AbsTrak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal anestesi jumlah cairan yg diperlukan

Citation preview

AbstrakTerdapat peningkatan jumlah bukti yang menunjukkan penanganan cairan selama operasi dapat mempengaruhi hasil operasi. Dahulu, pasien yang mengjalani operasi besar sering diberikan kristaloid alam jumlah besar berdasarkan asumsi terjadinya dehidrasi saat preoperasi kurangnya cairan yang tidak diketahui selama operasi dari tempat ketiga. Bagaimanapu, keseimbangan cairan positif perioperasi dengan pemberian cairan post operasi berdasarkan berat badan berkaitan dengan besar peningkatan morbiditas. Konsep hilangnya cairan pada ruang ketiga telah ditolak dengan tegas dan dehidrasi preoperasi hampir tereliminasi oleh berkurangnya jumlah puasa dan penggunaan cairan oral sampai 2 jam sebelum operasi. Pembatasan regimen cairan, menghindari hipovolemia tetapi membatasi pemasukan sampai jumlah minimum yang diperlukan, mulanya pengurangan sejumlah komplikasi mayor setelah operasi kompleks, tetapi ketidaktetapan dalam menjelaskan arti pembatasan dengan pemberian cairan yang jumlahnya tidak dibatasi, tipe cairan yang dimasukan, dan keluaran yang buruk menghasilkan konflik pada hasil percobaan klinis.Munculnya tujuan terapi cairan itu sendiri difasilitasi dengan invasif minimal, pengawasan cardiovascular, contohnya: monitoring doppler oesofagus meningkatkan hasil operasi colorectal secara khusus, dan pengawasan tesebut telah disetujui oleh badan panduan klnis. Dalam konteks klnis yang kontras pada pasien risiko rendah secara relatif dalam menjalani operasi ambulatory, kristalid dengan volume tinggi (20-30,l/kg) mengurangi mual, muntah, pusing, dan nyeri postoperasi. Peninjauan kembali ini memperbaiki keterakitan distribusi fisiologi cairan tubuh dan aliran darah pada jaringan. Haris besar skala dibalik regimen cairan yang disebutkan, dan meringkas bukti klinis terbaru untuk mereka terutama peningkatan penggunaan terapi cairan sendiri yang dilihat dari monitoring doppler esofageal

PendahuluanTerapicairan merupakan dasar dari anestesi intraoperatif, tetapi tepatnya jenis, jumlah, dan waktu pemberian masih merupakan bahan perdebatan ekstensif. Hampir semua pasien dengan anestesi umum akan diberikan sebagian cairan intravena. Bukti yang ada menunjukkan perbaikan dan terapi cairan perioperatif dapat mempengaruhi keluaran penting post opearasi. Praktik tradisional melibatkan pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar pada semua pasien dicoba berdasarkan bukti, terapi cairan tersendiri atau (individualize goal directed fluid). Walau banyak penelitian meragukan keseimbangan cairan kristaloid dan koloid yang tetap tidak terjawab, penelitian baru-baru ini berfokus pada hasil pengertian yang lebih baik mengenaik pergerakan cairan pada dinding pembuluh darah dan bagaimana intervensi pembedahan dan anestesi dapat empengaruhi hal tersebut selama periode operasi. Review ini memperbaiki keterkaitan bantalan fisiologis distribusi cairan tubuh dengan aliran darah kapiler. Ini juga mendiskusikan bukti baru mengenai skala variasi penggunaan volume dan tipe cairan pada intra operasi dengann operasi yang berbeda. Diskusi mengenai resusitasi cairan preoperasi dan terapi cairan postoperasi merupakan hal di luar tinjauan kembali pustaka ini.

