Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM
HUKUM NASIONAL
(Studi Tentang UU.No.1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Buku I Tentang Perkawinan)
DISERTASI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama Islam
Oleh :
Abdul Wahab Abd Muhaimin
Nim : 04300101010001
Promotor :
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
Prof. DR. H. Azyumardi Azra, MA
KONSENTRASI : SYARIAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M / 1431 H
ii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Abdul Wahab Abd Muhaimin
NIM : 04300101010001
Tempat / Tgl. Lahir : Poso, 17 Agustus 1950
Alamat : Kompleks UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ibnu Taimia III No. 108 Ciputat
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi yang berjudul :
“ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL” (Studi Tentang UU. No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Buku I Tentang Perkawinan)
Adalah benar karya asli saya kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan
sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya yang dapat berakibat gelar kesarjanaan dibatalkan.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta :
Abdul Wahab Abd Muhaimin NIM : 04300101010001
ii
23 Juli 2010 M 11 Sya’ban 1431 H
iii
NASIONALISASI HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
(Studi Tentang UU.No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, KHI Buku I
Tentang Perkawinan Dan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA)
Dalam Bidang Perkawinan)
DISERTASI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama Islam
Oleh :
Abdul Wahab Abd Muhaimin
Nim : 04300101010001
PROMOTOR :
Promotor I Promotor II
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
Prof. DR. H. Azyumardi Azra, MA
KONSENTRASI : SYARIAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M / 1430 H
iv
LEMBARAN PENGESAHAN
Disertasi Judul :
“ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM
NASIONAL” (Studi Tentang UU. No. 1 Tahun 1974 Dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan)”
Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,
telah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji pada ujian disertasi terbuka
(Promosi Doktor).
Pada hari : Jum’at tanggal 23 bulan Juli tahun 2010.
Disahkan oleh Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Juli 2010
Promotor / Penguji
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA
v
PERSETUJUAN PENGUJI
Disertasi Judul: “ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM
HUKUM NASIONAL” (Studi Tentang UU. No. 1 Tahun 1974 Dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan)”
Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,
telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran Tim Penguji pada ujian disertasi
terbuka (Promosi Doktor) pada hari : Jum’at tanggal 23 bulan Juli tahun 2010,
telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji.
Demikian persetujuan ini diberikan kepada yang bersangkutan untuk
digunakan sebagaimana mestinya.
Tim Penguji
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA ( ).
( Ketua Sidang / Promotor / Penguji ) ( Tgl. ).
Prof.Dr.KH.Mohammad Amin Suma, SH,MA,MM ( ).
( Promotor / Penguji ) (Tgl. ).
Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA ( ).
( Penguji ) (Tgl. ).
Prof. Dr. Hj. Suriani, SH, MA ( ).
( Penguji ) (Tgl. ).
Prof. Dr. H. Suwito, MA ( ).
( Penguji ) (Tgl. ).
DR. H. Ujang Tholib, MA ( ).
( Sekretaris Sidang ) (Tgl. ).
vi
ABSTRAK
Kesimpulan disertasi ini mempertegas, bahwa Materi UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan, yang telah menjadi Hukum Nasional, diadopsi dari pokok-pokok ajaran Hukum Islam, dalam bidang perkawinan, yang meliputi dasar-dasar perkawinan dan hukumnya, seperti; peminangan, rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan, mahar, larangan perkawinan dan perkawinan yang dilarang, perjanjian perkawinan, kawin hamil (hamil di luar nikah), poligami dan syarat-syaratnya, hak dan kewajiban suami-istri, harta kekayaan dalam perkawinan (harta bersama/gono-gini dan harta bawaan), masa iddah bagi wanita yang dicerai (cerai hidup dan cerai mati), pemeliharaan anak dan perwaliannya, kedudukan anak dari hasil perkawinan yang sah dan dari luar perkawinan yang sah, putusnya perkawinan dan akibat hukumnya, rujuk dan masa berkabung.
Hukum Islam dalam bidang perkawinan dapat diterima dan diadopsi ke dalam sistem Hukum Nasional, karena sesuai dengan keyakinan Umat Islam dan budaya Indonesia, secara yuridis formal dan secara normatif telah ada dan tumbuh menjadi hukum yang hidup dan dilaksanakan/diamalkan oleh pemeluknya, di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan RI, zaman penjajahan Belanda, dan masa pendudukan Jepang hingga kemerdekaan, kini dan masa yang akan datang, tetap langgeng dan lestari.
Penelitian ini menolak pendapat M. Insa, yang mengatakan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya pasal 3, ayat (1, 2) pasal 4, ayat (1, 2), pasal 5 ayat (1), pasal 9, 15 dan 24 tentang poligami, bertentangan dengan ajaran Islam.
Penelitian ini memperkuat temuan Busthannul Arifin, tentang Perlindungan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan terhadap hak-hak perempuan dan menyamakan kedudukannya dengan laki-laki, kecuali dalam hal-hal yang bersifat fungsional/kodrati saja yang berbeda dan memperkuat temuan Muhammad Daud Ali, tentang keunggulan dan kelemahan isi/materi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Penelitian ini juga memperkuat tulisan Azyumardi Azra, yang mengatakan, bahwa penjabaran dan implementasi dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan sebuah pelembagaan Syariah di Indonesia. Demikian juga, penelitian ini memperkuat penelitian Abdurrahman, yang mengatakan, bahwa materi KHI Buku I tentang Perkawinan, identik dengan Hukum Islam.
Disertasi ini merupakan kajian kepustakaan (library research) menggunakan metode pendekatan Ilmu Usul Fikih, yaitu pendekatan kaidah kebahasaan dan pendekatan kaidah makna (maqasid al shari’ah) serta metode Ilmu Hukum. Data primer adalah kitab-kitab fikih dari berbagai mazhab, kitab-kitab usul fikih dan qawaid fiqiyah, UU No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan, kitab-kitab atau sumber-sumber lainnya yang terkait dengan UU No. 1 Tahun 1974 dan
vii
KHI Buku I tentang Perkawinan. Sedangkan data sekunder yang digunakan antara lain : Buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, karya Azyumardi Azra, buku Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia karya Busthanul Arifin, buku Hukum Islam dan Peradilan Agama, dan Pengantar Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di Indonesia, karya Muhammad Daud Ali, Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI tahun 2008, dan karya-karya lainnya yang relevan.
Wallahu a’lam.
viii
11974
1
19743124125
191524
11974
11974
11974
ix
11974
1718
71989
3200671989
2008
x
ABSTRACT
This study affirms that the Marital Law Number 1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law Book 1 on Marriage which have incorporated in the national legal system were adopted from the principles of Islamic law on marriage, including proposal, conditions of marriage, dowry, prohibitions of marriage, illicit marriage, contracts of marriage, marrying the pregnant, polygamy and its terms, rights and duties of the husband and wife, shared wealth in marriage, wait period for the divorcee, custody of children and guardianship, the status of a child in legal and illegal marriage, cutting-off marriage and its impacts, remarriage and mourning.
The acceptance of Islamic marital laws and their adoption by the national legal system are because of its conformity with the belief and culture of the Muslims in Indonesia. Judicially and normatively, Islamic laws had existed and developed as living laws and implemented by its adherents amid Indonesian people before the Independence of the Republic of Indonesia, namely from the invasion eias of the Dutch and the Japanese until the independence days and will be sustained to the future time.
This dissertation argues the opinion of M. Insa, which said mat the Marital Law Number 1 of 1974, especially Article 3 Item 1 and 2, Article 4 Item 1 and 2, Article 5 Item 1, and Articles 9, 15 and 24 including polygamy, is contradicted to the Islamic teachings.
This dissertation agrees with Busthanul Arifin's opinion on the Marital Law Number 1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law Book 1 on Marriage that these laws protect the rights of women and put them in an equal position of men, except in the matters dealing with their different functions. It also agrees with what is reached by Muhammad Daud Ali about the privileges and defects of the content of the Marital Law Number 1 of 1974.
The study also strengthens the findings of Azyumardi Azra that say that the implementation of the Marital Law Number 1 of 1974 is considered as institutionalization of Islamic laws in Indonesia. Moreover, it accepts the argumentation of Abdurrahman, SH, MH that this Marital Law is identical with Islamic law.
This study is undergone by library research with the method of ushul al-fiqh, namely with an approach of linguistic rules, the objectives of Islamic law and legal sciences. The primary resources are books of Islamic jurisprudence and its schools, philosophy of Islamic law and its rules., the Marital Law Number 1 of 1974, the Compilation of Islamic Law Book 1 on Marriage and other references related to these laws. The secondary resources among others are Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII written by Azyumardi Azra, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia written by Bustanul
xi
Arifin, books authored by Muhammad Daud Ali such as Pengantar Hukum Islam, Tata Hukum Islam di Indonesia; besides Law Number 7 of 1989 on Religious Court, Law Number 3 of 2006 on Amendment of Law Number 7 of 1989 on Religious Court and Regulations on Marriage issued by the Directorate General of the Guidance of the Muslim Societies of the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia of 2008 and other relevant writings.
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
I. KONSONAN
q = ق z = ز a = ا
k = ك s = س b = ب
l = ل sh = ش t = ت
m = م }s = ص th = ث
n = ن {d = ض j = ج
w = و {t = ط }h = ح
h = ھـ }z = ظ kh = خ
= ء ‘ = ع d = د
y = ي gh = غ dh = ذ
t-h = ة f = ف r = ر
xiii
VOKAL PENDEK III. VOKAL PANJANG
= a ا = â
= i ي = î
= u و = û
IV. DIFTONG V. PEMBAURAN
al = ال aw = ـو
al-syams = الشمس ay = ـى
-wa al = وال
VI. PENGECUALIAN
Huruf Hamzah (ء) di awal kata ditulis dengan huruf vokal tanpa didahului tanda
(‘), seperti أمھات ditulis Ummahat, bukan ‘Ummahat.
xiv
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Penyayang tak pandang sayang, Maha Pengasih
tak pilih kasih.
Alhamdulillah, berkat rahman dan rahim Allah SWT, serta taufiq dan
inayah-Nya, penulisan disertasi ini selesai, tidak melampaui jadual yang telah
ditetapkan, ini adalah karunia Ilahi yang telah memberi penulis; nikmat kesehatan
dan kekuatan, lahir batin sebagai modal utama, dalam menyelesaikan tugas berat
ini.
Salawat dan salam, penulis persembahkan kepada baginda Rasul,
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, sebagai qudwah, uswah hasanah,
yang telah meletakan dasar-dasar petunjuk, menjadi contoh yang harus diteladani
oleh setiap insan untuk kemaslahatan dan keselamatan dunia dan akhirat di segala
lini kehidupan.
Disertasi ini selesai, selain usaha yang tidak mengenal lelah, penulis
menyadari bahwa terwujudnya menjadi suatu kenyataan, hal ini tidak terlepas dari
andil, bantuan, partisipasi dan kontribusi dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak, moril maupun materil, yang tidak dapat disebutkan satu persatu
dan akan selalu dikenang, hingga di ujung usia, rasanya penulis tidak dapat
membalas segala jasa baik yang telah diberikan, hanya kepada Allah SWT jualah,
diserahkan untuk memberikan ganjaran pahala yang berlipat ganda.
Penghormatan dan penghargaan yang tiada hingga, serta ucapan banyak
terima kasih, penulis sampaikan kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA, sebagai Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis pada
program S3, di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
xv
2. Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai promotor
penulis dengan penuh keikhlasan, di tengah-tengah kesibukan beliau sehari-
hari, baik sebagai Dekan maupun tokoh nasional, ahli hukum Islam dan
hukum umum telah meluangkan waktu membimbing dan mengarahkan
penulis, walaupun dalam rangka perjalanan dakwah dan memberikan kuliah
ke daerah, di Pesawat terbang, beliau membaca dan mengoreksi disertasi
penulis, hingga disertasi ini selesai, tidak melampaui waktu yang telah
ditetapkan.
3. Bapak Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA, sebagai Direktur Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus promotor, yang telah
banyak memberi masukan untuk kesempurnaan disertasi ini dan telah
memberikan beasiswa kepada penulis pada masa studi program S2 dan S3
(di kala beliau Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
4. Bapak Prof. Dr. H. Suwito, MA, yang telah memberikan arahan kepada
penulis sejak awal penyusunan proposal disertasi ini.
5. Bapak Prof. Dr. H. Badri Yatim, MA (Alm), sebagai penguji proposal
disertasi, yang telah banyak memberi kritik dan arahan, terutama dalam
menetapkan judul disertasi yang baik dan terarah serta dinyatakan layak untuk
digarap/dikerjakan, namun dalam rangka penulis memburu waktu untuk
menyelesaikan disertasi ini, Allah SWT, berkehendak lain, promotor penulis
dipanggil pulang, oleh empunya dunia ini (khalik pencipta) Allah SWT,
Bapak Prof. Dr. H. Badri Yatim, MA, meninggal dunia
promotor penulis setelah kepergian Bapak Prof. Dr. H. Badri Yatim, MA
adalah Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Bapak Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA. Alhamdulillah Beliau bersedia
menjadi Promotor penulis.
xvi
6. Bapak Dr. H. Fuad Jabali, MA, sebagai penguji proposal disertasi, yang telah
banyak memberikan arahan, hingga sampailah penulis pada judul permanen
disertasi yang layak untuk digarap/dikerjakan.
7. Bapak Dr. H. Yusuf Rahman, sebagai penguji proposal disertasi yang banyak
memberikan input, sehingga judul disertasi dapat diterima untuk
dikerjakan/digarap.
8. Para dosen dan guru besar di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mewakafkan dan
mentransfer ilmunya yang bermanfaat.
9. Bapak Promotor/Penguji; Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA,
MM., Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA.,
Prof. Dr. Suriani, SH, MA., Prof. Dr. H. Suwito, MA., yang telah menambah
imput dan perbaikan, bahkan perubahan, untuk kelaikan serta kesempurnaan
disetasi ini. جزاكم اهللا أحسن الجزاء
10. Bapak Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA (Dirjen Bimas Islam Departemen
Agama Republik Indonesia) yang telah memberikan data gugat cerai ( )
sepuluh tahun terahir (2000 s/d 2009) dari Depag RI, شكرا جزیال .
11. Segenap staf dan karyawan sekolah pasca sarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala keramahan dan pelayanannya
yang baik selama penulis kuliah di sekolah pasca sarjana, hingga penulis
mengakhiri masa kuliah di sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang tercinta ini.
12. Akhy al Aziz Dr. H. Muhammad Hasbi, MA, sekali lagi terima kasih telah
membantu penulis, untuk mendapatkan data-data yang sangat berharga
“tentang gugat cerai (istri) yang terjadi di Indonesia selama 10 tahun terakhir”
(Depag RI dari tahun 2000 s/d 2005 dan Mahkamah Agung RI. dari tahun
2006 s/d 2009). شكرا جزیال, demikian juga ucapan terima kasih ini penulis
sampaikan kepada teman-teman seangkatan di sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
xvii
13. Bapak Pendiri Yayasan Pendidikan Islam Alkhairaat (Pesantren Alkhairaat)
Palu Sulawesi Tengah, al Allamah al Habib H.S. Idrus bin Salim al Jufri
(Guru Tua), yang telah merekrut penulis dari Ampana salah satu desa di
Kabupaten Tojo Una-Una (sebelumnya wilayah Kabupaten Poso), ke Ibu Kota
Propinsi Sulawesi Tengah Palu, untuk belajar di Pesantren Alkhairaat Pusat
Palu. Selama berbilang tahun penulis mendapat pendidikan dan pengajaran
langsung dari Beliau, selain pendidikan reguler (klasikal), hingga beliau
berpulang ke Rahmatullah, kenangan indah “monumental” yang tidak akan
dilupakan, juga terima kasih dan penghargaan yang tiada hingga kepada al
Habib H.S. Muhammad bin Idrus al Jufri (Alm), al Ustaz H.S. Abdillah bin
Muhammad al Jufri (Alm) dan al Ustaz H.S. Saggaf Muhammad al Jufri, MA.,
Ketua Utama PB Alkhairaat / Ketua Umum MUI Propinsi Sulawesi Tengah,
dan seluruh keluarga besar al Jufri.
14. Yang tercinta Ayah dan Bunda Abdul Muhaimin dan Siti Hani (Alm) yang
telah berjasa, memelihara, mendidik dan membesarkan, serta mendo’akan
penulis agar selalu sukses dalam menjalani kehidupan ini.
15. Yang tercinta قرینة حیاتى, Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tauhid Yanggo, MA dan
Putra semata wayang Syarif Hidayatullah, S.S.I., keduanya merupakan
inspirator dan motivator penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
16. Akhir kalam sekali lagi kepada yang telah memberikan bantuan moril maupun
materil serta kontribusi positif dari berbagai bentuk hingga disertasi ini selesai
ditulis, dari relung hati yang paling dalam, penulis haturkan penghargaan dan
terima kasih yang tiada hingga, penulis tidak dapat membalas jasa baik yang
telah diberikan, hanya kepada Allah SWT jualah penulis mohonkan untuk
memberikan ganjaran pahala yang berlipat ganda.
ــر ــناظـالإذا ما تأملھ # لو أن للشكر شخصا یرىــرى لـك حتى ت ھ ت ل ث ـ مـ إنى امرؤل # ل شاكر تعلم
- Jika seandainya ucapan terima kasih itu bisa dilihat
- Saya akan berusaha agar ucapan terima kasih itu dapat dilihat
- Saya akan visualisasikan untukmu hingga engkau dapat melihatnya
- Engkau akan mengetahui bahwa sesungguhnya saya (penulis) adalah orang
yang berterima kasih.
xviii
Semoga disertasi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya.
Amin.
23 Juli 2010 M
Jakarta : 11 Sya’ban 1431 H
Penulis
xix
DAFTAR ISI
Halaman Judul No. Halaman
Surat Pernyataan .......................................................................................... ii
Persetujuan dari Promotor ............................................................................ iii
Abstrak ........................................................................................................ ix
Pedoman Transliterasi .................................................................................. xv
Kata Pengantar ............................................................................................. xvii
Daftar Isi ...................................................................................................... xxi
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Permasalahan ...................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 4
D. Manfaat / Signifikansi Penelitian ......................................... 5
E. Kajian Pustaka .................................................................... 5
F. Metodologi Penelitian ......................................................... 10
G. Kerangka Teori ................................................................... 15
H. Sistematika Penulisan ......................................................... 15
BAB II : PERIODESASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA .............. 17
A. Hukum Islam di Indonesia Sebelum Pemerintahan Kolonial
Belanda ............................................................................... 18
B. Hukum Islam di Indonesia Zaman Penjajahan Belanda ....... 26
C. Hukum Islam di Indonesia Masa Pendudukan Jepang ......... 33
D. Hukum Islam di Indonesia Setelah Kemerdekaan ................ 36
E. Hukum Islam di Indonesia Setelah Menjadi Hukum
Nasional .............................................................................. 42
xx
BAB III : HUKUM PERKAWINAN ISLAM DALAM UU NO. 1
TAHUN 1974 DAN KHI TENTANG PERKAWINAN ........... 48
A. Pengertian Hukum Perkawinan Islam .................................. 49
B. Hukum Fikih Islam Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan .................................................... 55
C. Hukum Fikih Islam Dalam KHI Buku I Tentang
Perkawinan ......................................................................... 152
D. Usaha Amandemen UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI Buku I
Tentang Perkawinan............................................................. 193
BAB IV : NASIONALISASI HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI
INDONESIA ............................................................................ 213
A. Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan .......................................................................... 214
1. Latar Belakang dan Proses Pembentukan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan .............. 214
2. Tantangan dan Respon Dalam Pembentukan dan
Penerapan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan ..................................................................... 223
B. Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ..................... 231
1. Latar Belakang dan Proses Pembentukan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) ....................................................... 231
2. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) ............................................................................. 242
BAB V : EVALUASI PELAKSANAAN UU No. 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN ................................................... 245
A. Keunggulan dan Kelemahan UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI Tentang Perkawinan .................................................... 245
B. Dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI Tentang
Perkawinan Terhadap NTCR ............................................... 257
xxi
BAB VI : PENUTUP ................................................................................ 281
A. Kesimpulan ......................................................................... 281
B. Rekomendasi ...................................................................... 284
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 286
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah :
Hukum Islam yang terdiri atas shariah dan fikih adalah sebagai
peraturan yang mengikat bagi semua orang yang beragama Islam tanpa
pengecualian. Namun sebagai warga Negara, setiap orang juga terikat oleh
peraturan-peraturan negara yang mengikat semua warganya, apalagi Indonesia
bukan Negara Islam dan juga mempunyai kebudayaan serta penduduknya
yang plural, dari suku dan bahasa, terutama Agama. Oleh karena itu setiap
peraturan yang dibuat oleh Pemerintah, atau atas dasar keinginan Rakyat,
harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau harus mendapat
respon positif dari Pemerintah.
Sedangkan pengertian hukum Islam dalam konteks kenegaraan
adalah segala peraturan yang berdasarkan Al Quran dan Sunnah Rasulullah
SAW. tentang perbuatan manusia mukallaf yang diyakini dan diakui berlaku
serta mengikat bagi seluruh umat Islam dengan mendapat pengakuan dan
persetujuan dari Negara, di mana ia diterapkan dan sudah dipositifkan menjadi
hukum Negara, atau telah menjadi hukum Nasional, seperti hukum Fikih
Islam dalam bidang perkawinan telah dimasukkan dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 1 dan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI)2 berdasarkan INPRES No. I Tahun 1991 untuk menjadi pedoman para
1 Undang-Undang Perkawinan disahkan oleh DPR pada tanggal 2 Januari 1974 –
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor I, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 3040 - setelah sebelumnya pada bulan Juli 1973 Pemerintah mengajukan RUU kepada DPR hasil pemilu 1971. Dalam proses pembahasannya, keterlibatan umat Islam yang berada di dalam maupun di luar DPR sangat tinggi, mengingat ada beberapa Pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan Islam. Namun akhirnya, permasalahan kontroversial yang bertentangan dengan hukum Islam dapat dihilangkan berkat tuntutan yang gigih dari umat Islam. Tuntutan ini wajar mengingat masyarakat Islam di Indonesia tidak hanya menjadi mayoritas tetapi sangat religus, karena itu tuntutan terhadap pemberlakuan hukum Islam bidang perkawinan sangat realistis dan proporsional sebagai konsekuensi dari penduduk mayoritas. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Universitas Yarsi, 1999), 6, 7.
2 Kompilasi dalam Webster’s disebut compile artinya “mengumpulkan bahan-bahan yang tersedia ke dalam bentuk yang teratur, seperti dalam bentuk sebuah buku, mengumpul-kan berbagai macam data. Lewis Mulfored Adams dkk. (ed), Webster’syari’ah Word University Dictionary, (Washington DC: Publisher Company Inc, 1965), 213. Kata
1
2
Hakim Pengadilan Agama di Indonesia dalam memeriksa, mengadili dan
memutuskan suatu perkara yang diajukan.3
Hukum Fikih Islam telah menjadi Hukum Nasional, karena telah
dimasukan ke dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI
berdasarkan INPRES No.I Tahun 1991.
Hukum Fikih Islam bisa diterima di Indonesia menjadi Hukum
Nasional, karena secara yuridis formal dan secara normatif, telah menjadi
hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Hukum fikih Islam di
samping sebagai entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk
Indonesia, bahkan di beberapa daerah dari segi amaliahnya telah dilaksanakan
dan dianggap sakral. Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam sangat
erat dan telah lama berlangsung di Indonesia.4
kompilasi, nampaknya lebih dekat dengan kata compilation dalam bahasa Inggris yang artinya: “himpunan, kompilasi, himpunan Undang-Undang”. Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia 2005), 132, atau berarti juga :karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain”. Kaitannya dengan kodifikasi. Kompilasi tidak mesti berupa produk hukum yang mempunyai kepastian dan kesatuan hukum sebagaimana halnya sebuah kodifikasi. Karena itu, dalam konteks hukum, kompilasi merupakan sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum. Dalam pengertian ini, kompilasi berbeda dengan kodifikasi, namun secara substansial keduanya sama-sama sebagai produk hukum. Kompilasi dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama Fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi, Lihat H. Abd Rahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Presindo, 1992), 12 dan 14.
3 Buku I KHI memuat Hukum Perkawinan, buku II memuat Hukum Kewarisan dan Buku III memuat Hukum Perkawakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf.
4 Di beberapa daerah di Indonesia, Hukum Islam sudah dipegang teguh dan dijadikan landasan kehidupan masyarakatnya. Misalnya, di Minangkabau tercermin dalam pepatahnya :”Adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengato adat memakai”. Menurut Hamka pepatah ini menunjukkan bahwa Hukum Adat dengan Hukum Islam sangat erat hubungannya. Dalam masyarakat muslim Gorontalo dapat dilihat dalam ungkapannya: “Adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa to adati”. Artinya kurang lebih sama dengan ungkapan adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat”. Ungkapan ini menunjukkan eratnya hubungan Adat dengan Hukum Islam. Daud Ali mengutip ungkapan ini dari A. Gani Abdollah, 1087:89). Ungkapan yang dikutip Daud Ali Dari A. Gani Abdollah tersebut adalah dari Sulawesi Selatan, tetapi menurut penelitian penulis adalah dari Gorontalo karena dari bahasa Gorontalo. Selanjutnya berkenaan dengan masalah ini, hubungan adat dan Hukum Islam juga erat di Jawa. Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan sinkritisme agama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama di daerah Pedesaan. Lihat : Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), 223.
3
Berdasarkan ungkapan di atas, maka dapat ditolak ungkapan para
penulis buku-buku hukum yang ditulis oleh para penulis Barat/Belanda dan
mereka yang sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu yang mengatakan
bahwa Hukum Adat dengan Hukum Islam di Indonesia, adalah dua unsur yang
bertentangan. Sebenarnya ungkapan mereka ini dinyatakan dengan sadar
sesuai dengan teori konflik yang mereka gunakan untuk memecah belah,
“devide et empra” mengadu domba rakyat Indonesia guna mengukuhkan
kekuasaan Belanda di Indonesia.5 Karena adanya kesesuaian Hukum Islam
dengan Hukum Adat itulah, khususnya dalam bidang perkawinan, sehingga
Hukum Fikih Islam dalam Bidang perkawinan bisa diterima menjadi Hukum
Nasional di Indonesia melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Buku I tentang Perkawinan.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan
sangat dibutuhkan untuk menjadi pedoman bagi masyarakat yang
memerlukannya, terutama bagi para Hakim Pengadilan Agama di Indonesia
dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan,
agar putusannya seragam dalam kasus yang sama. Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan yang materinya diadopsi dari
Hukum Islam dalam bidang perkawinan. Berdasarkan hal ini, maka penulis
ingin mengkaji sejauh mana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Buku I tentang Perkawinan yang telah diadopsi menjadi Hukum Nasional,
dengan Judul Disertasi : “ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM
HUKUM NASIONAL” (Studi Tentang UU. No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan).
B. Permasalahan :
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian disertasi
ini difokuskan pada pengkajian materi UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan, yang telah menjadi Hukum Nasional berdasarkan INPRES No. 1
Tahun 1991, yang materinya bersumber dari shari’ah dan fikih yang telah
5 Menurut Van Vollenhoven, Hukum Adat harus dipertahankan sebagai Hukum
Barat. Sebab, kalau Hukum Adat didesak oleh Hukum Barat, Hukum Islam yang akan berlaku. Ini tidak boleh terjadi di Hindia Belanda (Bustanul Arifin dalam Mukhtar Na’im, 1968 :171) – Lihat, Daud Ali, Hukum Islam…, 224.
4
disesuaikan dengan kondisi di Indonesia untuk menjadi pedoman para hakim
Pengadilan Agama se Indonesia dalam penyelesaian kasus perkara yang
berkenaan dengan perkawinan.
Demikian pula, berhubung karena materi UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI tentang Perkawinan sangat banyak dan luas, maka kajian Disertasi ini
dibatasi hanya pada pembahasan tentang sebab diterimanya Hukum Islam
dalam bidang perkawinan sebagai Hukum Nasional di Indonesia dan kajian
pasal-pasal yang berkaitan dengan syari’ah dan fikih tentang Perkawinan, agar
diketahui sejauhmana Hukum Islam tersebut diadopsi dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang
Perkawinan, keunggulan serta kelemahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
dan KHI tentang Perkawinan serta dampak Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 dan KHI tersebut terhadap NTCR yang menyebabkan meningkatnya
gugatan cerai istri.
Dengan demikian, maka pertanyaan besar dalam penelitian ini
adalah:
1. Mengapa Hukum Fikih Islam dalam Bidang Perkawinan bisa diterima
sebagai Hukum Nasional di Indonesia” ?
2. Sejauh mana hukum Fikih Islam tentang Perkawinan diadopsi dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan?
3. Apa keunggulan dan kelemahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
dan KHI tentang Perkawinan?
4. Bagaimanakah dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan terhadap NTCR, terutama terhadap Gugatan Cerai Istri ?
C. Tujuan Penelitian :
Berkenaan dengan pokok masalah yang telah disebutkan di atas,
maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengungkap faktor penyebab Hukum Fikih Islam bisa diterima
sebagai Hukum Nasional di Indonesia.
2. Untuk mengungkap apa saja dari Hukum Islam tentang Perkawinan
diadopsi dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.
5
3. Untuk mengungkap keunggulan dan kelemahan materi UU No. 1 Tahun
1974 dan KHI tentang Perkawinan.
4. Untuk mengungkap dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan terhadap NTCR, terutama terhadap Gugatan Cerai Istri.
D. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Adapun manfaat/Signifikansi penelitian ini diharapkan
1. Dapat menambah khazanah dan informasi tentang faktor penyebab dapat
diterima Hukum Islam sebagai Hukum Nasional, terutama kepada yang
hendak mengkaji UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.
2. Dapat menginformasikan tentang apa saja Hukum Islam tentang
Perkawinan diadopsi dalam sistem Hukum Nasional.
3. Dapat menginformasikan tentang Keunggulan dan Kelemahan materi UU
No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, kepada yang terkait agar
dapat memperbaiki kelemahannya.
4. Dapat menginformasikan dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan terhadap NTCR, terutama terhadap Gugatan Cerai Istri.
E. Kajian Pustaka :
Berdasarkan penulusuran kepustakaan yang dapat penulis lakukan,
ditemukan beberapa kajian terdahulu, khususnya dalam bentuk hasil
penelitian disertasi dan tesis secara spesifik serumpun dengan judul yang
penulis angkat, namun objek kajiannya ada yang hampir sama dan adapula
beberapa kajian yang relatif jauh kaitannya dengan kajian penulis, tetapi
masih dalam lingkup keilmuan yang sama.
Di antara karya-karya tersebut adalah :
1. “Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia : Studi Kritis Hukum
Kewarisan menurut KHI”, oleh Suparman Usman (Disertasi PPs IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1998).
6
Dalam disertasi ini Suparman Usman menyoroti masalah kewarisan
yang terdapat dalam KHI dikaitkan dengan Hukum Positif. Walaupun
disertasi ini mengkaji materi KHI, tetapi hanya mengkaji materi hukum
kewarisan dan tidak mengkaji materi Hukum Perkawinan.
2. “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia : Studi tentang KHI” oleh
Ramlan Yusuf Rangkuti (Disertasi PPs IAIN Jakarta, tahun 2003).
Disertasi ini walaupun mengkaji KHI, tetapi tidak membahas
masalah materi KHI tentang perkawinan. Kajiannya hanya terkait dengan
masalah putusan Peradilan Agama, Hakim dan kewenangannya.
3. “Modernitation, Tradition and Identity : The Kompilasi Hukum Islam and
Legal Practic of Indonesia Religius court” oleh Euis Nurlaelawati
(Disertasi di utrecth University Belanda, tahun 2005 dipromosikan
Nofember 2007).
Disertasi ini memfokuskan kajiannya pada intensitas penggunaan
Kompilasi Hukum Islam yang dilakukan oleh Hakim di PA dan PTA
dengan cara menganalisis beberapa putusannya terutama putusan tahun
2000-2005 setelah adanya KHI, dimana diperoleh data, bahwa Hakim PA
dan PTA masih ada yang tidak menggunakan KHI sebagai dasar
pertimbangan hukum ketika memutuskan perkara, terutama yang berkaitan
dengan hadanah dan itsbat nikah.
4. “Undang-Undang Nomor I tahun 1974 dan kaitannya dengan Perkawinan
antar orang yang berlainan Agama : Kajian Yuridis, Implementasi, dan
Problematika serta Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan dan
Pembaharuan Hukum Nasional”. Oleh A. Chaeruddin (Disertasi PPS
IAIN Jakarta, Tahun 2000). Disertasi ini mengkaji materi UU Perkawinan,
tetapi hanya menitik beratkan kajiannya pada perkawinan beda agama.
Penulis Juga membahas perkawinan beda agama tetapi objek kajiannya
pada KHI, yang kajiannya bukan hanya berkenaan dengan perkawinan
beda agama tetapi mengkaji materi hukum perkawinan secara umum,
yang berkenaan dengan hukum Fikih Islam.
7
5. “Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional : Mengurai Benang yang
Kusut. (Sebuah buku karya Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, diterbitkan
oleh Mizan tahun 2001). Buku ini merupakan kumpulan dari makalah-
makalah serta ceramah-ceramah beliau yang oleh editor diramu
sedemikian rupa sehingga menjadi mozaik yang begitu indah. Buku ini
menghimpun beberapa isu penting sekitar kiat, strategi dan ulasan yang
menarik untuk melakukan transformasi hukum Islam ke hukum Nasional,
tetapi buku ini tidak berbicara tentang materi UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan atau hukum perkawinan Islam dalam KHI.
6. “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan”. (sebuah buku karya Prof. Dr. Amir
Syarifuddin yang diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Group). Buku
ini memaparkan dengan rinci berbagai muatan hukum dalam sebuah
ikatan perkawinan dengan pendekatan lintas mazhab fikih.
Buku ini merinci beberapa permasalahan hukum perkawinan
mulai dari etimologi sampai terminologi materi hukum, dasar hukum,
tujuan hukum dan hikmahnya, syarat rukunnya serta pelaksanaan serta
masalah yang timbul dari permasalahan. Tetapi pembahasan buku ini tidak
mengkaitkan dengan materi KHI tentang Hukum Perkawinan.
7. “Hukum Nikah (Talak, Rujuk, Hadanah dan Nafkah Kerabat) dalam
Naskah Mir’at al-Tullab Karya Abd al-Rauf Singkel) oleh Peunoh Daly
(Disertasi Pascasarjana IAIN Jakarta, tahun 1982). Disertasi ini hanya
menguraikan tentang hukum perkawinan khususnya dalam masalah talak,
rujuk, hadanah dan nafkah kerabat yang ada pada kitab Mir’at al-Tullab
karya Abd al-Rauf Singkel. Penelitian Peunoh Daly hanya terfokus pada
kitab Mir’at al-Tullab, pada wacana fikih munakahat saja, tanpa dikaitkan
dengan KHI sebagai hukum Negara yang mengatur masalah perkawinan.
8. Yayan Sopyan (2007), Transformasi Hukum Islam ke dalam Sistem
Hukum Nasional, mengkaji materi UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dalam temuannya, materi UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut sejalan dengan Hukum Islam.
8
Disertasi ini membahas kontribusi Hukum Islam pada Undang-
Undang Perkawinan, tidak membahas kontribusi Hukum Islam dalam KHI
Bidang Perkawinan.
Adapun buku-buku yang secara langsung ada kaitannya dengan
disertasi penulis adalah :
1. Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, mengakaji
sebagian materi Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan materi KHI
tentang Perkawinan. Dalam temuannya secara khusus, materi UU No. 1
tahun 1974 dan materi KHI tentang Perkawinan, membela dan melindungi
hak-hak perempuan. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengangkat
kedudukan perempuan dan menyamakan derajatnya dengan laki-laki.
2. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, mengkaji isi
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya. Dalam
temuannya, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah memenuhi sebagian
besar tuntutan pokok yang telah lama diperjuangkan terutama oleh
pergerakan wanita Indonesia segala golongan. Namun masih perlu
penyempurnaannya.
3. Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 an
Institutionalization of the Shari’a for Social Changes, in Shari’a and
Politic in Modern Indonesia, mengkaji Hukum Perkawinan Indonesia
tahun 1974, suatu Lembaga Hukum Syari’ah untuk perubahan sosial,
terutama tentang Sejarah Pembentukan Undang-Undang Perkawinan
tersebut. Dalam temuannya bahwa penjabaran dan implementasi dari UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan sebuah pelembagaan
shariah di Indonesia.
4. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, mengkaji materi dan
sistematika KHI. Dalam temuannya, kompilasi Hukum Islam Indonesia,
identik dengan Hukum Islam. Kelemahannya materi KHI, khususnya
mengenai hukum perkawinan banyak terjadi duplikasi dengan apa yang
diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, atau Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tetapi dalam KHI banyak juga hal-hal baru
ditemukan.
9
Penelitian ini memperkuat temuan Busthanul Arifin tentang
Perlindungan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan terhadap
hak-hak perempuan dan menyamakan kedudukannya dengan laki-laki, kecuali
dalam hal-hal yang bersifat fungsional dan kodrati saja yang berbeda.
Perbedaannya dengan kajian penulis, penulis mengkaji semua pasal-pasal UU
No. 1 tahun 1974 dan pasal-pasal KHI tentang Perkawinan yang ada kaitannya
dengan Hukum Islam.
Penelitian ini juga memperkuat temuan Mohammad Daud Ali
tentang Keunggulan dan Kelemahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Undang-Undang tersebut telah memenuhi sebagian besar
tuntutan yang telah lama diperjuangkan, terutama oleh pergerakan wanita
Indonesia, namun masih perlu disempurnakan. Ia tidak membahas semua
Pasal dalam Undang-Undang tersebut dan tidak mengkajinya dari sisi Hukum
Islam. Perbedaannya dengan kajian penulis, penulis membahas semua Pasal
tersebut dari tinjauan Hukum Islam.
Penelitian ini juga memperkuat temuan Azyumardi Azra, bahwa
penjabaran dan implementasi dari UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
merupakan sebuah Pelembagaan Shariah di Indonesia.
Penelitian ini juga memperkuat penelitian Abdurrahman bahwa
materi KHI Buku I tentang Perkawinan itu identik dengan Hukum Islam. Ia
banyak mengkaji dari segi sistematikanya, baik buku KHI Buku I tentang
Perkawinan maupun Buku II tentang Waris, dan Buku III tentang Wakaf.
Menurutnya kelemahan KHI materinya banyak yang duplikasi dengan materi
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan atau PP No. 9 Tahun 1975.
Perbedaannya dengan kajian penulis, penulis mengkaji materi KHI Buku I
tentang Perkawinan dari segi materi Hukum Islam yang terdapat dalam UU
No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.
10
F. Metodologi Penelitian :
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research),
yang menggunakan sumber-sumber kepustakaan yang ada kaitannya dengan
masalah pokok penelitian.
Metode yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan
Sehubungan dengan pokok permasalahan dalam disertasi berada
dalam ruang lingkup kajian Hukum Islam, maka pendekatan yang
dipergunakan adalah pendekatan ilmu usul fikih. Di dalam kajian usul fikih,
khususnya dalam memahami tujuan penetapan hukum-hukum syara’
menggunakan dua bentuk pendekatan yang saling berkaitan, yaitu:
pendekatan kaidah kebahasaan dan pendekatan kaidah makna (Maqasid al-
Shariah). Kedua bentuk pendekatan tersebut digunakan untuk memahami
berbagai istilah yang dikemukakan oleh para Ulama di dalam pengembangan
konsep-konsep pemikiran fikihnya, karena konsepnya digali dan bersumber
dari nash-nash Al Quran dan Sunnah, yang keduanya dalam bahasa Arab.
Dalam konteks ini, penggunaan pendekatan kaidah kebahasaan adalah sangat
relevan, karena melalui pendekatan ini dapat ditemukan penjelasan dan
keterangan serta ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan untuk memahami
teks Shari’at secara benar, sesuai dengan pemahaman-pemahaman orang-
orang Arab yang kepada mereka teks-teks itu diturunkan. Sedangkan
pendekatan kaidah makna dipergunakan untuk menganalisa metode ijtihad
para Ulama, dalil-dalil yang digunakannya serta kesimpulan yang
dirumuskannya terhadap berbagai masalah dalam perkawinan, khususnya
dengan masalah perkawinan yang diadopsi dalam materi UU No. 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Perkawinan.
Contoh fikih yang di adopsi dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 34
ayat (1) dan Pasal 41 sub (b) dan (c), KHI tentang Perkawinan Pasal 80 ayat
(2) dan (4) tentang kewajiban suami memberi nafkah terhadap isteri dan anak,
bahwa suami berkewajiban memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, menanggung nafkah, kiswah
11
dan tempat tinggal bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi isteri dan anak serta biaya pendidikan anak. Imam Shafi'i
mewajibkan kepada suami untuk memberikan nafkah kepada isteri dan
anaknya sesuai dengan kemampuannya, berdasarkan firman Allah dalam
Surah al-Nisa’ ayat 3 yang terdapat pada kata "أال تعولوا" yang berarti agar
kamu tidak mempunyai anak (keluarga) yang banyak. Demikianlah penafsiran
Imam Syafi'i dalam kitabnya “Ahkam Al Quran” yang merupakan kumpulan
dari pendapat-pendapatnya. Maksudnya "أال تعولوا" menurut Imam Shafi'i ialah
agar kalian (para suami) jangan sampai mempunyai anak (keluarga) yang
banyak yang menjadi tanggungan kalian, lebih dari tanggungan kalian jika
kalian hanya menikah dengan seorang isteri walaupun kalian diperbolehkan
menikah dengan lebih dari satu isteri (berpoligami)6.
Contoh lainnya, Pasal-Pasal digunakan oleh para Hakim di
Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara gugat cerai antara lain sebagai
contoh adalah putusan Pengadilan Agama (PA) Selong Kabupaten Lombok
Timur No: 414/Pdt.6/2000/PA.Sel. tentang isteri (penggugat) menuntut cerai
dari suaminya (tergugat), karena tidak menunaikan kewajiban nafkahnya dan
nafkah kedua anak mereka. Setelah melalui beberapa kali sidang, majelis
Hakim mengabulkan gugatan isteri (penggugat) dan menceraikan penggugat
(isteri) dengan tergugat (suami). Putusan ini berdasarkan Pasal 80 ayat (2) dan
(4) KHI.7 Pasal yang dijadikan dasar oleh Hakim PA tersebut identik dengan
fikih Shafi’i tentang kewajiban suami memberikan nafkah kepada isteri
sebagaimana telah disebutkan di atas.
Di samping metode usul fikih dengan dua pendekatan yang telah
disebutkan di atas, juga digunakan metode ilmu hukum. Ilmu hukum
merupakan metodologi atau cara mempelajari hukum dengan pendekatan
6 Al-Shafi'i, al-Umm, (Bairut-Libnan : Dar al-Fikr, 1400 H/1980 M), Cet I,
Jilid V, 94. 7 Data gugat cerai tersebut di atas adalah diperoleh dari bapak Prof. DR. Bustanul
Arifin (Dosen M.K. Hukum Islam di Indonesia pada PPS/Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah), 2005.
12
metode penafsiran hukum (interpretasi hukum), yaitu untuk menentukan arti
atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasarkan pada kaitannya8.
Ada beberapa metode penafsiran hukum, yaitu :
a. Interpretasi tata bahasa, yaitu cara penafsiran berdasarkan bunyi
ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada arti perkataan dalam
hubungan satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh
undang-undang.
b. Interpretasi sistematis, yaitu cara penafsiran dengan melihat susunan yang
berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-
undang tersebut, maupun dengan undang-undang yang lain.
c. Interpretasi sahih, yaitu cara penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata
tersebut sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang itu
sendiri.
d. Interpretasi historis meliputi :
1). Sejarah hukumnya, yaitu cara penafsiran dengan menyelidiki sejarah
terjadinya hukum tersebut.
2). Sejarah undang-undang, yaitu penafsiran dengan menyelidiki
pembentukan undang-undang pada waktu membuat undang-undang.
e. Interpretasi ekstensif, yaitu cara penafsiran dengan memperluas arti kata-
kata dalam peraturan itu sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan.
f. Interpretasi nasional, yaitu cara penafsiran dengan memilih sesuai
tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
g. Interpretasi teologis (sosiologis), yaitu cara penafsiran dengan mengingat
maksud dan tujuan undang-undang.
h. Interpretasi restriktif, yaitu cara penafsiran dengan membatasi arti kata
dalam peraturan itu sendiri.
8 Hasanuddin AF., et.el., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Percetakan Pustaka al-
Husna Baru dan UIN Jakarta Press, 2004), cet I, 165.
13
i. Interpretasi analogi, yaitu cara penafsiran pada peraturan hukum dengan
asas hukum, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
j. Interpretasi A Contrario, yaitu sesuatu cara menafsirkan undang-undang
dengan mendasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang di
hadapi dengan soal yang diatur dalam pasal undang-undang tersebut.9
Metode ilmu hukum dan penafsirannya yang telah disebutkan di atas,
digunakan untuk menentukan hukum oleh Pemerintah dan Hakim,
khususnya bagi penulis untuk mengkaji dan meneliti UU No. 1 Tahun 1974
dan KHI tentang Perkawinan.
2. Sumber Data :
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
b. Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku I tentang hukum perkawinan.
c. Kitab-kitab Fikih dari 4 (empat) mazhab dan selainnya, misalnya :
1) Hashiyah Radd al Muhtar ‘Ala al Durr al Mukhtar oleh Ibnu ‘Abidin
2) Al Mughny oleh Ibnu Qudamah
3) Al Umm oleh Imam Shafi’i
4) Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu oleh Wahbah al Zuhaily
5) Al Muhadhdhab oleh al Shairazy
6) Kifayah al Akhyar oleh Imam Taqiyuddin
7) Bidayah al Mujtahid oleh Ibnu Rushd
8) Al Fiqh ‘Ala al Madhahib al Arba’ah oleh Abd. Rahman al Jaziry.
9) Fiqh al Sunnah oleh al Sayid Sabiq
10) Qalyuby wa ‘Umairah oleh Jalaludin al Mahally
11) I’anah al Talibin oleh Muhammad al Malibary
d. Kitab-kitab usul fikih dan qawaid fiqhiyah, misalnya :
1) Usul Fikih oleh Muhammad Abu Zahrah
2) Al Mustasfa oleh Imam al Ghazali
3) Usul Fikih oleh Abd. Wahhab Khallaf
4) Al Ashbah wa al Nazair oleh Jalaluddin al Suyuty
9 Hasanuddin AF. et.el., Pengantar Ilmu Hukum, 166-167.
14
e. Kitab-kitab Tafsir misalnya : Tafsir Ibnu Kathir, Tafsir al Manar, Tafsir al
Maraghy dan Tafsir Ayat Ahkam oleh al Sabuny
f. Kitab-kitab Hadis misalnya : Sahih al Bukhari, dan Sahih Muslim, Nail al
Autar oleh al Shaukany, Subul al Salam oleh Al San’any dan al Jami’ al
Saghir oleh Jalaluddin al Suyuty.
g. Buku-buku dan artikel-artikel, atau yang lainnya berkenaan dengan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.
Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari literatur-literatur
berkaitan dengan persoalan penelitian (pembahasan disertasi), antara lain,
sebagai berikut :
1). Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994).
2). A. Hasyim (ed), Sirah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung : Al Ma’arif, 1989).
3). Busthanul Arifin, Buku pelembagaan Hukum Islam di Indonesia (Akar
Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta, Gema Insani, 1996).
4). Amin Suma, Transformasi Shariah ke dalam Hukum Nasional, (Jakarta,
Departemen Kehakiman dan HAM, 2004).
5). Muhammad Daud Ali, Buku Hukum Islam dan Peradilan Agama
(Kumpulan Tulisan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997).
6). Muhammad Daud Ali, Buku Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005).
7). Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama
Republik Indonesia, Buku Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Perkawinan, (Jakarta, Tahun 2009).
8). Karya-karya (buku, artikel dan lain-lain) yang relevan dengan pembahasan
disertasi.
3. Analisa Data
Peneliti menginventarisasi permasalahan-permasalahan yang menjadi
objek penelitian disertasi ini. Setelah terinventarisasi berdasarkan kelompok-
kelompok masalah, selanjutnya dilakukan penelusuran dan penelaan teks UU No.
15
1 tentang 1974 dan KHI tentang Perkawinan dengan metode analisa materi (isi).
Setelah menganalisa data, dideskripsikan dalam satu uraian yang bersifat analisis
yang dialektis.
Dalam kajian dan pembahasan tentang Hukum Islam, materi UU No. 1
tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan serta pemikiran sendiri dan kutipan
pemikiran orang lain, dilakukan komparasi dengan pemikiran ulama/tokoh lain
yang relevan, kemudian menyimpulkan dan menuangkannya dengan bahasa
sendiri.
G. Kerangka Teori :
UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan telah menjadi
Hukum Nasional berdasarkan INPRES No. 1 Tahun 1991, yang secara umum
materinya diadopsi dari Hukum Islam bidang perkawinan, kemudian dilengkapi
dengan prosedur dan tata cara pelaksanaannya.
“Hukum Islam dalam bidang perkawinan, telah diadopsi dalam sistem
Hukum Nasional Indonesia”.
Materi UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dirinci dan disempurnakan dengan
KHI tentang Perkawinan sebagai pedoman para Hakim Agama di Indonesia dalam
melaksanakan tugasnya, bersumber dari shari’ah dan fikih di bidang perkawinan.
Shari’ah tidak berubah karena diambil dari nas Al Quran dan al Sunnah. Fikih adalah
pemahaman terhadap nas. Fikih dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan
keadaan. Ilmu fikih juga selalu berkembang karena menggunakan metode-metode
yang sangat memperhatikan kebutuhan dan keadilan bagi masyarakat. Di antara
metode-metode itu ialah maslahah mursalah, Istihsan, Istishab, ‘urf dan maqasid
al-shariah. Materi UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan laik untuk
dikaji dan diteliti.
H. Sistematika Penulisan
Disertasi terdiri dari 6 (enam) BAB, sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan : Terdiri atas Latar Belakang Masalah, Permasalahan,
Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kajian Pustaka Yang Relevan,
Metodologi Penelitian, Kerangka Teori dan Sistematika Penulisan.
16
Bab II : Periodesasi Hukum Islam di Indonesia terdiri atas : Hukum Islam di
Indonesia sebelum Pemerintahan Kolonial Belanda, Hukum Islam di
Indonesia pada zaman Penjajahan Belanda, Hukum Islam di Indonesia
pada masa Pendudukan Jepang, Hukum Islam di Indonsia setelah
Kemerdekaan dan Hukum Islam di Indonesia setelah Menjadi Hukum
Nasional.
Bab III : Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, terdiri atas :
Pengertian Hukum Perkawinan Islam, Hukum Islam dalam UU No. 1
tahun 1974 dan Hukum Islam dalam KHI tentang Perkawinan dan
usaha Amandemen UU No. 1 Tahun 1974 dan usaha Peningkatan KHI
tentang Perkawinan menjadi RUU HMPA bidang Perkawinan.
Bab IV : Nasionalisasi Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, terdiri atas :
Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Latar Belakang dan Proses Pembentukannya, Tantangan dan Respon
dalam Pembentukan dan Penerapannya, Pembentukan KHI, Latar
Belakang dan Proses Pembentukannya serta Landasan dan
Kedudukannya.
Bab V : Evaluasi pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, terdiri atas :
Pembahasan tentang Keunggulan dan Kelemahan Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 serta dampaknya terhadap NTCR dengan
meningkatnya Gugatan Cerai Istri.
Bab VI : Penutup Terdiri atas : Kesimpulan dan Rekomendasi.
17
BAB II
PERIODESASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Sebelum pemerintahan Belanda, Hukum Islam telah dianut dan
dilaksanakan oleh para pemeluknya di Nusantara ini, telah hidup di
masyarakat dan menjadi norma serta sumber perilaku.
Kemudian pada zaman penjajahan Belanda, Hukum Islam tetap di
akui pada awalnya untuk diberlakukan kepada bumi putera yang bersengketa.
Namun pemerintah penjajah Belanda ini dengan memanfaatkan jasa Snouck
Hurgronye, berusaha menerapkan berbagai teori untuk merintangi kemajuan
Islam di tanah air. Salah satu teori yang populer adalah theory reseptie yang
berarti : “Hukum Islam berlaku apabila diterima, atau dikehendaki oleh
hukum adat”.
Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang memberlakukan
theory Receptie Snouck Hurgronye mendapat reaksi yang keras dari kalangan
umat Islam, yang berakumulasi pada perlawanan umat Islam untuk mengusir
penjajah dari tanah air Indonesia.
Di masa pendudukan Jepang, tidak ada perubahan berarti mengenai
Pengadilan Agama di tanah air sampai Jepang kalah.
Setelah Indonesia merdeka, pengaruh politik Pemerintah Penjajah
masih berbekas. Ini dapat dilihat dalam penetapan UUD 1945 dan Pancasila
sebagai dasar dan falsafah negara, umat Islam harus merelakan penghapusan
tujuh kata yang terdapat dalam rumusan Pancasila yang terdapat dalam
Piagam Jakarta, karena adanya desakan dari kalangan pihak Kristen. Tujuh
kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti
dengan kata “Yang Maha Esa”.
Umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila sebagai falsafah
bangsa dan ideologi Negara, karena sila-sila Pancasila tersebut tidak
17
18
bertentangan dengan ajaran Islam. Walaupun konstitusi Negara RI itu Islami,
tetapi pelaksanaan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan di Indonesia
setelah Indonesia merdeka dalam periode 1945-1974, melalui Badan
Peradilan Agama tetap tidak berubah seperti sediakala. Baru tahun 1974
dengan disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, teori resepsi
kolonial itu menemui ajalnya, karena dengan terbentuknya UU No. 1 tahun
1974 setiap perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum agama. Untuk
orang Islam, perkawinan baru dianggap sah kalau dilakukan menurut
perkawinan Islam.
A. Hukum Islam di Indonesia sebelum Pemerintahan Kolonial Belanda
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, ada beragam tradisi dan budaya
adat dalam kehidupan masyarakat. Adat itu sendiri beraneka ragam sesuai
dengan etnis aslinya dan latar belakang budaya aslinya, keanekaragaman
kelompok etnik dan batasan budaya penduduk Indonesia. Perkawinan di
dalam hukum adat, pada beberapa tingkatan, akan berbeda-beda dalam hal
jenis kelompok, keluarga, komunitas dan personalnya. Sebagaimana Ter Haar
menyebutkan, perkawinan juga berarti kelompok kekerabatan yang
terorganisasi yang membentuk komunitas otonom tetap menjaganya, suku,
rumpun atau keluarga besar. Di dalam komunitas, perkawinan juga berarti
keluarga, individu memperluas barisannya di masa depan, dan ini
membuatnya sebagai sebuah masalah keluarga. Oleh karena itu, perkawinan
dan hukum perkawinan memiliki posisi yang sangat penting di dalam hukum
adat.1
Masa permulaan Islam masuk ke Indonesia membawa suatu
perubahan yang besar dan transformasi adat pribumi. Sebagaimana Nasution
dan Khatib berpendapat, adat dari komunitas yang terislamisasi memiliki
lebih banyak, atau sedikit elemen pengajaran Islam yang disatukan, terutama
aturan perkawinan dan bidang-bidang lain hukum keluarga. Karena proses
penggabungan hukum adat ini dengan ajaran Islam, hal ini tidak heran bahwa
kemudian kekuasaan British dan Belanda pertama kalinya menganggap bahwa
1 Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 An
Institutionalization of the Shari’a for Social Changes, in Shari’a and Politic in Modern
Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), 78.
19
hukum adat pada dasarnya sama seperti ajaran Islam. Orang yang
bertanggung jawab dalam pendapat ini adalah Christian van den Berg,
seorang penasehat Belanda, yang menyebut opini ini sebagai theory reception
in complexu. Kemudian, Snouch Hurgronye menyebutkan, bahwa theory
receptie yang diusulkan bahwa hukum adat tidak sama dengan hukum Islam
dengan beberapa deviasi di dalamnya, tapi ini didasarkan pada cara hidup
orang Indonesia pribumi dan budaya. Dengan kata lain, adat tidak hanya
hukum Islam yang disatukan dengan budaya lokal, tapi juga mengandung
elemen tambahan lainnya yang sangat bervariasi sebagai satu gerakan dari
lokalitas orang Indonesia pada yang lainnya. Dengan kata lain, Hazairin
mengarahkan para sarjana hukum Indonesia, bahwa hukum adat sama seperti
hal yang lainnya, karena penyesuaian ajaran Islam. Walaupun ada
penyesuaian ajaran Islam, namun nampaknya hukum adat tetap menjaga
karakter yang berbeda yang membedakan dari ajaran Islam.2
Hukum Islam telah lama masuk dan berkembang di Indonesia jauh
sebelum kemerdekaan RI, karena hukum Islam masuk di Indonesia
sebenarnya bersamaan dengan masuknya Islam di Nusantara, yang dalam hal
ini terdapat perdebatan panjang antara para ahli sejarah dalam menentukan
tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya.3
Salah satu pendapat menyebutkan, bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui
anak Benua India sekitar abad ke XII M dan berkembang pertama kali di
kawasan pantai Nusantara. Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa
Islam sudah berkembang di Nusantara sekitar abad ke VII dan ke VIII M,
yang datang melalui Malabar, dan ada kemungkinan, bahwa Islam dibawa
langsung dari Semenanjung Arabia. Tetapi dalam seminar tentang masuknya
Islam ke Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1969 dan 1978
disimpulkan, bahwa Islam datang langsung dari Arabia pada abad pertama
Hijriyah, atau abad ke VII M.4
Walaupun para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai kapan Islam
datang ke Indonesia, namun dapat dikatakan, bahwa setelah Islam datang ke
2 Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 78, 79.
3Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994), 2. 4 Lihat T.W. Arnold, The Preaching of Islam; A History of Propagethom of the
Muslim Faith, (London; Constable, 1913), 364, 365 – lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah…, 24-36 – dan lihat pula A. Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Indonesia, (Bandung : al Ma‟arif, 1989), 7.
20
Indonesia, Hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluknya
di Nusantara ini, telah hidup di masyarakat dan menjadi norma dan sumber
perilaku.5
Hal ini dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada masa
itu mengenai hukum Islam dan peranannya dalam menyelesaikan perkara-
perkara yang muncul dalam masyarakat. Hasil studi dan karya ahli hukum
Islam Indonesia, dapat dilihat misalnya Miratut Tullab oleh Abdul Rauf
Singkel, Siratal Mustaqim oleh Nuruddin al Raniri, Sabilal Muhtadin oleh
Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari dan lain-lain.6
Menurut Jajat Burhanuddin, sebelum kedatangan orang-orang
Belanda pada tahun 1605 M, di Indonesia sudah berdiri sejumlah Kerajaan
Islam. Kerajaan-kerajaan itu lahir seiring dengan proses Islamisasi yang
dilakukan oleh para ulama yang merangkap sebagai saudagar di wilayah-
wilayah pesisir yang lambat laun wilayah-wilayah tersebut menjadi Kerajaan-
Kerajaan Islam.7 Kerajaan-kerajaan Islam tersebut berdiri di atas kerajaan
sebelumnya yang sudah ada, kemudian rajanya masuk Islam.8 Sebagai
wilayah pemerintahan Islam, yang diberlakukan pada Kerajaan-kerajaan Islam
awal itu, adalah Hukum Islam, khususnya Hukum Islam yang berdasarkan
pada Mazhab Shafi‟i.9
5 Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia
adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan merupakan norma yang menjadi
sumber perilaku dan juga nilai moral yang menjiwai kehidupan masyarakat. Dengan
demikian, hukum Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum Nasional
Indonesia – lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, (Jakarta : Universitas
Muhammadiyah Jakarta, 1989), 5, 6 6 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), 209. 7 Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan : Pengalaman Islam
Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 2003), 2, 3 – Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), cet II, 196. 8 Kerajaan-Kerajaan Islam berdiri di atas kerajaan-kerajaan yang sudah ada
sebelumnya, kemudian rajanya masuk Islam diistilahkan oleh Jajat Burhanuddin dengan
sebutan, Konversi raja ke Agama Islam – Lihat Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas
Keagamaan… h. 3 9 Mazhab Shafi‟i adalah mazhab yang dibina oleh Imam Shafi‟i (150-204 H) / 767-
819 M) salah seorang dari Imam empat Imam Mujtahid besar yang dilahirkan di Ghazah dan
wafat di Mesir. Mazhab Syafi‟i berkembang ke seluruh pelosok negara-negara Islam di bawa
oleh murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri lain, termasuk ke
Indonesia. Mazhab Shafi‟i sangat mengakar dan berkembang di Indonesia disebabkan
beberapa faktor, antara lain :
21
Kerajaan Islam tertua di Nusantara adalah kerajaan Samudra Pasai
(Abad ke XIII M). Islamisasi ke Samudra Pasai dilaksanakan oleh salah
seorang Ulama dari Timur Tengah yang bernama Syaikh Ismail yang telah
mengislamkan Merah Raja Samudra Pasai, yang setelah masuk Islam,
berganti nama menjadi Malik al Soleh. Sejak saat itulah, Samudra Pasai
berkembang tidak hanya menjadi pusat kekuatan politik Islam, tetapi
sekaligus sebagai basis proses Islamisasi masyarakat Indonesia.10
Ketika Ibnu Batutah, 11
singgah di Samudra Pasai (Aceh dekat
Lho‟Seumawe sekarang) pada tahun 1345 M, ia mengagumi perkembangan
Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan al Malik al-Soleh
a. Setelah ada hubungan Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum muslimin Indonesia
yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di sana dengan maksud belajar ilmu
agama. Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermazhab Shafi‟i dan setelah
kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya.
b. Hijrahnya kaum muslimin dari Hadra Maut ke Indonesia adalah merupakan sebab yang
penting pula bagi tersiarnya Mazhab Shafi‟i di Indonesia, karena ulama dari Hadra Maut
adalah bermazhab Shafi‟i.
c. Pemerintah Kerajaan Islam di Indonesia mengesahkan dan menetapkan Mazhab Shafi‟i
menjadi haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh pemerintah Hindia
Belanda, terbukti pada masa-masa akhir dari kekuasaan Belanda di Indonesia, Kantor-
Kantor Kepenghuluan dan Pengadilan Agama, hanya mempunyai kitab-kitab Fikih
Shafi‟iyah, seperti kitab al-Tuhfah, al-Majmu’, al-‘Umm dan lain-lain.
d. Para pegawai jawatan dahulu hanya terdiri dari ulama-ulama mazhab Shafi‟i, karena
belum ada yang lainnya – lihat: Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan
Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), 136. 10
Lihat Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan, 3 11
Ibnu Batutah (703-779 H/1304-1377 M), nama lengkapnya Muhammad bin
Abdullah bin Ibrahim at Tanji, bergelar Syamsuddin bin Batutah. Ia dibesarkan dalam
keluarga yang taat memelihara tradisi Islam. Ia seorang ahli fiqih yang sebagian besar
(waktunya) menduduki jabatan Kadi (Hakim), yang berjasa memberikan data geografis dan
topografis penting serta menyumbangkan ilmu pengetahuan yang berharga mengenai budaya
setiap daerah dunia Islam yang dikunjunginya. Ia menyusun dan menulis buku pengalaman
perjalanannya dengan judul “Tuhfah al Nazar fi Gharaib al Ansar wa ‘Ajaib al Asfar
(Persembahan seorang pengamat tentang kata-kata asing dan perjalanan yang mengagumkan).
Karya ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Perancis, Jerman dan Inggris. Buku
ini ditulisnya setelah mengembara tidak kurang dari 20 tahun. Ia terkenal sebagai petualang
dan penjelajah muslim yang memanfaatkan waktunya untuk melakukan perjalanan dan
kunjungan hampir seluruh wilayah Islam dizamannya, termasuk diantaranya adalah mampir di
Kerajaan Samudra Pasai di Pulau Sumatera.
Dalam buku pengalaman perjalanannya, Pulau Sumatera disebutnya dengan
“Pulau Jawa yang menghijau” (pada zaman pertengahan seluruh kepuluan Indonesia dan
Pilipina disebut Jawa). Ketika sampai di pelabuhan kerajaan Samudra Pasai, Ibnu Batutah
disambut oleh Amir (Panglima) Daulasah, Kadi Sharif Amir Sayyid Asy Shairazy, Tajuddin al
Ashbahani dan beberapa ahli fiqih atas perintah Sultan Mahmud Malik Zhahir (1326-1345 M)
yang memerintah pada saat itu. Menurutnya, Sultan adalah seorang penganut mazhab Shafi‟i –
Lihat : Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Intermasa, 1996), cet I, Jilid I,
202-204.
22
(menurut Jajat Burhanuddin), atau al Malik al-Zahir (menurut Mohammad
Daud Ali), berdiskusi dengan dia tentang berbagai masalah Islam dan ilmu
fikih. Menurut pengembara Arab Muslim Maroko itu, selain sebagai seorang
raja, al Malik al Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga
seorang fakih yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di kerajaan Pasai
pada waktu itu adalah hukum Islam mazhab Shafi‟i. Menurut Hamka dari
Pasailah disebarkan paham Shafi‟i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di
Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka (1400-1500 M) para ahli
hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai untuk meminta kata putus
mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.12
Kerajaan Islam Samudra Pasai mempunyai kontribusi penting bagi
hukum Islam di Indonesia. Raja sebagai penguasa tunggal pada saat itu
melakukan intervensi terhadap implementasi hukum Islam dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat. Dalam implementasinya, kerajaan Samudra Pasai
melaksanakan hukum Islam dalam praktek yang sederhana, yaitu melalui
lembaga Ifta dan tahkim dengan berpedoman pada mazhab Shafi‟i sebagai
mazhab resmi kerajaan.13
Setelah kerajaan Samudra Pasai runtuh pada tahun 1524 M, di
wilayah yang sama, berdirilah kerajaan Islam baru, yaitu kerajaan Aceh
Darussalam (abad ke XVI) yang ditaklukkan Belanda pada abad ke XIX.14
Kerajaan Aceh Darussalam sama dengan kerajaan Samudra Pasai,
menerapkan syariat Islam sebagai hukum negara,15
tetapi institusi penerapan
shari‟at Islam di Aceh Darussalam nampaknya lebih maju dibanding dengan
yang telah diterapkan oleh kerajaan Samudra Pasai, karena penerapan hukum
Islam pada Kerajaan Aceh Darussalam di dukung oleh intervensi politik raja
saat itu yang sangat membantu dalam upaya penegakan hukum Islam16
dan
ulama menjadi bagian dari elit kekuasaan, karena para ulama senantiasa
mendampingi raja untuk memberi nasihat spiritual keagamaan dan sekaligus
12
Lihat Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), cet. II, 190. 13
Rifyal Ka‟bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta,
1999), cet. I, 69. 14
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 208 – Lihat pula Basiq Jalil, Peradilan
Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 32. 15
Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia, 32. 16
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 208.
23
melegitimasi praktek-praktek politik penguasa di tengah rakyatnya yang
sudah memeluk agama Islam. Ulama menempati jabatan kadi, atau penghulu,
bahkan sebagai shaikh al Islam di kerajaan Aceh. 17
Setelah berdiri kerajaan Pasai yang selanjutnya digantikan oleh
kerajaan Aceh Darussalam, berdiri pula sejumlah kerajaan Islam yang lainnya
di Nusantara, seperti kerajaan Demak, Mataram, Cirebon, Banten, Goa, Bone,
Ternate, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta,
Palembang dan sebagainya. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara semuanya
memberikan legalitas kepada hukum Islam sebagai hukum negara.
Pada saat itu kerajaan-kerajaan Islam sebagaimana telah disebutkan
di atas yang memberlakukan hukum Islam fikih Shafi‟i, jika terdapat hukum
adat, maka hukum adat yang masih dilestarikan adalah hukum adat yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Asimilasi hukum Islam dengan hukum
adat, ternyata berjalan secara damai dan akomodatif, sehingga antara satu
dengan yang lainnya saling menguatkan.18
Hal ini dapat dilihat dari sejumlah semboyan, atau petitih adat yang
menempatkan dalam masyarakat, seperti terlihat pada petitih adat
Minangkabau; Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” (Adat
bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah). Dari petitih adat tersebut,
tersirat bahwa masyarakat Minangkabau menempatkan Al Quran sebagai
dasar bagi pengaturan tingkah laku sosial dan sebagai sumber hukum yang
menjadi pedoman dalam berbagai segi kehidupan sosial. Dalam petitih lain
disebutkan pula “Adat dan syarak sanda menyanda, syarak mangato adat
mamakai” (Adat dan syarak saling menopang, syarak mengatakan adat
memakai). Ini berarti adat dan hukum Islam saling menguatkan. Adat yang
demikianlah yang disebut “Adat sebenar Adat”. Kasus-kasus seperti itu juga
dijumpai pada adat-adat masyarakat Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung dan
17
Lihat Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan, 58 – Lihat Juga
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 167-177. 18
Adat, atau “urf menurut ajaran Islam dapat dijadikan dasar dalam menetapkan
hukum Islam jika tidak bertentangan dengan Al Quran dan al-Sunnah, atau tidak bertentangan
dengan maqasid al-Shari’ah (tujuan shariah), sebagaimana disebutkan dalam qaidah fiqhiyah
-adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”. Lihat Jalaluddin al Suyuti, Al“ العادة محكمة :
Ashbah wa al Nazair, (Beirut-Libnan: Dar al-Fikr, 1415 H / 1995 M), 64
24
daerah-daerah lain di Nusantara yang mayoritas penduduknya memeluk
agama Islam.19
Ungkapan yang semakna terlihat pula pada pepatah adat
masyarakat Aceh “Hukum ngon adat hantou, lagee zat ngon sifeut” (Hukum
Islam dan adat tidak dapat dipisahkan, seperti hubungan zat dan sifat pada
suatu benda).20
Demikian itu menunjukkan, bahwa hukum Islam di pandang telah
menyatu dengan adat setempat, sehingga sulit untuk dibedakan mana yang
betul-betul adat dan mana yang betul-betul agama, karena keduanya telah
menyatu.
Abdul Ghani Abdullah mengatakan, bahwa ungkapan yang
memiliki makna yang sama terdapat pula dalam pepatah adat Sulawesi
Selatan “Adat hula hula to syarak, syarak hula hula to adat”, (Adat bersendi
syarak dan syarak bersendi adat).21
Tetapi menurut penelitian/ wawancara
penulis dengan seorang hakim Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Sulawesi
Utara yang berasal dari Gorontalo, bahwa pepatah adat tersebut, bukan
pepatah adat Sulawesi Selatan, melainkan pepatah adat daerah Gorontalo,
karena kata hula-hula dalam pepatah tersebut adalah bahasa Gorontalo, bukan
bahasa Makasar, atau bahasa Bugis. Dalam bahasa Gorontalo, hula-hula
artinya bersendikan.22
Busthanul Arifin mengatakan, agama Islam yang masuk ke
Indonesia pada abad-abad pertama hijriyah telah membawa sistem nilai-nilai
baru berupa akidah dan syariat. Ketika itu kondisi masyarakat Indonesia telah
tertata lengkap dengan sistem nilai yang berlaku berupa peraturan-peraturan
adat masyarakat setempat.23
19
Lihat Depag RI, Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia,
(Jakarta : CV. Ade Cahya, 1985), 5 20
Lihat Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta : Rajawali
Press, 1990), 89. 21
Lihat Abdul Ghani Abdullah, Badan Hukum Syarak Kesultanan Bima,
(Jakarta: Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, 1987), 89. 22
Wawancara penulis dengan Drs. H. Sofyan Lahilote, SH, hakim Pengadilan
Tinggi Agama Sulawesi Utara, yang berasal dari Gorontalo dan sangat mengetahui serta
lancar berbahasa Gorontalo, lewat telepon pada tanggal 31 Agustus 2008. 23
Busthanul Arifin, Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 34
25
Sesuai dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai Islam itu
diresapi dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai Adat
setempat yang telah sesuai, atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah
dan syari‟at Islam. Pertemuan kedua sistem nilai itu (adat dan Islam) berlaku
dengan wajar, tanpa adanya konflik antara kedua sistem nilai tersebut. Karena
itu, L.W.C. Van den Berg, seorang sarjana Belanda, berkesimpulan bahwa
pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang Indonesia yang
beragama Islam berlaku motto “receptio in complexu” yang berarti orang-
orang muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syariat secara
keseluruhan. Pada masa-masa itu (sampai 1 April 1937), Peradilan Agama
mempunyai kompetensi yang luas, yakni seluruh hukum sipil bagi perkara-
perkara yang diajukan, diputus menurut hukum Islam.24
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sebelum zaman
penjajahan Belanda, hukum Islam dan hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat muslim di Indonesia telah menyatu sehingga tidak dapat lagi
dibedakan. Kehidupan masyarakat muslim senantiasa berada dalam garis-
garis hukum Islam, yang dalam kehidupan sehari-hari telah menjadi adat
kebiasaan mereka, seperti dalam masalah berkeluarga, perekonomian dan
masalah-masalah muamalat serta dalam hubungan-hubungan sosial lainnya.
Hal ini dapat dilihat misalnya dalam perkawinan, di seluruh
masyarakat Muslim, kalau melaksanakan pernikahan, selalu sekaligus dengan
adat istiadat suatu daerah/suku di samping dilaksanakan berdasarkan aturan
yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam. Sebagai contoh, perkawinan
masyarakat Gowa Sulawesi Selatan. Dalam pelaksanaan perkawinan, di antara
tahapan-tahapannya adalah, meminang, kalau sudah diterima, langsung
dibicarakan masalah waktu perkawinan, biaya perkawinanan dan mas kawin
sebagai pemberian pihak laki-laki terhadap perempuan. Besarnya mahar
tergantung tingkat sosial laki-laki yang akan memberikan dan perempuan
yang akan menerimanya. Pada waktu peminangan membawa sirih kecil, atau
sirih besar sesuai dengan adat yang berlaku di sana. Perkawinan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Hukum Islam, yaitu melalui akad Ijab Qabul, ada
wali dan saksi sesuai dengan mazhab Shafi‟i. Sebelum hari Akad Nikah, calon
24
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia…, 34, 35.
26
pengantin dimandikan dengan daun sirih dan dedaunan lainnya diiringi
dengan jampi-jampi untuk mengusir roh jahat. Setelah dimandikan, pakaian
mandi diserahkan kepada yang memandikannya sebagai ucapan terima kasih
kepadanya atas jasanya mengusir roh jahat. Tetapi pada waktu lain dilakukan
upacara barzanji dan khataman Al Quran. Pembacaan Al Quran dihadiri oleh
sang calon pengantin, sebagai simbol bahwa calon pengantin itu telah resmi
menyelesaikan bacaan Al Quran.25
Di sini nampak sekali bahwa Adat dan
Hukum Islam tidak dapat lagi dipisahkan. Di daerah-daerah lain juga
demikian, yang tentunya sesuai dengan adat setempat.
B. Hukum Islam di Indonesia Zaman Penjajahan Belanda
Penjajah yang pertama kali dari Eropa di Nusantara adalah Portugis
yang berlabuh di selat Malaka, kemudian melanjutkan pelayaran ke Maluku
yang tinggal dan menyebarkan agama Kristen Katolik di sana pada tahun
1552.26
Kemudian datang penjajah Belanda tahun 1596 bergabung dengan
Portugis, Inggris dan Spanyol untuk membawa keuntungan terutama dari
komoditas rempah-rempah di mana komoditas tersebut sangat laku di pasaran
Eropa. Ada tiga motivasi penjajahan bangsa Eropa ke Asia, yaitu : Gold
(mencari emas/kekayaan), Glory (mencari kemenangan/menaklukkan/
penjajahan), dan Gospel (menyebarkan ajaran Kristen).27
Pemerintah penjajah kerajaan Belanda mengesahkan berdirinya
perseroan yang mengatur perdagangan Belanda di Nusantara dengan
mendirikan Kompeni Dagang Hindia Belanda, atau Verenigde Oost Indische
Compagnie di singkat VOC.28
VOC didirikan pada bulan Maret 1602 M.
