Upload
afromhaching-lewotanah
View
216
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
making
Citation preview
JURNAL ILMIAH BIOLOGI jendela inspirasi mahasiswa
Rabu, 25 Februari 2009
USAHA PENGEMBANGAN SAPI BALI SEBAGAI TERNAK LOKAL DALAM MENUNJANG PEMENUHAN KEBUTUHAN PROTEIN ASAL HEWANI DI INDONENSIA
© 2001 Mobius Tanari Posted: 23 Nov. 2001 [rudyct] Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3Institut Pertanian BogorNovember 2001Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
USAHA PENGEMBANGAN SAPI BALI SEBAGAI TERNAK LOKAL DALAM MENUNJANG PEMENUHAN KEBUTUHAN PROTEIN ASAL HEWANI DI
INDONENSIAOleh:
Mobius TanariD16010081
E-mail: [email protected]
Permintaan akan daging sapi dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal tersebut selain dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh pola konsumsi yang berubah dari yang semula banyak mengkonsumsi karbohidrat ke arah konsumsi daging, telur dan susu. Untuk kebutuhan akan telur dan daging ayam dalam negeri saat ini telah dapat dipenuhi oleh produksi lokal, akan tetapi susu dan daging sapi masih memerlukan pasokan dari luar negeri. Kondisi tersebut memungkinkan untuk pengembangan peternakan sapi baik untuk mencukupi konsumsi dalam negeri (import subtitution) maupun dalam rangka menggalakkan ekspor (export promotion), yang pada akhirnya akan memperoleh devisa negara. Sapi Bali merupakan breed sapi asli Indonesia yang mempunyai potensi besar dengan populasi sekitar 26,92% dari total populasi sapi potong di Indonesia, dengan demikian sapi Bali diprediksi dapat memberi kontribusi sebesar 26,92% dari total pemotongan ternak sapi setiap tahunnya. Selain produktivitasnya yang tinggi sapi Bali sangat digemari oleh petani karena perkembangannya sangat cepat karena kesuburannya tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik dan efesien serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi dimana breed lainnya tidak dapat. Untuk lebih meningkatkan populasi sapi Bali dibutuhkan manajemen yang baik terutama dalam pengendalian pengeluaran ternak dengan memperhatikan nilai pertambahahn alami (natural increase), mortalitas, ternak pengganti (replacement stock), jumlah ternak tersingkir, pemasukan ternak hidup dan besarnya proyeksi kenaikan
populasi ternak dan perkawinan antar breed. Pola Kemitraan dalam pengembangan usaha ternak sapi perlu dikembangkan.Kata kunci : Sapi Bali, Kebutuhan ternak, Peningkatan populasi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan sub-sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor
pertanian, dimana sektor memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan pakan yang
terus meningkat atas bertambahnya jumlah penduduk Indonensia, dan peningkatan rata-
rata pendapatan penduduk Indonesia dan taraf hidup pertani dan nelayan. Keberhasilan
pembangunan tersebut ternyata berdampak pada perubahan konsumsi masyarakat yang
semula lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat ke arah konsumsi seperti daging, telur,
susu (Putu, et al., 1997). Lebih lanjut dijelaskan bahwa permintaan akan telur dan daging
ayam dalam negeri saat ini telah dapat dipenuhi oleh produksi lokal, akan tetapi susu dan
daging sapi masih memerlukan pasokan dari luar negeri. Berbagai usaha pembangunan
peternakan telah diupayakan oleh pemerintah sampai ke pelosok daerah namun masih
terdapat kekurangan produksi yang akan mensuplay kebutuhan penduduk Indonesia akan
protein hewani.
Kondisi peternakan sapi potong saat ini masih mengalami kekurangan pasokan
sapi bakalan lokal karena pertambahan populasi tidak seimbang dengan kebutuhan
nasional, sehingga terjadi impor sapi potong bakalan dan daging (Putu, et al., 1997).
Kebutuhan daging sapi di Indonesia saat ini dipasok dari tiga pemasok yaitu ; peternakan
rakyat (ternak lokal), industri peternakan rakyat (hasil penggemukan sapi ex-import) dan
impor daging (Oetoro, 1997). Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk tetap menjaga
keseimbangan antara penawaran dan permintaan ternak potong, usaha peternakan rakyat
tetap menjadi tumpuan utama, namun tetap menjaga kelestarian sumberdaya ternak
sehingga setiap tahun mendapat tambahan akhir positif.
Sapi Bali merupakan breed sapi asli Indonesia mempunyai potensi yang besar,
diharapkan dapat mensuplay sebagian dari kekurangan tersebut. Sapi Bali mempunyai
populasi dengan jumlah 2.632.125 ekor atau sekitar 26,92% dari total populasi sapi
potong yang ada di Indonesia (Anonimus, 1999). Adapun perbandingan populasi sapi
Ongole, Peranakan Ongole, Bali, sapi Madura dan sapi lainnya Tahun 1988 dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah populasi sapi Ongole, Peranakan Ongole, Bali dan sapi Madura Tahun
1988*
Bangsa Jumlah PersentaseOngole
Peranakan Ongole
Bali
Madura
Lainnya
260.094
773.165
2.632.125
1.131.375
4.979.830
2.66
8.17
26.92
11.57
50.68*Anonimus, (1999).