FisiologiAir merupakan 60% bagian dari cairan tubuh, 42 liter dalam orang dengan berat badan 70 kg, dari 42 liter tersebut 28 liter merupakan cairan intracel, maka cairan ekstrasel jumlahnya kurang lebih 14 liter. Jumlah 14 caurab ekstrasel tersebut dibagi menjadi 2, 11 liter interstisial dan 3 liter pada plasma dengan jumlah kecil cairan transelular, contohnya cairan intra okular, sekresi gastrointestinal, dan cairan serebrospinal melengkupi distribusi. Cairan transelular dianggap terpisah secara anatomi dan tidak dapat ditukar dengan air atau cairan apapun. Total cairan tubuh dapat diestimasi menggunakan teknik tracer dilution. Cairan isotopik yang menggunakan diaterium atau tritium tersebar melalui kompartemen cairan tubuh total. Pengukuran cairan ekstrasel memerlukan penanda yang digunakan harus melewati kapiler tetapi tidak membran sel. Sulfat atau bromida merupakan penanda yang sering digunakan pada ekstraselular. Volume cairan intrasel dihitung secara tidak langsung dengan volume intravaskular dari volume ekstravascular.Kapiler endotelium memiliki pemreabilitas yang bebas untuk air, anion, kation, dan kandungan mudah larut lainnya seperti glukosa tetapi impermeabel pada protein dan molekul besar lainnya >35 kDA yang secara besar dibatasi pada ruang intravaskular. Pada cairan ekstrasel, natrium merupakan kation utama dan chlor merupakan anion utama. Sebaliknya, padakompartemen intraselular K+ merupakan kation utama dan PO42- sebagai anion utama, dengan kandungan protein tinggi, sesuai membran selular yang bebas permeabilitasnya pada air tapi tidak pada ion, keseimbangan osmotik dipelihara. Pada pasien yang sehat, fluktuatif total cairan tubuh sehari-harinya sedikit dan seimbang dengan baik dengan modifikasi mekanisme haus dan keseimbangan cairan, terkontrol oleh renin angitensis antidiuretik, dan atrial natriuretic peptid sistem hormon, kebutuhan cairan basal pada orang dewasa yang normotermi dengan sistem metabolik yang normal adalah 1,5 ml/kg/jam.

Cairan pada jaringan kapilerPergantian cairan intravaskular dan sisa ruang extraselular terjadi pada dinding vaskular endotelial. Hal ini digambarkan starling tahun 1896 dan menetapkan daasar pengertian kami mengenai pergerakan cairan dan microvaskulatur. Komponen cairan dalam darah terkandung dalam pembuluh darah microsirkulasi terutama oleh bagian dalam menarik tekanan osmotik koloid dihasilkan oleh kandungan protein dalam plasma. Ini berlawanan tekanan hidrostatik luar, yang cenderung mendorong plasma keluar pembuluh darah dan masuk ke interstisium. Keduanya baik hydrostatik dan koloid osmotik memiliki tekanan rendah dalam interstitium. Hasil dari dorongan tersebut adalah sedikit kebocoran keluar cairan dan dari vaskular ke interstitium yang seterusnya kembali ke pembuluh darah lewat sistem endolimfatik. Vaskularisasi endotelium permeanel untuk air tetapi tidak untuk protein dan molekul besar lainnya. Pergerakkan molekul kecil melewati vaskular endotelium seperti sodium, pottasium chloride, dan glukosa melalui jalur khusus antara sel-sel endotelial. Transport macromolekul dapat terjadi lewat por-pori pada endotelium atau melalui vesikel. Pergerakan cairan melewati kapiler endotelial dapat diklasifikasi dalam 2 tipe. Tipe pertama terjadi terus menerus dengan dinding vaskular intak dan dikembalikan ke kompartemen vaskular oleh sistem limfatik dengan demikian menghindari oedem interstisial. Tipe 2 pergerakan cairan terjadi saat dinding vaskular menjadi hancur atau terganggu, membiarkan akumulasi cairan yang berlebihan mengarah ke edema interstisial.

