219

AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Catatan para Aktivis

AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN Catatan para aktivis

Copyrihgt @Yayasan Budaya GunturAll rihgt recerved

Cetakan pertama, Februari 2020

Tataletak dan design oleh nofr-nofriDesign dan Gambar sampul oleh Vicensius Dwimawan

Penyunting, jonminofri

Diterbitkan oleh Yayasan Budaya Guntur

AGUS LENNON, POLITIK,

dan PERSAHABATAN

Catatan para Aktivis

Yayasan Budaya Guntur

vi AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

viiCatatan Para Aktiivis

Pengantar

Agus Edi Santoso atau Agus Lennon adalah seorang aktivis yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan. Bukan oleh sahabatnya saja, tetapi juga oleh orang yang berada di sisi lain yang berbeda pendapat dengannya. Orang yang berbeda paham dengan Agus menghormatinya karena sikap Agus juga yang rajin membina hubungan perkawanan tanpa melihat perbedaan politik, budaya, agama, atau suku. Siapa saja bagi Agus, dan dari mana pun dia, adalah kawan bagi Agus. Sikap terpuji dari Agus ini mengundang simpati yang amat luas.

Karena itu, bisa dipahami bahwa setelah Agus menghembuskan nafas yang terakhir pada 10 Januari lalu, banyak sekalli tulisan ten-tang Agus muncul di media sosial, media online, dan di berbagai WAG. Pada umumnya orang yang menulis tentang Agus itu adalah para aktivis, baik yang mengenal baik Agus, atau ada juga yang tidak mengenal Agus secara pribadi, tetapi mengenal Agus dari karya buku yang diterbitkannya.

Beberapa orang kemudian mengusulkan kepada saya untuk me-nerbitkan tulisan itu dalam bentuk sebuah buku. Karena itu, saya bersama rekan saya Jonminofri Nazir menghimpun tulisan terse-but, mengedit, dan melay-out menjadi buku, lalu mencetaknya.

Rentang waktu yang sangat terbatas membuat buku ini tidak sempurna. Beberapa orang yang sangat kenal pada Agus, yang kami minta menulis untuk buku ini, terpaksa kami tinggalkan karena sampai di ujung waktu naskah masuk percetakan, tulisan tersebut belum juga datang.

Namun demikian buku ini cukup mewakili semua khalayak yang mengenal Agus Lennon. Ada teman lama, ada aktivis senior, aktivis muda, dan lain sebagainya. Kami senang mendapat tanggapan positif dari pada penulis artikel di buku ini.

viii AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Budaya Guntur, dan nama Agus tercantum sebagai salah seorang pendiri yayasan ini.

Saya, mewakili penerbit buku, mengucapkan terima kasih ke-pada semua pihak yang telah membantu sehingga buku ini bisa di-terbitkan pada saat memperingati 40 hari setelah Agus berpulang.

Terimakasih yang besar sekali saya sampaikan kepada nama di bawah ini:

1. Denny JA 2. Hariman Siregar3. Indra Iskandar, 4. Syamsunar 5. Himawan Sutanto alias Japra. 6. Jonminofri Nazir7. Para aktivis yang menulis untuk buku ini8. Keluarga Agus Lennon: Sukesi(istri); Latonia Lantang Santo-

so, Luna Lukita Santoso, Muhammad Castro Santoso, dan Aisyah Charlotte Santoso (anak).

9. dan pihak lain yang tidak mungkin saya sebutkan nama mereka satu per satu di sini.

Saya mengharapkan buku ini akan bermafaat bagi semua orang. Bukan saja kepada orang yang mengenal Agus dengan baik, juga kepada semua orang Indonesia: bahwa di Indonesia pernah ada seorang aktivis yang layak menjadi teladan karena dia memperjuangkan gagasannya dengan damai, tanpa mem-benci, dan dia menempatkan teman di atas politik.

Salam, Jakarta, 20 Februari 2020

Isti NugrohoKetua Yayasan Budaya Guntur

ixCatatan Para Aktiivis

DAFTAR ISI

Prolog 1Kita Kenang Agus Lennon Sebagai Orang Besar Karena Sejumlah Alasan 3

Puisi 15Puisi Denny JA, Teringat Padamu, Bung 17 - Untuk Agus Edi Santoso

Puisi Himawan Sutanto, Pamitnya Agus Lennon 20

Juftazani, Kenangan atas Agus Edi Santoso 23

Teks Pidato 27Hariman Siregar: Aktivis itu Panggilan Jiwa, 29Bukan Pekerjaan

Denny JA: Agus, Apimu Masih Menyala di Hati Kami 31

x AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Tulisan Para Sahabat Aktivis 34

Aris Santoso, Ideologi Semangka ala Agus Lennon 35

Dedi Ekadibrata, Agus Lennon: Tukang Kompor dan Kawan Diskusi yang Mencerahkan 39

Denny JA, Agus Edi Santoso dan Kisah Teman 41di Atas Politik

Bonnie Setiawan, Kawan Agus Lennon, S 47ang ‘Haji Misbach’

Satrio Arismunandar, Agus Lennon dan Putrinya 53Latonia Lantang Santoso

Ngurah Karyadi Ke“Lennon”Gan 59

Geisz Chalifah, “Komunis” Baik Hati Itu Pergi 63

Fauzan Anwar Sandiah, Agus Edi Santoso dari 67Teplok Press hingga LazisMu

Syaefudin Simon, Agus, Wong Cilik, 73dan Muhammadiyah

Agusto Sulistio, Rezim Penindas Rakyat Kita Lawan 77tapi Tidak....

Nasihin Masha, Sang Pejalan di Pinggir 81

Moh Jumhur Hidayat, Kesaksian Kecil dari Sekian 87Banyak Tindakan Besar Agus Edi Santoso

Nezar Patria, Agus Lennon, Pengobar Api 89Kemarahan atas Ketidakadilan

Edriana, Agus tentang Perempuan 93dan Cream Muka Mahal

Iwan Samariansyah, Agus Lennon dan HMI MPO 95

Saleh Abdullah, Lennon dan Nietzsche 97

xiCatatan Para Aktiivis

Andrinof A Chaniago, Agus Lennon, Sahabat 99yang sangat Bersahabat

Tri Agus Susanto Siswowiharjo, Selesai Tugasmu 103Sebagai Pengompor di Dunia, Tak Perlu Diteruskan di Akhirat

Jonminofri Nazir, Agus Jago Memasak Rawon, 107Sop, dan Cumi a la Ibunya

Yuni ‘Neni’ Satia Rahayu, Selamat Jalan, Kamerad! 113

Mishar Ilyas, Agus adalah Sahabat, Lebih Baik 115dari Teman

Ahmadie Thaha , Misteri Cahaya di Kafe Tji Liwoeng 117

Bob Randilawe, Agus Lennon, Aktivis Kiri-Islam 121Indonesia yang Humanis

M Alfan Alfian, Aktivis Legenda yang Bersahaja 125

Himawan Sutanto, Agus Lennon, Buku, dan Jejaring 131

Petrus H. Harijanto, Lelucon Bung Agus Mencairkan 137Ketegangan

Swary Utami Dewi Bagiku, Kamu Selalu Ada 141

Swary Utami Dewi Bahagia Bisa Turut Mengurus 145Jenazahmu

Setya Dharma Pelawi, Pelukan Pertama 149dan Terakhir dari Agus Edi Santoso

Paulus Januar Agus, Sahabat Sejak Kelompok 153Cipayung yang Konsisten

Nurdin Ranggabarani, Agus adalah Guru yang 159Mengajarkan Loyalitas Tunggal pada Rakyat

Mishar Ilyas, Agus Edi Santoso di Mata Saya: 161Sahabat Lebih Baik dari Teman

xii AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Jacob Ereste, Sosok Kang Agus Lennon yang 163Tak Mungkin Aku Lupakan

Hamid Basyaib, Gambit Gagal Agus Lennon 169

Masmimar Mangiang, Selamat Jalan, Gus 173

Hendrajit Mengenang Kembali Romantika, 177Dialektika, dan Dinamika Kemahasiswaan 1980an Melalui Kepergian Agus Edi Santoso

Fitri Indro, Agus Lennon: Aktivis yang Berpihak 181kepada Rakyat Kecil

Nazrina Zuryani, Nyaring panggilanmu 35 tahun 185yang lalu, Masih Terdengar hingga Kini

Ons Untoro, Agus Lenon, Kopi, dan Foto Copy 191

EPILOG 195

Merangkai Peranjut Demokrasi para Aktivis 197

1Catatan Para Aktiivis

PROLOG

2 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

3Catatan Para Aktiivis

Kita Kenang Agus Lennon Sebagai Orang Besar Karena Sejumlah Alasan

AGUS TERBANGUN PADA DINI HARI SEKITAR PUKUL 03:00, tanggal 8 Januari 2020. Dia merasa dadanya sesak. Hal pertama yang dilakukannya adalah memanggil taksi online, dengan tujuan RS Harapan Kita. Agus menyadari ada masalah dengan jantungnya. Agus menderita penyakit jantung sejak tiga tahun lalu, jadi dia sudah paham apa yang harus dilakukannya. Sambil menunggu taksi, sekitar 10 menit, Agus melompat-lompat dan memukul-mukul dadanya agar jantung tidak berhenti berdenyut.

Tanggal 10 Januari pkl 21:11 Agus Edi Santoso wafat. Hanya dalam beberapa menit berita duka ini menyebar ke sebagian besar orang yang mengenal Agus melalui berbagai media sosial. Mereka umumnya adalah para aktivis: teman seperjuangan Agus, orang yang berseberangan dengan Agus, dan juga korban kejahilan Agus.

4 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Secara spontan sebagian dari para aktivis itu menuliskan pengalamannya bersama Agus, penilaian mereka terhadap Agus, dan hal lain tentang Agus. Tentu saja di dalam semua tulisan itu terselip doa agar Agus masuk surga, dengan berbagai ungkapan. Termasuk yang lucu:”Selesai tugasmu sebagai pengompor di dunia, tak perlu diteruskan di akhirat”, yang menjadi judul tulisan Tri Agus Susanto Siswowiharjo

Selain berdoa dan menceritakan pengalaman masing-masing, mereka juga memberikan penilaian terhadap Agus. Dan, yang unik, mereka juga menyebut nama Lennon, sebagai panggilan Agus. Sebagian dari para aktivis itu bahkan “membahas” mengapa nama Lennon menempel pada nama Agus. Ada tiga pendapat soal ini. Pertama, terlalu banyak teman mereka yang bernama Agus. Untuk membedakannya, Agus aktivis ini dipanggil “Lennon”. Kedua, mereka mengatakan Agus adalah penggemar berat John Lennon, pemilik nama asli “Lennon”. Karena itu, Agus dipanggil dengan nama “Lennon”. Ketiga, adalah teman-teman lama Agus melihat pria tinggi ini pada tahun 1980an selalu menggunakan kacamata bulat seperti Lennon. Mereka merasa pas melihat penampilan Agus dengan kaca mata bulat, karena ada kedekatan dengan phisik John Lennon: tinggi, pipinya tipis, dan rambut belah tengah acak-acakan karena hanya disisir dengan jari tangan.

Ada lagi pendapat yang kreatif: Agus memakai nama Lennon agar dekat dengan kata Lenin, yang berideologi “kiri” seperti Agus.

Lepas dari apapun alasan nama “Lennon” menempel di nama Agus, sebenarnya hal ini menunjukkan satu hal yang tersembunyi. Yaitu, sebenarnya Agus mempunyai kemampuan membangun brand yang tinggi. Dia jago branding. Agus membangun brand “Lennon” pelan-pelan dalam waktu lama, dan dia sabar menunggu hasilnya. Setelah sukses menciptakan dan membangun“image Lennon” di kalangan para aktivis, akhirnya semua aktivis mengenal dia sebagai “Lennon”, yang sejatinya lebih suka lagu-lagu Koes Plus. Dan, hingga akhir hanyat nama Lennon tetap menempel pada Agus kendati penampilannya telah berubah seperti bhikkhu.

5Catatan Para Aktiivis

Di samping membutuhkan lama, membranding diri sendiri dengan menempelkan “Lennon” pada nama Agus sebenarnya tidak mudah. Hal ini memerlukan konsistensi yang tinggi dari pemilik brand, atau dari Agus. Dia harus terus-menerus menanamkan image itu kepada “pasar”, yaitu para aktivis yang menjadi teman-temannya itu. Di sini terlihat karakter Agus: dia mampu istiqomah atau konsisten dalam jangka panjang.

Nah, di sinilah sebebarnya kekuatan Agus: konsistensi itu bukan hanya pada penggunaan nama pada diri Agus. Tetapi dalam banyak hal, termasuk dalam meperjuangkan gagasan yang diusung Agus sejak muda. Agus konsisten membela hak orang kecil, berpihak kepada wong cilik, memperjuangkan HAM, dan konsisten pula dalam sikap kritis. Sampai Agus wafat, banyak yang memberikan kesaksian bahwa dalam halyang diperjuangkannya, Agus konsisten.

Jadi, soal konsistensi ini yang paling menonjol dari Agus Lennon. Bahkan Agus dianggap aktivis yang paling konsisten oleh Paulus Januar dibandingkan dengan anggota kelompok Cipayung, kelompok yang mempertemukan mereka 30 tahun yang lalu. Selama mengenal Agus, Paulus melihat Agus selalu kritis pada nilai-nilai yang dianutnya sampai akhir hayatnya. Siapa pun yang berkuasa, Agus selalu kritis. Agus akan berada di sisi yang berbeda dari pemerintah. Dia selalu berada di pihak rakyat yang dinilainya masih banyak yang terpinggirkan secara politik, ekonomi, dan sosial. Kita juga tahu bahwa Agus konsisten membela wong cilik, dan memperjuangkan HAM.

Apa saja nilai-nilai yang dianut oleh Agus secara konsisten hingga akhir hayatnya?

Pertanyaan ini penting kita jawab karena Agus bukan orang biasa di mata kawan-kawannya. Agus berbeda, dia tidak seperti kebanyakan orang lain, atau seperti aktivis lain. Hariman Siregar –tokoh Malari dan aktivis senior-- berkata mewakili para aktivis dalam pidato di tempat pemakaman: sepanjang hidupnya Agus

6 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

adalah aktivis sejati.Dia menjadikan dunia aktivis bukan sebagai ladang

tempat mencari makan. Dia juga tidak mengincar jabatan di pemerintahan. Dia tidak pernah iri pada orang lain, baik soal jabatan atau kekayaan orang lain. Aktivis bagi Agus juga bukan profesi. Dia dapat uang dari kedai kopi yang didirikannya, atau usaha lain yang dilakoninya sebelumnya. Tetapi, kegiatan mencari uang, bahkan keluarga, sering ditinggalkan Agus jika hatinya terpanggil untuk memperjuangkan rakyat kecil. Begitu kata Hariman Siregar yang mengenal Agus sejak “kecil” hingga akhir hayatnya.

Selain aktivis, Agus adalah orang baik seperti dikatakan oleh Denny JA dalam pidato di depan jenazah Agus: ”Saya bersaksi Agus adalah ornag baik.” Dia tetap berkawan dengan orang yang berseberangan dengannya dalam pilihan politik. Apalagi dengan teman sejalan seperti kawan-kawan aktivis, tentu Agus sangat perhatian. Agus menempatkan persahabatan di atas politik. Pernyataan Denny JA tentang Agus adalah orang baik langsung diaminkan oleh orang yang melayat Agus di Kedai Tji Liwoeng Coffee, Condet, Jakarta Timur, yang juga rumah tinggal Agus terarkhir bersama anak dan istrinya.

Para aktivis yang menulis di dalam buku ini juga memberikan kesaksian bahwa Agus adalah orang yang baik, pejuang HAM, pembela rakyat kecil, penolong, dan rajin berkomunikasi dengan semua golongan, tidak pandang usia, jabatan, kota, atau apa saja. Dia memandang semua orang adalah temannya.

Agus juga dianggap guru bagi banyak aktivisif yang lebih muda dari nya, baik aktivis di Jakarta, Jombang, Yogyakarta, dan kota lainnya. Dan sebagai aktivis lapangan, Agus Lennon adalah orang yang mampu merajut para aktivis dari berbagai kalangan itu untuk bekerja sama atau melakukan kegiatan bersama.Dia rajin “lennongan” atau berkeliling mengunjungi para aktivisi di kota lain.

7Catatan Para Aktiivis

Karena Agus bukan aktivis biasa, maka pertanyaan nilai-nilai apa yang ditinggalkan Agus bagi Indonesia adalah pertanyaan yang penting dijawab dan diketahui oleh publik. Kelak kita akan mengenang Agus Lenon sebagai orang yang memperjuangkan nilai-nilai itu secara konsisten. Sedikit atau banyak sejarah Indonesia dipengaruhi oleh apa yang telah dilakukan oleh Agus dan para aktivis lain.

Untuk menjawab pertanyaan nilai-nilai apa yang ditinggalkan Agus yang kelak bisa menjadi teladan bagi aktivis di masa mendatang, saya akan melanjutkan cerita di awal tulisan ini , tentang apayang terjadi pada tanggal 8 Januari 2020 setelah Agus masuk Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.

Di atas ranjang RS Harapan Kita Kamar 2512, Agus sudah mengenakan baju warna biru, seragam pasien di rumah sakit. Ketika itu, sekitar pukul 15:00. Ada lima orang yang menjenguk Agus termasuk saya. Banyak hal yang dibicarakan di ruangan itu. Sebagian diselinggi tertawa keras seperti pada umumnya suasana jika sedang bersama Agus. Salah satu topik pembicaraan adalah soal rumah tinggal bagi para aktivis. Agus menyimpulkan bahwa banyak aktivis yang hidupnya keleleran dan perlu memiliki rumah. Dari diskusi itu, Agus mengambil kesimpulan, dia harus membantu kawan-kawan aktivis yang masih belum mempunyai tempat tinggal yang layak.

“Sebentar,” kata Agus. Dia mengambil teleponnya, dan menelpon seseorang di seberang sana.

“Halo, Geisz,” kata Agus. Ternyata yang ditelepon adalah Geisz Chalifah. Tanpa banyak basa-basi Agus langsung mengemukankan maksudanya kepada orang dekat Gubernur DKI Anies Baswedan itu. Terjadi tanya jawab pendek. Tidak lebih dari satu menit, rasanya. Namun dari dialog itu, Agus mendapatkan jawaban dari Geisz: untuk mendapatkan rumah dengan DP Rp0, ada syaratnya.. Ikuti saja persyaratan yang ada. “Jadi, ada peluang Geisz?” itu pertanyaan terakhir dari Agus yang saya dengar.

8 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Giesz masih mengingat jelas percakapan itu. Di tulisannya dalam buku ini dia menulis: “Saya juga tak menduga sedikit pun itu adalah telpon dan pembicaraan yang terakhir dengan orang baik yang selalu memikirkan orang lain.”

Kata Geisz, dalam telpon itu Agus bertanya tentang mekanisme untuk mendapatkan rumah DP Nol Persen untuk para aktivis. Geisz berjanji akan membantunya.

Setelah menelpon itu, saya mengusulkan kepada Agus dan teman-teman yang hadir di sana agar mereka mengusahakan mendapatkan Rusunawa saja. Sebab, pengeluaran per bulan jika tinggal di rusunawa, bagi aktivis lebih murah. Dan, mungkin tidak ada persyaratan tentang jumlah penghasilan sekian juta per bulan untuk menyewa di Rusunawa.

Seperti biasa, pembicaraan itu dilakukan dengan campur-campur guyon, tertawa, dan makan sate Padang yang baru saja saya belikan untuk Agus. “Saya cuma makan empat tusuk,Jon,” katanya bercanda di WAG yang kami ikuti bersama.

Menjelang bubaran bezuk, Agus masih sempat membuka sebuah amplop yang cukup tebal yang dikirimkan seseorang. Agus mengeluarkan empat lembar uang berwarna biru untuk dibagikan ke empat temannya tadi.

Saya menangkap makna yang dalam peristiwa itu. Pertama yang sangat kuat adalah Agus selalu berusaha

membantu para aktivis lain, yang juga temannya untuk mendapatkan hak-haknya dari pemerintah. Dalam hal ini hak tempat tinggal yang layak. Bagi Agus, ini bukan bantuan kepada teman saja, tetapi membantu orang yang dipinggirkan oleh pembangunan. Mereka adalah orang yang tidak beruntung karena belum memiliki tempat tinggal. Padahal mereka adalah warga negara, dan telah berbuat banyak untuk negara. Ada semacam ketidak-adilan yang terjadi bagi mereka. Di mata Agus, warga negara harus mendapatkan hak atas sandang, pangan, dan papan. Itu adalah tugas negara untuk mengadakannya.

9Catatan Para Aktiivis

Jadi, bukan karena mereka berteman, Agus membantu mengusahakan rumah buat mereka. Sebab, di luar cerita ini, sudah banyak beredar kisah betapa banyak Agus membantu teman-teman, orang miskin, atau siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh Hariman dalam pidatonya: Aktivis itu terkadang tidak perduli pada diri sendiri dan keluarganya jika sudah terlibat soal-soal keberpihakan.

Seperti kita ketahui, di saat mengusakah rumah bagi para aktivis itu Agus sedang di rumah sakit, dan tadi pagi datang terburu-buru ke IGD di saat subuh. Tapi dia masih sempat memikirkan orang lain. Agak langka kita melihat orang yang masih memikirkan orang lain di saat dia terbaring sakit di rumah sakit.

Nah, soal membantu teman dengan memberikan uang sekedar untuk transportasi juga bukan hal yang baru bagi Agus. Semangat memberi Agus tidak hilang kendati kadang-kadang dia sedang tidak punya uang. Beberapa aktivis bercerita tentang semangat berbagi Agus yang tinggi itu di tulisan dalam buku ini.

Jika sedang tidak punya uang Agus masih bisa memberikan kelucuan kepada mereka, seperti diceritakan oleh Himawan Sutanto: suatu hari beberapa belas tahun yang lalu, Agus mengajak beberapa mahasiswa menengok seorang tahanan politik di Salemba. Di perjalanan pulang, seorang di antara mereka bilang “Lennon, lapar”. Yang lain juga mengeluh yang sama. Tetapi mereka tidak punya uang. Agus dengan santainya masuk ke sebuah warung makan. Yang lain juga masuk dengan harapan bisa ditraktir makan. Tapi Agus hanya mengambil tusuk gigi, dan kemudian keluar lagi dari warung. Tentu saja mereka protes. “Siapa yang ngajak makan, saya kan cuma ambil tusuk gigi saja....” Semua jadi tidak marah malah tertawa sambil ngedumel mendengar jawaban Agus.

Agus juga sering memberikan bantuan lain berupa nasihat, bantuan hukum, atau apa pun yang dibutuhkan orang lain. Sepanjang yang dia bisa bantu, dia akan membantunya. Pernah

10 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

suatu kali, tahun lalu, dia membawa sejumlah tunanetra ke Ancol hanya karena Agus ingin mereka bahagia merasakan angin, pasir di pantai, dan merasakan betisnya terendam air laut. Padahal di saat itu, Agus sudah diserang penyakit jantung. Dia tidak sekuat dulu. Tapi dia senang sekali melakukan hal itu atau membantu orang lain.

Ketika memperingati tahlilan 7 hari setelah Agus wafat, di Jombang, seorang aktiivis bernama Misbahul Zakaria atau Ipul bercerita tentang bantuan yang pernah diterimadanya dari Agus ketika menghadapi kasus hukum: dia dibawa ke pengadilan karena dianggap menghasut buruh untuk demo di sebuah CV Maska Perkasa, di Surabaya. Lalu Ipul datang ke Agus di Jakarta untuk berkonsultasi. Ketika itu, Agus menyarankan agar aktivis ini pergi saja ke Belanda, dan menghilang. Sebab, menurut Agus, hukuman penjara untuk Ipul sudah diputuskan di Jakarta. Pengadilan hanya mensahkan saja.

Namun nasihat Agus tidak bisa dilaksanakan entah karena apa. Akhirnya, Agus menyiapkan penasehat hukum top saat itu: Adnan Buyung Nasution, Artijo Alkosar, Munir, Bambang Widjajanto, dan sederet pengacara kondang lainnya. Persidangan tiga terdakwa mahasiswa yang dituduh dengan pasal karet itu berjalan cukup lama, satu tahun lebih, pada tahun 1995. “Kami didampingi pengacara hebat. Semua itu tidak lepas dari peran Agus Lennon,” kata Ipul (https://beritajatim.com/peristiwa/jejak-agus-lenon-di-kota-santri/).

Begitulah Agus. Jika dia membantu, semua kemampuan dan jaringannya dikerahkan. Jika ada uang, dia akan membatu juga dengan uang. Tetapi, lebih dari itu, Agus mempunyai kekayaan jaringan yang luas yang bisa dimanfaatkannya untuk membela orang yang tertindas atau kesusahan.

Saya membaca banyak cerita dari para aktivis tentang Agus sebagai aktivis dan orang baik pada tulisan di buku ini. Namun, saya kira, kini sikap membantu selengkap yang dilakukan oleh

11Catatan Para Aktiivis

Agus sedikit saja kini dimiliki oleh para aktivis. Para aktivis sekarang bukan tidak mau memberikan bantuan seperti yang dilakukan oleh Agus, namun bisa jadi mereka sebenarnya tidak mempunyai jaringan seluas yang dimilik oleh Agus. Selain itu, para tokoh atau siapa pun ikhlas membantu Agus karena kejujuran dan keikhlasannya sangat terasa dalam membantu orang lain.

Hal lain yang banyak ditulis oleh para aktivis tentang Agus dalam buku ini adalah kecintaan pria ini pada buku. Lennon dari Madura ini, sejak kuliah di IAIN Yogya hidup dari jualan buku. Ketika pindah ke Jakarta, dan tinggal di kantor HMI Pusat, Jl Diponegoro 16, Jakarta Pusat, Agus menemukan harta karun berupa surat-menyurat antara Nurcholis Madjid dengan Moh. Roem. Atas izin Cak Nur, surat-surat berisi pemikiran Cak Nur tentang negara Islam itu diterbitkan menjadi buku dengan judul “Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan” (Mizan, 1987). Buku ini meledak di pasar, dalam arti laku terjual dan menjadi topik pembicaraan luas di kalangan intelektual di masa itu.

Kecintaan Agus pada buku tampak jelas dari tas ransel besar yang selalu ada di punggungnya bila dia berpergian. Itu semua adalah buku. Orang-orang yang mengenal Agus sejak dulu, pasti bisa mengingat bahwa buku di dalamnya adalah buku “kiri”. Sebagian diterbitkannya sendiri. Buku Tan Malaka, adalah salah satu buku terlaris yang pernah diterbitkan oleh Teplok, nama peberbitan milik Agus.

Agus juga sangat menghargai teman-teman aktivis yang menerbitkan buku. Sekali Agus mengetahui seorang teman menulis buku, maka pada setiap pertemuan, Agus akan bertanya tetang buku baru yang ditulis oleh aktivis itu, seperti dialami oleh M Alfan Alfian, dosen dan sesama pengurus di PP Muhammadyah bersama Agus. “Buku apa yang lagi kau tulis?” Itu pertanyaan rutin yang diajukan Agus kepada Alfan.

“Pertanyaan ini nyaris berpola seragam, ketika ketemu saya di berbagai urusan. Mungkin Mas Agus sudah menganggap wajah

12 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

saya seperti buku,” kata Alfan penulis buku tentang berbagai hal, termasuk novel.

Namun, dalam tulisan para aktivis tentang Agus ini tidak ada yang menyinggung usaha keras Agus dalam membuat buku tentang Mohammad Natsir, tokoh Islam, pendiri Partai Masyumi, pejuang kemerdekaan Indonesia, eks perdana menteri dan banyak lagi jabatan yang pernah dijalankan oleh Natsir. Pada suatu hari, Agus bercertita bahwa dia berusaha keras mengumpulkan bahan tentang Moh Natsir untuk diterbitkanjadi buku. Dia mewawancarai banyak orang, sampai ke Sumatera Barat.

Akhirnya, Agus berhasil menyiapkan bahan lengkap tentang siapa Moh Natsir dan bagaimana pemikirannya. Kemudian bahan buku ini diserahkan kepada pihak lain untuk diedit dan diterbitkan. Agus bercerita bahwa namanya tidak tercantum di buku itu. Tentu Agus bertanya. Tidak protes. Juga jangan dibayangkan dia akan demo. Sebab, Agus tidak terlalu mementingkan dirinya sendiri. Bagi dia, kepentingan umat atau rakyat berada di atas kepentingan dirinya. Akhirnya buku itu terbit dengan mencantumkan namanya di daftar penerima terima kasih. Ya, hanya mengucapkan terimakasih. Padahal, menurut Agus, hampir semua bahan di buku itu dia yang mengusahakannya, mewawancarai orang dekat Natsir sampaki ke kampung halamannya.

Dia bercerita tetang buku Natsir itu kepada saya, bukan dalam rangka mengeluh atau kecewa. Seperti disebutkan Hariman, bahwa Agus tidak pernah mengeluh. Agus bercerita hanya dalam rangka bahwa dia menyenangi dunia buku, dan buku apa saja yang telah diterbitkannya.

Bisa dibayangkan kerja keras Agus mengumpulkan bahan dan dokumen tentang Moh Natsir. Tentu lebih berat dan lama dibandingkan dia menerbitkan buku Cak Nur dari dokumen yang ditemukannya di Kantor HMI. Memang dalam hal dokumentasi Agus patut mendapat pujian dengan sepuluh jempol.

Sila baca tulisan Moh Jumhur Hidayat (aktivis Serikat Buruh),

13Catatan Para Aktiivis

betapa dia berterima kasih kepada Agus karena pleidoi yang dia bacakan di depan pengadilan justru dia tidak punya. Jumhur juga sudah mencari ke pengadilan, tetapi tetap tak ada. Tetapi Agus memilikinya. Jumhur senang luar biasa mendengar bahwa Agus memilikinya. “Terimakasih Gus, Insya Allah Pledoi itu akan saya terbitkan sebagai bagian dari perjalanan sejarah menegakkan demokrasi di negeri ini.” Itu janji Jumhur.

Jumhur memuji Agus soal dokumentasi ini. Katanya, Agus memang sangat dikenal dengan gairahnya meliterasikan publik dengan ide-ide perubahan. Tak segan-segan dia mengumpulkan banyak tulisan dari berbagai pihak yang akhirnya menjadi penting di kemudian hari. Bahkan beberapa kali dia mendirikan penerbitan untuk menerbitkan berbagai buku “perlawanan” yang penting untuk kita baca. Banyak tokoh menyatakan kekagumannya atas tindakan “tertib” Agus dalam mengumpulkan banyak dan beragamnya literatur ini.

Selengkapnya, kecintaan Agus pada buku dan buku apa saja yang telah diterbitkannya itu banyak diungkapkan oleh beberapa penulis artikel dalam buku ini. Mereka antara lain, Himawan Sutanto dan Nasihin Masha. Nasihin adalah seorang wartawan yang tidak mengenal Agus Lennon secara pribadi, tetapi dia merasa sangat kenal dengan berbagai buku yang diterbitkan oleh Agus, yang awalnya adalah buku “kiri”.

Literasi Agus tampak jelas pada usaha penerbitan buku ini. Agus bukan menerbitkan buku dalam rangka meramaikan industri penerbitkan buku. Sebab, dia tidak menerbitkan buku populer yang mudah dijual dan menjanjikan keuntungan. Tetapi, melalui penerbitan yang dikelolanya, Agus menerbitkan buku “perjuangan” dan “perlawanan” terhadap kekuasaan otoriter Orde Baru ketika itu.

Usaha Agus dalam menerbitkan buku ini bisa kita lihat sebagai bagian dari perwujudan sikap konsisten Agus dalam perjuangannya yang sangat peduli pada masalah Hak

14 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Asasi Manusia, pembelaan terhadap orang yang tertindas, memperjuangkan wong cilik, dan keseriusan Agus dalam berbagi. Agus sering mebawa oleh-oleh buku untuk para aktivis yang ditahan. Agus juga berusaha keras menerbitkan pleidoi aktivis yang diadili oleh Orde Baru. Sudah tentu Agus menyadari dari awal, menerbtikan pleidoi ini adalah proyek rugi.

Itulah Agus. Dia akan dikenal sebagai orang besar. Dia besar karena memperjuangkan HAM, memperjuangkan keadilan, keberpihakannya yang kental pada rakyat kecil. Agus juga akan kita kenal sebagai orang yang senang memberi bantuan dalam bentuk apa pun yang dia bisa berikan.

Satu hal lagi yang kita puji dari Agus adalah sikapnya: pertemanan itu di atas politik. Sikap yang sudah pudar pada saat ini di masyarakat kita, yang kehilangan hormat pada orang yang berbeda pendapat. (Jonminofri Nazir)

15Catatan Para Aktiivis

PUISI

16 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

17Catatan Para Aktiivis

Teringat Padamu, Bung - Untuk Agus Edi Santoso

Puisi Denny JA Bung, aku teringat padamu Saat itu di sebuah sore Kau bawa cerita Puluhan tunanetra Ingin tamasya ke pantai Rasakan asinnya air laut Merayakan persahabatan Kau jemput mereka menyewa lima mikrolet Tamasya ke Ancol Memanggul gitar Tak lupa bekal nasi dan rendang

18 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

“Mereka senang sekali, bro,” ujarmu Bermain air laut Bernyanyi, Berjoget, Mereka lepas” Ujarmu: “Walau mata mereka buta Tapi hati mereka peka, Tak terasa bro, Dua puluh tahun sudah Aku menemani mereka.” Bung, aku teringat padamu Tentang kisahmu yang lain Pernah kau temani belasan tunadaksa menonton film di bioskop Tapi bioskop tidak dibuat untuk mereka Tak ada tempat untuk kursi roda Tangga- tangga di bioskop Tak bisa dilalui kursi roda “Tapi kita tetap di sana, bro Menjadi tontonan banyak orang Ini aksi Demo dalam diam,” ujarmu Bung, aku teringat padamu Ujarmu saat itu Bahkan masjid juga lupa Menyediakan tempat untuk kursi roda Dirimu mencari jalan menemani belasan tunadaksa

19Catatan Para Aktiivis

sholat di ruang parkir saja Mencoba khusyuk di sana Menerima apa yang ada “Kita memang sholat, bro, Kursi roda berjajar Dilihat orang banyak Sekaligus, kita aksi protes,” Bung, aku teringat padamu Ketika orang orang sibuk mengejar kuasa Ketika waktu habis menumpuk harta Terasa betapa berharga Punya hati yang memberi Punya jiwa yang berjuang Punya nurani yang menemani Walau dengan cara yang sederhana. Bung, aku teringat padamu. Teringat burung dengan sayap seadanya Namun selalu ingin terbang tinggi Lebih tinggi lagi Febuari 2020 (Menjelang memperingati 40 hari wafatnya Agus Edi Santoso Atawa Agus Lenon)

20 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Pamitnya Agus Lennon

Puisi Himawan Sutanto

Setelah pamit, kamu sendiriSepi menepiDi tengah makam tanpa nisanAku berjalan melangkahMeninggalkanmu sendiriTanpa dupa, cuma doayang terpatri di dalam liangmu.

Agus Lennon pamitTelah berbaring di antara nisanYang terbaru darimuTinggal kenangan sajaTanpa resahTapi penuh kisahDengan catatan dan bacaan

21Catatan Para Aktiivis

Yang lewat di tanah sendiriDari berbagai kisah tentangmu.

Agus Lennon panggilanmuPamit sendiri di ruang batinmuKarena kamu bercerita padakuBahwa Mulyana W Kusuma bersama Amir Husain Daulay dan Pongke datang di kamarmuKami ikhlasKami lepasKetika kamu mau pamitKetika kami pulang menjengukmuKamu tetap Agus LennonMemberikan dan membagikanKebahagian di tengah maut menjemputmu.

Itulah kamu, Agus LennonSemua sahabat bisa datangTanpa diundang Mereka menghormatimu selaluBahkan Hariman yang suka marah, melepaskanmu dengan rasa optimis lalu mengatakan bahwa kamu orang baik dan membawa segala kebiasaanmu sendiriBegitu juga Denny JA mengagumimu selalu dengan kalimatmu, bahwa pertemanan selalu di atas politikIndah memangSederhana kalimatmuYang berisi makna dan artiSelamat jalan Agus LennonKamu telah hadir memberi makna persahabatan tanpa berjenjangSemua jadi satu mensholatkanmuSemua jadi satu mendoakanmuDiiringi rintik hujan Yang hilang menjadi cerah

22 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Karena melepas kepergianmu

Agus Lennon panggilanmuKini kau telah pergiTanpa membawa buku Tapi kau tinggalkan sejarah panjang pencerahan jiwa dan pikiranLewat langkah-langkah kakimuYang berjalan kemana mata hatiKamu telah berhasil menebarkan kebaikan dan sikap kritisDitengah derasnya sikap apolitis dan konsumtifme merajalelaYang hampir nyata di negeri ini.