Tabel 1 menunjukkan bahwa di Indonesia sapi potong masih didominasi sapi lainnya yang
di impor dari negara lain misalnya Australia, dan tidak menutup kemungkinan bahwa jika
perhatian ke ternak lokal tidak sedini mungkin di antisipasi maka ternak lokal akan
semakin terkuras populasinya.
Di Indonesia perkembangan sapi Bali sangat cepat dibanding dengan breed potong
lainnya, hal tersebut disebabkan breed ini lebih diminati oleh petani kecil karena beberapa
keunggulannya yang antara laian, tingkat kesuburunnya tinggi, sebagai sapi pekerja yang
baik dan efesien serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi dimana breed
lainnya tidak dapat (Moran, 1990), persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis
positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungan dan persentase beranak dapat mencapai 80 persen (Ngadiyono, 1997). Selain
beberapa keunggulan di atas terdapat juga beberapa kekurangan yakni bahwa sapi Bali
pertumbuhannya lambat, rentan terhadap penyakit tertentu misalnya; penyakit jembrana,
peka terhadap penyakit ingusan (malignant catarrhal fever) dan Bali ziekte (Darmaja,
1980; Hardjosubroto, 1994).
Permasalahan
Permasalahan yang coba diangkat dalam makalah ini adalah masalah pemenuhan
konsumsi protein hewani asal sapi potong yang belum terpenuhi, sehingga impor
untuk memenuhi kebutuhan tersebut dari tahun ke tahun masih dilakukan.
Adanya potensi ternak sapi lokal yang bisa lebih dikembangkan dengan manajemen
yang lebih baik, untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi baik dari segi kuantitas
maupun kualitas.
Pola perkembangan sapi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi keadaan tersebut.
Program pemuliaan untuk menunjang tercapainya produksi baik melalui cara
peningkatan bobot potong atau meningkatkan populasi ternak lokal.
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Bali
Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi
dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994) dan merupakan sapi asli Pulau Bali
(Payne dan Rollinson, 1974 dalam Sutan, 1988).
Ditinjau dari sistematika ternak, sapi Bali masuk familia Bovidae, Genus bos dan
Sub-Genus Bovine, yang termasuk dalam sub-genus tersebut adalah; Bibos gaurus, Bibos
frontalis dan Bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994), sedang Williamson dan Payne
(1978) menyatakan bahwa sapi Bali (Bos-Bibos Banteng) yang spesies liarnya adalah
banteng termasuk Famili bovidae, Genus bos dan sub-genus bibos. Sapi Bali mempunyai
ciri-ciri khusus antara lain; warna bulu merah bata, tetapi yang jantan dewasa berubah
menjadi hitam (Hardjosubroto, 1994). Satu karakter lain yakni perubahan warna sapi
jantan kebirian dari warna hitam kembali pada warna semula yakni coklat muda keemasan
yang diduga karena makin tersedianya hormon testosteron sebagai hasil produk testes
(Aalfs, 1934 dalam Darmaja, 1980).
Gambar Sapi Bali jantan
Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa ada tanda-tanda khusus yang harus
dipenuhi sebagai sapi Bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran
bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas
kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis
belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang
paling edial disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk
mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok keatas, kemudian pada ujungnya
membengkok sedikit keluar. Pada yang betina bentuk tanduk yang edial yang disebut
manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah
kebelakang sedikit melengkung kebawah dan pada ujungnya sedikit mengarah kebawah
dan kedalam, tanduk ini berwarna hitam.
Saat ini penyebaran sapi Bali telah meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia,
konsentrasi sapi Bali terbesar adalah di Sulawesi Selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok.
Pane (1989) menyatakan bahwa jumlah sapi Bali di Sulawesi Selatan dan Pulau Timor
telah jauh melampaui populasi sapi Bali ditempat asalnya (Pulau Bali). Pada tahun 1991
ditaksir jumlah sapi Bali di Indonesia sekitar 3,2 juta, dengan jumlah terbanyak di
Sulawesi Selatan (1,8 juta ekor), Nusa Tenggara Timur (625 ekor) dan Pulau Bali (456
ekor) (Hardjosubroto, 1994.
Produktivitas Sapi Bali
Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu
tertentu (Hardjosubroto, 1994), dan Seiffert (1978) menyatakan bahwa produktivitas sapi
potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan.
Wodzicka-Tomaszewska et al. (1988) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak
tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, dapat dikatakan bahwa
tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa
tingkat dan efesiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat dan efesiensi reproduksinya.
