Upload
muhammad-danil
View
26
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
akustika
Citation preview
Akustik Ruang
Micro Perforated Panel (MPP) adalah sebuah elemen penyerap energi suara jenis baru.
Fungsi utamanya adalah menyerap energi suara yang datang ke permukaannya. Elemen
akustik ini merupakan alternatif elemen penyerap suara yang terbuat dari material berpori.
MPP berbentuk lembaran tipis yang memiliki lubang-lubang kecil di permukaannya.
Ketebalan plat tipis ini pada umumnya dalam range 0.5 – 2 mm, dengan luasan total lubang
pada umumnya berkisar 0.5 – 2 % dari luas total plat, tergantung dari aplikasinya.
Dimensi lubang pada MPP tidak lebih dari 1 mm, dengan ukuran umum di range 0.05 – 0.5
mm, yang dibuat dengan proses microperforasi.
Fungsi utama suatu elemen penyerap (absorber) adalah untuk mengubah energi suara atau
energi akustik menjadi energi kalor. Pada elemen penyerap tradisional, gelombang suara
yang datang pada permukaan elemen dan berpenetrasi ke dalam pori sedemikian hingga
menyebabkan osilasi pada partikel udara yang berada dalam pori. Osilasi partikel udara ini
akan bergesekan dengan dinding-dinding pori sehingga energi akustik yang dikandungnya
akan berkurang dan berubah menjadi kalor. Pada kasus MPP, penetrasi osilasi molekul
udara ke dalam lubang-lubang plat akan mengakibatkan gesekan antara partikel atau
molekul udara dengan permukaan MPP. Gesekan ini akan mengakibatkan berkurangnya
energi akustik yang datang ke permukaan MPP tersebut.
Konsep MPP, yang merupakan pengembangan dari konsep perforated panel dan Helmholtz
Resonator, pertama kali muncul pada tahun 1975, diperkenalkan oleh Prof Daa- You Maa.
Pada saat ini MPP lebih disukai oleh para akustikawan karena secara estetik memiliki
tampak visual yang lebih indah dibandingkan elemen penyerap suara berpori seperti
glasswool, rockwool, foam dsb. MPP juga relatif tidak mengakibatkan gangguan kesehatan
pernafasan (sebagaimana diakibatkan oleh glasswool yang berbahan serat kaca), lebih
tahan api, dan berumur lebih panjang, serta lebih tahan pada lingkungan yang ekstrim
(misalnya pada ruang mesin, generator, dsb). Kinerja akustik MPP dapat divariasikan
dengan mengubah geometri dan bahan plat nya.
Formasi Elemen Akustik dalam Ruang
Formasi elemen akustik dalam sebuah ruangan akan menentukan kinerja akustik ruang
tersebut sesuai dengan fungsi nya. Beberapa catatan berikut dapat digunakan sebagai
acuan perancangan formasi penempatan elemen akustik pada ruang dengan fungsi
tertentu.
Ruang Kelas: Elemen Pemantul atau Penyebar pada dinding depan, samping serta langit-
langit depan. Elemen penyerap atau penyebar pada dinding belakang serta langit-langit
belakang. Lantai bisa keramik atau parket atau karpet.
Masjid: Dinding depan elemen pemantul atau penyebar, dinding samping kombinasi
pemantulan dan penyerap, dinding belakang penyerap atau penyebar, langit-langit penyerap
bila menggunakan sound system atau kombinasi pemantul-penyebar bila tanpa sound
system, lantai boleh karpet atau keras (keramik atau parket)
Ruang Auditorium: Dinding depan pemantul atau penyebar, Dinding samping kombinasi
pemantul – penyerap atau penyebar – penyerap, Dinding Belakang penyerap atau
penyebar, langit-langit penyebar atau penyerap, dengan elemen pemantul di area atas
panggung, lantai bebas. Bila menggunakan sound system, harus diperhatikan type dan
posisi pemasangan.
Ruang Konser Akustik/Philharmonik: hindari pemakaian elemen penyerap, maksimalkan
penggunaan pemantul dan penyebar pada seluruh bagian permukaan.
Ruang Studio: Banyak penyerap di ruang kontrol (bisa dikombinasikan dengan penyebar)
dan kombinasi penyerap=penyebar di ruang live.
Kamar Tidur, Living Room, Ruang rawat inap: kombinasi 3 elemen sesuai kondisi bising dan
kenyamanan individu.
Ruang rapat: Dinding kombinasi penyerap-penyebar, langit-langit dan lantai berlawanan
karakteristik (bila lantai penyerap, langit-langit pemantul atau penyebar, dan sebaliknya)
Ruang Bioskop: mayoritas permukaan dilapisi elemen penyerap.
