95
ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE PADA INDUSTRI POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor) KUSAERI AULANI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE … · Cibungbulang Kab. Bogor) KUSAERI AULANI . DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN . FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN . INSTITUT

Embed Size (px)

Citation preview

i

ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE

PADA INDUSTRI POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI

(Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor)

KUSAERI AULANI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Pendapatan dan

Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus

Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor) adalah karya saya dengan

arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun

pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh

gelar akademik tertentu. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2014

Kusaeri Aulani

H44080020

iv

ABSTRAK

KUSAERI AULANI. Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada

Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kecamatan

Cibungbulang Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA

PUTRI.

Tempe merupakan makanan olahan yang terbuat dari bahan utama kedelai

yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat di Kecamatan

Cibungbulang Kabupaten Bogor. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis

pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I

Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Hasil uji stasistik menunjukan

bahwa produksi tempe pola kemitraan dipengaruhi oleh kedelai, ragi, dan air,

sedangkan produksi tempe pengusaha pola mandiri dipengaruhi oleh kedelai saja.

Pendapatan pengusaha pola mandiri lebih besar daripada pendapatan pengusaha

pola kemitraan karena teknik produksi yang digunakan oleh pangusaha pola

mandiri menggunakan teknik yang anjurankan oleh KOPTI Kabupaten Bogor

sedangkan pengusaha pola kemitraan menggunakan cara tradisional dan tidak

menggunakan cara yang dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor.

Kata kunci: Tempe, Kemitraan, KOPTI, Pendapatan, Model Cobb-Douglas

ABSTRACT

KUSAERI AULANI. The Income Analysis And Production Function Of Tempe

Partnership And Autonomy Pattern (Case in Cimanggu I Village, Cibungbulang

District of Bogor Regency). Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Tempe is a processed food from soybeans. It is needed by the Indonesian

people, especially in the Cibungbulang District, Bogor Regency. The purpose of

this study was to analyze the income from tempe industry which applying

partnership and independent system in Cimanggu I Village, Cibungbulang

District of Bogor Regency. The results showed that the tempe production which

using partnership system was affected by soy, yeast, and water, whereas the

production which using independent system was influenced by soy alone. The

entrepreneurs which applying independent system gained more income than the

partnerships system because they used production techniques recommended by

Bogor Regency’s Indonesia Tofu and Soybean Cake Entrepreneurs Union

(KOPTI). The partnership system entrepreneurs, on the contrary, was applying

the traditional method rather than the recommended one by KOPTI Bogor

Regency.

Keywords: tempe, partnership, KOPTI, revenue , Cobb - Douglas models

v

ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE

PADA INDUSTRI POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI

(Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor)

KUSAERI AULANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

vi

vii

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec.

Cibungbulang Kabupaten Bogor)

Nama : Kusaeri Aulani

NIM : H44080020

Disetujui oleh

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S

Dosen Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT

Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Tanggal :

- -,..",==--

Judul Skripsi Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor)

Nama Kusaeri Aulani

NIM H44080020

Disetujui oleh

a Intan Kumala Putri M.S

Tanggal 3 MAR 2014

viii

ix

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayah-Nya yang memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis

sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini yaitu

“Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan

dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten

Bogor)”.

Skripsi ini membahas analisis produksi dan pendapatan usahatani dengan

membandingkan produksi dan pendapatan pangusaha tempe pola kemitraan dan

pola msndiri. Skripsi ini juga menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh

tergadap produksi pada usahatani tempe pola kemitraan dan pola mandiri.

Bersama ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama

kepada Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S selaku Dosen Pembimbing skripsi

yang telah mengarahkan dan memberikan banyak ilmu kepada penulis. Ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto,

SP, M.Si dan Ibu Hastuti, S.P, M.P, M.Si selaku penguji siding. Terima kasih saya

ucapkan kepada Yogi Chandra yang telah banyak membantu penlulis dalam

mengolah data, juga kepada keluarga tercinta Ibunda Solihat dan Ayahanda Acep

Al-mutahar, Ibunda Pipih Sopiah, Ayahanda Tatan Gunawan, Ibunda Heny,

Bapak Brata, serta keempat adik saya yaitu Amir, Hany, Aziz, dan Dzikry yang

selalu memberikan do’a dan semangat. Terima kasih kepada teman-teman ESL 45

yang selalu membantu dan memberikan semangat, teman-teman tercinta Yogi,

Ade, Sandy, Rizky, Hady, Fajar Jajuli, Inggit Rahayu, As’ad, Mahmudin, dan

semia ESL 45 dan juga Afni Kusuma Wardhani yang selalu membantu dan

memberikan semangat kepada penulis. Terima kasih pula kepada pengusaha

tempe pola kemitraan dan pola mandiri yang ada di Desa Cimanggu I yang

bersedia memberikan data kepada penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya

pembuat kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan pengusaha tempe.

Bogor, Maret 2014

Kusaeri Aulani

x

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 5

Tujauan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 9

Batasan Penelitian 9

TINJAUAN PUSTAKA 11

Pengertian dan Ketentuan Umum Koperasi 11

Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia 12

Karakteristik Tempe 13

Jumlah Industri 14

Jumlah Industri Kecil di Indonesia 14

Jumlah dan Sebaran Industri Tempe di Kabupaten Bogor 15

Pendapatan 16

Analisis Pendapatan (Penerimaan-Biaya) 16

Pendapatan Usaha 17

Struktur Biaya 17

Tinjauan Penelitian Terdahulu 18

KERANGKA PEMIKIRAN 21

Kerangka Pemikira Operasional 21

METODE PENELITIAN 23

Lokasi dan Waktu Penelitian 23

Metode Penelitian 23

Jenis dan Sumber Data 23

Metode Pengambilan dan Jumlah Responden / Sampel 24

Metode Pengolahan dan Analisis Data 24

xi

Analisis Struktur Biaya 24

Fungsi Produksi 25

Konsep Produktivitas 26

Fungsi Cobb-Douglas 26

Pengujian Parameter 27

Uji Koefisien Determinasi 28

Uji Statistik F 28

Uji Statistik t 29

Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity) 29

Uji Heteroskedastisitas 30

Analisis Pendapatan 30

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 32

Profil Desa Cimanggu I 32

HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Identifikasi Karakteristik Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan

Pola Mandiri 35

Karakteristik Sosial Ekonomi Pengusaha Tempe

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 35

Usia 35

Tingkat Pendidikan 36

Pengalaman Usaha Tempe 37

Karakteristik Ekonomi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan

Pola Mandiri 38

Karakteristik Produksi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan

Pola Mandiri 40

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tempe

Pola Mandiri dan Pola Kemitraan 43

Karakteristik Input Produksi 43

Kedelai 44

Ragi 45

Air 45

Tenaga Kerja (HOK) 47

xii

Hasil Uji Statistik Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 48

Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Tempe Pola Mandiri dan

Pola Kemitraan 57

Output 57

Penerimaan 59

Biaya 60

Pendapatan 61

SIMPULAN DAN SARAN 64

DAFTAR PUSTAKA 66

LAMPIRAN 68

xiii

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di indonesia

tahun 1970-2009 1

2 Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di indonesia

tahun 2008-2009 4

3 Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 – 2004 14

4 Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor 15

5 Tinjauan penelitian penelitian terdahulu 19

6 Matriks metode analisis data 24

7 Sebaran jumlah penduduk desa cimanggu I berdasarkan

mata pencaharian 33

8 Sebaran jumlah penduduk desa cimanggu I berdasarkan

tingkat pendidikan 34

9 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan

sebaran usia 36

10 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan

tingkat pendidikan 37

11 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan mandiri berdasarkan

pengalaman usaha 38

12 Karakteristik Ekonomi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri 39

13 Karakteristik Produksi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri 41

14 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha tempe

pola kemitraan dan pola mandiri 44

15 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha tempe

pola kemitraan dan pola mandiri 45

16 Perbandingan penggunaan air pengusaha tempe

pola kemitraan dan pola mandiri 46

17 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe

pola kemitraan dan pola mandiri 47

18 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe

pola kemitraan 49

19 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe

xiv

pola mandiri 53

20 Jumlah produksi dan produktivitas tempe

pola kemitraan dan pola mandiri 58

21 Penerimaan Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 59

22 Biaya Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 60

23 Perbandingan Pendapatan Usaha Tempe

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 62

DAFTAR GAMBAR

1 Alur Kerangka Pemikiran Operasional 22

2 Tahapan Proses Produksi Tempe di Desa Cimanggu I 43

2 Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Tempe Pola Kemitraan 53

3 Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Tempe Pola Mandiri 57

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah Produksi dan Produktivitas Tempe Pengusaha

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 69

2 Perbandingan Penggunaan Kedelai Pengusaha

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 71

3 Perbandingan Penggunaan Ragi Pengusaha

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 72

4 Perbandingan Penggunaan Air Pengusaha Pola Kemitraan

dan Pola Mandiri 73

5 Perbandingan Penggunaan Tenaga Kerja Pengusaha

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 74

6 Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Tempe

Pola Kemitraan 75

7 Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Tempe Pola Mandiri 76

8 Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Tempe

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 77

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tempe merupakan makanan olahan yang terbuat dari bahan utama kedelai

yang setiap harinya dibutuhkan oleh masyarakat, baik masyarakat kalangan

bawah, menengah, maupun masyarakat kalangan atas, dengan demikian

permintaan terhadap tempe semakin naik dalam setiap tahunnya seiring dengan

meningkatnya jumlah penduduk. Naiknya permintaan terhadap tempe

berimplikasi pada peningkatan permintaan kedelai yang merupakan bahan baku

pembuatan tempe yang hingga saat ini belum mendapatkan substitusinya sebagai

bahan utama dalam memproduksi tempe.

Kebutuhan kedelai nasional pada tahun 2009 sebesar 1.97 juta ton

sedangkan pada tahun tersebut produksi kedelai dalam negeri hanya sebesar 0.92

juta ton meskipun produksi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya

sebesar 0.14 juta ton dan kekuranganya sebesar 1.05 juta ton dipenuhi dari impor.

Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional dapat dilihat pada Tabel 1

berikut.

Tabel 1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di indonesia tahun 1970-

2009

Produksi (tahun) Produksi Nasional Konsumsi Nasional

Juta (ton)

1970 0.5 0.49

1980 0.65 0.75

1990 1.49 1.54

1992 1.87 2.56

1994 1.56 2.36

1996 1.52 2.26

1998 1.31 1.65

2000 1.02 2.29

2002 0.67 2.04

2004 0.72 1.84

2006 0.81 1.84

2007 0.59 2

2008 0.78 1.95

2009 0.92 1.97

Sumber : Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2009

Berdasarkan data pada Tabel 1 tersebut tingkat konsumsi kedelai nasional

rata-rata 1.8 juta ton per tahun. Pertumbuhan produksi kedelai jauh lebih rendah

daripada konsumsi. Implikasinya adalah tanpa terobosan yang berarti, Indonesia

2

akan mengalami defisit yang makin besar (Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, 2005). Penurunan produksi kedelai di dalam negeri mengakibatkan

industri yang menggunakan bahan baku kedelai harus membeli dari luar negeri.

Salah satu agroindustri yang cukup potensial adalah industri tempe.

Umumnya tempe digunakan sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan tambahan

atau jajanan. Potensi tempe dalam meningkatkan kesehatan dan harganya relatif

murah memberikan alternatif pilihan dalam pengadaan makanan bergizi yang

dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat (Sutrisno 2006). Industri tempe

merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik

yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan

perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya.

Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe

setelah tahun 1998 diperkirakan mencapai 4 persen per tahun (Solahudin, 1998).

Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha

pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan.

Menurut Ambarwati (1994), industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk

industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan

permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan

kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan.

Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan dan

biaya yang dikeluarkan. Penjualan yang dilakukan pengrajin tempe belum mampu

mendatangkan keuntungan yang optimal karena harganya yang murah, dan disisi

lain biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku semakin besar dengan adanya krisis

ekonomi yang sering terjadi di Indonesoa. Keberadaan ini sangat mempengaruhi

efisiensi usaha pengrajin tempe, sehingga banyak pengrajin tempe yang tidak

mampu berproduksi lagi (Sari, 2002).

Makanan tempe semakin populer dan meluas di masyarakat, karena

masyarakat semakin mengetahui bahwa tempe adalah pangan bergizi yang

diproduksi secara higienis. Kesan-kesan bahwa tempe merupakan barang inferior

seperti yang terjadi dimasa lalu akhir-akhir ini telah hilang. Mengingat hal

tersebut perkembangan permintaan akan tempe akan semakin meningkat

(Suryana, 2001).

3

Pemenuhan kebutuhan akan makanan dan gizi tidak terlepas dari peranan

usaha pengolahan pangan. Usaha kecil tempe merupakan salah satu bentuk usaha

yang bergerak dibidang pengolahan pangan yang ada di Indonesia. Peranan usaha

kecil tempe dalam mengolah hasil pertanian dapat berupa produk jadi yang dijual

langsung kepada konsumen akhir maupun produk setengah jadi. Selain itu usaha

kecil tempe juga memiliki peranan yang paling dominan, yaitu sebagai alternatif

lapangan pekerjaan serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga (Amalia,

2008).

Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam

perekonomian di Indonesia, karena sektor ini mampu menjadi salah satu

penyumbang devisa negara yang cukup besar nilainya. Sejak tahun 1991 sektor

perindustrian telah mampu melewati sektor pertanian dalam menyumbang

pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia (Sarah, 2001). Tempe

termasuk kedalam kategori industri pengolahan yang ada di Indonesia, dimana

industri pengolahan di Indonesia mempunyai prioritas dalam hal memajukan

pembangunan di Indonesia. Hal ini terlihat dari industri pengolahan berkontribusi

terhadap PDB nasional sebesar 23% sepanjang 2012 dimana industri tempe

mempunyai kontribusi sebesar 12% pada industri pengolahan. 1

Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dimana memiliki

karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah

penduduk ini berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan

pangan, dan salah satu kebutuhan yang terus meningkat permintaannya adalah

tempe. Tempe tidak lagi dipandang sebagai bahan pokok sampingan atau

alternative, akan tetapi tempe masuk pula kedalam pilihan utama makanan pokok

sebagian banyak masyarakat di Indonesia dari golongan bawah, menegah dan

atas. Disamping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang

berdampak pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah

protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein.

Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat memberikan efek

terhadap tingginya persaingan dalam hal lapangan pekerjaan. Usaha kecil seperti

1 Data Produk Domestik Bruto Indonesia, www.deptan.go.id [Diakses tanggal 6 Desember 2012]

4

tempe memiliki peranan yang penting, yaitu sebagai alternatif lapangan pekerjaan

serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga. Kendala pengembangan

industri kecil dapat disebabkan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah

(mental dan budaya kerja), tingkat pendidikan, sumberdaya manusia, terbatasnya

keterampilan, keahlian, keterbatasan modal, informasi pasar, volume produksi

yang terbatas, mutu yang beragam, penampilan yang sederhana, infrastruktur,

peralatan yang usang, beberapa kebijakan dan tingkah laku dari pelaku bisnis

yang bersangkutan (Hubies,1997).

Koperasi mempunyai pernan penting dalam meningkatkan kesejahteraan

masyarakat serta penyerapan tenaga kerja. Perkembangan pelaksanaan pembinaan

kelembagaan dan usaha koperasi menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Jumlah koperasi yang tumbuh di kalangan masyarakat serta jumlah anggota

koperasi dan partisipasi mereka dalam koperasi semakin meningkat, hal tersebut

juga diikuti dengan semakin beragamnya bidang usaha koperasi dan semakin

dirasakannya manfaatnya bagi anggota (Lembaga Ketahanan Nasional, 1995).

Perkembangan koperasi yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di Indonesia tahu 2008-

2009

No. Provinsi

Tahun 2008 (unit) Tahun 2009 (unit)

Aktif Tidak aktif

Jumlah Aktif Tidak aktif

Jumlah

1 DKI Jakarta 4 647 2 556 7 017 4 790 2 536 7 326

2 Jawa Barat 14 659 6 613 21 272 14 771 7 893 22 664

3 Jawa Tengah 12 426 5 191 17 617 19 850 5 227 25 077

4 DI Yogyakarta 1 518 677 2 195 1 806 495 2 301

5 Jawa Timur 14 669 3 987 18 656 15 674 3 722 19 396

Sumber : Departemen Koperasi 2010

Dalam pelaksanaanya industri pengolahan tempe di Indonesia terbagi

menjadi dua pola pelaksanaan, yaitu pola industri mandiri dan pola kemitraan

yang tergabung dalam KOPTI (Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia).

KOPTI adalah sebuah perkumpulan koperasi yang merupakan wadah satu-satunya

untuk menghimpun dan menggerakan daya kreasi dan potensi serta membina

produsen pengolah bahan makanan dari kedelai yang terdiri dari pengrajin tempe,

5

tahu dan makanan sejenisnya yang berada di wilayah Jakarta Pusat yang terdiri

dari 699 anggota. KOPTI hanya mempunyai susunan organisasi tingkat primer

yang dikembangkan dari ide dan kebulatan tekad produsen / pengrajin tempe tahu

pada tanggal 11 Maret 1979 yang juga ditetapkan sebagai hari lahir KOPTI2.

Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu tempat industri tempe

yang ada di Bogor, dimana para pelaku industri tempe terbagi menjadi dua, yaitu

industri pola kemitraan dan pola mandiri. Perbedaan kenggotaan tersebut

menimbulkan adanya perbedaan pula dalam pendapatan yang diperoleh maupun

struktur biaya pada masing-masing industri pengolahan tempe tersebut, sehingga

diperlukan adanya penelitian mengenai adanya perbedaan pendapatan dan struktur

biaya dari dua pola industri tempe tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengurangi kendala yang ada di lingkungan pelaku usaha tempe

maka KOPTI merupakan harapan besar masyarakat untuk dapat mengatasi

kendala-kendala yang selama ini dihadapi oleh masyarakat seluruh Indonesia yang

bermata pencaharian dalam usaha tempe. KOPTI tersebut keberadaanya merata di

berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kecamatan Cibungbulang

Kabupaten Bogor. KOPTI ini berdiri karena adanya kesamaan cita-cita dan

kepentingan produsen tahu dan tempe untuk meningkatkan kesejahteraan

hidupnya karena selama ini para produsen tempe belumlah memperleh

kesejahteraan layaknya yang diharapkan. Keberadaan KOPTI mempermudah

usaha kecil tempe untuk bekerjasama dalam penyediaan faktor produksi, modal,

keahlian dalam menejerial bahan baku dan sumberdaya manusia, serta teknologi

pengolahan yang lebih baik sehingga usaha kecil tempe yang tergabung dalam

anggota KOPTI dapat meningkatkan hasil produksi dan pendapatannya.

Berdasarkan keterangan dari KOPTI, di Cibungbulang terdapat industri

tempe yang tergabung dalam anggota KOPTI dan tidak tergabung dalam anggota

KOPTI. Industri yang tergabung dalam anggota KOPTI mendapatkan bantuan

berupa penyediaan input, modal, peralatan, sedangkan industri tempe yang tidak

tergabung dalam anggota KOPTI atau pola mandiri umumnya penyediaan input,

2 http://lailyardiyani.blogspot.com/2011/11/KOPTI-primer-koperasi-produsen.html

6

modal serta peralatan yang digunakan merupakan kepemilikan pribadi. Hal ini

menyebabkan tingkat penggunaan faktor produksi yang digunakan pengusaha

tempe di Cibungbulang berbeda-beda dan menghasilkan produksi serta

pendapatan yang berbeda pula, maka sangat perlu menganalisis karakteristik

pengusaha, faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe,

pendapatan, dan struktur biaya dari masing-masing usaha tersebut, yaitu usaha

yang termasuk dalam anggota kemitraan dan pola mandiri, sehingga diharapkan

usaha tempe di lokasi tersebut dapat dikembangkan dan memberikan

kesejahteraan bagi para pelaku usaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri.