Kamu selalu datang tanpa diundang lalu pergi tanpa dirasaItulah kamu Agus LennonKami terus mendoakanmuDi tengah bangsa yang semakin tuaDan tanpa lelah berubahDalam suasana tanpa arahMenjelang keabadianmu sendiri Kini telah kamu tinggalkanKetika kamu pamit untuk menemui-NYAYang disaksikan dan diikhlaskan oleh para sahabatmu semua.

Condet, 11 Januari 2020

--ooo0ooo--

23Catatan Para Aktiivis

Kenangan atas Agus Edi Santoso

Puisi Juftazani

Terdengar tingkap rumah tua ditampar angin dan hujan turun semalaman Di Balekambang Kramat jatiDi bawah gerimis hujan yang tiada hentiSeseorang bertanya saat tenda ditegakkan di depan sebuah rumah sepi:“ Siapa yang meninggal?”“Mas Agus”, jawab seorang yang mengurus berdirinya tenda malam itu“O, Faham!” Ujar orang yang bertanya.Lalu ia menjenguk ke dalam rumahDitatapnya wajah seorang aktivis yang telah kenyang melintasiTitian danau dan sungai tempat orang-orang tertindas dan miskin

24 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Merasai hidupnya

Lalu tingkap yang terempas angin pun diamDan mengikuti dendang kesedihan keluarga yang sedang ditimpa musibah kehilangan? Jakarta tengah berduka atas hilangnya seorang yang peduli pada orang-orang pinggiranDan tersingkirkanDi tengah zaman yang terus bergolak, para pemimpin dan pejabatTega menginjak-injak harga dan harkat diri rakyatTerdengar dari rumah-rumah reot, compang-camping dan tuaOrang-orang miskin dininabobokan dangdut dan telenovelaDan Agus Edi Santoso membangkitkan mereka dari lumpur ketertindasan dan kemelaratanAda doa tak terucap dari dada rakyat yang pernah tersentuh tangan lembutmuTidurlah dalam istirahat panjangmuKelak kau akan bangun bersama rakyat yang sulit bangkitDari keterpurukannya di tengah badai politik, ekonomi Indonesia dan duniaDihantam resesi bertubi-tubi Selamat jalan mas Agus Edi SantosoDi saat jasadmu ditanam dengan indahnya di pusara yang kini jadi tamanAda yang berdoa untukmu dari pura yang sunyi di Bali:“Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat tempat di surga, semoga semua atma suci mendapat tempat di surga, sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi dan hormat hamba kepada

25Catatan Para Aktiivis

smua atma suci.”

Dan di Gereja pun bergema doa yang menyeru namamu, Agus Edi Santoso: “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah Dan di masjid pun tak pernah henti menyebut dan mendoakanmuUntuk kepulangan hari terakhirmu:“Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah dia, bebaskanlah dan lepaskanlah dia. Dan muliakanlah tempat tinggalnya, luaskan lah dia. Dan muliakanlah tempat tinggalnya, luaskan lah jalan masuknya, cucilah dia dengan air yang jernih lagi sejuk, dan bersihkanlah dia dari segala kesalahan bagaikan baju putih yang bersih dari kotoran, Masukkanlah dia kedalam surga, dan lindungilah dia dari siksa kubur serta fitnah nya, dan dari siksa api neraka.Ya, Tuhanku, dia (Agus Edi Santoso) telah terbaring dengan damaiDi sisiMu Tangerang, 11 Januari 2020

26 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

27Catatan Para Aktiivis

Teks Pidato

28 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

...aktivis juga tidak takut berbeda pendapat

dengan yang lain, dengan penguasa atau temannya sekali pun

“ “

29Catatan Para Aktiivis

Hariman Siregar: Aktivis itu Panggilan Jiwa, Bukan Pekerjaan

Saya kenal Agus dari masih “kecil” sampai mengantarkannya sekarang. Hidupnya susah, belum pernah senang. Tetapi, dia tidak pernah mengeluh soal dirinya. Tidak pernah iri soal jabatan dan harta orang lain.

Kalau bertemu Agus, dia pasti membahas tentang kondisi bangsa, soal ketidakadilan, dan soal keberpihakan.

Itulah ciri khas aktivis, kita semua yang ada disini, yang menamakan dirinya kaum aktivis. Aktivis itu panggilan jiwa, bukan pekerjaan.

Kita semua di sini bisa mempunyai pekerjaan apa pun, seperti Agus yang mempunyai kedai kopi buat kehidupannya sehari-hari. Tetapi, bila ada persoalan-persoalan ketidakadilan yang mengusik jiwanya, maka aktivis akan tampil di depan membela kaumnya.

Jadi di situlah keunggulan aktivis dari orang biasa. Aktivis itu terkadang tidak perduli pada diri sendiri dan keluarganya jika

30 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

sudah terlibat soal-soal keberpihakan. Dan, satu lagi, aktivis juga tidak takut berbeda pendapat

dengan yang lain, dengan penguasa atau temannya sekali pun.Mau dimusuhi banyak orang sekali pun, kalau menurut dia

benar, maka dia akan lawan. Makanya aktivis yang bener itu rata-rata melarat, kebanyakan mikirin bangsanya daripada memikirkan diri sendiri.

Tapi di situlah juga solidaritas penting. Aktivis terkadang gak sempat urus diri dan keluarganya. Di situlah kita saling bantu urus keluarga aktivis yang ditinggalkan sebagai sesama komunitas aktivis.

(Teks di atas adalah intisari dari pidato Hariman Siregar yang disampaikan sesaat setelah Agus Edi Santoso dimakamkan pada 11 Januari 2020. Intisari pidato di atas dibuat oleh Dr. Syahganda Nainggolan)

--oo0oo--

31Catatan Para Aktiivis

Denny JA: Agus, Apimu Masih Menyala di Hati Kami

Saya bersakasi bahwa Agus Edy Santoso adalah orang baik. Ia aktivis. Banyak sekali teman pergaulannya dari semua

kalangan. Bukan saja dari kalangan yang berbeda, tetapi juga kalangan yang bertentangan dengan dirinya.

Saya mengenal Agus dengan intens sudah kenal 35 tahun. Sepanjang masa pertemanan itu, sering kali kami berbeda pendapatan. Bahkan kami berada berhadap-hadapan dalam pilihan politik.

Kepada saya dia mengatakan: Bro, teman itu di atas politik. Politik memang sangat penting karena politik membuat bulat-lonjong negara kita. Politik juga akan mewarnai hidup kita. Tetapi teman juga tidak kalah penting.

Karena itu, selama kami berteman 35 tahun, melewati pilkada dan pilpres, dan kerap berhadap-hadapan secara politik dan pilihan politik, tetapi kami tetap bersahabat.

Suatu kali dia berkata, ketika berdua saja, bahwa keluarga itu amanah, tapi teman adalah harta.

32 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Saya menjadi saksi, dia rawat temanya dengan cara sederha dari hatinya yang palling dalam.

Agus, kami teman-temamu, berkumpul di sini, sampai detik terakhir, kami antar dirimu.

Kau sudah tiada. Tetapi apimu masih menyala di hati kami, Menyala di di hati kawan-kawanmu,Dan menyala di hati keluargamu.

(Teks di atas pidato Denny JA yang disampaikan sesaat sebelum jenazah Agus Edi Santoso akan dishalatkan di masjid yang tidak jauh dari rumahnya, pada 11 Januari 2020)

--oo0oo--

33Catatan Para Aktiivis

Tulisan Para Sahabat Aktivis

34 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

““

Khusus tentang Agus saya sedikit heran.

Saya dengar dia masuk dalam pengurus PB HMI periode 1980-an itu, dan

juga mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga (Yogya),

namun kok menaruh minat pada isu kiri.

35Catatan Para Aktiivis

Ideologi Semangka ala Agus LennonPenulis: Aris Santoso

SABTU PAGI (11/1) itu saya bergegas ke Condet (Jaktim), menuju rumah Agus Lennon, yang malam sebelumnya dikabarkan meninggal dunia. Saya sendiri mendapat kabar duka dari sahabat yang lain, yakni Satia (Bandung), yang bila bersanding dengan almarhum Agus Lennon, ibarat sebuah “pasangan legendaris”. Setelah mendengar kabar malam itu, mata menjadi sulit terpejam, pikiran saya menerawang pada masa-masa yang telah lewat.

Mungkinkah ini sebuah kebetulan belaka, Mas Mul (Mulyana W Kusumah) dan Agus Lennon, di masa hidupnya sama-sama tinggal di Condet. Saya datang melayat ke Condet saat Mas Mul meninggal (Desember 2013), dan kini kembali ke Condet, untuk melepas kepergian Agus. Benar, sejauh ingatan saya, saya

36 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

mengenal keduanya dalam waktu hampir bersamaan, mungkin sekitar tahun 1984.

Sebagai mahasiswa tahun kedua atau ketiga di Jurusan Sejarah FSUI (kini FIB UI), saya boleh dikata haus akan pengetahuan dan informasi, rasanya materi pelajaran di kampus sudah tidak memadai lagi bagi dahaga ilmu ini. Sehingga setiap ada acara diskusi, tanpa perlu mencermati apa temanya, saya datangi saja. Salah satu tempat yang acapkali mengadakan diskusi adalah kantor YLBHI (LBH Jakarta), Jalan Diponegoro, yang kebeneran letaknya tidak terlalu jauh dari kampus saya di Rawamangun.

Dan kebetulan pula, berkat keberadaan tokoh semacam Bang Buyung dan Mas Mul, kantor YLBHI menjadi episentrum gerakan pro-demokrasi di Jakarta, jadi termasuk pula gerakan mahasiswa. Dalam situasi seperti itulah saya berkenalan dengan Mas Mul dan Agus pada suatu diskusi tahun 1984. Dalam setiap diskusi, sejak dulu saya selalu duduk di deretan belakang, dan hanya sekadar sebagai pendengar.

Seperti pada diskusi siang itu, pada meja narasumber, tampak Mas Mul dan Agus. Yang surprise bagi saya, keduanya membahas isu “kiri”, sesuatu yang sangat tabu dibahas masa itu secara terbuka, namun di kantor LBH semua isu bisa dibahas, termasuk isu kiri. Apa detailnya isi diskusi hari itu saya sudah lupa persisnya, namun sejak itu, hubungan saya semakin akrab dengan Mas Mul dan Agus. Satu hal yang saya ingat, Agus sekilas menyebut Ali Shariati (intelektual kiri Iran), dan Mas Mul menyebut Tan Lieng Djie (tokoh PKI 1948).

Khusus tentang Agus saya sedikit heran. Saya dengar dia masuk dalam pengurus PB HMI periode 1980-an itu, dan juga mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga (Yogya), namun kok menaruh minat pada isu kiri. Pada masa-masa itu, pengetahuan Agus tentang Tan Malaka masih lebih bagus dari saya, yang notabene seorang mahasiswa sejarah. Setiap bertemu, Agus selalu mengajak diskusi soal kiri, mulai dari Sarekat Islam (merah), buku-buku karya Aidit atau Tan

37Catatan Para Aktiivis

Malaka, dan seterusnya.Kebetulan berikutnya datang lagi, ketika saya harus menyusun

tugas akhir selaku mahasiswa sejarah, lagi-lagi Agus yang menanyakan terus bagaimana perkembangannya, saya sendiri sampai risi bila bertemu dengannya. Itu bisa terjadi, karena tema yang saya pilih masih seputar Sarekat Islam (merah), yang menjadi perhatian Agus pula. Bahkan dengan nada bercanda (mungkin), Agus akan menerbitkan skripsi saya. Saya hanya tertawa geli mendengar tawaran itu, cukup pantaskah skripsi yang menurut saya biasa-biasa saja, untuk kemudian diterbitkan. Baru kemudian saya ingat, bukankah saat masuk pengurus PB HMI masuk sebagai koordinator penerbitan, sehingga untuk urusan produksi barang cetakan, Agus sangat sigap.

Dari perjumpaan dengan Agus itulah saya jadi mengenal kiasan ideologi semangka. Seperti buah semangka, yang luarnya hijau (HMI), tapi dalamnya merah (kiri). Saya sendiri, rasanya juga kira-kira seperti itu, berdasar pengalaman saya sendiri. Pada masa-masa awal kuliah saya sempat direkrut HMI, karena memang organisasi ini terbilang paling aktif mendekati mahasiswa baru.

Memasuki dekade 1990-an, saya dan Agus semakin jarang berjumpa, meskipun masih sama-sama bekerja di lingkungan LSM, namun pada lembaga yang berbeda. Hanya pada kegiatan tertentu kita saling jumpa, semisal keperluan konsolidasi ketika rezim saat itu semakin represif. Dalam masa-masa ini tentu ada pula pasang-surutnya hubungan kami, kita sudah sama-sama berkeluarga, selain ada perilaku Agus yang acapkali membuat kesal, tapi ya sudahlah, tak ada manusia yang sempurna.

Pada akhir Juli lalu, ibu saya terkasih meninggal dunia, dan saya sungguh sangat terpukul. Mental saya benar-benar drop. Kemudian Agus mengirim pesan ucapan dukacita melalui WA, dan ajakan ngopi sore untuk mengurangi rasa duka saya. Saya sungguh terharu, di saat dirinya masih kurang sehat, Agus masih meluangkan waktu untuk membesarkan hati saya.

38 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Pada awal Agustus lalu, akhirnya jadi acara ngopi sore di sebuah kedai kopi di kawasan Sabang (Jl Agus Salim), Jakarta Pusat. Selain Agus, saya ingat ada sahabat-sahabat lama yang dulu aktif di Bandung, seperti Satia, Dudi, Paskah dan Endut (Miftah Fauzi). Sekadar mengingatkan, pada saat kita ngopi itulah, saat usai waktu maghrib, gempa sempat menguncang Jakarta. Saya sungguh tidak menyangka itulah menjadi pertemuan terakhir dengan Agus.

Semoga Agus sudah damai sekarang, di tempatnya yang baru. Semoga Agus senang pula, bila melihat sahabat dan kerabat yang datang saat menuju pemakamannya, tak jauh dari rumahnya. Pergaulan Agus yang luas, terlihat saat pemakamannya, seperti juga pemakaman sahabat kita lainnya, semisal Bambang Harri (Bandung, Februari 2008) dan Amir Daulay (Jonggol, Bogor, Juli 2013). Selamat jalan kawan-kawanku semua, semoga kalian semua bahagia, dan (mungkin) saling bersua.

--oo0oo--

39Catatan Para Aktiivis

Agus Lennon: Tukang Kompor dan Kawan Diskusi yang Mencerahkan

Penulis: Dedi Ekadibrata

PERJALANAN PANJANG BERSAMA AGUS LENNON dimulai dari perjumpaan aksi di lapangan yang kami kawan kawan Bogor hadiri maupun aksi aksi bersama petani yang kami rancang di tahun 80 an. Beberapa kali Agus datang bersama Tatik memberikan materi pelatihan untuk kawan kawan buruh Bogor, sesekali Agus datang sendiri ke Bogor diskusi tentang gerakan petani dan buruh. Berkunjung ke basis petani yang kami garap di Cibodas, Rancamaya, Cijayanti, Nanggung, Majalengka.

Secara pribadi perjalanan bersama Agus banyak di Skephi bersama mas Indro Cahyono, Saleh Abud, Daniel, Tya Dharma dan kawan kawan aktivis seperti M Yamin, Japrak, Brotoseno dan aktivis Timor Timur. Saat kami kawan kawan Bogor mendirikan percetakan, Agus sering datang dan mencetak buku bukunya di

40 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

percetakan kami, lewat Teplok Press ribuan buku Tan Malaka kami cetak sesekali bukunya Pramudya Ananta Toer.

Perjuampaan di bulan Oktober 2019 di kantor Pusat Lazismu, Agus bercerita tentang kiprah Lazismu. Di kafe Tji Liwoeng Agus mendorong saya untuk mendirikan Lazismu di Bintaro, yang sampai hari ini belum terwujud. Saat itu merancang program mendirikan tempat pengolahan pupuk organik di pesantren Al Khairat di Parung Bogor, yang sampai sekarang belum tuntas (banyak pekerjaan rumah dari Agus yang belum saya selesaikan-Insya Allah saya selesaikan sebagai ladang amalnya Agus Lennon).

Perjumpaan terakhir tanggal 22 Desember 2019 di acara mengingat kawan aktivis Bogor yang sudah almarhum. Agus memberikan testimoni sekaligus wejangan buat kawan kawan aktivis yang hadir wabil khusus untuk mas Indro Cahyono. Agus tukang kompor sekaligus kawan diskusi yang mencerahkan. Insya Allah semangat menyatukan kita melawan kedzoliman akan selalu membara di hati kawan kawan Bogor wabil khusus saya pribadi. Selamat jalan Kawan Agus Lennon, salam buat kawan kawan aktivis disana, Insya Allah Agus Edi Santoso “Lennon” wafatnya Khusnul Khatimah.

13 Januari 2029

--oo0oo--

41Catatan Para Aktiivis

Agus Edi Santoso dan Kisah Teman di Atas Politik

Penulis: Denny JA

GRUP KECIL ITU DIBERI NAMA KLUB AKTIVIS BAKAR LEMAK. Setiap Minggu pagi, pukul 07.00-10.00, kami berkumpul di pantai Ancol. Didahului jalan pagi. Setelah itu senam dengan musiknya. Ditutup dengan makan pagi, kadang sambil guyon, kadang sambil debat politik yang keras.

Pesertanya para aktivis usia 50 tahun ke atas.Awalnya percakapan sambil lalu. Ujar Agus, ia punya masalah

dengan jantung. Tapi kata dokter, kesehatannya tak memenuhi syarat untuk pasang ring. Belum bisa juga jantungnya dioperasi bypass.

Dokter menyarankan ia menyegarkan badan, dengan

42 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

menghirup udara laut sambil jalan pagi. Jika badan sudah lebih segar, terapi pasang ring atau bypass, bisa dicoba lagi.

Program pun dibuat. Kami teman-temannya di Kelompok Studi Proklamasi dan di Guntur 49 menemani Agus jalan pagi setiap Minggu pagi. Tak ada tempat lain yang punya pantai bagus di Jakarta kecuali Ancol.

Kadang Agus mengajak tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Bagi mereka jalan ke Ancol itu sekalian semacam tamasya. Kadang Agus juga mengajak istrinya.

Pantai Ancol cukup indah. Udara pagi segar. Berjumpa pula di sana para aktivis dan sahabat yang sudah saling mengenal sekitar 35 tahun. Ketika senam dengan musik, banyak pengunjung lain di Ancol yang bergabung spontan. Kegiatan Minggu pagi di pantai Ancol sempat menjadi acara favorit kami.

Seringkali gerak senam itu cukup mengeluarkan enerji. Tapi Agus menggerakkan badan seadanya saja, yang penting sesuai dengan irama musik. Sakit jantung membuatnya hanya bisa bergerak pelan-pelan.

Kegiatan jalan pagi di Ancol itu dimulai tahun 2018, dan terus melewati pilpres 2019. Walau kami semua bersahabat lebih dari 35 tahun, sejak mahasiswa, tapi tak pernah satu suara soal pilihan politik. Agus termasuk paling semangat jika menyindir dan membuat guyon.

Saat pilpres 2019 itu pembelahan politik cukup keras. Banyak grup WA pecah. Persahabatan rusak. Bahkan tak jarang hubungan keluarga menjadi tak nyaman. Apalagi isu agama dimainkan pula.

Tapi setiap Minggu pagi itu, kami lebih santai. Tiap Minggu memang kami berdebat. Tiap Minggu memang kami saling kritik kubu masing-masing. Tiap Minggu memang perbedaan pilihan politik semakin keras dinyatakan.

Tapi menyertai debat politik yang kadang sangat keras, selalu dihadirkan tawa dan ledek-ledakan.

43Catatan Para Aktiivis

Agus berbisik ke telinga saya: “Beginilah nikmatnya, Bro, jika berteman di atas politik. Walau kita berhadapan secara politik, tapi pertemanan tetap hangat.”

“Ya, Bro,” saya menimpali. “Politik pilpres itu acara rutin lima tahun sekali. Justu di situ kematangan kita berpolitik. Boleh dong beda politik, bertentangan ideologi. Tapi berteman jalan terus.”

“Teman di atas politik, Bro,” ujar Agus menegaskan pendiriannya.

Saya mengenal Agus Edy Santoso sejak 36 tahun lalu. Di tahun 1984, era saya mahasiswa, Agus seringkali memakai kacamata bundar seperi John Lennon. Itulah awal ia dipanggil Agus Lennon.

Itu era ketika Pak Harto sedang kuat-kuatnya.Pak Harto juga sangat keras dan tegas terhadap “Eka dan

Eki.” Eka itu ekstrem kanan: Islam radikal. Eki itu ekstrim kiri: komunisme.

Tapi Agus punya banyak teman baik dari kalangan “kiri” dan “kanan.” Pernah suatu malam, saya diajak Agus bertandang ke salah satu tokoh kiri. Kami ke sana berjalan. Diam-diam, Agus pun memperbanyak dan mengkopi buku Tan Malaka untuk ia sebarkan.

“Gus,” tanya saya, “Dirimu simpatisan kiri?” “Ini buat bacaan saja, Bro,” jawab Agus santai.Saya pernah pula diajak Agus jumpa para aktivis yang dulu

aktif peristiwa Tanjung Priok. Ini aktivis dari jalur Islam keras. Agus malah memberi mereka buku Ali Shariati. Kata Agus, ini supaya mereka lebih revolusioner tapi juga visioner.

Agus pun dekat dengan tokoh moderat. Pernah suatu ketika Agus menemukan tumpukan surat di kantor HMI, tempatnya menginap. Tarnyata, itu surat-menyurat sangat penting antara Nurcholish Madjid dan Mohamad Roem. Agus dengan tekun membukukan surat itu.

Dengan izin Noercholis Madjid, buku itu disebarkan, menjadi pem-bicaraan luas. Isu utama buku tersebut, bahwa tak ada negara Islam.

44 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Pergaulan Agus juga meluas ke aneka kalangan. Ia aktif di Lazizmu Muhammadiyah. Tapi Agus juga pendukung aliran kepercayaan suku Badui. Aguspun aktif bermeditasi dalam tradisi Budha.

Intensnya Agus bersahabat dengan aneka kelompok yang beragam, bahkan saling bertentangan, membuat Agus lebih mudah mengatasi perbedaan. Ia punya banyak teman yang dekat dari aneka kubu politik. Ini pula yang menumbuhkan spirit Agus bahwa beda politik itu biasa. “Teman di atas Politik!”

***Setahun belakangan ini, Agus sering bertandang ke kantor

saya. Ia sering curhat. Kesehatannya menurun. Ia tak bisa selincah dulu. Ia terpikir membuka usaha bisnis, tapi yang bisa ia jalankan dengan duduk di rumah saja.

Dari semua teman aktivis, Agus melihat saya yang ia anggap juga sukses berbisnis, dari urusan konsultan politik, restoran, properti, hingga kebun. Ia pun acap kali menjadikan saya sebagai teman diskusi usahanya.

Itulah awal lahir Kafe Tji Liwoeng di rumah Agus. Kafe itu tak hanya menjual kopi, tapi juga diskusi politik. Kadang ada pula acara budaya, membaca puisi.

Bersama teman teman, kita launching kafe milik Agus dengan diskusi masalah yang sedang hot saat itu: Pergolakan Papua. Liputan media cukup luas.

Dua minggu lalu, sebelum saya liburan akhir tahun, Agus kembali datang ke kantor. Ujarnya: Kafe saya mulai ramai, Bro. Kadang tamu datang mengobrol sampai pukul 01:00 pagi. “Asyik, ya, punya usaha sendiri,” ujarnya senang.

Mempunyai usaha kafe di beranda rumah sendiri, sambil bisa diskusi politik, menjadi usaha ideal Agus, karena kesehatannya.

Ia seringkali berkata, “Bro, saya tak bisa membalas kebaikan Bro. Saya membalasnya dengan mengirim kopi dan makanan saja

45Catatan Para Aktiivis

untuk Bro, ya,” ujar Agus lagi.Saya menjawab dengan memplesetkan ucapan Agus. Jika agus

berkata: “Teman di Atas Politik.” Saya membalasnya: “Santai saja, Bro. Kan, Teman di Atas Bisnis!”

“Selamat jalan, Agus Edy Santoso.”

--oo0oo--

46 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

“ “Nampak sekali Agus ini hanya hidup dari

buku satu ke buku lain, dalam artian berkejaran

menerbitkannya. Dan buku-bukunya tentu saja

kebanyakan buku kiri.

47Catatan Para Aktiivis

Kawan Agus Lennon, Sang ‘Haji Misbach’

Penulis: Bonnie Setiawan

SUDAH LAMA BERENCANA INGIN MENENGOK TEMAN LAMA SATU INI, tetapi selalu saja ada alasan sehingga tidak jadi. Meski kadang masih berjumpa di sapaan telpon. Sampai datang berita di WA tentang kepergiannya. Duh Gus, koq tiba-tiba pergi. Belum sempat bertemu kawan lama. Sungguh sedih mendengarnya.

Terlintas kembali perkenalan pertama dengannya. Waktu itu aku masih mahasiswa yang aktif di Senat Mahasiswa FISIP-UI. Sementara Agus baru saja datang dari Yogya karena menjadi pengurus di PB HMI. Kami bertemu di sebuah diskusi dan dia memperkenalkan dirinya dari Agitprop CC PKUS (Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet-red), hahaha. Maksudnya dia bercanda mewakili Partai Komunis Uni Sovyet. Memang kesannya dia ini rada nyentrik, penuh canda dan perkataan menggelitik. Dan buat

48 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

yang tidak mengenalnya, dia ini rada provokatif. Agus berpindah studi dari IAIN Sunan Kalijaga di Yogya ke STF Driyarkara di Jakarta. Di Jakarta inilah kami jadi banyak bertemu.

Kami juga menjadi dekat, karena sama-sama aktif di kelompok studi. Saat itu era kelompok studi, setelah matinya kehidupan kampus karena dilarangnya Dewan Mahasiswa di tahun 1982. Aku aktif di Yayasan Studi Masyarakat (YSM), kelompok studi mahasiswa UI yang kebanyakan dari FISIP dan Sastra. Di sini ada Vedy hadiz, Danial Indrakusuma, Suwarsono, Edy Cahyono dan lain-lainnya.

Agus aktif di Kelompok Studi Proklamasi (KSP). Tempatya diskusi di rumah pak Johan Effendi di jalan Proklamasi. Saya beberapa kali pernah datang kesana. Dalam kelompok studi kami diskusikan banyak hal, terutama sekali soal-soal politik yang terlarang di jaman Orba. Hanya di kelompok studi-lah berbagai agenda diskusi bisa dibicarakan dengan bebas. Terutama juga soal-soal ideologi, baik kanan maupun kiri. Baik ideologinya Ali Syariati dan Moammar Khadafi, yang banyak sekali dibicarakan Agus sampai ideologinya Sandinista di Nicaragua dan Joma Sison di Filipina. Dengan begitu Agus dan saya memang lebih condong ke kiri. Kiri tentu lebih memikat anak-anak muda, terutama dalam melawan rejim Suharto yang kanan habis.

Terutama karena di masa itu Tapol (tahanan politik) 65 sudah dibebaskan pemerintah, terakhir di tahun 1979, maka kami dengan sembunyi-sembunyi mendatangi mereka. Khususnya yang sangat dekat dengan kami adalah Pramoedya Ananta Tur, sastrawan LEKRA yang tenar dan Joebaar Ayoeb, mantan Sekjen LEKRA. Keduanya kebetulan tinggal di sekitaran kampus UI di Rawamangun.

Sejak itu Agus rajin mendatangi mereka dan mendapat naskah-naskah tulisan Pram yang paling awal. Dia selalu memamerkan padaku naskah-naskah itu. Lalu semua tulisan Pram beredar di kami dalam bentuk fotokopian. Yang sempat kulihat ada di tangan Agus seperti ‘Bumi Manusia’, ‘Gadis Pantai’, ‘Arok Dedes’, ‘Panggil

49Catatan Para Aktiivis

Aku Kartini Saja’, dan ‘Arus Balik’. Hebatnya tentu adalah ketika buku Pram terbit dan menjadi heboh besar, “Bumi Manusia”, kami sudah lama membaca naskah itu sebelumnya.

Agus seorang yang cekatan dan terampil dalam menerbitkan buku. Cepat sekali sebuah naskah bisa segera menjadi sebuah buku terbitan. Ketika kelompok kami (YSM) hendak menterjemahkan buku Anthony Brewer, ‘A Guide to Marx’s Capital’, kami meminta Joebaar Ayoeb untuk menterjemahkannya, sekalian membantu ekonomi dia. Dan setelah jadi naskah, aku berikan ke Agus untuk dicetaknya lewat Teplok Press.

Agus seorang yang piawai dalam penerbitan. Di tempat kos-nya, sudah banyak naskah-naskah yang ingin dia cetak. Dia tunjukkan naskah ‘Madilog’ dan ‘Dari Penjara Ke Penjara’ buah tangan Tan Malaka, dan tidak lama berselang naskah itu sudah jadi buku. Busyet, cepat sekali dia kerjanya. Nampak sekali Agus ini hanya hidup dari buku satu ke buku lain, dalam artian berkejaran menerbitkannya. Dan buku-bukunya tentu saja kebanyakan buku kiri.

Dia juga terbitkan dua karya Joebaar Ayub, ‘Mocopat Kebudayaan Indonesia’ dan ‘Gerhana Seni Rupa Modern Indonesia’. Inilah buku-buku kiri yang terbit di jaman Suharto, yang meski selalu dilarang, tetap saja dengan berani dan lincah Agus terbitkan. Agus kagum sekali dengan Joebaar, seorang tokoh kawakan LEKRA yang cerdas dan bersahaja. Analisisnya selalu tajam dan luas.

Kami semakin dekat dengan Agus ketika dia kami ajak masuk dalam gerakan terorganisir anti Suharto. Karena di sekitaran kami ada beberapa nama Agus, maka dia kami namakan Agus Lennon, karena kacamatanya yang bulat seperti kacamata John Lennon dari The Beatles. Lagipula nama Lennon dia suka karena mirip nama Lenin. Jadilah namanya menjadi Agus Lennon yang melegenda dan sejak itu dia membangun pengorganisasian dimana-mana.

Kami sering bersama-sama di berbagai perjalanan, aksi dan

50 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

pertemuan. Karena dia berasal dari Yogya, maka dia yang banyak menggarap Yogya dan sekitarnya. Salah satu basis dia yang kemudian menjadi sangat terorganisir adalah kawan-kawan di UII (Universitas Islam Indonesia), yang kemudian menjadi kelompok Rode yang juga legendaris. Di Rode-lah direkrut dan dididik banyak kawan-kawan mahasiswa baru, bukan hanya dari UII tetapi juga dari kampus-kampus lain seperti UGM dan ISI.

Jadi memang kami adalah generasi awal dari gerakan mahasiswa Kiri yang telah terorganir saat itu, jauh sebelum ada PRD (Partai Rakyat Demokratik). Kami mengorganisir dan mengaitkan gerakan mahasiswa dengan isu-isu kerakyatan dan kasus-kasus pertanahan atau perburuhan. Karena kampus sudah mati, maka kami keluar dari kampus, mengorganisir diri dan langsung terjun mengorganisir rakyat, khususnya yang terkena kasus-kasus, seperti Badega, Cimacan, Kedung Ombo, Blangguan dan lain-lainnya serta kasus-kasus perburuhan.

Organisasi ini pecah, ketika beberapa orang memisahkan diri karena lebih condong pada aksi-aksi jalanan, dan kemudian mendirikan PRD. Saya dan Agus tetap bersama. Kami mengambil cara yang berbeda dengan PRD dan terus bergerak tanpa banyak diketahui. Pengorganisasian dan perpolitikan tetap jalan terus sampai jatuhnya Suharto.

Di saat inilah, Agus kemudian kenal dengan Taty Krisnawati, waktu itu aktif di Solidaritas Perempuan. Taty satu organisasi dengan istriku. Ketika dalam perjalanan di kereta api, Agus agak gundah memilih Taty. Maka aku dorong dia supaya melamarnya saja, sehingga dia akhirnya bersemangat untuk menikahinya.

Ini lompatan besar buatnya yang hidupnya nomaden. Dengan gayanya yang lucu, dia berteriak, aku mau nikah, aku mau nikah, sambil tertawa terbahak-bahak. Meski akhirnya perkawinan mereka tidak berjalan lama, hubungan di antara mereka berdua tetap baik. Agus kemudian menikah lagi dua kali,-- yang terakhir membuahkan empat anak, dua di antaranya kembar, yang fotonya

51Catatan Para Aktiivis

sering ditunjukkannya padaku.Masa setelah Reformasi kami sudah tidak banyak bertemu.

Agus Lennon tetap seorang revolusioner kiri yang jalan ke sana ke mari dengan bersemangat untuk mengagitasi teman-temannya dan siapa saja yang dijumpainya. Memang dia tepat disebut sebagai Kiri-Islam, karena biar bagaimanapun dia tetap berakar pada ke-Islamannya. Idolanya yang sering dia sebut adalah Haji Misbach, tokoh Sarikat Rakyat yang juga pendiri PKI di Solo.

Di dalam jiwa Agus Lennon dipertemukan semangat revolusioner dari Islam dan Komunis. Agus adalah contoh baik dari transformasi anak muda jaman Orba yang mampu menyinergikan islamisme dan Komunisme, mirip seperti Bung Karno dengan NASAKOM-nya. Kubayangkan Agus itu mirip Haji Misbach, agitator ulung bagi massa rakyat yang punya kharisma dan kepribadian yang menonjol. Sayangnya saat ini ‘Islam’ yang dekat dengan Agus jauh sekali dengan pengertian revolusioner, malahan menjadi rasis dan sektarian. Saya kira kita semua sedang mengalami pembelahan dari perbedaan politik antara yang pro-Jokowi dengan yang anti kepadanya, dan dia ada di kubu itu.

Agus Lennon kiranya sudah menjalankan perannya yang bersejarah dalam sebuah perjuangan kaum kiri. Kini pergilah dengan damai menemui guru-guru besarmu Joebaar dan Pram. Selamat jalan Kawan.

--oo0oo--

52 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

53Catatan Para Aktiivis

Agus Lennon dan Putrinya Latonia Lantang Santoso

Penulis: Satrio Arismunandar

SAYA PERTAMA KALI KENAL AKTIVIS PRODEMOKRASI AGUS EDI SANTOSO, yang lebih populer dengan nama panggilan Agus Lennon, pada 1980-an. Tak ingat persis bagaimana awalnya, tapi aktivitas kami biasanya bersinggungan di acara diskusi. Saya waktu itu aktif di pers mahasiswa, media profesional, dan kelompok studi mahasiswa.

Nah, Agus Lennon sering muncul di acara diskusi di mana dia suka mengajukan gagasan-gagasan yang “keras” untuk ukuran zaman itu, yakni zaman pemerintahan otoriter Soeharto. Yang saya ingat adalah Agus Lennon memang suka “usil” dan pernah membikin “rusak” acara diskusi yang saya ikuti.

Waktu itu saya adalah anggota kelompok mahasiswa peminat pengkajian hubungan internasional, ISA of Indonesia, yang

54 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

kemudian berganti nama menjadi ISAFIS (Indonesian Student Association for International Studies). Perintis awal organisasi non-kampus ini antara lain Faisal Motik, Imam Prasodjo, dan lain-lain, yang kebetulan adalah eks aktivis HMI.

Nah, ketika kami rekan-rekan ISAFIS sedang asyik berdiskusi masalah internasional dan ASEAN, tiba-tiba datanglah Agus Lennon. Dia datang tanpa diundang, meski tidak salah juga karena diskusi itu bersifat publik. Ketika ada sesi tanya-jawab, Lennon bertanya atau lebih tepat mengritik habis acara diskusi itu.

Saya tak ingat persis ucapannya, tetapi intinya Lennon menggugat bahwa diskusi tentang masalah internasional ini tidak relevan dan tidak kontekstual, suatu pelarian dari masalah yang sebenarnya. Karena permasalahan yang nyata adalah justru di dalam negeri. Seperti: kemiskinan, pelanggaran HAM, pemerintahan yang tidak demokratis, dan semacam itu.