Gelanggang Olah Raga: lantai keras, langit-langit kombinasi penyerap-penyebar, dinding
kombinasi pemantul-penyerap-penyebar (tergantung bentuk geometri nya).Ruang Kantor
tapak terbuka: dinding bebas, langit-langit penyerap, lantai bebas.
Mengendalikan Medan Suara dalam Ruang
Secara garis besar, permasalahan akustik dalam ruangan dapat dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu pengendalian medan suara dalam ruangan (sound field control) dan pengendalian
intrusi suara dari/ke ruangan (noise control). Pengendalian medan suara dalam ruang akan
sangat tergantung pada fungsi utama ruangan tersebut. Ruang yang digunakan untuk fungsi
percakapan saja, akan berbeda dengan ruang yang digunakan untuk mengakomodasi
aktifitas terkait musik, serta akan berbeda pula dengan ruang yang digunakan untuk
kegiatan yang melibatkan percakapan dan musik.
Pengendalian medan suara dalam ruang (tertutup), pada dasarnya dilakukan untuk
mengatur karakteristik pemantulan gelombang suara yang dihasilkan oleh permukaan dalam
ruang, baik itu dari dinding, langit-langit, maupun lantai. Ada 3 elemen utama yang dapat
digunakan untuk mengatur karakteristik pemantulan ini yaitu:
1. Elemen Pemantul (Reflector)
Elemen ini pada umumnya digunakan apabila ruang memerlukan pemantulan gelombang
suara pada arah tertentu. Ciri utama elemen ini adalah secara fisik permukaannya keras dan
arah pemantulannya spekular (mengikuti kaidah hukum Snellius: sudut pantul sama dengan
sudut datang).
2. Elemen Penyerap (Absorber)
Elemen ini digunakan apabila ada keinginan untuk mengurangi energi suara di dalam
ruangan, atau dengan kata lain apabila tidak diinginkan adanya energi suara yang
dikembalikan ke ruang secara berlebihan. Efek penggunaan elemen ini adalah
berkurangnya Waktu Dengung ruang (reverberation time). Ciri utama elemen ini adalah
secara fisik permukaannya lunak/berpori atau keras tetapi memiliki bukaan (lubang) yang
menghubungkan udara dalam ruang dengan material lunak/berpori dibalik bukaannya, dan
mengambil banyak energi gelombang suara yang datang ke permukaannya. Khusus untuk
frekuensi rendah, elemen ini dapat berupa pelat tipis dengan ruang udara atau bahan lunak
dibelakangnya.
3. Elemen Penyebar (Diffusor)
Elemen ini diperlukan apabila tak diinginkan adanya pemantulan spekular atau bila
diinginkan energi yang datang ke permukaan disebarkan secara merata atau acak atau
dengan pola tertentu, dalam level di masing-masing arah yang lebih kecil dari pantulan
spekularnya. Ciri utama elemen ini adalah permukaannya yang secara akustik tidak rata.
Ketidakrataan ini secara fisik dapat berupa permukaan yang tidak rata (beda kedalaman,
kekasaran acak, dsb) maupun permukaan yang secara fisik rata tetapi tersusun dari
karakter permukaan yang berbeda beda (dalam formasi teratur ataupun acak). Energi
gelombang suara yang datang ke permukaan ini akan dipantulkan secara no spekular dan
menyebar (level energi terbagi ke berbagai arah). Elemen ini juga memiliki karakteristik
penyerapan.
Pada ruang (akustik) riil, 3 elemen tersebut pada umumnya dijumpai. Komposisi luasan per
elemen pada permukaan dalam ruang akan menentukan kondisi medan suara ruang
tersebut. Bila Elemen pemantulan menutup 100 % permukaan, ruang tersebut disebut ruang
dengung (karena seluruh energi suara dipantulkan kembali ke dalam ruangan). Medan
suara yang terjadi adalah medan suara dengung. Sebaliknya, apabila seluruh permukaan
dalam tertutup oleh elemen penyerap, ruang tersebut menjadi ruang tanpa pantulan
(anechoic), karena sebagian besar energi suara yang datang ke permukaan diserap oleh
elemen ini. Medan suara yang terjadi disebut medan suara langsung. Medan suara ruang
selain kedua ruang itu dapat diciptakan dengan mengatur luasan setiap elemen, sesuai
dengan fungsi ruang.
