Upload
others
View
28
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS KISAH NABI NUH DALAM AL-QUR’AN
(PENDEKATAN NARRATIVE CRITICISM: A. H. JOHNS)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Perawati
1113034000113
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M / 1441 H
ANALISIS KISAH NABI NUH DALAM AL-QUR’AN
(PENDEKATAN NARRATIVE CRITICISM: A. H. JOHNS)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Perawati
NIM : 1113034000113
Pembimbing
Dr. Yusuf Rahman, MA
NIP.19670213 199203 1 002
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2020 M
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul Analisis Kisah Nabi Nuh Dalam Al- Qur'an
(Pendekatan Narrative Criticism: A. H. Johns) telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Juli 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program
Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 14 Agustus 2020
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
D ra. Banun Binaningrum, M.Pd.
NIP. 19680618 199903 2 001
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Pembimbing,
D r. Yusuf Rahman, M.A
NIP. 19670213 199203 1 002
D r. M. Suryadinata, M.Ag.
NIP. 19600908 198903 1 005
M oh. Anwar Syarifuddin, M.A.
NIP. 19720518 199803 1 003
D r. Eva Nugraha, M.Ag.
dcNIP. 19710217 199803 1 002
MOTTO
“Don’t let yourself be controlled by three things :
People, Money, and Past Experiences”
( Mel Chor Lim )
PERSEMBAHAN
Untuk suami dan anak tercinta,
Al hufny dan Rumaisha Qorinia Nazla
i
ABSTRAK
Perawati 1113034000113
Analisis Kisah Nabi Nuh Dalam Al-Qur’an (Pendekatan Narrrative
Criticism: A. H. Johns)
Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa, teori-teori Narrative Criticism
yang dikemukakan oleh A. H. Johns dapat diaplikasikan untuk mengkaji
kisah-kisah dalam al-Qur’an, dan salah satunya yaitu kisah Nabi Nuh.
Dalam al-Qur’an kisah Nabi Nuh yaitu QS. Al- A’rāf: 59, QS. Al-
Mu’minûm: 23, QS. Nûh: 1-20, QS. Hûd 26-31 sebagai Dakwah Nabi Nuh
kepada kaumnya, QS. Hûd : 36-37 sebagai perintah Allah kepada Nabi Nuh
untuk membuat bahtera (perahu), QS. Al-A’rāf: 64, QS. Hûd: 37, QS. Al-
Mu’minûn: 27, QS. Al-Furqân: 37, QS. Al-‘Ankabût: 14, dan QS. Yûnus:
71-73 terselamatkannya kaum Nabi Nuh yang berada di atas kapal,dan QS.
Mu’minûn: 28, QS. Hûd: 37, QS. Hûd: 42, dan QS. Al-Ankabût: 14
selamatnya kaum Nabi Nuh.
Tujuan penelitian ini ialah menggambarkan kisah Nabi Nuh dan berusaha
memunculkan maksud dari kisah Nabi Nuh di dalam al-Qur’an agar
mencapai objektifitas hikmah dari kisah Nabi Nuh dalam al-Qur’an.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan
teknik deskriptif analitik. Hal ini agar tidak jauh dari objek yang dituju, yaitu
menggambarkan kisah Nabi Nuh dan membagi menjadi beberapa fragmen
dan memunculkan tokoh-tokoh yang ada pada kisah juga dengan
mengaplikasikan teori Narrative Criticism yang dipakai oleh A. H. Johns
untuk melihat isi dari kisah dengan jelas.
Adapun jenis narasi yang terdapat di dalam al-Qur’an berbeda-beda yaitu
narasi informatik, ekspositorik, dan artistik, dan terdapat pernyataan
langsung (Direct speech) dan model narasi (Narrative).
Kata Kunci: Narrative Criticism, Bahtera, Kisah Nabi Nuh, Direct speech,
Narrative.
ii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحان الرحيم
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, tuhan semesta alam. Yang
berkat hidayah dan inayahnya diberikan kesehatan dan kemuliaan untuk
menjalani kehidupan ini. Sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Analisis Kisah Nabi Nuh Dalam Al-Qur’an (Pendekatan
Narrrative Criticism: A. H. Johns)”. Sholawat dan Salam semoga
senantiasa tercurah limpahkan atas Baginda Nabi besar Muhammad Saw
beserta keluarga, sahabat, sampai pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulisan skripsi ini tidak akan tercapai dengan maksimal tanpa bantuan
motivasi, materil maupun nonmateril. Maka dari itu penulis ingin
mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA. sebagai Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA. sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag. sebagai Ketua Jurusan Ilmu Al-Quran dan
Tafsir, dan Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH. sebagai Sekretaris Jurusan
Ilmu Al-Quran dan Tafsir beserta segenap jajaran pengurus Fakultas
Ushuluddin yang telah banyak membantu mempermudah administrasi
dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.
4. Dr. Yusuf Rahman, MA. sebagai dosen pembimbing skripsi yang sudah
memberikan atensi penuh dengan kesabarannya membimbing,
memotivasi, dan mengoreksi setiap detail penulisan skripsi ini.
5. Kusmana. MA, Ph.D. sebagai penasihat akademik yang telah
membantu selama dalam masa perkuliahan.
iii
6. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah yang sudah membantu tercapainya
penulisan skripsi ini.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang senantiasa memberikan
dukungan doa, materil dan nonmateril. Semoga Allah panjangkan
usianya dalam kebaikan.
8. Kepada Al hufny dan Rumaisha sebagai suami dan anak yang selalu
mencurahkan separuh waktunya demi terselesaikan-nya skripsi ini.
9. Kakanda Titi Suhartini dan adinda Ani, Sinta dan Azam yang selalu
memberikan motivasi demi terselesaikan-nya skripsi ini.
10. Kawan-kawan dan teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan
semua, serta keluarga besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir angkatan
2013.
Akhirnya penulis berharap penulisan skripsi ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis sendiri dan memberikan sumbangsih ilmu untuk
para peminat pembaca. Dengan harapan skripsi ini menjadi amal baik bagi
penulis, Âmīn yâ rabb al-â’lamīn.
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dab padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf latin Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
b Be ب
ta Te ت
ts Te dengan es ث
j Je ج
h h dengan garis bawah ح
kh Ka dan ha خ
d De د
dz De dengan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy Es dan ye ش
ṣ Es dengan titik bawah ص
ḏ De dengan garis bawah ض
ṯ T dengan garis bawah ط
ẕ Z dengan titik bawah ظ
v
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh Ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ه
Apostrof ` ء
y Ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah
I Kasrah
ُ ُ ُ U Ḍammah
vi
Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab dilambangakan
dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas ىا
Î i dengan topi di atas ىي
Û u dengan topi di atas ىو
Kata sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf,yaitu ,ال dialihaksarakan menjadi huruf /l/ ,baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.
Syaddah(Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ّـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata ةر و ر الض tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.
vii
Tā’Marbūṯah
Kata Arab Alih Aksara Keterangan
Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة
ةعة اإلسالمي ماالجAl-jāmiah al- Islāmiyyah
Diikuti oleh kata sifat
waḥdat al-wujūd Diikuti oleh kata benda وحدة الوجود
Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih
aksara huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permukaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama seseorang,
dan lain-lain. Jika nama seseorang didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama tersebut. Misalnya: Abū
‘Abdullāh Muhammad al-Qurṭubī bukan Abū ‘Abdullāh Muhammad Al-
Qurṭubī.
Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka demikian
halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait nama, untuk
nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan
tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab.
Contoh: Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan
diatas:
viii
Kata Arab Alih Aksara
ج ۡزن ااو Wa jâwaznâ و
ٰٓ أ ۡصن ام ل ى Alâ aṣnâmi‘ ع
ل ون إ ن ك ۡم ق ۡوم Innakum qawmun tajhalûna ت ۡجه
ب ل اه ۡم ف يه و Hum fīhi wa bâṭilun ط
Singkatan
Huruf Latin Keterangan
Swt, Subḥāh wa ta‘ālā
Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa
sallam
QS. Quran Surah
M Masehi
H Hijriyah
w. Wafat
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………………………………………………….... i
KATA PENGANTAR …………………………………………….. ii
PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………. iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………..... ix
DAFTAR TABEL ………………………………………………… xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………...... 1
B. P embatasan dan Perumusan Masalah ………........................ 5
C. Tujuan Penelitian ………………………………………........ 6
D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………. 6
E. Metodelogi Penelitian ………………………………………. 9
F. Sistematika Penulisan ……………………………………..... 11
BAB II DISKURSUS SEPUTAR NARRATIVE CRITICISM
A. Narrative Criticism Sebagai Kritik Sastra ………………….. 14
B. Narrative Sebagai Metode Kisah…………………………..... 17
C. Narrative Criticsm A. H. Johns ……………………………. 20
D. Analisis Naratif atas Kisah Nabi Ayyub dalam al-Qur’an
sebuah contoh Aplikatif ……………………………………..
22
BAB III GAMBARAN UMUM KISAH NABI NUH DALAM
AL-QUR’AN
A. Nabi Nuh As Menyeru Kaumnya Hanya Menyembah Allah.. 28
B. Nabi Nuh As Membuat Perahu untuk Menyelamatkan
Kaumnya…………………………………………………….
32
C. Nabi Nuh As Beserta Kaum yang beriman Berada dalam
Perahu dan Terselamatkan dari Banjir Bandang ………........
