Upload
trankhanh
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS FAKTOR RISIKO TERJADINYA
PNEUMONIA NOSOKOMIAL
DI RSUP DR. SARDJITO
NASKAH PUBLIKASI
Disusun Oleh :
KARDI
201310201169
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2015
ANALISIS FAKTOR RISIKO TERJADINYA
PNEUMONIA NOSOKOMIAL
DI RSUP DR. SARDJITO¹
Kardi², Diyah Candra Anita K³, Ruhyana
4
INTISARI
Jenis kelamin, umur, lama rawat, post operasi, mendapat antibiotik, terdapat penyakit
kronis, perawatan luka, terpasang NGT, dialisis rutin, gangguan multi organ,
gangguan imunosupresif, dan gangguan cerebrovaskuler adalah beberapa faktor
risiko pneumonia nosokomial.Tujuan penelitian : Mengetahui hubungan faktor risiko
terhadap kejadian pneumonia nosokomial. Metode penelitian: Jenis penelitian
kuantitatif dengan metode survey analitik dan menggunakan pendekatan cross
sectional. Responden dalam penelitian ini berjumlah 40 responden ditetapkan
dengan accidental sampling. Analisis statistik yang digunakan Regresi Logistik
Ganda. Hasil penelitian: terdapat 2 faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia nosokomial yaitu pemberian antibiotik dengan nilai (p=0,040) dan lama
rawat inap nilai (p=0.031). Simpulan: pemberian antibiotik lebih 2 minggu dan lama
rawat inap lebih 5 hari besar kemungkinan menyebabkan pasien mengalami
pneumonia nosokomial.
Kata kunci : Faktor risiko, pneumonia nosokomial
¹Judul skripsi
²Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES‟ Aisyiyah Yogyakarta
³Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES „Aisyiyah Yogyakarta 4Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES „Aisyiyah Yogyakarta
THEANALYSIS RISK FACTORS OF NOSOCOMIAL
PNEUMONIA IN DR. SARDJITO¹ HOSPITAL
Kardi², Diyah Chandra Anita K³, Ruhyana4
ABSTRACT
Gender, age, length of confirement, post-operation, received antibiotics, chronic
diseases, wound care, NGT, dialysis, multi-organ disorders, immunosuppressive
disorders and cerebrovascular disorders are several risk factors of nosocomial
pneumonia. Research Objective: This study was to investigate the relationship risk
factors and nosocomial pneumonia. Research Method: This study made use of the
quantitative research with analytic survey method and cross sectional approach. The
respondents were 40 respondents by accidental sampling. The statistical analysis
used Multiple Logistic Regression. Research Findings: Results show that there are
two risk factors related to the nosocomial pneumonia cases, antibiotics with value (p
= 0.040) and length of stay with value (p = 0.031). Conclusions: Antibiotics
treatment over 2 weeks and length of stay over 5 days might cause nosocomial
pneumonia.
Keywords : risk factors, pneumonia nosocomial
1The title of thesis
2Student of School of Nursing „Aisyiyah Health Sciences College of Yogyakarta
3Lecturer of School of Nursing „Aisyiyah Health Sciences College of Yogyakarta
4Lecturer of School of Nursing „Aisyiyah Health Sciences College of Yogyakarta
PENDAHULUAN Pneumonia Nosokomial adalah infeksi paru yang didapat seseorang setelah
48 jam menjalani perawatan di rumah sakit. Menurut Ward et al., (2008)
Pneumonia nosokomial disebabkan oleh pemakaian ventilator yang disebut
dengan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) dan pneumonia yang
diakibatkan oleh perawatan yang disebut dengan Healthcare Assosiated
Pneumonia (HCAP).
Menurut Dahlan (2009) pneumonia nosokomial (HAP) yang terjadi dalam 4
hari pertama setelah masuk rumah sakit (Early Onset), Prognosisnya baik karena
kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap antibiotik. Sedangkan
pneumonia nosokomial yang terjadi setelah hari ke-5 dirawat di rumah sakit
(Late-Onset) kurang begitu menggembirakan karena kebanyakan disebabkan oleh
bakteri multi drug resistent sehingga meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas.
