38
PARADIGMA INTEGRATIF-INTERKONEKIF Alternatif Metodologi dalam Penelitian Hukum Islam Supriatna Ahmad Pattiroy* ABSTRACT The scientific orientation of syari’ah faculty, for the time being, focused more on normative than empirical perspective. In accordance with the need to the integrative-interconnective research based university, certainly it is not more relevant. Therefore, the crucial problem must be anticipated is an effort to unify both normative and empirical perspective on the level of methodology. Methodology is meant by the methodology applied in the development of the related science. Usually, it consists of methode, theoritical frame, and form of approach. On the level of this methodology, any number of Islamic Law and sociological theory could be integrated and interconnected. For example, implementing theory of maslahah in ushulfiqh and fungsionalism in socilogy to study on the problem of heritage. Keywords: paradigma, integratif-interkonektif, penelitian, dan hukum Islam A. Pendahuluan Paradigma integratif-interkonektif keilmuan UIN telah menjadi ajang diskusi dalam sejumlah seminar dan lokakarya yang diselenggarakan berkali-kali oleh baik tingkat Universitas maupun fakultas 1 . Sebagai trade-mark keilmuan pasca konversi, paradigma integratif- interkonektif dapat dipandang sebagai cultural identity yang membedakan UIN dengan perguruan tinggi lainnya. Dalam pengertian ini, UIN bukan sebagai perguruan tinggi umum yang terlepas *Kedua penulis adalah dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Asy-Syakhsyiah). 1 Di tingkat Universitas, forum seminar yang pernah diadakan adalah Seminar dan Lokakarya “Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan di IAIN” pada tanggal 18-19 September 2002; Diskusi Panel “Integrasi Ilmu dan Agama di Perguruan Tinggi” tanggal 20 Desember 2003; Roundtable Discussion dengan tema “Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga : Dari Pola Dikotomik ke Arah Integratif Interdisiplin”, tanggal 28 Juni 2004; dan Seminar “The Idea (L) of an Indonesian Islamic University: Contemporary Perspective” tanggal 9-11 Desember 2004. Sementara di tingkat Fakultas, antaran lain, Fakultas Syari’ah juga pernah menyelenggarakan seminar sehari “ Mengagas Format Baru Fakultaas Syari’ah dalam Bingkai UIN” tanggal 19 Maret 2005.

9. Supriatna-Pattiroy

  • Upload
    umiarso

  • View
    26

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 9. Supriatna-Pattiroy

PARADIGMA INTEGRATIF-INTERKONEKIF Alternatif Metodologi dalam Penelitian Hukum Islam

Supriatna Ahmad Pattiroy*

ABSTRACT

The scientific orientation of syari’ah faculty, for the time being, focused more on normative than empirical perspective. In accordance with the need to the integrative-interconnective research based university, certainly it is not more relevant. Therefore, the crucial problem must be anticipated is an effort to unify both normative and empirical perspective on the level of methodology. Methodology is meant by the methodology applied in the development of the related science. Usually, it consists of methode, theoritical frame, and form of approach. On the level of this methodology, any number of Islamic Law and sociological theory could be integrated and interconnected. For example, implementing theory of maslahah in ushulfiqh and fungsionalism in socilogy to study on the problem of heritage.

Keywords: paradigma, integratif-interkonektif, penelitian, dan hukum Islam A. Pendahuluan

Paradigma integratif-interkonektif keilmuan UIN telah menjadi ajang diskusi dalam

sejumlah seminar dan lokakarya yang diselenggarakan berkali-kali oleh baik tingkat Universitas

maupun fakultas1. Sebagai trade-mark keilmuan pasca konversi, paradigma integratif-

interkonektif dapat dipandang sebagai cultural identity yang membedakan UIN dengan perguruan

tinggi lainnya. Dalam pengertian ini, UIN bukan sebagai perguruan tinggi umum yang terlepas

*Kedua penulis adalah dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program

Studi Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Asy-Syakhsyiah). 1Di tingkat Universitas, forum seminar yang pernah diadakan adalah Seminar dan

Lokakarya “Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan di IAIN” pada tanggal 18-19 September 2002; Diskusi Panel “Integrasi Ilmu dan Agama di Perguruan Tinggi” tanggal 20 Desember 2003; Roundtable Discussion dengan tema “Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga : Dari Pola Dikotomik ke Arah Integratif Interdisiplin”, tanggal 28 Juni 2004; dan Seminar “The Idea (L) of an Indonesian Islamic University: Contemporary Perspective” tanggal 9-11 Desember 2004. Sementara di tingkat Fakultas, antaran lain, Fakultas Syari’ah juga

pernah menyelenggarakan seminar sehari “ Mengagas Format Baru Fakultaas Syari’ah dalam Bingkai UIN” tanggal 19 Maret 2005.

Page 2: 9. Supriatna-Pattiroy

2

dari ilmu-ilmu keislaman, seperti UGM, UPN dan semacamnya; juga bukan sebagai perguruan

tinggi agama yang tidak mengakomodir ilmu-ilmu umum, seperti IAIN sebelumnya. Demikian

pula, UIN bukan perguruan tinggi yang sekedar menginterkoneksikan atau mengintegrasikan

ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keislaman melalui pembentukan program studi/fakultas agama

dan program/fakultas umum, seperti UII, UAD dan semacamnya. UIN, sebagaimana dapat

dipahami dalam grand design UIN, adalah perguruan tinggi Islam yang mengintegrasikan atau

menginterkoneksikan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum pada tataran keilmuan,

bukan sekedar menghadirkan program studi/fakultas umum atau mata kuliah umum

berdampingan dengan program studi/fakultas agama. Pola pengintegrasian atau

penginterkoneksian semacam ini justeru sebaliknya bersifat dikotomis.

Pada tataran konsep, paradigma keilmuan integratif-interkonektif –sebagaimana dapat

dipahami dari penjelasan Amin Abdullah2- merupakan bangunan keilmuan universal yang tidak

memisahkan antara wilayah agama dan ilmu. Dalam bangunan keilmuan ini, ilmu pengetahuan

agama (Islam) tidak lagi terpisah secara dikotomis dengan ilmu pengetahuan umum sebagaimana

yang terjadi selama ini. Dalam format keilmuan UIN yang baru, orientasi ilmu pengetahuan

yang ingin ditekankan merupakan perpaduan antara ilmu-ilmu qauliyah/hadharah an-nash (ilmu

yang bekaitan dengan teks kegamaan) dengan ilmu-ilmu kauniyah ijtima’iyah/hadharah al-‘ilm (ilmu

kelaman dan kemasyarakatan) dan ilmu hadaharah al-falsafah (ilmu etika kefilsafatan).

Sedangkan batasan implementasinya menyangkut metodologi dan sistem pembelajaran

di UIN, paling tidak ada tiga buku yang bisa disebutkan, yaitu Universitas Islam Negeri Sunan

2Lihat Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan

Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif-interdisiplinery”. Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panel Refleksi 21 Tahun Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 16 Maret 2004. Juga Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Kerangka Dasar

Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 5

Page 3: 9. Supriatna-Pattiroy

3

Kalijaga, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Pokja Akademik

UIN Sunan Kalijaga, 2004); Kompetensi Program Studi: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, (Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005; dan Tim CTSD UIN

Sunan Kalijaga, Sukses di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2005). Namun,

ketiga buku ini –walaupun dipandang cukup representatif- tidak lebih dari sekedar petunjuk

teknis bagaimana menginterkoneksikan dan mengintegrasikan satuan mata kuliah ke dalam

suatu bentuk silabi dan kurikulum. Petunjuk teknis ini pun masih mungkin diperdebatkan,

karena modus interkoneksi yang ditekankan lebih mengarah pada aspek materi pembelajaran,

sementara aspek metodologi sebagai suatu perspektif studi, yang merupakan sifat dasar

terpenting sebuah ilmu, cenderung belum menunjukkan kejelasan.

Sifat dasar dari ilmu pengetahuan adalah kepastian obyeknya, baik obyek formal (obiectum

matriale, formal obyect) maupun obyek material (obiectum materiale,, material obyect) (Young, 1960: 18;

juga Pudjawiyatna, 1967: 29). Obyek formal adalah perangkat metodologi yang digunakan

sebagai perspektif kajian; sedangkan obyek material adalah persoalan dari sasaran obyek kajian.

Sehubungan dengan sifat dasar ilmu pengetahuan ini, permasalahan epistemologis yang patut

dicermati dalam kerangka paradigma interkoneksitas keilmuan UIN di atas adalah pada aspek

apa dari kedua ilmu pengetahuan (Agama dan umum) dapat dinterkoneksikan dan

diintegrasikan?, aspek metodologi sebagai perspektif studi (obyek formal) atau aspek materi

sebagai obyek studi (obyek material)? Pertanyaan ini patut menjadi catatan dalam kerangka

penekanan batasan paradigma interkoneksitas yang terkait dengan implementasi

metodologisnya.

Barangkali pemaknaan yang lebih tepat bagi integrasi-interkoneksi keilmuan di atas

adalah perpaduan antara ilmu keislaman dengan ilmu umum pada aspek metodologi, yakni

Page 4: 9. Supriatna-Pattiroy

4

obyek formanya. Sebab, jika interkoneksi atau integrasi dimaksudkan pada aspek materinya,

dalam pengertian bahwa materi keislaman dilihat sebagai fenomena umum yang dapat dikaji

sebagaimana perspektif ilmu-ilmu umum memperlakukan obyek kajiannya, maka yang tampak

kemudian adalah bangunan ilmu-ilmu umum yang mengkaji masalah keislaman tetapi diklaim

sebagai ilmu pengetahuan Islam. Kasus ekonomi Islam, sosiologi Islam dan sebagainya,

misalnya, terlampau dini untuk menyebutnya sebagai ilmu pengetahuan Islam kalau ukurannya

sebatas materi yang hanya karena menguraikan hal-hal menyangkut kehidupan dan perilaku

sosial-ekonomi masyarakat Islam, tapi alat analisisnya tetap menggunakan sudut pandang

sosiologi atau ilmu ekonomi. Kedua ilmu ini, lebih tepat untuk disebut sebagai sosiologi atau

ilmu ekonomi saja, tidak perlu dengan “embel-embel” Islam. Pola integrasi-interkoneksi

semacam ini menempatkan perspektif ilmu-ilmu keislaman sebagai subordinat dari perspektif

ilmu-ilmu umum. Dengan kata lain, Islam sekedar hanya sebagai objek bukan sebagai ilmu.