Ketika VOC menguasai wilayah Indonesia, Hukum Islam diakui
untuk diberlakukan kepada bumiputera yang bersengketa. Peraturan-peraturan
25
Lihat : Rahmah, Adat dan Upacara Perkawinan Suku Makassar, (Ujung
Pandang, Kanwil Depdikbud Propinsi Sulawesi Selatan, 1995), Cet. II, 29-44. 26
Hasbullah Bakri, Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 31 27
Lihat Yayan Sofyan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2007), 67. 28
VOC adalah kependekan dari Verenigde Oost Indische Compagnie, yaitu suatu
perkumpulan dagang Belanda di Hindia Timur (Indonesia) yang didirikan tahun 1602 M.
Tujuannya adalah untuk menguasai perdagangan di Indonesia dan menjajah wilayah-wilayah
di Asia.
27
mengenai hukum Islam dikumpulkan oleh VOC, yang dikenal dengan
compendium Friejer, yang memuat aturan-aturan hukum perkawinan dan
hukum kewarisan Islam. Compendium Friejer diakui dan dilaksanakan dalam
bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering, 25 Mei 1760 dan
kemudian dicabut secara berangsur-angsur oleh Belanda hingga tahun 1913.
Di samping itu VOC membuat pula kumpulan hukum perkawinan dan
kewarisan Islam untuk daerah-daerah Cirebon, Semarang dan Makassar
(untuk Bone dan Gowa) dan dalam bentuk Cirbonsch Rechtboek yang dibuat
atas usul P.C. Hosstlaar untuk wilayah Cirebon, Compendium der Voornaamst
Javaansche Wetten Maukeurig getrokken uit het Mohammedaanshee wetboek
mogharraer, yang dibuat untuk wilayah Landraad Semarang, Compendium
Indlandsche wetten bij de Hoven van Bone en Goa, yang disahkan untuk
daerah Makassar.29
Penerapan hukum Islam dalam menghadapi sengketa-sengketa
masyarakat dilakukan oleh lembaga Peradilan, yang pada waktu itu belum
memiliki keseragaman nama, masing-masing daerah memiliki nama
Pengadilan tersendiri, seperti di sementara daerah disebut Pengadilan
Serambi, karena sidang dilakukan di serambi masjid. Di Kalimantan,
Pengadilan Agama disebut Kerapatan Kadi. Di Sulawesi Selatan, Maluku dan
Irian disebut Majelis Syarak, atau Hakim Syarak. Di Sumatera disebut
Mahkamah Shariah/dan lain-lain.30
Apa yang dilakukan VOC itu diperkuat oleh penelitian Lodewijk
Williem Christian van den Berg (1845-1927), yang memperkuat pemikiran,
bahwa yang berlaku di Indonesia itu adalah hukum Islam. Ia menyebutkan
bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab ia telah memeluk
agama Islam, kendati dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-
penyimpangan. Teori demikian disebut oleh Van Den Berg dengan Receptie
in Complexu.31
29
Lihat Arso Sasroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 11, 12. 30
Lihat Depag RI, Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, h.
7 – Ichtianto SA, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Eddi
Rudiana Arief, et.al, (Peny). Hukum Islam di Indonesia : Perkembangan dan Pembentukan,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991), 118. 31
Lihat Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 6.
28
Posisi hukum Islam di zaman VOC berlangsung selama lebih
kurang dua abad (sampai tahun 1800). Pelaksanaan hukum Islam dalam masa
ini berjalan sebagaimana mestinya.
Pada masa pemerintahan penjajahan Belanda, timbul usaha untuk
menghapuskan hukum Islam di Indonesia. Dengan berbagai upaya ditempuh
oleh Pemerintah Belanda agar Pengaruh Islam hilang dari sebagian besar
orang Indonesia.
Dengan memanfaatkan jasa Snouck Hurgronye (1857-1936)
sebagai penasihat hukum, Belanda berusaha menerapkan berbagai teori untuk
merintangi kemajuan Islam di tanah air. Salah satu teori yang populer adalah
theory reseptie yang berarti : “Hukum Islam berlaku apabila diterima, atau
dikehendaki oleh hukum adat”.32
Teori ini merupakan bantahan terhadap teori yang berlaku
sebelumnya, yaitu teori reseptie in complexu yang dikemukakan oleh LWC
Van Den Berg. Teori kemudian dikembangkan oleh C.Van Vollenhoven
dan Ter Haar Brn. Menurut teori ini yang berlaku di Indonesia bukanlah
hukum Islam, tetapi hukum adat asli suku-suku di Indonesia, kendati hukum
Islam telah banyak mempengaruhi hukum adat. Hukum Islam baru
mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat.33
Konsep Snouck Hurgronye itulah yang selalu dimanfaatkan oleh
orang-orang yang berusaha merusak citra Islam di tanah air setelah masa
penjajahan Belanda, sehingga Hazairin (1905-1975) menyebutkan dengan
teori Iblis. Setelah Belanda menjajah Nusantara ini, perkembangan hukum
Islam dikendalikan dan sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat
landasan peraturan perundang-undangan (IS 1925-1929), menurut Hazairin,
perkembangan hukum Islam dihambat di tanah air.34
Berdasarkan teori Snouck Hurgronye itu, pemerintah Belanda
membentuk undang-undang Hindia Belanda, yang disebut wet op de
staatsinrichting van Nederlands-India, disingkat Indische Staatsregeling (IS)
32
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1991), X. 33
Lihat Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, 11 34
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam…, 209, 210 – Lihat Hazairin, Tujuh
Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tintamas, 1974), 101.
29
yang diundangkan dalam stbl 1929:212. Dalam IS stbl 1929:212 secara tegas
dinyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia-
Belanda. Selanjutnya dalam pasal 134 ayat 2 disebutkan pula “dalam hal
terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh
hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya…”.
Di samping itu, pada pertengahan 1937 pemerintah Hindia-Belanda
mengemukakan pula suatu keinginan memindahkan wewenang mengatur
waris umat Islam dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri, dengan
alasan hukum Waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh Hukum Adat.
Keinginan itu, kemudian dituangkan dalam stbl 1937:116.35
Di samping teori resepsinya, Snouck Hurgronye memberikan
nasihat kepada pemerintah Belanda yang terkenal dengan sebutan Islam
Policy. Inti dari nasihat tersebut adalah bidang ibadah diberikan kemerdekaan,
dalam bidang kemasyarakatan memanfaatkan adat istiadat yang berlaku dan
dalam bidang ke Tata Negaraan, semua kegiatan kepada fanatisme Islam dan
Pan Islam di larang.36
Menurut Snouck Hurgronye : “Musuh Kolonialisme bukanlah
Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik.37
Teori
resepsi ini terasa sekali pengaruhnya sampai Indonesia merdeka. Hukum
Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi rakyat
rendahan.
Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan
kedatangan orang-orang Belanda untuk berdagang di Nusantara ini. Mula-
mula hanya diberlakukan bagi orang Belanda dan Eropa saja, tetapi kemudian
melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan (pernyataan berlaku,
penundukan dengan sukarela, pilihan hukum dan sebagainya), hukum Barat
itu dinyatakan berlaku juga bagi mereka yang disamakan dengan orang Eropa,
orang Timur Asing (terutama Cina) dan orang Indonesia. Sebagai hukum
golongan yang berkuasa pada waktu itu di Nusantara kita ini keadaan hukum
35
Lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, 5, 6 – Mahadi,
Peranan Pengadilan Agama di Indonesia, Dalam Pembinaan Administrasi Hukum dan
Peradilan Agama, Sejarah Peradilan Agama, (Jakarta: Proyek Pembinaan Administrasi
Hukum dan Peradilan Agama, 1982), 74, 75. 36
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, 124. 37
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986), 11
30
Barat jauh lebih baik dan menguntungkan dari keadaan kedua sistem hukum
di atas.38
Hukum adat dan hukum Islam adalah hukum bagi orang-orang
Indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumiputera.
Keadaan itu diatur oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu, sejak tahun 1854
sampai dengan mereka meninggalkan Indonesia pada tahun 1942.39
Pemerintah Belanda, yang mulai mengambil control pada seluruh
bagian kepulauan Indonesia dari tahun 1619 sampai ledakan perang dunia
kedua, pada awalnya tidak banyak perhatian pada aturan hukum di antara
pribumi. Kemudian mulailah diperkenalkan hukum Belanda; implementasinya
disesuaikan dengan kondisi lokal dan disuplementasi oleh hukum khusus serta
regulasi yang mudah diberlakukan pada pemerintahan Belanda (Dutch East
Indies). Ketika British mengambil alih kontrol East Indies antara tahun 1811-
1816, mereka juga mengimplementasikan suatu sistem hukum yang
memberlakukan hukum Islam sebagai identik dengan hukum adat pribumi,
terutama dengan mempekerjakan penghulu atau qadi ke pengadilan umum.
Setelah Belanda kembali ke kepulauan Indonesia, dengan regulasinya 1819
berkenaan dengan sipil dan prosedur kriminal untuk penduduk pribumi,
mereka tetap mempertahankan kondisi hukum. Jadi sampai dengan abad 19,
Belanda yang berkuasa melihat, bahwa hukum adat tersebut adalah pada
dasarnya hukum Islam. Namun, pada perkembangan berikutnya, Belanda
mengetahui perbedaan antara Shari‟ah dan Hukum Adat. Pada masa
perjuangan antara Islam dan Adat di seluruh Indonesia, pemerintahan Belanda
mengambil pihak adat dan cenderung untuk mempromosikan perkembangan
hukum adat agar dapat mengekang perkembangan Islam. Oleh karena itu,
mereka mulai merubah status quo hukum.40
Perubahan ini direfleksikan dalam kebijakan hukum administrasi
Kolonial Belanda yang mulai membuat suatu bentuk yang jelas pada tahun
1848 dengan mulai membuat sebuah kodifikasi hukum di Indonesia.
Pemerintahan Belanda juga memberlakukan sebuah Undang-Undang Sipil
(Burgerlijk Wetboek) dan Undang-Undang Komersial (Wetboek van
38
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam…, 210. 39
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam…, 210. 40
Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 79.
31
Koophandel) bagi orang-orang Eropa di Indonesia yang kemudian
dikembangkan sebagai sebuah kelompok hukum yang berbeda agar mudah
diaplikasikan pada semua kelompok penduduk yang berbeda. Oleh karena itu
sejauh ini ada empat jenis hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia
selama pemerintahan Kolonial Belanda, sebagai berikut :
1. Hukum perkawinan Islam mengatur perkawinan di antara semua
masyarakat muslim Indonesia.
2. Undang-Undang Sipil mengatur perkawinan di antara orang yang
diarahkan pada hukum barat, orang Eropa dan Chinese.
3. Peraturan Setempat tahun 1933 untuk perkawinan orang-orang Kristen
Indonesia.
4. Hukum adat untuk perkawinan seseorang yang bukan Muslim maupun
non Kristen (berbeda dari satu dengan yang lain).41
Dengan lahirnya Staatsblad 1937 No. 116 Pasal 2 a ayat (1) yang
mulai berlaku tanggal 1 April 1937, maka kompetensi Peradilan Agama
semakin sempit dan terbatas.42
Wewenang Peradilan Agama hanya berkenaan
dengan Bidang Perkawinan. Kompetensi Peradilan Agama yang sudah sempit
dan terbatas ini masih dibatasi lagi dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Apabila perkawinan itu dilakukan menurut BW seperti suami istri dari
golongan Eropa, atau Cina yang beragama Islam.
2. Apabila perkawinan itu dilakukan menurut Peraturan Perkawinan
campuran Staatsblad 1898 No. 158 yaitu perkawinan orang-orang yang
tunduk pada hukum yang berlainan, diatur menurut hukum suaminya.
3. Apabila perkawinan itu dilakukan menurut Staatsblad 1933 No. 74
(Ordonansi nikah Indonesia Kristen, Jawa, Minahasa dan Ambon),
walaupun sesudah perkawinan mereka lalu keduanya atau salah satunya
masuk Islam.43
41
Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 79. 42
Kompetensi Peradilan Agama hanya mencakup bidang-bidang perselisihan
antara suami istri yang beragama Islam, perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan
perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim
Agama (Islam), memberi putusan perceraian, menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak
yang digantungkan (ta’lik talak) sudah ada, perkara mahar (mas kawin) sudah termasuk
mut‟ah) dan perkara tentang keperluan kehidupan suami-istri yang wajib diadakan oleh suami.
– Lihat Depag RI, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan
Proses Pembentukan Undang-Undangnya, (Jakarta: Pembinaan badan Peradilan Agama
Islam, 2001), 16. 43
Depag RI, Peradilan Agama di Indonesia…, 17.
32
Dengan diberlakukannya Staatsblad 1933 No. 74 terhadap
penduduk pribumi yang beragama Nasrani, jelas bahwa teori Receptie yang
diberlakukan terhadap orang Islam, dilaksanakan tidak adil dan tidak
konsisten, sebab tidak dapat diketahui dengan pasti apakah hukum agama
Nasrani itu sudah diterima dengan ikhlas dan menjadi hukum adat. Berarti
penggunaan theory Receptie oleh pemerintah Belanda dengan
mengenyampingkan hukum Islam dan memakai hukum adat bertujuan untuk
melemahkan kedudukan hukum Islam.44
Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang memberlakukan
theory Receptie Snouck mendapat reaksi yang keras dari kalangan umat Islam
ketika Pengadilan Negeri di Bandung memutuskan untuk memberi seluruh
bagian waris kepada seorang anak angkat dari ayah angkatnya dengan
mengesampingkan kemenakan laki-laki dan perempuan dari si waris.
Perhimpunan Penghulu dan pegawainya pada saat kongres yang
diselenggarakan di Surakarta tanggal 16 Mei 1937, dengan keras menyatakan
bahwa keputusan di Laandraad (Pengadilan Negeri) Bandung tersebut
bertentangan dengan hukum Islam. Pada tahun berikutnya, di Surabaya Majlis
Islam A‟la Indonesia (MIAI), dalam kapasitasnya sebagai payung dari
organisasi Islam memprotes Staatsblad No. 116 tahun 1937 dengan
mengatakan bahwa undang-undang tersebut adalah sebagai pemerkosaan
terhadap hukum Islam.45
Strategi dan kebijakan pemerintah penjajah Belanda mendapat
perlawanan yang keras dari bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Bagi umat Islam Indonesia memerangi penjajah Belanda merupakan jihad fi
sabilillah, apalagi penjajah Belanda tersebut kebetulan beragama Nasrani.
44
Usaha meredusir berlakunya hukum Islam melalui pembatasan wewenang
Peradilan Agama yakni melalui Staatsblad 1937 No. 116 di pengaruhi oleh semakin kuatnya
pendapat di kalangan politisi dan akademi Belanda yang menyatakan bahwa masalah
perkawinan dan warisan adalah masalah negara. Prof. H. J. Nanta Misalnya menulis dalam
surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Nourant tanggal 27 Juni 1937 menyatakan bahwa agama
Islam boleh dianggap sebagai negara dalam negara (in den staat), karena dalam pandangan
Barat, pengaturan dimensi hubungan horizontal antara manusia seperti perkawinan dan
warisan adalah sebagai masalah kewenangan negara, bukan kewenangan agama – lihat
Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Jakarta…., 17. 45
Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press,
t.th), h. 20 – Z.A. Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia, (Bandung:
al-Ma‟arif, 1980), h. 21. – Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), 37.
33
Keadaan ini nampaknya membawa pengaruh negatif dan memperkeruh
hubungan antara pemeluk agama penduduk yang dijajah (Islam), dengan
pemeluk agama penjajah (Nasrani), dibanding dengan hubungan antara
pemeluk agama penduduk di jajah tersebut dengan agama lain diluar agama
penjajah seperti agama Hindu dan Buda.46
Perlawanan yang keras dari umat Islam Indonesia, tentu saja
Belanda sebagai penjajah berusaha untuk mempertahankan kepentingan dan
kelanggengan eksistensi mereka di Indonesia. Bagi Belanda, Islam merupakan
penghalang kepentingan mereka. Islam dipandang mereka sebagai ancaman
dan penghalang dalam melaksanakan kepentingan mereka, oleh sebab itu
harus dikekang dan diawasi dengan ketat. Akan tetapi umat Islam semakin
ditekan, semakin besar pula reaksi yang diberikan oleh mereka terhadap
penjajah Belanda. Strategi pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana
disarankan oleh Snouck Hurgronye ternyata tidak tepat, karena umat Islam
semakin dipisahkan, semakin merapatkan barisan dan semakin ditekan,
semakin besar pula reaksi dan perlawanan mereka terhadap pemerintah
penjajah Belanda tersebut. Umat Islam dalam melaksanakan kegiatan politik
sebagaimana yang diharapkan oleh Snouck itu, karena masalah politik
merupakan bagian dari ajaran Islam. Reaksi-reaksi umat Islam terhadap
perilaku pemerintah Hindia Belanda berakumulasi pada perlawanan umat
Islam untuk mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.
C. Hukum Islam di Indonesia Masa Pendudukan Jepang (1942–1945)
Di masa pendudukan Jepang, tidak ada perubahan berarti mengenai
Pengadilan Agama di Tanah Air. Keadaan yang telah ada di masa
pemerintahan Belanda tetap dilanjutkan sampai Jepang kalah dalam perang
dunia kedua. Hanya dalam pemerintahan Jepang itu perlu dicatat ada beberapa
upaya, atau usaha mengenai Pengadilan Agama dan wewenangnya. Para
pemimpin nasionalis Islam Abikoesno Tjokro Soejoso menghendaki agar
kedudukan Pengadilan Agama lebih dikukuhkan dan wewenangnya
menyelesaikan sengketa warisan antara umat Islam dikembalikan seperti
46
Suparman Usman, Hukum Islam : Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 107.
34
keadaan sebelum April 1937. Di samping itu, dipihak lain, pemimpin
Nasionalis sekuler seperti Sartono dan Soepomo menghendaki agar
Pengadilan Agama dihapuskan saja.47
Namun, bagaimanapun rintangan yang diletakkan, usaha para
pemimpin Islam untuk mengembalikan dan menampakkkan hukum Islam
dalam kedudukannya semula, terus dilakukan dalam berbagai kesempatan
yang terbuka.48
Peradilan Agama tetap dipertahankan eksistensinya dan tidak
mengalami perubahan kecuali mengganti nama menjadi Soo-rioo Hooim
untuk Pengadilan Agama dan Kaikioo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam
Tinggi. Hal ini diatur berdasarkan aturan peralihan pasal 3 Bala Tentara
Jepang (Osanu Seizu) tanggal 7 Maret 1942 No. I. Pada tanggal 29 April 1942
Pemerintahan Tentara Jepang Dai Nippon mengeluarkan undang-undang No.
14 tahun 1942 tentang Pengadilan Bala Tentara Jepang (Dai Nippon).49
Dalam Pasal I disebutkan, bahwa di Tanah Jawa dan Madura telah
diadakan “Gunsie Hookin” atau Pengadilan Pemerintahan Bala Tentara.
Dalam undang-undang ini tidak disebutkan tentang bentuk pengadilan
termasuk Pengadilan Agama untuk wilayah Indonesia diluar Jawa dan
Madura. Pasal 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa untuk sementara
waktu Gunsie Hookin terdiri dari :
1. Tiho Hooin (Pengadilan Negeri)
2. Keizai Hooin (Hakim Polisi)
3. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
4. Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan)
5. Kiaikoyo Kootoo Hooin (Pengadilan Islam Tinggi)
6. Sooryo Hooin (Rapat Agama)50
47
Pemimpin nasionalis sekuler Sartono dalam sebuah suratnya kepada
pemerintah Jepang mengatakan, bahwa cukuplah segala perkara diserahkan kepada
Pengadilan biasa yang dapat meminta pertimbangan seorang ahli agama. Sedangkan
pemimpin Nasionalis sekuler Soepomo yang menjadi penasehat soal-soal hukum pemerintah
Jepang menentang pemulihan kembali wewenang Pengadilan Agama yang dikehendaki oleh
pemimpin-pemimpin Islam. Hal ini dikemukakannya melalui sebuah nasihat yang
disampaikannya kepada pemerintah Jepang – Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan
Peradilan Agama, 203, 204. 48
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 204 49
Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia…, 18 50
Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia…, 18.
35
Ketika Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
dibentuk pada tahun 1945 dan bersidang dalam masa penjajahan Jepang,
untuk merumuskan dasar Negara dan menentukan hukum dasar bagi Negara
Indonesia merdeka di kemudian hari, para pemimpin Islam yang menjadi
anggota badan tersebut terus berusaha mendudukkan hukum Islam dalam
negara Indonesia itu kelak. Setelah bertukar pikiran dalam musyawarah, para
pemimpin Indonesia, baik yang Islami, maupun yang sekuler, yang menjadi
perancang dan perumus Undang-Undang Dasar RI, yang kemudian terkenal
dengan UUD 1945 mencapai persetujuan yang dituangkan ke dalam suatu
piagam yang kelak terkenal dengan nama Piagam Jakarta yang diterima oleh
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai
Mukaddimah atau Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.51
Dinyatakan di
sana antara lain, bahwa negara “Berdasarkan kepada ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan shariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata
terakhir ini kemudian dihilangkan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 yang berasal dari Piagam Jakarta itu oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia tanggal 18-8-1945 dengan imbalan tambahan kata
“Yang Maha Esa” pada perkataan Ketuhanan dalam Pembukaan itu sehingga
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa dan dijadikan garis hukum dalam batang
tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1).52
Menurut catatan sejarah, tujuh kata yang dihilangkan itu, mulai
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Soekarno yang ikut menandatangani
Piagam Jakarta, selaku Presiden RI/Panglima Tertinggi Angkatan perang,
menyatakan keyakinannya bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945,
menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi tersebut. Menurut Profesor Notonagoro ilmuan terkemuka dari
Universitas Gajah Mada, ini berarti, setelah tanggal 5 Juli 1959, kata-kata
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UUD 1945 itu artinya adalah “(ber)
kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kewajiban itu menurut Notonagoro
51
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 204. 52
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 204, 205.
36
adalah kewajiban negara untuk memberikan kesempatan kepada Umat Islam
untuk beribadah melaksanakan hukum perkawinan, kewarisan, terutama yang
telah lama menjadi wewenang pengadilan agama dalam berbagai bentuk dan
nama, sejak agama Islam datang ke Nusantara kita ini dahulu.53
Dewan Pertimbangan Agung buatan Pemerintah Jepang dinyatakan
tidak dapat diberlakukan dengan menyerahnya tentara Jepang kepada sekutu,
kemudian Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka
dan berdaulat penuh pada tanggal 17 Agustus 1945.
D. Hukum Islam di Indonesia setelah Kemerdekaan
Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, upaya untuk melakukan pembaruan hukum warisan kolonial
mulai dicanangkan walaupun dalam rangka menghindarkan kekosongan
hukum, hukum warisan kolonial itu untuk sementara masih tetap diberlakukan
(sesuai bunyi aturan Peralihan Pasal 2 dari UUD 1945; semua Badan Negara
dan Peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini)”. Namun, karena Peraturan Perundang-
Undangan yang diberlakukan itu dibangun berdasarkan teori receptie itu maka
menurut Hazairin hal ini merugikan Umat Islam.54
Berkenaan dengan hal itu Hazairin, pakar hukum adat dan hukum
Islam, secara tegas menyatakan bahwa setelah Indonesia merdeka dan setelah
UUD 1945 dijadikan undang-undang dasar negara, kendati aturan peralihan
menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak
bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan
pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan theory receptie tidak berlaku
lagi, karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Theory receptie harus
exit (keluar, tidak diberlakukan, karena bertentangan dengan Al Quran dan
Sunnah Rasul.55
Pandangan Hazairin yang demikian biasa disebut theory
Receptie Exit.
53
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengadilan Agama, 206, 207. 54
Lihat Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, 54, 55 55
Lihat Imam Saukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 81. – Lihat pula Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang
Hukum, 101.
37
Setelah Indonesia merdeka pengaruh politik Pemerintah Penjajah
masih berbekas. Ini dapat dilihat dalam penetapan UUD 1945 dan Pancasila
sebagai Dasar dan Falsafah Negara. Umat Islam56
harus merelakan
penghapusan tujuh kata yang terdapat dalam rumusan Pancasila yang terdapat
dalam Piagam Jakarta.
Jika dilihat dari aspek perumusan dasar negara, hukum Islam di
Indonesia, yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan
dan mendudukan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu. Dalam
tahapan awal, usaha para pemimpin Islam tersebut berhasil dengan lahirnya
Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri
negara, bahwa negara berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan shariat Islam bagi pemeluknya. Namun karena adanya desakan
dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan
UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa”57
Penggantian kata yang dimaksud, menurut Hazairin, mengandung
norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, bahwa
negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.58
Abd. Aziz Thaba mengatakan, bahwa beberapa cedekiawan
muslim seperti Fakhmi Ali, Bakhtiar Effendi dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif
menganggap bahwa diterimanya idiologi negara Pancasila dan dihapuskannya
tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan kekalahan politik Islam.59
BPUPKI diketuai oleh DR. Radjiman Wedyoningrat60
seorang
Kejawen yang pernah menjadi anggota Budi Utomo. Anggota BPUPKI terdiri
dari berbagai golongan, namun secara garis besar dapat dikelompokkan
56
Umat Islam adalah salah satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas
pengayoman secara hukum ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam tidak dapat
dipisahkan dengan hukum Islam yang sesuai dengan keyakinannya. 57
Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. I, 85. 58
Lihat Zainuddin Ali, Hukum Islam, 85. 59
Abd. Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), 156. 60
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti
Pers, 1987), 30.
38
menjadi dua kelompok besar yang saling berhadapan yaitu kelompok Islam
dan kelompok nasionalis sekuler.61
Kedua kelompok tersebut terlihat dalam perdebatan yang sangat
sengit ketika membahas ideology dan dasar negara yang akan didirikan.
Golongan Islam menghendaki terbentuknya negara Islam, sedangkan
kelompok Nasionalis sekuler menghendaki berdirinya Negara Sekuler. Untuk
menghindari perbedaan pendapat yang tajam antara kedua kelompok ini,
maka dibentuklah panitia sembilan yang terdiri dari lima golongan sekuler,
yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Subarjo, M. Yamin dan A.A.
Maramis. Sedangkan dari kelompok Islam adalah H. Agus Salim, KH. Wahid
Hasyim, Abikusno, M. Natsir Muhamad Roum, Sukiman, Prawoto
Mangkusasmito, Kasman Singadimedjo dan A. Kahar Muzakkir. Kelompok
ini percaya benar atas kesatuan Islam dan negara, bahwa Islam itu adalah
agama dan negara.62
Pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu,
termasuk persoalan negara dan politik merupakan salah satu jaringan
terpenting. Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna,
karenanya memiliki sistem dari teori tentang politik, ekonomi, negara dan
sebagainya. Pandangan ini bukan hanya pemikiran ilmuan Islam, karena Barat
pun seperti H. R. Gibb seperti yang dikutip oleh Bahtiar Effendy mengatakan,
bahwa Islam itu tidak hanya sistem teologi dan peribadatan. Tetapi Islam
lebih dari itu dan merupakan sistem kebudayaan yang komplit dan
sempurna.63
Sebenarnya sejak awal kemerdekaan Indonesia telah terlihat
adanya keinginan bangsa Indonesia untuk memiliki hukum Nasional yang
diwarnai dan dijiwai oleh Hukum Agama. Di samping itu, Hukum Islam
sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah
hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan merupakan norma yang
menjadi sumber perilaku dan juga nilai moral yang menjiwai kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, Hukum Islam merupakan bagian yang tidak
61
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional…, 30. 62
Lihat Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, (Jakarta: Ushul Press,
2005), 8. 63
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, 8
39
terpisahkan dari Hukum Nasional Indonesia.64
Ismail Sunny menyebutnya
dengan istilah “Hukum Islam ada dalam Hukum Nasional”. Dalam pengertian
bahwa Hukum Islam merupakan salah satu unsur dari unsur-unsur yang ada
dalam Hukum Nasional.65
Umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila sebagai falsafah
bangsa dan ideology Negara, karena sila-sila Pancasila tersebut tidak
bertentangan dan terdapat kesesuaian dengan ajaran Islam. Di Negara
Indonesia yang berfalsafah Pancasila ini, umat Islam mempunyai kebebasan
untuk melaksanakan ajaran agamanya. Melalui jalan Siyasah hukum Islam
( dalam bidang tertentu telah terakomodasi dalam peraturan (سياسة شرعية
perundang-undangan, dengan demikian menjadi bagian dari hukum positif di
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.66
Konstitusi negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
yaitu UUD 1945 dilihat dari naskah dan isinya adalah Islami. Demikian juga
pelaksanaan UUD 1945 tersebut sudah banyak yang Islami, baik itu yang
menyangkut institusi keagamaan, seperti dibentuknya Departemen Agama,
Peradilan Agama, MUI, MDI, maupun perundang-undangannya.
Walaupun konstitusi negara Republik Indonesia itu Islami, tetapi
pelaksanaan hukum perkawinan dan hukum kewarisan di Indonesia setelah
Indonesia merdeka dalam periode 1945-1974, melalui badan Peradilan Agama
di Indonesia tetap tidak berubah seperti sedia kala. Ini disebabkan karena teori
resepsi, kiat eksekusi dan tidak adanya satu kitab hukum mengenai
perkawinan dan kewarisan pada peradilan agama yang menjadi pegangan para
hakimnya. 67
Teori resepsi yang mendapat sandaran konstitusional dalam
indische staatsregeling (IS) pasal 132 ayat (2), setelah Indonesia merdeka,
mulai digugat, karena tidak sesuai dengan UUD 1945 sebagai penjabaran
Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya.
Dengan ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara seperti dirumuskan
64
Lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, 5 65
Lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, 5-6. 66
Ahmad Sukardja, Hukum Islam dan Sistem Masyarakat di Indonesia, Makalah
dalam Seminar Nasional Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Serang: Fakultas Shariah IAIN
Sunan Gunung Djati Serang, 1977), 19. 67
Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 207.
40
pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, teori resepsi yang bertentangan dengan
iman orang Islam itu, bertentangan pula dengan dua kalimat syahadat, karena
mengajak orang-orang Islam tidak mematuhi firman Allah yang tercantum
dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah.68
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945, sebuah perubahan substansial dilakukan. Administrasi
pengadilan Islam dan permasalahan-permasalahan mengenai perkawinan
muslim yang sebelumnya telah diadminister oleh Menteri Kehakiman, pindah
di bahwa juridiksi Menteri Agama. Perubahan ini diumumkan pada tahun
1946. sedangkan Menteri Agama mempertahankan struktur dan komposisi
pengadilan Islam, dalam waktu yang singkat setelah penetapannya. Menteri
mengumumkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946, untuk menyatukan
administrasi perkawinan muslim dan perceraian di seluruh Indonesia di bawah
kontrol Menteri Agama. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa untuk
selanjutnya semua perkawinan muslim, perceraian dan rekonsiliasi (nikah,
ruju, talak, atau NTR) akan dilakukan di bawah supervisi formal tersendiri
dari pegawai pencatat NTR yang diangkat oleh Menteri Agama atau
delegasinya. Kursi para pegawai pencatat NTR akan ditentukan oleh kantor
agama setempat (Jawatan Agama Daerah), yang kemudian menjadi Kantor
Urusan Agama secara langsung diawasi oleh Menteri Agama.69
Pemberlakuan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 diperdebatkan
di KNIP, dimana para nasionalis dan sekularis saling berlawanan. Perlawanan
mereka utamanya karena kekhawatiran terhadap Undang-Undang tersebut
akan memperkuat posisi penghulu dan para fungsionaris Islam lainnya dari
hukum Islam dengan negara baru. Namun Undang-Undang tersebut akhirnya
diluluskan di parlemen setelah tekanan kuat dari para pemimpin muslim.
Walaupun implementasi hukum ini belum dilaksanakan secara efektif
berkaitan dengan revolusi Indonesia, namun di pandang sebagai sebuah
kemenangan bagi muslim. Hukum ini membuat perbedaan antara muslim dan
non muslim menjadi jelas. Perbedaan krusial di antara Undang-Undang No.
22 tahun 1946 dan Undang-Undang lainnya berkenaan dengan prosedur
68
Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 207, 208. 69
Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 80.
41
perkawinan, yang diberlakukan sebelumnya, adalah registrasi muslim tidak
perlu validitas perkawinan mereka, perceraian dan rekonsiliasi. Hal ini cukup
memadai bagi muslim untuk mendaftarkan diri di kantor setempat, Kantor
Urusan Agama daripada di Kantor Catatan Sipil yang kemudian hanya
melayani non-muslim dan di bawah jurisdiksi Menteri Kehakiman.70
Untuk implementasi Undang-Undang No. 22 1946, Menteri
Agama mengeluarkan instruksi No. 4 tahun 1946 Undang-Undang No. 32
tahun 1954, instruksi no.1 tahun 1955, dan dekrit no. 15 tahun 1955. Regulasi
ini mengharuskan para pencatat NTR melayani perkawinan, perceraian dan
poligami. Selain prosedur perkawinan yang diatur, dua regulasi terakhir juga
mengandung provisi tentang taklik talak yang telah lama menjadi kebiasaan di
Indonesia. Taklik talak merupakan kondisi dalam kontrak perkawinan,
pelanggaran yang memungkinkan istri untuk mengajukan perceraian.
Rumusan dan kondisi taklik talak telah distandarisasi oleh Menteri Agama,
dan telah dicetak dalam halaman terakhir dari akta nikah resmi. Segera setelah
akad nikah, suami harus mendeklarasikan pada wali istri dan saksi, bahwa ada
empat alasan yang mana istrinya bisa mengajukan perceraian terhadap
suaminya. Jika suami meninggalkan istri selama enam bulan berturut-turut,
jika dia secara fisik menganiayanya, atau jika dia tidak memberi nafkah dan
dia tidak menghiraukannya selama enam bulan berturut-turut, sedangkan istri
itu tidak rela.71
Melalui pasal peralihan UUD 1945 dan kuatnya tertanam teori
resepsi yang diajarkan di Perguruan Tinggi Hukum Belanda dahulu, baik di
Leiden, maupun di Batavia, apa yang telah ada dan berlaku di zaman Hindia
Belanda dahulu, tetap saja berlangsung dalam negara Indonesia merdeka,
kendatipun UUD 1945, atau peraturan dasarnya sudah berganti dan berbeda.
Baru tahun 1974, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, teori resepsi itu menemui ajalnya dihantam “kalimat,
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”72
. Dengan demikian, maka dengan terbentuknya
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan perumusan
70
Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 81. 71
Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 81 72
Lihat : Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 208.
42
Pasal 2 ayat (1) yang telah disebutkan di atas, setiap perkawinan harus
dilaksanakan menurut hukum agama. Untuk orang Islam, perkawinan baru
dianggap sah kalau dilakukan menurut hukum perkawinan Islam, walaupun
pelaksanaannya melalui putusan Pengadilan Agama masih harus dikukuhkan
oleh Pengadilan Negeri (Pengadilan Umum).
E. Hukum Islam di Indonesia setelah Menjadi Hukum Nasional
Setelah Indonesia merdeka, upaya pembaruan hukum banyak
diarahkan kepada perubahan hukum tertulis peninggalan kaum kolonial untuk
dijadikan Hukum Nasional73
dan Hukum Islam dijadikan sebagai salah satu
unsur hukum nasional yang berfungsi sebagai rujukan dalam pembentukan
hukum nasional tersebut. Setelah Indonesia merdeka, atas usul Menteri
Agama yang disetujui oleh Menteri Kehakiman, Pemerintah menyerahkan
Mahkamah Islam Tinggi dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian
Agama, melalui Penetapan Pemerintah No. 5-SD tanggal 25 Maret 1946 dan
pada tanggal 21 November 1946 telah disahkan dan diundangkan UU No. 22
tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Undang-Undang ini
hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Dengan keluarnya UU No. 22 tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, maka segera diambil
tindakan dengan jalan memisahkan urusan pendaftaran Nikah, Talak dan
Rujuk dari Pengadilan Agama. Penghulu kepala yang tadinya merangkap
Ketua Pengadilan Agama, tidak lagi mencampuri urusan Pengadilan dan oleh
sebab itu terbentuklah penghulu Kabupaten, yang diserahi urusan
kepenghuluan di samping Penghulu Hakim yang dikhususkan menangani
Pengadilan Agama saja dengan mendapat gaji dan tingkat serta kedudukan
sebagai penghulu kepala. Seluruh biaya tata usaha Pengadilan menjadi
73
Hukum Nasional Indonesia adalah kumpulan norma-norma hukum yang hidup
dalam masyarakat yang berasal dari unsur-unsur Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum
Barat, (Ilmu Hukum Umum). Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di
Indonesia, 52 – Lihat : Amin Suma, Transformasi Shari’ah ke Dalam Hukum Nasional di
Indonesia, Dalam Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum Nasional, (Jakarta:
Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
2004), 246.
43
tanggungan Negara, sedangkan pegawai-pegawai panitera dibayar dengan gaji
tetap dan ongkos perkara harus disetorkan ke kas Negara.74
Meskipun telah diundangkan UU No. 32 tahun 1954 tentang
Penetapan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21
November 1946 No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk diseluruh daerah luar Jawa dan Madura, tetapi sesuai dengan bunyi
Undang-Undang ini, hanya mengatur tata cara pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk, tidak memuat materi perkawinan secara keseluruhan. Sehubungan
dengan ini, dilakukan berbagai upaya agar terbentuk UU yang memuat materi
yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan perkawinan. Upaya ini telah
menghasilkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang hukum
perkawinan.75
Kemudian, pada tahun 1989 terbentuk pula Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989, yang populer dengan sebutan Undang-Undang Peradilan
Agama (UU-PA), yang mensejajarkan kedudukan Pengadilan Agama dengan
Pengadilan Umum dan menempatkan hukum Islam sebagai salah satu unsur
dalam Hukum Nasional, UU Peradilan Agama ini telah disempurnakan lagi
pada tahun 2006 dengan disahkannya UU Peradilan Agama yang
disempurnakan dan memperluas wewenangnya kepada mengadili dan
menyelesaikan kasus-kasus dan perkara-perkara yang berkenaan dengan
ekonomi syariah.76
Berdasarkan INPRES No. 1 tahun 1991 telah dilakukan
pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyangkut hukum keluarga, yang
terdiri atas hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Dalam usaha
Kompilasi Hukum Islam tersebut, kecenderungan kepada salah satu mazhab
74
Lihat : Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
63-65 – Depag RI, Himpunan Perundang-Undangan Perkawinan, (Jakarta: Dirjen Bimas
Islam Depag RI, 2009), 4, 6, 14. 75
Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjadi
lebih jelas dan tidak dapat diragukan lagi, bahwa Hukum Islam bukan lagi berdasarkan teori
resepsi, tetapi persandaraan legalitas Hukum Islam itu telah pindah dari hukum adat kepada
hukum tertulis seperti dapat disalurkan dari Pasal 2 ayat 1 beserta penjelasannya (sesuai
dengan UUD 1945) – Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta,
2005), 13 76
Hukum Nasional diambilkan dari hukum adat yang mempunyai nilai yang
universal hukum Islam yang sesuai dengan kondisi sosial Indonsia dan hukum Barat yang
sudah dimodifikasi. Itulah yang dimaksud dengan “Hukum Nasional”. Oleh karena itu, UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan INPRES No. I tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) sudah merupakan bagian dari Hukum Nasional yang dicita-citakan sejak
lama. – Lihat Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum…, 271, 272.
44
(khususnya mazhab Shafi‟i) mulai di kesampingkan, tetapi lebih ditekankan
kepada kemaslahatan, dan bahkan telah dilakukan suatu reformasi hukum.
Sebagai contoh, antara lain, dalam hukum kewarisan dinyatakan bahwa orang
tua/anak angkat berhak ikut menerima harta peninggalan anak/orang tua
angkatnya sebanyak 1/3 bagian sebagai wasiat wajibah yang berlaku pada
Undang-Undang Waris.77
Dalam hukum perkawinan, perkawinan hanya boleh
dilakukan oleh pria yang telah berusia 19 tahun dan wanita yang sudah
berusia dewasa 16 tahun,78
dan sebagainya.
Upaya demikian tentu bukan muncul begitu saja, tetapi telah
didahului oleh adanya kehendak masyarakat untuk mendapatkan landasan
hukum yang adil dalam masalah perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Di
sisi lain, sebelumya telah berkembang pula upaya reformulasi pemikiran fiqih
yang dilakukan sebagian organisasi Islam yang tidak mengikat diri dengan
salah satu mazhab tertentu. Menurut Nasrun Rusli, bersama itu, muncul pula
tokoh-tokoh fikih yang mengkhususkan upayanya membenahi fikih, seperti,
antara lain, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (w. 1975), guru besar hukum Islan
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang merintis tumbuhnya fikih Indonesia,
yakni corak hukum Islam yang dibangun dalam tradisi („urf)79
Indonesia,
namun tetap berpijak pada sumber hukum yang asasi, yakni Al Quran dan
sunnah. Di sisi lain, Hazairin, guru besar hukum Islam dan hukum adat80
Universitas Indonesia, juga telah merintis tumbuhnya hukum kekeluargaan
dan kewarisan nasional, yang berpijak pada dasar-dasar Islam, namun tidak
mengabaikan sistem kehidupan yang tumbuh dan berlaku di Indonesia.81
Upaya-upaya pembaruan hukum Islam seperti demikian
diharapkan akan tumbuh dan berkembang hukum Islam yang kuat dan mampu
77
Lihat : KHI Buku II tentang Hukum Kewarisan Pasal 209 ayat (1) dan (2) 78
Lihat : UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) dan Lihat :
KHI Buku I tentang Perkawinan Pasal 15 ayat (1). 79
„Urf menurut istilah dalam Ushul Fikih adalah sesuatu yang tidak asing lagi
bagi satu masyarakat, karena telah menjadi adat kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan
mereka, baik berupa perkataan, maupun perbuatan – Lihat : Abd. Wahhab Khallaf, Usul Fiqh,
(Kuwait: Dar al Qalam, 1392 H / 1972 M), cet X, 89. 80
Menurut istilah Syara‟, tidak ada perbedaan antara „urf dan adat – Lihat : Abd.
Wahhab Khallaf, Usul Fiqh, (Kuwait : Dar al Qalam, 1392 H / 1972 M), cet X, 89. 81
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Shaukani dan Relevansinya Dengan
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Disertasi PPS IAIN Jakarta, 1998), 281.
282.
45
menjawab kebutuhan masyarakat. Hukum Islam yang demikian niscaya akan
dapat memberikan sumbangan yang besar bagi Hukum Nasional.82
Dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, hukum Islam memasuki fase baru, yaitu fase taqnin
(pengundangan). Ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang perkawinan
ditransformasikan ke dalam Undang-Undang tersebut dengan modifikasi
disana-sini.83
Lalu pada tahun 1980-an, ketika akan membentuk Kompilasi
Hukum Islam tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, Munawir
Sjadzali, Menteri Agama ketika itu, memunculkan gagasan reaktualisasi
ajaran Islam. Gagasan tersebut sengaja dilontarkan dalam berbagai forum,
guna menggugah hati para ulama fikih di Indonesia (bahkan juga di luar
Indonesia) untuk mengkaji dan berpikir lagi tentang fikih. Salah satu contoh
yang ditampilkan Munawir adalah berkenaan dengan reaktualisasi dalam
hukum kewarisan, yakni kemungkinan dijadikannya hak anak laki-laki sama
dengan hak anak perempuan dalam menerima warisan ayahnya yang
meninggal. Kendati contoh yang dikemukakan Munawir tersebut tidak
diterima secara eksplisit dalam kompilasi, ternyata telah merangsang
cendekiawan dan ulama.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan suatu keberhasilan
yang besar bagi umat Islam Indonesia pada pemerintahan Orde Baru, karena
dengan lahirnya kompilasi tersebut, umat Islam Indonesia telah mempunyai
fikih yang seragam dalam masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan,
dan telah menjadi hukum positif yang harus dipatuhi oleh seluruh bangsa
Indonesia yang beragama Islam. Dengan lahirnya KHI ini diharapkan tidak
akan terjadi lagi kesimpang siuran keputusan pada lembaga-lembaga
Peradilan Agama, dimana sering terjadi adanya keputusan Pengadilan Agama
saling berbeda padahal kasusnya sama, yang menurut Abdul Gani Abdullah
82
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Shaukani…, 282. 83
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. III, 26.
46
sekurang-kurangnya ada tiga hal perlu dicatat dengan keluarnya INPRES dan
SK tersebut :
1. Perintah menyebarluaskan KHI tidak lain adalah kewajiban masyarakat
Islam untuk memfungsikan eksplanasi ajaran Islam sepanjang mengenai
normatif sebagai hukum yang harus hidup dalam masyarakat.
2. Rumusan Hukum Islam dalam KHI berupaya mengakhiri persepsi ganda
dari keberlakukan Hukum Islam yang ditunjuk oleh pasal 2 ayat (1) UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
segi-segi Hukum Formalnya.
3. Menunjuk secara tegas wilayah keberlakukan KHI dengan sebutan
Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya, dalam
kedudukan sebagai pedoman penyelesaian masalah di tiga bidang hukum
dalam KHI.84
Walaupun KHI sudah menjadi Hukum Nasional85
di Indonesia
tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, instruksi Presiden tidak lagi
tercantum dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini
berdampak pada melemahnya kedudukan hukum materiil dalam KHI yang
masih dipergunakan oleh para Hakim Pengadilan Agama se-Indonesia dan
masyarakat yang memerlukannya. Atas dasar ini perlu KHI ditingkatkan
menjadi Undang-Undang. Berkenaan dengan ini. Pemerintah telah
mengajukan ke DPR RI RUU Hukum Materil Peradilan Agama (HMPA)
Bidang Perkawinan agar dapat disahkan menjadi Undang-Undang sebagai
pengganti kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Perkawinan.
84
Lihat : Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia,(Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 62. 85
Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu
negara nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum Nasional mungkin juga berarti
hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi
penduduk Indonesia, sebagai pengganti hukum kolonial dahulu – Mohammad Daud Ali,
Hukum Islam, 267.
47
Pembahasan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang
Perkawinan akan dibahas dalam pembahasan tersendiri pada Bab III.
48
BAB III
HUKUM PERKAWINAN ISLAM DALAM UU NO. 1 TAHUN 1974
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG PERKAWINAN
Hukum Perkawinan Islam adalah perkawinan yang didasarkan atas
hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam yang terkait dengan pernikahan
(Fiqh Munakahat). Materi Fiqh Munakahat sudah diadopsi ke dalam UU No.
1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, walaupun materi Fiqh Munakahat
yang diadopsi itu, tidak secara mendetail dimasukkan, karena hanya prinsip-
prinsip dan pokok-pokoknya saja, yang secara umum telah menggambarkan
materi Fiqh Munakahat. Perbedaan materi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI
tentang Perkawinan dengan Fiqh Munakahat adalah sebagai berikut :
Pertama : UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sepenuhnya
sudah mengikuti Fiqh Munakahat, bahkan banyak mengutip
langsung dari Al Quran dan Hadis. Contohnya: Ketentuan
tentang larangan perkawinan dan ketentuan tentang masa tunggu
(masa Iddah) bagi istri yang bercerai dari suaminya.
Kedua : Ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan
sama sekali tidak terdapat dalam Fiqh Munakahat, tetapi karena
bersifat administratif dan bukan substansial dapat ditambahkan
ke dalam Fiqh Munakahat. Contohnya, pencatatan perkawinan
dan pencegahan perkawinan.
Ketiga : Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan tidak terdapat dalam Fiqh Munakahat, karena
pertimbangan kemaslahatan dapat dikategorikan sebagai Hukum
Islam, karena tujuan Hukum Islam adalah untuk kemaslahatan.
Contohnya, ketentuan batas minimal umur pasangan yang akan
menikah dan harta bersama dalam perkawinan.
Keempat : Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan secara lahiriyah tidak sejalan dengan ketentuan Fiqh
48
49
Munakahat, tetapi dengan menggunakan interpretasi dan mempertimbangkan
maslahat dapat dikategorikan sebagai Fikih, karena Fikih adalah hasil ijtihad,
yang antara lain ditetapkan berdasarkan maslahat. Contohnya : keharusan
perceraian di pengadilan dan keharusan izin berpoligami oleh pengadilan serta
perceraian harus didasarkan kepada alasan-alasan yang sudah ditentukan.
Dengan masuknya materi Fiqh Munakahat, prinsip-prinsip dan
pokok-pokoknya yang secara umum dapat dikategorikan sebagai Fiqh
Munakahat, ke dalam pasal UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan , ini menunjukkan, bahwa Hukum Islam bidang Perkawinan (Fiqh
Munakahat) telah diadopsi dalam sistem Hukum Nasional.
Hukum Islam bidang Perkawinan dapat diterima untuk menjadi
Hukum Nasional, karena sesuai dengan keyakinan umat Islam dan budaya
Indonesia, yang secara yuridis formal dan secara normatif telah menjadi
hukum yang hidup di masyarakat Indonesia. Hukum Islam, khususunya Fikih
Munakahat telah menyatu dengan Hukum Adat yang berlaku dalam
masyarakat Muslim di Indonesia sejak sebelum zaman penjajahan kolonial
Belanda, sehingga tidak dapat lagi dibedakan. Kehidupan masyarakat muslim
senantiasa berada dalam garis-garis Hukum Islam, yang dalam kehidupan
sehari-hari telah menjadi adat kebiasaan mereka, seperti dalam masalah
perkawinan dan keluarga, perekonomian dan masalah-masalah muamalat serta
dalam hubungan sosial lainnya. Kesemuanya itu menjadikan Hukum Islam
bidang Perkawinan dapat diterima menjadi Hukum Nasional.
A. Pengertian Hukum Perkawinan Islam. 1
Dalam bahasa Arab, perkawinan disebut dengan al-Nikah (النكاح)
yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.2 Sedangkan dalam istilah
1 Secara khusus pengertian Hukum Islam, syariah dan fikih telah dijelaskan pada
BAB I dari tulisan ini. 2 Lihat : Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (t.t., Dar al-Ma’arif, t.th), Jilid V, 4537,
dan lihat pula : A. W. al Munawwir, Kamus al-Munawwir, Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), cet. XIV, Edisi kedua, 46. Juga lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al Fikr, 1989), Jilid VII, 29.
50
para Ulama Fikih mendefinisikannya dalam berbagai kitab Fikih, dimana
redaksinya berbeda-beda, tetapi substansinya sama, yaitu : nikah adalah akad
yang menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.3 Abu
Zahrah menambahkan definisi nikah tersebut dengan kata-kata : saling tolong
dan mengakibatkan adanya hak dan kewajiban antara keduanya. 4
Para ulama dan pakar Indonesia telah memberikan pula definisi
perkawinan antara lain :
1. Menurut Ibrahim Hosen, nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk
memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan)
wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.5
2. Menurut Hazairin, perkawinan adalah hubungan seksual. Tidak ada nikah
(perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.6
3. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat
dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni,
kasih mengasihi, dan bahagia.7
Nampaknya definisi nikah/perkawinan yang dikemukakan Ibrahim
Hosen dan Hazairin sama dengan definisi yang dikemukakan oleh para Ulama
Fikih yang disebutkan dalam Kitab-Kitab Fikih. Tetapi definisi yang diberikan
oleh Sajuti Thalib itu nampaknya identik dengan definisi perkawinan yang
disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan .
3 Abd. Rahman al Jaziry, Kitab al Fiqh ‘Ala al Madhahib al Arba’ah, (t.t : Dar
Ihya’ al Turats al’Araby, 1986), Juz IV, 3 - Muhammad Syata al Malibary al Dimyathy, I’anah al Talibin, (t.t. : Dar Ihya’ al Kutub al ‘Arabiyah, t.th), 256. - Imam Taqiyuddin, Kifayah al Akhyar, (Bandung : al Ma’arif, t.th), Jilid II, 36. - Wahbah al Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 29.
4 Muhammad Abu Zahrah, al Ahwal al-Syakhsiyyah, (al-Qahirah: Dar al Fikr al’Araby), 19.
5 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet I, 116.
6 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta: Tinta Mas, 1961), 61
7 Mohamad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. I Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 2.
51
Definisi tersebut juga agaknya identik dengan definisi perkawinan
yang dikemukakan oleh Tahir Mahmood yang mendefinisikan, bahwa
perkawinan adalah sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-
laki dan perempuan yang masing-masing menjadi suami dan istri dalam
rangka memperoleh kebahagiaan kehidupan dan membangun keluarga dalam
sinaran Ilahi. Teks ucapannya itu adalah sebagai berikut :
“Marriage in a relationship of body and soul between a man and
woman as husband and wife for the purpose of establishing a happy and
lasting family founded on belief in god Almighty”. 8
Di dalam perspektif Hukum Nasional, perkawinan didefinisikan
sebagai berikut :
1. Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.9
2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan
Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat, atau mithaqan ghalizan10 untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.11
Dari definisi-definisi perkawinan yang telah disebutkan di atas, dapat
disimpulkan, bahwa definisi perkawinan menurut kitab-kitab fikih terkesan
menempatkan perempuan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki, karena
yang dilihat pada perempuan hanya dari aspek biologisnya. Kecuali
Muhammad Abu Zahrah, menambahkan kata tolong menolong dan
mengakibatkan adanya hak dan kewajiban di antara keduanya. Jadi di samping
masalah biologis, ia juga menambahkan kata-kata tersebut tadi.
8 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of
Law and Religion, 1987), 209. 9 Lihat UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1.
10 Mithaqan ghalizan berarti perjanjian yang kuat diambil dari firman Allah dalam surah al-Nisa’ 4 : 21, yaitu :
11 Lihat KHI pasal 2 buku I tentang Perkawinan.
52
Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1,
perkawinan tidak hanya dilihat sebagai hubungan jasmani belaka, tetapi juga
merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan bahwa perkawinan
yang selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek
yang lebih substansial dan berdimensi jangka panjang. Ikatan yang didasarkan
pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek, sedangkan
ikatan batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam definisi ini dieksplisitkan
dengan kata-kata bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12
Kata-kata bahagia disebutkan dalam UU Perkawinan tersebut
sebagai tujuan perkawinan adalah dimaksudkan agar setiap manusia, laki-laki
dan perempuan dapat memperoleh kebahagiaan dalam perkawinan tidak hanya
dilihat dari sisi hukum formal, tetapi juga dilihat dari sifat sosial sebuah
perkawinan untuk membentuk keluarga.13
Untuk melengkapi kebahagiaan dalam perkawinan tersebut, dalam
definisi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan itu terdapat kata-kata kekal.
Ini mengesankan, bahwa perkawinan hanya sekali seumur hidup. Seakan-akan
pintu perceraian telah tertutup, tetapi penambahan kata-kata kekal ini
sebenarnya dimaksudkan untuk mempersulit perceraian, karena dalam Hadis
Nabi Muhammad SAW dikatakan : “perbuatan halal yang paling dibenci
Allah adalah al-talaq (perceraian)”.14, tetapi Hadis ini tidak menutup
perceraian, tetap membukanya kalau suami-istri tidak bisa lagi didamaikan,15
selama perceraian itu didukung oleh alasan-alasan yang dibenarkan oleh
Syariat Islam.
Dari definisi perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun
1974 dan KHI tentang Perkawinan, menunjukkan bahwa pada perkawinan
12 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet III, 45, 46. 13 Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, h. 46. 14 " Sesunggunya yang halal paling dibenci Allah adalah talak (HR. Abu Daud, Ibnu
Majah dan al-Hakim dari Ibnu Umar) : Lihat al Suyuty, al-Jami’ al-Saghir, (t.t : Dar al Kutub al’Ilmiah, t.t), Cet IV, Jilid I, 4
15 Q.S. al-Nisa/4 : 35 dan Q.S. al-Baqarah / 2 : 229.
53
tersebut terdapat suatu kesepakatan, bahwa perkawinan di pandang sebagai
sebuah akad. Akad atau perikatan terjadi jika dua orang yang apabila
mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan
dan dinyatakan dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa dipahami demikian,
maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan.16
Perikatan ini dalam bahasa fikih disebut dengan akad. Dengan demikian, maka
perkawinan dapat disebut sebagai perikatan atau akad.
Penegasan perkawinan sebagai sebuah akad/perikatan ini sangat
penting karena menyangkut relasi hubungan suami dan istri yang setara
sebagai dua subjek hukum yang berdiri dalam posisi yang sama, sering dalam
masyarakat, baik yang menganut kekerabatan bilateral, matrilinear terlebih
lagi partilinear, perkawinan tetap dipahami sebagai hubungan yang tidak
seimbang. Perkawinan dipahami sebagai hubungan antara subjek dengan
objek “atas” dan “bawah”, penguasa dengan yang dikuasai sering kali suami
ditempatkan pada posisi yang berkuasa dan istri sebagai pihak yang dikuasai.17
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa sebenarnya perkawinan
sebagai sebuah perikatan adalah ingin menggugat relasi yang tidak seimbang
ini. Perkawinan yang sejati harus didasari pemahaman akan posisi masing-
masing pihak yang sejajar tanpa ada yang merasa lebih tinggi, lebih berkuasa,
atau lebih berhak. Mereka harus menyadari bahwa yang mempersatukan
seorang laki-laki yang menjadi suami dan seorang wanita menjadi istri adalah
akad, karena dengan akad itulah yang menjadikan suami boleh berhubungan
badan dengan seorang wanita sebagai istri.18
Sehubungan dengan ini, Yahya Harahap mengatakan, bahwa
kedudukan suami istri dalam sebuah keluarga adalah seimbang. Keduanya
sederajat dan segala sesuatu yang muncul dalam perkawinan harus
16 Ahmad Kuzari, Perkawinan sebagai Sebuah Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press,
1995), 1 17 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, 48 18 Ahmad Kuzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan, 1
54
dirundingkan bersama, bahwa istri berhak mencapai kedudukan sosial di luar
lingkungan rumah tangga dan suami tidak dapat melarang hal tersebut.19
Oleh sebab itu Busthanul Arifin mengatakan, bahwa kedudukan
suami dan istri dalam perkawinan sebagaimana termuat dalam pasal 30-34 UU
Perkawinan adalah seimbang. Masing-masing mempunyai fungsi dan
tanggung jawab berbeda, tetapi dengan tujuan yang satu, yaitu tercapainya
kebahagiaan rumah tangga dan keluarga, atau terwujudnya rumah tangga dan
keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.20 Tidak itu saja, hubungan
kedudukan tersebut juga mengandung rasa keadilan, sekaligus sangat potensial
untuk dikembangkan dalam menghadapi perubahan-perubahan cepat yang
terjadi dalam masyarakat.21
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa definisi perkawinan
(nikah) yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
tidak menjadikan tujuan perkawinan itu hanya semata-mata dalam konteks
biologis saja, seperti definisi yang dikemukakan para ulama fikih, yang
memberi kesan seakan-akan perkawinan itu dipahami sebagai hubungan
antara subjek dengan objek, suami ditempatkan pada posisi yang berkuasa dari
istri sebagai pihak yang dikuasai, tetapi menjadikan perkawinan itu sebagai
perikatan yang menyeimbangkan kedudukan istri dengan suami. Dalam
perkawinan Islam suami-istri adalah mitra sejajar, karena masing-masing
mempunyai hak-hak dan kewajiban, tidak ada yang lebih tinggi, atau lebih
rendah kedudukannya, tetapi saling tolong menolong dan saling melengkapi.
Suami sebagai kepala keluarga dan sebagai penanggung jawab utama nafkah
keluarga, karena istri sesuai dengan kodratnya, hamil, melahirkan dan
19 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975),
10 20 Lihat Q.S. al-Rum: 21 21 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah,
Hambatan dan Prospeksnya, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), 120.
55
menyusui bayinya serta merawatnya.22 Dengan ini jelas bahwa definisi
perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan sudah disesuaikan dengan budaya dan perkembangan masyarakat
Indonesia yang sesuai dengan ajaran Islam, hanya saja dalam definisi yang
dibuat oleh fuqaha’, kurang sesuai dengan maqasid al shariah. Hal ini
mungkin karena pengaruh budaya dan adat kebiasaan pada tempat fuqaha
berada.
Dengan demikian, maka hukum perkawinan Islam23 adalah
perkawinan yang didasarkan atas hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam.
B. Hukum Islam dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
1. Dasar Perkawinan
Dalam pembahasan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini
dibahas juga sekaligus pasal-pasal yang terkait dengannya dalam KHI
tentang Perkawinan.24
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan ayat 1 Kompiliasi
Hukum Islam di Indonesia tentang Hukum Perkawinan ayat (2)
mengandung beberapa unsur hukum Islam, antara lain :
a. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri. Ini berarti tidak dikenal adanya
perkawinan sejenis, yang diharamkan dalam Hukum Islam, baik
sesama pria (homo seksual), maupun sesama wanita (lesbian).25
Perkawinan sejenis juga tidak dibenarkan dalam budaya Indonesia.
22 Huzaimah T. Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Mawardi
Prima, 2001), 144, 145. 23 Hukum Perkawinan Islam biasa juga disebut dengan istilah fikih
Perkawinan Islam (Fikih Munakahat). 24 Untuk menghindari pengulangan pembahasan, maka dalam pembahasan UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, juga dibahas pasal-pasal yang terkait dan substansinya sama dengan pasal-pasal pada KHI tentang Perkawinan.
25 Dalam ensiklopedi hukum Islam disebutkan bahwa homoseksual adalah keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama. Hubungan seks/kelamin dengan pasangan sejenis (pria dengan pria atau wanita dengan wanita) disebut homoseks.
56
Para ulama fikih sepakat atas keharaman homoseks menurut
ketentuan shari'at. Homo seks merupakan perbuatan keji sebagaimana
jarimah zina. Keduanya termasuk dosa besar, dan merupakan
perbuatan yang merusak akhlak, tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Bertentangan dengan syariat Islam, bertentangan dengan norma
susila, dan bertentangan dengan sunnatullah. Allah SWT menjadikan
manusia terdiri dari pria dan wanita adalah agar berpasang-pasangan
sebagai suami isteri untuk mendapatkan keturunan yang sah dan untuk
memperoleh ketenangan serta kasih sayang.26 Pasangan homoseks
dalam bentuk liwath termasuk dalam tindak pidana berat (dosa besar),
karena termasuk perbuatan keji yang merusak kepribadian, moral dan
agama serta bertentangan dengan tujuan perkawinan..27
Dalam Al Quran diterangkan, bahwa kaum Nabi Lut
melakukan hubungan seksual hanya kepada sesama laki-laki. Mereka
melepaskan syahwatnya hanya kepada sesama laki-laki dan tidak
berminat kepada perempuan sebagaimana ditawarkan oleh Nabi Luth,
tetapi mereka tetap melakukan perbuatan homoseksual, akhirnya Allah
memberikan hukuman kepada mereka dan memutarbalikan negeri
mereka, sehingga penduduk Sodom, termasuk isteri Nabi Lut tertanam
bersamaan dengan terbaliknya negeri itu. Yang tidak kena azab hanya
Pria yang melakukan homoseks (dalam bentuk liwath/sodomi), yakni
bersanggama dengan memasukan penis ke dalam anus pasangannya disebut pria homoseks. Lesbianisme adalah perihal cinta birahi antara sesama wanita. Wanita yang melakukan lesbianisme atau homoseks sesama wanita disebut lesbian atau wanita homoseks.
Dalam hukum Islam, homoseks sesama pria disebut liwat (liwat), kata yang akar kata sama dengan akar kata Luth. Perbuatan homoseks sesama pria itu disebut liwath, karena perbuatan tersebut pernah dilakukan oleh kaum yang durhaka kepada seruan Nabi Luth as. Kaum itu berdomisili di negeri Sodom (di sebelah timur Laut Mati atau di Yordania sekarang) dan karena itu di kalangan bangsa Barat yang beragama Kristen perbuatan demikian disebut sodomi.
Dalam berbagai referensi semua mengatakan, bahwa homoseksual adalah kebiasaan seorang laki-laki melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya. Sedangkan lesbian adalah kebiasaan seorang perempuan melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya. Lihat : Abd. Aziz Dahlan, et.al : Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar van Hoeven, 1996), cet V, 563. Lihat pula : Al Sayid al Sabiq, Fiqh al Sunnah, (al Qahirah: Dar al Kitab al Islamy - Dar al Hadith, t.th) jilid II, 362.
26 Lihat Q.S. al-Nahl : 72 dan al-Rum : 21. 27 Lihat Q.S. al-A’raf : 80 dan 81, al Shu’ara : 165, 166.
57
Nabi Luth dan pengikut-pengikutnya yang saleh dan menjauhkan diri
dari perbuatan homoseks.
Ulama fikih sepakat mengharamkan homoseks selain
berdasarkan Al Quran dan Hadis, juga berdasarkan qaidah fiqhiyah
yang mengatakan, bahwa pada dasarnya hubungan seks adalah haram,
kecuali ada dalil yang membolehkannya : 28
Begitu pula ulama fikih sepakat mengharamkan perbuatan
lesbian,29 berdasarkan Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Muslim, Abu Daud dan al-Tirmidzy, bahwa haram laki-laki
melihat aurat laki-laki yang lain, begitu pula haram hukumnya wanita
melihat aurat wanita lain. Begitu pula haram bersentuhan antara laki-
laki dan antara wanita dalam sehelai selimut/kain : 30
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa seluruh ulama
Islam sepakat mengatakan, bahwa perbuatan homo dan lesbi haram
hukumnya, apakah itu berbentuk pasangan menikah atau tidak.31 Kalau
28
Artinya:"Hubungan seks pada dasarnya adalah haram, sehingga ada dalil (sebab-sebab yang jelas dan yakin tanpa keraguan) yang menghalalkannya, yakni adanya akad nikah ". Lihat: Jalaluddin Abd. Rahman al Suyuty, al Ashbah wa al Nazair, (Bairut-
Libnan: Dar al Fikr, 1995 M/1410 H), Jilid I, 45. 29 Al Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 369. 30
Artinya: “Janganlah pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain di bawah sehelai selimut/kain, dan janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain di bawah sehelai selimut/kain". Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 369 lihat buku hadis.
31 Imam Nawawi al Bantani (w. 1314 H/1897 M) mengelompokkan homoseksual sesama pria ke dalam perbuatan zina berdasarkan firman Allah dalam surah al Mu’minun : 5-7 yang menerangkan, bahwa kebahagiaan seseorang tergantung pada pemeliharaan kemaluannya (kehormatan dirinya) dari berbagai macam penyalahgunaannya, agar tidak termasuk orang yang tercela dan melanggar ketentuan agama. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama mengatakan, bahwa pelaku homoseks harus dibunuh berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, At Turmudhy, Ibnu Majah, al Hakim dan al Baihaqy :
58
ada ungkapan atau pernyataan yang mengatakan bahwa homo dan lesbi
dibolehkan, itu bukan ajaran Al Quran dan Hadis dan bukan pula hasil
ijtihad ulama yang mumpuni dibidangnya. Itu hanya ungkapan dan
pernyataan dari kalangan liberal yang hanya berbekal sedikit
pengetahuan agama, yang belum mengkaji dengan baik ayat-ayat
Al Quran dan Hadis, sehingga mereka memberi fatwa yang menyesat-
kan, yaitu mengabsahkan perilaku homoseksual (homo dan lesbi).
Larangan homoseksual dan lesbian bukan hanya karena
merusak kemuliaan dan martabat kemanusiaan, tetapi resikonya lebih
besar lagi, yaitu dapat menimbulkan penyakit kanker kelamin
HIV/AIDS spilis, kanker dan lain. Oleh sebab itu kalau ada usaha
segelintir orang berupaya untuk merubah diktum UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita agar dibuang saja kata pria dengan
wanita, agar tidak terganjal perkawinan sejenis, itu adalah suatu upaya
yang bertentangan dengan ajaran agama Islam dan menyalahi
Sunnatullah.
b. Rumusan tentang perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun
1974 dan KHI tentang Perkawinan tersebut dapat disimpulkan bahwa
kedudukan wanita dan pria yang memasuki gerbang perkawinan itu
adalah seimbang.32
Keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan antara
ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang
“Siapa saja yang menemukan orang yang melakukan homoseks maka bunuhlah pelakunya bersama pasangannya” (Lihat : Al Asqalany, Ibanah al Ahkam, (Bairut – Libnan: Dar al Fikr, 1424 H/2004 M), 78. Hukum bunuh ini tentu ini berdasarkan putusan Hakim setelah terpenuhi syarat-syarat dan pembuktiannya sedangkan pelaku lesbi ulama sepakat mengatakan bahwa sanksinya adalah ta’zir, yaitu hukuman pendidikan, yang jenis, berat dan ringannya diserahkan kepada kebijaksanaan Hakim.
32 Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 119.
59
(rahmah).33 ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur
dan tulus, ayah yang penuh kasih dan ramah, ibu yang lemah lembut
dan berperasaan halus, putra putri yang patuh dan taat serta kerabat
yang saling membina silaturrahmi dan tolong menolong. Hal ini dapat
tercapai bila masing-masing anggota keluarga tersebut mengetahui hak
dan kewajibanya masing-masing.
c. Tujuan perkawinan yang membentuk keluarga sakinah, atau rumah
tangga bahagia tanpa batas waktu. Ini merupakan penegasan, bahwa
tidak adanya pernikahan untuk jangka tertentu, yang disebut sebagai
nikah mut’ah.34
Jumhur Ulama mengharamkan nikah mut’ah. Jika terjadi
akadnya, maka tidak sah akadnya itu.35
Nikah mut’ah haram hukumnya berdasarkan Q.S. Al-
Mu’minun : 5, 6 dan 7, dan Hadis Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad
dan Ibnu Hibban dari Rabi’ bin Saburah dari ayahnya mengatakan
bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu pernah dibolehkan, kemudian
Allah mengharamkannya sampai hari kiamat. 36
Berdasarkan Ayat 5, 6 dan 7 surah al Mu’minun dan Hadis
Nabi SAW, bahwa dalam hukum fikih Islam diharamkan nikah
mut’ah. Jika telah terjadi, maka nikah itu tidak sah dan berdosa orang
33 Lihat q.s. al-Rum : 21. 34 Nikah mut’ah biasa juga disebut dengan nikah muaqqat (nikah
sementara). Nikah mut’ah adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk masa satu hari, atau seminggu atau sebulan. Dinamai nikah mut’ah karena seorang laki-laki menikahi seorang perempuan hanya dengan tujuan bersenang-senang saja sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam akad. Lihat : Al Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 35, wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, . 117.
35 Lihat : al Sayid Sabiq, Fikih al Sunnah, h. 35, wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuh, 117.
36
Artinya:“Bahwa sesungguhnya saya dahulu telah mengizinkan kepada kamu nikah mut’ah dan bahwa sesungguhnya ia (Allah) telah mengharamkan nikah mut’ah itu sampai hari kiamat…”. Lihat : Muhammad bin Ismail al-San’any, Subul al-Salam, (al Qahirah: Dar al Hadis, 2004 H / 1425 H), Jilid III, 171.
60
yang melakukannya. Dalam adat istiadat Indonesia tidak terjadi nikah
mut’ah, sehingga pengharaman nikah mut’ah dalam hukum fikih Islam
itu dapat diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia.
d. Pembentukan keluarga atau rumah tangga harus menaati syariat
Islam.37
Dalam pembentukan keluarga agar menjadi keluarga sakinah,
mawadah wa rahmah hendaklah mengikuti aturan-aturan yang telah
ditetapkan dalam ajaran hukum Islam, karena sahnya perkawinan,
tergantung pada ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing,
baik dalam masalah akad, rukun dan syaratnya, maupun yang
berkenaan dengan syarat-syarat lainnya seperti larangan menikah
dengan mahram dan lain-lain.38 Semua masalah, seperti rukun dan
syarat nikah dan lain-lain yang telah disebutkan dalam Fikih, telah
tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.
e. Perkawinan harus dilaksanakan di hadapan pejabat/pegawai pencatat
nikah (penghulu) sebagai pemenuhan kewajiban administratif
perkawinan, untuk menjadi bukti otentik pernikahan39
Pernikahan secara diam-diam, yang biasa juga disebut dengan
perkawinan di bawah tangan,40 atau tidak di hadapan pejabat/pegawai
pencatat nikah dan tidak disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang
saksi tidak mempunyai kekuatan hukum berdasarkan UU No. 1 Tahun
1974 dan KHI tentang Perkawinan.
37 Lihat : QS. Al Nisa : 23, UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) dan
KHI tentang Perkawinan Pasal 4. 38 Lihat : MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta:
Depag RI, 2003), 163. 39 Lihat : UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 Ayat (2) dan KHI tentang
Perkawinan Pasal 1-7. 40 Nikah di bawah tangan adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun
dan syarat yang ditetapkan dalam fikih (hukum Islam), tetapi tanpa pencatatan resmi diinstansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, Lihat : MUI, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI II, (Ponorogo: Panitia Ijtima’, 2006), 39.
61
Dalam ketentuan umum Hukum Islam, syarat sah pernikahan
adalah adanya calon mempelai pria dan wanita, adanya dua orang
saksi, wali, ijab kabul serta mahar (mas kawin). 41
Perkawinan di bawah tangan/tidak dicatat oleh yang
berwenang seringkali menimbulkan madharat terhadap istri dan/atau
anak yang dilahirkan terkait dengan hak-hak mereka, seperti nafkah,
hak waris dan lain-lain. Oleh sebab itu MUI dalam ijtima’ ulama
Komisi Fatwa II di Ponorogo memutuskan bahwa pernikahan harus
dicatatkan secara resmi pada instansi yang berwenang, sebagai langkah
preventif untuk menolak dampak negatif / mudharat yang akan terjadi,
sebagai saddan li al dhari’ah.42
Dasar hukum penetapan rukun dan syarat sahnya perkawinan
adalah Al Quran dan Al-Sunnah. Kedua sumber hukum Islam ini telah
mengatur unsur dan syarat perkawinan relatif lebih rinci dibandingkan
dengan hukum Islam di bidang lainnya. Namun demikian, tidak ada
satu Ayat Al Quran dan Hadis pun yang secara eksplisit mewajibkan
pencatatan perkawinan. Hal ini berbeda dengan ketentuan transaksi
hutang-piutang yang diatur secara tegas agar dilakukan pencatatan.43
Untuk itu, para ahli hukum Islam kontemporer mencari dalil hukum
untuk menguatkan gagasannya, bahwa perkawinan wajib dicatat. Di
antara mereka ada yang mencoba menganalogikan akad perkawinan
dengan transaksi utang-piutang, seperti yang diatur dalam Surah al-
Baqarah: 282. Ada pula yang menjadikan Mashlahah Mursalah sebagai
landasan pendapatnya. Teori ini mengajarkan, bahwa apa yang tidak
diperintahkan secara eksplisit oleh Al Quran dan Hadis dapat dibuat
41 Lihat : MUI, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI, II, 39, dan
Lihat pula : MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 163, 164. 42 Saddan li al Dzari’ah dalam istilah Usul Fikih adalah menutup jalan
yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. Lihat Satria Effendi M. Zein, Usul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. I, 172. Lihat : MUI, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI II, 39.
