Upload
oshinmanu
View
40
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ANALISIS KINERJA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DALAM UPAYA MENAIKKAN JUMLAH PENERIMAAN PAJAK TAHUN 2015
Citation preview
ANALISIS KINERJA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DALAM UPAYA MENAIKKAN JUMLAH PENERIMAAN PAJAK TAHUN 2015
Oleh
AGUSTIN LIELA MANU
KELAS D
161502040
UNIVERSITAS WIDYATAMA BANDUNG
MAGISTER AKUNTANSI
BAB IPENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pemerintah negara Indonesia dari tahun ke tahun selalu melakukan kegiatan-kegiatan
dalam upaya mensejahterakan rakyatnya yaitu antara lain pengadaan fasilitas umum, pendidikan,
kesehatan, lapangan pekerjaan, dan lain-lain. Namun, masih banyak daerah-daerah terpencil
yang belum dapat dijangkau oleh pemerintah dalam hal penerapan fasilitas-fasilitas tersebut.
Masih banyak daerah yang kekurangan air, pendidikan, jalan umum, transportasi, tempat tinggal,
lapangan pekerjaan dan sebagainya. Dana adalah salah satu alasan keterbatasan tersebut dan
yang diharapkan pemerintah untuk dapat mewujudkan hal itu.
Pendapatan negara Indonesia berasal dari perpajakan, sumber daya alam, laba BUMN,
PNBP lainnya dan pendapatan BLU. Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) tahun 2014, pendapatan negara terbesar diperoleh dari perpajakan. Dapat dilihat pada
gambar diagram lingkaran berikut ini :
Gambar I.1 Pendapatan Negara
Sumber : www.fiskal.kemenkeu.go.id
76%
15%
2%5%
1%
Pendapatan Negara tahun 2014
Penerimaan Pajak Penerimaan SDA Pendapatan Bagian Laba BUMNPNBP Lainnya Pendapatan BLU
Berdasarkan tabel diatas, penerimaan pajak tahun 2014 mendapat porsi yang paling besar
diantara penerimaan negara lainnya yaitu sebesar 76%. Meskipun penerimaan pajak merupakan
penerimaan terbesar yang diperoleh negara Indonesia, namun pencapaian tiap tahunnya
terkadang tidak sesuai dengan yang ditargetkan oleh pemerintah sendiri atau dengan kata lain
kenaikan penerimaan pajak masih jauh dari yang diharapkan pemerintah. Dapat dilihat pada
gambar diagram dibawah ini
Gambar I.2 Target dan Realisasi Penerimaan Pajak tahun 2010-2014
2010 2011 2012 2013 20140
200
400
600
800
1000
1200
1400
Target dan Realisasi Penerimaan Pajak tahun 2010-2014(Rp Triliun)
Target Realisasi
Sumber : koran tempo (2015)
Berdasarkan diagram diatas, terlihat bahwa pada tahun 2010, 2011, 2012 dan 2014,
penerimaan pajak yang telah ditargetkan oleh pemerintah tidak dapat dipenuhi oleh Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) dilihat dari nilai realisasi yang tercapai tidak sebesar target yang ditetapkan.
Oleh karena itu pada tahun 2015 pemerintah bermaksud untuk menaikkan penerimaan pajak
dengan berbagai upaya dan kebijakan-kebijakan baru yang akan diterapkan diawali dengan
pemilihan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak baru dan tentunya dengan strategi-strategi yang
berbeda dengan sebelumnya. Upaya-upaya tersebut antara lain menjangkau para penunggak
pajak yang bertahun-tahun enggan membayar pajak karena diperkirakan terdapat Rp. 77 Triliun
penerimaan pajak yang berasal dari para penunggak pajak tersebut. Adapula upaya dalam
menambahkan objek pajak dalam Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan kebijakan-
kebijakan lainnya yang akan diterapkan dengan tujuan menaikkan penerimaan pajak tahun 2015
hingga mencapai ataupun melebihi target yang telah ditetapkan dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Hal ini menjadi alasan dalam meng- “Analisis
Kinerja Direktorat Jenderal Pajak dalam Upaya Menaikkan Penerimaan Pajak Tahun 2015”.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal diatas, yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Upaya Direktorat Jenderal Pajak dalam Menaikkan Penerimaan Pajak di
tahun 2015?
2. Bagaimana Kendala yang Dihadapi Direktorat Jenderal Pajak dalam Melakukan
Kebijakan-Kebijakan Baru?
3. Bagaimana Perbandingan Target Penerimaan Pajak di Tahun 2014 dan Tahun 2015?
4. Bagaimana Hasil dari Penerimaan Pajak Triwulan I Tahun 2015?
I.3 Pembatasan Masalah
Batasan masalah dalam penulisan makalah ini adalah penerimaan pajak yang dianalisa diambil
dari triwulan I tahun 2015.
I.4 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari diadakan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Upaya Direktorat Jenderal Pajak dalam Menaikkan
Penerimaan Pajak di tahun 2015.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Kendala yang Dihadapi Direktorat Jenderal Pajak dalam
Melakukan Kebijakan-Kebijakan Baru
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Perbandingan Target Penerimaan Pajak di Tahun 2014
dan Tahun 2015.
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Hasil dari Penerimaan Pajak Triwulan I Tahun 2015.
BAB IITINJAUAN TEORI
II.1 Pajak
Berdasarkan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Undang-Undang (UU)
No. 16 pasal 1 tahun 2009, “pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Menurut (Waluyo 2013), ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai
berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan UU serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat
dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi indivudual
oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
II.2 Penerimaan Pajak
Berdasarkan UU Republik Indonesia (RI) No. 19 Tahun 2012 Tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, “penerimaan perpajakan adalah semua
penerimaan negara yang terdiri atas Pendapatan Pajak Dalam Negeri dan Pendapatan Pajak
Perdagangan Internasional. Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara
yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pertambahan nilai barang dan jasa
dan pendapatan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan,
pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya sedangkan Pendapatan Pajak Perdagangan
Internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan
pendapatan bea keluar.
