40
1 Akidah Kristen: Dari soal Allah, Yesus Kristus dan Keselamatan By: Leonardo Winarto Sudah sekitar dua ribu tahun setelah kenaikan Almasih ke surga, iman Kristen tetap eksis dan menyebar ke seluruh penjuru bumi. 1 Jutaan orang telah menjadi martir untuk mempertahankan iman mereka pada Yesus dari Nazaret yang diyakini sebagai Sang Mesias yang dinubuatkan dalam kitab Taurat dan para nabi ( Luk 24:44). 2 Begitu kokohnya keyakinan mereka pada pribadi Yesus Kristus yang menjadi tokoh sentral dalam kekristenan. Kendatipun 1 Istilah Almasih adalah bahasa Arab yang berasal dari kata Ibrani: Ha Mashiakh, yang artinya diurapi. Konteks awal penggunaan istilah ini terdapat dalam kitab Taurat yang menunjuk pelantikan orang-orang yang ditetapkan menjadi imam (Kel 29:7). Dalam perkembangan selanjutnya, ungkapan ini juga dikenakan pada seseorang yang akan diangkat menjadi raja (1 Sam 9:16). Lebih luas lagi, ungkapan ini digunakan pada seseorang yang ditetapkan oleh Tuhan untuk menjalankan tugas tertentu dari Allah. Misalnya raja Koresy yang disebut: Orang yang Kuurapi/Le-Mishko (Yes 45:1). Konteksnya, Allah menugaskan Koresy, dalam arti memberi wewenang pada Koresy untuk menyelamatkan bangsa Israel saat itu. Namun secara eskatologis, yakni terkait peristiwa penebusan kemanusiaan yang jatuh dalam dosa (Ar: Hubuth), maka Allah menjanjikan akan hadirnya Pribadi yang telah ditetapkan/dilantik (Ha Masiakh) untuk membebaskan umatNya dari dosa (Dan 9:24-26; Mikha 5:1-4; Yes 53: 1-12). Sosok Mesias ini begitu dinantikan oleh bangsa Israel, meskipun ada bermacam-macam tafsir diantara bangsa Israel terkait tujuan kedatangan Mesias. 2 Untuk diketahui, orang Yahudi tidak menyebut kitab mereka dengan nama Perjanjian Lama. TANAKH, singkatan dari Torah/Taurat, Nebiyim/Nabi- nabi, we Ketubim/Tulisan-tulisan, demikian orang Yahudi menyebut kitab mereka. Hanya penyebutannya yang berbeda, namun isinya sama dengan kitab Perjanjian Lama yang kini ada di tangan umat Kristen.

Akidah Masihiyyin

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Keesaan Allah dan Ketritunggalan

Citation preview

Page 1: Akidah Masihiyyin

1

Akidah Kristen:

Dari soal Allah, Yesus Kristus dan Keselamatan

By: Leonardo Winarto Sudah sekitar dua ribu tahun setelah kenaikan Almasih ke surga, iman Kristen tetap eksis dan menyebar ke seluruh penjuru bumi.1 Jutaan orang telah menjadi martir untuk mempertahankan iman mereka pada Yesus dari Nazaret yang diyakini sebagai Sang Mesias yang dinubuatkan dalam kitab Taurat dan para nabi ( Luk 24:44).2

Begitu kokohnya keyakinan mereka pada pribadi Yesus Kristus yang menjadi tokoh sentral dalam kekristenan. Kendatipun

1 Istilah Almasih adalah bahasa Arab yang berasal dari kata Ibrani: Ha

Mashiakh, yang artinya diurapi. Konteks awal penggunaan istilah ini terdapat dalam kitab Taurat yang menunjuk pelantikan orang-orang yang ditetapkan menjadi imam (Kel 29:7). Dalam perkembangan selanjutnya, ungkapan ini juga dikenakan pada seseorang yang akan diangkat menjadi raja (1 Sam 9:16). Lebih luas lagi, ungkapan ini digunakan pada seseorang yang ditetapkan oleh Tuhan untuk menjalankan tugas tertentu dari Allah. Misalnya raja Koresy yang disebut: Orang yang Kuurapi/Le-Mishko (Yes 45:1). Konteksnya, Allah menugaskan Koresy, dalam arti memberi wewenang pada Koresy untuk menyelamatkan bangsa Israel saat itu.

Namun secara eskatologis, yakni terkait peristiwa penebusan kemanusiaan yang jatuh dalam dosa (Ar: Hubuth), maka Allah menjanjikan akan hadirnya Pribadi yang telah ditetapkan/dilantik (Ha Masiakh) untuk membebaskan umatNya dari dosa (Dan 9:24-26; Mikha 5:1-4; Yes 53: 1-12). Sosok Mesias ini begitu dinantikan oleh bangsa Israel, meskipun ada bermacam-macam tafsir diantara bangsa Israel terkait tujuan kedatangan Mesias.

2 Untuk diketahui, orang Yahudi tidak menyebut kitab mereka dengan

nama Perjanjian Lama. TANAKH, singkatan dari Torah/Taurat, Nebiyim/Nabi-nabi, we Ketubim/Tulisan-tulisan, demikian orang Yahudi menyebut kitab mereka. Hanya penyebutannya yang berbeda, namun isinya sama dengan kitab Perjanjian Lama yang kini ada di tangan umat Kristen.

Page 2: Akidah Masihiyyin

2

masa pelayanan kenabianNya diatas bumi hanya singkat saja, yakni sekitar tiga setengah tahun, namun dampak pelayananNya bisa dirasakan sampai hari ini. Tentu ada keistimewaan tersendiri dari pribadi Yesus Kristus yang membuat pengikutNya rela kehilangan nyawa demi imannya pada Yesus Kristus.

Keistimewaan tersebut tentu berpusat pada PribadiNya sendiri. Sebagai tokoh pada jamanNya dan juga sekaligus tokoh segala jaman, Yesus Kristus telah menarik banyak orang percaya kepadaNya, sekaligus membuat tokoh-tokoh agama pada masa itu dan masa kini demikian membenciNya. Kenyataan ini tidak mengubah kebesaran dan kemulianNya bagi mereka yang percaya kepadaNya.

Orang-orang Kristen, demikian sebutan yang dikenakan bagi mereka yang percaya padaNya, sejak kenaikanNya ke surga dan sampai hari ini, terus-menerus ditantang untuk mempertanggungjawabkan imannya secara sehat menurut ajaran Alkitab sendiri.3 Karena itu, umat Kristen harus benar-benar memahami imannya dengan baik, terdidik dalam soal-soal pokok iman (1 Tim 4:6).

Soal-soal pokok iman tersebut meliputi ajaran tentang Allah, Kristus, penebusan dan Alkitab sebagai wahyu Allah. Bila pokok-pokok ajaran ini tidak dipahami dengan baik, maka bisa diibaratkan sebuah bangunan yang tidak memiliki fondasi yang kokoh. Mudah roboh dan dihancurkan, baik melalui penyesatan dari dalam maupun dari luar. Kekristenan yang sehat adalah kekristenan yang seimbang antara aspek pengajaran dan hidup dalam ajaran tersebut. Hanya menekankan satu aspek saja menyebabkan kehidupan Kristen yang tidak seimbang, yang pada akhirnya membuat seorang Kristen menjadi tidak maksimal menjadi saksi Kristus dalam hidup kesehariannya.

3 Penyebutan “orang-orang Kristen” (Yun: Christianos), mula-mula

dikenal di Antiokhia-Syria. Artinya adalah “Pengikut Kristus” (Kis 11:26).

Page 3: Akidah Masihiyyin

3

I. Keesaan Allah dan Ketritunggalan

1.1. Keesaan Allah Dalam Perjanjian Lama

Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Ilah kita, TUHAN itu Esa!

(Sefer Ha Debarim/Ulangan 6:4)

Ayat diatas adalah pengakuan/syahadat orang Yahudi terkait soal keesaan Allah. Bagi orang Yahudi, perintah ini dikenal sebagai hukum yang terutama (Ibrani: Mitzvah Ha Risyonah). Orang Yahudi juga menyebut ayat ini sebagai Syema. Karena dalam bahasa Ibrani, ayat diatas diawali dengan kata “Syema”, yang berarti, “dengarlah.” Ibadah-ibadah Yahudi di Sinagoge, juga selalu diawali dengan kalimat ini.4 Mereka meletakkan nas Syema ini dalam sebuah kotak kulit kayu untuk dikenakan di dahi dan pergelangan tangan pada saat sembahyang (Matius 23:5).5 Selain itu, mereka juga meletakkannya dalam sebuah tabung kecil yang disebut Mezuzah, yang kemudian tabung itu diletakkan pada pintu-pintu rumah mereka untuk mengingatkan mereka pada Allah.6 Dengan demikian, sama sekali tidak mengherankan jika orang Yahudi sangat teguh memegang keyakinannya tentang keesaan Allah.

Dalam Perjanjian Lama, dosa mempersekutukan Allah adalah dosa yang sangat besar, yang dalam literatur rabbi-rabi Yahudi disebut dengan istilah Abodah Zarah/Penyembahan berhala. Di dalam sepuluh hukum yang diberikan Allah pada Musa, hal keesaan Allah ditempatkan sebagai hukum yang terutama. Ini berarti, keyakinan pada keesaan Allah adalah hal yang sangat esensial dalam pandangan Alkitab.

4 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Markus. Alih

Bahasa: Wenas Kalangit (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal 491 5 Ibid. hal 492 6 Ibid.

Page 4: Akidah Masihiyyin

4

Keluaran 20:3

“Lo Yihye Leka Elohim akherim al panaya.”

Artinya:

“Jangan ada padamu ilah lain di hadapanKu.”

Ayat diatas adalah ketetapan yang tidak bisa dikompromikan lagi. Ketetapan ini juga termasuk larangan untuk terlibat dalam segala bentuk okultisme (Imamat 17:7;19:31). Yakni, segala bentuk praktek penyembahan terhadap jin-jin, jimat, arwah-arwah orang mati, dan juga sihir.

Meskipun berita firman Allah yang datang pada para nabi tidak selalu berbicara tentang keesaan Allah, tapi hampir seluruh PL menegaskan tentang hal itu. Misalnya, hal ini dapat dibaca dalam

Yesaya 44:6

כה־אמר יהוה מלך־יׂשראל וגאלו יהוה צבאות אני ראׁשון ואני אחרון ומבלעדי אין אלהים

Artinya:

“Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: "Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku.”

Melalui Nabi Yesaya, Allah menegaskan bahwa diri-Nya adalah satu-satunya Allah yang kekal. Tidak ada satupun yang dapat disejajarkan dengan diriNya. Pada masa pelayanan Yesaya, banyak orang Israel yang jatuh ke dalam penyembahan berhala. Karena itu, kitab Yesaya sering menekankan tentang keesaan Allah. Bahwa Dia adalah satu-satunya Pencipta langit dan bumi, dan tidak ada ilah lain selain Dia.

Dalam perjalanan bangsa Israel selanjutnya, tema-tema mengenai keesaan Allah ini tetap terus-menerus diulang dalam pengajaran harian mereka. Karena itu, siapapun yang mempelajari

Page 5: Akidah Masihiyyin

5

keseluruhan kitab PL, akan dapat menyimpulkan bahwa PL mengajarkan tentang keesaan Allah. Sehingga bersama dengan kitab-kitab tersebut, umat Kristen dapat juga menyaksikan bahwa Allah itu Esa.

