6
Analgesics in Dental Pain (Clinical Review) - Last Updated () Analgesics in Dental Pain (Clinical Review)H. SoelistionoBagian Ilmu Bedah Mulut FKG-UGM Yogyakarta AbstractPain is an unpleasant sensation as perceived by patient, which the complain is signal current and symtoms clinically not difficult to detect but the causes are varied. In that case clinical review of clinical trials and treatment can give further explanation of the biological mechanism of pain and inflammation. Five clinical trials of NSAIDs (COX-1 and COX-2) and two cases report of surgical removal of lower third molar and the extraction tooth with difficulty factors (kidney and heart disease) has been reported. AbstrakNyeri adalah perasaan tidak menyenangkan yang dirasakan oleh penderita, sehingga keluhan tersebut merupakan tanda dan gejala yang tidak terlalu sulit dikenali secara klinis namun penyebabnya bervariasi. Dalam hal ini, clinical review (Peninjauan ulang) hasil uji klinis dan perawatan yang pernah dilakukan mampu mengungkap lebih lanjut mekanisme biologik yang terjadi pada nyeri dan inflamasi. Dilaporkan 5 hasil uji klinis antara obat-obata NSAIDS, baik COX-1 maupun COX-2, serta 2 laporan kasus operasi impaksi gigi molar tiga mandibula dan pencabutan gigi dengan faktor penyulit, yaitu penderita gagal ginjal dan jantung. Pengantar Dalam bidang kedokteran gigi akan selalu dihadapkan pada keluhan pasien yang bersumber dari gejala atau tanda- tanda yang mendorong penderita datang ke dokter gigi. Nyeri adalah gejala yang paling sering dikeluhkan penderita, sehingga dikenal berbagai obat yang bersifat simtomatik dengan fungsi utama mengurangi rasa sakit (analgetik). Analgetik biasanya mempunyai efek lain, seperti anti piretik dan anti inflamasi. Obat-obat analgetik anti inflamasi, terutama yang non steroid (NSAIDS) bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX), baik COX-1 maupun COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet. Sedangkan COX-2 mensintesis prostaglandin hanya pada tempat inflamasi, sehingga jika enzim ini terhambat akan mencegah pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja (Day, 2000). Aksi utama analgetik anti piretik, seperti paracetamol adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga tidak mempunyai efek sebagai anti inflamasi (Dwiprahasto, 1989). Banyaknya obat analgetik yang sudah beredar dengan spesifikasinya masing-masing, sehingga paling tidak akan cukup merepotkan kita sebagai klinisi untuk memilihnya. Oleh karena itu perlu dipikirkan analgetik apa yang harus diberikan sesuai dengan indikasi untuk kepentingan klinik di bidang kedokteran gigi. Farmakodinamika Analgetik Analgetik perlu diberikan jika ada keluhan nyeri. Di antara banyaknya preparat analgetik, preparat dengan aksi yang ringan adalah dari golongan anti piretik. Aksi utama analgetik anti piretik, seperti paracetamol dan metamizol adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga tidak mempunyai efek sebagai anti inflamasi (Dwiprahasto, 1989). NSAIDS konvensional, seperti aspirin, ibuprofen, dan asam mefenamat memblok lebih banyak COX-1 daripada COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet. Sedangkan COX-2 mensintesis prostaglandin hanya pada tempat inflamasi, sehingga jika hanya enzim COX-2 yang terhambat, maka akan mencegah pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja (Day, 2000). Sedang menurut Vane (1996), enzim COX merupakan produk metabolisme dari asam arachidonat dan sangat berperan dalam berbagai bentuk inflamasi baik akut maupun kronik. Enzim ini terdapat dua isoform, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 mempunyai fungsi fisiologis yang berpengaruh pada platelet, mukosa lambung dan ginjal, sedangkan COX-2 berperan pada proses peradangan yang menimbulkan rasa nyeri. Asam arachidonat COX-1 COX-2 Prostaglandin NSAIDS COX-2 spesific Prostaglandin http://www.pabmi.com - PABMI - Indonesia Association of Oralmaxillofacial Surgeon Powered by Mambo Open Source Generated: 19 September, 2008, 08:35

analgesik

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: analgesik

Analgesics in Dental Pain (Clinical Review) - Last Updated ()

Analgesics in Dental Pain (Clinical Review)H. SoelistionoBagian Ilmu Bedah Mulut FKG-UGM Yogyakarta

AbstractPain is an unpleasant sensation as perceived by patient, which the complain is signal current and symtomsclinically not difficult to detect but the causes are varied. In that case clinical review of clinical trials and treatment cangive further explanation of the biological mechanism of pain and inflammation. Five clinical trials of NSAIDs (COX-1 andCOX-2) and two cases report of surgical removal of lower third molar and the extraction tooth with difficulty factors(kidney and heart disease) has been reported.

