38
PEMIKIRAN AL-ZARNUJI DALAM KITAB TA’LI AL- MUTA’ALLIM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM ( Telaah Dalam Perpektif Filsafat Pendidikan) 8 Juni 2010 oleh maragustamsiregar Abstract Ta’lim al-Muta’allim is one of the Syekh Tajudin Nu’man bin Ibrahim al- Khalil al-Zarnuji’s monumental work who lived in the century of 6 th H/13- 14 AD. There are three reasons why this book to be foused on this writing; first, the contents of this book are enriched by Islamic educational values; second, the teaching of this book have been practised in the Islamic world Education in Indonesia especially in pesantren (Islamic Boarding School); and the third, the rest of teaching of this books is still relevant to be applied in Islamic world education today, more especially religious and pluralistic Indonesian societies who are moslems. The subject of discussion are as follows (1) what is the purpose of education / how to get knowledge according to al-Zarnuji in his book, (2) how is the basic features of human moral and human resource development and (3) how is the position of al-Zarnuji thought on educational purpose in the map of Islamic educational philosophy. The approach used in this writing is the instrument of educational philosophy (exlective incooperative) and the analysis technique uses analysis content. The result of research according to al-Zarnuji said fount that the purpose of knowledge education focussed more on the God’s values/religious compared to human values/worldly. The basic feature and process of its development are good interactive or positive interactive. While the position of thought in the map of educational thought are in the conservative and religious fields and plus convergence. Key Words: ta’lim al-muta’allim, tujuan pendidikan, sifat dasar moral, rida Allah, dan aliran pemikiran pendidikan. A. Pendahuluan Persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan. Selama manusia ada, maka selama itu pula persoalan pendidikan ditelaah dan direkonstruksi dari waktu ke waktu, baik dalam arti makro seperti kebijakan pendidikan, politik pendidikan, maupun dalam arti mikro,

Al Zarnuji

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Al Zarnuji

PEMIKIRAN AL-ZARNUJI DALAM KITAB TA’LI AL-MUTA’ALLIM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM ( Telaah Dalam Perpektif Filsafat Pendidikan)8 Juni 2010 oleh maragustamsiregar

Abstract

Ta’lim al-Muta’allim is one of the Syekh Tajudin Nu’man bin Ibrahim al-Khalil al-Zarnuji’s

monumental work who lived in the century of 6 th H/13-14 AD. There are three reasons

why this book to be foused on this writing; first, the contents of this book are enriched

by  Islamic educational values; second,  the teaching of this book have been practised in

the Islamic world Education in Indonesia especially in pesantren (Islamic Boarding

School); and the third, the rest of teaching of this books is still relevant to be applied in

Islamic world education today, more especially religious and pluralistic Indonesian

societies who are moslems. The subject of discussion are as follows (1) what is the

purpose of education / how to get knowledge according to al-Zarnuji in his book, (2) how

is the basic features of human moral and human resource development and (3) how is

the position of al-Zarnuji thought on educational purpose in the map of Islamic

educational philosophy. The approach used in this writing is the instrument of

educational philosophy (exlective incooperative) and the analysis   technique  uses

analysis content. The result of research according to al-Zarnuji said fount that the

purpose of knowledge education focussed more on the God’s values/religious compared

to human values/worldly. The basic feature and process of its development are good

interactive or positive interactive. While the position of thought in the map of educational

thought are in the conservative and religious fields and plus convergence.

Key Words: ta’lim al-muta’allim, tujuan pendidikan, sifat dasar moral, rida Allah, dan

aliran pemikiran pendidikan.

A. Pendahuluan

Persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan

kehidupan. Selama  manusia ada, maka selama itu pula persoalan pendidikan ditelaah

dan direkonstruksi dari waktu ke waktu, baik dalam arti makro seperti kebijakan

pendidikan, politik pendidikan, maupun dalam arti mikro, seperti tujuan, metode,

pendidik dan pembelajar, baik konsep filosufinya maupun tataran praktiknya.

Aksentuasinya pada pendidikan, karena masalah kehidupan manusia, pada umumnya

dicari pemecahannya melalui pendidikan.

Page 2: Al Zarnuji

Perkembangan yang cepat sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi,

bagaimanapun juga mempengaruhi terhadap banyaknya masalah dalam usaha dan

proses peningkatan kualitas pendidikan baik pada tataran konsep maupun tataran

praktiknya, apalagi kalau dihubungkan dengan asumsi bahwa problem-problem

pendidikan sebenarnya, berpangkal dari kurang kokohnya landasan filosufis

pendidikannya. Sehingga kajian-kajian mengenai konsep pendidikan yang dilontarkan

para ahli merupakan keharusan. Khusus dalam tulisan ini difokuskan pada pembahasan

Kitab Ta’li>m al-Muta’llim.Warisan intelektual muslim ini penting dikaji ulang, karena

ternyata pemikirannya tersebut relevan diterapkan pada praktik pendidikan sekarang

mengingat pudarnya nilai-nilai akhlak bagi pendidik dan pembelajar. Untuk itu Nurkholis

Madjid mengatakan,  bahwa budaya dunia Islam klasik sedemikian kaya rayanya,

sehingga akan merupakan sumber pemiskinan intelektual yang ironi jika sejarahnya

yang telah berjalan lebih empat belas abad itu diabaikan dan tidak dijadikan bahan

pelajaran. Belajar dari sejarah merupakan perintah langsung dari Allah untuk

memperhatikan Sunnatullah. Termasuk di sini ialah keharusan mempelajari secukupnya

warisan kekayaan intelektual Islam.[1]Kitab ini diangkat kepermukaan karena asumsi

penulis bahwa (1) kitab ini telah memasyarakat pada dunia pendidikan khususnya dunia

pendidikan pesantren, (2) ajaran-ajarannya secara filosufis bersesuaian dengan ruh

pendidikan Islam, dan (3) semakin pudarnya nilai-nilai Islam dalam praktek pendidikan

Islam karena disadari atau tidak dominasi sistem pendidikan Barat telah merasuk dalam

dunia pendidikan Islam. Pada hal pendidikan Barat berbeda dengan pendidikan Islam.

Dalam dunia pendidikan Barat proses pendidikannya semata-mata tanggung jawab

manusia, tidak dihubungkan dengan tanggung jawab keagamaan, tujuan akhir

pendidikannyapun ialah memperoleh kehidupan sejahtera dalam arti materealistik

semaksimal mungkin. Ini tentu berbeda dengan konsep pendidikan Islam, yang semua

aktivitas pendidikan haruslah dikaitkan dengan perwujudannya sebagai hamba Allah dan

sebagai khalifah. Menurut Tohari Musnamar, paling tidak ada lima perbedaan pendidikan

Barat dengan Islam. Pertama, pada umumnya di Barat proses belajar mengajar

tidak dihubungkan dengan Tuhan maupun ajaran agama. Berdasarkan

pandangan hidup Barat yang sekularistik-materialistik, maka motif dan objek

belajar pun adalah sema-mata masalah keduniaan. Berbeda dengan Barat,

Islam mengajarkan bahwa aktivitas belajar dan mengajar itu merupakan suatu

amal ibadah, berkaitan erat dengan pengabdian kepada Allah. Kedua, pada

umumnya konsep pendidikan Barat beranggapan bahwa masalah belajar dan

mengajar itu adalah semata-mata urusan manusia, sedangkan Islam

mengajarkan bahwa terdapat hak-hak Allah dan hak-hak makhluk lainnya pada

Page 3: Al Zarnuji

setiap individu, khususnya bagi orang yang berilmu. Mereka kelak akan

diminta pertanggungan jawabnya bagaimana cara mengamalkan ilmunya.

Ketiga, pada umumnya konsep pendidikan Barat tidak membahas masalah

kehidupan sebelum dan sesudah mati. Belajar hanyalah untuk kepentingan

dunia, sekarang dan di sini. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pendidikan

Islam. Belajar tidak hanya untuk kepentingan hidup di dunia sekarang, tetapi

juga untuk kebahagiaan hidup di akhirat nanti. Keempat, konsep pendidikan

Barat pada umumnya tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Banyak ahli

Barat yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai (values free).

Maka cara-cara apapun boleh ditempuh asal tercapai tujuannya. Praktek yang

demikian itu tentu saja tidak dikenal dalam ajaran Islam. Kebajikan dan akhlak

yang mulia merupakan unsur pokok dalam pendidikan Islam. Kelima, pada

umumnya tujuan akhir konsep pendidikan Barat ialah hidup sejahtera di dunia

secara maksimal, baik sebagai warga negara maupun sebagai warga

masyarakat. Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam ialah

terwujudnya insa>n ka>mil, yang pembentukannya selalu dalam proses

sepanjang hidup (has a beginning but not an end).[2]

Ada tiga persoalan yang diangkat dalam tulisan ini yaitu (1) apa tujuan

pendidikan/memperoleh ilmu menurut al-Zarnuji (2) bagaimana sifat dasar moral 

manusia dan pengembangan sumber daya manusia dan (3) bagaimana posisi pemikiran

al-Zarnuji tentang tujuan pendidikan dalam aliran filsafat pendidikan Islam. Tulisan yang

bersifat deskriptif ini digunakan pendekatan filsafat pendidikan yakni inkorporatif yakni

gagasan dari kajian teks karya al-Zarnuji mengenai pendidikan, dilihat dari berbagai

pemikiran pendidikan yang dilepaskan dari sistem alirannya. Teknik analisisnya

menggunakan content analisis yakni menarik kesimpulan dalam usaha menemukan

karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis. Dengan demikian

pemikiran pengarang kitab tidaklah dihubungkan dengan setting sosial yang

melingkupinya dan latar belakang pendidikannya.