Menurut American Thoracic Society (2005, dalam Erraldin, 2012) di
Amerika Serikat terjadi kasus pneumonia nosokomial/HAP 5 – 15 per 1000
pasien dan meningkat 6 - 20 kali pada layanan intensif yang menggunakan
ventilator. Angka kematian pada pneumonia nosokomial (HAP) antara 30-70%,
kebanyakan kematian disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya terutama
pada pasien kritis.
Infeksi HAP akan berpengaruh pada length of stay atau masa rawat inap
pasien. Keadaan ini akan memperpanjang masa rawat inap pasien di rumah sakit
antara 3 sampai 14 hari sehingga meningkatkan biaya perawatan yang
dikeluarkan oleh pasien dan yang paling buruk adalah meninggal dunia (Ward et
al.,2008).
Rumah sakit Sardjito adalah salah satu rumah sakit yang sudah lulus
terakreditasi Joint Commision International (JCI). Salah satu indikator yang
harus dipenuhi adalah angka infeksi nosokomial termasuk pneumonia
nosokomial harus dapat dicapai sampai seminimal mungkin.
Untuk mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial tersebut pemerintah
telah mengambil kebijakan dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia no. 270/2007 tentang Pedoman Manajerial Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainya.
Surat edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medis tahun 2008 tentang
Pembentukan Komite Pencehagan dan Pengendalian infeksi dan Tim Pencegahan
Pengendalian Infeksi di rumah sakit (Kemenkes RI, 2011). Rumah Sakit Dr.
Sardjito sebagai unit pelayanan medis telah memiliki unit kerja khusus diluar unit
kerja struktural yang menangani masalah infeksi nosokomial yaitu Panitia Medik
Pengendalian Infeksi di bawah pengendalian langsung Direkturat Medik dan
keperawatan.
Berdasarkan data dari Panitia Pengendali Infeksi (PPI) RS.Dr.Sardjito
Yogyakarta tahun 2012 terjadi 70 kasus HAP dari populasi berisiko sebanyak
3.778 pasien (prevalensi 1,85%) dan 21.590 total pasien yang dirawat (0,32%)
dan meningkat menjadi 0,34% pada tahun 2013. Sedangkan dari hasil observasi
yang dilakukan penulis selama 6 bulan di ruang Dahlia 4 angka kejadian HAP
mencapai 0,4 % yang seharusnya angka ini nol.
Berdasarkan data dan uraian di atas penulis sebagai perawat tertarik untuk
melakukan penelitian di RSUP Dr. Sardjito dengan judul “Analisis faktor risiko
terjadinya pneumonia nosokomial di RSUP Dr. Sardjito ”
METODE PENELITIAN Penelitian ini jenis kuantitatif dengan metode survey analitik. Penelitian ini
menggunakan pendekatan cross sectional. Tempat penelitian di IRNA I RSUP
DR. Sardjito. Pengumpulan data melalui observasi catatan medis pasien dan
data yang kurang lengkap peneliti menanyakan kepada dokter yang merawat
mengenahi data-data pasien yang berhubungan dengan faktor risiko terjadinya
pneumonia nosokomial.
Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini yang menjadi variabel
bebas adalah: Jenis kelamin, umur, lama rawat inap lebih 5 hari, post operasi,
mendapat antibiotik, terdapat penyakit kronis, perawatan luka di rumah,
terpasang selang nasogastrik, melakukan dialisis rutin, ada gagal multi organ, ada
gangguan imunosupresif, dan gangguan cerebrovaskuler. Variabel terikat adalah
kejadian pneumonia nosokomial.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien pneumonia yang
dirawat di IRNA I RSUP Dr. Sardjito. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien
yang terdiagnosis pneumonia yang dirawat di IRNA I RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Tehnik pengumpulan sampel dalam penelitian ini menggunakan
tehnik accidental sampling dimana pengambilan sampel dilakukan dengan
mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu
tempat sesuai dengan konteks penelitian. Pada penelitian ini mengambil sampel
dari tanggal 20 Desember 2014 sampai tanggal 20 Januari 2015 yaitu sejumlah
40 responden.
