Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
53
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi potong
lintang (cross-sectional). Desain cross-sectional adalah desain penelitian
epidemiologi yang tidak memiliki dimensi waktu. Pengukuran terhadap seluruh
variabel yang diteliti hanya dilakukan satu kali, pada waktu yang sama (Sastroasmoro
dan Ismael, 2008). Dalam penelitian ini, peneliti ingin menganalisis asosiasi kadar
kadmium dalam air sumur dengan tekanan darah masyarakat Desa Namo Bintang.
Penelitian cross-sectional dilakukan untuk melihat asosiasi pajanan (exposure)
dengan penyakit (disease of interest) yang diukur dalam periode waktu yang singkat
dan dapat digunakan untuk melihat besaran masalah dan tingkat risiko pada suatu
kelompok.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu,
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena dianggap sebagai
kawasan dengan kualitas air tanah/sumur yang memiliki potensi besar tercemar
kadmium dari air lindi yang berasal dari TPA. Studi yang dilakukan sebelumnya oleh
Ashar dan Santi (2011) membuktikan bahwa air sumur dari jarak 94 m – 971 m dari
TPA yang berjumlah 60 sumur, seluruhnya memiliki kandungan kadmium melebihi
0,005 mg/l dengan kadar terendah adalah 0,0187 mg/l dan tertinggi 0,1957 mg/l serta
Universitas Sumatera Utara
54
rerata 0,02 mg/l, dalam hal ini telah melebihi nilai ambang batas yang dipersyaratkan
dalam Permenkes No.416/Menkes/Per/IX/1990 tentang persyaratan kualitas air
bersih. Waktu penelitian dari penyusunan proposal, pengumpulan data di lapangan,
analisis data hingga penyusunan laporan hasil penelitian dilaksanakan sejak bulan
Mei hingga Juli 2016.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Namo Bintang
Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Kota Medan Tahun 2016 dengan
jumlah 6708 orang.
3.3.2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi masyarakat yang
terpilih melalui kriteria yang telah ditentukan.
1. Besar Sampel Penelitian
Besaran sampel minimal yang harus diambil dalam penelitian ini dihitung
berdasarkan ukuran sampel untuk uji hipotesis beda 2 rata-rata (Lemeshow, 1997).
Untuk menentukan besar sampel uji hipotesis beda 2 rata-rata menggunakan formula
besar sampel sebagai berikut:
n =
dimana,
Universitas Sumatera Utara
55
N : besar sampel yang dibutuhkan
Z1-α/2 : Nilai z pada derajat kepercayaan 1-α/2 yang digunakan adalah 5% = 1,96
Z1-β : Nilai z pada kekuatan uji (power) 1-β yang digunakan adalah 90%
μ1
μ2
:
:
Kelompok masyarakat yang konsumsi air sumur yang mengandung Cd
rendah dan rata-rata kadmium dalam urin
Kelompok masyarakat yang konsumsi air sumur yang mengandung Cd
tinggi dan rata-rata kadmium dalam urin
Pada umumnya nilai σ2 tidak diketahui, sehingga σ
2 umumnya diperkirakan dari
varians gabungan:
Sp2
=
Dimana,
S12 : Standar deviasi pada kelompok 1, dan
S22 : Standar deviasi pada kelompok 2
Tabel 3.1 Perhitungan Besar Sampel dari Beberapa Variabel
No. Variabel μ1 μ2 Jumlah Sumber μ
1. Jenis kelamin 0,24 0,0325 40 Chaumnot,
2013
2. Kadmium di air
sumur
0,0268 0,052 88 Shuaibu,
2014
3. Merokok 0,111 0,138 86 Chaumont,
2013
4. Umur 0.217 0.313 42 Chaumont,
2013
Universitas Sumatera Utara
56
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel dari persamaan (3.1) maka
didapatkan jumlah sampel sebesar 88 responden. Untuk menanggulangi kemungkinan
adanya sampel yang tidak memenuhi kriteria inklusi, maka jumlah sampel ditambah
10% dari total sampel. Jadi, total sampel minimal adalah 96 responden.
2. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel dipilih secara stratified random sampling dengan menentukan kriteria
sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi
Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Menggunakan air sumur di lokasi penelitian sebagai sumber utama untuk
keperluan air minum dan memasak. Air sumur yang dimaksud adalah air
sumur yang terus menerus dan aktif digunakan untuk keperluan air minum
dan memasak. Air sumur dalam penelitian ini juga tidak diolah dengan
perlakuan kimia.
b. Telah bermukim di lokasi penelitian minimal 7 tahun. Penentuan lama
bermukim ini sesuai dengan waktu paruh eliminasi kadmium dari dalam tubuh
yaitu selama 7 – 16 tahun (Nordberg et al., 2007).
c. Bersedia menjadi responden dalam penelitian.
d. Laki-laki dan perempuan yang berusia 18 tahun atau lebih.
2. Kriteria eksklusi
Adapun kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Tidak menggunakan air sumur sebagai sumber air minum.
Universitas Sumatera Utara
57
b. Wanita pada masa menstruasi, menyusui atau hamil.
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah seluruh variabel penelitian yang
diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap responden
yang terpilih untuk mendapatkan informasi secara lengkap dan terperinci serta
melakukan pemeriksaan tekanan darah dan uji laboratorium terhadap air sumur yang
digunakan oleh responden untuk mengetahui kadar kadmiumnya.
Pengambilan sampel air sumur diambil pada kedalaman 20 cm di bawah
permukaan air sumur lalu sampel tersebut dimasukkan ke dalam wadah plastik yang
tidak berwarna. Setelah itu ditambahkan asam nitrat sampai pH ≤ 2 untuk
mengawetkan sampel, selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dianalisa
(Standar Nasional Indonesia, 2009).
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari profil Puskesmas Kecamatan Pancur Batu.
Cara memperoleh data dan instrumen yang digunakan dalam pengumpulan
data selengkapnya tercantum dalam Tabel 3.2.
Universitas Sumatera Utara
58
Tabel 3.2 Metode Pengumpulan Data
Variabel Cara memperoleh data Instrumen Usia Wawancara Kuesioner Jenis kelamin Wawancara Kuesioner Pekerjaan Wawancara Kuesioner Status gizi Mengukur tinggi badan
dan berat badan Timbangan berat badan (bathroom scale) dengan tigkat ketelitian 1 kg dan pengukur tinggi badan (microtoise) dengan tingkat ketelitian 1 cm
Kebiasaan merokok Wawancara Kuesioner Kadar kadmium
pada air sumur
Mengukur kadar kadmium
dari sampel air sumur milik
responden
Atomic Absorbance
Spectrophotometer (AAS)
Jumlah asupan air Wawancara Kuesioner
Durasi Pajanan Wawancara Kuesioner
Tekanan darah Mengukur tekanan darah
responden saat
tenang/istirahat dalam posisi
tidur sebanyak 2 (dua) kali
dengan interval 5 menit.
Diambil nilai rata-rata hasil
pengukuran
Tensimeter merek Omron
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1 Variabel
Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu:
a. Variabel dependen adalah tekanan darah.
b. Variabel independen adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, status gizi, kebiasaan
merokok, hipertensi, kadar kadmium pada air sumur, jumlah asupan air, dan
durasi pajanan.
Universitas Sumatera Utara
59
3.5.2 Definisi Operasional
Tabel 3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel Dependen
Definisi Operasional
Skala Ukur Hasil ukur
Usia Lama hidup responden yang dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir
Ordinal 0. < 43 tahun 1. > 43 tahun
Jenis Kelamin Jenis seks genital responden
Nominal 0. Laki-laki 1. Perempuan
Pekerjaan Jenis aktivitas rutin yang dilakukan responden untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
Ordinal 0. Tidak Beresiko 1. Berisiko
Status gizi Status gizi responden ditentukan dengan cara menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan dan dimasukkan dalam formula berat badan (kg) dibagi tinggi badan (cm
2)
Ordinal 0. Tidak Obesitas 1. Obesitas
Kebiasaan merokok
Kebiasaan sehari-hari responden dalam bentuk menghisap rokok
Ordinal 0. Tidak 1. Ya
Tekanan darah Tekanan darah adalah tekanan darah sistole dan tekanan darah diastole yang diukur dengan menggunakan alat ukur : Tensoval dengan Satuan : mmHg
Ordinal 0. Normal 1. Hipertensi
Universitas Sumatera Utara
60
Tabel 3.3 (Lanjutan)
Variabel Dependen
Definisi Operasional
Skala Ukur Hasil ukur
Kadar kadmium dalam air sumur
Kadar kadmium yang terukur dari hasil pemeriksaan sampel air sumur menggunakan AAS
Ordinal 0. < 0,005μg/l 1. > 0,005μg/l
Jumlah asupan air Jumlah air yang dikonsumsi responden yang berasal dari air sumur dari rumah yang ditinggali responden yang dihitung dalam liter/hari
Ordinal 0. < 2 Liter/hari 1. > 2 Liter/hari
Durasi Pajanan Banyaknya waktu dalam tahun responden mengkonsumsi air yang berasal dari air sumur
Ordinal 0. < 19 Tahun 1. > 19 Tahun
3.6. Metode Pengukuran
3.6.1 Pengukuran Kadmium Air Sumur
Pemeriksaan laboratorium kadar kadmium pada air sumur menggunakan
prosedur pengukuran kadmium sesuai dengan metode Standar Nasional Indonesia
tahun 2009 yang telah mengacu pada metode standar internasional yaitu Standard
Methods for the Examination of Water and Wastewater 21 th Edition (2005), sebagai
berikut :
3.6.1.1 Ruang Lingkup
Metode ini digunakan untuk penentuan logam kadmium total dan terlarut
dalam air dan air limbah secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-nyala pada
Universitas Sumatera Utara
61
kisaran kadar Cd 0,05 mg/l sampai dengan 2 mgl/l dengan panjang gelombang 228,8
nm.
3.6.1.2 Prinsip
Analit logam kadmium dalam nyala udara-asetilen diubah menjadi bentuk
atomnya, menyerap energi radiasi elektromagnetik yang berasal dari lampu katoda
dan besarnya serapan berbanding lurus dengan kadar analit.
3.6.1.3 Bahan
a. Air bebas mineral.
b. Asam nitrat (HNO₃) pekat p.a.
c. Logam kadmium (Cd) dengan kemurnian minimum 99,5%.
d. Gas asetilen (C₂H₂) HP dengan tekanan minimum 100 psi.
e. Larutan pengencer HNO₃ 0,05M.
f. Larutkan 3,5 mL HNO₃ pekat ke dalam 1000 mL air bebas mineral dalam
gelas piala.
g. Larutan pencuci HNO₃ 5% (v/v).
h. Tambahkan 50 mL asam nitrat pekat ke dalam 800 mL air bebas mineral ke
dalam gelas.
i. Udara tekan HP atau udara tekan dari kompresor.
3.6.1.4 Peralatan
a. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) nyala.
b. Lampu katoda berongga (Hollow Cathode Lamp / HCL) cadmium.
Universitas Sumatera Utara
62
c. Gelas piala 100 mL dan 250 mL.
d. Pipet volumetrik 10,0 mL dan 50,0 mL.
e. Labu ukur 50,0 mL; 100,0 mL; dan 1000,0 mL.
f. Erlenmeyer 100 mL.
g. Corong Gelas.
h. Kaca arloji.
i. Pemanas listrik.
j. Seperangkat alat saring vakum.
k. Saringan membran dengan ukuran pori 0,45 µm.
l. Timbangan analitik dengan ketelitian 0,0001g.
m. Labu semprot.
3.6.1.5 Pengawetan Contoh Uji
Bila contoh uji tidak dapat segera diuji, maka contoh uji diawetkan sesuai petunjuk di
bawah ini.
Wadah : Botol plastik (polyethylene) atau botol gelas.
Pengawet : Untuk logam total, asamkan dengan HNO₃ hingga pH <2.
Lama Penyimpanan : 6 bulan
Kondisi penyimpanan : Suhu Ruang
3.6.1.6 Persiapan Pengujian
Siapkan contoh uji yang telah disaring dengan saringan membran berpori 0,45
µm.
Universitas Sumatera Utara
63
3.6.1.7 Persiapan contoh uji kadmium total
Siapkan contoh uji untuk pengujian kadmium total, dengan tahapan sebagai
berikut.
a. Homogenkan contoh uji, pipet 50 mL contoh uji dan masukkan ke dalam gelas
piala 100 mL atau erlenmeyer 100 mL.
b. Tambahkan 5 mL asam nitrat pekat, bila menggunakan gelas piala, tutup dengan
kaca arloji dan bila dengan erlenmeyer gunakan corong sebagai penutup.
c. Panaskan di pemanas listrik secara perlahan-lahan sampai sisa volumenya 15 mL
sampai dengan 20 mL.
d. Jika destruksi belum sempurna (tidak jernih), maka tambahkan lagi 5 mL asam
nitrat pekat, kemudian tutup gelas piala dengan kaca arloji atau tutup erlenmeyer
dengan corong dan panaskan lagi (tidak mendidih). Lakukan proses ini secara
berulang sampai semua logam larut, yang terlihat dari warna endapan dalam
contoh uji menjadi agak putih atau contoh uji menjadi jernih.
e. Bilas kaca arloji dan masukkan air bilasnya ke dalam gelas piala.
f. Pindahkan contoh uji ke dalam labu ukur 50 mL (saring bila perlu) dan
tambahkan air bebas mineral sampai tepat tanda tera dan dihomogenkan.
g. Contoh uji siap diukur serapannya.
3.6.1.8 Pembuatan larutan induk logam kadmium, Cd 100 mg Cd/L
a. Timbang ± 0,100 g logam kadmium, masukkan ke dalam labu ukur 1000 mL.
Tambahkan 4 mL asam nitrat pekat sampai larut ( ≈ 100 mg Cd/L ).
Universitas Sumatera Utara
64
b. Tambahkan 8 mL asam nitrat pekat dan air bebas mineral hingga tepat tanda tera
dan homogenkan.
c. Hitung kadar kadmium berdasarkan hasil penimbangan.
3.6.1.9 Pembuatan larutan baku logam kadmium, Cd 10 mg Cd/L
a. Pipet 10 mL larutan induk 100 mg Cd/L, masukkan ke dalam labu ukur 100 mL.
b. Tepatkan dengan larutan pengencer sampai tanda tera dan homogenkan.