Dalam pengertian ini, ilmu-ilmu keislaman yang mengandung nilai normatif-formalistik-

doktrinal dapat disenyawakan dengan ilmu umum yang berkecenderungan sosiologis-historis-

empiris untuk menghasilkan suatu bangunan keilmuan baru. Melalui gabungan kedua perspektif

ilmu ini, baik ilmu Islam maupun ilmu umum tidak saling mensubordinasi tetapi berada dalam

suatu kesatuan atau kesejajaran yang seimbang.

Sehubungan dengan implementasi metodologi berbasis paradigma integrasi-interkoneksi

ini, salah satu permasalahan yang patut dicermati dalam tulisan ini adalah bagaimana mendisain

suatu model perspektif yang applicable untuk dijadikan sebagai alternatif pedoman dalam

penelitian hukum Islam? Permasalahan ini diajukan, oleh karena riset atau kajian hukum Islam,

yang paling tidak dapat dicermati dari pedoman skripsi mahasiswa, hingga saat ini belum

mengalami perubahan dan penyesuaian menurut format metodologi paradigma integratif-

Page 5: 9. Supriatna-Pattiroy

5

intekonektif. Secara garis besar, format metodologi yang terdapat dalam pedoman skripsi

mahasiswa ini masih kental menggunakan perspektif ilmu-ilmu keislaman (Syari’ah), sedangkan

perspektif ilmu-ilmu umum, semacam sosiologi dan humaniora, hampir tidak tersentuh sama

sekali. Kenyataan ini, tentu saja, merupakan hambatan serius bagi perwujudan paradigma

keilmuan UIN tersebut. Atas dasar pemikiran di atas, tulisan ini merupakan upaya eksploratif

untuk meredisain sebuah model metodologi penelitian hukum Islam dalam bingkai paradigma

integratif-interkonektif, yang dapat dijadikan sebagai alternatif pedoman skripsi, khususnya,

mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Gagasan tentang integrasi dan interkoneksi ilmu pengetahuan agama dan ilmu

pengetahuan umum bukan merupakan fenomena baru dalam khazanah epistemologi keilmuan

Islam. Pada asasnya, Islam memang tidak mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum.

Pada era golden age (masa keemasan) Islam periode Abbasyiah, kedua ilmu pengetahuan ini tetap

terintegrasi hingga kemudian dibuyarkan oleh redupnya dinamika peradaban Islam menyusul

terjadinya spesialisasi ilmu pengetahuan modern yang bersembunyi di balik politik kolonialisasi

dan imperialisasi dunia Islam (Lihat Nasr, 1987: 20-21; juga Rahman, 1982: 68-70). Pada era

modern Islam pasca kolonial hingga sekarang, gagasan ilmu pengetahuan yang integratif

bergaung kembali dalam berbagai konsep, semisal islamisasi ilmu pengetahuan (science)

(Mulyanto, 1991: 19; juga Priyono, dkk., 1985), saintifikasi al-Qur’an, obyektifikasi ajaran Islam

(Koentowijoyo, 1984: 338), dan sebagainya. Keseluruhan konsep ini, grand theme sebenarnya

menghendaki atau mengidealkan ilmu pengetahuan Islam tidak sekedar menjadi media dakwah,

tapi dikembalikan kepada keotentikannya sebagai sistem ilmu pengetahuan yang memiliki fungsi

transfomatif dan responsif terhadap isu-isu modern sejalan dengan tuntutan kebutuhan aktual

Page 6: 9. Supriatna-Pattiroy

6

masyarakat (Meuleman, 2000: 43).3 Realitas historis-sosiologis ini pula yang mengilhami

tuntutan pelaksanaan konversi IAIN menjadi UIN dengan orientasi keilmuan yang terpadu

antara ilmu agama dengan ilmu umum.

Perpaduan itu berlangsung, baik pada tataran obyek formal maupun obyek material.

Pada tataran obyek formal, unsur perpaduannya terkait dengan perihal metodologi (perspektif,

landasan teori dan metode); sementara pada tataran obyek material, unsur perpaduannya

menyangkut obyek kajian (materi atau sasaran pembahasan). Integrasi antara kedua obyek ini

dalam ilmu pengetahuan harus dilakukan secara seimbang. Apabila aspek material lebih

dominan, ada kemungkinan permasalahan keislaman hanya akan menjadi obyek yang dikaji

dengan ilmu umum, sebagaimana terjadi di perguruan tinggi umum; sebaliknya jika aspek formal

lebih dominan, kemungkinan yang terjadi adalah pembahasan fenomena sosial-budaya dari

perspektif ilmu-ilmu keislaman sebagaimana terjadi dalam perguruan tinggi agama (IAIN pra

konversi).

Atas dasar kerangka berpikir tersebut, tulisan ini merupakan upaya untuk melihat

integrasi atau interkoneksi ilmu Syari’ah (Hukum Islam) dengan ilmu umum, khususnya rumpun

ilmu sosial (Ilmu Hukum, Sosiologi, Antropologi dan sebagainya) pada tataran obyek formal,

3Sebagaimana Meuleman, Atho Mudzhar menyoroti tentang orientasi keilmuan IAIN/UIN yang

berada di antara dua kebutuhan paradoksal, yaitu tuntutan pengembangan ilmu pengetahuan Islam dan kepentingan dakwah. Dalam prakteknya, menurutnya, kebutuhan terhadap kepentingan dakwah justeru lebih mengemuka. Konsekuensinya, para akademisi/dosen yang lahir dari format keilmuan semacam itu tampak lebih menampilkan sosok seorang da’i ketimbang seorang ilmuwan. Fenomena ini dapat dilihat dari metode dan kerangka epistemologi yang diterapkan oleh sebagian besar akademisi/dosen IAIN/UIN dalam menyampaikan materi kuliah atau menyusun karya ilmiah. Paradoks antara dua kepentingan ini harus ditempatkan pada posisi yang proporsional dalam pengembangan IAIN/UIN ke depan sebagai lembaga ilmu pengetahuan Islam. Tapi di sisi lain, lanjut Mudzhar, dengan perkembangan keilmuan yang tampak semakin saintifik saat ini, harapan IAIN/UIN akan berkiprah sebagai lembaga pendidikan tinggi ketimbang lembaga dakwah akan menjadi kenyataan. Lihat Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam DEPAG RI, 2000) hlm.71

Page 7: 9. Supriatna-Pattiroy

7

yaitu pada aspek metodologi. Penekanan pada aspek metodologi ini dilakukan untuk membatasi

keruwetan definisi konsep integrasi-interkoneksi ilmu itu sendiri, berikut pola penerapannya

yang hingga saat ini perdebatannya masih alot4. Tanpa harus melibatkan diri dalam perdebatan

itu, barangkali model integrasi-interkoneksi yang diacu dalam tulsan ini adalah integrasi-

interkoneksi antara ilmu agama dan umum pada aspek metodologi sebagaimana digambarkan

sebelumnya. Integrasi-interkoneksi itu dimaknai sebagai suatu bentuk pemaduan yang tidak

harus berarti penyatuan atau bahkan pencampuradukan (Lihat Baqir, 2005 : 19).

B. Penelitian Berbasis Paradigma Integratif-Interkonektif

1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian (research) adalah cara yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk memperoleh

penjelasan mengenai suatu masalah dengan menggunakan metode atau teori ilmiah. Dengan

kata lain, penelitian ilmiah adalah suatu kegiatan sistematik dan obyektif untuk mengkaji suatu

masalah dalam upaya menemukan pemahaman tentang prinsip-prinsip mendasar dan berlaku

umum bagi masalah tersebut (Suparlan, 1997). Penelitian tidak sistematik dan bersifat subyektif

(sarat dengan muatan emosi dan perasaan peneliti sebagaimana dilakukan kalangan awam) tidak

dapat dikatakan penelitian ilmiah meskipun menggunakan metode tertentu.

Upaya mengkaji suatu masalah secara umum dikenal dua model paradigma berpikir,

yaitu positivisme dan fenomenologi. Positivisme, pada dasarnya, cenderung menganggap suatu

masalah yang diamati, dalam hal ini, fenomena sosial hanya bisa dijelaskn dari sisi fakta semata.

Fenomena sosial tersebut mempengaruhi tingkah laku manusia. Bertolak dari suatu asumsi,

4Barbour (2000) memetakan empat tipologi hubungan ilmu (science) dan agama, yaitu

konflik, interdependensi, dialog, dan integrasi. Lihat Baqir, ed., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi ( Jakarta : Mizan Pustaka, 2004).

Page 8: 9. Supriatna-Pattiroy

8

aliran positivis menyusun hipotesis tentang gejala sosial tertentu lalu mengujinya dengan

mencari fakta. Melalui survei fakta-fakta yang ada, biasanya direduksi dalam sistem nilai atau

angka-angka dengan bantuan analisis statistik. Fakta-fakta yang diperoleh dihubungkan dengan

gejala sosial yang diasumsikan kecenderungannya. Adapun fenomenologi cenderung

memandang suatu masalah, dalam hal ini, tingkah laku manusia (apa yang dipikirkan, diucapkan

dan diperbuat) sebagai produk bagaimana seseorang mengartikan dan menginterpretasikan

dunianya. Cara pandang ini merupakan upaya untuk memahami tingkah laku manusia dari sisi

orang yang melakukannya. Fenomenologi mempelajari tingkah laku manusia dengan melihat

dunia yang dialami subyek sebagai fenomena. Aliran ini berusaha mendalami bagaimana dan

mengapa seseorang atau sekelompok orang pada setting tertentu berperilaku tertentu melaui

pendekatan holistik. Informasi dikumpulkan selengkap mungkin dalam bentuk deskriptif-

kualitatif.

Singkatnya, perbedaan mendasar dari kedua aliran ini bertumpu pada pertanyaan apakah

persoalan yang diamati itu, dalam pengertian tingkah laku manusia, dianggap obyek atau subyek.

Kalangan positivis menegaskannya sebagai obyek oleh karena faktual, sementara kalangan

fenomenologi menjawabnya sebagai subyek karena manusia adalah subyek berpikir, berperasaan

dan berperilaku yang berbeda dengan benda mati. Bantahan keras yang pernah dilakukan oleh

pendukung fenomenologi menyatakan bahwa teori sosial yang ditarik dari metode positivis tidak

merefleksikan kerja ilmiah sebenarnya, terlebih karena tidak menjaring pengetahuan sebenarnya

tentang hakekat aktivitas manusia. Meskipun kritik keras itu dilontarkan, metode ilmiah positivis

hingga kini masih tetap berperan dengan catatan munculnya kesangsian dari sejumlah ilmuan

belakangan ini. Konflik internal kedua aliran ini dapat dicermati lebih spesifik terhadap konflik

wacana modernisme dan posmodernisme.