Sebelum monopoli BULOG (Badan Urusan logisti) atas kedelai impor

dicabut para pengrajin tempe mendapatkan kedelai dari KOPTI. Setiap anggota

KOPTI berhak memperoleh jatah yang telah ditetapkan. Untuk mempermudah

pengambilan jatah, setiap wilayah memiliki seorang kepala wilayah pelayanan

yang akan mendistribusikan kedelai dari KOPTI. Akan tetapi setelah monopoli

KOPTI dicabut, para pengrajin tempe membeli kedelai dari luar KOPTI yaitu di

toko-toko Cina. Dari semua anggota KOPTI, 70% pengrajin tempe membeli

kedelai dari pedagang Cina dan 30% pengrajin tempe memperoleh kedelai dari

KOPTI. Pada akhir tahun 2005 KOPTI melakukan pendataan pemakaian bahan

baku ke wilayah-wilayah pelayanan yang ada di Indionesia. Dari hasil pendataan

diperoleh skala kebutuhan kedelai di Kabupaten Bogor antara 50-800 kg/hari

dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam sebulan kedelai yang dipakai untuk

produksi tempe sekitar 875 ton. Sedangkan di Kotamadaya Bogor skala

kebutuhan bahan baku antara 10-150 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75

kg/hari. Dalam sebulan kebutuhan bahan baku kedelai di Kotamadya Bogor

sebesar 300 ton. Hampir sama dengan di Kabupaten Bogor sumber perolehan

bahan baku kedelai berasal dari pedagang Cina, dan hanya 10% pengrajin tempe

yang mengambil bahan baku kedelai dari KOPTI ( Sutrisno, 2006 ).

Permasalahan yang timbul dalam pengembangan industri kecil dan rumah

tangga (khususnya agroindustri) adalah pengadaan bahan baku, modal,

manajemen dan pemasaran. Menurut Apretty (2000), permasalahan dalam

pengadaan bahan baku disebabkan karena berbagai hal, antara lain sifat produk

pertanian yang musiman, tingkat keragaman yang tinggi, jumlah produksi yang

7

melimpah pada suatu waktu, mudah rusak dan tidak tahan lama. Permasalahan

lain yang sering dihadapi oleh usaha kecil dan rumah tangga adalah rendahnya

kemampuan dalam mengakses kepada sumbersumber permodalan, baik yang

berbentuk lembaga keuangan bank maupun bukan bank. Ketidakseimbangan

akses bagi usaha kecil dan rumah tangga dalam mendapatkan sumber-sumber

permodalan untuk mengembangkan usahanya menyebabkan produk usaha kecil

dan rumah tangga kurang mampu bersaing di pasar. Sistem perbankan dengan

persyaratanpersyaratan teknis yang diberlakukan bagi calon peminjam tidak

berkesesuaian dengan kondisi sebagian besar usaha kecil dan rumah tangga yang

ada saat ini.

Pemasaran pada industri kecil umumnya kurang atau tidak mengetahui

jenis produk yang sedang gencar di pasaran saat ini. Terkadang pengusaha tidak

menghasilkan produk dengan mutu dan standar yang sesuai dengan tuntutan pasar

dan selera konsumen dan juga kurang mampu untuk memproduksi dalam jumlah

yang besar dalam waktu yang cepat sehingga permintaan pasar tidak dapat

dipenuhi. Selain itu strategi pemasaran yang dijalankan relatif sangat sederhana

serta wilayah pemasaran yang terbatas pada daerah yang dekat dengan lokasi

usaha (Apretty, 2000).

Masalah manajemen usaha bagi industri kecil merupakan unsur penting

bagi pengembangan usaha. Menurut Sarah (2001), pengelolaan industri kecil

umumnya masih bersifat tradisional dan belum berorentasi pada manajemen usaha

yang profesional. Pola manajemen tradisional biasanya ditandai dengan masih

sulitnya memisahkan antara aktivitas keluarga dengan aktivitas perusahaan. Selain

itu manajemen usaha pada industri kecil umumnya juga belum bisa

mengembangkan manajemen keuangan dan personalia dengan baik.

Dari penjabaran diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di

Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor?

2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola

kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang

Kabupaten Bogor?

8

3. Bagaimana perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola

kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang

Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan

industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan

Cibungbulang Kabupaten Bogor.

Tujuan spesifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola

mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola

kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang

Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola

kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang

Kabupaten Bogor.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini dapat

memberikan manfaat bagi :

1. Bagi peneliti, penelitian ini diharrapkan bermanfaat secara akademis maupun

praktis, serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai industripengolahan

tempe yang ada di Indonesia.

2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapakn menjadi salah satu sumber rujukan

pustaka dalam membuat penulisan-penulisan ilmiah.

3. Pemerintah daerah Cibungbulang khususnya, dan pemerintah daerah Kab.

Bogor umumnya agar dapat membuat rekomendasi mengenai pola usaha

tempe yang paling efisien dan memberikan pendapatan yang optimal.

9

4. Pelaku usaha, dimana pelaku usaha tempe dapat mengetahui langkah mana

yang haris diambil agar usaha yang di jalankan dapat memberikan pendapatan

yang optimal dan berlanjut keberadaanya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini memiliki batasan-batasan sebagai berikut,

yaitu:

1. Wilayah penelitian adalah, Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang,

Kabupaten Bogor.

2. Objek penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan

Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

3. Responden penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan

Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yang merupakan pengusaha dalam industri

tempe pada pola kemitraan Prikompti dan pola mandiri.

1. 6 Batasan Penelitian

1. Pengusaha yang menjadi sample yaitu pengusaha tempe pola kemitraan dan

pola mandiri Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor

2. Penerapan teknik budidaya petani dalam satu kelompok usahatani relatif sama.

3. Satuan input produksi yang digunakan yaitu kedelai (kg), ragi (kg), plastik

(pack), tenaga kerja (HOK), dan air (liter).

4. Ukuran tenaga kerja dinyatakan dalam Hari Orang Kerja (HOK), upah harian

antara laki-laki dan wanita besaranya sama.

5. Pengusaha pola kemitraan menggunakan kedelai yang disediakan di koperasi,

sedangkan pengusaha pola mandiri menggunakan bahan baku kedelai yang

ada di pasaran atau non koperasi

6. Harga satuan air untuk pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri yaitu

menggunakan harga air PDAM Tirta Kahuripan sebesar Rp 2.200/0-10m3.

7. Analisis fungsi produksi yang digunakan yaitu analisis fungsi produksi Cobb-

Douglas dengan faktor produksi kedelai, ragi, air, tenaga kerja.

8. Jumlah penggunaan input dan pengeluaran tunai usahatani dihitung per tahun.

10

9. Analisis pendapatan pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri (biaya,

penerimaan, dan pendapatan usahatani) dihitung per tahun.

11

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Ketentuan Umum Koperasi

Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian

bab I tentang ketentuan umum, Pasal 1 : Ayat (1) Koperasi adalah badan usaha

yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi yang kegiatannya

berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar

atas azas kekeluargaan; ayat (2) Perkoperasian adalah segala sesuatu yang

menyangkut kehidupan koperasi; ayat (3) Koperasi Primer adalah koperasi yang

didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang; (5) Gerakan koperasi adalah

keseluruhan organisasi dan kegiatan perkoperasian yang bersifat terpadu menuju

tercapainya cita-cita bersama koperasi. Menurut International Cooperative

Alliance (ICA, 1995) dalam Nasution, 2002 : Koperasi adalah perkumpulan

orang-orang yang mandiri (autonomous) bersatu secara sukarela untuk memenuhi

kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan aspirasi melalui

badan usaha (enterpise) yang dimiliki bersama dan dikontrol secara demokratis.

Menurut Hatta (1995) dalam Nasution (2002) : Koperasi yang benar-benar

koperasi (the ideal type cooperative) adalah bentuk kerjasama dengan sukarela

antara mereka yang sama cita-citanya untuk membela keperluan dan kepentingan

bersama. Koperasi sebenarnya tidak dikemudikan oleh cita-cita keuntungan,

melainkan oleh cita-cita memenuhi keperluan bersama. Fungsi dan peran koperasi

menurut Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992 adalah :

1. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota

pada khususnya dan masyarakat umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan

ekonomi dan sosialnya;

2. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan

manusia dan masyarakat;

3. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan

perekonomian nasional dengan berkoperasi sebagai sokoguru;

4. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional

yang merupakan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan dan

demokrasi ekonomi.

12

Prinsip koperasi menurut Undang-Undang Perkoperasian nomor 25 tahun 1992

adalah :

1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;

2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis;

3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara sebanding dengan besarnya jasa

usaha masing-masing anggota;

4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;

5. Kemandirian.

Selanjutnya, dalam ayat dua dikatakan bahwa dalam mengembangkan koperasi,

maka koperasi melaksanakan pula prinsip koperasi sebagai berikut :

1. Pendidikan perkoperasian;

2. Kerjasama antar koperasi.

2.2 Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia

Koperasi berasal dari bahasa Latin cooperere yang dalam bahasa Inggris

menjadi cooperation, berarti bekerja sama. Menurut UU No 25 Tahun 1992,

koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan

hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip

koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi berdasar atas azas kekeluargaan.

Koperasi berbeda dengan badan usaha lainnya, perbedaannya terletak pada

tujuan koperasi yang tidak hanya mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya,

tetapi juga mempertinggi kesejahteraan anggotanya. Keberhasilan koperasi dilihat

dari kemampuan koperasi untuk hidup terus dengan kekuatannya sendiri dan

memberikan pelayanan kepada anggotanya secara kontinyu. Faktor yang paling

menentukan keberhasilan koperasi adalah faktor manajemen. Hal ini sangat

penting dalam pengelolaan koperasi yang dapat menentukan kemajuan usaha

koperasi yang bersangkutan (Ruswan, 2013).

Anggota koperasi di Indonesia memiliki bermacam-macam jenis usaha,

diantaranya mempunyai usaha kecil seperti tahu dan tempe. Koperasi yang

menaungi pelaku usaha kecil tahu dan tempe adalah KOPTI. KOPTI berdiri sejak

Tahun 1979 di Jakarta yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan pengrajin tahu

dan tempe dalam memperoleh kedelai dan menghasilkan tahu tempe yang baik.

13

KOPTI diharapkan mampu menjadi pusat pelayanan bagi anggota khususnya

maupun masyarakat umum di wilayah kerja. KOPTI juga dimaksudkan untuk

meningkatkan mutu tahu dan tempe yang dibuat oleh pengrajin anggota KOPTI

tersebut, antara lain dibidang manajemen dan administrasi, bidang modal dalam

bentuk bantuan kredit kepada pada pengusaha. Keberadaan KOPTI di Desa

Cimanggu I memberikan kemudahan kepada pengusaha tempe pola kemitraan

yang karena ketersediaan kedelai yang lebih pasti ketimbang ketersediaan kedelai

bagi pengusaha pola mandiri yang disediakan oleh pasar.

2.3 Karakteristik Tempe

Tempe adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang

difermentasikan menggunakan kapang Rhizopus oligosporus, kegiatan fermentasi

melibatkan tiga faktor pendukung yaitu, bahan baku yang diolah (kedelai),

mikroorganisme (jamur tempe) dan lingkungan tumbuh. Proses pembuatan tempe

yang terdiri atas perendaman, pencucian, pembilasan dan fermentasi secara

akumultatif telah mampu menghancurkan zat gizi yang terdapat pada kedelai

mentah. Teknologi tradisional dan relatif sederhana ini telah mampu

menghancurkan zat anti gizi pada kedelai sekaligus menghasilkan zat gizi utama

yang mampu memperbaiki mutu gizi kedelai (Winarno, 1993).

Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat

Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa,

khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai

dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung

dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme,

dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping

biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus

oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan yang terakhir yaitu

keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan

nisbi 70-80 % (Sarwono, 1994).

Permintaan akan tempe ini dipastikan akan terus meningkat seiring dengan

meningkatnya populasi penduduk di Indonesia, sehingga akan berpengaruh pula

pada peingkatan produsen tempe yang ada di setiap daerah atau kota yang ada di

14

Indonesia guna memenuhi kebutuhan tempe yang ada di pasaran. Tingginya

permintaan terhadap tempe tersebut merupakan sebuah peluang bisnis bagi para

pelaku usaha tempe yang ada di Indonesia, sehingga akan memacu pada perilaku

usaha yang efisien dalam produksi dan optimal dalam pendapatannya.

2.4 Jumlah Industri

2.4.1 Jumlah Industri Kecil di Indonesia

Data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada tahun 2003

memperlihatkan bahwa jumlah industri kecil di Indonesia sebanyak 42.326.519

unit yang terdiri dari 24.735.693 unit pada sektor pertanian, perikanan dan

peternakan, 379.141 unit pada sektor pertambangan dan penggalian, 2.560.846

unit pada sektor industri pengolahan, 9.185 unit pada sektor listrik, gas dan air

bersih, 170.359 unit pada sektor bangunan, 8.456 unit pada sektor perdagangan,

hotel dan restoran, 2.963.768 unit pada sektor pengangkutan dan komunikasi,

29.508 unit pada sektor keuangan, persewaan jasa perusahaan, dan 3.021.955 unit

pada sektor jasajasa. Industri tempe termasuk dalam kategori industri pengolahan

non migas. Data jumlah industri kecil berdasarkan sektor

ekonomi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 - 2004

Sektor Tahun 1999 Tahun 2000 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003

Pertanian, peternakan

dan perikanan 23.174.579 23.516.865 24.012.534 24.619.874 24.735.693

Pertambangan, dan

Panggalian 132.617 150.495 199.382 285.752 379.141

Industri, pengolahan 2.526.163 2.536.886 2.551.347 2.556.693 2.560.846

Listrik,gas dan air

bersih 4.492 3.868 4.372 8.099 9.185

Bangunan 102.332 120.750 111.033 187.360 170.359

Perdagangan,hotel

dan restoran 8.688.215 8.675.045 8.477.380 8.466.650 8.456.064

Pengangkutan dan

komunikasi 1.707.762 1.868.081 1.779.150 2.295.984 2.963.768

Keuangan,

perusahaan

perseroan, dan jasa

24.143 25.034 25.667 27.392 29.508

Jasa-jasa 1.499.206 1.699.416 1.692.876 2.258.472 3.021.955

Jumlah 37.859.509 38.669.355 38..853.741 40.705.676 42.326.519

Sumber : Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Tahun 2004 (diolah)

15

2.4.2 Jumlah dan Sebaran Industri Tempe di Kabupaten Bogor

Industri tempe umumnya merupakan sektor informal yang jumlahnya sulit

diketahui secara pasti. Hanya sedikit industri tempe yang mendaftarkan usahanya

ke Departemen Perindustrian. Akan tetapi kebanyakan industri tempe tercatat

dalam keanggotaan KOPTI. Berdasarkan data yang diperoleh dari KOPTI

Kabupaten Bogor tahun 2012 terdapat 1.373 penggrajin tempe yang tersebar di

seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor.

Sedangkan di wilayah kotamadya terdapat 165 pengrajin tempe. Berbeda

dengan Kabupaten Bogor, kotamadya Bogor mengalami penurunan jumlah

pengrajin tempe sebesar 50%. Penurunan ini terjadi karena beberapa wilayah

pelayanan yang dulu tergabung dalam KOPTI kotamadya Bogor sekarang

berpindah ke KOPTI daerah masing-masing seperti Kabupaten Bogor, Sukabumi

dan Cianjur. Pengrajin tempe di Kabupaten Bogor tersebar kedalam 22 wilayah

pelayanan. Setiap wilayah pelayanan dikepalai oleh seorang Kepala Wilayah

Pelayanan (KWP) yang ditetapkan dari KOPTI. Wilayah pelayanan kedelai di

Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor

No. Penyebaran Wilayah Jumlah Anggota

1. Ciseeng 101

2. Parung 106

3. Cibinong 105

4. Citereup I 115

5. Citereup II 82

6. Bojonggede 49

7. Sukaraja 45

8. Ciawi Megamendung 23

9. Caringin Cijeruk 65

10. Tamansari 50

11. Leuwiliang 39

12. Ciampea 62

13. Cibungbulang 34

14. Jasinga 20

15. Dramaga 19

16. Cimanggu 37

17. Cilrndek 84

18. Depok I 68

19. Depok II 111

20. Sawangan I 77

21. Sawangan II 17

22. Cimanggis 64

Jumlah 1.373

Sumber : Kantor KOPTI Kabupaten Bogor 2012 ( Diolah )

16

2.5 Pendapatan

2.5.1 Analisis Pendapatan (Penerimaan-Biaya)

Salah satu cara untuk mengukur manfaat pola kemitraan dibandingkan

dengan pola mandiri pada usaha tempe adalah dengan melihat perbedaan

pendapatan yang di hasilakan dari penjualan tempe per kilo gram bahan baku

kedelai. Pendapatan merupakan selisih dari nilai penerimaan terhadap nilai

pengeluaran (biaya). Terdapat dua tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu

menggambarkan keadaan sekarang dan menggambarkan keadaan yang akan

datang dari perencanaan atau tindakan suatu unit usaha. Analisa pendapatan

memberikan bantuan untuk mengukur kegiatan usaha pada saat ini berhasil atau

tidak.

Penerimaan perusahaan bersumber dari pemasaran atau penjualan hasil

usaha, seperti panen tanaman dan barang olahannya serta panen dari peternakan

dan barang olahannya. Penerimaan bisa juga bersumber dari pembayaran-

pembayaran tagihan, bunga, dividen, pembayara dari pemerintah dan semua

sumber lainnya yang menambah aset perusahaan. Semua hasil agribisnis yang

dipakai untuk dikonsumsi keluarga pun harus dihitung dan dimasukkan sebagai

penerimaan perusahaan walaupun akhirnya dipakai pemeilik perusahaan secara

pribadi (Kadarsan, 1995).

Hanafie (2010) menerangkan bahwa pendapatan terbagi menjadi dua yaitu

pendapatan tunai dan pendapatan non tunai. Pendapatan tunai adalah pendapatan

yang terhitung dari hasil perusahaan secara tunai. Contohnya adalah hasil

penjualan tempe dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan untuk

memproduksinya. Pendapatan non tunai adalah pendapatan yang tidak terhitung

dari hasil perusahaan tidak tunai tetapi termasuk pendapatan. Contohnya adalah

tempe hasil produksi yang dikonsumsi sendiri.

Kadarsan (1995) menjelaskan bahwa Pendapatan adalah selisih antara

penerimaan total perusahaan dengan pengeluaran. Untuk menganalisis pendapatan

diperlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan pengeluaran dan penerimaan

dalam jangka waktu tertentu.

17

2.5.2 Pendapatan Usaha

Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total perusahaan dengan

pengeluaran. Penerimaan tersebut bersumber dari hasil pemasaran atau penjualan

hasil usaha, sedangkan pengeluaran merupakan total biaya yang digunakan selama

proses produksi (Kadarsan, 1995).

