8307362-Cdk-082-Infeksi-Nosokomial-i(2)

Embed Size (px)

Citation preview

1993

82. Infeksi Nosonomial (I) Januari 1993

International Standard Serial Number: 0125 913X

Daftar Isi :2. Editorial 4. English Summary 5. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Dr Cipto Mangunkusumo dengan Sumber Daya Minimal Robert Utji 8. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Persahabatan, Jakarta H Thamrin Hasbullah 13. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSUD Dr Soetomo, Surabaya Djoko Roeshadi, Alit Winarti 16. Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Mitra Keluarga, Jakarta Hartati Kurniadi 18. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSU Bekasi Dean Wahyudi Satyaputra 21. Sterilitas Udara Ruang Operasi dan Peralatan Bedah serta Higiene Petugas Beberapa Rumah Sakit di Jakarta Pudjarwoto Triatmodjo 25. Peranan Laboratorium dalam Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Nosokomial Dalima Ari Wahono Astrawinata 28. Kebiasaan Cuci Tangan Petugas Rumah Sakit dalam Pencegahan Infeksi NosokomialDAnwar Musadad, Agustirta Lubis, Kasnodihardjo 32. Air sebagai Sumber Kontaminasi Usman Suwandi 36. Infeksi pada Transplantasi Ginjal dan Pencegahannya R.P. Sidabutar, Suhardjono 39. Dampak Proses Chlorinasi Air pada Kesehatan Inswiasri, Agustina Lubis 42. Manifestasi Mata Penyakit Sistemik Hilman Taim 45. Bank Mata Sidarta Ilyas 49. Evaluasi Pemakaian Kelabu Dipoles Permethrin untuk Penanggulangan Malaria dengan Vektor An. sundaicus di Lampung Santiyo Kirnowardoyo, Panut, Hasan Basri, Adi Waluyo 53. Sensitivitas Plasmodium fal,ciparum terhadap Beberapa Obat Anti Malaria di Desa Pekandangan, Jawa Tengah Emiliana.T., Sekar Tuti, M Renny, PR Arbani, Harijani AM 57. Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran Tahun 1992 61. Humor Kedokteran 62. Abstrak 64 RPPIK

Karya Sriwidodo

Mungkinkah seseorang yang dirawat di rumahsakit menjadi bertambah penyakitnya? Suatu pertanyaan yang kedengarannya aneh; tetapi bila direnungkan lebih dalam, hal tersebut tidaklah mustahil bukankah rumahsakit merupakan tempat berkumpulnya berbagai jenis penyakit, baik yang menular maupun yang tidak? Tentu saja kemungkinan di atas merupakan hal yang sedapat mungkin dihindari, karena bukan saja akan menambah biaya perawatan, tetapi lebih-lebih akan memperberat penderitaan pasien yang bersangkutan. Jadi usaha yang dilakukan tidak cukup dengan usaha pengobatan saja, tetapi meliputi juga tindakan pencegahan terjadinya infeksi yang terjadi di rumahsakit yaitu infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial merupakan masalah, terutama di rumahsakitrumahsakit besar yang merawat pasien dengan berbagai jenis penyakit, baik yang menular maupun yang tidak. Masalah ini harus selalu dipantau dan dicegah sedapat mungkin, antara lain dengan menerapkan tindakan asepsis, mengurangi tindakan invasif dan yang tidak kurang pentingnya membiasakan para petugas berperilaku higienis. Masalah ini merupakan pokok bahasan edisi ini, meliputi pengalaman di berbagai rumahsakit, pemeriksaan laboratorium yang relevan dan kemungkinan sumber infeksi; semoga bahasan ini berguna bagi para sejawat agar tidak menjadikan pasiennya bertambah sakit. RedaksiUntuk memperluas jangkauan, maka sejak tahun 1993 ini, Cermin Dunia Kedokteran tidak lagi hanya dibagikan oleh PT Kalbe Farma, tetapi juga oleh PT Dankos Laboratories, PT Bintang Toedjoe, PT Hexpharm Jaya dan PT Pfrimmer Infusol Indonesia. Hal ini terlaksana berkat kerjasama dengan perusahaan-perusahaan farmasi tersebut di aks; untuk itu Redaksi mengucapkan terima kasih, semoga dengan cara ini Cermin Dunia Kedokteran dapat semakin luas dibaca dan dimanfaatkan.

