9
ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN LAUT JAWA KE PERAIRAN PANGKALAN SUSU MILIK PT. PERTAMINA E.P. REGION SUMATERA Rahayu Istika Dewi (1) , Jusuf Sutomo (2) , Murdjito (3) 1 Mahasiswa Teknik Kelautan, 2,3 Staf Pengajar Teknik Kelautan PT. Pertamina E.P. Region Sumatera melakukan pergantian SBM Arubay dengan SPM #6 dikarenakan SBM Arubay sudah tidak layak teknis maupun operasional. Perbedaan kapasitas bui yang diikuti perbedaan kapasitas tanker yang beroperasi dan mooring line pada SBM Arubay dan SPM #6 menyebabkan perlunya dilakukan konfigurasi mooring line dan analisa gerakan tanker 70.000 DWT serta operabilitas dari SPM #6. Analisis dilakukan dengan menggunakan software MOSES dan ORCAFLEX. Diawali dengan software MOSES untuk mendapatkan RAO struktur tanker dan SPM yang kemudian digunakan sebagai input software ORCAFLEX untuk mendapatkan tension mooring, hawser dan offset dari subsea hose. Dari hasil pengkajian didapatkan respon gerakan Tanker dan SPM yang sangat significan yaitu kondisi heave. Berdasarkan code ABS, minimum safety factor yang diijinkan adalah 2,25. Sehingga dari hasil analisa untuk kondisi SPM #6 rantai utuh, tanker masih bisa beroperasi. Namun untuk kondisi damage pada Hs=3,6m SPM #6 tidak dapat beroperasi. Untuk tension hawser, menurut ABS, minimum load factor yang diijinkan adalah 1,67. Sehingga saat rantai utuh maupun damage tanker masih bisa beroperasi. Offset maksimum PLEM terjadi pada Hs=3,6m kondisi damage yaitu sebesar 8,10m. Pada saat SPM #6 tidak memenuhi syarat operabilitas maka disarankan segera melepas hawser dari tanker. Kata-kata kunci : tanker, SPM, tension, mooring lines, subsea hose, hawser, damage. 1. PENDAHALUAN PT. Pertamina EP Region Sumatera menggunakan Single Buoy Mooring (SBM) Arubai untuk pengopersian bongkar muat minyak mentah. Namun kondisi fisik bui Arubai sudah tidak layak teknis maupun operasional dan sudah dioperasikan atau terpasang hampir 40 tahun. Sehingga dapat membahayakan keselamatan di laut jika diteruskan beroperasi tanpa dilakukan perbaikan atau pergantian. Karena perbaikan bui Arubai tersebut dipandang tidak ekonomis, bahkan tidak mungkin dilakukan mengingat sudah parahnya kerusakan yang dialami bui tersebut, maka pada tahun 2009 PT. Pertamina EP Region Sumatera melakukan penggantian SBM Arubai Field Pangkalan Susu dengan SPM #6 BP West Java (PT. PERTAMINA, 2009). SBM Arubai berkapasitas 100.000 DWT, empat Mooring Line dan Lantern” subsehose. Sedangkan SPM #6 berkapasitas 70.000 DWT, enam Mooring Line dan “Lazy S” subsea hose. Gambar konfigurasi subsea hose masing-masing bui dapat dilihat pada Lampiran A. Agar SPM #6 dapat diinstal di Pangkalan Susu Arubay maka dilakukan konfigurasi Mooring Line. Selain itu karena kapasitas tanker yang akan beroperasi mengikuti kapasitas bui, perlu dikaji pula apakah gerakan kapal tanker tersebut juga cukup aman di operasikan di perairan Pangkalan Susu. Hal ini dikarenakan gerakan (motion) dari kapal tanker dan SPM menyebabkan mooring system mengalami tension force, restoring force dan damping. Analisa tegangan Mooring Line

ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM… · ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM… · ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN

ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN LAUT JAWA KE

PERAIRAN PANGKALAN SUSU MILIK PT. PERTAMINA E.P. REGION SUMATERA

Rahayu Istika Dewi(1), Jusuf Sutomo (2), Murdjito (3) 1Mahasiswa Teknik Kelautan, 2,3Staf Pengajar Teknik Kelautan

PT. Pertamina E.P. Region Sumatera melakukan pergantian SBM Arubay dengan SPM #6 dikarenakan

SBM Arubay sudah tidak layak teknis maupun operasional. Perbedaan kapasitas bui yang diikuti perbedaan kapasitas tanker yang beroperasi dan mooring line pada SBM Arubay dan SPM #6

menyebabkan perlunya dilakukan konfigurasi mooring line dan analisa gerakan tanker 70.000 DWT serta operabilitas dari SPM #6. Analisis dilakukan dengan menggunakan software MOSES dan ORCAFLEX.

Diawali dengan software MOSES untuk mendapatkan RAO struktur tanker dan SPM yang kemudian digunakan sebagai input software ORCAFLEX untuk mendapatkan tension mooring, hawser dan offset

dari subsea hose. Dari hasil pengkajian didapatkan respon gerakan Tanker dan SPM yang sangat significan yaitu kondisi heave. Berdasarkan code ABS, minimum safety factor yang diijinkan adalah 2,25. Sehingga dari hasil analisa untuk kondisi SPM #6 rantai utuh, tanker masih bisa beroperasi. Namun untuk

kondisi damage pada Hs=3,6m SPM #6 tidak dapat beroperasi. Untuk tension hawser, menurut ABS, minimum load factor yang diijinkan adalah ≤ 1,67. Sehingga saat rantai utuh maupun damage tanker masih bisa beroperasi. Offset maksimum PLEM terjadi pada Hs=3,6m kondisi damage yaitu sebesar

8,10m. Pada saat SPM #6 tidak memenuhi syarat operabilitas maka disarankan segera melepas hawser dari tanker.

Kata-kata kunci : tanker, SPM, tension, mooring lines, subsea hose, hawser, damage. 

1. PENDAHALUANPT. Pertamina EP Region Sumatera menggunakan Single Buoy Mooring (SBM) Arubai untuk pengopersian bongkar muat minyak mentah. Namun kondisi fisik bui Arubai sudah tidak layak teknis maupun operasional dan sudah dioperasikan atau terpasang hampir 40 tahun. Sehingga dapat membahayakan keselamatan di laut jika diteruskan beroperasi tanpa dilakukan perbaikan atau pergantian. Karena perbaikan bui Arubai tersebut dipandang tidak ekonomis, bahkan tidak mungkin dilakukan mengingat sudah parahnya kerusakan yang dialami bui tersebut, maka pada tahun 2009 PT. Pertamina EP Region Sumatera melakukan penggantian SBM Arubai Field Pangkalan Susu dengan SPM #6 BP West Java (PT. PERTAMINA, 2009).

SBM Arubai berkapasitas 100.000 DWT, empat Mooring Line dan “Lantern” subsehose. Sedangkan SPM #6 berkapasitas 70.000 DWT, enam Mooring Line dan “Lazy S” subsea hose. Gambar konfigurasi subsea hose masing-masing bui dapat dilihat pada Lampiran A. Agar SPM #6 dapat diinstal di Pangkalan Susu Arubay maka dilakukan konfigurasi Mooring Line. Selain itu karena kapasitas tanker yang akan beroperasi mengikuti kapasitas bui, perlu dikaji pula apakah gerakan kapal tanker tersebut juga cukup aman di operasikan di perairan Pangkalan Susu. Hal ini dikarenakan gerakan (motion) dari kapal tanker dan SPM menyebabkan mooring system mengalami tension force, restoring force dan  damping.  Analisa  tegangan  Mooring  Line 

Page 2: ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM… · ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN

yang digunakan untuk menahan sistem SPM dari beban angin, beban arus dan beban gelombang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pergeseran PLEM. Pergeseran PLEM pada akhirnya akan menimbulkan terjadinya kerusakan pada sistem SPM tersebut. 

