Upload
acuy-surya-ramdani
View
157
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Data
Data adalah keterangan yang benar dan nyata atau dengan kata lain adalah catatan atas
kumpulan fakta yang mendeskripsikan simbol, grafik, gambar, kata, angka, huruf,
objek ataupun kondisi. Data merupakan bentuk jamak dari datum, berasal dari bahasa
latin yang artinya “sesuatu yang diberikan”. Data terkadang dipandang sebagai
bentuk terendah dari informasi (Vardiansyah, D., 2008).
Istilah data dan file silih berganti digunakan ataupun secara bersama-sama.
File adalah pengarsipan dalam suatu media yang terdiri dari kumpulan karakter dan
didokumentasikan dalam bentuk digital pada komputer. Sehingga, sering sekali istilah
file ataupun data silih berganti digunakan untuk mengacu pada objek yang sama.
Penggunaan istilah “data teks” atau “file teks” sama-sama mengacu kepada objek
yang sama, perbedaan pengertian antara keduanya tersebut tidak begitu jelas. Namun,
istilah data biasanya digunakan untuk mendeskripsikan apa yang menjadi isi suatu file.
Berbagai jenis data antara lain: data gambar, data teks, data suara, dll.
Di dalam ilmu komputer penggunaan istilah tipe data juga digunakan.
Merupakan penjelasan bagaimana data disimpan ataupun diolah oleh komputer. Tipe
data sederhana melingkupi integer, real, boolean, character. Tipe data sederhana
majemuk melingkupi string. Struktur data melingkupi array dan record. Struktur data
majemuk melingkupi stack, queque, list, multilist, pohon biner dan graph (Wahyudi,
B., 2004).
Pemakaian tipe data yang sesuai di dalam proses pemrograman akan
menghasilkan algoritma yang jelas dan tepat, sehingga menjadikan program secara
keseluruhan lebih efisien dan sederhana.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Kompresi Data
Teori Informasi adalah cabang ilmu matematika yang melibatkan penghitungan
informasi, memperlihatkan bagaimana cara untuk mengukur informasi. Sebuah
penelitian yang dipublikasikan tahun 1948 oleh Claude E. Shannon dengan judul “A
mathematical theory of communication” menjadi asal mula lahirnya Teori Informasi.
Sedangkan teori kompresi mengacu kepada Teori Informasi sebagai landasan dasar
teori.
Solomon, D. (2007, hal: 2) mengemukakan definisi kompresi data adalah
proses yang mengkonversi sebuah masukan berupa aliran data (the source atau data
asli mentah) menjadi suatu aliran data lain (the output, aliran bit, atau aliran sudah
dikompres) yang memiliki ukuran lebih kecil. Aliran data (stream) dapat berupa
sebuah file atau buffer pada memori. Data dalam konteks kompresi data melingkupi
segala bentuk digital dari informasi, yang dapat diproses oleh sebuah program
komputer. Bentuk dari informasi tersebut secara luas dapat diklasifikasikan sebagai
teks, suara, gambar dan video.
2.2.1 Konsep
Kompresi data memungkinkan sebuah data dengan suatu metode dapat
direpresentasikan ke dalam bentuk yang memiliki bit-bit (satuan terkecil pembentuk
data) lebih kecil, dikenal dengan istilah encoding. Sebaliknya, dekompresi data juga
memungkinkan wujud “representasi” tersebut dikembalikan ke wujud semula, dikenal
dengan istilah decoding. Bagian algoritma yang melakukan encoding dinamakan
encoder dan yang melakukan decoding dinamakan decoder.
Suatu algoritma kompresi memiliki fungsi encoding dan decoding sekaligus.
Namun pada implementasinya, implementor-lah yang menentukan bagian encoder
ataukah decoder yang menentukan aksi encoding atau decoding yang dipilih dan
diterapkan terhadap suatu data.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Proses encoding dan decoding (Pu, I. M., 2006)
Konsep utama dalam kompresi terletak pada eliminasi redudansi. Hal ini
secara tidak sadar dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya adalah
penggunaan singkatan dalam tulisan. Kita sudah tidak asing dengan penggunaan “&”
sebagai pengganti kata “dan”, “yg” sebagai pengganti kata “yang” dan “cth” sebagai
pengganti kata “contoh”. Permasalahan dalam kompresi data adalah bagaimana
menemukan metode yang efisien untuk menghilangkan redundansi dari berbagai tipe
data serta metode untuk membentuk kembali wujud semula.
Misal S = (s1, s2, …, sn) adalah himpunan alfabet dari data/file. Representasi
digital dari simbol-simbol himpunan tersebut dinamakan code C = (c1, c2, …, cn) dan
setiap simbol tersebut dinamakan codeword. Bentuk representasi dasar dari data
adalah American Standard Code for Information Interchange (ASCII) terdiri atas
sebuah himpunan yang memiliki panjang tetap (fixed length) untuk setiap codeword
(yaitu 8 bit). Dalam kompresi data, setiap panjang dari codeword tersebut diubah
dengan panjang yang tidak tetap (variable length).
Tabel 2.1 Perbandingan kode fixed length dengan variable length
Representasi
Simbol
Kode ASCII
(fixed length)
Jumlah
bit
Prefix Code
(variable length)
Jumlah
bit
A 0100 0001 8 0 1
B 0100 0010 8 100 3
C 0100 0011 8 101 3
D 0100 0100 8 110 3
E 0100 0101 8 111 3
Kompresi
Dekompresi
Input Original Data/File
Input Coded Data/File
Output Coded Data/File
Output Original Data/File
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Klasifikasi Algoritma Kompresi
Dalam kompresi data, tidak ada algoritma yang cocok untuk semua jenis data. Hal ini
disebabkan karakteristik dan pola susunan tiap data berbeda-beda. Berbagai model
matematika dalam menemukan redundansi dalam data tertentu menyebabkan
munculnya aneka ragam algoritma kompresi data.
Terdapat dua golongan besar pada teknik (algoritma) kompresi ketika
berhadapan dengan kemungkinan dalam merekonstruksi kembali data yang telah
dikompres menjadi data original, yaitu kompresi Lossless dan Lossy.
a. Kompresi Lossless
Algoritma kompresi tergolong lossless jika memungkinkan data yang sudah
dikompres dapat direkonstruksi kembali persis sesuai dengan data original.
Teknik ini menjamin tidak ada kehilangan sedikitpun detil atau kerusakan pada
data. Contoh data yang cocok adalah gambar medis, teks, program, spreadsheet
dan lain-lain. Adapun beberapa algoritma yang tergolong dalam jenis ini adalah
algoritma Deflate, Run Length Coding, Huffman, LZW, dan Arithmetic Coding.
