21
Analisis Hukum terhadap Putusan MK. No 20/PUU-XIII/2015 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 1 MAKALAH Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara Disusun Oleh : Christian Daniel Eduardo 00000018063 JURUSAN HUKUM UNIVERSITAS PELITA HARAPAN KARAWACI 2016 1

Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Analisis Hukum terhadap Putusan MK. No 20/PUU-XIII/2015 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

1

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara

Disusun Oleh :

Christian Daniel Eduardo 00000018063

JURUSAN HUKUM UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

KARAWACI 2016

1

Page 2: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Analisa hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU_XII/ 2015 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

DAFTAR ISIHalaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................  iKATA PENGANTAR ...................................................................................  iiDAFTAR ISI .................................................................................................  iiiABSTRAK...................................................................................................... ivBAB I PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah..........................................................................1.2  Rumusan Masalah...................................................................................

1.3  Tujuan Penelitian.....................................................................................1.4 Manfaat Makalah....................................................................................1.5 Sistematika Penyajian…………………………………………

BAB II LANDASAN TEORI2.1  Kajian teoritis..........................................................................................2.2 Hipotesis.................................................................................................

BAB III METODELOGI PENELITIAN3.1  Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................3.2  Metode Penelitian...................................................................................

BAB IV HASIL PENELITIAN     4.1 Deskripsi Data........................................................................................ 4.2  Pembahasan ............................................................................................BAB V PENUTUP  5.1 Kesimpulan.............................................................................................  5.2 Saran........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA……………………………….

Page 3: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Kata Pengantar

Puji Syukur kami panjatkan kepada TuhanYang Maha Esa atas berkat pengasihanNya penulis

dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Hukum Tata Negara dengan baik dan tepat . pada

kesempatan ini, penulis diizinkan untuk menulis makalah mengenai Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

Adapun bahan-bahan/ materi untuk penyusunan makalah ini penulis peroleh dari berbagai

media seperti : internet, buku mengenai perburuhan, buku hukum tata Negara dan sumber-sumber

lainnya yang membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini.

Pada kesempatan ini, penulis banyak mengucapkan Terima kasih kepada Bapak Dwi Putra

Nugraha selaku Dosen Hukum Tata Negara yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan kekurangan-kekurangan. Untuk

itu,penulis berharap adanya kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Kami berharap,

makalah ini dapat barmanfaat bagi setiap pembaca.

Page 4: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Bab 1 . Pendahuluan .

Latar Belakang Masalah Perselisihan Hubungan Industrial merupakan suatu kondisi akibat adanya perbedaan

pendapat antara pihak pengusaha dan pihak pekerja mengenai hal-hal yang diatur dalam Perjanjian

Kerja, Peraturan Perusahaan dan/atau Kesepakatan Kerja Bersama. Dalam konteks sejarahnya , Buruh

merupakan sebuah sebutan untuk mendapatkan upah baik yang bekerja di kalangan Industri atau badan

pemerintahan. 2

Salah satu perselisihan yang sering terjadi antara pihak pengusaha dan pihak pekerja adalah

perselisihan tentang pemutusan hubungan kerja yang cenderung merugikan pihak pekerja.

Permasalahan timbul pada saat pekerja melakukan mogok kerja dan pihak pengusaha

melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Terkait dengan gugatan A quo pihak pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja

karena pihak Buruh melakukan Pemogokan kerja . Berdasarkan pasal 158 ayat 2 UU no.13 tahun 2003

bahwa Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan jika Buruh melakukan kesalahan berat. Seperti timbul

karena pekerja melakukan pemogokan kerja dan ketidak hadirannya di mana ia bekerja. Sebelum

bekerja, bahwa si pekerja dengan orang yang memperkerjakan telah memiliki ikatan kerja yang tetap

bagi para karyawan tetap. Ikatan kerja yang diberikan tersebut digunakan selama pekerja melakukan

pekerjaanya di dalam suatu perusahaan tersebut. Oleh karena itu, terdapat beberapa dasar hukum yang

dimohonkan oleh para pemohon diantarannya : UU no.2 tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan

Industrial dan UU no. 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan yang dipakai oleh pemohon dalam

melakukan pemohon ini. Permohonan ini diajukan oleh 9 pemohon dengan alasan ketidaksetujuan

para pemohon atas dasar Pemutusan Hubungan Kerja yang tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 28 D

ayat 1. Isi dari pasal 28D ayat 1 mengatakan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

21. Herdiansyah Hamzah , http://www.herdi.web.id/seri-hukum-perburuhan-antara-buruh-pekerja-dan-karyawan/(

Page 5: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Rumusan Masalah 1 Bagaimana Duduk perkara yang terjadi dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

20/PUU_XIII/2015?