Endotelial glycocalyxPenelitian baru-baru ini memperluas pengertian kami mengenai pergerakan cairan di dinidng endotelial. Endotelium merupakan suatu sel tebal dan dilapisi di luminal atas dengan lapisan tipis rapuh, glycocalyx, yang menyediakan pertahanan lini pertama untuk meregulasi sel dan transport molekul di endotelium. Lapisan glycocalyx endotelial tersusun dari ikatan membran glikoprotein dan amynoglikan dan mengandung glycosaminoglycan. Ini menciptakan zona eksklusi untuk eritrosit, maka itu sifatnya nonsirkulasi, plasma kaya akan protein mendominasi didalamnya. Volume intravaskular terdiri dari volume glycocalyx, plasma volume, dan volume distribusis el darah merah. Bersama glycocalyx dan sel endotelial membangun lapisan permukaan endotelial (ESL). Tebal ESL adalah 0.4-1.2micrometer dan dalam keseimbangan dinamis dengan sirkulasi plasma pada fungsi, ESL membutuhkan albumin plasma dalam tingkat normal. Teori-baru-baru ini menawarkan konsep double barrier dimana kedua lapisan sel endotelial dan EGL memainkan peran dalam menjaga dinding vascular.Peningkatan pengertian fisiologi icovascular membiarkan perbedaan penjelasan antara klinis yang ditemukan selama operasi dan teori starling perbedaan tekanan transendotelial dan perbedaan tekanan onkotik plasma subglycocalyx koloid merupakan pusat untuk filtrasi cairan dengan cop interstisial diabaikan. Tekanan kapiler subnormal, aliran transkapiler mencapai 0. Saat tekanan kapiler diatas normal, cop maksimal dan pergerakan cairan tergantung perbedaan tekanan transendotelial. Pada situasi seperti ini, saat cairan koloid dimasukan, ini mendistribusi melalui volume plasma menjaga cop sementara terjadi peningkatan tekanan kapiler dan maka filtrasi cairan meningkat. Cairan kristaloid pada situasi yang sama mendistribusi melalui volume intravaskular dan meningkatkan kapiler tapi menurunkan cop jadi filtrasi cairan meningkat lebih dengan koloid. Saat tekanan kapiler rendah, kedua tipe cairan ditahan dalam ruang intravascular sampai tekanan transendotelial meningkat pada poin dimana aliran transkapiler berlanjut. Keadaan fisiologis model ini, maka penggunaan kristaloid daripada koloid untuk resusitasi lebih didukung sementara koloid memiliki peran dalam euvolemic atau hypervolemic hemodilusi. Seperti volume pada sel darah merah lebih berkurang dari volume intravaskular, penelitian menggunakan parameter ini sebagai poin akhir perlu diinterpretasi dengan hati-hati.Endotelium bukan hanya sebuah pertahanan antara darah dan jaringan tetapi juga memiliki peran dalam hemostasis ringan, koagulasi, fibrinolisis, inflamasi, dan regulasi vasomotor. Jumlah faktor telah dtunjukan pada kerusakan endotelial glycocalyx menyebabkan agregasi platelet, adhesi lekosut, dan peningkatan permeabilitas vascular ke arah udem interstisial. Faktor-faktir ini dirangkum dalam tabel 1Proteksi perioperasi pada endotelial glycocalix adalah strategi yang masuk akal dan pencegahan udem interstisial. Studi experimental telah menunjukan bahwa preterapi dengan hidrokortison dan antitrombun menjaga integritas endotelium dengan mengurangi penipisan glycocalyx dan adhesi leukosit setelah iskemi/reperfusi injury. Sevofluran juga menunjukan efek protektif dengan stabilisasi endotelial glycocalyx dan pengurangan adhesi leukosit dan platelet setelah iskemi/ reperfusi dalam isolasi guinea pigheart. Tidak ada obat farmakologis yang dapat meningkatkan sentesis secara langsung cegah degradasi enzimatic glyvovalyx. Sehingga menghindari kehancuran glycocalyxeal lebih awal dan penggabungan bahan berpotensial protektif harus dipertimbangkan.

Distribusi Cairan KristaloidKomposisi cairan yang dimasukan ke pasien menentukan distribusinya dalam tubuh. Saat 1 liter glukosa 5% diberikan, hlukosa dimetabolimse di hati. Hanya meninggalkan air yang didistribusi ke ECV dan ECV dalam volume proporsional yang masuk. Dengan demikian hanya 7% (sekitar 70 ml) tersisa di kompartemen vaskular setelah penyeimbangan dengan kompartemen cairan tubuh lainnya. Karena plasma menyusun 3 liter dari 42 liter total cairan tubuh. Masuknya cairan sodium isotonis di sisi lain dibatasi pada ruang eksraselular karena sodium dihindari melintasi ruang intraselular melalui membaran sel. Maka dari itu 1 liter cairan normal salin 0,9% diberikan, 20% harus tetap berada di compartemen vaskular setelah penyeimbangan dengan cairan tubuh lainnya seperti plasma yang terhitung 