Gambar 2.2 Algoritma kompresi Lossless (Pu, I. M., 2006)
b. Kompresi Lossy
Algoritma kompresi tergolong lossy jika tidak memungkinkan data yang sudah
dikompres dapat direkonstuksi kembali persis sesuai dengan data original.
Kehilangan detil-detil yang tidak berarti dapat diterima pada waktu proses
kompresi. Hal ini memanfaatkan keterbatasan panca indera manusia. Maka,
sebuah perkiraan yang mendekati keadaan original dalam membangun kembali
data merupakan hal yang diperlukan untuk mencapai keefektifan kompresi.
Algoritma Kompresi AABBBA 000001101101100
Algoritma Dekompresi 000001101101100
AABBBA
Universitas Sumatera Utara
Contoh data yang cocok adalah gambar, suara dan video. Adapun beberapa
algoritma yang tergolong dalam jenis ini adalah algoritma Wavelet Compression,
CELP, JPEG, MPEG-1 dan WMA.
Gambar 2.3 Algoritma kompresi Lossy (Pu, I. M., 2006)
Kompresi Lossless umumnya diimplementasikan menggunakan salah satu dari
dua jenis pemodelan yang berbeda, yaitu berdasarkan statistik atau dictionary. Basis
statistik menciptakan himpunan codeword baru untuk tiap-tiap simbol berdasarkan
probabilitas kemunculan simbol. Basis dictionary menggunakan suatu pengkodean
sebagai pengganti dari sekumpulan simbol (Nelson, M. et al, 1996).
a. Algoritma kompresi berbasis statistik
Algoritma kompresi berbasis statistik, atau disebut juga berbasis Entropy,
umumnya memiliki konsep memberikan panjang codeword lebih pendek kepada
simbol dengan probabilitas kemunculan yang lebih tinggi. Hal sebaliknya berlaku
kepada simbol dengan probabilitas kemunculan yang lebih rendah. Contoh
algoritma kompresi berbasis statistik adalah Algoritma Huffman, Adaptive
Huffman, Shannon Fano, Arithmetic dan lain-lain.
b. Algoritma kompresi berbasis dictionary
Algoritma kompresi berbasis dictionary umumnya membandingkan pola bagian
data yang akan diproses dengan bagian data yang sudah diproses sebelumnya.
Kemudian menggunakan kode sebagai tanda pengenal yang merujuk kepada pola
perulangan. Contoh algoritma kompresi berbasis dictionary adalah algoritma
varian Lempel-Ziv (LZ), Deflate dan lain-lain.
Algoritma Kompresi 3.1415926 0001100111001
Algoritma Dekompresi 0001100111001
3.14
Universitas Sumatera Utara
Algoritma Deflate adalah algoritma kompresi jenis lossless dengan basis
gabungan antara dictionary dan statistik. Hal ini disebabkan algoritma Deflate itu
sendiri adalah kombinasi antara algoritma LZ77 dan Huffman. Mengambil kelebihan
dari masing-masing metode, sliding-window pada metode LZ77 dan prefix-tree yang
dimiliki metode Huffman menjadikan performa algoritma Deflate layak dibandingkan
dengan berbagai metode kompresi terbaik (Deutsch, L. P. 1996a).
2.3 Algoritma LZ77
Penelitian pada kompresi data hingga tahun 1977 berkonsentrasi kepada cara-cara
mengembangan metode Huffman. Segalanya berubah pada tahun tersebut. Publikasi
“A Universal Algorithm for Sequential Data Compression” oleh Jacob Ziv dan
Abraham Lempel mengemukakan metode baru, yaitu metode berbasis dictionary.
Teknik kompresi yang dikembangkan dalam dokumen tersebut bernama Lempel-Ziv
77 (LZ77). Algoritma LZ77 adalah teknik “sliding window” dimana menggunakan
teks yang dilihat sebelumnya sebagai dictionary terhadap teks yang akan diproses
(Nelson, M. et al, 1996).
Algoritma ini menetapkan sebuah jendela (window). Rangkaian input
(masukan) akan bergerak dari arah kanan ke kiri pada jendela. Atau dengan sudut
pandang lain, jendela ini bergerak dari arah kiri ke kanan terhadap teks. Jendela
tersebut dibagi atas dua bagian. Bagian sebelah kiri dinamakan search buffer, sebagai
dictionary yang berisi rangkaian simbol yang sudah diproses. Bagian sebelah kanan
dinamakan look-ahead buffer, berisi rangkaian simbol sebagai input yang akan
diproses. Ukuran dari masing-masing buffer dalam implementasi boleh jadi bervariasi.
Memperluas area pencarian (search buffer) memungkinkan algoritma mencari
rangkaian simbol terpanjang yang sesuai dengan masukan (look-ahead buffer).
Memperluas area masukan berarti memungkinkan panjang rangkaian simbol yang
mungkin sesuai semakin besar. Namun, umumnya search buffer berukuran 2-8 Kbytes
dan look-ahead buffer berukuran 8-32 bytes.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Sliding Window (Salomon, D, 2007)
2.3.1 Encoder
Encoder melakukan pembacaan pada search buffer dari arah kanan ke kiri. Mencari
simbol yang sesuai dengan simbol pertama pada look-ahead buffer, yaitu “i” pada
gambar 2.4. Simbol pertama dijumpai pada jarak 20 simbol dari ujung search buffer
(offset). Encoder kemudian berusaha mencocokkan rangkaian simbol. Di sini panjang
rangkaian (length) yang sesuai adalah 6 (“input”). Pencarian berlanjut terus menerus
hingga search buffer semuanya berhasil ditelusuri. Simbol kedua dijumpai pada offset
26 dengan panjang rangkaian (length) yang sesuai adalah 6 (“input”). Oleh karena
penelururan telah selesai, encoder mencari nilai length terbesar dan offset terkecil.
Simbol “p” dicatat sebagai code, yaitu simbol pertama yang tepat berada disebelah
kanan rangkaian simbol yang sesuai (“input”) di look-ahead buffer. Encoder
kemudian menghasilkan token (20, 6, p).
Proses kemudian kembali berulang dengan menggeser sliding window
sebanyak length+1 simbol terhadap teks. Maka, search buffer akan berisi
“nputdeflatedalaminputp” dan look-ahead buffer berisi “rosesdeflat“. Jika
dalam pencarian tidak terdapat simbol yang sesuai atau jika simbol yang sesuai hanya
1, maka dihasilkan token (0, 0, code).