2 Dimanakah letak ketidakadilan yang menyebabkan suatu pihak dirugikan?

3 Bagaimana putusan hakim dan pertimbangannya dalam masalah tersebut?

4. Bagaimanakah analisis dari penulis terhadap masalah tersebut

Tujuan Penelitian 1. Mengetahui dan memahami duduk perkara dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

20/PUU-XIII/2015

2. Mengetahui letak ketidakadilan yang menyebabkan suatu pihak dirugikan

3. Mengetahui putusan hakim dan pertimbangannya dalam masalah tersebut

4. Mengetahui analisis dari penulis terhadap masalah tersebut

Manfaat Penelitian Menurut penulis, manfaat penelitian yang dapat diambil dari putusan makalah ini adalah

Mahasiswa dapat mengetahui teori-teori Hukum Tata Negara mengenai kasus yang dipaparkan dalam

putusan MK Nomor 20/PUU-XIII/2015 dan mengetahui hal-hal yang dirugikan baik dari hak

konstitusionalnya maupun dari kerugian yang dialami oleh beberpaa pihak.

Page 6: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Bab 2 Analisa

Kasus posisi dalam Putusan MK No.20/PUU_XIII/ 2015 adalah putusan MK yang dimohonkan oleh 9

pemohon. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya pasal 81 UU no.2 tahun 2004 mengenai

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 9 pemohon yang mengajukan gugatan diantaranya

adalah : Abda Khair Mufti, Agus Humaedi Abdillah, Muhammad Hafids, Chairul Eillen Kurniawan,Ali

Imron Susanto, Mohammad Robin, Riyanto dan Havidh Sukendro dan Wawan Suryawan adalah para

pemohon yang dalam hal ini merasa dirugikan dengan berlakunya UU no.2 tahun 2004 pasal 81

tersebut Isi dari pasal 81 UU no. 2 tahun 2004 adalah bahwa Gugatan perselisihan Hubungan Industrial

diajukan kepada pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukum nya

meliputi tempat kerja/ dari buruh tersebut. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 81 UU no.2 tahun

2004 menjelaskan bahwa antara buruh dan penguasa terdapat perselisihan hak dan perbedaan pendapat

yang dalam proses penyelesaian nya harus diajukan kepada pengadilan Hubungan Industrial melalui

Gugatan contetiosa. Berlakunya pasal 81 UU no,2 tahun 2004 dianggap dalam menyelesaikan

perselisihan Hubungan Industrial menjadi hak konstitusional nya merasa dirugikan dengan berlakunya

pasal 51 ayat 1 UUno.8 tahun 2011 bahwa Pemohon adalah pihak yang menggangap hak / kewenangan

konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Undang-undang yaitu :

1. Perorangan warga Negara Indonesia

2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia

3. Badan hukum publik/ privat

4. Lembaga negara

. Oleh karena nya, gugatan ini tidak dapat diterima oleh majelis hakim mahkamah konstitusi

( niet ontvankeerlijk veerklaard) . Adanya dalil-dalil yang diajukan harus melalui proses

Pengadilan hubungan industrial dan pengajuan permohonan pemohon tidak dapat diajukan .

Page 7: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Pemohon yang dalam hal ini telah memiliki dasar -dasar hukum yang kuat untuk melakukan revisi

kembali terkait Pasal 81 UU no.2 tahun 2004 namun dalam hal ini , pemohon sebaga pihak terkait

tidak mampu mempunyai kekuatan hukum karena kewenangan mahkamah yang diatur dalam pasal

*) 24C ayat 1 UUD 1945 berisi bahwa Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang undang terhadap

undang undang dasar 1945. Pengusaha sebagai pihak termohon yang karena dalil dalil nya

tersebut dapat memiliki dasar hukum( Grundnorm) yang kuat terkait dengan

pasal 158 ayat 1, : Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh telah

melakukan kesalahan berat sebagai berikut :

1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/ atau uang milik perusahaan

