Cara-cara
mengambil
manfaat (kayu
dan buah)
Pengambilan manfaat (hasil berupa buah dan
pohon (kayu)) tidak menimbulkan kerusakan
dengan sumberdaya alam yang ada di
sekitarnya dan dilakukan dengan perencanaan
(khusus untuk pemanenan kayu).
Pengendalian
hama dan
penyakit
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan
dengan cara biologis, teratur, dengan
pengetahuan setempat yang ramah lingkungan
(tidak menimbulkan pencemaran lingkungan)
Davis et al.
(2001)
Adanya
gangguan
(kebakaran,
hama dan
penyakit,
banjir,tanah
longsor, dll)
Perkembangan pengelolaan hutan rakyat tidak
pernah mengalami gangguan (seperti
kebakaran, tanah longsor, serangan hama dan
penyakit, banjir, dll)
Struktur
tegakan hutan
Struktur tegakan hutan rakyat di lapangan
masih menunjukkan kondisi yang utuh, tidak
terganggu (tidak mengalami kerusakan)
LEI
(2001)
Aktivitas
penanaman
kemiri
menjamin
penutupan
lahan
Adanya jaminan penutupan lahan oleh tajuk
tanaman yang dapat menjaga tanah tidak
mengalami kerusakan dan tanaman ini menjaga
kesuburan tanah dan mencegah erosi tanah.
Penutupan lahan dengan tanaman kemiri rakyat
cenderung semakin meningkat setiap tahunnya
yang akan menjamin meningkatnya penutupan
lahan
Adanya upaya
konservasi
tanah
Adanya kegiatan penanaman di lahan-lahan
terbuka, lahan miring, pinggir sungai dan lain-
lain yang dilakukan oleh masyarakat
khususnya dengan tanaman kemiri dan
tanaman lainnya (untuk jenis tanaman kayu-
kayuan)
136
Lampiran 3 Kriteria setiap indikator keberlanjutan ….(lanjutan)
No Aspek Sumber Indikator Kriteria
2 Aspek
ekonomi
Dephut et
al. (1997)
Sumber modal
untuk kegiatan
penanaman
Sumber modal usaha untuk kegiatan hutan
rakyat bersumber dari modal sendiri,
patungan (keluarga atau kelompok) atau
kredit yang mendorong masyarakat mau
mengembangkan tanaman kemiri di lahan
miliknya sebagai salah satu sumber
pendukung pendapatan masyarakat
Davis et al.
(2001)
Peningkatan
pendapatan
Pendapatan dari tanaman kemiri dapat
berperan dalam meningkatkan pendapatan
keluarga dan berperan dalam memenuhi
kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Kelayakan usaha Analisis usaha tanaman kemiri layak untuk
dikembangkan
Penyerapan tenaga
kerja
Kegiatan pengelolaan kemiri rakyat sangat
menyerap tenaga kerja baik dari
lingkungan anggota keluarga petani,
keluarga dekat dan di luar anggota
keluarga (masyarakat lainnya).
Kesejahteraan
masyarakat
Tingkat kesejahteraan penduduk akan
semakin meningkat seiring dengan peran
tanaman kemiri yang berperan dalam
meningkatkan taraf hidup masyarakat
Kepastian potensi
produksi yang akan
dipanen
Adanya produksi kemiri yang dapat
dipanen setiap tahun dan cenderung
meningkat. Potensi produksi dapat dilihat
dari faktor tenaga kerja, luas lahan, umur
tanaman dan jumlah pohon yang tumbuh
LEI
(2001)
Keuntungan usaha
Aktivitas pengelolaan kemiri yang
dilakukan oleh masyarakat selalu
membawa keuntungan bagi pelakunya
Akses pasar Adanya akses pasar penjualan buah kemiri,
dan akses ini memudahkan petani menjual
hasil usahanya. Dalam melakukan
transaksi jual beli, petani memperoleh
keuntungan.
3 Sosial Dephut et
al. (1997)
Partisipasi
masyarakat dalam
pengelolaan
sumberdaya alam
(kemiri)
Peran serta masyarakat cukup besar dengan
adanya kemauan masyarakat menanam
kemiri pada lahan miliknya dan masih
mempertahankannya sampai saat ini, serta
ada peran aktif masyarakat dalam
pengembangan dan pengelolaannya
Peraturan di
masyarakat dalam
pemanfaatan
sumberdaya alam
Adanya peraturan-peraturan dalam
lingkungan masyarakat (tertulis atau tidak
tertulis) yang mengatur pemanfaatan atau
pengelolaan sumberdaya alam, dan
peraturan tersebut juga berlaku dalam
kelompok masyarakat untuk pengelolaan
tanaman kemiri
137
Lampiran 3 Kriteria setiap indikator keberlanjutan ….(lanjutan)
No Aspek Sumber Indikator Kriteria
Akses terhadap
pelayan pendukung
(kredit, penyuluhan
dan masukan
teknologi)
Pengelolaan tanaman kemiri rakyat didukung
oleh adanya akses terhadap pelayanan
pendukung berupa penyuluhan, kredit dan
teknologi
Davis et al.
(2001)
Pengangguran Peran pengelolaan suatu sumberdaya alam
akan berperan dalam menyerap tenaga kerja
dan mengurangi tingkat pengangguran.
Kemiskinan Pengelolaan tanaman kemiri rakyat akan
berperan dalam meningkatkan taraf hidup
petaninya dan terlepas dari kriteria garis
kemiskinan.
Migrasi penduduk Adanya migrasi penduduk yang cukup besar
sehubungan dengan perkembangan hutan
rakyat sebagai dampak dari penyerapan
tenaga kerja dari bidang perkembangan
usaha hutan rakyat
Kapasitas
masyarakat untuk
mengakomodasi
perubahan
Masyarakat umumnya mengakomodasi
perubahan yang mendukung dalan upaya
perbaikan kehidupan
LEI
(2001)
Status lahan Adanya kejelasan status lahan, akan
menjamin masyarakat mengembangkan
usaha pada lahan miliknya termasuk usaha
hutan rakyat
Kejelasan batas
lahan
Adanya kejelasan batas lahan, akan
mencegah terjadinya konflik antara
kelompok-kelompok masyarakat (khususnya
yang menyangkut tanah marga/tanah
komunal/kelompok)
Terbanggunnya
hubungan sosial
antara masyarakat
Terbentuknya hubungan sosial dalam
lingkungan kelompok masyarakat yang aktif
dan berdampak positif dalam memenuhi
kebutuhan sosial masyarakat
138
Lampiran 4. Karakteristik responden petani kemiri
No responden
Luas lahan
(Ha)
Umur responden
(tahun)
Jumlah tanggungan
(orang)
Tingkat
Pendidikan
Pekerjaan
Utama
1 1 44 5 SMU PNS
2 2 53 5 D2 PNS
3 1 58 1 SD Petani
4 1 65 1 SD Petani
5 1 28 3 SMU Berdagang
6 2 64 3 SD Petani
7 1 45 5 SLTP Petani
8 1,5 56 3 SD Petani
9 1,5 76 2 SMU Pensiunan PNS
10 1 39 4 SMU Petani
11 2 55 5 SD Petani
12 2 50 5 SMU Petani
13 2 62 2 SLTP Petani
14 2 55 3 SD Petani
15 2 44 5 SMU Petani
16 2 50 3 SMU PNS
17 2,5 47 6 SD Petani
18 2 44 6 SLTP Petani
19 3 43 6 SMU Petani
20 3 52 5 SMU Berdagang (jualan)
21 5 60 4 SMU Petani
22 5 53 2 SD Berdagang (jualan)
23 5 53 3 SD Petani
24 5 50 5 SMU Tukang
25 5 56 6 SMU PNS
26 6 66 3 SLTP Petani
27 6 52 5 SMU PNS
28 6 70 1 SR/SD Petani
29 5 43 5 SMU Petani
30 0,5 40 6 SD Petani
31 0,75 72 1 SR Petani
32 1 52 3 SD Petani
33 2 50 4 SLTP Petani
34 1,5 54 6 SLTP Petani
35 1 47 5 SLTP PNS
36 1,5 45 4 SD Petani
37 0,45 75 1 SR Petani
38 2 61 2 SD Petani
39 2 52 4 SD Petani
40 1 50 5 SLTP Petani
41 2 47 6 SLTP Petani
42 2 40 7 SLTP Petani
43 3 55 3 SD Petani
44 4,5 39 5 SD Petani
45 5 75 1 SR Petani
46 5 60 3 SLTP Petani
47 1 47 4 SMU Petani
48 1 48 6 SLTP Petani
49 1,5 55 2 SD Petani
50 2 53 3 SD Petani
51 1,5 58 4 Tidak Sekolah Petani
52 2 43 5 Tidak Sekolah Petani
53 1,75 53 5 Tidak Sekolah Petani
54 2 37 5 SMU Petani
55 1 62 2 SD Petani
56 3 40 6 SLTP Petani
57 3 63 4 Tidak Sekolah Petani
58 3,5 43 5 SMU Petani
59 5 59 1 SD Petani
60 5 80 1 Tidak Sekolah Petani
61 5 56 4 SD Petani
62 6 56 3 SLTP Petani
63 5 33 5 SLTP Petani
Total 167,95 3333 243
Rata-rata 2,67 52,90 3,86
Minimum 0,45 28 1
Maksimum 6 80 7
139
Lampiran 5 Analisis pendapatan dari tanaman kemiri, persentase pendapatan dari kemiri terhadap pendapatan total petani dan pengeluaran per kapita per bulan
No.