Saya geli sendiri kalau membayangkan, diskusi itu jadi “bubar” gara-gara Lennon. Secara faktual, acara diskusi tetap berlanjut, tetapi suasananya jadi “kehilangan gairah” gara-gara gugatan Agus Lennon tadi. Beberapa teman panitia marah-marah, karena merasa acara diskusi tersebut “dirusak” oleh Lennon.

Selanjutnya saya tidak intensif berhubungan dengan Lennon, karena perbedaan kesibukan. Lennon menjadi aktivis gerakan yang mengurusi isu-isu kerakyatan (terutama di level bawah, seperti kasus tanah), sedangkan saya menggeluti dunia pers profesional sebagai wartawan di harian Pelita, Kompas, Majalah D&R, Media Indonesia, Trans TV dan Aktual.com.

Meski begitu, saya tidak pernah betul-betul lepas dari dunia aktivis. Hal ini karena saya juga menjadi pendiri/pengurus AJI (Aliansi Jurnalis Independen) pasca pembreidelan tiga media --Tempo, DeTik, dan Editor-- pada Juni 1994. Serta pengurus DPP SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), yang dianggap bertentangan dengan pemerintah.

Pertemuan dengan Lennon terjadi lagi karena interaksi

55Catatan Para Aktiivis

kami dengan Denny JA dan teman-teman lama eks Kelompok Studi Proklamasi. Nah, dalam suatu acara halal bilhalal yang diselenggarakan Denny JA pada Mei 2019, saya bertemu dengan Lennon yang membawa serta istri dan anak-anaknya.

Dari pertemuan itu, ternyata istri saya, Yuliandhini (lulusan IKIP Jakarta), sudah kenal juga dengan adiknya Lennon, Iman Santos (Heri) dan Jayadi. Dalam pertemuan itu, saya dan istri dikenalkan dengan salah satu putri Lennon, Latonia Lantang Santoso, yang disekolahkan di pesantren.

Seorang ayah biasanya mewariskan beberapa sifat, karakter atau hasil didikan pada anak-anaknya, walau ciri-ciri ini tidak muncul di semua anaknya dengan tingkat kepekatan yang sama. Dari empat anak Lennon, saya melihat Latonia ini tampaknya berpotensi menjadi pewaris atau penerus Lennon, yakni dalam hal aktivitas literasi.

Lennon senang dengan kegiatan membaca buku, berdiskusi, dan menghasilkan karya tulis. Meskipun tidak terlalu produktif dalam menghasilkan karya eksklusif hasil pemikiran sendiri. Lennon lebih banyak menuliskan pemikiran orang lain yang memang bagus, seperti buku-buku tentang pemikiran Nurcholish Madjid, yang terbit sesudah diedit Lennon.

Nah, dalam acara halal bilhalal di kantor LSI Denny JA, Mei 2019, Lennon memperkenalkan saya pada putrinya Latonia Lantang Santoso. Gadis ini pada usia 14 tahun sudah mengarang novel sendiri, walau dalam format sangat sederhana. Novelnya yang berjudul “Teror Italia” itu diterbitkan oleh Mawar Press, dan tebalnya 20 halaman.

Terasa membesarkan hati, melihat buku fiksi karya Latonia Lantang Santoso. Buku ini memang kecil secara fisik, berukuran sekitar 10 x 15 cm. Tipis pula. Isinya adalah cerita pendek tentang detektif yang melawan kejahatan. Namun, dalam menilai buku ini jangan melihat dari aspek fisiknya, tetapi dari semangat penulisnya.

56 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Dengan cerita a’la komik Detektif Conan, tokoh dalam buku ini adalah Steven Junifers, anak dari Castro, seorang mata-mata Amerika. Kenapa namanya Castro (nama tokoh pemimpin Kuba), tidak dijelaskan di buku ini (saya baru tahu kemudian bahwa Castro adalah juga nama putra Agus Lennon). Ibunda Junifers meninggal ketika Junifers baru berusia 2 tahun, sehingga Junifers tinggal bersama neneknya di London.

Pada usia 16 tahun, Junifers diajak ayahnya ke Amerika untuk memerangi kejahatan. Kasus kejahatannya adalah pencurian patung emas oleh Prof. Alexander, yang ternyata bersembunyi di Italia. Maka Junifers dan Castro mengejar ke Italia. Misi pun berhasil diselesaikan.

Yang patut digarisbawahi sebenarnya bukanlah ceritanya. Maklum saja, karena buku ini bukanlah novel detektif karya penulis profesional. Plotnya sangat sederhana, karena penulisnya adalah Latonia, yang baru akan berusia 14 tahun!

Putri Agus Lennon ini lahir di Jakarta pada 3 Desember 2005, sebagai putri kembar. Latonia pernah belajar di TK Paud Teratai Condet, lalu SDIT Al- Khariaat, Batuampar sampai kelas 3 karena tidak cocok. Akhirnya, ia pindah ke SD Negeri Selabintana Wetan, Sukabumi.

Di tempat yang diselimuti kabut itu, Latonia mengaku, ia melihat keindahan Gunung Gede dan perkebunan teh, dan lalu bermimpi ingin jadi penulis. Perjuangan Latonia untuk menjadi penulis mendapat tantanan, ketika ia bersekolah di sebuah pesantren di Sumenep, Madura.

Seperti ia kisahkan di pengantar buku ini, cerpen yang kemudian dibukukan ini berawal dari keinginan mengisi kekosongan kegiatan sehari-hari di pesantren. Menulis cerpen ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena dilarang oleh pengasuh ponpes.

Latonia pernah ketahuan, dan naskahnya dirampas. Untuk mengambilnya, ia diberi sanksi menulis Surah Yasin. Itu sebagai

57Catatan Para Aktiivis

hukuman, tetapi Latonia menerima hukuman itu dengan cara positif. “Hukumannya enak, membuat tambah pinter,” tulisnya.

Latonia menulis di sela-sela waktu sehabis solat maghrib dan jam istirahat sekolah. Ia merasa, menulis cerpen itu sulit juga, terutama tentang bagaimana agar jalan ceritanya nyambung dan mudah dipahami pembaca. Latonia belum pernah ke luar negeri, tetapi ia harus membayangkan suasana London, Amerika dan Italia untuk bukunya ini.

Saya mengapresiasi karya ini, karena semangat dan perjuangan keras yang dilakukan Latonia. Latonia tampak mewarisi semangat ayahnya, Agus Lennon. Banyak bibit penulis muda yang redup sebelum berkembang, karena tidak beruntung mendapat lingkungan yang tepat. Yakni, lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kemajuan bakat menulisnya. Lennon tampaknya bisa memberi dorongan semangat dan lingkungan kondusif pada putrinya.

Latonia mengatakan, karya perdananya ini cuma dicetak sangat terbatas, berkat bantuan pamannya, Om Mansur. Saya berharap, Latonia masih akan terus menulis dan menerbitkan karya-karyanya.

Gadis kecil ini punya bakat, dan bakat itu harus terus diasah agar bisa tumbuh dan berkembang. Demikian demikian, walaupun sobat Agus Lennon sudah menimggal, semangat dan warisannya akan bisa diteruskan oleh anak-anaknya, khususnya Latonia.

--oo0oo--Satrio Arismunandar adalah mantan aktivis pers mahasiswa

dan serikat buruh. Pernah menjadi jurnalis di harian Pelita, Kompas, Majalah D&R, Media Indonesia, Aktual.com dan Trans TV.

Kontak/WA: 0812-8629-9061E-mail: [email protected]

58 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Paska Reformasi 1998, Gus Lennon kian inten

bersahabat dengan aneka kelompok yang

beragam, bahkan saling bertentangan.

“ “

59Catatan Para Aktiivis

Ke“Lennon”Gan

Penulis : Ngurah Karyadi

MENGENAL AGUS EDI SANTOSO SEJAK 30 TAHUN LALU. Di tahun awal tahun 1990-an, era saya mahasiswa akhir, Mungkin karena Agus seringkali memakai kacamata bundar seperi John Lennon, atau penerbitan selebaran Frans Fanon Foundation, atau mungkin gaya Ke-Lennong-an (bahasa Madura), yang suka jalan dan sering tak terduga. Menjadi awal ia dipanggil Gus Lennon.

Suatu era, ketika Pak Harto sedang kuat-kuatnya, dia rajin “keLennongan”, tepatnya turba, menyambangi kantong-kantong gerakan mahasiswa, buruh, atau pun petani di segenap belahan negeri. Disana kita bertemu dan merajut perlawanan. Tidak ada kata letih dan lelah untuk itu, katanya suatu waktu. Jejaknya masih tercatat hingga hari ini: Ke-Lennon-gan

Pak Harto dan rezim Orba-nya terkenal sangat keras dan tegas terhadap kaum “Eka dan Eki.” Eka itu ekstrem kanan: Islam radikal.

60 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Eki itu ekstrim kiri: komunisme.Tapi Gus Lennon punya banyak teman baik dari kalangan “kiri” dan “kanan.”

Pernah suatu waktu, saya diajak Gus Lennon bertandang ke salah satu tokoh kiri, Joebar Ajoeb, mantan Sekjen Lekra. Kami ke sana berjalan diam diam. Lennon pun sepakat menerbitkan dan memperbanyak/mengkopi buku JA, Mocopat Kebudayaan, atau karya penulis lain, yang kemudian di sebarkan dikalangan aktivis .

Dalam kesempatan lain, pernah pula diajak Agus jumpa para aktivis yang dulu aktif peristiwa Tanjung Priok. Ini aktivis dari jalur Islam keras. Agus malah menerbitkan pledoi/pembelaan mereka, dan sekaligus memberikan copy buku Ali Shariati. Kata Agus, ini supaya mereka lebih revolusioner, tapi juga sekaligus visioner.

“Gus,” tanya saya, “Dirimu simpatisan ekstrimis?” Ini buat bacaan saja, kita cukup minum eskrim aje, jawab Lennon santai.

Gus Lennon pun dekat dengan tokoh moderat, terutama kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti LBH, WALHI, Bina Desa, atau pun Forum Demokrasi. Kerap disindirnya sebagai organisasi papan nama. Namun, Lennon selalu hadir dalam setiap pertemuan atau diskusi lembaga-lembaga tersebut.

Begitu pula ketika Gus Lennon menemukan tumpukan surat di kantor HMI, tempatnya menginap. Tarnyata, itu surat menyurat sangat penting antara Nurcholish Madjid dan Mohamad Roem. Agus dengan tekun membukukan surat itu. Dengan izin Noercholis Madjid, buku itu disebarkan, menjadi pembicaraan luas. Isu utama buku tersebut, bahwa tak ada negara Islam, mencuat.

Pergaulan Gus Lennon juga meluas ke aneka kalangan. Karaoke, atau Kanan/Kiri Ok, katanya suatu waktu. Ia aktif di PIPHAM, LAPASIF, InDemo, sampai Lasimu-nya Muhammadiyah. Sudah tentu dengan dukungan percetakan TEPLOK Press, yang jadi andalanyan. Lennon juga pendukung aliran kepercayaan suku asli seperti Badui. Sekaligus aktif bermeditasi dalam tradisi Budha.

Paska Reformasi 1998, Gus Lennon kian inten bersahabat dengan aneka kelompok yang beragam, bahkan saling

61Catatan Para Aktiivis

bertentangan. Hal yang membuatnya lebih mudah mengatasi perbedaan. Ia punya banyak teman yang dekat dari aneka kubu politik. Ini pula yang menumbuhkan spirit, beda politik itu biasa. “Karaoke, yang penting melawan!!”

Setahun belakangan ini, Gus Lennon sering bertandang ke kawan-kawan aktivis ProDem, termasuk ke Bali -namun saya lupa janji akan ketemu di SumberKlampok. Terakhir, sempet telpon dan curhat. Kesehatannya menurun. Ia tak bisa ke-Lennon-gan lagi. “Bersama sejumlah kawan membuka usaha bisnis Cafe, sambil diskusi, dan bisa di jalankan dengan duduk di rumah saja Ngurah,” katanya.

Selamat Ke-Lennon-gan di alam sana Gus!!!

--oo0oo--

62 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

“ “Agus adalah aktivis

yang berani tapi bukan yang garang, dia terlalu lembut

hati untuk menjadi komunis seaslinya apa lagi menjadi

penelikung teman...

63Catatan Para Aktiivis

“Komunis” Baik Hati Itu Pergi

Penulis: Geisz Chalifah

AGUS EDI SANTOSO NAMANYA. Di masa 80-an, Agus adalah buku berjalan tentang gerakan kiri, revolusi sosial dan struktur ekonomi kapitalis yang selalu dikritisinya dengan referensi yang tak jauh dari aliran Marxisme.

Kadang kami sepakat tapi seringkali pula tidak sepakat.Setelah belasan tahun tak bertemu, dalam sebuah acara

kumpul (reuni aktivis 80an), saya bertemu kembali dengan Agus Lennon (Nama yang lebih familiar di pada teman-temannya.)

Agus bercerita tentang Rasil dan Perjalanan Umrohnya bersama Nurfitri Taher (Aktivis MER C), saya meledeknya dengan bertanya : “Lo udah ga jadi komunis lagi, sekarang?”

Beberapa waktu lalu Rocky Gerung diancam akan dipolisikan

64 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

karena pernyataannya tentang Jokowi yang tak faham Pancasila.Kasus itu ramai menjadi perbincangan publik.Saya kemudian menulis sebuah cerita lama ketika di masa

mahasiswa, Agus Edi Santoso berhadapan dengan Sarwono Kusumaatmaja (Sekjen Golkar saat Itu) dalam sebuah forum diskusi. Agus menyerang habis-habisan Soeharto dan tak ada ancaman dari Sarwono yang merupakan Sekjen dari partai Golkar di masa rezim tiran Soeharto berkuasa.

Cerita itu kemudian ramai menjadi bahan diskusi di group WA Prodem mereka mengkonfirmasi pada Agus apakah tulisan itu benar adanya?

Di masanya, Agus adalah aktivis yang berani tapi bukan yang garang, dia terlalu lembut hati untuk menjadi komunis seaslinya apa lagi menjadi penelikung teman, Agus jauh dari sifat semacam itu.

Dia mengumpulkan makalah-makalah Cak Nur yang berasal dari salinan mesin tik berasal dari copy-an kertas karbon. Mengetik ulang dan mengeditnya kemudian diterbitkan oleh penerbit Mizan. Oleh Mizan Agus dihadiahi 300 eksemplar buku. Dan, Agus menghadiahkan buku itu kepada teman-temannya.

Satu bulan lalu Agus menelpun bercerita tentang keinginannya untuk membuat acara Lazismu di Ancol, sebuah lembaga yang digeluti di hari-hari akhir hidupnya.

Saya langsung menyatakan siap membantu, setelahnya acara selesai Agus kembali menelpon mengucapkan terima kasih, mengabarkan acaranya telah berlangsung lancar.

Rabu sore dua hari yang lalu, telpon di hp saya berdering terpampang nama Agus Lennon dalam panggilan itu. Saya tak tahu bahwa dia berada di rumah sakit dan sedang dirawat. Saya juga tak menduga sedikit pun itu adalah telpon dan pembicaraan yang terakhir dengan orang baik yang selalu memikirkan orang lain.

Dalam telpon itu Agus bertanya tentang mekanisme rumah DP

65Catatan Para Aktiivis

Nol Persen. Agus bercerita dengan miris tentang teman-teman Prodem masih banyak yang keleleran dan belum memiliki rumah.

Jumat malam, di sebuah resto di daerah Menteng, saya menggabungkan beberapa meeting dari teman yang berbeda-beda persoalan dalam satu tempat dan waktu, hingga beberapa kali harus pindah-pindah meja.

Menjelang selesai, Chalid Muhammad bertanya tentang Agus Edi Santoso, saya dengan enteng menimpali bahwa dua hari lalu Agus menelpon, dalam waktu yang tak lama kemudian. Tatat Rahmita Utami, mengabarkan via telpon bahwa Agus Edi Santoso meninggal dunia.

Ternyata telpon Agus dua hari lalu itu dia berada di rumah sakit dan melarang teman yang sedang bersamanya untuk memberi tahu saya bahwa dia sedang dirawat.

Di perjalanan menuju rumah sakit saya meminta Chalid mengabarkan pada Anies wafatnya Agus.

Malam yang basah di hari Jumat yang berkah, Anies Baswedan memimpin doa melepas jenazah Agus memasuki ambulans.

Selamat jalan teman, engkau telah selesai dengan revolusi tak kunjung hadir. Tapi kebaikanmu selalu hadir di antara kita semua.

--oo0oo--

66 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

67Catatan Para Aktiivis

Agus Edi Santoso dari Teplok Press hingga LazisMu.

Penulis: Fauzan Anwar Sandiah Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta..

BERITA DUKA KEMBALI DATANG. Agus Edi Santoso atau akrab dipanggil Agus Lennon meninggal dunia di RS Harapan Kita Jakarta tanggal 10 Januari pukul 21.11 Wib. Ia merupakan aktivis dekade 80an, penulis produktif, dan pelaku penerbitan progresif di Indonesia.

Max Lane, Indonesianis asal Australia dan penulis buku Unfinished Nations mengenang Agus sebagai kawan dalam “pengalaman politik” di Indonesia. Banyak kawan dan sejawat Agus mengungkapkan perasaan kehilangan mereka di media sosial. Mereka di antaranya mengenang almarhum sebagai sosok yang penuh energi dan semangat. Terutama dalam aksi-aksi protes menentang rezim otoriter Orde Baru dan mengawal demokrasi

68 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

pasca tumbangnya kekuasaan Soeharto itu pada Mei 1998. Bagi banyak aktivis lebih junior, nama Agus dianggap senapas dengan perlawanan terhadap bentuk ketertindasan ekonomi-politik. .

Perkongsian Progresif Pria asal Situbondo, Jawa Timur ini dikenal luas juga sebagai aktor penerbitan progresif di Indonesia. Ia turut serta mengeditori, menerjemahkan, mengumpulkan dan sekaligus menerbitkan banyak pamflet, naskah, dokumen dan buku. Mulai dari menangani naskah edisi Bahasa Indonesia Marx for Beginners, Madilog Tan Malaka, buku Soe Hok Gie, bahkan pengedar buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Entah berapa banyak naskah kiri yang sudah ditangani Agus. Menurut Adhe, penulis Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja, bersama Buldan (Yayasan Bentang), Agus membentuk kongsi penerbit bernama Teplok Press dan menerbitkan Bumi Berantakan: Buku Pegangan untuk Revolusi Hitam yang Mengubah Wajah Dunia (2000) karya Frantz Fanon.

Masih berdasarkan catatan Adhe, Agus menggunakan nama penulis Prancis itu untuk mendirikan yayasan Frantz Fanon Foundation atau disingkat FFF, dan menerbitkan skripsi Soe Hok Gie yang diabaikan banyak penerbit besar saat itu, Di Bawah Lentera Merah. “Jauh sebelum ada Marjin Kiri, ada Teplok Press yang menggelorakan penerbitan naskah-naskah progresif.

Malam ini mendapat kabar bahwa penggeraknya, Agus Lennon, meninggal dunia. Aktivis yang tidak kenal Lelah” ungkap Ronny Agustinus, pimpinan redaksi Marjin Kiri dalam unggahan di status facebook (10/1)..

AGUS LENNON DAN MUHAMMADIYAH Belakangan, setelah banyak berkiprah dalam gerakan pro-

demokrasi, Agus Lennon juga aktif sebagai salah satu pengurus lembaga zakat Muhammadiyah, LazisMu. Hilman Latif, ketuga Badan Pengurus Lazismu Pusat mengatakan, “bersama kami di LazisMu 4 tahun terakhir ini, mas Agus Edi Santoso sangat

69Catatan Para Aktiivis

serius mendorong Lazismu memperhatikan kelompok-kelompok marjinal”. Syaefudin Simon, salah seorang sejawat dekat bahkan kaget mendengar Agus aktif di Muhammadiyah. Dalam tulisan belasungkawa, Syaefudin menyergah Agus dengan pertanyaan “lalu siapa yang kau kagumi di Indonesia ini Gus?”. Agus membalas, “Aku mengagumi AR Fakhrudin!”.

LazisMu adalah tempat terakhir persinggahan aktivisme Agus. Beberapa bulan sebelum dirawat di rumah sakit, Agus sempat mengadakan acara LazisMu di Ancol. Ia memegang posisi sebagai Direktur Kelembagaan dan HRD Lazismu Pusat. Lukman Hakiem, mengenang Agus sebagai “sahabat kiri yang Islami”. Lukman mengungkapkan, kendati Agus berlatar belakang sebagai aktivis, ia selalu punya sisi pembelaan pada urusan-urusan mustad’afin.

Dalam suatu waktu, melalui whatsapp, Agus menyuruh Lukman untuk tidak mengambil kembalian saat belanja di minimarket. “Uang kembalian belanjamu, jangan diambil. Donasikan untuk LazisMu”. Agus juga kerap mengabari Lukman perkembangan-perkembangan LazisMu. Suatu waktu misalnya Agus mengirimi Lukman foto Rumah Sakit Terapung Said Tuhuleley milik LazisMu.

IDE ISLAM PROGRESIF Peran penting lain Agus tiada lain adalah ketika ia

mengumpulkan dan menerbitkan korespondensi Nurcholish Madjid dan Mohamad Roem. Kita tidak tahu, andai ia tidak terbersit menerbitkan surat-surat itu kala menginap di kantor HMI, bagaimana arus utama wacana Islam moderat di Indonesia akan bergulir.

Dengan izin Cak Nur, sapaan Nurcholish Madjid, terbitlah buku Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Buku itu diterbitkan oleh Djambatan tahun 2000 dengan tebal 198 halaman. Semua orang tahu, asal muasal korespondensi itu berawal dari perdebatan antara Amien Rais dan Mohamad Roem di majalah Panji Masyarakat (no.376/1982 dan

70 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

no.386/1983) mengenai konsepsi “Negara Islam”. Artinya, Agus punya satu episode penting menyebarkan

perdebatan wacana Islam yang saat itu tengah mekar. Buku Tidak Ada Negara Islam menjadi salah satu bacaan populer saat itu. Banyak orang menganggap itu buku yang sangat penting, dan berhasil mengantarkan pembaca awam untuk memahami perdebatan soal negara Islam. Ada juga satu buku Cak Nur yang disunting oleh Agus, yakni Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan terbitan Mizan tahun 1987. Buku ini juga berasal dari makalah-makalah Cak Nur yang dikumpulkan Agus dan ditanganinya sendiri.

AKTIVIS YANG TERUS DIKENANG Agus sudah hidup sepanjang waktu sebagai aktivis senior

yang disegani. Ia merupakan saksi tentang dua hal penting. Pertama, berkaitan dengan etos aktivisme dekade 70-80an. Kedua, bagaimana ia tidak terlalu jauh ditelan perubahan waktu. Ia merupakan saksi atas bagaimana aktivis hidup dengan cara “dari bawah” atau akar rumput. Ia hidup bersama petani dan buruh yang selama masa kekuasaan Orde Soeharto menjadi kelompok paling nestapa. Perampasan tanah, kriminalisasi dan pembungkaman menjadi momok sehari-hari yang membayangi kelas bawah. Agus adalah bagian dari aktivis yang hidup ketika konsep “gerakan rakyat” masih begitu solid melawan rezim otoriter.

Agus juga termasuk aktivis yang tidak keburu ditelan usia. Sebagai angkatan senior yang dikenal lintas gerakan dan organisasi, Agus tetap kritis terhadap pemerintahan yang korup dan berbasis konglomerat atau oligarki politik. Bahkan di pilpres terakhir, pandangan-pandangan kritis itu masih ditampakkan benderang. Ini agak berbeda dengan rekan-rekan seangkatannya yang pasca reformasi berhasil hidup “sukses” dan tidak banyak lagi bersinggungan dengan aktivisme publik.

Benar juga Nezar Patria, “Setiap kali mendengar para senior

71Catatan Para Aktiivis

aktivis wafat, saya merasa ada yang hilang, semacam sentakan yang menyadarkan bahwa pada diri mereka ikut pergi sebuah sejarah—betapapun kecil sumbangannya dalam gemuruh harapan perubahan pada masa itu, dan bagasi pengalaman politik yang gaduh itu akan tenggelam bersama jasad mereka yang kembali ke pangkuan bumi.” Selamat jalan Agus Lennon

--oo0oo--

72 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Dia juga membimbing nelayan kecil untuk

membesarkan lobster di Pantai Selatan Jawa

dan membela wong cilik yang tergusur deru

pembangunan.

“ “

73Catatan Para Aktiivis

Agus, Wong Cilik, dan Muhammadiyah

Penulis: Syaefudin Simon, Pemerhati Sosial Politik

TIGA ORANG BERAMBUT CEPAK DAN BERBADAN SEKEL terus mengintai sebuah rumah di Pancoran Barat. Ketika Agus hendak “pulang” ke rumah Ahmadi Thaha, usai makan, tiga orang berambut cepak itu mencegat Agus.

“Apakah kau mengenal saudara Agus Edi Santoso yang bersembunyi di rumah itu?” kata salah seorang pria cepak itu menunjuk rumah Ahmadi Thaha.

“Tidak kenal, Pak. Aku tidak tahu orang yang bernama Agus,” ujarnya. Mendengar jawaban Agus, tiga orang berbadan sekel itu langsung pergi, entah ke mana. Mungkin mereka menyebar di gang-gang sekitar Pancoran Barat, di sekitar rumah Ahmadi.

“Alhamdulillah Simon, aku selamat. Aku tahu tiga intel itu sedang mengincarku. Tapi mereka bodoh, tidak tahu wajah dan

74 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

tubuhku secara detail. Ketika mereka menanyakanku – apa kenal Agus Edi Santoso – aku bohongi.” Wakakaka….Agus tertawa jika mengingat kejadian itu.

Tahun 1980-1990-an, Soeharto sangat berkuasa. Intel ada di mana-mana untuk menangkap tokoh dan mahasiswa aktivis pro demokrasi. Agus, mahasiswa STF Driyarkara Jakarta, salah satu di antaranya. Bersama Mulyana Wirahadikusuma, Marsilam Simanjuntak, dan aktivis prodemokrasi lain, Agus terus mengkritisi Soeharto. Tak hanya itu. Agus pun menggerakkan mahasiswa untuk menggalang perlawanan kepada Soeharto.

Akibat aktivitasnya, Agus dikejar intel. Ia bersembunyi di rumah Ahmadi Thaha – saat itu wartawan majalah Tempo – selama berhari-hari. Ahmadi memberi kamar rahasia untuk Agus dan menyiapkan “tempat pelarian darurat” kalau rumahnya digrebeg aparat.

Untungnya, aparat kurang jeli mengamati wajah Agus. Malah bertanya apakah kenal Agus kepada Agus sendiri. Lucu! Setelah ketahuan persembunyiannya, Agus pun pindah tempat. Entah kemana, untuk menghindari kejaran intel.

Intel Orde Baru rupanya putus asa menangkap Agus. Suatu hari, Dr. Nurchlolish Madjid kedatangan tamu, Mendagri Jenderal Rudini. Rudini curhat kepada Cak Nur.

“Orang paling berbahaya di negeri ini Agus Edi Santoso Cak Nur? Dia seperti belut. Selalu bisa meloloskan diri dari kejaran aparat,” kata Rudini.

Cak Nur kaget, “Kenapa Rudini sampai bilang seperti itu? Bukankah Agus hanya aktivis HMI yang senang diskusi dan anggota Kelompok Studi Proklamasi?” batin Cak Nur.

“Pak Rudini, Agus itu tidak berbahaya. Aku kenal. Aku menjamin, Agus tidak membahayakan negara. Dia hanya aktivis HMI dan aktivis forum diskusi,” ujar Cak Nur.

Rudini pun terdiam. Jenderal Angkatan Darat itu gagal meyakinkan Cak Nur kalau Agus manusia berbahaya. Rudini pun

75Catatan Para Aktiivis

pulang tanpa hasil. Cak Nur malah “membela” Agus.Kemampuannya mengecoh intel mendapat apresiasi teman-

teman aktivis. Maklumlah, saat itu, tembok dan angin pun menjadi intel Soeharto — kata Hermawan “Kiki” Sulistiyo, aktivis dan peneliti LIPI. Jarang orang sepinter Agus dalam menyamar.

Setelah Soeharto lengser, Agus yang selalu kritis, aktif di LSM yang peduli rakyat miskin. Bagi Agus, kemiskinan yang terjadi di Indonesia akibat korupsi dan konglomerasi yang tak terkendali. Agus mencoba menerobos dua jahanam itu. Dia malang melintang membina petani kecil di desa-desa terpencil di Jawa Tengah, NTB, Papua, dan lain-lain. Dia juga membimbing nelayan kecil untuk membesarkan lobster di Pantai Selatan Jawa dan membela wong cilik yang tergusur deru pembangunan.

“Simon, kemarin aku dapat kiriman lobster tiga kilo. Dari nelayan kecil binaanku di Sukabumi,” kata Agus pekan lalu di cafe Tji Liwung, Condet, miliknya. Agus memang tak pernah berhenti untuk menyuarakan suara orang miskin dan membangkitkannya agar mereka bisa hidup layak.

Aku pernah sekamar di sebuah vila milik Gung Rai di Ubud, Bali, saat ulang tahun Kelompok Studi Proklamasi dua tahun lalu. Semalaman, aku, Agus, dan Elsa Peldi Taher (pengusaha dan penulis buku Manusia Gerobak), berdiskusi tentang agama yang membebaskan.

“Agama dan negara sekarang jadi tiran. Aku tak percaya rejim. Rejim di Indonesia, siapa pun orangnya, hanya penghisap darah rakyat,” ujarnya. Aku mendengarkan keprihatiannnya. Sesekali aku mendebatnya.

“Bagaimana dengan rejim Jokowi?”“Jokowi itu orang baik. Jujur. Tapi di sekelilingnya adalah orang-

orang penghisap darah rakyat!”“Aku punya harapan Gus kepada Jokowi. Bagiku Jokowi berbeda

jauh dengan rejim-rejim sebelumnya. Lihat KPK yang hebat di rejim Jokowi,” sanggahku. Agus tetap tak bisa menerima alasanku

76 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

menyukai Jokowi.Agus bertanya kepadaku: “Mampukah Jokowi melepaskan diri

dari konglomerasi jahat dan pejabat-pejabat korup?.”Aku terdiam. Hanya senyum. Aku tahu, kalau Agus sudah bicara

seperti itu, niscaya dia akan menelanjangi orang-orang sekeliling Jokowi. Kalau aku meladeninya, bisa tidak tidur semalaman.

Agus, memang, selalu melawan rejim, siapa pun. Karena baginya, rejim di Indonesia tak peduli keadilan dan kemanusiaan.

“Lalu, siapa yang kau kagumi di Indonesia ini Gus?,” sergahku.“Aku mengagumi Pak AR Fachrudin!”Ha? Kali ini aku terkejut. Bukankah Agus tidak pernah jadi

aktivis Muhammadiyah? Lagi pula Agus dan teman-temannya adalah orang-orang liberal?

“Pak AR adalah pribadi panutanku. Sederhana, peduli orang miskin, tidak gila jabatan, dan membangun persaudaraan antarumat,” ungkap Agus.

Ternyata aku salah terka. Meski aku dekat dan sering mengobrol dengan Agus, aku tak tahu kalau Agus pernah jadi bendahara Lazis Muhammadiyah. Agus di ‘sana” karena dia tahu, Muhammadiyah itu amanah dan peduli wong cilik.

Agus Edi Santoso – sering dipanggil teman-temannya Agus Lennon (karena dia penggemar penyanyi The Beatles, John Lennon) kini telah meninggalkan kita semua. Sakit jantung yang menderanya, menyebabkan Agus menghembuskan nafas terakhir di RS Harapan Kita, Jakarta Jumat malam (10/01/2020).

Gus, air mataku meleleh jika mengenang kebersamaan denganmu. Aku rindu lecutan-lecutan pendapatmu yang mengobarkan perjuangan untuk membangun kemanusiaan. Selamat Jalan Gus. Para malaikat akan mencatatmu sebagai pecinta Allah nomor satu karena kau adalah pecinta manusia nomor satu!

--oo0oo--

77Catatan Para Aktiivis

Rezim Penindas Rakyat Kita Lawan tapi Tidak....

Penulis: Agusto Sulistio, Mantan Ketua FKPPI

Beberapa Jam Sebelum Bang Lennon wafatDi kamar rawat inap 2512 RS Harapan Kita, Kamis Malam

20.30 Wib 9/1/2020. Bang Lennon terbangun, sebelumnya saya membantu membukakan dua obat tablet kecil dari RS dari bungkusnya.

“Gusto… Maafkan Saya,” ucapnya dengan mata berkaca – kaca. Saya sebagai junior yang jauh secara angkatan juga pengalaman, sempat berfikir apa makna dari ucapan Bang Lennon. Sambil saya mejamkan mata di kursi samping tempat tidur Bang Lennon dalam suasana hening dan dinginnya AC saya berfikir apa salah Bang Lennon hingga meminta maaf ke saya? Saya terus berfikir sambil leyeh-leyeh dengan mata tertutup apa makna ucapan Bang

78 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Lennon. Belum terjawab dalam pikiranku tak lama dokter jaga malam melakukan rutin rekam jantung jam malam.

“Malam, Pak”“Malam, Dok,” jawabku. “Malam, Pak Agus,” sapa dokter ke Bang Lennon. “Saya cek

jantungnya, ya” tambah Dokter muda sambil menghitung denyut nadi dan mengukur tekanan darah Bang Lennon.

“Bapak minum obat apa?” tanya dokter dengan nada agak marah.

“Saya minum obat yang saya bawa dari rumah, biasa saya minum kalo dada saya sakit,” terang Bang Agus Lennon dengan nafas terhengap.

“Bapak kenapa biarkan kakaknya minum yang bukan dari RS? Kakaknya kan sedang dalam pengawasan kami. Akibatnya tensi darahnya menurun drastis hingga 60 per sekian. Ini di luar kebiasaan dan jauh dari normal,” terang dokter dengan nada sedikit marah ke saya.

“Dok, maaf saya tidak tahu Kakak saya minum obat yang dimaksud. Mungkin minumnya sebelum saya datang tadi setelah Maghrib,” jawabku.

Tak lama kemudian dokter keluar ruang. Lalu, Bang Lennon minta diambilkan air putih hangat, dan saya bergegas keluar menuju dispanser yang letaknya di luar ruang pasien, dekat pintu masuk piket perawat.

Usai menuang air hangat ke gelas, perawat memanggil saya dan sampaikan hasil diagnosa dari dokter tadi, malam Jumat, sekitar 20.45, 9/1/2020.

“Pak, kakaknya tensinya rendah dan jika terus menurun maka bisa tidak baik untuk kesehatan kakaknya. Kami akan lakukan yang terbaik dan kita sama-sama doakan, ya, Pak,” kira- kira begitu singkat ceritanya.

Dari info inilah saya semakin mengerti dan paham maksud

79Catatan Para Aktiivis

dari ucapan “minta maaf” dari Bang Agus Lennon. Dalam hati dan pikiran saya, jangan-jangan ini tanda Bang Agus pamit dan akan pergi selamanya. Aku duduk sambil melihat Bang Lennon yang sedang tertidur yang sesekali terbatuk.

Lalu saya ambil HP dan menulis di WAG Indemo tentang “seberaninya aktivis melawan regim tetap tak bisa melawan saran dokter di saat sakit”. Postingan ini adalah hasil rangkaian peristiwa beberapa jam saat saya berada di samping Bang Agus Lennon di ruang rawat inap. Tadinya saya mau tulis bahwa almarhum dimarahin dokter gegara minum obat yang dibawa dari rumah. Tapi setelah saya pikir itu tak baik dan bisa menimbulkan banyak persepsi, maka pikiran itu tak jadi saya posting di WAG Indemo juga ProDem.

Baru sekarang saya posting sebagai kenangan saya beberapa saat mendampingi Almarhum.

Semua itu tak menjadi beban, malah menjadi kebahagian dan kebanggan saya karena di akhir hidup Bang Agus, saya diberi kesempatan mendampi senior yang memiliki banyak pengalaman dan nama baik.

--oo0oo--

80 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

“ “Ia tetap akrab dengan kawannya yang kini

sedang dalam gelimang kuasa. Walaupun kata-

kata kerasnya tetap terlontar dalam grup-grup diskusi. Tapi kemudian ia

cairkan dengan canda.

