45
Rangkuman hasil serial diskusi Agama dan Budaya Lokal yang diselengarakan oleh LABEL-UIN Sunan Kalijaga dan AIFIS 2015 AIFIS The American Institute for Indonesian Studies 2/16/2015 Agama dan Budaya Lokal di Indonesia

Agama dan Budaya Lokal di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Rangkuman hasil serial diskusi Agama dan Budaya Lokal

yang diselengarakan oleh LABEL-UIN Sunan Kalijaga dan AIFIS

2015

AIFIS

The American Institute for

Indonesian Studies

2/16/2015

Agama dan Budaya Lokal di Indonesia

1

Rangkuman ini disusun dari beberapa acara serial diskusi ilmiah/akademik yang diselengarakan oleh LABEL UIN

Sunan Kalijaga bersama dengan AIFIS dengan topik: Agama dan Budaya Lokal

Topik

Asma Luthfie, M.Hum 4 Orang Atoni Pah Meto di Mollo Utara, NTT

Dadang A. Permana 10 Orang Oseng di Aliyan dan Alas Malang, Banyuwangi,

Jawa Timur

Rr. Siti K. Widyastuti, M.A 16 Pro-Kontra Antara Tradisi dan Agama Dalam Perayaan

Halloween

Ahmad Rafiq, Ph.D 20 Penerimaan Al-Quran di Indonesia

Muhammad Takbir M 27 Kebahagiaan Menurut Masyarakat Kajang di Sulawesi

Selatan

Inayah Rohmaniyah 31 Potret Perempuan Dalam Habitus Kontekstual WAHABI

Ahmad Rafiq, Ph.D 34 Agama Kaharingan di Masyarakat Adat Dayak Meratus

Eliyyil Akbar 40 Politik Sunda Wiwitan

Foto, transkripsi dan tata letak oleh AIFIS Indonesia : Johan Purnama, M.Chozin Amirullah,

Faishol Adib, Annas Bentari

Alamat: Mulia Business Park, Sampoerna University, Gedung A, Lt.2 Jl. MT. Haryono Kav. 58-60, Pancoran, Jakarta Selatan 12780

Telp: 021 7942340 ext.7272 Email: [email protected]

Website: www.aifis.org Journal Website: www.aifis-digilib.org

2

Prakata

Sejarah panjang akulturasi agama dan budaya lokal di Indonesia mengarah pada satu hal

yang sama yaitu akulturasi dengan proses yang santun dan lemah lembut akan lebih diterima dan

akan berproses secara alamiah. Kondisi ini ditunjukkan dalam sejarah perang Paderi, yang

dimulai oleh kaum ulama yang bermaksud memurnikan ajaran Islam dan kaum adat yang

beragama Islam tetapi tetap teguh melaksanakan adat walaupun dalam beberapa hal bertentangan

dengan ajaran Islam, perang ini berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya, terutama di

kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang saudara ini terselesaikan

dengan peran Tuanku Imam Bonjol yang merangkul kembali Kaum Adat, sehingga akhirnya

muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam,

Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak

Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam,

sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.

Sejarah Islam di Jawa juga menunjukkan bahwa pendekatan kultural yang dilakukan oleh

para ulama, justru sangat diterima oleh masyarakat Jawa. Konsep pemikiran orang Jawa yang

mengedepankan harmoni tercermin seperti pada pepatah Memayu Hayuning Bawono, yang

berarti : mengusahakan keselamatan dan kebahagiaan, serta hendaknya senantiasa mengusahakan

dan menjaga keselamatan hidup kita sendiri dan kehidupan di sekitar kita . Suro Diro Joyo

Diningrat, Lebur Dening Pangastuti : segala bentuk kemungkaran dan kejahatan dapat

dikalahkan oleh kelembutan hati. Pangastuti sendiri secara khusus adalah sikap kepasrahan atau

ketaatan kepada Tuhan YME. Rangkaian secara keseluruhan kata-kata bijak ini bermakna segala

bentuk kemungkaran dan kejahatan dapat dikalahkan atau dihilangkan dengan sikap kepasrahan

dan ketaatan kepada perintah Allah SWT, karena semua perintah Allah SWT adalah rahmatan

lil 'Alamin (kasih sayang kepada alam semesta beserta isinya).

Akulturasi sendiri adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok

manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.

Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa

menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Proses yang terlalu cepat akan

berarti pemaksaan dan akan menimbulkan pertumpahan darah, proses alamiah akan memerlukan

proses saling belajar dan saling menerima dalam waktu yang sangat panjang. Menjadi suatu

3

pertanyaan besar, “Apakah akulturasi ini sudah tuntas?”, mengingat masih banyak terjadi

benturan di masyarakat atas nama pemurnian agama.

Buku ini merupakan dokumentasi dari acara serial diskusi dengan tema “Agama dan

Budaya Lokal” yang diinisiasi oleh Laboratorium Religi dan Budaya Lokal, Fak.Ushuluddin

dan Pemikiran Islam-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan diselenggarakan bersama dengan

AIFIS, serta beberapa makalah dari serial diskusi yang dilakukan oleh AIFIS dan Universitas

Muhamadiyah Yogyakarta, dan makalah-makalah akademik lain yang mempunyai tema yang

sama.

Johan Purnama

Deputy Director-AIFIS Indonesia

4

Orang Atoni Pah Meto di Mollo Utara,

Nusa Tenggara Timur

Asma Luthfie, M.Hum (Universitas Negeri Semarang)

(Disampaikan pada acara Diskusi Publik Agama dan Budaya Lokal

di UIN, Sunan Kali Jaga, 14 September 2014)

Masyarakat Atoni Pah Meto di Mollo Utara

Lembaga BPS (Badan Pusat Statistik) meluncurkan sebuah indeks yang bernama indeks

kebahagiaan Indonesia pada tahun 2013. Hasil dari survey tersebut menunjukkan bahwa 65,11%

rakyat Indonesia sudah berada pada zona bahagia dengan indikator seperti bahagia dalam

konteks kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, rumah tangga, kondisi lingkungan,

keamanan, kehidupan sosial, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, dan kondisi

rumah. Persoalannya adalah survey tersebut mungkin menunjukkan kebahagian seseorang

apabila dilakukan di perkotaan, namun belum tentu akan mendapat hasil yang sama apabila

dilakukan di desa, pedalaman, dan pesisir pantai di wilayah Indonesia. Perbedaan juga mungkin

terjadi bila survey dilakukan di luar Jawa karena tiap daerah dapat saja memiliki indikator

kebahagiaan sendiri. Contoh kasus yang pernah terjadi adalah persoalan Aceh dan Papua yang

pernah memiliki keinginan untuk keluar dari Indonesia. Hal tersebut dapat saja didasari oleh

ketidakbahagiaan yang mereka alami sebagai warga negara Indonesia. Sama halnya dengan

orang Atoni Pah Meto di Nusa Tenggara Timur, mungkin cara mereka memaknai kebahagiaan

juga akan berbeda.

Atoni Pah Meto adalah sebutan untuk manusia daratan kering, masyarakat di daerah

Timor baik Timor Barat (Kupang) atau Timor-Timor yang biasanya mendapat sebutan Atoni Pah

Meto. Pulau Timor sendiri merupakan daerah terkering di Indonesia karena masuk dalam

bayang-bayang Australia dimana musim kemarau lebih panjang dari musim hujan. Menurut

Profesor dari ITB, kekeringan ini menyebabkan kemiskinan di NTT. Dalam pembahasan ini,

kebahagiaan orang Atoni Pah Meto akan berfokus pada salah satu wilayah yang bernama Mollo

Utara. Daerah ini merupakan salah satu kecamatan di Timor yang memiliki ketinggian lebih dari

500 dpl dan kemiringan rata-rata 40 derajat. 90,18% dari wilayah Mollo Utara adalah ketinggian

5

karena dibawah kaki gunung Mutis dan gunung Mollo yang merupakan sumber daya alam dan

pusat tradisi masyarakat Mollo Utara. Mollo adalah salah satu entitas terbesar dalam kesatuan

wilayah adat dari Timor yang disebut Oenam, penduduk Mollo utara juga disebut Atoni Pah

Meto yang merupakan ras campuran dari Megrito, Melanesia dan Indonesia. Percampuran

tersebut berasal dari orang Ambon, Ternate, Tidore, dan Cina.

Hubungan masyarakat Atoni pah meto dengan alam

Masyarakat Atoni Pah Meto adalah satu masyarakat adat yang sangat lekat dengan alam.

Mereka tidak hanya sekedar menganggap alam sebagai sumber pasokan bahan makanan tetapi

juga menganggap adanya relasi stuktural antara manusia dan alam. Relasi tersebut terlihat

dengan adanya konsep Paukana yang berarti batu, Haukanaf yang berarti kayu, dan Oe Kanaf

yang berarti air. Mollo merupakan masyarakat patrilineal dan kental dengan marga dalam

keluarga, setiap desa memiliki marga asli dari desa tersebut dan biasanya masyarakat

menganggap bahwa nama keluarga mereka berasal dari salah satu dari tiga konsep paukana,

haukanaf, dan oe kanaf, sehingga satu keluarga dapat menganggap bahwa mereka berasal dari

batu atau kayu cendana yang akan mempengaruhi nama marga mereka. Berdasarkan klaim

tersebut terciptalah suatu organisasi sosial yang berbasis pada keturunan atau kekerabatan, hal

tersebut juga menyebabkan tempat-tempat yang mempunyai relasi dengan keturunan tertentu

disakralkan dan dijadikan tempat pemujaan karena masyarakat masih menghargai roh-roh nenek

moyang di tempat-tempat tersebut dan menganggap bahwa tempat yang berhubungan dengan

keluarga mereka adalah sakral.

Selain relasi struktural, terdapat relasi fungsional dimana masyarakat menganggap bahwa

sumber dari alam memiliki fungsi di kehidupan mereka. Masyarakat menganggap bahwa alam

adalah segalanya dan menganalogikan bahwa tanah sebagai daging, air sebagai darah, hutan

sebagai rambut, dan batu sebagai tulang punggung. Masyarakat juga terbiasa mendapatkan

kebutuhan-kebutuhan dari alam. Selain itu masyarakat juga dapat mendapatkan sumber

penghidupan dengan cara menjual hasil alam. Relasi fungsional antara masyarkat dengan alam

inilah yang senantiasa melekat di pikiran masyarakat karena selalu ditransisikan ke generasi-

generasi selanjutnya.

6

Perubahan pada relasi struktural dan fungsional di Mollo Utara

Relasi struktural dan fungsional juga mengalami perubahan karena adanya pengaruh-

pengaruh yang masuk, contohnya adalah masuknya agama Kristen protestan membawa

perubahan dari segi ritual personal dan komunal, ritual yang dulunya berbasis pada agama lokal

digantikan dengan agama yang baru yaitu Kristen Protestan sehingga yang dibacakan ketika

ritual tertentu adalah Injil. Selain masuknya agama, adanya pembangunan yang digagas oleh

pemerintah juga merubah relasi struktural dan rasional yang dimiliki oleh masyarakat Mollo

Utara. Pada era Suharto ada jargon pembangunan yang memasukan unsur industrialisasi yang

pada dasarnya merupakan bagian dari kapitalisme, program pembangunan seperti kesehatan,

pendidikan, dan akses jalan juga masuk ke masyarakat Timor. Perubahan yang terjadi antara lain

berubahnya pola pertanian yang dulunya pola ekonomi subsistens yang berbasis pada kebutuhan

menjadi pola ekonomi pasar, bahkan diperkenalkan dengan budaya uang, dan hal inilah yang

menyebabkan budaya baru masuk ke masyarakat.

Perubahan lain yang terjadi adalah penetapan Mollo sebagai wilayah pertambangan

marmer. Wilayah Mollo memiliki kawasan dengan batu-batu marmer dengan kualitas tinggi dan

oleh karena itu pada tahun 1999 pertambangan mulai marak dan tidak berhasil karena ada

penolakan masyarakat. Tahun 2003, PT Sumber Alam Makmur mencoba untuk menambang

batu-batu marmer namun hanya berlangsung tiga tahun karena mendapat perlawanan

masyarakat. Pada tahun 2004, PT Tiga Sekawan juga mencoba untuk menambang namun tidak

berhasil. Penambangan yang dilakukan tidak berjalan karena batu yang akan ditambang adalah

salah satu dari benda yang dikeramatkan karena berhubungan dengan Paukana masyarakat

setempat. Selain paukana yang terancam, haukanaf dan oe kanaf yang juga merupakan tempat

sakral masyarakat harus dikikis untuk proses penambangan sehingga kegiatan penambangan

tetap menuai protes.