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

1992

International Standard Serial Number: 0125 913X REDAKSI KEHORMATAN KETUA PENGARAH Dr Oen L.H KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PELAKSANA Sriwidodo WS TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Midas Surya Grafindo Prof. DR. Kusumanto SetyonegoroGuru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. DR. B. ChandraGuru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Prof. Dr. R.P. SidabutarGuru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. Dr. R. Budhi DarmojoGuru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Prof. Dr. Sudarto PringgoutomoGuru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Drg. I. SadrachLembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

Prof. DR. Sumarmo Poorwo SoedarmoKepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

DR. Arini SetiawatiBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN DR. B. Setiawan Drs. Oka Wangsaputra DR. Ranti Atmodjo PETUNJUK UNTUK PENULIS Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSc. Dr. P.J. Gunadi Budipranoto DR. Susy Tejayadi

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 1749. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 3

English SummarySURGICAL ROOMS AND SURGICAL INSTRUMENTS STERILITY AND PERSONNELS HYGIENE IN SEVERAL HOSPITALS IN JAKARTA Pudjarwoto TriatmodjoHealth Research and Development Center,- Department of Health, Indonesia, Jakarta

PRACTICE OF HAND-WASHING AMONG HOSPITAL PERSONNEL D. Anwar Musadad, Agustina Lubis, KasnodihardjoResearch Centre on Health Ecology, Health Research and Development Board, Department of Health, Indonesia, Jakarta

In order to determine the spread of infections in hospitals, isolation of microorganisms were carried out in various nursing rooms and surgical rooms, including the surgical instruments. In addition, a hand-swab test of nursing personnel was conducted. It was found that in the surgical operating rooms in several hospitals,the bacterial count was more than 15CPLI/15',which was higher than the required limit. Staphylococcus was the most frequent contaminant. In addition, the bacterial count in several nursing rooms varies between 10-300 CPU/15'. The hand swab test showed that 34.4% of the nursing personnel contaminated by nosocomialcausing microorganisms, such as E. coil, Staphylococcus, Pseduomonas, Proteus, Streptococcus and molds such as Aspergillus sp. Furthermore, several surgical instruments were found to be contaminated by bacteria.Cemin Dunia Kedokt.1993 ;82: 21-4 st/olh

A study on hand washing practice among hospital personnel has been done at 7 hospitals in Jakarta. There were 415 respondents which consist of 293 paramedics and 122 medical doctors. This study found that 95.2% of paramedics and 41.8% of medical doctors said that they always wash their hands before and after handling the patients. But according to our observation, most of them do not wash their hands. The result of laboratory examination showed that 97.1% of paramedic hand-swab contains microorganisms ranging from 19 x 102 to 15 x 106. It means that the handwashing practice among hospital personnel has not been adequate.Cermin Dunia Kedokt. 1993; 82: 28-31 Dam

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

Artikel Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dengan Sumber Daya MinimalRobert Utji Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN Infeksi Nosokomial (INOK) merupakan masalah yang besar di setiap Rumah Sakit. Apalagi di Rumah Sakit yang jumlah penderita yang dirawatnya banyak dengan tenaga perawatnya masih terbatas. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan prinsipprinsip higiene kurang mendapatkan perhatian. Di Amerika Serikat dilaporkan INOK mencapai 5% per tahun bahkan mungkin lebih lagi, dengan angka mortalitas 1%0); bagaimana di RS Dr. Cipto Mangunkusumo? Sebagai ilustra'si di RSCM telah dilakukan surveilans terbatas selama 6 bulan (1990) dengan hasil sebagai berikut : insiden berkisar antara 0 14,4% dan angka yang tertinggi INOKnya di Bagian Parasitologi dengan Sepsis(2). Rumah sakit dan profesi kesehatan mempunyai tanggung jawab moral untuk to do the patient no harm. Ini dapat terlaksana dengan memberikan pelayanan kepada setiap penderita dengan standar profesi tertinggi. Standar profesi ini adalah dalam program yang disusun dan dilaksanakan oleh PPIN seperti surveilans, pendidikan nosokomial kepada tenaga kesehatan, pelacakan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan sebagainya. Idealnya semua program yang disusun dijalankan secara utuh, tetapi menuntut dana yang besar; bagaimana dengan sumber daya minimal? Dalam uraian berikut ini kita akan perhatikan masingmasing komponen program PPIN. ORGAMSASI PPIN Organisasi PPIN adalah bersifat lintas sektoral dan terintegrasi di antara banyak disiplin pelayanan seperti dokter ahli penyakit infeksi, administrasi Rumah Sakit, Perawat Pengendali Infeksi (Infection Control Nurse), ahli mikrobiologi, ahli bedah, Farmasi Rumah Sakit, Unit Sterilisasi Sentral, Bagian RumahDibacakan pada Seminar Terbatas Pengendalian Infeksi Nasokomial di Rumah Saki: dengan Sumber Daya Minimal tanggal 22 Februari 1992 di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta.

