Akibat Hukum Putusan MK

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Putusan MK terhadap anak angkat

Citation preview

  • AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP PEMBAGIAN HAK WARIS

    ANAK LUAR PERKAWINAN

    Oleh:

    Dr. H. Bahruddin Muhammad

    Abstract

    Anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak sah disebut dengan istilah anak tidak sah atau anak luar perkawinan. Konsekwensi normatif, terminologi anak tidak sah atau anak luar kawin membawa akibat hukum terhadap pengakuan hak konstitusional anak dan sebaliknya. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak luar perkawinan tidak memperoleh hak-hak konstitusional sebagai warga negara yang menganut prinsip Negara hukum. Secara konstitusional, hal tersebut telah merugikan hak anak terutama dibidang kewarisan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, menjadi angin segar bagi anak luar perkawinan untuk memperoleh kembali hak tersebut. Prinsip persamaan derajat yang menjadi dasar pemikiran dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah sesuai dengan prinsip masalihu al-am (kemaslahatan umum) yang melindungi jiwa anak (hifdzu al-nafs) sebagai generasi penerus kehidupan manusia (hifdzu al-nasl). Spirit perlindungan terhadap anak yang secara konkrit terwujud dalam perlindungan jiwa (hifdzu al-nafs), merupakan tujuan penetapan hukum Islam (maqasid al-syariah). Atas dasar pemikiran tersebut, Putusan MK tidak hanya berakibat terhadap reposisi keberpihakan hak kewarisan anak, tetapi berakibat pula dalam menjamin dan melindungi hak-hak anak lainnya seperti hak memperoleh nafkah, hak perwalian, dan hak alimentasi dari ayah biologis. Oleh karena itu, meskipun transformasi prinsip persamaan dan keadilan dalam Putusan MK sesuai dengan prinsip universalitas dan keadilan fitrah, kontekstualisasi Putusan MK yang melebihi tuntutan pihak pemohon (Aisyah Mokhtar dan Muhammad Iqbal) harus tetap dibatasi hanya berakibat hukum dalam perkara waris dan dalam konteks anak luar kawin sebagai hasil perkawinan sirri dalam perspektif formalisme hukum. Kata Kunci: Akibat Hukum, Hak Waris, Anak Luar Perkawinan

    1. Pendahuluan

    Secara etimologis, kata waris berasal dari kata warasa-yarisu-warisan

    yang berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal

    dunia. Kata warasa berarti menggantikan kedudukan, memberi atau

    menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah

    ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli

  • 2

    warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah atau

    apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.1

    Menurut Louis Makluf dalam Amien Husein Nasution, 2 kewarisan (al-

    miras) yang lazim disebut sebagai faraidh berarti bagian tertentu dari harta

    warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur'an dan Hadits. Kewarisan

    adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah

    meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian

    yang telah ditetapkan dalam nash-nash baik al-Quran, Hadits, Ijma maupun

    dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, hukum kewarisan pada intinya

    adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang

    meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.3 Hukum waris adalah

    peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap

    harta kekayaan yang berwujud,4 pola perpindahan kekayaan dari si pewaris dan

    akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan

    antara sesama ahli waris.

    Hukum kewarisan di Indonesia, tertuang dalam Buku II KHI. Hak waris

    anak secara eksplisit dinyatakan tegas pada Pasal 171 huruf c yaitu:

    Pasal 171 Huruf c Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

    Orang-orang yang memiliki hubungan darah yang dimaksud di atas

    terbagi dalam dua golongan yaitu sebagaimana dinyatakan pada Pasal 174 ayat

    (1) huruf a yakni golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-

    laki, paman dan kakek dan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak

    perempuan, saudara perempuan dari nenek.

    1 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Juz ke-VI, ditahqiq oleh Abdullah Aliy al-Kabir, Muhammad

    Ahmad Hasbullah, Hasyim Muhammad al-Syadzaliy, (Kairo; Darr al-Maarif, 1119), hlm. 4812. 2 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid

    dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 49. 3 Soebekti, Kaitan Undang-Undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris, Kertas

    Kerja pada Simposium Hukum Waris Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembina an Hukum Nasional, Jakarta, 10-12 Februari 1983.

    4 E.M. Meyers, dan H.F.A. Vollmar, hlm. 284. Jac Kalma, Privaat recht: handleiding by de studi evan het Nederlands Privaat recht, cetakan ketiga, hlm. 79.

  • 3

    Sebab-sebab kewarisan menurut hukum Islam meliputi, pertama adanya

    hubungan pernasaban seperti ayah, ibu anak, cucu, saudara-saudara kandung

    seayah, seibu dan sebagainya. Kedua, adanya hubungan perkawinan yaitu suami

    isteri meskipun belum pernah berkumpul atatu telah bercerai, tetapi dalam masa

    iddah talaq raji. Ketiga, adanya hubungan wala antara bekas budak dengan

    orang yang memerdekakannya, apabila bekas budak itu tidak mempunyai ahli

    waris yang berhak menghabiskan seluruh harta warisan. Keempat yaitu sebagai

    baitul mal yang menampung harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli

    waris sama sekali denagn sebab-sebab tersebut sebelumnya.5 Sedangkan rukun

    waris mewarisi meliputi maurus yaitu harta yang mewarisi, muwaris orang yang

    meninggal dunia baik secara hakiki atau mati secara hukmi, waris yaitu orang

    yang akan mewarisi harta peninggalan si mati lantaran sebab-sebab untuk

    mewarisi. Penghalang-penghalang dalam mewarisi yaitu disebabkan perbudakan,

    pembunuhan, dan perbedaan agama.6

    Faktor-faktor penghalang hak waris menurut KHI tercantum dalam Pasal

    171 huruf c sebagaimana dijelaskan pada Pasal 173 yaitu:

    Pasal 173 Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

    menganaiaya berat para pewaris. b. dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa

    pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 Tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

    Menurut KHI anak luar kawin termasuk anak zina berhak atas warisan.

    Hanya saja hak waris anak luar nikah terbatas atas hubungan saling mewarisi

    dengan ibunya. Hal ini sesuai dengan Pasal 186 KHI yang menyatakan:

    Pasal 186 Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarganya dari pihak ibunya.