Alat pengumpul data pada penelitian ini berupa check list. Pada penelitian ini
metode pengumpulan data dengan mengobservasi rekam medis pasien, kemudian
mencentang pada check list bila data di rekam medis ada. Bila data masih kurang
lengkap peneliti menanyakan kepada dokter yang merawat mengenahi data-data
yang berhubungan dengan faktor resiko pneumonia nosokomial.
Analisa statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah analisai regresi
logistik adalah suatu model matematika yang di gunakan untuk mempelajari
hubungan antara satu atau beberapa variabel independen dengan satu variabel
dependent yang bersifat dikotomis (binary). Regresi logistik di bagi dua yaitu
regresi logistik sederhana dan regresi logistik berganda. Regresi logistik
berganda untuk mempelajari hubungan antara beberapa variabel independent
dengan satu variabel dependent. Padan tahap pertama dilakukan uji koefisien
contigency (chi square) untuk analisa bivariate. Uji ini untuk mengetahui
hubungan dari satu variabel independen dengan variabel dependent. Nilai uji chi
square yang p value < 0,25 di lanjutkan untuk uji regresi logistik untuk analisa
multivariate..
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 20 Desember 2014 sampai tanggal 20
Januari 2015 yaitu sejumlah 40 responden. Penelitian ini sudah mendapat
Ethichal Clearence (EC) dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada dan
ijin dari bagian Diklit RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Setelah peneliti
mendapatkan sampel yang akan diteliti, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan
dari penelitian dan penandatangan persetujuan menjadi responden ( informed
consent). Peneliti selanjutnya melakukan observasi rekam medis pasien dan
25
apabila data yang dibutuhkan kurang peneliti melakukan wawancara dengan
dokter yang merawat pasien.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di IRNA 1 RSUP Dr. Sardjito dan sudah mendapat
Ethical Clereance dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Data yang diambil adalah data pasien pneumonia nosokomial yang dirawat inap
di RSUP Dr. Sardjito pada periode 20 Desember 2014 sampai 20 Januari 2015.
Pengambilan data dilakukan di ruangan dimana pasien dirawat di IRNA I. Pada
penelitian ini di dapat 40 sampel selama 1 bulan. Dari 40 sampel pneumonia
tersebut ada 33 yang mengalami pneumonia nosokomial dan 7 responden
mengalami pneumonia komunitas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia nosokomial.
No Gambaran faktor risiko jumlah %
1 Jenis kelamin
- Pria 19 47,50
- Wanita 21 52,50
2 Umur
- 18-30 tahun 7 17,50
- 31-41 tahun 7 17,50
- 46-59 tahun 12 30,00
- Lebih 60 tahun 14 35,00
2 Lama rawat
- < 5 hari 11 27,50
- ≥ 5 hari 29 72,50
3 Post operasi
- Dengan post operasi 2 5,00
- Tanpa post operasi 38 95,00
4 Mendapat antibiotik
- Mendapat antibiotik 27 67,50
- Tidak mendapat antibiotik 13 32,50
5 Terdapat penyakit kronis
- Ada penyakit kronis 24 60,00
- Tanpa penyakit kronis 16 40,00
6 Perawatan luka di rumah
- Dilakukan perawatan luka 4 10,00
- Tanpa perawatan luka 36 90,00
7 Terpasang selang nasogastrik
- Dengan selang nasogastrik 14 35,00
- Tanpa selang nasogastrik 26 65,00
8 Melakukan dialisis rutin
- Dengan dialisis rutin 11 27,50
- Tanpa dialisis rutin 29 72,00
9 Ada gangguan organ
- Ada gangguan multi organ 11 27,50
- Tanpa gangguan multi organ 29 72,50
10 Ada gangguan imunosupresif
- Ada gangguan imunosupresif 14 35,00
- Tanpa gangguan imunosupresif 26 65,00
11 Ada gangguan cerebrovasculer
- Ada gangguan cerebrovaskuler 5 12,50
- Tanpa gangguan cerebrovaskuler 35 87,50
Jumlah 40 100,00
Dari 40 responden mayoritas responden berjenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 53%. Berdasarkan usia didapatkan data mayoritas responden (35%) berada
direntang usia lebih 60 tahun (lansia). Berdasarkan lama rawat inap, mayoritas
responden dalam penelitian ini (92,50%) dirawat lebih dari 5 hari. Berdasarkan
kejadian post operasi, mayoritas responden (95%) tidak dilakukan operasi.