Tangga Rumah Sakit dan sebagainya. Tujuan PPIN yang paling utama adalah mencegah terjadinya infeksi pada penderita di Rumah Sakit dan juga tenaga kesehatan(3). Ketua PPIN adalah seorang Klinikus ahli penyakit infeksi yang juga memperdalam pengetahuan epidemiologi dan mikrobiologi. Ketua PPIN harus diberi wewenang untuk mengambil keputusan penting yang berhubungan dengan INOK. Jabatan Ketua tidak boleh terlampau singkat mengingat program-program PPIN tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Di dalam organisasi diperlukan juga seorang yang secara khusus menangani soal dana untuk program serta kelancaran pelaksanaannya. Tugas PPIN adalah melaksanakan surveilans, menentukan kebijakan-kebijakan dan cara-cara pencegahan infeksi. Surveilans Surveilans adalah pengamatan yang seksama pada waktu tenentu terhadap penderita yang dirawat di rumah sakit, tenaga kesehatan atau lingkungan rumah sakit untuk memperoleh data untuk ditabulasi dan dianalisa. Surveilans akan memberikan gambaran tentang INOK atau suatu KLB. Di RSCM surveilans terhadap penderita yang dirawat sudah berjalan rutin secara Minis untuk memantau risiko infeksi penderita operasi, infus, kateter. Surveilans mikrobiologi belum rutin dilakukan terhadap penderita kecuali penderita luka bakar, dan lingkungan seperti di IGD, ruang rawat TST, dan ICU. Surveilans mikrobiologi penting untuk mengetahui sumber penyebab INOK sehingga langkah-langkah pengendalian dan pencegahan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

5

Buku Panduan Segala keputusan PPIN sebaiknya dituangkan di dalam sebuah buku panduan untuk setiap unit di Rumah Sakit. Buku ini harus menjadi pedoman untuk diketahui dan dilaksanakan oleh para tenaga kesehatan. Isi buku ini memberikan petunjuk-petunjuk praktis seperti petunjuk tentang cara cuci tangan yang baik; cuci tangan biasa untuk merawat penderita tanpa tindakan invasif hanya perlu air mengalir dan sabun; untuk tindakan invasif seperti pemasangan infus, kateter dan sebagainya, cuci tangan dengan air mengalir, sabun dan desinfekt.an. Apakah cuci tangan untuk tindakan operatif harus pakai sikat, sabun air mengalir, desinfektan alkohol dan waktu cuci tangan yang lebih lama. Prioritas PPIN harus melaksanakan banyak program; supaya efisien dan efektif harus ditentukan prioritas. Berikut ini sebuah contoh prioritas untuk langkah awal, lanjut sebuah rumah sakit dan prioritas untuk macam-macam rumah sakit (Gambar 1 dan 2)(1).Gambar 1.

Gambar 2.

Example of time spent in infection control activities in programs 12 years old, by size and type of institution. After a program has been well established, less time is needed for surveillance and reporting activities. Additionally, once infection control manuals (hospitalwide and departmental sections) have been completed, only annual review is necessary, so that administrative time can be decreased. More time is then allocated to teaching, consulting, or special studies.

Gambar 3.

Examples of time spent in setting up infection control programs, by size and type of institution. In setting up a program, much time is needed for surveillance and reporting infections to establish baseline infection rates. Smaller institutions will generally require less time to do total hospital data collection than will larger facilities because of the increased complexity of care. Little time is spent in teaching and consulting, partly because personnel do not know of the availability of the ICP. Administrative activities consume a great amount of time because of the need to develop infection control manuals, in both hospitalwide manual and the infection control sections of departmental manuals.

For an infection to occur, all three parts of the infection chain must be present, and all criteria must be met.

Di dalam menentukan skala prioritas untuk melakukan pengendalian, kita harus dapat tentukan faktor yang paling utama. Sumber Sumber infeksi dapat berupa kuman, virus, protozoa dan parasit yang terdapat di alam. Bahkan manusia sehat juga penuh

EPIDEMIOLOGI Untuk pelaksanaan pengendalian dan pencegahan perlu diketahui epidemiologi INOK. Kita akan melihat 3 faktor yang bersama-sama menentukan terjadinya INOK (Gambar 3).

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

dengan kuman yang dianggap normal. Untuk penderita yang imunokompromi, kuman normal pun dapat menjadi patogen karena daya tahan tubuh yang berkurang. Lingkungan kita terkenal dengan sumber kuman patogen yang paling besar. Bila PPIN akan mengawasi semua sumber kuman dengan jalan memantau secara rutin, biayanya akan sangat besar dan tidak praktis. Penderita Penderita selalu menjadi sasaran benih penyakit karena biasanya keadaan tubuh yang lemah. Langkah pertolongan yang diberikan rumah sakit dalam perawatan penderita serba sulit karena perawatan yang berlebihan akan meninggikan risiko infeksi dan perawatan yang kurang akan melemahkan daya tahan penderita. Dalam pengendalian INOK, penderita harus menjadi obyek yang paling utama : to do the patient no harm. Kita harus cepat dapat menanggulangi atau mencegah infeksi dari luar maupun dari dalam. Keadaan yang paling optimal adalah kalau penderita dirawat secara khusus seperti di isolasi atau dilayani khusus oleh perawat tertentu. Cara Penularan Cara penularan melalui tenaga perawat ditempatkan sebagai penyebab yang paling utama INOK. Penularan melalui tangan perawat dapat secara langsung karena tangan yang kurang bersih atau secara tidak langsung melalui peralatan yang invasif. Dengan tindakan mencuci tangan secara benar saja, INOK dapat