1.2. Keesaan Allah Dalam Perjanjian Baru

Sebagaimana diketahui bersama, Perjanjian Baru berisi kitab-kitab Injil dan tulisan para rasul. Penggunaan istilah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bukan untuk mempertentangkan antara keduanya. Namun, untuk menekankan mengenai karya Mesias yang sudah digenapi dalam diri Yesus. Selain itu, Perjanjian Baru juga menandakan bahwa era keselamatan yang sudah dinubuatkan oleh para nabi dalam Perjanjian Lama, kini telah digenapi .

Sudah dijelaskan diatas, bahwa Perjanjian Lama menegaskan tentang keesaan Allah. Lalu, bagaimana dengan Perjanjian Baru sendiri. Mestinya, sebagai penggenapan dari Perjanjian Lama, maka Perjanjian Baru juga mengajarkan iman yang sama dengan Perjanjian Lama tentang keesaan Allah. Hal inilah yang harus disadari oleh mereka yang mempertanyakan keyakinan Kristen tentang keesaan Allah. Segala akidah dalam Perjanjian Baru, harus dilihat dari latar belakang Perjanjian Lama.

Kenyataan ini bisa dibuktikan dari tulisan Injil yang mencatat penegasan Yesus mengenai keesaan Allah. Suatu ketika, Sayyidina ‘Isa Almasih pernah ditanya oleh orang Yahudi soal hukum yang terutama/ Mitzvah Ha Risyonah. Dan Yesus menjawabnya sesuai dengan apa yang tertulis dalam kitab Taurat.

Markus 12:29

“Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.”

Namun harus dicatat, bahwa jawaban Yesus diatas bukan hendak menjawab pertanyaan mengenai jumlah Allah. Keyakinan monotheisme Perjanjian Lama yang sudah berakar kuat saat itu, tidak lagi mempertanyakan soal ada berapa jumlah Allah. Konteks ayat

Page 6: Akidah Masihiyyin

6

diatas adalah tentang pengakuan kasih kepada Allah, yang harus diwujudkan dengan kasih terhadap sesama manusia. Tetapi berbarengan dengan itu, pengakuan akan keesaan Allah ditegaskan pula.

Rasul Paulus, seorang yang sering dianggap sebagai pencipta ajaran tritunggal, justru menegaskan tentang keesaan Allah dalam surat yang ditulisnya.

1 Korintus 8:4

“…Oudeis Theos heteros ei me eis”

Artinya:

“…tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa." Menariknya, Alkitab terjemahan bahasa Arab edisi Today’s Arabic Version (TAV), menerjemahkan ayat ini sebagai berikut: “…wa an laa ilaha illal-lah al-ahad.”7 Berdasarkan ayat diatas, terbukti bahwa Paulus juga mengajarkan tentang keesaan Allah. Apalagi jika kita melihat latar belakang pendidikan Paulus. Dia dididik langsung oleh Rabbi Gamaliel, seorang Rabbi yang terkenal pada masa itu.(Kisah rasul 22:3). Jadi, kemurnian ajaran tauhid (keesaan Allah) yang dimiliki Paulus tidak perlu diragukan lagi.

Selain Paulus, Yakobus juga menyinggung soal keesaan Allah dalam surat yang ditulisnya pada jemaah Kristen saat itu:

Yakobus 2:19

“Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? (anna l-laha waahid) Itu baik!...”

Meskipun konteks ayat diatas hendak membahas soal keseimbangan antara iman dan perbuatan, tetapi prinsip keesaan juga ditegaskan di dalamnya. Pengkajian yang mendalam terhadap tulisan

7 Alkitab al-Muqaddas ay ‘Ahd al-Qadim wa al-‘Ahd al-Jadid (Beirut:

Dar al-Kitab al-Muqaddas fi asy-Syariq al-Ausath, 1996)

Page 7: Akidah Masihiyyin

7

Perjanjian Baru, akan menghasilkan kesimpulan yang sama dengan ajaran Perjanjian Lama tentang keesaan Allah.

Jadi sangat jelas bahwa Alkitab mengajarkan dengan tegas dan pasti soal keesaan Allah. Sehingga tuduhan bahwa kekristenan tidak meyakini adanya satu Allah, justru tidak sesuai sama sekali dengan ajaran Alkitab. Perjanjian Lama sebagai dasar dari Perjanjian Baru, telah menjaga akidah keesaan Allah ini tetap terjaga sampai saat ini. Ajaran ini telah diteruskan tanpa putus semenjak jaman para rasul, jaman para bapa gereja sesudah jaman para rasul, dan sampai pada hari ini.

Dalam gereja mula-mula, prinsip ajaran yang diteruskan tanpa putus ini sering disebut dengan istilah At-Taqlid al-Muqaddas, yakni ajaran-ajaran para rasul yang kudus. Dalam bahasa Yunani, prinsip ini disebut Paradosis. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam tulisan Irenaeus, murid langsung dari Polycarpus, dan Polycarpus adalah murid langsung dari Rasul Yohanes bin Zabdi:

“Karena itu, di tiap-tiap gereja, semua orang yang ingin melihat kebenaran secara utuh dan jelas dapat merenungkannya dari ajaran para rasul yang dinyatakan di seluruh dunia. Kami dapat memberikan daftar dari mereka yang diangkat sebagai uskup oleh para rasul, demikian pula mereka yang menggantikannya hingga jaman sekarang ini. Mereka tidak mengajarkan atau tidak pula mengetahui sedikitpun mengenai ocehan-ocehan sesat yang diajarkan kaum sesat itu”8

1.3. Misteri Ketritunggalan Allah

Diatas telah dibuktikan, baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa iman Kristen meyakini hal keesaan Allah. Namun harus dipahami, bahwa keesaan Allah itu mengatasi segala hukum fisika-matematik. Mengukur Pribadi Allah dengan ukuran fisika-matematika, tentulah tidak sesuai dengan kebesaran Allah, yang keberadaanNya mengatasi segala hukum-hukum alam yang

8Adversus Haereses III.3.1

Page 8: Akidah Masihiyyin

8

berlaku di dunia ini. Dalam hakekatNya, Allah memang mengatasi segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Jadi jika kita hendak berbicara tentang Pribadi Allah, kita harus melihatnya dari sudut pandang Allah sendiri yang serba tak terbatas (ghayr mahdud).9

Kenyataan inilah yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum seseorang memasuki pembicaraan tentang Allah dan kaitannya dengan karyaNya di sepanjang sejarah umatNya. Membahas soal ketritunggalan, seseorang harus menggunakan pendekatan metafisik-teologis. Pendekatan hal-hal ruhaniyyah, dan bukan pendekatan fisika-matematik yang serba dibatasi oleh ruang dan waktu. Tentu antara dua disiplin keilmuan tersebut tidak perlu dipertentangkan. Sebab, keduanya memiliki tujuan dan jangkauannya masing-masing dalam ranah keilmuan.

Suatu ketika, Sayyidina ‘Isa Almasih pernah menjelaskan tentang hakekat Allah pada seorang wanita Samaria. “Allah itu Ruh,” kata Yesus kepada perempuan itu (Yohanes 4:24). Maknanya bukan sekedar tidak nampak oleh mata jasmani manusia (Yohanes 1:18), tapi berkaitan langsung dengan hakekat diri Allah. (Arab: Dzat).10 Kitab Ayub menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada seorangpun yang mampu memahami hakekat Allah (Ayub 11:7). Allah hanya dapat dikenal sejauh Dia menyatakan diriNya bagi kita.

Demikian pula mengenai ketritunggalan Allah. Mempelajari tentang ketritunggalan, baik secara ontologis, maupun dalam karyaNya di sepanjang sejarah umatNya, harus dipahami secara utuh

9 Al-Qamash ‘abd al-Masih Tsaufilus, Syarhun wa at-Tafsir Qanun al-Iman (Cairo: Al-Qamash ‘abd al-Masih Tsaufilus, 2007), hal 14

10 Istilah “Dzat”(arab) dalam bahasa teologis jangan dimaknai sama

seperti pengertian dalam ilmu Kimia mengenai zat padat, zat cair dan gas. Dalam pengertian filsafat ketuhanan, “Dzat”, memiliki makna: Esensi, Hakekat, Keberadaan yang utuh dalam segala aspeknya. Istilah “Dzat” telah digunakan oleh teolog-teolog Kristen Arab pada masa sebelum dan sesudah jaman Islam, untuk merumuskan iman mereka mengenai Allah dan ketritunggalanNya. Lihat: Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic. Edited by J. Milton Cowan (Beirut-London: Librairie du Liban and MacDonald & Evans Ltd., 1980), hal.314-315.

Page 9: Akidah Masihiyyin

9

sesuai dengan Alkitab sebagai sumber ajaran tentangnya. Yang pertama harus dipahami, ketritunggalan berbeda dengan tritheisme, dan juga tidak ada sangkut pautnya dengan politheisme.11 Keyakinan iman Kristen tentang ketritunggalan Allah berangkat dari kerangka monotheisme Yahudi yang sangat ketat.

Baba Shenouda III, Paus Gereja Koptik menulis dalam bukunya Qanun al-Iman bahwa:

� وا�����وث ا�&�و% و!$ "�# "و! �()� إ+") +و* �)“Innana nu’minu bi ats-tsalutsi al-quddusi, wa ma’a dzalika nu’minu bi-

12Ilahin wahid”

Artinya:

“Sesungguhnya kami percaya pada Tritunggal Mahakudus, yang bersamaan dengan itu pada keesaan Allah”

Maksudnya, keyakinan pada ketritunggalan adalah keyakinan pada Allah yang Esa itu. Karena ketritunggalan tidak berkaitan sama sekali dengan ilah lain. Ia hanya ingin menjelaskan aspek-aspek keesaan Allah. Jika Allah itu Esa, bagaimanakah keesaan Allah itu harus dijelaskan dalam konteks sejarah penyelamatan umatNya.

Istilah Tritunggal memang tidak ada di dalam Alkitab.13 Meskipun demikian, bukan berarti ajaran ini hasil ciptaan manusia.

11 Tritheisme, keyakinan terhadap adanya tiga Ilah. Politheisme, keyakinan ada banyak ilah. Iman Kristen tidak meyakini keduanya. Bagi iman Kristen, hanya ada satu Allah saja/monotheisme (Ulangan 6:4; 1 Korintus 8:4).

12 Baba Shenouda III, Qanun al-Iman (Cairo: al-kulliyat al-ikliriyyat,t.t),

hal. 12 13 Umat Islam dapat membandingkan perumusan iman soal Tritunggal ini

dengan perumusan mengenai Sifat dan Dzat Allah dalam ilmu Kalam Islam. Dalam Al-Qur’an, tidak dikenal perumusan-perumusan yang terdapat dalam Ilmu Kalam. Seperti missal, “al-sifat laysa al-Dzat wa laa hiya ghairuha”. Tentu perumusan seperti ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Namun, para ‘Ulama merumuskan dalil tersebut berdasarkan apa yang tersirat dalam Al-Qur’an mengenai sifat dan Dzat Allah. Demikian juga Gereja yang sudah ada hampir seribu tahun sebelum para ‘Ulama Ilmu Kalam merumuskan dalil tentang kekadiman Sifat Allah dalam Dzat,

Page 10: Akidah Masihiyyin

10

Perumusan bapa gereja tentang ketritunggalan Allah adalah hasil refleksi iman terhadap teks-teks Alkitab sendiri.