1. B. Sketsa Pengarang Kitab Ta’li>m al-Muta’allim

Pengarang kitab Ta’li>m al-Muta’llim T}ari>q al-Ta’allum ialah al-Zarnuji,   yang nama

lengkapnya adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji.[3] Dalam

Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yakni al-Zarnuji ialah

Burhanuddin al-Zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M dan Tajuddin al-Zarnuji,

ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun 645H.[4] Al-Zarnuji adalah seorang

sastrawan dari Bukhara,[5] dan termasuk ulama yang hidup pada abad ke-7 H, atau

Page 4: Al Zarnuji

sekitar abad ke-13-14 M, ia dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Ta’li>m al-

Muta’lim.[6] Kitab ini telah diberi syarah (komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil al-Syekh

Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh Ta’li>m al-Muta’llim T}ari>q al-Ta’allum dan

oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007 H/ 1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul

Wahab al-Sya’rani ahli tasauf dan al-Qadli Zakaria al-Anshari.[7]

Tentunya kitab ini tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di

pondok pesantren Salafiyah, karena kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri

dalam menuntut ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan

pendapat para ahli pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam al-

Ghazali. Kitab ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam

Islami sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak.[8] Al-Zarnuji tinggal di

Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan kepadanya. Seperti disebutkan

dalamQa>mu>s Islami[9], bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang

masyhur yang terletak di kawasan sungai Tigris (ma> wara’a al-nahr) yakni Turtkistan

Timur.

. ] [ ( , خوقند, من بالقرب تقع الشرقية تركستان النهر وراء ما إقليم في مشهورة كانت بدة رنوق أو زرنوجى

Dalam kitabnya seacra implisit, al-Zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal, namun

secara umun ia hidup pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir

ialah al-Mu’tashim (wafat tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di

kawasan Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya

contoh-scontoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.

[10]

1. C. Tujuan Pendidikan/Tujuan Memperoleh Ilmu

Pendidikan merupakan upaya belajar dengan bantuan orang lain untuk mencapi

tujuannya. Maksud tujuan pendidikan atau belajar/ memperoleh ilmu di sini ialah suatu

kondisi tertentu yang dijadikan acuan untuk menentukan keberhasilan

belajar/pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan/belajar dalam arti pendidikan

mikro ialah kondisi yang diinginkan setelah individu-individu melakukan kegiatan belajar.

Tujuan adalah apa yang dicanangkan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat

perhatian, dan demi merealisasikannya dia menata tingkah lakunya. Tujuan itu sangat

penting artinya karena dia berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan

segala  aktivitas pendidikan, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan

lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan

memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Kualitas dari tujuan itu sendiri

bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan kualitas kehidupan

Page 5: Al Zarnuji

manusia. Sebagai contoh, tujuan pendidikan di Sekolah Dasar ialah cerdas. Makna cerdas

sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan cerdas tahun sekarang (2007). Lebih-lebih

tujuan pendidikan yang di dalamnya syarat dengan nilai-nilai yang bersifta fundamental,

seperti nilai moral dan nilai agama. Kualitas takwa pada anak-anak-anak berbeda dengan

kutalitas takwa pada orang dewasa, demikian juga setelah manusia menjelang usia

lanjut. Tujuan pendidikan atau belajar suatu bangsa atau seseorang pada dasarnya

bersumber pada filsafat hidup suatu bangsa itu dan keyakinan dalam beragama. Maka

dengan perbedaan filsafat hidup dan kualitas keagamaan antar ahli pendidikan,

menjadikan lahirnya perbedaan dalam menetapkan tujuan belajar. Secara makro tentu

tujuan pendidikan suatu bangsa akan berbeda dengan tujuan pendidikan  bangsa lain,

disamping adanya persamaan-persamaan.

Menurut al-Jamaliy, tujuan pendidikan Islam antara ialah (1) agar seseorang mengenal

statusnya di antara makhluk dan tangung jawab masing-masing individu di dalam hidup

mereka di dunia, (2) agar mengenal interaksinya di dalam masyarakat dan tanggung

jawab mereka di tengah-tengah sistem kemasyarakatan, (3) supaya manusia kenal alam

semesta dan membimbingnya untuk mencapai hikmat Allah di dalam menciptakan alam

semesta dan memungkinkan manusia menggunakannya, (4) supaya manusia kenal akan

Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya.[11]Menurut

Syed Muhammad Naqueib bahwa tujuan pendidikan itu supaya menjadikan manusia itu

orang yang baik (the aims of Education in Islam is to produce a good man).

[12] Sedangkan menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan

Islam yaitu (1) untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, (2) untuk persiapan

kehidupan dunia dan akhirat, (3) untuk persiapan mencapai rezeki dan  pemeliharaan

segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat akhlak, atau spritual

semata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan,

kurikulum, dan aktivitasnya. Para pendidik muslim memandang kesempurnaan manusia

tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan,

atau menaruh perhatian pada segi-segi spritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan. (4)

Untuk menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk mengetahui dan

memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sabagai ilmu, (5)  untuk menyiapkan

pembelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai

profesi, teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup

dengan mulia disamping memelihara segi spritual dan keagamaan.[13] Menurut al-

Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:[14]

Page 6: Al Zarnuji

وإحياء الجهال سائر وعن نفسه من الجهل وازلة اآلخرة والدار تعالى الله رضا العلم يطلب المتعلم ينوي أن وينبغى

. . برهان األجل اإلمام الشيخ والنشد الجهل مع والتقوى الزهد واليصح بالعلم اإلسالم بقاء فأن اإلسالم إبقاء و الدين

: لبعضهم شعرا الهداية صاحب الدين

متهتك عالم كبير متنسك           *      فساد جاهل منه وأكبر

. يتمسك * دينه فى بهما لمن عظيمة العالمين في فتنة هما

Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah,

mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri

maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu

dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu.

Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka

bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar

bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan

umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji berkata[15]:

عند والكرامة الدنيا حطام استجالب وال الناس اقبال به ينوى وال البدن وصحة العقل نعمة على الشكر به وينوي

. . وآلئهم عن تبرأت و العتقتهم عبيدى كلهم الناس كان لو تعالى الله رحمه الحسن ابن محمد قال وغيره السلطان

Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat

akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan

tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan

pejabat dan yang lainnya.

Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya,

maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki  oleh orang

lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini[16]:

. ابراهم حمادالدين الدين قوام األستاذ اآلجل اإلمام الشيخ انشد الناس عند فيما قلما به والعمل العلم لذة وجد ومن

شعرا : تعالى الله رحمه حنيفة البي امآلء األنصاري الصفار اسماعيل بن

الرشاد * من بفضل فاز للمعاد العلم طلب من

طالبه .    فيالخسران العباد * من فضل لنيل

Maksudnya: Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya,

maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam

Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah:

Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah

Page 7: Al Zarnuji

kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari

kedudukan di masyarakat.

Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal),

tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen

pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini[17]:

ذلك فيجوز وهواه لنفسه ال الدين واعزاز الحق وتنفيذ المنكر عن والنهى بالمعروف لألمر الجاه طلب اذا اال اللهم

. بجهد العلم يتعلم فإنه ذلك في يتفكر أن العلم لطالب وينبغى المنكر عن والنهى بالمعروف األمر به مايقيم بقدر

: شعر الفانية القليلة الحقيرة الدنيا الى يصرفه فال كثير

القليل من اقل الدنيا الذليل   *    هي من اذل¦ وعاشقها

تعمي * و قوما بسحرها . تصم دليل بال متحيرون فهم

Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh

kedudukan, kalau kedudukan tersebut  digunakan untuk amar makruf nahi munkar,

untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari

keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu.

Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari

dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah

mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak

kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang

yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya

adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-

orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.

Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan

pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuan-

tujuan professional.[18] Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-

Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal,

mensyukuri atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang

bersifat individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi

perubahan tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan

menuju akhirat.  Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari

anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai agama, dan

melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial. Karena dengan tiga

tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan

tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat

bahwa kesalehan dan kecerdasan itu tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri,

Page 8: Al Zarnuji

tetapi juga harus mampu mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat.

Sedangkan tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu

itu ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun

kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat

secara keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan

ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional haruslah atas

dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk itulah nampaknya al-

Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan akhiratmenjadi awal dari

segala  tujuan (nilai sentral) bagi pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada

empat yakni (1) ilmu untuk ilmu (kegemaran dan hobi), (2) sebagai penghubung

memperoleh kesenangan materi, (3) sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan

peradaban mausia, (4) mencari rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini

sebagai tujuan sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental. Lebih

jelasnya dapat diliat dalam gambar berikut:

Dari gambar diatas jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu sebagai

penghubung mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat sebagai nilai sentral yang akan

menyinari dan membingkai tiga tujuan di bawahnya. Artinya seseorang boleh saja

memperoleh ilmu untuk kegemaran, peroleh materi atau kemajuan kebudayaan dan

peradaban asalkan saja dibingkai dan disinari oleh nilai-nilai keagamaan. Ini dapat

dimengerti karena tujuan dalam pendidikan sangat penting artinya.  Karena tujuan

haruslah diletakkan sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya, pembelajar

menata tingkah lakunya. Tujuan juga berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan,

mengarahkan segala aktivitas, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan

lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan

memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Tujuan seperti ini diistilahkan oleh

Ali Abdul Azim sebagai tujuan yang paling agung. Seperti dia katakan berikut ini:[19]

. والجمال والخير للحق األعلى المثل هو وتعالى سبحانه بالله اإلتصال هو اإلسالم في للمعرفة األكثر الهداف وكان

Maksudnya: Tujuan memperoleh ilmu pengetahuan yang paling penting dan agung

dalam Islam, ialah pembelajar dapat berhubungan dengan Allah SWT. Tujuan ini

merupakan hal yang paling utama untuk menuju kepada kebenaran, kebaikan dan

keindahan.

Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa tujuan-tujuan tersebut baik yang bersifat ideal

maupun yang bersifat praktis, mencakup kepada nilai-nilai ideal Islami, yaitu

pertama, dimensi yang mengandung nilai untuk meningkatkan kesejahteraan di dunia.