dikurangi 50%t`l. Peralatan yang kurang steril, air yang terkontaminasi kuman, cairan desinfektan yang mengandung kuman, sering meningkatkan risiko INOK. KESIMPULAN Sekarang pertanyaan yang penting yang perlu dijawab : Bagaimanakah Rumah Sakit dapat melakukan pengendalian INOK dengan sumber daya yang minimal ? 1. Tujuan pengendalian harus diprioritaskan kepada penderita terlebih dahulu dan tidak pada tenaga kesehatan. 2. Untuk memutuskan mata rantai infeksi, prioritas utama adalah pada tenaga perawat dengan jalan mengubah perilaku menjadi lebih aseptik dan menjalankan peraturan-peraturan dalam buku panduan secara konsekuen. 3. Surveilan penderita harus dibarengi dengan surveilan bakteriologik supaya dapat ditemukan sumber infeksinya.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Castle M, Ajemian E. Hospital Infection Control. Principle and Practice. 2nd ed. New York: Wiley Medical, 1987. hal 1-4. Made Nursari. Laporan Surveilans Nosokomial. RSCM, 1990. La Force FM. The Hospital Infection Control Committee. A personal view. Hosp. Pract. 1977; 12(1): 135. Steere AC, Mallison GF. Hand washing practices for the prevention of nosocomial infections. Ann. Intern. Med. 1971; 83: 683.

KALENDER PERISTIWA May 3 6, 1993 DERMATO-THERAPEUTIC UPDATE '93 INTERNATIONAL SYMPOSIUM Nusa Indah Convention Centre Bali, INDONESIA. Secr.: Dept. of Dermatovenereology, Faculty of Medicine, University of Indonesia. PO Box 4200/JATJG Jakarta 13041 INDONESIA

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

7

Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Persahabatan, JakartaH. Thamrin Hasbullah UPF Ilmu Bedah, Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Masalah Infeksi Nosokomial pada tahun terakhir ini telah menjadi topik pembicaraan di banyak negara. Telah diketahui bahwa pengelolaan infeksi nosokomial menimbulkan biaya tinggi, baik yang ditanggung pihak penderita maupun pihak Rumah Sakit; bahkan di Amerika, infeksi nosokomial termasuk dalam 10 besar penyebab kematian. Di negara maju, angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolok ukur mutu pelayanan rumah sakit. Izin operasi suatu rumah sakit bisa dicabut karena tingginya angka kejadian infeksi nosokomial; pihak asuransipun tidak mau membayar biaya lebih yang ditimbulkan akibat infeksi nosokomial sehingga pihak penderita sangat dirugikan. Dari literatur dapat dilihat betapa seriusnya masalah ini di Amerika : Angka kejadian infeksi nosokomial rata-rata 6%; rata-rata tambahan hari rawat adalah 4 hari, dengan tambahan biaya $ 1.800 per kejadian infeksi. Angka kematian infeksi nosokomial mencapai 60.000 pertahun dengan pengeluaran biaya pelayanan tambahan $ 4 Miliard pertahun (Medical Care Journal, Juli 1988; 26: 7). Di Indonesia, pengalaman di RSUD Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa dengan mengendalikan infeksi nosokomial pada Infeksi Luka Operasi (ILO) dapat dihemat biaya : 1986 : Hari Rawat = 552 hari, biaya Rp. 136.000.000, 1987 : Han Rawat = 416 hari, biaya Rp. 2.000.000, PERMASALAHAN Rumah sakit merupakan tempat mondok segala macam jenis penyakit. Rumah sakit merupakan gudang kuman-kuman patogen. Kuman yang biasa mondok di rumah sakit umumnya kebal terhadap antibiotika, bahkan terhadap banyak antibiotika.Dibacakan pada Seminar Terbatas Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Saki[ dengan Somber Daya Minimal tanggal 22 Februari 1992 di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta.