Dalton (1987) menyatakan bahwa produktivitas nyata ternak merupakan hasil pengaruh
genetik dan lingkungan terhadap komponen-komponen produktivitas. Selanjutnya
Warwick dan Lagetes (1979) menyatakan bahwa performan seekor ternak merupakan
hasil dari pengaruh faktor keturunan dan pengaruh komulatif dari faktor lingkungan yang
dialami oleh ternak bersangkutan sejak terjadinya pembuahan hingga saat ternak diukur
dan diobservasi. Hardjosubroto (1994) dan Astuti (1999) menyatakan bahwa faktor
genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak sedang faktor
lingkungan memberi kesempatan kepada ternak untuk menampilkan kemampuannya.
Ditegaskan pula bahwa seekor ternak tidak akan menunjukkan penampilan yang baik
apabila tidak didukung oleh lingkungan yang baik dimana ternak hidup atau dipelihara,
sebaliknya lingkungan yang baik tidak menjamin panampilan apabila ternak tidak
memiliki mutu genetik yang baik.
Astuti et al. (1983) dan Keman (1986) menyatakan bahwa produktivitas ternak
potong di Indonesia masih tergolong rendah dibanding dengan produktivitas dari ternak
sapi di negara-negara yang telah maju dalam bidang peternakannya, namun demikian
Vercoe dan Frisch (1980); Djanuar (1985); Keman (1986) menyatakan bahwa
produktivitas sapi daging dapat ditingkatkan baik melalui modofikasi lingkungan atau
mengubah mutu genetiknya dan dalam praktek adalah kombinasi antara kedua alternatif
diatas.
Trikesowo et al. (1993) menyatakan bahwa yang termasuk dalam komponen
produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet
(calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot
setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan. Tabel 2 menunjukkan
rataan persentase kelahiran, kematian dan calf crop beberapa sapi potong di Indonesia.
Tabel 2. Rataan persentase kelahiran, kematian dan calf crop beberapa sapi potong di Indonesia
Bangsa Kelahiran Kematian Calf cropBrahmanBrahman crossOngoleLokal crossBali
50,7147,7651,0462,4752,15a
10,355,584,131,622,64b
48,8045,8748,5362,0251,40c
Sumadi, (1985)aDarmadja, (1980)bSutan, (1988)cPane, (1989)
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa sapi Bali memperlihatkan persentase kelahiran
52,15% lebih tinggi di banding dengan sapi Brahman 50,71%, Brahman cross 47,76% dan
sapi Ongole 51,04% kecuali Lokal cross (Lx) 62,47%, demikian pula calf crop sapi Bali
51,40% lebih tinggi dibanding sapi Brahman 48,80%, Brahman cross 45,87% dan sapi
Ongole 48,53% kecuali Lokal cross sebesar 62,02 % serta persentase kematian yang
rendah. Hal tersebut dapat memberi gambaran bahwa produktivitas sapi Bali sebagai sapi
asli Indonesia masih tinggi, namun jika dibandingkan dengan sapi asal Australia masih
tergolong rendah yakni calf crop-nya dapat mencapai 85 % (Trikesowo et al., 1993).
Vercoe dan Frisch (1980) menyatakan bahwa sifat produksi dan reproduksi
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa sapi, keadaan tanah, kondisi padang
rumput, penyakit dan manajemen. Oleh karena itu perbaikan mutu sapi potong haruslah
ditekankan pada peningkatan sifat produksi dan reproduksi yang ditunjang oleh
pengelolaan yang baik dari segi zooteknis dan bioekonomis.
Adapun penampilan produktivitas sapi Bali di beberapa Provinsi dapat dilihat pada Tabel
3.
Tabel 3. Penampilan produktivitas sapi Bali di beberapa Provinsi di Indonesia*
Keterangan Sul.Sel NTT Irja NTB Bali P3BaliBerat Lahir (Kg)Berat Sapih (Kg)Berat 1 th, Jantan (kg)Betina (Kg)Berat 2 th, Jantan (Kg)Betina (Kg)Berat Dewasa, Jantan (kg)Betina (Kg)Ukuran Tubuh Dewasa :Jantan :Lingkar Dada (cm)Tinggu gumba (cm)Panjang badan (cm)Betina :Lingkar Dada (cm)Tinggu gumba (cm)Panjang badan (cm)Persentase beranak/th (%)
1270115110210170350225
181,4122,3125,6160,0105,4117,2
76
1275120110220180335235
180,4126,0134,8158,6114,0118,4
70
12,873,5118111218179352235
180,6125,6132,1159,2112,8118,0
66
1372
117,8113222182360
238,5182
125,2133,6160,0112,5118,0
72
1686135125235200395264
185,5125,4142,3160,8113,6118,5
69
1894145135260225494300
198,8130,1146,2174,2114,4120,0
86
* Pane, (1989).
