56
viii ABSTRAK KEPASTIAN HUKUM HAK KOMUNAL DITINJAU DARI PASAL 16 AYAT (1) h -UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ataupun masyarakat yang berada dalam Kawasan tertentu, dalam hal ini masyarakat yang berada dalam kawasan hutan dan perkebunan dapat mengajukan Hak Komunal dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016. Keberadaan Hak Komunal apabila ditinjau dari UUPA tidak termasuk sebagai salah satu jenis hak atas tanah, khususnya dalam Pasal 16 ayat 1 h UUPA, di mana jenis hak atas tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu Hak atas tanah yang bersifat tetap, Hak atas tanah yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu hak atas tanah yang akan hadir kemudian yang akan ditetapkan oleh undang-undang dan Hak atas tanah yang bersifat sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA, karena Hak Komunal sendiri ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2015 yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, serta kemudian ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016, yang hampir 80 persen isinya sama dengan Permen Nomor 9 Tahun 2015. Kondisi ini dapat menimbulkan keraguan akan diperolehnya kepastian hukum atas kepemilikan Hak Komunal itu sendiri. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam tesis ini dikualifikasikan sebagai penelitian normatif dengan beberapa pendekatan yaitu Pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan Konsep), Pendekatan Sejarah dan Pendekatan Perbandingan serta mempergunakan tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teori-terori yang dipergunakan dalam melakukan analisis adalah Teori Kepastian Hukum, Teori Negara Hukum, Teori Perjenjangan Norma, Teori Fungsional dan Teori Legitimasi dan Validitas serta Teori Kemanfaatan. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pengaturan Hak Komunal yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016 belum memberikan jaminan kepastian atas Hak Komunal itu sendiri baik dilihat dari dasar penetapannnya maupun dilihat dari beberapa isi pasal-pasalnya.Untuk itu baik Legislatif maupun Pemerintah Pusat perlu menetapkan Hak Komunal itu dalam bentuk undang- undang, sehingga sesuai dengan UUPA sebagai Hukum Pertanahan yang berlaku di Indonesia sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang Hak Komunal. Kata Kunci : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Hak Komunal, Kepastian Hukum.

ABSTRAK KEPASTIAN HUKUM HAK KOMUNAL DITINJAU DARI PASAL 16 AYAT (1) h -UNDANG NOMOR 5 ... · 2017-04-01 · dari UUPA tidak termasuk sebagai salah satu jenis hak atas tanah, khususnya

  • Upload
    lehuong

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

viii

ABSTRAK

KEPASTIAN HUKUM HAK KOMUNAL DITINJAU DARI

PASAL 16 AYAT (1) h -UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ataupun masyarakat yang berada

dalam Kawasan tertentu, dalam hal ini masyarakat yang berada dalam kawasan

hutan dan perkebunan dapat mengajukan Hak Komunal dengan memenuhi

persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan

Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016. Keberadaan Hak Komunal apabila ditinjau

dari UUPA tidak termasuk sebagai salah satu jenis hak atas tanah, khususnya

dalam Pasal 16 ayat 1 h UUPA, di mana jenis hak atas tanah dapat

dikelompokkan menjadi tiga yaitu Hak atas tanah yang bersifat tetap, Hak atas

tanah yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu hak atas tanah yang akan hadir

kemudian yang akan ditetapkan oleh undang-undang dan Hak atas tanah yang

bersifat sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA, karena Hak

Komunal sendiri ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang

dan Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2015 yang kemudian dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku, serta kemudian ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri

Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016, yang hampir 80

persen isinya sama dengan Permen Nomor 9 Tahun 2015. Kondisi ini dapat

menimbulkan keraguan akan diperolehnya kepastian hukum atas kepemilikan

Hak Komunal itu sendiri.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam tesis ini dikualifikasikan

sebagai penelitian normatif dengan beberapa pendekatan yaitu Pendekatan

Perundang-undangan, Pendekatan Konsep), Pendekatan Sejarah dan Pendekatan

Perbandingan serta mempergunakan tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teori-terori yang dipergunakan

dalam melakukan analisis adalah Teori Kepastian Hukum, Teori Negara Hukum,

Teori Perjenjangan Norma, Teori Fungsional dan Teori Legitimasi dan Validitas

serta Teori Kemanfaatan.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pengaturan

Hak Komunal yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Menteri Agraria/Tata

Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016 belum memberikan jaminan

kepastian atas Hak Komunal itu sendiri baik dilihat dari dasar penetapannnya

maupun dilihat dari beberapa isi pasal-pasalnya.Untuk itu baik Legislatif maupun

Pemerintah Pusat perlu menetapkan Hak Komunal itu dalam bentuk undang-

undang, sehingga sesuai dengan UUPA sebagai Hukum Pertanahan yang berlaku

di Indonesia sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi

pemegang Hak Komunal.

Kata Kunci : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Hak Komunal, Kepastian

Hukum.

ix

ABSTRACT

LEGAL CERTAINLY COMMUNAL RIGHT IN TERMS OF

ARTICLE 16 PARAGRAPH (1) h of THE ACT OF

NUMBER 5 YEARS 1960.

The unity of the community customary law nor community association in

certain areas, in this community who are in the forest areas and plantation can

propose Communal Right with meet the requirements specified in the Minister of

Agrarian Affairs/and The Head of National Land Agency number 10 2016. The

Communal Right when in terms of Agrarian Regulation not included, especially

in article16 paragraph (1) h, in which the land rights can be classified into three

catagories land rights permanent and land rights set by regulation, land rights that

will attend then to be established by regulations and land rights temporary as

stipulated in section 53 Agrarian Regulation, because it entitles the own

communal was based on the Minister/Agrarian Spatial and The Head of National

Land Agency number 10 2016 nearly 80 percent of its contens equal number 9

years 2015. This could lead to doubt be getting legal certaintly over possession a

Right Communal itself.

The kind of research be used in this thesis classified as normative research

with some approach is statue approach, concept approach, historical approach, and

comparative approach and have three ingredients law that is the primary law, the

secondary law and materials tertiary law. The Theories to use in an analysis is a

theory llegal certaintly, , the theory legal state, the theory Grundnorm, the theory

function, and theory legitimacy and validity and theory benefit. Conclutions

obtained from research is that the Communal arrangement set with the Minister of

Agrarian Spatial /and The Head of National Land Agency number 10 years 2016

not guaranteeing certainty on the rights of communal itself seen both from the

base and its be made seen from contens from its paragraph for is good legislative

and the central government need to assign Communal Right it in the formn of the

act so can give guarantee of legal certainly for holder of the Communal Right.

Keywords : Unity The Customary Law, The Communal. Right Legal Certainly.

x

RINGKASAN TESIS

Tesis ini menganalisis mengenai Kepastian Hukum Hak Komunal Ditinjau Dari

Pasal 16 ayat 1 h Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 dan terdiri dari 5 Bab

yang secara substansi memuat :

Bab I menguraikan Latar Belakang Masalah yang beranjak dari adanya

hak yang dapat dimiliki oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat maupun

masyarakat yang berada pada kawasan tertentu, dalam hal ini berada dalam

kawasan kehutanan dan perkebunan. Berdasarkan pengaturan jenis hak atas tanah

dalam Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA dapat dikelompokkan tiga jenis hak atas

tanah yaitu hak atas tanah yang bersifat tetap, hak atas tanah yang ditetapkan oleh

undang-undang Hak atas tanah yang bersifat sementara. Sedangkan Hak Komunal

terbit berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN yang

secara hierarki berada di bawah undang-undang (dalam hal ini UUPA). Tampak

adanya insinkronisasi dari pemerintah berkaitan dengan pengaturan Hak Komunal

atas tanah, sehingga dapat menimbulkan keraguan akan jaminan kepastian hukum.

Berdasarkan pada latar belakang masalah selanjutnya dalam Bab ini akan

diuraikan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teoritis dan

konsep, serta metode penelitian yang dipergunakan dalam rangka mendapatkan

jawaban atas rumusan masalah.

Bab II menguraikan mengenai Konsep Hak Komunal yang akan

menguraikan mengenai sejarah Hak Komunal dan pengaturan Hak Komunal,

konsep pendaftaran tanah yang akan menguraikan pengaturan pendaftaran tanah,

asas-asas pendaftaran tanah serta prosedur pendaftaran tanah.

xi

Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan

masalah yang pertama, terdiri dari dua sub bahasan. Sub bab yang pertama akan

membahas mengenai syarat-syarat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagai

subjek Hak Komunal dan pada sub bab kedua akan dibahas mengenai kepastian

hukum Hak Komunal ditinjau dari Pasal 16 ayat 1.h UUPA.

Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan

masalah yang kedua mengenai kepastian hukum bukti kepemilikan Hak Komunal

yang terdiri dari dua sub bab, di mana sub bab pertama akan membahas mengenai

prosedur permhonan Hak Komunal dan sub bab kedua akan membahas mengenai

kepastian hukum bukti kepemilikan Hak Komunal

Bab V sebagai bab penutup menguraikan mengenai simpulan dan saran

yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian terhadap rumusan masalah. Atas

permasalahan yang diajukan diperoleh kesimpulan bahwa Hak Komunal

sebagaimana diatur dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 Tahun 2016, belum

memberikan jaminan kepastian hukum apabila ditinjau dari Pasal 16 ayat (1) h

UUPA, di mana Hak Komunal ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Negara

Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, yang tidak termasuk dari salah satu dasar

terbitnya jenis hak-hak atas tanah lain yang dikenal dalam Pasal 16 UUPA dan

hasil Pendaftaran Hak Komunal atas tanah belum menjamin kepastian hukum

yang sama dengan bukti pendaftaran hak atas tanah yang timbul atas jenis hak

atas tanah yang diatur dalam Pasal 16. UUPA, karena pendaftaran hak atas tanah

selain Hak Komunal akan menerima bukti akhir berupa sertifikat hak atas tanah,

sedangkan bukti pendaftaran Hak Komunal bukan sertifikat, meskipun prosedur

xii

pendaftaran Hak Komunalnya mengikuti ketentuan dalam PP Nomor 24 Tahun

2007 tentang Pendaftaran Tanah seperti hak atas tanah lainnya, namun tidak

dibarengi dengan terobosan mengenai aturan pendaftaran tanahnya sendiri

sehingga tidak ada kesesuaian antara syarat-syarat yang ditentukan dalam Permen

Nomor 10 Tahun 2016 dengan aturan pendaftaran tanahnya.