Untuk pemakaian pengendalian medan suara dalam ruang yang lebih detail, sebuah elemen
bisa dirancang sekaligus memiliki fungsi gabungan 2 atau 3 elemen tersebut. Misalnya
gabungan Penyerap dan Penyebar dikenal dengan elemen Abfussor atau Diffsorbor,
gabungan antara pemantul dan penyebar, dsb. Pola pemantulan 3 elemen tersebut
merupakan fungsi dari frekuensi gelombang suara yang datang kepadanya.
Sound System versus Akustik Ruang
Pertanyaan yang sering saya jumpai dalam pekerjaan konsultansi kenyamanan mendengar
di dalam suatu space (ruang tertutup maupun terbuka)
Untuk menjawab pertanyaan trsebut, biasanya saya mulai dari definisi akustik sendiri.
Sebuah sistem Akustik harus memiliki 3 komponen, yaitu Sumber Suara, Medium
Penghantar Energi dan Penerima Suara. Apabila salah satu dari 3 hal tersebut tidak ada,
maka sistem tidak bisa disebut sebagai sistem akustik. Misalnya saja, didalam sebuah
ruangan yang dirancang sedemikian hingga seluruh permukaannya berfungsi secara
akustik, tidak akan menjadi ruang akustik apabila tidak ada sumber suara yang dimainkan
dalam ruangan tersebut atau tidak ada penonton atau sensor penerima energi suara
(microphone-red) yang berada didalam ruangan tersebut. Jadi ke 3 komponen tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Kembali ke pertanyaan awal, lantas mana yang lebih penting kalau begitu?
Akustika Ruang merupakan kondisi audial yang nilainya ditentukan oleh fungsi ruangan atau
space itu sendiri. Misalnya, sebuah ruangan kelas memerlukan kondisi akustik ruang yang
berbeda dengan ruangan konser musik klasik atau musik pop/rock. Perbedaan berdasarkan
fungsi itu kemudian diimplementasikan dalam bentuk: geometri ruangan dan material
penyusun permukaan ruangan. Geometri da material ruangan inilah yang kemudian akan
berinteraksi dengan sumber suara yang dimainkan dalam ruangan tersebut, yang pada
akhirnya diterima oleh pendengar yang ada dalam ruangan, bisa orang yang memiliki telinga
(live listening) ataupun microphone sebagai simulator telinga (recording). Interaksi ketiga
komponen akustik ini ditunjukkan dengan sebuah fenomena yang disebut sebagai transmisi,
absorpsi, refleksi (termasuk diffusi) dan difraksi gelombang suara yang dihasilkan sumber
suara. Dari fenomena akustik tersebut muncullah istilah-istilah seperti level suara (SPL),
waktu dengung (RT), intelligibility (D50), Clarity (C80), spaciousness (IACC, LF, ASW, dsb).
Nilai-nilai parameter itulah yang kemudian dikenal sebagai Akustik Ruang, yang kembali
ditegaskan merupakan kondisi mendengar SESUAI dengan fungsi ruangan. Sumber suara
yang terlibat disini bisa berupa suara natural dari sumber suara apapun (percakapan
manusia, alat musik, dsb) atau dari komponen Sound System yang kita kenal dengan nama
Loudspeaker.
Sound System disisi lain, pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang pada awalnya
dirancang untuk mengatasi KURANG nya energi suara yang sampai ke pendengar karena
besarnya volume space atau jauhnya jarak pendengar dari sumber. Itu sebabnya mengapa
disebut sebagai Sound Reinforcement System sebagai nama dasarnya, dan disingkat
sebagai Sound System. Pada saat sebuah sound system diaplikasikan di dalam ruangan
atau spcae, dia berfungsi untuk meningkatkan energi suara yang dihasilkan oleh sumber
suara natural dan mendistribusikan energinya kepada seluruh pendengar di dalam space
atau ruangan tersebut.
Faktor pendengar di dalam ruangan atau space menjadi kunci dalam menjawab pertanyaan
awal. Telinga manusia yang berada dalam ruangan atau space akan menerima 2 komponen
akustik dari sumber suara, yaitu suara langsung (energi suara yang menempuh jalur
langsung dari sumber ke telinga) serta suara pantulan (energi suara yang sampai telinga
setelah menumbuk satu atau lebih permukaan di dalam ruangan). Interaksi 2 komponen ini
yang akan menentukan nyaman tidaknya kondisi mendengar di telinga pendengar tadi. Bila
suara langsung dan suara pantulan bercampur dengan baik (misalnya tidak ada delay yang
berlebihan), maka pendengar akan nyaman merasakan medan akustik di sekitar telinganya.