2. DASAR TEORI 2.1 UMUM SPM#6 merupakan buoy tambat jenis Single Point Mooring yang dirancang dengan konfigurasi 6 tali tambat di sekeliling huul-nya, dan berfungsi sebagai buoy tambat dan muat (mooring & loading buoy) dalam operasi pemuatan minyak bumi dari tangki timbun di darat ke atas kapal tangker di lepas pantai. Sistem Single Point Mooring ditali oleh rantai dan jangkar untuk menunjang kekuatan sistem tersebut, bangunan atas dari sistem ini hanya dilengkapi oleh sistem bongkar/unloading minyak mentah (crude oil) yang berguna untuk membongkar minyak dari kapal dan kemudian dialirkan melalui pipa ke tangki penimbunan/penyimpanan milik Pertamina (Sulistyono, 2006).

2.2 DASAR ANALISA DINAMIS 1. Frequency domain analysis adalah simulasi

kejadian pada saat tertentu dengan interval frekuensi yang telah ditentukan sebelumnya. Frequency domain juga dapat digunakan untuk memperkirakan respon gelombang acak termasuk gerakan platform dan percepatan, gaya tendon dan sudut. Keuntungannya adalah lebih menghemat waktu perhitungan dan juga input atau output lebih sering digunakan oleh perancang. Namun kekurangannya metode ini adalah semua persamaan nonlinier harus diubah dalam bentuk linear.

2. Time domain analysis adalah penyelesaian gerakan dinamis struktur berdasarkan fungsi waktu. Pendekatan yang dilakukan dalam metode ini menggunakan prosedur integrasi waktu dan akan menghasilkan respon time history berdasarkan waktu x(t).

2.3 KONSEP PEMBEBANAN 1. Beban mati (dead load). 2. Beban Hidup (live load).

3. Beban akibat kecelakaan (accidental load). 4. Beban lingkungan (environmental load).

Suatu sistem mooring dianalisa berdasarkan desain kriteria yang diformulasikan dalam 3 batasan yang telah ditetapkan, yaitu (DNV-OS-E301):

1. Ultimate Limit State (ULS), untuk memastikan bahwa sebuah mooring line cukup kuat untuk bertahan terhadap efek beban yang ditimbulkan oleh beban lingkungan pada kondisi ekstrem.

2. Accidental Limit State (ALS), untuk memastikan bahwa suatu sistem mooring memiliki kapasitas yang cukup untuk bertahan pada kegagalan sebuah mooring line yang dimana penyebab dari terjadinya kegagalan tidak diketahui.

3. Fatgue Limit State (FLS), untuk memastikan bahwa sebuah mooring lines memiliki kapasitas yang cukup untuk bertahan pada beban yang bersifat cyclic.

2.3.1 Gaya Gelombang Beban gelombang merupakan beban terbesar yang ditimbulkan oleh beban lingkungan pada bangunan lepas pantai. Syarat pemilihan teori untuk perhitungan gaya gelombang didasarkan pada perbandingan antara diameter struktur (D) dengan panjang gelombang (λ) sebagai berikut:

D/λ > 1 = Gelombang mendekati pemantulan murni, persamaan Morison tidak valid.

D/λ > 0.2 = Difraksi gelombang perlu diperhitungkan, persamaan Morison tidak valid.

D/λ < 0.2 = Persamaan Morison valid.