20% dari cairan ekstraselular.Namun efek perbedaan 2 tipe cairan koloid dan kristaloid telah diteliti pada sukarelawan yang sehat, dengan hypovolemia dan dengan penyakit 18 sukarelawan sehat menerima 50ml/kg RL dan normal salin (NS)0,9% dalam 2 waktu yang berbeda, ditemukan bahwa RS sementara menurunkan osmolalitas serum yang kembali ke semula setelah 1 jam lemudian. NS tidak memengaruhi osmolalitas serum tetapi menyebabkan asidosis metabolik. Lobo dan kawan-kawan menunjukan studi acak tersamar ganda pada 10 sukarelawan laki-laki sehat untuk mengetahui efek bolus kristaloid pada serum albumin. Masing-masing diberikan 2 liter normal salin dan dekstros 5% pada waktu terpisah dan secara acak. Dengan kedua cairan, serum albumin turun yang dihitung hanya oleh pengenceran dan mengindikasi redistribusi dalam kompartemen cairan. Penurnan pada albumin berkepanjangan selama >6 jam dengan NS tetapi kembali seperti semula setelah pemberian 1 jam dengan dekstrose. Hb juga turun secara proporsional karena efek pengenceran. Air dari pemberian dexrose dieksresikan 2 jam setelah pemberian, namun NS tahan terhadap pengenceran dengan hanya 30% sodium dari air di deksresikan dalam 6 jam. Poin akhir yang sama dinilai dalam studi membandingkan salin 0,9% dengan cairan harmann. Ekspansi plasma ditunjukan untuk lebih stabil dengan NS dariapda dengan Hartmann, seperti yang diestimasi dengan pengenceran hemoglobin dan albumin. Grup NS menahan 56% volume yang masuk pada 6 jam dibandingkan hartman yang menunjukan 30%, berdasarkan berat badan. Tidak ada perbedaan bermakna dalam kadar potasium, sodium, urea, atau total osmolalitas pada serum. Pada kelompok NS, tingkat bikarbonat lebih rendah dan semua subjek mengalami hiperkloremia, yang bertahan >6 jam. Bahan biokimia ini berubah tempat pada tubuh dibawah stres fisiologis untuk mengeliminasi kadar elektrolit yang di atas normal dan mungkin berefek kurang baik pada fungsi organ dan hasil pembedahan.22,24-26

Distribusi koloidCairan koloid mengandung makromolekul seperti polisakarida atau polipeptida dari tumbuhan atau hewan dan digunakan sebagai pengembang plasma. Untuk menghindari hemolisis, makromolekul terdapat dalam cairan elektrolit yang mungkin 0,9% sodium klorida atau mungkin cairan yang lebih stabil yang mirip dengan hartmann. Karena mengandung molekul yang lebih besar yang tidak dapat melewati endothelium, molekul tersebut teta[ dalam plasma lebih lama dari kristaloid. Tidak seperti cairan kristaloid, koloid memiliki risiko anafilaksis, meniliki efek tergantung dosis pada koagulasi dan molekul mungkin tersimpan dalam jaringan dapat menyebabkan pruritus.27 Di sisi lain, terdapat bukti yang menunjukan efek menguntungkan menggunakan pengembang plasma pada inflamasi, mikrosirkulasi, dan aktivasi endotelial. Penelitian telah menunjukan bahwa pemberiankoloid merupakan konteks yang sesnitif. Meskipun molekul besar dalam cairan yang seharusnya membatasi dalam kompartemen vaskular, kinerja pada volume keduanya 6% HES dan albumin 5% pada pasien normovolemic menghasilkan 68% dari pemasukan volume ekstravasasi di ruang intravaskular ke dalam ruang intersetitium dalam hitungan menit. Sebaliknya, saat 6% hes atau albumin 5% diberikan pada konteks pengenceran normovolemik, sisa volume dalam ruang intravaskular mencapai 90%.28Efek kinerja volume dengan 0.9% salin, 0,4% gelatin suksinil gelatin (gelofusin), dan 6% hidroksietil starch (voluven) pada volume darah dan respon endokrin pada voluntir yang sehat yang diinvestigasi belakangan ini.29 Setelah penyelesaian pemberian 1 jam, 68%, 21%, dan 16% 0,9% saline, gelofusin, dan voluven, masing-masing memiliki kebocoran pada ruang intravascular. Penghitungan volume berdasarkan pengenceran hematokrit. Terdapat perbedaan antara kedua koloid, meski keduanya memiliki perbedaan berat molekul yang lebar (gelofusin 30 kda, dan voluven 130 kDa)/ ini mungkin mencerminkan perbedaan penangan molekul besar dan kecil pada mikrovaskular.Sistem renin-angiotensin-aldosteron merupakan dasar regulasi ekskresi sodium setelah kinerja sodium, ketiga cairan memiliki efek serupa dalam sekresi renin, dengan kedua tingkat renin dan aldosteron yang dikurangi. Brain natriuretic peptida juga diukur dan menunjukan peningkatan pada ketiga kelompok setelah 1 jam awal pemasukan, ini menghubungkan dengan kerja lainnya mengindikasikan peran BNP dan ANP dalam hipervolemia akut30. Dapat disimpulkan