Usaha tani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk

menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal

dalam proses produksinya. Penerimaan total usahatani merupakan hasil produksi

dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut, sedangkan pengeluaran total

usahatani merupakan semua nilai yang dikeluarkan dalam melakukan proses

produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut

dengan pendapatan (Nicholson, 1995). Formulasi pendapatan usahatani yang lebih

jelas, dapat dilihat sebagai berikut :

π = TR – TC

π = (Py · Y) – (Px · X) ...................................................................... (2.1)

Keterangan:

π : Tingkat pendapatan usaha tempe (Rp)

TR : Total penerimaan usaha tempe (Rp)

TC : Total pengeluaran usaha tempe (Rp)

Py : Harga output tempe (Rp)

Y : Jumlah output tempe (ton)

Px : Harga input tempe (Rp)

X : Jumlah input (kg,liter, liter, HOK)

2.6 Struktur Biaya

Biaya produksi dibagi menjadi dua yaitu biaya-biaya yang berupa tunai,

yaitu biaya yang digunakan untuk upah pekerja, pembelian bahan baku kedelai,

ragi, gas, air, plastik, dan tenaga kerja. Selain itu ada juga biaya-biaya yang

dibayarkan dalam bentuk in-natura, yaitu biaya-biaya penjualan, bagi hasil,

sumbangan-sumbangan dan pajak.

18

Besar kecilnya biaya yang berupa uang tunai ini sangat mempengaruhi

pengembangan usaha tempe. Terbatasnya uang tunai yang dimiliki pengusaha

tempe sangat menentukan berhasil tidaknya perkembangan usaha tempe.

Dalam jangka pendek, biaya produksi dikelompokkan menjadi biaya tetap

dan biaya variabel. Biaya tetap adalah semua jenis biaya yang nilainya tidak

tergantung pada besar-kecilnya biaya produksi, sehingga jumlah biaya tetap

adalah konstan. Contoh biaya tetap adalah lahan pabrik, drum, kompor gas, dan

tempat pematangan tempe. Biaya variabel adalah semua jenis biaya yang nilainya

tergantung pada besar-kecilnya biaya produksi. Contoh biaya tidak tetap adalah

biaya-biaya untuk pembelian kedelai, ragi, plastik, gas, air, dan upah pekerja.

Jumlah biaya variabel sama dengan jumlah faktor produksi variabel dikalikan

dengan biaya faktor produksi.

2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu menjadi masukan untuk kesempurnaan penelitian ini.

Beberapa penelitian yang dapat dijadikan acuan pada penelitian ini antara lain

penelitian Sari (2002), Latifah (2006), Purnama (2006), Lestari (2010) dan

penelitian Ruswan (2012). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian

sebelumnya adalah dalam hal spesifikasi komoditas, sumber data, lokasi

penelitian dan metode pengolahan data. Peneliti dalam penelitian ini menjelaskan

karakteristik dari masing-masing pengusaha baik pola kemitraan maupun pola

mandiri, menjelaskan variabel apa saja yang berpengaruh terhadap produksi

tempe, dan efisiensi produksi dari kedua pola usaha tersebut. Selain itu peneliti

juga membandingkan struktur biaya dan pendapatan yang diperoleh masing-

masing pola pengusaha yang bisa menjadi pembeda antara kedua pola usaha

tersebut, mana pola usaha yang paling baik untuk perkebangan usahanya dimasa

mendatang serta mengungtungkan dari sudut pandang ekonomi. Tinjauan

penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 5.

19

Tabel 5 Tinjauan penelitian penelitian terdahulu

No Nama

Penulis Judul Skripsi HASIL

1. Sari

(2002)

Analisis Efisiensi

dan Pendapatan

Pengrajin Tempe

Anggota KOPTI

Kotamadya

Bogor

1) Pendapatan pengrajin tempe pada usaha

skala besar dan kecil mempunyai nilai R/C

rasio yang positif.

2) Output tempe pada skala besar lebih

responsif terhadap perubahan pemakaian

faktor-faktor produksi kedelai, ragi, tenaga

kerja, dan plastik dibandingkan pada skala

kecil.

3) Penggunaan faktor-faktor produksi pada

industri tempe belum efisien karena nilai

perbandingan rasio nilai produk marginal

(NPM) dengan biaya korbanan marginal

(BKM) tidak sama dengan satu.

2. Latifah

(2006)

Dampak

Kenaikan Harga

Bahan Bakar

Minyak terhadap

Pendapatan

Usaha Pengrajin

Tempe di

Kotamadya

Bogor

1) Adanya kenaikan BBM, hasil produksi

mengalami penurunan sebesar 12.9 persen

2) Penggunaan faktor-faktor dalam

memproduksi tempe belum efisien baik

sebelum kenaikan BBM maupun setelah

kenaikan BBM kecuali bahan baku kedelai.

3. Purnama

(2006)

Analisis Efisiensi

Penggunaan

Faktor Produksi

Industri Tahu

1) Model produksi yang diduga menunjukan

bahwa jumlah nilai-nilai elastisitas dari

parameter penjelas adalah sebesar 0.801

yang berarti produksi tahu berada pada

skala kenaikan hasil yang menurun

(decreasing return to scale).

2) Rasio NPM dan BKM faktor produksi

kedelai dan tenaga kerja bernilai lebih dari

satu yang berarti faktor-faktor produksi

belum efisien dan perlu penambahan

pemakaian faktor produksi untuk mencapai

kondisi optimal

4. Lestari

(2010)

Analisis Produksi

dan Pendapatan

Usahatani

Kangkung

Anggota dan

Non Anggota

Kelompok Tani

di Desa

Bantarsari

Kecamatan

Rancabungur

Kabupaten Bogor

1) Keragaan usahatani dilihat dari luas lahan

dan status kepemilikan lahan sebagian

besar 0.11-0.3 ha per usahatani dan

memiliki lahan dan menyewa sebesar 40

persen petani, sedangkan non anggota

kelompok tani memiliki lahan sebagian

besar 0.01-0.1 ha dan status kepemilikan

lahannya 50 persen petani milik lahan

sendiri dan 40 persen menyewa.

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi

produksi kangkung untuk anggota

kelompok tani adalah TKLK, luas lahan

dan faktor-faktor yang mempengaruhi

produksi kangkung non anggota kelompok

tani adalah benih dan luas lahan.

20

3) Pendapatan usahatani bagi anggota

kelompok tani sebesar Rp 698 615.42 per

hektar usahatani bagi non anggota

pendapatan usahatani sebesar Rp 3 870

441.41 per hektar.

5. Ruswan

(2012)

Analisis

Pendapatan dan

Produksi Usaha

Kecil Tempe

Anggota dan

Non Anggota

Primer Koperasi

Produsen Tahu

Dan Tempe

Indonesia Tebet

Barat Jakarta

Selatan

1) Usaha kecil tempe anggota dan non anggota

KOPTI yang memiliki pendapatan yang

berbeda tergantung dari kualitas bahan baku

kedelai yang digunakan yaitu kedelai tipe A

dan tipe B.

2) Penggunaan faktor-faktor produksi usaha

kecil tempe anggota KOPTI yang

berpengaruh nyata terhadap peningkatan

produksi tempe yaitu kedelai, dan tenaga

kerja, untuk usaha kecil tempe non anggota

penggunaan faktor-faktor produksi yang

berpengaruh nyata terhadap produksi tempe

yaitu kedelai, dan ragi.

3) Penggunaan faktor-faktor produksi usaha

kecil tempe anggota dan non anggota

KOPTI belum efisien, ditunjukkan dengan

rasio nilai NPM-BKM tidak sama dengan

satu. Produksi rata-rata yang dihasilkan

usaha kecil tempe anggota KOPTI pada

kondisi aktual sebesar 85.00 kg per sekali

produksi, apabila faktor produksi yang

digunakan berada pada tingkat optimal

maka akan menghasilkan produksi optimal

sebesar 183.83 kg per sekali produksi.

21

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Operasional

Usaha tempe merupakan salah satu usaha yang banyak dilakukan oleh

masyarakat baik skala kecil (rumah tangga) maupun skala besar industri yang

fokus dalam memproduksi tempe. Salah satu upaya pemerintah untuk

mengembangkan usaha tempe yang ada di Indonesia adalah dengan mengeluarkan

program Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI). Lembaga ini

bertujuan membantu pengusaha tempe yang ada di seluruh Indonesia agar mampu

menghasilkan produk tempe yang baik secara kualitas dan optimal secara

kuantitas. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana pengusaha tempe pola

kemitraan dan pola mandiri yang berada di Desa Cimanggu I Kecamatan

Cibungbulang, Kabupaten Bogor, dilihat dari sudut pandang karakteristik

pengusaha, faktor yang mempengaruhi hasil produksi, serta perbandingan biaya

dan pendapatan antara pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri.

Baik pengusaha tempe pola kemitraan maupun pola mandiri sama-sama

mengalami keterbatasan dalam memaksimumkan keuntungan sehingga perlu

diketahui struktur biaya dan masing-masing kontribusi biaya tersebut.

Pemahaman struktur biaya sangat penting karena berimplikasi pada pendapatan

yang diterima oleh masing-masing pengusaha tempe baik pola kemitraan maupun

pola mandiri. Pertama, pada struktur biaya akan dianalisis biaya tetap, biaya

variabel dan unit cost masing-masing pengusaha tempe. Kedua, pada pendapatan

akan dianalisis biaya tunai, biaya non-tunai dan pendapatan total. Pengukuran

kelayakan usaha tempe diukur dengan cara menghitung perbandingan antara

penerimaan total dengan biaya produksi total dari masing-masing pengusaha

dengan menggunakan analisis R/C rasio. Selanjutnya adalah membandingakan

pendapaatan yang diterima oleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri

dalam satu tahun dengan menggunakan analisis perbandingan. Adapun alur

kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 1.

22

Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional

Kenaikan Populasi

Penduduk di Indonesia

Pengusaha Tempe dan Permasalahan Keterediaan

Kedelai serta Keterbatasan Pengetahuan Produksi

KOPTI Kecamatan Cibungbulang

Kabupaten Bogor

Anggota KOPTI

(Pola Kemitraan) Non Anggota KOPTI

(Pola Mandiri)

Faktor-faktor

Berpengaruh

Terhadap Produksi

Tempe

Analisis Faktor Produksi

Pertanian

Perbandingan Struktur Biaya dan Pendapatan Industri

Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri

Tingginya angka konsumsi tempe di

Indonesia khususnya di Kabupaten

Bogor

Identifikasi

Karakteristik

Pengusaha Pola

Kemitraan dan Pola

Mandiri

(Analisis Deskriptif)

Analisis Struktur

Biaya dan Pendapatan

Industri Tempe Pola

Kemitraan dan Pola

Mandiri

Pembinaan Pengusaha untuk Memperoleh Hasil Produksi

Tempe yang Optimal

23

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang

Kabupaten Bogor yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan

mempertimbangkan bahwa daerah ini terdapat sentra industri tempe yang terdapat

wadah kerjasama dengan KOPTI. Pengumpulan data primer di lapangan

dilaksanakan bulan November 2013.

4.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dimana

peneliti mengambil data penelitian pada beberapa responden/sample yang

mewakili populasi. Data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian

adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh

dengan menggunakan metode observasi langsung ke lokasi penelitian dengan

melakukan wawancara kepada para pengusaha tempe anggota KOPTI (Pengusaha

Pola Kemitraan) dan Pengusaha non anggota KOPTI (Pengusaha Pola Mandiri).

Wawancara tersebut dibantu dengan daftar-daftar pertanyaan berupa kuesioner

tentang penelitian terkait.

4.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dari dan wawancara secara langsung dengan

pengusaha yang melakukan kegiatan usaha tempe dengan pola mandiri dan pola

kemitraan dengan menggunakan kuesioner, serta wawancara secara mendalam

(depth-interview) kepada informan, yaitu kepada pengurus KOPTI Desa

Cimanggu I dan KOPTI Kabupaten Bogor. Data sekunder diperoleh dari studi-

studi literatur serta hasil-hasil penelitian, buku, internet, serta instansi-instansi

yang terkait dengan penelitian ini seperti Kantor Pusat KOPTI Kabupaten Bogor,

Kelurahan Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor dan instansi

lainnya.

24

4.4 Metode Pengambilan dan Jumlah Responden / Sampel

Penentuan jumlah responden pada penelitian ini adalah dengan cara

menggunakan sensus karena total jumlah pengusaha hanya 22 pengusaha. Total

22 pengusaha tempe tersebut adalah dari dua pola pengusaha tempe, yaitu dari

pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri. Penggunaan metode sensus ini

berlaku jika anggota populasi relatif kecil (Usman, 2009).

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif

dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data akan dilakukan secara manual dan

menggunakan komputer dengan program Minitab 15, dan program Microsoft

Office Excel 2010. Matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab

tujuan-tujuan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Matriks metode analisis data

No. Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data

1 Mengidentifikasi karakteristik

pengusaha tempe pola kemitraan dan

pola mandiri di Desa Cimanggu I

Kecamatan Cibungbulang Kabupaten

Bogor.

Data primer melalui

kuesioner dan

wawancara dengan

pengusaha tempe yang

menjadi responden.

Analisis Deskriptif

2 Menganalisis faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap produksi tempe

pola kemitraan dan pola mandiri di

Desa Cimanggu I Kecamatan

Cibungbulang Kabupaten Bogor.

Data primer melalui

kuesioner dan

wawancara dengan

pengusaha tempe yang

menjadi responden.

Analisis Struktur Biaya

3 Menganalisis perbandingan struktur

biaya dan pendapatan industri tempe

pola kemitraan dan pola mandiri di

Desa Cimanggu I Kecamatan

Cibungbulang Kabupaten Bogor.

Data primer melalui

kuesioner dan

wawancara dengan

pengusaha tempe yang

menjadi responden.

Analisis Pendapatan

Sumber : Data penulis, 2012 (diolah)

4.5.1 Analisis Struktur Biaya

Analisis struktur biaya dalam penelitian ini dibedakan menurut tipe

usahanya. Tipe usaha dibedakan menurut pola usaha masing-masing pengusaha,

yaitu pola kemitraan dan pola mandiri yang dilihat secara keseluruhan. Biaya

yang dikeluarkan dalam usaha tempe terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai.

Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai dalam usaha tempe.

Biaya tunai terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang

25

dikeluarkan adalah biaya tempat, serta alat-alat untuk pengolahan dan fermentasi

tempe, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian

bahan baku kedelai, ragi, gas, air, plastik, dan tenaga kerja keluarga serta tenaga

kerja luar keluarga. Biaya tidak tunai merupakan biaya yang tidak dikeluarkan

secara tunai, namun diperhitungkan dalam usaha tempe. Biaya tidak tunai yang

diperhitungkan terdiri dari biaya-biaya penyusutan, seperti biaya penyusutan

tempat, peralatan, dan tenaga kerja dalam keluarga.

4.5.2 Fungsi Produksi

Menurut Kaunang (2006) Suatu kegiatan yang mengolah atau mengubah

suatu bentuk barang menjadi bentuk yang lainnya, dikatakan sebagai kegiatan

produksi. Barang-barang yang digunakan untuk memproduksi bentuk barang yang

lain disebut sebagai input produksi, sedangkan barang-barang yang dihasilkan dari

aktivitas produksi disebut sebagai output produksi (Hidayat, 2013). Fungsi

produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan teknis antara hasil

produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input) yang digunakan

untuk melakukan produksi. Dikenal juga dengan istilah Factor Relationship (FR).

Dalam bentuk matematika sederhana, hubungan ini dituliskan sebagai berikut:

Y = f(x1, x2, x3, x4,) .......................................................................... (4.1)

Keterangan:

Y : Hasil produksi tempe (kg)

x1 : Kedelai (kg)

x2 : Ragi (kg)

x3 : Air (liter)

x4 : Tenaga Kerja (HOK)

Berdasarkan persamaan tersebut, pengusaha dapat melakukan tindakan yang dapat

meningkatkan produksi (Y) dengan dua cara, yaitu:

1. Menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan.

2. Menambah jumlah beberapa input (lebih dari satu) dari input yang digunakan.

26

4.5.3 Konsep Produktivitas

Pengertian produktivitas dikemukakan dengan menunjukkan rasio output

terhadap input. Input dapat mencakup biaya produksi dan peralatan. Sedangkan

output bisa terdiri dari penjualan, pendapatan, market share, dan kerusakan.

Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi merupakan komponen

dari usaha produktivitas.3

Y* = .................................................................. (4.2)

Keterangan:

Y* : Produktivitas tempe siap jual (kg/kedelai)

Y : Total produksi tempe (kg)

L : Penggunaan kedelai (kg)

4.5.4 Fungsi Cobb-Douglas

Manurut Soekartawi (2002) fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau

persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel (variabel bebas atau

independent variable dan variabel tak bebas atau dependent variable). Secara

matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut.

Y = a X1b1X2

b2X3b3

X4b4e

ε ................................................................... (4.3)

Keterangan:

Y : Produksi Tempe (kg)

a : Intercept/konstanta

b1-b4 : Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas

X1 : Kedelai (kg)

X2 : Ragi (kg)

X3 : Air (Liter)

X4 : Tenaga Kerja (HOK)

e : Logaritma natural, e = 2,718

ε : Kesalahan (error)

Untuk menaksir parameter-parameter pada persamaan (4.3) diatas,

persamaan tersebut harus ditransformasikan dalam bentuk double logaritme

3 http://file2shared.wordpress.com/analisis_produktivitas/ (diakses pada tanggal 1 maret 2012)

Y

L

27

natural (ln) sehingga merupakan bentuk linear berganda (multiple linear) yang

kemudian dianalisi dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square).

Manurut Juanda (2009) model regresi berganda merupakan salah satu

model yang terdapat dalam ilmu ekonometrika. Model ini mambahas asumsi

bahwa peubah tak bebas atau (dependen) Y merupakan fungsi linear dari beberapa

peubah bebas (independen) X1, X2, …, Xn, dan komponen sisaan ε (error). Model

akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Sesudah melakukan pendugaan

parameter koefisien regresi, kesesuaian model dengan kriteria statistik dapat

dilakukan dengan melihat hasil uji F, uji t, dan koefisien determinan (R2).

Berdasarkan persamaan (4.3) diatas, dapat diperoleh fungsi linear berganda

sebagai berikut:

Ln Y = Ln a + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + ε ......... (4.4)

Keterangan:

Y : Produksi Tempe (kg)

a : Intercept/konstanta

b1-b4 : Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas

X1 : Kedelai (kg)

X2 : Ragi (gram, kg)

X3 : Air (liter)

X4 : Tenaga Kerja (HOK)

ε : Kesalahan (error)

Menurut persamaan (4.4) diatas menunjukkan bahwa nilai b1, b2, b3, dan

b4 memiliki nilai tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal

ini dapat dimengerti karena b1, b2, b3, dan b4 pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus

menunjukkan elastisitas variabel bebas terhadap variabel tak bebasnya dalam

model tersebut.

4.5.5 Pengujian Parameter

Suatu model akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Pengujian

hipotesis berdasarkan statistik bertujuan untuk melihat nyata atau tidaknya

variabel-variabel bebas yang dipilih terhadap variabel tak bebas. Pengujian ini

menggunakan nilai-P (P-value). Bedasarkan nilai-P, dapat diketahui berapa persen

28

variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebas. Setelah melakukan

pendugaan parameter koefisien regresi, selanjutnya harus diuji terlebih dahulu

asumsi-asumsi dari model regresi tersebut sebelum melakukan pengujian model

secara keseluruhan (uji-F) dan pengujian mengenai masing-masing koefisien

regresi (uji-t) (Sapta, 2009).

