Upload
nguyenthuy
View
243
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS DESKRIPTIF KEMUNDURAN MUTU JEROAN
(USUS, HATI, GINJAL) IKAN BANDENG (Chanos chanos)
SELAMA PENYIMPANAN SUHU CHILLING MELALUI
PENGAMATAN HISTOLOGIS
SUPARTINAH
C34070067
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
RINGKASAN
SUPARTINAH. C34070067. Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan
(Usus, Hati, Ginjal) Ikan Bandeng (Chanoschanos) Selama Penyimpanan Suhu
Chilling Melalui Pengamatan Histologis. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI
dan SRI NURYATI.
Ikan bandeng merupakan salah satu ikan tambak komoditas
unggulan.Produksi ikan bandeng di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun. Jeroan ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang banyak
dimanfaatkan selain daging dan kulitnya. Jeroan ikan banyak digunakan sebagai
bahan baku dalam proses pembuatan pakan ternak dan sebagai sumber alami
enzim. Jeroan ikan mudah mengalami kebusukan seperti halnya ikan
utuh.Tingginya kandungan air pada jeroan ikan menyebabkan jeroan ikan mudah
mengalami kebusukan. Analisis mikrobiologi, kimia, fisik, dan metode sensori
secara organoleptik telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi tingkat kesegaran
ikan. Informasi dan data mengenai kemunduran mutu secara histology belum
banyak diungkap, oleh karena itu pengukuran mutu secara histology diperlukan
untuk mengungkap dan mendukung hasil analisis menggunakan metode yang
telah banyak dilakukan.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi
kimia jeroan ikan bandeng, menentukan fase post mortem jeroan ikan bandeng
pada penyimpanan suhu chilling, serta membandingkan mikrostruktur jeroan ikan
bandeng pada setiap fase kemunduran mutu. Penelitian ini dilakukan dalam tiga
bagian. Bagian pertama adalah pengambilan dan preparasi sampel untuk
pengujian proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat). Bagian
kedua adalah pembuatan preparat jeroan ikan awetan dan bagian ketiga adalah
pengamatan struktur jaringan jeroan ikan bandeng menggunakan mikroskop.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng mengandung
kadar air sebesar 66,77%, abu 1,18%, lemak 9,69%, protein 8,75%, dan
karbohidrat sebesar 13,61%. Nilai organoleptik jeroan ikan bandeng menurun
seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Jeroan ikan bandeng memasuki fase
pre rigor pada penyimpanan jam ke-0, fase rigor mortis pada penyimpanan jam
ke-80 (3 hari), fase post rigor pada jam ke-228 (10 hari), dan memasuki fase
busuk pada jam ke-396 (17 hari). Jeroan ikan bandeng mulai mengalami
kerusakan pada fase rigor mortis, yaitu terjadi kerusakan pada lapisan epitelusus.
Pada fase post rigor dan busuk terjadi kematian sel yang ditandai dengan
hilangnya inti sel pada lapisan jeroan ikan. Hal ini diduga diakibatkan oleh
terjadinya proses nekrosis pada jaringan jeroan ikan. Pada fase busuk terlihat
adanya koloni bakteri pembusuk.
ANALISIS DESKRIPTIF KEMUNDURAN MUTU JEROAN
(USUS, HATI, GINJAL) IKAN BANDENG (Chanos chanos)
SELAMA PENYIMPANAN SUHU CHILLING MELALUI
PENGAMATAN HISTOLOGIS
Oleh:
Supartinah
C34070067
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan (Usus, Hati,Ginjal)
Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu
Chilling melalui Pengamatan Histologis
Nama : Supartinah
NIM : C34070067
Menyetujui :
Komisi Pembimbing
Pembimbing 1 Pembimbing II
(Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si) (Dr. Sri Nuryati, S.Pi, M.Si)
NIP 19700807 199603 2 002 NIP 19710606 199512 2 001
Mengetahui :
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil.
NIP :19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus: ……………..
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis
Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan (Usus, Hati, Ginjal) Ikan Bandeng (Chanos
chanos) selama Penyimpanan Suhu Chillingmelalui Pengamatan Histologis”
adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari kutipan atau karya
yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di akhir bagian skripsi ini.
Bogor, Juli2012
Supartinah
C34070067
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Temanggung, Jawa Tengah pada
tanggal 23 September 1989. Penulis merupakan anak kedua dari
2 bersaudara dari pasangan Bapak Mutakim dan IbuTuminah.
Penulis telah menempuh jalur pendidikan SDN Lowungu 1 lulus
pada tahun 2001, SLTPN 1 Bejenlulus pada tahun 2004 dan
SMAN 1 Parakanlulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima
sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di dalam
kegiatan organisasi mahasiswa daerah Temanggung (OMDA PMTM).
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan (Usus, Hati, Ginjal) Ikan Bandeng
(Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui Pengamatan
Histologis” dibawah bimbingan Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si dan Dr. Sri Nuryati
S.Pi, M.Si.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat
serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
”Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan (Usus, Hati, Ginjal) Ikan Bandeng
(Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui Pengamatan
Histologis” ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :
1. Ibu Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si dan Dr. Sri Nuryati S.Pi, M.Si selaku
komisi pembimbing atas arahan, bimbingan, ilmu, nasehat, dan semangat
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini
2. Bapak Dr. Ir. AgoesMardionoJacoeb, Dipl.-Biol selaku ketua Program
Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah banyak membantu dan
memberikan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
3. Ibu drh. Ekowati Handharyani, MS., Ph.D., APVet yang telah banyak
memberikan ilmu dan juga bantuan kepada penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. selaku Ketua Departemen
Teknologi Hasil Perairan.
5. Ayah dan Ibu atas doa, dorongan dan dukungan serta Kakak yang juga
memberikan semangat kepada Penulis.
6. Seluruh staf, dosen dan TU THP atas bantuan dan dukungannya.
7. Bapak Ranta (BDP), Bapak Kasnadi (FKH) dan Mba Kiki (FKH) yang
telah banyak membantu penulis.
8. Teman-teman THP 44 atas semua dukungan dan bantuannya kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
9. Ahmad Gifari dan Izzati Amrullah yang telah banyak membantu penulis
dalam pengambilan sampel.
10. Para panelis THP 44 yang telah bersedia melakukan tes organoleptik
selama 24 hari sampai ikan mengalami kebusukan.
11. Teman-teman THP 44 yang telah banyak membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi.
12. Seluruh civitas THP lain yang telah banyak membantu penulis
13. Semua pihak yang telah membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun demi
penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak.
Bogor, Juli2012
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x
1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................................ 2
2TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng ....................................................... 3
2.2 Kemunduran Mutu Ikan Bandeng ................................................................. 4
2.2.1Fase prerigor .......................................................................................... 4
2.2.2Fase rigormortis ..................................................................................... 5
2.2.3 Fase postrigor ..................................................................................... 5
2.2.4Fase busuk ............................................................................................. 6
2.3 Anatomi Usus ................................................................................................ 6
2.4 Anatomi Ginjal .............................................................................................. 7
2.5 Anatomi Hati ................................................................................................. 8
2.6 Histologi ...................................................................................................... 10
2.7 Pemeriksaan Histologi ................................................................................. 11
3 METODOLOGI ............................................................................................... 18
3.1 Waktu dan Tempat ...................................................................................... 18
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................ 18
3.3 Metode Penelitian ........................................................................................ 18
3.3.1Uji organoleptik ................................................................................... 20
3.3.2 Analisis proksimat ............................................................................ 20
3.3.3 Pembuatan preparat histologi ........................................................... 23
3.3.4Pemeriksaan preparat histologi ............................................................ 26
3.4 Analisis Data ............................................................................................... 28
3.4.1Organoleptik ........................................................................................ 28
3.4.2Histologi .............................................................................................. 28
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 29
4.1 Komposisi Kimia Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal) ............... 29
4.2 Nilai Organoleptik Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal) ............. 31
4.3 Histologi Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal) selama Periode
Kemunduran Mutu............................................................................................. 33
4.3.1 Histologi usus ikan bandeng selama periode kemunduran mutu........ 33
4.3.2 Histologi hati ikan bandeng selama periode kemunduran mutu ......... 38
4.3.3 Histologi ginjal ikan bandeng selama periode kemunduran mutu ..... 43
5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 48
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 48
5.2 Saran ............................................................................................................ 48
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 49
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1 Ikan bandeng (Chanos chanos) ............................................................................ 4
2 Dinding usus dengan perbesaran 17x secara skematis ......................................... 7
3 Susunan histologik suatu korpuskel ginjal secara skematis ................................. 8
4 Histologi hati dengan pewarnaan HE perbesaran 75x ........................................ 9
5 Hati ikan normal ................................................................................................. 10
6 Diagram alir penelitian ....................................................................................... 19
7 Diagram alir pembuatan preparat jeroan (hati, ginjal, usus) ikan bandeng
(Chanos chanos) ............................................................................................... 27
8 Hasil analisis proksimat jeroan ikan bandeng (Chanos chanos) ........................ 29
9 Rata-rata nilai organoleptik jeroan (hati, ginjal, usus) ikan bandeng ................ 32
10 Penampang membujur usus ikan bandeng fase prerigor .................................. 34
11 Penampang membujur usus ikan bandeng fase rigormortis ............................. 34
12 Penampang membujur usus ikan bandeng fase postrigor ................................ 35
13 Penampang membujur usus ikan bandeng fase busuk ..................................... 35
14 Bakteri pembusuk pada fase busuk usus ikan bandeng .................................. 36
15 Penampang melintang hati ikan bandeng fase prerigor ................................... 39
16 Penampang melintang hati ikan bandeng fase rigormortis .............................. 39
17 Penampang melintang hati ikan bandeng fase postrigor .................................. 40
18 Penampang melintang hati ikan bandeng fase busuk ....................................... 40
19 Bakteri pembusuk pada fase busuk hati ikan bandeng.................................... 41
20 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase prerigor ................................ 43
21 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase rigormortis ........................... 44
22 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase postrigor ............................... 44
23 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase busuk.................................... 45
24 Bakteri pembusuk pada fase busuk ginjal ikan bandeng ................................ 45
DAFTAR TABEL
No Halaman
1 Kelebihan dan kekurangan berbagai larutan pengawet ..... Error! Bookmark not
defined.
2 Ringkasan perubahan histologi jeroan ikan bandeng ........ Error! Bookmark not
defined.
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1 Score sheet uji organoleptik dinding perut dan jeroan ikan ............................... 54
2 Dokumentasi penelitian ....................................... Error! Bookmark not defined.
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman
hayati yang sangat besar. Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia,
diperkirakan mencapai 6,5 juta ton setahun. Produksi perikanan yang telah
dimanfaatkan baru sekitar 30% dari seluruh potensi yang ada. Selama ini usaha
pemanfaatan potensi yang ada belum optimal (Murtidjo 2001). Keanekaragaman
hayati yang dimiliki Indonesia, salah satunya ikan. Ikan memiliki kandungan gizi
yang tinggi diantaranya protein 16-24%, lemak 0,2-2,2%, vitamin, mineral,
beserta karbohidrat (Khairuman et al. 2002).
Ikan bandeng merupakan salah satu ikan budidaya yang sangat diminati
masyarakat. Ikan ini memiliki daging yang lembut dan rasanya enak sehingga
sangat disukai konsumen. Selain itu, ikan bandeng sangat mudah untuk
dibudidayakan dan mudah dijumpai di pasaran. Ikan ini dimanfaatkan untuk
keperluan konsumsi. Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas yang bernilai
ekonomis tinggi karena sangat berarti dalam pemenuhan gizi pangan masyarakat
serta dapat meningkatkan taraf hidup. Di samping itu, prospek pengembangan
budidaya ikan bandeng yang cukup cerah telah memacu kegiatan budidaya
bandeng pada perairan laut dan payau (Mudjiman 1991). Produksi ikan bandeng
di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 produksi
bandeng sebesar 212.883 ton, kemudian meningkat menjadi 263.139 ton pada
tahun 2007, 277.471 ton pada tahun 2008, dan 328.788 pada tahun 2009. Produksi
ikan bandeng meningkat tajam mencapai 483.948 ton pada tahun 2010
(Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan 2010).
Jeroan ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang banyak
dimanfaatkan selain daging dan kulitnya. Salah satu pemanfaatan jeroan ikan
adalah untuk industri pembuatan pakan ikan. Produksi pakan ikan di dunia
berkisar antara 5,5 sampai 7,5 juta ton per tahun. Selain itu, organ dalam atau
jeroan ikan merupakan sumber alami enzim terbesar. Protease merupakan enzim
yang terbesar dalam hasil perairan. Protease akan menghidrolisis ikatan peptida
dan disebut sebagai proteinase atau peptidase tergantung bekerja terhadap protein
2
atau polipeptida. Sumber proteinase secara menyeluruh ada pada organ lambung,
usus dan hati (Feraro et al. 2010). Pemanfaatan enzim hasil perairan ini sangat
menguntungkan karena dapat diaplikasikan dalam berbagai industri komersil dan
dapat dikembangkan dalam relung pasar yang baru. Pemanfaatan enzim ini dapat
memaksimalkan limbah pengolahan, sehingga pengolahan hasil perairan dengan
sistem zerowaste dapat dilaksanakan.
