Upload
dinhque
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) || www.ptsmi.co.id SMI Insight 2017
SMI’s Insight 2017 - Triwulan IV
1
“Dengan target akses sanitasi sebesar 100% di
tahun 2019, diperlukan kerja keras untuk dapat
mencapai target tersebut khususnya bagaimana
mencari alternatif sumber dana selain dana APBN
yang jumlahnya terbatas”
Sanitasi
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan pembangunan infrastruktur yang terus
dilakukan oleh Pemerintah, sektor sanitasi perlu mendapat perhatian serius. Sebab, sebagaimana laporan yang
dirilis oleh WHO dan UNICEF dalam Joint Monitoring Program (JMP) di tahun 2017, peringkat access coverage
sanitasi Indonesia termasuk yang paling rendah di ASEAN dan Asia pada umumnya. Pada tahun 2015, baru sekitar
61% penduduk yang memperoleh akses sanitasi. Peringkat tersebut lebih rendah disbanding Singapura (100%),
Malaysia (96%), Thailand (93%), Vietnam (78%), Tiongkok (77%), dan Filipina (74%) namun masih lebih baik
dibandingkan dengan Kamboja (42%) dan India (40%).
Namun demikian, secara besaran coverage capaian di tahun 2015 sudah mengalami kenaikan sebesar 26% dari
capaian di tahun 1990 dimana hanya 35% penduduk yang memiliki akses sanitasi. Kenaikan tersebut merupakan
realisasi dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah. Namun demikian, capaian saat ini belumlah cukup,
dimana Pemerintah menargetkan akses sanitasi pada tahun 2019 dapat mencapai target 100%. Dengan luasnya
wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, tentu saja diperlukan sebuah kerja keras untuk
dapat mencapai target tersebut, khususnya berbagai sumber pendanaan selain dari APBN yang jumlahnya sangat
terbatas.
Sumber: World Bank, WHO, UNICEF diolah (2017)
Gambar 1. Hanya sekitar 61% penduduk yang dapat mengakses sanitasi di Indonesia, angka tersebut masih
merupakan salah satu yang terendah di ASEAN dan Asia, hanya lebih baik dari Kamboja dan India. Untuk
mengejar ketertinggalan dibanding negara lain, Pemerintah telah mencanangkan target 100% akses sanitasi di
tahun 2019.
99
86 87
36
48
57
35
3
17
100
9693
78 7774
61
4240
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Singapura Malaysia Thailand Vietnam Tiongkok Filipina Indonesia Kamboja India
1990 2015
Sumber: The Guardian
PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) || www.ptsmi.co.id SMI Insight 2017
2
Review Kondisi Sanitasi di Indonesia
Saat ini, secara capaian akses sanitasi Indonesia masih jauh dari target 100% di tahun 2019. Sebagai contoh, un-
tuk akses air limbah di tahun 2015 masih berada di posisi 62,14%, sementara untuk akses persampahan tercatat
sebesar 86,73% dan akses terhadap drainase baru mencapai 58,85%. Kendati masih terdapat gap yang cukup
besar terhadap target, namun masih terjadi peningkatan akses setiap tahunnya.
Menurut kajian WHO (2015) yang dirilis dalam website UNICEF (2017) lebih dari 50 juta orang Indonesia belum
menggunakan toilet sebagai sarana sanitasinya. Angka tersebut tercatat menempati rangking kedua tertinggi di
dunia setelah India. Setidaknya 20% orang Indonesia masih buang air besar (BAB) di tempat terbuka. Hal inilah
yang kemudian menyebabkan kontaminasi pada air minum yang membuat penyakit diare. Setidaknya 88% ke-
matian bayi yang meninggal akibat diare diakibatkan oleh kondisi air dan sanitasi.