Masyarakat Mollo Utara sebagai masyarakat adat

Masyarakat Mollo adalah masyarakat adat berdasarkan karakteristik karena memiliki

asal-usul yang sama dalam komunitas dan teritorinya, memiliki sistem hukum adat (nilai budaya

dan ideologi sendiri), memiliki kelembagaan, serta menguasai dan memiliki teritori dalam

pengelolaan sumber-sumber agraria yang khas. Ternyata masyarakat Mollo menganggap bahwa

7

mereka adalah masyarakat adat karena karaktersitik yang dimiliki sama dengan karakteristik

masyarakat adat pada umumnya. Dalam beberapa literatur, munculnya masyarakat adat adalah

sebuah bentuk perlawanan pada orde baru karena banyaknya hak-hak adat yang diambil akibat

investasi, tambang, dan sebagainya. Penyebutan masyarakat adat juga merupakan strategi karena

apabila masyarakat menyebut sebagai masyarakat desa A atau B biasanya akan lebih mudah

dipatahkan aksinya oleh pemerintah. Tujuan konsolidasi pembangunan lembaga adat adalah

sebagai perlindungan pangan dan alam serta advokasi masyarakat terutama perempuan sebagai

pelaku produksi dan pemasaran pangan.

Seorang aktivis perempuan dari Mollo Utara bernama Alita Baun yang mendapatkan

penghargaan sebagai perempuan pemerhati lingkungan mengatakan bahwa tanah dan batu sama

seperti susu ibu karena merupakan sumber kehidupan. Kenyataanya, pertumbuhan penduduk di

Mollo tidak diimbangi dengan bertambahnya lahan, apalagi adanya eksploitasi lahan sebagai

tempat penambangan juga akan menyebabkan produksi-produksi pertanian menjadi kacau.

Tanah adat di Mollo juga banyak diklaim oleh pemerintah daerah padahal tanah tersebut adalah

tanah tempat ritual adat dan rumah adat, apabila kita melihat cagar alam Gunung Mutis, sebagian

tanah yang dipakai adalah milik masyarakat adat. selain itu GN-RHL (Gerakan Nasional

Reboisasi Hutan dan Lahan) juga memakai tanah masyarakat adat.

Perubahan konsep kebahagiaan orang Mollo Utara

Terjadi perubahan mengenai konsep kebahagiaan masyarakat Mollo, dahulu mereka

merasa bahagia ketika bersanding dengan adat dan alam karena alam menyediakan ekonomi

subsistensi, religius, kesesuaian ekosistem, dan kelembagaan adat. Misalnya ketika seseorang

mencangkul, bukan hanya ekonomi saja yang melatarbelakangi namun religius, ritual atau ada

hal lain juga yang melatarbelakangi. Namun, ketika ada pengenalan pembangunan dan transaksi

modern serta budaya uang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep kebahagiaan karena

masyarakat lebih fokus dalam mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan, ekonomi rumah

tangga, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Dengan adanya penambangan yang dilakukan di beberapa desa, masyarakat Mollo juga

merefleksikan kembali konsep kebahagiaan dengan peristiwa ini, konsep kebahagiaan berubah

menjadi pemenuhan kedudukan material. Namun, walaupun adanya konsep bahwa bahagia

8

adalah kedudukan material, masyarakat juga masih mencoba untuk melakukan perlawanan

karena mereka menganggap dengan adanya penambangan dan ekonomi pasar dapat

menyebabkan tanah yang ada di daerah tersebut menjadi rusak. Perlawanan tersebut

menunjukkan masih adanya upaya untuk menjaga keseimbangan adat, religi, dan keseimbangan

ekologis mereka.

Salah satu alternatif solusi untuk menyeimbangkan kebutuhan material dan kelestarian

alam adalah menjadikan wilayah tersebut sebagai objek wisata bukan menjadi wilayah

penambangan sehingga ekonomi masih berjalan namun tidak merusak alam. Hal tersebut juga

dapat diartikan bahwa masyarakat masih menganggap kebahagiaan tidak hanya dapat diartikan

sebagai sesuatu yang sifatnya material, kaku, dan seragam namun kebahagiaan dapat diartikan

secara dinamis dan beragam karena kebahagiaan itu ada di hati manusia.

Respon tokoh adat terhadap perubahan yang ada di Mollo Utara

Tokoh-tokoh adat di Mollo Utara akhirnya terpecah belah karena ada sebagian yang pro

dan ada sebagian yang kontra terhadap pertambangan. Posisi Raja/Usik yang sekarang dipegang

oleh seorang Oe kanaf ternyata berpihak terhadap investor sehingga memuluskan jalannya

investor, sedangkan masyarakat adat Mollo tidak sepakat karena seharusnya raja menjaga

sumber daya alam yang dimiliki adat. Akhirnya, para tokoh adat melakukan evaluasi kembali

tentang posisi raja dan ternyata posisi raja yang sekarang menjabat dulunya adalah kaki tangan

Belanda. Ternyata, posisi raja yang asli tidak dapat berbahasa Indonesia sehingga tidak dapat

diajak bernegosiasi. oleh karena itu diciptakanlah raja baru sehingga raja yang dulunya kaki

tangan Belanda tersebut akhirnya ditinggalkan.

Berdasarkan penemuan tersebut, masyarakat mengeluarkan mosi tidak percaya lagi pada

raja yang sekarang, sehingga ketika ada pesta-pesta adat yang dipanggil bukan raja yang

sekarang menjabat namun raja yang bukan kaki tangan Belanda. Adanya perpecahan di

masyarakat adat dengan cara mengeluarkan mosi tidak percaya pada raja yang mengizinkan

investor masuk menjadi salah satu gerakan yang memperkuat resistensi masyarakat adat untuk

menolak investor tambang masuk ke daerah mereka.

9

Konsep tentang Kebudayaan

Kebudayaan pada dasarnya merupakan konsep sosial, sebenarnya kebudayaan akan selalu

berfungsi karena dapat menjadi suatu cara untuk melestarikan kehidupan dan keberlangsungan

hidup mereka. Budaya akan mati apabila manusia mati, hal tersebut berkaitan dengan fakta

bahwa kebudayaan itu dinamis dan relative. Oleh karena itu pembentukan budaya didasari oleh

sejarah, pengalaman, dan lingkungan.

Dalam melestarikan kebudayaan, manusia sebenarnya tidak mencoba untuk kembali ke

masa lalu apabila ingin melestarikan nilai-nilai yang ada di masa lalu, namun manusia mungkin

masih dapat menggunakan nilai-nilai yang ada dimasa lalu karena pada masa ini terdapat situasi

yang tidak sesuai sehingga perlu adanya strategi untuk mengembalikan situasi menjadi lebih baik

dengan cara melihat ke nilai-nilai yang ada di masa lalu.

10

Orang Oseng di Aliyan dan Alas Malang,

Banyuwangi, Jawa Timur

Dadang Aji Permana (Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi)

(Disampaikan pada acara Diskusi Publik Agama dan Budaya Lokal di

UIN, Sunan Kali Jaga, 14 September 2014)

Sejarah ritual Kebo-Keboan di Banyuwangi

Banyuwangi memang terkenal dengan santet dan mistik meskipun kebenarannya juga

masih menjadi pertanyaan. Pada Oktober tahun 2013 muncul isu tentang manusia serigala yang

menyerang hewan ternak. Kemudian di bulan yang sama tahun 2014 marak terjadi penculikan

organ bayi seperti mata dan organ dalam lainnya dan setelah organ tersebut diambil, bayi akan

dikembalikan pada orang tuanya dengan disisipi uang. Fenomena tersebut tidak dapat dikatakan

benar atau salah karena banyaknya kemungkinan. Kemungkinan bahwa hal tersebut dilakukan

adalah sebagai strategi kebudayaan untuk melestarikan alam dan tradisi, namun tidak menutup

kemungkinan bahwa hal tersebut sudah menjadi tradisi yang berbau mistik.

Hal-hal mistik yang ada di Banyuwangi tersebut membuat beberapa orang tidak tahu

bahwa Banyuwangi memiliki pantai bernama Pelengkung yang merupakan tempat wisata dengan

ombak terbesar dan merupakan surga berselancar nomor 2 di dunia setelah Hawaii. Selain

Pelengkung, ada juga hutan dimana hewan-hewan buas seperti banteng dan harimau masih hidup

dan pulau bernama Pulau Merah yang merupakan miniatur Raja Ampat. Sayangnya nilai wisata

yang dimiliki Banyuwangi tersebut belum banyak diketahui publik dan publik lebih mengenal

Banyuwangi pada tradisi mistiknya.

Berbicara tentang peristiwa mistik di Banyuwangi, terdapat salah satu ritual kebudayaan

yang ada di Banyuwangi yaitu ritual adat Kebo-Keboan yang bersifat ekologis dan biasanya

dilaksanakan di desa Alas Malang dan Aliyan. Ritual Kebo-Keboan secara historis berasal dari

Dusun Krajan yang ada di desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh. Pada dasarnya ritual ini

pertama kali digagas oleh tokoh bernama Mbah Karti untuk mengatasi kesulitan pada masa itu.

Sejarahnya berawal dari wilayah Banyuwangi yang sebenarnya merupakan wilayah pertanian

yang subur tiba-tiba dilanda musim kering yang menyebabkan warga kesulitan air serta semua

11

tanaman mati. Pada saat kondisi kesulitan bahan makanan, ada kecenderungan warga untuk

mencuri dan ribut satu sama lain. Situasi tersebut kemudian diperparah oleh wabah Pagebluk

yang dapat membunuh orang, dikatakan membunuh karena biasanya ketika pagi terkena wabah

sorenya akan meninggal dan ketika sore terkena wabah lalu malamnya meninggal.

Dalam kondisi kesulitan, sesepuh dusun Krajan, Alas Malang yang bernama Mbah buyut

Karti mendapat wangsit agar bersemedi di Watu Kloso yang merupakan satu dari empat batu

yang dikeramatkan di wilayah Dusun Krajan. Biasanya dalam bahasa Jawa, kata „tu’ adalah

sesuatu yang keramat dan biasanya diasosiasikan dengan ketuhanan, contohnya penyebutan

Tuhan biasanya adalah Sang Hyang Tunggal, selain itu tempat-tempat yang mempunyai mitos

tinggi juga pasti akan dinamakan Situ atau Watu. Berdasarkan kegiatan bersemedi yang pada

mulanya dilakukan Mbah Karti tersebut, Watu Kloso yang bentuknya seperti kloso (tikar)

dijadikan tempat pelaksanaan ritual Kebo-Keboan.

Proses ritual Kebo-Keboan dan pelaku Kebo-Keboan

Ritual Kebo-Keboan biasanya dibuka dengan acara tasyakuran desa yang disebut

Barikan, acara tersebut diadakan sepanjang desa dimana masyarakat disediakan makanan untuk

makan bersama-sama. Acara selanjutnya adalah penanaman aneka tanaman yang dilakukan di

sepanjang jalan, lalu dilanjutkan dengan acara Ider Bumi, pagelaran wayang yang dimulai dari

Petauran yang merupakan tempat berkumpul Kebo-Keboan, ritual mengelilingi empat Watu

keramat yang dimulai dari Watu Keja dan diakhiri di Watu Kloso, lalu mengantar Kebo-Keboan

ke tempat pemandian untuk melakukan Goyang (dimandikan), penyemaian bibit, dan diakhiri

dengan penyadaraan Kebo-Keboan.