34
D. Nabi Nuh As Beserta Kaumnya Terselamatkan…………….. 36
x
BAB IV: ANALISA KISAH NABI NUH AS PENDEKATAN
NARRATIVE CRITICSM
A. Kesejarahan Figur Nabi Nuh As (Story) ……………………. 40
B. Citra Nabi Nuh As sebagai Ulul Azmi ……………………... 52
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………. 58
B. Saran ………………………………………………………... 58
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 61
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Struktur Biner Komplimenter ........................................ 26
Tabel 4.1 ......................................................................................... 40
Tabel 4.2 ......................................................................................... 45
Tabel 4.3 ......................................................................................... 48
Tabel 4.4 ......................................................................................... 50
Tabel 4.5 ......................................................................................... 51
Tabel 4.6 ......................................................................................... 56
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa aspek penting yang salah satunya
yaitu kisah. Kisah merupakan salah satu isi kandungan lain dalam al-
Qur’an. Kitab samawi terakhir ini menaruh perhatian serius akan
keberadaan masalah kisah di dalamnya. Dalam al-Qur’an tersebut 26 kali
kata qiṣah dan yang seakar dengannya, tersebar dalam 12 surah dan 21 ayat.
Lebih dari itu, dalam al-Qur’an ada surah khusus yang dinamakan surah al-
Qaṣaṣ, yakni surah ke-28 yang terdiri atas 88 ayat, 1.441 kata.1
Al-Qur’an dalam pemaparan kisahnya tidak seperti dengan kisah-kisah
yang ada dalam kitab-kitab sebelumnya (Taurat dan Injil). Al-Qur’an dalam
memaparkan kisahnya hanya mengambil bagian-bagian yang memberi
kesan, tidak menyebutkan semua nama-nama tokoh yang terlibat dalam
peristiwa tersebut. Al-Qur’an memilih beberapa fragmen yang berkaitan
dengan substansi tema dan berisi pelajaran.2
Kisah merupakan salah satu jenis prosa naratif (al-adab al-nathri).
Kisah dalam pengertian sastra modern didefinisikan sebagai narasi berbagai
kejadian yang disusun berdasarkan waktu.3 Ia seni memberi (form of
giving), yaitu menyampaikan ke hadapan publik; menjadi media untuk
menanamkan nilai atau bahkan memaksakan (mendokrinkan) segala
1 Muḥammad al-Ghāzalī, Berdialog Dengan al-Qur’an (Bandung: Mizan): 108. 2 Mursalim, “Gaya Bahasa Pengulangan Kisah Nabi Musa Dalam al-Qur’an: Suatu
Kajian Stilistika”Jurnal Lentera 1, no. 1 (2017): 86. 3 M. Faisol,“Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif Naratologi Al-Quran”.
Islamica: Jurnal Study Keislaman 2, no. 2 (Maret 2017): 1. Lihat juga Muhammad al-
Tûnjî, al-Mu’jam al-Mufahṣṣal fî al-Adab, Vol. 2 (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1993),
706.
2
sesuatu kepadanya.1
Eksistensi kisah dalam al-Qur’an diproyeksikan demi tujuan mulia
terkait dengan risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad dan sekaligus
sebagai bukti kenabian (daláil al-nubuwwah). Sayyid Qutb berpendapat
bahwa kisah-kisah al-Qur’an, dalam segala objek, cara pemaparan dan
penarasiannya tunduk dalam kepentingan agama Islam.2
Ayat-ayat kisah dalam al-Qur’an tidaklah sedikit, bahkan mencapai
seperempat lebih banyak dibanding ayat-ayat hukum di mana menurut
hitungan A. Hanafi ada sekitar 1600 ayat tentang kisah, sementara ayat
tentang hukum hanya 330 ayat.3
Salah satu kisah yang termuat dalam al-Qur’an yaitu kisah Nabi Nuh
As. Kisah Nabi Nuh As memang kisah yang spektakuler dan direkam oleh
sejarah. Islam sendiri di dalam al-Qur’an menyebutkan kisah ini, baik
secara global maupun detail dari berbagai surah. Nabi Nuh As, dalam versi
Islam, juga bukanlah seorang nabi biasa. Ia dimasukkan dalam kategori
Nabi-Nabi Ulul ‘Azmi, sebuah gelar istimewa kenabian yang diberikan
kepada nabi-nabi yang memiliki kedudukan yang khusus karena ketabahan
dan kesabaran yang luar biasa dalam menyebarkan ajarannya, selain Nabi
Ibrahim As, Musa As, Isa As, dan Nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya, kisah Nabi Nuh As dan kisah lain yang diulang-ulang
(tikrâr) pada beberapa surah dan ayat dalam Al-Qur’an, menurut Mannâ’
al-Qaṯṯan, memiliki beberapa maksud, diantaranya adalah untuk
menunjukan kualitas balâgah al-Qur’an yang tinggi, untuk peneguhan dan
penguatan makna kisah dalam jiwa, serta menunjukan adanya perbedaan
1 Amy E. Spaulding, The Art of Storytelling (United Kingdom: The Scarecrow Press,
2011), 91. 2 Sayyid Quṯb, al-Taṣwîr al-Fannî fî al-Qur’ân (Kaito: Dâr al-Ma’ârif, t.th.), 120. 3 A. Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah al-Qur’an (Jakarta : Pustaka
al-Husna, 1983), 22.
3
tujuan berbagai penceritaan.4
Oleh karena itu, kisah Nabi Nuh As sebagai bagian dari rantai kenabian
dan kerasulan serta direkam oleh al-Qur’an selain menarik untuk dikaji juga
perlu dimaknai.
Pemahaman kisah sendiri dalam al-Qur’an menimbulkan perdebatan di
antara kalangan sejarah muslim awal hingga sekarang. Manna’ Khalil al-
Qaṯṯân dalam karyanya Mabâhis fî’ Ulûm al-Qur’ân menyatakan bahwa
kisah al-Qur’an merupakan fakta sejarah.5Sementara sarjana kontemporer
Muhammad Ahmad Khalaf al-lâh dengan karyanya al-Fann al-Qasasî fî al-
Qur’ân al-Karîm menolak pandangan tersebut dengan keyakinan bahwa al-
Qur’an bukan kitab sejarah dan kemungkinan kisah al-Qur’an tidak benar-
benar terjadi.6
Terlepas dari perdebatan problem ontologis di atas, pada hakikatnya
ayat-ayat kisah dalam al-Qur’an bukanlah untuk menganalisis bahwa ayat-
ayat tersebut merupakan data sejarah atau bukan, apakah kisah tersebut
benar-benar terjadi atau tidak, melainkan untuk menguak pesan tuhan yang
terekam dalam ayat-ayat kisah tersebut. Untuk itu dibutuhkan metodologi
penafsiran khusus yang mumpuni dan objektif agar tidak terjadi
kesalahpahaman pemaknaan.7
Secara intrinstik nash al-Qur’an memang tidak berubah, tetapi
penafsiran akan teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan
waktu. Karenanya, al-Qur’an membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi,
4 Muhammad Rusydi, “Makna Kisah Nuh AS Dalam Al-Quran (Perspektif
Hermeneutika Filosofis)”. Al-Banjari 17, no. 1 (Januari-Juni 2017), 2. Lihat juga Mannâ
al-Qaṯṯân, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân (tt.: al-Manshûrât al-‘Aṣr al-Ḥadîts, 1973), 308. 5Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban al-Qur’an; Kesatuan Tema
dalam al-Qur’an. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dan Sutrisno Hadi (Jakarta : Gema
Insani, 2010), 342. 6Manna’ Khalil al-Qattân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, terj, H. Aunur Rafiq El-
Mazni, Lc. MA (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), cet. 1, 390-391. 7Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2008), 93.
4
dan diinterpretasi (ditafsirkan) dengan berbagai metode dan pendekatan
sebagai cara atau alat dalam mengungkapan makna. Begitu pula dalam
mengungkapkan makna ayat kisah, tanpa adanya metode dan pendekatan
dalam menggambarkan suatu makna, maka kebenaran dan pesan yang
diterima hanyalah bersifat tekstual, literal dan spiritual.8 Lantas bagaimana
nash al-Qur’an dapat dipahami, ditafsirkan, dan didialogkan demi
menghadapi realitas sosial saat ini.
Penafsiran manusia selalu berkembang seiring dengan perkembangan
zaman, sehingga tidak ada satu metode atau bentuk penafsiran yang bisa
diklaim sebagai penafsiran yang mutlak benar.9 Alih-alih ingin
menghilangkan kesubjektifan penafsiran dan mengklaim bahwa
penafsirannya merupakan tafsiran yang objektif, keputusan tersebut
merupakan kesalahan fatal. Karena hakikatnya, seorang mufassir sulit untuk
menghilangkan kesubjektivan mereka dan hanya berusaha meminimalisir
hal tersebut.10 Pandangan ini merupakan sudut pandang alamiah dan tidak
bahaya asalkan sudut pandang tersebut tidak mendistorsi objek pandangan
dan terbuka bagi visi-visi orang yang memandangnya.11
Dalam rangka memahami al-Qur’an, mendialektiskan suatu ayat
bukanlah hal yang mudah mengingat bahwa setiap metode dan tafsir, setiap
cara dan pendekatan, secanggih apapun ia digunakan, bisa jadi ia selalu
dalam posisi : “lain di teks, lain pula di konteks.” Mencari titik temu dan
merelevansikan antara teks dan konteks merupakan tugas berat yang
8Ahmad Taufik, MA. Hum, Tekstualitas Penafsiran al-Qur’an Kritik Metodologi
Tafsir (Ciputat: Cinta Buku Media, 2014), cet. I, 8-17. Lihat juga Labib Muttaqin,
“AplikAsi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Dokrin Kewarisan Islam
Klasik,” Jurnal al-Manâhij (jurnal kajian hukum Islam)VII, no. 2(Juli 2013), 199.. 9Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an (Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an)
(Yogyakarta: Titian Ilahi Perss, 1997), 74. 10Amina Wadud Muhsin, “Qur’an and Woman”, dalam Charlez Khuzman (ed.).
Liberal Islam. (New Work: Oxford University press, 1998), 127-128. 11Taufik Adnal Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Study atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman) (Bandung : Mizan, 1989), 193.
