857-919-1-PB

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hhhh

Citation preview

  • @ Artikel Penelitian

    Analisis Kedalaman Fossa Olfaktoriusdengan Sudut hlasofrontal Berdasarkan

    Klasifikasi Keros

    Yan Edwin Bunde, Freddy George Kuhuwael, Sutji Rahardjo, Muhammad Amsyar AkilBagian llmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Lehe4

    Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Maleassar

    Abstrak: Pencitraan dengan CT scan sinus paranasalis merupakan keharusan sebelum tindakanBSEF, untuk mengetahui anatomi sinonasal dan struktur sekitarnya. Klasifikasi Kerosmendeskripsikan kedalamanan fossa olfaHorius tipe-j yang saxgat rentan terjadi kebocorqncairan serebrospinalis dan kamplikasi intrakranial lainnya. Asumsi bshwa sudut nasafrontaldan kedatamanfossa olfaktorius berasal dctri penorcjolercwajahyang same pada masakehidupanembriologi, ingin ditelusari kebermaknaannya dalam penelitian ini. Penelitian ini inginrnembuktikan apakah matra hidung luar yakni ,sudut nasafrontal dapat menjadi pararneteruntuk memprediksi matra hidung dalam yakni kedalamanfossa olfahorius. Penelitian dilal

  • Analisis Kedalamarc Fassa Olfaktorius Dengan Sudut Nasofrantal

    The Depth of Olfactory Groove Analysis With NasofrantalAngle Based on Keros Classification

    Yan Edwin Bunde, Freddy George Kuhuwael,Sutji Rahardjo, Muhammad Amsyar Akil

    Ear Nose Throat-Head and Neck Departrnent,Faculty of Medicine, Hasanuddin Ul,itersity, Makassar

    Abstra{t: Radiagraphic imaging of camputed tamagraphy (CT) scan befare perforrning pf.$$ igmandatory to understand sinonasal anatomy and its adjacent struclures. Keros classification hadbeen describing the depth of olfactory groove which type-3 is most vrlnerable to CSF leak andintretcranial penetration. Assuming that nasofrontal angle and the depth of olfactory groore caflefrornthesamefacialprqjectionduringembryonallifewillbefndingoutinthisstudy.Can extetnalnasal measarement i.e. nasofrontal angle be a new parameter to predict intemal nasat measufe-ment i.e- the depth of olfactory groave? Astudy had been conductedfor 124 subjects. We obtainedthe descriptions of the depth of olfactory groove each side which is Keros type 2, type 3, type 1conseeutively at left side and Keros tTpe 2, We I, We 3 cottsecutively attheright side. The leftsideolfactory groove deepet'tltan the right side. Mean of ncsofrontal cngle is 134, 2". There was nosignficant cot'relation between nasofrontal angle and the depth of olfactnry groove so nasofrontalangle can not be a parameter to predict the depth ofolfactory grooveKey words: Keros classifrcation, olfactory groove, nasofrontal angle

    PendahuluaniPada dua dekade terakhir, Bedah Sinus Endoskopik

    Fungsional (BSEF) merupakan suatu prosedur yang telahditerima secara luas untuk penanganan Rhinosinusitiskronikt'2 Prosedur ini telah sangat berkembang di Indonesiatermasukdi Makassar.

    Untuk dapat melakukanBSEF dengan aman danbaikdibutuhkan faktor ketersediaan instrumentasi dan tehnikoperasi yangbaik, kemampuan mencennati stn:khu anatomisinonasal dan struktur sekitarnya serta kemampuanmenangani komplikasi yang dapat terjadi.s Dalam melakukanBSEF, merupakan suatu keharusan untuk melakukanpemetaan variasi anatomi Sinonasal dan stnrktur sekitarnyadengan lebih rinci pihr melalui pemeriksaanComputed Tb-mography (CT) scan sinus paranasalis.a