Sebuah survey yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan dan UNICEF di
Provinsi Jogja pada tahun 2015 menemukan
hasil yang cukup mengkhawatirkan. 2 dari 3
air minum yang dijadikan sampel mengandung
bakteri e-coli akibat terpapar sanitasi yang bu-
ruk. Air yang telah terkontaminasi menyebab-
kan dampak kesehatan yang buruk bagi anak-
anak. Setidaknya sekitar 9 juta anak Indo-
nesia mengalami stunting. Peluang terjadinya
stunting 1,4 kali lebih besar akibat sanitasi
yang buruk. Oleh karena itu, menurut Patunru
(2015) peningkatan dan perbaikan akses sani-
tasi jauh lebih penting dibandingkan dengan
peningkatan akses air.
Beberapa studi lain seperti yang pernah dil-
akukan oleh World Bank (2006) menyebutkan
bahwa setidaknya Indonesia mengalami
kerugian sebesar Rp 66,6 triliun setiap tahun
atau sekitar 2,3% dari PDB akibat sanitasi yang
buruk. Dampak terbesar dari sanitasi yang bu-
ruk tersebut terlihat dari kerugian bagi
kesehatan, dampak bagi ketersediaan air mi-
num yang aman untuk dikonsumsi, dampak
bagi lingkungan, dampak bagi pariwisata di
daerah sekitar daerah yang tercemar serta
dampak-dampak lain akibat kondisi sanitasi
yang buruk. Oleh karenanya, tidak
mengherankan perbaikan sanitasi harus men-
jadi suatu program prioritas nasional untuk
mengurangi dampak-dampak negatif yang
akan semakin besar.
Sumber: BPS, Riskesdas, 2015 diolah
Gambar 2. Berdasarkan capaian di tahun 2015 di beberapa
lingkup sanitasi seperti air limbah, persampahan, dan drainase
masih terdapat gap terhadap target 100% di tahun 2019.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Air Limbah Persampahan Drainase
62,14%
86,73%
58,85%
Sumber: World Bank, 2006
Gambar 3. Indonesia setiap tahun setidaknya mengalami
kerugian sebesar Rp 66,6 Triliun akibat dampak sanitasi yang
buruk yang mengakibatkan kerugian di sisi kesehatan, penye-
diaan air minum, lingkungan, pariwisata serta dampak lain.
2,78 10,7
29,513,3
0,8 1,510,8
55,9
Kesehatan Air Minum Lingkungan Pariwisata Dampak Lain Total
Rp
Tri
liu
n
Kerugian Finansial Kerugian Ekonomi
PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) || www.ptsmi.co.id SMI Insight 2017
3
Strategi Pembangunan Sektor Sanitasi di Indonesia
Gambar 4. Strategi pemenuhan target akses sanitasi sebesar 100% di tahun 2019 akan ditempuh dengan
beberapa langkah diantaranya melalui pencanangan target 100% pelayanan air limbah, target 100% pelayanan
sampah, dan 100% pelayanan drainase lingkungan.
Sumber: Kementerian PU-PERA, 2017, diolah
Pemerintah melihat sektor sanitasi sebagai salah satu sektor yang sangat penting untuk ditingkatkan,
sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2020-2024 yang
berbunyi: ”Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan,
transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi”. Selain itu, tercantum pula
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang berbunyi: “Meningkatnya
akses penduduk terhadap sanitasi layak (air limbah domestik, sampah, dan drainase lingkungan) menjadi 100 %
pada tingkat kebutuhan dasar melalui penanganan tingkat regional, kabupaten/kota, kawasan dan lingkungan,
baik di perkotaan maupun di pedesaan”.