5
diemban para mufassir dan hal ini sudah berlangsung sedari tafsir era
formatif hingga reformatif.12 Problema inilah yang nantinya akan
melahirkan metode-metode dan tafsir-tafsir dengan berbagai corak dan
ragamnya, dengan berbagai dinamika dan pergulatan yang terjadi saat ini.13
Menanggapi permasalahan di atas, bahwasanya pada penelitian ini
penulis membutuhkan metodologi tafsir yang bisa digunakan untuk
memahami makna kisah dalam al-Qur’an secara kritis, dialektis, reformatif,
dan transformatif sehingga penafsiran tersebut mampu menyingkap
kandungan nilai dan ajaran al-Qur’an sesuai dengan situasi dan tuntutan
zaman.
Dari penuturan di atas, peneliti tertarik terhadap metodologi yang
dimiliki oleh A.H. Johns dengan menggunakan pendekatan Narrative
Criticism sebagai pisau analisis untuk menguak makna kisah dalam al-
Qur’an secara objektif dan aktual.
Dari pemaparan di atas maka penulis mengangkat skripsi yang berjudul
“Analisis Kisah Nabi Nuh Dalam Al-Qur’an (Pendekatan Narrrative
Criticism: A. H. Johns).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat berbagai macam
metodelogi penafsiran kisah dalam al-Qur’an. Salah satunya pendekatan
sastra, yaitu kritik naratif, stilistiks, dll. Tak jauh berbeda dengan penulis
yang ingin mencoba mengaplikasikan pendekatan kritif naratif secara
umum, hanya saja pendekataan kritik sastra ini adalah pendekatan yang
12Dr. Abdul Mustaqim. Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : LkiS Group,
2010), 35-53. Lihat juga Nasr Hâmid Abû Zayd. Naqd al-Khitâb al-Dînî, (Kairo : Sina li
an-Nasyr, 1994), 142-143. 13Fazlur Rahman, Islam and Moderity; Transformation of Intellectual Tradition, (US
: Chicago & London University of Chicago, 1982 Press), 145. Lihat juga Prof. Dr. Umar
Shihab, MA, Kontekstuaitas Al-Qur’an Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-
Qur’an (Jakarta : Penamadani, 2005), cet. III, . 3-4.
6
diterapkan oleh A. H. Johns untuk mencapai pemahaman kisah yang
termuat di dalam Al-Qur’an.
Oleh karena itu, penulis akan membatasi penelitian ini dengan hanya
membahas kisah Nabi Nuh As dengan pendekatan Narrative Criticism
(kritik naratif) A. H. Johns. Maka penelitian ini akan difokuskan pada
rumusan masalah berikut:
1. Bagaimana gambaran kisah Nabi Nuh As dengan pendekatan
Narrative Criticism?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penulisan ini adalah:
Menganalisis kisah Nabi Nuh dengan pendekatan Narrative
Criticism yang dipakai A. H. Johns, sehingga dapat
memunculkan isi dari kisah tersebut.
2. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini menguatkan Wardatun
Nadhiroh untuk mengkaji kisah dalam al-Qur’an dengan
pendekatan Narrative Criticism khususnya yang dimiliki A. H.
Johns.
2. Secara praktis, skripsi ini dapat digunakan sebagai rujukan
alternatif dan bahan bacaan dalam mendukung mata kuliah
Pendekatan Modern dalam al-Qur’an, dan Kajian Barat
Terhadap al-Qur’an.
D. Tinjaun Pustaka
Beberapa literatur penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan kisah
Nabi Nuh As atau metode kritik naratif bersumber dari buku-buku, skripsi,
tesis, artikel, dll.
7
Pertama, Wardatun Nadhiroh “ Memahami Narasi Kisah al-Qur’an
dengan Narrative Criticism (Studi atas Kajian A. H. Johns). Dalam artikel
ini, Wardatun mencoba untuk merespon kepada A. H. Johns selaku Guru
Besar Study Keislaman di Australia National University, Canberra yang
mencoba untuk mengungkapkan makna kisah dalam al-Qur’an dengan
mengadopsi pendekatan Narrative Criticism yang diterapkan oleh
kesarjanaan gereja ketika menafsirkan kisah dalam al-Kitab.
Saya mengacu kepada Warda terhadap pendekatan yang saya ambil
untuk metode penafsiran. Hal yang membedakan saya menjadikan Nabi
Nuh sebagai objek penelitian sedangkan Warda mengulas perihal Narrative
Criticism sebagai pendekatan kisah secara menyeluruh Oleh karenanya,
penulis menjadikannya sebagai tolok ukur atau pijakan dalam mengungkap
kisah dengan menggunakan pendekatan Narrative Criticism.14
Kedua, Asep Sopian “Stilistika Dialog Qur’ani Dalam Kisah Nabi Nuh
AS”. Asep mencoba menggambarkan kisah Nabi Nuh dengan mengunakan
metode Stilistika, yakni gaya bahasa yang digunakan seseorang bertujuan
untuk mengungkapkan pikiran yang dapat mencerminkan jiwa dan
kepribadian pengarang. Gaya bahasa mencakup diksi, struktur kalimat,
majas, citraan dan rima.
Sedangkan penulis menarasikan kisah nabi Nuh dengan aspek kisah
dan discoure dengan pendekatan Narrative.15 Hal ini terlihat jelas bahwa
14Wardatun Nadhiroh, “Memahami Narasi Kisah al-Qur’an dengan Narrative
Criticism (Studi atas Kajian A.H. Johns)”, Jurnal Ilmu Ushuluddin 12, no. 2 (Juli 2013). 15 Dalam praktiknya, kritik naratif ini menekankan pada pemahaman dua aspek.
Pertama, aspek kisah (story), yaitu isi dari narasi tersebut, yang menekankan pada 1)
peristiwa yang terjadi di dalamnya, 2) tokoh-tokoh, 3) latar yang meliputi waktu, tempat,
dan kondisi sosial, serta 4) alur. Kedua, Aspek penuturan (discourse), yaitu cara isi narasi
tersebut diceritakan, yang memuat 1) gaya penceritaan, 2) sudut pandang (point of view),
3) pengarang tersirat (implied author), dan 4) pembaca tersirat (implied reader). Keduanya
dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan dalam suatu narasi. Baca Wardatun Nadhiroh,
Memahami Narasi Kisah al-Qur’an dengan Narrative Criticism (Studi atas Kajian A. H.
Johns), 218.
8
penulis dan Asep memiliki kesamaan dalam objek penelitian hanya metode
pendekatan dalam menafsirkannya yang berbeda.16
Ketiga, Muhammad Rusydi “Makna Kisah Nuh AS Dalam Al-Qur’an
(Perspektif Hermeneutika Filosofis)”.Dalam jurnal ini, Rusydi mencoba
maknai kisah Nuh dengan sudut pandang hermeneutika filosofis yang
dipelopori oleh Heidegger dan Gadamer.
Sedangkan penelitian yang penulis garap adalah memaknai kisah nabi
Nuh dengan penarasian Naratif. Terlihat jelas perbedaan dan kesamaan
yang ada dalam jurnal Rusydi dan penulis, bahwa keduanya menjadikan
objek penelitian yang sama yakni nabi Nuh dengan menggunakan
pendekatan yang berbeda.17
Keempat, M. Faisol dalam “ Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif
Naratologi Al-Quran”. Pada penelitiannya, Faisol menginterpretasikan
kisah nabi Musa dengan analisis naratif berpijak pada teori naratologi yang
berfokus untuk menganalisis sesuatu yang berurutan, yang memiliki awalan
dan akhiran atau awal-tengah-akhir.
Sepintas bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Faisol dan penulis ada
kesamaan yakni menarasikan kisah dan keduanya berkutat dalam bidang
sastra, tetapi yang lebih spesifik bahwa penulis mengadopsi pendekatannya
terhadap pemikiran A. H. Johns dan perbedaan hanya dalam segi objek
penelitiannya. Hal ini menjadikan sedikit banyaknya jurnal ini sebagai tolok
ukur penulis.18
Kelima, Muhammad Khatib dalam “Penafsiran Kisah-Kisah al-Qur’an:
Telaah Terhadap Pemikiran Muhammad Ahmad Khalafullah dalam al-
16 Asep Sopian, “Stilistika Dialog Qur’ani Dalam Kisah Nabi Nuh AS)”, Jurnal
Bahasa dan Seni, no. 2 (Agustus 2017). 17 Muhammad Rusydi, “Makna Kisah Nuh AS Dalam Al-Quran (Perspektif
Hermeneutika Filosofis)”, Al-Banjari 17, no. 1 (Januari-Juni 2017) 18M. Faisol,“Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif Naratologi Al-Quran,”
Islamica: Jurnal Study Keislaman 2, no. 2 (Maret 2017).
9
Fann al-Qaṣaṣî fî al-Qur’ân al-Karîm”. Penelitian ini membahas penafsiran
kisah-kisah al-Qur’an dalam al-Fann al-Qaṣaṣî fî al-Qur’ân al-Karîm,
karya Muhammad Khatib dengan penulis memiliki kesamaan, yakni
pembahasannya sama-sama berkaitan dengan kisah al-Qur’an.
Adapun perbedaannya adalah Muhammad Khatib dengan penulis
terlihat jelas bahwa Muhammad Khatib hanya merujuk kepada pemikiran
Khalafullah dan tidak menyebutkan kisah secara khusus, sedangkan penulis
menitikkan kepada kisah Nabi Nuh dengan pendekatannya Narrative
Criticism.19
Keenam, Moh. Wakhid Hidayat dalam “Qasas Al-Qur’an Dalam Sudut
Pandang Prinsip-Prinsip Strukturalisme dan Narasi (Pengantar Studi Sastra
Narasi al-Qur’an).” Dalam jurnal Moh. Wakhid dijabarkan perbedaan
Pendekatan strukturalisme dan narasi dalam menafsirkan kisah-kisah dalam
al-quran.
Secara sepintas Penulis menjadikan penelitian ini sebagai tolok ukur
penarasian kisah dalam al-quran dan hanya melihat secara umum
penarasian kisah dalam penelitian ini dan membandingkan dengan
penelitian penulis, yakni penarasian yang dimiliki oleh A. H. Johns.20
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang dipakai untuk mencari.