    Salah satu variasi anatomi yang penting diketahui dalammelalaftan BSEF adalah kedalarnan fossa olfaktorius. Lamfunlateralisnya merupakan daerah rawan tembus pada tindakanetmoidektomi intranasal yang merupakan prosedur BSEFsehingga dapat terjadi kebocoran cairan serebrospinalis.5'6Angka kejadian kebocoran cairan serebro-spinalis akibatBSEF berkisar |Yo, tergantung dari ahli bedah dan kasusyang dihadapi. Kejadian tersebut dapat menjadi keadaanyangmengancamjiwa.2

    292

    Kedalaman fossa olfaldorius telah diklasifikasikan olehKeros terdiri dari 3 tipe yaitu tipe I ( I -3 mm), tipe I1 (4-? mm)dan tipe 3 (8-16 mm) seperti diperlihatkan pada gambar 1.Tipe 3 mempunyai lamina lateralis yang lebih panjangsehingga paling berpotensi untuk terjadinya kebocorancairan serebro-spinalis dan komplikasi intrakranial lainnyayang dapat mengarcamjiwa penderila. Para ahli BSEF harusmempertimbangkan dan mewaspadai keadaan tersebut.7,8

    Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 20OE

  • Analisis Kedalaman Fossa Olfaktorius Dengarc Sudut Nasofrontal

    Penelitian-penelitian tentang kedalaman fossaolfaktorius menurut Klasifikasi Keros telah dilakukandibeberapa negara. Di Indiatt didapatkan hasil tipe I pada 15Wnderitae$/o),tipetrpada59pndeita(78,77o)dantipeltrpada 1 penderita (1,3W . Di Philipina diperoleh tipe I pada 8penderita (15,6Y$, ttpe[,pada5 penderita (9,87o) dan tipe Itrpada 23 penderita (45%). Endang Mangunkusamomemperoleh hasil tipe I pada l1 kasus (44VQ,ttpeIIpada7kasus (287o) dan tipe Itr pada? kasus (287o).12

    Biladiperhditan secaraembriologi( dasar darifossaolfaktorius ya;ttu lamina cribrosa ossis ethmoidalis yangjuga merupakan bagian dari 6asls cranii anterior mempunyaiketerkaitan d engan pra ce ssus frontanasali s.

    Dengan berkembangnya daerah sekelilingnya, proces-sus frontonasalis menjadi cekung dan pada bulan ke tigausia fetus terbentuk processus nasalis lateralis yang akanberperan pada perkembangan atap rongga hidung.''

    Pada saat lahir, basis cranii anterior termasuk osethmoidis, crista galli dan atap hidung belum mengalamiossifikasi, masih berupa tulang rawan. Seiring tumbuhkembangnya anak, akan te{adi ossifikasi pada basis craniianterior termasuk tulang hidung dan sekitar dahi, sepertitampakpada gambar 3.13

    Diketahui terdapat beberapa ukuran sudut-sudut wajahdari proporsi estetikawajah, seperti sudut nasofrontal, sudutnasofasiaT, sudut nasomental dan sudut naso1zbial.14'15 Diantara sudut-sudut wajah tersebut, menurut asal embriologikdan tumbuh kembangnya, sudut nasofrontal diasumsikanmempunyai keterkaitan dengan fossa olfaktorius.

    Dengan melihat hubungan embriologis kedua strukturtersebut ingin diamati apakah ada hubungan antara sudutnasofrontal dan kedalaman fossa olfaktorius, sehingga bisadijadikan suatuparameterbam dalam memprediksikedalaman

    Maj Keilokt Inilon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 2008

    Gambar 3. Sudut Nasofrontal Wajah la

    fossa olfaktorius itu sendiri, pada keadaan fasilitas CT scanbelumtersedia.

    Hingga saat ini belum terdryat data mengenai kedalamanfossa olfaktorius menurut klasifikasi Keros di kota Makassar.Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama untukmengetahui apakah terdapat korelasi bermakna antara matrahidung dalam yattu ukuran kedalaman fossa olfaktoriusdengan matra hidung luar yaitu ukuran sudut nasofrontal.

    MetodeJenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

    ektplorat$ Populasi penelitian ini adalah semua penderitaRinosinusitis Pra BSEF yang telah atau akan menjalantpemeriksaan CT scan sinus paranasalis potongan koronaltanpa kontras.

    Syarat inklusi sampel adalahPenderitaPra BSEF yangdi lalckan pemeriksaan Clscan sinus paranasalis potongankoronal tarpa kontras, berusia minimal 17 tahun, sub rasDeutero Melayu atau Proto Melalu. Syarat eksklusi bilaterdapat riwayat operasi hidung sebelumnya, tumorhidung

    3f tu,?znw* *ps*tz te

  • Analisis Kedalaman Fossa Olfuktorius Dercgan Sudut Nasafrontal

    yang dapat merubah ukuran kedalaman fossa otfaktorius dansudut nasofrontal, polip hidung masif yang menyulitkanpengukuran kedalaman fossa otfaktorius, riwayat traumahidung dan maksilofasial sebelunnya.

    PeEanbiJar mnpelscata ranclom sampling method.Ukuran kedalaman fossa olfaktorius ialah ukuran yangdidapatkan berdasarkanjamk garis tegak lurus antara laminakribrosa dengan ketinggian atap ethmoid pada imaging CTscan sinus paranasalis potongan koronal tanpa kontras.

    HasilPenelitianSelama kurun waktu 4 bular! yaitu dad bulan Mei 200?

    sampai bulan Agustus 2007 , telah dilakukan pengambilansampel pada penderitz pra BSEF yang telah menjalanrpemeriksaan CT scan sinus paranasalis potongan koronal dibagian radiologi, RSAD Pelamonia, Makassar yangmementrtri kriteria penelitian. Jumlah total sampel sebanyak120 penderita.

    Karakteristik sampel penelitian sebagai berikut:

    Tabel 1. Frekuensi Menurut jenis Kelamin, Suku dan Sub-

    Yariabel Frekuensi Persentase

    Tabel 1. menur$ukkanjurnlah sampel perempuan lebihbanyak dari laki-laki dengan perbandingan 1,7: 1. Tiga nrkuterbanyak secara berurutan adalalah suku Bugis sebesar 51subjek (42,5o/A, suku Makassar sebesar 40 subjek (33,3Vo)dan suku Toraja sebesar 10 subjek (8,37o). Deutero Melayusebagai sub ras terbanyakyaitu 104 subjek (86,7yA.

    Tabel. 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Suku dan JenisKelamin

    Suktr Laki-Laki JumIah

    Bugs 17Makassar 16Toraja 1Mandat IJawa 3Tolaki ITernate 2Batak 1BetawiBima 1Raha

    14,11 34t3,28 240,83 90,83 2t{ t,0,83 21,66 I0,83-1

    0,83-1

    4,93

    28,22 51t9,92 4A7,47 101,66 31,66 51,66 30,83 3o,g:

    0.83

    42,5A33,338,33t {n4,162,502,540,830,830,830,830,83

    36,7 76 63.3 120 100

    Tirbel 2 memrnjukkan bahwa laki-laki suku Bugis sebesar17 stfujek (l 4, I lVg dan perernpuannya 3 4 utujek (28,22%)merupakan sampel tertesar dalam distribusi ini.

    Tabel 3. Distribusi Klasifikasi Keros pada Seluruh Sample

    KlasifikasiKeros

    Sampel

    FossaOlfaktorius

    Kifi

    FossaOlfalokrius

    Kanan

    Jenis kelamin:Laki-lakiPerempuan

    Sub Ras DMBuSsMakassarBimaMandarBetawiJawaTernate

    Sub Ras PMTolakiRaha/WunaTorajaBatak

    Sub-rasDeutero MelayuProto Melayu

    Perempuan:TIPE ITIPE IITIPE III

    Laki-laki:TIPE ITIPE IITIPE III

    115015

    62414

    4476

    514A

    1

    3I5-t

    3)10

    1

    36,763,3

    42,533,3

    0,et