Upload
veri-hermawan
View
50
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
0
SPN
1. Dilihat dari latar belakangnya
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, WP orang pribadi yang melaporkan SPT baru 8,5
juta WP. Padahal jumlah orang yang bekerja secara aktif ada 110 juta orang. Artinya, rasio SPT
terhadap kelompok pekerja aktif hanya 7,73 persen. Sementara, untuk WP badan usaha,
pembayaran pajak yang dilaporkan melalui SPT hanya 466 ribu. Padahal jumlah badan usaha
aktif, tanpa usaha mikro, sekitar 12,9 juta WP. Selain itu, Komisi Anggaran Independen (KAI)
mengatakan persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax
ratio pada tahun 2011 tidak menunjukkan kenaikan berarti, hanya berkisar 12,6 persen. Nilai
ini cukup rendah bila dibandingkan dengan tax ratio negara tetangga seperti Malaysia dan
Thailand yang sudah lebih dari 16%.
Dari kenyataan ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
kesadaran WP untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya masih cukup rendah
bahwa program ekstensifikasi dan intensifikasi yang ada selama ini belum optimal
diperlukan suatu kegiatan yang tidak biasa untuk memberikan hasil yang tidak biasa
pula
2. Dilihat dari Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
Sistem pemungutan pajak di Indonesia menganut sistem self-assesment sebagaimana
tertuang dalam Pasal 12 UU KUP. Dalam sistem self assesment, WP menghitung, menyetor, dan
melaporkan sendiri pajaknya. Namun begitu, sistem ini tidak mutlak, dimana masih ada
kemungkinan peran aparat pajak untuk penentuan pajaknya apabila ternyata WP telah salah
melaksanakan kewajiban perpajakannya, yaitu melalui pemeriksaan sebagaimana dalam pasal
12 ayat (3) dan Pasal 13 UU KUP. Selain itu, DJP juga memiliki wewenang untuk menghimpun
data perpajakan dari berbagai sumber sebagaimana dalam pasal 35A UU KUP.
Oleh karena itu, program SPN ini tidak menyalahi sistem pemungutan pajak yang
sebenarnya berlaku di Indonesia.
3. Dilihat dari manfaat yang akan diperoleh
Dari manfaat yang akan diperoleh melalui program SPN telah kami uraikan pada pembahasan
sebelumnya, yaitu:
a. Menyiapkan data yang akurat atas potensi pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan
pajak;
b. Meningkatkan pelayanan yang berkeadilan bagi masyarakat (WP) dalam pemenuhan hak
dan kewajiban perpajakan;
1
c. Meningkatkan peran serta masyarakat (WP) dalam mendukung kelangsungan
pembangunan sehingga bangga menjadi warga negara.
Selain itu, kami juga mengidentifikasi beberapa manfaat lain terkait program SPN ini, yaitu:
a. Dalam jangka panjang akan meningkatkan tax ratio
b. Sebagai sarana memperbaiki citra DJP
c. Memberikan efek psikologis kepada WP
d. Optimalisasi program ekstensifikasi dan intensifikasi pajak
4. Dilihat dari payung hukum yang mendasarinya
Dasar program SPN adalah Pidato Presiden tanggal 16 Agustus 2011 terkait RUU tentang APBN
2012 beserta nota keuangan dalam Rapat Paripurna DPR RI, pada Selasa ( 16 Agustus 2011)
lalu. Presiden menyatakan akan terus melakukan reformasi perpajakan, yang diantaranya
melanjutkan reformasi peraturan dan perundang-undangan pajak. Termasuk mengadakan
sensus pajak nasional yang akan dilakukan pada bulan September mendatang.
Berawal dari pidato tersebut, dasar hukum SPN kemudian diterbitkan, yaitu Peraturan Menteri
Keuangan nomor 149/PMK.03/2011, tanggal 12 September 2011. Sementara pedoman
teknisnya adalah Peraturan Dirjen Pajak Per 30/PJ/2011, tanggal 27 September 2011.
Dilihat dari dasar hukum tersebut, terdapat kejanggalan, yaitu Undang-undang yang disebutkan
dalam PMK tersebut sebenarnya tidak memberikan amanah untuk penerbitan PMK terkait
program SPN ataupun sejenisnya.
Sebenarnya, menurut kami ada pasal di UU KUP yaitu pasal 35A yang bisa dijadikan dasar untuk
program SPN:
Ayat (1) Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data
dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
Ayat (2) Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,
Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan
penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
Menurut pasal 35A tersebut, yang bisa dijadikan dasar untuk program penggalian data dan
informasi adalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan bukannya Peraturan Menteri
Keuangan (PMK).
Dari uraian di atas dan sebagaimana program-program pemerintah lain yang baru, pasti akan
ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya. Terkait program SPN ini, kami
mengidentifikasi beberapa kelemahan, yaitu:
1. Dasar hukum yang tidak kuat
2
Pelaksanaan program SPN ini berawal mulai dari Pidato Kenegaraan Presiden tanggal 16
Agustus 2011 terkait RUU tentang APBN 2012 beserta nota keuangan dalam Rapat Paripurna
DPR RI. Untuk menindaklanjuti arahan dari Presiden tersebut, maka Menteri Keuangan
menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 149/PMK.03/2011, tanggal 12 September
2011 tentang Sensus Pajak Nasional. Sementara peraturan pelaksanaan dari kegiatan tersebut
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak berupa Peraturan Dirjen Pajak Per 30/PJ/2011 tanggal