Seringkali pada kenyataannya, pengalaman iman seseorang bersama Tuhan itu mendahului perumusan iman mereka tentang Dia. Dan Alkitab berulangkali mencatat, bahwa perjumpaan pribadi mereka dengan Allah, itu mengawali segala perumusan/pengakuan iman mereka tentang Dia (Keluaran 6:2-3; Kejadian 22:14). Selain itu, hal ini juga terkait dengan cara Allah menyatakan diri pada umatNya, yang dikerjakanNya secara progresif. Dalam literatur kuno yang ditulis oleh para rabbi-rabbi Yahudi, disebutkan juga bahwa Mesias akan menyingkapkan rahasia Pribadi Allah. Dan memang, keyakinan ini sudah umum diketahui oleh orang Yahudi pada masa pelayanan Yesus di dunia (Yohanes 4:25).

Berdasarkan teks-teks kitab suci, yakni Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, murid-murid para rasul merumuskan akidah ketritunggalan Allah dalam konteks tantangan yang dihadapi gereja saat itu untuk merefleksikan imannya dalam menghadapi ajaran-ajaran sesat dan filsafat Yunani kuno. Tanpa melihat konteks pergumulan gereja saat itu, kita akan sulit memahami perumusan-perumusan iman tersebut, seperti yang kemudian ditegaskan lebih sistematis dalam konsili-konsili gereja.

Allah itu Esa, yang disebut Bapa (1 Korintus 8:4,6), yang di dalam DzatNya/HakekatNya berdiam secara kekal Firman (Yohanes 8:42) dan RuhNya/Hayat Allah (Yohanes 15:26; 1 Korintus 2:11). Jadi jelas bahwa ungkapan Tritunggal hanya berbicara tentang Pribadi Allah sendiri. Secara esensial, Firman Allah/Kalimatullah dan Ruh Allah/Hayat Allah, bukanlah keberadaan lain selain Allah. Firman dan RuhNya adalah satu Hakekat di dalam diri Allah. Hal ini dapat diumpakan dengan pikiran dan ruh manusia yang satu di dalam telah terlebih dahulu menetapkan dalil-dalil iman berdasarkan Alkitab. Istilah-istilah Dzat, Sifat, yang digunakan para Ulama Kalam Islam telah terlebih dahulu digunakan para teolog gereja untuk merumuskan akidah iman Kristen alkitabiah. Mengenai kajian ilmu kalam dan aliran-alirannya dalam Islam lihat: K.H.Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Jakarta: Penerbit Pustaka Tarbiyah, 2006)

Page 11: Akidah Masihiyyin

11

wujudnya. Meskipun tidak persis sama, karena hakekat manusia yang terbatas, tetapi dapat kita berikan perbandingan untuk memudahkan pemahaman kita.

Selanjutnya, di dalam bahasa kasih Alkitab, antara Allah, Firman dan RuhNya itu dikiaskan dengan sebutan Bapa, Putra, dan Ruh Kudus.14 Penggunaan istilah Bapa dan Putra tidak sama sekali menandakan relasi biologis. Istilah tersebut harus dilihat dalam keseluruhan berita Alkitab. Kalaupun seandainya tidak mau disebut Bapa dan Putra, sebut saja Allah dan FirmanNya, itu sama saja. Karena, yang hendak ditunjuk oleh istilah “Anak” dalam ketritunggalan adalah kiasan untuk Firman yang menjadi manusia. Firman itu disebut “Anak”, untuk menggambarkan kesatuan antara Allah dan FirmanNya.

“al-wahiid al-ladzii huwa min thabii’atil-lahi wa min jauharihi wa min lahuutihi huwa Rabbuna Yasuu’ al-Masih”.15

Artinya:

14 Sebutan Bapa untuk Allah di dalam Alkitab, bukan berarti Allah itu

berjenis kelamin laki-laki. Sebutan itu hanya untuk menggambarkan karakter Allah bagaikan seorang Bapa yang melindungi, menjaga dan mendidik anak-anakNya. Namun, Allah dalam hakekatNya tidak dibatasi oleh gender apapun. Di dalam Al-Qur’an, kata ganti diri untuk Allah digunakan kata ganti diri laki-laki. Misalnya dalam Q.s. 112 Al-Ikhlas: 1

Qul huwa allahu ahad Artinya: “Katakanlah: Dialah/huwa Allah yang maha esa” Kata ganti “huwa”, adalah kata ganti untuk orang ketiga tunggal laki-laki. Sejajar dengan kata “He” dalam bahasa Inggris. Dengan sekedar melihat teks Qur’an diatas, apakah dapat disimpulkan bahwa Allah itu seorang laki-laki? Tentu ini bukan urusan kita untuk mencampuri urusan tafsir intern umat Islam. Contoh diatas ditampilkan untuk sekedar memberikan contoh dalam Islam.

15 Baba Shenouda. Op.Cit.,hal 37.

Page 12: Akidah Masihiyyin

12

“Dialah (Firman Allah) yang berasal dari Tabi’at Allah, dan dari Esensi Allah, dan dari Hakekat IlahiNya. Dia adalah Tuhan kita Yesus Kristus.”

Anak, kiasan Alkitabiah untuk Firman yang menjadi manusia, adalah satu Esensi dengan Bapa (Allah). Justru dengan menegaskan kesatuan Esensi antara Allah dan FirmanNya, maka keesaan Allah (Arab:Tauhid) tetap dijaga dengan baik. Dalam Perjanjian Lama, Allah selalu menyatakan diriNya melalui Firman dan RuhNya. Misalnya, pada saat penciptaan langit dan bumi, dinyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu melalui FirmanNya, dan memberi kehidupan melalui RuhNya (Kejadian 1:1-3). Namun pada zaman akhir, seperti yang tertulis dalam surat Ibrani, Sang Firman menjadi manusia, dan peristiwa itu adalah puncak penyataan diri Allah. Artinya, penyataan diri Allah itu menjadi sempurna melalui kedatangan Kristus sesuai dengan nubuatan kitab suci.

Ibrani 1:1-2

“Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”

Ayat diatas menjelaskan bahwa Firman, yang bergelar Sang Anak, adalah manifestasi Allah dalam wujud manusia (tajassud). Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Injil Yohanes 1:18:

“Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.”

Sebagai penyataan diri Allah, Sang Anak menghadirkan Pribadi Allah agar dikenal oleh manusia. Lebih jauh akan dijelaskan

Page 13: Akidah Masihiyyin

13

mengenai makna gelar “Firman Allah” bagi Yesus. Harus ditegaskan pula, bahwa ketritunggalan sama sekali tidak berkaitan dengan tubuh kemanusian Yesus. Walaupun antara keilahian dan kemanusianNya menjadi satu tanpa percampuran pada saat inkarnasiNya (Arab: Tajassud), namun yang dimaksud dengan Allah Tritunggal adalah menunjuk hakekat Yesus sebagai Firman Allah.

Yang terakhir harus ditekankan lagi, bahwa sebutan Allah, Firman, RuhNya itu tidak menunjuk kepada tiga keberadaan yang terpisah-pisah seperti dewa-dewa Yunani kuno. Seperti telah dijelaskan diatas, Alkitab menyatakan bahwa hanya ada satu sumber keilahian yaitu Allah (Bapa). Di dalam Wujud Bapa yang esa itu, berdiam secara kekal (qadim wa azali) Firman/Akal pikiran Allah dan Ruh Allah/Hidup Allah. Dengan demikian, sangat jelas bahwa akidah Kristen tentang ketritunggalan Allah sama sekali tidak ada kaitannya dengan ilah lain selain Allah. Fakta ini juga diakui oleh Prof. K.H. Taib Thahir Abdul Mu’in, yang menulis dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Kalam”:

“Sebab itu Wujudlah sebab jauhar (pokok atau asal), dan itulah Dzat yang Maha Esa pada hakekatNya. Adapun ‘Ilmu dan Hayat keduanya sifat Wujud belaka. Dengan begini tidaklah membawa kepada berbilangnya Tuhan dalam hakikatnya. Berdasarkan keterangan diatas, maka Allah, Kalimatullah dan Ruh Al-Qudus, lafadz dan ibarat itu yang terdapat dalam Injil tidaklah berarti menunjukkan kepada Dzat yang tiga pada hakekatNya.”16

I.4. Yesus Kristus Anak Allah: Allah Memang Tidak Beranak dan Diperanakkan

Sebutan “Anak Allah” bagi Yesus, seringkali disalahpahami oleh umat Islam. Seolah-olah dengan ungkapan tersebut, umat Kristen dianggap meyakini bahwa Yesus adalah “anak” Allah secara biologis. Kesalahpahaman ini wajar dalam dunia teologis. Karena itu,

16 Prof. K.H.M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam (Djakarta:

Penerbut Widjaja, 1966) hal.52-53. Seperti dikutip dalam: Bambang Noorsena, Dialog Islam-Kristen Arab tentang Keesaan Allah (Malang: ISCS, 1999), hal 23.

Page 14: Akidah Masihiyyin

14

dialog teologis yang bersifat akademis, dan dilakukan dalam suasana saling berbagi, mutlak diperlukan. Meskipun diatas sudah dijelaskan, tetapi dalam konteks dialog Kristen-Islam, soal sebutan “Anak Allah” ini perlu diperdalam lagi.

Apakah makna Yesus disebut “Anak Allah”? Benarkah Alkitab mengajarkan bahwa Yesus adalah anak Allah secara biologis? Jawaban yang Alkitabiah atas pertanyaan ini sangat penting untuk diberikan. Sebelum menjelaskan hal ini, berikut saya kutipkan pernyataan dari Mahmoud Ayyoub, Seorang Profesor Studi Islam di Temple University, Philadelphia, USA:

“Apalagi, sebagian besar ayat-ayat ini ditujukan, menurut sebagian besar Mufassir, kepada orang-orang Arab Mekkah yang mengklaim bahwa dewi-dewi mereka, al-Lat, al-‘Uzza, dan Manat adalah anak-anak Tuhan dan begitu pula dengan malaikat. Jadi, orang-orang Yahudi dan Kristen sering terkena getahnya”17

Menurut Ayyoub, seperti yang dapat anda baca dalam kutipan diatas, ayat-ayat dalam Al-Qur’an tidak dapat digunakan untuk menuduh keyakinan Kristen mengenai gelar “Anak Allah” bagi Yesus. Pernyataan Ayyoub tersebut harus diaminkan oleh seluruh umat Kristen. Karena, tidak ada seorangpun umat Kristen di dunia ini yang meyakini bahwa Yesus adalah anak Allah secara biologis. Keyakinan primitif mengenai dewa-dewi yang beranak pinak di jazirah arab kuno, sama sekali asing dalam Alkitab.

Dan harus diketahui, istilah “Anak Allah” di dalam Alkitab memiliki banyak pengertian sesuai konteksnya. Alkitab mencatat, bahwa istilah anak Allah juga bisa bermakna makhluk surgawi seperti malaikat (Kejadian 6:1-4; Ayub 1:6). Yang kedua, istilah anak Allah juga bermakna kiasan untuk bangsa Israel (Ulangan 32:5). Namun, istilah ini juga diterapkan kepada pengikut Kristus, yang telah diadopsi menjadi anak-anak Allah karena iman pada

17 Mahmoud Musthafa Ayyoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam

Persepektif Islam (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hal. 51.

Page 15: Akidah Masihiyyin

15

Kristus (Yohanes 1:12; Roma 8;14). Selain itu, istilah ini juga dapat diterapkan pada seorang raja yang dipilih Tuhan (2 Samuel 7:14).