43 Lihat : Q.S. al Baqarah : 282.
62
aturan yang mengharuskan berdasarkan kemaslahatan dan sekaligus
menghindari mudharat. Berdasarkan cara berfikir ini, pencatatan
perkawinan dapat diwajibkan demi menjaga kemaslahatan suami isteri
dan anak-anaknya.44
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu
upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi
martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk
melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak. Menurut Ahmad Rafiq
bahwa melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta
nikah, dimana masing- masing suami-isteri mendapat salinannya,
apabila terjadi perselisihan atau percekcokan antara mereka atau salah
satu pihak melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya maka yang
lain dapat melakukan upaya hukum, guna mempertahankan atau
memperoleh hak masing-masing, karena dengan akta tersebut suami
isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka
lakukan.45
Secara umum para ulama Indonesia menyetujui ketentuan
pencatatan nikah pada lembaga yang berwenang yang disebutkan
dalam UU No.1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, tidak ada
reaksi terbuka atasnya, tetapi karena persyaratan pencatatan itu tidak
pernah disinggung dalam kitab-kitab fiqh, maka dalam
pelaksanaannya, masyarakat Islam Indonesia masih memiliki sikap
yang mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan
apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama menjadi
44 Fathurrahman Djamil, Konsekwensi Perkawinan di bawah Tangan
Terhadap Anak dan Harta Dalam Perspektif Hukum Islam, (Makalah yang disajikan pada diskusi ilmiah yang diselenggarakan oleh GTZ di hotel Meridien, Jakarta, 2007. 1, 2
45 Ahmad Rafiq, Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 107.
63
tidak sah? Kecenderungan jawabannya ialah bahwa semua rukun dan
persyaratan perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab fiqh
sudah terpenuhi maka suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai
akibatnya ialah banyak orang melakukan kawin di bawah tangan yang
pada waktunya dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan
terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum para pihak atau
anak yang dihasilkannya.46 Misalnya masalah warisan, nafkah istri dan
anak-anak, jika suami tidak bertanggung jawab, atau pembuatan akte
kelahiran anak yang memerlukan akte nikah.
Hal ini boleh jadi karena sebagian masyarakat muslim masih
ada yang memahami ketentuan perkawinan itu lebih menekankan
perspektif fikih, sehingga praktek kawin di bawah tangan tanpa
melibatkan petugas PPN menjadi subur. Keadaan ini semakin
diperparah dengan adanya oknum yang memanfaatkan "peluang" ini
untuk mencari keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan sisi dan
nilai keadilan yang merupakan misi utama sebuah perkawinan.
Konsekwensi Perkawinan yang tidak dicatat oleh Pemerintah.
Perkawinan yang tidak dicatat oleh pemerintah yaitu tidak
melalui KUA yang disebut dengan nikah di bawah tangan, akan
membawa dampak negatif, atau membawa akibat buruk terhadap anak,
harta, perempuan, dengan salah satu pasangan dari suami-isteri bila
terjadi perceraian, bahkan sejak terjadinya perkawinan.
Pencatatan perkawinan oleh pemerintah di samping
mempunyai kekuatan hukum, karena terdapat bukti bahwa telah terjadi
perkawinan, juga merupakan publikasi perkawinan. Dengan
diumumkannya pernikahan, maka tidak akan lahir prasangka buruk
terhadap sepasang lelaki dan perempuan yang dilihat sedang berduaan
46 M. Atho’ Mudzhar dan Khaeruddin Nasution (Editor), Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 211.
64
atau bermesraan. Juga akan hilang hak-hak masing-masing jika
seandainya terjadi perceraian, baik cerai mati, maupun cerai hidup
dengan talak, khulu' atau fasakh, bila tidak ada kejujuran di antara
pasangan yang bercerai.
Dengan pencatatan perkawinan oleh yang berwenang dari
pemerintah, hak anak yang dilahirkan akan menjadi jelas, karena dapat
diketahui siapa orang tuanya.
Menurut M. Quraish Shihab, bisa dibayangkan apa yang
terjadi jika suami meninggal dunia tanpa ada bukti tentang
pernikahannya dengan seorang perempuan. Ketika itu hak waris isteri
yang sah dan anaknya akan hilang. Bisa juga jika terjadi perceraian
hidup, sang suami mengingkari hak-hak isteri menyangkut nafkah atau
harta bersama mereka. Demikian agama menetapkan perlunya saksi
dalam terlaksananya pernikahan, atau paling sedikit adanya
pengumuman tentang pernikahan tersebut.47
Dalam hukum Islam (fiqh) tidak menyebutkan secara rinci
atau tersurat bahwa pencatatan perkawinan merupakan salah satu
syarat sahnya perkawinan, tetapi hanya menyebutkan ketentuan umum
bagi syarat sah perkawinan, yaitu adanya calon mempelai laki-laki dan
perempuan, adanya dua orang saksi. wali, ijab-kabul dan mahar.
Walau demikian. bukan berarti hukum Islam menafikan adanya
pencatatan perkawinan, karena pencatatan tersebut mendatangkan
mashlahat bagi masing-masing pasangan suami-isteri. harta bersama
dan anak dari hasil perkawinan. Tujuan dari Shari'at Islam
adalah mendatangkan mashlahat dan menghindarkan (مقاصد الشریعة)
bahaya Karena perkawinan yang tidak dicatat oleh pemerintah menimbulkan
madharat, kepada isteri, anak dan harta perkawinan/harta bersama,
maka pencatatan perkawinan oleh pemerintah menurut hukum Islam
47 M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 216.
65
dapat dipandang sebagai masalah darurat. Ketentuan umum bagi
sahnya suatu perkawinan yang telah disebutkan di atas adalah hasil
ijtihad, karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al Quran dan
Hadis. Hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad dapat berubah
sesuai dengan kondisi, selama perubahan hukum itu untuk
kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadis,
atau maqashid syari'ah. berdasarkan qaidah fiqhiyyah.
"Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman". Atas dasar itulah sehingga MUI menyampaikan pernyataan
dan ajakan kepada umat Islam Indonesia, agar dalam melaksanakan
perkawinan, tetap berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum yang
telah ditetapkan oleh Negara, yaitu mengacu pada Undang-undang
Perkawinan No I. tahun 1974.48
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia,
sangat jelas mengharuskan adanya pencatatan perkawinan demi
terjaminnya ketertiban dan mencegah terjadinya persengketaan tanpa
penyelesaian. Hal ini berlaku juga pada hampir di seluruh negara
berpenduduk mayoritas muslim.
Pada abad 20 salah satu fenomena yang muncul di dunia
Islam adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan,
perceraian dan warisan) di Negara-negara berpenduduk mayoritas
muslim. Turki misalnya melakukannya pada tahun 1956, Mesir 1920,
Iran 1931, Syiria 1953, Tunisia 1956, Pakistan 1961 dan Indonesia
1974.49
48 MUI, Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta : Depag RI, 2003), 163, 164. 49 M. Atho’ Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di
Dunia Islam Modern, 1
66
Adapun cara yang dipergunakan untuk pembaharuan itu
bermacam-macam. Ada yang bersifat kodifikasi. dan ada yang bersifat
pengaturan administrasi. Jika Undang-undang tentang hukum keluarga
di dunia Islam pada abad ke 20 itu kita cermati, sedikitnya ada 13
masalah yang mendapat perhatian, di antaranya adalah masalah
pendaftaran dan pencatatan perkawinan.50
Adapun 13 (Tiga belas) masalah tersebut adalah :
1. Pembatasan umur perkawinan
2. Masalah peranan wali
3. Masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan
4. Masalah maskawin dan biaya kawin
5. Masalah poligami
6. Masalah nafkah
7. Masalah talak dan cerai
8. Masalah hak-hak wanita yang dicerai
9. Masalah masa hamil dan akibat hukumnya
10. Masalah pemeliharaan anak
11. Masalah hak waris anak
12. Masalah wasiat
13. Masalah keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga.51
Salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dapat
menghilangkan hak-haknya adalah nikah yang tidak dicatat, atau nikah
di bawah tangan. Pencatatan nikah memperkuat kesaksian dan
publikasi suatu pernikahan yang dianjurkan oleh syari'at Islam. Nabi
Muhammad SAW bersabda :
50 M. Atho’ Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di
Dunia Islam Modern, 208, 209 51 M. Atho’ Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di
Dunia Islam Modern, 209.
67
52
Artinya:"Umumkan perkawinan dan jadikanlah akad nikah itu di masjid, serta pukullah rebana” (HR. at-Tirmidzi melalui Aisya ra)
Oleh karena itu pula, siapa yang diundang ke walimah al-'urs
(pesta pernikahan), maka ia sangat dianjurkan untuk menghadirinya.
Jika dia tidak berpuasa, maka hendaklah dia makan dan bila berpuasa
cukup mengahadirinya saja.
Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan dengan
terjalinnya hubungan pernikahan itu, tetapi juga untuk menjadi saksi,
sehingga dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi
muncul, atau penganiayaan yang dapat terjadi atas salah satu pasangan.
Sering terjadi hubungan seks di luar pernikahan dengan dalih nikah
sirri atau nikah di bawah tangan. Meskipun nikah di bawah tangan itu
kelihatannya serupa dengan perkawinan yang dicatat, tetapi pada
hakikatnya ia tidak sejalan dengan perkawinan yang sah menurut
ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama dan negara.
Berhubungan dengan banyaknya madharat yang ditimbulkan
oleh perkawinan di bawah tangan, maka perkawinan harus dicatat oleh
pejabat yang berwenang yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam
hal ini adalah KUA.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pencatatan
nikah pada pejabat/pegawai pencatat nikah, dapat difikihkan dan dapat
digolongkan sebagai salah satu bentuk hukum fikih Islam kontemporer
dan hukum fikih Indonesia, karena hal ini demi kemaslahatan bagi
orang-orang yang melakukan akad dan anak-anaknya. Tujuan syariat
Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Menurut Imam al Ghazali,
bahwa pada prinsipnya, mashlahah adalah mengambil manfaat dan
52 Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, (Bairut – Libnan; Dar al Kutub al Ilmiyah, t.th.), Jilid II,. 47, 48.
68
menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan
syara’.53 Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang
dikemukakan oleh ulama Usul Fikih, tetapi semua definisi yang
mereka kemukakan mengandung esensi yang sama.54
f. Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami, akan tetapi
tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami,55 selama hukum
agamanya mengizinkannya.56
Hukum Islam pada dasarnya menganut prinsip monogami,57
karena bagi orang yang hendak menikah lebih dari satu, disyaratkan
agar dapat berbuat adil dan mampu membiayai para istri dan anak-
anaknya.58
Menurut Mahmud Shaltut Mantan Shekh al-Azhar di Mesir,
hukum poligami adalah mubah, yakni dibolehkan selama tidak
dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika
terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya
penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa
yang dikhawatirkan itu, dianjurkan agar mencukupkan beristeri satu
orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan
berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan
kekhawatiran "akan terjadinya penganiayaan59 yaitu penganiayaan
terhadap para isteri dan anak-anaknya,60 karena beban nafkah
53 Al Ghazali, al Mustasfa Fi Ilm al Usul, (Bairut: Dar al Kutub al
Ilmiyyah, 1983), Jilid I, 286. 54 Nasrun Haroen, Usul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), cet
III, 114. 55 Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenis di waktu yang
bersamaan. Berpoligami, menjalankan (melakukan) poligami. Poligami, sama dengan poligini, yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama – Lihat : Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pusataka, 1988), cet. I, 693.
56 Pembahasan tentang poligami dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat pada pasal 3, 4 dan 5.
57 Monogami adalah system yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu – Lihat : Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 591.
58 Lihat q.s. al-Nisa/4 : 3. 59 Prof. DR. Mahmud Shaltut, Islam Aqidah wa Shari’ah, (Mesir: Dar al-
Qalam, 1966), cet. III, 269. 60 Lihat : Al-Shafi’i, Ahkam Al-Qu’an, (Beirut-Libnan: Dar al-Kutub al-
Islamiyyah, 1400 H / 1980 M), jilid I, 180
69
bertambah, akibatnya suami berbuat zalim dan tidak adil kepada para istri
dan anak-anaknya.
Zamahshari dalam kitabnya tafsir al-Kashshaf mengatakan,
bahwa poligami menurut syari'at Islam adalah merupakan suatu rukhshah
(kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir
dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa ramadhan ketika dalam
perjalanan. Darurat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan tabiat laki-
laki dari segi kecendrungannya untuk bergaul lebih dari seorang isteri.
Kecenderungan yang ada pada diri seseorang laki-laki itulah seandainya
syari'at Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami, niscaya akan
membawa kepada perzinaan, oleh sebab itu poligami diperbolehkan dalam
Islam.61
Dasar hukum poligami disebutkan dalam surah al-Nisa' ayat 362
Dalam ayat ini disebutkan, bahwa para wali yatim boleh mengawini
perempuan yatim asuhannya dengan syarat harus adil,63 yaitu harus
memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain.
61 Muhammad al-Bahy, al-Islam wa Tijah al-Mar’ah al-Mu’ashirah, (Mesir:
Maktabah Wahbah, 1978), 42. 62
)3( Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia: Khadim al-Haramain al-Sharifain, t.th), 115
63 Adil menurut istilah para fuqaha adalah meninggalkan dosa-dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa kecil dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk seperti makan dan kencing di jalan. Ada pula yang mengatakan, bahwa adil adalah netral dan konsisten serta cenderung kepada yang hak / kebenaran. Lihat : Al Jurjani, al-Ta’rifat, (Bairut-Libnan: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyah, 1424 H / 2003 M), cet. II, 150.
70
Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ketika ditanya oleh Urwah bin al-
Zubair RA mengenai maksud ayat 3 surah al-Nisa itu, 64
Sehubungan dengan maksud tersebut, Shekh Muhammad Abduh
mengatakan : Haram berpoligami, bagi seseorang yang merasa khawatir
akan tidak berlaku adil65
Jadi maksud ayat 3 surah al-Nisa’ itu, boleh kamu mengawini
perempuan yatim dalam asuhanmu dengan syarat adil. Bila tidak dapat
demikian, hendaklah kamu memilih perempuan yang lain saja. Sebab
perempuan selain perempuan yatim yang dalam asuhanmu banyak
jumlahnya dan kamu boleh kawin sampai empat isteri dengan syarat
mampu berbuat adil. Bila dengan kawin empat kamu tidak dapat berbuat
adil, maka kawinlah seorang perempuan saja,66 yaitu kawin monogami.
Nabi Muhammad SAW. selama menikah dengan Khadijah
tidak berpoligami. Beliau monogami selama ± 27 tahun. Setelah
meninggal Khadijah dan pada waktu itu setelah hijrah ke Madinah terjadi
peperangan melawan orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin,
banyak janda para Shuhada’. Beliau poligami dengan janda-janda
pahlawan Islam yang gugur dalam peperangan demi menghibur mereka.
Adapula di antara isteri beliau yang berjumlah 9 orang itu, adalah kawin
karena politik atau dakwah seperti Juwairiyah puteri dari pimpinan orang
kafir yang dalam peperangan ia ditawan oleh kaum muslimin, lalu ia
masuk Islam, kemudian dibebaskan oleh Nabi dan dinikahinya. Setelah
Nabi menikahinya, keluarga dan kaumnya semua masuk Islam. Jadi Nabi
berpoligami hanya untuk menghibur janda para Shuhada’ dan kawin karena
politik dan dakwah. Hal ini dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW
mempunyai 9 isteri, semuanya janda kecuali Aishah yang gadis.67 Allah
SWT memperbolehkan poligami dengan syarat harus adil. Mengenai
64 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990), 16. 65 Muhammad al-Bahy, al Islam wa Tijah al Mar’ah al Mu’asirah,, 45 66 Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam
Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), cet. I, 150. 67 Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam
Kontemporer, 150.
71
keadilan ini, bila dikaitkan dengan firman Allah dalam surah an-Nisa' ayat
129,68 yang mengatakan bahwa para suami tidak akan bisa berlaku adil
terhadap para istrinya,
Karena itu janganlah para suami terlalu cenderung kepada yang
mereka cintai, sehingga mereka biarkan yang lain terkatung-katung",
menunjukkan bahwa poligami dibolehkan sesuai dengan syarat yang telah
dikemukakan di atas yaitu mampu berlaku adil. Dengan demikian, antara
ayat 3 dan ayat 129 surah an-Nisa’ tidak terdapat pertentangan. Keadilan
yang dimaksud pada ayat 3 tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat
dikerjakan oleh manusia, bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang.
Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum
dalam ayat 129 surah an-Nisa’ itu adalah adil dalam cinta dan kasih
sayang, atau adil hati dan jima.69
Ini memang logis, adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab
gairah untuk memberikan nafkah batin tidak selalu ada. Asalkan perbuatan
itu tidak disengaja, maka itu tidak berdosa.
Meskipun poligami dibolehkan dalam Islam, tetapi hanya dalam
keadaan terpaksa atau darurat. Muhammad Rashid Rida mencantumkan
beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:
1) Isteri mandul
2) Isteri mempunyai penyakit dapat menghalangi suaminya memberikan
nafkah batin.
3) Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa, sehingga isterinya
haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong.
68
Artinya: “sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu,
walaupun kamu ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
69 Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, 152.
72
4) Bila suatu daerah yang jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-
laki sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita
yang berbuat serong.70
Islam membolehkan adanya poligami dengan syarat adil, bukan
untuk menghidup suburkan tirani dan dominasi kaum laki-laki dan
perbudakan atas perempuan, tetapi sebagai jalan keluar dari kesulitan yang
dialami oleh keluarga.71 Sehubungan dengan ini Mutahhari mengatakan,
bahwa poligami bukan penghancuran perkawinan, tetapi merupakan
sumber perlindungan bagi monogami, karena dengan diperbolehkannya
poligami, maka berbagai bentuk penyelewengan laki-laki (suami) dengan
affair-affair cinta terselubung yang akan mengancam perkawinan dapat
diatasi.72
Kalau suami tidak berlaku adil kepada istrinya, berarti ia tidak
mu’asharah bi al-Ma’ruf kepada istrinya, sebagaimana diperintahkan
Allah dalam Al Quran surah al-Nisa’ ayat 19.
70 Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (al-Qahirah: t.p., t.th), Jilid IV, 350 71 Isnawati Rais, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: BALITBANG,
2006), 125 72 Surah An-Nisa Ayat 19 yaitu :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
73
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kalau beristri lebih
dari satu (berpoligami), menurut Hukum Islam, harus memenuhi berbagai
persyaratan, baik formal,73 maupun materiil,74 demi mewujudkan
kemaslahatan rumah tangga dan kebahagian keluarga. Dengan demikian
maka ketentuan untuk berpoligami yang disebutkan dalam UU No. 1
tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan adalah diadopsi dari ketentuan
Shariah dan Hukum Islam.
2. Syarat-syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terdapat pada pasal 6 s/d pasal 12.
Berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan disebutkan juga dalam
KHI Buku I tentang perkawinan, tetapi dalam KHI Buku I tentang
Perkawinan tersebut digabungkan dengan rukun, dengan topik : “Rukun75
dan Syarat76 perkawinan” yaitu terdapat pada pasal 14 s/d pasal 29.
73 Syarat formal adalah keharusan suami yang hendak berpoligami itu mengikuti
prosedural yang ditentukan oleh UU No. I Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Karena mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan atau peraturan lainnya yang ditetapkan oleh penguasa/pemerintah wajib hukumya di samping mematuhi perintah Allah dan Rasulnya, sebagaimana diperintahkannya dalam q.s. al-Nisa’/4 : 59 dan ketentuan qaidah fiqhiyah yang mengatakan :
“Keputusan/ketetapan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat”.
74 Syarat meteriil adalah kondisi ekonomi dan kemampuan suami yang hendak berpoligami itu secara fisik untuk melaksanakan kewajiban dan fungsi sebagai kepala keluarga. Kewajiban tersebut meliputi bidang yang cukup luas, mencakup penyediaan rumah tempat tinggal (Sukna), nafkah/biaya hidup setiap hari, pakaian (kiswah), perabot rumah tangga dan termausk pula biaya pengobatan para istri dan anak-anaknya. Di samping itu, suami juga mempunyai kemampuan untuk berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya, yang pada umumnya sulit dipenuhi dalam arti yang sebenarnya, terutama adil dalam cinta dan kasih sayang.
75 Rukun dalam istilah fikih adalah sesuatu menjadi sempurna dengan adanya rukun itu dan dia masuk dalam bagian sesuatu itu, seperti membaca fatihah dalam salat. Tidak sah salat tanpa baca fatihah, karena membaca fatihah termasuk salah satu rukun salat – Lihat : Ali al Jurjany al Ta’rifat, (Bairut-Libnan: Dar al Kutub al Islamiyah, 2003 H / 1424 H), cet. II, 115.
76 Syarat dalam istilah fikih adalah adanya sesuatu tergantung dengannya syarat itu, tetapi tidak termasuk dalam sesuatu itu, seperti berwudu’ sebagai syarat sahnya salat, tetapi tidak masuk dalam bagian salat – Lihat : Al Jurjany, al-Ta’rifat, 129.
74
Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius di
kalangan para ahli fikih yang mengakibatkan timbulnya perbedaan
pendapat dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang
tidak, bahkan dalam hal menentukan mana yang masuk rukun dan mana
yang masuk syarat, sebagian ulama memasukkan rukun sebagai syarat dan
adapula di antara mereka memasukkan syarat sebagain rukun. Hal ini
dapat dilihat pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada BAB
II, tidak memasukkan dalam BAB ini masalah rukun perkawinan, tetapi
hanya menyebutkannya sebagai syarat-syarat perkawinan, berbeda dengan
KHI Buku I tentang Perkawinan, menyebutkan rukun dan syarat
perkawinan secara bersamaan, pada hal substansinya sama.
Berkenaan dengan perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam
menentukan rukun dan syarat nikah dapat dilihat pada pendapat mereka
tentang “ijab dan qabul” ketika akad nikah. Al Sayid Sabiq menyimpulkan
pendapat para fuqaha, bahwa rukun nikah terdiri dari “ijab dan kabul”.77
Abd. Rahman al Jaziry mengatakan, bahwa termasuk rukun dalam akad
nikah adalah “ijab dan kabul” tidak sah nikah tanpa “ijab dan kabul”.78
Menurut ulama Hanafiyah, rukun nikah, hanya “ijab dan kabul”. Menurut
jumhur ulama rukun nikah ada empat, yaitu : sighah (ijab dan kabul), istri
dan calon suami serta wali.79
Menurut ulama shafi’iyah, syarat nikah/perkawinan adalah sighah
(ijab dan kabul), wali, calon suami istri dan saksi. Sedangkan rukunnya
ada lima yaitu : calon suami istri, wali, dua orang saksi dan sighah (ijab
kabul). Menurut ulama Malikiyah, rukun nikah ada lima, yakni wali,
mahar, calon suami-istri dan sighah (ijab kabul).80
77 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 29. 78 Abd. Rahman al Jaziry, Kitab al Fiqh ‘Ala al-Madhahib al-Arba’ah, 12. 79 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar
al-Fikr, 1409 H/1989 M), cet. III, Jilid VII, 36. 80 Abd. Rahman al Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘Ala al Madhahib al-Arba’ah, 12-13.
75
Dari pendapat para fuqaha yang telah disebutkan di atas, jelas
kelihatan bahwa para fuqahah itu bukan hanya berbeda pendapat dalam
menggunakan kata rukun dan syarat, tetapi juga berbeda dalam
perinciannya. Ulama shafi’iyah menjadikan dua orang saksi sebagai rukun
nikah/perkawinan, sedangkan ulama Malikiyah tidak menjadikan saksi
sebagai rukun, karena menurut Malikiyyah sah nikah tanpa saksi jika saksi
berhalangan hadir, yang penting akad nikah yang dilaksanakan itu
diumumkan sebelum terjadi dukhul (percampuran) antara suami-istri.81
Perbedaan pendapat fuqaha dalam memposisikan apa yang disebut
rukun dan apa yang disebut syarat, juga kelihatan dalam UU No. 1 tahun
1974 dan KHI tentang Perkawinan.
Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak disebutkan
sighah ijab qabul dalam syarat perkawinan dan tidak pula dalam rukun
perkawinan, karena dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
tersebut tidak menyebutkan rukun perkawinan, padahal menurut Wahbah
al-Zuhaily, fuqaha sepakat mengatakan, bahwa sighah ijab qabul adalah
salah satu rukun nikah, karena dengan shighat itu terjalin ikatan antara satu
dengan yang lainnya dari dua orang yang melakukan akad.82
Mengingat perkawinan pada dasarnya merupakan ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan
akad nikah, maka perlu dipersyaratkan adanya persetujuan kedua calon
mempelai. Wahbah al Zuhaily mengatakan bahwa persetujuan kedua
mempelai termasuk salah satu syarat nikah.83 Hal ini telah diadopsi oleh
81 Alasan Imam Malik dalam pendapatnya, bahwa sah nikah tanpa saksi bila
saksi berhalangan, yang penting diumumkan sebelum dukhul adalah hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Ahmad disahihkan oleh Al Hakimdari Amir bin Abdillah bin Zubair dari ayahnya :
“Umumkan/publikasikan akad nikah” (lihat : Al-San’any, Subul al-Salam (al-Qahirah: Dar al Hadis, 1425 H / 2004M), Jilid III, 159.
82 Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 36. 83 Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 36.
76
UU No. 1 tahun 1974 pada pasal 6 ayat (1), dan KHI tentang Perkawinan
pada pasal 16 ayat (1).
Selanjutnya berkenaan dengan pembatasan usia bagi yang hendak
menikah, minimum 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon
istri, menurut UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan,84 hal ini
guna kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
Dalam hal syarat batas usia minimum tidak terpenuhi, maka untuk
berlangsungnya perkawinan harus terlebih dahulu memperoleh dispensasi
dari pengadilan.
Pada dasarnya, hukum fikih Islam tidak memberikan batasan usia
minimal pernikahan secara definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah
usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyah85 al ada’ wa al wujub),
sebagai ketentuan Sinn al rushd (usia dewasa)86.
MUI telah memfatwakan berkenaan dengan perkawinan di bawah
umur sebagai berikut :
a. Pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya
syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudharat.
b. Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya
tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumah tangga dan
bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.
c. Guna merealisasikan kemaslahatan, ketentuan perkawinan
dikembalikan pada standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai pedoman.87
84 Lihat UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat (1), dan KHI
tentang Perkawinan pasal 15 ayat (1). 85 Ahliyah adalah ibarat tentang kelayakan seseorang untuk menerima hak, atau
memikul kewajiban. Jadi Ahliyah al Ada’ adalah kelayakan/kecakapan berbuat. Sedangkan Ahliyah al wujub adalah kelayakan/kecakapan menerima hak – Lihat : Ali al Jurjany, Al-Ta’rifat, 43
86 Lihat : q.s. al-Nisa’ / 4 : 6 87 MUI, Hasil-hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III, (Padang
Panjang: Tim Materi Ijtima’ Ulama, 1430 H/2009 M), 16, 17
77
Adapun dampak perkawinan dini, atau di bawah umur,88 hasil
penelitian menunjukkan, bahwa perkawinan dari pasangan yang belum
mencapai tingkat kedewasaan fisik dan mental merupakan salah satu
faktor penyebab kegagalan perkawinan.89 Di samping itu perkawinan di
bawah umur ini membawa pengaruh yang amat besar terhadap kesehatan
ibu dan anak, seperti tingginya angka kematian ibu, bayi dan anak serta
kecacatan mental. Perkawinan di bawah umur/perkawinan dini banyak
mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga menuju keluarga
bahagia dan sejahtera. Hal ini disebabkan suami dan istri yang masih
berusia muda, segi emosi anaknya lebih menonjol dibandingkan dengan
pemikiran dan pertimbangan akalnya yang sehat. Kondisi kejiwaan yang
demikian itu mengakibatkan kekurang-mampuan dalam pengendalian diri,
kesulitan dalam mewujudkan saling pengertian yang mengakibatkan
terjadinya konflik antara suami istri yang mereka sendiri belum dapat
mengatasinya, sehingga menimbulkan akibat yang lebih fatal, yaitu
terjadinya perceraian.90
Jika perkawinan itu telah menghasilkan keturunan, maka akibatnya
tidak hanya menimpa suami atau istri, tetapi juga menimpa anak-anak dan
putusnya hubungan kekeluargaan dari dua keluarga besar yang sudah
terjalin dengan perkawinan.
88 Perkawinan di bawah umur, ialah perkawinan yang terjadi pada pasangan
yang belum mencapai tingkat kedewasaan fisik dan mental. Kematangan fisik pada umumnya terjadi pada umur 17 tahun. Kematangan emosional pada umur 21 tahun. Kematangan berfikir pada umur 16-18 tahun – Lihat : MUI dan UNICEF, Ajaran Islam dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda, (Jakarta: Dewan Pimpinan MUI, 1411 H/ 1991 M), 49.
89 Lihat MUI dan UNICEF, Ajaran Islam dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda, 49.
90 Pada dasarnya agama Islam mencegah terjadinya perceraian walaupun perceraian itu dibolehkan sebagai salah satu jalan penyelesaian dari kemelut rumah tangga yang tidak teratasi. Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam sabdanya :
“”
“Halal yang paling dibenci Allah ialah talak (perceraian), (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan al Hakim dari Ibnu Umar) – Lihat : Jalaluddin al-Suyuti, al Jami’ al Saghir, 4.
78
Dengan adanya perceraian itu, anak-anak terombang-ambing oleh
perilaku ayah dari ibunya yang tidak lagi rukun dalam merawat dan
membina mereka dalam suatu keluarga yang damai dan sejahtera. Mereka
kehilangan kasih sayang, kehilangan tempat mengadu dan berlindung.
Sebaliknya perkawinan usia dewasa, dimana suami dan istri telah
mempunyai kedewasaan jasmani dan rohani, kematangan fisik dan mental,
pemikiran dan pertimbangan yang sehat lebih menonjol dari pada
emosionalnya. Kondisi ini memungkinkan suami dan istri mempunyai
kemampuan untuk memelihara dan membina rumah tangga melalui
musyawarah dan saling pengertian. Itulah sebabnya, kedewasaan jasmani
dan rohani mutlak diperlukan untuk memasuki gerbang perkawinan
sebagai cikal bakal bagi terbentuknya keluarga sakinah,91 mawaddah92 wa
rahmah,93 keluarga bahagia dan sejahtera, yang menjadi tujuan
perkawinan. Oleh sebab itu ketentuan umur minimalnya, boleh menikah
yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan
tidak bertentangan dengan hukum fikih Islam dan ini sudah menjadi
hukum fikih Indonesia, karena dalam fikih Islam tidak menetapkan batas
91 Kata al Sakinah berarti ketenangan – lihat : al Majma’ al Lughah al Arabiyah,
al Mu’jam al Wasit, (Mishr: Dar al Ma’arif, 1392 H / 1972 M), jilid I, h. 440- Menurut M. Quraish Shihab, bahwa kata “sakinah” tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak, apapun bentuk gejolak tersebut. Cinta yang bergejolak didalam hati dan diliputi oleh ketidak pastian, yang mengantar kepada kecemasan akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman hati bila dilanjutkan dengan perkawinan-lihat : M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 80,81
92 Kata Mawadah menurut M. Quraish Shihab, adalah cinta plus yang sejati, karena di dalam hati yang mencintai bersemai mawaddah tidak bagimemutuskan hubungan, seperti yang terjadi pada yang bercinta. Ini disebabkan oleh karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir danbatin yang mungkin datang dari pasangannya-lihat : M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, 88,89
93 Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidak berdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberlakukan pemberdayaan. Karena itu dalam keluarga, masing-masing suami istri akan sungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.-lihat : M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, 91.
79
usia minimal untuk menikah bagi pria dan wanita, tetapi dari sisi maslahat
menurut Usul fikih, hal ini sesuai dengan maqasid al shari’ah”.
Mengenai larangan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebutkan dalam pasal 8 sebagai berikut : Perkawinan
dilarang antara dua orang yang :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas (vertikal).
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
seorang saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya (horizontal).
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan saudara
susuan, dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
Larangan perkawinan ini disebutkan pula dalam KHI tentang
perkawinan pasal 70. sub D dan pasal 7 sub B, dengan istilah batalnya
perkawinan dalam Bab XI, sama dengan istilah dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Berkenaan dengan larangan perkawinan tersebut dinyatakan dalam
QS. al-Nisa’ : 23, 24.94
94
80
Perempuan yang dilarang untuk dinikahi menurut fikih Islam
disebut mahram.95
Tidak semua wanita boleh dikawini oleh seorang pria, tetapi
syarat wanita yang boleh dikawini hendaklah dia bukan orang yang haram
bagi pria yang akan mengawininya, baik haramnya untuk selamanya96
ataupun untuk sementara97.
Adapun wanita-wanita yang haram selamanya dinikahi
disebabkan karena nasab, karena perkawinan dan karena susuan. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Nisa : 23
1) Perempuan yang haram untuk dinikahi karena nasab, yaitu :
Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Demikian (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
95 Mahram ialah orang perempuan atau laki-laki masih termasuk sanak dekat sehingga tidak boleh menikah di antaranya. Mahram juga berarti orang laki-laki yang dianggap dapat melindungi wanita yang akan melakukan ibadah haji, suami, anak laki-laki, dan sebagainya. Lihat : Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,h. 543 – Lihat pula : Majma’ al-Lughah al’Arabiyyah, Al Mu’jam al Wasit,(Misr: Dar al Ma’arif, 1392 / 1972 M), jilid I, 169.
96 Wanita yang haram selamanya dinikahi, yaitu perempuan yang tidak boleh dikawini oleh pria sepanjang masa. Lihat : Wahbah al Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu, 130.
97 Wanita yang haram sementara, yaitu wanita yang tidak boleh dikawini selama waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu. Bilaman keadaannya sudah berubah haram sementaranya hilang dan menjadi halal untuk dinikahi. Lihat Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 61.
81
a) Ibu98 kandung
b) Anak perempuan99
c) Saudara perempuan100
d) Bibi dari pihak ayah101
e) Bibi dari pihak ibu102
f) Anak perempuan saudara laki-laki
g) Anak perempuan saudara perempuan103
2) Perempuan yang haram selamanya karena perkawinan :
a) Ibu istri,104
Haramnya menikahinya ini tidak disyaratkan adanya persetubuhan
atau tidak, tetapi semata-mata karena telah terjadi perkawinan.
b) Anak tiri105
Berdasarkan firman Allah dalam QS. al-Nisa : 23.106
98 Yang dimaksud dengan ibu yaitu perempuan yang melahirkan kamu.
Termasuk dalam pengertian ibu yaitu ibu sendiri, ibunya ibu, neneknya ibu, ibunya bapak, neneknya bapak dan terus ke atas.
99 Anak perempuan maksudnya semua anak perempuan yang kau lahirkan atau cucu perempuan dan terus ke bawah. Termasuk dalam pengertian anak perempuan yaitu anak perempuan anak kandungmu dan anak-anak perempuannya.
100 Saudara perempuan maksudnya semua perempuan yang lahir dari ibu bapak kamu atau dari salah satunya.
101 Bibi dari pihak ayah maksudnya semua perempuan yang jadi saudara ayahmu atau datukmu baik yang lahir dari kakek dan nenekmu maupun dari salah satunya. Adakalanya bibi perempuan dari pihak ibu yaitu saudara perempuan bapaknya ibu kamu.
102 Bibi dari pihak ibu maksudnya semua perempuan yang menjadi saudara ibu kamu dari nenek dan kakek kamu salah satunya. Terkadang ada juga saudara perempuan ayah yaitu saudara perempuan dari ibunya ayahmu.
103 Anak perempuan saudara laki-laki yaitu anak perempuan saudaramu laki-laki baik sekandung maupun tiri. Termasuk juga dalam pengertian ini anak perempuannya saudara perempuan.
Penjelasan catatan kaki No. 88 s/d 93 lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 62, 63.
104 Yang termasuk dengan ibu istri, neneknya daripihak ibu, atau daripihak ayah dan terus keatas. Inilah yang dimaksud dalam surah An-Nisa’ : 23 وأمھا ت نسائكم" ” dari ibu-ibu istrimu (Q.S. al-Nisa : 23)
105 Yang dimaksud dengan anak tiri yang haram dinikahi adalah perempuan yang ibunya sudah digauli. Termasuk dalam pengertian ini anak perempuan dari anak perempuan tirinya, cucu-cucu perempuannya dan terus ke bawah, karena mereka termasuk dalam pengertian anak perempuan dari istrinya.
106
82
Anak tiri perempuanmu maksudnya anak istri kamu dari
perkawinanya dengan laki-laki lain. Anak tiri ini dinamakan oleh
Al Quran sebagai “Rabibah” karena laki-laki tadi mendidik dan
memelihara sebagaimana ia mendidik dan memelihara anaknya
sendiri.107 Sedangkan firman Allah dalam surah al Nisa’ : 23 yang
menyebutkan :
“yang dalam pemeliharaanmu”, adalah menerangkan
kebiasaan yang berlaku dari anak tiri yaitu biasanya ia ikut ke
rumah bapak tirinya, dan bukan berarti ayat tersebut menunjukkan
pembatasan bahwa anak tiri yang tidak ikut diurus oleh bapak
tirinya lalu boleh dikawini olehnya sesudah bercerai dengan
ibunya. Tetapi menurut Mazhab Zahiri ayat tersebut sebagai
pembatasan. Jadi anak tiri yang tidak ikut diurus oleh ayah tirinya
boleh dikawininya. Pendapat seperti ini diriwayatkan juga dari
beberapa orang sahabat,108 berdasarkan riwayat Anas bin Malik,
bahwa ia pernah bertanya kepada Ali bin Abi Talib tentang makna
firman Allah surah al Nisa’ : 23 :
“Dan anak-anak tirimu perempuan yang ada dalam tangan kamu”.
Lalu katanya : apakah ia ada dalam asuhannya?. Larangan tersebut
berlaku jika anak tirimu perempuan ada dalam asuhanmu.
Artinya:”Dan anak tiri perempuan kamu yang dalam pemeliharaanmu, dari istri
yang telah kamu gauli, jika kau belum menggauli mereka, maka tidaklah salah bagimu kawin dengannya”.
107 Lihat : Majma’ al Lughah al’Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, 321. Lihat pula : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa adilatuhu, 133.
108 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, 133.
83
Jumhur Ulama menolak pendapat ini, karena Hadis ini daif, yang
diriwayatkan oleh Ibrahim bin ‘Ubaid dari Anas bin Malik dari Ali
bin Abi Talib.
Ibrahim ini tidak dikenal. Sedang kebanyakan ulama menolak dan
memperselisihkannya.109
c) Istri anak kandung,110 sebagaimana firman Allah :
“Dan istri-istri anak kandung kamu”. (Q.S al-Nisa : 23)
d) Ibu tiri.
Diharamkan anak mengawini ibu tirinya111 karena
perkawinannya dengan ayahnya, sekalipun belum pernah
digaulinya.
Kawin dengan ibu tiri ini oleh Allah diterangkan
keburukannya dalam semua segi. Allah menyebut perbuatan
tersebut termasuk dengan perbuatan keji (فاحشة) mengisyaratkan
pada keburukannya menurut akal, juga disebutkan Allah sebagai
perbuatan yang keji (ومقتا), menunjukkan tingkat keburukannya
menurut agama. Sedangkan firman Allah yang mengatakan bahwa
menikahi ibu tiri adalah “jalan yang paling buruk” (وساء سبیال),
menunjukkan tingkat keburukannya menurut adat.112
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Muhammad bin Ka’ab,
bahwa pada zaman jahiliyah jika seseorang meninggal dunia, lalu
109 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 64. 110 Yang termasuk mahram dari istri anak kandung adalah istri
cucunya, dan seterusnya ke bawah. 111 Q.S. al Nisa’ : 22
Artinya:"Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau, sungguh perbuatan ini sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
112 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid II, 64, 65.
84
meninggalkan istrinya, maka anaknya yang laki-laki jika ia mau, ia
lebih berhak untuk mengawininya, asalkan saja bukan ibu
kandungnya, atau jika ia mau, perempuan tadi (istri ayahnya)
dikawinkan dengan orang lain yang ia kehendaki.113
Tatkala Abu Qais bin Aslat meninggal, anaknya (Qais)
yang sudah beristeri menikahi bekas isteri bapaknya, dan tidak mau
memberikan belanja kepadanya serta memberikan hak waris sedikit
pun kepadanya. Lalu perempuan tadi datang kepada Nabi,
menceriterakan kepada beliau kejadian tersebut. Maka beliau
bersabda: Pulanglah, barangkali Allah akan menurunkan sesuatu
wahyu-Nya mengenai urusanmu. Lalu turunlah ayat 22 surah al-
Nisa’ : 114
Muhammad Shahrur dalam menafsirkan ayat 22 dan 23
surah al Nisa’ tersebut, ia mengatakan, bahwa keharaman menikahi
beberapa al aqarib, dalam keadaan apapun dan dengan alasan
apapun, perempuan-perempuan yang disebutkan dalam ayat 22 dan
23 al Nisa’ itu tidak boleh dinikahi. Ayat-ayat tersebut hanya
menunjuk pada batas minimal perempuan-perempuan yang tidak
boleh dinikahi. Artinya diluar itu bisa ditambahkan beberapa
kelompok perempuan yang tidak boleh dinikahi, seperti anak
perempuan, atau laki-laki dari bibi, atau paman karena alasan
tertentu meski tidak disebutkan dalam ayat tersebut.115
113 Al Sabuny, Rawai’ al Bayan, Tafsir Ayat al Ahkam, (Damsyiq:
Maktabah al Ghazaly, 1400 H/1980 M), jilid I, 449 114
Artinya:"Dan janganlah kamu kawin dengan ibu-ibu tiri kamu kecuali yang sudah terjadi di masa lalu karena ia merupakan perbuatan yang keji dan dibenci dan jalan yang paling buruk.
Lihat : Al Sabuny, Rawai’ al Bayan, Tafsir Ayat al Ahkam, jilid I, h. 449 dan- lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, h. 65.
115 Muhammad Syahrur, Al Kitab wa Al-Quran, Qira’ah Mu’asirah, (The Book and the Qur’an, Modern Reading), Damaskus : …, 453.
85
Penafsiran Muhammad Sahrur tersebut berbeda dengan
penafsiran para ulama, karena mereka membatasi perempuan yang
tidak boleh dinikahi itu hanya pada yang disebutkan oleh Al Quran
dan ditambah dengan yang disebutkan oleh Hadis, bahwa tidak
boleh memadu antara seorang perempuan dengan bibinya dari
sebelah ayah dan ibu.116 Penafsiran Muhammad Shahrur tersebut
bertentangan dengan Al Quran dan Hadis.
Ulama Hanafiyah berpendapat, seseorang yang berzina de-
ngan perempuan atau menyentuhnya atau menciumnya, atau
melihat kemaluannya dengan bernafsu, maka haramlah baginya
kawin dengan ibu perempuan tersebut atau dengan anak-anaknya.
Begitu juga bagi perempuan tersebut haram kawin dengan
bapaknya laki-laki tadi atau anak-anaknya.117
Sebab menurut mereka haram kawin karena perzinaan
dikiaskan dengan haram karena perkawinan, dan disamakan
dengan hukum ini segala perbuatan-perbuatan yang ada
hubungannya dengan bersetubuh (seperti: pegang atau cium) dan
perbuatan-perbuatan yang mendorong untuk bersetubuh (seperti:
melihat dan sebagainya). Meskipun seorang laki-laki berzina
dengan ibu mertuanya atau dengan anak perempuan tirinya, maka
haramlah baginya untuk kawin dengan mereka selama-lamanya.
Tetapi Jumhur Ulama' berpendapat, bahwa Zina tidak
dapat menyebabkan haram sebagaimana dengan haramnya karena
perkawinan.118
116 Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah bersabda :
“Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan bibinya dari sebelah ayah dan ibunya. (HR. al Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah).
117 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy Wa Adillatuhu, jilid VII, 133.
118 Alasan-alasan mereka sebagai berikut : Firman Allah:
Artinya : “Dan dihalalkan bagi kamu selain daripada itu”.
86
3) Perempuan yang haram dinikahi selamanya karena susuan.
Diharamkan kawin karena susuan sebagaimana haramnya
karena nasab. Yang haram karena nasab: Ibu, anak perempuan, saudara
perempuan.119 bibi dari ayah, bibi dari ibu, anak perempuan dari saudara
laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan.120
Menurut ayat ini ibu-susu sama dengan ibu kandung.
Diharamkan bagi laki-laki yang disusui, kawin dengan ibu-susunya dan
dengan semua perempuan yang haram dikawininya dari pihak ibu-
kandung.
Yang haram dikawininya menurut ayat 23 surah al-Nisa :
Ayat ini menerangkan tentang perempuan-perempuan yang dihalalkan setelah disebutkan perempuan-perempuan yang diharamkan dan di sini tidak disebutkan bahwa zina merupakan salah satu sebab haramnya mengawini perempuan. Riwayat dari Aishah dan Ibnu Umar :
Artinya: ”Bahwa Nabi pernah ditanya tentang laki-laki yang telah berzina
dengan perempuan, kemudian ia ingin mengawini perempuan tersebut atau anak perempuannya. Maka sabdanya: "Barang haram tidak mengharamkan yang halal, dan yang mengharamkan perkawinan itu hanyalah karena perkawinan." (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar dan ‘Aishah). Hukum-hukum perkawinan yang diceritakan oleh para sahabat itu adalah yang perlu-perlu, sedangkan zina telah meluas, dan tentu agama tidak boleh berdiam diri saja, tetapi nyatanya tidak ada ayat Al Quran atau Sunnah, atau Hadis Sahabat yang memberikan penjelasan, padahal masa mereka masih dekat dengan zaman Jahiliyah dimana perbuatan zina meluas di kalangan mereka. Sekiranya ada salah seorang Sahabat yang faham bahwa masalah haram kawin karena perzinaan disebutkan di dalam shari'at atau ada sebab dan hikmah hukum yang menunjukkan demikian tentulah para Sahabat akan menanyakan hal itu kepada Nabi saw., dan akan banyak pula keinginan untuk meriwayatkan hal-hal yang bisa mengganggu mereka ini Secara hukum perempuan yang dizinai tidaklah dapat masuk dalam pengertian firash (tempat tidur), karena itu tidak dapat digolongkan pada haram karena perkawinan sebagaimana halnya kalau perempuan dicium tanpa maksud birahi. Lihat : Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, jilid II, 204
119 Diriwayatkan oleh Ahmad, al Bukhary, Muslim, Abu Daud, al Nasa’i dan Ibnu Majah dari Aisyah, Rasulullah bersabda :
Artinya : “Diharamkan kawin dari susuan sebagaimana diharamkan kawin dari senasab” - Lihat : Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, jilid I, 205
120 Lihat : Q.S. al-Nisa’ : 23.
87
a) Ibu-susu, karena ia telah menyusuinya maka dianggap sebagai ibu
dari yang menyusu.
b) Ibu dari yang menyusui, sebab ia merupakan neneknya.
c) Ibu dari bapak-susunya, karena ia merupakan neneknya juga.
d) Saudara perempuan dari ibu-susunya, karena menjadi bibi susunya.
e) Saudara perempuan bapak-susunya, karena menjadi bibi susunya.
f) Cucu perempuan ibu-susunya, karena mereka menjadi anak
perempuan saudara laki-laki dan perempuan sesusuan dengannya.
g) Saudara perempuan sesusuan baik yang sebapak atau seibu atau
sekandung.
4) Perempuan yang haram di nikahi untuk sementara.
Adapun perempuan-perempuan yang haram (dilarang)
dinikahi untuk sementara, yaitu :
a) Memadu dua orang perempuan bersaudara.121
Diharamkan memadu antara dua perempuan bersaudara kandung
atau antara seorang perempuan dengan bibi dari ayahnya, atau
seorang perempuan dengan bibi dari ibunya.122
b) Istri orang lain atau mantan istri orang lain yang sedang menjalani
masa iddah.123
Diharamkan atas seorang laki-laki muslim mengawini istri orang
lain, atau mantan istri orang lain yang sedang iddah, karena
memelihara hak suaminya.124
121 Q.S. al Nisa’ : 23 122 Al Bukhary dan Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah berkenaan
dengan masalah tersebut : )أن النبي صلى اهللا علیھ وسلم نھى أن یجمع بین المرأة وعمتھا وبین المرأة وخالتھا(
Artinya : (Sesungguhnya Nabi SAW melarang memadu seorang perempuan dengan bibi dari ayahnya, atau dengan bibi dari ibunya). Lihat : Al San’any, Subul Al Salam, jilid III, 124.
123 Lihat : Q.S al-Baqarah : 228. Dalam UU Perkawinan Pasal 11 disebutkan, bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Masalah ini juga di sebutkan KHI Buku I Bidang Perkawinan pada pasal 151.
124 Lihat : Q.S. al-Nisa’ : 24
88
c) Perempuan yang ditalak tiga kali
Perempuan yang telah ditalak tiga kali tidak halal bagi suaminya
pertama, sebelum ia dikawini oleh laki-laki lain125 dengan
perkawinan yang sah, kemudian cerai dengan suami yang kedua itu
karena sudah tidak dapat lagi didamaikan.
d) Orang yang sedang ihram
Orang yang sedang ihram, laki-laki atau perempuan haram (dilarang)
kawin, baik dilakukannya sendiri, atau diwakilkan dan dikuasakan
kepada orang lain. Kawinnya orang yang sedang ihram tidak sah126,
berdasarkan Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidhy
dari Usman bin Affan mengatakna bahwa, orang yang ihram tidak
boleh kawin dan mengawinkan.127
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak
disebutkan larangan menikah atau menikahkan bagi orang yang sedang
Ihram, laki-laki atau perempuan. Tetapi larangan untuk menikahi
perempuan istri orang lain, atau mantan istri orang lain yang sedang
menjalani masa ‘iddah disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pada pasal 9 dan 11, sedangkan larangan bagi suami yang
pertama untuk menikahi mantan istrinya yang telah ditalak tiga sebelum
menikah dengan nikah yang sah dengan laki-laki lain disebutkan pada
pasal 10.
Larangan menikah dan menikahkan (menjadi wali) bagi orang yang
sedang dalam ihram haji atau umrah, disebutkan dalam KHI tentang
Perkawinan, pasal 54 ayat (1) dan (2).
3. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
125 Q.S. al Baqarah : 230
126 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 81. 127 Hadis tersebut adalah sebagai berikut :
“Orang yang ihram tidak boleh kawin dan mengawinkan” lihat : al San’any, Subul al Salam, jilid III, 168.
89
Dalam fikih Islam tidak dikenal istilah pencegahan perkawinan.
Pencegahan perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 13 s/d pasal 21 merupakan fikih Indonesia,
karena pasal-pasal tersebut adalah hasil ijtihad para Ulama Indonesia
dengan pertimbangan maslahat. Ijtihad dan pertimbangan dari para ulama
Indonesia ini sesuai dengan tujuan shariat Islam (مقاصد الشریعة), karena
tujuan shariat Islam adalah untuk kemaslahatan, baik bagi perorangan,
maupun bagi kelompok, atau masyarakat. Hal ini merupakan sebuah upaya
efektif untuk menghindarkan terjadinya perkawinan yang terlarang karena
melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.128 Pencegahan
perkawinan disebutkan juga dalam KHI buku I tentang perkawinan dari
pasal 60 s/d pasal 69, tetapi dalam KHI tentang Perkawinan tersebut
dikaitkan dengan perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan.129
Selanjutnya berkenaan dengan pembatalan perkawinan
disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 pada pasal 22 s/d pasal 28, dan
KHI tentang perkawinan pasal 70 s/d pasal 76, hanya saja dalam UU No. 1
Tahun 1974 masalah pembatalan perkawinan tidak disebutkan secara rinci
seperti dalam KHI tentang Perkawinan.
Di dalam hukum fikih Islam pembatalan perkawinan disebabkan
karena, nikah al fasid130 dan nikah al batil131. kedua istilah tersebut,
meskipun berbeda tetapi hukumnya sama.
128 Christian Kohler menyatakan, bahwa Undang-undang Perkawinan No. I
Tahun 1974 memberikan peluang besar bagi mereka yang dapat menuntut pencegahan perkawinan, mencakup semua orang yang merasa berkepentingan. Lihat : J. Prins, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta Graha Indonesia, 1982), 51.
129 Lihat KHI Buku I tentang perkawinan Pasal 60. 130 Kata “fasid” menurut bahasa diambil dari akar kata “fasad” yang berarti
rusak dan batal. Lihat : Majma’ al Lughah al ‘Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, Jilid II, h. 688. Sedangkan makna fasid menurut fuqaha (para ahli fikih) adalah sesuatu yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi tidak terpenuhi pada sifatnya, “fasid” adalah sinonim dari “batil” menurut Imam Shafi’i, lihat : Ali al Jurjany, al Ta’rifat, 168.
131 Kata “batil” menurut bahasa terambil dari akar kata “butlan” yang berarti hilang atau batal. Menurut istilah fuqaha adalah sesuatu yang tidak sah, sedangkan
90
Menurut Abd. Rahman al Jaziry, nikah fasid adalah nikah yang
tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya. Sedangkan, nikah
bathil adalah nikah yang tidak terpenuhi rukunnya. Hukum nikah fasid dan
nikah batil hukumnya sama-sama tidak sah.132
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan,
nikah fasid dan nikah batil dimasukkan dalam pasal-pasal tentang
pembatalan perkawinan bukan pada pasal-pasal tentang pencegahan
perkawinan, karena tata pencegahan perkawinan lebih tepat digunakan
sebelum perkawinan berlangsung. Sedangkan kata pembatalan perkawinan
menunjukkan bahwa perkawinan telah berlangsung, lalu ditemukan
adanya pelanggaran ketentuan-ketentuan, baik syarat, atau rukun, maupun
perundang-undangan. Walaupun pencegahan dan pembatalan itu berbeda
maknanya, tetapi akibat hukumnya sama, yaitu tidak sahnya suatu
perkawinan.133
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 22
dikatakan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.134
Di antara syarat-syarat sahnya perkawinan adalah adanya wali
dan saksi dalam akad nikah.135 Jika tidak ada wali dan saksi, maka nikah
tidak sah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
menurut istilah Ahli Usul Fikih, batil adalah sesuatu yang tidak sesuai tuntutan shar’i pada yang disyariatkannya, misalnya tidak terpenuhi salah satu rukunnya di antara rukun-rukun atau salah satu syarat di antara syarat-syaratnya, maka shari’ menghukumkannya tidak sah.
Lihat : Majma’ al Lughah al ‘Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, Jilid I, 61 dan lihat pula : Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, (Kuwait: Dar al Qalam, 1392 H/ 1972 M, cet. X, 125.
132 Abd. Rahman al Jaziry, Kitab al Fiqh ‘Ala al Madhahib al Arba’ah, 118. 133 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 52, 53 dan 61. 134 Dalam KHI tentang Perkawinan Pasal 14, disebutkan bahwa untuk
melaksanakan perkawinan harus ada : a. Calon suami; b. Calon istri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi; dan e. Ijab dan kabul.
135 Lihat : KHI tentang perkawinan pasal 14, 25, sedangkan dalam UUP No. 1 / 1974 mengenai wali dan saksi tidak disebutkan dalam syarat-syarat perkawinan.
91
Menurut Ibnu Rushd dalam Bidayah al-Mujtahid, bahwa ulama
berbeda pendapat tentang hukum nikah tanpa wali136, atau akad nikah yang
ijabnya diucapkan sendiri oleh wanita yang akan menikah atau
mewakilkannya kepada seorang wanita. Mereka terbagi kepada empat
pendapat (mazhab).
Pertama: Pendapat Jumhur Ulama, Shafi'i, Malik dalam riwayat
Ashhab dan Ahmad bin Hanbal, bahwa tidak sah nikah tanpa wali
didasarkan pada argumentasi dalam Q.S. al Nur : 32, al Baqarah : 221 dan
232.137 dan Hadis Nabi SAW.
136 Menurut bahasa kata wali berasal dari bahasa Arab yang kata dasarnya
adalah, waliya-yaly, atau walayah, yang berarti “Nusrah” (pertolongan), mahabbah (cinta) dan “sultah” (kekuasaan dan kemampuan).
Lihat : Ibnu Manzhur, Lisan al Arab, h. 287, 407 dan 408. Lihat pula : Muhammad bin Ya’qub Fairuz Abady, al Qamus al Muhit, (Bairut : Dar al Fikr, 1995), 1209.
Sedangkan menurut istilah fikih, al walayah adalah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap urusan orang lain tanpa tergantung pada izinnya. Lihat : Ahmad al Hashry, al Walayah, wa al Wasayah fi al Fiqh al Islamy al Ahwal al Syakhsiyyah, (Bairut: Dar al Jil, t.th.), h.1 dan lihat pula : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy Wa Adillatuhu, 29.
Dari pengertian di atas, baik pengertian menurut bahasa, maupun pengertian menurut istilah fikih, dapat disimpulkan, bahwa al Walayah (perwalian) adalah suatu bentuk perlindungan dengan penghargaan penuh atas dasar rasa tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas tidak kekuasaan atau ketidak mampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas hartanya atau hal yang berkaitan dengan dirinya.
Dimaksudkan dengan “al walayah” (perwalian) dalam pembahasan ini adalah perwalian dalam pernikahan.
137 1) Q.S al-Nur: 32
Artinya:"Nikahkanlah orang-orang yang tidak bersuami (tidak beristeri) daripadamu... ".
2) Q.S al-Baqarah: 221
Artinya:"...Janganlah Kamu menikahkan orang-orang musyrik sehingga mereka beriman ...".
3) Q.S al-Baqarah : 232
Artinya:"(Wahai para suami) apabila kamu menceraikan isteri-isterimu kemudian selesai masa iddah mereka, maka janganlah kamu (wahai para wali) menghalangi mereka untuk menikah dengan laki-laki lain...".
92
Ayat 32 al-Nur ditujukan kepada wali. Mereka diminta untuk
menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau orang-orang yang
belum beristeri. Ini menunjukan bahwa urusan pernikahan diserahkan
kepada wali.
Ayat 221 al-Baqarah juga ditujukan kepada wali, supaya mereka
tidak menikahkan wanita-wanita Islam kepada orang-orang musyrik,
karena seandainya wanita itu mempunyai hak secara langsung menikahkan
dirinya tanpa wali, maka tidak ada artinya khitab ayat yang ditujukan
kepada wali dan yang seharusnya ditujukan kepada wanita, karena akad
nikah adalah urusan wali, maka larangan tersebut ditujukan kepada wali,
bukan kepada wanita, ini menunjukan bahwa urusan nikah terletak pada
kekuasaan seorang wali dan kalau tidak demikian, tentulah larangan
tersebut tidak ditujukan kepada wali. Atas dasar ini jelas bahwa, khitab
larangan menikahkan orang-orang musyrik tidak ditujukan kepada seluruh
kaum Muslimin sebagai pensyariatan umum, karena bertentangan dengan
syarat taklif dan perbuatan yang ditaklifkan tersebut hendaknya dapat
dikerjakan. Tidak mungkin seseorang mencegah wanita yang bukan dalam
kekuasannya untuk menikah dengan orang musyrik.
Oleh sebab itu tidak tepatlah pendapat Ibnu Rusyd yang
disebutkan dalam naskah bukunya Bidayah al-Mujtahid ketika
mengomentari ayat 221 al-Baqarah di atas, ia mengatakan bahwa ayat
tersebut lebih tepat jika ditujukan kepada Ulil Amri (Penguasa) kaum
Muslimin atau kepada seluruh kaum Muslimin dari pada terhadap wali.138
Ayat 232 al-Baqarah merupakan satu-satunya ayat yang
menunjukan kekuatan adanya wali. Kalau wali tidak diperlukan, tentulah
larangan ayat itu tidak ada artinya dan tidak ada gunanya mencegah para
wali menggunakan haknya dalam melakukan 'adhal. Kontekstual ayat ini
138 Ibnu Rushd, Bidayah Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid, (al-Qahirah;
Matba’ah al-Fajalah al-Jadidah, 1974 M/1394 H), Jilid II, 12.
93
berkenaan dengan Ma'qil bin Yasar yang telah menikahkan saudara
perempuannya, kemudian diceraikan oleh suaminya dan ditinggalkannya
sampai selesai masa iddahnya kemudian ia ingin menikahinya lagi. Ma'qil
marah dan bersumpah tidak ingin menikahkannya.139peristiwa ini
disebutkan dalam Hadis Nabi saw.140
Jadi kalau sekiranya saudara perempuan Ma'qil berhak
menikahkan dirinya, maka tidak akan turun ayat yang mencela perbuatan
Ma'qil. Selanjutnya jika ayat tersebut tidak menunjukkan kekuasaan wali,
maka tentu saja Rasulullah SAW. tidak menyuruh Ma'qil untuk membayar
kafarat atas sumpahnya dan tidak memerintahkan Ma'qil supaya
menikahkan saudaranya itu.141
Berkenaan dengan masalah wali ini, jumhur ulama juga
beragumen dengan Hadis antara lain riwayat al Bukhary dari Urwah bin
Zubair, 142 yang menunjukkan cara nikah yang terjadi pada zaman
139 Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al’Azim (al-Qahirah : Maktabah al-
Taufiqiyah, t.t.), Jilid I, 282. 140
Artinya : "Berkata Ma'qil bin Yasar: Aku mengawinkan saudara perempuanku
kepada seorang laki-laki, beberapa lama kemudian ditalaknya. Setelah habis masa iddahnya, laki-laki itu kembali melamarnya, lalu aku berkata kepadanya : Saya telah kawinkan engkau dan telah memuliakan engkau kemudian engkau talak padanya, kemudian engkau datang meminangnya (lagi), tidak, demi Allah dia tidak akan kembali lagi kepadamu selama-lamanya. Laki-laki itu tidak menghiraukan dengan ucapannya itu dan perempuan mantan isterinya ingin kembali dengannya. Maka turunlah ayat ini, dan kemudian aku (Ma'qil) bertanya kembali kepada Rasulullah apa yang mesti aku perbuat ya Rasulullah ? Kemudian Rasul menjawab kawinkanlah dia". (HR. al-Bukhari, Abu Daud dan al-Tirmidzy).
141 Lihat : Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Hadis No. 4165, 4735, 4914, 4915. 142
Artinya:"Dari 'Urwah bin Zubair : Telah berkata 'Aishah : Bahwasanya nikah di zaman Jahiliyah ada empat macam, satu dari padanya, ialah nikah orang seperti sekarang, yaitu laki-laki datang kepada seseorang meminang perempuan yang berada
94
Jahiliyah dan diterima oleh Islam yaitu seorang laki-laki meminang
perempuan kepada bapaknya atau walinya lalu walinya tersebut
menikahkannya. Cara nikah yang terjadi zaman Jahiliyah dan diterima
oleh Islam yaitu seorang laki-laki meminang perempuan kepada bapaknya,
atau walinya yang lain itu menikahkannya.
Jumhur Ulama juga berargumen pada Hadis Abi Musa yang pada
zahirnya menafikan akad nikah yang berlangsung tanpa wali,143 yaitu tidak
ada suatu pernikahan dalam kenyataan di masyarakat yang dilakukan tanpa
wali. Menurut Shafi’i yang dimaksud dengan "Tidak ada nikah kecuali
oleh wali" ialah tidak sah suatu pemikahan kecuali oleh wali. Karena
menurutnya bahwa suatu perkara yang ditiadakan oleh shara' dengan
perantaraan ال nafiyah itu haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya
adalah "sahnya". Sedangkan Abu Hanifah berpendirian bahwa sesuatu
perkara yang ditiadakan oleh syara dengan perantaraan ال nafiyah harus
dipandang bahwa yang ditiadakannya adalah "Sempurnanya". Jadi
penafian menurut Shafi’i adalah penafian keabsahan pernikahan kecuali
oleh wali. Tafsiran ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Abu
Hanifah. Beliau mengatakan bahwa penafian tersebut adalah penafian
kesempurnaan. Artinya pernikahan tanpa wali tersebut tetap sah, meskipun
tidak sempurna.144
Selain dari argumen Hadis yang telah disebutkan, jumhur Ulama
berargumen.145 146
dalam kekuasaannya atau anaknya, lalu ia tentukan mas kawinnya, kemudian ia menikahkannya" . (HR. al-Bukhari).
143
Artinya:"Dari Abi Musa berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW :Tidak
sah nikah, melainkan dengan wali". (HR. Abu Dawud, al-Tirmidhi, dan Ahmad). 144 Muhammad Abd Rauf al-Munawy, Fath al-Qadir Sarh al-Jami’ al-Saghir
Min Ahadith Li Bashir al-Nadhir, (Bairut; Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1994 M/1415H), Cet. I, Jilid VI, 566.
145
95
Pada Hadis ‘Aishah yang menerangkan bahwa aqad yang
berlangsung tanpa izin wali adalah batal hukumnya dan perempuan yang
tidak mempunyai wali disebabkan karena berselisih dengan wali, atau
karena wali ghaib atau memang karena tidak ada walinya, maka dalam
keadaan tersebut yang menjadi wali adalah Sultan atau Wali Hakim.
Perkataan "Tanpa izin wali, maka nikahnya batal", yang
disebutkan dalam Hadis, tidak ada mafhum mukhalafahnya yaitu aqad
nikah dengan izin wali hukumnya sah, karena dalam Hadis itu telah
diterangkan sebab terjadinya pernikahan tanpa izin wali, yaitu disebabkan
adanya perselisihan antara wali dengan anak perempuannya. Hal mana
dalam keadaan seperti itu, Hakimlah yang menjadi Walinya. Dengan
demikian tidak ada mafhum mukhalafahnya, balikan yang ada adalah
mafhum muwafaqahnya yaitu pernikahan tanpa izin wali disebabkan
adanya perselisihan dengan walinya, maka pernikahan tersebut tidak sah
hukumnya, apalagi dalam keadaan tidak ada perselisihan (walaupun
dengan izin wali) aqad nikah tersebut tidak sah.
Seandainya Hadis tersebut mengandung mafhum mukhalafah
dengan arti bahwa aqad nikah dengan izin wali sah hukumnya, maka jika
demikian mafhum perkataan "Dengan izin wali" mempunyai kemungkinan
Artinya:"Dari 'Aishah r.a berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda:
Perempuan mana saja jika menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal (3x)..., jika mereka (para wali) berselisih, maka Hakim itu jadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali". (HR. Abu Dawud, al-Tirmidhi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Sunan, Hadis No. 1784; al-Tirmidhi., Sunan, Hadis No. 1021; Ibnu Majah, Sunan., Hadis No. 1869; Ahmad, Musnad Hadis No. 23074, Ulama Hanafiyah menilai cacat Hadis ini karena menurut mereka: Hadis ini diriwayatkan oleh Sulaiman bin Musa dari al-Zuhri. Ketika, al-Zuhri ditanyakan tentang Sulaiman beliau menyatakan tidak mengenalnya. Orang yang meriwayatkan kritikan ini juga ialah Isma'il bin 'Illiyah al-Qadi dari Ibn Juraij, perawi dari Sulaiman. bahwa dia pernah menanyakan al-Zuhri tentang Hadis ini, tetapi beliau menyatakan bahwa dia tidak mengetahuinya. Namun keterangan ini dibantah dengan alasan bahwa tidak seharusnya karena kelupaan al-Zuhri tentang keadaan Sulaiman bin Musa itu menjadikan dia diragukan. Lebih-lebih al-Zuhri sudah memuji kebaikan Sulaiman. Dengan demikian Hadis ini adalah Sahih. Lihat al-Suyuty, al-Jami al-Saghir, Jilid I, 457 - Al-Hakim, al-Mustadrak, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990) Jilid II. 182 - Al-Munawy, Jilid III, 185.
96
pengertian bahwa aqad nikah tersebut dapat dilakukan oleh laki-laki lain,
perempuan lain atau dirinya sendiri.
Aqad nikah yang dilakukan oleh perempuan lain atau oleh
perempuan itu sendiri, jelaslah tidak mungkin, karena bertentangan
dengan mantuq Hadis Abu Hurairah yang akan dijelaskan nanti pada dalil
bagian berikutnya. Jadi arti yang mungkin adalah aqad nikah yang
dilakukan oleh laki-laki lain atau yang populer disebut juga "Wakil Wali".
Tegasnya Hadis tersebut tidak membenarkan ijab aqad nikah yang
diucapkan oleh perempuan secara mutlak.
Selanjutnya jumhur Ulama berargumen pada Hadis riwayat ibnu
Majah147 dari Abi Hurairah yang mengatakan bahwa perempuan tidak
mempunyai kekuasaan untuk menikahkan dirinya dan menikahkan orang
lain. Tidak ada wewenang baginya dalam pernikahan, baik ijab maupun
qabul. Perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dengan seizin
walinya atau tidak. Dia tidak boleh mengawinkan orang lain sebagai wali
147
Artinya : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :"Tidak boleh perempuan mengawinkan perempuan dan tidak boleh ia kawinkan dirinya, karena yang mengawinkan dirinya ialah perempuan yang berzina". (HR. Ibnu Majah).
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Sunan, Hadis No. 1872. Menurut riwayat Al-Baihaqi bahwa perkataan "Perempuan yang berzina adalah yang menikahkan dirinya sendiri", adalah mauquf, karena bukan termasuk sabda Rasul SAW. tetapi adalah ucapan Abu Hurairah dengan ucapannya sebagai berikut:
Artinya : "Kami mengatakan bahwa wanita yang menikahkan dirinya ialah wanita yang berzina".
Bagi golongan yang mendukung wajibnya wali, bahwa Hadis ini menjelaskan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri adalah perempuan berzina. Ucapan ini baik termasuk dalam sabda Nabi SAW atau tidak, namun segi kekuatan hukumnya tidak ada perubahan, karena kalau termasuk sabda Nabi SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Maka ucapan ini adalah nash dan bukan ucapan Abu Hurairah, maka sekurang-kurangnya ia ialah adalah ijma' Sahabat, yang tidak dianggap sebagai Hadis marfu. Al Albany mengomentari Hadis ini "Sahih duna jumlati al-zanniyah". Lihat lebih lengkap penjelasan Hadis ini, Al-Baihaqi, Sunan, Jilid 1, 110; al Albany, Sahih Ibnu Majah, Jilid 2. 139.
97
atau sebagai wakilnya, dan juga tidak boleh menerima pernikahan sebagai
wali atau sebagai wakil.
Berdasarkan Hadis-Hadis yang telah disebutkan, dapat dipahami
bahwa, seorang perempuan tidak boleh menyelenggarakan akad nikahnya
sendiri dengan calon suaminya tanpa seizin walinya, yaitu ayahnya. Jika
ayahnya tidak ada atau sudah meninggal, maka yang berhak menjadi Wali
adalah Kakek, Saudara Laki-laki, Saudara Laki-laki Paman dan seterusnya
dari Pihak Ayah berurutan atau Hakim.
Menurut Imam Shafi’i jika tidak ada wali qarib (dekat), berarti ke
wali yang jauh. Jika tidak ada pula, beralih kepada wali Hakim.148
Syariat Islam datang untuk menyelamatkan perempuan dari segala
kejahatan dan ketidak adilan. Ia datang untuk menjaga kehormatan wanita
dan keluarganya. Oleh karena itu, ia mengharuskan adanya wali dalam
pernikahan, adanya persetujuannya dalam pernikahan dan atas
pengetahuannya. Karena seorang perempuan meskipun sudah baligh dan
dewasa, seringkali ditipu dan diperdaya oleh laki-laki yang tidak sesuai
dengannya atau kemungkinan salah menilai ternyata laki-laki tersebut
kurang baik akhlaknya.
Kedua, Abu Hanifah, Zufar, Sha'by dan al-Zuhry berpendapat,
jika wanita menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang sekufu', dan
dewasa serta cerdas, atau oleh wanita lain sebagai wakilnya, itu
dibolehkan (sah nikahnya),149 dengan berargumentasi pada ayat-ayat Al
Quran dan Hadis. Adapun alasan Abu Hanifah dan yang sependapat
dengannya dari Al Quran adalah.150 Firman Allah dalam surah al-Baqarah
230, 232 dan 234.
148 Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, jilid II, 10,11 149 Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, jilid II, 7 150 1). Q.S. al-Baqarah : 230
98
Dalam pandangan Abu Hanifah dan yang sependapat dengannya,
bahwa semua ayat yang disebutkan mengarahkan khitabah (obyek
pembicaraan) pernikahan kepada perempuan. Ini berarti mempunyai
konsekuensi bahwa perempuan dapat melakukan akad nikah sendiri tanpa
tergantung kepada izin dan persetujuan siapapun. Sebab jika tidak,
penisbahan nikah kepada perempuan dalam ayat-ayat di atas tidak punya
arti apa-apa.
Pendapat ini dibantah oleh al-San'any dengan argumentasi bahwa
penyandaran kata nikah kepada mereka perempuan dalam beberapa ayat
seperti dalam surat al-Baqarah : 230, "Hingga ia kawin dengan yang lain",
maksudnya adalah pernikahan dengan diakad oleh walinya. Karena
seandainya Rasulullah SAW. memahami bahwa perempuan boleh
menikahkan dirinya sendiri, maka sungguh beliau telah memerintahkan
kepada perempuan setelah turun ayat tersebut untuk menikahkan dirinya
sendiri dan pasti Rasulullah sudah menjelaskan kepada Ma'qil bahwa dia
tidak mempunyai hak menjadi wali terhadap saudara perempuannya itu,
Artinya : "Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain...".
Perkataan حتى تنكح زوجا غیره terdapat kata kerja Tankiha yang artinya menikah, pelakunya adalah wanita (mantan isteri). Pekerjaan mana dalam isnad haqiqi semestinya dikerjakan langsung oleh pelaku aslinya lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid II, 277).
2) Q.S. al-Baqarah : 232
Artinya: "Apabila kamu mentalak isteri-isterimu lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suami-suaminya ".
Perkataan أن ینكحن أزواحھن terdapat kata kerja "Yankihna" yang artinya menikah, pelakunya adalah wanita- wanita (mantan isteri).
3) Q.S. al-Baqarah : 234
Artinya:" .Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka dengan baik.".
Perkataan نفسھنأفیما فعلن فى "fa'alna" yang artinya mengerjakan atau berbuat, pelakunya adalah wanita-wanita (Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, jilid II, 7).
99
dan niscaya Rasulullah SAW. tidak membolehkan pembatalan sumpahnya
serta kafaratnya.151
Seandainya tidak ada jalan lain bagi para wali untuk menjadi wali
bagi perempuan itu, maka sungguh Allah SWT sudah menjelaskan dengan
penjelasan yang sejelas-jelasnya. Bahkan mengulangi perintah kepada para
wali dalam beberapa ayat yang lain. Sehingga dapat dipahami bahwa tidak
ada satu huruf pun yang memberikan pengertian bahwa perempuan boleh
menikahkan dirinya sendiri.152
Alasan Abu Hanifah dan yang sependapat dengannya antara lain
adalah hadis Ibnu Abbas153 yang mengatakan, bahwa janda lebih berhak
terhadap dirinya dari walinya, dipahami oleh golongan Abu Hanifah
sebagai justifikasi tekstual bahwa wanita boleh melangsungkan akad nikah
sendiri sebab dia lebih berhak terhadap dirinya, dibanding walinya.