Berdasarkan yang mendapat antibiotik, mayoritas responden mendapat antibiotik
(72,50%). Berdasarkan responden yang terdapat penyakit kronis, mayoritas
responden terdapat penyakit kronis (60%). Berdasarkan responden yang dilakukan
perawatan luka di rumah, mayoritas tidak dilakukan perawatan luka di rumah (90%).
Menurut responden yang terpasang selang nasogastrik, sebagian besar tidak
terpasang selang nasogastrik (65%). Berdasarkan responden yang melakukan
hemodialisis rutin dalam 1 bulan sebelum terjadi pneumonia, mayoritas (60%) tidak
dilakukan dialisis rutin. Berdasarkan responden yang mengalami gagal multi organ,
mayoritas (87,50%) tidak ada gagal multi organ. Berdasarkan responden yang
mengalami gangguan imunosupresif, sebagian besar (65%) tidak ada gangguan
imunosupresif. Berdasarkan responden yang mengalami gangguan cerebrovaskuler,
mayoritas (87,50%) tidak mengalami gangguan cerebrovaskuler.
Analisis faktor risiko terhadap kejadian pneumonia nosokomial.
Uji statistik pada penelitian ini adalah dengan menggunakan uji koefisien
contigency (chi square) untuk analisis bivariat dan uji regresi logistik analisis
multivariat.
Hasil analisis bivariate (chi square) faktor risiko dengan kejadian pneumonia
No Faktor risiko dengan p value interpretasi
kejadian pneumonia
1 Jenis kelamin 0,270 tidak ada hubungan
2 Umur 0,293 tidak ada hubungan
3 Lama rawat 0,049 ada hubungan
4 Post operasi 0,504 tidak ada hubungan
5 Mendapat antibiotik 0,001 ada hubungan
6 Terdapat penyakit kronis 0,308 tidak ada hubungan
7 Perawatan lika di rumah 0,332 tidak ada hubungan
8 Terpasang selang NGT 0,695 tidak ada hubungan
9 Melakukan dialisis kronis 0,053 tidak ada hubungan
10 Ada gangguan multi organ 0,944 tidak ada hubungan
11 Ada gangguan imunosupresif 0,695 tidak ada hubungan
12 Ada gangguan cerebrovaskuler 0,875 tidak ada hubungan
Dari hasil analisis bivariate (Chi Square) hanya ada dua faktor risiko yang
berhubungan terhadap kejadian pneumonia yaitu mendapat antibiotik nilai p = 0,001
dan lama rawat nilai p = 0,049. Faktor lain tidak ada hubungan yang bermakna
secara statistik terhadap kejadian pneumonia karena nilai p nya lebih besar dari 0,05.