Sebagai penutup disampaikan saran-saran yang diharapkan dapat menjadi

masukan bagi tercapainya kepastian hukum bagi pemegang Hak Komunal, yaitu

baik Legislatif maupun Pemerintah Pusat perlu menetapkan Hak Komunal itu

dalam bentuk undang-undang, sehingga sesuai dengan UUPA sebagai Hukum

Pertanahan yang berlaku di Indonesia sehingga dapat memberikan jaminan

kepastian hukum bagi pemegang Hak Komunal.

xiii

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN .................................................................................... i

SAMPUL DALAM ................................................................................... ii

PRASYARAT GELAR............................................................................. iii

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... iv

LEMBAR PENETAPAN PENGUJI TESIS ............................................ v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ....................................................... vi

UCAPAN TERIMAKASIH...................................................................... vii

ABSTRAK ................................................................................................ viii

ABSTRACT ............................................................................................... ix

RINGKASAN ........................................................................................... x

DAFTAR ISI ............................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................. 25

1.3. Orisinalitas Penelitian ............................................................ 25

1.4. Tujuan Penelitian ................................................................... 27

1.4.1. Tujuan Umum ........................................................... 27

1.4.2. Tujuan khusus ............................................................ 28

1.5. Manfaat Penelitian ................................................................ 28

1.5.1. Manfaat Teoritis ........................................................ 28

1.5.2. Manfaat Praktis ......................................................... 28

1.6. Landasan Teoritis Dan Konsep ............................................. 29

1.6.1. Landasan Teoritis ...................................................... 29

xiv

1.6.1.1. Teori Kepastian Hukum .............................. 30

1.6.1.2. Teori Negara Hukum.................................... 35

1.6.1.3. Teori Perjenjangan Norma (Stufenbau ........

Theory) ........................................................ 38

1.6.1.4. Teori Fungsional .......................................... 42

1.6.1.5. Teori Legitimasi dan Validitas .................... 43

1.6.1.6. Teori Kemanfaatan ..................................... 45

1.6.2. Konsep ..................................................................... 47

1.7. Metode Penelitian .............................................................. 50

1.7.1. Jenis Penelitian ........................................................ 50

1.7.2. Jenis Pendekatan ..................................................... 52

1.7.3. Sumber Bahan Hukum............................................. 54

1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum....................... 56

1.7.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum .... 57

BAB II KONSEP HAK KOMUNAL DAN PENDAFTARAN ..........

TANAH .................................................................................... 59

2.1. Konsep Hak Komunal ........................................................ 59

2.1.1. Sejarah Hak Komunal ................................................ 68

2.1.2. Pengaturan Hak Komunal .......................................... 78

2.2. Konsep Pendaftaran Tanah ................................................... 81

2.2.1. Pengaturan Pendaftaran Tanah ................................... 88

2.2.2. Asas-asas Pendaftaran Tanah ..................................... 92

xv

BAB III. KEPASTIAN HUKUM HAK KOMUNAL DITINJAU ........ 98

DARI PASAL 16 AYAT (1) h UUPA. .................................. 98

3.1. Syarat-syarat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ...........

sebagai Subjek Hak Komunal .......................................... 98

3.2. Kepastian Hukum Hak Komunal Ditinjau Dari .................

Pasal 16 Ayat 1 UUPA ...................................................... 109

BAB IV. KEPASTIAN HUKUM BUKTI KEPEMILIKAN HAK ......

KOMUNAL ATAS TANAH ............................................ ...... 116

4.1. Prosedur Permohonan Hak Komunal ................................ 116

4.2. Kepastian Hukum Bukti Kepemilikan Hak Komunal . ...... 129

BAB V. PENUTUP .......................................................................... ...... 142

5.1. Simpulan ............................................................................. 142

5.2. Saran-Saran ........................................................................ 143

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 144

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah.

Dilihat dari aspek budaya masyarakat adat, tanah adalah benda yang bernilai tinggi

karena dianggap mengandung aspek spiritual. Tanah merupakan sesuatu yang berkembang

dengan para leluhurnya, di mana mereka bekerja, hidup sehari-hari demikian pula saat

meninggal dikuburkan dalam tanah. Bernhard Limbong menyatakan bahwa tanah bagi

masyarakat adat adalah ruang hidupnya (liebenstraum).1 Sebagai salah satu bagian dari unsur

Negara (dalam hal ini sebagai bagian dari wilayah), sampai saat ini tanah masih menjadi

bagian yang sangat penting bagi pencapaian kesejahteraan bangsa dan sebagai sumber daya

alam utama dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam kaitan itu negara

mempunyai tugas dan wewenang untuk menggariskan nilai-nilai dalam upaya menata

struktur keagrariaan yang berkeadilan dan berwawasan kesejahteraan dengan mengingat hal-

hal sebagai berikut :

(a) Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Ketentuan mengenai fungsi sosial ini diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (Lembaran Negara RI

Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 2045) dan selanjutnya

disebut UUPA, yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Hal ini mengandung arti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah

dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan)

semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau menimbulkan kerugian bagi

masyarakat. Dalam mempergunakan tanah, hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan

sifat daripada haknya, sehingga akan menimbulkan manfaat bagi kesejahteraan serta

1Bernhard Limbong, 2014, Politik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta, hal. 29.

2

kebahagiaan yang mempunyai hak atas tanah yang bersangkutan maupun memberi

manfaat bagi masyraakat dan negara.

Pencantuman fungsi sosial dalam undang-undang menurut A.P Parlindungan

adalah merupakan penegasan dari hakikat Hukum Adat Tanah kita sendiri.2 Konsep

fungsi sosial hak atas tanah sejalan dengan hukum adat yang menyatakan bahwa tanah

dalam lingkungan hukum adat adalah kepunyaan bersama seluruh warga masyarakat,

yang dimanfaatkan untuk kepentingan bersama bagi warga masyarakat adat yang

bersangkutan.

(b) Penguasaan dan pemilikan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Pengaturan tentang hal ini dapat dilihat dalam Pasal 7 UUPA yang menyatakan bahwa

untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang

melampaui batas tidak diperkenankan.

Dalam hal ini dicegah adanya kepemilikan tanah oleh beberapa orang secara berlebihan,

sehingga terjadi monopoli dalam penguasaan suatu hak atas tanah.

(c) Tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya dan mencegah cara-cara

pemerasan. Dalam hal ini setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak

akta tanah pertanian diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanahnya

secara aktif, memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan tanah serta mencegah

kerusakannnya, dengan memperhatikan kepentingan golongan ekonomi lemah. Dengan

adanya keharusan ini dapat dicegah tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pemegang hak

atas tanah terhadap untuk melakukan tekanan baik dalam pengelolaan maupun terhadap

penggarap.

(d) Usaha dalam bidang agrarian tidak boleh bersifat monopoli.

2

A.P. Parlindungan, 1991, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung,

(selanjutnya disebut A.P. Parlindungan I), hal. 52.

3

Kegiatan usaha dalam bidang agraria tidak bisa hanya memberi keuntungan bagi orang-

orang tertentu saja, akan tetapi harus terjadi pemerataan. Segala usaha bersama dalam

rangka kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya

organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli

swasta. Demikian pula halnya dengan usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli

jangan sampai merugikan rakyat banyak, dengan harus terjadi sinergi antara pemilik

lahan dengan penggarap serta terjadi hubungan saling menguntungkan.

(e) Menjamin kepentingan golongan ekonomi lemah.

Dalam pemanfaatan tanah baik oleh perseorangan maupun badan hukum harus tetap

memperhatikan kepentingan golongan ekonomi lemah, misalnya dalam hal pengelolaan

tanah pertanian di mana petani penggarap karena tidak memiliki hak atas tanah, hanya

menerima prosentase hasil dari tanah yang digarapnya. Oleh karena itu itu perlu diatur

mengenai ketentuan-ketentuan tentang tata cara dan syarat-syarat atas pemakaian tanah

atas dasar sewa, perjanjian bagi hasil, gadai dan sebagainya.

(f) Untuk kepentingan bersama.

Penggunaan tanah harus mengutamakan kepentingan bersama, sehingga akan

memberikan manfaat bagi pemegang hak atas tanahnya maupun bagi masyarakat pada

umumnya serta bagi negara. Pemegang hak atas tanah tidak hanya mementingkan dirinya

sendiri, namun harus ikut serta memberi kontribusi yang menguntungkan bagi

masyarakat lainnya serta untuk negara.

Konsep kebijakan sebagai pengejawantahan pelaksanakan tugas dan wewenang

pemerintah di bidang agraria seringkali sangat menarik pada tingkatan abstrak tetapi justru

pada tingkatan implementasi menjadi hal yang sebaliknya. Kondisi ini di antaranya dapat

dilihat dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menyatakan bahwa cabang-cabang produksi

4

yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh

Negara. Pasal ini mengandung tiga makna utama yaitu :

1. Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

2. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.

3. Tanah memiliki arti yang strategis bagi kehidupan bangsa karena tanah merupakan

cabang produksi negara yang menguasai hajat hidup orang ramai.

Berdasarkan korelasi tersebut, hak menguasai negara mengandung arti :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan objek pemilikan.

2. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan

bumi, air dan ruang angkasa.

Hak menguasai dari negara itu sendiri memiliki dua aspek yaitu : 3

1. Hak menguasai dari negara telah diterima dan tetap berlaku dari sejak pembentukannya

sampai saat ini. Namun demikian hak menguasai telah bergeser fungsi yang dapat dilihat

dari adanya asumsi bahwa atas dasar hak ini melegitimasi pemerintah dalam

merealisasikan program pembangunan dengan cara pengambialihan hak atas tanah;

2. Dengan mempertimbangkan pada alasan historis-filosofis dari hak menguasai dari

negara, menjadi perlu setidaknya untuk mengetahui konteks dan maksud

pembentukannya. Konsepsinya, selain bertujuan menjamin hak rakyat atas tanahnya,

kekuasaan negara atas tanah sebagai pemilik mutlak dimaksudkan hanya untuk tanah-

tanah yang tidak bertuan atau tidak dapat dibuktikan hak eigendom dan hak agrarische

eigendomnya.

Hak menguasai dari negara, dilihat dari sejarah pembentukan UUPA mengajarkan

bahwa hak menguasai negara (yang mencakup kewenangan negara untuk menetapkan

peruntukan dan pemanfaatan sumber daya agraria termasuk hak orang atau kelompok

masyarakat atas tanah) merupakan abstraksi dari Hak ulayat. UUPA pada dasarnya

3Anonim, 2012, Kebijakan Keberpihakan Hukum (Suatu Rekomendasi), Cet Pertama, , Jakarta, hal.

51.

5

merupakan penjabaran dari Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur kewenangan

negara atas tanah, menyebutkan bahwa sebagai hukum tanah nasional, dalam UUPA dikenal

adanya tiga entitas tanah yaitu :

a. Tanah Negara, hubungan penguasaannnya disebut hak menguasai (oleh) Negara,

kewenangannya bersifat publik;

b. Tanah ulAyat, hubungan penguasaannya disebut Hak ulayat, subjeknya Masyarakat

Hukum Adat dan kewenangannya bersifat publik dan keperdataan.

c. Tanah Hak yang dapat dipunyai oleh orang perorangan atau badan hukum,

kewenangannnya bersifat keperdataan. Macam-macam hak atas tanah diatur dalam

Pasal 16 UUPA.4

Tanah pada Masyarakat Hukum Adat, sebagaimana masyarakat pada umumnya,

merupakan kekayaan sekaligus merupakan tempat tinggal dan tempat bermata pencaharian.

Dalam tataran mistis, Masyarakat Hukum Adat menganggap tanah merupakan tempat tinggal

para leluhur serta tempat kuburan mereka saat meninggal nanti. Uraian di atas dapat

dikatakan lebih berhasil menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan diharapkan penguasaan

negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat, demikian pula halnya negara menguasai cabang produksi

negara yang menguasai hajat hidup orang ramai. Wewenang negara untuk mengatur

hubungan hukum antara orang-orang, termasuk Masyarakat Hukum Adat dengan tanah

terkait erat hubungan hukum antara tanah dengan negara. Hukum yang mengatur pengakuan

dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum

kepada masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh siapapun. Saat terjadi

keadaan di mana negara sendiri tidak mampu untuk mencapai apa yang dikehendaki sebagai

hasil dari hak menguasai dari negara, pada akhirnya terjadi perubahan substantif, karena para

pemilik modal selain negara, bahkan pemodal asinglah yang mengambil posisi negara dalam

artian menguasai tanah secara fisiknya. Hak menguasai oleh negara adalah merupakan

instrumen, sedangkan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan

4Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah,

Djambatan, Jakarta, hal. 5.