Ada beberapa pelaku ritual Kebo-Keboan antara lain simbol Dewi Sri yang digambarkan

sebagai gadis perawan yang merupakan simbol kesuburan, pawang yang harus berasal dari

keturunan Mbah Karti, Kyai sebagai pembaca doa untuk melancarkan ritual tersebut, pengiring

Dewi Sri, petani, dan Kebo-Keboan yang konon katanya tidak dapat dipilih sendiri namun akan

dipilih secara alami oleh alam. Pada zaman sebelum masuknya agama Islam, tidak ada peran

kyai dalam ritual ini namun karena peningkatan nilai keislaman pada abad 19 maka kyai

diikutsertakan dalam ritual Kebo-Keboan.

12

Ritual Kebo-Keboan biasanya dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 10 Muharram atau

dalam kalender Jawa disebut sebagai tanggal 10 Sura, namun sempat berhenti diadakan pada

zaman Suharto karena dianggap berhubungan dengan gerakan G 30 S PKI dan dianggap sebagai

ritual menyembah batu. Anehnya, ketika ritual ini dihentikan terjadi kesurupan massal dimana

orang berubah menyerupai kerbau selama 10 hari sehingga membuat ritual ini dilanjutkan

kembali. Berdasarkan fenomena tersebut, timbul pertanyaan mengapa ritual ini harus diadakan

secara rutin setiap tahun dan apa yang hendak ingin diajarkan oleh leluhur Banyuwangi kepada

masyarakat dengan ritual tersebut. Berdasarkan penelitian, memang bukan ritualnya yang

dipermasalahkan, akan tetapi nilai-nilai kesucian yang terkandung dalam ritual inilah yang

menjadi pesan utama ritual Kebo-Keboan. Pada dasarnya, leluhur ingin mengajarkan agar

manusia menjadi pribadi yang suci dengan cara bersinergi dengan alam dan lingkungan social.

Hal tersebut duwujudkan melalui simbol ritual Kebo-Keboan yang diadakan setiap tahun.

Nilai yang terkandung pada ritual Kebo-Keboan

Menurut masyarakat setempat, nilai adalah kualitas yang harus dikonkritkan dengan

tindakan. Oleh karena itu nilai kesucian juga harus dikonkritkan dalam kehidupan masyarakat.

Ada tiga pokok permasalahan yang akan dibahas; nilai yang menjadi tanda ritual Kebo-Keboan,

nilai kesucian yang dikemas dalam bentuk ritual Kebo-Keboan yang menjadi landasan etika

ekologis masyarakat di dusun Krajan, dan relevansi nilai kesucian bagi pembelajaran ekologi

masyarakat Banyuwangi.

Berdasarkan teori nilai Max Scheler, nilai dan penilaian harus dibedakan. Max Scheler

mengatakan bahwa nilai pada dasarnya bersifat objektif yang berada diluar diri kita dan bersifat

apriori atau apa adanya. Salah satu strategi untuk mengkonkritkan nilai adalah dengan

menjadikannya sebuah kebudayaan, oleh karena itu ritual Kebo-Keboan yang merupakan bagian

dari budaya Masyarakat Banyuwangi juga dapat disebut sebagai strategi untuk menanamkan

nilai-nilai ekologis pada masyarakat.

Dalam ritual Kebo-Keboan, ada beberapa nilai yang terkandung baik dari pelaku maupun

prosesi ritual tersebut. Salah satu contoh adalah nilai yang terkandung dalam representasi sosok

Dewi Sri. Hampir seluruh masyarakat agraris mempunyai sosok yang menjadi simbol kesuburan

walaupun dengan nama yang berlainan di tiap daerah. Dalam masyarakat Jawa kuno, simbol

13

kesuburan direpresentasikan oleh dewi bernama Dewi Sri yang sosoknya juga memiliki banyak

interpretasi. Pada umumnya masyarakat Jawa tidak mengenal sebutan untuk tuhan, oleh karena

itu banyak diciptakan dewa-dewa yang disimbolkan sebagai perantara antara manusia dan tuhan,

Dewi Sri adalah salah satu dewi ciptaan yang menyimbolkan kesuburan. Dewi Sri disini adalah

simbol kesucian yang dapat diperoleh dari menyinergikan diri dengan alam dan lingkungan

sosial, ada kutipan yang berhubungan dengan Dewi Sri yang berbunyi “Aku merindukan

kesucianmu sebagaimana kalian mengharapkan keperawanan atau keperjakaan”, yang artinya

kemurnian cinta diperoleh melalui kesucian.

Simbol yang terdapat pada ritual Kebo-Keboan

Ada beberapa simbol yang direpresentasikan dalam ritual Kebo-Keboan yaitu keikhlasan,

kesabaran, keuletan, dan kerja keras. Selain itu pemilihan simbol hewan kerbau juga memiliki

dasar yaitu latar belakang masyarakat agraris yang menganggap bahwa hewan kerbau adalah

keunggulan karena kerbau dapat membantu membajak sawah sebagai pengganti tenaga manusia.

Simbol lain yang terdapat pada ritual ini terletak pada sesaji yang ada pada ritual ini, sesaji

tersebut merepresentasikan daur hidup manusia mulai dari kelahiran sampai kematian. Sesaji

yang digunakan adalah peras, bermacam-macam beras, lawon, kelapa, ragi pawon, janur

kuning, sirih, ragi kinangan, jenang abang, jenang putih, bubur kuning, bubur hitam, bubur

hijau, peteteng, kendi, godong, kemenyan, dan beras petung tawar.

Pada dasarnya simbol-simbol yang ada di ritual Kebo-Keboan memiliki arti sebagai berikut:

1. Peras – terdiri dari pisang sobo bermakna bahwa sebaiknya ketika manusia meninggal

banyak yang melayat dan kematiannya membawa kerinduan. Hal tersebut mengandung

pesan bahwa manusia harus meninggal dengan membawa banyak kemuliaan agar banyak

yang melayat.

2. Beras putih dan beras kuning - beras putih bermakna bahwa kita harus mengkonsumsi

makanan yang halal, sedangkan beras kuning yang diambil dari bahasa oseng “lali lali

supaya eling maning” yang bermakna biarpun lupa asal ingat kembali.

3. Lawon/kain kafan - membawa pesan agar kita mensucikan diri sebelum mati.

4. Kelapa - kelapa yang sudah dikupas dan dililit kain putih berarti konsistensi pemikiran

manusia harus lurus seperti pohon kelapa.

14

5. Ragi pawon - merupakan kumpulan bumbu dapur berhubungan dengan pandangan bahwa

kesucian tidak didapat dengan menyepi tetapi menyelaraskan diri dengan alam dan

lingkungan sosial sehingga satu individu dilihat sebagai satu jenis bumbu yang dapat

menambah rasa.

6. Janur kuning yang berbentuk lampion - cahaya atau nur ilahi yang harus dimiliki karena

itu adalah cahaya kita untuk mengarungi bahtera kehidupan yang ada.

7. Sirih – kata sirih diambil dari ungkapan bahasa Jawa „suruh‟ alias „supoyo weruh’ yang

berarti supaya tahu. Hal ini menggambarkan perbedaan antara orang berilmu dan tidak

berilmu, oleh karena itu simbol sirih menandakan agar manusia tetap belajar.

8. Ragi kinangan - terdiri dari sirih, jambe, susur, enjat, gambir, warna merah dari ragi

kinangan menjadi simbol yang menyertai kelahiran anak dari rahim ibu sehingga merah

darah menjadi simbol agar anak berbakti kepada ibu, sedangkan simbol enjat atau kapur

yang diberi air di ragi kinangan berarti manusia berasal dari air mani bapak sehingga kita

juga harus berbakti kepada ayah.

9. Jenang abang/bubur sengkolo & jenang putih - jenang abang menyimbolkan nafsu

manusia yang mendorong kepada penguasaan diri yang bersifat duniawi, sedangkan

jenang putih menyimbolkan bahwa manusia memilliki hati nurani untuk mengendalikan

hawa nafsu.

10. Bubur kuning, bubur hitam, dan bubur hijau – bubur kuning adalah simbol yang

menandakan manusia juga dibimbing nur ilahi, bubur hitam adalah simbol bahwa

kehidupan manusia selalu dibayangi oleh kegelapan yang selalu merusak keharmonisan

alam dan sosial, dan bubur hijau yang menandakan kesuburan bumi

11. Piteteng/pitek yang dieteng-eteng - ayam berwarna putih mulus berkaki kuning yang

berarti manusia bekerja keras untuk mencari sandang pangan, keridhoan tuhan dan

kesucian diri yang disimbolkan dengan warna putih dan kuning dari ayam tersebut.

12. Kendi - simbol bahwa manusia harus menjadi kendi yang membawa air sehingga menjadi

pribadi yang dibutuhkan oleh orang lain.

13. Godong/daun - menunjukkan bahwa manusia harus senantiasa memohon kepada Allah.

14. Kemenyan - sebagai makanan leluhur menunjukkan bahwa manusia harus menjadi diri

yang memberikan hal yang positif kepada sesamanya.

15

15. Beras petung tawar - kombinasi beras, kunir, bremo, dan kencur yang merupakan simbol

penawar bagi segala penyakit.

Simbol-simbol yang direpresentasikan dengan berbagai macam hasil alam tersebut

membawa pesan bahwa alam memberikan manusia semua obat tetapi manusia harus tetap

mendekatkan diri dengan memohon kepada Gusti Allah.

Pada dasarnya simbol Dewi Sri, Kebo-Keboan, dan sesaji adalah nilai yang dikultuskan

menjadi mitos untuk selanjutnya dijadikan etika sosial sehingga ritual ini bukan hanya sebagai

strategi melestarikan tradisi namun juga sebagai satu cara untuk kembali mensinergikan diri

dengan alam. Dewasa ini, ritual Kebo-Keboan juga dijadikan sebagai strategi pemasaran untuk

menarik wisatawan ke objek wisata di Banyuwangi seperti Gilen, Watu Godok, dan Pulau Merah

dimana terdapat hutan bakau yang murni. Namun sayangnya wisatawan yang datang kebanyakan

adalah orang asing dan bahkan pemilik-pemilik hotel juga orang asing. Sedangkan orang

Indonesia sendiri belum banyak yang tahu mengenai tempat-tempat wisata yang indah di

Banyuwangi tersebut karena beberapa masyarakat indonesia lebih mengenal kekhasan santetnya

daripada wisata yang dimiliki Banyuwangi.

16

Pro-Kontra antara Tradisi dan Agama

dalam Perayaan Halloween

Rr. Siti Kurnia Widyastuti, M.A. (Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogyakarta)

(Disampaikan pada acara Diskusi Publik Agama dan Budaya Lokal di

UIN, Sunan Kali Jaga, 14 September 2014)

Sejarah perayaan Halloween

Perayaan Halloween biasanya dirayakan pada tanggal 31 Oktober dan merupakan

perayaan yang sudah menjadi hari libur nasional di Amerika serikat. Pada perayaan Halloween

terdapat simbol yang khas yaitu labu kuning yang diukir menjadi bentuk-bentuk yang

menyeramkan. Sejarahnya, Halloween berasal dari kata all hallow’s Eve yang dalam versi

Katolik berarti malam sebelum all Saint’s Day. Namun sebenarnya Halloween bukan berasal

dari tradisi Katolik melainkan sudah ada bahkan sebelum masa agama Kristen yaitu berasal dari

tradisi masyarakat Irlandia guna memperingati perubahan musim sehabis panen di musim panas

ke musim dingin. Masyarakat Irish (Irlandia) dan Scottish (Skotlandia) sudah melaksanakan

tradisi Halloween terlebih dahulu dan kemudian dibawa ke Amerika Serikat pada abad ke-19

dalam proeses migrasi yang dilakukan oleh orang Eropa. Di Irlandia, Halloween merupakan

tradisi bangsa Celtic yang dibawa oleh pendeta Celts pada tahun 1840, bangsa Celtic adalah

keturunan bangsa Arya yang berasal dari Asia, oleh karena itu ada kemungkinan bahwa orang

Asia yang pertama kali mendarat di Eropa dan membawa tradisi Halloween ke masyarakat

Eropa.

Ritual Halloween sebelumnya dikenal sebagai Samhain oleh masyarakat Celtic kuno.