Hasil analisis regresi logistik variables in equation
Variabel koefisien p OR interpretasi
Jenis kelamin 2,03 0,345 7,60 tidak ada hubungan
Umur -1,1 0,184 0,33 tidak ada hubungan
Lama rawat 1,06 0,030 2,88 ada hubungan
Post operasi -19,00 0,999 0,00 tidak ada hubungan
Mendapat antibiotik -3,3 1 0,040 0,036 ada hubungan
Penyakit kronis 0,27 0,859 0,76 tidak ada hubungan
Perawatan luka 17,80 0,999 0,00 tidak ada hubungan
Terpasang NGT 1,10 0,450 3,10 tidak ada hubungan
Hemodialisis rutin 1,04 0,442 2,80 tidak ada hubungan
Gangguan multi organ 0,88 0,573 2,41 tidak ada hubungan
Gangguan imunosupresif -1,20 0,490 0,29 tidak ada hubungan
Gangguan cerebrovaskuler 1,08 0,583 2,00 tidak ada hubungan
Keluaran variables in the equation dari SPSS yang menunjukan nilai
signifikansi berdasarkan wald statistic adalah menadapat antibiotik nilai p : 0,040,
OR : 0,036. Faktor lama rawat p : 0,031, OR : 2,88. Hasil analisis dari Odds Ratio
(OR) dengan mendapat antibiotik 0,036. Ini artinya responden yang mendapat
antibiotik akan berpeluang terkena pneumonia nosokomial sebesar 0,036 kali lebih
tinggi dibanding yang tidak mendapat antibiotik. Nilai Odds Ratio (OR) pada faktor
lama rawat adalah 2,88, artinya pasien yang dirawat lebih dari 5 hari akan
berpeluang terkena pneumonia nosokomial 2,88 kali lebih tinggi dibanding yang
dirawat kurang 5 hari.
Pembahasan Faktor risiko mendapat antibioti ada hubungan yang bermakna secara statistik
dengan kejadian pneumonia nosokomial (P = 0,040 dan OR = 0,036). Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Melati (2013) di RS. Sanglah Denpasar
Bali, menunjukkan penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu meningkatkan risiko
pneumonia nosokomial dengan OR 5,875 (IK 95% 2,085-16,553). Kollef (1993,
dalam Melati, 2013) berpendapat bahwa penggunaan antibiotik sebelumnya dengan
durasi kurang dari 7 hari bersifat protektif terhadap timbulnya pneumonia
nosokomial onset awal adalah efektif, namun jika antibiotik dipergunakan secara
berkepanjangan maka akan menimbulkan efek sebaliknya yaitu meningkatkan risiko
mikroorganisme resisten berbagai antibiotik. Penelitian Akkoyunlu, et al, (2013) di
ruang rawat intensive RS. Istambul dengan hasil penggunaan antibiotik selama 2
minggu terakhir sebelum masuk rumah sakit ada hubunganya dengan kejadian
pneumonia nosokomial di ruang rawat intensive dengan nilai Odds Ratio (OR)=3,3
(95% CI 1,28-8,48) dan nilai p=0,01. Penelitian lain yang dilakukan Carrilho (2007)
di Brazil bahwa penggunaan antibiotik sebelumnya ada hubungan yang signifikan
dengan kejadian pneumonia nosokomial dengan hasil p=0,006 dan Odds Ratio=1,73.
Faktor lama rawat inap inap lebih dari 5 hari secara statistik ada hubungan
yang signifikan dengan kejadian pneumonia (p = 0,031, dan OR : 2,88). Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Melati (2013) di RS. Sanglah Denpasar
dengan hasil lama rawat inap lebih 2 minggu merupakan faktor risiko terjadinya
pneumonia nosokomial (OR = 2,814; IK 95% 1,099-7,201). Fattah (2006) di RS.
Alhada Arab Saudi bahwa lama rawat inap lebih 3 minggu ada hubungan dengan
kejadian pneumonia nosokomial ditunjukan dengan nilai Odds Ratio = 2.18.
Hasil penelitian Carrilho (2007) di Brazil bahwa lama rawat di ruang rawat
intensive ada hubungan yang signifikan dengan kejadian pneumonia nosokomial.