6

tujuan (objectives).5 Menurut Mahfud M.D., bahwa pada asas hak menguasai dari negara

tersurat tujuan secara jelas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.6 Pada bagian lain

dalam penjelasan UUPA dinyatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh

rakyat memang bukan pemilik, melainkan bertindak selaku badan penguasa yang pada

tingkatan tertinggi menguasai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya. Dengan demikian hak menguasai bukanlah merupakan hak mutlak dari negara

sebagaimana hak eigendom yang dimiliki oleh perseorangan, karena negara dalam hal ini

tetap dibatasi oleh undang-undang, yang menurut Achmad Sodiki disebut sebagai libertas

sub lege7 yang berarti negara bebas melaksanakan hak menguasainya akan tetapi masih

dalam bingkai peraturan hukum, terutama jika pelaksanaan hak menguasai itu bersentuhan

dengan kepentingan perseorangan atau kelompok masyarakat yang mempunyai hak tertentu

atas`tanah. Prinsip “negara menguasai” harus ditafsirkan sebagai peran dari negara, dalam hal

ini pemerinah, sebagai wasit yang adil yang menentukan aturan main yang ditaati oleh semua

pihak, termasuk negara tunduk pula pada peraturan yang dibuatnya sendiri saat negara turut

serta aktif sebagai pelaku dalam aktivitas pemanfaatan tanah. Persoalan sering muncul adalah

dengan terjadinya pergeseran penggunaan hak menguasai yang berintikan mengatur dalam

kerangka populis menjadi memiliki dalam rangka pragmatisme untuk melaksanakan

pembangunan ekonomi dalam situasi sekarang ini. Motif-motif ingin menguasai suatu

kawasan untuk tujuan penguasaan sumber daya alam termasuk tanah kalau sebelumnya

kekuatan ekonom menjadi satu-satunya modal sekarang ini kekuatan politik sudah mulai ikut

andil sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kondisi ini justru berakibat pada ditindihnya hak

atas tanah yang telah dipegang secara fisik oleh Masyarakat Hukum Adat. Tidak adanya

bukti-bukti secara formal tentang tanah hak ulayat serta anggota masyarakat secara hukum

5

Bagir Manan, 1999, Beberapa Catatan Undang-Undang Tentang Minyak Dan Gas Bumi,

Bandung, F.H. Unpad, hal.1-2.

6Moh. Mahfud MD., 2011, Politik Hukum Di Indonesia, Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada,

Jakarta, hal. 182.

7Achmad Sodiki, 2013, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 180.

7

menjadi cara yang mempermudah pengambilalihan tanah yang sudah secara turun temurun

dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat, sehingga rasa keadilan itu dirasakan semakin jauh.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh A. Suriyaman Mustari Pide, bahwa :

Masyarakat Hukum Adat atau persekutuan hukum adat pra proklamasi tidak luput dari

perubahan : proses melemah, mengabur atau mungkin menghilang karena berbagai

faktor. Dari berbagai bentuk dan coraknya, punahnya adat justru yang terbesar

kemungkinannya terutama karena politik hukum pemerintah yang dituangkan dalam

bentuk produk-produk hukum termasuk produk-produk sektoral yang terkait pada

pembangunan nasional yang terencana.8

Sedangkan di sisi lain negara secara tegas telah mengakui keberadaan Masyarakat Hukum

Adat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUPA yang menentukan bahwa :

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat

dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, sepanjang

menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan

kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak

boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih

tinggi.

Ketentuan Pasal 3 di atas tetap harus dimaknai bahwa kepentingan suatu masyarakat hukum

harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnyapun

pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas. Jarot Widya Muliawan

mengemukakan bahwa dalam rangka mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan,

maka arah dan kebijakan pertanahan didasarkan pada empat prinsip yaitu ;

1. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran.

2. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan

bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan,

penguasaan dan pemilikan tanah.

3. Pertanahan harus berkontribusi nyata dan menjamin keberlanjutan sistem

kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses

seluas-luasnya pada generasi yang akan datang pada sumber-sumber ekonomi dan;

4. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan

bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan

8A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat, Dahulu, Kini Dan Akan Datang, Prenada Media

Group, Jakarta, hal. 107-108.

8

di seluruh Indonesia dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan

sengketa dan konflik dikemudian hari.9

Dari keempat prinsip diatas terlihat bahwa penekanan dalam bidang pertanahan

adalah adanya kontribusi dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat, adanya tatanan

kehidupan yang adil, adanya akses seluas-luasnya untuk generasi muda pada sumber-sumber

ekonomi serta adanya sistem pengelolaan yang tidak menimbulkan konflik dikemudian hari.

Lain halnya dengan Maria S.W Sumardjono yang mengemukakan bahwa dasar berpijak

untuk pembuatan kebijakan di masa yang akan datang adalah : 10

1. Prinsip-prinsip dasar yang diletakkan oleh UUPA orientasinya perlu dipertegas dan

dikembangkan, sehingga dapat diterjemahkan sebagai kebijakan yang konseptual,

sekaligus operasional dalam menjawab berbagai kebutuhan dan dapat menuntut ke

arah perubahan yang dinamis.

2. Perlu adanya persamaan persepsi bagi pembuat kebijakan dengan berbagai hal yang

prinsipiil, sehingga tidak akan menunda jalan keluar dari berbagai permasalahan yang

ada. Dalam hal ini pembuat kebijakan harus senantiasa menghindari adanya

pengaturan yang menimbulkan multi tafsir, sehingga dapat ditentukan dan

dikembangkan kebijakan pertanahan sesuai dengan keberagaman permasalahan yang

ada .

3. Perlu dilakukan prioritas dalam penerbitan kebijakan, untuk menghindari kesan

adanya pembuatan kebijakan yang bersifat parsial.

4. Diperlukan adanya kebijakan di bidang pertanahan yang jelas yang menunjukkan

hubungan antara prinsip kebijakan, tujuan serta sasaran yang hendak dicapai. Hal ini

9Jarot Widya Muliawan, 2015, Pemberian Hak milik Untuk Rumah Tinggal (Sebuah Kajian Normatif

Untuk Keadilan Bagi Masyarakat), Buku Litera, Yogyakarta, (selanjutnya ditulis Jarot Widya Muliawan I), hal.

46-47. 10

Maria S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan ( Antara Regulasi dan Implementasi), Penerbit

Buku Kompas, Jakarta, (selanjutnya disebut Maria S.W. Sumardjono I), hal. 46.

9

perlu mengingat setiap kebijakan yang dikeluarkan akan menimbulkan akibat hukum

sebagai akibat dari kebijakan itu sendiri.

Salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam bidang agraria bagi Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu adalah

dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 9 Tahun 2015 (selanjutnya disebut Permen Nomor 9 Tahun 2015) yang

mengatur tentang Tata Cara Penetapan Hak komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat

dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, peraturan mana saat belum genap

berusia setahun telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku serta diganti Peraturan Menteri

Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016

(selanjutnya disebut Permen Nomor 10 Tahun 2016) yang mengatur tentang Tata Cara

Penetapan Hak komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada

Dalam kawasan Tertentu, dengan pertimbangan antara lain untuk menjamin hak-hak hukum

adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu, yang telah menguasai tanah dalam

jangka waktu yang cukup lama serta untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat

serta untuk menghindari terjadinya pemahaman.

Menurut Pasal 1 angka 1 Permen Nomor 10 Tahun 2016 dinyatakan bahwa hak

komunal atas tanah adalah :

“hak milik bersama atas tanah suatu Masyarakat Hukum Adat, atau hak milik bersama

atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu”.

Dari Permen Nomor 10 Tahun 2016 ini jelas dinyatakan bahwa Hak komunal dapat

diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat yang berada pada Kawasan

Tertentu, dengan pengertian kawasan tertentu yang dimaksud di sini adalah daerah

perkebunan dan kehutanan.

10

Sebelum dikenal hak komunal atas tanah, dikenal adanya Hak ulayat yang dapat

dikatakan hampir sama, di mana Pasal 1 ayat (1) Permen Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat menyatakan bahwa

hak ulayat dan yang serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat (untuk selanjutnya disebut hak

ulayat) adalah kewenangan yang menurut Hukum Adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum

Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk

mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi

kelangsungan hidup dan kehidupannnya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan

batiniah turun temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat tersebut dengan

wilayah yang bersangkutan. Dari ketentuan pasal 1 ayat (1) di atas, bahwa yang dimaksud

dengan hak atas tanah menurut peraturan ini adalah :

1. Hak ulayat dan yang serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat, (untuk selanjutnya

disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh

Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan

para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah,

dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari

hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara

Masyarakat Hukum Adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu

Masyarakat Hukum Adat tertentu.

Maria S.W. Sumardjono mengemukakan bahwa hak ulayat tidak termasuk dalam pengertian

hak atas tanah, Beliau menunjuk Pasal 16 ayat (1) UUPA. nampaknya pemerintah

menyamakan pengertian hak ulayat dengan hak komunal, hal ini dapat dilihat dalam

konsiderans huruf b Permen Nomor 9 Tahun 2015, yang menyatakan “bahwa hukum tanah

nasional Indonesia mengakui adanya hak komunal dan yang serupa itu dari Masyarakat

11

Hukum Adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

UUPA”.11

Di dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, hak ulayat ini diberikan

kepada negara sebagai abstraksi dari keseluruhan rakyat. Adalah rakyat yang menggunakan

hak menentukan nasib sendiri yang kemudian membentuk NKRI dan mempercayakan pada

negara urusan pengelolaan kepentingan bersama (res-publica).12

Aturan operasional

pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat dan sumber daya alam ( hak ulayat) yang diatur

dalam Permen Nomor 5 Tahun 1999 ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan panduan

kepada pemerintah daerah untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terkait dengan

penguasaan tanah oleh Masyarakat Hukum Adat, namun dengan telah dicabutnya permen

ini, dapat memperlemah keberadaan hak ulayat itu sendiri. Sebenarnya berbicara mengenai

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya ditulis KMHA) maka otomatis ada melekat

Hak ulayat yang dikenal selama ini, sementara dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 hanya

mengatur soal hak komunal. Dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 ditegaskan bahwa yang

dimaksud dengan Masyarakat Hukum Adat, dalam Pasal 1 angka 3 adalah sekelompok orang

yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum

karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Pengertian Masyarakat

Hukum Adat itu sendiri, menurut Ter Haar sebagaimana dikutip oleh Bunsar Muhammad

bahwa :

Masyarakat Hukum Adat adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah

tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan, yang berwujud dan

tak berwujud, di mana para anggota persatuan itu masing-masing mengalami kehidupan

dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun di

antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membukakan

ikatan yang telah tumbuh itu, atau dengan meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri

dari ikatan itu untuk selama-lamanya.13

11https:kios.kompas.com/kiosku./2015/07/06 /Ihwal Hak komunal Atas Tanah, diakses tanggal 3

Maret 2015.

12Anonim, op.cit., hal. 77.

13Bunsar Muhammad, 2004, Azaz-azaz Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.

25.