Gambar 2.5 Cara Kerja Algoritma Encoder LZ77
Terdapat suatu keunikan dalam menghasilkan token, kemampuan untuk
seakan-akan memakai sebagian dari look-ahead buffer sebagai search buffer. Pada
gambar 2.5, token yang dihasilkan seharusnya (4, 4, a). Ternyata encoder
amadimenanggapiamanamanatpresiden … Rangkaian simbol yang akan dibaca
inputinputdeflatedalaminputproses ...upakan deflatingdaninflatin...
search buffer look-ahead buffer
Sliding Window
Rangkaian simbol yang akan dibaca
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan token (4, 5, t). Dengan ukuran length 5 berarti secara paksa melewati
batas pemisah jendela. Jika didapati dictionary “…aman” dengan token (4, 5, t) akan
menghasilkan rangkaian “amanat”. Hal ini dilakukan untuk efektifitas kompresi.
Teknik ini sangat berguna bila didapati pengulangan yang tergolong cukup banyak.
Contoh, dictionary “…A” dengan token (1, 10, R) akan menghasilkan rangkaian
“AAAAAAAAAAR”.
Perlu diperhatikan, bahwa nilai length mempunyai batas maksimum panjang
look-ahead buffer – 1, atau L-1. Ini dapat kita pahami dengan memperhatikan bentuk
susunan sebuah token (f, l, c). Keberadaan code c tentunya mengurangi kemungkinan
panjang rangkaian simbol yang sesuai dari look-ahead buffer 1 simbol.
Tabel 2.2 Algoritma Encoder LZ77 (Pu, I. M, 2006)
Baris Pseudo code 1 p 1; 2 While not EOF do
3
Temukan rangkaian yang cocok terpanjang sebanyak l bytes dari look-ahead buffer S[p...L-1] di search buffer S[p-B...(p-1)] dimana karakter yang cocok pertama adalah S[m];
4 Output token (p-m, l, S[p+l]); 5 p p + l + 1; 6 End While;
Keterangan:
1. S[1..n] sebagai Source Input.
2. Rangkaian token (f, l, c) sebagai Output.
3. p adalah posisi pointer yang menunjuk pada awal look-ahead buffer.
4. L adalah panjang look-ahead buffer.
5. B adalah panjang search buffer.
6. l adalah panjang rangkaian simbol yang cocok.
7. m adalah posisi yang menunjuk pada karakter pertama yang cocok pada Source
Input.
8. EOF adalah singkatan dari End of File, merupakan tanda akhir isi source input.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Decoder
Decoder memiliki buffer dengan ukuran yang sama dengan Encoder, dimana hanya
memiliki jendela Dictionary. Decoder bekerja membaca rangkaian token. Jika token
merupakan representasi rangkaian simbol sepanjang l, maka Decoder akan membaca
posisi offset f dan menulis sebanyak l simbol ke output. Jika token merupakan
representasi simbol ASCII-token (0, 0, c), maka Decoder akan menulis simbol c
tersebut ke output.
Gambar 2.6 Cara Kerja Algoritma Decoder LZ77
Gambar 2.6 menjelaskan bagaimana menerjemahkan token-token menjadi
output. Token (0, 0, ) menghasilkan “” (spasi), dimana hasil output masih berada
dalam jendela dictionary. Isi dari jendela dictionary digeser sebanyak nilai offset + 1,
atau f + 1. Operasi tersebut menghasilkan bentuk sesuai poin 2 Gambar 2.6. Token (4,
5, t) menghasilkan “amanat” dimana jika diperhatikan nilai length lebih besar dari
nilai offset. Bagaimana Decoder mampu menerjemahkan token ini adalah terletak
pada detil cara kerjanya. Decoder tidak bekerja dengan menyalin secara langsung
keseluruhan l simbol dari offset ke output, namun bekerja menerjemahkan satu simbol
demi satu simbol.
Tabel 2.3 Algoritma Decoder LZ77 (Pu, I. M, 2006)
Baris Pseudo code 1 p 1; 2 While not EOF do 3 Baca token berikutnya; 4 S[p...(p+l-1) S[(p-f)...(p-f+l-1)]; 5 S[p+l] c; 6 p p + l + 1; 7 End While;
Apabilaamadimenanggapi (0, 0, ) …dral.
pabilaamadimenanggapi (17, 3, n) …dral. A
(1)
laamadimenanggapiaman (4, 5, t) …dral. Apabi (2)
dimenanggapiamanamanat …dral. Apabilaama
(3)
(0, 0, ) (4)
Universitas Sumatera Utara
Keterangan:
1. Rangkaian token (f, l, c) sebagai Input.
2. S[1..n] sebagai Source Output.
3. p adalah posisi pointer yang menunjuk pada awal Dictionary.
4. l adalah panjang rangkaian simbol yang cocok.
5. f adalah offset, posisi yang menunjuk karakter pertama dari sisi kanan Dictionary.
2.4 Algoritma Huffman
Semenjak penelitian David A. Huffman “A Method for the Construction of Minimum
Redundancy Codes” dipublikasikan tahun 1952, metode yang dikembangkannya
menjadi konsentrasi banyak penelitian dalam jumlah yang besar. Teknik kompresi
yang dikembangkan dalam dokumen tersebut bernama Huffman dan berbasis statistik.
Algoritma Huffman adalah teknik “prefix-tree” dimana menggunakan sebuah pohon
biner guna menghasilkan kode pengganti yang optimal bagi simbol-simbol dengan
probabilitas kemunculan yang lebih tinggi (Sayood, K, 2003).
Letak keberhasilan kompresi dengan metode ini adalah menerapkan variable
length gantinya fixed length. Misal pada representasi ASCII, sebuah karakter disimpan
dengan ukuran seragam 8 bit. Dengan menerapkan variable length, maka simbol yang
memiliki probabilitas kemunculan yang lebih tinggi diberi codeword dengan ukuran
lebih kecil.
Untuk mencapai maksud tersebut, algoritma ini mengkonstruksi pohon biner
yang dinamakan “prefix-tree” atau pohon Huffman. Dinamakan demikian oleh karena
tidak ada codeword yang dihasilkan merupakan awalan dari codeword lainnya. Hal itu
menjamin keunikan dari masing-masing kode sehingga proses dekompresi tidak
ambigu.
Algoritma huffman akan menggunakan “prefix-tree” dalam melakukan
pembentukan kode-kode huffman. Kode inilah yang akan menggantikan setiap byte
pada data. “prefix-tree” ini jugalah yang akan digunakan untuk menerjemahkan
kembali byte data semula.
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Encoder
Dalam proses kompresi, Encoder terlebih dahulu membaca keseluruhan source input,
membentuk tabel frekwensi, menciptakan pohon huffman dan kemudian memperoleh
kode huffman untuk tiap simbol. Kode huffman tersebut digunakan dalam melakukan
proses encoding terhadap source input.