bahwa ekskresi sodium dan klorida dapat tergantung supresi RAAS dan tidak pada natriuretic peptida.Umumnya dipercaya bahwa hilangnya cairan pada intravaskular membutuhkan 3 sampai 4 kali cairan kristaloid jika dibandingkan dengan koloid. Peninjauan kembali baru-baru ini mengenai penggunaan HES dalam pembedahan, kegawatdaruratan, dan pasien yang membutuhkan perawatan intensif dilaporkan bahwa perbandingan kristaloid sampai koloid untuk volume resusitasi lebih rendah dari 2:1.31 ini mungkin mencerminkan peningkatan vasopermeabilitas pada koloid yang telah diobservasi pada setingan klinis. Namun, penggunaan koloid menunjukan peningkatan yang lebih pada pengisian jantung, cardiac output, dan kerja jantung pada kedua sepsis dan non sepsis saat dibandingkan dengan normal salin.32 dan juga, dalam percobaan secara acak penggunaan HES dan NS pada pasien trauma, HES menunjukan pembersihan laktat yang lebi baik dan kurangnya cedera ginjal saat dibandingkan dengan NS pada pasien dengan cedera trauma tusuk.

Praktik Tradisional pada Pemberian Cairan IntraoperasiSasaran terapi cairan intraoperasi adalah untuk menjaga volume sirkulasi yang adekuat untuk memastikan perfusi dan oksigen tersampaikan pada jaringan. Secara tradisional, ini dicapai dengan pemasukan kristaloid dalam volume besar. Ini berdasarkan alasan bahwa pasien dengan hipovolemik preoperasi karena puasa yang diperpanjang. Dan persiapan pengosongan usus, kekurangan cairan terus menerus karena keringat dan buang air kecil. Terdapat juga keyakinan bahwa pajanan operasi membutuhkan penggantian yang agresif dari cairan yang hilang secara insensibell, sering dikatkan sebagai hilangnya cairan dari ruang ketiga. Lebih jauh, hipotensi selama anestesi umum atau neuraxial sering memicu kompensasi pemberian cairan IV. Namun, pemberian cairan tidak memiliki pengaruh yang berhubungan dengan hipotensi anestesi 34, 35 dan harus lebih ditangani lebih baik dengan terapi vasopressor36.Puasa preoperatif panjang tidak lagi dilakukan di perawatan perioperatif modern. Selama lebih dari 1 dekade, penelitian telah menunjukan bahwa puasa dari makanan padat selama 6 jam dan cairan oral, bahkan mengandung karbohidrat hanya 2 jam sebelum operasi, aman dan sebenarnya memperbaiki hasil.37, 38 Penelitian telah menunjukan bahwa faktanya, pasien dengan kondisi jantung dan paru yang baik, volume darah normal bahkan setelah puasa panjang.36 Menggunakan persiapan usus juga telah dikurangi sebagaimana bukti menunjukan minimnya perbedaan dalam kondisi pembedahan saat digunakan.

Ruang Ketiga yang Tidak TerlihatKonsep ruang ketiga untuk cairan tubuh (tambahan dari kompartemen intraselular dan ekstraselular) diperkenalkan pada tahun 1960an40. Menggunakan teknik pengenceran sisa seperti yang dulu, ECV diukur pada pasien yang menjalani operasi abdominal mayor. Disimpulkan bahwa terdapat penurunan pada ECV yang tidak sepenuhnya dihitung dari kurangnya darah yang diukur. Untuk menjelaskan hal tersebut, telah disimpulkan bahwa cairan telah terasing di area yang telah diketahui sebagai ruang ketiga. Lokasi tersebut tidak diketahui tetapi dispekulasikan untuk memasukan jaringan yang tertraumatisasi atau traktus gastrointestial. Meskipun konsep tersebut sangat tidak masuk akal, mengurangi bukti suportif ilmiah atau bukti klinis, latihan penggantian yang agresif dari hipotesis hilangnya cairan yang dihasilkan menyebarkan ketertarikan pada latihan anestesi intraoperatif. Masuknya cairan kristaloid jumlah besar pada intraoperatif menjadi standar latihan klinis.10 akibatnya, ini tidak lazim untuk pasien dengan postoperasi untuk menghasilkan berat badan 7-10 kg, dengan proporsionalnya meningkatkan penyebabkan morbiditas dan mortalitas41, 42. Pada peninjauan sistematis perubahan pengukuran ECV, disimpulkan bahwa data asli dan metodologi mendukung konsep ruang ketiga secara fundamental dengan baik.Pada pasien intraoperatif, cairan pemeliharaan seharusnya masuk menggunakan cairan kristaloid. Lebih dari 30 tahun yang lalu, pengukuran langsung tingkat evaporasi basal dari kulit dan jalan napas selaam pembedahan menunjukan bahwa hilangnya cairan topikal adalah 0.5-1.0 ml/kg/jam selama operasi besar abdominal.44 pada ketiadaan perdarahan besar, volume cairan yang besar menjadi kontraindikasi karena mungkin dapat mengarah ke hipervolemia menyebabkan lepasnya ANP dan merusak glycocalyx endotelial, dengan edema interstisial detrimental.

