43
VI -281 ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN PENDAPATAN PETANI RINGKASAN EKSEKUTIF I. JUSTIFIKASI DAN TUJUAN KAJIAN 1. Saat ini pemerintah mempunyai instrumen baru dalam kegiatan perdagangan internasional, yaitu pungutan ekspor (PE) yang dilegalisasi pada tanggal 10 September 2005 dengan penerbitan PP No. 35 Tahun 2005. PP ini pada dasarnya sebagai pengganti SK Menteri Keuangan tentang pajak ekspor yang untuk kelapa sawit telah diterapkan sejak tahun 1984. Selain itu, PP ini dimaksudkan untuk melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan yang telah berlaku secara nasional diantaranya UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 2. Kontroversi yang berkembang sejak pembahasan draf PP hingga penerbitannya pada dasarnya berkisar pada Pasal 2 dan 3. Secara umum stakeholders agribisnis kelapa sawit nasional mengaitkan substansi dari tujuan dan besarnya tarif PE serta HPE dengan dimensi manfaat, keadilan dan kepastian hukum. Setelah mencermati PP tentang PE dalam perspektif pengembangan industri kelapa sawit nasional, terdapat 2 pasal yang perlu dipahami secara mendalam. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 2, tentang tujuan dan Pasal 3 ayat 5 dan 6, tentang besarnya tarif PE dan harga patokan ekspor (HPE). Kedua pasal tersebut masih mengandung pertanyaan-pertanyaan seperti: “apakah penetapannya telah mempertimbangkan nilai manfaat konkrit bagi seluruh stakeholders kelapa sawit nasional, memenuhi rasa keadilan dan memiliki kepastian hukum dalam pelaksanaannya?”. 3. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis tentang: tujuan penerapan PE dan besarnya tarif PE dan HPE dengan mempertimbangkan manfaatnya bagi seluruh stakeholders kelapa sawit nasional, beban yang harus ditanggung stakeholders dan kepastian hukum (daya penegakan dan penegakan hukumnya), dan (2) dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), kinerja agribisnis kelapa sawit dan pendapatan petani.

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

  • Upload
    ledang

  • View
    222

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-281

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN

PENDAPATAN PETANI

RINGKASAN EKSEKUTIF

I. JUSTIFIKASI DAN TUJUAN KAJIAN

1. Saat ini pemerintah mempunyai instrumen baru dalam kegiatan

perdagangan internasional, yaitu pungutan ekspor (PE) yang dilegalisasi

pada tanggal 10 September 2005 dengan penerbitan PP No. 35 Tahun 2005.

PP ini pada dasarnya sebagai pengganti SK Menteri Keuangan tentang

pajak ekspor yang untuk kelapa sawit telah diterapkan sejak tahun 1984.

Selain itu, PP ini dimaksudkan untuk melaksanakan amanat peraturan

perundang-undangan yang telah berlaku secara nasional diantaranya UU No.

20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

2. Kontroversi yang berkembang sejak pembahasan draf PP hingga

penerbitannya pada dasarnya berkisar pada Pasal 2 dan 3. Secara umum

stakeholders agribisnis kelapa sawit nasional mengaitkan substansi dari

tujuan dan besarnya tarif PE serta HPE dengan dimensi manfaat, keadilan

dan kepastian hukum. Setelah mencermati PP tentang PE dalam perspektif

pengembangan industri kelapa sawit nasional, terdapat 2 pasal yang perlu

dipahami secara mendalam. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 2, tentang

tujuan dan Pasal 3 ayat 5 dan 6, tentang besarnya tarif PE dan harga

patokan ekspor (HPE). Kedua pasal tersebut masih mengandung

pertanyaan-pertanyaan seperti: “apakah penetapannya telah

mempertimbangkan nilai manfaat konkrit bagi seluruh stakeholders kelapa

sawit nasional, memenuhi rasa keadilan dan memiliki kepastian hukum

dalam pelaksanaannya?”.

3. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis tentang: tujuan penerapan PE dan

besarnya tarif PE dan HPE dengan mempertimbangkan manfaatnya bagi

seluruh stakeholders kelapa sawit nasional, beban yang harus ditanggung

stakeholders dan kepastian hukum (daya penegakan dan penegakan

hukumnya), dan (2) dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),

kinerja agribisnis kelapa sawit dan pendapatan petani.

Page 2: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-282

II. KERANGKA ANALISIS PENERAPAN PE

4. Dalam perekonomian suatu negara, kebijakan perdagangan internasional

berperan sangat penting. Kebijakan perdagangan tersebut pada umumnya

diutamakan untuk perluasan pasar internasional dan proteksi bagi pembeli

domestik (industri atau rumah tangga). Namun tidak tertutup kemungkinan,

kebijakan perdagangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan penerimaan

pemerintah melalui pajak/pungutan dan terkait dengan kebijakan luar negeri

suatu negara atau alasan-alasan politik. Dalam konteks ini, kebijakan

pemerintah tentang penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya lebih

diutamakan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan proteksi bagi

industri dalam negeri penghasil produk turunan CPO, seperti industri minyak

goreng dan oleokimia.

5. Dalam aspek legal, pungutan ekspor yang dimaksudkan dalam PP No. 35

tahun 2005 adalah pungutan ekspor yang dikenakan atas barang ekspor

tertentu, termasuk CPO dan produk turunannya. Berdasarkan UU No. 20

Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PE untuk

CPO dan produk turunannya termasuk PNBP yang bersumber dari

pemanfaatan sumber daya alam. Masih berdasarkan UU tersebut, sesuai

jenisnya PNBP dari PE ini dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang

meliputi penelitian dan pengembangan teknologi, pendidikan dan pelatihan,

pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu dan pelestarian

sumber daya alam. Dengan ketentuan ini, maka pungutan ekspor berbeda

dengan pajak ekspor masa lalu. Penerimaan negara dari pajak ekspor tidak

jelas rincian penggunaannya.

6. Penerapan PE pada CPO dan produk turunannya mengandung konsekuensi

yang menguntungkan dan merugikan. Secara potensial, pihak yang

diuntungkan dari penerapan PE adalah pembeli dalam negeri (industri hilir

minyak sawit), pemerintah dan pesaing ekspor Indonesia untuk produk-

produk tersebut. Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena penerapan

PE akan menekan harga CPO dan produk turunannya di pasar dalam negeri.

Penerimaan negara akan meningkat sesuai dengan besarnya tarif, harga

dan volume ekspor. Penerapan PE cenderung menurunkan volume ekspor,

sehingga pengekspor luar negeri diuntungkan karena pengurangan ekspor

Page 3: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-283

CPO dan produk turunannya oleh Indonesia merupakan peluang pasar bagi

mereka.

7. Sedangkan pihak yang dirugikan dari penerapan PE adalah produsen kelapa

sawit dan CPO nasional, pembeli (importir) CPO dan produk turunannya di

luar negeri, penyedia jasa di pelabuhan dan pemasok input perkebunan

kelapa sawit serta negara. PE akan menekan harga di pasar dalam negeri

sehingga menimbulkan disinsentif berproduksi bagi produsen CPO dan

produk turunannya. Hal ini dapat berwujud pengurangan penggunaan input

sehingga pemasok input juga mengalami imbas kerugian produsen. Khusus

untuk kasus CPO, pengusaha penghasil CPO akan menekan harga tandan

buah segar (TBS) yang dihasilkan petani. Jadi secara implisit, TBS juga

terkena pungutan ekspor, meskipun petani tidak mengekspor. Selanjutnya,

penurunan produksi CPO dan produk turunannya menyebabkan ekspor

CPO dan produk turunannya turun. Penurunan ekspor ini mengakibatkan

kebutuhan importir di luar negeri tidak terpenuhi. Bahkan, apabila penerapan

PE oleh Indonesia ini menimbulkan guncangan harga di pasar internasional,

maka importir akan membeli CPO dan produk turunannya dengan harga

lebih tinggi dari pada tanpa PE. Penurunan volume ekspor ini juga berarti

merugikan pelaku bisnis di pelabuhan dan negara juga kehilangan devisa.

III. TINJAUAN KRITIS TERHADAP PP 35 TAHUN 2005

8. Tujuan pengenaan PE untuk barang ekspor tertentu, seperti CPO dan

produk turunannya (Pasal 2 ayat 2) adalah untuk (i) menjamin terpenuhinya

kebutuhan dalam negeri, (ii) melindungi kelestarian sumber daya alam, (iii)

mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang

ekspor tertentu, dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam

negeri.

9. Mencermati tujuan di atas, maka sesungguhnya dimensi manfaat dan

keadilan dari PP ini patut dipertanyakan. Dari uraian tentang PE di atas,

maka penetapan tujuan PE ini semata-mata hanya memperhatikan

kepentingan pembeli domestik dan kepentingan negara (pemerintah) yang

dilihat secara parsial. Kepentingan produsen, yaitu perusahaan perkebunan

dan petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan

Page 4: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-284

produk turunannya terabaikan. Tidak ada pernyataan dalam tujuan yang

relevan dengan kepentingan produsen, penyedia jasa bisnis dan pemasok

input. Sedangkan kepentingan pelestarian sumber daya alam malahan

mendapatkan perhatian khusus yang dinyatakan sebagai tujuan kedua.

10. Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan

keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit

sehingga industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya

dengan harga rendah (terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi

terselubung bagi industri hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut,

negara dapat mengumpulkan penerimaan negara bukan pajak. Perolehan

penerimaan negara ini tidak dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE.

Dengan perhitungan sederhana, akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak

pertengahan 1998 hingga akhir tahun 2003 mencapai sekitar Rp. 6,85

Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat mungkin dicapai dengan

penetapan formula penerimaan ekspor dengan komponen yang terdiri dari

volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan ekspor, tarif PE dan nilai

kurs Rupiah.

11. Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam dapat dikatakan

terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa sawit. Dalam

pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari produk-

produk kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan

kelapa sawit. Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga

apabila tidak dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes

yang sering muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam

adalah karena kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal

ini pembangunan perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan

yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks

pencapaian tujuan, lantas bagaimana PE dapat melindungi kelestarian

sumber daya alam?. Pencantuman tujuan untuk melindungi kelestarian

sumber daya alam sekaligus dapat diartikan sebagai pembenaran atas

adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam kaitannya dengan

pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Page 5: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-285

12. Masih dalam konteks tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE

mengakomodasi kepentingan produsen yaitu perusahaan perkebunan dan

petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan

produk turunannya? Produsen menanggung beban PE dan tidak ada

pernyataan tujuan yang melindungi kepentingan produsen. Sebagai suatu

kebijakan publik selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap seluruh

stakeholders.

13. Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan

pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP No.35

Tahun 2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa keadilan

bagi stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku jasa

bisnis berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya.

Tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum

jelas kepastian hukumnya tentang bagaimana mencapainya.

Tarif PE, HPE dan nilai kurs berpotensi sebagai sumber distrorsi

14. Dalam kasus CPO dan produk-produk turunannya, sesuai Pasal 3, tarif PE

ditetapkan secara advalorem. Jumlah pungutan ekspor dihitung berdasarkan

rumus: Tarif PE x Jumlah ekspor x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Nilai Kurs.