27 September 2011 tentang Pedoman Teknis Sensus Pajak Nasional.
Namun jika dilihat dari kerangka hukum yang melandasinya, undang-undang yang disebutkan
dalam konsiderans PMK tentang SPN tersebut sebenarnya tidak memberikan amanah untuk
penerbitan PMK terkait program SPN. Karena dalam Undang-Undang KUP sendiri sebenarnya
tidak terdapat pasal yang menyebutkan dasar adanya penerbitan PMK tentang program yang
terkait dengan kegiatan pengumpulan data Wajib Pajak seperti SPN. Namun terdapat pasal yang
isinya menyebutkan mengenai adanya kegiatan yang esensinya mendekati dengan program SPN
seperti tercantum dalam pasal 35A ayat (2). Dalam pasal tersebut diuraikan bahwa untuk
kegiatan seperti tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan payung hukum berupa Peraturan
Pemerintah bukan Peraturan Menteri Keuangan seperti yang telah terlaksana sekarang ini.
2. Data yang diperoleh kurang valid
Data yang diperoleh dari program SPN ini diharapkan dapat mencerminkan keadaan Wajib
Pajak yang sebenarnya sehingga dapat digunakan untuk kegiatan pengolahan data perpajakan
di tahap selanjutnya. Namun pada kenyataannya, data yang diperoleh seringkali tidak valid dan
terkesan asal-asalan dalam pengisian Formulir Isian Sensus (FIS). Bahkan dalam beberapa
kasus terdapat beberapa Wajib Pajak yang menolak untuk memberikan informasi/mengisi FIS
ini. Hal ini mungkin disebabkan karena masih adanya pola pikir yang negatif dari para Wajib
Pajak terkait dengan adanya program-program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Pola pikir mereka selama ini masih berkutat dengan ketidakrelaan para Wajib
Pajak untuk membayar pajak sesuai dengan kemampuan dan penghasilan yang mereka peroleh
selama ini. Pola pikir inilah yang menyebabkan adanya semacam “penghindaran” dari para
Wajib Pajak ketika aparat pajak bertandang untuk melaksanakan program SPN ini. Ditambah
lagi dengan tidak adanya kewenangan dari aparat pajak untuk melaksanakan tindakan represif.
3. Tindak lanjut data yang dikumpulkan masih diragukan
Salah satu manfaat yang diharapkan dari program Sensus Pajak Nasional adalah menyiapkan
data yang akurat atas potensi pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak. Namun ke
depannya nanti masih belum jelas tindak lanjut dari data yang sudah diperoleh dari
pelaksanaan program SPN ini apakah benar-benar akan dan mampu dimanfaatkan dalam
optimalisasi dan penggalian potensi Wajib Pajak . Karena terkait dengan kelemahan pada poin
sebelumnya, ada kalanya data yang diperoleh dari program SPN tersebut belum tentu valid dan
sesuai dengan keadaan sebenarnya sehingga dikhawatirkan dapat memberikan asimetric
information bagi tindak lanjut pengolahan data di tahap berikutnya. Karena fakta yang terjadi
selama ini, data yang valid dan sudah diyakini kebenarannya saja terkadang lambat dan
terkadang bahkan tidak/belum ditindaklanjuti oleh Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan
dikarenakan masih terlalu banyaknya beban kerja yang ada di kantor tersebut khususnya seksi-
seksi yang terkait dengan pekerjaan tersebut.
3
4. Prinsip ekonomi dalam pemungutan pajak tidak terpenuhi (cost-benefit tidak
memadai)
Pelaksanaan program SPN ini menghabiskan biaya yang tidak sedikit mulai dari perencanaan
program, pelaksanaan program dan tindak lanjut dari pelaksanaan program tersebut. Namun
seperti yang dijelaskan dari poin-poin sebelumnya, data yang diperoleh seringkali kurang valid
dan tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya sehingga tidak bisa dimanafatkan dalam
optimalisasi dan penggalian potensi Wajib Pajak. Adanya kelemahan tersebut mengakibatkan
potensi pajak yang diharapkan dapat dikumpulkan pada periode berikutnya tidak sesuai (dalam
hal ini kurang optimal ) jika dibandingkan dengan biaya yang telah keluar dan usaha yang telah
dilakukan dalam pelaksanaan program SPN ini.
Namun begitu, terlepas dari beberapa kelemahan di atas, program SPN juga memiliki beberapa
sisi positif yang bisa diperoleh, yaitu:
1. Mengatasi rendahnya tax ratio dan meningkatkan kesadaran WP dalam
memenuhi kewajiban perpajakan
2. Adanya dukungan dari Presiden SBY
Pelaksanaan program SPN ini dijalankan sesuai dengan arahan dan instruksi dari Presiden RI
secara lisan yang tersirat dalam pidato kenegaraan Presiden tanggal 16 Agustus 2011 terkait
RUU tentang APBN 2012 beserta nota keuangan dalam Rapat Paripurna DPR RI, pada Selasa (
16 Agustus 2011) lalu. Dengan adanya dukungan dari pimpinan negara tersebut, maka program
SPN ini dilaksanakan seiring dengan adanya komitmen pimpinan negara dalam mendukung
terselenggaranya program sensus/pendataan Wajib Pajak. Komitmen dari pimpinan negara
tesebut mendukung Direktorat Jenderal Pajak untuk segera menjalankan program SPN ini
sesegera mungkin seiring adanya dukungan dan instruksi dari pemimpin negara ini. Sehingga
momentum ini ditangkap oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk segera melaksanakan program
Sensus Pajak secara menyeluruh di tingkat nasional. Diharapkan pelaksanaan kegiatan ini akan
mendapat dukungan dan back-up langsung dari pimpinan negara yang dapat berdampak
langsung terhadap kelancaran program tersebut.