Pembatasan Regimen CairanPada operasi toraks, pembatasan cairan merupakan standar latihan tetapi volume cairan intraoperatif dalam populasi operasi umum sangat bervariasi. Sebuah percobaan acak membandingkan pemberian cairan bebas dengan pembatasan regimen cairan pada 141 pasien selama operasi kolorektal dilakukan.45 kelompok yang terbatas menerima volume cairan utama 2.7 ;oter dam yamg bebas 5.4 liter. Jumlah pasien dengan komplikasi post operasi secara bermakna berkurang pada kelompok yang terbatas, 33% dengan 51% p=0.02. hasilmya, dinilai termasuk kebocoran anastomosis, infeksi luka, dan komplikasi jantung dan paru. Tidak terdapat peningkatan komplikasi ginjal pada observasi di kelompok dengan cairan terbatas. Namun, kedua kelompok menerima cairan yang berbeda dengan grup yang terbatas menerima jumlah cairan koloid yang lebih besar dan kelompok bebas jumlah besar pada penggunaan normal saline.Pada 2009, sebuah peninjauan mengenai terapi cairan terbatas dengan tidak terbatas dan efeknya pada postoperasi 46 mengidentifikasi tujuh eksperimen pecobaan acak, 6 melibatkan pembedahan abdominal mayor dan 1 artroplasti lutut. Percobaan mengeksklusi pasien resiko tinggi. Jarak pemberian cairan pada kelompok yang tidak diatabas adalah dari 2750 ml sampai 5388 ml dan pada kelompok terbatas dari 988 sampai 2740 ml. Ini menyorot fakta bahwa tidak ada definisi umum dari tidak terbatas atau terbatas pada protol yang ada dalam praktik klinis. Sebuah regimen terbatas pada 1 pusat mungkin sebenarnya dapati diartikan tidak terbatas di lainnya. Penelitan ini memvariasikan desain, tipe cairan yang diberikan indikasi untuk pemberian cairan tambahan, variasi hasil, dan definisi periode intra dan postoperasi. Maka dari itu terdapat kesulitan dalam menginterpretasi hasil. Tiga percobaan menunjukan peningkatan hasil setelah pembatasan regimen cairan. Dua menunjukan tidak ada perbedaan dalam hasil dan dua menunjukan perbedaan dalam hasil-hasil yang dipilih saja. Penelitian menunjukan peningkatan hasil pada pembatasan regimen cairan dilaporkan lebih cepata kembali pada fungsi gastrointestinal dan mengurangi lama tinggal di rumah sakit (LOS). Penelitian ini menggunakan infus koloid dan kristaloid. Studi ini menunjukan tidak adanya perbedaan dalam hasil menggunakan kristaloid saja tanpa koloid. Pada studi satu lagi 47 keudanya terbatas dan tanpa pembatasan regimen cairan menerima secara relatif jumlah cairan yang terbatas (utama 2,6 liter dengan 2,0 liter), menganggap kelompok standar tidak menerima jumlah cairan berlebihan yang dapat membahayakan.Dua penelitian acak tersamar ganda menunjukan keuntungan pada kedua baik terbatas atau tidaknya jumlah regimen cairan pada pada konteks klinis48, 49. Kedua studi menggunakan kristaloid dan koloid. Pada penelitian melihat pasien menjalani pembedahan kolon, regimen cairan terbatas menunjukan efek menguntungkan pada fungsi paru dan hipoksemia postoperasi. Terdapat pengurangan jumlah komplikasi post operasi tetapi jumlah pasien dengan komplikasi tidak berkurang secara bermakna. Tidak ada perbedaan dalam hasil variasi seperti nyeri, mual, dan lamanya tinggal di rumah sakit. Pada penelitian kedua, regimen cairan yang sama digunakan pada pasien selama operasi artroplasti. Hasil menunjukan hiperkoagulabilitas yang bermakna 1-2 hari pasca prosedur di grup tanpa pembatasan dan reduksi postoperasi mual dan muntah. Tidak ada perbedaan pada lamanya tinggal di rumah sakit, diambil bersama, disimpulkan menurut definisi inkosisten kedua yang dibatasi dan tidak terbatas pada regimen cairan dan kurangnya standarisasi pada pengukuran hasil klinis dan fisiologis, tidak ada bukti dari buku panduan untuk prosedur spesifik perioperatif terapi cairan dapat menjadi masalah. Peninjauan kembali ini, dalam kombinasi dengan lainnya mempublikasikan penelitian terapi cairan terbatas dan tidak, menganggap bahwa 1 pencapaian cocok dengan semua tidak tepat untuk penanganan cairan pada pasien dengan risiko tinggi untuk operasi.