3.6.1.10 Pembuatan larutan kerja logam kadmium (Cd)
a. Pipet 0,0 mL; 0,5 mL; 1 mL; 2 mL; 5 mL; 10 mL dan 20 mL larutan baku
kadmium, Cd 10 mg/L masing-masing ke dalam labu ukur 100 mL.
b. Tambahkan larutan pengencer sampai tepat tanda tera sehingga diperoleh kadar
logam besi 0,0 mg/L; 0,05 mg/L; 0,5 mg/L; 0,1 mg/L; dan 0,2 mg/L.
3.6.1.11 Prosedur dan pembuatan kurva kalibrasi
a. Operasikan alat dan optimasikan sesuai dengan petunjuk penggunaan alat untuk
pengukuran kadmium.
Catatan 1: salah satu cara optimasi alat dengan uji sensitivitas.
Catatan 2: tambahkan matrix modifier dan atau atasi gangguan pengukuran
sesuai dengan SSA yang digunakan.
b. Aspirasikan larutan blanko ke dalam SSA-nyala kemudian atur serapan hingga
nol.
c. Aspirasikan larutan kerja satu persatu ke dalam SSA-nyala, lalu ukur serapannya
pada panjang gelombang 228,8 nm, kemudian catat.
d. Lakukan pembilasan pada selang aspirator dengan larutan pengencer.
Universitas Sumatera Utara
65
e. Buat kurva kalibrasi dari data pada butir c diatas, dan tentukan persamaan garis
lurusnya.
f. Jika koefisien korelasi regresi linier (r) < 0,995, periksa kondisi alat dan ulangi
langkah pada butir b sampai dengan c hingga diperoleh nilai koefisien r ≥ 0,995.
g. Uji kadar kadmium dengan mengaspirasikan contoh uji ke dalam SSA-nyala dan
ukur serapannya pada panjang gelombang 228,8 nm. Bila diperlukan, lakukan
pengenceran.
h. Catat hasil pengukuran.
3.6.1.12 Cara Uji
Uji kadar kadmium dengan tahapan sebagai berikut.
a. Aspirasikan contoh uji ke dalam SSA nyala dan ukur serapannya pada panjang
gelombang 228,8 nm. Bila diperlukan, lakukan pengenceran.
b. Catat hasil pengukuran.
3.6.1.13 Perhitungan kadar logam kadmium
Kadar logam kadmium dihitung sebagai berikut:
Cd (mg/L) = C x fp
Keterangan:
C adalah kadar yang didapat hasil pengukuran (mg/L);
fp adalah faktor pengenceran.
3.6.2 Prosedur Pengukuran Tekanan Darah
Tekanan darah adalah suatu kekuatan darah yang menekan dinding pembuluh
darah diukur dalam satuan mmHg dengan alat ukur tensi meter (normal : sistole 90-
Universitas Sumatera Utara
66
140 mmHg, diastole 60-90 mmHg) yang diukur sebanyak 2 kali untuk melihat
perubahan tekanan darah dengan kategori 1 : Tetap, 2 : Tidak Tetap (Berubah).
Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan Tensimeter yaitu alat
untuk mengukur tekanan darah. Adapun cara penggunaanya adalah:
1. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggang waktu sekitar 5 menit.
2. Siapkan lembar data hasil pemeriksaan.
3. Siapkan alat pengukuran tekanan darah yaitu Tensimeter.
4. Pasang manset, letakkan manset ± 2,5 cm diatas arteri tersebut dan bagian tengah
bladder dipasang diatas arteri tersebut, pasang manset melingkari lengan atas
tersebut dan kaitkan ujungnya.
5. Tutup katup dengan mengunci sampai rapat, lalu tekan tombol START untuk
memulai pengukuran.
6. Setelah hasil ditampilkan pada layar, tekan tombol STOP lalu buka manset dari
lengan responden.
7. Catat hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada responden (Yuni, 2010).
3.7 Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1 Pengolahan Data
Langkah-langkah pengolahan data meliputi editing, coding, processing,
cleaning dan tabulating.
Universitas Sumatera Utara
67
a. Editing adalah tahapan kegiatan memeriksa validitas data yang masuk seperti
memeriksa kelengkapan pengisian kuesioner, kejelasan jawaban, relevansi
jawaban, dan keseragaman pengukuran.
b. Coding adalah tahapan kegiatan mengklasifikasi data dan jawaban menurut
kategori masing-masing sehingga memudahkan dalam pengelompokan data.
c. Processing adalah tahapan kegiatan memproses data agar dapat dianalisis.
Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-entry (memasukkan) data hasil
pengisian kuesioner ke dalam master tabel atau database komputer.
d. Cleaning yaitu tahapan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry
dan melakukan koreksi jika terdapat kesalahan.
e. Tabulating merupakan tahapan kegiatan pengorganisasian data sedemikian rupa
agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan
dianalisis.
3.7.2. Analisis Data
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh informasi tentang masing-
masing variabel baik variabel dependen dan independen. Variabel yang bersifat
kategorik yaitu: usia, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan merokok, jumlah asupan
air, durasi pajanan, sumber air bersih dideskripsikan menggunakan distribusi
frekuensi dengan ukuran persentase atau proporsi, sedangkan untuk variabel yang
bersifat numerik yaitu: kadar kadmium dalam air sumur dan tekanan darah disajikan
Universitas Sumatera Utara
68
menggunakan ukuran rerata, simpangan baku, minimum, maksimum dan Interval
Kepercayaan 95%.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan atau
perbedaan antara masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
Untuk mengetahui normalitas distribusi data digunakan uji Kolmogorov Smirnov.
Penelitian ini menggunakan uji korelasi untuk melihat hubungan kadmium yang
terdapat pada air sumur terhadap tekanan darah masyarakat.
Signifikansi hubungan atau perbedaan rerata berdasarkan pada nilai alpa 5%,
bila p < 0,05 maka dikatakan signifikan dan sebaliknya bila p ≥ 0,05 berarti tidak
signifikan.
c. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan semua variabel pajanan
dan faktor risiko terhadap outcome atau penyakit pada populasi yang diteliti. Pada
analisis ini dapat dibedakan dan diidentifikasi apakah variabel pajanan menjadi faktor
utama dalam menimbulkan resiko kesehatan pada masyarakat di sekitar TPA sampah
atau disebabkan oleh faktor risiko lain yang lebih berpengaruh seperti faktor individu.
Analisis yang digunakan adalah linier regresi ganda.
Universitas Sumatera Utara
69
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum TPA Namo Bintang
TPA Namo Bintang merupakan salah satu areal tempat pembuangan akhir
sampah sebahagian Kota Medan dan daerah di sekitarnya yang terletak di ujung
sebelah Timur dusun II Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten
Deli Serdang. Luas dari TPA Namo Bintang adalah ± 16,8 km2. Sejak dioperasikan
pemakaiannya pada tanggal 5 Juli 1987 oleh Dinas Kebersihan Kota Medan dengan
volume sampah 3.180 m3 per hari dan kegiatan pengelolaan dari pukul 08.00 – 17.00
WIB setiap harinya, mengakibatkan lokasi TPA Namo Bintang telah menjadi
perbukitan yang dipenuhi oleh sampah.
Saat ini, areal penampungan sampah melayani 4 (empat) wilayah sumber
asal sampah, yaitu:
1. Wilayah I, meliputi Kecamatan Medan Kota, Medan Area, Medan Amplas, dan
Medan Johor.
2. Wilayah II, meliputi Kecamatan Medan Timur, Medan Perjuangan, Medan
Denai dan Medan Tembung.
3. Wilayah III, meliputi Kecamatan Medan Petisah, Medan Barat, Medan Sunggal
dan Medan Helvetia.
4. Wialayah IV, meliputi Kecamatan Medan Polonia, Medan Baru, Medan
Selayang dan Medan Tuntungan.
Universitas Sumatera Utara
70
Jarak lokasi TPA Namo Bintang dari pusat Kota Medan sekitar 15 km dan
jarak dengan permukiman penduduk sekitarnya berkisar 500 m. Untuk
mempermudah pendistribusian sampah, jalan menuju ke lokasi TPA dibuat menjadi 3
(tiga) jalur, dimana jalur satu dan dua digunakan untuk truk yang masuk sedangkan
jalur tiga digunakan untuk truk yang keluar. Kondisi dan situasi TPA Namo Bintang
dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1. Kondisi dan Situasi TPA Namo Bintang Tahun 2010
No Uraian Data
1. Lokasi:
- Desa
- Kecamatan
- Kabupaten
Namo Bintang
Pancur Batu
Deli Serdang
2. Luas 16,8 km2
3. Pemilikan Lahan/ Pengelola Dinas Kebersihan Kota Medan
4. Jarak Lahan
- Pemukiman
- Sungai
- Pantai
- Pusat Kota
500 m
5 km (sungai Tuntungan)
15 km (Belawan)
15 km
5. Kondisi Tanah
- Asal
- Lapisan Dasar
Tanah Liat
-
6. Pengoperasian 5 Juli 1987
7. Sistem Pemusnahan Open Dumping
8. Fasilitas Penunjang
- Truk
- Incenerator
- Compousting
108 buah
Ada (rusak)
Ada (rusak)
Sumber: Data Dinas Kebersihan Kota Medan 2010
Sistem pembuangan sampah di TPA Namo Bintang dilakukan secara open
dumping (sistem terbuka), dimana truk sampah membuang sampah pada zona yang
sudah ditentukan, kemudian diatur penempatannya oleh alat berat (bulldozer).
Universitas Sumatera Utara
71
Sampah secara mekanis dibuang, ditumpuk, ditimbun, diratakan, dipadatkan, dan
dibiarkan membusuk serta mengurai sendiri secara alami di TPA. Sebagian lain
dibakar secara langsung di tempat dengan atau tanpa menggunakan fasilitas
incinerator/tungku pembakaran karena incinerator di TPA Namo Bintang sedang
dalam keadaan rusak.
Berdasarkan profil TPA Namo Bintang Tahun 2010, ketinggian timbunan
sampah bervariasi ± 5-13 m dari lantai kantor operasional dengan tinggi timbunan
sampah maksimum di dekat jalan operasional. Hampir seluruh areal TPA sudah
tertimbun sampah kecuali areal TPA di bagian terendah sekitar 1Ha yang masih
berupa rawa dan kolam galian tanah.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Medan No.
658.1/317.K/III/2013 menetapkan bahwa sejak tanggal 19 Februari 2013, TPA Namo
Bintang ditutup. Dengan ditutupnya TPA maka setiap orang atau badan dilarang
membuang sampah di loksi tersebut. Dasar penetapan SK adalah dikeluarkannya
Undang-Undang No. 18 tahun 2008 yang melarang pengoperasian TPA secara open
dumping karena dianggap dapat mengancam kesehatan masyarakat. Di samping itu,
luas lahan TPA dianggap sudah tidak mampu/memadai lagi untuk menampung
buangan produksi sampah penduduk kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
72
Gambar 4.1 Peta Lokasi TPA Namo Bintang, Titik Pengambilan Sampel
Air Sumur
Universitas Sumatera Utara
73
4.2. Analisis Univariat
4.2.1. Karakteristik Responden
Informasi mengenai gambaran karakteristik individu meliputi usia, jenis
kelamin, pekerjaan, status gizi dan kebiasaan merokok. Data jarak dari usia dan IMT
berdistribusi normal, sehingga data numerik diubah menjadi kategorik untuk analisis
selanjutnya melalui cut off point menggunakan rerata. Untuk kelompok usia
mayoritas responden berusia > 43 Tahun sebanyak 52,1 persen. Untuk jenis kelamin
mayoritas responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 69,8 persen. Untuk
pekerjaan responden mayoritas bekerja tidak berisiko terpapar kadmium sebanyak
90,6 persen, untuk status gizi responden mayoritas memiliki gizi tidak obesitas
sebanyak 92,7 persen dan untuk kebiasaan merokok mayoritas responden tidak
merokok sebanyak 59,4 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.2
berikut :
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
No Variabel n %
1. Usia Responden
< 43 Tahun 56 58,3
> 43 Tahun 40 41,7
2. Jenis Kelamin
Laki-laki 29 30,2
Perempuan 67 69,8
3. Pekerjaan
Tidak Berisiko Terpapar Kadmium 87 90,6
Berisiko Terpapar Kadmium 9 9,4
Universitas Sumatera Utara
74
Tabel 4.2 (Lanjutan)
No Variabel n %
4. Status Gizi
Tidak obesitas 89 92,7
Obesitas 7 7,3
5. Kebiasaan Merokok
Tidak 57 59,4
Ya 39 40,6
Total 96 100,0
4.2.2. Paparan Kadmium dari Penggunaan Air Sumur
Informasi mengenai gambaran paparan kadmium dari penggunaan air sumur
yang terdiri dari jumlah asupan air sumur, durasi pajanan dan kandungan cadmium air
sumur. Dalam penelitian ini diperoleh data berdisitribusi normal sehingga data
numerik diubah menjadi kategorik untuk analisis selanjutnya melalui cut off point
menggunakan rerata.
Jumlah asupan air sumur yang di konsumsi responden per hari dengan rentang
antara 1 sampai 3,5 liter per hari dengan rata-rata 1,99 atau 2 liter per hari setelah
dikategorikan diketahui bahwa jumlah asupan air sumur yang dikonsumsi responden
mayoritas kurang atau sama dengan 2 Liter/hari sebanyak 67,7 persen. Untuk durasi
pajanan responden dengan air sumur dengan rentang antara 7 sampai 64 tahun dengan
nilai rata-rata responden mengalami pajanan dengan air sumur selama 18,92 atau 19
tahun setelah dikategorikan diketahui bahwa durasi pajanan mayoritas kurang atau
sama dengan 19 tahun sebanyak 65,6 persen. Untuk kadar kadmium dalam air sumur
dengan rentang 0,0017 sampai 0,0196 μg/l, dengan rata-rata kadar kadmium dalam
Universitas Sumatera Utara
75
air sumur sebesar 0,0079 μg/l. Berpatokan pada nilai Permenkes no.416 tahun 1990
untuk Cd dalam air sumur tidak boleh melebihi 0,005 mg/l, maka distribusi
kandungan Cd dalam air sumur masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kandungan Cd kurang atau sama dengan 0,005 mg/l dan kandungan Cd dalam air
sumur lebih dari 0,005 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan proporsi kandungan
kadmium dalam air sumur responden mayoritas dengan kandungan Cd lebih dari
0,005 mg/l adalah sebesar 65,5 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
4.3.