Mencatat, menemukan, dan menganalisis sampai menyusun laporan guna
mencapai tujuan.21 Adapun metode penelitian yang digunakan dalam
melakukan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
19Muhammad Khotib, ”Penafsiran Kisah-Kisah Al-Qur’ân: Telaah Terhadap
Pemikiran Muhammad Ahmad Khalafullah Dalam Al-Fann Al-Qasasi fī Al-Qur’ân Al-
Karim,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009). 20 Moh. Wakhid Hidayat, “Qasas al-Qur’an Dalam Sudut Pandang Prinsip-Prinsip
Strukturalisme Dan Narasi, “ Adabiyyat, 8, no. 1, (Juli 2009). 21Cholid Nur Boko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara
Pustaka),1.
10
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah
penelitian library research, merupakan penelitian yang mengambil bahan-
bahan kajiannya pada berbagai sumber, baik yang ditulis oleh tokoh yang
diteliti itu sendiri atau disebut dengan sumber primer, maupun sumber yang
ditulis oleh orang lain mengenai yang ditelitinya. Karena penelitian ini
bertujuan menelaah atau mengkaji suatu kitab atau buku mengenai kisah
Nabi Nuh As dalam al-Qur’an, maka jenis penelitian yang sesuai adalah
penelitian pustaka yang bercorak deskriptif-analitis.22
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun sumber data yang peneliti gunakan untuk keperluan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus
menyelesaikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data dikumpulkan
sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat objek
penelitian dilakukan.23
Data primer ini merupakan sumber utama yang berperan dalam
pengumpulan data untuk kepentingan peneliti untuk penelitiannya. Karena
penelitian ini berjenis kajian pustaka, maka sumber utamanya yaitu al-
Qur’an dan kitab Tafsir yang memuat kisah Nabi Nuh As.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dijadikan penunjang dalam
pengumpulan data yang peneliti butuhkan. Data sekunder yang penulis
gunakan berupa buku-buku, jurnal, buku tafsir-tafsir terjemahan dan yang
22Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi
(Jakarta: PT. Renika Cipta, 2006, Cet. I), 95-96. 23 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2009, Cet. VIII), 137.
11
lainnya yang berkaitan dengan kisah Nabi Nuh As.
c. Pengolahan Data
Dalam penelitia ini, data-data yang dikumpulkan kemudian diolah
dengan cara-cara berikut:
1. Deskripsi
Yaitu mengumpulkan dan mengelompokkan ayat-ayat yang menjadi
bagian dari kisah Nabi Nuh As serta menguraikan kisah tersebut dengan
pendekatan kritik naratif.
2. Analisis
Analisis data merupakan proses memilih dari beberapa sumber maupun
permasalahan yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan.24 Setelah
mendeskripsikan teori kritik naratif (narrative criticism), langkah
selanjutnya adalah menganalisa teori kritik naratif (narrative criticism)
yang nantinya mendapatkan kesimpulan teori siapa yang paling tepat untuk
menggambarkan kisah Nabi Nuh As.
a. Metode Penulisan
Dalam Penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada Buku “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang disusun oleh
tim Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun
2007.25
F. Sistematika Penulisan
Untuk Keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi
dalam menyusun skripsi ini, maka penulis membaginya dalam lima bab.
Setiap bab mempunyai spesifik mengenai topik tertentu, diantaranya:
Bab I Pendahuluan, terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Pembatasan
24Sedarmayanti dan Syarifuddin Hidayat, Metodologi penelitian (Bandung: CV.
Mandar Maju, 2011), 166. 25Hamim Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
DisertAsi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: CeQda, 2007), cet.1.
12
dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi
Penelitian dan Sistematika. Sebelum meranjak kepada pembahasan dalam
bab pendahuluan penulis mengungkapkan alasan, tujuan, metode yang
digunakan, sampai pada sistematika penulisan karya ilmiah / skripsi yang
sedang dikerjakan.
Bab II setelah melihat latar belakang dan menemukan masalah yang
ada pada bab I, maka dibutuhkan metodologi dan teori yang dipakai adalah
diskursus seputar narrative criticism, dalam bab ini memuat, narrative
criticism sebagai kritik sastra, narrative criticism sebagai metode kisah,
narrative criticism A. H. Johns.
Bab III, setelah menemukan latar belakang, masalah, metodologi dan
teori yang dipakai pada bab I dan II maka dalam bab ini penulis membahas
tetang bagaimana gambaran umum kisah Nabi Nuh dalam al-Qur’an, dan
memuat di dalamnya yaitu Nuh menyeru kaumnya hanya menyembah
Allah, Nuh membuat perahu untuk menyelamatkan kaumnya, Nuh beserta
kaum yang beriman berada dalam kapal dan terselamatkan dari banjir
bandang, dan Nuh beserta seluruh kaumnya terselamatkan.
Bab IV, setelah menggambarkan kisah Nabi Nabi Nuh secara umum
yang terdapat dalam al-Qur’an pada bab III maka kisah tersebut di analisis
memakai metode dan teori pada bab II dan sebagai objeknya yaitu kisah
Nabi Nuh pada bab III, dalam bab ini penulis membahas tentang analisis
kisah Nabi Nuh dalam al-Qur’an dan di dalamnya mencangkup kesejarahan
figur Nabi Nuh, citra Nabi Nuh sebagai ulul ‘azmi: 1. Suami dan ayah yang
taat kepada Allah, 2. Nabi yang sabar, dan 3. Nabi yang optimis.
Bab V setelah penulis menganalisis kisah Nabi Nuh yeng terdapat pada
bab IV lalu pada bab ini merupakan bagian penutup. Bab ini berisi
kesimpulan yang telah didapatkan dari beberapa bab sebelumnya sebagai
hasil dari penelitian dan merupakan jawaban secara singkat dan padat
13
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan terdahulu. Bab ini
diakhiri dengan saran penulis guna penelitian selanjutnya.
14
BAB II
DISKURSUS SEPUTAR NARRATIVE CRITICSM
Kisah atau narasi merupakan jenis paragraf penceritaan atas dasar
pengamatan atau perekaan. Narasi berciri berorientasi pada tokoh.
Rangkaian perbuatan bersifat logis, melahirkan kausalitas atau sebab-
akibat. Tuturan-tuturan atau pernyataan di dalamnya memiliki hubungan
kronologis, berstruktur stimulus-respons. Tuturan-tuturan itu mempunyai
hubungan rangkaian waktu atau time sequence. Narasi berisi kisah kejadian
atau peristiwa yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu.1
A. Narative Criticsm Sebagai Kritik Sastra
Dalam kajian Alkitab, telah berkembang pendekatan kritik naratif
sebagai pisau analisis untuk memahami kisah yang ada dalam Alkitab.
Pendekatan kritik naratif (narrative criticism) yang mendasarkan
pemahaman dalam dunia teks itu sendiri, diharapkan kemudian agar mampu
menguak makna teks secara objektif. Pendekatan ini kemudian juga
diterapkan oleh sarjana Barat dari Inggris yang sekarang menjadi Guru
Besar Studi Keislaman di Australian National University, Canberra, A. H.
Johns, untuk memahami narasi kisah para nabi dalam al-Qur’an. Ayat-ayat
kisah dalam al-Qur’an sendiri, itu mengambil porsi yang sangat banyak,
mencapai seperempat al-Qur’an dan terdapat dalam 1.453 ayat. Kisah-kisah
tersebut mencakup narasi tentang sejumlah Nabi dan Rasul, orang-orang
bijak, sejarah, historiografi mitis, serta orang tersohor di masa lalu.2
1Joseph E. Grimes, The Thread of Discourse (The Hague: Mouton, 1975), 261, lihat
juga Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982),
136, Anton M. Moeliono, Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar (Jakarta:
Penerbit PT Gramedia, 1989), 124. 2 Claude Gilliot, “Narratives” dalam Jane Dammen Mc Auliffe, Encylopedia of the
Qur’an, vol 3 (Leiden: Brill, 2004), 517.
15
Pada dasarnya, pendekatan ini merupakan cabang dari kritik literasi
(literary criticism) dan konteks sastra (literary kontext) teks, yang mendapat
tempatnya dalam kesarjanaan Gereja, untuk memahami kisah-kisah yang
ada dalam Alkitab. Tanpa bermaksud mengesampingkan metode-metode
kajian lain dalam memahami teks, kritik naratif ini ingin mendapatkan
makna teks dari dalam teks itu sendiri. Jadi, jika ditanya apa yang
membedakan antara kritik sejarah (historical criticism), ialah karena
berkembang lebih dahulu dengan narrative criticism yang muncul
belakangan, para sarjana akan mengibaratkan keduanya dengan jendela dan
cermin.3
Sementara, narrative criticism mengandaikan teks sebagai sebuah
cermin, sehingga pemahaman hanya akan didapatkan dengan melihat teks
itu sendiri. Dunia tekstual yang diciptakan oleh pengarang, sebagai sarana
perantara mengajak pembaca untuk melihat dunia “sesungguhnya” tempat
pembaca itu hidup dan menyadari bahwa dunia tekstual itu mengatakan
sesuatu yang benar tentang dunia yang sesungguhnya itu. Pemahaman
sebelumnya, dicukupkan hanya pada apa yang diungkapkan oleh teks (text
centered approach), tanpa memperhatikan secara langsung kenyataan di
belakangnya, merupakan ciri khas pendekatan naratif ini.4
Adapun, historical criticism menganggap sebuah teks itu sebagai
jendela, sehingga untuk mendapatkan suatu pemahaman, seorang penafsir
harus melihat jauh ke belakang teks, kepada sejarah teks, sejarah pengarang
dan komunitasnya – tafsir ini disebut dengan pendekatan diakronik
(melintasi waktu). Entah itu melalui kritik teks atau melalui kritik bentuk,
entah itu lewat kritik tradisi atau lewat kritik redaksi, entah itu berkaitan
3 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series, Editor, Dan
O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 11. 4 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series, Editor, Dan
O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 15.