Lama rawat 6-10 hari nilai Odds Ratio = 4,55 dan lama rawat lebih 10 hari nilai
Odds Ratio = 11,40. Hasil penelitian faktor risiko yang tidak ada hubunganya dengan
pneumonia nosokomial
Jenis kelamin pada penelitian ini tidak ada hubungan secara statistik. Prosentase
jenis kelamin wanita 52% hampir imbang dengan pria. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Herman (2002, dalam Hartati, 2011) bahwa jenis kelamin
laki-laki mempunyai risiko 1,1 kali dibanding dengan jenis kelamin perempuan
namun efek tersebut secara statistik tidak mempunyai hubungan yang bermakna
dengan kejadian pneumonia. Menurut hasil penelitian Fattah (2006), metode case
control dengan analisis univariate bahwa jenis kelamin perempuan berpeluang 1,18
lebih tinggi dari perempuan untuk terkena pneumonia nosokomial, namun secara
statistik tidak signifikan. Menurut Dahlan (2009) jenis kelamin pria rentan terhadap
penyakit - penyakit tertentu termasuk pneumonia nosokomial. Faktor umur pada
penelitian ini tidak ada hubungan secara statistik dengan kejadian pneumonia. Pada
penelitian ini prosentase responden paling banyak kejadian pneumonia pada umur 60
tahun keatas yaitu ada 14 responden dengan angka kejadian pneumonia 12 (86%) .
Ini bertentangan dengan penelitian Fattah (2006) bahwa umur lebih 65 tahun ada
hubungan dengan kejadian pneumonia nosokomial dengan OR=1,180, p<0,05.
Menurut Dahlan (2009) bahwa semakin tua daya tahan seseorang menurun dan
rentan terhadap suatu penyakit.
Faktor risiko dilakukan operasi sebelumnya tidak ada hubungan dengan
pneumonia nosokomial secara statistik. Ini sejalan dengan penelitian Fattah (2006)
bahwa pasien dengan tindakan operasi tidak ada hubungan dengan kejadian
pneumonia nosokomial dengan OR=1,32 dan p>0,05. Penelitian Carrilho (2007)
operasi abdominal tidak ada hubungan dengan kejadian pneumonia nosokomial
p=0,0590 OR=0,41. Menurut Dahlan (2009) pada operasi torakotomi dan abdomen
bagian atas sebagai faktor risiko pneumonia nosokomial.
Terpasang selang nasogastrik tidak ada hubungan dengan kejadian
pneumonia nosokomial. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Melati (2013) di RS.
Sanglah dengan mendapatkan hasil penggunaan pipa nasogastrik bukan sebagai
faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial (P : 0,433, RO: 0,605 IK95%).
Penelitian Alawaliyah (2011) di RSUP Dr. Sardjito. Hasilnya secara statistik tidak
ada hubungan antara penggunaan NGT dengan kejadian pneumonia nosokomial
(p=0,093), namun secara klinis terdapat hubungan yang bermakna. Hasil penelitian
ini berbeda lagi dengan penelitian dari Mansour dan Bendary (2012, dalam Melati,
2013) yang mendapatkan hasil penggunaan pipa nasogastric meningkatkan risiko
terjadinya pneumonia nosokomial (RO = 7.1; IK 95% 2,6–19,6; p< 0.001). Penelitian
yang dilakukan Fattah (2006) menyebutkan bahwa penggunaan pipa nasogastrik ada
hubunganya dengan kejadian pneumonia nosokomial dengan p<0,05 dan OR=2,18.