PEMBAHASAN
Kebutuhan Sapi PotongData SUSSENAS tahun 1996 menunjukkan konsumsi daging sapi per kapita penduduk
Indonesia sekita 1.448 kg/tahun. Selanjutnya dijelaskan bahwa peningkatan kebutuhan
tersebut diakibatkan oleh bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi
daging per kapita. Konsumsi daging per kapita tahun 2000, 2003 dan 2006 diperkirakan
sekitar 1.476 kg/tahun, 1.549 kg/tahun dan 1.633 kg/tahun (Anonimus, 1998).
Putu et al. (1997) menyatakan bahwa kondisi peternakan sapi potong saat ini
masih mengalami kekurangan pasokan sapi bakalan lokal karena pertambahan populasi
tidak seimbang dengan kebutuhan nasional, sehingga terjadi impor sapi potong bakalan
dan daging. Lanjut dijelaskan bahwa jika dilihat dari trend permintaan akan daging
didalam negeri maka diperkirakan tahun 2000 diperlukan daging sapi sebanyak 670 ribu
ton yang setara dengan sapi siap potong sebanyak empat juta ekor, sementara dari dalam
negeri bila hanya mengandalkan teknologi yang dan kebijaksanaan yang ada dengan rata-
rata peningkatan populasi 2–3% maka akan tersedia sebanyak 395.000 ton daging yang
setara dengan 2,5 juta ekor berarti pada tahun 2000 akan kekurangan sebesar 1,5 juta
ekor.
Pada tahun 2003 diperkirakan Indonesia membutuhkan daging sapi sekitar 781.000 ton.
Produksi daging sapi nasional diperkirakan hanya dapat memenuhi 434.300 ton sehingga
akan terjadi kekurangan sebanyak 246.700 ton.
Impor ternak sapi daging sapi meningkat semakin tajam. Pengamatan selama
periode tahun 1992-1996 menunjukkan bahwa (i) volume impor ternak sapi (sebagian
besar bakalan) meningkat dengan laju sekitar 43% per tahun, (ii) nilai impor ternak sapi
meningkat sekitar 56% per tahun, (iii) volume impor daging sapi meningkat sekitar 40%
per tahun dan (iv) nilai impor daging sapi meningkat sekitar 38% per tahun. Akibatnya
defisit neraca perdagangan ternak dan daging sapi melonjak dari US$ 19.7 juta pada tahun
1992 menjadi US$ 150.6 juta pada tahun 1996 (Anonimus, 1998).
Hal yang patut mendapat perhatian dalam perkembangan impor ternak sapi adalah
pergeseran dari komoditi sapi bibit (cattle breed) ke jenis komoditi sapi bakalan (feeder
steers). Pada tahun 1992 komposisi impor ternak sapi kurang lebih 50% sapi bibit dan
50% sapi bakalan. Pada tahun 1996 komposisinya berubah menjadi 2% sapi bibit dan
98% sapi bakalan. Perkembangan semacam ini mencerminkan ketidakmampuan industri
pembibitan sapi di Indonesia untuk mengembangkan bibit unggul asal luar negeri guna
meningkatkan kualitas bibit sapi lokal sebagai upaya mencapai sasaran pertumbuhan
populasi yang diharapkan (Anonimus, 1998). Adapun perkembangan impor ternak dan
daging sapi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan Impor Ternak dan Daging Sapi 1992 – 1996Dalam jangka panjang besarnya permintaan konsumsi daging sapi akan
menyebabkan penurunan populasi secara nyata, dan apabila pemerintah tidak melakukan
upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan angka net-increase dan net-calf crop
sapi bukan hal yang tidak mungkin Indonesia masih terus akan mengimpor sapi meskipun
harganya sangat mahal.
Potensi PengembanganPerkembangan populasi sapi potong sejak awal Pelita I (1969) sampai tahun 1996
menunjukkan peningkatan. Pada tahun 1969 populasi mencapai 4,9 juta ekor dan pada
tahun 1994 menjadi 11,367 juta ekor atau mengalami peningkatan 1,8 kali lipat dan pada
tahun 1997 telah mencapai 12,552 juta ekor (Anonimus, 1997), namun peningkatan
populasi sapi potong di Indonesia tidak dapat mengimbangi permintaan kebutuhan daging
secara nasional. Astuti (1999) menyatakan bahwa beberapa hal yang menyebabkan
perkembangan populasi yang lambat adalah rendahnya produktivitas ternak lokal dan
masih tingginya mortalitas. Lebih jauh dijelaskan bahwa mengingat kebutuhan daging
yang belum terpenuhi dan konsumsi yang terus meningkat, maka populasi ternak lokal
perlu dipacu perkembangannya dengan peningkatan kelahiran dan penekanan kematian.
Sapi Bali merupakan breed sapi asli Indonesia yang populasinya telah mencapai
2.632.124 ekor atau sekitar 26,92 % dari total populasi sapi potong yang ada di Indonesia
(Anonimus, 1999). Penyebaran sapi Bali telah meluas hampir keseluruh wilayah
Indonesia. Konsentrasi sapi Bali terbesar di Sulawesi selatan, Pulau Timor, Bali dan
Lombok, namun kemurnian sapi Bali tetap dipertahankan di Pulau Bali, sebagai sumber
bibit yang pembinaannya dilakukan oleh Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali
(P3Bali). Hardjosubroto (1994) dan Soesanto (1997) menyatakan bahwa sapi Bali
termasuk sapi unggul dengan reproduksi tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan
dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis.