Page 9: 9. Supriatna-Pattiroy

9

Atas dasar perbedaan cara pandang terhadap sasaran pengamatan di atas, melahirkan

dua tipologi pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Pendekatan kuantitatif direpresentasikan oleh cara pandang positivis sementara pendekatan

kualitatif direpresentasikan oleh aliran fenomenologis. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif

atau yang lazim disebut dengan penelitian survei mengandalkan penggalian data atau informasi

dari responden di lapangan melalui instrumen yang disebut kuesioner secara sampling

(Singarimbun dan Sofyan Efendi (ed.), 1985, Dove. Michel R., 1982). Responden diminta untuk

memberi respon terhadap stimulus yang diajukan peneliti dalam kuesioner. Data-data yang telah

dikumpulkan, diubah dalam bentuk angka-angka melalui analisis statistik untuk kemudian ditarik

generalisasi empiris. Keunggulan penelitian survei telah dibuktikan oleh para peneliti yang

menggunakan pendekatan tersebut. Survei diminati karena relatif lebih mudah dikerjakan dan

tidak memakan waktu lama. Untuk penelitian tim, proses penelitian dapat didistribusikan

dengan tegas kepada masing-masing anggota. Olehkarena informasi diperoleh dari responden,

peneliti tidak perlu meluangkan waktu yang banyak hidup bersama masyarakat di lokasi

penelitian. Biasanya survei digunakan untuk studi makro yang relevan untuk kepentingan praktis

dan sasaran luas seperti kebijakan-kebijakan pembangunan semacam jajak pendapat mengenai

keikutsertaan dalam program Keluarga Berencana (KB).

Di tengah maraknya penelitian survei yang mengandalkan data kuantitatif, muncul

keraguan dari beberapa kalangan terhadap kemampuannya menganalisis setiap gejala sosial-

budaya dalam masyarakat. Para kritikus melihat bahwa survei hanya tepat digunakan untuk studi

tentang tingkah laku yang observable, sementara gejala yang hidup di alam pikiran manusia yang

tidak dapat diamati jauh lebih kompleks. Contoh klasik adalah kelemahan penelitian Durkheim

tentang hubungan antara gejala bunuh diri dengan integritas sosial. Durkheim melihat bahwa

Page 10: 9. Supriatna-Pattiroy

10

orang Protestan mempunyai tingkat bunuh diri yang lebih tinggi dibanding dengan orang

Katolik karena tingkat integritas sosial kalangan Protestan yang rendah. Namun Durkheim tidak

menyadari bahwa di kalangan orang Katolik terdapat norma (entitas yang tidak dapat diamati)

atau etika untuk tidak memberitahu kepada khalayak bahwa seorang kerabat telah meninggal

karena bunuh diri. Sikap normatif tersebut memang menjelaskan angka bunuh diri di kalangan

orang Katolik lebih rendah. Survei Durkheim ini telah memaksakan konsep untuk memahami

gejala bunuh diri.

Selain kelemahan di atas, survei ternyata tidak banyak menghasilkan teori tetapi lebih

banyak dilakukan untuk mengevaluasi implikasi teori terhadap penelitian sebelumnya dalam

menerangkan gejala sosial. Tampaknya hanya tepat untuk penelitian eksplanasi yang bertujuan

menjelaskan, bukan eksploratif yang bertujuan menjajagi, padahal ilmu pengetahuan dapat

berkembang melalui penelitian penjajagan dan kemudian diadakan penelitian penjelasan.

Penelitian terhadap gejala obyek yang masih baru lebih tepat dilakukan melalui penelitian

eksploratif dan tentunya menggunakan pendekatan kualitatif (Hudayana, 1998).

Idealnya, kelemahan metode kuantitatif dilengkapi oleh metode kualitatif. Penelitian

dengan pendekatan kualitatif menekankan perolehan data/informasi dari informan di lapangan

melalui wawancara dan pengamatan langsung tanpa kuesioner sebagaimana dilakukan dalam

pendekatam kuantitatif. Data yang diperoleh tidak diolah dengan statistik, grafik atau tabel tetapi

dideskripsikan secara kualitatif untuk menemukan makna di balik peristiwa. Data atau informasi

tersebut, berisi rincian hal-hal tentang pandangan hidup dan kehidupan masyarakat secara

umum yang diperoleh dari subyek penelitian itu sendiri. Hal ini membedakannya dengan

metode kuantitatif di mana informasi data diperoleh atas dasar pertanyaan yang telah disusun

oleh peneliti. Responden tidak diberi kebebasan mengekpresikan pengalamannya kecuali hanya

Page 11: 9. Supriatna-Pattiroy

11

terbatas pada plot wawancara yang tertuang dalam kuesioner. Keseluruhan informasi kualitatif

di atas, dijaring dan dianalisis agar peneliti memperoleh verstehen (pengertian sebenarnya) tentang

masalah yang diteliti.

Pemilihan metode pendekatan dalam penelitian sosial, kualitatif atau kuantitatif, tidak

ditentukan oleh persoalan like and dislike, unggul atau tidak unggul, reliable atau unreliable, tapi

lebih ditentukan oleh kebutuhan. Pilihan, sebenarnya, tidak ditentukan oleh si peneliti melainkan

oleh permasalahn penelitian. Dalam konteks kebutuhan tertentu, metode kualitatif bisa memiliki

validitas lebih rendah dibanding dengan metode kuantitatif; dan sebaliknya dalam konteks

kebutuhan lain, metode kuantitatif justeru lebih unggul dibanding dengan metode kualitatif. Jika

penelitian dimaksud untuk memahami persoalan wawasan keagamaan, orientasi politik, world-

view, termasuk tradisi, norma, hukum, nilai dan sebagainya, barangkali tidak tepat menempatkan

pilihan pada pendekatan kuantitatif; tetapi jika persoalan menyangkut persepsi tentang KB,

respon terhadap efektivitas menabung di BMT, prestasi belajar anak didik dan sebagainya,

mungkin lebih tepat menjatuhkan pilihan pada kemampuan mengukur metode kuantitatif.

Pendekatan kuantitatif atau kualitatif masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan yang

tidak seharusnya dipertentangkan, tetapi justeru dipadukan.

Selain model paradigma dan tipologi di atas, penelitian juga dibedakan menurut orientasi

pemikiran yang ditekankan. Orientasi penelitian ilmiah seringkali dikontraskan antara penelitian

normatif-deduktif dengan empiris-induktif. Penelitian berorientasi normatif-deduktif adalah

penelitian yang menekankan pada kecenderungan untuk melihat sebuah obyek penelitian dalam

tataran kesimpulan yang bersifat dassein, yaitu “bagaimana seharusnya”. Sebaliknya, penelitian

yang berorientasi empiris-induktif adalah penelitian yang menekankan pada kecenderungan

untuk melihat fenomena dalam kesimpulan yang bersifat dassollen, yaitu “apa adanya”. Orientasi

Page 12: 9. Supriatna-Pattiroy

12

penelitian pertama, umumnya dilakukan dalam suatu penelitian yang berkecenderungan

doktrinal, sementara yang kedua lazim dilakukan dalam suatu penelitian berkecenderungan

sosiologis-antropologis. Dari kedua orientasi penelitian ini, kemudian melahirkan dua jenis

penelitian, yaitu penelitian murni atau dasar (theoritical resarch) dan penelitian terapan (applaid

research). Penelitian murni atau dasar diselenggarakan dalam rangka menemukan, memperluas,

atau mengembangkan teori-tori atau prinsip-prinsip dasar dan umum dalam suatu bidang ilmu.

Teori-teori atau prinsip-prinsip dasar dan umum yang telah ditemukan itu, selanjutnya dapat

menjadi bahan baku dalam penelitian terapan. Adapun penelitian terapan diselenggarakan dalam

rangka pemecahan masalah aktual (nyata) dalam kehidupan berdasarkan teori atau prinsip dasar

yang terdapat dalam suatu bidang ilmu (Haidar, 2001).

Dalam penelitian hukum, kecenderungan teoritis dan normatif dapat disebut sebagai

jenis penelitian yang melihat hukum dalam konteks law-in-books, yaitu suatu penelitian yang

melihat hukum sebagai fenomena normatif dalam rangka pencarian atau penemuan asas dan

doktrin hukum; sementara kecenderungan terapan yang bersifat sosiologis dapat dipahami

sebagai model penelitian yang melihat hukum dalam kerangka law-in-action, yaitu suatu penelitian

yang melihat hukum sebagai fenomena sosial. Studi hukum dalam tataran normatif disebut

sebagai penelitian hukum normatif, sementara dalam tataran sosial disebut sebagai penelitian

hukum sosiologis dalam rangka pemahaman dan pemecahan berbagai masalah hukum dan

norma dalam kaitannya dengan faktor sosial yang mempengaruhi (Soemitro, 1983). Kedua jenis

penelitian, yaitu penelitian murni atau dasar (theoritical research) yang berorientasi normatif dan

penelitian terapan (applaid research) yang berorientasi empiris, seyogyanya tidak terpisah dan

dipertentangkan, tapi berada dalam suatu bangunan metodologi yang integratif dan

interkonektif.

Page 13: 9. Supriatna-Pattiroy

13

Dari ketiga pembedaan di atas, persoalan terpenting dari sebuah penelitian adalah

penggunaan teori atau paradigma, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam menganalisis

suatu masalah. Baik penelitian kuantitatif maupun kualitatif, berorientasi normatif atau

sosiologis, kredibilitasnya sangat ditunjang oleh ketepatan teori atau perspektif teoritis yang

digunakan. Teori atau perspektif teoritis menentukan arah analisis yang ingin ditekankan. Dalam

khazanah penelitian sosial dikenal berbagai macam paradigma, seperti fungsionalisme,

strukturalisme, strukturalisme-fungsional, interaksionisme simbolik, fenomenologi, hermenetik,

posmodernisme, dan sebagainya. Pilihan terhadap berbagai paradigma atau perspektif teoritis ini

menjelaskan sifat penelitian yang ingin dikedepankan. Sifat penelitian itu bisa berbentuk

deskriptif, eksplanatif, evaluatif, prediktif, atau berupa eksploratif (Lihat Singarimbun dan

Effendi, ed., 1989).