II.3 Fungsi Pajak
Menurut (Waluyo 2013), terdapat 2 fungsi pajak yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-
pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai penerimaan dalam negeri.
2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang
sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap
minuman keras dan barang mewah.
II.4 Asas Pemungutan Pajak
Menurut (Marsyahrul 2012), terdapat 3 asas pemungutan pajak yaitu sebagai berikut:
1. Asas Sumber
Asas sumber adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang tergantung
pada adanya sumber penghasilan di suatu negara. Jika di suatu negara terdapat suatu
sumber penghasilan, negara tersebut berhak memungut pajak tanpa melihat Wajib
Pajak itu bertempat tinggal.
2. Asas Domisili
Asas domisili adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang tergantung
pada tempat tinggal (domisili) Wajib Pajak di suatu negara. Negara di tempat Wajib
Pajak itu bertempat tinggal, negara itulah yang berhak mengenakan pajak atas segala
penghasilan yang diperoleh dari mana pun.
3. Asas Nasional
Asas nasional adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang berhubungan
dengan kebangsaan dari suatu negara. Untuk menghindari seorang Wajib Pajak (WP)
dikenakan pajak dari berbagai negara yang menganut salah satu dari ketiga asas
tersebut, maka diadakan suatu perjanjian perpajakan (tax treaty).
II.5 Pajak Penghasilan Migas dan Non Migas
Pajak Penghasilan Migas adalah Pajak Penghasilan yang diperoleh DJP dari perusahaan
hulu migas (atau lebih dikenal dengan kontraktor migas) atas perolehan penghasilan bagian
migas yang diperoleh seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara.
Pajak Penghasilan Non Migas adalah Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 25/29, dan PPh Final.
II.6 Pajak Penghasilan (PPh) Umum
Menurut (Resmi 2012), “PPh adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak”. Dasar hukum yang
mengatur PPh adalah UU No. 7 Tahun 1983, UU No 7 Tahun 1991, UU No. 10 Tahun 1994, UU
No.17 Tahun 2000, UU No. 36 Tahun 2008.
Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008, ada beberapa Pajak Penghasilan yaitu sebagai
berikut:
1. PPh Pasal 21
PPh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh WP OP
Subyek Pajak Dalam Negeri, yang disebutkan dalam PPh Pasal 21, merupakan pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh WP OP Dalam Negeri.
2. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga lain, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan
badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan
dibidang impot atau kegiatan usaha bidang lain.
3. PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh WP dalam negeri (OP maupun badan), dan dalam Bentuk Usaha Tetap (BUT)
yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21.
4. PPh Pasal 24
PPh Pasal 24 merupakan pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri atas penghasilan
dari luar negeri yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri.
5. PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap
bulan dalam tahun pajak berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU No.7 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 Tentang PPh,
Pembayaran angsuran setiap bulan itu sendiri dimaksudkan untuk meringankan beban
WP dalam membayar pajak terutang.
6. PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia yang diterima atau diperoleh WP luar negeri selain untuk BUT.
7. PPh Final
PPh Final merupakan PPh yang pengenaannya sudah final (berakhir) sehingga tidak
dapat dikreditkan (dikurangkan) dari total PPh terutang pada akhir tahun pajak.
II.6.1 Subjek Pajak Penghasilan
Menurut (Resmi 2012), “Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang
mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak
Penghasilan”. Subjek Pajak akan dikenakan Pajak Penghasilan jika menerima atau memperoleh
penghasilan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 pasal 2, yang menjadi subjek pajak yaitu sebagai
berikut:
1. Orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak,
2. Badan, dan
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Subjek Pajak Penghasilan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu antara lain sebagai
berikut:
1. Subjek Pajak Dalam Negeri.
a. Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek Pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria:
Pembentukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undanga,
Pembiayaan bersumber dari Anggaram Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah, dan
Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
c. Subjek Pajak warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan
yang berhak.
2. Subjek Pajak Luar Negeri.
a. Subjek Pajak orang pribadi luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan , dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
b. Subjek Pajak badan luar negeri adalah badan yang tidak didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia atau menerima dan memperoleh penghasilan dari
Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
II.6.2 Objek Pajak Penghasilan
Menurut (Resmi 2012), “Objek Pajak Penghasilan merupakan segala sesuatu (barang,
jasa, kegiatan, atau keadaan) yang dikenakan pajak. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan,
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
Penghasilan yang menjadi Objek Pajak dapat dikelompokkan menjadi empat bagian yaitu
sebagai berikut:
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas,
2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan,
3. Penghasilan dari modal yang berupa harta gerak ataupun tak gerak, dan
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
II.7 Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut:
1. Pajak Objektif
Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak
ditentukan oleh faktor kondisi objektifnya, yaitu keadaan, peristiwa atau
perbuatan hokum yang dikenakan pajak juga disebut dengan nama objek pajak.
2. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung
Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban
pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke
Kas Negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak ini secara
nyata berkedudukan sebagai Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa
Kena Pajak. Sementara itu, penanggung jawab atas pembayaran pajak ke Kas
Negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku Penjual Barang Kena
Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak.
Sebagai Pajak Tidak Langsung, PPN memiliki ciri sebagai berikut:
a. Secara ekonomis, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak
yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak.
b. Secara juridis, tanggung jawab pembayaran kepada Kas Negara tidak
berada ditangan pihak yang memikul beban pajak.