12

Berbeda halnya dengan A. Suriyaman Mustari Pide, yang menyebutnya dengan

istilah masyarakat hukum yang territorial geneologis, di mana diberikan pengertian sebagai

kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur di mana para anggotanya bukan saja terikat pada

tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga ikatan pada hubungan keturunan

dalam ikatan pertalian darah atau kekerabatan.14

Kingsbury sebagaimana dikutip Emil Ola

Kleden menyatakan bahwa ada syarat-syarat dan ciri-ciri yang relevan dan harus dipenuhi

oleh kelompok yang disebut masyarakat adat yaitu :

1. Identifikasi diri sendiri sebagai kelompok etnis yang berbeda;

2. Memiliki pengalaman sejarah sebagai kelompok yang rentan terhadap intervensi,

peyingkiran atau atau eksploitasi;

3. Adanya keterkaitan yang panjang dengan wilayah tempat hidupnya, dan

4. Adanya kehendak untuk memelihara sebuah identitas yang berbeda.15

Pengertian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 diatas, bila dikaitkan dengan

bentuk dan susunan Masyarakat Hukum Adat, Ter Harr menunjukkan adanya dua faktor yang

berpengaruh bagi timbulnya KMHA yaitu faktor territorial dan faktor genealogis,16

sedangkan R. Soepomo membagi KMHA di Indonesia menjadi dua golongan menurut dasar

susunannya yaitu :

a. KMHA yang berdasar pertalian keturunan (genealogis) dan

b. KMHA yang berdasar lingkungan daerah (territorial)

dapat dikatakan bahwa apa yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 di atas menentukan

terpenuhinya syarat genealogis ataupun territorial.17

Dengan demikian dalam masyarakat

adat, antar sesama anggota mempunyai keterikatan dan keterkaitan satu dengan yang

14

A. Suriyaman Mustari Pide, op.cit., hal. 62. 15

Emil Ola Kleden, 2012, Masyarakat Adat : Vulnerable Groups, Kajian Dan Mekanisme

Perlindungannya, PUSHAM UII, Yogyakarta, hal. 385. 16

B. Ter Haar, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan : K.Ng Soebakti Poesponoto,

Pradnya Paramita, Jakarta, hal.7. 17

R. Soepomo, 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 69.

13

lainnya, sehingga menimbulkan kesatuan emosi menjadi satu kelompok, kesatuan mana

dapat timbul karena faktor keturunan dari masing-masing anggota maupun karena sejak turun

temurun sudah berada pada lingkungan ataupun daerah yang sama. Dalam tata hukum

Indonesia, keberadaan Masyarakat Hukum Adat telah mendapat tempat tersendiri dalam

aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia, hal ini dapat dilihat dalam beberapa produk

hukum di antaranya :

a. Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa Negara mengakui dan

menghormati Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pasal ini merupakan pengakuan konstitusional atas kesatuan kesatuan Masyarakat

Hukum Adat.

b. Pasal 281 ayat (3) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa “identitas budaya

dan hak masyarakat tradisional dihormati secara selaras dengan perkembangan zaman

dan peradaban”. Pasal ini secara eksplisit menunjuk kepada eksistensi Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat menjadi objek dan subjek yang harus dilindungi oleh

negara. Tanggungjawab negara terutama pemerintah (eksekutif) untuk melaksanakan

pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak kolektif

Masyarakat Hukum Adat ditegaskan pula dalam Pasal 281 ayat (4) UUD Tahun 1945

yang menyatakan : perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi

manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.

Jimly Assiddiqie sebagaimana dikutip Ilhamdi Taufik mengemukakan bahwa

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat pada hakekatnya lebih dari sekedar kesatuan

masyarakat adat yang hanya bersifat tradisional, karena di dalamnya terkandung hak

hukum dan kewajiban hukum masyarakat itu dengan lingkungan sekitarnya dan juga

14

dengan Negara. Lebih lanjut dikemukakan perlu diperhatikan pengakuan terhadap

masyarakat hukum adat ini diberikan oleh Negara (i) kepada eksistensi pada suatu

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimiliknya (ii) eksistensi yang

diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan pengertian

bahwa pengakuan diberikan kpada satu persatu dari kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;

(iii) masyarakat hukum adat itu memang masih hidup; (iv) dalam lingkungannya

(labensraum) yang tertentu pula; (v) pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa

mengabaikan ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai tingkat perkembangan

peradaban bangsa; (vi) pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna

Indonesia sebagai Negara yang berbentuk Negara Kesatuan republik Indonesia.18

c. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang

menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih

ada dan diakui keberadaannya berhak :

1. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari

dari masyarakat adat yang bersangkutan;

2. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan

tidak bertentangan dengan undang-undang;

3. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

H.M.S. Kaban mengenai ketentuan ini mengemukakan bahwa apa yang diatur dalam

UU Nomor 67 Tahun 1999 mengenai hak ulayat dan hak-hak perorangan sama dan

sesuai dengan apa yang terdapat dalam UUPA.19

d. Pasal 51 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, antara lain menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat sebagai satu

18

Ilhamdi Taufik, 2006, “Pengakuan dan Perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat”, Himpunan

Dokumen Sekitar Acara Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia 9 Agustus, Komisi

Hak Asasi Manusia, Jakarta, hal.5. 19

H.M.S Kaban, 2005, “Pengakuan keberadaan Dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat

Dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia”, Makalah dalam Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat

Hukum Adat, Kerjasama Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI dan Departemen Dalam Negeri RI, Jakarta,

hal. 18-19.

15

kesatuan merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi pemohon dalam

persidangan Mahkamah Konstitusi.

Dengan menyimak apa yang diatur dalam Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 dapat

dikemukakan bahwa eksistensi Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat tradisional ini

diakui dengan tiga syarat yaitu :

1. “Sepanjang Masih hidup”

Masyarakat Hukum Adat dimaksud secara riil harus masih hidup, untuk itu dilakukan

inventarisasi terhadap keberadaannya, untuk mengenal struktur sosial serta kultur

identitasnya, lembaga kepemimpinan dan batas-batas tanah ulayatnya. Seiring dengan itu

terhadap Masyarakat Hukum Adat yang pernah ada dan sekarang telah lenyap perlu

dipertanyaan faktor apa yang menyebabkan tidak adanya lagi apa yang disebut Ter Haar

sebagai geordend groepen van blijved karacter. Kriteria eksistensial masyarakat atau

persekutuan hukum adat menurut Ter Haar sebagaimana dikutip oleh Saafroedin Bahar

adalah :

a. suatu tatanan kelompok yang bersifat tetap;

b. dengan kekuasaan (penguasanya) sendiri (biasanya dilengkapi dengan aparat

pembantu penguasa tersebut) ;

c. adanya kekayaan materiil dan immateriil sendiri.20

Klausula “sepanjang masih hidup” ini terkesan dibuat-buat, menyimpang dari

semangat untuk melindungi Masyarakat Hukum Adat beserta hak-haknya serta memberi

peluang manipulasi justru untuk meniadakan Masyarakat Hukum Adat dengan satu atau

lain cara.21

Syarat ini nampak lebih menekankan akan masih hidupnya Masyarakat Hukum

Adat yang bersangkutan, tanpa memberikan perhatian serta menghidupkan kembali

Masyarakat Hukum Adat yang pernah ada, sehingga hanya diakui apabila masih ada

20

Saafroedin Bahar, 2006, Menjembatani Keterasingan Elite Dari Keterpinggiran Rakyat, (Kerangka

Analisa dari Program Aksi), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kerjasama KOMNAS HAM dan UNDP, hal.

68. 21

Ibid.

16

aktivitas yang disyaratkan dalam masyarakat adatnya. Kondisi ini dapat berakibat semakin

berkurangnya komunitas Masyarakat Hukum Adat yang ada selama ini.

2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat

Penilaian di sini bersifat relatif dan bahkan bisa menjadi bumerang bagi pemerintah

sendiri. Fakta bahwa ada Masyarakat Hukum Adat yang tanpa kehendaknya sendiri tidak

sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban dapat diartikan secara berbalik

sebagai pengakuan kegagalan pemerintah dalam menunaikan salah satu tugas pokoknya.

Jadi bila sistem adat yang berlaku di dalam suatu komunitas adat tersebut ternyata masih

dihormati dan diakui oleh segenap komunitas (secara internal) serta tidak bertentangan

dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat luas, maka komunitas adat tersebut

dipandang sesuai dengan perkembangan pada masanya.

3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

Sesuai dengan Pasal 37 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 yang dengan tegas menyatakan

bahwa khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan. Dalam hal ini

NKRI menghormati kedudukan Masyarakat Hukum Adat sebagai daerah-daerah istimewa

dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak asal

usul daerah itu. Dalam hal ini pendiri negara sangatlah jelas dan tegas yaitu bahwa Negara

Republik Indonesia menghormati kedudukan Masyarakat Hukum Adat sebagai daerah-

daerah istimewa dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan

mengingat asal usul daerah itu. Dengan kata lain bila sistem nilai adat istiadatnya tidak

memecah belah persatuan dan kesatuan nasional, maka sistem nilai adat istiadat tersebut

wajib dihormati dan dijaga kelestariannya.

4. Diatur dengan undang-undang (merupakan syarat yang tercantum dalam Pasal 281 ayat

(3) UUD NRI 1945).

17

Masyarakat Hukum Adat tidak berwenang membentuk undang-undang dan karena

posisinya sangat rentan dan berbagai segi juga tidak mempunyai kemampuan untuk

mempengaruhi pembentuk undang-undang. Menurut Artidjo Alkostar bahwa dengan

keempat syarat di atas bahwa pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat atau

masyarakat tradisional tidaklah berlangsung secara otomatis.22

Soetandyo Wignyosoebroto

menyebut keempat syarat tersebut diatas merupakan tolok yuridis yang harus diperhatikan

oleh pemerintah tatkala akan memberikan pengakuan kepada eksistensi Masyarakat

Hukum Adat, dan mengisyaratkan bahwa kepentingan negara nasional, sebagaimana yang

harus dijaga oleh pemerintah nasional dengan posisinya yang sentral, tetap harus

didahulukan.23

Berkaitan dengan hak-hak atas tanah, hak atas tanah dan sumber daya alam adalah

salah satu hak yang paling banyak dituntut oleh masyarakat adat. Ketergantungannya yang

tinggi terhadap tanah dan sumber daya alam untuk menopang hak atas hidup adalah alasan

utama.24

Hak atas tanah dari masyarakat yang berlaku di Indonesia, dalam Pasal 4 ayat (1)

UUPA disebutkan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut

tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun

bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Macam-macam hak atas

tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA diatas, ketentuan dalam Pasal 16

UUPA mengenal jenis-jenis hak atas tanah antara lain:

(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah:.

a. hak milik

22

Artidjo Alkostar, 2007, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (kajian Multi Perpektif),

PUSHAM UII, Yogyakarta, hal. 452.

23Soetandyo Wignjosoebrata, 2005, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang “Empat Syarat Pengakuan

Eksistens Masyarakat Adat”, Makalah dalam Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat,

Kerjasama Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI dan Departemen Dalam Negeri RI, Jakarta, hal. 39.

24Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, 2010, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

(Dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi), Salemba Humanika, Jakarta, hal. 423.

18

b. hak guna-usaha,

c. hak guna-bangunan,

d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah,

g. hak memungut-hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan

dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

(2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(3) ialah: a. hak guna air;

b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan;

c. hak guna ruang angkasa. (3) Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53

UUPA yaitu :

a. hak gadai

b. hak usaha bagi hasil

c. hak menumpang

d. hak sewa tanah pertanian

Dari pengaturan hak atas tanah di atas, maka jenis-jenis hak atas tanah yang diatur

dalam Pasal 16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu hak-hak atas tanah yang tetap ada dan

berlaku selama UUPA berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru.

Jenis hak atas tanah yang termasuk dalam pengelompokan ini adalah hak milik,

HGU, HGB, Hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah dan hak

memungut hasil hutan.

2. Hak atas tanah yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu hak atas tanah yang akan

hadir kemudian yang akan ditetapkan oleh undang-undang, misalnya hak atas tanah

yang telah pernah dikeluarkan adalah Unsang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan.

3. Hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara,

dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat

pemerasan, mengandung sifat feodal dan bertentangan dengan UUPA. Macam-macam

19

hak atas tanah ini adalah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak

sewa tanah pertanian.

Berdasarkan pengelompokan di atas, dapat dilihat bahwa hak komunal tidak

termasuk dalam salah satu dari ketiga pengelompokan yang telah disebutkan di atas. Hal ini

dikarenakan dasar hukum lahirnya hak komunal adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala

Tata Ruang dan Kepala BPN. Apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) h

UUPA mengenai maksud dari “hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di

atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53”, menyatakan bentuk lain selain “undang-undang”.

Adanya insinkronisasi dalam pengaturan mengenai hak komunal di sini dapat menimbulkan

keraguan akan jaminan tercapainya kepastian hukum dari Hak komunal. Di sisi lain hal yang

masih dapat menjadi persoalan apakah politik pengakuan terhadap hak komunal tanah adat

akan memberikan kepastian hukum setara dengan hak atas tanah yang selama ini diatur

UUPA. Penafsiran atas ketentuan hak komunal dengan Pasal 16 ayat (1) h UUPA

menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah bermaksud menjadikan Hak komunal sebagai

hak yang bersifat sementara ataukah hak yang terpisah dari UUPA sebagai Undang-Undang

Pokok di bidang keagrariaan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini ?.

Bila dilihat pengaturan pendaftaran tanah yang berlaku selama ini, Pasal 19 ayat (1)

Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh

pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, selanjutnya dalam penjelasan

Umum UUPA disebutkan bahwa kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah merupakan

cita-cita dari pada pembuat UUPA. Pasal 2 Tap MPR/IX/2001 berkaitan dengan kepastian

hukum, menyebutkan bahwa pembaruan agraria mencakup suatu proses yang

berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan

20

dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan

perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan

demikian terbitnya Permen Nomor 10 Tahun 2016 diharapkan akan dapat memberikan

kepastian dan perlindungan hukum bagi KMHA. Dimungkinkannya KMHA memiliki tanah

dengan hak komunal dengan diterbitkannya hak komunal sepanjang memenuhi persyaratan,

hal ini sejalan dengan tujuan dari pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah :

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak

atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar

dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang

bersangkutan;

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk

pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam

mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan

rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya tertib administrasi

pertanahan.

Kepastian akan kepemilikan hak atas tanah tidak hanya diperlukan oleh perseorangan

ataupun oleh badan hukum yang merupakan bagian dari sejarah politik pertanahan nasional

Indonesia, namun sudah seharusnya siapapun pemegang suatu hak atas tanah yang diperoleh

dengan memenuhi persyaratan serta sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam ketentuan

Hukum Petanahan di Indonesia, seharusnya mendapat jaminan kepastian hukum karena

secara hukum sudah bertindak sebagai pemohon yang beritikad baik. Demikian pula halnya

dengan pemegang tanda bukti kepemilikan hak komunal. Melihat pengaturan hak komunal

yang didasarkan pada Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN yang berbeda

dengan dasar pengaturan hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) h UUPA

21

yang mengenal adanya hak atas tanah yang bersifat tetap, hak atas tanah yang ditetapkan oleh

undang-undang, dan hak atas tanah yang bersifat sementara.

Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang di atas, selanjutnya penulis akan

melakukan pembahasan atas tesis dengan judul KEPASTIAN HUKUM HAK KOMUNAL

DITINJAU DARI PASAL 16 AYAT (1) h UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN

1960.

1.2. Rumusan Masalah.

Dari uraian dalam latar belakang masalah, dapat dikemukakan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah kepastian hukum hak komunal ditinjau dari Pasal 16 ayat (1) h. UUPA?

2. Apakah sertifikat hak komunal atas tanah memberikan jaminan kepastian hukum yang

sama dengan sertifikat hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA?

1.3. Orisinaltas Penelitian.

Untuk menghindari terjadinya duplikasi dalam penulisan, mengingat hukum dalam

masyarakat akan terus berkembang, beberapa disertasi dan tesis terdahulu yang berkenaan

dengan Hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atas tanah yaitu :

No Nama

Penulis

Judul Tulisan Pokok Penulisan Keterangan

1.

Dewa

Bagus

Wibawa

Utama

Pemanfaatan Tanah

Adat dalam

Pembangunan

Pariwisata Di Bali

(studi Tentang

Perjanjian

Kerjasama Desa

Adat Dengan

Investor di Bidang

Pariwisata)

Penulisan ini meneliti

3 permasalahan yaitu :

1.Bagaimanakah

bentuk-bentuk

penguasaan tanah

adat dan pemanfaat-

an tanah adat di

Bali ?

2.Bagaimanakah

fenomena koeksis-

tensi masyarakat

adat dengan investor

dan implementasi

pemanfaatan tanah

Penulisan

Tesis

Program

Studi

Magister

Kenotariatan

Fakultas

Hukum

Universitas

Brawijaya

Tahun 2010.

22

2.

3.

Luh Gede

Soearning

sih

Dewa

Nyoman

Rai

Asmara

Putra

Penyelesaian

Sengketa Tanah

Adat yang

Dijadikan Tempat

Pendidikan oleh

Pemerintah Daerah

Implikasi Politik

Hukum Pertanahan

Nasional terhadap

Kedudukan Desa

Pakraman Sebagai

Subjek Hukum Hak

Atas Tanah.

adat dalam pem-

bangunan pariwisata

di Bali?

3.Bagaimanakah ben-

tuk perjanjian kerja-

sama antara desa

adat dengan

investor terkait

dengan pemanfaatan

tanah adat dalam

pembangunan

pariwisata di Bali?

Penulisan ini meneliti

2 permasalahan yaitu :

1.Bagaimanakah

penyelesaian

sengketa tanah adat

yang dijadikan

tempat pendidikan

oleh Pemerintah

Daerah?

2.Apa upaya-upaya

yang dilakukan

untuk

menyelesaikan

sengketa tanah adat

yang dijadikan

tempat pendidikan

oleh Pemerintah

Daerah?

Penulisan ini meneliti

3 permasalahan yaitu:

1.Bagaimana

implikasi politik

hukum pertanahan

nasional terhadap

desa pakraman

sebagai subjek

hukum hak atas

tanah?

2.Mengapa hanya

tanah laba pura

Penulisan

Tesis

Program

Pascasarjana

Universitas

Udayana

Tahun 2015.

Penulisan

Disertasi

Program

Pascasarjana

Universitas

Udayana

Tahun 2016.

23

sebagai salah satu

jenis tanah adat di

Bali yang diakui dan

dapat didaftarkan

sebagai hak milik

atas tanah?

3.Bagaimana regulasi

politik hukum

pertanahan ke depan

perspektif desa

pakraman dalam

kedudukannya

sebagai subjek

hukum hak atas

tanah

1.4.Tujuan Penelitian.

Dalam penelitian ini yang menjadi tujuan penelitian dapat dibedakan atas tujuan yang

bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Mengenai tujuan ini dapat dijabarkan sebagai

berikut :

1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan pengkajian serta

menganalisis kepastian hukum hak komunal ditinjau dari Pasal 16 ayat (1) h Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1960.

1.4.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1.4.2.1. Untuk dapat mendiskripsikan dan menganalisis mengenai kepastian hukum

hak komunal dikaitkan dengan jenis-jenis hak atas tanah sebagaimana diatur

dalam Pasal 16 ayat (1) h UUPA.

24

1.4.2.2. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis jaminan kepastian hukum atas

sertifikat hak komunal atas tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

10 Tahun 2016 dikaitkan dengan sertifikat hak atas tanah atas hak atas tanah

yang diatur dalam Pasal 16 UUPA.

1.5. Manfaat Penelitian.

1.5.1 Manfaat Teoritis.

Penelitian dalam tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta bahan

informasi hukum bagi para akademisi di bidang hukum pada umumnya, dan diharapkan dapat

menjadi bahan dalam menambah wawasan khususnya dalam Ilmu Hukum Pertanahan

khususnya mengenai hak komunal KMHA.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. bagi praktisi hukum di antaranya Notaris-PPAT, dapat memberikan sumbangan

pengetahuan dan pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam bidang Hukum

Pertanahan, khususnya mengenai dapatnya hak atas tanah adat disertifikatkan

menjadi hak komunal.

2. Bagi masyarakat, sebagai informasi dan diharapkan dengan informasi ini akan

mendorong masyarakat hukum adat yang saat ini sedang menguasai suatu hak atas

tanah adat untuk mengajukan hak atas tanahnya menjadi hak komunal dengan

mengikuti prosedur yang telah ditentukan.

1.6. Landasan Teoritis Dan Konsep.

1.6.1. Landasan Teoritis

Teori hukum adalah cabang dari ilmu hukum yang menganalisa secara kritis aspek-

aspek yang bermacam-macam dari gejala-gejala hukum secara tersendiri dan dalam

keseluruhannya baik dalam pengaruh konsepsi teoritisnya, maupun dalam pengaruh

25

praktisnya, di dalam suatu perspektif interdisipliner, dengan tujuan suatu pandangan yang

lebih baik dan suatu keterangan yang jelas tentang data yuridis ini.25

Bruggink mengartikan

teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan

sistem konseptual kaidah-kaidah hukum dan keputusan-keputusan hukum

(rechtsbesslingen).26

Dalam rangka melakukan pembahasan dalam penulisan ini, diperlukan teori-terori

yang menguatkan pembahasan tersebut. Teori-teori yang dipergunakan antara lain: Asas

Kepastian Hukum, Teori Negara Hukum, Teori Perjenjangan Norma serta Teori

Kemanfaatan.

1.6.1.1. Asas Kepastian Hukum

Kepastian memiliki arti ketentuan, ketetapan. Sedangkan jika kata kepastian itu

digabungkan dengan kata hukum, menjadi kepastian hukum, memiliki arti perangkat hukum

suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.27

Dalam

penegakan hukum, setiap orang selalu mempunyai harapan untuk dapat ditetapkannnya

hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkrit, bahwa suatu peristiwa tidak boleh

menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang berlaku, dengan kata lain

diperoleh kepastian hukum. Kepastian hukum adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab

secara normatif dan tidak bisa dijawab secara sosiologis. Kepastian hukum secara normatif

adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara

jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan tafsir yang berbeda dan logis dalam

artian dapat menjadi sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari dari ketidakpastian

25

Jan Gijssel dan Mark Van Hoecke, 2000, Apa itu Teori Hukum?, diterjemahkan oleh Bachtiar

Ibrahim, Dipakai Kalangan Sendiri, Malang, hal. 00.

26J.J.H. Bruggink, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan Ke 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

hal.3.

27E. Fernando M. Manullang,, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tinjauan Hukum Kodrat dan

Antinomi Nilai), Buku Kompas, Jakarta, hal. 91-92.

26

aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian

hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan suatu kepastian tindakan yang sesuai dengan

aturan hukum, karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian prilaku

hukum secara benar-benar. Kepastian hukum menjamin keadilan bagi setiap insan dan

anggota masyarakat dengan masyarakat lain tanpa membedakan darimana dia berasal.

Menurut Paulus Effendie Lotulung, asas kepastian hukum memiliki dua aspek, yang satu

lebih bersifat hukum materiil yang terkait erat dengan asas kepercayaan dan yang lain masih

bersifat formal.28

Pada bagian lain Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk

mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di

masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan

yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan

ketertiban.

