Upload
phamthuan
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
63
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Konsep Keluarga Sakinah Menurut Mahasiswa PTAI Kota
Malang
Ada berbagai karakteristik yang peneliti temukan dilapangan
terkait bagaimana pasangan mahasiswa mengkonsep keluarga sakinah
dalam rumah tangganya. Keanekaragaman cara berfikir yang disampaikan
oleh informan ini dilatar belakangi karena realita kehidupan sehari-hari
tiap pasangan yang variatif.
64
Dalam realita yang penulis dapati, seringkali pasangan suami istri
dihadapkan dengan keadaan yang kurang seimbang. Hal ini sering kali
memicu timbulnya polemik dalam rumah tangga pasangan tersebut.
Permasalahan yang timbul berasal dari banyak hal, misalnya,
permasalahan internal pasangan itu sendiri, kebutuhan ekonomi, anak,
sampai pada pengaruh keluarga besar yang mayoritas masih mendominasi
kedua belah pihak. Hal ini tentunya menimbulkan dampak sistemik dalam
kehidupan rumah tangga pasangan tersebut.
Pasangan pertama yang penulis teliti merupakan pasangan yang
dapat dikatakan sangat muda. Abdi (21) dan Rohmah (20) menikah 1,5
tahun yang lalu. Adapun yang melatar belakangi pernikahan mereka
adalah perjodohan oleh orang tua kedua belah pihak. Saat ini keduanya
telah dikaruniai satu orang anak. Abdi masih berstatus sebagai mahasiswa
semester VI di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sementara sang istri
juga berkuliah di STKIP Blitar. Pasangan ini sepakat bahwa yang menjadi
kunci terbentuknya keluarga sakinah adalah rumah tangga yang
berpedoman kepada nilai-nilai agama.
“keluarga sakinah itu keluarga yang dijalankan sesuai dengan
syariat. Kalo sudah sesuai dengan syariat ya berarti sudah
sakinah”67
Pasangan yang kedua adalah pasangan Farid (26) dan Putri (23).
Farid merupakan mahasiswa semester akhir di Universitas Brawijaya
sedangkan Putri merupakan mahasiswa semester VI di UIN Maulana
67Abdi, wawancara (Malang, 1 Juni 2013)
65
Malik Ibrahim Malang. Pasangan ini telah menikah selama dua tahun dan
dikaruniai satu orang anak perempuan. Adapun yang melatar belakangi
pernikahan mereka adalah keinginan pribadi dari kedua belah pihak. Pada
saat memutuskan untuk menikah pasangan ini sudah merasa siap untuk
membangun rumah tangga bersama dengan bekal ilmu yang cukup
mengingat keduanya merupakan alumni pesantren serta dukungan dari
orang tuanya.
Menurut pasangan ini keluarga sakinah adalah keluarga yang
memiliki pondasi agama yang kuat. Bagaimanapun nilai-nilai agama
merupakan urat nadi dari sebuah rumah tangga. Keluarga sakinah terdiri
dari suami yang bisa menjadi imam dan membimbing keluarganya menuju
kebaikan, istri yang senantiasa mengayomi keluarga dengan kasih dan
sayang, dan anak-anak yang soleh/solehah yang berbakti kepada kedua
orang tuanya. Pasangan ini sendiri beranggapan bahwa rumah tangga yang
mereka bina telah memenuhi syarat sebagai keluarga sakinah secara dari
berbagai aspek materiil, moriil, dan religi.
“kalau menurut saya keluarga saya sudah mencerminkan keluarga
sakinah. Keluarga sakinah itu nggak neko-neko. Yang penting
masih berpegang teguh sama Allah SWT, saling pengertian. Ada
suami yang melaksanakan tanggung jawabnya dan istri yang taat
sama suami. Saya sama suami sama-sama dari pondok, meskipun
sedikit tapi ngertilah keluarga sakinah itu gimana. Kalau soal
materi, yah, meskipun gak banyak yang penting ada buat beli susu
anak”68
68Putri, wawancara (Malang, 28 Mei 2014).
66
Pasangan yang ketiga yaitu Adi (38) dan Iim (29). Pasangan Iim
dan Adi ini berpendapat bahwa keluarga sakinah adalah keluarga yang
saling memahami. Suami memimpin tapi tidak memonopoli, istri yang
dapat me-manage kebutuhan rumah tangga dan jujur, anak yang berbakti
serta dapat membanggakan keluarga. Keluarga pasangan ini mengaku
bukan keluarga yang sangat religius mengingat pengetahuan keduanya
tentang agama sebatas pengetahuan dasar. Akan tetapi pasangan ini
berusaha untuk membentuk keluarga sakinah dengan menanamkan nilai-
nilai agama minimal dengan sholat berjamaah ketika sedang dirumah dan
mengajarkan anak-anak mereka mengaji.
“saya nggak terlalu ngerti tentang agama, sebatas tahu yang boleh
dan tidak boleh dilakukan saja jadi keluarga sakinah menurut saya
itu keluarga yang sesuai dengan ajaran agama dan kalo menurut
saya ditambah sama kepercayaan sama pengertian. Saya sama
suami sama-sama sibuk jadi waktu buat ketemu sedikit. Ditambah
sering ketemu orang lain tanpa saling mendampingi. Jadi ya saling
percaya aja”69
Pasangan yang keempat yakni Ahmad (24) dan Nikmah (22).
