Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS BAHAYA DAN TITIK KENDALI KRITIS (HACCP)
RENDANG (STUDI KASUS DI RUMAH MAKAN PADANG X
KECAMATAN PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN)
TAHUN 2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH:
SRI WIDIYASTUTI
NIM: 1112101000006
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Januari 2018
Sri Widiyastuti
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, Januari 2018
Sri Widiyastuti, NIM: 1112101000006
Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis (HACCP) Rendang (Studi Kasus di
Rumah Makan Padang X Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan)
Tahun 2017
(xv + 221 halaman, 26 tabel, 5 bagan, 1 grafik, 8 lampiran)
ABSTRAK
Makanan yang aman, sehat, dan bergizi akan menentukan derajat kesehatan.
Saat ini, banyak rumah makan yang menjual berbagai jenis makanan tetapi belum
diketahui apakah makanan yang disajikan dalam keadaan aman atau tidak. Salah
satu makanan khas dari rumah makan padang adalah daging rendang. Proses
memasaknya membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga rendang dibuat
dalam jumlah yang banyak. Hal itu, mengakibatkan rendang mengalami
penyimpanan cukup lama yang dapat memicu pertumbuhan bakteri. Oleh karena
itu, diperlukan HACCP untuk dapat mencegah adanya kontaminasi makanan.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran HACCP makanan
rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan
Tahun 2017. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
studi kasus. Informan penelitian ini adalah karyawan rumah makan padang yang
bertugas membeli bahan-bahan untuk membuat rendang dan karyawan yang
memasak rendang dengan menggunakan purposive sampling. Analisis data pada
penelitian ini menggunakan teori Miles dan Huberman dan HACCP.
Hasil perumusan tahapan HACCP menunjukkan bahwa yang menjadi titik
kritis yaitu bahan baku bumbu dan santan, penerimaan dan penyiapan bahan baku,
penyiapan alat-alat yang dipakai, proses pemasakan, serta penyimpanan dan
distribusi. Tindakan perbaikan yang dapat dilakukan yaitu mengembalikan bahan
baku dan memberikan saran kepada penjual, memilih penjual bahan baku dan
pemasok kemasan pangan yang dapat menjamin keamanan pangan, mencuci
kembali bahan baku, membilas kembali alat-alat yang dipakai, menggunakan cairan
pencuci piring dengan kadar senyawa kimia rendah, suhu masak minimal 90°C atau
jika suhu tidak sesuai dapat perpanjang atau persingkat waktu masak,
membersihkan dapur, mengganti ulek dan cobek yang sudah keropos,
membersihkan etalase dan rumah makan, mengganti wadah yang tertutup, suhu
penyimpanan >60°C, serta mengganti jenis plastik/kertas pembungkus makanan.
Dari hasil pengujian bakteri pada rendang memenuhi syarat SNI 7474:2009.
Pengusaha rumah makan padang disarankan memilih pemasok bahan baku
yang menerapkan sistem keamanan pangan dan menerapkan personal higiene serta
higiene sanitasi makanan.
Kata kunci: HACCP, Rendang, Rumah Makan Padang
Daftar Bacaan: 143 (1994 – 2017)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
DEPARTMENT OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduated Thesis, January 2018
Sri Widiyastuti, NIM: 1112101000006
Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) of Rendang (Study Case
at Padang X Restaurant in Pamulang Subdistrict, South Tangerang) 2017
(xxi + 221 pages, 26 tables, 5 chards, 1 graphs, 8 appendixs)
ABSTRACT
The food that are safe, healthy, and nutritious will determine the level of
health. Nowadays, a lot of restaurants that sells various types of food, but people
haven't known yet the the food served in a safe condition or not. One of the typical
food from padang restaurant is rendang. The cooking processes of rendang take
long time, therefore rendang have always made in large quantities. This is the
reason of rendang would have long time in storage that could trigger of the bacterial
growth. Therefore, HACCP is needed to prevent the determination of food
contamination.
The aim of research to know the description of HACCP of rendang at
Padang X Restaurant in Pamulang Region, South Tangerang 2017. This study is a
qualitative research with study case design. Informant of this study is the restaurant
padang's employees in charge of buying ingredients to make rendang and the
employees who cooks rendang by using purposive sampling. This study used Miles
Terory and Huberman, and HACCP.
The results of HACCP steps showed that became a crisis point of rendang
are raw materials of spices and coconut milk, acceptance and preparation of raw
materials, preparation of tools, cooking process, storage and distribution. The
actions that could be done are restoring the raw materials and giving suggestion to
seller, selecting a seller of raw materials and food packaging suppliers that can
ensure the security food, washing back raw materials, rinsing the tools used, a
minimum cooking temperature of 90°C or if the temperature is not suitable to
extend or shorten the cooking time, cleaning the kitchen, change the pestle dan
mortar, cleaning the storefront and the restaurant, replacing closed containers,
storage temperature > 60°C, and replacing the type of plastic / food wrapping paper.
The results of bacterial testing in rendang satisfy the requirements of SNI 7474:
2009.
The owner of Padang restaurant are advised to select the raw material
suppliers that implement food safety system and implement personal hygiene and
hygiene of food sanitation.
Keywords: HACCP, Rendang, Padang Restaurant
Reference: 143 (1994 – 2017)
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Sri Widiyastuti
Jenis Kelamin : Perempuan
NIM : 1112101000006
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 30 September 1994
Agama : Islam
Alamat : Kp. Gaga Masjid Jl. H. Lahab No. 22 RT 005 RW
001 Kelurahan Larangan Selatan Kecamatan
Larangan Kota Tangerang Provinsi Banten
Telepon : 0812 9695 6065
e-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan
2012 – sekarang Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2009 – 2012 SMA Negeri 12 Tangerang
2006 – 2009 SMP Negeri 11 Tangerang
2000 – 2006 SD Negeri Larangan Selatan 1
1999 – 2000 TK Islam Amanah
vii
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan puji dan syukur
kepada Allah SWT karena hanya dengan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
skrispsi yang berjudul Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis (HACCP)
Rendang (Studi Kasus di Rumah Makan Padang X Kecamatan Pamulang
Kota Tangerang Selatan) Tahun 2017. Penulis menyadari hanya karena kekuatan
dan semangat dari Allah SWT, pada akhirnya penulis mampu melewati tantangan
dan cobaan selama penulis sedang menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penulisan ini, penulis mendapat banyak bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis bermaksud untuk mengucapkan terima
kasih yang sebesar–besarnya kepada pihak–pihak yang secara langsung maupun
tidak langsung dalam proses penulisan dan penyelesaian skripsi ini, kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Ela Laelasari, S.KM, M.Kes selaku pembimbing pertama dan Ibu
Dela Aristi, S.KM, M.KM selaku pembimbing kedua yang telah
memberikan bimbingan, pengarahan, serta bantuan dalam proses
penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Jarimun dan Ibu Witi Asih selaku Orang tua dan Pujo, S.E, M.M
selaku kakak yang selalu mendoakan, mendukung, dan menyemangati
dalam penyelesaian skripsi ini.
viii
5. Sahabat-sahabat penulis yaitu Yufa Zuriya, Lilis Yuliarti, Nuril Hidayah Al-
Hasanah, Tyas Indah Permatasari, Isnaeni Wahyu Saputri, dan Abdu Rohim
yang selalu menyemangati, mendukung, dan mendoakan.
6. Anisa Apriliyani, Destinia Putri, dan Juwita Wijayanti yang selalu
mendengarkan keluh kesah dan memberikan tenaga, semangat, serta
bantuan untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Widhy Reza Putra, S.Tr K.L yang selalu menemani, mendoakan dan
memberi semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman Kesehatan Lingkungan 2012 dan Kesehatan Masyarakat
2012 yang selalu saling menyemangati dan mendoakan.
9. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang harus penulis pelajari dan
perbaiki. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran serta
pencerahan khususnya bagi penulis, sehingga tujuan yang diharapkan dapat
tercapai.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................ Error! Bookmark not defined.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS .............................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xii
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................... xv
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
1.3. Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 5
1.4. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 6
1.4.1. Tujuan Umum ........................................................................................ 6
1.4.2. Tujuan Khusus ....................................................................................... 7
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8
1.5.1. Manfaat Bagi Pengusaha Rumah Makan Padang .................................. 8
1.5.2. Manfaat Bagi Universitas ...................................................................... 8
1.5.3. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya ........................................................ 9
1.6. Ruang Lingkup ............................................................................................. 9
BAB II ................................................................................................................... 10
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 10
2.1. Keamanan Pangan ...................................................................................... 10
2.2. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) ............................. 11
2.2.1. Definisi HACCP .................................................................................. 11
2.2.2. Sejarah HACCP ................................................................................... 11
2.2.3. Tahapan HACCP ................................................................................. 12
2.3. Perilaku ....................................................................................................... 34
2.4. Rendang ...................................................................................................... 37
2.4.1. Bahan-bahan Rendang ......................................................................... 38
x
2.5. Kerangka Teori ........................................................................................... 45
BAB III ................................................................................................................. 48
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH ................................................. 48
3.1. Kerangka Pikir ............................................................................................ 48
3.2. Definisi Istilah ............................................................................................ 50
BAB IV ................................................................................................................. 52
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 52
4.1. Desain Penelitian ........................................................................................ 52
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................................... 52
4.3. Informan Penelitian .................................................................................... 52
4.4. Instrumen Penelitian ................................................................................... 53
4.5. Sumber Data ............................................................................................... 53
4.6. Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 53
4.6.1. Wawancara........................................................................................... 53
4.6.2. Observasi ............................................................................................. 54
4.6.3. Pengukuran Temperatur ....................................................................... 54
4.6.4. Penilaian Warna Daging ...................................................................... 54
4.6.5. Pengambilan Sampel Makanan untuk Pengujian Bakteri .................... 54
4.6.6. Menentukan Titik Kendali Kritis ......................................................... 55
4.7. Pengolahan Data ......................................................................................... 60
4.8. Teknik dan Analisis Data ........................................................................... 60
4.9. Pengujian Keabsahan Data ......................................................................... 61
BAB V ................................................................................................................... 63
HASIL ................................................................................................................... 63
5.1. Gambaran Umum Proses Pembuatan Rendang .......................................... 63
5.2. Tim HACCP ............................................................................................... 64
5.3. Deskripsi Produk ........................................................................................ 64
5.4. Tujuan Akhir Penggunaan Rendang ........................................................... 66
5.5. Bagan Alir Proses Pembuatan Rendang ..................................................... 67
5.6. Mengkonfirmasi Alur Proses Pembuatan Rendang .................................... 68
5.7. Identifikasi Analisis Bahaya ....................................................................... 75
5.8. Menentukkan Titik Kendali Kritis.............................................................. 87
5.8.1. Menentukkan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Rendang .......... 87
5.8.2. Menentukkan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan Rendang 91
xi
5.9. Menentukan Batas Kritis pada masing-masing TKK ................................. 95
5.10. Pemantauan Batas Kritis Setiap TKK ...................................................... 98
5.11. Penetapan Tindakan Perbaikan .............................................................. 103
5.12. Penetapan Prosedur Verifikasi ............................................................... 108
5.13. Dokumentasi dan Pencatatan .................................................................. 113
5.14. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Rendang ........................................ 119
BAB VI ............................................................................................................... 121
PEMBAHASAN ................................................................................................. 121
6.1. Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 121
6.2. Tim HACCP ............................................................................................. 121
6.3. Deskripsi Produk ...................................................................................... 122
6.4. Tujuan Akhir Penggunaan Rendang ......................................................... 123
6.5. Bagan Alir Proses Pembuatan Rendang ................................................... 124
6.6. Mengkonfirmasi Alur Proses Pembuatan Rendang .................................. 125
6.7. Identifikasi Analisis Bahaya ..................................................................... 142
6.8. Menentukan Titik Kendali Kritis ............................................................. 157
6.8.1. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku rendang ............ 158
6.8.2. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan Rendang 160
6.9. Menentukan Batas Kritis pada Masing-masing TKK .............................. 167
6.10. Pemantauan Batas Kritis Setiap TKK .................................................... 170
6.11. Penetapan Tindakan Perbaikan .............................................................. 174
6.12. Penetapan Prosedur Verifikasi ............................................................... 177
6.13. Dokumentasi dan Pencatatan .................................................................. 179
6.14. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Rendang ........................................ 180
BAB VII .............................................................................................................. 183
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 183
7.1. Kesimpulan ............................................................................................... 183
7.2. Saran ......................................................................................................... 183
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 185
LAMPIRAN ........................................................................................................ 195
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Simbol yang digunakan dalam Diagram Alir 16
Tabel 2.2 Profil Patogen 19
Tabel 2.2 Matriks Penentuan Risiko Boevee 22
Tabel 3.1. Definisi Istilah 50
Tabel 5.1. Deskrispi Produk Rendang 66
Tabel 5.2. Tujuan Akhir Penggunaan Rendang 67
Tabel 5.3. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Daging Sapi 69
Tabel 5.4. Hasil Pengujian Fisik pada Daging Sapi 69
Tabel 5.5. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Bumbu Rendang 70
Tabel 5.6. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Santan 71
Tabel 5.7. Analisis Bahaya pada Bahan Baku Rendang 76
Tabel 5.8. Analisis Bahaya pada Proses Pengolahan Rendang 80
Tabel 5.9. Penetapan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Daging, Bumbu, dan
Santan 88
Tabel 5.10 Penetapan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan
Rendang 92
Tabel 5.11. Penentuan Batas Kritis pada TKK Bahan Baku Rendang 95
Tabel 5.12. Penentuan Batas Kritis pada TKK Proses pengolahan
Rendang 96
Tabel 5.13. Pemantauan Batas Kritis pada Bahan Baku Rendang 98
Tabel 5.14. Pemantauan Batas Kritis pada Proses Pengolahan Rendang 100
Tabel 5.15. Tindakan Perbaikan pada Bahan Baku Rendang 103
Tabel 5.16. Tindakan Perbaikan pada Proses Pengolahan Rendang 105
Tabel 5.17. Prosedur Verifikasi pada Bahan Baku Rendang 108
Tabel 5.18. Prosedur Verifikasi pada Proses Pengolahan Rendang 110
Tabel 5.19. Pencatatan pada Bahan Baku Rendang 113
Tabel 5.20. Pencatatan pada Proses Pengolahan Rendang 115
xiii
Tabel 5.27. Dokumentasi 118
Tabel 5.28. Hasil Pengujian Bakteri pada Rendang 119
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Diagram Pohon Keputusan Penentuan CCP untuk Bahan Baku 24
Bagan 2.2 Diagram Pohon Keputusan Penentuan CCP untuk Proses
Pengolahan 25
Bagan 2.3. Kerangka Teori 47
Bagan 3.1 Kerangka Pikir 49
Bagan 5.1 Proses Pembuatan Rendang 68
xv
DAFTAR GRAFIK
Grafik 6.1 Pertumbuhan Bakteri ALT pada Rendang 0 Jam, 12 Jam, dan
24 Jam 120
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Makanan serta minuman merupakan suatu kebutuhan pokok yang penting
bagi manusia. Makanan yang dibutuhkan tentu harus bernilai gizi baik serta
diperhatikan hygiene dan sanitasinya meliputi pengolahan makanannya,
kerbersihan penjamah makanan, serta bagaimana cara penyajian makanan tersebut.
Saat ini, tersedia berbagai pilihan makanan dan minuman di tempat-tempat umum
dengan kualitas yang bervariasi. Dapat dipastikan, dimana adanya aktivitas
manusia, bisa ditemukan penjual makanan. Makanan adalah salah satu bagian yang
penting untuk kesehatan manusia mengingat setiap saat dapat saja terjadi penyakit-
penyakit yang diakibatkan oleh makanan (Chandra, 2007). Makanan yang tidak
aman (unsafe) yang disebabkan oleh adanya zat asing yang membahayakan,
memberi dampak terhadap timbulnya berbagai penyakit yang ringan hingga yang
membahayakan (Febriana & Artanti, 2009).
Pangan yang aman dan sehat setara bermutu dan bergizi tinggi, sangat
penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat
kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat. Pangan yang tidak aman akan
mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya menimbulkan masalah
terhadap status gizi. Kurangnya perhatian akan mengakibatkan terjadinya dampak
berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat
tidak higienisnya proses penyimpanan dan penyajian sampai risiko munculnya
penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang
berbahaya (Kementerian Kesehatan RI, 2015).
2
Berdasarkan laporan WHO, memperkirakan penyakit yang ditularkan
melalui makanan disebabkan oleh 31 agen berupa bakteri, virus, parasit, racun, dan
bahan kimia lainnya. Menyatakan bahwa setiap tahun sebanyak 600 juta atau
hampir 1 dari 10 orang di dunia jatuh sakit setelah mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi. Dari jumlah tersebut, 420.000 orang meninggal termasuk 125.000
anak dibawah usia 5 tahun. Penyakit diare bertanggung jawab lebih dari setengah
beban global penyakit melalui makanan menyebabkan 500 juta orang jatuh sakit
dan 230.000 kematian disetiap tahunnya. Anak-anak berada pada risiko penyakit
diare akibat makanan, dengan 220 juta jatuh sakit dan 96.000 meninggal setiap
tahun. Diare sering disebabkan oleh makanan mentah atau kurang matang seperti
daging, telur, produk segar, dan prosuk susu yang terkontaminasi oleh patogen
Escherichia coli dan Salmonella (WHO, 2015).
Data yang telah diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016, kasus diare tertinggi terdapat di wilayah pamulang dengan jumlah
penderita diare sebanyak 2977. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya
peningkatan KLB keracunan pangan maka penting untuk melakukan Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP) pada makanan.
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu program
pengawasan, pengendalian, dan prosedur pengaturan yang dirancang untuk
menjaga agar makanan tidak tercemar sebelum disajikan. Penerapan HACCP tidak
berarti menghentikan pertumbuhan bakteri ke titik nol, melainkan
meminimalkannya ke tingkat yang dapat dianggap aman (Arisman, 2009). Konsep
HACCP merupakan suatu metode keamanan pangan yang ditujukan untuk
mengidentifikasi bahaya yang kemungkinan dapat terjadi pada setiap tahapan
3
proses pembuatan makanan, dan tindakan pengendalian untuk mencegah
munculnya bahaya tersebut (Mortimore & Wallace, 2004).
Saat ini banyak masyarakat yang bekerja jauh dari rumah dan mempunyai
mobilitas yang tinggi sehingga masyarakat jarang memasak makanan untuk
dikonsumsi dirumah. Oleh sebab itu, harus diperhatikan keamanan pangan agar
makanan tidak mudah terkontaminasi yang akan berdampak menjadi sumber
penyakit. Untuk mencegah hal tersebut, perlu melakukan Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP) dari proses pembelian bahan baku, pemasakan, sampai
dengan pendistribusiannya agar makanan tersebut aman dikonsumsi oleh
konsumen.
Salah satu icon terkenal makanan indonesia adalah rumah makan padang.
Ciri khas makanan dari rumah makan padang yaitu rendang daging. CNN
mengumumkan bahwa rendang khas Indonesia sebagai makanan nomor satu
terenak di dunia Tahun 2017 (Permata, 2017). (Nurmufida, Wangrimen, Reinalta,
& Leonardi, 2017) mengemukakan rendang, makanan tradisional yang diawetkan,
digunakan sebagai cadangan atau persediaan bagi wisatawan dalam perjalanan
panjang. (Baskoro, 2015) juga mengatakan bahwa rendang yang merupakan
makanan khas Padang, Sumatera Barat adalah salah satu makanan yang paling
aman dibawa untuk jarak jauh lantaran dapat bertahan lama.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dari beberapa rumah makan padang di
wilayah Pamulang, didapatkan membuat rendang dengan jumlah antara satu sampai
tiga kilogram dalam sehari sehingga dapat dikonsumsi jangka waktu beberapa hari
atau dapat habis waktu satu hari tergantung dari banyaknya pembeli. Hal itu
dikarenakan, proses pembuatan rendang yang memakan waktu cukup lama.
4
Namun, hal tersebut dapat berisiko adanya kontaminasi pangan yaitu kontaminasi
bahaya biologi, fisik, dan kimiawi.
Memasak rendang dengan jumlah yang banyak dipastikan mengalami
penyimpanan yang cukup lama. Jika rendang disimpan dalam waktu lama dengan
suhu makanan yang tidak optimal maka akan memicu pertumbuhan bakteri maupun
jamur. Tidak hanya itu, rendang juga dapat berubah warna, bau, bentuk, serta rasa.
Hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya keracunan makanan dengan gejala
seperti diare, muntah-muntah, demam, dan sebagainya, serta rendang sudah tidak
layak untuk dikonsumsi. Sejalan dengan penelitian Prasafitra, Suada, & Swacita
tahun 2014, semakin lama masakan daging rendang tanpa pemasakan ulang
disimpan dalam suhu ruang, maka waktu reduktasenya semakin cepat sehingga
perkiraan beban bakterinya semakin banyak serta bau, tekstur dan rasa masakan
tersebut semakin cepat berubah ke arah yang buruk. Sama halnya dengan penelitian
(Murhadi, Fardiaz, S, & Satiawihardja, 1994), menunjukkan bahwa total mikroba
pada rendang meningkat secara perlahan dari 104 menjadi 106 (rumah makan besar)
dan dari 103 menjadi 107 koloni/gr (rumah makan sedang) setelah penyimpanan
satu sampai tiga hari.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian
mengenai analisis bahaya dan titik kendali kritis (HACCP) rendang (studi kasus di
rumah makan padang X Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan) tahun
2017.
1.2. Rumusan Masalah
Makanan merupakan kebutuhan pokok yang diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari. Seiring meningkatnya mobilitas masyarakat yang tinggi sehingga
5
jarang memasak makanan dirumah. Saat ini banyak rumah makan yang
menyediakan bermacam-macam jenis makanan. Salah satunya adalah rumah makan
padang. Makanan khas yang dibuat yaitu rendang daging. Dalam proses memasak,
rendang dimasak dengan waktu yang cukup lama sehingga membuatnya dalam
jumlah yang banyak. Karena hal tersebut, rendang juga disimpan dalam waktu yang
lama. Oleh sebab itu, harus diperhatikan keamanan pangan agar makanan yang
dikonsumsi tidak menjadi sumber penyakit. HACCP merupakan salah satu
pengendalian pangan untuk terhindarnya kontaminasi pada makanan sehingga tidak
menimbulkan KLB keracunan pangan. Hal itu akan mempengaruhi kesehatan
manusia yang pada akhirnya menimbulkan masalah terhadap status gizi.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai
analisis bahaya dan titik kendali kritis (HACCP) rendang (studi kasus di rumah
makan padang X Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan) tahun 2017.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana tim HACCP di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang
Kota Tangerang Selatan?
2. Bagaimana deskripsi produk rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah
Pamulang Kota Tangerang Selatan?
3. Bagaimana identifikasi tujuan akhir penggunaan produk rendang di Rumah
Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?
4. Bagaimana menyusun alur proses pembuatan rendang di Rumah Makan
Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?
5. Bagaimana mengkonfirmasi alur proses pembuatan rendang di Rumah
Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?
6
6. Bagaimana identifikasi analisis bahaya pada proses pembuatan rendang di
Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?
7. Bagaimana menentukan titik kendali kritis (TKK) pada proses pembuatan
rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang
Selatan?
8. Bagaimana menentukan batas kritis untuk masing-masing TKK pada proses
pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota
Tangerang Selatan?
9. Bagaimana pemantauan batas kritis setiap TKK pada proses pembuatan
rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang
Selatan?
10. Bagaimana penetapan tindakan perbaikan pada proses pembuatan rendang
di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?
11. Bagaimana penetapan prosedur verifikasi pada proses pembuatan rendang
di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?
12. Bagaimana dokumentasi dan pencatatan proses pembuatan rendang di
Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?
13. Bagaimana hasil pengujian mikrobiologi pada rendang di Rumah Makan
Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui analisis bahaya dan titik kendali kritis (HACCP)
rendang (studi kasus di rumah makan padang X Kecamatan Pamulang Kota
Tangerang Selatan) tahun 2017.
7
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tim HACCP di Rumah Makan Padang X Wilayah
Pamulang Kota Tangerang Selatan.
2. Untuk mengetahui deskripsi produk rendang di Rumah Makan Padang
X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan.
3. Untuk mengetahui identifikasi tujuan akhir penggunaan produk rendang
di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang
Selatan.
4. Untuk mengetahui menyusun alur proses pembuatan rendang di Rumah
Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan.
5. Untuk mengetahui mengkonfirmasi alur proses pembuatan rendang di
Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan.
6. Untuk mengetahui identifikasi analisis bahaya pada proses pembuatan
rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota
Tangerang Selatan.
7. Untuk mengetahui menentukan titik kendali kritis (TKK) pada proses
pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang
Kota Tangerang Selatan.
8. Untuk mengetahui menentukan batas kritis untuk masing-masing TKK
pada proses pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah
Pamulang Kota Tangerang Selatan.
9. Untuk mengetahui pemantauan batas kritis setiap TKK pada proses
pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang
Kota Tangerang Selatan.
8
10. Untuk mengetahui penetapan tindakan perbaikan pada proses
pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang
Kota Tangerang Selatan.
11. Untuk mengetahui penetapan prosedur verifikasi pada proses
pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang
Kota Tangerang Selatan
12. Untuk mengetahui dokumentasi dan pencatatan proses pembuatan
rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota
Tangerang Selatan.
13. Untuk mengetahui hasil pengujian mikrobiologi pada rendang di Rumah
Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Bagi Pengusaha Rumah Makan Padang
Dengan dilakukannya penelitian ini, dapat membantu para pemilik
rumah makan padang untuk mengetahui titik kritis dan bahaya-bahaya apa saja
dalam proses pembuatan rendang sehingga dapat dilakukan pencegahan untuk
menghindari adanya kontaminasi dalam makanan.
1.5.2. Manfaat Bagi Universitas
Dapat menambah pengetahuan terkait HACCP proses pembuatan
rendang dari awal hingga akhir sehingga dapat mengetahui titik kritis dan
bahaya-bahaya yang berpotensi mencemari makanan rendang.
9
1.5.3. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat menjadi bahan pertimbangan untuk dilakukannya penelitian
selanjutnya sesuai dengan topik yang sama.
1.6. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui analisis bahaya dan titik kendali
kritis (HACCP) rendang (studi kasus di rumah makan padang X Kecamatan
Pamulang Kota Tangerang Selatan) tahun 2017. Penelitian ini dilaksanakan dari
bulan Mei sampai Agustus 2017. Data penelitian ini merupakan data primer dan
data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan pengukuran, wawancara,
observasi, penilaian warna daging, serta uji laboratorium. Sedangkan data sekunder
diperoleh dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk
mengetahui studi kasus HACCP makanan rendang di rumah makan padang X
Wilayah Pamulang Kota Tangerang. Teknik yang digunakan untuk pemilihan
informan menggunakan purposive sampling. Dalam penelitian ini hanya melihat
bahaya fisik dan mikrobiologinya saja dikarenakan bahaya fisik dapat dilihat secara
langsung saat proses pembuatan rendang, sedangkan bahaya mikrobiologi dapat
dengan cepat mengkontaminasi makanan jika suhu penyimpanan bahan baku dan
rendang tidak sesuai sehingga dapat terjadi pertumbuhan bakteri.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keamanan Pangan
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan
yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi
pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan
kecerdasan masyarakat (Saparinto & Hidayati, 2006).
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
tentang pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi.
Keamanan pangan melingkupi semua tahapan proses makanan mulai
penyiapan bahan baku, pengolahan, pengemasan, sampai penyajian kepada
konsumen harus terhindar dari bahaya. Keamanan pangan dapat berupa
pengendalian bahaya yang mengancam keamanan pangan harus diidentifikasi dan
dikenal di tiap titik atau tahapan. Misalnya, larangan penggunaan bahan makan
berbahaya, seperti borak dan formalin pada makanan atau minuman karena dapat
menimbulkan penyakit bagi konsumen (Anwar, 2010).
11
2.2. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
2.2.1. Definisi HACCP
Analisis bahaya dan pengendalian titik kritis (Hazard Analysis and
Critical Control Points, HACCP) didefinisikan sebagai suatu pendekatan
ilmiah, rasional, dan sistematik untuk mengidentifikasi, menilai, dan
mengendalikan bahaya. Tujuan dari HACCP adalah untuk mencegah bahaya-
bahaya yang sudah diketahui (bahaya biologi, kimia, dan fisik) dan
mengurangi risiko terjadinya bahaya dengan melakukan pengendalian pada
setiap titik kritis dalam proses produksi (dari sejak tahap produksi bahan baku,
pengadaan dan penanganan bahan baku, pengolahan, distribusi hingga
konsumsi produk jadi). HACCP ini merupakan sebuah sistem jaminan
keamanan pangan dalam industri makanan yang sudah dikenal dan berlaku
secara internasional (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016).
Konsep HACCP merupakan penggabungan dari prinsip mikrobiologis
makanan, pengawasan mutu, dan penilaian risiko untuk mencapai tingkat
keamanan setinggi mungkin. Meskipun begitu, penerapan HACCP tidak
berarti menghentikan pertumbuhan bakteri hingga ke titik nol, melainkan
meminimalkannya ke tingkat yang dapat dianggap aman. Sistem ini menilai
kendali atas mutu bahan mentah, sistem pengolahan, lingkungan tempat proses
dilangsungkan, orang-orang yang terlibat dalam proses, dan sistem
penyimpanan serta distribusi (Arisman, 2009).
2.2.2. Sejarah HACCP
Konsep HACCP dimulai pada awal tahun 1960-an oleh Pillsbury
Company bekerja sama dengan the National Aeronautic and Space
12
Administration (NASA) dan Laboratorium Angkatan Bersenjata Amerika
Serikat. Sistem ini didasarkan pada konsep teknis analisis kegagalan, cara, dan
analisis dampak (failure, mode and effect analysis, FMEA) yang mengkaji
potensi kesalahan yang mungkin muncul di setiap tahapan pelaksanaan, dan
penempatan mekanisme pengendalian yang efektif secara tepat. Konsep
tersebut kemudian diterapkan ke dalam sistem keamanan mikrobiologis di
hari-hari awal pelaksanaan program pesawat ulang-alik berawak AS untuk
menjamin keamanan makanan astronotnya guna meminimalkan risiko
terjadinya kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di ruang angkasa.
Saat itu, sistem keamanan dan mutu makanan umumnya didasarkan pada
pengujian produk akhir. Akan tetapi, akibat keterbatasan teknik pengambilan
sampel dan pengujian, keamanan makanan sulit dijamin. Dengan demikian
tampak jelas bahwa ada suatu kebutuhan untuk mendatangkan sesuatu yang
lain, sebuah metode praktik dan pencegahan yang dapat memberi jaminan
keamanan makanan dalam tingkat yang lebih tinggi-sistem HACCP. Sistem
HACCP memang belum dipublikasikan sampai tahun 1970-an, tetapi sejak
mendapatkan pengakuan dunia internasional, penerapannya di dalam produksi
makanan yang aman telah diakui. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai
metode yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit bawaan makanan
(foodborne disease) (Mortimore & Wallace, 2004).
2.2.3. Tahapan HACCP
Penyusunan HACCP umumnya dilakukan dalam 12 langkah atau tahap
yaitu (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):
13
Tahap 1 : Menyusun Tim HACCP
Tugas pertama dalam mengembangkan rencana HACCP adalah
mengumpulkan tim HACCP terdiri dari individu-individu yang memiliki
pengetahuan dan keahlian khusus sesuai dengan produk dan proses. Tim
mencakup dari berbagai bidang seperti teknik, produksi, sanitasi, penjamin
kualitas, dan mikrobiologi makanan. Tim juga memasukkan staf yang terlibat
dalam proses produksi. Tim HACCP mungkin memerlukan bantuan dari
bantuan dari pakar luar yang mempunyai pengetahuan tentang potensi bahaya
biologi, kimia, dan fisik terkait dalam proses maupun produk (Hui, Cornillon,
Lim, Murrell, & Nip, 2004). Industri ukuran kecil dan menengah jika tidak
mempunyai staf yang memenuhi syarat maka harus membayar bantuan
konsultan dari luar untuk menerapkan sistem ini (FDA, HACCP Principles &
Application Guidelines, 1997).
Tahap 2 : Deskripsi Produk Rendang
Untuk mendeskripsikan atau menjelaskan produk, maka sebelumnya
perlu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut tentang produk (Surono,
Sudibyo, & Waspodo, 2016):
Nama produk
Komposisi produk
Bagaimana penggunaannya
Jenis kemasan
Masa simpan dan masa kedaluwarsa
Dimana produk tersebut akan dijual
Petunjuk yang diperlukan pada label
14
Bagaimana produk didistribusikan
Tahap 3 : Identifikasi Tujuan Akhir Penggunaan Produk Rendang
Identifikasi tujuan penggunaan produk sangat penting untuk ditetapkan
sebelumnya, karena hal tersebut akan berkaitan dengan tingkat kerumitan
dalam penentuan jenis-bahaya dan batas kritis yang akan diidentifikasi lebih
lanjut (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016). Setiap produk yang dikendalikan
melalui penerapan sistem HACCP terlebih dahulu harus ditentukan rencana
penggunaannya atau dengan kata lain harus diidentifikasi terlebih dahulu
sasaran konsumennya. Di dalam analisis risiko, tingkat bahaya suatu produk
akan berkaitan dengan sasaran konsumennya (Thaheer, 2005).
Tim HACCP perlu mengidentifikasi konsumen dan penggunaan
produk yang diinginkan. Penggunaan yang dimaksud harus didasarkan pada
penggunaan yang diharapkan oleh konsumen. Penggunaan dan persiapan
sebelum digunakan sangat mempengaruhi keamanan produk. Produk tertentu
mungkin terkontamiasi atau membawa organisme patogen sebagai bagian dari
flora alami. Jika pengolahannya tidak termasuk dalam langkah mematikan,
satu-satunya titik kontrol kritis yang dapat membuat produk menjadi aman
adalah perlakuan panas yang memadai selama persiapan. Konsumen yang
dimaksud bisa menjadi masyarakat umum atau segmen tertentu dari populasi
seperti bayi atau orang tua. Jika produk tersebut dijual ke rumah sakit atau
kelompok penduduk dengan kerentanan tinggi, dibutuhkan lebih keamanan
dan batasan kritis perlu lebih ketat (HACCP Europa Publication, 2012).
15
Tahap 4 : Menyusun Alur
Tim HACCP harus membuat dokumen yang akan digunakan berulang-
ulang dalam proses pengembangan rencana HACCP. Tim HACCP perlu
melihat secara dekat proses produksi dan membuat diagram alir yang
menunjukkan semua langkah yang digunakan untuk mengolah produk. Dalam
membuat diagram alir tidak perlu rumit dengan menggambarkan proses dari
penerimaan ke pengiriman. Untuk menemukan semua bahaya keamanan
pangan di dalam proses pembuatan, perlu mengetahui secara persis langkah-
langkah yang dilewati oleh produk tersebut. Tujuan diagram alir adalah
memberikan deskripsi sederhana yang jelas tentang semua langkah yang
terlibat dalam pemrosesan. Langkah penerimaan dan penyimpanan bahan baku
harus disertakan (HACCP Europa Publication, 2012). Bagan alir atau diagram
alir yang dibuat harus memuat semua tahapan di dalam operasional produksi
(Thaheer, 2005). Diagram alir proses harus mencakup data seperti (Mortimore
& Wallace, 2004):
Rincian semua bahan mentah dan kemasan
Semua kegiatan proses
Kondisi penyimpanan
Profil suhu dan waktu
Transfer dalam dan antar-area produksi
Gambaran desain/perlengkapan
16
Tabel 2.1 Simbol yang digunakan dalam diagram alir
Kegiatan Simbol Deskripsi
Langkah Perubahan fisik (mis., Pemotongan
daging), bahan kimia (misalnya,
pH), atau mikrobiologi (misalnya,
sterilisasi) dari bahan, pencampur
bahan atau pemisahan komponen
(mis., Pemisahan tulang dari
daging)
Inspeksi
Langkah kontrol untuk mengecek
produk atau proses
Pengangkutan/transpor
Perubahan lokasi tanpa adanya
perubahan pada produk itu sendiri
Menunda Penghentian sementara proses
sampai datangnya langkah
pemrosesan berikutnya. Penundaan
yang terkait dengan proses itu
sendiri (mis., Sterilisasi) tidak
ditunjukkan oleh simbol ini
Penyimpanan
permanen
Menjaga produk dalam kondisi
sesuai dengan produk untuk
meminimalkan kerusakan (mis.,
Penyimpanan gudang sebelum
pengiriman)
Langkah gabungan
Kombinasi operasi dan inspeksi
Sumber : (Rahman, 1999)
Tahap 5 : Mengkonfirmasi Alur
Setelah tim HACCP menyelesaikan diagram alir, perlu diperiksa
ketepatannya. Bagan alir yang telah dibuat belum dapat dikatakan sama dengan
proses sebenarnya dilapangan, tetapi masih memerlukan evaluasi dan
kepastian melalui pengamatan langsung (Thaheer, 2005). Untuk
17
melakukannya, pastikan bahwa langkah-langkah yang tertera pada diagram
menggambarkan secara realistis apa yang terjadi selama proses produksi
(HACCP Europa Publication, 2012). Proses diagram alir yang lengkap kadang
tidak memerlukan modifikasi setelah menjalani pembuktian di tempat
produksi, karenanya penting untuk melakukan hal tersebut sebelum masuk ke
tahap analisis bahaya (Mortimore & Wallace, 2004).
Tahap 6 : Identifikasi Analisis Bahaya
Analisis bahaya merupakan bagian dari kajian HACCP, yaitu tim
mengamati setiap langkah dalam proses, mengidentifikasi bahaya yang
kemungkinan ada, mengevaluasi signifikansinya, dan memastikan bahwa
tindakan yang tepat untuk pengendaliannya memang sudah siap tersedia
(Mortimore & Wallace, 2004). Bahaya dapat berupa kontaminan biologis,
kimiawi, maupun fisik. Bahaya ini dapat berasal dari bahan mentah, kemasan,
proses, dan penanganan yang berlangsung dalam rantai makanan ataupun dari
lingkungan. Bahaya-bahaya tersebut dapat menimbulkan kondisi risiko
gangguan kesehatan kepada konsumen (Hui, et al., 2004). Dalam analisis
bahaya tersebut harus diidentifikasi dan dicatat hal-hal sebagai berikut
(Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):
Bahaya aktual dan potensial yang terkait dengan setiap tahapan dalam
proses.
Potensi sumber bahaya (bahaya biologis, kimia, dan fisik) pada setiap
tahapan proses. Apakah tahapan proses tertentu dapat menimbulkan
potensi bahaya, atau meningkatkan potensi bahaya. Misalnya, berasal dari
peralatan yang kurang bersih.
18
Potensi sumber bahaya (bahaya biologis, kimia, dan fisik) pada setiap
bahan (bahan baku, bahan tambahan, bahan pembantu) yang digunakan.
Tingkat kemungkinan terjadinya bahaya, misalnya sangat mungkin terjadi,
bisa terjadi, jarang terjadi, sangat jarang terjadi.
Tingkat keparahan bahaya (efek kesehatan), apabila ancaman bahaya
tersebut terjadi.
Rincian bahaya-bahaya yang dapat mendukung kelangsungan hidup atau
perbanyakan organisme atau terbentuknya toksin tertentu pada setiap
tahapan proses.
Kondisi-kondisi tertentu yang dapat menyebabkan kontaminasi atau
pembentukan senyawan kimia berbahaya.
Langkah-langkah pengendalian apa saja yang dapat dilakukan untuk
mencegah atau mengurangi bahaya ke tingkat yang dianggap aman.
Secara garis besar bahaya utama dalam makanan dibagi menjadi 3
kelompok yaitu:
1. Bahaya biologis
Bahaya biologi muncul dalam bentuk mikroorganisme patogen yang
dapat memberikan pengaruh baik langsung, akibat tumbuh dalam atau
mengontaminasi makanan yang kemudian tertelan (infeksi bawaan
makanan), maupun tidak langsung, akibat produksi racun (keracunan
makanan). Mikrooganisme memiliki kebutuhan dasar yang berhubuangan
dengan suhu optimum pertumbuhan, kelembapan, pH, dan sumber
makanan (Mortimore & Wallace, 2004).
19
Tabel 2.2 Profil Patogen
Organisme Sumber Makanan Terkait Karakteristik
Pertumbuhan Optimum
Bacillus cereus Tanah, sereal, debu,
tumbuhan, rambut
hewan, air tawar, dan
sedimen
Bumbu, bahan-
bahan sereal
Aerob
30 - 40℃
pH 6,0 – 7,0
aw 0,995
Campylobacter
jejuni
Usus hewan Unggas, daging, air
yang tidak diolah,
dan susu yang tidak
di pasterisasi dengan
baik
Mikroaerofilik
42 - 43℃
pH 6,5 – 7,5
aw 0,997
Clostridium
botulinum
Spora ditemukan di
tanah, pantai, usus
ikan dan hewan, serta
sedimen danau dan
laut
Dapat muncul dalam
semua makanan
Anaerob obligat
25 - 30℃
pH 7,0
aw 0,99 – 0,995
Clotridium
perfringens
Tanah, debu,
tumbuhan, usus
hewan dan manusia
Makanan mentah,
yang dikeringkan,
dan makanan matang
Aerob
43 - 47℃
pH 7,2
aw 0,995
Listeria
monocytogenes
Tanah, silase pakan
ternak, tinja hewan
dan manusia, air
kotor
Semua lingkungan
pengolahan makanan
Aerob fakultatif
37℃
pH 6,0 – 7,0
aw 0,995
E. coli O157:H7 Usus halus Daging sapi matang,
susu mentah, produk
mentah, jus buah
yang terinfeksi
Aerob fakultatif
30 - 40℃
pH 6,0 – 7,0
aw 0,995
Salmonella spp. Usus manusia dan
hewan, air kotor
Daging babi, unggas,
telur, susu mentah,
air, kerang
Aerob fakultatif
35 - 43℃
pH 7,0 – 7,5
aw 0,99
Shigella spp. Tangan tercemar
tinja, lalat
Air, susu, salad,
kentang olahan, nasi,
hamburger
Aerob
35 - 43℃
pH 5,5 – 7,5
Staphylococcus
aureus
Membran mukosa
dan kulit hewan
berdarah panas dan
manusia
Semua makanan
matang
Anaerob
37℃
pH 6,0 – 7,0
aw 0,98
20
Organisme Sumber Makanan Terkait Karakteristik
Pertumbuhan Optimum
Vibrio
parahaemolyticus
Laut berperairan
hangat
Kerang dan ikan Aerob
37℃
pH 7,8 – 8,6
aw 0,981
Aspergillus
(aflatoksin)
Lingkungan Kacang tanah, biji-
bijian mengandung
minyak
33℃
pH 5,0 – 8,0
aw 0,98 - > 0,99
Virus (mis.,
Norwalk,
Hepatitis A
Enterovirus)
Penjamah makanan
yang terinfeksi, air
kotor, air yang
tercemar
Kerang dua
cangkang transfer
pasif ke makanan
siap santan
Virus tidak tumbuh dalam
makanan
Sumber : (Mortimore & Wallace, 2004)
2. Bahaya kimia
Bahaya kimia adalah bahaya yang timbul secara kimiawi yang dapat
mengancam kesehatan dan keselamatan manusia. Kontaminasi zat kimia
pada bahan makanan dapat terjadi melalui bahan-bahan, saat produksi atau
selama distribusi/penyimpanan, dan damaknya pada konsumen bisa berupa
jangka panjang (mis., karsinogenik), jangka pendek (mis., reaksi alergi).
