Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Penerapan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), penerapan yaitu :
1. Proses, cara, perbuatan menerapkan
2. Pemasangan
3. Pemanfaatan, perihal mempraktikkan
2.2 Definisi Akuntansi
Definisi akuntansi menurut American Accounting Association yang
dialihbahasakan oleh Soemarso (2004:3) adalah sebagai berikut :
“Akuntansi merupakan suatu proses mengidentifikasikan, mengukur, dan melaporkan informasi ekonomi, untuk memungkinkan adanya penilaian dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka yang menggunakan informasi tersebut.”
2.3 Akuntansi Forensik
2.3.1 Pengertian Akuntansi Forensik
Pengertian akuntansi forensik menurut Crumbley yang dikutip oleh
Theodorus Tuanakotta (2007:7) ialah sebagai berikut :
“Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum.
Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama
proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judisial atau administratif.”
Definisi lainnya dikemukakan oleh Jack Bologna and Paul Shaw yang
dikutip oleh Amin Widjaja (2001:36) yaitu :
“Forensic accounting, sometimes called fraud auditing or investigative accounting, is a skill that goes beyond the realm of corporate and management fraud, embezzlement or commercial bribery. Indeed, forensic accounting skills go beyond the general realm of white collar crime.”
Berdasarkan definisi-definisi di atas, Penulis membuat kesimpulan bahwa
akuntansi forensik adalah gabungan berbagai disiplin ilmu dan keahlian seperti
akuntansi, hukum, auditing, yang digunakan dalam masalah-masalah litigasi
8
9
termasuk untuk membantu menghitung nilai material atau kerugian atas kejahatan
kerah putih yang dilakukan oleh manajemen atau korporat serta proses hukum
pengadilannya.
2.3.2 Tipe akuntansi forensik
Ditinjau dari variasi kerumitan kasus yang diselesaikan, Theodorus
Tuanakotta (2007:17) menjelaskan beberapa model akuntansi forensik yaitu :
1. Akuntansi forensik adalah perpaduan antara akuntansi dan hukum.
Contohnya, penggunaan akuntansi forensik dalam pembagian harta. Unsur
akuntansinya, unsur menghitung besarnya harta yang akan diterima pihak
mantan suami dan istri. Segi hukumnya dapat diselesaikan di dalam atau
luar pengadilan.
2. Bidang tambahan di samping perpaduan bidang akuntansi dan hukum
adalah audit.
Dengan memasukkan kasus tindak pidana korupsi, maka unsur
akuntansinya adalah perhitungan kerugian negara, pencarian bukti dan
temuan dengan audit investigatif serta acara pengadilan tindak pidana
korupsi.
2.3.3 Lingkup Akuntansi Forensik
Lingkup akuntansi forensik berdasarkan lembaga yang menerapkannya
meliputi praktik akuntansi forensik pada sektor swasta dan praktik di sektor
pemerintahan. Lingkup akuntansi forensik pada sektor swasta menurut Bologna
dan Lindquist yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:42) ialah sebagai berikut :
“Pada sektor bisnis, segala sesuatu yang dilakukan dalam akuntansi
forensik adalah bersifat dukungan untuk kegiatan litigasi (litigation
support). Misalnya, untuk kasus sengketa bisnis di pengadilan”.
Dalam hal lain, akuntansi forensik juga diaplikasikan oleh perusahaan
yang beraktivitas dalam bidang jasa asuransi akan menekankan aspek tertentu dari
akuntansi forensik yaitu pemulihan kerugian (asset recovery) atas risiko bisnis
yang diasuransikan.
10
Untuk praktek di sektor pemerintahan, tahap-tahap dalam seluruh
rangkaian akuntansi forensik terbagi-bagi diantara berbagai lembaga misalnya
bagian pengawasan internal pemerintahan, lembaga pengadilan, lembaga yang
menunjang kegiatan memerangi kejahatan pada seperti PPATK dan sebagainya
dimana masing-masing lembaga-lembaga tersebut mempunyai mandat dan
wewenang yang diatur dalam konstitusi atau ketentuan lainnya.
2.4 Auditing
2.4.1 Pengertian Auditing
Arens, Elder, dan Beasley (2008:18) mendefinisikan auditing sebagai
berikut :
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine on report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person.”
Berikutnya, menurut American Accounting Association berdasarkan
accounting review vol.47 Boynton, Johnson, dan Kell (2001:4), definisi auditing
yaitu :
“Auditing as systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertions about economic action and events to ascertain the degree of correspondence between those assertions and established criteria and communicating the result to interest user.”
Menurut Mulyadi (2002:9) auditing adalah :
“Auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.”
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses
audit, seorang auditor mengumpulkan bukti-bukti dan mengevaluasi bukti audit
tersebut sehingga diketahui derajat kesesuaian antara kondisi dengan kriteria yang
ada. Bukti audit adalah setiap informasi yang digunakan oleh auditor untuk
menentukan apakah kondisi yang diaudit telah sesuai dengan kriteria yang ada.
Kondisi yang dimaksud jika dalam general financial audit yakni informasi yang
11
disajikan dalam laporan keuangan, sedangkan kriteria yang dipakai untuk
mengukurnya adalah pedoman tertentu (kriteria yang digunakan untuk mengaudit
laporan keuangan historis di Indonesia adalah Standar Akuntansi Keuangan.)