3. Optimalisasi Program Intensifikasi dan Ekstensifikasi
Program penghimpunan data sebenarnya telah ada dalam tugas rutin DJP. Namun begitu,
pencanangan program tersendiri akan lebih memberikan efek yang maksimal dengan dukungan
dari berbagai pihak, baik internal DJP maupun eksternal.
4. Melaksanakan amanah Pasal 35A UU KUP
Pasal 35A ayat (2) UU KUP mengatur mengenai kewenangan DJP untuk menghimpun data dan
informasi untuk kepentingan penerimaan negara, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah (PP). Program SPN ini sebenarnya bisa didasarkan atas ketentuan pasal tersebut
melalui penerbitan suatu PP sehingga payung hukumnya lebih kuat.
5. Pencitraan DJP
4
Melalui program SPN ini, DJP juga memiliki kesempatan untuk memperbaiki citra di mata
masyarakat setelah sebelumnya sempat tercoreng akibat adanya kasus pajak Gayus dan kasus-
kasus pajak lainnya.
6. Memberikan efek secara psikologis kepada wajib pajak
Dengan adanya progam SPN ini, WP akan didatangi satu persatu untuk menghimpun data dan
secara tidak langsung untuk mengetahui sejauh mana pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Efek psikologis akan muncul dalam beberapa hal, yaitu: menghindari adanya kemungkinan WP
nakal dan juga masyarakat akan merasa terlibat langsung dalam pembagunan. Selain itu,
dengan adanya program ini, masyarakat akan lebih dekat dengan institusi pajak yang pada
akhirnya akan mendukung modernisasi yang selama ini dilaksanakan. Kondisi ini diperlukan
untuk memperoleh dukungan penuh dari masyarakat terhadap penghimpunan pajak sehingga
penerimaan pajak kedepannya lebih mudah diamankan.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pada bagian ini, kami akan menyampaikan beberapa simpulan atas analisa program SPN yang
telah kami buat sebelumnya. Kemudian, kami akan mencoba memberikan beberapa
rekomendasi atas program SPN tersebut.
A. SIMPULAN
Simpulan kami atas pelaksanaan program SPN adalah:
1. Program SPN dilaksanakan untuk mengatasi rendahnya kesadaran WP dan
meningkatkan tax ratio di Indonesia
2. Pelaksanaan program SPN telah sesuai dengan sistem pemungutan perpajakan di
Indonesia
3. Program SPN ini memiliki berbagai manfaat untuk kepentingan peningkatan
penerimaan negara melalui penyiapan data yang akurat atas potensi pajak,
meningkatkan pelayanan yang berkeadilan, dan meningkatkan peran serta masyarakat
(WP) dalam pembangunan
4. Melalui program SPN ini, DJP juga memiliki kesempatan untuk memperbaiki citra di
mata masyarakat setelah sebelumnya sempat tercoreng akibat adanya kasus pajak
Gayus
5. Program ini juga akan memberikan efek psikologis bagi WP dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya sehingga akan mengurangi adanya WP yang nakal
5
6. Program SPN berguna untuk optimalisasi program ekstensifikasi dan intensifikasi pajak
yang selama ini ada
7. Payung hukum program SPN ini masih sangat lemah karena didasarkan oleh adanya
PMK padahal tidak ada UU yang mengamanahkan untuk kegiatan/program semacam ini
dalam bentuk PMK
8. Dari analisa cost-benefit, program SPN ini sementara masih kurang memadai
9. Keakuratan data yang dihimpun dari program SPN ini masih belum baik
10. Program SPN masih memerlukan tindak lanjut yang cukup panjang atas data yang telah
dihimpun
B. REKOMENDASI
Berdasarkan simpulan di atas, kami berpendapat bahwa terlepas dari berbagai kekurangan
yang ada, kenyataannya program tersebut telah digulirkan. Oleh karena itu, kami akan
memberikan beberapa rekomendasi untuk pelaksanaan program SPN ini, yaitu:
1. Payung hukum program SPN ini sebaiknya didasarkan pada peraturan pemerintah,
karena untuk kegiatan/program semacam ini UU KUP mengamanahkan untuk
menggunakan payung hukum berupa Peraturan pemerintah.
2. Perlu untuk diadakan kaji ulang prinsip cost-benefit pada program ini, karena dirasakan
manfaat yang nantinya didapat setelah program ini belum dapat tergambar secara jelas.
Pengkajian ulang ini lebih diarahkan pada benefit yang akan diperoleh nantinya, yaitu
melalui optimalisasi program ini.
3. Pada pelaksanaan program SPN ini perlu untuk dilakukan se-persuasif mungkin,
sehingga wajib pajak akan memberikan data yang benar dan nantinya tingkat validitas
data yang diperoleh dari program SPN ini bisa dipastikan kebenarannya.
4. Pelaksanaan tindak lanjut data yang telah diperoleh agar diperjelas sehingga manfaat
dari program ini dapat tergambar secara jelas.
5. Diperlukan adanya evaluasi secara rutin dan menyeluruh atas keseluruhan kegiatan SPN
di masing-masing KPP untuk diketahui kelemahan dan untuk kepentingan perbaikan
kegiatan selanjutnya.