Bertolak dari uraian di atas, ada empat hal penting yang patut dicermati dalam

memahami sebuah bagunan metodologi yang integratif dan interkonektif. Keempat hal tersebut

adalah klasifikasi dikotomis yang selama ini diintrodusir dalam penelitian ilmiah menyangkut

orientasi, paradigma, tipologi penelitian dan jenis penelitian. Orientasi penelitian ilmiah,

sebagaimana digambarkan, seringkali didikotomikan antara penelitian normatif-deduktif dengan

empiris-induktif, kontras antara paradigma penelitian positivistik dengan fenomenologi,

pembedaan antara tipologi penelitian kuantitatif dan kualitatif, serta pemilahan antara penelitian

dasar dan terapan. Pendikotomian keempat hal dalam penelitian ini telah menjadi ketentuan

baku sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Barat dewasa ini, yang

sebenarnya tidak dikenal dalam struktur keilmuan Islam (Lihat Nasr, 1987). Upaya membangun

sebuah kerangka metodologi yang integratif-interkonektif, sebagaimana diidealkan dalam model

Page 14: 9. Supriatna-Pattiroy

14

keilmuan UIN Sunan Kalijga, pendikotomian keempat aspek di atas seharusnya diakhiri untuk

tidak mengunggulkan antara satu dengan lainnya.

Page 15: 9. Supriatna-Pattiroy

15

2. Pola Penelitian Integratif-Interkonektif

Dalam sejumlah terbitan yang dikeluarkan oleh pihak manajemen pengembangan UIN,

paradigma integratif-interkonektif merupakan sebuah gagasan konseptual yang

mengidealisasikan hubungan terpadu antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum.

Paradigma ini lahir dari sebuah keprihatinan terhadap kesenjangan keilmuan IAIN/UIN selama

ini yang bersifat dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum. Kedua wilayah ilmu pengetahuan

itu tidak saling berkait dan “saling menyapa” satu sama lain; bahkan ilmu umum cenderung

dipandang “barang asing” yang tidak memiliki relevansi dengan disiplin ilmu keagamaan di

IAIN/UIN. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, gagasan tentang integrasi dan interkoneksi

antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum bukan merupakan fenomena baru

dalam khazanah epistemologi keilmuan Islam. Karena, Pada dasarnya, Islam memang tidak

mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum.

Jika ditelususri lebih jauh, gagasan tentang integrasi-interkoneksi antara ilmu agama

dengan ilmu umum ini sebenarnya tidak lepas dari rangkaian panjang pergulatan aktualiasasi diri

umat Islam terhadap proses modernisasi dunia yang tengah berlangsung dalam skala global.

Islam dan tantangan modernitas merupakan tema paling menonjol dalam agenda pembaharuan

pemikiran Islam yang didengungkan oleh para mujaddid Islam sepanjang sejarah. Kekuatan tema

ini terutama berkaitan erat dengan realitas kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dalam

berbagai aspek kehidupan vis a vis kemajuan dunia Barat. Salah satu fokus garapan para

pembaharu dalam proses modernisasi Islam adalah bidang pendidikan. Dalam segala aspek,

bidang pendidikan ini dipandang sebagai sektor paling terbelakang yang menghambat laju

percepatan modernisasi di dunia Islam, akibat pola pikir umat yang terkondisikan oleh anggapan

bahwa antara agama yang bersumber dari wahyu dan sains yang bersumber dari hasil pikiran

Page 16: 9. Supriatna-Pattiroy

16

manusia merupakan dua entitas berbeda yang tidak berkaitan satu sama lain. Akibat pemahaman

terbelah ini, karakter pendidikan Islam yang semula tidak memisahkan antara kebutuhan

terhadap agama dan ilmu, iman dan amal, serta dunia dan akhirat lalu kemudian mengalami

kejumudan yang berdampak pada penjajahan dunia Islam atas supremasi Barat. Dalam

keyakinan para pembaharu sepanjang abad, reformasi dunia Islam harus dimulai dari ranah

pendidikan ini, baik sistem dan orientasi metodologi maupun format kelembagaan. Realitas

historis-sosiologis ini pulalah yang mengilhami tuntutan pelaksanaan konversi IAIN menjadi

UIN dengan orientasi keilmuan yang integratif-interkonektif antara ilmu agama dengan ilmu

umum.

Pada prinsipnya, sifat dasar dari ilmu pengetahuan adalah kepastian obyeknya, baik

obyek formal (obiectum matriale, formal obyect) maupun obyek material (obiectum materiale,, material

obyect) (Young, 1960: 18; juga Pujawiyatna, 1967: 29). Obyek formal adalah perangkat

metodologi yang digunakan sebagai perspektif kajian; sedangkan obyek material adalah

persoalan dari sasaran obyek kajian. Sehubungan dengan sifat dasar ilmu pengetahuan ini,

permasalahan epistemologis yang patut dicermati dalam kerangka paradigma integratif-

interkonektif keilmuan UIN di atas adalah perpaduan antara ilmu keislaman dengan ilmu umum

pada aspek metodologi, yakni obyek formanya. Sebab, jika integrasi-interkoneksi dimaksudkan

pada aspek materinya, dalam pengertian bahwa materi keislaman dilihat sebagai fenomena

umum yang dapat dikaji sebagaimana perspektif ilmu-ilmu umum memperlakukan obyek

kajiannya, maka yang tampak kemudian adalah bangunan ilmu-ilmu umum yang mengkaji

masalah keislaman tetapi diklaim sebagai ilmu pengetahuan Islam.

Pemahaman integrasi-interkoneksi ilmu agama dan ilmu umum pada tataran obyek

forma di atas, ilmu-ilmu keislaman yang mengandung nilai normatif-formalistik-doktrinal dapat

Page 17: 9. Supriatna-Pattiroy

17

disenyawakan dengan ilmu umum yang berkecenderungan sosiologis-historis-empiris untuk

menghasilkan suatu bangunan keilmuan baru. Melalui gabungan kedua perspektif ilmu ini, baik

ilmu Islam maupun ilmu umum, tidak saling mensubordinasi tetapi berada dalam suatu

kesatuan yang seimbang. Dari sinilah kemudian dapat dipahami menyangkut paradigma

integratif-interkonektif sebagaimana akan dipaparkan dalam tulisan ini. Dengan demikian,

paradigma integratif-interkonektif yang dimaksud adalah sebuah hubungan keilmuan yang

terpadu antara ilmu agama dan ilmu umum pada tataran obyek formal di mana antara kedua

ilmu yang substansinya berbeda ditempatkan pada posisi tidak saling mensubordinasi.

Sejalan dengan pemahaman terhadap paradigma integratif-interkonektif, sebagaimana

disebutkan sebelumnya, metodologi penelitian yang patut didesain oleh fakultas Syari’ah dengan

disiplin ilmu hukum Islam yang dimiliki adalah rumusan metodologi penelitian yang terpadu

antara ilmu syari’ah dan ilmu umum (sains, ilmu sosial, dan humaniora) pada level obyek formal.

Pada level ini, kedua ilmu yang substansinya berbeda ini dapat diintegrasikan atau

diinterkoneksikan dalam suatu kerangka metodologi yang komprehensif. Pada level obyek

material, gabungan kedua ilmu ini melalui metodologi integratif-interkonektif yang dimiliki bisa

saja memilih obyek bahasannya secara bebas tanpa memunculkan saling klaim.

Pada level obyek material, selama ini fakultas Syari’ah yang menspesialisasikan studinya

pada Ilmu Hukum Islam telah memperlakukan obyek kajiannya secara tepat terhadap berbagai

fenomena kehidupan nyata yang tidak hanya terbatas dalam masalah keagamaan, tetapi juga

masalah sosial lainya yang menjadi obyek bahasan ilmu lain, seperti transplantasi organ tubuh,

bayi tabung, dan sebagainya yang menjadi obyek bahasan ilmu kedokteran; demikian pula

masalah perbankan dan sistem moneter yang menjadi obyek kajian ilmu ekonomi. Namun pada

level obyek formal, sehubungan dengan tuntutan transformasi keilmuan UIN yang berbasis

Page 18: 9. Supriatna-Pattiroy

18

paradigma integratif-interkonektif, kajian fakultas Syari’ah tersebut masih bertumpu pada

perspektif metodologi Ilmu Hukum Islam ansich yang belum diintegrasikan dengan perspektif

teori ilmu-ilmu umum lainya, sehingga karenanya bersifat dikotomis. Pola kajian fakultas

Syari’ah semacam ini hanya dimungkinkan ketika orientasi keilmuan dan sistem pembelajaran

masih mengikuti format kelembagaan IAIN sebelumnya. Tetapi dengan konversi IAIN ke UIN

saat ini, pola kajian fakultas Syari’ah yang hanya berlandaskan atas perspektif metodologi Ilmu

Hukum Islam tanpa melibatkan perspektif teori ilmu-ilmu umum lainya menjadi tidak relevan.

Pola dikotomis, khususnya pada aspek orientasi, paradigma, dan tipologi penelitian,

tampak masih sangat kental. Pada aspek orientasi, misalnya, kecenderungan normatif-deduktif

tampak lebih mendominasi keseluruhan studi ketimbang analisis yang bersifat empiris-induktif.

Alasan yang seringkali dikemukakan bahwa hukum Islam adalah ilmu normatif yang steril dari

berbagai persoalan empiris-sosiologis. Padahal eksistensi hukum Islam juga tidak terlepas dari

ruang waktu di mana dan kapan produk hukumnya dilahirkan (Tagayyur al-Ahkam bi Tagayyur al-

Azminah wa al-Amkinah).

Pola dikotomis di atas terjadi karena selama ini kecenderungan keilmuan fakultas

Syari’ah menganut sistem klasifikasi metode penelitian hukum berkecenderungan teoritis dan

berkecenderungan terapan, sebagaimana diakomodir dalam metode penelitian hukum positif.

Metode penelitian hukum berkecenderungan teoritis dapat disebut sebagai jenis penelitian yang

melihat hukum dalam konteks law-in-books, yaitu suatu gejala normatif berupa kumpulan norma

yang mengatur hubungan antara individu dalam masyarakat. Sementara studi hukum yang

berkecenderungan terapan atau aplikatif dapat dipahami sebagai model penelitian yang melihat

hukum dalam kerangka law-in-action, yaitu suatu fenomena sosial berupa interaksi antara norma-

norma dalam masyarakat dengan faktor sosial yang mempengaruhi (Soemitro, 1983: 14).