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Paparan Kadmium dari Penggunaan Air Sumur
No Variabel Mean SD Min Max n (%)
1. Jumlah Asupan Air Sumur 1,99 0,56 1 3,5
< 2 Liter/hari
> 2 Liter/hari
65 (87,7)
31 (32,3)
2. Durasi Pajanan 19,08 12,60 7 64
< 19 Tahun
> 19 Tahun
63 (65,6)
33 (34,4)
3. Kadmium air sumur 0,0079 0,0047 0,0017 0,0196
< 0,005μg/l > 0,005μg/l
33 (34,4)
63 (65,6)
4.2.3. Tekanan Darah
Untuk tekanan darah responden mayoritas belum pernah melakukan
pemeriksaan tekanan darah sebelumnya. Adapun hasil pengukuan tekanan darah
sistolik responden dengan rentang antara 96 sampa 240 mmHg dengan rata-rata 134
sedangkan tekanan darah diastolik dengan rentang antara 58 sampai 130 mmHg.
Universitas Sumatera Utara
76
Berdasarkan kategori tekanan darah diketahui bahwa mayoritas dengan tekanan darah
normal yaitu sebanyak 62,5 persen. dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut :
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Tekanan Darah Responden
No Variabel Mean SD Min Max n (%)
1. Tekanan Darah Sistolik 134,00 22,44 96 240
2. Tekanan Darah Diastolik 83,63 12,81 58 130
Normal
Hipertensi
60 (62,5)
36 (37,5)
4.3. Analisis Bivariat
4.3.1. Uji Chi Square
4.3.1.1.Hubungan Karakteristik Individu dengan Tekanan Darah Masyarakat di
Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang
Berdasarkan analisis bivariat karakteristik individu dengan tekanan darah
yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pekerjaan, status gizi dan kebiasaan merokok
hanya variabel usia yang memiliki hubungan yang bermakna dengan tekanan darah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia kurang dari 43 tahun terdapat 71,4
persen dengan tekanan darah normal dan 28,6 persen dengan hipertensi. Sedangkan
usia diatas 43 tahun terdapat 50,0 persen dengan tekanan darah normal dan 50,0
persen dengan hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan
ada hubungan yang bermakna antara usia dengan tekanan darah (p=0,05; PR= 0,571)
dengan CI [(0,341-0,959)] ini menunjukkan bahwa responden dengan usia > 43 tahun
memiliki peluang terkena hipertensi (0,571 kali lebih besar) dibandingkan responden
dengan usia < 43 tahun. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,341-0,959)] nilai
Universitas Sumatera Utara
77
prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa usia sebagai faktor risiko kejadian
hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variable ini berkandidat diikut sertakan
dalam uji Regresi Logistik Ganda (p < 0,25).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki terdapat 55,2
persen dengan tekanan darah normal dan 44,8 persen dengan hipertensi. Sedangkan
perempuan terdapat 65,7 persen dengan tekanan darah normal dan 34,3 persen
dengan hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibhuktikan tidak
ada hubungan yang bermakna antara usia dengan tekanan darah (p=0,364; PR=
1,306) dengan CI [(0,775-2,201)] ini menunjukkan bahwa responden dengan jenis
kelamin laki-laki memiliki peluang terkena hipertensi (1,306 kali lebih besar)
dibandingkan responden dengan jenis kelamin perempuan usia. Untuk selang
kepercayaan didapat [(0,775-2,201)] nilai prevalen rate <1 sehingga menunjukkan
bahwa jenis kelamin sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan
95%. Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda
(p > 0,25)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan yang tidak berisiko terpapar
cadmium terdapat 64,4 persen dengan tekanan darah normal dan 35,6 persen dengan
hipertensi. Sedangkan pekerjaan yang berisiko terpapar cadmium terdapat 44,4 persen
dengan tekanan darah normal dan 55,6 persen dengan hipertensi. Hasil analisis
statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna
antara pekerjaan dengan tekanan darah (p=0,29; PR= 0,641) dengan CI [(0,335-
1,227)] ini menunjukkan bahwa responden dengan pekerjaan yang berisiko terpapar
Universitas Sumatera Utara
78
kadmium memiliki peluang terkena hipertensi (0,641 kali lebih besar) dibandingkan
responden dengan pekerjaan yang tidak terpapar kadmium. Untuk selang kepercayaan
didapat [(0,335-1,227)] nilai prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa
pekerjaan sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%.
Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p >
0,25).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan status gizi tidak
obesitas terdapat 64,0 persen dengan tekanan darah normal dan 36,0 persen dengan
hipertensi. Sedangkan responden dengan status gizi obesitas terdapat 42,9 persen
dengan tekanan darah normal dan 57,1 persen dengan hipertensi. Hasil analisis
statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna
antara status gizi dengan tekanan darah (p=0,42; PR= 0,629) dengan CI [(0,313-
1,266)] ini menunjukkan bahwa responden dengan statusgizi obesitas memiliki
peluang terkena hipertensi (0,629 kali lebih besar) dibandingkan responden dengan
status gizi tidak obesitas. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,313-1,266)] nilai
prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa status gizi sebagai faktor risiko
kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variable ini tidak berkandidat diikut
sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p > 0,25).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan kebiasaan tidak
merokok terdapat 63,2 persen dengan tekanan darah normal dan 36,8 persen dengan
hipertensi. Sedangkan responden dengan kebiasaan merokok terdapat 61,5 persen
dengan tekanan darah normal dan 38,5 persen dengan hipertensi. Hasil analisis
Universitas Sumatera Utara
79
statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna
antara kebiasaan merokok dengan tekanan darah (p=1,00; PR= 0,958) dengan CI
[(0,588-1,615)] ini menunjukkan bahwa responden dengan kebiasaan merokok
berisiko memiliki peluang terkena hipertensi (0,958 kali lebih besar) dibandingkan
responden dengan kebiasaan tidak merokok. Untuk selang kepercayaan didapat
[(0,588-1,615)] nilai prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa kebiasaan
merokok sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%.
Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p >
0,25). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.5. berikut :
Tabel 4.5. Analisis Hubungan Karakteristik Individu (Usia, Jenis Kelamin,
Pekerjaan, Status Gizi dan Kebiasaan Merokok) dengan Tekanan Darah Pada
Masyarakat di Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016
Variable Tekanan Darah PR
(95%
CI)
Nilai
p Normal Hipertensi Jumlah
N % N % n %
Usia
< 43 Tahun
> 43 Tahun
40
20
71,4
50,0
16
20
28,6
50,0
56
40
100,0
100,0
0,571
(0,341-
0,959)
0,05
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
16
44
55,2
65,7
13
23
44,8
34,3
29
67
100,0
100,0
1,306
(0,776-
2,201)
0,36
Pekerjaan
Tidak berisiko
Berisiko
58
4
64,4
44,4
31
5
35,6
55,8
87
9
100,0
100,0
0,641
(0,335-
1,227)
0,29
Status Gizi
Tidak obesitas
Obesitas
57
3
64,0
42,9
32
4
36,0
57,1
89
7
100,0
100,0
0,629
(0,313-
1,266)
0,42
Kebiasaan
Merokok
Tidak
Ya
36
24
63,2
61,5
21
15
36,8
38,5
57
39
100,0
100,0
0,958
(0,568-
1,615)
1,00
Universitas Sumatera Utara
80
4.3.1.2.Hubungan Paparan Kadmium Pada Air Sumur dengan Tekanan Darah
Masyarakat di Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang
Berdasarkan analisis bivariat paparan kadmium air sumur dengan tekanan
darah yang terdiri dari jumlah asupan air minum, durasi pajanan, dan kadmium dalam
air sumur hanya variabel jumlah asupan air minum yang memiliki hubungan yang
bermakna dengan tekanan darah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan jumlah asupan air
minum < 2 Liter/hari terdapat 70,8 persen dengan tekanan darah normal dan 29,2
persen dengan hipertensi. Sedangkan responden dengan jumlah asupan air minum > 2
Liter/hari terdapat 45,2 persen dengan tekanan darah normal dan 54,8 persen dengan
hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan ada hubungan
yang bermakna antara jumlah asupan air minum dengan tekanan darah (p=0,02; PR=
0,533) dengan CI [(0,325-0,875)] ini menunjukkan bahwa responden dengan dengan
jumlah asupan air minum > 2 Liter/hari memiliki peluang terkena hipertensi (0,533
kali lebih besar) dibandingkan responden dengan jumlah asupan air minum < 2
Liter/hari. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,325-0,875)] nilai prevalen rate <1
sehingga menunjukkan bahwa jumlah asupan air minum sebagai faktor risiko
kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variabel ini berkandidat diikut
sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p < 0,25).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi pajanan < 19 Tahun terdapat 63,5
persen dengan tekanan darah normal dan 36,5 persen dengan hipertensi. Sedangkan
durasi pajanan > 19 Tahun terdapat 60,6 persen dengan tekanan darah normal dan
Universitas Sumatera Utara
81
39,4 persen dengan hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact
dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara durasi pajanan dengan tekanan
darah (p=0,83; PR= 0,927) dengan CI [(0,543-1,581)] ini menunjukkan bahwa
responden dengan durasi pajanan > 19 Tahun memiliki peluang terkena hipertensi
(0,927 kali lebih besar) dibandingkan responden dengan durasi pajanan < 19 Tahun.
Untuk selang kepercayaan didapat [(0,543-1,581)] nilai prevalen rate <1 sehingga
menunjukkan bahwa durasi pajanan sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada
taraf kepercayaan 95%. Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan dalam uji
Regresi Logistik Ganda (p > 0,25)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadmium air sumur < 0,005 mg/l
terdapat 60,6 persen dengan tekanan darah normal dan 39,4 persen dengan hipertensi.
Sedangkan kadar cadmium air sumur > 0,005 mg/l terdapat 63,5 persen dengan
tekanan darah normal dan 36,5 persen dengan hipertensi. Hasil analisis statistik
dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara
cadmium dalam air sumur dengan tekanan darah (p=0,83; PR= 1,079) dengan CI
[(0,633-1,841)] ini menunjukkan bahwa responden dengan cadmium dalam air sumur
> 0,005 mg/l memiliki peluang terkena hipertensi (1,079 kali lebih besar)
dibandingkan responden dengan cadmium dalam air sumur < 0,005 mg/l. Untuk
selang kepercayaan didapat [(0,633-1,841)] nilai prevalen rate <1 sehingga
menunjukkan bahwa cadmium dalam air sumur sebagai faktor risiko kejadian
hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan
dalam uji Regresi Logistik Ganda (p > 0,25). Dapat dilihat pada tabel 4.6. berikut :
Universitas Sumatera Utara
82
Tabel 4.6. Analisis Hubungan Kadar Kadmium (Jumlah Asupan Air Minum,
Durasi Pajanan dan Kadmium Air Sumur) dengan Tekanan Darah Pada
Masyarakat di Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016
Variable Tekanan darah PR
(95%
CI)
Nilai
p Normal Hipertensi Jumlah
n % N % n %
Jumlah Asupan
Air Minum
< 2 Liter/hari
> 2 Liter/hari
46
14
70,8
45,2
19
31
29,2
54,8
65
31
100,0
100,0
0,533
(0,325-
0,875)
0,02
Durasi Pajanan
< 19 Tahun
> 19 Tahun
40
20
63,5
60,6
23
13
36,5
34,4
63
33
100,0
100,0
0,927
(0,543-
1,581)
0,83
Kadmium Air
Sumur
< 0,005 mg/
> 0,005 mg/l
20
40
60,6
63,5
13
23
39,4
36,5
33
63
100,0
100,0
1,079
(0,633-
1,841)
0,83
4.3.2. Uji Korelasi
Untuk mengetahui hubungan dua variabel yaitu antara variabel independen
dengan satu variabel dependen maka digunakanlah analisis statistik bivariat. Pada
penelitian ini analisis bivariat yang digunakan adalah uji korelasi, sebelum masuk ke
analisis bivariat apabila data berjenis metrik/ numerik maka terlebih dahulu di
lakukan uji asumsi normalitas data masing-masing variabel independen dan
dependen. Asumsi normalitas dikatakan jika nilai p > 0,05.
Tabel 4.7. Hasil Uji Normalitas Data
No Variabel Df P Keterangan
1. Usia 96 0,161 Data Berdistribusi Normal
2 Jenis Kelamin 96 0,001 Data Tidak Berdistribusi Normal
3. Pekerjaan 96 0,001 Data Tidak Berdistribusi Normal
4. Status Gizi 96 0,026 Data Tidak Berdistribusi Normal
5. Kebiasaan Merokok 96 0,001 Data Tidak Berdistribusi Normal
Universitas Sumatera Utara
83
Tabel 4.7 (Lanjutan)
No Variabel Df P Keterangan
6. Jumlah Asupan Air Sumur 96 0,001 Data Tidak Berdistribusi Normal
7. Durasi Pajanan 96 0,001 Data Tidak Berdistribusi Normal
8. Kadmium air sumur 96 0,001 Data Tidak Berdistribusi Normal
9. Tekanan Darah Sistolik 96 0,004 Data Tidak Berdistribusi Normal
10. Tekanan Darah Diastolik 96 0,001 Data Tidak Berdistribusi Normal
Berdasarkan tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa variabel hanya variabel usia
ang berdistribusi normal karena memiliki nilai p 0,161 (p> 0,05) maka analisis
univariat menggunakan uji linier dikatakan berhubungan jika memiliki nilai p > 0,05.
Sedangkan variabel jenis kelamin, pekerjaan status gizi, kebiasaan merokok, jumlah
asupan air sumur, durasi pajanan, kadmium dalam air dan tekanan darah sistolik
maupun diastolik tidak berdistribusi normal karena memiliki nilai p < 0,05, sehingga
untuk analisis bivariat menggunakan korelasi Spearman dengan tingkat kepercayaan
95%. Dikatakan ada hubungan antara variabel dependen dengan independen apabila
nilai p < 0,005. Adapun hasil uji korelasi seperti yang terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.8. Hasil Uji Linier dan Uji Korelasi dengan Tekanan Darah Sistolik
No Variabel N Linier P
1 Usia 96 1,420 0,118
No Variabel n Spearman P
2 Jenis Kelamin 96 0,037 0,718
3 Pekerjaan 96 0,097 0,348
4 Status Gizi 96 0,138 0,181
5 Kebiasaan Merokok 96 0,070 0,495
1. Jumlah Asupan Air Sumur 96 0,229 0,025
2. Durasi Pajanan 96 0,130 0,206
3. Kadmium air sumur 96 0,013 0,902
Universitas Sumatera Utara
84
Berdasarkan tabel 4.8 diatas dapat dilihat bahwa variabel usia memiliki nilai
p (0,118) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara usia dengan
tekanan darah sistolik, jenis kelamin memiliki nilai p (0,718) > 0,05 sehingga dapat
disimpulkan tidak ada hubungan jenis kelamin dengan tekanan darah sistolik,
pekerjaan memiliki nilai p (0,348) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada
hubungan pekerjaan dengan tekanan darah sistolik, status gizi memiliki nilai p
(0,181) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan status gizi dengan
tekanan darah sistolik, kebiasaan merokok memiliki nilai p (0,495) > 0,05 sehingga
dapat disimpulkan tidak ada hubungan kebiasaan merokok dengan tekanan darah
sistolik, jumlah asupan air sumur memiliki nilai p(0,025) < 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara jumlah asupan air sumur dengan tekanan
darah sistolik. Untuk variabel durasi pajanan memiliki nilai p(0,206) > 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara durasi pajanan terhadap tekanan
darah sistolik. Untuk variabel kadmium air sumur memiliki nilai p(0,902) > 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara Kadmium air sumur
terhadap tekanan darah sistolik.