Apabila auditor sudah mengetahui derajat kesesuaian antara kondisi dan kriteria,
auditor dapat mengeluarkan laporan audit yang sesuai.
2.4.2 Jenis-jenis Audit
Pendahuluan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara BPK RI
(2007:13.14) memuat jenis-jenis pemeriksaan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Keuangan. Adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.
Pemeriksaan keuangan tersebut bertujuan untuk memberikan keyakinan
yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan keuangan telah
disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi
komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
2. Pemeriksaan Kinerja. Meliputi pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan negara yang terdiri dari atas pemeriksaan aspek ekonomi dan
efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan
pemeriksaan kinerja, pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan serta pengendalian intern.
Pemeriksaan kinerja dilakukan secara objektif dan sistematik terhadap
berbagai macam bukti, untuk dapat melakukan penilaian secara
independen atas kinerja entitas atau program/kegiatan yang diperiksa.
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Bertujuan untuk memberikan
simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan dengan tujuan
tertentu dapat bersifat eksaminasi, reviu, atau prosedur yang disepakati.
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas
hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif.
Arens dan Loebbecke (2003:13) menuliskan jenis-jenis audit ke dalam tiga tipe
yaitu :
12
1. Financial Statement Audit ( pemeriksaan laporan keuangan).
Pemeriksaan laporan keuangan dilakukan dengan tujuan untuk
menentukan apakah keseluruhan laporan keuangan ditampilkan sesuai
dengan kriteria tertentu yang telah ditentukan.
2. Operational Audit (audit operasional).
Audit operasional merupakan penelaahan atas bagian-bagian tertentu suatu
prosedur operasi dan metode yang terdapat pada perusahaan, bertujuan
untuk mengevaluasi efisiensi dan efektivitas. Pada saat penyelesaian audit
operasional, auditor memberikan rekomendasi kepada pihak manajemen
untuk meningkatkan atau memperbaiki segi operasional perusahaan.
3. Compliance Audit (audit ketaatan).
Audit ketaatan dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan apakah
pihak yang diperiksa telah mengikuti atau mematuhi prosedur-prosedur,
aturan atau regulasi tertentu yang telah ditentukan oleh pihak yang
memiliki wewenang lebih tinggi.
2.4.3 Standar Auditing
Indonesia memiliki Standar Auditing yang dideskripsikan dalam buku
Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Dewan Standar
Profesional Akuntan Publik sebagai badan teknis IAI Kompartemen Akuntan
Publik, sekarang disebut dengan Institut Akuntan Publik Indonesia dimana telah
menerbitkan pernyataan-pernyataan tentang Standar Auditing tersebut.
Standar Auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh IAI terdiri dari
10 standar yang terbagi menjadi 3 kelompok yaitu :
A. Standar Umum
1. Audit harus dilakukan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian
dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor.
2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi
dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
3. Dalam melaksanakan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
13
B. Standar Pekerjaan Lapangan
1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten
harus disupervisi dengan semestinya.
2. Pemahaman yang memadai tentang pengendalian internal harus diperoleh
untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan lingkup
pengujian yang akan dilakukan.
3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi,
pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar
memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.
C. Standar Pelaporan
1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang didalamnya prinsip
akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan
keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi
yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai, kecuali dinyatakan lain dalan laporan audit.
Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan
keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak
dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan,
alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan
dengan laporan keuangan, laporan audit harus memuat petunjuk yang jelas
mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang
dipikulnya.
2.5 Audit Investigatif
2.5.1 Definisi Audit Investigatif
Definisi audit investigatif dikemukakan oleh Messier (2003:17) yaitu :
14
“Forensic audit is an audit to detection or deterrence of a wide variety of
fraudulent activities. The use of auditors to conduct forensic audits has
grown significantly, especially where the fraud involves financial issues.”
Definisi audit investigatif lainnya menurut Association of Certified Fraud
Examiners dialihbahasakan oleh Amin Widjaja (2001:36) :
“A methodology for resolving fraud allegations from inception to dispotion. More specifically, fraud examination involves obtaining evidence and taking statements, writing reports, testifying findings and assisting in the detection and prevention of fraud.”
Dari kedua definisi audit investigatif di muka, dapat disimpulkan bahwa
audit investigatif merupakan suatu ilmu yang dapat diterapkan untuk mendeteksi
dan memeriksa kecurangan. Audit investigatif sebagai metodologi bertujuan
untuk mendapatkan bukti dan pernyataan, memberikan kesaksian dan membuat
laporan hasil pemeriksaan sehingga membantu dalam pendeteksian dan
pencegahan tindak kecurangan.
2.5.2 Jenis Audit Investigatif
Berdasarkan siapa yang melakukan Audit Investigatif, menurut Soejono
Karni (2000:7) dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
1. Audit Investigatif dilakukan atas inisiatif lembaga audit
Dasar pelaksanaan audit Investigatif yang dilakukan atas inisiatif lembaga
audit pada umumnya adalah :
a. Pengembangan temuan audit sebelumnya
b. Informasi atau pengaduan dari masyarakat
Apabila audit bersumber dari pengaduan masyarakat sebelum melakukan
audit, umumnya dilakukan dahulu penelitian awal untuk mengidentifikasikan
kasus yang akan diaudit. Apabila dari penelitian awal tersebut dapat
disimpulkan bahwa dapat dilakukan Audit Investigatif baru dapat dibuat satu
surat tugas khusus.