Jeroan juga mudah mengalami kebusukan. Kandungan protein dan air yang
tinggi pada organ dalam atau jeroan ikan bandeng, membuat jeroan ini mudah
mengalami kemunduran mutu. Proses kemunduran mutu ikan bandeng disebabkan
oleh faktor dari dalam tubuh ikan dan faktor dari luar. Faktor dari dalam tubuh
ikan meliputi aktivitas enzimatik, mikrobial, dan kimiawi, sedangkan faktor dari
luar yaitu lingkungan (Ilyas 1993). Sebagian besar bahan baku ikan berasal dari
berbagai macam jenis, dimana penampakan dan rasanya berbeda-beda. Sebagian
besar konsumen menuntut kejelasan mengenai kesegaran bahan baku, keamanan
mikrobiologi, bebas polutan, perlindungan dari kerusakan, dan produk yang baik
(Nychas dan Drosinos 2010).
Kesegaran ikan dapat diidentifikasi dengan analisis sensori, analisis
mikrobiologi, biokimia, dan kimia. Selain itu, bisa digunakan teknik molekular
(pengamatan histologis) untuk mengetahui tingkat kesegaran organ ikan (Kim dan
Mendis 2006). Pengukuran kemunduran mutu secara histologis belum banyak
dilakukan, sehingga informasi dan data mengenai kemunduran mutu secara
histologis masih terbatas. Oleh karena itu pengukuran kemunduran mutu secara
histologis diperlukan untuk mendukung pengukuran dengan menggunakan
metode yang telah banyak dilakukan.
1.2 Tujuan
Penelitian tentang kemunduram mutu jeroan ikan bandeng dilakukan
dengan tujuan untuk menentukan komposisi kimia jeroan ikan bandeng,
menentukan fase post mortem jeroan ikan bandeng pada penyimpanan suhu
chilling, serta membandingkan mikrostruktur jeroan ikan bandeng pada setiap fase
kemunduran mutu.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng
Ikan bandeng merupakan salah satu ikan laut yang memiliki potensi untuk
dibudidayakan di tambak. Jenis ikan ini mampu mentolerir salinitas perairan yang
luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline. Ikan bandeng
mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, seperti suhu, pH, dan
kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997).
Ikan ini memiliki karakteristik badan langsing, sisik seperti kaca, serta
daging berwarna putih. Ikan bandeng mendapat julukan ikan milkfish karena
mempunyai daging berwarna putih, seperti susu dan rasanya pulen. Ikan ini
memiliki keunikan mulutnya tidak bergigi dan makanannya tumbuh-tumbuhan di
dasar laut. Selain itu, panjang usus ikan bandeng sembilan kali dari panjang
tubuhnya (Murtidjo 1989). Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984)
adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub kelas :Teleostei
Ordo : Malacopterigii
Famili : Chanidae
Genus :Chanos
Spesies :Chanos chanos
Ikan bandeng mempunyai ciri-ciri morfologi dengan bentuk tubuh ramping,
badannya tertutup oleh sisik, jari-jari semuanya lunak dan jumlah sirip punggung
antara 14-16, pada sirip dubur antara 10-11, pada sirip dada antara 16-17 dan pada
sirip perut antara 11-12. Sirip ekor panjang dan bercagak. Mata diselimuti lendir
dan tidak ada skut pada bagian perut (Djuhanda 1981). Morfologi ikan bandeng
dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1 Ikan bandeng (Chanos chanos) (Anonim 2010).
Jumlah sisik pada gurat sisi ada 75-80 keping. Mulutnya berukuran sedang dan
nono protractile, yaitu posisi mulut satu garis dengan sisi bawah bola mata,
bentuk tubuhnya, seperti panah (Djuhanda 1981).
2.2 Kemunduran Mutu Ikan Bandeng
Setelah ikan mati, ikan segera mengalami proses kemunduran mutu.
Kemunduran mutu pada ikan bisa disebabkan karena proses yang terjadi pada
tubuh ikan atau karena lingkungan. Proses kemunduran mutu ikan terjadi karena
aktivitas enzim, mikroorganisme, dan kimiawi (Ilyas 1993). Ketiga hal tersebut
menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Proses perubahan ikan setelah
mati terdiri dari empat tahap, yaitu prerigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk.
2.2.1 Fase prerigor
Fase prerigor merupakan tahap pertama dari postmortem. Tahap ini ditandai
dengan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit.
Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin
yang merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003).
Peristiwa ini terjadi ketika jaringan otot yang mulai lembut dan lentur yang
disebabkan karena proses biokimia, yaitu penurunan tingkat ATP dan keratin
fosfat serta adanya proses glikolisis aktif. Glikolisis merupakan suatu proses
konversi glikogen menjadi asam laktat yang menyebabkan pH turun. Tingkat
perubahan pH bervariasi antara satu spesies dengan spesies yang lain seperti juga
diantara otot yang berbeda. Namun, hewan dalam keadaan kenyang dan
istirahat mempunyai cadangan glikogen yang besar, sehingga dalam keadaan post
mortem daging yang dihasilkan memiliki pH lebih rendah dibandingkan
dengan daging hewan yang dihasilkan dalam keadaan lapar atau stres pada saat
disembelih (Eskin 1990).
5
2.2.2 Fase rigormortis
Fase rigormortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia
yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati,
sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan
glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan
menurun, diikuti dengan penurunan jumlah ATP dan ketidakmampuan
mempertahankan kekenyalan oleh jaringan otot. Tinggi rendahnya pH awal ikan
sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga pada
daging ikan. Pada fase ini, pH tubuh ikan menjadi 6,2-6,6 dari pH semula 6,9-7,2
(Junianto 2003). Hal ini menstimulasi enzim-enzim yang menghidrolisis fosfat
organik. Fosfat yang pertama kali terurai adalah fosfat keratin dengan membentuk
keratin dan asam fosfat, kemudian diikuti oleh terurainya adenosin trifosfat (ATP)
membentuk adenosin difosfat (ADP) dan asam fosfat (Irianto dan Giyatmi 2009).
Pada fase ini belum terjadi aktivitas bakteri yang berarti, pH ikan masih turun
dikarenakan penumpukan asam laktat sehingga bakteri belum bisa tumbuh dengan
baik (Adawyah 2007).
Fase rigormortis ini biasanya berlangsung sekitar 5 jam. Selama berada
dalam tahap rigormortis ini, ikan masih dalam keadaan sangat segar. Ini berarti
bahwa apabila rigormortis dapat dipertahankan lebih lama maka proses
pembusukan dapat ditekan (Irianto dan Giyatmi 2009).
2.2.3 Fase postrigor
Fase postrigor ditandai dengan melunaknya daging. Proses ini diawali
terjadinya proses autolisis. Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupun pada
suhu yang rendah. Nilai pH yang semakin turun menyebabkan enzim-enzim
dalam jaringan otot menjadi aktif. Katepsin, yaitu enzim proteolitik yang
berfungsi menguraikan protein menjadi senyawa sederhana, merombak struktur
jaringan protein otot menjadi lebih longgar sehingga rentan terhadap serangan
bakteri. Demikian pula enzim lain yang ada dalam organ tubuh ikan, misalnya
perut, melakukan aktivitas yang sama. Hal ini mengakibatkan daging ikan
menjadi agak lunak. Fase perombakan jaringan oleh enzim dalam tubuh ikan ini
disebut dengan autolisis. Ikan dalam fase autolisis ini sering masih dianggap
6
cukup segar dan layak dimakan. Meskipun demikian, fase ini merupakan fase
transisi antara segar dan busuk (Irianto dan Giyatmi 2009).
Penguraian protein menghasilkan senyawa amonia yang terjadi pada fase
ini. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi pH yang semakin naik dengan
semakin banyaknya senyawa volatil yang dihasilkan. Biasanya proses autolisis
akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri (Junianto 2003).
2.2.4 Fase busuk
Fase busuk merupakan fase akhir dari kemunduran mutu pada ikan dan ikan
sudah tidak dapat dikonsumsi. Mikroorganisme dominan yang berperan penting di
dalam proses penurunan kesegaran ikan adalah bakteri. Dekomposisi berjalan
intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigormortis, pada saat jaringan otot
longgar dan jarak antar serta diisi oleh cairan. Bakteri mengeluarkan getah
pencernaan, enzim yang merusak dan menghancurkan jaringan. Bakteri pada
daging menyebabkan perubahan bau dan rasa, perubahan tampilan dan ciri fisik
lendir, serta warna kulit ikan hilang dan menjadi tampak pucat dan pudar. Lapisan
perut menjadi pucat dan hampir lepas dari dinding bagian dalam tubuh (Irianto
dan Giyatmi 2009).
2.3 Anatomi Usus
Usus ikan bandeng panjang dan sempit dengan banyak pyloric caeca di
daerah anterior dan mempunyai mukosa yang berfungsi untuk pencernaan dan
penyerapan dengan konsentrasi yang tinggi (Lee et al. 1986). Usus ikan bandeng
tidak bisa dibedakan antara duodenum dan ileum. Bagian tersebut berhubungan
dengan caeca usus yang berjumlah kurang lebih 120 hingga 150 unit. Caeca usus
berbentuk sederhana dan bercabang, seperti organ jari dengan panjang berbeda-
beda. Bentuknya kompak dan terletak antara pyloric stomach dan lekukan usus
(George dan Chandy 1959). Panjang usus bergantung pada jenis makanannya,
usus ikan berupa tabung sederhana yang berukuran sama dari lambung sampai
dubur. Bentuknya dapat lurus seperti pada ikan betutu dan lele atau melingkar-
lingkar seperti ikan nila, mas, dan gurame bergantung pada bentuk rongga perut.
Usus mempunyai lapisan epitel kolumnar sederhana, sel lendir melapisi lapisan
submukosa yang berisi sel eosinofilik bergranula, berbatasan dengan mukosa
muskularis lapisan usus (Kusrini 2007).
7
Bagian lumen pada usus dikelilingi oleh empat lapisan, yaitu serosa,
muskularis, submukosa, dan mukosa. Serosa adalah membran yang lembut yang
menyelimuti lapisan muskularis. Muskularis terdiri dari longitudinal luar dan
lapisan sirkular dalam. Submukosa merupakan lapisan tipis yang bercabang ke
dalam mukosa. Sel darah, tipe leukosit berserak atau banyak terdapat dalam
submukosa. Mukosa merupakan lapisan yang terlihat, seperti epitelium berbentuk
kubus yang ciri-cirinya sederhana atau bercabang dengan vili panjang. Sel epitel
sempit dan panjang dengan dasar nukleus dan tersusun kompak. Sel mukosa luas
dengan berbagai tahap aktivitas yang seluruhnya terjadi pada lekukan usus.
Caeca usus merupakan perpanjangan pada usus. Kelenjar mukosa banyak terdapat
pada caeca (George dan Chandy 1959).
Gambar 2 Dinding usus dengan perbesaran 17x secara skematis dalam tiga
dimensi (Genesser 1994).
2.4 Anatomi Ginjal
Organ ginjal pada ikan berfungsi sebagai alat ekskresi dan osmoregulasi.
Ginjal mempunyai peranan penting dalam ekskresi sisa nitrogen dan mengatur
keseimbangan kadar air dan garam (homeostasis) (Piska dan Naik 1992).
8
Gambar 3 Susunan histologik suatu korpuskel ginjal secara skematis dalam tiga
dimensi (Genesser 1994).
Ginjal terdiri dari sejumlah besar tubulus nefron yang berkembang dari
depan ke belakang. Struktur ginjal memanjang, berpasangan, dan terletak di atas
saluran pencernaan dan dekat dengan tulang punggung. Ginjal ikan teleostei
umumnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu kepala dan batang ginjal. Batang
ginjal terdiri dari sejumlah besar nefron, masing-masing terdiri dari sel darah
ginjal atau badan Malphigi dan tubulus. Ruang intertubular penuh dari jaringan
limfoid yang terdistribusikan tidak merata. Ginjal bagian kepala umumnya terdiri
dari limfoid, hematopoietik, interrenal dan jaringan chromaffin (supra renal), serta
tubulus. Bermacam-macam variasi dalam jumlah, bentuk, dan ukuran sel-sel
ginjal. Sel-sel ginjal besar jarang ditemukan. Ginjal ikan laut sebagian besar
memiliki glomerulus dan sel ginjal yang kurang berkembang dengan baik, dan
mungkin non-fungsional (Piska dan Naik 1992).