Tabel 4.9. Hasil Uji Linier dan Uji Korelasi dengan Tekanan Darah Diastolik
No Variabel n Linier P
1 Usia 96 1,283 0,195
No Variabel n Spearman P
2 Jenis Kelamin 96 0,083 0,420
3 Pekerjaan 96 0,109 0,290
4 Status Gizi 96 0,061 0,553
5 Kebiasaan Merokok 96 0,052 0,614
Universitas Sumatera Utara
85
Tabel 4.9 (Lanjutan)
No Variabel n
Pearson
Correlation P
6. Jumlah Asupan Air Sumur 96 0,271 0,008
7. Durasi Pajanan 96 0,058 0,574
8. Kadmium air sumur 96 0,088 0,392
Berdasarkan tabel 4.9 diatas dapat dilihat bahwa variabel usia memiliki nilai
p (0,195) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara usia dengan
tekanan darah diastolik, jenis kelamin memiliki nilai p (0,420) > 0,05 sehingga dapat
disimpulkan tidak ada hubungan jenis kelamin dengan tekanan darah diastolik,
pekerjaan memiliki nilai p (0,290) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada
hubungan pekerjaan dengan tekanan darah diastolik, status gizi memiliki nilai p
(0,553) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan status gizi dengan
tekanan darah diastolik, kebiasaan merokok memiliki nilai p (0,614) > 0,05 sehingga
dapat disimpulkan tidak ada hubungan kebiasaan merokok dengan tekanan darah
diastolik, jumlah asupan air sumur memiliki nilai p(0,008) < 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara jumlah asupan air sumur dengan tekanan
darah diastolik. Untuk variabel durasi pajanan memiliki nilai p(0,574) > 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara durasi pajanan
terhadap tekanan darah diastolik. Untuk variabel kadmium air sumur memiliki nilai
p(0,392) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
Kadmium air sumur terhadap tekanan darah diastolik.
Universitas Sumatera Utara
86
Tahap selanjutnya sebelum dilakukan analisis multivariat adalah seleksi
bivariat dengan syarat apabila nilai p <0,25 dapat masuk dalam uji multivariat,
berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa untuk analisis multivariat faktor yang
lebih berhubungan dengan tekanan darah sistolik variabel usia, status gizi, jumlah
asupan air sumur, durasi pajanan bisa masuk kedalam analisis multivariat. Sedangkan
untuk analisis multivariat faktor yang lebih berhubungan dengan tekanan darah
diastolik usia dan jumlah asupan air sumur yang bisa masuk kedalam analisis
multivariat.
4.4. Analisis Multivariat
4.4.1. Uji Regresi Linear Berganda
Analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi linear berganda untuk
menentukan model persamaan untuk mengestimasikan tekanan darah sistolik
berdasarkan variabel usia dan jumlah asupan air sumur. Adapun hasil model terakhir
yang terbentuk dari uji regresi linear berganda dengan metode stepwise dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 4.10 Model Terakhir Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Tekanan Darah
Sistolik
Variabel B T Sig
Constant 91,823 9,294 0,001
Usia 0,494 3,067 0,003
Jumlah Asupan Air Sumur 10,627 2,810 0,006
R square 0,172
Universitas Sumatera Utara
87
Dari tabel 4.10 diatas dapat dilihat model persamaan regresi linear berganda
yang terbentuk sebagai berikut :
Tekanan Darah = 91.82 + 0,494 (Usia) + 10,62 (Jumlah Asupan Air Sumur)
Persamaan regresi linier berganda diatas dapat diartikan sebagai berikut, pada
usia yang berisiko yaitu jika usia bertambah 1 tahun maka akan meningkatkan
tekanan darah sistolik sebesar 0,49mmHg dan dengan penambahan 1 liter jumlah
asupan air sumur maka akan meningkatkan tekanan darah sebesar 10,62 mmHg.
Tabel 4.11. Model Terakhir Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Tekanan Darah
Distolik
Variabel B T Sig
Constant 71,129 15,238 0,001
Jumlah Asupan Air Sumur 6,274 2,781 0,007
R-Square 0,076
Dari tabel 4.11 diatas dapat dilihat nilai determinan regresi sebesar dan 0,076
yang berarti bahwa model yang terbentuk dapat menjelaskan tekanan darah
berdasarkan variabel jumlah asupan air sumur sebesar 7,6%. Adapun model
persamaan regresi linear berganda yang terbentuk sebagai berikut :
Tekanan Darah = 71.13 + 6,27 (Jumlah Asupan Air Sumur)
Persamaan regresi linier berganda diatas dapat diartikan bahwa jika dengan
penambahan 1 liter jumlah asupan air sumur maka akan meningkatkan tekanan darah
diastolik sebesar 6,27 mmHg.
Universitas Sumatera Utara
88
4.4.2. Uji Regresi Logistik Berganda
Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variable independen yaitu
karakteristik individu dan paparan kadar kadmium pada air sumur yang lebih
berhubungan dengan tekanan darah. Uji yang digunakan dalam analisis multivariat ini
adalah Uji Regresi Logistik yaitu mencari variable yang dominan berhubungan
dengan tekanan darah. Berdasarkan uji bivariat, maka didapat 2 (dua) variable saja
yang dapat diikutsertakan dalam analisis multivariate menggunakan uji regresi
logistic berganda dengan metode Backward Stepwise (Wald) (p<25), yaitu variable
usia dan jumlah asupan air minum sebagaimana terlihat pada tabel 4.12 berikut :
Tabel 4.12 Model Terakhir Hasil Analisis Regresi Logistik Berganda
Variabel B S.E P value Exp (B) 95% Exp (B)
Usia 0,977 0,451 0,030 2,658 1,098-6,431
Jumlah Asupan Air
Sumur 1,136 0,468
0,015
3,114 1,244-7,793
Constant -1,337 0,362 0,001 0,263
Dari tabel 4.10 diatas dapat dilihat bahwa analisis uji regresi logistik berganda
menghasilkan variable yang mempunyai hubungan yang paling dominan dengan
tekanan darah di Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang yaitu variable usia dan
jumlah asupan air sumur. Jika dilihat nilai PR hasil uji regresi linear logistic berganda
diketahui variable jumlah asupan air sumur memiliki PR 3,114 [(95% CI = 1,244-
7,793)], hal ini menunjukkan bahwa variabel jumlah asupan air sumur merupakan
variabel yang paling kuat hubungannya dengan tekanan darah di Desa Namo Bintang
Kabupaten Deli Serdang.
Universitas Sumatera Utara
89
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1. Hasil Pemeriksaan Kadmium Air Sumur
Regulasi di Indonesia mengatur bahwa kandungannya dalam air bersih
sesuai dengan Permenkes No 416 tahun 1990 tidak boleh melebihi 0,005 mg/l
atau 5 μg/l. Dalam Permenkes No 492 tahun 2010 tentang “Persyaratan Kualitas
Air Minum” disebutkan kandungan tertinggi kadmium di dalam air minum adalah
0,003 mg/l atau 3 μg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan kadmium
tertinggi yang terdeteksi dari sumur milik warga di sekitar TPA adalah 19,6 μg/l
dan kadar terendah 1,7 μg/l dengan demikian terdapat masyarakat yang terpapar
pada kadar kadmium dalam air sumur yang melebihi nilai baku mutu air bersih
dan melewati baku mutu air minum.
Di tahun 2008, Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Pengelolaan
Lingkungan Hidup Energi dan Sumber Daya Mineral (sekarang telah berganti
nama menjadi Badan Lingkungan Hidup) menemukan kelima sumur pantau yang
berada dalam radius 300 meter dari TPA mempunyai kandungan kadmium yang
melebihi kadar maksimum (0,005 mg/l) dengan kisaran 0,011 mg/l sampai 0,026
mg/l (Dinas Kebersihan, 2008). Berikutnya di tahun 2011, Nainggolan
membuktikan bahwa 30 sumur milik warga yang tinggal dalam radius kurang dari
200 m dari TPA juga memiliki kandungan kadmium pada kisaran kadar antara
0,213 – 0,531 mg/l atau 42,6 – 106,2 kali lebih tinggi dari baku mutu. Hal yang
sama juga ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh Ashar dan Santi (2011)
yang melaporkan 60 sumur milik warga di sekitar TPA memiliki kandungan
Universitas Sumatera Utara
90
kadmium dengan rerata 0,02 mg/l atau empat kali lebih tinggi dari baku mutu.
Bila dibandingkan dengan studi-studi sebelumnya di lokasi yang sama, maka
penelitian ini menunjukkan kandungan kadmium yang lebih rendah dengan
kisaran kadmium antara 0,0017 sampai 0,0196 μg/l. Namun lebih tinggi dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ashar (2015) melaporkan kandungan kadmium
dengan kisaran kadmium antara 0,00069 μg/l sampai 0,0156 μg/l.
Adanya variasi musim dapat memengaruhi kandungan logam berat dalam
air tanah. Pengambilan sampel air sumur dalam studi ini dilakukan pada bulan Juli
2016. Berdasarkan data dari BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika) (2016) diketahui bahwa pada bulan Juli termasuk pada musim
kemarau. Pada musim kemarau tingginya evaporasi mengakibatkan pengaruh
pada penurunan produksi air lindi dan aktifitas mikroba. Sebaliknya, pada musim
hujan banyak terjadi presipitasi. Hal ini akan menaikkan kelembaban kandungan
air lindi dan menyebabkan peningkatan fermentasi anaerob bahan-bahan organik.
Proses penguraian pada musim hujan akan lebih cepat dibandingkan musim
kemarau. Oleh sebab itu, musim hujan akan membantu aktifitas mikroba
menghasilkan lebih banyak air lindi dan penguraian bahan organik dibandingkan
musim panas dan kering (Ifeanychukwu, 2008).
Kandungan Cd yang terdapat pada air sumur yang digunaan untuk minum
masih dalam batas aman, walaupun demikian sebaiknya dalam mengkonsumsi air
minum tetap perlu diperhatikan, karena meskipun kadar logam yang terdapat
dalam air minum kecil ada kemungkinan terjadi penumpukan logam dan
menyebabkan efek toksik pada manusia yang mengkonsumsi air minum tersebut
Universitas Sumatera Utara
91
dalam jangka waktu yang lama. Menurut Nordberg et al, dalam Widowati (2008)
logam berat jika sudah terserap ke dalam tubuh maka tidak dapat dihancurkan
tetapi akan tetap tinggal di dalamnya hingga nantinya dibuang melalui proses
ekskresi.
Kandungan Cd yang diabsorpsi oleh tubuh manusia melalui makanan,
akan ditransformasikan dalam darah yang berikatan dengan sel darah merah yang
memilki protein berat molekul rendah, yaitu metalotionin (MT) yang memilki
berat molekul 6000, banyak mengandung sulfhidril, dan dapat mengikat 11%
kadmium dan seng. Metalotionin (MT) memiliki daya ikat yang sama terhadap
beberapa jenis logam berat sehingga kandungan logam berat bebas dalam jaringan
berkurang. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas kadmium disebabkan oleh
interaksi antara kadmium dan protein tersebut sehingga memunculkan hambatan
terhadap aktivitas kerja enzim. Metalotionin merupakan protein yang sangat peka
dan akurat sebagai indikator pencemaran. Setelah Cd memasuki darah, Cd
didistribusikan dengan cepat ke seluruh tubuh. Pengikat oksigen dalam jaringan
bisa menyebabkan lebih tingginya kadar Cd dalam jaringan tersebut. Kadmium
memilki afinitas yang kuat terhadap hati dan ginjal (Widowati, 2008).
Logam kadmium (Cd) juga akan mengalami proses biotransformasi dan
bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Logam ini
masuk ke dalam tubuh bersama makanan yang dikonsumsi. Dalam tubuh biota
perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan
dengan adanya proses biomagnifikasi di badan perairan. Disamping itu, tingkatan
biota dalam sistem rantai makanan turut menentukan jumlah Cd yang
Universitas Sumatera Utara
92
terakumulasi. Di mana pada biota yang lebih tinggi stratanya akan ditemukan
akumulasi Cd yang lebih banyak, sedangkan pada biota top level merupakan
tempat akumulasi paling besar. Bila jumlah Cd yang masuk tersebut telah
melebihi nilai ambang mutu maka biota dari suatu level atau strata tersebut akan
mengalami kematian dan bahkan kemusnahan (Palar, 2008). Demikian pula
halnya, jika manusia mengonsumsi air minum dari sumur yang telah
terkontaminasi Cd akan mengalami proses bioakumulasi pada hati dan ginjal,
kemudian akan menyebabkan gangguan fungsi organ tubuh atau cacat tubuh
(Darmono, 1995).
Efek akan muncul saat daya racun yang dibawa kadmium tidak dapat lagi
ditolerir tubuh karena adanya akumulasi kadmium dalam tubuh. Efek kronis dapat
dikelompokkan menjadi lima kelompok salah satunya adalah terhadap darah dan
jantung. Apabila Cd masuk ke dalam tubuh maka sebagian besar akan terkumpul
di dalam ginjal, hati dan sebagian yang dikeluarkan melalui saluran pencernaan.
Kadmium dapat mempengaruhi otot polos pembuluh darah secara langsung
maupun tidak langsung lewat ginjal, sebagai akibatnya terjadi kenaikan tekanan
darah (Palar, 2008).
Keracunan kronis terjadi bila memakan atau inhalasi dosis kecil dalam
waktu yang lama. Gejala akan terjadi setelah selang waktu beberapa lama dan
kronik. Kadmium pada keadaan ini menyebabkan nefrotoksisitas, yaitu gejala
proteinuria, glikosuria, dan aminoasidiuria disertai dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus ginjal serta dapat menyebabkan gangguan kardiovaskuler dan
hipertensi.
Universitas Sumatera Utara
93
Hal tersebut terjadi karena tingginya afinitas jaringan ginjal terhadap
Kadmium. Gejala hipertensi ini tidak selalu dijumpai pada kasus keracunan
kadium. Efek kronis kadmium dapat pula menimbulkan anemia karena CdO.