Tarif atas PE CPO dan produk-produk turunannya ditetapkan paling tinggi

60%. Besarnya tarif PE dan nilai kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Besarnya HPE ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Sedangkan Menteri

Teknis terkait, seperti Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian, hanya

memberi pertimbangan dan/atau usul atas penetapan besarnya tarif dan

HPE. Formulasi di atas pada dasarnya tidak merubah ketentuan PE yang

berlaku sebelumnya. Sebagai ilustrasi dapat disampaikan data

perkembangan pengenaan PE untuk CPO dari bulan Juli 1998 hingga Maret

2005 (Tabel 1).

15. Saat ini, ketentuan Menteri yang sudah diterbitkan baru tarif PE, yaitu 3%

untuk tandan buah segar dan inti (biji) kelapa sawit dan CPO, dan 1% untuk

crude olein (RBD Olein), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO)

dan Refined Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Nilai kurs ditetapkan

Menteri Keuangan pada saat pembayaran PE dilakukan. Besarnya HPE

Page 6: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-286

masih belum ditentukan oleh Menteri Perdagangan. Menurut Menteri

Perdagangan, sesuai aturan yang berlaku selama ini, kalau belum ada

penetapan HPE yang baru, maka HPE yang lama masih berlaku.

Seharusnya, sesuai PP No. 35 Tahun 2005, HPE CPO dan produk

turunannya merujuk pada harga internasional, yaitu harga di Rotterdam yang

saat ini berkisar US$ 420 per ton.

Tabel 1. Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya

Tahun PE (%)

HPE (US$/ton)

Harga (US$/ton)

Nilai Kurs (RP/US$)

Juli 98-Feb 99 60 610 650 14.550 Feb 99-Juni 99 40 535 535 8.850 Juni 99-Juli 99 30 365 440 8.171 Juli 99-Sept 99 10 260 312 6.873 Sept 99-Feb 2001 5 190 335 8.250 Feb 2001-Juni 2002 3 160 175 9.598 Juni 2002-Maret 2005

3 160 429 9.750

Sumber: Rosediana (2005)1

16. Belum ditetapkannya PE untuk CPO dan produk-produk turunannya tidak

terlepas dari penetapan besarnya nilai tarif PE dan HPE. Permasalahannya

berkisar pada pilihan antara (i) tarif PE turun dari 3% menjadi katakanlah 1%

dengan HPE disesuaikan dengan harga pasar di Rotterdam atau (ii) tarif PE

tetap 3% dengan HPE juga tetap US$ 160 per ton. Saat ini tarif PE CPO

telah ditetapkan 3%, sehingga perdebatan antara Gabungan Pengusaha

Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan pemerintah tinggal pada besarnya HPE.

17. Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu

diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam

menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk

tarif PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan

(i) sifatnya hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi

mengguncang pasar CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak

negatif bagi pasar CPO domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk

1 Rosediana, S. (2005). Peranan Industri Minyak Sawit Dalam Perekonomian Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar

Nasional “Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia: Menuju Kesinambungan Sosial Ekonomi” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 28 September 2005.

Page 7: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-287

program dan kegiatan pengembangan industri perkelapasawitan nasional

dan target PNBP. Butir (iii) ini sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam

menentukan HPE disamping memperhitungkan kepentingan pelaku jasa

bisnis dan keuntungan perusahaan dan petani kelapa sawit. Untuk itu,

kajian dan simulasi penetapan tarif PE dan HPE sangat diperlukan.

Penyempurnaan PP

18. Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 tentang PE, khususnya Pasal 2

dan 3 maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu

disempurnakan pada aspek-aspek: (i) memberi perhatian terhadap manfaat

pengenaan PE bagi pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii)

menciptakan keadilan dengan memperhatikan kepentingan stakeholders,

terutama petani secara proporsional, dan (iii) memberi kepastian hukum

dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya penegakan dari ketentuan-

ketentuan yang ditetapkan dan implementasi penegakan hukum apabila

terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dimaksud. SK Menteri dan

pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya menjadi bahan

pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005, bukannya

menjadi sumber diskresi dari PP tersebut.

III. ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PE CPO (PP NO 35/2005) 19. Ada tiga analisis dampak yang dilakukan yaitu: (1) dampak terhadap Produk

Domestik Bruto; (2) dampak terhadap agribisnis kelapa sawit; dan (3)

dampak terhadap pendapatan petani. Ada tiga skenario kebijakan PE

(pungutan ekspor) CPO yaitu:

a. PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,

b. PE sebesar 3 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,

c. PE sebesar 3 persen dari HPE (harga patokan ekspor) dimana HPE

berada sekitar 1/3 dari harga dunia atau setara dengan PE sebesar 1

persen dari harga CPO dunia yang berlaku.

20. Saat ini pemerintah telah menetapkan PE atas CPO sebesar 3 persen dari

HPE CPO. Namun besaran HPE atas CPO belum ditetapkan. Ada dua

kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan PE CPO yaitu: (1)

Page 8: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-288

pemerintah menetapkan besaran HPE sebesar 1/3 dari harga CPO dunia

yang berlaku yang berarti setara dengan PE sebesar 1 persen dari harga

CPO dunia yang berlaku; (2) pemerintah merevisi besaran PE dari 3 persen

menjadi 1 persen, tetapi HPE ditetapkan sebesar harga CPO dunia yang

berlaku.

Produk Domestik Bruto

21. Pungutan Ekspor atas CPO menyebabkan, harga ekspor untuk CPO yang

diterima produsen menurun (disinsentif) yang selanjutnya berdampak pada

konstraksi kegiatan industri sawit maupun usahatani kelapa sawit. Namun

demikian, PE atas CPO menyebabkan harga CPO untuk industri hilir dalam

negeri menurun sehingga menciptakan insentif bagi industri tersebut.

Dampak selanjutnya adalah ekspansi kegiatan industri hilir CPO dalam

negeri. Selain itu, PE atas CPO akan meningkatkan penerinaan PNBP

negara sebagai dana pembangunan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi

nasional.

22. Dampak kontraksi dan ekspansi dari penerapan PE tersebut secara umum

akan tercermin dari PDB. Apabila PDB meningkat mengidentifikasikan

bahwa PE tersebut berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi

nasional, tetapi sebaliknya jika PDB menurun. Dari Tabel 1 tersebut terlihat

bahwa penerapan PE akan menyebabkan penurunan PDB disemua skenario.

Dampak penerapan PE 3 persen terhadap penurunan PDB lebih besar

dibanding PE 1 persen. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan PE ternyata

tidak mampu mengakselerasi kegiatan industri hilir dalam negeri yang

menciptakan nilai tambah lebih besar untuk mengkompensasi kehilangan

nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan PE pada kegiatan agribisnis

kelapa sawit. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak menerapkan

PE terlalu tinggi dibanding yang berlaku sekarang.

Page 9: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-289

Tabel 2. Dampak Pungutan Ekspor (PE) terhadap kinerja Agribisnis Kelapa Sawit dan Ekonomi Nasional (%)*)

Peubah 0% menjadi 1%**) 0% menjadi 3%**) 1% menjadi 3%**)

Produktivitas Negara 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Produktivitas Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Produktivitas Swasta 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Luas Menghasilkan Negara (0.00008934) (0.00026593) (0.00017659) Luas Menghasilkan Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Luas Menghasilkan Swasta (0.00512994) (0.01538651) (0.01025710) Serapan T. Kerja Negara 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Serapan T. Kerja Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Serapan T. Kerja Swasta (0.00067432) (0.00134864) (0.00067432) Harga CPO dalam Negeri (0.00142792) (0.00285584) (0.00142794) Konsumsi CPO dalam Negeri 0.00000551 0.00001653 0.00001102 Vol. Ekspor CPO Indonesia (0.01126562) (0.03379339) (0.02253031) Nilai Ekspor CPO Indonesia (0.02294849) (0.06882694) (0.04588898) Vol. Ekspor CPO Malaysia 0.00000389 0.000011666 0.00000777 Produksi CPO Indonesia (0.00678744) (0.02035882) (0.01357231) Nilai Tambah CPO Indonesia (0.00341154) (0.01023309) (0.00682178) Produk Domestik Bruto Indonesia (0.00000413) (0.00001031) (0.00000619)

Keterangan : *) Model yang digunakan adalah model ekonometrik persamaan simultan yang terdiri

dari Blok produksi, konsumsi dan perdagangan.

**) 0, 1, 3 % besaran Pungutan Ekspor (PE) dalam % x harga CPO dunia; dan PE 1% setara dengan PE 3% x HPE (Harga Patokan Ekspor) yang berlaku saat ini sekitar US$ 160 per ton.

( ) tanda dalam kurung menunjukkan penurunan atau pengurangan.

Daya Saing CPO Inonesia vs Malaysia

23. Pengenaan PE akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia di pasar

dunia, sementara harga ekspor CPO Malaysia tetap akibatnya daya saing

CPO Indonesia menurun terhadap CPO Malaysia. Hal ini tercermin dari

meningkatnya volume ekspor CPO Malaysia sementara volome ekspor CPO

Indonesia mengalami penurunan pada semua skenario.

24. Makin tinggi Pengenaan PE atas CPO Indonesia, makin tinggi pula volume

ekspor CPO Malaysia. Oleh karena itu, disarankan agar tingkat PE atas

CPO Indonesia tidak terlalu besar agar pangsa pasar CPO Indonesia tidak

direbut oleh CPO dari Malaysia.

Page 10: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-290

Agribisnis Kelapa Sawit

25. Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa

sawit disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis tersebut dapat dirangkum

sebagai berikut :

a. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 1 persen dari harga

CPO dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, maka produksi

CPO Indonesia mengalami penurunan karena luas tanaman yang

menghasilkan menurun, volume ekspor menurun lebih besar dibanding

kenaikan konsumsi domestik. Penurunan luas tanaman yang

menghasilkan terjadi pada perkebunan negara dan swasta, sedangkan

perkebunan rakyat tidak terjadi. Penurunan luas tanaman yang

menghasilkan pada perkebunan negara dan swasta sebagai respon

penurunan harga Tandan. Dampak dari penurunan luas tanaman yang

menghasilkan tersebut menyebabkan penyerapan tenaga kerja pada

usahatani kelapa sawit menurun. Penurunan volome ekspor akan

berdampak pada penurunan penerimanan devisa negara dari ekspor

CPO. Walaupun terjadi peningkatan penerimaan negara dari PE, namun

secara keseluruhan PDB nasional mengalami penurunan.

b. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 3 persen dari harga

CPO dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, arah

dampaknya sama dengan pemberlakuan PE 1 persen, tapi dampaknya

lebih besar pada PE 3 persen.

c. Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis tersebut adalah bahwa

pengenaan PE berdampak pada penurunan luas tanaman menghasilkan

yang selanjutnya berdampak pada penurunan kesempatan kerja, dan

penurunan produksi CPO. Tambahan penenerimaan pemerintah dari PE

ternyata tidak mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru sebaliknya,

sehingga penerapan PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek kinerja

ekonomi makro. Apabila pemerintah tetap menerapkan kebijakan PE

CPO maka disarankan untuk menerapkan PE sebesar 3 persen dengan

HPE 1/3 dari harga CPO dunia yang berlaku.