REFERENSI
6
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.03/2011 tanggal 12 September 2011 tentang
Sensus Pajak Nasional
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/09/30/08543423/Sensus.Pajak.Nasional.Dimu
lai diakses pada tanggal 11 Januari 2012 pukul 23.41
http://www.tax-focus.com/sensus.html diakses pada tanggal 11 Januari 2012 pukul 23.43
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/09/28/263633/4/2/-Tax-Ratio-Indonesia-
masih-Rendah diakses pada tanggal 12 Januari 2012 pukul 07.32
http://nasional.kompas.com/read/2011/08/19/14433585/Sensus.Pajak.untuk.Tingkatkan.Pe
nerimaan diakses pada tanggal 12 Januari 2012 pukul 07.40
PENDAERAHAN PBB P2 DAN BPHTB
A. PENDAHULUAN
Pendaerahan pajak adalah pelimpahan kewenangan pemungutan/penarikan pajak dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Local taxing empowerment). Pendaerahan PBB
dan BPHTB di Indonesia sebenarnya sudah bergulir sejak 1960-an, yaitu pada masa Iuran
Pembangunan Daerah (Ipeda) masih berada dalam lingkup Direktorat Jenderal Moneter
(Undang-undang BPHTB belum lahir). Wacana pendaerahan PBB dan BPHTB telah lama
menjadi isu hangat beberapa tahun terakhir di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sendiri,
sebagaimana pernah diwacanakan. Maizar Anwar [mantan Direktur PBB DJP], menulis dalam
Berita Pajak No. 1651 sebagai berikut :
“Oleh karena itu pada tahun 2003 yang lalu sewaktu pendaerahan PBB masih merupakan wacana
hampir 90% Bupati/Walikota dan beberapa Gubernur kepala daerah membuat surat tertulis
kepada Menteri Keuangan menolak PBB tersebut dijadikan Pajak Daerah, karena sistem yang
berlaku selama ini sesungguhnya pemerintah daerah sudah nyaman dengan sistem pengelolaan
PBB yang berlaku selama ini, dimana peraturan dan sistem dibuat pemerintah pusat dan
pemungutan serta hasil penerimaannya sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah.”
Pendaerahan PBB dan BPHTB kemudian menjadi suatu keharusan dalam administrasi
perpajakan sebagaimana telah ditetapkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah ( UU PDRD). Berdasarkan pasal 2 ayat (3) UU PDRD , Pajak Bumi
dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) yang sebelumnya merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah
pusat dilimpahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah (merupakan jenis pajak
Kabupaten/Kota).
Mengapa PBB P2 dan BPHTB dialihkan?
7
1. Objek PBB P2 dan BPHTB tersebut lokasinya berada di suatu daerah kabupaten/kota,
dan aparat pemerintah daerah jelas lebih mengetahui dan lebih memahami karakteristik
dari objek dan subjeknya sehingga kecil kemungkinan wajib pajak dapat menghindar
dari kewajiban perpajakannya. Sedangkan, lokasi objek PBB sektor Perkebunan,
Perhutanan, dan Pertambangan dapat bersifat lintas batas kabupaten dalam arti objek
tersebut kemungkinan besar berada di dalam lebih dari satu kabupaten sehingga perlu
koordinasi yang lebih intensif dalam menentukan NJOP perbatasan antar kabupaten
yang bersangkutan. Koordinasi bisa tidak berjalan efektif apabila timbul sentiment
kedaerahan, sehingga dapat menimbulkan ketidakharmonisan penentuan NJOP daerah
yang berbatasan;
2. Kebanyakan negara maju menyerahkan urusan pajak properti (jika di Indonesia adalah
PBB) menjadi urusan pemerintah daerah;
3. Migas (minyak bumi dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber
pendapatan bagi APBN (anggaran dan pendapatan belanja negara), mengingat Indonesia
tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, tetapi sebaliknya sebagai suatu
negara yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya, sumber utama pendapatan bagi APBN
bergeser dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak
menempati posisi strategis dalam APBN. Sebagai gambarannya adalah penerimaan
APBNP 2010 adalah Rp 992-an Triliun yang mana penerimaan pajak adalah Rp 743-an
Triliun;
4. Dari penerimaan pajak sebesar Rp 743-an Triliun tersebut, maka penerimaan PBB
(seluruh sektor) adalah Rp 26-an Triliun dan BPHTB Rp 7-an Triliun. Namun demikian,
hampir seluruh penerimaan PBB dan BPHTB tersebut diserahkan kepada pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Landasan hukumnya adalah PMK
No. 34/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, artinya bahwa, memang sejak awal penerimaan
PBB dan BPHTB sudah menjadi bagian dari pemerintah daerah. Hal yang sama berlaku
juga untuk BPHTB, dasar hukumnya adalah PMK No. 32/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei
2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Dengan dialihkannya PBB P2 (yang penuh dengan permasalahannya karena
berjuta-juta jumlah objek pajaknya) menjadi pajak daerah, maka Ditjen Pajak akan lebih
berkonsentrasi dalam pemenuhan target penerimaan pajak pusat.
B. HASIL DISKUSI KELAS
Pelaksanaan pendaerahan PBB P2 dan BPHTB juga tidak jauh dari permasalahan-
permasalahan sebagai berikut :
1. SUMBER DAYA
Untuk melakukan pendaerahan PBB P2 dan BPHTB diperlukan persiapan yang matang
yang harus dilakukan oleh pemeritah daerah yang bersangkutan yang meliputi peralatan,
peraturan, pembiayaan, dan personil. Penyiapan SDM oleh pemerintah daerah meliputi
8
personil yang bertugas sebagai pendata atau surveyor, penilai (valuer), operator console dan
operator data entry, administrasi pemungutan, pemungut, penagih/juru sita, pendistribusi
SPPT, dan lain-lain. Sehubungan dengan hal ini, apakah Pemerintah Daerah sudah siap
melakukan pendaerahan PBB P2 dan BPHTB dengan memiliki kualitas SDM yang diharapkan?