3. Multi Stage Tax
Multi Stage Tax adalah karakteristik PPN yang dikenakan pada setiap mata rantai
jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang menjadi objek
PPN mulai dari tingkat Pabrikan (Manufacturer) kemudian ditingkat Pedagang
Besar dalam berbagai bentuk atau nama (Wholesaler) sampai dengan tingkat
Pedagang Pengecer (Retailer) dikenakan PPN.
4. Mekanisme Pemungutan PPN menggunakan Faktur Pajak
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebagai
konsekuensi penggunaan credit method untuk menghitung PPN yang terutang
maka Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak wajib memungut PPn yang terutang dan memberikan Faktur Pajak
sebagai bukti pungutan pajak. Dalam ketentuan yang baru, Faktur Pajak tidak
perlu dibuat secara khusus atau berbeda denga faktur penjualan. Faktur Pajak
dapat berupa faktur penjualan atau dokujmen tertentu yang ditetapkan sebagai
Faktur Pajak oleh DJP. Atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, wajib diterbitkan
Faktur Pajak sepanjang Barang Kena Pajak berupa aktiva yang diserahkan
tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak.
5. PPN adalah Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri
Sebagai Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri, PPN hanya dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak ata Jasa Kena Pajak yang dilakukan didalam negeri.
Oleh karena itu, komoditi impor dikenakan PPN dengan prosentase yang sama
dengan produk domestik.
II.8 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak kebendaan atas bumi/bangunan yang dikenakan
terhadap orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai hak dan memperoleh manfaat
atas bumi dan memiliki, menguasai, dan memperoleh manfaat atas bangunan. PBB merupakan
pajak kebendaan, dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu
bumi/tanah/bangunan, sedangkan keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan
besarnya pajak.
II.9 Wajib Pajak (WP)
Berdasarkan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan UU No. 16 Pasal 1 tahun 2009,
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemeungutan
pajak atau pemotongan pajak tertentu”.
II.10 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Menurut Resmi (2012), “NPWP adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas WP”. Setiap WP hanya diberikan satu
NPWP. NPWP juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam
pengawasan administrasi perpajakan. Dengan memiliki NPWP, WP memperoleh beberapa
manfaat langsung lainnya, seperti sebagai pembayaran dimuka (angsuran/kredit pajak) atas
Fiskal Luar Negeri yang dibayar sewaktu WP bertolak ke Luar Negeri, sebagai persyaratan
ketika melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan sebagai salah satu
syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank. Terhadap WP yang tidak mmendaftarkan diri
untuk mendapatkan NPWP dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
II.11 Surat Pemberitahuan (SPT)
Menurut Resmi (2012), “SPT adalah Surat Pemberitahuan unutk suatu Masa Pajak atau
Bagian Tahun Pajak”.
Fungsi SPT adalah sebagai berikut:
1. Bagi WP PPh, fungsi SPT sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
2. Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM
yang sebenarnya terutang.
3. Bagi Pemotong/Pemungut Pajak, fungsi SPT adalah sebagai saran untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut
dan disetorkannya.
Jenis-jenis SPT ada dua yaitu sebagai berikut:
1. SPT Tahunan, yaitu SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
2. SPT Masa, yaitu SPT untuk suatu Masa Pajak.
II.12 Pembukuan dan Pencatatan Bagi WP
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan
menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak
berakhir.
Pencatatan yaitu pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau
penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak bersifat final.
II.13 Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan
dilakukannya pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
II.14 Penyegelan
Penyegelan adalah tindakan menempelkan kertas segel dalam rangka Pemeriksaan pada
tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak atau tidak bergerak yang digunakan atau patut
diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen,
termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain, yang dapat memberi
petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas WP yang diperiksa.
II.15 Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Sita dan Sandera
Berikut ini adalah tindakan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak jika WP terlambat
membayar pajak terutangnya, yaitu:
1. Surat Teguran
Surat teguran berupa surat pemberitahuan bahwa WP harus melakukan pembayaran pajak
terutang secepatnya. Surat ini diterbitkan jika dalam 7 hari dari jatuh tempo pembayaran
WP tidak membayar hutang pajaknya.
2. Surat Paksa
Surat paksa berupa surat pemaksaan dalam membayar pajak terutang setelah surat
teguran diabaikan oleh wajib pajak. Surat ini diterbitkan dalam jangka 21 hari setelah
Surat Teguran apabila WP tetap tidak melunasi hutang pajaknya.
3. Surat Sita
Surat sita berupa surat tanda penyitaan harta benda wajib pajak yang bersangkutan
seharga pajak yang terutang setelah surat teguran dan surat paksa diabaikan oleh wajib
pajak. Surat ini diterbitkan 2x24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
4. Sandera
Cara ini merupakan cara terakhir dalam penagihan pajak terutang yang dilakukan setelah
surat teguran, surat paksa, dan surat sita pun ditolak dan wajib pajak diketahui telah kabur
maka cara terakhir yang dilakukan adalah sandera sampai pada wajib pajak tersebut
berhasil membayar pajak terutang beserta dendanya.
BAB IIIPEMBAHASAN
III.1 Upaya Pemerintah dalam Menaikkan Penerimaan Pajak tahun 2015
Penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2015 diperkirakan mencapai Rp. 1,370 Triliun
atau meningkat 10% jika dibandingkan dengan target dalam APBN 2014. Peningkatan tersebut
disebabkan oleh membaiknya kondisi perekonomian dosmestik yang didukung oleh perbaikan
stabilitas dan fundamental ekonomi, serta membaiknya perekonomian global yang diharapkan
dapat meningkatkan kinerja ekspor. Untuk mencapai target yang telah ditetapkan oleh
pemerintah dalam RAPBN 2015, upaya pemerintah dalam beberapa kebijakan-kebijakan
perpajakan yang diterapkan pada tahun 2015 ini adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan perpajakan dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan melalui
penyempurnaan peraturan perundang-undangan perpajakan, ekstensifikasi dan
intensifikasi perpajakan, serta penggalian potensi penerimaan perpajakan secara sektoral.