Penyakit ini karena adanya hubungan antara kandungan kadmium yang tinggi
dalam darah dengan rendahnya hemoglobin.
5.2. Tekanan Darah Masyarakat di Desa Namo Bintang
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tekanan darah responden
mayoritas dengan tekanan darah normal yaitu sebanyak 62,5 persen. Eum dkk
(2008) mengamati adanya hubungan dosis respon antara kadar kadmium urin dan
hipertensi. Dari seluruh subjek dalam studi yang menggunakan warga Korea
sebagai respondennya terdapat 26,2% yang mempunyai hipertensi. Dari populasi
tersebut, kadar kadmium dalam darah adalah 1,67 μg/L, dan risiko terjadinya
hipertensi adalah 1,51. Hubungan yang signifikan juga ditemukan antara kadar
kadmium dalam darah dan tekanan darah dalam sebuah penelitian di Amerika
Serikat (AS).
Berbagai mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan peran kadmium
dalam memudahkan terjadinya aterosklerosis. Pertama, kadmium adalah kation
divalen yang terikat ke kelompok sulphydryl yang mengandung enzim, yang
secara tidak langsung dapat meningkatkan pembentukan oksigen reaktif dan
mengganggu respon anti stres oksidatif oleh pengikatan metalotionein. Kedua,
kadmium dapat menghambat siklus sel dengan mengganggu jalur sinyal sel dan
menginduksi bentuk atipikal apoptosis yang melibatkan ruptur endotel membran
sel plasma, dengan aktivasi makrofag. Ketiga, kadmium dapat sebagian berperan
Universitas Sumatera Utara
94
pada terbentuknya aterosklerosis melalui mekanisme vasopresor seperti peran
vasokonstriktor, penghambatan substansi vasodilator seperti oksida nitrit, atau
aktivasi sistem saraf simpatis. Di ginjal, kadmium dapat menginduksi retensi
garam dan peningkatan volume, yang dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi.
Kadmium yang telah diketahui menyebabkan kerusakan ginjal di tempat kerja,
berkontribusi pada hipertensi sistemik dan aterosklerosis karena kadmium
menyebabkan kerusakan di ginjal, yang merupakan organ penting dalam
pengaturan tekanan darah (Satarug et al. 2010).
5.3. Hubungan Karakteristik Masyarakat yang Mengkonsumsi Air yang
Mengandung Kadmium dengan Tekanan Darah
5.3.1. Hubungan Usia dengan Tekanan Darah
Dalam studi ini, kelompok usia mayoritas responden berusia > 43 Tahun
sebanyak 58,3 persen. Kemudian hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact
dibuktikan ada hubungan yang bermakna antara usia dengan tekanan darah.
Menggunakan uji linier usia juga memiliki hubungan dengan tekanan darah baik
sistolik maupun diastolik. Berdasarkan uji multivariat diketahui bahwa usia
sebagai salah satu faktor dominan menyebabkan hipertensi dimana setiap
bertambahnya 1 tahun usia responden menyebabkan kenaikan tekanan darah
sebesar 0,5 mmHg.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia memiliki hubungan terhadap
kejadian hipertensi yang dialami oleh responden, dimana semakin bertambahnya
usia atau semakin tua responden maka akan semakin berisiko terkena hipertensi.
Dalam penelitian ini seluruh responden merupakan orang-orang yang
Universitas Sumatera Utara
95
mengkonsumsi air sumur yang telah diperiksa mengandung kadmium.
Berdasarkan hal tersebut dengan Kejadian hipertensi yang dialami oleh responden
yang berusia diatas 43 tahun juga akan semakin parah apabila responden tersebut
juga terpapar oleh kadmium. Penelitan Harvey et al (2009) menyatakan bahwa
pengaruh akumulasi Cd menunjukkan peningkatan Cd dalam darah (B-Cd) pada
umur 30-45 tahun. Hal ini dikarenakan orang yang lebih tua mempunyai
konsentrasi B-Cd lebih tinggi dibanding orang dewasa. Satarung (2002)
melaporkan bahwa akumulasi kadmium di ginjal akan meningkat sesuai
pertambahan usia, tidak mengalami peningkatan sampai usia 50 tahun. Asupan
kadmium melalui diet sekitar 25-30 μg per hari pada kelompok usia 41-50 tahun
akan memberikan peningkatan kadar kadmium dalam tubuh sampai 18 mg
Teori ini sesuai dengan pendapat Nordberg (1992) yang menyatakan
bahwa konsentrasi B-Cd pada umumnya lebih rendah pada anak-anak dibanding
orang dewasa, yakni <0.1- 0.5 μg/L. Hal ini dikarenakan sifat logam Cd yang
terakumulasi akan menimbulkan dampak kesehatan setelah 10-30 tahun (ATSDR,
1999). Kaitan usia dengan tekanan darah menurut Dhianningtyas & Hendrati,
(2006), Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang berusia diatas 40
tahun, namun saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang usia muda.
Sebagian besar hipertensi primer terjadi pada usia 25-45 tahun dan hanya pada
20% terjadi dibawah usia 20 tahun dan diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan karena
orang pada usia produktif jarang memperhatikan kesehatan, seperti pola makan
dan pola hidup yang kurang sehat seperti merokok
Universitas Sumatera Utara
96
Berdasarkan teori tersebut peneliti berasumsi bahwa usia berhubungan
dengan tekanan darah yaitu responden yang usianya lebih tua dan mengkonsumsi
air sumur yang mengandung kadmium maka akan berisiko mengalami
peningkatan Cd dalam darahnya dan ginjal sehingga mengakibatkan terjadinya
disfungsi ginjal dan jantung dan pada akhirnya memengaruhi fungsi jantung
dalam memompa darah yang mengakibatkan hipertensi.
Penelitian ini sesuai dengan pendapat Vita (2004) tekanan darah akan
cenderung tinggi bersama dengan peningkatan usia. Umumnya sistolik akan
meningkat sejalan dengan peningkatan usia., sedangkan diastolic akan meningkat
sampai usia 55 tahun, untuk kemudian menurun lagi. Berdasarkan referensi
tersebut dapat diketahui umur responden dalam penelitian ini masih dalam
keadaan normal untuk peningkatan dan penurunan tekanan darah atau dapat
diasumsikan peningkatan dan penurunan tekanan darah sesuai berdasarkan usia
masing-masing masyarakat sebagai responden.
5.3.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Tekanan Darah
Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dan uji korelasi
dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
tekanan darah. Dalam studi ini, Untuk jenis kelamin mayoritas responden berjenis
kelamin perempuan sebanyak 69,8 persen. Pada penelitian ini karakteristik
individu berdasarkan jenis kelamin perempuan lebih banyak jika dibandingkan
dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan peneliti mendatangi rumah-rumah warga
pada waktu siang hingga sore dan pada saat demikian paling banyak dijumpai
wanita, sedangkan populasi pria sebagian besar sedang bekerja. Cara pengukuran
Universitas Sumatera Utara
97
jenis kelamin dilakukan dengan metode wawancara dan alat ukur yang digunakan
adalah kuesioner.
Kaitan jenis kelamin dengan kadar kadmium dan tekanan darah secara
teori, perempuan mempunyai konsentrasi B-Cd lebih tinggi dibanding laki-laki
(Hansen and Abbott, 2009). Beberapa studi menunjukkan bahwa kandungan
kadmium urin perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Studi-studi tersebut
membuktikan bahwa kandungan besi yang rendah dapat meningkatkan absorbsi
kadmium dari saluran cerna melalui makanan. Hal ini merupakan penyebab
tingginya kandungan kadmium pada perempuan. Penurunan kandungan besi pada
perempuan terjadi pada saat menstruasi, kehamilan, kurang gizi, dan saat
menyusui (Adnan, 2012). Penyebab hipertensi sekunder sudah diketahui dengan
pasti yaitu karena gangguan pada hormon pengatur tekanan darah, fungsi ginjal
yang terganggu dan penggunaan pil kontrasepsi. Beberapa faktor lain juga dapat
menjadi pemicu terjadinya hipertensi yaitu kurang gerak badan, obesitas atau
kelebihan berat badan, konsumsi garam yang berlebihan, merokok dan minuman
keras (Tirtawinata, 2006). Penelitian ini tidak mengikutsertakan perempuan yang
menjadi responden tersebut sedang dalam masa menstruasi, kehamilan, penyakit
keganasan dan penyakit ginjal. Oleh sebab itu, peneliti berasumsi bahwa sebagian
besar responden perempuan tidak sedang mengalami penurunan kandungan besi
sehingga absorbsi kadmium dari saluran cerna melalui makanan juga rendah
sehingga tidak berisiko mengalami gangguan tekanan darah.
Kaitan jenis kelamin dengan tekanan darah berdasarkan hasil penelitian
dapat diketahui bahwa kebanyakan responden dalam penelitian ini berjenis
Universitas Sumatera Utara
98
kelamin perempuan, pria pada umumnya lebih mudah terserang hipertensi
dibandingkan dengan wanita. Hal ini mungkin disebabkan kaum pria lebih banyak
mempunyai faktor yang mendorong terjadinya hipertensi seperti stress, kelelahan
dan makan tidak terkontrol, biasanya wanita akan mengalami peningkatan resiko
terkena hipertensi setelah masa menopause sekitar 45 tahun. (Purwati, Salimar,
Rahay, 1997)
Menurut Sigalingging (2011) rata-rata perempuan akan mengalami
peningkatan resiko tekanan darah tinggi (hipertensi) setelah menopouse yaitu usia
diatas 45 tahun. Perempuan yang belum menopouse dilindungi oleh hormon
estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein
(HDL). Kadar kolesterol HDL rendah dan tingginya kolesterol LDL (Low Density
Lipoprotein) mempengaruhi terjadinya proses aterosklerosis (Anggraini dkk,
2009).
Ellison (1989) telah membuktikan bahwa pelepasan oksida nitrit lebih
banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Oksida nitrit dapat disebut
sebagai faktor pelindung karena gangguan sintesis oksida nitrit akan
mengakibatkan terjadinya hipertensi dan kerusakan ginjal. Verhagen et al (2000)
menyatakan bahwa oksida nitrit bukan saja merupakan vasodilator tapi juga dapat
mencegah terjadinya agregasi trombosit, adhesi leukosit, proliferasi otot polos
vaskuler dan mengendalikan permeabilitas endotel, proses-proses yang sangat
penting dalam patogenesis aterosklerosis dan glomerulosclerosis.
Faktor-faktor lain juga dapat memengaruhi toksisitas kadmium (Nath et
al., 1984). Uptake dan metabolisme kadmium dapat dipengaruhi oleh keberadaan
Universitas Sumatera Utara
99
beberapa logam diantaranya zink, besi, kalsium, dan tembaga. Konsumsi protein
juga dapat memengaruhi uptake kadmium. Defisiensi vitamin C dan D, piridoxin,
dan tiamin juga dikaitkan dengan peningkatan absorpsi atau akumulasi kadmium.
Penyakit kronik seperti hipertensi dan diabetes telah diketahui dapat
meningkatkan risiko kerusakan ginjal, kemungkinan meski dalam kadar subklinik
dapat meningkatkan ekskresi protein setelah pajanan kadmium (Mueller, 1993).
5.3.3. Hubungan Pekerjaan dengan Tekanan Darah
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pekerjaan responden
mayoritas bekerja tidak berisiko terpapar kadmium sebanyak 90,6 persen. Hasil
analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dan uji korelasi dibuktikan tidak ada
hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan tekanan darah
Sebagian besar responden adalah wanita sebagai ibu rumah tangga.
Manusia dapat terpapar pada kadmium selain di tempat kerja adalah di lingkungan
pemukiman, khususnya melalui konsumsi makanan dan air minum yang
terkontaminasi kadmium seperti beras dan gandum yang dipanen dari tanah yang
tercemar kadmium. Pekerja-pekerja industri yang tinggal di daerah yang tercemar
kadmium harus melakukan pemantauan karena mereka dapat terpapar adanya
tambahan kadmium melaui konsumsi beras yang terkontaminasi kadmium dan
jenis makanan lainnya. Jin et al. (2004) membandingkan tingkat kerusakan ginjal
di antara para pekerja peleburan besi yang tinggal di daerah yang tercemar
kadmium (group kombinasi) dengan warga yang tidak pernah bekerja terpapar
kadmium namun tinggal di daerah yang sama (group area). Prevalensi kerusakan
ginjal terlihat lebih tinggi pada group kombinasi daripada group area. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
100
membuktikan bahwa pajanan di tempat kerja dan di pemukiman tercemar
kadmium mengakibatkan lebih tingginya prevalensi disfungsi ginjal. Berdasarkan
pendapat tersebut peneliti berasumsi bahwa sebagian besar responden merupakan
ibu rumah tangga yang tidak berisiko terpapar kadmium di tempat kerja sehingga
tidak berisiko mengalami disfungsi ginjal dan gangguan tekanan darah.
Bertolak belakang dengan hasil penelitian ini secara teori, pajanan Cd
melalui asupan makanan lebih berisiko terhadap wanita yang bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan pada ibu rumah tangga memiliki
frekuensi terpajan yang lebih besar (Purnomo and Purwana, 2008) dibandingkan
dengan wanita dan laki laki yang bekerja aktif di luar rumah. Hal ini juga tidak
sejalan dengan penelitian Kartikawati (2008) yang menyatakan bahwa frekuensi
hipertensi pada masyarakat pesisir lebih banyak dialami oleh wanita yang bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian
Masengi et al (2013) yang menyatakan bahwa pekerjaan memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat pesisir dikarenakan ibu
rumah tangga atau yang tidak atif berkerja di luar rumah memiliki asupan yang
tinggi dibandingkan dengan yang bekerja aktif di luar rumah.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tekanan darah dimana sebagian
besar responden adalah wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga yang tidak
memiliki frekuensi pajanan kadmium di tempat kerja yang terpapar oleh kadmium
dibandingkan dengan wanita atau laki-laki yang aktif bekerja yang
Universitas Sumatera Utara
101
memungkinkan terkena paparan cadmium di tempat kerja sehingga tidak berisiko
mengalami gangguan ginjal dan hipertensi.
5.3.4. Hubungan Status Gizi dengan Tekanan Darah
Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dan uji korelasi
dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan tekanan
darah hal ini mungkin disebabkan karena mayoritas responden memiliki status
gizi tidak obesitas atau normal sebanyak 92,7 persen sehingga tidak berisiko
mengalami peningkatan kadmium dalam tubuh dan tidak berisiko mengalami
hioertensi.