Kristaloid Volume Tinggi untuk Operasi Ambulatori Risiko SedangSebaliknya pada konteks klinis operasi minor atau sedang dengan risiko rendah, pasien ambulatori, strategi yang lebih tidak dibatasi terlihat lebih emnguntungkan. Morbiditas mayor jarang terlihat pada kelompok pasien ini, tetapi cepatnya fungsi vital kembali merupakan hal yang krusial untuk berhasilnya penanganan pada pasien ambulatori, membiarkan tepat waktu keluar dari rumah sakit. Cairan kristaloid sampai 20-30ml/kg diberikan pada pasien dewasa sehat menjalani operasi risiko rendah atau mengurangi kasus harian komplikasi post operasi seperti pusing, mengantuk, nyeri, mual, dan muntah. 50, 51 pada operasi sedang, holte dan kawan-kawan52 mengevaluasi pasien yang menjalani laparoskopi kolesistektomi dan membandingkan dengan efek dari 40 dan 15ml/kg penggunaan cairan RL intraoperatif. Mereka menemukan sebuah pengembangan pemulihan dengan sedikitnya mual, pusing, dan mengantuk, dan meningkatkan keadaan umum pada sejumlah cairan yang tidak dibatasi dan mengurangi lama tinggal di RS. Penelitian pada operasi besar lebih memilih regimen yang terbatas 53,54 tetapi tidak pada semua keadaan55. Satu investigasi menggunakan alat bioelektrik mengukur pada 30 pasien yang menjalani operasi abdominal mengembangkan secara matematis model yang menunjukan bahwa tingkat pemasukan rasionya antara 2 dan 18.5 ml/kg/jam pada operasi dengan durasi 6 jam, jangka terapeutik sempit antara 5 dan ml/kg/jam, setelah peningkatan bermakna pada cairan interstisial yang terlihat.

Terapi Cairan untuk Tujuan IndividualPada waktu belakangan ini, bukti menjelaskan bahwa hasil mungkin meningkat jika terapi cairan individualisasi berdasarkan umpan balik objektif pada respon pasien individual. Ini berasal dari fisiologis lama dari kurva frank-starling. Ini dikenal sebagai GDT. Pengukuran tradisional tidak memiliki kemampuan adekuat untuk mengidentifikasi dan memandu terapi cairan. Pasien yang sehat dapat kehilangan sampai 25% volume darah sebelum terdapat penurunan tekanan arterial atau sebuah peningkatan denyut jantung, dimana juga lebih monitor yang lebih sensitif dapat menunjukan pengurangan stroke volume dan pH mukosa gastric mengindikasikan iskemia.58 Sebuah peninjauan sistematis mengenai peran CVP dalam mengukur terapi cairan mengyimpulkan jumlah CVP atau tingkat perubahan CVP, keduanya tidak akurat dalam menilai volume darah atau memprediksi respon pada pemberian cairan. Maka dari itu, kehati-hatian perlu dilatih dalam menginterpretasi data CVP untuk memandu pemberian cairan.59Kedua hipervolemia dan hipovolemia diketahui menyebabkan morbiditas dan mortalitas perioperasi meningkat; maka dari itu, penilaian sesungguhnya hemodinamik pasien dapat memandu terapi yang tepat (gambar 3).60 Tahun 1980an, GDT membutuhkan kateter arteri paru (PACs) untuk mengukur oksigen jaringan pada operasi resiko tinggi, dengan maksud untuk mencapai distribusi oksigen melebihi normal dengan melihat peningkatan hasil.61 sementara hasil awal cukup mendukung, teknik ini bergantung pada banyaknya penggunaan PAC. Sayangnya, ini cepat menjadi jelas bahwa penggungaan PAC itu sendiri menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas, yang juga ikut mengurangi ketertarikan konsep fisiologis target untuk optimisasi