AbstrakNyeri adalah perasaan tidak menyenangkan yang dirasakan oleh penderita, sehingga keluhan tersebutmerupakan tanda dan gejala yang tidak terlalu sulit dikenali secara klinis namun penyebabnya bervariasi. Dalam hal ini,clinical review (Peninjauan ulang) hasil uji klinis dan perawatan yang pernah dilakukan mampu mengungkap lebih lanjutmekanisme biologik yang terjadi pada nyeri dan inflamasi. Dilaporkan 5 hasil uji klinis antara obat-obata NSAIDS, baikCOX-1 maupun COX-2, serta 2 laporan kasus operasi impaksi gigi molar tiga mandibula dan pencabutan gigi denganfaktor penyulit, yaitu penderita gagal ginjal dan jantung.

 

PengantarDalam bidang kedokteran gigi akan selalu dihadapkan pada keluhan pasien yang bersumber dari gejala atau tanda-tanda yang mendorong penderita datang ke dokter gigi. Nyeri adalah gejala yang paling sering dikeluhkan penderita,sehingga dikenal berbagai obat yang bersifat simtomatik dengan fungsi utama mengurangi rasa sakit (analgetik).Analgetik biasanya mempunyai efek lain, seperti anti piretik dan anti inflamasi. Obat-obat analgetik anti inflamasi, terutama yang non steroid (NSAIDS) bekerja dengan cara menghambat enzimsiklooksigenase (COX), baik COX-1 maupun COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet,sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet. Sedangkan COX-2mensintesis prostaglandin hanya pada tempat inflamasi, sehingga jika enzim ini terhambat akan mencegahpembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja (Day, 2000).

Aksi utama analgetik anti piretik, seperti paracetamol adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di pusat(hipotalamus), tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga tidak mempunyai efek sebagai anti inflamasi (Dwiprahasto,1989).Banyaknya obat analgetik yang sudah beredar dengan spesifikasinya masing-masing, sehingga paling tidak akan cukupmerepotkan kita sebagai klinisi untuk memilihnya. Oleh karena itu perlu dipikirkan analgetik apa yang harus diberikansesuai dengan indikasi untuk kepentingan klinik di bidang kedokteran gigi.

Farmakodinamika AnalgetikAnalgetik perlu diberikan jika ada keluhan nyeri. Di antara banyaknya preparat analgetik, preparat dengan aksi yangringan adalah dari golongan anti piretik. Aksi utama analgetik anti piretik, seperti paracetamol dan metamizol adalahdengan cara menghambat sintesis prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga tidakmempunyai efek sebagai anti inflamasi (Dwiprahasto, 1989).

NSAIDS konvensional, seperti aspirin, ibuprofen, dan asam mefenamat memblok lebih banyak COX-1 daripada COX-2.COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggufungsi normal lambung, ginjal, dan platelet. Sedangkan COX-2 mensintesis prostaglandin hanya pada tempat inflamasi,sehingga jika hanya enzim COX-2 yang terhambat, maka akan mencegah pembentukan prostaglandin di tempatinflamasi saja (Day, 2000). Sedang menurut Vane (1996), enzim COX merupakan produk metabolisme dari asamarachidonat dan sangat berperan dalam berbagai bentuk inflamasi baik akut maupun kronik. Enzim ini terdapat duaisoform, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 mempunyai fungsi fisiologis yang berpengaruh pada platelet, mukosa lambungdan ginjal, sedangkan COX-2 berperan pada proses peradangan yang menimbulkan rasa nyeri.