Apakah Pemda mampu menyediakan DM yang kompeten di bidang PBB dan BPHTB? Bagaimana
dengan daerah-daerah pelosok dan terpencil? Permasalahan nyata yang terjadi dengan
permasalahan kurangnya SDM adalah terjadi di Kabupaten Kapuas (baca : “Kapuas Kurang SDM
untuk Dongkrak PAD”-Borneonews.co.id)
Selain permasalahan SDM, infrastruktur atau peralatan yang dibutuhkan dalam pendaerahan
PBB P2 dan BPHTB juga harus diperhatikan. Peralatan yang harus dipersiapkan meliputi
perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak merupakan sistem aplikasi yang selama
ini telah dioperasikan oleh Direktorat Jederal Pajak dalam mengelola PBB yang terdiri dari
sistem aplikasi oracle, Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB), Bank Data Nilai Pasar
Properti (BDNPP), Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (Sismiop), dan lain-lain. Sedangkan
perangkat keras merupakan peralatan-peralatan yang dipergunakan untuk menunjang
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan yang terdiri dari High Speed Printer, Scanner dan Plotter,
Komputer dan Printer, Global Posistioning System (GPS), Distometer, Theodolit, File Storage,
Digita Camera, dan lain-lain. Kabar terakhir mengenai pendaerahan PBB P2 dan BPHTB ini,
server harus disediakan oleh Pemda sendiri, bukan DJP. Data hard copy tidak boleh diserahkan
langsung kepada Pemda, sedangkan data sofcopy dan software akan ditransfer kepada Pemda,
setelah di-cleansing oleh Direktorat TIP.
Kelembagaan juga diperlukan dalam persiapan Pemerintah Daerah dalam menghadapi
pendaerahan PBB P2 dan BPHTB. Pemerintah daerah harus mengetahui administrasi PBB P2
dan BPHTB yang sebelumnya dilakukan oleh DJP untuk melihat kelembagaan. Kelembagaan ini
penting untuk mengetahui seberapa banyak personil, pembiayaan, seksi dalam Dinas Pelayanan
Pajak dalam mengelola PBB dan BPHTB, mulai dari penggalian potensi, penilaian objek PBB,
pencatatan, penagihan, pendistribusi SPPT, sampai dengan permasalahan sengketa pajak.
2. PERMASALAHAN HUKUM/LEGAL
Kekosongan Hukum akibat belum siapnya Perda BPHTB
Sesuai dengan amanat pasal 182 ayat (2) UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, BPHTB segera dialihkan dari pemerintah kepada pemerintah kabupaten dan
kota pada 1 Januari 2011. Pengalihan ini mensyaratkan pemerintah kabupaten dan kota
memiliki peraturan daerah yang mengatur teknis pengelolaannya dan mekanismenya. Jika
tidak, akan terjadi kekosongan hukum karena UU. Masalahnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
mencatat belum semua kabupaten dan kota sudah memiliki Perda BHPTB hingga saat ini.
Padahal, jangka waktu pembuatan Perda tidak sebentar sehingga dikhawatirkan tidak siap pada
awal tahun 2011. Jika demikian, maka akan mengakibatkan loss of tax pada pemerintah daerah.
Kabupaten/Kota daerah terancam kehilangan pemasukan dari BPHTB jika Perda ini tidak siap
sebelum Januari 2011. Sebab, UU No.21 Tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana diubah
dengan UU No 20 Tahun 2000 tidak berlaku efektif sejak 1 Januari 2011. Artinya, pemerintah
daerah tidak boleh memungut BPHTB atas transaksi tanpa adanya Perda karena tidak ada dasar
hukumnya. Contoh kasus yang terjadi adalah hasil pungutan BPHTB oleh PemKab Karawang
9
(baca : “Dana Pungutan Ilegal Tak Bertuan : Rp11,9 Miliar Masuk Kas Pemkab Karawang” –
PosKota.co.id)
Kekosongan Hukum akibat tidak diaturnya ketentuan Peralihan
Sesuai dengan amanat pasal 182 ayat (2) UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, BPHTB segera dialihkan dari pemerintah kepada pemerintah kabupaten dan
kota pada 1 Januari 2011. Namun, bagaimana dengan sengketa pajak yang ditimbulkan akibat
peristiwa sebelum 1 Januari 2011. Apakah Pemerintah daerah bersedia menanggung sengketa
tersebut padahal pemda belum memanfaatkan haknya untuk memungut BPHTB. Apalagi, sudah
terdapat kasus dimana beberapa daerah (seperti Pemalang, dll) menolak dilimpahi kewenangan
untuk memungut PBB P2/BPHTB karena merasa dilimpahi piutang pajak yang “basi” atau tidak
strategis.
DJP sebenarnya sudah menerbitkan Surat Nomor S-410/PJ.02/2011 tanggal 3 Mei 2011 yang
memberikan penjelasan :
“...terhadap permohonan pelayanan BPHTB Tahun 2010 dan tahun sebelumnya, Kantor Wilayah
DJP dan KPP Pratama dihimbau agar dapat memberikan penjelasan kepada Wajib Pajak yang
membutuhkan pelayanan BPHTB, bahwa permohonan pelayanan yang diajukan belum dapat
diselesaikan karena ketentuan yang mengatur mengenai penyelesaian pelayanan BPHTB masih
dalam proses penyusunan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri”
Dengan demikian, terjadi kekosongan hukum yang mengatur permohonan pelayanan BPHTB
Tahun 2010 dan tahun sebelumnya, apakah diproses oleh DJP atau diproses ke Pemda.