2.5 Anatomi Hati
Hati merupakan organ dalam terbesar dari tubuh. Selain itu, hati juga
merupakan jaringan terbesar kelenjar. Di dalam organ hati, nutrisi akan
diserap oleh saluran pencernaan, diproses, dan kemudian disimpan untuk
digunakan oleh bagian tubuh yang lain. Metabolisme memiliki berbagai fungsi
9
(misalnya sintesis protein, penyimpanan metabolit, sekresi empedu, detoksifikasi,
dan inaktivasi) yang mempunyai peranan penting dalam mempertahankan hidup.
Hati akan menerima darah melalui vena portal atau arteri hepatik. Sebagian dari
darah (70-80%) berasal dari vena portal yang membawa darah mengandung
nutrisi dan akan diserap di dalam usus. Arteri hati merupakan sebuah cabang dari
sumbu celiac yang beroksigen di dalam hati (Akiyoshi dan Inoue 2004).
Hati terletak di sisi rongga tubuh dorsal, berdekatan dengan tulang
punggung, dengan beberapa meluas ke dasar sirip dada dekat ginjal anterior. Hati
dikelilingi oleh kapsula jaringan ikat yang tipis, yaitu kapsula glisson, yang
ditutupi oleh serosa hampir pada seluruh permukaannya. Di dalam kapsula glisson
terdapat beberapa pembuluh darah kecil. Jaringan ikat membagi parenkim hati
menjadi lobus, unit struktural yang disebut jaringan ikat portal atau jaringan ikat
interlobular. Jaringan ikat mengelilingi portal triad, yaitu gabungan tiga saluran
berisi cabang arteri hepatika, vena porta, dan duktus biliaris (Genesser 1994).
Gambar 4 Histologi hati dengan pewarnaan HE perbesaran 75x (Genesser 1994).
Lobulus hati
Jaringan ikat
portal
Vena sentralis
Portal triad
10
Gambar 5 Hati ikan normal, (*) hepatosit dengan sitoplasma granular, dan inti
pusat yang berbentuk bulat (panah) skala bar 10 mm, H.E. (Camargo
dan Martinez 2007).
Hati juga merupakan organ vital yang berfungsi sebagai detoksifikasi dan
mensekresikan bahan kimia yang digunakan untuk proses pencernaan. Hati
berperan penting dalam proses metabolisme dan transformasi bahan pencemar
dari lingkungan. Dengan demikian hati merupakan organ yang paling banyak
mengakumulasi zat toksik sehingga mudah terkena efek toksik. Sebagian zat
toksik yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati
oleh vena porta hati sehingga hati berpotensi mengalami kerusakan. Adanya zat
toksik akan mempengaruhi struktur histologi hati sehingga dapat mengakibatkan
patologis hati seperti pembengkakan sel, rangkaian nekrosis atau bridging
necrosis, degenarasi intralobular dan fokal nekrosis, fibrosis, serta cirrhosis
(Camargo dan Martinez 2007).
2.6 Histologi
Histologi berasal dari bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan dan
logos yang berarti ilmu. Jadi histologi berarti suatu ilmu yang menguraikan
struktur dari hewan secara terperinci dan hubungan antara struktur
pengorganisasian sel dan jaringan serta fungsi-fungsinya. Jaringan merupakan
sekumpulan sel yang tersimpan dalam suatu kerangka struktur atau matriks yang
mempunyai suatu kesatuan organisasi yang mampu mempertahankan keutuhan
dan penyesuaian terhadap lingkungan diluar batas dirinya (Bavelander 1998).
11
Sajian histologi merupakan suatu irisan jaringan yang sangat tipis, yang
cocok untuk dipelajari di bawah mikroskop cahaya atau mikroskop elektron.
Sajian ini berfungsi sebagai pengamatan sesaat terhadap apa yang terjadi pada saat
itu di dalam jaringan. Sajian yang akan diamati dengan mikroskop cahaya harus
cukup tipis agar cukup ditembus cahaya dan menghindarkan tumpang tindih
visual oleh berbagai unsurnya. Untuk mikroskopi cahaya biasanya sajian dibuat
dengan teknik parafin (Cormack 1992).
Mikroteknik adalah ilmu yang mempelajari tentang pembuatan preparat.
Setiap pembuatan preparat pada umumnya selalu dilakukan fiksasi terlebih
dahulu. Fiksasi itu sendiri adalah suatu cara atau proses (metode) yang bertujuan
untuk mematikan sel tanpa mengubah fungsi dan struktur di dalam sel itu sendiri.
Jika telah dilakukan fiksasi maka preparat yang dibuat akan menjadi lebih awet
dan tahan lama (Kiernan 1990).
2.7 Pemeriksaan Histologi
Histologi merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang
organ atau bagian tubuh hewan atau tumbuhan secara cermat dan rinci. Upaya
untuk mengamati, mempelajari serta meneliti jaringan-jaringan dari organisme
tertentu dapat dilakukan dengan cara pembuatan spesimen atau preparat histologi.
Menurut Davenport (1960) diacu dalam Gunarso (1986) penyiapan spesimen
histologi secara umum dilakukan dengan 4 cara, yaitu:
(1) penyiapan preparat/spesimen secara keseluruhan (whole mount), yaitu
pengamatan perkembangan embrio dan lain sebagainya;
(2) penyiapan spesimen dengan metode penyayatan (sectioning methods);
(3) penyiapan dengan metode remasan (teasing/squashing methods);
(4) penyiapan dengan menggunakan metode ulasan (smear methods).
Metode penyayatan (sectioning) adalah suatu metode yang banyak
digunakan dalam penyiapan spesimen histologi. Metode ini dilakukan dengan
menyayat spesimen hingga sangat tipis, kemudian diwarnai dan dijadikan
spesimen awetan. Penyayatan dilakukan menggunakan mikrotom. Spesimen
dilakukan perlakuan pengerasan agar memudahkan dalam penyayatan. Pengerasan
jaringan dilakukan dengan cara membekukan atau dengan penanaman dalam suatu
12
substansi yang mampu mengeraskannya (Davenport 1960 diacu dalam Gunarso
1986).
Pembuatan preparat dengan metode parafin merupakan suatu metode yang
paling umum digunakan. Metode ini banyak digunakan karena pembuatannya
lebih mudah dan lebih cepat serta material kering dapat disimpan lebih lama
(Kiernan 1990). Metode parafin adalah suatu cara pembutan sediaan baik
tumbuhan ataupun hewan menggunakan parafin. Kelebihan metode ini ialah irisan
jauh lebih tipis daripada menggunakan metode beku atau metode seloidin. Tebal
irisan dengan metode beku rata-rata diatas 10 mikron, tetapi dengan
metode parafin tebal irisan dapat mencapai rata-rata 6 mikron. Irisan-irisan
yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan metode ini.
Kelemahan dari metode ini ialah jaringan menjadi keras, mengerut, dan
mudah patah. Jaringan-jaringan yang besar tidak dapat dikerjakaan dengan
menggunakan metode ini karena sebagian besar enzim-enzim yang terdapat pada
jaringan akan larut (Kiernan 1990).
Langkah-langkah dalam teknik histologi secara manual adalah fiksasi atau
pengawetan jaringan, perlakuan (processing) jaringan, pemotongan jaringan,
pewarnaan jaringan, serta pengamatan menggunakan mikroskop (Angka et al.
1990). Tahapan dalam persiapan preparat adalah fiksasi, dehidrasi, clearing,
impregnasi dan embedding, blocking dan trimming, pemotongan, pewarnaan, dan
perekatan jaringan.
Fiksasi merupakan tahap awal pembuatan preparat histologi yang dilakukan
untuk mencegah autolisis dan dekomposisi postmortem dari suatu jaringan atau
organ. Selain itu, fiksasi akan membuat padat suatu jaringan lunak. Hal ini
disebabkan karena bahan fiksatif akan mengkoagulasi protein dalam sel dan
jaringan. Fiksasi juga bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi
jaringan sehingga jaringan tetap, seperti keadaan semula sewaktu hidup, serta
memudahkan pemulasan atau pewarnaan jaringan yang akan dilakukan pada
tahapan selanjutnya (Cormack 1992).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan jaringan histologis
antara lain: tebal irisan jaringan 3-5 mm sehingga cairan fiksasi dapat dengan
cepat memfiksasi seluruh jaringan, volume cairan fiksasi sekurang-kurangnya
13
harus 15-20x volume jaringan yang akan difiksasi. Besarnya volume jaringan
menentukan volume fiksasi yang diperlukan sedangkan tebal jaringan menentukan
kecepatan fiksasi. Panjang dan lebar jaringan umumnya ditentukan oleh jenis
mikrotom yang akan digunakan, dan jenis cairan fiksasi yang akan digunakan
bergantung kepada unsur jaringan yang akan didemonstrasikan dan kepada jenis
pewarnaan yang akan digunakan. Untuk keperluan praktis, cairan fiksasi dapat
dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu micro-anatomical fixation, cytological
fixatives, dan histochemical fixatives (Kiernan 1990).
Larutan fiksasi disebut fiksatif. Beberapa fiksatif yang dapat digunakan
antara lain fiksatif Zenker, fiksatif Clarke’s, fiksatif Carnoys, Buffer Normal
Formalin (BNF), fiksatif Alcohol-formalin-acetic mixtures, larutan Bouin’s,
Larutan Helly’s, fiksatif Altmann’s, larutan Gendre’s dan fiksatif Heidenhain ‘s
(Kiernan 1990). Formula fiksatif BNF adalah (Kiernan 1990):
Sodium phosphate
NaH2PO4.H2O : 4,0 g
Na2HPO4 (anhidrid) : 6,5 g
Akuades : 900 ml
Formaldehid 37-40 % : 100 ml
Waktu minimum yang dibutuhkan untuk jaringan dalam fiksatif ini adalah
24 jam dan maksimum 1 minggu. Konsentrasi formaldehid tidak terlalu
berpengaruh, dan berkisar dari 2,5-10%. Fiksasi dilakukan dengan cara
membenamkan potongan kecil jaringan ke dalam larutan fiksatif. Pengambilan
jaringan dilakukan dengan pisau yang tajam. Hal ini bertujuan untuk menghindari
kerusakan pada jaringan (Genesser 1994).
14
Tabel 1 Kelebihan dan kekurangan berbagai larutan pengawet
Larutan
Pengawet Kelebihan Kekurangan
Formalin Cairan pengawet umum, pH netral,
potongan jaringan dapat ditinggalkan
dalam pengawet tanpa terjadi
perubahan berarti (sampai 1 tahun)
Waktu perendaman > 24 jam,
terjadi pengerutan jaringan
Muller Daya penetrasi cepat dan baik,
memfiksasi nukleus dan sitoplasma
dengan baik
Jika sampel direndam dalam
pengawet (> 24 jam), jaringan
menjadi rapuh, tidak dapat
dipakai untuk pewarnaan dengan
metode histokimia, harus dicuci
dulu dengan air kran mengalir
sebelum dilakukan dehidrasi
Bouin Daya penetrasi cepat dan merata tetapi
menyebabkan pengerutan, memberikan
warna cemerlang bila diwarnai dengan
metode trichrome, sangat baik untuk
nukleus dan kromoson, warna kuning
membuat jaringan mudah dilihat saat
perendaman dan pengirisan jaringan
Bila direndam dalam pengawet
(> 24 jam), jaringan menjadi
rapuh, harus dicuci dulu dengan
air kran untuk menghilangkan
kelebihan pikrat
Zenker
Formol
(Cairan
Helly)
Daya fiksasi cepat dan kuat, sangat
baik untuk fiksasi sumsum tulang,
limpa dan organ lain yang banyak
mengandung darah, warna sitoplasma
menjadi lebih cemerlang
Pemaparan jaringan dalam
larutan yang melebihi waktu
yang ditentukan mengakibatkan
jaringan rapuh
Sumber: Kiernan 1990
Proses dehidrasi dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan air atau
menarik cairan yang ada dalam jaringan setelah proses fiksasi dan digantikan
parafin. Kandungan air yang tinggi akan menghambat proses selanjutnya. Cairan
dalam jaringan akan menyebabkan jaringan menjadi lunak, berisi lumen dan
mudah rusak saat penyayatan (Sass 1951).
Clearing merupakan suatu proses penjernihan yang bertujuan untuk
menggantikan alkohol. Proses clearing dilakukan dengan menambahkan clearing
agent yang berfungsi untuk melarutkan parafin. Pada proses ini jaringan menjadi
jernih dan transparan sehingga tidak tertembus cahaya. Bahan yang dapat
digunakan sebagai clearing agent, yaitu xylol, kloroform, dan benzol. Xylol
banyak digunakan karena bekerja dengan cepat, membuat preparat cukup
transparan dan bersifat dealkoholisasi (Sastrohadinoto et al. 1973). Menurut
15
Angka et al (1990), Setelah dilakukan proses dehidrasi, air di dalam sel akan
keluar. Bagian yang kosong akan terisi parafin agar jaringan terikat kuat dengan
parafin. Alkohol tidak dapat melarutkan parafin, oleh sebab itu digunakan xylol
yang dapat melarutkan parafin dan dapat bercampur dengan alkohol.