Di rumah sakit banyak dilakukan tindakan yang mengandung risiko terjadinya infeksi nosokomial, seperti : operasi, tindakan invasif, berupa kateterisasi IV, kateterisasi saluran kemih, atau endoskopi; dan pemeriksaan bahan-bahan infeksius. Justru dalam situasi lingkungan seperti inilah orang sakit yang rata-rata daya tahan tubuhnya menurun harus dirawat agar ia sembuh dari penyakitnya. INFEKSI NOSOKOMIAL Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita selama/oleh karena dia dirawat di rumah sakit. Suatu infeksi pada penderita barn bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial bila memenuhi beberapa kriteria/batasan tertentu : 1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. 2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut. 3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut baru timbul sekurangkurangnya setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan. 4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya. 5. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Ada dua faktor yang memegang peranan penting : * Faktor Endogen : Faktor yang ada di dalam penderita sendiri seperti umur, sex, dan penyakit penyerta.

8

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

*

Faktor Eksogen : Faktor di luar penderita, seperti lama penderita dirawat di rumah sakit, kelompok yang merawat penderita, lingkungan, peralatan, dan teknik medis yang dilakukan.Bagan 1. Sumber Infeksi d Rumah Sakit

tik dan aseptik, dan ketrampilan dalam menerapkan teknik perawatan. Peralatan Sangat perlu diketahui mengenai cara penggunaan, cara membersihkan dan mensterilkan, dan cara menyimpan dan mempertahankan kesterilannya. Lingkungan Perlu diperhatikan: Kebersihan lingkungan, air yang dipakai, dan udara supaya tetap bersih, mengalir dan dengan kelembaban tertentu. Dalam hal tertentu udara perlu disaring (filtrasi). Bahan yang harus dibuang (disposal) diusahakan tidak menjadi sumber infeksi, misalnya dengan memakai kantong plastik yang dapat segera ditutup, tempat-tempat sampah yang tertutup, dan kadang-kadang perlu fumigasi atau pemusnahan bahan. Dalam pengendaliannya perlu diingat bahwa pencegahan lebih baik daripada pengobatan, lebih mudah, lebih murah dan tidak berbahaya baik bagi penderita maupun lingkungannya. Caranya adalah dengan memutus mata rantai terjadinya infeksi nosokomial : Meningkatkan pengetahuan personil rumah sakit tentang infeksi nosokomial. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang risiko infeksi nosokomial bagi pasien yang dirawatnya. Melakukan semua standar prosedur kerja dengan benar dan sempurna (SOP : perawatan, tindakan dan penggunaan/pemilihan alat-alat dan lain-lain).Bagan 3. BREAKING THE CHAIN OF INFECTION

Penderita Penting diketahui antara lain : keadaan umum, penyakit penyerta seperti DM, obesitas atau penyakit khronis lainnya, dan keadaan kulit penderita, apakah normal atau ada luka. Kulit normal sudah mengandung banyak kuman yang bisa menjadi penyebab infeksi; ada kuman komensal, yakni kuman yang "normal" berada dalam pori kulit. Jumlahnya dapat dikurangi dengan cara perawatan kulit pra bedah dan pemakaian desinfektan. Sedangkan kuman pendatang yang berasal dari lingkungan terletak di permukaan kulit; ini dapat dihilangkan dengan cara perawatan kulit pra bedah dan pemakaian desinfektan. Staf rumah sakit Dokter dan personil paramedis merupakan sumber infeksi yang penting dalam terjadinya infeksi nosokomial; perlu diperhatikan kesehatan dan kebersihannya, pengetahuan tentang sep-

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

9

Identifikasi penyebab infeksi nosokomial. Pemberian pengobatan yang tepat dan rasional. Mengikutsertakan penderita dan keluarga dengan memberikan pengetahuan praktis tentang infeksi nosokomial serta penyakit yang sedang diderita penderita, melalui PKMRS. Memberi petunjuk praktis pada pengunjung tentang hal-hal yang perlu dijaga/dilakukan/dihindarkan pada waktu berkunjung melalui papan pengumuman, kertas petunjuk di pintu, dan petugas informasi di ruangan. Langkah-langkah pokok yang perlu dilaksanakan oleh rumah sakit : 1) Menetapkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan bahwa pengendalian infeksi nosokomial masuk dalam program prioritas di rumah sakit, dengan demikian dapat dipastikan adanya dukungan sumber daya. 2) Menetapkan struktur organisasi (Bagan 4).Bagan 4. Bagian Dasar Struktur Organisasi

Penyimpulan data. Pelaporan/umpan balik. Dilaksanakan dengan terarah, tepat, tertib dan berkesinambungan. Pada kejadian Luar Biasa perlu ditetapkan : Tata cara untuk melakukan identifikasi masalah. Penetapan penyebab. Cara pemecahan masalah. 5) Pendidikan personil. Peranan pendidikan personil sangat penting, karena pencegahan infeksi nosokomial hanya dapat berhasil bila ada perubahan perilaku personil; hal ini memerlukan motivasi dan pengetahuan yang bisa diperbailci melalui pendidikan. Bagan 5. Mekanlsme dasar yang dlperlukan 1. Mekanisme dam pencegahan dan surveilans.