16
dengan ‘sejarah di dalam teks’ atau berhubungan dengan ‘sejarah dari teks’,
pembaca diajak menggunakan teks sebagai ‘jendela’ untuk memandang
dunia penulis teks.5
Ketika pengarang asli teks (original author) dan pembaca/penafsir masa
kini tidak diberi tempat dalam penafsiran, maka dimunculkan penggantinya,
masing-masing disebut pengarang tersirat (implied author) dan pembaca
tersirat (implied reader). Implied author berfungsi atau bertindak sebagai
narator yang sedang berkisah atau memberi petunjuk-petunjuk atau catatan-
catatan kepada pembaca kekinian tersebut (implied reader). Dalam
pandangan dunia pembaca atau para kritikus naratif, pengarang tersirat itu,
harus juga mumpuni karena dia sudah dianggap menghasilkan kisah dari
awal sampai akhir, adalah sebagai tokoh yang serba-tahu (tahu hal-hal yang
sudah terjadi maupun yang masih akan terjadi), sebagaimana maksud dalam
narasi-narasi kitab suci, mempunyai sudut pandang (point of view) yang
sama dengan sudut pandang Allah sendiri sebagai tokoh utama dalam
narasi.6
Dengan kritik ini, penafsir memusatkan perhatian bukan pada sejarah
teks atau pada pengarang teks yang hidup di zaman dulu, melainkan pada
dunia teks (text world) atau dunia kisah (story world) yang ada pada teks.
Teks sebagai kisah-yang-berjalan, itulah yang hendak diikuti penafsir.
Maksud dan pesan teks timbul dari dunia kisah yang disampaikan teks,
bukan dari pengarang teks yang hidup di zaman lampau. Pengarang teks
diabaikan (‘karena dia sudah mati’) dan kini teks dengan dunianya berdiri
sendiri secara otonom sebagai satu kesatuan kisah bermakna di hadapan si
5 Lihat, Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series,
Editor, Dan O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 2-5. 6 Wardatun Nadhiroh, “Memahami Narasi Kisah al-Qur’an dengan Narrative
Criticism: Studi atas Kajian A. H. Johns”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Juli 2013, Vol. 12, No.
2, 215.
17
pembaca/penafsir. Namun, pembaca atau penafsir masa kini juga tidak
diberi tempat dan peran untuk menentukan makna teks.7
B. Narrative Sebagai Metode Kisah
Metode ini mensyaratkan pembacaan yang berulang kali agar kisah itu
menjadi hidup dan seakan-akan merupakan suatu dunia tersendiri dengan
hukum-hukumnya. Karena pusat perhatian kritik naratif adalah dunia kisah,
maka untuk mengerti dan menangkap pesan dan maksud teks, kisah ini
harus diikuti dengan seksama dan dipahami dengan benar, dengan cara
mengikuti peristiwa (event) yang terjadi di dalamnya, mengenali tokoh-
tokoh (character) yang digambarkan terlibat dalam berbagai peran dan
aktivitas dalam dunia kisah, melihat latar (setting) sebagai konteks cerita
tentang terjadinya sesuatu di dalam dunia kisah, mengikuti alur cerita (plot)
yang sedang bergerak dari tahap awal, menuju klimaks dan berakhir pada
anti-klimaks dan ending atau akhir kisah.8
Peristiwa (event), dalam narasi, merupakan peralihan kisah dari satu
keadaan kepada keadaan yang lain. Peralihan ini seringkali terjadi melalui
suatu konflik. Di dalam Injil, peristiwa-peristiwa biasanya dikisahkan
melalui adegan-adegan atau perikop-perikop. Peralihan tokoh atau latar,
baik itu tempat maupun waktu menandai adegan baru mulai disajikan.
Tokoh (character), adalah subjek atau pelaku yang melakukan kegiatan
yang merubah situAsi dalam suatu kisah, atau bisa juga sebagai objek
(pelengkap penderita) dari suatu kegiatan, yang pada prinsipnya juga dapat
melakukan kegiatan. Tokoh bisa jadi merupakan satu oknum ataupun suatu
kelompok.
7 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series, Editor,
Dan O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 5 8 Wardatun Nadhiroh, “Memahami Narasi Kisah al-Qur’an dengan Narrative
Criticism:Studi atas Kajian A. H. Johns”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, (Juli 2013, Vol. 12, No.
2), 217.
18
Latar (setting) waktu menjelaskan tentang waktu suatu peristiwa atau
suatu rentetan peristiwa yang terjadi dalam narasi tersebut. Latar waktu
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu latar waktu secara kronologis dan latar
waktu tipologis. Adapun latar tempat (latar ruang) menjelaskan tentang
tempat suatu peristiwa terjadi. Dan latar sosial merupakan situasi yang
terdapat dalam suatu kisah. ‘Sosial’ di sini dipakai dalam arti luas yang
meliputi situasi politis, ekonomi, kultural, dan lain-lain.
Alur (plot) adalah perkembangan sebuah kisah dari awal hingga akhir
melalui peristiwa-peristiwa yang ada di dalam kisah tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa alur adalah hasil interaksi dari peristiwa-peristiwa,
tokoh-tokoh, latar waktu, latar tempat, dan latar social dalam suatu kisah.
Gaya penuturan (style) meliputi pemakaian bahasa secara beragam,
yang hendak memperoleh efek tertentu. Gaya penuturan tersebut dapat
diungkapkan dalam bermacam cara, seperti ironi atau pola-pola sastra tetap
yang telah diketahui oleh pembaca, semisal repitisi dan lain-lain.
Pengarang tersirat pasti berusaha meyakinkan pembaca tersirat akan
kebenaran berita yang hendak disampaikannya melalui kisah, karena itu,
dalam kritik naratif perhatian juga harus diberikan kepada retorika (seni
mempersuasi atau meyakinkan pembaca atau pendengar) yang dipakai di
dalam gaya penuturan (style).9
Layaknya content al-Qur’an keseluruhan, ayat-ayat kisah juga
mengemban fungsi al-Qur’an secara umum, yakni menyimpan petunjuk
yang relevan sepanjang masa terekam dalam ayat-ayat kisah tersebut,
dibutuhkan metodologi penafsiran khusus yang mumpuni dan objektif agar
tidak terjadi kesalahpahaman pemaknaan. Selama ini, kajian tentang ayat-
ayat kisah hanya sampai pada pembicaraan ontologis, apakah itu merupakan
9 Adji A. Sutama, Mengapa Kamu Menengadah Ke Langit; Analisis Naratif Kisah
Kenaikan Yesus (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, t.th), 8-9.
19
data sejarah atau bukan, apakah kisah-kisah tersebut benar-benar terjadi
atau tidak. Padahal, terlepas dari semua itu, yang harus selalu diingat adalah
peran kisah itu sendiri, sebagai salah satu metode al-Qur’an untuk
menjelaskan ajarannya, baik itu tentang keimanan ataupun pengetahuan
akan Tuhan dan Alam Semesta.10
Jadi, dalam praktiknya, kritik naratif ini menekankan pada pemahaman
dua aspek. Pertama, aspek kisah (story), yaitu isi dari narasi tersebut, yang
menekankan pada 1) peristiwa yang terjadi di dalamnya, 2) tokoh-tokoh, 3)
latar yang meliputi waktu, tempat, dan kondisi sosial, serta 4) alur. Kedua,
aspek penuturan (discourse), yaitu cara isi narasi tersebut diceritakan, yang
memuat 1) gaya penceritaan, 2) sudut pandang (point of view), 3) pengarang
tersirat (implied author), dan 4) pembaca tersirat (implied reader).
Keduanya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan dalam suatu narsi.11
Dari sisi hermeneutisnya, kritik teks dengan pendekatan naratif ini
meniscayakan beberapa implikasi pemahaman. Pertama, ketika kritik
naratif ini memfokuskan pemahaman pada teks itu sendiri, hal ini bukan
berarti meniadakan fakta-fakta yang ada di luar teks tersebut. Penggunaan
kritik naratif akan menjadi efektif jika penafsir mengetahui kenyataan
sosio-historis yang diasumsikan oleh narasi tersebut. Selain itu, mengingat
teks itu sendiri juga berperan sebagai konteksnya, maka seorang penafsir
tidak cukup hanya membaca teks ini sekali, melainkan harus dibaca
berulang kali untuk mendapatkan pemahaman utuh yang dikehendaki dalan
konteks naratif.12
10 Wardatun Nadhiroh, “Memahami Narasi Kisah al-Qur’an dengan Narrative
Criticism: Studi atas Kajian A. H. Johns”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, (Juli 2013, Vol. 12,
No. 2), 214. 11 Adji A. Sutama, Mengapa Kamu Menengadah Ke Langit; Analisis Naratif Kisah
Kenaikan Yesus (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, t.th), 9. 12 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series, Editor, Dan
O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 85.
20
Kedua, kritik naratif juga menawarkan ‘angin segar’ penafsiran yang
beragam dari suatu teks, mengingat suatu kisah dapat ‘berbicara’ kepada
pembacanya tanpa dibatasi oleh waktu dan jarak. Ketiga, dengan kritik
naratif ini, kekuatan dari kisah-kisah kitab suci mampu ditransformasikan
dalam kehidupan pribadi dan sosial. Pada praktiknya, kritik ini juga dapat
digunakan untuk membaca teks-teks yang memiliki latar belakang historis
yang tidak pasti.13
C. Narrative Criticsm A. H. Johns
Dalam mengaplikasikan metode kritik naratifnya, atas kisah para Nabi
misalnya, Johns meyakini bahwa kisah-kisah para nabi dalam al-Qur’an,
merupakan salah satu cara al-Qur’an mengkomunikasikan pesan-pesannya.