Sebagai sapi asli yang potensi reproduksinya lebih baik dibanding sapi lainnya maka
upaya pengembangan sapi Bali sangatlah memungkinkan oleh karena juga didukung oleh
kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang sangat tinggi. Martojo (1989) menyatakan
bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan produksi daging dalam
negeri, penggunaan sapi Bali diberbagai wilayah di Indonesia mempunyai prospek yang
sama baiknya.
Dalam perkembangan peternakan sapi Bali telah diperoleh beberapa kemajuan terutama
dalam menekan angka kematian pedet. Admadilaga (1975) menyatakan bahwa angka
kematian pedet sapi Bali sebesar 10–80%. Darmadja (1980) yang melakukan penelitian di
Bali memperoleh kematian pedet sebesar 7,33%, sedang Tanari (1999) pada lokasi yang
sama memperoleh angka kematian pedet yang lebih rendah sebesar 7,26% terhadap
kelahiran atau sebesar 1,84% dari populasi. Kemampuan lain yang dapat diandalkan
untuk pengembangan populasi sapi Bali adalah jarak beranak (calving interval) yang
cukup baik yakni bisa menghasilkan satu anak satu tahun. Djagra dan Arka (1994)
memperoleh calving interval yakni 14 – 15 bulan. Sedang pada tahun 1999 (Tanari, 1999)
memperoleh calving interval sebesar 12,19 ± 0,06 bulan hal tersebut diakibatkan karena
manajemen reproduksi yang dilaksanakan di Bali cukup baik yakni perkawinan rata-rata
dilaksanakan dengan teknik inseminasi buatan, ditunjang oleh biologi reproduksi dari sapi
Bali yang cukup baik yakni fertilitasnya tinggi yakni sekitar 83%.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perkembangan sapi potong
adalah sumber daya yang tersedia seperti sumberdaya alam, sumber daya manusia dan
sumber daya pakan ternak yang berkesinambungan, selanjutnya proses budidaya perlu
mendapat perhatian meliputi bibit, ekologi dan teknologi serta lingkungan yang strategis
yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keberhasilan
pengembangannya (Putu et al., 1997). Jumlah rumah tangga peternak sapi potong hingga
tahun 1993 hanya sekitar 1,2% dari penduduk Indonesia atau sekitar 2.566.000 peternak
(Anonimus, 1999). Jika masyarakat diberdayakan maka potensi sumber daya manusia
sangatlah besar.
Rencana pengembangan populasi sapi potong tidak terlepas dari daya dukung
wilayah yang meliputi dua hal yaitu ketersediaan ruang tempat ternak dibudidayakan dan
ketersediaan pakan ternak untuk kelangsungan hidupnya. Anonimus (1998) menyatakan
bahwa diperkirakan ketersediaan potensi pakan hijauan mengalami peningkatan sekitar
3% per tahun selama periode tahun 1991-1996, yakni dari 31,3 juta ST (satuan ternak)
pada tahun 1991 menjadi 36,3 juta ST pada tahun 1996. Oleh karenanya dengan keadaan
struktur populasi yang ada sampai tahun 1999 sebesar 9.099.500 ST, dapat diprediksi
daya tampung tersisa sebesar 27.200,500 ST. Dari potensi ketersedian pakan maka
kemungkinan pengembangan populasi kedepan masih sangat memungkinkan.
Anonimus (1989) menyatakan bahwa distribusi kesediaan pakan antar Wilayah cukup
bervariasi, pada tahun 1996 diperkirakan sebagai berikut; (i) Jawa dan Bali sekitar 55%,
(ii) Sumatra 22%, (iii) Kalimantan 4%, (iv) Sulawesi 11 persen dan (v) wilayah Indonesia
lainnya sebanyak 8%. Dalam sepuluh tahun mendatang diperkirakan distribusi
ketersediaan pakan hijauaan ternak tersebut akan mengalami pergeseran cukup nyata,
yakni peranan wilayah Jawa dan Bali turun menjadi 48%, Sumatra meningkat 33%,
Kalimantan tetap sekitar 4%, Sulawesi menurun menjadi 10% dan wilayah Indonesia
lainnya juga menurun menjadi 5%. Hal tersebut juga akan membuat suatu pergeseran cara
beternak terutama di Jawa dan Bali yang lebih mengarah semakin komersial dan bergeser
dari status usaha sambilan menjadi cabang usahatani
Dalam melaksanakan pengembangan populasi sapi Bali, penentuan pengeluaran
ternak termasuk pengendalian pemotongan ternak betina produktif perlu diperhatikan, dan
menghitung dengan tepat jumlah sapi Bali yang dapat dikeluarkan, agar tidak
mengganggu keseimbangan populasinya dari suatu wilayah. Hardjosubroto (1994)
menyatakan bahwa out put sapi potong dari suatu wilayah tertentu agar keseimbangan
populasi ternak potong tersebut tetap konstan dipengaruhi antara lain natural increase,
tingkat kematian ternak, kebutuhan ternak pengganti, jumlah ternak tersingkir, pemasukan
ternak hidup dan besarnya proyeksi kenaikan populasi ternak di daerah tersebut.