Page 19: 9. Supriatna-Pattiroy

19

Dengan kata lain, studi hukum sebagai law-in-books disebut penelitian hukum normatif,

sementara sebagai law-in-action disebut penelitian hukum sosiologis (Marzuki, 2005: 24).

Sejatinya, kedua kecenderungan metode penelitian ini tidak dipisahkan atau dikonfrontasikan

meskipun memang bisa dibedakan. Kedua kecenderungan metode penelitian ini dapat

dipadukan dalam suatu analisis masalah hukum. Perbedaannya hanya tergantung pada

penekanan paradigma yang ingin dikedepankan, sehingga tidak tepat untuk dikatakan penelitian

ini bersifat teoritis atau terapan. Sedapat mungkin, keduanya harus saling melengkapi dalam

membangun suatu metode yang integrated. Tidak ada aturan, kaidah atau rumusan hukum tanpa

materi atau bahan sosial-budaya yang membentuknya.

Pada prinsipnya, kedua kecenderungan tipologi penelitian hukum ini memang cara

kerjanya berbeda5. Namun jika tidak diupayakan penyatuannya maka selama itu pula penelitian

hukum teoritis tetap saja bersifat normatif yang terlepas dari konteks sosial-empiris. Demikian

pula, penelitian hukum sosiologis akan tetap berkecenderungan terapan tanpa memperhatikan

aspek normatif yang menjadi karakter sebuah ilmu hukum. Pada ujungnya, keduanya berjalan

sendiri-sendiri dalam pola konfrontatif yang berkepanjangan menurut keunggulan masing-

masing. Mungkin atas dasar ini pula, Coulson (1969: 58) kemudian pernah menyatakan bahwa

“konflik dan ketegangan antara teori dan praktek dalam sejarah hukum Islam masih sulit

diakhiri”. Tak lain karena kajian hukum Islam selama ini lebih terfokus pada ranah law in book

daripada law in action. Padahal kedua model penelitian hukum ini –baik normatif maupun

5Penelitian hukum teoritis-normatif dilakukan dengan tahapan metode inventarisasi

hukum, pencarian atau penemuan asas dan doktrin hukum, serta penentuan hukum klinis atau konkrit (inconcreto). Adapun penelitian hukum terapan-sosiologis dilakukan dengan cara memandang hukum itu sebagai independent variable yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai aspek kehidupan, atau sebagai dependent variable yang timbul akibat resultante dari sejumlah kekuatan dalam masyarakat. Pada model penelitian hukum sosiologis ini, metode yang dapat

diterapkan adalah metode dokumentasi, observasi, ekperimen, atau survei. Lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 14-15

Page 20: 9. Supriatna-Pattiroy

20

sosiologis- sama memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga meniscayakan untuk dipadukan.

Jembatan integrasi dan interkoneksinya terletak pada ketepatan paradigma, teori, perspektif atau

kerangka pikir yang digunakan. Dengan kata lain, integrasi-interkoneksi kedua kecenderungan

metode penelitian yang berbeda di atas berada pada level obyek formal, bukan obyek material.

Kesulitan pemaduan antara studi hukum sebagai law-in-books yang berorientasi normatif-

doktrinal dengan studi hukum sebagai law-in-action yang berkecenderungan sosiologis-empiris

dalam pengembangan kajian keilmuan hukum Islam, menurut analisis al-Jabiri (1991), tak lain

karena “secara umum struktur berpikir umat Islam selama ini bercorak dikotomis-atomistik”.

Model berpikir ini lahir dari ketimpangan aplikasi epistemologi antara aspek bayani, irfani, dan

burhani sebagai unsur fundamental dari struktur epistemologi keilmuan Islam. Epistemologi

bayani merupakan pola pikir yang berkembang dalam fiqh dan kalam dengan penekanan sumber

pengetahuan pada teks (nash), sedangkan epistemologi irfani merupakan pola pikir yang

berkembang dalam tasawuf dengan penekanan sumber pengetahuan pada pengalaman langsung

(direct experience). Adapun epistemologi burhani merupakan pola pikir yang berkembang dalam

falsafah dengan penekanan sumber pengetahuan pada realitas (alam, soaial, ataupun keagamaan).

Dalam berbagai tataran kehidupan, sejak pasca era keemasan Islam yang diikuti dengan era

closing the gate of ijtihad, pola pikir bayani demikian mendominasi dan menghegemoni tradisi

berpikir umat Islam. Bahkan hingga dewasa ini, menurut Abdullah (2001), corak berpikir bayani

masih kukuh mencengkeram sistem pemikiran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan,

termasuk bidang pendidikan seperti di STAIN/IAIN/UIN. Corak berpikir bayani yang

hegemonik cenderung bersifat rigid, kaku, dan tekstual serta sulit memberi ruang dialog kepada

epistemologi irfani, dan burhani. Bahkan, keberadaan kedua epitemologi seringkali dicurigai

sebagai infiltrasi unsur asing yang menyuburkan praktek bid’ah di kalangan umat Islam.

Page 21: 9. Supriatna-Pattiroy

21

Sebenarnya, ketiga cluster sistem epistemologi ini berda dalam satu rumpun teori, tetapi dalam

prakteknya hampir-hampir tidak pernah mau akur, bahkan tidak jarang saling mendiskreditkan,

kafir mengkafirkan, murtad-memurtadkan, dan sekuler mensekulerkan antar kalangan

pendukung (Abdullah, 2005). Akibat dari ketimpangan epistemologi ini, otoritas teks yang

dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi fiqh dan usul fiqh klasik lebih diunggulkan daripada

sumber otoritas keilmuan lain, seperti ilmu-ilmu kealaman (kauniyah), akal (aqliyah) dan intuisi

(wijdaniyah). Dominasi pola pikir tekstual-bayani ini telah menyebabkan sistem epistemologi

keilmuan Islam kurang begitu peduli dan terlepas dari isu-isu sosial-keagamaan yang bersifat

kontekstual. Kelemahan paling mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayani yang tekstual-

skriptualistik tersebut adalah frigiditas paradigma yang ditampilkan ketika harus berhadapan

dengan teks-teks keagamaan komunitas kultur atau bangsa lain yang beragama lain (Esack,

2001). Demikian pula, kelemahannya dalam menjawab persoalan-persoalan global kontemporer

menyangkut pluralisme, HAM dan sebagainya. Dalam berhadapan dengan komunitas agama lain

dan menjawab problem kemanusiaan kontemporer itu, menurut Abdullah (2005), corak

argumen keagamaan model tekstual-bayani biasanya mengambil sikap mental yang bersifat

dogmatik, defensif, apologis, dan polemis. Atas dasar pola pikir tekstual-hegemonik

epistemologi bayani yang diaksentuasikan dalam fiqh dan usul fiqh, kajian hukum Islam mengalami

penyempitan cakupan metodologi yang lebih menfokuskan atau mengunggulkan ranah

penelitian hukum law in book daripada law in action sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Kecenderungan untuk melihat keunggulan kajian hukum Islam sebagai law-in-books yang

berorientasi normatif-doktrinal sebagaimana teraksentuasikan dalam fiqh, daripada studi hukum

sebagai law-in-action yang berkecenderungan sosiologis-empiris, oleh pemikir hukum Islam

kontemporer dipandang sebagai “ketersesatan metodologi” yang harus segera diatasi dengan

Page 22: 9. Supriatna-Pattiroy

22

temuan bangunan metodologi pengkajian hukum Islam yang baru. Fiqh dalam format law-in-

books dinilai sebagai salah satu faktor penyebab kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.

Dalam konteks ini, fiqh misalnya bersikap diskriminatif terhadap non-muslim6, demikian pula

mensubordinassi posisi perempuan7. Sikap diskriminatif fiqh ini sebenarnya bukan karena

karakter ajaran Islam atau al-Qur’an tetapi tafsiran bias dari penafsir.

Oleh karenanya, teks harus dikaji dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap

konteks, demikian slogan reformasi hukum Islam yang senantiasa dikumandangkan oleh para

pemikir kontemporer Islam itu di berbagai belahan dunia Islam. Melalui slogan pembaharuan

hukum Islam itu, upaya reformulasi, rekoseptualisasi, dan reinterpretasi keseluruhan ajaran

Islam, khususnya hukum Islam merupakan tuntutan proyeksi peradaban dunia yang niscaya

untuk tidak ditawar-tawar lagi. Dari proses reformulasi, rekoseptualisasi, dan reinterpretasi itu,

kemudian melahirkan ragam kerangka konsep dan konstruksi metodologi yang dapat

diaplikasikan dalam rangka menjawab berbagai persoalan aktual yang dihadapi umat Islam

dewasa ini dalam lingkup pergaulannya dengan bangsa-bangsa di dunia.

Kecenderungan untuk melihat kajian hukum Islam sebagai law-in-books yang

berorientasi normatif-doktrinal lebih absah dibanding sebagai law-in-action yang

berkecenderungan sosiologis-empiris harus diakhiri dengan menempatkan keduanya dalam

posisi seimbang. Dengan menempatkan kedua orentasi kajian ini pada posisi seimbang

memungkinkan untuk diformulasikan suatu kerangka metodologi hukum Islam yang sui generis

kum empiris (Lihat Safi, 1996). Di antara pemikir muslim yang santer menyuarakan perlunya

6Banyak konsep fiqh yang menempatkan penganut agama lain lebih rendah ketimbang

umat Islam, sehingga berimplikasi mengexclude atau mendiskreditkan mereka. Lihat Mun’im A. Sirry, ed., Fiqh Lintas Agama (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2004) hlm. ix

7Lihat misalnya Aminah Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman

Perspective (New York: Oxford University Press, 1997); Juga Nasarudin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000).