Desain permukaan ruangan yang menghasilkan pola pemantulan yang berinteraksi positif
dengan suara langsung dari sumber menjadi sisi krusial dalam desain Akustik Ruang. Suara
pantulan ini tidak boleh lebih dominan dari suara langsung. Itu sebabnya level energi suara
dari sumber memegang peranan penting bagi pendengar. Apabila level suara sumber
memungkinkan untuk mencapai seluruh bagian ruangan (atau seluruh posisi pendengar)
maka ruangan tersebut pada dasarnya TIDAK MEMERLUKAN Sound System, karena
problemnya adalah bagaimana perancang ruangnya mendesain karakteristik pemantulan
yang dihasilkan permukaan dalam ruangan untuk memperkaya suara langsung yang sampai
ke telinga pendengar. Sedangkan bila level energi suara dari sumber tidak mungkin
mengcover seluruh area pendengar, pada saat itulah diperlukan Sound System. Dalam
kondisi ini, problemnya bergeser dari perancangan karakterisasi pantulan ruang menjadi
perancangan posisi sumber suara non-natural.
Jadi, Sound System dan Akustik Ruangan sebenarnya adalah satu sistem yang tidak dapat
dipisahkan, sehingga pertanyaan awal tadi sebenarnya tidak perlu dijawab, karena
keduanya memegang peranan penting dalam porsinya masing-masing. Sound System
memerlukan Akustik Ruangan yang minimal baik untuk bekerja secara optimal, dan Akustik
Ruangan memerlukan Sound System bila energi sumber suara natural tidak mencukupi
levelnya. Dan satu hal yang perlu diingat adalah Sound System tidak boleh mengubah
karakter sumber suara yang dia layani, karena fungsinya adalah menjaga kualitas suara
sumber supaya tetap terdengar baik di telinga pendengar. Bagaimana kalau suara
sumbernya tidak layak didengar? Kalau itu yang terjadi, persoalannya bukan lagi masalah
akustik, tetapi masalah sumber suara saja. :)
Sebagai ilustrasi penutup, mengapa seluruh permukaan didalam bioskop bersifat menyerap
energi suara (pantulan minimum)? Karena pendengar yang masuk ke dalam ruangan
tersebut memang diminta untuk mendengarkan suara “langsung” yang dihasilkan oleh
Sound Systemnya, sembari menikmati tayangan visual tentunya. Mana yang lebih penting
Sound System nya atau Akustika Ruangannya? Ya keduanya penting, karena kalau Sound
Systemnya buruk, penonton (pendengar) akan merasa tidak nyaman secara audial.
Sebaliknya, bila kondisi akustik ruangan buruk (misalnya ada pantulan berlebihan atau ada
kebocoran suara dari luar), maka kondisi mendengar medan suara yang dihasilkan oleh
Sound System akan terganggu.
Respon Frekuensi Ruangan
Secara umum, sebuah ruangan tertutup dapat dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan respons
frekuensinya. Bagian pertama merupakan daerah frekuensi yang dibatasi oleh frekuensi cut
off ruangan. Pada bagian ini, analisis frekuensi harus dititik beratkan pada tekanan suara
sumber yang dimainkan dalam ruangan. Frekuensi cut off sendiri dapat dihitung dengan
persamaan berikut:
freq cut off = c/(2 x dimensi terpanjang ruang), dengan c adalah cepat rambat suara di
udara.
Bagian kedua atau region kedua adalah daerah frekuensi yang didominasi modes ruang dan
disebut sebagai daerah modal (modal region), yaitu daerah frekuensi mulai dari frekuensi
(cut off) sampai dengan frekuensi kritis ruang. Pada daerah frekuensi ini, analisis harus
lebih difokuskan pada karakterisitik modes ruang. (penjelasan menggunakan pendekatan
medan difuse cenderung akan gagal). Frekuensi kritis ruang dapat dicari dengan dua
pendekatan. Yang pertama menggunakan pendekatan Main Free Path, yang merupakan
fungsi dari Volume (V) dan Luas Permukaan Ruangan (S), dimana MFP = 4V/S. Frekuensi
kritis dengan pendekatan MFP ini dapat dihitung dengan persamaan berikut:
frek kritis = (3/2) [c/MFP] , dengan c adalah cepat rambat suara di udara.
Pendekatan kedua didapatkan dengan memanfaatkan perhitung waktu dengung (RT atau
T60). Dengan pendekatan ini, frekuensi kritis dapat dihitung dengan formulasi sebagai
berikut:
frek kritis = 2012 [akar kuadrat(T60/V)], dimana V adalah volume ruangan.
Daerah frekuensi ketiga, yaitu daerah frekuensi diatas frekuensi kritis, disebut sebagai
daerah diffuse alias <em>diffuse region</em>, dimana medan diffuse dapat terjadi,
sehingga konsep waktu dengung (reverberation time) bisa diterapkan.