Dalam pembentukan pohon huffman, sebuah daftar atau tabel simbol dibentuk
dan diurutkan berdasarkan nilai probabilitas kemunculannya. Daftar tersebut
dinamakan ordered list. Simbol-simbol dalam daftar berulang kali dikombinasikan
dengan simbol ataupun subtree lainnya, 2 simbol atau node dikombinasikan untuk
membentuk sebuah node baru yang merupakan sebuah subtree. Pohon akan
berkembang setiap kombinasi terjadi sampai akhirnya menghasilkan root.
Perulangan dalam pembentukan pohon Huffman:
1. Kombinasikan 2 simbol terakhir pada daftar (probabilitas kemunculan terendah)
dan diganti dengan simbol representasi pengganti.
2. Simbol representasi pengganti yang menggambarkan sebuah subtree, ditempatkan
berdasarkan nilai gabungan dari probabilitas kemunculan kedua simbol.
Beberapa aturan pembentukan pohon Huffman:
1. Simbol asli berada pada daun.
2. Node adalah hasil kombinasi, apakah menggunakan simbol asli atau simbol
representasi pengganti atau keduanya.
3. Node diberi bobot dengan nilai penjumlahan nilai probabilitas kemunculan kedua
cabangnya.
4. Node boleh diberi simbol representasi pengganti kombinasi dari simbol cabang.
5. Cabang sebelah kiri diberi bobot dengan nilai 0 dan sebelah kanan 1.
6. Simbol representasi pengganti yang baru diurutkan dalam daftar dengan posisi
teratas jika didapati nilai probabilitas kemunculan yang sama.
7. Representasi pengganti gabungan terakhir pada daftar dianggap sebagai root.
Universitas Sumatera Utara
Andaikata sebuah string “JIKA DIA AKUI DIRINYA” sebagai source input,
algoritma Huffman pertama sekali melakukan penghitungan untuk tiap simbol-simbol
yang ada. Dimulai dari simbol pertama yaitu “J”, bergerak secara sekuensial ke indeks
berikutnya, yaitu “I”. Setiap ditemukan simbol baru yang tidak ada pada daftar, maka
simbol tersebut akan ditambahkan dengan memberikan nilai probabilitas awal 1.
Sebaliknya, jika ditemukan simbol yang sudah ada pada daftar, nilai probabilitasnya
cukup ditambah 1. Setelah mencapai indeks terakhir, tabel 2.4 adalah tabel frekwensi
dan ordered list yang dihasilkan.
Tabel 2.4 Daftar Simbol Dan Probabilitas
Simbol Dan Probabilitas Awal
Simbol Dan Probabilitas Yang Diurutkan
J 1 I 5 I 5 A 4 K 2 _ (spasi) 3 A 4 K 2
_ (spasi) 3 D 2 D 2 J 1 U 1 U 1 R 1 R 1 N 1 N 1 Y 1 Y 1
Penggabungan pertama sekali dilakukan pada simbol N dan Y dengan simbol
representasi baru (NY), kedua pada simbol U dan R dengan simbol representasi baru
(UR) dan ketiga pada simbol D dan J dengan simbol representasi baru (DJ). Hasil
penggabungan tersebut tampak pada gambar 2.7 dan keadaan Ordered List tahap demi
tahap tampak pada tabel 2.5.
Gambar 2.7 Pembentukan Pohon Huffman Tahap 1, 2 dan 3
D J U R 2 1 1 1
2 3
N Y 1 1
2 0 0 0 1 1 1
A 4
I 5
_
3
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 Ordered List Awal, Tahap 1, Tahap 2 dan Tahap 3
Ordered List Awal
Ordered List Tahap 1
Ordered List Tahap 2
Ordered List Tahap 3
I 5 I 5 I 5 I 5 A 4 A 4 A 4 A 4 _ 3 _ 3 _ 3 (DJ) 3 K 2 (NY) 2 (UR) 2 _ 3 D 2 K 2 (NY) 2 (UR) 2 J 1 D 2 K 2 (NY) 2 U 1 J 1 D 2 K 2 R 1 U 1 J 1 N 1 R 1 Y 1
Penggabungan keempat dilakukan pada simbol (NY) dan K dengan simbol
representasi baru ((NY)K), kelima pada simbol _ dan (UR) dengan simbol
representasi baru (_(UR)) dan keenam pada simbol A dan (DJ) dengan simbol
representasi baru (A(DJ)). Hasil penggabungan tersebut tampak pada gambar 2.8 dan
keadaan Ordered List tahap demi tahap tampak pada tabel 2.6.
Gambar 2.8 Pembentukan Pohon Huffman Tahap 4, 5 dan 6
Tabel 2.6 Ordered List Tahap 4, Tahap 5 dan Tahap 6
Ordered List Tahap 4
Ordered List Tahap 5
Ordered List Tahap 6
I 5 (_(UR)) 5 (A(DJ)) 7 ((NY)K) 4 I 5 (_(UR)) 5
A 4 ((NY)K) 4 I 5 (DJ) 3 A 4 ((NY)K) 4
_ 3 (DJ) 3 (UR) 2
_
U R
3
1 1
2
5 0
0
1 I 5
A
D J
4
2 1
3
7 0
0
1
1
4
K 2
N Y 1 1
2
0
0
1
1 1
Universitas Sumatera Utara
Penggabungan ketujuh dilakukan pada simbol I dan ((NY)K) dengan simbol
representasi baru (I((NY)K)), kedelapan dilakukan pada simbol (A(DJ)) dan (_(UR))
dengan simbol representasi baru ((A(DJ))(_(UR))). Hasil penggabungan tersebut
tampak pada gambar 2.9 dan keadaan Ordered List tahap demi tahap tampak pada
tabel 2.7.
Gambar 2.9 Pembentukan Pohon Huffman Tahap 7 dan 8
Tabel 2.7 Ordered List Tahap 7 dan Tahap 8
Ordered List
Tahap 7
Ordered List
Tahap 8
(I((NY)K) 9 ((A(DJ)) (_(UR))) 12
(A(DJ)) 7 (I((NY)K) 9
(_(UR)) 5
Setelah mencapai tahap 8, pada Ordered List hanya didapati 2 simbol, yaitu
((A(DJ)) (_(UR))) dan (I((NY)K)). Penggabungan terhadap 2 simbol itu kemudian
dilakukan dan menyisakan hanya 1 simbol pada daftar yang terbaru. Ketika Encoder
membaca dan mendapati hanya satu simbol yang berada pada daftar, yaitu
representasi simbol (((A(DJ)) (_(UR)))(I((NY)K))), maka proses pembentukan pohon
Huffman selesai. Hasil akhir tampak pada gambar 2.10.