Tim HACCP perlu mengkaji ulang setiap zat kimia toksik yang ada pada
bangunan juga mempertimbangkan semua kontaminan potensial dalam
bahan mentah dan kemasan. Berikut ini contoh kontaminasi zat kimia
(Mortimore & Wallace, 2004).
- Bahan mentah : pestisida/herbisida, racun (alami atau dihasilkan oleh
mikroba), alergen, antibiotik, residu hormon, logam berat.
- Proses : agens pembersih, pelumas, zat pendingin, zat kimia pengendali
hama, toksin, alergen.
- Kemasan : bahan plastik dan zat aditif, tinta, zat perekat, peluruhan
logam dari kaleng.
21
3. Bahaya fisik
Bahaya fisik pada makanan adalah adanya benda yang
keberadaannya dalam makanan dapat mencelakakan konsumen, seperti
misalnya dapat melukai mulut, gigi, saluran pernafasan, saluran
pencernaan, atau bahkan yang dapat melukai anggota badan (tangan)
konsumennya (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016). Bahaya fisik
merupakan zat atau benda asing yang dapat mengontaminasi bahan
makanan kapan saja selama berlangsungnya produksi. Zat asing dapat
dipandang sebagai bahaya pada keamanan makanan jika zat tersebut masuk
dalam kategori berikut (Mortimore & Wallace, 2004):
Sesuatu yang tajam dan menyebabkan nyeri dan cedera, mis., serpihan
kayu, pecahan gelas.
Sesuatu yang dapat menyebabkan kerusakan gigi yang parah, mis.,
logam, batu.
Sesuatu yang dapat menyebabkan tersedak, mis., tulang atau plastik.
Alasan lain untuk mengatasi kontaminasi zat asing adalah bahwa zat
itu dapat bertindak sebagai sarana untuk kontaminasi silang mikrobiologi.
Contohnya adalah keberadaan lalat dalam kue krim yang baru matang.
Disini bahaya muncul akibat perpindahan mikroorganisme patogen dari
lalat ke dalam kue, bukan lalat itu sendiri yang menjadi bahaya (Mortimore
& Wallace, 2004).
Mengenai kategori benda berbahaya FSIS (Food Safety and
Inspection Service) FDA 1995 dalam (Surono, Sudibyo, & Waspodo,
2016) membuat kesimpulan bahwa (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):
22
Benda keras dan tajam berukuran panjang 7 – 25 mm adalah
berbahaya.
Benda keras dan tajam berukuran < 7 atau > 25 mm berbahaya untuk
kelompok konsumen tertentu.
Potongan tulang atau duri dengan ukuran < 1 cm tidak berbahaya.
Potongan tulang atau duri 1 – 2 cm berisiko rendah
Potongan tulang atau duri > 2 cm berpotensi bahaya dan dapat
melukai.
Analisis Risiko
Analisa potensi bahaya secara kualitatif dilakukan dengan
mengkombinasikan antara peluang (probability) dan keakutan/keparahan
(severity). Bahaya potensial yang memiliki resiko tinggi harus/wajib
dilakukan tindakan koreksi, sedangkan tindakan pencegahan pada bahaya
potensial dengan resiko menengah. Berikut ini adalah penilaian risiko dengan
menggunakan matriks risiko boevee (Thaheer, 2005).
Tabel 2.3 Matriks Penentuan Risiko Boevee
Tingkat
Keparahan
(Severity)
Tingkat Kemungkinan Terjadi (Probability)
Tidak terjadi
(1)
Kadang terjadi
(2)
Sering terjadi
(3)
Pasti terjadi
(4)
Sangat tinggi (4) 4 8 12 16
Tinggi (3) 3 6 9 12
Sedang (2) 2 4 6 8
Rendah (1) 1 2 3 4
Sumber : Dimodifikasi (Thaheer, 2005)
23
Tahap 7 : Menentukan Titik Kendali Kritis (TKK)
Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi titik-titik atau tahapan-
tahapan proses mana saja yang dapat dikontrol guna mencegah,
menghilangkan, atau mengurangi terjadinya bahaya-bahaya tersebut, sehingga
dihasilkan produk yang aman. Dari hasil identifikasi ini, maka akan didapatkan
apa yang disebut Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (CCP). CCP
dapat didefinisikan sebagai titik, atau tahapan atau prosedur dalam pengolahan
makanan yang dapat dikendalikan sehingga bahaya dapat dicegah atau
diturunkan pada tingkat yang dianggap aman. Untuk menetapkan apakah suatu
tahapan proses dapat dikategorikan sebagai titik kritis atau bukan, maka
digunakan Bagan Logika atau Pohon Keputusan (Decision Tree) sebagai
berikut (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):
24
Bagan 2.1 Diagram Pohon Keputusan Penentuan CCP untuk Bahan Baku
Sumber : (Fardiaz, 1996)
Apakah terdapat bahaya dalam bahan baku yang akan digunakan?
Apakah dalam proses atau konsumen dapat menghilangkan bahaya
dari produk?
Apakah terdapat risiko kontaminasi silang terhadap fasilitas atau
produk lain yang tidak dikendalikan?
Ya Tidak Bukan CCP
Ya Tidak CCP
Tidak Ya CCP
Bukan CCP
P1
P3
P2
25
Bagan 2.2 Diagram Pohon Keputusan Penentuan CCP untuk Proses Pengolahan
Sumber: (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016)
Ya
Apakah perlu pencegahan pada tahap ini
untuk keamanan pangan?
Tidak Berhenti
Ya
Lakukan modifikasi tahapan dalam proses
atau rendang
Apakah ada tindakan pencegahan untuk mengendalikan?
Apakah tahapan dirancang khusus untuk menghilangkan atau mengurangi
bahaya sampai batas aman?
Apakah kontaminasi bahaya dapat meningkat sampai batas aman?
Ya Tidak
Bukan CCP
Ya Tidak CCP
Ya Tidak Bukan CCP
Bukan CCP
P1
P3
P2
Berhenti
Apakah tahapan berikutnya dapat menghilangkan atau mengurangi bahaya
sampai batas aman?
Tidak CCP
Berhenti
P4
26
Tahap 8 : Menentukan Batas Kritis untuk Masing-Masing TKK
Batas kritis adalah nilai maksimum atau nilai minimum bahaya biologi,
kimia, atau fisik yang teridentifikasi yang harus dikendalikan pada titik kritis
untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi bahaya ke tingkat yang
dianggap aman. Setiap CCP akan memiliki satu atau lebih tindakan
pencegahan yang harus dikontrol dengan baik untuk memastikan pencegahan,
penghapusan, atau pengurangan bahaya ke tingkat yang dapat diterima. Agar
efektif setiap batas kritis harus (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):
1. Berdasarkan informasi yang telah terbukti. Sumber informasi tentang batas
kritis dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya, peraturan
pemerintah, literatur ilmiah, dan konsultasi dengan para ahli.
2. Ukuran batas kritis biasanya adalah kombinasi dari faktor-faktor yang
dapat diukur pada saat proses produksi berjalan, yaitu seperti paparan suhu
dan waktu pada proses sterilisasi, pH, ukuran benda fisik dan sebagainya.
3. Nilai batas kritis harus memenuhi persyaratan peraturan pemerintah dan
atau standar perusahaan yang didukung dengan data ilmiah analisis risiko
(misalnya persyaratan suhu dan waktu untuk proses termal seperti
pasterisasi, memasak, dan sebagainya).
Tahap 9 : Pemantauan Batas Kritis Setiap TKK
Metode monitoring atau pemantauan batas kritis harus berbasis ilmiah
dan menggunakan peralatan yang selalu dikalibrasi secara rutin, sehingga
memberikan data pengamatan yang handal dan dapat dipertanggung-
jawabkan. Setiap sistem pemantauan harus ditetapkan dalam prosedur standar
dan data pemantauan CCP harus dicatat dan didokumentasikan secara rutin.
27
Dokumen sistem pemantauan CCP harus menjelaskan (Surono, Sudibyo, &
Waspodo, 2016):
Apa yang harus dipantau
Bagaimana cara mengamati
Dimana dilakukan pemantauan
Kapan dilakukan pemantauan
Siapa yang bertanggung jawab dalam pemantauan
Pemantauan merupakan tindakan untuk menjalankan pemeriksaan dan
observasi untuk memastikan bahwa proses memang terkendali. Pembentukan
prosedur pemantauan melibatkan sejumlah unsur, sebagai berikut (Mortimore
& Wallace, 2004):
1. Peralatan dan metode
Kriteria yang digunakan dapat mencakup, dan karenanya membutuhkan,
pengukuran terhadap:
Parameter fisik, seperti suhu, waktu, dan tingkat kelembaban. Jenis
pengukuran fisik lainnya yang mencakup pemeriksaan jalannya
pendeteksian logam, magnet, deteksi sinar-X, dan inspeksi ayakan dan
saringan.
Pemeriksaan kimiawi, seperti analisis klorin, pH, dan aw. Jenis uji
kimia lain dapat mencakup analisis residu pestisida, uji residu alergen,
atau analisis logam berat.
Uji sensorik, seperti penampakan visual dan tekstur. Meskipun uji
semacam ini sering dikaitkan dengan kriteria mutu, pemantauan
penampakan visual dapat diterapkan pada CCP benda asing, dan tekstur
28
mungkin sangat menentukan untuk penetrasi panas yang efektif, seperti
dalam produk kalengan.
Uji mikrobiologis tidak biasa digunakan untuk pemantauan karena
hasilnya tidak dapat langsung digunakan untuk pemantauan karena
hasilnya tidak dapat langsung tersedia. Hasil langsung pada saat itu lebih
diutamakan supaya tindakan perbaikan dapat segera dilakukan.
2. Penetapan frekuensi
Frekuensi pemantauan bergantung pada jenis CCP dan perlu dipandang
sebagai bagian dari sistem pengendalian. Contoh: pemantauan asiditas
dapat dilakukan dengan mengukur pH setiap kumpulan produk yang
dihasilkan.
3. Manusia
Karyawan yang ditugaskan harus:
Sudah terbiasa dengan prosesnya
Terlatih dalam teknik pemantauan
Terlatih dalam kesadaran akan HACCP
Tidak bias dalam pemantauan dan pelaporan
Terlatih dalam prosedur tindakan perbaikan
4. Pencatatan
Hasil aktivasi pemantauan harus dicatat oleh pemantau CCP. Buku laporan
harian yang digunakan untuk mendokumentasikan semua pengujian harus
memuat informasi yang benar untuk memastikan bahwa CCP memang
terkendali, dan catatan itu harus ditelaah secara teratur dan disimpulkan
29
oleh pihak terlatih yang berwenang. Catatan pemantauan CCP dapat
disimpan sebagai bagian dari buku laporan harian produksi umum.
Tahap 10 : Penetapan Tindakan Perbaikan
Adakalanya suatu tahapan proses tertentu yang kritis ternyata tidak
dalam pengendalian yang memadai sehingga produk yang dihasilkan tidak
dapat dinyatakan aman. Untuk mengantisipasi kerjadian yang tidak
dikehendaki tersebut, maka harus dibuatkan prosedur tindakan perbaikan
(corrective action). Tindakan perbaikan harus mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1. Menentukan penempatan dan perlakuan khusus terhadap produk yang
tidak memenuhi syarat agar tidak bercampur dengan produk yang normal.
2. Memperbaiki penyebab kesalahan untuk mencegah terjadinya kembali.
3. Memastikan bahwa setelah tindakan perbaikan CCP benar-benar terkendali
(dengan memeriksa kembali bahwa proses atau produk pada CCP tersebut
memenuhi syarat batas kritis)
4. Membuat catatan seluruh tindakan perbaikan yang dikerjakan.
Tahap 11 : Penetapan Prosedur Verifikasi
Penerapan prinsip 6 dapat dicapai melalui sejumlah aktivitas yang
secara umum tercakup dalam dua kategori, yaitu validasi dan verifikasi
(Mortimore & Wallace, 2004).
1. Validasi
Di dalam validasi, perlu meninjau ulang semua prinsip HACCP untuk
memastikan bahwa kriteria pengendalian telah diterapkan dengan benar
guna memastikan bahwa semua bahaya yang signifikan dapat
30
dikendalikan. Validasi merupakan sebuah pemastian bahwa tindakan
pengendalian dan batasan kritis akan mengendalikan bahaya yang
teridentifikasi, yaitu bahwa informasi dalam rancangan HACCP secara
efektif akan mengatur keamanan makanan.
2. Verifikasi
Verifikasi adalah pemastian bahwa tindakan pengendalian telah dilakukan
selama proses, biasanya begitu rancangan HACCP telah diterapkan.
Berbeda dengan tindakan pemantauan atau monitoring, verifikasi
merupakan tindakan untuk memastikan bahwa seluruh prosedur dalam
rancangan HACCP telah dijalankan dengan benar, memastikan setiap
tahapan kritis dalam proses produksi telah benar-benar terkendali,
memenuhi standar kritis yang telah ditetapkan dan memastikan bahwa
tujuan menghasilkan produk yang aman sudah tercapai (Surono, Sudibyo,
& Waspodo, 2016). Contoh : catatan membenarkan bahwa kue keju
dipanggang selama 55 menit pada suhu 144℃.
Kegiatan verifikasi mencakup audit terhadap sistem HACCP, serta
peninjauan dan analisis data seperti catatan CCP untuk memastikan
ketaatan terhadap program, pengambilan sampel dan pengujian produk
secara mikrobiologis dan kimiawi, pengkajian laporan keluhan konsumen
dan kalibrasi peralatan.
Audit secara teratur
Audit merupakan suatu kegiatan pokok yang harus mencakup inspeksi
terhadap laporan produksi, penyimpangan, tindakan yang dilakukan
serta pengkajian terhadap pelaksanaan dan prosedur yang digunakan
31
untuk mengendalikan CCP. Jika audit internal diselenggarakan–audit
dilakukan oleh usaha itu sendiri – penting kiranya audit dilaksanakan
oleh karyawan yang tidak terlibat dalam kajian HACCP ini atau tidak
terlibat dalam manajemen harian rancangan HACCP karena orang yang
tidak berhubungan dengan proses tersebut pendekatannya lebih
objektif. Audit eksternal juga merupakan kegiatan verifikasi dan
kemungkinan dapat dilakukan oleh konsumen, peninjau dari
pemerintah atau pihak ketiga yang dipekerjakan baik oleh konsumen
maupun oleh usaha itu sendiri. Audit secara teratur menghasilkan bukti
bahwa rancangan HACCP tetap berjalan dengan efektif. Manfaat
dilakukannya audit terhadap sistem HACCP antara lain.
- Kesinambungan kepercayaan terhadap keefektifan sistem dan
kesadaran akan manajemen keamanan makanan.
- Perbaikan sistem melalui identifikasi area yang lemah.
- Pemberian bukti terdokumentasi bahwa keamanan makanan telah
terkelola.
Analisis data
Kegiatan ini memastikan bahwa rancangan HACCP tetap berjalan
dengan efektif, tren yang terbentuk dapat dianalisis dan tindakan
perbaikan dapat dilaksanakan. Mengingat adanya kebutuhan akan
praktik higiene yang baik yang menjadi prasyarat, catatan tersebut juga
harus dikaji di tempat asalnya. Jenis data yang perlu dikaji secara
teratur sangat beragam dan mungkin meliputi:
32
a. HACCP : buku laporan harian HACCP, hasil uji, bagan kendali
proses, laporan audit HACCP, dan keluhan konsumen.
b. Prasyarat : laporan kontrol hama, register kaca, laporan audit rumah
tangga atau higiene.
Tahap 12 : Dokumentasi dan Pencatatan
Sistem HACCP harus didokumentasikan dan catatan dipelihara untuk
menunjukkan bahwa sistem itu memang disusun dengan tepat dan berfungsi
dengan benar. Jenis data yang akan disimpan meliputi (Mortimore & Wallace,
2004):
Rancangan HACCP, yang sedikitnya mencakup diagram alir proses dan
kendali HACCP, bersamaan dengan informasi penunjang (mis,. Analisis
bahaya, rincian tim HACCP, deskripsi produk).
Riwayat perbaikan minor pada rancangan HACCP, yang memperlihatkan
setiap perubahan yang dilakukan.
Catatan pemantauan CCP.
Catatan produk yang ditahan/diulang/ditarik yang dibuat saat menangani
penyimpangan.
Catatan pelatihan yang membuktikan bahwa karyawan yang terlibat dalam
penerapan sistem HACCP telah dilatih untuk melakukan hal itu.
Catatan audit
Catatan kalibrasi
Sesuai dengan prinsip-prinsip HACCP, maka dokumentasi sistem
HACCP harus mencakup dokumentasi mengenai prosedur dan tindakan yang
33
berkaitan dengan prinsip 1 sampai dengan prinsip 7, yaitu sebagai berikut
(Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):
Dokumentasi HACCP
(1) Informasi Proses dan Produk
1.1. Deskripsi Produk
1.2. Bagan Alir Proses
1.3. Program Prasyarat
(2) HACCP
2.1. Deskripsi Bahan Baku
2.2. Deskripsi Bahan Pembantu
2.3. Deskripsi Produk Jadi
2.4. Penggunaan Produk
2.5. Identifikasi Bahaya Biologi, Kimia, dan
Fisik
2.6. Identifikasi Critical Control Points
2.7. Bahaya yang Tidak Terkontrol
2.8. Tabel HACCP
Dari ke 12 tahap tersebut, lima tahapan pertama merupakan tahap persiapan
penyusunan HACCP sedangkan tujuh tahapan selanjutnya (yaitu tahapan enam
sampai dengan tahapan 12) yang merupakan untuk dari kerangka HACCP.
Penelitian yang dilakukan oleh (Surahman & Ekafitri, 2014), hasil kajian
HACCP terhadap produksi sari buah jambu biji di Pilot Sari Buah B2PTTG
menunjukkan bahwa yang ditetapkan sebagai CCP adalah proses sortasi, pencucian,
34
sterilisasi dan pengisian. Oleh karena itu harus dilakukan penanganan bahan baku
yang baik, kontrol kebersihan operator, penggunaan air yang sesuai dengan
persyaratan, dan memastikan kecukupan panas saat sterilisasi sari buah. Sedangkan
penelitian (Goulding & Mansur, 2014), menunjukkan bahwa penerapan prinsip
HACCP di Restoran Tomoto Surabaya masih kurang maksimal. Tingkat
penyimpangan pada penerapan HACCP paling sering terjadi pada tahap awal yaitu
penetapan bahaya dan risiko. Implementasi penerapan HACCP di Restoran Tomoto
Surabaya hanya melalui 4 tahap yaitu penetapan bahaya dan risiko, penetapan CCP,
penetapan batas kritis, dan pemantauan CCP. 3 tahap yang lain yaitu penetapan
tindakan perbaikan, penetapan prosedur verifikasi dan penetapan dokumentasi atau
rekaman masih belum dapat dijalankan.
2.3. Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan,
yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Sunaryo, 2004).
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
atau bulan yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni
dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Berikut ini merupakan
tingkatan praktik (Notoatmodjo, 2007):
1. Persepsi
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan
yang akan diambil.
35
2. Respon terpimpin
Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan
contoh.
3. Mekanisme
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.
4. Adaptasi
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa
mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.
2.3.1. Personal Hygiene Penjamah Makanan
Kebersihan perorangan merupakan langkah awal untuk tetap sehat.
Orang-orang yang bekerja pada tahapan pengolahan makanan harus memenuhi
persyaratan sanitasi, seperti kesehatan dan kebersihan individu, tidak
menderita penyakit infeksi, bukan karier dari suatu penyakit. Untuk personil
yang menyajikan makanan harus memenuhi syarat-syarat seperti kebersihan
dan kerapian, memiliki etika dan sopan santun, penampilan yang baik dan cara
membawa makanan dengan teknik khusus, serta pemeriksaan kesehatan
berkala setiap enam bulan atau satu tahun (Chandra, Ilmu Kedokteran
Pencegahan dan Komunitas, 2009). Berikut ini pedoman kebersihan
perorangan yaitu (Arisman, 2009):
Menjaga kebersihan tangan. Jika perlu, membasuh tangan dengan air
hangat bersabun sesering mungkin. Keringkan dengan kertas tisu sekali
pakai atau mesin pengering (air drayer).
36
Selalu membasuh tangan setelah menggunakan toilet, sebelum
memegang bahan mentah, setelah bersin, batuk, atau mengeluarkan
kotoran dari hidung. Selain itu, setelah makan, merokok, minum,
mengusap muka, membelai janggut, atau rambut. Penjamah makanan
harus mencuci tangan setelah melakukan kegiatan apapun yang
diperkirakan berpotensi mencemari.
Memotong dan menjaga kebersihan kuku.
Mengenakan pakaian dan celemek yang bersih.
Memakai penutup kepala yang bersih dan rambut jangan dibiarkan
tergerai. Kumis dan janggut pun harus dipangkas.
Tidak makan dan merokok ketika bekerja.
Tidak mengenakan cincin.
Menggunakan perkakas atau sarung tangan plastik ketika menyentuh
makanan (jangan mengaduk adonan dengan tangan).
Meliburkan diri atau segera pulang ketika merasa sakit.
Penelitian yang dilakukan oleh (Kurniadi, Saam, & Afandi, 2013),
kontaminasi Escherichia coli bagi tenaga penjamah yang tidak memenuhi
syarat 73,3% dimana hasil uji statistik di dapatkan p = 0,029. Hal itu
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tenaga
penjamah dengan kontamasi Escherichia coli pada makanan jajanan. Dalam
penelitian (Yunus, Umboh, & Pinontoan, 2015), ada hubungan yang signifikan
antara personal higiene dengan kontaminasi Escherichia coli pada makanan (p
= 0,002). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 25,200, artinya personal
higiene penjamah makanan yang tidak baik mempunyai peluang 25,200 kali
37
untuk terjadinya kontaminasi Escherichia coli pada makanan. Namun
sebaliknya, pada penelitian (Lestari, Nurjazuli, & D, 2015) tidak ada hubungan
antara higiene penjamah dengan keberadaan bakteri Escherichia coli pada
minuman jus buah yang diperoleh nilai p = 0,848.
Pada penelitian (Pratiwi, 2014), praktik mencuci tangan memakai
sabun dengan kandungan Escherichia coli pada sambal yang disediakan
terdapat hubungan yang signifikan dengan p value sebesar 0,008. Sebaliknya,
tidak terdapat hubungan kebersihan diri penjamah dengan kandungan
Escherichia coli pada sambal yang disediakan (p = 0,063) dan tidak ada
hubungan penggunaan alat ketika mengambil makanan dengan kandungan
Escherichia coli pada sambal yang disediakan dengan p = 1,000.
2.4. Rendang
Rendang merupakan salah satu masakan dari Kota Padang, Sumatera Barat.
Masakan ini sudah ada sejak abad ke-8. Kultur orang Padang yang suka merantau
sering kali membawa rendang sebagai makanan bekal di perjalanan. Kondisi inilah
yang membuat rendang semakin cepat tersebar ke daerah di luar Kota Padang.
Berdasarkan asal katanya, rendang berasal dari kata ‘randang’ dalam bahasa Padang
yang artinya ‘pelan’. Hal ini merujuk pada proses pembuatan rendang yang
memerlukan waktu yang lama. Rendang biasanya terbuat dari daging sapi yang
dimasak dengan santan dan bermacam-macam bumbu. Dalam perkembangannya,
rendang tidak hanya terbuat dari daging sapi namun dapat menggunakan daging
kambing, daging ayam, udang, ikan, bahkan telur, dan sayuran seperti kentang.
Nama masakan rendang biasanya mengacu dari bahan utamanya, seperti rendang
38
daging, rendang ayam, rendang telur, dan rendang kentang (Sutomo, Rendang:
Juara Masakan Terlezat Sedunia, 2012).
2.4.1. Bahan-bahan Rendang
1. Daging
Daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak, dan
lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar
dingin, atau daging beku (SNI 3932:2008).
Penelitian (Sugiyoto, Adhianto, & Wanniatie, 2015), menunjukkan bahwa
pedagang daging sapi di pasar tradisional di Bandar Lampung 17,65%
memiliki kandungan Total Place Count (TPC), 58,82% Coliform, dan
35,29% Salmonella.
2. Santan
Santan merupakan emulsi lemak dalam air yang diperoleh dari daging
kelapa segar. Kepekatan santan yang diperoleh tergantung pada ketuaan
kelapa dan jumlah air yang ditambahkan (Fachruddin, 1997).
Penelitian yang dilakukan oleh (Suharyono, Erna, & Kurniadi, 2009), total
mikroba krem santan yang paling rendah yaitu 6,6 x 108 CFU/ml dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3816/2005) total mikroba pada santan
kelapa adalah 1x105 CFU/ml. Total mikroba pada krem santan kelapa
berada diatas batas maksimal.
3. Cabai Merah
Cabai merah mengandung kapsaisin yang memberi rasa pedas dan hangat
saat digunakan sebagai rempah (bumbu dapur) serta berkhasiat sebagai
penambah nafsu makan dan obat pengurang rasa sakit. Kapasaisin bersifat
39
anti koagulan sehingga bisa mencegah seseorang terserang stroke dan
jantung koroner. Kapsaisin juga mampu merangsang produksi hormon
endorfin sehingga bisa membangkitkan sensasi kenikmatan. Seperti
diketahui, hormon endorfin berperan dalam mengurangi rasa sakit
(Suyanti, 2014).
Penelitian (Musliati, Fifendy, & Periadnadi, 2013) menunjukkan bahwa
cabai merah giling yang dijual dari beberapa pasar tradisional umumnya
tidak layak dikonsumsi karena mengandung bakteri Coliform.
4. Daun Jeruk Purut
Daun jeruk purut mengandung tannin 1,8%, steroid triterpenoid, dan
minyak atsiri 1 – 1,5% v/b. Daunnya berkhasiat sebagai stimulant dan
penyegar. Digunakan untuk mengatasi badan letih dan lemah sehabis sakit
berat (Dalimartha, 2015).
Pada penelitian (Yulliani, Indrayudha, & Rahmi, 2011) minyak atsiri daun
jeruk purut mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli
dengan nilai kadar hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh
minimal (KBM) ≤ 0,0625%.
5. Serai
Kandungan kimia alamiah yang ada pada herbal ini adalah minyak asiri
yang meliputi gerniol, citronnelal, eugenol-metil eter, sitral, dipenten,
eugenol, kadinen, kanidol, dan limonene. Beberapa penyakit yang dapat
disembuhkan dengan serai di antaranya batuk, nyeri dan pegal linu, sakit
kepala, nyeri lambung, dan diare (Winarto & Karyasari, 2003).
40
Dalam penelitian (Puspawati, Suirta, & Bahri, 2016) nilai konsentrasi
hambat minimum (KHM) pada minyak atsiri daun dan batang sereh wangi
mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus pada konsentrasi minimum 25 ppm. Penelitian
(Poeloengan, Pengaruh Minyak Atsiri Serai (Andropogon citratus DC.)
terhadap Bakteri yang di Isolasi dari Sapi Mastitis Subklinis, 2009) minyak
atsiri serai dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli pada
konsentrasi 12,5%.
6. Lengkuas
Rimpang lengkuas mengandung kurang lebih 1% minyak atsiri berwarna
kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metil-sinamat 48%, sineol 20
– 30%, eugenol, kamfer 1%, seskuiterpen. Manfaat dan khasiat lengkuas
bagi tubuh yaitu sebagai anti-tumor, anti-radang, mengandung zat anti-
inflamasi, menangkal radikal bebas karena mengandung senyawa anti-
oksidan, meredakan penyakit diare, meningkatkan nafsu makan, dan
menjaga stamina serta kesehatan (Andareto, 2015).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Parwata & Dewi, 2008), minyak
atsiri rimpang lengkuas pada konsentrasi 100 ppm dan 1000 ppm aktif
menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dengan diameter
daerah hambatan sebesar 7 mm dan 9 mm.
7. Kayu Manis
Kandungan kimia dari kayu manis antara lain minyak asiri, safrole,
sinamaldehida, tanin, dammar, kalsium oksalat, flavonoid, triterpenoid,
dansaponin. Minyak asiri banyak terdapat di bagian kulit batang, cabang,
41
dan ranting yang merupakan nilai utama dari kayu manis. Minyak asiri
mengandung senyawa yang berfungsi sebagai antimikroba, antijamur, dan
antivirus. Kayu manis berkhasiat sebagai obat asam urat, tekanan darah
tinggi, maag, kurang nafsu makan, sakit kepala, diare, perut kembung,
muntah-muntah, hernia, susah buang air besar, asma, sariawan, dan
diabetes melitus (Utami & Puspaningtyas, 2013).
Dalam penelitian (Repi, Mambo, & Wuisan, 2016), menunjukkan bahwa
kayu manis memiliki efek antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli.
Namun sebaliknya, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Angelica,
2013), etanol kulit kayu manis Cinnamomum burmannii dengan
konsentrasi antara 100.000 ppm (part per million) sampai 200.000 ppm
tidak memberikan daya hambat pada bakteri Escherichia coli.
8. Ketumbar
Ketumbar mengandung minyak atsiri, saponin, flavonoid, dan tanin.
Bagian tanaman yang bisa dimanfaatkan adalah biji, yakni berkhasiat
untuk mengobati sariawan, obat mual, obat sakit kepala, pencernaan
terganggu radang lambung atau pencernaan yang kurang baik, dan haid
yang tidak teratur (Suharmiati & Handayani, 2005).
Dalam penelitian (Hendrawati, Suyasa, & Sujaya, 2014), menunujukkan
adanya pengaruh angka lempeng total yang tidak diberi larutan ketumbar
dan sebagai kontrol dengan yang diberi larutan ketumbar dengan
konsentrasi 2%, 4%, dan 6%.
42
9. Jintan
Manfaat dari jintan hitam yaitu dapat memperbaiki saluran pencernaan dan
sebagai anti bakteri. Jintan hitam (Habbatus sauda’) mengandung minyak
atsiri dan volatile yang telah diketahui manfaatnya untuk memperbaiki
pencernaan. Secara tradisional minyak atsiri digunakan untuk obat diare.
Tahun 1992, jurnal farmasi Paskitan memuat hasil penelitian yang
membuktikan bahwa minyak volatile dari jintan hitam lebih mampu
membunuh strainbakteri Vibrio colera dan Escherichia coli dibandingkan
dengan antibiotik seperti Ampicilin dan Tetraciclin (Dewi, 2012).
Pada penelitian (Putra, Djamal, & Masri, 2015), menunjukkan bahwa
pengujian terhadap Escherichia coli tidak memiliki zona bebas kuman
yang diartikan tidak terdapat efek antibakteri dari minyak jintan hitam yang
diujicobakan terhadap Escherichia coli. Sebaliknya, penelitian efek
antimikroba minyak jintan hitam (Nigella sativa) terhadap pertumbuhan
Escherichia coli yang dilakukan oleh (Asniyah, 2009) dengan konsentrasi
25%, 50%, 75%, dan 100%. Minyak jintan hitam mampu menghambat
pertumbuhan Escherichia coli pada konsentrasi 100%, 75%, dan 50%,
sementara pada konsentrasi 25% tidak mampu menghambat pertumbuhan
Escherichia coli. Dapat disimpulkan bahwa minyak jintan hitam (Nigella
sativa) terbukti mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli.
10. Asam Kandis
Asam kandis adalah asam yang terbuat dari kulit buah sejenis jeruk limau
yang dikeringkan. Warnanya kehitaman dan memberikan cita rasa asam
pada masakan (Sutomo, Rahasia Sukses Berbisnis Masakan Padang, 2011).
43
11. Asam Gelugur
Asam yang terbuat dari sejenis mangga hutan yang berwarna merah
kekuningan ketika masih segar. Sering dijual dalam keadaan kering. Selain
memberi rasa asam segar pada masakan, asam gelugur juga bisa
menghilangkan aroma amis pada aneka olahan ikan (Demedia, 2010).
Dalam penelitian (Hafiz, et al., 2015), menyimpulkan bahwa penambahan
daun asam gelugur selama 5 menit dari waktu memasak pasta gulai
tempoyak dapat menghambat pertumbuhan bakteri secara signifikan.
12. Kemiri
Kemiri memiliki khasiat yang banyak untuk kesehatan. Biji kemiri yang
ditumbuk halus dapat dipakai untuk mengobati sakit gigi, bisul, meredakan
demam, dan mengatasi bengkak pada sendi tulang. Biji kemiri juga
dimanfaatkan sebagai obat pencahar. Selain itu, juga dapat digunakan
sebagai perangsang pertumbuhan rambut atau sebagai bahan aditif dalam
perawatan rambut (Kurniawati, 2010).
13. Pala
Daun mudanya banyak mengandung protein yang terasa menyejukkan.
Selain itu, pala juga mengandung minyak atsiri, zat samak, dan zat pati
yang berkhasiat untuk menambah nafsu makan, mengeluarkan gas dari
perut, dan menenangkan syaraf (Khaidir, 2010).
Pada penelitian (Rastuti, Widyaningsih, Kartika, & Ningsih, 2013),
konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM) minyak atsiri daun pala
dari Banyumas terhadap Escherichia coli pada konsentrasi 1% dengan
zona hambat sebesar 0,54 mm. sejalan dalam penelitian (Nurhasanah,
44
2014), menunjukkan bahwa penghambatan ekstrak daging buah pala banda
(M. fragrans Houtt) sangat berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan
Escherichia coli.
14. Bawang merah
Bawang merah mengandung bahan-bahan aktif yang mempunyai efek
farmakologis terhadap tubuh. Beberapa bahan aktif yang tersebut adalah
allisin dan alliin, flavonol, serta pektin (Jaelani, 2007).
Pada penelitian (Surono A. S., 2013), ekstrak etanol umbi lapis bawang
merah (Allium cepa L.) dengan konsentrasi 40%, 50%, 60%, 70%, 80%
tidak memiliki daya antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli.
15. Bawang putih
Bawang putih mengandung minyak asiri yang sangat mudah menguap di
udara bebas. Minyak asiri dari bawang putih ini diduga mempunyai
kemampuan sebagai antibakteri dan antiseptik. Sementara itu, zat yang
diduga berperan memberi aroma bawang putih yang khas adalah alisin. Di
dalam tubuh, alisin merusak protein kuman penyakit, sehingga kuman
penyakit tersebut mati (Syamsiah & Tajudin, 2003).
Dalam penelitian (Nurwantoro, et al., 2012), menunjukkan bahwa
perendaman daging sapi dalam jus bawang putih berpengaruh menurunkan
total bakteri Escherichia coli. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh
(Fajri, Erly, & Usman, 2016), menunjukkan bahwa kapsul minyak dan
kapsul bubuk bawang putih tidak memiliki efek antibakteri terhadap
Escherichia coli.
45
16. Jahe
Secara umum, komponen senyawa kimia yang terkandung dalam jahe
terdiri dari minyak menguap (volatile oil), minyak tidak menguap
(nonvolatile oil), dan pati. Minyak atsiri termasuk jenis minyak menguap
dan merupakan suatu komponen yang memberi bau yang khas. Kandungan
minyak tidak menguap disebut oleoresin, yakni suatu komponen yang
memberikan rasa pahit dan pedas. Berdasarkan kandungan minyak asiri
dan oleoresin, jahe merah yang kadarnya paling tinggi, lalu disusul oleh
jahe putih kecil dan jahe gajah. Hal itu karena jahe gajah banyak digunakan
sebagai bumbu dapur, rempah-rempah, dan bahan obat-obatan (Lentera,
2004).
Dalam penelitian (Harijani, Ernawati, & Suwarno, 2011), menunjukkan
pemberian sari rimpang jahe pada konsentrasi (2%, 4%, 6% dan 8%) dapat
menurunkan jumlah bakteri Escherichia coli pada susu pasteurisasi.
Sebaliknya, pada penelitian (Rahminiwati, et al., 2010), menunjukkan
bahwa perasan jahe segar tidak mempunyai efek antibakteri terhadap
Escherichia coli.
2.5. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini berdasarkan dari langkah-langkah
penyusunan HACCP. Terdapat 12 tahapan untuk menyusun HACCP, dimana lima
tahapan merupakan persiapan penyusunan HACCP. Lima tahapan tersebut, yaitu
menyusun tim HACCP, deskripsi produk rendang, identifikasi tujuan akhir
penggunaan produk rendang, menyusun alur, dan mengkonfirmasi alur. Tujuh
tahapan selanjutnya adalah kerangka HACCP yang terdiri dari: identifikasi analisis
46
bahaya, menentukan titik kendali kritis (TKK), menentukan batas kritis untuk
masing-masing TKK, pemantauan batas kritis setiap TKK, penetapan tindakan
perbaikan, penetapan prosedur verfikasi, serta dokumentasi dan pencatatan.
47
Bagan 2.3 Kerangka Teori
Sumber: (Mortimore & Wallace, 2004)
Prinsip 6 – Penetapan
Prosedur Verifikasi
Persiapan dan
Perencanaan
1. Menyusun tim
HACCP
2. Deskripsi produk
rendang
3. Identifikasi
tujuan akhir
penggunaan
produk rendang
4. Menyusun alur
5. Mengkonfirmasi
Alur
Prinsip 1 – Identifikasi
analisis hazard
Prinsip 2 – Menentukan
titik kendali kritis
(TKK)
Prinsip 3 – Menentukan
batas kritis untuk
masing-masing TKK
Prinsip 4 – Pemantauan
batas kritis setiap TKK
Prinsip 5 – Penetapan
Tindakan Perbaikan
Rancangan
HACCP
Bagan alir proses
Bagan kendali HACCP
Daftar tim HACCP
Gambaran Produk
Bagan analisis Hazard
Catatan
HACCP
Catatan pemantauan
Audit
Kajian ulang catatan
CCP
Pelatihan
Prinsip 7 – Dokumentasi dan
pencatatan
48
BAB III
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH
3.1. Kerangka Pikir
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran HACCP makanan
rendang di rumah makan padang X wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan
tahun 2017. Proses pemasakan rendang membutuhkan waktu yang cukup lama,
sehingga perlu mengetahui pada tahap apa yang dapat menjadi titik kritis dan
rendang mudah terkontaminasi. Terdapat 12 tahapan penerapan HACCP yang
meliputi: menyusun tim HACCP, deskripsi produk rendang, identifikasi tujuan
akhir penggunaan produk rendang, menyusun alur, dan mengkonfirmasi alur,
identifikasi analisis bahaya, menentukan titik kendali kritis (TKK), menentukan
batas kritis untuk masing-masing TKK, pemantauan batas kritis setiap TKK,
penetapan tindakan perbaikan, penetapan prosedur verfikasi, serta dokumentasi dan
pencatatan.
49
Bagan 3.1 Kerangka Pikir
Mendeskripsikan Produk Rendang
Identifikasi Analisis Bahaya
Mengidentifikasi Tujuan
Penggunaan Produk Rendang
Menyusun Alur
Menentukan Batas Kritis untuk
Masing-masing TKK
Menentukan Titik Kendali
Kritis (TKK)
Mengkonfirmasi Alur
Pemantauan Batas Kritis Setiap
TKK
Penetapan Tindakan Perbaikan
Penetapan Prosedur Verifikasi
Dokumentasi dan Pencatatan
Menyusun tim HACCP
50
3.2. Definisi Istilah
Tabel 3.1 Definisi Istilah
No. Variabel Definisi Istilah
1 Tim HACCP Sekelompok orang yang bertugas untuk
merancang, menerapkan, dan mengendalikan
sistem HACCP.
1 Deskripsi produk
rendang
Menjelaskan secara lengkap makanan rendang
mengenai nama makanan, komposisi,
bagaimana penggunaannya, pengemasan,
masa simpan dan kondisi penyimpanan,
dimana rendang akan dijual, serta bagaimana
proses distribusinya.
2 Identifikasi tujuan akhir
penggunaan produk
rendang
Identifikasi penggunaan akhir produk dan
menuliskan kelompok konsumen yang
berpengaruh pada keamanan produk
3 Menyusun alur
Menyusun diagram alir pada semua tahapan
proses pembuatan rendang
4 Mengkonfirmasi alur
Melakukan konfirmasi diagram alir yang telah
dibuat sebelumnya dengan cara mengamati
dan mengikuti proses pembuatan rendang serta
memodifikasi diagram alir yang telah dibuat
jika kurang sempurna.
5 Identifikasi analisis
bahaya
Mengamati dan mengidentifikasi pada setiap
tahapan pembuatan rendang dan bahaya-
bahaya apa saja yang kemungkinan ada.