Lalu, bagaimanakah kaitan penggunaan gelar ini bagi Yesus sendiri? Yang pertama harus dipahami, bahwa gelar “Anak Allah” bagi Yesus tidak bermakna fisik seperti yang sering disalahpahami. Meskipun Al-Qur’an juga pernah menyinggung sebutan putera Allah bagi Yesus, tetapi harus ditekankan, bahwa iman Kristen menolaknya jika diartikan secara biologis.

Q.s. al-Taubah 9:30

“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?”18

Terlepas dari sangkaan Qur’an diatas, umat Kristen sepanjang jaman tidak pernah meyakini bahwa Yesus adalah anak Allah secara biologis. Sebutan “Anak Allah” bagi Yesus adalah sebuah kias Alkitabiah yang menunjuk pada hakekatNya sebagai Kalimatullah (Yohanes 1:14-18). Dalam tafsir-tafsir Yahudi pra Kristen, Mesias juga dikenal sebagai “Anak Allah.”19 Namun, pengertian “Anak Allah” dalam tafsir-tafsir tersebut jauh dari makna ke-anakan-biologis. Gelar Mesias sebagai “Anak Allah” telah dikenal baik oleh orang Yahudi sendiri. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan Petrus terhadap ke-Mesiasan Yesus dalam Matius 16:16

“Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!"

18 Pandangan orang Yahudi bahwa Ezra adalah anak Allah tidak terdapat

dalam Alkitab. Namun, ada kemungkinan keyakinan itu terdapat dalam kepercayaan yahudi di jazirah arab yang sudah bercampur dengan ajaran-ajaran politheisme di Mekkah. Kajian lebih lanjut soal ini lihat dalam : Gordon D. Newby, A History of The Jews of Arabia (USA: University of South Carolina Press, 1988) 59-61

19 Alfred Edeirshem, The Life and Times of Jesus the Messiah (New York:

Hendrickson Publishers, 2009), hal 987

Page 16: Akidah Masihiyyin

16

Pengakuan Petrus tentang gelar “Anak Allah” bagi Sang

Mesias, membuktikan tidak asingnya gelar tersebut pada masa itu. Gelar tersebut juga ingin mengkiaskan pernyataan Allah dalam Kristus. Allah yang tidak nampak, menjadi nampak melalui Kristus.

“ Almasîh (Ibnullah al-hayy), fa huwa Allahu al-Zhâhiru fî al-Jasad. Huwa Allah lam yakun manzhûrân fî al-‘ahd al-qadîm, wa shâra manzhûrân fî al-‘ahd al-Jadîd fî al-Masîh.”20

Sebutan “Anak Allah” bagi Yesus, hendak menunjukkan kesatuan Dzat/Esensi antara Sang Firman dan Sang Bapa. Gelar tersebut juga hendak menegaskan bahwa Dialah yang menyatakan Pribadi Allah. Karena itu, sebutan Bapa dan Putra tidak sama sekali berkonotasi biologis. Hal itu hanya bahasa kiasan Alkitabiah, yang menunjukkan hubungan khusus antara Allah dan Sang Firman, dalam kaitannya dengan inkarnasi (Arab: Tajassud).

Lagipula menurut kebahasaan, istilah “anak” tidaklah harus bermakna fisik atau biologis. Misalnya sebutan “anak jalanan”, tentu frase tersebut sama sekali tidak memiliki makna biologis. Demikian pula dengan istilah “anak kunci”. Tidak ada seorangpun yang waras pikirannya, lalu memaknai ungkapan diatas secara harafiah. Karena itu, umat Kristen harus mampu menjelaskan tentang hal ini dengan benar dan jelas. Terutama kepada mereka yang cenderung memaknai istilah “Anak Allah” secara biologis.

I.5. Yesus Kristus adalah Tu(h)an: Memahami Gelar Ketu(h)anan Yesus

Harus diakui, sebutan “Tu(h)an Yesus” seringkali menimbulkan kesalahpahaman dalam dialog teologis Kristen-Islam. Secara umum, umat Islam menganggap sebutan “Tu(h)an” bagi Yesus sebagai kesyirikan.21 Seolah dilupakan, bahwa iman Kristen

20 Anba Yuanis, ‘Aqidat al-Masihiyyin fi al-Masih (kairo: Mathraniyat al-Aqbath al-urtsudzuks bi al-Ghurubiyyat, 1980), hal. 34

21 Syirik adalah dosa mempersekutukan Allah dengan ilah-ilah yang lain. Di dalam Islam, dosa syirik adalah dosa yang sangat besar.

Page 17: Akidah Masihiyyin

17

muncul dari latar belakang monotheisme Perjanjian Lama yang sangat keras. Seperti telah dijelaskan diatas, bahwa perintah Allah yang pertama dalam kitab Taurat adalah larangan untuk menyembah ilah lain disamping Allah. Lalu, apakah makna penghayatan khas iman Kristen tentang Yesus Kristus tersebut. Dan, apakah penyebutan Tu(h)an bagi Yesus itu berarti menjadikanNya sebagai ilah lain selain Allah. Pertanyaan ini perlu dijawab sewajarnya sesuai dengan keyakinan kekristenan.

Untuk menjawab hal ini, pertama-tama harus dijelaskan terlebih dahulu makna sebutan tersebut dalam iman Kristen. Pada umumnya, iman Kristen cukup membedakan antara kata “Allah” dan kata “Tu(h)an”. Kata “Allah” (Ibrani: Ha Elohim) berasal dari kata al-Ilah yang berarti “Ilah/sembahan yang itu”. Kata “Al” pada kata Allah adalah definite-article, yang menunjukkan kekhususannya. Dalam lingkungan Kristen Arab, kata Allah adalah sebutan bagi Ilah (sembahan) yang menciptakan segala yang ada (Allah, hadza ism al-Ilah khalaqa jami’al ka’inat).22

Sedangkan kata “Tu(h)an” menunjuk gelar kepenguasaan Allah atas segala sesuatu. Di dalam bahasa Ibrani adalah “Adonay.” Dan di dalam bahasa Yunani adalah “Kyrios.” Di dalam bahasa sehari-hari, kedua kata tersebut tidak hanya digunakan untuk Allah saja, tetapi

Q.s. Luqman 31:13

Artinya:

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". 22 Buthros ‘Abd al-Malik, Qamus al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Jami’ al-

Kana’is fi al-Syariq al-Adniy, 1981), hal.107

Page 18: Akidah Masihiyyin

18

juga bisa untuk gelar kebangsawanan. Para Kaisar Romawi sendiri juga digelari dengan “Kyrios”. Di dalam dunia kita saat ini, kita bisa melihat perbandingannya di dalam bahasa Inggris. Kata “Lord” bisa digunakan sebagai gelar kepenguasaan untuk Allah, tetapi juga bisa untuk Lord Charles, sebuah gelar kebangsawanan. Makna sebutan “Tu(h)an bagi Yesus dapat dibandingkan dengan gelar kebangsawanan tersebut. Meskipun maknanya lebih luas dari gelar kebangsawanan yang ada di dunia ini.

Yang pasti harus ditegaskan, bahwa penyebutan “Tu(h)an Yesus” tidak hendak menjadikan Yesus sebagai ilah/sembahan lain selain Allah. Latar belakang monothesime Yahudi dari iman Kristen, telah secara otomatis memagari iman Kristen dari segala bentuk kemusyrikan. Latar belakang sebutan Tu(h)an bagi Yesus harus dilacak dari penghayatan Perjanjian Lama tentang Mesias yang akan datang. Usaha untuk mengaitkannya dengan dunia Yunani akan menjadi sia-sia belaka.

Perjanjian Lama adalah dasar untuk mengerti segala ajaran kekristenan. Allah telah memakai nabi-nabi untuk menubuatkan tentang kedatangan Mesias/Yang Diurapi. Bagi iman Kristen, Yesus adalah Mesias yang dijanjikan Allah melalui nubuat para nabi dalam Perjanjian Lama. Karena itu, segala gelar mesianik dalam Perjanjian Lama tanpa ragu-ragu diterapkan untuk Yesus sendiri. Salah satu gelar Mesias dalam Perjanjian Lama adalah “Tu(h)an”. Hal ini dapat dilihat dalam:

Mazmur 110:1

“Neum Yhwh L’adoniy, Syev li-miniy…”

Artinya:

“Firman TUHAN (Yhwh) kepada Tuanku (Adonay), duduklah di sebelah kananKu”.

Ayat diatas dipahami sebagai berita nubuatan tentang Sang

Mesias yang dijanjikan. Sebelum kedatangan Yesus, para rabbi Yahudi sudah memahami bahwa ayat tersebut berbicara tentang

Page 19: Akidah Masihiyyin

19

Mesias. Misalnya, Rabbi Yodan yang mengajar atas nama Rabbi Ahan bar Haninan mengatakan, bahwa Yahwe akan memanggil Mesias sebagai Tu(h)an/Adonay dan menempatkanNya di sebelah kananNya.23

Pemahaman inilah yang menjadi latar belakang kotbah Petrus dalam Kisah Rasul 2:36

“Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus."

Bandingkan dengan tulisan rasul Paulus dalam Filipi 2:10-11

“supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Dalam kotbahnya tersebut, Petrus mengatakan bahwa Allah yang menjadikan Yesus sebagai Adonay/Tu(h)an dan Kristus/Mesias. Jadi, Yesus adalah Tu(h)an bukan dalam makna ilah lain disamping Allah. Justru menurut pengharapan mesianik dalam Perjanjian Lama, Yesus adalah Tu(h)an bagi kemulian Allah. Nubuatan tentang ketu(h)anan Sang Mesias ini juga berasal dari nubuatan yang terdapat kitab Daniel 7:13-14. Ayat tersebut berbicara tentang tokoh akhir zaman, yang telah ditetapkan Allah untuk memegang kekuasaan atas segala bangsa. Meminjam istilah Bambang Noorsena, Yesus bi-idzinillah (dengan izin Allah) bergelar Lord (Arab: Rabb) dan Mesias (Arab: Almasih).

Pada masa pelayananNya di dunia, Yesus juga pernah menyinggung nubuatan dalam Mazmur 110:1 ini. Hal ini dapat kita lihat dalam Matius 22: 43-44

“Kata-Nya kepada mereka: "Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia Tuannya, ketika ia berkata:

23 Risto Santala, The Messiah in the Old Testament in the Light of

Rabbinical Writings (Jerusalem: Karen Ahvah Meshihit, 1992).

Page 20: Akidah Masihiyyin

20

Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai musuh-musuh-Mu Kutaruh di bawah kaki-Mu.”

Ayat diatas membuktikan, bahwa gelar Mesias sebagai Adonay/Tu(h)an sudah tidak asing pada masa itu. Dan memang, seperti yang sudah disinggung diatas, para rabbi sebelum jaman pelayanan Kristus juga sudah memahami fakta ini. Dalam konteks inilah, Yesus mengatakan dalam Injil Matius 28:18, bahwa diriNya memegang segala kuasa di surga dan di bumi. Sabda Yesus ini jelas dilatarbelakangi oleh nubuatan Mesianik dalam Perjanjian Lama.

Namun harus dicatat, bahwa penisbahan gelar “Tu(h)an” bagi Yesus itu menunjuk pada aspek kemanusianNya. Untuk memahami tentang hal ini, tentu harus memahami keseluruhan berita PL mengenai rencana keselamatan Allah. Topik tentang hal ini akan dibahas pada pembahasan yang berbeda. Namun pada intinya, gelar ketu(h)anan Yesus dalam iman Kristen tidak hendak mengadakan ilah lain selain Allah. Pemahaman yang benar terhadap teks-teks Perjanjian Lama, akan menghasilkan pengertian yang benar tentang hal ini.