Menurut Abu Hanifah, ini adalah penegasan eksplisit dari Hadis "Wali
tidak memiliki kekuasaan atas perempuan janda", adalah nakirah yang
jatuhnya sesudah nafi, hal mana menfaedahkan umum. Hal umum ini
termasuk yang berhubungan dengan memilih suami dan juga pelaksanaan
akad, ini adalah hak perempuan janda. Adapun perempuan yang masih
gadis, karena mereka belum terbiasa bergaul dengan laki-laki dan juga
didukung oleh sifat malunya yang membuat ia berat untuk berterus terang
untuk menyatakan persetujuannya apalagi secara langsung melaksanakan
akad nikahnya, maka dipandang cukup menyatakan persetujuannya dengan
diamnya. Namun hal ini tidaklah berarti mencabut haknya untuk
151 Al-San’any, Subul al-Salam, Jilid III, 120. 152 Al-San’any, Subul al-Salam, jilid III, 120 153
Lihat Muslim. Sahih Muslim, Hadis No. 2546; Abu Dawud, Sunan Abu Daud, Hadis No. 1795. 1796: al-Nasa'i Sunan al-Nasai, Hadis No. 3212: Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Hadis No. 1860; Ahmad, Musnad, Hadis No. 1790, 2055.
Artinya: “Dari Ibnu 'Abbas berkata : "Nabi SAW bersabda : perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta persetujuannya tentang dirinya, dan tanda persetujuannya adalah dengan diamnya". (H.R. Muslim, Abu Dawud, al-Nasa'i, Ibn Majah dan Ahmad).
100
melakukan akad secara langsung. Karena antara gadis dewasa sebenarnya
sama dengan janda. Kesamaannya terletak pada sisi kedewasaannya. Jadi
bukan pada status gadis atau jandanya. Kedewasaan seseorang
memungkinkan dirinya untuk menyampaikan secara eksplisit tentang
sesuatu yang ada dalam hati atau pikirannya. la juga dapat mengerjakan
sesuatu secara terbuka, tidak malu-malu. Oleh karena hal ini, maka gadis
dewasa dapat disamakan dengan perempuan janda.154
Sedangkan Imam Nawawi mengomentari Hadis di atas
maksudnya adalah bahwa perempuan lebih berhak atas dirinya dan
walinya juga berhak atas dirinya. Namun haknya lebih besar dan
menentukan dari pada walinya. Apabila walinya ingin menikahkan dia
dengan seorang pelamar yang menurutnya cocok, tetapi ternyata dia
menolak, maka sang wali tidak boleh memaksanya nikah. Di lain pihak,
bila dia menikah dengan seseorang yang dikehendakinya tapi walinya
tidak setuju, maka si wali akan diminta untuk menyetujui pernikahannya.
Jika tetap tidak setuju, maka Hakim akan mengizinkannya untuk menikah
tanpa persetujuan walinya.155 Dengan demikian maka haknya diutamakan.
Lebih jelas Hadis di atas berkenaan dengan masalah nikah.
Dengan demikian perempuan janda lebih berhak menentukan calon
pasangan hidupnya dari pada walinya, selanjutnya janda tersebut tidak
boleh dinikahkan sebelum diajak bermusyawarah dan seorang gadis tidak
boleh dinikahkan sebelum dimintai izinnya. Wali tetap mempunyai hak
terhadap keluarganya yang janda tetapi hak janda itu lebih dominan, atau
janda itu lebih berhak menentukan perkawinannya.
Menurut Zahir Hadis ini bahwa musawarah dan meminta
persetujuannya dilakukan sebelum pernikahan dan juga dikaitkan dengan
beberapa Hadis-Hadis tentang kasus kawin paksa yang dilakukan oleh
154 Mahmud Shaltut dan Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Fiqh,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 117. 155 Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, (Bairut: Dar Ihyā al-Turāth al-'Araby.
1392 H), Cet. Ke III. 576.
101
seorang wali.156 Hal ini menunjukkan bahwa wali boleh menikahkan anak
perempuannya, tetapi boleh tidaknya pernikahan tersebut tergantung
kepada persetujuannya.
Selanjutnya Abu Hanifah beralasan dengan Hadis riwayat al
Nasai yang mengatakan, bahwa dalam perkawinan Ummu Salamah
dengan Rasulullah tidak dihadiri oleh walinya dan wali tidak ada yang
berhak membantah atas perkawinan yang sekufu tersebut, karena akad itu
tidak tergantung kepada wali.157
Dalam riwayat ini, ada ungkapan, bahwa Ummu Salamah
memerintahkan anaknya yang bernama Umar untuk mengawinkannya
kepada Rasulullah SAW. Demikian juga riwayat yang menyatakan bahwa
beliau sendiri yang memerintahkan Umar tersebut untuk menikahkan
ibunya. Masing-masing riwayat tersebut diperselisihkan kesahihannya;
karena tambahan ini dipandang tidak sah oleh ahli Hadis, karena Umar
pada saat itu belum dewasa, yaitu masih berumur sekitar empat tahun.
Pendapat tersebut dapat dijawab, bahwa riwayat tentang pernikahan Rasul
dengan Ummu Salamah, mengandung ihtimal bahwa pernikahan
tersebut tidak dilangsungkan oleh wali dan mengandung ihtimal pula
bahwa Nabi sendiri menggunakan wilayah 'Ammah-nya, karena ketika
itu wali Ummu Salamah sedang dalam keadaan gaib (tidak di
156
"Dari Khansa' binti Khizam al-Ansariyyah melaporkan bahwa sesungguhnya ayahnya telah memaksa menikahkannya sedang dia seorang janda, padahal dia tidak mau, lalu datang kepada Rasulullah SAW. dan langsung dinyatakan beliau bahwa pernikahan tersebut tidak sah”. (H.R. al-Bukhari, Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ahmad).
157
Artinya : Dari Ummu Salamah, bahwasanya tatkala Rasulullah SAW. mengutus orang meminang dia, ia berkata: "Tidak ada seorangpun waliku yang menjadi saksi", lalu dia berkata: "Tidak seorangpun wali baik yang hadir maupun tidak hadir, tidak suka kepada yang demikian". (H.R. al-Nasa'i dan Ahmad).
Al-Nasa’i, Sunan al Nasai, Hadis No. 3202.
102
tempat). Menurut satu riwayat, pernikahan tersebut dilakukan oleh wali
Ummu Salamah, yaitu anak kandungnya bernama Umar. Menurut riwayat
lain, Umar ketika itu belum dewasa, tetapi peristiwa itu dapat dianggap
khususiyyah bagi Rasul.
Selanjutnya Abu Hanifah berargumen dengan hadis Ummu
Habibah158 yang menjelaskan bahwa raja Habashah menikahkan Ummu
Habibah dengan Rasulullah SAW, padahal ia bukan walinya. Namun bagi
golongan yang mewajibkan wali bahwa Hadis-Hadis di atas dianggap
sebagai Khususiyyah bagi Nabi SAW dan mengandung ihtimal pula bahwa
Nabi sendiri menggunakan hak walayah 'ammahnya.
Pemikiran lain yang menjadi pertimbangan adalah tujuan
perkawinan. Tujuan perkawinan memiliki dua sisi: yaitu primer dan
sekunder. Tujuan primer (utama) adalah hanya dimiliki oleh perempuan
yang bersangkutan tanpa campur tangan pihak wali dari sebuah
pernikahan, misalnya adalah hubungan seksual, pemberian nafkah, rumah
tempat tinggal, dan hak-hak lainnya yang diperoleh perempuan
sehubungan dengan aqad nikah. Sedangkan tujuan sekunder adalah
hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Si wali ikut serta dalam
hubungan tersebut, sehingga wajar jika ia mencampurinya. Tujuan primer
adalah menjadi hak perempuan sendiri, sehingga ia yang memegang
peranan dan pihak yang menentukan, sedangkan tujuan sekunder bisa
melibatkan hubungan antara perempuan itu dengan keluarganya.159
158 Hadis dari Ummu Habibah
Artinya: "Dari Ummu Habibah bahwa ia pernah jadi isteri 'Ubaidillah bin Jahsy, kemudian ia meninggal, dia adalah salah seorang yang berhijrah ke Habasyah, lalu raja Habashah al-Najashi menikahkannya dengan Nabi SAW. (H.R. Abu Dawud, al-Nasa'i dan Ahmad).
Abu Daud, Sunan, Hadis No. 1786; al-Nasa’i, Sunan, Hadis No. 3298; Ahmad. Musnad, Hadis No. 26148.
159 Mahmud Shaltut, dan Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab Dalam Fiqh, 117.
103
Abu Hanifah juga mengajukan argumentasi rasional bahwa
perempuan dewasa dianggap memiliki kemampuan untuk melakukan
tindakan-tindakan hukum yang berhubungan dengan transaksi-transaksi
keuangan, seperti perdagangan dan sebagainya. Ini merupakan pandangan
yang disepakati para ulama. Oleh sebab itu, adalah logis jika ia juga dapat
melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan urusan pribadinya160,
yaitu urusan akad nikahnya sendiri. Sebab tidak ada alasan untuk
membedakan antara akad nikah dengan akad jual beli atau urusan yang
lain. Tetapi menurut as-San'any qiyas semacam ini adalah qiyas yang
bathil, karena qiyas itu harus disertai oleh nash Al Quran ataupun
Hadis.161
Jika dicermati pendapat tersebut, maka tidaklah sama antara akad
nikah dengan akad jual beli. Sebab akad jual beli atau akad-akad yang lain,
ada yang menjadi obyeknya yaitu berupa barang, harta atau dalam bentuk
lainnya. Sementara dalam akad nikah tidak ada obyek dalam transaksi
tersebut. Namun yang ada berupa transaksi kerjasama, untuk sama-sama
membangun mahligai rumah tangga, yang akhirnya melahirkan tanggung
jawab dan pemenuhan antara hak dan kewajiban. Di samping itu pula
dampak positif dan negatif dari akad jual beli atau kemaslahatan hanya
akan berpengaruh kepada diri perempuan itu sendiri. Sedangkan kalau
akad nikah tidak demikian halnya. Pengaruh dari akad nikah tersebut tidak
hanya kepada diri perempuan itu sendiri, tapi lebih luas kepada tatanan
lainnya, baik kehormatan dirinya, keluarganya dan masyarakat serta lebih
luas akan berpengaruh kepada keturunan yang akan dilahirkannya.
Ketiga, Pendapat Daud al-Zahiry, bahwa akad nikah tanpa wali
hukumnya sah bagi janda dan tidak sah bagi gadis, dengan argumentasi
bahwa Rasulullah bersabda :
“Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta persetujuannya tentang dirinya,
160 Abd Rahman al-Jaziry. al-Fiqh 'Ala al-Madhahib al-'Arba'ah, jilid III, 50 161 Al-San’any, Subul al Salam, Jilid III. 117.
104
dan tanda persetujuannya adalah dengan diamnya". (H.R. Muslim, Abu Dawud, al-Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad dari Ibnu Abbas.162
Hadis ini membedakan antara status janda dengan perawan.
Janda dapat menikah tanpa wali karena lebih berhak dari walinya.
Sedangkan bagi perawan tidak boleh langsung menikahkan dirinya sendiri,
karena akad nikahnya harus dilangsungkan oleh walinya atas izinnya.
Disebutkan, bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya,
bukan berarti bahwa tidak ada hak wali terhadap perempuan janda dalam
perwaliannya, sehingga gugur hak wali untuk menikahkannya, tetapi wali
tidak boleh memaksanya nikah, karena dia sudah berpengalaman ketika
nikah dengan suami sebelumnya, ia mengerti mana suami yang sesuai dan
baik serta sejalan dengannya, sehingga ia dapat rukun dengan suami
barunya.
Keempat, Pendapat Imam Malik dari riwayat Ibnu al-Qasim,
bahwa kedudukan wali dalam pernikahan hanya Sunnat, bukan sebagai
syarat sahnya nikah, tetapi hanya sebagai syarat kesempurnaan nikah,
dengan argumentasi bahwa Imam Malik berpendapat, bahwa dapat saling
mewarisi antara suami isteri yang menikah tanpa wali, boleh bagi wanita
yang bukan bangsawan menunjuk seorang laki-laki yang bukan walinya
untuk menikahkannya dan janda disunatkan mengajukan kepada walinya
untuk menikahkannya. Jadi wali dalam pernikahan menurut pendapat ini,
hanya sebagai syarat sempurnanya nikah, bukan syarat sahnya nikah.163
Pendapat ini tidak mengemukakan dalil dari Al Quran atau Hadis.
162
Muslim, Sahih Muslim, Hadis No. 2546 - Abu Daud, Sunan Abu Daud, Hadis No. 1795. 1796 - Al-Nasa'i, Sunan al-Nasa’i, Hadis No. 3212 - Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Hadis No. I860 - Ahmad. Musnad, No. 1790, 2055.
163 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid III, 7
105
Adapun sebab perbedaan pendapat para ulama dalam
masalah kedudukan hukum wali dalam pernikahan adalah :
1) Tidak terdapat ketegasan di dalam Al Quran tentang sah atau tidak
sahnya akad nikah tanpa wali.
2) Tidak terdapat satupun Hadis mutawatir yang mengandung
dalalah qat'iyah tentang sah atau tidak sahnya akad nikah tanpa wali.
Demikian juga, tidak terdapat Hadis ahad yang disepakati kesahihannya
yang mengandung dalalah qat'iyah tentang sah atau tidak sahnya akad
nikali tanpa wali.
3) Mazhab Hanafi mengutamakan qiyas dari pada Hadis ahad, sedangkan
Mazhab Shafi’i mengutamakan Hadis ahad dari pada qiyas. Menurut
Mazhab Hanafi, wanita dalam bidang muamalah sama haknya dengan
laki-laki, yang oleh karenanya, mereka qiyaskan akad nikah kepada
akad jual beli (transaksi). Sedang Imam Shafi’i berpegang pada Hadis
ahad yang berhubungan dengan sabab nuzul ayat 232 surah al-Baqarah,
yaitu :
"...Maka jangan kamu menghalangi mereka menikah (lagi) dengan calon(mantan) suaminya... "164
4) Mazhab Hanafi berpendirian bahwa suatu perkara yang ditiadakan oleh
syara' dengan perantaraan (ال) nafiyah, harus dipandang bahwa
ditiadakannya itu adalah " Sempurnanya ", sedang menurut Mazhab
Shafi’i bahwa suatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan ال
nafiyah itu harus dipandang bahwa yang ditiadakannya adalah "sahnya".
Jadi, Hadis yang mengatakan, "Tidak ada nikah melainkan dengan
wali" Mazhab Hanafi menafsirkan dengan "Tidak sempurnanya nikah",
sedang Mazhab Shafi’i menafsirkannya dengan "Tidaksahnya nikah".
Pendapat yang Rajih dan Relevan
164 Q.s. al-Baqarah : 232
Artinya: … maka jangan kamu halangi mereka menikah lagi dengan calon suami mereka…
106
Setelah memaparkan pendapat-pendapat para ulama fiqh
disertai dalil-dalil masing-masing dari mereka dan menganalisanya,
nampak bahwa pendapat jumhur ulama (Imam Shafi’i dan yang
sependapat dengannya) yang mengatakan, bahwa nikah tanpa wali
hukumnya tidak sah, itulah pendapat yang rajih/yang kuat dan relevan,
karena dalil-dalil dan argumentasi mereka lebih kuat dan lebih relevan,
bahkan sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974,
Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan dan RUU HMPA bidang
Perkawinan serta adat kebiasaan ('urf) yang berlaku di Indonesia. Juga
pendapat ini lebih ihtiyat (lebih hati-hati).
Pendapat Jumhur ulama ini dipandang lebih relevan karena
ditopang dengan pertimbangan rasio di samping pertimbangan
berdasarkan nash-nash Al Quran dan Hadis. Pada umumnya tujuan
pernikahan adalah untuk membentuk masyarakat rumah tangga.
Masyarakat rumah tangga tidak dapat dibina dengan sempurna
jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak suami
dan keluarga pihak isteri. Wanita kurang cakap dalam memilih calon
suaminya, karena wanita adalah manusia yang cepat merasa dan sering
terpengaruh oleh perasaan (emosional), sedangkan cinta adalah buta.
Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran akan terjadi salah pilih.
Jika kurang teliti, bukan saja bisa terpilih laki-laki yang tidak bermoral,
tetapi mungkin saja terjadi, bahwa laki-laki yang dipilihnya adalah
orang yang mempunyai sejarah buruk terhadap keluarga wanita itu
sendiri. Agar tidak sampai terjadi hal yang demikian dan hal-hal lainnya
yang tidak diinginkan, agama menghendaki adanya wali dalam
pernikahan dan melarang wanita menikahkan dirinya sendiri.
107
Selanjutnya berkenaan dengan saksi165 sebagai salah satu
syarat sahnya suatu perkawinan, ulama juga berbeda pendapat, apakah
saksi tersebut merupakan syarat kelengkapan nikah, atau merupakan
syarat sah ketika dilaksanakan akad nikah. Perbedaan pendapat ini
terbagi kepada dua Mazhab :
a. Menurut Jumhur ulama, termasuk Imam Abu Hanifah dan Imam
Shafi'i, saksi merupakan syarat sah nikah. Karena itu, tidak sah
nikah tanpa kehadiran saksi-saksi.166 Mereka berargumentasi dengan
dalil Hadis167 dan Ratio. Dalam Hadis dikatakan, bahwa tidak sah
nikah tanpa Wali dan tanpa adanya dua orang saksi yang adil. Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi dari ‘Imran bin al-
165 Saksi menurut bahasa adalah kata benda dalam bahasa Indonesia berarti
: orang yang melihat atau mengetahui . Lihat : W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), Cet. IX, 852, 853.
Kalau dalam bahasa Arab kata saksi disebut : شاھد (shahid), yaitu orang yang mengetahui, yang menerangkan apa yang diketahuinya. Jama’nya adalah "شھداء" dan "شھود" , akar kata dari "الشھادة" , yang berarti kabar yang pasti. Lihat : Ibnu Manzur, Lisan Al Arab, 225.
Sedangkan menurut istilah dalam Fikih saksi menurut Muhammad
Salam Madkur, Ibnu al Hammam dan al Mahally adalah pemberitaan yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak (kebenaran) atas orang lain. Lihat : Muhammad Salam Madkur, al Qada Fi al Islam, (al Qahirah : Dar al Nahdah al ‘Arabiyyah, 1964), 83 – Ibnu al Hammam, Sharh Fath al Qadir, (t.t. : Mustafa al Baby al Halaby, 1970), Jilid VII, h. 415 – Jalaluddin al Mahally, Qalyuby Wa ‘Umairah, (Riyad: Dar Ihya al Kutub al ‘Arabiyah, t.th.), Jilid IV, h. 318).
Dari pengertian saksi atau kesaksian di atas dapat disimpulkan, bahwa kehadiran saksi-saksi dalam suatu peristiwa sangatlah diperlukan, hal ini dimaksudkan untuk mengindari munculnya fitnah dikemudian hari terhadap suatu peristiwa yang pernah terjadi dengan adanya saksi yang menyaksikan kebenaran peristiwa tersebut, maka keabsahannya dapat dipertanggung jawabkan di hadapan hukum.
166 Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al-Mujtahid, jilid II, 13. 167
1) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqy dari Imran bin al-Hushain dan Aishah
Artinya :"Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil".
2) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dari Ibnu Abbas ra.:
Artinya: "Perempuan-perempuan tuna susila ialah mereka yang menikahkan diri mereka tanpa keterangan (tanpa ada saksi). (HR. al-Tirmidzi dari Ibnu Abbas)
108
Husain dan Aishah. Sedangkan dalam riwayat al-Turmudzy dari
Ibnu Abbas, bahwa perempuan tuna susila adalah menikahkan
dirinya tanpa ada saksi.
Jelas, Hadis ini menghendaki adanya saksi-saksi ketika
akad nikah. Menurut ratio bahwa akad nikah merupakan tali
hubungan kekeluargaan yang seyogyanya menjadi perhatian
sepenuhnya dari agama. Untuk menjaga kesucian akad tersebut wajarlah
disyari'atkan adanya saksi ketika berlangsungnya akad nikah tersebut.
Dengan demikian, terhindarlah kemungkinan adanya tuduhan-
tuduhan berlaku serong terhadap orang yang sudah menjadi suami isteri,
atau adanya keingkaran tentang telah terjadinya sesuatu akad nikah, yang
akan merugikan terhadap diri anak yang dilahirkan dari akad nikah
tersebut, atau menyulitkan dalam soal kewarisan.
b. Menurut Imam Malik, saksi hanya sebagai syarat kelengkapan yang
diperintahkan ketika hendak menggauli isteri (دخول), bukan syarat sah akad
nikah.168 Oleh sebab itu kesaksian boleh dilaksanakan dengan cara
pemberitahuan, asalkan dapat diketahui oleh orang lain sebelum suami
menggauli isterinya. Imam Malik dalam pendapatnya ini berargumentasi
dengan dalil Hadis dan Ratio.
Dalam riwayat al Tirmidhi dari Aishah dikatakan, bahwa Nabi
memerintahkan agar disiarkan akad nikah dan diadakan di masjid serta
ditabuhkan gendang. 169
Hadis ini jelas menunjukkan bahwa pemberitahuan tentang
berlangsungnya akad nikah boleh dengan jalan apa saja yang antara lain
168 Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 13. 169 Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, 48.
Artinya: "Beritahukanlah (siarkanlah) akad nikah itu dan adakan di masjid serta tabuhlah gendang
109
dengan memukul gendang. Menurut ratio bahwa yang dituju oleh akad
nikah adalah halalnya persetubuhan. Persetubuhan yang diharamkan
adalah dengan jalan zina, yaitu dilakukan dengan cara rahasia karena takut
diketahui orang. Persetubuhan yang dilakukan dengan jalan nikah adalah
persetubuhan yang halal. Oleh karenanya, perlu diketahui oleh orang lain
dengan jalan pemberitahuan minimal sebelum terjadinya persetubuhan
sesudah berlangsungnya akad nikah. Dengan demikian, saksi dalam akad
nikah hukumnya sunnah.170
Dari kedua pendapat yang telah dikemukan, menurut penulis,
pendapat yang terkuat, atau yang relevan adalah pendapat jumhur ulama
yang memandang saksi dalam pernikahan sebagai syarat sahnya
perkawinan, dengan pertimbangan sebagai berikut :
1) Fungsi akad nikah itu memberikan kedudukan suami terhadap keluarga
isteri sebagaimana memberikan kedudukan isteri terhadap keluarga
suami dengan berlakunya hukum Hurmah al Musaharah. Hal ini
menunjukkan bahwa akad nikah itu perlulah diketahui oleh orang
lain sebagai pembuktian.
2) Untuk memiliki suatu benda, antara lain dengan jalan warisan; dan di
antara sebab untuk mendapat harta warisan ialah adanya akad nikah
walaupun belum terjadi persetubuhan. Ini menunjukkan bahwa akad
nikah itu perlu diketahui oleh orang lain sebagai pembuktian.
3) Di antara sebab untuk mendapatkan harta warisan ialah adanya
hubungan kekerabatan. Untuk menilai sah atau tidaknya hubungan
kekerabatan tersebut adalah bergantung pada adanya akad nikah, yang
oleh karenanya perlu diketahui oleh orang lain sebagai pembuktian.
170 Lihat : Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2003), Cet. I, Jilid I, 260, 261.
110
Menurut Ibrahim Hosen, saksi dalam akad nikah wajib hukumnya,
atas dasar Sadd al Dhari’ah ( ریعةذال سد ) demi menutup pintu
mafsadah/persengketaan. Dengan kata lain, nikah tanpa saksi sah
hukumnya, tetapi berdosa karena meninggalkannya.171 Dari uraian yang
telah dikemukakan di atas, penulis berpendapat, bahwa dalam akad
nikah diperlukan adanya saksi, tidak melihat apakah saksi itu sebagai
syarat sah nikah atau sebagai syarat kelengkapannya, untuk kehati-hatian
karena masalah pemikahan adalah sesuatu yang sakral dan (احتیاطا)
akibatnya sangat fatal jika seandainya benar pendapat yang mengatakan
tidak sah nikah tanpa saksi. Kalau nikah itu tidak sah, maka seorang laki-
laki dan seorang perempuan yang telah menikah tidak halal mereka
bergaul. Kalau mereka tetap bergaul, maka mereka dianggap berzina.
Kalau seandainya benar bahwa Hadis-Hadis yang menghendaki adanya
saksi dalam akad nikah itu da'if, tetapi banyak Hadis-Hadis yang
mengatakan bahwa tidak sah nikah tanpa saksi. Kalau demikian
keadaanya, maka Hadis-Hadis itu dapat saling menguatkan satu sama lain,
yang oleh karenanya, Hadis itu dapat dijadikan hujjah. Wallahu A'lam.
Ketentuan ini telah diadopsi oleh Kompilasi Hukum Islam tentang
Perkawinan pada pasal 14. Dengan demikian berarti hukum fikih Islam
sudah menjadi Hukum Nasional.
3. Perjanjian Perkawinan :
Dalam UU No. 1 Tahun 1974, perjanjian perkawinan disebutkan
pada pasal 29, dan dalam KHI tentang perkawinan disebutkan pada pasal
45 s/d pasal 52.
Istilah perjanjian perkawinan dalam hukum positif tersebut dalam
hukum fikih Islam dikenal dengan istilah, ijab172 kabul173 yang disertai
171 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, 262, 263. 172 Ijab adalah ucapan tanda penyerahan dari pihak yang menyerahkan dalam
suatu perjanjian (kontrak, jual beli), kata-kata yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan pada waktu menikahkan mempelai perempuan, penawaran ketika membeli. Lihat : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 320.
173 Qabul berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia sudah baku, sehingga istilah qabul ini sudah ditulis dengan kabul, yaitu ucapan tanda setuju (terima)
111
dengan syarat “(صیغة العقد المقترنة بالشرط),174 atau, syarat-syarat yang
disyaratkan dalam perkawinan ( رطة فى الزواجتالشروط المش ).175 Apabila dalam
ijab qabul diiringi dengan suatu syarat176 baik syarat itu masih termasuk
dalam rangkaian perkawinan, atau menyalahi hukum perkawinan, atau
mengandung manfaat yang akan diterima oleh istri, atau mengandung
syarat yang dilarang oleh agama, maka masing-masing syarat tersebut
mempunyai ketentuan hukum tersendiri.
a. Syarat yang wajib dipenuhi yaitu, yang termasuk dalam rangkaian
dan tujuan perkawinan dan tidak mengandung hal-hal yang menyalahi
hukum Allah dan Rasulnya. Syarat yang wajib dipenuhi itu misalnya
menggauli istrinya dengan baik,177 memberi nafkah178 dan tempat
tinggal yang layak179, tidak mengurangi hak-haknya dan memberikan
bagian kepadanya sama dengan istri-istrinya yang lain dan lain-lain.180
b. Syarat yang tidak wajib dipenuhi
Di antara syarat yang tidak wajib dipenuhi tetapi aqad nikahnya
sah, yaitu syarat yang menyalahi hukum perkawinan, seperti: tidak
memberi belanja, tidak mau bersetubuh atau kawin tanpa mahar atau
memisahkan diri dari isterinya atau istrinya yang harus memberikan
nafkah atau memberi sesuatu hadiah kepada suaminya atau dalam
seminggu hanya tinggal bersama semalam atau hanya mau tinggal
dengan isterinya di siang hari, tidak di malam harinya dan lain-lain.
Syarat-syarat ini semuanya batal dengan sendirinya, sebab
menyalahi hukum-hukum perkawinan, dan mengandung hal-hal yang
dari pihak yang menerima dalam suatu perjanjian, atau kontrak. Dalam akad nikah, kabul adalah wali mempelai perempuan mengucapkan ijab dan mempelai laki-laki mengucapkan kabul. Kabul juga berarti meluluskan, atau memperkenankan permintaan. Lihat : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 372.
174 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 43 175 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy Wa Adillatuh, 53.
176 Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, istilah syarat yang disyaratkan dalam perkawinan disebut dengan istilah perjanjian perkawinan, tetapi substansinya sama walaupun istilahnya berbeda.
177 Lihat : Q.S. al Nisa’ : 19, al Baqarah : 233. 178 Lihat : Q.S. al Nisa’ : 34. 179 Lihat : Q.S. al Talaq : 6. 180 Lihat : Q.S. al Nisa’ : 34.
112
mengurangi hak-hak suami-isteri sebelum ijab qabul, karena itu tidak
sah sebagaimana kalau seorang bermazhab Shafi’i yang mengurangi
hak-hak barang Shuf'ahnya sebelum dijual.
Adapun akadnya sendiri tetap sah, karena syarat-syarat tadi
berada di luar ijab kabul, yang menyebutnya tidak berguna dan tidak
disebutnya pun tidaklah merugikan. Karena itu aqadnya tidak batal,
sebagaimana kalau diisyaratkan mahar yang haram waktu ijab kabul.
Sebab pernikahan seperti ini tetap sah, sekalipun tidak disebut apa
yang nanti harus jadi maskawinnya. Jadi ijab kabul dengan adanya
syarat yang batal itu tetap sah.181
c. Syarat-syarat yang hanya untuk istri manfaatnya.
Di antara syarat-syarat yang guna dan faedahnya untuk
perempuannya saja, seperti: suaminya tidak boleh menyuruh dia ke
luar dari rumah atau kampung halamannya, tidak mau pergi
bersamanya, atau tidak mau dimadu dan lain sebagainya.
Segolongan Ulama' berpendapat nikahnya tetap sah dan syarat-
syarat tersebut tidak berlaku suaminya tidak harus memenuhinya.
Sedangkan segolongan Ulama lain berpendapat wajib dipenuhi apa
yang sudah disyaratkan kepada isterinya, dan jika tidak dipenuhi maka
isterinya berhak minta fasakh.182
181 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid II, 44. 182 Pendapat pertama merupakan pendapat Abu Hanifah, Shafi’i dan
sebagian besar ‘Ulama. Alasan mereka sebagai berikut : 1) Rasulullah pernah bersabda :
Orang Islam itu terikat dengan syarat mereka kecuali kalau syarat tadi menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal. Mereka mengatakan: Syarat yang mengharamkan yang halal tersebut di atas tadi yaitu: bermadu, melarang keluar rumah dan pergi bersama yang kesemuanya ini dihalalkan oleh agama.
2) Sabda Rasulullah :
Tiap-tiap syarat yang tidak ada di dalam kitab Allah adalah batal, sekalipun ada seratus syarat. (HR. al Bazzar dan al Tabarany dari Ibnu Abbas).
113
Ibnu Qudamah menguatkan pendapat ini dan melemahkan
pendapat yang pertama. Katanya : Adapun pendapat yang kami dengar
dari para Sahabat setahu kami tidak ada yang berlainan di zaman
mereka itu, bahkan sudah menjadi ijma'. Rasulullah pun bersabda:
"Setiap syarat yang tidak ada di dalam agama Allah adalah batal,
sekalipun ada seratus syarat." Maksud-nya, syarat yang tidak ada
dalam hukum Allah dan agamanya. Padahal masalah ini (perjanjian
dalam perkawinan) hukumnya boleh, orang yang menolak pendapat
tersebut haruslah memberikan dalil-dalilnya.183
Mereka mengatakan: syarat di atas tak ada di dalam kitab Allah karena memang tidak ada ketentuannya dalam agama. Syarat-syarat tersebut tidak mengandung kemaslahatan dalam perkawinan dan tidak pula termasuk dalam rangkaiannya.
Pendapat kedua adalah pendapat umar bin Khaththab, Sa’ad bin Abi Waqqas, Mu’awiyah, ‘Amru bin ‘As, ‘Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Tawus, Auza’iy, Ishaq dan ulama Hanabilah.
Alasan mereka sebagai berikut : 1) Firman Allah :
1
Wahai orang-orang yang beriman! Sempurnakan janjimu (al-Maidah: 1) 2) Sabda Rasulullah saw.:
Orang Islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian) mereka. (HR. Abu Daud dan al- Hakim dari Abu Hurairah).
3) Hadis al Bukhari, Muslim dan lain-lain yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah saw. bersabda :
Perjanjian yang paling patut ditunaikan yaitu yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kamu.
4) Diriwayatkan oleh Atsram, pernah seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan dengan janji tetap tinggal di rumahnya, kemudian suaminya bermaksud mengajaknya pindah, lalu mereka (keluarganya) mengadukannya kepada ‘Umar bin Khattab, maka ‘Umar memutuskan: perempuan itu berhak atas janji suaminya. (Di sini hak suami atas isteri batal karena ada perjanjian).
5) Karena janji-janji yang diberikan oleh suami kepada perempuannya mengandung manfaat dan maksud, yang asalkan maksudnya tadi tidak menghalangi perkawinan maka sah hukumnya, sebagaimana kalau perempuan mensyaratkan agar suaminya mau membayar maharnya lebih tinggi.
Lihat : Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jiid II, 93 - Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, h. 44, 45 – Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy ...., 53 s/d 60 – al San’any, Subul al Salam, 59 – Al Shaukany, Nail al Autar, (t.t.; Al Maktabah al Taufiqiyyah, t.th), jilid VI, 142.
183 Lihat : Ibnu Qudamah; al Mughny, (Al Riyad: Maktabah al Riyad al Hadithah, t.th.), Jilid VI, h. 548 – Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy..., 57, 58.
114
Kalau mereka berkata bahwa perjanjian seperti di atas itu,
berarti mengharamkan yang halal, maka kami jawab: bukan
mengharamkan yang halal, akan tetapi maksudnya untuk memberikan
kepada perempuan hak meminta fasakh bilamana si suami tidak dapat
memenuhi persyaratan yang diterimanya. Jika mereka berkata bahwa hal
itu tidak ada maslahatnya, maka kami jawab: hal itu tidak benar, bahkan
hal itu merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuannya, karena apa
yang bisa menjadi suatu maslahat bagi satu pihak yang mengadakan
aqad berarti pula menjadi suatu maslahat di dalam akadnya.184
Ibnu Rushd berkata: Sebab perbedaan pendapat mereka ini ialah
karena mempertentangkan dalil yang umum dengan yang khusus. Adapun
dalil yang umum yaitu Hadis 'Aishah, yang Nabi pernah berkhutbah
kepada orang banyak di mana beliau bersabda bahwa, setiap syarat yang
tidak ada dalam syara’, adalah batal, sekalipun 100 syarat.185
Dalil yang khusus yaitu hadis 'Uqbah bin 'Amir yang Rasulullah
pernah bersabda, bahwa syarat yang patut dipenuhi adalah yang
menjadikan halalnya hubungan kelamin.186
Kedua Hadis ini sahih dan kedua-duanya diriwayatkan oleh al
Bukhari dan Muslim, tetapi menurut para ahli Usul Fikih yang masyhur
terpakai ialah memenangkan dalil yang khusus dari umum, yaitu dalam hal
ini memenuhi janji-janji yang diadakan dalam perkawinan.187
184 Lihat : Ibnu Qudamah; Al Mughny, Jilid VI, h. 549. 185
Artinya : “Setiap syarat yang tidak ada di dalam agama Allah adalah batal, sekalipun ada seratus syarat”.
186
Artinya : “Syarat (perjanjian) yang paling patut ditunaikan adalah yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kamu”.
187 Ibnu Rusd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah Al Muqtasid, 58 Ibnu Rusd (Cordova, 1126 – Marzakech, Maroko, 1198), adalah Abu Al
Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, seorang dokter, ahli hukum, dan tokoh filosof yang paling menonjol pada perkembangan filsafat Islam (700-1200). Di barat dia dikenal dengan nama Averoes. Dia berasal dari lingkungan keluarga yang besar sekali
115
Pendapat Ibnu Taimiyah 188
Bagi orang yang sehat akal, apabila mengadakan perjanjian, yang
perjanjian itu mengandung kebaikan bagi tujuan yang hendak dicapainya,
tidaklah ia akan mau mundur atau mengkhianatinya. Seperti batas waktu
pinjam-meminjam barang, membayar harga barang-barang tertentu yang
terjadi di beberapa tempat, menjelaskan keadaan barang-barang yang
dijual belikan dan keterampilan tertentu yang disyaratkan kepada salah
seorang dari suami-isteri. Tergantung syarat-syarat tertentu itu berguna
daripada dibiarkan tanpa syarat, atau bahkan lebih berguna lagi daripada
kalau tidak diberi syarat sama sekali.189
d. Syarat-syarat yang dilarang agama
Ada syarat-syarat yang oleh agama di larang dan diharamkan
untuk menepatinya, yaitu perempuan yang mensyaratkan kepada suaminya
agar menthalak madunya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang seseorang laki-laki
meminang pinangan saudaranya atau membeli barang yang akan dibeli
saudaranya dan perempuan yang minta madunya ditalak agar dia dapat
mengambil sepenuhnya piring atau bejana bagian saudaranya, padahal
perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia pernah menduduki beberapa jabatan, antara lain sebagai qadhy (hakim) di Sevilla dan sebagai qady al qudat (hakim agung) di Cordoba. Sejak kecil ia telah mempelajari Al Qur’an, lalu mepelajari ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, Hadis, fikih dan sastra Arab. Kemudian ia mendalami matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu kedokteran. Oleh karena itu, ia terkenal ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Lihat : Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. III, Jilid II, 165.
188 Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad (Harran, Turki 10 Rabiul awal 611/22 Januari 1263 – Damascus, 20 Zulkaidah 728/26 atau 27 September 1328). Seorang pemikir Islam terkemuka dan tokoh pembaharu abad ke-8 H/ke 14 M, berasal dari keluarga cendekiawan, lingkungan yang cinta ilmu. Ayahnya Shihabuddin Abdul Hakim, adalah seorang yang ahli Hadis dan Islam terkenal di Damascus yang mengajar di berbagai sekolah terkemuka di kota itu. Kakeknya Syekh Majduddin Abd. Salam, juga adalah seorang ulama ternama. Mereka semua adalah pemuka-pemuka dalam Mazhab Hanbali dan kuat berpegang pada ajaran salaf (yang terdahulu).
189 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid II, 46.
116
rejekinya itu sudah ada dalam ketetapan Allah. (H.R. al Bukhari dan
Muslim).
Dalam lafaz lain riwayat al-Bukhari dan Muslim dikatakan,
Nabi melarang perempuan mensyaratkan madunya ditalak.190Larangan
Hadis, tersebut menunjukkan batalnya perbuatan yang dilarang, oleh
karena perempuan ini mensyaratkan kepada suaminya untuk menceraikan
madunya, menggugurkan haknya memadu dan hak madunya, maka
syaratnya tidak sah sebagaimana kalau ia mensyaratkan kepada suaminya
agar membatalkan jual-belinya.
Ibnu al-Qayyim191 tentang masalah ini menjawab, ada yang
berkata: perbedaan antara kedua hal di atas. Karena minta agar madunya
diceraikannya berarti merugikan perempuan lain, menyakitkan hatinya,
merusak rumah-tangganya, memberikan kesempatan kepada musuh-musuh
untuk menghinanya, karena dia ditinggalkan untuk kawin dengan orang
lain. Karena itulah agama membedakan hukum kedua hal tersebut dan
mengkiaskan yang pertama kepada yang kedua dalam perkara ini
hukumnya batal.192
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam ijab qabul
yang diiringi suatu perjanjian menurut hukum fikih Islam, mempunyai
syarat-syarat. Syarat-syarat itu ada yang wajib dipenuhi, ada yang tidak
190 Teks Hadis tersebut adalah:
Lihat: Al Shaukany, Nail al Autar, h. 142 – Wahbah al Zuhaily al-Fiqh al-Islamy…..., h. 59.
191 Ibnu Qayyim al Jauziyah (Damascus, Suriah: 691 H/1292 M), Ahli Fikih kenamaan dalam Mazhab Hambali, Nama aslinya adalah Shamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar. Ayahnya, Abi Bakar, adalah seorang ulama besar dan kurator (qayyim) pada madrasah al Jauziah di Damascus. Dari jabatan ayahnya inilah sebutan Ibnu Qayyim al Jauziah diambil. Ia berpendirian bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Lihat dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 164.
192 Lihat : Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 47.
117
wajib dipenuhi, ada syarat-syarat yang hanya untuk istri manfaatnya dan
adanya syarat-syarat yang dilarang agama. Masing-masing syarat tersebut
mempunyai ketentuan hukum.
Syarat-syarat yang dibuat untuk mengiringi ijab kabul dalam
akad perkawinan ini, dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan”.193
Perjanjian perkawinan yang disebutkan dalam hukum positif
(hukum nasional) ini identik substansinya (materinya) dengan syarat-syarat
yang disebutkan dalam hukum fikih Islam, yang mengikuti ijab qabul
ketika akad nikah. Ini menunjukkan, bahwa hukum fikih Islam sudah
menjadi hukum Nasional.
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon
suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah
dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.194
Tetapi perlu diketahui bahwa perjanjian perkawinan ini, tidak
boleh bertentangan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
Syari’at atau fikih Islam.
4. Hak dan Kewajiban Suami-Istri dalam Perkawinan
Berkenaan dengan hak dan kewajiban suami-istri disebutkan
dalam UU No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 30 s/d Pasal 34, dan dalam KHI
tentang Perkawinan pada Pasal 77 dan Pasal 78.
Dalam hukum fikih Islam, jika akad nikah telah sah dan berlaku,
maka ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan
193 Lihat : UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 29 dan KHI tentang Perkawinan Pasal
45. 194 Gatot Supramono, Segi-segi Hubungan Luar Nikah, (Jakarta : Djambatan,
1998), 39.
118
menimbulkan pula hak dan kewajiban selaku suami istri.195 Hak dan
kewajiban ini ada tiga macam, yaitu :
a. Hak istri atas suami
b. Hak suami atas istri
c. Hak bersama
Jika suami-istri masing-masing melaksanakan kewajibannya dan
memperhatikan tanggung jawabnya akan terwujudlah ketenteraman dan
ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan suami istri tersebut.196
a. Hak bersama suami-istri :
1) Halal pergaulan suami-istri dan melakukan hubungan seksual. Hak
ini dihalalkan bagi suami-istri secara timbal balik. Tidak boleh
dilakukan secara sepihak saja.
2) Haram melakukan perkawinan, baik suami, maupun istri dengan
saudaranya masing-masing.197
3) Dengan adanya ikatan perkawinan, maka kedua belah pihak (suami
istri) saling mewarisi apabila salah seorang di antara keduanya
telah meninggal meskipun belum melakukan hubungan seksual.
4) Sahnya menasabkan anak kepada suami.
5) Kedua pihak wajib mu’asyarah bil ma’ruf (bertingkah laku dengan
baik) agar dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian (QS. Al-
Nisa (4) : 19).198
b. Hak istri terhadap suaminya (kewajiban suami terhadap istrinya)
1) Hak kebendaan, yaitu mahar199 dan nafkah200
195 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 134 196 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, h. 134, dan lihat : Wahbah al Zuhaily, al
Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 327. 197 Sebab diharamkan perkawinan suami, atau istri kepada saudara masing-
masing, karena saudara-saudara masing itu telah menjadi mahram bagi masing-masing suami-istri – Lihat Q.S. al-Nisa / 4 : 23.
198 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 134 – Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 342.
119
2) Hak rohaniyah, misalnya berlaku adil jika suami berpoligami dan
tidak boleh membahayakan istri.201
c. Hak suami terhadap istrinya (kewajiban istri terhadap suami)
1) Istri hendaklah taat kepada suami dalam melaksanakan urusan
rumah tangga selama suami menjalankan ketentuan-ketentuan
Islam yang berhubungan dengan kehidupan suami istri. (QS. Al-
Nisa 4 : 34).
2) Istri hendaklah mengurus dan menjaga rumah tangga, termasuk
mengasuh anak bersama suami dan mengurus harta rumah
tangga.202
Rumah tangga yang aman dan damai adalah gabungan di antara
tegapnya laki-laki dan halusnya perempuan. Laki-laki sebagai penanggung
jawab utama nafkah rumah tangga, dan perempuan mengurus rumah
tangga. Namun Islam membolehkan perempuan membantu suaminya
dalam mencari nafkah dengan izin, atau persetujuan suaminya, sepanjang
tidak mengganggu tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Penggabungan laki-laki dan perempuanlah yang mendatangkan
keturunan. Dari kasih sayang ibu dan ayah, dibentuk jiwa anak-anak kelak
akan tiba gilirannya, mereka juga akan mendirikan rumah tangga dan
melanjutkan keturunan.203
Meskipun fungsi antara suami dan istri dalam rumah tangga
berbeda, namun fungsi mereka masing-masing sama-sama penting dan
199 Kewajiban suami memberikan mahar kepada istri; lihat Q.S. al-Nisa’ (4) :
4. 200 Kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri lihat Q.S. al-Baqarah
(2) : 233, al Talaq (65) : 6, al Nisa (4) : 34 dan lain-lain. Nafkah meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan lain-lain.
201 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 134, 135. 202 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam
Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), 134, 135. 203 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, …, 134, 138.
120
semuanya dibutuhkan, karena saling melengkapi dan saling
menyempurnakan.
Di dalam perkawinan, suami berkedudukan sebagai pemimpin
keluarga dan bertanggung jawab atas kesejahteraan. Rumah tangganya204
tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga menurut hukum fikih Islam
adalah menjaga, membela memberi nafkah bertindak sebagai wali dan
sebagainya. Sedangkan istri bertugas memelihara rumah tangga, hamil,
melahirkan dan mengasuh anak serta menjadi tempat berteduhnya suami,
guna mendapatkan sakinah dan ketenangan ketika datang dari kerja yang
dalam keadaan lelah.205 Jika suami istri telah melaksanakan fungsi masing-
masing sesuai dengan kodratnya dan saling pengertian, saling
menghormati dan saling tolong menolong dalam pelaksanaan tugas
masing-masing, maka terbentuklah keluarga sakinah206 mawaddah207 wa
rahmah208, keluarga bahagia dan sejahtera yang diridai Allah SWT.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa materi UU No. 1
tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan sama dan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum fikih Islam. Hal ini dapat dilihat sebagai
berikut :
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 1, perkawinan adalah :
204 Q.S. al-Nisa’ (4) : 34. 205 Lihat Q.S. al-Rum : 21 206 Keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang dan tenteram. Lihat : M.
Quraish Shihab (ed), Ensiklopedia Al-Qur’an, 864, 865. 207 Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak
buruk. Ia adalah cinta penjaga sejati, berbeda dengan cinta (محبة), karena cinta itu bisa pudar atau putus. Mawwaddah bukan hanya sekedar cinta, tetapi mawaddah adalah cinta plus. Lihat M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an, (Jakarta : lentera Hati, 2007), 88.
208 Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat meyaksikan ketidak berdayaan sehingga yang bersangkutan terdorong untuk melakukan pemberdayaan. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami istri, akan sungguh-sungguh, bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya – Lihat : M. Quraish Shihab : Pengantin Al-Quran, 91.
121
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sedangkan dalam KHI tentang Perkawinan, pasal 2 disebutkan,
bahwa perkawinan adalah :
“Akad yang sangat kuat atau Mithaqan Ghalizan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Mengenai tujuan perkawinan dalam KHI Buku I tentang
perkawinan pasal 3 dirumuskan sebagai berikut :
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
Hampir sama isinya dengan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI tentang Perkawinan.
Dari rumusan-rumusan Hukum Nasional di atas dapat
disimpulkan bahwa kedudukan wanita dan pria yang memasuki gerbang
perkawinan itu adalah seimbang. Kedudukan itu tetap adanya setelah
perkawinan seperti dirumuskan oleh pasal 79 KHI tentang Perkawinan,
yaitu :
(1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga
(2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
merumuskan kedudukan suami dan istri dalam hubungan perkawinan pada
pasal 30 s/d pasal 34.
Menurut Busthanul Arifin rumusan di atas sangat jelas mengenai
keseimbangan kedudukan suami-istri dengan masing-masing mempunyai
fungsi dan tanggung jawab yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang satu,
122
yaitu tercapainya kebahagiaan rumah tangga atau keluarga (UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan), atau terwujudnya rumah tangga dan
keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (KHI Buku I tentang
Perkawinan). Rumusan fungsi dan tanggung jawab suami-istri itu memang
sangat unik dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan
sebelumnya209.
Rumusan di atas menurut Busthanul Arifin, juga menentukan
dengan jelas bahwa hubungan dan kedudukan suami-istri dalam
perkawinan, adalah suatu hubungan yang mengandung rasa keadilan,
sekaligus sangat potensial untuk dikembangkan menghadapi perubahan-
perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat.210
Keseimbangan fungsi dan kedudukan suami istri itu adalah untuk
satu tujuan, yaitu untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat.211 Keseimbangan kedudukan suami istri
itu, tidak terbatas dalam rumah tangga saja, akan tetapi juga dalam
hubungan dengan masyarakat, dan secara khusus, masing-masing pihak
berhak untuk melakukan perbuatan hukum212
Berkenaan dengan rumusan-rumusan di atas, Sayuti Thalib
mengatakan, bahwa setidaknya ada lima hal yang sangat penting :
Pertama, pergaulan hidup suami istri yang baik dan tenteram
dengan rasa cinta mencintai serta santun menyantuni. Artinya, masing-
masing pihak wajib mewujudkan pergaulan yang ma’ruf di dalam rumah
tangga, ataupun keluarga (masyarakat).
209 Lihat : Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 120. 210 Lihat : Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 120. 211 Diadopsi UU No. 1 Tahun 1974 pasal 30 dan KHI tentang Perkawinan Pasal
79. 212 Diadopsi UU No. 1 Tahun 1974 pasal 31 dan KHI tentang Perkawinan Pasal
79.
123
Kedua, suami memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai
kepala keluarga dan istri juga memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai
ibu rumah tangga.
Ketiga, rumah kediaman disediakan suami dan suami istri wajib
tinggal dalam satu kediaman tersebut. Pada dasarnya suami wajib
menyediakan tempat tinggal yang tetap, namun dalam kasus-kasus tertentu
rumah kediaman tersebut dapat diwujudkan secara bersama-sama.
Keempat, belanja kehidupan menjadi tanggung jawab suami
sedangkan istri wajib membantu suami mencukupi biaya hidup tersebut.
Kelima, si istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan
membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya dengan
cara-cara yang benar, wajar dan dapat dipertanggung jawabkan.213
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa apa yang menjadi
kewajiban suami, menjadi hak istri, begitu pula sebaliknya. Dengan
demikian jelas sekali, bahwa hukum fikih Islam dan hukum positif di
Indonesia dalam masalah perkawinan, semuanya mensejajarkan
kedudukan wanita sebagai istri dengan pria sebagai suami. Keduanya
adalah mitra sejajar dalam rumah tangga. Kalau ada perbedaan antara
mereka dalam hak dan kewajiban, itu bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan, tetapi sebagai sesuatu yang saling melengkapi dan saling
menyempurnakan, karena kodrat masing-masing. Materi hukum positif di
Indonesia dalam masalah perkawinan adalah diadopsi dari hukum fikih
Islam. Ini menunjukkan bahwa hukum fikih Islam tentang perkawinan,
khususnya dalam masalah hak dan kewajiban suami istri, telah menjadi
Hukum Nasional di Indonesia.
5. Harta Bersama dalam Perkawinan
213 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam,
(Jakarta : UI Press, 1982), 73-78.
124
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai harta
bersama214 diatur dalam Pasal 35 s/d Pasal 37, dan dalam KHI tentang
Perkawinan di atur dalam Pasal 85 s/d Pasal 97.
Bersamaan dengan harta bersama / harta kekayaan dalam
perkawinan diatur pula mengenai harta bawaan215 masing-masing dari
suami dan istri, harta bawaan tidak termasuk harta bersama.
Dalam pasal-pasal tersebut tidak ditentukan siapa yang
mendapatkan harta bersama itu, apakah istri atau suami yang
mendapatkannya. Dengan demikian, berarti semua harta kekayaan yang
diperoleh selama perkawinan, adalah merupakan harta bersama.
Islam tidak mengatur kepemilikan harta secara komunal, kecuali
dalam bentuk serikat usaha dagang (shirkah).
Masalah harta bersama suami-istri, belum dijumpai dalam kitab-
kitab fikih klasik. Uraiannya masih terkait dengan konsep kewajiban
mencari nafkah kepada suami dan istri menjadi ibu rumah tangga.216
Tampaknya para ulama fikih mengabaikan masalah harta bersama, atau
harta kekayaan yang diperoleh dalam perkawinan, sehingga terkesan,
bahwa peran istri dalam rumah tangga hanya mengurus suami serta anak-
anaknya tanpa ada peran dalam finansialnya.217 Padahal pekerjaan istri di
rumah sebagai ibu rumah tangga mengatur dan mengerjakan berbagai
urusannya, termasuk mengurus anak-anaknya, itu berimbang dengan
214 Harta bersama adalah harta yang diperoleh secara bersama di dalam
perkawinan – Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 290. 215 Harta bawaan adalah harta benda yang dibawa ketika menikah harta
bawaan ini, terbagi dua, harta bawaan suami dan harta bawaan istri. Harta bawaan suami di sebut, “binatoh” dan harta bawaan istri disebut “dapean”. Lihat Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 299
216 Lihat : Q.S. al Nisa’ : 34 217 Dalam Al Quran Ali ‘Imran : 195, al Nisa’ : 124, al Nahl : 97, dan Ghofir :
40, dapat dijadikan dasar kesetaraan jender, karena ayat-ayat tersebut mengisyarakatkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan, bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan prempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal – lihat Amiur Nuruddin, dan Azhari Ahmad Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 204.
125
pekerjaan suami bahkan mungkin lebih berat hanya saja pekerjaan suami
itu mendapatkan uang, sedangkan pekerjaan istri di rumah tidak
mendatangkan uang.218 Seharusnya dapat dianggap sebagai suatu
kerjasama yang harmonis, yang saling melengkapi dan saling tolong
menolong dalam membina rumah tangga. Demikian pula halnya jika
suami istri itu sama-sama bekerja di luar rumah mereka bersama-sama
memikul beban dalam rumah tangga dan selalu kerjasama. Sebenarnya
harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan, dapat dikatakna
sebagai harta syirkah (perkongsian), karena setelah selesai akad nikah,
maka mulai pada saat itu urusan rumah tangga dipikul bersama, dengan
pembagian tugas sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing
sehingga harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan dapat
dikatakan sebagai harta bersama.219
Oleh sebab itu wajarlah masalah harta bersama ini diatur dalam
UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan
kondisi sosial masyarakat Indonesia, terutama dalam fungsi suami-istri.
Oleh sebab itu masalah dan ketentuan harta bersama tersebut, adalah
sebagai fikih Indonesia.
Menurut Busthanul Arifin, bahwa UU No. 1 tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan menetapkan setengah dari
harta bersama adalah milik istri, manakala terjadi cerai mati, atau cerai
hidup. Dasar pemikirannya adalah, kurang tepat mengukur bagian istri
dengan nilai saham istri dalam mengumpulkan harta bersama itu. Apalagi
kalau saham istri itu dinilai dengan keharusan hasil usaha yang nyata
218 Ulama fikih klasik belum membahas masalah harta bersama dalam kitab-
kitab fikih, agaknya terkait oleh situasi dan kondisi masyarakat pada masa ulama fikih tersebut mencetuskan ijtihadnya – Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 122
219 Walaupun dalam kitab-kitab fikih klasik belum diatur tentang harta bersama, namun karena kemaslahatannya terhadap keutuhan rumah tangga dapat dibuktikan, dan berdampak kepada kesamaan hak dan kewajiban suami istri, maka hukum positif di Indonesia tentang perkawinan mengesahkan keberadaan harta bersama dan menjadi salah satu wewenang pengadilan agama.
126
seperti halnya suami. Pada hal fungsi dan kedudukan suami istri telah
ditegaskan seimbang. Perkawinan dalam Islam disebut “mithaqan
ghalizan”, perjanjian hukum yang kokoh220.
Selanjutnya Busthanul Arifin mengatakan, bahwa kenyataan
yang sulit dipungkiri adalah sekulum senyum istri yang menyambut sang
suami pulang dari pekerjaan mencari nafkah telah merupakan modal yang
tidak ternilai dalam menumbuhkan semangat kerja sang suami. Apakah itu
belum, atau tidak merupakan saham sang istri yang tidak dapat dinilai
dengan uang dan harta221
Penulis sependapat dengan pandangan Busthanul Arifin yang
mengatakan, bahwa setengah dari harta bersama adalah milik istri,
manakala terjadi cerai mati, atau cerai hidup dengan alasan-alasan yang
telah dikemukakannya, bahwa fungsi dan kedudukan suami-istri dalam
rumah tangga itu seimbang. Hanya saja penulis tidak sependapat dengan
Busthanul Arifin yang mengatakan, aneh kalau pembagian harta bersama
diukur dengan ukuran kongsi dalam perdagangan.222
Penulis berpendapat, bahwa kedudukan istri dalam perkawinan,
selain seperti yang telah dikemukakan oleh Busthanul Arifin di atas dapat
pula dikatakan bagaikan orang berkongsi saham pada harta bersama,
karena begitu terjadi akad nikah, maka pada saat itu juga suami istri telah
memikul bersama urusan rumah tangga sesuai dengan hak dan kewajiban
masing-masing.
6. Putusnya Perkawinan serta Akibatnya.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38,
perkawinan dapat putus karena : a kematian b. perceraian dan c.
keputusan pengadilan.
220 Lihat : Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 123. 221 Lihat Bustahul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 123. 222 Lihat Bustahul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 123.
127
Putusnya perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan tersebut, juga disebutkan dalam KHI buku 1
tentang perkawinan pada Pasal 113. 223
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan BAB VIII
masalah putusnya perkawinan serta akibatnya disatukan pada Pasal 38 s/d
Pasal 40, sedangkan dalam KHI Buku I tentang perkawinan, dipisahkan
Pasal-Pasal tentang putusnya perkawinan dengan akibat putusnya
perkawinan. Putusnya perkawinan disebutkan pada Bab XVI yaitu pada
pasal 113 s/d pasal 148.”akibat putusnya hubungan perkawinan”
disebutkan pada Bab XVII, yaitu pada pasal 149 s/d pasal 162.
Putusnya perkawinan serta akibatnya yang disebutkan dalam
hukum Islam Indonesia (UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan), sama dengan pembahasan hukum fikih Islam tentang
putusnya perkawian dan akibatnya. Berbeda hanya dalam urutan
penyebutan putusnya perkawinan. Dalam Hukum Islam, pembahasan
tentang talak dan yang terkait dengannya didahulukan dari pada
pembahasan tentang kematian dan putusan pengadilan.224
Putusnya perkawinan karena perceraian dalam hukum fikih
Islam dapat terjadi karena talak, khulu, fasakh dan putusan pengadilan.
a. Perceraian karena talak :
Dalam fikih Islam pengertian talak225 didefinisikan oleh para
ulama fikih, antara lain sebagai berikut :
1) Menurut Taqiyuddin, talak adalah melepaskan ikatan nikah.226
223 Putusnya perkawinan, baik dari segi Hukum Fikih Islam, maupun secara
tehnis pelaksanaannya, dalam UU No. 1 Tahun 1974 terdapat pada Pasal 38 s/d Pasal 40, dan dalam KHI tentang Perkawinan terdapat pada Pasal 113 s/d Pasal 148.
224 Lihat : Kitab-kitab fikih, seperti al Nawawy, al Majmu’, Sharh al Muhadhdhab, Imam Taqiyuddin, Kifayah al Akhyar, Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtasid, wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, dan lain-lain.
225 Talak berasal dari bahasa Arab yaitu, “al Talaq” yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Juga berarti perempuan terlepas dari ikatan perkawinan dengan suaminya, atau melepaskan ikatan. Lihat : Majma’ al Lughah al ‘Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, Jilid II, 563 – Al Jurjany, al Ta’rifat, 144.
128
2) Menurut Abd. Rahman al-Jaziry, talak adalah melepaskan ikatan
dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.227
3) Menurut al Sayid Sabiq, talak adalah melepaskan ikatan
perkawinan dan mengakhirinya.228
4) Sedangkan menurut al Jurjany, talak adalah menghilangkan
kepemilikan nikah.229
Dari pengertian talak yang telah dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan, bahwa talak merupakan sebuah institusi yang digunakan
untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian berarti
ikatan perkawinan dapat diputus. Tata caranya telah diatur dalam
hukum fikih Islam dan telah diadopsi dalam hukum positif di
Indonesia, melalui UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.
Sebenarnya Islam menginginkan langgengnya kehidupan
perkawinan. Akad nikah diadakan, adalah untuk selamanya dan
seterusnya hingga diputuskan oleh kematian, agar suami istri bersama-
sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung,
rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah, menikmati kasih
sayang dan dapat memelihara anak-anaknya, hidup dalam
pertumbuhan yang baik dan berkualitas. Oleh sebab itu ikatan
perkawinan disebut dengan ikatan yang kokoh (میثاقا غلیظا).230 Karena
itu ikatan suami istri yang kuat dan kokoh itu, tidak sepatutnya
dirusakkan, atau diputuskan. Memutuskan ikatan perkawinan dibenci
oleh Islam, karena menghilangkan kemaslahatan antara suami istri. Hal
226 Taqiyuddin, Kifayah al Akhyar, (Bandung : Al Ma’arif, t.t), Jilid II,
84. 227 Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh’ala al Madhahib al Arba’ah, Jilid III,
h. 278. 228 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 206. 229 Al Jurjany, al Ta’rifat, 144. 230 Lihat Q.S. al-Nisa (4) : 21.
129
ini disebutkan dalam Hadis Nabi SAW, bahwa perbuatan halal yang
sangat dibenci Allah adalah talak.231
Talak itu dibenci bila tidak ada suatu alasan yang benar untuk
melakukannya. Menurut al Sayid Sabiq hal ini disebabkan karena
bercerai itu dianggap kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan kawin
adalah suatu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi
tidak halal bercerai (melakukan talak), kecuali karena darurat.232
Jika suami istri sudah tidak lagi saling mencintai, tidak lagi
saling menyayangi, tidak lagi saling menghormati dan saling tidak
mempercayai, sudah tidak saling setia, terus menerus cekcok dan tidak
bisa lagi didamaikan, maka wajarlah mereka bercerai, karena keadaan
mereka dalam rumah tangga tidak sesuai lagi dengan tujuan
disyariatkannya perkawinan seperti yang telah disebutkan di atas. Jadi
pada prinsipnya, Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya
perceraian, kecuali pada hal-hal yang darurat.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39
ayat (2) dikatakan, bahwa untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami istri.233
Adapun hal-hal yang kemungkinan dapat memicu terjadinya
perceraian, antara lain :
a) Terjadinya nushuz234 dari pihak istri, atau dari pihak suami
231 Hadis yang dimaksud dalam uraian di atas, adalah :
““)(
“Perbuatan halal paling dibenci Allah ‘Azza wa Jalla adalah talak” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan al Hakim dari Ibnu Umar). Lihat : Al Suyuti, al Jami’ al Saghir, Jilid I, 5.
232 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 207. 233 Sehubungan dengan masalah tersebut, lihat pula KHI Buku I tentang
perkawinan pasal 116. 234 Nushuz adalah pembangkangan yang dilakukan oleh istri terhadap
suaminya, atau suami acuh dan tidak peduli kepada istrinya, tidak memberi nafkah lahir batin, melakukan kekerasan terhadap istri dan lain-lain Lihat : Departemen Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya, Jilid II, 273.
130
(1) Nushuz dari pihak istri terhadap suami.
Nushuz istri bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah,
penyelewenangan dan hal-hal yang dapat mengganggu
keharmonisan rumah tangga. Al Quran memberi tuntunan kepada
suami untuk mengatasi nushuz istri agar tidak terjadi perceraian,
sebagaimana firman Allah dalam surah al-Nisa’ (4) : 34235 memberikan
opsi kepada suami, yaitu :
(a) Suami memberi nasihat kepada istri dengan cara yang ma’ruf agar
ia segera sadar terhadap kekeliruan yang dilakukannya.
(b) Pisah ranjang, Sebagian Ulama mengartikan kata نھفاھجرو , dengan
makna “hendaklah bekot/tidak bicara kepada istri selama tiga
hari236. Cara ini dilakukan sebagai hukuman psikologis bagi istri
dan dalam kesendirianya, atau tidak ngomong dengannya selama
tiga hari itu, ia dapat mengoreksi dirinya dari kesalahan-kesalahan
yang dilakukannya.
(c) Kalau dengan dua cara yang telah disebutkan di atas tidak berhasil,
maka langkah yang ketiga dilaksanakan oleh suami adalah
235 Q.s. Al-Nisa’ (4) : 34 menerangkan cara mengatasi nushuz istri yaitu:
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagain dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nushuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
236 Menurut wahbah al Zuhaily, jika terjadi nushuz istri, maka hendaklah suami pisah ranjang dengan istrinya yang nusyuz itu, karena menurut riwayat al Bukhary dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW pernah melakukannya kepada istri-istrinya selama sebulan. Bekot/tidak bicara dengan istri yang nushuz maksimal tiga hari, tidak boleh lewat dari tiga hari karena Rasulullah SAW mengharamkan bekot/tidak bicara atau orang Islam lebih dari tiga hari. Lihat wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamiy wa adillatuh, 339.
131
memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, yaitu dengan
pukulan yang tidak memberi bekas, atau tidak menyakiti.237
Nushuz istri tersebut telah dimasukkan dalam KHI tentang perkawinan
pada pasal 80, 84.
(2) Nushuz suami terhadap istri.
Kemungkinan Nushuz ternyata ada juga datang dari suami.238 Selama
ini sering disalah pahami, bahwa nushuz hanya datang dari pihak istri
saja. Padahal Al-Quran, juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami
seperti yang terlihat dalam Al Quran surah al-Nisa’ ayat 128.239
Nushuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari
pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri,240 baik nafkah
lahir maupun nafkah batin.
237 Sebagain orang mengatakan bahwa perintah Allah dalam q.s. al-Nisa’
(4) : 34 ini merupakan tindak kekerasan terhadap istri dan melanggar HAM. Anggapan tersebut tidak benar, karena pada dasarnya Islam melarang untuk memukul istri. Allah membolehkan memukul itu, karena darurat, dengan pukulan yang tidak keras dan tidak mencederai, atau tidak menyakiti, dengan tujuan untuk mendidik dan kemaslahatan serta kelanggengan rumah tangga istri tersebut. Jika pukulan itu menyakiti, atau mencederainya, maka Islam tidak memperbolehkannya, bahkan mengharamkannya. Memukul itu merupakan tahap terakhir dari proses mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Lihat : Huzaemah Tahido Yanggo, Al Quran Kitab Suci Aktual Sepanjang Zaman, Dalam Jurnal Misykat, (Jakarta : Pasca Sarjana IIQ, 2008), vol. I, No. 2, 10.
238 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 270, Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), 93.
239 Q.S. al Nisa’ ayat 128.
Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nushuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
240 Nushuz suami terhadap istri disebutkan oleh Q.S. al-Nisa’ (4) : 128, tetapi dalam KHI tentang Perkawinan dan UU No. 1 tahun 1974 belum dimasukkan. Demikian pula nushuz istri terhadap suami belum dimasukkan dalam UU
132
Berkenaan dengan tugas suami terhadap istri tersebut
berangkat dari Hadis Nabi SAW, dinyatakan antara lain adalah :
(a) Memberi sandang dan pangan kepada istri
(b) Tidak memukul wajah jika terjadi nushuz istri
(c) Tidak mengolok-olok dengan mengucapkan hal-hal yang
dibenci/tidak disukai istri
(d) Tidak menjauhi istri, atau berpisah dengannya, kecuali di dalam
rumah.241
Sebenarnya kewajiban suami terhadap istri sudah dijelaskan
dalam Al Quran, misalnya dalam surah al-Nisa’ : 34, al-Baqarah : 233
dan lain-lain, kemudian dipertegas lagi oleh Hadis Nabi SAW, bahwa
suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan
dilarang menyakitinya, baik lahir, maupun batin, fisik dan mental. Jika
hal ini terjadi, dapat dikatakan sebagai satu bentuk nushuz suami
kepada istri.
Jika suami melalaikan kewajibannya dan sudah diingatkan
berulangkali oleh istrinya, tetapi tidak ada perubahan, maka Al Quran
menganjurkan kepada istri untuk melakukan perdamaian dan agar
lebih sabar dalam menghadapi suaminya serta merelakan hak-haknya
dikurangi untuk sementara waktu, agar perceraian tidak terjadi.242
Perkawinan, tetapi telah dimasukkan dalam KHI Buku I tentang perkawinan pada pasal 84.
241 Adapun Hadis yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban suami terhadap istri adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah dari Mu’awiyah al Quraish, bahwasannya Nabi SAW ditanya oleh seorang laki-laki tentang apa hak perempuan (istri) dari suaminya? Rasulullah menjawab :
“Engkau beri makan padanya (istri) jika engkau makan, engkau beri ia pakaian jika engkau memakai pakaian, jangan engkau mengolok-oloknya (mengucapkan hal-hal yang tidak sukai) dan jangan engkau menjauhinya /berpisah tempat tidur dengannya, kecuali di dalam rumah Lihat: Al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 211.
242 Lihat : Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 211.
133
Inilah ayat yang menurut Sayuti Thalib yang dijadikan dasar
untuk merumuskan tata cara dan syarat-syarat bagi ta’lik talak sebagai
bentuk perjanjian perkawinan. Maksudnya untuk mengantisipasi dan
sekaligus sebagai cara untuk menyelesaikan masalah apabila suami
melakukan nushuz.243
Sedangkan Abd Manan mengatakan bahwa ta’lik talak
menurut Mahmud Shaltut adalah jalan yang terbaik untuk melindungi
kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pihak suami. Sekiranya
seorang suami telah mengadakan perjanjian ta’lik talak ketika akad
nikah dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati bersama,
maka perjanjian ta’lik talak dianggap sah untuk semua bentuk ta’lik.
Apabila suami melanggar perjanjian yang telah disepakati itu, maka
istri dapat meminta cerai kepada Hakim yang ditunjuk oleh pihak yang
berwenang.244
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa ternyata nushuz
tidak hanya terjadi dari pihak istri, tetapi dapat pula datang dari suami
sebagaimana disebutkan pada ayat 128 surat al-Nisa’. Nushuz suami
belum dimasukkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan.
b) Terjadinya shiqaq (percekcokan/persengketaan)
Terjadinya shiqaq terus menerus antara suami-istri dalam
suatu rumah tangga, dapat memicu terjadinya perceraian, atau
putusnya perkawinan. Hal ini disebabkan, misalnya kesulitan ekonomi,
suami atau istri selingkuh, atau tidak melaksanakan kewajiban,
sehingga suami-istri sering bertengkar.
243 Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, 211, 212. 244 Abd. Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2001), 278.
134
Untuk mengatasi perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus antara suami-istri, Al Quran memberikan jalan ke luar, yaitu
pada surah al-Nisa (4) : 35,245 agar hendaklah diutus seorang hakam
(juru damai) dari keluarga suami dan seorang hakam (juru damai) dari
keluarga istri. Kedua hakam itu dikirim oleh yang berwajib, atau oleh
suami-istri, atau oleh keluarga suami-istri.246 Menurut al Maraghy,
perintah mengutus dua orang Hakam yang disebutkan dalam ayat
tersebut bersifat wajib.247
Dua orang hakam itu sebaiknya seorang dari keluarga suami
dan seorang dari keluarga istri, dan boleh dari orang lain. Tugas
Hakam itu ialah untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi
dan sebab-sebabnya kemudian berusaha mendamaikan keduanya.
Tugas serupa itu tepat dilaksanakan oleh orang yang bijaksana,
meskipun bukan dari keluarga suami istri yang mungkin lebih
mengetahui rahasia persengketaan itu dan lebih mudah bagi keduanya
untuk menyelesaikannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari
terjadinya perceraian.248
Jika usaha kedua orang hakam dalam mencari islah antara
kedua suami-istri yang bersengketa pada tahap pertama tidak berhasil,
maka diusahakan lagi penunjukan dua hakam yang sifatnya sebagai
245 Shiqaq berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua
orang Hakam (juru damai), seorang Hakam dari pihak suami dan seorang Hakam dari pihak istri – Lihat : al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 264
Q.S. Al-Nisa’: 35 :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
246 Depag RI, Al Quran dan Tafsirnya, 155. 247 Ahmad Mustafa al Maraghy, Tafsir al Maraghy, (Bairut: Dar al Fikr,
1365 H), Jilid II, 31. 248 Depag RI, Al Quran dan Tafsirnya, 155.
135
wakil dari suami istri yang bersengketa dalam batas-batas kekuasaan
yang diberikan kepadanya. Kalaupun ini belum berhasil, maka untuk
ketiga kalinya dicari lagi dua orang hakam yang akan mengambil
keputusan, dan keputusan itu mengikat.249
Dengan demikian, berarti kedudukan Hakam sangat penting
untuk menangani kasus-kasus sengketa/cekcok antara suami istri agar
tidak terjadi perceraian antara mereka.250
c) Salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau selingkuh.
Jika salah satu pihak dari suami-istri berbuat zina, atau
berselingkuh, maka hal ini dapat memicu kepada pertengkaran, karena
dapat menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya. Cara
menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang
didakwakan dengan cara li’an.251 Li’an sesungguhnya telah memasuki
gerbang putusnya perkawinan dan bahkan untuk selama-lamanya.
Karena akibat li’an adalah terjadinya talaq bain kubra.252
249 Depag RI, Al Quran dan Tafsirnya, 155. 250 Masalah hakam (juru damai) yang ditunjuk dari masing-masing 1
orang dari pihak suami dan istri, dimana kedua hakam inilah yang ditugaskan untuk mendamaikan suami-istri jika terjadi cekcok di antara keduanya, sebelum perkaranya diajukan ke Pengadilan Agama belum disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Kalau suami-istri dapat berdamai melalui kedua hakam tersebut, maka suami-istri itu tidak perlu lagi ke Pengadilan Agama.
251 Li’an diambil dari akar kata la’nan yang berarti menjauhkan diri dari kebaikan. Orang yang melakukan, li’an disebut “la’ana” yang berarti suami meli’an istrinya untuk membebaskan diriya dari sanksi terhadap tuduhannya atas istrinya berzina. Lihat : Majma’al Lughah al’Arabiyah, al-Mu’jam al Wasit, Jilid II, 829. Sedangkan makna, Li’an menurut istilah adalah suami yang menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan empat orang saksi, lalu ia bersumpah empat kali, yang menyatakan bahwa ia benar dalam tuduhannya. Kemudian pada kelima kalinya ia mengucapkan, bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau tuduhannya itu dusta. Lalu istri yang menyanggah tuduhan tersebut bersumpah pula empat kali, bahwa suaminya tela berdusta. Kemudian pada kelima kalinya ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah kalau ternyata ucapan suaminya itu benar (Lihat Q.S. Al-Nur : 6-9). Lihat Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 270.
252 Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, 270. Talak Ba’in ada dua macam : Talak Bain Sughra, yaitu talak yang kurang dari tiga kali talak dan boleh suami kembali kepada istrinya dengan akad nikah dan mahar baru. Talak Bain Kubra adalah talak tiga kali. Suami tidak boleh merujuk kepada istrinya lagi, kecuali setelah istrinya tersebut kawin dengan laki-laki lain dalam arti kawin yang sebenarnya dan pernah disetubuhi tanpa ada niat kawin tahlil, yaitu kawin rekayasa
136
Terjadinya li’an adalah ketika suami menuduh istrinya
berzina, tetapi ia tidak dapat mengajukan empat orang saksi yang dapat
menguatkan kebenaran tuduhannya itu, atau suami tidak mengakui
kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. Li’an harus dilakukan
di depan hakim (di Pengadilan).