Responden
Luas
Lahan
(ha)
Produksi
(kg)
Rata2 harga
jual thn 2010
(Rp/kg)
Penerimaan
(Rp)
Pengeluaran (Rp)
Pengeluaran
Per ha (Rp)
Pendapatan bersih
(Rp)
Pendapatan per
ha (Rp)
Pendapatan lain-lain
(Gaji, upah, dll)
Rp/thn
Total pendapatan
(Rp/thn)
% kemiri
thdp pdtn
total
Pengeluaran
(Rp/bln)
Jumlah
tanggungan
keluarga (jiwa)
Pengeluaran per
kapita (Rp/bln) Upah HOK Sewa+obat2an Total (Rp)
a b c d e=c*d f g h=f+g i j=e-h k=j/b l m=j+l n o p q
1 1 500 20.000 10.000.000 1.800.000 0 1.800.000 1.800.000 8.200.000 8.200.000 46.800.000 55.000.000 14,91 2.500.000 5 500.000
2 6 3.000 20.000 60.000.000 11.850.000 3.360.000 15.210.000 2.535.000 44.790.000 7.465.000 69.000.000 113.790.000 39,36 2.700.000 1 2.700.000
3 1 300 20.000 6.000.000 1.400.000 210.000 1.610.000 1.610.000 4.390.000 4.390.000 14.400.000 18.790.000 23,36 1.000.000 3 333.333
4 3 900 20.000 18.000.000 3.850.000 2.340.000 6.190.000 2.063.333 11.810.000 3.936.667 54.000.000 65.810.000 17,95 2.908.000 6 484.667
5 5 5.000 20.000 100.000.000 18.700.000 1.920.000 20.620.000 4.124.000 79.380.000 15.876.000 55.200.000 134.580.000 58,98 2.200.000 5 440.000
6 1,5 500 20.000 10.000.000 2.100.000 420.000 2.520.000 1.680.000 7.480.000 4.986.667 38.760.000 46.240.000 16,18 1.000.000 2 500.000
7 1 2.000 20.000 40.000.000 8.500.000 600.000 9.100.000 9.100.000 30.900.000 30.900.000 36.000.000 66.900.000 46,19 1.500.000 5 300.000
8 1 800 20.000 16.000.000 5.200.000 300.000 5.500.000 5.500.000 10.500.000 10.500.000 48.000.000 58.500.000 17,95 3.800.000 2 1.900.000
9 1 500 20.000 10.000.000 1.800.000 0 1.800.000 1.800.000 8.200.000 8.200.000 6.000.000 14.200.000 57,75 500.000 1 500.000 10 2 1.800 20.000 36.000.000 6.850.000 600.000 7.450.000 3.725.000 28.550.000 14.275.000 18.000.000 46.550.000 61,33 1.200.000 5 240.000
11 2 1.000 20.000 20.000.000 3.550.000 0 3.550.000 1.775.000 16.450.000 8.225.000 105.000.000 121.450.000 13,54 4.300.000 6 716.667
12 1,5 3.000 20.000 60.000.000 10.600.000 2.000.000 12.600.000 8.400.000 47.400.000 31.600.000 36.000.000 83.400.000 56,83 2.850.000 3 950.000
13 5 8.000 20.000 160.000.000 29.150.000 1.200.000 30.350.000 6.070.000 129.650.000 25.930.000 66.000.000 195.650.000 66,27 3.000.000 6 500.000
14 2,5 2.400 20.000 48.000.000 9.000.000 2.180.000 11.180.000 4.472.000 36.820.000 14.728.000 96.000.000 132.820.000 27,72 3.600.000 6 600.000
15 2 1.500 20.000 30.000.000 8.150.000 0 8.150.000 4.075.000 21.850.000 10.925.000 24.000.000 45.850.000 47,66 1.650.000 5 330.000
16 2 1.000 20.000 20.000.000 6.350.000 0 6.350.000 3.175.000 13.650.000 6.825.000 60.000.000 73.650.000 18,53 3.300.000 5 660.000
17 2 800 20.000 16.000.000 5.700.000 0 5.700.000 2.850.000 10.300.000 5.150.000 60.300.000 70.600.000 14,59 2.560.000 3 853.333
18 6 3.000 20.000 60.000.000 11.800.000 1.440.000 13.240.000 2.206.667 46.760.000 7.793.333 60.000.000 106.760.000 43,80 1.750.000 3 583.333
19 2 1.000 20.000 20.000.000 4.050.000 720.000 4.770.000 2.385.000 15.230.000 7.615.000 35.400.000 50.630.000 30,08 1.900.000 5 380.000
20 5 1.400 20.000 28.000.000 12.000.000 0 12.000.000 2.400.000 16.000.000 3.200.000 24.000.000 40.000.000 40,00 1.500.000 3 500.000
21 2 1.000 20.000 20.000.000 3.550.000 0 3.550.000 1.775.000 16.450.000 8.225.000 19.200.000 35.650.000 46,14 1.300.000 2 650.000 22 2 500 20.000 10.000.000 2.000.000 2.360.000 4.360.000 2.180.000 5.640.000 2.820.000 10.200.000 15.840.000 35,61 700.000 3 233.333
23 2 1.400 20.000 28.000.000 5.200.000 420.000 5.620.000 2.810.000 22.380.000 11.190.000 22.500.000 44.880.000 49,87 1.000.000 3 333.333
24 3 1.000 20.000 20.000.000 3.550.000 0 3.550.000 1.183.333 16.450.000 5.483.333 60.000.000 76.450.000 21,52 3.780.000 5 756.000
25 5 2.000 20.000 40.000.000 8.300.000 3.000.000 11.300.000 2.260.000 28.700.000 5.740.000 42.000.000 70.700.000 40,59 2.000.000 2 1.000.000
26 5 4.500 20.000 90.000.000 16.450.000 600.000 17.050.000 3.410.000 72.950.000 14.590.000 54.000.000 126.950.000 57,46 2.200.000 4 550.000
27 6 4.000 20.000 80.000.000 14.150.000 0 14.150.000 2.358.333 65.850.000 10.975.000 99.600.000 165.450.000 39,80 5.500.000 5 1.100.000
28 1 1.000 20.000 20.000.000 3.750.000 240.000 3.990.000 3.990.000 16.010.000 16.010.000 24.000.000 40.010.000 40,01 1.000.000 1 1.000.000
29 5 2.400 20.000 48.000.000 9.500.000 1.500.000 11.000.000 2.200.000 37.000.000 7.400.000 48.000.000 85.000.000 43,53 3.000.000 5 600.000
30 1 500 20.000 10.000.000 3.200.000 0 3.200.000 3.200.000 6.800.000 6.800.000 18.000.000 24.800.000 27,42 1.200.000 4 300.000
31 1 600 20.000 12.000.000 2.350.000 300.000 2.650.000 2.650.000 9.350.000 9.350.000 42.000.000 51.350.000 18,21 3.000.000 5 600.000
32 1,5 1.500 20.000 30.000.000 7.450.000 0 7.450.000 4.966.667 22.550.000 15.033.333 26.400.000 48.950.000 46,07 2.000.000 4 500.000 33 3 800 20.000 16.000.000 2.900.000 0 2.900.000 966.667 13.100.000 4.366.667 24.000.000 37.100.000 35,31 1.500.000 3 500.000
34 2 600 20.000 12.000.000 5.050.000 0 5.050.000 2.525.000 6.950.000 3.475.000 27.000.000 33.950.000 20,47 2.000.000 4 500.000
35 5 2.000 20.000 40.000.000 7.100.000 0 7.100.000 1.420.000 32.900.000 6.580.000 45.000.000 77.900.000 42,23 2.000.000 3 666.667
36 2 1.000 20.000 20.000.000 4.050.000 720.000 4.770.000 2.385.000 15.230.000 7.615.000 42.300.000 57.530.000 26,47 3.250.000 5 650.000
37 2 1.000 20.000 20.000.000 5.950.000 0 5.950.000 2.975.000 14.050.000 7.025.000 24.000.000 38.050.000 36,93 2.000.000 5 400.000
38 0,75 200 20.000 4.000.000 1.750.000 0 1.750.000 2.333.333 2.250.000 3.000.000 6.000.000 8.250.000 27,27 500.000 1 500.000
39 4,5 2.000 20.000 40.000.000 13.400.000 0 13.400.000 2.977.778 26.600.000 5.911.111 48.000.000 74.600.000 35,66 3.500.000 5 700.000
40 1,5 900 20.000 18.000.000 5.350.000 0 5.350.000 3.566.667 12.650.000 8.433.333 38.400.000 51.050.000 24,78 3.000.000 6 500.000
41 0,45 54 20.000 1.080.000 750.000 0 750.000 1.666.667 330.000 733.333 6.000.000 6.330.000 5,21 500.000 1 500.000
42 5 500 20.000 10.000.000 1.800.000 0 1.800.000 360.000 8.200.000 1.640.000 6.000.000 14.200.000 57,75 400.000 1 400.000
43 1 460 20.000 9.200.000 3.100.000 0 3.100.000 3.100.000 6.100.000 6.100.000 18.000.000 24.100.000 25,31 1.200.000 3 400.000