Hal yang terpenting adalah sejauh mana kewenangan lembaga audit untuk
melakukan Audit Investigatif terutama apabila hasil auditnya terbukti ada
15
pelanggaran hukum formal atau material, kemungkinan akan diserahkan kepada
jaksa untuk diselesaikan secara hukum.
2. Audit Investigatif dilakukan atas dasar permintaan penyidik
Sesuai pasal 120 ayat (1) KUHAP, bila penyidik menganggap perlu, dapat
meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Terdapat kelemahan atau hambatan perundang-undangan yang dihadapi auditor
karena tidak diatur lebih lanjut dalam KUHAP atau Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi. Auditor bekerja atau melaksanakan tugas atas nama penyidik
(polisi atau jaksa).
Pada audit yang dilaksanakan atas dasar permintaan penyidik, auditor
bertanggung jawab atas nama pribadi yang ditunjuk. Oleh karena itu apabila
pernyataan yang dikemukakan oleh auditor adalah pernyataan palsu, auditor
tersebut dijerat hukum.
2.5.3 Bukti-Bukti dalam Audit Investigatif
Audit investigatif dilaksanakan untuk memperoleh bukti pemeriksaan,
memprosesnya dan membantu penyidik sehingga alat buktinya harus sesuai
dengan alat bukti yang sah menurut KUHAP. Alat bukti yang sah yang diatur
dalam pasal 184 KUHAP yaitu :
a. Alat bukti yang sah
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
Keterangan saksi adalah alat bukti yang sah apabila saksi memberikan
keterangan di sidang pengadilan di bawah sumpah atau janji tentang apa yang
dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri atau dialaminya sendiri dengan
menyebutkan alasan pengetahuannya itu. Keterangan seorang saksi saja tidak
16
cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli adalah suatu
pernyataan yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Bukti surat adalah surat yang mempunyai nilai pembuktian yang harus
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Pasal 187 KUHAP
menguraikan empat jenis alat bukti surat yaitu:
a. Surat resmi atau akta otentik merupakan surat yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau
dialaminya sendiri disertai alasan tentang keterangannya itu seperti Akta
Notaris, Berita Acara Lelang Negara.
b. Surat yang dibuat menurut peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal dan
keadaan misalnya paspor, surat perintah perjalanan dinas, dan lain-lain.
c. Surat yang dibuat oleh ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai suatu peristiwa atau keadaan yang diminta secara
resmi dari padanya seperti Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI, laporan
pemeriksaan KAP.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian lain misalnya surat pernyataan.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, keterangan ahli,
surat dan keterangan terdakwa dimana penilaian atas kekuatan pembuktian dari
suatu petunjuk dilakukan oleh hakim.
17
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan dalam sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau apa yang ia ketahui sendiri atau apa yang
ia alami sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa si terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Berikutnya menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi Pasal 26 A menjelaskan alat bukti yang sah untuk tindak
pidana korupsi sebagai berikut :
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu
b. Dokumen yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi
yang memiliki makna misalnya kertas kerja pemeriksaan investigatif.
2.5.4 Standar Audit Investigatif
Peraturan BPK RI No.01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara (SPKN) mengatur standar pelaksanaan dan pelaporan audit
investigatif yang dikelompokkan pada standar pemeriksaan dengan tujuan
tertentu. SPKN ini merupakan pedoman bagi BPK sebagai organisasi dan
pemeriksa untuk melakukan pemeriksan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara untuk dan atas nama BPK dan sebagai pengganti dari Standar
Audit Pemerintahan tahun 1995 karena tidak dapat memenuhi tuntutan dinamika
masa kini. SPKN dinyatakan dalam bentuk Pernyataan Standar Pemeriksaan yang
selanjutnya disingkat PSP Sistematika Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
ialah sebagai berikut :
1. Pendahuluan Standar Pemeriksaan.
2. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 01 tentang Standar Umum.
18
3. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 02 tentang Standar Pelaksanaan
Pemeriksa Keuangan.
4. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 03 tentang Standar Pelaporan
Pemeriksaan Keuangan.
5. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 04 tentang Standar Pelaksanaan
Pemeriksaan Kinerja.
6. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 05 tentang Standar Pelaporan
Pemeriksaan Kinerja.
7. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 06 tentang Standar Pelaksanaan
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu.
8. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 07 tentang Standar Pelaporan
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu.
Untuk Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu,
Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 06 memberlakukan dua pernyataan
standar pekerjaan lapangan perikatan atestasi Standar Profesional Akuntan
Publik (SPAP) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Adapun
hubungan dengan SPAP yang ditetapkan oleh IAI adalah berikut ini :
1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten
harus disupervisi dengan semestinya.
2. Bukti yang cukup harus diperoleh untuk memberikan dasar rasional bagi
simpulan yang dinyatakan dalam laporan.
Sedangkan standar pelaksanaan tambahan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
yaitu :
a. Komunikasi pemeriksa
Pernyataan standar pelaksanaan tambahan pertama menyatakan bahwa
pemeriksa harus mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan
sifat, saat, dan lingkup pengujian serta pelaporan yang direncanakan atas
hal yang akan dilakukan pemeriksaan, kepada manajemen entitas yang
diperiksa dan atau pihak yang meminta pemeriksaan. Tujuannya tidak lain
untuk mengurangi resiko salah interpretasi atas laporan hasil pemeriksaan.