I
A _
D J U R
5
4 3
2 1 1 1
2 3
4
K 2
N Y 1 1
2
5 7
9 12 0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1 1
1 1
1
1
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.10 Prefix-tree
Kode huffman didapati dengan menelusuri pohon huffman yang terbentuk.
Cabang sebelah kiri diberi bobot 0 dan cabang sebelah kanan diberi bobot 1. Dimulai
dari root hingga mencapai daun, rangkaian bobot cabang 1 dan 0 yang dilewati
merupakan kode huffman bagi simbol atau daun yang dituju.
Dengan menggunakan representasi ASCII, string “JIKA DIA AKUI
DIRINYA” akan memerlukan penyimpanan sebesar 21 * 8 bit = 168 bit. Dengan
menggunakan representasi kode Huffman, string tersebut berhasil dikompresi menjadi
“0011 10 111 000 010 0010 10 000 010 000 111 0110 10 010 0010 10 0111 10 1100
1101 000” yang memerlukan penyimpanan sebesar 65 bit.
Tabel 2.8 Kode Huffman
Simbol Kode
Huffman
Jumlah bit Simbol Kode
Huffman
Jumlah bit
A 000 3 R 0111 4
D 0010 4 I 10 2
J 0011 4 N 1100 4
_ (spasi) 010 3 Y 1101 3
U 0110 4 K 111 3
I
A _
D J U R
5
4 3
2 1 1 1
2 3
4
K 2
N Y 1 1
2
5 7
9 12
21 0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1 1
1 1
1
1
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.9 Algoritma Encoder Huffman (Pu, I. M, 2006)
Baris Pseudo code
1 Deklarasi list yang berisi daftar simbol/tree (t1,
t2, ..., tn)
dengan bobot (w1, w2, ..., wn) berturut-turut;
2 for k = 1; k < n; k + 1 do
3 Ambil 2 tree terbawah ti dan tj, wi ≥ wj {bobot
terkecil};
4 t merge(ti, tj);
5 w wi + wj;
6 left_child(t) ti dan right_child(t) tj;
7 edge(t, ti) 0; edge(t, tj) 1;
9 end for;
10 Output codeword dengan menelururi dari root ke
daun;
Keterangan:
1. Pembacaan source input dari awal hingga akhir menghasilkan daftar simbol
sebanyak n buah(t1, t2, ..., tn)beserta probabilitas kemunculan untuk tiap
simbol itu (w1, w2, ..., wn).
2. Codeword yang dihasilkan adalah kode Huffman. Digunakan untuk
mengkompresi source input.
2.4.2 Decoder
Decoder bekerja dengan membaca bit demi bit dan menggunakannya dalam
menelusuri pohon Huffman hingga menemukan simbol. Dimulai dari root kita
menelusuri cabang yang ada di bawah berdasarkan nilai bit. Jika bit yang sedang
dibaca adalah 0, maka akan dipilih cabang sebelah kiri (left_child). Sebaliknya, bit 1
akan menelusuri cabang sebelah kanan (right_child). Setiap node yang ditelusuri akan
diperiksa, apakah sudah mencapai ujung dari pohon tersebut. Jika benar, proses
pembacaan 1 simbol selesai. Simbol yang berada di ujung pohon tersebut akan
diproses sebagai output. Decoder kemudian melanjutkan pemembacaan bit demi bit
Universitas Sumatera Utara
berikutnya dan mengulang langkah-langkah penelusuran pohon Huffman. Proses
dekompresi akan berakhir jika didapati tanda EOF.
Dengan menggunakan pohon Huffman pada gambar 2.10, penerjemahan
rangkaian bit “011110” digambarkan dalam langkah-langkah berikut:
1. Dimulai dari root.
2. Baca bit 0, berpindah ke cabang kiri. Node bukan ujung pohon.
3. Baca bit 1, berpindah ke cabang kanan. Node bukan ujung pohon.
4. Baca bit 1, berpindah ke cabang kanan. Node bukan ujung pohon.
5. Baca bit 1, berpindah ke cabang kanan. Node adalah ujung pohon dengan output
simbol R.
6. Dimulai dari root.
7. Baca bit 1, berpindah ke cabang kanan. Node bukan ujung pohon.
8. Baca bit 0, berpindah ke cabang kiri. Node adalah ujung pohon dengan output
simbol I.
Tabel 2.10 Algoritma Decoder Huffman (Pu, I. M, 2006)
Baris Pseudo code 1 p root; 2 while not EOF 3 Baca bit berikutnya b; 4 if b = 0 then 5 p left_child(p); 6 Else 7 p right_child(p); 8 end if; 9 if p = daun then {ujung pohon, leave) 10 Output: p; 11 p root; 12 end if; 13 end while;
Keterangan:
1. Source input berbentuk binary.
2. Source output berbentuk simbol original.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Spesifikasi Algoritma Deflate
Algoritma Deflate adalah algoritma yang dikembangkan oleh Phil Katz. Algoritma
tersebut masih dalam bentuk spesifikasi yang kemudian oleh L. Peter Deutsch
dituangkan dalam publikasi dengan judul “DEFLATE Compressed Data Format
Specification”. Algoritma ini dirancang berdasarkan algoritma LZ77 yang
dikombinasikan dengan algoritma Huffman. Data yang sudah dikompres dengan
algoritma ini terdiri dari rangkaian blok. Ukuran dari blok tersebut tidak tetap, kecuali
blok yang berisi data tidak dikompres dibatasi dengan ukuran 65.535 bytes. Blok-blok
tersebut dikompres menggunakan kombinasi algoritma LZ77 dan Huffman.
Dalam mencari rangkaian simbol yang sesuai (metode LZ77), algoritma
Deflate memiliki kemampuan untuk melakukan pencarian secondary. Hal ini
bertujuan untuk mengoptimalkan length rangkaian simbol yang sesuai.
Gambar 2.11 Secondary Search
Dengan melihat gambar 2.11, length rangkaian simbol yang sesuai bernilai 4.
Namun, encoder akan menunda pemrosesan lebih lanjut dan melakukan secondary
search dengan karakter kedua pada lookahead buffer sebagai awal rangkaian simbol
yang akan dicocokkan. Ternyata length baru yang didapat bernilai 6 untuk string
“apume”. Encoder kemudian akan menjadikan simbol “s” sebagai output
dibandingkan token, bila pencarian yang kedua yang dipakai. Hal inilah yang disebut
dengan secondary search. Ada 3 metode yang dihasilkan dengan memodifikasi
karakteristik secondary search, yaitu high-compression, normal dan fast. Dengan
pilihan metode high-compression, akan dilakukan pencarian sekunder secara
maksimal. Pilihan metode normal akan melakukan pencarian sekunder secukupnya.