Asam arachidonat COX-1 COX-2

Prostaglandin NSAIDS COX-2 spesific Prostaglandinhttp://www.pabmi.com - PABMI - Indonesia Association of Oralmaxillofacial SurgeonPowered by Mambo Open Source Generated: 19 September, 2008, 08:35

Page 2: analgesik

pada lambung konvensional inhibitors hanya pada tempatusus, ginjal, memblok COX-1 memblok COX-2 inflamasidan platelet dan COX-2

Skema penghambatan asam arachidonat (Day, 2000)

Nimesulide termasuk obat NSAID terbaru dari golongan Sulfoaniliode yang mampu menghambat selektif COX-2,sehingga bekerja lebih efektif sebagai analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik dengan efek samping yang sangat minimal.Obat ini diberikan dalam dosis 100-200 mg, 2 kali sehari (Rabasseda, 1996). Penambahan dosis obat selektif COX-2 tidak akan berpengaruh terhadap penghambatan COX-1. Hal ini terlihat padapengukuran whole blood untuik produksi prostaglandin pada orang-orang yang mengkonsumsi obat ini (Day, 2000).

Farmakokinetika Analgetik Untuk memperoleh efek analgetik yang optimal dari suatu obat, diperlukan beberapa kriteria atau sifat-sifatfarmakokinetik sebagai berikut: - Diabsorbsi dengan cepat dan sempurna, dengan ketersediaan hayati absolut (100%). - Terdistribusi secara cepat dan baik ke jaringan target dengan konsentrasi yang tidak terlalu tinggi di organ-organuntuk mengurangi efek samping. - Eleminasinya cepat, baik melalui hepar maupun ginjal untuk mencegah terjadinya penimbunan obat, khususnya padapenderita ginjal/ hepar. - Tidak toksik (toksisitas minimal), sedikit memberi interkasi terhadap obat-obat lain yang kemungkinan harus diberikanbersamaan serta harus mempunyai indeks terapeutik yang sempit.

Efek SampingEfek samping yang dapat terjadi sehubungan dengan pemakainan obat analgetik dapat terjadi dalam bentuk ringanmaupun yang lebih serius. Pada umumnya manifestasi obat tersebut dalam bentuk ringan berupa reaksi alergi, rash, dansebagainya dengan angka kejadian yang relatif kecil untuk paracetamol, metamizol, dan ibuprofen, sedang pada aspirinlebih besar.Efek samping aspirin terutama pada sistem gastrointestinal, berupa dispepsi, nyeri epigastrik, mual dan muntah hinggaperdarahan lambung. Hal ini dapat dijelaskan, mengingat bahwa aspirin menghambat COX-1 lebih besar daripada COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akanmengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet (Day, 2000). Berbeda dengan aspirin, paracetamol juga bersifatmenghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung oleh karenaparacetamol hanya menghambat prostaglandin di pusat (hipotalamus), sehingga aman untuk gangguan lambung, ginjal,dan platelet.

Aspirin juga dapat menyebabkan kerusakan hepar, berupa peningkatan aktivitas aminotransferase plasma, sedanghepatitis salisilat umumnya terjadi jika kadar salisilat dalam plasma mencapai lebih dari 250 mcg/ ml. Mirip denganaspirin, meskipun dari segi keamanan relatif lebih baik, paracetamol juga dapat menimbulkan efek samping berupakerusakan pada hepar, terutama pada dosis yang tinggi sekitar 15 gram atau 250 mg/ kg. dan status gizi yang burukatau pada penderita alkoholik. Efek samping dari asam mefenamat yang sering dijumpai adalah mual, diare, pusing,ruam kulit, leukopenia, dan anemia hemolitik (autoimun). Metamizol meskipun belum banyak data yang dikemukakan sehubungan dengan kejadian efek samping pada hepar,namun beberapa penelitian menyatakan bahwa efek samping metamizol relatif lebih ringan, seandainya ada biasanyakarena diberikan bersama obat-obat yang lain.

Nimesulide mempunyai efek samping yang sangat minimal, baik pada platelet, lambung, dan ginjal karena obat initermasuk selektif menghambat COX-2 yang berperan dalam proses peradangan serta hanya menghambat COX-1 dalamjumlah yang relatif kecil (Vane, 1996). Perbandingan antara pemakaian obat COX-2 dengan NSAID konvensional padapasien dengan osteoarthritis selama 1 tahun membuktikan bahwa pada endoscopy terjadi penurunan nyata kejadianpeptic ulcer pada pemakai obat COX-2. Demikian juga efek yang terjadi pada ginjal dan platelet, tidak menyebabkansuatu kerusakan (Day, 2000)

Laporan Hasil Uji Klinishttp://www.pabmi.com - PABMI - Indonesia Association of Oralmaxillofacial SurgeonPowered by Mambo Open Source Generated: 19 September, 2008, 08:35