vardiovaskular dan peningkatan hasil.Selama tahun-tahun, metode kurang invasif pemantauan hemodinamik parameter berbasis aliran telah dikembangkan. Minimal monitor invasif termasuk pemantauan Doppler esofagus dan analisis gelombang arteri (variasi stroke volume, tekanan nadi). Lain metode memerlukan baik arteri dan akses vena sentral untuk mengukur output jantung. Kedua sistem LiDCO dan Picco menggunakan analisis kontur nadi untuk mengukur stroke volume setelah kalibrasi awal dengan baik lithium (LiDCO) atau indikator termal (Picco). Sistem Flotrac / Vigileo juga menganalisis kontur nadi tapi tidak memerlukan kalibrasi yang bukan berdasarkan program komputer setelah masuk dari data biometrik. Ini hanya membutuhkan jalur arteri perifer, kebutuhan untuk akses pusat. Meskipun metode ini telah memiliki validasi terhadap pemantauan invasif standar wajib (yaitu PAC), banyak memiliki faktor pembatas dalam situasi klinis. Hasil studi menunjukan berbeda peningkatan hasil pada 40 pasien yang menerima anestesi regional untuk artroplasti panggul62 sampai tidak ada perbedaan pada hasil pada 60 pasien yang menjalani pembedahan vascular periferal63. Sebuah peninjauan dan metaanalisis melihat penggunaan pre-emptive hemodinamik intervensi pada pasien sedang sampai risiko tinggi untuk meningkatkan hasil post operasi. 29 penelitian mengidentifikasi yang menggunakan form bervariasi monitor hemodinamik, termasuk PAC, LiDCO, PiCCO, FloTrac, dan PPV. Intervensi terdiri dari terapi cairan dengan atau tanpa bantuan inotropik. Disimpulkan bahwa dengan pre-emptive monitoring hemodinamik memandu terapi, angka morbiditas dan mortalitas secara bermakna meningkat.Angka peran cairan pemeliharaan pada pengaturan GDT telah dianalisa baru-baru ini. Sebuah penelitian acak prospektif pada 88 pasien resiko tinggi yang menjalani operasi mayor telah dilakukan. Pembatasan penerimaan cairan sebelumnya 4ml/kg/jam dan konvensional 8ml/kg/jam cairan ringer laktat. LiDCO sistem monitoring digunakan untuk intervensi dengan bolus cairan koloid dan inotropil. Disimpulkan bahwaregimen terbatas selama optimisas parameteri hemodinamik mengurangi komplikasi mayor pada pasien lebih tua dengan comorbid saat operasi mayor berjalan.65 pada pengaturan intraoperatif, bagaimanapun, yang paling menjanjikan teknik invasif minimal pengukuran dinamik cardiovaskular menunjukan penggunaan monitor doppler esofagus yang didukung banyak bukti.67 68

Monitor doppler esofagusMonitor esofagus doppler menggunakan teknologi suara ultra untuk menganalisa aliran darah pada aorta descendens. Sebuah instrumen sekali pakai dimasukan ke dalam esofagus dan lurus dengan aliran darah untuk menghasilkan kecepatan aliran untuk setiap denyut jantung. Bentuk gelombang dihasilkan dan kemudian digunakan oada hubungan dengan data biometrik nomogram untuk memperoleh nilai stroke volume. Stroke volume dalat mengindikasi volume responsif. Penanganan terapi cairan menggunakan algoritma untuk memaksimalkan kontraktilitas kardiovaskular, berdasarkan kurva frank-starling dan menggunakan koloid bolus intravena sebagai intervensi. Sebagai contoh, jika dasar stroke volume meningkat >10% oleh cairan bolus 3ml/kg, jantung pasien responsif terhadap cairan, dan lebih jauh bolus cairan dapat diberikan sampai meningkatkan stroke volume