Keluarga sakinah menurut pasangan ini adalah keluarga yang
berkecukupan serta berpedoman pada nilai-nilai agama. Dengan berbagai
pertimbangan, pasangan ini mengakui jika rumah tangga yang mereka bina
belum memenihi kriteria sebagai keluarga sakinah jika ditinjau dari
berbagai aspek. Rumah tangga yang mereka bina masih jauh dari kata
harmonis. Disamping itu salah satu pihak merasa terbebani mengingat
secara finansial mereka masih bergantung pada orang tua. Oleh karena itu
69Iim, wawancara (Malang, 27 Mei 2014).
67
Ahmad selaku kepala rumah tangga memutuskan akan mengambil cuti
kuliah demi memperjuangkan nasib keluarganya. Pasangan ini
berpendapat bahwa keluarga sakinah akan tercapai ketika masing-masing
anggota rumah tangga mampu memahami dan bertanggung jawab
terhadap hak dan kewajibannya. Sebuah rumah tangga baru bisa dikatakan
sebagai keluarga sakinah bila telah mandiri baik secara moriil maupun
materiil.
“belum lah mbak, masih jauh kalau mau dikatakan sebagai
keluarga sakinah. Aku aja belum bisa nafkahin anak istri. Nanti
kalau semua kebutuhan rumah tanggaku sudah terpenuhi lahir
batin baru bisa dikatakan sakinah”70
Pasangan yang kelima yaitu Doni (25) dan Ayu (20). Pasangan ini
baru menginjak usia pernikahan hampir satu tahun. Keduanya sama-sama
berkuliah di Universitas Muhammadiyah Malang semester VIII. Saat ini
pasangan Doni dan Ayu tinggal secara terpisah. Doni tinggal ditempat
kostnya di Kota Malang sementara Ayu memutuskan untuk cuti kuliah dan
tinggal dirumah kedua orang tuanya. Pasangan ini berpendapat
bahwasannya inti dari keluarga sakinah adalah kebahagiaan.
“sudah nggak mikir yang macam-macam mbak. Yang saya sama
istri sekarang ini ya bahagia selayaknya keluarga pada
umumnya”71
Pasangan yang terakhir yaitu Putra (27) dan Nana (24). Pasangan
ini telah menikah selama dua tahun. Sementara ini mereka tinggal secara
terpisah karena Putra ditugaskan untuk pekerjaannya di Surabaya
70Ahmad, wawancara (Malang, 30 Mei 2014). 71Doni, wawancara (Malang, 28 Mei 2014).
68
sementara Nana tinggal di Malang bersama orang tuanya sembari
menyelesaikan studi di Universitas Muhammadiyah Malang.
“yang penting sama-sama menjaga amanah karena kami
tinggalnya berjauhan. Kalo di rumah tangga kami sudah sakinah
atau belum ya nggak tahu. Kalo kami yang jawab kan jawabannya
jadi objektif dari sudut pandang kami. Tapi yang jelas aku dam
suami berusaha menjaga biar keluarga kecil ini tetep adem ayem.” 72
Keluarga sakinah menurut pasangan ini adalah keluarga yang
terdiri dari suami istri dan anak-anak yang saling mengasihi dan
menyayangi serta menghargai satu sama lain. Pasangan ini berpendapat
bahwa perhatian terhadap hal-hal kecil yang terjadi dalam keluarga adalah
hal yang penting untuk menjaga ikatan emosional antar anggota rumah
tangga. Memberi apresiasi terhadap kebaikan yang kecil dan tidak
membesar-besarkan permasalahan remeh menjadi kunci kebahagiaan
dalam rumah tangga.
2. Problematika Keluarga Sakinah Dikalangan Mahasiswa
Menikah
Pasangan pertama merupakan pasangan muda dimana keduanya
baik suami maupun istri masih berstatus sebagai mahasiswa. Sejauh ini
pasangan diatas tinggal bersama orang tuanya, kadang dirumah orang tua
suami dan kadang dirumah orang tua istri karena mereka belum memiliki
tempat tinggal pribadi. Mereka memilih untuk tinggal terpisah dengan
alasan supaya bisa konsentrasi pada kewajiban akademisnya masing-
72Nana, wawancara (Malang, 5 Juni 2014)
69
masing agar cepat selesai. Sementara sang anak tinggal bersama istri dan
dirawat oleh orang tua suami/istri jika sedang kuliah. Dalam hal
pemenuhan kebutuhan rumah tangganya pasangan ini masih sepenuhnya
ditanggung oleh kedua orang tua masing-masing sesuai dengan
kesepakatan sebelum pernikahan. Pasangan ini sendiri mengaku tidak
dipusingkan dengan hal tersebut.
Pasangan yang kedua adalah pasangan Farid (26) dan Putri (23).
Farid merupakan mahasiswa semester akhir di Universitas Brawijaya
sedangkan Putri merupakan mahasiswa semester VI di UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang. Untuk saat ini mereka tinggal bersama dirumah
orang tua istri. Dalam kesehariannya suami bekerja sebagai wirausaha
menjalankan usaha dari mertuanya sementara pihak istri tidak bekerja.
Ketika suami kuliah atau bekerja dan istri kuliah sang anak diasuh oleh
baby sitter.