2. Kebijakan perpajakan dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi nasional melalui
penyesuaian kebijakan dibidang bea masuk, bea keluar, dan PPh Non Migas.
3. Kebijakan perpajakan dalam rangka peningkatan daya saing dan nilai tambah dalam
bentuk pemberian intensif fiskal serta penerapan kebijakan hilirisasi pada sektor atau
komoditas tertentu.
4. Kebijakan perpajakan dalam rangka pengendalian konsumsi barang kena cukai antara
lain dalam bentuk penyesuaian tarif cukai hasil tembakau.
Pemerintah juga akan mengambil beberapa langkah kebijakan yang bersifat teknis terkait
dengan upaya optimalisasi penerimaan, baik dari sisi penerimaan pajak maupun penerimaan
kepabeanan dan cukai.
Kebijakan yang bersifat teknis dibidang penerimaan pajak antara lain :
1. Meningkatkan penggalian potensi WP OP dengan sasaran orang pribadi golongan
pendapatan tinggi dan menengah atas.
2. Mengintensifikasikan penggalian sektor ekonomi non-tradable (misalnya
properti, jasa keuangan, dan perdagangan) serta kegiatan ekonomi di bidang
sumber daya alam dan perkebunan.
3. Menyempurnakan sistem administrasi perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan
WP dengan mengembangkan sistem administrasi berbasis IT seperti e-filing untuk
SPT PPh dan e-invoice untuk PPN.
4. Menggali potensi pajak secara langsung dari beberapa transaksi ekonomi stategis
melalui pengembangan sistem online dengan institusi yang mengadministrasikan
transaksi ekonomi strategis tersebut.
5. Meningkatkan efektivitas pemeriksaan dan penagihan melalui pemeriksaan yang
berorientasi pada pemeriksaan khusus bagi WP strategis dan implementasi model
compliance risk management (CRM).
6. Meningkatkan sinergi dengan kepolisian dan kejaksaan dalam pelaksanaan law
enforcement dibidang perpajakan.
7. Memperbaiki regulasi yang memperluasbasis pajak untuk meningkatkan
penerimaan pajak.
8. Meningkatkan infrastruktur administrasi perpajakan dan kualitas serta kuantitas
SDM.
Dibidang kepabeanan, pemerintah akan melanjutkan dan menyempurnakan kebijakan
teknis yaitu :
1. Menggalkkan pemberitahuan dini lewat skema pra-notifikasi.
2. Mendorong peralihan pengiriman Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan
dokumen pelengkap pabean impor secara tunggal (single submission).
3. Mengembangkan sistem layanan dan pengawasan yang berjenjang dan terotomasi
berdasarkan manajemen risiko terpusat di kawasan berikat.
4. Implementasi penuh aplikasi perizinan tempat penimbunan berikat (TBP) online.
5. Meluncurkan intgrated monitoring room untuk pengawasan kawasan berikat di
dua belas kantor pelayanan.
6. Meningkatkan ketersediaan informasi untuk pengiriman dan penerimaan barang
kiriman dengan melibatkan penyelenggaraan pos, dengan cara menyediakan
informasi mengenai prosedur, larangan dan pembatasan, klarifikasi barang, dan
ketentuan nilai pabean, serta menyediakan informasi untuk tracking pengiriman
barang kiriman pada saat proses custom clearance.
7. Meningkatkan akurasi penetapan nilai pabean, klasifikasi barang, dan
pemeriksaan fisik.
8. Meningkatkan konfirmasi surat keterangan asal dalam rangka skema free trade
area.
9. Meningkatkan akurassi penelitian jumlah dan jenis barang ekspor.
10. Meningkatkan pengawasan modus antar pulau dan modus switching jenis barang
ekspor.
11. Optimalisasi operasi pengawasan terpadu, patroli laut, dan patroli darat.
12. Melakukan joint audit dengan Direktorat Jenderal Pajak.
Sementara itu, kebijakan teknis di bidang cukai pada tahun 2015 lebih diarahkan kepada
manajemen risiko dan perbaikan sistem, antara lain :
1. Mendesain risk engine cukai terintegrasi yang handal, meliputi penentuan fokus
strategis dan area risiko, identifikasi risiko pada tiap area risiko, menganalisis dan
memprediksi risiko, dan formulasi risk engine.
2. Mendesain database cukai terpusat, melalui identifikasi data untuk manajemen
risiko, memilih data untuk disimpan di database, mengembangkan pemetaan data,
formulasi mekanisme update, dan otomasi database.
3. Peluncuran sistem otomasi cukai melalui deklarasi secara elektronik untuk
permohonan penyediaan pita cukai (P3C), permohonan pemesanan pita cukai
hasil tembakau (CK-1), pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat
(CK-4), pemberitahuan mutasi barang kena cukai (CK-5) dan pemberitahuan
pelindung pengangkutan etil alkohol (EA)/minuman mengandung etil alkohol
(MMEA) yang sudah dilunasi cukainya di peredaran bebas (CK-6).
4. Meluncurkan sistem laporan aplikasi cukai (LACK).
5. Melakukan penyesuaian besaran tarif cukai.
Selain itu, kebijakan lain yang daoat mendukung pengamanan pendapatan kepabeanan
dan cukai antara lain :
1. Persiapan ASEAN Economic Community (AEC) 2015 melalui integrasi ASEAN
Single Window (ASW).
2. Evaluasi sistem aplikasi piutang dan pengembalian (SAPP).
3. Integrasi sistem kepabeanan dan cukai dengan government agencies dan entitas
pelabuhan atau bandara.