4.5.6 Uji Koefisien Determinasi

Dalam hal hubungan dua atau lebih variabel, koefisien determinasi (r2)

mengukur tingkat ketepatan/kecocokan (goodness of fit) dari regresi linear

sederhana, yaitu merupakan presentase sumbangan X terhadap variasi (naik-

turunnya) Y. Pengertian tersebut dapat diperluas untuk regresi linear berganda.

Pada regresi linera berganda, besarnya persentase sumbangan X terhadap variasi

Y disebut koefisien determinasi berganda (multiple coefficient of correlation)

dengan simbol R2 (Firdaus, 2004).

Seperti halnya r2 maka R

2 nilainya antara nol dan satu: 0 ≤ R

2 ≤ 1.

4.5.7 Uji Statistik F

Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel

bebas (independen) secara bersama-sama terhadap variabel tak bebasnya

(dependen). Formula pengujiannya adalah sebagai berikut:

H0 : β1 = β2 = β3 = …. = βk = 0

H1 : β1 = β2 = β3 = …. = βk ≠ 0

Fhit = ..................................................................................... (4.6)

Keterangan:

KTR : Kuadrat tengah regresi

KTG : Kuadrat tengah galat

Jika F < Fhit Tabel, maka H0 diterima, artinya variabel bebas secara serentak

tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya.

Jumlah Kuadrat Regresi (JKR)

Jumlah Kuadrat Total (JKT) R

2 = ...................................... (4.5)

KTR

KTG

29

Jika F > Fhit Tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel bebas secara serentak

berpengaruh nyata terhapad variabel tidak bebasnya.

4.5.8 Uji Statistik t

Tujuan dari melakukan Uji statistik t adalah untuk mengetahui seberapa

besar masing-masing variable bebas (independen) mempengaruhi variable tak

bebasnya (dependen). Prosedur cara pengujiannya adalah sebagai berikut:

Nilai t-hitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan t Tabel. Jika t < -

tα/2 atau t > tα/2, tolak H0. Jika - tα/2 ≤ t ≤ tα/2, terima H0, dengan asumsi:

H0 : βi = 0, artinya variabel bebas (independen) tidak berpengaruh nyata terhadap

variable tak bebasnya (dependen).

H1 : βi ≠ 0, artinya variabel bebas (independen) berpengaruh nyata terhadap

variable tak bebasnya.

4.5.9 Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity)

Salah satu asumsi dari model regresi ganda adalah bahwa tidak ada

hubungan linear sempurna antar peubah bebas (independen) dalam model

tersebut. Jika hubungan tersebut ada, maka dapat dikatakan bahwa dalam model

tersebut terdapat multikolinearitas. Deteksi adanya multikolinearitas dalam sebuah

model dapat dilakukan dengan membadingkan besarnya nilai koefisien

determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas (r

2).

Kolinear ganda dapat dianggap tidak masalah apabila koefisien determinasi

parsial antar dua peubah bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau

koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan. Namun

multikolinearitas dianggap sebagai masalah serius jika koefisien determinasi

parsial antar dua peubah bebas melebihi atau sama dengan nilai koefisien

determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan

(Juanda, 2009).

b - B

Se(b) thitung = ....................................................................... (4.7)

............................................................................. (4.8) 1

1 – Rj2

VIF =

30

Keterangan :

VIF : Variance Inflation Factor

Rj2 : Koefisien determinasi

Masalah multicollinearity juga dapat dilihat langsung melalui output

komputer, dimana jika nilai VIF < 10 maka tidak ada masalah multicollinearity.

4.5.10 Uji Heteroskedastisitas

Menurut Supranto (2004) salah satu asumsi yang penting dalam model

regresi linear klasik adalah bahwa kesalahan pengganggu εi mempunyai varian

yang sama, artinya Var (εi) = E(εi2) = σ

2 untuk semua i, i = 1, 2, …n. Asumsi ini

disebut sebagai homoskedastisitas (homoscedastic). Menurut Firdaus (2004)

model yang tidak memenuhi asumsi tersebut dapat dikatakan memiliki

penyimpangan. Penyimpangan terhadap faktor pengganggu sedemikian itu disebut

dengan heteroskedastisitas (heteroscedasticity), dapat dilihat statistik ujinya

adalah sebagai berikut :

Fhit = ..................................................................................... (4.9)

Keterangan:

Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh pertama dikonotasikan

(JKR1).

Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh kedua dikonotasikan (JKR2)

Jika tidak ada masalah heteroskedastisitas maka nilai F-hitung akan

menuju 1. Masalah heteroskedastisitas masih dapat ditolerir jika F-hitung < F

table dengan derajat bebas v1 = v2 = (n-c-2k)/2 dimana n adalah jumlah contoh, c

adalah jumlah contoh pemisah, dan k adalah jumlah parameter yang diduga.

4.5.11 Analisis Pendapatan

Nicholson (1995) menyatakan bahwa usaha adalah suatu kegiatan

ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input

fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Penerimaan total usaha

merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut.

Sedangkan pengeluaran total usaha merupakan semua nilai yang dikeluarkan

JKR1

JKR2

31

dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran

inilah yang disebut dengan pendapatan. Secara matematis formulasi pendapatan

usahatani dapat dilihat sebagai berikut.

π = TR - TC = (Py · Y) – (Px · X) ..................................................... (4.10)

Keterangan:

π : Tingkat pendapatan usaha (Rp)

TR : Total penerimaan usaha (Rp)

TC : Total pengeluaran usaha (Rp)

Py : Harga persatuan produksi tempe (Rp)

Y : Jumlah produksi tempe (kg)

Px : Harga input (Rp)

X : Jumlah input (kg, kg, liter, HOK)

Analisis ini meliputi komponen penerimaan dan biaya yang digunakan

untuk menganalisis pendapatan yang diperoleh pengusaha tempe. Analisis

pendapatan dihitung berdasarkan selisih antara penerimaan total (TR) dengan

biaya total (TC). Menurut Soekartawi (1995) rumus yang digunakan untuk

menganaisis pendapatan adalah sebagai berikut :

total ∑ tidak tunai + ∑ tunai

tidak tunai

tunai

Dimana,

total = Pendapatan total usaha tempe (Rp)

tidak tunai = Pendapatan tidak tunai usaha tempe (Rp)

tunai = Pendapatan tunai usaha tempe (Rp)

32

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Profil Desa Cimanggu I

Desa Cimanggu I adalah desa yang terletak di wilayah Kecamatan

Cibungbulang Kabupaten Bogor. Desa yang terdiri dari tiga Dusun dan sembilan

Rukun Warga ini, terbagi atas empat Kampung yaitu Cimanggu, Ciaruteun,

Bojong Galeuh, dan Jatake, dipimpin oleh Kepala Desa Bapak Hamdani dengan

dibantu seorang Sekretaris Desa Bapak Noerhasan. Luas wilayah Desa Cimanggu

I mencapai 170 Ha yang terbagi menjadi 3 wilayah Kekadusan, yaitu: Kadus I, II

dan III, Adapun batas wilayah Desa Cimanggu I adalah :

Sebelah Utara : Desa Cijujung

Sebelah Selatan : Desa Cimanggu II

Sebelah Barat : Desa Leuweung Kolot

Sebelah Timur : Desa Cimanggu II

Pada umumnya wilayah Desa Cimanggu I berdasarkan ketinggian dari

permukaan laut (dpl), Desa Cimanggu I berada di ketinggian antara 460 m dpl.

Seperti halnya dengan daerah lain yang terdapat di Jawa Barat, wilayah Desa

Cimanggu I juga beriklim tropis yang ditandai dengan dua musim, yaitu musim

panas dan musim penghujan. Musim penghujan berlangsung antara bulan

Oktober-Pebruari, dengan tingkat curah hujan rata-rata berkisar 1000 hingga

2000 mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 100 – 200 hari/tahun. Sedangkan

musim panas atau kemarau berlangsung antara bulan Maret-Agustus. Suhu udara

di Desa Cimanggu I pada pagi hari berkisar antara 18 – 23 C, sedangkan pada

siang hari suhu udara berkisar antara 27 – 35 C, dengan kelembaban udara rata-

rata 80%. Desa Cimanggu I dilalui 1 (Satu) buah sungai besar, yaitu Sungai

Ciaruteun dengan arah aliran menuju ke utara dan bermuara di Sungai Cisadane.

Pola penggunaan lahan yang terdapat di Desa Cimanggu I pada umumnya

masih berupa tegalan dan persawahan yang terdapat disemua wilayah Kekadusan

yang ada di Desa Cimanggu I, sedangkan untuk daerah permukiman penduduk

sebagian besar berada di wilayah 3 Kekadusan yaitu di wilayah Kekadusan I, II

dan III, Selain itu juga penggunaan lahan di Desa Cimanggu I, berupa lahan

33

terbagun (fasilitas pertokoan, peribadatan dan pendidikan) yang berada di sekitar

Jalan Ciaruteun Gardu Seri-Jatake Desa CimangguI.

Sebaran penduduk merupakan salah satu indikator yang dapat

menunjukkan kemajuan suatu wilayah. Desa Cimanggu I, sebaran penduduk

paling besar berada di Kekadusan I (Satu) Hal ini disebabkan karena di kawasan

tersebut, telah terdapat beberapa sarana dan prasana yang memadai. Jumlah

penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan Profil Desa pada tahun 2011 setelah

terjadinya pemekaran Desa sebesar 9.523 Jiwa (perempuan sebesar 4.720 jiwa dan

laki-laki sebesar 4.803 jiwa) Dengan Jumlah KK sebesar 2.550. Kepadatan

penduduk di wilayah ini adalah kepadatan kasar (brutto) yang merupakan suatu

perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah.

Kepadatan penduduk rata-rata di Desa Cimanggu I pada tahun 2011 sebesar 29

jiwa/km.

Kegiatan penduduk di Desa Cimanggu I didominasi oleh Petani sebesar

1.474 jiwa (15%), Buruh Tani sebesar 2521 jiwa (26%) dan Petani Penggarap

sebesar 639 jiwa (6%). Hal ini menggambarkan bahwa pada umumnya sektor

pertanian lebih besar dapat menampung tenaga kerja dan memiliki peluang lebih

besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya.Sebaran penduduk Desa CImanggu

I berdasarkan matap encaharian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan mata

pencaharian

No. Pendidikan Jumlah (jiwa) Presentase (%)

1 Petani 1474 28

2 Buruh Tani 2521 48

3 PNS 17 1

4 TNI / POLRI 8 6

5 Karyawan Swasta 211 4

6 Pensiunan 7 0

7 Jasa 331 0

8 Tukang 43 1

9 Petani Penggarap 630 12

Jumlah 5242 100

Sumber: Kelurahan Desa Cimanggu I (2011)

Berdasarkan Tabel 7 tingkat pendidikan penduduk di Desa Cimanggu I,

sebagian besar merupakan lulusan SD/sederajat sebanyak 624 jiwa, lulusan

34

SLTP/sederajat sebanyak 129 jiwa, lulusan SLTA/Sederajat sebanyak 109 jiwa,

lulusan D-3/S1 sebanyak 25 jiwa Jika dilihat dari tingkat pendidikan tersebut,

masyarakat Desa Cimanggu I pada umumnya lebih dapat memiliki peluang untuk

dapat bekerja pada sektor-sektor strategis. Namun dengan keterbatasan peluang

kerja dan minimnya lapangan pekerjaan, maka sebagian penduduknya lebih dapat

hanya sebagai buruh tani, petani maupun pedagang. Namun perlu di perhatikan

juga, dimana angka Buta Huruf pada saat ini masih cukup besar sebanyak 564

jiwa dan tidak tamat sekolah sebesar 878 jiwa. Sebaran penduduk Desa Cimanggu

I berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan mata tingkat

pendidikan

No. Pendidikan Jumlah (jiwa) Presentase (%)

1 Buta Huruf 564 32

2 Tidak Tamat SD 878 18

3 Tamat SD / Sederajat 624 35

4 Tamat SLTP / Sederajat 129 7

5 Tamat SLTA / Sederajat 109 6

6 D1 0 0

7 D2 0 0

8 D3 11 1

9 S1 17 1

10 S2 0 0

11 Doktor 0 0

Jumlah 2332 100 Sumber: Kelurahan Desa Cimanggu I (2011)

Berdasarkan Tabel 8 usia produktif (usia 15 s/d 46 tahun) penduduk di

Desa Cimanggu I sebanyak 6.375 jiwa (65%). Berdasarkan hal tersebut maka

Desa Cimanggu I memiliki potensi yang cukup besar dalam upaya mendongkrak

peningkatan ekonomi keluarga. Namun dengan keterbatasan peluang kerja,

minimnya lapangan pekerjaan serta keterampilan dari masyarakat yang masih

relitif rendah, maka sebagian penduduknya lebih banyak hanya sebagai buruh

tani, petani maupun pedagang.

35

HASIL DAN PEMBAHSAN

6.1 Identifikasi Karakteristik Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan

Pola Mandiri

Identifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola

mandiri berdasarkan karakteristik sosial ekonomi, karakteristik usaha tempe, dan

karakteristik pemasaran. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut

mengenai perbedaan sesial ekoomi, usaha tempe, dan wilayah pemasaran yang

dijadikan tempat penjualan hasil produksi tempe.

6.1.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan

Pola Mandiri

Pengusaha responden dalam penelitian ini yaitu pengusaha tempe yang

tergabung dalam anggota kemitraan KOPTI dan dan pola mandiri di Desa

Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Karakteristik sosial

ekonomi pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri dapat dianalisis dalam

beberapa kriteria yaitu meliputi usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan

pengusaha tempe, dan pengalaman usaha tempe.

6.1.1.1 Usia

Aspek usia mempengaruhi responden pada kondisi fisiknya. Usia

pengusaha tempe yang sudah tua akan sedikit lambat dalam bekerja karena

kondisi fisik yang tidak lagi kuat akan berpengaruh terhadap kecepatan dalam

memproduksi tempe, disamping itu konsentrasi dan semangat juga sudah mulai

menurun, sehingga efisiensi waktu dalam bekerja menjadi turun. Sedangkan

pengusaha tempe yang lebih muda memiliki tenaga yang lebih baik dibandingkan

dengan pengusaha yang lebih tua, sehingga yang lebih muda dapat bekerja dengan

waktu yang lebih efisien. Sebaran jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan

pola mandiri berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 9.

36

Tabel 9 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan

sebaran usia

Sebaran Usia Pola Kemitraan Pola Mandiri

Jumlah Presentase (%) Jumlah Presentase (%)

20-25 1 8 0 0

25-30 0 0 0 0

30-35 1 8 2 20

35-40 3 25 1 10

40-50 7 59 7 70

Jumlah 12 100 10 100

Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat bahwa sebaran usia pengusaha tempe

pola kemitraan Desa Cimanggu I cukup bervariasi dengan selang usia antara 20-

50 tahun. Begitupun dengan sebaran usia pengusaha tempe pola mandiri , petani

yang memiliki usia paling muda adalah berumur 20-25 tahun dan usia paling tua

adalah berumur 40-50 tahun. Sebaran usia pengusaha tempe pola kemitraan Desa

Cimanggu I dengan persentase terbesar berada pada range usia 40-50 tahun

dengan nilai 59%, sedangkan persentase terendah berada pada range usia 20-30

tahun dengan nilai persentase 8%. Hal ini dikarenakan beberapa dari warga Desa

Cimanggu I menjadikan sektor usaha tempe bukan sebagai mata pencaharian

pokok di usia produktif mereka, sehingga di usia produktif mereka lebih memilih

sektor usaha lain ketimbang menggeluti usaha tempe yang turun temurun.

Sedangkan pengusaha tempe pola Mandiri memiliki sebaran usia

pengusaha tempe tertinggi pada range usia 40-50 tahun dengan nilai persentase

sebesar 70%. Sedangkan sebaran usia terendah berada pada range usia 20-30

tahun dengan nilai sebesar 0%. Hal ini dikarenakan warga Desa Cimanggu I pada

usia produktif tidak memilih menjadikan usaha tempe sebagai pencaharian utama

sehingga jumlah pengusaha tempe yang relatif muda jarang ada yang menekuni

usaha tempe ini. Hal lain adalah ingin berusaha memperbaiki kehidupan dengan

sektor usaha berbeda yang lebih baik dari usaha keluarga saat ini.

6.1.1.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan responden akan berpengaruh terhadap tingkat

penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam pengelolaan

usaha tempe. Responden penelitian ini sebagian besar telah mendapatkan

37

pendidikan formal, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah

Pertama (SMP), Sekolah Menengah Akhir (SMA), hingga tingkat Perguruan

Tinggi (PT). Sebaran pengusaha tempe responden berdasarkan tingkat pendidikan

dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan

tingkat pendidikan

Status Pendidikan Pola Kemitraan Pola Mandiri

Jumlah Presentase (%) Jumlah Presentase (%)

Tidak tamat SD 1 8 0 0

SD 6 50 7 70

SMP 5 42 3 30

SMA 0 0 0 0

Jumlah 12 100 10 100

Berdasarkan data pada Tabel 10 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan

yang ditempuh oleh pengusah tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa

Cimanggu I. Persentase tertinggi sebanyak 50% dari total pengusaha tempe pola

kemitraan Desa Cimanggu I merupakan pengusaha dengan tingkat pendidikan

terakhir Sekolah Dasar (SD). Sedangkan persentase terendah sebesar 0% dari total

petani responden merupakan petani dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah

Menengah Atas (SMA). Hal yang hampir sama terjadi pada pengusaha tempe pola

mandiri, petani dengan tingkat pendidikan terakhir SD menjadi persentase

tertinggi yaitu sebesar 70%. Sedangkan persentase terendah yaitu petani dengan

tingkat pendidikan terakhir SMA dan Tidak Tamat SD dengan nilai masing-

masing sebesar 0%.

Pola pendidikan yang dijalani oleh pengusaha tempe pola kemitraan dan

pola mandiri di Desa Cimanggu I sangat rendah, sehingga banyak dari masyarakat

Desa Cimanggu I hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SD. Hal ini

mengakibatkan tingkat penyerapan teknologi dalam mengembangkan usaha tempe

pola kemitraan dan pola mandiri sangat rendah.

6.1.1.3 Pengalaman Usaha Tempe

Keberhasilan suatu usaha tempe responden tidak terlepas dari

pengalamannya dalam mengelola usahanya. Semakin lama seorang pengusaha

berwirausaha dalam bidang usaha tempe, maka semakin banyak pula pengalaman

38

usaha yang dimiliki oleh pengusaha dalam mengelola usahanya agar menjadi

lebih baik.

Tabel 11 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan mandiri berdasarkan

pengalaman usaha

Pengalaman

Usaha

Pola Kemitraan Pola Mandiri

Jumlah Presentase (%) Jumlah Presentase (%)

0-5 2 17 0 0

5-10 0 0 1 10

10-15 2 17 1 10

15-20 0 0 1 10

20-25 8 66 7 70

Jumlah 12 100 10 100

Berdasarkan data pada Tabel 11 pengalaman usaha tempe pola kemitraan

di Desa Cimanggu I beragam, dengan pengalaman paling rendah yaitu 0-5 tahun

dan pengalaman paling lama yaitu 20-25 tahun. Begitupun pengalaman usaha

tempe Pola Mandiri Desa Cimanggu I, pengalaman usaha tempe paling rendah

yaitu 5-10 tahun dan pengalaman paling lama yaitu 20-25 tahun. Tabel 11

menunjukkan bahwa pengalaman usaha tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu

I sebagian besar (66%) berkisar pada 20-25 tahun, sedangkan pengusaha dengan

pengalaman usaha 0-5 tahun merupakan range pengalaman usaha terendah (17%).