Ritual ini adalah perayaan akhir musim panen pada musim panas yang kemudian berganti ke

musim dingin. Samhain digunakan oleh masyarakat Celtic kuno untuk mengambil stok

persediaan dan mempersiapkan diri untuk musim dingin, pada akhir bulan Oktober masyarakat

Celtic kuno mempercayai bahwa akan ada batas yang terbuka antara orang hidup dan mati

dimana orang yang sudah mati dapat hidup kembali dan diperbolehkan untuk mengunjungi

keluarga mereka yang masih hidup. Berdasarkan kepercayaan tersebut, masyarakat mengadakan

17

sebuah festival untuk mencegah kerusakan yang datang dan menghormati arwah leluhur karena

biasanya roh akan membawa kerusakan dan malapetaka ketika bergentayangan.

Hubungan antara perayaan Halloween dan agama

Ada perdebatan apakah perayaan ini merupakan tradisi atau hal yang berhubungan

dengan agama. Menurut sejarahnya perayaan ini terkait dengan hal-hal spiritual dan mitos

masyarakat Celtic. Namun, pada saat agama Katolik berkembang Halloween kemudian

dimasukkan menjadi hari raya terpenting yang ada di gereja karena merupakan hari peringatan

orang suci. Hal ini terjadi karena masyarakat pemeluk agama Kristen mencoba untuk

menyesuaikan tradisi yang berkembang di masyarakat agar menjadi perayaan agama juga. Salah

satu bukti penyesuaian tradisi Halloween masyarakat Celtic dan agama dapat dilihat pada sikap

yang diambil Paus Grekolius 4 pada abad ke-9 dengan menempatkan Halloween pada kalender

gereja sebagai hari orang-orang suci. Selanjutnya pada akhir abad ke-15 Halloween diyakini

sebagai waktu berkumpul roh yang tidak kudus.

Perayaan Halloween juga menuai kontroversi antara Kristen ortodoks dan Islam, menurut

Kristen ortodoks, Halloween merupakan praktek-praktek penghianatan kepada tuhan sedangkan

dalam Islam, Al Qur‟an surat Al Kafirun yang berarti “dimana bagimu agamamu bagiku

agamaku” menunjukkan larangan bagi umat Islam untuk meniru ritual yang bukan merupakan

budaya Islam.

Perkembangan Halloween di masa kini

Festival Halloween sangat popular di wilayah Amerika Serikat, Inggris, Irlandia, Puerto

Rico, Australia, Selandia Baru, Filipina, Jepang, Arab Saudi, dan Indonesia walaupun terbatas

pada artis saja. Salah satu bukti adanya perayaan Halloween di Indonesia dapat dilihat pada

hotel-hotel Jakarta atau Jogja yang biasanya menawarkan menu Halloween seperti makanan dan

desain ruangan pada bulan Oktober.

Pada masa sekarang, aktivitas yang dilakukan di malam Halloween terdiri dari trick or

treat, api unggun, pesta kostum, mengunjungi rumah hantu, dan membuat ukiran Jack O’lantern

di labu kuning. Dalam aktivitas trick or treat, anak-anak biasanya akan pergi dari satu rumah ke

rumah lain dan menawarkan dua pilihan pada penghuni rumah yaitu memberi hadiah atau tidak

18

memberi hadiah namun dapat berakibat diusili oleh anak-anak tersebut. Api unggun biasanya

digunakan sebagai penarik serangga dan kelelawar, sedangkan pesta kostum digunakan untuk

meniru roh jahat agar dapat menenangkan roh jahat tersebut dan mencegah roh jahat untuk

membuat kerusakan. Selain itu juga dilakukan kunjungan ke rumah hantu dan kegiatan mengukir

Jack O’lantern di labu kuning.

Pada saat perayaan Halloween, terdapat juga pumpkin festival dimana labu disusun tinggi

ke atas sebagai penerangan jalannya kegiatan. Perbedaan antara ritual Halloween di masa lalu

dan sekarang adalah fakta bahwa dahulu Halloween berkaitan erat dengan agama sedangkan

sekarang sudah sedikit bergeser kepada kepuasan materi karena adanya komersialisasi kultur

untuk mendapatkan uang dengan adanya bisnis-bisnis kostum.

Simbol yang ada pada perayaan Halloween

Ada 10 simbol ritual Halloween yaitu labu, jagung, batang gandum, warna oranye dan

warna hitam, laba-laba, penyihir, kelelawar, kucing, kerangka dan tengkorak, hantu, dan kostum

dimana masing-masing simbol memiliki arti tersendiri. Berikut adalah arti dari simbol-simbol

pada perayaan Halloween adalah:

1. Labu – labu biasanya akan diberi lubang dan diberi lilin didalamnya, simbol ini berasal

dari tradisi dimana orang miskin (peasant) datang ke satu rumah ke rumah yang lain

untuk mendoakan arwah yang meninggal, biasanya setelah mendoakan mereka akan

diberi imbalan. Cahaya yang dihasilkan dari ukiran labu tersebut digunakan sebagai

cahaya penuntun yang oleh orang-orang miskin saat melakukan kegiatan berdoa.

2. Jagung dan batang gandum - simbol akhir panen.

3. Warna oranye dan hitam- warna oranye menandakan musim gugur dimana daun-daun

menjadi oranye dan berguguran sementara pohon terlihat seperti mati, sedangkan simbol

warna hitam melambangkan hari-hari gelap pada musim dingin karena matahari terbit

hanya sebentar.

4. Laba-laba - simbol siklus alami kehidupan.

5. Penyihir – simbol roh jahat dan harus dibakar.

6. Kelelawar – kelelawar yang dianggap mampu berkomunikasi dengan orang mati

dijadikan mediator antara orang hidup dan mati.

19

7. Kucing hitam - jelmaan para penyihir sehingga dalam tradisi masyarakat akan membakar

kucing sebagai jelmaan penyihir yang harus dibakar.

8. Kerangka dan tengkorak - simbol kematian.

9. Hantu - simbol bahwa roh-roh dapat berjalan diantara malam Halloween.

10. Topeng dan kostum – simbol yang digunakan untuk menakut-nakuti roh yang

gentayangan.

Halloween pada dasarnya merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya, sama seperti

di Indonesia dengan adanya tradisi musim panen seperti Merdi Desa. Namun, sebaiknya sebagai

masyarakat Indonesia, kita harus tetap selektif dan berpikir dalam memilih tradisi yang masuk ke

Indonesia.

20

Penerimaan Al-Qur'an di Indonesia :

Studi Kasus Kedudukan Al-Quran di

Masyarakat yang Tidak Berbahasa

Arab

Ahmad Rafiq, Ph.D (Kepala Laboratorium Budaya dan Religi

Lokal (LABEL) UIN Sunan Kalijaga) (Disampaikan di

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 30 September 2014)

Resepsi Al Qur’an pada zaman nabi

Al Qur‟an secara teologis merupakan teks yang bersifat universal karena menggunakan

bahasa Arab dan digunakan dimana-mana. Sejak zaman nabi, orang-orang sudah terbiasa

berinteraksi dengan Al Qur‟an berbahasa Arab, namun 80% penerima Al Qur‟an saat ini bukan

penutur bahasa Arab sedangkan masyarakat yang tidak berbahasa Arab tersebut harus tetap

menerima Al Qur‟an dalam bahasa murni yaitu bahasa Arab. Berdasarkan fenomena tersebut,

citra Al Qur‟an dapat berbeda di negara selain Arab seperti Indonesia karena selain menerima

konteks yang dibawa dari masa lalu, masyarakat juga akan mengaplikasikan pendekatan

praktikal yang sesuai dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Pendekatan praktikal sendiri sudah digunakan sejak zaman setelah nabi yang masih

berbahasa Arab, salah satu contoh pendekatan praktikal adalah pengamalan Surat Waqia oleh

Abdullah Ibnu Mas‟ud. Beliau merupakan seorang sahabat besar Rasulullah dan seorang

penghafal Al Qur‟an yang sudah dijamin akan masuk surga. Dalam kisahnya, Abdullah Ibnu

Mas‟ud diajak Usman untuk mengumpulkan Al Qur‟an dan dijanjikan dana dari Baitul Mal

untuk beliau dan anaknya, namun dana tersebut ditolak karena Abdullah Ibnu Mas‟ud percaya

bahwa dia sudah memiliki bekal material dengan membaca Surat Al Waqia setiap hari. Dalam

hal ini, Ibnu Mas‟ud percaya bahwa ketika seseorang membaca Surat Al Waqia, maka dia akan

murah rezeki. Kisah tersebut menunjukkan bahwa penerimaan praktikal sudah ada bahkan pada

zaman setelah nabi.

21

Resepsi Al Qur’an oleh masyarakat Banjarmasin

Resepsi Al Qur‟an di Indonesia yang merupakan negara yang tidak berbahasa Arab akan

ditelaah lebih lanjut pada pembahasan ini. Dalam menelaah resepsi Al Qur‟an di Indonesia, ada

dua masalah utama yang akan dibahas yaitu bagaimana masyarakat Indonesia menerima Al

Qur‟an yang berbahasa arab dan bagaimana masyarakat menghubungkan konteks dirinya di

masa sekarang dengan konteks Al Qur‟an yang diturunkan sejak zaman nabi.

Dalam pembahasan ini, subjek yang akan digunakan sebagai bahan penelitian adalah

masyarakat Islam di Banjarmasin. Masyarakat Banjarmasin pada dasarnya merupakan suku

Dayak namun karena agamanya Islam maka disebut suku Banjar. Menurut buku “The Real

Dayak Queen” ada asumsi bahwa setiap orang Dayak yang masuk Islam maka disebut orang

Banjar. Berdasarkan penelitian, masyarakat Banjar yang merupakan suku Dayak memiliki

sebuah mistik santet bernama Parung Maya untuk membunuh orang. Dalam prakteknya,

masyarakat Banjar yang beragama Islam akan selalu menutup bacaan santetnya dengan bacaan

dalam bahasa Arab yang berasal dari Al Qur‟an. Berdasarkan fenomena tersebut, bisa dilihat

bahwa ayat Al Qur‟an digunakan dalam praktek-praktek kehidupan masyarakat Banjar dan hal

tersebut menujukkan adanya resepsi Al Qur‟an pada masyarakat yang disesuaikan dengan ritual

mistik masyarakat Banjar.

Pada dasarnya, Al Qur‟an yang diterima di Indonesia akan memiliki dua konteks yaitu

konteks Al Qur‟an ketika digunakan pada zaman setelah nabi dan konteks yang disesuaikan

dengan perilaku masyarakat setempat. Contoh konteks Al Qur‟an ketika digunakan sejak zaman

setelah nabi adalah penerimaan Al Qur‟an oleh orang-orang zaman dahulu untuk tujuan-tujuan

tertentu, seperti pada kasus Abdullah Ibnu Mas‟ud yang membaca Surat Al Waqia agar murah

rezeki. Contoh lain adalah kisah Hamka yang membacakan Surat Yasiin pada temannya yang

sekarat dan membuat temannya dapat meninggal dengan lembut. Contoh tersebut menunjukkan

bahwa ada keutamaan-keutamaan Al Qur‟an yang dipercayai oleh orang-orang di zaman sesudah

nabi yang kemudian dijadikan pedoman oleh penerima Al Qur‟an selanjutnya. Disisi lain,

masyarakat Indonesia juga harus melihat keadaan di masa kini. Salah satu contoh penerimaan Al

Qur‟an di masa kini adalah santet Parung Maya yang dimiliki orang Banjar yang sudah

dijelaskan tadi.

22

Masyarakat Banjar menerapkan model Ghazali dimana tiga bidang ilmu Akidah, Fikih,

dan Tasawuf dianggap satu kesatuan ajaran Islam. Berdasarkan model ini, prakek Al Qur‟an juga

akan terpengaruh karena semuanya menjadi satu, oleh karena itu ada perbedaan Islam di Banjar

dan Jawa.

Penerimaan Al Qur’an berdasarkan daur hidup manusia

Untuk menilai seperti apa Al Qur‟an di kehidupan orang Banjar, kasus yang diambil

adalah life cycle (daur hidup) untuk menunjukkan bahwa penerimaan Al Qur‟an akan

dipengaruhi oleh identitas pembacanya. Daur hidup disini adalah periode sejak hamil sampai

meninggal. Dalam daur hidup manusia, Al Qur‟an biasanya dibaca ketika seseorang

membutuhkan perlindungan dan kepastian akan rasa aman.