    Berdasarkan norma kedudukan hukum anak luar kawin, UUP dan KHI

    memiliki kesamaan dalam menetapkan kedudukan dan hak anak luar kawin atau

    hak anak hasil perkawinan tidak sah. Pasal 43 ayat (1) UUP melegitimasi

    5 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam, Disertasi, Program

    Doktor UIN Gunung Jati, Bandung, 2011, hlm. 18. 6 Habiburrahman, Ibid., hlm. 19.

  • 4

    kedudukan anak berdasarkan nasab, sedangkan Pasal 186 KHI melegitimasi hak

    waris anak luar kawin atau anak tidak sah. Konstruksi normatif kedudukan

    hukum hak anak luar kawin dibidang kewarisan sebelum munculnya Putusan

    Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah mengakomodir hukum

    kewarisan yang telah diatur dalam UUP dan peraturan organiknya seperti KHI.

    Penerapan hukum kewarisan sebelum putusan MK telah menempatkan posisi

    anak luar kawin hanya memiliki hak warisa kepada ibu dan keluarganya.

    2. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

    VIII/2010 Terhadap Pembagian Hak Waris Anak Luar

    Perkawinan

    Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

    bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

    Perkawinan yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya

    mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,

    bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

    1945.7

    Mahkamah Konstitusi juga manyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP

    yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

    hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak memiliki kekuatan

    hukum mengikat, sehingga ayat tersebut harus dibaca, Anak yang dilahirkan di

    luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

    ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

    berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

    hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan

    keluarga ayahnya.

    Menurut hukum Islam (Islamic yurisprudence) seorang anak yang dapat

    dihubungkan dengan nasab orang tuanya harus memenuhi tiga aspek secara

    kumulatif. Tiga aspek tersebut yaitu anak tersebut dilahirkan dalam ikatan

    perkawinan yang sah, bukan hasil dari hubungan badan di luar ikatan

    7 Pasal 43 ayat (1) UUP bertentangan sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan

    perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

  • 5

    perkawinan (zina), suami istri telah melakukan hubungan badan secara nyata

    dan anak tersebut berada dalam kandungan ibunya minimal 6 bulan.

    Ketiga aspek di atas disyaratkan bagi suami yang memungkinkan dapat

    menghamili istrinya, antara suami istri telah pernah hidup bersama dalam satu

    ranjang dan suami tidak pernah mengingkari anak yang dilahirkannya. Dengan

    demikian apabila hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka seorang anak nasabnya

    tidak dapat dihubungkan terhadap suami dari ibunya itu.

    Teori-teori fikih yang dikemukakan fuqaha yang menunjukkan adanya

    ikatan nasab antara orang tua (ayah dan ibu) dengan anak-anaknya, melahirkan

    doktrin hukum yang berbeda-beda. Doktrin tersebut bergantung pada keadaan

    ikatan perkawinannya, kelahiran anak itu masih dalam ikatan perkawinan yang

    masih utuh atau ketika istri menjalani masa iddah atau disebabkan hubungan

    badan yang syubhat dalam akad yang dinyatakan fasid atau yang lainnya. Oleh

    karena itu yang menjadi kaidah umum adanya ikatan nasab antara anak dengan

    orang tuanya (ayahnya) adalah adanya ikatan perkawinan yang sah dan diukur

    dari masa kehamilan ibunya minimal 6 bulan setelah adanya akad perkawinan

    dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum, atau istri telah selesai

    menjalankan masa iddah thalaq rajiy, dan masa kehamilannya kurang dari 6

    bulan yang dihitung mulai dari selesai masa iddah, atau istri selesai menjalankan

    masa iddah thalaq bain dengan masa kehamilan kurang dari enam bulan, kecuali

    akad perkawinannya menjadi fasid, maka adanya ikatan nasab didasarkan pada

    adanya hubungan badan secara nyata dan kehamilan istrinya lebih dari 6 bulan

    setelah hubungan badan itu. Dari kaidah umum ini melahirkan konsekuensi

    bahwa anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak ada ikatan

    perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya, maka anak tersebut tidak

    memiliki hubungan nasab dengan ayahnya.

    Oleh karena itu ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

    Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan anak

    yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

    ibunya dan keluarga ibunya telah sejalan dengan teori fikih yang bersifat

    universal.

  • 6

    Persoalan tentang hukum nasab yang tercermin dalam Pasal-Pasal UUP

    beserta peraturan organiknya timbul disebabkan ketentuan tersebut

    bertentangan dengan norma konstitusi dasar Negara Indonesia, yaitu Undang-

    Undang Dasar 1945. Norma-norma hukum yang dimuat pada UUD 1945 tersebut

    adalah :

    Pasal 28 B (1). menyatakan setiap orang berhak membentuk keluarga dan

    melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2). menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh

    dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

    Pasal 28 D (1). menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan

    kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

    Ketentuan norma yang menjadi kata kunci adalah melalui perkawinan

    yang sah sebagaimana terdapat pada Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945. Yang

    dimaksud perkawinan yang sah disini harus dibaca sesuai ketentuan Pasal 2 ayat

    (1) UUP, yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

    masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Norma dasar ini

    menghendaki bahwa setiap orang diberikan hak untuk mendapatkan keturunan

    yang dibenarkan, yaitu keturunan yang diperoleh dari perkawinan yang sah

    menurut hukum agamanya, dan tidak melegalisasikan hak untuk mendapatkan

    keturunan dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa

    ikatan perkawinan yang sah atau kumpul kebo. Oleh karena itu pula menurut

    UUD 1945 ini keturunan (baca anak) yang sah adalah keturunan yang dilahirkan

    dari perkawinan yang sah yang berarti pula tidak melegalisasikan keturunan yang

    sah dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan

    perkawinan (kumpul kebo). Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 adalah turunan dari

    ayat sebelumnya, dalam ayat ini menunjukan hak-hak anak yang merupakan

    kewajiban orangtuanya yang sah untuk memberikan segala sesuatu demi

    kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak, demikian pula

    negara berkewajiban melindungi anak dari kekerasan (dalam rumah tangga) dan

    diskriminasi. Sedangkan Pasal 28 D ayat (1) menunjukkan kewajiban negara

  • 7

    terhadap setiap orang sebagai warga negara diharuskan mendapatkan

    pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta

    perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang dalam ayat ini kaitannya

    dengan anak adalah setiap anak baik yang dilahirkan dari perkawinan yang sah

    maupun yang dilahirkan di luar perkawinan, termasuk di dalamnya anak-anak

    terlantar yang asal usulnya tidak diketahui atau ditinggalkan orang tuanya atau

    anak yang dibuang oleh ibunya, walaupun status dan identitas diantara mereka

    berbeda-beda.

    Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi me-review ketentuan Pasal 43 ayat

    (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi anak yang dilahirkan di

    luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

    keluarga ibunya menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai

    hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki

    sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

    teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,

    termasuk hubngan perdata dengan keluarga ayahnya.8

    Tujuan perombakan (review) Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

    Tahun 1974 tersebut sebagaimana yang dikutip oleh A. Mukti Arto, adalah

    memberi legalitas hukum hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya,

    memberi perlindungan hukum atas hak-hak dasar anak, memberi perlakuan yang

    adil terhadap setiap anak, menegaskan adanya hubungan perdata setiap anak

    dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya, menegaskan adanya kewajiban

    ayah biologis, melindungi hak waris anak, menjamin masa depan dan hak-hak

    anak sebagaimana anak-anak pada umumnya, menegaskan bahwa setiap laki-

    laki harus bertanggung jawab atas tindakannya dan akibat yang timbul karena

    perbuatannya.

    Tujuan-tujuan perombakan (review) Pasal 43 ayat (1) semakin terlihat

    ketika dikaitkan prinsip-prinsip maqasid al-syariah yang merlindungi keturunan

    (hifdhu al-nasl) sebagai tujuan pokok hukum Islam. Mukti Arto, menyatakan

    bahwa adanya hubungan nasab antara ayah dan ibu dengan anaknya adalah

    karena semata-mata adanya hubungan darah sebagai akibat dari hubungan

    8 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 37.

  • 8

    badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, walaupun tanpa

    ikatan perkawinan yang sah, dengan alasan sesuai pandangan ulama al-

    Hanafiyah bahwa dengan hubungan badan semata, telah menimbulkan

    hubungan mahram.9 Argumentasi tersebut, tidak sesuai dengan teori fikih yang

    dibangun ulama terdahulu, karena hubungan mahram antara dua orang terdapat

    tiga penyebab, yaitu adanya hubungan badan, adanya hubungan nasab dan

    adanya hubungan sesusuan. 10 Konsep mahram pernah diungkapkan oleh

    Muhammad Abu Zahrah, 11 yang menjelaskan perempuan-perempuan yang

    haram dinikahi untuk selama-lamanya adalah melalui tiga sebab, yaitu

    disebabkan adanya hubungan kekerabatan (nasab), disebabkan adanya

    hubungan mushaharah dan disebabkan adanya hubungan sepersusuan. Yang

    dimaksud adanya hubungan mushaharah adalah istri-istri orang tua dan

    seterusnya ke atas, istri-istri dari anak cucu (keturunan), orang tua (para leluhur)

    dari istrinya dan anak cucu dari istri.

    Menurut Abu Hanifah konteks makna nikah yang dimuat dalam Surat al-

    Nisa ayat 22 adalah hubungan badan. Penafsiran demikian berakibat kepada

    siapa saja perempuan yang telah disetubuhi orang tua baik dalam ikatan

    perkawinan, maupun di luar ikatan perkawinan adalah diharamkan untuk dinikahi

    oleh anaknya. Kebanyakan ulama mufassirin mengartikan an nakaaha dalam ayat

    itu adalah al-aqd ay nikaahu abaaikum al-faasid al-mukhalifu lidiinillah artinya

    akad yakni ikatan perkawinan ayah yang fasid yang bertentangan dengan agama

    Allah (Islam).12

    Demikian pula pengertian kalimat dakhaltum dalam Surat al-Nisa ayat 23:

    wa rabaaibukum al-lati fi hujurikum min nisaaikum al-lati dakhaltum bihinna.

    Pengertian dakhaltum dalam ayat ini adalah ada sebagian ulama yang menduga

    syarat keharaman mushaharah dalam hal ini adalah hubungan badan baik yang

    dilakukan dengan istri-istrinya maupun dengan anak-anak tiri dari istrinya itu

    secara bersamaan. Penafsiran ini adalah penafsiran yang berasal dari khilasun

    9 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet ke-empat, (Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 1990), hlm. 15. 10 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm.

    132. 11 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqhi, (Kairo: Daru al-Fikri al-Arabi, 1958), hlm. 71-83. 12 Al-Qurthuby, Al-Jamii Li al-ahkam Al-Quran, Juz V, (Bairut: Ihya al-Turats, 1985), hlm.

    103.

  • 9

    dari Ali bin Abi Thalib. Ibnu Abas Jabir dan Zaid bin Tsabit menyatakan

    hubungan badan pada kedua tempat itu (maksudnya istri dan anak). Jumhur

    mufassirin menafsirkan ayat ini dengan tafsir yang berbeda yaitu dengan

    pengertian nikah yang sah, dan menurut Imam Syafii keharaman mereka itu

    disebabkan adanya akad perkawinan yang sah, keharaman dalam ayat tersebut

    tidak sampai mengharamkan yang halal.13

    Mukti Arto,14 menegaskan bahwa pendapat Abu Hanifah bahwa hubungan

    darah menjadi dasar adanya hubungan perdata, yaitu hubungan nasab,

    hubungan mahram, hubungan hak dan kewajiban, hubungan kewarisan dan

    hubungan perwalian. Hubungan badan menjadikan dasar adanya hubungan

    keperdataan, yaitu adanya hubungan nasab dan seterusnya. Padahal ayat al-

    Quran yang dibicarakan tersebut di atas, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para