Panitia Medik Pengendalian Infeksi (Dalin) mempunyai tugas pokok menyusun kebijaksanaan dasar, tim Dalin mempunyai tugas pokok menyusun prosedur, pendidikan, pemantauan, sedang UPF bertugas melaksanakan prosedur. 3) Penyusunan rencana kerja, prosedur kerja. Perlu ditetapkan prioritas masalah infeksi nosokomial yang akan ditanggulangi dari masalah yang ada, misalnya : Infeksi Luka Operasi, Sepsis, Infeksi Saluran Kemih, Pneumonia, dan lain-lain. Prosedur kerja yang perlu ditetapkan adalah : Cara pencegahan infeksi nosokomial. Cara pemantauan infeksi nosokomial (surveilans). 4) Pencatatan, pelaporan dan tindakan koreksi. Pengumpulan data. Penyusunan data. Analisis data.

Contoh : pada KLB : Digunakan analisis sebab akibat. Ditambah analisis penderita. Baru ditetapkan hipotesis penyebab. Baru dilakukan intervensi. Dipantau hasilnya. KESIMPULAN Infeksi nosokomial dapat dikendalikan dan angka kejadiannya dapat diturunkan dengan sepertiganya. Dengan biaya pengendalian yang murah dapat dihemat hari

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

rawat dan biaya pelayanannya. Dengan pengendalian infeksi nosokomial dapat dijaga dan ditingkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Pengendalian infeksi nosokomial tidak terlalu sukar, asal setiap petugas rumah sakit dapat memahami dan menyadari peranannya masing-masing dan pengendaliannya dilakukan dengan terencana, terkoordinir serta terkendali. RUMAH SAKIT PERSAHABATAN Rumah Sakit Persahabatan merupakan rumah sakit tipe/ klas B, yang berfungsi sebagai top referral hospital untuk penyakit thorax non kardial, dan juga merupakan pusat pendidikan dokter ahli terutama Ahli Penyakit Paru serta tempat pendidikan paramedis; untuk itu diadakan kerja sama dengan FKUI/RSCM. Di sini banyak dilakukan tindakan dengan risiko infeksi bagi penderita seperti operasi, tindakan invasif, kateterisasi intra vena, kateterisasi saluran kemih, endoskopi, dan lain-lain. Sarana yang menunjang 1) Struktur Organisasi Rumah Sakit Persahabatan sudah lengkap (Struktural dan Fungsional). 2) Rumah Sakit Persahabatan telah melaksanakan program menjaga mute yang meliputi bidang administrasi dan bidang pelayanan, baik untuk rawat jalan maiupun untuk rawat nginap. 3) Telah dibentuk beberapa Komite Pendamping Pimpinan untuk urusan khusus yakni : Dewan Medik. Komite Medical Record. Komite Farmasi. 4) Pada bulan September 1989 telah dibentuk Komite Pengendalian dan Penanggulangan Infeksi Nosokomial Rumah Sakit Persahabatan. Kendala yang dihadapi 1) Komite Nosokomial beranggotakan 16 orang, yang telah mengikuti penataran tentang infeksi nosokomial hanya 4 (empat) orang. 2) Tidak ada dana sama sekali. Cara kerja 1) Membuat program jangka pendek, yakni menyebarluaskan pengetahuan tentang infeksi nosokomial melalui : Membagi dan menyebarkan pengetahuan tentang infeksi nosokomial kepada seluruh anggota Komite. Mengisi acara Siang Klinik Dokter. Mengisi acara Siang Klinik Paramedis. 2) Membuat program jangka panjang yakni : Mengadakan penataran untuk paramedis semua UPF secara bertahap. Mengirim tenaga PRU UPF ke Seminar dan Penataran Nosokomial. Menyusun Buku Panduan. Mengadakan surveilans (terbatas). Mencari angka dasar infeksi nosokomial. Membuat peta mikroba kuman-kuman rumah sakit, beserta resistensi testnya.

Pelaksanaan Penataran diadakan bekerja sama dengan Bidang Diklat Rumah Sakit Persahabatan dan Bidang Perawatan Rumah Sakit Persahabatan, karena instansi ini sudah mempunyai anggaran. Penataran dilaksanakan secara bertahap dengan pesertanya ialah para PRU seluruh UPF beserta wakilnya, dan para PRR seluruh UPF beserta wakilnya. Materi Penataran meliputi : Pengenalan tentang infeksiNosokomial secara menyeluruh. Standar prosedur kerja perasat/tindakan seperti : Persiapan operasi. Tindakan perasat invasif intra vena. Tindakan perasat invasif kateterisasi kandung kemih. Perawatan luka operasi. Pengambilan sampel infeksius dan cara pengirimannya. Sanitasi. Pengambilan dan penyajian makanan. Uji coba surveilans tindakan invasif intra vena dan infeksi luka operasi.