Penjelasan UUD NRI 1945 menyebutkan antara lain, “Negara Indonesia berdasar atas

hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machsstaat)”. Menurut Philipus

M. Hadjon, prinsip negara hukumlah yang melindungi rakyat terhadap tindakan pemerintah.29

Dengan adanya negara dan hukum (konstitusi) yang pada dasarnya merupakan

perwujudan dari kehendak bersama rakyat yang berdaulat, oleh sebab itu nilai kepastian yang

dalam hal ini berkaitan dengan hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan

perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak sewenang-

wenang, sehingga hukum memberikan tanggungjawab pada negara untuk menjalankannnya.

Di sinilah letak hubungan antara persoalan kepastian (hukum) dengan peranan negara.

Berbeda halnya dengan Pasal 58 huruf a Penjelasan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan mengenai kepastian hukum

28

Paulus Effendie Lotulung, 1994, Himpunan Makalah Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 43.

29Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Peradaban, Surabaya, hal.

66.

27

yaitu bahwa kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan

penyelenggara negara. Masyarakat terutama masyarakat modern, sangat membutuhkan

adanya kepastian dalam berbagai interaksi antara para anggotanya dan tugas itu diletakkan di

pundak hukum. Ilmu hukumpun disibukkan oleh masalah tersebut.30

Kepastian hukum

sudah menjadi semacam ideologi dalam kehidupan berhukum, sehingga diperlukan suatu

pemahaman yang kritis mengenai kata tersebut.31

. Gustav Rudbruch, seorang filsuf Jerman

mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum, yang diidentikkan pula dengan tiga tujuan hukum

yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Bagi Gustav Rudbruch ketiga ide dasar

hukum itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, di mana Gustav Rudbruch

mengajarkan bahwa harus dipergunakan asas prioritas, di mana prioritas pertama adalah

keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Kemanfataan dan

kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan, demikian pula kepastian hukum

tidak boleh bertentangan dengan kemanfaatan.32

Kepastian hukum menurut Gustav Rudbruch

yang mengembangkan Geldings Theorie mengemukakan bahwa untuk berlakunya hukum

secara sempurna harus memenuhi 3 (tiga) nilai dasar, yaitu :

1. Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, di mana kekuatan mengikatnya didasarkan

pada aturan hukum yang lebih tinggi.

2. Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat karena diakui

dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atas dapat dipaksakan sekalipun

masyarakatnya menolak (teori paksaan)

30

Achmad Ali, 2013, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)

Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya

disingkat Achmad Ali I), hal. 289-290.

31

Ibid.

32Ibid., hal. 288.

28

3. Philosopical doctrine, nilai filosofis artinya aturan hukum mengikat karena sesuai

dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi33

.

Sehubungan dengan tiga nilai dasar di atas, Jarot Widya Muliawan menggambarkan

teori Gustav Rudbruch sebagai berikut: 34

33Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Harian Kompas, Media Oktober, (selanjutnya

disingkat Satjipto Rahardjo I), hal. 19.

34Jarot Widya Muliawan I, op.cit., hal. 110.

Kepastian Hukum (Gustav Rudbruch)

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,

tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat

dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

Kepastian Hukum oleh

hukum

Kepastian hukum dalam

atau dari hukum

Kepastian hukum oleh karena hukum

memberi tugas hukum yang lain yaitu

keadilan hukum serta hukum harus

tetap berguna.

Kepastian hukum dalam hukum

tercapai apabila hukum tersebut

sebanyak-banyaknya dalam undang-

undang

29

Bagan Teori Kepastian Hukum Gustav Rudbruch.

Di sisi lain sehubungan dengan hukum itu sendiri Gustav Rudbruch mengemukakan

bahwa hukum itu hanya berarti sebagai hukum, jika hukum itu merupakan suatu perwujudan

keadilan atau sekurang-kurangnya merupakan usaha ke arah terwujudnya keadilan.35

Selanjutnya berkenaan dengan “kepastian hukum” Fuller sebagaimana dikutip

Achmad Ali memajukan delapan asas yang harus dipenuhi oleh hukum dan apabila tidak

dipenuhi, maka gagallah hukum itu sebagai hukum. Adapun asas itu adalah :

1. Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan

sesaat untuk hal-hal tertentu (ad hoc);

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;

3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti umum;

5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan

7. Tidak boleh sering diubah-ubah;

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari36

Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perubahan ketiga bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Berkenaan dengan

permasalahan yang dibahas, Asas Kepastian Hukum terhadap hak komunal atas tanah yang

dapat dimiliki oleh KMHA, meskipun apabila dilihat dalam pasal-pasal UUPA yang

mengatur jenis hak atas tanah, hak komunal tidak merupakan salah satu dari hak atas tanah

yang diatur dalam UUPA. Di sisi lain akan dipergunakan untuk mendapatkan penjelasan

mengenai ada tidaknya jaminan kepastian hukum komunal yang bersangkutan.

1.6.1.2. Teori Negara Hukum

35

Achmad Ali I, op.cit., hal. 438. 36

Achmad Ali I, op.cit., hal. 29.

30

Negara hukum merupakan istilah yang meskipun kelihatan sederhana, namun

mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah

Indonesia yang terbentuk dari dua suku kata yaitu negara dan hukum. Ada beberapa istilah

yang dipergunakan sebagai pengertian negara hukum, yakni rechtsstaat, rule of law dan etat

de droit. Indonesia menggunakan istilah Rechtsstaat untuk menyebut dirinya sebagai negara

hukum.37

Tiada negara atau masyarakat tanpa sistem hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh

Mochtar Kusumaatmaja, dengan memodifikasi konsep Roscoe Pound bahwa hukum harus

digunakan sebagai sarana untuk membantu proses perubahan dalam masyarakat atau law as a

tool of social engineering yang dimaksudkan bahwa perubahan sebagaimana dimaksud oleh

hukum jelas menyangkut perubahan terhadap sikap dana atau pola prilaku warga masyarakat

dalam memberikan maknanya terhadap hukum.38

Dalam Tahun Buku 19 Henry VI Pasch disebutkan bahwa :

“the law is the highest inheritance which teh king has, for by the law heand all his

subjects are ruled and if there was no law there would be no king and no heritance.”39

secara garis besar dapat diterjemahkan sebagai berikut: hukum adalah warisan tertinggi yang

dimiliki oleh raja, dengan hukumnya semua rakyatnya diperintah, dan jika tidak ada hukum,

maka tidak akan ada raja dan warisan. Dengan kata lain apabila hukum tidak ada, maka raja

tidak mempunyai kekuatan untuk memerintah dan mengatur rakyatnya.

Di Indonesia, keinginan untuk menegakkan negara hukum telah membawa negara

kita ke arah pentingnya amandemen konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3

UUD NRI Tahun 1945, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal ini mengandung

makna perwujudan Indonesia yang diidealkan dan dicita-citakan karena itu selayaknya ada

37

Majda El Muhtaj, 2007, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, hal. 20.

38Endang Sutrisno, 2015, Bunga Rampai Hukum & Globalisasi, In Media, Cirebon, hal. 43.

39Michael Allen & Brian Thompson, 2002, Cases & Materials on Constituional & Administrative Law,

Oxford Univercity Press, United State, hal. 172.

31

eksplorasi mengenai reforma hukum dan konstitusi, serta bentukan cita negara hukum dituju

agar dapat mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan dan berakhlak.40

Gagasan negara hukum itu dikembangkan dengan mengembangkan perangkat hukum

itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Menurut Widhi Handoko

dalam rangka pengembangan tersebut, maka sistem hukum perlu dibangun (law making) dan

ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum

yang paling tinggi kedudukannya.41

Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan

negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang

Dasar dan dapat pula tidak tertulis.42

Sebagaimana telah diketahui UUD NRI 1945 telah

mengalami perubahan. Melihat kondisi Indonesia yang dihuni oleh beragam suku bangsa dan

keragaman, karena itu negara harus mampu mengikat keseluruhan perbedaan-perbedaan

tersebut menjadi satu persatuan tanpa harus memaksakan adanya kesatuan. Menurut Jimly

Assiddiqie, prinsip negara hukum mengandung pengertian:

1. Pengakuan prinsip supremasi hukum dan kostitusi;

2. Dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem

konstitusional;

3. Adanya jaminan-jaminan hak-hak asasi manusia dan ;

4. Adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak.43

Berbeda halnya dengan Scheltema sebagaimana ditulis dalam buku Widhi Handoko

merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas negara hukum meliputi 5 hal

yaitu :44

1. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang berakar dalam

penghormatan atas martabat manusia (human dignity).

40

Jimly Assiddiqie, 2008, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, (selanjutnya disingkat Jimly Assiddiqie I), hal. 117.

41Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan (Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif),

Thafa Medica, Semarang, hal. 44. 42

Ibid., hal. 256.

43

Jimly Assiddiqie, 2008, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

(selanjutnya disingkat Jimly Assiddiqie II), hal. 57.

44

Widhi Handoko, op.cit., hal. 44- 46.

32

2. Berlakunya asas kepastian hukum, Negara hukum bertujuan menjamin bahwa

kepastian hukum terwujud dalam masyarakat.

3. Berlakunya persamaan (Similia Similius atau Equality before the law) dalam negara

hukum. Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok tertentu dan

mendiskriminasikan orang atau kelompok tertentu.

4. Asas demokrasi di mana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama

untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempngaruhi tindakan-tindakan

pemerintahan.

5. Pemerintah harus secara rasional menata setiap tindakannya, memiliki tujuan yang

jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya pemerintahan haru diselenggarakan

secara efektif dan efisien.

Sebagai negara yang berdasarkan pada hukum, penerapan teori ini dikaitkan dengan

kebijakan pemerintah di bidang pertanahan sebagai usaha untuk memberikan kepastian

hukum. LMDP (Land Management Policy Develompent Project ) mengusulkan adanya 4

prinsip utama kebijakan pertanahan yaitu : 45

1. Meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber kemakmuran

baru.

2. Meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan terkait dengan

pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah.

3. Menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan

Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada generasi yang akan

datang pada sumber-sumber ekonomi masyrakat berupa tanah.

4. Menciptakan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai

sengketa dengan konflik pertanahan.

Peran negara sangat menentukan dalam rangka mencapai keempat hal di atas, di antaranya

dalam menerbitkan peraturan perundang-undangan, seharusnya pemerintah menghindari

terjadinya ketidaksinkronan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain, yang

dapat berakibat timbulnya ketidakpastian hukum. Peraturan yang dibuat oleh negara harus

relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Berkaitan dengan keberadaan hak komunal, dilihat dari aturan hukum yang dipergunakan

sebagai dasar terbitnya hak komunal yaitu berupa Peraturan Menteri Agraria Dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional berbeda dengan dasar pengaturan hak atas tanah

yang selama ini dikenal yaitu berupa undang-undang. Dalam menentukan ketentuan yang

45

Maria S.W. Sumardjono, dkk., 2009, Hasil Kajian : Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional

Bidang Pertanahan, BPHN Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 7.

33

berkaitan dengan masyarakat hukum adat, faktor keragaman adat serta aturan adat yang

berlaku pada tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat negara harus mengkaji secara

mendalam tentang hal ini untuk mencegah pemaksaan aturan hukum yang tidak sesuai

dengan kondisi masyarakat adatnya. Secara umum berlaku bahwa kepada pemegang hak atas

suatu bidang tanah yang menguasainya dengan cara yang sah dalam arti telah memenuhi

syarat material di antaranya diperoleh dengan itikad baik serta terpenuhinya syarat formal

yakni dilakukan menurut tata cara peraturan perundangan yang berlaku berhak memperoleh

kepastian hukum atas hak atas tanah yang diperolehnya. Teori ini akan diterapkan dalam

membahas permasalahan pertama dan kedua.