81Catatan Para Aktiivis

Sang Pejalan di Pinggir

Penulis:Nasihin MashaWartawan Senior

HARGANYA RP 6.100,00. Saya membelinya di bursa buku Shopping Center. Tahun 1987. Ya, buku itu terbit Juli 1987. Penerbitnya Mizan. Sejak itu saya mengenal namanya: Agus Edi Santoso. Sejak dulu saya terbiasa membaca halaman di balik halaman judul. Isinya judul buku, penulis buku, pemegang copy right, nama penerbit, alamat penerbit, tahun terbit, judul asli (jika itu buku terjemahan), cetakan ke berapa, nomor ISBN, desainer sampul buku, penerjemah (jika itu buku terjemahan), dan penyunting buku. Saya bahkan termasuk orang yang menilai buku dari nama penyunting bukunya, bukan sekadar nama penulisnya. Misalnya Hernowo, penyunting legendaris Mizan.

Saat itu Mizan sedang membuat serial tulisan cendekiawan

82 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

muslim Indonesia. Judul buku yang disunting Agus adalah Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Itulah kumpulan tulisan Nurcholish Madjid. Rupanya, sebagai editor majalah HMI, Agus yang pelahap buku dan tulisan-tulisan bermutu serta gagasan-gagasan besar tentang Indonesia dan pemikiran tentang kenegaraan dan kemasyarakatan, mengoleksi makalah-makalah Cak Nur.

Inilah buku yang berisi gagasan-gagasan besar Cak Nur, bahkan menjadi buku Cak Nur yang paling berpengaruh. Buku ini mengalami cetak ulang berkali-kali, terakhir terbit pada 2013. Jika sebelumnya dikatapengantari M Dawam Rahardjo saja maka pada edisi baru ada tambahan kata pengantar oleh Anies Baswedan.

Sebagai mahasiswa sosiologi di tahun kedua saya menyukai tulisan-tulisan Cak Nur, karena Cak Nur banyak menggunakan perspektif sosiologi dalam membahas berbagai masalah. Karena itu buku tersebut saya lahap habis.

LENNONBeberapa tahun kemudian, saat saya menjadi reporter pemula,

saya melakukan liputan di Paramadina di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Inilah markas Cak Nur beserta teman-temannya. Di situ Cak Nur menyebut nama Agus Lennon. Saya bertanya-tanya siapa dia. Namanya unik. Menggunakan nama John Lennon, penyanyi The Beatles. Saya membayangkan kacamatanya bulat seperti Lennon. Lalu dijelaskan bahwa Agus Lennon adalah nama panggilan Agus Edi Santoso, penyunting buku Cak Nur. Ternyata benar, dia dipanggil Agus Lennon karena gemar berkacamata bulat seperti Lennon. Dia sendiri penggemar John Lennon.

‘Perjumpaan’ berikutnya adalah pada 1997, 10 tahun setelah buku Cak Nur terbit. Kali ini pun masih terkait buku, yaitu momen peluncuran buku. Ya, kali ini Agus menyunting surat-menyurat Cak Nur dengan Mohamad Roem. Judulnya tegas: Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Tempatnya di Gedung RNI di kawasan Mega Kuningan, Jakarta

83Catatan Para Aktiivis

Selatan. Malam hari. Buku ini diterbitkan Djambatan. Roem adalah tokoh senior Masyumi. Surat menyurat itu terjadi pada 1983 ketika Cak Nur sedang studi doktoral di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Bersibalas surat itu bermula dari wawancara M Amien Rais dengan Majalah Panji Masyarakat, yang kemudian ditanggapi Roem.

Di era media jejaring saat ini, saya mengalami perjumpaan secara virtual dengan Agus melalui grup whatsapp Kahmi-Pro, sebuah grup diskusi yang digawangi M Ichsan Loulembah. Atribut Pro oleh Ichan diniatkan sebagai aktivis HMI yang terjun di dunia profesional. Karena itu diskusinya diharapkan lebih cair dan lebih berbobot. Ichan menginisiasi grup diskusi ini sejak era mailing list, blackberry, dan kini whatsapp. Saya menikmati diskusi di grup ini yang kadang liar, sengit, tapi kadang cuma candaan saja. Agus sering bercanda, khususnya dengan Oong alias Fathorrahman Fadli dan juga dengan M Thoriq. Oong dan Agus sama-sama Madura. Agus dari Panarukan, Situbondo. Sedangkan Agus dan Thoriq karena keduanya sesama demonstran saat mahasiswa dan sama-sama kuliah di Yogyakarta. Agus kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, tapi kemudian malang melintang di Jakarta ketika ditarik menjadi pengurus PB HMI.

Beberapa kali saya mengalami pertemuan fisik dengan Agus, terutama saat acara yang menyangkut aktivis HMI. Namun tak ada persentuhan khusus. Boleh dibilang tak saling kenal, kecuali saya mengenalnya dari buku-buku yang ia sunting. Oya, saya juga menyukai buku-buku yang diterbitkan Teplok Press, penerbitan milik Agus. Penerbit ini menerbitkan buku-buku kiri, khususnya Tan Malaka – seorang komunis yang kemudian murtad dan mendirikan gerakan kiri yang ia namakan Murba. Teplok juga menerbitkan buku-buku kiri progresif lainnya. Saya menyukai desain cover buku Teplok yang menggunakan teknik cukil kayu yg berwarna. Teknik ini memang banyak disukai kalangan marjinal. Memberi kesan keras dan melawan, juga kuat dan tegas. Aktivis 1980-an umumnya memang kiri. Saat itu memang era ideologi. Era Orde Baru adalah era berkuasanya kapitalisme. Karena

84 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

gerakan mahasiswa sejatinya adalah gerakan perlawanan, maka kiri adalah ideologi tandingannya. Kiri di sini tak selalu berarti komunis, tapi marxisme dengan segala variannya. Bahkan mahasiswa yang berwarna Islam terpuaskan dengan gaya marxis Ali Syariati, cendekiawan Iran. Buku-buku Syariati juga diterbitkan Mizan. Tentu saja gerakan perlawanan memang muncul juga dari varian Islam karena Islam dipinggirkan oleh Orde Baru. Jika tak terpengaruh kiri, maka yang Islam terpengaruh Ikhwanul Muslimin – sebuah gerakan perlawanan dari Mesir.

BERKELANABadannya tinggi besar dan tegap. Kulitnya gelap dan tulang-

tulang wajahnya menonjol. Kegemaran Agus adalah jalan kaki. Kesukaannya yang bersifat fisikal ini juga sesuai dengan kepribadiannya. Ia senang bergaul. Wawasannya luas. Dan, kaya hati. Ia pengelana. Aktivis kiri umumnya tak menyukai gerakan Islam. Demikian pula dengan gerakan liberal. Namun semua itu tak berlaku bagi Agus. Pengembaraannya yang luas — baik secara geografis (karena gemar menjelajahi masyarakat-masyarakat kecil di pelosok negeri), secara sosial (karena bergaul dengan beragam ras, kelas sosial, agama, maupun pengelompokan sosial), juga secara pemikiran (ia pelahap bermacam pemikiran) – telah membuat dirinya menjadi bijak dalam melihat persoalan. Kemuakannya hanya satu: pada penguasa, siapapun mereka. Sangat khas marxis.

Di saat para aktivis jalanan masuk kekuasaan di era Gus Dur, Agus memilih tetap bergerak di bawah. Di saat aktivis jalanan di era Jokowi masuk kekuasaan dan BUMN, Agus tetap di pinggiran. Baginya, penguasa sama saja. Tugas kaum idealis tetap menemani orang-orang yang terpinggirkan. Namun ia tak lagi seperti dia aktif di Pijar, wadah demonstran paling berani era Orde Baru. Di masa seniornya ia terkesan berwajah developmentalis. Tak heran jika kemudian ia bergabung di Lazismu, lembaga penghimpun

85Catatan Para Aktiivis

zakat, infak, sedekah, dan wakaf milik Muhammadiyah. Lembaga semacam ini berwajah developmentalis, tidak strukturalis yang berhadap-hadapan dengan kekuasaan.

Tak heran jika ia tetap akrab dengan kawan-kawannya yang kini sedang asyik masyuk dalam gelimang kuasa. Walaupun kata-kata kerasnya tetap terlontar dalam grup-grup diskusi. Tapi kemudian ia cairkan dengan canda. Agus juga dikenal sebagai orang yang enteng bersilaturahim.

Agus adalah seorang kiri yang tak pernah meninggalkan Islam. Walau tak saling kenal, tapi Agus memiliki jariah pada saya lewat buku-buku yang ia sunting. Semoga itu menjadi pelapang jalan menuju surga.

Pada Jumat (10/1) malam Agus pergi untuk selamanya. Kabar duka itu menyebar cepat. Saya mengetahuinya esok harinya ketika hendak berangkat ke acara pidato guru besar Prof Dr Arif Satria. Maklum tadi malam tidur cepat. Dunia aktivis segera menggeliat. Sebetulnya sudah lama Agus menderita sakit jantung. Kepalanya pun diplontos. Badannya jadi kurus. Rambut tebal yang selalu belah tengah itu tak lagi menjabrik di kepalanya. Tapi kacamata lennonnya tetap bertengger. Selamat jalan kamerad…

--oo0oo--

86 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

““

Agus memang sangat dikenal dengan

gairahnya meliterasikan publik dengan ide-ide

perubahan. Tak segan-segan dia mengumpulkan

banyak tulisan dari berbagai pihak yang

akhirnya menjadi penting di kemudian hari.

87Catatan Para Aktiivis

Kesaksian Kecil dari Sekian Banyak Tindakan Besar Agus Edi Santoso

Penulis: Moh Jumhur HidayatAktivis Serikat Buruh

KASUS 5 AGUSTUS 1989 ADALAH KETIKA 6 MAHASISWA ITB ditahan dan diadili oleh Rezim Orde Baru karena menentang dan menolak kehadiran Mendagri Rudini ke kampus ITB pada 5 Agustus 1989.

Saat di pengadilan, tentunya setiap terdakwa membuat pembelaan atau sering disebut Pledoi. Sudah pasti Pledoi ini sangat penting karena bisa menjadi referensi tentang kejadian politik pada kurun waktu itu.

Setelah lebih dari 20 tahun, mungkin sekitar tahun 2011-2012, saya coba mencari file Pledoi yang saya bacakan di hadapan Pengadilan Negeri Kelas I Bandung. Saya coba telusuri ke berbagai pihak termasuk ke Pengadilan Negeri Bandung itu, ternyata sudah

88 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

tidak berjejak karena mungkin sudah terlalu lama dan sistem filing masih tidak secanggih sekarang.

Saat itu saya menceritakan kepada Agus Edi Santoso (AES) dan perasaan saya mungkin seperti menang lotere karena AES mengatakan bahwa dia masih menyimpan copy dari Pledoi itu. Namun dia bilang bahwa dia tidak menyimpannya di Jakarta tapi di perpustakaannya di Jawa Tengah atau Jawa Timur, saya lupa persisnya. Mendengar itu saya langsung memohon agar AES mau mengambilnya dan memberikan copy kepada saya sambil tentunya berharap-harap cemas semoga apa yang dia katakan benar adanya.

Alhamdulillah, setelah kembali dari Perpustakaannya itu, AES memberikan copy itu pada saya, dan pastinya itu suatu barang yang sangat berharga setidaknya untuk saya sendiri.

AES memang sangat dikenal dengan gairahnya meliterasikan publik dengan ide-ide perubahan. Tak segan-segan dia mengumpulkan banyak tulisan dari berbagai pihak yang akhirnya menjadi penting di kemudian hari. Bahkan beberapa kali dia mendirikan penerbitan untuk menerbitkan berbagai buku “perlawanan” yang penting untuk kita baca. Banyak tokoh menyatakan kekagumannya atas tindakan “tertib” AES dalam mengumpulkan banyak dan beragamnya literatur ini.

Terimakasih Gus, Insya Allah Pledoi itu akan saya terbitkan sebagai bagian dari perjalanan sejarah menegakkan demokrasi di negeri ini.

Selamat jalan kawan, semoga engkau diberi nikmat kubur dan kelak mendiami surga yang abadi… Aaamiiin

--oo0oo--

89Catatan Para Aktiivis

Agus Lennon, Pengobar Api Kemarahan atas Ketidakadilan

Penulis: Nezar Patria

SEORANG SENIOR AKTIVIS WAFAT TADI MALAM dan dia pergi dengan sebuah tanda selamat tinggal, ketika beberapa waktu sebelumnya kawan-kawannya datang membesuk saat dia terbaring di rumah sakit, dia mengatakan bahwa “aku sudah ditunggu Mas Mul dan Amir”. Agus Edi Santoso, aka Agus Lennon, menutup perjalanan hidupnya sebagai aktivis dengan tenang.

Ada jarak jauh antara saya dan Lennon. Ketika gerakan mahasiswa 90an tumbuh di Yogyakarta, dia sudah dulu malang melintang di banyak LSM, dan tampaknya ini ciri khas angkatan gerakannya, Angkatan 80an; bekerja mengorganisir petani yang terus menerus kalah melawan rezim kediktatoran Orde Baru, dan mereka yang terpaksa melepaskan tanah tanpa ganti rugi yang adil.

90 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Pada masa itu kampus dibungkam, kebebasan berpendapat adalah sebuah kemewahan, dan di tengah zaman gila itu ada segelintir anak muda yang marah dan berani mengambil jalan tak lazim serta berbahaya, dengan menjadi aktivis gerakan rakyat. Sementara kehidupan kampus disterilkan dari politik, sejumlah kecil mahasiwa generasi 80an itu keluar dari kampus. Mereka hidup bersama petani-petani yang murka, lalu menghimpun kelompok tertindas itu agar lebih kuat untuk melawan.

Saya tak tahu mengapa dia dipanggil “Lennon”, mungkin sekali karena penampilannya; saya ingat dia dulu suka pakai kaca mata bundar mirip John Lennon. Rambutnya gondrong dengan dagu agak memanjang. Dia kerap bergerak antarkota, dan di Jakarta dia lebih sering bertemu dengan aktivis pro demokrasi seperti Mulyana Kusuma aka Mas Mul, atau para figur mahasiswa di Jakarta seperti Amir Daulay yang kerap dipanggil Amir. Keduanya sudah lebih dulu pergi.

Setiap kali mendengar para senior aktivis wafat, saya merasa ada yang hilang, semacam sentakan yang menyadarkan bahwa pada diri mereka ikut pergi sebuah sejarah, betapapun kecil sumbangannya dalam gemuruh harapan perubahan di masa itu, dan bagasi pengalaman politik yang gaduh itu akan tenggelam bersama jasad-jasad mereka yang kembali ke pangkuan bumi.

Dengan Agus Lennon, meski saya tak pernah bekerja langsung bersamanya tapi kami kerap bertemu dalam beberapa kesempatan, baik sebelum maupun setelah reformasi, dan saya selalu merasa dia tak pernah sungguh-sungguh berubah.

Pada suatu kali di awal 2000, saat saya nongkrong di toko buku TIM Cikini, saya tak sengaja bertemu Lennon yang sedang membawa buku “Demokrasi untuk Indonesia”, karya pemimpin GAM Hasan Tiro. Dia tahu saya dari Aceh, dan daerah itu sedang bergolak di masa reformasi.

Lennon rupanya mencetak buku itu dengan memakai nama

91Catatan Para Aktiivis

penerbit Teplok Press, dan dengan segera ia menjadi buku pertama Hasan Tiro yang diterbitkan kembali setelah edisi lama di tahun 1958. “Ini penting Bung, agar kau tahu mengapa Aceh itu berontak. Kalau kau baca buku ini, dia (Hasan Tiro) sesungguhnya seorang federalis”, kata Agus.

Saya mungkin tak setuju dengan kesimpulan Lennon atas buku itu, tapi saya menghargai keberaniannya menerbitkan karya kontroversial di tengah suara dan pendapat umum yang tak imbang terhadap gerakan Hasan Tiro saat itu. Kita tahu kelak pergolakan daerah ini ikut mengubah lansekap hubungan politik pusat dan daerah yang sentralistik, dan otonomi daerah menjadi salah satu agenda reformasi.

Agus Lennon, dan juga mereka para senior aktivis, bagi saya adalah orang-orang yang hadir ke dunia ini untuk bermacam sebab: sebagai tukang kritik di masa kejumudan berpikir, pemantik kontroversi di tengah keseragaman pendapat, dan juga pengobar api kemarahan atas ketidakadilan. Meski tak semua gerakan pro demokrasi itu berhasil seperti apa yang diharapkan, dan tak semua penggeraknya kelak menikmati perubahan itu, mereka telah melakukan sesuatu yang bernilai: menjaga keyakinan bahwa perubahan bukanlah hal yang mustahil.

Selamat jalan, Bung Agus. Alfatihah.

--oo0oo--

92 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

93Catatan Para Aktiivis

Agus tentang Perempuan dan Cream Muka Mahal

Penulis: Edriana

ALFATIHAH BUAT MU TAK HENTI-HENTI KU UCAPKAN, GUS, sahabat dalam perjuangan melawan kesewenang-wenangan dan membela kaum tertindas.

Aku masih edisi melow atas kepergian sahabat yang setia berjuang di jalan sunyi.

Ingat pada suatu masa tahun 80an, kau selalu menemaniku sebagai aktivis dalam melawan rezim orde baru. Itu ciri khas mu, begitu melihat ada aktivis dengan jiwa pemberontakan terhadap Orde Baru maka kau akan selalu sabar mendampingi. Kau bawakan kami buku-buku bacaan yang tidak akan bisa ditemui di toko-toko buku atau di bangku sekolah pada waktu itu. Idolamu seorang Tan Malaka sehingga kau akan men-supply kita dengan berbagai buku Tan Malaka dan tentu juga aneka buku paman jenggot dan kawan-kawanya, serta selebaran-selebaran di mana kau kami anggap

94 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

sebagai agennya. Termasuk engkau dengan sangat menggebu-gebu mengajak

kita untuk selalu harus secara berkala mengunjungi teman-teman di Cisitu Lama dan kemudian pindah ke Jl. Biologi di Bandung. Karena engkau memang kuat dalam membangun jaringan aktivis antar kota.

Pengenalanku dengan teman-teman aktivis perempuan Jogja dan Salatiga juga atas upayamu agar gerakan perempuan menjadi gerakan sosial katamu. Karena engkau juga selalu mengkritik organisasi perempuan pada waktu itu yang kau katakan telah menjadi elite NGO sehingga gerakannya sangat elitis dan kurang merakyat. Itu lah Agus yang selalu “mengompori” kita agar tetap bersetia pada gerakan rakyat, kaum tertindas.

Pernah suatu hari, setelah kita ikut suatu aksi demo, kau pun menemani kami yang aktivis perempuan pulang untuk meyakinkan agar kami semua aman-aman saja. Sebelum pulang, lalu aku minta agar kita mampir ke toko untuk membeli cream muka. Begitu kau melihat harga cream muka yang kubeli tersebut tak henti-hentinya kau memberi ceramah tentang gaya hidup bourjuis dengan membeli cream muka tersebut. Kami, aku dan Damai, hanya tertawa dan terbukti betapa konsistennya dirimu memegang prinsip sampai akhir hayatmu.

Aku sedih sekali karena masih menerima WA darimu pukul 13.00 - 14.00 siang sebelum kau anval dan masuk ruang ICU. Sedih sekali mengenang WA terakhir darimu.

Selamat jalan kawan dan semua kenangan perjuangan bersamamu akan selalu kami ingat.

--oo0oo--

95Catatan Para Aktiivis

Agus Lennon dan HMI MPO

Penulis: Iwan Samariansyah

AKU TERHARU. Orang baik itu sudah pergi. Dia selalu gelisah tentang suatu hal yang kurang beres. Salah satunya organisasi mahasiswa tempat dia pernah bergulat di dalamnya, HMI. Keberadaan dua HMI bikin dia muram.

Suatu ketika saat bertemu aku, dia mengkritik kawan-kawan HMI MPO, karena meski ada HMI MPO tetapi tidak ada KAHMI MPO dideklarasikan, dibuat dan diorganisir.

Malah para alumni HMI MPO bermesraan dengan para alumni HMI Dipo. Aktif di Kahmi dan melebur di organisasi alumni itu. Jadi presidium, jadi pengurus.

“Kayak tidak percaya diri saja,” ujarnya ketus.“Bang,” aku sapa dia begitu. Sebab dia lebih senior. Sebab dia

10 tahun lebih tua dariku. “Bukankah itu bagus?”

96 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

“Ah apa bagusnya?” ejeknya.“Itu artinya persaingan dan permusuhan gagasan itu berhenti

pada periode yang singkat saja. Di masa mahasiswa. Tidak dibawa mati, teman di atas segalanya.”

“Begitu ya?” ujarnya.“Penyatuan kedua HMI haruslah berjalan alamiah, Bang.

Bukan alumni yang menentukan, tetapi mereka, adik-adik itu yang menentukan. Beri mereka kesempatan mencetak sejarah,” sergahku.

“Tetap saja kurang elok. Apalagi kan sama-sama sudah berasas Islam. Kenapa ndak bersatu saja?”

“Ya, mungkin masih butuh waktu, Bang. Kita tak tahu. Saya dulu punya kegelisahan yang sama kayak Abang,” ujarku menetralisir.

Kami sama-sama terdiam. Berusaha saling meresapi argumentasi kami. Lantas, ada teman nimbrung bicara soal lain. Dan perbincangan kami berakhir.

Agus Lennon memang tak banyak berkomentar lagi soal MPO setelah perbincangan singkat kami itu. Sesekali dia lontarkan itu lagi di WA group tempat kami bergabung. Mungkin dia punya harapan seperti Bang Dul, sebelum ajal menjemput ingin melihat kedua HMI akur, rukun, dan bersatu lagi. Entahlah.

Yang jelas, di berbagai grup WA, kami sama-sama beroposisi terhadap rezim Jokowi. Mendiang Agus Lennon rajin memposting kritikannya pada rezim yang digelarinya badut-badut dungu itu. Aku cuma tertawa atau ngacungi jempol tiap dia komentar.

Di atas segalanya, Agus orang yang senang bergaul lintas ideologi. Dulu kukira dia orang kiri seperti sejumlah teman-temanku alumni Jogja. Ternyata bukan. Dia tetaplah Agus Lennon, penyuka lagu-lagu The Beatles, sama sepertiku.

Selamat jalan, Abang.--oo0oo--

97Catatan Para Aktiivis

Lennon dan Nietzsche

Penulis: Saleh Abdullah

YA, LENNON ITU DARI PANGGILAN AKRAB ALMARHUM Agus Edi Santoso, Agus Lennon. Dulu saya biasa menyapanya Lennon.

Lennon kadang suka jail. Berikut ini salah satu cerita kejailan dia yang “cerdas.”

Pada sebuah diskusi filsafat di sebuah tempat. Seorang teman filsuf dari STF Driyakara berpendapat bahwa Nietzsche bukan sungguh-sungguh ateis, setidaknya secara filosofis.

Karena menurutnya, ketika Nietzsche bilang “tuhan tidak ada,” harus dipahami bahwa kata “tidak ada” tak bisa ada tanpa kita mengerti apa itu “ada.” Maka menurutnya, “tidak ada” itu berarti “ada,” dan sebaliknya.

Perdebatan semantik ini berlarut-larut, sampai diskusi bubar

98 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

tanpa kesimpulan. Peserta pulang satu-satu. Ketika itulah muncul niat jail Lennon. Ia menyembunyikan satu

sepatu sandal si filsuf. Barang tentu si filsuf pusing mencari-cari satu sandal sepatunya

itu. Lennon: Lho, belum pulang kamu?Filsuf: Iya. Sepatu sandalku tidak ada satu. Padahal tadi aku

taruh di sini. Lennon: Masa gak ada? Coba cari lagi. Filsuf: Sudah kucari, gak ketemu! Lennon: Lah, tadi kamu bilang “tidak ada” sama dengan “ada.”

Gimana sih? Filsuf: Bangke lu, Non. Mana cepet. Gua mo buru-buru nih! Non, semoga kamu tetap bisa jail dengan cara yang lucu dan

cerdas di alam sana ke teman-teman yang lain. Tapi jangan dengan cara yang nyebelin, seperti kadang kamu lakukan dulu.

--oo0oo--

99Catatan Para Aktiivis

Agus Lennon, Sahabat yang sangat Bersahabat

Penulis: Andrinof A Chaniago

ADA DI MANA-MANA BAGI SEORANG AKTIVIS pergerakan itu artinya, ada kalanya berkumpul bersama kelompok kiri, ada kalanya bersama kelompok kanan. Ada kalanya bersama kalangan elite terdidik, ada kalanya bersama rakyat akar rumput.

Agus Lennon, panggilan populer Agus Edi Santoso, adalah sosok aktivis dengan pergerakan yang lengkap. Membawa massa petani, atau buruh, atau kaum waria, Agus Lennon terkenal ahlinya. Tapi ia juga editor, sekaligus pengedar berbagai buku yang menginspirasi pergerakan, untuk memberi pencerahan sekaligus membangkitkan semangat melawan rejim yang represif.

Awal 1992, beberapa bulan setelah berdirinya ICMI di Malang, menyusul terbentuk Majelis Sinergi Kalam (Masika) di ICMI Pusat. Masika ini semacam forum aktivis dan intelektual muda dari

100 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

kalangan Islam awal 1990-an. Anggotanya terdiri dari aktivis dan intelektual muda muslim progresif yg ingin memperjuangkan demokratisasi dan HAM. Agus Lennon adalah salah satu aktivis yg sering menghadiri diskusi yang diselenggarakan Masika ICMI dan beberapa kali ikut bertukar pikiran dalam menyiapkan topik diskusi.

Kira-kira akhir April 1992, para aktivis muda muslim ini mempersiapkan diskusi bertemakan Penegakan HAM dan Demokrasi. Yang mengusulkan tema, seingat saya, adalah Agus Lennon. Tetapi anggota lain tidak ada yang menolak. Singkat cerita, acara diskusi siap digelar di suatu sore di awal Mei 1992. Semua pembicara sudah lengkap dan peserta juga sudah cukup banyak. Tetapi tiba-tiba datang beberapa aparat berpakaian sipil memasuki ruangan dan minta acara tidak dijalankan. Seperti biasa, situasi seperti ini berlanjut dengan sedikit ketegangan dan debat antara penyelenggara dan aparat. Ujungnya, acara tetap tidak bisa diteruskan. Tetapi, sebelum bubar semua peserta menyanyikan dulu lagu Indonesia Raya dan disusul lagu Padamu Negeri.

Sebagai Koordinator Masika dan penyelenggara acara, saya masih punya satu tugas, yakni menjalani “pemeriksaan” atau “wawancara” oleh aparat keamanan terkait acara. Berdasarkan hasil negosiasi, “pemeriksaan” tidak diadakan di kantor Polisi, tapi di tempat acara yang batal. Menyusul kesepakatan tadi, tidak berapa lama, datang petugas keamanan lain yg membawa mesin ketik sebagai alat penting dalam setiap pemeriksaan di Kepolisian.

Selesai menjawab tuntas semua pertanyaan polisi, Agus Lennon datang menghampiri saya membawa segelas air minum. “Kau minum dulu lah.... Biasanya, kalau habis interogasi itu kita haus,” kata Agus sambil menyodorkan minuman.

Ya, respon dan ucapan itu datang dari seorang aktivis yg kenyang dengan “pemeriksaan” oleh aparat. Itulah Agus Lennon. (Beberapa hari kemudian majalah Tempo, 9 Mei 1992, memuat kejadian ini dengan judul, “ICMI Pun Kena Semprit”).

101Catatan Para Aktiivis

Cerita singkat di atas yg mengingatkan saya bahwa Agus Lennon adalah sahabat aktivis yg sangat bersahabat. Guyonannya sering tajam. Tapi dia selalu tersenyum. Itu antara lain yg membuat rekan2nya para aktivis kehilangan.

Kami bertemu terakhir saat menghadiri pemakaman Mas Dawam Rahardjo di TMP Kalibata, 30 Mei 2018. Dan, hari ini, puluhan aktivis berkumpul di Condet, mengantar Agus Lennon ke tempat istirahatnya yg terakhir.

SELAMAT JALAN, AGUS... SELAMAT BERISTIRAHAT DENGAN DAMAI....

--oo0oo--

102 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Ded, kita boleh beda pilihan politik tapi

yang musti kita camkan adalah perkawanan kita. Perkawanan itu aset di atas segala perbedaan

politik kita

“ “

103Catatan Para Aktiivis

Selesai Tugasmu Sebagai Pengompor di Dunia, Tak Perlu Diteruskan di Akhirat

Penulis: Tri Agus Susanto Siswowiharjo

“SELAMAT JALAN, MAS AGUS ‘LENNON’ EDI SANTOSO, pengompor aksi protes kelas wahid. Semoga husnul khotimah.” Itulah status di dinding Facebook Hairus Salim, aktivis 80an dari Yogyakarta.

Ya, salah satu aktivis 80an yang melegenda, Agus Edi Santoso mendahului kita kemarin. Agus Lennon, panggilan akrabnya dikenal sebagai aktivis yang konsisten melawan ketidakadilan sejak awal 80an. Lennon bahkan dikenal sebagai pengompor dalam berbagai aksi baik yang dilakukan mahasiswa maupun warga masyarakat lainnya.

Saya tak ingat persis kapan mengenal sosok ini. Tapi yang pasti saya dikenalkan oleh Amir Husin Daulay (AHD), satu lagi legenda

104 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

aktivis 80an. Dua sosok ini sering saya temui di kontrakan Kandang Sapi, Pejaten Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saat itu UNAS kampus AHD adalah pusat gerakan mahasiswa di Jakarta.

Sebagai aktivis Lennon cukup komplet. Ia sering datang di diskusi Kelompok Studi Proklamasi (KSP) bersama Denny J.A., Janminofri Nazir, Nazrina Zuryani, mahasiswa IKIP Jakarta dan aktivis lainnya. Lennon juga giat mengadvokasi rakyat di banyak daerah dan melakukan aksi bersama massa di berbagai kota. Ia tak hanya mempengaruhi orang lain melalui kecakapan dan kesabaran berbicara, Lennon juga mempengaruhi publik melalui buku.

Setidaknya ada dua penerbitan buku lahir dari tangannya, Frantz Fanon Foundation (FFF) dan Teplok. FFF antara lain menerbitkan Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok Gie, Demokrasi untuk Indo-nesia karya Hasan Tiro, sementara Teplok antara lain menerbitkan buku tentang Tan Malaka: Dari Penjara ke Penjara, Madilog, dan Aksi Massa. Buku Mereka yang Berani Menantang Risiko karya Seta Basri tentang sepak terjang Pijar juga diterbitkan Teplok.

Saat mahasiswa IKIP Jakarta akan menggelar Aksi Anti Kekerasan di Kampus Rawamangun menyusul Peristiwa 5 Agustus 1989 dan ditangkapnya beberapa mahasiswa ITB, saya menjumpai selebaran ajakan aksi. Namun di selebaran yang konon beredar di beberapa kampus di Jakarta itu, dicantumkan penyanyi Iwan Fals sebagai salah satu pengisi acara. Saya menduga selebaran (belum dikenal istilah hoax) itu kerjaan duo Amir dan Lennon. Maksudnya baik agar aksi berjalan meriah. Ketika saya tanyakan tentang selebaran itu di Kandang Sapi mereka cuma ngakak.

Menurut Lennon, ada dua mazhab dalam peta pemikiran dan gerakan angkatan 80an. Pertama, “Mazhab Jakarta” dengan Hari-man Siregar cs sebagai idolanya. Mazhab ini menganut pandangan jangan bicara konsepsi atau ideologi ideal ekonomi dan politik ke depan selama Soeharto berkuasa. Yang penting semua energi diar-ahkan untuk menjatuhkan Soeharto. Bila bangunan rejim militeristik Orde Baru runtuh, maka ada space (ruang) untuk bicara apa saja.

105Catatan Para Aktiivis

Kedua, “Mazhab Salatiga” yang dimotori Arief Budiman. Mazhab ini berpandangan bahwa hanya gerakan sosialismelah jalan untuk membebaskan Indonesia dari kemiskinan dan ketergantungan. Soeharto boleh saja berkuasa, tapi gerakan sosialisme harus menjadi sokoguru sistem politik dan ekonomi Indonesia. Mazhab ini kurang bernafsu menjatuhkan Soeharto. Getol bicara sosialisme, tanpa banyak membicarakan soal menjatuhkan rejim militeristik.

Lennon dan beberapa kawan pada 1993 mendirikan Pusat Informasi dan Pendidikan Hak Asasi Manusia (PIPHAM). Tujuan organisasi ini untuk menumbuhkan penghargaan atas hak asasi manusia. PIPHAM giat menyebarkan informasi tentang HAM antara lain melalui penerjemahan buku terbitan PBB tentang HAM ditujukan untuk guru berisi bagaimana menyatukan isu-isu HAM ke dalam intruksional di kelas.

Mewakili PIPHAM Lennon diundang menghadiri konperensi internasional tentang Timor Leste di Portugal pada 1993 yang diadakan di Universitas Porto. Profesor Barbedo Magelhans menjadi tuan rumah konperensi ini. Saya bersama Rachland Nashidik, Khatibul Umam Wiranu New, Roy Pakpahan, dan Sandra Fertasari (almarnumah) menghadiri konperensi yang sama pada tahun 1997. Dia juga menghadiri acara serupa, kampanye kemerdekaan Timor Leste di Australia.

Soal Timor Leste memang Lennon dan PIPHAM lebih dulu namun akhirnya aktivis PIJAR melalui Solidamor yang diketuai Coki Naipospos makin kencang mengkampanyekan isu Timor Leste. Termasuk Solidamor menyelenggarakan konperensi internasional di Jakarta menghadirkan Prof. Barbedo. Karena itu Lennon kalau ke-temu saya sering menggoda, “Cie cie anak buah Profesor Barbedo.”

Pada 2004 Lennon dan AHD umroh. Mereka mengalami peristiwa religius yang susah dijelaskan. Saat jalan-jalan mencari udara segar di sekitar Hotel Sheraton Mekkah, tiba-tiba ‘mak bedunduk’ ada Ka’bah di depan mereka. Reflek mereka sujud dan sholat, dan menangis.

106 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Masih di Mekkah, paginya Lennon dan AHD tawaf. AHD bilang, “Mengapa tawaf muter ke kiri? Padahal arah kanan sunnah.” Lennon menjawab, “Allah memang memihak kiri sebenarnya.”

Saat Lennon dan AHD bertemu di akherat mungkin mereka akan membicarakan Jokowi. Pada 2014 AHD mendukung Jokowi. Katanya, “Mbuh piye carane Jokowi presiden.” Sebaliknya, Lennon anti Jokowi atau tidak suka terhadap Jokowi. Apakah mereka akan berdebat, entahlah.

Soal pilihan Lennon yang kritis terhadap Jokowi, ada satu peristiwa yang patut dicatat. Suatu saat dalam perjalanan di Jawa Timur ia perlu segera istirahat di sebuah rumah sakit, komplek PT Perkebunan. Lennon kepada petugas rumah sakit mengatakan, “Sampaikan ke bosmu, ada kawan yang sakit di RS PTP namanya Agus Edi Santoso.” Kawan Lennon yang menjabat sebagai komisaris itu kemudian “mengerjai” Lennon. Setiap perawat memberi obat dan makan ke Lennon, selalu mengatakan, “Rumah Sakit ini pro Jokowi, dokter dan perawat pro Jokowi, pegawai pro Jokowi.”

Meski beda pilihan, namun antara Dedy Mawardi, sang komisaris di PTP itu dengan Lennon tetap baik. “Ded, kita boleh beda pilihan politik tapi yang musti kita camkan adalah perkawanan kita. Per-kawanan itu aset di atas segala perbedaan politik kita”. Itu kalimat dari Agus Edi Santoso terakhir ke Dedy. Bagi Dedy, Lennon adalah kawan dan guru kemanusiaan yang telah mendahului kita semua.

Pada Januari 2018 saya dalam rombongan satu mobil dengan Lennon dari Jogja menuju Salatiga, menjumpai idola Mazhab Salatiga, Arief Budiman yang sedang sakit. Setahun berikutnya saya kembali bertemu (terakhir kali), saat sama-sama takziah di rumah Mohamad Yamin di Yogyakarta.

Selamat jalan Agus Lennon, terima kasih telah membuat mahasiswa dan kaum muda 80an berani melawan rejim Soeharto. Oh, ya, tak perlu mengompori lagi di akherat sana, ya. Salam buat AHD dan kawan-kawan

--oo0oo--

107Catatan Para Aktiivis

Agus Jago Memasak Rawon, Sop, dan Cumi a la Ibunya

Penulis: Jonminofri Nazir

AGUS EDI SANTOSO NAMA ASLINYA. Tapi dia lebih dikenal sebagai Agus Lennon. Nama Agus Lennon yang “dikutip” dari nama John Lennon itu lebih lengket di ingatan saya dibandingkan nama asli Agus. Sebenarnya Agus “mengutip” gaya John Lennon berkacamata. Lalu teman-teman yang memanggilnya “ Agus Lennon” karena kaca matanya mirip. Apakah Agus bisa bernyanyi layaknya Lennon asli? Saya pastikan, Lennon aktivis ini tidak pandai.bernyanyi.