Contoh pertama penggunaan Al Qur‟an dalam daur hidup manusia adalah pembacaan Al

Qur‟an bagi ibu hamil. Pada satu konteks, orang akan membacakan Surat Maryam, namun lain

halnya dengan orang Banjar yang justru membacakan Surat Al Alaq dengan harapan anak yang

akan lahir menjadi rajin membaca buku dan pintar.

Contoh kedua penerimaan Al Qur‟an di Banjar adalah pembacaan Al Qur‟an secara

komunal. Pada umumnya, Al Qur‟an dibaca secara individual namun masyarakat memiliki

tradisi untuk membaca Al Qur‟an sampai selesai sebagai kegiatan bersama. Saat ini, kegiatan

membaca Al Qur‟an masih dilaksanakan namun tujuannya sudah berbeda karena sekarang

kegiatan ini dilakukan pada saat ada orang yang meninggal.

Contoh ketiga, Al Qur‟an dibunyikan atau dituliskan dan ditempel disamping anak yang

baru saja lahir, tradisi ini disebut Tasmiyah yang merupakan tradisi memberi nama anak dengan

cara mengambil lafadz di Al Qur‟an. Hal ini khas sekali karena harus ada Qari yang

membacakan Al Qur‟an didepan anak ketika anak tersebut diberi nama. Al Qur‟an ditaruh

dihadapan bayi dan ketika Qari membacakan Al Qur‟an pasti akan membacakan Surat Ali Imran

untuk anak perempuan dan Surat Maryam untuk laki-laki. Surat Ali Imran diambil karena ada

lafadz Maryam sehingga digunakan untuk anak perempuan sedangkan Surat Maryam digunakan

karena ada lafadz Yahya yang dapat digunakan untuk anak laki-laki.

23

Contoh keempat berhubungan dengan kelahiran anak, ada tiga tradisi yang ditemukan

ketika seorang anak lahir yaitu penulisan ayat Al Qur‟an yang ditaruh gelas lalu diminumkan,

pembacaan Al Qur‟an ketika anak tersebut telanjang, dan pembacaan surat At-takatsur oleh

seorang Kyai ke air dan diminumkan ke anak. Alasan pemilihan surat At-takatsur juga bukan

didasari hadits melainkan karena adanya kesamaan bunyi antara surat At-takatsur dengan sebuah

kata di Banjar yaitu “dusur” yang berarti lancar dimana pembacaan surat At-Takasur agar bayi

dilahirkan dengan lancar.

Pemberian makna dan keutamaan pada Al Qur‟an yang dilakukan oleh masyarakat

Indonesia banyak sekali ditemukan dan tentu akan mempengaruhi penggunaan Al Qur‟an di

masyarakat. Perilaku Kyai dalam membacakan surat At-takatsur merepresentasikan bagaimana

orang yang tidak bisa berbahasa Arab juga bisa menangkap bahasa lewat bunyi dan

mengasosiasikan dengan maknanya sendiri.

Resepsi Al Qur’an menurut model resepsi Jauss

Ada tiga model resepsi menurut Jauss yaitu resepsi armatik, estetik, dan sosiokultural. Al

Qur‟an yang merupakan kitab suci biasanya akan melalui proses exegetical atau penafsiran

dimana sebuah keyakinan baru akan muncul berdasarkan penafsiran tersebut, namun proses

penafsiran juga harus melewati banyak level seperti subjektifikasi dan objektifikasi agar dapat

diterima sebagai sebuah aturan dan masuk alam bawah sadar.

Resepsi selanjutnya adalah resepsi estetis dimana orang menerima Al Qur‟an dengan cara

yang indah. Cara yang indah dapat berarti menerima Al Qur‟an sebagai teks yang indah misal

dilihat dari sisi sastranya, atau manusia sendiri yang mendekati Al Qur‟an dengan cara yang

indah seperti dengan membuat kaligrafi atau melantunkan ayat Al Qur‟an dengan lagu.

Ada pula resepsi fungsionalitas yaitu meresepsi Al Qur‟an menurut fungsi dan kebutuhan

tertentu, contohnya membaca potongan ayat pada surat At-takatsur yang dilakukan ketika ada

orang yang melahirkan. Contoh lain resepsi fungsional Al Qur‟an adalah pembacaan Surat Al

Lahab untuk menghentikan air sungai yang sedang pasang yang tidak didasari oleh hadits namun

kesamaan bunyi dengan bahasa masyarakat setempat juga.

24

Tradisi lain yang dimiliki oleh masyarakat Banjar adalah Tafaul, contoh Tafaul di zaman

nabi adalah memanggil orang sakit dengan sebutan orang yang sembuh dengan harapan orang

tersebut akan lekas sembuh. Ada 4 Tafaul yang diyakini masyarakat Banjar yaitu Tafaul dengan

bahasa dan bunyi pragmatik Al Qur‟an dimana orang percaya bahwa yang terpenting bukanlah

makna tetapi keyakinan, Tafaul berdasarkan pemilihan salah satu surat di Al Qur‟an, Tafaul

melalui dibacanya keseluruhan surat di Al Qur‟an, dan Tafaul menggunakan media kaligrafi dan

media estetik lainnya.

Dalam memaknai Al Qur‟an ada beberapa hal yang dapat dilakukan seperti creative

reading, belajar dari para cultural brokers atau ulama-ulama karena ulama biasanya memiliki

tugas untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam, dan membaca kitab-kitab Islam dan membentuk

piramida pengetahuan sendiri.

Tradisi Islam Banjarmasin dilihat dari generasi tahun 1990an dan 2000

Pada generasi yang lahir di tahun 1990an sampai 2000an, tidak bisa dipungkiri bahwa

pendekatan positivistik dan legalistik terhadap Al Qur‟an juga mempengaruhi model resepsi

masyarakat Banjar terhadap Al Qur‟an. Dulunya, Al Qur‟an yang menjadi bagian dari kehidupan

namun dengan adanya banyak godaan seperti televisi dan lain-lain, masyarakat Banjar merasa

khawatir dengan posisi Al Qur‟an di masyarakat. Saat ini, pengajian yang dilakukan di kampung

tidak lagi hanya memberdayakan masyarakat sendiri namun harus mengundang seseorang dari

pesantren. Kesulitan juga dialami pada saat ada yang melahirkan karena sulit mencari orang yang

dapat membaca Al Qur‟an.

Solusi yang diambil masyarakat adalah dengan mengaplikasikan pendekatan formalistik.

Hal ini dibuktikan dengan adanya Perda Al Qur‟an dimana kabupaten Banjar adalah kabupaten

pertama yang mempunyai perda pertama khatam Al Qur‟an yang mewajibkan anak tamat

sekolah SD, SMP, atau SMA harus mempunyai ijazah khatam Al Qur‟an. Berdasarkan penuturan

para orang tua, esensi membaca Al Qur‟an itu adalah sebuah long life education, tradisi yang ada

adalah anak datang ke rumah gurunya untuk membaca Al Qur‟an setiap hari, akan tetapi karena

ada kegiatan-kegiatan lain yang mulai menggerus perhatian anak terhadap Al Qur‟an maka

dibuatlah perda Al Qur‟an tersebut. Aturan ini menggeser tradisi sebelumnya ke model baru,

namun sayangnya peraturan ini menggeser tujuan anak karena target anak hanya mendapat ijazah

25

khatam Al Qur‟an untuk melanjutkan pendidikan tanpa memiliki keterikatan lebih terhadap

tradisi membaca Al Qur‟an, oleh karena itu mungkin saja masih ada anak yang bacaan Al

Qur‟annya masih berantakan walau sudah memiliki ijasah karena setelah mendapat ijasah tidak

pernah lagi membaca Al Qur‟an.

Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi seperti geopolitik, ekonomi, dan satu

hal yang justru paling menyebabkan pergeseran itu adalah affirmative action dari pemerintah

tentang tradisi membaca Al Qur‟an menggunakan Perda Al Qur‟an.

Pembahasan Disertasi oleh Mukhlis

Disertasi ini menarik karena sebagai seorang muslim pasti kita sehari-hari mempunyai

pengalaman dengan Al Qur‟an. Al Qur‟an sudah berumur lebih dari 14 abad dan sudah melintas

batas budaya dan geografi. Hal tersebut menimbulkan banyak pengalaman-pengalaman yang

menarik yang patut dikaji, pengalaman tersebut sebetulnya juga adalah pengalaman kita sehari-

hari. Ketika saya di Mesir, saya pernah bertemu dengan seseorang di dalam bis yang sedang

membaca Al Qur‟an walaupun pada waktu itu suhu sekitar 40 derajat lebih. Itu adalah

merupakan salah satu pengamalan Al Qur‟an.

Pada masa kuliah, saya pergi ke Mekah untuk bekerja sebagai orang yang membantu

orang Tawaf. Pada waktu itu, karena cuaca panas dan padatnya manusia saya membaca surat

Alam Nasyrah, lalu tiba-tiba terbuka jalannya. Padahal, tidak ada dalil yang menganjurkan

membaca surat tersebut pada kondisi yang saya alami, tetapi itu bagian dari keyakinan maka

terbukalah jalannya. Dalam buku Introduction to The Qur’an, ketika ibunya memasak dia

membaca beberapa ayat Al Qur‟an agar makanannya lezat. Banyak sekali cerita yang bisa kita

gali mengenai pengamalan Al Qur‟an, oleh karena itu ada indikasi bahwa Al Qur‟an menjadi

sesuatu yang penting dalam kehidupan muslim khususnya.

Seperti yang kita tahu, Al Qur‟an adalah sebuah teks yang berarti teks itu diam, akan

tetapi yang membuat Al Qur‟an berbicara adalah manusianya sendiri. Kitab suci Al Qur‟an

adalah sesuatu yang final dan diberikan kepada manusia, sedangkan tugas kita adalah untuk

membaca, meresapi, dan mempraktekannya sebagai seorang muslim. Disertasi ini menjadi

sangat penting karena dapat melacak tradisi umat Islam di wilayah-wilayah yang berbeda dan

bagaimana umat Islam berinteraksi dengan Al Qur‟an. Resepsi paling sederhana adalah secara

26

estetis, yaitu ketika kita berinteraksi dengan Al Qur‟an kemudian diri kita merasa terbawa secara

emosionalnya.

Saya ingin mencoba membahas tentang urgensi dari disertasi ini, yang saya lihat ini

adalah merupakan refleksi atau cerminan ketika Al Qur‟an digunakan oleh umat Islam di

Nusantara sehingga ini merupakan salah satu penelitian etnografi karena banyak cerita-cerita

unik. Hal ini menarik karena kita dapat mengetahui perbandingan resepsi Al Qur‟an di Nusantara

dan negara lain. Disertasi ini juga memberikan informasi mengenai kehidupan umat Islam di

tepi-tepi atau pinggiran yang jauh di pusatnya yaitu timur tengah, dan biasanya kalau di daerah

pinggiran akan ada perbedaaan informasi yang sampai sehingga itu mempengaruhi cara berpikir,

sikap, dan interaksi umat Islam itu sendiri. Urgensi ketiga adalah menghasilkan pemahaman lain

tentang interaksi umat Islam di Indonesia karena selama ini biasanya orang terlalu menggunakan

pendekatan legalistik yaitu semua harus dipraktekan dalam rangka politik yang berhubungan

dengan penggunaan dalam konteks nasional. Padahal, di Banjar Al Qur‟an telah dipraktekan

dengan sedemikan jauh dengan resepsi yang sangat unik, ini menjadi tawaran lain dimana umat

Islam menjadi model untuk umat Islam di belahan bumi lain.

27

Kebahagiaan Menurut Masyarakat

Kajang

Di Sulawesi Selatan

Muhammad Takbir M.

(Disampaikan pada Diskusi Agama dan Budaya Lokal di UIN, Sunan

Kali jaga, 18 November 2014)

Opini publik pada umumnya menilai Makassar sebagai tempat sering terjadinya aksi

demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, misalnya penolakan kenaikan BBM yang berakhir

ricuh dengan kepolisian. Kedua, opini publik juga melihat Makassar yang selalu lekat dengan

tawuran antar pemuda dan geng motor, sehingga opini-opini inilah yang membawa kita untuk

berpikir ulang apakah sebenarnya multikulturalisme di Makassar ada.