Begitupun dengan pengusaha tempe pola mandiri, pengusaha tempe pola mandiri

sebagian besar pegusahanya telah berpengalaman dalam usahatani selama 20-25

tahun, sedangkan petani dengan pengalaman 0-5 tahun menjadi range pengalaman

usahatani terendah. Pengalaman usaha merupakan salah satu indikator

keberhasilah suatu usaha, dimana dengan semakin lama pengalaman seorang

pengusaha dalam mengelola ushanya, maka diharapkan produksi tempe akan lebih

baik dan meningkat. Hal ini dikarenakan semakin lama pengalamana seorang

pengusaha tempe dalam mengelola usahanya semakin banyak pula ilmu yang

dimiliki yang akan berguna untuk dapat meningkatkan hasil produksi tempe

dalam uahanya.

6.2 Karakteristik Ekonomi Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri

Dalam melakukan usahanya baik pengusaha tempe pola kemitraan

maupun pengusaha pola mandiri memiliki karakteristik khas masing-masing dan

memiliki cara sendiri dalam menjalankan usahanya. Mulai dari penggunaan bahan

39

baku, sumber bahan baku dan kualitas, proses produksi, wilayah pemasaran, serta

sumber modal awal yang digunakan ketika memulai usahanya, adapun hasil

output produksi dari kedua pola usaha ini adalah hanya menghasilkan tempe saja

dan tidak menghasilkan output yang lain. Secara spesifik karakteristik umum

pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Karakteristik Ekomomi pengusaha tempe pola kemitran dan pola

mandiri

Karakteristik Umum Pola Kemitraan Pola Mandiri

Input Kedelai Kedelai

Sumber Input / kualitas Koperasi / Impor, pengusaha

pola kemitraan mendapatkan

jaminan kemudahan

memperoleh kedelai karena

disediakan oleh koperasi

Non Koperasi / Impor, pengusaha

pola mandiri tidak mendapataka n

jaminan dalam kemudaha

memperoleh kedelai karena tidak

disediakan oleh koperasi

Proses Produksi Menggunakan cara

Tradisional yang sudah turun

temurun sejak lama dan tidak

mengikuti anjuran penyuluhan

dari KOPTI

Menggunakan anjuran dari

KOPTI dan meninggalkan tradisi

yang turun temurun sejak lama

Output Tempe Tempe

Pemasaran Pasar Ciampea Desa-desa dalam Kecamatan

Cibungbulang

Sumber Modal Awal Modal Pribadi Modal Pribadi dan Patungan

Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 12 menunjukan bahwa input

yang digunakan oleh pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri adalah

sama menggunakan kedelai sebaga bahan baku utamanya. Pengusaha pola

kemitaan memperoleh bahan baku tersebut dari koperasi yang ada di daerah Desa

Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang. Sedangkan pengusaha pola mandiri

memperoleh bahan baku dari non koperasi / pedagang biasa yang ada di pasaran.

Jenis kedelai yang digunakan oleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri

adalah jenis kedelai impor. Keduanya sama-sama menggunakan kedelai jenis

impor daripada kedelai lokal, dikarenakan kedelai impor memiliki kualitas lebih

baik serta ketersediaannya yang relatif stabil dibadingkan dengan kedelai lokal.

Dalam melakukan proses produksi tempenya pengusaha pola kemitraan

menggunakan cara tradisional yang sejak lama telah mereka gunakan. Sedangkan

pengusaha pola mandiri menggunakan cara terbaru yaitu cara-cara yang diajarkan

oleh penyuluh-penyuluh KOPTI Kabupaten Bogor. Jika melihat dari status

keanggotaan seharusnya pengusaha pola kemitraan menggunakan cara yang

40

dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor, akan tetapi pengusaha pola kemitraan

kurang menyakini cara-cara yang dianjurkan oleh KOPTI sehingga daripada

menggunakan cara yang dianjurkan pengusaha pola kemitraan lebih memilih

menggunakan cara yang biasa digunakan sejak lama. Sedangkan pengusaha pola

mandiri justru menggunakan cara-cara produksi yang disosialisasikan oleh KOPTI

Kabupaten Bogor.

Pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dalam melakukan usaha ini

hanya menghasilkan output tempe, baik pengusaha pola kemitraan maupun pola

mandiri sama-sama tidak menghasilkan produk turuan lain dari kedelai, seperti

tahu atau oncom. Tempe yang dihasilkan dari proses prduksi tersebut selanjutnya

dipasarkan ke wilayah di dalam Kecamatan Cibungbuulang dan daerah terdekat

dari Kecamatan Cibungbulang. Berdasarkan Tabel di atas menjelaskan bahwa

pengusaha pola kemitraan menjual produk tempenya di Pasar Ciampe Kabupaten

Bogor, sedangkan pengusaha pola mandiri menjual produknya ke wilayah desa

yang ada di kawasan Kecamatan Cibungbulang. Hal ini dikarenakan antara

pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri telah memiliki pelanggan tempe

masing-masing di setiap tempat pemasaran.

6.3 Karakteristik Produksi Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri

Suatu kegiatan produksi akan menghasilkan output yang optimal jika

proses produksi yang dilakukan mengguanakan langkah-langkah yang benar

secara teori keilmuan. Begitu pula dengan produksi tempe di kedua pola

pengusaha yang ada di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang, dalam

melakukan proses produksinya kedua pelaku usaha memiliki cara yang berbeda.

Perbandingan proses produksi pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri di Desa

Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang dapat dillihat pada Tabel 13.

41

Tabel 13 Karakteristik produksi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri

Pengusaha Pola Kemitraan Pengusaha Pola Mandiri

1. Mencuci kedelai sampai bersih

menggunakan air yang bersih.

2. Merendam Kedelai yang telah dicuci

bersih selama 30-40 menit.

3. Merebus kedelai yang telah direndam

selama 1-1.5 jam.

4. Meniriskan lalu merendam kedelai yang

telah direbus untuk menghilangkan

kandungan asam yang ada pada tempe

selama 12-18 jam.

5. Memasukan kedelai yang telah ditiriskan

kedalam mesin pemecah kulit kedelai

agar kulit ari kedelai tersebut

mengelupas.

6. Melakukan pencucian kedelai yang telah

mengalami pemecahan kulit ari.

7. Pencucian kedelai dilakukan sebanyak

satu kali pencucian.

8. Melakukan peragian secara merata

terhadap tempe yang telah dicuci bersih

dan membiarkannya merata selama 15-

20 menit.

9. Memasukan kedelai yang telah

mengalami peragian kedalam plastik

pembungkus yang telah diberikan

lubang angin dengan jarak yang tidak

beraturan.

10. Menata kedelai yang telah dibungkus

kedalam rak fermentasi.

11. Proses fermentasi selama 1 malam.

12. Tempe siap jual.

1. Mencuci kedelai sampai bersih

menggunakan air yang bersih.

2. Merendam Kedelai yang telah dicuci

bersih selama 1 jam.

3. Merebus kedelai yang telah direndam

selama 2 jam.

4. Meniriskan lalu merendam kembali

kedelai yang telah direbus untuk

menghilangkan kandungan asam yang

ada pada tempe selama 24 jam.

5. Memasukan kedelai yang telah ditiriskan

kedalam mesin pemecah kulit kedelai

agar kulit ari kedelai tersebut

mengelupas.

6. Melakukan pencucian kedelai yang telah

mengalami pemecahan kulit ari.

7. Pencucian kedelai dilakukan sebanyak

dua kali pencucian.

8. Melakukan peragian secara merata

terhadap tempe yang telah dicuci bersih

dan membiarkannya merata selama 10

menit.

9. Memasukan kedelai yang telah

mengalami peragian kedalam plastik

pembungkus yang telah diberikan lubang

angin dengan jarak 2 cm per lubang.

10. Menata kedelai yang telah dibungkus

kedalam rak fermentasi.

11. Proses fermentasi selama 1 malam.

12. Tempe siap jual.

Berdasarkan data pada Tabel 13 menunjukan bahwa ada beberapa

perbedaan pada proses produksi kedua pengusaha. Pengusaha pola kemitraan

yang menggunakan cara tradisional merendam kedelai sebelum direbus selama

30-40 menit. Sedangkan pengusaha pola mandiri merendam kedelai sebelum

direbus selama 1 jam mengikuti anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor. Pencucin

kedelai dilakukan untuk membersihkan kotoran yang masih menempel pada

kedelai dan juga untuk menghasilkn kedelai yang lebih remah dan mekar.

Pengusaha tempe pola kemitraan melakukan perebusan kedelai selama 1-1,5 jam

sedangkan pengusaha pola mandiri merebus kedelainya selama 2 jam sesuai

anjuran KOPTI. Perebusan ini dilakukan untuk menghasilkan kedelai yang remah

dan mengembang yang siap olah serta membuat kulit ari kedelai mudah

mengelupas. Langkah selanjutnya adalah meniriskan kedelai yang telah direbus

42

lalu direndam kembali. Perendaman yang dilakukan oleh pengusaha pola

kemitraan adalah selama 12-18 jam sedangkan perendaman yang dilakukan oleh

pengusaha pola mandiri adalah selama 24 jam. Perendaman ini dilakukan untuk

menghilangkan zat asam yang ada pada tempe hasil rebusan. Setelah kedelai

selesai direndam selanjutnya kedelai tersebut dicuci kembali supaya kulit ari

kedelai benar-benat lepas dari kedelai. Pengusaha kemitraan melakukan pencucian

kedelai yang telah direndam selama satu kali saja, sedangkan pengusaha pola

mandiri melakukan pencucian selama dua kali karena dengan mencuci dua kali

akan menghasilkan pencucian yang lebih bersih, dan cara ini adalah cara yang

dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor.

Setelah pencucian selanjutnya adalah melakukan peragian terhadap tempe

yang akan dimasukan kedalam plastik. Pergaian ini dilakukan secara merata

terhadap tempe yang telah disimpan rata di wadah peragian. Pengusaha pola

kemitraan melakukan peragian selama 15-20 menit lamanya, sedangkan

pengusaha pola mandiri melakukan peragian selama 10 menit. Peragian ini harus

benar-benar tepat karena proses peragian ini adalah penanaman mikroba hidup

yang akan tumbuh selama proses fermentasi. Setalah proses peragian selanjutnya

adalah memasukan kedelai tersebut kedalam plastik sesuai dengan takaran yang

disiapkan. Plastik yang digunakan untuk membungkus tempe ini adalah plastik

yang sebelumnya telah diberikan lubang lubang. Tujuan dari pelubangan ini

adalah untuk memberikan lubang udara yang akan membantu kesempurnaa proses

fermentasi. Pelubangan terhadap plastik yang dilakukan oleh pengusaha pola

kemitraan adalah dengan jarak lubang yang tidak beraturan, sedangkan pengusaha

pola mandiri memberikan lubang di plastiknya dengan jarak yang rapi yaitu 2 cm

tiap lubang sesuai dengan arahan dari KOPTI Kabupaten Bogor. Tempe yang

dihasilkan oleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I

telah melalui tahapan proses produksi yang dijelskan pada Gambar 2.

43

Gambar 2. Tahapan Proses Produksi Tempe di Desa Cimanggu I.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tempe Pola Mandiri dan Pola

Kemitraan

6.4.1 Karakteristik Input Produksi

Input produksi yang akan dianalis dalam penelitian ini adalah kedelai, ragi,

gas, dan air. Input ini kemudian akan dicari tahu seberapa besar pengaruhnya

Kedelai

Pencucian Kedelai

Peredaman Kedelai

Perebusan Kedelai

Penirisan Kedelai

Pemecahan Kedelai Dalam

Mesin Pemecah

Pencucian Kedelai Setelah

Pemecahan

Peragian Kedelai

Pembungkusan Kedelai Setelah

Peragian

Fermentasi Kedelai

Tempe

44

terhadap output tempe yang dihasilkan. Sehinga dalam penelitian ini faktor

produksi yang dianalisis yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja.

6.4.1.1 Kedelai

Kedelai merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam

suatu usaha tempe. Hasil produksi usaha tempe akan baik jika menggunakan

bahan baku kedelai yang memiliki kualitas baik disertai dengan pola dan cara

produksi yang tepat. Jenis kedelai yang digunakan oleh pengusaha tempe pola

kemitraan dan pola mandiri sama yaitu kedelai hasil impor. Namun berbeda

sumber bahan bakunya pengusaha tempe pola kemitraan memperolehnya dari

koperasi, sedangkan pengusaha tempe pola mandiri memperoleh bahan bakunya

dari pedagang / pasar. Tabel 15 menunjukan penggunaan bahan baku kedelai

sebagai faktor produksi usaha tempe di Desa Cimanggu I. Secara rinci,

penggunaan kedelai untuk kedua pengusaha tempe dapat dilihat pada Tabel 14

dan Lampiran 2.

Tabel 14 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha tempe pola kemitraan

dan pola mandiri

Kategori Pengusaha

Rata-rata Penggunaan Kedelai

(kg/hari)

Harga Rata-rata (Rp/Kg)

Nilai (Rp/hari)

Nilai ( Rp/tahun)

Pola Kemitraan 71,25 9.291,67 659.333,33 239.338.000,00

Pola Mandiri 72,50 9.070,00 656.250,00 238.218.750,00

Berdasarkan Tabel 14 penggunaan kedelai total rata-rata yang digunakan

oleh pengusaha tempe pola kemitraan di Desa CImanggu I setiap harinya yaitu

71,25 kg dengan harga beli kedelai seharga Rp 9.291,67/kg. Sedangkan

pengusaha tempe pola mandiri menggunakan kedelai sebanyak 72,50 kg/hari

dengan harga beli kedelai seharga Rp 9.070,00/kg. Penggunaan kedelai tersebut

hampir sama baik pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri dikarenakan

kapasitas produksi dari mereka yang tidak terlalu besar setiap harinya, yaitu

berkisar antara 50-100 kg/hari. Kedua pola pengusaha ini merupakan industri

tempe yang skalanya masih skala industri rumahan yang mana penggunaan input

bahan baku kedelai yang sedikit serta menggunakan mayoritas Tenaga Kerja

Dalam Keluarga (TKDK) dan hanya sedikit yang menggunakan Tenaga Kerja

Luar Keluarga (TKLK).

45

6.4.1.2 Ragi

Salah satu bahan yang biasa digunakan dalam memproduksi tempe adalah

ragi. Ragi memiliki fungsi sebagai zat yang akan membantu dalam proses

fermentasi tempe. Perbandingan penggunaan ragi baik pada pengusaha pola

kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 15 dan Lampiran 3.

Tabel 15 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha tempe pola kemitraan dan

pola mandiri

Kategori

Pengusaha

Rata-rata Penggunaan

Ragi (kg)

Harga Rata-

rata (Rp/Kg)

Nilai

(Rp/hari)

Nilai

( Rp/tahun)

Pola Kemitraan 0,30 22.500,00 6.649,17 2.413.647,50

Pola Mandiri 0,29 22.600,00 6.390,00 2.319.570,00

Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat bahwa penggunaan rata-rata ragi yang

digunakan oleh pengusaha tempe pola kemitraan adalah 0,3 kg/hari dengan harga

beli rata-rata ragi sebesar Rp 22.500,00/kg. Jumlah tersebut hampir sama dengan

penggunaan rata-rata ragi per hari pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri

yaitu sebesar 0,29 kg/hari dengan harga beli ragi sebesar Rp 22.600,00 /kg.

Penggunaan rata-rata ragi pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri lebih

sedikit dibandingkan dengan penggunaan rata-rata ragi pada pengusaha tempe

pola kemitraan karena pengusaha pola mandiri menggunakan anjuran penggunaan

ragi yang disampaikan oleh KOPTI yang mana dalam menggunakan ragi

seharusnya setiap 1 kg kedelai adalah sebanyak 0,002 kg ragi. sedangkan

pengusaha pola kemitraan menggunakan ragi sesuai dengan kebiasaan meraka

tanpa mengikuti anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor. Berdasarkan data Tabel

penggunaan ragi kedua pola pengusaha melebihi standar yang dianjurkan KOPTI

akan tetapi pengusaha pola mandiri mengguanakan ragi yang lebih mendekati

anjuran dari KOPTI atau lebih baik daripada penggunaan ragi pengusaha pola

kemitraan.

6.4.1.3 Air

Air yang meupakan input produksi yang digunakan oleh kedua pengusaha

baik pengusaha tempe pola kemitraan maupun pola mandiri adalah air yang

bersumber dari sumber mata air sumur atau sungai yang dialirkan kerumah

masing-masing. Penggunaan air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) bagi

46

mereka itu sangat mahal dan akan memepengaruhi biaya yang harus dikeluarkan.

Komposisi perbandingan penggunaan input air antara pengusaha tempe pola

kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 16 dan Lampiran 4.

Tabel 16 Perbandingan penggunaan air pengusaha tempe pola kemitraan dan

pola mandiri

Kategori

Pengusaha

Rata-rata

Penggunaan Air

(ltr)

Harga Rata-rata

(Rp/0-10.000 ltr)

Nilai

(Rp/hari)

Nilai

( Rp/tahun)

Pola Kemitraan 1.027,58 2.200,00 2.200,00 798.600,00

Pola Mandiri 1.233,10 2.200,00 2.200,00 798.600,00

Berdasakan Tabel 16 dapat dilihat bahwa, jumlah rata-rata penggunaan air

per hari pada kelompok pengusaha tempe pola kemitraan adalah sebesar 1.027,58

liter dengan harga beli air sebesar Rp 2.200,00/hari. Sedangkan jumlah rata-rata

penggunaan air pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri adalah sebesar

1.233,10 liter/hari dengan harga beli air sebesar Rp 2.200,00/hari. Penggunaan

rata-rata air oleh kedua pengusaha menunjukan adanya perbedaan dimana jumlah

rata-rata air yang digunakan oleh pengusaha pola mandiri lebih banyak jika

dibandingkan dengan rata-rata penggunaan air pengusaha pola kemitraan. Hal ini

disebabkan pengusaha pola kemitraan hanya melakukan pencucian setelah

penggilingan kedelai sebanyak satu kali saja, sedangkan pengusaha pola mandiri

mencucinya sebanyak dua kali setelah penggilingan karena untuk memperoleh

hasil pencucian yang lebih bersih guna menghasilkan proses fermentasi yang lebih

baik, serta merupakana anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor.

Dalam penentuan harga air ini peneliti mengacu pada harga air yang di

tetapkan oleh PADM (Perusahaan Daerah Air Minum) Tirta Kahuripan

Kabupaten Bogor karena pada faktanya pengusaha baik pola kemitraan maupun

pola mandiri tidak mengeluarkan biaya dalam penggunaan air. Sehingga dengan

adanya acuan tersebut peneliti mengasumsikan bahwa para pengusaha

menggunakan air dari PDAM dan mendapat harga sebagaimana yang ditetapkan

oleh PDAM Tirta Kahuripan yang menetapkan harga air untuk kelas rumah

tangga adalah sebesar Rp 2.200,00 / 0-10.000 liter air . Hal ini dimaksudkan agar

mendpatkan nilai dari biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha dalam penggunaan

air untuk proses produksi tempe.