2.4 TEORI GERAK KAPAL AKIBAT EKSITASI GELOMBANG

1. Mode gerakan translasional. Surge, gerakan transversal arah sumbu x Sway, gerakan transversal arah sumbu y Heave, gerakan transversal arah sumbu z

Page 3: ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM… · ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN

2. Mode gerak rotasional. Roll,gerakan rotasional arah sumbu x Pitch, gerakan rotasional arah sumbu y Yaw, gerakan rotasional arah sumbu z

2.5 RESPON SRUKTUR Respon amplitude operater (RAO) atau sering disebut transfer function adalah fungsi respon yang terjadi akibat gelombang dalam rentang frekuensi yang mengenai sruktur offshore. RAO disebut sebagai transfer function karena RAO merupakan alat untuk transfer beban luar (gelombang) dalam bentuk respon pada suatu struktur. Bentuk umum dari persamaan RAO dalam fungsi frekuensi (Chakrabarti 1987) adalah sebagai berikut :

........................................ (2.1)

2.6 SPEKTRUM GELOMBANG Spektrum gelombang yang digunakan dalam kajian ini adalah spectrum jenis Pierson Moskowitz yang dipandang paling sesuai untuk kondisi lingkungan di perairan lepas pantai Pangkalan Susu. Spektrum gelombang tersebut diformulasikan sebagai:

ζζ .................. (2.2)

2.7 MOORING SISTEM

2.7.1 Offset Offset adalah perpindahan posisi pada bui dengan jarak sejauh x meter setelah terkena gelombang dan merupakan salah satu bentuk respon dari bui pada saat mendapat beban lingkungan. Offset dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu:

1. Mean offset Displacement dari vessel karena kombinasi dari pengaruh beban arus, wave drift rata-rata dan angin.

2. Maximum offset Mean offset yang mendapat pengaruh dari kombinasi frekuensi gelombang dan low-

frequency motion.  Menurut  API  RP  2T  untuk unity check tidak  boleh  melebihi  nilai  satu. Secara matematis persamaan unity check dapat dituliskan sebagai berikut : 

σσ

1 .......................................... (2.3) 

dimana: UC = unity check σn = tegangan nominal σyield = tegangan yield material

Sedangkan kondisi batas tegangan ijin didapat dengan membagi yield strenght dengan safety factor. 

σ .................................................... (2.4)

σσ

................................................... (2.5) Dengan sarat n ijin σn < σijin , dimana: σijin = tegangan ijin SF = safety factor

Batas dari tension dan safety factor untuk kondisi analisa mooring dan hawser menurut American Bureau of Shipping, 2004, adalah sebagai berikut (ABS, 2004):

Tabel 2.2. Kondisi Lingkungan dan Saftey

Factor

   Kondisi Faktor 

Keamanan 

Mooring 

Desain pada kondisi lingkungan 

2.25 

Desain pada kondisi ekstrim 

2.25 

Hawser Desain  Lingkungan in place 

1.67 

3. METODOLOGI PENELITIAN Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk pengerjaan tugas akhir adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data Data yang diperlukan untuk analisis ini

adalah: a. Data ukuran tanker

Page 4: ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM… · ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN

Ukuran utama tanker diperlukan untuk pemodelan dengan software meliputi panjang antara sumbu tegak (Lpp), lebar (B), sarat air (T), tinggi (H), koefisien blok (Cb), kecepatan (V). b. Data lingkungan dimana struktur

tersebut beroperasi Input data gelombang meliputi tinggi gelombang (Hw) dan periode gelombang (Tw).

2. Pemodelan Tanker dengan Software Software yang digunakan adalah software MOSES.

3. Pembebanan Beban yang digunakan hanya beban gelombang. Sudut yang dibentuk beban gelombang terhadap tanker adalah 1800, 2250, dan 2700.

4. Persamaan gerak Persamaan gerak 6 DOF (Heave, Pitch, Roll, Sway, Roll, Yaw) uncouple.

5. Running pemodelan dengan menggunkan software Software yang digunakan adalah MOSES.

6. Analisa hasil running program Setelah me-running model menggunakan software MOSES akan didapatkan RAO dari tanker, massa tambah dan faktor tahanan untuk tiap-tiap derajat kebebasan.