Page 11: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-291

Pendapatan Petani

24. Diperkirakan kalau tarif ekspor tetap 3% sementara HPE mengikuti harga

CPO dunia di Rotterdam yang terus tinggi seperti pada September mencapai

US$ 420 per ton, maka pungutan ekspor yang menjadi beban eksportir naik

cukup tinggi menjadi US$ 7,8 per ton atau kalau dirupiahkan sebesar Rp78

per kg. Karena beban PE dapat dialihkan ke petani, maka beban pungutan

ekspor yang besar itu sebagian diantaranya akan dibebankan pengusaha

kepada petani. Diperkirakan dengan pungutan ekspor sebesar Rp78 per kg

CPO, maka harga tandan buah segar (TBS) di petani kemungkinan dikurangi

Rp15-Rp20 per kg. Hitungan ini diperoleh dari asumsi untuk mendapatkan 1

kg CPO jumlah TBS-nya harus 5 kg (asumsi: rendemen minyak dalam TBS

20%). Selanjutnya, kalau harga TBS di petani saat ini sebesar Rp650 per kg,

maka harga beli pasti berkurang. Jika tarif ekspor hanya 1% dan HPE

disesuaikan dengan harga jual CPO di Rotterdam, maka pungutan ekspor

masih tetap rendah yakni US$ 4,20 per ton, sehingga tidak berpengaruh

pada pendapatan petani.

IV. REKOMENDASI KEBIJAKAN

25. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa penerapan PE atas CPO

berdampak pada penurunan Produk Domestik Bruto, daya saing CPO

Indonesia dibanding Malaysia di pasar dunia, kinerja agribisnis kelapa sawit

dan pendapatan petani.

26. Apabila pemerintah tetap menerapkan PE atas CPO untuk meningkatkan

penerimaan PNBP, maka disarankan agar tingkat PE tidak terlalu tinggi.

Apabila tingkat PE sebesar 3 persen, maka HPE disarankan sebesar 1/3 dari

harga CPO dunia yang berlaku. Namun jika tingkat PE sebesar 1 persen,

maka HPE disarankan sebesar harga CPO dunia yang berlaku.

Page 12: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-292

Page 13: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-293

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN

PENDAPATAN PETANI

Nizwar Syafa’at, Bambang Dradjat, Ketut Kariyasa, Supena Friyatno, Mohamad Maulana

PENDAHULUAN

Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditas strategis dalam

perekonomian Indonesia. Pertama, sebagai bahan utama minyak goreng yang

dikonsumsi masyarakat, CPO memainkan peran penting dalam menentukan

tingkat inflasi. Kedua, industri palm oil menyerap lebih dari dua juta orang tenaga

kerja. Ketiga, ekspor CPO merupakan sumber devisa negara yang telah

menghasilkan lebih dari satu juta USD sejak tahun 1997 hingga kini.

Luas areal tanam kelapa sawit yang pada tahun 1988 mencapai 862 ribu

hektar, meningkat menjadi sekitar 4 juta hektar pada tahun 2002. Peningkatan

areal tanam sekitar 11 persen per tahun ini, berdampak pada peningkatan

produksi CPO sebesar 10 persen per tahun, dari 342 ribu ton pada tahun 1988

menjadi 7,97 juta ton tahun 2002. Sementara itu, penggunaan CPO sebagai

bahan utama minyak goreng juga meningkat tajam sekitar 10 persen per tahun.

Industri CPO juga memainkan peran penting di pasar internasional. Laju

pertumbuhan produksi CPO merupakan yang tertinggi diantara kategori minyak

lainnya yang dikonsumsi. Bahkan CPO telah diprediksi akan melewati

perdagangan minyak kedele yang selama paling banyak diperdagangkan di pasar

dunia.

Dengan strategisnya posisi CPO dalam perekonomian, pemerintah telah

merilis kebijakan untuk mengoptimalkan pembangunan industrinya. Salah satu

kebijakan penting tersebut adalah kebijakan pajak ekspor yang pertama

dimplementasikan pada bulan Agustus 1994 untuk menstabilkan dan

mengamankan pasokan dan harga. Pajak ekspor yang pada awalnya dikenakan

pada CPO berkisar antara 40-60% yang dihitung secara berbeda berdasarkan

harga CPO internasional dan harga patokan ekspor. Sejak 4 Juli 1987 sampai

Februari 1998, pajak ekspor turun menjadi 5% dari harga CPO. Kemudian, selama

masa krisis ekonomi yang menyebabkan harga CPO meningkat tajam dan

depresiasi Rupiah, pemerintah melarang ekspor CPO diawal tahun 1998. Kondisi

ini menyebabkan perubahan kabijakan pajak ekspor yang sangat drastis, yaitu

Page 14: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-294

peningkatan pajak ekspor dari 5% menjadi 60% yang kemudian turun lagi menjadi

30% pada Juli 1999 dan 4% pada tahun 2002 (Susila, 2004).

Saat ini pemerintah mempunyai instrumen baru dalam kegiatan

perdagangan internasional, yaitu pungutan ekspor (PE) yang dilegalisasi pada

tanggal 10 September 2005 dengan penerbitan PP No. 35 Tahun 2005. PP ini

pada dasarnya sebagai pengganti SK Menteri Keuangan tentang pajak ekspor

yang untuk kelapa sawit telah diterapkan sejak tahun 1984. Selain itu, PP ini

dimaksudkan untuk melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan yang

telah berlaku secara nasional diantaranya UU No. 20 Tahun 1997 tentang

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

JUSTIFIKASI DAN TUJUAN

Kontroversi yang berkembang sejak pembahasan draf PP hingga

penerbitannya pada dasarnya berkisar pada Pasal 2 dan 3. Secara umum

stakeholders agribisnis kelapa sawit nasional mengaitkan substansi dari tujuan

dan besarnya tarif PE serta HPE dengan dimensi manfaat, keadilan dan kepastian

hukum. Setelah mencermati PP tentang PE dalam perspektif pengembangan

industri kelapa sawit nasional, terdapat 2 pasal yang perlu dipahami secara

mendalam. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 2, tentang tujuan dan Pasal 3 ayat

5 dan 6, tentang besarnya tarif PE dan harga patokan ekspor (HPE). Kedua pasal

tersebut masih mengandung pertanyaan-pertanyaan seperti: “apakah

penetapannya telah mempertimbangkan nilai manfaat konkrit bagi seluruh

stakeholders kelapa sawit nasional, memenuhi rasa keadilan dan memiliki

kepastian hukum dalam pelaksanaannya?”.

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis tentang: tujuan penerapan PE dan

besarnya tarif PE dan HPE dengan mempertimbangkan manfaatnya bagi seluruh

stakeholders kelapa sawit nasional, beban yang harus ditanggung stakeholders

dan kepastian hukum (daya penegakan dan penegakan hukumnya), dan (2)

dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), kinerja agribisnis kelapa

sawit dan pendapatan petani.

Page 15: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-295

METODOLOGI

I. Kerangka Analisis Penerapan PE

Dalam perekonomian suatu negara, kebijakan perdagangan internasional

berperan sangat penting. Kebijakan perdagangan tersebut pada umumnya

diutamakan untuk perluasan pasar internasional dan proteksi bagi pembeli

domestik (industri atau rumah tangga). Namun tidak tertutup kemungkinan,

kebijakan perdagangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan penerimaan

pemerintah melalui pajak/pungutan dan terkait dengan kebijakan luar negeri suatu

negara atau alasan-alasan politik. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah

tentang penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya lebih diutamakan untuk

meningkatkan penerimaan pemerintah dan proteksi bagi industri dalam negeri

penghasil produk turunan CPO, seperti industri minyak goreng dan oleokimia.

Dalam aspek legal, pungutan ekspor yang dimaksudkan dalam PP No. 35

tahun 2005 adalah pungutan ekspor yang dikenakan atas barang ekspor tertentu,

termasuk CPO dan produk turunannya. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 1997

tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PE untuk CPO dan produk

turunannya termasuk PNBP yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam.

Masih berdasarkan UU tersebut, sesuai jenisnya PNBP dari PE ini dapat

digunakan untuk kegiatan tertentu yang meliputi penelitian dan pengembangan

teknologi, pendidikan dan pelatihan, pelayanan yang melibatkan kemampuan

intelektual tertentu dan pelestarian sumber daya alam. Dengan ketentuan ini,

maka pungutan ekspor berbeda dengan pajak ekspor masa lalu. Penerimaan

negara dari pajak ekspor tidak jelas rincian penggunaannya.

Penerapan PE pada CPO dan produk turunannya mengandung

konsekuensi yang menguntungkan dan merugikan. Secara potensial, pihak yang

diuntungkan dari penerapan PE adalah pembeli dalam negeri (industri hilir minyak

sawit), pemerintah dan pesaing ekspor Indonesia untuk produk-produk tersebut.

Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena penerapan PE akan menekan harga

CPO dan produk turunannya di pasar dalam negeri. Penerimaan negara akan

meningkat sesuai dengan besarnya tarif, harga dan volume ekspor. Penerapan

PE cenderung menurunkan volume ekspor, sehingga pengekspor luar negeri

diuntungkan karena pengurangan ekspor CPO dan produk turunannya oleh

Indonesia merupakan peluang pasar bagi mereka.

Page 16: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-296

Sedangkan pihak yang dirugikan dari penerapan PE adalah produsen kelapa

sawit dan CPO nasional, pembeli (importir) CPO dan produk turunannya di luar

negeri, penyedia jasa di pelabuhan dan pemasok input perkebunan kelapa sawit

serta negara. PE akan menekan harga di pasar dalam negeri sehingga

menimbulkan disinsentif berproduksi bagi produsen CPO dan produk turunannya.

Hal ini dapat berwujud pengurangan penggunaan input sehingga pemasok input

juga mengalami imbas kerugian produsen. Khusus untuk kasus CPO, pengusaha

penghasil CPO akan menekan harga tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan

petani. Jadi secara implisit, TBS juga terkena pungutan ekspor, meskipun petani

tidak mengekspor. Selanjutnya, penurunan produksi CPO dan produk turunannya

menyebabkan ekspor CPO dan produk turunannya turun. Penurunan ekspor ini

mengakibatkan kebutuhan importir di luar negeri tidak terpenuhi. Bahkan, apabila

penerapan PE oleh Indonesia ini menimbulkan guncangan harga di pasar

internasional, maka importir akan membeli CPO dan produk turunannya dengan

harga lebih tinggi dari pada tanpa PE. Penurunan volume ekspor ini juga berarti

merugikan pelaku bisnis di pelabuhan dan negara juga kehilangan devisa.

II. Sumber Data, Lokasi dan Waktu Penelitian Kajian ini menggunakan data sekunder. Sumber data adalah

lembaga/instansi yang terkait dengan data/informasi yang dibutuhkan dalam kajian

ini antara lain seperti Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Pengolahan dan

Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian dan Kantor Pemasaran

Bersama PT. Perkebunan Nusantara, dan hasil kajian yang dilakukan oleh peneliti

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dan Lembaga Riset

Perkebunan Nasional.

III. Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah metode – metode yang berkaitan dengan

pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi

yang berguna (Walpole, 1995). Analisis Deskriptif memberikan informasi

mengenai sekumpulan data dan mendapatkan gagasan untuk keperluan analisis

selanjutnya, jika diperlukan analisis ini meliputi penyusunan ukuran pemusatan,

ukuran penyebaran, label, diagram dan grafik. Akan tetapi jika dari hasil analisis ini

Page 17: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-297

sudah dapat diambil kesimpulan yang tepat maka tidak perlu menganalisis dengan

cara yang lebih rumit. (Clark and Schkade, 1983).