Untuk dapat memenuhi target dalam RPJMN 2015-2019, Pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi,
di antaranya adalah dengan menerapkan indikator-indikator keberhasilan pada subsektor sanitasi, antara lain
pemenuhan 85% pemenuhan akses layak dan 15% pemenuhan akses dasar. Dari sisi target untuk pemenuhan
akses dasar di daerah pedesaan ditargetkan mencapai 100%. Dengan luasnya wilayah Indonesia, tentu saja hal
tersebut menjadi tantangan tersendiri dan juga memerlukan kerjasama yang baik dengan berbagai pihak antara
lain dengan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, Pemerintah telah mengeluarkan slogan PHBS (Perilaku
Hidup Sehat dan Bersih) untuk mengguggah kesadaran masyarakat tentang pentingnya memiliki perilaku dan
sikap hidup yang sehat antara lain dengan mengurangi perilaku BAB terbuka. Di sisi lain, tantangan juga datang
dari sisi pendanaan, dimana menurut estimasi dalam RPJMN 2015-2019 dibutuhkan anggaran sekitar
Rp 273 Triliun untuk pembangunan sektor sanitasi.
PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) || www.ptsmi.co.id SMI Insight 2017
4
Belanja pemerintah di sektor sanitasi memang relatif minim. Selama periode tahun 1970-1999, total investasi
pemerintah pusat dan daerah untuk sanitasi hanya 200 rupiah per kapita per tahun. Angka ini memang mening-
kat selama 2000-2004 menjadi 2.000 rupiah dan selama 5 tahun terakhir ini investasi sanitasi per kapita terus
ditingkatkan menjadi 5.000 rupiah per tahun. Sayangnya, jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan ideal yaitu
sekitar 47.000 rupiah per kapita per tahun (studi Bappenas, 2008).
Selain peran Pemerintah Pusat, peran Pemerintah Daerah juga menjadi krusial pasca otonomi daerah.
Terbatasnya dana serta tidak diprioritaskannya sanitasi karena tidak popular mengakibatkan terbatasnya alokasi
dana dalam APBD untuk pembangunan dan pelayanan sanitasi di sebagian besar pemerintah Kabupaten/Kota.
Namun demikian sejak tahun 2006 sampai tahun 2010 telah terjadi kenaikan alokasi anggaran sanitasi yang
cukup signifikan. Apabila pada tahun 2006 rata-rata alokasi sanitasi pada APBD Kabupaten/Kota masih dibawah 1
persen dari total belanja APBD, maka pada tahun 2010 rata-rata alokasi belanja sanitasi telah mencapai angka
rata-rata 1,5 persen dari total belanja APBD. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri telah berkomitmen
mendorong alokasi belanja APBD untuk sanitasi mencapai 2%. Namun demikian, baru sekitar 119 Kabupaten dari
365 Kabupaten atau 32,5% yang menerapkannya (Kemendagri, 2017)
Pendanaan merupakan salah satu faktor penting dalam mewujudkan target 100% akses sanitasi di tahun 2019.
Bappenas memperkirakan kebutuhan pendanaan yang diperlukan adalah sebesar Rp 273,7 triliun selama tahun
2015-2019. Dari jumlah tersebut, porsi pemerintah pusat sebesar 35%, Pemerintah daerah sebesar 25%,
Masyarakat sebesar 15%, Swasta sebesar 15%, dan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) sebesar 10%.
Namun demikian, dari target porsi 35%, Pemerintah tampaknya hanya mampu memenuhi sekitar 19% atau
sekitar Rp 35,645 triliun.
Gambar 5. Kebutuhan pendanaan untuk pembangunan sektor sanitasi periode 2015-2019 diperkirakan ber-
jumlah Rp 273,7 triliun. Dari jumlah tersebut, APBN hanya mampu menyediakan dana sebesar Rp35,645 triliun.
Dengan demikian, diperlukan sumber-sumber lain untuk dapat mencapai target kebutuhan pendanaan tersebut.
Kebutuhan Pendanaan Sektor Sanitasi 2015-2019
Sumber: Kementerian PU-PERA, 2017, diolah
PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) || www.ptsmi.co.id SMI Insight 2017
5
Peluang Investasi di Bidang Sanitasi
Dengan besarnya gap kebutuhan pendanaan sektor sanitasi, Pemerintah membuka ruang bagi investasi
swasta untuk dapat berinvestasi di sektor tersebut. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 tahun
2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan
Menteri PPN Nomor 4 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Untuk sektor sanitasi pada khususnya, terdapat 3 subsektor antara
lain sebagai berikut: infrastruktur SPAL (Saluran Pembuangan Air Limbah) Terpusat, infrastruktur SPAL
setempat, dan juga infrastruktur persampahan.