7. Pemodelan SPM #6 dengan software Software yang digunakan adalah ORCAFLEX.

8. Running pemodelan dengan menggunakan software Software yang digunakan adalah ORCAFLEX dengan input data adalah output data dari MOSES yaitu RAO dari tanker, massa tambah dan faktor tahanan untuk tiap-tiap derajat kebebasan.

9. Analisa operabilitas Untuk mengetahui batas tegangan tali tambat akibat gerakan tanker akibat beban lingkungan yaitu gelombang signifikan.

10. Analisa keandalan Analisis keandalan ini dilakukan untuk mengetahui keandalan dari tali tambat akibat gerakan kapal tanker yang terjadi. Sehingga bisa diketahui batas kegagalan dari Mooring Line.

4.2 PEMODELAN STRUKTUR 4.2.1. Pemodelan Tanker Pemodelan tanker dengan menggunakan software Maxsurf 9.6 dengan Gambar 4.1, 4.2 dan 4.3.

Gambar 4.1 Pemodelan Tanker 70.000 DWT dengan Maxsurf

Gambar 4.2 Pemodelan Tanker 35.000 DWT dengan Maxsurf

Gambar 4.3 Pemodelan Tanker 100.000 DWT dengan Maxsurf

4.2.2. Pemodelan Tanker dengan Moses Pemodelan tanker dengan menggunakan software Moses pada gambar 4.4, 4.5, 4.6.

Gambar 4.4 Pemodelan Tanker dengan Moses tanker 70.000 DWT

Page 5: ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM… · ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN

Gambar 4.5 Pemodelan Tanker dengan Moses tanker 35.000 DWT

Gambar 4.6 Pemodelan Tanker dengan Moses tanker 100.000 DWT

4.2.3. Pemodelan SPM #6 Pemodelan SPM #6 dengan software Moses pada gambar 4.7.

Gambar 4.7 Pemodelan SPM #6 dengan Moses

4.2.4. Pemodelan Dengan Software OrcaFlex Struktur dimodelkan lengkap dengan hull, Subsea hose, SPM dan mooring lines. Pertama kita modelkan hull tanker, yaitu dengan cara menentukan koordinat-kordinat titik dari geometri hull tanker yang kemudian titik-titik itu dihubungkan dengan garis hingga menjadi surface yang utuh. Dikarenakan ada 3 variasi tanker dengan kondisi summer atau full load, maka kita mendesain tanker dengan kapasitas 70.000 DWT, 35.000 DWT, 10.000 DWT. Kemudian kita modelkan SPM 70.000 DWT serta tali hawser sebagai penghububg SPM dengan tanker. Setelah itu kita memodelkan mooring lines dengan sistem catenary dan dianchor pada sea bed, serta subsea hose dengan tipe Lazy-S.

Gambar 4.8.Struktur bangunan tampak samping

Gambar 4.9.Struktur bangunan tampak atas

Sebagai input data, kita masukkan data RAO motion tanker arah 00, 450, 900, 1350, 1800

untuk gerak surge, heave, sway, roll, pitch, dan yaw hasil dari ourput MOSES. Kemudian kita masukkan juga tipe spektra gelombang, kecepatan arus, kecepatan angin serta arah headingnya, kedalaman perairan, massa tambah serta wave drift force.

Page 6: ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM… · ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN

Untuk beban lingkungannya pada model ini kita ambil beban gelombang 1 tahunan dan 100 tahunan untuk mendapatkan sea state condition yang dibutuhkan.

4.2.5 Pemodelan Beban

4.2.5.1 Pemodelan Beban di MOSES ver6.0 Pada analisa dinamis dengan software MOSES, pembebanan yang diberikan hanya berupa pay load yang diwakili oleh sarat air. Besarnya pay load sebanding dengan besar gaya bouyancy, dimana besar gaya bouyancy tergantung dari besar volume hull tanker yang tercelup dalam air. Model hanya diberi beban pay load sarat air karena hanya ingin dicari respon gerak strukturnya saja.