Penelitian out put diberbagai daerah telah banyak dilakukan. Hasil penelitian out
put sapi potong di Daerah IstimewaYogyakarta tahun 1987 sebesar 19,84 % dari populasi
yang terdiri dari 9,54 % sapi muda dan 10,30 % sapi dewasa (Hardjosubroto, 1987).
Budiarto (1991) dalam penelitiannya di Jawa Timur tahun 1989 memperoleh out put sapi
potong sebesar 20,98 % dari populasi, terdiri dari 7,89 % sapi jantan muda, 3,0% sapi
betina muda, 3,35% sapi jantan dewasa dan 6,74% sapi betina dewasa. Selanjutnya
Maskyadji (1992) memperoleh out put sapi Madura di Pulau Madura sebesar 17% yaitu
dari sapi muda jantan dan betina masing-masing 1,69% dan 1,26 % sedang sapi tua jantan
dan betina masing-masing 6,54% dan 7,56%. Sedang Tanari (1999) memperoleh out put
sapi Bali di Pulau Bali sebesar 20,81% yang terdiri dari sapi muda jantan dan betina
masing-masing 9,40% dan 3,92%, sedang sapi tua jantan dan betina masing-masing
0,85% dan 6,6%. Oetoro (1997) melaporkan bahwa secara nasional out put sapi potong
pada tahun 1996 sebesar 15,2 % dengan kenaikan populasi 3,5% dan pada tahun 1997
sebesar 14,5% dengan kenaikan populasi 5%. Out put ternak dari suatu wilayah
ditentukan oleh struktur populasi dan rencana pengembangan atau peningkatan populasi
dari wilayah tersebut. Untuk menentukan out put dari suatu wilayah perlu pertimbangan
kebutuhan ternak pengganti yang akan digunakan untuk perkembangbiakan sehingga
populasinya tidak akan terkuras akibat pengeluaran yang berlebihan.
Pola Pengembangan
Pola pengembangan peternakan rakyat pada prinsipnya terdapat dua model, yakni (i) Pola
Swadaya dan (ii) Pola Kemitraan. Pola swadaya merupakan pola pengembangan
peternakan rakyat yang mengandalkan swadaya dan swadana peternak, baik secara
individu maupun kelompok. Sedangkan pola kemitraan (PIR-NAK) merupakan kerjasama
yang saling antara perusahaan inti dengan peternak rakyat sebagai plasma (Anonimus,
1998). Dijelaskan pula bahwa dalam kerjasama atau kemitraan ini, seluruh kegiatan pra-
produksi, produksi hingga pasca produksi dilakukan dengan kerjasama antara plasma dan
inti.
Pola pengembangan peternakan rakyat ini akan menjadi landasan utama dalam penentuan
alternatif kebijakan pemerintah dalam menopang dan mendorong agribisnis peternakan
rakyat berwawasan agribisnis. Apabila persentase pengembangan ternak swadaya
mendominasi pada peternakan rakyat, maka peran pemerintah (government intervention)
mempunyai derajat yang cukup tinggi. Namun demikian apabila kemitraan mendominasi
dalam pengembangan peternakan rakyat, maka peran pemerintah relatif berkurang, karena
swastanisasi usaha peternakan sudah berkembang. Secara sederhana, peran pemerintah
dibagi ke dalam tiga bagian, yakni (1) motivator (development agent), (2)
fasilitator/services, dan (3) regulator. Derajat intervensi pemerintah dalam penentuan
kebijakan pembangunan peternakan ditentukan oleh karekteristik pola pengembangan
usahaternak rakyat yang paling dominan. Pendekatan pola pengembangan ternak rakyat
dan alternatif kebijakan dipaparkan pada Gambar 2.
= Ciri penggunaan teknologi, skala usaha, komersialisasi dan tingkat penerimaan.
= Derajat intervensi kebijakan pemerintah
Gambar 2. Hubungan antara Pola Pengembangan Peternakan Rakyat dengan Peran dan
Bentuk Kebijakan Pemerintah
Pemberdayaan masyarakat dalam konteks pengembangan peternakan rakyat merupakan
pengembangan agribisnis peternakan yang bertujuan untuk mensejahterakan petani dalam
mengejar ketinggalannya serta dapat meningkatkan produktivitas ternak khususnya ternak
ruminansia (sapi Bali).