Memahami Multikulturalisme

Masyarakat harus memahami dengan benar mengenai pengerti dari multikulturalisme

sendiri. Menurut Syam (2009:79) yang mendefinisikan multikulturalisme sebagai seperangkat

ide atau gagasan yang menghasilkan aliran yang berpegangan bahwa terdapat variasi budaya di

dalam kehidupan masyarakat, yang terjadi adalah adanya kesetaraan budaya lainnya, sehingga

antara satu entitas budaya dengan budaya lainnya tidaklah berada di dalam suasana bertanding

untuk memenangkan pertarungan. Selanjutnya, definisi multikulturalisme secara praktis

didefinisikan oleh Kymlika (dalam Haryatmoko, 2010:112) mengatakan bahwa

multikulturalisme adalah pengakuan pluralisme budaya yang menumbuhkan kepedulian untuk

mengupayakan agar kelompok-kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat dan

masyarakat mengakomodasi perbedaan kelompok-kelompok minoritas agar kekhasan identitas

mereka diakui.

Politik multikulturalisme pun hadir dikarenakan oleh adanya penindasan, masalah

minoritas yang selalu dipandang sebagai kelompok yang tidak berguna dan adanya diskriminasi

terhadap kaum imigran. Alasan-alasan tersebut menjadikan politik multikulturalisme memiliki

tujuan untuk adanya pengakuan identitas dan kesetaraan, adanya dialog secara terbuka antar

warga dan antar kelompok.

28

Ciri-ciri Masyarakat Kajang

Manusia selalu ingin mencapai kebahagian karena kebahagian merupakan perjalanan

tertinggi dari perjalanan hidup manusia. Masyarakat Kajang pun menginginkan kebahagian

melalui satu gaya hidup yang disebut Kamase-mase. Kebahagian Kamase-mase dalam

masyarakat Kajang dapat dilihat dari gaya hidup mereka yang masih primitive dalam mencapai

kebahagian.

Ciri-ciri utama dari masyarakat Kajang adalah semua anggota kelompoknya berpakaian

hitam, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti memakai baju dan sarung berwarna

hitam dengan sehelai kain yang dililitkan pada bagian kepala. Masyarakat Kajang juga menolak

hal-hal yang beraroma modernitas, sehingga mereka berusaha untuk menutup diri terhadap dunia

modern seperti alat-alat teknologi handphone, listrik dan lain-lain.

Kajang secara administrasi merupakan salah satu dari sembilan kecamatan di Kabupaten

Bulukumba, Sulawesi Selatan dengan memiliki luas wilayah sebesar 126. 18 k . Wilayah

Kajang dibatasi oleh beberapa wilayah, sebelah utara Kajang berbatasan dengan Kabupaten

Sinjai, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah barat berbatasan dengan

Kecamatan Bulukumpa dan sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Hero Langge-langge.

Masyarakat Kajang memiliki sistem nilai dalam masyarakat yang disebut Pasang. Jika

orang islam berbicara tentang sistem nilai, maka mereka tidak bisa dilepaskan dari Quran dan

Hadist. Begitu pula pada masyarakat Kajang yang menyandarkan keinginan mereka pada basis

Pasang tersebut, yang dikelola secara terus menerus melalui lisan turun temurun. Pada

prinsipnya Pasang adalah bentuk Aforisme dalam masyarakat Kajang, Aforisme tersebut

dibentuk dalam bentuk refleksif, filosofis dari kondisi yang dialami oleh masyarakat dan para

leluhur mereka. Hal tersebut juga merupakan bentuk pengalaman yang di internalisasi manjadi

satu pengetahuan yang kemudian diwariskan secara terus menerus dari generasi ke genarasi

melalui penuturan lisan atau oral tadi.

Pasang Sebagai sistem nilai: Gaya Hidup Akkamase-mase

Pasang sebagai sistem nilai menurut Akib (2003) adalah kumpulan pesan-pesan, petuah-

petuah, petunjuk-petunjuk dan aturan-aturan bagaimana seseorang menempatkan diri terhadap

29

makro dan mikro kosmos serta menjalin harmonisasi alam, manusia dan Tuhan. Komunitas ini

mengkonsepsikan hal-hal yang bernilai dalam kehidupan adalah kehidupan yang akan datang

disebut dengan Konjo Mange dan Koasa di hari kemudian adalah tujuan Kaalo anjorengan atau

tujuan di alam gaib.

Hidup Akkamase-mase atau hidup bersederhana berimplikasi pada satu kehidupan yang

layak, istilah ini disebut dengan kalumannyang kalupepeang ri allo ri bokona Tu Riek Akrakna

adalah kaya raya di hari kemudian oleh yang Maha Berkehendak. Jadi, spiritual untuk tujuan

keduniaan dan membentuk pola hidup Akkamase-mase. Biasanya kelompok ini tidak

dimasukkan ke dalam kelompok agama Islam oleh peneliti, tapi mengganggap kepercayaan

mereka sebagai kepercayaan Patuntung, meksipun fakta di lapangan masyarakat Kajang

mengakui Islam bahkan dalam mantera yang mereka ucapkan sering terdengar Datuk ri Tiro,

beliau berasal dari Minangkabau dan datang ke Sulawesi Selatan melakukan islamisasi di sana.

Hidup Kamase-mase secara sosiologis merupakan bentuk perlawanan kepad

kolonialisme, artinya terdapat penolakan dalam masyarakat Kajang untuk menolak mengonsumsi

barang-barang pabrik melalui ungkapan mereka yaitu pare’ tau kebo’ yang memiliki arti buatan

kulit putih atau kolonial Belanda. Bentuk perlawanan tersebut kemudian diinternalisasi atau

ditumbuhkan dalam dirinya, sehingga menjadi satu bentuk perlawanan atau antikolonial dan

secara otomatis akan menolak neo-kolonialisme, sehingga Masyarakat Kajang pun sampai

sekarang masih menjaga adat istiadat dan habitus-habitus mereka.

Hidup sederhana pun merupakan bentuk keutamaan yang terdiri dari bentuk keutamaan

teoritik dan keutamaan praktis. Keutamaan teoritik dalam masyarakat Kamase-mase dapat dilihat

dari ungkapan Pasang yaitu inne linoa pammari-arianji, ahere’ pammantanggang kara’kang

yang berarti dunia ini hanyalah tempat persinggahan dan hari kemudian adalah kehidupan yang

kekal/abadi, hal ini menjadi pijakan besar mengenai hal prinsip kehidupan masyarakat Kajang

dalam bahasa keseharian mereka. Implikasi dari hal ini juga adalah lahirnya keutamaan praktis,

misalnya kehidupan manusia adalah kehidupan yang sementara, sehingga manusia hanya

menjalaninya begitu saja dan tidak bisa mengeksploitasi alam. Salah satu keutamaan praktis

masyarakat Kajang adalah mereka menjaga kehutanan yang mereka miliki dan bagi seseorang

yang menebang 1 pohon maka ada kewajiban baginya untuk menanam 2 pohon, serta bagi

mereka yang menebang di hutan lindung masyarakat Kajang maka akan diberikan hukuman adat

30

bahkan dapat dikeluarkan dari komunitas tersebut. Tindakan-tindakan yang diperlihatkan

masyarakat Kajang mengantarkan pemahaman kita bawa mereka benar-benar masyarakat yang

benar-benar “istiqamah” dan siap satu kehidupan yang jauh dari modernisasi, pendekripsian

tersebut ada dalam bentuk praktis mereka yang berbunyi Angganre na rie’, care-care na rie,

pammalli juku na rie’, balla situju-tuju, artinya makanan ada, pakaian ada, pembeli ikan ada,

tempat produksi ada, dan rumah sederhana saja. Intinya, masyarakat Kajang menginginkan

semua yang “berkecukupan” dalam arti sesuai dengan standar mereka bukan standar yang

dibangun oleh modernisme.

31

Potret Perempuan dalam Habitus

Kontekstual WAHABI

Inayah Rohmaniyah

(Disampaikan pada Diskusi Agama dan Budaya Lokal di UIN, Sunan

Kali jaga, 18 November 2014)

Dalam diskusi ini, ada tiga inti bahasan yaitu mendekonstruksi pemahaman konvensional

tentang hubungan kausalitas antara ajaran Wahabbi dengan ekstrimisme, radikalisme kekerasan

dan diskriminasi gender. Inti bahasan kedua adalah menunjukkan konteksualisasi Wahhabi

karena walaupun ajaran Wahhabi berasal dari Arab namun prakteknya mungkin akan berbeda di

negara Indonesia. Ketiga, menunjukkan peran perempuan sebagai agen yang tidak hanya

mengikuti struktur, namun ada proses dimana perempuan melakukan pemaknaan ulang struktur

patriarki. Pada akhirnya, tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menunjukkan bahwa ajaran

Wahhabi tidak selalu berhubungan dengan radikalisme atau diskriminasi terhadap perempuan

walaupun pada dasarnya sebagian muslim memang radikal karena ingin merubah keyakinan

orang lain agar sesuai dengan keyakina mereka. Akan tetapi, banyak organisasi Wahhabi yang

sebenarnya menentang kekerasan dan diskriminasi dan mungkin hanya saja fakta ini tidak

muncul di permukaan.

Subjek penelitian adalah Salafi Wahhabi, perlu diketahui bahwa ajaran Salafi berbeda

dengan Wahhabi karena tujuan Salafi adalah untuk mengembalikan tatanan Islam kepada tatanan

yang ada pada zaman nabi. Gerakan Wahhabi pertama kali muncul dengan tujuan untuk

merekonsruksi masyarakat Arab yang pada waktu itu sangat didominasi oleh politeisme, apabila

dianalogikan dengan istilah Karl Marx maka masyarakat Arab bisa digambarkan sebagai

masyarakat yang ada pada opium yang kuat. Namun, fakta bahwa gerakan Wahhabi adalah

sebuah gerakan reformasi yang sama sekali tidak berhubungan dengan perang jarang sekali

diangkat oleh publik. Muhammad bin Abdul Lahab sebagai tokoh gerakan Wahhabi juga tidak

bergerak di ranah politik, beliau lebih bergerak melalui ranah dakwah.

Asumsi yang mengelilingi gerakan Wahhabi biasanya adalah kekerasan, fanatisme, tidak

toleran, dan menolak kultur lokal, oleh karena itu Wahhabi dianggap berbahaya karena

32

mempromosikan kekerasan atas nama agama dan dikecam karena pengaruhnya terhadap masjid,

islam, dan madrasah, serta penggerogotan terhadap nasionalisme bangsa. Namun, sebenarnya

tidak semua orang Wahhabi melakukan kekerasan, diskriminasi, dan menolak kultur lokal.

Secara teori, Pier Bordieu yang mengatakan bahwa seseorang seharusnya dapat keluar

dari struktur dan memilih skema kehidupan yang sesuai dengan dirinya. Bordieu juga

mengatakan mengenai habitus yang mempengaruhi praktek individual maupun komunal,

sedangkan agensi merupakan kekuatan individual. Praktek dan habitus akan saling terkait saat

habitus ditambah dengan modal yang dimiliki entah ekonomi, agama, kedudukan, dan

sebagainya.

Di pesantren yang dijadikan sebagai tempat penelitian, kitab yang dipakai adalah Fahrul

Masjid yang didalamnya ada kitab tauhid oleh Abdullah Abdul Lahab, sehingga habitus tauhid

sudah benar-benar menguasai kepala dan kehidupan di pesantren. Apabila ditanya mengenai

status perempuan, anggota pesantren tidak memungkiri bahwa perempuan memang sumber

godaan. Namun walau demikian bukan berarti perempuan harus dikurung dan tidak boleh keluar

ke ranah publik karena keterlibatan perempuan juga penting di ranah publik.