Berkenaan dengan li’an tersebut, hukum dan tata caranya
telah diadopsi dalam KHI Tentang Perkawinan pada Pasal 125, 126,
127 dan Pasal 128. Tetapi dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan masalah li’an belum dimasukkan dalam UU tersebut.
b. Putusnya Perkawinan Karena Khulu’253
Kehidupan suami-istri hanya bisa tegak, kalau berada dalam
ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak
menjalankan kewajibannya dengan baik. Tetapi adakalanya terjadi suami
membenci istri, atau istri membenci suaminya. Kebencian itu kadang-
kadang semakin besar, perpecahan semakin dahsyat, penyelesaiannya
menjadi sulit, kesabaran menjadi hilang, sehingga hilang lenyaplah
ketenangan, kecintaan, kasih sayang dan kemauan melaksanakan
kewajiban yang menjadi sendi-sendi kehidupan keluarga. Sehingga
kehidupan suami-istri tidak dapat berdamai lagi, akhirnya rumah tangga
tidak dapat lagi dipertahankan.
Pada saat-saat seperti ini, Islam memberikan jalan keluar yang
terpaksa harus dilaksanakan. Jika kebencian terjadi dari pihak suami, maka
ditangannya terletak talak254. Jika kebencian terjadi dari pihak istri, maka
untuk menghalalkan suami pertama untuk kembali kepadanya. Lihat Al Sayid Sabiq : Fiqh al Sunnah, 237, 238.
253 Khulu’ menurut bahasa adalah seorang laki-laki menjatuhkan talak kepada istrinya dengan pembayaran tebusan darinya. Lihat Majma’ al Lughah al ‘Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, Jilid I, h. 250. Sedangkan Khulu’ menurut istilah dalam fikih adalah perempuan (istri) membayar tebusan agar ia di talak oleh suaminya, Lihat : Ibnu Rushd Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtasid, Jilid II, 50.
254 Dasar hukum talak adalah Q.S. al Baqarah : 229.
137
Islam membolehkannya untuk menebus dirinya dengan jalan khulu’.255
yaitu mengembalikan mahar kepada suaminya, guna mengakhiri ikatan
sebagai suami-istri.
Jumhur ulama, di antaranya adalah para Imam Mazhab empat,
berpendapat jika suami menceraikan istrinya dengan cara khulu’, berarti
istri telah berkuasa atas dirinya dan perkaranya sepenuhnya terserah dia
dan tidak ada lagi hak suami terhadapnya, karena istri telah mengeluarkan
hartanya untuk melepaskan dirinya dari ikatan suami istri. Kalau suami
tetap dianggap berhak ruju’, maka tidak ada artinya tebusan istri terhadap
suaminya itu, sekalipun kemudian mantan suaminya mengembalikan lagi
barang tebusan (‘iwad) dari istri sesudah terjadi khulu’ dan mantan istri itu
menerimanya. Namun mantan suami hukumnya tidak boleh ruju’ dalam
masa iddahnya, karena dengan khulu’ tersebut telah terjadi talaq ba’in.256
Diriwayatkan dari Ibnu Mussayyab dan Zuhry, bahwa jika
mantan suami, hendak merujuk kembali maka ia harus mengembalikan
tebusan yang diambil dari istrinya dalam masa iddahnya dan hendaklah
disaksikan oleh orang lain ruju’nya itu.257
Mantan suami boleh mengawini kembali istri yang
mengkhulu’nya dalam masa ‘iddahnya, asalkan mantan istrinya itu setuju
dan dilakukan dengan akad nikah yang baru.258
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
255 Dasar hukum khulu’ adalah Q.S. al-Baqarah : 229.
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, Jika kamu (Wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum Allah maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.
256 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 258. 257 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 258. 258 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 258.
138
Khulu’ boleh dilakukan pada waktu istri dalam keadaan suci,
atau dalam keadaan haid, tidak terikat dengan waktu, karena tidak ada
penjelasan dari Al Quran yang menetapkan waktunya secara khusus.259
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, belum disebutkan
masalah perceraian dengan cara khulu (cerai gugat), hanya disebut dengan
istilah gugatan pada Pasal 40, tetapi dalam KHI tentang Perkawinan telah
disebutkan pada Pasal 119, dan 124, tata caranya disebutkan pada Pasal
148, dan akibatnya disebutkan pada Pasal 161.
c. Putusnya Perkawinan karena Fasakh260 dan putusan pengadilan.
Fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi
pada akad nikah, atau karena hal-hal lain datang kemudian yang
membatalkan kelangsungan perkawinan.
Contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam
akad perkawinan:
1) Setelah akad nikah ternyata isterinya adalah saudara
sesusuan.261 Hal ini disebutkan pula dalam KHI Buku I tentang
Perkawinan pada Pasal 70 sub (a), dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 8 sub (d).
2) Suami-isteri masih kecil diakadkan oleh selain ayah atau datuknya,
kemudian setelah dia dewasa maka ia berhak untuk meneruskan
259 Lihat : Q.S. al-Baqarah : 229. 260 Memfasakh akad nikah, berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan
pertalian antara suami-istri. Fasakh tidak termasuk dalam bilangan talak. Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid 7, 510.
261 Menikah dengan saudara sesusuan hukumnya haram. Lihat : Q.S. al-Nisa : 23. Lihat pula : Ibnu Hajar al ‘Asqalany, Ibanah al Ahkam Sharh Bulugh al Maram, (Bairut: Libnan : Dar al Fikr, 1424 H – 2004 M), cet. I, Jilid III, 447, Hadis Nabi mengatakan :
“Diharamkan (menikah) dengan yang sesusuan sebagaimana diharamkan (menikah) dengan yang senasab”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
139
ikatan perkawinannya dahulu itu atau mengakhirinya.262 Ini disebut
khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami-isteri, maka
hal ini disebut fasakh akad. Contoh fasakh karena hal-hal mendatang
setelah akad.
3) Bila salah seorang dari suami-isteri murtad dari Islam dan tidak mau
kembali sama sekali. Maka akadnya fasakh (batal) disebabkan
kemurtadan yang terjadi belakangan ini.
4) Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri tetap dalam
kekafirannya, yaitu tetap jadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh).263
Beda halnya kalau isteri orang ahli kitab, maka akadnya tetap shah
seperti semula. Sebab akad perkawinan dengan isteri ahli kitab dari
semulanya dipandang sah. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan
hukum laki-laki Muslim menikahi wanita ahli kitab.264
Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan talak,
Sebab talak ada talak raj’i dan ba'in. Talak raj’i tidak mengakhiri
ikatan suami-isteri dengan seketika. sedangkan, ba'in mengakhirinya
seketika itu juga. Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang terjadi
belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi,
ia mengakhiri ikatan perkawinan seketika itu. Selain itu, pisahnya
suami-isteri karena talak dapat mengurangi bilangan talak. Jika suami
mentalak isterinya dengan talaq raj'i, lalu ruju' lagi semasa iddahnya,
atau akad lagi sehabis iddahnya, dengan akad baru, maka perbuatannya
dihitung satu kali talak, dan ia masih ada kesempatan melakukan talak
dua kali lagi.
262 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 268 – Wahbah al Zuhaily, al Fiqh
al Islamy wa Adillatuhu, 348. 263 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 349. 264 Jumhur Ulama membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dengan
wanita Ahli Kitab. Dalam KHI Buku I tentang perkawinan laki-laki atau wanita yang beragama Islam tidak sah menikah dengan non Muslim. Lihat KHI Buku I tentang Perkawinan pasal 61 RUU HMPA Bidang Perkawinan pasal 57.
140
Adapun pisahnya suami-isteri karena fasakh, maka hal ini
tidak berarti mengurangi bilangan talak, sekalipun terjadinya fasakh
karena khiyar baligh, kemudian kedua orang suami-isteri tersebut
kawin dengan akad baru lagi, maka suami tetap punya kesempatan tiga
kali talak.265
Ahli fikih golongan Hanafi ingin membuat rumusan umum
guna membedakan pengertian pisahnya suami-isteri sebab talak dan
sebab fasakh. Kata mereka: "Pisahnya suami-isteri karena suami dan
sama sekali tidak ada pengaruh isteri disebut talak. Setiap perpisahan
suami-isteri karena isteri, bukan karena suami, atau karena suami,
tetapi dengan pengaruh dari isteri disebut khulu’.266
Jika kondisi penyebab fasakh jelas, maka tidak perlu kepada
putusan Pengadilan seperti terbukti bahwa antara suami-isteri masih
saudara sesusuan, dalam keadaan seperti ini kedua suami-isteri wajib
memfasakh akad nikahnya dengan kemauannya sendiri.267
Jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar, maka perlu
diajukan ke Pengadilan dan bergantung kepada putusan tersebut.
Seperti fasakh karena isteri musyrik tidak mau masuk Islam, sedang
suaminya telah masuk Islam. Sebab mungkin saja isteri musyrik
tersebut mau masuk Islam (setelah berada di Pengadilan) sehingga
dengan demikian akad nikahnya tidak perlu difasakh.
Imam Malik, Shafi’i dan Ahmad membolehkan perceraian
dengan putusan pengadilan,268 jika istri menuntutnya, karena tidak
265 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 269.
266 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 125 267 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 126 268 Yang dimaksud dengan Pengadilan adalah Pengadilan Agama, Lihat :
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 63 Ayat 1 sub (a).
141
diberi nafkah269 oleh suaminya, sedangkan suaminya itu tidak
mempunyai simpanan harta.270
Adapun alasan mereka adalah sebagai berikut :
a) Suami berkewajiban memelihara istrinya dengan baik atau
menceraikannya dengan baik. (QS. al-Baqarah : 220 dan 231)
b) Hadis Nabi SAW yang mengatakan, bahwa tidak boleh berbuat
mudharat kepada orang lain, atau membahayakannya.271
Bahaya yang paling besar bagi seorang istri adalah tidak diberi
nafkah. Karena itu, alasan tidak diberikan nafkah, maka Pengadilan
hendaklah menyelamatkannya dari bahaya ini.
c) Jika diakui bahwa Pengadilan boleh menetapkan perceraian karena
cacat suami, maka karena alasan nafkah dapat dikatakan lebih
membahayakan dan menyakitkan isteri daripada cacad tersebut.
Jadi alasan tidak diberi nafkah lebih utama untuk menetapkan
perceraian tersebut.
Golongan Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh Pengadilan
menetapkan perceraian karena alasan nafkah, baik karena tidak mau
memberinya, atau karena dalam keadaan sulit ekonomi dan tidak
mampu.272 Karena kewajiban memberikan nafkah hanya sesuai dengan
kemampuan suami berdasarkan firman Allah dalam surah al Talaq
ayat : 7.273
269 Yang dimaksud dengan nafkah dalam masalah ini, adalah nafkah
pokok (primer) seperti : makan, pakaian, rumah tempat tinggal walaupun sangat sederhana sesuai dengan kemampuan suami dan lain-lain yang dibutuhkan oleh keluarga.
270 Lihat Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 246 271
Artinya : “Tidak boleh membahayakan dan membalas dengan bahaya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
272 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 247
142
Selain beralasan dengan ayat 7 al Talaq, golongan Hanafi
berasalan pula bahwa : para Sahabat ada yang kaya ada yang miskin.
Tidak pernah diriwayatkan adanya seorang Sahabatpun yang pernah
diceraikan oleh Nabi s.a.w. dari isterinya, karena kemelaratan dan
kemiskinannya sehingga tidak dapat memberi nafkah. Begitu pula
Nabi s.a.w. pernah dimintai oleh para isterinya apa yang tidak mampu
beliau berikan. Lalu beliau tinggalkan istri-isterinya selama sebulan
sebagai hukuman kepada mereka.274
Jika isteri boleh dihukum, karena menuntut apa yang tidak
kuasa suami memberinya, maka dipandang lebih besar kezalimannya
menuntut perceraian di saat suami dalam kesulitan nafkah. Para Ulama
berkata: Jika suami yang mampu tidak memberi nafkah isterinya
dipandang zalim, maka cara mengatasi kezaliman ini dengan menjual
hartanya yang ada untuk dibayarkan kepada istrinya sebagai nafkah,
atau suami dipenjara sampai mau membayar nafkah. Tidak boleh
menjatuhkan talak dalam mengatasi kezaliman ini, selama cara lain
masih bisa. Sekalipun tidak mau memberi nafkah itu suatu kezaliman,
tetapi karena alasan ini Pengadilan belum boleh menjatuhkan talak
sebab talak adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah275
walaupun talak itu haknya. Karena itu, bagaimana hendak dibenarkan
Pengadilan menjatuhkan talak padahal dia bukan pemegang haknya,
dan bukan pula talak jalan satu-satunya untuk mengatasi kezaliman.276
Artinya:”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.
274 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 247 275 Hadis berkenaan dengan hal tersebut di atas adalah :
Lihat : Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, 5. 276 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 247
143
Demikianlah, jika suami mampu memberi nafkah. Tetapi jika
ia seorang miskin, maka tidaklah ia dikatakan berbuat zalim, kalau
tidak memberikan nafkah kepada isterinya. Sebab Allah tidak
memaksa seseorang lebih dari apa yang ia berikan kepadanya.277
Imam Malik berpendapat, istri berhak meminta kepada
Pengadilan agar menjatuhkan talak, jika ia beranggapan suaminya
telah berbuat membahayakan dirinya sehingga tidak sanggup lagi
untuk melangsungkan pergaulan suami isteri, seperti: Karena suka
memukul atau menyakiti dengan cara apapun yang tidak dapat dia
tanggung lagi, atau dengan memakinya atau memaksa dia
mengucapkan atau berbuat mungkar.278
Jika tuduhan di depan Pengadilan terbukti dengan keterangan
istri atau karena pengakuan suami, sedangkan hubungan suami istri
tidak dapat lagi diteruskan karena perbuatan yang menyakitkan oleh
suami dan Pengadilan tidak mampu mendamaikan mereka, maka boleh
dijatuhkan talak bain279 kepada istrinya.280
Jika istri tidak dapat mengajukan bukti, atau suami tidak
mengakui tuduhan yang dihadapkan kepadanya, maka tuduhannya
batal.
Jika terjadi pengaduan berulang kali oleh isteri, dan ia minta
untuk dijatuhkannya talak, tetapi Pengadilan belum dapat memperoleh
kebenaran tuduhannya, maka Pengadilan dapat mengajukan dua orang
penengah dengan syarat kedua duanya adalah laki-laki yang adil dan
277 Lihat : Q.S. al Talaq : 7. 278 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,
527, 528. 279 Talak bain yaitu talak yang ketiga kalinya, talak sebelum istri digauli
dan talak dengan tebusan oleh istri kepada suaminya. 280 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,
528.
144
cakap, punya pengetahuan tentang diri kedua suami istri tersebut dan
mampu untuk mendamaikan mereka berdua.281
Selanjutnya berkenaan dengan kepergian suami (suami
mafqud) pengadilan dapat menjatuhkan talak karena kepergian suami
itu meninggalkan istri. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Ahmad
Imam Malik menganggap sebagai talak bain, sedang Imam Ahmad
menganggap sebagai fasakh.282
Hal ini guna melepaskan isteri daripada kesusahan yang
dideritanya. Karena itu isteri berhak menuntut pemisahan, jika suami
pergi meninggalkannya, sekalipun suami punya harta sebagai
pembayar nafkahnya, dengan syarat:
1) Perginya suami dari isterinya tanpa ada alasan yang dapat diterima.
2) Perginya dengan maksud menyusahkan isteri.
3) Perginya ke luar negeri dari negeri tempat tinggalnya.
4) Lebih dari satu tahun, dan isteri merasa dibuat susah.283
Jika kepergian suami dari istrinya dengan alasan yang dapat
diterima seperti untuk menuntut ilmu atau berdagang, atau sebagai
pegawai bertugas di luar daerah atau tentara yang bertugas di tempat
yang jauh, maka dalam keadaan yang seperti ini isteri tidak dibenarkan
untuk minta cerai (talak). Begitu pula halnya kalau perginya suami
hanya dalam negeri tempat kediamannya sendiri, kecuali Ulama
Malikiyah tidak membedakan antara Mafqud karena alasan menuntut
ilmu dan lainnya.284
281 Berkenaan dengan dua orang Hakam untuk mendamaikan suami-istri
yang cekcok, lihat Q.S. al-Nisa’ : 35. 282 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,
532, 533. 283 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 250 284 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,
533.
145
Isteri juga berhak minta talak karena kesusahan yang
dialaminya. Sebab suami jauh daripadanya, bukan pergi
meninggalkannya. 285
Dalam tempo lewat setahun harus ternyata adanya kesusahan
(bahaya) bagi isteri dan ia merasakan perasaan hampa (liar)
sehingga khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan yang
diharamkan Allah.
Penentuan jangka setahun ini adalah pendapat Malik. Tapi
ada yang berpendapat tiga tahun.286
Ahmad berpendapat, bahwa jangka paling pendek isteri
dibolehkan menuntut pemisahan adalah setelah berlalu enam bulan.
Karena selama enam bulan itu merupakan jarak waktu perempuan
sanggup bersabar ditinggalkan pergi oleh suaminya, jawaban Hafsah
atas pertanyaan Khalifah Umar.287
Termasuk dalam soal pemisahan ini menurut Malik dan
Ahmad ialah pemisahan karena suami dipenjarakan. Sebab dengan ia
dipenjarakan akan mengakibatkan isteri susah, karena jauh dari
suaminya. Bila suami diputus hukum penjara tiga tahun atau lebih
putusannya sudah mendapat kekuatan hukum dan diberlakukan kepada
suami, lalu berjalan setahun atau lebih suami menjalaninya sejak hari
diputuskannya, maka istri berhak menuntut talak kepada Pengadilan,
karena ia mengalami kesusahan akibat jauhnya ia dari suaminya. Jika
hal kesusahan itu terbukti, maka Pengadilan dapat menjatuhkan sekali
talak, ba'in. Demikianlah pendapat Malik.288 Tetapi menurut Ahmad
dipandang fasakh.289 Ibnu Taimiyyah berkata: Begitu pula dengan
285 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 533. 286 Tahun yang dimaksud dalam ungkapan di atas adalah tahun Hijriyah. 287 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 250 288 Lihat: Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,
h. 535 – dan Ibnu Qudamah, al Mughny, Jilid VII, 488. 289 Lihat: Ibnu Qudamah, al Mughny, Jilid VII, 488
146
isteri yang suaminya tertawan, dipenjara dan lain sebagainya, dimana
isteri tidak dapat berhubungan badan dengannya. Hal ini sama dengan
suami yang hilang. Demikianlah pendapat Ijma'290
Jika putus perkawinan karena perceraian, sedangkan suami
istri mempunyai anak di bawa umur, maka ayah dan ibu tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak, yang dalam istilah
hukum fikih Islam disebut Hadanah (حضانة)291
Pengarang kitab al-Ikhtiyar, mengenai hal tersebut,
mengatakan, "Ketika anak masih kecil lemah untuk memperhatikan
segala kemaslahatan dirinya, maka Allah menjadikan untuk tugas
tersebut orang yang akan membimbing dan mengurusnya. Sehingga
nafkah anak, urusan harta kekayaan dan berbagai macam transaksi
(akad) diserahkan kepada laki-laki (suami), sebab mereka lebih kuat
dan lebih mampu dalam hal tersebut. Sedang urusan pendidikan,
pengurusan, dan perawatan diserahakan kepada wanita (istri) sebab
mereka lebih sayang dan lebih lembut serta lebih mampu untuk
memberikan pendidikan dan pengasuhan ketimbang laki-laki. Sungguh
Allah telah memberikan kepada mereka rasa cinta kasih dan sayang,
kemampuan, kesabaran dan ketabahan. Itulah karunia Allah SWT
terhadap makhluknya, tetapi sayang, kebanyakan manusia tidak
mengetahui dan menyadarinya. Tetapi tugas-tugas yang nampak
seperti itu tidak menjadi sasaran utama. Yang jelas, bahwa wilayah
otoritas mengajari dan mendidik anak diserahkan kepada wali yang
menguasai diri si anak selama anak tersebut masih dalam masa
290 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 251 291 Lihat: Ibnu Manzur, Lisan al Arab, Jilid I, 911.
147
pengasuhan dan selama ia masih ada dalam tanggungan pengasuh serta
pendidiknya. 292
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa masalah
Hadanah adalah masalah menjaga, memelihara, mengasuh, memimpin,
mendidik dan mengatur segala hal anak yang belum dapat menjaga,
mengatur dan mengurus dirinya sendiri.
Pembicaraan berkenaan dengan masalah Hadanah ini terjadi
apabila dua orang suami isteri bercerai sedangkan keduanya
mempunyai anak yang belum mumayyiz (belum menguasai
kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik
dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya,
berdasarkan Hadis Nabi yang mengatakan kepada seorang perempuan
yang mengadukan persoalannya kepada beliau, bahwa suaminya
hendak mengambil anaknya yang masih bayi (masih kecil) darinya,
lalu Rasulullah berkata kepadanya “Engkau lebih berhak mengasuhnya
selama engkau belum menikah”293 selama ibunya belum menikah
sedangkan nafkah dan biayanya menjadi tanggung jawab suami.294
Orang Yang Berhak Melaksanakan Hidanah :
a) Hak mengasuh dan mendidik (hidanah) itu ditetapkan bagi kaum
wanita kemudian setelah itu baru kaum pria. Wanita yang pertama
292 Ibnu Abidin, Hasiyah Radd al Muhtar ‘ala al Dur al Mukhtar, Sharh
Tanwir al Absar, (Mesir: Mustafa al Baby al Halaby, 1386 H / 1966 M), cet. II, Jilid III, h. 159.
293 Hadis tersebut adalah :
Sesungguhnya seorang perempuan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya anak ini, perutku tempatnya, dan susuku merupakan air minum segar baginya dan pangkuanku menjadi rumah tempat bernaung baginya. Ayahnya telah menceraikanku dan hendak mengambil anak ini dariku, lalu Rasulullah berkata : “Engkau lebih berhak terhadap anak itu selama engkau belum menikah” (HR. Abu Daud dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘As dan ditashih oleh al Hakim - Abu Daud, Sunan Abu Daud, (t.t., al Sa’adah, t.th.), Jilid II. 707, 708.
294 Lihat Q.S. al Talaq : 6
148
yang paling berhak untuk hal tersebut adalah sang ibu. Sebab ia
lebih sayang dan lebih lembut/halus terhadap anak kecil ketimbang
yang lainnya. Oleh karena ia memang spesialis untuk memenuhi
kebutuhan dan kemaslahatan anak-anak.295
b) Jika anak tidak mempunyai ibu yang berhak. untuk mengasuh dan
mendidiknya di rumah, baik karena ia tidak berhak atau tidak
mempunyai kriteria untuk mengasuh/mendidik, atau menikah dengan
yang bukan mahram, atau telah meninggal dunia, maka neneknya (ibu
dari ibunya) lebih berhak daripada siapa pun, sampai ke atas (garis
keturunannya). Sebab ia yang menyertai ibu (bagi anaknya) dalam hal
melahirkan dan mendapatkan warisan.
Yang mengikuti pendapat tersebut adalah Imam Shafi’i
dalam Qaul Jadidnya, Imam Ahmad dalam satu riwayat darinya, Imam
Malik, dan Imam Abu Hanifah.296
Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat yang kedua,
menentang pendapat tersebut. la mengatakan, bahwa sebenarnya ibu
295
Hal tersebut diperkuat dengan dalil-dalil berikut ini :
Pertama, firman Allah SWT, "Dan para ibu
hendaklah menyusui anak-anaknya", (Q.S al-Baqarah/233). Kedua, Hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari
kakeknya Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anaku ini, perutku adalah tempatnya, air susu (tetek)ku minumannya, dan pangkuanku menjadi tempat teduhnya. Sesungguhnya ayahnya telah mentalakku, seraya menginginkan untuk mengambil anak tersebut dariku". Maka bersabda Rasulullah SAW kepadanya, "Engkau lebih berhak dengannya selama engkau belum menikah"?
Ketiga, apa yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab ra. bahwa ia pernah mentalak isterinya, yakni, Ummu 'Asim. Umar ingin mengambil Ashim puteranya itu darinya. Tetapi isterinya tidak mau memberikannya. Lalu mereka mendatangi Abu Bakar ra dan ia ketika itu adalah seorang khalifah. Abu Bakar ra berkata, "Usapannya, pangkuannya, dan anginnya, lebih baik baginya daripada kamu, sampai anak itu menjadi dewasa. Setelah dewasa, ia akan memilih untuk dirinya
Hadis tersebut teksnya adalah : أنت أحق بھ مالم تنكحي diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, disahkan oleh Imam Hakim. Lihat Sunan Abu Daud,Juz II, h. 707-708, Subul al-Salam, Juz III, h. 227, dan kitab Nayl al-‘Autar, Juz VI, 369.
296 Lihat Kitab al-Majmu’, Juz XVII, h. 167; Sharh Fath al-Qadir, Juz III, 315; Hashiyah al-Dasuqi, Juz II, 527; Al-Mughny wa al-Sharh al-Kabir, Juz IX, 298.
149
(nenek) dari ayah lebih berhak untuk mengasuh dan mendidik anak
daripada ibu (nenek) dari ibunya. Sebab bergantung kepada 'asabah di
samping mempunyai kesamaan dengan wanita lainnya dalam hal
melahirkan, sehingga ia wajib didahulukan.297
Tetapi nampaknya pendapat yang paling shahih adalah yang
dikemukakan oleh jumhur ulama, sebab nenek dari ibu itu lebih dekat
kepada anak dan lebih sayang daripada nenek dari ayah (ibunya sang
ayah).
c) Yang berhak mengurus hidanah mengasuh dan mendidik di rumah
setelah ibunya dan neneknya dari ibunya, adalah ayahnya. Hal ini
berdasarkan pertimbangan berikut:
Memperhatikan anak dengan penuh rasa cinta dan kasih
sayang hanya dapat dilakukan oleh kedua orang tua. Tidak seorang pun
dari kcrabat yang dapat menandingi mereka dalam hal itu. Apalagi,
peran sang ayah dan kewaliannya itu tidak akan terputus meski tetap
berlakunya hidanah yang dilakukan ibu dan atau neneknya. Sang anak
tetap di bawah kewalian atau bimbingan dan tanggungan, serta
jaminan sang ayah. Ayahlah yang berhak dan wajib menafkahi anak.298
Ia pula yang akan memperhatikan segala perjalanan hidupnya. Jika
salah satu dari keduanya ibu dan nenek tidak ada, maka sempurnalah
bagi ayah kewaliannya.299 Ia pun wajib mengurus hidanah anaknya
dengan mencarikan dan memilihkan wanita yang mempunyai
kelengkapan kualifikasi untuk mengasuh dan mendidik serta
mengasihi anaknya dari kerabat dekat atau kerabat jauh jika tidak ada
kerabat dekat. Oleh karena itu, ayah lebih berhak untuk mengasuh dan
mendidik anaknya setelah ibunya dan neneknya tidak ada atau tidak
297 Ibnu Qudamah, Al Mughny wa al-Sharh al-Kabir, Juz IX : 309. 298 Lihat: Q.S. al Talaq : 6 299 Lihat: Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah,
Jilid IV, 594
150
berfungsi. Ayah mesti memilih wanita yang akan melakukan apa saja
demi kemaslahatan anak-anaknya. Tentu saja ia pun selalu mengawasi
mereka dan menjaganya. Sang ayah harus memilih wanita yang akan
mengasuh dan mendidik anaknya itu adalah wanita yang mempunyai
karakter dan sifat-sifat terpuji. la mesti seorang wanita yang memenuhi
kualifikasi seorang hidanah, wanita yang tepat untuk mengasuh dan
mendidik anak, sehingga la tidak membahayakan anak dan tidak
menelantarkannya.300
Selanjutnya jika Ibu, nenek dan ayah sudah tidak ada, atau
ada tetapi tidak memenuhi syarat atau kualifikasi seorang hidanah
(pengasuh), sedangkan orang yang berhak melakukan hidanah terdapat
kesamaan derajat di antara dua orang yang memenuhi kualifikasi,
maka yang melakukan hidanah adalah orang yang dekat hubungannya
dengan anak, seperti antara dua saudara perempuan yang sekandung,
atau kedua saudara perempuan dari ibu, dari ayah, atau antara dua uwa
(perempuan), atau antara dua bibi, atau di antara saudara yang banyak,
ataupun di antara para paman pun demikian.301 Sedang masing-masing
mereka itu menuntut untuk melakukan hidanah. Bibi dari pihak ibu
didahulukan dari bibi pihak ayah jika ia memenuhi syarat hadanah.
Dalam kondisi demikian, menurat Imam Abu Hanifah yang
harus didahulukan "adalah orang yang paling saleh.302 Sedang menurut
Imam Malik dipilih orang yang paling memiliki kemampuan untuk
merawat dan menjaga dan yang paling sayang kepada anak tersebut.303
Jika pada salah satu di antara keduanya ada yang hanya mempunyai
300 Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, (Jakarta : Al Mawardi
Prima, 2004), cet. I, 117, 118. 301 Lihat : Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah,
Jilid IV, 595. 302 Lihat : Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah,
Jilid IV, 594 303 Lihat : Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah,
Jilid IV, 595
151
siyanah (kemampuan memelihara) saja, maka lebih baik dan yang
lebih kuat dalam penilaian adalah mendahulukan yang mempunyai
shafaqah atau rasa sayang tetapi juga masih memilih benih-benih
siyanah. Jika tidak demikian (karakteristiknya), maka hendaklah
didahulukan yang mempunyai kemampuan memelihara/melindungi,
jika kita akan melakukan bahaya yang paling ringan.304
Jika tidak ada orang yang paling saleh/cocok dengan karakter
seperti itu, maka langkah yang ditempuh menjadikan orang yang
paling wara' saleh dan teliti mengenai halal dan haram; yang paling
berhak untuk melaksanakan hidanah. Sebab jila kualifikasi demikian
itu dipenuhi, pasti ia akan dapat dipercaya untuk mengemban tugas
yang dibebankan kepadanya. Tetapi, jika sifat demikian itu tidak
terpenuhi, maka pilihlah orang yang paling tua. Sedang ulama Mazhab
Maliki, tidak menetapkan derajat kewara'an sebagai salah satu
kualifikasi. Mungkin sebabnya adalah mereka justeru mensyaratkan
terhadap orang yang akan mengasuh dan mendidik anak itu
mempunyai sifat amanah (dapat dipercaya) dalam mengamalkan
agama. Sedang mereka pun menjadikan derajat berikutnya adalah
orang yang paling tua umurnya.305
Adapun yang berhak menentukan siapa yang paling berhak
melakukan hidanah pada orang-orang yang memiliki kualifikasi
sama adalah Qadi (Hakim).306
Putusnya perkawinan dan akibatnya, baik terjadi karena talak,
khulu’, li’an, fasakh dan putusan Pengadilan menurut hukum fikih
Islam yang telah disebutkan dan diuraikan di atas, telah diadopsi dalam
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 38 s/d pasal 41
dan pasal 50 s/d pasal 54 tentang perwalian, walaupun tidak semua,
304 Lihat : Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, 118, 119. 305 Lihat : Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah,
Jilid IV, 595, 596. 306 Lihat : Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, 119.
152
atau tidak mendetail disebutkan seperti dalam hukum fikih Islam.307
Demikian pula masalah putus perkawinan dan akibatnya tersebut, juga
telah diadopsi dalam KHI tentang perkawinan pada pasal 113 s/d pasal
128, pasal 156 dan pasal 98 tentang pemeliharaan anak.
Dengan masuknya hal-hal yang berkenaan dengan putusnya
perkawinan dan akibatnya yang terdapat dalam Hukum Islam ke dalam
UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, berarti hukum
fikih Islam telah menjadi Hukum Nasional. Perbedaannya, kalau dalam
Hukum Fikih Islam (Fikih Munakahat) disebutkan dengan mendetail.
Sebaliknya dalam Hukum Nasional sudah dilengkapi dengan teknis
pelaksanaannya dan tambahan masalah-masalah yang sesuai dengan
kondisi di Indonesia karena Maslahah.
Secara rinci perbedaan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan dengan Hukum Fikih Islam tentang Perkawinan adalah sebagai
berikut :
(1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan telah
mengikuti Fikih Munakahat, bahkan banyak mengutip langsung dari Al
Quran dan Hadis. Contohnya, ketentuan tentang larangan perkawinan dan
masa tunggu (‘Iddah) bagi istri yang bercerai dari suaminya.
(2) Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan
KHI tentang Perkawinan sama sekali tidak terdapat dalam Fikih
Munakahat, tetapi karena bersifat administratif dan bukan substansial
dapat ditambahkan ke dalam Fikih. Contohnya, pencatatan perkawinan
dan pencegahannya.
307 Masalah suami mafqud (tidak ada berita tentang keberadaannya),
substansinya belum dimasukkan secara rinci dalam KHI Buku I tentang Perkawinan, RUU HMPA Bidang Perkawinan. Misalnya suami yang mafqud itu berapa lama ditunggu oleh istri, baru boleh ia menikah dengan orang lain, bagaimana penyelesaiannya jika ternyata setelah istrinya menikah, suami yang mafqud datang, dan lain-lain sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, belum disebutkan sama sekali.
153
(3) Ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan tidak terdapat dalam Fikih Munakahat, karena pertimbangan
kemaslahatan dapat diterima. Contohnya, batas minimal umur pasangan
yang akan menikah dan harta bersama dalam perkawinan.
(4) Ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan secara lahiriyah tidak sejalan dengan ketentuan Fikih
Munakahat, akan tetapi dengan menggunakan reintepretasi dan
pertimbangan maslahat, dapat diterima dalam Hukum Fikih. Contohnya,
keharusan perceraian di Pengadilan Agama dan keharusan izin poligami
oleh Pengadilan Agama serta perceraian harus didasarkan kepada alasan-
alasan yang sudah ditentukan.
C. Hukum Fikih Islam dalam KHI Buku I tentang Perkawinan
Dalam pembahasan Hukum Fikih Islam tentang Munakahat dalam
KHI Buku I tentang Perkawinan ini, tidak lagi di bahas pasal-pasal yang sama
substansinya dengan pasal-pasal yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, karena ketika membahas Hukum Fikih Islam
tentang perkawinan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut, telah dibahas juga pasal-pasal yang terdapat dalam KHI
Buku I tentang Perkawinan yang sama materi, atau substansinya untuk
menghindari pengulangan pembahasan. Demikian pula dalam kajian ini tidak
membahas pasal-pasal yang hanya bersifat teknis dalam pelaksanaan
perkawinan.
1. Ketentuan Umum
Pasal I KHI tentang Perkawinan dalam ketentuan umum memuat
istilah-istilah yang menjadi inti pembahasan dalam KHI tentang
Perkawinan tersebut. Istilah-istilah dalam KHI tentang perkawinan ini,
adalah istilah-istilah yang terdapat dalam Hukum Fikih Islam yang
154
merupakan definisi-definisi yang berkenaan dengan hukum perkawinan
Islam.
Istilah-istilah tersebut adalah definisi dari peminangan (khitbah),308
Wali Hakim,309 Akad Nikah,310 Mahar,311 Ta’lik Talak,312 Harta Kekayaan
dalam Perkawinan,313
308 Peminangan (khitbah) adalah pernyataan keinginan seorang laki-laki kepada
seorang perempuan tertentu atau kepada walinya untuk menikahinya. Lihat: Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu,jilid VII, 10.
309 Wali Hakim adalah wali dari penguasa/yang berwenang untuk menikahkan perempuan yang tidak mempunyai wali nasab atau yang mewakilinya. Lihat: Al-Shan’any, Subul al Salam, Jilid III, 161.
310 Akad Nikah adalah ijab yang diucapkan oleh wali perempuan atau wakilnya dan qabul yang diucapkan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya yang disaksikan oleh dua orang saksi. Lihat: Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 29, 33 dan 49.
311 Mahar adalah pemberian suami kepada istri ketika menikah, sebagai pemberian yang tidak disertai harapan menerima imbalan apapun dan tanpa ada tawar menawar, dimana pemberian tersebut menjadi milik istri untuk selama-lamanya dan tidak boleh diusik sedikitpun kecuali atas kerelaannya. Lihat : Q.S. al-Nisa’/4 : 4.
312 Ta’liq Talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh mempelai laki-laki setelah akad nikah yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, jika yang diucapkannya itu terjadi, maka terjadilah talak. Lihat: Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 222, 223.
313 Harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, baik diperoleh sendiri-sendiri, maupun diperoleh bersama suami istri, yang dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sebagai harta bersama, dimana bila terjadi perceraian karena kematian salah satu pihak, akan menjadi harta warisan setelah dibagi dua. Harta bawaan tidak termasuk dalam harta perkawinan.
155
Pemeliharaan anak (Hadanah),314 Perwalian,315 Khulu’316 dan Mut’ah317
Istilah-istilah tersebut akan ditemukan dalam kajian terhadap pasal-
pasal dalam KHI Bidang Perkawinan.
2. Peminangan
Tujuan perkawinan sebagaimana diisyaratkan dalam Al Quran dan
Hadis, serta Undang-Undang dapat diwujudkan dengan baik dan sempurna
jika perkawinan tersebut sejak proses pendahuluannya berjalan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan agama. Di antara proses
yang akan dilalui itu adalah peminangan (khitbah). Peminangan ini
bertujuan untuk mengenal karakter dan pribadi seorang perempuan,
sebelum menjadi istri,318 karena seorang istri sangat besar perannya dalam
keluarga. Istri merupakan tempat penenang bagi suaminya, sekutu
hidupnya, pengatur rumah tangganya, sebagai ibu dari anak-anaknya,
tempat tambatan hatinya dan lain-lain.
Dalam KHI tentang perkawinan, masalah peminangan diapresiasi
secara detail, yaitu terdapat pada Pasal 11 s/d Pasal 13. Di dalam UU No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah peminangan tidak
dicantumkan, karena peminangan mungkin dianggap tidak dapat disebut
314 Pemeliharaan anak (Hadanah) adalah usaha mendidik anak yang dilakukan
oleh orang yang mempunyai hak mengasuh, atau mendidik orang yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya dan memeliharanya dari apa yang membahayakannya, meskipun orang tersebut telah dewasa. Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, 101.
315 Perwalian adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, baik terhadap manusia, maupun terhadap harta. Lihat: Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu ,Jilid VII, 746.
316 Khulu’ adalah istri memisahkan diri dari suaminya dengan pembayaran iwadh (tebusan). Lihat: Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 252.
317 Mut’ah adalah pemberian mantan suami kepada mantan istri yang dicerai talak berupa benda, atau uang dan lainnya. Lihat: Q.S. al-Baqarah/2 : 241.
Catatan: Istilah-istilah dalam hukum fikih Islam tersebut telah dicantumkan dalam KHI tentang perkawinan pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1.
318 Lihat: Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 20.
156
sebagai peristiwa hukum319. Tetapi sebenarnya, kalau dikaji masalah
syarat perkawinan yang terdapat pada Pasal 6 dan 7 UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan itu, secara implisit telah mengatur masalah
peminangan tersebut, yaitu bahwa salah satu syarat perkawinan adalah
adanya persetujuan kedua calon mempelai.
Menurut Yahya Harahap Pasal 6 dan 7 tersebut mengisyaratkan
untuk terjadinya persetujuan bersama mengharuskan adanya peminangan,
atau lamaran yang artinya bisa kenal-kenalan atau saling mengenal.320
Kenal mengenal antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang tidak ada hubungan mahram, harus ditemani oleh
mahram dari perempuan, karena menyendiri, atau berdua-duaan dengan
tunangan, hukumnya haram menurut Hukum Islam, berdasarkan Hadis
Rasulullah SAW, bahwa dilarang keras seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang bukan mahramnya berdua-duaan tanpa mahramnya.321
Para fuqaha sepakat mengatakan, bahwa tidak boleh lelaki
peminang melihat calonnya berdua-duaan di tempat sepi dari pandangan
umum, karena duduk berdua-duaan antara lelaki dan perempuan yag
bukan muhrimnya dilarang oleh agama Islam.
Menurut Yusuf al Qaradawy : seorang laki-laki di zaman kita
sekarang ini, boleh melihat perempuan yang hendak dipinangnya dengan
pakaian yang boleh dilihat oleh ayah dan saudara-saudaranya serta
mahram-mahramnya dan si laki-laki boleh pergi bersama wanita tersebut
319 Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, 90. 320 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co,
1975), 35. 321Hadis tentang larangan berdua-duaan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang bukan mahramnya adalah :
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan perempuan kecuali ada mahram bersamanya”. (HR. al-Bukhary dan Muslim dari Ibnu Abbas). Lihat: Al-Nawawy, Riyadu al-Salihin,(Beirut: Dar al Fikr, 1414 H/1994 M, 197.
157
dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang dari mahramnya
dengan pakaian yang menurut ukuran Syara’ ke tempat yang boleh
dikunjungi untuk mengetahui kecerdikannya, perasaannya dan
kepribadiannya.322
Jadi dengan saling berkenalan, maka terjadilah saling mengetahui
dan mengenal sifat, bakat, identitas, keistimewaan dan kelebihan serta
kekurangannya memahami keadaan yang sewajarnya, mengenal suara
hatinya dan cita-cita masa depannya.323
Pada pelaksanaan peminangan ini boleh pula diwakilkan kepada
seorang yang betul-betul tahu dan jujur, punya kepribadian yang moderat
untuk mengetahui watak dan akhlak yang akan dipinang sehingga tidak
memihak dan memuji-muji atau mencelanya berlebih-lebihan, sebab
akhlak adalah sebagai landasan yang kuat setelah agama untuk menunjang
perkawinan.
Adapun tempat-tempat yang boleh dilihat dari calon istri, menurut
Jumhur ulama dibatasi pada wajah dan dua tapak tangan. Wajah
melambangkan kecantikan atau sebaliknya dan tangan menunjuk
kesuburan badan.324
Dalam hal melihat ini, bukan saja berlaku bagi calon suami, tetapi
juga berlaku bagi calon istri.
Mengenai waktu melihat calon suami atau istri itu dilakukan
sebelum meminang karena jika setelah meminang kemudian membatalkan,
322 Yusuf al Qaradawy, Al Halal wa al Haram fi al Islam, (Bairut: al Maktabah al
Islamiyah li al Tiba’ah wa al Nashr, 1967), cet. IV, 147. 323 Dalam Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al Nasai, Ibnu Majah dan al
Tirmidzi dari al Mughirah bin Syu’bah, disebutkan bahwa al Mughirah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya :
.
“Sudahkah kau lihat dia?” Ia menjawab, “Belum”, Sabda Nabi, “Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”, -- Al San’any, Subul al Salam, Jilid III, 154.
324 Al-Qalyuby wa ‘Umairah, Hashiyatani, (t.t : Dar al Fikr, t.th), Jilid II, 208.
158
maka akan melukai hatinya, tetapi jika dilakukan sebelum meminang,
maka tidak ada masalah kalau tidak dilanjutkan (tidak meminang).325
Sebenarnya melihat perempuan yang bukan mahram menurut
hukum asalnya adalah haram, dibolehkan hanya karena ada sesuatu hajat
atau dalam keadaan darurat, oleh sebab itu, melihat perempuan yang akan
dipinang dibolehkan sekedar yang perlu saja yaitu pada wajah dan telapak
tangan sebagaimana pendapat jumhur Ulama.326 Tetapi kalau diamati
realitas masyarakat sekarang ini kaum wanita tidak lagi tinggal di rumah
seperti wanita pada zaman dahulu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi mempengaruhi wanita melibatkan diri dengan aktivitas-aktivitas
di luar rumah. Pergaulan antara laki-laki dan wanita di sekolah-sekolah, di
universitas-universitas, di kantor-kantor, perusahaan-perusahaan dan lain-
lain, sudah menjadi masalah yang biasa. Wanita mengenal lelaki dan
sebaliknya malah saling berbincang, bertukar pendapat di rapat-rapat, di
konfrensi-konfrensi sebagai delegasi di peringkat nasional dan
international, adalah suatu hal yang tidak dapat dielakkan lagi. Di samping
itu, pakaian wanita kebanyakan tidak lagi melambangkan ajaran Islam,
malah sulit untuk menemuinya di zaman sekarang.327 Dalam menghadapi
masyarakat yang serba komplek ini, sebaiknya diambil jalan penyelesaian
325 Al-Qalyuby wa ‘Umairah, Hashiyatani, 208. 326 Ibn Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 3 Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas dan tempat yang boleh dilihat
oleh pelamar terhadap perempuan yang dilamar karena perbedaan pandangan mereka
dalam menafsirkan ayat 31 surah al Nur yaitu : artinya :
“perempuan-perempuan tidak boleh menampakkan auratnya, kecuali yang biasa nampak” Apa yang dimaksud dengan yang biasa nampak, apakah yang dimaksud dengannya adalah wajah dan telapak tangan seperti batas aurat perempuan waktu salat, atau yang dimaksud dengannya adalah nampak yang tidak sengaja sehingga seluruh badan perempuan di luar salat jika yang berhadapan dengan bukan mahramnya, atau hanya wajahnya saja, karena telapak tangan dianggapnya sebagai bagian dari tubuh perempuan, atau mengkiaskan telapak kaki dengan wajah dibolehkan dibuka karena ( ) padahal wajah itu biasa menjadikan laki-laki tergoda melihatnya, sehingga telapak
kaki itu boleh dibuka, atau boleh dilihat oleh orang laki-laki yang bukan mahramnya – Lihat : Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta : al Mawardi Prima, 2001), Cet. I, 21.
327 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), Cet. I, 120.
159
yang tidak terlalu ekstrim dan tidak terlalu mudah, yaitu boleh melihat
perempuan yang di pinang jika di dampingi oleh orang tuanya, atau
mahramnya yang lain, atau teman-teman wanita yang bisa dipercayai, asal
saja dalam keadaan berpakaian yang menutup auratnya yang dianjurkan
oleh agama. Dengan hal ini lelaki itu dapat mengetahui ukuran mentalitas,
perasaan dan kepribadian wanita yang ingin dia pinang dan begitu juga
sebaliknya, bagi wanita dapat mengenali lelaki yang bakal menjadi
pasangan hidupnya. Sebaiknya cara inilah yang dilakukan sesuai dengan
tuntutan keadaan masyarakat Islam hari ini bagi para remaja Islam.
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. Tidak dalam pinangan orang lain
b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang shar’i yang melarang
dilangsungkannya pernikahan.
c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah, karena talak raj’i, atau talak
bain, atau sedang iddah karena kematian suaminya.328
a. Hukum Meminang Pinangan Orang Lain
Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti
menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah
hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketenteraman.
Dasar keharaman meminang pinangan orang lain adalah Hadis
Nabi SAW.329diriwayatkan Ibnu Umar dari al Bukhari dan Muslim, bahwa
328 Lihat KHI tentang Perkawinan pasal 39 s/d pasal 44, dan UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 8 s/d 11. 329 Hadis yang dimaksud adalah :
“Janganlah seseorang dari kalian meminang pinangan saudaramu, sehingga peminang sebelumnya meninggakannya atau mengizinkannya”. (HR. al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar). Lihat: al-San’any, Subul al Salam, Jilid III, 155.
Adapun yang dimaksudkan dengan saudaramu adalah saudara sesama Muslim, karena orang-orang yang beriman itu bersaudara (Q.S. al-Hujurat/49 : 10).
160
Rasulullah SAW melarang meminang pinangan orang lain sebelum
peminang pertama meninggalkannya atau mengizinkannya.
Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana
perempuan itu telah menerima pinangan pertama dan walinya dengan
terang-terangan mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi
kalau pinangan semula ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau
karena laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah
meminangnya atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak,
atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya,
maka yang demikian itu diperbolehkan.330
Jika pinangan laki-laki pertama sudah diterima namun wanita
tersebut menerima pinangan laki-laki kedua kemudian menikah
dengannya, maka hukumnya berdosa tetapi pernikahannya sah, sebab yang
dilarang adalah meminangnya, sedang meminang itu bukan merupakan
salah satu syarat sahnya nikah. Karena itu, pernikahannya tidak boleh
difasakh walaupun meminangnya itu merupakan tindakan pelanggaran.
Imam Abu Daud berkata, “Pernikahannya dengan peminang kedua harus
dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.331
Ibnu Qasim berpendapat bahwa, yang dimaksud larangan tersebut
adalah jika seorang yang baik (Saleh) meminang di atas pinangan orang
Saleh pula. Sedangkan apabila peminang pertama tidak baik, sedang
peminang kedua adalah baik, maka pinangan semacam itu dibolehkan.
Adapun mengenai waktu pelaksanaan pernikahan, maka para
fuqaha berpendapat waktunya adalah ketika masing-masing pihak
(peminang dan yang dipinang) sudah cenderung satu dengan lainnya, dan
bukan pada waktu awal waktu peminangan.332 Pendapat ini didasarkan
330 Lihat Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid ..., Jilid II, 2. 331 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, Jilid II, 2. 332 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid …, Jilid II, 2
161
Hadis Fatimah binti Qais r.a.333 yang melaporkan halnya kepada
Rasulullah SAW, bahwa ia telah dipinang oleh dua orang laki, yaitu Abu
Jahm bin Hudhaifah dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, tetapi Rasulullah
menyuruhnya, agar menikah dengan Usamah, karena Abu Jahm suka
memukul, sedangkan Mu’awiyah adalah orang miskin.
b. Hukum Meminang Perempuan yang dilarang oleh Shara’
Menikahinya
Meminang perempuan yang dilarang oleh shara’ menikahinya
haram hukumnya, karena perempuan tersebut dilarang menikahinya
berdasarkan Al-Quran.334
c. Hukum Meminang Perempuan dalam Masa ‘Iddah
Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa
‘iddah, baik karena kematian suaminya, karena cerai raj’i maupun
ba’in, maka hukumnya haram.
Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i maka ia
haram dipinang karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan
suaminya itu masih berhak merujuknya kembali sewaktu-waktu ia
suka. Jika perempuan yang sedang ‘iddah karena talak raj’i, maka ia
haram dipinang secara terang-terangan335 karena mantan suaminya
masih tetap mempunyai hak terhadap dirinya, juga masih mempunyai
hak untuk menikahinya dengan akad baru. Jika ada laki-laki lain
meminangnya di masa ‘iddahnya, berarti ia melanggar hak mantan
suaminya.
333 Hadis Fatimah binti Qais r.a. :
Artinya : Fatimah datang kepada Nabi SAW kemudian ia menceriterakan kepada beliau bahwa Abu Jahm bin Hudhaifah dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah meminangnya. Maka Nabi SAW bersabda : “Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah mengangkat tongkatnya dari orang-orang perempuan (suka memukul). Adapun Muawiyah adalah orang miskin yang tidak berharta, tetapi nikahlah kamu dengan Usamah”. HR. Al Jama’ah (sekelompok ahli Hadis, kecuali al Bukhari). Lihat : al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 108.
334 Q.s. al Nisa’/4 : 23. 335 Qalyuby wa Umairah, Hashiyatani, Jilid III, 213
162
Perempuan yang sedang ‘iddah karena kematian suaminya,
maka ia boleh dipinang secara sindiran336 selama masa iddah, karena
hubungan suami istri di sini telah terputus sehingga hak suami
terhadap istrinya hilang sama sekali. Sekalipun demikian, dilarang
meminang dia secara terang-terangan, untuk menjaga agar perempuan
itu tidak terganggu dan tercemar oleh para tetangganya serta menjaga
perasaan anggota keluarga si mati dan para ahli warisnya.337
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum
meminang dengan terang-terangan kepada mantan istri orang lain
ketika masa ‘iddahnya adalah haram. Kalau meminang dengan
sindiran kepada perempuan yang sedang iddah kematian itu
dibolehkan. Akan tetapi kepada perempuan yang sedang ‘iddah karena
talak raj’i 338 dan bain339 hukumnya haram.
Telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, bahwa pinangan
merupakan langkah pendahuluan sebelum akad nikah. Sering kali
sesudah peminangan diikuti dengan pemberian macam-macam hadiah
dan pemberian-pemberian lainnya, guna memperkokoh hubungan yang
336 Secara sindiran ialah seorang yang mengucapkan kata-kata tersuratnya
berlainan dengan yang tersiratnya. Misalnya seorang laki-laki berkata kepada perempuan yang sedang dalam masa Iddah kematian suaminya, saya ingin menikah, atau saya mengharapkan sekali agar Allah memudahkan jalan bagiku untuk memperoleh istri yang salihah. Kata-kata itu diucapkannya kepada perempuan yang sedang masa iddah kematian itu. Termasuk dalam kategori meminang dengan sindiran adalah memberikan hadiah kepada perempuan yang sedang dalam masa iddah kematian, atau memuji dirinya dengan menyebutkan jasa baiknya atau kata-kata sindiran yang lainnya yang mengarah kepada peminangan. Lihat : al Qalyuby wa ‘Umairah, Hashiyatani, Jilid III, 213, 214.
337 Q.S. al-Baqarah / 2 : 235. 338 Talak Raj’i adalah talak satu, atau talak dua, akibatnya suami masih
boleh ruju’/kembali kepada mantan istrinya, jika sudah selesai masah iddah, tetapi belum ruju’, maka jika kembali lagi kepada mantan istrinya itu, harus dengan akad yang baru.
339 Talak Bain terbagi dua. Bain Sughra dan Bain Kubra. Bain sughra adalah talak akibat khulu’ atau talak sebelum dukhul (belum bergaul suami istri). Hukumnya boleh kembali kepada mantan istri dengan nikah yang baru. Sedangkan talak bain Kubra adalah talak yang sudah tiga kali dijatuhkan. Hukumnya haram bagi suami menikah lagi dengan mantan istrinya, kecuali mantan istrinya itu telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan nikah yang sesungguhnya, kemudian cerai karena tidak ada kecocokan.
163
masih baru itu. Akan tetapi terkadang terjadi, salah satu pihak, baik
dari pihak laki-laki, atau dari pihak perempuan, atau dari kedua pihak
membatalkan rencana pernikahan.
Bila terjadi pembatalan pinangan, belum menimbulkan akibat
hukum,340 tetapi secara moral hal ini tentu membawa akibat yang tidak
baik. Walaupun belum membawa akibat hukum, tetapi telah membawa
akibat moral. Moral yang dimaksud tidak hanya berdasarkan agama,
tetapi juga menyangkut norma-norma susila dan tradisi (adat) yang
berkembang, oleh sebab itu peminangan tidak boleh dianggap remeh
atau dipandang sepele, tetapi ia harus dilihat sebagai bagian ajaran
Islam yang utuh tentang perkawinan.341
Sebenarnya pinangan itu semata-mata baru merupakan
perjanjian hendak melakukan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi
akad nikah. Membatalkannya adalah menjadi hak dari masing-masing
pihak yang telah mengikat perjanjian. Orang yang mengingkari
janjinya, Islam tidak menjatuhkan hukuman materiil terhadapnya
sekalipun perbuatan ini dipandang amat tercela dan salah satu sifat
kemunafikan, kecuali ada alasan-alasan yang benar yang menjadi
sebab tidak dipatuhinya perjanjian itu.342
Adapun pemberian-pemberian dari peminang kepada yang
dipinang, jika pinangan dibatalkan dari pihak yang dipinang, secara
hukum pemberian-pemberian itu kalau dianggap hibah343 maka tidak
boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan
tidak bersifat sebagai penggantian dari sesuatu. Oleh sebab itu barang
yang dihibahkan sudah menjadi milik yang dipinang dan ia boleh
340 Belum menimbulkan akibat hukum maksudnya, bahwa peminangan yang
terjadi belum menimbulkan hak dan kewajiban, tetapi dapat membawa akibat moral. Lihat : KHI tentang Perkawinan pasal 13 ayat (1).
341 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 93.
342 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 26, 27. 343 Berdasarkan Hadis Nabi SAW :
“Tidak halal bagi seseorang yang telah memberikan sesuatu, atau menghibahkan sesuatu lalu meminta kembali barangnya, kecuali ayah terhadap anaknya”, (HR. Abu Daud, al Tirmidhi, al Nasa’i dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas). Lihat: al San’any, Subul al Salam,, Jilid III, 122.
164
menggunakannya dan tidak boleh diminta kembali oleh peminang. Tetapi
bila pemberian-pemberian itu hanya sebagai hadiah atau sebagai imbalan
dari sesuatu yang akan diterimanya dari penerima pemberian, tetapi
kemudian tidak dipenuhi, maka pemberiannya boleh diminta kembali344.
Jadi bila perkawinan dibatalkan oleh yang dipinang, maka pihak peminang
berhak meminta kembali barang-barang yang telah diberikannya.345
Hal-hal yang berkenaan dengan peminangan dan hukum-hukum
yang berkenaan dengannya, substansinya telah diadopsi dalam KHI
tentang perkawinan pada pasal 11 s/d 13. Perbedaan hukum fikih Islam
dan aturan-aturan yang di dalam KHI tersebut agak lebih sederhana,
walaupun demikian, dengan diaturnya masalah peminangan di dalam KHI
tentang perkawinan, maka semangat yang dikandung oleh hukum fikih
Islam dapat dikembalikan. Dengan masuknya hukum peminangan menurut
fikih, ke dalam KHI tentang perkawinan, berarti masalah peminangan
dalam hukum Islam telah menjadi Hukum Nasional.
3. Mahar
Masalah mahar346 disebutkan dalam KHI tentang perkawinan pada
pasal 30 s/d Pasal 38.
Dalam hukum fikih Islam, kewajiban mahar atas laki-laki di
berikan kepada calon istrinya berdasarkan Al Quran347 dan Hadis Rasul
SAW.348
344 Berdasarkan Hadis Nabi SAW
“Siapa memberikan hibah, maka dia masih tetap lebih berhak terhadap barangnya, selama belum mendapatkan imbalannya”. (HR. al Hakim dan al Baihaqy dari Ibnu Umar), Lihat : al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jilid II, 183.
345 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, h. 27 dan al San’any, Subul al Salam, Jilid III, 122.
346 Mahar menurut bahasa adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah, mas kawin. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 542.
Sedangkan menurut istilah dalam fikih Islam, mahar adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Lihat : Mahmud Shaltut, Al Islam Aqidah wa Shari’ah, (al Qahirah, Dar al Qalam, 1966), 160.
347 Q.S. al-Nisa / 4 : 4. 348 Hadis Rasul SAW yang berkenaan dengan kewajiban mahar adalah :
“Carilah mahar, meskipun hanya sebuah cincin dari besi” (HR. Ahmad, al Bukhari, Muslim dan Abu Daud dari Sahl bin Sa’ad. Lihat: Al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jilid I, 62.
165
Dalam ayat 4 surah al-Nisa jelas sekali, bahwa Islam sangat
memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan
memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar.
Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada
wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang
lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh
suaminya sendiri, kecuali dengan kerelaan istri.
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu
muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan
tidak disalahkan. Akan tetapi. Bila istri dalam memberikan maharnya
karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya.349
Mahar yang diberikan kepada calon istri, harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. Harta/benda yang berharga
Tidak sah mahar dengan yang tidak memiliki harga walaupun sedikit,
tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila
mahar sedikit tetapi memiliki nilai, maka tetap sah.350
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
Tidak sah mahar dengan khamr, babi, atau darah, karena semua itu
haram dan tidak berharga.351
c. Barangnya bukan barang ghasab
Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa
seizinnya,352 namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena
berniat untuk mengembalikan kelak.
Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab, adalah tidak
sah, tetapi akadnya tetap sah.353
349 Q.S. al Nisa / 4 : 20 dan 21. 350 Lihat : Qalyuby wa ‘Umairah, Hashiyatany, Jilid III, 76. 351 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,
259, 260. 352 Al Jurjany, al Ta’rifat, 164 353 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,
265.
166
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas
keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
Islam tidak menetapkan berapa banyak yang harus diberikan
kepada calon istri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara sesama
manusia. Ada orang yang kaya, adapula yang miskin, ada yang lapang
dan ada pula yang disempitkan rezekinya. Di samping itu, setiap
masyarakat mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena
itu, masalah mahar diserahkan berdasarkan kemampuan masing-
masing orang sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku di
masyarakat. Bahkan, Islam membolehkan memberi mahar dengan apa
saja, asalkan bermanfaat, misalnya cincin besi, segantang kurma, atau
mengajarkan Al Quran, dan sebagainya atas kesepakatan kedua belah
pihak.354
Mengenai besarnya mahar, fuqaha sepakat bahwa mahar itu
tidak ada batasnya, apakah sedikit atau banyak.355 Namun mereka
berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya.
Imam Shafi’i, Ahmad, Ishak, Abu Saur, dan Fuqaha Madinah
dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan
rendahnya. Segala sesuatu yang mempunyai harga bagi sesuatu yang
lain dapat dijadikan sebagai mahar.356
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada
batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan
bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau
perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding
berat emas dan perak tersebut.357
354 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 54 355 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 135 356 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…, Jilid II, 14 357 Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah, Jilid IV,
h. 96.
167
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu
adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham,
ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.358
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan dua hal, yaitu :
Pertama, ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya
sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan pegangan
adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti
halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai suatu ibadah, yang
sudah ada ketentuannya.
Kedua, adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya
pembatasan mahar, dengan mafhum Hadis yang tidak menghendaki adanya
pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti
pernikahan itu ibadah, sedang ibadah itu sudah ada ketentuannya.359
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kadar mahar tidak ada
batasnya. Karena Nabi SAW telah memerintahkan dalam Hadisnya:
“carilah mahar walau hanya sebentuk cincin besi”360. Ucapan Nabi ini
merupakan dalil, bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Jika ada
batasan terendahnya, tentu beliau akan menjelaskannya, karena tidak boleh
melambatkan penjelasan pada saat dibutuhkan.
Selanjutnya berkenaan dengan pemberian mahar, pelaksanaannya
bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan, atau disesuaikan dengan
keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh
diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian
358 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…, Jilid II, h. 14 – Abd. Rahman al Jaziry,
al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah, Jilid IV, 96 359 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 14. 360 Teks Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al Bukhari, Muslim dan Abu
Daud dari Sahl bin Sa’ad.
168
dan hutang sebagian yang lainnya. Kalau mahar dihutang, disunahkan
membayar sebagiannya361
Menurut Abu Hanifah, suami tidak berhak mencampuri istrinya
baik dalam keadaan suka maupun duka, walaupun maharnya diberikan
secara berangsur, karena sebelumnya dia telah menyetujuinya. Dengan
demikian, hak suami tidak gugur. Akan tetapi kalau maharnya kontan
semuanya atau sebagian, maka suami tidak boleh mencampurinya sebelum
dibayarkan maharnya yang telah dijanjikan itu. Istri berhak menolak
dicampurinya sehingga suami melunasi dahulu pembayaran mahar yang
telah disepakatinya.362
Dari beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa
pembayaran mahar bisa diberikan langsung ketika terjadi akad nikah dan
bisa diberikan dengan cara berutang.363 Akan tetapi, yang lebih baik,
bahkan disunahkan apabila akan diangsur. Sebaiknya diberikan langsung
sebagian lebih dulu, sedangkan kekurangannya dilakukan secara
berangsur-angsur.
Dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang), terdapat dua
perbedaan di kalangan ahli fikih, segolongan ahli fikih berpendapat bahwa
mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara dihutang keseluruhan.
Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda
361 Dalam Hadis SAW disebutkan sebagai berikut :
.
“Dari Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi SAW melarang Ali mengumpuli Fatimah
sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu ia menjawab, saya tidak memiliki apa-
apa. Maka Rasulullah berkata : “dimanakah baju besi huthamiyahmu?” lalu ia
memberikannya kepada Fatimah” (HR. Abu Daud, al Nasa’i dan al Hakim, dan disahkan
olehnya). Lihat: al Shan’any, Nail al Autar, Jilid 6, 173. 362 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid III, 139, 140. 363 Al Shairazy, al Muhadhdhab, (Semarang: Maktabah wa Matba’ah Taha Putra,
t.th.), Jilid II, 59.
169
pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di
muka manakala akan menggauli istri. Ini adalah pendapat Imam Malik.364
Di antara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur)
ada yang membolehkan hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah
ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik. Ada juga yang
membolehkannya karena kematian atau perceraian. Ini adalah pendapat
Al-Auza’i.365
Perbedaan pendapat tersebut karena apakah pernikahan itu dapat
disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat
disamakan dengannya.
Bagi fuqaha yang mengatakan dapat disamakan dengan jual beli,
mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya
kematian atau perceraian. Sedang yang mengatakan tidak dapat disamakan
dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan membayar mahar
itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.366
Masalah jenis barang yang dapat digunakan untuk mahar, bisa
berupa sesuatu yang dapat dimiliki atau diambil manfaatnya, juga dapat
dijadikan pengganti atau ditukarkan.
Adapun mengenai macam-macamnya, ulama fikih sepakat bahwa
mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
a. Mahar Musamma
Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan
besarnya ketika akad nikah.
Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar
musamma harus diberikan secara penuh apabila :
364 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 16 365 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 16 366 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 17
170
1) Telah bercampur (bersenggama)367
2) Apabila salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut
ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami
telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan
sebab-sebab tertentu, seperti : ternyata istrinya mahram sendiri atau
dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.368
Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib
dibayar setengahnya.369
b. Mahar Mithil (sepadan)
Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya, pada saat
sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian,
mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita
(bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada mahar mithil
itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar mithil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai
berikut:
1) Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad
nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau
meninggal sebelum bercampur.
2) Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah
bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.370
Kemudian ulama berbeda pendapat dalam hal jika istri
menuntut penentuan mahar dan jika suami meninggal sebelum ia
menentukan mahar.
367 Lihat: Q.S. al Nisa / 4 : 20, 21. 368 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 141. 369 Lihat : Q.S. al Baqarah / 2 : 237. 370 Lihat : Q.S. al Baqarah / 2 : 236.
171
a. Jika Istri Menuntut Penentuan Mahar
Apabila istri menuntut penentuan mahar bagi dirinya, maka
golongan fuqaha berpendapat bahwa ia berhak memperoleh mahar
mitsil. Akan tetapi, jika suami menceriakan istrinya sesudah
memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha mengatakan
bahwa istri memperoleh separoh mahar. Segolongan lainnya
mengatakan bahwa istri tidak memperoleh suatu apapun, karena dasar
penentuan mahar tidak terdapat pada waktu akad nikah dilaksanakan.
Demikian pendapat Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya.
Imam Malik dan pengikutnya mengatakan bahwa suami boleh
memilih salah satu dari tiga hal, yaitu: ia boleh menceraikan istrinya
tanpa menentukan mahar, atau menentukan jumlah mahar sebagaimana
yang dituntut oleh istri, atau menentukan mahar mithil dan istri harus
mau menerimanya.371
Perbedaan pendapat antara fuqaha yang mewajibkan mahar
mithil atas suami tanpa memberikan pilihan, jika ia menceraikan
istrinya sesudah menentukan mahar dengan pendapat fuqaha yang
tidak mewajibkan demikian adalah perbedaan mereka dalam
memahami mafhum dari surat al-Baqarah : 236 yang mengatakan tidak
ada dosa jika menjatuhkan talak pada istri sebelum digauli dan belum
ditentukan maharnya dan hendaklah memberikan mut’ah (pesangon)
sesuai dengan kemampuan suami kepada mantan istri.
Perbedaan tersebut apakah ayat itu diartikan dengan keumuman
terhapusnya mahar, baik talak tersebut karena persengketaan antara
suami istri tentang penentuan mahar, ataupun talak tersebut
disebabkan bukan oleh persengketaan. Demikian pula, apakah dari
peniadaan halangan (dosa) itu dapat dipahamkan hapusnya sama
sekali, atau tidak dapat dipahamkan demikian.
371 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 20.
172
Ayat tersebut memberikan kemungkinan bahwa yang lebih
jelas adalah kemungkinan terhapusnya mahar sama sekali, berdasarkan
firman Allah Q.S. al-Baqarah / 2 : 236
Bagi fuqaha yang mewajibkan pemberian harta sebagai
mut’ah372 dan setengah mahar bagi istri jika suami menceraikan istri
sebelum menggaulinya pada selain nikah tafwid,373 juga mewajibkan
mahar mithil pada nikah tafwid, maka sudah seharusnya fuqaha
tersebut juga mewajibkan separoh mahar mithil mut’ah pada nikah
tafwid. Hal itu karena mafhum ayat tersebut, tidak menyebut-nyebut
masalah penghapusan mahar pada nikah tafwid, melainkan hanya
membicarakan kebolehan menceraikan sebelum menentukan mahar
dan jika nikah tafwid mewajibkan adanya mahar mithil. Jika mahar itu
dituntut, maka seharusnya pula jika terjadi perceraian, mahar tersebut
juga harus diberikan separoh sebagaimana mahar yang telah
ditentukan juga harus separoh. Itulah sebabnya Imam Malik
berpendapat bahwa pada nikah tafwid tidak diwajibkan mahar mithil,
jika pada suami terdapat hak memilih.
b. Jika Suami Meninggal sebelum Menentukan Mahar
Apabila suami meninggal dunia sebelum menentukan mahar,
dan belum menggauli istrinya, Imam Malik dengan para pengikutnya
serta al-Auza’i berpendapat bahwa, istri tidak memperoleh mahar
tetapi memperoleh mut’ah dan warisan. Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa, istri memperoleh mahar mithil dan warisan.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud.
Kedua pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Syafi’i. Tetapi yang
372 Mut’ah adalah pemberian suami yang menjatuhkan talak kepada
istrinya sebagai pesangon, karena belum ditentukan maharnya dan belum pernah disenggamai. Pesangon ini berbeda sesuai dengan kaya atau miskin mantan suami itu. Lihat: al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 143.
373 Nikah tafwid adalah nikah yang dilakukan tanpa menyebutkan mahar. Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid..., Jilid II, 19.
173
dijadikan pegangan di kalangan pengikutnya adalah pendapat Imam
Malik374
Perbedaan itu disebabkan oleh adanya pertentangan antara
Qiyas dan Hadis375 yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang
mengatakan, bahwa istri memperoleh mahar mithil tanpa pengurangan
atau berlebihan dan baginya wajib beriddah dan berhak mendapat
warisan.
Segi pertentangan Qiyas dengan Hadis tersebut adalah bahwa
mahar merupakan pengganti. Karena mahar tersebut belum diterima
maka pengganti tersebut tidak diwajibkan karena disamakan dengan
jual beli.
Mengenai hal ini, al-Muzani mengatakan dari Imam Shafi’i,
bahwa Hadis tersebut sahih, maka tidak ada alasan yang bisa dijadikan
pegangan di hadapan Hadis.376
Selanjutnya jika mahar berupa benda dan belum sempat
diterima oleh istri, maka suami wajib menggantinya, seperti yang
terjadi pada jual beli. Dalam qaul qadim377 Imam Shafi’i dikatakan,
374 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 20. 375 H.R. Abu Daud, al Nasa’i dan al Tirmidhi :
Artinya : Mengenai masalah ini aku mengatakan dengan pendapatku. Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu dari aku sendiri. Yaitu bahwa istri memperoleh mahar seperti mahar wanita dari golongannya (mahar mithil), tanpa pengurangan atau berlebihan, dan atasnya beriddah dan memperoleh warisan. Lalu berdirilah Ma’qil bin Yasar al-Ashja’i dan berkata : “Aku bersaksi bahwa dalam masalah ini engkau benar-benar telah menghukumi dengan keputusan Rasulullah SAW terhadap Furu’ binti Wasyiq”. (HR. Abu Daud, dan al Tirmidhi dan ia mengganggapnya sahih). Lihat Ibnu Rushd : Bidayah al Mujtahid…., Jilid II, 20.
376 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…,jilid II, 20. 377 Qaul Qadim Imam Shafi’i adalah hasil ijtihadnya ketika ia masih
berdomisili di Iraq. Qaul qadim Imam Shafi’i dihimpun dalam kitabnya “al Hujjah”
174
mahar yang bendanya rusak atau hilang harus diganti dengan benda yang
sama atau benda yang serupa dengannya, seperti barang yang di ghasab378
kalau tidak ditemukan benda yang sama, atau yang sejenis dengan mahar
yang rusak atau hilang itu, boleh diganti dengan harganya yang lebih
banyak dari harga ketika akad, disamakan dengan harga ketika rusak atau
hilangnya mahar tersebut. Sedangkan dalam qaul jadid379 Imam Shafi’i
berkata, dikembalikan kepada mahar mithil, karena ia hanya sebagai
pengganti barang yang sudah ditetapkan, tetapi rusak sebelum diterima.380
Materi Hukum Fikih Islam tentang mahar dan hukumnya,
ternyata sudah diadopsi dalam KHI tentang perkawinan, yang terdapat
pada Pasal 30 s/d Pasal 38. Bahkan masalah “mut’ah” yang wajib
diberikan oleh mantan suami kepada mantan istri karena menjatuhkan
talak sebelum menetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul, juga telah
diadopsi dalam KHI tentang perkawinan itu, pada Pasal 158 s/d Pasal
160 . Masalah mahar dan hukumnya tersebut, telah disebutkan dengan
detail dalam KHI tentang perkawinan. Dengan demikian, maka ketentuan
mahar dalam hukum fikih Islam telah menjadi Hukum Nasional di
Indonesia.
Lihat: Huazaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madhab, (Jakarta : Logos, 2003), cet. III, 124-126.
378 Ghasab adalah mengambil harta yang berharga tanpa izin pemiliknya : Lihat: Al Jurjany, al Ta’rifat, (Bairut : Libnan : Dar al Kutub al ‘ilmiyah, 2003 M / 1424 H), cet. II, 164.
379 Qaul Jadid Imam Shafi’i adalah hasil ijtihadnya ketika ia sudah berdomisili di Mesir. Qaul Jadid Imam Shafi’i dihimpun dalam kitabnya “al Umm” sebagian ijtihadnya di Iraq berubah setelah tinggal di Mesir. Hal ini disebabkan kondisi di Mesir dan setelah bertemu dengan para ulama Mesir, di sana ia menemukan sebagian Hadis yang tidak ditemukannya di Iraq. Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 124-126.
380 Lihat: Al Shairazy, al Muhadhdhab fi Fiqh al Imam al Shafi’i, (Semarang: Maktabah wa Matba’ah Thaha Putra, t.th), Jilid II, 57.
175
4. Kawin Hamil 381
Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
dicantumkan masalah “kawin hamil”, tetapi dalam KHI tentang
perkawinan dicantumkan pada pasal 53, tetapi dengan judul “Perkawinan
Perempuan Hamil Karena Zina”. Substansinya sama, hanya berbeda pada
redaksi judul.
Dalam hukum fikih Islam berkenaan dengan hukum menikahi
wanita yang berzina, atau pezina, ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan hukumnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan
titik pandang mereka terhadap pemahaman kalimat larangan menikahi
wanita yang berzina, atau pezina yang disebutkan dalam Q.S. Al-Nur / 24 :
3, yang mengatakan, bahwa : ”Pezina laki-laki tidak boleh menikah
kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik, dan
pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki,
atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi
orang-orang mukmin”.382
Ibnu Rusyd mengatakan, apakah larangan Allah dalam ayat 3 al
Nur itu yaitu kata الینكحھا tidak menikahi wanita pezina, menunjukkan
celaan atau haram?.
Jumhur ulama membolehkan untuk menikahinya383 dan
memahami larangan dalam ayat itu menunjukkan celaan saja,384 yang
381 Kawin hamil maksudnya, seorang perempuan menikah, tetapi telah hamil
duluan sebelum menikah, atau biasa juga disebut dengan hamil di luar nikah. 382 Teks Q.S. al Nur / 24 : 3
383 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…, Jilid II, h. 30. 384 Alasan jumhur Ulama membolehkannya adalah Hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan al Nasa’i dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW mengenai istrinya yang berzina. Nabi SAW berkata kepadanya :
“Talaklah ia, laki-laki itu mengatakan : saya sangat mencintainya. Nabi SAW berkata (lagi) kepadanya : “Maka tahanlah ia (tidak usah engkau menceraikannya”) – Lihat : al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI. h.145.