Selain itu, harus diperhatikan bahwa antara gelar keilahian dan ketu(h)anan Yesus dapat dibedakan dengan jelas. KeilahianNya menunjuk hakekatNya sebagai Firman Allah/Memra Alaha yang adalah Allah sendiri. Sedangkan gelar ketu(h)anan Yesus menunjuk jabatanNya sebagai Mesias. Sehingga dapat ditegaskan, bahwa tuduhan syirik teradap kekristenan sama sekali tidak benar. Justru telah dibuktikan diatas tentang latar belakang sebutan Tu(h)an bagi Yesus. Lagipula, Mesias tersebut adalah pernyataan diri Allah sendiri. Jadi, penisbahan gelar ketu(h)anan ini masih tetap dalam ruang lingkup keesaan Allah sendiri.

Yang terakhir, berkaitan dengan ungkapan “duduk disebelah kanan Allah”. Apakah maknanya jika dikatakan bahwa Yesus duduk/berdiri disebelah kanan Allah (Matius 26:64; Kisah Rasul 7:56; Ibrani1:3). Ungkapan tersebut berkaitan dengan makna gelar ketu(h)anan Mesias dalam kitab Mazmur 110:1. Latar belakang historis ungkapan tersebut, berasal dari konteks pelantikan raja-raja

Page 21: Akidah Masihiyyin

21

dinasti Daud. Pada jaman dahulu, singgasana istana raja Salomo bersambung ke bagian selatan Ruang Maha Kudus, tempat simbolis kehadiran Allah. Jika orang Yahudi sedang berdoa di Bait Al-Maqdis, mereka berdoa dengan muka menghadap ke timur, lambang keberadaan firdaus (Kejadian 2:8). Jadi, ketika orang Yahudi berdoa di Bait Allah dengan menghadap timur, maka otomatis singgasana raja Sulaiman terletak di sebelah selatan, yakni di sebelah kanan Bait Allah. Bait Allah sendiri adalah perlambang kehadiran Allah. Lalu apa maknanya? Raja-raja Israel, sebelum menjadi raja, selalu diurapi/dilantik terlebih dahulu (Ibrani:Masyiakh). Sepanjang sejarahnya, raja-raja Israel ini selalu mengalami jatuh bangun akibat ketidaktaatan kepada Allah. Padahal, Allah berjanji bahwa dinasti kerajaan Daud akan menjadi kerajaan yang kokoh. Memenuhi pengharapan Mesianik tersebut, maka Yesuslah sebagai satu-satunya Mesias/Yang diurapi. Yesus adalah pemegang kedaulatan selama-lamanya sebagai Mesias.

II. Sejarah dan Makna Penyaliban Yesus

2.1. Sejarah Penyaliban Yesus

Penyaliban Kristus (Arab: Almasih) adalah akidah Kristen yang paling mendasar. Bahkan penyaliban juga bisa disebut sebagai jantung iman Kristen. Tanpa peristiwa penyaliban, iman Kristen akan kehilangan keunikannya, dan membuatnya tak jauh berbeda dari sistem kepercayaan lain (baca: Agama) yang ada di dunia ini. Kitab suci juga menyatakan, bahwa salib adalah pusat pemberitaan gereja semenjak kenaikan Kristus (1 Kor 1:23). Tentu yang dimaksud bukan “kayu salib”, tetapi peristiwanya yang begitu esensial karena berkaitan langsung dengan penebusan.

Salib yang dahulu menjadi simbol kehinaan, kini telah menjadi simbol kemuliaan. Dan memang pada masa itu, penyaliban adalah hukuman yang sangat hina. Hukuman itu hanya diberlakukan terhadap budak-budak dan para penjahat. Keluarga dan orang yang tersalib akan selamanya menanggung aib karena hukuman tersebut.

Page 22: Akidah Masihiyyin

22

Namun semenjak penyaliban Kristus, salib telah berubah menjadi simbol kemuliaan dan kemenangan bagi umat Kristen.

Harus ditegaskan, bahwa penyaliban Kristus adalah sebuah peristiwa sejarah yang sungguh terjadi. Jika penyaliban hanya sebuah keyakinan yang tidak didasarkan pada fakta historis, maka sia-sialah keyakinan iman Kristen. Dan memang, soal historisitas penyaliban ini sangat diutamakan dalam pewartaan gereja purba. Berulang kali dinyatakan dalam kotbah para rasul, bahwa orang Yahudi sendiri adalah saksi bahwa Yesus memang disalibkan (Kis 2:36; 4:10;1 Kor 2:8). Dengan pernyataan tersebut, para rasul menantang siapa saja untuk menguji kesejarahan penyaliban Kristus. Selain itu, kitab Injil sendiri menyatakan dengan jelas bahwa Yesus memang disalibkan.

Namun saat ini, ada sebagian kelompok yang meragukan historisitas peristiwa tersebut. Menurut mereka, Yesus tidak benar-benar disalib, tetapi ada orang lain yang menggantikanNya. Sedangkan kelompok lain, yakni Ahmadiyah, meyakini bahwa Yesus memang disalib tetapi tidak wafat, melainkan hanya pingsan saja diatas kayu salib (swoon theory). Dan setelah penyalibanNya tersebut, Yesus menjadi sadar kembali dan pergi dari tanah Israel.

Melihat macam-macam pandangan ini, bagaimanakah umat Kristen harus bersikap? Sudah disinggung diatas, bahwa semenjak awal sejarahnya, gereja menantang siapapun untuk menguji historisitas penyaliban. Dalam aspek kebebasan berpendapat, umat Kristen menghormati macam-macam pandangan orang di luar iman Kristen. Silahkan! Setiap orang berhak menyatakan apa yang diyakininya. Namun dalam sudut pandang studi kesejarahan kritis, macam-macam pandangan tersebut haruslah diuji.

Nah, tulisan ini memang hendak menyoroti penyaliban Kristus dari sudut pandang kesejarahan kritis. Karena itu, bukti berupa data-data historis sejaman akan lebih diutamakan daripada sekedar “keyakinan” seseorang, yang seringkali tidak berangkat dari fakta historis yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu, pembaca bisa menguji sendiri sumber-sumber yang dicantumkan dalam tulisan

Page 23: Akidah Masihiyyin

23

ini. Sehingga kita benar-benar berbicara sesuai fakta yang ada, ketimbang sekedar berteriak lantang tanpa bukti.

2.1.1. Memeriksa Bukti Historis Penyaliban Yesus

Iman Kristen mendasarkan keyakinannya tentang Kristus berdasarkan Alkitab sendiri. Karena itu, pelacakan historis tentang penyaliban harus diawali dari teks-teks Alkitab sendiri, yakni kitab Injil. Seperti diketahui, keempat kitab Injil ditulis berdasarkan kesaksian historis tentang Kristus, yang meliputi tindakan dan sabda-sabdaNya sepanjang pelayananNya pada saat inkarnasiNya/penjelmaan (Arab: Tajassud).

Studi kesejarahan kritis yang telah diterapkan atas tulisan-tulisan Injil, membuktikan bahwa kitab Injil adalah benar-benar laporan historis tentang Yesus. Injil bukanlah sekedar refleksi iman tentang Yesus, seperti yang diyakini oleh kelompok Yesus Seminar.24

24 Jesus Seminar adalah nama sebuah gerakan yang muncul di Amerika

Serikat di akhir abad 20. Gerakan yang diketuai oleh Robert W. Funk dan John Dominic Crossan ini berusaha membagi tokoh Yesus menjadi dua realitas. Yang pertama, mereka menyebutnya sebagai Yesus iman. Dan yang kedua adalah Yesus sejarah. Yesus iman adalah Yesus yang melakukan macam-macam mukjijat. Yang menurut para penggagas Yesus Seminar, sebenarnya kisah mukjijat itu adalah ciptaan dari umat Kristen perdana untuk menokohkan Yesus. Sedangkan Yesus sejarah adalah tokoh Yesus yang manusiawi, dan Yesus hanya diyakini sebagai penggerak reformis agama. Keyakinan mereka ini membawa konsekuensi terhadap tulisan-tulisan Injil. Sehingga catatan-catatan Injil yang memuat kisah mukjijat, itu dianggap bukanlah sebuah kenyataan sejarah. Karena itu, kelompok ini mulai membagi-bagi tulisan Injil dalam beberapa kategori. Teori-teori mereka sungguh sangat lemah, karena didasarkan atas asumsi mereka terhadap tidak mungkinnya hal-hal adi-kodrati. Gerakan rasionalisme ini sama sekali telah ketinggalan jaman. Namun yang menarik, kelompok polemikus Islam di tanah air malah mengagung-agungkan gerakan ini. Sebutlah nama semacam: Irena Handoo, Sanihu Munir, Insan Mokoginta, dll. Dalam tulisan-tulisannya, mereka begitu bersemangat menerima ide-ide kelompok Yesus Seminar, yang dianggap mendukung keyakinan mereka. Padahal jika mereka mau fair, bukan hanya tulisan-tulisan Injil yang harus direvisi karena dianggap tidak sesuai fakta. Namun juga kisah Al-Qur’an tentang ‘Isa. Karena, Al-Qur’an sendiri banyak mengisahkan mukjijat-mukjijat Yesus. Disini kita bisa melihat, bahwa kelompok polemikus memang seringkali tidak obyektif dalam mengkritisi keyakinan kelompok yang berbeda dengan dirinya.

Page 24: Akidah Masihiyyin

24

Misalnya, Lukas menegaskan di awal pendahuluan Injil yang ditulisnya, bahwa ia menulis berdasarkan kenyataan yang ada tentang Yesus.25

Lukas 1:1-4

“Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”

Catatan saya ini bukan hanya untuk kelompok polemikus Islam saja, namun juga polemikus Kristen. Untuk kajian kesejarahan mengenai kitab-kitab Injil, lihat: Richard Bauckham, Jesus and the Eyewitnesses (Grandrapids: William B. Eerdmans Publishing, 2006).

25 Meskipun Lukas tidak termasuk dalam kelompok dua belas rasul,

namun ia adalah rekan sepelayanan Paulus. Selain itu., ia juga dikenal baik oleh para rasul sendiri. Dan lagi, kesaksian soal kepenulisan Lukas dari para bapa gereja mula-mula sangatlah melimpah. Antara lain dapat kita lihat dalam tulisan Irenaeus, Clement dari Alexandria, Tertullian, dan juga Eusebius. Di bawah ini adalah salah satu contoh kesaksian dari Eusebius, seorang sejarawan gereja mula-mula, tentang kepenulisan Lukas:

“Amma Luqa, alladzi kana min abawiyyin anthakiyyin, wa alladzi kana yamtahinu ath-Thibb, wa alladzi kana shodiq hamim li Bulus wa ma’ruf min sa’ir ar-Rusul, fa qod taroka lana fi sifraini qonuniniyyin… Amma ahadu hadzaini al-sifraini fa huwa al-injil…”

Artinya: “Adapun Lukas, yang berketurunan Anthiokia dan juga seorang dokter yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Paulus serta dikenal baik oleh para rasul-rasul(murid Almasih), telah meninggalkan kepada kita dua kitab yang kanonik… Adapun salah satu dari dua kitabnya yakni Kitab Injil.”