Penyakit kronik (diabetes militus, gagal jantung, gagal ginjal, penyakit paru
obstruksi kronis dan chirosis hepatis) dan gangguan imunosupresif pada penelitian
ini secara statistik tidak ada hubungan dengan pneumonia nosokomial. Ini sejalan
dengan penelitian: Fattah (2006) bahwa penyakit Diabetes militus dan gangguan
imunosupresif tidak ada hubungan dengan kejadian pneumonia nosokomial nilai
p>0,05. Carrilho (2007) dengan hasil bahwa: gagal jantung tidak ada hubungan
dengan terjadinya pneumonia nosokomial p=0,1173. Penyakit paru obstruksi kronis
tidak ada hubungan dengan pneumonia p=0,060. Gagal ginjal tidak ada hubungan
dengan pneumonia nosokomial p=0,537, chirosis hepatis tidak ada hubungan
p=0,266, gangguan imunosupresif tidak ada hubungan p=0,974. Sedangkan menurut
Fattah (2006) untuk penyakit paru obstruksi kronis ada hubungan dengan terjadinya
pneumonia nosokomial p<0,05 OR=2,96. Menurut AVCI, M, et al, (2010) pasien
dengan gangguan imunosupresif ada hubungan dengan kejadian pneumonia
nosokomial di ruang rawat umum p<0,05. Menurut Dahlan (2009) gannguan
imunosupresif dan penyakit kronis seperti diabetes militus, gagal jantung, gagal
ginjal, penyakit paru obstruksi kronis dan chirosis hepatis menyebabkan daya tahan
tubuh yang menurun. Penyakit paru obstruksi kronis pada tahap lanjut akan
menyebabkan terjadinya pneumonia, hipertensi pulmunar, kegagalan respirasi kronik
(Lwarence et al, 2002). Pada penelitian ini sebagian besar responden yang
mengalami gangguan imunosupresif sudah dirawat di ruang khusus yaitu ruang
immunocompromide yang standar.
Gagal multi organ pada penelitian ini secara statistik tidak ada hubungan
dengan pneumonia nosokomial. Ini bertentangan dengan penelitian Fattah (2006)
bahwa penyakit dasar yang melemahkan (gannguan multi organ) ada hubungan
dengan terjadinya pneumonia nosokomial nilai p<0,05 OR=3,08. Teori Dahlan (
2009) gagal multi organ akan menyebabkan penurunan daya tahan pasien sehingga
kuman-kuman yang virulensinya rendah bisa menjadi patogen pada pasien dengan
daya tahan tubuh yang rendah.
Penurunan kesadaran (gangguan cerebrovaskuler) pada penelitian ini tidak
ada hubungan dengan pneumonia nosokomial. Ini bertentangan dengan hasil
penelitian Fattah (2006) penurunan kesadaran ada hubungan dengan terjadinya
pneumonia p<0,05 OR=3,99. Kolonisasi orofaringeal oleh bakteri Gram-negatif
enterik terjadi pada sebagian besar pada pasien di rumah sakit karena imobilitas,
gangguan kesadaran, instrumentasi, hiegene buruk, inhibasii sekresi asam lambung
(Ward et al, 2008)..
Perawatan luka di rumah dan hemodialisis rutin pada penelitian ini secara
statistik tidak ada hubungan dengan pneumonia nosokomial. Berbeda dengan
penelitian Okkunyunlu, et al (2013) metode case control dengan analisis univariate
dengan hasil: hemodialisis rutin ada hubungan dengan pneumonia nosokomial
p=0,011, perawatan luka bedah ada hubungan dengan pneumonia nosokomial
p=0,001.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil analisis bivariate (chi square) faktor risiko pneumonia yang ada
hubungannya dengan kejadian pneumonia nosokomial adalah responden mendapat
antibiotik (p=0,040) dan lama rawat (p=0,030) . Sedangkan faktor risiko yang tidah
berhubungan dengan kejadian pneumonia adalah jenis kelamin, umur, tindakan
operasi, penyakit kronis, perawatan luka, terpasang selang nasogastrik, melakukan
dialisis rutin, gangguan multi organ, gangguan imunosupresif dan gangguan
cerebrovaskuler. Hasil analisis multivariate (regresi logistik) faktor lama rawat lebih
5 hari merupakan faktor yang paling berhubungan dengan kejadian pneumonia
nosokomial (p=0,030 OR=2,88).