44 2 500 20.000 10.000.000 1.800.000 0 1.800.000 900.000 8.200.000 4.100.000 18.000.000 26.200.000 31,30 1.500.000 6 250.000 45 2 700 20.000 14.000.000 2.550.000 0 2.550.000 1.275.000 11.450.000 5.725.000 8.400.000 19.850.000 57,68 600.000 2 300.000
46 0,5 350 20.000 7.000.000 1.300.000 0 1.300.000 2.600.000 5.700.000 11.400.000 18.000.000 23.700.000 24,05 1.500.000 6 250.000
47 2 1.000 20.000 20.000.000 6.350.000 0 6.350.000 3.175.000 13.650.000 6.825.000 36.000.000 49.650.000 27,49 2.500.000 5 500.000
48 2 2.000 20.000 40.000.000 9.900.000 0 9.900.000 4.950.000 30.100.000 15.050.000 30.000.000 60.100.000 50,08 2.000.000 5 400.000
49 6 3.000 20.000 60.000.000 19.000.000 0 19.000.000 3.166.667 41.000.000 6.833.333 60.000.000 101.000.000 40,59 3.000.000 3 1.000.000
50 1,5 1.800 20.000 36.000.000 8.450.000 0 8.450.000 5.633.333 27.550.000 18.366.667 24.000.000 51.550.000 53,44 2.000.000 2 1.000.000
51 2 876 20.000 17.520.000 5.950.000 0 5.950.000 2.975.000 11.570.000 5.785.000 24.000.000 35.570.000 32,53 1.500.000 3 500.000
52 3 700 20.000 14.000.000 6.750.000 0 6.750.000 2.250.000 7.250.000 2.416.667 30.000.000 37.250.000 19,46 2.500.000 4 625.000
53 1,75 600 20.000 12.000.000 4.600.000 0 4.600.000 2.628.571 7.400.000 4.228.571 42.000.000 49.400.000 14,98 3.000.000 5 600.000
54 1 1.200 20.000 24.000.000 5.600.000 0 5.600.000 5.600.000 18.400.000 18.400.000 30.000.000 48.400.000 38,02 2.000.000 4 500.000
55 1 1.000 20.000 20.000.000 4.950.000 0 4.950.000 4.950.000 15.050.000 15.050.000 29.040.000 44.090.000 34,13 2.000.000 6 333.333 56 5 4.000 20.000 80.000.000 20.650.000 40.000.000 60.650.000 12.130.000 19.350.000 3.870.000 42.000.000 61.350.000 31,54 3.000.000 5 600.000
57 5 5.000 20.000 100.000.000 24.700.000 0 24.700.000 4.940.000 75.300.000 15.060.000 60.000.000 135.300.000 55,65 4.000.000 4 1.000.000
58 1,5 1.500 20.000 30.000.000 5.350.000 0 5.350.000 3.566.667 24.650.000 16.433.333 24.000.000 48.650.000 50,67 1.500.000 4 375.000
59 5 530 20.000 10.600.000 1.950.000 0 1.950.000 390.000 8.650.000 1.730.000 12.000.000 20.650.000 41,89 500.000 1 500.000
60 5 2.500 20.000 50.000.000 15.900.000 0 15.900.000 3.180.000 34.100.000 6.820.000 18.000.000 52.100.000 65,45 1.000.000 1 1.000.000
61 3,5 1.000 20.000 20.000.000 8.450.000 0 8.450.000 2.414.286 11.550.000 3.300.000 42.000.000 53.550.000 21,57 3.200.000 5 640.000
62 3 1.000 20.000 20.000.000 7.750.000 0 7.750.000 2.583.333 12.250.000 4.083.333 36.000.000 48.250.000 25,39 2.500.000 6 416.667
63 1 400 20.000 8.000.000 2.850.000 0 2.850.000 2.850.000 5.150.000 5.150.000 18.000.000 23.150.000 22,25 1.500.000 2 750.000
Total 167,95 97.970 1.260.000 1.959.400.000 457.850.000 66.430.000,00 524.280.000 201.163.302 1.435.120.000 569.843.683 2.304.900.000 3.740.020.000 2.255 133.548.000 239,00 38.850.666,67
Rata-rata 2,67 1.555 20.000 31.101.587 7.267.460 1.054.444 8.321.905 3.193.068 22.779.683 9.045.138 36.585.714 59.365.397 35,79 2.119.810 3,79 616.677,25
Minimum 0,45 54 20.000 1.080.000 750.000 0 750.000 360.000 330.000 733.333 6.000.000 6.330.000 5,21 400.000,00 1,00 233.333,33
Maksimum 6 8.000 20.000 160.000.000 29.150.000 40.000.000 60.650.000 12.130.000 129.650.000 31.600.000 105.000.000 195.650.000 66,27 5.500.000,00 6,00 2.700.000,00
140 Lampiran 6 Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri
a. Lahan milik
Tahun Biaya Manfaat Manfaat
bersih
DF ( 24% ) DF ( 80% )
DF (24%) PV Biaya PV Manfaat PV Manfaat
bersih DF (805 %) PV Biaya PV Manfaat
PV Manfaat
bersih
a b c d=c-b e f=b*e g=c*e h=g-f i j=b*i k=c*i l=k-j
1 11268000 0 -11268000 0,806451613 9087096,774 0 -9087096,774 0,555555556 6260000 0 -6260000
2 3208000 0 -3208000 0,650364204 2086368,366 0 -2086368,366 0,308641975 990123,4568 0 -990123,4568 3 3208000 0 -3208000 0,524487261 1682555,134 0 -1682555,134 0,171467764 550068,5871 0 -550068,5871
4 160000 0 -160000 0,422973598 67675,77565 0 -67675,77565 0,095259869 15241,57903 0 -15241,57903
5 3910000 33750000 29840000 0,34110774 1333731,264 11512386,23 10178654,97 0,052922149 206925,6042 1786122,542 1579196,938 6 3810000 84375000 80565000 0,275086887 1048081,04 23210456,11 22162375,07 0,029401194 112018,5496 2480725,753 2368707,204
7 3810000 84375000 80565000 0,221844264 845226,6454 18718109,77 17872883,12 0,016333997 62232,52754 1378180,974 1315948,446
8 3810000 84375000 80565000 0,178906664 681634,3915 15095249,81 14413615,42 0,009074443 34573,62641 765656,0967 731082,4703 9 3810000 84375000 80565000 0,144279568 549705,1544 12173588,56 11623883,4 0,005041357 19207,57023 425364,4981 406156,9279
10 3810000 84375000 80565000 0,11635449 443310,6084 9817410,127 9374099,518 0,002800754 10670,87235 236313,6101 225642,7377
11 3810000 118125000 114315000 0,093834266 357508,5551 11084172,72 10726664,17 0,001555974 5928,262416 183799,4745 177871,2121 12 3810000 118125000 114315000 0,075672796 288313,3509 8938848,971 8650535,62 0,00086443 3293,47912 102110,8192 98817,34005
13 3810000 118125000 114315000 0,061026448 232510,7669 7208749,17 6976238,403 0,000480239 1829,710622 56728,23287 54898,52225
14 3810000 118125000 114315000 0,049214877 187508,683 5813507,395 5625998,712 0,000266799 1016,505901 31515,68493 30499,17903 15 3810000 118125000 114315000 0,039689417 151216,6798 4688312,415 4537095,736 0,000148222 564,7255007 17508,71385 16943,98835
16 3810000 118125000 114315000 0,032007595 121948,9353 3780897,109 3658948,174 8,23455E-05 313,7363893 9727,06325 9413,326861
17 3810000 118125000 114315000 0,025812576 98345,91559 3049110,572 2950764,656 4,57475E-05 174,297994 5403,924028 5229,626034 18 3810000 118125000 114315000 0,020816594 79311,22225 2458960,139 2379648,916 2,54153E-05 96,83221891 3002,180015 2905,347796
19 3810000 118125000 114315000 0,016787576 63960,6631 1983032,37 1919071,707 1,41196E-05 53,79567717 1667,877786 1614,082109
20 3810000 118125000 114315000 0,013538367 51581,17992 1599219,653 1547638,473 7,84422E-06 29,88648732 926,5987702 896,7122829 21 3810000 160000000 156190000 0,010918038 41597,72574 1746886,12 1705288,395 4,3579E-06 16,60360407 697,2642127 680,6606086
22 3810000 160000000 156190000 0,00880487 33546,55302 1408779,129 1375232,576 2,42106E-06 9,224224481 387,3690071 378,1447826