3. IMPLIKASI
Pengalihan PBB P2 dan BPHTB dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah jelas memiliki
dampak yang bersifat positif maupun negatif bagi pemerintah daerah yang bersangkutan.
Dampak Positip
1. Akurasi data objek dan subjek PBB P2, dapat lebih ditingkatkan karena aparat
pemerintah daerah lebih menguasai wilayahnya apabila dibandingkan dengan
aparat pemerintah pusat sehingga dapat meminimalisir pengajuan keberatan
dari para wajib pajak PBB P2;
2. Daerah memiliki kemampuan meningkatkan potensi PBB P2 dan BPHTB
sepanjang penentuan NJOP selama ini oleh pemerintah pusat dinilai masih
dibawah nilai pasar objek yang bersangkutan (optimalisasi NJOP);
3. Pemberdayaan local taxing power, yaitu kewenangan penuh daerah dalam
penentuan tarif dan pengelolaan administrasi pemungutan untuk mewujudkan
transparansi dan akuntabilitas;
Dampak Negatif
10
1. Peningkatan NJOP yang sama dengan nilai pasar dapat mengakibatkan naiknya
ketetapan PBB yang dapat menimbulkan gejolak masyarakat;
2. Penggunaan tarif maksimum guna meningkatkan potensi PBB P2 apabila tidak
hati-hati dan dikaji secara mendalam dapat menimbulkan gejolak masyarakat
karena penggunaan tarif maksimum dapat menaikkan PBB P2 sebesar tiga kali
lipat; dengan kata lain mungkin terjadi ”abuse of power” dari Pemda.
3. Dalam rangka pengelolaan PBB P2 dan BPHTB, pemerintah daerah harus
mengeluarkan biaya yang cukup mahal, baik untuk kemungkinan penambahan
kantor dan pegawai baru maupun untuk melengkapi peralatan administrasi,
komputerisasi dan pelatihan SDM;
4. Kesenjangan penerimaan PBB P2 antar daerah makin menonjol karena
disparitas potensi penerimaan pajak daerah lainnya. Daerah yang memiliki
potensi penerimaan pajak daerah lainnya atau mengandalkan bagi hasil lain dari
pemerintah pusat, cenderung mengabaikan pemungutan PBB P2 (karena sulit
dan kompleks bahkan tidak dipungut) dan sebaliknya daerah yang semata-mata
mengandalkan penerimaan PBB P2 kemungkinan akan menerapkan tarif yang
maksimal guna menggenjot penerimaannya;
5. Pendaerahan PBB P2 dan BPHTB dapat mengakibatkan beragamnya kebijakan
antara satu daerah dengan daerah lainnya, misalnya perbedaan tarif, NJOPTKP,
dan NPOPTKP. Perbedaan tersebut dapat mengakibatkan ketidakadilan baik
bagi masyarakat wajib pajak, pelaku bisnis, maupun masyarakat pada umumnya.
C. SOLUSI
1. Dari pihak DJP sendiri
Pada intinya, kesalahan dalam pendaerahan PBB juga berujung pada tanggung jawab
DJP, bukan Pemda atau Kemendagri DJP seharusnya lebih berperan aktif dalam pendaerahan
PBB, khususnya dalam sosialisasi kepada Pemda. DJP harus memiliki effort lebih untuk
mengawal jalannya proses ini sebagai bentuk tanggung jawab moral DJP sebagai pihak yang
semula mengelola PBB P2 dan BPHTB. Bahkan, banyak Pemda yang “tidak mengetahui hal yang
mereka memang tidak ketahui”, artinya banyak pemda yang awam sekali dengan PBB P2 dan
BPHTB. Langkah proaktif dimulai dari sosialisasi peraturan, software, hingga pendataan daerah-
daerah yang berhasil melakukan pendaerahan maupun yang belum berhasil.
Selain itu, DJP juga harus membangun awareness Pemda untuk mengelola PBB P2 dan
BPHTB dan bersikap proaktif dengan menunjukkan potensi keuntungan/pendapatan yang akan
diperoleh Pemda.
DJP juga harus segera menerbitkan peraturan peralihan BPHTB untuk menyelesaikan
pelayanan BPHTB Tahun 2010 dan tahun sebelumnya.
2. Dari pihak Pemerintah Daerah
11
Pemda dapat mengatasi peraturan-peraturan yang sudah ada, disesuaikan dengan
kondisi masing-masing daerah dengan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri
(untuk mengatasi kekosongan Perda secepatnya)
Pemda membuat unit-unit sendiri untuk menangani masalah PBB P2 dan BPHTB
(menekankan pada kelembagaan)
Perlunya analisis cost versus benefit untuk menjalankan hak pemungutan PBB P2 dan
BPHTB dan memberdayakan potensi-potensi atau objek-objek yang ada.
Pemda harus lebih berhati-hati dalam menerbitkan ketetapan, selalu berdasarkan dasar
hukum yang kuat.