Page 23: 9. Supriatna-Pattiroy

23

reformasi terhadap Hukum Islam (fiqh dan Usul Fiqh) adalah Hasan Turabi, Fazlur Rahman, dan

Muhammad Shahrur. Langkah awal dari sasaran pembaharuan mereka adalah reformasi

terhadap sumber-sumber hukum Islam, seperti al-Qur’an, Hadis, dan Ushul Fiqh. Turabi (1984)

menilai produk Usul Fiqh tidak lagi relevan untuk kondisi saat ini, dan hanya sesuai untuk

kebutuhan masyarakat ketika ia dirumuskan. Di antara kelemahannya tampak pada orientasinya

yang bersifat tekstual dan lingustic oriented, sehingga cenderung mengabaikan aspek historisitas

teks, dimensi waktu dan tempat (Lihat juga Abu Sulayman, 1994). Senada dengan Turabi,

Shahrur (1990) melalui “teori batas”nya mengkritik rigiditas pemahaman umat Islam terhadap

universalisme al-Qur’an (at-Tanzil al-hakim) yang telah menyebabkan kevakuman hukum Islam

dalam merespon perubahan. Ia kemudian mengusulkan agar hukum Islam hendaknya dibaca

dalam kerangka teori batas tersebut. Menurut Shahrur, universalisme al-Qur’an (at-Tanzil al-

hakim) tidak berarti bahwa seseorang harus menerapkan hukum-hukum yang tertera di dalamnya

secara apa adanya di semua tempat dan segala waktu, tetapi kesesuaian at-Tanzil al-hakim hanya

mungkin jika aturan hukumnya merupakan hududiyah hanifiyah, yaitu terdiri dari batas hukum

fleksibel yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan waktu dan tempat. Dengan demikian,

hukum at-Tanzil al-hakim adalah ladang untuk melakukan ijtihad dan disesuaikan dengan

kondisi-kondisi obyektif yang terdapat dalam komunitas manusia.

Sebagaimana Shahrur, Arkoun (1996) berupaya membongkar bangunan hukum Islam

yang dilihatnya sarat dengan ideologi dominan pada saat itu melalui kerangka analisis

postmodernisme. Ia mengkritik Syafi’i karena telah membakukan sumber hukum Islam sehingga

menjadi sesuatu yang unthinkable. Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam adalah sebuah

teks terbuka, tak staupun penafsiran dapar menutupnya secara tetap dan “ortodoks”. Dengan

kata lain, Arkoun berpendapat bahwa wahyu Ilahi merupakan amanah yang sangat kaya dan luas

Page 24: 9. Supriatna-Pattiroy

24

sehingga dapat diberikan makna konkret dalam sekian keadaan berbeda yang dilalui manusia.

Berbekal kerangka analisis posmodernisme yang di adaptir dari teori episteme-wacana Foucoult

dan teori dekonstruksi Derrida, Arkoun menegaskan perlunya dilakukan pembacaan ulang

terhadap tafsiran teks umat Islam yang terbakukan sepanjang sejarah.

Rahman (1984) juga mendesak agar metode penafsiran al-qur’an yang dibakukan supaya

dirombak. Menurutnya, al-Qur’an harus dipahami dalam konteks masyarakat ketika ia

diturunkan. Dalam penafsiran itu, Rahman menawarkan teori gerak ganda (double-movement).

Teori ini menyatakan bahwa “untuk memahami al-Qur’an, seseorang harus melihat konteks

sejarah dan sosial ketika diturunkan dan kemudian memformulasikan prinsip-prinsip umum dari

tujuan atau sasaran utama yang dimaksudkan oleh suatu ayat. Setelah proses ini selesai, temuan

yang diperoleh dari proses pelacakan sosio-historis itu selanjutnya dikembalikan ke masa

sekarang untuk diaplikasikan dalam kasus-kasus aktual yang terjadi sekarang”.

Dilatari oleh motivasi intelektual pembaharuan pemikiran Islam, Turabi, Sharur,

Arkoun, atau Rahman melontarkan sinyalemen penting perlunya merekonstruksi perangkat

teoritik hukum Islam yang selama ini dipandang mengandung kelemahan dengan

mengakomodir teori-teori sosial (ilmu umum). Namun gagasan cemerlang ini, sangat

disayangkan, belum memberikan rumusan konkrit menyangkut bagaimana mengaplikasikan dan

menjadikanya sebagai piranti teoritik yang dapat memperkaya perangkat teoritik dalam hukum

Islam secara integratif. Bahkan oleh banyak kalangan, gagasan teoritik mereka itu dinilai sebagai

“benda asing” yang melanggengkan kegagalan paradigma orientalis-Barat dalam mengkaji Islam

(Lihat Syafrin, 2005).

Secara implementatif, barangkali rumusan teoritik yang paling memungkinkan untuk

diakses adalah gagasan Louay Safi (1996). Menurut Safi, dimensi empiris dapat dirumuskan

Page 25: 9. Supriatna-Pattiroy

25

dalam proses kausasi hukum syari’ah dengan memanfaatkan berbagai temuan ilmu pengetahuan

terkait dengan aspek hukum yang dikaji. Langkah-langkah yang harus dilakukan, lanjut Safi,

adalah membuat inferensi tekstual dan historis-empiris terlebih dahulu baru kemudian dianalisis

secara terpadu. Inferensi tekstual dilakukan melalui tahapan prosedur identifikasi pernyataan-

pernyataan, interpretasi pernyataan, eksplanasi pernyataan, derivasi aturan-aturan dan konsep-

konsep umum, serta sistematisasi aturan-aturan dan konsep-konsep yang disimpulkan.

Sedangkan inferensi historis-empiris dilakukan melalui tahapan prosedur identifikasi tujuan-

tujuan dan aturan-aturan tindakan yang dipilih, pengelompokan tindakan sejenis dalam satu

kategori, identifikasi aturan-aturan universal yang menguasai hubungan antar kelompok dan

sistematisasi aturan-aturan universal. Adapun pengintegrasiannya dilakukan dengan tahapan

prosedur analisis terhadap teks dan fenomena hingga pada komponen dasarnya berupa

pernyataan dan perilaku, pengelompokan pernyataan/perilaku serupa dibawah satu kategori,

identifikasi aturan umum dan tujuan-tujuan yang mengendalikan interaksi/interelasi berbagai

kategori, dan sistematisasi himpunan hukum ayang diperoleh melalui prosedur di atas.

Berbagai gagasan teoritik yang ditawarkan oleh sejumlah pemikir hukum Islam

kontemporer di atas, pada prinsipnya dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menyususn

suatu kerangka metodologi yang integratif bagi studi hukum di fakultas Syariah sejalan dengan

paradigma integratif-interkonektif UIN.

Page 26: 9. Supriatna-Pattiroy

26

SKEMA INTEGRATIF-INTERKONEKTIF ANTARA FILSAFAT, ILMU AGAMA, DAN ILMU UMUM

PADA TATARAN OBYEK FORMAL

Obyek Material Obyek Material Obyek Material

Obyek Formal Obyek Formal Obyek Formal

dalam

Page 27: 9. Supriatna-Pattiroy

27

3. Alternatif Metodologi dalam Penelitian Hukum Islam di Fakultas Syari’ah

Sejalan dengan tuntutan kebutuhan terhadap konstruksi metodologi penelitian hukum

Islam yang integratif-interkonektif, problem krusial yang patut menjadi perhatian untuk

diaplikasikan di fakulas Syari’ah adalah aspek paradigma. Dalam metodologi penelitian, istilah

paradigma disebut dalam sejumlah padanan, seperti kerangka teori, landasan pemikiran,

perspektif, kerangka konseptual, atau pendekatan penelitian (research approache) sesuai dengan

pembakuan masing-masing perguruan tinggi. Di fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga,

sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga No. S-22 Tahun 2004

tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga

Yoygakarta, pembakuannya menggunakan istilah kerangka teoritik. Kerangka teoritik ini

merupakan salah satu komponen metodologi penelitian disamping latarbelakang masalah,

rumusan masalah, studi pustaka, hipotesis dan metode penelitian. Sehubungan dengan sifat

dasar dari ilmu pengetahuan yang memiliki kepastian obyek formal (obiectum matriale, formal

obyect) dan obyek material (obiectum materiale,, material obyect), maka unsur metodologi merupakan

bagian utama dari obyek formal. Sehingga dalam proses integrasi-interkoneksi ilmu pengetahuan

agama dan ilmu pengetahuan umum, sebagaimana diidealisasikan dalam format baru keilmuan

UIN, penekanan terpenting adalah berada dalam ranah metodologi, khususnya komponen

kerangka teoritik.

Gambaran lazim yang berkembang dalam penelitian skripsi mahasiswa fakultas Syari’ah

selama ini, penjabaran kerangka teoritik cenderung lebih diarahkan pada paradigma atau teori

hukum normatif (law in book) dalam mengkaji suatu fenomena hukum daripada perspektif atau

kerangka pikir ilmu sosial-humaniora (law in action). Meskipun tidak diatur secara jelas dalam

pedoman penulisan skripsi mahasiswa, namun konvensi yang berlaku memberikan ketentuan,

Page 28: 9. Supriatna-Pattiroy

28

bahwa kerangka teoritik berisi tentang dalil-dalil atau kaidah-kaidah (al-Qur’an, Hadist. Usul al-

Fiqh, dan Fiqh). Dalil-dalil ini dijadikan sebagai kerangka pikir dalam menganalisis suatu

masalah hukum untuk kemudian ditetapkan status hukumnya. Ketentuan ini tentu saja

membatasi cakupan penelitian hukum Islam pada kawasan ilmu yang bersifat teoritis-normatif.

Sementara, persoalan kenapa status hukum itu perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan

dinamika sosial- budaya dalam kehidupan masyarakat, tampak terlepas dari perhatian. Dalam

upaya membangun suatu model penelitian hukum Islam yang integratif-interkonektif, kedua

kawasan ilmu hukum Islam yang normatif-doktrinal dan historis-sosiologis sepatutnya

dipadukan atau disinergikan. Perpaduannya dilakukan dengan cara mengintegrasikan atau

menginterkoneksikan dalil, kaidah, atau teori hukum Islam dengan berbagai teori ilmu sosial-

humaniora yang adaptable dalam suatu bangunan paradigma atau kerangka teoritik.

Dalam penelitian hukum Islam, peneliti harus mengenal pembedaan dua model

penelitian, yaitu penelitian hukum sebagai law-in-books dan penelitian sebagai law-in-action.

Pembedaan ini diperlukan untuk menghindari ketumpangtindian antara hukum sebagai

fenomena normatif dan hukum sebagai fenomena sosial. Studi hukum dalam tataran normatif

disebut sebagai penelitian hukum normatif, sementara dalam tataran sosial disebut sebagai

penelitian hukum sosiologis. Kedua penelitian ini memiliki obyek kajian yang sama pada wilayah

hukum, tapi cara kerjanya mempunyai metode yang berbeda. Penelitian hukum normatif

dilakukan dengan tahapan metode inventarisasi hukum, pencarian atau penemuan asas dan

doktrin hukum, serta penentuan hukum klinis atau konkrit (inconcreto). Adapun penelitian hukum

sosiologis dilakukan dengan cara memandang hukum itu sebagai independent variable yang

menimbulkan akibat-akibat pada berbagai aspek kehidupan, atau sebagai dependent variable yang

timbul akibat resultante dari sejumlah kekuatan dalam masyarakat. Pada model penelitian hukum

Page 29: 9. Supriatna-Pattiroy

29

sosiologis ini, metode yang dapat diterapkan adalah metode dokumentasi observasi, ekperimen,

atau survei (Lihat Soemitro, 1983).