    ulama, bertemakan mengenai hubungan mahram sebagai akibat adanya

    mushaharah. Hal ini merupakan suatu yang tidak relevan, sebab akibat adanya

    mushaharah menjadi dasar adanya hubungan nasab. Hal tersebutberdasarkan

    ayat al-Quran Surat Al-Najm ayat 45-48. Berdasarkan ayat tersebut, Mukti Arto

    berkesimpulan bahwa dengan adanya hubungan darah akan berakibat

    menimbulkan hubungan hukum.15 Akibat adanya hubungan hukum keperdataan

    antara anak dengan ayah biologisnya yang di lahirkan di luar perkawinan, yang

    menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 diberlakukan

    secara general baik terhadap anak sebagai akibat perzinaan, sebagai akibat

    perkawinan monogami secara di bawah tangan atau sebagai akibat perkawinan

    poligami di bawah tangan, memiliki akibat hukum lahirnya hak dan kewajiban

    menurut hukum antara kedua belah pihak secara timbal balik.16

    2.1. Akibat Hukum Terhadap Hak Waris Anak Luar Perkawinan

    Kaidah umum yang berlaku dalam hukum kewarisan Islam adalah

    berkaitan dengan kualifikasi orang sebagai ahli waris. Secara umum kualifikasi

    ahli waris tersebut yaitu orang yang memiliki hubungan nasab (nasab haqiqi),

    13 Al-Qurthuby, Ibid., hlm. 106. 14 Mukti Arto, Loc. Cit., hlm. 16. 15 Mukti Arto, Ibid., hlm. 17 16 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 35.

  • 10

    hubungan karena sebab perkawinan sah atau yang dikenal dengan mushaharah,

    dan hubungan al-wala (pelepasan status seseorang dari perbudakan).17

    Hubungan nasab adalah hubungan hukum keperdataan yang disebabkan

    kelahiran dari perkawinan yang sah, dengan kata lain illat hukum dalam sebuah

    nasab yaitu terletak pada hubungan biologisnya bukan pada perkawinannya.

    Hubungan nasab seperti ini merupakan hubungan yang bersifat alami tidak dapat

    berubah sampai kapanpun dan oleh hukum apapun.

    Berkaitan dengan hak kewarisan anak dari seorang laki-laki sampai

    kapanpun adalah anak yang memiliki hubungan nasab dengan laki-laki tersebut,

    baik laki-laki (ayah biologis) tersebut berdasarkan hubungan mushaharah dengan

    ibu kandungnya, maupun dengan ayah nasab-nya (ayah biologis). Oleh karena

    itu, yang dimaksud hak perdata anak dalam hubungan kewarisan adalah

    kedudukan anak yang ditunjuk dalam Perkara Perdata Putusan Mahkamah

    Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebagaimana telah dijelaskan tersebut di

    atas, yang menyatakan :

    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

    Hubungan perdata dalam putusan di atas tentu mengarah pada satu hak

    yaitu hak waris. Sebab perkara Machicha merupakan permohonan atas hak waris

    Muhammad Iqbal terhadap ayah yang pada saat diajukan ke mahkamah

    Konstitusi, ayah yang bernama Moerdiono telah wafat. Sehingga konteks putusan

    tersebut merupakan kontekstualisasi hukum terhadap norma yang mengatur hak

    waris anak luar perkawinan. Akibat hukum Putusan MK secara ringkas dapat

    dilihat dalam table di bawah ini:

    17 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid IV, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), hlm. 484.

  • 11

    Tabel 2.1. Ringkasan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap Hak Waris Anak Luar Perkawinan

    HAK

    MATERIAL JENIS ANAK LUAR KAWIN

    PRILAKU SEKSUAL

    SEBELUM PUTUSAN MK

    SESUDAH PUTUSAN MK

    RATIO LEGIS

    Waris

    Hasil sirri - Tidak Berhak Karena Hasil Perkawinan Tidak Dicatat

    Berhak sebagaimana faraid anak sah

    Nasab biologis, Nasab Haqiqi, dan Nasab Hukmi serta kelangsungan hidup anak

    Hasil zina

    Zina Mukhshan Tidak Berhak Berhak sebagaimana faraid anak sah

    Nasab biologis, Nasab Haqiqi, dan Nasab Hukmi serta kelangsungan hidup anak

    Zina Ghairu Mukhshan

    Tidak Berhak Berhak sebagaimana faraid anak sah

    Nasab biologis, Nasab Haqiqi, dan Nasab Hukmi serta kelangsungan hidup anak

    Hasil Perkosaan

    Zina Mukhshan Tidak Berhak Berhak sebagaimana faraid anak sah

    Nasab biologis, Nasab Haqiqi, dan Nasab Hukmi serta kelangsungan hidup anak

    Zina Ghairu Mukhshan

    Tidak Berhak Berhak sebagaimana faraid anak sah

    Nasab biologis, Nasab Haqiqi, dan Nasab Hukmi serta kelangsungan hidup anak

    Adopsi - Wasiat Wasiat

    Bukan nasab biologis, melainkan hanya nasab Hukmi

    Sumber: kreativitas penulis melalui berbagai buku tentang konstruksi hukum waris anak

    2.2. Akibat Hukum Terhadap Hak Nafkah Anak Luar Perkawinan

    Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan hak kewarisan di atas,

    konteks persoalan dalam putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan

    permohonan hak waris anak luar kawin secara khusus. Namun jika mencermati

    substansi pada hak-hak perdata yang ada dalam putusan tersebut menyatakan

    secara tegas dengan menggunakan kalimat umum yaitu hubungan perdata.

    Bertolak dari hubungan perdata tersebut, maka hubungan perdata yang

    dimaksud adalah hak-hak perdata anak luar kawin secara umum, sehingga, hak-

    hak perdata yang lain (seperti nafkah, dan hak-hak immaterial lainnya), selain

    hak waris sebagai permohonan yang melatari perkara tersebut, juga memiliki hak

    yang sama sebagaimana hak waris.

    Oleh sebab itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

    46/PUU-VII/2010, maka status anak yang dilahirkan di luar perkawinan

    mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan

    ayah dan keluarga ayahnya. Atas dasar putusan tersebut, maka ayahnya dan

    keluarga ayahnya wajib memberikan nafkah terhadap anak tersebut. 18 Yang

    dimaksud ayah adalah ayah yang memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan

    ibunya, maupun ayah biologis (genetik). Kewajiban tersebut merupakan

    18 Yang dimaksud nafkah dalam hal ini adalah nafkah anak, berupa biaya pemeliharaan,

    biaya kebutuhan pokok anak, biaya pendidikan anak dan segala biaya yang diperlukan untuk menunjang kelangsungan dan perkembangan anak sampai dewasa atau mandiri, sesuai Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam .

  • 12

    kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak. Sebab, anak yang dilahirkan

    dari hubungan bilogis tanpa ikatan perkawinan yang sah, secara kodrati tidak

    berbeda dengan anak sah. Dengan demikian terhadap anak, ayah wajib

    menunaikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti nafkah, kesehatan,

    pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya sesuai dengan

    penghasilannya. Hal ini selaras sebagaimana ketentuan Pasal 80 ayat (4)

    Kompilasi Hukum Islam, dalam hal ayah dan ibunya masih terikat tali pernikahan.

    Apabila ayah dan ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan

    memberi nafkah kepada anak-anaknya, sesuai dengan kemampuannya,

    sebagaimana maksud Pasal 105 huruf c dan Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum

    Islam .

    Pokok pikiran utama yang melandasi putusan Mahkamah Konstitusi yang

    merombak ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

    pada dasarnya adalah tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-

    laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan

    dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan

    bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki

    tersebut sebagai ayahnya.

    Pokok pikiran ini seolah-olah menjadi alasan yang mendasar bahwa

    seorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan yang kemudian

    melahirkan anak, dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut akan melepaskan

    tanggung jawabnya sebagai ayah biologisnya, dengan demikian setelah

    ketentuan Pasal tersebut di-review, ayah biologis tersebut dipaksa oleh hukum

    untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukannya.

    Seandainya putusan Mahkamah Konstitusi hanya berkaitan dengan

    persoalan pertanggungjawaban nafkah, menurut peneliti sifatnya kasuistik dan

    akan sejalan dengan logika hukum Islam, sebab masalah nafkah yang diperlukan

    untuk menunjang kehidupan anak, tidak hanya terkait dengan orang yang ada

    kaitannya dengan hubungan nasab, seperti apabila anak tersebut diangkat anak

    oleh orang lain, maka kewajiban nafkah akan beralih kepada ayah angkatnya,

    walaupun pada dasarnya pokok kewajiban itu dibebankan kepada orang yang

    terkait dengan hubungan nasab.

  • 13

    Ratio legis yang mendasari substansi putusan Mahkamah Konstitusi tidak

    hanya melegitimasi hubungan perdata dan polarisasi hak anak dan kewajiban

    laki-laki biologis, melainkan didasari hadirnya satu pembuktian berbasis ilmu

    pengetahuan dan teknologi yang menjadi dasar ada dan tidak adanya hak anak

    luar kawin dalam menuntut hak-hak perdata baik materiil maupun immaterial.

    Akibat hukum Putusan MK tentang hak nafkah anak luar perkawinan secara

    ringkas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

    Tabel 2.2. Ringkasan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

    46/PUU-VIII/2010 terhadap Hak Nafkah Anak Luar Perkawinan

    HAK

    MATERIAL JENIS ANAK

    LUAR KAWIN PRILAKU SEKSUAL

    SEBELUM PUTUSAN MK

    SESUDAH PUTUSAN MK

    RATIO LEGIS

    Nafkah

    Hasil sirri -

    Tidak Berhak Karena Hasil Perkawinan Tidak Dicatat

    Berhak sebagaimana konsep nafkah anak sah

    Nasab biologis, Nasab Haqiqi, dan Nasab Hukmi

    Hasil zina

    Zina Mukhshan

    Tidak Berhak

    Berhak sebagaimana konsep nafkah anak sah

    Nasab biologis, wajib mengeluarkan nafkah dan ayah biologis haram mengeluarkan zakat, larangan melakukan perkawinan antara anak biologis dengan anak sah ayah biologis karena mahram.

    Zina Ghairu Mukhshan

    Tidak Berhak

    Berhak sebagaimana konsep nafkah anak sah

    Nasab biologis, sudah seharusnya calon ayah biologis menikah dengan calon ibu biologis (jika mampu)

    Hasil Perkosaan

    Zina Mukhshan

    Tidak Berhak

    Berhak sebagaimana konsep nafkah anak sah

    Nasab biologis, wajib mengeluarkan nafkah dan ayah biologis haram mengeluarkan zakat kepada anak biologis, larangan melakukan perkawinan antara anak biologis dengan anak sah ayah biologis karena mahram.

    Zina Ghairu Mukhshan

    Tidak Berhak

    Berhak sebagaimana konsep nafkah anak sah

    Nasab biologis, wajib mengeluarkan nafkah, calon ayah biologis haram mengeluarkan zakat kepada anak biologis, larangan melakukan perkawinan antara anak biologis dengan anak sah ayah biologis karena mahram.

    Adopsi -

    Berhak Berhak

    wajib mengeluarkan nafkah, ayah angkat haram mengeluarkan zakat kepada anak angkat, larangan melakukan perkawinan antara anak angkat (jika ibu angkat melahirkan anak biologis dan memberikan ASI kepada anak angkat) dengan anak sah biologis karena mahram sesusuan.

    Sumber: kreativitas penulis melalui berbagai buku tentang konstruksi hukum nafkah anak

  • 14

    2.3. Akibat Hukum Terhadap Hak Wali Nikah Anak Luar Perkawinan

    Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (1) Kompilasi

    Hukum Islam menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan

    rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

    menikahkannya. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang

    memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh. Kemudian Pasal 20

    ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa wali nikah terdiri dari dua

    kelompok, yaitu wali nasab dan wali hakim.

    Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa orang-

    orang yang berhak menjadi wali adalah ayah yang memilki hubungan nasab

    dengan anak perempuannya, yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat

    perkawinan yang sah sesuai Pasal 42 UUP, atau dengan kata lain anak

    perempuan itu lahir dari seorang perempuan yang dihamili seorang laki-laki

    dalam ikatan perkawinan yang sah. Ketentuan Pasal ini melahirkan kaidah hukum

    bahwa adanya hubungan hukum (nasab) antara seorang anak dengan kedua

    orang tuanya dan menyebabkan adanya hak wali terhadap ayahnya adalah

    disebabkan adanya ikatan perkawinan yang sah dan anak itu lahir dalam ikatan

    perkawinanya. Dengan demikian kelahiran anak selain yang ditentukan dalam

    aturan tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, dan berakibat

    hukum ayah dalam kondisi seperti ini tidak berhak menjadi wali nikah dalam

    perkawinan anak perempuannya, dan hak perwalian anaknya itu berada pada

    wali hakim.