47

6.4.1.4 Tenaga Kerja (HOK)

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat

berpengaruh terhadap suatu kegiatan. Tenaga kerja yang digunakan dapat berupa

tenaga mekanik (mesin giling) dan tenaga kerja manusia. Tenaga kerja mekanik

(mesin giling) digunakan untuk melakukan pengolahan pemecahan kedelai karena

dengan menggunakan tenaga masin giling, memecah kedelai menjadi lebih cepat

dan lebih efektif, sedangkan tenaga kerja manusia digunakan untuk melakukan

pengolahan kedelai setelah dipecah dan direbus seperti mencuci kedelai sebelum

dan sesudah merebus, meniriskan kedelai setelah dicuci, memberikan ragi,

mencetak kedelai kedalam kantong plastik, menata di rak fermentasi (kre dan

bambu plandangan), distribusi tempe, dan penjualan langsug kepada konsumen.

Kebutuhan tenaga kerja manusia yang digunakan pengusaha tempe pola

kemitran atupun pola mandiri tidak hanya menggunakan tenaga kerja luar

keluarga, namun juga menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang biasanya

sering terabaikan dalam perhitungan struktur biaya usaha ini. Kebutuhan tenaga

kerja untuk setiap aktivitas usaha berbeda antara satu pengusaha tempe dengan

pengusaha lainnya disesuaikan dengan kapasitas produksi yang dikerjakan, namun

secara keseluruhan jumlah penggunaan tenaga kerja untuk pengusaha tempe pola

kemitraan dan pola mandiri setiap harinya tidak hampir. Secara terperinci jumlah

rata-rata tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tempe pola kemitraan dan pola

mandiri dapat dilihat pada Tabel 17 dan Lampiran 5.

Tabel 17 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola kemitraan

dan pola mandiri

No Kategori

Pengusaha Kategori

HOK

Rata-rata

Tenaga Kerja (HOK)

Harga

Rata-rata (Rp/trip)

Nilai (Rp/hari)

Nilai ( Rp/tahun)

1 Pola

Kemitraan Keluarga 2,00 50.000,00 83.333,33 30.250.000,00

Non Keluarga 1,00 50.000,00 29.166,67 10.587.500,00

2 Pola

Mandiri

Keluarga 2,00 50.000,00 75.000,00 27.225.000,00

Non Keluarga 1,00 50.000,00 30.000,00 10.890.000,00

Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa perbandingan kebutuhan rata-

rata tenaga kerja usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri tidak jauh berbeda

dan sama-sama didominasi oleh kenaga kerja dalam keluarga. Dari Tabel diatas

dapat kita lihat bahwa rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam keluarga baik pada

48

kelompok usaha pola kemitraan maupun usaha pola mandiri adalah sebanyak 2

orang, dan jumlah rata-rata tenaga kerja luar keluaga adalah 1 orang.

Kebutuhan tenaga kerja dalam usaha tempe ini tidak banyak, hal ini dikarenakan

skala usaha yang mereka jalankan juga tidak terlalu besar. Tenaga kerja dalam

keluarga mendominasi usaha tempe ini karena dengan menggunakan tenaga kerja

dalam keluarga pengusaha akan menghemat biaya langsung tunai yang di

keluarkan.

Pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri dalam memberikan upah

kepada tenaga kerja luar keluarga rata-rata sama besar yaitu Rp 50.000/hari. Upah

ini berlaku bagi tenaga kerja wanita dan juga tenaga kerja laki-laki. Dalam

menentukan nilai upah tenaga kerja biasanya pengusaha tempe baik pengusaha

pola kemitraan maupun pola mandiri mengadakan kesepakatan antar pengusaha

supaya besaran upah yang di berikan kepada tenaga kerja sama besar. Hal ini

dilakukan agar tidak ada perselisihan antar tenaga kerja yang bekerja dalam usaha

yang sama. Rata-rata upah yang harus di bayarkan oleh pengusaha tempe pola

kemitraan untuk tenaga kerja dalam keluarga adalah sebesar Rp 83.333,33/hari,

dan rata-rata upah yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja luar keluarga adalah

sebesar Rp 29,166.67/hari. Sedangkan upah rata-rata yang harus dibayarkan oleh

pengusaha pola mandiri kepada tenaga kerja dalam keluarga adalah sebesar Rp

75.000,00/hari, dan rata-rata upah yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja luar

keluarga adalah sebesar Rp 30.000,00/hari.

6.4.2 Hasil Uji Statistik Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri

Faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi usaha tempe pada

pengusaha pola kemitraan yaitu kedelai, ragi, air, tenaga kerja. Pendugaan fungsi

produksi ini dilakukan dengan menguji faktor-faktor produksi menggunakan

metode statistik dan pengujian asumsi ekonometrika dengan menggunakan

perangkat lunak Minitab 15. Model fungsi produksi yang digunakan dalam

menduga faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah produksi tempe adalah model

fungsi Cobb-Douglas dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil

analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe kelompok pengusaha pola

kemitraan dapat dilihat pada Tabel 18 dan lampiran 6.

49

Tabel 18 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola kemitraan

Prediktor Koefisien SE Koef T-Hitung P-Value VIF

Konstanta 0,47 0,15 3,21 0,02

Kedelai 0,85 0,02 51,31 0,00*

4,30

Ragi -0,04 0,02 -1,88 0,10**

5,86

Air 0,04 0,04 2,10 0,07**

6,25

Tenaga Kerja (HOK) -0,02 0,03 -0,06 0,96 1,27

R-sq 99,90% R-sq(ad) 99,90% Analisi Varians

Sumber DF SS MS F P

Regresi 4 3,14 0,78 2861,57 0,00

Kesalahan Sisaan 7 0,00 0,00 Total 11 3,14

Keterangan: * Nyata pada taraf α 1% ** Nyata pada taraf α 10%

Berdasarkan Tabel 18, model statistik untuk menduga faktor-faktor

produksi yang berpengaruh terhadap produksi tempe pengusaha pola kemitraan

dapat dikatakan layak serta memenuhi kriteria. Alasan ini dapat dilihat dari nilai

R-sq(adj) pada model produksi yang dihasilkan yaitu sebesar 99,90% berarti

menyatakan bahwa variabel-variabel kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja dapat

menjelaskan keragaman dari produksi tempe sebesar 99,90% dan sisanya 0,10%

dari keragaman model produksi tempe dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang

ada di luar model. Nilai F-hitung sebesar 2861,57 dengan nilai p-value 0,000

menjelaskan bahwa secara umum variabel-variabel faktor produksi dalam model

berpengaruh nyata secara bersama-sama terhadap produksi tempe pola kemitraan

di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang.

Nilai koefisien regresi dari variabel-variabel bebas dalam model fungsi

produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel

tersebut, atau bisa disebut sebagai nilai besarnya pengaruh variabel tersebut

terhadap produsi tempe pola kemitraan. Jumlah total nilai elastisitas dari variabel-

variabel bebas pada fungsi produksi tempe pola kemitraan diperoleh sebesar 0,83.

Jumlah elastisitas produksi tersebut ini bernilai kurang dari satu, artinya

menunjukkan bahwa skala usaha tempe pola kemitraan berada pada kondisi

decreasing return to scale, yang berarti bahwa proporsi penambahan input

50

produksi akan menghasilkan tambahan output produksi yang proporsinya lebih

kecil daripada input produksi yang ditambahkannya. Variabel-variabel yang

diduga berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraa di Desa Cimanggu

Iadalah sebagai berikut.

a. Kedelai

Kualitas tempe yang baik akan sangat tergantung pada kualitas kedelai

yang digunakan dalam memproduksi tempe, sangat penting pengusaha tempe

memperhatikan kualitas dari kedelai yang digunakan sebagau input produsinya.

Semkain baik kualitas kedelai maka akan menghasilakan kualits tempe yang lebih

baik pula. Hasil regresi menunjukkan bahwa kedelai memiliki hubungan yang

positif terhadap produksi tempe pola kemitraan yang berarti bahwa semakin

banyak kedelai yang digunakan maka output produksi tempe yang dihasilkan

diduga akan semakin meningkat pula. Berdasarkan hasil regresi, nilai elastisitas

kedelai adalah sebesar 0,85 yang berarti bahwa setiap kenaikan penggunaan

kedelai sebesar 1% maka diduga akan meningkatkan produksi tempe sebesar

0,85% (ceteris paribus). Kedelai yang digunakan pengusaha tempe pola kemitraan

merupakan kedelai impor dengan kualitas yang baik, sehingga dengan kualitas

kedelai yang baik menghasilkan hasil produksi tempe yang baik pula. Hal ini

terbukti dengan nilai p-value kedelai yang kurang dari taraf nyata hingga 15%,

artinya menunjukkan bahwa penggunaan kedelai yang baik memiliki pengaruh

yang nyata terhadap output produksi tempe yang dihasilkan.

b. Ragi

Penggunaan ragi memiliki hubungan yang negatif terhadap produksi

tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa

koefisien faktor produksi dari ragi adalah sebesar -0,04. Hal ini berarti bahwa

setiap kenaikan penggunaan ragi sebesar 1% diduga akan menurunkan produksi

tempe sebesar 0,04% (ceteris paribus). Penggunaan ragi dalam pegusaha pola

kemitraan ini berpengaruh nyata terhadap produksi tempe pola kemitraan. Hal ini

dapat dilihat dari p-value ragi sebagai variabel faktor produksi sebesar 0,10 yang

lebih kecil dari taraf nyata hingga α 15%.

51

c. Air

Air merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam proses produksi

tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I. Penggunaan air sangat dibutuhkan

dalam usaha tempe karena air digunakan dalam banyak proses dalam

memproduksi tempe. Air digunaka untuk mencuci, merebus, dan mencuci kedelai

yang telah direbus, dan merendam dalam penghilangan asam pada kedelai.

Sehingga peran air dalam memproduksi tempe sangat dibutuhkan keberadaannya

oleh pengusaha pola kemitraan. Hasil uji statistik pada model fungsi produksi

tempe pengusaha pola kemitraan menunjukkan bahwa koefisien regresi air

memiliki tanda yang positif sebesar 0,04 dengan p-value 0,07. Hal ini berarti

setiap kenaikan penggunaan air sebesar 1% diduga akan meningkatkan produksi

usaha tempe sebesar 0,04% (ceteris paribus). Penggunaan air dalam penelitian ini

berpengaruh secara nyata terhadap produksi tempe. Hal ini ditunjukkan dengan

nilai p-value air sebagai faktor produksi sebesar 0,074, dimana nilai tersebut

kurang dari taraf nyata hingga α 15%.

d. Tenaga Kerja (HOK)

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja sebagai

salah satu variabel faktor produksi bernilai negatif, yaitu -0,03 dengan p-value

sebesar 0,956. Hal ini berarti setiap penambahan 1% penggunaan tenaga kerja

diduga akan menurunkan produksi tempe sebesar 0,03% (ceteris paribus).

Penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini berpengaruh secara tidak nyata pada

taraf α 15%. Sehingga penambahan tenaga kerja pada usaha tempe pola

kemitraaan akan megurangi jumlah produksi tetapi dalam jumlah yang sedikit

pengurangannya yaitu sebesar 0,03%. Hal ini terjadi karena usaha tenpe pola

kemitran merupakan usaha yang skalanya sangat kecil dimana dapat dikerjakan

oleh satu atau dua orang tanaga kerja, sehingga jika ada penambahan tenaga kerja

malah akan menimbulkan inefisien dalam produksi yang berakibat pada

penuruanan output produksi.

52

Uji Kriteria Ekonometrika

a. Uji Multikolinearitas

Tujuan dari adanya uji multikolinearitas terhadap suatu model regresi

berganda adalah untuk memastikan tidak adanya hubungan linear kuat yang

terjadi antara variabel-variabel bebas (independen) yaitu kedelai, ragi, air, dan

tenaga kerja. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat nilai dari Variance

Inflation Factor (VIF) pada model hasil regresi tersebut. Suatu model dikatakan

memiliki multikolinearitas jika nilai VIF dari setiap variabel bebas pada model

bernilai lebih dari 10. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 19, nilai VIF dari

keempat faktor yang menjadi variabel bebas pada model memiliki nilai kurang

dari 10. Artinya ini menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model

regresi untuk produksi usaha tempe pola kemitraan tidak memiliki hubungan

linear satu sama lain antara variebel-variabel bebas.

b. Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas

Uji stasistik Kolmogorov-Smirnov (KS) dalam penelitian ini digunakan

untuk menguji kenormalam (Uji normalitas) untuk model produksi tempe pola

kemitraan, dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil yang diperoleh pada uji KS

tersebut yaitu nilai rata-rata -1,33227E-15, nilai standar deviasi 0,01321, jumlah

pengamatan 12 reponden, nilai Kolmogorov-Smirnov (KS) 0,235, dan p-value

0,066. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa nilai KS-hitung (0,235) lebih

kecil daripada KS-Tabel (0,375). Hal ini menunjukkan bahwa residual responden

telah mengikuti distribusi secara normal, sehingga asumsi kenormalan residual

dikatakan telah terpenuhi.

Tujuan dari uji heteroskedastisitas terhadap suatu model regresi berganda

dilakukan untuk memastikan varian unsur gangguan (error) adalah konstan.

Model regresi yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas.

Pendeteksian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu

dengan melihat pola penyebaran titik-titik pada scatterplot. Model regresi

dikatakan memenuhi asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada grafik

tidak membentuk pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik

menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y (Hidayat, 2013). Gambar

53

2 (a) dan (b) masing-masing menunjukkan sebaran kenormalan residual dan

homoskedastisitas dari model regresi berganda pengusaha pola kemitraan.

Gambar 2. Gambar grafik model regresi produksi usahatani tempe pola

kemitraan

(a) Grafik Uji Kenormalan

(b) Grafik Homoskedastisitas

Model fungsi produksi untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi

jumlah produksi tempe pola mandiri hampir sama dengan model fungsi produksi

tempe pola kemitraan. Faktor produksi yang menjadi variabel bebas (independen)

untuk fungsi produksi tempe pola mandiri yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga

kerja. Secara rinci hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola

mandiri dapat dilihat pada Tabel 19 dan Lampiran 7.

Tabel 19 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola mandiri

Prediktor Koefisien SE Koef T-Hitung P-Value VIF

Konstanta 0,67 0,24 2,77 0,04 Kedelai 0,85 0,04 21,54 0,00

* 9,03

Ragi 0,00 0,05 0,08 0,94 7,23

Air 0,01 0,04 0,25 0,81 8,12

Tenaga Kerja (HOK) 0,13 0,13 1,00 0,36 4,45

R-sq 99,90% R-sq(ad) 99,80% Analisi Varians

Sumber DF SS MS F P

Regresi 4 235,749 0,58937 1111,03 0,000

Kesalahan Sisaan 5 0,00265 0,00053 Total 9 236,014

Keterangan: * Nyata pada taraf α 1%

(a) (b)

54

Berdasarkan data pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa model statistik regresi

berganda untuk menduga faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap

produksi tempe pengusaha pola mandiri dapat dikatakan layak dan memenuhi

kriteria. Karena dapat dilihat bahwa nilai R-sq(adj) dari model produksi yaitu

sebesar 99,80% yang menyatakan bahwa variabel-variabel independen seperti

kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja dapat menjelaskan keragaman dari produksi

tempe sebesar 99,80% dan sisanya sebesar 0,20% dari keragaman model produksi

tempe dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang ada di luar model. Nilai F-

hitung sebesar 1111,03 dengan nilai p-value 0,000 menjelaskan bahwa secara

umum variabel-variabel faktor produksi dalam model berpengaruh nyata secara

bersama-sama terhadap produksi tempe pola mandiri.

Berdasarkan Tabel dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi dari

variabel-variabel bebas dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan

nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut, atau bisa disebut sebagai

nilai besarnya pengaruh variabel tersebut terhadap produsi tempe pola mandiri.

Jumlah total nilai elastisitas dari variabel-variabel bebas (independen) pada fungsi

produksi tempe pola kemitraan diperoleh sebesar 0,99. Jumlah elastisitas produksi

tersebut bernilai kurang dari satu yang menunjukkan bahwa skala usaha tempe

pola kemitraan berada pada kondisi decreasing return to scale. Artinya bahwa

proporsi penambahan input produksi akan menghasilkan tambahan output

produksi yang proporsinya lebih kecil dari penambahan input produksi yang

ditambahkannya. Berikut adalah Variabel-variabel yang diduga berpengaruh

terhadap produksi tempe pola mandiri.

a. Kedelai

Hasil regresi berganda pada Tabel diatas menunjukkan bahwa kedelai

memiliki hubungan yang positif terhadap output produksi tempe pola mandiri

yang berarti bahwa semakin banyak kedelai yang digunakan maka diduga output

produksi tempe yang dihasilkan akan meningkat pula. Berdasarkan hasil pada

Tabel diatas, nilai elastisitas kedelai sebesar 0,85 yang berarti bahwa setiap

penambahan penggunaan kedelai sebesar 1% diduga akan meningkatkan produksi

tempe sebesar 0,85% (ceteris paribus). Kedelai yang digunakan pengusaha tempe

pola mandiri merupakan kedelai kualitas impor yang baik sama halnya dengna

55

kedelai yang digunakan pengusaha pola kemitraan, sehingga dengan kualitas

kedelai yang baik menghasilkan hasil output produksi yang baik pula. Hal ini

terbukti dengan nilai p-value kedelai yang kurang dari taraf nyata hingga 15%

menunjukkan bahwa penggunaan kedelai yang baik dalam penelitian ini memiliki

pengaruh yang nyata terhadap produksi tempe.

b. Ragi

Berbeda dengan penggunaan ragi pada pengusaha pola kemitraan yang

memiliki hubungan negatif terhadap output produksi tempe, pada pengusaha pola

mandiri ragi justru memikiki hubungan positif terhadap output produksi. Hasil uji

statistik menunjukkan bahwa nilai koefisien dari ragi adalah sebesar 0,004. Hal ini

berarti bahwa setiap kenaikan ragi yang digunakan sebesar 1% diduga akan

meningkatkan output produksi sebesar 0,004% (ceteris paribus). Penggunaan ragi

dalam penelitian ini berpengaruh tidak nyata terhadap produksi tempe pola

kemitraan. Hal ini dapat dilihat dari p-value ragi sebagai variabel faktor produksi

sebesar 0,94 yang lebih besar dari taraf nyata hingga α 15%. Penggunaam ragi

oleh pengusaha pola mandiri berada di atas normal dari yang seharusnya

digunakan, sehingga pengaruh kenaikan penggunaan ragi dirasakan tidak nyata

oleh pengusaha pola mandiri.

c. Air

Hasil uji statistik pada model fungsi produksi tempe pengusaha pola

mandiri menunjukkan bahwa koefisien regresi air memiliki tanda yang positif

sebesar 0,01 dengan p-value 0,81. Hal ini berarti setiap kenaikan penggunaan air

sebesar 1% diduga akan meningkatkan output produksi sebesar 0,01% (ceteris

paribus). Penggunaan air dalam penelitian ini berpengaruh secara tidak nyata

terhadap produksi tempe. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value air sebagai

faktor produksi sebesar 0,81 dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata α

15%. Fungsi air pada produksi tempe dirasakan secara tidak nyata oleh pengusaha

pola mandiri dalam pemenuhan kebutuhan air untuk pengelolaan usahanya.

d. Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi usaha tempe dapat

memberikan pengaruh yang positif jika penggunaan tenaga kerja dilakukan

dengan efisien. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja

56

bernilai positif, yaitu 0,13 dengan p-value sebesar 0,36. Hal ini berarti setiap

penambahan 1% penggunaan tenaga kerja diduga akan menaikan produksi tempe

sebesar 0,13% (ceteris paribus). Penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini

berpengaruh secara tidak nyata pada taraf α 15% karena nilai P-value adalah

sebesar 0,36 dan lebih besar dari taraf nyata α 15%.