176
sebaiknya ditinggalkan. Sebagian ulama mengatakan, bahwa larangan
dalam ayat itu menunjukkan haram, oleh sebab itu haram hukumnya
menikahi wanita pezina.385
Menurut al Sayid Sabiq boleh menikahi wanita pezina dengan
catatan, bahwa mereka harus bertaubat terlebih dahulu, karena Allah akan
menerima taubat hambanya dan memasukkannya ke dalam kalangan
hamba-hambanya yang saleh.386 Sesuai dengan firman Allah dalam surah
al Furqan/25 : 68 s/d 71.
Yusuf al-Qaradawi berpendapat tidak boleh mengawini wanita
lacur. Ia mengemukakan peristiwa di masa Nabi SAW Murthad bin
Murthad meminta izin kepada Nabi SAW untuk mengawini wanita lacur.
Nabi SAW berpaling darinya, sehingga diturunkan ayat az-zani la
yankihu...”(Surah al-Nur ayat 3). Nabi membaca ayat itu kepadanya seraya
berkata “kamu jangan menikahinya”.387
Al-Qaradawi selanjutnya mengemukakan alasan bahwa Allah
hanya membolehkan mengawini wanita yang baik-baik dari kalangan
Islam dan Ahli Kitab. Dengan demikian yang halal dikawini oleh laki-laki
ialah wanita yang baik-baik (muhsanat), sebagaimana disebut dalam surat
al-Nisa’ ayat 24.388 Menurut al-Qaradawi, ayat az zani la yankihu...(al-Nur
ayat 3) disebutkan setelah ayat yang menyatakan hukuman jilid.
Menurutnya hukuman ini adalah hukuman badaniah. Adapun hukum
adabiah (moral) ialah pengharaman mengawini pezina.389
Pendapat al-Qaradawi ini cukup tegas, namun ia masih
memberikan jalan keluarnya, yaitu bila mereka telah bertaubat, boleh
385 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid …, Jilid II, 30. 386 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 20. 387 Yusuf al Qaradawy, al Halal wa al Haram fi al Islam, (Bairut: Maktabah al
Islam, 1978), 181. 388 Yusuf al Qaradawy, al Halal wa al Haram fi al Islam, 181. 389 Yusuf al Qaradawy, al Halal wa al Haram fi al Islam, 181.
177
dinikahi, dan untuk mengetahui kesucian rahimnya, mereka harus
melampaui haid sekurang-kurangnya satu kali.
Dengan demikian sebaiknya tidak menikahi wanita lacur selama
ia tidak bertaubat. Alasan jumhur yang mengatakan boleh, yang
berdasarkan kepada Hadis bahwa ketika datang seorang laki-laki
menyampaikan, bahwa istrinya berbuat serong, lalu Rasulullah
mengatakan, ceraikan dia, tetapi laki-laki itu mengatakan, bahwa ia
mencintainya, lalu Rasulullah mengatakan, jangan ceraikan dia.390 Kalau
suami sangat mencintainya mereka tak perlu bercerai. Karena ia tentu akan
menjaga istrinya untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Ditinjau dari sudut kesehatan, menikahi wanita lacur cukup
berbahaya, karena dapat menularkan penyakit kelamin, HIV/AIDS. Oleh
karena itu tepat sekali pendapat ulama yang mengatakan haram menikahi
wanita lacur, kecuali mereka telah bertaubat, sembuh dan telah steril.
Untuk masa sekarang ini barangkali perlu ditambah satu syarat
lagi, yaitu ke dokter, apakah wanita itu benar-benar telah bebas dari
penyakit kelamin atau mengidap penyakit HIV/AIDS atau belum.
Walaupun ia sudah lama tidak melacur, dan sudah bertaubat, belum tentu
penyakitnya telah sembuh.
Islam menganjurkan nikah dan melarang mendekati perbuatan
zina untuk menjaga kesejahteraan masyarakat, karena zina merupakan
sumber kehancuran.391 Menurut dokter ahli penyakit kulit dan kelamin,
zina merupakan sumber penularan penyakit sifilis392 gonore393 dan
390 Lihat: Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 30. 391 Lihat: Q.S. al Isra’ : 32. 392 Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh treponema pallidum,
sangat kronis dan sejak semula bersifat sistemik. Pada perjalannnya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai rasa laten dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Lihat : Adhi Djuanda, “Sfilis”, dalam Mawarli Harahap, ed, Penyakit menular seksual, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984), 12.
393 Gonore adalah penyakit kelamin, yang pada pria permulaannya keluar nanah dari orifisium uretra eksterna dan pada wanita biasanya tanpa gejala, hanya kadang-kadang nanah keluar dari introitus vagina. Lihat: Utama Wijaya, “gonore”,
178
sejenisnya, yang sangat membahayakan. Bila seseorang lelaki berzina
dengan seorang WTS, kemudian berhubungan dengan istrinya, maka besar
kemungkinan istri akan tertular penyakit sifilis atau gonore.394
Di Negara-negara yang sudah maju, di mana agama tidak begitu
berperan dalam kehidupan masyarakat. Penularan penyakit ini cukup
tinggi. Menurut laporan dari WHO tahun 1982, sebagaimana dikutip
Adhi Djuanda, ternyata penderita penyakit sifilis di Venezuela, Polandia
Kuba cukup tinggi. Sedangkan negara-negara lain seperti Amerika Serikat,
Denmark, Republik Demokrasi jerman dan Hongkong lebih rendah.395
Selanjutnya berkenaan dengan hukum nikah wanita hamil dari
zina dengan pria yang menghamilinya, para ulama sependapat
mengatakan, bahwa pria pezina, halal menikahi waita pezina pasangannya
itu.396 Dengan demikian, maka perkawinan antara pria dengan wanita yang
dihamilinya adalah sah. Mereka boleh melakukan hubungan suami istri,
tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandung wanita itu, karena status
mereka sama-sama sebagai pezina.397
Al Shafi’i mengatakan bahwa bila seseorang berzina dengan
seorang wanita, tidak diharamkan mereka menikah.398
Dalam surah al Nisa’/4 : 24 berkenaan dengan wanita-wanita
yang haram dinikahi (محرمات), tidak dimasukkan dalam kategori salah satu
dari wanita yang haram dinikahi, wanita yang hamil diluar nikah.
Dalam Penyakit Menular Seksual, 54, Beliau adalah dokter ahli penyakit kulit dan kelamin pada rumah sakit Gatot Subroto, Jakarta. Lihat : Mawarli Harahap “Sifilis”, dalam Penyakit Menular Seksual. 3.
394 Adhi Djuanda : “Sifilis, Dalam Penyakit Menular Seksual, 1 395 Adhi Djuanda : “Sifilis, Dalam Penyakit Menular Seksual, 12. Adhi
Djuanda adalah dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
396 Al Shairazy, al Muhadhdhab, Jilid II, 43. 397 Lihat: Q.S. al Nur / 34 : 3. 398 Lihat: Firman Allah Q.S. al Nisa’/4 : 24
“…dan dihalalkan bagimu selain yang demikian…”
179
pula berdasarkan Hadis Nabi SAW yang mengatakan, bahwa yang haram
itu tidak mengharamkan yang halal.399
Ini bukanlah berarti bahwa seseorang yang menghamili wanita
kemudian melaksanakan aqad nikah, masalahnya telah selesai. Sama
sekali tidak. Karena mereka telah berdosa melanggar hukum Tuhan, maka
mereka wajib bertaubat. Yaitu taubah nasuha, dengan istighfar, menyesali
dan menjauhkan diri dari dosa, dan keduanya memulai hidup yang bersih,
tanpa dosa. 400 Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menerima taubat hamba-
Nya selama belum dalam sakarat.401
Selanjutnya berkenaan dengan nasab anak dari hasil perbuatan
zina, pada dasarnya nasabnya dihubungkan dengan ibunya, sesuai dengan
Hadis Nabi SAW, bahwa “Anak itu dinasabkan kepada ibunya, sedangkan
laki-laki pezina tidak memiliki hubungan apa-apa”. (HR. sekelompok
ulama Hadis, kecuali Abu Daud dari Abu Hurairah).402
Perlu diketahui bahwa kata al-Hajar yang dimaksudkan dalam
Hadis ini ialah al-khaibah, artinya sesuatu yang tak ada nilainya. Ada
sekelompok ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan al-
Hajar adalah rajam. Ibn Athir berkata bahwa hal ini benar, karena tidak
semua pezina dihukum rajam.403
Menurut Wahbah al Zuhaily nasab anak ditentukan dengan
penetapan batas waktu kelahiran anak dihitung sejak terjadinya akad
399 Rasulullah bersabda :
Lihat : al Syaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 145. 400 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 85. 401 Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT menerima tobat hambanya selama belum sakarat maut, (HR. Ahmad, al Tirmidhi dan Ibnu Majah dan Ibnu Umar) – al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jilid I, 77.
402 403 Lihat : Ibnu Atsir, Nihayah fi Gharib al Hadith wa al Athar, (t.t. : Dar al
Fikr, 1979), Jilid III, 343.
180
nikah, karena kehamilan seseorang itu agaknya sulit diketahui oleh orang
lain. Yang lebih mengetahui adalah si wanita yang hamil itu sendiri.
Menurutnya bila bayi itu lahir setelah enam bulan dihitung sejak akad
nikah, maka bayi itu dinasabkan kepada suami. Kalau kurang dari enam
bulan dinasabkan kepada ibunya. Kecuali bila suami mengatakan, bahwa
anak yang dikandung istrinya itu adalah anaknya dan tidak mengatakan,
bahwa anak itu dari hubungan zina istrinya. Pengakuan ini, menetapkan
nasab kepada si suami berdasarkan akad nikah yang lalu, karena orang
Islam dianjurkan untuk berbuat baik dan menutup aib.404
Sedangkan status hukum anak yang lahir sebagai hasil pembuahan
suami istri yang sah diluar cara alami dan dilahirkan oleh istri tersebut
belum disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI
tentang Perkawinan sebagaimana disebutkan oleh para Ulama fikih.405
Adapun perkawinan orang yang tidak berzina dengan perempuan
yang berzina, sekelompok ulama mengatakan, misalnya Hasan Bashri,
bahwa zina dapat menfasakh nikah. Sedangkan jumhur Ulama mengatakan
boleh, atau sah hukum perkawinan pria bukan pezina dengan wanita
pezina.406
Berkenaan dengan hukum menikahi wanita yang hamil diluar
nikah oleh pria yang bukan menghamilinya Ulama berbeda pendapat
dalam menetapkan hukumnya.
a. Imam Abu Hanifah, ulama Shafi’iyah dan Muhammad (murid Abu
Hanifah) mengatakan boleh bagi pria yang bukan berzina menikahi
wanita hamil diluar nikah, sah nikahnya, tetapi tidak boleh
404 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuh, Jilid VII, 148. 405 Anak yang lahir dari hasil pembuahan suami istri yang sah dikenal dengan
istilah bayi tabung. Bayi yang lahir dari perkawinan yang sah tidak melalui cara alami dibenarkan oleh Hukum Fikih Islam jika dilakukan ketika suami istri masih rukun, atau belum cerai, cerai hidup atau cerai mati. Lihat Mahmud Shaltut, al Fatawa, (al Qahirah: Dar al Shuruq, 1400 H/1980 M), cet. X, 327, 328.
406 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuh, Jilid VII, 148, 149
181
menggaulinya sebelum lahir anak yang dikandung perempuan yang
berzina itu, menurut Abu Hanifah,407 dan boleh menggaulinya menurut
ulama Shafi’iyah.408 Mereka beralasan :
1) Wanita yang hamil di luar nikah tidak termasuk kategori wanita-wanita
“Muharramat” yang haram dinikahi,409 oleh sebab itu sah nikahnya
dan tidak perlu tajdid nikah bila wanita itu telah melahirkan.
2) Tidak ada pengharaman terhadap hasil/benih zina, karena anak hasil
dari zina tidak dinasabkan dengannya berdasarkan Hadis yang
diriwayatkan oleh mayoritas Ulama Hadis, kecuali Abu Daud dari Abi
Hurairah, bahwa anak itu dinasabkan kepada ibunya.410
Berdasarkan ini, maka menurut Abu Hanifah tidak ada larangan
untuk membolehkannya. Yang dilarang hanya menggaulinya sebelum
melahirkan anak hasil zina yang dikandungnya.411 Demikian menurut
ulama Hanafiyah sedangkan ulama Shafi’iyah boleh menggaulinya dalam
keadaan hamil,412 karena nikahnya sah. Kalau nikahnya sah, maka sah pula
menggaulinya. Tidak ada masa iddah bagi wanita yang hamil di luar nikah.
Maka iddahnya hanya berlaku bagi wanita yang sudah menikah kemudian
talak. Sedangkan Abu Yusuf dan Zufar dan murid Abu Hanifah
mengatakan tidak boleh kawin dengan wanita hamil dari zina, karena
407 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 149. 408 Al Shairazy, al Muhadhdhab, Jilid II, 43. 409 Lihat Q.S. al Nisa’ / 4 : 24. 410 Hadis (الولد للفراش) lihat : al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 279. 411 Dasar larangan menggauli wanita hamil luar nikah yang telah dinikahi itu
adalah Hadis yang diriwayatkan oleh al Tirmidhy dari Ruwaifi yang diriwayatkan juga oleh Abu Daud, adalah
“Siapa yang beriman kepada Allah, dan hari akhir, maka jangan sekali-kali ia menyirami tanaman orang lain”. (maksudnya mencampuri wanita hamil dari zina) Lihat : al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jilid II, 179.
412 Ulama Shafi’iyah beralasan dengan : Q.S. al Nisa’ / 4 : 24 dan hadis
“Yang haram tidak mengharamkan yang halal” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Umar) – Lihat : al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 145.
182
kehamilannya itu menghalangi persetubuhan, oleh sebab itu akadnya juga
dilarang.413
b. Ulama Malikiyah dan Hanabilah tidak boleh seorang pria yang tidak
berzina menikahi wanita hamil dari zina sebelum habis iddahnya, yaitu
melahirkan anaknya. Bahkan ulama Hanabilah menambahkan lagi dengan
syarat bertobat dari wanita hamil tersebut. Alasannya sama dengan alasan
yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Muhammad, yaitu Hadis
tidak boleh menggauli wanita hamil dari zina, dan Hadis shahih yang
mengatakan, tidak boleh menggauli wanita hamil, hingga ia melahirkan.414
Ini adalah pendapat Imam Malik415
Sedangkan syarat kebolehan menikahi wanita hamil tersebut,
menurut ulama Hanabilah harus bertobat sebelum menikahinya adalah
firman Allah dalam Surah al-Nur/24 : 3 bahwa diharamkan menikahi
wanita yang berzina. Ulama yang selainnya tidak mensyaratkan tobat bagi
wanita tersebut sebelum menikahinya.416
Substansi atau ketentuan-ketentuan tentang kawin hamil dan
kedudukan anak yang disebutkan dalam hukum fikih Islam yang telah
diuraikan di atas, sudah diadopsi dalam KHI tentang perkawinan pada
Pasal 53. Kedudukan anak disebutkan dalam KHI pada pasal 99 s/d Pasal
103. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berkenaan dengan
status anak tercantum pada Pasal 42 s/d Pasal 44, tetapi berkenaan dengan
kawin hamil belum dicantumkan.
Dengan demikian masalah nikah hamil dan akibat hukumnya sudah
masuk dalam Hukum Nasional, karena semua materi hukum yang tertera
dalam Hukum Fikih Islam berkenaan dengan kawin hamil serta status anak
telah tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.
413 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 149,150. 414 Teks Hadis tersebut di atas adalah : 415 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 150. 416 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 150.
183
5. Waktu Tunggu (Masa Iddah)417 dan Masa Berkabung
Jika putus perkawinan, baik akibat talak, khulu’, fasakh dan li’an,
maka wajib berlaku waktu tunggu (masa iddah) bagi wanita yang putus
perkawinannya itu.
Masa tunggu (masa iddah) disebutkan dalam KHI tentang
perkawinan pada Pasal 153 s/d Pasal 155. Sedangkan masa berkabung bagi
wanita yang iddah cerai mati disebutkan pada Pasal 170. Tetapi UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan masa iddah, masa
berkabung bagi wanita yang cerai mati.
Dalam hukum fikih Islam Iddah wajib hukumnya.418 Iddah terbagi
kepada beberapa macam :
a. ‘Iddah wanita yang ditalak
Iddah wanita yang ditalak terdiri dari :
1) Wanita yang telah dicampuri dan belum putus haid. Iddahnya tiga
kali suci, atau tiga kali haid, yang dalam Al Quran disebut
tiga quru’419. Dalam menetapkan makna quru’, ulama ”ثالثة قروء“
berbeda pendapat, sebagian fuqaha berpendapat bahwa quru’ itu
artinya suci, yaitu masa di antara dua haid. Fuqaha lain
berpendapat bahwa quru’ itu ialah haid itu sendiri. Fuqaha yang
berpendapat bahwa quru’ adalah suci, dari kalangan fuqaha
Anshar, seperti Imam Malik, Imam Shafi’i, dan mayoritas fuqaha
417 Iddah menurut bahasa berarti kadar, atau jumlah yang dihitung. Iddah wanita
yang ditalak dan yang meninggal suaminya adalah suatu masa yang ditetapkan oleh syara’ yang dilakukan oleh wanita, tidak menikah setelah ditalak, atau suaminya meninggal – Lihat : Majma’ al Lughah al Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, Jilid II, h. 587. Sedangkan pengertian iddah menurut istilah dalam fikih adalah nama dari waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati, atau diceraikan oleh suaminya, yang sebelum habis masa iddahnya itu, dilarang untuk menikah – Lihat : Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘Ala al Madhahib al ‘Arba’ah, Jilid IV, 513 s/d 518.
418 Lihat : Q.S. al Baqarah / 2 : 228. 419 Lihat Q.S. al Baqarah / 2 : 228.
184
Madinah, juga Abu Saur, sedangkan dari kalangan sahabat antara
lain ; Ibnu Umar, Zaid bin Sabit, dan Aishah ra.420
Adapun fuqaha yang berpendapat bahwa quru’ adalah haid,
terdiri dari Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, al-Auza’i, Ibnu Abi
Laila. Dari kalangan Sahabat antara lain : Ali ra, Umar bin Khattab
ra, Ibnu Mas’ud ra, dan Abu Musa al-Ash’ari ra.421
Alasan terkuat yang dijadikan pegangan oleh para fuqaha
yang berpendapat, bahwa quru’ itu berarti suci, adalah Hadis Ibnu
Umar dari sekelompok Ulama Hadis, kecuali al Bukhary
bahwasannya ia menalak istrinya dalam keadaan haid, lalu umar
bin Khaththab menyampaikan hal itu kepda Rasulullah SAW,
maka Rasulullah memberi tahu kepada Umar untuk memberitahu
putranya yang bernama Abdullah agar menyuruhnya rujuk kepada
istrinya sampai ia haid, kemudian suci, kemudian haid lagi,
kemudian menceraikannya jika mau, sebelum ia menyentuhnya.
Demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk
menceraikan istri.422
Kata-kata Nabi SAW, itulah ‘iddah yang diperintahkan
oleh Allah untuk menceraikan istri, merupakan dalil yang jelas
bahwa ‘iddah adalah suci, agar talak dapat bersambung dengan
‘iddah. Tetapi, kata-kata Nabi SAW, tersebut dapat pula diartikan
bahwa masa ‘iddah adalah masa menghadapi ‘iddah, agar quru’
tidak terbagi-bagi dengan adanya talak di masa haid.
Alasan fuqaha golongan kedua adalah bahwa iddah itu
diadakan untuk mengetahui kosongnya rahim (tidak hamilnya)
wanita yang ditalak. Sedang kosongnya rahim hanya dapat
420 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid..., Jili 67. 421 Lihat Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…, Jilid II, 67. 422 Teks hadis yang dimaksud, yaitu :
Lihat : al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 221.
185
diketahui dengan haid, bukan dengan masa suci. Oleh karena itu,
‘iddah wanita yang sudah monopouse adalah ukuran hari (yakni
tiga bulan). Jadi, haid merupakan sebab adanya ‘iddah dengan
qur’un. Oleh karena itu, qur’un harus diartikan haid.
Selanjutnya Fuqaha yang mengatakan bahwa qur’un adalah
masa suci mengemukakan alasan bahwa yang menjadi pedoman
bagi kosongnya rahim seorang wanita adalah masa perpindahan
dari suci, kepada haid. Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk
berpegang pada haid yang terakhir. Jika demikian halnya, maka
bilangan tiga yang disyaratkan harus lengkap adalah masa-masa
suci di antara dua haid.423
Kedua golongan ini mempunyai alasan-alasan yang banyak.
Akan tetapi dari segi akal alasan ulama Hanafiyah lebih jelas.
Alasan jumhur ulama dari segi riwayat lebih kuat.
2) Wanita yang ditalak yang telah dicampuri dan tidak haid (yang
belum baligh atau sudah monopouse).
Wanita yang tidak haid, baik yang sudah putus haid, atau belum
haid, jika ditalak, maka masa iddahnya tiga bulan.424
3) Wanita yang ditalak atau cerai mati belum digauli.
Tidak ada masa ‘iddah bagi perempuan yang ditalak dan belum
digauli.425 Tetapi bagi perempuan yang belum pernah digauli, jika
ditinggal mati oleh suaminya, maka ia harus beriddah seperti
iddahnya orang yang sudah digauli, tiga kali suci, atau tiga kali
haid426 karena ia berhak mendapat warisan dari suaminya.
423 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…, Jilid II, 67, 68. 424 Q.S. Al Talaq / 65 : 4 425 Q.S. Al Ahzab / 33 : 49 426 Q.S. Al Baqarah / 2 : 234
186
b. ‘Iddah wanita yang ditalak dalam keadaan hamil
Jika wanita diceraikan dalam keadaan hamil, maka masa
iddahnya batasannya sampai melahirkan.427
Perceraian wanita yang sedang hamil terdiri dari cerai hidup
dan cerai mati. Masa ‘iddah keduanya adalah sampai melahirkan,
berdasarkan Hadis Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh al Bukhary dari
al Miswar bin Mahzamah, bahwa Subai’ah al Aslamiyah melahirkan
anaknya setelah meninggal suaminya, beberapa malam, lalu ia datang
kepada Nabi Muhammad SAW meminta izin agar ia menikah, lalu
Rasulullah mengizinkannya, maka menikahilah ia428 pendapat ini juga
didasarkan pada Ayat 4 al-Talaq yang mengatakan bahwa ‘iddah
wanita hamil adalah sampai melahirkan, baik cerai hidup, maupun
cerai mati. Ini adalah pendapat jumhur Ulama dari kalangan Sahabat
dan Ulama lainnya. Tetapi Mazhab al Hadawiyah dan selain mereka di
riwayatkan dari Ali, bahwa masa ‘iddah wanita hamil cerai mati adalah
mengambil masa yang terpanjang (بأبعد األجلین).429 Jika wanita hamil itu
kehamilannya ketika meninggal suaminya sudah hamil tua, maka
‘iddah wanita tersebut, mengambil waktu yang terpanjang, yaitu empat
bulan 10 hari430. Jika kehamilannya masih hamil muda maka
‘iddahnya sampai melahirkan431
c. Iddah wanita yang cerai mati
Wanita yang cerai mati jika ia tidak hamil, maka ‘iddahnya
empat bulan sepuluh hari,432 seperti masa ‘iddah wanita yang ditalak
dan tidak hamil, lalu suaminya meninggal.
427 Q.S. al Talaq / 65 : 4 428 Teks Hadis yang dimaksud dalam uraian di atas yaitu :
Lihat : al San’any : Subul al Salam, Jilid III, 264. 429 Lihat : Al San’any : Subul al Salam, Jilid III, 266. 430 Q.S. al-Baqarah / 2 : 234. 431 Q.S. al-Talaq / 65 : 4. 432 Q.S. al-Baqarah / 2 : 234.
187
d. ‘Iddah wanita berhaid, tetapi tidak haid
Jika wanita yang ditalak seorang yang berhaid, kemudian ia
tidak haid seperti biasanya, dan tidak ketahuan apa sebabnya, maka
‘iddahnya setahun.433 Ia menahan diri selama sembilan bulan, agar
dapat diketahui, kebersihan kandungannya.
e. ‘Iddah wanita istihadah434
Wanita istihadah seperti halnya perempuan haid. Kemudian
kalau ia punya kebiasaan tersendiri maka hendaklah ia memperhatikan
kebiasaannya dalam soal haid dan bersihnya. Jika talak lewat tiga kali
haid, maka habislah ‘iddahnya. Jika ia putus haid, maka ‘iddahnya
habis dalam tiga bulan.
f. ‘Iddah wanita dalam perkawinan yang tidak sah
Seorang laki-laki yang menyetubuhi perempuan secara syubhat
(keliru tak sengaja) maka perempuannya wajib menjalani ‘iddah.
Karena persetubuhan secara syubhat sama hukumnya dengan
persetubuhan dalam perkawinan yang sah soal nasabnya.
Dalam hal ini sama dengan persetubuhan dalam aqad
perkawinan yang sah tentang kewajiban ‘iddahnya. Juga wajib iddah
dalam perkawinan yang batal, bila memang telah terjadi persetubuhan.
Perempuan yang berzina tak wajib ‘iddah. Sebab iddah
gunanya untuk menjaga keturunan. Sedang orang yang berzina tidak
dibebani pertalian nasab. Demikianlah pendapat golongan Hanafi,
Shafi’i dan Tsauri. Begitu pula pendapat Abu Bakar dan Umar. Tetapi
Malik dan Ahmad berpendapat wajib ‘iddah.435
433 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 280, 281. 434 Istihadah adalah darah yang keluar dari wanita lebih dari hari yang
maksimal hari haid. Misalnya menurut Imam Shafi’i haid maksimal 15 hari. Lebih dari 15 hari, maka termasuk darah istihadah.
435 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 282.
188
g. ‘Iddah wanita yang ditalak suami dalam keadaan sakit keras
Talak orang yang sakit keras yaitu seorang yang sakit keras
menjatuhkan talak kepada istrinya dengan talaq ba’in sedang istrinya
tidak rela, lalu ia mati sewaktu masa ‘iddah istrinya.
Dalam keadaan seperti ini perbuatannya dianggap melarikan
diri atau menghalangi warisan. Oleh sebab itu Imam Malik berkata :
perempuan yang mendapat warisan walaupun ia (suaminya) mati
setelah habis ‘iddah dan setelah kawin dengan laki-laki lain.436
Tetapi Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa dalam
hal seperti ini hukumnya berbeda yaitu ‘iddahnya lebih lama dari dua
masa ‘iddah di atas, yaitu iddah talak dan ‘iddah kematian suami.437
Jika ‘iddah talak yang lebih lama, maka ‘iddah inilah yang
dipakai. Jika iddah kematian suami yang lebih lama maka ‘iddah inilah
yang dipakai. Maksudnya jika selesainya ‘iddah tiga kali haid lebih
lama daripada 4 bulan 10 hari, maka ‘iddah inilah yang dipakai. Tetapi
jika masa 4 bulan 10 hari ini lebih lama dari masa tiga kali haid, maka
‘iddah inilah yang dipakai.438
Hal ini dimaksudkan agar perempuannya tidak terhalang
mendapatkan hak waris dari suaminya yang ingin mengabaikan bagian
waris istrinya dengan jalan talak. Tetapi menurut Abu Yusuf, dan
Shafi’i dalam salah satu qaulnya yang lebih kuat, bahwa perempuan
tersebut tidak mendapatkan warisan, seperti halnya dengan perempuan
yang dijatuhi talaq ba’in dengan sah.439
Alasannya, karena ikatan suami istri telah habis dengan adanya
talak sebelum kematian suami. Sehingga sebab memperoleh warisan
436 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 647. 437 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 646. 438 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 283. 439 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 647.
189
telah hilang. Tentang dugaan adanya niat melepaskan diri dari
memberikan warisan kepada istrinya itu tidak dapat dijadikan dasar
hukum.
Sebab pada pokoknya hukum itu berdasarkan keadaan
lahiriahnya, bukan kepada maksud-maksud yang masih
tersembunyi.440
Para ulama sepakat bahwa kalau suami mentalak ba’in istrinya
ketika sakit, kemudian istrinya mati maka suami itu tidak dapat
warisan apa-apa.
Begitu pula perubahan iddah dari ‘iddah haid kepada ‘iddah
beberapa bulan bagi perempuan yang mengalami sekali haid atau dua
kali haid lalu putus haidnya, maka di saat ini ia wajib ber’iddah tiga
bulan.
Sebab ia tak mungkin menjalani ‘iddah haid dengan sempurna,
karena telah putus haidnya. Tapi yang mungkin ialah ia mulai dengan
‘iddah beberapa bulan dengan sempurna. ‘Iddah beberapa bulan ini
sebagai ganti dari ‘iddah haidnya itu.
h. ‘Iddah wanita yang hilang suaminya.
Jika seorang wanita hilang suaminya dan tidak diketahui
dimana suaminya itu berada, apakah ia telah meninggal, atau masih
hidup, maka wajib atasnya menunggu empat tahun lamanya. Sesudah
itu jika suaminya belum juga ketahuan dimana keberadaannya, maka
hendaklah wanita tersebut ber’iddah lagi empat bulan sepuluh hari441
Ketentuan iddah seperti ini berdasarkan Hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Malik dan Shafi’i dari Umar bin Khattab, bahwa
Rasulullah SAW bersabda : “Bagi wanita yang kehilangan suaminya
dan ia tidak mengetahui dimana dia berada, sesungguhnya wanita itu
440 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 283. 441 Al San’any, Subul al Salam, Jilid III, 279.
190
wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beriddah empat
bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah”. 442
Sebelum habis masa ‘iddah, haram hukumnya bagi wanita itu
menikah.443 Seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya, dilarang
melakukan perkawinan dengan lelaki lain selama masa yang ditentukan
oleh syariat. Masa yang ditentukan oleh syariat ini dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada suami dan istri untuk berpikir, apakah
perkawinan tersebut masih dapat dilanjutkan dengan cara ruju’ (kembali),
jika perceraian itu terjadi pada talak raj’i (talak satu dan dua), atau
perceraian itu lebih baik bagi keduanya.444
Wanita dalam menjalani masa ‘iddah mempunyai hak dan
kewajiban, yaitu :
1) Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan,
maupun melalui sindiran. Tetapi bagi wanita yang sedang dalam
iddah kematian suami, boleh dilakukan pinangan terhadapnya dengan
cara sindiran.445
2) Dilarang keluar rumah. Jumhur ulama selain Mazhab Shafi’i sepakat
mengatakan, bahwa wanita yang sedang menjalani masa iddah
dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan yang mendesak,
seperti untuk keperluan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
dan juga kebutuhan anak-anaknya jika suaminya tidak
meninggalkan harta. Dalam hal ini ia boleh keluar rumah, untuk
berkarir atau bekerja untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.446
3) Selama dalam masa ‘iddah, berhak untuk tinggal di rumah
suaminya.447
442 Teks Hadis itu :
Lihat : Al San’any, Subul al Salam, Jilid III, 279. 443 Lihat : Q.S. Al Baqarah / 2 : 235. 444 Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam,
(Jakarta,: UI Press, 1986), 122. 445 Q.S. al Baqarah / 2 : 234. 446 Lihat : Q.S. al Baqarah / 2 : 240, al Thalaq / 65 : 1.
191
4) Wajib ber’ihdad448 tidak bersolek dan mempercantik diri selama
‘iddah empat bulan sepuluh hari.
5) Wanita yang masih berada dalam ‘iddah talak raj’i terlebih lagi yang
sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi
wanita yang ditinggal mati suaminya tentu tidak lagi mendapatkan
apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di
rumah suaminya sampai berakhirnya masa ‘iddah.
6) Wanita yang berada dalam ‘iddah talak raj’i berhak mendapatkan
harta waris dari suaminya yang meninggal, sedangkan wanita yang
ditalak tiga, tidak berhak mendapatkannya.449
Adapun hikmah adanya ‘iddah adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga
tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain.
2) Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk
kembali kepada kehidupan semula, jika mereka menganggap hal
tersebut baik.
3) Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan
orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo
berpikir panjang. Jika tidak diberi kesempatan demikian, maka tidak
ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar disusun, sebentar
lagi dirusaknya.
4) Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami
istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.
447 Lihat : Q.S. Al Talaq / 65 : 1. 448 Ihdad berasal dari kata ahadda dan terkadang bisa juga disebut al-hidad
yang diambil dari kata hadda. Secara etimologi bermakna al-man’u (larangan). Dalam istilah ihdad bermakna meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata dan minyak wangi. Ada juga yang mendefinisikannya dengan menahan diri dari mempercantik diri atau bersolek. Lihat, Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 659. Lihat juga masalah yang cukup menarik menyangkut ihdad wanita karir dalam, Hafiz Ansary “Ihdad Wanita Karir” dalam, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Ansary (ed), (Jakarta: Firdaus, 2002), 11-34.
449 Lihat: al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 286.
192
Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan putusnya ikatan tersebut
maka untuk mewujudkan tetap terjaganya kelanggengan harus diberi
tempo beberapa saat memikirkannya dan memperhatikan apa
kerugiannya.
Dapat disimpulkan, bahwa hikmah iddah adalah sebagai berikut :
1) ‘Iddah adalah masa berpikir untuk kembali lagi atau berpisah.
2) Waktu iddah baik bagi pihak ketiga untuk usaha merujuk kembali.
3) Masa penyelesaian segala masalah bila masih ada masalah dan akan
tetap berpisah.
4) Masa peralihan untuk menentukan hidup baru.
5) Sebagai waktu berkabung bila suaminya meninggal.
6) Masa untuk menentukan kosong tidaknya rahim istri dari suami.450
7) Sebagai hukum ta’abbudy.
Bila terjadi perceraian, bagi laki-laki tidak wajib ber’iddah.
Tidak ada nas dari Al-Quran, atau dari Hadis yang mewajibkannya.
Tetapi sekalipun tidak ada nas memberikan ketentuan adanya masa
‘iddah bagi laki-laki tetapi secara moral tidak berarti bahwa mereka
dengan bebas memutuskan untuk menikah lagi ketika istrinya meninggal,
tanpa ada pertimbangan etis dan kearifan atas kematian istrinya.451 Bila
istrinya meninggal dunia, kemudian segera melaksanakan pernikahan, hal
ini sesungguhnya bertentangan dengan etika budaya masyarakat yang
selama ini khususnya di Indonesia, dipegang sebagai salah satu alat
kontrol dan kritik sosial.
Sebenarnya masyarakat kita telah memiliki hukum adat dan
ketentuan sosial yaitu kesepakatan nilai dan kepantasan, yang juga tidak
kalah pentingnya bagi makhluk yang berbudaya. Karena demikian
adanya, prinsip moralitas kultur yang dapat menjadi piranti penyokong
450 Lihat: al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 277. 451 Lihat Huzaemah Tahido Yanggo, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Adelina, 2005), 32.
193
hubungan harmonis antara pihak keluarga istri yang meninggal dengan suami
yang ditinggalkan, hendaknya dijadikan pertimbangan berharga dalam
memutuskan langkah selanjutnya. Apalagi, dalam konteks hubungan sosial
kemasyarakatan, pada tingkat yang mutlak Allah SWT, telah memberikan
pijakan bagi hambaNya, agar berperilaku toleran, arif dan bijak yang dapat
menjadi penopang terciptanya kedamaian dan kesantunan.
Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang berkenaan dengan masa
iddah perempuan, cerai mati atau cerai hidup dan kewajiban berkabung bagi
wanita yang cerai mati telah diadopsi dalam KHI tentang perkawinan, pada
Pasal 153 s/d Pasal 155. Sedangkan kewajiban berkabung bagi wanita
terdapat pada Pasal 170. Meskipun ketentuan masalah “Iddah menurut hukum
fikih Islam telah dimuat dalam KHI bidang perkawinan, tetapi setelah diteliti
ternyata ketentuan-ketentuan tentang iddah dalam hukum fikih Islam belum
semuanya tercantum dalam KHI tersebut. Namun demikian, sudah dapat
dijadikan pedoman oleh para Hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan
kasus-kasus berkenaan dengan ‘iddah dan ihdad.
Dengan demikian, berarti ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum
yang berkenaan dengan masalah ‘iddah yang disebutkan dalam hukum fikih
Islam berkenaan dengan fikih munakahat tersebut, telah menjadi Hukum
Nasional. Materi, atau ketentuan-ketentuan KHI tentang perkawinan sama
dengan yang telah berlaku di kalangan masyarakat Islam di Indonesia. Dengan
adanya kesesuaian hukum-hukum dalam perkawinan yang berlaku di
masyarakat Islam Indonesia, maka tidak ada masalah dalam menerapkan
Hukum Nasional tentang perkawinan kepada orang-orang Islam yang
berperkara di Pengadilan Agama. Perbedaan fikih munakahat dengan KHI
tentang Perkawinan, dalam KHI meskipun telah dilengkapi dengan masalah
prosedur dan teknis dalam pelaksanaan dan penyelesaian perkara, tetapi belum
terinci sedangkan fikih munakahat pembahasannya lebih rinci.
194
Demikianlah pembahasan Hukum Fikih Islam yang berkenaan dengan
fikih Munakahat yang terdapat dalam KHI Tentang Perkawinan.
Pembahasannya tidak mengikuti sistematika dan urutan pasal-pasal yang
terdapat dalam KHI tersebut, karena ketika membahas suatu masalah dalam
suatu pasal, jika terkait masalahnya dengan pasal lain, sudah sekaligus dibahas
materinya, untuk menghindari pengulangan bahasan452.
D. Usaha Amandemen UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dikategorikan sebagai
Undang-Undang yang Islami, karena kandungan UU Perkawinan tersebut
sesuai dengan Hukum Perkawinan Islam. Sebagian besar substansi UU
Perkawinan itu bersumber dari Al Quran dan Hadis Nabi saw serta pendapat
para Ulama Fikih. Sebagian kecil substansinya merupakan hasil ijtihad para
ulama dan cendekiawan muslim Indonesia.
Menurut Azyumardi Azra, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 merupakan bagian dari kodifikasi hukum perkawinan Islam. Semua
pasal-pasalnya sejalan dengan shariah. Oleh karena itu penyebaran dan
implementasi dari UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, merupakan sebuah
pelembagaan shariah di Indonesia.453
Umat Islam berupaya untuk menjadikan Hukum Islam menjadi hukum
yang diakui negara. Sejak Indonesia belum merdeka sampai sekarang, umat
Islam menginginkan agar Hukum Islam menjadi Hukum yang berlaku di
Indonesia. Namun, setelah UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan lahir
dan berlaku untuk seluruh warga Indonesia, sebagian umat Islam tidak
konsisten dengan apa yang diinginkan. Di satu sisi memperjuangkan UU
Perkawinan agar sesuai dengan Hukum Islam, tetapi di sisi lain, masih
452 Sebagai contoh, ketika membahas waktu tunggu (masa ‘iddah) dibahas juga
masalah mut’ah. 453 Lihat: Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 An
Institutionalization of the Shari’a for Social Changes, in Shari’a and Politic in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), 85.
195
mengingkari UU Perkawinan ini sebagai bagian internal dari Hukum
Perkawinan Islam. Sebagian umat Islam masih berpegang pada doktrin Fikih,
dari mengikuti UU Perkawinan, seperti dalam masalah pencatatan
perkawinan, poligami dan perceraian, sehingga masih banyak masyarakat
yang melakukan nikah di bawah tangan tanpa adanya pencatatan dari yang
berwenang, poligami liar dan menceraikan istri secara liar, tidak melalui
pengadilan agama. Semua itu dianggap sebagai tindakan yang wajar, karena
Fikih membolehkan, walaupun hal itu bertentangan dengan UU Perkawinan.
Sedangkan sebagian masyarakat yang lainnya, bahkan ada juga dari kalangan
umat Islam, menganggap bahwa UU Perkawinan tersebut diskriminasi antara
laki-laki dan perempuan (bias gender) serta melanggar HAM dan lain-lain.
Atas dasar semua itu, maka muncullah usaha sebagian masyarakat
untuk mengamandemen UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut.
Dalam usaha untuk mengamandemen UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, diberbagai media terdapat pendapat pro dan kontra. Pendapat
yang pro amandemen UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, giat
melaksanakan berbagai seminar, lokakarya dan lain-lain bahkan menulis dan
mempublikasikan untuk mendapatkan masukan-masukan yang dapat
menunjang dan memperkuat pandangan mereka untuk mengamandemen UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut.
Pendapat yang pro dan kontra serta mengusulkan amandemen UU
Perkawinan, antara lain :
1. Menteri Pemberdayaan Perempuan dalam kata sambutannya yang
berjudul: “Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Gender”,
mengatakan dalam sambutannya, bahwa meskipun pasal 27 UUD 1945
menjamin kesamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara di
hadapan hukum, baik laki-laki maupun perempuan, namun masih banyak
dijumpai materi hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak
berkeadilan jender. Materi hukum itu antara lain : UU Ketenagakerjaan,
196
UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan, UU Pajak dan Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
UU Perkawinan ini oleh banyak pihak dilihat sebagai instrumen
hukum yang turut mengukuhkan pembagian dan pembakuan peran
perempuan yang berdasarkan jenis kelamin dan stereotype perempuan
sebagai ibu rumah tangga yang wajib mengatur urusan rumah tangga,
sementara laki-laki sebagai kepala keluarga yang wajib melindungi istri
dan memberikan keperluan hidup rumah tangga. Meskipun Undang-
Undang ini secara substantif menetapkan hak dan kewajiban yang sama
kepada perempuan dan laki-laki untuk melakukan tindakan hukum,
pengelolaan rumah tangga, kegiatan kemasyarakatan, pengelolaan harta
bersama dan pemeliharaan anak, namun disisi yang lain hanya ibu (istri)
dan keluarganya yang memiliki hubungan perdata dengan anak di luar
kawin.454
Perjuangan untuk meletakkan dasar-dasar hukum perlindungan
terhadap perempuan adalah merupakan komitmen bersama komponen
bangsa. Perjuangan itu tidak akan lepas dari konteks dan tuntutan sejarah
perjuangan perempuan, terutama perlindungan perempuan dalam
perkawinan. Kita sadari bahwa setiap babakan sejarah mempunyai
dinamika dan tuntutan kebutuhan yang berbeda. Semua itu telah direspon
secara positif oleh gerakan dan organisasi perempuan dari masa ke masa.
UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah bukti dari
perjuangan dan kegigihan kaum perempuan pada era pasca pemilu 1971,
banyak anggota masyarakat termasuk organisasi perempuan yang
mendesak anggota DPR untuk memperjuangkan RUU Perkawinan.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 29
454 Sambutan Menteri Agama Pemberdayaan Perempuan Khafifah Indar
Parawansa, disampaikan dalam Workshop Studi Kebijakan Dalam Rangka Penyajian dan Perbaikan UU Perkawinan yang bias Jender, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Wanita IAIN Jakarta, 27 September 2000 di Jakarta, h. 4.
197
Januari 1972 mendesak agar cepat diputuskannya UU Perkawinan karena
makin dirasakan mendesaknya keperluan untuk itu, di samping
perkembangan dimasyarakat yang sangat cepat dan dalam praktek
kehidupan norma-norma perkawinan selalu mengikuti perkembangan
tersebut. Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia
(BMOIWI) pada tanggal 22 Februari 1972 telah mendesak kepada
pemerintah agar segera mengajukan RUU Perkawinan untuk disahkan.
Desakan itu tidak lain karena banyaknya kasus kawin paksa dan
perkawinan di bawah umur yang sangat merugikan perempuan.455
Dengan terus menjaga semangat untuk melindungi kepentingan
perempuan dan merespon dinamika dan berbagai persoalan yang dihadapi
oleh perempuan sekarang ini menuntut untuk melihat kembali UU
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait dengannya.
Perlunya merevisi dan melihat kembali ini didasarkan pada masih kuatnya
sistem patriarkhi yang mengharuskan negara untuk menghapuskan
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk
menghapuskan perilaku, tradisi dan nilai-nilai budaya dan praktek-praktek
yang mendiskriminasikan perempuan telah menjadi kewajiban negara
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2,3,4 dan 5 konvensi
pengapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW)
yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984.
Atas dasar berbagai pertimbangan, permasalahan dan tuntutan yang
ada saat ini maka UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia
harus segera direvisi, agar proses domestikasi peran perempuan tidak akan
berlanjut. Salah satu pasal yang menjadi sumber persoalan adalah rumusan
Pasal 2 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah
jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-
455 Lihat : Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif
Jender, 4, 5.
198
masing Ketentuan ini justru dijadikan dasar dilakukannya perkawinan di
bawah tangan yang berakibat sangat tidak terlindungi kaum perempuan baik
istri pertama maupun istri kedua dan anak-anak yang dilahirkannya. Pasal
ini juga menimbulkan persoalan bagi para penganut kepercayaan.456
Revisi tidak hanya melihat pasal demi pasal, tetapi harus pula
memperhatikan paradigma dan definisi perkawinan. Anggitan bahwa
perkawinan merupakan 'aqdul milki berimplikasi pada penguasaan laki-
laki atas istrinya sebagai hak miliknya mengukuhkan sikap patriarkhi dan
dominasi suami atas istrinya, akhirnya dapat menafikan eksistensi
perempuan sebagai dirinya yang independen untuk menentukan perannya
di ranah domestik, publik dan sosialnya. Anggapan ini pula kiranya yang
kemudian mendomestisikasi peran perempuan sebagai ibu rumah tangga
dan suami sebagai kepala keluarga.
Paradigma di atas harusnya dilihat kembali bahwa ikatan
perkawinan adalah sebuah 'aqdul ibahah sebuah akad yang hanya
memberikan kewenangan secara sah bagi laki-laki untuk halal menggauli
istrinya, bukan memilikinya. Ini berimplikasi pada posisi perempuan
setara dengan laki-laki sebagai suaminya, ia masih mempunyai dirinya dan
dapat menentukan kepentingannya dengan bargaining position yang setara
antara suami dan istri.457
Perubahan paradigma dan cara pandang yang berkesetaraan dan
berkeadilan jender mau tidak mau mengharuskan kita untuk melihat
kembali / dan merevisi UU Perkawinan. Tentunya ini akan berimplikasi
pada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengikutinya, baik itu PP Nomor 10
Tahun 1983 maupun PP Nomor 45 Tahun 1990 yang masih sangat
diskriminatif terhadap perempuan. Pada Pasal 4 ayat (2) PP-Nomor 45
456 Lihat: Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif
Jender, 5, 6. 457 Lihat: Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif
Jender, 5, 6.
199
dengan sangat jelas mendiskriminasikan perempuan yakni dengan
memberikan sangsi administratif berupa pemecatan bagi perempuan
pegawai negeri yang menjadi istri kedua, ketiga dan keempat. Sebaliknya
bagi laki-laki pegawai negeri selain diberikan ijin poligami jika syaratnya
terpenuhi juga tidak terkena sangsi pemecatan.
Sebagai langkah legal reform, maka perlindungan kepentingan
perempuan inilah yang menjadi tujuan utama dilakukannya revisi terhadap
berbagai undang-undang dan peraturan yang diskriminatif, termasuk
di dalamnya UU Nomor 1 tahun 1974, agar sistem hukum yang berlaku
dapat mengakomodasi kepentingan dan perlindungan terhadap perempuan,
sehingga cita-cita kesetaraan dan keadilan yang dilindungi undang-undang
dapat tercapai di negara Indonesia tercinta ini. 458
2. KOWANI sebagai Federasi dari 77 organisasi Wanita di tingkat Nasional
mengajukan Usulan Penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dengan alasan, antara lain, bahwa UU Perkawinan sangat
diskriminatif terhadap wanita dan kurang adanya kesetaraan jender,
padahal perkawinan adalah merupakan kebutuhan hidup manusia dalam
melangsungkan kehidupannya, sanksi hukum sangat lemah (tidak tegas),
kurang sesuai dengan Hak Asasi Manusia dan Perkawinan berasaskan
monogami dengan pengecualian yang amat ketat, oleh sebab itu perlu
penyempurnaan/amandemen beberapa pasal UU Perkawinan terhadap
rumusan dan PP dari UU Perkawinan, di samping perlu adanya
pemahaman dan konsensus yang sama.459
3. Ahmad Sukardja, sebagai pemakalah pada acara diskusi panel yang
dilaksanakan oleh PUSKUM-HAM IAIN Jakarta tentang upaya
458 Lihat: Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif
Jender, 6, 7. 459 KOWANI, Upaya Penyempurnaan UU No.1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Makalah disampaikan pada Diskusi Panel, “Meninjau UU Perkawinan Dalam Perspektif HAM dan Syariat Islam, yang diselenggarakan oleh PUSKUM-HAM IAIN Jakarta, Tanggal 16 November 2000 di Jakarta.
200
penyempurnaan UU Perkawinan tersebut, menerima sebagian saran
KOWANI dan menolak sebagian yang lainnya, sebagai berikut : 460
a. Naskah/rancangan untuk penyempurnaan UU Perkawinan yang
disampaikan KOWANI merupakan bahan berharga bagi peninjauan
dan pembahasan kembali isi dan redaksi UU Perkawinan.
b. KOWANI tampak menempatkan diri dan menerima UU Perkawinan
yang religius. Hal ini terkesan pada penerimaan KOWANI atas pasal 1
UU Perkawinan dan Pasal 2 Ayat 1 dengan modifikasi penggabungan
dua ayat menjadi satu. Kata "wajib" tidak perlu ditulis, atau
dipindahkan tempatnya dan rumusannya menjadi: "Perkawinan wajib
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku".
c. Untuk memelihara konsistensi sikap menerima secara keseluruhan UU
Perkawinan yang religius, rumusan pada Pasal-Pasalnya perlu seperti
itu juga.
d. Terhadap rumusan Pasal 3 (2) Rancangan KOWANI (selanjutnya
ditulis R. KOWANI) diajukan rumusan sebagai berikut :
"(2) Pengadilan hanya dapat mengeluarkan penetapan kepada seorang
suami untuk beristri lebih dari seorang apabila diperbolehkan oleh
agamanya dan melalui musyawarah keluarga, yang bersangkutan
mendapat persetujuan dari istri dan anaknya yang telah dewasa"
Dasarnya:
1) "Musyawarah keluarga" bisa memperketat kemungkinan lerjadinya
poligami, tetapi tidak menutup.
2) Rumusan tersebut memperbaiki R.KOWANI yang secara harfiah
bertentangan dengan Al Quran (kalimat R.KOWANI "...dan
460 LIhat: Ahmad Sukardja, Tanggapan Atas Rancangan Perubahan UU
Perkawinan yang diajukan KOWANI Bidang Hukum dan HAM (Makalah), tanggal 16 Nopember 2000 di IAIN Jakarta.
201
maksimum hanya beristri kedua" bertentangan dengan Al Quran
yang membolehkan (Q.S. Al-Nisa’/4:3)
e. Pasal 4 (2) huruf c R.KOWANI diubah menjadi: "c. mendapat
persetujuan istri dan anak yang sudah dewasa dalam musyawarah
keluarga yang dituangkan secara tertulis."
f. Pasal 31 (3) R.KOWANI terlalu memberatkan istri dan tidak sesuai
dengan prinsip agama. Diusulkan, rumusan pasal 31 (3) tetap tidak
diubah.
g. Pasal 43 (l) UU Perkawinan tidak diubah.
h. Rumusan-rumusan lain dalam R.KOWANI yang cukup banyak
agaknya dapat dipertimbangkan untuk diterima.
i. Rumusan KOWANI tentang sanksi: ,
1) Sanksi/ancaman hukuman dapat memperkuat pelaksanaan isi
aturan UU Perkawinan
2) Hukuman yang terkait dengan kebendaan (seperti nafkah, biaya
pendidikan) sebaiknya bukan pidana kurungan, tetapi denda yang
signifikan.461
4. Yohannes Sardadi Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta
mengatakan, bahwa harus diakui bahwa UU Perkawinan sebagai UU
Nasional yang mengatur perkawinan mempunyai beberapa kelebihan :
Undang-Undang ini berhasil mensyaratkan sahnya perkawinan
apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-
masing. UU Perkawinan menjamin kebebasan seseorang untuk
memberikan persetujuan ketika akan menikah. Walaupun sempat
mendapat beragam pendapat, UU Perkawinan berhasil menetapkan
461 Lihat: Ahmad Sukardja, Tanggapan Atas Rancangan Perubahan UU
Perkawinan yang diajukan KOWANI…
202
monogami sebagai salah satu asas perkawinan. Bahkan kelebihan lain
masih dapat diperpanjang.
Terlepas dari beberapa kelebihan di atas, UU Perkawinan
masih mengandung beberapa hal yang dalam pelaksanaannya sering
menimbulkan masalah, yang memerlukan penyelesaian. Beberapa
permasalahan yang dimaksud, antara lain :
a. Masalah Pencatatan Perkawinan
Hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Untuk
menjamin ketertiban dan kepastian hukum, maka perkawinan perlu
bahkan harus dicatatkan. Pencatatan perkawinan menjadi penting
bukan hanya demi tertib administrasi pemerintahan (negara) akan
tetapi juga sebagai alat/cara untuk menjamin kepastian hukum.
Pencatatan perkawinan bukan hanya akan bermanfaat bagi
pemerintah (negara) akan tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat.
Munculnya perkawinan di bawah tangan akan menyulitkan bukan
hanya bagi pemerintah (negara) akan tetapi juga menyulitkan
masyarakat. Demi menjaga ketertiban dan kepastian hukum, maka
pencatatan perkawinan menjadi hal yang perlu diwajibkan.
Berkenaan dengan pencatatan perkawinan ini, yang harus
dilakukan adalah menciptakan mekanisme pencatatan yang tidak
berbelit-belit (birokratis, murah dan cepat).462
b. Masalah poligami dan Perceraian
Orang mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dengan
harapan masing-masing pihak mempunyai komitmen dengan
pasangannya. Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan mensyaratkan bahwa
laki-laki yang akan mempunyai istri lebih dari satu harus mampu
462 Lihat: Yohanes Sardadi, Tinjauan UU Perkawinan Dari Perspektif HAM,
Makalah yang disampaikan pada Diskusi Panel, “Meninjau UU Perkawinan Perspektif HAM dan Shariat Islam” oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000, 10-12.
203
menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka. Ada jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.
Bagaimana Hakim Pengadilan dapat mengukur sekaligus
menilai soal jaminan keadilan, merupakan pekerjaan yang tidak
mudah.
Akibat adanya poligami jelas akan membawa kesengsaraan dan
perlakuan tidak adil bagi isteri dan anak-anak. Di samping itu poligami
dikuatirkan akan membawa dampak kepada perilaku sosial khususnya
kaum laki-laki untuk mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-
banyaknya agar dapat beristeri lebih dari satu. Semangat untuk
berpoligami dikuatirkan akan membawa budaya korupsi dan jalan
pintas lainnya demi mendapatkan isteri lebih dari satu orang.
Jalan keluar yang dapat dilakukan dari masalah poligami ini adalah
memperketat atau mempersulit terjadinya poligami. Misalnya :
1) Suami hanya dapat beristeri maksimal dua orang463
2) Untuk dapat melakukan poligami harus ada perjanjian tertulis dari
isteri pertama dan anak-anaknya.
3) Isteri dan anak dimungkinkan menggugat di Pengadilan apabila si
Bapak tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan tidak
mampu bersikap adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
4) Alasan poligami karena isteri tidak dapat melahirkan keturunan
harus dipandang sebagai alasan yang tidak manusiawi.
Perceraian merupakan kepedihan yang tidak diharapkan terjadi
oleh suami isteri. UU Perkawinan telah mengatur bahwa perceraian
hanya diperkenankan apabila syarat-syarat yang telah ditentukan
dipenuhi dan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Hal ini telah
secara jelas diatur dalam Pasal 39 UU Perkawinan. Karena perceraian
463 Usulan bahwa suami hanya dapat beristri maksimal dua orang,
bertentangan dengan Q.S. al-Nisa’/4:3.
204
cenderung menimbulkan masalah, maka dalam rangka memperketat
dan mempersulit terjadinya perceraian, seyogyanya alasan-alasan
sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975
dimasukkan dalam rumusan pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan.464
c. Masalah Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama harus diakui merupakan persoalan
yang sensitif, sehingga dapat mengundang perdebatan yang berlarut-
larut. Meskipun demikian, karena kita sebagai bangsa telah sepakat
menetapkan Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaanya,
maka masalah perkawinan beda agamapun hendaknya juga mendapat
jaminan dan perlindungan secara hukum.
UU Perkawinan merupakan UU yang mengatur perkawinan
secara nasional sehingga UU tersebut harus menjamin dan melindungi
semua lapisan masyarakat tanpa membedakan ras, suku, golongan
termasuk di dalamnya agama berkaitan dengan masalah perkawinan.465
Sebagai bangsa yang pluralistis maka kemungkinan adanya
perkawinan beda agama tidak mungkin dicegah (bahkan ada
kemungkinan secara kuantitas bertambah). Tidak terakomodasinya
perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan akan menyebabkan
anggota masyarakat yang akan menikah beda agama cenderung akan
melakukan perkawinan di bawah tangan atau melangsungkan
perkawinan di luar negeri. Masalah seperti ini hendaknya segera
mendapat jalan keluar. 466
464 Lihat: Lihat : Yohanes Sardadi, Tinjauan UU Perkawinan Dari
Perspektif HAM…, 12-14. 465 Lihat: Lihat : Yohanes Sardadi, Tinjauan UU Perkawinan Dari
Perspektif HAM…, 15, 16. 466 Usulan Yohanes agar dibolehkan perkawinan beda agama dalam UU
Perkaiwnan, akan menimbulkan protes dari kalangan Umat Islam, karena bertentangan dengan ajaran Al Quran dan Sunnah serta kesepakatan para ulama.
205
Perbedaan pendapat mengenai perkawinan beda agama dapat
beraneka ragam. Namun demikian, soal agama merupakan pemberian
Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian yang bisa dan harus dilakukan
negara adalah menjamin dan melindungi semua agama. Dalam kerangka
berpikir demikian, maka upaya pemecahan masalah perkawinan beda
agama merupakan usaha yang perlu dihargai.
Jalan keluar yang dapat dilakukan barangkali tidak harus merubah
rumusan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, melainkan perlu dirumuskan
dalam peraturan pelaksanaan UU Perkawinan.467
5. Menurut Azyumardi Azra, ketika UU No. 1 tahun 1974 diumumkan pada
tanggal 2 Januari 1974 dan diimplementasikan pada tanggal 1 Oktober
1974, banyak ahli hukum Indonesia skeptis tentang pengaruhnya pada
peningkatan perubahan sosial di Indonesia.
Mereka menganggap Undang-Undang Perkawinan yang baru
kurang jelas yang mana mereka memandang sebagai halangan yang krusial
dalam implementasinya untuk berhasil. Bahkan beberapa dari mereka
memprediksikan bahwa UU Perkawinan tersebut akan gagal dalam
merubah praktek perkawinan di antara penduduk. Ke skeptismean
terutama berhubungan dengan kontroversi sebelumnya pada pengumuman
UU tersebut. Ketika rancangan undang-undang tersebut direvisi diluluskan
oleh parlemen, hal ini sebaliknya orang-orang kristen merasa kuatir
tentang hal ini. Sebagaimana Katz dan Katz jelaskan, terutama
mengganggu mereka apa yang mereka lihat adalah suatu kecenderungan
dalam UU Perkawinan yang baru tersebut bagi negara tidak hanya untuk
membolehkan tapi memerlukan aplikasi hukum agama, setidaknya dalam
perkawinan. Hal ini yang mereka rasakan adalah antitesis pada kebebasan
agama yang benar; malahan mereka akan menyukai UU tersebut untuk
467 Lihat: Yohanes Sardadi, Tinjauan UU Perkawinan Dari Perspektif HAM…,
16.
206
memberikan kemungkinan suatu perkawinan sesuai dengan hukum
sekuler.
Skeptisme dan prediksi suram di atas, jauh dari perkembangan
nyata setelah UU yang baru tersebut ditegakkan selama beberapa waktu.
Katz dan Katz yang mengunjungi kembali Indonesia hampir dua tahun
setelah implementasi UU baru tersebut, menyimpulkan bahwa hal ini
berhasil secara dramatis mempengaruhi masyarakat Indonesia.
Keberhasilan hukum baru tersebut tentunya merupakan pencapaian
kebanyakan goal yang dinyatakan dalam pengumuman dan implementasi
hukum tersebut. Goal ini termasuk penciptaan keluarga yang stabil,
pengawasan pertumbuhan populasi, kontrol perceraian, dan poligami,
persamaan hak dan status wanita, dan terakhir bukan terakhir, kesatuan
dari bangsa melalui penyatuan hukum tersebut.468
Selanjutnya Azyumardi Azra mengatakan, bahwa Islam di
Indonesia memiliki karakteristiknya sendiri yang relatif berbeda dari
warga muslim di Timur Tengah, keragaman budaya kelompok etnis yang
ada dan sistem sosial di kepulauan ini. Islam pada tingkatan tertentu harus
lembut dan menyesuaikan pada situasi setempat. Selama beberapa abad,
keyakinan pribumi dan praktek adat bercampur ke dalam ajaran Islam.
Sejarah Islam di Indonesia, merupakan sebuah sejarah perjuangan yang
terus menerus untuk Islamisasi masyarakat Indonesia, yang memberikan
tekanan dan perselisihan antara muslim dan penduduk Indonesia.
Perselisihan selama kepatuhan dari rancangan undang-undang perkawinan
yang dijelaskan di atas seharusnya dipahami dalam kerangka seperti itu.
Meskipun penduduk muslim terbesar, Indonesia tidak negara Islam
karena Islam secara formal tidak dideklarasikan sebagai agama negara.
Namun, dalam hukum legislasinya dalam pengimplementasi kebijakannya,
pemerintah harus sesuai dengan ajaran Islam dan pendapat muslim ke
468 Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Low of 1974…, 88.
207
dalam pertimbangan yang krusial; sebaliknya pemerintah akan
menghadapi lawan yang kuat dari mayoritas dari penduduknya, yang akan
membawa legislasinya dan kebijakannya gagal seluruhnya. Sejarah
keberhasilan Undang-Undang perkawinan yang baru cukup terkait dengan
fakta-fakta bahwa rancangan tersebut telah diamandemen hampir secara
lengkap agar sejalan dengan doktrin syariah. Setelah desakan dari semua
pihak yang berkepentingan terutama ulama dan para pemimpin muslim
lainnya bahwa tidak ada perubahan substansif terjadi dalam UU
perkawinan muslim, penduduk muslim secara umum tidak ragu-ragu
untuk mengikuti ketetapan UU Perkawinan yang baru tersebut. Oleh
karena itu, UU yang baru (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan),
pada akhirnya menerima dukungan kuat dari semua level masyarakat,
yang sebaliknya membawa perubahan sosial di negara ini.469
6. M. Tahir Azhary, mengatakan bahwa :
Negara Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka
memerlukan hukum perkawinan nasional yang sesuai dengan kebutuhan
hukum masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Setelah
mengalami proses yang panjang, lahirlah UU No. 1 Tahun 1974. Salah
satu benang hijau yang dijumpai dalam undang-undang itu adalah
runtuhnya teori receptie yang menafikan existensi hukum Islam di
Indonesia dan sejak saat itu paham sekularisme dalam bidang perkawinan
telah ditinggalkan khususnya ketentuan Pasal 24 BW.
Struktur dan Substansi UU perkawinan didasarkan pada landasan
dasar filsafat negara yaitu Pancasila dan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila
pertama) sebagai titik puncaknya. Oleh karena itu UU No. 1 tahun 1974
telah meletakkan suatu ketentuan yang sangat fundamental dengan
pengakuan terhadap existensi hukum agama khususnya dalam bidang
perkawinan. Ketentuan tersebut dirumuskan dalam Pasal 2 (1) UU
Perkawinan 1974 : " Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
469 Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Low of 1974…, 90.
208
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Artinya
validitas (sahnya) suatu perkawinan didasarkan kepada hukum agama para
mempelai yaitu bagi yang beragama Islam harus melakukan perkawinan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan Islam. Bagi
mereka yang beragama lain menurut kententuan agama mereka masing-
masing.470
Dalam makalahanya pada seminar UU Perkawinan Tahir Azhary
memberikan penjelasan pasal-pasal UU Perkawinan tersebut, antara lain :
Tentang poligami, bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh
Eduard von Hartmann seperti dikutip oleh Robert dinyatakan bahwa laki-
laki mempunyai naluri cenderung kepada poligami dan sebaliknya wanita
mempunyai naluri cenderung kepada monogami.
Dengan demikian menurut akal sehat, seorang laki-laki yang
melakukan poligami dapat diterima, sebaliknya seorang wanita yang
melakukan poliandri tidak mungkin diterima. Masalah pelaksanaan
poligami telah diatur dengan baik dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974
pada Pasal 3, 4 dan Pasal 5. Tentang Poligami ini diatur lebih lanjut dalam
PP No. 9 tahun 1975 pada Bab VIII (Pasal 40 s/d 44).
Pendapat J. Prins yang menyatakan bahwa UU No. 1 tahun 1974
telah melahirkan pembatasan terhadap poligami dan pelaksanaan talak,
dengan tegas ditolak oleh Taher Azhary karena UU No. 1 tahun 1974
tersebut sangat bermanfaat untuk mengatur dan menertibkan masalah cerai
dan poligami di Indonesia.471
Selanjutnya Taher Azhary mengatakan bahwa dalam hukum Islam
dan Undang undang Perkawinan di Indonesia pelaku perkawinan itu
470 Tahir Azhary, UU No. 1 / 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaannya, Suatu Analisis Dalam Perspektif Hukum Islam, Makalah yang disampaikan pada acara seminar tentang usul amandemen UU Perkawinan yang dilaksanakan oleh MUI, 2000 di Jakarta, 1.
471 Lihat : Taher Azhary, UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya…, 4, 5.
209
adalah seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Penulis selalu
menegaskan dalam setiap kesempatan perkuliahan bahwa yang dimaksud
dengan adanya kedua mempelai dalam rukun perkawinan itu adalah
seorang laki-laki asli dan seorang perempuan asli, artinya hukum Islam
menolak rekayasa atau operasi kelamin. Hukum penggantian kelamin
dinyatakan haram oleh Lajnah Bahsul Masa'il N.U. berdasarkan Al
Quran surah al-Nisa’:119.472
Dengan demikian hukum Islam melarang perkawinan antara
sesama laki-laki atau sesama perempuan.473 Dalam kesimpulan
makalahnya Taher Azhary mengatakan, bahwa Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia adalah merupakan satu peraturan perundangan
yang sah dan diterima oleh bangsa Indonesia melalui Dewan Perwakilan
Rakyat. Prof. Hazairin menyatakan dalam perspektif hukum Islam,
Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah itjihad Bangsa
Indonesia melalui wakil-wakilnya di DPR.
Dalam praktek selama lebih dari seperempat abad. Undang-
.undang Perkawinan tersebut telah berperan sangat penting dalam
kehidupan sosial di Indonesia artinya kebutuhan hukum dalam masyarakat
Indonesia telah dipenuhi dengan kehadiran Undang-undang tersebut.
Berdasarkan kesimpulan itu, maka Undang undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 beserta perangkat peraturan pelaksanaannya wajib
dipertahankan karena :
1) Kecuali sudah merupakan hukum positif Undang-undang Perkawinan
itu juga adalah hukum yang hidup dimasyarakat (living law).
2) Undang-undang Perkawinan tersebut sangat sesuai dengan hukum
agama dan dasar negara Pancasila serta UUD 1945.
472 Lihat: Rifiyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yasri,
199), 184, 185. 473 Taher Azhary, UU No.1/1974 Tentang Perkawinan…, 6.
210
3) Undang-undang Perkawinan tersebut mengandung asas keadilan,
proteksi terhadap kaum wanita dan sesuai dengan kebutuhan hukum
Bangsa Indonesia.474
7. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menanggapi surat Menteri Agama
Pemberdayaan Perempuan RI No. B.23/Men.PP/III/2003 tertanggal 27
Maret 2003 perihal usulan penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagaimana surat-suratnya sebelumnya yang disampaikan
kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, juga kepada Presiden
Republik Indonesia, menyatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
tetap tidak menerima (menolak) usulan perubahan UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Menurut MUI, seandainya UU tersebut direvisi, akan menimbulkan
mudharat yang lebih besar, karena akan membuka peluang bukan
hanya perubahan yang diusulkan saja yang akan diubah, tetapi
dikhawatirkan akan mengubah pasal-pasal lain yang sudah menjadi
konsensus Nasional.
b. Sesuai dengan hasil MUNAS MUI tahun 2000 diperkuat lagi pada
RAKERNAS MUI tahun 2001, ditetapkan bahwa Majelis Ulama
Indonesia tetap tidak dapat menerima (menolak) segala upaya yang
dilakukan untuk mengubah UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Kasus-kasus pernikahan yang sering terjadi seperti perkawinan sirri,
ataupun perkawinan di bawah tangan menurut MUI adalah kesalahan
oknum petugas, bukan karena undang-undangnya. Untuk itu
diperlukan upaya penyadaran masyarakat dan penegakan hukum bagi
aparat pelaksanaannya.475
474 Taher Azhary, UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan…, 7. 475 Surat Penolakan MUI terhadap Usulan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI
tentang Penyempurnaan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, No. B-120/MUI/V/2003 tertanggal 5 Rabiul Awal 1424 H/7 Mei 2003 M.
211
Itulah beberapa pendapat yang pro dan kontra terhadap amandemen
UU Perkawinan. Penulis sependapat dengan pandangan yang mengatakan,
bahwa UU Perkawinan tersebut tetap dipertahankan dan tidak perlu
diamandemen, karena sesuai dengan Hukum Perkawinan Islam yang
bersumber dari Al Quran dan Sunnah Nabi saw serta pendapat para ulama.
Hanya sebagian kecil substansinya merupakan hasil ijtihad para ulama
Indonesia dan cendekiawan muslim Indonesia. Oleh sebab itu penulis juga
sependapat dengan Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa UU No. 1 tahun
1974 merupakan bagian dari kodifikasi Hukum Perkawinan Islam, karena
semua pasal-pasalnya sejalan dengan syariah. Oleh sebab itu penyebaran dan
implementasi dari UU Perkawinan merupakan sebuah pelembagaan syariah di
Indonesia sebagaimana telah disebutkan pada awal pembahasan ini. Pendapat
Azyumardi Azra ini identik dengan pendapat Taher Azhary, bahwa UU
Perkawinan tersebut sangat sesuai dengan hukum agama dan dasar negara
Pancasila serta UUD 1945, oleh sebab itu wajib dieprtahankan. Bahkan
Majelis Ulama Indonesia mengatakan bahwa amandemen/revisi UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, mudharat yang lebih besar, karena akan
membuka peluang, bukan hanya perubahan yang diusulkan saja yang akan
diubah, tetapi dikhawatirkan akan mengubah pasal-pasal lain yang sudah
menjadi konsensus Nasional. Oleh sebab itu UU perkawinan tersebut tetap
dipertahankan dan menolak usulan-usulan amandemen/revisi terhadapnya.
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan, maka penulis
berpendapat, bahwa tidak perlu mengamandemen UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan tersebut, tetapi sebagai jalan keluar untuk mengakomodir
pendapat-pendapat yang mengusulkan amandemen/revisi itu, adalah dengan
meningkatkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Perkawinan menjadi
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA) tentang Perkawinan, karena
materi KHI itu adalah merupakan penyebaran dan penyempurnaan UU
Perkawinan. Pengaturan dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut masih
bersifat umum, karena berlaku untuk semua warga negara, sedangkan
212
penyelesaian sengketa perkawinan yang terjadi antara orang-orang beragama
Islam memerlukan aturan yang lebih khusus.
Untuk melengkapi kekurangan yang terdapat dalam hukum materiil di
bidang Perkawinan. Badan Peradilan Agama berpedoman kepada ketentuan
yang tercantum dalam KHI bidang Perkawinan yang ditetapkan berdasarkan
INPRES No. I Tahun 1991. Pemberlakukan suatu Kompilasi yang hanya
berdasarkan suatu instruksi Presiden di pandang sebagai kebijakan sementara
untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) sambil menunggu
berlakunya suatu hukum materiil berdasarkan undang-undang, karena tidak
memiliki kekuatan hukum tetap yang masuk dalam jenis peraturan perundang-
undangan. Keabsahan INPRES masih terbatas pada diktum isntruksinya, yakni
terbatas hanya pada orang atau instansi yang diberikan isntruksi tersebut,
dalam hal ini Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI. Dengan demikian
keberadaanya tidak dapat dijadikan sebagai hukum positif tertulis yang
mengikat dan memaksa seluruh warga negara, sebagaimana halnya UU
Perkawinan dan peraturan perundang-undangan lainnya.476
Dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Instruksi Presiden tidak lagi tercantum dalam
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini berdampak pada
melemahnya kedudukan hukum materiil dalam KHI meskipun masih
dipergunakan hakim pada Badan Peradilan Agama dan masyarakat yang
memerlukannya.477 Keadaan demikian perlu ditindak lanjuti dengan kebijakan
perundang-undangan agar hukum materiil di bidang perkawinan yang
tercantum dalam KHI ditetapkan dengan UU. Kebijakan perundang-undangan
476 Salah satu konsederan menimbang (huruf b) INPRES tersebut disebutkan bahwa,
KHI tersebut dalam huruf (a) oleh instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang tersebut. Adanya diktum ini menegaskan bahwa, posisi KHI hanya sebagai pedoman, bukan sebagai ketetapan/kitab hukum yang "dapat" digunakan bukan yang "harus" digunakan. Karena itu, ia bersifat tawaran alternatif dan bukan bersifat memaksa.
477 Tim Penyusun Naskah Akademik RUU HPA, Naskah Akademik HMPA, (Jakarta: Depag RI, 2007), 10
213
seperti itu telah dilakukan terhadap hukum materiil di bidang waqaf yang
terdapat dalam KHI menjadi UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan
Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.478
Jika hukum materiil dibidang perkawinan ini diatur dengan undang-
undang, maka kedudukan Badan Pengadilan Agama makin lengkap, karena
pelaksanaan wewenangnya dalam memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan perkara di bidang perkawinan tidak lagi berdasarkan instruksi
Presiden melainkan dengan Undang-Undang. Oleh sebab itu perlu segera
disahkan RUU Hukum Materil Peradilan Agama (HMPA) tentang Perkawinan
untuk menjadi UU Bidang Perkawinan. RUU HMPA yang diajukan untuk
menjadi Undang-Undang adalah untuk melengkapi ketentuan yang telah ada
dalam Undang-Undang Perkawinan dan mengisi berbagai kekosongan hukum
(rechtsvacuum). Jadi kehadiran RUU HMPA dibidang perkawinan bersifat
komplementer terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya. Jika akan disidangkan, diharapkan
DPR RI mengundang beragai pihak yang dipandang perlu untuk memberi
masukan-masukan dan usul-usul untuk kelengkapan RUU HMPA tentang
Perkawinan tersebut. Masukan-masukan dan usul-usul itu tentu dapat diterima
selama tidak bertentangan dengan ajaran Hukum Islam.