“saya kerja ikut orang tuanya putri mbak(red: nama disamarkan),
ada pabrik yang tak kelola. Dulu sempat kontrak rumah sendiri,
tapi kembali kerumah orang tua waktu istri hamil biar ada yang
jaga. Kalo sekarang rutinitas tiap hari saya ngawasi pabrik udah
nggak ada kuliah tinggal skripsi jadi nggak kekampus, istri kuliah,
anak dirumah sama mbak (baby sitter).”73
Pasangan yang ketiga yaitu Adi (38) dan Iim (29). Pasangan ini
telah menikah selama 8 tahun dan dikaruniai dua orang putri. Dari
wawancara yang penulis lakukan, penulis tidak menemukan problem yang
berarti dalam rumah tangga pasangan ini. Baik suami maupun istri telah
memiliki penghasilan tetap masing-masing. Suami bekerja sebagai TNI-
73Farid, wawancara (Malang, 28 Mei 2014).
70
AD dan istri sebagai PNS di kelurahan tempat tinggalnya. Secara finansial
keluarga ini telah berkecukupan dengan fasilitas yang sangat memadai
pula. Hal yang melatarbelakangi pernikahan pasangan ini antara lain
adalah kesiapan pribadi dari kedua belah pihak. Sebelum menikah Iim
pernah berkuliah pada salah satu universitas swasta di kota Malang namun
kemudian berhenti karena kesibukan pekerjaan, baru kemudian setelah
menikah atas dorongan suami dan tuntutan pekerjaan ia mengambil kuliah
manajemen di Universitas Islam Malang dan kini telah memasuki semester
VI. Iim sendiri tidak merasa terbebani dengan kesibukannya yang
disamping sebagai ibu rumah tangga merangkap sebagai wanita karir dan
mahasiswa.
“sebenarnya juga udah males mau kuliah lagi dek, tapi karena
tuntutan pekerjaan dan alhamdulillah suami mendukung. Ya sudah
saya jalani”74
Pasangan yang keempat yakni Ahmad (24) dan Nikmah (22).
Pasangan ini menikah selama 1 tahun dan telah dikaruniai satu orang anak.
Pasangan ini menikah lantaran dijodohkan oleh orang tua masing-masing.
Saat ini Ahmad tengah menempuh pendidikan di Universitas Islam
Malang semester VI. Sementara sang istri tinggal di kampung halaman
Kediri bersama kedua orang tuanya. Pasangan ini tinggal secara terpisah
mengingat Ahmad masih menjalani kuliahnya di Kota Malang. Baik
Ahmad ataupun Nikmah masih belum bisa dikatakan mandiri karena
74Iim, wawancara (Malang, 27 Mei 2014).
71
secara finansial masih disokong oleh orang tua Ahmad sementara ia
bekerja sambilan sebagai pegawai fotokopi.
“orang tua saya khawatir sama pergaulan zaman sekarang.
Pertamanya sih nggak mau soalnya belum siap. Pekerjaan disini
Cuma cukup buat jajan sehari-hari, punya istri mau dikasih makan
apa? Tapi orang tua bilang nggak usah dipikirkan, mereka pasti
bantu. Ujung-ujungnya sekarang kasihan istri. Kemungkinan
semester depan aku mau cuti dulu kuliahnya.”75
Pasangan yang kelima yaitu Doni (25) dan Ayu (20). Pasangan ini
baru menginjak usia pernikahan hampir satu tahun. Keduanya sama-sama
berkuliah di Universitas Muhammadiyah Malang semester VIII. Saat ini
pasangan Doni dan Ayu tinggal secara terpisah. Doni tinggal ditempat
kostnya di Kota Malang sementara Ayu memutusan untuk cuti kuliah dan
tinggal dirumah kedua orang tuanya.
“salah kami berdua juga sih sudah bikin orang tua kecewa.
Sekarang istri dirumah mertua, kuliahnya cuti dulu sampe dia
melahirkan. Saya kesana kalau istri yang nyuruh. Pengennya
tinggal bersama, tapi orang tua nggak mengizinkan. Mau saya
bawa kerumah orang tua nggak boleh sama mertua”76
Pasangan yang terakhir yaitu Putra (27) dan Nana (24). Pasangan
ini telah menikah selama dua tahun. Sementara ini mereka tinggal secara
terpisah karena Putra ditugaskan untuk pekerjaannya di Surabaya
sementara Nana tinggal di Malang bersama orang tuanya sembari
menyelesaikan studi di Universitas Muhammadiyah Malang.
Dari data yang telah dipaparkan diatas penulis menemukan
berbagai karakter keluarga berdasarkan hasil wawancara yang telah
75Ahmad, wawancara (Malang, 30 Mei 2014). 76Doni, wawancara (Malang, 28 Mei 2014).
72
dilakukan. Penulis mengkategorikan permasalahan berdasarkan perbedaan
status antara sampel yang satu dengan yang lain yakni:
1. pasangan yang keduanya baik suami maupun istri masih
berstatus sebagai mahasiswa;
2. Pasangan yang suaminya saja masih berstatus sebagai
mahasiswa;
3. Pasangan yang istrinya saja masih berstatus sebagai
mahasiswa.
Penulis melihat ada beragam problematika yang muncul dalam
rumah tangga pasangan diatas.
Dalam hal nafkah misalnya, nampak perbedaan signifikan antara
ketiganya. Pasangan suami istri yang keduanya masih berstatus sebagai
mahasiswa cenderung masih bergantung kepada orang tua masing-masing
secara finansial. Kalaupun kemudian suami memutuskan untuk
mengerjakan kewajibannya mencari nafkah, maka kepentingan
akademiknya harus dikorbankan. Posisi mereka masih belum mandiri
sering kali membuat interfensi dari keluarga besar mempengaruhi
keduanya dalam mengambil keputusan dalam rumah tangga. Hal ini sering
kali memicu perseteruan diantara suami istri tersebut karena adanya
perbedaan pendapat antara kedua keluarga.