Profit Loss Analysis

Profit Loss Analysis digunakan mengetahui berapa besar perubahan

keuntungan atau kerugian yang diperoleh para petani dengan diberlakukannya

pungutan ekspor terhadap produk CPO. Profit Loss Analysis ini dihitung dengan

menggunakan rumus :

1) HPE = TR – TC ............................................................................ (1)

HPE = P.Q - (∑=

n

i

TC1

+ )1

∑=

n

iii XP .............................................. ........ (2)

dimana :

HPE = Harga Patokan Ekspor (USD/unit atau Rp/unit) TR = total penerimaan TC = total biaya P = harga per unit Q = jumlah unit PI = harga komponen biaya operasional XI = jumlah komponen biaya operasional

2) Local CPO Price = Tender KPB Price - PPN – Local Transport Price ......... (3)

Dimana :

Tender KPB Price = harga lelang CPO oleh KPB ex Kuala Lumpur bulan

Oktober 2005 (USD/unit atau Rp/unit).

PPN = Pajak Pertambahan Nilai = 10% x TR

Local Transport Price (Rp).

3) Profit Loss Analysis = HPE – Local CPO Price

Jumlah Pungutan Ekspor

Untuk jumlah pungutan ekspor dihitung dengan cara :

Tarif Pungutan Ekspor x Jumlah Ekspor x HPE x Nilai Kurs Rp

terhadap USD ................................................................ ............................... (4)

Page 18: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-298

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Luas dan Produksi Kelapa Sawit

Melalui berbagai upaya pengembangan, baik yang dilakukan oleh

perkebunan besar, proyek-proyek pembangunan maupun swadaya masyarakat,

perkebunan kelapa sawit telah berkembang sangat pesat. Pada tahun 1968, luas

areal yang baru 120 ribu ha menjadi 5.743 ribu ha pada tahun 2003. Selain dari

pertumbuhan areal yang cukup besar tersebut, hal lain yang lebih mendasar lagi

adalah penyebarannya, yang semula hanya ada pada 3 propinsi saja di Sumatera,

tetapi saat ini telah tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Sumatera masih memiliki

areal terluas di Indonesia, yaitu mencapai 75,98% diikuti Kalimantan dan

Sulawesi, masing-masing 20,53% dan 2,81%. Komposisi pengusahaan kelapa

sawit juga mengalami perubahan, yaitu dari sebelumnya hanya perkebunan besar,

tetapi saat ini telah mencakup perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Pada

tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.827 ribu ha (34,9%),

perkebunan negara seluas 645 ribu ha (12,3%) dan perkebunan besar swasta

seluas 2.765 ribu ha (52,8%). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan,

sedangkan Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan

swasta dan perkebunan rakyat.

Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kelapa sawit juga

mengalami peningkatan, dari hanya 181 ribu ton CPO pada tahun 1968 menjadi

9,8 juta ton pada tahun 2003 (Tabel 1), dengan komposisi Perkebunan rakyat (PR)

memberi andil produksi CPO sebesar 3.645 ribu ton (37,12%), perkebunan besar

negara (PBN) sebesar 1.543 ribu ton (15,7 %) dan perkebunan besar swasta

(PBS) sebesar 4.627 ribu ton (47,13%).

Produksi tersebut dicapai pada tingkat produktivitas PR sekitar 2,73 ton

CPO/ha atau setara 13,65 ton TBS (tandan buah segar)/ha, PBN 3,14 ton CPO/ha

atau setara 15,70 ton TBS/ha dan PBS 2,58 ton CPO/ha atau sekitar 12,90 ton

TBS/ha. Produksi tersebut akan terus meningkat di masa datang, yang berasal

dari tanaman belum menghasilkan (TBM) saat ini dan dari pengoptimalan

tanaman menghasilkan (TM) yang telah ada. Perkebunan kelapa sawit juga telah

menyebar ke berbagai wilayah Indonesia dengan perbandingan 85,55%

Sumatera, 11,45% Kalimantan, 2%, Sulawesi, dan 1% wilayah lainnya.

Produktivitas perkebunan kelapa sawit di Sumatera relatif lebih tinggi

Page 19: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-299

dibandingkan dengan di Kalimantan dan Sulawesi. Disamping CPO, perkebunan

kelapa sawit juga menghasilkan minyak inti sawit yang pada tahun 2003 mencapai

tidak kurang dari 2,1 juta ton (Tabel 2).

Tabel 1. Produksi Minyak Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan, 1991- 2003.

Produksi Minyak Sawit (ribu ton)

Tahun Perkebunan Rakyat

Perkebunan Milik Negara

Perkebunan Besar Swasta Jumlah

1991 413 1.360 884 2.657

1992 699 1.489 1.077 3.266

1993 582 1.469 1.370 3.421

1994 839 1.572 1.597 4.008

1995 1.001 1.614 1.864 4.479

1996 1.133 1.707 2.058 4.898

1997 1.293 1.800 2.287 5.380

1998 1.648 1.857 2.435 5.640

1999 1.544 1.846 2.615 6.005

2000 1.978 1.971 3.632 7.581

2001 2.801 1.606 4.690 9.097

2002 3.134 1.643 5.243 10.020

2003 3.649 1.673 5.361 10.683

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian (2004).

Tabel 2. Produksi Minyak Inti Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Pada 1991- 2003.

Produksi Inti Sawit (ribu ton) Tahun Perkebunan

Rakyat Perkebunan

Negara Perkebunan

Swasta Jumlah

1991 85 285 181 551

1993 105 288 209 602

1994 196 384 362 942

1997 279 423 526 1.229

1999 357 440 595 1.393

2000 396 453 726 1.575

2001 560 369 938 1.868

2002 627 378 1.049 2.053

2003 730 385 1.072 2.187

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian (2004).

Page 20: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-300

Perkembangan Ekspor dan Harga Minyak Sawit

Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan

mendesak Indonesia juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor

minyak sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina dan Jepang.

Produk yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil,

CPO dan beberapa produk oleokimia. Secara umum, ekspor minyak sawit

Indonesia 1988-2000 meningkat dengan laju 13,5%/tahun (Tabel 3).

Tabel 3. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Inti Sawit, 1990 – 2002.

Ekspor

Minyak sawit Minyak Inti Sawit Tahun

Volume (ton) Nilai (ribu US$) Volume (ton) Nilai (ribu US$)

1990 815.580 203.507 158.303 44.182

1991 1167.689 335.481 136.322 42.754

1992 1.030.272 356.494 222.541 109.841

1993 1.632.012 582.629 275.225 110.188

1994 1.631.203 717.811 340.504 177.583

1995 1.265.024 747.414 311.399 187.267

1996 1.671.957 825.415 341.318 235.168

1997 2.967.589 1.446.100 502.979 294.255

1998 1.479.278 745.277 347.009 195.447

1999 3.298.987 1.114.242 597.843 347.975

2000 4.110.027 1.087.278 578.825 239.120

2001 4.903.218 1.080.906 581.926 146.259

2002 6.333.708 2.092.404 73.846 256.234

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian (2003).

Impor minyak sawit umumnya dalam bentuk olein dari Malaysia (Tabel 4).

Impor ini biasanya terjadi pada waktu harga dunia tinggi dimana terjadi rush export

dari Indonesia. Dalam keadaan demikian biasanya pemerintah menggunakan

mekanisme pajak ekspor untuk menjamin pasokan dalam negeri yang besarnya

pernah mencapai 60%. Dengan pajak ekspor 60%, praktis seluruh pasokan

Indonesia diserap oleh pasar domestik, dan tidak ada kelebihan ekspor dari

menjual di dalam negeri.

Page 21: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-301

Tabel 4. Volume dan Nilai Impor Minyak Sawit dan Inti Sawit Indonesia, 1988-1997.

Impor

Minyak sawit Minyak Inti Sawit Tahun

Volume (ton) Nilai (ribu US$) Volume (ton) Nilai (ribu US$) 1988 302.190 120.422 490 247

1989 412.392 224.904 61 35

1990 26.183 7.662 530 304

1991 37.874 13.891 17.493 7.803

1992 308.743 113.511 17.222 12.097

1993 151.939 63.671 3.327 1.944

1994 123.637 55.715 13.917 7.988

1995 49.785 48.113 4.239 3.277

1996 107.553 61.173 3.132 2.735

1997 91.680 55.456 3.159 3.011

1998 17.618 8.459 554 526

1999 1.648 543 1.209 1.004

2000 4.350 4.020 3.638 2.404

2001 141 60 4.974 2.464

2002 9.499 3.267 2.362 1.478

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2003).

Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan

internasional sejak tahun 1988 sampai dengan 2002 menunjukkan kecenderungan

yang menaik (Tabel 5). Pergerakan harga minyak sawit di pasar internasional

ditransmisikan ke pasar domestik (border price dan whole sale price) melalui

mekanisme pasar. Secara umum pergerakan harga minyak sawit domestik

searah dengan perkembangan harga minyak sawit di pasar internasional. Selain

itu, harga minyak sawit juga mempunyai fluktuasi musiman (Gambar 1). Dalam

semester 1, harga pada bulan Januari biasanya adalah paling tinggi kemudian

turun melandai dalam Februari sampai Mei. Dalam semester 2, penurunan harga

yang paling tajam terjadi pada Mei-Juli/Agustus dan naik sampai dengan bulan

Januari.

Page 22: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-302

Tabel 5. Harga Rata-Rata Minyak Sawit di Pasar Domestik dan Internasional 1988 – 2003.

Tahun Harga Lokal

(Rp/kg)

Harga Ekspor

(US $ / ton) Tahun

Harga Lokal (Rp/kg)

Harga Ekspor

(US $ / ton)

1988 502 463 1996 1.275 532

1989 552 524 1997 1.148 545

1990 531 280 1998 1.424 678

1991 655 333 1999 3.943 438

1992 728 291 2000 2.979 310

1993 728 407 2001 2.412 276

1994 694 525 2002 2.049 389

1995 988 649 2003 2.840 449

Sumber : Laporan mingguan Bank Indonesia dan BPS 2003.

107

102

102

102

102

99

93

95

98

103 10

4

93

85

90

95

100

105

110

JAN

FE

B

MA

R

AP

R

MA

Y

JUN

JUL

AU

G

SE

P

OC

T

NO

V

DE

C

fakt

or m

usim

an

Gambar 1. Pola harga CPO

Neraca Minyak Kelapa Sawit Untuk Penggunaan Domestik

Hingga saat ini, konsumsi minyak sawit domestik diperkirakan sekitar 50%-

60% dari produksi dan penggunaannya sebagian besar untuk pangan (80%-85%)

sedangkan untuk industri oleokimia relatif masih kecil (15%-20%). Menurut

perkiraan, pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,5

%/tahun. Pertumbuhan konsumsi untuk oleopangan adalah 12%, lebih besar

dibandingkan pertumbuhan konsumsi untuk oleokimia (10%). Dengan perkiraan

Page 23: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-303

tersebut, maka neraca minyak kelapa sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir

bergerak dari surplus ke arah keseimbangan, identik dengan neraca dunia

(Tabel 6).