23 3810000 160000000 156190000 0,007100701 27053,67179 1136112,201 1109058,529 1,34503E-06 5,124569156 215,2050039 210,0804348 24 3810000 160000000 156190000 0,005726372 21817,47725 916219,5171 894402,0398 7,4724E-07 2,846982864 119,5583355 116,7113526
25 3810000 160000000 156190000 0,004618042 17594,73972 738886,7073 721291,9676 4,15133E-07 1,581657147 66,42129751 64,83964036
26 3810000 150000000 146190000 0,003724227 14189,30622 558634,1033 544444,7971 2,3063E-07 0,878698415 34,59442579 33,71572737 27 3810000 150000000 146190000 0,003003409 11442,98889 450511,3736 439068,3847 1,28128E-07 0,488165786 19,21912544 18,73095965
28 3810000 150000000 146190000 0,002422104 9228,216847 363315,6239 354087,4071 7,11819E-08 0,271203214 10,67729191 10,40608869
29 3810000 150000000 146190000 0,00195331 7442,110361 292996,4709 285554,3605 3,95455E-08 0,150668452 5,931828838 5,781160386 30 3810000 150000000 146190000 0,00157525 6001,701904 236287,4765 230285,7746 2,19697E-08 0,083704696 3,295460466 3,21175577
31 3810000 142500000 138690000 0,001270363 4840,08218 181026,6957 176186,6135 1,22054E-08 0,046502609 1,739270801 1,692768193
141 Lampiran 6 Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri ….(Lanjutan)
a. Pada lahan milik
Tahun Biaya Manfaat Manfaat bersih
DF ( 24% ) DF ( 80% )
DF (24%) PV Biaya PV Manfaat
PV Manfaat
bersih DF (805 %) PV Biaya PV Manfaat
PV Manfaat
bersih
a b c d=c-b e f=b*e g=c*e h=g-f i j=b*i k=c*i l=k-j
32 3810000 142500000 138690000 0,001024486 3903,292081 145989,2707 142085,9787 6,78078E-09 0,025834783 0,966261556 0,940426774 33 3810000 142500000 138690000 0,000826198 3147,816194 117733,2829 114585,4667 3,7671E-09 0,014352657 0,536811976 0,522459319
34 3810000 142500000 138690000 0,000666289 2538,561447 94946,19585 92407,63441 2,09283E-09 0,007973698 0,298228875 0,290255177
35 3810000 142500000 138690000 0,00053733 2047,226973 76569,51278 74522,28581 1,16269E-09 0,004429832 0,165682709 0,161252876 36 3810000 94500000 90690000 0,000433331 1650,989495 40949,73943 39298,74994 6,45936E-10 0,002461018 0,061040998 0,05857998
37 3810000 94500000 90690000 0,00034946 1331,443141 33023,98342 31692,54027 3,58854E-10 0,001367232 0,033911665 0,032544433
38 3810000 94500000 90690000 0,000281823 1073,744468 26632,24469 25558,50022 1,99363E-10 0,000759573 0,018839814 0,018080241 39 3810000 94500000 90690000 0,000227276 865,9229584 21477,61669 20611,69373 1,10757E-10 0,000421985 0,010466563 0,010044578
40 3810000 94500000 90690000 0,000183287 698,3249665 17320,65862 16622,33365 6,15318E-11 0,000234436 0,005814757 0,005580321
41 3810000 89250000 85440000 0,000147812 563,1652955 13192,25791 12629,09261 3,41843E-11 0,000130242 0,003050953 0,002920711 42 3810000 89250000 85440000 0,000119204 454,1655609 10638,91767 10184,75211 1,89913E-11 7,23569E-05 0,001694974 0,001622617
43 3810000 89250000 85440000 9,61319E-05 366,2625491 8579,772312 8213,509763 1,05507E-11 4,01983E-05 0,000941652 0,000901454
44 3810000 89250000 85440000 7,75257E-05 295,3730235 6919,17122 6623,798196 5,86151E-12 2,23324E-05 0,00052314 0,000500808 45 3810000 89250000 85440000 6,25207E-05 238,2040512 5579,97679 5341,772739 3,2564E-12 1,24069E-05 0,000290633 0,000278227
46 3810000 84000000 80190000 5,042E-05 192,1000413 4235,276501 4043,17646 1,80911E-12 6,89271E-06 0,000151965 0,000145072
47 3810000 84000000 80190000 4,06613E-05 154,9193881 3415,545565 3260,626177 1,00506E-12 3,82928E-06 8,44251E-05 8,05958E-05 48 3810000 84000000 80190000 3,27913E-05 124,9349904 2754,47223 2629,53724 5,58367E-13 2,12738E-06 4,69028E-05 4,47755E-05
49 3810000 84000000 80190000 2,64446E-05 100,7540245 2221,348573 2120,594548 3,10204E-13 1,18188E-06 2,60571E-05 2,48753E-05
50 3810000 84000000 80190000 2,13263E-05 81,2532456 1791,410139 1710,156894 1,72335E-13 6,56598E-07 1,44762E-05 1,38196E-05
Jumlah 193204000 5238125000 5044921000 19672174,13 149795637,2 130123463,1 8274400,964 7486317,423 -788083,5409
NPV 130123463,1
BCR 7,61
IRR 79,66
142 b. Pada lahan sewa
Tahun Biaya Manfaat Manfaat bersih
DF ( 24% ) DF ( 80% )
DF (24%) PV Biaya PV Manfaat
PV Manfaat
bersih DF (80 %) PV Biaya PV Manfaat
PV Manfaat
bersih
a b c d=c-b e f=b*e g=c*e h=g-f i j=b*i k=c*i l=k-j
1 12468000 0 -12468000 0,806451613 10054838,71 0 -10054838,71 0,555555556 6926666,667 0 -6926666,667
2 4408000 0 -4408000 0,650364204 2866805,411 0 -2866805,411 0,308641975 1360493,827 0 -1360493,827
3 4408000 0 -4408000 0,524487261 2311939,848 0 -2311939,848 0,171467764 755829,904 0 -755829,904 4 1360000 0 -1360000 0,422973598 575244,093 0 -575244,093 0,095259869 129553,4217 0 -129553,4217
5 5110000 33750000 28640000 0,34110774 1743060,552 11512386,23 9769325,678 0,052922149 270432,1834 1786122,542 1515690,359
6 5110000 84375000 79265000 0,275086887 1405693,994 23210456,11 21804762,12 0,029401194 150240,1019 2480725,753 2330485,651
7 5110000 84375000 79265000 0,221844264 1133624,188 18718109,77 17584485,58 0,016333997 83466,72328 1378180,974 1294714,251
8 5110000 84375000 79265000 0,178906664 914213,0552 15095249,81 14181036,76 0,009074443 46370,40182 765656,0967 719285,6948
9 5110000 84375000 79265000 0,144279568 737268,5929 12173588,56 11436319,96 0,005041357 25761,33435 425364,4981 399603,1638 10 5110000 84375000 79265000 0,11635449 594571,4459 9817410,127 9222838,681 0,002800754 14311,85241 236313,6101 222001,7577
11 5110000 118125000 113015000 0,093834266 479493,1015 11084172,72 10604679,62 0,001555974 7951,029119 183799,4745 175848,4454
12 5110000 118125000 113015000 0,075672796 386687,9851 8938848,971 8552160,986 0,00086443 4417,2384 102110,8192 97693,58077 13 5110000 118125000 113015000 0,061026448 311845,1493 7208749,17 6896904,021 0,000480239 2454,021333 56728,23287 54274,21154
14 5110000 118125000 113015000 0,049214877 251488,0236 5813507,395 5562019,371 0,000266799 1363,345185 31515,68493 30152,33974
15 5110000 118125000 113015000 0,039689417 202812,9223 4688312,415 4485499,493 0,000148222 757,4139917 17508,71385 16751,29986 16 5110000 118125000 113015000 0,032007595 163558,8083 3780897,109 3617338,301 8,23455E-05 420,785551 9727,06325 9306,277699
17 5110000 118125000 113015000 0,025812576 131902,2647 3049110,572 2917208,307 4,57475E-05 233,7697505 5403,924028 5170,154277