Habitus yang dimiliki pesantren tersebut sangat berbeda dengan habitus Wahhabi yang

ada di Arab. Hal ini juga berbeda dengan teori Bordieu yang sangat pesimistik dimana Bordieu

percaya bahwa kaum perempuan hanya untuk melanggengkan habitus patriarki, tetapi

berdasarkan penelitian ini ternyata hasilnya tidak demikian dan lebih berwarna. Contoh yang

dapat diambil dari penelitian tersebut adalah Nyai yang tidak hanya melanggengkan habitus

patriarki namun dapat melakukan interpretasi dan pemahaman ulang terhadap bidang ilmu

karena memiliki modal dan pendidikan. Bahkan pada tahun 60an ada Nyai yang menjadi politisi

walaupun dengan latar belakang Wahhabi.

Contoh lain yang tidak sesuai dengan teori sosial Bordieu adalah keaktifan perempuan di

dalam masyarakat walaupun pada dasarnya perempuan diasumsikan menjadi seseorang yang

hanya bisa menjadi sumber godaan, lemah, dan second-class creation. Dalam pesantren tersebut,

guru-guru yang bertugas juga bukan hanya laki-laki karena perempuan juga berhak menjadi guru

dan mengajar santri laki-laki. Ternyata, habitus perempuan sebagai sumber godaan tidak terbukti

karena ketika mereka mengajar santri laki-laki dan tidak ada yang berubah. Berdasarkan

33

fenomena tersebut, Bordieu bisa dikatakan keliru. Dalam proses meminimalisir godaan yang

mungkin ditimbulkan, wanita biasanya menggunakan strategi seperti menutupi bagian tubuhnya.

Temuan yang unik yang didapat adalah digunakannya Tauhid sebagai strategi dimana

orang-orang menganggap bahwa pada dasarnya hanya Tuhan yang satu, sementara itu manusia

memang diciptakan berbeda, oleh karena itu manusia harus menghargai perbedaan. Selain itu,

karena hanya Tuhan yang satu maka posisi laki-laki dan perempuan juga sama. Artinya, karena

pesantren tersebut menganut Tauhid dan tidak boleh keluar dari ajaran tauhid maka harus

mengaplikasikan apa yang ada dalam kitab Tauhid, salah satunya dengan mengakui bahwa laki-

laki dan perempuan itu sama. Tentunya fenomena ini juga berbeda dengan praktek Wahhabi di

Arab.

Masyarakat Wahhabi sebenarnya juga melakukan kontekstualisasi ajaran agama dengan

konteks nasional, contohnya adalah kegiatan upacara bendera dan kegiatan memakai batik di hari

jum‟at. Tentu dengan adanya fenomena tersebut, tidak bisa dikatakan bahwa orang Wahhabi

mengancam nasionalisme bangsa dan menolak kultur lokal.

34

Eksistensi agama lokal di Indonesia:

Agama Kaharingan di masyarakat

adat Dayak Meratus

Ahmad Rafiq, Ph.D(Kepala Laboratorium Budaya dan Religi

Lokal (LABEL) UIN Sunan Kalijaga) (Disampaikan pada Diskusi

Publik Agama dan Budaya Lokal, di UIN Sunan Kali Jaga, 02

Desember 2014)

Defininisi Agama

Agama secara teoritis memiliki bermacam-macam wajah sehingga sama seperti bola

kristal yang pada dasarnya tidak bercahaya tetapi dapat memantulkan cahaya yang berbeda-beda

apabila dilihat dari sisi yang berbeda pula. Di sisi lain agama juga memiliki definisi yang terbatas

karena tidak ada satu definisi yang dapat mencakup seluruh bagian dari agama. Definisi agama

dapat dilihat secara substansial yaitu kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual, lalu

ada juga definisi fungsional seperti pandangan Durkheim yang menganggap bahwa agama

adalah alat untuk mengikat hubungan social. Selanjutnya ada pula definisi simbolik yang berarti

bahwa agama adalah sebuah simbol yang memiliki makna. Keragaman definisi agama tersebut

menunjukan bahwa pada dasarnya tidak ada satu definisi yang dapat mencakup seluruh bagian

dari agama.

Indonesia sebagai sebuah negara mendefinisikan agama lebih kepada ranah definisi

politik walaupun pada kenyataannya Indonesia tidak pernah mendefinisikan agama secara formal

dan hanya memberikan indikator tentang agama yang sebenarnya. Akan tetapi, indikator yang

ada ternyata hanya menjadi sumber masalah yang berhubungan dengan eksistensi keragaman

agama di Indonesia. Beberapa indikator agama di Indonesia antara lain adanya afiliasi

internasional, memiliki pengikut, memiliki konsep kenabian, memiliki kitab suci, dan memiliki

wilayah asal. Indikator tersebut seperti memberikan standar agama yang dapat dipeluk oleh

masyarakat dan hal tersebut menimbulkan adanya konsep agama resmi yang sebenarnya tidak

ada di definisi formal tentang agama di Indonesia. Dampaknya, terdapat kerancuan tentang status

35

agama di Indonesia terutama status agama lokal yang tentu sudah tidak dapat memenuhi semua

indikator seperti misalnya tentang adanya afiliasi internasional.

Pada masa setelah reformasi, 6 agama resmi yang diakui negara selalu dibedakan dengan

agama lokal yang mulai disebut sebagai aliran kepercayaan. Hal tersebut membuat agama lokal

semakin tidak diakui oleh negara karena agama lokal hanya dikategorikan sebagai bagian dari

budaya. Salah satu contoh kasus aliran kepercayaan yang tidak diakui negara karena tidak

memenuhi indikator agama yang diakui yaitu kasus yang terjadi pada masyarakat adat Dayak

Meratus.

Agama Kaharingan di Dayak Meratus dan hubungannya dengan indikator agama

Dayak Meratus merupakan salah satu penghuni pulau Kalimantan terbanyak selain orang

Melayu dan merupakan sebuah kelompok etnis yang kolektif karena memiliki lebih dari 100 sub

etnis. Masyarakat Dayak Meratus tinggal di pegunungan benama Gunung Meratus di bagian

utara hulu Kalimantan Selatan, penduduk Dayak Meratus kebanyakan memeluk agama lokal

Kaharingan yang pada dasarnya memiliki banyak definisi; contohnya definisi Kaharingan yang

berarti air adalah sumber kehidupan masyarakat, lalu ada juga yang memaknai “haring” sebagai

“tumbuh”, sehingga definisi Kaharingan adalah agama yang tumbuh dari bawah.

Kaharingan sebenarnya sudah memenuhi beberapa indikator agama yang dikeluarkan

pemerintah, hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa Kaharingan juga memiliki konsep tentang

Tuhan karena pemeluk agama Kaharingan percaya bahwa diatas segalanya ada Tuhan yang maha

tinggi. Hal selanjutnya adalah para pemeluk Kaharingan memiliki wilayah yang terdiri dari tanah

adat dan hutan lindung. Masyarakat sangat menjaga hutan lindung karena adanya mitos-mitos

yang berkembang di masyarakat bahwa apabila ada orang yang merusak hutan maka orang

tersebut akan terkena denda yang sangat berat seperti kematian.

Hal selanjutnya adalah fakta bahwa agama Kaharingan juga memiliki pengikut yang jelas

dan dapat dibuktikan dengan data statistik. Indikator lain yang juga dipenuhi oleh agama

Kaharingan adalah konsep kenabian, pada agama Kaharingan ada kepercayaan tentang Adam

dan Hawa yang memiliki 40 anak namun sedikit berbeda dengan versi Islam, perbedaannya

adalah dalam versi Adam dan Hawa di agama Islam, semua anak Adam dan Hawa berpasang-

pasangan namun dalam versi Kaharingan anak pertama tidak memiliki pasangan sehingga

36

diangkat ke khayangan dan dinikahkan dengan makhluk di sana. Putra pertama Adam dan Hawa

kemudian memiliki anak bernama Bambang Basiwara dan Sandayuan Asih yang merupakan

orang Dayak yang pertama yang turun dari langit ke pegunungan Meratus dan dibekali dengan

kitab suci bernama Barencong agar diajarkan kepada orang di bumi.

Kisahnya, pada saat Bambang dan Sandayuan tiba di bumi, terjadi banjir besar dan

membuat mereka berdua mencoba untuk menyelamatkan diri dengan tetap menjaga kitab

tersebut agar tetap utuh, cara mereka menyelamatkan kitab suci tersebut adalah dengan

memotong kitab tersebut menjadi dua dan dipegang masing-masing. Bambang yang mencoba

menjaga kitab suci tersebut tidak dapat berpegangan pada apapun sehingga hanyut kebawah,

sedangkan Sandayuan memakan kitab tersebut sehingga dapat berpegangan dan dapat bertahan

di atas gunung. Pada saat banjir selesai, Bambang yang masih memiliki kitab menurunkan

kepada orang-orang Banjar. Sementara Sandayuan meneruskan ajaran yang sama di atas gunung

dengan cara lisan. Kisah tersebut merupakan salah satu mitos yang belum pasti kebenarannya,

namun yang terpenting dari sebuah mitos bukanlah kebenaran terjadinya sebuah fenomena

namun lebih kepada bagaimana masyarakat menggunakan mitos sebagai identitas mereka.

Masalah yang dihadapi pemeluk agama Kaharingan di Dayak Meratus

Ada beberapa masalah yang dihadapi pemeluk agama Kaharingan ketika berhadapan

dengan kebijakan pemerintah atau praktek-praktek yang dilakukan oleh komunitas diluar

kelompok agama Kaharingan sendiri. Masalah pertama yang dihadapi adalah kenyataan bahwa

masyarakat Dayak Meratus rentan dijadikan objek misi agama yang dilakukan oleh misionaris-

misionaris agama resmi di Indonesia seperti Islam dan Kristen. Hal tersebut terjadi karena

kerancuan kebijakan pemerintah tentang misi agama. Pada kebijakan negara, misi agama hanya

dapat dilakukan pada orang yang seagama, contohnya Islam hanya dapat melakukan misi agama

kepada orang Islam sedangkan Kristen hanya dapat melakukan misi agama terhadap orang

Kristen. Namun, ternyata kebijakan tersebut juga memperbolehkan adanya misi agama yang

ditujukan pada orang yang tidak beragama. Hal ini mengakibatkan adanya penafsiran bahwa

orang-orang yang tidak memiliki agama “resmi” juga dapat dijadikan objek kegiatan misi agama

sehingga para misionaris Islam atau Kristen berpikir bahwa tidak salah apabila mereka

melakukan misi agama mereka pada masyarakat Dayak Meratus. Padahal, sebenarnya

37

masyarakat Dayak Meratus juga termasuk golongan yang memiliki agama karena mereka

memiliki kepercayaan yang disebut agama Kaharingan.

Masalah selanjutnya adalah kesulitan yang dialami masyarakat Dayak Meratus untuk

mendapatkan akses pelayanan masyarakat seperti dalam kasus pernikahan atau pendidikan.

Kesulitan tersebut dialami karena tidak diakuinya agama Kaharingan yang menyebabkan kolom

agama pada KTP tidak dapat diisi atau bahkan tidak mendapatkan KTP sama sekali. Dalam

kasus pernikahan, apabila masyarakat yang menikah tidak memiliki KTP maka tidak akan

tercatat, sehingga ketika terjadi masalah rumah tangga tidak akan ada departemen negara yang

dapat membantu penyelesaian masalah tersebut karena dalam data negara pernikahan tanpa KTP

tidak dapat dicatat. Kemudian dalam kasus pendidikan, anak yang tidak memeluk agama resmi

juga akan kesulitan dalam mengikuti kegiatan sekolah karena di sekolah hanya disediakan

pelajaran agama yang resmi diakui pemerintah, padahal pelajaran agama merupakan pelajaran

wajib dan ketika tidak diikuti maka tidak dapat naik kelas karena rapor siswa akan kosong dalam

kolom pelajaran agama.