Page 3: analgesik

Percobaan uji klinis antara metamizol dan paracetamol pada sakit post operasi gigi impaksi molar tiga mandibuladilakukan pada 144 pasien laki-laki dan wanita dibagi dalam 3 kelompok, yaitu yang meminum metamizol (1-2 x 500 mgtablet, 49 pasien), paracetamol (1-2 x 500 mg tablet, 46 pasien), dan placebo (49 pasien). Kemanfaatan analgetikdievaluasi secara subyektif oleh pasien dalam penurunan intensitas sakit dari jam pertama sampai jam kedelapan. Ujiklinis ini mengemukakankan bahwa pada jam pertama metamizol dan paracetamol secara signifikan mengurangi sakitlebih besar dibanding placebo (p<0,01). Pada jam kedua metamizol mengurangi sakit lebih besar dibanding paracetamol(p<0,01).

Penilaian secara global metamizol mempunyai kemanfaatan lebih dibanding paracetamol, tetapi keduanya tidak adaperbedaan pada efek samping yang merugikan. Disimpulkan bahwa metamizol mempuyai kemanfaatan yang lebih besardibanding paracetamol dalam perawatan sakit post operasi gigi (Santoso, dkk., 1993).

Tabel 1. Intensitas nyeri metamizol, aspirin, dan placebo pasca operasi molar tiga mandibula

Percobaan uji klinis antara metamizol dan aspirin pada sakit pasca pencabutan gigi impaksi molar tiga mandibuladilakukan pada 151 pasien laki-laki dan wanita dibagi dalam 3 kelompok, yaitu yang meminum metamizol (1-2 x 500 mgtablet, 51 pasien), aspirin (1-2 x 500 mg tablet, 51 pasien), dan placebo (49 pasien). Kemanfaatan analgetik dievaluasisecara subyektif oleh pasien dalam penurunan intensitas sakit dari jam pertama sampai jam kedelapan. Percobaan ujiklinis ini mengemukakankan bahwa metamizol dan aspirin secara signifikan mengurangi sakit lebih besar dibandingplacebo (p<0,01). Metamizol cenderung memperlihatkan kemanfaatan lebih dibanding aspirin, tetapi secara statistikkeduanya tidak berbeda bermakna, dan dilaporkan pula bahwa keduanya tidak ada perbedaan pada efek samping yangmerugikan. Disimpulkan bahwa metamizol mempuyai kemanfaatan yang lebih besar dibanding placebo dan cendrungmempunyai kemanfaatan lebih besar dibanding aspirin dalam perawatan sakit pasca pencabutan impaksi gigi molar tigamandibula (Soelistiono, dkk., 1993)

Tabel 2. Intensitas nyeri metamizol, mefenamic acid, ibuprofen, dan placebo pasca operasi molar tiga mandibulaPercobaan uji klinis antara metamizol, asam mefenamat, dan ibuprofen pada sakit pasca operasi gigi impaksi molar tigamandibula dilakukan pada 239 pasien laki-laki dan wanita dibagi dalam 3 kelompok, tetapi hanya 209 pasien yangdimasukkan dalam analisa akhir. Pasien yang meminum metamizol (1-2 x 500 mg tablet, 51 pasien), asam mefenamat(1-2 x 500 mg tablet, 54 pasien), ibuprofen (1-2 x 400 mg tablet), dan placebo (50 pasien). Kemanfaatan analgetikdievaluasi secara subyektif oleh pasien dalam penurunan intensitas sakit dari jam pertama sampai jam kedelapan.Disimpulkan bahwa metamizol 500 mg, asam mefenamat 500 mg, dan ibuprofen 400 mg mempuyai kemanfaatan yangsebanding dalam perawatan sakit pasca operasi impaksi gigi molar tiga mandibula (Soelistiono, dkk., 1996)