4.2.5.2 Pemodelan Beban di OrcaFlex Pada pemodelan ini, struktur dikenai beban gelombang 1 tahunan dan 100 tahunan untuk mendapatkan sea state condition yang dibutuhkan. Pembebanan dilakukan untuk arah gelombang 1800 (head seas), 225 (quarter seas), 270 (beam seas).

4.3 ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.3.1 Analisa Perilaku Gerakan Tanker dan SPM di Gelombang Reguler Pada penelitian ini perilaku gerakan tanker dan SPM dianalisa hanya pada saat kondisi free floating. Hasil yang diperoleh dari analisa tersebut adalah grafik RAO motion dengan arah 00, 450, 900, 1350, dan 1800 untuk Tanker, dan hanya 00 dan 1800 untuk SPM. RAO motion ini menunjukkan perilaku gerakan tanker dan SPM di gelombang reguler. Pada tugas akhir ini hanya meninjau gerakan-gerakan yang mengalami perubahan secara signfikan saja sesuai dengan arah datang gelombang (heading).

Dari analisa grafik RAO tanker dan SPM diketahui bahwa secara umum karakteristik gerakannya tidak terlalu berbeda. Berikut adalah grafik RAO untuk masing-masing arah pembebanan :

a. Tanker 1. Following seas (µ= 00) dan head seas

(µ=1800) Pada arah gelombang 00 dan 1800 , gerakan tanker yang mengalami perubahan paling signifikan adalah surge, heave, dan pitch. Gerakan sway, roll, dan yaw hampir tidak mengalami perubahan.

Gambar 4.10 RAO Tanker pada arah 00

2. Beam seas (µ= 900 ) dan (2700)

Pada arah gelombang 900 dan 2700, gerakan tanker yang mengalami perubahan paling signifikan adalah heave, roll dan sway. Gerakan yang lain hanya sedikit mengalami perubahan.

Gambar 4.11 RAO Tanker pada arah 900

3. Quartering seas (µ= 450 dan 1350 )

Pada arah gelombang 450 dan 1350, gerakan tanker semuanya mengalami perubahan, akan tetapi tidak mengalami perubahan yang signifikan pada semua gerakan.

0100200300400500

0

10

20

30

0 20 40 Rotation

al (d

eg/m

)

Tran

slationa

l (m/m

)

Period (sec)

RAO (0 deg)

Surge

Sway

Heave

Roll

Pitch

Yaw

0

1

2

3

0

0.5

1

1.5

2

0 20 40 Rotation

al (d

eg/m

)

Tran

slationa

l (m/m

)

Period (sec)

RAO (90 deg)

Surge

Sway

Heave

Roll

Pitch

Yaw

Page 7: ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM… · ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN

Gambar 4.11 RAO Tanker pada arah 450

b. SPM Following seas (µ= 00) dan head seas (µ=1800)

Pada arah gelombang 00 dan 1800, gerakan SPM yang mengalami perubahan paling signifikan adalah surge. heave dan pitch. Sedangkan untuk surge sedikit mengalami perubahan. Akan tetapi untuk gerakan roll, sway dan yaw hampir tidak mengalami perubahan yang signifikan.

. Gambar 4.12 RAO SPM #6 pada arah 00

4.3.2 Tension Mooring Lines dan Subsea Hose. Hasil dari running Orcaflex 8.4a7 didapatkan tension maksimum yang terjadi pada mooring lines dan subsea hose. Besar tension maksimum yang terjadi untuk tiap-tiap mooring lines dan pada arah pembebanan 1800, 2250 dan 2700 untuk kondisi full load disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 4.10 Tension Line SPM #6 Tanker 35000 DWT

Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk Hs=1.668m pada kondisi intact maupun damage, tension line yang terjadi memenuhi criteria Faktor of Safety yang disyaratkan oleh ABS, yaitu melebihi harga minimum yang disyaratkan (F.S > 2.25). Tetapi untuk Hs= 3.6 meter, nilai tension line tidak memenuhi criteria ABS pada saat damage line 1, yaitu hanya sebesar 2.2 sehingga kurang dari persyaratan minimum 2.25. Guna menghindari tension yang berlebihan pada line tersebut, maka sangat disarankan untuk melepas hawser dari tanker bila terjadi satu rantai putus pada Hs 3.6 m.