Tabel 6. Neraca Minyak Sawit Indonesia dan Dunia, 1998-2002. No Uraian 1998 1999 2000 2001 2002

1 Stok Awal

Indonesia 510 700 860 750 975

Dunia 3,203 2,688 3,701 4,015 4,098

2 Produksi

Indonesia 5,640 6,250 6,950 8,030 9,020

Dunia 17,154 20,625 21,874 23,921 25,033

3 Ekspor

Indonesia 2,002 3,319 4,140 4,940 6,380

Dunia 11,417 14,172 15,217 17,688 19,545

4 Impor

Indonesia 18 2 0 0 9

Dunia 11,528 13,939 15,215 17,569 19,300

5 Konsumsi

Indonesia 2,832 2,895 2,927 2,857 2,933

Dunia 17,663 19,493 21,589 23,742 24,952

6 Stok Akhir

Indonesia 700 860 750 975 700

Dunia 2,688 3,701 4,015 4,098 3,935

7 (Stok Awal + Produksi + Impor) – (Stok Akhir + Konsumsi + Ekspor) atau Penawaran-Permintaan

Indonesia 633 (122) (7) 8 (8)

Dunia 117 (114) (31) (24) (0)

Sumber : Oil World (2004).

Tinjauan Kritis Terhadap PP 35 Tahun 2005

Tujuan pengenaan PE untuk barang ekspor tertentu, seperti CPO dan

produk turunannya (Pasal 2 ayat 2) adalah untuk (i) menjamin terpenuhinya

kebutuhan dalam negeri, (ii) melindungi kelestarian sumber daya alam, (iii)

mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor

tertentu, dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri.

Page 24: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-304

Mencermati tujuan di atas, maka sesungguhnya dimensi manfaat dan

keadilan dari PP ini patut dipertanyakan. Dari uraian tentang PE di atas, maka

penetapan tujuan PE ini semata-mata hanya memperhatikan kepentingan pembeli

domestik dan kepentingan negara (pemerintah) yang dilihat secara parsial.

Kepentingan produsen, yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit,

penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya terabaikan.

Tidak ada pernyataan dalam tujuan yang relevan dengan kepentingan produsen,

penyedia jasa bisnis dan pemasok input. Sedangkan kepentingan pelestarian

sumber daya alam malahan mendapatkan perhatian khusus yang dinyatakan

sebagai tujuan kedua.

Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan

keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit sehingga

industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya dengan harga rendah

(terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi terselubung bagi industri

hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut, negara dapat mengumpulkan

penerimaan negara bukan pajak. Perolehan penerimaan negara ini tidak

dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE. Dengan perhitungan sederhana,

akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak pertengahan 1998 hingga akhir tahun

2003 mencapai sekitar Rp. 6,85 Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat

mungkin dicapai dengan penetapan formula penerimaan ekspor dengan

komponen yang terdiri dari volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan

ekspor, tarif PE dan nilai kurs Rupiah.

Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam dapat dikatakan

terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa sawit. Dalam

pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari produk-produk

kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga apabila tidak

dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes yang sering

muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam adalah karena

kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal ini pembangunan

perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan yang tidak

memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks pencapaian tujuan, lantas

bagaimana PE dapat melindungi kelestarian sumber daya alam?. Pencantuman

tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam sekaligus dapat diartikan

Page 25: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-305

sebagai pembenaran atas adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam

kaitannya dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Masih dalam konteks tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE

mengakomodasi kepentingan produsen yaitu perusahaan perkebunan dan petani

kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk

turunannya? Produsen menanggung beban PE dan tidak ada pernyataan tujuan

yang melindungi kepentingan produsen. Sebagai suatu kebijakan publik

selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap seluruh stakeholders.

Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan

pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP No.35 Tahun

2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa keadilan bagi

stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku jasa bisnis

berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya. Tujuan

untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum jelas kepastian

hukumnya tentang bagaimana mencapainya.

Tarif PE, HPE dan Nilai Kurs Berpotensi Sebagai Sumber Distrorsi

Dalam kasus CPO dan produk-produk turunannya, sesuai Pasal 3, tarif PE

ditetapkan secara advalorem. Jumlah pungutan ekspor dihitung berdasarkan

rumus: Tarif PE x Jumlah ekspor x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Nilai Kurs.

Tarif atas PE CPO dan produk-produk turunannya ditetapkan paling tinggi 60%.

Besarnya tarif PE dan nilai kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Besarnya

HPE ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Sedangkan Menteri Teknis terkait,

seperti Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian, hanya memberi

pertimbangan dan/atau usul atas penetapan besarnya tarif dan HPE. Formulasi di

atas pada dasarnya tidak merubah ketentuan PE yang berlaku sebelumnya.

Sebagai ilustrasi dapat disampaikan data perkembangan pengenaan PE untuk

CPO dari bulan Juli 1998 hingga Maret 2005 (Tabel 7).

Saat ini, ketentuan Menteri yang sudah diterbitkan baru tarif PE, yaitu 3%

untuk tandan buah segar dan inti (biji) kelapa sawit dan CPO, dan 1% untuk crude

olein (RBD Olein), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO) dan Refined

Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Nilai kurs ditetapkan Menteri Keuangan

pada saat pembayaran PE dilakukan. Besarnya HPE masih belum ditentukan oleh

Menteri Perdagangan. Menurut Menteri Perdagangan, sesuai aturan yang berlaku

Page 26: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-306

selama ini, kalau belum ada penetapan HPE yang baru, maka HPE yang lama

masih berlaku. Seharusnya, sesuai PP No. 35 Tahun 2005, HPE CPO dan produk

turunannya merujuk pada harga internasional, yaitu harga di Rotterdam yang saat

ini berkisar US$ 420 per ton.

Tabel 7. Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya.

Tahun PE (%)

HPE (US$/ton)

Harga (US$/ton)

Nilai Kurs (RP/US$)

Juli 98-Feb 99 60 610 650 14.550

Feb 99-Juni 99 40 535 535 8.850

Juni 99-Juli 99 30 365 440 8.171

Juli 99-Sept 99 10 260 312 6.873

Sept 99-Feb 2001 5 190 335 8.250

Feb 2001-Juni 2002 3 160 175 9.598

Juni 2002-Maret 2005 3 160 429 9.750 Sumber: Rosediana (2005)2

Belum ditetapkannya PE untuk CPO dan produk-produk turunannya tidak

terlepas dari penetapan besarnya nilai tarif PE dan HPE. Permasalahannya

berkisar pada pilihan antara (i) tarif PE turun dari 3% menjadi katakanlah 1%

dengan HPE disesuaikan dengan harga pasar di Rotterdam atau (ii) tarif PE tetap

3% dengan HPE juga tetap US$ 160 per ton. Saat ini tarif PE CPO telah

ditetapkan 3%, sehingga perdebatan antara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit

Indonesia (GAPKI) dan pemerintah tinggal pada besarnya HPE.

Jika harga net ekspor CPO Indonesia ex Kuala Lumpur berdasarkan nilai

absolut PE pada bulan September 2005 sebesar USD 4,80 (PE 1%),

menghasilkan HPE sebesar USD 360/MT atau sebesar Rp.3.600,36/kg (Tabel 8).

Tarif PE CPO yang saat ini telah ditetapkan pemerintah sebesar 3%

menyebabkan harga ekspor turun menjadi Rp. 3.538.36/kg. Hal ini sangat

mempengaruhi perhitungan profit loss analysis. Jika PE sebesar 1% dari HPE ex

Kuala Lumpur maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 23,06/kg sedangkan

2 Rosediana, S. (2005). Peranan Industri Minyak Sawit Dalam Perekonomian Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar

Nasional “Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia: Menuju Kesinambungan Sosial Ekonomi” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 28 September 2005.

Page 27: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-307

Tabel 8. Perhitungan Profit Loss Analysis Dengan Menggunakan Harga CPO Ekspor dan Tender KPB Ex Kuala Lumpur, Malaysia, Oktober 2005.

No. Transaction Info Nilai per

Unit Satuan Nilai Nilai per Unit Nilai

A Penerimaan

1 Jumlah MT 5,000 5,000

2 Harga USD 386 386

3 Nilai USD 1,930,000 1,930,000

B Biaya

1 Pajak Ekspor 4.80 Per MT (USD) 24,000 11.00 55,000

2 Bongkar Muat 19.00 Per MT (USD) 95,000 19.00 95,000

3 Surveyor USD 1,155 1,155

4 L/C Ekspor - USD - - -

5 Pelabuhan 3,000,000 Rp 3,000,000 3,000,000 3,000,000

6 Asuransi 0.18 % (USD) 3,474 0.18 3,474

7 Penyusutan 0.30 % (USD) 5,790 0.30 5,790

8 Total Biaya (USD) 129,519 160,519

9 Total Biaya Rp 3,000,000 3,000,000

10 Grand Total Biaya 129,819 160,819

C Nilai Tukar Rp 10,000.00 10,000.00

D Harga Ekspor

Total Nilai Ekspor USD 1,930,000 1,930,000

Total Biaya Ekspor USD 129,819 160,819

Nilai Ekspor Total USD 1,800,181 1,769,181

Harga Ekspor Total USD/MT 360.0 353.84

Dalam Rp (Asli) Rp/kg 3,600.36 3,538.36

E Harga CPO Lokal

Tender KPB Price incl. PPN Rp 4,097 4,097

PPN 10% Rp 410 410

Tender Price Excl. PPN Rp 3,687 3,687

Transportasi Lokal Rp 110 110

Nett Tender Price Rp 3,577 3,577

FOB incl. PPN Rp 3,987 3,987

F Profit and Loss Analysis

- Harga Ekspor Bersih 3,600.36 3,538.36

- Harga Dalam Negeri 3,577.30 3,577.30

Profit (Loss) Rp/kg 23.06 (38.94)

Total Profit

in Rp 115,310,000 (194,690,000)

Penerimaan Negara 5,000 MT 240,000,000 5,000 MT 550,000,000

700,000 MT 33,600,000,000 700,000 MT 77,000,000,000 Sumber : Ditjen BP2HP Deptan, 2005, diolah.

Page 28: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-308

bila PE sebesar 3% maka terdapat kerugian jika melakukan ekspor karena harga

lokal lebih tinggi. Kerugian tersebut mencapai Rp. 38.94/kg. Dengan jumlah

ekspor sebesar 5000 MT CPO maka total keuntungan ekspor yang dapat ditarik

dengan memberlakukan PE sebesar 1% adalah Rp. 115.310.000,00. Sedangkan

bila PE sebesar 3% maka total kerugian dapat mencapai Rp. 194.690.000,00.

Total penerimaan negara dari PE sebesar 1% untuk skala ekspor 5000 MT

mencapai Rp. 240 juta, sedangkan untuk peningkatan PE menjadi 3% maka total

penerimaan negara mencapai Rp. 550 juta. Apabila besaran ekspor dihitung

berdasarkan ekspor CPO Indonesia ke Rotterdam Belanda sebesar 700.000 MT

maka akan menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 33,6 milyar untuk PE 1% dan

Rp. 77 milyar untuk PE 3%.

Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu

diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam

menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk tarif

PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan (i)

sifatnya hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi

mengguncang pasar CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak negatif

bagi pasar CPO domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk program dan

kegiatan pengembangan industri perkelapasawitan nasional dan target PNBP.