Pilihan metode fast akan melakukan pencarian sekunder seminimal mungkin bahkan
tidak ada sama sekali. Implementasi secondary search ini sepenuhnya diserahkan
kepada implementor.
, sapudikadapumembelisapumerah Rangkaian simbol yang akan dibaca …
Universitas Sumatera Utara
Di dalam algoritma “asli” LZ77 sebuah token diharuskan mengandung tiga
unsur, yaitu offset, length dan karakter. Sehingga apabila yang dihasilkan adalah token
(0, 0, c), maka penyimpanan yang dibutuhkan jauh lebih besar daripada ukuran satu
karakter (8 bit). Yang artinya penerjemahan bentuk token tersebut dalam bentuk bit
adalah sebuah pemborosan. Algoritma Deflate memperbaiki kelemahan ini dengan
cara menjadikan karakter asli tersebut sebagai output. Karakter demikian yang tidak
ditemukan kesesuaiannya disebut literal. Bagian data yang terkompresi terdiri atas
literal, distance (offset, pada algoritma LZ77) dan length, dimana Encoder akan
menuliskan kode Huffman untuk ketiga unsur itu. Kode Huffman dihasilkan dengan
menggunakan dua tabel, satu tabel untuk literal dan length, satu lagi untuk distance.
Masing-masing blok dimulai dengan 3 bit pendahulu, 1 bit BFINAL yang
berisi 1 jika blok tersebut adalah blok terakhir dalam data yang terkompresi dan 2 bit
BTYPE yang menentukan bagaimana cara kompresi dilakukan. Bagian berikutnya
adalah pohon Huffman yang bersifat independen atau unik terhadap blok-blok
lainnya. Selanjutnya adalah bagian data yang sudah dikompres. Bagian tersebut berisi
referensi-referensi kepada rangkaian simbol yang sesuai. Referensi tersebut
direpresentasikan atas pasangan <length, backward distance>. Representasi yang
digunakan dalam algoritma Deflate membatasi distance dengan ukuran 32 Kbytes
(walaupun melewati jangkauan satu blok) dan length dengan ukuran 258 bytes, namun
tidak membatasi ukuran blok kecuali yang berisi data tidak dikompres.
Ada 3 cara kompresi yang dapat dilakukan. Sesuai dengan kemungkinan nilai
BTYPE:
1. 00 - Tidak ada kompresi.
2. 01 - Kompresi dengan kode Huffman yang sudah ditentukan.
3. 10 - Kompresi dengan kode Huffman yang dinamis.
2.5.1 Tidak Ada Kompresi (BTYPE 00)
Blok yang menggunakan cara ini tidak akan melakukan kompresi. Hal ini dapat
dimengerti jika terdapat file-file yang tidak dapat dikompres atau sudah pernah
dikompres atau dengan alasan untuk memecah file tanpa kompresi. Pemecahan
Universitas Sumatera Utara
tersebut sangat berguna jika seorang pengguna ingin memindahkan 8 GB data dengan
menggunakan hanya 2 DVD berkapasitas 4.5 GB.
Cara ini tidak menggunakan tabel apapun. Sebuah blok ditulis dengan cara ini
akan didahului 1 byte yang menyatakan blok tidak menggunakan kompresi, diikuti 2
bytes LEN, 2 bytes komplemen LEN dan literal sebanyak LEN bytes. Cara ini dibatasi
dengan ukuran LEN yang merepresentasikan 65.535 bytes literal.
2.5.2 Kompresi Dengan Kode Huffman Yang Sudah Ditentukan (BTYPE 01)
Dua buah tabel telah menjadi kesatuan dan tertanam dalam encoder dan decoder. Hal
ini akan mempercepat proses kompresi namun memiliki kelemahan jika tabel yang
digunakan ternyata sangat berbeda dengan daftar simbol secara statistik. Literal dan
length ditempatkan dalam tabel pertama dan distance pada tabel kedua.
Tabel 2.11 EDOC literal dan length (Deutsch, L. P. 1996a)
Kode Bit ekstra
length Kode Bit ekstra
length Kode Bit ekstra
length
257 0 3 267 1 15, 16 277 4 67-82 258 0 4 268 1 17, 18 278 4 83-98 259 0 5 269 2 19-22 279 4 99-114 260 0 6 270 2 23-26 280 4 115-130 261 0 7 271 2 27-30 281 5 131-162 262 0 8 272 2 31-34 282 5 163-194 263 0 9 273 3 34-52 283 5 195-225 264 0 10 274 3 43-50 284 5 227-257 265 1 11, 12 275 3 51-58 285 0 258 266 1 13, 14 276 3 59-66
Tabel 2.12 Kode Huffman Untuk EDOC (Deutsch, L. P. 1996a)
EDOC bit Kode prefix
0-143 8 00110000–10111111
144-255 9 110010000–111111111
256-279 7 0000000–0010111
280-287 8 11000000–11000111
Universitas Sumatera Utara
Kode yang terdapat pada tabel 2.11 bukan merupakan yang sebenarnya ditulis
ke output. Apa yang sebenarnya ditulis ke output adalah kode prefix untuk EDOC,
yang diuraikan pada tabel 2.12. Untuk itu Istilah EDOC digunakan untuk
menghilangkan pengertian ambigu bagi tabel pertama. Tabel pertama menempatkan
EDOC 0-255 untuk literal, EDOC 256 untuk “end-of-block” dan EDOC 257-285
untuk length. 29 EDOC untuk length tidaklah cukup untuk merepresentasikan 256
kemungkinan yang menyatakan rangkaian simbol yang sesuai dari 3 hingga 258 bytes,
oleh sebab itu bit ektra digunakan. Nilai length tertinggi adalah 258, dengan kata lain
nilai length dibatasi 258 bytes yang artinya look-ahead buffer berukuran 258 bytes.
Sebagai contoh, jika didapati rangkaian simbol yang sesuai mempunyai length
10. Dengan menggunakan tabel 2.11, didapat EDOC 264. Kemudian, dengan tabel
2.12 EDOC 264 ditulis dengan 7 bit kode prefix, yaitu 0001000. Length 20 menjadi
EDOC 269 diikuti 2 bit ekstra 01, ditulis dengan 7 bit kode prefix, yaitu 0001101|01.
Length 258 menjadi EDOC 285, ditulis dengan 8 bit kode prefix, yaitu 11000101.
Sebuah end-of-block ditulis dengan 7 bit nilai 0, yaitu 0000000.