Tabel 1.

Hasil Evaluasi Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Persahabatan (Mel 1991)

A. Invasif Intra Vena : I. Unit-unit/Ruang Rawat Biasa (Penilaian kasus yang masuk dalam 2 minggu). Penyakit dalam Jumlah Kasus Terinfeksi % 26 Anak 68 Paru 61 7 11% Kardiologi 2

II. Ruang Rawat ICCU : dari 12 kasus (total), 3 kasus (terkena infeksi (25%).

B. ILO (Infeksi Luka Operasi) pada operasi bersih/bersih terkontaminasi (12 Mel 1991 sd.10 Juni 1991) Operasi Bersih Operasi Bersih Terkontaminasi

Ruang Bedah Kelas Kebidanan Kelas Cempaka A Cempaka B Jumlah

Jumlah 28 8 14 40 90

Jumlah Terinfeksi Jumlah Terinfeksi 26 8 13 39 86 2 1 1 4 1 1

Dari 90 kasus, yang terinfeksi 1 = 1,1%.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 11

C. Angka kejadian lnfeksi menurut lokasl ruang rawat dengan tindakan Invasif intra vena (September 1988 ad. Oktober 1988) No. 1 2 3 4 5 Ruangan Anak Atas Melati Atas Melati Bawah Mawar Atas Penyakit Dalam Mawar Kardiologi Infus 35 21 46 9 9 Plebitis n 1 6 5 5 7 % 2,8 % 28,5 % 10,8 % 55,5 % 77,7 %

Lampiran 1. Tabel 1. Prevalensi Infeksl Nosokomial menurut Ruang Rawat dengan tindakan Invaslf tertentu (September/Oktober 1988) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Ruangan Kebidanan Klas II Kebidanan Umum Bedah G.T Bedah Cempaka A Bedah Cempaka B Anak Atas Anak Bawah Melati Atas Melati Bawah Mawar APD Mawar Kardiologi Jumlah Jumlah Prevalenai LN KRSP (%) 10 27 18 42 25 35 75 24 48 14 10 328 1 6 5 5 7 24 2,85 25 10,4 35,7 70 7,32 Keterangan Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Tanpa antibiotik

Sumber : Buku Simposiwn Keperawatan Oktober 1988, ha155.

HASIL 1. Anggota-anggota Komite Nosokomial sudah punya pengetahuan dasar yang lumayan. 2. Tiap-tiap UPF sudah mempunyai tenaga inti sebagai pelaksana pemantauan infeksi nosokomial. 3. Pengendalian dan penanggulangan infeksi nosokomial sudah masuk dalam program menjaga mutu Rumah Sakit Persahabatan. 4. Ala rasa kebanggaan pada UPF yang angka infeksi nosokomialnya cukup rendah, hal ini merangsang minat UPF lainnya.KEPUSTAKAAN 1. Materi Penataran dan Latihan Pengendalian Infeksi Nosokomial Tingkat Nasional 5 Desember s/d 17 Desember 1988 di Surabaya oleh Dep.Kes RI dan RSUD Dr. Soetomo. 2. Palma MB. Infection Control : a policy and procedure manual. W.B Saunders Co. 1989. 3. Lowbury EIL, Ayliffe GAJ. (eds.) Control of hospital infection. A practical Handbook, 1975. 4. Buku Simposium Keperawatan, Oktober 1988. Rumah Saki' Persahabatan. hal. 55. 5. Thamrin Hasbullah. PengenaanPengendalianInfeksiNosokomial.Dibacakan pada Sidang Klinik Dokter Rumah Sakit Persahabatan, 1989.

Keterangan : Pengamatan selama tiga minggu. Tabel 2. Proporsi Infeksi Nosokomial menurut Lokasi Infeksi dan Ruang Rawat dngan tindakan Invasif tertentu (September/Oktober 1988) Ruangan Kebidanan Klas Kebidanan Umum Bedah GT Bedah Cempaka A Bedah Cempaka B Anak Atas~ Anak Bawah Melati Atas Melati Bawah Mawar APD Mawar Kardiologi Keluar RS 10 27 18 42 25 35 75 24 48 14 10 Kateterisasi n 3 7 TD TD TD 3 2 5 1 ISK n 7 18 TD TD TD 35 75 21 46 9 9 Infus Fl Operasi n 2 18 42 25 TAK TAK TAK TAK TAK TAK ILO 1

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 6 5 5 7

Keterangan : TD TAK ISK Fl ILO

= tidak diamati = tidak ada kasus operasi = infeksi saluran kemih = Flebitis = infekri luka operasi