19
Selain itu, pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesionalnya
untuk menentukan bentuk, isi dan intensitas komunikasi.
b. Pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan sebelumnya
Standar pelaksanaan tambahan kedua ini mengatur bahwa pemeriksa harus
mempertimbangkan hasil pemeriksaan sebelumnya serta tindak lanjut atas
rekomendasi yang signifikan dan berkaitan dengan hal yang diperiksa
dengan tujuan untuk mengidentifikasi tindak lanjut yang telah dilakukan
berkaitan dengan temuan dan rekomendasi yang signifikan (hal-hal yang
apabila tidak dilakukan tindak lanjut, dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan dan simpulan pemeriksa atas objek pemeriksaan).
Selanjutnya, besar manfaat yang diperoleh dari hasil pemeriksaan tidak
terletak pada temuan pemeriksaan yang dilaporkan atau rekomendasi yang
dibuat, tetapi terletak pada efektivitas penyelesaian yang ditempuh oleh
entitas yang diperiksa.
c. Pengendalian internal
Pernyataan standar pelaksanaan tambahan ketiga adalah merencanakan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam bentuk eksaminasi dan
merancang prosedur, pemeriksa harus memperoleh pemahaman yang
memadai tentang pengendalian internal yang sifatnya material terhadap
hal yang diperiksa.
d. Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari
ketentuan peraturan perundan-udangan, kecurangan (fraud), serta
ketidakpatutan
Dalam merencanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam prosedur
yang disepakati, pemeriksa harus waspada terhadap situasi atau peristiwa
yang mungkin merupakan indikasi kecurangan dan penyimpangan dari
ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ditemukan indikasi
kecurangan dan/atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-
undangan yang secara material mempengaruhi hal yang diperiksa,
pemeriksa harus menetapkan prosedur tambahan untuk memastikan bahwa
20
kecurangan tersebut telah terjadi dan menentukan dampaknya terhadap
hasil pemeriksaan.
e. Dokumentasi pemeriksaan
Pernyataan standar pelaksanaan tambahan kelima adalah pemeriksa harus
mempersiapkan dan memelihara dokumentasi pemeriksaan dalam bentuk
kertas kerja pemeriksaan. Dokumentasi pemeriksaan yang terkait dengan
perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan harus berisi
informasi yang cukup untuk memungkinkan pemeriksa yang
berpengalaman tetapi tidak mempunyai hubungan dengan pemeriksaan
tersebut dapat menjadi bukti yang mendukung pertimbangan dan simpulan
pemeriksa.
Sama seperti audit laporan keuangan, audit investigatif juga menyusun
hasil audit dalam bentuk kertas kerja audit. Kertas kerja audit semestinya diatur
dalam standar pelaporan audit seperti pelaporan audit BPK RI diatur oleh suatu
Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu sebagai Pernyataan
Standar Pemeriksaan Nomor 07. Untuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu,
Pernyataan Standar Pemeriksaan memberlakukan empat pernyataan standar
pelaporan perikatan atau penugasan atestasi dalam SPAP yang ditetapkan oleh
IAI sebagai berikut :
1. Laporan harus menyebutkan asersi yang dilaporkan dan menyatakan sifat
perikatan atestasi yang bersangkutan.
2. Laporan harus menyatakan simpulan praktisi mengenai apakah asersi
disajikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan atau kriteria yang
dinyatakan dipakai sebagai alat pengukur.
3. Laporan harus menyatakan semua keberatan praktisi yang signifikan
tentang perikatan dan penyajian asersi.
4. Laporan suatu perikatan untuk mengevaluasi suatu asersi yang disusun
berdasarkan kriteria yang disepakati atau berdasarkan suatu perikatan
untuk melaksanakan prosedur yang disepakati harus berisi suatu
21
pernyataan tentang keterbatasan pemakaian laporan hanya oleh pihak-
pihak yang menyepakati kriteria atau prosedur tersebut.
Selain itu, Standar Pemeriksaan menetapkan standar pelaporan tambahan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu sebagai berikut :
a. Pernyataan kepatuhan terhadap standar pemeriksaan
Laporan hasil pemeriksaan harus menyatakan bahwa pemeriksaan
dilakukan sesuai dengan Standar Pemeriksaan.
b. Pelaporan tentang kelemahan pengendalian intern, kecurangan,
penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan serta
ketidakpatutan.
Pernyataan standar pelaporan tambahan kedua mendeskripsikan bahwa
laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus mengungkapkan
kelemahan pengendalian intern yang berkaitan dengan hal yang diperiksa,
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk
pengungkapan atas penyimpangan administrasi, pelanggaran atas
perikatan perdata, maupun penyimpangan yang mengandung unsur tindak
pidana yang terkait dengan hal yang diperiksa.
c. Pelaporan tanggapan dari pejabat yang bertanggung jawab
Laporan hasil pemeriksaan yang memuat adanya kelemahan dalam
pengendalian intern, kecurangan, penyimpangan dari ketentuan
perundang-undangan, dan ketidakpatutan, harus dilengkapi tanggapan dari
pimpinan atau pejabat yang bertanggung jawab pada entitas yang
diperiksa mengenai temuan dan simpulan serta tindakan koreksi yang
direncanakan.
d. Pelaporan informasi rahasia
Informasi rahasia yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan untuk diungkapkan kepada umum tidak diungkapkan dalam
laporan hasil pemeriksaan. Namun laporan hasil pemeriksaan harus
mengungkapkan sifat informasi yang tidak dilaporkan tersebut dan
22
ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan tidak
dilaporkannya informasi tersebut.
e. Penerbitan dan pendistribusian laporan hasil pemeriksaan.
Laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan, entitas
yang diperiksa, pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tindak
lanjut hasil pemeriksaan dan kepada pihak lain yang diberi wewenang
untuk menerima laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.5.5 Metodologi Audit Investigatif
Proses audit investigatif berdasarkan Petunjuk Teknis Pemeriksaan
Investigatif BPK RI (2008) mencakup sejumlah tahapan yang secara umum
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Prapemeriksaan informasi awal 2. Perencanaan dan persiapan pemeriksaan investigatif 3. Pelaksanaan audit investigatif 4. Pelaporan audit investigatif 5. Tindak lanjut
Pada prapemeriksaan informasi awal, informasi berbentuk lisan ataupun
tulisan yang diterima auditor mengenai indikasi terjadinya kecurangan harus
ditelaah dengan survei pendahuluan yang memperkuat dan mendukung dugaan
terjadinya kecurangan itu. Melalui telaah yang akurat, diharapkan pemeriksaan
dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Penelaahan
adalah peristiwa-peristiwa yang sedang dan telah terjadi dalam suatu entitas.
Peristiwa tersebut perlu didukung dengan suatu bukti sebagai petunjuk bahwa
terjadi suatu tindakan kecurangan.
Proses penanganan informasi awal mencakup tahapan:
a. Memahami informasi awal b. Menganalisis informasi awal c. Mengevaluasi informasi awal d. Keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif
23
Informasi awal mengenai tindak pidana korupsi dan kerugian negara
biasanya memuat hal-hal yang bersifat umum, tidak menjelaskan secara rinci
masalah yang terjadi sehingga auditor perlu memahami tingkat keandalan dan
validitas informasi.
Tujuan menganalisis informasi awal adalah menjelaskan seluruh informasi
awal ke dalam pendekatan 5W dan 1H (what, who, where, when, why dan how)
bersamaan dengan unsur Tindak Pidana Korupsi dan Kerugian Negara (TPKKN).
Untuk melengkapi informasi awal, penelaah dapat memperoleh tambahan
informasi dari berbagai sumber tanpa harus melakukan hubungan secara langsung
dengan pihak-pihak terkait yang melakukan TPKKN, seperti informasi dari
pemasok barang dan jasa, pembeli dan konsumen barang dan jasa, media massa,
internet dan informasi intern BPK lainnya.
Tahapan-tahapan perencanaan dan persiapan pemeriksaan investigatif
menurut Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif BPK RI meliputi :
a. Pembentukan tim pemeriksa investigatif b. Penyusunan program pemeriksaan c. Persetujuan program pemeriksaan investigatif Pembentukan tim pemeriksa investigatif merupakan langkah awal dalam
perencanaan pemeriksaan investigatif. Tim pemeriksa pada perwakilan BPK
dibentuk oleh Ketua Perwakilan BPK.
Program pemeriksaan investigatif merupakan rencana terinci disusun
berdasarkan struktur yaitu: dasar hukum pemeriksaan, standar pemeriksaan,
tujuan pemeriksaan investigatif, entitas yang diperiksa, lingkup yang diperiksa,
hasil telaahan informasi awal, alasan pemeriksaan, metodologi pemeriksaan,
langkah-langkah pemeriksaan investigatif, waktu dan pelaksanaan pemeriksaan
investigatif, susunan tim dan biaya pemeriksaan investigatif, dan distribusi
laporan hasil pemeriksaan investigatif.
Program pemeriksaan investigatif harus mendapat persetujuan pejabat
yang berwenang. Setelah paket program yang disetujui, maka ketua tim
melakukan pembagian tugas kepada masing-masing anggota tim untuk
penyusunan konsep kerja perorangan.
24
Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi enam tahap kegiatan :
a. Pembicaraan pendahuluan b. Pengumpulan bukti pemeriksaan c. Analisis dan evaluasi bukti d. Membuat simpulan e. Pemaparan oleh tim pemeriksa di lingkungan BPK f. Pemaparan oleh tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang
Berdasarkan surat tugas, tim pemeriksa investigatif harus
menyelenggarakan pertemuan dengan pimpinan dan para pejabat dari entitas yang
diperiksa dengan maksud menjelaskan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan dalam
surat tugas dan memperoleh informasi tambahan dari entitas yang diperiksa dalam
rangka melengkapi informasi yang telah diperoleh sebelumnya
Pengumpulan bukti pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara meminta
dokumen, meminta keterangan, melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan,
memperoleh bukti elektonik atau digital, melakukan pengamanan data, dan
memotret atau merekam bukti.
Setiap bukti yang diperoleh akan dibaca dan diinterpretasikan oleh auditor.
Kemudian auditor akan menentukan relevansi bukti yang diperoleh terhadap
kasus yang ditangani dan verifikasi atau pengujian kebenaran dari bukti itu
sendiri. Teknik mengevaluasi bukti antara lain dengan mempelajari bagan arus
kejadian (apa, siapa, bilamana dan bagaimana suatu proses kejadian terjadi) dan
kronologis fakta yang dijabarkan dalam bentuk naratif didasarkan pada urutan
kejadian yang sesungguhnya melalui bukti yang diterima.