Pasangan 1: “kan sudah jadi kesepakatan orang tua dari awal, kebutuhan saya
sama istri di tanggung sama mereka. Ya sudah saya jalani saja”77
77Abdi, wawancara (Malang, 1 Juni 2013)
73
Pasangan 3: “saya kan udah punya penghasilan sendiri disamping penghasilan
suami dek. Jadi kalo pengen apa-apa ya saya langsung ambil tanpa
harus ijin suami. Selama ini suami juga tidak keberatan asalkan
jatah kebutuhan keluarga sudah mencukupi dan tidak terbengkalai
karena keinginan pribadi saya.”78
Pasangan 4: “pekerjaan ku belum mencukupi. Kalau istri tak bawa kesini mau
tinggal dimana, dikasih makan apa. Tapi kasihan juga kalau dia
bilang kurang nyaman tinggal sama orang tua ku. Meskipun orang
tua nggak keberatan, tapi kan pasti kepikiran juga.”79
Pasangan 5: “meskipun penghasilan saya sedikit, sebenarnya kalau istri boleh
ikut saya sama keluarganya hidup sederhana bisa kami jalani.
Berumpung mertua saya sudah kadung sentimen sama saya, saya
bisa apa. Saya kesana kalau waktunya ngasih uang bulanan aja. Itu
pun harus nyiapin mental”80
Lain halnya dengan pasangan yang hanya suami atau istrinya saja
yang masih berkuliah. Meskipun juga masih belum bisa dikatakan
mandiri, akan tetapi pasangan ini setidaknya telah memiliki penghasilan
sendiri walaupun belum mencukupi secara keseluruhan. Yang menjadi
kendala adalah perbedaan tempat tinggal antara keduanya. Tidak ada
masalah ketika pihak istri kuliah dan suami bekerja. Namun pada posisi
suami yang berkuliah, kondisinya tidak jauh berbeda dengan pasangan
yang keduanya menikah. Komunikasi yang kurang intens karena
perbedaan tempat tinggal ini juga sering menjadi penyebab terjadinya
kesalahpahaman dalam rumah tangga.
Pasangan 4: “Istri saya orangnya cemburuan. Kalau telat kasih kabar sedikit
pasti langsung emosi. Wajar sih kalo menurut saya, dia masih muda.
Disamping itu tekanan dari lingkungan juga lumayan berat. Saya
78Iim, wawancara (Malang, 27 Mei 2014). 79Ahmad, wawancara (Malang, 30 Mei 2014). 80Doni, wawancara (Malang, 28 Mei 2014).
74
sendiri kuliah, pasti banyak berinteraksi sama orang banyak tanpa
sepengetahuan dia. Jadi wajar kalau dia seperti itu.”81
Lain lagi dengan pasangan yang keduanya sama-sama telah
memiliki penghasilan. Dalam kasus ini penulis menemukan adanya
monopoli dari pihak istri. Hal ini dilatarbelakangi karena sang istri merasa
lebih karena disamping penghasilan dari suami, ia juga memiliki
pemasukan pribadi yang terkadang lebih besar dari pendapatan suami.
Pasangan 3:“kalau aku pengen apa-apa ya aku langsung beli. Nggak pernah izin-
izinan sama suami. Suami juga nggak protes. Suami nggak pernah
tanya-tanya soal penghasilan ku, aku kadang suka emosi kalau
ditanya soal itu. Buat ku selama aku nggak menghambur-hamburkan
uang suami secara sia-sia dan kebutuhan suami sama anak-anak
terpenuhi, setelah itu aku bebas kepingin apa aja”82
Aspek lain yang penulis temukan berkaitan dengan problematika
keluarga sakinah dikalangan mahasiswa adalah psikologis. Mayoritas dari
informan yang penulis teliti merasa terbebani secara psikologis dengan
statusnya sebagai suami/istri. Terutama dari pihak suami yang belum
memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhan keluarganya dan mereka
terpaksa harus tinggal secara terpisah.
Pasangan yang masih berstatus sebagai mahasiswa cenderung
menutup diri dari pergaulan dilingkungan tempat tinggalnya dikarenakan
mereka tidak siap dengan animo masyarakat yang sering kali memandang
mereka sebelah mata. Dari informan penulis mendapati sikap yang tidak
seharusnya didapatkan pasangan ini dari masyarakat sekitarnya antara lain:
mencibir, merendahkan, sampai fitnah. Bahkan hal yang demikian juga
81Ahmad, wawancara (Malang, 30 Mei 2014). 82Iim, wawancara (Malang, 27 Mei 2014).
75
terjadi dalam tataran kerabat dekat. Hal ini tentunya sangat berpengaruh
terhadap kondisi mental keduanya. Belum lagi dengan mereka yang masih
tinggal bersama orang tuanya, meskipun orang tuanya tidak keberatan
namun hal ini tetap menjadi beban karena pasangan ini merasa sebagai
parasit dalam keluarga. Orang tua dari pasangan ini pun turut merasakan
imbas dari pernikahan putra-putrinya.
Pasangan 4: “istri saya jarang keluar rumah. Warga di sekitar lingkungan rumah
orang tua saya orangnya „rumpi‟ (Red: suka menggosip). Ada saja
yang dipermasalahkan. Yang saya nggak dirumah lah, yang saya
nggak kerja lah, menelantarkan istri, membebani orang tua dan
permasalahan-permasalahan lainnya. Makanya saya kasihan sama
istri dan orang tua. Keluarga saya jadi jarang keluar. Dari keluarga
besar juga ada yang kayak gitu, yaa meskipun gak terang –terangan.