Nilai ini mendorong seseorang untuk bekerja keras dan professional agar keuntungan

Page 9: Al Zarnuji

dan kenikmatan dunia dapat diperoleh sebesar-besarnya. Kedua, dimensi yang

mengandung nilal-nilai ruhani dan keakhiratan. Dimensi ini menuntut pembelajar untuk

tidak terbelenggu oleh mata rantai kehidupan yang materealistis di dunia, tetapi ada

tujaun-tujuan yang lebih jauh dan mulia yaitu kehidupan sesudah mati. Penghayatan

terhadap nilai ini, menjadikan pembelajar  terkontrol dari syahwat kenikmatan

dunia/materi. Ketiga, dimensi yang mengandung nilai yang dapat mengintegrasikan

antara kehidupan dunia (praktis) dan ukhrawi (ideal). Menurut Arifin, keseimbangan dan

keserasian antara kedua kepentingan ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-

pengaruh negative dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup

manusia, baik yang bersifat spritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam

hidup pribadi manusia.[20]

Tujuan pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari

aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam

aliran Konservatif Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori pendidikan

berdasar pada  hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat

negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia  melahirkan

pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan (1) tujuan, (2) ruang lingkup dan  (3)

pembagian ilmu. Maka berdasar  tiga ini, Ridha membagi aliran utama pemikiran

pendidikan Islam menjadi tiga; al-muha>fiz (religius konservatif); al-diniy

al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-z\arai’iy (pragmatis instrumental).[21] Aliran

konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama

sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid

dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan

keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius rasional, tidak jauh berbeda

dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah

tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini membicarakan persoalan pendidikan cenderung

lebih rasional dan filosufis. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran

pendidikan dari pemikiran tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran

pragmatis instrumental, memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan

lebih berorientasi pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan

kegunaan dan fungsinya dalam hidup.

Menempatkan al-Zarnuji dalam aliran religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas

jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan

belajar harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan

belajar. Bingkai agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam memperoleh

Page 10: Al Zarnuji

ilmu. Sehingga  boleh saja pembelajar bertujuan mencari kedudukan dalam memperoleh

ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan yakni amar

makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran, dan untuk menegakkan agama Allah.

Implikasi dari pemikiran ini sangat jauh. Pembelajar yang semata-mata mencari rida

Allah dalam menuntut ilmu baik dikontrol oleh aturan-aturan yang dibuat manusia

ataupun tidak, dia tetap dalam bingkai kebenaran. Berbeda dengan pembelajar yang

menuntut ilmu karena mencari materi, sewaktu materi tidak di dapat atau berkurang

maka dia akan patah semangat dan pasimis serta tidak menjalankan tugasnya

sebagaimana mestinya.

Sebagai implikasi dari pandangan al-Zarnuji mengenai tujuan pendidikan/memperoleh

ilmu tentu terdapat dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat

dampak negatif edukatif sebagai kekurangannya. Dampak edukatif positifnya ialah rasa

tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan

mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan

pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggang jawab

keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai tugas-

tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai

tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai titik sentral  dalam

pendidikan Islam, di samping tanggung jawab kemanusiaan baik dalam konstruksi

tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Tuntutan insaniyah (kemanusian)

tidak sejalan dengan tuntutan ilahiyah (keagamaan), maka yang harus didahulukan dan

dimenangkan ialah tuntutan keagamaan. Dampak negatif edukatifnya

menjadikan term al-ilm (ilmu) yang dalam Alquran dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas

menjadi bersifat terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan

pencapaian spritual  yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke

arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang

sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya

terpusat pada bingkai agama, maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh

orang-orang non Muslim. Hal ini pula menunjukkan sekaligus ketidak berdayaan umat

Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan

transformasi solial yang bermoral.

Bagaimana menurut al-Zarnuji sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia

luar? Sebelum dibahas ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan berbagai pendapat

para ahli. Menurut Morris L. Bigge, bahwa sifat dasar moral manusia dan aksinya

terhadap dunia luar bermacam-macam. Seperti sifat moral manusia itu jelek, baik dan

Page 11: Al Zarnuji

netral (tidak baik dan tidak pula jelek). Sedangkan aksinya terhadap dunia luar terdiri

dari; aktif, pasif, dan interaktif.[22] Aliran yang berpendapat bahwa sifat moral sifat

dasar manusia dan aksinya bad-activeialah seperti aliran Theistic Mental Discipline,

[23] yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasar bawaannya jelek, yang tidak ada

harapan baik dari mereka. Sekiranya manusia dibiarkan tumbuh berkembang maka yang

tampil adalah kejelekannya saja. Maka fungsi pendidikan adalah mengusahakan

pengekangan terhadap sifat dasar ini dan melatih bagian-bagian jiwa ke arah yang baik.

Jika percaya bahwa sifat dasar manusia dan aksinya bersifat good-active, maka tanpa

mereka dipengaruhi oleh dunia luar, maka akan tampil sifat-sifat baiknya. Implikasinya

dalam pendidikan ialah orang-orang yang terlibat dalam pendidikan menyiapkan

sedemikian rupa agar dapat mengoptimalisasikan perkembangan individu-indivivu

tersebut.

Yang berpandangan bahwa sifat dasar manusia dan aksinya neutral-passive, berarti pada

dasarnya manusia itu bersifat netral yang  berpotensi untuk tidak baik dan tidak pula

buruk. Aksinya terhadap dunia luar adalah pasif, dalam arti dunia luar termasuk

pendidikan, yang membentuk kepribadian seseorang. Karakter seseorang apakah baik

atau tidak, sangat tergantung pada polesan alam lingkungannya.

Bagi yang berpendpat bahwa sifat dasar manusia dan aksinya terhadap dunia luar

bersifat neutral-interactive, adalah hampir sama dengan neutral-passive, hanya saja

aksinya terhadap dunia luar ada proses kerjasama atau interaktif. Berarti pendidikan,

tidak akan dapat seratus persen mencetak anak didik sesuai dengan yang dikehendaki,

karena pembelajar dapat memberi respon atau dialektis terhadap pengaruh luar. Hasil

proses antara sifat dasar dan dunia luar, akan menampilkan model kepribadian

seseorang. Sebagai kelanjutan dari berbagai teori di atas muncullah teori-teori yang

dikenal dengan Emprirsme, Nativisme dan Konvergensi.

Dalam Filsafat Empirisme disebutkan bahwa perkembangan dan pembentukan manusia

itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Sebagai pelopor aliran

ini ialah Joshn Locke ( 1632-1704) yang dikenal denga teori Tabularasa atau Empirisme

yaitu bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi

corak atau tulisan pada kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang berasal

dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang. Nampak dari teori ini bersifat

optimis, karena bagaimanpun juga lingkungan dapat diusahakan dan diatur sedemikian

rupa sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Berbeda dengan Nativisme yang lebih pesimis dibanding dengan Empirisme. Aliran ini

dipelopori oleh Athur Schonpenhauer (1788-1860). Ajaran dari filsafat ini mengatakan

bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar), bakat

Page 12: Al Zarnuji

serta faktor dalam yang bersifat kodrati. Proses pembentukan dan perkembangan pribadi

ditentukan faktor pembawaan ini, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar

atau pendidikan. Potensi-potensi bawaan inilah sebagai kepribadian manusia, bukan

hasil binaan lingkungan pengalaman dan pendidikan. Bagaimanapun usaha pendidikan

untuk membentuk pribadi manusia atau tingkatan yang dikehendaki, tanpa didukung

oleh potensi dasar tersebut, harapan tersebut tidak akan tercapai. Menurut Muhammad

Noor Syam, bahwa aliran ini bersifat pesimistik, karena menerima kepribadian

sebagaimana adanya tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah

kepribadian.[24]

Teori (hukum) Konvergensi berbeda dengan kedua teori di atas, yang memposisikan 

keduanya secara tajam dan berlawanan. Tentu hal ini tidak dapat diterima. Menurut teori

yang dipelopori oleh Willam Stem (1871-1983) ini, bahwa perkembangan manusia itu

berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat/ kemampuan dasar dan alam sekitar,

termasuk pendidikan. Karena dalam kenyataannya menunjukkan bahwa bawaan dasar

yang baik saja, tanpa dibina oleh alam lingkungan, termasuk budaya dan pendidikan

tidak akan mencetak pribadi yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang baik terutama

pendidikan, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dasar tadi, tidak akan menghasilkan

kepribadian yang sesuai dengan harapan tujuan pendidikan. Dengan demikian proses

perkembangan dan pembentukan kepribadian manusia merupakan proses interaktif dan

dialektis antara kemampuan dasar dan alam lingkungan secara berkesinambungan.

Perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerjasama kedua faktor, baik

internal (potensi hereditas), maupun faktor eksternal ( lingkungan budaya dan

pendidikan).

Disamping teori dari Barat tersebut juga ada teori pemikiran pendidikan Islam yang

dikenal dengan teori fitrah. Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat

fitrah dalam Alquran ternyata membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan.

Para ahli pendidik muslim mengakui bahwa teori dan praktek pendidikan dipengaruhi

oleh pandangan bagaimana kecenderungan sifat dasar manusia dan bagaimana

kemampuannya untuk berkembang yang dikenal dengan teori fitrah itu diasumsikan,

apakah fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif, dan dualis-aktif. Kata fitrah dan segala

bentuk kata jadiannya tertera pada 19 ayat dalam 17 surat.[25] Menurut Mohamed

pemahaman mengenai bawaan dasar (fitrah) manusia dan bagaimana kemampuannya

untuk berkembang dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu (1) fatalis-pasif, (2) netral-

pasif, (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.[26]

Page 13: Al Zarnuji

Teori fatalis-pasif, mengatakan bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah

baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau

sebagian sesuai dengan rencana Tuhan. Kemampuan manusia untuk berkembang

menjadi pasif, karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan

Tuhan sebelumnya. Yang berpandangan netral-pasif, berasumsi bahwa anak lahir dalam

keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa

kesadaran akan iman atau kufur, baik atau jahat. Teori ini sama dengan teori Tabularasa

dari John Locke.  Kemampuan individu untuk berkembang adalah pasif dan sangat

tergantung dari polesan lingkungan, terutama pendidikan. Yang berpandangan positif-

aktif berasumsi bahwa bawaan dasar manusia sejak lahirnya adalah baik, sedangkan

kejahatan bersifat aksidental. Kemampuan individu untuk berkembang  bersifat aktif.

Manusia merupakan sumber yang mampu membangkitkan dirinya sendiri dari dalam.

Yang berpandangan dualis-aktif, berasumsi bahwa bawaan dasar manusia itu bersifat

ganda (dualis). Di satu sisi sifat dasarnya cenderung kepada kebaikan, dan di sisi lain

cenderung kepada kejahatan. Sifat dualis tersebut sama-sama aktif dan dalam keadaan

setara.