1.6.1.3. Teori Perjenjangan Norma (Stufenbau Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Hans Kelsen dan dikenal dengan Teori Hukum Murni

yang dikenal sebagai suatu teori besar dan kesohor dalam ilmu hukum, yang berusaha

menelaah ilmu hukum dari dalam ilmu hukum sendiri. Dan dengan memakai metode ilmu

hukum itu sendiri, dengan menghilangkan pengaruh dari ilmu lain dalam menganalis hukum,

seperti menghilangkan pengaruh dari ilmu etika sosiologis, antropologi, psikologi, ilmu

politik, ilmu ekonomi, dan ilmu sejarah. Dalam teori hukum ini hanya menelaah hukum

secara “apa adanya” (das sein) dan tidak masuk kelingkup „apa yang seharusnya” (das

sollen), sehingga karenanya teori hukum murni ini tergolong juga kedalam ajaran

“positivisme hukum” Tujuan dari diabaikannya pengaruh dari berbagai disiplin ilmu lain tadi

dalam menganalisis ilmu hukum adalah agar kajiannya hanya bertumpu pada jawaban atas

pertanyaan apa dan bagaimana hukum itu.

Menurut W. Friedmann bahwa esensi dari ajaran Hans Kelsen adalah sebagai berikut :

1. The aim of a theory ol law, as of any science, is to ruce chaos and multiplicity to unity

(Tujuan Teori Hukum seperti halnya setiap ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan serta

meningkatkan persatuan).

34

2. Legal theory is science, not volutiom. It is knowledge of what the law is, not of what the

law not to be (teori hukum adalah ilmu dan bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan

tentang subjek hukum yang ada dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada).

3. The law is normative not a natural science (ilmu hukum adalah normatif dan bukan ilmu

alam) …

Karakter positivistis dari Hans`Kelsen sangat “kental” dalam tiga ajarannya yang

utama yang sangat menekankan pengakuan hanya pada eksistensi hukum positif. Ajaran Hans

Kelsen ada tiga yang utama yaitu :

1. Ajaran Hukum Murni (Reine Rechlehre)

Menurut Reine Rechtlehre, tugas dari ilmu hukum adalah adalah untuk memaparkan

hukum yang berlaku (yang ditetapkan secara normative semurni mungkin dan dengan

menjauhkan diri dari semua pertimbangan moral dan politik kemasyarakatan).46

2. Ajaran tentang Grundnorm

Teori ini mengajarkan bahwa grundnorm merupakan induk yang melahirkan

peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Grundnorm itu

kecuali berfungsi sebagai dasar, juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap

hukum atau peraturan yang ada47

. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum,

tetapi ia selalu akan ada disitu, apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu

pernyataan yang tidak dituliskan serta memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu

ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo, Grundnorm itu semacam bensin yang menggerakkan

seluruh sistem hukum, karena menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan yang

memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum itu harus dilaksanakan, sehingga lebih

46Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,

(selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo II), hal. 133.

47

Ibid., hal. 312.

35

tepat dikatakan merupakan sebagai dalil daripada peraturan biasa. Dalil ini akan tetap

menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayainya, mengakuinya dan

mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar

tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnyapun akan runtuh. Inilah yang disebut

revolusi.48

3. Ajaran tentang Stufenbaru Theory

Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu norma hukum selalu berada dalam sebuah

sistem yang tersusun secara hieharkis yang sebagai suatu sistem maka seharusnya antara satu

norma hukum dengan norma hukum yang lain mestinya tidak saling bertentangan satu sama

lain, atau secara teori mestinya tidak bertentangan, yang semuanya bersumber dari suatu

sistem besar yang merupakan suatu norma dasar (grundnorm), yaitu konstitusi49

. Hans

Kelsen juga menyatakan bahwa suatu kaidah hukum bisa saja bertentangan dengan kaidah

hukum yang lain. Hal ini adalah wajar mengingat kita berbicara pada tataran yang lebih

konkrit, seperti telah disebutkan, maka akan terjadi berbagai penafsiran yang satu sama lain

saling berbeda bahkan saling bertentangan.

Teori ini mempunyai pendapat bahwa keseluruhan bangunan hukum itu tampak

sebagai bangunan yang terdiri dari berbagai lapisan susunan, sehingga menimbulkan sebutan

Stufenbau des Recht. Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang

berada pada puncak piramidal dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar.

Norma dasar letaknya paling atas bersifat abstrak kemudian semakin ke bawah menjadi

semakin konkrit.50

Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai suatu analisis tentang struktur hukum positif,

yang dilakukan sedapat mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat

(judgements) etik atau politik mengenai nilai. Berdasarkan suatu grundnorm, suatu tata 48

Ibid.

49Satjipto Rahardjo II, loc.cit.

50Achmad Ali I, op.cit., hal. 62.

36

hukum dapat dipahami sebagai suatu keseluruhan, tetapi hal itu tidak mutlak. Arief Sidharta

menyebutkan bahwa Kelsen adalah positivis hukum in optima forma. Hal itu tampak tidak

hanya dari wawasan tentang hukum sebagai semata-mata (murni) normatif, tetapi juga

misalnya dari pemisahannya secara tajam antara hukum di satu pihak dan etika (moral),

hubungan-hubungan politikal atau kemasyarakatan di pihak lain.51

. Hal itu tampak tidak

hanya dari wawasannnya tentang hukum semata-mata. Dalam tesis ini Teori Perjenjangan

Norma akan dipergunakan dalam melakukan pembahasan terhadap permasalahan pertama

untuk mendapatkan jawaban mengenai kepastian hukum Hak komunal yang keberadaannnya

didasarkan pada Permen Nomor 10 Tahun 2016 dikaitkan dengan UUPA khususnya Pasal 16

ayat (1) h serta bagaimana kedudukan Permen dilihat dari Teori Perjenjangan Norma serta

dari teori akan dilakukan pembahasan mengenai kesesuaian aturan hukum sebagai dasar dari

hak komunal bila dikaitkan dengan dasar dari terbitnya hak atas tanah lainnya. Di samping itu

untuk mendapatkan jawaban apakah sertifikat hak komunal yang terbit mempunyai kepastian

hukum yang sama dengan sertifikat hak atas tanah lainnya yang diatur dalam UUPA.

1.6.1.4. Teori Kemanfaatan

Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme) pertamakali dikembangkan oleh Jeremi Benthan,

yang dikenal sebagai the father of legal utilitarianism, yang mana saat itu Benthan

menghadapi permasalahan mengenai bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan

sosial politik, ekonomi dan legal secara moral. Selain Benthan penganut lain adalah James

Mill dan John Stuart Mill. Menurut Achmad Ali, aliran Benthan terkenal degan dengan

motonya bahwa tujun hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the

greatest number (kebahagiaan yang terbesar, untuk terbanyak orang). Adanya negara dan

hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, kebahagiaan mayoritas rakyat.52

51Meuwissen, 2007, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum,

terjemahan Arief Sidharta, Replika Aditama, Bandung, hal.75. 52

Achmad Ali I, op.cit., hal. 272.

37

Teori ini menganut paham bahwa hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia

memberikan manfaat sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Jarot Widya

Muliawan mengemukakan menurut teori ini tujuan perundang-undangan harus berusaha

mencapai empat tujuan :53

a. To provide subsistence ( untuk memberikan nafkah hidup)

b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah)

c. To provide security (untuk memberikan perlindungan)

d. To attain equility (untuk mencapai persamaan).

Lebih lanjut dinyatakan bahwa Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition, menganut

pandangan bahwa suatu peraturan yang baik dapat tercapai jika memenuhi : 54

1. Syarat yuridis, yang berkaitan dengan keharusan adanya kewenangan dari pembuat

perundang-undangan, di mana setiap perundangan memiliki badan atau lembaga yang

berwenang membuat undang-undang:

a. Keharusan adanya kesesuaian bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan

dengan materi muatannnya;

b. Keharusan mengikuti tata cara tertentu;

c. Keharusan untuk tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi tingkatannya;

2. Syarat Sosiologis, di mana suatu perundang-undangan baik apabila mencerminkan

kenyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat;

3. Syarat Filosofis, yaitu tidak bertentangan dengan falsafah bangsa;

4. Teknik Perancangan, yang mengandung arti bahwa dalam menyusun peraturan

perundang-undangan bahasa hukumnya harus dirumuskan secara jelas, tegas dan

tepat.

53

Jarot Widya Muliawan, 2016, Cara Mudah Pahami Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Buku

Litera, Yogyakarta, (selanjutnya ditulis Jarot Widya Muliawan II), hal. 20. 54

Ibid., hal. 21.

38

Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebenarnya

sudah ada sebelum lahirnya UUPA, walapun saat itu kehidupan mereka diatur oleh hukum

yang hanya berlaku di lingkungan Masyarakat Hukum Adat itu sendiri. Terbitnya Permen

Nomor 10 Tahun 2016 dikaitkan dengan pendapat Benthan yang menyatakan bahwa baik

buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan

hukum itu.55

Dapat dikatakan bahwa hukum itu akan bermanfaat bagi masyarakat apabila

penerapannnya akan berakibat pada kebaikan, kebahagian serta berkurangnya penderitaan.

Pada bagian lain W. Friedmann yang mengutip pendapat Benthan mengemukakan bahwa

fungsi-fungsi pokok hukum adalah untuk memberi penghidupan, bertujuan memperoleh

materi yang berlimpah-limpah, mendorong persamaan dan memelihara keamananan. Dari

semua ini yang paling penting adalah keamanan dan penekanannya pada fungsi melindungi

dari hukum.56

Dari teori ini diharapkan dapat diketahui apakah keberadaan hak komunal

memberikan kepastian hukum, sehingga benar-benar memberikan manfaat bagi pemegang

hak komunal itu sendiri, mengingat hak komunal sebagai suatu hak baru yang dapat diterima

oleh Masyarakat Hukum Adat maupun masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu

merupakan bentuk penguatan atas keberadaan Masyarakat Hukum Adat di tengah tidak

adanya prosedur resmi pengakuan kepemilikan Masyarakat Hukum Adat atas wilayah

adatnya. Selain itu Teori Kemanfaatan diharapkan dapat memberikan jawaban atas

permasalahan mengenai kepastian hukum hasil pendaftaran hak komunal dikaitkan dengan

sertifikat hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA.

1.6.2. Konsep

Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang

dipergunakan dalam tesis ini, dikemukakan beberapa konsep yang dipergunakan yaitu :

55

Ibid., hal. 20. 56

W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum (Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum), Cetakan

Pertama, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 115.

39

1. Masyarakat Adat adalah kesatuan manusia yang tertentu, mempunyai penguasa-

penguasa dan mempunyai kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud, di mana para

anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat

sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun di antara para

anggota mempunyai fikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah

tumbuh, dalam arti melepaskannya untuk selama-lamanya.

2. Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik

khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan

pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat

dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan

pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah

tertentu secara turun temurun (Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat

Hukum Adat). Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Permen Nomor 10 Tahun 2016

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Masyarakat Hukum Adat adalah

sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama

suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal, atau atas dasar keturunan.