Setelah menganalisis dan mengevaluasi bukti, auditor akan menyusun
simpulan. Simpulan yang dibuat dapat mendukung atau tidak mendukung
hipotesis yang sudah dirumuskan.
Tim auditor melakukan pemaparan di lingkungan intern BPK untuk
memperoleh persetujuan ketua perwakilan/auditorat utama atas simpulan tim
pemeriksa. Apabila pejabat berwenang belum sependapat atas simpulan tersebut,
maka tim auditor ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna
memperoleh bukti yang dapat memperkuat simpulan.
25
Pemaparan oleh tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang
merupakan tindak lanjut hasil pemaparan setelah dikomunikasikan di intern BPK.
Apabila BPK dan instansi yang berwenang belum sependapat bahwa kasus belum
memenuhi tindak pidana korupsi, penanggung jawab pemeriksaan dapat
memerintahkan tim untuk melakukan pemeriksaan tambahan.
Susunan laporan hasil audit investigatif secara umum ialah sebagai
berikut:
a. Bagian I : Simpulan
b. Bagian II : Umum
c. Bagian III : Uraian Hasil Pemeriksaan
d. Lampiran
Menurut Theodorus. M Tuanakota (2006:229) terdapat tujuh teknik audit
yang sering dilakukan oleh auditor yaitu:
1. Memeriksa fisik (Phisical examination) 2. Meminta konfirmasi (Confirmation) 3. Memerisa dokumen (Documentation) 4. Review analitik (Analytical review) 5. Meminta informasi lisan atau tertulis dari auditan (Inquiry of the auditee) 6. Menghitung kembali (Reperforming) 7. Mengamati (Observation)
Memeriksa Fisik lazimnya diartikan sebagai perhitungan uang tunai (baik
dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas berharga, persediaan barang
aktiva tetap dan barang berwujud (tangible asset) lainnya. Sedangkan mengamati
diartikan sebagai pemanfaatan indera untuk mengetahui sesuatu.
Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain (dari yang diinvestigasi) untuk
menegaskan kebenaran atau ketidakbenaran suatu informasi. Dalam audit
umumnya konfirmasi diterapkan untuk mendapat kepastian mengenai saldo utang
piutang. Tetapi konfirmasi sebenarnya dapat diterapkan untuk berbagai informasi
keuangan maupun non keuangan.
Dalam memeriksa dokumen tidak diperlukan teknik khusus. Tak ada
investigasi tanpa pemeriksaan dokumen. Hanya saja, dengan kemajuan teknologi,
definisi dokumentasi menjadi lebih luas, termasuk informasi yang diolah,
disimpan dan dipindahkan secara elektronik/digital.
26
Analytical review menurut Stringer dan Tewart seperti yang dikutip
Theodorus. M Tuanakotta (2006:231)
“Is a form of deductive reasoning in which property of the individual details
is inferred from evidence of the reasonableness of the aggregate results.”
Menghitung kembali atau reperform adalah menghitung kebenaran dalam
perhitungan. Prosedur ini sangat lazim dalam audit. Dalam investigasi,
perhitungan yang dihadapi umumnya sangat kompleks, didasarkan atas kontrak
atau perjanjian yang rumit, mungkin sudah terjadi perubahan dan renegosiasi
berkali-kali dengan pejabat (atau kabinet) yang berbeda.
2.6 Hubungan antara Akuntansi Forensik dengan Audit Investigatif
Menurut Theodorus Tuanakotta (2007:19), kaitan antara audit investigatif
dengan akuntansi forensik dapat digambarkan dalam tabel seperti di bawah ini :
Tabel 2.1
Akuntansi Forensik
Fraud Audit Jenis
Penu
gasan Pro
Aktif
Investi
gatif
Sumber
infor
masi
Peni
laian
resiko
Tuduhan
Keluhan
Temuan
Audit
Temuan
Audit
Output Iden
tifi
kasi
Po
tensi
Kecu
rangan
Indikasi
Awal
Adanya
Fraud
Bukti
ada/tidak
Pelang
garan
Hitung
an Ni
lai
keru
gian
Mencari
bukti
untuk
penyidikan
Berkas
Perkara
Penun
Tutan
Keya
kinan Ber
dasar
kan bukti
untuk
putusan
Penga
dilan
27
Audit investigatif merupakan bagian awal dari proses akuntansi forensik. Dengan
memasukkan unsur tindak pidana korupsi, unsur akuntansi forensik adalah
perhitungan kerugian negara dan proses pengadilan tindak pidana korupsi.
2.7 Kecurangan
2.7.1 Definisi Kecurangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana seperti yang dikutip oleh Theodorus.
M. Tuanakotta (2006:95) menyebutkan pasal-pasal yang mencakup pengertian
fraud diantaranya :
“Pasal 362 Pencurian : Mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Pasal 368 Pemerasan dan Pengancaman : Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekuasaaan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang. Pasal 372 Penggelapan : dengan sengaja melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagiannya adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan . Pasal 378 Perbuatan Curang : dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melanggar hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk, menyerahkan sesuatu barang kepadanya atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang”
2.7.2 Klasifikasi Kecurangan
Kecurangan dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam menurut Soejono
Karni (2000:35), yaitu :
a. Management fraud.
b. Non management (employee) fraud.
c. Computer fraud.
28
a. Management fraud (kecurangan manajemen).
