Upload
anggraeni-citra-s
View
75
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
CSS Management Trauma KepalaCSS Management Trauma KepalaCSS Management Trauma KepalaCSS Management Trauma Kepala
Citation preview
CLINICAL SCIENCE SESSION
MANAJEMEN TRAUMA KEPALA
Oleh:
Bayu Adrian P. 1301 1208 0073
Suci Layung Sari 1301 1208 0100
Aulia Fitria 1301 1208 0119
BAGIAN BEDAH SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
BANDUNG
2008
2
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Trauma kepala menjadi salah satu permasalahan besar bagi ilmu kesehatan moderen saat ini. Di
Amerika Serikat trauma menjadi penyebab kematian terbanyak dimana 80% mengalami trauma kepala.
Pada kasus trauma kepala hampir 5% meninggal di tempat kejadian kecelakaan dan 5-10% membutuhkan
perawatan jangka panjang. Sekitar 75-80% mengalami trauma kepala ringan dan sisanya terbagi rata (10-
12,5%) mengalami trauma kepala sedang dan berat. Hampir 100% pasien dengan trauma kepala berat
dan 75% pasien dengan trauma kepala sedang mengalami kecacatan permanen. Anak-anak lebih sering
mengalami cedera kepala akibat akselerasi-deselerasi dibandingkan dewasa karena komponen air pada
otak anak-anak (88%) lebih banyak dibandingkan pada dewasa (77%). Tekanan tinggi intrakranial lebih
sering terjadi pada dewasa dibandingkan pada anak-anak akibat pengaruh suturae pada dewasa yang
sudah mengeras sehingga tidak dapat mentoleransi peningkatan tekanan intrakranial (Shepard and Stock,
2004).
ETIOLOGI
Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari setengah kasus
terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari tempat tinggi, korban
kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma kepala dua sampai empat kali lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, dan lebih sering terjadi pada umur kurang dari
35 tahun.
KLASIFIKASI TRAUMA KEPALA
Klasifikasi trauma kepala dibagi berdasarkan mekanisme trauma, beratnya trauma, dan morfologi
trauma.
1. Mekanisme:
Tumpul : kecepatan tinggi (kecelakaan lalu lintas) dan kecepatan rendah (jatuh, dipukul)
Tembus/penetrasi : cedera peluru dan cedera tembus lainnya.
3
2. Beratnya:
Ringan (GCS 14-15)
Sedang (GCS 9-13)
Berat (GCS 3-8)
3. Morfologinya:
Fraktur tengkorak : kalvaria (linier/steleate, depresi/nondepresi, terbuka/tertutup), basis
kranii(dengan/tanpa kebocoran LCS, dengan/tanpa parese CN VII).
Lesi intrakranial : fokal (epidural, subdural, intraserebral), difus (komosio ringan, komosio klasik,
cedera akson difus)
(ATLS, 1999)
KLINIS
Tingkat kesadaran pasien adalah hal terpenting dalam mengevaluasi pasien trauma kepala. Glascow
Coma Scale (GCS) merupakan alat bantu yang dipakai untuk menentukan derajat trauma kepala. GCS
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eye opening (E), motor response (M), dan verbal response (V).
Tabel Glasgow Coma Scale
Eye Opening
Score 1 Year or Older 0-1 Year
4 Spontaneously Spontaneously
3 To verbal command To shout
2 To pain To pain
1 No response No response
Best Motor Response
Score 1 Year or Older 0-1 Year
4
6 Obeys command
5 Localizes pain Localizes pain
4 Flexion withdrawal Flexion withdrawal
3 Flexion abnormal (decorticate) Flexion abnormal (decorticate)
2 Extension (decerebrate) Extension (decerebrate)
1 No response No response
Best Verbal Response
Score >5 Years 2-5 Years 0-2 Years
5 Oriented and converses Appropriate words Cries appropriately
4 Disoriented and converses Inappropriate words Cries
3 Inappropriate words; cries Screams Inappropriate crying/screaming
2 Incomprehensible sounds Grunts Grunts
1 No response No response No response
Pasien trauma kepala memiliki riwayat satu ataupun kombinasi dari cedera kepala primer, bergantung
pada derajat dan mekanisme trauma yang terjadi. Tipe cedera kepala primer adalah cedera kulit kepala,
fraktur tengkorak, fraktur basis cranii, kontusio, perdarahan intrakranial, perdarahan subarachnoid,
perdarahan intraventrikuler, hematom epidural, hematom subdural, cedera penetrasi, dan cedera akson
difus.
Untuk mengetahui adanya fraktur cranii, perlu ditanyakan saat kejadian trauma, mekanisme cedera,
progresivitas gejala yang terjadi akibat cedera tersebut. Fraktur tulang tengkorak dapat bersifat linier,
comminuted, depressed, dan steleate.