6 Menentukan titik kendali
kritis (TKK)
Mengidentifikasi tahapan-tahapan proses
pembuatan rendang yang dapat dikendalikan
sehingga bahaya dapat dicegah, dihilangkan
atau diturunkan ke tingkat yang aman.
51
No. Variabel Definisi Istilah
7 Menentukan batas kritis
untuk masing-masing
TKK
Menentukan nilai maksimum atau minimum
pada bahaya yang teridentifikasi berdasarkan
perundangan atau standar keamanan dan nilai-
nilai yang sudah teruji secara ilmiah.
8 Pemantauan batas kritis
setiap TKK
Melakukan pemantauan batas kritis untuk
memastikan bahwa proses terkendali dan
berjalan dalam batasan kritis yang ditentukan
dengan melalui pemeriksaan atau observasi.
9 Penetapan tindakan
perbaikan
Melakukan tindakan perbaikan pada rendang
yang dihasilkan ternyata tidak aman
10 Penetapan prosedur
verifikasi
Tindakan untuk memastikan bahwa seluruh
prosedur dalam rancangan HACCP telah
dijalankan dengan sesuai, memastikan setiap
tahapan kritis dalam proses pembuatan
rendang benar-benar terkendali, sesuai standar
kritis yang sudah ditetapkan, dan memastikan
rendang sudah aman.
11 Dokumentasi dan
pencatatan
Melakukan dokumentasi dan pencacatan pada
HACCP yang sudah dilakukan.
52
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus. Penelitian bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan rendang, deskripsi
produk, identifikasi tujuan akhir penggunaan produk, menyusun alur,
mengkonfirmasi alur, identifikasi analisis bahaya, menentukan titik kendali kritis
(TKK), menentukan batas kritis untuk masing-masing TKK, pemantauan batas
kritis setiap TKK, penetapan tindakan perbaikan, penetapan prosedur verifikasi,
serta dokumentasi dan pencatatan proses pembuatan rendang di Rumah Makan
Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan.
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus tahun
2017. Tempat dilakukannya penelitian ini di rumah makan padang X wilayah
Pamulang Kota Tangerang Selatan.
4.3. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah karyawan rumah makan padang yang
bertugas membeli bahan-bahan untuk membuat rendang dan karyawan yang
memasak rendang. Teknik yang digunakan untuk pemilihan informan
menggunakan purposive sampling. Hal ini dikarenakan informan yang telah
disebutkan bertugas secara langsung dalam proses pembuatan rendang.
53
4.4. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pedoman wawancara
mendalam, lembar observasi, pengukuran suhu, penilaian warna daging, dan uji
laboratorium.
1. Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan
kepada responden.
2. Lembar observasi berisi poin-poin terkait personal higiene penjamah
makanan saat mengolah sampai dengan menyajikan makanan dan proses
pembuatan rendang dari pembelian bahan baku hingga penyajian.
3. Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui temperatur bahan baku,
rendang saat dimasak dan disimpan.
4. Penilaian warna daging dilakukan untuk mengetahui warna daging sapi.
5. Uji laboratorium dilakukan untuk dapat mengetahui kontaminasi bakteri
pada makanan dan melihat apakah rendang yang dikonsumsi masih dalam
kategori aman atau tidak.
4.5. Sumber Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dapat berupa data primer yaitu data
yang langsung diambil kepada responden dengan menggunakan wawancara
mendalam, observasi, pengukuran, penilaian warna daging, dan uji laboratorium.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan
4.6. Metode Pengumpulan Data
4.6.1. Wawancara
Wawancara dilakukan kepada informan yaitu karyawan yang bertugas
membeli bahan-bahan untuk membuat rendang dan karyawan yang memasak
54
rendang. Dari metode wawancara mendalam, informasi yang ingin didapat
adalah proses pembuatan rendang dari bahan-bahan dan alat yang digunakan,
kondisi dan wadah penyimpanan bahan-bahan rendang dan rendang yang
sudah matang, serta cara untuk mengurangi kontaminasi pada makanan.
4.6.2. Observasi
Observasi dilakukan dengan mengamati secara langsung proses
pembuatan rendang dari membeli bahan-bahan sampai penyajian dan personal
higiene penjamah makanan pada saat memasak rendang serta menyajikan
rendang.
4.6.3. Pengukuran Temperatur
Alat yang dipakai untuk mengukur temperatur makanan yaitu
termometer makanan. Pengukuran dilakukan dengan cara meletakkan
termometer makanan ke rendang dan secara digital suhu yang diukur akan
muncul, kemudian catat hasilnya pada lembar yang sudah disediakan.
4.6.4. Penilaian Warna Daging
Penilaian warna daging dilakukan dengan mencocokan warna daging
dengan standar warna daging berdasarkan SNI 3932:2008.
4.6.5. Pengambilan Sampel Makanan untuk Pengujian Bakteri
a) Alat dan Bahan
Cooler bag
Es batu
Plastik
Label
55
Pulpen
b) Prosedur Pengambilan Sampel
1. Catat tanggal dan waktu pengambilan sampel pada label.
2. Ambil sampel kemudian dimasukkan ke dalam plastik.
3. Tempelkan label pada plastik
4. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam cooler bag yang sudah
terisi es batu untuk selanjutnya diperiksa di laboratorium.
4.6.6. Menentukan Titik Kendali Kritis
4.6.6.1. Menentukan Titik Kendali Kritis pada bahan baku rendang
Pertanyaan pertama (P1): Apakah terdapat bahaya dalam bahan
baku yang akan digunakan?
Apakah terdapat bahaya dalam bahan baku yang akan digunakan?
Apakah dalam proses atau konsumen dapat menghilangkan bahaya
dari produk?
Apakah terdapat risiko kontaminasi silang terhadap fasilitas atau
produk lain yang tidak dikendalikan?
Ya Tidak Bukan CCP
Ya Tidak CCP
Tidak Ya CCP
Bukan CCP
P1
P3
P2
56
Pertanyaan pertama dijawab dengan melihat analisis bahaya
pada bahan baku. Jika jawab P1 adalah “YA” maka lanjut ke pertanyaan
kedua. Jika “TIDAK” bukan termasuk titik kendali kritis (TKK).
Pertanyaan kedua (P2): Apakah dalam proses atau konsumen
dapat menghilangkan bahaya dari produk?
Pada pertanyaan P2 untuk mengakui keberadaan bahaya yang
akan dihilangkan oleh proses atau konsumen. Jika jawaban P2 adalah
“YA” lanjut ke pertanyaan ketiga. Jika “TIDAK” dipastikan sebagai
TKK.
Pertanyaan ketiga (P3): Apakah terdapat risiko kontaminasi silang
terhadap fasilitas atau produk lain yang tidak dikendalikan?
Pertanyaan P3 untuk mengakui keberadaan adanya risko
kontaminasi silang dari fasilitas (misalnya plastik yang dipakai untuk
membungkus) atau produk/bahan baku lainnya yang tidak dikendalikan.
Jika jawaban P3 adalah “YA” maka sebagai TKK. Jika “TIDAK” bukan
termasuk TKK.
57
4.6.6.2. Menentukan Titik Kendali Kritis pada proses pengolahan
rendang
Ya
Apakah perlu pencegahan pada tahap ini
untuk keamanan pangan?
Tidak Berhenti
Ya
Lakukan modifikasi tahapan dalam proses
atau rendang
Apakah ada tindakan pencegahan untuk mengendalikan?
Apakah tahapan dirancang khusus untuk menghilangkan atau mengurangi
bahaya sampai batas aman?
Apakah kontaminasi bahaya dapat meningkat sampai batas aman?
Ya Tidak
Bukan CCP
Ya Tidak CCP
Ya Tidak Bukan CCP
Bukan CCP
P1
P3
P2
Berhenti
Apakah tahapan berikutnya dapat menghilangkan atau mengurangi bahaya
sampai batas aman?
Tidak CCP
Berhenti
P4
58
Pertanyaan pertama (P1): Apakah ada tindakan pengendalian?
Pertanyaan pertama dijawab dengan merujuk pada data tindakan
pengendalian yang didokumentasikan dalam bagan analisis bahaya. Jika
jawaban pertanyaan pertama adalah “YA” lanjutkan ke pertanyaan
kedua. Jika “TIDAK” lanjutkan ke P1a.
P1a. Apakah pengendalian pada tahap ini memang diperlukan
untuk menjamin keamanan?
Jika jawabannya “TIDAK” pindah ke langkah selanjutnya dalam
proses atau ke bahaya selanjutnya.
Jika “YA”, modifikasi dalam proses (mis., penambahan saringan
atau peningkatan suhu proses) atau produk (mis., formulasi ulang untuk
menurunkan pH atau penambahan zat pengawet) harus diterapkan untuk
memastikan dapat menyusun tindakan pengendalian. Jika tindakan
pengendalian yang tepat berhasil diidentifikasi, kembali ke pertanyaan
pertama (P1) dan lanjutkan ke berikutnya.
Pertanyaan kedua (P2): Apakah langkah ini memang khusus
dirancang untuk memusnahkan atau mengurangi peluang
munculnya bahaya sampai ke tingkat yang dapat diterima?
Pertanyaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah langkah yang
tengah dikaji memang efektif untuk mengendalikan keamanan
makanan. Langkah yang dimaksud adalah langkah dalam proses. Jika
jawaban P2 adalah “YA”, langkah proses tersebut adalah CCP. Mulai
lagi decision tree untuk langkah atau bahaya berikutnya. Jika
jawabannya “TIDAK”, lanjutkan ke pertanyaan ketiga.
59
Pertanyaan ketiga (P3): Apakah kontaminasi bahaya yang
teridentifikasi dapat melampaui tingkat yang dapat diterima atau
apakah dapat bertambah sampai ke tingkat yang tidak dapat
diterima?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tim harus menggunakan
informasi (yang dicatat dalam bagan analisis bahaya) dan pengetahuan
mengenai proses dan lingkungannya. Permasalahan yang harus
dipertimbangkan disini mencakup:
Persyaratan waktu dan suhu
Lingkungan produksi (desain, higiene, pemeliharaan)
Kontaminasi silang dari karyawan, produk lain, atau bahan mentah
Tingkat yang dapat diterima untuk bahaya yang signifikan
Jika jawaban P3 adalah “YA”, lanjutkan ke pertanyaan keempat.
Jika jawabannya ‘TIDAK”, pindah ke langkah proses atau bahaya
selanjutnya.
Pertanyaan keempat (P4): Apakah langkah selanjutnya dapat
memusnahkan bahaya yang teridentifikasi atau mengurangi
peluang munculnya bahaya sampai ke tingkat yang dapat diterima?
Pertanyaan ini untuk mengakui keberadaan bahaya yang akan
disingkirkan oleh langkah selanjutnya di dalam proses atau oleh
konsumen. Jika jawaban P4 adalah “YA” pindah ke proses atau bahaya
selanjutnya. Jika jawabannya “TIDAK”, langkah proses dipastikan
sebagai CCP. Mulai kembali ke decision tree untuk proses atau bahaya
berikutnya.
60
4.7. Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu mengumpulkan
data yang telah didapatkan dari hasil wawancara mendalam, observasi, pengukuran,
dan uji laboratorium.
1. Wawancara
Hasil wawancara mendalam yang sudah direkam dibuat dalam bentuk
transkip kemudian dilakukan analisis data.
2. Observasi
Hasil observasi proses pembuatan rendang dimulai dari tahap pembelian
bahan baku sampai penyajian kemudian dilakukan analisis HACCP. Sedangkan
hasil observasi personal higiene penjamah makanan dilakukan penyuntingan
data untuk melihat kelengkapan data yang sudah dikumpulkan.
3. Pengukuran suhu, penilaian warna, dan pengujian laboratorium
Hasil pengukuran suhu, penilaian warna, dan pengujian laboratorium
dibandingkan dengan peraturan atau standar yang berlaku, apakah sesuai atau
tidak.
4.8. Teknik dan Analisis Data
Teknik dan analisis data dalam penelitian ini menggunakan teori Miles dan
Huberman (1984) dalam (Sugiyono, 2012) yang meliputi:
1. Reduksi data
Reduksi data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, dan membuang
informasi yang tidak dipakai kemudian terkumpul data-data yang sesuai dengan
tujuan penelitian.
61
2. Penyajian data (display data)
Data yang sudah direduksi kemudian disajikan dalam bentuk tulisan yang
bersifat naratif agar mudah dipahami secara keseluruhan.
3. Kesimpulan atau Verifikasi
Hasil penelitian yang telah terkumpul dan terangkum harus diulang kembali
dengan mencocokkan pada reduksi data dan display data, agar kesimpulan yang
telah dikaji dapat disepakati untuk ditulis sebagai laporan yang memiliki tingkat
kepercayaan yang benar.
Untuk analisis data terkait HACCP meliputi, identifikasi produk,
identifikasi tujuan akhir penggunaan, penyusunan bagan alir, konfirmasi alur proses
di lapangan, identifikasi dan analisis potensi bahaya pada seluruh tahapan proses
produksi, penentuan titik kendali kritis, penentuan batas kritis untuk setiap titik
kendali kritis, pemantauan batas kritis, penetapan tindakan perbaikan, penetapan
prosedur verifikasi, serta dokumentasi dan pencatatan.
4.9. Pengujian Keabsahan Data
1. Triangulasi sumber
Triangulasi sumber adalah mendapatkan data dari sumber yang berbeda-
beda dengan teknik yang sama. Kemudian data dideskripsikan,
dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana
yang spesifik. Triangulasi sumber dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam kepada karyawan yang bertugas secara langsung memasak
rendang dan karyawan yang bertugas membeli bahan-bahan pembuatan
rendang.
62
2. Triangulasi teknik
Triangulasi teknik adalah peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.
Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan
dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak. Triangulasi
teknik pada penelitian ini yaitu melakukan wawancara mendalam dan
observasi terkait personal higiene penjamah makanan dan proses pembuatan
rendang.
63
BAB V
HASIL
5.1. Gambaran Umum Proses Pembuatan Rendang
Rendang merupakan salah satu makanan khas dari Kota Padang, Sumatera
Barat. Proses memasak rendang membutuhkan bahan-bahan seperti daging, bumbu,
dan santan. Pertama-tama siapkan bahan dan alat yang digunakan. Daging yang beli
dipasar sudah dipotong-potong terlebih dahulu. Daging langsung dicuci dengan air
bersih lalu masukkan ke dalam penggorengan. Kemudian masukkan bumbu-bumbu
yang sudah dihaluskan pada saat membeli di pasar. Tambahkan santan cair lalu
diaduk sampai rata. Cuci daun jeruk, daun kunyit, dan serai sampai bersih.
Kemudian serai dipipihkan menggunakan ulek dan cobek. Setelah itu, masukkan
daun jeruk, daun kunyit, dan serai yang sudah dipipihkan ke dalam penggorengan.
Tambahkan vetsin (MSG) sedikit, tidak dimasukan garam karena bumbu yang
dihaluskan sudah diberi garam. Selanjutnya, aduk kembali dan masak hingga
matang selama dua sampai tiga jam. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan berikut
ini.
“... kan mau masak rendang nih, daging dicuci dulu terus dimasukin, kan
masukin santan nih, terus masukin daun semua, terus diaduk dulu semua.
Jadi kaya laos, jahe, bawang putih, bawang merah, cabe giling. Pertama
naro daging, terus bumbu-bumbu, santan langsung dimasak. Iya daun
jeruk, daun kunyit, serai cuci bersih, terus serai di geprek masukinnya awal
semua. Semua bahan dimasukin pas awal semua. di bumbu udah ada
garamnya dan kasih sedikit (micin)” (A1)
”Yang pertama santan dimasukin, kalau udah berminyak dimasukin
dagingnya. Kan motong dagingnya tipis-tipis tuh. Apinya kecil, gak boleh
gede. Kalau gede nanti baunya sengit.” (A2)
64
5.2. Tim HACCP
Hasil penelitian ini, belum ada tim HACCP di rumah makan padang X.
Untuk keperluan penelitian ini, maka peneliti sendiri bertindak sebagai tim
HACCP. Peneliti dibantu oleh salah satu teman peneliti dan petugas laboratorium
di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Jakarta untuk memeriksakan mikrobiologi
pada rendang. Dua orang tersebut melaksanakan pemantauan selama proses
pembuatan rendang dari bahan baku, alat yang dipakai untuk memasak, lingkungan
(dapur, tempat penyimpanan, bangunan), pengukuran suhu, dan bahaya apa saja
yang dapat mengkontaminasi dari mulai pembelian bahan baku hingga rendang
disajikan kepada konsumen. Bahan baku dan rendang yang sudah matang dilakukan
uji laboratorium.
5.3. Deskripsi Produk
Deskripsi rendang yang dibuat oleh rumah makan padang X dibuat dengan
komposisi yang terdiri dari, daging sapi, cabai merah, daun jeruk purut, serai, daun
kunyit lengkuas, kayu manis, ketumbar, jintan, asam kandis, asam gelugur, kemiri,
pala, bawang merah, bawang putih, jahe, santan. Hal tersebut diperoleh dari
wawancara informan.
“Laos, jahe, bawang putih, bawang merah, kayu manis, ketumbar, jintan,
asam kandis, asam gelugur, kemiri, pala, santan, daging, daun jeruk, daun
kunyit, serai, cabe giling.” (A1)
“... jahe, santan, bawang merah, laos, cabe giling, daging sapi” (A2)
Saat ada konsumen yang membeli rendang, pengemasan menggunakan
plastik untuk makanan atau menggunakan kertas pembungkus makanan apabila
konsumen membeli rendang ditambah dengan nasi. Berikut wawancara dengan
informan.
65
“Pake plastik biasa yang setengah kilo. Kalo belinya sama nasi ya pake
kertas nasi dibungkusnya.” (A1)
“Pake plastik bening gitu tapi kadang pake kertas nasi juga kalo belinya
sama nasi, kalo belinya ga pake nasi baru pake plastik” (A2)
Masa simpan atau kadaluarsa rendang selama dua hari. Rendang bisa tahan
sampai tujuh hari apabila dipanaskan ulang dan disimpan pada suhu ruang. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan berikut ini.
“Dua hari. Kadang kalo rendang yang bagus tahan 3 hari tuh, yang
matangnya kering sampe item banget” (A1)
“Kalau rendang awetnya itu semakin dipanasin semakin bagus, tambah
enak dia. Bisa tahan selama seminggu. Cuma bedanya nanti makin hitam.
Makin lama makin hitam lebih bagus dia. Tambah keluar minyaknya” (A2)
Rendang yang sudah matang dijual di rumah makan padang dan dapat
langsung dikonsumsi. Untuk kondisi penyimpanan rendang matang yang
diletakkan di etalase menggunakan mangkuk tidak tertutup. Berikut wawancara
dengan informan.
“Pake mangkok, langsung dari dapur itu” (A1)
“Iya itu pake wadah yang dari dapur (mangkok). Kalau udah dingin baru
ditutup. Jangan ditaro di kulkas” (A2)
Rendang yang sudah matang didistribusikan ke tempat penyajian atau
etalase dengan menggunakan mangkuk yang tidak tertutup. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan berikut ini.
“Bawanya pake mangkok biasa. Kalo ibu tidak ditutup, kalau ditutup nanti
basi karena masih panas. Dibuka saja” (A1)
“Pakai mangkok biasa. Bawanya tidak ditutup karena masih panas
rendangnya, kalau langsung ditutup nanti berair dan rasanya jadi beda”
(A2)
66
Tabel 5.1 Deskripsi Produk Rendang
Nama Produk Rendang Daging
Komposisi Daging sapi, cabai merah, daun jeruk purut, serai,
daun kunyit lengkuas, kayu manis, ketumbar,
jintan, asam kandis, asam gelugur, kemiri, pala,
bawang merah, bawang putih, jahe, santan
Pengemasan Plastik untuk makanan
Kertas pembungkus makanan
Masa Kadaluarsa 2 hari
7 hari (apabila dipanaskan kembali)
Tempat Produk Dijual Rumah makan padang
Penggunaan Produk Langsung dikonsumsi
Kondisi Penyimpanan Saat disajikan di etalase menggunakan mangkuk
yang tidak tertutup
Distribusi Pendistribusian dari dapur ke tempat penyajian
menggunakan mangkuk yang tidak tertutup
5.4. Tujuan Akhir Penggunaan Rendang
Identifikasi tujuan akhir rendang dirumah makan padang X terdiri dari
produk, penyajian, dan konsumen. Rendang yang sudah matang dapat langsung
dikonsumsi. Konsumen yang mengkonsumsi rendang di rumah makan padang X
wilayah Pamulang yaitu anak-anak hingga dewasa. Berikut wawancara dengan
informan.
“Macem-macem. Dari SMP sampe tua. Ya dari muda sampe tua lah” (A1)
“Gak tentu. Ada yang tua ada yang muda” (A2)
67
Tabel 5.2 Tujuan Akhir Penggunaan Rendang
Produk Rendang Daging
Penyajian Setelah diolah langsung dapat dikonsumsi
Konsumen Anak-anak hingga dewasa
5.5. Bagan Alir Proses Pembuatan Rendang
Proses penyusunan bagan alir dilakukan untuk mengetahui bagaimana
proses pembuatan rendang dari awal hingga akhir. Proses pembuatan rendang di
rumah makan padang X diawali dengan membeli bahan baku yaitu daging, bumbu,
dan santan. Kemudian bahan diangkut dengan kendaraan bermotor. Bahan baku
diterima masih dalam keadaan baik dan sama seperti saat membeli dipasar.
Sebelum dimasak, siapkan bahan-bahan tadi dengan mencuci terlebih dahulu. Lalu
bersihkan alat-alat sebelum dipakai. Setelah semuanya siap, masukkan bahan-
bahan ke dalam penggorengan/wajan, nyalakan kompor lalu aduk rata dan tunggu
sampai matang. Sesekali di aduk agar bagian bawah tidak hangus.
68
Bagan 5.1 Proses Pembuatan Rendang
5.6. Mengkonfirmasi Alur Proses Pembuatan Rendang
Mengkonfirmasi alur diperlukan untuk memastikan bahwa alur pembuatan
rendang yang dibuat sebelumnya sudah sesuai atau belum. Pada konfirmasi alur ini
dilihat secara rinci dari proses pembelian bahan baku hingga penyimpanan dan
pendistribusian. Berikut ini proses pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X:
Pembelian Bahan Baku
Penerimaan Bahan Baku
Penyiapan Bahan baku
Penyiapan alat masak
Penyimpanan dan Distribusi
Memasak
69
- Pembelian bahan baku
Bahan-bahan untuk memasak rendang dibeli dipasar tradisional.
Pembelian bahan pada pagi hari pukul 07.00 WIB. Bahan-bahan yang
dibutuhkan sebagai berikut :
a) Daging
Daging yang ada di pasar masih dalam bentuk utuh, kemudian
dipotong-potong sesuai ukuran daging rendang. Selanjutnya, ditimbang
dengan menggunakan timbangan pasar dan dimasukkan ke dalam
kantong plastik berwarna bening. Berikut ini hasil pengujian
laboratorium pada daging rendang.
Tabel 5.3 Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Daging Sapi
Uji
Mikrobiologi Hasil Uji
Standar (SNI
3932:2008) Keterangan
Angka lempeng
total (ALT)
2,5 x 103 1 x 106 Memenuhi syarat
Coliform 1,7 x 102 1 x 102 Tidak memenuhi
syarat
Berdasarkan tabel 5.3 diatas, hasil pengujian laboratorium pada
daging bakteri Coliform tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan
sedangkan untuk pengujian angka lempeng total (ALT) masih dibawah
standar. Berikut ini adalah tabel hasil pengujian fisik pada daging.
Tabel 5.4 Hasil Pengujian Fisik pada Daging
Uji
Fisik
Hasil
Uji
Standar (SNI 3932:2008) Keterangan
I II III
Warna Merah
terang
dengan
skor 3
Merah
terang
Skor 1 – 5
Merah
kegelapan
Skor 6 – 7
Merah
gelap
Skor 8 – 9
Memenuhi
syarat
70
Berdasarkan tabel 5.4, hasil pengujian fisik pada daging berwarna
merah terang dengan skor 3 dan masih memenuhi syarat.
b) Bumbu
Bumbu yang dibutuhkan untuk membuat rendang yaitu, cabai
merah, daun jeruk purut, serai, lengkuas, kayu manis, ketumbar, jintan,
asam kandis, asam gelugur, kemiri, pala, bawang merah, bawang putih,
dan jahe. Bumbu-bumbu yang tersedia telah dihaluskan terlebih dahulu.
Bumbu dimasukan ke dalam wadah plastik yang dipakai untuk
makanan.
Berikut ini merupakan hasil pengujian laboratorium pada bumbu
rendang.
Tabel 5.5 Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Bumbu Rendang
Uji
Mikrobiologi Hasil Uji
Standar (SNI
7388:2009) Keterangan
Angka lempeng
total (ALT)
3,0 x 105 1 x 106 Memenuhi syarat
Coliform 1,1 x 103 1 x 102 Tidak memenuhi
syarat
Berdasarkan tabel 5.5. hasil pengujian mikrobiologi bakteri
Coliform pada bumbu rendang tidak memenuhi standar SNI 7388:2009.
c) Santan
Kelapa yang digunakan untuk membuat rendang adalah kelapa tua.
Kelapa utuh dikupas dari batok kelapa kemudian diparut dengan
menggunakan mesin parut kelapa. Setelah itu, kelapa parut diperas
menggunakan mesin pemeras santan yang ditambahkan dengan air
71
kemudian menghasilkan santan. Santan yang keluar dari mesin
diwadahi menggunakan teko plastik lalu dimasukkan ke dalam plastik
yang aman untuk makanan.
Berikut ini adalah hasil pengujian laboratorium pada santan.
Tabel 5.6 Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Santan
Uji
Mikrobiologi Hasil Uji
Standar (SNI
7388:2009) Keterangan
Angka lempeng
total (ALT)
2,3 x 103 1 x 106 Memenuhi syarat
Coliform 9 <3 Tidak memenuhi
syarat
Berdasarkan tabel 5.6 diatas, hasil pengujian bakteri pada santan
terdapat kontaminasi bakteri Coliform yang melebihi ambang batas
standar SNI 7388:2009.
- Penerimaan bahan baku
Berdasarkan dari hasil observasi di rumah makan padang X, bahan-
bahan yang sudah dibeli kemudian dibawa dengan kendaraan bermotor. Saat
sampai di rumah makan padang, bahan-bahan langsung dibawa masuk ke dapur
yang selanjutnya akan langsung diolah. Bahan baku yang diterima tidak
mengalami kerusakan.
- Proses penyiapan bahan baku
Proses selanjutnya yaitu menyiapkan bahan-bahan. Dari hasil observasi
di rumah makan padang X, daging dikeluarkan terlebih dahulu dari kantung
plastik berwarna bening. Kemudian dicuci dengan menggunakan air bersih
yang mengalir sampai bersih. Sedangkan bumbu yang sudah dihaluskan dan
72
santan dikeluarkan dari kantung plastik. Untuk bumbu seperti daun jeruk, daun
kunyit, dan serai dicuci terlebih dahulu dengan air bersih.
- Proses penyiapan alat-alat yang dipakai
Alat-alat yang digunakan untuk membuat rendang di rumah makan
padang X adalah sebagai berikut:
1. Penggorengan
Penggorengan digunakan sebagai wadah untuk membuat rendang.
Berikut ini kutipan wawancara informan.
”Wajan atau kuali, kalo orang sini bilangnya wajan, kalo
kita bilangnya kuali” (A1)
”Wajan, kalau dikampung namanya talenang.” (A2)
2. Sodet
Sodet digunakan untuk mengaduk dalam proses pemasakan agar
bumbu tercampur rata. Berikut kutipan wawancara informan.
“Sodet, sodet yang besi boleh atau kayu terserah” (A1)
”Sama sodet juga.” (A2)
3. Ulek dan cobek
Ulek dipakai untuk memipihkan bumbu. Sedangkan cobek sebagai
wadah untuk memipihkan bumbu. Berikut kutipan wawancara
informan.
”Pake cobek sama ulekannya, ntar kaya ditumbuk gitu” (A1)
73
- Jadwal pembuatan
Dari hasil pengamatan di rumah makan padang X, pemasakan rendang
dimulai sekitar pukul 08.47 WIB. Proses memasak membutuhkan waktu ± 2 -
3 jam atau sampai bumbunya sudah mengering.
- Proses pemasakan
Berdasarkan dari hasil observasi di rumah makan padang X, tahapan
proses memasak rendang yaitu, serai dipipihkan menggunakan ulek dan
diwadahi cobek sebelum dimasak. Kemudian masukkan daging, bumbu-
bumbu, dan santan ke dalam penggorengan dan tambahkan sedikit MSG.
Penggorengan diletakkan diatas tungku kompor kemudian nyalakan dengan api
sedang. Bumbu, daging, serta santan diaduk sampai tercampur rata. Sesekali
rendang diaduk-aduk agar tidak hangus. Kemudian tunggu sampai warna
rendang berubah agak menjadi kehitaman dan mengering. Waktu pemasakan
rendang 2 – 3 jam. Hal tersebut sesuai dengan wawancara informan.
“... kan mau masak rendang nih, daging dicuci dulu terus dimasukin,
kan masukin santan nih, terus masukin daun semua, terus diaduk dulu
semua. Jadi kaya laos, jahe, bawang putih, bawang merah, cabe giling.
Pertama naro daging, terus bumbu-bumbu, santan langsung dimasak.
Iya daun jeruk, daun kunyit, serai cuci bersih, terus serai di geprek
masukinnya awal semua. Semua bahan dimasukin pas awal semua. di
bumbu udah ada garamnya dan kasih sedikit (micin)” (A1)
”Yang pertama santan dimasukin, kalau udah berminyak dimasukin
dagingnya. Kan motong dagingnya tipis-tipis tuh. Apinya kecil, gak
boleh gede. Kalau gede nanti baunya sengit.” (A2)
”Dua jam. Iya, tapi tergantung juga, kalo rendang yang sampe item
banget yang tahan 3 hari itu 3 jam. Rendang padang yang bagus itu 3
jam.” (A1)
”3 jam, kalau yang lebih bagusnya 2 – 3 jam” (A2)
74
- Penyimpanan dan distribusi
Berdasarkan dari hasil observasi di rumah makan padang X, rendang
yang sudah matang dimasukkan ke dalam mangkuk yang tidak tertutup.
Kemudian dibawa dari dapur ke etalase rumah makan padang. Penyimpanan
rendang di etalase menggunakan mangkuk yang dibawa dari dapur. Wadah
yang dipakai untuk mendistribusikan ke konsumen menggunakan plastik
bening untuk makanan atau kertas pembungkus nasi. Berikut kutipan
wawancara informan.
“Bawanya pake mangkok biasa. Kalo ibu tidak ditutup, kalau ditutup
nanti basi karena masih panas. Dibuka saja” (A1)
“Pakai mangkok biasa. Bawanya tidak ditutup karena masih panas
rendangnya, kalau langsung ditutup nanti berair dan rasanya jadi
beda” (A2)
“Pake mangkok, langsung dari dapur itu” (A1)
“Iya itu pake wadah yang dari dapur (mangkok). Kalau udah dingin
baru ditutup. Jangan ditaro di kulkas” (A2)
“Pake plastik biasa yang setengah kilo. Kalo belinya sama nasi ya pake
kertas nasi dibungkusnya” (A1)
“Pake plastik bening gitu tapi kadang pake kertas nasi juga kalo belinya
sama nasi, kalo belinya ga pake nasi baru pake plastik” (A2)
Selain itu, dilakukan pengukuran suhu pada rendang dengan lama
penyimpanan 0 jam, 12 jam, dan 24 jam. Dari hasil pengukuran tersebut, suhu
rendang saat penyimpanan mengalami penurunan yaitu 67,3°C, 27,3°C, dan
26,1°C.
75
5.7. Identifikasi Analisis Bahaya
Analisis bahaya di rumah makan padang X terdiri dari bahan baku dan
proses pengolahan rendang. Analisis bahaya pada bahan baku meliputi daging,
bumbu, dan santan. Sedangkan analisis bahaya pada proses pengolahan terdiri dari
penerimaan bahan baku, proses penyiapan bahan baku, proses penyiapan alat-alat
masak, jadwal pembuatan, proses pemasakan, penyimpanan, dan distribusi. Berikut
ini analisis bahaya pada bahan baku (tabel 5.7) dan proses pengolahan (tabel 5.8).
76
Tabel 5.7 Analisis Bahaya pada Bahan Baku Rendang
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Daging Biologi :
Coliform
- Perlakuan pada saat
pemotongan daging
di pasar
- Suhu daging yang
tidak dingin pada
saat penjualan
(29,9°C)
- Keberadaan lalat
sebagai perantara
untuk terjadinya
kontaminasi
- Penjualan daging
dengan kondisi
terbuka
Tinggi
Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun
2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang
baik di pasar tradisional, daging yang sudah
dipotong dipajang dalam kondisi dingin. Jika
tidak ada fasilitas pendingin maka daging
harus habis pada hari penyembelihan dan
apabila tidak memungkinkan habis pada hari
yang sama, daging disajikan pada suhu dingin
(4°C).
Kebersihan tempat
penjualan, penyimpanan
daging pada suhu yang
rendah dan tertutup serta
pemotongan menggunakan
alat yang bersih.
Fisik : Debu,
kayu, rambut
- Pemotongan
menggunakan alas
yang terbuat dari
kayu
- Penjualan daging
dalam keadaan
terbuka
Sedang
Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun
2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang
baik di pasar tradisional:
- Pemotongan daging tidak menggunakan
alas pemotongan (talenan) kayu
Alas yang dipakai untuk
memotong daging diganti
dengan alas yang aman
untuk makanan (food
grade), penjualan daging
dalam keadaan tertutup, dan
77
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
- Penjual tidak
menggunakan
penutup kepala
- Pedagang menutup rambutnya dengan
penutup kepala sampai benar-benar
tertutup.
penjual memakai penutup
kepala
Bumbu Biologi :
- Coliform
- Lalat
sebagai
perantara
adanya
kontaminasi
bakteri
- Jamur
- Bumbu yang dijual
tidak menggunakan
wadah yang tertutup
- Bumbu kering yang
sudah lama disimpan
dan tidak ditempat
pada tempat yang
kering
Tinggi
Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun
2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang
baik di pasar tradisional, bumbu giling
disimpan dalam wadah kedap udara agar tidak
kontak dengan udara yang dapat mempercepat
hilangnya aroma dan kontaminasi produk dari
udara, serangga, atau hewan lainnya. Pangan
mentah kering dipajang pada wadah yang
bersih dan senantiasa diperiksa dari
kemungkinan infestasi hama/kutu atau
berjamur. Penyimpanan pangan mentah
kering sebaiknya dipertahankan tetap sejuk
dan kering untuk mencegah kerusakan karena
serangga dan bakteri.
Penyajian bumbu memakai
wadah yang tertutup dan
bumbu-bumbu kering
disimpan di tempat yang
kering
Fisik : Debu,
rambut, tanah
yang
menempel
Bumbu dijual dengan
keadaan terbuka dan
penjual tidak
menggunakan penutup
Sedang
Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun
2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang
baik di pasar tradisional, bumbu giling
Menggunakan wadah yang
tertutup, penjual memakai
penutup kepala, dan
78
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
pada bumbu
sebelum
dihaluskan
kepala, bumbu yang
akan dihaluskan tidak
dicuci sampai bersih
disimpan dalam wadah yang tertutup dan
penjual menggunakan penutup kepala sampai
tertutup
mencuci bumbu sebelum
dihaluskan
Santan Biologi :
Coliform
- Sanitasi kebersihan
tempat mengolah
santan yang tidak
higiene
- Penjual yang tidak
menggunakan
sarung tangan saat
mengolah
- Tempat
penampungan air
tidak tertutup
Tinggi
Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun
2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang
baik di pasar tradisional, lokasi penjualan
terjaga kebersihannya, bebas dari sampah,
bau, asap, kotoran, dan debu. Tempat
penjualan mudah dibersihkan dan dilakukan
tindakan sanitasi, mudah dipelihara, dan tidak
terjadi pencemaran silang diantara produk
ataupun bangunan. Bangunan dilengkapi
dengan sumber air bersih, pipa mengalirkan
air, dan tempat penampungan air.
Menjaga kebersihan tempat
penjualan, tempat
penampungan air tertutup,
serta menggunakan sarung
tangan
Fisik : serabut
kelapa, batok
kelapa, debu,
rambut
- Serabut yang jatuh
ke dalam wadah
santan
- Terdapat sisa batok
kelapa pada kelapa
yang sulit
dibersihkan
Rendah
Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun
2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang
baik di pasar tradisional:
- Penjual harus memiliki pengetahun,
kemampuan, dan keterampilan mengenai
Menggunakan wadah yang
setengah tertutup pada saat
memeras santan, mengupas
kelapa sampai bersih,
memakai penutup kepala,
dan menjaga kebersihan
tempat pengolahan
79
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
- Penjual tidak
memakai penutup
kepala
- Tempat mengolah
yang tidak bersih
penanganan pangan yang baik agar tidak
menyebabkan kerusakan pangan.
- Penjual menggunakan penutup kepala
sampai benar-benar tertutup.
- Lokasi penjualan terjaga kebersihannya,
bebas dari sampah, bau, asap, kotoran, dan
debu. Tempat penjualan mudah
dibersihkan dan dilakukan tindakan
sanitasi, mudah dipelihara, dan tidak
terjadi pencemaran silang diantara produk
ataupun bangunan.
Berdasarkan tabel 5.7, bahaya yang terdapat pada bahan baku pembuatan rendang yaitu bahaya biologi berupa bakteri Coliform, lalat
sebagai perantara adanya kontaminasi bakteri, dan jamur. Sedangkan kontaminasi bahaya fisik meliputi debu, kayu, rambut, tanah yang
menempel pada bumbu sebelum dihaluskan, serabut kelapa, serta batok kelapa.
80
Tabel 5.8 Analisis Bahaya pada Proses Pengolahan Rendang
Tahapan
Proses Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Penerimaan
bahan baku
Fisik : debu,
pasir
Adanya kontaminasi
pada saat proses
pengangkutan
Rendah
Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015
tentang Pedoman cara ritel pangan yang baik di
pasar tradisional, wadah yang digunakan untuk
mengirim pangan, kemasan maupun wadah dan
material lainnya yang akan digunakan untuk
pangan sebaiknya dalam kondisi bersih dan tidak
digunakan untuk mengangkut bahan selain
pangan.
Pengangkutan menggunakan
tempat penampungan bahan
makanan yang tertutup dan
melakukan pengecekan bahan
makanan
Kimia :
senyawa kimia
plastik berasal
dari wadah
plastik
Kontaminasi silang
dari plastik
Rendah
Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015
tentang Pedoman cara ritel pangan yang baik di
pasar tradisional, penggunaan kemasan tidak
menggunakan kemasan kantong plastik hitam,
plastik daur ulang, kertas koran/kertas bertinta,
dan kemasan yang dilarang lainnya untuk
pangan siap saji.
Menggunakan wadah yang
aman untuk pangan
Proses
penyiapan
bahan baku
Fisik : debu dan
tanah yang
menempel pada
bahan baku,
Debu, tanah, debu
yang berterbangan
Rendah
Berdasarkan Keputusan BPOM No.
HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang cara
- Mencuci bahan baku
sampai bersih
- Bahan baku yang sudah
dibersihkan ditempatkan
81
Tahapan
Proses Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
kotoran debu
dari langit-
langit
produksi pangan yang baik untuk industri rumah
tangga:
- Lokasi Industri Rumah Tangan Pangan
(IRTP) seharusnya dijaga tetap bersih, bebas
dari sampah, bau, asap, kotoran, dan debu.
- Bangunan dan fasilitas IRTP seharusnya
menjamin bahwa pangan tidak tercemar oleh
bahaya fisik, biologis, dan kimia selama
dalam proses produksi serta mudah
dibersihkan dan disanitasi.
menggunakan wadah yang
tertutup
- Menjaga kebersihan dapur
Proses
penyiapan
alat-alat yang
dipakai
Fisik : debu Penyimpanan alat-alat
masak tidak ditempat
yang tertutup dan
wajan digantung di
dinding
Sedang
Berdasarkan Keputusan BPOM No.
HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang cara
produksi pangan yang baik untuk industri rumah
tangga, semua peralatan seharusnya diperlihara,
diperiksa, dan dipantau agar berfungsi dengan
baik dan selalu dalam keadaan bersih.
Penyimpanan peralatan yang telah dibersihkan
tetapi belum digunakan harus di tempat bersih
dan dalam kondisi baik, sebaiknya permukaan
peralatan menghadap ke bawah supaya
Penyimpanan alat masak pada
tempat yang tertutup (lemari),
permukaan peralatan
menghadap ke bawah, dan
mengelapnya sebelum
digunakan
82
Tahapan
Proses Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
terlindung dari debu, kotoran, atau pencemaran
lainnya.
Kimia : cairan
pencuci piring
Membilas alat masak
tidak sampai bersih
Rendah
Berdasarkan Keputusan BPOM No.
HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang cara
produksi pangan yang baik untuk industri rumah
tangga, pembersihan dan sanitasi sebaiknya
dilakukan dengan menggunakan proses fisik
(penyikatan, penyemprotan dengan air
bertekanan/penghisap vakum), proses kimia
(sabun atau deterjen), atau gabungan proses fisik
dan kimia untuk menghilangkan kotoran dan
lapisan jasad renik dari dan peralatan.
Mencuci dan membilas alat
masak sampai bersih
Jadwal
pembuatan
- - - - - -
Proses
pemasakan
Biologi :
patogen yang
tahan terhadap
panas
Terdapat bakteri yang
tahan panas
Tinggi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.1096 Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi
Jasaboga, pengaturan suhu dan waktu perlu
diperhatikan karena setiap bahan makanan
mempunyai waktu kematangan yang berbeda.
Pengaturan suhu pada saat
proses masak agar bakteri
dapat dihilangkan
83
Tahapan
Proses Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Suhu pengolahan minimal 90°C agar kuman
patogen mati dan tidak boleh terlalu lama agar
kandungan zat gizi tidak hilang akibat
penguapan.