Melihat kedua pasal diatas terdapat kesamaan dalam melihat dasar dari kesatuan

Masyarakat Hukum Adat yaitu adanya kesamaan tempat tinggal, asal-usul (leluhur),

karena memang kenyatannya dasar inilah yang memperkuat rasa kesatuan dan

persatuan dalam Masyarakat Hukum Adat. Dalam kertas posisi Hak Masyarakat

Hukum Adat diberikan pengertian Masyarakat Hukum Adat adalah sebagai suatu

komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami

suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa

lampau mereka merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari

40

satu nenek moyang yang sama dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang

ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak

mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada.57

3. Hak ulayat adalah hak kepemilikan bersama/komunal dari Masyarakat Hukum Adat

yang dikelola dengan cara gotong royong dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan

bersama dan para warga masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentangan dengan

undang-undang. Maria S.W. Sumardjono mengemukakan Bahwa kiranya adil apabila

kriteria penentu eksistensi hak ulayat didasarkan pada adanya tiga unsur yang harus

dipenuhi secara simultan yaitu a) Subjek hak ulayat yaitu Masyarakat Hukum Adat itu

memenuhi karakteristik tertentu b) Objek hak ulayat yakni tanah wilayah merupakan

Labensraum mereka c) Adanya kewenangan tertentu dari Masyarakat Hukum Adat itu

untuk mengelola tanah wilayahnya, termasuk menentukan hubungan yang berkenaan

dengan persediaan, peruntukan dan pemanfaatan serta pelestarian tanah wilayahnya

itu.58

Hak ulayat berlaku ke luar dan ke dalam, di mana berlakunya ke luar karena

apabila bukan warga masyarakat hukum, pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut

menggarap tanah yang merupakan wilayah persekutuan, hanya dimungkinkan dengan

persetujuan/seizin persekutuan yang bersangkutan, dengan membayar pancang

sebagai ganti kerugian, orang luar baru memperoleh kesempatan untuk ikut

menggunakan tanah ulayat. Sedangkan berlakunya ke dalam karena hanya anggota

persekutuan yang dapat memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuhan dan

binatang yang hidup di wilayah persekutuan.

4. Tanah ulayat adalah tanah hak kepemilikan bersama/komunal dari Masyarakat

Hukum Adat yang dikelola dengan cara gotong royong dimanfaatkan untuk

57

Ilhamdi Taufik, op.cit., hal. 9. 58

Maria S.W. Sumardjono I, op.cit., hal. 65.

41

memenuhi kebutuhan bersama dan para warga masing-masing dan pemanfaatan tidak

bertentangan dengan undang-undang.

5. Hak komunal atas tanah adalah hak milik bersama atas tanah suatu Masyarakat

Hukum Adat atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat

yang berada dalam kawasan hutan atau perkebunan.Pendaftaran Tanah, sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, menyebutkan bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan

data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya

bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah

susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

6. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan

ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan

penyelenggara negara.

7. Sertifikat adalah “Sertifikat merupakan surat tanda buki hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,

sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat

ukur dan buku tanah yang bersangkutan.”

1.7. Metode Penelitian.

Keberhasilan suatu penelitian salah satunya sangat tergantung pada metode yang

dipergunakan dalam penelitian itu sendiri. Dengan metode, peneliti akan mendapatkan

petunjuk ataupun informasi bagaimana cara untuk mendapatkan data dan selanjutnya

bagaimana cara mengolah data-data yang diperoleh, sehingga apa yang disampaikan sebagai

42

hasil akhir dari Penulisan memenuhi kriteria sebagai suatu karya ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Dalam pembahasan atas permasalahan yang dikaji dalam tesis ini akan dipergunakan

metode penelitian sebagai berikut :

1.7.1. Jenis Penelitian .

Penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran- kebenaran

koherensi, yakni adakah aturan hukum sesuai dengan norma hukum dan adakah norma yang

berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum (bukan hanya sesuai aturan

hukum) atau prinsip hukum.

Penelitian dalam tesis ini dikualifikasikan sebagai penelitian normatif,

di mana J. Gijssels dan M Van Hoecke menyebutnya dengan istilah teori hukum perskriptif

atau teori hukum kritikal sebagai lawan teori hukum emperikal.59

Menurut Suratman dan

Philips Dillah banyak yang berpendapat bahwa dalam Penulisan hukum yang normatif, yang

seringkali juga disebut Penulisan hukum doktrinal biasanya hanya menggunakan atau

bersaranakan pada sumber data sekunder saja yakni peraturan perundang-undangan,

keputusan-keputusan pengadilan, teori-teori maupun konsep hukum dan pandangan para

sarjana hukum terkemuka.60

Menurut Zainnudin, Penulisan hukum normatif atau biasa disebut Penulisan yuridis

normatif, terdiri atas : 61

1. Penulisan terhadap asas-asas hukum

2. Penulisan terhadap sistematika hukum

3. Penulisan terhadap taraf sinkronisasi hukum

4. Penulisan sejarah hukum

5. Penulisan perbandingan hukum

59

Jan Gijssel dan Mark van Hoecke, ibid., hal. 81.

60Jan Gijssel dan Mark van Hoecke, ibid., hal. 11.

61

Zainuddin.,H., 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 12.

43

Sedangkan menurut Meuwissen sebagaimana dikutip oleh I Made Pasek Diantha bahwa ilmu

hukum normatif mempunyai tugas pokok untuk mengarahkan, menganalisis, mensistemisasi,

menginterpretasi dan menilai hukum positif.62

Penelitian ini mempergunakan jenis penelitian hukum normatif yang beranjak dari

terjadinya insinkronisasi pengaturan hak komunal yang diatur dengan Peraturan Menteri

Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016

dikaitkan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) h UUPA.

1.7.2. Jenis Pendekatan

Berkaitan dengan isu hukum serta metode penelitian normatif dalam tesis ini

dipergunakan 3 (tiga) pendekatan yaitu :

a. Pendekatan Perundang-Undangan ( Statute Approach) yaitu pendekatan yang dilakukan

untuk menelaah dan memahami peraturan perundang-undangan dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, dalam hal ini peraturan

kebijakan yang berkaitan dengan hak komunal. Pendekatan ini akan membuka kesempatan

untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan

undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar atau

antara regulasi dan undang-undang.

Menurut Haryono sebagaimana dikutip Jhonny Ibrahim dalam pendekatan

perundang-undangan, harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-

sifat sebagai berikut ;

1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara

satu dengan lain secara logis

62

I Made Pasek Diantha, 2016, Metodelogi Penulisan Hukum Normatif (Dalam Justifikasi Teori

Hukum), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 82.

44

2. All–inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung

permasalahan hukum yang ada, sehinga tidak akan ada kekurangan hukum.

3. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma

hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.63

b. Pendekatan Konsep (Conseptual Approach)

Konsep adalah suatu pengetahuan.64

. Konsep-konsep merupakan alat yang dipakai

oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Sehubungan dengan hal

tersebut kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang

dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu

yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikir kita.65

Dengan mempelajari

pandangan-pandangan, doktrin-doktrin serta konsep-konsep yang berkembang yang

berkaitan dengan issu hukum yang dibahas, akan dihasilkan pengertian-pengertian,

konsep-konsep serta asas-asas hukum yang ada relevansinya dengan issu hukum yang

dibahas.

c. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari

waktu ke waktu. Dalam hal ini diusahakan untuk mengadakan identifikasi terhadap tahap-

tahap perkembangan hak komunal, atau perkembangan peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan issu hukum yang dibahas.

1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Menurut Peter Mahmud Marzuki, sumber-sumber penulisan hukum dapat dibedakan

menjadi sumber-sumber Penulisan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

63

Jhonny Ibrahim, Ibid., hal. 303.

64Satjipto Rahardjo II, op.cit, hal. 344.

65

Ibid., hal. 345.

45

mempunyai otoritas.66

Dalam penulisan ini, dipergunakan 3 (tiga) sumber bahan hukum

yaitu:

1. Sumber bahan hukum primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan permasalahan yang dibahas yang terdiri dari :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria

(Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor

2045).

c. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran Ngara RI

Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3888).

d. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3696).

e. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun

1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat.

f. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

RI Nomor 5234).

g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 951).

h. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak komunal Atas Tanah Masyarakat

Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (Berita Negara

Republik Indonesia 2015 Nomor 742).

66

Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hal. 181.

46

i. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak komunal Atas Tanah Masyarakat

Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (Berita Negara

Republik Indonesia 2016 Nomor 568).

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat berupa bahan pustaka yang berisikan informasi bahan

primer, 67

di antaranya makalah, tesis, jurnal-jurnal hukum, buku-buku yang ditulis para ahli,

karangan berbagai panitia pembentukan hukum (law reform organization). Dalam penelitian

ini bahan hukum ini diperoleh dari literatur kepustakaan dalam bidang Hukum Pertanahan,

Kesatuan Hukum Masyarakat Hukum Adat dan lain-lainnya yang terkait dengan isu hukum

yang dibahas.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan

hukum primer dan bahan hukum skunder. Dalam penelitian ini bahan hukum ini diperoleh

dari Ensiklopedi Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, yang dipergunakan

untuk memberikan pengertian atas istilah-istilah sehingga tidak menimbulkan penafsiran

makna.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan cara mengumpulkan bahan hukum melalui studi kepustakaan, yang dilakukan dengan

mengumpulkan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, baik

berupa peraturan perundang-undangan, literatur, karya ilmiah, majalah serta berbagai buku

yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang dikaji.

67

C.F.G. Sunaryati Hartono, 1994, Penulisan Hukum di Indonesia Pada Akhir abad Ke-20, Alumni,

Bandung, hal. 134.

47

Untuk memudahkan dalam penguraian, menganalisis serta membuat kesimpulan

terhadap permasalahan yang dikaji maka terhadap bahan hukum yang terkumpul dilakukan

dengan pencatatan dengan sistem kartu. Dalam sitem kartu ini dilakukan suatu telaah

kepustakaan dengan mencatat dan memahami informasi yang diperoleh dari bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum penunjang lainnya yang berkaitan

dengan permasalahan yang dibahas, di antaranya mencatat judul buku, nama pengarang

literatur yang dipergunakan serta materi-materi yang dipandang ada relevasinya dan penting

dalam melakukan pembahasan terhadap issu hukum yang diteliti. Sistem kartu ini juga

didukung dengan teknik bola salju (snow ball) yang dilakukan dengan cara menemukan

bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari berbagai kepustakaan hukum.

1.7.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dalam menganalisa bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dilakukan dengan

beberapa teknik analisis bahan hukum yaitu dengan cara setelah bahan-bahan hukum yang

terkait dengan permasalahan yang dikaji terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara

hukum. Dalam penelitian ini pengolahan dan analisis bahan hukum dilakukan dengan cara

mengumpulkan bahan-bahan secara sitematis untuk memudahkan dalam melakukan analisis,

sehingga diharapkan mendapatkan pengetahuan mengenai permasalahan yag dibahas secara

rinci. Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dengan teknik deskripsi yaitu menguraikan

apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum dan non

hukum, di mana dalam penelitian ini menguraikan norma hukum yang mengatur dan yang

menimbulkan insinkronisasi. Selanjutnya menjelaskan masalah yang ada (eksplanasi),

mengkaji permasalahan dengan bahan-bahan hukum terkait (evaluasi).

Berdasarkan teknik argumentasi yaitu sebagai suatu bentuk penampilan proses

kegiatan berfikir, nantinya secara simultan akan dipergunakan untuk menyelesaikan

48

permasalahan atau issu hukum yang diketengahkan. Setelah dilakukan penilaian terhadap

rumusan norma dalam suatu aturan hukum yang menjadi kajian dalam penulisan ini

kemudian dilanjutkan dengan memberikan argumentasi-argumentasi hukum untuk

mendapatkan suatu kesimpulan atas pokok permasalahan dalam tesis ini.