Dalam penelitian hukum normatif, ketiga metode di atas yang mungkin bisa dipilahkan

dapat saja dijadikan dalam suatu rangkaian kesatuan penelitian, karena untuk dapat menetapkan

hukum dari suatu peristiwa konkrit diperlukan temuan asas-asas dan doktrin hukum. Sedangkan

untuk mendapatkan asas dan doktrin tersebut diperlukan inventarisasi berbagai peraturan

hukum. Penelitian hukum normatif dengan metode inventarisasi hukum bukan hanya sekedar

aktivitas kumpul-mengumpul materi hukum secara asal-asalan, tetapi berdasarkan proses

analitis-kritis melalui klasifikasi logis dan sistematis. Norma-norma yang sudah dikumpulkan,

diidentifikasi kemudian diorganisasikan dalam suatu sistem analisis secara komprehensif.

Metode penemuan asas dan doktrin hukum dilakukan dengan proses berpikir induktif, yaitu

bertolak dari norma-norma khusus yang digeneralisasi untuk kemudian ditarik asas dan doktrin

umum. Penentuan hukum klinis dilakukan untuk mencari ketentuan hukum bagi suatu masalah

yang konkrit. Metode ini seringkali disebut dengan legal research. Metode ini melibatkan

penggunaan sillogisme di mana norma-norma hukum in-abstract yang diperoleh dalam tahapan

inventarisasi dijadikan premis mayor, sementara kejadian atau fakta-fakta relevan dijadikan sebagai

premis minor untuk ditarik suatu conclusio.

Sedangkan dalam penelitian hukum sosiologis yang bersifat empiris, metode yang bisa

diterapkan adalah metode dokumentasi-historis yang bertujuan untuk mengetahui

kecenderungan-kecenderungan hukum di masa lampau dalam rangka memberi penafsiran pada

kondisi aktual kehidupan masyarakat. Ada tiga aspek hukum yang dapat dilihat melalui metode

ini, yaitu institusi hukum, sumber hukum, dan peranan pemikiran tokoh dalam penciptaan

hukum di masa lampau. Penelitian hukum dengan menggunakan metode ini lebih populer untuk

Page 30: 9. Supriatna-Pattiroy

30

disebut dengan studi hukum dengan pendekatan historis. Metode lain yang juga bisa digunakan

adalah metode observasi (pengamatan). Dalam metode observasi ini, salah satu bentuk

pengamatan yang umum digunakan adalah pengamatan terlibat (participant observation) yang

digabungkan dengan wawancara (interview). Aspek penting yang disoroti dalam metode

pengamatan ini adalah berbagai pranata hukum yang menjadi pedoman nilai dalam mengatur

kehidupan masyarakat. Penelitian hukum dengan metode ini, populer dikembangkan oleh

kalangan ahli antropologi. Selain kedua metode di atas, penelitian hukum juga dapat dilakukan

dengan menggunakan metode eksperimental. Metode ini merupakan cara untuk menguji adanya

hubungan kausal dalam sebuah penelitian yang, misalnya, dilakukan untuk menemukan

pendapat apakah pelaksanaan prapradilan itu bermanfaat atau hanya buang-buang waktu.

Tehnik pengujian metode ini, biasanya dilakukan dengan membentuk dua atau lebih kelompok

eksperimen. Salah satu kelompok dijadikan sebagai kelompok kontrol sementara kelompok

lainnya dijadikan kelompok variabel eksperimen. Metode eksperimental ini lazim digunakan

dalam penelitian hukum yang menggunakan pendekatan psikologi. Metode yang tidak kalah

pentingnya digunakan adalah metode survei. Penelitian hukum dengan metode survei ini

dimaksudkan untuk menghimpun informasi secara sistematis melalui tehnik sampling. Metode ini

sangat tepat digunakan jika, misalnya, penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui

secara cermat tingkat kriminalitas di kota. Metode ini lazim digunakan dalam penelitian hukum

yang menggunakan pendekatan sosiologi disamping tidak menafikan penggunaannya oleh ilmu-

ilmu lain.

Kedua model penelitian hukum di atas –baik normatif maupun sosiologis- sama

memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga meniscayakan untuk dipadukan. Dalam studi

hukum yang komprehensif, perpaduan kedua model penelitian ini mutlak dilakukan dengan

Page 31: 9. Supriatna-Pattiroy

31

tetap memperhatikan perbedaan batasan cara kerja masing-masing untuk menghindari

ketumpangtindihan. Perpaduan di sini tidak berarti pencampuradukan untuk menghindari

ketersesatan metodologi, karena pada prinsipnya sesuatu yang bersifat normatif memang

berbeda dengan sesuatu yang bersifat sosiologis-empiris. Tetapi tidak menutup kemungkinan

untuk saling bersinergi.

Sehubungan dengan pembahasan mengenai aspek metodologi dalam studi hukum Islam,

kedua model penelitian di atas yang lazim digunakan dalam penelitian hukum positif (umum),

juga berlaku dalam penelitian hukum Islam. Dalam hukum Islam, penelitian hukum normatif

berkisar pada kajian mengenai nash, baik al-Qur’an maupun hadist, disamping kaidah-kaidah

umum yang terdapat dalam ushul fiqh dan fiqh. Dalam penelitian hukum Islam normatif ini, juga

berlaku tahapan metode inventarisasi hukum, pencarian atau penemuan asas dan doktrin

hukum, serta penentuan hukum untuk masalah konkrit. Dalam hukum Islam metode ini dikenal

dengan sebutan metode istimbat hukum.

Pada wilayah penelitian hukum Islam normatif ini, ada dua macam metode analisis yang

dapat digunakan, yaitu metode analisis literal (At-Thariqah al-Lafdziyah) dan ekstensifikasi (at-

Tariqah al-Ma’nawiyah). Metode analisis literal ditujukan untuk menganalisis teks-teks syari’ah

berupa al-Qur’an dan Hadist untuk mengetahui bagaimana cara lafadz-lafadz kedua sumber itu

menunjukkan kepada hukum-hukum (fiqh) yang dimaksudkannya. Dasar metode analisis ini

bertolak pada kekuatan kaedah-kaedah kebahasaan (Arab). Metode analisis ini memberi

petunjuk tentang cara suatu lafadz menunjuk makna yang dikehendakinya, menyimpulkan makna

itu dari lafadz tersebut, dan mengkompromikan berbagai makna yang secara sepintas tampak

saling berlawanan. Metode analisis ini membagi lafadz ke dalam empat macam yang dilihat dari

(1) kejelasan (2) dhalalah (3) keluasan makna yang dicakup, dan (4) bentuk-bentuk yang

Page 32: 9. Supriatna-Pattiroy

32

digunakan untuk menyatakan taklif. Dalam metode analisis literal ini, ada dua konsep penting

yang harus diperhatikan, yaitu tafsir dan takwil. Kedua konsep ini diterapkan dalam kebutuhan

dan pengertian yang berbeda. Tafsir menunjuk kepada lafadz yang belum jelas untuk diberi

penjelasan, sementara takwil justeru menunjuk pada lafadz yang sudah jelas maknanya. Adapun

metode analisis ekstensifikasi, pada dasarnya adalah usaha untuk memperoleh suatu hukum

(fiqh) melalui pemekaran dan perluasan makna dari nash yang bersifat eksplisit dengan cara

mencari dan menemukan pengertian implisitnya. Hal ini dilakukan dengan cara menggali causa

legis (illat) suatu nash untuk diterapkan pada kasus-kasus serupa yang tidak secara eksplisit di

dalamnya; atau juga dengan jalan menggali semangat, tujuan, dan prinsip umum yang

terkandung dalam suatu nash untuk diterapkan secara lebih luas pada masalah lain yang

diharapkan mewujudkan kemaslahatan yang sama.

Adapun penelitian hukum empiris berkisar pada pengamatan mengenai konteks historis

lahirnya sebuah produk hukum dan fungsinya sebagai pengendali keteraturan sosial, disamping

sebagai pranata nilai yang menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat. Berbagai metode

yang diintrodusir dalam penelitian hukum umum, seperti metode dokumentasi, pengamatan,

wawancara, survei dan ekspreimental, juga dapat diterapkan dalam hukum Islam sejalan dengan

perspektif ilmu yang digunakan. Dalam penelitian hukum Islam yang konprehensif, kedua

model kecenderungan penelitian tersebut juga harus disinergikan. Penelitian hukum Islam

dengan kecenderungan empiris ini dipandang masih langka dan hampir tidak tersentuh oleh

para ulama fiqh era klasik.

Menurut Abd. Salam (1984), Hukum Islam (Fiqh) yang bersumber dari al-Quran dan

Hadist itu memang bersifat normatif. Namun, bukan berarti tidak lagi bisa dikembangkan dan

diperluas cakupan kajiannya. Persoalan penting dari hukum Islam yang bersifat normatif ini

Page 33: 9. Supriatna-Pattiroy

33

adalah “bagaimana mengimplementasikannya dalam menjawab berbagai permasalahan aktual

yang dihadapi oleh masyarakat”. Hal itu penting dilakukan agar hukum Islam memiliki fungsi

bagi kemaslahatan hidup manusia. Hanya saja yang patut diperhatikan dalam proses

implementasi tersebut adalah ketetentuan hukum yang tidak dibenarkan menyalahi tujuan dan

maksud hukum, asas-asas dan prinsip hukum, serta kepentingan hukum yang diperlukan oleh

baik masyarakat maupun perorangan. Jadi, Pokok permasalahan yang terpenting dari studi

hukum Islam itu adalah penekanannya pada persaoalan aktual ini, karena hukum Islam itu

disamping berorientasi teoritis juga lebih pada implikasinya yang bersifat praktis. Kebutuhan

terhadap implikasi praktis dalam rangka merespon realitas kehidupan masyarakat menyebabkan

keberadaan kajian hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan ilmu-ilmu

lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, dan filsafat sebagai ilmu bantu.