4. Pengembangan portal pertukaran data dengan instansi terkait lainnya.
5. Perbaikan layanan informasi dan optimalisasi publikasi media.
6. Penyelarasan organisasi, sumber daya manusia, dan infrastruktur.
Selain dari kebijakan-kebijakan yang tertera pada RAPBN 2015 tentang penerimaan
pajak, beberapa artikel juga memuat tentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang baru dalam
menaikkan penerimaan pajak tahun 2015 antara lain sebagai berikut :
1. Pemilihan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak baru yang memiliki nilai tambah
dalam menaikkan penerimaan pajak tahun 2015 antara lain Dirjen Pajak baru
merupakan mantan Kepala Kantor Wilayah Pajak Besar, hal ini tentunya
merupakan modal penting disebabkan Dirjen Pajak baru sering mengurusi WP
kelas kakap (sekitar 400 WP perusahaan besar) sehingga dengan pengalaman
tersebut ketika menjabat menjadi Dirjen Pajak, tugas-tugas yang berat dengan WP
yang berat pun tidak ada kesulitan.
2. Pemilihan 3 deputi sebagai Pembantu Dirjen Pajak. Tugas-tugas yang harus
ditanggung Dirjen Pajak baru tidak dapat di kelola sendiri. Oleh karena itu 3
deputi ini bertugas membawahkan beberapa Kantor Wilayah (Kanwil) untuk
dilaporkan ke Dirjen Pajak.
3. Mengejar para penunggak pajak yang menunggak pajak selama 5-15 tahun.
Diperkirakan sebanyak Rp. 77 Triliun penerimaan pajak yang berasal dari para
penunggak pajak tersebut. Persentasenya 99% dari WP badan usaha dan sisanya
dari WP OP non karyawan. Sekitar Rp. 15 Triliun yang sudah dicicil oleh
penunggak pajak, sekitar Rp. 15 Triliun lain dikategorikan kadaluwarsa,
sedangkan sekitar Rp. 40 Triliun masuk kategori macet atau sulit ditagih karena
penanggung pajak sudah tidak memiliki aset, atau WP tidak beroperasi lagi,
sedangkan sekitar Rp. 7 Triliun lainnya masuk kategori diragukan karena
sebagian besar perusahaan tersebut sudah tidak lancar tetapi belum macet. Para
penunggak pajak tersebut kebanyakan berasal dari pegawai swasta, agen asuransi,
pedagang, manajer financial, dokter, sektor industri pengolahan, pertambangan,
kehutanan, transportasi, pergudangan, dan lain-lain.
4. Memverifikasikan dengan teliti laporan penghasilan yang disampaikan WP badan,
pengecekan rekening bank, pembelian rumah, kendaraan, total aset, dan upaya-
upaya lainnya yang berhubungan dengan laporan keuangan WP sehingga dapat
mengetahui total tunggakan atau total pajak terutang yang seharusnya dibayar.
5. Upaya yang dilakukan pada penunggak pajak adalah yang pertama mengirim
surat paksa untuk melunasi pajak, kemudian jika WP yang bersangkutan belum
melunasi pajaknya, maka langkah selanjutnya adalah penyitaan aset, jika WP
tersebut beum juga melunasi pajaknya maka dilakukan pemblokiran rekening dan
pencekalan. Jika sampai dua kali pencekalan tidak ada pelunasan pun, langkah
terakhir adalah melakukan penyanderaan (gijzeling). Penyanderaan dilakukan
selama 6 bulan. Tetapi setelah 6 bulan tidak melunasi maka akan diperpanjang 6
bulan lagi. Penyanderaan hanya dapat dilakukan selama 1 tahun.
6. Perluasan objek pajak PPnBM. Produk-produk yang dikenai berupa tas,
perhiasan, apartemen Rp. 2 Miliar, pesawat udara pribadi, kapal pesiar, rumah
mewah, kendaraan mewah, kendaraan roda dua, jam tangan, sepatu. Dapat dilihat
dengan jelas pada tabel dibawah ini :
Tabel I.1 Daftar Barang Mewah yang Terkena Pajak Tambahan
JENIS BARANG SEMULA DIUBAH
Pesawat Udara Pribadi PPnBM dikenakan bila
harga jual lebih dari Rp.
20 Miliar.
Tanpa batasan harga
jual
Kapal Pesiar dan
sejenisnya
PPnBM dikenakan bila
harga jual lebih dari Rp.
10 Miliar
Tanpa batasan harga
jual
Rumah Beserta Tanah PPh bila harga jual atau
pengalihan lebih dari
Lebih dari Rp. 2 Miliar
dengan luas bangunan
Rp. 10 Miliar dan luas
bangunan lebih dari 500
meter persegi.
lebih dari 400 meter
persegi.
Apartemen,
Kondominium
PPnBM dikenakan bila
harga jual Rp. 10 Miliar
atau luas bangunan 400
meter persegi.
Harga jual Rp. 2 Miliar
atau luas bangunan
lebih dari 350 meter
persegi.
Kendaraan bermotor roda
4
PPnBM dipungut bila
harga jual lebih dari Rp.
5 M, kapasitas kurang
dari 10 orang, kapasitas
silinder lebih dari 3.000
cc
Harga jual lebih dari
Rp. 1 Miliar atau
kapasitas silinder lebih
dari 3.000 cc.
Kendaraan bermotor roda
2 atau 3
Tidak dikenai PPnBM PPnBM dikenakan bila
harga jual Rp. 75 juta
atau kapasitas silinder
lebih dari 250 cc.
Perhiasan (berlian, emas,
intan, dan batu permata)
Tidak dikenai PPnBM PPh dikenakan bila
harga jual lebih dari Rp.
100 juta.
Jam tangan, tas, dan
sepatu
Tidak dikenai PPnBM PPh dikenakan bila
harga jual jam tangan
lebih dari Rp. 50 juta,
tas lebih dari Rp. 15 juta
dan harga jual sepatu
lebih dari Rp. 5 juta.