Karenanya, dapat dipastikan pula Johns akan melacak semua informasi
yang tersedia agar unsur dan struktur kisah menjadi lengkap, sehingga
walaupun teks al-Qur’an hanya menghadirkan sedikit informasi, dia akan
menelusurinya melalui riwayat-riwayat yang diasumsikan oleh teks kisah.14
Al-Qur’an telah melewati suatu proses pewahyuan yang berangsur-
angsur selama kurang lebih 23 tahun, dalam bentuk wahyu yang dibawa
oleh Jibril kepada Muhammad. Al-Qur’an di masa turunnya inilah yang
disebut Johns dengan al-Qur’an as process. Al-Qur’an dalam mode process,
bermakna God’s locution (kalam Tuhan) yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dalam peristiwa-peristiwa tertentu dalam hidupnya, dimulai
ketika dia mendapat wahyu pertama di Gua Jabal Nūr sekitar tahun 610 M
dan berlanjut sampai sebelum wafatnya pada tahun 632 M. Untuk
mengetahui eksistensi al-Qur’an sebagai process ini, dapat diidentifikasi
13 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series, Editor, Dan
O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 91. 14 Wardatun Nadhiroh, “Memahami NarAsi Kisah al-Qur’an dengan Narrative
Criticism:Studi atas Kajian A. H. Johns, “Jurnal Ilmu Ushuluddin” (Juli 2013, Vol. 12,
No. 2), 220.
21
melalui asbāb al-nuzūl, walaupun tidak keseluruhan ayat al-Qur’an
memiliki asbāb al-nuzūl.15
Dalam tahapan selanjutnya, menurut Johns al-Qur’an mengalami
bentuk event ketika ia telah menjadi ‘Mushaf Utsmani’ yang secara
universal telah diketahui, tersusun dalam 114 surah yang tidak didasarkan
atas kronologi pewahyuan. Proses transformasi al-Qur’an ini, yang awalnya
masih berbentuk proses, kemudian beralih dan tersusun dalam bentuk
mushaf (al-Qur’an as event), masih merupakan misteri dalam pikiran Johns.
Namun, ia mencoba menampilkan pendapat al-Suyūṭi dan al-Rāzī untuk
memberikan sedikit gambaran penjelasan tentangnya.16
Dalam hal ini, Johns terkesan mengamini pendapat sarjana Muslim
kebanyakan yang meyakini bahwa bentuk al-Qur’an dalam mode mushaf
sekarang memang berasal dari petunjuk Nabi atau tauqīfī, sehingga
walaupun hubungan antar bagian-bagian al-Qur’an masih menjadi misteri,
tetapi diyakini pasti ada rahasia di baliknya. Pendapat ini sangat jelas
berbeda dengan tokoh sejawatnya, Angelika Neuwirth yang memandang
bahwa susunan al-Qur’an dalam mushaf itu murni hasil karya para redaktur
di masa kanonisasi, disusun bukan berdasarkan pertimbangan kronologis
atau teologis, tetapi sekedar berdasarkan ketentuan teknis dan eksterior
semata.17 Dalam pandangan ini, setelah mengalami kodifikasi, al-Qur’an
hanyalah gabungan teks yang tidak memiliki bukti hubungan yang jelas satu
sama lainnya.
Jika Neuwirth menganggap bahwa al-Qur’an yang “ideal” adalah
15 Lien Iffah Naf’atu Fina, “Pre-Canonical Reading of the Qur’an (Studi atas Metode
Angelika Neuwirth dalam Analisis Teks al-Qur’an berbasis Surah dan Intertekstualitas)”,
Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011, 77. 16 A.H. Johns, “Holy Ground; A Space to Share”, 64. 17 Lien Iffah Naf’atu Fina, “Pre-Canonical Reading of the Qur’an (Studi atas Metode
Angelika Neuwirth dalam Analisis Teks al-Qur’an berbasis Surah dan Intertekstualitas)”,
Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011, 99.
22
seperti yang hidup pada masa Nabi dan karenanya harus dilihat dalam
kerangka perjalanan turunnya, maka Johns menghargai kedua bentuk al-
Qur’an tersebut, baik ketika hidup di masa Nabi ataupun setelah kodifikasi,
bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Lebih lanjut,
Johns berpendapat bahwa hubungan antara dua mode di atas merupakan
suatu bagian dari dinamika internal al-Qur’an itu sendiri. Ibaratnya, dua
mode tersebut adalah sepasang paru-paru al-Qur’an. Kinerja al-Qur’an
dapat ditingkatkan secara produktif asalkan kedua paru-paru tersebut
menyediakan ‘udara’ pemahaman. Jadi, sangat signifikan untuk berusaha
menyusun kembali teks al-Qur’an dan menghadirkan perikopnya dalam
susunan pewahyuan semula sebelum dia tersusun dalam mushaf.18
Selanjutnya, terlepas dari konteksnya yang khusus sebagaimana ia
diturunkan, al-Qur’an seharusnya juga ditempatkan dalam posisi
kontekstual mereka dalam Mushaf Utsmani, yang mana mereka berada
dalam surah tertentu dan dalam kitab secara keseluruhan, agar menemukan
aksentuasi dan resonansi yang akan memberikan akses pada berbagai level
pemahaman. Dua konsep al-Qur’an ini menandai adanya dua prinsip dasar
kajian al-Qur’an yang keduanya memiliki peran masing-masing dalam
upaya memahami suatu teks al-Qur’an dan harus diterapkan secara
bersamaan.
D. Analisis Naratif atas Kisah Nabi Ayyub dalam al-Qur’an; Sebuah
Contoh Aplikatif
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang memuat narasi kisah para nabi,
terdapat beberapa ayat yang menceritakan tentang sosok Ayyub. Dalam
membaca kisah Nabi Ayyub yang terdapat dalam sejumlah ayat di beberapa
18 Lien Iffah Naf’atu Fina, “Pre-Canonical Reading of the Qur’an (Studi atas Metode
Angelika Neuwirth dalam Analisis Teks al-Qur’an berbasis Surah dan Intertekstualitas)”,
Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011, 79.
23
surah yang berbeda, Johns memulai kajiannya dengan membagi kisah ini ke
dalam empat perikop, yaitu QS. Sād [38]: 41-44, QS. al-Anbiyā’ [21]: 83-
84, QS. al-An’ām [6]: 83-87, dan QS. al-Nisā’ [4]: 163-165. Dua perikop
pertama memberikan informasi naratif tentang sosok Ayyub, sedangkan
dua yang lain hanya menampilkannya sebagai salah seorang anggota dari
majelis para nabi.19
Terkait urutan pembahasan, A. H. Johns nampaknya menganalisis kisah
ini berdasarkan kronologi pewahyuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibn
‘Abbas yang menyatakan bahwa dua surah pertama yang memuat kisah
Ayyub tersebut tergolong surah Makkiyah dan secara kronologis, surah Sād
lebih dahulu diturunkan, yang dalam perhitungan Ibn Abbas menempati
urutan surah ke-37, sedangkan surah al-Anbiyā menempati urutan surah ke-
100.20
QS. Sād [38]: 41-44, menurut Johns merupakan statement utama yang
menjelaskan tentang kenabian Ayyub sementara tiga perikop lainnya adalah
komplemen cerita yang berfungsi sebagai penegasan bahwa Ayyub
merupakan salah seorang nabi. Hal ini diindikasikan dari segi redaksinya,
pemaparan kisah Ayyub dalam surah Sād lebih detail dibanding bagian
lainnya.
Johns pada bagian ini, mulai menganalisis aspek isi (story) dari kisah
ini, yang mencakup peristiwa, tokoh, setting, dan alur kisah ini. Johns
mempertanyakan: siapakah Ayyub? Apa yang membuatnya merintih dalam
kepedihan? Bagaimana setan menyebabkan kesulitan dan kesedihan?
Mengapa dia dititahkan untuk menggali tanah dengan kakinya? Mengapa
dia membutuhkan air? Kapan dan bagaimana ia dipisahkan dari
19 A. H. Johns, “Job” dalam Jane Dammen Mc.Auliffe, Encylopedia of the Qur’an,
Vol. 3(Leiden: Brill. 2004), 50. 20 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: FKBA, 2001),
49.
24
keluarganya? Mengapa Ayyub diperintahkan mengambil sebuah ranting
daun untuk memukul seseorang atau sesuatu? Apakah sumpah yang harus
dia jaga? Apakah hubungan antara dua bagian kumpulan cerita yang tampak
tidak berhubungan tersebut? Dan terakhir, mengapa Tuhan memujinya
begitu tinggi pada kesimpulan di akhir ayat?21 Dalam hal ini, Johns telah
menggunakan serangkaian pertanyaan yang kerap kali dimunculkan ketika
melakukan kritik naratif terhadap suatu teks narasi.
Ketiadaan informasi dari dalam teks itu sendiri, karena perikop lainnya
tentang Ayyub ini juga tidak memberikan banyak data, mengharuskan
adanya pencarian sumber lain terkait teks yang menyimpan informasi
tentang Ayyub. Di sinilah letak pentingnya seorang kritikus naratif
mengetahui setting sosio-historis teks ketika diturunkan. Al-Qur’an sebagai
kitab suci yang diturunkan dalam masa tertentu dan komunitas tertentu,
jelas memiliki setting ini, yang sering disebut dengan asbāb al-nuzūl (sebab
turunnya ayat al-Qur’an), baik itu yang sifatnya mikro ataupun makro.
Keterangan tentang hal ini dapat ditemukan melalui data riwayat atau
informasi yang tersebar di kitab asbāb al-nuzūl, kitab Hadis, ataupun kitab
Tafsir.22
Dengan keterangan tersebut, konteks tentang peristiwa yang disebutkan
dan dimaksudkan dalam perikop pertama tersebut menjadi jelas, bahkan
identifikasi dramatis personae23 pun dapat dilakukan. Inilah pentingnya
analisis story yang dikehendaki dari aplikasi kritik naratif, yaitu untuk
merekonstruksi data yang sangat ringkas agar menghadirkan informasi yang
lengkap tentang suatu narasi. Hal ini menjadi mungkin tentunya tidak lepas
dari peran al-Qur’an dalam posisinya as process.