Untuk melihat lebih jauh soal historisitas para penulis kitab Injil, lihat: Leonardo Winarto, Ketritunggalan dan Keesaan Allah: Antara Kesesatan dan Kebenaran (Bondowoso: Memra Publishing, 2011)

Page 25: Akidah Masihiyyin

25

Menurut kesaksian Lukas, saat itu sudah banyak orang yang hendak menulis sejarah tentang Kristus. Dalam hal ini termasuk peristiwa penyalibanNya yang terjadi pada masa pemerintahan Pontius Pilatus. Dan bukti bahwa Injil adalah laporan historis, nampak dari tulisan Lukas yang menyebut para rasul sebagai saksi mata (Yun: Autoptes). Ungkapan “saksi mata” selalu berkaitan dengan kejadian yang riil. Selain itu, ungkapan tersebut juga berarti sebuah ajakan untuk menguji kesejarahan Kristus, termasuk juga soal penyalibannya.

Bukan hanya itu saja, Lukas juga menyatakan bahwa ia lebih dulu melakukan riset sebelum menulis kitab Injil. Ia menyelidiki dengan seksama agar tulisannya benar-benar akurat (Yun: Akribos). Jika Kristus bukan tokoh historis, maka usaha Lukas akan menjadi sia-sia belaka. Namun justru sebaliknya, Lukas menemukan bukti sejarah yang melimpah tentang hidup dan pelayanan Kristus.

Keempat Injil sebagai sumber otentik tentang Kristus, menyatakan dengan jelas bahwa Yesus memang disalibkan. Meskipun keempat kitab Injil tersebut ditulis menurut konteksnya masing-masing, namun keempatnya tetap selaras dalam melaporkan peristiwa penyaliban Yesus. Bahkan layaknya seorang saksi mata, masing-masing penulis Injil memberikan laporan sedetail mungkin mengenai peristiwa tersebut. Mulai dari perjamuan terakhir (Mat 26:26-29; Mark 14:22-25; Luk 22: 14-38; Yoh 13-17), peristiwa penangkapan di taman Getsemani (Mat 26:36-56; Mark 14:32-52; Luk 22: 39-62; Yoh 18:1-11), sampai peristiwa pengadilan dan penyesahanNya (Mat 27:27-31; Mark 15:15-20; Luk 23: 11-25; Yoh 19:1-16), yang kemudian diikuti oleh penyaliban dan kematianNya (Mat 27: 32-56; Mark 15:20b-41; Luk 23:33-49; Yoh 19:16-30).

Catatan keempat Injil tersebut bisa diuji secara terbuka oleh siapapun. Sebab, jika para penulis Injil tidak menuliskan berdasarkan fakta sejarah yang ada, maka akan dibantah oleh data-data kesejarahan sejaman. Sejak awal berdirinya kekristenan, Injil diberitakan secara terbuka. Kekristenan berbeda dengan agama-agama misteri di dunia Yunani dan kebatinan timur saat itu. Agama-agama misteri dari Mesir dan Yunani, cenderung menutup diri dan

Page 26: Akidah Masihiyyin

26

tidak mementingkan aspek historis dalam sistem kepercayaan mereka.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan kekristenan. Iman Kristen didasarkan sepenuhnya atas kesejarahan dari tokoh Kristus. Dan seperti sudah disinggung diatas, para rasul selalu terbuka dalam memberitakan Kristus yang tersalib. Fakta ini dibuktikan dari catatan-catatan para sejarawan abad pertama, baik dari sumber-sumber Yahudi maupun non Yahudi, yang menyaksikan tentang Kristus dan kehidupan jemaat Kristen pada abad pertama Masehi.

Catatan non biblikal dari sumber Yahudi dan non Yahudi ini menjadi bukti di luar Alkitab terhadap kesejarahan Kristus. Sebab barangkali, ada orang non Kristen mengatakan: “Injil jelas mendukung tentang Kristus, karena memang produk orang Kristen”. Namun, apakah ada bukti dari tulisan-tulisan di luar Injil yang menyinggung tentang historisitas Yesus, secara khusus mengenai penyaliban. Jawabannya: Ada!

Data-data ini penting dikemukakan dalam rangka dialog antar iman. Sebab bagi orang non Kristen, data di dalam Injil belum dipandang cukup sebagai informasi historis tentang Kristus dan penyalibanNya. Namun bagi orang Kristen sendiri, yang memang memiliki mata rantai ajaran tanpa putus semenjak jaman Kristus (khilafah rasuliyyah), nilai historis dari laporan Injil sama sekali tidak perlu diragukan.

Kesaksian dari Sumber Yahudi

A. Yosephus

Yosephus adalah seorang sejawaran Yahudi yang hidup di abad pertama Masehi. Nama lengkapnya adalah Titus Flavius Yosephus, dan dikenal juga dengan nama Yoseph ben Matiyahu. Ia seorang Yahudi tulen, lahir dari keluarga imam tahun 37 M. Dulunya bergabung dengan bangsanya untuk melawan Roma, namun selanjutnya ia membelot pada kekaisaran Romawi.

Page 27: Akidah Masihiyyin

27

Meskipun begitu, ada yang menganggap Yosephus telah berjasa bagi bangsanya, karena ia menulis sejarah tentang bangsanya yang dimulai sejak penciptaan sampai pada jamannya. Tulisan Yosephus ini menjadi informasi tambahan di luar Injil bagi kesejarahan Yesus. Malahan bukan hanya tentang Yesus, tetapi juga peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam kitab Kisah Rasul. Misalnya, paceklik yang terjadi pada jaman Kladius (Kis11:28), kisah kematian Herodes yang tercatat dalam Kis 12:19-23, ternyata dijumpai juga dalam catatan Yosephus.

Berikut ini adalah kutipan dari tulisan Yosephus yang berjudul Antiquities 18.3.3, yang isinya menyinggung tentang Kristus dan penyalibanNya:

“Ginetai de kata touton ton xromon Iesous sophos aner, eige andra auton legein chre. En gar paradokson ergon pointes, didaskalos antrophon ton hedone talethe dechomenon, kai pollous men Ioudaious pollous de kai tou Ellenikon eogageto. Ho Christos hutos en, kai auton endeiksei ton proton andron gar humin stauro epitetimekotos Pilatous ouk epausanto hoi to proton agapesantes. Efane gar autois triten echon hemeran palin zoe ton Theion propheton taut ate kai alla muria peri autou Thaumasia eirekoton. Eis eti te nun ton Christianon apo toude onomasmenon ouk epelipe to fulon.”26

Artinya:

“Dan sekitar waktu ini, datanglah Yesus, seorang bijaksana, kalau memang kita harus mengatakan bahwa Ia adalah manusia. Sebab, Ia melakukan banyak keajaiban dan mukjijat. Ia adalah seorang Guru bagi orang-orang yang menerima kebenaran dengan gembira. Ia banyak memenangkan hati orang-orang Yahudi dan orang Yunani. Dia adalah Sang Kristus (Ho Christos). Pilatus, ketika mendengar tuduhan-tuduhan dari orang-orang yang terpandang diantara kita, telah menjatuhkan hukuman penyaliban

26 Robert E. Van Voorst, Jesus Outside the New Testament (Michigan: W.

B. Eerdmans, 2000, 85).

Page 28: Akidah Masihiyyin

28

atas Dia, tetapi orang-orang yang mencintaiNya tidaklah berhenti. Sebab pada hari ketiga, Ia menampakkan diri kepada mereka dalam keadaan hidup. Soal ini sudah dinubuatkan oleh nabi-nabi Allah, dan para nabi tersebut juga mengatakan banyak hal lain tentang Dia. Dan sampai hari ini, orang Kristen (Christianon), demikian pengikutNya disebut, masih belum punah.”

Sebagai seorang sejarawan, Yosephus tentu harus menjaga obyektifitas dalam tulisan-tulisannya. Penyebutan Sang Kristus terhadap Yesus dalam tulisan Yosephus diatas, masih belum membuktikan bahwa Yosephus mengakui kemesiasan Yesus. Namun sebagai seorang sejarawan, Yosephus harus tetap menulis sesuai fakta yang ada. Dalam tulisannya tersebut, Yosephus tidak menyangkal reputasi Yesus sebagai pembuat mukjijat.

Namun yang paling penting dari tulisan Yosephus diatas, adalah disinggungnya soal penyaliban Yesus. Selain itu, Yosephus juga menulis bahwa Yesus disalib pada masa pemerintahan Pilatus. Laporan ini ternyata sesuai dengan catatan Injil yang kita miliki saat ini. Berdasarkan fakta ini, nyatalah bahwa berita soal Kristus yang tersalib bukan karangan umat Kristen mula-mula. Orang-orang yang skeptis terhadap historisitas iman Kristen, dipersilahkan untuk meneliti dari sumber-sumber di luar Alkitab.

B. Tulisan Rabbi-rabbi Yahudi

Disamping kitab Tanakh (Torah, Nebiyim, we Ketubim), orang Yahudi juga memiliki tulisan keagamaan yang berisi macam-macam aturan soal kehidupan jasmani dan ruhani, yang telah diturunkan melalui tradisi lisan. Dalam proses selanjutnya, tradisi keagamaan tersebut dituliskan, dan disebut sebagai kitab Talmud. Namun, kitab Talmud bukan hanya berisi soal hukum keagamaan saja, tetapi juga ada kisah fiksi tentang nabi-nabi yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai moral pada orang-orang Yahudi.

Nah, di dalam tulisan rabbi-rabbi inilah kita bisa menjumpai kesaksian tentang Kristus. Tentu bagi para rabbi tersebut, Yesus

Page 29: Akidah Masihiyyin

29

tidak disebut sebagai Kristus (Ibrani: Ha Mashiah). Sebab, mereka memang tidak mengakui bahwa Yesus adalah Sang Mesias yang dijanjikan dalam kitab Taurat. Malah, mereka menyebut Yesus sebagai ben Pandera. Artinya adalah “Anak dari Pandera”, seorang perwira Romawi yang oleh para rabbi disebut telah berhubungan gelap dengan Maria.

Namun sebenarnya, istilah Pandera hanyalah plesetan yang dibuat oleh para rabbi terhadap kata Yunani Parthenos, yang artinya perawan. Sebab, orang Kristen selalu menyebut Yesus sebagai anak seorang Perawan/Parthenos. Lalu oleh mereka, kata ini diplesetkan menjadi Pandera.27 Malahan bukan hanya kata Parthenos ini saja yang diplesetkan, tetapi juga kata euangelion/ Injil. Secara harafiah, kata tersebut berarti kabar gembira atau kabar baik. Namun para rabbi membuat permainan kata dengan kata tersebut. Sehingga bukan lagi terbaca euangelion, tetapi awen gillayon. Frasa tersebut berarti “dosa orang pinggiran”. Di dalam Talmud, ungkapan awen gillayon itu menjadi bahasa ejekan untuk orang Kristen. Sehingga bukan lagi disebut sebagai kabar baik/euanggelion mengenai Kristus yang datang melawat umatNya, tetapi awen gillayon, dosanya orang-orang pinggiran.

Sebenarnya, ejekan-ejekan diatas merekam historisitas dari iman Kristen. Seperti misalnya, sebutan Yesus sebagai anak Perawan/ Parthenos yang dipelesetkan menjadi ben Pandera, Melalui ejekan tersebut dibuktikan, bahwa keyakinan Kristen mengenai Yesus yang lahir dari perawan Maria, sudah dikenal sejak awal sejarah kekristenan. Kesaksian dalam kitab Talmud tersebut, meskipun isinya berisi ejekan, tetapi menjadi bukti di luar Alkitab tentang historisitas Kristus.