Pada fraktur basis kranii, pasien memiliki riwayat terbentur pada belakang kepala, penurunan
kesadaran, kejang, mual, muntah dan defisit neurologis. Tanda patognomonis trauma basis cranii adalah
adanya Battle sign, raccoon eyes, dan CSF otorrhea dan rhinorrhea. Terjepitnya saraf kranial optikus
terjadi pada 1-10% pasien fraktur basis kranii.
Kontusio terjadi akibat cedera kepala primer pada lobus temporalis dan frontalis. Hal ini karena pada
daerah tersebut terdapat protuberantia kalvaria. Terdapat gejala penyimpangan neurologis progresif
sekunder akibat edema serebral lokal, infark, dan/atau pembentukan-lambat hematom.
5
Hematom epidural terjadi akibat adanya laserasi pada arteri atau vena pada daerah antara tulang
tengkorak dan lapisan duramater. Hematom terbentuk 6-8 jam bila lesi berasal dari arteri atau lebih dari
24 jam bila berasal dari vena setelah cedera kepala. Lokasi hematom biasanya pada lobus temporalis,
frontalis, dan oksipitalis. Pasien biasanya mengalami lucid interval, yaitu suatu periode dimana pasien
dalam keadaan sadar yang terjadi antara penurunan kesadaran dengan adanya defisit neurologis. Lucid
interval lebih sering terjadi pada dewasa dibandingkan pada anak-anak. Defisit neurologis terjadi akibat
adanya kompresi, akibat ekspansi hematom, pada lobus temporalis dan/atau pada batang otak.
Hematom subdural terjadi pada daerah antara lapisan duramater dan korteks serebrii. Lesi ini terjadi
akibat robekan pada bridging vein atau adanya laserasi pada arteri korteks akibat cedera akselerasi-
deselerasi. Lesi ini juga dapat disebabkan trauma akibat persalinan, biasanya terjadi pada 12 jam
kehidupan yang ditandai adanya kejang (shaken baby syndromes), fontanel yang menonjol, peningkatan
lingkar kepala, anisokor, dan gagal nafas.
Perdarahan intraventrikuler biasanya terjadi pada trauma minor dan dapat sembuh spontan.
Perdarahan masif dapat menyebabkan hidrosefalus obstruktif, terutama bila terjadi pada level foramen
Monroe dan aquaduktus Sylvii.
Perdarahan subarachnoid adalah bentuk perdarahan yang umum terjadi pada trauma kepala.
Perdarahan disebabkan adanya gangguan pada pembuluh darah kecil pada korteks serebrii. Lokasi lesi
biasanya pada sepanjang falx serebrii atau tentorium dan lapisan luar korteks. Gejala klinis yang biasanya
terjadi adalah mual, muntah, sakit kepala, gelisah, demam, dan kaku kuduk.
Cedera akson difus terjadi akibat gaya akselerasi-deselerasi yang tejadi secara terus-menerus yang
mengakibatkan gangguan pada jalur akson-akson kecil. Area yang umumnya terganggu adalah ganglia
basalis, talamus, nukleus hemisfer profunda, dan korpus kolosum. Pasien biasanya memberikan gejala
klinis berupa perubahan status mental dan adanya perpanjangan status vegetatif. Pada pemeriksaan CT-
scan biasanya didapatkan adanya petekie.
I. DEFINISI
Trauma kepala adalah gangguan pada otak yang bersifat non degeneratif dan non
kongenital yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal, yang menyebabkan terjadinya
6
kerusakan kognitif, fisikal, dan fungsi psikososial yang permanen atau sementara, dengan
disertai berkurangnya atau perubahan tingkat kesadaran.
Akan tetapi, definisi dari trauma kepala adalah tidak selalu tetap dan cenderung untuk
bervariasi bergantung kepada spesialitas dan keadaan lingkungan. Seringkali, trauma/cedera otak
disamakan dengan trauma kepala.
II. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Anamnesis
I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)
II. Keluhan utama, dapat berupa :
- Penurunan kesadaran
- Nyeri kepala
III.Anamnesis tambahan :
- Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
- Bagaimana mekanisme kejadian, bagian tubuh apa saja yang terkena, dan tingkat
keparahan yang mungkin terjadi)
Berdasarkan mekanismenya, trauma dibagi menjadi :
a. Cedera tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan)
- kecepatan rendah (terjatuh atau terpukul)
b. Cedera tembus (luka tembus peluru atau tusukan) adanya penetrasi selaput dura
menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
Komplikasi / Penyulit
1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
3. Ada sesak nafas, batuk-batuk
4. Muntah atau tidak
5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
6. Adanya kejang atau tidak
7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
7
8.Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
9.Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah mendapat
penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan penatalaksanaan dan
prognosis selanjutnya.
Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
A. Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi
jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur laring atau trakea.
- Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara - jalan nafas bebas.
- Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur - ada
obstruksi parsial.
- Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan tersebut definitif
memerlukan pemasangan selang udara.
Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi pada
leher.
Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang dengan multiple
trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada leher, sampai kemungkinan
adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.
B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat
Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik
dari paru, dinding dada, dan diafragma.
Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah
pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.