18 5110000 118125000 113015000 0,020816594 106372,7941 2458960,139 2352587,344 2,54153E-05 129,8720836 3002,180015 2872,307932 19 5110000 118125000 113015000 0,016787576 85784,51141 1983032,37 1897247,858 1,41196E-05 72,15115757 1667,877786 1595,726629
20 5110000 118125000 113015000 0,013538367 69181,05759 1599219,653 1530038,596 7,84422E-06 40,08397643 926,5987702 886,5147937
21 5110000 160000000 154890000 0,010918038 55791,17547 1746886,12 1691094,945 4,3579E-06 22,26887579 697,2642127 674,9953369 22 5110000 160000000 154890000 0,00880487 44992,88345 1408779,129 1363786,246 2,42106E-06 12,37159766 387,3690071 374,9974094
23 5110000 160000000 154890000 0,007100701 36284,58342 1136112,201 1099827,618 1,34503E-06 6,873109813 215,2050039 208,3318941
24 5110000 160000000 154890000 0,005726372 29261,76083 916219,5171 886957,7562 7,4724E-07 3,81839434 119,5583355 115,7399412 25 5110000 160000000 154890000 0,004618042 23598,19421 738886,7073 715288,5131 4,15133E-07 2,121330189 66,42129751 64,29996732
26 5110000 150000000 144890000 0,003724227 19030,80179 558634,1033 539603,3015 2,3063E-07 1,178516772 34,59442579 33,41590901
27 5110000 150000000 144890000 0,003003409 15347,4208 450511,3736 435163,9528 1,28128E-07 0,65473154 19,21912544 18,5643939 28 5110000 150000000 144890000 0,002422104 12376,95225 363315,6239 350938,6716 7,11819E-08 0,363739744 10,67729191 10,31355216
29 5110000 150000000 144890000 0,00195331 9981,413108 292996,4709 283015,0578 3,95455E-08 0,202077636 5,931828838 5,729751203
30 5110000 150000000 144890000 0,00157525 8049,5267 236287,4765 228237,9498 2,19697E-08 0,112265353 3,295460466 3,183195113
143 b. Pada lahan sewa …. (lanjutan)
Tahun Biaya Manfaat Manfaat bersih
DF ( 24% ) DF ( 80% )
DF (18%) PV Biaya PV Manfaat
PV Manfaat
bersih DF (55 %) PV Biaya PV Manfaat
PV Manfaat
bersih
a b c d=c-b e f=b*e g=c*e h=g-f i j=b*i k=c*i l=k-j
31 5110000 142500000 137390000 0,001270363 6491,55379 181026,6957 174535,1419 1,22054E-08 0,152177041 1,739270801 -0,152177041
32 5110000 142500000 137390000 0,001024486 5235,124025 145989,2707 140754,1467 6,78078E-09 0,029889691 0,966261556 -0,029889691
33 5110000 142500000 137390000 0,000826198 4221,874213 117733,2829 113511,4086 3,7671E-09 0,016605384 0,536811976 -0,016605384
34 5110000 142500000 137390000 0,000666289 3404,737269 94946,19585 91541,45858 2,09283E-09 0,002846255 0,298228875 -0,002846255
35 5110000 142500000 137390000 0,00053733 2745,755862 76569,51278 73823,75692 1,16269E-09 0,005941324 0,165682709 0,033299318
36 5110000 94500000 89390000 0,000433331 2214,319244 40949,73943 38735,42019 6,45936E-10 0,003300735 0,061040998 0,051200156
37 5110000 94500000 89390000 0,00034946 1785,741325 33023,98342 31238,24209 3,58854E-10 0,001833742 0,033911665 0,028444531
38 5110000 94500000 89390000 0,000281823 1440,113972 26632,24469 25192,13072 1,99363E-10 0,001018746 0,018839814 0,015802517
39 5110000 94500000 89390000 0,000227276 1161,382236 21477,61669 20316,23445 1,10757E-10 0,00056597 0,010466563 0,008779176
40 5110000 94500000 89390000 0,000183287 936,5985771 17320,65862 16384,06004 6,15318E-11 0,000314428 0,005814757 0,00487732
41 5110000 89250000 84140000 0,000147812 755,3214331 13192,25791 12436,93647 3,41843E-11 0,000174682 0,003050953 0,003863344
42 5110000 89250000 84140000 0,000119204 609,130188 10638,91767 10029,78748 1,89913E-11 9,70456E-05 0,001694974 0,002146302
43 5110000 89250000 84140000 9,61319E-05 491,2340226 8579,772312 8088,53829 1,05507E-11 5,39142E-05 0,000941652 0,00119239
44 5110000 89250000 84140000 7,75257E-05 396,1564698 6919,17122 6523,01475 5,86151E-12 2,99523E-05 0,00052314 0,000662439
45 5110000 89250000 84140000 6,25207E-05 319,4810241 5579,97679 5260,495766 3,2564E-12 1,66402E-05 0,000290633 0,000368022
46 5110000 84000000 78890000 5,042E-05 257,6459871 4235,276501 3977,630514 1,80911E-12 9,24455E-06 0,000151965 0,000204456
47 5110000 84000000 78890000 4,06613E-05 207,7790219 3415,545565 3207,766543 1,00506E-12 5,13586E-06 8,44251E-05 0,000113587
48 5110000 84000000 78890000 3,27913E-05 167,5637273 2754,47223 2586,908503 5,58367E-13 2,85326E-06 4,69028E-05 6,31038E-05
49 5110000 84000000 78890000 2,64446E-05 135,1320382 2221,348573 2086,216534 3,10204E-13 1,58514E-06 2,60571E-05 3,50577E-05
50 5110000 84000000 78890000 2,13263E-05 108,9774501 1791,410139 1682,432689 1,72335E-13 8,80634E-07 1,44762E-05 1,94765E-05
Jumlah 257704000 5238125000 4980421000 24814186,84 149795637,2 124981450,3 9781016,307 7486317,423 -2294702,563
NPV 124981450,3
127276152,9
BCR 6,04
IRR 78,99
144
c. Pada lahan yang dibeli
Tahun Biaya Manfaat Manfaat bersih DF ( 24% ) DF ( 30% )
DF (24%) PV Biaya PV Manfaat PV Manfaat bersih DF (30%) PV Biaya PV Manfaat PV Manfaat bersih
a b c d=c-b e f=b*e g=c*e h=g-f i j=b*i k=c*i l=k-j
1 155268000 0 -155268000 0,806451613 125216129 0 -125216129 0,769230769 119436923,1 0 -119436923,1
2 3208000 0 -3208000 0,650364204 2086368,366 0 -2086368,366 0,591715976 1898224,852 0 -1898224,852
3 3208000 0 -3208000 0,524487261 1682555,134 0 -1682555,134 0,455166136 1460172,963 0 -1460172,963 4 160000 0 -160000 0,422973598 67675,77565 0 -67675,77565 0,350127797 56020,44746 0 -56020,44746
5 3910000 33750000 29840000 0,34110774 1333731,264 11512386,23 10178654,97 0,269329074 1053076,681 9089856,259 8036779,578
6 3910000 84375000 80465000 0,275086887 1075589,729 23210456,11 22134866,38 0,207176211 810058,9851 17480492,81 16670433,82
7 3910000 84375000 80465000 0,221844264 867411,0718 18718109,77 17850698,69 0,159366316 623122,2963 13446532,93 12823410,63
8 3910000 84375000 80465000 0,178906664 699525,0579 15095249,81 14395724,75 0,122589474 479324,8433 10343486,87 9864162,024
9 3910000 84375000 80465000 0,144279568 564133,1112 12173588,56 11609455,45 0,094299595 368711,4179 7956528,36 7587816,942 10 3910000 84375000 80465000 0,11635449 454946,0574 9817410,127 9362464,069 0,07253815 283624,1676 6120406,43 5836782,263
11 3910000 118125000 114215000 0,093834266 366891,9818 11084172,72 10717280,74 0,055798577 218172,4366 6591206,925 6373034,488
12 3910000 118125000 114215000 0,075672796 295880,6305 8938848,971 8642968,34 0,042921982 167824,9513 5070159,173 4902334,222 13 3910000 118125000 114215000 0,061026448 238613,4117 7208749,17 6970135,758 0,03301691 129096,1163 3900122,441 3771026,325