Bagaimana menurut al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara

eksplisit al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran

kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi dengan

penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya[27]:

بعد بعد سليمان ابي بن حم¦اد حينئذ حنيفة ابو اختار كما واالسن واالورع االعلم يختار أن فينبغى األستاذ اختيار واما

: . : . أبي بن حماد عند ثبت وقال صبورا حليما وقورا شيخا وجدته تعالى الله رحمه حنيفة ابو وقال والتفكر التأمل

. فنبت سليمان

Maksudnya: Adapun cara memiluh ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu

hendaklah mencari ustadz yang paling alim, yang paling wara’(menjauhkan diri dari

dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat), dan yang paling tua. Sebagaimana setelah

Abu Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi

Sulaiman, karena beliau  mempunyai kriteria tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah berkata :

Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak mulia, penyantun dan penyabar. Aku

bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga aku seperti sekarang ini.

Begitu pentingnya terma memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak

yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih

pendidik, tapi menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz.

Karena bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara

mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada

Page 14: Al Zarnuji

orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu, selama dua

bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih ustadz, supaya kamu

tidak meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga ilmumu berkah dan

bermanfaat.[28]

Seorang pelajar tidak hanya bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi

pengaruh kepadanya tetapi juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan al-

Zarnuji[29]:

والمعطل الكسالن من يفر و والمتفهم المستقيم الطبع وصاحب والورع المجد يختار أن فينبغى الشريك اختيار أما و

: . قيل والفتان والمفسد والمكثار

قرينته وابصر تسأل المرءى يقتدي   * عن بالمقارن القرين فإن

سرعة فجنبه ذاشر كان تهدى     *      فإن فقارنه خير ذا كان وإن

وانشدت:

حاالته في الكسالن يفسد     *    التصحب آخر بفساد صالح كم

سريعة الجليد البليد فيخمد      *      عدوى الرماد في يوضع كالجمر

. : ويمجسانه وينصرانه يهودانه ابواه أن اال اإلسالم فطرة على يولد مولود كل والسالم الصالة عليه النبي وقال

Maksudnya: Pembelajar harus memilih berteman dengan orang yang tekun belajar,

yang wara’, yang mempunyai watak istiqa>mah dan suka berpikir. Dan menghindari

berteman dengan pemalas, atheis, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang

penyair berkata : “Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa

temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi

buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya,

tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: “Janganlah sekali-kali

bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya. Karena banyak

orang  yang menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena sifat malas itu cepat

menular.” Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan

fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi,

Nasrani atau Majusi”. Lebih jelasnya masalah fitrah ini dijelaskan oleh Nabi SAW berikut

ini dan artinya:[30]

°ه° ³ه±و²د±ان ي ±و±اه³ ب± ف±أ ة° ال́ف°ط́ر± ع±ل±ى ±د³ ³ول ي µال° إ ³ود¶ م±و́ل م°́ن م±ا لµم± و±س± ±ي́ه° ع±ل اللµه ص±لµى µه° الل ول³ س³ ر± ق±ال± ±ق³ول³ ي ±ان± ك µه³ ن

± أ ة± ي́ر± ه³ر± °ي ب± أ ع±́ن

³́م ئ́ت ش° °́ن إ ء³وا و±اق́ر± ة± ي́ر± ه³ر± ³و ±ب أ ±ق³ول ي µ³م ث ج±د́ع±اء± م°́ن ف°يه±ا ون± ³ح°س· ت ه±́ل ج±́مع±اء± ±ه°يم±̧ة ب ±ه°يم±ة³ ال́ب ±ُج³ ³ن́ت ت ±م±ا ك °ه° ان ³م±ج²س± و±ي °ه° ان ±ص²ر± ³ن و±ي

±ة±) ( اآ́لي ²م³ ال́ق±ي الد²ين³ ذ±ل°ك± µه° الل °خ±ل́ق° ل ±ب́د°يل± ت ال± ±ي́ه±ا ع±ل µاس± الن ف±ط±ر± °ي µت ال µه° الل ة± ف°ط́ر±

Page 15: Al Zarnuji

Dari berbagai statemen al-Zarnuji tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral

manusia itu bersifat good-interactive atau fitrah positif-aktif dalam  klasifikasi pemikiran

pendidikan Islam yang digagas oleh Ridha.  Artinya, pada dasarnya manusia itu baik,

aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama antara potensi

hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat saja dipengaruhi oleh

alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia luar dipengaruhinya sehingga

sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia luar melebur menjadi tarik menarik

secara terus menerus dan saling pengaruh serta proses kerjasama. Namun nampaknya

al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti

memilih ustadz,  memilih guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba

ilmu. Sekalipun demikian, belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme,

karena pada bab lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu

merupakan salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat kalau al-Zarnuji

dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena bagaimanapun juga manusia tidak

lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh alam lingkungannya atau proses

kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun juga perlu diingat bahwa dalam sisi

kehidupan ini kadang-kadang disadari atau tidak ada ‘inayatullah(pertolongan Tuhan).

Seperti halnya kasus Kan’an (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan

diasuh dalam lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah, sekalipun

suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada suaminya

sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain yang dicontohkan

dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh al-Zarnuji dengan istilah

tawakkal.

D. Simpulan

Dari berbagai bahasan yang dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa al-Zarnuji dalam

menentukan tujuan belajar/ pendidikan berorientasi kepada tujuan ideal dan tujuan

praktis, sekalipun lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa

tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga tujuan-tujuan

praktis, seperti tujuan mencari ilmu untuk memperoleh kedudukan haruslah

diberdayakan kepada tujuan mencari rida Allah dan kehidupan di akhirat. Sekalipun

tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci, tetapi paling tidak benang

merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu haruslah ada tujuan yang bersifat

individual, sosial dan professional.

Mengenai pendapatnya tentang konsep sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap

dunia luar, nampaknya lebih cenderung kepada good- interactive atau fitrah positif-

Page 16: Al Zarnuji

interaktif. Artinya pada dasarnya cetakan manusia itu baik-interaktif dan merespon

terhadap lingkungan social budaya  bersifat proses kerjasama atau dialogis. Namun

nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan sosial,

seperti memilih guru, teman dan tempat agar ilmu yang diperoleh pembelajar dapat

bermanfaat, berkah sebagai hasil dari pengaruh lingkungan tersebut. Demikianlah,

mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dunia akhirat

بالصواب أعلم والله

DAFTAR PUSTAKA

Abrasyi al, Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falalsifatuha>, Mesir: ‘Isa al-

Bab al-Halabi wa Syurakah, 1975.

Ahmad Athiyatullah, Qa>mus Islami, Mesir: Maktabah Nahdlah, 1970, Jilid ke-3.

Arifin, H.M, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta:  Bulan Bintang, 1987.

Attas al, Syed Muhammad al-Naqueib, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah:

King Abdul Aziz University, 1979.

Azim, Ali Abdul, Falsafah Al-Ma’rifah fi> Al-Qur’a>n al-Kari>m, Kairo: Al-Hajah al-‘Ammah

al-Syu’un al- Mathabi, 1939 H/ 1973 M.

Baqi al, Muhammad Fuad, Mu’jam al-Mufakhras li al-Fa>z al-Qur’a>n al-Kari>m, Mesir:

al-Haidah al-Ammah, 1987.

Bigge, Morris L., Learning Theories for Theachers, USA: Harper and Row, Publisher, Inc,

1982.

Dwiki Setyawan dan Abdullah Mahmud, “Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis

Madjid”,  Majalah Rindang, XIX, No. 9,  April 1994.

Ismail, Syekh Ibrahim bin Ismail, Al-Syarh Ta’li>m al-Muta’llim, Indonesia: Maktabah

Da>r Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.

Jamali al, Muhammad Fadhil, Tarbiyah al-Insa>n al-Jadi>d, Tunisia:  Al-Syirkah al-Tunisia

Thurnisiyah Littauzi, 1967.

Lois Ma’luf, Al-Munjid fi> al-Lugoh wa al-‘A’la>m, Beirut: Da>r al-Masyriq, 1975.

Mohamed, Yasien, Insan Yang Suci, terj. Masyhur Abadi, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.

Ridha, Muhammad Jawad, al-Fikr al-Tarbawiy al-Isla>miy, Muqaddimah fi> Us}u>lih al-

Ijitima’iyyah wa al-‘Aqla>niyah, Kuwait: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, 1980.

Syabani al, Omar Mohammad Al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan

Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Syam, Muhammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,

Surabaya: Usaha Nasioanal, 1986.

Page 17: Al Zarnuji

Tohari Musnamar, “Masalah Operasionalisasi Konsep Pendidikan Islami di Indonesia

dalam Menatap Masa Depan”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, I, No. 2,  April, 1991.

Yaqub, Ali Musthafa, “ Etika Belajar Menurut Az-Zarnuji,”  Pesantern, Vol.III, No. 3,

Februari, 1986.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji IV

Sebuah judul kitab mengakar kuat di pesantren pada umumnya: Ta’lim al-Muta’allim Thariqat al-

Ta'allum, karya Syekh Al-Zarnuji. Sebagai sesuatu yang salaf, kitab tersebut cenderung

memahaminya sebagai sebuah garis final. Tidak hanya pada semangat dan pesan moral di

dalamnya, tapi juga pada tata-cara dan metodologinya.

Adalah sesuatu yang wajar jika kemudian karya monumental al-Zarnuji itu menjadi sebuah rujukan

dalam menata proses belajar mengajar di pondok pesantren. Ia memenuhi segala kriteria yang

diinginkan, yaitu Islami, salaf, dibawa dan ditradisikan oleh sistem pembelajaran di pondok

pesantren.

Terlepas, dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan, Ta’lim al-Muta’allim dalam

cermin besarnya telah memberikan sebuah nuansa tentang pendidikan ideal, yaitu sebuah

pendidikan yang bermuara pada pembentukan moral.

Sebetulnya, dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki kecenderungan sama dengan

Ta’lim al-Muta’allim, dan lebih dahulu dibanding kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji itu. Sebut saja

misalnya, al-Targhib fi al-Ilmi karya Ismail al-Muzani (w. 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-

Muta’alim karya Imam al-Ghazali (w. 505 H.).