Konsep frekuensi kritis tersebut, dapat juga digunakan untuk mengkategorikan ruangan dari
sudut pandang akustik. Ada dua kategori ruang yang bisa dibuat dari sudut pandang ini,
yaitu ruangan besar (large room) dan ruangan kecil (small room). Ruangan besar adalah
sebuah ruangan yang memiliki frekuensi kritis lebih rendah daripada frekuensi terendah
sumber suara yang dimainkan dalam ruangan tersebut. Sedangkan ruangan kecil adalah
sebuah ruangan yang memiliki frekuensi kritis didalam range frekuensi sumber suara yang
dimainkan dalam ruangan tersebut. Contoh ruangan besar misalnya Ruang Konser
Philharmonik (Concert Hall), Katedral, dan ruangan studio rekaman berukuran besar.
Contoh ruangan kecil adalah Kamar tidur, kamar mandi atau normal size living room.
Pengukuran Impulse Response
Salah satu cara untuk mengetahui kinerja akustik sebuah ruangan adalah dengan
melakukan pengukuran respon impuls (Impulse Response) dari ruangan tersebut. Dari
pengukuran ini akan didapatkan gambaran interaksi antara sumber suara dengan
permukaan dalam ruangan, yang dapat digambarkan dalam pola urutan waktu pemantulan
energi suara pada suatu titip dalam ruangan serta reduksi energi suara pada setiap
waktu/setiap informasi suara pantulan. Dari pola urutan dan reduksi energi suara ini dapat
diturunkan parameter-parameter akustik ruangan tertutup, misalnya SPL (distribusi tingkat
tekanan suara), D50 (kejelasan suara ucapan), C80 (kejernihan suara musik), G (kekuatan
sumber suara), EDT (early decay time), Tx (waktu dengung ruangan), ITDG (waktu tunda
pantulan awal, intimacy), IACC (spaciousness dan envelopment), LEF(spaciousness dan
envelopment), dan turunan-turunannya.
Metodologi pengukuran dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Secara kronologis waktu, metode pengukuran impulse response dapat diringkaskan sebagai
berikut:
1. Pengukuran menggunakan sumber suara impulsive (Balon atau pistol start).
2. Pengukuran menggunakan transducer omnidirectional (dodecahedral loudspeaker dan
omni directional microphone)
3. Pengukuran secara elektro akustik menggunakan 1 sumber suara omnidirectional,
perangkat lunak dalam PC atau laptop, dan 1 mikropon omnidirectional. Sinyal suara yang
digunakan misalnya MLS (Maximum Length Sequences), TDL (Time Delay Spectrometry
alias Sine sweep) dan ESS (Exponential Sine Sweep). Pada era ini muncul perangkat lunak
yang melegenda, MLSSA (simply called Melissa) yang menjadi cikal bakal munculnya
perangkat lunak pengukuran yang lain (TEF, RTF, Dirac, dsb)
4. Pengukuran menggunakan sound card, 2 atau lebih loudspeaker dan multi microphones (
2 – 8 ). Pengukuran dengan 2 microphones kadang-kadang menggunakan kepala manusia
atau kepala tiruan (dummy head), misalnya untuk pengukuran IACC. Penggunaan jenis
microphones juga bisa divariasikan (berdasarkan konfigurasinya dan jenis directivity yang
digunakan), misalnya untuk pengukuran LEF. Sound card yang digunakan bisa dari type
standard full duplex, (baik internal maupun external). ataupun special external sound card
multi channels. Pengukuran dengan metode ini memungkinkan untuk mendapatkan
response ruangan secara binaural maupun ambisonic. Di era ini Sound Field Microphones
banyak digunakan.
5. Saat ini, pengukuran yang melibatkan Array Loudspeaker system dan Array Microphone
System, untuk mendapatkan informasi pola arah (directivity pattern) yang lebih akurat di
setiap titik pendengar dalam ruangan, banyak dikembangkan, baik perangkat keras maupun
perangkat lunaknya.
Waktu Dengung Formulasi Sabine
Salah satu formulasi perhitungan waktu dengung yang paling banyak digunakan para
desainer ruangan adalah rumusan waktu dengung (reverberation time) yang diformulasikan
oleh Sabine. Dalam formulasi yang diturunkan berdasarkan percobaan empiris, Sabine
menyatakan bahwa waktu dengung (T60) berbanding lurus dengan Volume Ruangan (V)
dan berbanding terbalik dengan Luas Permukaan Ruangan (S) dan rata-rata Koefisien
Absorpsi permukaan ruangan (alpha). Formulasi ini sampai saat ini masih sering digunakan
orang, terutama di dalam proses awal desain dan penentuan material finishing ruangan,
sesuai dengan fungsi ruangannya.