Butir (iii) ini sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan HPE

disamping memperhitungkan kepentingan pelaku jasa bisnis dan keuntungan

perusahaan dan petani kelapa sawit. Untuk itu, kajian dan simulasi penetapan

tarif PE dan HPE sangat diperlukan.

Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 tentang PE, khususnya Pasal 2

dan 3 maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu disempurnakan

pada aspek-aspek : (i) memberi perhatian terhadap manfaat pengenaan PE bagi

pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii) menciptakan keadilan dengan

memperhatikan kepentingan stakeholders, terutama petani secara proporsional,

dan (iii) memberi kepastian hukum dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya

penegakan dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dan implementasi

penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan

dimaksud. SK Menteri dan pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya

menjadi bahan pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005,

bukannya menjadi sumber diskresi dari PP tersebut.

Page 29: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-309

Analisis Dampak Penerapan PE CPO (PP No 35/2005)

Ada tiga analisis dampak yang dilakukan yaitu : (1) dampak terhadap

Produk Domestik Bruto; (2) dampak terhadap agribisnis kelapa sawit; dan (3)

dampak terhadap pendapatan petani. Ada tiga skenario kebijakan PE (pungutan

ekspor) CPO yaitu :

d. PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,

e. PE sebesar 3 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,

f. PE sebesar 3 persen dari HPE (harga patokan ekspor) dimana HPE

berada sekitar 1/3 dari harga dunia atau setara dengan PE sebesar 1

persen dari harga CPO dunia yang berlaku.

Saat ini pemerintah telah menetapkan PE atas CPO sebesar 3 persen dari

HPE CPO. Namun besaran HPE atas CPO belum ditetapkan. Ada dua

kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan PE CPO yaitu: (1) pemerintah

menetapkan besaran HPE sebesar 1/3 dari harga CPO dunia yang berlaku yang

berarti setara dengan PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku;

(2) pemerintah merevisi besaran PE dari 3 persen menjadi 1 persen, tetapi HPE

ditetapkan sebesar harga CPO dunia yang berlaku.

(1) Produk Domestik Bruto

Pungutan Ekspor atas CPO menyebabkan, harga ekspor untuk CPO yang

diterima produsen menurun (disinsentif) yang selanjutnya berdampak pada

konstraksi kegiatan industri sawit maupun usahatani kelapa sawit. Namun

demikian, PE atas CPO menyebabkan harga CPO untuk industri hilir dalam negeri

menurun sehingga menciptakan insentif bagi industri tersebut. Dampak

selanjutnya adalah ekspansi kegiatan industri hilir CPO dalam mengeri. Selain

itu, PE atas CPO akan meningkatkan penerinaan PNBP negara sebagai dana

pembangunan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi nasional.

Dampak kontraksi dan ekspansi dari penerapan PE tersebut secara umum

akan tercermin dari PDB. Apabila PDB meningkat mengidentifikasikan bahwa PE

tersebut berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi nasional, tetapi

sebaliknya jika PDB menurun. Dari Tabel 7 tersebut terlihat bahwa penerapan PE

akan menyebakan penurunan PDB disemua skenario. Dampak penerapan PE 3

persen terhadap penurunan PDB lebih besar dibanding PE 1 persen. Ini

Page 30: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-310

mengindikasikan bahwa peningkatan PE ternyata tidak mampu mengakselerasi

kegiatan industri hilir dalam negeri yang menciptakan nilai tambah lebih besar

untuk mengkompensasi kehilangan nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan

PE pada kegiatan agribisnis kelapa sawit. Oleh karena itu, disarankan agar

pemerintah tidak menerapkan PE terlalu tinggi dibanding yang berlaku sekarang.

Daya Saing CPO Indonesia vs Malaysia

Sebuah negara mempunyai keunggulan komparatif terhadap suatu produk

jika mampu menghasilkan produk yang lebih baik dengan harga yang lebih murah

(Simeh, 2004). Pengenaan PE akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia

di pasar dunia, sementara harga ekspor CPO Malaysia tetap akibatnya daya saing

CPO Indonesia menurun terhadap CPO Malaysia. Hal ini tercermin dari

meningkatnya volume ekspor CPO Malaysia sementara volome ekspor CPO

Indonesia mengalami penurunan pada semua skenario.

Makin tinggi Pengenaan PE atas CPO Indonesia, makin tinggi pula volume

ekspor CPO Malaysia. Oleh karena itu, disarankan agar tingkat PE atas CPO

Indonesia tidak terlalu besar agar pangsa pasar CPO Indonesia tidak direbut oleh

CPO dari Malaysia.

Indonesia saat ini merupakan negara pengekspor minyak sawit kedua

terbesar di dunia setelah Malaysia. Malaysia memegang peranan penting dalam

perdagangan minyak sawit pada akhir tahun 1960-an saat Indonesia dan Nigeria

mengalami stagnasi produksi. Pada tahun 1969 pangsa ekspor minyak sawit

Malaysia mencapai sekitar 43.48 persen dari ekspor minyak sawit dunia dan pada

tahun 2002 pangsa ekspor Malaysia tumbuh menjadi 57,28 persen. Pada periode

yang sama, pangsa ekspor minyak sawit Indonesia sekitar 20.49 persen dan

32,64 persen. Sisanya dikuasai oleh beberapa negara, seperti Papua Nugini dan

Pantai Gading (Tabel 9).

Amerika Serikat, Belanda dan Pakistan secara tradisional merupakan

negara pengimpor utama minyak sawit. Pada tahun 1969 ketiga negara

mengimpor sekitar 11 persen dari impor minyak sawit dunia. Pada tahun 2002,

pangsa impor ketiga negara meningkat menjadi sekitar 13.35 persen (Tabel 10).

Perubahan pangsa impor ketiga negara tersebut terjadi karena adanya

peningkatan impor oleh Pakistan yang cukup nyata. Saat ini ketiga pengimpor

minyak sawit tersebut berperan cukup penting bagi Indonesia.

Page 31: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-311

Tabel 9. Ekspor (ton) dan Pangsa Ekspor (%) Minyak Sawit Dunia, 1969 – 2002.

Indonesia Malaysia Tahun

Ton % Ton % Dunia

1969 179 113 20.49 380 000 43.48 874 000

1974 281 221 16.52 900 000 52.88 1 702 000

1979 351 280 11.85 1 900 000 64.08 2 965 000

1984 127 938 2.85 2 978 000 66.30 4 492 000

1989 781 844 10.39 5 213 000 69.28 7 525 000

1994 1 631 203 14.80 6 895 200 62.58 11 019 000

1999 3 298 987 23.25 9 234 700 65.09 14 186 500

2000 4 110 027 26.99 9 280 000 60.95 15 226 100

2001 4 939 700 27,92 10 732 700 60,67 17 688 100

2002 6 379 500 32,64 11 195 400 57,28 19 544 900

Sumber : Oil World (berbagai terbitan), diolah.

Tabel 10. Impor (ton) dan Pangsa Impor (%) Minyak Sawit Dunia, 1969 – 2002.

AS Belanda Pakistan

Tahun Ton % Ton % Ton %

Dunia

1969 61 000 5.95 42 097 4.10 1 000 0.10 1 025 687

1974 200 000 9.84 39 872 1.96 90 000 4.43 2 031 872

1979 145 000 4.37 60 478 1.82 192 000 5.78 3 319 478

1984 148 000 3.10 24 546 0.51 400 000 8.37 4 777 268

1989 108 000 1.40 169 383 2.20 538 000 6.98 7 711 830

1994 149 000 1.25 434 100 3.64 1 114 000 9.34 11 925 304

1999 142 900 1.02 748 400 5.37 1 051 800 7.54 13 944 000

2000 165 100 1.08 775 500 5.09 1 107 100 7.27 15 234 300

2001 171 100 0,97 985 000 5,60 1 325 000 7,54 17 569 300

2002 219 000 1,13 1 061 400 5,49 1 300 000 6,73 19 299 700

Sumber : Oil World (berbagai terbitan), diolah.

Pada ketiga pasar tersebut, Malaysia merupakan pesaing utama Indonesia

dan umumnya CPO asal Malaysia lebih kompetitif karena antara lain, mutu yang

lebih baik dan adanya kemudahan-kemudahan yang didapat Malaysia dari negara

pengimpor dan tidak diperoleh Indonesia. Namun, perkembangan ekspor minyak

sawit Malaysia diperkirakan akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumber daya

Page 32: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-312

lahan dan tingginya tingkat upah pekerja. Sedangkan Indonesia masih mempunyai

potensi untuk berkembang karena dukungan biaya produksi murah dan lahan

potensial yang masih tersedia. Namun Indonesia juga menghadapi kendala dalam

pengembangan ekspor karena tingkat konsumsi domestik tinggi. Sementara itu,

Malaysia pun tidak berdiam diri dan terus meningkatkan produktivitas tenaga

kerjanya, sehingga mereka mengembangkan dengan sungguh-sungguh industri

produk turunan CPO yang bernilai lebih tinggi.

Berdasarkan data produksi tahun 1999 – 2004, terlihat jelas bahwa

Malaysia masih menempati peringkat pertama di dunia untuk produksi CPO. Pada

tahun 1999 produksi CPO Malaysia sekitar 10,6 juta ton, sedangkan Indonesia

hanya 6 juta ton (56,6 %). Pada tahun 2004 Produksi CPO Malaysia meningkat

menjadi 14 juta ton, sedangkan Indonesia sebesar 11,4 juta ton (81,4%).

Peningkatan produksi CPO Indonesia lebih besar disebabkan oleh peningkatan

luas areal penanaman kelapa sawit. Sedangkan produksi negara lainnya, seperti

Colombia, Ivory Coast dan Thailand masih jauh di bawah tingkat produksi

Indonesia maupun Malaysia (Tabel 11).

Tabel 11. Produksi CPO Negara Pesaing 1999 – 2004 (000 ton).

No Negara 1999 2000 2001 2002 2003 2004

1 Colombia 500 524 548 528 527 632 2 Ecuador 220 238 240 245 - - 3 Indonesia 6060 7000 7900 9200 10300 11430 4 Ivory Coast 282 266 247 280 - 790 5 Malaysia 10553 10840 11804 11908 13354 13974 6 Nigeria 720 740 770 775 785 - 7 Papua New Guinea 270 336 - - - - 8 Philipina - 54 55 56 - - 9 Thailand 410 525 600 600 640 670 10 Negara Lainnya 1262 1300 1661 1693 2276 2493

Total 20277 21823 23825 25285 27882 29989

Sumber : Oil World (2005).