Sebuah studi cross-sectional menunjukkan prevalensi albuminuria
meningkat dengan peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Penelitian yang lain
membuktikan bahwa IMT yang lebih tinggi mengindakasikan adanya albuminuria
pada seseorang. Korelasi yang signfikan antara IMT dan laju ekskresi albuminuria
juga dilaporkan pada laki-laki dengan diabetes tipe II (Metcalf et al., 1992).
Obesitas merupakan faktor risiko dari berbagai penyakit. Khususnya, obesitas
berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal dan albuminuria. Orang-orang
dengan obesitas telah diketahui akan mengalami protenuria berat dan sindrom
glomerulosklerosis segmental. Karakteristik temuan ginjal yang dapat diamati
adalah pelebaran glomerulus dan adanya pola sklerosis segmental fokal (Sharma,
2009). Namun bertolak belakang dengan hasil studi yang dilakukan oleh Padilla et
al (2010). Mereka melakukan analisis hubungan antara logam-logam toksik
dengan obesitas sentral. Hasil studi menunjukkan bahwa logam-logam seperti
barium dan thalium berhubungan secara positif dengan obesitas, yang maknanya
Universitas Sumatera Utara
102
adalah bahwa pada orang yang obesitas akan memiliki kandungan logam barium
dan thalium yang tinggi. Salah satu penjelasannya adalah logam barium dan
thalium akan menginduksi stres oksidatif yang dapat meningkatkan lipogenesis
saat pelepasan energi. Stres oksidatif secara langsung juga menghasilkan radikal
bebas. Namun demikian, untuk logam yang lain seperti timbal, kadmium, kobalt
dan cesium berhubungan secara negatif dengan obesitas, artinya pada individu-
individu obesitas maka kadar logam-logam ini akan lebih rendah dibandingkan
individu yang tidak mengalami obesitas. Kadmium, kobalt dan cesium memiliki
efek yang sama dengan timbal yaitu dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Ginjal
yang mengalami gangguan akan mencegah filtrasi kreatinin, yang akan
menghasilkan pemecahan kreatin kinase di dalam otot yang berakhir dengan
penurunan berat badan.
Pada orang obesitas, terdapat banyak kompleksitas yang memicu
meningkatnya tekanan darah. Peningkatan tonus vascular, garam ginjal, dan
retensi air adalah inisiator utama hipertensi pada obesitas. Menkanisme yang
mendasari antara lain hiperleptinemia, meningkatnya FFA, hiperinsulinemia, dan
insulin resisten, semuanya menyebabkan stimulasi simpatik, peningkatan tonus
vaskular, disfungsi endotel, dan retensi sodium pada renal. Kompresi parenkim
pada renal pada orang obesitas oleh lemak-lemaknya akan memperlambat aliran
tubulus ginjal yang mana juga akan menyertai terjadinya hipertensi. Sebagai
tambahan, peningkatan aktifitas RAS, sebagai hasil aktifasi simpatis dan
peningkatan sintesis jaringan adipose, adalah umum pada orang obesitas,
mengakibatkan retensi pada sodium dan air pada ginjal (Wahba, 2007).
Universitas Sumatera Utara
103
Salah satu faktor risiko hipertensi yang dapat dikontrol adalah obesitas.
Risiko hipertensi pada seseorang yang mengalami obesitas adalah 2 hingga 6 kali
lebih tinggi dibanding seseorang dengan berat badan normal (Muniroh,
Wirjatmadi, 2007). Penelitian ini berasumsi bahwa adan hubungan antara berat
badan dengan hipertensi. Bila berat badan meningkat diatas berat badan ideal
maka risiko hipertensi juga meningkat (Hull,1996).
Penelitian Framingham menunjukan bahwa orang yang obesitas akan
mengalami peluang hipertensi 10 kali lebih besar (Dhianningtyas & Hendrati,
2006). Penurunan berat badan sebesar 5,9 pounds berkaitan dengan penurunan
TDS dan TDD sebesar 1,3 mmHg dan 1,2 mmHg (Budisetio,2001). Menurut Lily
Ismudiati Rilantono (2002) dalam Dhianningtyas dan Hendrati (2006)
menerangkan bahwa insiden hipertensi meningkat 54 hingga 142% pada
penderita-penderita yang gemuk. Hal yang serupa pun dikemukakan oleh
Purwanti (2005), bahwa orang yang kegemukan lebih mudah terkena hipertensi.
Dikaitkan dengan tekanan darah peneliti berasumsi bahwa status gizi
mayoritas responden dalam penelitian ini tidak memiliki risiko mengalami
gangguan tekanan darah khususnya hipertensi karena berdasarkan hasil penelitian
ditemukan mayoritas responden dengan status gizi normal sehingga tidak berisiko
terkena hipertensi. Untuk mengetahui seseorang memiliki berat badan yang
berlebih atau tidak, dapat dilihat dari perhitungan BMI (Body Mass Index) atau
Indeks Massa Tubuh (IMT).Menurut Utoyo (1996) dalam Suryati 2005, hubungan
tekanan darah dengan berat badan, lebih nyata untuk tekanan sistolik daripada
tekanan diastolik.
Universitas Sumatera Utara
104
5.3.5. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Tekanan Darah
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kebiasaan merokok
mayoritas responden tidak merokok sebanyak 59,4%. Hasil analisis statistik
dengan uji Fisher’s Exact dan uji korelasi dibuktikan tidak ada hubungan yang
bermakna antara kebiasaan merokok dengan tekanan darah.
Tidak terdapatnya hubungan kebiasaan merokok dengan tekanan darah
berdasarkan penelitian ini disebabkan oleh kebanyakan responden merupakan
wanita dan lebih banyak yang tidak merokok sehingga tidak berisiko terpapar
cadmium dari rokok sehingga kecil kemungkinan mengalami gangguan tekanan
darah terutama hipertensi.
Penelitian terdahulu menunjukkan efek merokok terhadap kesehatan dapat
dilihat berdasarkan penelitian Ashar (2015) yang dilakukan di lokasi yang sama
menunjukkan bahwa kandungan kadmium di urin dan B2MG urin pada responden
perokok dalam lebih tinggi dibandingkan responden yang bukan perokok.
Responden yang mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 20 orang dengan rerata
kadmium dalam urin dan B2MG urin adalah 8,01 μg/g kreatinin dan 1220,18 μg/g
kreatinin sedangkan pada bukan perokok dengan kadar masing-masing adalah
5,99 μg/g kreatinin dan 1143,42 μg/g kreatinin. Meskipun, berdasarkan uji
statistik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan namun terlihat jelas kadar
kadmium urin dan B2MG urin lebih tinggi pada perokok.
Efek rokok terhadap tekanan darah dapat dilihat berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Siburain (2004) menunjukkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan tekanan darah. Akan
Universitas Sumatera Utara
105
tetapi berbeda dengan penelitian Retnowati (2010) didapatkan hasil tidak ada
hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi.
Hubungan merokok dengan hipertensi memang belum jelas. Menurut
literatur, nikotin dan karbondioksida yang terkandung dalam rokok akan merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri, elastisitas pembuluh darah berkurang
sehingga menyebabkan tekanan darah meningkat (Depkes,2007). Mekanisme ini
menjelaskan mengapa responden yang merokok setiap hari memiliki risiko untuk
menderita hipertensi.
Kebiasaan merokok bisa meningkatkan resiko tekanan darah tinggi
(hipertensi) karena nikotin yang terkandung dalam rokok bisa mengakibatkan
pengapuran pada dinding pembuluh darah (Singalingging, 2011). Nikotin dan
karbondioksida yang terkandung dalam rokok akan merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri, elastisitas pembuluh darah berkurang sehingga pembuluh
darah menjadi kaku dan menganggu aliran darah sehingga menyebabkan tekanan
darah meningkat (Anggara dan Prayitno, 2013).
5.4. Hubungan Paparan Kadmium dengan Tekanan Darah
Berdasarkan hasil penelitian dikatahui bahwa diantara 3 (tiga) variabel
kadar kadmium hanya variabel jumlah asupan kadmium yang berhubungan secara
signifikan dengan tekanan darah.
5.4.1. Hubungan Jumlah Asupan Air Sumur dengan Tekanan Darah
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Hasil analisis statistik
dengan uji Fisher’s Exact maupun uji korelasi dibuktikan ada hubungan yang
bermakna antara jumlah asupan air minum dengan tekanan darah. Hasil analisis
Universitas Sumatera Utara
106
multivariat menggunakan uji regresi logistik juga menunjukkan bahwa jumlah
asupan air sumur sebagai variabel yang paling besar hubungannya dengan
hipertensi yang dialami oleh responden dimana berdasarkan hasil uji regresi linear
diketahui besarnya korelasi antara jumlah asupan air sumur terhadap tekanan
darah yaitu dalam setiap 1 liter air minum yang mengandung kadmium apabila
dikonsumsi responden akan meningkatkan tekanan darah sistolik sebesar 10,62
mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 6,27 mmHg. Dengan demikian apabila
semakin besar jumlah asupan air sumur yang mengandung kadmium dikonsumsi
oleh responden maka akan berisiko semakin meningkatkan tekanan darah baik
sistolik maupun diastoliknya sehingga menyebabkan hipertensi.
Jumlah asupan air sumur adalah jumlah air yang dikonsumsi responden
yang berasal dari air sumur dari rumah yang ditinggali responden yang dihitung
dalam liter/hari. Pada penelitian ini rata-rata masyarakat Namo Bintang
mengkonsumsi air sumur telah terpajan kadmium sebanyak 1,99 atau 2 liter per
hari. Jumlah air yang dikonsumsi paling banyak adalah sebanyak 3,5 liter per hari
sedangkan yang paling sedikit sebanyak 1 liter per hari. Jumlah asupan air sumur
yang di konsumsi responden per hari dengan rentang antara 1 sampai 3,5 liter per
hari dengan rata-rata 2 liter per hari setelah dikategorikan diketahui bahwa jumlah
asupan air sumur yang dikonsumsi responden mayoritas kurang atau sama dengan
2 Liter/hari sebanyak 87,7 persen.
Penelitian tentang pengaruh kadmium dengan tekanan darah pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya pada lokasi penelitian yang sama yaitu
penelitian Ashar T (2015) menjelaskan bahwa hipertensi yang dialami oleh
Universitas Sumatera Utara
107
responden sebagai prediksi bahwa responden tersebut memiliki kadar albumin
urin dimana model regresi linier yang dihasilkan dapat memprediksi kadar
albumin urin sebesar 29,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan terbalik
antara tekanan darah dengan kadar kadmium dimana hipertensi dapat
memprediksi mahwa seseorang memiliki kadar kadmium dalam urin. Dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa kadar kadmium dalam air sumur berkorelasi
secara bermakna dengan kadar B2MG urin. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat di sekitar TPA Namo Bintang telah terbukti mengalami gangguan
ginjal akibat pajanan kadmium dari lingkungan yaitu air sumur dengan
ditemukannya biomarker kerusakan dini ginjal dari urin yaitu kadar B2MG urin
yang telah melewati nilai normal. Berdasarkan data dalam penelitian ini sebanyak
32 orang warga (40%) mengalami gangguan ginjal irreversible sedangkan 16
warga lainnya (20%) masih dalam level yang masih dapat dicegah kerusakan
ginjalnya. Penelitian selanjutnya oleh Ashar YK (2016) dimana dalam
penelitiannya jumlah asupan air sumur dikaitkan dengan Kadmium urin
menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang signfikan antara jumlah
asupan air dengan kadmium urin.
Beberapa penelitian epidemiologi telah mengukur tingkat kadmium darah
dan urine. Di Belgia, studi CadmiBel menilai konsekuensi kesehatan dari
kontaminasi cadmium di lingkungan (Staessen et al. 1991, 2000). Dalam analisis
prospektif terhadap 336 laki-laki dan 356 perempuan yang berada di dua daerah
pedesaan studi CadmiBel (Staessen et al. 2000), perubahan tingkat kadmium
darah antara 1985-1989 (baseline) dan 1991-1995 (tindak lanjut) yang positif
Universitas Sumatera Utara
108
berkaitan dengan perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik, meskipun
asosiasi secara statistik signifikan hanya untuk tekanan darah diastolik pada
perempuan. Sejalan dengan penelitian tersebut, tidak ada hubungan yang
ditemukan antara kadmium urine dan tingkat tekanan darah. Risiko relatif untuk
mengembangkan hipertensi pasti untuk penggandaan tingkat kadmium darah awal
adalah 1,28 (95% CI, 0,87-1,88), dan untuk dua kali lipat dari tingkat kadmium
urine dasar itu 1,16 (95% CI, 0,84-1,62) (Staessen et al. 2000). Karena darah atau
kadmium urine yang tidak berhubungan dengan peningkatan tekanan darah
berdasarkan analisis cross-sectional dari semua peserta studi CadmiBel (n =
2.086) (Staessen et al. 1991) dan asosiasi secara statistik yang signifikan hanya
untuk tekanan darah diastolik pada perempuan (Staessen et al. 2000). Dengan
demikian hubungan antara perubahan cadmium darah dan tekanan darah yang
ditemukan dalam penelitian tersebut dianggap tidak pasti.
Studi-studi lain tentang hubungan kadmium darah dan urin dengan
tekanan darah telah diukur, dengan temuan yang tidak konsisten. Di Amerika
Serikat, sebuah sub-sampel dari 951 orang dewasa yang berpartisipasi dalam
NHANES II (1976-1988) menunjukkan hubungan positif tetapi sederhana antara
kadmium urine dengan tingkat tekanan darah (Whittemore et al. 1991). Studi-
studi lain telah lebih kecil dan temuan mereka tunduk pada variabilitas acak
substansial (Beevers et al 1976;. McKenzie dan Kay 1973; Pizent et al, 2001;
Vivoli et al 1989; Whittemore et al 1991). Akhirnya, di daerah tercemar kadmium
di Jepang, 52 wanita dengan penyakit Itai-Itai memiliki sistolik dan diastolik lebih
rendah dibandingkan dengan 104 wanita usia yang sama yang tinggal di luar
Universitas Sumatera Utara
109
wilayah tercemar kadmium (Kagamimori et al. 1986). Meskipun nefrotoksisitas
penting, hipertensi belum dilaporkan sebagai temuan yang khas pada pasien
penyakit Itai-Itai di daerah tercemar kadmium di Jepang (Nordberg et al. 2007).
Kemungkinan relevansi temuan dari populasi yang terkena kadmium menjelaskan
hubungan yang terbalik atau nol atau bahkan mungkin antara tingkat kadmium
urine dan titik-titik tekanan darah akhir dalam penelitian ini tidak diketahui.