Percobaan uji klinis antara nimesulide dan ketoprofen pada operasi impaksi gigi molar dilakukan pada 46 pasien (22wanita dan 24 laki-laki dengan usia antara 20-65 tahun). Pasien yang meminum nimesulide (2 x 200 mg tablet, 23pasien) dan ketoprofen (2 x 100 mg tablet), kemanfaatan analgetik dievaluasi secara subyektif oleh pasien dalampenurunan intensitas sakit, pengembalian fungsi pengunyahan, dan pembengkakan selama 5 hari. Pada hari pertama,pasien yang meminum nimesulide intensitas sakitnya berkurang, sedang yang minum ketoprofen cenderung naik. Padahari ke-2, keduanya menunjukkan kenaikan intensitas sakit dari pagi sampai sore (p<0,01), ketoprofen lebih meningkatdibanding nimesulide (p<0,05). Demikian juga pada hari ke-3, 4, dan 5, ketoprofen tinggi intensitas sakitnya daripadanimesulide, akan tetapi kedua grup secara statistik tidak berbeda secara bermakna. Efek merugikan pada lambunguntuk ketoprofen dilaporkan pada 3 pasien, sedang pada nimesulide 1 pasien (Pierleoni, dkk., 1993). Percobaan uji klinis antara nimesulide, placebo, dan niflumic acid pada operasi impaksi gigi molar dilakukan pada 134pasien (103 wanita dan 31 laki-laki dengan usia antara 12-56 tahun). Pasien dibagi menjadi 4 kelompok, yang meminumnimesulide 100 mg (25 pasien), nimesulide 200 mg (34 pasien), niflumic acid 250 mg(32 pasien), dan placebo (33pasien). Kemanfaatan analgetik dievaluasi secara subyektif oleh pasien dalam penurunan intensitas sakit selama 6 jam.Ada perbedaan bermakna antara ketiga kelompok obat tersebut dengan placebo. Pengurangan intensitas nimesulide200 mg > nimesulide 100 mg > niflumic acid 250 mg, akan tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (Ragot, dkk.,1993).

Soelistiono, dkk. (2002) mengemukakan hasil uji klinis nimesulide 100 mg, diclofenac, dan placebo pasca operasi molartiga mandibula pada 151 pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nimesulide dan diclofenac lebih baik dibandingplacebo dan berbeda secara bermakna dalam pengukuran intensitas nyeri serta penurunan intensitas nyeri sampaidengan jam ke-3. Pasien yang mendapatkan pengobatan dengan nimesulide menunjukkan penurunan intensitas nyeriyang nyata sampai jam ke-3 bila dibandingkan dengan diclofenac. Pada pemeriksaan darah, kelompok nimesulideterdapat parameter yang berubah secara bermakna, yaitu asam urat dan lymphocyt. Kelompok diclofenac, parameteryang berubah secara bermakna meliputi sel darah putih, neutrophills, eusinophills, dan lymphocyt. Sedangkan placeboterjadi perubahan bermakna pada angka bilirubin, urea, total protein, neutrophills, dan eusinophills. http://www.pabmi.com - PABMI - Indonesia Association of Oralmaxillofacial SurgeonPowered by Mambo Open Source Generated: 19 September, 2008, 08:35

Page 4: analgesik

Tabel 3. Data pasien uji klinis nimesulide, diclofenac, dan placebo pasca operasi molar tiga mandibula

Tabel 4. Intensitas nyeri nimesulide, diclofenac, dan placebo pasca operasi molar tiga mandibula

Laporan KasusSeorang laki-laki 39 tahun dengan impaksi gigi geraham bungsu kiri dan kanan bawah disertai dengan kelainan ginjal(CRF) sejak tahun 1996. Penderita kontrol dan menjalain hemodialisa rutin tiap hari rabu dan sabtu di Poli NefrologiRSUP Dr. Sardjito. Satu minggu ini penderita merasa sakit pada gigi geraham kanan bawah. KU: baik, Gizi: cukup,kesadaran: CM, T: 110/ 80 mm Hg, Nadi: 80/ menit, Respirasi: 20/ menit, afebris. Pemeriksaan laboratorium darah AL:9,9, AE: 3,2, Hb: 10,2, HMT: 31,1, AT: 369, BT: 2, CT: 8, KED: 52, GDS: 86, BUN: 4,9, Cretinin: 11,16, Na: 143,7,Potassium: 5,6, Cl: 102, Uric acid: 5,6, AST: 203., ALT: 360

Penderita dipondokkan 1 hari sebelum operasi untuk persiapan operasi odontectomy gigi geraham bungsu kanan bawahdengan lokal anaesthesi. Hemodialisa terakhir adalah 2 hari sebelum operasi. Satu jam sebelum operasi diberikaninjeksi amoksisilin 2 gram, kemudian dilakukan odontectomy gigi tersebut dengan lokal anaesthesi. Enam jam setelahpemberian injeksi pertama, diberikan injeksi amoksisilin 1 gram, kemudian selanjutnya diberikan ampisilin 500 mg. 4 kalisehari selama 4 hari. Analgetik yang diberikan adalah paracetamol tablet. Kontrol hari pertama penderita tidakmerasakan sakit, perdarahan tidak ada, obat diteruskan. Kontrol hari ke-2 Obat paracetamol mulai dihentikan dandiminum jika perlu karena tidak ada keluhan sakit. Obat antibiotik diteruskan dan pasien dipulangkan dan dilanjutkandengan rawat jalan. Tensi sebelum pasien dipulangkan 110/70 mm Hg.