Sumber : Koran Tempo (2015)
Hal-hal lain yang diharapkan oleh pemerintah dalam menaikkan penerimaan pajak
adalah perbaikan dari DJP itu sendiri yatu sebagai berikut :
1. Mempermudah proses administrasi pada pemodal asing, khususnya untuk
mendapatkan NPWP. Begitu juga dengan Nomor Induk Kepabeanan dan
palayanan tax allowances.
2. Mempermudah pengaksesan data, dukungan kekuatan hukum agar bisa tegas
terhadap pengemplang pajak dan dukungan internal seperti penguatan SDM,
pendanaan, fasilitas, dan kapasitas petugas pajaknya.
3. Investasi dibidang TI untuk menguatkan sistem integritas data pajak agar data
perpajakan lebih lengkap, detail, dan akurat.
III.2 Kendala Pemerintah dalam Menaikkan Penerimaan Pajak tahun 2015
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam menaikkan penerimaan pajak 2015
tentunya diimbangi dengan kendala-kendala yang dihadapi antara lain sebagai berikut :
1. Dengan diterapkannya penambahan terhadap objek pajak PPnBM, maka akan menambah
kegiatan penyelundupan barang mewah yang diimpor ke Indonesia. Hal ini membuat DJP
harus mempunyai tenaga dan pekerjaan yang lebih berat untuk mengatasi adanya
penyelundupan hal tersebut.
2. Kebanyakan WP perusahaan besar memanipulasi laporan keuangan sehingga
mengecilkan pajaknya. Bahkan ada perusahaan yang mengatakan rugi. Pemodal Asing
(Luar Negeri) seharusnya menyetor modal kepada perusahaannya di Indonesia. Tetapi
prakteknya pemilik perusahaan tidak menyuntikkan modal, melainkan memberikan
pinjaman yang sebenarnya merupakan dividen. Pinjaman ini dihitung sebagai hutang dan
dikenaik bunga sehingga mengurangi laba. Hal ini membuat DJP harus meningkatkan
pekerjaannya dengan memeriksa secara detail kebenaran-kebenaran dari lapora keuangan
yang disampaikan WP yang bersangkutan. Sehingga dapat mengetahui pajak terutang
yang seharusnya dibayarkan.
III.3 Hasil Penerimaan Pajak Triwulan I tahun 2015
Berdasarkan upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah selama kuartal I di tahun
2015 ini membuahkan hasil yang cukup memuaskan jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya tahun 2014 diperiode yang sama. Penerimaan pajak mengalami kenaikan dan
penurunan di awal triwulan I tahun 2015. Kenaikkan penerimaan pajak antara lain sebagai
berikut : PPh Non Migas mengalami kenaikan sebesar 1% dibandingkan periode yang sama di
tahun 2014. pertumbuhan tertinggi berasal dari PPh Final yaitu 20,62% dari tahun 2014 sebesar
Rp. 18,318 Triliun menjadi Rp. 22,095 ditahun 2015. Kenaikkan pada PPh Final terjadi
dikarenakan adanya PP No. 46 Tahun 2013 yang bersifat final yang berasal dari WP yang
peredaran brutonya tidak melebihi Rp. 4,8 Miliar per tahun sehingga menambah jumlah
penerimaan PPh Final.
Adapun kenaikan penerimaan pajak yang berasal dari PPh Pasal 21 yaitu dari tahun 2014
periode yang sama sebesar Rp. 23,996 Triliun menjadi Rp. 26,554 Triliun pada tahun 2015
dengan persentase kenaikan sebesar 10,62% dibandingkan dengan tahun lalu. PPh Pasal 23 juga
mengalami kenaikan sebesar 9,68% dari tahun 2014 periode yang sama sebesar Rp. 5,687 Triliun
menjadi Rp. 6,328 Triliun. Kenaikkan lainnya berasal dari PPh Pasal 25/29 OP yakni 8,53% atau
sebesar Rp. 2,371 Triliun pada tahun 2015 dibandingkan dengan tahun 2014 periode yang sama
hanya sebesar Rp. 2,184 Triliun. PPh Pasal 26 juga mengalami kenaikan dari Rp. 6,096 Triliun
ditahun 2014 periode yang sama menjadi Rp. 6,395 Triliun ditahun 2015 triwulan I dengan
persentase kenaikan sebesar 4,90%. Kenaikan-kenaikan yang berasal dari PPh Final, PPh Pasal
21,PPh Pasal 23, PPh Pasal 25/29 OP, dan PPh Pasal 26. Kenaikan terakhir disumbangkan oleh
PPN Dalam Negeri sebesar 2,86% yaitu dari tahun 2014 triwulan I sebesar Rp. 46,102 Triliun
naik menjadi Rp. 47,419 Triliun ditahun 2015 periode yang sama.
Meskipun pada triwulan I tahun 2015 mengalami kenaikan terhadap beberapa
penerimaan pajak, namun triwulan I ini juga mengalami penurunan pertumbuhan dibandingkan
dengan tahun 2014 diperiode yang sama yaitu yang berasal dari PPh Pasal 22 impor sebesar
9,95% atau dari tahun 2014 periode yang sama sebesar Rp. 11,443 Triliun turun menjadi Rp.
10,304 Triliun. Hal ini disebabkan karena turunnya kegiatan impor di Indonesia mulai dari awal
tahun hingga akhir Maret 2015 yang kemudian memicu pula pada penurunannya penerimaan
PPN Impor sebesar 11,78% yaitu dari tahun 2014 periode yang sama sebesar Rp. 35,148 Triliun
dan ditahun 2015 hanya menerima PPN sebesar Rp. 31,008 Triliun. PPh Pasal 25/29 Badan juga
mengalami penurunan yaitu sebesar Rp. 29,639 Triliun ditahun 2015 triwulan I dibandingkan
dengan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp. 34,740. Turun sebanyak 14,68% dari tahun
sebelumnya.