Kecurangan ini dilakukan oleh orang dari kelas sosial ekonomi yang lebih
atas dan terhormat yang biasa disebut white collar crime. Kecurangan
manajemen ada 2 tipe, yaitu kecurangan jabatan dan kecurangan korporasi.
Kecurangan jabatan dilakukan oleh seseorang yang mempunyai jabatan
penting dan menyalahgunakan jabatannya itu. Kecurangan korporasi adalah
kecurangan yang dilakukan oleh suatu perusahaan demi memperoleh
keuntungan bagi perusahaan tersebut, misalnya manipulasi pajak.
b. Employee fraud (kecurangan karyawan).
Kecurangan karyawan biasanya melibatkan karyawan bawahan. Kadang-
kadang merupakan pencurian atau manipulasi. Dibandingkan dengan para
manajemen, kesempatan untuk melakukan kecurangan pada karyawan
bawahan jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan mereka tidak mempunyai
wewenang karena pada umumnya semakin tinggi wewenang semakin besar
kesempatan untuk melakukan kecurangan.
c. Computer fraud (kecurangan komputer).
Tujuan pengadaan komputer antara lain digunakan untuk pencatatan
operasional atau pembukuan suatu perusahaan. Kejahatan komputer dapat
berupa pemanfaatan berbagai sumber daya komputer di luar peruntukan
yang sah dan perusakan atau pencurian fisik atas sumber daya komputer itu
sendiri.
2.7.3 Kecurangan Menurut Akuntansi dan Auditing
Dilihat dari sudut pandang akuntansi Soejono Karni (2000:44)
mengelompokkan kecurangan menjadi menjadi empat yaitu :
1. Kecurangan korporasi 2. Kecurangan pelaporan 3. Kecurangan manajemen 4. Kegagalan audit
Kecurangan korporasi dilakukan oleh pejabat, eksekutif dan atau manajer
pusat laba dan perusahaan publik untuk kepentingan perusahaan jangka pendek.
29
Kecurangan pelaporan adalah penyajian laporan keuangan yang merusak
integritas informasi keuangan dan dapat mempengaruhi korban seperti pemilik,
kreditor bahkan kompetitor.
Kecurangan manajemen dilakukan manajer tingkat atas untuk kepentingan
sendiri dengan jalan menyalahgunakan wewenang.
Kegagalan audit adalah kegagalan auditor untuk dapat mendeteksi dan
mengoreksi atau mengungkapkan setiap kelalaian atau kesalahan besar dalam
penyajian laporan keuangan yang antara lain karena auditor tidak menerapkan
prosedur audit yang seharusnya terutama pada transaksi yang besar.
Menurut Bologna seperti yang dikutip oleh Amin Widjaja (2001:9)
kecurangan adalah penggambaran yang salah dari fakta material dalam buku besar
atau dalam laporan keuangan, bisa juga kecurangan yang ditujukan kepada pihak
luar misalnya penjual, pemasok, kontraktor konsultan dan pelanggan dengan cara
penagihan yang berlebihan.
2.7.4 Kecurangan Menurut Perspektif Hukum
Menurut Bologna yang dikutip oleh Amin Widjaja (2001:8) Kecurangan
dalam arti hukum adalah penggambaran kenyataan materi yang salah yang
disengaja untuk tujuan membohongi orang lain sehingga orang lain mengalami
kerugian ekonomi. Hukum dapat memberi sanksi sipil dan kriminal untuk
perilaku tersebut. Sanksi kriminal dapat melibatkan penilaian denda atau
dipenjara. Sanksi sipil dapat termasuk penggantian kerusakan utnuk kerugian
yang dialaminya.
Kecurangan dalam hukum kriminal dapat disebut dengan berbagai nama,
misalnya penipuan, kebohongan, pencurian dengan akal, kupon palsu, masukan
yang salah, menipu dan lain sebagainya.
2.7.5 Faktor Pendorong Terjadinya Kecurangan
Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya kecurangan sebagai
akibat antara tekanan kebutuhan seseorang dengan lingkungan yang
30
memungkinkan bertindak. Soejono Karni (2000:38) menyatakan pendapatnya
tentang faktor pendorong terjadinya kecurangan sebagai berikut :
a. Lemahnya pengendalian internal 1 Manajemen tidak menekankan perlunya peranan pengendalian internal 2. Manajemen tidak menindak pelaku kecurangan 3. Manajemen tidak mengambil sikap dalam hal terjadinya conflict of interest 4. Internal auditor tidak diberi wewenang untuk menyelidiki para eksekutif
terutama menyangkut pengeluaran yang besar. b. Tekanan keuangan terhadap seseorang
1. Banyak utang 2. Pendapatan rendah 3. Gaya hidup mewah
c. Tekanan non financial 1. Tuntutan pimpinan di luar kemampuan karyawan 2. Direktur utama menetapkan satu tujuan yang harus dicapai tanpa
dikonsultasikan terlebih dahulu kepada bawahannya. 3. Penurunan penjualan
d. Indikasi lain 1. Lemahnya kebijakan penerimaan pegawai 2. Meremehkan integritas pribadi 3. Kemungkinan koneksi dengan orang kriminal
Ciri-ciri atau kondisi adanya kecurangan menurut Soejono Karni
(2000:43) adalah :
a. Terdapat angka laporan keuangan yang mencolok dengan tahun-tahun sebelumnya.
b. Adanya perbedaan antara buku besar dengan buku pembantu. c. Perbedaan yang ditemukan melalui konfirmasi. d. Transaksi yang tidak didukung oleh bukti yang memadai. e. Transaksi yang tidak dicatat sesuai dengan otorisasi manajemen, baik
yang umum maupun yang khusus. f. Terdapat perbedaan kepentingan (conflict of interest) pada tugas
pekerjaan karyawan.