    Berkaitan dengan dasar hukum perwalian tersebut, bahwa pembaharuan

    hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan terobosan hukum

    berbasis teknologi DNA. Pengakomodiran prinsip-prinsip perkembangan keilmuan

    dalam teknologi genetika, merupakan bukti bahwa penemuan hukum (istinbat al-

    ahkam) yang lakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan transformasi dan

    semangat dari penggalian hukum yang mendasarkan keadilan dan kebenaran

    substantif (pengakuan hukum secara de facto) di atas kebenaran prosedural

    (pengakuan hukum secara de jure).

    Hal ini terlihat bagaimana para hakim MK menjadikan DNA sebagai ratio

    legis, sehingga hubungan perdata dan polarisasi hak anak dan kewajiban laki-

  • 15

    laki (ayah) biologis, menimbulkan hak-hak perdata baik materiil seperti hak

    nafkah dan waris, maupun hak-hak immaterial seperti perwalian baik dalam

    perkawinan atau harta benda anak dan hak hadhanah (alimentasi).

    Oleh sebab itu, Putusan Mk tentang hak anak dalam perwalian terutama

    wali dalam perkawinan, turut menjadi sasaran dari putusan tersebut. Sebab,

    pangkal dari adanya hak perwalian adalah disebabkan oleh adanya nasab. Ada

    tidaknya nasab menyebabkan sah tidaknya sebuah hak, baik hak materiil

    maupun immaterial. Melalui putusan itu pula, maka putusan MK juga

    melegetimasi dan menjangkau atas hak anak biologis untuk memperoleh hak

    dalam perwalian (jika ayah biologisnya masih hidup). Hak perwalian merupakan

    hak yang sama pentingnya dengan hak-hak anak lain. Akibat hukum Putusan MK

    terhadap hak perwalian anak secara ringkas dapat dilihat dalam tabel di bawah

    ini:

    Tabel 2.3. Ringkasan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

    46/PUU-VIII/2010 terhadap Hak Wali Nikah Anak Luar Perkawinan

    HAK

    IMMATERI JENIS ANAK

    LUAR KAWIN PRILAKU SEKSUAL

    SEBELUM PUTUSAN MK

    SESUDAH PUTUSAN MK

    RATIO LEGIS

    Wali Nikah

    Hasil sirri -

    Perwalian Ibu dst. Karena Hasil Perkawinan Tidak Dicatat

    Wali Nasab (Ayah Biologis)

    Nasab biologis, Nasab Haqiqi, dan Nasab Hukmi

    Hasil zina

    Zina Mukhshan

    Perwalian Ibu dst. Wali Hakim Kerawanan Sosial

    Zina Ghairu Mukhshan

    Perwalian Ibu dst. Wali Nasab (Ayah Bilogis)

    Nasab biologis, sudah seharusnya calon ayah biologis menikah dengan calon ibu biologis

    Hasil Perkosaan

    Zina Mukhshan

    Perwalian Ibu dst. Wali Hakim Kerawanan sosial

    Zina Ghairu Mukhshan

    Perwalian Ibu dst. Wali Nasab (Ayah Biologis)

    Nasab biologis, jika ibu menikah dengan calon ayah biologis. Jika ibu tidak menikah dengan calon ayah biologis, maka menempuh wali hakim.

    Adopsi

    - Wali Hakim Wali Hakim

    Bukan nasab biologis, bukan nasab haqiqi. Terkecuali tidak ada wali hakim.

    Sumber: kreativitas penulis melalui berbagai buku tentang konstruksi hukum perwalian anak

    2.4. Akibat Hukum Terhadap Hak Hadlanah Anak Luar Perkawinan

    Kewajiban orang tua kepada anak meliputi berbagai aspek. Jika

    disederhanakan aspek tersebut yaitu kewajiban orang tua dalam memenuhi hak-

  • 16

    hak-hak material dan immaterial anak seperti hak asuh dan hak perwalian

    sebagaimana disinggung di atas.

    Pada dasarnya kewajiban utama seorang ayah (suami) adalah pemimpin

    dan kepala rumah tangga. Jika ayah tidak dapat melaksanakan kewajiban

    tersebut, maka kewajiban selanjutnya secara hierarkhis harus dipikul oleh ibu.

    Demikian selanjutnya, oleh keluarga masing-masing ayah dan ibu dan

    seterusnya. Jadi, pada hakikatnya kewajiban tersebut adalah kewajiban bersama

    antara ayah dan ibu.19 Namun dalam perspektif fikih klasik, kewajiban tersebut

    hanya berlaku manakala keduanya (suami-isteri) masih hidup dalam satu ikatan

    perkawinan.

    Pandangan terkait pemeliharaan anak luar kawin sebagaimana ajaran di

    atas, berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

    Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, maka antara

    anak luar kawin dengan ayah biologis menimbulkan hubungan hukum dalam

    sistim hubungan keperdataan. Dengan terbukanya hubungan perdata tersebut,

    maka hak-hak yang melekat pada diri anak biologis memiliki hubungan perdata

    pula dengan kewajiban ayah biologis. Salah satunya yaitu hak asuh (alimentasi)

    atau hadhanah antara anak luar kawin dengan ayah biologis. Sejak keluarnya

    Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seorang anak melalui putusan pengadilan

    ia berhak untuk mendapatkan biaya pemeliharaan dan pendidikan dari ayah

    biologisnya seperti halnya ia juga memiliki kewajiban itu terhadap anak sahnya.

    Hak alimentasi (pemeliharaan) menurut Buku Pedoman Pelaksanaan

    Tugas dan Administrasi pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan Buku II,

    sebagaimana dikutip oleh D.Y. Witanto, 20 antara lain bahwa nafkah anak

    merupakan kewajiban ayah dan ibu, pemeliharaan anak pada dasarnya

    bergantung kepada orang yang memiliki kecakapan dan akhlak, pengalihan

    pemeliharaan anak didasarkan atas putusan Pengadilan Agama, pencabutan

    kekuasaan orang tua dapat diajukan oleh orang tua yang lain, anak, keluarga

    19 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam , (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 224. 20 D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca keluarnya

    Putusan MK Tentang Uji Materiil Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012), hlm. 273.