Formula Sabine: T60 = 0,161 V / S.alpha
Beberapa hal yang seringkali dilupakan dalam aplikasi formula ini adalah:
1. T60 adalah fungsi frekuensi, karena Koefisien Absorpsi (Alpha) adalah fungsi frekuensi.
2. Formula ini dibuat dengan asumsi, seluruh permukaan ruang memiliki probabilitas yang
sama untuk didatangi energi suara.
3. Formula ini disusun dengan asumsi Medan Suara Ruangan bersifat Diffuse.
4. Formula ini hanya “berlaku” dengan baik apabila rata-rata Alpha < 0,3 dan perbedaan
Alpha antar material penyusun partisi tidak terlalu besar. Untuk harga Alpha rata-rata > 0,3,
formula ini akan memberikan kesalahan T60 > 6%.
5. Harga T60 yang dihasilkan dengan formula ini adalah harga rata-rata saja,sehingga tidak
menunjukkan kondisi di setiap titik dalam ruangan.
note: Formulasi Sabine ini kemudian disempurnakan oleh Norris-Errying.
(T60 = -0,161 V/S.ln(1-Alpha)
FSTC vs STC
Salah satu parameter akustik yang banyak dikenal di kalangan desainer ruangan adalah
Sound Transmission Class or STC. Parameter ini merupakan angka tunggal yang digunakan
untuk menunjukkan kinerja insulasi akustik dari material penyusun ruangan. Secara khusus
digunakan untuk menyatakan kinerja suatu partisi atau dinding ruangan. Harga STC
ditentukan secara grafis dengan cara membandingkan kurva rugi transmisi suara atau
sound transmission loss (STL) dengan kurva standard STC. STL partisi atau dinding
terpasang dapat diukur dengan mengacu pada standard ASTM E 336, sedangkan harga
STC nya dapat dihitung berdasarkan standard ASTM E 416.
Harga STC secara umum menunjukkan kondisi kinerja optimal dari sebuah partisi atau
dinding, karena didapatkan melalui pengukuran STL di laboratorium. Dalam kondisi riil,
setelah partisi atau dinding tersebut dipasang di dalam ruangan, harga STC tersebut sulit
sekali dicapai. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu kebocoran (leakage) energi
suara dan Adanya flanking path di ruangan. Kebocoran energi suara ini bisa disebabkan
oleh komponen-komponen dalam sistem partisi atau dinding itu sendiri (kualitas
pemasangan, sambungan antar bagian, dsb) maupun oleh sistem-sistem yang lain (pintu,
jendela atau partisi/dinding yang lain). Sedangkan flanking adalah perambatan energi suara
lewat jalur selain menembus dinding, misalnya melewati langit-langit ruangan atau bukaan di
bagian dinding yang lain. Sebagai akibatnya, kinerja insulasi ruangan (atau terkadang
disebut juga kinerja isolasi antar ruang) seringkali dinyatakan dengan besaran Field Sound
Transmission Class (FSTC) yang menunjukkan kinerja rugi transmisi partisi atau dinding
dalam kondisi terpasang dalam ruangan.
FSTC merupakan sebuah ukuran kinerja isolasi antar ruang yang dipengaruhi oleh bising
latar belakang, volume ruangan, koefisien absorpsi bahan penyusun interior ruangan, luas
permukaan dalam ruangan dan karakteristik spektral sumber suara yang dibunyikan dalam
ruangan. Harga FSTC suatu partisi atau dinding pada umumnya 5 – 7 skala lebih rendah
dari harga STC nya. Dua buah partisi atau dinding yang memiliki harga FSTC yang setara
mungkin saja memiliki karakteristik akustik yang berbeda, misalnya sebuah partisi/dinding
beton setebal 20 sm dengan FSTC 50 akan bekerja lebih baik dibandingkan dengan
partisi/dinding dari dry wall (double gypsum atau double hardwood sistem) ber-FSTC 50
juga, apabila digunakan dalam ruangan yang difungsikan untuk kegiatan yang melibatkan
suara dengan frekuensi rendah (bass), misalnya untuk kegiatan musik.