Impregnasi merupakan proses pemasukan medium tanam ke dalam jaringan
secara bertahap. Medium yang digunakan untuk menanam adalah parafin.
Embedding adalah proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam jaringan.
Proses ini berlangsung di dalam oven pada suhu 60 oC karena titik cair parafin
pada suhu 54 oC-58
oC. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam
seluruh celah antar sel dan bahkan ke dalam sel sehingga jaringan lebih tahan saat
dilakukan pemotongan (Angka et al. 1990). Pada suhu yang lebih tinggi dari titik
cair parafin sisa-sisa dehidratant dan clearing agent akan lebih cepat menguap
(Sastrohadinoto et al. 1973). Proses pembenaman ke dalam parafin membantu
memudahkan pemotongan jaringan yang sangat tipis.
Jaringan yang telah dilakukan proses embedding menggunakan parafin cair
lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian
dibekukan. Proses ini membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang
kaku seperti kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan ke
dalam cetakan hingga memenuhi sekitar 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga
sedikit membeku. Setelah itu, jaringan disusun dalam cetakan dan dituangi parafin
cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan beku dalam suhu
ruang selama 24 jam (Angka et al. 1990).
Blok parafin dikeluarkan dari cetakan setelah mengeras dan ditriming
menggunakan silet. Tujuan dilakukannya trimming yakni membuang parafin yang
berlebihan, mengatur bentuk potongannya agar rapi dan agar dapat disesuaikan
dengan tempat blok alat pemotong (Sastrohadinoto et al. 1973, Angka et al.
1990).
Pemotongan jaringan dilakukan menggunakan pisau khusus yaitu
mikrotom. Alat ini dilengkapi dengan pisau yang sangat tajam dan ketebalan
irisan yang diingikan. Menurut Kiernan (1990) mikrotom ada beberapa macam
yaitu :
16
(1) Mikrotom geser (sliding mikrotome).
Pada alat ini, jaringan tetap berada pada tempatnya, sedang pisaunya yang
bergerak. Pada umumnya jaringan yang akan dipotong dengan mikrotom geser
adalah jaringan yang tanpa penanaman (embedding ) terlebih dulu. Jaringan yang
akan diiris sebelumnya dapat diwarnai dengan pewarnaan tunggal, ataupun tanpa
warna terlebih dahulu. Metode ini banyak dikerjakan untuk pengirisan jaringan
tumbuh-tumbuhan.
(2) Mikrotom beku ( freezing microtome).
Alat ini dihubungkan dengan tabung berisi CO2 dingin, melalui suatu pipa
karet. Mikrotom ini keadaannya sama dengan mikrotom geser yaitu jaringan tetap
berada pada tempatnya sedangkan pisau mikrotomnya yang bergerak ke muka dan
ke belakang. Fiksasi dapat dijalankan setelah pemotongan dan sebelum
pewarnaan.
(3) Mikrotom putar (rotary microtome).
Mikrotom ini letak pisau tetap pada tempatnya, sedangkan jaringannya yang
bergerak ke atas dan ke bawah. Hal inilah yang membedakan mikrotom ini
dengan kedua jenis mikrotom di atas. Jenis mikrotom ini yang biasanya digunakan
untuk pembuatan sediaan irisan dengan metode parafin.
Sayatan untuk jaringan keras dengan ketebalan 7-8 µm, sedangkan untuk
jaringan lunak seperti daging, hati, ginjal dan lain-lain ketebalannya 5-6 µm. Pita
parafin diletakkan di permukaan air hangat/waterbath (45 oC-50
oC). Hal ini
bertujuan agar jaringan di dalam parafin teregang. Pita parafin diangkat dari
permukaan air dengan menggunakan slide yang sebelumnya telah direndam di
dalam metanol. Perendaman ini bertujuan untuk membersihkan kotoran yang
menempel pada slide. Preparat yang telah merekat pada slide dibiarkan hingga
mengering.
Pewarnaan dilakukan dengan melekatkan irisan jaringan pada kaca obyek.
Sebelum pewarnaan harus dilakukan penghilangan parafin yang ada di dalam
jaringan menggunakan xilene (xylol) kemudian dilakukan hidrasi dengan
konsentrasi alkohol yang menurun, yaitu alkohol 100%, 100%, 95%, 90%, 80%,
70%, dan 50% masing-masing selama 3 menit. Penghilangan parafin bertujuan
agar jaringan menjadi jernih (Angka et al. 1990).
17
Pewarnaan histologi pada umumnya menggunakan kombinasi hematoksilin
dan eosin (HE). Hematoksilin dan eosin adalah metode pewarnaan yang berfungsi
ganda. Pertama memungkinkan pengenalan komponen jaringan tertentu dengan
cara memulasnya secara differensial. Kedua, dapat memulas dengan tingkat atau
derajat warna berbeda yang menghasilkan kedalaman pulasan yang berbeda.
Hematoksilin berasal dari ekstrak dari pohon yang diberi nama logwood tree.
Pada pulasan H & E, kompleks warna hemaktosilin berwarna ungu tua. Pewarna
eosin memberikan warna merah muda sampai merah pada komponen jaringan
yang tidak terpulas ungu-biru oleh hemaktosilin. Hematoksilin bekerja sebagai
pewarna basa. Zat ini mewarnai unsur basofilik pada jaringan. Eosin bersifat asam
serta memulas komponen asidofilik pada jaringan (Cormack 1992).
Mounting adalah suatu proses perekatan sayatan jaringan pada kaca sediaan
menggunakan bahan perekat (adhesive). Proses mounting dilakukan menggunakan
mounting media. Mounting media merupakan zat pengisi antara preparat yang
telah diwarnai dengan kaca penutup. Terdapat dua jenis mounting media, yaitu
dalam bentuk resin dan cairan. Resin media terdiri dari tiga tipe, yaitu alami, semi
sintetis, dan sintetis sepenuhnya. Contoh resin media adalah Canada Balsam.
Canada balsam merupakan mounting alami yang terdiri dari komponen volatil,
yaitu resin yang merupakan cairan kental berwarna kuning dan meleleh ketika
dipanaskan. Balsam yang dikeringkan akan berbentuk padat dan harus
ditambahkan xylene sehingga dapat digunakan sebagai mounting media.
Komponen tak jenuh dalam resin membuat Canada balsam sebagai agen
pereduksi ringan. Oleh karena itu, media Canada balsam dapat mempertahankan
warna pada preparat awetan histologi lebih dari satu bulan atau satu tahun. Contoh
mounting media dalam bentuk cairan, antara lain Gliserol jelly, Buffer gliserol
dengan PDD, fructose syrup, dan Apathy’s medium (Cormack 1992).
Penutupan kaca obyek dilakukan dengan menutupkan kaca penutup di atas
sajian, sehingga apabila xylol dalam media penjernih menguap maka kaca
penutup melekat erat dengan kaca obyek. Hal ini dilakukan agar permukaan yang
dihasilkan tidak menyebabkan pantulan cahaya selama pengamatan mikroskopis
(Geneser 1994).
18
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Agustus 2011. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Karakteristik
Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan; Laboratorium
Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan; Laboratorium Histopatologi, Ruang Diskusi Histopatologi, Departemen
Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama
berupa jeroan (usus, hati, dan ginjal) ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan
bandeng yang diamati adalah ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling.
Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat meliputi H2SO4
(MERCK p.a.), kjeltab Selenium (MERCK p.a.), NaOH (MERCK p.a.), H3BO3
(MERCK p.a.), n-heksana (MERCK p.a.), dan HCl (MERCK p.a.). Bahan-bahan
yang digunakan untuk pembuatan preparat histologi terdiri dari larutan Buffer
Normal Formalin (BNF) 10% (MERCK p.a.), Bouin’s 10% (MERCK p.a.),
alkohol 50-100% (MERCK p.a.), xylol (MERCK p.a.), parafin (MERCK p.a.),
hematoksilin (MERCK), eosin (MERCK), dan mounting agent (MERCK).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi soxhlet (SIBATA
SB 6), tabung kjeldahl (PYREX), tanur pengabuan (Yamato FM 38), timbangan
analitik (AND HF 400), oven (Yamato DV 40), cetakan yang terbuat dari kertas
kalender, rotary mikrotom (Yamato Kohki LR-85), mikroskop cahaya (Olympus
BH52), Microcular MD 130 Electron Eyepiece, serta kamera digital (Canon
A495). Alat lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan uji
organoleptik.
3.3 Metode Penelitian
Ikan bandeng yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari areal
tambak di daerah Kampung Melayu, Teluk Naga, Tanjung Pasir, Kabupaten
Tangerang-Banten. Bobot ikan yang diamati berkisar antara 200-250 gram dan
19
berumur sekitar 4 bulan. Ikan tersebut diambil menggunakan pancing. Setelah
ditangkap, ikan langsung dimatikan dengan cara menusuk kepala bagian medula
oblongata. Sebagian ikan diambil jeroannya dan dilakukan uji proksimat (kadar
air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat). Ikan lainnya
disimpan pada suhu chilling (±5 ºC) selama 17 hari (sampai ikan busuk). Ikan
yang disimpan tersebut dibuka dibagian perut dan dilakukan pengamatan
organoleptik setiap hari. Pengujian organoleptik dilakukan menggunakan
scoresheet berdasarkan dinding perut dan jeroan ikan segar (Laporan Penelitian
Lembaga Teknologi Perikanan, No. 2 1973 diacu dalam Ilyas 1983). Pengamatan
dan pembuatan preparat histologis dilakukan pada setiap fase kemunduran mutu
(prerigor, rigor, postrigor, dan busuk). Pembuatan preparat histologis
menggunakan metode parafin (Angka et al. 1990). Tahapan penelitian dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Diagram alir penelitian.
Ikan bandeng
Dimatikan
Analisis
proksimat
Penyimpanan pada suhu chilling
(±5 ºC) selama 17 hari
Prerigor Rigor Postrigor Busuk
Analisis histologi
Uji organoleptik
setiap 24 jam
sekali
20
3.3.1 Uji organoleptik
Pengujian organoleptik dilakukan menggunakan scoresheet berdasarkan
dinding perut dan jeroan ikan segar (Laporan Penelitian Lembaga Teknologi
Perikanan, No. 2 1973 diacu dalam Ilyas 1983) (Lampiran 1). Pengujian
organoleptik merupakan cara pengujian kesegaran ikan yang bersifat subjektif
dengan menggunakan indera yang ditujukan pada mata, insang, lendir permukaan
badan, daging, bau, tekstur, dan isi perut (jeroan) sampel ikan. Beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh panelis untuk uji organoleptik (SNI 01-2346-2006),
antara lain tertarik dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil dan
konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam
pengujian, tidak menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari
penyakit THT dan tidak buta warna (psikologis), tidak sedang merokok, serta
jumlah panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 15 orang (panelis semi
terlatih). Data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan
kriteria :
Segar : nilai organoleptik berkisar 7-9
Agak segar : nilai organoleptik berkisar 5-6
Tidak segar : nilai organoleptik berkisar 1-3
3.3.2 Analisis proksimat
Analisis proksimat merupakan metode analisis kimia untuk mengidentifikasi
kandungan nutrisi pada suatu bahan. Analisis proksimat terhadap jeroan ikan
bandeng meliputi penentuan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan
kadar karbohidrat (by difference). Prosedur uji proksimat adalah sebagai berikut:
(1) Analisis kadar air (AOAC 2005)
Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan
cawan porselen dalam oven pada suhu (102-105) oC selama 30 menit. Cawan
tersebut diletakkan dalam desikator (kurang lebih 40 menit) hingga dingin
kemudian ditimbang sampai beratnya konstan. Sampel sebesar 5 gram kemudian
ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan. Cawan tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 150 oC selama 8 jam hingga diperoleh
bobot konstan. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan
21
sampai dingin kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air jeroan ikan bandeng
ditentukan dengan rumus :
Keterangan :
A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan yang diisi sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)
(2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu
105 oC selama 30 menit. Cawan abu tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
desikator (30 menit) dan ditimbang. Sampel sebesar 5 gram ditimbang dan
dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor
listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC)
selama 7 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai dingin
kemudian ditimbang. Perhitungan kadar abu jeroan ikan bandeng ditentukan
dengan rumus :
Keterangan :
A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)
B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)
C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
(3) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)
Sampel sebesar 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan
selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah
ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan perangkat soxhlet.
Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor perangkat soxhlet dan
disiram dengan pelarut lemak kemudian dipasang pada perangkat soxhlet lalu
dipanaskan pada suhu 40 oC menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut
lemak yang ada di dalam labu lemak didestilasi hingga semuanya menguap. Pada
saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan
sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Selanjutnya labu lemak dikeringkan
22
dalam oven pada suhu 105 oC dan didinginkan dalam desikator sampai beratnya
konstan (W3). Perhitungan kadar lemak jeroan ikan bandeng ditentukan dengan
rumus :
Keterangan :
W1 = Berat sampel (gram)
W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
(4) Analisis kadar protein (AOAC 2005)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi,
destilasi dan titrasi.