Sungkan mungkin, bapak saya yang paling tua soalnya”83
Menikah dengan status mahasiswa juga berpengaruh terhadap
ranah akademik yang bersangkutan. Dari data yang penulis peroleh,
nampak bahwa aspek akademik adalah yang paling menjadi korban dalam
pernikahan mahasiswa. Semua sampel menyatakan bahwa urusan
akademik menjadi tersampingkan setelah pernikahan. Mereka
menjalankan tanggung jawabnya sebagai akademisi semata-mata hanya
sebagai rutinitas demi memperoleh gelar sarjana. Datang kuliah,
mengerjakan tugas, presentasi, dll, semuanya dilakukan secara datar tanpa
ada motivasi untuk mengaktualisasikan diri sebagai insan akademik. Hal
ini terbukti dengan indeks prestasi dari pasangan menikah yang rata-rata
dan bahkan tidak sedikit yang dibawah rata-rata. Terlebih yang berstatus
sebagai suami, sebagian memutuskan untuk mengambil cuti kuliah demi
83Ahmad, wawancara (Malang, 30 Mei 2014).
76
memenuhi kebutuhan keluarganya. Sementara dari pihak istri terlihat lebih
bertanggung jawab terhadap kepentingan akademiknya. Permasalahan
lainnya pun muncul ketika tuntutan akademik yang diprioritaskan. Seperti
mengorbankan kebutuhan ekonomi yang berdampak pada tidak
terpenuhinya kebutuhan rumah tangga. Begitu pun aspek psikologi,
ketidak mampuan pasangan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
mengakibatkan pasangan bergantung kepada orang tua masing-masing.
Hal ini kemudian mempengaruhi pasangan dalam mengambil keputusan.
Pasangan 1: “dijalani aja, nggak ngotot nggak nyantai juga, sambil berbenah
bareng-bareng anak istri”
Pasangan 2: “kuliah ku tetap jalan kok meskipun udah nikah. Semua tugas dan
apapun yang berkaitan sama kuliah ku sebisa mungkin selesai
sebelum aku pulang kerumah. Kalau udah kuliah aku udah nggak
ngurusin yang dirumah. Sebaliknya juga kalau udah dirumah aku
gak mau ngurusin kampus lagi.”84
“kuliah ku udah semester akhir, tinggal skripsi aja, belum tak
kerjain. Ntar aja lah nyantai. Sekarang fokus kerja dulu.”85
Pasangan 3: “kalo soal kuliah aku nyantai pol dek, wong sudah males juga
sebenernya. Tugas-tugas kalo siang dikumpulkan pagi baru tak
kerjakan. Kalo lagi repot malah adikku yang tak suruh kerjakan.
Yang penting masuk sama ngerjain tugas.”86
Pasangan 4: “pengennya fokus mbak, la tapi kepikiran juga sama yang dirumah.
Belum kalo lembur sampai malem, tugas-tugas tak kerjain
seadanya. Mending itu, kalo pas gak ada waktu ya udah lewat kalo
pas tugasnya individu...”
Pasangan 5: “sejak ada masalah ini udah jarang masuk kuliah. Kalo pengen
kuliah ya kekampus kalo nggak ya enggak. Paling kerja kalo nggak
gitu nongkrong sama anak-anak...”
84Putri, wawancara (Malang, 28 Mei 2014). 85Farid, wawancara (Malang, 28 Mei 2014). 86Iim, wawancara (Malang, 27 Mei 2014).
77
Pasangan 6: “ya niat mbak, udah di bela-belain jauh sama suami masak main-
main. Kan kasihan suami sama keluarga.”
Dari variasi keluarga diatas dapat kita temukan berbagai
problematika yang dialami oleh pasangan mahasiswa menikah baik
ditinjau dari aspek ekonomi, psikologi, maupun akademik. Ketiganya
saling bersinergi dan mengharuskan pasangan untuk menentukan prioritas
atas salah satu diantaranya dan mengesampingkan yang lainnya
B. Pembahasan
1. Konsep Keluarga Sakinah Menurut Mahasiswa PTAI Kota
Malang
Pernikahan bukanlah hal yang dilarang. Justru menikah adalah
anjuran bagi mereka yang sudah mampu. Dan jika memang belum mampu
maka berpuasalah sesuai dengan sunnah yang telah diajarkan Rasulullah
SAW.
Penjelasan yang telah disebutkan dalam Q.S al- Rum: 21
merupakan salah satu bukti yang menunjukan keagungan, kebesaran, dan
kelayakan Allah SWT, untuk disembah adalah Dia menciptakan untuk
kaum pria, wanita-wanita dari jenis mereka sendiri untuk menjadi istri bagi
kaum laki-laki, sehingga jiwa-jiwa mereka merasa tenang dalam hidup
bersama. Selain itu, Allah menjadikan rasa cinta dan kasih sayang antara
suami dan istrinya. Sesungguhnya penciptaan Allah tersebur mengandung
bukti terang atas keesaan-Nya dalam ketuhanan dan menunjukan
kesempurnaan kekuasaan Allah bagi orang yang berfikir serta merenungi
78
tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk tersebut.87
Selain itu dalam Q.S al-Nur:
32 juga dijelaskan bahwa perikahan bagi seseorang yang telah mampu
merupakan anjuran demi menunjang kesejahteraan dalam mencari rizki-
Nya.