Paparan kadmium menginduksi hipertensi pada model hewan (Satarug et
al. 2006), meskipun mekanisme untuk hipertensi terkait kadmium tetap tidak
jelas. Mekanisme utama untuk toksisitas kadmium adalah penipisan glutathione
dan perubahan sulfhidril homeostasis (Valko et al . 2005), sehingga secara tidak
langsung meningkatkan stres oksidatif dan peroksidasi lipid (Yiin et al. 1999).
Kadmium menginduksi cedera ginjal proksimal tubulus, retensi garam, dan
overload volume yang dapat menghasilkan hipertensi (Satarug et al. 2006).
Mekanisme potensial lainnya termasuk agonis parsial untuk saluran kalsium
(Varoni et al 2003.), aksi vasokonstriktor langsung, aktivasi sistem saraf simpatik,
dan penghambatan zat vasodilator seperti nitrat oksida (Bilgen et al 2003; Varoni
et al 2003.). Karena tingkat kadmium digunakan dalam model eksperimental yang
jauh lebih tinggi daripada paparan pada populasi umum di AS, relevansi
mekanisme untuk hipertensi manusia tidak pasti.
Dalam sampel yang representatif dari orang dewasa AS yang
berpartisipasi dalam NHANES 1999-2004, tingkat kadmium dalam darah
dikaitkan dengan peningkatan sederhana tingkat tekanan darah tetapi tidak dalam
urin. Tidak ada hubungan antara tingkat kadmium dan prevalensi hipertensi.
Universitas Sumatera Utara
110
Berdasarkan status merokok, asosiasi untuk kadmium darah dan tingkat tekanan
darah lebih kuat di antara tidak pernah perokok, menengah antara mantan
perokok, dan kecil atau nol di kalangan perokok. Kedua biomarker kadmium urin
dan kadmium darah jangka panjang dan paparan kadmium yang sedang
berlangsung, meskipun kadmium darah mencerminkan eksposur baru-baru ini
lebih baik dari kadmium urine (ATSDR 1999; Elinder et al 1988; Jarup et al
1983). Dalam penelitian tersebut, hubungan yang lebih kuat dari kadmium darah
dibandingkan dengan kadmium urine disebabkan oleh status merokok dan
cotinine serum. Hubungan positif antara kadmium darah dengan tekanan darah
dipengaruhi oleh paparan kadmium jangka panjang. Atau, mungkin bahwa secara
biologis kadmium darah lebih aktif daripada kadmium urine.
Kadmium diserap melalui saluran pernafasan dan pencernaan. Dalam
kondisi paparan kronis, kadmium diangkut dalam darah dibatasi terutama untuk
metallothionein. Metallothionein adalah berat molekul rendah protein mengikat
logam-diinduksi oleh paparan kadmium yang memainkan peran penting dalam
metabolisme cadmium dan toxicokinetics (Nordberg et al. 1992, 2007). Induksi
metallothionein tergantung pada dosis dan frekuensi paparan kadmium. Misalnya,
perokok aktif mungkin untuk menginduksi metallothionein karena mereka
berulang kali terpapar kadmium dari asap rokok. Dengan mengikat cadmium,
metallothionein dapat melindungi ginjal dan organ lainnya dari efek racun
kadmium (Nordberg et al. 1992). Di korteks ginjal, senyawa kadmium-
metallothionein disimpan dalam sel-sel tubular dengan hanya sebagian kecil dari
beban tubuh yang dikeluarkan melalui urine (ATSDR 1999). Akibatnya, kadmium
Universitas Sumatera Utara
111
semakin terakumulasi dengan usia di ginjal dan organ lainnya, meskipun
penelitian otopsi menunjukkan bahwa konsentrasi kadmium dalam ginjal menurun
setelah 45-50 tahun (Nordberg et al 2007; Satarug et al 2003; Travis dan haddock
1980). Meskipun fluktuasi dalam hasil paparan kadmium dalam fluktuasi
kadmium darah, beberapa perubahan yang diamati dalam kadmium urine yang
dengan tidak adanya kerusakan tubulus, mencerminkan akumulasi kadmium
dalam tubuh dari waktu ke waktu (Nordberg et al. 1992). Studi eksperimental
pada tingkat paparan rendah diperlukan untuk menentukan dampak jangka pendek
dibandingkan paparan kadmium jangka panjang terhadap tekanan darah dan
relevansi induksi metallothionein..
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Studi yang dilakukan Rango
(2015) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi
kontaminan anorganik dalam sumber air minum terhadap tingkat kontaminan
nefrotoksik dengan CKDu daerah endemis dan non endemis. Konsentrasi unsur
nefrotoksik paling penting (As, Cd, U, dan Pb) dari sumber air minum di semua
sampel daerah berada di bawah 1,6 mg/ L, dan semuanya di bawah pedoman batas
kualitas air untuk kontaminan ini yang disarankan oleh WHO, US EPA, dan Uni
Eropa. Pengukuran studi ini hanya dikumpulkan pada satu titik waktu, sehingga
konsentrasi elemen ini tidak bervariasi.
Pajanan kadmium dari air minum relatif bukan merupakan pajanan yang
penting bila dibandingkan yang berasal dari makanan. Namun, bila ditemukan
kandungan kadmium yang tinggi dapat mengakibatkan efek yang merugikan
kesehatan. Jumlah asupan harian kadmium melalui makanan dan air minum di
Universitas Sumatera Utara
112
daerah yang terkontaminasi berat diperkirakan sekitar 600–2000 μg/hari. Di
daerah lain yang tidak begitu tercemar jumlah asupan harian hanya sekitar 100-
390 μg/hari. Kasus itai-itai disease (osteomalasia dengan berbagai derajat
osteoporosis disertai penyakit tubulus ginjal yang berat) dan proteinuria dengan
berat molekul rendah dilaporkan terjadi pada penduduk di sekitar area pemukiman
di Jepang yang sangat terkontaminasi dengan kadmium pada konsentrasi yang
sangat tinggi (WHO, 2004).
Food and Agriculture Organization, World Health Organization
(FAO/WHO) dan The Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dalam
pertemuan ke 16 nya menetapkan Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI)
untuk kadmium 400-500 μg kadmium untuk orang dewasa. Ini sesuai dengan
masukan kadmium yang dapat ditolerir sementara 0.81 (yaitu., 400 ÷7÷70) ke
1.01 μg/kg/day, yang telah disederhanakan menjadi 1 μg/kg/day dan ditetapkan
tanpa perubahan pada pertemuan-pertemuan berikutnya (JECFA 2004).
Bagaimanapun, hubungan toksisitas Cd pada ginjal dan tulang telah diamati pada
orang-orang dengan intake Cd yang baik sesuai dengan PTWI (Satarug Dan
Moore 2004). Paparan 30-50 μg Cd per hari untuk orang dewasa atau 0.43-0.57
μg/kg/day atau 0,00043-0,00057 mg/kg/hari telah dihubungkan dengan
peningkatan risiko patah tulang, kanker, kelainan fungsi ginjal, dan hipertensi
(Satarug et al.2000; Satarug et al.2003). Untuk itu, FAO/WHO menyarankan
batas mingguan yang bersifat melindungi dan konsumen itu berada pada risiko
intake kadmium di bawah PTWI (Winnie et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara
113
The European Food Safety Authority (2009) menyatakan bahwa kadmium
berkaitan dengan infraksi myocardial (Everett and Frithsen 2008) dan perubahan
dalam fungsi kardiovaskular (Schutte et al. 2008). Penyelidikan lebih mendalam
dari efek kadmium baik jangka pendek maupun efek jangka panjang pada orang
yang tidak merokok yang terpajan kadmium memiliki hubungan terhadap
hipertensi dan penyakit kardiovaskular berdasarkan identifikasi dosis dan respon
kadmium dari waktu ke waktu.
Toksisitas kadmium telah dikaitkan dengan beberapa disfungsi
kardiovaskular melalui kerusakan terhadap endotel vaskular, pengurangan
ketersediaan NO (nitric oxide) dan penurunan viabilitas sel otot polos pembuluh
darah (Washington, 2006). Penurunan kadar protein endotel oksida nitrat sintase
(eNOS) juga mengganggu jalur sinyal dan fungsi reseptor, lebih lanjut
mengakibatkan disfungsi vaskular. Kadmium juga dilaporkan mengubah kalsium
mekanisme intraseluler dan menyebabkan peningkatan vasokonstriksi, semua
mengarah ke peningkatan tekanan darah (Nwokocha, 2013). toksisitas kadmium
dan efek pada disfungsi jaringan diperkirakan pada kemampuannya untuk
mengganggu proses genomik melalui metilasi DNA (Anetor, 2012) dan
peningkatan spesies oksigen reaktif (ROS). Stres oksidatif yang meningkat
disebabkan oleh paparan kadmium dilaporkan juga menyebabkan peningkatan
produksi lipoprotein dan akhir produk low-density glikasi (Mitra, 2011), lebih
meningkatkan kaskade inflamasi dan kerusakan pembuluh darah. Ini peningkatan
tekanan oksidatif dalam jaringan pembuluh darah adalah penyebab utama dari
arteriosclerosis.
Universitas Sumatera Utara
114
Peningkatan kadar kadmium dalam tubuh merupakan bukti yang
menunjukkan bahwa kadmium adalah risiko faktor untuk morbiditas kematian dan
penyakit kardiovaskular, serta zat pencemar dari asupan makanan (European Food
Safety Authority 2009; Reuben 2010). Temuan penelitian ini mengindikasikan
adanya hubungan antara jumlah asupan kadmium dengan tekanan darah sistolik.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat hubungan antara kadmium
dengan tekanan darah seperti indikator fisiologis kadmium di pusat, jantung, dan
efek vaskular; faktor gizi hormonal, faktor genetik dan riwayat penyakit jantung.
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa jumlah asupan
kadmium dari air sumur yang diminum oleh masyarakat Namo Bintang
berhubungan dengan tekanan darah disebabkan oleh nilai ambang dosis yang
masuk kedalam tubuh responden sudah melebihi batas toleransi yang
menyebabkan terjadinya gangguan tekanan darah sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan fungsi ginjal kemudian berpengaruh terhadap tekanan darah.
Eum et al. (2008) dalam penelitiannya berdasarkan pemantauan antara pemberian
dosis kadmium dan respon terhadap tekanan darah menunjukkan hubungan yang
positif antara paparan kadmium dengan tekanan darah baik sistolik maupun
diastolik, dan efek dari kadmium terhadap tekanan darah nyata lebih kuat saat
fungsi ginjal menurun.
5.4.2. Hubungan Durasi Pajanan dengan Tekanan Darah
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Hasil analisis statistik
dengan uji Fisher’s Exact dan uji korelasi dibuktikan tidak ada hubungan yang
bermakna antara durasi pajanan dengan tekanan darah. Durasi pajanan yang
Universitas Sumatera Utara
115
dimaksud adalah lamanya waktu responden mengkonsumsi air sumur yang
mengandung Cd dalam satuan tahun. Untuk durasi pajanan responden dengan air
sumur dengan rentang antara 7 sampai 64 tahun dengan nilai rata-rata responden
mengalami pajanan dengan air sumur selama 19 tahun setelah dikategorikan
diketahui bahwa durasi pajanan mayoritas kurang atau sama dengan 19 tahun
sebanyak 65,6 persen.
Rerata durasi pajanan air sumur yang mengandung kadmium di lokasi
penelitian adalah 19,08 tahun dengan durasi pajanan terendah 7 tahun dan terlama
64 tahun. Hasil penelitian Ashar (2015) membuktikan bahwa proteinuria telah
ditemukan pada 48 orang responden (60%). Proteinuria yang ditemukan adalah
berupa protein dengan berat molekul rendah yaitu B2MG urin. Protein lain yang
diperoleh adalah albumin yang juga terdapat pada 6 orang responden (7,5%). Dari
hasil analisis statistik tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara durasi
pajanan dan kadar B2MG urin dan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan
antara durasi pajanan berdasarkan ada tidaknya albuminuria.
Pada penelitian ini rata-rata masyarakat Namo Bintang telah terpajan
kadmium melalui air sumur selama 19 tahun. Responden yang paling lama
terpajan adalah 64 tahun sedangkan yang paling singkat 7 tahun. Nilai rata-rata
terpajan kadmium masyarakat Namo Bintang masih dibawah nilai default yang
ditetapkan US-EPA (1991) untuk risiko nonkanker yaitu 30 tahun. Pada saat ini
rata-rata durasi pajanan baru 19 tahun hal ini menunjukkan tingkat risiko
kesehatan bagi populasi dan individu masyarakat Namo Bintang masih aman dari
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh kandungan kadmium dalam air sumur
Universitas Sumatera Utara
116
yang dikonsumsi oleh mereka setiap hari. Pemajanan kadmium dengan
konsentrasi yang rendah dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan kasus
keracunan kronis akibat kadmium. Ginjal adalah organ kritis yang lebih sering
diserang oleh kadmium tetapi pada kondisi tertentu (waktu pajanan yang pendek)
menyebabkan radang paru-paru (WHO, 1992). Kadmium yang terakumulasi di
dalam ginjal sepanjang waktu, dan mencapai konsentrasi yang toksik sesudah
bertahun-tahun terpapar dapat menyebabkan penyakit ginjal (Kusnoputranto,
1995). Pada keracunan kronis yang disebabkan oleh kadmium umumnya berupa
kerusakan-kerusakan pada banyak sistem fisiologis tubuh. Sistem-sistem tubuh
yang dapat dirusak oleh keracunan kronis logam kadmium adalah pada sistem
urinaria (ginjal), sistem respirasi (pernafasan/paru-paru), sistem sirkulasi (darah)
dan jantung. Di samping semua itu, keracunan kronis tersebut juga merusak
kelenjar reproduksi, sistem penciuman dan bahkan dapat mengakibatkan
kerapuhan pada tulang (Palar, 2004).
Pajanan kadmium yang berkepanjangan dapat menimbulkan penyakit
tulang, yang pertama kali dilaporkan dari sungai Jinzu di Jepang, dimana sekitar
150 kasus penyakit Itai Itai dikenal. Pajanan kadmium berasal dari air sungai yang
terkontaminasi yang digunakan untuk irigasi sawah. Penderita Itai Itai kebanyakan
adalah perempuan berusia 40 tahun yang tinggal di daerah endemis selama lebih
dari 30 tahun. Kandungan kadmium yang ditemukan dalam tulang beberapa kali
lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang tak terpajan. Dari hasil pemeriksaan
terhadap 46 penderita Itai Itai rerata kadar kadmium dalam tulang adalah 2,7 μg/g
berat badan pada laki-laki dan 1,8 7 μg/g berat badan pada perempuan. Kadar
Universitas Sumatera Utara
117
kadmium pada tulang orang-orang yang tidak terpajan masing-masing adalah 0,3
dan 0,6 7 μg/g berat (Gonick, 2008).