Berikut adalah kutipan dari Talmud yang menyinggung soal penyaliban Yesus:

27 F.F Bruce, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru. Alih Bahasa: R.

Soedarmo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hal.100.

Page 30: Akidah Masihiyyin

30

“Jesus was crucified one day before the Passover. We warned him for 40 days that he would be killed because he was a magician and planned to deceive Israel with his delusions...”28

Artinya:

“Yesus telah disalibkan sehari sebelum Paskah. Sebelumnya, kami telah memperingatkan Dia selama 40 hari bahwa Ia akan dibunuh, sebab Dia adalah seorang penyihir, dan berusaha menyesatkan orang-orang Israel dengan khayalan-khayalanNya.”

Dalam kitab Talmud diatas, historisitas penyaliban Yesus diakui dengan jelas. Bahkan, reputasi Yesus sebagai pembuat keajaiban diakui, walaupun itu dipandang sebagai sihir oleh para rabbi. Hal tersebut mengingatkan kita pada tuduhan orang Farisi yang dicatat di dalam kitab Injil, bahwa Yesus dituduh menggunakan kuasa Beelzebul, penghulu setan, untuk melakukan mukjijat (Mat 12:24). Dengan ini, sekali lagi laporan-laporan dalam kitab Injil dibuktikan kebenaran faktanya.

Kesaksian Dari Sumber Non Yahudi

Diatas sudah kita lihat catatan sejarah dari abad pertama yang ditulis oleh sejarawan Yahudi, dan juga informasi yang bersumber dari tulisan para rabbi, yang semuanya menegaskan bahwa Yesus memang disalibkan pada masa Pontius Pilatus. Fakta ini tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam kajian ilmu sejarah. Sebab bagi seorang sejarawan, kendatipun ia tidak suka dengan fakta yang hendak dilaporkannya, ia harus tetap menjaga obyektifitasnya dalam melaporkan sebuah peristiwa. Meskipun para rabbi yang hidup pada jaman itu sangat membenci Yesus dan kekristenan, tetapi mereka tetap menuliskan fakta itu apa adanya.

Menariknya, fakta penyaliban Yesus ini juga disinggung di dalam catatan para sejarawan non Yahudi. Misalnya, Thalus, seorang sejarawan yang menulis sejarah Yunani dalam hubungannya

28 Faris al-Qayrawani, Was Christ Realy Crucified? (Austria: Light of Life,1994) hal.47

Page 31: Akidah Masihiyyin

31

dengan Asia.29 Thallus menulis sekitar tahun 52 M, dan dia menyinggung soal kegelapan yang terjadi saat peristiwa penyaliban Kristus, dan menyebutnya sebagai gerhana matahari. Namun pendapat Thallus itu dibantah oleh Yulianus Africanus, seorang penulis Kristen di awal abad ke 3 M. Menurut Yulianus, tidak mungkin kegelapan yang terjadi saat itu adalah sebuah gerhana matahari.30 Sebab, gerhana matahari tidak dapat jatuh pada waktu bulan purnama, dan memang penyaliban Kristus terjadi pada saat bulan purnama Paskah.31

Catatan Thallus diatas jelas sangat menarik dalam kajian kesejarahan terhadap iman Kristen. Walaupun Thallus tidak beriman kepada Kristus, tetapi seperti yang sudah disinggung diatas, sebagai seorang sejarawan ia harus tetap menuliskan apa adanya. Walaupun dalam tulisannya ia menafsirkan kegelapan itu sebagai gerhana matahari, namun fakta dasar bahwa Kristus disalibkan dan dibarengi dengan kegelapan yang menyertai peristiwa itu tidak disangkalnya.

Selain laporan Thallus, kita juga menemukan catatan yang dibuat oleh Tacitus, seorang sejarawan Roma yang hidup di abad pertama. Dia menulis pada masa kaisar Nero, yang terkenal kekejamannya dalam menganiaya umat Kristen saat itu. Dalam karyanya yang berjudul Annals, Tacitus menyinggung soal penyaliban Kristus:

“Oleh karena itu, untuk memadamkan desas-desus itu, Nero menggantikan korban dan menghukum secara paling cerdik dan kejam kelompok orang yang telah dibenci karena perbuatan-perbuatan jahatnya sendiri, yaitu orang yang oleh khayalak ramai

29 F.F. Bruce, Op.Cit., hal.112 30 Ibid 31 Menurut kitab Taurat, penyembelihan anak domba Paskah itu dilakukan

pada tanggal 14 saat bulan baru, yang itu selalu jatuh pada saat bulan purnama. Dan harus diketahui, gerhana matahari hanya bisa terjadi jika posisi bulan berada diantara matahari dan bumi.

Page 32: Akidah Masihiyyin

32

disebut orang Kristen. Kristus, yang namaNya diberikan kepada mereka, telah dihukum mati atas vonis dari prokurator Pontius Pilatus pada jaman Tiberius.menjadi kaisar, dan tahyul yang merusak ini dihentikan sebentar, tetapi timbul lagi, tidak hanya di Yudea, tempat lahir malapetaka ini, tetapi malahan di kota Roma sendiri, di mana semua hal yang mengerikan dan memalukan di dunia berkumpul dan mendapat tempat berdiam.”32

Catatan Tacitus diatas jelas bersesuaian dengan laporan kitab Injil. Misalnya, disebutnya nama Pontius Pilatus sebagai prokurator yang memerintahkan hukuman salib pada Yesus, sama sekali cocok dengan tulisan dalam kitab Injil. Dan memang sebagai seorang sejarawan Roma, Tacitus memiliki akses yang mudah untuk menggali informasi dari pemerintahannya. Meskipun Tacitus tidak khusus menulis tentang Yesus, namun karena berkaitan dengan bangsanya, maka peristiwa itu tak luput dari catatannya.

Masih ada beberapa nama sejarawan dan penulis-penulis kuno non Yahudi yang menyinggung tentang Kristus dalam tulisan mereka. Misalnya, Mara Bara Serapion, orang Siria yang menulis sekitar tahun 73 M. Plinius Muda, Gubenur Britannia di Asia Kecil yang menulis sekitar tahun 112 M. Seutonius, sejarawan Roma yang menulis sekitar tahun 120 M.

Data-data non biblikal yang sejaman dengan tulisan Injil ini tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Sebab bagi seorang sejarawan sekuler, bukti-bukti semacam ini sudah dipandang absah. Karena dalam metodologi penelitian sejarah sekuler, verifikasi sumber itu penting dilakukan. Apakah sumber primer itu benar-benar valid ataukah tidak. Salah satu metodenya adalah dengan mencari bukti yang meng-koroborasi (mendukung atau memberikan konfirmasi)2 sumber primer tersebut. Sehingga dengan adanya informasi pembanding tersebut, maka keabsahan sebuah catatan sejarah itu tidak perlu diragukan lagi. Namun tentulah data-data pembanding tersebut sudah harus mengalami rangkaian pengujian

32 F.F. Bruce, Op.Cit. hal 116-117.

2 Tambahan dari editor

Page 33: Akidah Masihiyyin

33

ilmiah terlebih dahulu, guna memenuhi kriteria sebagai bukti pembanding.

II.2. Makna Penyaliban Kristus

Untuk memahami makna kematian Kristus, kita harus melihat keseluruhan berita Alkitab, terutama catatan Alkitab setelah kejatuhan manusia, serta nubuat para nabi yang berkaitan dengan janji pemulihan keadaan manusia yang berdosa. Pembahasan yang sangat luas ini tentu tidak mungkin menjadi jangkauan artikel singkat ini. Namun disini akan dijelaskan secara garis besar, yang sudah barang tentu menuntut pendalaman lagi, terkait tema-tema penebusan dalam iman Kristen.

Manusia adalah mahkota segala ciptaan. Diantara ciptaan yang lainnya, hanya manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Fakta ini dituliskan dalam Taurat, kitab yang ditulis oleh Musa.

Kejadian 1:26

“ wayyomer Elohim, "na'aseh adam bewayyomer Elohim, "na'aseh adam bewayyomer Elohim, "na'aseh adam bewayyomer Elohim, "na'aseh adam be----tsalmenu kidmutenutsalmenu kidmutenutsalmenu kidmutenutsalmenu kidmutenu…”

Artinya:

“Berfirmanlah Allah, “baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita…”33

Namun harus dicatat, bahwa ungkapan “gambar” dan “rupa” Allah itu tidak bermakna literal. Di dunia kuno, gambar dan rupa itu dipahami sebagai penghadiran dari wujud yang digambarkan.34 Bukan penghadiran dalam makna kuasa, namun dalam aspek etis-

33 Ungkapan “Kita” dalam Kejadian 1:26 bukan bermakna Allah itu lebih

dari satu. Dalam dunia Alkitab saat itu, ungkapan tersebut dipahami sebagai ungkapan kemuliaan/pluralis maestatis. Ungkapan yang lazim digunakan untuk menunjuk kebesaran atau kemuliaan seseorang. Ungkapan semacam ini juga dikenal di dalam al-Qur’an.

34 John H. Walton et.al, The IVP Bible Background Commentary: Old

Testament (Illinois: IVP Academic, 2000), hal.29.

Page 34: Akidah Masihiyyin

34

moral. Artinya, manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupaNya, harus menyatakan karakter Allah dalam hidupnya. Dalam surat yang ditujukannya pada jemaat di Efesus, Paulus juga menekankan pentingnya memahami makna gambar dan rupa Allah.

Efesus 5:1

“ Gineste oun mimetai tou Theou hos tekna agaptaGineste oun mimetai tou Theou hos tekna agaptaGineste oun mimetai tou Theou hos tekna agaptaGineste oun mimetai tou Theou hos tekna agapta”

Artinya:

“Sebab itu, jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih”

Kata yang diterjemahkan “penurut” dalam terjemahan LAI diatas, berasal dari kata “mimetai” dalam bahasa Yunani, yang memiliki arti: an imitator. NIV, salah satu terjemahan alkitab dalam bahasa Inggris, menerjemahkan ayat diatas sebagai berikut: “be imitators of God…”. Inilah panggilan tertinggi dari umat manusia, yakni menjadi peniru-peniru Allah. Ini juga sesuai dengan sabda Yesus: “Karena itu haruslah kamu sempurna, seperti BapaMu yang di surga itu sempurna” (Mat 5:48).

Hal yang luar biasa selain diciptakannya manusia menurut rupa dan gambar Allah, adalah diberikannya ruh (Ibrani: Ruakh) dalam diri manusia. Hewan, tumbuhan, dan ciptaan materi lainnya tidak dilengkapi dengan ruh. Artinya, Allah menciptakan manusia untuk sebuah kekekalan (Pkh 3:11). Bahkan, rencana Allah yang akbar ini sudah ditetapkanNya jauh sebelum dunia dijadikan (Ef 1:9).

Namun akibat ketidaktaatan Adam dan Hawa, maka manusia pertama gagal memenuhi panggilan terbesarnya. Akibatnya, manusia harus mengalami dampak dari dosa tersebut, yakni kematian ruhani.35 Alkitab mengenal dua jenis kematian yang bisa terjadi pada

35 Al-Qur’an juga menyebutkan mengenai dosa Adam dan Hawa ketika

memakan buah dalam taman itu. Lihat: Q.s. Al-A’raf 7: 19-23. Dalam ayat tersebut dikisahkan bahwa Adam dan Hawa diperdaya oleh setan untuk makan buah terlarang di dalam surga. Dan akibatnya, Adam dan Hawa pun diusir dari surga.