Sumber: Kementerian PU-PERA, 2017
Gambar 6. Peraturan Menteri PPN Nomor 4 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur telah membagi peluang investasi di sektor
sanitasi menjadi 3 subsektor yakni infrastruktur SPAL terpusat, infrastruktur SPAL setempat dan infrastruktur
persampahan.
Namun demikian, saat ini investasi swasta di sektor sanitasi hampir tidak ada. Penyebabnya antara lain
terkait dengan tingkat pengembalian (return) yang tidak menarik bagi investor swasta. Biasanya pengembang
perumahan swasta lebih memilih untuk mem-bundling sanitasi dengan pembangunan propertinya sehingga
lebih menguntungkan. Apalagi saat ini, peran pemerintah daerah juga penting dalam penentuan tarif bagi
saluran pembuangan air limbah (SPAL). Sebagai gambaran, untuk DKI Jakarta sesuai Keputusan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 991 tahun 2012 tentang Penetapan Tarif Jasa Pelayanan Pembuangan Air Limbah dan Biaya
Penyambungan Pipa Air Limbah Perusahaan Daerah PAL Jaya tarif air limbah bervariasi berdasarkan golon-
gan pengguna mulai dari Rp131/m² luas bangunan untuk Rumah Tangga tipe A (daya listrik 450 Watt) hingga
Rp788/m² untuk industri besar. Di kota-kota lain kondisinya jauh lebih rendah, seperti misalnya di Kota Me-
dan, tarif air limbah mulai dari Rp98/m² luas bangunan untuk Rumah Tangga tipe A hingga Rp325/m² untuk
industri besar, hal ini tercantum dalam Keputusan Direksi PDAM Tirtanadi No. 06/KPTS/2017. Dengan kondisi
yang ada saat ini dan semangat untuk mengejar akses sanitasi mencapai 100% di tahun 2019, mengandalkan
investasi swasta semata tampaknya akan sangat sulit dilakukan sehingga diperlukan terobosan lain antara
lain mengombinasikan investasi swasta dengan dana-dana perbantuan dari donor sehingga tarif layanan
tetap dapat dijangkau oleh masyarakat dengan tetap mempertahankan keberlanjutan usaha dari
penyelenggara (investor).
PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) || www.ptsmi.co.id SMI Insight 2017
6
Skema Blended Finance Untuk Pembiayaan Sektor Sanitasi
Gambar 7. Perbedaan skema blended finance dengan skema konvensional terletak dalam susunan investor,
dimana yayasan, donor dan philanthropist dapat ikut berpartisipasi baik sebagai pemegang saham tipe senior,
mezzanine, atau junior. Dengan kombinasi tersebut, skema ini dapat didorong untuk mendanai proyek-proyek
yang tidak memberikan return tinggi namun berdampak besar pada masyarakat seperti sanitasi.
Sumber: Innpact, 2017
Blended finance adalah pembiayaan yang bersumber dari dana filantropi yang dihimpun masyarakat untuk
memobilisasi dana swasta untuk investasi jangka panjang. Konsep blended finance mulai diperkenalkan se-
bagai salah satu solusi untuk menutupi gap pendanaan pembangunan khususnya di negara-negara berkem-
bang pasca konferensi internasional untuk pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan pada bulan Juli
2015. Bahkan World Economic Forum (2016) telah melakukan survey dimana potensi sumber pendanaan
blended finance di dunia mencapai US$25,4 Milyar (~Rp337, 82Triliun) dari sekitar 74 institusi.