478 Menurut Wahyu Widiana mantan Direktur Pembinaan Peradilan Agama Depag
RI, dan sekarang sebagai salah seorang Hakim Agung dan salah seorang tokoh yang sangat peduli terhadap pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia terus mengusahakan agar KHI ini dapat menjadi undang-undang, sehingga statusnya menajdi kuat sebagai pegangan dalam melaksanakan Hukum Islam di Indonesia. Namun situasi politik pada saat itu belum memungkinkan. Hasil usaha maksimal adalah diterbitkannya instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991, dengan mana Presiden menginstruksikan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut agar dipergunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Menteri Agama dengan Keputusan No. 154 Tahun 1991, tanggal 22 Juli, menetapkan tentang pelaksanaan INPRES No. 1/1991 dan menunjuk Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji - kini BIPH - Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri ini dalam bidang tugasnya masing-masing. Lihat Wahyu Widiana, Aktualisasi KHI di Peradilan Agama dan Upaya Menjadikannya Sebagai Undang-Undang (Makalah), Jakarta, 2
213
BAB IV
NASIONALISASI HUKUM PERKAWINAN ISLAM
DI INDONESIA
Setelah Indonesia merdeka, upaya pembaharuan hukum banyak
diarahkan kepada perubahan hukum tertulis peninggalan kolonial untuk
dijadikan Hukum Nasional. Hukum Islam dijadikan sebagai salah satu unsur
hukum Nasional yang berfungsi sebagai rujukan dalam pembentukan hukum
nasional tersebut. Upaya ini telah menghasilkan terbentuknya UU No. 1 tahun
1974 tentang Hukum Perkawinan. Dengan diundangkannya UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara Republik
Indonesia, maka hukum perkawinan Islam sudah menjadi bagian dari hukum
nasional, karena pada tanggal 2 Januari 1974 sudah masuk dalam lembaran
Negara. Setelah UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan, maka
hukum Fikih Islam telah memasuki fase baru yang disebut fase Taqnin (fase
pengundangan).
Walaupun UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah disahkan,
tetapi pelaksanaannya melalui putusan Pengadilan Agama masih harus
dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Tetapi dengan terbentuknya UU No. 7
tahun 1989 Pengadilan Agama sudah disejajarkan dengan Pengadilan Negeri,
sehingga putusan Pengadilan Agama tersebut tidak lagi dikukuhkan oleh
Pengadilan Negeri. Kemudian, walaupun telah diundangkan UU No. 7 tahun
1987 yang mensejajarkan Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri,
ternyata dalam implementasi hukum Islam di Indonesia masih bermasalah,
karena tidak adanya keseragaman para hakim Peradilan Agama dalam
menetapkan hukum terhadap persoalan-persoalan hukum perkawinan yang
mereka hadapi sering terjadi perbedaan putusan antara satu Peradilan Agama
dengan Peradilan Agama yang lainnya, yang dapat mengurangi wibawa
Peradilan Agama. Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi Hukum
213
214
Islam yang sama. Dari realitas ini, keinginan untuk menyusun “Kitab Hukum
Islam” dalam bentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak. Penyusunan
kompilasi ini bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman
referensi keputusan hukum di Peradilan Agama Indonesia, tetapi juga
disandarkan pada keharusan terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah
Peradilan, yaitu kitab Materi Hukum Islam yang digunakan di Lembaga
Peradilan tersebut. Itulah yang mendorong pembentukan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dengan berdasarkan Perundang-Undangan, seperti UU No. 22
tahun 1946, UU No. 32 tahun 1954, UU No. 1 tahun 1974, PP No. 9 tahun
1975 dan PP No. 28 tahun 1977.
Dengan terbentuknya KHI, Fikih Islam, khususnya Fikih
Munakahat yang selama ini tidak dipandang sebagai hukum positif walaupun
orang-orang Islam telah melaksanakannya sejak masuknya Islam ke Indonesia,
telah ditransformasikan menjadi hukum positif, atau sebagai hukum Nasional
yang berlaku dan mengikat bagi seluruh umat Islam di Indonesia, melalui
Instruksi Presiden (INPRES) No. 1 tahun 1991 yang ditujukan kepada Menteri
Agama untuk menyebarluaskannya
A. Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
1. Latar Belakang dan Proses Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Lahirnya Undang-Undang Perkawinan yang berlaku bagi semua
warga negara Republik Indonesia tanggal 2 Januari 19741 sebagian besar
telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah
dikumandangkan sejak kongres perempuan Indonesia pertama tahun 1928
yang kemudian susul-menyusul di kedepankan dalam kesempatan-
kesempatan lainnya berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam
1 Yang dimaksud dengan Undang-Undang Perkawinan dalam pembahasan ini,
ialah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat dijadikan petunjuk oleh umat Islam
dalam masalah perkawinan dan dijadikan pedoman oleh Hakim di Lembaga Peradilan
Agama dalam memeriksa, menyelesaikan dan memutuskan perkara-perkara yang
berkenaan dengan perkawinan.
215
perkawinan. Perbaikan yang didambakan itu terutama diperuntukkan bagi
golongan “Indonesia Asli” yang beragama Islam yang hak dan
kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum yang tertulis.2
Hukum perkawinan orang Indonesia asli yang beragama Islam yang
tercantum dalam kitab-kitab fikih Islam, menurut sistem hukum di tanah
air kita tidak dapat digolongkan ke dalam kategori “hukum tertulis”,
karena tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.3
Menurut Mohammad Daud Ali, masalah-masalah yang menjadi
pusat perhatian pergerakan wanita pada waktu itu adalah soal-soal : 1.
perkawinan paksa, 2. poligami dan 3. talak yang sewenang-wenang.4
Di antara isu yang perlu ditampung oleh pemerintah dalam
merumuskan draft undang-undang perkawinan adalah pembinaan hukum
nasional dengan melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional,
masalah kependudukan, hak asasi manusia, pengayoman terhadap
martabat wanita dan pembinaan kesejahteraan keluarga, sebagaimana
disebutkan dalam risalah sidang pleno DPR tanggal 30 Agustus 1973. 5
Isu yang paling menarik dalam pembinaan keluarga adalah
menahan jumlah perceraian. TB. Hamzah dari Fraksi ABRI memaparkan
data perkawinan pada 1970 yang berasal dari Departemen Agama (Kantor
Urusan Agama dan Pengadilan Agama), dari 859.061 perkawinan, yang
melakukan perceraian sebanyak 298.290 dan hanya 11.294 yang
melakukan rujuk. Dari data itu dapat dipastikan, bahwa dari sekian banyak
rakyat Indonesia yang melangsungkan perkawinan, lebih dari 30%,
berakhir dengan perceraian dan hanya 3% yang rujuk. Hamzah
2 Hukum tertulis lazim disebut sebagai hukum perundang-undangan. Hukum
tertulis telah menjadi tanda dari hukum modern yang harus mengatur serta melayani
kehidupan modern – Hasanuddin AF (et.al), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pustaka
Al-Husna Baru, 2004), 7. 3 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2002), cet. II, 21. 4 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 21.
5 Risalah sidang Pleno DPR tanggal 17 September 1973, Pandangan Umum
Fraksi ABRI.
216
memberikan contoh sebagaimana dikutip oleh Yayan Sopyan, 4 wilayah
saja:6
Contoh, kasus pernikahan, perceraian, dan rujuk pada 4 (empat)
propinsi di Indonesia tahun 1970
No DAERAH NIKAH CERAI RUJUK
1. Aceh 6,190 1,462 114
2. Kalimantan 7,856 2.224 123
3. Jawa Barat 223.457 81.428 2.893
4. Jawa Timur 265.859 107.533 4.084
Data yang disebutkan di atas belum ditambah dengan data yang
berasal dari masyarakat yang melakukan perkawinan dan perceraian lain,
yang tidak tercatat. Kalau ditambahkan datanya dengan data dari
Departemen Agama tentu lebih banyak lagi jumlah orang-orang yang
melakukan perkawinan dan perceraian.
Selanjutnya berkenaan dengan isu hak-hak perempuan, yang paling
gigih memperjuangkannya adalah KOWANI. Pada tanggal 19 dan 24
februari 1973 pimpinan DPR mengadakan hearing dengan tokoh-tokoh
KOWANI. Dalam pertemuan tesebut tercapai konsensus pada beberapa
hal, yaitu:
a. Adanya kata sepakat dari calon suami istri untuk mencegah kawin
paksa.
b. Ditetapkannya batas umur minimum untuk kawin, dengan
meningkatkan kepentingan Nasional Keluarga Berencana, diusulkan
21 tahun untuk pria dengan alasan, bahwa pada umur itu pria sudah
dapat berdiri sendiri dan dapat mencari nafkah, sementara untuk
wanita ditetapkan usia 18 tahun.
c. Perkawinan berdasarkan monogami dengan pengecualian yang sangat
ketat.
d. Persamaan hak dalam mengajukan perceraian antara suami istri.
6 Lihat : Yayan Sopyan : Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Disertasi SPS Jakarta, 2007), 178.
217
e. Pembagian harta benda bersama secara adil pada perceraian7.
Pembangunan hukum tersebut menjadi tugas Departemen
Kehakiman, karena itu Departemen Kehakiman membentuk sebuah tim
untuk merumuskan draft RUU perkawinan, kemudian diajukan ke DPR
untuk dibahas.
Sebenarnya usaha untuk perbaikan sistem perkawinan oleh
pemerintah Indonesia sudah dimulai sejak setelah Indonesia merdeka,
dengan dikeluarkannya undang-undang pada tahun 1946 tentang
pencatatan nikah, talak dan Rujuk (NTR). Setelah itu disusul dengan
beberapa peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tata cara
pemeriksaan perkara fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama
namum demikian, dengan langkah-langkah itu perbaikan yang dituntut
belumlah terpenuhi, karena undang-undang dan peraturan itu hanyalah
mengenai saat-saat perkawinan belaka, tidak mengenai hukum materilnya,
yakni undang-undang yang mengatur perkawinan itu sendiri8.
Pada tahun 1950 Pemerintah Republik Indonesia telah berusaha
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kefasihan hukum dalam
masalah perkawinan. Dengan jalan, membentuk panitia penyelidikan
peraturan hukum perkawinan, talak, dan rujuk yang ditugaskan meninjau
kembali segala peraturan mengenai perkawinan dan menyusun rencana
UU perkawinan yang dikehendaki zaman. Kepanitian itu dibentuk
berdasarkan surat penetapan Menteri Agama No. B/4299 tanggal 1
Oktober 1950 yang di ketuai oleh Mr. Teuku Moh. Hasan, tetapi panitia
ini tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, karena banyak hambatan
dan tantangan di dalam melaksanakan tugas9. Kemudian panitia membuat
rancangan undang-undang perkawinan (RUUP) sebagai suatu peraturan
umum yang berlaku untuk seluruh warga Negara dengan tidak
membedakan golongan, agama dan suku bangsa, di samping membuat
peraturan-peraturan khusus untuk masing-masing golongan. Panitia
7 Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan, (Jakarta:
Yayasan Idayu, 1981), 17 8 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengadilan Agama, 21
9 Abd. Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2006), 3
218
berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi dalam hukum perkawinan, namun
usaha ini tidak dapat berjalan dengan lancar, karena di dalam kepanitian
terhadap berbagai aliran10
. Pada tanggal 1 Desember 1951 Panitia
menyampaikan RUU Perkawinan, sebagai peraturan umum tentang
perkawinan yang mengatur beberapa hal penting, antara lain, bahwa
perkawinan didasarkan atas kemauan kedua belah pihak dan adanya
pembatasan umur, yaitu bagi pria umur minimal, 18 tahun dan bagi
perempuan umur minimal 15 tahun, sedangkan dalam berpoligami
dibolehkan menurut ajaran agama dengan syarat harus dapat berlaku adil,
yang dinyatakan dihadapan pegawai pencatatan nikah dan harus mampu
membiayai kebutuhan hidup lebih dari satu rumah tangga dan istri, atau
istri-istri tidak berkeberatan, di samping pengaturan harta benda dan
syarat-syarat perceraian11
Selanjutnya menurut Maria Ulfa Subadio, bahwa dalam rapat
panitia bulan Mei 1953 diputuskan sebagai berikut :
1) Menyusun RUU pokok yang pendek saja dan berlaku untuk umum
dengan tidak menyinggung agama.
2) Menyusun RUU organik yang mengatur perkawinan-perkawinan
menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Katolik
dan Protestan.
3) Menyusun RUU untuk golongan yang tidak termasuk salah satu
golongan agama tersebut.12
Dalam bulan April 1954, panitia menyampaikan RUU tentang
perkawinan umat Islam kepada Menteri Agama. Namun respon yang
diberikan Departemen Agama sangat lambat, karena baru pada tahun 1957
Menteri Agama mengajukan RUU tentang Perkawinan Umat Islam kepada
10
Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Disertasi pada SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 171 11
Lihat Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan,
15 12
Lihat Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan,
16
219
Kabinet, tetapi masih menunggu amandemen-amandemen baru, sehingga
pada permulaan tahun 1958 belum terdengar apa-apa dari pemerintah.13
Nyonya Soemarni (anggota DPR) dan pergerakan perempuan
mengajukan usul inisiatif RUU kepada DPR yang merupakan peraturan
umum untuk seluruh warga negara dengan tidak membedakan golongan
dan suku bangsa. Ada beberapa prinsip yang diajukan oleh Ny. Soemarni
dan kawan-kawan, antara lain adalah :
1) Setiap warga Negara berhak kawin menurut agamanya masing-masing.
2) Yang menjadi dasar perkawinan adalah monogamy.
3) Setiap perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua pengantin.
4) Batas usia minimal melangsungkan perkawinan adalah 18 tahun bagi
laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.14
RUU usulan Soemarni ini, terdiri dari 4 Bab dan 32 Pasal,
dilengkapi dengan penjelasannya. Adapun yang melatar belakangi
Soemarni membuat RUU inisatif itu adalah peristiwa yang menimpa
dirinya yang menjadi sorotan banyak pihak dimana ia sebagai seorang
Muslimah menikah dengan Madeloe seorang Perwira Polisi yang
beragama Kristen. Perkawinan itu ditentang oleh masyarakat.15
Menurut Maria Ulfa Subadio, setelah ada usulan inisiatif dari
Soemarni itu, barulah pemerintah mengajukan RUU Perkawinan Islam
kepada DPR. Dalam RUU itu, poligami diperbolehkan dengan syarat-
syarat tertentu yaitu persetujuan lebih dahulu dari istri, atau istri-istri,
harus berlaku adil dan dapat menghidupi lebih dari satu keluarga.16
RUU
ini juga mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan anggota DPR
dan masyarakat. Namun disesalkan, bahwa banyak juga anggota DPR
yang sungguh-sungguh membela poligami tanpa syarat, karena poligami
bukan saja dilaksanakan oleh orang awam, tetapi juga para pemimpin
bangsa melakukannya, dimana pada tahun 1955 Soekarno melakukan
13
Lihat Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan,
16 14
Lihat : Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam…, 172, 173 15
Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam…, 173 16
Lihat Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan,
17
220
poligami dengan Ny. Hartini, yang menuai protes yang keras khususnya
dari kalangan perempuan. Tidak kurang dari 11 organisasi wanita yang
memprotes dan memberikan pernyataan keras atas perkawinan Soekarno
dengan Ny. Hartini ini.17
17
Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinannya, h.
17. Dalam situs : www.indolaw.com disebutkan, bahwa adapun surat pernyataan
organisasi-organisasi wanita terhadap perkawinan Presiden Soekarno dengan Ny. Hartini,
adalah sebagai berikut :
Pernjataan organisasi-organisasi wanita terhadap perkawinan Presiden dengan
Nj. Hartini : Oleh karena masjarakat Indonesia telah dihadapkan kepada sesuatu
kenjataan, jaitu perkawinan Ir. Soekarno – Presiden Republik Indonesia – dengan Nj.
Hartini jang didjalankan semasa djabatannja tanpa pemberitahuan lebih dahulu kepada
Pemerintah dan masjarakat, sedangkan pada saat ini belum ada suatu peraturan resmi
mengenai perkawinan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia,
Berpendapat :
I. Perkawinan Ir. Soekarno-Presiden Republik Indonesia – dengan Nj. Hartini adalah
urusan Sdr. Ir. Soekarno pribadi jang harus ditanggungnja dengan segala
konsekwensinja.
Menghendaki :
II. a). Segala kunjungan dan perdjalanan resmi P.J.M. Presiden Republik Indonesia
tidak disertai oleh Ny. Hartini.
b). Segala kundjungan dan perdjalanan Sdr. Ir. Soekarno dengan Nj. Hartini adalah
kundjungan dan perdjalanan tidak resmi (incognito) dan tidak dianggap
diperlakukan sebagai kundjungan dan perdjalanan P.J.M. Presiden Republik
Indonesia.
c). Nj. Hartini tidak diperkenankan melaksanakan tugas-tugas kemasjarakatan (social
functions) jang menjadi kewadjiban Ibu Negara.
d). Segala penghormatan resmi tidak diberikan pada Nj. Hartini.
e). Belanja rumah-tangga Nj. Hartini tidak dibebankan pada Negara.
f). Istana-istana dan tempat-tempat kediaman resmi tidak didiami oleh Nj. Hartini.
Menjatakan :
III. Dalam keadaan bagaimanapun djuga, organisasi-organisasi Wanita Indonesia tidak
dapat menerima Nj. Hartini sebagai Ibu Negara, karena tidak memenuhi sjarat-sjarat
jang dikehendaki masjarakat dari seorang Ibu Negara.
Menjimpulkan :
IV. Berdasarkan pernjataan-pernjataan tersebut di atas organisasi-organisasi Wanita
Indonesia menuntut supaja soal-soal mengenai perkawinan Sdr. Ir. Soekarno-
Presiden R.I. dengan Nj. Hartini diatur dalam peraturan chusus dalam waktu jang se-
singkat-singkatnja.
Djakarta, 21 Oktober 1955.
1. Wanita Katolik
2. Istri Sedar
3. Bhajangkari
4. Persit
5. P.W.K.J
6. Sehati
7. Ikatan Perawat Wanita Indonesia
221
RUU Perkawinan tersebut telah diajukan oleh pemerintah ke
DPR dan telah dibahas dalam sidang DPR antara tahun 1958-1959, tetapi
pemerintah tidak berhasil menjadikannya sebagai Undang-Undang. Antara
tahun 1967-1970, DPR-GR telah juga membahas Rencana Undang-
Undang Perkawinan, tetapi nasib RUU ini pun sama saja dengan nasib
RUU sebelumnya. Setelah Pemilihan Umum tahun 1971, Ikatan Sarjana
Wanita Indonesia (ISWI) memperjuangkan kembali UU Perkawinan untuk
diberlakukan kepada seluruh warga Negara Indonesia. Kemudian Badan
Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal
22 Februari 1972, juga mendesak pemerintah agar mengajukan kembali
RUU tentang Perkawinan yang dulu dikembalikan DPR kepada
pemerintah, agar dibahas kembali oleh DPR RI. Demikian pula Himpunan
Mahasiswa Indonesia (HMI) membicarakan kembali tentang perkawinan
umat Islam Indonesia dalam acara Sarasehan yang dilaksanakan pada
tanggal 11 Februari 1973 di Jakarta dan mengharapkan agar pemerintah
segera mengajukan kembali RUU tentang perkawinan kepada DPR RI
untuk dibahas kembali dan dilaksanakan sebagai UU yang diberlakukan
untuk seluruh warga negara Indonesia.18
Pada bulan Juli 1973, Pemerintah
Republik Indonesia kembali mengajukan sebuah RUU yang terkenal
dengan Rencana Undang-Undang Perkawinan kepada DPR-RI dan setelah
mendapat banyak sekali tanggapan pro dan kontra mengenai beberapa
bagian penting materi RUUP tersebut, baik di dalam DPR, maupun di
dalam masyarakat, akhirnya dicapailah suatu Konsensus yang membawa
pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga kata
mufakat di antara para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.19
Setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat,
Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Perkawinan pada tanggal 2
Januari 1974 dalam Lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya
8. Perwari
9. P.J.K.T
10. J.K.A.L
11. Pertiwi 18
Abd. Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 4 19
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 22
222
sama dengan nomor dan tahun Undang-Undang Perkawinan tersebut,
yakni Nomor 1 Tahun 1974. Pada tanggal 1 April 1975, setelah 1 tahun 3
bulan Undang-Undang Perkawinan itu diundangkan, lahir Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat Peraturan, Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan tersebut. Dengan demikian, mulai tanggal 1
Oktober 1975 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
itu telah dapat berjalan secara efektif.20
Walaupun Undang-Undang Perkawinan ini adalah hasil
kompromi antara Fraksi-fraksi di DPR, akan tetapi tentu tidak sepenuhnya
memuaskan semua golongan, pasti ada kekurangan-kekurangannya.
Namun dengan adanya Undang-Undang Perkawinan tersebut,
tuntutan pokok yang telah lama diperjuangkan, terutama oleh Pergerakan
Wanita Indonesia, sebagian besar telah terpenuhi, karena Undang-Undang
Perkawinan tersebut mempunyai ciri khas, yaitu berkenaan dengan
asasnya, tujuannya dan sifatnya yang mengangkat harkat dan derajat serta
kedudukan kaum wanita Indonesia.21
Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan itu telah mensejajarkan wanita dengan pria dalam
perkawinan sebagaimana dalam ketentuan Hukum Islam, bahwa wanita
adalah mitra pria dan pria adalah mitra wanita, wanita dalam perkawinan
adalah mitra sejajar dengan pria. Wanita dan pria mempunyai derajat yang
sama sebagai manusia ciptaan Allah, yang membedakan keduanya
hanyalah kualitas ketakwaannya kepada Allah.22
Menurut Muhammad Daud Ali, kejadian wanita dan pria relatif
berlainan dan fungsi masing-masing dalam keluarga dan masyarakat
berbeda, maka hak dan kewajiban wanita dibandingkan dengan pria dalam
beberapa hal tertentu sama, dalam beberapa hal yang lain berbeda.
Perbedaan hak dan kewajiban yang merupakan konsekuensi perbedaan
kodrat dan fungsi antara pria dan wanita itu tidak boleh dijadikan dasar
untuk mengadakan diskriminasi antara pria dengan wanita.23
20
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 22, 23 21
Lihat : Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 117, 118 22
Lihat : Q.S. al Hujurat / 43 : 13. 23
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 36
223
Annie Besant berkata bahwa dalam hal penghargaan yang
diberikan kepada wanita, Hukum Islam jauh melebihi Hukum-Hukum
Barat. Ketentuan Al-Quran tentang wanita jauh lebih adil dan liberal dari
Hukum Barat.24
2. Tantangan dan Respon dalam Pembentukan dan Penerapan UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Ketika pemerintah mengajukan RUU Perkawinan tanggal 16
Agustus 1973 timbul pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia
terhadap RUU perkawinan tersebut. Mereka terbagi kepada tiga kelompok.
a. Kelompok Perempuan :
Sejak tahun 1928 karena perempuan telah mulai berusaha dan
mengupayakan agar ada Undang-Undang Perkawinan yang berpihak
pada kepentingan-kepentingan perempuan seperti masalah kesetaraan
gender, hak-hak reproduksi perempuan, keadilan terhadap perempuan
dalam perkawinan, kawin liar dan pencegahan terhadap kawin paksa.
Mereka beranggapan bahwa fikih yang diaplikasikan selama ini di
masyarakat Islam bersifat diskriminasi dan merugikan kaum
perempuan. Tokoh-tokoh perempuan dari kelompok perempuan ini
antara lain Maria Ulfa Subadio, SH, Nani Suwondo dan dr. Tetty Noor
dan Nelly Adam Malik.25
b. Kelompok Pemerintah :
Kelompok ini didukung oleh mayoritas anggota DPR, yang
terdiri dari Golkar yang tokohnya antara lain adalah Prof. Sunandar,
Sukowati dan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang tokohnya
adalah Drs. Gregorins Soegiarto serta Fraksi dari ABRI. Kelompok ini
memperjuangkan agar tercipta univikasi dan kodifikasi hukum, yang
diharapkan dengannya akan lahir Undang-Undang yang bisa dijadikan
pedoman dan rujukan bagi seluruh warga Indonesia.26
24
Annie Besant, The Life and Teachings of Muhammad, (Madras: t.p.,
1932), 26. 25
Lihat Amak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan, (Bandung: Bulan
Bintang, t.th.), 14. 26
Lihat Amak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan, 84.
224
Idiologi yang dibawa oleh kelompok pemerintah ini adalah
ideology sekuler, karena pembuat draft RUU Perkawinan tersebut
adalah Departemen Kehakiman yang mayoritas dari mereka itu adalah
sarjana hukum yang berpendidikan Belanda.
c. Kelompok Umat Islam :
Kelompok ini didominasi para ulama. Mereka beranggapan
bahwa RUU perkawinan yang diajukan pemerintah itu sangat
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan ada yang
beranggapan, bahwa Undang-Undang tersebut mengkristenkan
Indonesia,27
karena materinya mengandung ideology yang
bertentangan dengan hukum Islam, yakni ideology yang dianut negara-
negara Barat yang materialistis dan individulistis, yang dikhawatirkan
akan mengikis budaya bangsa dan dapat menghancurkan tatanan
budaya yang sudah mapan.
Kamal Hasan mengatakan, bahwa semua ulama, baik dari
kalangan tradisional, maupun modernis, dari Aceh sampai Jawa Timur
menolak RUU tersebut.28
Menurut Kamal Hasan, setidaknya ada 11 pasal yang
dipandang bertentangan dengan ajaran Islam (fikih munakahat), yaitu
pasal 1, ayat 1, pasal 3 ayat 2, pasal 7 ayat 1, pasal 8 ayat c, pasal 10
ayat 2, pasal 11 ayat 2, pasal 12, pasal 13 ayat 1 dan 2, pasal 37, pasal
46 ayat c dan d, pasal 62 ayat 2 dan ayat 9.29
Di lembaga legislatif, FPP adalah fraksi yang keras menentang
RUU tersebut, karena bertentangan dengan fikih Islam.30
Anggota DPR dari kubu Islam hanya berjumlah 94 orang, yaitu
dari Fraksi Persatuan.31
Sedangkan anggota DPR dari Fraksi Golkar
27
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. III, 23. 28
Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia; Respons Cendekiawan Muslim,
(Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), 190. 29
Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia; …, 192, 197 30
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, h. 23. – Lihat pula Syamsuddin Haris, PPP dan Orde Baru, (Jakarta:
Gramedia Widiasarana, 1991), 10. 31
Fraksi Persatuan adalah merupakan koalisi kekuatan Islam yang terdiri
dari Nu 58 orang, PARMUSI 24 orang, PSII 10 orang dan dari PERTI 2 orang.
225
berjumlah 261 orang, ABRI 75 orang dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) 30 orang,32
sebagai kubu yang mendukung ide pemerintah untuk
menciptakan univikasi dan kodifikasi hukum sebagai pedoman dan
rujukan bagi seluruh warga Indonesia.
Walaupun anggota DPR hanya berjumlah 94 orang, yakni
hanya dari Fraksi Persatuan, tetapi mereka didukung oleh semua
lapisan masyarakat Islam mereka menyuarakan aksi protes, terutama
dari kalangan ulama, mahasiswa dan pelajar.
Adapun ulama yang menentang keras antara lain adalah
Hamka, Yusuf Hasyim dan Bisri Sjamsuri, Protes itu melalui media
massa, mimbar-mimbar dan aksi turun ke jalan, hingga mencapai
antiklimaksnya, yakni dengan terjadinya peristiwa Sya‟ban 1973 yang
cukup memanaskan atmosfir perpolitikan Indonesia pada waktu itu
dengan didudukinya gedung DPR/MPR oleh masa umat Islam
beberapa jam. Pada hal waktu itu sedang di gelar sidang DPR. Massa
merangsek ke dalam gedung, bukan saja duduk dibalkon yang
disediakan untuk pengunjung, tetapi membludak hingga ke ruang
sidang, bahkan massa menduduki tempat duduk para anggota legislatif.
Masa sudah tidak dapat dikendalikan dan mengacaukan persidangan.
Akhirnya para anggota legislatif meninggalkan sidang. Di dalam
gedung DPR massa melakukan orasi-orasi, bahkan salah seorang tokoh
Kemudian partai-partai ini melakukan fusi dengan mengikatkan diri menjadi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973. Latar belakang fusi ini
adalah karena hasil pemilu tahun 1971 bagi pemerintah merupakan salah satu
legitimasi ke arah fusi partai, sebab segera partai dominan yakni Golkar yang
memperoleh 62,8% suara, telah dibentuk. Bagi partai-partai Islam, pemilu tahun
1971 merupakan, pengalaman pahit mengingat untuk pertama kalinya isu “politik”
dihadapkan dengan isu “non politik”, yakni “pembangunan” melalui slogan : “politik
no, pembangunan, yes” yang dilontarkan Golkar. Kenyataan itulah yang menjadikan
problematik PPP dalam pemilu-pemilu berikutnya. Politisi Islam kehilangan slogan,
kecuali bersifat sentimen keagaman. Oleh karena itu, fusi menjadi momentum
tersendiri bagi partai-partai Islam untuk merapatkan barisan. Namun identitas
keislamana perlu diteruskan, kendati kata “Islam” tidak lagi menjadi jati diri partai.
Aktivitas negara dengan pembangunanya merapatkan barisan. Namun identitas ke
Islaman perlu diteruskan, kendati kata, “Islam” tidak lagi menjadi jati diri partai.
Aktivitas negara dengan pembangunanya menempatkan PPP pada posisi marginal
dalam konteks politik Orde Baru. Namun demikian, sikap kritis partai terhadap
kebijakan pemerintah, khususnya yang bersinggungan langsung dengan identitas
Islam. Lihat Syamsuddin Haris, PPP dan Orde Baru, 10. 32
Lihat Syamsuddin Haris, PPP dan Orde Baru, 10.
226
mahasiswa yang memobilisasi massa dan melakukan demo serta orasi
adalah Zulkarnaen Djabbar. Zulkarnaen menurut hasil wawancara
pribadi Yayan Sopyan dengan Kafrawi Ridwan, bukan saja berdemo
tapi naik ke atas meja sidang dan mengibar-ngibarkan bendera.33
Melihat umat Islam menentang dan menolak keras, ABRI tidak
ingin ada kekacauan di kalangan masyarakat, maka konsep RUU
Perkawinan yang digodok di DPR itu, atas perintah Presiden,
disesuaikan dengan tuntunan umat Islam. Melalui lobying-lobying
antara tokoh-tokoh Islam dengan pemerintah, akhirnya RUU tersebut
diterima oleh kalangan Islam dengan mencoret pasal-pasal yang
bertentangan dengan ajaran Islam.34
Di sini nampak jelas bagaimana
upaya PPP untuk mempertahankan eksistensi hukum Islam.35
Agar
pembahasannya berjalan lancar, maka dicapai suatu kesepakatan antara
Fraksi PPP dan Fraksi ABRI yang isinya :
1) Hukum Agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi, atau
diubah.
2) Sebagai konsekuensi dari pada poin 1, maka alat-alat
pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau diubah. Tegasnya UU
No. 22 Tahun 1946 dan UU No. 14 Tahun 1970 dijamin
kelangsungannya.
3) Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin
disesuaikan dengan undang-undang ini, dihilangkan (didrop).
4) Pasal 2 ayat (1) dari rancangan Undang-Undang ini disetujui untuk
dirumuskan sebagai berikut :
a) Ayat (1) : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
33
Lihat: Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam…, 198, 199. 34
Amiur Nuruddin dan Azhari Ahmad Tarigan, Hukum Perdata Islam
Indonesia, 24. 35
Fraksi PPP Mengutus 6 orang juru bicara, yaitu Ischak Moro, H. Asmah
Syahroni, H.A. Balya Umar, H. Moh. Saleh, H. Amir Iskandar, Teuku M. Soleh dan
K.H. Kodratullah sebagai juru bicara fraksi untuk menyampaikan Pandangan dan
tanggapan terhadap RUU perkawinan di DPR pada tanggal 18 September 1973, yang
dihadiri oleh 370 orang anggota legislatif dari keseluruhan anggota yang berjumlah
460 orang. Lihat Marwan Saridjo, Jabatan untuk umat. Kesaksian Kolega dan Para
Sahabat, 70 tahun Kafrawi Ridwan, (Jakarta: Media Citra, 2002), XV.
227
b) Ayat (2) : Tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5) Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-
ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.36
Dalam kesepakatan tersebut nampak jelas, betapa kuatnya
posisi FPP sebagai wakil Umat Islam dalam memperjuangkan agar UU
Perkawinan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapun pasal-
pasal yang dicoret tersebut adalah Pasal 11 mengenai sistem parental
dan perkawinan antar agama. Pasal 13 mengenai pertunangan. Pasal 14
mengenai tata cara gugatan perkawinan dan Pasal 62 mengenai
pengangkatan anak.37
Setelah melalui protes dan lobying-lobying dan kerja keras dari
PPP dan dukungan dari masyarakat Islam, akhirnya pasal-pasal yang
dianggap bertentangan dengan ajaran Islam itu dihapuskan.
Kemudian setelah melakukan rapat yang berulang-ulang,
akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973 melalui fraksi-fraksi DPR,
RUU Perkawinan tersebut disetujui untuk disahkan. Pada tanggal 2
Januari 1974 RUU tentang perkawinan disahkan DPR menjadi UU No.
1 tahun 1974 tentang undang-undang perkawinan yang selanjutnya
berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.38
Secara umum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut memiliki beberapa prinsip. Prinsip-prinsip ini
merupakan azas bagi terjaminnya cita-cita luhur dari perkawinan. Dari
Undang-Undang ini diharapkan agar supaya pelaksanaan perkawinan
dapat lebih sempurna dari masa yang sebelumnya.39
Adapun prinsip-prinsip dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut antara lain adalah :
36
Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 24 – Lihat juga Rachmadi Usman, Perkembangan
Hukum Perdata, dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Grafiti, 2003), 196. 37
Abdullah Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 261. 38
Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata, Dalam Dimensi
Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, 198. 39
Lihat: Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam,…, 216, 217.
228
1) Asas sukarela, karena perkawinan tersebut harus didasarkan atas
cinta yang tulus dan suci dari kedua belah pihak suami-istri, harus
didasarkan atas persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak
(mempelai), tanpa ada paksaan40
atau ada orang yang
menghalanginya, kecuali perkawinan dengan mahram, atau
perkawinan sejenis dan beda agama.
2) Asas partisipasi keluarga, karena kepribadian bangsa Indonesia
masih menganut sistem keluarga besar. Perkawinan bukan semata-
mata mengawinkan dua orang mempelai yang berlainan jenis,
tetapi juga mengawinkan keluarga besar. Dengan prinsip ini
diharapkan dapat memperluas dan memperkuat jalinan silaturrahmi
antara kedua keluarga besar. Oleh sebab itu perkawinan kedua
mempelai harus dilaksanakan oleh Wali41
perempuan dan
persetujuan serta restu dari kedua keluarga besar, demi keutuhan
dan rukunnya keluarga, yang dengan adanya perhatian dari kedua
keluarga tersebut, pasangan pengantin baru dapat dibimbing untuk
membina keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang diridhai
Allah.
3) Asas mempersulit perceraian.
Perceraian adalah sesuatu yang tidak disenangi42
oleh siapapun, ia
hanya sebagai pintu darurat (emergency) seperti pintu darurat
dalam pesawat. Walaupun pintu darurat disiapkan, tetapi tidak
boleh dibuka kecuali dalam keadaan darurat.
40
Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, (Al Qahirah : Dar al Kitab al Islami –
Dar al Hadits, t.th), Jilid II, 115. 41
Rasulullah SAW bersabda berkenaan dengan masalah wali tersebut :
“Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil” (HR. Al
Tabarany, dan al Baihaqy dari Abi Musa, „Imran dan Aishah) – Lihat: al Suyuty, al
Jami’ al Saghir, (Bairut – Libnan: Dar al Kutub al Islamiyah, t.th.), cet. IV, Jilid II,
204. 42
“Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu
Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar) – Al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jilid I, 5.
229
Perceraian tanpa kendali akan merugikan kedua belah
pihak, terutama anak-anak, yang dapat menjadikan akan
bertambahnya problem anak nakal.43
4) Asas poligami dibatasi dengan ketat
Asas perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut adalah monogamy. Seorang suami hanya
diperkenankan untuk memiliki seorang istri, kecuali istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, atau istri
cacat badan atau mengidap penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.44
Selain itu,
juga disyaratkan bila suami hendak poligami hendaklah mendapat
persetujuan dari istri atau istri-istri dan mempunyai kemampuan
untuk membiayai istri atau istri-istri dan anak-anaknya serta
mampu berbuat adil kepada mereka.45
Kalau perkawinan poligami itu tidak mengikuti syarat yang
telah ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka
perkawinan poligami itu dinyatakan tidak sah dan batal demi
hukum. Perkawinannya dianggap tidak ada, bahkan pelakunya
harus dikenakan sanksi.
5) Asas kematangan jasmani dan rohani bagi mempelai
Calon suami istri harus telah matang jasmani dan rohaninya
untuk melangsungkan perkawinan, agar dapat memenuhi tujuan
perkawinan yang luhur, yaitu bahagia, sejahtera dan mendapat
ketentraman yang baik, berkualitas dan sehat.46
kedewasaan yang
matang diharapkan dapat menyelesaikan problematika rumah
tangga dengan nalar yang baik dan berpikir dewasa. Dari sudut
ketentraman, kematangan bagi para mempelai yang akan menikah,
terutama bagi mempelai perempuan, sangatlah penting, karena hal
43
Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia, 36. 44
Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 4. 45
Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 5. 46
Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia, 36.
230
ini berkenaan dengan kematangan alat reproduksi dan kematangan
jiwa dalam mengasuh anaknya dan mendidiknya bersama suami.
Oleh sebab itu dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan itu
ditetapkan usia dibolehkan untuk menikah adalah 19 tahun bagi
laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.47
Namun dalam keadaan darurat, perkawinan di bawah umur
dimungkinkan setelah memperoleh dispensasi dari Peradilan
Agama atas permintaan orang tua.48
6) Asas Perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
perempuan memperoleh kedudukan dan perhatian yang baik dan
strategis, karena hampir semua hal-hal yang diperjuangkan oleh
organisasi–organisasi perempuan dan kaum perempuan pada
umumya telah diakomodir.
Kalau sebelum ada undang-undang perkawinan ini, nasib
perempuan dan anak sering diabaikan oleh suami atau ayahnya,
laki-laki menggunakan hak cerai dengan semena-mena, akibatnya
perempuan dan anaklah yang paling banyak menderita. Akibat
perceraian seperti itu, di samping merupakan suatu pukulan batin
dan moril bagi perempuan, juga memberatkan beban hidupnya, ia
harus mencari nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya, karena
bekas suaminya meninggalkannya begitu saja.49
Dalam kasus poligami,50
perempuan dan anak paling
banyak menderita dan ditelantarkan oleh suami yang berpoligami,
baik sebagai istri pertama, maupun sebagai istri kedua atau yang
lainnya, walaupun tidak semua laki-laki yang berpoligami
berperilaku tidak bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya,
47
Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7. 48
Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 6. 49
Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia, 39. 50
Dalam Hukum Islam, poligami paling banyak, mengawini empat
orang istri dengan syarat, bahwa suami yang akan berpoligami itu, mampu
berbuat adil dan mampu menafkahi istri-istrinya dan anak-anaknya. Kalau tidak
demikian, maka ia cukup memiliki satu orang istri saja. – Lihat: Q.S. al Nisa‟/4 :
3.
231
tetapi pada umumnya tidak bertanggung jawab dan tidak berlaku adil terhadap
istri dan anak-anaknya.51
Dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
ini, dampak-dampak negatif seperti yang telah disebutkan, dapat diatasi, atau
dihilangkan, atau minimal dapat dikurangi.
Setelah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan,
maka fikih Islam memasuki fase baru dengan apa yang disebut sebagai fase
“Taqnin” (fase pengundangan). Ketentuan-ketentuan fiqih Islam tentang
perkawinan banyak sekali ditransformasikan ke dalam Undang-Undang
tersebut. Dengan masuknya ketentuan Fikih Islam dalam Undang-Undang
Perkawinan, maka fikih Islam bidang perkawinan telah menjadi Hukum
Nasional, karena sudah dicatat dalam lembaran negara, dalam arti fikih Islam
telah menjadi Hukum Nasional.
B. Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
1. Latar Belakang dan Proses Pembentukan KHI
Walaupun umat Islam Indonesia telah berhasil melalui Menteri
Agama dan para ulama dalam menggolkan RUU PA menjadi Undang-
Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, bukan berarti bahwa semua
persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia
menjadi selesai, karena ternyata persoalan krusial yang dihadapi adalah
tidak adanya keseragaman para hakim Peradilan Agama dalam
menetapkan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Sering terjadi perbedaan putusan antara satu Peradilan Agama dengan
51
Para ulama Fikih hanya membatasi adil itu kepada hal yang bersifat Zahir,
seperti adil dalam memberi nafkah, adil dalam giliran tidur, adil dalam giliran bepergian
dan lain-lain yang bersifat Zahir. Mereka menafsirkan ayat 129 Surah al Nisa‟ yang
mengatakan, bahwa manusia tidak akan bisa berlaku adil terhadap para istrinya, itu yang
dimaksudkan adalah adil hati, cinta dan kasih sayang yang sifatnya batiniyah, dengan
berdalih pada hadis Nabi yang mengatakan :
“Ya Allah, inilah bentuk penggiliranku yang dapat aku lakukan. Maka janganlah
engkau menyalahkanku dalam hal yang aku tidak mampu melakukannya”.
232
Peradilan Agama yang lainnya dalam masalah yang sama,52
yang dapat
mengurangi wibawa Peradilan Agama. Hal ini disebabkan tidak
tersedianya kitab Materi Hukum Islam yang sama. Meskipun telah
ditetapkan 13 kitab fikih yang kesemuanya dalam mazhab Syafi‟i yang
dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara, akan tetapi tetap
menimbulkan persoalan, yaitu tidak adanya keseragaman putusan hukum,
karena dalam kitab-kitab fikih tersebut juga terdapat perbedaan pendapat
(ikhtilaf), walaupun dalam satu mazhab (mazhab Syafi‟i).53
Setelah diundangkan PP No. 45/1957 tentang pembentukan
PA/Mahkamah Shari‟ah diluar Jawa dan Madura, kepala biro PA dan
Departemen Agama segera mengeluarkan surat edaran No. B/1/735
tanggal 15 Februari 1958 yang menganjurkan penggunaan 13 (tiga belas)
macam kitab fikih sebagai pedoman.54
Ketiga Belas kitab fiqh tersebut
adalah : al-Bajuri, Fat al Mu’in berikut Sharahnya, Sharqawi ‘ala al
Tahrir, al Mahalli, Fath al-Wahhab, Tuhfah, Targhib al-Mushtaq,
Qawanin Shar’iyyah lisayyid Usman bin Yahya, Qawanin lisayyid
Sodaqah Dakhlan, Shamsuri fil Faraid, Bughyat al-Mastarshidin, al-Fiqh
‘ala al Madhahib al-‘arba’ah dan Mughny al Muhtaj.55
Menurut Sudirman Tebba penggunaan kitab-kitab fikih tersebut
dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama itu dianggap terlalu
banyak kelemahan, antara lain karena buku rujukan pengadilan agama itu
dianggap terlalu banyak, disamping judul bukunya saja ada 13 buah, juga
52
Karena belum ada KHI, selain tidak seragamnya keputusan hukum untuk
masalah yang sama, juga bahkan dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang
dianggap tidak sepaham, padahal fikih itu semestinya membawa rahmat, bukan menjadi
penyebab perpecahan, - Lihat : Hasan Basry, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar
Ulama, No. 104, Tahun X April 1986, 60. 53
Lihat Dirjen Bimbaga Islam, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama R.I., 1991/1992), 139. 54
Dadan Muttaqien, et.al, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam
Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1999), cet II, 53. 55
Sudirman Tebba (ed), Perkembangan Kontemporer Hukum Islam di Asia
Tenggara, (Bandung: Mizan, 1993), cet. I, 21
233
antara judul buku itu ada yang terdiri dari beberapa jilid, akibatnya
penggunaannya terasa tidak praktis.56
Dengan banyaknya kitab fikih yang dianjurkan oleh Departemen
Agama maupun PA, masih sangat mungkin sekali terjadi perbedaan
putusan dalam wilayah PA, dikarenakan para hakim bebas menafsirkan
ataupun memilih hukum apa yang akan dijatuhkan disebabkan banyaknya
rujukan.57
Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, berangkat
dari realitas ini, keinginan untuk menyusun “kitab hukum Islam” dalam
bentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak. Penyusunan kompilasi ini
bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman referensi
keputusan hukum di PA di Indonesia, tetapi juga disandarkan pada
keharusan terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah Peradilan, yaitu kitab
materi hukum Islam yang digunakan di lembaga Peradilan tersebut.58
Sehubungan dengan masalah tersebut, Munawir Sjadzali
mengatakan, bahwa ada keanehan Indonesia berkenaan dengan
implementasi hukum Islam. Peradilan Agama telah berusia sangat lama,
namun hakimnya tidak memiliki buku standard yang dapat dijadikan
rujukan yang sama seperti halnya KUHP. Ini berakibat jika para hakim
Agama menghadapi kasus yang harus diadili, maka rujukannya adalah
berbagai kitab fikih tanpa suatu standarisasi atau keseragaman. Akibat
lanjutannya secara praktis, kasus yang sama dapat lahir keputusan yang
berbeda jika ditangani hakim yang berbeda.59
Berkenaan dengan masalah ini maka tampillah Busthanul Arifin
dengan gagasan perlunya membuat kompilasi Hukum Islam. Gagasan-
gagasannya didasari pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut ini.
56
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama, 2000), 128. 57
Masrain Basran, Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama, No. 105, Tahun
X, Mei 1986, 8, 9. 58
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, 29. 59
Lihat Munawir Sjadzali, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam,
(Yogyakarta : UII Press, 1999), 2
234
a. Untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada, antara
lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum maupun oleh masyarakat.
b. Persepsi yang tidak seragam tentang Fikih akan dan sudah
menyebabkan hal-hal :
1) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum
Islam itu (man anzala Allahu)
2) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syariat itu
(tanfiziyah) dan
3) Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-
jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar
1945 dan perundangan lainnya.60
Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga negara, hukum Islam
diberlakukan:
1) Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri
2) Di kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majallah al
Ahkam al „Adliyyah
3) Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.61
Gagasan Busthanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim
Pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 25
Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 yang ditanda
tangani di Yogyakarta oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama.62
Proyek yang didasarkan SKB ini kemudian dinamakan proyek
“Pengembangan Hukum Islam melalui Yurisprudensi” atau proyek
“Kompilasi Hukum Islam”. Tujuan proyek ini adalah mengkompilasikan
aturan hukum Islam yang mencakup wilayah muamalah dan yurisdiksi
60
Masrain Basran, Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama, No. 105, Tahun
X, Mei 1986, h. 7. – Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 133. 61
Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional; Mengenang 65 Tahun Prof. DR. H. Busthanul Arifin, SH, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), 11-12 62
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 135.
235
Peradilan Agama ke dalam tiga kitab : (a) Kitab Perkawinan, (b). Kitab
Waris (c) Kitab Wakaf, Sadaqah, Hibah dan Baitul Mal.63
Dengan lahirnya SKB64
tersebut usaha selanjutnya adalah
membentuk panitia dari proyek tersebut yang personil diambil dari para
pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Pada waktu itu
terpilihlah Busthanul Arifin sebagai ketua dari proyek tersebut.65
Setelah
Busthanul Arifin membentuk kepanitiaan, maka beliau langsung memulai
pelaksanaan proyek KHI itu dengan perencanaan dan pertimbangan yang
matang.
Suatu kompilasi menurut Busthanul Arifin tidak mungkin
berlaku hanya dibuat dan diberikan dari atas (Pemerintah, Mahkamah
Agung) saja, tanpa keikut sertaan para ulama. Para ulama masih tetap
memegang peranan menentukan dalam hal-hal keagamaan, karenanya
dalam hal hukum Islam para ulama fiqh tetaplah memegang peranan yang
menentukan, dan dalam perencanaan dan pelaksanaan KHI faktor ulama,
umara, dan zuama haruslah benar-benar tergabung.66
63
Sudirman Tebba (ed), Perkembangan Kontemporer Hukum Islam di Asia
Tenggara, 63 64
Dasar Hukum dan alasan-alasan lain yang menjadi landasan Surat
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama adalah bahwa
Peradilan Agama adalah salah satu dari lingkungan Peradilan yang merupakan kekuasaan
Kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung RI, menurut ketentuan UUD 1945
Pasal 24 dan UU No. 14/1970 sebagai UU organiknya.
Repelita IV Bab Hukum, telah menggariskan keharusan penyempurnaan
Badan-Badan Peradilan, termasuk Peradilan Agama. KHI ini adalah dalam rangka
penyempurnaan Badan-badan Peradilan Agama tersebut, khususnya di bidang Hukum
terapan (hukum Materiil).
Hukum Terapan bagi Peradilan Agama ditentukan oleh UU No. I/1974,
Staadtsblad 1882, PP. 45/1957 dan sebagainya, adalah Hukum Islam. Selama ini Hukum
Islam itu hanya dapat diketahui dari kitab-kitab Fiqih, yang umum dipakai umat Islam di
Indonesia. Pernah ditetapkan oleh Departemen Agama 13 kitab Fikih yang dianjurkan
dipakai sebagai pedoman bagi hakim-hakim Peradilan Agama dalam menangani perkara-
perkara yang diajukan ke persidangan. (Lihat: Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, 128)
Dalam rangka penyempurnaan Peradilan Agama menjadi aparat kekuasaan
kehakiman dan untuk lebih meningkatkan kepastian dan keadilan hukum dalam putusan-
putusan Peradilan Agama, maka di rasa kebutuhan untuk menyusun KHI yang ditulis
dalam Bahasa Hukum Indonesia, maka lahirlah keputusan bersama dari Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Agama yang menunjuk panitia untuk itu dan diberi jangka waktu
bertugas selama 2 tahun – Lihat Busthanul Arifin, Laporan Tentang Pelaksanaan KHI,
(Makalah), 1987, 1, 2. 65
Komposisi Personalia dalam Proyek tersebut untuk lengkapnya, Lihat:
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 135 s/d 138. 66
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), cet. I, 58.
236
Selain itu menurutnya masih ada beberapa faktor lain yang harus
dipertimbangkan secara matang dan perencanaan dan pelaksanaan KHI.
Faktor-faktor itu antara lain adalah : faktor sejarah hukum Islam, faktor
psikologi umat Islam dan faktor kitab-kitab fiqh dari mazhab-mazhab yang
memang merupakan amal dan jasa para ulama mujtahid dahulu, terakhir
dipertimbangkan pula faktor putusan-putusan PA di Indonesia sejak masa
paling awal, karena memang faktor ini tidak boleh diabaikan sama sekali.
Peradilan Agama telah ada sejak lebih dari seratus tahun yang lalu dan selama
masa itu telah memberikan putusan-putusan hukum yang merupakan hukum
yang hidup dan dihayati oleh kaum muslimin di Indonesia.67
Setelah mempertimbangkan faktor-faktor di atas, maka penyusunan
Kompilasi Hukum Islam ditempuh melalui empat jalur pengumpulan data.68
Keempat jalur pengumpulan data dalam penyusunan KHI tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Jalur Kitab-Kitab Fikih
Jalur ini dimulai dengan menelaah atau mengkaji kitab-kitab fikih yang
berpengaruh di Indonesia dan dunia Islam, yang selama itu juga telah menjadi
kitab-kitab rujukan bagi para hakim PA di Indonesia. Di samping itu disusun
pula daftar-daftar pertanyaan mengenai 160 masalah di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah, yang nantinya akan diteliti dan
dicatat jawaban serta penyelesaiannya oleh setiap kitab yang telah terdaftar
itu. Hal ini tentu bukanlah pekerjaan ringan seperti hal membalikkan telapak
tangan. Maka dari itu, Pemerintah dan Mahkamah Agung membuat kontrak
kerja dengan ketujuh Institut Agama Islam Negeri (IAIN), khususnya dengan
Fakultas Shari‟ah IAIN yang bersangkutan. Ketujuh IAIN tersebut diberi
67
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum islam di Indonesia, 58. 68
Empat jalur tersebut, yaitu: a. pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan
penelaahan/pengkajian kitab-kitab. b. wawancara dilakukan dengan para ulama. c. lokakarya.
Hasil-hasil penelaahan dan pengkajian kitab-kitab dan wawancara diseminarkan lewat
lokakaryanya. d. studi perbandingan untuk memperoleh system/kaidah-kaidah hukum/seminar
satu sama lain dengan jalan memperbandingkan dari Negara-negara Islam lainnya – Depag
RI, KHI, 139.
237
tugas untuk membahas kitab fiqh yang berjumlah 18 buah dalam waktu 3
bulan, dimulai dari tanggal 7 Maret sampai dengan 21 Juni 1985 sesuai
dengan kontrak yang telah disepakati.69
69
Perincian ketujuh IAIN yang ditunjuk untuk membahas kitab-kitab fikih tersebut
adalah:
a) IAIN al Raniri Banda Aceh :
(1) Al-Bajuri
(2) Fat al-Mu‟in
(3) Sharqawi „ala al Tahrir
(4) Mughni al-Muhtaj
(5) Al-Sharqawi
b) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(1) I‟anah al-Thalibin
(2) Targhib al-Mushtaq
(3) Bulghat al-Salik
(4) Tuhfah
(5) Shamsuri fi al-Faraid
(6) Al-Mudawwanah
c) IAIN Antasari Banjarmasin
(1) Qalyubi/Mahalli
(2) Fat al-Wahhab berikut Sharahnya
(3) Bidayah al-Mujtahid
(4) Al-„Umm
(5) Bughyat al-Mustarshidin
(6) Aqidah wa Shari‟ah
d) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(1) Al-Muhalla
(2) Al-Wajiz
(3) Fat al-Qadir
(4) Al-Fiqh „al Madhahib al Arba‟ah
(5) Fiqh Sunnah
e) IAIN Sunan Ampel Surabaya
(1) Kashf al-Qina
(2) Majmu‟ atau Fatawi ibn Taymiyah
(3) Qawanin Shar‟iyyah Lisayyid Utsman bin Yahya
(4) Al-Mughni
(5) Al-Hidayah Sharh Bidayah Taimiyyah Mubtadi
f) IAIN Alauddin Ujung Pandang
(1) Qawanin Shar‟iyyah Lisayyid Sudaqah Dakhlan
(2) Nawab al-Jalil
(3) Sharah ibn Abidin
(4) Al-Muwatta‟
(5) Hashiah Syamsuddin Muhammad Irfan Dasuqi
g) IAIN Imam Bonjol Padang
(1) Badai al-Sanai‟
(2) Tabyin al-Haqiq
(3) Al-Fatawi al-Hindiyyah
(4) Fat al-Qadir
(5) Nihayah – Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 59.
238
2) Jalur Wawancara Dengan Ulama70
Jalur kedua ini, dilaksanakan dengan mengumulkan ulama-ulama yang
mempunyai keahlian di bidang fikih Islam. Agar seluruh ulama Indonesia ikut
serta dalam proses wawancara ini, maka tempat wawancara diadakan di
sepuluh daerah di Indonesia, yakni Banda Aceh, Medan, Palembang, Padang,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Ujung Pandang, Mataram dan
Banjarmasin. Kegiatan wawancara ini berakhir dalam bulan Oktober dan
Nopember 1985.71
Untuk pelaksanaan wawancara dengan para ulama ini72
panitia pusat
telah sepakat untuk memakai dua cara; Pertama, dengan mempertemukan
para ulama tersebut untuk diwawancarai secara bersamaan. Kedua,
mewawacarai mereka dengan cara terpisah jika cara pertama tidak mungkin
dilaksanakan. Pokok masalah yang diajukan dalam wawancara tersebut sudah
disusun sistematis dalam sebuah buku yang berbentuk questioner yang berisi
102 masalah di bidang hukum keluarga.73
3) Jalur Yurisprudensi PA
Pelaksanaan jalur ini, dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Badan
PA terhadap Putusan dan Fatwa Pengadilan Agama yang telah dihimpun
dalam 16 buku.74
Ke-16 buku tersebut terhimpun dalam himpunan dibawah
ini:
70
Pelaksanaan wawancara dilakukan antara lain dengan tokoh-tokoh ulama yang
dipilih, yang benar-benar diperkirakan berpengalaman cukup dan berwibawa dan
diperhitungkan kelengkapan gegorafis dari jangkauan wibawanya. Wawancara dilaksanakan
berdasarkan pokok-pokok penelitian yang disipakan Tim Inti – Lihat Depag RI, Kompilasi
Hukum Islam, 140. 71
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 38. 72
Wawancara dengan ulama dimulai bulan September 1985 di Bandung, dengan
mengumpulkan para ulama se-Jawa Barat dan DKI yang pembukaannya dilakukan oleh
Menko Kesra, H. Alamsyah Ratuprawiranegara sebagai Menteri Agama a.i. dan dihadiri pula
oleh Bapak Wakil Ketua Mahkamah Agung yang mewakili Bapak Ketua Mahkamah Agung.
Selama 4 hari para ulama membahas dan memberikan kesimpulan pandangan hakim fikih
mengenai masalah-masalah yang dikemukakan Panitia. Cara bekerja ulama di Bandung ini
dijadikan teladan bagi 9 daerah lainnya – Lihat Busthanul Arifin, Laporan Tentang
Pelaksanaan KHI (Makalah), 3, 4. 73
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 61. 74
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 142.
239
a. Himpunan Putusan PA/PTA 4 buku, yaitu 1976/1977, 1977/1978,
1978/1999 dan 1980/1981.
b. Himpunan Fatwa 3 buku, yaitu terbitan tahun 1978/1979, 1979/1980 dan
1980.1981.
c. Yurisprudensi PA 5 buku yaitu, terbitan tahun 1977/1978, 1978.1979,
1981/1982, 1982.1983 dan 1983/1984.
d. Law Report 4 buku, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981.1982
dan 1982/1983.75
Jalur Yurisprudensi ini dianggap perlu karena putusan yang ditetapkan
oleh PA beberapa waktu sebelumnya, masih sangat mungkin untuk diterapkan
pada masa setelahnya. Maka dengan dipakainya jalur yurisprudensi ini, KHI
tidak hanya merujuk pada kitab-kitab fikih melainkan juga bisa merujuk
kepada putusan-putusan hakim terdahulu, pada waktu itu, penafsiran mereka
dalam menjatuhkan suatu putusan dianggap sesuai dengan keadaan dan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Hakim perlu memperhatikan
kesadaran hukum (Kadarkum)masyarakat berdasarkan UU No. 14/1970 pasal
20 ayat (1).76
4) Jalur Studi Perbandingan
Jalur ini ditempuh untuk mendapatkan dari negara-negara Islam yang
menerapkan hukum Islam, seperi Maroko, Turki dan Mesir mengenai sistem
peradilan dan masuknya hukum Islam ke dalam tata Hukum Nasional di
negara-negara tersebut. Dan juga informasi mengenai sumber hukum dan
hukum materil yang menjadi pegangan di bidang hukum keluarga (al ahwal al-
shakhsiyyah) yang menyangkut kepentingan kaum muslimin.77
75
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 44. 76
UU No. 14/1970 pasal 20, ayat (1) tersebut berbunyi : “Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat”. Di samping landasan yuridis berdasarkan UU ini, dalam Fikih dan kaidah
Fiqhiyah dikatakan, bahwa Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan
keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berubah dan ilmu Fikih itu sendiri selalu
berkembang, karena menggunakan metode-metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan
masyarakat. Di antara metode-metode itu ialah Mashlahah Mursalah, Istihsan, Istishab dan
„urf. – Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 134. 77
Dadan Muttaqien, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum di Indonesia, 62.
240
Namun demikian menurut Busthanul Arifin, titik berat studi ini justru
diletakkan ada negara-negara tetangga, karena pasti akan lebih bermanfaat
dikarenakan negara-negara itu banyak persamaannya dengan kita dalam
sejarah masuk dan berkembangnya Islam serta dalam perkembangan dan
pelaksanaan hukum Islam.78
Penyusunan KHI, selain digarap melalui empat jalur di atas juga
mendapat dukungan dan masukan dari beberapa organisasi Islam. Majelis
Tarjih PP Muhammadiyah, misalnya pada tanggal 8-9 April 1986 bertempat di
kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta telah menyelenggarakan
“Seminar KHI” yang juga dihadiri oleh Menteri Agama dan Ketua MUI KH.
Hasan Basry. Dalam seminar ini dibahas berbagai persoalan hukum, seperti
perkawinan wanita hamil karena zina, masalah li‟an, syiqaq, rujuk, taklik
talak, pembagian warisan, harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan dan
penjualan harta wakaf.79
Kemudian setelah mengolah hasil dari pengkajian kitab-kitab fikih,
penelitian yurisprudensi, wawancara dengan para ulama dan studi banding,
maka dirumuskanlah KHI tersebut ke dalam naskah rancangan KHI yang
terbagi dalam 3 buku, Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang
Hukum Waris dan Buku III tentang Hukum Wakaf.80
Seluruh kegiatan dari pelaksanaan proyek penyusunan naskah KHI
yang terdiri dari 3 buku tersebut yang dimulai pada tanggal 25 Maret 1985
sampai selesainya, memerlukan waktu selama 2 (dua) tahun 9 (sembilan)
bulan. Yang untuk selanjutya pada tanggal 29 Desember naskah tersebut oleh
pimpinan proyek diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama.81
Naskah rancangan KHI yang telah diserahkan kepada Ketua MA dan
Menteri Agama tersebut kemudian dilokakaryakan82
untuk memperoleh
78
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 60. 79
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 45 80
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam …, 150. 81
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam …,146. 82
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam …,146.
241
komentar dan perbaikan dari para ulama dan cendekiawan muslim yang
diundang sebagai wakil-wakil yang representative dari daerah penelitian/
pengkajian dan wawancara.
Lokakarya yang berlangsung selama lima hari (2-6 Februari 1988)
tersebut bertempat di Hotel Kartika Chandra dengan diikuti oleh 124 orang
peserta. Dalam membahas permasalahan yang dilokakaryakan itu maka panitia
membaginya ke dalam tiga komisi, yaitu 83
a) Komisi I Bidang Hukum Perkawinan diketaui oleh Yahya Harahap
sekretaris Mahmuddin Kosasih Nara Sumber Halim Muchammad dengan
anggota sebanyak 42 orang.
b) Komisi II Bidang Hukum Kewarisan diketaui oleh A. Wasit Aulawi
dengan sekretaris Zainal Abidin Abu Bakar Nara sumber A. Azhar Basyir
dengan anggota sebanyak 42 orang.
c) Komisi III Bidang Hukum Perwakafan diketuai oleh Masrani Basrar.
Sekretaris A. Gani Abdullah. Nara Sumber Rahmat Jatnika, beranggotakan
29 orang.84
Hasil lokakarya sebagai naskah akhir KHI ini, kemudian diserahkan
kepada Presiden RI, tanpa menunggu waktu yang lama maka pada tanggal 10
Juni 1991 keluarlah Instruksi Presiden No. 1/1991 yang ditujuhkan kepada
Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI.85
Tanggal 22 Juli 1991 Menteri
Agama menetapkannya melalui Keputusan Menteri Agama No. 54 tahun 1991
tentang pelaksanaan Inpres No.1/1991 tanggal 10 Juni 1991.86
Dengan
lahirnya Inpres No. 1/1991 serta Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun
1991 tersebut, akhirnya bangsa Indonesia mempunyai Kompilasi
Hukum Islam sendiri dalam membantu para hakim di wilayah PA untuk
menyelesaikan perkara yang mereka hadapi, dengan harapan agar putusan
yang diberikan seragam pada masalah yang sama.87
Upaya mengkompilasi
83
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 47 84
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam …, 147, 148. 85
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 50 86
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 50 87
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam …, 152.
242
Hukum Islam ini merupakan salah satu usaha yang sangat positif dalam
pembinaan hukum Islam di Indonesia sebagai salah satu sumber
pembentukan Hukum Nasional.
2. Landasan Hukum dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun atas prakarsa penguasa
negara, yaitu Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI88
melalui Surat
Keputusan bersama No. 07/KMI/1985 tanggal 25 Maret 1985 yang ditanda
tangani di Yogyakarta oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama89
sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya.
Menurut Yahya Harahap, tema utama penyusunan KHI adalah
mempositifkan “hukum Islam di Indonesia90
yang dijadikan pedoman oleh
para hakim Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugasnya, sehingga
terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum91
, sebab untuk dapat
berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang
jelas dan dapat dilaksanakan, baik oleh aparat penegak hukum, maupun
oleh masyarakat. Dengan lahirnya KHI, semua hakim dilingkungan
Peradilan Agama diarahkan ke dalam persepsi penegakkan hukum yang
sama dan tidak dibenarkan menjatuhkan putusan-putusan yang
berdisparitas.92
Menurut Abdul Gani Abdullah, penyusunan hukum perkawinan
dan hukum perwakafan dalam KHI didasarkan kepada beberapa
perundang-undangan, seperti UU No. 22 Tahun 1946, UU No. 32 Tahun
88
Pada saat itu Mahkamah Agung di ketuai oleh Ali Said dan Menteri Agama
adalah Munawir Sjadzali. 89
Dirjen Bimbaga Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 142. 90
Yahya Harahap, Informasi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam, Dalam Mimbar Hukum, No. 5 Tahun III, 1992, 25. 91
Dirjen Binbaga Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 139 92
Yahya Harahap, Informasi Kompilasi Hukum Islam … 28.
243
1954, UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan PP No. 28 tahun
1977. 93
Di samping merujuk kepada perundang-undangan yang telah
disebutkan, penyusunan KHI juga merujuk kepada pendapat para ulama,
baik pendapat para ulama dalam berbagai kitab fikih, maupun pendapat
para ulama yang tidak secara langsung dituangkan dalam kitab-kitab fikih
yang sesuai dengan uruf, atau adat istiadat masyarakat Indonesia.94
Dengan demikian, KHI menjadi penjelas dan pengurai bagi perundang-
undangan yang telah ada dan menjadikan pendapat para ulama yang
terdapat dalam berbagai kitab fikih, sebagai hukum positif, atau sebagai
hukum Nasional di Indonesia untuk menjadi pedoman para hakim
Peradilan Agama dalam menetapkan hukum dari berbagai persoalan yang
muncul berkenaan dengan masalah perkawinan, warisan dan wakaf.
Dengan adanya KHI ini di Indonesia, tidak ada lagi ditemukan pluralisme
keputusan Peradilan Agama, karena kitab yang dijadikan rujukan para
hakim di Peradilan Agama adalah sama.95
setelah adanya KHI, fikih Islam
yang selama ini tidak dipandang sebagai hukum positif, telah
ditransformasikan menjadi hukum positif, atau sebagai hukum Nasional
yang berlaku dan mengikat bagi seluruh umat Islam di Indonesia.96
Dengan demikian, diharapkan bahwa KHI akan lebih mudah diterima oleh
masyarakat Islam Indonesia, karena materi fikih Islam dalam KHI digali
93
Lihat Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam
Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani, Press, 1994), cet. I, 63. 94
Kompilasi Hukum Islam adalah Fikih Indonesia karena ia disusun dengan
memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Prof. T. M. Hasby Ash
Siddiqy pernah mencetuskan, bahwa Fikih Indonesia sebelumnya mempunyai tipe Fikih
Lokal semacam Fikih Hijazy, Fikih Misry, Fikih Hindy dan Fikih lain-lainnya yang
sangat memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat yang bukan
berupa mazhab baru, tapi ia mempersatukan berbagai Fikih dalam menjawab satu
persoalan Fikih. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum Islam. Di dalam
system Hukum Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang
menjadi arah pembangunan hukum Nasional Indonesia – Depag RI, Kompilasi Hukum
Islam, 134. 95
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, 35. 96
Fikih Islam menjadi Hukum Nasional berdasarkan instruksi Presiden Nomor
I Tahun 1991.
244
dari tradisi bangsa Indonesia, sehingga tidak akan muncul hambatan
psikologis di kalangan umat Islam yang hendak melaksanakan hukum
Islam.
Meskipun KHI telah dijadikan pedoman oleh para hakim
Pengadilan Agama di Indonesia dalam memeriksa dan memutus sengketa
antara umat Islam di bidang perkawinan (Buku I), kewarisan (Buku II) dan
wakaf (Buku III), akan tetapi secara yuridis kekuatan berlakunya masih
lemah, karena hanya berdasarkan INPRES belum termasuk kedalam
perundang-undangan yang ditetapkan MPRS No. XX/MPRS1966, TAP
MPR No. III/MPR/2000. Ketetapan MPR, baik No. XX/MPRS/1960 jo.
TAP MPR No. V/MPR / 1973 Jo TAP MPR No. III/MPR/2000,
merupakan dasar hukum atas tata aturan perundang-undangan yang
mempunyai kekuatan hukum positif secara tertulis. Keberadaannya dapat
memaksa dan mengikat pada setiap warga negara. Sedangkan INPRES
adalah isntrumen hukum yang absah dilakukan presiden dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa pada pihak yang
diperintah.97
Berhubung KHI baru berbentuk INPRES98
dan materinya perlu
disempurnakan, maka sejak era reformasi telah ada upaya untuk
meningkatkan KHI menjadi RUU Hukum Materiil Peradilan Agama, agar
statusnya lebih kuat dan dapat masuk dalam Lembaran Negara.
97
Jaenal Aripin, Reformasi Hukum di Indonesia dan Inplikasinya Terhadap
Peradilan Agama, (Desertasi SPS UIN Jakarta, 1428 H/2007 M), 390, 391. 98
INPRES adalah instrumen hukum yang absah dilakukan Presiden dan
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa pada pihak yang diperintah,
sebagaimana dikatakan oleh H.A.S. Natabaya, bahwa isntruksi bukanlah jenis peraturan
perundang-undangan, karena hanya mengikat secara intern suatu organisasi, kalau toh
mengikat hanya terbatas pada orang atau instansi yang diberi instruksi. Dengan demikian,
maka instruksi Menteri dan Instruksi Presiden tidak termasuk dalam jenis peraturan
perundang-undangan. Lihat: H.T.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006),
117.
245
BAB V
EVALUASI PELAKSANAAN UU NO. 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
Hukum Syariah dan Fikih Islam tentang perkawinan telah diadopsi dalam
UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, walaupun secara rinci belum
semuanya tercaver. Ketentuan Hukum Syariah dan Fikih Islam tentang
perkawinan sudah diberlakukan secara Nasional di Indonesia, karena sudah
dijadikan pedoman oleh para Hakim Pengadilan Agama se Indonesia dalam
menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam perkawinan melalui UU No. 1
tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan tersebut. UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Buku I tentang Perkawinan masih mempunyai kelemahan-kelemahan, walaupun
banyak keunggulan-keunggulannya. Maka untuk melengkapi kekurangan UU
Perkawinan dan KHI tersebut, perlu adanya UU yang melengkapinya, seperti
RUU HMPA bidang perkawinan, yang sekarang ini sudah dikirim oleh
pemerintah ke DPR, untuk disidangkan dan ditetapkan menjadi Undang-Undang.
A. Keunggulan dan Kelemahan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan.
1. Keunggulan
Adapun keunggulannya antara lain :
a. Dengan masuknya Hukum Syariah dan Hukum Fikih Islam tentang
perkawinan dalam hukum positif, berarti Hukum Syariah dan Hukum
Fikih Islam tentang perkawinan telah menjadi Hukum Nasional.
Dengan demikian, maka Hukum Islam tentang Perkawinan telah
mengikat kepada yang berperkara di Pengadilan Agama di seluruh
Indonesia. Khusus UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah
mengikat, karena tercantum dalam Lembaran Negara dan dapat
dikategorikan sebagai Undang-Undang yang Islami, karena seluruh
245
246
kandungannya sesuai, atau tidak bertentangan dengan hukum
perkawinan Islam. Sebagian substansinya bersumber dari Al-Quran,
Hadis dan pendapat para ulama fikih. Sedangkan sebagian yang
lainnya merupakan hasil ijtihad para Ulama dan Cendekiawan Muslim
Indonesia, yang disesuaikan dengan budaya dan adat istiadat di
Indonesia demi kemaslahatan, selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah (maqasid shari‟ah).
b. UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 merupakan bagian dari kodifikasi
hukum Perkawinan Islam, semua pasal-pasalnya sejalan dengan
syariah. Oleh karena itu penyebaran dan implementasi dari UU
Perkawinan No. 1 tahun 1974 merupakan sebuah Pelembagaan Syariah
di Indonesia.1
c. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan melindungi dan
menyetarakan kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga, yang
berbeda hanya dalam masalah yang bersifat fungsional, karena kodrat
masing-masing jenis kelamin. Suami sebagai seorang laki-laki dan istri
sebagai seorang wanita. Masing-masing suami dan istri mempunyai
hak dan kewajiban yang seimbang. Dalam UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, sesuai dengan prinsip perkawinan, sangat jelas
disebutkan, bahwa kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang,
baik dalam kehidupan rumah tangga, maupun dalam pergaulan hidup
bermasyarakat.2
Sehubungan dengan isi UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang berkenaan dengan hak dan kewajiban suami istri,
Sayuti Thalib mengatakan, bahwa ada lima hal yang sangat penting :
1) Pergaulan hidup suami istri yang baik dan tenteram dengan rasa
cinta mencintai dan santun menyantuni, artinya masing-masing
1 Lihat: The Indonesian Marriage Law of 1974 An Institutionalization of
The Shari‟a for Social Changes, in Shari‟a and Politic in Modern Indonesia,
(Singapore: ISEAS, 2003), 85. 2 Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 30 s/d pasal 34.
247
pihak wajib mewujudkan pergaulan yang mar‘ruf ke dalam rumah
tangga ataupun keluar (masyarakat).
2) Suami memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai kepala
keluarga dan istri juga memiliki kewajiban dalam posisinya
sebagai ibu rumah tangga.
3) Rumah kediaman disediakan suami dan suami istri wajib tinggal
dalam satu kediaman tersebut. Pada dasarnya suami wajib
menyediakan tempat tinggal yang tetap, namun dalam kasus-kasus
tertentu, rumah kediaman tersebut dapat diwujudkan secara
bersama-sama.
4) Biaya kehidupan menjadi tanggung jawab suami, sedangkan istri
wajib membantu suami mencukupi biaya hidup tersebut.
5) Si istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan
membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya
dengan cara-cara yang benar, wajar dan dapat dipertanggung
jawabkan.3
Menurut Martiman, hak dan kewajiban suami istri yang
dikandung oleh pasal-pasal 30 s/d 34 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah :
1) Cinta mencintai satu dengan lainnya.
2) Hormat menghormati dan menghargai satu sama lainnya
3) Setia satu sama lainnya
4) Saling memberi dan saling menerima bantuan lahir dan batin satu
sama lainnya
5) Sebagai suami berkewajiban mencari nafkah bagi anak-anak dan
istrinya serta wajib melindungi istri dan memberikan segala
keperluan hidup rumah tangga, lahir batin, sesuai dengan
kemampuannya.
3 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat
Islam, (Jakarta: UI Press, 1982), 73, 78.