Tabel 4.11 Tension Line SPM #6 Tanker 70000 DWT

Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk Hs=1.668m dan Hs=3.6 pada kondisi damage, tension line yang terjadi tidak memenuhi criteria ABS pada saat, yaitu untuk Hs=1.668 m sebesar 2.23 dan untuk Hs=3.6 m sebesar 1.93 sehingga kurang dari persyaratan minimum 2.5. Guna menghindari tension yang berlebihan pada line tersebut, maka sangat disarankan untuk melepas hawser dari tanker bila terjadi satu rantai putus.

0

0.5

1

1.5

2

0

0.5

1

1.5

0 10 20 30 Rotation

al (d

eg/m

)

Tran

slationa

l (m/m

)

Period (sec)

RAO (45 deg)

Surge

Sway

Heave

Roll

Pitch

Yaw

0100200300400500

0

10

20

30

0 20 40 Rotation

al (d

eg/m

)

Tran

slationa

l (m/m

)

Period (sec)

RAO (0 deg)

Surge

Sway

Heave

Roll

Pitch

Yaw

Page 8: ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM… · ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN

Tabel 4.12. Tension Line SPM #6 Tanker 100000 DWT

Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk semua simulasi pada Hs=1.668m tension line yang terjadi tidak memenuhi criteria ABS yaitu kurang dari 2.5. Sehingga rantai mooring pada SPM #6 tidak dapat digunakan pada tanker dengan 100000 DWT.

Tabel 2. Hawser Tension SPM #6 Tanker 35000 DWT

Dari table di atas terlihat bahwa untuk semua kondisi simulasi hawser masih dalam kondisi mengalami tension yang aman. Tidak ada indikasi terjadinya up-lift pada PLEM.

Tabel 5. Hawser Tension SPM #6 Tanker 70000 DWT

Dari table di atas terlihat bahwa untuk semua kondisi simulasi pada Hs=1.668 m hawser masih dalam kondisi mengalami tension yang aman. Namun pada saat Hs=3.6 m kondisi damage ada indikasi terjadinya up-lift pada PLEM. Nilai unity check kurang dari persyaratan minimum ABS yaitu hanya sebesar 1.61. Sehingga saat terjadi damage pada

Hs=3.6 m maka disarankan sesegera mungkin melepas hawser pada SPM #6 dari tanker.

Tabel 8. Hawser Tension SPM #6 Tanker 70000 DWT

Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk semua simulasi pada Hs=1.668m hawser line yang terjadi tidak memenuhi criteria ABS yaitu kurang dari 1.67.

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Dari pengkajian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Perilaku kapal tanker 70.000 DWT dan SPM #6 serta tension line saat terhubung adalah sebagai berikut :

1. Gerakan kapal tanker dan SPM #6 untuk berbagai arah pembebanan yang paling signifikan adalah gerakan heave.

2. Selama simulasi operasi, posisi tanker 70.000 DWT tidak pernah bertubrukan dengan SPM #6, sehingga SPM #6 dapat beroperasi dengan baik.

3. Pada Hs=1,668m maupun Hs=3,6m baik kondisi intact dan damage, setelah mengalami heave, free board dari SPM #6 tidak tercelup sepenuhnya. Minimum free board yang tersisa adalah 0,53m, sehingga SPM #6 tetap dapat beroperasi dengan baik.