Namun, Ta’lim al-Muta’allim jauh lebih mengakar di kalangan pondok pesantren dibanding kitab-

kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode penyusunannya jauh lebih dahulu

dibanding Ta’lim al-Muta’allim. Bandingkan antara Ta’lim yang disusun pada akhir abad Ketujuh

Hijriah dengan Al-Targhib fi al-Ilmi yang dikarang pada pertengahan Abad Ketiga.

Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak berpengaruh di pesantren:

1) motivasi penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 2) konsep filter

terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 3) konsep transmisi pengetahuan yang cenderung pada

hafalan; 4) kiat-kiat teknis pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-

psikologis.

Point-point ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral yang ketat. Maka,

dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang etika pendidikan dalam bentuk motivasi, tapi

juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis.

Ta’lim al-Muta’allim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid menghormati guru,

belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu pengetahuan. Tetapi, Ta’lim al-Muta’allim

Page 18: Al Zarnuji

juga sudah jauh terlibat dalam mengatur bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak

ideal antara murid dan guru, bagaimana bentuk dan warna tulisan, bagaimana cara orang

menghafal, bagaimana cara berpakaian seorang ilmuwan dan lain sebagainya.

Kupasan-kupasan teknis-aplikatif al-Zarnuji tentang etika belajar-mengajar itu kemudian

mengesankan bahwa Ta’lim al-Muta’allim memang amat kuat berkaitan dengan pengaruh budaya

lokal. Dalam sebuah seminar, Ghazali Said (2000) pernah mengemukakan kritiknya terhadap

Ta’lim tentang hal ini. Ia menyatakan bahwa daerah ma wara’a al-nahar (lembah sungai

Amudarya/Transoxinia) adalah daerah pedalaman yang jauh dari dinamika urban di Baghdad.

Budaya Transoxiana (tempat di mana al-Zarnuji menyusun kitabnya), sangat mempengaruhi

pemikiran al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim.

Bentuk-bentuk teknis pendidikan ala Ta’lim al-Muta’allim ketika dibawa ke dalam wilayah dengan

basis budaya berbeda, maka akan terkesan canggung. Saat itulah, Ta’lim al-Muta’allim kemudian

banyak dipandang secara apriori, ditolak dan disudutkan.

Untuk menghindari gap ini, ada baiknya kalau misalnya ada pemilahan terhadap berbagai point

dalam karangan al-Zarnuji itu. Ada yang pesan universal, teknis-metodologis, dan ekspresi pribadi.

Pesan-pesan universal Ta’lim al-Muta’allim semestinya diterapkan dalam proses pendidikan

manapun. Hal itu agar pendidikan berjalan kondusif, penuh etiket dan bermoral.

Sedangkan untuk hal-hal yang berurusan dengan teknis-metodologis, maka patut dipandang

secara kondisional. Soalnya, kalau hal itu sudah dinyatakan sebagai teknis maka mesti berubah

sesuai dengan tuntutan budaya, sarana, efektitas serta kondisi-kondisi yang lain.

Perlu juga untuk dicatat bahwa al-Zarnuji tidak hanya menyajikan visi pendidikannya dalam bentuk

pesan moral dan teknis, tapi ia juga banyak memberikan ilustrasi cerita. Secara tersendiri, kisah-

kisah itu membuat konsep-konsepnya menjadi cair dan renyah. Namun, pada sudut lain, kisah-

kisah itu telah banyak dipahami sebagai bentuk konsep teknis yang harus dilakukan oleh seorang

pelajar maupun pengajar.

Sajian cerita yang dimuat dalam Ta’lim al-Muta’allim juga perlu disikapi dalam bingkai teladan-

moral, bukan konsep teknis. Bagaimanapun, sebuah kisah adalah pengalaman dan ekspresi

personal seseorang. Sebagai ekspresi, hal itu tidak perlu diterjemahkan sebagai bentuk jadi proses

pendidikan. Namun, mesti dijadikan sebagai motivasi dan teladan moral. Sedangkan bentuk

ekspresinya tidak harus sama persis dengan yang ada dalam cerita itu.

Secara umum, tak perlu ada yang dipermasalahkan dari Ta’lim al-Muta’allim. Hanya diperlukan

sebuah pemilahan, mana yang harus dipahami sebagai prinsip baku dan point apa yang mesti

diterjemahkan secara kondisional. Hal itu diperlukan agar semangat Ta’lim al-Muta’allim bisa

elastis untuk diusung ke dalam wadah pendidikan apapun. Ta’lim al-Muta’allim adalah jawaban

ketika pendidikan kita sudah tak memiliki basis moral yang mapan.

Terhadap keberadaan kitab Ta’lim al-Muta’allim, memang terdapat beragam apresiasi. Karya al-

Page 19: Al Zarnuji

Zarnuji itu tidak hanya mendulang apresiasi positif, tapi juga suara-suara miring. Taqiy al-Din bin

Abd al-Qadir al-Mishri—sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier (1995:213)—mengakui

bahwa karya al-Zarnuji ini merupakan khazanah yang sangat bagus untuk pendidikan Islam.

Apresiasi positif untuk Ta’lim al-Muta’allim rata-rata bermuara pada dua hal: konsistensinya dalam

memahami pendidikan murni sebagai pembentukan moral dan perhatiannya yang cukup besar

terhadap efektifitas penerimaan informasi (ilmu pengetahuan), tanpa menabrak bingkai tatakrama

(adab) dalam segala prosesnya.

Dapat dikatakan bahwa keberadaan Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan moral dalam proses

pendidikan tidak seikit. Di pesantren, ia tidak hanya jadi ikon tapi juga ruh. Menurut Zamaksyari

Dhofier, kitab ini memang telah membentuk tradisi pembelajaran di pondok pesantren. (Dhofier,

1995:201).

Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya itu banyak menyoroti pengaruh Ta’lim al-Muta’allim pada sisi

kepatuhan murid pada guru yang “mutlak” dan berkesinambungan. Tapi, dalam observasinya ia

juga menemukan pengaruh Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan kritisisme dan

pengembangan pendidikan Islam modern.

Ia mengemukakan sebuah fakta tentang seorang kyai di Salatiga yang membangkitkan semangat

kritik dan koreksi melalui Ta’lim al-Muta’allim. (Dhofier, 1995:204). Ada pesan al-Zarnuji dalam

Ta’lim al-Muta’allim yang ia pegang: “Janganlah kamu patuh kepada seseorang yang tingkah

lakunya tidak sesuai ajaran Islam”. Pesan ini yang kemudian ia jadikan sebagai titik tolak untuk

mendorong masyarakat melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak

benar—tentu dengan menggunakan cara yang juga benar.

Memang pendapat orang luar pondok pesantren, Ta’lim al-Muta’allim kadang dinilai secara tidak

adil. Ketika ada orang kecewa dengan pendidikan pesantren, maka tumpahnya kepada Ta’lim al-

Muta’allim. Hal itu karena Ta’lim al-Muta’allim seringkali dilihat secara tidak menyeluruh dan

proporsional.

Husein Muhammad (2001:51) memandang Ta’lim al-Muta’allim telah mengemukakan metode

pendidikan kreatif, kritis, analitis dan logis. “Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Ta’lim al-

Muta’allim tentang metode (diskusi) ini: ‘Diskusi (munazharah) lebih efektif daripada membaca

berulang-ulang. Diskusi satu jam lebih baik daripada membaca berulang-ulang selama satu bulan".

Lebih jauh Husein (2001:53) sangat respek dengan metode munazharah, mudzakarah dan

mutharahah yang diwanti-wantikan oleh al-Zarnuji. Menurutnya hal itu sudah lama dilakukan oleh

para ulama dalam membahas suatu masalah. Seringkali, terjadi perdebatan seru antara mereka,

tapi disertai dengan rasa saling hormat.

Ilustrasi yang terkait dengan Ta’lim al-Muta’allim itu tidak hanya mengindikasikan bahwa karya

monumental al-Zarnuji ini memiliki akar yang sangat kuat. Tapi, pada sudut pandang yang

berbeda, Ta’lim juga memberikan banyak sumbangan positif terhadap proses pendidikan

Page 20: Al Zarnuji

pesantren, sekaligus eksesnya.

Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang seringkali dimuculkan

untuk menyudutkan Ta’lim al-Muta’allim adalah aspek kepatuhan pada guru yang hampir

mematikan dinamika. Meskipun, al-Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid mengiyakan

kesalahan guru. Dan, kematian dinamika itu sendiri masih perlu diselidiki kembali.

Kalaupun misalnya hal itu betul-betul ada dan memang pengaruh Ta’lim al-Muta’allim, maka pasti

terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek.

Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan Jawa

yang masih belum sepenuhnya mati.

Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-

Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam

melakukan kegiatan belajar-mengajar.

1. Anjuran untuk selalu belajar

Al-Zarnuji (Al-Zarnuji, 1995:6-7) mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah, yang

mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah penghias

bagi pemiliknya.

Syairnya adalah sebagai berikut:

المــــحامد لكل وعنوان وفضل – الهــله زين العلم فان تعلم

الفــوائد بحور فى واسبح العلم من – زيـادة يوم كل مستفيدا وكن

قــائد واعدل والتقوى البــر الى – قــائد افضل الفقه فان تفقه

الشدائـد جميع من ينجى الحصن هو – الهدى سنن الى الهادى العلم هو

عابد الف مـن الشيـطان على اشد – متـورعا واحدا فــقيها فان

"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.

Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna.

Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing

menuju kebaikan dan takwa,

Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni

jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan.

Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi setan daripada

menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh." ( Al-Zarnuji, 1995:6-7)

Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan melalui hari-hari

dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan pada belajar ilmu agama.

Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus.

2. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela

Page 21: Al Zarnuji

Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, Al-Zarnuji amat mendorong bahkan

mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak

murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf

(berlebihan), bakhil dan lain-lain.

Al-Zarnuji (1995:7) mengatakan:

وغيرها والتقتير واالسراف والعفة والتواضع والتكبر والجرأة والجبن والبخل الجود نحو االخالق سائر فى وكذلك

"Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela,

seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari

keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain."

3. Larangan mempelajari ilmu perdukunan

Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu nujum. Ini

membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga

menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu akliah, karena ilmu perdukunan tidak masuk akal

(irasional).

Ia mengatakan:

ممكن غير وقدره الله قضاء من والهرب ينفع وال يضر النه حرام فتعلمه المرض بمنزلة النجوم وعلم

"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan penyakit yang

amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena ia tidak bisa

menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan" (Al-Zarnuji, 1995:9).

Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang didasarkan pada rasio dan

pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.

4. Mengenai niat dalam menuntut ilmu

Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para pencari ilmu. Ia

menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar.

Ia mengatakan:

االحوال جميع فى االصل هي النية اذا. العلم تعلم زمان فى النية من له البد

"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala

amal ibadah". (Al-Zarnuji, 1995:12).

Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait dengan niat

mencari ilmu itu, yaitu:

a. Niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah;

b. Niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan;

c. Boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat, dengan

catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan nahy munkar, untuk melakukan

kebenaran, untuk menegakkan agama Allah; dan bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan

karena keinginan hawa nafsu. (Al-Zarnuji, 1995:12-14).

Page 22: Al Zarnuji

5. Sifat tawadlu

Para pencari ilmu dianjurkan oleh Imam Al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak tamak pada harta

benda. Ia mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib berkenaan dengan keutamaan

tawadlu, sebagai berikut:

يرتقى المعالى الى التــقى وبه – المتـقى خصـال من التواضـع ان

الشقى ام السعيد اهو حاله فى – جاهل هو من عجب االعجائب ومن

"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang

bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh

yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka." (Al-

Zarnuji, 1995:16).

6. Cara memilih guru

Dalam kitab ini, Al-Zarnuji juga memberikan semacam resep bagaimana mencari guru.

Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana

dikatakannya:

واالسن واالورع االعلم يختار ان فينبغى االستاذ اختيار واما

"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang lebih tua". (Al-

Zarnuji, 1995:18-19).

7. Cara memilih jenis ilmu

Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan

dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan penting. Bakat, kemampuan akal,

keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan dalam mencari ilmu.

Namun demikian, Al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih

oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan, sehingga

sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut Al-

Zarnuji, "iman seseorang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal." (Al-Zarnuji,

1995:18).

Selain ilmu tauhid, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari ilmunya para

ulama Salaf.

8. Nasihat kepada para pelajar

Al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak

bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain.

a. Anjuran untuk bermusyawarah

Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, Al-Zarnuji

menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah dengan pelajar atau orang

lain.

Ia mengatakan:

Page 23: Al Zarnuji

واوجب اهم فيه المشاورة فكان واصعبها االمور اعلى من العلم وطلب

"Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarahlah

dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan". (Al-Zarnuji, 1995:21).

b. Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun

Al-Zarnuji mengnjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan tekun dalam mencari

ilmu. Ia mengatakan:

االمور جميع فى كبير اصل والثبات الصبر ان واعلم

"Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala urusan" (Al-

Zarnuji, 1995:22).

Dalam kaitan ini, Imam Al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan:

ببيان مجموعها عن سأنبك – بسـتة اال العـلم االالتـنال

الزمان وطول استاذ وارشاد – وبلغة واصطبار وحرص ذكاء

"Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; sebagaimana saya

sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk

bimbingan guru dan waktu yang lama". (Al-Zarnuji, 1995:23).

c. Anjuran untuk bersikap berani

Selain sabar dan tekun, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk memiliki keberanian.

Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Ia mengatakan:

ساعة صبر الشجاعة

"Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan". (Al-Zarnuji, 1995:22).

d. Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu

Al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu. Ia

mengatakan:

نفسه تريد عما يصبر ان وينبغى

"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya" (Al-Zarnuji, 1995:23).

e. Anjuran berteman dengan orang baik

Al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang

yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:

والفتان والمكثاروالمفسد والمعطل الكسالن من ويفر والمتفهم المستقيم الطبع وصاحب والورع المجد

"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka yang faham/pandai.

Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, suka merusak dan suka

memfitnah" (Al-Zarnuji, 1995:23-24).

f. Anjuran menghormati ilmu dan guru

Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap pelajar, bila ia

ingin sukses dalam mencari ilmu.

Ia berkata:

Page 24: Al Zarnuji

وتوقيره االستاذ وتعظيم واهله العلم بتعظيم اال به ينتفع وال العلم الينال العلم طالب بأن اعلم

"Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya tidak akan

bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan menghormati para guru".

(Al-Zarnuji, 1995:25-26).

Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, Al-Zarnuji bahkan memberikan nasihat kepada

para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di hadapan

guru ia tidak memulai bicara kecuali ada izinnya (Al-Zarnuji, 1995:27).

Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak banyak bicara di

hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. (Al-Zarnuji, 1995:28). Anjuran Al-

Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya

untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan

kreativitas siswa dalam berdiskusi.

Cara lain menghormati guru menurut Al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti hati guru, karena

dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah. (Al-Zarnuji, 1995:30).

g. Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar

Dalam fasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan cita-cita (al-

himmah), Al-Zarnuji mengatakan:

ولجز ولُج الباب قرع من. وجد وجد شيئا طلب من .... واالهمة والمواظبة الجد من البد ثم

"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun …. Barang siapa bersungguh-

sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja yang mau mengetuk

pintu dan maju terus, tentu bisa masuk". (Al-Zarnuji, 1995:37-38).

h. Anjuran untuk mencermati perkataan guru

Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, Al-Zarnuji mengnjurkan agar

para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan oleh guru. Ia mengatakan:

االستاذ من الفهم فى يجتهد ان وينبغى

"Seyoyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya" (Al-

Zarnuji, 1995:54-55).

i. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa

Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. demikian pula do'a tidak

akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu Al-Zarnuji menganjurkan agar siswa

senantiasa berusaha dan berdo'a. Ia berkata:

تعالى الله ويدعو يجتهد ان وينبغى

"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo'a kepada Allah".

(Al-Zarnuji, 1995:55).

j. Anjuran untuk berdiskusi

Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa dalam memahami

Page 25: Al Zarnuji

materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, Imam Al-Zarnuji menganjurkannya. Ia berkata:

الشغب عن ويتحرز والتأن باالنصاف يكون ان وينبغى. والمناظرة المذاكرة من العلم لطالب والبد

"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), dan munadzarah

(berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak

emosional." (Al-Zarnuji, 1995:56).

k. Anjuran untuk senantiasa bersyukur

Imam Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada Allah. Ia

berkata:

والمال واالركان والجنان اللسان من بالشكر يستغل ان العلم لطالب ينبغى

"Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hati, tindakan

nyata, maupun dengan harta". (Al-Zarnuji, 1995:63).

l. Anjuran untuk tidak mudah putus asa

Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius.

Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak rintangan, hambatan dan masalah.

Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar setiap pelajar tidak mudah patah semangat.

آفة فانها وتحير فترة العلم لطالب يكون ان وينبغى

"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa berakibat buruk".

(Al-Zarnuji, 1995:69).

m. Anjuran untuk senantiasa tawakkal

Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah

berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal.

بذلك قلبه يشغل وال الرزق المر يهتم وال العلم طلب فى التوكل من العلم لطالب البد

"Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas soal rezeki.

Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki". (Al-Zarnuji, 1995:71).

n. Anjuran untuk saling mengasihi

Para pencari ilmu disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk saling mengasihi antar sesama. Ia

berkata:

حاسد غير ناصحا مشفقا العلم صاحب يكون ان وينبغى

"Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-dengki/hasad".

(Al-Zarnuji, 1995:77).

o. Anjuran untuk tidak berprasangka buruk

Terhadap sesama Muslim, Imam Al-Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk.

Dalam kitabnya, ia mengatakan:

ذلك يحل وال العداوة منشأ فانه سوءا بالمؤمن تظن وان واياك

"Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal

itu tidak halal/tidak boleh". (Al-Zarnuji, 1995:81).

Page 26: Al Zarnuji

p. Anjuran bersikap wara'

Para pelajar disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau menjaga diri dari hal-

hal yang tidak jelas halam-haramnya. Menurutnya dengan sifat ini maka:

اكثر ايسروفوائده له والتعلمه انفع علمه كان اورع العلم طالب كان فمهما

"Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih muda, dan akan

memperoleh banyak faidah". (Al-Zarnuji, 1995:86).

q. Anjuran memperbanyak shalat

Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Sang

Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah

SWT. Oleh karena Imam Al-Zarnuji menganjurkan para penuntut ilmu untuk memperbanyak shalat.

والتعلم التحصيل على له عون ذلك فان الخاشعين صالة ويصلى الصالة يكثر ان وينبغى

"Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya melaksanakan shalat

dengan cara khusyu', karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar". (Al-Zarnuji,

1995:90-91).

E. Kesimpulan

1. Hasil penelusuran terdapat konsepsi teoritis kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya

Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu

(siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. Pertama, anjuran untuk selalu belajar. Kedua,

kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Ketiga, larangan mempelajari ilmu perdukunan.

Keempat, mengenai niat dalam menuntut ilmu. Kelima, sifat tawadlu. Keenam, cara memilih guru.

Ketujuah, cara memilih jenis ilmu. Kedelapan, nasihat kepada para penuntut ilmu.

2. Berkenaan dengan etika siswa menurut kitab Ta'lim al-Muta'allim, dapat diidentifikasi sebagai

berikut: (1) anjuran musyawarah; (2) anjuran untuk sabar, tabah dan tekun; (3) anjuran untuk

bersikap berani; (4) anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu; (5) anjuran berteman dengan orang

baik; (6) anjuran menghormati ilmu dan guru; (7) anjuran untuk kesungguhan dalam belajar; (8)

anjuran untuk mencermati perkataan guru; (9) anjuran untuk berusaha sambil berdoa; (10) anjuran

untuk berdiskusi; (11) anjuran untuk senantiasa bersyukur; (12) anjuran untuk tidak mudah putus

asa; (13) anjuran untuk senantiasa tawakkal; (14) anjuran untuk saling mengasihi; (15) anjuran

untuk tidak berprasangka buruk; (16) anjuran bersikap wara'; dan (17) anjuran memperbanyak

shalat. Etika siswa yang ditawarkan oleh Imam Al-Zarnuji memang tidak semuanya dapat

diterapkan dan kondusif dalam konteks kehidupan zaman sekarang. Ada beberapa yang

tampaknya sulit untuk diterapkan, misalnya larangan berbicara banyak dalam konteks

pembelajaran. Padahal konsep pembelajaran modern menuntut siswa untuk banyak berbica, baik

dalam rangka mengemukakan pendapat, menyanggah pendapat, mengkritisi suatu pengetahuan

dan lain sebagainya. Namun demikian, untuk sebagian besar, etiks siswa yang dikemukakan oleh

Page 27: Al Zarnuji

Imam Al-Zarnuji dalam kitabnya itu masih tetap relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks

pembelajaran dewasa ini. Di antara sekian anjuran Al-Zarnuji yang dapat diaplikasikan, misalnya,

anjuran mam Al-Zarnuji agar siswa senantiasa tekun, sungguh-sungguh, banyak beribadah,

memelihara sopan santun, tidak cepat menyerah dan lain sebagainya.