14 3910000 118125000 114215000 0,049214877 192430,1707 5813507,395 5621077,224 0,025397623 99304,70488 3000094,185 2900789,48
15 3910000 118125000 114215000 0,039689417 155185,6215 4688312,415 4533126,794 0,019536633 76388,23453 2307764,758 2231376,523 16 3910000 118125000 114215000 0,032007595 125149,6948 3780897,109 3655747,414 0,015028179 58760,1804 1775203,66 1716443,48
17 3910000 118125000 114215000 0,025812576 100927,1732 3049110,572 2948183,399 0,011560138 45200,13877 1365541,277 1320341,138 18 3910000 118125000 114215000 0,020816594 81392,88163 2458960,139 2377567,257 0,008892414 34769,33752 1050416,367 1015647,029
19 3910000 118125000 114215000 0,016787576 65639,42067 1983032,37 1917392,949 0,006840318 26745,64424 808012,5899 781266,9456
20 3910000 118125000 114215000 0,013538367 52935,01667 1599219,653 1546284,636 0,005261783 20573,5725 621548,146 600974,5736
21 3910000 160000000 156090000 0,010918038 42689,52957 1746886,12 1704196,591 0,004047526 15825,825 647604,0919 631778,2669
22 3910000 160000000 156090000 0,00880487 34427,03998 1408779,129 1374352,089 0,003113481 12173,71154 498156,9938 485983,2823
23 3910000 160000000 156090000 0,007100701 27763,74192 1136112,201 1108348,459 0,002394986 9364,393489 383197,6875 373833,294 24 3910000 160000000 156090000 0,005726372 22390,11445 916219,5171 893829,4026 0,001842297 7203,379607 294767,452 287564,0723
25 3910000 160000000 156090000 0,004618042 18056,54391 738886,7073 720830,1634 0,001417151 5541,061236 226744,1938 221203,1326
26 3910000 150000000 146090000 0,003724227 14561,72896 558634,1033 544072,3743 0,001090116 4262,354797 163517,4475 159255,0927 27 3910000 150000000 146090000 0,003003409 11743,32981 450511,3736 438768,0438 0,000838551 3278,734459 125782,6519 122503,9174
28 3910000 150000000 146090000 0,002422104 9470,427263 363315,6239 353845,1966 0,000645039 2522,10343 96755,88607 94233,78264
29 3910000 150000000 146090000 0,00195331 7637,441341 292996,4709 285359,0295 0,000496184 1940,079562 74427,60467 72487,52511 30 3910000 150000000 146090000 0,00157525 6159,226888 236287,4765 230128,2496 0,00038168 1492,368894 57252,00359 55759,6347
31 3910000 142500000 138590000 0,001270363 4967,118458 181026,6957 176059,5773 0,0002936 1147,976072 41838,00262 40690,02655
32 3910000 142500000 138590000 0,001024486 4005,740692 145989,2707 141983,5301 0,000225846 883,0585169 32183,07894 31300,02043 33 3910000 142500000 138590000 0,000826198 3230,436042 117733,2829 114502,8468 0,000173728 679,2757823 24756,21457 24076,93879
145
c. Pada lahan yang dibeli …….(Lanjutan)
Tahun Biaya Manfaat Manfaat bersih
DF ( 24% ) DF ( 30% )
DF (24%) PV Biaya PV Manfaat PV Manfaat
bersih DF (30%) PV Biaya PV Manfaat
PV Manfaat
bersih
a b c d=c-b e f=b*e g=c*e h=g-f i j=b*i k=c*i l=k-j
34 3910000 142500000 138590000 0,000666289 2605,190356 94946,19585 92341,0055 0,000133637 522,5198325 19043,24198 18520,72214
35 3910000 142500000 138590000 0,00053733 2100,959965 76569,51278 74468,55282 0,000102798 401,9383327 14648,64768 14246,70934
36 3910000 94500000 90590000 0,000433331 1694,322552 40949,73943 39255,41688 7,9075E-05 309,1833328 7472,589502 7163,406169
37 3910000 94500000 90590000 0,00034946 1366,389155 33023,98342 31657,59426 6,08269E-05 237,833333 5748,145771 5510,312438
38 3910000 94500000 90590000 0,000281823 1101,926738 26632,24469 25530,31795 4,679E-05 182,9487177 4421,650593 4238,701875
39 3910000 94500000 90590000 0,000227276 888,6505951 21477,61669 20588,96609 3,59923E-05 140,7297828 3401,269687 3260,539904
40 3910000 94500000 90590000 0,000183287 716,6537057 17320,65862 16604,00491 2,76864E-05 108,2536791 2616,361298 2508,107619
41 3910000 89250000 85340000 0,000147812 577,9465369 13192,25791 12614,31137 2,12972E-05 83,27206084 1900,775302 1817,503241
42 3910000 89250000 85340000 0,000119204 466,0859168 10638,91767 10172,83175 1,63825E-05 64,05543141 1462,134847 1398,079416
43 3910000 89250000 85340000 9,61319E-05 375,8757394 8579,772312 8203,896573 1,26019E-05 49,27340878 1124,719113 1075,445705
44 3910000 89250000 85340000 7,75257E-05 303,1255963 6919,17122 6616,045623 9,69377E-06 37,90262214 865,1685488 827,2659267
45 3910000 89250000 85340000 6,25207E-05 244,456126 5579,97679 5335,520664 7,45674E-06 29,15586318 665,5142683 636,3584051
46 3910000 84000000 80090000 5,042E-05 197,1420371 4235,276501 4038,134464 5,73596E-06 22,42758706 481,8202847 459,3926977
47 3910000 84000000 80090000 4,06613E-05 158,9855138 3415,545565 3256,560051 4,41227E-06 17,25199005 370,6309883 353,3789982
48 3910000 84000000 80090000 3,27913E-05 128,214124 2754,47223 2626,258106 3,39406E-06 13,27076158 285,1007602 271,8299986
49 3910000 84000000 80090000 2,64446E-05 103,3984871 2221,348573 2117,950085 2,61081E-06 10,20827814 219,3082771 209,0999989
50 3910000 84000000 80090000 2,13263E-05 83,38587672 1791,410139 1708,024262 2,00832E-06 7,852521643 168,6986747 160,846153
Jumlah 341704000 5238125000 4896421000 135943325,7 149795637,2 13852311,46 127414647,4 93659252,26 -33755395,19
NPV 13852311,46
BCR 1,10
IRR 25,75
146
Lampiran 7 Hasil pengolahan data dengan Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 126 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 126 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 126 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
tidak mengelola kemiri 0
mengelola kemiri 1
Categorical Variables Codings
Frequency
Parameter coding
(1) (2) (3)
Pendidikan Tidak sekolah 6 .000 .000 .000
SD/SR 42 1.000 .000 .000
SLTP 32 .000 1.000 .000
SMU ke atas 46 .000 .000 1.000
Pendapatan per bulan <= 1,5 jt 25 .000 .000 .000
1,5 jt - 3 jt 43 1.000 .000 .000
3 jt - 4,5 jt 31 .000 1.000 .000
>= 4,5jt 27 .000 .000 1.000
Jarak <= 1000 46 .000 .000
1000 - 2000 45 1.000 .000
> 2000 35 .000 1.000
Asal usul tanah Beli 42 .000 .000
warisan 69 1.000 .000
garap sendiri 15 .000 1.000
Status kepemilikan lahan belum sertifikat 96 .000
sudah sertifikat 30 1.000
Aksesibilitas ke ladang sulit 33 .000
mudah 93 1.000
Status lahan sewa 6 .000
milik 120 1.000
Pekerjaan utama non petani 29 .000
petani 97 1.000
Pekerjaan sampingan tidak ada 77 .000
ada 49 1.000
147
Block 0: Beginning Block
Iteration Historya,b,c
Iteration -2 Log likelihood
Coefficients
Constant
Step 0 1 174.673 .000
a. Constant is included in the model.