Uji Kriteria Ekonometrika

a. Uji Multikolinearitas

Tujuan dari uji multikolinearitas terhadap suatu model regresi berganda

adalah untuk memastikan tidak adanya hubungan linear yang terjadi antara

variabel-variabel bebas (independen) yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja.

Cara melakukan pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai dari Variance

Inflation Factor (VIF) dari model. Suatu model dikatakan memiliki

multikolinearitas jika nilai VIF dari setiap variabel pada model hasil tegresi

bernilai lebih dari 10. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 20 diatas, nilai

VIF dari keempat faktor yang menjadi variabel bebas (indpoenden) pada model

memiliki nilai kurang dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel

independen dalam model regresi untuk produksi tempe pola mandiri tidak

memiliki hubungan linear satu sama lain sesame variabel bebasnya.

b. Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas

Uji statistik Kolmogorov-Smirnov (KS) dilakukan untuk melihat

kenormalan (Uji normalitas) pada model produksi tempe pola kemitraan di Desa

Cimanggu I, secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh pada

uji Kolmogorov-Smirnov (KS) tersebut yaitu nilai rata-rata 4,440892E-17, nilai

standar deviasi 0,01717, jumlah pengamatan 10 reponden, nilai Kolmogorov-

Smirnov (KS) 0,287, dan p-value 0,029. Terlihat bahwa nilai KS-hitung (0,287)

lebih kecil dari KS-Tabel (0,409). Sehingga bisa dikatakan bahwa residual telah

mengikuti distribusi secara normal, sehingga asumsi kenormalan residual telah

terpenuhi.

Uji heteroskedastisitas terhadap suatu model regresi berganda dilakukan

untuk memastikan varian unsur gangguan (eror) adalah konstan. Model regresi

yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas. Pendeteksian

57

heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu dengan melihat

pola penyebaran titik-titik pada scatterplot. Model regresi dikatakan memenuhi

asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada grafik tidak membentuk

pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik menyebar di atas

dan di bawah angka nol pada sumbu Y (Hidayat, 2013). Gambar 3 (a) dan (b)

masing-masing menunjukkan sebaran kenormalan residual dan homoskedastisitas.

Gambar 3. Gambar grafik Model Regresi Produksi Usaha Tempe Pola

Mandiri

(a) Grafik Uji Kenormalan

(b) Grafik Homoskedastisitas

6.5 Analisis Perbandingan Pendapatan Usaha Tempe Pola Kemitraan

dan Pola Mandiri

6.5.1 Output

Output usaha tempe yaitu berupa tempe itu sendiri yang siap jual dan telah

mengalami pengolahan dan proses fermentasi sebelumnya. Tempe merupakan

satu-satunya output yang dihasilakan oleh kedua pengusaha baik pola kemitraan

maupun pola mandiri. Tempe inilah yang menjadi hasil utama pengusaha dalam

melakukan usahanya sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi pengusaha tempe

untuk memenuhu kebutuhan usaha dan keluarganya. Tempe yang dihasilakan

tersebut dijual kepada konsumen langsung, baik konsumen di pasar maupun

konsumen yang langsung di antar ke rumah masing-masing oleh penjual keliling.

Tempe hasil olahan yang telah jadi atau siap jual harus segera dijual karena tempe

yang di olah oleh pengusaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri tidak

(a) (b)

58

menggunakan bahan pengawet. Sehingga jika tempe yang sudah jadi tersebut

tidak segera dipasarkan maka akan tumbuh jamur dan tempe tersebut takan laku

dijual. Pengusaha tidak menggunakan pengawet kedalam olahan tempe tersebut

karena pengusaha memahami hal tersebut kurang baik bagi kesehatan masyarakat

dalam jangka panjang.

Harga rata-rata tempe yang dihasilkan dan sudah siap jual berdasarkan

informasi dari hasil penelitian kelompok pengusaha pola kemitraan adalah sebesar

Rp 13.791,67/kg, sedangkan harga rata-rata tempe pada kelompok pengusaha pola

mandiri tida jauh berbeda yaitu sebesar Rp 13.800/kg. Data hasil produksi dan

produktivitas tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada

Tabel 20 dan Lampiran 1.

Tabel 20 Jumlah produksi dan produktivitas tempe pola kemitraan dan pola

mandiri

Waktu Produksi

Kategori Pengusaha

Input Total (Kg)

Output Total (kg)

Output

Rata-rata (kg/org)

Produktivitas (kg/1 Kg Kedelai)

Per Hari

Kemitraan

855,00 1.017,00 84,77 1,19

Per Bulan 25.650,00 30.510,00 2.542,50 1,19

Per Tahun 310.365,00 369.171,00 30.771,51 1,19

Waktu Produksi

Kategori Pengusaha

Input Total (Kg)

Output Total (kg)

Output Rata-rata (kg/org)

Produktivitas (kg/1 Kg Kedelai)

Per Hari

Mandiri

725,00 868,50 86,85 1,20

Per Bulan 21.750,00 26.055,00 2.605,50 1,20

Per Tahun 263.175,00 315.265,50 31.526,55 1,20

Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa output produksi rata-rata

tempe pola mandiri lebih besar daripada output produksi rata-rata tempe

pengusaha pola kemitraan. Berdasarkan Tabel 21 diatas total rata-rata output

pengusaha tempe pola kemitraan adalah sebesar 30.771,51 kg dalam satu tahun

dengan produktivitas rata-rata menghasilkan 1,19 kg tempe/1 kg kedelai.

Sedangkan total rata-rata output pada pengusaha tempe pola mandiri sebesar

31.526,55 kg dalam satu tahun dengan produktivitas rata-rata menghasilkan 1,20

kg tempe/1 kg kedelai. Hal ini dikarenakan teknik produksi pengusaha pola

mandiri lebih baik karena menggunakan cara yang di anjurkan KOPTI daripada

teknik produksi pengusaha pola kemitraan yang masih menggunakan cara

tradisional. Hampir seluruh kelompok pengusaha pola mandiri yang merupakan

59

responden dalam penelitian ini adalah merupakan anggota dari kelompok pola

kemitraan sebelumnya. tetapi mereka keluar dari keanggotaan dengan alasan tidak

ada keuntungan yang berarti dengan adanya kerjasama dengan koperasi (KOPTI).

Akan tetapi untuk pengetahuan pengolahan tempe yang baik meski saat ini

mereka adalah non anggota kemitraan tetapi secara teori mereka pernah mendapat

penyuluhan bagaimana memproduksi tempe yang baik. Lain hal dengan kelompok

pola kemitraan yang saat ini masih menjadi anggota KOPTI malah masih

menggunakan cara-cara lama yang biasa lakukan dan mengabaikan instruksi dari

KOPTI ketika penyuluhan.

6.5.2 Penerimaan

Penerimaan usaha tempe merupakan jumlah output dikalikan dengan harga

yang berlaku terhadap output tersebut. Penerimaan ini merupakan pendapatan

kotor sebelum dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan selama melakukan proses

produksi. Output berupa tempe yang siap dijual dengan harga yang berlaku di

pasar untuk masing-masing usaha sehingga akan diperoleh penerimaan kotor.

Perbandingan penerimaan pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri

dapat dilihat pada Tabel 21 dan Lampiran 8.

Tabel 21 Penerimaan usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri

Kategori Pengusaha Penerimaan rata-rata (Rp)

Hari Bulan Tahun

Kemitraan 1.165.750,00 34.972.500,00 423.167.250,00

Mandiri 1.210.925,00 36.327.750,00 439.565.775,00

Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa penerimaan rata-rata pengusaha

pola kemitraan sebesar Rp 423.167.250,00 dalam satu tahun, sedangkan

penerimaan rata-rata pengusaha pola mandir sebesat Rp 439.565.775,00 dalam

satu tahun. Dimana rata-rata penerimaan pada kelompok pengusaha mandiri lebih

besar daripada rata-rata penerimaan pada kelompok pengusaha pola kemitraan.

Hal ini disebabkan oleh output produsi yang yang dihasilkan oleh pengusaha pola

mandiri lebih banyak daripada output produksi yang dihasilkan oleh pengusaha

pola kemitraan.

60

6.5.3 Biaya

Biaya merupakan suatu pengeluaran yang harus dibayarkan atas segala

sesuatu yang dibutuhkan ketika melakukan suatu kegiatan, baik kegiatan ekonomi

mupun kegiatan lainnya. Biaya usaha yang ada dalam usaha tempe merupakan

komponen dari pemakain barang atau jasa untuk keperluan usaha tempe yang

harus dikeluarkan oleh pengusaha tempe selama masa produksi dan penjualan

berlangsung. Biaya usaha tempe terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.

Menurut Hernanto (1996), biaya tetap merupakan biaya yang penggunaannya

tidak habis dalam satu masa produksi. Kelompok biaya ini antara lain pajak tanah,

pajak air, penyusutan alat dan bangunan, pemeliharaan drum, pemeliharaan rak

kayu dan kre, bambu plandangan dan lain sebagainya. Biaya variabel merupakan

biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada biaya skala produksi.

Tergolong dalam kelompok biaya ini antara lain biaya untuk kedelai, gas, ragi,

plastik, air, buruh atau tenaga kerja, dan transportasi. Secara rinci biaya usaha

tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Biaya usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri

(Rupiah/tahun)

No.

Uraian Biaya

Pengusaha

Pola Kemitraan

Pengusaha Pola

Mandiri

1 Biaya Tunai

Biaya Tetap Sewa Bangunan 2.880.000,00 2.970.000,00

Penyusutan Alat Produksi 643.152,78 641,141.67

Biaya Variabel Kedelai 239.338.000,00 238.218.750,00

Ragi 2.413.647,50 2.319.570,00

Gas 8.659.818,75 9.020.550,00

Air 798.600,00 798.600,00

Tenaga Kerja Luar Keluarga 10.587.500,00 10.890.000,00

Plastik 11.116.875,00 13.068.000,00

Transportasi 10.496.750,00 10.890.000,00

Sub Total

286.934.444,03 288.816.611,67

2 Biaya Non Tunai

Biaya Variabel Tenaga Kerja Dalam Keluarga 30.250.000,00 27.225.000,00

Sub Total

30.250.000,00 27.225.000,00

Total Biaya

317.184.444,03 316.041.611,67

61

Tabel 22 menunjukan bahwa biaya total usaha tempe pola mandiri lebih

kecil dari biaya usaha tempe pola kemitraan. Biaya total yang dikeluarkan oleh

pengusaha pola mandiri sebesar Rp 316.041.611,67 dalam satu tahun. Sedangkan

biaya total yang dikeluarkan oleh pengusaha pola kemitraan dalam satu tahun

sebesar Rp 317.184.444,03. Biaya tersebut merupakan jumlah total rata-rata dari

biaya tunai dan non tunai yang dikeluarkan dalam satu tahun. Biaya tunai yang

dikeluarkan memiliki proporsi yang lebih besar dari pada biaya non tunai dalam

struktur biaya usaha tempe. Hal ini dikarenakan dalam melakukan suatu aktivitas

produksi usaha tempe input yang digunakan untuk proses produksi harus

tercukupi kebutuhannya, baik berupa biaya tunai yang langsung dikeluarkan oleh

pengusaha maupun biaya hitung yang secara nyata tidak dikeluarkan sebagai

biaya namun pada kenyataannya biaya tersebut harus dikeluarkan dalam aktivitas

produksi tempe, sehingga pengusaha harus memiliki modal untuk dapat

memenuhi kebutuhan produksi tersebut.

Berdasarkan data yang diperoleh, alokasi biaya yang paling besar

dikeluarkan oleh pengusaha pola kemitraan yaitu untuk keperluan bahan baku

kedelai. Penggunaan kedelai untuk usaha tempe usaha pola kemitraan dalam satu

tahun adalah sebesar Rp 239.338.000,00. Hal yang sama alokasi biaya terbesar

yang harus dikeluarkan oleh pengusaha pola mandiri yaitu untuk biaya

penyediaan bahan baku kedelai dimana biaya yang harus dikekurkan adalah

sebesar Rp 238.218.750,00. Sedangkan biaya terkecil yang harus dikeluaran oleh

penguasaha pola kemitraan maupun pola mandiri adalah biaya penggunaan air

yaitu sebesar Rp 798.600 dalam satu tahun. Biaya yang harus dikeluarkan sama

besar karena dengan asumsi menggunakan air dari PDAM tirta kahuripan

Kabupaten Bogor.

6.5.4 Pendapatan

Setiap pelaku usaha dalam ekonomi memiliki suatu tujuan dalam

usahanya, tak lain adalah memperoleh pendapatan dari apa yang dihasilkan pada

usaha tersebut. Selain itu tujuan utama dari aktivitas ekonomi adalah untuk

memperoleh keuntungan yang maksimum dengan menggunakan pengeluaran

biaya yang minimum. Suatu usaha dikatakan menguntungkan jika selisih antara

62

penerimaan dengan pengeluaran bersifat positif. Pendapatan usaha pada penelitian

ini dianalisis berdasarkan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya

total. Pendapatan atas biaya tunai pada penelitian ini diperoleh dari selisih antara

total penerimaan dengan biaya tunai, sedangkan pendapatan atas biaya total

diperoleh dari selisih antara total penerimaan dengan biaya total. Pendapatan atas

biaya total akan lebih rendah dari pada pendapatan atas biaya tunai, karena dalam

analisis pendapatan atas biaya total memperhitungkan biaya tenaga kerja dalam

rumah tangga, sedangkan pada analisis pendapatan atas biaya tunai tidak

memperhitungkan biaya tenaga kerja dalam keluarga tersebut. Secara rinci

perbandingan pendapatan pengusaha pola kemitraan dan pola mandirii dapat

dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Perbandingan pendapatan usaha tempe pola kemitraan dan pola

mandiri (Rp/tahun)

No. Uraian

Pendapatan

Pengusaha

Pola Kemitraan

Pengusaha

Pola Mandiri

1 Penerimaan Pengusaha Tempe 423.167.250,00 439.565.775,00

2 Biaya Usaha

a. Total Biaya Tunai 286.934.444,03 288.816.611,67

b. Total Biaya Non Tunai 30.250.000,00 27.225.000,00

c. Total Biaya (a+b) 317.184.444,03 316.041.611,67

3

Pendapatan Atas Biaya Tunai

(1-2a) 136.232.805,97 150.749.163,33

4

Pendapatan Atas Biaya Total

(1-2c) 105.982.805,97 123.524.163,33

Berdasarkan data yang diperoleh dari Tabel 23, penerimaan total pegusaha

pola kemitraan yaitu sebesar Rp 423.167.250,00 per tahun sedangkan penerimaan

total pengusaha pola mandiri adalah sebesar Rp 439.565.775,00 per tahun.

Perbedaan penerimaan kedua usaha tersebut disebabkan perbedaan hasil produksi

yang didapat oleh masing-masing usaha. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, pengusaha tempe pola mandiri mengikuti anjuran dari pemerintah

mengenai pedoman serta tata cara dalam memproduksi tempe sehingga hasil yang

diperoleh pengusaha pola mandiri lebih besar dari pada pengusaha pola kemitraan.

Berdasarkan Tabel 23 pula dapat dilihat bahwa biaya total usaha tempe

pola kemitraan adalah sebesar Rp 317.184.444,03 dalam satu tahun. Biaya ini

memiliki proporsi yang lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan oleh

63

pengusaha pola mandiri yaitu sebesar Rp 316.041.611,67 dalam satu tahun. Biaya

tersebut merupakan jumlah total dari rata-rata biaya tunai dan biaya non tunai dari

pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri. Biaya tunai terdiri atas

pengeluaran biaya untuk pembelian input produksi berupa kedelai, ragi, gas, air,

plastik, dan tenaga kerja, dan penyusutan alat-alat pertanian. Biaya non tunai yang

harus diperhitungkan dalam struktur biaya yaitu berupa pemberian upah terhadap

tenaga kerja dalam keluarga.

Pendapatan usaha tempe yang diperoleh pengusaha pola kemitraan dan

pola mandiri bernilai positif yang artinya kedua pengusaha tersebut memperoleh

keuntungan atas usaha yang mereka jalankan. Pendapatan atas biaya total

pengusaha pola mandiri pada penelitian ini memiliki jumlah yang lebih tinggi

yaitu sebesar Rp 150.749.163,33 daripada pengusaha tempe pola kemitraan yaitu

sebesar Rp 136.232.805,97 dalam satu tahun. Adanya perbedaan pendapatan atas

biaya total ini dikarenakan pengusaha pola mandiri memiliki rata-rata jumlah

produksi yang lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata jumlah produksi yang

dihasilkan oleh pengusaha pola kemitraan. Sedangkan untuk frekuensi produkdi

baik pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri memiliki frekuensi produksi

yang sama yaitu setiap hari melakukan produksi dalam kurun waktu satu tahun

selama ketersediaan bahan baku ada.

Peran penyuluhan dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil

produksi tempe jika pengusaha dengan benar menerapkan tata cara memproduksi

yang dianjurkan oleh penyuluh dari KOPTI. Hal itu tentu saja dapat memberikan

tambahan pendapatan kepada pengusaha karena adanya kenaikan hasil output

produksi. Peran penyuluhan tidak akan dirasakan jika saja pengusaha masih

menggunakan pola tradisional seperti yang dilakukan pengusaha pola kemitraan,

yaitu dapat dilihat dari rata-rata total output yang dihasilkan lebih kecil daripada

yang dihasilakan oleh pengusaha pola mandiri, sekaligus perbedaan hasil output

ini mempengaruhi total pendapatan dari masing-masing pola usaha, yang mana

total pengusaha pola mandiri memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada

total pendapatan pengusaha pola kemitraan dalam satu tahun.

64

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan terhadap penelitian yang telah

dilakukan, simpulan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Karakteristik sosial pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri adalah

mayoritas usia pengusaha pola kemitraan berada pada range 40-50 tahun,

begitupula dengan mayoritas usia pengusaha pola mandiri yang sama berada

pada range usia 40-50 tahun. Tingkat pendidikan mayoritas pada kedua pola

pengusaha tersebut adalah lulusan SD dan pengalaman usaha pada kedua pola

pengusaha mayoritas antara 20-25 tahun.

2. Pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri sama-sama menggunakan input

kedelai sebagai bahan baku, dimana pengusaha pola kemitraan memperoleh

kedelainya dari koperasi sedangkan pengusaha pola mandiri memperolehnya

dari luar koperasi. Cara pengolahannya pengusaha pola kemitraan

menggunakan cara tradisional sedangkan pengusaha pola mandiri

menggunakan cara yang disosialisasikan oleh KOPTI Kabupaten Bogor.

Output dari kedua pola pengusaha ini adalah hanya tempe saja.