4. Offset maksimum dari SPM #6 yang melebihi panjang subsea hose terjadi saat damage baik pada Hs=1,668m maupun Hs=3,6m, yaitu sejauh 47,61m dan 53,6m.

5. Nilai Tension Mooring Line maksimum terjadi saat damage dan pada kondisi Hs=3,6m adalah sebesar 1804,48 kN dimana nilai tersebut

Page 9: ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM… · ANALISA PERILAKU SINGLE POINT MOORING BUOY (SPM)#6 AKIBAT PERUBAHAN KONFIGURASI TALI TAMBAT DAN DAERAH OPERASI DARI PERAIRAN

tidak memenuhi criteria SF ABS ≤ 2,25, yaitu sebesar 2,2.

6. Nilai Tension Hawser untuk semua kondisi tidak kurang dari batas SF ABS ≤1,67, sehingga tension hawser dalam keadaan aman..

b. Pada saat SPM #6 disimulasikan dengan tanker kapasitas 35.000 DWT, sebagian besar menunjukkan nilai yang memenuhi criteria kelayakan operabilitas. Namun pada saat SPM #6 disimulasikan dengan tanker kapasitas 100.000 DWT, terjadi sebaliknya yaitu nilai yang didapat tidak memenuhi kelayakan operabilitas SPM #6.

c. Pada saat performansi SPM #6 dan mooring line tidak memenuhi kelayakan operabilitas, maka disarankan untuk segera melepas hawser dari tanker untuk menjaga agar subsea hose tidak putus

5.2. SARAN Saran yang dapat diberikan untuk penelitian lebih lanjut adalah sebagai berikut: 1. Sistem mooring dan subsea hose

merupakan bagian penting dalam operasional, sehingga untuk mendapatkan tingkat keamanan yang tinggi perlu dilakukan analisa fatigue life dan keandalan mooring line serta subsea hose.

2. Diharapkan untuk diperhatikan couple motion dan random pada SPM #6.

3. Dilakukan analisa dengan kapasitas bui yang bervariasi dan diameter chain yang bervariasi pula.

VI. DAFTAR PUSTAKA Act of Legislature of the State of New York. 2004. American Bureau of Shipping Guide for Building and Classing Floating Production Installation. Houston, USA.

American Petroleum Institute. 2004. Design, Construction, Operation, and Maintenance of

Hydrocarbon Pipelines (Limit State Design). Recommended Practice RP 1111.

Bhattacharya, R. 1978. “Dynamic Of Marine Vehicles”. New York : A Willey, Interscience Publ.

Craig, Roy R.,1981. Struktural Dynamics “An Introduction to Computer Methods”. Department of Aerospace Engineering and Engneering Mechanics, Austin

Djatmiko, E. B., 2003. Perilaku Bangunan Apung di Atas Gelombang. Jurusan Teknik Kelautan ITS, Surabaya

DNV - OS - E301. 2004. Position Mooring. Det Norske Veritas

http://www.spfkppapertamina.com/index.php?option=com_content&view=article&id=102:particulars-mt-gunung-geulis--p8004&catid=57:ship-particulars&Itemid=70. SP.FKPPA Pertamina. 2010. Particulars MT. Gunung Geulis / P.8004.24 September 2010.

PT ITS KEMITRAAN. 2009. Pekerjaan Evaluasi Engineering dan Tenaga Ahli QA/QC Perbaikan SPM#6 (SO.1131) BP West Java untuk Digunakan di Pangkalan Susu. ITS, Surabaya.

Rozak, Abdul., 2009. Analisa Kekuatan Spread Mooring Akibat Motion pada FPSO Berbasis Time Domain. Tugas Akhir, Jurusan Teknik Kelautan, ITS, Surabaya.

Sulistyono, Evin Dwi., 2006. Analisa Kekuatan Rantai Jangkar Pada System Single Point Mooring (SPM) Di Pertamina Unit Pengolahan (UP) IV Cilacap. Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, ITS, Surabaya.