3. Dari pihak lain
Diperlukan adanya kerja sama antara Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian
Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan untuk mengedukasi instansi-instansi di bawahnya
dalam rangka mendukung proses pendaerahan. Misalnya, dengan menggandeng universitas
dalam melalukan penilaian objek PBB. Namun, diperlukan perhatian agar kerja sama tidak
justru dimanfaatkan untuk tujuan selain kepentingan pemungutan pendaerahan PBB P2 dan
BPHTB (seperti tujuan komersial atau tujuan untuk kepentingan universitas tertentu
Munculnya ketentuan dalam UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yaitu
pasal 31 E menimbulkan banyak sekali interpretasi yang berbeda-beda di kalangan Wajib Pajak,
Petugas Pajak bahkan Konsultan Pajak. Banyak yang berasumsi bahwa peredaran bruto berasal
dari penghasilan utama saja (main business income), fasilitas ini hanya dikhususkan untuk
industri UMKM, industri perbankan tidak dapat menikmati fasilitas tersebut, apakah
perusahaan yang masuk ke bursa efek juga dapat menikmati fasilitas (perseroan terbuka) dan
ada juga yang berpendapat bahwa fasilitas ini adalah sebuah pilihan yang sifatnya tidak wajib.
Pasal 31 E ayat (1) UU PPh, diatur bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran
bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas
berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif normal 28% (tahun 2009)
dan 25% (tahun 2010 dst) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Sejak diterbitkan pada tanggal 23 September 2008, penjelasan mengenai aturan ini belum jelas
dan tidak ada peraturan yang mengatur lebih lanjut. Namun per tanggal 24 Mei 2010
diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. 66/PJ/2010 yang menjelaskan hal-hal sebagai berikut
:
1. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh dilaksanakan
dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu
menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.
2. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 adalah sebagai batasan
maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam
12
negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E
ayat (1) UU PPh.
3. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh adalah
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi :
Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut ditegaskan juga bahwa fasilitas Pasal 31E ayat (1)
tersebut bukan merupakan pilihan. Sehingga dapat dianalogikan bahwa merupakan kewajiban
bagi WPDN yang penghasilan brutonya berada di bawah atau sampai dengan lima puluh miliar
rupiah.
Jika melihat dari ketentuan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut maka untuk batas
peredaran bruto hanya untuk main business income (penghasilan utama). Sedangkan other
income (penghasilan lain-lain) seperti pendapatan bunga deposito, keuntungan dari selisih kurs,
keuntungan pengalihan harta dll tidak termasuk dalam kategori batasan penghasilan bruto.
Meskipun terkesan terlambat menerbitkan, ketentuan tersebut setidaknya bisa menjawab
sebagian keraguan dari beberapa pertanyaan yang muncul di kalangan Wajib Pajak.
Dalam sosialisasinya ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tujuan dimunculkannya intensif pasal
31 E dimaksudkan untuk :
1. mendukung program Pemerintah dalam rangka pemberdayaan UMKM.
2. mengurangi beban pajak bagi WP badan UMKM akibat penerapan tarif tunggal PPh
badan.
Apakah yang dimaksud dengan perusahaan yang tergolong UMKM ?
Dalam UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UU UMKM) dalam
pasal 6 disebutkan Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah sebagai berikut:
Deskripsi Kekayaan Bersih *) Hasil Penjualan tahunan
Usaha
Mikro
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah)
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah)
Usaha
Kecil
lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sampai dengan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima
13
juta rupiah) ratus juta rupiah).
Usaha
Menengah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) sampai dengan
paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah)
lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai
dengan paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar
rupiah).
*) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa peredaran usaha yang tercantum dalam pasal 31E UU
PPh merupakan implementasi dan adopsi dari pasal 6 UU UMKM. Kemudian di UU UMKM tidak
ada satu pun pasal yang menyebutkan bahwa perusahaan asing (PMA) atau perusahaan yang
masuk kegiatan bursa efek tidak termasuk dalam kategori UMKM. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa perusahaan yang memiliki peredaran bruto selama satu tahun di bawah lima
puluh miliar rupiah adalah kategori perusahaan UMKM dan berhak atas fasilitas pemerintah.
Untung atau Bumerang ?
Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut ditegaskan bahwa fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut
bukan merupakan pilihan bagi Wajib Pajak dalam menghitung PPh terutang. Secara otomatis
bagi mereka yang memiliki penghasilan bruto dibawah Rp. 50.000.000.000,- diwajibkan
menghitung dengan mekanisme perhitungan fasilitas pasal 31E.
Secara kasat mata fasilitas yang diberikan oleh pemerintah akan menguntungkan Wajib Pajak
Badan Dalam Negeri. Hal tersebut setidaknya akan terlihat ada tax saving (penghematan pajak)
sebesar 12,5 % dari tarif normal 25%. Tax saving akan dapat dioptimalkan bagi perusahaan
yang tidak memiliki kredit pajak dari dalam negeri (PPh Pasal 22 dan Pasal 23). Contoh
perusahaan industri manufaktur yang dalam setahun tidak melakukan kegiatan ekspor dan
tidak melakukan penjualan ke bendaharawan pemerintah atau perusahaan jasa yang
penghasilannya bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 22 dan Pasal 23.
Namun bagi perusahaan yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 23 dan dipungut PPh 22,
fasilitas pasal 31 E ini dapat mengakibatkan terjadinya kelebihan bayar PPh Badan sehingga
pada tahun yang bersangkutan akan mendapatkan prioritas pemeriksaan pajak oleh Kantor
Pajak. Hal ini diakibatkan karena pemotongan PPh Pasal 23 berbasis pada penghasilan bruto
atau peredaran usaha sedangkan perhitungan PPh terutang berbasis Penghasilan Kena Pajak
(PKP) yang merupakan komponen terakhir setelah proses koreksi fiskal dan kompensasi
kerugian. Begitupula dengan kredit pajak PPh Pasal 22.