Laki-laki 52 tahun kiriman dari poli jantung RSUP dr. Sardjito dengan radices gigi molar 2 dan 3 kanan atas dan premolar1 kanan bawah disertai dengan kelainan jantung. Penderita tersebut akan dilakukan operasi penutupan katup jantung.Dari poli jantung telah dilakukan diberikan aspilet. Sebelum pencabutan gigi tersebut, aspilet dihentikan selama 3 hariatas rekomendasi dari dokter poli jantung dan dilakukan sensitivitas test. Hasil sensitivitas test, penderita resistenterhadap ampisilina, intermediate terhadap eritromicyn, tetapi sensitif terhadap amoksisilin + asam klavunalat. Tensisebelum pencabutan : 135/ 95 mmHg, nadi 88 kali/ menit. Satu jam sebelum tindakan diberikan profilaksis denganamoksisilin + asam klavunalat 2 gram peroral. Anaesthesi menggunakan lidokain murni 2%, kemudian dilakukanpencabutan radices gigi-gigi tersebut di atas. Tensi setelah pencabutan : 140/ 95 mmHg, nadi : 92 kali/ menit. Enam jamsetelah pencabutan penderita diharuskan minum lagi amoksisilin + asam klavunalat 1 gram, selanjutnya 500 mg 3 kalisehari selama 4 hari. Analgetik yang diberikan adalah paracetamol 500 mg, diberikan setelah cabut gigi.

Kontrol hari pertama, tidak ada keluhan nyeri, Penderita hanya minum obat paracetamol 2 kali saja, yaitu pagi harisetelah cabut gigi dan sore harinya. Luka pencabutan telah terlihat adanya penyembuhan. Kontrol hari ke-3, tidak adakeluhan nyeri dan luka telah menutup (Triwibowo & Soelistiono, 2001).

PembahasanPercobaan uji klinis antara metamizol dan paracetamol pada sakit post operasi gigi impaksi molar tiga mandibulamengemukakankan bahwa pada jam pertama metamizol dan paracetamol secara signifikan mengurangi sakit lebihbesar dibanding placebo (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa metamizol dan paracetamol efektif sebagai analgetikpada sakit post operasi gigi impaksi molar tiga mandibula. Pada jam kedua metamizol mengurangi sakit lebih besarhttp://www.pabmi.com - PABMI - Indonesia Association of Oralmaxillofacial SurgeonPowered by Mambo Open Source Generated: 19 September, 2008, 08:35

Page 5: analgesik

dibanding paracetamol (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa metamizol lebih efektif daripada paracetamol, sehinggadisimpulkan bahwa metamizol mempuyai kemanfaatan yang lebih besar dibanding paracetamol dalam perawatan sakitpost operasi gigi impaksi molar tiga mandibula (Santoso, dkk., 1993).

Percobaan uji klinis antara metamizol dan aspirin pada sakit pasca pencabutan gigi impaksi molar tiga mandibulamengemukakankan bahwa metamizol dan aspirin secara signifikan mengurangi sakit lebih besar dibanding placebo(p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa metamizol dan aspirin efektif sebagai analgetik pasca pencabutan gigi impaksimolar tiga mandibula. Dilaporkan pula bahwa keduanya tidak ada perbedaan pada efek samping yang merugikan. Padapercobaan ini kemungkinan pasien tidak mempunyai gangguan pada lambung sehingga tidak berbeda efek sampingnya(Soelistiono, dkk., 1993).

Percobaan uji klinis antara metamizol, asam mefenamat, dan ibuprofen pada sakit pasca operasi gigi impaksi molar tigamandibula disimpulkan bahwa metamizol 500 mg, asam mefenamat 500 mg, dan ibuprofen 400 mg mempuyaikemanfaatan yang sebanding dalam perawatan sakit pasca operasi impaksi gigi molar tiga mandibula. Hal inimenunjukkan bahwa ketiganya efektif sebagai analgetik pada sakit pasca operasi gigi impaksi molar tiga mandibula(Soelistiono, dkk., 1996).