8
Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru
Gangguan ventilasi yang berat seperti tension pneumothoraks, flail chest, dengan
kontusio paru, dan open pneumothorasks harus ditemukan pada primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru harus
dikenali pada secondary survey
C. Circulation, dengan kontrol perdarahan
a. Volume darah
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolumik sampai terbukti sebaliknya.
Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang
dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang dingin merupakan
tanda hipovolemik.
Nadi
- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda diperlukan
resusitasi segera.
b. Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara penekanan pada
luka
D. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat
kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
9
A : sadar (Alert)
V : respon terhadap suara (Verbal)
P : respon terhadap nyeri (Pain)
U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan keadaan
penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat diiakukan
pada secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
a. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
- Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak ada kriteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)
- Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Konklusi
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau
rinorea cairan serebro spinal)
- Kejang
c. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)
- Skor GCS 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
10
Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau trauma
langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Jika
hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap sebagai
penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.
E. Exposure
• Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi terhadap jejas
dan luka.
2. Secondary Survey
Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk
reevaluasi tanda vital.
• Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika belum
dilakukan pada primary survey
• Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada jejas.
III. PENANGANAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 14-15)
Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai cedera kepala ringan. Pasien
sadar tetapi mungkin mengalami hilang ingatan atas kejadian yang melibatkan cederanya. Bisa
terdapat riwayat singkat terjadinya pingsan namun sulit untuk diketahui. Gambaran ini sering
berhubungan dengan alcohol atau zat intoksikan lainnya.
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa penanganan berarti. Tetapi,
sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neuroligik berat
jika penurunan status mental terlambat dideteksi.
Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami pingsan lebih
dari lima menit, amnesia, nyeri kepala berat, dan GCS<15 atau defisit neurologic fokal yang
berhubungan dengan otak. Foto cervical X-ray perlu dilakukan jika terdapat nyeri leher atau
nyeri saat palpasi.
11
Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika tidak tersedia, skull X-ray bisa
dilakukan terhadap cedera kepala tumpul dan penetrans. Yang harus diperhatikan pada foto
kepala:
1. Fraktur linear atau depressed
2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi
3. Level udara cairan pada sinus
4. Pneumocephals
5. Fraktur fasial
6. Benda asing
Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :
- Pingsan > 15menit
- Post Traumatic Amnesia > 1Jam
- Pada observasi penurunan kesadaran
- Sakit Kepala >>
- Fraktur
- Otorhoe / Rinorhoe
- Cedera penyerta,
- CT-Scan Abnormal
- Tidak ada keluarga
- Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.
Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien diamati selama
beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan dipulangkan.
Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal sbb :
-Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam
- Mual dan muntah yang terus memburuk
- Sakit Kepala yang terus memburuk
- Kejang
- Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese)
12
- Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah
- Pupil anisokor
- Nadi naik / turun (bradikardi)
IV. PENANGANAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-13)
Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang. Pasien
masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan somnolen dan
13
mungkin terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% dari pasien ini
mengalami penurunan kesadaran hingga koma.
Sebelum dilakukan penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan kardiopulmoner
distabilkan terlebih dahulu. CT scan kepala perlu dilakukan dan dokter bedah saraf dihubungi.
Semua pasien ini memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang memudahkan
observasi dan evaluasi neurologis ketat untuk 12 hingga 24 jam pertama. CT scan untuk follow
up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan awal abnormal atau jika terjadi penurunan
pada status neurologis pasien.
14
V. PENANGANAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)
Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti perintah sederhana
bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan “wait and see” pada pasien ini bisa
berakibat fatal, maka diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting. Jangan menunda CT
scan.
A. Primary Survey dan Resusitasi
Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi pada pasien dengan
cedera kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas yang meningkat dua kali lipat
disbanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia ditambah hipotensi
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang mencapai 75%. Maka dari itu, stabilisasi
kardiopulmoner pada pasien cedera kepala berat adalah prioritas dan dan harus segera
tercapai.
Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Pada
pasien koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien diberi oksigen 100%
sampai didapat gas darah, lalu penysuaian tepat terhadap FIO2. Pulse oxymetri adalah
pembantu yang berguna dan diharapkan didapat saturasi O2 > 98%. Hiperventilasi harus
digunakan pada pasien dengan cedera kepala berat secara hati-hati dandipakai hanya saat
terjadi penurunan tingkat neurologic.
Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali pada stadium
terminal saat terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila tidak menyebabkan
syok hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien hipotensi.
Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas. Penyebab yang
harus diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau tamponade dan tension
pneumothorax.
B. Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis yang cepat dan
langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada pasien koma, respon
motorik dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau dengan nail-bed pressure.
15
C. Secondary Survey
Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi
penurunan neurologik sedini mungkin.
D. Prosedur Diagnostik
CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah hemodinamik stabil. CT
scan juga harus diulang bila ada perubahan pada status klinis dan secara rutin 12-24 jam
setelah cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom pada CT scan awal.