Dari data yang telah penulis paparkan diatas dapat ditemukan
beberapa kriteria tentang keluarga sakinah. Pasangan pertama dan kedua
berpendapat bahwasannya keluarga sakinah adalah sebuah rumah tangga
yang berpedoman pada nilai-nilai agama. Agama merupakan tonggak yang
memegang arah kendali dari keluarga. Agama merupakan cerminan dan
tolak ukur bagi keluarga sakinah, mawadah, dan rohmah.
Pasangan I dan II merupakan pasangan dengan latar belakang
agama yang kuat. Kedua pasangan ini merupakan alumni pesantren yang
telah memiliki pengetahuan mencukupi dalam hal agama. Latar belakang
pengetahuan agama yang kental inilah yang kemudian mempengaruhi cara
pandang keduanya mengenai keluarga sakinah. Keluarga sakinah menurut
pasangan ini adalah sebuah rumah tangga yang perpedoman pada Al-
Quran dan As-Sunnah. Pasangan ini berasumsi bahwasanya rumah tangga
dapat dikatakan sebagai rumah tangga seutuhnya ketika aspek sandang,
pangan, dan papan telah terpenuhi. Hal inilah yang kemudian peneliti
jadikan acuan dalam mengkategorikan pasangan I dan II sebagai Keluarga
Tradisional.
87„Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, (Jakarta timur: Qisthi press, 2008), hal 349.
79
Seperti yang dikatakan Abdullah yang dikutip oleh Mufidah dalam
bukunya yang berjudul Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender,
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sakinah dalam rumah tangga
adalah to be or become trainquil, peaceful, God inspirate peace of mind.88
Adapun penulis mengartikan statemen ini sebagai perwujudan bahwa
sebuah rumah tangga akan mencapai tingkatan yang disebut sebagai
sakinah ketika segala kegiatan yang dilakukan oleh keluarga tersebut
kembali kepada nilai-nilai Islam. Terlepas dari mereka merupakan alumni
pesantren atau bukan, pengetahuan tentang agama yang mumpuni bagi
setiap pasangan yang memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya
adalah sebuah keharusan yang mutlak.
Pasangan kedua dan keenam memiliki kesamaan dalam memahami
keluarga sakinah. Bagi mereka kunci dari keluarga sakinah adalah adanya
rasa kepercayaan dan pengertian dari masing-masing pasangan. Pasangan
kedua merupakan suami istri yang sama-sama memiliki kesibukan sendiri
diluar aktifitasnya dalam keluarga, mereka sama-sama bekerja dan berada
ditempat yang terpisah serta sering kali bertemu orang lain yang bukan
mahramnya tanpa saling mendampingi satu sama lain. Sementara
pasangan keenam merupakan pasangan long distance relationship. Kedua
pasangan ini sama-sama hanya memiliki intensitas waktu yang sedikit
untuk bertemu atau berkomunikasi satu sama lain. Maka dari itulah
mereka beranggapan bahwa kepercayaan dan pengertian merupakan kunci
88Mufidah Ch, Psikologi, h. 46
80
dalam rumah tangga disamping berpedoman kepada Al-Quran dan As-
Sunnah.
Bagi rumah tangga tradisional kebutuhan akan rasa nyaman
termasuk munculnya rasa salin pengertian dan adanya intensitas
komunikasi yang mumpuni merupakan kebutuhan sekunder. Lain hal-nya
dengan keluarga modern, globalisasi yang terjadi pada setiap lini
kehidupan manusia dewasa ini menuntut setiap pasangan modern untuk
menempatkan kedua hal diatas sebagai kebutuha primer dalam rumah
tangga.89
Dalam hal ini penulis menganalogikan keluarga sebagai unit
masyarakat yang mengalami suatu perubahan fase dari tradisional menuju
ke modern dimana muncul unsur-unsur baru ketika sebuah ketidakserasian
muncul dan mengakibat kan suatu ketegangan.90
Perbedaan dua tipologi
keluarga diatas didasari karena adanya perbedaan background
pengetahuan serta realita kehidupan yang mereka jalani selama ini.
Ketidakserasian ini dapat dipulihkan kembali setelah terjadi suatu
perubahan yang dalam hal ini diwakili oleh proses globalisasi. Inilah yang
kemudian penulis anggap sebagai jembatan antara keluarga tradisional dan
modern.
Pasangan keempat dan kelima mengatakan bahwa keluarga sakinah
adalah keluarga yang bahagia. Penulis melihat persepsi dari kedua
pasangan ini dilatar belakangi karena kondisi rumah tangga yang berada
89 Mufidah Ch, Psikologi, h. 46 90Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafino Persada, 2006),
h. 288
81
pada posisi yang kurang menguntungkan. Keduanya sama-sama
mengalami polemik yang cukup sensitif dalam rumah tangganya. Adanya
tekanan psikologis karena tidak terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin
pada pasangan IV dan kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis pada
pasangan V berakibat pada adanya transformasi pola pikir mereka dalam
mengkonsep keluarga sakinah. Tanpa bermaksud untuk mengabaikan
nilai-nilai agama sebagai pedoman dalam membentuk keluarga sakinah
realita yang dialami oleh kedua pasangan ini meletakkan nilai kebahagiaan
sebagai tolak ukur keluarga sakinah dalam rumah tangga mereka.