Fisik : debu,
serpihan batu
- Kondisi dapur
yang tidak higiene
- Cobek dan ulek
yang sudah
keropos
Rendah
Berdasarkan Keputusan BPOM No.
HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang cara
produksi pangan yang baik untuk industri rumah
tangga,
- Lokasi Industri Rumah Tangan Pangan
(IRTP) seharusnya dijaga tetap bersih, bebas
dari sampah, bau, asap, kotoran, dan debu.
- Bangunan dan fasilitas IRTP seharusnya
menjamin bahwa pangan tidak tercemar oleh
bahaya fisik, biologis, dan kimia selama
dalam proses produksi serta mudah
dibersihkan dan disanitasi.
- Permukaan peralatan yang kontak langsung
dengan pangan harus halus, tidak bercelah
atau berlubang, tidak mengelupas, tidak
berkarat, dan tidak menyerap air.
- Menjaga kebersihan dapur
dan
- Menggunakan cobek dan
ulek yang tidak keropos
84
Tahapan
Proses Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096
Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga,
keadaan peralatan harus utuh, tidak cacat, tidak
retak, tidak gompal, dan mudah dibersihkan.
Penyimpanan
dan distribusi
Biologi :
- Lalat
sebagai
perantara
kontaminasi
bakteri
- Pertumbuha
n bakteri
- Wadah yang
digunakan tidak
tertutup
- Suhu makanan
dingin
Tinggi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096
Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga :
- Tempat atau wadah penyimpanan yang
digunakan harus terpisah untuk setiap jenis
makanan jadi dan mempunyai tutup yang
dapat menutup sempurna dan dapat
mengeluarkan udara panas dari makanan
untuk mencegah pengembunan.
- Penyimpanan makanan jadi harus
memperhatikan suhu yaitu > 60°C.
Menggunakan wadah yang
tertutup, dan pengaturan suhu
saat penyimpanan
Fisik : debu - Lokasi penjualan
di pinggir jalan
- Wadah tidak
tertutup
Rendah
Berdasarkan Keputusan BPOM No.
HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang
Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri
Rumah Tangga :
- Menjaga kebersihan tempat
penyimpanan makanan dan
rumah makan
- Memakai wadah yang
tertutup
85
Tahapan
Proses Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
- Lokasi IRTP seharusnya dijaga tetap bersih,
bebas dari sampah, bau, asap, kotoran, dan
debu.
- Bangunan dan fasilitas IRTP seharusnya
menjamin bahwa pangan tidak tercemar oleh
bahaya fisik, biologis, dan kimia selama
dalam proses produksi serta mudah
dibersihkan dan disanitasi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096
Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga,
tempat atau wadah penyimpanan yang
digunakan harus terpisah untuk setiap jenis
makanan jadi dan mempunyai tutup yang dapat
menutup sempurna dan dapat mengeluarkan
udara panas dari makanan untuk mencegah
pengembunan.
Kimia : bahan
kimia pada
plastik/kertas
pembungkus
makanan
Kontaminasi silang
dari plastik/kertas
pembungkus makanan
Tinggi
Berdasarkan Keputusan BPOM No.
HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang
Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri
Rumah Tangga, seharusnya menggunakan bahan
kemasan yang sesuai untuk pangan. Desain dan
- Memilih dan menggunakan
kemasan yang aman
86
Tahapan
Proses Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
bahan kemasan seharusnya memberikan
perlindungan terhadap produk dalam
memperkecil kontaminasi, mencegah kerusakan,
dan memungkinkan pelabelan yang baik.
Berdasarkan tabel 5.8, bahaya yang mengkontaminasi saat proses pengolahan rendang yaitu bahaya fisik berupa debu, pasir dan
serpihan batu, sedangkan bahaya biologi meliputi patogen yang tahan terhadap panas, lalat sebagai perantara kontaminasi bakteri dan
pertumbuhan bakteri, dan yang terakhir bahaya kimia berasal dari senyawa kimia plastik dari wadah plastik, cairan pencuci piring, dan
bahan kimia pada plastik/kertas pembungkus makanan.
87
5.8. Menentukkan Titik Kendali Kritis
Untuk menentukan titik kendali kritis menggunakan decision tree atau pohon
keputusan. Berikut ini penentuan titik kendali kritis pada bahan baku maupun
proses pemasakan rendang di rumah makan padang X.
5.8.1. Menentukkan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Rendang
Dalam menetapkan titik kendali kritis bahan baku dengan proses
pengolahan menggunakan decision tree yang berbeda. Berikut ini penentuan
titik kendali kritis pada bahan baku daging, bumbu, dan santan.
88
Tabel 5.9 Penetapan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Daging, Bumbu, dan Santan
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Pencegahan P1 P2 P3
TKK /
Bukan
TKK
Alasan
Daging Fisik:
Debu, Kayu
- Pemotongan
menggunakan alas yang
terbuat dari kayu
- Penjualan daging dalam
keadaan terbuka
Alas yang dipakai
untuk memotong
daging diganti dengan
alas berbahan plastik
dan penjualan daging
dalam keadaan tertutup
Ya Ya Tidak Bukan TKK Pada tahapan
penyiapan bahan
baku terdapat
proses pencucian
Biologi:
- Coliform
- Perlakuan pada saat
pemotongan daging di
pasar
- Suhu daging yang tidak
sesuai pada saat penjualan
- Keberadaan lalat sebagai
perantara untuk terjadinya
kontaminasi
- Penjualan daging dengan
kondisi terbuka
Penyimpanan daging
pada suhu yang rendah
dan tertutup serta
pemotongan
menggunakan alat yang
bersih
Ya Ya Tidak Bukan TKK Akan ada proses
pemanasan pada
saat memasak
sehingga bakteri
yang tumbuh dapat
dihilangkan
89
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Pencegahan P1 P2 P3
TKK /
Bukan
TKK
Alasan
Bumbu Fisik:
Debu, rambut,
tanah yang
menempel pada
bumbu sebelum
dihaluskan
Bumbu dijual dengan keadaan
terbuka dan penjual tidak
menggunakan penutup
kepala, bumbu yang akan
dihaluskan tidak dicuci
sampai bersih
Menggunakan wadah
yang tertutup, penjual
memakai penutup
kepala, dan mencuci
bumbu sebelum
dihaluskan
Ya Tidak - TKK Proses berikutnya
tidak ada tahapan
untuk
menghilangkan
bahaya tersebut dan
tidak ada proses
penyaringan saat
mengolah masakan
Biologi:
- Coliform
- Lalat
sebagai
perantara
adanya
kontaminasi
bakteri
- Jamur
- Bumbu yang dijual tidak
menggunakan wadah
yang tertutup
- Bumbu kering yang sudah
lama disimpan dan tidak
ditempat pada tempat
yang kering
Penyajian bumbu
memakai wadah yang
tertutup dan bumbu-
bumbu kering disimpan
di tempat yang kering
Ya Ya Tidak Bukan TKK Terdapat proses
pemanasan pada
saat memasak
90
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Pencegahan P1 P2 P3
TKK /
Bukan
TKK
Alasan
Santan Fisik :
serabut kelapa,
batok kelapa,
debu, rambut
- Serabut yang jatuh ke
dalam wadah santan
- Terdapat sisa batok kelapa
pada kelapa yang susah
dibersihkan
- Penjual tidak memakai
penutup kepala
- Tempat mengolah yang
tidak bersih
Menggunakan wadah
yang setengah tertutup,
mengupas kelapa
sampai bersih,
memakai penutup
kepala, dan menjaga
kebersihan tempat
pengolahan
Ya Tidak - TKK Tidak dilakukannya
proses penyaringan
kembali pada saat
penyiapan bahan
baku untuk
memasak
Biologi:
- Coliform
- Sanitasi kebersihan
tempat mengolah santan
yang tidak higiene
- Penjual yang tidak
menggunakan sarung
tangan saat mengolah
Menjaga kebersihan
dan menggunakan
sarung tangan
Ya Ya Tidak Bukan TKK Saat proses
pemasakan terjadi
pemanasan pada
rendang yang
dimasak sehingga
bakteri dapat
dihilangkan
Berdasarkan tabel 5.9, menunjukkan bahwa bahan baku yang termasuk ke dalam titik kendali kritis yaitu bahaya fisik pada bumbu
dan santan. Hal itu dikarenakan pada proses berikutnya tidak ada tahapan untuk menghilangkan bahaya tersebut dan tidak dilakukannya
penyaringan kembali.
91
5.8.2. Menentukkan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan
Rendang
Dalam penentuan titik kendali kritis pada proses pengolahan rendang
tidak sama dengan penentuan TKK bahan baku. Hal itu dikarenakan diagram
pohon yang digunakan berbeda. Berikut ini penentuan titik kendali kritis pada
proses pengolahan terdiri dari, penerimaan bahan baku, penyiapan bahan baku,
proses penyiapan alat-alat yang dipakai, proses pemasakan, serta penyimpanan
dan distribusi.
92
Tabel 5.10 Penetapan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan Rendang
Tahap
Proses Bahaya Penyebab Pencegahan P1 P2 P3 P4
TKK /
Bukan
TKK
Alasan
Penerimaan
bahan baku
Fisik : Debu,
pasir
Adanya
kontaminasi
pada saat proses
pengangkutan
dan penjualan
saat dipasar
Pengangkutan bahan
makanan menggunakan
tempat penampungan
yang tertutup dan
melakukan pengecekan
bahan makanan
Ya Tidak Ya Ya Bukan
TKK
Mudah dihilangkan dan proses
selanjutnya bisa
menghilangkan bahaya
tersebut
Kimia : senyawa
kimia plastik
yang dipakai
sebagai wadah
Kontaminasi
silang dari
plastik
Menggunakan wadah
yang aman untuk
pangan
Ya Tidak Ya - TKK Monomer plastik
menkontaminasi bahan baku
Penyiapan
bahan baku
Fisik : debu dan
tanah yang
menempel pada
bahan baku,
kotoran debu
dari bangunan
(langit-langit,
jendela)
Debu, tanah,
Debu yang
berterbangan
- Mencuci bahan
baku sampai bersih
- Bahan baku yang
sudah dibersihkan
ditempatkan
menggunakan
wadah yang
tertutup
- Menjaga kebersihan
dapur
Ya Ya - - TKK Pada proses ini sudah
menghilangkan bahaya fisik
dengan mencuci bahan baku
daging dan bumbu (daun jeruk,
daun kunyit, dan serai)
sebelum dimasak, namun pada
saat setelah mencuci bahan
baku tidak ditempatkan pada
wadah yang tertutup sehingga
debu dapat menempel kembali
93
Tahap
Proses Bahaya Penyebab Pencegahan P1 P2 P3 P4
TKK /
Bukan
TKK
Alasan
Penyiapan
alat-alat yang
dipakai
Fisik : Debu Penyimpanan
alat-alat masak
tidak ditempat
yang tertutup
dan digantung
di dinding
- Penyimpanan alat
masak pada tempat
yang tertutup
(lemari) atau
permukaan
peralatan
menghadap ke
bawah
- Mengelapnya atau
mencuci sebelum
digunakan
Ya Tidak Tidak - Bukan
TKK
Tahap ini sudah
menghilangkan debu pada alat
masak yang akan digunakan
Kimia : cairan
pencuci piring
Membilas alat
masak tidak
sampai bersih
Mencuci dan membilas
alat masak sampai
bersih
Ya Tidak Ya Tidak TKK Bahan kimia yang terkandung
di cairan pencuci piring dapat
mengkontaminasi masakan
Pemasakan Fisik : Debu,
serpihan batu
- Kondisi
dapur yang
tidak
higiene
- Cobek dan
ulek yang
sudah
keropos
- Menjaga kebersihan
dapur dan
- Menggunakan
cobek dan ulek
yang tidak keropos
Ya Ya - - TKK Bahaya fisik yang tidak terlihat
dapat dikonsumsi oleh
konsumen
94
Tahap
Proses Bahaya Penyebab Pencegahan P1 P2 P3 P4
TKK /
Bukan
TKK
Alasan
Biologi :
Patogen yang
tahan terhadap
panas
Terdapat bakteri
yang tahan
panas
Pengaturan suhu pada
saat proses masak agar
bakteri dapat
dihilangkan
Ya Ya - - TKK Bakteri yang terdapat di bahan
baku dapat dihilangkan pada
tahap ini dengan suhu yang
tepat
Penyimpanan
dan distribusi
Fisik : Debu - Lokasi
penjualan di
pinggir jalan
- Wadah tidak
tertutup
- Menjaga kebersihan
tempat
penyimpanan
makanan dan
rumah makan
- Memakai wadah
yang tertutup
Ya Tidak Ya Tidak TKK Debu yang berterbangan dapat
mengkontaminasi rendang di
etalase
Biologi :
- Lalat sebagai
perantara
kontaminasi
bakteri
- Pertumbuhan
bakteri
- Wadah yang
digunakan
tidak
tertutup
- Suhu
makanan
dingin
- Menggunakan
wadah yang
tertutup
- Pengaturan suhu
saat penyimpanan
Ya Tidak Ya Tidak TKK Selama penyimpanan rendang
tidak dipanaskan kembali
Kimia : Senyawa
kimia
plastik/kertas
pembungkus
makanan
Kontaminasi
silang dari
plastik/kertas
pembungkus
makanan
Memilih dan
menggunakan kemasan
yang aman
Ya Tidak Ya Tidak TKK Perpindahan monomer plastik
atau kertas ke makanan
sehingga makanan
terkontaminasi
95
Berdasarkan tabel 5.10, menunjukkan bahwa pada proses pengolahan rendang yang menjadi titik kendali kritis yaitu bahaya kimia
pada tahap penerimaan bahan baku, bahaya fisik tahap penyiapan bahan baku, bahaya kimia tahap penyiapan alat-alat yang dipakai, bahaya
fisik dan biologi tahap pemasakan, serta bahaya fisik, biologi dan kimia pada tahap penyimpanan dan distribusi.
5.9. Menentukan Batas Kritis pada masing-masing TKK
Setelah menentukan titik kendali kritis, kemudian menentukkan batas kritis untuk memusnahkan atau mengendalikan bahaya sampai
dititik yang aman. Batas kritis ditentukan berdasarkan dari bahaya yang ada di bahan baku ataupun proses pengolahan. Berikut ini merupakan
penentuan batas kritis pada TKK bahan baku (Tabel 5.11.) dan proses pengolahan (Tabel 5.12.) di rumah makan padang X.
Tabel 5.11 Penentuan Batas Kritis pada TKK Bahan Baku Rendang
Bahan Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Bumbu Fisik : Debu, rambut, tanah yang
menempel pada bumbu sebelum
dihaluskan
Menggunakan wadah yang tertutup, penjual
memakai penutup kepala, mencuci bumbu
sebelum dihaluskan
Bebas dari benda asing (debu,
rambut, dan tanah)
Santan Fisik : serabut kelapa, batok
kelapa, debu, rambut
Menggunakan wadah yang setengah tertutup,
mengupas kelapa sampai bersih, memakai penutup
kepala, dan menjaga kebersihan tempat
pengolahan
Bebas dari benda asing (serabut
kelapa, batok kelapa, debu, dan
rambut)
96
Berdasarkan tabel 5.11, batas kritis untuk menghindari bahaya fisik tersebut yaitu bebas dari benda asing berupa debu, rambut,
tanah yang menempel pada bumbu sebelum dihaluskan, serabut kelapa, dan batok kelapa.
Tabel 5.12 Penentuan Batas Kritis pada TKK Proses Pengolahan Rendang
Tahap
Proses Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Penerimaan
bahan baku
Kimia : senyawa kimia plastik
yang dipakai sebagai wadah
Menggunakan wadah yang aman untuk pangan Plastik yang digunakan jenis
plastik PP, HDPE, LDPE, dan
PET atau terdapat logo serta
tulisan aman untuk makanan
Penyiapan
bahan baku
Fisik : debu dan tanah yag
menempel pada bahan baku,
kotoran debu dari langit-langit
- Mencuci bahan baku sampai bersih
- Bahan baku yang sudah dibersihkan
ditempatkan menggunakan wadah yang
tertutup
- Menjaga kebersihan dapur
Bebas dari benda asing (debu)
Proses
penyiapan
alat-alat yang
dipakai
Kimia : cairan pencuci piring Mencuci dan membilas alat masak sampai bersih Bebas dari bahan kimia yang
terdapat di cairan pencuci piring
Proses
pemasakan
Biologi : patogen yang tahan
terhadap panas
Pengaturan suhu pada saat proses masak agar
bakteri dapat dihilangkan
Suhu saat memasak minimal 90°C
Fisik : debu, serpihan batu - Menjaga kebersihan dapur dan
- Menggunakan cobek dan ulek yang tidak
keropos
- Sanitasi dapur yang baik
- Bebas dari benda asing
(serpihan batu)
97
Berdasarkan tabel 5.12, batas kritis pada masing-masing TKK saat memasak rendang yaitu plastik atau kertas yang digunakan cocok
untuk makanan panas, jenis plastik PP, HDPE, LDPE, dan PET atau terdapat logo serta tulisan aman untuk makanan, bebas dari benda
asing berupa debu dan serpihan batu, bebas dari bahan kimia pencuci piring, suhu pemasakan minimal 90°C, dan sanitasi dapur yang baik,
Sanitasi etalase dan rumah makan yang baik, bebas dari lalat dan bakteri serta suhu penyimpanan > 60°C.
Tahap
Proses Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Penyimpanan
dan distribusi
Fisik : debu - Menjaga kebersihan tempat penyimpanan
makanan dan rumah makan
- Memakai wadah yang tertutup
- Sanitasi etalase dan rumah
makan yang baik
- Bebas dari benda asing (debu)
Biologi : lalat sebagai perantara
kontaminasi bakteri,
pertumbuhan bakteri
- Menggunakan wadah yang tertutup
- Pengaturan suhu saat penyimpanan
- Bebas dari lalat dan bakteri
- Suhu penyimpanan > 60°C
Kimia : senyawa kimia
plastik/kertas
Memilih dan menggunakan kemasan yang aman Plastik atau kertas yang digunakan
cocok untuk makanan panas, jenis
plastik PP atau terdapat logo
serta tulisan aman untuk makanan
98
5.10. Pemantauan Batas Kritis Setiap TKK
Pemantauan batas kritis pada masing-masing TKK mencakup apa yang dipantau, dimana dilakukan pemantauan, bagaimana cara
pemantauan, kapan dilakukan pemantauan dan siapa yang memantau. Berikut ini adalah tabel pemantauan batas kritis bahan baku (tabel
5.13) dan proses pengolahan rendang (tabel 5.14) dirumah makan padang X.
Tabel 5.13 Pemantauan Batas Kritis pada Bahan Baku Rendang
Bahan Bahaya Pencegahan Batas Kritis Pemantauan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Bumbu Fisik :
Debu,
rambut,
tanah yang
menempel
pada bumbu
sebelum
dihaluskan
Menggunakan wadah
yang tertutup, penjual
memakai penutup
kepala, dan mencuci
bumbu sebelum
dihaluskan
Bebas dari benda
asing (debu,
rambut, tanah)
Keadaan
bahan baku
(bumbu)
Pasar
tradisional
- Memastikan
tidak ada
tanah yang
menempel
pada
bumbu.
- Memastikan
wadah yang
digunakan
untuk
berjualan,
dan
memakai
Saat proses
penghalusan
bumbu dan
penjualan di
pasar
Penjual
99
Bahan Bahaya Pencegahan Batas Kritis Pemantauan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
penutup
kepala
Santan Fisik :
Serabut
kelapa,
batok
kelapa,
debu,
rambut
Menggunakan wadah
yang setengah
tertutup, mengupas
kelapa sampai bersih,
memakai penutup
kepala, dan menjaga
kebersihan tempat
pengolahan
Bebas dari benda
asing (serabut
kelapa, batok
kelapa, debu,
dan rambut)
Keadaan
bahan baku
(santan)
Pasar
tradisional
- Memastikan
tidak ada
bahaya fisik
yang masuk
ke dalam
santan.
- Memastikan
menggunak
an penutup
kepala
Proses
membuat
santan
Penjual
Berdasarkan tabel 5.13, pemantauan batas kritis bahan baku bumbu dan santan yaitu dengan melihat keadaan bahan baku bumbu dan
santan. Tempat dilakukannya pemantauan di pasar tradisional pada saat proses membuat bumbu dan santan. Pelaksanaannya pemantauan
dengan memastikan tidak ada tanah yang menempel pada bumbu, wadah yang digunakan untuk berjualan dan memakai penutup kepala, serta
tidak ada bahaya fisik yang masuk ke dalam santan. Pemantauan dilakukan oleh penjual bumbu dan santan.
100
Tabel 5.14 Pemantauan Batas Kritis pada Proses Pengolahan Rendang
Tahap
Proses Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Pemantauan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Penerimaan
bahan baku
Kimia :
senyawa
kimia
plastik
yang
dipakai
sebagai
wadah
Menggunakan wadah
yang aman untuk
pangan
Plastik yang
digunakan jenis
plastik PP, HDPE,
LDPE, dan PET atau
terdapat logo serta
tulisan aman untuk
makanan
Plastik Pasar Mengecek
jenis plastik
yang dipakai
penjual
sebagai
wadah bahan
baku
Saat
membeli
bahan baku
Penjamah
makanan
Penyiapan
bahan baku
Fisik :
debu dan
tanah yang
menempel
pada bahan
baku,
kotoran
debu dari
langit-
langit
- Mencuci bahan
baku sampai bersih
- Bahan baku yang
sudah dibersihkan
ditempatkan
menggunakan
wadah yang
tertutup
- Menjaga
kebersihan dapur
Bebas dari benda
asing (debu, tanah)
Keadaan
bahan
baku yang
sudah
disiapkan
Dapur Pengecekan
kembali
bahan baku
yang sudah
disiapkan
Setiap
menyiapkan
bahan baku
Penjamah
makanan
Penyiapan
alat-alat
yang dipakai
Kimia :
Cairan
pencuci
piring
Mencuci dan membilas
alat masak sampai
bersih
Bebas dari bahan
kimia yang terdapat
di cairan pencuci
piring
Keadaan
alat-alat
untuk
memasak
Dapur Pengecekan
alat-alat
masak yang
akan dipakai
Setiap
menyiapkan
alat-alat
masak
Penjamah
makanan
101
Tahap
Proses Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Pemantauan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Pemasakan Fisik :
Debu,
serpihan
batu,
- Menjaga
kebersihan dapur
dan
- Menggunakan
cobek dan ulek
yang tidak keropos
- Sanitasi dapur
yang baik
- Bebas dari benda
asing (serpihan
batu, rambut)
Keadaan
rendang
pada saat
dimasak
Dapur Mengecek
kebersihan
dapur, dan
alat masak
Setiap
memasak
rendang
Penjamah
makanan
Biologi :
Patogen
yang tahan
terhadap
panas
Pengaturan suhu pada
saat proses masak agar
bakteri dapat
dihilangkan
Suhu saat memasak
minimal 90°C
Suhu
pada saat
memasak
Dapur Mengukur
suhu saat
proses
memasak
Setiap
memasak
rendang
Penjamah
makanan
Penyimpana
n dan
distribusi
Fisik :
debu - Menjaga
kebersihan tempat
penyimpanan dan
rumah makan
- Memakai wadah
yang tertutup
- Sanitasi etalase
dan rumah makan
yang baik
- Bebas dari benda
asing (debu)
Keadaan
wadah
dan
tempat
penyimpa
nan
Etalase
dan
rumah
makan
Mengecek
kebersihan
etalase dan
rumah
makan,
mengecek
wadah yang
dipakai
Setiap
penyimpana
n rendang
di etalase
Penjamah
makanan
Biologi :
lalat
sebagai
perantara
kontaminas
i bakteri,
- Menggunakan
wadah yang
tertutup
- Pengaturan suhu
saat penyimpanan
- Bebas dari lalat
dan bakteri
- Suhu
penyimpanan
>60°C
Keadaan
rendang
saat
penyimpa
nan
Etalase Mengukur
suhu saat
penyimpana
n dan
mengecek
Setiap
penyimpana
n rendang
di etalase
Penjamah
makanan
102
Tahap
Proses Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Pemantauan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
pertumbuh
an bakteri
wadah yang
dipakai
Kimia :
senyawa
kimia
plastik/kert
as
Memilih dan
menggunakan wadah
yang aman
Plastik atau kertas
yang digunakan
cocok untuk makanan
panas, jenis plastik
PP atau terdapat logo
serta tulisan aman
untuk makanan
Wadah
plastik/ke
rtas yang
dipakai
untuk
kemasan
rendang
Tempat
penjual
plastik
Mengecek
jenis
plastik/kerta
s yang
dipakai
Setiap
membeli
plastik/kert
as
Penjamah
makanan
Berdasarkan tabel 5.14, pemantauan batas kritis proses pengolahan rendang yaitu dengan melihat plastik yang digunakan sebagai
wadah bahan baku, keadaan bahan baku yang sudah disiapkan, alat-alat untuk memasak, rendang pada saat dimasak, suhu saat memasak,
wadah dan tempat penyimpanan, rendang saat penyimpanan, dan wadah plastik/kertas yang dipakai untuk kemasan rendang. Pelaksanaan
pemantauan dilakukan di dapur, etalase, rumah makan, dan tempat penjual plastik. Pelaksanaan pemantauan batas kritis dilakukan dengan
mengecek jenis plastik yang dipakai penjual sebagai wadah bahan baku, pengecekan kembali bahan baku yang sudah disiapkan, pengecekan
alat-alat masak yang akan dipakai, mengecek kebersihan dapur dan alat masak, mengukur suhu saat proses memasak, mengecek kebersihan
etalase dan wadah yang dipakai, mengukur suhu saat penyimpanan, dan mengecek jenis plastik/kertas yang dipakai. Waktu dilaksanakannya
103
pemantauan pada setiap membeli bahan baku, menyiapkan bahan baku, menyiapkan alat-alat masak, saat memasak rendang, penyimpanan
rendang di etalase, dan membeli plastik/kertas. Pemantauan dilakukan oleh penjamah makanan.
5.11. Penetapan Tindakan Perbaikan
Dalam suatu proses, terdapat tahapan yang bahayanya melampaui batas atau produk yang dihasilkan tidak aman. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dilakukan tindakan perbaikan. Berikut ini tindakan perbaikan pada bahan baku (Tabel 5.15) dan
proses pengolahan (Tabel 5.16) di rumah makan padang X.
Tabel 5.15 Tindakan Perbaikan pada Bahan Baku Rendang
Bahan Bahaya Batas
Kritis
Pemantauan Tindakan Perbaikan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Bumbu Fisik : Debu,
rambut, tanah
yang
menempel
pada bumbu
sebelum
dihaluskan
Bebas dari
benda asing
(debu,
rambut,
tanah)
Keadaan
bahan
baku
(bumbu)
Pasar
tradisional
- Memastikan
tidak ada
tanah yang
menempel
pada
bumbu.
- Memastikan
wadah yang
digunakan
Saat proses
penghalusan
bumbu dan
penjualan di
pasar
Penjual - Penjamah makanan
mengembalikan bahan baku,
memberikan saran kepada
penjual
- Memilih penjual bahan baku
(bumbu) yang dapat menjamin
keamanan pangan dan terhindar
dari bahaya fisik
104
Bahan Bahaya Batas
Kritis
Pemantauan Tindakan Perbaikan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
untuk
berjualan,
dan
memakai
penutup
kepala
Santan Fisik :
serabut
kelapa, batok
kelapa, debu,
rambut
Bebas dari
benda asing
(serabut
kelapa,
batok
kelapa,
debu, dan
rambut)
Keadan
bahan
baku
(santan)
Pasar
tradisional
- Memastikan
tidak ada
bahaya fisik
yang masuk
ke dalam
santan.
- Memastikan
menggunaka
n penutup
kepala
Proses
membuat
santan
Penjual - Penjamah makanan
mengembalikan bahan baku,
memberikan saran kepada
penjual
- Memilih penjual bahan baku
(santan) yang dapat menjamin
keamanan pangan dan terhindar
dari bahaya fisik
Berdasarkan tabel 5.15, tindakan perbaikan yang dapat dilakukan pada bahan baku bumbu dan santan yaitu mengembalikan bahan
baku kepada penjual, memberikan saran kepada penjual, memilih penjual bahan baku yang dapat menjamin keamanan pangan dan terhindar
dari bahaya fisik.
105
Tabel 5.16 Tindakan Perbaikan pada Proses Pengolahan Rendang
Tahap
Proses Bahaya Batas Kritis
Pemantauan Tindakan
Perbaikan Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Penerimaan
bahan baku
Kimia :
senyawa
kimia
plastik yang
dipakai
sebagai
wadah
Plastik yang
digunakan jenis
plastik PP,
HDPE, LDPE,
dan PET atau
terdapat logo
serta tulisan
aman untuk
makanan
Plastik pasar Mengecek
jenis plastik
yang dipakai
penjual
sebagai
wadah bahan
baku
Saat membeli
bahan baku
Penjamah
makanan
Memilih pemasok
yang dapat menjamin
kemasan yang
dipakai aman untuk
makanan dan
mengganti plastik
yang aman untuk
pangan
Penyiapan
bahan baku
Fisik : debu
dan tanah
yang
menempel
pada bahan
baku,
kotoran
debu dari
langit-langit
Bebas dari
benda asing
(debu, tanah)
Keadaan
bahan baku
yang sudah
disiapkan
Dapur Pengecekan
kembali
bahan baku
yang sudah
disiapkan
Setiap
menyiapkan
bahan baku
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
mencuci kembali
bahan baku yang
akan digunakan dan
membersihkan dapur
Proses
penyiapan
Kimia :
cairan
Bebas dari
bahan kimia
yang terdapat di
Keadaan
alat-alat
Dapur Pengecekan
alat-alat
Setiap
menyiapkan
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
membilas kembali
alat-alat yang dipakai
106
Tahap
Proses Bahaya Batas Kritis
Pemantauan Tindakan
Perbaikan Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
alat-alat yang
dipakai
pencuci
piring
cairan cairan
pencuci piring
untuk
memasak
masak yang
akan dipakai
alat-alat
memasak
Proses
pemasakan
Biologi :
patogen
yang tahan
terhadap
panas
Suhu saat
memasak
minimal 90°C
Suhu pada
saat
memasak
Dapur Mengukur
suhu saat
proses
memasak
Setiap
memasak
rendang
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
mengatur suhu
sampai minimal 90°C
atau jika suhu tidak
sesuai dapat
memperpanjang atau
mempersingkat
waktu pemasakan
Fisik : debu,
serpihan
batu
- Sanitasi
dapur yang
baik
- Bebas dari
benda asing
(serpihan
batu, debu)
Keadaan
rendang pada
saat dimasak
Dapur Mengecek
kebersihan
dapur, dan
alat masak
Setiap
memasak
rendang
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
membersihkan dapur
serta mengganti ulek
dan cobek yang
sudah keropos
Penyimpanan
dan distribusi
Fisik : debu - Sanitasi
etalase dan
rumah
makan baik
Keadaan
wadah dan
tempat
penyimpanan
Etalase
dan
rumah
makan
Mengecek
kebersihan
etalase dan
rumah
makan,
Setiap
penyimpanan
rendang di
etalase
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
membersihkan
etalase dan rumah
makan serta
107
Tahap
Proses Bahaya Batas Kritis
Pemantauan Tindakan
Perbaikan Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
- Bebas dari
benda asing
(debu)
mengecek
wadah yang
dipakai
mengganti wadah
yang ada tutupnya
Biologi :
lalat sebagai
perantara
kontaminasi
bakteri,
pertumbuha
n bakteri
- Bebas dari
lalat dan
bakteri
- Suhu
penyimpana
n >60°C
Keadaan
rendang saat
penyimpanan
Etalase Mengukur
suhu saat
penyimpanan
dan
mengecek
wadah yang
dipakai
Setiap
penyimpanan
rendang di
etalase
Penjamah
makanan
Penjamah mengatur
suhu saat
penyimpanan
dietalase >60°C serta
mengganti wadah
yang ada tutupnya
Kimia :
senyawa
kimia
plastik/kerta
s
Plastik atau
kertas yang
digunakan
cocok untuk
makanan panas,
jenis plastik PP
atau terdapat
logo serta
tulisan aman
untuk makanan
Wadah
plastik/kertas
yang dipakai
untuk
kemasan
rendang
Tempat
penjual
plastik
Mengecek
jenis
plastik/kertas
yang dipakai
Setiap
membeli
plastik/kertas
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
mengganti jenis
plastik/kertas
pembungkus
makanan
108
Berdasarkan tabel 5.16, tindakan perbaikan yang dapat dilakukan pada proses pengolahan rendang yaitu memilih pemasok yang dapat
menjamin kemasan yang dipakai aman untuk makanan dan mengganti plastik yang aman untuk pangan, mencuci kembali bahan baku yang
akan digunakan, membilas kembali alat-alat masak yang dipakai, suhu diatur minimal 90°C atau jika suhu tidak sesuai dapat memperpanjang
atau mempersingkat waktu pemasakan dan membersihkan dapur, mengganti ulek dan cobek yang sudah keropos, membersihkan etalase dan
rumah makan serta mengganti wadah yang ada tutupnya, mengatur suhu saat penyimpanan di etalase >60°C, dan mengganti jenis
plastik/kertas pembungkus makanan.
5.12. Penetapan Prosedur Verifikasi
Verifikasi yang dilakukan pada bahan baku dan proses pengolahan rendang di rumah makan padang X sebagai berikut.
Tabel 5.17 Prosedur Verifikasi pada Bahan Baku Rendang
Bahan Bahaya Batas Kritis Pemantauan
Tindakan Perbaikan Verifikasi Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Bumbu Fisik :
Debu,
rambut,
tanah yang
menempel
Bebas dari
benda asing
(debu,
rambut,
tanah)
Keadaan
bahan
baku
(bumbu)
Pasar
tradisional
- Memastikan
tidak ada
tanah yang
menempel
pada bumbu.
Saat proses
penghalusan
bumbu dan
penjualan di
pasar
Penjual - Penjamah
makanan
mengembalikan
bahan baku,
Penjamah
makanan meninjau
penjual yang dapat
memenuhi kriteria
bahan baku
109
Bahan Bahaya Batas Kritis Pemantauan
Tindakan Perbaikan Verifikasi Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
pada
bumbu
sebelum
dihaluskan
- Memastikan
wadah yang
digunakan
untuk
berjualan, dan
memakai
penutup
kepala
memberikan saran
kepada penjual
- Memilih penjual
bahan baku
(bumbu) yang
dapat menjamin
keamanan pangan
dan terhindar dari
bahaya fisik
bumbu yang aman
dari bahaya fisik
Santan Fisik :
serabut
kelapa,
batok
kelapa,
debu,
rambut
Bebas dari
benda asing
(serabut
kelapa, batok
kelapa, debu,
dan rambut)
Keadan
bahan
baku
(santan)
Pasar
tradisional
- Memastikan
tidak ada
bahaya fisik
yang masuk
ke dalam
santan.
- Memastikan
menggunakan
penutup
kepala
Proses
membuat
santan
Penjual - Penjamah
makanan
mengembalikan
bahan baku,
memberikan saran
kepada penjual
- Memilih penjual
bahan baku
(santan) yang
dapat menjamin
keamanan pangan
dan terhindar dari
bahaya fisik
Penjamah
makanan meninjau
penjual yang dapat
memenuhi kriteria
bahan baku santan
yang aman dari
bahaya fisik
110
Berdasarkan tabel 5.17, prosedur verifikasi pada bahan baku rendang yaitu penjamah makanan meninjau penjual yang dapat
memenuhi kriteria bahan baku bumbu dan santan yang aman dari bahaya fisik.
Tabel 5.18 Prosedur Verifikasi pada Proses Pengolahan Rendang
Tahap
Proses Bahaya Batas Kritis
Pemantauan Tindakan
Perbaikan Verifikasi
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Penerimaan
bahan baku
Kimia :
senyawa
kimia plastik
yang dipakai
sebagai
wadah
Plastik yang
digunakan jenis
plastik PP,
HDPE, LDPE,
dan PET atau
terdapat logo
serta tulisan
aman untuk
makanan tulisan
aman untuk
makanan
Plastik pasar Mengecek
jenis plastik
yang dipakai
penjual
sebagai
wadah bahan
baku
Saat membeli
bahan baku
Penjamah
makanan
Memilih pemasok
yang dapat menjamin
kemasan yang
dipakai aman untuk
makanan dan
mengganti plastik
yang aman untuk
pangan
Penjamah
meninjau penjual
yang dapat
menjamin
kemasan plastik
yang digunakan
aman untuk
pangan dan
mengecek jenis
plastik yang
dipakai
Penyiapan
bahan baku
Fisik : debu
dan tanah
yang
menempel
pada bahan
baku, kotoran
Bebas dari benda
asing (debu,
tanah)
Keadaan
bahan baku
yang sudah
disiapkan
Dapur Pengecekan
kembali
bahan baku
yang sudah
disiapkan
Setiap
menyiapkan
bahan baku
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
mencuci kembali
bahan baku yang
akan digunakan dan
membersihkan dapur
Penjamah
makanan
meninjau
kebersihan bahan
baku dan tempat
pengolahan
111
Tahap
Proses Bahaya Batas Kritis
Pemantauan Tindakan
Perbaikan Verifikasi
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
debu dari
langit-langit
Proses
penyiapan
alat-alat yang
dipakai
Kimia :
cairan
pencuci
piring
Bebas dari bahan
kimia yang
terdapat di cairan
cairan pencuci
piring
Keadaan alat-
alat untuk
memasak
Dapur Pengecekan
alat-alat
masak yang
akan dipakai
Setiap
menyiapkan
alat-alat
memasak
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
membilas kembali
alat-alat yang dipakai
Penjamah
makanan
meninjau alat-alat
yang dipakai
Proses
pemasakan
Biologi :
patogen yang
tahan
terhadap
panas
Suhu saat
memasak
minimal 90°C
Suhu pada
saat
memasak
Dapur Mengukur
suhu saat
proses
memasak
Setiap
memasak
rendang
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
mengatur suhu
sampai minimal 90°C
atau jika suhu tidak
sesuai dapat
memperpanjang atau
mempersingkat
waktu pemasakan
Penjamah
makanan telah
mencatat suhu
pada saat
memasak
Fisik : debu,
serpihan batu
- Sanitasi
dapur yang
baik
- Bebas dari
benda asing
(serpihan
batu, debu)
Keadaan
rendang pada
saat dimasak
Dapur Mengecek
kebersihan
dapur, dan
alat masak
Setiap
memasak
rendang
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
membersihkan dapur
serta mengganti ulek
dan cobek yang
sudah keropos
Penjamah
makanan telah
mengecek alat
masak dan
meninjau
kebersihan dapur
Penyimpanan
dan distribusi
Fisik : debu - Sanitasi
etalase dan
Keadaan
wadah dan
Etalase
dan
Mengecek
kebersihan
Setiap
penyimpanan
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
membersihkan
Penjamah telah
meninjau
112
Tahap
Proses Bahaya Batas Kritis
Pemantauan Tindakan
Perbaikan Verifikasi
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
rumah makan
baik
- Bebas dari
benda asing
(debu)
tempat
penyimpanan
rumah
makan
etalase dan
rumah
makan,
mengecek
wadah yang
dipakai
rendang di
etalase
etalase dan rumah
makan serta
mengganti wadah
yang ada tutupnya
kebersihan
etalase dan
rumah makan
serta mengecek
wadah yang
dipakai
Biologi : lalat
sebagai
perantara
kontaminasi
bakteri,
pertumbuhan
bakteri
- Bebas dari
lalat dan
bakteri
- Suhu
penyimpanan
>60°C
Keadaan
rendang saat
penyimpanan
Etalase Mengukur
suhu saat
penyimpanan
dan
mengecek
wadah yang
dipakai
Setiap
penyimpanan
rendang di
etalase
Penjamah
makanan
Penjamah mengatur
suhu saat
penyimpanan
dietalase >60°C serta
mengganti wadah
yang ada tutupnya
Penjamah telah
mencatat suhu
saat penyimpanan
dan mengecek
wadah yang
dipakai
Kimia :
senyawa
kimia
plastik/kertas
Plastik atau
kertas yang
digunakan cocok
untuk makanan
panas, jenis
plastik PP atau
terdapat logo
serta tulisan
aman untuk
makanan
Wadah
plastik/kertas
yang dipakai
untuk
kemasan
rendang
Tempat
penjual
plastik
Mengecek
jenis
plastik/kertas
yang dipakai
Setiap
membeli
plastik/kertas
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
mengganti jenis
plastik/kertas
pembungkus
makanan
Penjamah telah
mengecek jenis
plastik/kertas
pembungkus
makanan
113
Berdasarkan tabel 5.18, prosedur verifikasi pada proses pengolahan rendang yaitu penjamah makanan meninjau penjual yang dapat
menjamin kemasan plastik yang digunakan aman untuk pangan dan mengecek jenis plastik yang dipakai, meninjau kebersihan bahan baku dan
tempat pengolahan, telah mengecek jenis plastik yang digunakan aman untuk pangan, meninjau alat-alat yang dipakai, telah mencatat
pengukuran suhu pada saat memasak, telah mengecek alat masak, meninjau kebersihan dapur, meninjau kebersihan etalase dan rumah makan
serta mengecek wadah yang dipakai, telah mencatat suhu saat penyimpanan, serta telah mengecek jenis plastik/kertas pembungkus makanan.
5.13. Dokumentasi dan Pencatatan
Pada proses penerapan HACCP harus didokumentasikan dan dicatat. Berikut ini tabel pencatatan pada bahan baku rendang (Tabel
5.25) dan proses pengolahan rendang (Tabel 5.19), serta tabel dokumentasi (tabel 5.20) di rumah makan padang X.
Tabel 5.19 Pencatatan pada Bahan Baku Rendang
Bahan Bahaya Batas
Kritis
Pemantauan Tindakan Perbaikan Verifikasi Pencatatan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Bumbu Fisik :
Debu,
rambut,
tanah yang
menempel
Bebas
dari
benda
asing
(debu,
Keadaan
bahan
baku
(bumbu)
Pasar
tradisional
- Memastikan tidak
ada tanah yang
menempel pada
bumbu.