b. Initial -2 Log Likelihood: 174.673
c. Estimation terminated at iteration number 1 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Y
Percentage Correct tidak mengelola kemiri mengelola kemiri
Step 0 Y tidak mengelola kemiri 0 63 .0
mengelola kemiri 0 63 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .178 .000 1 1.000 1.000
148
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables X1 9.032 1 .003
X2 2.278 1 .131
X3 21.742 1 .000
X4(1) .301 1 .584
X5(1) 6.300 1 .012
X6 1.475 1 .225
X7 .058 1 .809
X8 .408 1 .523
X9 1.389 3 .708
X9(1) .035 1 .851
X9(2) .043 1 .836
X9(3) .424 1 .515
X10 12.822 2 .002
X10(1) 2.595 1 .107
X10(2) 12.789 1 .000
X11(1) 14.821 1 .000
X12(1) 2.195 1 .138
X13 7.059 1 .008
X14 6.775 2 .034
X14(1) .864 1 .353
X14(2) 6.686 1 .010
X15(1) 2.800 1 .094
X16 6.489 3 .090
X16(1) 2.286 1 .131
X16(2) .168 1 .682
X16(3) 3.424 1 .064
X17 .013 1 .909
Overall Statistics 48.308 23 .002
149
Block 1: Method = Enter teration Historya,b,c,d
Iteration -2 Log
likelihood
Coefficients
Constant X1 X2 X3 X4(1) X5(1) X6 X7 X8 X9(1) X9(2) X9(3) X10(1) X10(2) X11(1) X12(1) X13 X14(1) X14(2) X15(1) X16(1) X16(2) X16(3) X17
Step 1 1 119.672 -4.685 .042 -.014 .414 .310 -.586 -.368 -.116 .446 -.564 -.598 -1.104 -.035 1.263 -.753 .380 .008 .006 .028 .518 1.346 .861 1.227 .260
2 110.421 -6.456 .066 -.023 .716 .585 -.824 -.490 -.124 .520 -.928 -1.049 -1.912 -.065 2.207 -1.146 .637 .014 -.166 -.322 .449 2.035 1.532 2.019 .410
3 108.674 -7.457 .082 -.029 .902 .686 -.925 -.555 -.140 .561 -1.134 -1.275 -2.261 -.114 2.936 -1.350 .788 .018 -.290 -.508 .254 2.490 1.943 2.539 .486
4 108.580 -7.788 .087 -.031 .953 .716 -.941 -.576 -.145 .576 -1.172 -1.301 -2.314 -.133 3.190 -1.407 .835 .020 -.313 -.541 .183 2.648 2.074 2.708 .505
5 108.580 -7.815 .087 -.031 .955 .720 -.941 -.577 -.145 .577 -1.174 -1.300 -2.315 -.134 3.212 -1.411 .839 .020 -.314 -.542 .178 2.662 2.085 2.722 .506
6 108.580 -7.815 .087 -.031 .955 .720 -.941 -.577 -.145 .577 -1.174 -1.300 -2.315 -.134 3.213 -1.411 .839 .020 -.314 -.542 .178 2.662 2.085 2.722 .506
a. Method: Enter
b. Constant is included in the model.
c. Initial -2 Log Likelihood: 174.673
d. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001.
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 66.093 23 .000
Block 66.093 23 .000
Model 66.093 23 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R
Square Nagelkerke R
Square
1 108.580a .408 .544
a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001.
150
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 3.679 8 .885
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Y = tidak mengelola kemiri Y = mengelola kemiri
Total Observed Expected Observed Expected
Step 1 1 12 12.219 1 .781 13
2 10 11.496 3 1.504 13
3 11 10.555 2 2.445 13
4 9 9.144 4 3.856 13
5 9 7.594 4 5.406 13
6 7 5.776 6 7.224 13
7 3 3.880 10 9.120 13
8 2 1.907 11 11.093 13
9 0 .407 13 12.593 13
10 0 .021 9 8.979 9
Classification Tablea
Observed
Predicted
Y
Percentage Correct tidak mengelola
kemiri mengelola kemiri
Step 1 Y tidak mengelola kemiri 54 9 85.7
mengelola kemiri 16 47 74.6
Overall Percentage 80.2
a. The cut value is .500
151
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a X1 .087 .039 4.920 1 .027 1.091
X2 -.031 .024 1.696 1 .193 .969
X3 .955 .294 10.566 1 .001 2.600
X4(1) .720 .793 .823 1 .364 2.054
X5(1) -.941 .633 2.210 1 .137 .390
X6 -.577 .451 1.643 1 .200 .561
X7 -.145 .369 .155 1 .694 .865
X8 .577 .431 1.792 1 .181 1.780
X9 4.484 3 .214
X9(1) -1.174 .759 2.394 1 .122 .309
X9(2) -1.300 .986 1.738 1 .187 .272
X9(3) -2.315 1.129 4.207 1 .040 .099
X10 4.836 2 .089
X10(1) -.134 .550 .060 1 .807 .874
X10(2) 3.213 1.546 4.317 1 .038 24.843
X11(1) -1.411 .733 3.704 1 .054 .244
X12(1) .839 .897 .874 1 .350 2.314
X13 .020 .030 .442 1 .506 1.020
X14 .602 2 .740
X14(1) -.314 .604 .269 1 .604 .731
X14(2) -.542 .722 .563 1 .453 .582
X15(1) .178 1.286 .019 1 .890 1.194
X16 2.686 3 .443
X16(1) 2.662 1.842 2.089 1 .148 14.331
X16(2) 2.085 1.760 1.404 1 .236 8.046
X16(3) 2.722 1.844 2.179 1 .140 15.212
X17 .506 .421 1.449 1 .229 1.659
Constant -7.815 3.220 5.889 1 .015 .000
a. Variable(s) entered on step 1: X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8, X9, X10, X11, X12, X13, X14, X15, X16, X17.