Saya perhatikan, Agus sendiri tidak pernah mengenalkan dirinya sebagai Agus Lennon. Dia hanya menyebutkan nama “Agus” jika berkenalan dengan orang. Tetapi dia akan menuliskan Agus Edi Santoso jika menulis dia harus menulis namanya.

108 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Agus adalah orang Madura. Tapi, dia tidak pernah “mengeluarkan” medog Madura jika bicara. Bicaranya tidak seperti orang Madura. Tidak seperti Menhakam Mahfud MD, yang kelihatan Maduranya dari suaranya.

Namun, soal ketangguhan, Agus sangat tangguh seperti orang Madura lainnya. Ia pernah bercerita tentang masa-masa muda, ketika ia mulai kuliah di Yogyakarta. Agus harus mencari uang untuk membayar uang kuliah, dan untuk makan sehari-hari. Ia menawarkan buku ensklopedia yang tebal dan berjilid-jilid itu ke mana-mana, sampai ke luar kota Yogyakarta. Agus menjajakan buku itu kadang-kadang harus berjalan kaki, dan membuat bajunya basah oleh keringat. Karena itu, jika masuk ke ruang kuliah dia sering mengambil kursi paling belakang karena penampilannya seperti tukang becak baru menarik beca di tengah panas. Hitam dan penuh keringat.

Agus sudah senang jika dia bisa menjual satu paket saja buku tebal-tebal itu. Sebab, keuntungan yang diperolehnya cukup untuk membiayai hidupnya beberapa bulan di Yogya. Kepada orang yang membeli buku mahal itu, Agus juga meminta beberapa nama lain yang berpotensi untuk membeli ensklopedia. Kelak, nama itu akan dihubungi Agus apabila persediaan uangnya tipis.

Kita bisa melihat masa muda Agus ini: dia tangguh, ulet, dan panjang akal untuk mencari uang. Dari jualan ensklopedia ini juga terlihat kemampuan Agus membuat jaringan pertemenan.

Agus pindah ke Jakarta, di awal tahun 80an. Saya tidak tahu tahun persisnya. Tetapi Agus mulai datang ke diskusi Kelompok Studi Proklamasi di rumah Pak Djohan Effendi, sekitar tahun 1983 atau tahun 1984. Di sini saya mengenal Agus. Beberapa teman mencurigai Agus sebagai intel karena dia sering tidak muncul, atau tiba-tiba muncul di tempat lain, dan ketika itu teman-teman tidak banyak yang mengenal Agus.

Agus pernah bercerita bahwa dia datang ke KSP awalnya bukan untuk berdiskusi saja. Tapi sekaligus untuk mencari makan gratis.

109Catatan Para Aktiivis

Kata Agus, dia ingin kuliah di STF Driyarkara. Lalu, dia numpang tinggal seminggu di kantor PB HMI di Jalan Diponegro 16, Jakarta Pusat. Selam sepekan itu Agus akan mencari kos di sekitar kampus STF yang sebenarnya dia belum tahu juga lokasinya.

Pada masa itu, di PB HMI sedang heboh tentang keharusan azas tunggal Pancasila, termasuk untuk HMI. Heboh-heboh itu membuat kantor HMI tidak ada listrik dan tidak logistik kering. Kompor juga mati. Akibatnya Agus dan teman-teman sering melewati hari tanpa makan pada masa itu. Itu terjadi berhari-hari.

Suatu pagi , “Saya pagi-pagi melihat Sekjend PB HMI Alex Tofani dari UNSU mengunyah-nguyah,” kata Agus. Agus ingin tahu Alex makan apa di saat kesusahan tersebut. Ternyata Alex makan beras mentah. Dari peristiwa itu, Agus belajar makan beras mentah juga. “lama-lama terbiasa,” Agus mengenang peristiwa itu sambil ketawa-tawa seperti biasa Agus bercerita apa pun, yang lselu diimbuhi dengan tawa dan senyum.

Seorang teman Agus yang mengetahui kondisi Agus seperti itu menyarankan dia pergi ke rumah Pak Djohan Effendi di Jalan Proklamasi, tidak jauh dari kator PB HMI.

Lalu Agus memberanikan diri mampir ke rumah Pak Djohan. Agus tidak akan pulang sebelum ditawarin makan oleh Pak Djohan. Lama-lama, karena sering datang ke rumah Pak Djohan, Agus berani bilang kepada Bu Djohan dia mau makan begitu baru datang.

Suatu saat Pak Djohan meminta Agus untuk datang setiap hari Minggu karena ada diskusi di rumahnya. Sejak saat itu, Agus sering datang ke KSP.

Setelah selesai kuliah, saya tidak sering bertemu Agus dan kawan-kawan Proklamasi lagi.

Saya baru bertemu lagi dengan Agus dan teman-teman lama aktivis sekitar tahun 2010 karena saya sudah meningalkan dunia bekerja yang rutin.

Di masa ini saya banyak berbicara dengan mendalam dengan

110 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Agus. Jadi saya lebih mengenal Agus sebagai kawan, pria, pebinis, dan lainnya. Termasuk hal-hal yang sangat lucu.

Kesan saya yang mendalam adalah Agus mempunyai jaringan pertemanan yang amat luas. Mulai dari pejabat, aktivisi, ilmuwan, orang kecil, orang besar banyak yang dikenal Agus dengan baik. Mereka juga mengenal Agus. Saya kira, orang tekesan pada Agus, seperti saya, karena dia tidak pernah menempatkan dirinya berada di ujung yang ekstrim. Dia telihat mudah menerima perbedaan. Juga tidak ngotot pada pendapatnya sendiri. Dan yang paling penting adalah Agus tidak tidak pernah terdengar mengecam orang.

Tetapi ada tiga hal yang melekat pada Agus dan susah hilang.Pertama, siapa pun yang menjadi presiden di Indonesia, Agus

akan pasang jarak. Dia akan mengkritik kebijakan presiden itu. Mungkin hal ini didasari pada karakter Agus yang dekat dengan orang kecil, dan ingin melihat wong cilik ini cepat makmur di Indonesia. Yang terjadi, wong cilik tidak pernah habis di Indonesia. Jadi, Agus selalu mengkritik kebijakan presiden. Karena presiden tidak cepat membawa kesejahteraan dan penegakan hukum di Indonesia. Jadi, sejatinya, Agus ingin cepat-cepat melihat tanah airnya ini maju. Dan, belum ada satu presiden di Indonesia yang mampu membawa Indonesia menjadi negara yang sering dibayangkan oleh Agus.

Kedua, Agus sangat meperhatikan orang kecil, minoritas, dan orang tertindas. Suatu hari Agus bercerita kepada saya bahwa dia ingin membawa sejumlah orang buta pantai. Pantai paling dekat adalah Ancol. Dia ingin memberikan pengalaman keapda sejumlah orang buta itu bagaimana berada di pantai: merasakan pasir pantai, merasakan air laut mengenai kaki dan tangan, dan mendegar suara air laut. Ini adalah keinginan Agus yang jarang terlintas di benak banyak orang, terutama saya. Akhairnya, Agus sukses membawa beberapa orang buta pantai. “Mereka senang sekali,” kata Agus.

111Catatan Para Aktiivis

Ketiga, menurut saya Agus sebenarnya adalah pedagang tangguh seperti halnya orang Madura. Tiga bulan lalu Agus sempat bercerita pada saya bahwa dia akan mendapat uang banyak dari menjual besi bekas (scrab). Tentu saja yang dilakukan Agus adalah menghubungkan pemilik besi dengan calon pembeli. Tapi, sampai di meninggal bisnis yang bakal mendatangkan untung besar ini belum terjadi. Nah, menurut Agus, dia sering mendapat uang besar dari kemapuannya mencarikan ornag yang berminat pada barang yang akan dijual temannya: biasanya rumah atau tanah. Dari keuntungan berjualan itu Agus memiliki rumah besar yang ditempatinya sekarang, dan dijadikan cafe. Juga mesin espresso –yang berharga sampai dua ratus atau tiga ratus juga rupiah-- yang dimilikinya berasal dari komisi dari penjualan tanah.

Terakhir, yang mengagumkan dari Agus adalah kejujuran.Contoh terakhir yang saya dengar dari Agus adalah: pada

suatu hari dia akan ke kantor Lazismu. “Ingin menyerahkan ini,” katanya sambil meprlihatkan tas kepada saya. Saya tidak tahu apa isinya. “Saya mendapatkan souvenir ini karena peran saya sebagai Lazizmu karena itu barang ini menjadi hal lazismu,” katanya.

Barangkali karena kejujuran dan integritas Agus ini dia ditunjuk sebagai bendahara Lazismu, dan menjadi salah satu dari dua orang yang berhak menandatangani cek yang diterbitkan oleh Lazismu.

Selamat jalan Agus Lennon.Sebenarnya saya masih ingin mencicipi cumi goreng yang

kamu janjikan tempo hari. Tapi Kamu keburu pergi. Saya bersaksi masakanmu: rawon dan ikan kuah bening dengan bumbu dan cara mengolah yang kamu pelajari dari ibumu, sungguh enak luar biasa.

--oo0oo--

112 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Agus sangat mudah bergaul dengan

siapa saja, dan kami yang lebih muda

ini dengan ringan menyebut namanya tanpa embel-embel

mas, kak, atau bang

“ “

113Catatan Para Aktiivis

Selamat Jalan, Kamerad!

Penulis: Yuni ‘Neni’ Satia Rahayu

AGUS EDI SANTOSO ATAU KAMI BIASA MENYEBUTNYA sebagai Agus Lennon telah memberi warna bagi gerakan perempuan di Jogja. Diakui atau tidak,-- tindakan dan sikap yang dia tunjukan seperti itulah. Laki-laki berkacamata dan sepertinya selalu serius itu sering membawakan buku saat bertemu dengan kawan-kawan perempuan dalam berbagai event.

Sikap agus Lennon terhadapku penuh perhatian tetapi wujud perhatiannya disampaikan dengan kalimat-kalimat yang provokatif,--yang pasti membuat kita terpacu untuk tidak patah semangat melakukan pengorganisasian pada kelompok-kelompok perempuan rentan.

Sikap provokatif Agus sangat membantu melecut kembali semangat untuk bekerja lebih keras. Sayangnya Agus sering pergi lama tidak nampak di sekretariat Rode, tempat kami nongkrong berdiskusi dan mendengarkan perdebatan antar punggawa aktivis

114 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

mahasiswa tahun 1980-an.Agus rajin menyapa para aktivis laki-laki maupun perempuan

sekedar untuk diskusi menambah wawasan para aktivis. Agus sangat mudah bergaul dengan siapa saja, dan kami yang lebih muda ini dengan ringan menyebut namanya tanpa embel-embel mas, kak atau bang. Bahkan Agus akan sinis menjawabnya kalau kita menyebutnya dengan panggilan-panggilan sebagaimana lazimnya panggilan kakak dalam masyarakat kita. Awalnya cukup kaget dengan sikap sinis yang ditunjukkan oleh Agus, tetapi ternyata langsung menyebut nama itu untuk menghilangkan gap antara yang tua dan yang muda. Agar semua setara dan tetap kritis sebagai kawan.

Banyak kenangan tentang Agus Lennon yang ada dalam ingatan saya. Pemilu 2019 ini menyebabkan banyak aktivis terpecah dukungan pada calon Presiden. Saya dan Agus beda pilihan tapi bukan itu yang kemudian menyebabkan hubungan kami agak menjauh. Tetapi karena sikapnya yang membela satu aliran politik yang kami anggap dapat mengganggu kehidupan berbangsa kita dan mendiskreditkan gerakan perempuan yang dulu turut Agus perjuangkan. Pilpres membuat kami tidak dapat menerima perbedaan ini.

Saya menjadi lebih memaafkannya saat Agus hadir di acara peringatan 100 hari wafatnya suami (almarhum M. Yamin-red). Dia nampak tidak sehat dan kurus. Itulah pertemuan terakhir kami. Bahkan Agus sempat membuat WA grup Demokrasi yang lebih menyatukan kawan-kawan yang terbelah karena pilihan politik yang berbeda.

Selamat jalan Agus Edi Santoso semoga jalanmu lancar menghadap Sang Khalik. Semoga kenangan yang ditinggalkan selalu memberi kekuatan pada keluargamu.

--oo0oo--

115Catatan Para Aktiivis

Agus adalah Sahabat, Lebih Baik dari Teman

Penulis: Mishar Ilyas

SAAT ITU SAYA SEDANG BERDIRI DI BAWAH PANAS terik matahari di bawah pohon jambu kantor sekretariat PB HMI jalan Diponegoro 16 A Jakarta, tiba-tiba seorang berbadan tinggi besar menghampiri saya mengucapkan salam sembari mengulurkan tangan: AGUS DARI HMI CABANG YOGYAKARTA.

Tahun 1984 awalnya, itulah sosok alm. Agus Edi Santoso (AES) untuk pertama kali saya mengenalnya sebagai aktivis mahasiswa Yogyakarta yang kemudian sama-sama menjadi PB HMI 1983-1986 di bawah kepemimpinan Harry Azhar Azis.

Demikian waktu terus berjalan kamipun menjadi teman ngopi bareng dan nongkrong di bioskop Megaria Jakarta, kadang terlibat diskusi politik aktual menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya

116 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

azas, di waktu lain kami berdiskusi soal ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan pemerintah dalam pemerataan.

Sebagai aktivis mahasiswa hari-hari kami lalui bagai gelombang kadang di atas kadang di bawah, pola pikir sering berbeda dalam realitas politik terkadang memiliki kesamaan dalam memandang sesuatu yang sedang terjadi.

Suatu hari saat dalam perjalanan tiba-tiba handphone saya berdering…. Hallo ni gua Agus lo di mana ? Gua diopname di rumah sakit lo mampir ke sini ya.

Agus dalam mengungkapkan pikirannya langsung ke inti masalah tapi terkadang sangat filosofis dalam menjelaskan sesuatu.

Bro gua ada di rumah lo mampir ke rumah gua ya…. itulah Agus seorang teman yang memiliki perhatian dan loyalitas kepada teman lainnya. Ketika saya berkunjung ke rumahnya di sanalah Agus curhat kondisi kesehatannya kepada saya: Mis….gua ada masalah di jantung tapi dokter gak mau pasang ring di jantung gua. Itulah sepotong ucapan dari Agus yang sulit dimengerti.

Di waktu lain Agus telpon: Mis…..gua udah buka cafe di rumah gua jual kopi aceh, ade gule plik u, ade gule ikan kayu dan gule ikan kakap tapi sehari sebelumnya kalo lo datang kasih tahu gua bisa dipersiapkan.

Terakhir komunikasi kami dengan Agus via japri Whatsapp pada 9 Januari 2020 saat dionpname RS Harapan Kita, kata Agus: Saya di rumah sakit tolong bantu doa ya tapi jangan publish di group.

Selamat berpisah sahabatku Agus Edi Santoso semoga nilai-nilai sahabat lebih baik dari teman.

--oo0oo--

117Catatan Para Aktiivis

Misteri Cahaya di Kafe Tji Liwoeng

Penulis: Ahmadie Thahawartawan senior, pernah di Majalah Tempo dan Harian Umum Republika

PERSIS SEBULAN LALU MENURUT HITUNGAN kalender Hijriyah, di malam Jumat 15 Rabiul Akhir 1441, saya bertandang ke kafe Mas Agus Edi Santoso, membonceng anak bungsu saya Qonita yang hafidzah. Hanya butuh waktu sekitar 20-an menit bagi saya untuk tiba di sana.

Karena badannya kurang sehat, masih batuk termehek-mehek sepulang dari Rakernas LazisMu di Rinjani, Mas Agus menerima saya di kamar tidurnya yang ber-AC. Usai shalat maghrib, tiba-tiba dia mengajak saya naik ke lantai atas, ke ruang kafe yang baru beberapa bulan dibukanya. Rumahnya tertingkat tiga dengan arsitektur Bali.

Duduk di ruang kafe yang terbuka dan diterpa angin Ciliwung

118 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

ini, di kursi antik asal Madura yang memenuhi seluruh kafenya, Mas Agus coba mencari posisi agar batuknya tak menjadi-jadi. Dia coba menutup tubuhnya dengan jaket, agar angin Ciliwung tak mengganggunya. Saya pun berusaha memintanya kembali ke kamar saja, tapi dia menolak.

Sambil saya minum kopi racikan baristanya asal Bali, saya mendengar cerita Mas Agus tentang putrinya di Madura yang baru selesai ujian pertengahan tahun, dan rencananya mau pulang liburan. Dia bangga anaknya yang bungsu sudah hafal salah satu surah al-Qur’an yang agak panjang, dan minta dites oleh Qonita. Selain hafalan anaknya tepat, bacaannya bagus sekali.

Di tengah itu, datang seorang kawan, mantan wartawan Swa, kini jadi pengusaha importir, yang saya lupa namanya. Kami pun terlibat diskusi bermacam hal, terutama kondisi ekonomi yang lesu di mana-mana. Juga tentang usaha kuliner, racikan mie Acehnya, serta resep kopinya. Tak terasa, jam sudah menunjukkan hampir pukul 22.00.

Akhirnya saya pamit pulang. Tapi sebelum itu, saya minta berfoto bersama. Menggunakan kamera HP saya, Castro anak laki-laki Mas Agus diminta memotret kami yang duduk di meja. Begitu melihat hasil jepretannya yang empat kali, saya kaget kok ada beberapa cahaya seolah-olah berasal dari lampu sorot dalam foto itu, padahal di dalam kafe tidak ada lampu yang memungkinkan mengeluarkan cahaya seperti itu.

Saya lantas teringat, malam itu malam Jumat, maka saya pun bilang ke Mas Agus, pasti ada sesuatu makhluk gaib hadir di ruang ini, yang hanya bisa tertangkap cahayanya di kamera. Makhluk itu kemungkinan memang terbuat dari cahaya.

Lantas, kami pun terlibat diskusi, sambil badan mulai terasa merinding dan terkesiap tentang kemungkinan hadirnya makhluk halus seperti malaikat. Sempat terbetik di kepala, jangan-jangan hari-hari Mas Agus sudah dekat, apalagi kesehatannya terus menurun dalam beberapa bulan terakhir. Cahaya itu tetap misteri

119Catatan Para Aktiivis

sampai sekarang.Yang pasti, persis sebulan kemudian, Jumat malam Sabtu

14 Jumadil Ula 1441 (10 Jan 2020), pukul 21.11, Mas Agus Edi Santoso wafat di RS Harapan Kita. Saya sempat beberapa kali membisikkan tahlil dan hauqalah ke telinganya, sebelum dokter menyatakan dia sudah tiada. Dia pergi selamanya meninggalkan seorang istri dan empat putera-putri, serta jutaan kenangan bagi para sahabatnya yang begitu banyaknya.

Selamat jalan Mas Agus dengan husnul khatimah.

--oo0oo--

120 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

121Catatan Para Aktiivis

Agus Lennon, Aktivis Kiri-Islam Indonesia yang Humanis

Penulis: Bob RandilaweAktivis Mahasiswa 80-an, Pemerhati Lingkungan Hidup

KABAR WAFATNYA AGUS EDI SANTOSO (LENNON) Jumat malam tanggal 10 Januari 2020, beredar cepat dari WAG ke WAG, khususnya yang disesaki para mantan aktivis pro demokrasi di tanah air dan lebih khusus lagi, mereka yang memiliki interaksi emosional, intelektual, atau bahkan ideologis dengan Lennon.

Saya tergolong tak tahu sejak kapan julukan Lennon disandangnya. Sebutan yang sangat populer di kalangan aktivis 70an, 80an, hingga era 98. Dengan Lennon, seingat saya pertama bertemu di sekretariat PIPHAM di kawasan Cawang, disana saya bertemu rekan aktivis Dediseh (Mahasiswa Sastra

122 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Universitas Indonesia), Santoso (Aktivis Jogja), dan lainnya. Saat itu saya datang untuk urusan advokasi dan propaganda aksi-aksi mahasiswa di Jakarta, setelah penangkapan para aktivis KMPTL bulan Mei tahun 1989 di Senayan.

Dimotori saudara Standarkiaa, Nuku Sulaiman (almarhum), Indra Iskandar, Okki Satrio, serta saya sendiri, kami mendirikan Badan Kordinasi Mahasiswa Jakarta (BKMJ), sebagai sarana konsolidasi aksi-aksi dan Jaringan lintas kampus/kota se Jawa Bali.

Saat itu Lennon sudah berada di pusaran inti gerakan anti orde baru/suharto. Di era paska 98, Lennon masih sering turun ke jalan bersama kawan-kawan mudanya dari Jaringan Aktivis Prodem, yang ikut dibidaninya dan dikelolanya secara ‘proxy’ dengan mendidik aktivis-aktivis muda yang militan dan kerakyatan.

Berbagai kesaksian, mengungkap betapa luwes dan luas spektrum pergaulan politiknya. Bahkan di era politik identitas saat ini, Lennon mempraxiskan adagium: “Politik secukupnya, pertemanan sepenuhnya!”. Tak soal berbeda “blocking politik di mana pun, namun pertemanan atas dasar kemanusiaan jangan dirusak”.

Sikap ini mengingatkan pada ucapan Ernesto Guevara (che), “great revotionaire is a great lover”, seorang pejuang keadilan adalah pencinta kemanusiaan sejati. Itu yang lekat kentara di mata saya tentang perspektif politik Agus Lennon. Melihat metode gerakannya, caranya merawat pertemanan, buku-buku yang diterbitkan, hingga trik-trik politiknya, Lennon nampaknya memposisikan garpol-nya sebagai aktivis kiri-islam yang radikal dan kerakyatan.

Ia pun meninggalkan semacam ‘legacy’ di kediamannya: Tji’ Liwoeng cafe, di kawasan Condet, persis di sempadan Kali Ciliwung: sebuah resto yang artistik, sederhana, dan bercorak khas nusantara. Semoga usaha itu bisa diteruskan pihak keluarga, agar para sahabat Lennon bisa sekedar mengenangnya dari jarak dekat.

Konon Agus sudah lama memendam sakit jantung, penyakit

123Catatan Para Aktiivis

yang akhirnya merenggut nyawanya. Apakah karena sakitnya itu yang membuatnya banyak senyum dan kelakar, agar jantungnya tak terlalu berat mensuplai O2 ke pikirannya yang ‘nakal’ dan kritis? Atau senyum itu sebagai perwujudan sikap islaminya, bahwa senyum adalah ibadah? Wallahua’lam bissawab…

Dari jarak dekat, dari Tji’liwoeng cafe, ternyata Lennon seorang yang cinta keluarga, berdamai dengan lingkungan sosialnya, dan selalu memilih pola gerakan yang merakyat. Selamat jalan kawan Lennon, sampai jumpa di SorgaNya Tuhan Yang Maha Kuasa, nun di sana….

--oo0oo--

124 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Nyaris semua hal bisa dia kritisi: tanpa pandang

bulu. Dan dia selalu ingin menunjukkan komitmennya pada kemanusiaan, dan

bagaimana ber-Indonesia yang benar.

““

125Catatan Para Aktiivis

Aktivis Legenda yang Bersahaja

Penulis: M Alfan Alfian Anggota LHKP PP Muhammadiyah

AGUS EDI SANTOSO YANG AKRAB DIPANGGIL AGUS LENNON wafat, Jumat malam (10/1/20). Innalilahi wa inna ilaihi rojiun, semoga husnul khotimah.

Sebagai yunior, tentu saya memanggilnya Mas. Mas Agus ialah senior saya di HMI, dan belakangan Muhammadiyah. Tapi semasa akhir 1990-an tentu dia salah satu senior saya “di jalanan”.

Saya mengenal namanya sepintas lalu sejak SMA, ketika membaca buku kumpulan tulisan Nurcholish Madjid, “Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan” (Mizan, 1987). Walaupun namanya tak tertera di sampul, tapi namanya tercantum di halaman keterangan buku, sebagai penyunting.

Ketika saya hijrah ke Jakarta, menjadi aktivis HMI pada akhir

126 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

1995, dia sudah dikenal sebagai aktivis yang tersohor. Dia begitu egaliter dan bertipe pengayom: menampung segala macam “aktivis”, terutama yang baru datang dari daerah, dan “keleleran” tak punya kos. Dalam fungsi ini dia mirip Bursah Zarnubi. Dia di PIPHAM, Bursah punya Humanika.

Para “gelandangan” seperti kami, yang tak punya “apa-apa”, mau ke mana lagi kalau tak mencari tumpangan? Sedang kantor PB HMI di Jalan Diponegoro 16, sudah penuh sesak.

Dari aktivis ke aktivis lain, nuansa kritis, kalau bukan anti-Orde Baru sangat terasa saat itu. Dan, alumni HMI ada di mana-mana. Plural. Tidak monolitik. Di barisan “civil society” yang kritis alias oposisi, tak kurang-kurang. Ketika itu, almarhum Munir juga sudah hijrah ke Jakarta. Sering pula kami sambangi di kantor YLBHI, tak jauh dari kantor PB HMI.

Hal-hal yang sering menjadi persiapan ialah tempat-tempat tersembunyi untuk bisa lari lebih cepat dari kejaran intel atau aparat. Tak di tempat Cak Munir, Bang Bursah, atau Mas Agus.

Mas Agus, jauh dari bayangan saya semula, yang ternyata tak sebatas penyunting buku Cak Nur semata-mata. Dia memilih bergerak sebagai aktor LSM yang kritis, dan sangat “pemberani”. Dia memilih pendekatan yang “nyerempet-nyerempet bahaya”, ketika rezim kekuasaan membentuk wajahnya bak Leviathan.

Yang saya sukai dari sisi lain ialah, kesetiaan diskusi yang rasional dan kritis. Aspek intelektualnya menonjol: intelektual yang berpihak pada kemanusiaan, di mana hal itu selaras saja dengan nilai-nilai Islam.

Kesungguhannya pada tradisi intelektual itu juga diekspresikan ketika dia bergerak pula membuat penerbitan: Teplok Press. Buku-bukunya bagus-bagus, kendati orang melihat itu buku-buku “kiri”. Tetapi, ketika saya, Kholid Novianto dan Riyono Asnan menulis “biografi Akbar Tandjung” dengan arahan almarhum Mas Bahtiar Effendy dan Musfihin Dahlan, penerbitnya Teplok Press pada edisi pertamanya.

127Catatan Para Aktiivis

Tahu kalau saya suka menulis dan baca buku, Mas Agus selalu memulai arah pembicaraan ke sana. Apa tulisanmu yang baru? Ada buku baru apa? Dari sini, saya melihatnya, bukan sekadar aktivis, tapi sekali lagi dia juga seorang “intelektual yang kritis”. Dia memang suka memantik diskusi kritis.

Nyaris semua hal bisa dia kritisi: tanpa pandang bulu. Dan dia selalu ingin menunjukkan komitmennya pada kemanusiaan, dan bagaimana “ber-Indonesia yang benar”. Dalam hal yang terakhir ini, dia sangat tidak suka perilaku korup para pejabat, juga aparat yang tak membela rakyat, sekadar jadi alat penguasa.

Dia aktivis LSM yang lengkap: suka memantik diskusi kritis dipenuhi aneka kegelisahan, demonstran yang tampil dan tajam, tapi juga punya kegiatan pemberdayaan masyarakat. Semua dia lakoni dengan, menurut kesan saya, tanpa pernah mengeluh dan jarang terkesan marah. Kecuali kalau demo tentu wajahnya serius, tegas, berapi-api.

Posisi saya memang sekadar aktivis HMI saat itu, dan tentu dihadapkan pada sekian referensi para mantan aktivisnya. Ada yang di pemerintahan, ada yang di “oposisi”. Semua saling mewarnai dinamika sosial dan kepolitikan di Indonesia.

Mas Agus salah satu legenda di ranah “oposisi” pada 1990-an itu. Pria asal Situbondo ini hijrah ke Jakarta sebagai aktivis Pengurus Besar HMI semasa Harry Azhar Azis ketua umumnya.

Saat itu, masa yang sangat krusial dalam dinamika politik nasional: masa ketika asas tunggal dicoba diterapkan, dan akhirnya memang “dipaksakan”. Ormas-ormas keagamaan dilematis. HMI dalam posisi yang dilematis. Para aktivis yang kritis, berbeda pandangan, berkonsekuensi dianggap sebagai “musuh negara”. Dan ini ialah jalan yang susah.

Mas Agus memilih jalan yang susah itu. Tapi ini ialah jalan bagi demokrasi. Jalan bagi reformasi, yang lantas tak terelakkan datangnya: 1998. Dan, siapa tak kenal namanya saat itu?

*

128 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Saya datang lebih awal di acara pernikahan putri Mas Hajriyanto Tohari awal Desember (2019) lalu, ketika Mas Agus sudah rapi sebagai among tamu.

“Buku apa yang lagi kau tulis?” Pertanyaan ini nyaris berpola seragam, ketika ketemu saya di berbagai urusan. Mungkin Mas Agus sudah menganggap wajah saya seperti buku.

“Banyak. Antara lain soal demokrasi digital …” jawab saya.“Apa yang menarik dari tema itu?”“Banyak!”Lantas saya sempat jelaskan tentang hal-ikhwal automatisasi

algoritma. Dan, sedikitnya referensi tentang riwayat dan kontribusi Muhammad Ibn Musa al Khwarizmi, matematikawan agung “penemu angka Arab”, aljabar, dan algoritma. Algoritma sendiri ialah penyimpangan namanya dalam bahasa Latin Algorismi, ketika kitabnya diterjemahkan dalam bahasa tersebut.

“Jadi Mas Agus,” kata saya, “zaman di mana hidup kita sekarang diintai dan secara nggak sadar diarahkan oleh raksasa raksasa teknologi digital itu, tak lepas dari kontribusi sarjana Muslim kita tempo dahulu. Al Khwarizmi pernah jadi direktur Baitul Hikmah semasa kekuasaan Abasiyah. Dia dari daerah yg dialiri sungai Amudarya atau Oxus di Asia Tengah … bla, bla, bla. Ada dua kemungkinan kalau dia hidup lagi di zaman ini: tak tahu apa-apa tentang perkembangan algoritmanya yang sudah bertemu komputasi; atau dia akan segera paham dan kasih nasihat-nasihat bijak …”

“Yang menarik lagi apa?” tanyanya.“Banyak. Di antaranya, pandangan Shoshana Zuboff tentang

surveillance capitalism atau, dalam terjemahan saya kapitalisme pengintaian. Bahwa raksasa raksasa teknologi digital itu secara gratis telah dapat banyak sekali data dari kita. Dan, terutama untuk kepentingan komersial, kecenderungan kecenderungan kita secara otomatis mereka mudah petakan: justru karena perilaku kita sudah terintai secara automatis. Dalam politik, kapitalisme

129Catatan Para Aktiivis

pengintaian nyaris identik dengan pengawasan melekat secara digital, sehingga negara berpotensi menjadi apa yang digambarkan George Orwell dalam novelnya 1984. Semua sisi dari wajah kita telah diintip secara ketat. “Big brother is watching you!” Big brother atau Bung Besar itu kini bisa negara, bisa pula raksasa-raksasa teknologi itu.”

“Hal menarik yang perlu kita diskusikan mendalam,” ujarnya, ketika acara sudah hendak dimulai, pranatacara pernikahan mengumumkan agar hadirin siap menyambut rombongan pengantin.

“Wah, sampai hampir lupa kalau saya among tamu,” katanya sambil tertawa. Mas Agus menarik HP-nya, “Kita selfi dulu …”

Walaupun kami ada setia di grup WA dengan lontarannya yang “lucu-lucu”, tapi tampaknya, acara pernikahan putri Mas Hajriyanto Tohari itu, pertemuan saya terakhir kalinya dengan Mas Agus.

Pernah kami berjumpa di kantor PP Muhammadiyah. Mas Agus kaget, “Lho, kau Muhammadiyah juga?”

Saya jelaskan bahwa saya anggota LHKP periode 2005-2010 dan 2015-2020. Lantas, saya yang tanya balik, “Mas AgusMuhammadiyah juga?”

“Ya saya diberi amanah ikut mengelola Lazismu, banyak hal yang perlu dikerjakan untuk kemanusiaan,” ujarnya sambil tersenyum. Wajahnya sudah makin tampak “sangat lebih tua” ketimbang ketika perjumpaan saya akhir dekade 1990-an. Kesannya dia ingin lebih “semeleh” dan bijak.

--oo0oo--

130 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

131Catatan Para Aktiivis

Agus Lennon, Buku, dan Jejaring

Penulis: Himawan SutantoAlumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

TIBA-TIBA LENNON MENGHUBUNGIKU karena ada warga Madura besok pagi datang ke Yogyakarta dan mau aksi ke DPR/MPR Jakarta sekitar awal tahun 90-an. Seperti orang dekatnya, aku memanggil Lennon kepada pria bernama asli Agus Edi Santoso ini.

“Prak besok pagi ada warga Madura mau demo ke Jakarta, kamu bantu si Kacik (almarhum, aktivis mahasiswa Surabaya), ya,” begitu katanya.

Lennon menambahkan, “Kamu dampingi dia, ya.” Agus juga mengharapkan saya bisa menemani sebab Kacik baru pertama kali ini ikut aksi. Demikian dialog saya dengan Lennon waktu itu di depan kampus Karang Malang.

132 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Terus paginya, benar, para petani Madura datang lalu di-inapkan di GMKI di bilangan Yogyakarta, setelah dijamin aktivis GMKI. Lalu malamnya kami berangkat ke Jakarta dengan tiga bus yang isinya semua petani dan didampingi beberapa mahasiswa (lupa namanya semua, kecuali Kacik).

Kami menempuh perjalanan satu malam. Akhirnya, bus sampai di Jakarta pada pagi hari. Kami berhenti dulu di Tol untuk persiapan dan sarapan sekedarnya. Lalu, kami bergerak menuju DPR. Pukul 08:00 dan kami sudah memasuki wilayah Senayan. Bus besar itu masuk halaman dan mencari tempat parkir.

Kami semua rombongan masuk ke lobby, setelah turun dari bus. Ruangan lobby yang terasa amat dingin, karena AC central sudah dinyalakan. Di gedung wakil rakyat itu, kami berdialog dengan beberapa perwakilan, dan menyampaikan permasalahannya di DPR. Dialog berlangsung cukup lama.

Setelah dialog, kami meninggalkan gedung DPR. Pada dialog dengan anggota wakil rakyat itu, mereka telah menjamin bahwa kasus tanah petani akan segera ditindak-lanjuti dan diselesaikan. Rombongan petani langsung berangkat ke Surabaya, sedangkan saya tinggal dulu di Jakarta atas permintaan Agus.

Itulah Agus Lennon. Ketika melakukan advokasi, para aktivis mahasiswa di kota mana saja selalu menjadi “korban” provokasinya. Mereka tidak bisa menolak. Lennon selalu pandai “membaca” siapa yang akan jadi target sasaran selanjutnya untuk “diprovokasi”. Dan, tidak ada aktivis yang marah maupun menolak. Dari hal diatas adalah salah satu contoh begitu dekatnya Lennon dengan aktivis dimana saja. Itulah Lennon banyak sekali hal-hal yang menarik untuk diceritakan.

Lennon juga selalu hadir dan memberikan buku sebagai bahan diskusi selanjutnya. Bahkan kalau ada buku baru Lennon selalu memberikan info utama. Lalu kalau ketemu Lennon, dia selalu mengatakan: “Buku apa yang sudah kamu baca?” lalu diajaknya diskusi mengenai buku itu. Lennon selalu membawa buku baru

133Catatan Para Aktiivis

yang belum saya miliki.

MEMBUKA JEJARING DAN PENERBITAN BUKUSebagai aktivis mahasiswa saya banyak sekali dibantu Lennon

untuk anjang sana, anjang sini. Hal itu dilakukan karena Lennon ingin mengajak saya kenal dan belajar dengan para tokoh politik tanpa melihat latar belakang. Lennon berharap suatu saat saya bisa ketemu sendiri dan diskusi.

Seperti di Jakarta, saya selalu di ajak menginap di Skephi tempat markasnya mas Indro Tjahyono aktivis 77/78 . Ketika itu banyak aktivis ngumpul disana. Ada Saleh, Tya, Semsar, Yenny, Santi, Daniel, Anung, Hira, Dedi Bogor, bahkan para pejuang Tim-Tim, OPM, dan lain-lain. Kami berpindah-pindah, mulai dari Tebet sampai Skephi. Pindah lagi ke Liga Mas Pancoran.