Saat proses
penghalusan
bumbu dan
penjualan di
pasar
Penjual - Penjamah makanan
mengembalikan bahan
baku, memberikan
saran kepada penjual
Memilih penjual
yang dapat
memenuhi kriteria
bahan baku
Data
pengecekan
bahan baku
(bumbu)
114
Bahan Bahaya Batas
Kritis
Pemantauan Tindakan Perbaikan Verifikasi Pencatatan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
pada
bumbu
sebelum
dihaluskan
rambut,
tanah)
- Memastikan
wadah yang
digunakan untuk
berjualan, dan
memakai penutup
kepala
- Memilih penjual bahan
baku (bumbu) yang
dapat menjamin
keamanan pangan dan
terhindar dari bahaya
fisik
bumbu yang aman
dari bahaya fisik
Santan Fisik :
serabut
kelapa,
batok
kelapa,
debu,
rambut
Bebas
dari
benda
asing
(serabut
kelapa,
batok
kelapa,
debu,
dan
rambut)
Keadan
bahan
baku
(santan)
Pasar
tradisional
- Memastikan tidak
ada bahaya fisik
yang masuk ke
dalam santan.
- Memastikanmeng
gunakan penutup
kepala
Proses
membuat
santan
Penjual - Penjamah makanan
mengembalikan bahan
baku, memberikan
saran kepada penjual
- Memilih penjual bahan
baku (santan) yang
dapat menjamin
keamanan pangan dan
terhindar dari bahaya
fisik
Memilih penjual
yang dapat
memenuhi kriteria
bahan baku santan
yang aman dari
bahaya fisik
Data
pengecekan
bahan baku
(santan)
Berdasarkan tabel 5.19, pencatatan yang dilakukan pada bahan baku rendang yaitu berupa data pengecekan bahan baku bumbu dan santan.
115
Tabel 5.20 Pencatatan Proses Pengolahan Rendang
Tahap
Proses Bahaya Batas Kritis
Pemantauan Tindakan
Perbaikan Verifikasi Pencatatan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Penerimaan
bahan baku
Kimia :
senyawa
kimia
plastik yang
dipakai
sebagai
wadah
Plastik yang
digunakan jenis
plastik PP atau
terdapat logo
serta tulisan
aman untuk
makanan
Plastik pasar Mengecek
jenis plastik
yang dipakai
penjual
sebagai
wadah bahan
baku
Saat
membeli
bahan baku
Penjamah
makanan
Memilih pemasok
yang dapat
menjamin kemasan
yang dipakai aman
untuk makanan
Penjamah
meninjau
penjual yang
dapat
menjamin
kemasan
plastik yang
digunakan
aman untuk
pangan
Data
pengecekan
jenis plastik
Penyiapan
bahan baku
Fisik : debu
dan tanah
yang
menempel
pada bahan
baku,
kotoran
debu dari
langit-langit
Bebas dari
benda asing
(debu, tanah)
Keadaan
bahan baku
yang sudah
disiapkan
Dapur Pengecekan
kembali
bahan baku
yang sudah
disiapkan
Setiap
menyiapkan
bahan baku
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
mencuci kembali
bahan baku yang
akan digunakan dan
membersihkan
dapur
Penjamah
makanan
meninjau
kebersihan
bahan baku dan
tempat
pengolahan
Data
pengecekan
penyiapan
bahan baku
dan
kebersihan
dapur
Proses
penyiapan
alat-alat yang
dipakai
Kimia :
cairan
pencuci
piring
Bebas dari
bahan kimia
yang terdapat di
cairan cairan
pencuci piring
Keadaan
alat-alat
untuk
memasak
Dapur Pengecekan
alat-alat
masak yang
akan dipakai
Setiap
menyiapkan
alat-alat
memasak
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
membilas kembali
alat-alat yang
dipakai
Penjamah
makanan
meninjau alat-
alat yang
dipakai
Data
pengecekan
peralatan
masak
116
Tahap
Proses Bahaya Batas Kritis
Pemantauan Tindakan
Perbaikan Verifikasi Pencatatan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Proses
pemasakan
Biologi :
patogen
yang tahan
terhadap
panas
Suhu saat
memasak
minimal 90°C
Suhu pada
saat
memasak
Dapur Mengukur
suhu saat
proses
memasak
Setiap
memasak
rendang
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
mengatur suhu
sampai minimal
90°C atau jika suhu
tidak sesuai dapat
memperpanjang atau
mempersingkat
waktu pemasakan
Penjamah
makanan telah
mencatat suhu
pada saat
memasak
Data
pengukuran
temperatur
dan analisis
laboratorium
Fisik : debu,
serpihan
batu
- Sanitasi
dapur yang
baik
- Bebas dari
benda asing
(serpihan
batu)
Keadaan
rendang
pada saat
dimasak
Dapur Mengecek
kebersihan
dapur, dan
alat masak
Setiap
memasak
rendang
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
membersihkan
dapur serta
mengganti ulek dan
cobek yang sudah
keropos
Penjamah
makanan
mengecek alat
masak dan
meninjau
kebersihan
dapur
Data
pengecekan
alat masak dan
kebersihan
dapur
Penyimpanan
dan distribusi
Fisik : debu - Sanitasi
etalase dan
rumah
makan baik
- Bebas dari
benda asing
(debu)
Keadaan
wadah dan
tempat
penyimpana
n
Etalase
dan
rumah
makan
Mengecek
kebersihan
etalase dan
rumah
makan,
mengecek
wadah yang
dipakai
Setiap
penyimpana
n rendang di
etalase
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
membersihkan
etalase dan rumah
makan serta
mengganti wadah
yang ada tutupnya
Penjamah telah
meninjau
kebersihan
etalase dan
rumah makan
serta mengecek
wadah yang
dipakai
Data
pengecekan
kebersihan
etalase dan
rumah makan
serta wadah
untuk
menyimpan
rendang di
etalase
117
Tahap
Proses Bahaya Batas Kritis
Pemantauan Tindakan
Perbaikan Verifikasi Pencatatan
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Biologi :
lalat sebagai
perantara
kontaminasi
bakteri,
pertumbuha
n bakteri
- Bebas dari
lalat dan
bakteri
- Suhu
penyimpana
n >60°C
Keadaan
rendang saat
penyimpana
n
Etalase Mengukur
suhu saat
penyimpanan
dan
mengecek
wadah yang
dipakai
Setiap
penyimpana
n rendang di
etalase
Penjamah
makanan
Penjamah mengatur
suhu saat
penyimpanan
dietalase >60°C
serta mengganti
wadah yang ada
tutupnya
Penjamah telah
mencatat suhu
saat
penyimpanan
dan mengecek
wadah yang
dipakai
Data
pengukuran
temperatur,
analisis
laboratorium,
pengecekan
wadah untuk
menyimpan
rendang di
etalase
Kimia :
senyawa
kimia
plastik/kerta
s
Plastik atau
kertas yang
digunakan
cocok untuk
makanan panas,
jenis plastik PP
atau terdapat
logo serta
tulisan aman
untuk makanan
Wadah
plastik/kerta
s yang
dipakai
untuk
kemasan
rendang
Tempat
penjual
plastik
Mengecek
jenis
plastik/kertas
yang dipakai
Setiap
membeli
plastik/kerta
s
Penjamah
makanan
Penjamah makanan
mengganti jenis
plastik/kertas
pembungkus
makanan
Penjamah telah
mengecek jenis
plastik/kertas
pembungkus
makanan
Data
pengecekan
jenis
plastik/kertas
pembungkus
makanan
Berdasarkan tabel 5.20, pencatatan yang dilakukan pada saat proses pengolahan adalah data pengecekan jenis plastik, pengecekan
penyiapan bahan baku dan kebersihan dapur, data pengecekan peralatan masak, data pengukuran temperatur dan analisis laboratorium, data
118
pengecekan kebersihan etalase dan rumah makan serta wadah untuk menyimpan
rendang di etalase, dan data pengecekan jenis plastik/kertas pembungkus makanan.
Tabel 5.21 Dokumentasi
Dokumentasi HACCP
1. Informasi Proses dan Produk
1.1. Deskripsi Produk
1.2. Tujuan Akhir Penggunaan Produk
1.3. Diagram Alir
1.4. Konfirmasi Diagram Alir
2. HACCP
2.1. Identifikasi analisis bahaya
2.2. Menentukkan titik kendali kritis (TKK)
2.3. Menentukkan batas kritis
2.4. Pemantauan batas kritis
2.5. Penetapan tindakan perbaikan
2.6. Penetapan prosedur verifikasi
2.7. Pencatatan dan Dokumentasi
Berdasarkan tabel 5.21, dokumentasi HACCP proses memasak rendang
terdiri dari deskripsi produk, tujuan akhir penggunaan produk, diagram alir,
konfirmasi diagram alir, identifikasi analisis bahaya, menentukkan TKK,
menentukkan batas kritis, pemantauan batas kritis, penetapan tindakan perbaikan,
penetapan prosedur verifikasi, serta pencatatan dan dokumentasi. Data yang
didokumentasikan juga dari hasil analisis laboratorium, pengukuran temperatur dan
lembar pengecekan.
119
5.14. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Rendang
Rendang di rumah makan padang X yang sudah matang dilakukan
pengujian mikrobiologis untuk melihat apakah terdapat pertumbuhan bakteri atau
tidak. Rendang diuji pada 0 jam, 12 jam, dan 24 jam. Berikut ini hasil pengujian
tersebut.
Tabel 5.22 Hasil Pengujian Bakteri pada Rendang
Bakteri Rendang 0
Jam
Rendang 12
Jam
Rendang 24
Jam
Keterangan
(SNI
7474:2009)
Angka
Lempeng Total
(ALT)
< 1,0 x 101
koloni/gr
1,0 x 102
koloni/gr
9,6 x 102
koloni/gr Memenuhi
syarat
Coliform < 3 APM/gr < 3 APM/gr < 3 APM/gr Memenuhi
syarat
Salmonella Negatif Negatif Negatif Memenuhi
syarat
Clostridium
perfringens
Negatif Negatif Negatif Memenuhi
syarat
Kapang dan
khamir
< 1,0 x 101
koloni/gr
< 1,0 x 101
koloni/gr
< 1,0 x 101
koloni/gr
Memenuhi
syarat
Berdasarkan tabel 5.22, menunjukkan bahwa rendang 0 jam, 12 jam, dan 24
jam masih berada dibawah ambang batas SNI. Namun, angka lempeng total
mengalami kenaikan pada rendang 0 jam sampai dengan 24 jam. Sedangkan bakteri
Coliform, serta kapang dan khamir tidak mengalami kenaikan. Untuk bakteri
Salmonella dan Clostridium perfringens tidak ditemukan (negatif) pada rendang 0
jam, 12 jam, maupun 24 jam.
Berikut ini adalah grafik dari pertumbuhan bakteri ALT pada rendang 0 jam,
12 jam, dan 24 jam.
120
Grafik 6.1 Pertumbuhan Bakteri ALT pada Rendang 0 Jam, 12 Jam, dan 24 Jam
Berdasarkan grafik 6.1, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
pertumbuhan bakteri ALT pada rendang 0 jam, 12 jam, dan 24 jam.
121
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis kualitas kimia (pH, kadar air, kadar
abu, kadar lemak, dan kadar protein) sehingga tidak diketahui faktor yang
mempengaruhi keberadaan bakteri dari segi kualitas kimia.
2. Pada penelitian ini tidak melakukan pengujian kualitas mikrobiologi (virus,
parasit (cacing)). Hal itu mengakibatkan tidak dapat mengetahui keberadaan
mikrobiologi di dalam bahan baku maupun rendang yang sudah matang.
3. Pada penelitian ini tidak menguji kualitas air yang digunakan untuk mencuci
bahan baku dan pemerasan santan, serta analisis swab peralatan masak dan
wadah penyimpanan sehingga tidak dapat diketahui sumber kontaminasi bakteri
secara rinci.
6.2. Tim HACCP
Tim HACCP adalah kelompok orang didalam perusahaan yang bertugas
untuk merancang, menerapkan, dan mengendalikan sistem HACCP (Thaheer,
2005). (Mortimore & Wallace, 2004) mengemukakan bahwa kajian HACCP
sebaiknya tidak dijalankan oleh satu orang saja walaupun bagi perusahaan skala
menengah dan kecil. Pengembangan proyek HACCP harus dilakukan oleh tim
multidisipliner. Untuk keperluan penelitian ini maka peneliti dan satu orang teman
peneliti bertindak sebagai tim HACCP dan dari pihak luar yaitu petugas
laboratorium.
122
Menurut (Thaheer, 2005), bidang keahlian yang sebaiknya terwakilkan pada
tim HACCP perusahaan yaitu mikrobiologi, rekayasa proses, rekayasa mesin,
quality control, laboratory analyst, legal officer, dan procurement officer (masukan
mengenai bahan baku). Sedangkan (Mortimore & Wallace, 2004) tim HACCP
idealnya harus beranggotakan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan
keahlian dibidang: jaminan mutu/teknis, pelaksanaan/produksi, dan teknik/mesin.
Tim HACCP pada penelitin ini mengetahui jaminan mutu/teknis untuk
mengendalikan bahaya atau menurunkan bahaya ke titik yang lebih aman. Tetapi
dalam proses pemasakan dan alat yang dipakai untuk masak tim HACCP tidak
mempunyai keahlian masak rendang. Sebelum melaksanakan HACCP, tim melihat
proses memasaknya terlebih dahulu sehingga mengetahui bagaimana alur
pembuatan rendang.
Berdasarkan uraian deskripsi produk rendang, pada penelitian ini
kekurangan sumber daya manusia untuk melakukan tim HACCP karena anggota
tim HACCP tidak ada yang mengetahui bagaimana proses pembuatan rendang.
Sehingga perlu menambahkan anggota HACCP yang dapat mengetahui proses
jalannya membuat rendang.
6.3. Deskripsi Produk
Deskripsi produk adalah perincian informasi lengkap mengenai produk
yang berisi tentang komposisi, sifat fisik atau kimia, perlakuan mikrosida atau
mikrostatis, pengemasan, kondisi penyimpanan, daya tahan, cara distribusi, bahkan
cara penyajian dan persiapan konsumsinya. Selain itu, dicantumkan informasi
mengenai produsen, batch produksi, tanggal produksi, kedaluwarsa, dan berbagai
informasi umum lainnya (Thaheer, 2005).
123
Hasil penelitian sejalan dengan teori (Thaheer, 2005) yaitu deskripsi produk
rendang di rumah makan padang X sudah mencantumkan komposisi, pengemasan,
penggunaan produk, masa kadaluarsa, tempat produk dijual, kondisi penyimpanan,
dan distribusi atau pemasaran.
Dari hasil wawancara kepada karyawan rumah makan padang didapatkan
masa kadaluarsa selama dua hari. Apabila rendang dipanaskan kembali dapat
bertahan sampai tujuh hari. Penelitian (Murhadi, Fardiaz, S, & Satiawihardja,
1994), mengemukakan bahwa terjadi peningkatan total mikroba pada rendang yang
tidak dipanaskan. Sedangkan pada rendang yang dipanaskan, angka total mikroba
mengalami penurunan. Sehingga rendang yang dipanaskan kembali masa
konsumsinya jadi lebih tahan lama.
6.4. Tujuan Akhir Penggunaan Rendang
Menurut (Thaheer, 2005), setiap produk yang akan dikendalikan melalui
penerapan sistem HACCP terlebih dahulu harus ditentukan rencana penggunaannya
atau dengan kata lain harus diidentifikasi terlebih dahulu sasaran konsumennya.
Kelompok konsumen yang dikategorikan memiliki risiko tinggi terhadap suatu
produk terdiri dari bayi, ibu hamil dan menyusui, manula, orang sakit atau dalam
perawatan pengobatan, dan orang dengan daya tahan tubuh yang rendah atau alergi
terhadap senyawa tertentu.
Hasil tujuan akhir penggunaan rendang pada penelitian ini berupa produk
rendang daging, dapat disajikan langung dikonsumsi setelah diolah, dan konsumen
yang dapat mengkonsumsi rendang berusia anak-anak hingga dewasa. Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Yuniarti, Azlia, & Sari, 2015), dalam
deskripsi produk tempe tujuan akhir penggunaannya dapat di konsumsi langsung
124
dan konsumen berusia anak-anak hingga dewasa. Hasil penelitian tersebut sama
dengan penelitian (Trisnaini, 2012), pada deskripsi produk tujuan akhir penggunaan
bola-bola daging di Instalasi Gizi Rumah Sakit diperuntukan bagi pasien dari semua
kalangan, usia, dan kelas sehingga pasien anak-anak maupun dewasa dan pasien
kelas III sampai dengan kelas I dengan diet tinggi kalori dan tinggi protein dapat
mengkonsumsinya. Bola-bola daging yang telah dimasak, siap untuk dikonsumsi.
6.5. Bagan Alir Proses Pembuatan Rendang
Menurut (Hui, Cornillon, Lim, Murrell, & Nip, 2004), proses diagram alir
akan mengidentifikasi langkah-langkah yang digunakan dalam produksi produk
tertentu yang ditinjau. Diagram alir dirancang untuk memberikan deskripsi lengkap
tentang semua langkah yang terlibat dalam proses pembuatan dari bahan baku yang
diterima sampai pengiriman produk jadi. Sejalan dengan (Mortimore & Wallace,
2004) diagram alir memuat serangkaian langkah dalam keseluruhan proses.
Pada penelitian ini, diagram alir pembuatan rendang di rumah makan
padang X yaitu pertama-tama membeli bahan baku yang dibutuhkan untuk
membuat rendang terdiri dari daging sapi, bumbu, dan santan. Bumbu yang dibeli
sudah dihaluskan terlebih dahulu. Kemudian bahan baku diangkut dengan
menggunakan kendaraan bemotor. Kondisi bahan baku yang diterima masih sama
saat pembelian dipasar, tidak ada kerusakan pada bahan baku selama pengangkutan.
Sebelum bahan-bahan dimasak, dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan debu-
debu, pasir dan benda asing lainnya. Siapkan alat-alat masak yang akan dipakai dan
dibersihkan terlebih dahulu. Selanjutnya, masukkan bahan-bahan ke dalam wajan
atau penggorengan kemudian aduk rata. Tunggu sampai rendang matang dan
sesekali rendang diaduk.
125
Menurut (Sutomo, Rendang: Juara Masakan Terlezat Sedunia, 2012),
langkah pertama dalam memasak rendang adalah menyiapkan bahan-bahan.
Daging dipotong dengan ukuran sekitar 6 x 3 cm. Bumbu-bumbu dihaluskan dan
kelapa diperas menjadi santan. Setelah bumbu ditumis, kemudian santan
dimasukkan. Beberapa jenis rendang menggunakan teknik merebus bumbu dengan
santan tanpa ditumis terlebih dahulu. Selanjutnya santan dituang dan dimasak
hingga mendidih. Setelah santan mendidih, daging dimasukkan dan dimasak
dengan api sedang sambil sesekali diaduk-aduk hingga diperoleh tekstur rendang
yang kering dan timbul dedak kering.
Berdasarkan uraian bagan alir proses pembuatan rendang, dalam memasak
rendang tahapannya berbeda-beda. Ada yang langsung dimasukkan semua bahan-
bahan ataupun menumis bumbunya terlebih dahulu.
6.6. Mengkonfirmasi Alur Proses Pembuatan Rendang
Bagan alir yang dibuat belum dikatakan sama dengan proses sebenarnya di
lapangan, tetapi masih memerlukan evaluasi dan kepastian melalui pengamatan
langsung (Thaheer, 2005). Keakuratan diagram alir proses yang lengkap kemudian
harus diperiksa dengan cara mengamati jalannya proses dan membandingkan setiap
langkah pada proses dengan diagram (Mortimore & Wallace, 2004). Berikut ini
tahap mengkonfirmasi alur proses pembuatan rendang sebagai berikut.
1. Pembelian bahan baku
Pembelian bahan baku sebaiknya dibeli dari sumber yang layak
dipercaya. Penjual makanan yang ideal menjual bahan makanan yang
bersih, segar, dan tidak tercemar (Arisman, 2009). Pembelian bahan baku
126
untuk membuat rendang terdiri dari daging, bumbu, dan santan cair. Berikut
ini hasil uji mikrobiologis pada bahan baku pembuatan rendang.
a) Daging
Daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman,
layak, dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar,
daging segar dingin, atau daging beku. Definisi daging segar adalah
daging yang belum diolah dan atau tidak ditambahkan dengan bahan
apapun (SNI 3938:2008). Rumah makan padang X dalam pembuatan
rendang menggunakan bahan baku daging segar. Hal ini terlihat dari
hasil uji fisik (tabel 5.4), daging yang digunakan berwarna merah terang
dengan skor tiga. Hal itu sesuai dengan standar SNI 3932:2008 pada
tingkat pertama. Hasil pada penelitian ini sejalan dengan penelitian
(Merthayasa, Suada, & Agustina, 2015), menunjukkan bahwa daging
sapi bali cenderung memiliki warna merah cerah dibandingkan
dengan daging wagyu yang memiliki warna lebih gelap akibat dikemas
dengan cara divakum sehingga tidak oksigen di dalamnya. Namun,
ketika dikeluarkan dari kemasan vakum, daging yang dikeluarkan akan
berubah warna menjadi merah terang.
Menurut Kuntoro, Maheswari, & Nuraini (2012) indikator
kontaminasi awal pada daging sapi segar salah satunya dapat dilihat
dari jumlah angka lempeng total (ALT) dan Escherichia coli, karena
bakteri tersebut terdapat secara alami pada daging sapi segar dan
dapat menimbulkan penyakit apabila keberadaannya berada di atas
ambang batas yang diperbolehkan. Hasil pengujian bakteri ALT
127
diperoleh sebesar 2,5 x 103 menunjukkan bahwa hasil uji tersebut masih
memenuhi persyaratan SNI 3932:2008 (tabel 5.3). Sejalan dengan
penelitian (Hernando, Septinova, & Adhianto, 2015), total mikroba
daging yang diteliti berkisar antara 0,93 x 105 - 3,1 x 105 koloni/gr yang
menunjukkan bahwa daging sapi tersebut memiliki kualitas yang masih
baik, sehingga layak untuk dikonsumsi.
Mikroba yang dapat dijadikan indikator keamanan pangan
umumnya adalah mikroba yang memiliki korelasi dengan adanya satu
atau lebih jenis mikroba patogen atau berkorelasi dengan adanya toksin
yang dihasilkannya. Di dalam golongan Coliform ini mungkin terdapat
lebih dari 20 spesies bakteri. Keberadaan kelompok bakteri Coliform
sangat berkorelasi dengan tingkat kebersihan dalam pengolahan pangan
sehingga secara luas digunakan sebagai indikator kebersihan dalam
pengolahan pangan (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016). Berdasarkan
hasil uji Coliform pada daging tidak memenuhi syarat SNI 3938:2008
yaitu 1,7 x 102. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian
(Jasmadi, Haryani, & Jose, 2014), menunjukkan jumlah bakteri
Coliform pada daging berkisar antara angka 0,11 x 107 APM/gr hingga
>24 x 107 APM/gr. Jumlah bakteri Coliform melebihi ambang batas
dikarenakan penjualan daging di pasar tradisional kurang
memperhatikan aspek sanitasi dan higienis, penjualan daging dilakukan
dalam keadaan terbuka, dan daging disimpan dalam suhu yang tidak
dingin akibatnya akan berdampak pada perkembangbiakan bakteri
128
semakin cepat, serta peralatan yang tidak steril juga menambah
kontaminasi pada daging yang dijual.
Menurut (FDA, Evaluation and Definition of Potentially Hazardous
Foods - Chapter 3. Factors that Influence Microbial Growth, 2001),
perkembangbiakan bakteri dalam makanan ditentukan oleh keadaan
lingkungan serta temperatur yang cocok, selain ketersediaan zat gizi
sebagai sumber makanan. Bakteri Coliform dapat mengkontaminasi
daging dikarenakan suhu yang tidak sesuai Peraturan Menteri Kesehatan
No. 1096 Tahun 2011 yaitu 26,6°C. Didalam peraturan tersebut
penyimpanan bahan makanan seperti daging, ikan, udang, dan
olahannya yang akan digunakan dalam waktu 3 hari atau kurang suhu
berada direntang -5 sampai dengan 0°C. Penelitian yang dilakukan oleh
(Sakti, Rudyanto, & Suarjana, 2012), rata-rata dari hasil jumlah bakteri
Coliform pada telur ayam lokal yang disimpan pada suhu kamar dan
suhu chilling pada hari ke-1, 8, 15 dan 22 menunjukkan bahwa jumlah
rataan total bakteri Coliform pada suhu kamar ialah 93 x 104 lebih tinggi
dibandingkan jumlah rataan total bakteri Coliform pada suhu chilling
yaitu 60 x 104. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri Coliform yang
bersifat mesofilik dapat berkembang biak pada suhu kamar dengan baik
dibandingkan dengan suhu chilling.
Berdasarkan uraian pembelian bahan baku daging, daging yang
digunakan rumah makan padang X dalam kondisi baik dengan berwarna
merah terang. Dari hasil pengujian ALT, daging sudah memenuhi syarat
tetapi terdapat kontaminasi bakteri Coliform. Hal ini diasumsikan
129
bahwa ketika pembelian daging dipasar, dijual dengan keadaan yang
terbuka dan suhu daging tidak dingin dapat memicu perkembangbiakan
bakteri. Oleh karena itu, pemilik rumah makan padang X perlu
memperhatikan keadaan tempat penjualan dan suhu daging harus sesuai
standar Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011.
b) Bumbu
Bumbu didefinisikan sebagai bahan yang mengandung satu atau
lebih jenis rempah yang ditambahkan ke dalam bahan makanan pada
saat makanan tersebut diolah (sebelum disajikan) dengan tujuan
memperbaiki aroma, cita-rasa, tekstur, dan penampakan secara
keseluruhan (Astawan, 2014). Menurut (Sutomo, Rendang: Juara
Masakan Terlezat Sedunia, 2012), bumbu-bumbu yang digunakan untuk
memasak rendang yaitu cabai merah, bawang merah, bawang putih,
daun kunyit, daun jeruk purut, kunyit, serai, daun salam, lengkuas, kayu
manis, ketumbar, jintan, asam kandis, asam gelugur, kemiri, pala, dan
jahe.
Keberadaan kelompok bakteri coliform sangat berkorelasi dengan
tingkat kebersihan dalam pengolahan pangan sehingga secara luas
digunakan sebagai indikator kebersihan dalam pengolahan pangan
(Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016). Berdasarkan pengujian bumbu
rendang terkontaminasi bakteri Coliform dengan hasil sebesar 1,1 x 103.
Hasil tersebut tidak sesuai dengan SNI 7388:2009. Bumbu yang dipakai
untuk membuat rendang di rumah makan padang X bermacam-macam
terdiri dari: cabai merah, daun jeruk purut, serai, daun kunyit, lengkuas,
130
kayu manis, ketumbar, jintan, asam kandis, asam gelugur, kemiri, pala,
bawang merah, bawang putih, jahe. Hasil pengujian tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan (Mirawati, Djajaningrat, & Purwanti,
2013), diketahui bahwa dari 21 sampel cabai giling ditemukan sebanyak
5 sampel yang terkotaminasi bakteri Coliform dan Colifecal.
Menurut SNI 7388:2009, angka lempeng total menunjukkan jumlah
mikroba dalam suatu produk. ALT secara umum tidak terkait dengan
bahaya keamanan pangan. Namun, untuk menujukkan kualitas, masa
simpan/waktu paruh, kontaminasi, dan status higienis pada saat proses
produksi. Hasil pengujian bumbu rendang pada bakteri ALT yaitu 3,0 x
105 dan telah memenuhi syarat SNI 7388:2009. Sejalan dengan
penelitian (Hendrawati, Suyasa, & Sujaya, 2014), menunjukkan ada
pengaruh pemberian larutan bawang putih menurunkan angka lempeng
total terhadap daya awet tahu. Tahu yang direndam dengan larutan
bawang putih konsentrasi 2% dan 4% dapat awet selama dua hari,
sedangkan konsentrasi 6% dapat awet selama tiga hari.
Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah
makanan, suhu, kelembapan, ketersediaan oksigen, konsentrasi ion
hidrogen, dan adanya zat penghambat (Hayes, 1995). Dari pengukuran
temperatur bumbu didapatkan hasil sebesar 29,9°C. Suhu tersebut sesuai
dengan Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015, pangan yang akan diolah
lebih lanjut (bumbu, santan, dll) harus disimpan pada suhu 4°C atau jika
disimpan pada suhu kamar (28 - 32°C) sebaiknya tidak lebih dari 4 jam.
Menurut (FDA, Evaluation and Definition of Potentially Hazardous
131
Foods - Chapter 3. Factors that Influence Microbial Growth, 2001),
perkembangbiakan bakteri dalam makanan ditentukan oleh keadaan
lingkungan serta temperatur yang cocok, selain ketersediaan zat gizi
sebagai sumber makanan. Penelitian yang dilakukan oleh (Likotrafiti,
Anagnou, Lampiri, & Roades, 2014), pertumbuhan bakteri Escherichia
coli O157:H7 dan Salmonella Typhimurium terjadi penurunan secara
perlahan-lahan pada ketiga sayuran (selada, timun, dan peterseli) di suhu
10°C dan mengalami peningkatan jumlah bakteri Salmonella
Typhimurium pada suhu 20°C. Di suhu 30°C terjadi pertumbuhan kedua
bakteri tersebut. Pada ketiga sayuran segar tersebut terdapat risiko
mikrobiologi sehingga dapat dilakukan pencegahan dengan
penyimpanan atau penanganan pada suhu diatas 10°C.
Berdasarkan uraian pembelian bahan baku bumbu, bumbu rendang
yang dipakai di rumah makan padang X tidak terkontaminasi bakteri
ALT tetapi terdapat bakteri Coliform. Pada saat penjualan bumbu,
wadah yang digunakan tidak tertutup dan suhu tidak optimal sehingga
diperkirakan dapat menimbulkan adanya pertumbuhan bakteri. Oleh
karena itu, penjual bumbu memakai wadah yang dipakai harus tertutup
dan penyajian tidak lebih dari 4 jam. Pemilik rumah makan padang juga
perlu memperhatikan kondisi kebersihan bumbu saat membeli.
c) Santan
Santan adalah cairan putih kental hasil ekstrasi dari kelapa yang
dihasilkan dari ekstrak (daging buah) kelapa tua baik dengan atau tanpa
penambahan air (Gea, Sebayang, & Aththorick, 2016). Dalam proses
132
pembuatan di pasar tradisional, kelapa diparut terlebih dahulu kemudian
diperas dengan menggunakan air.
Secara normal, bakteri Coliform juga terdapat diperairan dalam
jumlah tertentu. Namun bila terjadi pencemaran air maka jumlah
Coliform akan menjadi lebih banyak di atas ambang batas dan dapat
melebih jumlah bakteri patogen lain. Oleh karena itu, jika bakteri
Coliform terdapat dalam jumlah besar di atas ambang batas, maka perlu
untuk memeriksa keberadaan patogen lain (Surono, Sudibyo, &
Waspodo, 2016). Dari hasil pengujian laboratorium pada santan,
terdapat bakteri Coliform sebesar 9. Hasil tersebut melebihi ambang
batas persyaratan SNI 7388:2009. Berdasarkan dari hasil observasi,
terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi adanya bakteri
tersebut yaitu, tempat pengolahan santan yang tidak higienis serta
wadah yang dipakai untuk menampung air bersih tidak dalam keadaan
tertutup sehingga air yang digunakan untuk membuat santan telah
tercemar, dan penjamah tidak menggunakan penutup kepala serta
sarung tangan. Hasil penelitian (Fatimah, Prasetyaningsih, & Sari,
2017), menunjukkan bahwa es dawet 100% mengandung bakteri
Coliform yang ditemukan pada santan.
Faktor lain yang dapat menyebabkan perkembangbiakan bakteri
adalah suhu pada santan. Menurut (Robertson, 2012), mikroorganisme
yang menyebabkan pembusukan pada makanan dipengaruhi oleh faktor
instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik terdiri dari pH, kadar air,
kandungan gizi, unsur antimikroba, dan struktur biologis, sedangkan
133
faktor ekstrinsik meliputi suhu penyimpanan, kelembapan relatif
lingkungan, serta keberadaan dan konsentrasi gas di lingkungan.
Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015, pangan yang
disiapkan untuk diproses lebih lanjut harus disimpan pada suhu 4°C atau
jika disimpan pada suhu kamar (28 - 32°C) sebaiknya tidak lebih dari 4
jam. Hasil pengukuran temperatur santan sesuai dengan Peraturan
tersebut, yaitu 32,1°C.
Menurut SNI 7388:2009, Angka Lempeng Total menunjukkan
jumlah mikroba dalam suatu produk. ALT secara umum tidak terkait
dengan bahaya keamanan pangan namun kadang bermanfaat untuk
menunjukkan kualitas, masa simpan atau paruh waktu, kontaminasi dan
status higienis pada saat proses produksi. Hasil pengujian Angka
Lempeng Total (ALT) pada santan masih di bawah ambang batas SNI
7388:2009 yaitu 2,3 x 103 koloni/gr. Hasil penelitian (Prihatini, 2008),
menunjukkan jumlah mikroba pada santan tanpa adanya pemanasan
yaitu 1,6 x 105. Hasil tersebut masih berada dibawah ambang batas.
Setelah dilakukan pemanasan dengan suhu 65oC masih terdapat jumlah
mikroba sebesar 1,3 x 104, di suhu 70oC jumlah mikroba sebesar 3,2 x
103. Pada pemanasan suhu 75, 80, 85, dan 90oC jumlah mikroba yang
terdapat dalam santan adalah nol.
Berdasarkan uraian pembelian bahan baku santan, hasil pengujian
bakteri pada santan terdapat bakteri Coliform. Hal itu diasumsikan
karena suhu pada saat penjualan tidak sesuai sehingga bakteri dapat
berkembangbiak dengan baik dan tempat pengolahan tidak higienis
134
serta air yang digunakan tercemar karena wadah untuk menampung air
bersih tidak tertutup. Maka dari itu, penjual perlu memperhatikan tempat
pengolahan harus bersih dan terhindar dari binatang pengganggu serta
wadah penampungan air tertutup. Pemilik rumah makan padang X juga
memilih penjual santan yang memperhatikan higiene sanitasi saat
penjualan dan pembuatan santan.
2. Penerimaan Bahan Baku
Bahan baku pembuatan makanan, umumnya berasal dari bahan pangan
segar (Laelasari, 2015). Cara pengangkutan makanan harus memenuhi
persyaratan sanitasi, misalnya apakah saran pengangkutan memiliki alat
pendingin dan tertutup. Pengangkutan tersebut dilakukan baik dari sumber
ke pasar maupun dari sumber ke tempat penyimpanan agar bahan makanan
tidak tercemar oleh kontaminan dan tidak rusak (Chandra, Pengantar
Kesehatan Lingkungan, 2006). Menurut (Arisman, 2009), barang yang baru
tiba harus diperiksa dengan cermat dan dipastikan bahwa suhu dan
kemasannya (kardus dan kaleng) dalam keadaan baik (tidak menggembung
atau rusak) selain potensi keberadaan jamur, serangga, dan juga bau.
Hasil observasi yang dilakukan, setelah pembelian bahan baku di pasar,
bahan baku dibawa menggunakan kendaraan bermotor dan dalam keadaan
tertutup dengan memakai wadah plastik dari pasar. Kemudian langsung
diturunkan dari kendaraan dan dibawa langsung ke dapur. Penerimaan
bahan baku daging, bumbu, dan santan masih dalam kondisi yang baik sama
dengan keadaan yang saat pembelian di pasar. Sejalan dengan penelitian
135
(Triandini, 2015), menunjukkan bahwa sebagian besar bahan makanan
secara umum cukup baik (75%).
Berdasarkan uraian penerimaan bahan baku, penerimaan bahan baku
rendang di rumah makan padang X masih dalam kondisi baik dan
menggunakan wadah yang tertutup rapat sehingga dapat meminimalisir
adanya pencemaran fisik selama pengangkutan dari pasar sampai ke dapur.
3. Proses Penyiapan Bahan Baku
Prinsip utama dalam penyiapan makan adalah perhatian terhadap
kebersihan personal, yaitu dengan mencuci tangan setelah beraktivitas.
Misalnya, setelah mengolah daging mentah, unggas, ikan laut, dan telur;
setelah menyentuh binatang; sehabis buang air besar dan kecil; setelah
mengganti popok; setelah bersin; dan lain-lain. Jangan pernah membiarkan
bahan makanan yang akan dikonsumsi bersentuhan dengan daging mentah
(Arisman, 2009).
Sebelum memasak rendang di rumah makan padang X, bahan baku
dipersiapkan terlebih dahulu, mengeluarkan dari plastik kemudian dicuci
dengan air mengalir untuk menghilang pasir dan debu serta membuang
bahan baku yang sudah rusak. Lalu serai dipipihkan terlebih dahulu sebelum
dimasak menggunakan ulek dan cobek. Hasil penelitian tersebut sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011 tentang higiene
sanitasi jasaboga, dilakukan pemilihan bahan untuk
memisahkan/membuang bagian bahan yang rusak serta semua bahan yang
siap dimasak harus dicuci dengan air mengalir. Sejalan dengan penelitian
136
(Naria, 2006), menunjukkan bahwa pedagang mencuci bahan sebelum
digunakan sebesar 89,7%.
Berdasarkan uraian penyiapan bahan baku, proses penyiapan bahan
baku di rumah makan padang X sebelum dimasak dicuci terlebih dahulu.
Tetapi untuk menghindari adanya kontaminasi berupa debu, sebaiknya
bahan baku yang sudah dicuci diletakkan pada wadah yang tertutup sebelum
dimasak.
4. Proses Penyiapan Alat-alat yang Dipakai
Alat memasak harus dirancang sedemikian rupa sehingga mudah
dibersihkan dan tidak mudah kotor (Arisman, 2009). Hasil penelitian
menunjukkan alat masak yang digunakan juga masih dalam kondisi tidak
rusak. Sebagaimana yang tertera dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
1098 Tahun 2003, bahwa peralatan yang digunakan tidak rusak, gompel,
retak, dan tidak menimbulkan pencemaran. Permukaan yang kontak
langsung dengan makanan harus conus atau tidak ada sudut mati, rata, halus,
dan mudah dibersihkan. Peralatan harus dalam keadaan bersih sebelum
digunakan.
Alat yang digunakan untuk memasak rendang terdiri dari
penggorengan, sodet, serta ulek dan cobek. Sebelum dipakai, peralatan dilap
terlebih dahulu untuk menghilang debu yang menempel di permukaan.
Sehingga dapat menghindari adanya kontaminasi bahaya fisik pada alat
masak. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Triandini, 2015),
menunjukkan bahwa sanitasi peralatan dalam kondisi cukup baik (66%).
137
Berdasarkan uraian penyiapan alat-alat yang dipakai, penyiapan dan
kondisi peralatan masak di rumah makan padang X yang digunakan untuk
memasak rendang cukup baik. Sebelum digunakan, alat di lap terlebih
dahulu menggunakan kain agar terhindar dari debu-debu yang menempel.
5. Jadwal Pembuatan
Bahan baku yang sudah dibeli di pasar tidak ada perlakuan penyimpanan
terlebih dahulu. Sesampai di rumah, bahan baku langsung diolah.
Pembuatan rendang dimulai sekitar pada pukul 08.47 WIB.
6. Proses Pemasakan
Pengolahan makanan merupakan aktivitas untuk mempersiapkan
makanan atau mengolah bahan baku menjadi layak untuk dimakan
(Laelasari, 2015). Menurut (Arisman, 2009), semua kegiatan pengolahan
makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung
dengan tubuh. Dalam proses ini yang perlu diperhatikan yaitu kesehatan
pekerja, kebersihan perorangan dan pencucian tangan; pengawasan waktu
dan temperatur makann; pembersihan perkakas serta permukaan yang
tersentuh selama penyiapan makanan.
Awal proses pemasakan dimulai dengan memasukkan daging, bumbu,
dan santan ke dalam penggorengan kemudian diaduk rata lalu masak dengan
api sedang dan tunggu hingga matang. Sesekali diaduk agar bagian bawah
masakan tidak hangus. Saat memasak, dilakukan pengukuran suhu dari awal
pemasakan hingga matang yaitu 82,8°C, 88,9°C, 81,3°C, dan 80,6°C.
Pengukuran dilakukan pada pukul 09.21 WIB, 09.57 WIB, 10.01 WIB, dan
10:54 WIB. Hasil tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
138
No. 1096 Tahun 2011 tentang higiene sanitasi jasaboga, suhu pengolahan
makanan minimal 90°C agar kuman patogen mati. Penelitian yang
dilakukan (Suradi & Suryaningsih, 2008), menunjukkan bahwa jumlah total
bakteri paling sedikit pada temperatur pengasapan 80°C dengan lama
pengasapan 4 dan 6 jam, serta temperatur 70°C dengan lama pengasapan 6
jam. Total bakteri pada pengasapan tersebut lebih sedikit dibandingkan
dengan temperatur 70°C selama 4 jam, 60°C selama 4 dan 6 jam.
Rendahnya jumlah bakteri pada temperatur pengasapan 80°C, karena pada
temperatur pengasapan yang lebih tinggi dan waktu pengasapan lebih lama.
Saat memasak, penjamah makanan menggunakan penutup rambut, tidak
merokok, memotong dan menjaga kebersihan kuku, selalu menjaga
kebersihan tangan, tidak makan, tidak memakai perhiasan, tidak berjualan
saat sakit, menggunakan pakaian yang bersih saat memasak dan menyajikan
makanan. Namun, penjamah tidak menggunakan sepatu dapur melainkan
hanya memakai sandal dan tidak memakai apron/celemek. Hal tersebut
sudah hampir sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1098 Tahun
2003 tentang persyaratan hygiene sanitasi rumah makan dan restoran.