152
Correlation Matrix
Constant X1 X2 X3 X4(1) X5(1) X6 X7 X8 X9(1) X9(2) X9(3) X10(1) X10(2) X11(1) X12(1) X13 X14(1) X14(2) X15(1) X16(1) X16(2) X16(3) X17
Step 1 Constant 1.000 -.468 .030 -.108 -.167 -.036 .257 .050 -.396 -.134 -.205 -.118 .010 -.388 .052 -.399 -.045 -.067 -.062 -.164 -.586 -.577 -.639 -.074
X1 -.468 1.000 -.384 .150 .008 -.073 -.029 -.194 .305 -.188 -.174 -.188 .044 .228 -.055 .156 -.209 -.109 -.106 -.224 .000 .017 .070 .025
X2 .030 -.384 1.000 -.125 -.179 .187 .044 .060 -.004 .192 .101 .258 -.140 -.102 -.023 -.137 -.480 .006 -.020 .178 -.057 -.035 -.077 -.115
X3 -.108 .150 -.125 1.000 .022 -.084 -.153 -.115 .042 -.169 -.337 -.425 -.236 -.076 .143 .039 -.017 -.064 -.224 -.110 .028 .064 .098 .213
X4(1) -.167 .008 -.179 .022 1.000 -.084 -.187 -.051 .065 .143 .088 -.020 .098 .060 -.238 .612 .136 .221 -.027 -.121 .049 -.045 .000 .198
X5(1) -.036 -.073 .187 -.084 -.084 1.000 .083 -.005 .000 -.037 .036 -.028 -.049 .084 .018 -.015 -.036 .032 .199 -.080 .028 .011 .026 .073
X6 .257 -.029 .044 -.153 -.187 .083 1.000 .425 -.732 -.027 -.122 -.093 -.045 -.036 .115 -.186 -.018 .030 .128 .064 -.188 -.143 -.196 -.463
X7 .050 -.194 .060 -.115 -.051 -.005 .425 1.000 -.714 .190 .182 .151 .075 -.031 -.167 .008 .063 .077 .039 .046 .063 .089 .028 -.247
X8 -.396 .305 -.004 .042 .065 .000 -.732 -.714 1.000 -.134 -.019 -.023 -.018 .138 -.039 .080 -.037 -.112 -.125 -.073 .124 .061 .140 .199
X9(1) -.134 -.188 .192 -.169 .143 -.037 -.027 .190 -.134 1.000 .622 .603 .026 -.065 -.029 .179 -.145 .157 .049 .091 .040 .037 .009 -.146
X9(2) -.205 -.174 .101 -.337 .088 .036 -.122 .182 -.019 .622 1.000 .711 .096 .112 -.127 .204 .024 .090 .153 -.026 .256 .184 .132 -.195
X9(3) -.118 -.188 .258 -.425 -.020 -.028 -.093 .151 -.023 .603 .711 1.000 .040 .032 -.072 .187 -.101 .073 .131 .029 .108 .079 -.007 -.249
X10(1) .010 .044 -.140 -.236 .098 -.049 -.045 .075 -.018 .026 .096 .040 1.000 .220 -.175 -.002 .066 .055 .068 -.140 -.038 -.068 -.047 .118
X10(2) -.388 .228 -.102 -.076 .060 .084 -.036 -.031 .138 -.065 .112 .032 .220 1.000 -.234 .036 .128 -.133 -.033 -.168 .477 .437 .465 .066
X11(1) .052 -.055 -.023 .143 -.238 .018 .115 -.167 -.039 -.029 -.127 -.072 -.175 -.234 1.000 -.132 .006 .120 .257 .005 -.238 -.152 -.179 -.026
X12(1) -.399 .156 -.137 .039 .612 -.015 -.186 .008 .080 .179 .204 .187 -.002 .036 -.132 1.000 .072 .051 -.089 -.073 .073 .021 .154 .049
X13 -.045 -.209 -.480 -.017 .136 -.036 -.018 .063 -.037 -.145 .024 -.101 .066 .128 .006 .072 1.000 .045 .045 -.110 .127 .119 .216 .032
X14(1) -.067 -.109 .006 -.064 .221 .032 .030 .077 -.112 .157 .090 .073 .055 -.133 .120 .051 .045 1.000 .459 .064 -.076 -.085 -.114 .074
X14(2) -.062 -.106 -.020 -.224 -.027 .199 .128 .039 -.125 .049 .153 .131 .068 -.033 .257 -.089 .045 .459 1.000 -.080 .133 .137 .086 .007
X15(1) -.164 -.224 .178 -.110 -.121 -.080 .064 .046 -.073 .091 -.026 .029 -.140 -.168 .005 -.073 -.110 .064 -.080 1.000 -.059 -.035 -.081 -.070
X16(1) -.586 .000 -.057 .028 .049 .028 -.188 .063 .124 .040 .256 .108 -.038 .477 -.238 .073 .127 -.076 .133 -.059 1.000 .925 .903 .119
X16(2) -.577 .017 -.035 .064 -.045 .011 -.143 .089 .061 .037 .184 .079 -.068 .437 -.152 .021 .119 -.085 .137 -.035 .925 1.000 .912 .077
X16(3) -.639 .070 -.077 .098 .000 .026 -.196 .028 .140 .009 .132 -.007 -.047 .465 -.179 .154 .216 -.114 .086 -.081 .903 .912 1.000 .094
X17 -.074 .025 -.115 .213 .198 .073 -.463 -.247 .199 -.146 -.195 -.249 .118 .066 -.026 .049 .032 .074 .007 -.070 .119 .077 .094 1.000
153
Step number: 1
Observed Groups and Predicted Probabilities
16 + +
| |
| |
F | |
R 12 + +
E | |
Q | m|
U | m|
E 8 + m+
N | m|
C | m|
Y | t m|
4 + t m m m m+
| t t t m t mt m m m m mmm|
| t t tmttmt ttm m t t t m mt m m m m mt m m mmmmm|
| tt tttttttttmtttttttttttttt mmt mt tmt tt tm ttt m m mttttm mtmmtm tt m m mm mmm mmmmm|
Predicted ---------+---------+---------+---------+---------+---------+---------+---------+---------+----------
Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1
Group: ttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
Predicted Probability is of Membership for mengelola kemiri
The Cut Value is .50
Symbols: t - tidak mengelola kemiri
m - mengelola kemiri
Each Symbol Represents 1 Case.
154
Lampiran 8 Hasil pengelohaan data untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
produksi kemiri dengan Regressi Linier Berganda
Regression Analysis: Y versus X1; X2; X3; X4
The regression equation is
Y = 1,25 + 0,792 X1 + 0,0780 X2 - 0,126 X3 + 0,151 X4
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant 1,2520 0,2476 5,06 0,000
X1 0,79183 0,06921 11,44 0,000 2,089
X2 0,07803 0,09673 0,81 0,423 2,910
X3 -0,12646 0,08890 -1,42 0,160 1,183
X4 0,15065 0,07766 1,94 0,057 2,665
S = 0,123709 R-Sq = 87,5% R-Sq(adj) = 86,6%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 6,0900 1,5225 99,48 0,000
Residual Error 57 0,8723 0,0153
Total 61 6,9623
Source DF Seq SS
X1 1 5,9350
X2 1 0,0533
X3 1 0,0441
X4 1 0,0576
Unusual Observations
Obs X1 Y Fit SE Fit Residual St Resid
20 2,38 3,1461 3,4330 0,0296 -0,2869 -2,39R
51 2,13 2,8451 3,1479 0,0183 -0,3028 -2,47R
R denotes an observation with a large standardized
residual.
155
Residual Plots for Y
0,40,20,0-0,2-0,4
99,9
99
90
50
10
1
0,1
Residual
Pe
rce
nt
3,63,33,02,72,4
0,2
0,0
-0,2
Fitted Value
Re
sid
ua
l
0,20,10,0-0,1-0,2-0,3
16
12
8
4
0
Residual
Fre
qu
en
cy
605550454035302520151051
0,2
0,0
-0,2
Observation Order
Re
sid
ua
l
Normal Probability Plot Versus Fits
Histogram Versus Order
Residual Plots for Y