Secara prinsip pemberdayaan dalam konteks suatu “proses” mengacu pada upaya proses
pemberdayaan ekonomi usaha ternak model mix-Farming, dari existing condition ke
optimum condition (part time) dan kemudian diarahkan pada usaha ternak yang
sustainable (full time) (Anonimus, 1998). Selanjutnya dijelaskan bahwa proses
pemberdayaan tersebut mengacu pada upaya; (1) peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani, (2) peningkatan pertumbuhan populasi ternak ruminansia dan (3)
upaya menopang terbentuknya “sentra produksi ternak ruminansia di Indonesia”. Prinsip
dasar dalam pelaksanaan usaha ternak adalah efesien dan berdaya saing yang mampu
mendorong usaha ternak sebagai usaha pokok serta mampu mendukung peningkatan
produksi daging ternak ruminansia di Indonesia.
Pola Pemuliaan TernakKebutuhan akan adanya suatu Rancangan Program Pemuliaan Ternak Nasional yang
mempunyai dasar hukum telah lama dirasakan (Martojo, 1989). Selanjutnya dijelaskan
bahwa beberapa gagasan atau usulan telah diajukan pada masa REPELITA I sampai IV
oleh Direktorat Jenderal Peternakan setiap REPELITA. Penyusunan rancangan
pengembangan dan pemuliaan diperlukan analisis daya dukung wilayah. Untuk hal
tersebut telah dilaksanakan penelitian potensi wilayah di seluruh Indonesia (Anonimus,
1998). Hasil yang diperoleh menetapkan wilayah-wilayah pengembangan dengan
mengacu pada ketersediaan pakan ternak dengan perhitungan daya tampung per satuan
Unit Ternak. Sampai tahun 1996 diperkirakan daya tampung sebesar 36,3 juta ST, potensi
ini bervariasi antar provinsi yakni; Jawa dan Bali 55%, Sumatra 22%, Kalimantan 4%,
Sulawesi 11% dan Wilayah Indonesia lainnya 8%. Dengan demikian terdapat beberapa
provinsi yang berpotensi untuk pengembangan ruminansia khususnya sapi Bali. Martojo
(1989) menyatakan bahwa pengembangan ruminansia diwilayah tertentu selanjutnya
dilengkapi dengan rancangan peningkatan mutu genetik ternak. Salah satu cara untuk
mempertahankan mutu genetik sapi Bali dan berbagai bangsa sapi lain di daerah sumber
bibit adalah menghitung dengan tepat jumlah sapi dari berbagai mutu genetik bibit yang
dapat dikeluarkan, seimbang dengan jumlah dan mutu bibit yang perlu dipertahankan
sebagai ternak pengganti. Selain cara tersebut diatas dapat pula dilakukan persilangan sapi
Bali dengan berbagai bangsa lain. Martojo (1989) menyatakan bahwa persilangan sapi
Bali dengan berbagai bangsa lain menghasilkan sapi silangan yang menunjukkan sifat
pertumbuhan yang meningkat sebanyak 50 – 100 %. Hal ini terutama terjadi sebagai hasil
persilangan dengan sapi Bos Indicus, Bos Taurus, dan berbagai bangsa baru silangan
seperti Santa Gertrudis, Droughtmaster, Belmot Red, Braford, Brangus dan lainnya.
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan• Kebutuhan konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih mengharapkan import dari
negara lain, oleh karena kemampuan ternak lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi belum dicapai.
• Untuk meningkatkan populasi sapi perlu diperhatikan tiga hal yakni; sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya pakan ternak yang berkesinambungan.
• Pola kebijakan pengembangan diarahkan pada pola kemitraan sehingga peran pemerintah lebih hanya kepada pemberi motivator, sebagai fasilitator dan regulator.
• Diperlukan program pemuliaan untuk mempertahankan atau meningkatkan mutu genetik sapi Bali di Daerah pengembangan.
S a r a n• Perlu perhatian dan kebijakan pemerintah yang lebih baik dalam penanganan
pengembangan populasi sapi potong khususnya sapi Bali diberbagai daerah di Indonesia, dengan memberdayakan petani peternak dan sumber daya pakan yang melimpah.
• Kontrol yang ketat terhadap jumlah sapi yang dikeluarkan (dipotong) dengan memperhatikan jumlah ternak pengganti dan perkiraan peningkatan populasi tiap tahun, serta pelarangan yang ketat terhadap pemotongan betina produktif.
• Diperlukan kebijakan pemerintah sebagai motivator, fasilitator dan regulator untuk lebih menggiatkan peternakan yang berbasis pada peternakan kerakyatan dengan pola kemitraan.
• Pola pengembangan peternakan sebaiknya diarahkan pada usaha ternak yang sustaianable (full time), untuk lebih meningkatkan kesejahteraan petani (to
increase farmer’s levelfare), dan meningkatkan pertumbuhan populasi ternak ruminansia khususnya sapi Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Admadilaga, 1975. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional dan Perusahaan Ternak dalam Sistem Pembangunan Peternakan. Work Shop Purna Sarjana Ekonomi Peternakan. F.E. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Anonimus, 1998. Kajian Pola Pengembangan Peternakan Rakyat Berwawasan Agribisnis. Lembaga Penelitian IPB dan Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia.