Kebahagiaan dalam rumah tangga merupakan suatu hal yang
mutlak harus dimiliki oleh keluarga. Menurut konsep sosiologi tujuan
keluarga adalah mewujudkan kesejahteraan lahir (fisik, ekonomi) dan
batin (psikologi, spiritual, dan mental). Sebagai unit terkecil dalam
masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangganya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah untuk
mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi anggota keluarga, serta
untuk melestarikan keturunan dan kebudayaan suatu bangsa.91
Dalam hal ini penulis menganalogikan rumah tangga pasangan ini
kedalam tipologi keluarga transformatif. Transformatif sendiri merupakan
sebuah istilah yang menggambarkan sebuah sifat yang berubah-ubah
bentuk baik rupa, macam, sifat, keadaan, dan sebagainya. Perubahan
mindset atas keluarga sakinah pada kedua keluarga ini didasarkan pada
91Herien Puspitawati, “Konsep dan Teori Keluarga” Jurnal Departemen Ilmu Keluarga Dan
Konsumen Fak. Ekologi Manusia-IPB (2013), h. 3
82
perbedaan keadaan antara yang mereka rasakan dengan yang mereka
ketahui. Pada umumnya keluarga sakinah merupakan sebuah rumah tangga
dimana suami dan istri saling bertanggung jawab satu sama lain serta
menjadikan nilai-nilai agama sebagai pedoman. Namun realita rumah
tangga yang demikian pada kenyataannya tidak terlaksana secara
maksimal pada keluarga mereka. Hal ini lah yang kemudian melatar-
belakangi perbedaan cara pandang mereka dalam mengkonsep keluarga
sakinah dalam rumah tangganya.
2. Problematika Keluarga sakinah di Kalangan Mahasiswa
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan beberapa
permasalahan yang mendominasi rumah tangga dari pasangan mahasiswa.
Berdasarkan jenis permasalahan yang paling sering muncul penulis
membaginya menjadi tiga kriteria yakni: permasalahan ekonomi,
permasalahan psikologis, dan permasalahan akademik.
a. Permasalahan Ekonomi
Empat dari enam sampel yang penulis teliti belum memiliki
penghasilan yang mencukupi kebutuhan rumah tangga keluarganya.
Bahkan salah satu diantaranya sama sekali tidak memiliki mata
pencaharian untuk menafkahi anak dan istrinya. Kebanyakan dari mereka
masih bergantung pada orang tua masing-masing. Walaupun tidak
sepenuhnya, namun dengan penghasilan yang tidak mencukupi ditambah
dengan kebutuhan ganda yakni keperluan sehari-hari dan kebutuhan kuliah
83
mereka secara otomatis suntikan dana dari masing-masing orang tua
sangat mereka butuhkan.
Gus Arifin dalam bukunya Menikah Untuk bahagia mengatakan
jika suami sudah dewasa dan istri belum, maka dalam hal ini Mahdzab
Syafi‟i mempunyai dua pendapat. Yang pertama sama dengan pendapat
Imam Malik. Kedua, istri tetap berhak memperoleh nafkah bagaimanapun
keadaannya.92
Mahdzab Maliki berpendapat bahwa nafkah menjadi wajib
atas suami apabila ia telah menggauli istrinya, sedang istri tersebut
termasuk orang yang dapat digauli, dan suami pun telah dewasa. Mahdzab
Hanafi dan Syafii berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib
memberikan nafkah apabila istri telah dewasa.
Dalam hal ini pasangan mahasiswa telah memenuhi syarat
kewajiban memenuhi nafkah kepada keluarganya. Hal ini tentunya
berakibat bahwa hukumnya wajib bagi mereka untuk memberikan nafkah
kepada istri maupun anaknya.
b. Permasalahan Psikologi
Permasalahan psikologi yang muncul dalam rumah tangga
pasangan mahasiswa muncul karena tidak terpenuhinya aspek finansial
yaitu terpenuhinya kebutuhan keluarga pasangan ini. Pemenuhan aspek
infrastruktur yakni sandang, pangan, dan papan, dalam rumah tangga
merupakan hal yang sangat krusial. Setiap orang mempunyai kebutuhan
terutama yang berhubungan dengan sandang, pangan, dan papan.
92Gus Arifin, Menikah, h. 123-124.
84
Kebutuhan ini disebut dengan kebutuhan primer, fisiologis, atau
jasmaniah. Bagi keluarga modern, selain kebutuhan tersebut diperlukan
pula kebutuhan dalam hal kesehatan , pendidikan, rekreasi, transportasi,
dan komunikasi. Bagi keluarga tradisional ini termasuk kedalam
kebutuhan sekunder, psikologis, atau ruhaniyah. Sedangkan bagi keluarga
modern yang tergolong dalam kebutuhan sekunder seperti rasa aman,
penghargaan atas prestasi yang dicapainya, dan aktualisasi diri. Kestabilan
ekonomi dapat merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan
kebahagiaan dan keharmonisan keluarga. Agar ekonomi keluarga stabil
maka diperlukan perencanaan anggaran keluarga dan keterbukaan serta
kejujuran dalam hal keuangan antar anggota keluarga.93
Fenomena ini terjadi pada pasangan ketiga dimana keduanya
masing-masing memiliki penghasilan pribadi. Dalam kasus ini penulis
menganalogikan dngan kasus yang disebutkan Dr. Mufidah dalam
bukunya dimana terjadi ketimpangan dalam rumah tangga suatu pasangan
sebagai akibat dari perbedaan status sosial keduanya. Dalam posisi ini istri
memahami bahwa nasihat yang diberikan suami merupakan hal yang logis.