(2). Agribisnis Kelapa Sawit

Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa

sawit disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis tersebut dapat dirangkum sebagai

berikut :

Page 33: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-313

Tabel 12. Dampak Pungutan Ekspor (PE) terhadap kinerja Agribisnis Kelapa Sawit dan Ekonomi Nasional (%)*)

Peubah 0% menjadi 1%**) 0% menjadi 3%**) 1% menjadi 3%**)

Produktivitas Negara 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Produktivitas Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Produktivitas Swasta 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Luas Menghasilkan Negara (0.00008934) (0.00026593) (0.00017659) Luas Menghasilkan Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Luas Menghasilkan Swasta (0.00512994) (0.01538651) (0.01025710) Serapan T. Kerja Negara 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Serapan T. Kerja Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Serapan T. Kerja Swasta (0.00067432) (0.00134864) (0.00067432) Harga CPO dalam Negeri (0.00142792) (0.00285584) (0.00142794) Konsumsi CPO dalam Negeri 0.00000551 0.00001653 0.00001102 Vol. Ekspor CPO Indonesia (0.01126562) (0.03379339) (0.02253031) Nilai Ekspor CPO Indonesia (0.02294849) (0.06882694) (0.04588898) Vol. Ekspor CPO Malaysia 0.00000389 0.000011666 0.00000777 Produksi CPO Indonesia (0.00678744) (0.02035882) (0.01357231) Nilai Tambah CPO Indonesia (0.00341154) (0.01023309) (0.00682178) Produk Domestik Bruto Indonesia (0.00000413) (0.00001031) (0.00000619) Keterangan : *) Model yang digunakan adalah model ekonometrik persamaan simultan yang terdiri dari Blok

produksi, konsumsi dan perdagangan. **) 0, 1, 3 % besaran Pungutan Ekspor (PE) dalam % x harga CPO dunia; dan PE 1% setara

dengan PE 3% x HPE (Harga Patokan Ekspor) yang berlaku saat ini sekitar US$ 160 per ton ( ) tanda dalam kurung menunjukkan penurunan atau pengurangan.

a. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 1 persen dari harga CPO

dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, maka produksi CPO

Indonesia mengalami penurunan karena luas tanaman yang menghasilkan

menurun, volume ekspor menurun lebih besar dibanding kenaikan konsumsi

domestik. Penurunan luas tanaman yang menghasilkan terjadi pada

perkebunan negara dan swasta, sedangkan perkebunan rakyat tidak terjadi.

Penurunan luas tanaman yang menghasilkan pada perkebunan negara dan

swasta sebagai respon penurunan harga Tandan. Dampak dari penurunan

luas tanaman yang menghasilkan tersebut menyebabkan penyerapan tenaga

kerja pada usahatani kelapa sawit menurun. Penurunan volume ekspor akan

berdampak pada penurunan penerimanan devisa negara dari ekspor CPO.

Walaupun terjadi peningkatan penerimaan negara dari PE, namun secara

keseluruhan PDB nasional mengalami penurunan.

Page 34: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-314

b. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 3 persen dari harga CPO

dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, arah dampaknya sama

dengan pemberlakuan PE 1 persen, tapi dampaknya lebih besar pada PE 3

persen.

c. Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis tersebut adalah bahwa

pengenaan PE berdampak pada penurunan luas tanaman menghasilkan yang

selanjutnya berdampak pada penurunan kesempatan kerja, dan penurunan

produksi CPO. Tambahan penerimaan pemerintah dari PE ternyata tidak

mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru sebaliknya, sehingga penerapan

PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek kinerja ekonomi makro. Apabila

pemerintah tetap menerapkan kebijakan PE CPO maka disarakan untuk

menerapkan PE sebesar 3 persen dengan HPE 1/3 dari harga CPO dunia

yang berlaku.

(3) Pendapatan Petani

Harga Tandan Buah Segar (TBS) pada saat PE 1% bulan September 2005

adalah sebesar Rp. 587,75/kg (Tabel 13). Kenaikan PE menjadi 3% menyebabkan

harga TBS semakin rendah. Ditambah lagi dengan adanya kenaikan Bahan Bakar

Minyak (BBM) yang rata-rata mencapai 107% juga sangat mempengaruhi

turunnya harga TBS. Kedua hal tersebut menyebabkan harga TBS turun menjadi

Rp. 577,21/kg.

Penurunan harga TBS menyebabkan keuntungan petani menurun dari Rp.

194,75/kg menjadi Rp. 87,61/kg, atau turun sebesar 55%. Jika diasumsikan 1 KK

petani kelapa sawit memiliki lahan rata-rata 2 ha dengan produktivitas 15 ton

TBS/ha/tahun maka keuntungan per KK menurun dari sekitar Rp. 5,8 juta menjadi

hanya Rp. 2,6 juta.

Diperkirakan kalau tarif ekspor tetap 3% sementara HPE mengikuti harga

CPO dunia di Rotterdam yang terus tinggi seperti pada September mencapai

US$ 420 per ton, maka pungutan ekspor yang menjadi beban eksportir naik cukup

tinggi menjadi US$ 7,8 per ton atau kalau dirupiahkan sebesar Rp78 per kg.

Karena beban PE dapat dialihkan ke petani, maka beban pungutan ekspor yang

besar itu sebagian diantaranya akan dibebankan pengusaha kepada petani.

Diperkirakan dengan pungutan ekspor sebesar Rp78 per kg CPO, maka harga

tandan buah segar (TBS) di petani kemungkinan dikurangi Rp15-Rp20 per kg.

Page 35: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-315

Hitungan ini diperoleh dari asumsi untuk mendapatkan 1 kg CPO jumlah TBS-nya

harus 5 kg (asumsi: rendemen minyak dalam TBS 20%). Selanjutnya, kalau harga

TBS di petani saat ini sebesar Rp 650 per kg, maka harga beli pasti berkurang.

Jika tarif ekspor hanya 1% dan HPE disesuaikan dengan harga jual CPO di

Rotterdam, maka pungutan ekspor masih tetap rendah yakni US$ 4,20 per ton,

sehingga tidak berpengaruh pada pendapatan petani.

Tabel 13. Pengaruh Kenaikan BBM dan PE Terhadap Biaya Produksi TBS, 2005.

Pengaruh Kenaikan BBM

Pengaruh Kenaikan PE dan BBM Uraian

Biaya Produksi/ Kg

TBS % Rp Biaya Pemupukan 100.00 30 130.00 130.00 Biaya Pemeliharaan 133.00 20 159.60 159.60 Biaya Panen 100.00 20 120.00 120.00 Biaya Transport TBS 50.00 40 70.00 70.00 Biaya Administrasi / Iuran, dll 10.00 - 10.00 10.00

Total Biaya 393.00 489.60 489.60 Harga Jual TBS 587.75 587.75 577.21 Keuntungan Petani 194.75 98.15 87.61 Pendapatan per KK Plasma 17,632,500 17,632,500 17,316,300 Biaya Produksi per KK Plasma 11,790,000 14,688,000 14,688,000 Keuntungan per KK Plasma 5,842,500 2,944,500 2,628,300 Penurunan Keuntungan (%) 49.60 55.00

Sumber : Dirjen BP2HP, Deptan, 2005. Keterangan :

1. Asumsi 1 KK memiliki 2 ha dengan produktivitas 15 ton TBS/ha/tahun 2. Kenaikan BBM rata-rata 107% 3. Kenaikan PE dari 4.80 menjadi 11.00 USD.

Prospek Dan Potensi Pengembangan Kelapa Sawit

Prospek

Harga. Hingga tahun 2008, harga minyak sawit di pasar Rotterdan

diperkirakan akan mengalami kenaikan walaupun secara riil akan mengalami

sedikit penurunan karena adanya kenaikan inflasi. Pada tahun 2004, harga

minyak sawit di Rotterdam sekitar US$ 0.56/kg dan pada tahun 2008 mencapai

US$ 0.68/kg (Gambar 2). Kenaikan harga ini diperkirakan tidak terlepas dari

berkembangnya pasar minyak sawit, terutama di negara-negara berkembang.

Dengan kata lain, minyak sawit masih mempunyai prospek kedepan.

Page 36: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-316

-

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

2004 2005 2006 2007 2008

Harga riil Harga nominal

Gambar 2. Harga Riil dan Nominal CPO di Rotterdam (US$/kg)

Ekspor. Meskipun hingga tahun 2008 ekspor CPO Indonesia meningkat

dengan laju 5.22% per tahun, Malaysia masih tetap unggul dibandingkan

Indonesia. Ekspor Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 masing-masing 4.57

juta dan 5.6 juta ton menjadi 5.61 juta dan 8.78 juta ton pada tahun 2008

(Gambar 3). Dalam periode di tersebut, Indonesia akan menguasai 33.32%,

sedangkan Malaysia menguasai 56.90% dari total ekspor dunia.

-

2,000,000

4,000,000

6,000,000

8,000,000

10,000,000

12,000,000

14,000,000

16,000,000

2004 2005 2006 2007 2008

Ekspor Indonesia Ekspor Malaysia Ekspor Dunia

Gambar 3. Ekspor Minyak Sawit Indonesia, Malaysia dan Dunia (ton).

Page 37: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-317

Gambar di atas juga mengisyaratkan bahwa hanya dengan pertumbuhan

minimal 17.69% per tahun, ekspor Indonesia baru dapat menyamai ekspor

Malaysia. Pertumbuhan tersebut dapat dicapai jika Indonesia mengalami

peningkatan produktivitas menjadi rata-rata sekitar 5.51 ton CPO/ha/tahun hingga

tahun 2008. Dengan kondisi pertanaman yang ada, Indonesia masih memiliki

kemungkinan untuk meningkatkan produktivitas dan produksi.

Pengembangan Produk. Pengembangan produk kelapa sawit diperoleh

dari produk utama, yaitu minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit, dan produk

sampingan yang berasal dari limbah. Beberapa produk yang dihasilkan dari

pengembangan minyak sawit diantaranya adalah minyak goreng, produk-produk

oleokimia, seperti fatty acid, fatty alkohol, glycerine, metalic soap, stearic acid,

methyl ester, dan stearin. Perkembangan industri oleokimia dasar merangsang

pertumbuhan industri barang konsumen seperti deterjen, sabun dan kosmetika.

Sedangkan produk-produk yang dihasilkan dari pemanfaatan limbah

diantaranya adalah pupuk organik, kompos dan kalium serta serat yang berasal

dari tandan kosong kelapa sawit, arang aktif dari tempurung buah, pulp kertas

yang berasal dari batang dan tandan sawit, perabot dan papan partikel dari

batang, dan pakan ternak dari batang dan pelepah, serta pupuk organik dari

limbah cair dari proses produksi minyak sawit.

Potensi

Kesesuaian dan ketersediaan lahan. Pengembangan tanaman kelapa

sawit telah dilakukan secara luas di Indonesia baik di kawasan barat maupun di

kawasan timur Indonesia. Potensi lahan yang tersedia untuk pengembangan

kelapa sawit umumnya cukup bervariasi, yaitu lahan berpotensi tinggi, lahan

berpotensi sedang, dan lahan yang berpotensi rendah (Tabel 14).

Lahan berpotensi tinggi adalah lahan yang memiliki Kelas Kesesuaian

Lahan (KKL) untuk kelapa sawit tergolong sesuai (>75%) dan sesuai bersyarat

(<25%). Lahan berpotensi sedang memiliki KKL tergolong sesuai (25-50%) dan

sesuai bersyarat (50-75%), sementara lahan berpotensi rendah memiliki KKL

tergolong sesuai bersyarat (50-75%) dan tidak sesuai (25-50%). Penyebaran areal

yang berpotensi untuk pengembangan kelapa sawit tersebut umumnya terdapat

di propinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian

Jaya, Sumatera Utara, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Page 38: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-318

Tabel 14. Potensi dan Kesesuaian Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit.