Dalam mengolah makanan, penjamah menggunakan alat seperti sendok
ataupun penjepit untuk mengambil makanan. Hal itu sudah sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011 tentang higiene sanitasi
jasaboga. Penelitian yang dilakukan (Mulyani, 2014), diketahui bahwa dari
42 orang responden, jumlah responden yang berperilaku higiene yang baik
sebanyak 22 orang.
139
Berdasarkan uraian proses pemasakan rendang, suhu pada saat
memasak kurang optimal sehingga perlu diatur pemanasan saat memasak
agar bakteri dapat dihilangkan serta penjamah makanan hampir telah
menerapkan personal higiene saat mengolah makanan. Hanya saja
penjamah menggunakan sandal sebagai alas kaki dan tidak menggunakan
celemek.
7. Penyimpanan dan Distribusi
Kegiatan distribusi adalah melakukan perpindahan bahan/produk
makanan yang berasal dari tempat pengolahan untuk disampaikan kepada
konsumen (Laelasari, 2015). Menurut (Amaliyah, 2017), pengangkutan
makanan masak lebih tinggi resiko pencemarannya daripada pengangkutan
bahan makanan.
Setelah rendang matang, langsung dibawa dari dapur ke tempat
penyimpanan (etalase) menggunakan mangkuk yang tidak tertutup sehingga
rendang dapat terkontaminasi oleh bahaya fisik berupa debu yang
berterbangan. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, pengangkutan makanan jadi/masak
menggunakan wadah harus utuh, kuat, tidak karat, dan ukurannya memadai
dengan jumlah makanan yang akan ditempatkan. Pada saat pendistribusian
ke konsumen, rendang dibungkus dengan menggunakan plastik jika
konsumen hanya membeli rendangnya saja atau kertas pembungkus nasi
apabila membeli dengan nasi beserta lauk pauk lainnya. Hal itu sesuai
Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, nasi bungkus yaitu
140
penyajian makanan dalam satu campuran menu yang dibungkus dan siap
santap.
Dalam pengangkutan rendang, wadah yang dipakai tidak diisi sampai
penuh dikarenakan rendang yang dibawa masih dalam keadaan panas
sehingga menyulitkan penjamah makanan untuk membawanya jika terisi
penuh. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun
2011, isi tidak boleh penuh untuk menghindari terjadi uap makanan yang
mencair (kondensasi).
Penelitian yang dilakukan (Naria, 2006), menunjukkan bahwa 84,5%
pedagang tidak mempunyai alat khusus untuk mengangkut makanan yang
akan disajikan dan 98,3% pengangkutan makanan dilakukan dengan kondisi
tidak tertutup. Sedangkan penelitian (Nuryani, Putra, & Sudana, 2016),
menunjukkan sebagian besar pengangkutan makanan matang memenuhi
syarat 83,9%.
Menurut (Laelasari, 2015), ruang penyimpan makanan matang memiliki
peralatan pelengkap sebagai pemanas. Jika dapur tidak memiliki ruangan
khusus dapat disediakan fasilitas lemari tempat penyimpanan makanan.
kondisi lemari tersebut harus bersih, memiliki pintu/jendela khusus untuk
memasukkan dan mengeluarkan makanan, serta memiliki kontrol pengatur
suhu makanan.
Setelah rendang didistribusikan dari dapur, penyimpanan rendang
diletakkan pada etalase dan sisanya masih di dalam wajan yang dipakai
untuk memasak. Etalase yang digunakan dalam keadaan bersih dan ditutupi
oleh tirai. Namun, penyimpanan di etalase menggunakan wadah yang
141
dipakai saat mengangkut rendang dari dapur, sedangkan penyimpanan
didapur menggunakan wajan dengan keadaan tertutup. Wadah yang
digunakan tidak tertutup sehingga bisa terkontaminasi bahaya fisik ataupun
lalat. Selain itu, dilakukan pengukuran suhu saat penyimpanan rendang
selama 0 jam, 12 jam, dan 24 jam. Suhu rendang yang kurang dari 60°C
pada penyimpanan 12 jam dan 24 jam. Hal itu tidak sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, tempat atau wadah penyimpanan
harus terpisah untuk setiap jenis makanan jadi dan mempunyai tutup yang
dapat menutup sempurna tetapi berventilasi yang dapat mengeluarkan uap
air. Suhu penyimpanan makanan juga harus >60°C.
Penelitian yang dilakukan oleh (Yunus, Umboh, & Pinontoan, 2015),
menunjukkan bahwa dari 31 rumah makan padang, sebanyak 21 rumah
makan padang menyimpan makanan dengan baik. Penelitian (Naria, 2006),
diketahui bahwa tempat penyimpanan mudah dibersihkan dan dalam
keadaan bersih lebih dari 62% pedagang sudah melakukannya serta etalase
yang terhindar dari pencemaran dan serangga masih banyak yang tidak
memenuhi syarat yaitu lebih dari 80%.
Berdasarkan uraian penyimpanan dan distribusi, pengangkutan dan
penyimpanan di etalase tidak menggunakan wadah yang tertutup sehingga
dapat memicu adanya kontaminasi selama pengangkutan dan penyimpanan.
Suhu pada saat penyimpanan pun juga harus diperhatikan karena dapat
mempengaruhi pertumbuhan bakteri.
142
6.7. Identifikasi Analisis Bahaya
Menurut (Thaheer, 2005), analisis bahaya merupakan evaluasi secara
sistematik pada makanan spesifik dan bahan baku atau ingredient untuk
menentukan risiko. Risiko keamanan pangan yang harus diperiksa meliputi: aspek
keamanan kontaminasi bahan kimia, aspek keamanan kontaminasi fisik, dan aspek
keamanan kontaminasi biologis termasuk di dalamnya mikrobiologi. Berikut ini
analisis bahaya pada proses pembuatan rendang di rumah makan padang X.
1. Analisis bahaya bahan baku
a) Daging
Analisis bahaya bahan baku rendang dapat dilihat pada tabel 5.7. Di
dalam bahan baku daging terdapat bahaya biologi yaitu bakteri Coliform.
Menurut (Ayustaningwarno, et al., 2014), bakteri Coliform mengindikasi
adanya bakteri patogen sehingga hal tersebut harus diwaspadai. Sejalan
dengan (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016), keberadaan bakteri Coliform
sangat berkolerasi dengan tingkat kebersihan dalam pengolahan pangan
sehingga secara luas digunakan sebagai indikator kebersihan dalam
pengolahan pangan. Kelompok bakteri Coliform, umumnya juga berasal
dari kotoran hewan dan manusia, tetapi diantara kelompok Coliform
terdapat golongan yang lebih tahan panas atau sering disebut sebagai
thermotolerant coliform atau sering dikenal sebagai fecal coliform
(Coliform yang berasal dari tinja).
Sumber bahaya yang dapat memicu terkontaminasinya bakteri Coliform
di daging meliputi suhu daging yang tidak sesuai yaitu 26,6oC, lalat dapat
menjadi perantara terkontaminasinya daging, serta menjual dengan kondisi
143
terbuka. Hal tersebut sejalan dengan penelitian (Jasmadi, Haryani, & Jose,
2014), jumlah bakteri Coliform pada sampel daging sapi dari pasar
tradisional maupun pasar modern melebihi nilai ambang batas cemaran
bakteri Coliform menurut SNI 7388:2009. Penjualan daging di pasar
tradisional kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higienis, penjualan
daging dilakukan dalam keadaan terbuka, dan daging disimpan dalam suhu
yang tidak dingin akibatnya akan berdampak pada perkembangbiakan
bakteri semakin cepat, serta peralatan yang tidak steril juga menambah
kontaminasi pada daging yang dijual di pasar tradisional. Selain itu,
penjualan daging dipasar terbuka juga dapat menyebabkan konsumen
memilih daging dengan memegang secara langsung sehingga dapat
berkontribusi terhadap kontaminasi daging dengan daging lainnya. Sama
halnya dengan penelitian (Kuntoro, Maheswari, & Nuraini, 2012),
menunjukkan bahwa cemaran mikroba Coliform pada daging segar berada
diatas ambang batas maksimum SNI 3932:2008.
Pencegahan yang dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan tempat
penjualan, penyimpanan daging pada suhu yang rendah dan tertutup, serta
memotong dengan menggunakan alat yang bersih. Menurut (Chandra,
Pengantar Kesehatan Lingkungan, 2006), untuk dapat meminimalisir
adanya kontaminasi mikroba, daging dijaga agar jangan sampai
terkontaminasi debu dan ditempatkan pada wadah yang tidak terlalu
terbuka, selain itu daging juga jangan terlalu banyak dipegang. Upaya
sanitasi juga dilakukan terhadap pasar dan alat-alat yang digunakan.
144
Tidak hanya itu, terdapat beberapa bahaya fisik yang mencemari daging
yaitu bersumber dari alas pemotongan daging berupa potongan kayu yang
dapat menempel pada daging, menjual daging tidak dalam keadaan yang
tertutup sehingga memicu debu dapat mengkontaminasi daging, dan rambut
pedagang yang rontok dikarenakan penjual tidak menggunakan penutup
kepala atau hairnet. Hal itu tidak sesuai dengan Peraturan BPOM No. 5
Tahun 2015 tentang pedoman cara ritel pangan yang baik di pasar
tradisional, yaitu pemotongan daging tidak menggunakan alas pemotongan
(talenan) kayu, dan pedagang yang menangani pangan segar sebaiknya
menutup rambutnya dengan hairnet atau penutup kepala sampai benar-
benar tertutup. Untuk menghindari adanya bahaya fisik tersebut dapat
menggunakan alas memotong berbahan plastik yang aman bagi makanan
(food grade), menjual daging dengan keadaan tertutup, serta penjual
memakai penutup kepala sampai menutupi rambutnya.
Berdasarkan uraian analisis bahaya bahan baku daging, terdapat bahaya
fisik berupa debu, rambut, maupun kayu, dan bahaya biologi yang
mengkontaminasi daging berupa bakteri Coliform. Bahaya-bahaya tersebut
bersumber dari alas yang digunakan untuk memotong berbahan dasar kayu,
penjual tidak memakai penutup kepala, penjualan dalam kondisi terbuka,
menjual daging dengan suhu yang tidak dingin, serta lalat dapat menjadi
perantara terkontaminasinya daging. Pencegahan yang dapat dilakukan
untuk menghindari atau meminimalisir adanya kontaminasi pada daging
yaitu, mengganti alas pemotongan dengan bahan plastik yang aman untuk
145
makanan, penjual memakai hairnet atau penutup kepala, menjual dengan
keadaan tertutup, serta daging disajikan pada suhu yang sesuai atau dingin.
b) Bumbu
Bumbu rendang yang dipakai di rumah makan padang X terdapat
bahaya fisik maupun biologi. Bahaya biologi yang mengkontaminasi
bumbu rendang meliputi bakteri Coliform, lalat yang dapat menjadi
perantara adanya kontaminasi tersebut, dan jamur. Bakteri Coliform
mengindikasi adanya bakteri patogen sehingga hal tersebut harus
diwaspadai (Ayustaningwarno, et al., 2014). Menurut (Surono, Sudibyo, &
Waspodo, 2016), keberadaan bakteri Coliform sangat berkolerasi dengan
tingkat kebersihan dalam pengolahan pangan sehingga secara luas
digunakan sebagai indikator kebersihan dalam pengolahan pangan. Dari
hasil pengujian laboratorium yang telah dilakukan, bumbu rendang
terkontaminasi bakteri Coliform sehingga tidak memenuhi syarat SNI
7388:2009. Sejalan dengan penelitian (Mirawati, Djajaningrat, & Purwanti,
2013), diketahui bahwa ditemukannya sebanyak 5 sampel cabai giling
terkontaminasi bakteri Coliform dan Colifecal. Sama halnya dengan
penelitian (Musliati, Fifendy, & Periadnadi, 2013) membuktikan bahwa
cabai merah giling yang dijual dari beberapa pasar tradisional umumnya
tidak layak dikonsumsi karena mengandung bakteri Coliform. Penelitian
(Putri, Periadnadi, & Indriati, 2014) juga membuktikan bahwa serai giling
yang dijual di pasar umumnya tidak layak konsumsi karena mengandung
bakteri Coliform.
146
Mengkontrol suhu merupakan metode yang paling banyak digunakan
untuk mengendalikan mikroba dalam makanan. Hal ini dapat digunakan
untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen atau mematikan
mikroorganisme yang tidak diinginkan (Batt & Tortorello, 2014). Hasil
pengukuran suhu pada bumbu rendang sudah sesuai dengan Peraturan
BPOM No. 5 Tahun 2015 tentang pedoman cara ritel pangan yang baik di
pasar tradisional yaitu 29,9°C. Didalam peraturan tersebut tercantum bahwa
pangan yang akan diolah lebih lanjut (bumbu, santan, dll) harus disimpan
pada suhu 4°C atau jika disimpan pada suhu kamar (28 - 32°C) sebaiknya
tidak lebih dari 4 jam.
Di dalam bumbu rendang tidak terlepas dari bahaya fisik. Bahan
pencemar makanan fisik berupa kontaminan yang dapat terlihat dengan
kasat mata. Keberadaannya karena dibawa oleh hewan maupun karena
manusia atau penjamah makanan yang mengelola makanan dengan tidak
higienis (Amaliyah, 2017). Bahaya tersebut muncul dikarenakan bumbu
halus yang dijual tidak menggunakan wadah yang tertutup, bumbu kering
yang sudah lama disimpan dan tidak ditempat pada tempat yang kering,
bumbu yang dihaluskan tidak dicuci sampai bersih, serta penjual tidak
memakai penutup kepala. Hal itu tidak sesuai dengan Peraturan BPOM No.
5 Tahun 2015 tentang pedoman cara ritel pangan yang baik di pasar
tradisional, pangan yang akan disiapkan untuk proses lebih lanjut sebaiknya
dilindungi dari pencemaran dengan cara ditempatkan pada wadah bertutup
serta pangan mentah yang kering dipajang pada wadah yang bersih dan
diperiksa dari kemungkinan infestasi hama/kutu atau berjamur. Rempah-
147
rempah yang akan diolah menjadi bumbu giling dipilih yang segar, bersih,
dan tidak berjamur. Tidak hanya itu, pedagang yang menangani pangan
segar dan pangan siap saji sebaiknya menutup rambutnya dengan hairnet
atau penutup kepala sampai benar-benar tertutup sehingga dapat dihindari
kemungkinan ada rambut yang mencemari pangan.
Untuk mencegah ataupun menghindari adanya kontaminasi bahaya fisik
dan bahaya biologi dapat dilakukan dengan menggunakan wadah yang
tertutup pada saat menjual, penjual memakai penutup kepala sampai
rambutnya tertutup, bumbu kering disimpan di tempat yang kering, dan
mencuci bumbu sebelum dihaluskan.
Berdasarkan uraian analisis bahaya bahan baku, terdapat bahaya dalam
bumbu rendang terdiri dari bakteri Coliform, lalat yang menjadi perantara
kontaminasi bakteri, jamur, debu, dan rambut. Pencegahan yang dapat
dilakukan yaitu dengan menggunakan wadah yang tertutup pada saat
menyajikan bumbu giling, penjual memakai hairnet untuk menutupi rambut
sampai benar-benar tertutup, bumbu kering disimpan di tempat yang kering,
dan mencuci bumbu sebelum dihaluskan.
c) Santan
Secara normal bakteri Coliform juga terdapat di perairan dalam jumlah
tertentu. Namun bila terjadi pencemaran air maka jumlah Coliform akan
menjadi lebih banyak di atas ambang batas dan dapat melebihi jumlah
bakteri patogen lain. Oleh karena itu, jika bakteri Coliform terdapat dalam
jumlah besar diatas ambang batas, maka perlu untuk memeriksa keberadaan
bakteri patogen lain (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016).
148
Santan yang dipakai untuk membuat rendang terkontaminasi bahaya
biologi berupa bakteri Coliform. Sumber adanya kontaminasi tersebut yaitu
tempat pengolahan santan tidak higiene, penjual tidak memakai sarung
tangan, serta tempat penampungan air yang tidak tertutup. Hasil dari
pengujian laboratorium, santan mengandung bakteri Coliform yang tidak
memenuhi syarat SNI 7388:2009. Penelitian yang dilakukan oleh (Fatimah,
Prasetyaningsih, & Sari, 2017), menunjukkan bahwa dari hasil penelitian
analisis bakteri Coliform pada minuman es dawet 100% mengandung
bakteri Coliform yang ditemukan pada santan.
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri adalah
suhu. Mengkontrol suhu merupakan metode yang paling banyak digunakan
untuk mengendalikan mikroba dalam makanan. Hal ini dapat digunakan
untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen atau mematikan
mikroorganisme yang tidak diinginkan (Batt & Tortorello, 2014).
Pengukuran suhu pada santan cair sedikit melebihi batas yang tertera di
Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015 tentang pedoman cara ritel pangan yang
baik di pasar tradisional yaitu 32,1°C. Didalam peraturan tersebut
menyebutkan bahwa pangan yang disiapkan untuk diproses lebih lanjut
harus disimpan pada suhu 4°C atau jika disimpan pada suhu kamar (28 -
32°C) sebaiknya tidak lebih dari 4 jam.
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari adanya
kontaminasi bakteri Coliform yaitu dengan menjaga kebersihan tempat
penjualan, memakai tempat penampungan air yang tertutup dan penjamah
menggunakan sarung tangan.
149
Bahaya fisik yang terdapat di santan terdiri dari serabut kelapa, batok
kelapa, debu, dan rambut. Adanya bahaya fisik tersebut disebabkan karena
serabut kelapa yang jatuh ke dalam wadah santan, sisa batok kelapa yang
sulit dibersihkan, penjual tidak memakai penutup kepala, dan tempat
pengolahan tidak bersih. Dapat dilakukan pencegahan untuk menghindari
bahaya fisik yaitu dengan menggunakan wadah yang setengah tertutup saat
memeras santan agar serabut kelapa tidak masuk ke dalam wadah,
mengupas kelapa sampai bersih, penjamah memakai penutup kepala, dan
menjaga kebersihan tempat pengolahan. Hal tersebut tidak sesuai dengan
Peraturan Kepala BPOM No. 5 Tahun 2015, pedagang yang menangani
pangan segar sebaiknya menutup rambutnya dengan hairnet atau penutup
kepala sampai benar-benar tertutup. Lingkungan tempat pengolahan
dipertahankan dalam keadaan bersih dengan cara sampah dibuang dan tidak
menumpuk, tempat sampah selalu tertutup, serta jalan dipelihara supaya
tidak berdebu dan selokannya berfungsi dengan baik. Bangunan dan
ruangan dibuat sesuai dengan jenis pangan yang dijual sehingga mudah
dibersihkan, dilakukan tindakan sanitasi, mudah dipelihara, dan tidak terjadi
pencemaran silang antara produk ataupun pencemaran dari bangunan.
Berdasarkan uraian analisis bahaya bahan baku santan, suhu pada santan
melewati batas yang ditentukan oleh Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015.
Hal itu diasumsikan karena saat proses pengangkutan bahan baku dari pasar
terpapar oleh sinar matahari dan panas yang berasal dari kendaraan
bermotor. Penjual tidak memperhatikan personal higiene dikarenakan tidak
tersedianya atribut penutup kepala dan kurangnya kebersihan tempat
150
pengolahan santan disebabkan dari penjual yang tidak membersihkan
tempat pengolahannya secara teratur.
2. Analisis bahaya proses pengolahan rendang
a) Penerimaan bahan baku
Makanan sebaiknya dibeli dari sumber yang layak dipercaya.
Barang yang baru tiba, harus diperiksa dengan cermat dan dipastikan
bahwa suhu dan kemasannya dalam keadaan baik selain potensi
keberadaan jamur, infestasi serangga, dan juga bau (Arisman, 2009).
Dalam proses penerimaan bahan baku terdapat bahaya fisik berupa
debu dan pasir dikarenakan adanya kontaminasi pada saat pengangkutan
dari pasar sampai ke dapur. Meskipun sudah menggunakan wadah yang
tertutup berupa plastik tetapi bisa saja debu ataupun pasir masuk ke
dalam plastik. Pencegahan untuk menghindari bahaya tersebut dapat
dilakukan dengan pengangkutan menggunakan tempat penampungan
bahan makanan yang tertutup dan melakukan pengecekan bahan
makanan. Penelitian (Ilmiawan, Astuti, & Nawansih, 2014), bahaya
signifikan pada tahap penerimaan bahan baku yaitu residu antibiotik,
logam berat, dan residu bahan kimia. Sedangkan penelitian yang
dilakukan (Sari, Partiwi, & Janti, 2011), pada tahap penerimaan bahan
baku terdapat bahaya kimia berupa residu pestisida dan aflatoksin.
Tidak hanya bahaya fisik yang mengkontaminasi dalam proses
penerimaan bahan baku, tetapi terdapat juga bahaya kimianya.
Kontamisnasi kimiawi adalah berbagai macam bahan atau unsur kimia
yang menimbulkan pencemaran atau kontaminan pada bahan makanan
151
(Amaliyah, 2017). Bahaya kimia yang terdapat pada proses penerimaan
bahan baku adalah plastik yang digunakan sebagai wadah untuk
membawa bahan baku. Plastik tersebut mengandung senyawa bahan
kimia yang tidak diketahui sehingga dapat mengkontaminasi bahan
baku. Pencegahan yang dilakukan yaitu dengan menggunakan wadah
yang aman.
Menurut (Sulchan & Nur W, 2007), jenis bahan kemasan lemas
seperti polietilen, polipropilen, nilon polyester dan film vinil dapat
digunakan secara tunggal untuk membungkus makanan. Tetapi, jika
plastik yang digunakan tidak sesuai dengan jenis makanan dan
penyimpanannya, maka zat monomer plastik akan berpindah ke
makanan. Sehingga pilih wadah plastik yang ada food gradenya.
Berdasarkan uraian analisis bahaya penerimaan bahan baku,
pengangkutan bahan makanan dari pasar sebaiknya dalam kondisi yang
tertutup rapat agar tidak terkontaminasi oleh debu dan pasir selama
perjalanan. Bahan makanan sebelum dimasak dilakukan pengecekan
terlebih dahulu. Serta wadah plastik yang digunakan pada bahan
makanan harus food grade, meskipun bahan makanan tidak dalam
keadaan panas.
b) Proses penyiapan bahan baku
Dari hasil observasi, proses penyiapan bahan baku dengan mencuci
bahan-bahan yang akan dimasak. Namun, setelah dilakukan pencucian,
bahan-bahan tersebut dibiarkan dalam keadaan terbuka sehingga dapat
memicu adanya kontaminasi. Sehingga bahan baku dapat
152
terkontaminasi bahaya fisik berupa kotoran debu dari langit-langit.
Sumber bahaya tersebut berasal dari debu yang berterbangan di area
dapur. Dikarenakan kondisi langit-langit dapur yang tidak tertutup dan
tidak berwarna terang.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.
1096 tentang higiene sanitasi jasaboga, langit-langit harus menutupi
seluruh atap bangunan, terbuat dari bahan yang permukaannya rata,
mudah dibersihkan, dan berwarna terang. Pencegahannya yaitu bahan
baku yang sudah dibersihkan ditempatkan pada wadah yang tertutup dan
selalu menjaga kebersihan dapur.
Berdasarkan uraian analisis bahaya penyiapan bahan baku, debu
yang berterbangan diakibatkan karena kondisi bangunan dan dapur yang
tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096. Sebaiknya,
bahan baku yang telah dicuci diletakkan pada wadah yang tertutup
sebelum dimasak sehingga terhindar dari kontaminasi ulang.
c) Proses penyiapan alat-alat yang dipakai
Pada proses ini terdapat bahaya fisik dan bahaya kimia. Bahaya
fisiknya berupa debu karena penyimpanan alat masak tidak ditempat
yang tertutup, menyimpan penggorengan dan sodet digantung di
dinding, sedangkan cobek dan ulek diletakkan di meja. Hal tersebut
tidak sesuai dengan Keputusan Kepala BPOM No. 00.05.5.1639 tentang
pedoman cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga
(CPPB-IRT), peralatan yang telah dibersihkan dan disanitasi harus
disimpan ditempat bersih. Permukaan peralatan menghadap ke bawah
153
supaya terlindung dari debu, kotoran, atau pencemaran lainnya.
Pencegahan agar tidak terkontaminasi oleh debu yaitu dengan
penyimpanan alat masak di tempat yang tertutup, permukaan peralatan
menghadap ke bawah, serta sebelum digunakan sebaiknya dilap terlebih
dahulu atau dicuci.
Bahan kimia yang dapat mengkontaminasi peralatan masak yaitu
cairan pencuci piring dikarenakan tidak membilas alat masak sampai
bersih. Cairan pencuci piring yang masih menempel pada alat masak
dapat mengkontaminasi makanan yang akan dimasak. Oleh karena itu,
pencegahannya dengan cara mencuci dan membilas alat masak sampai
bersih. Sejalan dengan penelitian (Sadek, 2010), terdapat bahaya kimia
saat pencucian peralatan yaitu residu sabun colek.
Berdasarkan uraian analisis bahaya penyiapan alat-alat yang
dipakai, debu yang menempel pada alat masak dikarenakan dari dinding
bangunan. Sebelum menggunakan peralatan masak, sebaiknya alat-alat
masak dilap atau dicuci kembali agar debu yang menempel pada
permukaan alat masak dapat hilang dan saat mencuci peralatan dibilas
hingga bersih.
d) Jadwal pembuatan
Jadwal pembuatan tidak terdapat bahaya karena bahan baku
langsung dimasak.
e) Proses pemasakan
Pada saat memasak, terdapat bahaya biologi yaitu patogen yang
tahan terhadap panas. Hal itu dikarenakan terdapat bakteri yang tahan
154
panas. Hasil pengukuran suhu saat rendang matang yaitu 80,6°C.
Pencegahan yang dilakukan adalah dengan mengatur suhu pada saat
proses masak agar bakteri dapat dihilangkan atau dimusnahkan. Suhu
tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096
tentang higiene sanitasi jasaboga, suhu pengolahan makanan minimal
90°C agar kuman patogen mati.
Sedangkan bahaya fisik pada proses memasak berupa debu dan
serpihan batu. Sumber bahaya fisik tersebut berasal dari kondisi dapur
yang tidak bersih serta cobek dan ulek yang sudah keropos. Pencegahan
yang dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan dapur serta
memastikan cobek dan ulek tidak keropos. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan No. 1096, tempat pengolahan makanan atau dapur harus
memenuhi persyaratan teknis higiene sanitasi untuk mencegah risiko
pencemaran terhadap makanan dan dapat mencegah masuknya lalat,
kecoa, tikus, dan hewan lainnya. Dari hasil observasi, dapur yang
digunakan untuk memasak rendang belum memenuhi syarat,
dikarenakan langit-langit dapur tidak berwarna terang dan tidak terdapat
ventilasi. Dapur juga dalam kondisi licin sehingga penjamah makanan
dapat tergelincir. Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
No. 1098, peralatan yang digunakan untuk memasak tidak rusak,
gompel, retak dan tidak menimbulkan pencemaran. Peralatan masak
yang dipakai berupa ulek dan cobek masih dalam kondisi baik, tetapi
jika mengalami pengkeroposan dapat mengkontaminasi makanan.
155
Sehingga sebelum memipihkan serai, dicek terlebih dahulu kondisi ulek
dan cobeknya.
Berdasarkan uraian analisis bahaya proses pemasakan, suhu pada
proses memasak rendang dibawah Peraturan Menteri Kesehatan No.
1096 dikarenakan api dinyalakan dengan indikator sedang sehingga
rendang yang dimasak tidak terlalu panas. Perlu dilakukan pengukuran
suhu pada saat memasak agar proses pemanasan mencapai 90°C
sehingga bakteri-bakteri yang tahan panas dapat dihilangkan. Sebelum
dilakukan pemasakan, dapur dibersihkan terlebih dahulu sehingga tidak
ada kontaminasi fisik berupa debu-debu yang berterbangan. Untuk
peralatan masak dapat dilakukan pengecekan sebelum dipakai.
f) Penyimpanan dan distribusi
Pada saat penyimpanan dan distribusi dari dapur ke tempat
penyajian terdapat bahaya biologi yaitu lalat sebagai perantara
kontaminasi bakteri. Proses pendistribusian dan penyimpanan yang
tidak menggunakan wadah yang tertutup dapat dengan mudah
terkontaminasi bakteri ataupun binatang pengganggu seperti lalat. Oleh
sebab itu, pencegahannya dengan memakai wadah yang tertutup.
Untuk bahaya fisik berupa debu dikarenakan lokasi penjualan
dipinggir jalan dan wadah tidak tertutup. Hal itu sangat mudah
terkontaminasi bahaya fisik tersebut. Pencegahan bisa dilakukan dengan
menjaga kebersihan tempat penyimpanan atau penyajian makanan dan
rumah makan, serta menggunakan wadah yang tertutup.
156
Hal tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.
1098, dalam proses pengangkutan makanan menggunakan wadah harus
utuh, kuat, tidak karat, dan ukurannya memadai dengan jumlah makanan
yang akan ditempatkan. Setiap jenis makanan jadi mempunyai wadah
masing-masing dan bertutup. Menyajikan makanan harus terhindar dari
pencemaran, peralatan yang digunakan juga harus terjaga
kebersihannya.
Dari hasil observasi yang dilakukan, pendistribusian dari dapur ke
tempat penyimpanan di etalase tidak dalam keadaan tertutup sehingga
dapat terkontaminasi oleh lalat maupun debu sedangkan penyimpanan
di dapur memakai wadah saat memasak rendang dan dalam keadaan
tertutup. Saat penyimpanan di etalase, wadah yang dipakai berasal dari
dapur dan tidak tertutup. Lokasi rumah makan padang yang berdekatan
dengan jalan raya dapat memicu debu-debu berterbangan. Sedangkan
etalase makanan hanya ditutupi dengan menggunakan tirai sehingga
lalat dan debu masih dapat mencemari makanan yang ada di etalase.
Bahaya kimianya adalah senyawa bahan kimia pada plastik atau
kertas pembungkus makanan. Hal tersebut dapat mengkontaminasi
makanan. Karena itu sebaiknya memilih dan menggunakan kemasan
yang aman untuk makanan. Menurut (BPOM, 2017), beberapa jenis
plastik yang relatif aman digunakan sebagai kemasan pangan adalah PP,
HDPE, LDPE, dan PET atau terdapat logo , tulisan aman untuk
makanan atau food safe/for food use/food grade. Jenis plastik PP
merupakan pilihan bahan plastik yang baik untuk kemasan pangan. Dari
157
hasil observasi yang dilakukan, wadah yang digunakan untuk
membungkus rendang menggunakan plastik berwarna bening dan kertas
pembungkus makanan tetapi tidak terdapat keterangan bahan dasar
pembuatannya. Sehingga penjamah makanan tidak mengetahui bahan
dasar pembuatan plastik.
Berdasarkan uraian penyimpanan dan distribusi, wadah yang
dipakai saat pendistribusian dan penyimpanan di etalase sebaiknya
menggunakan wadah yang tertutup sehingga tidak tekontaminasi oleh
lalat ataupun debu dan penjamah makanan memilih pembungkus yang
aman untuk makanan.
6.8. Menentukan Titik Kendali Kritis
Critical Control Points (CCP) atau titik kendali kritis (TKK) adalah suatu
titik tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan sehingga bahaya
keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan, dikurangi sampai tingkat yang dapat
diterima (Thaheer, 2005). Sejalan dengan (Mortimore & Wallace, 2004), titik
kendali kritis (CCP) adalah suatu langkah yang didalamnya “tindakan pengendalian
dapat dilakukan dan merupakan titik yang sangat penting untuk mencegah atau
memusnahkan hazard pada keamanan makanan atau untuk menguranginya sampai
ke tingkat yang dapat diterima. Dalam menganalisis titik kendali kritis (CCP)
bertujuan untuk mengetahui proses manakah yang berpeluang menimbulkan
bahaya dan tingkat keparahan yang ditimbulkan. Pada proses pembuatan rendang,
ditemukan beberapa titik kendali kritis (CCP) yaitu didalam bahan baku bumbu dan
santan terdapat bahaya fisik. Sedangkan saat pengolahan rendang, tahap
penerimaan bahan baku terdapat bahaya kimia, proses penyiapan bahan baku
158
terdapat bahaya fisik, proses penyiapan alat-alat yang dipakai ada bahaya kimia,
proses memasak terdapat bahaya biologi dan fisik, dan yang terakhir penyimpanan
dan distribusi terdapat bahaya fisik, kimia dan biologi.
6.8.1. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku rendang
6.8.1.1. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Daging
Terdapat dua bahaya pada bahan baku daging yaitu bahaya fisik
dan bahaya biologi. Bahaya fisik yang mengkontaminasi daging berupa
debu maupun kayu, sedangkan bahaya biologi terdapat kontaminasi
bakteri. Bahaya tersebut bersumber dari alas untuk memotong daging
berbahan dasar kayu dan menjual dalam kondisi terbuka. Saat proses
pembuatannya dapat menghilangkan bahaya tersebut yaitu dengan
mencuci terlebih dahulu sebelum dimasak untuk menghilangkan bahaya
fisik, sedangkan bakteri Coliform dapat dihilangkan di tahap pemasakan
karena terjadi proses pemanasan. Disimpulkan bahwa bahaya fisik pada
bahan baku daging tidak termasuk ke dalam kategori titik kendali kritis.
Hal tersebut dikarenakan pada tahap penyiapan bahan baku, daging
dicuci menggunakan air sehingga debu dan kayu yang mengkontaminasi
dapat dihilangkan. Sedangkan untuk bahaya biologi, tahap selanjutnya
terdapat proses pemasakan yang dapat menghilangkan bakteri tersebut
dengan memanaskannya.
Sejalan dengan hasil penelitian (Sadek, 2010), pada daging sapi
terdapat bahaya fisik dan biologi yaitu patogen yang umum pada daging
sapi dan tanah yang menempel saat penyembelihan. Kedua bahaya
159
tersebut tidak termasuk dalam TKK dikarenakan ada proses pencucian
dan pemanasan.
Berdasarkan uraian menentukan TKK pada bahan baku daging,
bahaya fisik maupun biologi yang mengkontaminasi daging tidak
termasuk ke kategori titik kendali kritis. Hal itu dikarenakan terdapat
proses berikutnya yang dapat menghilangkan bahaya tersebut.
6.8.1.2. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Bumbu
Terdapat dua bahaya dalam bahan baku bumbu untuk memasak
rendang yaitu bahaya fisik dan bahaya biologi. Dalam proses memasak
dapat menghilangkan bahaya biologi karena ditahap selanjutnya
mengalami proses pemanasan sehingga tidak termasuk dalam kategori
TKK. Tetapi tidak dapat menghilangkan bahaya fisik disebabkan tidak
adanya proses penyaringan sebelum bumbu dimasak dan tidak ada tahap
selanjutnya yang dapat menghilangkan bahaya tersebut.
Sejalan dengan penelitian (Syarifudin, 2003), pada rempah-
rempah terdapat kontaminasi bahaya biologi tetapi tidak termasuk dalam
TTK dikarenakan penyimpanan pada kondisi yang sesuai dan ada proses
sterilisasi.
Berdasarkan uraian menentukan TKK pada bahan baku bumbu,
bahaya fisik masuk ke dalam kategori titik kendali kritis. Hal itu
dikarenakan pada saat proses memasak tidak dilakukan penyaringan pada
bumbu rendang sehingga bahaya fisik yang mengkontaminasi bumbu
tersebut dapat terkonsumsi oleh konsumen.
160
6.8.1.3. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Santan
Terdapat bahaya pada bahan baku santan meliputi bahaya fisik
dan biologi. Bahaya fisik terdiri dari serabut kelapa, batok kelapa, debu,
dan rambut, sedangkan bahaya biologi berupa bakteri Coliform. Dalam
proses memasak rendang dapat menghilangkan bahaya biologi saja. Hal
itu dikarenakan adanya proses pemanasan saat memasak sehingga dapat
menghilangkan kontaminasi bakteri tersebut. Sedangkan bahaya fisik
tidak dapat dihilangkan pada saat proses memasak karena tidak
dilakukan penyaringan pada santan sehingga bahaya fisik termasuk ke
dalam titik kendali kritis. Sejalan dengan penelitian (Khairani, Rahadjo,
Dalapati, & Sumarni, 2007), tahap pemerasan santan termasuk ke TKK
karena terdapat bahaya cemaran fisik, kontaminasi dari air, dan
mikrobiologi.
Berdasarkan uraian menentukan TKK pada bahan baku santan,
disimpulkan bahwa bahaya fisik pada bahan baku santan termasuk ke
dalam titik kendali kritis dikarenakan tidak adanya penyaringan sebelum
santan tersebut dimasak.
6.8.2. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan Rendang
6.8.2.1. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Penerimaan Bahan
Baku
Proses penerimaan bahan baku terdapat bahaya fisik yang terdiri
dari debu dan pasir. Sumber bahaya tersebut berasal dari proses
pengangkutan makanan. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
161
pengangkutan bahan makanan menggunakan tempat penampungan
yang tertutup dan melakukan pengecekan bahan makanan.
Pada tahap penerimaan bahan baku tidak dirancang untuk
mengurangi atau menghilangkan bahaya tersebut. Kontaminasi bahaya
fisik pada bahan baku dapat meningkat melebihi batas aman. Namun,
pada proses penyiapan bahan baku dapat menghilangkan bahaya
tersebut. Oleh karena itu, bahaya fisik yang mengkontaminasi saat
proses penerimaan bahan baku tidak termasuk ke dalam TKK.
Dikarenakan bahaya fisik tersebut mudah dihilangkan dan proses
selanjutnya bisa menghilangkan bahaya tersebut dengan cara mencuci
terlebih dahulu. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan (Putri E. W.,
2008) , penerimaan bahan baku termasuk TKK karena bahan baku yang
diterima tidak dilakukan pengujian secara spesifik. Sama dengan
penelitian (Hastomo, 2006), penerimaan susu segar termasuk TKK
terdapat kontaminasi mikroba dan benda-benda fisik. Penelitian
(Sarwono, 2007), juga menunjukkan bawah penerimaan bahan
ingredient dan bahan baku termasuk TKK.
Sedangkan kontaminasi bahaya kimia berupa senyawa kimia
yang berasal dari plastik digunakan sebagai wadah bahan baku. Hal
tersebut dapat mengakibatkan adanya kontaminasi silang dari plastik.
Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan wadah
yang aman untuk makanan (food grade). Pada tahap ini, tidak dirancang
secara khusus untuk menghilangkan ataupun mengurangi bahaya
sampai ke batas yang lebih aman. Tetapi bahaya dapat meningkat
162
sampai melebihi ambang batas. Sehingga bahan baku yang akan
digunakan akan terkontaminasi oleh monomer plastik. Oleh karena itu,
bahaya kimia pada tahap penerimaan bahan baku termasuk ke dalam
TKK. Sejalan dengan penelitian (Sari, Partiwi, & Janti, 2011), pada
proses penerimaan bahan baku termasuk TKK terdapat bahaya kimia
berupa residu pestisida dan aflatoksin.
Berdasarkan uraian menentukan TKK pada penerimaan bahan
baku, bahaya fisik tidak termasuk titik kendali kritis dikarenakan pada
tahap proses penyiapan bahan baku, bahaya fisik tersebut dapat
dihilangkan dengan cara melakukan pencucian.
6.8.2.2. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Proses Penyiapan
Bahan Baku
Pada tahap proses penyiapan bahan baku, hanya terdapat bahaya
fisik saja berupa kotoran debu dari bangunan seperti langit-langit
maupun jendela. Tindakan pencegahan yang dilakukan untuk
mengendalikan bahaya tersebut dengan meletakkan bahan baku
menggunakan wadah yang tertutup apabila bahan baku tersebut sudah
dibersihkan dan selalu menjaga kebersihan dapur. Pada tahap ini juga
dirancang untuk menghilangkan ataupun mengurangi bahaya tersebut
sampai ke batas yang lebih aman. Hal itu dikarenakan, pada proses ini
sudah menghilangkan bahaya fisik dengan mencuci bahan baku (daging,
daun jeruk, daun kunyit, dan serai) sebelum dilakukan pemasakan.
Namun, saat setelah dilakukan pencucian bahan baku kemudian tidak
ditempatkan pada wadah yang tertutup maka debu ataupun kotoran
163
dapat mengkontaminasi bahan baku tersebut. Sejalan dengan penelitian
(Yanti & Novalinda, 2016), pencucian nanas menjadi CCP karena tahap
ini merupakan tahap akhir untuk penghilangan kontaminan seperti tanah
dan kotorannya lainnya. Sedangkan pada penelitian (Surahman &
Ekafitri, 2014), tahap pencucian termasuk ke dalam TKK karena untuk
menghilangkan bahaya mikrobiologi yaitu jambu biji bersih dan tidak
ada kapang.
Berdasarkan uraian menentukkan TKK pada proses penyiapan
bahan baku, terdapat bahaya fisik yang termasuk dalam titik kendali
kritis karena setelah bahan baku dicuci tidak ditempatkan pada wadah
yang tertutup.
6.8.2.3. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Proses Penyiapan
Alat-alat yang Dipakai
Terdapat dua bahaya pada proses penyiapan alat yang akan
digunakan untuk memasak yaitu bahaya fisik dan bahaya kimia.