Waktu paruh kadmium di dalam tubuh adalah antara 15 sampai 30 tahun.
waktu paruh yang begitu lama disebabkan fakta bahwa kadmium tidak seperti
bahan toksik orgnik, yang sering terdegradasi secara metabolik menjadi turunan
yang kurang toksik, kadmium masih tetap berada dalam bentuk yang utuh di
dalam sistem biolologis. Kadmium yang masuk melalui oral ataupun melalui
paru-paru akan terdeposit terutama di hati dan ginjal. Kadmium akan bertahan di
dalam organ ini dalam waktu yang lama (10 sampai 30 tahun). Kandungan
kadmium dalam tubuh akan meningkat seiring dengan pertambahan usia karena
eliminasi yang sangat rendah dari tubuh yaitu hanya sekitar 0,001 % per hari
(ATSDR, 2008).
Keracunan Cd yang bersifat kronis yang disebabkan oleh daya racun yang
dibawa oleh logam Cd, terjadi dalam selang waktu yang sangat panjang. Peristiwa
ini terjadi karena logam Cd yang masuk kedalam tubuh dalam jumlah kecil,
sehingga dapat diterima oleh tubuh pada saat tersebut. Akan tetapi, karena proses
masuknya terjadi secara terus-menerus secara berkelanjutan, maka pada saat
tertentu tubuh tidak mampu lagi memberikan toleransi terhadap daya racun yang
dibawa oleh Cd. Pemaparan Cd dalam kadar yang rendah akan menimbulkan
kasus keracunan kronis akibat Cd. Cd dieksresi sangat lamban dengan waktu
paruh sekitar 30 tahun. Efek toksik logam sangat berkaitan dengan tingkat dan
lamanya paparan. Umumnya, makin tinggi kadar suatu logam dan makin lama
paparan, efek toksik suatu logam akan lebih besar. Cd dalam suatu dosis tunggal
Universitas Sumatera Utara
118
dan besar dapat menginduksi gangguan saluran cerna. Sedangkan asupan Cd
dalam jumlah kecil tetapi berulang kali dapat mengakibatkan gangguan fungsi
ginjal.
Hasil peneltian ini sejalan dengan penelitian yang dilakuakn oleh Ashar
YK (2016) yang menunjukkan hasil bahwa tidak ditemukan hubungan yang
signifikan antara durasi pajanan dan kadar kadmium urin. Berdasarkan penjelas
tersebut peneliti berasumsi bahwa tidak adanya hubungan durasi pajanan dengan
tekanan darah disebabkan oleh durasi pajanan kadmium dalam penelitian ini
menunjukkan tingkat risiko kesehatan bagi populasi dan individu masyarakat
Namo Bintang masih aman dari gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh
kandungan kadmium dalam air sumur yang dikonsumsi oleh mereka setiap hari.
Namun, pemajanan kadmium dengan konsentrasi yang rendah dalam jangka
waktu yang lama akan menimbulkan kasus keracunan kronis akibat kadmium
sehingga masyarakat Namo Bintang tetap berisiko mengalami gangguan tekanan
darah. Menurut Palar (2004) Pada keracunan kronis yang disebabkan oleh
kadmium umumnya berupa kerusakan-kerusakan pada banyak sistem fisiologis
tubuh. Sistem-sistem tubuh yang dapat dirusak oleh keracunan kronis logam
kadmium adalah pada sistem urinaria (ginjal), sistem respirasi (pernafasan/paru-
paru), sistem sirkulasi (darah) dan jantung.
5.4.3. Hubungan Kadar Kadmium Air Sumur dengan Tekanan Darah
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa analisis statistik dengan uji
Fisher’s Exact dan uji uji korelasi dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna
antara cadmium dalam air sumur dengan tekanan darah. Berdasarkan teori,
Universitas Sumatera Utara
119
kadmium sebagai logam berat dapat meningkatkan kadar Cd dalam tubuh apabila
terpajan dalam waktu yang cukup lama, tetapi dalam penelitian ini tidak
demikian, ini kemungkinan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan
darah dan sampel penelitian yang kurang dalam penelitian ini. Kadar kadmium air
sumur adalah kadar kadmium yang terukur dari hasil pemeriksaan sampel air
sumur menggunakan AAS. Hasil penelitian menunjukkan proporsi kandungan
kadmium dalam air sumur responden mayoritas dengan kandungan Cd lebih dari
0,005 mg/l adalah sebesar 65,5 persen
Tidak terdapatnya hubungan antara kadar kadmium dengan tekanan darah
dalam penelitian ini secara sederhana dapat dijelaskan bahwa meskipun mayoritas
air sumur dengan kandungan Cd lebih dari 0,05 mg/l namun pada kenyataannya
tekanan darah responden lebih banyak masih dalam keadaan normal. Hal ini dapat
disebabkan karena air sumur yang melebihi nilai ambang batas tersebut
dikonsumsi tidak melebihi jumlah dan durasi pajanan yang tinggi sehingga masih
mampu ditolerir oleh tubuh responden karena efek toksik paparan kadmium juga
dipengaruhi oleh faktor lain salah satunya yaitu jumlah asupan air sumur yang di
minum dan durasi panajan kadmium tersebut.
Sumber kadmium terbesar dalam penelitian ini berasal dari pajanan air
sumur yang mengandung kadmium, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Ashar (2015) lebih dari 90% responden terpajan pada kadar di atas
batas aman yang diperkenankan. Berdasarkan uji statisitik tidak ditemukan
hubungan yang signifikan antara jumlah kadmium dalam air sumur terhadap kadar
kadmium urin.
Universitas Sumatera Utara
120
Menurut US EPA (1985), konsumsi aman kadmium adalah sebesar 0,001
mg/kg/hari untuk intake melalui makanan. Artinya bahwa intake kadmium dengan
kadar yang tidak melebihi 0,001 mg/kg/hari akan tetap aman dan tidak
memberikan efek negatif bagi kesehatan meskipun intake terjadi setiap hari,
sepanjang hidup (Daud A, 2013).
Logam kadmium di dalam air dan makanan yaitu sekitar 1-10% akan
memasuki tubuh melalui saluran pencernaan. Kadmium akan meyerang hati dan
ginjal dan terakumulasi di dalam tubuh. Kadmium dengan konsentrasi kecil akan
dikeluarkan perlahan dalam urin dan feses. Namun, ketika konsentrasi kadmium
yang masuk ke dalam tubuh tinggi, maka akan membebani kemampuan hati dan
ginjal (ATSDR, 2012). timbulnya rasa sakit dan panas pada bagian dada.
Sementara untuk keracunan bersifat kronik terjadi dalam selang waktu yang
panjang seperti kerusakan pada sistem-sistem tubuh yaitu kerusakan sistem ginjal,
sistem pernafasan, sistem sirkulasi darah, dan jantung yang dapat berakhir dengan
kematian. Lamanya pemaparan logam kadmium di dalam tubuh dapat
berlangsung antara 5-10 tahun (Daud A, 2011).
Penelitian Zul Alfian (2005) menjelaskan keracunan kronis kadmium (200
μg per gram) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal. Efek keracunan
kronis yang lain yaitu: emphysema, hipertensi dan osteomalacia. Namun dalam
penelitian ini diketahui bahwa kandungan kadmium yang terdapat dalam air
sumur dan digunakan sebagai air minum dalam konsentrasi yang rendah. Oleh
karena itu kadmium dalam penelitian ini tidak memberikan pengaruh terhadap
tekanan darah.
Universitas Sumatera Utara
121
Dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara kadar kadmium dalam
air sumur dengan tekanan darah. Hal ini sejalan dengan penelitian Ashar T (2015)
yang menyatakan Hubungan yang tidak signifikan terjadi karena adanya variasi
asupan kadmium dari air sumur dan lama warga terpajan terhadap sumber
kadmium yang sama serta dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak di teliti
dalam penelitian ini. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Ashar YK (2016) yang menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara kadar Cd air sumur terhadap Cd dalam urin.
Berdasarkan penjelas tersebut peneliti berasumsi bahwa tidak adanya
hubungan kadar kadmium dengan tekanan darah disebabkan kadar kadmium bagi
populasi dan individu masyarakat Namo Bintang masih dalam batas yang dapat
ditolerir oleh responden dan tidak menyebabkan gangguan kesehatan khususnya
gangguan tekanan darah. Namun, kadar kadmium dalam sumur dengan
konsentrasi yang rendah namun dalam jangka waktu yang lama akan
menimbulkan kasus keracunan kronis akibat kadmium sehingga masyarakat
Namo Bintang tetap berisiko mengalami gangguan tekanan darah. Menurut Palar
(2004), pada keracunan kronis yang disebabkan oleh kadmium umumnya berupa
kerusakan-kerusakan pada banyak sistem fisiologis tubuh. Sistem-sistem tubuh
yang dapat dirusak oleh keracunan kronis logam kadmium adalah pada sistem
urinaria (ginjal), sistem respirasi (pernafasan/paru-paru), sistem sirkulasi (darah)
dan jantung.
Universitas Sumatera Utara
122
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan :
1. Karakteristik responden berdasarkan kelompok usia mayoritas responden
berusia > 43 Tahun sebanyak 52,1 persen. Untuk jenis kelamin mayoritas
responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 69,8 persen. Untuk
pekerjaan responden mayoritas bekerja tidak berisiko terpapar kadmium
sebanyak 90,6 persen, untuk status gizi responden mayoritas memiliki gizi
tidak obesitas sebanyak 92,7 persen dan untuk kebiasaan merokok mayoritas
responden tidak merokok sebanyak 59,4 persen.
2. Jumlah asupan air sumur yang di konsumsi responden kurang atau sama
dengan 2 Liter/hari sebanyak 67,7 persen. Untuk durasi pajanan responden
mayoritas kurang atau sama dengan 19 tahun sebanyak 65,6 persen. Untuk
kadar kadmium dalam air sumur mayoritas dengan kandungan Cd lebih dari
0,005 mg/l adalah sebesar 65,5 persen.
3. Tekanan darah responden mayoritas dengan tekanan darah normal yaitu
sebanyak 62,5 persen
4. Berdasarkan hubungan karakteristik masyarakat yaitu usia, jenis kelamin,
pekerjaan, status gizi dan kebiasaan merokok hanya variable usia yang
berhubungan dengan tekanan darah.
Universitas Sumatera Utara
123
5. Berdasarkan hubungan paparan cadmium pada air sumur yang terdiri dari
variable jumlah asupan air sumur, durasi pajanan dan cadmium air sumur
hanya jumlah asupan air sumur yang berhubungan dengan tekanan darah.
6. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan
berhubungan dengan tekanan darah berdasarkan nilai prevalen rate adalah
jumlah asupan air sumur dimana setap penambahan 1 liter jumlah asupan air
sumur meningkatkan tekanan darah sistolik sebesar 10,62 mmHg dan tekanan
darah diastolik sebesar 6,27 mmHg.
6.2. Saran
1. Pelayanan Kesehatan dan Pemerintah
a. Menganjurkan pada warga agar tidak mengkonsumsi air sumur melaui air
minum atau masakan.
b. Memberikan pelatihan pada masyarakat untuk mengaplikasikan teknologi
sederhana untuk menurunkan kandungan kadmium dalam air sumur
dengan metode saringan sederhana dengan media pasir, arang aktif dan
pasir zeolit yang telah terbukti berhasil menurunkan kandungan logam
berat di air.
c. Segera melakukan langkah-langkah pengendalian pencemaran air tanah
dengan membangun parit-parit dan kolam penampung air lindi dari
penguraian sampah di TPA, pembuatan Instalasi Pengolahan Air Sampah
(IPAS), serta melapisi dengan bahan kedap air (plastik) di dasar tumpukan
sampah untuk mengurangi pencemaran air lindi di lingkungan sekitar.
Universitas Sumatera Utara
124
d. Pemilahan sampah dengan cara penggunaan 2 jenis truk atau lebih truk
pengangkut sampah serta memisahkan limbah baterai dan elektronik.
e. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan advokasi kepada
Pemerintah Kabuaten Deli Serdang agar dapat membangun fasilitas sarana
air bersih yang dapat diakses oleh seluruh warga masyarakat yang
bermukim di wilayah TPA Namo Bintang.
2. Masyarakat Desa Namo Bintang
a. Menganjurkan masyarakat agar tidak menggunakan air sumur sebagai
sumber air minum dan menggantinya dengan cara membeli air minum
dalam kemasan yang berasal dari depot air minum, karena telah terbukti
bahwa rata-rata masyarakat Namo Bintang mengkonsumsi air sumur telah
terpajan kadmium sebanyak 1,99 atau 2 liter per hari karena dari hasil
penelitian setiap kali penambahan 1 liter jumlah asupan air sumur maka
akan meningkatkan tekanan darah sistolik sebesar 10,62 mmHg dan
tekanan darah diastolik sebesar 6,27 mmHg, tetapi warga masih
diperbolehkan memanfaatkan air sumur untuk keperluan air bersih
misalnya untuk mencuci pakaian, mandi, buang air besar dan lain lain.
b. Masyarakat yang selama ini sudah mengkonsumsi air sumur sebagai air
minum dan didapati mengalami tekanan darah tinggi disarankan untuk
mengkonsumsi ekstrak kunyit dimana kunyit mengandung kukumin yaitu
senyawa yang telah terbukti dapat menurunkan akumulasi kadmium dalam
darah dan sebagai agen pelindung terhadap tekanan darah dan gangguan
vascular yang disebabkan oleh kadmium (Kukongviriyapan, 2014).
Universitas Sumatera Utara
125
c. Melakukan pengolahan sederhana untuk menurunkan kandungan kadmium
dalam air sumur yaitu dengan aplikasi saringan pasir yang disertai dengan
penambahan media arang aktif dan pasir zeolit yang telah terbukti
menurunkan kandungan logam berat dalam air. Saryati dkk (2004) telah
melakukan penelitian eksperimen dengan membuat komposit arang aktif-
zeolit-karboksi metil selulosa yang bertujuan untuk mengolah air sumur
menjadi air minum. Hasilnya membuktikan bahwa komposit tersebut
mampu menurunkan kandungan Fe, Cd, Pb, dan bakteri coli dalam air
sampai 100%.
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengukur
biomarker efek lain yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada
masyarakat, seperti pengukuran kadium dalam darah, urin dan rambut sebagai
indikator telah terjadi gangguan tekanan darah pada seseorang.
Universitas Sumatera Utara