Begitu. Kalau sudah ketemu Agus Lennon, saya selalu diajak tour --istilahku menemui para tokoh, antara lain Hariman, Joebar Ayup (Lekra), Nurcholis Madjid, Jopi Lasut bahkan diajak ke penjara Salemba menjenguk Kolonel Latif, Soebandrio, dan tahanan lainnya.

Setelah itu bertemu dengan para mahasiswa Timor-timor yang ingin memperjuangkan kemerdekaannya. Bahkan dia membuat Lembaga PIPHAM di Gg. Langgar di jalan Dewi Sartika, juga menjadi markas para aktivis dari luar kota. Sebab dari kantor PIPHAM advokasi 21 Mahasiswa yang ditangkap dan dipenjara (khususnya yang di luar kota) dari kontrakan PIPHAM yang kecil tapi sangat strategis kalau koordinasi. Ke-21 Mahasiswa tersebut ditangkap karena demo ke MPR/DPR dengan organ FAMI (Front Aksi Mahasiswa Indonesia) tahun 1993 dengan membentangkan spanduk “Seret Soeharto ke Sidang Istimewa MPR”. Dari kasus tersebut PIPHAM lembaga Lennon jadi markas sementara aktivis luar kota.

Lennon juga selalu memberi kesempatan para aktivis pergi ke berbagai kota di Indonesia ataupun mancanegara. Sebab Lennon

134 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

menginginkan para aktivis bisa menyampaikan tentang kondisi politik Orde Baru yang banyak sekali pelanggaran HAM-nya. Dari PIPHAM-ah Lennon kemudian membuat lembaga LAPASIF dan sebagainya.

Sebagai orang yang selalu konsisten dengan buku dan penerbitan, Agus Lennon melakukan banyak penerbitan pledoi aktivis yang ditahan maupun menerbitkan beberapa buku dari Che Guivera, Tan Malaka, Soe Hoo Gie dan lain-lain dengan bendera TEPLOK Pres atau FFF (Frantz Fanon Foudation)

Dari hal diatas ada beberapa buku yang diterbitkan Agus Lennon dalam dunia penerbitan. Buku tentang Transformasi Masyarakat Indonesia yang diterbitkan Kelompok Studi Proklamasi dan Agus Lennon menjadi salah satu penggagas ketika kelompok studi menjadi salah satu pilihan mahasiswa mengkritisi Orde Baru. Lalu Agus Lennon juga mengedit dan menerbitkan tulisan-tulisan Nurcholis Madjid yang kemudian menjadi sangat dekat, karena Agus Lennon adalah jebolan IAIN Suka (UIN Yogyakarta) dan juga mantan Sekjen PB HMI tahun 80-an.

Dari penerbitan di atas, Agus Lennon sendiri juga menerbitkan buku “Di Bawah Lentera Merah” karya Soe Hok Gie yang diterbitkan pertama kali oleh Frantz Fanon Foundation (sebuah lembaga tanpa kantor). Edisi pertama sebelum dicetak oleh Bentang Pustaka. Buku ini diterbitkan oleh FFF bentuknya buku kecil. Buku ini beredar di ujung masa Orde Baru, menjadi bacaan aktivis anti Soeharto dan buku itu masuk dalam list buku yang dilarang oleh Kejaksaan Agung. Dengan FFF-nya Lennon juga menerbitkan pledoi Bambang Isti Nuhroho yang dipenjara karena menjual novel karya Pramodya Ananta Toer.

Adapun buku selanjutnya adalah “Demokrasi Untuk Indonesia” karya Hasan Muhammad Tiro diterbitkan Teplok Press setelah Soeharto jatuh. Berbarengan dengan tuntutan referendum Aceh. Penerbit Teplok Press juga menerbitkan Madilog Tan Malaka, Das Kapital, dan beberapa buku politik lainnya. Itulah Lennon, di samping sebagai “penggiat demokrasi” Lennon juga aktif diskusi-

135Catatan Para Aktiivis

diskusi di berbagai daerah tentang buku dan HAM.

USIL DAN LUCUSekilas memang kita cukup marah dengan banyaknya intrik

dan provikasinya Lennon. Tetapi dengan caranya yang humoris, semua hal menjadi lucu. Suatu hari kami menjenguk tahanan di Salemba, kemudian uang kami pas-pasan hanya buat ongkos naik angkot saja. Kemudian Nunik salah satu mahasiswi teriak “Lennon perutku lapar..” kemudian didukung oleh semua sahabat yang kebetulan bertujuh minta mampir warung.

Kemudian, Lennon masuk warung. Kami mengikuti masuk, lalu semua duduk. Tiba-tiba Lennon mengambil tusuk gigi lalu Lennon keluar lagi dan berjalan dengan tenangnya. Kemudian pada marah sama Lennon. Dan, setelah sampai Pipham, Lennon menjawab dengan santai “Siapa yang ngajak makan, saya kan cuma ambil tusuk gigi saja.” Semua jadi tidak marah, malah tertawa sambil ngedumel.

Itulah salah satu yang membuat Lennon sulit dilupakan oleh para sahabatnya dan saya semakin yakin bahwa apa yang saya alami, bisa jadi dialami sama yang lain.

Lennon, kita masih punya janji sebelum kepergianmu selamanya, main catur di Tji Liwoeng Coffee, tapi belum terlaksana dan kamu telah lebih dulu meninggalkanku.

“Aku didatangi Mulyana, Amir, dan Pengke,” katamu ketika aku membesukmu di kamar 2512, RS. jantung Harapan Kita, tanggal 7 Januari 2020, sebelum Santoso, Rinjani dan Desi ke kamarmu.Kamu sendiri tertidur dan aku duduk, lalu aku foto kamu dan kamu bangun cari kacamatamu dan kuambilkan di atas kulkas, lalu kamu lihat aku dan senyum seperti biasanya. Ketika mereka pada masuk kamu sangat riang dan kami semua sempat selfie dan kamu, aku dan Santoz dengan gaya membuka jari kelima, lalu Desi bilang “Kok jari lima dengan gaya Dada...” Itulah foto kita terakhir dan cukup mengharukan.

136 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Tapi aku yakin Tuhan lebih sayang kamu dari pada kami. Selamat jalan Lennon pertemuan kita terakhir di kamar 2512 memberikan banyak inspirasi baru dan ternyata surga adalah tempat keabadianmu, Aamiin.

--oo0oo--

137Catatan Para Aktiivis

Lelucon Bung Agus Mencairkan Ketegangan

Peunlis: Petrus H. Harijanto

BOLEH DIKATA HAMPIR SETIAP MINGGU aku berjumpa dengan si bung ini beberapa tahun di ruang bezukan LP Cipinang (1998 s.d 1999). Biasanya dia datang berdua dengan Pongke (HJ Princen). Si bung setia sekali mendorong Pongke yang duduk di kursi roda, mulai depan LP Cipinang sampai ruang bezukan.

Aku melihat raut di wajahnya bahwa dia memberi dukungan dan solidaritas kepada aku dan kawan-kawan PRD, yang saat itu meringkuk di penjara.

Di luar penjara kami berteman sebagai sesama aktivis yang waktu itu melawan kekuasaan Soeharto. Tak bisa dihitung berapa kali bertemu dengannya karena seringnya bersua. Bila aku ke Baruna, tempat Hariman Siregar, sudah pasti dikatakan bertemu

138 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

dengannya.Si bung selalu membuat cair suasana dengan leluconnya, klop

dengan Hariman yang suka berbicara ceplas ceplos. Aku hanya bisa tertawa kecil karena tak mampu mengimbangi canda mereka.

Tempat kedua bertemu dengannya ya di Kantor YLBHI. Si bung akrab dengan Mulyana W Kusuma. Dengan mas Mul nada bicaranya sudah lain, penuh keseriusan membicarakan politik.

Di tempat itu juga kami sering rapat bareng dengan si bung karena tahun 1995 berbagai kelompok gerakan mulai sadar untuk membangun koalisi melawan Soeharto. Lahirlah di sana “Oposisi Indonesia”, melakukan aksi besar di TIM pada tanggal 28 Oktober 1995.

Awal era reformasi si bung mendirikan Teplok Press, sebuah penerbitan buku. Yang bikin aku kagum, dia banyak menerbitkan buku kiri seperti Madilog-nya Tan Makaka, dan tokoh PKI.

Aku sering mampir ke kantornya di jalan SMEA, Cawang.“Kamu masukin buku aja ke LoC (Library of conggres) USA.

Lumayan lho mereka bisa pesan satu judul buku sampai 12 eksemplar. Yang penting berbahasa Indonesia dan bukan terjemahan tulisan orang asing,” ujar si bung ke aku dan Roso.

Si bung tau aku tidak punya pekerjaan dan duit. Ia memberi jalan bagiku untuk bekerja setelah melihat aku suka jualan buku di acara seminar.

Sarannya kuturuti. Dan benar juga lumayan banyak aku dapat order, sampai bisa mengkontrak rumah dan melanjutkan bisnis buku.

Lama tak jumpa dengannya, lewat WA dia sering memberi semangat ke aku yang mengalami sakit ginjal.

Perjumpaanku terakhir dengan dia saat melayat Bung Yopie Lasut. Dia sampaikan rasa empatinya atas penyakit yang kuderita.

Aku sendiri punya rencana mengunjungi kedai kopinya. Aku sudah minta Bambang Subono alamat kedainya. Sayang, tak

139Catatan Para Aktiivis

terlaksana. Akhir-akhir ini aku memang membatasi keluar rumah karena fisik ku.

Malam tadi selepas cuci darah aku membuka HP-ku dan menerima berita duka kepergianmu. Selamat jalan bung yang telah banyak berbuat untuk aku dan kemanusian. Tunai sudah tugasmu di dunia. Damailah kau di sana.

Turut juga berduka cita untuk Jayadi, adik dari Agus Lennon.

--oo0oo--

140 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Aktivis harus bisa dan siap dalam situasi apa pun,

ujarnya beberapa kali terhadapku.

“ “

141Catatan Para Aktiivis

Bagiku, Kamu Selalu Ada

Penulis: Swary Utami Dewi

AGUS EDI SANTOSO LENGKAPNYA. Tapi aku, seperti halnya banyak orang memanggilnya Lennon atau Agus Lennon. Usia kami terpaut jauh, sekitar 11 tahun, tapi aku tidak memanggilnya dengan embel-embel depan “Bang”, seperti yang biasa aku lakukan terhadap hampir semua seniorku yang laki-laki.

Bukanlah tanpa sebab. Semenjak aku pertama mengenalnya, puluhan tahun lalu, awal aku masuk kuliah, ialah yang mengajarkanku kesetaraan. Salah satunya dia menolak kupanggil Abang. “Emang kamu siapaku manggil-manggil aku abang?” ujarnya kenes. Aku hanya bisa melongo. Belakangan aku sadar bahwa ia ingin mengubah cara pandangku tentang hubungan senior yunior di dunia aktivis masa itu.

Lennon pulalah salah satunya yang menceburkanku ke banyak

142 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

aktivitas “berbahaya” yang waktu itu banyak dijauhi oleh para mahasiswa. Dia mengajakku untuk aktif di Pipham. Meski aku tidak seaktif yang lain, tapi tetap saja aku dipandang Lennon sebagai aktivis Pipham yang baik. (Saat kuliah aku memang ikut aktif di banyak kegiatan mahasiswa di kampusku baik di FISIP maupun Sastra UI, utamanya KSM UI dan BPM FISIP UI. Aku juga aktif di beberapa tempat lain di luar kampus seperti di YISC Al Azhar Jakarta, rutin mengaji di Paramadina, jadi wartawan magang di masa awal berdirinya Republika, aktif di Kalyanamitra serta beberapa kegiatan lainnya).

Bertahun kemudian di tahun 1996, Lennon mengajakku mendirikan LSM Lapasip. Aku waktu itu menolak. “Nanti ditangkap Soeharto, ah...” alasanku mengelak (padahal waktu itu aku merasa sebagai “anak bawang” dibandingkan dirinya). Tetap saja ia mencantumkan namaku sebagai pendiri bersama-sama beberapa nama besar di pergerakan waktu itu, seperti HJ Princen, Mulyana W. Kusuma, Bono, Isti Nugroho dan Bob Bali. Aku hanya melongo saat dengan bangganya Lennon memperlihatkan booklet kecil tentang Lapasip dan di situ ada namaku. “Tenang. Ada dosenmu, Mas Mul. Juga ada teman-teman lain,” jelasnya meyakinkanku.

Saat aku melanjutkan kuliah di Monash University awal 1998 sampai pertengahan 2000, Lennon masih menghubungiku via email. Sewaktu pergantian rezim dan pemilu bebas diselenggarakan, Lennon bersama-sama almarhum Mas Mul, mendorongku untuk menjadi pemantau independen KIPP di Melbourne. Selembar surat pernyataan sebagai pemantau, yang ditandatangani Standarkiaa, aku dapatkan. Akupun menjadi pemantau pemilu bersama-sama dengan beberapa sahabat Imdonesia yang waktu itu juga menjadi aktivis di sana, seperti Damai Pakpahan, Diana Pratiwi, Wita dan Lugina.

Kemudian, saat aku pulang sementara ke Indonesia selama tiga bulan untuk penelitian, Lennon malah menyibukkanku dengan berbagai kegiatan. Salah satu yang paling kuingat adalah kegiatan pertemuan internasional kampanye anti ranjau darat di Bali. Saat

143Catatan Para Aktiivis

itu tahun 1999, ketika perutku sedang membuncit hamil anak pertamaku, Alif. Tetap saja di sana, Lennon membuatku sibuk dengan menempatkanku sebagai moderator. Cilakanya, selesai bertugas sebagai moderator, aku bersama-sama sahabatku, Desi dan Farah, ditugaskan pula sebagai penerjemah. Alasannya sederhana dan tidak bisa kami bantah. “Inggris kalian bagus. Masa’ aku yang harus jadi penerjemah?”

Begitulah Lennon. Ia punya banyak sisi unik. Dalam kegiatan yang kuikuti bersamanya, ia mengharuskanku untuk siap jadi apa saja, tanpa perlu melakukan briefing atau diskusi panjang. “Aktivis harus bisa dan siap dalam situasi apa pun,” ujarnya beberapa kali terhadapku.

Aku juga kerap diajarkannya untuk “melawan” dirinya dalam diskusi, membantah perkataanmya, bahkan marah terhadapnya jika merasa tidak nyaman. Dalam beberapa kegiatan, sepulangnya aku ke Indonesia sejak 2000, aku dan sahabatku, Desi, kerap “marahan” sesaat dengan Lennon. Bantah-membantah sering kulakukan, meski hampir tidak pernah terjadi di hadapan banyak orang. Bagiku Lennon tetap seorang senior dan mentor yang harus kuhormati.

Meski kadang membantah dan marah terhadap keisengan dan kekenesan cerdasnya, tetap saja aku dan beberapa teman aktivis perempuan lain di Pipham dan Lapasip lekat dengan dirinya. Lennon iseng memberikan istilah “itik-itik Lennon”, untuk kami yang kerap berinteraksi dengan dirinya, seperti aku, Desi, Rinjani, Usnida, Frida, Farah, dan Titi.

Kembali ke masa awal kuliah, dulu terkadang aku ingin berdandan memakai lipstik menor. Lennon begitu saja mengagetkanku dengan menghapus lipstik itu dengan tangannya. Aku marah karena keisengannya. “Aktivis perempuan itu otaknya yang harus mentereng, bukan bibirnya. Lipstik itu membuat bibirmu jadi mirip pantat ayam,” jelasnya lugas saat aku menunjukkan kekesalanku. Waktu itu aku hampir menangis

144 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

saking dongkolnya. Sejak saat itu, jika ada Lennon aku tidak berani memakai lipstik mentereng, khawatir kena gangguan isengnya.

Lennon bagiku, juga perhatian, dengan caranya tersendiri. Saat aku pulang dari Melbourne dan mengontrak rumah di dekat RS Budi Asih Dewi Sartika, Lennon mengunjungiku. Esoknya ia datang membawa kompor gas lengkap dengan tabung elpiji 12 kg, plus kipas angin. “Kamu perlu ini untuk Alif,” ujarnya enteng.

Keisengan dan cecenges cerdasnya terhadapku beserta lontaran ide-ide kreatif yang bernas masih selalu kutemukan saat bertemu dengannya, baik di Prodem, Indemo maupun kegiatan-kegiatan lainnya.

Lennon, ah sudahlah. Rasanya tidak habis-habis jika aku menulis kenangan tentang baiknya kamu, tentang isengnya kamu. Aku beruntung mengenalmu begitu lama. Dan aku berterima kasih karena kamu sudah menempatkanku dalam dunia aktivis yang begitu membuatku bahagia.

Beristirahatlah di sana, Lennon. Dan bagiku, kamu akan selalu ada. Al fatihah.

--oo0oo--

145Catatan Para Aktiivis

Bahagia Bisa Turut Mengurus Jenazahmu

Penulis: Swary Utami Dewi

LENNON. Dalam beberapa hari ini, sejak wafatmu, tidak habis-habisnya para sahabat mengulas dan mengulitimu. Muaranya kurang lebih sama. Kedekatan personal yang menggambarkan kebaikan dan keunikanmu. Memang tidak terhitung yang merasakan kedekatan itu, termasuk aku. Maka, kata-kata itupun mengalir melalui puluhan catatan tentang dirimu, dari para sahabat.

Saat sakitmu yang terakhir ini, aku memang tidak bisa setia menunggu. Menjengukmu bahkan tertunda karena berbagai sebab. Malam 10 Januari 2010, hujan masih mengguyur. Saat itu aku baru datang dan selesai menghabiskan makanku di salah satu sisi rumah sakit. Wira yang baru saja kutemui tiba-tiba menelfon dan mengatakan “Agus sudah pergi.”

146 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Limbung dan tidak percaya, aku bergegas lari menuju bagian ICU di lantai 2, RS Harapan Kita. Wira terlihat sedih dan bingung. Aku, Wira dan Diva minta ijin ke satpam untuk masuk ke dalam. Di satu ruangan kecil, ada istri Lennon, Kesi, yang sedang berduka, ditemani beberapa orang sahabat dan kerabat. “Sempat saya bimbing untuk mengucapkan syahadat dan kalimat Allah lainnya.” Begitulah kurang lebih dijelaskan oleh seorang lelaki bertubuh mungil yang mengenakan kungkup di kepala. (Belakangan kuingat dialah Mas Ahmadie Thaha, yang kukenal di Republika sejak awal 90an). Penjelasan itu melegakanku. Tercatat 21.11 WIB, sahabat banyak orang ini, berpulang.

Sesaat Rinjani masuk. Arahan dari Bang Hariman lewat telpon ke Rinjani, juga melalui telpon ke aku, cukup jelas untuk mengurusi jenazah almarhum. Wayan datang bergabung di ruangan. Kamipun berbagi tugas. Rinjani, Wira, dan Wayan yang mengurus kepulangan jenazah, sementara aku dan Diva yang akan mengantar Kesi dan dua kerabatnya lebih dulu ke Condet. Sementara itu, kami pun mengabarkan kabar duka ini ke beberapa WA grup. Beberapa telpon yang kemudian masuk ke aku tidak sempat kurespon. Hanya beberapa yang sempat kuangkat, yakni dari Bang Elza yang menelfon sesaat sesudah Bang Hariman selesai berbicara. Beberapa menit kemudian, Japrak menelfon dan sempat kuangkat. “Carikan kain kafan buat Lennon,” ujarku singkat. Lalu aku mengajak Kesi bersiap pulang ke Condet.

Sebelum ke bawah bersama Kesi, aku dan Rin menyempatkan diri melihat jenazah Lennon yang masih terbaring di kamar di bagian ICU. Benar, Lennon sudah tiada. Aku berucap Al Fatihah dalam hati. Masih setengah percaya dan tidak percaya rasanya.

Sesudah itu, aku bersama Kesi dan kerabatnya ke bawah. Baru saja masuk mobil dan hendak berangkat ke Condet, Rinjani menelfon memintaku membawa Kesi ke ruang jenazah untuk menandatangani berkas. Ternyata akses menuju kamar jenazah sudah diubah sehingga kami berdua harus menempuh waktu cukup lama ke sana, sekitar 15 menit berjalan kaki. Di depan ruang

147Catatan Para Aktiivis

jenazah sudah ada Desi, bersama-sama Wira, Rinjani, dan Wayan.Di sana, kami sempat bingung karena ternyata ada berkas biru

yang diminta oleh petugas kamar jenazah dan berkas itu ada di tas Kesi yang ditaruhnya di mobil Diva. Untuk berjalan balik lagi ke bagian depan rumah sakit pasti perlu waktu. Wayan menelfon Diva memintanya untuk pindah parkir ke dekat ruang jenazah.

Sementara itu, Rinjani sedang menunggu konfirmasi kedatangan Anies Baswedan dari seseorang. Akhirnya ada kepastian bahwa sang Gubernur akan datang melayat dan melepas keberangkatan jenazah dari rumah sakit. Rupanya petugas jenazah mendengar bahwa Anies akan datang. Segera kemudian perlakuannya berubah menjadi lebih “manis”. Berkas biru yang semula diminta bisa ditangguhkan dan kami diminta duduk saja menunggu.”Nanti semua saya bantu,” jelasnya. Rinjani yang terlihat kesal berujar. “Anda tidak tahu ya bahwa yang meninggal ini adalah tokoh HAM.” Pendeknya sesudah itu, pelayanan menjadi lebih cepat sembari menunggu Anies.

Beberapa saat kemudian Wenry datang. Lalu ada Bang Geiz Khalifah, Bang Chalid Muhammad dan seorang lagi mendahului kedatangan Anies. Tatat, anaknya almarhum Mas Tom, dan kemudian beberapa teman juga hadir untuk melayat.

Saat Anies datang, dua petugas melepas keranda dan memberikan kesempatan kepada Anies untuk melihat wajah almarhum. Beberapa teman berbincang sejenak dengan Anies, lalu pelepasan jenazah Lennon dilakukan. Akhirnya, kamipun bergerak menuju Condet bersamaan. Mobil jenazah di depan, diikuti mobil Wayan dan Diva.

Sesampai di Condet, aku lega karena sudah ada sahabat dan kerabat yang menanti. Ada juga Sindang yang dengan sigap membantu mengurus jenazah. Aku sempat menitikkan air mata melihat Castro dan Aisyah, anak pertama dan bungsu Lennon menangis melihat dan lalu mencium jenazah ayahandanya. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak teman yang datang, termasuk

148 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Japrak yang berhasil membawa kain kafan sepanjang 15 meter. “ Alhamdulilah. Ini masih ada satu ketemu di Pasar Minggu,” jelas Japrak.

Hampir subuh, pada 11 Januari 2020 aku ijin pulang untuk kemudian datang lagi siang harinya ke Kafe Tji Liwoeng. Dan dalam perjalanan pulang, ada rasa syukur dan lega yang luar biasa. Setidaknya, aku bisa melakukan sesuatu untuk sahabat dan mentorku ini di akhir hayatnya. Al fatihah untukmu, Lennon.

--oo0oo--

149Catatan Para Aktiivis

Pelukan Pertama dan Terakhir dari Agus Edi Santoso

Penulis: Setya Dharma PelawiAktivis ProDEM (Jaringan Pro Demokrasi)

SETELAH MEMBACA TULISAN KAWAN-KAWAN tentang sosok Agus Edi Santoso atau Agus Lennon, mereka semuanya dekat, awalnya berpikir bahwa aku merasa sangat dekat Agus Lennon - tapi itulah kelebihan Agus Lennon bisa masuk ke banyak/semua lingkungan pergaulan.

Awal tahun 80an, sejak Agus Lennon masih mahasiswa dan bergabung dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sudah terlihat sikap kritis dalam melihat kehidupan rakyat dalam tekanan politik yang sangat represif. Sejak Agus Lennon ada di Jakarta pada tahun 1985, itulah awal aku pertemuan dengan Agus Lennon - awal dari pertemuan tersebut berlanjut sampai Agus Lennon meninggalkan kita semua.

Kami banyak terlibat dalam melakukan advokasi kasus-kasus

150 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

kerakyatan, diskusi-diskusi politik dan isu lain yang menjadi pembicaraan. Agus Lennon adalah orang baik, konsisten dengan perjuangan.

Bahkan kami ikut bersama H. JC Princen, Indro Tjahyono, dan kawan-kawan pada tahun 1989 mendirikan sebuah Koalisi HAM yang bernama Indonesia Front for Defending Human Right (INFIGHT), bahkan banyak cerita dalam melakukan advokasi kasus Timtim, kasus tanah di Blangguan Jawa Timur hingga Aksi Tobat Nasuha semua itu menjadikan kami sangat dekat.

Dalam kejadian politik pada masa era Orde Baru, dia selalu terlibat secara mendalam sebagai aktivis yang kritis serta sering memberikan pencerahan dan motivasi kepada mahasiswa dan aktivis tentang demokrasi dan nilai-nilai perjuangan.

Pada saat menjadi Tapol Semalam (julukan Agus Lennon untukku), begitu pihak Polda Metro Jaya mempersilakan untuk menghubungi keluarga, Agus Lennon lah yang pertama kali aku hubungi untuk memberitahu kawan-kawan, karena peristiwa itulah menyebabkan Handphone (HP) ku ditahan untuk dilakukan pemeriksaan jejak digital. Melalui WA Agus Lennon begitu cepat menyebar, akhirnya kawan-kawan ProDem (Wira dan Wayan) datang ke Polda Metro Jaya untuk menjemputku. Sehingga Wira dan delapan pengacara siap mendampingi aku untuk datang ke Polda Metro Jaya kembali untuk mengambil HP dan pemeriksaan lainnya.

Begitu mendengar sakit, pada tanggal 10 Januari 2020, saya bersama Heru Nongko dan Widodo sempatkan untuk menjenguknya di Rumah Sakit Harapan Kita, itulah pertemuan terakhir dengannya, dalam keadaan sakit masih menunjukkan keceriaan, menanyakan keadaan kawan-kawan dan kondisi politik terakhir. Pada saat pertemuan itu Agus Lennon memelukku dengan penuh keakraban seakan-akan sudah lama tidak ketemu, Pelukan itu adalah pelukan pertama dan terakhir Agus Lennon pada saat menjenguknya dan membekas dalam pikiran karena

151Catatan Para Aktiivis

selama ini belum pernah kami berpelukan bahkan bersalam jarang kami lakukan dalam setiap bertemu, hanya saling menepuk pundak, sambil tersenyum dan menyapa apa kabar Kay, sapan khusus padaku.

Selamat Jalan Agus, Semoga Husnul Khotimah.

--oo0oo--

152 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Dapat diamati dari perjalanan hidupnya,

bahwasanya sikap kritis ini yang

konsisten tertanam dalam dirinya hingga

akhir hayatnya

“ “

153Catatan Para Aktiivis

Agus, Sahabat Sejak Kelompok Cipayung yang Konsisten

Penulis: Paulus Januar

MENINGGALNYA AGUS EDI SANTOSO yang dikenal dengan panggilan akrabnya Agus Lennon, merupakan sesuatu yang menyentak sekaligus menggugah ingatan mengenai persahabatan yang telah berlangsung dalam kurun perjalanan waktu sekitar 35 tahun. Tidak terlupakan ketika pertama kali berjumpa sekitar tahun 1985. Ketika itu Agus menjadi anggota Pengurus Besar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), sedangkan saya menjadi ketua presidium Pengurus Pusat PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Kebersamaan kami adalah dalam kegiatan Kelompok Cipayung.

Pada waktu itu Agus menyampaikan bahwa ia berasal dari HMI cabang Jogyakarta dan berkuliah di IAIN Jogya. Penampilannya

154 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

serius dan mengenakan kacamata bundar, persis seperti kacamata yang dipakai John Lennon sang pemusik The Beatles. Mungkin karena penampilannya itu kemudian teman-teman menyebutnya sebagai Agus Lennon. Panggilan tersebut terus akrab di kalangan teman-teman hingga akhir hayatnya, walau ia sudah tidak lagi memakai kacamata bundar.

Kala itu hal yang mencuat dari sosok Agus adalah kebhinekaannya dalam kebersamaan. Sebagaimana diketahui, Kelompok Cipayung adalah forum bersama dari 5 organisasi dengan latar belakang yang berbeda yaitu HMI, PMKRI, GMNI, GMKI, dan PMII. Agus dalam kegiatan Kelompok Cipayung menunjukkan kebersamaannya dengan mereka dari latar belakang yang berbeda. Kebersamaan bukan hanya dalam taraf koeksistensi belaka, melainkan mencapai solidaritas tanpa sekat dengan tanpa menghilangkan identitas otentik masing-masing. Hal ini terlihat ketika bersama-sama mendiskusikan berbagai pernyataan Kelompok Cipayung dalam mana tentu saja pandangan dari masing-masing organisasi diwarnai latar belakangnya. Agus senantiasa berusaha mendalami setiap pemikiran yang dilontarkan serta sama sekali tidak memaksakan kehendaknya. Dari berproses bersama tersebut dalam mana Agus turut berperan aktif lahirlah serangkaian Pernyataan Kelompok Cipayung.

Pernyataan Kelompok Cipayung yang disampaikan pada masa tersebut berisikan sikap kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Kala itu terlihat sikap kritis Agus yang menentang penyelewengan, ketidakadilan, penindasan, serta rezim yang otoriter. Dapat diamati dari perjalanan hidupnya, bahwasanya sikap kritis ini yang konsisten tertanam dalam dirinya hingga akhir hayatnya.

Azas tunggal Pancasila pada waktu itu menjadi permasalahan serius organisasi-organisasi yang tergabung dalam Kelompok Cipayung, maupun seluruh organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya, baik yang kecil maupun yang besar seperti NU dan Muhammadiyah.

155Catatan Para Aktiivis

Organisasi-organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung pada prinsipnya menolak konsep azas tunggal Pancasila yang dihaturkan pemerintah an Orde Baru karena dipandang tidak sesuai dengan hakikat kebhinekaan bangsa Indonesia. Agus ketika itu turut serta bersama teman-teman lainnya dan para tokoh dalam menyikapi azas tunggal Pancasila. Agus juga antara lain aktif turut serta pada pembahasan serangkaian pernyataan Kelompok Cipayung mengenai azas tunggal Pancasila.

Permasalahan azas tunggal Pancasila berproses terus dan setelah pergolakan serta pembahasan yang amat alot, akhirnya tercapai semacam kompromi yakni pemerintah bersedia memodifikasi ide awal tentang azas tunggal Pancasila, sedangkan organisasi kemasyarakatan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas dengan tetap mencantumkan identitasnya masing-masing.

Terhadap perkembangan ini Agus tampaknya termasuk yang dengan tegas menolak. Di sinilah terlihat sikap konsisten seorang Agus Lennon. Namun dengan saya maupun teman-teman lainnya yang berbeda pandangan politiknya, kami tetap bersahabat baik. Setiap bertemu kami selalu saling menyapa, menanyakan kabar masing-masing dan kalau membahas pandangan politik yang berbeda tetap saling menghargai dan memahami. Kadang disertai canda bahkan hingga tawa berderai. Namun kami tetap sama dalam masalah kemanusiaan dan sikap kritis terhadap ketimpangan yang terjadi di masyarakat.

Setelah usai permasalahan azas tunggal Pancasila, saya masih terus aktif di PMKRI, dan perjumpaan dengan Agus tidak seintensif ketika kami masih bersama-sama di Kelompok Cipayung. Dalam beberapa perjumpaan Agus menyampaikan kegiatannya kemudian terutama pada pelbagai kelompok studi yang memang sejak dulu telah dijalankan, serta aktif di LSM dan juga menggalang masyarakat di tingkat akar rumput.

156 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Kemudian perjumpaan dengan Agus semakin jarang karena setelah selesai di PMKRI saya melanjutkan studi Pascasarjana S2 dan S3 serta menjadi dosen dan aktif di organisasi profesi dokter gigi. Namun tetap dalam beberapa acara sempat bertemu dan Agus bercerita antara lain dia aktif di PIPHAM dan mengusahakan penerbitan Teplok.

Bukan saja di Kelompok Cipayung, tapi agaknya kebhinekaan telah menjadi jati diri yang tertanam dalam diri Agus. Meski berlatar belakang Muhammadyah, namun dalam pergaulannya Agus memiliki kedekatan antara lain dengan Gus Dur, juga dengan pastor-pastor Jesuit antara lain kedekatannya dengan Rm Franz Magnis Suseno, SJ.

Kebhinekaan juga keberanian ditunjukkan Agus ketika pada masa orde baru berlangsung periode yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai era ijo royo royo. Pada era tersebut dia pernah mengundang Chris Siner Keytimu yang mantan ketua PMKRI dan ketika itu aktif di Petisi 50, untuk menjadi narasumber pada forum diskusi cendekiawan Muslim dimana Agus menjadi penggeraknya.

Perjumpaan yang cukup kerap dengan Agus berlangsung kembali sejak beberapa tahun terakhir ini ketika kami sama-sama sering mengikuti diskusi rutin INDEMO setiap rabu sore. Dalam perjumpaan yang cukup intensif setelah 30 tahun lebih tidak bersama-sama, ternyata tetap mencuat sikap kritis yang dimiliki seorang Agus Lennon. Ada yang mengatakan sikap kritis akan meredup bersama dengan berjalannya waktu. Kenyataan menunjukkan sosok Agus Lennon tetap konsisten dengan sikap kritisnya.

Bedanya dengan dulu hanya kesehatannya mulai rapuh karena penyakit jantung yang diindapnya. Pernah kami berdua sama-sama menaiki tangga menuju tempat diskusi INDEMO di lantai 3. Meski kami berjalan santai menaiki tangga, tapi Agus napasnya sangat terenggah-engah dan harus beberapa kali berhenti untuk jeda.

157Catatan Para Aktiivis

Memang memprihatinkan kesehatannya, tapi semangatnya dan konsistensinya senantiasa menyala-nyala.

Hingga pada awal Januari 2020 lalu tersiar kabar bahwa Agus masuk rumah sakit. Sebenarnya sudah beberapa kali Agus dirawat di rumah sakit, namun kemudian kesehatannya membaik hingga dapat beraktivitas kembali. Tapi kali ini lain, Allah yang selama ini diimaninya dengan sepenuh hati telah memanggil Agus ke haribaanNya. Selamat jalan Agus, semoga mendapatkan kebahagiaan abadi di sisi Allah di surga. Agus Lennon telah meninggalkan kita, namun inspirasinya dan kenangannya tetap hadir bersama kita semua.

--oo0oo--

158 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

159Catatan Para Aktiivis

Agus adalah Guru yang Mengajarkan Loyalitas Tunggal pada Rakyat

Penulis: Nurdin Ranggabarani

INNALILLAHI WAINNA ILAIHI RAJI’UN. Duka mendalam kami sekeluarga, atas berpulangnya ke Rahmatullah, Direktur Pusat Informasi & Pendidikan Hak Azasi Manusia (PIPHAM) Jakarta, aktivis senior, saudara kami, kakak dan juga mentor politik kami, Agus Edi Santoso (Agus Lennon), pada hari ini, Jum’at 10 Januari 2020, pukul 21.11, di RS Harapan Kita, Jakarta.

Beliau mengajari kami tentang semangat juang yang tak pernah redup, tentang idealisme yang tak tergoyahkan, tentang keberpihakan yang jelas pada yang lemah, tentang loyalitas tunggal kepada rakyat, tentang konsistensi sikap yang tegak, tentang resiko perjuangan, tentang sebuah amanah dan

160 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

tanggungjawab, tentang kesederhanaan dan kebersahajaan, tentang banyak hal dalam kehidupan ini. Saya sempat numpang hidup pada beliau, saat saya magang di PIPHAM Jakarta, pada 1994 – 1996. Beliaulah yang memperkenalkan saya ke jaringan aktivis nasional berbagai kota, bahka jaringan aktivis berbagai negara. Saya mendapat begitu banyak ilmu bermanfaat, yang kemudian membentuk saya seperti hari ini. Selamat jalan Sang Guru. Insha Allah husnul khotimah. Duka mendalam dan doa terbaik kami untukmu. Insha Allah ilmu bermanfaat yang telah kau berikan kepada banyak orang, akan menjadi amal abadimu, yang senantiasa mengalir sepanjang masa, yang akan melapangkan dan menyinari alam kuburmu serta memperberat timbangan amal kebajikanmu di yaumil akhir kelak. Aamiin yaa Allah. Aamiin yaa Rabbal Alaamiin.