2. Memberikan keterangan palsu atau yang dipasulkan sehingga merugikan perusahaan

3. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukan, memakai dan/ mengedarkan narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja

4. Melakukan pembatasan asusila atau perjufdian di lingkungan kerja

5. Menyerang, menganaiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di

lingkungan kerja

6. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan peraturan perundag-undangan

7. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik

perusahaan yang menimbulkan kerugiaan bagi perusahaan

8. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan

bahaya di tempat kerja

9. Membongkar atau membcorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali

untuk kepentingan Negara

10. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara lima

tahun atau lebih

Page 8: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Pasal 160 ayat 3 : Pengusaha dapat melakukan pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja/

buruh yang setelah 6( enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena

dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Pasal 161 ayat 3 : Pekerja/ buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan pasal

156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat 3 dan uang

penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat 4

163 UU no .13 tahun 2003 yang beberapa pasal nya mengatakan bahwa Pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja, jika terdapat Kepailitan/ bangkrutnya perusahaan dan

terdapat beberapa alasan yang menguatkan pihak penguasa.

Bahwa, pengusaha sebagai pihak terkait dapat melakukan pemutusan hubungan kerja

yang disebabkan karena adanya hal hal yang ditimbulkan oleh para buruh yang dapat

bertentangan dengan hukum sesuai yang terdapat pada pasal . Pemutusan Hubungan kerja

seperti ini dapat dilakukan oleh Kemenaker( kementrian tenaga kerja ) yang di dalam Undang

undang nya terdapat pada UU no.13 tahun 2003 pasal 1 ayat 25 . Oleh karena itu, penulis

setuju dengan adanya keputusan mengenai ketenegarakerjaan yang diatur dalam UU no.13

tahun 2003 dan adanya beberapa alasan yang menguatkan pihak pemohon di dalam keputusan

nya tersebut. Namun, di lain hal penulis juga kurang setuju dengan pertimbangan hakim

terkait masalah Perselisihan hubungan Industrial yang diatur dalam UU no.2 tahun 2004

mengenai Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial yang harus diajukan Ke pengadilan

Hubungan Industrial . Selain memakan waktu yang lama, juga memerlukan biaya yang cukup

besar untuk membayar biaya perkara tersebut. Selain itu, penulis menggangap bahwa di

dalam UU ketenagakerjaan pasal 151 ayat 1 ialah bahwa buruh,penguasa dan pemerintah

harus mengusahakan agar tidak terjadinya pemutusan Hubungan Kerja dan jika Pemutusan

Hubungan Kerja tersebut dianggap sah, harus memperoleh penetapan dari Lembaga

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial . Dan sesuai dengan Putusan

No.20/PUU_XIII/2015 para pemohon telah memiliki kedudukan hukum( Legal Standing)

untuk mengajukan permohonan sehingga alasan-alasan dan ketentuan-ketentuan undang-

Page 9: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

undang dapat dipertimbangankan oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Seperti yang terdapat

pada pasal 51 ayat 1 UU no.8 tahun 2011 bahwa di dalam UU Mahkamah konstitusi terdapat 5

syarat ketetuan yang salah satunya meliputi : Adanya hak/ kewenangan konstitusionalnya

dirugikan oleh pemohon. Pemohon dalam hal ini mengajukan permohonan ke Mahkamah

Konstitusi dan juga dirugikan dari sisi adanya hubungan sebab akibat antara kerugian hak/

kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya permohonan yang diajukan oleh

pengadilan. Dan ketentuan pasal 51 ayat 1 UU no.2 tahun 2004 tentang orang perorangan

yang masih aktif bekerja di perusahaan masing masing serta mendapatkan imbalan.