  • 17

    dalam garis lurus ke atas, saudara kandung dan pejabat yang berwenang

    (jaksa).

    Menurut UUP, ketentuan pemeliharaan anak tertuang dalam Bab X

    tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak dari Pasal 45 sampai dengan

    Pasal 49. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hal yang sama tertuang

    dalam Bab XIV tentang pemeliharaan anak yaitu dari Pasal 89 sampai Pasal 99.

    Penerapan tentang kewajiban pemeliharaan (alimentasi) kepada ayah

    biologis juga menimbulkan kewajiban bagi si anak untuk menghormati dan

    menghargai si ayah sebagai orang tuanya, termasuk kewajiban untuk melakukan

    pengurusan kepada si ayah jika si anak telah tumbuh, dewasa dan si ayah

    membutuhkan pemeliharaan dari anaknya, karena hak dan kewajiban alimentasi

    tidak mungkin diterapkan secara separuh-separuh, bahkan jika hak keperdataan

    itu termasuk dalam ruang lingkup hukum waris, maka hak mewaris dari anak luar

    kawin terhadap ayah biologisnya juga meliputi hak mewaris ayah biologis

    terhadap anak luar kawin, jika si anak meninggal dulu daripada ayah biologisnya

    dan tidak meninggalkan ahli waris dalam peringkat yang lebih tinggi.

    Penerapan prinsip hak keperdataan bagi anak luar kawin terhadap ayah

    biologisnya dapat dianalogikan dengan anak luar kawin yang telah mendapat

    pengakuan oleh orang tua biologisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUH

    Perdata karena dalam UUP. Hal ini didasarkan pada tidak adanya fasilitas hukum

    yang dapat digunakan untuk menindaklanjuti keluarnya Putusan Mahkamah

    Konstitusi tersebut. Menurut KUH Perdata seorang anak yang telah diakui oleh

    orang tuanya memiliki hubungan keperdataan dengan ayah dan ibu biologisnya,

    sedangkan pengertian hak keperdataan itu termasuk menyangkut hak pewarisan

    walaupun kedudukan waris anak di luar kawin tetap tidak sama dengan

    kedudukan waris yang sah.

    Menempatkan posisi anak luar kawin sesuai dengan apa yang dihendaki

    oleh Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam konstruksi fikih memang

    agak sulit, karena anak kawin sama sekali tidak bisa dinasabkan kepada ayah

    biologisnya, sehingga dia tidak mungkin bisa menjadi ahli waris dari ayah

    biologisnya. Namun jika kita kembali kepada pengertian bahwa hak keperdataan

    itu bukan hanya sekedar menyangkut persoalan tentang waris-mewaris, maka

  • 18

    ketidakmungkinan dalam hukum pewarisan Islam sebenarnya bisa diantisipasi

    dengan alternatif yang lain, misalnya dengan hak untuk mendapatkan biaya

    pemeliharaan dan pendidikan bagi si anak dalam, bentuk nafkah hadhanah,

    sedangkan terhadap harta peninggalan, maka si ayah biologis, dapat

    memberikan hibah atau wasiat kepada si anak sepanjang jumlahnya tidak

    melebihi sepertiga dari harta yang dimilikinya agar tidak merugikan kepentingan

    para ahli waris lain yang sah.

    Dalam bentuk yang lain sekarang ayah biologis juga tidak dilarang untuk

    memberikan shadaqah berupa harta atau uang kepada anak luar kawin sebagai

    bentuk tanggung jawab alimentasi si ayah biologisnya kepada si anak, agar si

    anak dapat tumbuh dan hidup secara wajar. Hal ini selaras dengan apa yang

    disampaikan oleh Muhammad Nurul Irfan bahwa jika hendak disinkronisasi

    dengan konsep dasar hukum Islam jangan diberi nama waris karena syaratnya

    harus ada hubungan kekerabatan yang sah, sedangkan anak di laur kawin

    hubungan kekerabatannya tidak sah dan untuk memperoleh haknya bisa dengan

    hibah sedekah dan lain-lain.21

    Putusan Mahkamah Konstitusi tidak membatasi bahwa pengakuan anak

    luar kawin dalam hukum hanya terhadap anak-anak yang dilahirkan dari

    perkawinan yang sah namun tidak dilakukan pencatatan berdasarkan Pasal 2

    ayat (2) UUP (anak sirri). Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga bisa

    menjadi dasar bagi anak luar kawin dalam artian yang lebih luas, seperti anak

    zina baik dalam pengertian hukum barat maunpun anak zina dalam pengertian

    hukum Islam maupun anak sumbang, karena tidak disebutkan secara jelas

    dalam Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembatasan makna hanya pada

    anak yang lahir dari perkawinan siri saja walaupun latar belakang lahirnya

    putusan tersebut didasari oleh permasalahan anak sebagai akibat dari

    perkawinan sirri.

    Sebagaimana telah banyak dibahas di muka bahwa dalam perspektif

    kepentingan si anak, tidak ada perbedaan secara alamiah antara anak yang lahir

    karena perkawinan sirri dengan anak yang lahir dari hubungan perzinahan yaitu

    sama-sama tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia, apalagi untuk

    21 D.Y. Witanto, Ibid., hlm. 274.

  • 19

    dilahirkan dari suatu hubungan orang tuanya yang tidak sah. Suatu contoh yang

    ekstrim adalah jika seorang anak lahir dari akibat pemerkosaan, maka sangat

    tidak adil jika si ibu dengan anaknya mendapatkan stigma dan status yang lemah

    dihadapan hukum bahkan justru hukum cenderung melindungi pihak laki-Iaki

    yang jelas telah melakukan perbuatan jahat dan tercela dengan melakukan

    pemerkosaan yang mengakibatkan lahirnya seorang anak.

    Suatu pandangan yang cukup progresif, jika seorang anak yang lahir dari

    suatu hubungan yang tidak sah juga bisa mendapatkan haknya untuk dinafkahi

    dan diberikan biaya penghidupan yang layak oleh si ayah biologisnya karena

    anak dan semua orang yang terlahir kedunia tidak pernah mampu untuk memilih

    lahir dari hubungan yang sah atau tidak.