2. 8. Korupsi
2.8.1 Definisi Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin “Corruptio”. Menurut Soejono
Karni (2000:59) pengertian korupsi adalah :
“Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya.”
31
Indonesia memiliki undang-undang khusus untuk korupsi yaitu Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 yang diperbarui oleh Undang-Undang No. 20 Tahun
2001. Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, pengertian korupsi adalah :
“Perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Dari Undang-Undang No. 20 tahun 2001 dapat disimpulkan bahwa korupsi
memiliki 4 unsur pokok, yaitu :
a. Setiap orang, pegawai negeri, korporasi
b. Melawan hukum
c. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
d. Dapat merugikan keuangan negara
Pengertian korupsi dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi disempurnakan dalam Undang-Undang
No.20 Tahun 2001, dan dapat dibagi menjadi tujuh kelompok, yaitu :
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi atau pemberian hadiah
2.8.2 Akibat dari Perbuatan Korupsi
Soejono Karni (2000:69) juga menyatakan pendapatnya tentang akibat
dari perbuatan korupsi sebagai berikut :
a. Merusak sistem tatanan masyarakat. Norma-norma masyarakat dirusak oleh persekongkolan-persekongkolan. Korupsi cenderung menggerogoti suatu pemerintahan yang didukung publik.
32
b. Masyarakat sebagian besar menderita, baik dalam dunia ekonomi, administrasi, politik dan hukum.
c. Kehancuran perekonomian negara yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan penderitaan bagi sebagian besar masyarakat.
d. Terjadi biaya tinggi, sulit meningkatkan efisiensi. e. Munculnya berbagai masalah dalam masyarakat antara lain menyangkut
penggunaan atau pembebasan tanah tanpa mengikuti aturan yang berlaku. f. Korupsi menyebabkan orang menjadi frustasi, gangguan batin atau mental
dan akhirnya menimbulkan sifat apatis, suatu sifat yang tidak menguntungkan bagi pembangunan.
2. 9 Dana Upah Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
2.9.1 Definisi Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, pengertian pajak daerah adalah sebagai berikut :
“Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pembangunan Daerah.”
2.9.2 Undang-Undang Biaya Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor
2.9.2.1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Derah
Pasal 1 (Bagian I)
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBB-
KB adalah pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan
untukkendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk
kendaraan di atas air.
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data
objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai
kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan
penyetorannya.
Biaya pemungutan adalah biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana
33
pemungutan dan aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan.
Bab II (Bagian I)
Dalam rangka kegiatan pemungutan Pajak Daerah dapat diberikan biaya
pemungutan.
Pasal 3
(1) Biaya pemungutan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari
realisasi penerimaan Pajak Daerah.
(2) Persentase besarnya biaya pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
a. 80% (delapan puluh persen) untuk aparat pelaksana pemungutan, terdiri
dari : 45% (empat puluh lima persen) untuk Dinas/Instalasi Pengelola;
35% (tiga puluh lima persen) untuk Pertamina dan Produsen bahan bakar
kendaraan bermotor lainnya.
b. 20% (dua puluh persen) untuk aparat penunjang terdiri dari:
5% (lima persen) untuk Tim Pembina Pusat;
15% (lima belas persen) untuk aparat penunjang lainnya.
Pasal 9
(1) Alokasi biaya pemungutan bagian aparat pelaksana pemungutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, Pasal 5 huruf a, dan Pasal 6
huruf a, diatur lebih lanjut oleh Kepala Daerah atau Pimpinan
Perusahaan/Instansi yang bersangkutan;
(2) Alokasi biaya pemungutan bagian aparat penunjang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf b, Pasal 5 huruf b, dan Pasal 6 huruf b, diatur Iebih lanjut
oleh :
a. Menteri Dalam Negeri, untuk bagian Tim Pembina Pusat;
b. Kapolri, untuk bagian Kepolisian;
c. Pimpinan Instansi/Lembaga penunjang yang bersangkutan, untuk bagian
aparat penunjang lainnya.
34
2. 10 Dinas Pendapatan (Dinas Perpajakan Daerah)
2.10.1 Definisi Dinas Pendapatan Daerah
Dinas Perpajakan Daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah di
bidang Perpajakan Daerah. Dinas Perpajakan Daerah dipimpin oleh seorang
Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati
melalui Sekretaris Daerah.
2.10.2 Tugas dan Fungsi Dinas Pendapatan Daerah
Dinas Perpajakan Daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan
pemerintah daerah di bidang perpajakan berdasarkan azaz otonomi dan tugas
pembantu. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi yaitu :
a. Perumusan kebijakan teknis dinas di bidang perencanaan, pelaksanaan,
pembinaan, valuasi dan laporan penyelenggara sebagai urusan
pemerintah di bidang perpajakan sesuia dengan ketentuan dan/atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayan umum di bidang
perpajakan, sesuai dengan ketentuan dan atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas dinas dalam menyelenggarakan
sebagian urusan pemerintah di bidang perpajakan, sesuai dengan
ketentuan dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas
dan fungsi dinas.