Secara umum, nilai STC maupun FSTC berkaitan dengan persepsi manusia terhadap suara
yang didengarkan dalam konteks antar ruang. Semakin besar nilai STC maupun FSTC,
menunjukkan kinerja partisi/dinding yang semakin baik dalam mengisolasi ruangannya dari
aktifitas akustik di ruangan yang berbatasan. Sebuah partisi atau dinding yang
permukaannya terdiri dari berbagai jenis material, nilai STC atau FSTC nya cenderung
ditentukan oleh STC yang paling rendah dari material penyusun. (itu sebabnya, celah pada
partisi akan membuat harga STC atau FSTC turun drastis). Beberapa contoh berikut
(sumber International Building Code IBC) dapat digambarkan untuk memberikan gambaran
efektifitas kinerja partisi/dinding secara subyektif terkait dengan nilai STC (FSTC).
STC 26-30 (FSTC 20-22) : Most sentences clearly understood
30-35 (25-27) : Many phrases and some sentences understood without straining to hear
35-40 (30-32) : Individual words and occasional phrases clearly heard and understood
42-45 (35-37) : Medium loud speech clearly audible, occasional words understood
47-50 (40-42) : Loud speech audible, music easily heard
52-55 (45-47) : Loud speech audible by straining to hear; music normally can be heard and
may be disturbing
57-60 (50-52) : Loud speech essentially inaudible; music can be heard faintly but bass
notes disturbing
62-65 (55-60) : Music heard faintly, bass notes “thump”; power woodworking equipment
clearly audible
70- 60 : Music still heard very faintly if played loud.
75+ 65+ : Effectively blocks most air-borne noise sources
Synopsis: Akustik Perkantoran Tapak Terbuka (Acoustics of Open-plan Offices)
Latar belakang masalah
Seiiring dengan semakin mahalnya energi fosil di dunia, konsep pembangunan gedung
perkantoran di Indonesia, sebagaimana halnya dibelahan dunia yang lain, semakin banyak
yang mengacu pada konsep bangunan hijau (green building). Ini berarti, pemanfaatan
energi terbarukan seperti energi matahari, dalam kaitannya dengan energi pencahayaan
misalnya, semakin banyak dijadikan pertimbangan utama di dalam desain selubung
bangunan. Sebagai salah satu akibatnya, ruangan kerja dibuat mendekati perimeter
selubung bangunan, dan bertipe tapak-terbuka (open-plan), agar supaya cahaya matahari
semakin banyak masuk ke dalam ruangan. Dengan demikian pemakaian energi fosil untuk
pencahayaan ruangan bisa dikurangi.
Konsep Perkantoran Tapak-terbuka (Open-plan Offices), yang secara umum dikategorikan
dengan tidak adanya dinding dan partisi, pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang produsen
furnitur Jerman Barat, Eberhard dan Wolfgang Schnelle[1]. Para inovator ini percaya bahwa
konsep ini memiliki banyak keuntungan dari sisi managerial, ekonomi dan kondisi kerja,
misalnya terciptanya kondisi komunikasi yang lebih baik antara bagian, penghematan ruang
karena tidak memerlukan koridor, dan lingkungan kerja yang lebih[2, 1, 4].
Masalah yang sering ditemui terkait dengan kenyamanan berkomunikasi dalam konsep
kantor tapak-terbuka adalah gangguan secara aural akibat interferensi bunyi dan
kebisingan, hilangnya privasi dalam berkomunikasi, dan seringnya interupsi oleh rekan kerja
[4]. Beberapa peneilitian menunjukkan bahwa gangguan ini dapat memberikan efek
psikologis pada para pekerja, terutama bagi mereka yang sebelumnya telah terbiasa bekerja
di lingkungan tertutup atau semi tertutup.
Akibat penggunaan pembatas ruang kerja (‘working space’) yang bersifat semi-terbuka,
beberapa penelitian di US [2, 5] menunjukkan kebisingan diakibatkan oleh suara
percakapan antar pekerja merupakan gangguan akustik ruang yang paling signifikan. Hal ini
ditemui terutama di perkantoran yang memberikan jasa pelayanan ke konsumen entah
melalui percakapan langsung atau media komunikasi elektronik. Sumber kebisingan lain
berkaitan dengan peralatan elektronik yang mendukung aktivitas kerja diantaranya dering
telepon, komputer, mesin fax, mesin fotokopi maupun printer.
Problem akustik yang lain akibat layout ruangan adalah tidak terpenuhinya privasi dalam
percakapan (speech privacy). Interferensi bunyi merupakan penyebab utama gangguan ini.
Tidak adanya dinding penghalang (barriers free) menyebabnya gelombang suara dengan
mudah dapat berpropagasi secara bebas ke seluruh sudut ruangan. Gangguan ditunjukkan
dengan sulitnya memahami suara percakapan yang mengandung informasi penting akibat
adanya gangguan suara percakapan lain yang lebih jernih, lebih keras, mudah ditangkap
dan mendominasi zona pendengaran. Atenuasi (penyerapan) dan peredaman suara hanya
di layani oleh material-material partisi dengan ketinggian terbatas sementara peran langit-
langit sebagai penyerap suara menjadi sangat berkurang karena refleksi bunyi tidak mampu
mencapai pembatas ruang tersebut.