(a) Tahap destruksi
Jeroan ikan bandeng ditimbang sebesar 1 gram kemudian sampel tersebut
dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl. Sebanyak 0,25 gram selenium dan 3 ml
H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan
tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan sampai
larutan berwarna bening .
(b) Tahap destilasi
Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi lalu ditambahkan akuades 50 ml,
air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan
NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung
dalam erlenmeyer 10 ml berisi larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (cairan methyl
red dan bromo cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan
sampai diperoleh 10 ml destilat dan berwarna hijau kebiruan.
(c) Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan
erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat.
Perhitungan kadar protein jeroan ikan bandeng ditentukan dengan rumus :
23
(5) Analisis kadar karbohidrat (AOAC 2005)
Kadar karbohidrat ditentukan dengan cara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar
protein. Perhitungan kadar karbohidrat jeroan ikan bandeng ditentukan dengan
rumus :
Karbohidrat (%) = 100% - (% kadar air - % kadar abu - % kadar protein - % kadar
lemak)
3.3.3 Pembuatan preparat
Menurut Angka et al. (1990), pembuatan preparat histopatologi terdiri dari
tiga tahapan besar yaitu fiksasi jaringan dan parafinisasi, pemotongan jaringan,
serta pewarnaan jaringan (Lampiran 2).
(1) Fiksasi jaringan dan parafinisasi
(a) Fiksasi
Fiksasi adalah tahapan yang dilakukan untuk mencegah autolisis dan
dekomposisi postmortem dari suatu jaringan atau organ. Fiksasi juga bertujuan
untuk mengawetkan morfologi dan komposisi jaringan sehingga jaringan tetap
seperti pada keadaan semula sewaktu hidup juga mengeraskan jaringan agar dapat
diiris serta mencegah jaringan larut selama proses pembuatan preparat. Larutan
fiksatif yang digunakan adalah larutan BNF 10%. Jaringan direndam dalam
larutan fiksatif ini selama 48 jam. Perendaman dilakukan di dalam botol film
dengan volume larutan fiksatif sebanyak 15-20 kali volume jaringan.
(b) Dehidrasi
Dehidrasi merupakan proses untuk mengeluarkan cairan dari dalam sel
dengan cara merendam jaringan yang telah difiksasi ke dalam alkohol dimulai
dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Pertama jaringan direndam dalam
alkohol 70% selama 24 jam. Perendaman dilakukan dalam botol film yang telah
digunakan untuk perendaman dengan larutan fiksatif. Larutan fiksatif dibuang
terlebih dahulu, kemudian alkohol dengan konsentrasi 70% dimasukkan ke dalam
botol film hingga jaringan terendam. Selanjutnya organ diambil dari botol film
dan dibungkus menggunakan kain kasa. Kemudian kain kasa diikat menggunakan
benang yang dibentuk seperti teh celup agar memudahkan dalam proses
pergantian alkohol. Setelah 24 jam, organ yang dibungkus kain kasa diambil dan
24
ditiriskan diatas kertas tisu. Kemudian organ tersebut dimasukkan ke dalam botol
berisi alkohol 80%, 90%, 95%, 95% masing-masing selama dua jam dan alkohol
100% selama 12 jam dengan cara yang sama. Perendaman dilakukan pada suhu
ruang.
(c) Clearing
Clearing merupakan proses penjernihan yang bertujuan untuk menggantikan
alkohol dan sekaligus menambahkan clearing agent (xylol) yang berfungsi
sebagai pelarut parafin. Jaringan direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30
menit. Perendaman dilakukan sama halnya seperti pada perendaman dengan
alkohol pada suhu ruang.
(d) Impregnasi
Selanjutnya dilakukan tahap impregnasi, yaitu penggantian xylol dengan
parafin cair yang berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 oC. Proses ini
dilakukan dengan perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) yang
diletakkan dalam gelas piala selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan
dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.
(e) Embedding
Embedding merupakan proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam sel.
Proses ini berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 oC. Titik cair parafin, yaitu
54 o
C-58 oC. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam seluruh celah
antar sel dan bahkan ke dalam sel sehingga jaringan lebih tahan saat pemotongan.
Jaringan direndam secara berturut-turut ke dalam gelas piala yang berisi parafin I,
parafin II, parafin III masing-masing selama 45 menit. Proses perendaman
dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.
(f) Blocking
Jaringan yang telah dilakukan proses embedding menggunakan parafin cair
lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair, kemudian
dibekukan. Proses ini membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang
kaku, seperti kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan
ke dalam cetakan hingga memenuhi sekitar 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan
hingga sedikit membeku. Setelah itu, jaringan disusun dalam cetakan dan dituangi
25
parafin cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan beku dalam
suhu ruang selama 24 jam.
(g) Trimming
Setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari
cetakan lalu ditrimming menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan
dengan tempat blok pada alat pemotong.
(2) Pemotongan jaringan
Pemotongan jaringan dilakukan menggunakan mikrotom. Ketebalan
sayatan, yaitu 4 mikrometer. Teknik pemotongan parafin yang menggandung
preparat adalah sebagai berikut:
(a) Blok parafin yang mengandung preparat diletakkan pada tempat duduknya di
mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian
diletakkan pada pemegangnya (holder) pada mikrotom dan dikunci dengan
kuat. Mata pisau mikrotom harus tajam agar proses pemotongan dapat
dilakukan dengan sempurna.
(b) Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan
hingga ketebalan yang diinginkan. Ketebalan sayatan, yaitu 4 mikrometer.
(c) Blok preparat digarakkan ke arah pisau sedekat mungkin lalu blok preparat
dipotong secara teratur dan ritmis. Pita-pita parafin yang awal tanpa jaringan
dibuang hingga diperoleh potongan yang mengandung preparat jaringan.
(d) Hasil irisan diambil dengan jarum lalu diletakkan di permukaan air hangat
dalam 45-50 oC waterbath hingga mengembang.
(e) Setelah pita parafin terkembang dengan baik, pita parafin ditempelkan pada
gelas obyek yang telah diberi zat perekat seperti albumin dengan cara
memasukkan kaca obyek itu ke dalam waterbath dan menggerakkannya ke
arah pita parafin. Setelah merekat, gelas obyek digerakkan keluar dari
waterbath dengan hati-hati dan dibiarkan hingga mengering.
(3) Pewarnaan jaringan
(a) Dewaxing
Sebelum dilakukan dewaxing, gelas obyek yang berisi jaringan diletakkan
dalam keranjang preparat yang ukurannya sesuai dengan gelas obyek. Keranjang
tersebut dapat diisi dengan 10 gelas obyek. Dewaxing merupakan proses untuk
26
mengeluarkan parafin. Wadah perendaman berupa wadah berbentuk persegi
panjang dengan ukurannya sesuai dengan keranjang untuk gelas obyek. Jaringan
pada gelas obyek yang telah diletakkan dalam keranjang direndam ke dalam xylol
1 dan xylol II masing-masing 2 menit. Lilin akan terlepas dari jaringan dan
jaringan akan tampak jernih.
(b) Hidrasi
Hidrasi merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada
gelas obyek setelah proses dewaxing. Jaringan pada gelas obyek yang sebelumnya
telah melalui proses dewaxing kemudian direndam dalam alkohol 100% dalam
wadah perendaman, seperti pada proses dewaxing sebanyak dua kali, lalu secara
berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70%, dan 50%
masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama pula. Setelah itu,
preparat jaringan direndam ke dalam akuades selama dua menit.
(c) Pewarnaan hemaktosilin-eosin
Setelah hidrasi, preparat jaringan diberi pewarna hemaktosilin-eosin.
Pertama, preparat jaringan direndam dengan pewarnaan hemaktosilin selama 7
menit kemudian dicuci dengan air mengalir selama 7 menit untuk menghilangkan
kelebihan zat warna yang tidak diserap. Selanjutnya preparat jaringan direndam
dengan pewarna eosin selama 3 menit dan dicuci dengan akuades.
(d) Dehidrasi
Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 85%, 90%, dan
100% masing-masing dilakukan selama dua menit. Selanjutnya preparat jaringan
direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit. Alat dan
proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya.
(e) Mounting
Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet
dengan cara mounting menggunakan mounting agent atau Canada Balsam.
Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup dan dikeringkan selama 24 jam,
kemudian diamati dibawah mikroskop.
3.3.4 Pemeriksaan preparat histologi
Pengamatan preparat awetan dilakukan dengan mikroskop cahaya Olympus
BH52 dengan perbesaran 400x. Proses pengambilan gambar dilakukan dengan
27
Micro Ocular MD 130 Electron Eyepiece. Diagram alir pembuatan preparat jeroan
ikan bandeng (Chanos chanos) dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Diagram alir pembuatan preparat jeroan (hati, ginjal, usus) ikan
bandeng (Chanos chanos).
Pemotongan bagian jeroan
(hati, ginjal, dan usus)
Fiksasi dengan larutan BNF 10%
Penjernihan (clearing) dengan alkohol-xylol (1:1)
Dehidrasi dengan alkohol berseri
Impregnasi dengan xylol-parafin (1:1)
Pembenaman (embedding) dalam parafin
Perekatan jaringan dengan mounting agent
Pewarnaan hematoksilin-eosin
Pelekatan pita parafin pada gelas obyek
Pemotongan dengan mikrotom
Trimming
Pengamatan dengan mikroskop
Preparat awetan
Pengambilan gambar
Ikan bandeng
28
3.4 Analisis Data
Analisis data dilakukan terhadap hasil pengukuran terhadap nilai
organoleptik jeroan ikan bandeng (Chanos chanos) dan preparat histologis.
Analisis hasil pengukuran organoleptik jeroan ikan bandeng dilakukan untuk
mencari nilai rata-ratanya. Preparat histologi dianalisis untuk mengetahui
gambaran jeroan ikan bandeng secara histologis.
3.4.1 Organoleptik
Hasil pengukuran terhadap nilai organoleptik jeroan ikan bandeng (Chanos
chanos) dicari nilai rata-ratanya Nilai rata-rata tersebut dihitung menggunakan
rumus berikut (BSN 2006):
X=
Keterangan:
X : nilai rata-rata
Xi : nilai X ke-i
N : jumlah data
3.4.2 Histologi
Gambaran histologis dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan melihat
preparat histologi di bawah lensa mikroskop. Hasil yang diperoleh dibandingkan
dengan jaringan ikan normal secara umum.
29
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Kimia Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal)
Ikan bandeng yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari areal
tambak di daerah Kampung Melayu, Teluk Naga, Tanjung Pasir, Kabupaten
Tangerang-Banten. Ikan ini mempunyai ciri-ciri morfologi dengan bentuk tubuh
ramping, badannya tertutup oleh sisik, jari-jari semuanya lunak dan sirip ekor
panjang serta bercagak. Ikan bandeng yang digunakan dalam analisis ini adalah
ikan bandeng segar dengan bobot rata-rata 200-250 gram.
Sampel ikan bandeng yang diperoleh kemudian dibersihkan dan dipreparasi
untuk dipisahkan jeroannya (hati, ginjal, dan usus). Setelah itu, dilakukan analisis
uji proksimat. Analisis proksimat jeroan ikan bandeng yang dilakukan pada
penelitian ini meliputi penentuan kadar air, kadar lemak, kadar abu, kadar protein,
dan kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference.
Hasil analisis proksimat jeroan ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Hasil analisis proksimat jeroan ikan bandeng (Chanos chanos); A:
kadar air; B: kadar protein; C: Kadar lemak; D : Kadar abu; E: kadar
karbohidrat
Penentuan kadar air suatu bahan pangan perlu dilakukan sebab kadar air
suatu bahan pangan dapat mempengaruhi tingkat mutu dari bahan tersebut. Kadar
air dalam makanan adalah salah satu faktor dominan yang mempengaruhi
karakteristik fisika, kimia, mikrobiologi, dan sensoris yang merupakan kunci
penting bagi konsumen dan daya tahan suatu produk (Pisuchpen 2007). Penentuan
30
kadar air dilakukan menggunakan metode oven dengan cara mengeluarkan air
pada bahan dengan bantuan panas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa jeroan
ikan bandeng memiliki kadar air 66,77%. Kadar air ini lebih rendah dibandingkan
dengan kadar air jeroan ikan pink salmon (Oncorhynchus gorbuscha), yakni
sebesar 76,60% (Bechtel dan Oliveira 2006). Hal ini diduga disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan, perbedaan hábitat, perbedaan jenis
ikan, dan perbedaan jenis pakan.