PPh Non Migas Lainnya juga ikut mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya
tahun 2014 diperiode yang sama yaitu sebesar 8,62% dengan nilai Rp. 9,99 Miliar turun menjadi
Rp. 9,13 Miliar pada tahun 2015 triwulan I. Adapun penurunan yang berasal dari PPnBM Impor
yang pada tahun 2014 triwulan I sebesar Rp. 1,607 Triliun turun menjadi Rp. Rp. 1,105 Triliun
di tahun 2015 periode yang sama dengan persentase penurunan sebesar 31,27% dari tahun
sebelumnya. Penurunan penerimaan pajak terbesar berasal dari PPN/PPnBM Lainnya yaitu
sebesar 55,44% dari tahun 2014 triwulan I sebesar Rp. 58,64 Miliar turun menjadi Rp. Rp. 26,13
Miliar ditahun 2015 periode yang sama. PBB juga mengalami penurunan sebesar 59,62% yaitu
dari Rp. 795,49 Miliar di triwulan I tahun 2014 turun menjadi Rp. 321, 24 Miliar ditahun 2015
periode yang sama disebabkan karena belum terealisasinya pemindahbukuan dari rekening
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke rekening penerimaan pajak serta disebabkan juga
karena diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No 267/PMK.011 tahun 2014 Tentang
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak
Bumi dan Gas Bumi Pada Tahap Eksplorasi. Tidak hanya itu, mengingat akan terjadinya
penurunan harga minyak memberi dampak turunnya juga penerimaan PPh Migas pada tahun
2015 triwulan I yaitu sebesar Rp. 8,778 Triliun dibandingkan dengan tahun 2014 diperiode yang
sama sebesar Rp. 19,006 Triliun.
Secara detail, perbandingan penerimaan pajak triwulan I tahun 2015 dan 2014 dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel I.2 Penerimaan Pajak Triwulan I tahun 2014 dan 2015 (Miliar Rp)
2014 2015PPh Non Migas : 102,558 103,777 PPh Final 18,318 22,095 PPh Pasal 21 23,990 26,554 PPh Pasal 22 impor 11,443 10,304 PPh Pasal 23 5,687 6,328 PPh Pasal 25/29 OP 2,184 2,371 PPh Pasal 25/29 Badan 34,740 29,639 PPh Pasal 26 6,096 6,395 PPh Non Migas Lainnya 100 91
PPN/PPnBM : 82,916 79,557 PPN Dalam Negeri 46,102 47,419 PPN Impor 35,148 31,008 PPnBM Impor 1,607 1,105 PPN/PPnBM Lainnya 59 25 PBB 796 321 PPh Migas 19,006 8,778
Sumber : www.pajak.go.id (2015)
Dapat dilihat pula perbandingan antara target penerimaan pajak untuk tahun 2015 yang
terdapat dapat RAPBN 2015 dengan hasil penerimaan pajak triwulan I tahun 2015 pada tabel
berikut ini:
Tabel I.3 Perbandingan Antara Target Penerimaan Pajak Berdasarkan RAPBN
dan Hasil Triwulan I tahun 2015 (Miliar Rp)
RAPBN 2015 2015 RASIOPPh Non Migas : 553,119 195 0.035%PPh Final 22PPh Pasal 21 27PPh Pasal 22 impor 10PPh Pasal 23 6PPh Pasal 25/29 OP 2PPh Pasal 25/29 Badan 30PPh Pasal 26 6PPh Non Migas Lainnya 91PPN/PPnBM : 524,972 105 0.020%PPN Dalam Negeri 47PPN Impor 31PPnBM Impor 1PPN/PPnBM Lainnya 25 PBB 26,680 321 1.204%PPh Migas 82,912 9 0.011%
Sumber : RAPBN (2015)
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa rasio perkembangan penerimaan pajak
pada triwulan I tahun 2015 menunjukkan bahwa sebesar 0,035% pencapaian PPh Non Migas
triwulan I terhadap target pemerintah, sebesar 0,020% pencapaian PPN/PPnBM triwulan I
terhadap target pemerintah, sebesar 1,204% pencapaian PBB triwulan I terhadap target
pemerintah dan sebesar 0,011% pencapaian PPh Migas triwulan I terhadap target pemerintah.
Melalui ini, diharapkan pada bulan-bulan berikutnya hingga akhir Tahun Pajak 2015,
penerimaan pajak dapat mencapai target yang telah ditetapkan berdasarkan RAPBN 2015.