NILAI ETIKA KITAB TA’LIM AL-MUTA’ALLIM KARYA AL-ZARNUJĪ

PendahuluanJaman berkembang dengan pesat. Peradaban manusia semakin modern. Dinamika sosial ditandai dengan perubahan pola pikir konvensional ke arah paradigma baru. Mode, life style klasik berkembang dan berubah menjadi life style metropolis, seiring dengan perkembangan jaman.Ada dampak yang paradok dari perkembangan tersebut, yakni positif dan negatif. Dampak positif perubahan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dekatnya jarak dunia yang dapat dijangkau dengan alat transportasi dan komunikasi modern, dan lain sebagainya. Namun, dampak negatif dari perubahan tersebut pun sulit dibendung. Pola pemikiran yang serba rasionalis, agresif, dan empiris akan menjebak manusia dalam kehampaan (nihilis) dan sekuler, bahkan atheis. Efek negatif dari modernitas juga akan mendehumanisasi (objektivasi) manusia, yang ditandai dengan agresivitas (tindak kriminal baik personal maupun kolektif), loneliness (privatisasi), dan spiritual alienation. Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan pengembangan pendidikan yang “sesuai” dengan tuntutan perkembangan jaman, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal ini karena pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan. Nilai-nilai ( values) merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Tanpa nilai-nilai (kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan lainnya), maka manusia seolah sebagai “robot-robot” berkaki dua. Di dunia pendidikan, guru hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot, dan siswa sebagai “penerima” layaknya robot. Interaksi guru dan siswa menjadi “mekanistik” bagai mesin. Kondisi pendidikan yang demikian, mendorong kita untuk membangun paradigma baru pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan ( knowledge oriented) dan ketrampilan ( skill oriented), namun juga berorientasi pada nilai ( values oriented). Proses pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai (kejujuran, keharmonisan, saling menghargai, dan kesetaraan) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan, apalagi dielakkan. Dengan demikian, pendidikan harus memenuhi tiga unsur: pengetahuan ( ‘ilm), pengajaran ( ta’lim), dan pengasuhanyang baik ( tarbiyah). Proses pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai sebagaimana di atas mendapat perhatian serius tokoh pendidikan abad ke-12 M, al-Zarnuji. Dia menyusun Ta’lim al-Muta’allim yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai etik dan estetik dalam proses pembelajaran. Kitab ini telah dijadikan referensi wajib bagi santri di sebagian besar pondok pesantren di Nusantara. Nilai estetik tampak pada pemikiran al-Zarnuji tentang relasi dan interaksi guru dengan murid, murid dengan murid, dan murid dengan lingkungan sekitar.Al-Zarnuji dan Ta’lim al-Muta’allimNama lengkap al-Zarnuji adalah Burhan al-Islam al-Zarnuji. Pendapat lain mengatakan

Page 28: Al Zarnuji

bahwa nama lengkapnya adalah Burhan al-Din al-Zarnuji . Nama akhirnya dinisbahkan dari daerah tempat dia berasal, yakni Zarnuj , yang akhirnya melekat sebagai nama panggilan. Plessner, dalam The Encyclopedia of Islam mengatakan bahwa nama asli tokoh ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti, begitu pula karir dan kehidupannya. Menurut M. Plessner,al-Zarnuji hidup antara abad ke-12 dan ke-13. Dia adalah seorang ulama fiqh bermazhab Hanafiyah , dan tinggal di wilayah Persia.Plessner memperkirakan tahun yang relatif lebih mendekati pasti mengenai kehidupan al- Zarnuji. Dia juga merujuk pada data yang dinyatakan oleh Ahlwardt dalam katalog perpustakaan Berlin, Nomor III, bahwa al-Zarnuji hidup pada sekitar tahun 640 H (1243 M), perkiraan ini didasarkan pada informasi dari Mahbub B. Sulaeman al-Kafrawi dalam kitabnya, A’lam al Akhyar min Fuqaha’ Madzhab al-Nu’man al-Mukhdar, yang menempatkan al-Zarnuji dalam kelompok generasi ke-12 ulama mazhab Hanafiyah. Kemudian, Plessner menguji perkiraan Ahlwardt dengan mengumpulkan data kehidupan sejumlah ulama yang diidentifikasikan sebagai guru al-Zarnuji, atau paling tidak, pernah berhubungan langsung dengannya. Di antaranya adalah : 1. Imam Burhan al-Din Ali bin Abi Bakr al- Farghinani al-Marghinani (w. 593 H/ 1195 M). 2. Imam Fakhr al-Islam Hasan bin Mansur al-Farghani Khadikan (w. 592 H/ 1196 M). 3. Imam Zahir al-Din al-Hasan bin Ali al-Marghinani (w.600 H/ 1204 M). 4. Imam Fakhr al-Din al-Khasani (w. 587 H/ 1191 M), dan Imam Rukn al-Din Muhammad bin Abi Bakr Imam Khwarzade (491-576 H). Berdasarkan data di atas, Plessner sampai pada kesimpulan bahwa waktu kehidupan al-Zarnuji lebih awal dari waktu yang diperkirakan oleh Ahlwardt. Namun, Plessner sendiri tidak menyebut tahun secara pasti, hal lain yang disimpulkan secara lebih meyakinkan adalah bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim ditulis setelah tahun 593 H.Ahmad Fuad al-Ahwani memperkirakan bahwa al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H/ 1195M. Dengan demikian, belum diketahui hidupnya secara pasti, namun jika diambil jalan tengah dari berbagai pendapat di atas, al-Zarnuji wafat sekitar tahun 620-an H.Kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji yang sampai sekarang masih ada. Menurut Haji Khalifah dalam bukunya Kasyf al-Zunun ‘an Asami’ al-Kitab al-Funun, dikatakan bahwa di antara 15000 judul literatur yang dimuat karya abad ke-17 itu tercatat penjelasan bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji. Kitab ini telah diberi syarah oleh Ibrahim bin Ismail yang diterbitkan pada tahun 996 H. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Abdul Majid bin Nusuh bin Israil dengan judul Irsyad al-Ta’lim fi Ta’lim al-Muta’allim. Kepopuleran kitab Ta’lim al-Muta’allim, telah diakui oleh ilmuwan Barat dan Timur. Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad menilainya sebagai karya monumental, yang mana orang alim seperti al-Zarnuji pada saat hidupnya disibukkan dalam dunia pendidikan, sehingga dalam hidupnya sebagaimana Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad hanya menulis sebuah buku. Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan karya lain al-Zarnuji ikut hangus terbakar karena penyerbuan biadab ( invation barbare) bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan (1220-1225 M), yang menghancurkan dan menaklukkan Persia Timur, Khurasan dan Transoxiana yang merupakan daerah terkaya, termakmur dan berbudaya Persia yang cukup maju, hancur lebur berantakan, tinggal puing-puingnya. Atmosfir Belajar dan Estetika Ta’lim al-Muta’allimTa’lim al-Muta’allim, sebagai panduan pembelajaran (belajar-mengajar) terutama bagi murid berisi muqaddimah dan 13 fasl (pasal, bagian). Dalam muqqadimah, al-Zarnuji mengatakan bahwa pada jamannya, banyak penuntut ilmu (murid) yang tekun tetapi tidak bisa memetik

Page 29: Al Zarnuji

manfaat dari ilmu itu (mengamalkan dan menyebarkannya). Hal ini disebabkan karena peserta didik meninggalkan persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga mereka gagal. Al-Zarnuji dalam muqaddimah kitabnya mengatakan bahwa kitab ini disusun untuk “meluruskan” tata-cara dalam menuntut ilmu. Adapun dari fasl 1 sampai 13, al-Zarnuji memberikan solusi tentang tata-cara menuntut ilmu.Pada kajian ini, penulis tidak akan membahas secara keseluhan yang berkaitan dengan solusi yang ditawarkan al-Zarnuji, tetapi penulis membatasi pada relasi antara guru dengan murid yang memiliki nilai estetik. Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan. Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Adapun dimensi ukhrawi, al-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses untuk mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak. Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: “Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang”. Para ilmuwan, sastrawan, dan filosof, memberikan nilai yang terhormat dan menempatkan posisi strategis bagi para pelaku pendidikan. Al-Ghazali misalnya berkata: “Siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan ia mengambil daya-guna untuk kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikan untuk orang lain, maka orang itu ibarat matahari yang bersinar untuk dirinya dan untuk orang lain”. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, guru berperan membersihkan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani siswa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridla-Nya. Dengan kata lain, ini adalah dimensi sufistik. Peran kedua adalah peran pragmatik. Artinya, guru berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan kepada muridnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan diwajibkan dan diharamkannya ilmu. Kalau tidak ada guru, siswa akan kebingungan. Selain itu, guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya. Unsur kedua yang memegang peranan penting dalam pendidikan adalah anak didik. Anak didik adalah manusia yang akan