Namun aspek psikologis istri menempatkan nasihat tersebut sebagai obyek
yang subjektif dimana setiap pribadi bisa saja menerima dengan sudut
pandang yang berbeda. Pada pasangan ketiga ini, yakni dimana istri
merasa bahwa ia menempati posisi yang setara dengan suaminya di
masyarakat sehingga tidak ada alasan baginya untuk harus menerima
93Mufidah Ch, Psikologi, h. 69-70
85
nasihat suami akan suatu hal sementara ia yakin bahwa segala sesuatu
yang ia lakukan adalah untuk kebaikan dalam rumah tangganya.
Permasalahan psikologis lainnya muncul pada pasangan yang
tinggal secara terpisah. Suami tinggal diluar kota untuk urusan studinya,
sementara istri tinggal bersama orang tua suami. Beban mental dari istri
muncul dari lingkungan tempatnya tinggal. Latar belakang lingkungan
yang masih kental dengan nuansa tradisional membuat masyarakat
disekitarnya masih menganggap tabuh suatu pernikahan dimana pasangan
suami istri tinggal secara terpisah dan suami ketahuan belum memiliki
penghasilan tetap yang bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
Gunjingan-gunjingan dari lingkungan sekitar bahkan dari keluarga besar
inilah yang kemudian menjadi tekanan mental tersendiri bagi pasangan.
Tekanan ini kemudian juga mempengaruhi kepentingan akademik dari
suami/istri yang notabene juga masih berstatus sebagai mahasiswa.
c. Permasalahan Akademik
86
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan
utama, bukan semata-mata karena alasan urutan atau alasan kronologis,
melainkan ditinjau dari sudut intesitas dan kualitas pengaruh yang diterima
anak. Hal ini juga termasuk dinjau deri sudut tanggung jawab orang tua
atas pendidikan anaknya (Kusnaeli, dalam bkkbn.go.id).
Oleh karena itu keluarga memiliki beberapa fungsi penting, yaitu :
fungsi pembinaan dasar moral dan spiritual, fungsi pendidikan, fungsi
reproduksi, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan/protektif, fungsi
rekreatif, fungsi sosial, fungsi afektif. 94
Rata-rata dari sampel yang penulis teliti memiliki kendala dalam
hal akademik. Indeks prestasi mereka rata-rata dan ada juga yang dibawah
rata-rata. Mereka mengaku tidak dapat konsentrasi dengan dua tanggung
jawab sekaligus. Akibatnya salah satu harus dikorbankan. Kuliah mereka
atau keluarganya.
Seperti halnya yang terjadi pada pasangan kedua. Pasangan ini baik
suami ataupun istri masih berstatus sebagai mahasiswa. Sang istri yang
masih aktif berkuliah melaksanakan kewajiban kuliahnya seperti biasa.
Hanya saja ia akan meninggalkan kewajibannya sebagai istri dan ibu
ketika ia masih kuliah. Sebisa mungkin segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkuliahan ia selesaikan sebelum kembali kerumah. Begitupun
94Fitri Lestari Issom, Pendidikan Islam dalam Masyarakat. Jurnal. http. Ilmu
Pendidikan.net.htm/2010/08/19/pendidikan-islam-dalam-masyarakat/ , diakses pada
tanggal 19 Juni 2014
87
ketika dirumah, maka ia tidak lagi berurusan dengan hal-hal yang
berkaitan dengan perkuliahannya.
Adapun jika dibandingkan atas dasar jenis kelamin, penulis
memperoleh data bahwa dari pihak perempuan atau istri lebih
bertanggung-jawab dari pada pihak laki-laki atau suami. Hal ini terbukti
dengan nilai indeks prestasi dari pihak perempuan lebih stabil daripada
pihak suami.
88
MATRIKS PENELITIAN
Konsep Keluarga Sakinah
No Konsep Keluarga Sakinah Informan Tipologi
1.
Rumah tangga yang
berpedoman pada nilai-
nilai agama sesuai dengan
ketetapan Al-Qur‟an dan
As-Sunnah
a. Pasangan 1: Abdi (22)
dan Wati (21)
b. Pasangan 2: Farid (26)
dan Putri (23)
Keluarga
Tradisional
2.
Rumah tangga yang
berpedoman pada nilai-
nilai agama sesuai dengan
ketetapan Al-Qur‟an dan
As-Sunnah, namun lebih
mengutamakan adanya
rasa kepercayaan dan
pengertian dari masing-
masing suami/istri
a. Pasangan 3: Adi (38)
dan Iim (29)
b. Pasangan 6: Putra (27)
dan Nana (24)
Keluarga
Modern
c.
Rumah tangga yang
berpedoman pada nilai-
nilai agama sesuai dengan
ketetapan Al-Qur‟an dan
As-Sunnah, namun
menjadikan kebahagiaan
sebagai tolak ukur
keluarga yang sakinah.
a. Pasangan 4: Ahmad
(24) dan Nikmah (22)
b. Pasangan 5: Doni (25)
dan Ayu (20)
Keluarga
Transformatif
89
Probematika Keluarga Mahasiswa
No.
Problem
Informan
Ekonomi Psikologis Akademik
Kerja Tidak Bermasalah Tidak Fokus Tidak
1. Abdi (22) √ √ √
Wati (21) √ √ √
2. Farid (26) √ √ √
Putri (23) √ √ √
3. Adi (38) √ √
Iim (29) √ √ √
4. Ahmad (24) √ √ √
Nikmah (22) √ √
5. Doni (25) √ √ √
Ayu (20) √ √ √
6. Putra (27) √ √
Nana (24) √ √ √