Percobaan uji klinis antara nimesulide dan ketoprofen pada operasi impaksi gigi molar pada hari pertama, pasien yangmeminum nimesulide intensitas sakitnya berkurang, sedang yang minum ketoprofen cenderung naik. Hal inimenunjukkan bahwa pada hari pertama pasca operasi nimesulide lebih bermanfaat dibanding ketoprofen. Efekmerugikan pada lambung untuk ketoprofen dilaporkan pada 3 pasien, sedang pada nimesulide 1 pasien, hal inimenunjukkan bahwa nimesulide lebih aman untuk lambung jika digunakan daripada ketoprofen (Pierleoni, dkk., 1093).

Percobaan uji klinis antara nimesulide, placebo, dan niflumic acid pada operasi impaksi gigi molar mengemukakan adaperbedaan bermakna antara ketiga kelompok obat tersebut dengan placebo. Ini menunjukkan bahwa ketiga obattersebut efektif sebagai analgetik pada operasi impaksi gigi molar. Pengurangan intensitas nimesulide 200 mg >nimesulide 100 mg > niflumic acid 250 mg, akan tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna. Hal ini menunjukkanbahwa peningkatan dosis nimesulide hanya akan menaikkan sedikit pengurangan intensitas nyeri yang secara statistiktidak bermakna (Ragot, dkk., 1993).

Hasil uji klinis nimesulide 100 mg, diclofenac, dan placebo pasca operasi molar tiga mandibula pada 151 pasienmenunjukkan bahwa nimesulide dan diclofenac lebih baik dibanding placebo dan berbeda secara bermakna dalampengukuran intensitas nyeri serta penurunan intensitas nyeri sampai dengan jam ke-3. Pasien yang mendapatkanpengobatan dengan nimesulide menunjukkan penurunan intensitas nyeri yang nyata sampai jam ke-3 bila dibandingkandengan diclofenac. Pada pemeriksaan darah, kelompok nimesulide terdapat parameter yang berubah secara bermakna,yaitu asam urat dan lymphocyt. Kelompok diclofenac, parameter yang berubah secara bermakna meliputi sel darahputih, neutrophills, eusinophills, dan lymphocyt. Sedangkan placebo terjadi perubahan bermakna pada angka bilirubin,urea, total protein, neutrophills, dan eusinophills (Soelistiono, 2001). Secara umum nimesulide mempunyai pengaruhterhadap pemeriksaan sel darah yang lebih ringan dibanding diclofenac dan placebo.

Pada laporan kasus pasien gagal ginjal dengan hemodialisa rutin biasanya diberikan obat-obatan pengencer darah padasaat hemodialisa. Oleh karena itu operasi odontectomy gigi geraham bungsu kanan bawah dilakukan 2 hari setelahdilakukan hemodialisa. Ini dimaksudkan untuk mencegah efek perdarahan akibat obat pengencer darah yang diberikanselama proses hemodialisa. Analgetik yang digunakan adalah paracetamol 500 mg. Menurut pengalaman klinik kamiparacetamol cukup aman untuk penderita dengan kelainan ginjal. Walaupun efek analgetiknya tidak begitu kuat, namundemikian cukup efektif sebagai analgetik pasca operasi odontectomy impaksi gigi geraham bungsu. Hal ini terlihat padakontrol hari pertama pasien sudah tidak merasakan sakit.

Pasien cabut gigi dengan kelainan jantung. Menurut pengalaman klinik kami, paracetamol adalah salah satu analgetikyang cukup efektif dan aman sebagai pencegahan nyeri untuk penderita tersebut, walaupun efek analgetiknya lebih kecildibanding aspirin dan metamizol. Ini terlihat pada pasien tersebut yang hanya meminum paracemol tablet 500 mg.sebanyak 2 kali saja. Pada penderita dengan gangguan jantung, biasanya mendapatkan terapi obat-obat untukpengenceran darah. Pada kasus ini penderita diberikan aspilet. Pencabutan dilakukan setelah setelah obat tersebutdihentikan 3 hari karena untuk menghindari efek perdarahan pasca cabut gigi (Triwibowo & Soelistiono, 2001).