Penyebab timbulnya bahaya fisik dikarenakan penyimpanan alat masak
tidak pada tempat tertutup dengan cara digantung di dinding sehingga
debu dapat menempel pada permukaan alat, sedangkan bahaya
kimianya bersumber dari cairan pencuci piring yang dipakai untuk
mencuci alat-alat namun tidak membilasnya hingga bersih. Pencegahan
yang dapat dilakukan untuk menghindari kedua bahaya tersebut dapat
dengan menyimpan alat masak pada tempat yang tertutup atau
meletakkannya dengan posisi terbalik, peralatan dilap atau dicuci
terlebih dahulu sebelum dipakai, serta mencuci dan membilas alat
164
hingga bersih tanpa tersisa cairan pencuci piring. Pada tahap ini tidak
dirancang untuk menghilangkan ataupun mengurangi bahaya sampai ke
batas yang lebih aman. Namun, pada bahaya kimia dapat
mengkontaminasi peralatan yang dipakai sampai melebihi ambang
batas, sedangkan bahaya fisik tidak dapat mengkontaminasi sampai
melebihi batas aman. Ditahap ini, bahaya fisik yang mengkontaminasi
alat-alat masak dapat dihilangkan dengan cara mengelap terlebih dahulu
sebelum dipakai. Sedangkan kontaminasi bahaya kimia, ditahap
berikutnya pun tidak dapat menghilangkan atau mengurangi bahaya
kimia tersebut sehingga dapat meningkat melebihi ambang batas. Oleh
karena itu, bahaya kimia termasuk ke dalam titik kendali kritis karena
bahan-bahan kimia yang berasal dari cairan pencuci piring dapat
mengkontaminasi makanan.
Hasil tersebut tidak sejalan dengan (Sadek, 2010), tahap
penyimpanan peralatan masak termasuk TKK terdapat bahaya fisik
berupa debu. Sedangkan tahap pencucian peralatan masak sejalan
dengan penelitian (Sadek, 2010) terdapat bahaya kimia berupa residu
sabun colek sehingga termasuk TKK.
Berdasarkan uraian menentukan TKK pada proses penyiapan
alat yang dipakai, bahaya fisik tidak termasuk titik kendali kritis
dikarenakan pada tahap ini dapat menghilangkan bahaya fisik berupa
debu yang menempel pada alat masak dengan mengelapnya terlebih
dahulu sebelum digunakan.
165
6.8.2.4. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Proses Memasak
Rendang
Dalam proses pemasakan terdapat dua bahaya yang terdiri dari
bahaya fisik berupa debu maupun serpihan batu, dan bahaya biologi
yaitu patogen yang tahan terhadap panas. Timbulnya kedua bahaya
tersebut dikarenakan kondisi dapur yang tidak higiene, cobek dan ulek
yang keropos, serta ada bakteri yang tahan terhadap panas. Pada tahap
memasak ini dirancang untuk dapat menghilangkan kedua bahaya
tersebut sampai ke batas yang lebih aman sehingga termasuk dalam
kategori titik kendali kritis. Hal itu dikarenakan bahaya fisik berupa batu
atau kerikil yang mengkontaminasi rendang dapat dikonsumsi oleh
konsumen dan bakteri yang mengkontaminasi bahan baku dapat
dihilangkan dengan pemanasan. Sejalan dengan penelitian
(Moelyaningrum, 2012), tahap pengukusan singkong termasuk dalam
TKK karena terdapat bahaya biologi berupa spora dan mikroba patogen.
Sama halnya dengan penelitian (Surahman & Ekafitri, 2014), pada tahap
sterilisasi termasuk TKK karena tahapan ini memiliki risiko bahaya dan
tingkat keparahan yang tinggi. Penelitian (Wijonarko & Arsil, 2007),
juga menyebutkan pada perebusan bakso daging sapi dalam air
mendidih termasuk TKK karena terdapat potensi bahaya patogen yang
tahan panas. Untuk bahaya fisik saat memasak sejalan dengan penelitian
(Sadek, 2010), pada proses penghalusan termasuk ke TKK karena
kondisi cobek dan ulek yang keropos.
166
6.8.2.5. Menentukkan Titik Kendali Kritis pada Proses
Penyimpanan dan Distribusi
Pada proses penyimpanan dan distribusi terdapat tiga bahaya
yang dapat mengkontaminasi rendang yang sudah matang yaitu bahaya
fisik berupa debu, bahaya biologi meliputi lalat sebagai perantara
kontaminasi bakteri dan terjadi pertumbuhan bakteri, serta bahaya kimia
berupa senyawa kimia yang berasal dari plastik atau kertas pembungkus
makanan. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah menjaga kebersihan
tempat penyimpanan makanan dan rumah makan, memakai wadah yang
tertutup, menggunakan wadah yang tertutup, suhu penyimpanan
makanan > 60°C, dan memilih dan menggunakan kemasan aman.
Sejalan dengan penelitian (Wijonarko & Arsil, 2007), tahap
penyajian pada makanan bakso daging sapi termasuk TTK terdapat
kontaminan udara karena mie dan sohun terpapar dengan udara
lingkungan dan tahap penyajian makanan lontong pecel juga temasuk
TKK terdapat bahaya pertumbuhan patogen yang dikarenakan bahan
dan sayur disimpan di tempat terbuka. Penelitian (Prasojo, 2003)
plastik/kemasan yang dipakai temasuk TKK karena komponen kimiawi
dari plastik dapat migrasi ke pangan.
Dalam tahap ini tidak dirancang untuk mengurangi ataupun
menghilangkan ketiga bahaya tersebut sampai batas yang lebih aman.
Bahaya fisik, biologi dan kimia dapat meningkat sampai melebihi
ambang batas aman. Hal itu dikarenakan, debu yang berterbangan dapat
mengkontaminasi rendang di etalase, selama penyimpanan rendang
167
tidak dipanaskan kembali, dan perpindahan monomer plastik atau kertas
ke makanan.
Berdasarkan uraian menentukan TKK pada penyimpanan dan
distribusi, terdapat tiga bahaya yang ada pada proses penyimpanan dan
distribusi termasuk dalam kategori titik kendali kritis.
6.9. Menentukan Batas Kritis pada Masing-masing TKK
Menurut (Thaheer, 2005), batas kritis adalah suatu kondisi atau keadaan
yang menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman. Batas
kritis juga merupakan satu atau lebih toleransi yang harus dipenuhi untuk menjamin
bahwa suatu CCP secara efektif dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia,
dan fisik. Sejalan dengan (Mortimore & Wallace, 2004) batasan kritis adalah
kriteria yang membedakan antara aman dan kemungkinan tidak aman. Berikut ini
batas kritis pada proses pengolahan rendang.
a) Penentuan batas kritis bahan baku rendang
Batas kritis diartikan sebagai nilai maksimum dan/atau minimum parameter
fisik, kimia, atau biologis yang harus dikendalikan pada tingkat TKK dalam
rangka pencegahan, pemusnahan, reduksi bahaya potensial hingga mencapai
tingkat yang dapat diterima (Arisman, 2009). Batas kritis pada bahan baku
bumbu dan santan yaitu bebas dari benda asing yang terdapat pada bahan baku
tersebut. Benda asing yang mengkontaminasi kedua bahan baku tersebut
meliputi debu, rambut, tanah, serabut kelapa, dan batok kelapa.
Batas kritis pada bahan baku sejalan dengan penelitian yang dilakukan
(Rakhmawati, Partiwi, & Suparno, 2008), pada tahap pengemasan terdapat
bahaya fisik yaitu rekontaminasi benda asing. Batas kritis untuk menghilangkan
168
bahaya tersebut adalah tidak boleh ada benda asing. Penelitian (Hastomo,
2006), juga terdapat bahaya fisik berupa bulu dan kotoran. Batas kritis untuk
bahaya tersebut yaitu tidak ada benda asing di dalam susu.
b) Penentuan batas kritis proses pengolahan rendang
Batas kritis adalah nilai maksimum atau nilai minimum bahaya biologi,
kimia, atau fisik yang teridentifikasi yang harus dikendalikan pada titik kritis
untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi bahaya ke tingkat yang
dianggap aman (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016).
Batas kritis penerimaan bahan baku adalah plastik yang digunakan jenis
plastik PP, HDPE, LDPE, dan PET atau terdapat logo serta tulisan aman
untuk makanan. Menurut (BPOM, 2017), beberapa jenis plastik yang aman
digunakan sebagai kemasan pangan adalah PP, HDPE, LDPE, dan PET.
Keamanan kemasan dapat dikenali dari logo atau tulisan yang tertera misalnya
, tulisan ‘aman untuk makanan’ atau food safe / for food use / food grade.
Sejalan dengan penelitian (Prasojo, 2003), batas kritis plastik/wadah yang
dipakai yaitu cocok untuk penggunaan makanan (produk udang) dan memenuhi
batas migrasi legal.
Batas kritis pada penyiapan bahan baku yaitu bebas dari benda asing berupa
debu. Sejalan dengan penelitian (Rakhmawati, Partiwi, & Suparno, 2008), pada
tahap penyimpanan gandum, tidak boleh ada benda asing yang terlihat pada
gandum. Untuk proses penyiapan alat-alat yang dipakai terdapat bahaya kimia
sehingga batas kritis pada proses tersebut bebas dari bahan kimia yang terdapat
di cairan pencuci piring. Hal itu sesuai dengan penelitian (Sadek, 2010), batas
169
kritis pada proses pencucian peralatan masak, wadah masakan, dan peralatan
makan yaitu peralatan tidak licin dan tidak berbau sabun.
Saat proses pemasakan, batas kritis untuk menghilangkan patogen yang
tahan terhadap panas yaitu memasak dengan suhu minimal 90oC. Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, suhu pengolahan makanan
minimal 90 oC agar kuman patogen mati. Penelitian (Moelyaningrum, 2012),
tahap pengukusan singkong pada proses pembuatan tape singkong, batas kritis
untuk menghilangkan bahaya biologi yaitu dengan pengukusan dilakukan
sampai singkong benar-benar matang dengan air 100°C selama 15 menit.
Sedangkan bahaya fisik pada saat memasak berupa debu, dan serpihan batu.
Batas kritis untuk bahaya tersebut adalah sanitasi dapur yang baik dan bebas
dari benda asing (debu dan serpihan batu). Sejalan dengan penelitian (Sadek,
2010), batas kritis bahaya fisik pada proses penghalusan terdapat yaitu tidak ada
serpihan batu dari cobek dan ulekan. Penelitian (Putri E. W., 2008), batas kritis
untuk susu pasteurisasi yaitu kebersihan sarana, prasarana, ruang produksi, dan
lingkungan sekitar.
Bahaya yang mengkontaminasi pada tahap penyimpanan dan distribusi
meliputi debu, lalat, pertumbuhan bakteri, serta senyawa kimia plastik/kertas.
Batas kritis untuk ketiga bahaya tersebut yaitu sanitasi etalase dan rumah makan
yang baik, bebas dari benda asing, bebas dari lalat dan bakteri, suhu
penyimpanan >60°C, dan plastik atau kertas yang digunakan cocok untuk
makanan panas, jenis plastik PP atau terdapat logo serta tulisan aman untuk
makanan.
170
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, jenis
makanan basah (berkuah) suhu penyimpanan saat akan segera disajikan >60°C.
Sedangkan penggunaan plastik sebagai pembungkus makanan, menurut
(BPOM, 2017), jenis plastik yang relatif aman digunakan sebagai kemasan
pangan adalah PP, HDPE, LDPE, dan PET. Keamanan kemasan dapat dikenali
dari logo atau tulisan yang tertera, misalnya , tulisan ‘aman untuk makanan’
atau food safe / for food use / food grade. Plastik jenis PP merupakan pilihan
yang baik untuk kemasan pangan, tempat obat, botol susu, sedotan.
Penelitian (Sarwono, 2007), batas kritis pada tahap penyimpanan yaitu tidak
terdapat bau pada ruang produk, cemaran benda asing, dan bebas serangga.
Penelitian (Miskiyah & Widaningrum, 2008), batas kritis bahaya jamur,
serangga, debu, dan kotoran lainnya pada tahap penyimpanan yaitu tempat
penyimpanan bersih dan kering. Sedangkan penelitian (Hastomo, 2006), batas
kritis pada tahap penyimpanan susu pasteurisasi yaitu suhu < -15°C. Penelitian
yang dilakukan (Prasojo, 2003), batas kritis plastik/wadah yang dipakai yaitu
cocok untuk penggunaan makanan (produk udang) dan memenuhi batas migrasi
legal.
6.10. Pemantauan Batas Kritis Setiap TKK
Pemantauan adalah tindakan atau observasi yang diperlukan untuk
memastikan bahwa proses terkendali dan berjalan dalam batasan kritis yang
ditentukan (Mortimore & Wallace, 2004). Menurut (Thaheer, 2005), batas kritis
yang sudah ditentukan terhadap suatu CCP/TKK haruslah dimonitor
keberadaannya. Hal ini untuk memastikan apakah prosedur pengolahan atau
penanganan pada CCP dibawah kendali. Komponen yang terlibat dalam sistem
171
monitoring berdasarkan kaidah 4W + 1 H (what, where, when, who, dan how).
Berikut ini pemantauan batas kritis setiap TKK pada proses pembuatan rendang.
a) Pemantauan batas kritis pada bahan baku rendang
Pemantauan merupakan tindakan terencana untuk melakukan serangkaian
observasi atau pengukuran parameter guna mengkaji apakah CCP masih
terkontrol (WHO, 2005). Pada bahan baku rendang berupa bumbu dan santan
terdapat bahaya fisik dengan batas kritis bebas dari benda asing (debu, rambut,
serabut kelapa, batok kelapa). Pemantauan yang dilakukan yaitu dengan melihat
keadaan bahan baku yang dijual, serta memastikan tidak ada tanah yang
menempel pada bumbu, memastikan wadah yang digunakan untuk berjualan,
memastikan tidak ada bahaya fisik yang masuk ke dalam santan, dan penjual
memakai penutup kepala. Pemantauan berlangsung saat proses penghalusan
bumbu dan mengolah santan dan penjualan dipasar. Tempat pemantauan
dilakukan di pasar tradisional dan yang melakukan pemantauan itu sendiri
adalah penjual. Sejalan dengan penelitian (Hoyyi & Darwanto, 2017)
pemantauan yang dilakukan pada tahapan pemarutan kelapa yaitu apakah
terdapat kontaminasi benda asing berupa serabut kelapa. Penelitian yang
dilakukan (Rakhmawati, Partiwi, & Suparno, 2008), monitoring pada tahap
penerimaan bahan baku, gandum tidak boleh mengandung aflatoksin.
Monitoring dilakukan oleh staff Quality Control (QC) untuk memerika surat
jaminan dari supplier.
b) Pemantauan batas kritis pada proses pengolahan rendang
Menurut (SNI 01-4852-1998), memantau adalah tindakan melakukan
serentetan pengamatan atau pengukuran terencana mengenai parameter
172
pengendali untuk menilai apakah TKK dalam kendali. Pemantauan yang
dilakukan tahap penerimaan bahan baku dengan melihat plastik apa yang
dipakai. Mengecek jenis plastik yang dipakai penjual sebagai wadah bahan
baku. Pemantauan dilaksanakan saat membeli bahan baku di pasar dan
penjamah makanan yang langsung memantau. Pemantauan tersebut berbeda
dengan penelitian (Prasojo, 2003), pemantauan ditinjau daftar komponen dan
data migrasi supplier terhadap peraturan. Pemantauan dilakukan setiap kali
perubahan supplier untuk jenis pembungkus atau kemasan.
Pemantauan pada tahap penyiapan bahan baku dengan melihat keadaan
bahan baku yang sudah disiapkan. Pemantauan dilakukan oleh penjamah
makanan dan pelaksanaannya di dapur pada saat setiap menyiapkan bahan baku
dengan pengecekan kembali bahan baku yang sudah disiapkan. Memastikan
bahwa bahan baku yang akan dimasak sudah bersih dan tidak terdapat debu dan
tanah yang menempel.
Sedangkan proses penyiapan alat-alat yang akan dipakai terdapat bahaya
kimia yaitu cairan pencuci piring. Pemantauan untuk mencegah terjadinya
kontaminasi bahaya kimia dengan melihat kondisi alat masak dengan
melakukan pengecekan alat-alat sebelum digunakan. Memastikan bahwa alat
yang akan dipakai tidak licin, tidak terdapat sisa-sisa bahan kimia yang
menempel, dan tidak berbau.
Pemantauan penyiapan bahan baku dan penyiapan alat-alat masak, sejalan
dengan penelitian (Sadek, 2010), pemantauan pada proses pencucian pada
bahan baku yaitu menantau tanah dan kerikil pada bahan baku masakan dengan
memastikan pencucian dilakukan dengan bersih dan tidak ada kerikil atau tanah
173
yang masih menempel. Sedangkan pemantauan pada proses pencucian
peralatan masak, wadah masakan, dan peralatan makanan dengan memastikan
peralatan bebas dari residu sabun (tidak licin) dan tidak berbau sabun.
Proses pemasakan terdapat bahaya biologi dan fisik. Pemantauan yang
dilakukan untuk menghindari bahaya biologi dengan mengukur suhu saat proses
memasak. Sejalan dengan penelitian (Moelyaningrum, 2012), monitoring yang
dilakukan tahap pengukusan yaitu dengan pengukuran suhu dan waktu pada
saat setiap proses pengukusan.
Untuk mencegah adanya kontaminasi bahaya fisik dapat melakukan
pengecekan kebersihan dapur, dan alat masak. Sejalan dengan penelitian
(Trisnaini, 2012), melakukan pemeriksaan alat masak yang dinilai telah rusak
dan tidak layak digunakan lagi. Penelitian (Putri E. W., 2008) pemantauan
produksi susu pasteurisasi berupa pemantauan visual untuk kebersihan ruang
dan peralatan produksi.
Tahap penyimpanan dan distribusi terdapat bahaya fisik, biologi, dan kimia.
pemantauan dilakukan dengan melihat keadaan wadah dan tempat
penyimpanan, rendang saat penyimpanan, serta wadah plastik/kertas
pembungkus makanan. Pelaksanaan pemantauan dilakukan oleh penjamah
makanan di etalase, rumah makan, dan tempat penjual plastik dengan mengecek
kebersihan etalase dan rumah makanan, mengecek wadah yang dipakai,
mengukur suhu saat penyimpanan, serta mengecek jenis plastik/kertas.
Pemantauan dilaksanakan setiap penyimpanan rendang di etalase dan membeli
plasik/kertas.
174
Sejalan dengan penelitian (Miskiyah & Widaningrum, 2008), monitoring
yang dilakukan pada tahap penyimpanan yaitu cek sanitasi pada setiap tahap
penyimpanan. Penelitian yang dilakukan oleh (Hastomo, 2006), pemantauan
yang dilakukan pada penyimpanan suhu dingin dengan melakukan pemeriksaan
secara berkala setiap hari. Penelitian (Putri E. W., 2008), menunjukkan bahwa
pada tahap pengemasan terdapat bahaya fisik. Pemantauan yang dilakukan
dengan pemeriksaan tempat penyimpanan dan pemantauan prosedur
pengemasan. Penelitian (Prasojo, 2003), pemantauan plastik yang dipakai
dengan melakukan pemantauan ditinjau daftar komponen dan data migrasi
supplier terhadap peraturan. Pemantauan dilakukan setiap kali perubahan
supplier untuk jenis pembungkus atau kemasan.
6.11. Penetapan Tindakan Perbaikan
Tindakan koreksi atau tindakan perbaikan adalah tindakan yang harus
diambil atau diputuskan berdasarkan hasil monitoring terhadap CCP, yang
mengindikasikan bahwa CCP/TKK tidak terkendali (Thaheer, 2005). Berikut ini
tindakan perbaikan proses pembuatan rendang.
a) Tindakan perbaikan pada bahan baku rendang
Tindakan perbaikan adalah kegiatan yang dilakukan bila berdasarkan hasil
pengamatan menunjukkan telah terjadi penyimpangan dalam CCP pada batas
kritis tertentu (Sudarmaji, 2005). Tindakan perbaikan yang dapat dilakukan
pada bahan baku rendang (bumbu dan santan) yaitu mengembalikan bahan baku
kepada penjual, memberikan saran kepada penjual untuk menggunakan wadah
yang tertutup, serta menggunakan pemasok bahan baku (bumbu dan santan)
yang dapat menjamin keamanan pangan dan terhindar bahaya fisik. Hasil
175
penelitian tersebut sejalan dengan penelitian (Trisnaini, 2012), tindakan
perbaikan yang dilakukan pada proses pengolahan bola-bola daging apabila
terjadi penyimpangan yaitu berbagai produk yang dinilai berkualitas buruk atau
rusak dikembalikan pada pemasok untuk diganti dengan produk yang baru dan
berkualitas baik. Sama dengan penelitian (Sari, Partiwi, & Janti, 2011), tindakan
perbaikan yang dilakukan yaitu bila masih dapat ditoleransi maka konfirmasi
ke pihak supplier dan reject bila tidak dapat ditoleransi.
b) Tindakan perbaikan pada proses pengolahan rendang
Tindakan perbaikan yang dilakukan pada tahap penerimaan bahan baku
yaitu memilih pemasok yang dapat menjamin kemasan yang dipakai aman
untuk makanan dan mengganti plastik yang aman untuk pangan. Sejalan dengan
penelitian (Prasojo, 2003), tindakan koreksi pada wadah yang dipakai yaitu
mengganti wadah atau supplier.
Pada tahap proses penyiapan bahan baku, tindakan perbaikan yang
dilakukan dengan mencuci kembali bahan baku yang akan digunakan kemudian
menggunakan wadah yang tertutup dan membersihkan dapur. Sejalan dengan
penelitian (Surahman & Ekafitri, 2014), tindakan koreksi pada tahap pencucian
dengan melakukan pencucian secara berulang agar buah jambu biji yang diolah
bersih.
Sedangkan penyiapan alat-alat yang dipakai dapat melakukan tindakan
perbaikan dengan membilas kembali alat-alat masak. Sejalan dengan penelitian
(Sadek, 2010), tindakan koreksi pada tahap pencucian peralatan yaitu membilas
kembali peralatan yang masih licin dan berbau sabun.
176
Pada tahap proses pemasakan terdapat bahaya biologi dan fisik. Tindakan
perbaikan untuk menghilangkan bahaya biologi dengan mengatur suhu
pemasakan minimal 90oC dan waktu pemasakan diperpanjang atau
dipersingkat. Hasil penelitian ini sejalan dengan (Indriastuti, 2006), tindakan
perbaikan pada proses pengovenan pembuatan brownies tepung ubi jalar merah
yaitu bila temperatur pengovenan tidak memenuhi standar, waktu pengovenan
dapat diperpanjang atau dipersingkat.
Sedangkan untuk bahaya fisik dapat dilakukan tindakan perbaikan yaitu
dengan membersihkan dapur, serta mengganti cobek dan ulek yang sudah
keropos. Sejalan dengan penelitian (Trisnaini, 2012), jika ditemukan alat masak
yang dianggap tidak layak untuk digunakan diharuskan mengganti alat masak
dengan yang baru. Sedangkan pada penelitian (Hotri, 2008) tindakan koreksi
yang dilakukan yaitu sterilisasi ruang pengemasan.
Tindakan perbaikan yang dilakukan untuk tahap penyimpanan dan
distribusi yaitu dengan membersihkan etalase dan rumah makan, mengganti
wadah yang ada tutupnya, mengatur suhu saat penyimpanan dietalase >60°C,
serta mengganti jenis plastik/kertas pembungkus makanan. Sejalan dengan
penelitian (Miskiyah & Widaningrum, 2008), tindakan koreksi yang dilakukan
pada tahap penyimpanan adalah pembersihan. Penelitian (Trisnaini, 2012),
tindakan perbaikan yang dilakukan yaitu peningkatan higiene sanitasi dalam
proses pengolahan makanan berupa penggunaan wadah tertutup untuk
makanan. Sejalan dengan penelitian (Prasojo, 2003), tindakan koreksi pada
wadah yang dipakai yaitu mengganti wadah atau supplier. Penelitian (Hastomo,
177
2006), tindakan perbaikan yang dilakukan pada penyimpanan suhu dingin yaitu
dengan memperbaiki freezer.
6.12. Penetapan Prosedur Verifikasi
Verifikasi adalah upaya pengujian terhadap hasil suatu rancang bangun
untuk memastikan kesesuaiannya dengan semua tujuan dan kendala (Dym, 1995
dalam (Thaheer, 2005)). Menurut (Mortimore & Wallace, 2004), verifikasi adalah
pemastian bahwa tindakan pengendalian telah dilakukan selama proses. Berikut ini
verifikasi proses pembuatan rendang. Berikut ini prosedur verifikasi bahan baku
dan proses pengolahan rendang.
a) Prosedur verifikasi pada bahan baku rendang
(Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016) mengatakan verifikasi merupakan
tindakan untuk memastikan bahwa seluruh prosedur dalam rancangan HACCP
telah dijalankan dengan benar, memastikan setiap tahapan kritis dalam proses
produksi telah benar-benar terkendali, memenuhi standar kritis yang telah
ditetapkan dan memastikan bahwa tujuan menghasilkan produk yang aman
sudah tercapai.
Verifikasi yang dilakukan pada bahan baku rendang yaitu penjamah
makanan meninjau penjual yang dapat memenuhi kriteria bahan baku bumbu
dan santan yang aman dari bahaya fisik. Verifikasi tersebut berbeda dengan
penelitian (Sari, Partiwi, & Janti, 2011), verifikasi bahaya kimia pada proses
penerimaan bahan baku dengan Certificate of Analysis (COA) dan hasil analisis
laboratorium.
178
b) Prosedur verifikasi pada proses pengolahan rendang
Verifikasi penerimaan bahan baku yaitu penjamah telah mengecek jenis
plastik yang digunakan aman untuk pangan. Sedangkan proses pengolahan
rendang pada saat penyiapan bahan baku yaitu penjamah makanan meninjau
kebersihan bahan baku dan tempat pengolahan. Pada tahap penyiapan alat-alat
yang dipakai, penjamah makanan memverifikasi dengan meninjau alat-alat
yang dipakai. Sedangkan proses pemasakan verifikasinya adalah penjamah
makanan telah mencatat suhu, telah mengecek alat masak dan meninjau
kebersihan dapur. Untuk proses penyimpanan dan distribusi, verifikasinya yaitu
penjamah makanan telah meninjau kebersihan etalase dan rumah makan,
mengecek wadah yang dipakai, mencatat suhu saat penyimpanan, dan
mengecek jenis plastik/kertas pembungkus makanan.
Penelitian yang dilakukan (Surahman & Ekafitri, 2014), proses verifikasi
dapat dilakukan dengan menganalisa setiap tahapan proses yang diidentifikasi
sebagai CCP. Sedangkan penelitian (Utomo & Septifani, 2017), prosedur
verifikasi yang dilakukan pada proses produksi MSG adalah dengan melakukan
pengecekan secata berkala secara internal maupun eksternal untuk mengontrol
dan memastikan bahwa prosedur yang dilakukan secara keseluruhan berjalan
efektif.
Berdasarkan uraian penetapan verifikasi, verifikasi dilakukan berbeda
dengan penelitian sebelumnya dikarenakan pada setiap perusahaan ataupun industri
mempunyai masing-masing TKK dengan bahaya yang berbeda-beda sehingga
verifikasi yang dilakukan pun juga tidak sama.
179
6.13. Dokumentasi dan Pencatatan
Menurut (Thaheer, 2005), pencatatan dan pembukuan yang efisien serta
akurat adalah dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur harus didokumetasikan
dengan baik dan dikendalikan secara administratif. Pencatatan pada bahan baku
rendang berisi data pengecekan bahan baku untuk bumbu dan santan. Sedangkan
pada proses pengolahan rendang pencatatannya berupa data pengecekan jenis
plastik/kertas pembungkus makanan, penyiapan bahan baku, peralatan masak, data
analisis laboratorium, data pengukuran temperatur, data pengecekan alat masak,
kebersihan dapur, etalase, dan rumah makan, dan data pengecekan wadah untuk
menyimpan rendang di etalase. Hasil tersebut sejalan dengan Penelitian (Utomo &
Septifani, 2017), pencatatan yang dilakukan pada proses produksi MSG yaitu
laporan pemeriksaan produk, laporan kalibrasi dan form sterilisasi, laporan
pemeriksaan peralatan, dan form pemeriksaan dan form verifikasi.
Sesuai dengan prinsip HACCP, maka dokumentasi sistem HACCP harus
mencakup dokumentasi mengenai prosedur dan tindakan yang berkaitan dengan
prinsip 1 sampai dengan prinsip 7 (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016).
Dokumentasi pada HACCP proses pemasakan rendang berisi informasi proses dan
produk serta HACCP. Informasi dan produk terdiri dari deskripsi produk, tujuan
akhir penggunaan produk, diagram alir, dan konfirmasi diagram alir. Sedangkan
HACCP proses memasak rendang meliputi identifikasi bahaya, menentukkan titik
kendali kritis (TKK), menentukkan batas kritis, penetapan tindakan perbaikan,
penetapan prosedur verifikasi, dan pencatatan dan dokumentasi. Data yang
didokumentasikan juga berasal dari hasil analisis laboratorium, pengukuran
temperatur dan lembar pengecekan.
180
6.14. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Rendang
Rendang merupakan masakan khas daerah Sumatera Barat yang terbuat dari
daging sapi tanpa lemak yang sarat dengan bumbu dan santan. Dari pengujian
mikrobiologi didapatkan hasil bahwa rendang masih memenuhi syarat SNI
7474:2009. Dilihat pada grafik 6.1, rendang yang sudah dilakukan pengujian
bakteri ALT mengalami pertumbuhan secara terus menerus tetapi masih dibawah
ambang batas SNI, yaitu 1 x 101, 1 x 102, dan 9,6 x 102 koloni/gr. Untuk bakteri
Coliform serta kapang dan khamir, masih berada dibawah ambang batas SNI dan
tidak mengalami kenaikan yaitu < 3 APM/gr dan < 1,0 x 101 koloni/gr. Penelitian
yang dilakukan oleh (Murhadi, Fardiaz, S, & Satiawihardja, 1994), menunjukkan
bahwa rendang yang diperoleh dari rumah makan sedang dengan lama simpan
sampai tiga hari mengalami kenaikan pada bakteri ALT, Coliform, serta kapang dan
khamir.
Menurut (Food and Drug Administration, 2001), terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri yaitu faktor intrinsik dan
ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi kadar air, pH dan keasaman, kandungan gizi,
struktur biologis, potensi redoks, pertumbuhan bakteri terjadi secara alami dan
menambahkan antimikroba, serta mikroflora yang kompetitif. Sedangkan faktor
ekstrinsik terdiri dari jenis kemasan, pengaruh waktu atau suhu pertumbuhan
mikroba, penyimpanan, dan langkah pengolahan. Bakteri ALT dapat meningkat
karena dipengaruhi salah satu faktor tersebut yaitu suhu pada rendang mengalami
penurunan yaitu 67,3°C, 27,3°C, dan 26,1°C. Hal itu disebabkan tidak adanya
pemanasan kembali setelah rendang dimasak. Suhu rendang 12 jam dan 24 jam
tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011 tentang
181
Higiene Sanitasi Jasaboga yaitu lebih dari >60°C. Sejalan dengan penelitian
(Prasafitra, Suada, & Swacita, 2014), bahwa semakin lama masakan daging
rendang tanpa pemasakan ulang disimpan dalam suhu ruang, maka waktu
reduktasenya semakin cepat sehingga perkiraan beban bakterinya semakin banyak.
Sama halnya dengan penelitian (Hardianto, Suarjana, & Rudyanto, 2012)
menunjukkan penyimpanan telur ayam kampung pada suhu chilling mempunyai
ALT bakteri lebih sedikit dibandingkan penyimpanan suhu kamar. Semakin lama
telur ayam kampung disimpan dapat meningkatkan angka lempeng total bakteri
dengan jangka waktu tertentu. Ada interaksi suhu dan lama penyimpanan terhadap
angka lempeng total bakteri.
Pengujian bakteri pada rendang tidak ditemukan bakteri Salmonella dan
Clostridium perfringens. Hal itu dikarenakan banyaknya rempah-rempah yang
dipakai untuk memasak rendang sehingga bakteri tersebut tidak dapat tumbuh.
Sejalan dengan penelitian (Poeloengan, Uji Daya Hambat Perasan Umbi Bawang
Putih (Alium Sativum Linn.) terhadap Bakteri yang Diisolasi dari Telur Ayam
Kampung, 2007), perasan umbi bawang putih dengan konsentrasi 50, 25, dan
12,5% memberikan daerah hambat terhadap Salmonella sp, sehingga dapat
digunakan sebagai anti bakteri, namun pada konsentrasi 6,25% tidak memberikan
daya anti bakteri. Penelitian yang dilakukan (Jatmiko, Widodo, & Sjofjan, 2013),
menunjukkan bahwa pengaruh penambahan jus jahe merah dalam berbagai level
memberikan pengaruh terhadap jumlah populasi bakteri Salmonella sp yang ada
pada usus halus itik pedaging. Penelitian (Wit, Notermans, Gorin, &
Kampelmacher, 1979), menunjukkan bahwa minyak bawang putih dan bawang
182
merah dapat menghambat racun yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum tipe A
pada daging.
Berdasarkan uraian hasil pengujian mikrobiologi pada rendang, bakteri
ALT dan Coliform pada rendang masih didalam bawah ambang batas SNI dan
rendang masih layak untuk dikonsumsi. Tetapi rendang harus tetap dikontrol karena
bakteri tersebut masih dapat mengalami peningkatan. Sehingga untuk menurunkan
angka bakteri ALT tersebut dapat dilakukan dengan pemanasan kembali saat proses
penyimpanan di etalase.
183
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Dalam penelitian ini didapatkan titik kendali kritis yaitu bahan baku bumbu
dan santan, tahap penerimaan bahan baku, tahap penyiapan bahan baku, tahap
penyiapan alat-alat yang dipakai, proses pemasakan, serta penyimpanan dan
distribusi. Dokumentasi penelitian ini berisikan tahapan HACCP, hasil analisis
laboratorium, pengukuran temperatur dan lembar pengecekan. Dari hasil pengujian
bakteri pada rendang memenuhi syarat SNI 7474:2009.
7.2. Saran
1. Bagi Pengusaha Rumah Makan Padang
Memilih pemasok bahan baku yang menerapkan sistem keamanan
pangan.
Meningkatkan personal higiene penjamah makanan dengan menjaga
kebersihan tangan, membasuh tangan setiap setelah melakukan kegiatan
apapun, memotong dan menjaga kebersihan kuku, memakai pakaian dan
celemek yang bersih, memakai penutup kepala, tidak makan, tidak
merokok, dan tidak mengenakan cincin.
Meningkatkan higiene sanitasi makanan dengan melakukan pemilihan
bahan makanan yang baik dan tidak terkontaminasi bahan non pangan,
penyimpanan bahan makanan sesuai dengan jenis dan tempatnya,
mengolah makanan dengan baik, penyimpanan makanan jadi/masak
ditempatkan pada tempat yang terhindar dari kontaminasi,
184
pengangkutan makanan dilakukan dengan menjaga kondisi bahan
makanan dan makanan jadi, serta penyajian makanan dilakukan dengan
baik dan tidak terkontaminasi bahan non pangan.
2. Bagi Masyarakat
Meningkatkan kewaspadaan terhadap makanan yang dikonsumsi untuk
menghindari penyakit akibat makanan.
Memanaskan kembali apabila rendang yang disajikan tidak dalam
keadaan hangat/panas.
Memilih tempat makan yang menjaga keamanan pangan dan higiene
sanitasi makanan.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Lokasi penelitian sebaiknya di industri pembuat rendang yang
pendistribusiannya di toko-toko penjual makanan.
Melakukan pengujian laboratorium yang lebih lengkap pada bahan
baku, air yang digunakan untuk membilas bahan baku dan pencucian
peralatan, pengujian alat masak dan tempat penyimpanan, dan menguji
sifat kimia dan fisik pada rendang.
185
DAFTAR PUSTAKA
Amaliyah, N. (2017). Penyehatan Makanan dan Minuman. Yogyakarta:
Deepublish.
Andareto, O. (2015). Apotik Herbal di Sekitar Anda. Jakarta: Pustaka Ilmu Semesta.
Angelica, N. (2013). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun dan Kulit Batang
Kayu Manis Cinnamomum burmannii (Nees & Th. Ness)) terhadap
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya.
Anwar, Y. (2010). 38 Inspirasi Usaha Makanan Minuman untuk Home Industry.
Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Arisman. (2009). Keracunan Makanan. Jakarta: EGC.
Asniyah. (2009). Efek Antimikroba Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) terhadap
Pertumbuhan Escherichia coli In Vitro. Jurnal Biomedik.
Astawan, M. (2014). Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Ayustaningwarno, F., Retraningrum, G., Safitri, I., Anggraheni, N., Suhardinata,
F., Umami, C., & Rejeki, M. S. (2014). Aplikasi Pengolahan Pangan.
Yogyakarta: Deepublish.
Baskoro, D. (2015, April 9). Tips agar Rendang Awet Dibawa ke Luar Negeri.
Diambil kembali dari www.okezone.com:
https://lifestyle.okezone.com/read/2015/04/09/298/1131475/tips-agar-
rendang-awet-dibawa-ke-luar-negeri
Batt, C. A., & Tortorello, M.-L. (2014). Encyclopedia of Food Microbiology
Second Edition. London: Elsevier.
BPOM. (2017). Plastik Sebagai Kemasan Pangan. Diambil kembali dari Sentra
Informasi Keracunan Pangan:
http://ik.pom.go.id/v2016/artikel/Plastiksebagaikemasanpangan.pdf
Chandra, B. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.
Chandra, B. (2009). Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta: EGC.
Dalimartha, S. (2015). Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar. Jakarta: Puspa Swara.
Demedia, T. D. (2010). Kitab Masakan Nusantara Kumpulan Resep Pilihan dari
Aceh sampai Papua. Jakarta: Demedia.
Dewi, N. (2012). Dahsyatnya Jintan Hitam. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Abon. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
186
Fajri, I., Erly, & Usman, E. (2016). Perbedaan Efek Antibakteri Kapsul Minyak
Bawang Putih (Garlic Oil) dan Kapsul Bubuk Bawang Putih (Garlic
Powder) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Andalas.
Fakhmi, A., Rahman, A., & Riawati, L. (2014). Desain Sistem Keamanan Pangan
Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) pada Proses Produksi
Gula PG. Kebon Agung Malang. Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem
Industri.
Fardiaz, S. (1996). Prinsip HACCP dalam Industri Pangan. Institut Pertanian
Bogor.
Fatimah, S., Prasetyaningsih, Y., & Sari, M. F. (2017). Analisis Coliform pada
Minuman Es Dawet yang Dijual di Malioboro Yogyakarta. Prosiding
Seminar Nasional IKAKESMADA "Peran Tenaga Kesehatan dalam
Pelaksanaan SDGs". Yogyakarta.
FDA. (1997, August 14). HACCP Principles & Application Guidelines. Diambil
kembali dari U.S. Food and Drug Administration:
https://www.fda.gov/Food/GuidanceRegulation/HACCP/ucm2006801.htm
#app-d
FDA. (2001, Desember 31). Evaluation and Definition of Potentially Hazardous
Foods - Chapter 3. Factors that Influence Microbial Growth. Diambil
kembali dari U.S. Food and Drug Administration:
http://www.fda.gov/Food/FoodScienceResearch/SafePracticesforFoodProc
esses/ucm094147.htm
Febriana, R., & Artanti, G. D. (2009). Penerapan Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP) dalam Penyelenggaraan Warung Makan Kampus. Media
Pendidikan, Gizi, dan Kuliner.
Food and Drug Administration. (2001, December 31). Evaluation and Definition of
Potentially Hazardous Foods. Diambil kembali dari U.S. Food and Drug
Administration:
https://www.fda.gov/downloads/food/foodborneillnesscontaminants/ucm5
45171.pdf
Gea, S., Sebayang, K., & Aththorick, T. A. (2016). Peningkatan Kualitas Produksi
Santan Kelapa Sebagai Bahan Baku Industri Kuliner di Kota Medan.
Abdimas Talenta.
Goulding, S., & Mansur. (2014). Penerapan Hazard Analysis and Critical Control
Points (HACCP) Produk Sashimi di Restoran Tomoto Surabaya. Jurnal
Hospitally dan Manajemen.
HACCP Europa Publication. (2012). HACCP Implementation in Food
Manufacturing a Practical Guide. HACCP Europa Publications.
187
Hafiz, A. A., Yen, L. H., N, H., Hazrina, G., Norhana, N. W., & Ainy, M. A. (2015).
Effect of Vietnamese Coriander (Persicaria odorata), Turmeric (Curcuma
longa) and Asam Gelugor (Garcinia atroviridis) Leaf on the Microbiological
Quality of Gulai Tempoyak Paste. International Food Research Journal.
Hardianto, Suarjana, I. G., & Rudyanto, M. D. (2012). Pengaruh Suhu dan Lama
Penyimpanan terhadap Kualitas Telur Ayam Kampung Ditinjau dari Angka
Lempeng Total Bakteri. Indonesia Medicus Veterinus.
Harijani, N., Ernawati, & Suwarno. (2011). Pemanfaatan Sari Rimpang Jahe
(Zingiber officinale) sebagai Antibakterial Alami pada Susu Pasteurisasi
Berdasarkan Penurunan Jumlah Bakteri Escherichia coli. Veterinaria
Medika.
Hastomo, W. S. (2006). Mempelajari Aspek HACCP dalam Penanganan Susu
Pasteurisasi di Unit Pengolahan Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Institut
Pertanian Bogor.
Hayes, R. (1995). Food Microbiology and Hygiene. New York: Springer US.
Hendrawati, V. S., Suyasa, I. N., & Sujaya, I. N. (2014). Efektifitas Larutan Bawang
Putih (Allium sativum L.) dan Ketumbar (Coriandrum sativum) Terhadap
Daya Awet Tahu Lombok. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
Hernando, D., Septinova, D., & Adhianto, K. (2015). Kadar Air dan Total Mikroba
pada Daging Sapi di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Bandar Lampung.
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu.
Hotri, M. (2008). Kajian Awal Penerapan HACCP pada Unit Usaha Pengelolaan
Kefir Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono di Salatiga. Institut Pertanian
Bogor.
Hoyyi, A., & Darwanto. (2017). Penguatan Pengelolaan Buah-buahan melalui
Peningkatan Nilai Ekonomis Produk Lokal pada Klaster Jambu Biji Getas
Merah di Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal. Eko-Regional.
Hui, Y. H., Cornillon, P., Lim, M. H., Murrell, K. D., & Nip, W.-K. (2004).
Handbook of Frozen Foods. New York: Marcel Dekker, Inc.