Pasal 81 UU no.2 tahun 2004 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan , perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Kedua pandangan mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam uu no.2

tahun 2004 merupakan aturan dasar yang telah memiliki kepastian hukum dan adanya dasar hukum

yang dapat diberlakukan. Para pemohon yang mendalilkan gugatan tersebut tidak setuju

diberlakukannya pasal 81 uu no. 2 tahun 2004 bahwa Gugatan yang diajukan oleh pemohon kepada

pengadilan Hubungan Industrial proses dan jangka waktu penyelesaian cukup lama. Oleh karena itu,

Pemohon juga menegaskan bahwa hak Ia sebagai pekerja/ serikat buruh harus diberikan kepada setiap

pekerja. Namun, pasal 81 uu no.2 tahun 2004 juga menegaskan bahwa proses permohonan kepada

pengadilan Hubungan Industrial memerlukan waktu yang cukup panjang dari proses pengajuan dari

antara para pihak belum tercukupi. Dalam perkara A quo para pemohon mengajukan permohonan uji

materiil terhadapa pasal 81 uu no 2 tahun 2004 karena bertentangan dengan pasal 28D UUD

1945( Fide pasal 51A ayat 2 UU no.8 tahun 2011 mahkamah Konstitusi) . Pasal 81 UU no . 2 tahun

2004 yang mengatakan bahwa Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial diajukan kepada Pengadilan

hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kerja/ Buruh

tersebut. Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 mengatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan,

perlindungan , dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam

suatu hubungan kerja, antara pengusaha dan pekerja, dapat terjadi perselisihan pendapat yang

berakibat pada pemutusan hubungan kerja. Berbagai macam alasan pemutusan hubungan kerja yang

didalilkan oleh pengusaha tidak dapat diterima oleh pekerja. Oleh karena itu, terjadi Perselisihan

Hubungan Industrial yang menyebabkan Buruh dan penguasa mengalami kesenjangan sosial.

Page 10: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Berdasarkan fungsinya, bahwa isi dari putusan mahkamah konstitusi melandaskan kepada Hukum

materiil yakni hukum yang mengatur tentang isi hubungan antara sesama anggota masyarakat, antar

anggota masyarakat dengan penguasa Negara antarmasyarakat dengan penguasa Negara, maka sebagai

masyarakt atau sebagai subjek hukum (buruh dan penguasa) maka pengajuan uu no 2 tahun 2004 pasal

81 seyogyanya bisa diselesaikan dengan cara musyawarah, atau melalui konsiliasi dari beberapa pihak.

Dalam hal ini , bahwa ketentuan dalam putusan MK mengenai ketenagakerjaan ini menganut dengan

apa yang disebut dengan aliran legisme bahwa dalam menyelesaikan perkara perselisihan Hubungan

Industrial harus mencatumkan UU yang menguatkan dasar hukum dalam menyelesaikan hubungan

industrial. Hal ini disebut sebagai aliran legisme dimana semua hukum/ aturan hukum terdapat dalam

undang-undang atau hukum identik dengan undang-undang. Dan hakim terikat pada undang-undang

sehingga pekerjaannya hanyalah melakukan pelaksanaan undang-undang belaka.

Penulis juga mentafsirkan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja menurut Retna Pratiwi

merupakan proses yang tidak diharapkan oleh Para Pekerja/ Buruh itu sendiri dan mengingat bahwa

awal terjadinya PHK merupakan awal kesengsaraan pekerja/ Buruh dengan berkurangnya penghasilan

pekerja/Buruh . 3 Dengan demikian , penulis berpendapat bahwa PHK yang dilakukan pengusaha

kepada pekerja mengkabitkan kerugian pada pihak buruh. Jika diteliti dan dilihat secara saksama,

maka Penggolongan Hukum tersebut digolongkan ke dalam Hukum Formil yaitu pemohon keberatan

bahwa Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja diselesaikan melalui gugatan ke Pengadilan

Hubungan Industrial dimana Hukum Formil adalah hukum yang mengatur cara bagaimana seorang

penguasa mempertahankan, menegakkan serta melaksanakan kaidah-kaidah hukum materiil, dan

bagaimana cara menuntutnya apabila hak seseorang telah dilanggar oleh Undang-undang.4 Oleh karena

itu, pemerintah mempunyai peranan penting di dalam pelaksanaan ketentuan Hukum formil.

pemerintah sebagai pembuat UU maka sebagai wakil rakyat, pemerintah mempunyai peran

strategis dalam pelaksaan hukum formil di Indonesia khususnya gugatan mengenai Penyelesaian

3 4 Prof.DR.H.Muchsin,SH Ikhstar Ilmu Hukum( Jakarta: Badan Penerbit Islam, 2005), hlm.40.