Protein adalah suatu makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino
yang berikatan peptida. Di dalam tubuh, protein berfungsi sebagai bahan bakar,
sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein terdiri dari asam amino yang
mengandung unsur C, H, O, serta N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun
karbohidrat (Winarno 2008). Hasil pengujian menunjukkan bahwa jeroan ikan
bandeng memiliki kadar protein sebesar 8,75%. Kadar protein ini lebih rendah
dibandingkan dengan kadar protein jeroan ikan pink salmon (Oncorhynchus
gorbuscha), yakni sebesar 18,61% (Bechtel dan Oliveira 2006). Hal ini diduga
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan, perbedaan hábitat,
perbedaan jenis ikan, dan perbedaan jenis pakan.
Analisis kadar lemak merupakan salah satu kunci analisis yang digunakan
untuk pelabelan makanan dan penjamin mutu (Xiao 2010). Hasil pengujian
menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng memiliki kadar lemak sebesar 9,69%.
Kadar lemak ini cukup tinggi, hal ini diduga disebabkan karena jeroan, seperti
hati, berfungsi sebagai penimbun lemak dalam tubuh ikan (Geneser 1994).
Kadar abu digunakan sebagai petunjuk adanya mineral pada suatu bahan.
Bahan makanan terdiri dari 96% bahan organik dan air. Sisanya merupakan unsur-
unsur mineral yaitu, zat anorganik (kadar abu). Dalam proses pembakaran, hanya
bahan-bahan organik yang terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah
disebut abu (Winarno 1997). Kandungan mineral pada jeroan ikan diduga berasal
dari asupan pakan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng
memiliki kadar abu sebesar 1,18%. Kadar abu jeroan ikan bandeng lebih rendah
dibandingkan dengan kadar abu jeroan ikan pink salmon (Oncorhynchus
gorbuscha) yakni sebesar 1,50% (Bechtel dan Oliveira 2006). Hal ini diduga
disebabkan oleh perbedaan habitat, kondisi lingkungan, perbedaan jenis ikan, dan
31
perbedaan jenis pakan. Habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda
menyebabkan penyerapan mineral yang berbeda terhadap organisme akuatik di
dalamnya. Setiap jenis organisme memiliki kemampuan untuk meregulasi dan
mengabsorbsi mineral yang berbeda-beda, sehingga hal tersebut akan memberikan
pengaruh pada kadar abu jeroan masing-masing organisme. Hasil penelitian
Bechtel dan Oliveira (2006) menunjukkan bahwa beberapa ikan cod di Alaska
dengan spesies yang berbeda memiliki kadar abu yang berbeda pada jeroannya.
Karbohidrat memegang peranan penting di alam karena merupakan sumber
energi utama. Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida, yaitu
glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Kadar
karbohidrat pada jeroan ikan bandeng dihitung dengan metode by difference.
Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode tersebut menunjukkan bahwa jeroan
ikan bandeng mengandung karbohidrat sebesar 13,61%. Kadar karbohidrat yang
terhitung diduga polisakarida yaitu glikogen. Hal ini disebabkan karena jeroan,
seperti hati, menyerap glukosa dalam usus sesudah makan. Proses ini dilakukan
oleh sel hepatosit dan dikonversi menjadi glikogen. Glikogen berasal dari
kelebihan glukosa dalam darah. Karbohidrat yang dikonsumsi oleh ikan akan
dicerna di dalam pencernaan hingga menjadi glukosa. Glukosa akan diserap oleh
dinding usus dan kemudian masuk dalam darah. Glukosa yang dibawa dalam
darah akan diambil oleh sel-sel pada tubuh organisme untuk meng-hasilkan energi
melalui proses oksidasi (Hadim et al. 2003).
Glikogen terdapat dalam jumlah yang paling banyak dari karbohidrat yang
terdapat pada ikan. Glikogen berasal dari kelebihan glukosa dalam darah
(Cormack 1994).
4.2 Nilai Organoleptik Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal)
Penentuan derajat kesegaran ikan bandeng dan terjadinya tahapan-tahapan
kemunduran mutu dilakukan menggunakan metode penilaian sensori, yaitu uji
organoleptik. Selama proses kemunduran mutu, ikan mengalami perubahan-
perubahan organoleptik yang dapat diamati dengan menilai derajat kesegarannya.
Kesegaran ikan dinilai dari 1-9, angka 9 merupakan nilai terbaik, angka satu
merupakan nilai terburuk, dan sebagai batas baik dan buruk diambil angka 5
sebagai garis batas (Ilyas 1983).
32
Ikan yang masih segar memiliki nilai organoleptik 9 dengan penampilan
menarik, permukaan tubuh tidak berlendir, atau berlendir tipis dengan lendir
bening dan encer. Sisik tidak mudah lepas, perut padat, dan utuh. Mata ikan cerah,
putih jernih. Insang tampak cerah dan tidak berlendir. Ikan masih lentur dan
tekstur daging pejal, apabila ditekan cepat kembali. Ikan pada fase busuk
memiliki nilai organoleptik 3-1 dengan ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea
agak kuning, insang berwarna merah coklat, lendir tebal. Bau busuk, tekstur
daging lunak, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang.
Sumber-sumber pembusukan pada ikan terpusat pada tiga tempat, yaitu
lendir pada jeroan, kulit, dan insang. Tiga daerah pusat pembusukan tersebut akan
menyerang seluruh bagian tubuh ikan setelah ikan mati. Jeroan mengandung
jumlah bakteri dan enzim pembusuk lebih banyak dibandingkan insang dan kulit
(Kim dan Mendis 2006). Nilai rata-rata organoleptik jeroan ikan bandeng
disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Rata-rata nilai organoleptik jeroan ikan bandeng (Chanos
chanos); : 0 jam; : 80 jam; : 228 jam; : 396
jam.
Berdasarkan hasil pengamatan kondisi postmortem sampel jeroan ikan
bandeng yang disimpan pada suhu chilling diperoleh empat titik analisis pola
kemunduran mutu jeroan ikan bandeng yang semakin menurun dengan semakin
meningkatnya waktu penyimpanan. Kondisi prerigor terjadi pada penyimpanan
jam ke-0, rigormortis pada penyimpanan jam ke-80, postrigor pada penyimpanan
jam ke-228, dan fase busuk pada penyimpanan jam ke-396.
33
Fase prerigor ditunjukkan dengan nilai organoleptik 9 dengan ciri-ciri
susunan organ-organ jeroan masih teratur, kompak, cemerlang, amis segar,
selaput hitam mengkilat, lekat erat, dinding perut berwarna merah muda
cemerlang. Fase rigormortis jeroan ikan bandeng dengan nilai organoleptik 7-8.
Pada kondisi ini susunan jeroan masih teratur, belum ada kerusakan yang berarti
namun mulai mengalami penurunan mutu seperti mulai munculnya lendir. Fase
postrigor ditunjukkan dengan nilai organoleptik 5 dengan ciri-ciri susunan jeroan
sudah tidak teratur, dinding lembek dan terjadi perubahan warna menjadi pucat.
Fase busuk ditunjukkan dengan nilai organoleptik 3. Pada fase ini susunan organ
berantakan, dinding perut lembek dan mudah rusak, bau amis sangat kuat, serta
warna yang pucat. Pada penelitian ini diperoleh bahwa sampel jeroan yang
disimpan pada suhu chilling masih layak digunakan sampai penyimpanan 17 hari
(396 jam). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Wibowo dan Yunizal (1998),
yang menyatakan bahwa ikan bandeng utuh yang disimpan dalam es pada kondisi
kenyang mampu bertahan selama 11 hari.
4.3 Histologi Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal) selama Periode
Kemunduran Mutu
Jeroan ikan merupakan salah satu hasil samping proses pengolahan ikan
yang bisa dimanfaatkan untuk industri pembuatan pakan ikan. Organ dalam atau
jeroan ikan merupakan sumber alami enzim terbesar. Protease merupakan enzim
yang terbesar dalam hasil perairan. Protease akan menghidrolisis ikatan peptida
dan disebut proteinase atau peptidase tergantung keberadaan protein atau
polipeptida. Sumber proteinase secara menyeluruh ada pada organ lambung, usus,
dan hati (Feraro et al. 2010).
Ikan termasuk bahan yang mudah mengalami kemunduran mutu selama
penyimpanan postmortem. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas enzim
proteolitik baik pada otot maupun jaringan ikat (Wang et al. 2011). Mikrostruktur
jeroan ikan bandeng mengalami perubahan selama fase kemunduran mutu.
Penelitian ini mengamati mikrostruktur jeroan ikan bandeng diantaranya organ
usus, hati, dan ginjal.
4.3.1 Histologi usus ikan bandeng selama periode kemunduran mutu
Usus merupakan salah satu organ dalam yang berfungsi sebagai tempat
pencernaan dan penyerapan makanan. Usus akan mengalami perubahan
34
mikrostruktur selama periode kemunduran mutu. Mikrostruktur usus ikan
bandeng pada fase kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling disajikan
pada Gambar 10-13.
d e
a c
b
Gambar 10 Penampang membujur usus ikan bandeng pada fase prerigor
perbesaran 40x (H&E); tunika sub muskularis sirkular (a); tunika
sub muskularis longitudinal (b); tunika submukosa (c); mukosa (d);
epitel (e); lamina propia (panah kuning); tunika serosa (panah
putih); vili intestinal (panah biru).
Gambar 11 Penampang membujur usus ikan bandeng fase rigormortis perbesaran
40x (H&E); jaringan merenggang (lingkaran a), deskuamasi pada
epitel (lingkaran b), vili intestinal (panah).
a
b
35
Gambar 12 Penampang membujur usus ikan bandeng fase postrigor perbesaran
40x (H&E); jaringan merenggang dan sudah tidak jelas bagian-
bagiannya (panah).
Gambar 13 Penampang membujur usus ikan bandeng fase busuk perbesaran 200x
(H&E); nekrosis total (lingkaran); bakteri (panah).
36
Gambar 14 Bakteri pembusuk pada fase busuk usus ikan bandeng perbesaran
1000x (H&E); koloni bakteri berbentuk kokus (lingkaran kuning);
bakteri berbentuk kokus, soliter (panah).
Fase prerigor ditandai dengan masih kompaknya jaringan-jaringan penyusun
lapisan usus. Pada usus terdapat vili-vili (Gambar 10-panah biru) yang merupakan
penonjolan mukosa yang terdiri atas jaringan ikat di bagian tengah dari lamina
propia (Gambar 10-panah kuning) dan dibatasi epitel di permukaannya (Gambar
10-e). Mukosa dibatasi oleh sel epitel selapis kolumnar yang terdiri atas sel
absorptif, sel goblet, sel paneth dan sel endokrin. Sel goblet tersebar tidak merata
di antara sel-sel absorptif. Takasima dan Hibiya (1995) menyatakan bahwa
dinding usus pada ikan hampir sama dengan dinding usus hewan vertebrata
tingkat tinggi yang terdiri dari empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa,
muscularis, dan serosa.
Tunika muskularis mokosa terdiri atas lapisan sirkular di sebelah dalam
(Gambar 10-a) dan lapisan longitudinal di sebelah luar (Gambar 10-b). Tunika
submukosa secara relatif terdiri dari jaringan ikat jarang, di dalamnya terdapat
pembuluh darah dan pembuluk limfa yang lebih besar. Lapisan serosa terdiri dari
mesotel dengan jaringan ikat subserosa dibawahnya (Geneser 1994).
37
Fase rigormortis ditandai dengan susunan jeroan masih teratur dan pH
menurun akibat akumulasi asam laktat. Selain itu, pada fase ini mulai terjadi
autolisis oleh enzim (Eskin 1990). Hasil pengamatan sajian histologi usus ikan
bandeng pada fase rigormortis menunjukkan warna merah yang lebih pekat
dibandingkan dengan fase prerigor. Hal ini diduga disebabkan karena jaringan
ikan menyerap pewarna eosin secara dominan. Pewarna eosin akan mewarnai
jaringan yang bersifat asam dan memberi warna merah muda sampai merah.
Menurut Cormack (1992), warna yang dihasilkan dalam suatu pewarnaan
histologis bergantung pada pH jaringan yang diwarnai. Jaringan yang ber pH
asam memiliki lebih banyak ion yang bermuatan positif untuk menyerap eosin.
Hasil sajian histologi pada fase rigormortis juga menunjukkan mulai
terlihatnya jaringan epitel yang rusak atau terputus (Gambar 11-lingkaran b).
Selain itu juga terjadi perenggangan jaringan (Gambar 11-lingkaran a). Hal ini
bisa disebabkan karena aktivitas enzim aspartic protease, yaitu pepsinogen.
Enzim ini termasuk endopeptidase dan aktif pada pH rendah. Pepsin dihasilkan
oleh mukosa usus (Kamil dan Shahidi 2001).
Fase postrigor ditandai dengan dihasilkannya senyawa amonia dari
penguraian protein. Pada kondisi ini pH akan semakin naik dengan semakin
banyaknya senyawa volatil yang dihasilkan. Biasanya proses autolisis akan selalu
diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri (Junianto 2003). Hasil sajian
histologis menunjukkan bahwa usus pada fase postrigor mengalami degenerasi,
dimana lapisan-lapisan dalam usus tidak tersusun rapi, tetapi bagian yang
merenggang memperlihatkan material yang eosinofilik (Gambar 12). Lapisan
memperlihatkan suatu penampilan homogen dan efektif terhadap pewarna eosin.