21 A. H. Johns, “Narrative, Intertext and Allusion in the Qur’anic Presentation of Job”,3. 22 A.H. Johns, “Narrative, Intertext and Allusion in the Qur’anic Presentation of Job”, 3. 23 Yang dimaksud dengan dramatis personae adalah tokoh-tokoh yang mengambil peran
dalam suatu kisah,
25
Berdasarkan data riwayat tersebut, bahasa al-Qur’an yang ringkas
dengan tangkas menampilkan sebuah gambaran nyata bagaimana Ayyub,
seorang nabi yang dihadapkan pada ujian kehilangan harta bendanya,
binatang-binatang ternak, keluarga serta harus mengidap penyakit fisik
yang begitu menyiksa, tetap beriman kepada Tuhan meskipun dalam
kondisi hidup yang sulit, sebagaimana dia beriman kepada-Nya saat
mengalami kejayaan, dengan tanpa mempertanyakan kebijaksanaan Tuhan.
Saat ia mengadukan penderitaan dan kesepiannya setelah mengusir istrinya
yang secara tidak sadar telah jatuh ke dalam perangkap bujukan setan,
Tuhan menjawab. Dia bebaskan Ayyub dan hilangkan penderitaannya
dengan sebuah sumber mata air untuk menyembuhkan penyakitnya serta
memuaskan dahaganya; berkat kemurahan-Nya, Tuhan mengembalikan
keluarganya serta rejeki sebanyak anggota keluarganya tersebut. Dengan
menjawab pengaduan Ayyub tersebut, Tuhan menjadikan kesabaran dan
ketabahan Ayyub sebagai pelajaran dan teladan bagi mereka yang memiliki
pikiran (QS. Sād [38]: 43). Dia memerintahkan Ayyub untuk mengambil
sebuah ranting dari seratus daun, sehingga dengan satu pukulan saja
menggunakan ranting tersebut, dia dapat memukul istrinya dengan seratus
cambukan, sebagaimana sumpah yang akan dia lakukan saat sembuh.
Perintah ini merupakan peringatan Tuhan baginya agar tidak melanggar
sumpah yang telah dia buat. Setelah itu, Tuhan memuji Ayyub.24
Selanjutnya, Johns membagi fragmen pertama ini dalam dua bagian.
Pada setiap bagian terdapat perpaduan antara pernyataan langsung (direct
speech) dan model narasi (narrative). Bagian pertama mencakup doa
Ayyub kepada Tuhan agar dia dibebaskan dari penderitaan yang ditimpakan
oleh setan kepadanya dan respon Tuhan. Bagian kedua adalah perintah
Tuhan agar dia mengambil ranting dedaunan dan menggunakannya untuk
24 A.H. Johns, “Narrative, Intertext and Allusion in the Qur’anic Presentation of Job”,4.
26
memukul. Untuk pemahaman lebih jelas, lihat tabel berikut:
Tabel 2.1
Struktur Biner Komplimenter.
Bagian Pertama
Direct Speech
Direct Speech
Narrative
Bagian Kedua Dirrect Speech
Narrative
Dua bagian ini disebut juga sebagai struktur biner komplimenter25
karena kalimatnya berpasangan. Lebih jauh, dalam struktur biner ini juga
memuat antitesis.26 Pada bagian pertama, Ayyub mengalami penderitaan
dan kesulitan, air dapat membawa kebersihan dan memuaskan dahaga;
sesuatu yang berbahaya dihilangkan, sesuatu yang bermanfaat diberikan;
keluarga Ayyub diambil, kemudian mereka dikembalikan. Pada bagian
kedua pun demikian, Ayyub diperintahkan untuk melakukan sesuatu
(mengambil ranting dan memukul), dia dilarang melakukan sesuatu yang
lain (melanggar sumpah).27
Setelah memperoleh pemahaman mengenai sosok Ayyub dari perikop
tersebut, makna ini akan dibawa dalam konteksnya yang lebih luas dengan
mempertanyakan bagaimana letak perikop ini dalam keseluruhan alur surah
tempatnya berada. QS. Ṣâd yang menceritakan tentang Ayyub juga memuat
kisah-kisah Nabi lainnya dalam perikop-perikop. Selanjutnya, perikop ini
masih perlu dibawa pada konteks yang lebih luas, yakni konteks surah Ṣâd,
sebagai implikasi dari al-Qur’an as event.28
25 Dalam kajian narrative criticism, struktur ini disebut juga sebagai interchange. 26 Dalam kajian narrative criticism, hubungan antar struktur ini disebut juga contrast. 27 Baca A.H. Johns, “Narrative, Intertext and Allusion in the Qur’anic Presentation of
Job”,4-5. 28 A.H. Johns, “Narrative, Intertext and Allusion, 8.
27
BAB III
Gambaran Umum Kisah Nabi Nuh dalam al-Qur’an
Dia adalah Nûh bin Lawak bin Matulsyalkha bin Idris As. Imam al-
Kisai berkata: “Nama sebenarnya nabi Nuh adalah Abdul Ghaffar atau
Yasykur”. Dinamakan Nuh, menurut suatu pendapat adalah karena ia
melihat anjing yang mempunyai empat mata. Lalu nabi Nuh mengatakan:
“anjing itu sangat buruk, menjijikkan”
Ternyata anjing itu berkata pada nabi Nuh: “wahai Abdul Ghaffar,
engkau menghina ukiran ataukah yang mengukir? Jika hinaan itu kau
utarakan pada ukiran, maka jelas (memang demikian adanya). Namun jika
itu ditunjukkan padaku maka hinaan itu tidaklah layak, karena Ia Maha
Berkehendak atas apa yang dikehendaki-Nya.”
Oleh karena kata-kata itu Abdul Ghaffar pun terus menangis,
menangisi kesalahan dan dosanya. Karena seringnya menangis maka
dinamakanlah dia dengan sebutan “Nuh” (menangis), sebagaimana yang
diceritakan oleh Imam al-Saddi.1
Nabi Nuh di utus Allah Swt ketika manusia menyembah berhala dan
thaghut, serta tenggelam dalam ke-sesatan dan kekafiran. Kemudian Allah
Swt mengutusnya sebagai rahmat bagi umat manusia. Dia adalah Rasul
pertama yang di utus Allah ke muka bumi. Sebagaimana yang dikatakan
manuasia kelak pada hari kiamat. Allah Swt telah menceritakan kisah Nabi
Nuh dan kaumnya serta adzab berupa angin topan yang diturunkan-Nya
kepada mereka yang kafir, juga kisah selamanya Nabi Nuh beserta orang-
orang yang berada di dalam perahunya. Adapun kisah Nabi Nuh As termuat
di dalam al-Qur’an diantaranya yaitu QS. Al-A’râf, Yûnus, Hûd, al-
1Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Suyuthiy, “Badi’ul ‘Alam fī
Dzikri Qishshati Nuh ‘Alaihissalam”, diterjemahkan: Sya’roni Al-Samfuriy, (Cilangkap,
18 Februari), 4.
28
Anbiyâ’, al-Mu’minûn, al-Syu’arâ, al-Ankabût, al-Ṣâffat, al-Qamar, Nûh,
Ibrahīm, al-Isrâ’, al-Ahdzâb, Ṣâd, dll.2
Kisah-kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan para Nabi lainnya, adalah
perumpamaan hakikat-hakikat masa para Nabi lainnya. al-Qur’an tidak
menyebutkan kisah-kisah hanya sekedar hiburan atau penguat peristiwa-
peristiwa sejarah. Tetapi lebih dari itu, al-Qur’an menyebutnya
perumpamaan hakikat hakikat serupa yang terjadi. Masa yang dilalui oleh
risalah Islam. Perumpamaan yang sama berlaku pada hukum-hukum
syari’ah, akhlak Islam, sejarah dan peristiwa-peristiwa alam, seluruhnya
berbicara tentang kebenaran teori-teori ilmiyah, bahkan peristiwa yang
terjadi disetiap masa dan zaman.3
Dari pemaparan di atas maka penulis merangkum gambaran umum
kisah Nabi Nuh As sebagai berikut:
A. Nabi Nuh As Menyeru Kaumnya Hanya Menyembah Allah
Kisah Nuh dalam Al-Qur’an diawali dengan penjelasan tentang
dakwah Nabi Nuh kepada kaumnya dalam al-Qur’an, sebagaimana berikut:
QS. Al-A’râf: 59
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata:
"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-
Nya". Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu
akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).”
QS. Al-Mu’minûn: 23
2 Lihat Muhammad Yusuf Nasution, Memahami Do’a Nabi Nuh: Analisis atas Surah
Nuh Ayat 26-28 (UIN Syarif Hidayatullah: Skripsi, 2018) 39-42. 3 M. Baqir Hakim, Ulum al-Qur’an, yang diterjemahkan oleh Nashirul Haq, dengan
judul Ulum al-Qur’an, Cet I, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2006, 480.
29
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?"
QS. Nûh: 1-20
1. Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan
memerintahkan): "Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya
azab yang pedih"
2. Nuh berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan
30
yang menjelaskan kepada kamu
3. (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah
kepadaku
4. niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan
menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya
ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu
mengetahui"
5. Nuh berkata: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku
malam dan siang
6. maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)
7. Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar
Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke
dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap
(mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat
8. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman)
dengan cara terang-terangan
9. kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-
terangan dan dengan diam-diam
10. maka aku katakan kepada mereka: ´Mohonlah ampun kepada Tuhanmu,
-sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-
11. niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat
12. dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu
kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai
13. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah
14. Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa
tingkatan kejadian
15. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh
langit bertingkat-tingkat
16. Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan
matahari sebagai pelita
17. Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya
18. kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan
kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya
19. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan
20. supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu"
Dan QS. Hûd: 26-31
31
26. agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut
kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan".
27. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami
tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti
kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan
orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan
kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami,
bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta".