Page 11: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Perselisihan Hubungan Industrial . Sesuai dengan asas-asas hukum yakni : asas Lex Posterior Derogat

Legi Priori atau Lex Posterior derogate legi anterior bahwa Undang-undang yang lebih baru

mengenyampingkan Undang-undang yang lama. 5.Dengan adanya asas hukum tersebut maka ketentuan

UU no. 2 tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial maka ketentuan yang

terdapat dalam ketentuan ini merupakan ketentuan yang telah memilii kekuatan hukum tetap. Dan yang

menjadi pengujian UU dalam Gugatan adalah pasal 81UU no. 2 tahun 2004. Beberapa hal yang

diajukan oleh pemohon terkait dengan Pemutusan hubungan Kerja nya tersebut dalam hal ini belum

memiliki dalil-dalil yang kuat untuk melakukan pengujian UU no. 2 tahun 2004. Pemohon sebagai

pihak terkait di dalam putusan tersebut belum memiliki dasar hukum dan kekuatan hukum dalam hal

hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 81 UU no. 2 tahun 2004. Hakim yang

dalam mengutus perkara ini harus melihat dasar-dasardan bukti-bukti yang kuat terkait gugatan yang

diajukan pemohon. Hakim dapat mengutus suatu perkara yang diajukan, bila penafsiran yang

dilakukan masih terkait dengan undang-undang dan dimana disebut sebagai Aliran begriff-

yurisprudenz.6 Dalam aliran Freirechtschule bahwa penemuan Hukum yang memberi kebebasan pada

Hakim melalui metode “ Konstruksi Hukum”.7 Penemuan Hukum yang dimaksud adalah Hakim

sebagai kepala/ tonggak dalam Mahkamah Konstitusi berhak dan mampu diberikan kebebasan di dalam

mengutus suatu perkara yang sesuai dengan ketentuan UU. Hakim tidak boleh dibatasi oleh pihak-

pihak yang membuatnya tidak mampu untuk melakukan / mengutus suatu perkara baik jika timbulnya

sebuah organisasi maupun hal- hal lain yang menghambatnya. Dalam melaksanakan kewajiban nya

sebagai serikat buruh/ pekerja maka seperti yang terdapat dalam ketentuan UU no.3 tahun 2003 tentang

Ketengakerjaan maka pekerja wajib melaksanakan kewajiban seperti yang diatur dalam UU no.3 tahun

2003. Pihak pemohon yang terdiri dari 9 pemohon tersebut melakukan pengujian terhadap pasal 81 UU

no.2 tahun 2004 mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa dalam proses

pengajuan Gugatan ke pengadilan hubungan Industrial memerlukan waktu yang cukup lama untuk

melaksanakan putusan tersebut.

5 Prof.DR.H.Muchsin,SH, Ikhtisar ilmu Hukum( Jakarta: Badan Penerbit Islam) , Hlm.45.6 Ibid, hlm.126.7 Ibid, hlm.127.

Page 12: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

Selain itu, juga terdapat beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai

Pemutusan Hubungan Kerja diantaranya adalah : Tulus yang mengemukakan bahwa Pemutusan

hubugan kerja adalah suatu proses dimana pekerja dikembalikan kepada masyarakat. Dimana dalama

proses pemutusan Hubungan Kerja memerlukan aturan-aturan yang konkrit mengenai Proses

Pemutusan Hubungan Kerja yakni : UU no.2 tahun 2004 yang mengatur mengenai Penyelesaian

Perselisihan hubungan Industrial. Sebagimana diatur dalam UU ketenagakerjaan bahwa pengusaha

memiliki kewajiban untuk memberi upah kepada Buruh yang disebut sebagai Kewajiban Pengusaha.

Kewajiban Pengusaha adalah suatu prestasi yang harus dilakukan oleh pengusaha, bagi kepentingan

Tenaga Kerjanya. Menurut Djumaldi, jika seseorang yang bekerja, dalam melaksanakan Pekerjaan

nya bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi bertujuan unutk mendapatkan upah, maka

pelaksanaan pekerja tersebut sulit dikatakan sebagai perjanjian kerja. 8Dan sebagaimana dikatakan

bahwa Pemohon sebagai pekerja yang dalam hal ini tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan upah ,

namun dapat mencari berbagai pengalaman.

8 Djumaldi, Perjanjian Kerja sebagai Landasan Perlindungan Tenaga Kerja (

Page 13: Analisis Hukum terhadap Putusan MK

9

10

9 10

Page 14: Analisis Hukum terhadap Putusan MK