Salah satu contoh yang dapat diilustrasikan adalah perpaduan antara penggunaan teori

‘urf atau maslahah dalam ushul al-fiqh dengan teori fungsionalisme dalam ilmu sosiologi atau

antropologi. Paduan kedua teori ini dapat dioperasikan, misalnya, ketika ingin meneliti tentang

perilaku waris komunitas muslim di suatu wilayah tertentu. Problem penelitian yang muncul

adalah seharusnya komunitas muslim tersebut menerapkan pola pembagian waris 2:1 antara laki-

laki dan perempuan, tapi kenyataannya justeru menggunakan pola pembagian sebanding

berdasarkan adat istiadat setempat. Menghadapi problem penelitian semacam ini, kesimpulan

penelitian tidak seharusnya tergesa-gesa menetapkan bahwa perilaku waris itu “tidak sesuai

dengan hukum Islam”. Analisis lanjutan perlu dilakukan berdasarkan pengamatan di lapangan

bahwa apakah pola pembagian waris sebanding itu berimplikasi fungsional yang membawa pada

ekuilibrium sosial atau kemaslahatan bagi komunitas muslim tersebut. Jika ternyata positif, maka

“boleh jadi” pola pembagian waris sebanding itu diberi status hukum “boleh”, “mubah”, atau

Page 34: 9. Supriatna-Pattiroy

34

“halal” sekalipun, oleh karena adanya nilai kemaslahatan yang dikandungnya. Paduan teori yang

sama dapat pula dilakukan terhadap teori qiyas dengan teori simbolisme, ta’lil dengan

hermeneutik, teori konflik dengan teori ashabiyah dan lain sebagainya.

Konsekuensi dari paduan paradigma ini membawa implikasi pula pada penyatauan

metode penelitian yang terkait dengan cara pengumpulan data dan analisis data. Pengumpulan

data tidak lagi hanya bertumpu pada nash, kaidah, atau pemikiran ulama yang tersimpan dalam

kitab, tapi autentisitas data juga harus dicross-check atau diperoleh dari lapangan melalu metode

wawancara, pengamatan, atau kuesioner. Setelah itu, analisis data semestinya dilakukan dengan

cara bolak-balik dari deduksi ke induksi dan dari induksi ke deduksi melalui tahapan klasifikasi,

seleksi, dan kategorisasi.

Atas dasar pemaduan kerangka teoritik dan metode penelitian di atas, tuntutan

pengembangan penelitian ilmu Syari’ah berbasis integratif- interkonektif memungkinkan dapat

direalisasikan. Langkah awal menuju realisasi itu adalah pembenahan bertahap terhadap

pedoman Penulisan Skripsi Mahasiswa Fakultas Syari’ah yang saat ini tidak relevan lagi untuk

dijadikan acuan penulisan atau penelitian karya ilmiah mahasiswa.

C. Penutup

Paradigma integratif-interkonektif -yang menyertai perubahan kelembagaan IAIN ke

UIN- telah menjadi pilihan keilmuan baru UIN. Fakultas Syari’ah yang berada dalam mainstream

perubahan itu juga dituntut untuk melakukan taransformasi keilmuan menyangkut orientasi

metodologinya. Selama ini, orientasi keilmuan fakultas Syari’ah dengan fokus studi ilmu hukum

Islam cenderung hanya bersifat normatif-ideologis, dan kurang atau bahkan tidak menyentuh

kajian-kajian bersifat sosiologis-empiris. Dengan tuntutan pengembangan keilmuan berbasis

Page 35: 9. Supriatna-Pattiroy

35

integratif-interkonektif ini, orientasi keilmuan yang dikotomis itu menjadi tidak relevan,

sehingga menuntut untuk dilakukan revisi.

Problem krusial yang patut menjadi perhatian untuk diaplikasikan adalah aspek

paradigma, yang dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Syariah

menggunakan istilah kerangka teoritik. Kerangka teoritik ini merupakan salah satu komponen

metodologi penelitian disamping latarbelakang masalah, rumusan masalah, studi pustaka,

hipotesis dan metode penelitian. Sehubungan dengan sifat dasar dari ilmu pengetahuan yang

memiliki kepastian obyek formal (obiectum matriale, formal obyect) dan obyek material (obiectum

materiale,, material obyect), maka unsur metodologi merupakan bagian utama dari obyek formal.

Sehingga dalam proses integrasi-interkoneksi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan

umum, sebagaimana diidealisasikan dalam format baru keilmuan UIN, penekanan terpenting

adalah berada dalam ranah metodologi, khususnya komponen kerangka teoritik. Dalam

kerangka teoritik ini, berbagai dalil, kaidah, atau teori hukum Islam dapat dipadukan dengan

sejumlah teori ilmu sosial-humaniora yang relevan. Selain kerangka teoritik, perpaduan juga

harus terjadi pada aspek metode yang terkait dengan cara pengumpulan data dan analisis data.

Pengumpulan data tidak lagi hanya bertumpu pada nash, kaidah, atau pemikiran ulama yang

tersimpan dalam kitab semata, tapi autentisitas data juga harus di peroleh di lapangan melalu

metode wawancara, pengamatan, atau kuesioner. Setelah itu, analisis data juga dilakukan dengan

cara bolak-balik dari deduksi ke induksi dan dari induksi ke deduksi melalui tahapan klasifikasi,

seleksi, dan kategorisasi.

Page 36: 9. Supriatna-Pattiroy

36

DAFTAR PUSTAKA Amin Abdullah, dkk., Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempersatukan

Epistemologi Islam dan Umum. Yogyakarta: Suka Press, 2003.

“Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif-interdisiplinery”, dalam Zainal Abidin Baqir., dkk., Integrasi Ilmu dan Agama : Interpretasi dan Aksi. Jakarta: Mizan Pustaka, 2005.

Ainurofiq Dawam, ”Emoh Sekola” Sekolah: Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multukultural. Yogyakarta: Impeal Ahimsakarya Press, 2003.

Baidowi, Ahmad dan Jarot Wahyudi, ed., Konversi IAIN ke UIN dalam Rekaman Media Massa.

Yogyakarta: Suka Press, 2005

Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum. Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga, 2003.

Baqir, Zainal Abidin., “Bagaimana ‘Mengintegrasikan’ Imu dan Agama?” dalam Zainal Abidin Baqir., dkk., Integrasi Ilmu dan Agama : Interpretasi dan Aksi. Jakarta: Mizan Pustaka, 2005.

Culson, Noel James., Concilct and Tension in Islamic Yurisprudence. Chicago and London: The

University of Chicago Press, 1969. Direktorat Jenderal Kelembagaan agama Islam Departemen Agama, Pedoman Penyelenggaraan

Penelitian Perguruan Tinggi Islam. Jakarta: Dirjen Bagais, 2003. Esack, Farid., Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas. Bandung: Mizan,

2001. Faiz, Fahruddin., “Islamic Studies di IAIN Sunan Kalijaga dan Hubungannya dengan Ilmu-Ilmu

Lain: Sebuah Kajian Menuju UIN”, dalam Jurnal Penelitian Agama, Vol. XIV, No. 1, Januari-April 2005.

Al-Jabiri, Muhamad ‘Abid., Bunyah al-Aql al-Arab: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Ma’rifaj

fi Tsaqafah al-Arabiyah. Beirut : Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, 1990. Jamhari, Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam, dalam Komaruddi Hidayat, ed., Problem dan

Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam Jakarta: Direktorat PTAI, 2000. Kuntowijoyo, “Epistemologi dan Paradigma Ilmu-Ilmu Humaniora dalam Perspektif Pemikiran

Islam”, dalam Amin Abdullahi, dkk.., Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum. Yogyakarta Sunan Kalijaga Press, 2003.

Page 37: 9. Supriatna-Pattiroy

37

Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1984. Lincoln, Denzin., dan Yvonna S. Lincoln ed., Hand Book of Qualitative Research London: Sage

Publication, 1994. Mas’ud, Abdurrahman., Menggagas Format Pendidikan Non-dikotomik. Yogyakarta: Gama Media,

2002. Meuleman, Johan Hendrik., “IAIN di Persimpangan Jalan” dalam Komaruddi Hidayat, ed.,

Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam Jakarta: Direktorat PTAI, 2000.

Mudzhar, Atho., Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1998. Mulyanto, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Ulumul Qur’an, Vol. II/1991. Najib, Agus Moh., “Paradigma Keilmuan Non-dikhotomi dan Aplikasinya pada Pembentukan

Fakultas dan Program Studi di UIN Sunan Kalijaga”, dalam Jurnal Penelitian Agama, Vol. XIV, No. 1, Januari-April 2005.

Nasr, Hossen., Science and Civilization in Islam (Cambridge: The Islamic Text Society, 1987). Nasution, Khoiruddin, “Tantangan Pengembangan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”. Laporan

Penelitin pada Pusat Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2004. Nawawi, Haidar., Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2001. Priyono, AE. dkk., Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian

Islam. Yogyakarta: PLP2M, 1985. Pudjawiyatna, I.R.,Tahu dan Pengetahuan: Pengantar Ilmu dan Filsafat. Jakarta: Bina Ilmu, 1967. Rahman, Fazlur., Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual. Bandung: Pustaka, 1982. Safi, Louis., The Foundation of Knowledge: A Comparative Studying Islamic and Western Methods of

Inquiry. Selangor: IIU & IIIT, 1996 Sirry, Mun’im A. ed., Fiqh Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Paramadina, 2004. Soemitro, Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Gholia Indonesia, 1983. Sutrisno, “Problem Dikotomi Ilmu dalam Islam (Upaya Integrasi Ilmu di UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta)”, dalam Jurnal Penelitian Agama, dalam Jurnal Penelitian Agama, Vol. XIV, No. 1, Januari-April 2005. (2005).

Page 38: 9. Supriatna-Pattiroy

38

Syafri, Nirwan., “Konstruk Epitemologi Islam: Telaah Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh”, dalam

Islamia, Tahun II No. 5 April-Juni 2005 Umar, Nasarudin., Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci. Jakarta: Fikahati Aneska, 2000. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum.

Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2004. Wadud, Aminah., Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman Perspective. New York:

Oxford University Press, 1997. Widiastoro, Tonny D., Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2004. Young, Pauline V., Scientic Social Survey and Research (Tokyo: Prentice Hall, Inc. And Charles E.

Tittle Co., 1960). Zarkasji Abd. Salam, Teori Penerapan Hukum Islam. Makalah yang dipresentasikan dalam Diskusi

Rutin Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Tanggal 5 Desember 1984