28. Berkata Nuh: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada
mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari
sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah
kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?"
29. Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada
kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku
sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman.
Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku
memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui".
30. Dan (dia berkata): "Hai kaumku, siapakah yang akan menolongku dari
(azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkah kamu mengambil
pelajaran?
31. Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): "Aku mempunyai
gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui
yang ghaib", dan tidak (pula) aku mengatakan: "Bahwa sesungguhnya aku
32
adalah malaikat", dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang
dipandang hina oleh penglihatanmu: "Sekali-kali Allah tidak akan
mendatangkan kebaikan kepada mereka". Allah lebih mengetahui apa yang
ada pada diri mereka; sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar
termasuk orang-orang yang zalim.
Dari ayat-ayat diatas bahwa Nabi Nuh As menyeru kaumnya untuk
menyembah Allah yang Esa dan bertaqwa kepada-Nya. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa ketika itu, masyarakat di tempat Nabi Nuh tinggal
menyembah Tuhan selain Allah. Mereka sedang mengalami penyimpangan
akidah, sehingga Allah menurunkan utusan-Nya, akan tetapi adanya
pembangkangan dari kaumnya sendiri.4
B. Nabi Nuh As Membuat Perahu untuk Menyelamatkan Kaumnya
Setelah Nabi Nuh menyeru agar kaumnya menyembah hanya kepada
Allah Swt dan mendapatkan respon pembangkangan dari kaumnya, lalu
Nabi Nuh diperintahkan oleh Allah Swt untuk membuat bahtera yang
termuat di dalam al-Qur’an sebagai berikut:
QS. Hûd: 36.
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwAsanya sekali-kali tidak akan beriman
di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu
janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.”
Ayat di atas adalah sebagai pelipur hati bagi Nuh atas apa yang
diperbuat oleh kaumnya Ini merupakan dorongan bagi Nabi Nuh dalam
menghadapinya, bahwasanya tidak akan beriman dari mereka, kecuali
orang-orang yang sudah beriman. Janganlah engkau merasa putus asa atas
4 Ulumuddin dan Azkiya Khikmatiar, Kisah Nabi Nuh dalam Al-Qur’an, “At-Tibyan:
Jurnal Ilmu Al- Qur’an dan Tafsir”, Vol. 4 No. 2, Desemeber 2019
33
apa yang kamu alami, karena kemenangan sudah dekat, dan berita besar pun
akan segera tiba.5
QS. Hûd: 37
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami,
dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim
itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”
Ayat di atas menjelaskan ketika Nabi Nuh As merasa putus asa untuk
menyeru kaumnya dan melihat tidak adanya kebaikan pada diri mereka.
Lebih dari itu mereka sudah berbuat diluar batas kewajaran, menentang dan
mendustakannya dengan berbagai macam cara, baik berupa ucapan maupun
perbuatan. Maka Nabi Nuh mendoakan keburukan bagi mereka, yaitu doa
yang di panjatkan karena kemarahan, sehingga Allah pun mengabulkan
do’a dan permintaannya
Maka kesalahan akibat kekufuran, kejahatan, dan kutukan Nabi atas
mereka pun menyatu dan menimpa mereka. Pada saat itu, Allah Ta’ala
memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat perahu dalam ukuran besar yang
belum pernah ada sebelumnya dan tida akan pernah ada sesudahnya perahu
sebesar ukuran perahu yang dibuat Nabi Nuh tersebut.6
Allah Swt memberitahukan Nabi Nuh, jika telah datang perintah-Nya
dan adzab-Nya pun telah menimpa kaumnya, maka sekali-kali Ia tidak akan
menarik atau mengembalikannya.
5 Lihat Muhammad Yusuf NAsution, Memahami Do’a Nabi Nuh: Analisis atas Surah
Nuh Ayat 26-28 (UIN Syarif Hidayatullah: Skripsi, 2018) 51. 6 Muhammad Yusuf Nasution, Memahami Do’a Nabi Nuh: Analisis atas Surah Nuh
Ayat 26-28…….51-52.
34
C. Nabi Nuh As Beserta Kaum yang Beriman Berada dalam Perahu
dan Terselamatkan dari Banjir Bandang
Setelah dibuatnya bahtera oleh Nabi Nuh As atas perintah Allah Swt,
lalu naiklah Nabi Nuh As keatas kapal bersama kaumnya yang beriman, dan
selamatnya kaum Nabi Nuh dari adzab Allah Swt berupa banjir bandang
yang menenggelamkan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah,
termuat di dalam al-Qur’an sebagai berikut:
QS. Al-A’râf: 64
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian kami selamatkan dia dan
orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan kami tenggelamkan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka
adalah kaum yang buta (mata hatinya).”
QS. Hûd ayat 37
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim
itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”
QS. Al-Mu’minûn: 27
فََأو
35
“Lalu kami wahyukan kepadanya: "Buatlah bahtera di bawah pemilikan dan petunjuk kami, maka apabila perintah kami telah datang dan tanur telah
memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari
tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih
dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah
kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim, karena
sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.
QS. Al-Furqán: 37
“Dan (telah Kami binasakan) kaum Nuh tatkala mereka mendustakan rasul-rasul. Kami tenggelamkan mereka dan kami jadikan (cerita) mereka itu
pelajaran bagi manusia. Dan kami telah menyediakan bagi orang-orang
zalim azab yang pedih”
QS. Al-Ankabût: 14
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia
tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka
mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”
QS. Yunus: 71-73
36
71. Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia
berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal
(bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka
kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian
janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku,
dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
72. Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah
sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan
aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri
(kepada-Nya)".
73. Lalu mereka mendustakan Nuh, maka kami selamatkan dia dan orang-
orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu
pemegang kekuasaan dan kami tenggelamkan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan
orang-orang yang diberi peringatan itu.
Dari ayat-ayat diatas yang ditenggelamkan oleh Allah yaitu hanya
orang-orang yang dikategorikan zalim dan yang tidak mau beriman, akan
tetapi Allah tetap menyelamatkan orang-orang yang beriman.
D. Nabi Nuh Beserta Seluruh Kaumnya Terselamatkan
Setelah diturunkan-nya azab terhadap kaum Nabi Nuh yang zalim
berupa banjir bandang (air bah), lalu terbentuklah tatanan baru dari kaum-
kaum yang diselamatkan, hal ini termuat di dalam al-Qur’an sebagai
berikut:
QS. Al-Mu’minûn: 28
37
“Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah: "Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim".
QS. Hûd: 37
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim
itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.
QS. Hûd: 42
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat
yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan
janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir".
Setelah tenggelam penghuni bumi kecuali hamba-hamba Allah dan
mahkluk-Nya yang berada di dalam bahtera Nuh, turunlah perintah Allah
kepada bumi agar menelan airnya yang dipancarkan dan kepada hujan agar
menghetikan curahan airnya ini menujukan kekuasaan Allah sehinggah
hanya Allah yang patut disembah.
38
QS. Al-Ankabût: 14
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka
mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”
Ayat-ayat diatas menjelaskan tentang diselamatkan nya kaum yang
beriman dari adzab Allah yaitu banjir bandang (air bah), setelah surutnya
air lalu membuat tatanan kehidupan yang baru dari kaum yang berada di
bahtera Nabi Nuh As.
39
BAB IV
Analisa Kisah Nabi Nuh Pendekatan Narrative Criticism
Narrative Criticism Pada dasarnya pendekatan ini merupakan cabang
dari literary criticism1 yang mana kritik naratif ini ingin mendapatkan
makna teks dari dalam teks itu sendiri.
Narrative criticism mengandaikan teks sebagai sebuah cermin,
sehingga pemahaman hanya akan didapatkan dengan melihat teks itu
sendiri. Dunia tekstual yang diciptakan oleh pengarang mengajak pembaca
untuk melihat dunia “sesungguhnya” tempat pembaca itu hidup dan
menyadari bahwa dunia tekstual itu mengatakan sesuatu yang benar tentang
dunia yang sesungguhnya itu. Pemahaman dicukupkan hanya pada apa yang
diungkapkan oleh teks (text centered approach), tanpa memperhatikan
secara langsung kenyataan di belakangnya, merupakan ciri khas pendekatan
naratif ini.2
Jadi, dalam praktiknya, kritik naratif ini menekankan pada pemahaman
dua aspek. Pertama, aspek kisah (story), yaitu isi dari narasi tersebut, yang
menekankan pada
1. peristiwa yang terjadi di dalamnya,
2. tokoh-tokoh,
3. latar yang meliputi waktu, tempat, dan kondisi sosial, serta
4. alur.
Kedua, aspek penuturan (discourse), yaitu cara isi narasi tersebut
diceritakan, yang memuat
1. gaya penceritaan,
1 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticism?,New Testament Series, Editor,
Dan O. Via, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990)…… 12. 2 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticism? New Testament Series, Editor,
Dan O. Via, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 8.
40
2. sudut pandang (point of view),
3. pengarang tersirat (implied author), dan
4. pembaca tersirat (implied reader).
Keduanya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan dalam suatu
narasi.
Dalam al-Qur’an banyak termuat kisah dan kisah-kisah tersebut adanya
pengulangan, hal ini yang membuktikan bentuk kepedulian konstan Tuhan
terhadap ciptaan-Nya, dengan mengutus para nabi kepada mereka. Untuk
menggambarkan rekaman intervensi Tuhan dalam urusan-urusan manusia
tersebut, al-Qur’an telah membentuk sebuah kerangka cerita penyelamatan
umat manusia (the Divine economy of salvation for humankind) dari
rangkaian kisah para Nabi dan Rasul-Nya. Dengan kesadaran penuh akan
keindahan sastra al-Qur’an, A. H. Johns mulai mengkaji struktur kisah para
Nabi yang disusun dalam al-Qur’an tersebut dengan metode narrative
criticism.3
Dari pemaparan diatas maka penulis memba