Hal ini diduga disebabkan karena aktivitas enzim endogenous yang ada di dalam
tubuh ikan. Degradasi protein dapat disebabkan oleh enzim AcP (Acid
phosphatase) yang terdapat dalam mukosa (Yang dan Lin 2005).
Fase busuk merupakan fase akhir dari kemunduran mutu pada ikan dimana
ikan tidak dapat dikonsumsi. Pada fase busuk (Gambar 13), lapisan-lapisan usus
mengalami nekrosis secara total. Inti sel pada lapisan mukosa, submukosa dan
muscularis telah benar-benar hilang. Menurut Price dan Wilson (2006), jaringan
yang mengalami nekrosa lama kelamaan akan hancur dan hilang. Selain itu
38
ketebalan jaringan ikan semakin menurun seiring dengan lamanya waktu
penyimpanan. Hal ini diduga karena terjadinya proses nekrosis pada jaringan
usus ikan. Nekrosis merupakan kematian sel yang terjadi ketika terdapat luka
berat atau lama hingga suatu saat sel tidak bisa beradaptasi atau memperbaiki diri.
Perubahan-perubahan lisis yang terjadi dalam jaringan nekrotik secara umum
dapat melibatkan sitoplasma, perubahan-perubahan sangat jelas terlihat dalam inti
sel. Inti sel yang mengalami nekrosis akan menyusut, memiliki batas yang tidak
teratur dan warna menjadi gelap. Proses ini dinamakan piknosis. Kemungkinan
lain inti dapat hancur dan membentuk fragmen-fragmen materi kromatin yang
tersebar di dalam sel, proses ini disebut karioreksis. Pada beberapa keadaan, inti
sel tidak dapat diwarnai lagi dan benar-benar hilang, proses ini disebut kariolisis
(Price dan Wilson 2006).
Pada fase busuk juga diduga terdapat bakteri pembusuk (Gambar 13-panah).
Bakteri tersebut berbentuk kokus dan berwarna ungu pekat, serta membentuk
koloni dan ada yang menyebar (soliter) (Gambar 14). Hubungan antara bakteri
dan pewarna yang menonjol disebabkan terutama oleh adanya asam nukleat dalam
jumlah besar dalam protoplasma sel. Muatan negatif dalam asam nukleat bakteri
akan bereaksi dengan ion positif zat pewarna basa ( Volk dan Wheeler 1993).
4.3.2 Histologi hati ikan bandeng selama periode kemunduran mutu
Hati merupakan organ yang berfungsi sebagai tempat penimbun lemak.
Selain itu hati juga berfungsi untuk menyimpan cadangan glikogen. Mikrostruktur
hati ikan bandeng pada fase kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling
disajikan pada Gambar 15-18.
39
b
a
Gambar 15 Penampang melintang hati ikan bandeng fase prerigor perbesaran
100x (H&E); sel hepatosit (lingkaran a); ruang kosong berbentuk
bulat adalah lemak dan berbentuk tidak beraturan yaitu glikogen
(lingkaran b).
Gambar 16 Penampang melintang hati ikan bandeng fase rigormortis perbesaran
100x (H&E); inti sel mengecil (panah); jaringan merenggang, inti sel
berwarna lebih gelap (lingkaran a).
a
40
Gambar 17 Penampang melintang hati ikan bandeng fase postrigor perbesaran
100x (H&E); sel mengalami pembengkakan (lingkaran); inti sel
(panah).
Gambar 18 Penampang melintang hati ikan bandeng fase busuk perbesaran 100x
(H&E); inti sel hepatosit menghilang atau kariolisis, bagian-bagian
sel sudah tidak bisa dibedakan (lingkaran a), ruang-ruang kosong
(panah); bakteri (lingkaran b).
a
b
b
41
Gambar 19 Bakteri pembusuk pada fase busuk hati ikan bandeng perbesaran
1000x (H&E); koloni bakteri berbentuk kokus (lingkaran merah);
bakteri berbentuk kokus, soliter (lingkaran kuning).
Fase prerigor merupakan tahap pertama dari postmortem. Peristiwa ini
terjadi ketika jaringan otot yang mulai lembut dan lentur yang disebabkan karena
proses biokimia yaitu penurunan tingkat ATP dan keratin fosfat, serta adanya
proses glikolisis aktif. Glikolisis merupakan suatu proses konversi glikogen
menjadi asam laktat, yang menyebabkan pH turun. Hewan dalam keadaan
kenyang dan istirahat mempunyai cadangan glikogen yang besar, sehingga dalam
keadaan postmortem daging yang dihasilkan memiliki pH rendah dibandingkan
dengan daging hewan yang dihasilkan pada saat setelah disembelih (Eskin 1990).
Hati mempunyai lempengan sel-sel parenkim yang disebut sel hepatosit
(Gambar 15-lingkaran a), dimana tersusun radier dari pembuluh-pembuluh kecil
di tengah yaitu vena sentralis dan dipisahkan oleh sinusoid. Hati terutama
terdiri dari bidang kompak, yaitu hepatosit. Hepatosit tersebar dengan pulau-
pulau jaringan ikat yang terdapat saluran empedu dan pembuluh arteri . Beberapa
lobulus hepar yang ditandai oleh jaringan ikat yang mengandung saluran-saluran
empedu, portal, dan pembuluh arteri yang menyerupai saluran portal pada
mamalia (Akiyoshi dan Inoue 2004).
Sel hepatosit mengumpul berbentuk sel poligonal besar, dan memiliki
nukleus kecil berbentuk bulat, dan seragam. Sitoplasma hepatosit kadang-kadang
penuh dengan tetesan lemak dan yang berupa ruang kosong yang tidak
terwarnakan oleh pewarna H&E (Gambar 15-lingkaran b). Glikogen terlihat
42
sebagai ruang kosong dengan bentuk yang tidak beraturan, sedangkan lemak
terlihat ruang kosong dengan bentuk bulat (Geneser 1994). Sel hepatosit memiliki
dinding sel yang masih tampak utuh dan jelas pada fase prerigor hati ikan
bandeng.
Hasil sajian histologi pada fase rigormortis menunjukkan mulai
merenggangnya sel hepatosit serta bentuknya tidak beraturan (Gambar 16-
lingkaran a). Hal ini diduga disebabkan karena aktivitas enzim urease yang
terletak pada matrix peroksisome (Kamil dan Shahidi 2001). Selain itu, inti juga
mengalami penyusutan dan berwarna gelap (Gambar 16-panah), proses ini
dinamakan piknosis yang diduga disebabkan karena aktivitas enzim (Price dan
Wilson 2006). Sitoplasma bersifat asidofil sehingga menyerap warna eosin (merah
muda–merah). Hal ini disebabkan karena pada fase ini pH jaringan menjadi
rendah akibat adanya penumpukan asam laktat.
Fase postrigor merupakan fase awal kebusukan ikan. Proses autolisis
berlangsung pada tahap postrigor. Autolisis terjadi disebabkan adanya enzim-
enzim endogenous yang ada di dalam tubuh ikan (Ocano-Higuera et al. 2009).
Hasil sajian histologis pada fase postrigor menunjukkan bahwa terjadi proses
piknosis dimana inti sel masih ada tetapi bangunan sel mulai hilang (Gambar 17).
Inti berwarna ungu gelap yang menandakan bahwa inti bersifat basa karena
kandungan asam nukleatnya banyak mengandung fosfat, sehingga terwarnai oleh
pewarna hemaktosilin. Menurut Cormack (1992), pewarna hemaktosilin akan
terikat pada muatan listrik negatif pada komponen basofilik, dan eosin terikat
pada muatan listrik positif pada komponen bersifat asidofilik.
Sel hati juga mengalami pembengkakan (Gambar 17-lingkaran).
Pembengkakan sel hati ditandai dengan adanya vakuola (ruang-ruang kosong)
akibat hepatosit membengkak yang menyebabkan sinusoid menyempit, dan
sitoplasma tampak keruh. Menurut Alifia dan Djawad (2003), pembengkakan sel
terjadi karena muatan elektrolit di luar dan di dalam sel berada dalam keadaan
tidak setimbang. Ketidakstabilan sel dalam memompa ion Na+ keluar dari sel
menyebabkan peningkatan masuknya cairan dari ektraseluler kedalam sel
sehingga sel tidak mampu memompa ion natrium yang cukup. Hal ini akan
menyebabkan sel membengkak sehingga sel akan kehilangan integritas
43
membrannya. Sel akan mengeluarkan materi sel keluar dan kemudian akan terjadi
kematian sel (nekrosis).
Fase busuk merupakan fase akhir dari kemunduran mutu pada ikan dimana
ikan tidak dapat dikonsumsi. Hasil sajian histologis hati pada fase busuk (Gambar
18-panah) menunjukkan bahwa terdapat ruang-ruang kosong yang disebabkan
adanya degradasi lemak. Sel-sel hati juga telah mengalami nekrosis total (Gambar
18-lingkaran a) dimana bagian-bagian sel sudah tidak bisa dibedakan satu sama
lain. Proses ini dapat disebabkan oleh bakteri maupun aktivitas enzim dalam
tubuhnya (Price dan Wilson 2006). Pada fase ini juga diduga terdapat bakteri
pembusuk (Gambar 19-lingkaran b). Koloni bakteri berbentuk kokus dan
berwarna ungu pekat.
4.3.2 Histologi ginjal ikan bandeng selama periode kemunduran mutu
Ginjal adalah organ vital tubuh yang berfungsi untuk mempertahankan
homeostasis tubuh. Hal ini membantu dalam mempertahankan voleme dan pH
darah dan cairan tubuh (Mohamed 2009). Ginjal juga akan mengalami perubahan
mikrostruktur selama periode kemunduran mutu. Mikrostruktur ginjal ikan
bandeng pada fase kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling disajikan
pada Gambar 20-23.
Gambar 20 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase prerigor perbesaran
100x (H&E); jaringan haemopoeitic (lingkaran a), glomerulus
(lingkaran b), tubulus distal (lingkaran c), tubulus proksimal
(lingkaran d).
a
b
c
d
44
Gambar 21 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase rigormortis perbesaran
100x (H&E); jaringan haemopoeitic (lingkaran a), glomerulus
(lingkaran b), tubulus distal (lingkaran c), tubulus proksimal
(lingkaran d).
Gambar 22 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase postrigor perbesaran
100x (H&E); jaringan haemopoeitic mulai berkurang (lingkaran a),
terjadi nekrosis (lingkaran b), tubulus distal (lingkaran c), tubulus
proksimal (lingkaran d).
a
d
b
c
a
d b
c
45
Gambar 23 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase busuk perbesaran
200x (H&E), nekrosis (lingkaran a); bakteri pembusuk (lingkaran b).
Gambar 24 Bakteri pembusuk pada fase busuk ginjal ikan bandeng perbesaran
1000x (H&E); koloni bakteri berbentuk basil atau batang (panah).
Ginjal normal terbentuk dari nefron, yang terdiri dari satu buah badan
malpighi dan tubulus ginjal, serta jaringan haemopoetic di antara struktur
(Mahmoud dan Salahy 2003). Hasil sajian histologis ginjal fase prerigor
menunjukkan bahwa ginjal terdiri dari glomerulus (Gambar 20, lingkaran b),
a
b
b
46
tubulus proksimal (Gambar 20, lingkaran d), dan tubulus distal (Gambar 20,
lingkaran c). Selain itu, juga terdapat jaringan haemopoeitic (Gambar 20,
lingkaran a). Glomerulus berbentuk bulat yang terdiri dari pusatan sel mesengial
kompak yang dikelilingi oleh kapiler gromelurus. Tubulus proksimal terdiri dari
belitan sel epitel kuboid dengan inti basal dan dibatasi luminal pada permukaan.
Tubulus distal terdiri dari belitan sel epitel kuboid. Jumlah tubulus distal dalam
ginjal hanya sepertiga dari total tubulus (Khare et al. 2008).