Aku tulis ucapan ini dengan rasa pilu yang menyesakkan dada, dan airmata yang tak mampu ku bendung. Aku sayang padamu. Aku mencintaimu. Kamu adalah saudaraku. Aku kelak bersaksi di hadapan Allah, bahwa kamu adalah pribadi yang baik. Aku kirimkan Al-Fatehah untukmu. Semoga dipermudah segala urusan akheratmu. Aamiin YRA

--oo0oo--

161Catatan Para Aktiivis

Agus Edi Santoso di Mata Saya: Sahabat Lebih Baik dari Teman

Penulis: Mishar Ilyas

SAAT ITU SAYA SEDANG BERDIRI di bawah panas terik matahari di bawah pohon jambu kantor sekretariat PB HMI jalan Diponegoro 16 A Jakarta, tiba-tiba seorang berbadan tinggi besar menghampiri saya mengucapkan salam sembari mengulurkan tangan: AGUS DARI HMI CABANG YOGYAKARTA.

Tahun 1984 awalnya, itulah sosok Agus Edi Santoso (AES) untuk pertama kali saya mengenalnya sebagai aktivis mahasiswa Yogyakarta yang kemudian sama-sama menjadi PB HMI 1983-1986 di bawah kepemimpinan Harry Azhar Azis.

Demikian waktu terus berjalan kami pun menjadi teman ngopi bareng dan nongkrong di bioskop Megaria Jakarta, kadang terlibat diskusi politik aktual menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya

162 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

azas, di waktu lain kami berdiskusi soal ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan pemerintah dalam pemerataan.

Sebagai aktivis mahasiswa hari-hari kami lalui bagai gelombang kadang di atas kadang di bawah, pola pikir sering berbeda dalam realitas politik terkadang memiliki kesamaan dalam memandang sesuatu yang sedang terjadi.

Suatu hari saat dalam perjalanan tiba-tiba handphone saya berdering: Hallo ni gua Agus lo di mana? Gua diopname di rumah sakit lo mampir ke sini ya.

Agus dalam mengungkapkan pikirannya langsung ke inti masalah tapi terkadang sangat filosofis dalam menjelaskan sesuatu.

“Bro, gua ada di rumah lo mampir ke rumah gua ya”. Itulah Agus seorang teman yang memiliki perhatian dan loyalitas kepada teman lainnya. Ketika saya berkunjung ke rumahnya di sanalah Agus curhat kondisi kesehatannya kepada saya: “Mis, gua ada masalah di jantung tapi dokter gak mau pasang ring di jantung gua.“ Itulah sepotong ucapan dari Agus yang sulit dimengerti.

Di waktu lain Agus telpon: “Mis…..gua udah buka cafe di rumah. Gua jual kopi Aceh, ade gule plik u, ade gule ikan kayu dan gule ikan kakap tapi sehari sebelumnya kalo lo datang kasih tahu gua bisa dipersiapkan.”

Terakhir komunikasi kami dengan Agus via japri Whatsapp pada 9 Januari 2020 saat dionpname RS Harapan Kita, kata Agus: “Saya di rumah sakit tolong bantu doa ya tapi jangan publish di group.”

Selamat berpisah sahabatku Agus Edi Santoso semoga nilai-nilai sahabat lebih baik dari teman.

--oo0oo--

163Catatan Para Aktiivis

Sosok Kang Agus Lennon yang Tak Mungkin Aku Lupakan

Penulis: Jacob Ereste

SECARA FISIK PERKENALAN KAMI ternyata tidak lebih baik dari perkenalan secara bathin. Toh, jauh sebelum Kang Agus kujumpa justru pertama kali di forum aktivis Surabaya, dia sudah mengenal namaku dari berbagai media yang merilis tulisan-tulisanku di berbagai media — tak hanya dj Yogyakarta — tempat kami ngejogrok semasa mahasiswa tahun 1980-an.

Uniknya, justru selama ngejogrok di Yogayakarta Hadiningrat kami tak sekalipun pernah jumpa. Ini agaknya disebabkan habitat bermain kami memang berbeda. Saya lebih cenderung asyik dengan kalangan seniman sedangkan Kang Agus memang serius mengikuti aktivitas kawan-kawan pergerakan, utamanya aktivis mahasiswa.

Sejak hijrah ke Jakarta tahun 1990, baru kusadari betapa

164 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

tingginya mobilitas Kang Agus yang sering kujumpa di berbagai forum. Mulai dalam acara diskusi Cides hingga acara diskusi setiap Hari Rabu di Loutze yang dikomando Bang Hariman Siregar. Aku semakin paham betapa luar biasanya Kang Agus karena bisa sedemikian dekat dengan sejumlah tokoh pergerakan sekaliber Bang Rachman Toleng dan Mas Adi Sasono. Apalagi dengan Jumhur Hidayat semasa di Cides. Semua itu memang tinggal kenangan. Tapi sungguh sulit untuk dilupakan.

Entah bagaimana awalnya, Kamis pekan kemarin, 8 Januari 2020 saya bersama Wan Fikri Thalib punya agenda berjumpa di Poskonya Jatinegara. Sosok Kang Agus menjadi salah satu pembicaraan serius kami. Dari Wan Fikri Thalib ini pula aku tahu Kang Agus masih dirawat di Rumah Sakit Harapan Kita. Ini yang membuat penyesalanku, saat akhir hayatnya aku tak sempat membezuknya.

Meski toh sejak itu niat sudah aku patrikan di dalam hati. Kabar tentang perawatan kesehatan Kang Agus dari Wan Fikri Thalib sungguh membuat aku cemas. Sebab sekitar dua bulan sebelumnya Kang Agus muncul di Rumah kedaulatan Rakyat Jl. Guntur 49 Menteng, Jakarta Selatan.

Fisiknya tampak semakin lemah. Tapi semangatnya terus menyala-nyala. Toh, banyak kawan yang juga ikut mendengar komentarnya saat diskusi yang digagas Nur Lapong itu berlangsung. Komentar Kang Agus tetap tegar mengisyaratkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan harus diteruskan. Jangan pernah kendor, apalagi mundur.

Aku bersama Wan Fikri dan Yayan Ramlan sempat memuji usaha kedai kopi yang dibuatnya. Kedai itu tak hanya menggambarkan perlawanan hidup, tapi juga etis perjuangan yang gigih dan tidak pernah mengenal kamus menyerah.

Kenangan yang tidak pernah bisa aku lupakan adalah undangan khusus Kang Agus padaku, untuk datang ke rumah antik dan unik itu, dia bangun secara bertahap di tebing Kampung Betawi

165Catatan Para Aktiivis

kawasan Condet. Ternyata Kang Agus membuat aksara dialog non formal bersama nelayan dari Teluk Jakarta. Aku pun dimandatkan untuk menjadi salah satu pembicara.

Acara dadakan serupa itu baru kupaham kemudian memang menjadi model pilihan Kang Agus melakukan kegiatan. Dia lebih suka ekspresi spontan, sehingga apa yang hendak dikatakan pun semua menjadi otentik dan original. Apa adanya saja.

Kisah acara yang mengajak saya secara dadakan ini pun sempat Kang Agus ulang dalam acara diskusi bersama aktivis dan mahasiswa di Venus Coffe Taman Ismail Marzuki Jakarta. Bagaimana mungkin ada sosok seperti Kang Agus yang mempercayakan kepada saya untuk memimpin peserta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Belakangan baru saya tahu dengan cara itu dia bisa memberi transpor agak lebih besar dari biasanya. “Aku mau kau pulang ke Banten bisa beli oleh-oleh kesukaan anakmu“, kata Kang Agus dengan gaya dan mimik muka yang serius.

Belakangan baru saya tahu bahwa dengan begitu dia mengaku bisa mempunyai alasan untuk memberi uang transport lebih besar dari biasanya. “Ente kan tinggalnya jauh“, kata Kang Agus sambil menyebut tempat tinggalku di Banten.

Begitu juga ketika Kang Agus mengaku hendak menerbitkan buku yang baru dengan Penerbitan Teplok yang dikelolanya. Saya diundang khusus untuk diskusi terbatas di Condet. Sambil memetik buah salak di kebun miliknya tak jauh dari rumah tinggalnya yang unik dan antik itu. Karena saya diminta bermalam, diskusi informal kami pun berlangsung sampai tengah malam. Sebab diskusi akan kita lanjutkan lagi besok pagi.

Ketika bangun pagi dan mandi di pemandian yang dirancang Kang Agus bersuasana alam seperti umumnya di Pulau Bali yang ada di bawah rumah, kami sarapan dengan menu khas Jawa yang paling kami suka semasa mahasiswa dulu.

Kopi kental panas pun menyempurnakan cengkerama Kami

166 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

menjelang siang. Saat inilah saya kembali terperangah, di samping boleh mengambil sejumlah buku yang belum saya miliki sesuka hati dari stocknya bukunya luar biasa banyak itu, secara khusus aku pun diberinya Al Qur’anul qarim yang indah dan lengkap dengan terjemahan yang sempurna. “Kau banyak baca ini, ya“, kata Kang Agus seraya memberikan kitab suci itu kepadaku. Momentum ini aku kira terjadi sekitar tahun 2000 – 2002.

Kang Agus Lennon sungguh terkesan profil seorang yang selalu tampil sederhana. Bagiku dia lebih dari seorang Jurnalis yang tidak perduli untuk dikenal oleh orang banyak. Tapi kesadarannya untuk lebih mengenal banyak orang justru lebih besar. Itu sebabnya ketika kami berjumpa pertama di Surabaya pada Forum Arek yang digagas sejumlah aktivis kota Pahlawan dan sekitarnya itu, dia seperti sudah mengenal banyak tentang diriku. Ini aku yakin, bukan karena aku sudah terkenal di kalangan penulis dan wartawan maupun seniman sejak awal menjadi mahasiswa di Yogyakarta.

Di kampus IAIN Sunan Kalijaga pun — meski aku sering terlibat dalam forum sastranya yang cukup aktif dan terkenal pada tahun 1980-an, toh kami tidak pernah berjumpa.

Kiprah dan jasa besar Kang Agus pada kalangan aktivis dan kaum pergerakan layak mendapat tempat terhormat. Karena itu aku sempat secara khusus mengungkap pada Kang Agus ketika aktivis sejati Muchtar Effendi Harahap meninggal, ada gagasan untuk membukukan semua kesan dan dari semua kawan-kawan agar dapat menjadi semacam batu nisan yang abadi untuk dikenang dan monumental sifatnya. Karena itu, sebelum 40 hari peringatan hari wafatnya Kang Agus, ideal sekali jika Bang Hariman Siregar menginisiasi penerbitan buku yang memuat kesan dan pesan kawan-kawan yang cukup banyak memberikan komentarnya.

Pada akhirnya perlu dikatakan juga sosok Kang Agus Lennon terbilang orang yang tidak suka tampil di depan dibanding

167Catatan Para Aktiivis

kesukaannya untuk lebih banyak berbuat. Setidaknya, ketika rilis bela sungkawa aku sampaikan secara terbuka lewat media sosial, toh tidak meminta dikirim juga foto wajahnya. Itulah sebabnya foto terakhirnya bersama kawan saat di Rumah Sakit aku susulkan kemudian. Nama Kang Agus Lennon cukup berkibar, tapi wajahnya tidak banyak diketahui orang banyak. Termasuk sejumlah aktivis di daerah maupun yang juga ada di Jakarta.

Agaknya, tipologi Tan Malaka terlanjur merasuk juga dalam dirinya. Dan Kang Agus sendiri seperti aktivis dan kaum pergerakan yang mampu melintas batas. Tak cuma kiri, tapi juga kanan yang tidak pula melupakan alur tengah, nasionalisme Indonesia. Ia dedengkot HMI yang karib dan akrab dengan kawan-kawan yang sering disebut berada digaris merah.

Buku yang memuat derap langkah perjuangan sosok aktivis dan kaum pergerakan pantas dan patut dibuat, sebagai simbolika dari batu nisan abadi yang dapat diziarahi setiap waktu. Kecuali itu pustaka tentang aktivis dan kaum pergerakan itu penting dan perlu untuk ikut menjaga nyala api perlawanan terhadap kebhatilan yang tidak bileh dibiarkan merajalela.

--oo0oo--

168 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

“ “Agus memang

kemudian cukup menekuni penulisan dan perbukuan. Di

luar dugaan banyak sahabatnya, ia juga

dokumenter yang baik.

169Catatan Para Aktiivis

Gambit Gagal Agus Lennon

Penulis: Hamid Basyaib

KAMI AKAN BERTANDING CATUR, SABTU PAGI INI. Agus Edi Santoso dan saya terdaftar di antara 30an pecatur amatir yang diundang berlaga untuk memperebu tkan “Malari Cup” -- tentu saja yang akan membuka adalah lurah Malari yang tak pernah terlihat main catur, Hariman Siregar.

Panitia tiap waktu memperbarui info di seputar pertandingan. Peserta tidak boleh telat. Kaos dan topi sudah disiapkan. Makanan sesuai jumlah peserta pun disiagakan di lokasi, restoran “Pempekita” milik aktivis lima jaman, Bursah Zarnubi.

“Jika peserta berhalangan, mohon infokan kami,” kata salah satu pengumuman panitia. “Siap!” begitu saya selalu menjawab.

Baru saja saya putuskan: seandainya turnamen tetap dilanjutkan, saya mohon maaf: saya mengundurkan diri. Beberapa

170 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

menit sebelumnya saya mendapat kabar yang memukul keras jantung saya: Agus Lennon harus membatalkan partisipasinya dalam turnamen. Saya pun merasa tidak sanggup bertanding dengan absennya sahabat yang tak cukup sering saya temui tapi selalu hangat dalam situasi apapun.

***Kadang kami bermain catur di rumah saya. Pulang lewat

tengah malam, Agus bisa menjalankan hobi lamanya: kembali ke rumahnya dengan berjalan kaki.

Tapi kami lebih sering hanya menjalankan psywar -- saling mengejek dan manantang tanding, tanpa kemudian bisa sungguh-sungguh bertemu.

Kadang Agus mengontak saya hanya untuk mengkonfirmasi suatu berita baik. Kami saling tahu bahwa “ideologi” kami berbeda, tak jarang bertentangan, tapi saya selalu mensyukuri kehangatan pertemanan kami yang berakar nun di Jogja sana.

Seperti perkawanan kaum aktivis mahasiswa umumnya, saya sudah lupa kapan kami berkenalan. Tapi kemudian yang paling menonjol bagi saya: Agus pemasok bahan-bahan bacaan yang tidak mungkin kami dapatkan melalui saluran terang.

Sebagai aktivis Jogja yang pindah ke Jakarta sebelum lulus (dari IAIN Sunan Kalijaga; pindah ke kantor PB HMI di Jalan Diponegoro), Agus dalam waktu singkat masuk dalam jaringan pertemanan aktivis Jakarta yang punya akses kuat pada bacaan-bacaan leftist, dan dengan itu kedatangannya ke Jogja sering kami rindukan.

Kadang ia mampir untuk berbincang sampai subuh di kamar kos saya. Dan dengan badannya yang besar dan kekar, ia tak pernah terlihat kepayahan dengan tas pundak besar yang mudah ditebak sebagian besar isinya: bacaan-bacaan panas tentang politik “alternatif” yang harus dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang menurut dia perlu membacanya.

Perangai sehari-hari Agus Lennon (nama ini terus terpatri

171Catatan Para Aktiivis

bahkan jauh setelah ia tak lagi memakai kacamata bundar ala John Lennon), berlawanan dengan semangat revolusioner dan “perubahan struktural” yang konstan ia nyalakan sejak lama. Agus tak pernah sekali pun terlihat marah. Ia bahkan selalu menyelingi percakapan apapun dengan seringai dan suara kekehnya yang seakan keluar dari hidungnya.

***Ia seperti tak sengaja terlempar ke Jakarta karena terpilih

menjadi personel Pengurus Besar HMI. Di sana ia terlibat dalam pembuatan media internal yang baru saja diterbitkan. Agus dipandang salah satu dari sedikit aktivis yang berbakat menulis. Dinamika aktivisme Jakarta yang jauh lebih hangat dan memompa adrenalin kemudian membuatnya mencari segala cara agar ia tak perlu lagi kembali ke Jogja -- apalagi ke kampung halamannya di Situbondo.

Agus memang kemudian cukup menekuni penulisan dan perbukuan. Di luar dugaan banyak sahabatnya, ia juga dokumenter yang baik. Begitulah, ternyata ia menyimpan rapi makalah-makalah Nurcholish Madjid, misalnya, lalu mengeditnya menerbitkan kumpulan tulisan Cak Nur yang mengejutkan dan menjadi buku-laris dalam waktu singkat: “Islam: Keindonesiaan dan Kemodernan”.

Tapi Agus jelas bukan pembaca buku-buku teori catur. Ia bermain tanpa “metodologi”; ia mungkin hapal beberapa pembukaan standar dan karenanya selalu memulai dengan cepat, terutama jika ia memegang buah putih.

Di permainan tengah, Agus sering harus lama hanya mampu mendengus sambil merapikan letak kacamatanya. Lalu melangkah ragu-ragu, membuat posisi lemahnya semakin berat -- dan kalah telak. Lalu dengan cepat ia akan menyusun bidak dan lain-lain untuk babak baru.

***

172 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Sejak setahun terakhir ia dua-tiga kali masuk rumah sakit untuk problem jantungnya. Belakangan ia menggunduli habis rambutnya, tapi matanya tetap seperti 30an tahun silam: memancarkan optimisme dan menyiratkan senyum.

Dua pekan lalu ia bertanya melalaui WA: “Mid, apa di foto profilmu itu anakmu?” Ya, ia baru lewat 11 tahun, dan bersekolah di Bali. Ia memuji Alma. Lalu mengirim foto anaknya sendiri -- juga perempuan, juga seusia anak saya.

Itu adalah sisi lain Agus yang kurang saya perhatikan tapi tidak mengejutkan bagi saya. Rasa kasih dan cintanya pada anaknya tentulah kelanjutan saja dari kebaikan hatinya pada teman, pada siapa saja, dengan pertimbangan tunggal: bahwa mereka semua adalah manusia.

Malam ini langkah Agus di permainan akhir terhenti. Ia ragu-ragu. Ia berpikir sekali lagi. Tapi ia tak pernah melanjutkan permainan sampai selesai.

Sorry, Gus, kali ini kau kalah lagi. Tapi itu tidak berarti saya adalah pemenang yang gembira. Saya rasa kekalahanmu juga kekalahan saya.

Saya bahkan tidak mampu melihat papan dengan jelas. Terlalu banyak air yang menghalangi pandangan saya.***

--oo0oo--

173Catatan Para Aktiivis

Selamat jalan, Gus

Penulis: Masmimar Mangiang

SUDAH LAMA SAYA MENDENGAR bahwa kawan ini punya masalah dengan jantungnya. Tetapi ketika kami bertemu pada akhir 2018, di Jl. Guntur No. 49, dia terlihat cukup segar. Komunikasi kami yang terakhir terjadi 7 Juni 2019, hanya sapa menyapa mengucapkan Selamat Idulfitri.

Jumat, 10 Januari 2020 malam, pukul 20:49 saya mendapat pesan WhatsApp (WA), dia –Agus-- dirawat di ICVCU RS Harapan Kita. Kabar ini saya terima pada saat saya pun harus memeriksakan kesehatan di RS Medistra. Keadaan dia cukup serius, dan “ditidurkan” oleh dokter. Tidak sampai satu jam kemudian, pukul 21:35 pesan WA berikutnya masuk … Agus wafat.

Agus Edi Santoso --dikenal dengan panggilan Agus Lennon--

174 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

kawan lama (sejak awal 1980-an), aktivis sejak masa mudanya. Kami sebenarnya tidak sering berjumpa karena “arena tempat bermain” kami tidak sama. Dia membaur di kalangan aktivis, saya bersibuk-sibuk diri sebagai wartawan. Kalau kami jumpa dan percakapan mengarah ke ikhwal politik, Agus tidak pernah mengeluarkan kata-kata amarah, dan –dengan saya-- dia tidak pernah mempergunjingkan apalagi mencaci orang yang sikap politiknya di masa Orde Baru sama-sama tidak kami sukai. Dia lebih suka mengajak lawan bicaranya berpikir, mempersoalkan alasan kenapa hal yang tidak disukai menjadi kenyataan yang dihadapi.

Terkadang saya melihat Agus tanpa bisa menentukan di mana “tempat” dia yang sebenarnya, tetapi hati kecil saya meyakini dia pro-demokrasi.

Suatu waktu, pada pertengahan 1980-an jurnal Prisma tempat saya bekerja mengundang para aktivis muda, terutama mahasiswa untuk diskusi. Ada rasa ingin tahu saya, apa yang ada dalam gagasan kaum muda tentang Indonesia pada masa itu. Hasil diskusi itu dirangkum menjadi laporan berjudul “Suara Angkatan Muda”. Rupanya Departemen Penerangan (Deppen) kurang suka dengan isi laporan itu. Saya dipanggil agar datang ke Deppen. Saya datang . Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab, dan tentu saja ada nasihat yang pada masa itu digolongkan sebagai upaya pembinaan wartawan.

Tidak ada orang yang saya beritahu ikhwal pemanggilan ini. Tapi keesokan harinya saya mendapat telefon di kantor, dan si penelefon langsung bertanya, “Dipanggil, ya?” Saya jawab, “Iya. Ini siapa?” Si penelefon tidak menyebut nama, hanya menjawab, “Dari samping Volvo, Jalan Raya Pasar Minggu.” Segera saya tahu, itu Agus. Masih ada obrolan pendek sesudah itu, tapi tak usahlah jadi bahan cerita di sini.Saya respek sama kawan yang membuka ruang dalam nalarnya mengenai demokrasi dan nasib orang banyak pada umum. Bagi saya itu adalah suatu kemuliaan, yang terpendam dalam pikiran dan hanya dapat diperlihatkan

175Catatan Para Aktiivis

dalam diskusi, karena tiada kekuatan buat melawan represi. Agus memiliki kemuliaan itu.Jumat 10 Januari 2020 malam Agus dipanggil Yang Maha Kuasa. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ... Semoga husnul khatimah, teriring doa semoga dia mendapatkan surga yang dijanjikanNYA.

Selamat jalan, Gus … masa beristirahat sudah tiba, jalanilah dalam damai.

--oo0oo--

176 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

177Catatan Para Aktiivis

Mengenang Kembali Romantika, Dialektika, dan Dinamika Kemahasiswaan 1980an Melalui Kepergian Agus Edi Santoso

Penulis: HendrajitAlumni ISAFIS dan Aktivis Mahasiswa 1980an.

AGUS EDI SANTOSO BERPULANG. Begitu berita saya terima tadi malam. Saya kenal Agus sejak 1986, kali pertama berkiprah di dunia aktivis pergerakan mahasiswa dekade 1980an. Di era ketika mendiknas Daud Yusuf menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus. Yang mana beda dengan era para senior 1974 seperti Bang Hariman Siregar, atau 1978 seperti bang Rizal Ramli, angkatan kami 1980an dilarang keras berpolitik di kampus.

Namun kebijakan NKK Pak Daud, justru menimbulkan dialektika, sebagai respons terhadap larangan berpolitik di kampus. Para mahasiswa angkatan 1980an yang punya kesadaran politik dan kepeduliaan sosial, justru tertantang untuk membentuk modus baru dalam berpolitik.

Bahkan bukan itu aja. Di kalangan para mahasiswa aktivis

178 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

pergerakan 1980an, termasuk saya, mulai mengajukan pertanyaan lebih strategis. Apakah berpolitik di kampus berarti hanya demonstrasi turun ke jalan?

Tanpa kami sadari, jawabannya muncul dengan sendirinya melalui proses. kami terinspirasi oleh perjuangan para founding fathers ketika membentuk kelompok-kelompok studi di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Maka lahirlah para pemimpin bangsa melalui study club ini seperti Sukarno, Hatta, Cipto Mangunkusumo, Ali Sastroamijoyo, dan lain-lain.

Entah bagaimana ceritanya, klub studi dan pers kampus menjadi modus sekaligus lokus pergerakan mahasiswa di luar kampus, seraya merajut jaringan para aktivis lintas kampus baik antar kampus di Jakarta, maupun antara Jakarta dan luar Jakarta.

Maka sejak 1985-1986 berbagai kelompok studi mulai marak. Kelompok Studi Proklamasi dimotori dua anak muda UI, Denny JA dan Elza Peldi Taher. Lingkaran Studi Indonesia, dimotori beberapa mahasiswa UIN Jakarta (dulu masih IAIN) antara lain Ismet Hasan Putro.

Di Yogya Taufik Rahzen bikin klub studi Teknosofi. Moh Thoriq dan A Hamid Dipopramono memotori pers kampus.

Di Bandung Hari Wibowo Cs bikin Free School. Para mahasiswa Univ Jayabaya yang lagi suntuk dengan stagnasi kampusnya, membentuk Kelompok Studi Pena yang dimotori Geiz Khalifah, Abdul Hamid dan Ahmad Fadila.

Seturut dengan fenomena itu, ada beberapa senior mahasiswa yang mana kelak saya bergabung di dalamnya, membentuk Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS) pada 1984 yang dimotori antara lain Faisal Motik, Adnan Pandu Praja, Imam Prasojo, Irma Hutabarat dan Suryani Sidik Motik. Geiz Khalifah, bergabung setahun kemudian. Saya sendiri bergabung dua tahun setelah berdiri, pada 1986.

Saat yang sama, muncul sosok anomali dalam pergerakan mahasiswa 1980an, alm Amir Daulay, pentolan aktivis 1980an

179Catatan Para Aktiivis

dari Universitas Nasional. Yang kelak memberi warna baru dalam format pergerakan mahasiswa 1980an di luar kampus. Yaitu lewat Pers Mahasiswa.

Begitulah. Gegara NKK nya Daud Yusuf, muncullah the unintended qonsequencies. Suatu kondisi yang tak terduga di luar niatan semula. Maksudnya mau melumpuhkan gerakan politik, malah memunculkan format baru pergerakan mahasiswa. Pergerakan mahasiswa di luar kampus berbasis kelompok studi dan pers mahasiswa.

Dalam setting pergerakan dan dinamika kemahasiswaan 1980an inilah, tampil ke atas pentas berbagai sosok dengan kepribadiannya yang unik. Salah satunya adalah, Agus Edi Santoso.

Saya sendiri tidak ingat persis bagaimana bisa kenal dan akrab dengan Agus. Rasanya sih ngalir gitu saja. Orang bilang kemistrinya sama. Seperti menemukan orang yang gelombangnya sama.

Padahal Agus ini, termasuk yang sinis pada awalnya terhadap keberadaan ISAFIS, yang menurut pandangannya terlalu ekslusif dan elitis. Apalagi poskonya di jalan Banyumas Menteng yang termasuk kawasan elit Jakarta. Tambahan lagi, bang Ical Motik waktu itu adik ipar mentri pula.

Bergabungnya Geiz dan saya di ISAFIS, yang merasa kemistri baik dengan eksponen kelompok studi maupun pers mahasiswa, pandangan sinis Agus maupun Amir Daulay yang lebih lekat dengan pergerakan pers mahasiswa, mulai berkurang. Bahkan perkawanan kami makin akrab satu sama lain.

Berbeda metode pergerakan, namun satu visi. Bicara soal satu visi inilah, selera Agus pada buku-buku kiri yang seram seram, justru yang menjembatani kedekatan kami berdua. Buku buku Tan Malaka sampai Ali Shariati jadi bahan obrolan, malah kadang perdebatan yang cukup sengit, di antara kami berdua.

Saya ingat satu ketika Agus kami undang di diskusi intern ISAFIS yang kebetulan saya yang mengorganisir bertahun-tahun, membahas tentang Islam dan Pergerakan Internasional. Ketika

180 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

sampai pada bahasan tentang Sarikat Islam, Agus yang pernah gabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) namun bersimpati pada gerakan kiri di dalam tubuh Sarikat Islam, dengan sengit menyerang kiprah HOS Cokroaminoto dan Agus Salim.

Saya, seperti halnya Agus, yang sama sama pengagum Tan Malaka, merupakan satu satunya yang membela posisi Agus dalam perdebatan dengan para eksponen ISAFIS lainnya yang notabene sebagian besar HMI. Meski saya pribadi mengagumi Hos Cokro dan Agus Salim.

Namun begitulah romantika, dialektika dan dinamika para aktivis mahasiswa 1980an kala itu. Perbenturan pemikiran intelektual atau bahkan ideologi, berbanding lurus dengan kehangatan persahabatan pribadi antar para eksponen.

Bagi Agus yang persahabatan dan jalinan kontaknya cukup luas dengan para aktivis baik sayap kanan maupun kiri, agaknya buat putra asli Madura ini, orang berkarakter lebih penting daripada ideologi yang dianutnya. Berkarakter dan berprinsip. Tidak abu-abu. Agaknya itulah tolokukur Agus untuk berteman dengan siapapun. Yang tidak dalam kategori itu, sepertinya sulit berteman dengan Agus.

Apa yang ada dalam benak Agus tentang diri saya, hanya Agus yang tahu. Nyatanya, meski tidak terlalu intens dan dekat pertemuan kami berdua, namun saya rasakan 35 tahun persahabatan kami tetap hangat.

Saya senang termasuk salah satu dari teman Agus. Dan merasakan kehangatan persahabatan sejati, dan tanpa pretensi dan tanpa pamrih. Selamat jalan bung Agus. Sampai bertemu kembali entah kapan.

--oo0oo--

181Catatan Para Aktiivis

Agus Lennon, Aktivis yang Berpihak kepada Rakyat Kecil

Penulis: Fitri Indro

AKU LUPA KAPAN PERTAMA KALI MENGENALNYA, tapi yang pasti aku mulai ‘ngeh’ padanya saat ia mengadvokasi masyarakat Blangguan yang tanahnya diserobot TNI-AL.

Pada waktu itu di lantai dua kantor SKEPHI di Tebet, Agus mengumpulkan petani Blangguan dan membuat simulasi bagaimana mereka harus ‘ber-acting’ saat beraudiensi dengan DPR.

“Tanah kami di ebommm Pak...” katanya dengan logat maduranya yang kental. Ia mencontohkan narasi yang harus disampaikan petani Blangguan di DPR nanti, “Kalau perlu sambil menangis agar lebih menggugah...,” katanya.

Kata-kata itu terngiang di benakku hingga kini.

182 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Dan aku langsung teringat “Agus” saat melihat demo emak-emak yang memprotes kenaikan harga sembako dengan membawa bakul dan panci di depan Istana. Aku hapal model aksinya hahahaa..

Agus memang bukanlah sekedar aktivis (aktivisme). Tapi ia adalah aktivis yang berpihak, yakni berpihak kepada rakyat kecil.

Mungkin ini yang dimaksudkan Agus itu berideologi kiri atau punya pemikiran kerakyatan yang kental.

Kenanganku yang kedua dengannya adalah saat ia merecoki bulan madu kami. Waktu itu aku dan Mas Indro baru saja menikah tapi Mas Indro tidak cukup punya waktu dan uang untuk ber-honey moon. Jadilah Mas Indro mensiasati proyek Skephi di Sumber Klampok Bali dengan mengunjungi masyarakat di sana.

Berbekal dana kegiatan advokasi Skephi dan tambahan sponsor dari Bang Hariman kami pergi berempat dengan Irina mengitari Jawa dan Bali. Kami menyewa sebuah mobil yang ternyata tak terlalu prima kondisinya sehingga bulak-balik mogok di jalanan.

Repotnya pada waktu itu tak ada yang bisa menyetir selain Mas Indro, sehingga ia harus menyetir sendiri sepanjang perjalanan hingga kakinya gempor. Kasihan, hahaa..

O,ya, waktu itu kami sempat mampir ke rumah Widji Thukul dan berfoto di Kedung Ombo dengannya. Tampak Thukul menggendong putrinya yang masih kecil dengan latar belakang tanaman jagung.

Kepergian Agus bersama kami pun mulai aku pahami bukan sekedar rekreasi. Selama perjalanan Agus bercerita tentang banyaknya simpul-simpul gerakan yang telah ia bangun di beberapa kota. Ketika bercerita dengan Mas Indro, ternyata jaringan simpul gerakan yang telah ia bangun adalah para aktivis mahasiswa yang sama-sama dikenal. Simpul-simpul gerakan tersebut tersebar di Bali, Lombok, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat dll.

Agus pernah bercerita pentingnya kita membangun jaringan

183Catatan Para Aktiivis

kalau kita ingin melakukan perubahan politik melawan kekuatan otoriter.

Percuma berjuang melalui partai politik, ketika partai politik sudah dikooptasi rejim yang berkuasa. Rakyat harus membangun kekuatannya sendiri dan melakukan perlawanan, katanya.

Saat sedang ramai kasus Timor-Timur dan Mas Indro dicari-cari, tiba-tiba Agus datang ke kosan kami bersama wartawan perempuan dari Australia. Dia adalah satu-satunya orang yang pernah bertamu ke tempat persembunyian kami. Aku terkesan sekali pada ketelatenan dan kejeliannya.

Pembelaan terhadap rakyat Timor Timur sama dengan apa yang dilakukan INFIGHT (Indonesian Front for Human Right) yang kebetulan Mas Indro menjadi kordinatornya. Memperjuangkan HAM tanpa membela hak untuk menentukan diri sendiri (Self Determination) adalah omong kosong.

Aku pernah diajak Agus pergi naik Metro mini ke daerah Fatmawati. Menuju rumah yang ada tiang benderanya. Ternyata itu adalah rumahnya Mas Adi Sasono. Kami berbincang dengan akrab di meja makan bersama Mas Adi.

Beberapa tahun kemudian Mas Adi menawarkanku untuk bersekolah di luar negeri. Saat itu aku diperjalanan dari Balikpapan ke Kutai guna mengikuti workshop yang diselenggarakan LSMnya Bastaman dan M. Rofiq.

Saat mengantarkan Amir Daulay ke peristirahatannya yang terakhir, Agus berjalan beriringan dengan anak-anakku, lalu mengatakan pada mereka bahwa “Ibu mu itu dulu banyak yang suka lho...” Sebuah gurauan jenaka karena aku dulu merasa biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa.

Aku pernah bertemu sekali lagi dengannya di TMII sewaktu ada kumpul-kumpul dengan teman-teman Prodem. Tapi nampaknya dia enggan mendekat. Kami memang sudah lama sekali tak bersua. Mungkin merasa sudah berbeda pandangan. Yang pasti aku yakin ia tetap istiqomah dalam keberpihakannya pada rakyat

184 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

yang termarjinalkan dan tetap rajin bergerilya serta ‘ngomporin’ anak-anak gerakan dengan model khasnya.

Semangatnya untuk melakukan propaganda agar anak muda terus berjuang patut diacungi jempol. Aktifnya Agus dalam mendukung Prodem saat itu sekali lagi seperti menegaskan slogan “rakyat bersatu tidak bisa dikalahkan”.

Saat berkumpul dengan teman-teman di Bogor rupanya menjadi saat perjumpaan kami yang terakhir. Waktu itu aku menangkap keshalehan di raut wajahnya. “Ia sudah berserah, sudah ikhlas dalam menjalani hidup”, batinku...

Dialektika kehidupan sudah membuatnya menjadi khusnul khotimah. Seorang yang baik di akhir perjalanannya. Meditasi yang belakangan ini rajin dipraktekannya rupanya cukup membantu dia menjadi tetap tenang dan seimbang menjalani hidup kendati didera sakit.

Ketika berpapasan di musala, ia meledekku; “Indro lolos lagi ya...”

“Aahhh... Jokowi mesti nyesel gak ngambil Indro” katanya.Saat ia memberi sambutan di acara mengenang teman-teman

Bogor yang sudah tiada itu. Ia menyatakan keyakinannya bahwa “Indro ini telah diselamatkan” dengan tidak dimasukannya dalam jajaran kabinet Jokowi.

Satu hal yang mengganjal setelah kepergiannya. Pada sakitnya yang terakhir, aku dan Mas Indro tak sempat menjenguknya di rumah sakit. Mudah-mudahan ia memaafkan kami. Dan semoga ia selalu damai di peristirahatannya yang terakhir.

--oo0oo--

185Catatan Para Aktiivis

Nyaring panggilanmu 35 tahun yang lalu, Masih Terdengar hingga Kini

Penulis: Nazrina ZuryaniAnggota KSP, kini tinggal di Bali

“ASSALLAMUALLAIIIIKUUUUUUM, RIIIIIINNAAAAAA, Rinaaaaaaa”, Agus meneriakkan nama aku dari depan pagar besi rumahku, yang berjarak 3 meter dari pintu.

Saat itu hari menjelang petang pada bulan Agustus tahun 1987. Aku ingat kenangan ini, tentang sapaan jarak jauhnya, yang dinilai aneh oleh tetangga aku. Ketika itu, aku sedang menjahit baju pesanan tetangga belakang rumah. Masih kuinjak dinamo mesin jahit Singer itu. Namun suara Agus terdengar lebih nyaring.