Dalam skema blended finance, peran dari Lembaga donor akan sangat dioptimalkan baik dalam bentuk porsi
penyertaan modal maupun porsi pemberian dukungan teknis (technical assistance). Dengan potensi yang
sangat besar tersebut dan cocok dengan karakteristik pembangunan sanitasi, opsi pembangunan infrastruktur
melalui skema blended finance perlu dipertimbangkan. Apalagi sektor sanitasi merupakan salah satu yang
menjadi perhatian para donor untuk pembangunan di negara-negara berkembang seperti di Indonesia.
Skema seperti ini telah dikembangkan dan diaplikasikan oleh beberapa negara khususnya terkait sektor air
minum dan sanitasi seperti di India. (lihat case study)
Dalam satu ilustrasi struktur dalam skema Blended finance sebagaimana tercermin dari gambar 7 di atas,
terlihat bahwa susunan investor nantinya tidak hanya berasal dari investor institusi ataupun Lembaga keu-
angan atau fund manager tetapi dapat pula berasal dari yayasan, Lembaga donor, atau individu philanthropist
yang berkenginan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur. Selain sebagai investor,
yayasan, Lembaga donor, atau individu philanthropist dapat pula berperan dalam memberikan hibah berupa
technical assistance untuk penyiapan proyek atau dalam bentuk lainnya. Karena merupakan dana filantropis,
pengembalian investasi dalam skema blended finance kebanyakan bernilai rendah. Kendati demikian, tetap
ada keuntungan yang harus diraih agar proyek tersebut tetap terus bergulir. Biasanya proyek-proyek yang
menarik para donor dengan skema ini terkait dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) || www.ptsmi.co.id SMI Insight 2017
Studi Kasus: Berhampur Solid Waste Management
Gambar 8. Kombinasi antara pinjaman lunak dengan hibah telah mendorong kelayakan proyek sanitasi di dae-
rah Berhampur, negara bagian Odisha, di India.
Sumber: IFC, World Bank, 2017
7
Sistem pengelolaan limbah padat di Berhampur, sebuah kota di negara bagian Odisha di India, tidak lagi me-
madai untuk memenuhi kebutuhan penduduknya dan tidak sesuai dengan peraturan nasional. Dengan tidak
adanya pengumpulan limbah primer di kota, banyak warga, terutama di daerah berpendapatan rendah,
terkena risiko kesehatan akibat polusi, kontaminasi air, dan limbah padat yang tidak diobati. Departemen Pe-
rumahan dan Pembangunan Perkotaan Pemerintah Odisha dan Berhampur Municipal Corporation, mencari
solusi yang terjangkau untuk memberikan layanan pengelolaan limbah yang lebih baik kepada warganya.
Mereka mencoba mencari terobosan dengan melibatkan investor swasta. Namun demikian, tarif layanan
merupakan sumber pendapatan utama bagi operator. Untuk menutupi biaya operasional, biaya pendanaan,
dan mencakup margin keuntungan, tarif layanan harus sangat tinggi yang berdampak kepada tidak akan ter-
jangkaunya tarif layanan oleh pemerintah Kota.
Sehingga mereka mencari cara agar proyek tetap dapat terjangkau dan juga memastikan kelayakan finansial
dari proyek, mereka mengajukan pinjaman lunak selama konstruksi dan hibah. Dana hibah dan pinjaman
lunak disediakan oleh Odisha Urban Infrastructure Development Fund (OUIDF), trust fund yang dibiayai oleh
KfW Jerman sehingga tarif layanan itu tetap pada tingkat yang terjangkau bagi pemerintah. Pinjaman lunak
ditetapkan sebesar 25 persen dari biaya proyek awal. Dengan kombinasi pinjaman lunak dan hibah, proyek
menjadi layak secara finansial. Meskipun kelayakan finansial proyek telah berjalan, beberapa peserta tender
masih memperhatikan risiko pembayaran dari pemerintah kota. Untuk mengatasi hal ini, IFC (World Bank
Group) selaku penasehat keuangan memperkenalkan mekanisme escrow account dengan cadangan tiga bu-
lan dan pelepasan dana secara otomatis setelah menerima faktur secara bulanan. Kewajiban pembayaran
kotamadya didukung oleh jaminan berupa comfort letter dari Departemen Perumahan dan Pembangunan
Perkotaan Pemerintah Odisha. Konsorsium UPL Environmental Engineers Limited selaku pemenang lelang
mendapatkan konsesi selama 20 tahun.
PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) || www.ptsmi.co.id SMI Insight 2017
Disclaimer
All information presented were taken from multiple sources and considered as true by the time they were
written to the knowledge of PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) can
not be held responsible from any inacuracy contained in the material.
Any complaint can be submitted to:
Corporate Secretary PT SMI
Tel : +62 21 8082 5288
Fax : +62 21 8082 5258
Email : [email protected]
Public complaints on PT SMI service will be kept strictly confidential and handled by a special committee to
ensure that complaints are addressed appropriately.
Bappenas. 2015. Roadmap 2015-2019: Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). http://
www.usdp.or.id/wp-content/uploads/2015/02/PPSP-2015-2019.pdf
Innpact. 2017. Dedicated to Impact Finance. Presentation Materials.
International Finance Corporation (IFC). 2013. Public-Private Partnership Stories: Berhampur Solid Waste Management.
New York: IFC Advisory Services.
Kementerian Kesehatan. 2011. Tuntaskan Strategi, Siapkan Investasi Sektor Sanitasi. http://www.depkes.go.id/
development/site/jkn/index.php?cid=1552&id=tuntaskan-strategi-siapkan-investasi-sektor-sanitasi.html. Diakses: Janu-
ari 2018.
Kementerian Dalam Negeri. 2017. Dua Persen dari APBD harus Dialokasikan untuk Air Minum dan Sanitasi. http://
www.kemendagri.go.id/news/2017/10/18/dua-persen-dari-apbd-harus-dialokasikan-untuk-air-minum-dan-sanitasi. Di-
akses: Januari 2018
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2018. Kebijakan dan Strategi Penyelenggaraan Air Minum dan
Sanitasi. Disampaikan pada acara Seminar Diseminasi Kajian Tematik Efisiensi dan Efektivitas Pembangunan Infrastruktur
Jalan, Jembatan, Perumahan, Sumber Daya Air dan Sanitasi. Hotel Borobudur: Jakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2017. Kebijakan dan Strategi Bidang PPLP. http://
ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/resources/ws_transperancy_framework/r4_05_kemenpupera.pdf.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2012. Pola dan Peluang Investasi Bidang Cipta Karya Sektor Air
Minum dan Sanitasi. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 991 Tahun 2012 tentang Penetapan Tarif Jasa Pela-
yanan Pembuangan Air Limbah dan Biaya Penyambungan Pipa Air Limbah Perusahaan Daerah PAL Jaya.
Moersid, M. 2015. Target Pembangunan Sanitasi Nasional 2015–2019. Disampaikan pada acara Kick-off Meeting Na-
sional Program PPSP 2015.
OUIDF. http://www.ouidf.in/background.php. Diakses: Januari 2018
Patunru, Arianto. 2015. Access to Safe Drinking Water and Sanitation in Indonesia. Asia & the Pacific Policy Studies, vol.
2, no. 2, pp. 234–244
Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur.
UNICEF. https://www.unicef.org/indonesia/wes.html. Diakses: Januari 2018
WHO/UNICEF. 2017. Progress on Drinking Water, Sanitation, and Hygiene: 2017 Update. New York and Geneva: WHO &
UNICEF.
World Bank. 2016. Water and Sanitation Program Report: End of Year Report, Fiscal year 2016.
World Bank. 2015. Water Supply and Sanitation in Indonesia: Turning Finance into Service for the Future.
World Bank. 2013. Indonesia Country Study: East Asia Pacific Region Urban Sanitation Review.
World Bank. 2008. Economic Impact of Sanitation in Indonesia: Water and Sanitation Program Report.
World Economic Forum. 2016. Insights from Blended Finance Investment Vehicles & Facilities.
8
Referensi