Hasil sajian histologis ginjal pada fase rigormortis menunjukkan bahwa
mulai terjadi kerusakan bangunan sel pada tubulus distal (Gambar 21, lingkaran
c), dimana sel-sel epitel mulai tampak tidak utuh. Hal ini diduga akibat dari
aktivitas enzim protease yang merusak protein sehingga menyebabkan gangguan
pada sel epitel. Selain itu, juga terjadi pembengkakan pada tubulus (Gambar 21,
lingkaran d). Menurut Takashima dan Hibiya (1995), perubahan pada ginjal
seperti degenerasi tubulus (pembengkakan) dan perubahan sel bisa disebabkan
karena ikan hidup dalam air yang terkontaminasi. Dugaan alasan tersebut bisa
dipertimbangkan karena ikan bandeng yang dijadikan sampel pada penelitian ini
diambil dari daerah dimana airnya berasal dari sungai yang mengalir dari
sepanjang kawasan industri Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
Hasil sajian histologi ginjal pada fase postrigor menunjukkan bahwa terjadi
pengurangan jaringan haemopoeitic (Gambar 22, lingkaran a). Menurut Khare et
al. (2008), jaringan haemopoeitic mengalami pengurangan dan digantikan oleh
jaringan serat periglomerular dan peritubular. Selain itu, pada fase ini ginjal
mengalami nekrosis (Gambar 22, lingkaran b). Hal ini diduga disebabkan karena
aktivitas enzim endogenous yang ada di dalam tubuh ikan. Degradasi protein
dapat disebabkan oleh enzim protease menyebabkan penurunan kekohesifisan
suatu jaringan (Yang dan Lin 2005).
Hasil sajian histologis ginjal pada fase busuk menunjukkan bahwa jaringan
tidak terlihat lagi (Gambar 23-lingkaran a). Bangunan sel telah mengalami
kerusakan dan menghilang, serta terjadi nekrosis. Bakteri pembusuk juga
ditemukan pada fase busuk ginjal (Gambar 23-lingkaran b). Ringkasan perubahan
histologi selama post mortem pada organ jeroan (usus, hati, dan ginjal) disajikan
pada Tabel 2.
47
Tabel 2 Ringkasan perubahan histologi jeroan ikan bandeng
Fase Organ
Post
mortem
Usus Hati Ginjal
Pre
rigor
Lapisan jaringan usus
masih kompak, utuh, dan
jelas
Sel hepatosit masih tampak
utuh dan jelas, Sitoplasma
hepatosit kadang-kadang
penuh dengan tetesan lemak
berupa ruang kosong yang
tidak terwarnakan oleh
pewarna H&E,
Glomerulus, tubulus
distal, dan tubulus
proksimal masih
tampak utuh dan
jelas,jaringan
haemopoeitic
tersebar luas
Rigor
mortis
Jaringan epitel pada vili
mulai terputus
Sel hepatosit merenggang dan
bentuknya tidak beraturan, inti
sel menyusut (piknosis)
Sel-sel epitel pada
tubulus distal mulai
mengalami
kerusakan
Post
rigor
Sel mengalami degenerasi,
lapisan usus tersusun tidak
rapi
Inti sel masih ada tetapi
bangunan sel mulai hilang
(piknosis)
Jaringan
haemopoeitic
mengalami
pengurangan, dan
terjadi nekrosis sel
Fase
busuk
Nekrosis total dan terdapat
bakteri pembusuk
Nekrosis total dan terdapat
bakteri pembusuk
Nekrosis total dan
terdapat bakteri
pembusuk
48
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Jeroan ikan bandeng mengandung protein sebesar 8,75%; lemak 9,69%; abu
1,18%; air 66,77%; dan karbohidrat sebesar 13,61%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa fase prerigor jeroan ikan bandeng terjadi sesaat setelah ikan
mati (jam ke-0 penyimpanan), rigormortis terjadi pada penyimpanan jam ke-80,
postrigor terjadi pada penyimpanan jam ke-228, dan fase busuk terjadi pada jam
ke-396 penyimpanan.
Selama penyimpanan dalam suhu chilling jeroan ikan bandeng yang
meliputi usus, hati, dan ginjal mengalami perubahan secara histologi. Perubahan
belum terlihat pada fase prerigor, pada fase ini struktur jaringan masih tersusun
teratur. Pada fase rigormortis mulai terjadi kerusakan pada jaringan (mulai terjadi
nekrosis), dan pada postrigor terjadi piknosis, dimana inti sel masih ada tetapi
bangunan selnya sudah rusak. Selain itu, bagian-bagian jaringan sudah tidak bisa
dibedakan pada fase ini. Fase busuk merupakan fase terakhir dari postmortem,
pada fase ini baik organ usus, hati maupun ginjal sudah tidak bisa dibedakan lagi
susunan jaringannya. Perubahan yang terjadi pada fase ini disebut nekrosis total.
Pada fase busuk organ hati, usus, dan ginjal diduga ditemukan bakteri pembusuk
yang berwarna ungu pekat.
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya agar dalam pembuatan preparat jeroan
ikan menggunakan pewarna lain, sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai
pembanding.
49
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Alifia F, Djawad MI. 2003. Kondisi histologi insang dan organ dalam juvenil ikan
bandeng (Chanos chanos Forskall) yang tercemar logam timbal (Pb). J
Sains & Teknologi 3: 15–20.
Akiyoshi H, Inoue A. 2004. Comparative Histological Study of Teleost Livers
in Relation to Phylogeny. J Zool Sci 21 : 841–850.
Angka SL, Mokoginta I, Hamid H. 1990. Anatomi dan Histologi Banding
Beberapa Ikan Air Tawar yang Dibudidayakan di Indonesia. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 2010. Ikan Bandeng. http://www.google.co.id [9 Februari 2011].
[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 2005. Official Method of
Analysis of The Assosiation of Official Analytical Chemist. Arlington,
Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemist.
Bavelander G, Ramaley J. 1988. Dasar-Dasar Histologi. Edisi kedelapan. Jakarta
: Erlangga.
Bechtel PJ, Oliveira ACM. 2006. Chemical characterization of liver lipid
and protein from cold-water fish species. J Food Sci 71: 480-485.
Caballero et all. 2009. Post mortem changes produced in the muscle of sea bream
(Sparus aurata) during ice storage. J Aquaculture 291: 210-216.
Chinabut S, Limsuwan C, Kitsawat P. 1991. Histology of The Walking Catfish,
Clarias Bathracus. Departement of Fisheries Thailand. 88 hal.
Cormack DH. 1992. Ham Histologi. Edisi ke-9. Tambajong J, Penerjemah;
Jakarta : Binarupa Aksara. Terjemahan dari : Ham’s Histologi
Djuhanda T. 1981. Dunia ikan. Bandung : Armico.
Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. Second edition. San Diego: Academic
Pr.
Ferraro V, Cruz IB, Jorge RF, Malcata FX, Pintado ME, Castro PML. 2010. Valorisation of natural extracts from marine source focused on marine by-
products. Int J Food Res 43: 2221–2233.
Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi. Gunawijaya A, Kartawiguna E, Arkeman
H, penerjemah. Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Histology.
50
George M, Chandy M. 1959. Further studies on the alimentary tract of the milk
fish Chanos in relation to its food and feeding habits. J Zool 26:126-134.
Ghufron M dan Kardi H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak
Sistem Polikultur. Semarang: Dahara Prize.
Gunarso W. 1986. Pengaruh Pemakaian Dua jenis cairan fiksatif yang berbeda
pada pembuatan preparat dari jaringan hewan dalam metoda mikroteknik
dengan parafin. Di dalam: Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan
Tinggi, Institut Pertanian Bogor. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Hadim E, Djawad MI, Karim MY. 2003. Kondisi glikogen dalam hati juvenil ikan
bandeng (Chanos chanos Forskall) yang dibantut. J. Sains & Teknologi 3
:1-7.
Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jakarta : CV Paripurna.
Ilyas S. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perairan. Jakarta : CV Paripurna.
Irianto, Giyatmi. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya.
Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan. 2010. Kelautan dan
Perikanan dalam Angka. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Khairuman, Sudenda D, Gunadi B. 2002. Budidaya Ikan Mas Secara Intensif.
Jakarta : Agromedia Pustaka.
Khamil YV, Shahidi F. 2001. Enzymes from fish and aquatic invertebrates and
their application in the food industry. J Food Sci Technol 12: 435–464.
Khare AK, Pandaey AK, Ruhela S. 2008. Histopathological manifestations in
kidney of Clarias batrachus induced by experimental Procamallanus
infection. J Environ Biol 295: 739-742.
Kiernan. 1990. Histological and Histochemical Methods. Oxford: Pergamon Pr.
Kim SK, Mendis E. 2006. Bioactive compounds from marine processing
byproducts. Int J Food Res 39: 383–393.
Kusrini E. 2007. Anatomi Organ Pencernaan Oreochromis sp.
http://naksara.net/Aquaculture/Reproduction/pembenihan-ikan-nila.html
[diakses tanggal 24 Desember 2010].
51
Lee C, Gordon MS, Watanabe WO. 1986. Aquaculture of Milkfish (Chanos
chanos): State of the Art. United Stated of America : The Oceanic Institute
Makapuu Point Waimanalo.
Mahmoud AA, Salahy MB. 2003. Metabolic and histological studies on the effect
of garlic administration on the carnivorous fish Chrysichthys auratus.
Egyp J Biol 5: 94-107.
Mohamed FAS. 2009. Histopathological studies on Tilapia zillii and Solea
vulgaris from lake Qarun, Egypt. J Fish Mar Sci 1: 29-39.
Mudjiman. 1991. Budidaya Ikan Bandeng di Tambak. Jakarta : Penebar Swadaya.
Murtidjo BA. 2001.Beberapa Metode Pengolahan Ikan. Yogyakarta : Kanisius.
Murtidjo BA. 1989. Tambak Air Payau : Budidaya Bandeng dan Udang.
Yogyakarta : Kanisius.
Nycas GJE, Drosinos EH. 2010. Handbook of Seafood and Seafood Products
Analysis. Paris : Taylor and Francis Group, LLC.
Ocano-Higuera VM, Marquez-Rios E, Canizales-Davila M, Castillo-Yanez,
Pacheco-AguilarR, Lugo-Sanchez ME, Garcia-Orozco, Graciano-
Verdugo. 2009. Postmortem Changes in Cazon Fish Muscle Stored on Ice.
J Food Chem 16: 933-938.
Piska RS dan Naik SJK. 1992. Fish Biology and Ecology (Fisheries ). Hyderabad
: Osmania Univ.
Pisuchpen S. 2007. Shelf life analysis of hot curry cubes. J Asian Food and Agro
Industry 1: 43-50.
Price SA dan Wilson LM. 2006. Patofisiologi. Volume 1. Philadelphia: EGC.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta : Bina Cipta.
Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa State Coll Pr.
Sastrohadinoto S, Hartono R, Sikar S, Soegiri N, Sukra J. 1973. Makro dan
Mikroteknik Bidang Zoologi. Biro Penataran, Institut Pertanian Bogor.
Takashima F, Hibiya T. 1995. An Atlas of fish histology normal and pathological
features. Edisi II. Tokyo : Lodansha Ltd.
Volk WA, Wheeler MF. 1993. Mikrobiologi Dasar. Jakarta: Erlangga
52
Wang PA, Vang B, Pedersen AM, Martinez I, Olsen RL. 2011. Post-mortem
degradation of myosin heavy chain in intact fish muscle: effects of pH and
enzyme inhibitors. J Food Chem 124: 1090-1095
Wibowo S, Yunizal. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta : Instalasi Penelitian
Ikan Laut. SLIPI
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Erlangga.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.
Yang HL, Lin HT. 2005. Histology and histochemical enzyme-staining patterns
of major immune organs in Epinephelus malabaricus. J Fish Biol 66: 729–
740.
Xiao L. 2010. Evaluation of Extraction Methods for Recovery of Fatty Acids from
Marine Products [Tesis] Norwegia : University of Bergen.
53
LAMPIRAN
54
Lampiran 1 Score sheet uji organoleptik dinding perut dan jeroan
ikan
Score sheet organoleptik dinding perut dan isinya (intestine) ikan segar (Laporan
Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No.2 (1973) diacu dalam Ilyas (1983))
Nama Panelis: Tanggal:
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan
pengujianBerilah tanda √ pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji.
Spesifikasi nilai Kode contoh
1 2 3 4 5
- Susunan isi perut teratur, kompak,
cemerlang, amis segar, selaput hitam
mengkilat, lekat erat, dinding perut
merah muda (pink) perak cemerlang
9
- Gejala seperti di atas tetapi mulai
redup
8
- Susunan berubah, amis keras, selaput
keabu-abuan, mudah lepas, redup
7
- Bau amis rancid, pucat, selaput abu-
abu, mudah lepas
6
- Susunan tidak teratur, pucat, bau amis
alkali, dinding lembek, rusak
menonjol
5
- Bau rancid-alkali keras, dinding perut
mudah rusak
3
- Susunan hancur berantakan, busuk,
tulang rusuk lepas dan dinding
1
55
Lampiran 2 Dokumentasi penelitian.
a. Tambak tempat pengambilan sampel b. Preparasi sampel prerigor
c. Fiksasi d. Dehidrasi
e. Clearing f. Embedding dan Impregnasi
56
g. Blocking h. Trimming
i. Mikrotom pemotong jaringan j. Hasil pemotongan
k. Waterbath l. Kaca obyek yang berisi preparat
jaringan
57
m. Pewarnaan H&E n. Perekatan preparat pada kaca
penutup
o. Preparat awetan p. Penyimpanan suhu chilling