III.4 Perbandingan Target Penerimaan Pajak Tahun 2014 dan Tahun 2015
Perbandingan target penerimaan pajak tahun 2014 dan tahun 2015 dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel I.4 Target Penerimaan Pajak tahun 2014 dan 2015 (Triliun Rp)
Penerimaan Pajak APBN 2014 RAPBN 2015PPh Migas 83,889.8 82,912.8 PPh Non Migas 485,976.9 553,119.0 PPN dan PPnBM 475,587.2 524,972.2 PBB 21,742.9 26,684.1 Pendapatan Cukai 117,450.2 125,946.3 Pendapatan Pajak Lainnya 5,179.6 5,689.1 Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional 56,280.4 51,503.8 Pendapatan Bea Masuk 35,676.0 37,203.9 Pendapatan Bea Keluar 20,604.4 14,299.9 TOTAL 1,302,387.4 1,422,331.1
Sumber : RAPBN 2015
Target penerimaan pajak tahun 2014 dan 2015 dapat dilihat pula dalam diagram berikut
ini yaitu :
Gambar I.3 Target Penerimaan PPh Migas dan Non Migas Tahun 2014 dan 2015
2014 20150
100
200
300
400
500
600
700
486553.1
83.9
82.9
Triliun (Rp)
PPh Non Migas PPh Migas
Sumber : RAPBN (2015)
Gambar I.4 Target Penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2014 dan 2015
2014 20150
100
200
300
400
500
600
185.1 210.7
290.5314.3
Triliun (Rp)
Impor Dalam Negeri
Sumber : RAPBN (2015)
Gambar I.5 Target Penerimaan PBB Tahun 2014 dan 2015
2014 20150
5
10
15
20
25
30
21.726.7
Triliun (Rp)
PBB
Sumber : RAPBN (2015)
Gambar I.6 Target Pendapatan Cukai Tahun 2014-2015
2014 2015112
114
116
118
120
122
124
126
128
117.5
125.9
Triliun (Rp)
Pendapatan Cukai
Sumber : RAPBN (2015)
Gambar I.7 Target Pendapatan Pajak Lainnya Tahun 2014 dan 2015
2014 20154.9
5
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
5.2
5.7
Pendapatan Pajak Lainnya (Triliun Rp)
Pendapatan Pajak Lainnya
Sumber : RAPBN (2015)
Gambar I.8 Target Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional Tahun 2014 dan 2015
2014 20150
10
20
30
40
50
60
35.7 37.2
20.6 14.3
Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional (Triliun Rp)
Bea Masuk Bea Keluar
Sumber : RAPBN (2015)
BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN
IV.I Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai
berikut:
1. Upaya-upaya Direktorat Jenderal Pajak dalam menaikkan penerimaan pajak tahun
2015 adalah dengan menerapkan beberapa kebijakan-kebijakan baru baik dari
sistem internal DJP itu sendiri maupun penjangkauan WP OP maupun Badan
yang lebih ditingkatkan lagi ditahun 2015.
2. Dengan diterapkannya kebijakan-kebijakan baru dari DJP, terdapat kendala-
kendala dalam upaya menaikkan penerimaan pajak tahun 2015 berupa
ketidakpatuhan WP yang masih sangat besar yaitu berupa terjadinya
penyelundupan barang mewah yang diperkirakan akan tinggi dan manipulasian
laporan keuangan dari pihak WP perusahaan besar untuk mendapatkan pajak yang
kecil sehingga membuat DJP harus meningkatkan kinerja dan berusaha lebih
keras lagi untuk bias mencapai target.
3. Hasil dari penerimaan pajak tahun 2015 sudah dapat dinilai dari hasil penerimaan
pajak triwulan I tahun 2015 yaitu dengan kenaikan 1% jika dibandingkan dengan
penerimaan pajak tahun 2014 diperiode yang sama. Dan diharapkan penerimaan
pajak penuh tahun 2015 nantinya akan membuahkan hasil yang memuaskan
tentunnya dengan pencapaian target.
4. Upaya pemrintah tahun 2015 dapat dilihat dari perbandingan antara target
penerimaan pajak dalam APBN tahun 2014 dengan penerimaan pajak dalam
RAPBN tahun 2015.
IV.II Saran
Berdasarkan dengan kesimpulan diatas, yang dapat disarankan antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Mengupgrade sistem internal Direktorat Jenderal Pajak agar dapat mempermudah
mengakses data WP yang harusnya terdaftar atau agar data perpajakan lebih
lengkap, detail dan akurat.
2. Penguatan Sumber Daya Manusia baik jumlahnya maupun keterampilan dan
kejujuran dari petugas pajaknya sehingga adanya kepercayaan dari masyarakat
yang lebih baik.
3. Penambahan fasilitas-fasilitas bagi masyarakat agar timbal balik masyarakat pun
baik sehingga meningkatkan kepatuhan WP dan memicu kenaikan penerimaan
pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Artining, T. (2015, Januari 23). Obyek Pajak Barang Mewah Akan Diperluas. Koran Tempo.
Ernis, D. (2015, Januari 2015). Ditjen Pajak Kejar Tunggakan Pajak Rp. 21 Triliun. Koran
Tempo.
Kementrian Keuangan Republik Indonesia. (2015, April 09). Retrieved from Direktorat Jenderal
Pajak: http://www.pajak.go.id/content/article/penerimaan-pph-non-migastumbuh-1-
ditjen-pajak-optimis-capai-target-penerimaan-pajak
Marsyahrul, T. (2012). Pengantar Perpajakan. PT. Grasindo.
Modul Pelatihan Pajak Terapan Brevet A & B Terpadu. (2013). Jakarta: Ikatan Akuntan
Indonesia.
Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendaptan dan Belanja Negara Tahun Anggaran
2015. (2015).
Ortax. (2000, Agustus 02). Retrieved from Observation and Research of Taxation:
http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=4
Putri, T. A. (2015, Januari 2015). Pemerintah Yakin Sigit Mampu Penuhi Target Pajak. Koran
Tempo.
Putri, T. A. (2015, Januari 31). Usulan Posisi Deputi Dirjen Pajak Disetujui. Koran Tempo.
Resmi, S. (2012). Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.
Rusli, A. (2015, Desember 2014). Ditjen Pajak Akan Diperkuat. Koran Tempo.
Rusli, A. (2015, Januari 16). Penerimaan Pajak DIgenjot Hingga Rp. 1.250 Triliun. Koran
Tempo.
Sukmawijaya, A. (2015, Januari 28). Mardiasmo Usulkan Cegah 568 Pengemplang Pajak. Koran
Tempo.
Supriadin, J. (2015, Januari 7). 10 Pengemplang Pajak Kena Gijzeling. Koran Tempo.
Supriadin, J. (2015). Pajak barang Mewah Ditargetkan Rp. 27 Triliun. Koran Tempo.
Supriyadin, J. (2015, Januari 5). Memburu Pengemplang Sampai Dapat. Koran Tempo.
Waluyo. (2013). Perpajakan Indonesia. Jakarta Selatan: Salemba Empat.