Hui, Y. H., Meunier-Goddik, L., Hansen, A. S., Josephsen, J., Nip, W.-K.,
Stanfield, P. S., & Toldra, F. (2004). Handbook of Food and Bevarage
Fermentation Technology. New York: Marcel Dekker.
Ilmiawan, N., Astuti, S., & Nawansih, O. (2014). Penggabungan Penerapan Sistem
Jaminan Mutu ISO 9001:2008 dan Sistem HACCP ke dalam Sistem
Manajemen Keamanan Pangan ISO 22000:2009 (Studi Kasus di PT
Indokom Samudra Persada). Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian.
Indriastuti, A. N. (2006). Kajian tentang Produk Brownies dengan Subtitusi Tepung
Ubi Jalar Merah. Universitas Negeri Yogyakarta.
188
Jaelani. (2007). Khasiat Bawang Merah. Yogyakrta: Penerbit Kanisius.
Jasmadi, Haryani, Y., & Jose, C. (2014). Prevalensi Bakteri Coliform dan
Escherichia coli pada Daging Sapi yang Dijual di Pasar Tradisional dan
Pasar Modern di Kota Pekanbaru. JOM FMIPA.
Jatmiko, N., Widodo, E., & Sjofjan, O. (2013). Pengaruh Penambahan Jus Jahe
Merah (Zinger officinale var. Rubrum) sebagai Imbuhan Pakan dalam
Pakan terhadap Kondisi Mikroflora Usus Halus Itik Pedaging Hibrida.
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2003 tentang Hygiene Sanitasi
Rumah Makan dan Restoran
Keputusan BPOM No. HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang Cara Produksi
Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga.
Khaidir, Y. (2010). Pengobatan Alternatif dengan Aneka Tanaman Obat. UBA
Press.
Khairani, C., Rahadjo, Y. P., Dalapati, A., & Sumarni. (2007). Pengkajian
Teknologi Pengolahan Kelapa Mendukung Agroindustri di Kabupaten
Donggala. Diambil kembali dari Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian: http://pfi3pdata.litbang.pertanian.go.id/litkaji/one/138/
Kuntoro, B., Maheswari, R. R., & Nuraini, H. (2012). Hubungan Penerapan
Standard Sanitation Operasional Procedure (SSOP) Terhadap Mutu Daging
Ditinjau dari Tingkat Cemaran Mikroba. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Peternakan.
Kurniadi, Y., Saam, Z., & Afandi, D. (2013). Faktor Kontaminasi Bakteri E. coli
pada Makanan Jajanan di Lingkungan Kantin Sekolah Dasar Wilayah
Kecamatan Bangkinang. Jurnal Ilmu Lingkungan.
Kurniawati, N. (2010). Sehat dan Cantik Alami Berkat Khasiat Bumbu Dapur.
Bandung: PT Mizan Pustaka.
Laelasari, E. (2015). Islam dan Keamanan Pangan. Tangerang Selatan: UIN Press.
Lentera, T. (2004). Khasiat dan Manfaat Jahe Merah si Rimpang Ajaib. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Lestari, D. P., Nurjazuli, & D, Y. H. (2015). Hubungan Higiene Penjamah dengan
Keberadaan Bakteri Escherichia coli Pada Minuman Jus Buah di
Tembalang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia.
Likotrafiti, E., Anagnou, M., Lampiri, P., & Roades, J. (2014). Effect of Storage
Temperature on the Behaviour of Escherichia coli O157:H7 and Salmonella
enterica Serotype Typhimurium on Salad Vegetables. Journal of Food
Research.
189
Maharani, N. E. (2016). Hubungan Hygiene Sanitasi Penjamah Makanan dengan
Angka Kuman Makanan Jajanan Sekitar SMA Negeri 3 Wonogiri. Jurnal
IKESMA.
Marisdayana, R., Harahap, P. S., & Yosefin, H. (2017). Teknik Pencucian Alat
Makan, Personal Hygiene terhadap Kontaminasi Bakteri pada Alat Makan.
Jurnal Endurance.
Maulana, H., Afrianto, E., & Rustikawati, I. (2012). Analisis Bahaya dan Penentuan
Titik Pengendalian Kritis pada Penanganan Tuna Segar Utuh di PT. Bali
Ocean Anugrah Linger Indonesia Benoa-Bali. Jurnal Perikanan dan
Kelautan.
McConnan, I. (Penyunt.). (2006). Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum
dalam Respons Bencana. (P. Pujiono, T. Wuryantari, & I. Leman, Penerj.)
Musumeci, Italy: Sphere Project.
Megawati, M. Y., & Felecia. (2013). Pembuatan Dokumentasi HACCP di Plant-1
PT X. Jurnal Tirta.
Merthayasa, J. D., Suada, I. K., & Agustina, K. K. (2015). Daya Ikat Air, pH,
Warna, Bau dan Tekstur Daging Sapi Bali dan Daging Wagyu. Indonesia
Medicus Veterinus.
Mirawati, M., Djajaningrat, H., & Purwanti, A. (2013). Kualitas Bakteriologis
Cabai Giling yang Dijual di Pasar Tradisional Wilayah Pondok Gede.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan.
Miskiyah, & Widaningrum. (2008). Pengendalian Aflatoksin pada Pascapanen
Jagung melalui Penerapan HACCP. Jurnal Standardisasi.
Moelyaningrum, A. D. (2012). Hazard Analysis Critical Point (HACCP) pada
Produk Tape Singkong Untuk Meningkatkan Keamanan Pangan
Tradisional Indonesia. The Indonesian Journal of Health Science.
Mortimore, S., & Wallace, C. (2004). HACCP Sekilas Pandang. Jakarta: EGC.
Mulyani, R. (2014). Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Higiene Pengolah Makanan.
Jurnal Keperawatan.
Murhadi, Fardiaz, S., S, S. L., & Satiawihardja, B. (1994). Pengaruh Penyimpanan
dan Pemanasan Kembali terhadap Mutu Mikrobiologis Kalio dan Rendang
Daging Sapi. Buletin Teknologi dan Industri Pangan.
Musliati, D., Fifendy, M., & Periadnadi. (2013). Uji Bakteriologis Cabai Merah
Giling (Capsicum annum L.) dari Beberapa Pasar Tradisional di Kota
Padang. Jurnal Mahasiswa Pendidikan Biologi.
Naria, E. (2006). Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman Jajanan di Kompleks
USU, Medan. USU e-Journals.
190
Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nurhasanah. (2014). Antimicrobial Activity Of Nutmeg (Myristica fragrans Houtt)
Fruit Methanol Extract Againts Growth Staphylococus aureus and
Escherichia coli. Jurnal Bioedukasi.
Nurmufida, M., Wangrimen, G. H., Reinalta, R., & Leonardi, K. (2017). Rendang:
The Treasure of Minangkabau. Journal of Ethnic Foods.
Nurwantoro, M, B. A., Purnomoadi, A., Ambara, L. D., Prakoso, A., & Mulyani, S.
(2012). Nilai pH, Kadar Air, dan Total Escherichia coli Daging Sapi yang
di Marinasi dalam Jus Bawang Putih. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan.
Nurwantoro, Pramono, Y. B., Setiani, B. E., Sulistiarto, S., Arissaputra, H.,
Perdana, G. A., & Bintoro, V. P. (2012). Marinasi Daging Sapi dengan
Menggunakan Bawang Putih untuk Meningkatkan Keamanan Pangan.
Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah.
Nuryani, D., Putra, N. A., & Sudana, I. B. (2016). Kontaminasi Escherichia coli
pada Makanan Jajanan di Kantin Sekolah Dasar Negeri Wilayah Denpasar
Selatan. Ecotrophic.
Parwata, I. M., & Dewi, P. S. (2008). Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak
Atsiri dari Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L.). Jurnal Kimia.
Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik
di Pasar Tradisional.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi
Jasaboga.
Permata, A. D. (2017, December 2017). Indonesia Rebut Juara Satu dan Dua
dalam Daftar 10 Makanan Terenak di Dunia Tahun 2017 Versi Pembaca
CNN! Makanan Apa Saja Ya? Diambil kembali dari Intisari Online:
http://intisari.grid.id/Intisari-News/Indonesia-Rebut-Juara-Satu-Dan-Dua-
Dalam-Daftar-10-Makanan-Terenak-Di-Dunia-Tahun-2017-Versi-
Pembaca-Cnn-Makanan-Apa-Saja-Ya?page=2#
Poeloengan, M. (2007). Uji Daya Hambat Perasan Umbi Bawang Putih (Alium
Sativum Linn.) terhadap Bakteri yang Diisolasi dari Telur Ayam Kampung.
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII. Bogor.
Poeloengan, M. (2009). Pengaruh Minyak Atsiri Serai (Andropogon citratus DC.)
terhadap Bakteri yang di Isolasi dari Sapi Mastitis Subklinis. Berita Biologi.
Prasafitra, A. F., Suada, I. K., & Swacita, I. B. (2014). Ketahanan Daging Rendang
Tanpa Pemasakan Ulang Selama Penyimpanan Suhu Ruang Berdasarkan
Uji Reduktase dan Organoleptik. Indonesia Medicus Veterinus.
191
Prasojo, T. (2003). Survival Bakteri Patogen pada Udang selama Pengolahan dan
Penetapan Rencana HACCP untuk Proses Produksi Udang Beku. Institut
Pertanian Bogor.
Pratiwi, L. R. (2014). Hubungan Antara Personal Hygiene dan Sanitasi Makanan
dengan Kandungan E. coli pada Sambal yang Disediakan Kantin
Universitas Negeri Semarang Tahun 2012. Unnes Journal of Public Health.
Prihatini, R. I. (2008). Analisa Kecukupan Panas pada Proses Pasteurisasi Santan.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Puspawati, N. M., Suirta, I. W., & Bahri, S. (2016). Isolasi, Identifikasi, serta Uji
Aktivitas Antibakteri pada Minyak Atsiri Sereh Wangi (Cymbopogon
winterianus Jowitt). Jurnal Kimia.
Putra, G. U., Djamal, A., & Masri, M. (2015). Uji Efek Antibakteri Minyak Jintan
Hitam (Nigella Sativa) Dalam Kapsul yang Dijual Bebas Selama Tahun
2012 di Kota Padang Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Andalas.
Putri, E. W. (2008). Kajian Awal Sistem Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) pada Produksi Susu Pasteurisasi di Milk Treatment KPBS
Pengalengan Bandung. Institut Pertanian Bogor.
Putri, R. I., Periadnadi, & Indriati, G. (2014). Uji Bakteriologis Serai Giling
(Andropogon nardus L.) yang Dijual di Pasar Raya Kota Padang. Jurnal
Pendidikan Biologi.
Rahman, M. S. (1999). Handbook of Food Preservation. New York: Marcel
Dekker, Inc.
Rahminiwati, M., Mustika, A. A., Saadiah, S., Andriyanto, Soeripto, & P., U.
(2010). Bioprospeksi Ekstrak Jahe Gajah sebagai Anti-CRD: Kajian
Aktivitas Antibakteri. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.
Rakhmawati, Partiwi, S. G., & Suparno. (2008). Perbaikan Proses pada Pengolahan
Tepung Terigu dengan Pendekatan Lean dan HACCP sebagai Upaya
Peningkatan Kualias Produk. Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya.
Rastuti, U., Widyaningsih, S., Kartika, D., & Ningsih, D. R. (2013). Aktivitas
Antibakteri Minyak Atsiri Daun Pala dari Banyumas terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli serta Identifikasi Senyawa
Penyusunnya. Jurnal Ilmiah Kimia Molekul.
Repi, N. B., Mambo, C., & Wuisan, J. (2016). Uji efek antibakteri ekstrak kulit
kayu manis (Cinnamomum burmannii) terhadap Escherichia coli dan
Streptococcus pyogenes. Jurnal e-Biomedik.
192
Robertson, G. L. (2012). Food Packaging Principles and Practice Third Edition.
Boca Raton: CRC Press Taylor & Francis Group.
Sadek, N. F. (2010). Penerapan Sistem HACCP pada Warung Tegal dan Pembuatan
Modul Pelatihannya sebagai Salah Satu Bentuk CSR PT Bintang Toedjoe,
Jakarta. Institut Pertanian Bogor.
Sakti, M. R., Rudyanto, M. D., & Suarjana, I. G. (2012). Pengaruh Suhu dan Lama
Penyimpanan Telur Ayam Lokal terhadap Jumlah Coliform. Indonesia
Medicus Veterinus.
Saparinto, C., & Hidayati, D. (2006). Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta:
Kanisius.
Sari, D. N., Partiwi, S. G., & Janti, G. (2011). Perancangan Sistem Kerja pada
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Makanan untuk Memenuhi HACCP
(Studi Kasus: UKM Syafrida Produsen Snacks). Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS).
Sarwono, E. (2007). Mempelajari Penerapan HACCP pada Unit Pengolahan
Produk Chicken Nugget PT Japfa Santori Indonesia. Institut Pertanian
Bogor.
SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis
(HACCP) serta Pedoman Penerapannya.
SNI 3932:2008 tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi.
SNI 7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan.
SNI 7474:2009 tentang Rendang Daging Sapi.
Sudarmaji. (2005). Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis
Critical Control Point). Jurnal Kesehatan Lingkungan.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyoto, Adhianto, K., & Wanniatie, V. (2015). Kandungan Mikroba pada Daging
Sapi dari Beberapa Pasar Tradisional di Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah
Perternakan Terpadu.
Suharmiati, & Handayani, L. (2005). Ramuan Tradisional untuk Keadaan Darurat
di Rumah. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Suharyono, A. S., Erna, M. K., & Kurniadi, M. (2009). Pengaruh Sinar Ultra Violet
dan Lama Penyimpanan terhadap Sifat Mikrobiologi dan Ketengikan Krem
Santan Kelapa. Jurnal Agritech.
Sulchan, M., & Nur W, E. (2007). Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan
Styrofoam. Majalah Kedokteran Indonesia.
193
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Suradi, K., & Suryaningsih, L. (2008). Pengaruh Temperatur dengan Lama
Pengasapan terhadap Keasaman dan Total Bakteri Daging Ayam Boiler.
Jurnal Ilmu Ternak.
Surahman, D. N., & Ekafitri, R. (2014). Kajian HACCP (Hazard Analysis and
Critical Control Point) Pengolahan Jambu Biji di Pilot Plant Sari Buah UPT.
B2PTTG - Lipi Subang. Agritech.
Surono, A. S. (2013). Antibakteri Ekstrak Etanol Umbi Lapis Bawang Merah
(Allium Cepa L.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.
Surono, I. S., Sudibyo, A., & Waspodo, P. (2016). Pengantar Keamanan Pangan
untuk Industri Pangan. Yogyakarta: Deepublish.
Sutomo, B. (2011). Rahasia Sukses Berbisnis Masakan Padang. Jakarta: Demedia.
Sutomo, B. (2012). Rendang: Juara Masakan Terlezat Sedunia. Jakarta: Kawan
Pustaka.
Suyanti. (2014). Membuat Aneka Olahan Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya.
Syafirah, S., & Andrias, D. R. (2012). Higiene Penjamah Makanan dan Sanitasi
Kantin Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Mulyorejo, Surabaya. Media
Gizi Indonesia.
Syamsiah, I. S., & Tajudin. (2003). Khasiat dan Manfaat Bawang Putih Raja
Antibiotik Alami. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Syarifudin, A. (2003). Aplikasi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
pada Saus Cabai di PT. Heinz ABC Indonesia, Karawang. Institut Pertanian
Bogor.
Thaheer, H. (2005). Sistem Manajemen HACCP. Jakarta: Bumi Aksara.
Triandini, F. A. (2015). Pengetahuan, Sikap Penjamah Makanan dan Kondisi
Higiene Sanitasi Produksi Otak-otak Bandeng di Kabupaten Gresik. e-
journal boga.
Trisnaini, I. (2012). Analisis Bahaya Titik Kendali Kritis Proses Pengolahan Bola-
Bola Daging di Instalasi Gizi Rumah Sakit. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional.
Utami, P., & Puspaningtyas, D. E. (2013). The Miracle of Herbs. Jakarta:
AgroMedia Pustaka.
Utomo, S. S., & Septifani, R. (2017). Hazard Analysis and Critical Control Point
Proses Pengolahan Monosodium Glutamat di PT. Ajinomoto Indonesia.
Jurnal Sains dan Teknologi Pangan.
194
WHO. (2005). Penyakit Bawaan Makanan. (A. Hartono, Penerj.) Jakarta: EGC.
WHO. (2015, Desember 3). WHO's First Ever Global Estimates of Foodborne
Disesases Find Children Under 5 Account for Almost One Third of Deaths.
Diambil kembali dari WHO:
http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2015/foodborne-disease-
estimates/en/
Wijonarko, G., & Arsil, P. (2007). Evaluasi Bahaya dan Penetapan Titik Kendali
Kritis pada Pembuatan Makanan Jajanan yang Dijual di Kawasan Wisata
Baturraden, Purwokerto. Jurnal Pembangunan Pedesaan.
Winarto, W. P., & Karyasari, T. (2003). Memanfaatkan Bumbu Dapur untuk
Mengatasi Aneka Penyakit. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Wisna, W. B. (2001). Pengaruh Konsentrasi Pala dan Lama Penyimpanan Suhu
Dingin terhadap Jumlah Bakteri Coliform dan Tekstur Daging Sapi. Jurnal
Veteriner.
Wit, J. C., Notermans, S., Gorin, N., & Kampelmacher, E. H. (1979). Effect of
Garlic Oil or Onion Oil on Toxin Production by Clostridium botulinum in
Meat Slurry. Journal of Food Protection.
Yanti, L., & Novalinda, D. (2016). Kajian Keamanan Pangan pada Proses
Pembuatan Dodol Nanas Tangkit (Studi Kasus di Desa Tangkit, Kecamatan
Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi). Universitas Sriwijaya.
Yulliani, R., Indrayudha, P., & Rahmi, S. S. (2011). Aktivitas Antibakteri Minyak
Atsiri Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix) terhadap Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli. Pharmacon.
Yuniarti, R., Azlia, W., & Sari, R. A. (2015). Penerapan Sistem Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) pada Proses Pembuatan Keripik Tempe.
Jurnal Ilmiah Teknik Industri.
Yunus, S. P., Umboh, J. M., & Pinontoan, O. (2015). Hubungan Personal Higiene
dan Fasilitas Sanitasi dengan Kontaminasi Escherichia coli pada Makanan
di Rumah Makan Padang Kota Manado dan Kota Bitung. Jikmu.
195
LAMPIRAN
196
Lampiran 1
INFORMED CONSENT
(LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN)
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
Saya Sri Widiyastuti Mahasiswa S1 program Studi Kesehatan Masyarakat
angkatan 2012, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Kami bermaksud melakukan penelitian mengenai Analisis Bahaya dan
Titik Kendali Kritis (HACCP) Rendang (Studi Kasus di Rumah Makan
Padang X Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan) Tahun 2017.
Kami berharap bapak/ibu/saudara/i bersedia untuk menjadi responden
dalam penelitian ini. Semua informasi yang bapak/ibu/saudara/i berikan terjamin
kerahasiaannya.
Setelah bapak/ibu/saudara/i membaca maksud penelitian di atas, maka kami
mohon untuk mengisi nama dan tanda tangan di bawah ini sebagai persetujuan.
Setelah menandatangani pernyataan di atas, kami mohon kesediaan
bapak/ibu/saudara/i untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan jujur dan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Terima Kasih. Sekian.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan ini saya bersedia mengikuti penelitian ini dan bersedia di wawancarai
serta di amati (observasi) selama proses pembuatan rendang.
Responden
(............................................)
197
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
Hari, Tanggal :
Identitas Informan
Nama :
Jenis Kelamin :
No. Telepon :
Pertanyaan
Mendeskripsikan Produk
1. Apa saja bahan-bahan yang dibutuhkan dalam membuat rendang?
2. Dimana menyimpan bahan-bahan rendang sebelum diolah?
Probing :
- Bagaimana kondisi penyimpanannya?
- Bagaimana wadah yang dipakai?
3. Setelah rendang matang, bagaimana proses pendistribusiannya dari dapur
ke tempat penyajian?
4. Berapa lama masa simpan/kadaluwarsa rendang?
5. Dimana menyimpan rendang yang sudah matang?
Probing :
- Bagaimana kondisi penyimpanannya?
- Bagaimana wadah yang digunakan?
6. Jenis kemasan/wadah apa yang digunakan untuk membungkus rendang?
Mengidentifikasi Tujuan Penggunaan Produk
1. Usia berapakah yang membeli rendang dirumah makan padang
[Bapak/Ibu]?
Mengkonfirmasi Alur Proses di Lapangan
1. Bagaimana proses pembuatan rendang?
Probing :
- Apakah ada bahan tambahan yang pakai?
- Apa saja bahan tambahan yang digunakan?
2. Peralatan apa saja yang digunakan saat membuat rendang?
198
3. Butuh waktu berapa lama untuk memasak rendang?
4. Bagaimana jika rendang tidak habis dalam waktu satu hari?
Probing :
- Jika disimpan, disimpan dimana?
- Bagaimana wadah yang digunakan?
Menentukan Upaya-upaya Perbaikan
1. Bagaimana cara [Bapak/Ibu] untuk mengurangi kontaminasi terhadap
makanan rendang?
199
LEMBAR OBSERVASI PERSONAL HIGIENE
No Aspek yang diamati Pengamatan
Ya Tidak
1 Selalu menjaga kebersihan tangan dan mencuci
tangan pakai sabun setelah menggunakan toilet,
sebelum memegang bahan mentah, bersin, batuk, dll.
2 Memotong dan menjaga kebersihan kuku.
3 Mengenakan pakaian dan celemek yang bersih.
4 Memakai penutup kepala yang bersih dan rambut
jangan dibiarkan tergerai
5 Tidak makan dan merokok ketika bekerja
6 Tidak mengenakan perhiasan (contoh: cincin)
7 Menggunakan alat atau sarung tangan plastik ketika
menyentuh/mengambil makanan
8 Tidak berjualan ketika merasa sakit
9 Menggunakan pakaian bersih saat menyajikan
makanan
10 Menggunakan alas kaki saat menyajikan makanan
200
LEMBAR PENGUKURAN SUHU BAHAN BAKU DAN PROSES
PEMASAKAN RENDANG
Tahapan Waktu Suhu (℃)
201
Lampiran 2
Penilaian Warna Daging
Penilaian warna daging dengan melihat warna daging dan mencocokannya
dengan standar warna. Nilai skor warna ditentukan berdasarkan skor standar warna
yang paling sesuai dengan warna daging. Standar warna daging terdiri dari atas
sembilan skor mulai dari warna merah muda hingga merah tua.
Tabel Penilaian Warna Daging
Penilaian Persyaratan Mutu
I II III
Warna Daging Merah Terang
Skor 1 - 5
Merah kegelapan
Skor 6 - 7
Merah Gelap
Skor 8 - 9
Lembar Penilaian Warna Daging
No Warna Daging Skor
202
Lampiran 3
Matrix Hasil Wawancara
Variabel A1 A2
Mendeskripsikan produk
- Bahan-bahan rendang Laos, jahe, bawang putih, bawang merah, kayu
manis, ketumbar, jintan, asam kandis, asam
gelugur, kemiri, pala, santan, daun jeruk, daun
serai, daun kunyit, dan daging.
Santan, bawang merah, laos, cabe giling,
daging
- Penyimpanan bahan-bahan
rendang
- Setelah membeli dari pasar langsung
dilakukan pemasakan, sehingga tidak ada
penyimpanan karena bumbunya hanya untuk
satu kali masak.
- Saat pembelian bahan baku sudah dibungkus
menggunakan plastik sehingga sudah pasti
tertutup
Pakai plastik yang diperoleh dari pasar
- Pendistribusian dari dapur ke
tempat penyajian
- Membawanya menggunakan mangkuk
- Wadah tidak tertutup
- Memakai mangkuk
- Wadah tidak tertutup
- Masa simpan rendang Dua hari Satu minggu jika dipanaskan kembali
- Penyimpanan rendang yang sudah
matang
- Memakai mangkuk yang dipakai saat
pendistribusian dari dapur ke etalase
- Mangkuk berbahan dasar stainless steel
Memakai wadah yang dipakai saat
membawa rendang dari dapur ke etalase
203
Variabel A1 A2
- Kemasan/wadah untuk
pembungkus rendang
Memakai plastik yang dipakai berukuran
setengah kilogram. Apabila membeli rendang
ditambah dengan nasi menggunakan kertas
pembungkus/nasi
Memakai plastik bening. Kalau
membelinya dengan nasi menggunakan
kertas pembungkus/nasi
Mengidentifikasi tujuan produk
- Usia pembeli rendang Muda sampai tua Muda sampai tua
Mengkonfirmasi alur proses dilapangan
- Proses pembuatan rendang Daging, daun jeruk, daun kunyit dan serai dicuci
terlebih dahulu. Kemudian serai dipipihkan
menggunakan ulek dan cobek. Masukan daging,
bumbu-bumbu, dan santan ke dalam wajan.
Tambahkan MSG sedikit. Tidak ditambahkan
garam karena dibumbu halus sudah diberi garam.
Masukan santan dan bumbu tunggu hingga
berminyak. Kemudian masukan daging
yang dipotong tipis-tipis. Masak dengan api
kecil.
- Peralatan yang dipakai membuat
rendang
Wajan, sodet, cobek dan ulek Wajan dan sodet
- Waktu masak rendang Dua sampai tiga jam Dua sampai tiga jam
- Rendang tidak habis dalam waktu
satu hari
Tidak disimpan di lemari es. Dipanaskan kembali
dan ditutup rapat menggunakan tutup panci
Jangan disimpan di lemari es tetapi
dipanaskan kembali dan ditambahkan air
sedikit agar tidak terlalu kering. Kemudian
ditutup menggunakan kain
204
Variabel A1 A2
Menentukan upaya-upaya
perbaikan
- Mengurangi kontaminasi rendang Ditutup menggunakan tirai Ditutup pakai tirai
205
Lampiran 4
Kutipan Transkip Mendeskripsikan Produk
Mendeskripsikan produk A1 A2 Kesimpulan
Apa saja bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk membuat
rendang?
“Laos, jahe, bawang putih, bawang
merah, kayu manis, ketumbar,
jintan, asam kandis, asam gelugur,
kemiri, pala”
“santan, daging”
“..., daun jeruk”
“...., daun kunyit, serai”
“... cabe giling.”
“... jahe”
“... santan, bawang merah, laos,
cabe giling, daging sapi”
Semua informan
menyatakan bahwa bahan-
bahan membuat rendang
yaitu, laos, jahe, bawang
putih, bawang merah, kayu
manis, ketumbar, jintan,
asam kandis, kemiri, pala,
santan, daun jeruk, daun
kunyit, serai, dan cabe.
Bagaimana penyimpanan
bahan-bahan rendang?
- “Beli dari pasar langsung
dimasak jadi tidak pakai
disimpan. Bumbunya sekali
habis.”
- “Dari pasar sudah diplastikin,
jadi sudah dibungkusin pakai
plastik. Sudah pasti tertutup
kan.”
“ya diplastik biasa yang dapat
dari pasar”
Semua informan
menyatakan penyimpanan
bahan-bahan rendang
menggunakan wadah plastik
yang didapatkan dari pasar
dan tidak disimpan karena
langsung habis
206
Mendeskripsikan produk A1 A2 Kesimpulan
Bagaimana pendistribusian
dari dapur ke tempat
penyajian?
- “Bawanya pake mangkok biasa”
- “Kalo ibu tidak ditutup, kalau
ditutup nanti basi karena masih
panas. Dibuka saja”
- “Pakai mangkok biasa”
- “Bawanya tidak ditutup
karena masih panas
rendangnya, kalau langsung
ditutup nanti berair dan
rasanya jadi beda”
Semua informan
menyatakan pendistribusian
rendang yang sudah matang
dari dapur ke tempat
penyajian (etalase)
menggunakan mangkok
biasa dengan berbahan
stainless steel dan tidak
tertutup karena masih dalam
keadaan panas
dikhawatirkan makanan
menjadi basi atau rasanya
berbeda
Berapa lama masa simpan
rendang?
“Dua hari. Kadang kalo rendang
yang bagus tahan 3 hari tuh, yang
matangnya kering sampe item
banget”
“Kalau rendang awetnya itu
semakin dipanasin semakin
bagus, tambah enak dia. Bisa
tahan selama seminggu. Cuma
bedanya nanti makin hitam.
Makin lama makin hitam lebih
bagus dia. Tambah keluar
minyaknya”
Informan menyatakan masa
simpan rendang selama dua
hari tetapi rendang yang
bagus tahan sampai tiga hari
dan jika semakin
dipanaskan terus menerus
bisa tahan selama seminggu
207
Mendeskripsikan produk A1 A2 Kesimpulan
Bagaimana penyimpanan
rendang yang sudah matang?
- “Pake mangkok, langsung dari
dapur itu”
- “Itu pake mangkok yang
bahannya stainless steel”
“Iya itu pake wadah yang dari
dapur (mangkok). Kalau udah
dingin baru ditutup. Jangan
ditaro di kulkas”
Semua informan
menyatakan penyimpanan
rendang di etalase
menggunakan wadah
mangkok yang dibawa dari
dapur
Kemasan/wadah apa yang
dipakai untuk membungkus
rendang?
Pake plastik biasa yang setengah
kilo. Kalo belinya sama nasi ya pake
kertas nasi dibungkusnya
pake plastik bening gitu tapi
kadang pake kertas nasi juga
kalo belinya sama nasi, kalo
belinya ga pake nasi baru pake
plastik
Semua infroman
menyatakan
kemasan/wadah untuk
membungkus rendang
menggunakan plastik dan
kertas nasi jika konsumen
membeli rendang ditambah
dengan nasi
Kutipan Transkip Mengidentifikasi Tujuan Produk
Mengidentifikasi tujuan
produk A1 A2 Kesimpulan
Usia berapakah yang membeli
rendang?
“Macem-macem. Dari SMP sampe
tua. Ya dari muda sampe tua lah”
“Gak tentu. Ada yang tua ada
yang muda”
Semua informan
menyatakan yang membeli
208
Mengidentifikasi tujuan
produk A1 A2 Kesimpulan
rendang dari rentang usia
muda sampai dengan tua
Kutipan Transkip Mengkonfirmasi Alur Proses di Lapangan
Mengkonfirmasi alur proses
dilapangan A1 A2 Kesimpulan
Bagaimana proses pembuatan
rendang?
- “Kan mau masak rendang nih,
daging dicuci dulu terus
dimasukin, kan masukin santan
nih, terus masukin daun semua,
terus diaduk dulu semua. Jadi
kaya laos, jahe, bawang putih,
bawang merah, cabe giling.”
- “Pertama naro daging, terus
bumbu-bumbu, santan langsung
dimasak.”
- ” Iya daun jeruk, daun kunyit,
serai cuci bersih, terus serai di
geprek masukinnya awal semua.
Semua bahan dimasukin pas
awal semua
- ”Kan di bumbu udah ada
garamnya”
- ”Yang pertama santan
dimasukin, kalau udah
berminyak dimasukin
dagingnya. Kan motong
dagingnya tipis-tipis tuh. ”
- ”Iya, apinya kecil, gak boleh
gede. Kalau gede nanti
baunya sengit. ”
- ”Iya udah dicampurin
(bumbu dan santan) ”
Informan menyatakan
proses pembuatan rendang
dengan memasukkan
daging, santan, dan bumbu
kemudian diaduk sampai
rata. Lalu masukkan MSG
(micin) sedikit. Dimasak
dengan api kecil.
209
Mengkonfirmasi alur proses
dilapangan A1 A2 Kesimpulan
- ”Iya kasih sedikit micin”
Peralatan yang dipakai
membuat rendang
- ”Wajan atau kuali, kalo orang
sini bilangnya wajan, kalo kita
bilangnya kuali”
- “Sodet, sodet yang besi boleh
atau kayu terserah”
- ”Pake cobek sama ulekannya,
ntar kaya ditumbuk gitu”
- ”Wajan, kalau dikampung
namanya talenang. ”
- ”Sama sodet juga. ”
Semua informan
menyatakan alat yang
digunakan untuk memasak
rendang adalah
penggorengan, sodet,
cobek, dan ulek
- Waktu masak rendang - ”Dua jam. ”
- ”Iya, tapi tergantung juga, kalo
rendang yang sampe item banget
yang tahan 3 hari itu 3 jam.
Rendang padang yang bagus itu
3 jam. ”
”3 jam, kalau yang lebih
bagusnya 2 – 3 jam”
Semua informan
menyatakan waktu yang
diperlukan untuk memasak
rendang yaitu 2 – 3 jam
- Rendang tidak habis dalam
waktu satu hari
”Gak dimasukin kulkas, dipanasin
lagi terus ditutup pake tutupan panci
yang rapet”
- ”Dipanasin lagi”
- ”Jangan simpan dilemari es”
- ”Kalau disimpan dikulkas
gak bagus dia, jadi ditutup
aja”
- ”Iya dipanasin, ditambahin
air dikit biar gak terlalu
kering”
Semua informan
menyatakan apabila
rendang tidak habis dalam
waktu satu hari tidak
dimasukkan ke dalam
lemari es. Dipanaskan
kembali kemudian ditutup
210
Mengkonfirmasi alur proses
dilapangan A1 A2 Kesimpulan
- ”Ditutup pake kain yang
jarang-jarang”
Kutipan Transkip Menentukan Upaya-Upaya Perbaikan
Menentukan upaya-upaya
perbaikan A1 A2 Kesimpulan
Bagaimana cara mengurangi
kontaminasi rendang?
- ”Ya itu ibu tutup pake tirai aja.
”
- ”Iya ga ditutup cuma pake
gorden. ”
”Ditutup aja pake gorden, kalau
ditaro dipajangan kan pake
gorden”
Semua informan
menyatakan untuk
mengurangi adanya
kontaminasi pada rendang
ditutup menggunakan tirai
atau gorden
211
Lampiran 5
Proses Pemasakan Rendang
Gambar 1
Santan dan bumbu
rendang
Gambar 2
Daging yang sudah
dicampurkan dengan
bumbu
Gambar 3
Proses memasak
rendang
Gambar 4
Rendang diletakkan
di etalase dengan
wadah terbuka
Gambar 5
Proses membeli daging di pasar
Gambar 6
Proses membeli bumbu di pasar
Gambar 7
Proses membeli santan di pasar
212
Lampiran 6
Hasil Pengujian Laboratorium
213
214
215
Lampiran 7
Penilaian Analisis Risiko
Matriks Penentuan Risiko
Tingkat
Keparahan
(Severity)
Tingkat Kemungkinan Terjadi (Probability)
Tidak terjadi
(1)
Kadang terjadi
(2)
Sering terjadi
(3)
Pasti terjadi
(4)
Sangat tinggi (4) 4 8 12 16
Tinggi (3) 3 6 9 12
Sedang (2) 2 4 6 8
Rendah (1) 1 2 3 4
Penetapan Tingkat Kemungkinan Terjadi (Probability)
Nilai/Rating Tingkat
Kemungkinan Kriteria/Deskripsi
1 Maksimal 1 kali dalam 1 tahun
2 2 – 10 kali dalam 1 tahun
3 11 – 20 kali dalam 1 tahun
4 Lebih dari 20 kali dalam 1 tahun
Penetapan Tingkat Keparahan (Severity)
Nilai/Rating tingkat Keparahan Kriteria/Deskripsi
1 Mengganggu penampakan dan
kenyamanan dalam mengkonsumsi
produk
2 Gangguan ringan yang tidak berdampak
pada kesehatan
216
Nilai/Rating tingkat Keparahan Kriteria/Deskripsi
3 Gangguan yang berdampak pada
kesehatan dalam jangka pendek maupun
panjang
4 Gangguan berat yang berdampak pada
kematian
Tingkat Severity
No.
Bahaya (Hazard)
Fisik Kimia Biologi
1 Kertas, pasir, tanah,
rambut, debu, bulu
Cairan pencuci piring
food grade
- Kapang
- Jamur
2 Karet, kerikil, batu
kecil, potongan kayu
Cairan pencuci piring
non food grade
- Angka lempeng
total
3 Kotoran dan bagian
tubuh serangga atau
binatang lainnya seperti
cicak, tikus, lalat
- Residu pestisida
- Bahan pengawet
berbahaya
(Formalin)
- Logam berat
- Coliform
- Staphylococcus
aureus
- Bacillus cereus
- Clostridium
perfringens
4 - Potongan logam
- Pecahan kaca
- Pestisida - Escherichia coli
- Salmonella
217
Lampiran 8
Lembar Pengecekan, Analisis Laboratorium, dan Pengukuran
LEMBAR PENGECEKAN BAHAN BAKU BUMBU
No Aspek yang diamati Keterangan
Ya Tidak
1 Bahan makanan dalam kondisi baik, tidak rusak, dan
tidak membusuk
2 Rempah yang diolah menjadi bumbu giling dipilih
yang segar, bersih, dan tidak berjamur
3 Bumbu disimpan dalam wadah kedap udara dan
tertutup rapat
4 Saat pemajangan, bumbu ditempatkan pada wadah
yang tertutup
LEMBAR OBSERVASI PERSONAL HIGIENE PEDAGANG BUMBU
No Aspek yang diamati Pengamatan
Ya Tidak
1 Pedagang tidak bersin dan batuk saat melayani
pembeli
2 Mencuci tangan sebelum membungkus bumbu
3 Memotong dan menjaga kebersihan kuku
4 Mengenakan pakaian dan celemek yang bersih.
5 Memakai penutup kepala yang bersih
6 Tidak sambil makan dan merokok ketika melayani
pembeli
7 Tidak mengenakan perhiasan (contoh: cincin)
8 Menggunakan alat atau sarung tangan plastik ketika
menyentuh/mengambil bumbu halus
9 Menggunakan pakaian bersih saat berjualan
10 Menggunakan alas kaki saat berjualan
218
LEMBAR PENGECEKAN BAHAN BAKU SANTAN
No Aspek yang diamati Keterangan
Ya Tidak
1 Bahan makanan dalam kondisi baik, tidak rusak, dan
tidak membusuk
2 Kelapa yang akan diolah menjadi kelapa parut atau
santan dipilih yang segar dan bagus. Bila
diguncangkan terdengar bunyi kocokan air
3 Kelapa parut dan santan disiapkan langsung saat ada
pembeli
LEMBAR OBSERVASI PERSONAL HIGIENE PEDAGANG SANTAN
No Aspek yang diamati Pengamatan
Ya Tidak
1 Pedagang tidak bersin dan batuk saat melayani
pembeli
2 Mencuci tangan sebelum membungkus bumbu
3 Memotong dan menjaga kebersihan kuku
4 Mengenakan pakaian dan celemek yang bersih.
5 Memakai penutup kepala yang bersih
6 Tidak sambil makan dan merokok ketika melayani
pembeli
7 Tidak mengenakan perhiasan (contoh: cincin)
8 Menggunakan alat atau sarung tangan plastik ketika
mengolah kelapa
9 Menggunakan pakaian bersih saat berjualan
10 Menggunakan alas kaki saat berjualan
219
LEMBAR PENGECEKAN PENYIAPAN BAHAN BAKU
No Aspek yang diamati Keterangan
Ya Tidak
1 Memisahkan atau membuang bagian bahan yang
rusak
2 Bahan baku dicuci dengan air mengalir
LEMBAR PENGECEKAN PERALATAN MASAK
No Aspek yang diamati Keterangan
Ya Tidak
1 Peralatan harus dalam keadaan bersih sebelum
digunakan
2 Pencucian peralatan menggunakan sabun/detergent
sampai bersih
3 Pengeringan peralatan dilap dengan kain
4 Peralatan yang digunakan untuk memasak tidak
rusak, gompel, retak, dan tidak menimbulkan
pencemaran makanan
LEMBAR PENGECEKAN DAPUR
No Aspek yang diamati Keterangan
Ya Tidak
1 Dapur mudah dibersihkan dan kedap air
2 Dapur memiliki pencahayaan yang cukup
3 Dapur selalu bersih, kering, dan tidak licin
4 Permukaan langit menutup, rata, bewarna terang, dan
mudah dibersihkan
5 Dapur dilengkapi dengan ventilasi
220
LEMBAR PENGECEKAN KEMASAN PLASTIK
No Aspek yang diamati Keterangan
Ya Tidak
1 Plastik/kertas pembungkus makanan yang dipakai
aman untuk pangan
2 Terdapat logo serta tulisan aman untuk makanan
3 Terdapat kode plastik (nomor dan jenis plastik)
LEMBAR PENGECEKAN RUMAH MAKAN
No Aspek yang diamati Keterangan
Ya Tidak
LINGKUNGAN
1 Bebas dari pencemaran, semak belukar, dan
genangan air
2 Bebas dari sarang hama
3 Tidak berada di daerah sekitar tempat pembuangan
sampah
4 Lokasi terhindar dari pencemaran (debu, asap,
serangga, dan tikus)
BANGUNAN
1 Lantai kedap air, rata, halus, berwarna terang, tidak
mudah mengelupas, mudah dibersihkan
2 Lantai dalam keadaan bersih dari debu, dan kotoran
lainnya
3 Dinding dibuat dari bahan kedap air, rata, halus,
berwarna terang, tidak mudah mengelupas, mudah
dibersihkan
4 Dinding dalam keadaan bersih dari debu, dan
kotoran lainnya
5 Langit-langit dalam keadaan bersih dari debu,
sarang laba-laba, dan kotoran lainnya
221
No Aspek yang diamati Keterangan
Ya Tidak
6 Lubang angin dalam keadaan bersih, tidak dipenuhi
sarang laba-laba, dan tidak berdebu
TEMPAT PENYIMPANAN RENDANG
1 Terlindung dari debu, bahan berbahaya, serangga,
tikus, dan hewan lainnya
2 Wadah penyimpanan menutup sempurna tetapi
berventilasi yang dapat mengeluarkan uap air
LEMBAR ANALISIS LABORATORIUM
Uji Mikrobiologi Hasil Uji Standar Keterangan
LEMBAR PENGUKURAN SUHU
Tahap Waktu (Jam) Suhu (°C)