------------, 1999. Buku Statistik Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.Astuti, M., W. Hardjosubroto dan S. Lebdosoekajo. 1983. Analisis Jarak Beranak Sapi PO
di Kecamatan Cangkringan DIY. Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan BP3. Departemen Pertanian, Bogor.
Astuti, M., 1999. Pemuliaan Ternak, Pengembangan dan Usaha Perbaikan Genetik Ternak Lokal. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Pemuliaan Ternak pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Budiarto, A., 1991. Produktivitas Sapi Potong di Jawa Timur Tahun 1988-1989. Tesis Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Dalton, C. 1987. An Introduction to Practical Animal Breeding. English Language Book Society, Longman.
Darmadja, S.D.N.D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali. Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung.
Djagra, I.B., I.B. Arka. 1994. Pembangunan Peternakan Sapi Bali di Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Lokakarya Pengembangan Peternakan Sapi di Kawasan Timur Indonesia, tanggal, 6-8 Februari 1994, Mataram
Djanuar, R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Keman , S., 1986. Keterkaitan Produktivitas Ternak dengan Iklim, Masalah dan Tantangan. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mata, Yogyakarta.
Maskyadji, A.S.Z.Z., 1992. Pertumbuhan dan Out put sapi Madura di Pulau Madura. Tesis Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Moran. J.B., 1980. Performans dari sapi-sapi Pedaging di Indonesia dalam Kondisi Pengelolaan Tradisional dan Diperbaiki. Laporan Seminar Ruminansia II Hal 122. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak, Bogor.
Martojo H. 1989. Pengembangan Peternakan di Sumatra dalam Menyongsong Era Tinggal Landas. Proceedings, Seminar Nasional Peternakan, 14–15 September 1988. Fakultas Peternakan, Universitas Andalas, Padang.
Ngadiyono, N. 1997. Kinerja dan Prospek Sapi Bali di Indonesia. Seminar Enviromental Pollution and Natural Product and Bali Cattle in Regional Denpasar. Bali.
Oetoro, 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Sapi Potong. Proceding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor 7-8 Januari 1997 hal 87-95.
Pane, I. 1989. Pelaksanaan Perbaikan Mutu Genetik Sapi Bali. Denpasar, Bali.______, 1990. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3 Bali. Proceeding
Seminar Nasional Sapi Bali. Bali 20 – 22 September 1990 A42 – A46.Putu, I.G., Dewyanto, P. Sitepu, T.D. Soedjana, 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan
Teknologi Produksi Sapi Potong. Proceeding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 7-8 Januari 1997 hal. 50-63.
Seiffert, G. W. 1978. Simulated Selection for Reproductive Rate in Beef Cattle. J. Anim. Sci. 61 : 402-409.
Soesanto, M. 1997. Pengintegrasian Pembangunan Sub-Sektor Peternakan dengan Pelestarian Keanekaragaman Hayati, Seminar Nasional. Peningkatan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Nasional, Yogyakarta.
Sumadi, 1985. Beberapa Sifat Produksi dan Reproduksi dari Berbagai Bangsa Sapi Potong di Ladang Ternak. Tesis Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
Sutan, S.M. 1988. Perbandingan Performans Reproduksi dan Produksi Antara Sapi Brahman, Peranakan Ongole dan Bali di daerah Transmigrasi Batumarta, Sumatra Selatan. Disertasi Doktor, Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
Tanari, M. 1999. Estimasi Dinamika Populasi dan Produktivitas Sapi Bali di Propinsi Daerah Tngkat I Bali. Tesis, Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Trikesowo, N., Sumadi dan Suyadi. 1993. Kebijakan Riset di Bidang Pengembangan dan Perbaikan Mutu sapi Potong dengan teknik Ladang Ternak dan feedlot. Forum komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan, Yogyakarta.
Vercoe, J.E. dan J.E. Frisch. 1980. Pemuliaan Dari Segi Genetik Sapi Pedaging di Daerah Tropik. Laporan Seminar Ruminansia II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak, Bogor.
Warwick, E.J., J.M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Ilmu Pemuliaan Ternak. Ed ke V. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Williamson, G., dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi ketiga. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wodzicka-Tomaszewska, M., T.D. Chaniago and I.K. Sutama. 1988. Reproduction in Relation to Animal Production in Indonesia. Institut Pertanian Bogor-Australia Project. Bogor.
Diposkan oleh whitelotus di 21:07
0 komentar:
Poskan Komentar
Posting Lama Beranda Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Pengikut
Arsip Blog
• ▼ 2009 (2) o ▼ Februari (2)
USAHA PENGEMBANGAN SAPI BALI SEBAGAI TERNAK LOKAL...
UNTUK TEMAN-TEMAN INDONESIA
Mengenai Saya
whitelotus Lihat profil lengkapku