“Assallamuallaaaaikuuuum Rin, Rinaaaa”

186 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Mama-ku, yang kini telah tiada itu, bergegas menuju pintu depan ruang tamu, setelah agus berteriak kedua kali memanggil namaku. Mas Agus berusaha membuka gerendel pintu dan menggeser pagar agar bisa masuk halaman rumah.

Suara mama-ku terdengar sayup; “Wallaikum salam, siapa ini? Koq berteriak-teriak memanggil nama Rina?’

“Saya Agus, Bu. Teman di Kelompok Studi Proklamasi. Apakah Rina ada di rumah?”.

Sigap mama-ku menyilakannya masuk dulu dan akan segera memanggil aku di ruang dalam yang sedang menjahit kerah baju tetangga.

Perlahan aku berjalan menemui tamu agung berkaca mata turun itu, terseok menuju ruang tamu yang terbuka nyambung dengan meja makan, dipisah hanya oleh lemari buku papa. Mas Agus yang mengenakan kaca mata bulat ala John Lennon itu sudah membuka-buka buku koleksi papa yang terpajang di lemari pemisah ruang tamu kami. Aku agak kaget karena suara mas Agus berubah kalem dengan pertanyaan, “Boleh juga bahan bacaan di rumah ini”.

Aku tersenyum dan menimpali, “Kalau mau pinjam harus mencacat di buku pinjaman yang disediakan papaku”.

Mas Agus nampak agak kaget. Dia membalik-balik buku yang dipegangnya. Lalu, setelah lima detik, dia memutuskan tidak meminjam buku. Dia segera mengembalikan buku berbahasa Inggris itu ke tempat semula.

Setelah ngalor-ngidul bercerita, mas Agus mengeluarkan dua buku agak tebal seri luar negeri yang sudah kulupa nama penerbitnya. Judulnya yang aku ingat, “Cheese and Milk Products” dan satu lagi berjudul “Pasta and Pulses”. Keduanya berbahasa Inggris dan masih dibungkus plastik.

Judul kedua buku itu sangat kena dengan matakuliah yang kuambil saat itu di Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga konsentrasi Program Studi Tata Boga. Matakuliah berjudul ‘KIMIA PANGAN’ dan matakuliah “MAKANAN KONTINENTAL”. Bukankah

187Catatan Para Aktiivis

fermentasi susu biasanya menghasilkan keju, mentega dan yogurt? Seolah dapat menangkap kenanaran mataku, mas Agus

berceloteh bahwa menjual buku seri seperti ini akan mudah, komisi besar, dan bisa ditukar.

Singkat cerita, aku saat itu setuju menjadi ‘down line’ mas Agus untuk menjualkan buku-buku import seri makanan dan seri lainnya. Mas Agus menjelaskan cara mendekati calon pembeli agar tertarik pada aneka buku dalam katalog yang dibawanya.

Sebelum pamit pulang, mas Agus menyampaikan apresiasinya ketika mengetahui bahwa aku menerima jahitan sendiri di rumah.

Lama mas Agus tertegun sebelum pamit. Ia bergumam, “Jadi Rina pasti calon ibu rumah tangga yang baik”. Aku tertawa mendengar komentar terhadap pilihan hidupku. Aku sambut dengan canda. “Tahu nggak mas Agus, aku memang bercita-cita menjadi ibu rumah tangga yang baik. Ha ha ha....”

Mas Agus Lennon dengan kacamata bulatnya mengangguk-angguk sambil mengusap-usap dagunya dan berdiri dengan tas sudah rapi ngangklong dipundaknya. Ini ciri khas mas Agus yang sulit aku lupakan: Mengangguk-angguk kemudian mengusap-usap dagu panjangnya dengan sedikit menunduk. Matanya mendelik melewati batas bingkai bulat atas kacamata bundarnya sekali-sekali menatapku.

Lalu dia pamit menuju pintu pagar dengan pesan, “Rin, langsung saja ke bagian marketing buku di pasar Senen, namamu akan mas Agus daftarkan sebagai sales-nya”.

Aku mengangguk setuju. Sulit menolak ajakan seorang Agus Lennon yang kucel seperti tidak mandi itu tetapi sangat perhatian pada isi kepala orang yang dihadapinya; yaitu aku yang harus belajar kimia pangan dan makanan continental ini.

Aku berhasil menjual buku dari Mas Agus. Namun, Mas Agus tidak pernah mau menerima bagian dari komisi buku yang berhasil aku jual. Baginya membuka pintu rezeki teman harus all out, sepenuh utuh, tanpa kompensasi.

188 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Pada Sabtu, 16 November 2019, Mas Agus menyebarkan undangan makan ikan melalui facebook. Mas Agus akan memasak ikan dengan bumbu belimbing wuluh hasil kebun dengan resep leluhurnya (ingatlah 35 tahun silam pesan kecintaannya pada dapur Madura). Video ini menekankan agar aku dan putraku datang mencicipi-nya untuk pertama kali ke Café Tji Liwoeng miliknya di Condet. Video itu menjadi kenangan berharga tentang arti kasih sayang, perhatian dan rasa silaturahmi seorang senior sekelas mas Agus. Aku bersama putra-ku Joseph Izmardha Couteau terbang dari Bali, dan tiba jumat malam di hotel Balairung Jakarta untuk memenuhi undangan Mas Agus.

Aku masih ingat penjelasan Mas Agus di video itu: makan ikan untuk dinner buat orang Perancis mungkin kurang tepat, tetapi lidah Indonesia, ya, pasti pas. Di video itu mas Agus memperlihatkan wujud ikan Kerapu yang hendak dimasaknya. Ikan yang nampak bingkas dengan sisik berkilau-an itu dalam kematiannya sungguh nampak pasrah namun sumringah untuk disantap. Sungguh satu kesungguhan memelihara cita rasa dan kemauan berbagi yang seluas langit biru yang bagi orang semacam mas Agus yang mendalami Tata Boga dalam nuansa tidaklah kaku (disebutnya susunan menu yang tersedia). Café yang dikelolanya sangat mencerminkan kelenturan cita rasa tradisi yang diusungnya.

Namun, makan ikan dengan bumbu khas resep turun-temurun dari leluhur nenek-nya di Madura batal. Sebab, ada undangan makan mendadak dari pasangan suami istri primadona dan primadoni KSP (Halimah dan Munawir) dalam rangka ulang tahun Munawir.

Pertemuan terakhir aku dengan Mas Agus terjadi pada tanggal 20 Desember 2019 di Cafe Tji Liwoeng. Kami anggota KSP sepakat berkumpul pada hari itu untuk pembuatan foto untuk buku “Denny JA di mata Sahabat” sebagai kado ulang tahun untuk anggota KSP yang berulang tahun tanggal 4 Januari itu.

189Catatan Para Aktiivis

Selain berfoto-ria, kami juga menikmati hidangan buatan mas Agus: mie Atjeh, soto, nasi goreng, dan rawon. Lagi-lagi aku kagum pada cita-rasa mie yang diracik oleh mas Agus dan istri ini. Enak saja tidak cukup, mie itu ueeennnnnaaak terasa Atjeh-nya.

Hanya 10 hari setelah pertemuan kami di café Tji Liwoeng, mas Agus masuk dan dirawat di RS Harapan Kita.

Sedih banget hati ini…Jumat, 10 Januari 2020. Aku tersedak, air mata mengalir

dan hampir tidak percaya pada pesan Jojo Raharjo bahwa mas Agus telah tiada. Engkau telah berangkat mendahului kami. Terngiang tegurannya, keras dan nyaring panggilannya, kekeh-kekeh tertawanya, angguk-angguk, mendehem dan mendelik mata mas Agus sambil menunduk melewati bulatan kaca mata ala John Lennon-nya. Satu gimik dan bahasa tubuh yang khas, unik, tak ada lawannya dalam mendesak dengan halus. Nasehat-nasehatnya, buku kuliner, hidangan ikannya yang sudah beku dan topi pinjamannya. Semua bergerak memenuhi rongga kepalaku sebagai ada dan tiada. Hanya satu yang pantas aku sampaikan. Tenanglah disana mas Agus. Aku mendoakanmu, orang baik yang tiada henti berbagi, berkata halus tulus dengan jurus menyindir. Aku berterima kasih telah mengenalmu sekian lama… panggilan itu nyaring, masih terasa garing di kuping….

Pondok Ayung, Denpasar, 9 Februari 2020

--oo0oo--

190 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

191Catatan Para Aktiivis

Agus Lenon, Kopi, dan Foto Copy

Penulis: Ons UntoroPendiri Kelompok Studi Sosial Palagan Yogyakarta.

Namanya Agus Edi Santosa, tetapi lebih dikenal sebagai Agus Lennon. Sebut saja, nama ini adalah nama yang ‘legendaris’ dikalangan aktivis mahasiswa tahun 1980-an. Dia banyak kenal dan dikenal dikalangan aktivis seangkatannya, bahkan aktivis generasi sesudahnya, yang lebih muda. Agus, sebagai aktivis, juga kenal dengan aktivis generasi sebelumnya, yakni aktivis tahun 1970-an dan aktivis tahun 1960-an, yang dikenal sebagai aktivis 66.

Saya lupa persisnya, kapan mulai kenal Agus. Tetapi ketika di Yogya mulai marak kelompok diskusi, saya sering bertemu Agus dalam forum diskusi, meskipun tidak terlalu akrab. Mungkin Agus juga hadir di forum diskusi, yang sering saya selenggarakan bersama teman-teman Kelompok Studi Sosial Palagan, yang dilakukan hampir tiap bulan. Hal yang masih saya ingat, ketika

192 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

saya mulai agak intens bertemu Agus ialah, ketika bertemu di LP. Wirogunan, Agus dan Amir Husain Daulay ‘mengurusi’ Bonar Tigor dan saya ‘mengurusi’ Bambang Isti Nugroho, yang belakangan lebih menggunakan nama Isti Nugroho. Hampir setiap minggu, saya ke LP bertemu Isti dan Bambang Subono, atau Bono, dan Amir bertemu Bonar.

“Kamu rutin, ya, tengok Isti, Ons?” tanya Lenon ketika bertemu di LP Wirogunan.

Begitulah, saya mulai agak sering bertemu Agus dan Amir, justru sama-sama menengok sahabat yang dipenjara oleh rezim orde baru.

Di luar itu, saya sering bertemu Agus di ruang-ruang diskusi di Yogya. Dia selalu terlihat banyak hadir di ruang-ruang diskusi. Dalam bersahabat Agus terasa hangat, dan tidak segan dia selalu menyapa setiap bertemu kawan sambil berguarau. Saya kira, setiap bertemu Agus tidak pernah lepas dari canda dan gurau. Barangkali, itulah cara Agus merawat persahabatan. Tetapi, sungguh, saya tidak tahu di mana Agus tinggal, dan mungkin Agus juga tidak tahu, di mana saya tinggal, karena masing-masing tidak pernah saling menyebutkan tempat tinggalnya.

Namun, ada yang mengejutkan untuk saya dari Agus. Suatu kali, pagi-pagi, sekitar jam 07.00 dan saya masih tidur, saya lupa tahunnya, mungkin pertengahan tahun 19900an, tiba-tiba Agus nongol di rumah saya. Padahal saya tidak pernah memberi tahu padanya, di mana saya tinggal. Ibu saya, yang belum pernah melihat Agus, membangunkan saya:

“Dicari temanmu,” kata ibuku sambil membangunkanku.Karena masih ngantuk, sebab pulang malam, sambil

mengantuk, dan tidak segera bangun saya bertanya pada ibu saya:“Siapa namanya?” tanyaku.“Nggak, tahu, belum pernah datang ke sini,” kata ibuku.Saya segera bangun,langsung ke kamar mandi dan menemui

193Catatan Para Aktiivis

teman, yang pagi-pagi sudah datang. Padahal biasanya, teman-teman saya kalau datang malam hari. Saya kaget melihat Agus tertawa sambil berkata.

“Aktivis, bangunnya pasti siang,” ujarnya sambil tertawa.“Tahu juga kamu rumahku, dari siapa?” tanyaku heran.“Apa yang saya tidak tahu soal kamu,” lagi-lagi agus berkelakar.“Kopi, Ons,” dia seperti memerintah.Kehadiran Agus sambil membawa fotocopy, saya sudah lupa,

tulisan apa yang dia bawa. Fotocopy itu dia berikan ke saya, sambil mengingatkan jangan lupa untuk dibaca dan diseberakan kepada kawan-kawan lain.

Rupanya, markas FKMY (Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta) tidak jauh dari rumah saya tinggal, dan Agus tampaknya menginap di markas itu. Saya diajak ke markas yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari rumah saya, dan di markas itu, saya bertemu, salah satunya, yang saya masih ingat adalah Brotoseno.

Begitulah, Agus. Selalu hangat dan mengejutkan dalam bersahabat. Ketika saya sering ke Jakarta tahun 1990-an, saya diminta Agus untuk mampir ke Pijar bertemu Amir Husain Dauly dan teman-teman Pijar lainnya. Dan, ketika saya pas di Jakarta, biasanya saya mampir dulu di Guntur 49 untuk bertemu Pak Badio. Saya diajak Agus ke Pijar. Di sana saya bertemu Amir, yang biasanya dikenal dengan nama AHD. Di Pijar saya juga bertemu Hakim Hata dan Beathor Suryadi. Ia, Beathor ini menggoda saya, dan saya tahu, itu cara dia untuk tidak saling canggung bertemu.

“Ons, kalau di Jakarta itu berjuang, bukan berdagang,” kata Beathor.

Setelah reformasi, saya masih saling kontak Agus, terutama melalui SMS, dan dia sering menyebut saya sebagai ‘Lekra’. Beberapa kali, Agus meminta saya untuk meyiapkan diskusi di Yogya, perihal hak asasi manusia.

194 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

“Ons, aku ada uang sedikit, kamu siapkan diskusi, ya. Nanti saya dan Isti ke Yogya,” begitu Agus, sebut saja memberi perintah, dan sekaligus saya diminta membuat proposalnya.

Belakangan, saya jarang bertemu Agus, paling hanya saling kontak lewat WA, atau komentar melalui fecabook. Namun dia tahu kegiatanku di Yogya. Lalu, tiba-tiba dia memasukan nomer WA ku di group prodem sambil meminta saya memasukan kawan-kawan lain yang di Yogya.

Terakhir saya bertemu Agus Lenon ketika peringatan Malari diselenggarakan di Yogya, dan mengambil tempat di UC UGM. Kejadiannya, sekiar Januari 2018, kalau saya tidak salah ingat. Tiba-tiba Agus berdiri di belakang saya, dan memeluk pundak saya, sambil berguarau:

“Ons, bagaimana kalau Jokowi kita ganti?”Setelah itu, saya jarang bertemu Agus. Saya beberapa kali

dapat kabar melalui media social bahwa dia sakit dan opname di rumah sakit. Belakangan saya dengar dia mulai membuka kafe, dan sering mengadakan kegiatan di kafe itu.

Kini, sahabat yang selalu hangat berkawan itu, telah tiada. Saya tahu, bagi Agus, persahabatan jauh lebih penting, maka menjaga dan merawat persahabatan selalu harus dilakukan, dan Agus melakukan itu sampai akhir hayatnya.

Selamat jalan Gus. Salam untuk AHD. Silahkan kalian membuat forum diskusi di sana, Kelak kawan-kawan lain bisa ikut.

Yogyakarta, Awal Februari 2020

--oo0oo--

195Catatan Para Aktiivis

EPILOG

196 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Agus menunjukkan perhatian yang lebih pada kami yang di

penjara di Wirogunan Yogyakarta. Agus sering

membawa lauk-pauk yang tahan lama, selain tentu saja buku-buku. Buku tetap menjadi favorit kami bertiga.

““

197Catatan Para Aktiivis

Merangkai Peranjut Demokrasi para Aktivis

DI PERTENGAHAN TAHUN 1985, di pagi hari yang langitnya biru, dan suasana bulan Juli yang ceria, Agus Edi Santoso datang ke kantorku. Aku bekerja sebagai pegawai LAKFIP (Laboraturium Analisa Kimia Fisika Pusat) UGM. Agus memperkenalkan diri sebagai mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta. Agak misterius memang pagi sekali ada tamu datang yang kita belum mengenalnya terlebih dulu.

Aku bertanya padanya, “Anda tahu kantorku dari mana dan Anda datang pagi sekali, pukul 06.00? Tidak lazim, orang datang di kantor pemerintah, pada jam sebelum kantor dibuka. Tahu dari mana kalau aku bekerja di LAKFIP UGM. Tahu dari mana aku sudah berada di kantor pada pagi hari?”

Sambil tersenyum, dia bilang bahwa seorang temannya yang

198 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

sedang penelitian di kantorku yang memberitahunya tentang aku.Singkat cerita dari perkenanlan itu, kami berdua langsung

banyak bicara dan akrab. Kami bicara soal masyarakat, politik, dan kebudayaan. Aku langsung bercerita tentang rencana Kelompok Studi Sosial Palagan Yogyakarta, (KSSPY) Kelompok Studi yang aku pimpin, akan mengadakan diskusi terbuka di Gedung Seni Sono Yogyakarta dan Aku langsung mengundang Agus untuk datang.

Setelah perkenalan di kantorku, kami langsung akrab sekali dan Agus sering tidur di rumahku di Timuran 95, jalan Parang Tritis, Yogyakarta.

Tahun 80-an menyisakan situasi yang menyesakkan dalam politik Indonesia, setelah penghacuran Partai Komunis Indonesia yang membunuh kurang lebih 500 ribu orang, Orde Baru Suharto kuasa menggantikan Orde Lama dengan represi. Represi Orde Baru tidak berhenti sampai tahun 60-an saja, tetapi terus dilakukan hingga akhir tahun 70-an. Gerekan Golput tahun 1971, Peristiwa 15 Januari 1974 dan Gerekan Mahasiswa 1977/78 serta kebijakan NKK-BKK yang mengusir gerakan mahasiswa di dalam kampus, direpresinya juga.

Akibat dari kebijakan NKK-BKK mahasiswa yang kritis membuat kegiatan di luar kampus. Lahir kelompok-kelompok studi di luar kampus yang menjamur di kota-kota besar Indonesia : Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Palembang, Makasar, Ujung Pandang, Bali, Surabaya, Solo, Salatiga dan kota-kota lain. Hal itu akibat kampus tidak aman, sebagai lingkungan untuk beraktivitas politik moral kritis, meng-counter kebijakan pemerintah yang sedang berlangsung. Dalam situasi dan kondisi seperti itulah kami, aku dan Agus bertemu untuk menjalin berkawanan politik.

Concern kami bertaut dan berjalan dalam ikatan moral politik kritis menghadapi situasi politik represi Orde Baru Suharto, kami yang beraktivitas di luar kampus menggalang kekuatan ekstra parlementer, karena parlemen waktu itu, tunduk pada kekuatan eksekutif. Parlemen pada tahun 1980-an hanya menjadi institusi basi yang anggotanya cuma datang, duduk, dan diam.

199Catatan Para Aktiivis

Agus sering datang dengan buku-buku “kiri”, baik karya orang luar, juga novel dan karya satra lainnya. Jalinan perkawanan kami, terus intens dan membetuk pola pikir “kiri” sebagai mahasiswa-pemuda yang menaruh simpati pada yang kalah, dikalahkan dan disingkirkan.

Dalam mengisi pikiran, bacaan-bacaan kritis dari gerakan kiri baru dan tokoh-tokoh demokrasi sering kita diskusikan. Buku-buku karya 80-an yang ikut membentuk pola pikir mahasiswa 80-an, antara lain Maurice Duverger, Samuel P. HuntingTon, Francois Raillon dan para pemikir demokrasi seperti Herbert Feith, Robert. A. Dahl dan Joseph Schumpeter. Kami konsentrasi pada intellectual exercise dan menjadikan buku sebagian bahan diskusi.

Aktivitas diskusi mengkritisi represi Orde Baru Suharto terus berjalan sampai, akhirnya aku ditangkap dan diadili pada tahun 1989. Kami bertiga, Aku, Bambang Subono, mahasiswa Fisipol UGM, dan Bonar Tigor Naipospos (Coki) diadili dan dipenjara. Agus sering datang membezuk. Karena Agus sering membezuk kami, beserta kawan-kawan lain, perkawanan kami semakin erat dan kuat. Saking akrabnya, kami sering mengikat janji-janji, baik yang sifatnya pribadi maupun politik.

Agus menunjukkan perhatian yang lebih pada kami yang di penjara di Wirogunan Yogyakarta. Agus sering membawa lauk-pauk yang tahan lama, selain tentu saja buku-buku. Buku tetap menjadi favorit kami bertiga.

JANJI AGUS LENNON.Nama lengkapnya Agus Edi Santoso, kawan-kawan sering

memanggilnya dengan Agus Lennon. Pada permulaan tahun 80-an Agus sering menggunakan kaca mata bulat warna putih ala John Lennon, penyanyi asal Inggris yang popular seantero jagat. Karena memakai kaca mata ala John Lennon, Agus kemudian dipanggil dengan nama Agus Lennon. Nama tambahan Lennon terus dilekatkan sampai akhir hayatnya.

200 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Kendati dibesarkan dalam keluarga yang saleh, ayahnya pengurus Muhamadiyah di desa kelurahan, dan ibunya menjadi pengurus ranting Aisyah. Agus sendiri kuliah di jurusan agama Islam, dia adalah seorang liberal baik dalam politik maupun teologi: Agus bersimpati pada Revolusi Iran dan percaya pada demokrasi.

Hubungan kami, sudah melampaui persahabatan, sudah menyerupai keluarga. Dalam gundah maupun risau, Agus selalu menghibur dengan janji-janji. Ketika aku menghadapi persidangan, Agus berpesan padaku untuk tetap mengepalkan tangan. Tegar mengadapi persiadangan, yang hukumannya sudah ditentukan dari pusat. Dia meminta padaku, di ruang tahanan Kejaksaan, untuk tetap tegar menghadapi vonis hakim.

Kalau nanti kamu dipecat dari statusmu sebagai pegawai negeri, kita bikin usaha sendiri, jangan pesimis. Bahkan kalau pacarmu meninggalkanmu, aku punya adik cantik, yang kelak kalau sudah keluar akan kujodohkan denganmu, tetaplah optimis.

Begitu persahabatanku dengan Agus dari paruh tahun 85-an sampai menjelang kepergiannya untuk selama-lamanya. Kami terus selalu bertemu dan berjumpa. Pertanyaannya, selama dalam persahabatan sepanjang itu, apa yang menjadi legacy Agus? Baik dalam memperjuangan politik dan mengarungi kehidupan ini. Apa pikiran-pikiran Agus Lennon atau Agus Edi Santoso? Apakah jejak yang bisa dikenalinya bahkan dibanggakannya.

Orang yang berangkat dewasa di tahun 1980-an dan menjadi remaja di tahun 1970-an adalah mereka yang hidup dalam masa otoritariannisme Orde Baru Suharto. Politik represi dan jargon pembangunan ekonomi, adalah prioritas rezim Orba kala itu. Pembangunan ekonomi sedang digencarkan di era 80-an oleh pemerintah. Politik stabilitas menjadi acuan sistem pemerintahan pada waktu itu. Barang siapa berani mengganggu stabilitas akan mendapat kesulitan yang berat.

201Catatan Para Aktiivis

JANTUNG MENGHAMBAT MOBILITASNYAMenjelang usia 60 tahun, Agus pergi menemui Allah di surga.

Sepanjang hidupnya, sudah banyak berbuat amal baik . Semua kawan dan sahabatnya bersaksi bahwa Agus Lennon adalah orang baik. Penyakit jantung yang dideritanya selama 3 tahun di akhir hidupnya membuat kondisi fisiknya melemah. Seperti yang digambarkan bahwa jantung adalah pompa mekanis sederhana, organ sekepal tangan seberat sepuluh ons yang berdenyut rata-arata 72 kali per menit dan lebih dari 100 ribu kali sehari.

Jantung adalah otot dengan empat ruangan. Serupa dengan jantung ikan paus dan burung gereja, tujuan satu-satunya adalah mengangkut darah yang penuh oksigen ke otak dan organ-organ lainnya. Dan jantungku membengkak, lebih besar dari semula, katanya padaku. Hal itu dikatakannya setelah keluar dari rumah sakit Medistra, untuk yang pertama kali Agus memeriksakan penyakitnya.

POWER OF GIVINGSejek pertama kali berkenalan dengan Agus, terasa olehku

dan kawan-kawan lain bahwa Agus Edi Santoso alias Agus Lennon memiliki jiwa pemberi. Pada paruh 90-an ketika Agus bangkit Berjaya, kebaikannya sampai padaku dan juga kawan-kawan lain. Orang seperti Bob Bali, Rusdi Tagaroa, Budi, Farah dan Desyana, Santoso, Sirra Prayuna, Abbah Syafik serta kawan-kawan lain, yang pada waktu itu masih mahasiswa dan menjadi aktivis murni sering dibantu Agus secara finansial.

Power of Giving dalam arti yang luas, tidak hanya pemberiannya dalam bentuk uang saja, tetapi kehangatan persahabatannya dan kunjungan-kunjungan yang sering dia lalukan ke daerah-daerah, bisa dilihat sebgaia power of giving.

Jiwa kedermawanan terasa kalau dirinya mengantongi uang, membagi rejekinya, mentraktir makan enak dan mengajak membuat kegiatan yang modal awalnya diberi oleh Agus, sering menjadi “kenikmatan” kecil yang kami rasakan semua. Power of

202 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Giving yang meresap dalam jiwanya menjadi catatan yang baik, sebagai warisannya. Tentu saja tidak hanya kekuatan memberinya yang dimiliki dan dilihat serta dirasakan oleh semua kawan-kawannya, tetapi juga caranya dia menempatkan persahabatannya di atas yang segalanya.

PERSAHABATAN DI ATAS POLITIK Selain kekuatan memberinya (power of giving) yang terasa

darinya adalah pandangannya tentang politik dan persahabatan. Perilaku kongkritnya nenempatkan persahabatan di atas perbedaan politik. Hal itu dikatakannya oleh Denny JA ketika di depan jasad Agus memberikan kata sambutan, sebagai sahabat Agus Lennon yang mengenalnya sejak tahun 1983. Selain sebagai kawan, Denny juga satu organisasi di Kelompok Studi Proklamsi.

Pada waktu gencar-gencarnya kampanye pemilihan Presiden tahun 2019-2024 antara Jokowi- KH. Makhruf Amin VS Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Agus banyak memberikan kritik pedas pada Jokowi. Di media social sering berselisih dengan kawan-kawannya, mengejek, bergurau dan kadang tidak sengaja menyakiti dalam beradu pendapat.

Bahkan pada usianya yang menua dan dilanda penyakit jantung, dia masih berdemonstrasi di depan istana menagih 66 janji Jokowi yang tidak ditepatinya. Tobat nashukah demo di depan istana, yang ditonton ratusan ribu nitizen merupakah harga diri (dignity) yang dilakukannya.

Serangan kepada pemerintahan Jokowi dan ejek-mengejek pada masing-masing jagoan, dilakukannya diberbagai kesempatan. Tidak sedikit yang kesal bahkan benci dengannya, tetapi dia tetap tegar dan konsisten dengan pilihannya. Tidak ada harapan, selama pemerintahan Jokowi untuk periode pertama, apalagi untuk periode kedua.

Seandainya Jokowi menang lagi memimpin Indonesia untuk yang kedua, situasi politik dan kondisi ekonomi akan lebih susah, katanya.

203Catatan Para Aktiivis

Agus Lennon berdiri mengatakan kebenaran menurut pikirannya. Tidak takut ditinggalkan oleh kawan-kawannya yang dulu bersama-sama memenangkan Jokowi-JK. Walaupun pertengkaran sengit, saling ejek yang kadang menyakitkan, setiap jumpa secara fisik tetap hangat dengan dekapannya dan senyumnya yang bersahabat. Persahabatan di atas politik, adalah sikapnya yang dijalaninya. Keluarga adalah amanah dari Allah, persahabatan adalah harta, tambahnya.

PENGHARGAAN PADA HAM.Sejak mula pertama bertemu dengan Agus Lennon, impresiku

mengatakan dia mencintai hak asasi manusia dan demokrasi. Ketika kami sering diskusi, Agus mengutarakan ketidak-setujuannya pada bentuk Negara Intergralistik model Prof Supomo. Model Supomo menurutnya, membayangkan harmoni social tanpa pijakan teori yang kuat. Negara Integralistik, hanya menghadirkan utopia tentang harmoni, dari pada realitas dan keadilan sosial.

Pada masa mudanya, Agus seorang pembaca yang baik. Pemikir demokrasi seperti, Dahl, Feith dan Daniel S Lev serta Buyung Nasional tak luput dari referensinya. Pikirannya tentang demokrasi dan kecintaan dan penghargaannya pada hak asasi manusia berpengaruh pada proses penulisan pledoiku dahulu kala. Karena dia berperan besar dalam pembuatan pledoiku.

Sering terlontar dari mulunya kritik terhadap the founding fathers, yang memperdebatkan bentuk Negara, baik itu Negara Integralistik maupun Negara individu ala Hatta. Pikiran Agus Lennon muda tak jauh dari Sutan Syahrir bahwa pengagungan kepada Barat (kapitalis) dan pengingkaran pada Timur (feodal) akan tenggelam. Kedua faham itu akan tenggelam, katanya 35 tahun lalu. Tetapi kenyataannya sistem kapitalisme masih jaya dan feodalisme belum benar-benar hilang dalam sosial budaya kita.

Pandangan dan kecintaannya pada hak asasi manusia dan

204 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

demokrasi di Indonesia itu, diwujudkan dalam banyak hal. Dia mendirikan dan memimpin PIPHAM (PUSAT INFORMASI HAK ASASI MANUSIA) Lembaga yang bergerak dalam bidang HAM di Indonesia. Dari pendirian dan kepemimpinannya itu dirinya sering diundang seminar dan diskusi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

KOMITMEN PADA DEMOKRASIBersama dr. Hariman Siregar, Buyung Nasution dan Mulyana

W. Kusuma, dan tokoh-tokoh lain, Agus ikut memderikan INDEMO (Indonesia Demokrasi Monitor) sebuah lembaga yang memantau perkembangan demokrasi di Indonesia.

Sayang lima hari sebelum 20 tahun perayaan Indemo di Jakarta dia meninggal dunia. Demokrasi yang dihayatinya, dipakai sebagai dasar perlawanannya terhadap otoritarianisme Orde Baru Suharto. “Kalau demokrasi terjadi di Indonesia, bangsa dan Negara kita akan lebih baik,” katanya pada DR. Arief Budiman suatu hari di tahun 1989 di penjara Wirogunan. Arief menimpali, “dan kalau ada pemuda seperti Agus Lennon 10 orang saja, Suharto akan jatuh lebih cepat dari yang diperhitungkan orang.”

Kenapa begitu bung Arief tanyaku, “mobilitas Agus Lennon dalam merajut demokrasi keberbagai kota hasilnya positif, dan kunjungannya pada aktor-aktor demokrasi sungguh luar biasa. Lennon memang hebat, dia seorang perajut pejuang demokrasi, puji Arief Budiman”.

Satu lagi legacy Agus Edi Santoso pada bangsa Indonesia adalah komitmennya pada keadilan. Komitment pada keadilan itu merupakan komitment yang tidak bisa digadai atau ditawar. Sampai akhir hayatnya kecintaan pada keadilan lebih besar dari yang lainnya.

Demokrasi dan hak asasi di Indonesia memang sudah melekat satu paket. Di dalam sistem demokrasi ada kebebasan, di dalam kebebasan terkandung di dalamnya demokrasi. Tidak akan tercipta

205Catatan Para Aktiivis

suatu sistem demokrasi tanpa adanya kebebasan. Kebebasan tidak mungkin diperolah tanpa demokrasi.

Soal sistem demokrasi ini, Indonesia punya sejarah yang panjang. Pernah setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, pada masa pemerintahan Orde Lama, kita menganut sistem demokrasi parlementer.

Demokrasi parlementer yang dinilai liberal dan tidak sesuai dengan jiwa kepribadian bangsa Indonesia itu, rontok digantikan demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin ternyata juga tidak sesuai dengan asas-asas demokrasi, malah cenderung otoritarian. Kedua sistem demokrasi itu, pernah dicoba pada pemerintahan Orde Lama. Setelah Orde lama jatuh, digantikan Orde Baru, nama demokrasi kita pun berubah.

Pada masa kepemimpinan Orde Baru, sistem demokrasi pun juga dinamai Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila berlaku sampai 32 tahun, seumur masa kepemimpinan Suharto. Setelah Suharto jatuh, sistem demokrasi pancasila itu sudah jarang terdengar.

Sampai datang zaman reformasi, di mana sistem demokrasi kita menjadi demokrasi liberal-kapitalis. Dari demokrasi pancasila hingga sekarang itulah Agus Lennon, berjuang menegakan sistem demokrasi substansial. Kata demokrasi substansial itu sebuah kata penolakan terhadap sistem demokrasi procedural yang terjadi hari ini.

Sepanjang hidupnya dia berjuang menegakkan demokrasi yang seluas-luasnya, menegakan hak asasi manusia dan keadilan. Yang menjadi concern pada perjuangan politiknya, dirinya juga menempatkan persahabatan di atas politik dan power of giving. Empat fokusnya itulah yang sampai akhir hidupnya terus disandangnya.

Itulah legacy-nya walau barangkali, kawan-kawannya punya perspektif lain dan memiliki catatan tambahan tentang konsentrasinya dalam perjuangan politik maupun perjuangannya dalam kehidupan yang lebih luas.

206 AGUS LENNON, POLITIK, dan PERSAHABATAN

Seperti di mata keluarganya, Agus Lennon juga anti nepotisme. Seperti yang diungkapkan pada kedua adiknya, Jayadi dan Herry Santos. Di masa kejayaannya dia tidak melakukan praktek nepotisme. Praktek nepotisme itu misalnya, mengedepankan keluarganya, dari orang lain yang berhak di dalam menggunakan fasilitas dan rekomendasinya.

SPEKTRUM PERGAULANAgus Edi Santoso alias Agus Lennon, bisa dikatakan prototif

angkatan 80-an, yang memiliki spektrum pergaulan yang luas. Pergaulannya yang luas itu, merupakan modal pribadinya yang jarang dimiliki orang lain. Sebagai perajut demokrasi yang ulet dalam menumbangkan otorianisme Orde Baru Suharto, Agus menjalin hubungan dengan tokoh kiri dan kanan. Bahkan kelompok yang dikategorikan tengah pun, dia dekati. Tidak hanya kiri, kanan, dan tengah, Agus Lennon pun menjalin hubungan dengan kaum tradisionalis.

Representasi politik tokoh kiri semacam Pramudya Ananta Tour, Yusuf Ishak, Hasyim Rahman, Jobar Ayub dan Hardoyo,dia bergaul erat. Tokoh kanan, seperti Moh. Natsir, Amien Rais, Moh.Kahban dan Adi Sasono, serta Nurcholis Masdjid pun diakrabinya oleh Agus. Dengan almarhum Rahman Toleng, Subadio Sastro Satomo, Gurmilang Sastra Sasmita, Hariman Siregar dan Ali Sugiharjanto sebagai representasi tokoh-tokoh sosialis, yang juga tidak “kiri dan “kanan”, dirinyas bergaul cukup akrab. Pergaulan Agus yang memiliki spektrum luas itu, mampu merajut demokrasi yang terus diperjuangkan.

Modal pergaulannya yang supel itulah yang membuat dirinya bisa masuk dalam kantong-kantong kebudayaan dan kelompok-kelompok politik. Dengan kawan-kawan Jawa Timur, Yayasan Arek dan kawan-kawan dari Malang dan kota-kota lain di Jawa dan Bali, oleh Agus Lennon disambanginya. Tokoh local seperti almarhum Kacik, Syam Sunar, Masduki, Bob Bali, Ngurah Karyadi,

207Catatan Para Aktiivis

Made, Agus Tiana, Almarhum Bambang Hari, Rambun Cahyo, Rizal Malarangeng, Halim Hade, Eko Sulistyo dan kawan-kawan lainnya tergolong cukup dekat dengannya.

Pergaulan politik di masa Orde Baru itulah yang membuat dirinya dikenang oleh banyak sekali kawannya. Pribadi yang hangat, kadang kocak dan penuh intrik pun membuatnya kuat dalam kepribadian. Agus berdiri mengatakan kebenaran pada kekuasaan, walaupun berakibat pahit dalam kehidupan pribadinya, tapi dia tetap berdiri dan mengatakan kebenaran menurut pikirannya. Selamat jalan kawan, perjuanganmu pantas dituliskan, dan layak untuk dikenang. (Isti Nugroho).