248
6) Sebagai istri berkewajiban mengatur rumah tangga sebaik-
baiknya.4
Sehubungan dengan masalah ini Busthanul Arifin
mengatakan bahwa kedudukan suami dan istri dalam perkawinan
sebagaimana yang termuat dalam pasal 30-34 UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan adalah seimbang. Masing-masing mempunyai
fungsi dan tanggung jawab yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang
satu, yaitu tercapainya kebahagiaan rumah tangga dan keluarga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah. Tidak itu saja, hubungan kedudukan
tersebut juga mengandung rasa keadilan, sekaligus sangat potensial
untuk dikembangkan dalam menghadapi perubahan-perubahan cepat
yang terjadi dalam masyarakat.5
Pernyataan Busthanul Arifin di atas, identik dengan
pernyataan Yahya Harahap, bahwa kedudukan suami istri dalam
sebuah keluarga adalah seimbang. Keduanya sederajat dan segala
sesuatu yang muncul dalam perkawinan harus dirundingkan bersama.
Bahkan Yahya Harahap mengatakan, bahwa istri berhak mencapai
kedudukan sosial di luar lingkungan rumah tangga dan suami tidak
dapat melarang hak tersebut.6
Dari uraian dan pendapat para Cendekiawan Muslim
Indonesia yang berkenaan dengan pasal-pasal 30 s/d 34 Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah disebutkan di
atas, jelas sekali apa yang menjadi kewajiban suami, menjadi hak istri.
Begitu pula sebaliknya pada sisi lain ada ditemukan banyak
persamaan-persamaan. Oleh sebab itu antara suami istri dalam suatu
rumah tangga menurut UU Perkawinan tersebut, adalah mitra sejajar.
4 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing, 2002), 34. 5 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia…, 120.
6 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading,
1975), 10.
249
Hal ini sesuai dengan ajaran Syariah, atau Hukum Fikih Islam dan
sesuai pula dengan keyakinan umat Islam dan tradisi yang berlaku di
Indonesia. Dalam Syariah Islam tidak ada perbedaan kedudukan laki-
laki dan wanita. Yang membedakan kedudukannya di sisi Allah adalah
kualitas ketakwaannya.7 Begitu pula kedudukan suami dan istri dalam
rumah tangga, kedudukan mereka sama. Kalau ada perbedaan di antara
suami istri, itu hanya akibat perbedaan fungsional masing-masing8
sebagai suami atau sebagai istri, sesuai dengan hak dan kewajiban
masing-masing.
Dalam KHI tentang perkawinan, masalah hak dan kewajiban
suami istri disebutkan dengan sangat rinci, berbeda dengan UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan belum terlalu rinci. Kalau diperhatikan
dengan cermat, nampaknya KHI tentang Perkawinan tersebut
merupakan penjabaran dan penegasan dari ketentuan-ketentuan hukum
yang ada dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pembahasan yang berkenaan dengan hak dan kewajiban
suami istri dalam KHI tentang perkawinan terdapat pada pasal 77 s/d
pasal 83. Pasal 77-78 mengatur hak-hak yang umum bagi suami istri,
pasal 79 menyangkut kedudukan suami istri, pasal 80 berkenaan
dengan kewajiban suami, pasal 81 tempat kediaman, pasal 82
kewajiban suami terhadap istri yang lebih dari seorang (suami
berpoligami) dan pasal 83 berkenaan dengan kewajiban istri.9
Dalam pasal-pasal KHI tersebut sangat jelas mengatur
kedudukan suami istri serta kewajiban antara suami istri. Dalam
beberapa hal KHI tentang Perkawinan mengadopsi pasal-pasal UU No.
1 tahun 1974 tentang Perkawinan seperti pasal yang berkenaan dengan
7 Lihat: Q.S. al-Hujurat / 49 : 13.
8 Lihat: Q.S. al-Nisa / 4 : 34.
9 Untuk jelasnya masalah tersebut di atas, Lihat: KHI Buku I tentang
perkawinan dari pasal 77 s/d pasal 83.
250
kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah
tangga, posisi yang seimbang, kewajiban saling mencintai, saling
membantu dan saling menghormati. Di samping itu KHI ini merinci
hal-hal yang dijelaskan secara umum dalam UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, misalnya bentuk kebutuhan yang harus dipenuhi
suami, seperti nafkah, kiswah (pakaian) dan kediaman atau sandang,
pangan dan papan, biaya perawatan, pengobatan istri dan anak serta
pendidikan anak.
Suami sebagai kepala keluarga sebagaimana telah disebutkan
di atas, adalah berdasarkan firman Allah yang mengatakan : Kaum
laki-laki itu adalah qawwam (pemimpin) bagi perempuan, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian lain
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka...”.10
Para Ulama tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan kata
qawwam dalam firman Allah surah al-Nisa/4 : 34. Al Thabary
menafsirkan dengan penanggung jawab, karena suami bertanggung
jawab dalam mendidik dan membimbing istri agar menunaikan
kewajibannya kepada Allah dan kepada suami.11
Sedangkan
Muhammad Asad seorang mufassir kontemporer mengatakan, bahwa
kata qawwam berarti to take full care of, yang berarti menjaga
sepenuhnya, baik dalam bentuk fisik, maupun moral.12
Ada pula ulama
yang menafsirkan kata qawwam dengan makna pelindung, seperti
Abdullah Yusuf Ali.13
10
Lihat: Q.S. al-Nisa / 4 : 34. 11
Al Tabary, Jami‟al Bayan, (Bairut : Dar al Fikr, 1988), Jilid IV, 57. 12
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, (Giblartar: Dar al
Andalus, 1980), 109. 13
Lihat: Abdullah Yusuf Ali, Al-Quran Terjemah dan Tafsirnya, Terj. Ali
Audah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 190.
251
Rashid Rida menyebutkan, bahwa laki-laki memiliki
kelebihan yang fithri dan kasbi. Sejak diciptakan, laki-laki telah
diberikan Allah quwwah (kekuatan) dan qudrah (kemampuan),
sedangkan kelebihan kasbi, adalah karena laki-laki mampu berusaha,
mencari nafkah dan leluasa bergerak tanpa dihalangi hal-hal yang
bersifat refproduksi (menstruasi, hamil dan melahirkan).14
Dari uraian singkat tentang beberapa penafsiran ulama
tentang makna qawwam dapat disimpulkan, bahwa makna qawwam
adalah sebagai penanggung jawab, pelindung dan penjaga kaum
perempuan. Dari penafsiran-penafsiran inilah menjadi dasar dalam UU
No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan bahwa suami sebagai
kepala keluarga.
d. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan mempertegas tafsir
ayat tentang syarat kebolehan beristri lebih dari satu15
yang disebutkan
dalam firman Allah Q.S. al-Nisa‘/4:3, bahwa dibolehkan untuk
berpoligami jika dapat berlaku adil terhadap para istri. Seseorang tidak
dapat berlaku adil, jika tidak mampu biaya/nafkah untuk para istri dan
anak-anaknya. Dalam lanjutan ayat 3 surah al-Nisa‘ itu dikatakan:
“...Kemudian jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja”. Jadi syarat dibolehkan berpoligami itu
adalah dapat berlaku adil, jika tidak bisa berlaku adil, cukup satu istri
saja.
Poligami dalam Islam bukanlah untuk menghidup suburkan
tirani dan dominasi kaum laki-laki dan perbudakan atas perempuan,
tetapi sebagai jalan keluar dari kesulitan yang dialami keluarga, bukan
hanya untuk kepentingan dan kemaslahatan suami, tetapi juga untuk
14
Muhammad Rashid Rida, Tafsir al Manar, (Misr : al Haiah al Misriyah
al ‗Ammah Li al Kitab, 1973), Jilid III, 57. 15
Lihat UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 s/d pasal 5, dan KHI tentang
Perkawinan pasal 55 s/d pasal 59.
252
istri dan seluruh keluarga.16
Menutup pintu poligami bagi laki-laki
yang bisa memenuhi syarat untuk itu, yaitu adil zahir17
seperti nafkah,
pakaian, tempat tinggal dan biaya-biaya lainnya, dapat membuka pintu
selingkuh dan pezinaan, jika laki-laki itu tidak kuat iman, oleh karena
itu Islam mengakomodir poligami, karena dalam keadaan tertentu
poligami dibutuhkan sebagai solusi, tetapi Islam tidak membenarkan
adanya poliandri, karena mengaburkan garis keturunan.
Substansi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan
berkenaan dengan syarat-syarat dibolehkannya poligami sama, tetapi
KHI menyebutkan syarat-syarat boleh poligami lebih mendetail,
bahkan telah menegaskan pula, bahwa poligami dari satu orang pada
waktu yang bersamaan, dibatasi hingga empat orang istri,18
dengan
syarat mampu biaya dan dapat berlaku adil terhadap para istri, sesuai
dengan ketetapan firman Allah Q.S. Al-Nisa‘/4:3.
Syarat-syarat boleh berpoligami dipertegas dan dirinci oleh
UU No. 1 tahun 1974, terutama KHI tentang Perkawinan tujuannya
untuk melindungi perempuan-perempuan (para istri) dan anak-anak
yang banyak terlantar akibat poligami.
e. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan menjelaskan
kedudukan hukum harta kekayaan dalam perkawinan.19
Masalah ini
diadopsi dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan,
karena arah dan kecenderungan pada kehidupan suami dan istri,
kepada masalah peruntukan dan manajemen harta kekayaan dalam
perkawinan. Dalam masyarakat Indonesia bentuk dan tata rumah
16
Abd Hakim Abu Shuqqah, Tahrir al Mar‟ah Fi „Asri al Risalah,
(Kuwait: Dar al Qalam, t.th), 291. 17
Adil batin agak susah dilaksanakan, walaupun oleh Nabi, yaitu adil
hati, cinta dan kasih sayang. Oleh sebab itu Jumhur Ulama menafsirkan kata adil
sebagai syarat dibolehkannya poligami dengan adil zahir. 18
Untuk jelasnya lihat: KHI tentang Perkawinan pasal 55. 19
Lihat: UU No. 1 tahun 1974 pasal 35 s/d pasal 37, dan KHI tentang
perkawinan pasal 85 s/d pasal 97.
253
tangga dapat bersifat patrilineal, matrilineal, atau bilateral dengan
segala konsekuensinya. Begitu pula, terdapat perbedaan dalam cara
pengelolaan penghasilan selama perkawinan. Ketentuan tentang harta
kekayaan dalam perkawinan ini, yang disebut juga sebagai harta
bersama, dapat melindungi dan menyelamatkan kondisi istri, karena
pada umumnya istri tidak bekerja yang mendatangkan uang atau tidak
mempunyai penghasilan tetap jika perkawinannya mengalami
perceraian. Pembagian harta bersama ini dilaksanakan setelah
putusnya perkawinan.
Pada dasarnya shariah, atau Hukum Fikih Islam tidak
mengenal percampuran harta antara suami dan istri. Ini berarti, harta
bawaan sebelum perkawinan berlangsung, tetap menjadi milik masing-
masing. Ketentuan ini penting sebagai pedoman untuk menyelesaikan
persoalan yang timbul dalam rumah tangga, terutama kalau suami
berpoligami. Suami yang melangsungkan perkawinan kedua, ketiga,
atau keempat, tidak berarti membawa, atau memberikan begitu saja
kekayaan yang dimilikinya untuk rumah tangganya yang baru. Harta
pencaharian bersama dengan istri yang lama tidak boleh dicampur
dengan pencaharian bersama dengan istri (istri-istrinya yang baru)
secara sewenang-wenang, melainkan harus diperhitungkan sedemikian
rupa agar tidak menimbulkan kekisruhan.20
Itulah sebabnya, bahwa
seorang suami tidak boleh berpoligami, kecuali setelah memenuhi
berbagai persyaratan.
Pemilikan harta bawaan tetap diakui, kecuali suami dan istri
(rumah tangga non poligami) saling merelakan, bahwa harta bawaan
itu menjadi harta bersama.
20
Lihat: Naskah Akademik Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan, 2007, 71, 72.
254
f. Dalam KHI tentang perkawinan telah dibuatkan pasal berkenaan
dengan perempuan hamil karena zina, karena masalah ini banyak
terjadi pada masyarakat di Indonesia, sering muncul sebagai problem
dalam masyarakat, memerlukan ketetapan hukum menikahi perempuan
hamil diluar nikah itu.
Dengan mempertimbangkan berbagai mudharat dan mafsadat
terhadap masalah ini serta berdasarkan fatwa hukum yang telah
disepakati oleh ulama, maka dalam KHI tentang perkawinan telah
dipertegas hukum pernikahan perempuan hamil di luar nikah itu,
bahwa seorang perempuan hamil akibat hubungan seksual di luar
perkawinan dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya,
tanpa menunggu kelahiran anaknya dan tidak diperlukan perkawinan
ulang (tajdid al nikah) setelah anak yang dikandungnya lahir.21
g. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan
hukum perkawinan Islam yang diadopsi dan ditransformasikan ke
dalam Hukum Nasional. Dengan demikian ia mempunyai daya ikat
yang kokoh bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam,
karena ia mempunyai dua daya ikat, yaitu sebagai warga negara yang
mempunyai kewajiban untuk melaksanakan hukum negaranya dan
sebagai Muslim yang wajib mengikuti ketentuan Hukum Islam, karena
sudah tercantum dalam Lembaran Negara, sehingga telah mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat.
h. Dengan adanya UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan,
para istri sudah banyak mengetahui hak-haknya sebagai istri dan
mereka sudah banyak mengetahui bahwa para istri boleh mengajukan
cerai gugat ke Pengadilan Agama, jika suaminya tidak bertanggung
21
Lihat: Pasal 53 KHI Buku I Tentang Perkawinan.
255
jawab dan tidak memenuhi hak-hak istrinya, atau melakukan kekerasan
terhadap istri (KDRT) dan lain-lain.22
i. Dengan teradopsinya Hukum Fikih Islam (Hukum Islam) tentang
Perkawinan ke dalam Hukum Nasional akan menjadi multi player
effect, bagi Negara diuntungkan, karena perundang- undangannya jadi
berwibawa, ditaati dan dipatuhi oleh Warga Negaranya dan bagi Islam
juga mendapat keuntungan, antara lain :
1) Islam telah dapat memberikan kontribusi kepada negara dalam
bidang pembangunan hukum.
2) Dengan teradopsinya Hukum Islam (Syari‘ah dan Fikih Islam)
bidang perkawinan ke dalam Hukum Nasional, menunjukkan
keunggulan ajaran Islam, bahwa ajaran Islam itu selalu aktual
disetiap waktu dan tempat (اإل سالم صالح لكل زمان ومكان)
3) Shariat dan Fikih Islam (Hukum Islam) tentang perkawinan dapat
diterapkan kepada umat Islam melalui kekuasaan negara.
2. Kelemahan
Adapun kelemahan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan antara lain :
a. Materi KHI tentang perkawinan banyak duplikasi dengan apa yang
telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
walaupun ditemukan banyak hal-hal baru yang belum disebutkan
dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut.
b. Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada pasal
tentang ketentuan umum yang memuat berbagai pengertian berupa
keterangan dari berbagai istilah yang digunakan dalam UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan itu dan belum semua masalah yang terkait
22
Lihat: Pasal 116 KHI Buku I Tentang Perkawinan.
256
dengan perkawinan dicantumkan, seperti masalah wali dalam
perkawinan, peminangan dan mahar, pada hal kedua masalah ini
adalah sesuatu yang penting dicantumkan dalam buku-buku fikih dan
hukum adat.
c. KHI tentang Perkawinan tidak memiliki kekuatan mengikat secara
hukum (legally binding force), walaupun terbukti efektif menjadi
rujukan para Hakim Pengadilan Agama seluruh Indonesia, karena tidak
dicantumkan dalam lembaran negara sebagai media publikasi yang
menjadi syarat bagi sebuah peraturan agar memiliki kekuatan hukum
mengikat, apalagi dengan berlakunya UU No. 10 tahun 2004 tentang
pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, instruksi Presiden tidak
lagi tercantum dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
Undangan.23
d. Penggunaan kata perkawinan dan pernikahan tidak konsisten
disebutkan dalam KHI tentang Perkawinan, walaupun dua kata
tersebut sama artinya.24
e. Dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan belum
disebutkan sanksi pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan
perkawinan, kecuali ada sebagian kecil dalam PP No. 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan UU Perkawinan, tetapi masih terlalu ringan dan
tidak sesuai lagi dengan kondisi ekonomi sekarang.
f. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum
dicantumkan secara tegas masalah gugat cerai istri.
g. Pada pasal 116, sub k KHI tentang Perkawinan disebutkan, bahwa di
antara alasan-alasan putusnya perkawinan adalah, peralihan Agama
atau Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam
rumah tangga. Seharusnya tidak perlu lagi dicantumkan kata-kata
23
Lihat: Naskah Akademik RUU HMPA bidang perkawinan 17. 24
Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1992), 66, 67.
257
―yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga‖, karena
dengan menyebutkan kata-kata yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga‖ berarti sungguhpun kalau murtad asal rukun dalam
rumah tangga maka perkawinan tidak batal.25
Demikianlah antara lain keunggulan dan kelemahan masing-masing
dari UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Jika KHI tentang
Perkawinan akan ditingkatkan menjadi RUU HMPA bidang Perkawinan
dan telah disahkan menjadi undang-undang setelah diperbaiki kelemahan-
kelemahannya, akan melengkapi substansi dari UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
B. Dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan
Terhadap NTCR
UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan setelah
diimplementasikan dan disosialisasikan, ternyata banyak mempengaruhi
NTCR, khususnya cerai gugat, karena para istri telah banyak mengetahui hak-
haknya dari UU Perkawinan dan KHI tersebut. Jika hak-haknya tidak dipenuhi
oleh suaminya, atau suaminya tidak memperlakukannya dengan baik (tidak
mu‟asharah bi al ma‟ruf), mereka mengajukan gugat cerai ke Pengadilan
Agama tempat domisilinya. Tiap tahun meningkat cerai gugat, dibanding
dengan cerai talak. Berikut ini, penulis tampilkan data perceraian untuk
sepuluh tahun dari tahun 2000 s/d 2009 yang diambil dari Mahkamah Agung
berdasarkan data yang dilaporkan oleh Pengadilan Tinggi Agama se
Indonesia, sebagai berikut :
25
Dengan mencantumkan kata-kata ―yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga setelah kata ―murtad‖ itu bertentangan dengan pasal 75 (a) KHI tersebut.
258
PERKARA DITERIMA MAHKAMAH AGUNG :
TABEL III
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DITERIMA PENGADILAN AGAMA
YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA
TAHUN 2000
NO PTA CERAI
TALAK
CERAI
GUGAT
PERKARA
LAIN JUMLAH KET.
1 Banda Aceh 388 636 266 1,290
2 Medan 885 1,640 171 2,696
3 Padang 955 1,462 227 2,644
4 Pekanbaru 911 1,946 234 3,091
5 Jambi 294 713 65 1,072
6 Palembang 942 1,978 205 3,125
7 Bengkulu 295 653 43 991
8 Bandar Lampung 433 1,039 45 1,517
9 Jakarta 1,396 2,801 228 4,425
10 Bandung 19,579 12,579 2,357 34,515
11 Semarang 16,696 24,786 1,250 42,732
12 Yogyakarta 906 1,409 196 2,511
13 Surabaya 22,270 26,539 1,530 50,339
14 Banjarmasin 640 1,779 191 2,610
15 Palangkaraya 218 540 19 777
16 Pontianak 327 775 56 1,158
17 Samarinda 580 1,432 170 2,182
18 Ujung Pandang 1,290 3,312 331 4,933
19 Palu 315 669 46 1,030
20 Kendari 248 523 44 851
21 Manado 295 534 56 885
22 Mataram 768 2,144 351 3,263
23 Kupang 57 76 26 159
24 Ambon 223 247 53 523
25 Jayapura 174 339 16 529
Jumlah
71,121 90,551
8,176
169,848
161,672
258
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2000.
259
TABEL III
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DITERIMA PENGADILAN AGAMA
YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA
TAHUN 2001
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 248 486 262 996
2 Medan 822 1 ,669 190 2,681
3 Padang 938 1,454 214 2,606
4 Pekanbaru 997 1 ,833 337 3,167
5 Jambi 323 832 70 1,225
6 Palembang 844 1,985 186 3,015
7 Bengkulu 277 554 39 870
8 Bandar Lampung 409 988 42 1,439
9 Jakarta 1,484 2,960 255 4,699
10 Bandung 18,732 13,223 2,431 34,386
11 Semarang 16,762 25,978 1,138 43,878
12 Yogyakarta 919 1 ,466 238 2,623
13 Surabaya 21,920 27,588 1,404 50,912
14 Banjarmasin 583 1,749 195 2,527
15 Palangkaraya 155 416 20 591
16 Pontianak 357 802 85 1,244
17 Samarinda 603 1 ,422 184 2,209
18 Ujung Pandang 1,307 3,424 337 5,068
19 Palu 323 652 51 1 ,026
20 Kendari 260 516 44 820
21 Manado 289 549 46 884
22 Mataram 764 2,023 515 3,302
23 Kupang 58 81 25 164
24 Ambon 300 253 85 638
25 Jayapura 93 263 9 365
Jumlah
69,767 93,166
8,402
171,335 162,933
259
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2001.
260
TABEL III
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA
YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI
AGAMA SELURUH INDONESIA
TAHUN 2002
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 349 639 536 1.524
2 Medan 832 1.792 184 2.808
3 Padang 722 1.415 409 2.546
4 Pekanbaru 911 2.116 211 3.238
5 Jambi 310 834 50 1.194
6 Palembang 792 1.921 159 2.872
7 Bengkulu 225 522 41 788
8 Bandar Lampung 411 1.018 59 1.488
9 Jakarta 1.401 2.901 250 4.552
10 Bandung 16.509 13.646 1.929 32.084
11 Semarang 14.926 25.104 1.085 41.115
12 Yogyakarta 937 1.496 223 2.656
13 Surabaya 20.799 28.2 1.346 50.345
14 Banjarmasin 536 1.766 178 2.48
15 Palangkaraya 141 473 19 633
16 Pontianak 348 836 65 1.249
17 Samarinda 628 1.487 214 2.329
18 Ujung Pandang 1.302 3.508 334 5.144
19 Palu 318 655 45 1.018
20 Kendari 241 515 65 821
21 Manado 286 563 48 897
22 Mataram 670 2.192 303 3.165
23 Kupang 63 73 30 166
24 Ambon 315 359 36 710
25 Jayapura 193 444 29 666
Jumlah
64.165 94.475
7.848
166.488 158.640
260
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2002.
261
TABEL III
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA
YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI
AGAMA SELURUH INDONESIA
TAHUN 2003
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 368 791 459 1.618
2 Medan 887 1.863 195 2.945
3 Padang 887 1.419 271 2.577
4 Pekanbaru 961 2.128 207 3.296
5 Jambi 293 908 60 1.261
6 Palembang 814 1.859 170 2.843
7 Bengkulu 284 513 32 829
8 Bandar Lampung 360 988 58 1.406
9 Jakarta 1.417 3.006 197 4.620
10 Bandung 14.501 13.718 1.558 29.777
11 Semarang 13.616 22.773 966 37.355
12 Yogyakarta 857 1.478 215 2.550
13 Surabaya 18.089 25.243 1.595 44.927
14 Banjarmasin 505 1.699 199 2.403
15 Palangkaraya 171 427 26 624
16 Pontianak 318 827 130 1.275
17 Samarinda 673 1.656 259 2.588
18 Ujung Pandang 1.260 3.200 284 4.744
19 Palu 275 625 46 946
20 Kendari 249 456 49 754
21 Manado 274 502 46 822
22 Mataram 679 1.944 245 2.868
23 Kupang 41 94 14 149
24 Ambon 247 364 39 650
25 Jayapura 199 487 11 697
Jumlah
58.225 88.968
7.331
154.524 147.193
261
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2003.
262
TABEL III
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2004
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 N.A.D 528 1.050 589 2.167
2 Medan 946 2.080 219 3.245
3 Padang 969 1.619 295 2.883
4 Pekanbaru 1.007 2.482 234 3.723
5 Jambi 293 949 82 1.324
6 Palembang 891 2.128. 164 3.183
7 Bengkulu 298 581 33 912
8 Bandar Lampung 389 1.041 53 1.483
9 Jakarta 1.604 3.256 263 5.123
10 Bandung 14.712 14.886 1.920 31.518
11 Semarang 13.656 24.482 935 39.073
12 Yogyakarta 899 1.644 212 2.755
13 Surabaya 18.599 27.703 1.397 47.699
14 Banjarmasin 538 1.883 228 2.649
15 Palangkaraya 177 503 25 705
16 Pontianak 343 932 142 1.417
17 Samarinda 813 1.893 402 3.108
18 Ujung Pandang 1.197 3.397 249 4.843
19 Palu 350 710 34 1.094
20 Kendari 243 520 35 798
21 Manado 241 648 38 927
22 Mataram 735 2.169 250 3.154
23 Kupang 55 81 15 151
24 Ambon 245 356 40 641
25 Jayapura 202 479 10 691
Jumlah
59.930 97.472
7.864
165.266 157.402
262
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2004.
263
TABEL III
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2005
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 N.A.D 424 1.124 1.452 3.000
2 Medan 991 2.322 244 3.557
3 Padang 1.079 1.726 318 3.123
4 Pekanbaru 1.080 2.730 233 4.043
5 Jambi 343 996 76 1.415
6 Palembang 998 2.294 132 3.424
7 Bengkulu 314 601 45 960
8 Bandar Lampung 463 1.147 86 1.696
9 Jakarta 1.681 3.403 406 5.490
10 Bandung 14.216 16.146 1.651 32.013
11 Semarang 14.429 25.403 1.091 40.923
12 Yogyakarta 1.000 1.704 191 2.901
13 Surabaya 19.898 29.759 1 671 51.328
14 Banjarmasin 631 1.898 255 2.784
15 Palangkaraya 180 568 35 783
16 Pontianak 379 1.047 119 1545
17 Samarinda 810 2.060 485 3.355
18 Ujung Pandang 1.317 3.430 332 5.079
19 Palu 376 781 43 1.200
20 Kendari 217 495 41 753
21 Manado 309 638 52 999
22 Mataram 730 2.142 286 3.158
23 Kupang 72 132 21 225
24 Ambon 249 342 30 621
25 Jayapura 251 495 12 758
Jumlah
62.437 103.383
9.313
175.133 165.820
263
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2005.
264
TABEL III
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2006
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 N.A.D 601 1,382 1,530 3,513
2 Medan 1,161 2,330 358 3,849
3 Padang 1,114 1,783 418 3,315
4 Pekanbaru 1,147 2,593 316 4,056
5 Jambi 367 904 85 1,356
6 Palembang 936 1,879 150 2,965
7 Bengkulu 310 604 56 970
8 Bandar Lampung 513 1,233 161 1,907
9 Jakarta 1,830 3,542 434 5,806
10 Bandung 12,899 14,838 2,361 30,098
11 Semarang 14,566 25,863 1,131 41,560
12 Yogyakarta 929 1,669 211 2,809
13 Surabaya 19,520 29,739 3,280 52,539
14 Banjarmasin 668 1,832 247 2,747
15 Palangkaraya 169 547 40 756
16 Pontianak 372 1,068 122 1,562
17 Samarinda 834 2,048 856 3,738
18 Ujung Pandang 1,432 3,760 830 6,022
19 Palu 370 741 37 1,148
20 Kendari 256 578 51 885
21 Manado 167 396 59 622
22 Mataram 701 2,051 422 3,174
23 Kupang 81 115 20 216
24 Ambon 106 203 42 351
25 Jayapura 266 572 12 850
26 Banten 698 1,458 183 2,339
27 Bangka Belitung 260 ' 650 23 933
28 Gorontalo 157 367 39 563
29 Maluku Utara 172 220 36 428
Jumlah
62,602 104,965
13,510
181,077 167,567
264
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah
Agung RI. Tahun 2006.
265
TABEL III DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DITERIMA
YURIDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI /
PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2007
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Aceh 830 1,589 2,182 4,601
2 Medan 1,266 2,555 573 4,394
3 Padang 1,209 1,976 738 3,923
4 Pekanbaru 1,384 3,076 322 4,782
5 Jambi 476 1,165 177 1,818
6 Palembang 982 2,143 169 3,294
7 Bengkulu 395 696 72 1,163
8 Bandar Lampung 594 1,412 183 2,189
9 Jakarta 2,115 3,482 621 6,218
10 Bandung 12,569 16,034 3,375 31,978
11 Semarang 21,063 37,839 1,943 60,845
12 Yogyakarta 1,097 1,929 261 3,287
13 Surabaya 20,961 31,791 3,942 58,694
14 Banjarmasin 761 2,299 558 3,618
15 Palangkaraya 233 628 34 895
16 Pontianak 486 1,341 230 2,057
17 Samarinda 985 2,272 1,465 4,722
18 Makassar 1,540 4,050 2,163 7,753
19 Palu 482 859 100 1,441
20 Kendari 319 644 106 1,069
21 Manado 190 389 40 619
22 Mataram 844 2,137 503 3,484
23 Kupang 74 98 35 207
24 Ambon 91 133 27 251
25 Jayapura 280 571 25 876
26 Banten 865 1,657 238 2,760
27 Bangka Belitung 293 672 25 990
28 Gorontalo 184 412 95 691
29 Maluku Utara 191 230 44 465
Jumlah
72,759 124,079
20,246
217,084 196,838
265
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah
Agung RI. Tahun 2007.
266
TABEL III
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN
PERKARA LAIN YANG DITERIMA YURISDIKSI MAHKAMAH
SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA
SYAR’IYAH ACEH / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH
INDONESIA TAHUN 2008
NO MSY.A/PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Aceh 855 1,863 1,566 4,284
2 Medan 1,598 3,453 610 5,661
3 Padang 1,416 2.650 1,341 5,407
4 Pekanbaru 1,812 4,100 595 6,507
5 Jambi 547 1,535 201 2,283
6 Palembang 1,269 2,628 287 4,184
7 Bengkulu 435 842 76 1,354
8 Bandar Lampung 728 1,746 179 2,653
9 Jakarta 2,242 4,648 776 7,666
10 Bandung 14,159 21,521 4,564 40,244
11 Semarang 16,943 33:380 1,842 52,165
12 Yogyakarta 1,170 2,361 348 3,879
13 Surabaya 24,893 39,523 4,638 69,054
14 Banjarmasin 907 2,965 706 4,578
15 Palangkaraya 310 877 118 1,305
16 Pontianak 636 1,610 259 2,505
17 Samarinda 1,300 3,050 1,555 5,905
18 Makassar 1,931 5,279 1,939 9,149
19 Palu 535 1,124 131 1,790
20 Kendari 390 727 113 1,230
21 Manado 209 429 44 682
22 Mataram 1,097 2,573 728 4,398
23 Kupang 81 143 82 306
24 Ambon 103 168 65 336
25 Jayapura 303 658 28 989
26 Banten 1,103 2,252 523 3,878
27 Bangka Belitung 381 935 55 1,371
28 Gorontalo 193 443 81 717
29 Maluku Utara 226 264 53 543
Jumlah
77,773 143,747
23,503
245,023
221,520
266
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah
Agung RI. Tahun 2008.
267
TABEL III
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DITERIMA
YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA
TAHUN 2009
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Aceh 851 2,117 1,517 4,485
2 Medan 1,779 4,107 596 6,482
3 Padang 1,496 2,879 1,150 5,525
4 Pekanbaru 2,117 4,953 877 7,947
5 Jambi 647 1,719 171 2,537
6 Palembang 1,292 3,062 246 4,600
7 Bangka Belitung 398 1,077 48 1,523
8 Bengkulu 415 942 88 1,445
9 Bandar Lampung 843 2,203 148 3,194
10 Jakarta 2,721 5,422 715 8,858
11 Banten 1,371 3,140 890 5,401
12 Bandung 15,033 27,874 4,607 47,514
13 Semarang 19,423 38,531 2,366 60,320
14 Yogyakarta 1,368 2,750 487 4,605
15 Surabaya 27,548 46,220 5,337 79,105
16 Pontianak 699 1,955 298 2,952
17 Palangkaraya 356 1,087 136 1,579
18 Banjarmasin 1,113 3,529 822 5,464
19 Samarinda 1,397 3,515 1,368 6,280
20 Manado 209 549 43 801
21 Gorontalo 184 543 88 815
22 Palu 558 1,198 111 1,867
23 Kendari 435 902 110 1,447
24 Makassar 2,175 6,430 1,776 10,381
25 Mataram 1,323 3,320 2,411 7,054
26 Kupang 79 138 50 267
27 Ambon 132 254 134 520
28 Maluku Utara 227 277 58 562
29 Jayapura 403 784 32 1,219
Jumlah
86,592 171,477
26,680
284,749 258,069
267
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah
Agung RI. Tahun 2009.
268
Dari data-data yang telah disebutkan di atas, nampak jelas bahwa Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan mempunyai pengaruh
terhadap NTCR, khususnya terhadap perceraian cerai gugat dari istri. Hal ini
dapat di lihat pada data dari tahun 2000 sampai dengan 2009 tentang perceraian
dari seluruh daerah di Indonesia yang dilaporkan oleh Pengadilan Tinggi Agama
ke Departemen Agama RI dan ke Mahkamah Agung setiap tahun dengan
perbandingan cerai talak dan cerai gugat (khulu’) dan lainya sebagai berikut :
DATA YANG DITERIMA MAHKAMAH AGUNG
DARI TAHUN 2000 S/D 2009
NO TAHUN CERAI
TALAK
CERAI
GUGAT
(KHULU’)
PERKARA
LAIN JUMLAH
1 2000 71.121 90.551 8.176 169.848
2 2001 69.767 93.166 8.402 171.335
3 2002 64.165 94.475 7.848 166.488
4 2003 58.225 88.968 7.331 154.524
5 2004 59.930 97.472 7.864 165.266
6 2005 62.437 103.383 9.313 175.133
7 2006 62.602 104.965 13.510 181.077
8 2007 72.759 124.079 20.246 217.084
9 2008 77.773 143.747 23.503 245.023
10 2009 86.592 171.477 26.680 284.749
JUMLAH 685.371 1112.583 132.873 1930.527
Sumber: 1. Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama
RI. Tahun 2000 – 2005.
2. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,
Mahkamah Agung RI. Tahun 2006 – 2009.
269
Dari tabel di atas nampak, bahwa dari 1930.527 kasus perceraian yang
terjadi di seluruh tanah air yang diterima oleh Mahkamah Agung dari Pengadilan
Tinggi se Indonesia dari tahun 2000 s/d 2009, perceraian karena cerai gugat dari
istri (khulu’) paling tinggi, yaitu 1112.583. sedangkan cerai talak hanya 685.371
yang paling rendah adalah perceraian karena perkara lain, seperti karena fasakh,
suami mafqud, murtad dan lain-lain hanya 132.873.
Perceraian karena cerai gugat (khulu’) dari istri semakin meningkat dari
tahun ke tahun sejak tahun 2000 s/d 2009, adalah merupakan dampak dari adanya
UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Dalam UU No. 1 tahun 1974
dan KHI tersebut telah dicantumkan apa saja hak dan kewajiban istri terhadap
suami. Istri telah melaksanakan kewajibannya, sementara suami tidak
melaksanakan kewajibannya terhadap istri. Dalam UU perkawinan dan KHI
tersebut telah dicantumkan pula prosedur dan tata cara pengajuan cerai ke
Pengadilan Agama, ini membuat para istri yang merasa di zalimi oleh semua, baik
karena tidak diberi nafkah, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan lain-lain,
dengan mudah mengajukan gugat cerai ke Pengadilan, yang selama ini banyak
perempuan yang tidak mengetahuinya, karena menurutnya, hanya suamilah yang
boleh melakukan gugatan perceraian melalui talak.
Dari perkara-perkara/data-data perceraian yang diterima Mahkamah
Agung yang telah disebutkan di atas, dari tahun 2000 s/d 2009, baru sebagian
diputuskan oleh Pengadilan, dengan rincian sebagai berikut :
270
PERKARA DIPUTUS
TABEL III.A
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DIPUTUS PENGADILAN AGAMA
YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA
TAHUN 2000
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 343 570 289 1,202
2 Medan 651 1.375 424 2.450
3 Padang 762 1,247 399 2,408
4 Pekanbaru 761 1,639 362 2,762
5 Jambi 287 627 92 1,006
6 Palembang 786 1,711 361 2,858
7 Bengkulu 247 570 118 935
8 Bandar Lampung 376 888 157 1,421
9 Jakarta 1,198 2,444 384 4,026
10 Bandung 18,494 11,375 3,217 33,086
11 Semarang 14,865 22,465 3,051 40,381
12 Yogyakarta 847 1,312 190 2,349
13 Surabaya 19,963 24,797 2,944 47,704
14 Banjarmasin 467 1,586 267 2,320
15 Palangkaraya 194 514 23 731
16 Pontianak 288 666 85 1,039
17 Samarinda 461 1,228 307 1,996
18 Ujung Pandang 1,036 2,947 619 4,602
19 Palu 281 576 96 953
20 Kendari 204 435 140 779
21 Manado 217 483 133 833
22 Mataram 614 1,796 460 2,870
23 Kupang 41 79 29 149
24 Ambon 218 247 50 515
25 Jayapura 144 287 46 477
Jumlah
63,745 81,864
14,243
159,852 145,609
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2000.
271
TABEL III.A
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DIPUTUS PENGADILAN AGAMA
YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA
TAHUN 2001
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 240 375 233 848
2 Medan 684 1,372 447 2,503
3 Padang 712 1 ,302 519 2,533
4 Pekanbaru 761 1 ,723 371 2,855
5 Jambi 248 698 119 1,065
6 Palembang 724 1,716 310 2,750
7 Bengkulu 208 459 108 775
8 Bandar Lampung 341 827 116 1,284
9 Jakarta 1,259 2,592 477 4,328
10 Bandung 17,077 11,620 3,335 32,032
11 Semarang 14,588 23,118 2,978 40,684
12 Yogyakarta 864 1,345 235 2,444
13 Surabaya 19,724 25,365 2,676 47,765
14 Banjarmasin 486 1,554 319 2,359
15 Palangkaraya 158 358 48 564
16 Pontianak 234 718 138 1,090
17 Samarinda 453 1,162 356 1,971
18 Ujung Pandang 1,089 3,083 701 4,873
19 Palu 288 595 73 956
20 Kendari 218 456 128 802
21 Manado 237 467 109 813
22 Mataram 623 1,910 452 2,985
23 Kupang 47 60 32 139
24 Ambon 263 251 63 577
25 Jayapura 67 193 44 304
Jumlah
61,593 83,319
14,387
159,299 144,912
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2001.
272
TABEL III.A
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2002
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 339 576 474 1.389
2 Medan 703 1.499 419 2.621
3 Padang 707 1.309 335 2.351
4 Pekanbaru 761 1.730 -347 2.838
5 Jambi 240 669 100 1.009
6 Palembang 711 1.683 262 2.656
7 Bengkulu 207 463 92 762
8 Bandar Lampung 324 893 194 1.411
9 Jakarta 1.163 2.588 446 4.197
10 Bandung 15.476 12.586 2.758 30.820
11 Semarang 13.336 23.090 2.740 39.166
12 Yogyakarta 785 1.423 268 2.476
13 Surabaya 19.170 26.203 2.641 48.014
14 Banjarmasin 469 1.520 278 2.267
15 Palangkaraya 117 407 33 557
16 Pontianak 292 671 136 1.099
17 Samarinda 476 1.190 408 2.074
18 Ujung Pandang 1.107 3.158 566 4.831
19 Palu 272 579 114 965
20 Kendari 200 446 125 771
21 Manado 231 490 122 843
22 Mataram 594 1.815 462 2.871
23 Kupang 39 58 34 131
24 Ambon 285 315 28 628
25 Jayapura 149 376 59 584
Jumlah
58.153 85.737
13.441
157.331 143.89
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2002.
273
TABEL III.A
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2003
NO
MAHKAMAH
SYAR’IYAH
PROP./PTA
CERAI CERAI PERKARA JUMLAH KET.
TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 291 617 533 1.441
2 Medan 788 1.587 364 2.739
3 Padang 770 1.260 372 2.402
4 Pekanbaru 785 1.908 294 2.987
5 Jambi 228 763 104 1.095
6 Palembang 700 1.667 272 2.639
7 Bengkulu 243 441 66 750
8 Bandar Lampung 307 865 148 1.320
9 Jakarta 1.203 2.532 395 4.130
10 Bandung 13.675 12.430 2.314 28.419
11 Semarang 12.073 20.837 2.322 35.232
12 Yogyakarta 748 1.326 247 2.321
13 Surabaya 16.524 23.867 2.582 42.973
14 Banjarmasin 400 1.564 300 2.264
15 Palangkaraya 126 397 55 578
16 Pontianak 263 729 207 1.199
17 Samarinda 529 1.420 410 2.359
18 Ujung Pandang 1.063 2.942 563 4.568
19 Palu 236 540 87 863
20 Kendari 163 434 113 710
21 Manado 236 434 76 746
22 Mataram 578 1.651 341 2.570 :
23 Kupang 41 64 14 119
24 Ambon 216 287 37 540
25 Jayapura 174 384 71 629
Jumlah
52.360 80.946
12.287
145.593 133.306
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2003.
274
TABEL III.A
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2004
NO
MAHKAMAH
SYAR’IYAH
PROP./PTA
CERAI CERAI PERKARA JUMLAH KET.
TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 442 910 580 1.932
2 Medan 767 1.780 490 3.037
3 Padang 810 1.395 427 2.632
4 Pekanbaru 863 2.141 336 3.340
5 Jambi 226 772 188 1.186
6 Palembang 726 1.831 306 2.863
7 Bengkulu 226 515 87 828
8 Bandar Lampung 299 916 141 1.356
9 Jakarta 1.357 2.810 492 4.659
10 Bandung 13.848 13.623 2.511 29.982
11 Semarang 12.033 22.087 2.337 36.457
12 Yogyakarta 773 1.479 257 2.509
13 Surabaya 16.902 25.871 2.481 45.254
14 Banjarmasin 444 1.650 292 2.386
15 Palangkaraya 124 434 55 613
16 Pontianak 283 771 202 1.261
17 Samarinda 633 1.502 560 2.695
18 Ujung Pandang 1.018 3.119 563 4.700
19 Palu 321 635 100 1.056
20 Kendari 189 417 88 694
21 Manado 220 536 85 841
22 Mataram 589 1.745 382 2.716
23 Kupang 33 77 18 128
24 Ambon 205 316 64 585
25 Jayapura 173 399 49 621
Jumlah
53.509 87,731
13.091
154.331 141.24
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2004.
275
TABEL III.A
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2005
NO
MAHKAMAH
SYAR’IYAH
PROP./PTA
CERAI CERAI PERKARA JUMLAH KET.
TALAK GUGAT LAIN
1 N.A.D 363 905 1.459 2.727
2 Medan 811 1.967 466 3.244
3 Padang 902 1.572 425 2.899
4 Pekanbaru 941 2.347 363 3.651
5 Jambi 296 893 95 1.284
6 Palembang 860 2.067 268 3.195
7 Bengkulu 261 518 102 881
8 Bandar Lampung 388 990 168 1.546
9 Jakarta 1.462 3.105 626 5.193
10 Bandung 13.415 15.139 2.346 30.900
11 Semarang 12.694 23.653 2.735 39.082
12 Yogyakarta 879 1.629 225 2.733
13 Surabaya 17.728 27.805 2.841 48.374
14 Banjarmasin 522 1.736 370 2.628
15 Palangkaraya 153 483 81 717
16 Pontianak 282 829 255 1.366
17 Samarinda 674 1.715 634 3.023
18 Ujung Pandang 1.093 3.081 549 4.723
19 Palu 304 725 80 1.109
20 Kendari 178 442 105 725
21 Manado 282 558 111 951
22 Mataram 598 1.869 397 2.864
23 Kupang 57 108 24 189
24 Ambon 210 307 59 576
25 Jayapura 183 416 63 662
Jumlah
55.536 94.859
14.847
165.242 150.395
Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.
Tahun 2005.
276
TABEL III.A
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN
YANG DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA
YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA TAHUN 2006
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 N.A.D 534 1,224 1,731 3,489
2 Medan 963 1,981 540 3,484
3 Padang 991 1,544 523 3,058
4 Pekanbaru 938 2,224 370 3,532
5 Jambi 356 870 179 1,405
6 Palembang 783 1,567 225 2,575
7 Bengkulu 246 523 120 889
8 Bandar Lampung 428 1,091 232 1,751
9 Jakarta 1,564 3,049 617 5,230
10 Bandung 11,873 13,577 2,900 28,350
11 Semarang 12,499 23,496 2,633 38,628
12 Yogyakarta 849 1,528 234 2,611
13 Surabaya 17,351 27,370 4,512 49,233
14 Banjarmasin 551 1,746 338 2,635
15 Palangkaraya 145 489 71 705
16 Pontianak 218 805 353 1,376
17 Samarinda 682 1,803 929 3,414
18 Ujung Pandang 1,173 3,385 1,093 5,651
19 Palu 297 682 83 1,062
20 Kendari 194 457 123 774
21 Manado 123 338 60 521
22 Mataram 560 1,685 514 2,759
23 Kupang 74 78 25 177
24 Ambon 94 174 69 337
25 Jayapura 180 458 79 717
26 Banten 523 1,175 213 1,911
27 Bangka Belitung 194 521 54 769
28 Gorontalo 113 215 50 408
29 Maluku Utara 119 190 47 356
Jumlah
54,645 94,245
18,917
167,807 148,890
Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI.
Tahun 2006.
277
TABEL III. A
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS
YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/
PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2007
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 685 1,368 2,269 4,322
2 Medan 1,096 2,213 1,061 4,370
3 Padang 1,070 1,769 1,058 3,897
4 Pekanbaru 1,141 2,584 916 4,641
5 Jambi 361 927 348 1,636
6 Palembang 846 1,942 557 3,345
7 Bengkulu 281 592 220 1,093
8 Bandar Lampung 514 1,184 390 2,088
9 Jakarta 1,673 3,013 1,277 5,963
10 Bandung 11,900 14,604 5,306 31,810
11 Semarang 18,390 34,629 7,284 60,303
12 Yogyakarta 994 1,784 418 3,196
13 Surabaya 18,474 29,259 7,539 55,272
14 Banjarmasin 594 1,983 846 3,423
15 Palangkaraya 190 527 141 858
16 Pontianak 426 1,099 460 1,985
17 Samarinda 887 1,883 1,779 4,549
18 Ujung Pandang 1,377 3,613 2,676 7,666
19 Palu 397 753 240 1,390
20 Kendari 231 523 259 1,013
21 Manado 188 381 110 679
22 Mataram 699 1,782 931 3,412
23 Kupang 65 72 71 208
24 Ambon 84 123 74 281
25 Jayapura 247 492 167 906
26 Banten 770 1,378 292 2,440
27 Bangka Belitung 232 560 79 871
28 Gorontalo 163 363 169 695
29 Maluku Utara 154 I 184 115 453
Jumlah
64,129 111,584
37,052
212,765 175,713
Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI.
Tahun 2007.
278
TABEL III.A
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN
PERKARA LAIN YANG DIPUTUS MAHKAMAH
SYAR’IYAH ACEH / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH
INDONESIA TAHUN 2008
NO PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 765 1,598 2,043 4,406
2 Medan 1,320 2,867 1,320 5,507
3 Padang 1,186 2,278 1,850 5,314
4 Pekanbaru 1,430 3,405 1,384 6,219
5 Jambi 468 1,340 419 2,227
6 Palembang 1,013 2,142 830 3,985
7 Bengkulu 381 735 273 1,389
8 Bandar Lampung 631 1,575 382 2,588
9 Jakarta 1,840 3,776 1,783 7,399
10 Bandung 12,810 19,195 7,034 39,039
11 Semarang 14,398 29,161 6,061 49,620
12 Yogyakarta 1,106 2,103 613 3,822
13 Surabaya 21,839 35,726 9,128 66,693
14 Banjarmasin 781 2,597 1,031 4,409
15 Palangkaraya 273 763 249 1,285
16 Pontianak 487 1,360 607 2,454
17 Samarinda 988 2.467 2,357 5,812
18 Ujung Pandang 1,576 4,694 2,695 8,965
19 Palu 463 999 295 1,757
20 Kendari 324 610 292 1,226
21 Manado 167 375 134 676
22 Mataram 880 2,110 1,261 4,251
23 Kupang 62 115 124 301
24 Ambon 81 138 100 319
25 Jayapura 219 495 223 937
26 Banten 974 2,017 877 3,868
27 Bangka Belitung 339 823 240 1,402
28 Gorontalo 148 384 172 704
29 Maluku Utara 175 217 165 557
Jumlah
67,124 126,065
43,942
237,131 193,189
Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI.
Tahun 2008.
279
TABEL III.A
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS
YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2009
NO MSY. PRO/PTA CERAI CERAI PERKARA
JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN
1 Banda Aceh 711 1,754 1,558 4,023
2 Medan 1,428 3,417 952 5,797
3 Padang 1,290 2,517 1,211 5,018
4 Pekanbaru 1,723 4,111 1,194 7,028
5 Jambi 529 1,507 235 2,271
6 Palembang 1,023 2,583 488 4,094
7 Bengkulu 326 867 137 1,330
8 Bandar Lampung 337 783 137 1,257
9 Jakarta 722 1,903 270 2,895
10 Bandung 2,143 4,557 1,153 7,853
11 Semarang 1,115 2,558 1,060 4,733
12 Yogyakarta 13,642 24,538 5,460 43,640
13 Surabaya 16,481 33,745 4,339 54,565
14 Banjarmasin 1,191 2,392 515 4,098
15 Palangkaraya 24,053 41,281 6,897 72,231
16 Pontianak 547 1,624 403 2,574
17 Samarinda 277 933 194 1,404
18 Ujung Pandang 946 3,220 888 5,054
19 Palu 1,071 2,962 1,592 5,625
20 Kendari 173 436 86 695
21 Manado 127 437 129 693
22 Mataram 429 1,035 156 1,620
23 Kupang 349 709 193 1,251
24 Ambon 1,771 5,521 2,191 9,483
25 Jayapura 1,096 2,670 2,565 6,331
26 Banten 54 134 52 240
27 Bangka Belitung 100 198 153 451
28 Gorontalo 190 224 90 504
29 Maluku Utara 287 624 129 1,040
Jumlah
74,131 149,240
34,427
257,798 223,371
Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI.
Tahun 2009.
280
Dari perkara-perkara/data-data gugatan perceraian seluruh Indonesia yang
telah diputus dari tahun 2000 s/d 2009 yang diterima oleh Mahkamah Agung,
ternyata ada juga gugatan perceraian yang diputus oleh Pengadilan Negeri, bahkan
ditemukan juga datanya sejak 1999, dengan perbandingan sebagai berikut :
DATA PERKARA CERAI YANG DIPUTUS
TAHUN 2000 - 2009
TAHUN
PERKARA PERKARA CERAI
DIPUTUS PN CERAI
DIPUTUS PA
1999 — 3.431
2000 145.609 3.539
2001 144.912 3.877
2002 143.890 3.842
2003 133.306 3.361
2004 141.24 2.514
2005 150.395 2.674
2006 148.89 2.606
2007 175.088 3.645
2008 193.189 4.404
2009 223.371 5.285
Sumber: 1. Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama
RI. Tahun 2000 – 2005.
2. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,
Mahkamah Agung RI. Tahun 2006 – 2009.
Adapun data gugatan perceraian yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri
yang disebutkan di atas adalah gugatan perceraian yang dilakukan / diajukan oleh
warga Indonesia non muslim.
281
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum Fikih Islam tentang Perkawinan (Fiqh Munakahat) dapat diterima
menjadi Hukum Nasional, karena sesuai dengan keyakinan umat Islam
dan budaya Indonesia yang secara yuridis formal dan secara normatif telah
menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Hukum Islam
dan Hukum Adat yang berlaku dalam masyarakat muslim di Indonesia
telah menyatu, sehingga tidak dapat lagi dibedakan. Kehidupan
masyarakat muslim senantiasa berada dalam garis-garis Hukum Islam,
seperti dalam masalah perkawinan dan berkeluarga, perekonomian dan
muamalat serta dalam hubungan sosial lainnya.
2. Adapun Hukum Perkawinan Islam (Fiqh Munakahat) yang telah diadopsi
dalam Hukum Nasional adalah sebagai berikut :
Hukum Perkawinan Islam dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan meliputi sekitar dasar dan hukum Perkawinan, hukum
poligami dan syarat-syaratnya, syarat-syarat perkawinan, perkawinan yang
dilarang (yang disebabkan karena berhubungan darah, atau susuan, atau
karena perkawinan), masa ‘iddah (masa tunggu) bagi wanita yang dicerai,
perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, harta benda dalam
parkawinan, putusnya perkawinan dan akibatnya yang meliputi masalah
talak, fasakh, khulu, dan li’an, kedudukan anak dari hasil perkawinan
yang sah dan dari luar perkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua
dan anak serta Perwalian.
Sedangkan Hukum Perkawinan Islam dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan, meliputi sekitar dasar-dasar
Perkawinan dan hukumnya, peminangan, rukun dan syarat perkawinan,
mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, kawin hamil, beristri lebih
dari satu orang (poligami), batalnya perkawinan, hak dan kewjiban suami-
istri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian,
akibat terputusnya perkawinan, rujuk dan masa berkabung.
282
Semua materi UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) tentang perkawinan adalah materi dan prinsip-prinsip Fiqh
Munakahat (Hukum perkawinan Islam), walaupun belum semua materi
Fiqh Munakahat dan prinsip-prinsipnya masuk di dalamnya. Maka
dengan ini jelas bahwa Hukum perkawinan Islam (Fikih Islam tentang
Munakahat) telah diadopsi dalam Sistem Hukum Nasional.
3. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan mempunyai
keunggulan dan kelemahan.
a. Keunggulan
1). Dengan diadopsinya Hukum Perkawinan Islam dalam UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, berarti Hukum Perkawinan Islam
(Fiqh Munakahat) sudah menjadi Hukum Nasional. Dengan
demikian UU Perkawinan ini telah mengikat karena telah
tercantum dalam Lembaran Negara.
2). UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan
melindungi dan mensejajarkan kedudukan suami dan istri dalam
rumah tangga, yang berbeda hanya dalam masalah yang bersifat
fungsional, karena kodrat dan perbedaan jenis kelamin masing-
masing. Dimana perbedaan fungsional itu, bukan sesuatu yang
bertentangan, tetapi untuk saling melengkapi dan bantu-membantu
dalam suatu rumah tangga atau suatu keluarga.
3). UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang perkawinan merinci
dan mempertegas syarat-syarat dibolehkannya Poligami (Q.S An-
Nisa : 3), demi menjaga ketenangan dan kesejahteraan rumah
tangga, yang sering terjadi akibat poligami tersebut menelantarkan
istri dan anak-anak.
4). UU No.1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan
mempertegas kedudukan hukum harta kekayaan dalam
perkawinan (harta bersama), dan untuk melindungi hak
perempuan.
283
5). Dalam KHI Buku I tentang perkawinan telah dimasukkan hukum dan
cara penyelesaian kasus perempuan hamil di luar nikah, yang mana
masalah ini sering terjadi pada masyarakat Indonesia, yang
memerlukan penyelesaian masalahnya.
6) Salah satu produk perundang-undangan yang diadopsi dari hukum
Islam dalam Hukum Nasional adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
7) Dengan terintegrasinya Hukum Perkawinan Islam ke dalam Hukum
Nasional, akan menjadi multi player effect. Bagi negara diuntungkan,
karena perundang-undangannya jadi berwibawa, ditaati dan dipatuhi
oleh warga negara dan bagi Islam, juga mendapat keuntungan, antara
lain :
a) Islam telah dapat memberikan kontribusi kepada Negara dalam
bidang pembangunan hukum, khususnya Hukum Perkawinan.
b) Dengan masuknya Hukum Islam (Shari’ah dan Hukum Fikih
Islam) kedalam Hukum Nasional menunjukkan keunggulan ajaran
Islam, bahwa ajaran Islam itu selalu aktual di setiap waktu dan
tempat (اإلسالم صالح لكل زمان ومكان)
c) Shari’ah atau Hukum Fikih Islam tentang perkawinan dapat
diterapkan kepada umat Islam melalui kekuasaan negara.
b. Kelemahan
1) Tidak ada pasal ketentuan umum yang memuat berbagai pengertian
istilah yang digunakan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
untuk memudahkan bagi orang mempedomaninya. Di samping itu,
belum semua masalah yang terkait dengan perkawinan tercantum di
dalamnya.
284
2) Materi KHI Buku I tentang perkawinan banyak duplikasi dengan materi
yang telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
walaupun ditemukan banyak hal-hal baru yang belum disebutkan dalam
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di samping itu, KHI tidak
memiliki kekuatan hukum (legally binding force), karena hanya
berdasarkan INPRES NO. 1 tahun 1991 sehingga belum dicantumkan
dalam lembaran Negara.
Juga dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, Instruksi Presiden tidak
lagi tercantum dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Hal ini berdampak pada melemahnya kedudukan hukum materiil dalam
KHI yang ternyata masih dipergunakan oleh para Hakim Pada Badan
Peradilan Agama di Indonesia dan masyarakat yang memerlukannya.
3) Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI tentang
perkawinan belum dicantumkan sanksi pidana atas pelanggaran
terhadap ketentuan perkawinan, kecuali yang ada sebagian kecil saja.
4) Pengaturan ketentuan-ketentuan di bidang perkawinan yang terdapat
dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun
1975, masih bersifat umum, sehingga dipandang kurang memadai
sebagai hukum materiil bagi Peradilan Agama.
4. Dengan adanya UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan
mempunyai dampak dengan meningkatnya gugat cerai istri (khulu’), karena
para istri pada umumnya sudah mengetahui hak-haknya dalam perkawinan,
sehingga jika tidak dipenuhi oleh suami, sedangkan istri itu tidak sabar,
apalagi dengan terjadinya KDRT, maka ia mengajukan gugat cerai ke
Pengadilan.
285
B. Rekomendasi
1. Berhubung karena UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan belum
lengkap dan KHI baru berstatus INPRES No. I Tahun 1991, yang telah
menjadi pedoman para Hakim di Pengadilan Agama se Indonesia dalam
memeriksa dan memutuskan perkara yang berkaitan dengan perkawinan,
maka hendaklah pemerintah segera mengesahkan RUU Hukum Materiil
Peradilan Agama (HMPA) bidang Perkawinan yang telah dikirim ke DPR
RI agar menjadi undang-undang untuk melengkapi undang-undang No.
1/1974 tentang Perkawinan.
2. Menghimbau kepada DPR, bahwa sebelum menetapkan RUU HMPA
bidang Perkawinan menjadi undang-undang, terlebih dahulu mengundang
ORMAS-ORMAS Islam dan berbagai pihak yang dipandang perlu, agar
memberi masukan-masukan untuk kelengkapan RUU HMPA Bidang
Perkawinan itu dan hendaklah menyesuaikannya dengan ‘urf dan adat
kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat Indoensia selama tidak
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dan
Hadis serta tujuan syariat Islam (مقاصد الشريعة).
DAFTAR PUSTAKA
A. Al Quran Al Karim
B. Buku
Abady, Muhammad bin Ya’qub Fairuz, al Qamus al Muhit, (Bairut: Dar al Fikr, 1995)
Abduh, Muhammad, Tafsir al-Manar, (al-Qahirah: t.p., t.th) Abdullah, Abdul Ghani, Badan Hukum Syarak Kesultanan Bima, (Jakarta:
Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, 1987). ................, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1994).
Abidin, Ibnu, Hashiyah Radd al Muhtar ‘ala al Durr al Mukhtar, Sharh Tanwir al Absar, (Mesir : Mustafa al Baby al Halaby, 1386 H / 1966 M)
Abu Shuqqah, Abd. Hakim, Tahrir al Mar’ah Fi Asri al Risalah, (Kuwait:
Dar al Qalam, t.th). Abu Zahrah, Muhammad, al Ahwal al-Shakhsiyyah, (al-Qahirah: Dar al Fikr
al ‘Araby) Adams, Lewis Mulfored, dkk. (ed), Webster Shari’ah Word University
Dixtionary, (Washington DC : Publisher Company Inc, 1965). AF, Hasanuddin, et.el., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Percetakan Pustaka
Al-Husna Baru dan UIN Jakarta Press, 2004) Ahmad, Amrullah dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional; Mengenang 65 Tahun Prof. DR. H. Busthanul Arifin, SH, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
Ali, Abdullah Yusuf, Al Quran Terjemah dan Tafsirnya, Terj. Ali Audah,
(Jakarta: pustaka Firdaus, 1993). Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005) ..............., Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002)
286
287
..............., Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990)
Arifin, Busthanul, Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya,(Jakarta : Gema Insani Press, 1996)
..............., Laporan Tentang Pelaksanaan KHI, (Makalah), 1987
Aripin, Jaenal, Reformasi Hukum di Indonesia dan Inplikasinya Terhadap
Peradilan Agama, (Desertasi SPS UIN Jakarta, 1428 H/2007M)
Arnold, T.W., The Preaching of Islam; A History of Propagethom of the
Muslim Faith. (London; Constable, 1913)
‘Arabiyyah, Al, Majma’ al-Lughah, al Mu’jam al Wasit, (Mesir: Dar al Ma’arif, 1392 H/1972 M)
Asad, Muhammad, The Message of The Qur’an, (Giblartar: Dar al Andalus,
1980)
Ash’ath, Al, Sulaiman, Sunan Abi Daud, (t.t., t.p., t.th.)
Athir, Ibnu, Nihayah fi Gharib al Hadith wa al Athar, (t.t. : Dar al Fikr, 1979).
‘Audah, Abd. Qadir, al Tashri’ al Jina’i al Islami, (al Qahirah: Maktabah Dar
al Turath, t.th).
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994)
................, The Indonesian Marriage Law of 1974 An Institutionalization of
The Shari’a for Social Changes, in Shari’a and Politic in Modern
Indonesia, (Singapore : ISEAS, 2003).
Bahy, Al, Muhammad, al-Islam wa Hijab al-Mar’ah al-Mu’asirah, (Mesir:
Maktabah Wahbah, 1978)
Bakri, Hasbullah, Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan
Islam, (Jakarta : Bulan Bintang)
Basran, Masrain, Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama, No. 105, Tahun X,
Mei 1986
288
Basry, Hasan, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Utama,No. 104,
Tahun X April 1986)
Besant, Annie, the Life and Teachings of Muhammad, (Madras: t.p., 1932).
Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fikih, (Jakarta Prenada Media, 2003).
Bukhary, Al, Muhammad Ismail, Sahih al Bukhary, (al Qahirah: Tab’ah al
Sha’by wa al Fajalah, 1376)
Burhanuddin, Jajat, Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam
Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988)
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Intermasa, 1996)
Dimyaty, Al, Muhammad Shata al Malibary, I’anah al Talibin, (t.t.: Dar
Ihya’ al Kutub al ‘Arabiyah, t.th.)
Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : Kencana Pernada
Media Group, 2006)
Djamil, Fathurrahman, Konsekwensi Perkawinan di bawah Tangan Terhadap
Anak dan harta Dalam Perspektif Hukum Islam, (Makalah yang di
sajikan pada diskusi ilmiah yang di selenggarakan oleh GTZ di
hotel Meridien, Jakarta, 2007)
Djuanda, Adhi, “Sifilis”, dalam Mawarli Harahap, ed., Penyakit Menular
Seksual, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984).
Effendy, Bahtiar, Jalan Tengah Poliltik Islam, (Jakarta : Ushul Press, 2005).
FZ, Amak, Proses Pembentukan UU Perkawinan, (Bandung: Bulan Bintang,
t.th.).
Ghazali, Al, Muhammad, al Mustasfa Fi Ilm al Usul, (Bairut: Dar al Kutub al
Ilmiyyah, 1983).
Hajar, Ibnu, Al-Asqalany, Ibanah al Ahkam, (Bairut-Libnan : Dar al Fikr,
1424 H / 2004 M).
Hakim, Al, Al-Mustadrak, (Bairut, Dar Al-Kutub, Al-Ilmiyah, 1990).
289
Hammam, Sharh Fath al Qadir, (t.t. : Mustafa al Baby al Halaby, 1970)
Harahap, Yahya, Informasi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi
Hukum Islam, Dalam Mimbar Hukum, No. 5 Tahun III, 1992. ..............., Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975)
Haris, Syamsuddin, PPP dan Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Widiasarana,
1991).
Haroen, Nasrun, Usul Fikih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).
Hasan, Kamal, Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim, (Jakarta:
Suara Harian Studi Indonesia, 1987).
Hashry, Al, Ahmad, al Walayah wa al Wasayah Fi al Fiqh al Islamy: al
Ahwal al Shakhsiyyah, (Bairut: Dar al Jil, t.th).
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta : Tinta Mas,
1961)
Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2003)
Indonesia, Majlis Ulama, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta: Depag RI, 2003) .
..............., Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI II, (Ponorogo: Panitia
Ijtima’, 2006)
..............., Hasil-hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III, (Padang
Panjang: Tim Materi Ijtima’ Ulama, 1430 H/2009 M)
..............., Ajaran Islam dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda,
(Jakarta: MUI, 1411 H/1991 M)
Jaziry Al, Abd. Rahman, Kitab al Fiqh ‘Ala al Madhahib al Arba’ah, (t.t : Dar
Ihya’ al Turath al ‘Araby, 1986).
Jurjany, Al, al-Ta’rifat, (Bairut-Libnan: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyah, 1424
H/2003 M).
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Universitas Yarsi, 1999).
290
Kashir, Ibnu, Tafsir Al-Quran al-Azim, (al-Qahirah : Maktabah al-
Taufiqiyah,t.t.)
Khallaf, Abd. Wahhab, Ilmu Usul al-Fiqh, (Kuwait, Dar al-Qalam, t.th),
Kuzari, Ahmad, Perkawinan sebagai Sebuah Perikatan, (Jakarta: Rajawali
Press, 1995)
Lukito, Ratno, Pergumulan Antara Hukum Alam dan Adat di Indonesia,
(Jakarta: INIS, 1998)
Madkur, Muhammad Salam, al Qada Fi al Islam, (al Qahirah: Dar al Nahdah
al ‘Arabiyyah, 1964).
Mahally, Al, Jalaluddin, Qalyuby Wa ‘Umairah, (Riyad: Dar Ihya al Kutub al
‘Arabiyah, t.th).
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy
of Law and Religion, 1987).
Majah Ibnu, Muhammad Yazid, Sunan Ibnu Majah, (al Qahirah: Matba’ah
‘Isa al Baby al Halaby, t.th.).
Manan, Abd, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006).
................, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, (Jakarta: Yayasan al Hikmah, 2001).
Manzur, Ibnu, Lisan al- Arab, ( t.t., Dar al-Ma’arif, t.th).
Maraghy, Al Ahmad Mustafa, Tafsir al Maraghy, (Bairut: Dar al Fikr, 1365
H).
Mudzdhar, M. Atho’ dan Nasution, Khaeruddin, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003).
Munawwir, Al A.W, Kamus al-Munawwir, Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997).
291
Munawy, Al, Muhammad Abd Rauf, Fath al-Qadir Sharh al-Jami’ al-Saghir
Min Ahadith Li Bashir an-Nadhir, (Bairut: Dar al-Kutub al-
Islamiyah, 1994 M/1415 H)
Muttaqien, Dadan, et. Al, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam
Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 1999).
Nasa’i, Al Ahmad Shua’ib, Sunan al Nasa’i, (al Qahirah Tab’ah Mustafa al
Baby al Halaby, 1384).
Natabaya, H.T.S., Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta
: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2006)
Nawawy, Al, Sharh Sahih Muslim, (Bairut: Dar Ihya al-Turath al-‘Araby,
1392 H)
..............., Riyadu al-Salihin, (Beirut: Dar al Fikr, 1414 H / 1994 M)
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta : Grafiti
Pers.
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006).
Peorwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1987).
Praja, Juhaya S, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1991)
Prins, J, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Graha Indonesia, 1982)
Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing, 2002)
Qaradawy, Al, Yusuf, al Halal wa al Haram fi al Islam, (Bairut: al Maktabah
al Islamiyah li al Tiba’ah wa al Nashr, 1967)
Qattan, Al, Manna’ Khalil, al-Tashri’ wa al-Fiqh Fi al-Islam, (t.t., Maktabah
Wahbah, 1976).
292
Qudamah, Ibnu, Al Mughny, (Al Riyad : Maktabah al Riyad al Hadithah,
t.th.).
Qushairy, Al, Muslim al Hajjaj, Sahih Muslim, (al Qahirah: Maktabah al
Jumhuriyah, t.th.).
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, t.th), Z.A.
Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia,
(Bandung: al-Ma’arif, 1980).
Rahman, Abd, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Akademika
Persindo, 1992).
Ramulyo, Mohamad Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari
Undang-Undang No. I Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1996)
Rais, Isnawati, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Balitbang, 2006)
Ramulyo, Mohamad Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari
Undang-Undang No. I Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1996)
RI, Depag, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga
dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, (Jakarta :
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001)
..............., Hukum dan Peradilan Agama, Sejarah Peradilan Agama, (Jakarta :
Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama,
1982),
..............., Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta
: CV. Ade Cahya, 1985)
..............., Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta
: Dirjen Bimbingan Islam Depag R.I., 1991/1992),
..............., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 2000)
..............., Al Qur’an dan Terjemahnya, (Saudi Arabia : Khadim al-Haramain al-Syarifain, t.th)
Rida, Muhammad Rashid, Tafsir al Manar, (Misr: al Haiah al Misriyah al ‘Ammah Li al Kitab, 1973)
293
Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad al-Syaukani dan Relevansinya dengan
Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Jakarta, Disertasi PPS IAIN Jakarta, 1998)
Rushd, Ibnu, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid, (al-Qahirah; Matba’ah al-Fajalah al-Jadidah, 1974 M / 1394 H).
SA, Ichtianto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia,
dalam Eddi Rudiana Arief, et.al, (Peny). Hukum Islam di Indonesia
: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung : PT.Remaja Rosda
Karya, 1991).
Sabiq, Sayid, Al, Fiqh al Sunnah, (al Qahirah: Dar al Kitab al Islamy-Dar al
Hadith, t.th)
Saridjo, Marwan, Jabatan untuk umat. Kesaksian Kolega dan Para Sahabat, 70 tahun Kafrawi Ridwan, (Jakarta: Media Citra, 2002)
Sasroatmodjo, Arso dan Aulawi, A. Wasit, Hukum, Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Shafi’i, Al, Muhammad Idris, al-Umm, (Bairut-Libnan, Dar al-Fikr, 1400 H/1980 M)
..............., Ahkam Al-Quran, (Bairut-Libnan: Dar al Kutub al Islamiyyah, 1400
H/1980 M).
Shahrur, Muhammad, Al Kitab wa Al-Quran : Qira’ah Mu’asirah, (The Book
and the Qur’an Reading), (Damaskus : Dar al Ahaly, 1990), cet. II.
Shairazy, Al, al Muhadhdhab, (Semarang: Maktabah wa Matba’ah Taha Putra, t.th.).
Shaltut, Mahmud dan Sayis, Al, Ali, Perbandingan Mazhab dalam Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Shaltut, Mahmud, al Islam Aqidah wa Shari’ah, (al Qahirah: Dar al Qalam, 1966).
Shaukani, Imam, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006)
Shaukany, Al, Muhammad Ali, Nail al Autar, (t.t.,: Maktabah al Taufiqiyyah,
t.th)
Shihab, M. Quraish, Pengantin al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007)
294
Sjadzali, Munawir, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam,
(Yogyakarta: UII Press, 1999).
Sofyan, Yayan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2007).
Subhan, Zaitunah, (editor), Membendung Liberalisme, (Jakarta : Republika, 2006).
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).
Sukardja, Ahmad, Hukum Islam dan Sistem Masyarakat di Indonesia,
Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Islam dan Pranata Sosial,
(Serang: Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati Serang, 1977).
Suma, Amin, Transformasi Syari’ah ke Dalam Hukum Nasional di Indonesia,
Dalam Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum
Nasional, (Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2004).
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986).
Sunny, Ismail, Hukum Islam Dalam hukum Nasional, (Jakarta : Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1989).
Supramono, Gatot, Segi-segi Hubungan Luar Nikah, (Jakarta : Djambatan, 1998)
Suyuty, Al, Jalaluddin, al Ashbah wa al Nazair, (Bairut-Libnan: Dar al Fikr,
1995 M/1415H)
..............., al Jami al Saghir, (Bairut-Libnan: Dar al Kutub al Islamiyah, t.th.)
Sabuny, Al, Muhammad Ali, Rawai al Bayan, Tafsir Ayat al Ahkam,
(Damshiq: Maktabah al Ghazaly, 1400 H/1980 M)
San’any, Al, Muhammad bin Ismail, Subul al-Salam, (al Qahirah: Dar
al Hadits, 2004 M/1425 H)
Taqiyuddin, Imam, Kifayah al Akhyar, (Bandung : al Ma’arif, t.th)
Tebba, Sudirman (ed), Perkembangan Kontemporer Hukum Islam di Asia
Tenggara, (Bandung: Mizan, 1993).
Tabary, Al, Muhammad Jarir, Jami’ al Bayan, (Bairut: Dar al Fikr, 1988).
295
Thaba, Abd. Aziz, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999).
Thalib, Sayuti, Receptio a Contrario, (Jakarta: Bina Aksara, 1985).
Usman, Rachmadi, Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2003)
Usman, Suparman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
Yanggo, Huzaimah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos, 1997)
..............., Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta : Mawardi Prima, 2001)
..............., Al-Qur’an Kitab suci Aktual Sepanjang Zaman, Dalam Jurnal Misykat, (Jakarta : Pasca Sarjana IIQ, 2008)
..............., Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung :
Penerbit Angkasa, 2005)
..............., Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Adelina, 2005)
Widiana, Wahyu, Aktualisasi KHI di Peradilan Agama dan Upaya menjadikannya sebagai Undang-Undang (Makalah), Jakarta
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 1994)
Zarqa, Al, Mustafa’ Ahmad, al-Fiqh al-Islamy Fi Thaubihi al-Jadid, (Bairut, Dar al-Fikr, 1968)
Zuhaily, Al, Wahbah, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al
Fikr, 1989)
Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990)
C. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, Wawancara dan lain-lain
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI, Himpunan peraturan Perundang-undangan Perkawinan, 2008.
296
..............., Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tengang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahum 1975, Serto Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 2004
.............., Laporan Tahunan Perkara Cerai Talak, Cerai Gugat dan Perkara lain, tahun 2000 – 2005.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA) RI,
Laporan Tahunan Perkara Cerai Talak, Cerai gugat dan Perkara
Lain tahun 2006 – 2009
Risalah Sidang Pleno DPR RI, tanggal 17 September 1973, Pandangan Umum
Fraksi ABRI.
Surat Pernyataan Organisasi-Organisasi Wanita Terhadap Perkawinan Presiden Soekarno dengan Ny. Hartini.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Intermasa, 1996)
Surat Pernyataan Organisasi-Organisasi Wanita Terhadap Perkawinan Presiden Soekarno dengan Ny. Hartini.
Tim Pengarustamaan Gender, Pembaruan Hukum Islam CLD-KHI, (Jakarta :
Pengarustamaan Gender, 2004).
Tim Penyusun Naskah Akademik RUU HMPA, Naskah Akademik RUU
HMPA, (Jakarta: Depag RI, 2007)
Tim Penyusun Text Ilmu Fikih, Ilmu Fikih, (Jakarta: Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983)
Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan (Penyempurnaan) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Wawancara penulis dengan Drs. H. Sofyan Lahilote, SH, Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Sulawesi Utara, yang berasal dari Gorontalo lewat telepon pada tanggal 31 Agustus 2008.