Page 35: Akidah Masihiyyin

35

manusia selepas kejatuhan manusia dalam dosa. Pertama, adalah kematian ruhani yang sudah diingatkan sejak semula kepada Adam dan Hawa.

Kejadian 2:17

“tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati”

Banyak orang di luar iman Kristen yang menyalahpahami kalimat, “pastilah engkau mati”, yang terdapat dalam ayat diatas. Menurut mereka, ketika Adam dan Hawa makan buah tersebut mereka tidak mati, bahkan masih hidup beberapa ratus tahun lamanya. Sehingga kemudian dituduhkan, bahwa sabda Allah yang tertulis dalam ayat diatas sama sekali tidak benar.

Tuduhan semacam ini adalah wajar dalam dunia polemik agama-agama. Namun kini dibuktikan, bahwa pendekatan polemik sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagi kedua belah pihak. Karena itu diharapkan, jika masing-masing pihak menjumpai kesulitan dalam memahami keyakinan orang lain, sedapatnya harus segera ditanyakan langsung pada mereka yang bersangkutan, dan memang memiliki kapasitas untuk menanggapi hal tersebut.

Untuk memahami firman Allah pada Adam dan Hawa tersebut, kita harus mengerti bahasa teologis di dalam Alkitab. Penting untuk dipahami, bahwa sebuah kata belum tentu dimaknai sama dalam macam-macam disiplin keilmuan. Misalnya, Alkitab menggunakan kata “hidup”, yang itu akan dianugerahkan bagi mereka yang percaya kepadaNya. Namun apakah pengertian “hidup” dalam Alkitab, itu persis sama dengan apa yang dipahami dalam dunia medis. Dunia medis memahami “hidup” hanya terbatas dalam aspek lahiriah. Sedangkan di dalam Alkitab, “hidup” bukan sekedar

Kisah ini adalah gema dari apa yang sudah dikisahkan dalam Sefer Bereshit/Kitab Kejadian.

Page 36: Akidah Masihiyyin

36

apa yang terlihat dalam aspek lahiriah. Terlebih lagi jika berbicara soal kekekalan, yang tidak bisa dijangkau dalam ilmu medis.

Demikian juga harus dipahami mengenai kata “mati” dalam Kejadian 2:17. Alkitab memahami kematian bukan hanya secara fisik, sebagaimana yang diyakini oleh dunia medis sebagai berhentinya seluruh aktifitas organ jantung dan paru-paru. Di dalam Alkitab, kematian terbagi menjadi dunia yakni kematian jasmani dan kematian ruhani. Kematian jasmani adalah seperti yang dipahami dalam dunia medis. Sedangkan kematian ruhani, adalah sesuatu hal yang lebih esensial lagi sifatnya. Sebab, hal itu berarti terpisahnya manusia dari persekutuan kekal bersama Allah. Bahkan manusia yang secara jasmani masih hidup, ia bisa saja sudah mati dalam pandangan Allah.

Setelah Adam dan Hawa memakan buah tersebut, mereka memang masih hidup secara jasmani. Namun berbarengan dengan itu, mereka mati secara ruhani. Yakni terpisah dari persekutuan dengan Allah. Bukan Allah yang hendak memisahkan diri dari manusia, namun keberadaanNya yang suci secara otomatis tidak dapat bersatu dengan sesuatu yang berdosa. Ibarat minyak dan air, yang keduanya tidak dapat disatukan, walaupun berada dalam satu wadah.

Manusia tidak mungkin hidup tanpa Allah. Sebab, Allah adalah sumber kehidupan dari segala sesuatu. Yesus sendiri pernah menegaskan kebenaran ini dalam sebuah perumpaan pokok anggur dan carangnya.

Yohanes 15:5

“Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”

Manusia diibaratkan carang, yang sudah barang tentu mendapat “energi” hidupnya dari pokok anggur. Bila carang itu terpisah dari pokok anggurnya, maka ia akan segera kering dan

Page 37: Akidah Masihiyyin

37

akhirnya mati. Inilah realitas manusia berdosa yang akan mengalami kematian akibat terpisah dari Allah. Namun karena kasihNya, selepas peristiwa kejatuhan manusia di dalam dosa, Allah menjanjikan masa pemulihan itu akan tiba. Sehingga hubungan Allah dan manusia yang sudah rusak karena dosa, akan menjadi pulih kembali sesuai tujuan Allah yang semula.

Kejadian 3:16

“Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya."

Dalam ayat diatas, meskipun ditujukan pada Iblis, tetapi ada kebenaran mendasar yang ingin dinyatakan terkait janji pemulihan manusia yang berdosa. Allah menegaskan, bahwa selama bumi ini masih ada akan selalu terjadi peperangan antara setan dan manusia. Dan dinyatakan dalam ayat tersebut, bahwa keturunan wanita itu akan meremukkan kepala Iblis. Menariknya dalam Targum, sebuah terjemahan paraphrase berbahasa Aram dari PL, menuliskan bahwa pemulihan ini akan terjadi pada jaman Almasih. Bahwa ketika Sang Mesias itu hadir, Ia akan memulihkan semua tatanan dunia yang sudah carut marut akibat dosa.36 Penyakit, air mata, kejahatan, itu bukan sesuatu yang menjadi bagian manusia dari mulanya. Namun dosa telah membuat semua hal buruk tersebut selalu mengikuti manusia.

Kemudian dalam menanti datangnya janji pemulihan tersebut, diberikanlah ketetapan-ketetapan mengenai kurban.37 Makna teologis dari aturan tentang kurban ini terkait erat dengan prinsip penebusan

36 Risto Santala, Almasih fi al-‘Ahd al-Qadim (Cairo: Al-Jami’ wa al-

Ikhraj wa al-Thaba’ah, 2003), hal 30-31. 37 Bedakan antara “kurban” dan “korban” di dalam bahasa Indonesia.

Dalam dunia teologi digunakan kata “kurban”, yang berasal dari bahasa Ibrani “Qerev”, artinya “dekat”. Maknanya adalah melalui ibadah kurban, umat mendekatkan diri pada Allah.

Page 38: Akidah Masihiyyin

38

(Ibrani: Kofer; Arab: Kafarat).38 Alkitab menegaskan, bahwa dosa sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah, tidak hanya cukup diselesaikan dengan permintaan maaf. Kendatipun manusia yang berdosa sudah mengakui kesalahannya, namun hukuman atas dosa itu tetap ada.

Allah itu Pengasih, namun Dia juga Adil. KasihNya memberikan pengampunan atas mereka yang bersalah, tetapi keadilanNya juga menuntut hukuman atas dosa. Dia mengasihi manusia, dan tidak ingin manusia mengalami hukuman atas dosa. Dan melalui kurban itulah, kasih dan keadilan Allah bertemu tanpa harus saling bertentangan. Di dalam hukum Taurat, hewan yang dikurbankan menjadi tebusan bagi kesalahan manusia. Secara harafiah, kata “tebusan” atau kofer dalam bahasa Ibrani bermakna penutup. Dilambangkan melalui darah hewan yang disembelih itu, kesalahan manusia tidak lagi nampak/diperhitungkan dalam pandangan Allah. Melalui ritual ini, nyawa hewan tersebut menjadi harga yang harus dibayar untuk sebuah keselamatan. Sehingga manusia yang seharusnya mengalami hukuman akibat dosa, telah digantikan oleh hewan yang dikurbankan tersebut.

Inilah esensi dari upacara kurban yang ditetapkan dalam kitab Taurat. Darah hewan itu tidak menyelamatkan, tetapi dijadikan gambaran bagi penebusan sejati di dalam Almasih al-Mukhallish al-‘alam/Juruselamat dunia.

Ibrani 10:1

“Di dalam hukum Taurat hanya terdapat bayangan saja dari keselamatan yang akan datang, dan bukan hakekat dari keselamatan itu sendiri. Karena itu dengan korban yang sama, yang

38 Di dalam tradisi Islam (Al-Qur’an dan Hadits), juga dikenal macam-

macam aturan tentang kafarat atau tebusan ini. Meskipun dalam perjalanan teologi Islam selanjutnya, ajaran ini dikaitkan dengan peristiwa kejatuhan manusia. Untuk melihat lebih jauh keyakinan Islam mengenai Kafarat/penebusan, lihat: Sa’id ‘Abdul Azhim, Kafarah Penghapus Dosa. Alih Bahasa: Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi (Malang: Cahaya Tauhid Press, 2006).

Page 39: Akidah Masihiyyin

39

setiap tahun terus-menerus dipersembahkan, hukum Taurat tidak mungkin menyempurnakan mereka yang datang mengambil bagian di dalamnya.”

Dalam ayat diatas ditegaskan, bahwa segala hukum dalam Taurat itu hanya bayangan dari karya Almasih yang sebenarnya. Melalui kurban syahid dari Almasih diatas kayu salib, maka manusia yang seharusnya mengalami kematian akibat dosa, kini mengalami pemulihan persekutuan dengan Allah (Roma 6:23). Kenapa penebusan itu mutlak diperlukan? Sebab, tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Untuk itulah Allah, melalui FirmanNya menjadi manusia, demi untuk semua umat manusia. Ia menjadi pengganti bagi manusia. Kematian kekal yang seharusnya menjadi bagian manusia yang berdosa ini, telah ditimpakan pada Kristus. Ini sesuai dengan nubuatan dalam kitab Yesaya 53, yang sekilas sudah disinggung diatas.

Fakta ini membuktikan, bahwa ajaran penebusan dalam iman Kristen berasal dari Perjanjian Lama, dan bukan berasal dari ajaran dunia Yunani kuno, ataupun ciptaan Paulus seperti yang selama ini sering dituduhkan dalam buku-buku yang ditulis oleh kelompok polemikus Islam. Bukti ini juga bisa dilihat dari tulisan rabbi-rabbi Yahudi sebelum jaman Kristen, yang meyakini berdasarkan PL bahwa Mesias adalah Sang Penebus dan Pemulih segala sesuatu. Ini adalah bukti yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja, terutama dalam kajian-kajian Islam-Kristen.

Jadi pada intinya, kematian Kristus adalah sebagai tebusan bagi keselamatan manusia. Akibat pelanggaran Adam dan Hawa, kematian kekal membayangi manusia. Dan keadilan Allah menuntut bahwa orang yang berdosa itu harus mati. Namun kasihNya ingin semua manusia mengalami kehidupan. Lalu untuk memberi gambaran penebusan tersebut, diberilah macam-macam perintah kurban dalam kitab Taurat. Prinsip penebusan ini hendak mengajar bahwa ada harga yang harus dibayar untuk sebuah keselamatan. Manusia yang seharusnya mati akibat dosanya, telah digantikan oleh

Page 40: Akidah Masihiyyin

40

domba yang disembelih. Manusianya selamat, namun ada hewan yang mati.

Sedangkan kriteria tertentu yang harus dipenuhi untuk hewan yang akan dikubankan, misalnya tidak boleh ada cacat celanya (Kel 12:5), hendak menekankan nilai kesempurnaan kurban itu sendiri. Kitab suci menegaskan, bahwa kesempurnaan Kristus itulah yang membuatnya layak menjadi kurban tebusan. Sebab sudah disebutkan diatas, bahwa semua manusia itu berdosa. Tidak ada seorangpun yang sanggup menjadi pengganti bagi orang lain. Karena itu, satu-satuNya jalan adalah Dia berinakarnasi (Arab: Tajassad). Sehingga keselamatan itu dimungkinkan bagi semua orang (Yoh 1:14; 3:16).