Sehingga dapat tergambar bahwa bagi perusahaan yang PPh terutangnya tidak lebih besar dari
kredit pajak PPh 23 dapat mengakibatkan terjadinya lebih bayar di SPT Tahunan.
Konsekuensinya akan terjadi pemeriksaan pajak yang dapat menimbulkan terjadinya potensi
temuan oleh pemeriksa pajak dari jenis pajak yang lain.
Namun wajib pajak badan dalam negeri tidak perlu risau akan masalah tersebut, ada beberapa
solusi yang dapat dilakukan yaitu diantaranya dengan
14
1. mengajukan pembebasan pemotongan dan atau pemungutan pajak oleh pihak lain ke
kantor pajak.
2. mengajukan permohonan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25.
Dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP - 192/PJ./2002 disebutkan bahwa Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena:
1. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang
Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal, atau
2. Wajib Pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian tersebut
jumlahnya lebih besar daripada perkiraan penghasilan netto tahun pajak yang
bersangkutan,
3. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan
terutang.
Adapun syarat permohonan untuk mendapatkan Surat Keterangan Bebas (SKB) adalah sbb :
1. Mengisi formulir pemohonan SKB.
2. Wajib menyampaikan perkiraan penghasilan neto tahun berjalan.
3. Wajib menyampaikan daftar pihak-pihak pemberi penghasilan beserta nilai transaksi
yang diperkirakan akan diterima/diperoleh.
4. Khusus PPh Pasal 22, terbatas pada barang-barang modal yang tersebut dalam Master
List sebagai lampiran Persetujuan Tetap yang dikeluarkan oleh BKPM dan keperluan
bahan baku untuk satu tahun yang disetujui oleh BKPM.
Atas permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari pemotongan/pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain, wajib diberikan keputusan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sesudah permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sesudah permohonan Wajib Pajak diterima belum diberikan keputusan maka
permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
Bagi Wajib Pajak yang memprediksi akan terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan yaitu
berupa penurunan kegiatan usaha dapat mengajukan permohonan Pengurangan Angsuran PPh
Pasal 25.
Apabila setelah 4 bulan atau lebih dalam suatu tahun pajak wajib pajak dapat menunjukkan
bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang
menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 25, wajib pajak tersebut dapat mengajukan permohonan
pengurangan angsuran PPh Pasal 25 kepada Kepala KPP setempat.
Syarat-syarat permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 :
1. Diajukan secara tertulis
15
2. Menyampaikan perhitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan
penghasilan yang diterima/diperoleh, dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan
yang masih tersisa dari tahun pajak ybs.
Perhitungan Tarif PPh Pasal 31E
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000
(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima
puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)
yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh
terutang yaitu sebagai berikut:
PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak
Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000,
maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang tidak memperoleh fasilitas.
* Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
yaitu: (Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak
**Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas yaitu:
Penghasilan Kena Pajak - Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas.
Contoh:
1. Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000 dengan Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000.
Penghitungan pajak yang terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari
peredaran bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang
berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000
= Rp 70.000.000
16
2. Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000 dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas:
= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000
= Rp 480.000.000
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas:
= Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:
= (50%x 28% x Rp480.000.000) + (28% x Rp2.520.000.000)
= Rp 67.200.000 + Rp 705.600.000
= Rp772.800.000
HASIL DISKUSI KELAS
1. Pasal 31E melanggar asas perpajakan
Pasal 31E menggunakan tarif proporsional, bukan tarif progresif. Oleh karena itu, pasal
31E melanggar prinsip equality, dimana persentase antara perusahaan besar dan perusahaan
kecil. Perusahaan dengan omzet besar dan biaya besar cenderung dirugikan karena tidak
mendapatkan insentif secara keseluruhan.
2. Tidak semua mendapat fasilitas perpajakan pasal 31E
Bagaimana dengan wajib pajak BUT? Apakah mendapat fasilitas perpajakan ini?
Tidak semua perusahaan dikenai, contohnya perusahaan konstruksi, karena
semua pendapatannya adalah final.
UMKM kebanyakan berasal dari OP, sehingga seharusnya mendapat insentif
serupa.
3. Penerapan Pasal 31E ini seharusnya dikenakan pada penghasilan bruto, bukan
penghasilan neto
Hal ini dikarenakan lebih dapat merangsang UMKM untuk lebih berkembang. Tarif
badan untuk umkm masih relatif tinggi, karena ada aspek perpajakan lain yg ditanggung (psl 21
atas pegawai, pasal 23 (atas pinjaman dari pihak lain), pasal 4 ayat 2 (sewa tempat/kendaraan).
17
4. Perusahaan memilih untuk terus menjadi WP yang termasuk mandapat fasilitas
perpajakan.
Turunnya tarif pajak diharapkan menjadi stimulus perekonomian. Namun,
dikhawatirkan dari penerapan tarif tersebut (karena drastis) UMKM tidak mau menjadi
perusahaan besar karena ada pembatasan peredaran bruto untuk tetap mendapat fasilitas.
5. Fasilitas ini justru akan menghasilkan implikasi LB bagi WP
Telah dijelaskan dalam uraian di atas.
KESIMPULAN
Perlu adanya kejelasan prasyarat internal dan eksternal dalam pelaksanaan (implementasi)
fasilitas perpajakan pasal 31E ini.