Page 30: Al Zarnuji

dibentuk oleh dunia pendidikan. Ia adalah objek sekaligus subjek, yang tanpa keberadaannya proses pendidikan mustahil berjalan.Al-Zarnuji dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan anak didik, lebih mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid, sebagimana dikatakan al-Zarnuji adalah setiap murid harus mempunyai sifat-sifat; tawadu’, ‘iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan segala perkara kepada Allah. Di samping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan. Persyaratan-persyaratan tersebut, bagi penulis merupakan persyaratan yang bersifat rohaniah. Ini tidak berarti dia mengabaikan persyaratan yang bersifat jasmaniah, seperti kebutuhan makan, minum, dan kesehatan. Namun, persyaratan jasmaniah adalah merupakan persyaratan yang melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, sedangkan persyaratan rohaniah tidak demikian.Selain guru dan murid, faktor penting lain dalam pendidikan adalah faktor kurikulum. Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu lembaga pendidikan. Mata pelajaran yang harus diketahui dan dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran yang akan disajikan kepada anak didik, harus dijabarkan terlebih dahulu dalam kurikulum. Dengan demikian, dalam kurikulum tergambar dengan jelas dan berencana, bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajarmengajar yang dilakukan oleh pendidik dan anak didik. Dalam masalah kurikulum, al-Zarnuji tidak menjelaskan secara rinci. Dalam kitab Ta’lim muta’allim dijelaskan tentang pelajaran yang harus dipelajari dan urutan ilmu yang dipelajari. Secara filosofis, dia memberikan uraian-uraian mata pelajaran sebagai kandungan dalam kurikulum seperti panjang pendeknya pelajaran, pelajaran yang harus didahulukan dan diakhirkan, pelajaran yang wajib dan yang haram dipelajari. Sekuen materi pelajaran hendaknya mengambil pelajaran baru yang dapat dihapalkan dan dipahami setelah diajarkan oleh guru. Selanjutnya setiap harinya ditambah sedikit demi sedikit ( tajrij) sehingga pada suatu ketika menjadi kebiasaan. Jika ukuran pelajaran yang diberikan sukar dan di atas kemampuanya, anak akan sukar untuk memahaminya, yang akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri karena ia tidak memperoleh santapan jiwa yang sesuai buat pertumbuhan akalnya dan buat kemajuan. Pernyataan al-Zarnuji di atas sejalan dengan pendapat pakar pendidikan modern yang menyerukan pembawaan anak didik harus diperhatikan dan dijadikan sebagai dasar dalam mengajar. Untuk mengimplementasikan kurikulum secara praktis, al-Zarnuji memberi acuan hal-hal yang harus dikerjakan, seperti wara’ dalam belajar, pemilihan waktu belajar-mengajar yang tepat, dan ukuran (sekuen) materi pelajaran. Bagi al-Zarnuji, bukan masalah banyak sedikitnya materi, tetapi yang lebih penting adalah materi yang lebih mendesak dan dibutuhkan. Ini berarti, al-Zarnuji memiliki pandangan bahwa kurikulum yang dipelajari harus relevan, yakni sesuai kebutuhan peserta didik. Hal ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan kemampuan anak didik. Oleh karenanya, mula-mula bahan yang diberikan adalah yang mudah terlebih dahulu, baru naik ke tingkat yang lebih sukar. Ini menunjukkan, bahwa materi yang diberikan harus

Page 31: Al Zarnuji

disesuaikan dengan kematangan anak didik. Sesuai dengan pandangan al-Zarnuji ini, ilmu dapat diklasterisasikan menjadi beberapa kriteria, yakni ilmu yang dipelajari dari sudut pandang kegunaannya. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama dan ilmu umum, seperti kedokteran dan ilmu falak, yang semuanya digunakan untuk kemaslahatan. Di samping ilmu-ilmu yang disebutkan di atas, ada ilmu-ilmu yang dilarang mempelajarinya, karena dianggap membahayakan seperti; ilmu mantiq, filsafat, dan ilmu jad. Meskipun secara gamblang al-Zarnuji tidak merinci ilmu mana yang secara sekuen diperuntukkan untuk tingkat rendah, menengah, dan tinggi, tetapi dia memberikan pandangannya tentang ilmu mana yang patut dipelajari oleh pelajar. Dalam Ta’lim al-Muta’allim al-Zarnuji mengatakan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya dilaksanakan sesuai dengan perkembangan jiwa seseorang. Misalnya, pada usia kanakkanak, aktivitas menghapal dengan cara perulangan harus diutamakan. Hal ini karena pola-pikir anak didik masih bersih, dan anak-anak masih cenderung untuk meniru apa yang disampaikan oleh sang Guru. Pada usia pendidikan menengah, anak didik mulai dikenalkan untuk memahami apa yang diajarkan oleh guru. Mata pelajaran yang telah diajarkan bukan sekedar untuk dihapal, tetapi harus dipahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pada tahapan berikutnya, di samping menghapal dan memahami, anak didik harus aktif dan merefleksikan, serta kreatif untuk bertanya. Lebih lanjut al-Zarnuji mengatakan bahwa bertanya itu lebih baik dari pada menghapal selama satu bulan. Para pelajar hendaknya mencatat pelajaran-pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Untuk mencapai keberhasilan belajar, seorang murid seharusnya mempunyai kemauan yang keras dan berusaha secara serius karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya usaha yang serius akan mengalami kegagalan, demikian sebaliknya. Berkaitan dengan metode pengajaran, al-Zarnuji mengemukakan pentingnya cara hapalan dan pemahaman, karena kedua cara ini berkaitan dengan sifat individu. Di samping itu, beliau juga mengembangkan cara belajar mudzakarah, munadzarah dan mutharahah. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan atmosfir akademik dan nilai estetik relasi antara guru dan murid sebagaimana dituangkan dalam Ta’lim al-Muta’allim, yakni pertama, titik tolak pemikiran pendidikan al-Zarnuji bermula dari pembicaraan tentang substansi dan esensi kehidupan. Dia cenderung menggunakan term-term tasawuf dalam pemikiran pendidikannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji sangat menekankan pendidikan akhlak. Baginya, pendidikan yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni masalah moral (akhlak). Dengan kata lain, dari masalah yang substansi dan esensi ini akan melahirkan perform yang sejati. Pola hubungan atau relasi antara guru dan murid dalam Ta’lim al-Muta’allim sebagaimana dianjurkan al-Zarnuji adalah semacam “laboratorium” pembelajaran akhlak untuk relasi yang lebih besar. Relasi ini dijiwai oleh sifat-sifat sufi seperti tawadhu’, sabar, ikhlas, penuh pengertian, dan saling menghormati. Ketika murid telah memiliki “pengalaman” relasi hidup sebagaimana dalam “laborat akhlak” maka yang akan muncul adalah pribadi-pribadi dengan bobot kualitas sebagaimana formulasi dalam laborat tersebut. Harapan yang akan terjadi adalah munculnya relasi yang sebenarnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikap sebagaimana disebut di atas, kehidupan akan harmonis karena tidak ada “dominasi”, intimidasi, kecongkakan, keserakahan, dan kemunafikan. Perang, teror dalam berbagai bentuk, invasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah wujud dari dominasi agresif manusia atas manusia lain. Pola relasi yang tidak nyaman ini akibat dari teralienasinya masalah moral (akhlak), sebagaimana diingatkan oleh al-Zarnuji. Relasi dan interaksi atas dasar keramahtamahan dan saling menghormati sebagaimana dilakukan Nabi menjadi rujukan utama kitab ini.

Page 32: Al Zarnuji

Di samping itu, guru dalam Ta’lim al-Muta’allim memiliki peran sentral. Hal ini menjadi sangat beralasan, karena pemikiran sufistik al-Zarnuji sangat kental di dalamnya. Dalam tradisi sufi, seorang mursyid memiliki peran sentral dalam transfer ilmu. Pandangan demokratis al-Zarnuji tampak pada “keleluasaan” seorang murid untuk memilih dan menentukan gurunya. Hal ini menjadi sangat penting dalam proses pengembangan diri seorang murid. Secara psikologis, manakala siswa dalam keadaan “terpaksa” atau “terintimidasi”, maka yang terjadi adalah formalis.Yakni seolah-olah belajar, namun bukan muncul dari motivasi diri, tetapi karena “terpaksa”. Sekali lagi, budaya formal (formalitas) seringkali mengakibatkan kehancuran. Budaya pendidikan dijaman modern terkadang memburu formalitas, sehingga memunculkan “budaya yang penting”, dengan diperoleh dengan cara apapun, sekalipun tidak diperbolehkan. Bagi al-Zarnuji, hapalan adalah salah satu strategi pembelajaran yang tepat untuk anak-anak. Hal ini karena anak-anak memiliki daya tangkap ( auditory) yang kuat. Implementasinya, pelajaran hari ini sebaiknya dipelajari tiga kali, pelajaran kemarin sebaiknya dipelajari dua kali, dan seterusnya. Dalam konteks ini, kontinuitas pembelajaran akan terjaga, sehingga pencerapan dalam memory menjadi kuat. Ini senada dengan Teori Decay (kelunturan), yang mana Spitzer mengatakan bahwa setelah jangka waktu sehari informasi yang dilupakan sekitar 46%, seminggu yang dilupakan 56%, dan sebulan informasi yang dilupakan adalah 81%. Hanya saja, hapalan memang semakin tidak cocok bagi anak yang usianya semakin besar, apalagi untuk remaja dan dewasa. Selain itu, strategi pembelajaran aktif ( active learning) lain adalah strategi pembelajaranyang di dalamnya mengandung unsur saling mengingatkan ( mudzakarah), tukar pandangan ( munadzarah), dan berdiskusi ( mutharahah, munaqasyah).“Laboratorium” sosial al-Zarnuji ini dapat mengembangkan sikap toleran, inklusif, dan pluralis. Dengan sikap ini akan memunculkan kerukunan sosial dan keharmonisan hidup. Hanya saja realitas yang ada, pemikiran al-Zarnuji dipahami secara tekstual oleh praktisi pendidikan.Kesimpulan 1. Atmosfir akademik (pendidikan) dalam Ta’lim al-Muta’allim–sebagaimana diformulasikan oleh penggagasnya, al-Zarnuji– memiliki nuansa sufistik paedagogik. Hal ini tampak pada landasan pikir yang dibangun berangkat dari term-term tasawuf sebagai landasan utama. Konsep ridha, tawaddhu’, wara’, ikhlas, dan sabar merupakan kata kunci dalam proses pembelajaran.2. Konsep ini diimplementasikan dalam wilayah “mikro” sosial, sebagai “laboratorium”, yang bernama pendidikan. Harapannya laboratorium tersebut dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan nilai-nilai yang bernuansa sufistik paedagogik. 3. Dari pendidikan yang bernilai sufistik paedagogik tersebut akan melahirkan aktor-aktor intelektual yang berwawasan dan bermoral. Pluralitas, inklusivitas,toleransi, dan sikap-sikap lain, akan menghiasi kehidupan mereka dalam sebuah desa buana ( global village) yang penuh dengan keharmonisan dan ketenteraman.