KesimpulanBerdasarkan evaluasi klinik kami terhadap 5 kasus uji klinik dan 2 laporan kasus di atas, disimpulkan bahwaParacetamol cukup efektif dan aman sebagai analgetik pencegahan pasca cabut gigi atau operasi odontectomy padahttp://www.pabmi.com - PABMI - Indonesia Association of Oralmaxillofacial SurgeonPowered by Mambo Open Source Generated: 19 September, 2008, 08:35

Page 6: analgesik

pasien dengan kelainan jantung dan kelainan ginjal.

Metamizol, aspirin, ibuprofen, asam mefenamat, dan paracetamol efektif untuk mengatasi sakit pasca operasi impaksigigi molar tiga mandibula. Metamizol mempunyai efek analgetik yang lebih tinggi dibanding paracetamol pada dosis yangsama. Metamizol cenderung lebih bermanfaat dibandingkan aspirin, sedang asam mefenamat cenderung lebihbermanfaat dibandingkan metamizolNimesulide sebagai obat COX-2 efektif sebagai analgetik pasca operasi impaksi molar tiga mandibula. Nimesulidecenderung lebih efektif dalam mengurangi sakit daripada niflumic acid dan ketoprofen. Obat ini juga mempunyai efeksamping yang minimal pada lambung, ginjal, dan platelet.

DaftarPustaka - Day, R., 2000, Cox-2 Spesific Inhibitors: Safer Anti-inflammatory Therapy?, Medical Progress, November, pp. 17-22 - Dwiprahasto, I., 1989, Beberapa Pertimbangan dalam Pemakaian Analgetik-Antipiretik (Non-Narkotik) dalam PraktekSehari-hari, Lembaran Obat dan Pengobatan, Th. III, No. 2, Februari, Yayasan Melati Nusantara - Pierleoni, P., Tonelli, P., and Scaricabarozzi, 1993, A Double-Blind Comparison of Nimesulide and Ketoprofen inDental Sugery, Drugs 46 (Suppl. 1), pp. 168-170 - Rabasseda, X., 1996, Nimesulide Aselective Cox-2 Inhibitor Anti Inflamatory Drug, Drug of Today, ed. 32, pp. 1-23 - Ragot, J.P., Monti, T., and Macciocchi, 1993, Controoled Clinical Investigation of Acute Analgesic Activity ofNimesulide in Pain after Oral Sugery, Drugs 46 (Suppl. 1) pp. 162-167 - Santoso, B., Soelistiono, Rochim, A., dan Dwiprahasto, I., 1993, Randomized Double-Blind Placebo-Controlled Trialof Metamizol and Paracetamol in Post Operative Dental Pain, dalam, Interscience world Conference on Inflamation,Antirheumatics, analgesics, immunomodulators, April, 5th,Geneva, Palexpo, abs. 172 - Soelistiono, Santoso, B., Rochim, A., dan Dwiprahasto, I., 1993, Randomized Double-Blind Placebo-Controlled Trialto asses the Analgesic efect of Metamizol and aspirin after Extraction of Lower Impacted Wisdom Tooth, dalam,Interscience world Conference on Inflamation, Antirheumatics, analgesics, immunomodulators, April, 5th,Geneva,Palexpo, abs. 173 - Soelistiono, Rochim, A., Suryawati, dan Santoso, B., 1996, Clinical Efficacy of Metamizol in Pain after SurgicalImpacted Wisdom Tooth, dalam, Annual Scientific meeting, 11th, IADR, April, Jakarta, Indonesia, abs. 18, p.25 - Soelistiono, Suryawati, Saparyono, B., Soetji, P., dan Widyastuti, M., 2002, Effect of Nime- Sulide and Diclofenac inthe Impacted Third Wisdom Tooth Patients, dalam, Temu Ilmiah Reumatologi, 4-6 Oktober, Jakarta - Triwibowo, A. dan Soelistiono, 2001, Pemakaian Analgetik Non-Narkotik dalam Praktek Kedokteran Gigi, Timnas II,Agustus, FKG UNAIR, Surabaya - Vane, J.R., 1996, Introdution Mechanism of Action of NSAID, Br.J.Rheum, ed. 35, pp. 1-3

Ucapan terimakasih kepada:drg. Agung Triwibowoyang telah mengumpulkan data untuk makalah ini

http://www.pabmi.com - PABMI - Indonesia Association of Oralmaxillofacial SurgeonPowered by Mambo Open Source Generated: 19 September, 2008, 08:35