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih banyak dan
rentang waktu yang lebih panjang. Bila memungkinkan dapat menggunakan desain
penelitian prospektif dengan memperhatikan berbagai keterbatasan pada penelitian
ini. Perlu dilakukan penelitian faktor lain yang ada hubungannya dengan risiko
pneumonia nosokomial.
Mengingatkan kepada dokter dalam penggunaan antibiotik jika sudah lebih dari satu
minngu perlu dievaluasi apakah perlu di teruskan, dihentikan atau diganti sesuai hasil
kultur. Dalam perawatan pasien perlu berpedoman pada clinical pathway diagnosis
penyakit sehingga tidak terlalu lama pasien di rawat di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S., (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta
Jakarta.
Alawaliyah. S.M,.(2013) Penggunaan Nasogastric Tube Sebagai Faktor Risiko
Pneumonia Nosokomial di RSUP Dr. Sadjito Yogyakarta dalam etd.ugm.ac.id
Diakses tanggal1 Februari 2015.
Avci, M, Ozgen, O, Coskuner, A, Bozca, B, Kidak, L , (2010) Hospital Acquired
Pneumonia in nonintensive care unit wards. Turk J Med. Sci 2010, 40 (3),
357-363 [internet] journals.tubitak.gov.tr/ diakses 8 Februari 2015
Akkoyunlu, Y, Oztoprak, N, Aydemir, H, Piskin, N, Celebi, G, Ankarali, H,
Akduman, D, (2013) Risk Factor for nosocomial pneumonia in intensive
careunits of University Hospital. Journal of Mikrobiology and infectious
Diseases 2013, 3(1), 3-7 [internet]www.jmidonline.org/upload/JMID
00601.pdf diakses 8 Februari 2015.
Carrilho, CM, Grion, CM, Bonametti, AM, Medeiros, EA, Matsuo, T, (2007)
Multivariate Analysis of the Factors Associated With the Risk Pneumonia in
Intensive Care units. Brazil Journal Infectious Diseases 2007,11 (3), 44-339
[internet] www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17684636 diakses 8 Februari 2015
Darmadi., (2009). Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya, Salemba
Medika, Jakarta.
Dahlan,Zul., (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III, Pusat
Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Dahlan, M. S,.(2012). Statistik Untuk Kedokteran dan kesehatan, Salemba
medika,Jakarta.
Erraldin, N, (2012), hubungan faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap
Pada pasien hospital acquired pneumonia di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta ( 2012) [internet].Yogyakarta: Universitas Gajah Mada dalam:
http://e+d.ugm.ae.id/indek php/mod.bab1.pdf [ diakses tanggal 13 Juli 2014
pukul 12.33WIB].
Fattah, A, (2008), Nosocomial pneumonia; risk factors, rates and trend. East Mediter
Health J,2008,14(3),546-55[internet] www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18720
618 diakses 8 Februari 2015.
Hartati. S,. (2011). Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian
pneumonia pada anak balita di RSU Pasar Rebo Jakarta dalam lib. Ui.ac.id
diakses tanggal 25 Januari 2015.
Kementrian Kesehatan RI, (2011) Pedoman Manajerial Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Lainya, Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Lawrence, M.Tierney, Jr.Stepen,M. And Maxim, A ., (2002). Diagnosa Dan Terapi
Kedokteran IlmuPenyakit Dalam, Salemba Medika, Jakarta.
Melati, D, (2014). Lama Rawat Inap dan Pengguna Antibiotik sebagai Faktor Resiko
Pneumonia Nosokomial Pada Anak di RSUP Sanglah”
[internet].www.pps.unud.ac.id/thesis/unud.pdf [diakses tanggal 13 Juli 2014
pukul 15.33WIB].
Panitia pencegahan dan pengendalian infeksi RSUP Dr. Sardjito. (2012).