Masalah terakhir adalah tentang pemberdayaan sosial masyarakat Dayak Meratus yang

tidak relevan dan menyebabkan program-program pemberdayaan sosial tidak efektif atau bahkan

tidak dapat dijalankan sama sekali. Salah satu program pemberdayaan sosial yang dilakukan

pemerintah pada masyarakat Dayak Meratus adalah program Turun Balai, program ini dilakukan

untuk merubah tradisi pertanian masyarakat setempat yang awalnya berpindah-pindah menjadi

tetap pada satu tempat saja. Pada dasarnya, masyarakat Dayak Meratus memiliki konsep

pertanian yang sifatnya berpindah-pindah dan setiap 8 tahun mereka akan kembali ke petak

pertama. Dalam tradisi perpindahan tersebut juga terdapat aturan-aturan menanam, sehingga

perpindahan tidak hanya dilakukan secara asal. Salah satu contoh aturannya adalah petak yang

pertama ditinggalkan harus ditanami karet, lalu di petak-petak lain juga memiliki aturannya

sendiri. Konsep pertanian ini dianggap tidak efektif oleh pemerintah sehingga pemerintah

mencoba untuk mengubah konsep pertanian menjadi bertahan di satu tempat saja. salah satu cara

untuk mengubah sistem pertanian adalah dengan memberikan fasilitas pertanian seperti cangkul,

traktor mesin, dan alat-alat pertanian lain agar masyarakat mau merubah konsep pertanian

menjadi tidak berpindah-pindah. Permasalahannya adalah lahan yang digarap oleh masyarakat

Dayak Meratus merupakan lahan lereng yang sama sekali tidak bisa menggunakan cangkul,

38

sehingga pemberian fasilitas yang dilakukan oleh pemerintah tidak dapat digunakan oleh

masyarakat setempat. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah tidak benar-

benar memahami apa yang dibutuhkan masyarakat, selain itu pemerintah juga tidak memahami

bahwa tradisi tersebut erat hubungannya dengan keyakinan masyarakat.

Sejarah kebijakan negara yang membuat masyarakat Kaharingan semakin tertekan

Sejak Tahun 1900 sampai 2003 terdapat berbagai kebijakan negara berimbas dengan

agresifnya misi dakwah dan pada saat yang sama semakin menyingkirkan orang-orang Dayak.

Ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang dimulai dari masuknya Islam pada

tahun 1900. Pada tahun 1965 terdapat peraturan agama secara resmi tidak mengikutsertakan

agama lokal yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1967 ada operasi Bukit. Lalu adanya

kebijakan Turun Balai di tahun 1971, kebijakan SD Kristen, dan munculnya surat dari

kementerian agama tahun 1980 yang menyatakan bahwa Kaharingan adalah Hindu tanpa

meminta persetujuan masyarkat setempat yang menyebabkan dirubahnya nama Balai adat

menjadi Pura.

Strategi orang Dayak dalam menghadapi kebijakan pemerintah

Ada contoh menarik mengenai calon DPD bernama Zonson Nasri yang berasal dari

Dayak. Dalam masa pencalonan, Zonson Nasri meminta agar dalam kolom agama pada KTP

beliau ditulis dengan agama Kaharingan. Anehnya, dalam proses pencalonan yang melalui

beberapa tingkatan dari tingkat kecamatan, ke kabupaten, dan propinsi ternyata agama Zonson

Nasri dituliskan secara berbeda-beda, contohnya dalam data PPK ditulis Kaharingan, dalam

KPUD kabupaten ditulis Kristen, dan pada data KPU propinsi ditulis Islam.

Dalam kondisi dimana masyarakat Dayak mengalami kesulitan dalam menghadapi

kebijakan negara, masyarakat Dayak Meratus akhirnya menerapkan praktek komodifikasi

budaya dimana praktek kebudayaan tidak hanya dilakukan sebagai pelestarian tradisi namun juga

menjadi cara untuk mendapatkan uang. Contoh komodifikasi budaya yang dilakukan masyarakat

Dayak Meratus adalah dengan dijadikannya upacara panen Aruh menjadi objek wisata yang

bernilai ekonomi. Sebelumnya, praktek-praktek keagamaan dan kebudayaan yang ada di

masyarakat Dayak tidak pernah mendapatkan bantuan dari Kemenag (Kementrian Agama)

karena agamanya tidak diakui oleh negara, namun masyarakat Dayak sekarang dapat meminta

39

bantuan dari Deparsenibud (Departemen Kesenian dan Budaya) dengan membawa konteks

bahwa mereka akan mengadakan upacara panen yang dapat dijadikan aset wisata.

40

Politik Sunda Wiwitan

Eliyyil Akbar

(Disampaikan pada Diskusi Publik Agama dan Budaya Lokal, di UIN

Sunan Kali Jaga, 02 Desember 2014)

Masyarakat adat Sunda Wiwitan minim mendapat perhatian khususnya dalam hal hak

asasi untuk beragama, padahal masyarakat tersebut juga memiliki keyakinan terhadap ritual-

ritual yang mereka percayai. Akan tetapi, keberadaan keyakinan masyarakat Sunda wiwitan

justru dituduh sebagai suatu keyakinan yang salah. Tuduhan tersebut tentunya bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2 tentang hak asasi manusia untuk beragama.

Ironisnya, negara pada akhirnya juga membatasi keyakinan masyarakat Sunda Wiwitan dengan

menentukan agama-agama yang dianggap legal dan diakui oleh negara Indonesia, agama-agama

tersebut terdiri dari 6 agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan

Konghucu. Apabila melihat sejarah agama di Indonesia, aliran kepercayaan yang dianut oleh

masyarakat sudah ada sebelum agama resmi yang diakui oleh negara ada, dan agama-agama

yang sekarang menjadi agama resmi sebenarnya merupakan agama pendatang.

Sebagian masyarakat Indonesia memandang bahwa agama sebagai suatu kepercayaan

harus memiliki 5 ciri yaitu kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, adanya kitab suci,

adanya ajaran kebenaran, adanya umat atau pengikut, dan fakta bahwa agama tidak dapat lekang

oleh waktu. Sedangkan, aliran kepercayaan dianggap sebagai suatu kepercayaan yang memiliki

ciri-ciri yang berlawanan dengan agama. Padahal sebenarnya kita harus melihat agama dan aliran

kepercayaan sebagai pembentukan watak atau moral dan sebagai penentuan falsafah atau

pandangan hidup bagi mereka yang menganut agama atau menganut aliran kepercayaan tersebut.

Indonesia memiliki banyak aliran kepercayaan seperti Sunda Wiwitan yang ada di

Banten, Kejawen yang ada di Jawa, serta Karina dan Tonas yang ada di Kalimantan. Apabila

melihat runutannya, sebenarnya aliran kepercayaan memiliki tiga alam seperti juga agama-

agama yang ada yaitu; tempat bersemayam tuhan yang letaknya di atas, tempat makhluk hidup

yang ada di lapisan tengah, dan neraka yang ada di lapisan bawah.

41

Dalam ajaran Sunda Wiwitan, ada hal penting yang perlu dipahami yaitu ciri-ciri manusia

yang berarti unsur-unsur dasar yang ada dalam kehidupan manusia (moral atau etika), pada

dasarnya hal tersebut juga ada pada agama-agama namun ada perbedaan antara etika Sunda

Wiwitan dengan agama-agama yang lain yang meliputi rupa adat, bahasa, aksara, dan budaya.

Faktanya, walaupun Sunda Wiwitan juga merupakan salah satu agama yang dianut oleh

masyarakat Indonesia namun karena hanya dikategorikan sebagai aliran kepercayaan maka

dalam kolom agama di KTP akan kosong. Hal tersbut menimbulkan cemooh orang-orang karena

kekosongan tersebut biasanya diartikan sebagai simbol bahwa orang tersebut atheis atau tidak

memiliki agama.

Apabila meninjau lebih dalam tentang apakah Sunda Wiwitan memenuhi lima ciri agama,

sebenarnya aliran tersebut sudah memenuhi kelima ciri agama. Dalam aliran Sunda Wiwitan, ada

kepercayaan tentang tuhan, kitab suci, ajaran kebenaran, umat atau pengikut, serta fakta bahwa

aliran tersebut masih ada sampai saat ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya Sunda

Wiwitan juga dapat diakui oleh negara sebagai agama.

42

EPILOG

Muhammad Chozin Amirullah M.A

(Kemendiknas, Suluh Nusantara)

Setelah membaca semua kumpulan tulisan dalam buku “Agama dan Budaya Lokal di Indonesia”

saya mencermati bahwa banyak keragaman bangsa Indonesia terkait dengan keagamaan,

kepercayaan, adat dan kebudayaan setiap masing-masing daerah. Sehingga ini menjadi rahmat

dan sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menjaga dan mengelola segala

perbedaan dan keragaman tersebut.

Dilihat dari aspek teologis, penghormatan terhadap keragaman sudah dijelaskan dalam Q.S. Al-

Hujurat Ayat 13 yang menyebutkan bahwa:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling

kenal mengenal”.

Ungkapan “manusia” dalam Surat Al-Hujurat Ayat 13 menunjukkan arti bahwa setiap orang

yang mempunyai latar belakang apapun baik yang Islam, Kristen, Hindu, Budha ataupun

kepercayaan apapun baik dia yang laki-laki, maupun yang perempuan dan dari asal manapun

diciptakan Tuhan tak lain tak bukan diperintahkan untuk saling mengenal. Dalam proses

“pengenalan” inilah kemudian orang akan mengerti arti dari segala keragaman tersebut.

Begitupula kalau dilihat dari kacamata Konstitusi UUD 1945 juga memberikan penghargaan

terhadap keragaman. Dalam Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa:

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Sudah jelas dalam konteks politik kenegaraaan kita, legitimasi dasar Teologis dan dasar

Konstitusi UUD 1945 secara eksplisit sejalan dan seirama dalam memberikan porsi

penghormatan yang tinggi kepada setiap keyakinan orang dalam beragama dan berkepercayaan

di Indonesia.

43

Secara sosio-historis, pertemuan antara agama terutama Islam dengan budaya lokal sudah cukup

lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pertemuan dengan ajaran lain juga

terjadi seperti aliran kejawen, animisme dan dinamisme.

Pertemuan agama (Islam) dengan budaya lokal ataupun antar ajaran agama menghasilkan

pengadopsian, pembuangan dan akulturisasi namun, berlangsung dalam taraf toleransi yang

cukup tinggi.Sunan Kalijaga memadukan Islam dengan budaya Jawa (pewayangan). Kaum

tradisional mengadopsi konsep Hindu dalam model peng-asramaan santri. Keharmonisan

memadukan antara agama (Islam) dan budaya-budaya lokal membawa pengaruh terhadap

semangat persaudaraan antara masyarakat Indonesia meskipun berbeda keyakinan dan

kepercayaan.

Namun, kini fakta dilapangan sebaliknya. Toleransi semakin memudar seiring terjadi

penyerangan kepada kelompok tertentu yang dianggap berbeda keyakinan dengan dalih karena

menistakan agama, membikin resah masyarakat dan lain-lain. Penyerangan itu seharusnya tidak

perlu terjadi jika negara-dengan aparaturnya mampu meredam dan hadir menengahi konflik

tersebut. Dan yang paling penting lagi bertindak tegas dengan menghukum siapapun yang

melakukan kekerasan.

Selama ini negara melalui aparat keamanan terlalu lemah dalam menindak oknum-oknum yang

suka melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang mempunyai keyakinan yang

berbeda sehingga tindakan kekerasan menjalar kedaerah-daerah.

Ketegasan negara dalam menghukum siapapun yang melakukan tindakan kekerasan bisa

memberikan efek jera bagi pelaku, dan juga memberikan dampak positif bagi stabilitas dan

keamanan masyarakat sehingga tidak ada beban psikis dalam menjalankan keyakinannya.

Solusi yang lain yang harus dilakukan adalah negara harus pro aktif memfasilitasi dengan

mengajak semua pemuka agama, kepercayaan dan adat di semua daerah berdialog untuk

meredam potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa meledak. Dengan adanya dialog akan

mempermudah mencari titik temu ataupun kearifan-kearifan dalam menghormati segala

perbedaan keyakinan.

44

Maka diharapkan kehadiran buku “Agama dan Budaya Lokal di Indonesia” ini bisa memperkaya

wawasan kita mengenai banyaknya aliran-aliran dan kepercayaan yang dimiliki masyarakat adat

sehingga menumbuhkan kepekaan dalam menerima segala keragaman yang sudah menjadi fitrah

bagi bangsa Indonesia.