    Upaya perlindungan hukum bagi si anak untuk mendapatkan biaya

    pemeliharaan dan pendidikan akan membuat si anak bisa hidup dengan wajar,

    walaupun dalam pandangan sosial ia tetap tidak mungkin bisa keluar dari stigma

    bahwa dia adalah anak zina atau anak haram yang akan ditanggung oleh si anak

    seumur hidupnya akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh orang tuanya.

    Kondisi lahirnya anak di luar kawin hampir mirip jika kita bandingkan dengan

    anak yang lahir dengan mengidap penyakit AIDS yang diturunkan oleh orang

    tuanya, dalam kasus seperti itu siapa yang salah? Apakah si anak juga harus

    menanggung dosa dan kesalahan yang sebenarnya dilakukan olen orang.

    tuanya? Rasanya tidak adil jika kita juga harus menghukum dengan segala status

    dan kedudukannya ditengah-tenga masyarakat akibat dari dosa yang tidak

    pernah ia lakukan.22 Akibat hukum Putusan MK terkait hak hadhanah anak luar

    perkawinan secara ringkas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

    22 D.Y. Witanto, Ibid., hlm. 275.

  • 20

    Tabel 2.4. Ringkasan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

    46/PUU-VIII/2010 terhadap Hak Hadhanah Anak Luar Perkawinan

    HAK

    IMMATERI JENIS ANAK

    LUAR KAWIN PRILAKU SEKSUAL

    SEBELUM PUTUSAN MK

    SESUDAH PUTUSAN MK

    RATIO LEGIS

    Hadhanah

    Hasil sirri -

    Ibu lebih berhak Ibu dan ayah biologis mempunyai hak

    Siapa yang lebih perasa, lebih lembut, lebih kasih, lebih mesra, lebih saying (parameter akhlak)

    Hasil zina

    Zina Mukhshan

    Ibu lebih berhak Ibu dan keluarga ibu lebih berhak, sedangkan ayah biologis wajib mengganti dengan nafkah

    Kerawanan sosial

    Zina Ghairu Mukhshan

    Ibu lebih berhak Ibu dan calon ayah biologis mempunyai hak

    Siapa yang lebih perasa, lebih lembut, lebih kasih, lebih mesra, lebih sayang (parameter akhlak)

    Hasil Perkosaan

    Zina Mukhshan

    Ibu lebih berhak Ibu dan keluarga ibu lebih berhak, sedangkan ayah biologis wajib mengganti dengan nafkah

    Kerawanan sosial

    Zina Ghairu Mukhshan

    Ibu lebih berhak Ibu dan calon ayah biologis mempunyai hak

    Siapa yang lebih perasa, lebih lembut, lebih kasih, lebih mesra, lebih sayang (parameter akhlak)

    Adopsi

    - Ibu angkat lebih berhak

    Ibu dan ayah angkat mempunyai hak

    Siapa yang lebih perasa, lebih lembut, lebih kasih, lebih mesra, lebih saying (parameter akhlak)

    Sumber: kreativitas penulis melalui berbagai buku tentang konstruksi hukum hadhanah anak

    3. Penutup

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengakibatkan

    terjadinya perubahan akibat hukum tak terbatas terhadap hak perdata anak luar

    perkawinan. Perubahan akibat hukum baik hak materiil yaitu hak nafkah (jika

    ayah biologis masih hidup) dan hak waris, maupun hak immateriil yaitu hak

    perwalian dan hak alimentasi sebagaimana anak sah pada umumnya. Hal ini

    berdasarkan penemuan hukum sebagai berikut: pertama, konsep hubungan

    darah (nasab biologis) merupakan sunnatullah (natural of law) yang bersifat

    permanen, sehingga konsep nasab biologis merupakan ratio legis (illat al-hukm)

    yang menjadi pertimbangan de facto hak-hak perdata anak. Kedua, pergeseran

    hukum hak-hak perdata dari berbasis nasab yuridis (de jure) ke nasab biologis

    telah mendekonstruksi hak-hak perdata anak berbasis nasab yuridis, sehingga

    hak-hak pedata anak (baik hak materiil maupun hak immateriil) yang tidak

    diakui, kini diakui secara de jure dan de facto. Ketiga, konsep pembangunan

    hukum perdata anak secara radikal berbasis revolusi hukum dalam pengakuan

  • 21

    hak-hak perdata anak mutlak diperlukan dalam menjamin hak-hak anak berbasis

    prinsip-prinsip konstruksi hukum yang Islami. Akibat hukum Putusan Mahkamah

    Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentu harus dibatasi berdasarkan konteks

    anak luar perkawinan dari hasil pernikahan poligami sirri Aisyah Mokhtar dan

    Moerdiono serta hanya dalam perkara perdata waris. Sehingga koridor hukum

    dari akibat Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya dalam perkara

    perkawinan sirri bukan anak hasil zina dan hanya dalam lingkup perkara perdata

    waris bukan hak-hak perdata anak lainnya.

    4. Daftar Pustaka

    Al-Qurthuby, Al-Jamii Li al-ahkam Al-Quran, Juz V, Bairut: Ihya al-Turats, 1985.

    Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2012.

    D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012.

    E.M. Meyers, dan H.F.A. Vollmar dan Jac Kalma, Privaat recht: handleiding by de studi evan het Nederlands Privaat recht, cet. ketiga. New York: t.t.

    Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan di Indonesia, Disertasi, Program Doktor UIN Gunung Jati, Bandung, 2011.

    Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Juz ke-VI, ditahqiq oleh Abdullah Aliy al-Kabir, Muhammad Ahmad Hasbullah, Hasyim

    Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqhi, Kairo: Daru al-Fikri al-Arabi, 1958.

    Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet ke-empat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990.

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

    Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam , Bandung: Pustaka Setia, 2000.

    Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid IV, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.

    Soebekti, Kaitan Undang-Undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris, Kertas Kerja pada Simposium.

    Hukum Waris Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembina an Hukum Nasional, Jakarta, 10-12 Februari 1983.

    Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, tth, Juz VII.