Dengan adanya gangguan-gangguan akustik tersebut diatas, konsep perkantoran tapak-
terbuka dinilai kurang tepat untuk mendukung efektifitas kerja, walaupun dari sisi
perancangan arsitektur dianggap lebih estetis, efisien dan memiliki tingkat perawatan yang
lebih mudah karena dapat dengan mudahnya ditata ulang sesuai dengan perubahan
kebutuhan. Dari sisi interaksi antar pekerja, konsep perkantoran ini mampu menciptakan
keakraban dan suasana kebersamaan.
Pengukuran Akustik Ruangan
Pengukuran ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik akustik ruangan, yang dilakukan
dengan metode pengukuran respon impuls ruangan dan perekaman kondisi tingkat tekanan
suara sebagai fungsi waktu maupun fungsi frekuensi (spektrum). Parameter akustik yang
diharapkan dapat diperoleh dari pengukuran ini meliputi: Tingkat tekanan suara rata-rata,
tingkat tekanan suara puncak, komponen frekuensi suara percakapan dan suara-suara
mesin-mesin kantor, serta interaksi suara yang terjadi di dalam ruangan (atenuasi, masking,
coloration, etc). Pengukuran akan dilakukan dengan mempertimbangkan karakter sumber
suara dan pendengar, sehingga perlu melibatkan penapisan sinyal menggunakan fungsi
pembobot yang lazim digunakan misalnya pembobot A, B, atau C.
Pemodelan dan Simulasi
Pemodelan dan Simulasi ruangan digunakan untuk mencari kesempatan perbaikan kinerja
ruangan secara akustik apabila diperlukan. Proses ini dilakukan dengan pendekatan
geometri ruangan dan kombinasi antara Ray Tracing Method dan Image Method, dengan
menggunakan perangkat lunak CATT Acoustics v 8.0. Besaran akustik yang terukur di
bagian 3.1 akan menjadi acuan di dalam proses ini. Proses auralisasi akan digunakan juga
didalam bagian ini untuk memberikan listening experience bagi pengguna ruangan.
Observasi dan Survey Pengguna
Observasi dan Survey pengguna ruangan, dilakukan dengan metode pengamatan langsung
dan menggunakan quesioner, untuk mendapatkan gambaran efek-efek yang dihasilkan
besaran akustik yang diukur pada bagian 3.1 terhadap kepuasan privasi wicara pengguna.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hundert, A. T., & Greenfield, N. (1969). Physical space and
organizational behavior: A study of an office landscape. Proceedings of the 77th Annual
Convention of the American Psychological Association (APA) (pp. 601-602). Washington,
D.C.: APA.
2. Boyce, P. R. (1974). Users’ assessments of a landscaped office.
Journal of Architectural Research, 3(3), 44-62
3. Zalesny, M. D., & Farace, R. V. (1987). Traditional versus open
offices: A comparison of sociotechnical, social relations, and symbolic meaning
perspectives. Academy of Management Journal, 30, 240-259.
4. Hedge, A. (1982). The open-plan office: A systematic investigation
of employee reactions to their work environment. Environment and Behavior, 14(5), 519-542.
5. Sundstrom, E., Town, J. P., Rice, R. W., Osborn, D. P., & Brill, M.
(1994). Office noise, satisfaction, and performance. Environment and Behavior, 26(2), 195-
222.
6. Navai, M., Veitch, J.A. Acoustics Satisfaction in Open-Plan Offices
(2003): Review and Recommendations, Institute for Research in Construction, 5.
Menu Riset 2012
February 13, 2012 in Akustika Ruangan, Sistem Tata Suara, Suara Ucapan | Leave a
comment
Menu Riset di Group Akustik kami di tahun 2012 ini adalah:
1. Forensic Speaker Identification (Active Disguishing problem): 3 S1
2. Open-plan Office Acoustics (privacy vs Intelligibility) : 2 S1
3. Hospital Acoustics (privacy vs intelligibility) : 1 S2 , 1 S1
4. Archeological Acoustics (Cultural Preservation) : 2 S1
5. Indonesian Traditional Music Performance Hall (Design and Simulation) : 1 S3, 2 S1
6. Sound Insulations (Design and Measurements) : 1 S2
7. Active Noise Control (Algorithm and Design) : 1 S3
8. Binaural Sound Localization (Hardware Design) : 1 S2