Tabel 2.13 Kode distance (Deutsch, L. P. 1996a)
Ko de
Bit ekstra
distance Ko De
Bit ekstra
distance Ko de
Bit ekstra
distance
0 0 1 10 4 33-48 20 9 1025-1536 1 0 2 11 4 49-64 21 9 1537-2048 2 0 3 12 5 65-96 22 10 2049-3072 3 0 4 13 5 97-128 23 10 3073-4096 4 1 5, 6 14 6 129-192 24 11 4097-6144 5 1 7, 8 15 6 193-256 25 11 6145-8192 6 2 9-12 16 7 257-384 26 12 8193-12288 7 2 13-16 17 7 385-512 27 12 12289-16384 8 3 17-24 18 8 513-768 28 13 16385-24576 9 3 25-32 19 8 769-1024 29 13 24577-32768
Tabel kedua, yaitu tabel distance dapat dilihat pada tabel 2.13. Sebuah jarak
direpresentasikan dengan kode prefix 5 bit yang diikuti dengan bit ekstra. Pertama
sekali, dengan menelusuri nilai jarak pada kolom distance, didapatlah “kode” pada
kolom kode yang merupakan prefix 5 bit tersebut. Pada kolom bit ekstra didapati
panjang bit ekstra. Untuk mendapatkan bit ekstra, dilakukan pengurangan antara jarak
dengan nilai awal pada kolom distance lalu dikonversi ke dalam bentuk bilangan biner
Universitas Sumatera Utara
dengan penambahan nol secukupnya sesuai panjang bit ekstra yang didapat. Nilai
distance tertinggi adalah 32.768, dengan kata lain nilai jarak dibatasi 32.768 bytes
yang artinya search buffer berukuran 32.768 bytes.
Sebagai contoh, jika didapati rangkaian simbol yang sesuai dengan distance 6,
ditulis 00100|1. Distance 21 ditulis 01000|100. Distance 401 ditulis 10001|0010000.
Distance 8195 ditulis 11010|000000000010. Distance 19505 ditulis 11100|
0110000110000.
Blok yang ditulis dengan cara ini akan didahului 1 byte yang menyatakan blok
menggunakan “kompresi dengan kode Huffman yang sudah ditentukan”, diikuti
bagian data yang sudah dikompres. Bagian ini ditulis dengan bentuk kode prefix untuk
literal dan length, dan kode prefix lain untuk distance. Blok diakhiri dengan kode
prefix “end-of-block”.
2.5.3 Kompresi Dengan Kode Huffman Yang Dinamis (BTYPE 10)
Pembangunan tabel kode sesuai dengan keadaan data yang akan dikompres dilakukan
pada blok ini. Hal ini menghasilkan tabel kode yang unik. Pembacaan keseluruhan
source input akan dilakukan untuk membentuk tabel probabilitas guna menghasilkan
kode Huffman. Dua buah tabel seperti cara BTYPE 01 juga dibentuk, keduanya ditulis
menjadi kesatuan dalam bagian data yang sudah dikompres dengan cara yang unik.
Bagian terpenting dalam algoritma Deflate ini terletak pada bagaimana mengkompresi
tabel kode dan bagimana mengembalikannya seperti semula.
Langkah-langkah utama untuk melakukan hal itu adalah sebagai berikut:
1. Masing-masing tabel dimulai sebagai pohon Huffman.
2. Pohon tersebut disusun kembali untuk memenuhi bentuk standar yang dapat
direpresentasikan menjadi rangkaian dari panjang kode.
3. Rangkaian kemudian dikompres dengan Run Length Encoding menjadi rangkaian
yang lebih sederhana.
Universitas Sumatera Utara
4. Dengan algoritma Huffman, diperoleh kode Huffman untuk rangkaian
sebelumnya. Pohon Huffman kembali disusun kembali untuk memenuhi bentuk
standar.
5. Pohon Huffman kemudian direpresentasikan menjadi rangkaian dari panjang kode
yang sebelumnya dipermutasi dan bisa saja dihilangkan sebagian pada output.
Dalam menggunakan algoritma Huffman, terdapat beberapa aturan tambahan
yang diberikan oleh algoritma Deflate. Pohon Huffman diharuskan memiliki bentuk
standar. Untuk itu, pohon yang baru harus memenuhi aturan berikut:
1. Kode yang lebih pendek muncul di sebelah kiri dan yang lebih panjang muncul di
sebelah kanan di pohon Huffman.
2. Ketika beberapa simbol memiliki kode dengan panjang yang sama, secara
lexicographically simbol yang lebih kecil ditempatkan di sebelah kiri.
Sebagai contoh, enam simbol (A, B, C, D, E, F) memiliki probabilitas
kemunculan masing-masing 0.11, 0.14, 0.12, 0.13, 0.24, dan 0.26. Dengan algoritma
Huffman, pohon Huffman yang dikonstruksi tampak pada gambar 2.12. Pohon
tersebut kembali disusun ulang dengan memperhatikan aturan (1) dan (2),
menghasilkan pohon Huffman yang tampak pada gambar 2.13. Pohon ini memiliki
kelebihan dimana dapat direpresentasikan secara baik oleh rangkaian 3, 3, 3, 3, 2, 2
yang adalah panjang kode dari keenam simbol tadi.
Gambar 2.12 Bentuk Standar Pohon Huffman Aturan (1)
A 000
C 001
E 01
D 100
B 101
F 11
0 0
0 0 1
1 1
1
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.13 Bentuk Standar Pohon Huffman Aturan (1) Dan (2)
Jika keenam simbol tersebut memiliki probabilitas kemunculan yang berbeda,
antara lain 0.26, 0.11, 0.14, 0.12, 0.24, dan 0.13. Maka, Rangkaian yang tebentuk
adalah 2, 3, 3, 3, 2, 3. Panjang dari kode dibatasi hingga 4 bit masing-masing. Dimana
dalam integer batas itu mempunyai interval [1, 15], berimplikasi bahwa kode tersebut
memiliki panjang paling banyak 15 bit.
Decoder mampu menghasilkan pohon Huffman kembali dengan membaca
rangkaian panjang kode dari tiap-tiap simbol. Penggalan berikut merupakan bagian
dari algoritma Deflate dalam menghasilkan kode yang kemudian ditempatkan pada
tree[I].code:
1. Hitung jumlah kode untuk masing-masing panjang kode. Menggunakan
bl_count[N] sebagai nilai yang menyatakan jumlah kode dengan panjang kode N
(N >= 1).