3. Output produksi tempe pengusaha pola kemitraan dipengaruhi oleh kedelai,

ragi, dan air. Sedangkan output produksi tempe pengusaha pola mandiri

dipengaruhi kedelai saja. Skala usaha tempe pengusaha pola kemitraan dan

pola mandiri berada pada kondisi decreasing return to scale.

4. Pendapatan total pengusaha tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I adalah

sebesar Rp 105.982.805,97 per tahun, sedangkan pendapatan total pengusaha

pola mandiri adalah sebesar Rp 123.524.163,33 per tahun. Selisih pendapatan

total antara pengusaha tempe pola kemitraan dan pengusaha pola mandiri

adalah sebesar Rp 17.541.357,36 per tahun.

65

7.2 Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan yang diperoleh, saran yang

dapat disampaikan yaitu:

1. Mengoptimalkan kelembagaan organisasi KOPTI yang ada agar pengusaha

tempe memperoleh kedelai dengan mudah. Peran penyuluh KOPTI harus

ditingkatkan agar masyarakat mampu memperoleh ilmu pengaetahuan baru

mengenai produksi tempe yang baik dan benar sehingga memperoleh hasil

produksi tempe yang lebih baik secara kualitas dan kuantitas.

2. Pemerintah sebagai pemegang kendali dan stabilitas harga harus mampu

mengendalikan bahan baku kedelai dan harga kedelai, karena kelangkaan

kedelai seringkali mejadikan harga kedelai mahal dan menambah biaya bagi

pengusaha. Hal ini sering dialami oleh pengusaha pengusaha pola kemitraan

maupun pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang

Kabupaten Bogor.

66

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, S. 2008. Dampak Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Efisiensi Teknis dan

Pendapatan Usaha Tempe dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Kasus

Desa Citeureup, Bogor). Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian.Institur Pertanian Bogor. Bogor.

Ambarwati, S. R. R. 1994. Beberapa Aspek Ekonomi pada Industri Tahu dan

Tempe, Studi Kasus Industri Tahu dan Tempe di Kecamatan Parung

Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Apretty, J. B. 2000. Analisis Dampak Krisis Ekonomi Pada Industri Tempe Skala

Kecil (Studi Kasus : Di desa Citereup, Kecamatan Citereup, Kabupaten

Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi

pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2009. Bahan Rapim Bulan Agustus.

http://database.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 15 Desember 2012.

Firdaus M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. PT Bumi Aksara.

Jakarta.

Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hidayat, C.Y. 2013. Analisis Produksi dan Pendapatan Petani Padi Anggota P3A

dan Non P3A di Kota Dan Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Ekonomi

dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hubies, M.1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui

Pemberdayaan Manajemen Industri. Percetakan IPB. Bogor.

Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor.

Kadarsan, H. W. 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kaunang S. 2006. Analisis Land Rent Pemanfaatan Lahan Tambak Di Wilayah

Pesisir Kabupaten Serang Provinsi Banten. Tesis. Sekolah Pascasarjana

IPB. Bogor.

Nasution, Muslimin. 2002. Evaluasi Kinerja Koperasi Metode Sistem Diagnosa.

Bank Bukopin dan TPP-KUKM.

Nicholson W. 1995. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan Pengembangannya.

PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Sapta R. 2009. Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Sosial

Ekonomi Pengguna Jalan Dengan Contingent Valuation Method (CVM)

(Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Ekonomi dan

Manajemen IPB. Bogor.

67

Sarah, N. 2001. Studi Profil Industri (Studi Kasus Industri Tahu Di Jakarta

Timur). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Sari, Y. P. 2002. Analisis Efisiensi dan Pendapatan Pengrajin Tempe Anggota

KOPTI Kotamadya Bogor Propinsi Jawa Barat. Fakultas Pertanian. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian : Teori dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.

Solahudin, S. 1998. Visi Pembangunan Pertanian. IPB Press. Bogor.

Sudarman, A. 1998. Teori Ekonomi Mikro. BPFE, Yogyakarta.

Supranto J. 2004. Ekonometri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Suryana, A. 2001 Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah

Disampaikan pada Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untu

Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen

Pertanian. Jakarta.

Sutrisno, E. 2006. Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan

(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor).

Skripsi. Departemen Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian.

IPB. Bogor.

Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi,

Alfabeta, Bandung.

Winarno, F. G. 1993. Pangan : Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia,

Jakarta.

68

LAMPIRAN

72

Lampiran 1 Jumlah produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri

a. Jumlah produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola kemitraan

No. Resp. Output

(kg) Kedelai (kg) Ragi (kg)

Gas

(tabung) Air ( liter)

Tenaga Kerja

(HOK) Plastik (pak)

Harga Output

(kg)

1 63.00 50.00 0.15 1.50 418.00 2 2.00 14,000.00

2 63.50 50.00 0.20 1.25 836.00 3 3.00 13,500.00

3 30.00 20.00 0.10 0.50 418.00 2 2.00 14,000.00

4 117.00 100.00 0.35 2.00 2,090.00 3 5.00 14,000.00

5 28.00 20.00 0.20 0.50 418.00 2 2.00 14,000.00

6 115.00 100.00 0.50 1.50 2,090.00 2 4.00 13,500.00

7 116.50 100.00 0.45 2.00 1,254.00 2 6.00 13,500.00

8 115.00 100.00 0.40 1.75 1,254.00 2 6.00 13,500.00

9 115.00 100.00 0.50 2.00 1,254.00 3 6.00 14,000.00

10 114.00 100.00 0.35 1.65 1,254.00 2 6.00 14,000.00

11 88.00 75.00 0.25 1.25 627.00 2 4.00 13,500.00

12 52.00 40.00 0.13 1.25 418.00 2 3.00 14,000.00

Jumlah 1,017.00 855.00 3.58 17.15 12,331.00 27.00 49.00 165,500.00

Rata-rata 84.75 71.25 0.30 1.43 1,027.58 2 4.08 13,791.67

Produktivitas (kg/kg kedelai)

1.19

69

73

Lampiran 1. ( Lanjutan )

b. Jumlah produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola mandiri

No.Resp. Output

(kg)

Kedelai

(kg) Ragi (kg) Gas (tabung) Air (liter)

Tenaga Kerja

(HOK) Plastik (pak) Harga Output (kg)

1 115.00 100.00 0.30 2.00 1,254.00 2 6.00 14,000.00

2 34.00 25.00 0.20 0.50 627.00 2 2.00 13,000.00

3 52.00 40.00 0.15 0.50 836.00 2 4.00 13,000.00

4 86.00 70.00 0.25 2.00 1,463.00 2 6.00 14,000.00

5 74.00 60.00 0.20 1.50 1,254.00 2 6.00 14,000.00

6 42.50 30.00 0.20 0.50 627.00 2 3.00 13,500.00

7 173.00 150.00 0.65 3.50 3,135.00 3 6.00 14,000.00

8 63.00 50.00 0.20 0.50 627.00 2 3.00 14,000.00

9 114.00 100.00 0.35 2.00 1,254.00 2 6.00 14,000.00

10 115.00 100.00 0.35 2.00 1,254.00 2 6.00 14,500.00

Jumlah 868.50 725.00 2.85 15.00 12,331.00 21 48.00 138,000.00

Rata-rata 86.85 72.50 0.29 1.50 1,233.10 2 4.80 13,800.00

Produktivitas (kg/kg kedelai) 1.20

70

71

Lampiran 2 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha

pola kemitraan dan pola mandiri

Penggunaan kedelai pengusaha tempe pola kemitraan

No. Resp. Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Total/hari Total/tahun

1 50.00 9,400.00 470,000.00 170,610,000.00

2 50.00 9,300.00 465,000.00 168,795,000.00

3 20.00 9,400.00 188,000.00 68,244,000.00

4 100.00 9,500.00 950,000.00 344,850,000.00

5 20.00 9,400.00 188,000.00 68,244,000.00

6 100.00 9,000.00 900,000.00 326,700,000.00

7 100.00 9,000.00 900,000.00 326,700,000.00

8 100.00 9,000.00 900,000.00 326,700,000.00

9 100.00 9,400.00 940,000.00 341,220,000.00

10 100.00 9,300.00 930,000.00 337,590,000.00

11 75.00 9,400.00 705,000.00 255,915,000.00

12 40.00 9,400.00 376,000.00 136,488,000.00

Jumlah 855.00 111,500.00 7,912,000.00 2,872,056,000.00

Rata-rata 71.25 9,291.67 659,333.33 239,338,000.00

Penggunaan kedelai pengusaha tempe pola mandiri No. Resp. Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Total/hari Total / tahun

1 100.00 9,000.00 900,000.00 326,700,000.00

2 25.00 9,100.00 227,500.00 82,582,500.00

3 40.00 9,100.00 364,000.00 132,132,000.00

4 70.00 9,100.00 637,000.00 231,231,000.00

5 60.00 9,100.00 546,000.00 198,198,000.00

6 30.00 9,100.00 273,000.00 99,099,000.00

7 150.00 9,000.00 1,350,000.00 490,050,000.00

8 50.00 9,100.00 455,000.00 165,165,000.00

9 100.00 9,000.00 900,000.00 326,700,000.00

10 100.00 9,100.00 910,000.00 330,330,000.00

Jumlah 725.00 90,700.00 6,562,500.00 2,382,187,500.00

Rata-rata 72.50 9,070.00 656,250.00 238,218,750.00

72

Lampiran 3 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha pola kemitraan dan

pola mandiri

Penggunaan ragi pengusaha tempe pola kemitraan

No. Resp. Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Total/hari Total/tahun

1 0.15 23,000.00 3,450.00 1,252,350.00

2 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00

3 0.10 23,000.00 2,300.00 834,900.00

4 0.35 22,000.00 7,700.00 2,795,100.00

5 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00

6 0.50 22,000.00 11,000.00 3,993,000.00

7 0.45 22,000.00 9,900.00 3,593,700.00

8 0.40 22,000.00 8,800.00 3,194,400.00

9 0.50 22,000.00 11,000.00 3,993,000.00

10 0.35 22,000.00 7,700.00 2,795,100.00

11 0.25 23,000.00 5,750.00 2,087,250.00

12 0.13 23,000.00 2,990.00 1,085,370.00

Jumlah 3.58 270,000.00 79,790.00 28,963,770.00

Rata-rata 0.30 22,500.00 6,649.17 2,413,647.50

Penggunaan ragi pengusaha tempe pola mandiri No. Resp. Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Total/hari Total / tahun

1 0.30 22,000.00 6,600.00 2,395,800.00

2 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00

3 0.15 23,000.00 3,450.00 1,252,350.00

4 0.25 23,000.00 5,750.00 2,087,250.00

5 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00

6 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00

7 0.65 22,000.00 14,300.00 5,190,900.00

8 0.20 23,000.00 4,600.00 1,669,800.00

9 0.35 22,000.00 7,700.00 2,795,100.00

10 0.35 22,000.00 7,700.00 2,795,100.00

Jumlah 2.85 226,000.00 63,900.00 23,195,700.00

Rata-rata 0.29 22,600.00 6,390.00 2,319,570.00

73

Lampiran 4 Perbandingan penggunaan air pengusaha pola kemitraan dan

pola mandiri

Penggunaan air pengusaha tempe pola kemitraan

No. Resp. Air (Liter) Harga air (m3) Total/hari Total/tahun

1 418.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

2 836.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

3 418.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

4 2,090.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

5 418.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

6 2,090.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

7 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

8 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

9 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

10 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

11 627.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

12 418.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

Jumlah 12,331.00 26,400.00 26,400.00 9,583,200.00

Rata-rata 1,027.58 2,200.00 2,200.00 798,600.00

Penggunaan air pengusaha tempe pola mandiri

No. Resp. Air (Liter) Harga air

(0-10.000 liter) Total/hari Total / tahun

1 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

2 627.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

3 836.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

4 1,463.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

5 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

6 627.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

7 3,135.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

8 627.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

9 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

10 1,254.00 2,200.00 2,200.00 798,600.00

Jumlah 12,331.00 22,000.00 22,000.00 7,986,000.00

Rata-rata 1,233.10 2,200.00 2,200.00 798,600.00

74

Lampiran 5 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha pola kemitraan dan

pola mandiri

Penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola kemitraan

No. Resp.

Tenaga

Kerja

Keluarga

Tenaga

Kerja Non

Keluarga

Jumlah

Kerja

(hari)

HOK

Keluarga

HOK

Non

Keluarga

HOK

Total

Harga

Satuan

(Rp)

1 2 0 1 2 - 2 50.000,00

2 2 1 1 2 1 3 50.000,00

3 2 0 1 2 - 2 50.000,00

4 0 3 1 - 3 3 50.000,00

5 2 0 1 2 - 2 50.000,00

6 2 0 1 2 - 2 50.000,00

7 2 0 1 2 - 2 50.000,00

8 2 0 1 2 - 2 50.000,00

9 1 2 1 1 2 3 50.000,00

10 2 0 1 2 - 2 50.000,00

11 1 1 1 1 1 2 50.000,00

12 2 0 1 2 - 2 50.000,00

Jumlah 20 7 12 20 7 27 600.000,00

Rata-rata 2 1 1 2 1 2 50.000,00

Penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola mandiri

No. Resp.

Tenaga

Kerja

Keluarga

Tenaga

Kerja Non

Keluarga

Jumlah

Kerja

(hari)

HOK

Keluarga

HOK

Non

Keluarga

HOK

Total

Harga

Satuan

(Rp)

1 2 - 1 2 - 2 50.000,00

2 2 - 1 2 - 2 50.000,00

3 2 - 1 2 - 2 50.000,00

4 2 - 1 2 - 2 50.000,00

5 2 - 1 2 - 2 50.000,00

6 2 - 1 2 - 2 50.000,00

7 1 2 1 1 2 3 50.000,00

8 2

1 2 - 2 50.000,00

9 - 2 1 - 2 2 50.000,00

10 - 2 1 - 2 2 50.000,00

Jumlah 15 6 10 15 6 21 500.000,00

Rata-rata 2 1 1 2 1 2 50.000,00

75

Lampiran 6 Hasil output minitab 15 model fungsi produksi tempe

pola kemitraan

Regression Analysis: Output ( kg ) versus Kedelai (kg), Ragi (kg), Air (liter),

Tenaga Kerja (HOK) The regression equation is

Output ( kg ) = 0.469 + 0.855 Kedelai (kg) - 0.0412 Ragi (kg)

+ 0.0417 Air ( liter) - 0.0018 Tenaga Kerja (HOK)

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.4694 0.1462 3.21 0.015

Kedelai (kg) 0.85505 0.01666 51.31 0.000 4.304

Ragi (kg) -0.04124 0.02190 -1.88 0.102 5.860

Air ( liter) 0.04172 0.01991 2.10 0.074 6.253

Tenaga Kerja (HOK) -0.00177 0.03064 -0.06 0.956 1.266

S = 0.0165623 R-Sq = 99.9% R-Sq(adj) = 99.9%

PRESS = 0.0116893 R-Sq(pred) = 99.63%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 4 3.13981 0.78495 2861.57 0.000

Residual Error 7 0.00192 0.00027

Total 11 3.14173

Source DF Seq SS

Kedelai (kg) 1 3.13827

Ragi (kg) 1 0.00014

Air ( liter) 1 0.00140

Tenaga Kerja (HOK) 1 0.00000

Unusual Observations

Kedelai Output

Obs (kg) ( kg ) Fit SE Fit Residual St Resid

3 3.00 3.40120 3.37642 0.01219 0.02478 2.21R

5 3.00 3.33220 3.34783 0.01472 -0.01563 -2.06R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Durbin-Watson statistic = 2.15416

Mean -1.33227E-15

StDev 0.01321

N 12

KS 0.235

P-Value 0.066

76

Lampiran 7 Hasil output minitab 15 model fungsi produksi tempe pola mandiri

Regression Analysis: Output ( kg ) versus Kedelai (kg), Ragi (kg), Air (liter),

Tenaga Kerja (HOK) The regression equation is

Output (kg) = 0.665 + 0.851 Kedelai (kg) + 0.0037 Ragi (kg)

+ 0.0111 Air ( liter) + 0.126 Tenaga Kerja (HOK)

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.6652 0.2401 2.77 0.039

Kedelai (kg) 0.85065 0.03950 21.54 0.000 9.032

Ragi (kg) 0.00374 0.04873 0.08 0.942 7.234

Air ( liter) 0.01109 0.04357 0.25 0.809 8.120

Tenaga Kerja (HOK) 0.1257 0.1263 1.00 0.365 4.451

S = 0.0230320 R-Sq = 99.9% R-Sq(adj) = 99.8%

PRESS = * R-Sq(pred) = *%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 4 2.35749 0.58937 1111.03 0.000

Residual Error 5 0.00265 0.00053

Total 9 2.36014

Source DF Seq SS

Kedelai (kg) 1 2.35510

Ragi (kg) 1 0.00117

Air ( liter) 1 0.00069

Tenaga Kerja (HOK) 1 0.00053

Unusual Observations

Kedelai

Obs (kg) Output (kg) Fit SE Fit Residual St Resid

2 3.22 3.52636 3.55589 0.01829 -0.02953 -2.11R

6 3.40 3.74950 3.71099 0.01403 0.03852 2.11R

7 5.01 5.15329 5.15329 0.02303 0.00000 * X

R denotes an observation with a large standardized residual.

X denotes an observation whose X value gives it large leverage.

Durbin-Watson statistic = 2.07456

Mean 4.440892E-17

StDev 0.01717

N 10

KS 0.287

P-Value 0.029

77

Lampiran 8 Penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani tempe pola kemitraan dan pola mandiri

(Rupiah/tahun)

No.

Uraian Biaya

Pengusaha Pola Kemitraan Pengusaha Pola Mandiri

1 Biaya Tunai

Biaya Tetap Sewa Bangunan 2,880,000.00 2,970,000.00

Penyusutan Alat Produksi 643,152.78 641,141.67

Biaya Variabel Kedelai 239,338,000.00 238,218,750.00

Ragi 2,413,747.50 2,319,570.00

Gas 8,659,818.75 9,020,550.00

Air 798,600.00 798,600.00

Tenaga Kerja Luar Keluarga 10,587,500.00 10,890,000.00

Plastik 11,116,875.00 13,068,000.00

Transportasi 10,496,750.00 10,890,000.00

Sub Total 286.934.444,03 288.816.611,67

2 Biaya Non Tunai

Biaya Variabel Tenaga Kerja Dalam Keluarga 30,250,000.00 27,225,000.00

Sub Total 30,250,000.00 27,225,000.00

Total Biaya 317.184.444,03 316.041.611,67

77

78

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 23 Maret 1989. Penulis

merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Ky. Acep

Almutahar dan Ibu Solihat. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar

(SD) pada tahun 2002 di SDN Citalaga. Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama

(SLTP) diselesaikan di SLTP Negeri 1 Pabuaran pada tahun 2005, kemudian

masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Cisaat Sukabumi pada tahun

yang sama dan menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 2008. Penulis

diterima masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 penulis masuk pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, IPB.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif pada beberapa

organisasi kemahasiswaan seperti menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa

(BEM TPB IPB) tahun 2008, staff Departemen Kewirausahaan BEM TPB IPB

periode 2008 – 2009. Selama menempuh studi, penulis mendapatkan beasiswa

dari PEMDA JABAR pada tahun 2008 – 2009 dan beasiswa BUMN (Badan

Usaha Milik Negara) pada tahun 2012.