No. Kelas Kesesuaian Lahan Uraian Luas (ha)

Lahan Berpotensi Tinggi

S Sesuai 22.914.479

1

S/CS Sesuai/sesuai bersyarat 1.964.100

Jumlah 1 24.878.579

Lahan Berpotensi Sedang

S/N Sesuai/tidak sesuai 2.530.500

CS/S Sesuai bersyarat/sesuai 142.600

2

CS/N Sesuai bersyarat/tidak sesuai 704.006

Jumlah 2 3.377.106

Lahan Berpotensi Rendah

CS Sesuai bersyarat 7.670.100

CS/N Sesuai bersyarat/tidak sesuai 10.857.106

3

N/S Tidak sesuai/sesuai 121.225

Jumlah 3 18.648.431

Jumlah keseluruhan 46.904.116

Pada saat ini areal berpotensi tinggi sudah terbatas ketersediaannya, dan

areal yang masih cukup tersedia dan berpeluang untuk dikembangkan adalah

yang berpotensi sedang – rendah. Areal berpotensi rendah – sedang tersebut

memiliki faktor pembatas untuk pengembangan kelapa sawit yang meliputi:

(i) Faktor iklim yaitu jumlah bulan kering yang berkisar 2-3 bulan/tahun yang

menggambarkan penyebaran curah hujan yang tidak merata dalam

setahun.

(ii) Topografi areal yang berbukit-bergunung dengan kelerengan 25 – 40%

(areal dengan kemiringan lereng di atas 40% tidak disarankan untuk

pengembangan tanaman kelapa sawit).

(iii) Kedalaman efektif tanah yang dangkal, terutama pada daerah dengan jenis

tanah yang memiliki kandungan batuan yang tinggi dan kondisi drainase

kurang baik.

(iv) Lahan gambut.

(v) Drainase yang jelek pada dataran pasang surut, dataran aluvium, dan

lahan gambut.

(vi) Potensi tanah sulfat masam pada daerah dataran pasang surut.

Page 39: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-319

Produktivitas. Produktivitas PBN, PR dan PBS hingga tahun 2008 ke

depan masing-masing meningkat dari 4.79, 3.18 dan 3.21 ton CPO/ha/tahun tahun

2004 menjadi 5.23, 3.69 dan 3.28 ton CPO/ha/tahun (Gambar 4). Artinya,

produktivitas PR diproyeksikan akan mengalami peningkatan terbesar diikuti

dengan PBN. Meskipun mengalami peningkatan, tingkat produktivitas ketiga jenis

perkebunan di atas masih berada dibawah potensi produktivitas 8 ton

CPO/ha/tahun dan produktivitas yang dicapai perkebunan kelapa sawit Malaysia,

yaitu antara 6-7 ton CPO/ha/tahun.

0

1

2

3

4

5

6

2004 2005 2006 2007 2008

Perkebunan Negara Perkebunan Rakyat Perkebunan Swasta

Gambar 4. Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (ton CPO/ha/ tahun)

Hal ini mengisyaratkan bahwa peluang untuk meningkatkan produktivitas

kebun berbagai jenis pengusahaan masih ada, sehingga gerakan peningkatan

produktivitas nasional harus menjadi tema penting dalam pengembangan kelapa

sawit ke depan. Penggunaan bibit unggul dalam penanaman baru dan

peningkatan intensitas pemeliharaan menjadi kunci sukses program peningkatan

produktivitas.

Pengembangan Industri. Produk-produk yang dapat dihasilkan dari minyak

sawit sangat luas dengan intensitas modal dan teknologi yang bervariasi.

Produksi CPO Indonesia yang diolah di dalam negeri sebagian besar masih dalam

bentuk produk antara seperti RBD palm oil, stearin dan olein, yang nilai

tambahnya tidak begitu besar dan baru sebagian kecil yang diolah menjadi

Page 40: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-320

produk-produk oleokimia dengan nilai tambah yang cukup tinggi (Gambar 5).

Industrri yang mempunyai potensi untuk dikembangan adalah industri minyak

makan dan industri oleokimia.

Industri Minyak Makan; Industri fraksinasi/rafinasi menghasilkan nilai

tambah yang relatif kecil tetapi kapasitas terpasang industri ini sudah terlalu besar.

Disisi lain, tahapan fraksinasi/rafinasi harus dilakukan dalam industri minyak

makan. Nilai tambah yang diperoleh dari perdagangan eceran (retail) minyak

makan cukup besar. Oleh karena itu pengembangan industri ini perlu diarahkan

kepada usaha retail minyak makan baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk

pasar luar negeri. Untuk itu dibutuhkan kebijakan pemerintah yang terpadu dalam

pengembangan minyak goreng/makan (edible oil).

Industri oleokimia dasar masih relatif kecil padahal nilai tambahnya cukup

besar. Penggunaan minyak/lemak dalam industri oleokimia dunia hanya sekitar

6% dari total produksi minyak/lemak dunia. Namun, industri oleokimia berkembang

dengan sangat pesat terutama di Malaysia. Produksi oleokimia dasar dalam 1970-

1995 meningkat dari 2,5 juta ton menjadi 5 juta ton dan diperkirakan menjadi 6

juta ton pada 2000. Produksi Malaysia pada tahun 1995 adalah 1,792 juta ton

sedangkan Indonesia baru 652 ribu ton/tahun.

Segmen pasar oleokimia akan berkembang sejalan dengan perkembangan

teknologi oleokimia dan kesadaran masyarakat akan lingkungan serta semakin

langkanya petrokimia. Teknologi untuk membuat berbagai produk oleokimia sudah

ditemukan tetapi belum layak dikembangkan karena belum adanya insentif untuk

produk-produk yang ramah lingkungan.

Page 41: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-321

K elapa Sawit

Proses

BlendingBlending

Hidrogen.

Ref+Frac

CrushingRef+Frac

PK S

Confectionary

Krim Biskuit

Susu isian

Hyd OleinFatty amines

Fatty alkohol

Blending

TBS

Inti

PKORationing

Pakanternak

Stearin

Olein

Margarin

Splitting

Hyd. PKO

Es krim

Fatty amida

CPO

Bungkil

Ref.

Margarin

RefRBDPO

RBDolein

RBDstearin

Ref+Frac

Blending

M.goreng

Shortening

Es krim

Vanaspati

Margarin

Blending

Shortening

M.masak

M.goreng

Margarin

Blending

Shortening

Margarin

Penyabunan

Sabun

Penyabunan

Sabun

SplittingFatty acids

Kegunaanteknis,sabun dll

Confectionary

Limbah padat

Pulping

Pulp

Limbah cairRANUT

Biogas

PupukKompos

Kompos

ProsesFurnitur

PelepahK ayu

Ref=RafinasiFrac=Fraksinasi,Hidrog=hidrogenasi

Ref=RafinasiFrac=Fraksinasi,Hidrog=hidrogenasi

Pengurai

Serat

Rayon

Serat

Proses...Emulsifier

Cocoa butterequivalent

Fattyacids

RBDPKO

PulpingPulp

Super olein

Gambar 5. Pohon Industri Kelapa Sawit.

KESIMPULAN

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan

Pajak (PNBP), PE untuk CPO dan produk turunannya termasuk PNBP yang

bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam. Sesuai jenisnya, PNBP dari PE

ini dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang meliputi penelitian dan

pengembangan teknologi, pendidikan dan pelatihan, pelayanan yang melibatkan

kemampuan intelektual tertentu dan pelestarian sumber daya alam.

Dengan menggunakan harga patokan ekspor ex Kuala Lumpur pada bulan

September 2005, kenaikan PE dari 1% menjadi 3% menghilangkan keunggulan

ekspor CPO Indonesia. Agar tidak memberatkan petani dan pengusaha kelapa

sawit, jika penentuan PE menggunakan harga patokan ekspor ex Kuala Lumpur

pada bulan September 2005 maka prosentase PE yang masih kompetitif maksimal

sebesar 1,5%. Jika penetapan PE 3% sudah diberlakukan maka penentuan HPE

Page 42: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-322

harus berkisar sekitar USD 160 sampai 170 USD agar harga CPO Indonesia

masih cukup kompetitif. Disamping itu distorsi nilai tukar Rupiah harus

dipertimbangkan sebagai faktor penentu yang penting.

Penerapan PE akan menyebakan penurunan PDB disemua skenario

kegiatan agribisnis kelapa sawit. Dampak penerapan PE 3 persen terhadap

penurunan PDB lebih besar dibanding PE 1 persen. Ini mengindikasikan bahwa

peningkatan PE ternyata tidak mampu mengakselerasi kegiatan industri hilir dalam

negeri yang menciptakan nilai tambah lebih besar untuk mengkompensasi

kehilangan nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan PE pada kegiatan

agribisnis kelapa sawit. Pengenaan PE juga berdampak pada penurunan luas

tanaman menghasilkan yang selanjutnya berdampak pada penurunan

kesempatan kerja, dan penurunan produksi CPO. Tambahan penerimaan

pemerintah dari PE ternyata tidak mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru

sebaliknya, sehingga penerapan PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek

kinerja ekonomi makro.

Kenaikan PE menjadi 3% menyebabkan harga TBS semakin rendah.

Ditambah lagi dengan adanya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang rata-

rata mencapai 107% juga sangat mempengaruhi turunnya harga TBS. Kedua hal

tersebut menyebabkan harga TBS turun menjadi Rp. 577,21/kg. Penurunan harga

TBS menyebabkan keuntungan petani menurun dari Rp. 194,75/kg menjadi Rp.

87,61/kg, atau turun sebesar 55%. Jika diasumsikan 1 KK petani kelapa sawit

memiliki lahan rata-rata 2 ha dengan produktivitas 15 ton TBS/ha/tahun maka

keuntungan per KK menurun dari sekitar Rp. 5,8 juta menjadi hanya Rp. 2,6 juta.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa penerapan PE atas CPO

berdampak pada penurunan Produk Domestik Bruto, daya saing CPO Indonesia

dibanding Malaysia di pasar dunia, kinerja agribisnis kelapa sawit dan

pendapatan petani.

Apabila pemerintah tetap menerapkan PE atas CPO untuk meningkatkan

penerimaan PNBP, maka disarankan agar tingkat PE tidak terlalu tinggi. Apabila

tingkat PE sebesar 3 persen, maka HPE disarankan sebesar 1/3 dari harga CPO

dunia yang berlaku. Namun jika tingkat PE sebesar 1 persen, maka HPE

disarankan sebesar harga CPO dunia yang berlaku.

Page 43: ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_08.pdf · Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena ... bisnis dan keuntungan

VI-323

DAFTAR PUSTAKA

Clark, C.T. and L.L. Schkade. 1983. Statistical Analysis for Administrative

Decisions. South Western Publishing Co., Ohio.

Simeh, Mohd Arif. 2004. Comparative Advantage of The European Rapeseed

Industry vis-a-vis Other Oils and Fats Producers. Oil Palm Industry Economic Journal Volume 4 No. 27. Lembaga Minyak Sawit Malaysia. Kuala Lumpur.

Susila, W.R. 2004. Impacts of CPO-Export Tax on Several Aspects of Indonesian

CPO Industry. Oil Palm Industry Economic Journal Volume 4 No. 27. Lembaga Minyak Sawit Malaysia. Kuala Lumpur.

Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi – 3. Terjemahan Bambang

Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

D:\data\data\Anjak-2005/ANALISIS pe3