2. Hitung nilai dasar untuk masing-masing panjang kode yang ditempatkan pada
next_code[N] untuk panjang kode N.
code = 0; bl_count[0] = 0; for (bits = 1; bits <= MAX BITS; bits++) f
code = (code + bl_count[bits-1]) << 1; next_code[bits] = code; g
3. Menghasilkan kode yang sebenarnya.
for (n = 0; n <= max_code; n++) f
len = tree[n].Len; if (len != 0) f
tree[n].Code = next code[len]; next code[len]++;
C 110
D 111
A 100
B 101
0 0 1
1 E 00
F 01
1 1
0 0
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh, diberikan masukan rangkaian 3, 3, 3, 3, 3, 2, 4, 4. Langkah
pertama tidak menemukan kode untuk panjang kode 1, 1 buah kode untuk panjang
kode 2 (bl_count[2] = 1), 5 buah kode untuk panjang kode 3 (bl_count[3] = 5) dan 2
buah kode untuk panjang kode 4 (bl_count[4] = 2). Langkah kedua memberi nilai 0
sebagai nilai dasar pada panjang kode 1. Dalam loop berikutnya tidak menemukan
kode, maka diberi nilai 0 sebagai nilai dasar pada panjang kode 2. Loop berikutnya
menemukan 1 buah kode, maka panjang kode 3 diberi nilai dasar 2 (2*(1+0)). Loop
terakhir ditemukan 5 buah kode, maka panjang kode 4 diberi nilai dasar 14 (2*(2+5)).
Langkah ketiga menghasilkan 3 bit kode 010 (nilai dasar 2), 011 (nilai dasar 2 + 1),
100 (nilai dasar 2 + 2), 101 (nilai dasar 2 + 3), 110 (nilai dasar 2 + 4) . Berikutnya
menghasilkan 4 bit kode 1110 (nilai dasar 14), 1111 (nilai dasar 14 + 1) dan terakhir 2
bit kode 00 (nilai dasar 0).
Rangkaian yang dijelaskan diatas dikenal dengan istilah SQ (Short Sequence)
dari panjang kode CL (Code Length). Algoritma Deflate lebih lanjut melakukan
kompresi terhadap SQl dengan menggunakan Run Length Encoding. Langkah-langkah
berikut dilakukan dalam mencapai maksud tersebut:
1. Menerapkan Run Length Encoding, menghasilkan rangkaian baru dengan istilah
SSQ (Short of Short Sequence).
2. Membangun pohon Huffman dari SSQ dan menghasilkan rangkaian baru dengan
istilah CCL (Code of Code Length) untuk kode-kode Hufman tersebut.
3. Permutasi ataupun juga penyederhanaan dari CCL dalam bagian data yang sudah
dikompres pada blok.
Langkah pertama. Ketika sebuah CL muncul lebih dari tiga kali, encoder
menambahkan CL kepada SSQ diikuti dengan flag khusus 16 dan 2 bit faktor
pengulangan (3-6 pengulangan). Sebagai contoh, sebuah rangkaian memuat CL 7
berulang-ulang sebanyak enam kali, akan dikompres menjadi 7, 16, 102. Faktor
pengulangan 102 menyatakan 5 kemunculan berturut-turut dari panjang kode yang
sama. Jika sebuah rangkaian memuat CL 6 berulang-ulang sebanyak sepuluh kali,
akan dikompres menjadi 6, 16, 112, 16, 002. Faktor pengulangan 112 menyatakan 6
Universitas Sumatera Utara
kemunculan berturut-turut dan 002 menyatakan 3 kemunculan berturut-turut dari
panjang kode yang sama.
CL 0 akan didapati dalam jumlah yang banyak. Hal ini dikarenakan dalam satu
blok akan banyak literal/length ataupun distance yang tidak muncul ataupun
ditemukan sehingga diberi nilai CL 0. Penggunaan flag khusus 17 dan 18 dikenakan
kepada CL 0. Flag 17 akan diikuti dengan 3 bit faktor pengulangan (3-10 pengulangan
CL 0). Flag 18 akan diikuti dengan 7 bit faktor pengulangan (11-138 pengulangan CL
0). Sebagai contoh, sebuah rangkaian memuat CL 0 berulang-ulang sebanyak enam
kali dikompres menjadi 17, 112 dan dua belas CL 0 dikompres menjadi 18, 012.
Terdapat SQ dengan 28 CL: 4, 4, 4, 4, 4, 3, 3, 3, 6, 6, 6, 6, 6, 6, 6, 6, 6, 6, 0, 0,
0, 0, 0, 0, 2, 2, 2, 2. Rangkain tersebut akan dikompres menjadi SSQ dengan 16 angka:
4, 16, 012, 3, 3, 3, 6, 16, 112, 16, 002, 17, 112, 2, 16, 002. Atau dalam desimal menjadi:
4, 16, 1, 3, 3, 3, 6, 16, 3, 16, 0, 17, 3, 2, 16, 0.
Langkah kedua. Menghasilkan kode Huffman untuk SSQ berikut (dengan
probabilitas kemunculan berada pada tanda kurung): 0(2), 1(1), 2(1), 3(5), 4(1), 6(1),
16(4), 17(1). Pohon Huffman dalam bentuk standar dapat dilihat pada gambar 2.14
dan 2.15. Sehingga didapatlah kode Huffman dengan CCL sebagai berikut: 4, 5, 5, 1,
5, 5, 2 dan 4 berturut-turut untuk kode 0, 1, 2, 3, 4, 6, 16, dan 17.
Gambar 2.14 Pohon Huffman SSQ
3 1
16 01 17
0011
4 00100
6 00101
1 00010
2 00011
0 0000
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.15 Bentuk Standar Pohon Huffman SSQ
Langkah ketiga. Rangkaian dari CCL kemudian diperluas menjadi 19 angka
dengan menambahkan angka ‘0’ kepada posisi CCL yang tidak dipakai. Kemudian
akan dilakukan pengacakan dengan urutan tertentu dan dilakukan permutasi.
Position : 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
CLL : 4 5 5 1 5 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 4 0
Position : 16 17 18 0 8 7 9 6 10 5 11 4 12 3 13 2 14 1 15
CLL : 2 4 0 4 0 0 0 5 0 0 0 5 0 1 0 5 0 5 0
Permutasi dilakukan dengan maksud menghilangkan rangkaian ‘0’ yang
berada diakhir rangkaian dari CCL, sehingga dengan memperhatikan contoh diatas
rangkaian akhir berupa 18 kode. Rangkaian akhir kemudian akan ditulis pada
compressed stream.
Blok yang ditulis dengan cara ini akan didahului 1 byte yang menyatakan
“blok menggunakan kompresi dengan kode Huffman yang dinamis”, diikuti tabel
kode Huffman, dua buah tabel (literal/length dan distance) dan bagian data yang
sudah dikompres. Bagian ini ditulis dengan bentuk kode prefix untuk literal dan
length, dan kode prefix lain untuk distance. Blok diakhiri dengan sebuah kode “end-
of-block”.
0 1100
3 0
16 10
1 11100
2 11101
17 1101 4
11110
6 11111
Universitas Sumatera Utara