Life is half spent before we know what it is

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSUD Dr. Soetomo, SurabayaDjoko Roeshadi, Alit Wlnarti Panitia Medik Pengendalian Infeksi RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia

Prevention of nosocomial infection is primarily a matter of monitoring and improving human practice, not killing germs more completely or buying better equipment and supplies. (Haley)

PENDAHULUAN Infeksi nosokomial sangat merugikan baik penderita maupun rumah sakit. Secara definisi, infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat karena penderita dirawat atau pernah dirawat di rumah sakit. Dari data yang didapat dari surveilan WHO nyatalah bahwa angka kejadiannya cukup tinggi : 5% tahun atau 9 juta orang dari 190 juta yang dirawat; angka kematiannya cukup tinggi : 1 juta/ tahun; dan juga merupakan pemborosan yang besar. Program pengendalian infeksi nosokomial di RSUD Dr. Soetomo dimulai Januari 1986; surveilan dilakukan baik oleh dokter untuk luka operasi bersih, maupun oleh perawat untuk semua jenis infeksi nosokomial. KRONOLOGI Program ini dimulai tahun 1985; selama 1 tahun oleh anggota panitia hanya dilakukan penelaahan kepustakaan dengan tujuan untuk memperoleh kesatuan pendapat tentang infeksi nosokomial. Pada periode ini telah berhasil disusun standar, baik standar pelaksanaan perasat perawatan, standar diagnosis, standar surveilan maupun standar organisasi. Standar ini dapat terlaksana pembuatannya setelah melalui miniseminar yang dihadiri oleh semua wakil-wakil UPF sehingga dicapai kesepakatan. Pada tahun itu juga telah dilakukan surveilan untuk memperoleh angka dasar kejadian infeksi luka operasi bersih di lingkup UPF Bedah dan UPF Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Pada tahun-tahun berikutnya telah dilakukan continuous surveillance

yang dilaksanakan baik oleh peserta PPDS I maupun perawat khusus dari 5 UPF besar ditambah dengan UPF Saraf yang telah dilatih secara khusus. Untuk pelaksanaan program, dibentuk juga organisasi Dalin (Gambar 1).Gambar 1. Bentuk Organisasi Panitla Pengendalian Infeksi Nosokomial RSUD Dr. Soetomo.

MATERI DAN CARA Surveilan infeksi luk operasi dilakukan UPF Bedah yang dilaksanakan tileh semua peserta PPDS I; jenis surveilan adalah continuous observation terhadap semua kasus bedah. Surveilan untuk keseluruhan jenis infeksi nosokomial dilakukan oleh pe-

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 13

rawat di lima UPF tersebut di atas dan UPF Saraf. Untuk pengumpulan data, dibuat lembar pengumpul data yang berbeda antara LDP surveilan dokter (yang bersifat lapangan sempit tapi mendalam) dengan LDP perawat (yang bersifat luas tapi dangkal). Perawat yang melakukan surveilan adalah perawat khusus setiap ruangan yang dilcoordinir oleh perawat dari bidang perawatan yang menjadi anggota panitiapengendalian infeksi rumah sakit. Semua hasil surveilan ini diserahkan kepada dan diolah oleh Panitia Pengendalian Infeksi RSUD Dr. Soetomo sebelum dilaporkan ke pimpinan rumah sakit. Maksud dilakukannya dua surveilan sekaligus adalah untuk mengembangkan sistim kontrol dalam program ini. Hasil-hasil surveilan ini dikembalikan sebagai feed back bagi UPF/Seksi-seksi dalam UPF dengan tujuan agar mereka dapat menyadari penampilan (performance) mereka dalam pelayanan sehingga mereka dapat memperbaiki did; dengan demikian diharapkan bahwa semua pihak alum berpartisipasi Waif dengan motivasi yang benar untuk mendukung pelaksanaan program. HASIL Mulai dan 1985 s/d Desember 1991 telah diperoleh hasil seperti tercantum di bawah ini (Tabel 1,2,3,4):Tabel 1. Hasil surveilan Infeksi Luka Operasi bersih di UPF Bedah tahun 1985 s/d Desember 1989 oleh peserta PPDS I

Tabel 2.

Survelian Infeksi Luka Operasi oleh Perawat Januari 1989Juni 1991 (6 UPF 21 Ruangan)

Tabel 3.

Survelian Perawat Januari 1989 Juni 1991/I.V (6 UPF 21 Ruangan)

Tabel 4.

Survetlan Infeksi Saluran Kenih oleb Perawat Janwri 1989 Juni 1991(6 UPF21 Ruangan)

PEMBICARAAN Dari motto yang ditulis oleh Haley tampak jelas bahwa kesadaran petugas untuk melaksanakan standar perasat perawat adalah merupakan kunci pokok keberhasilan dari program pengendalian infeksi nosokomial. Dari hasil yang kita peroleh, hipotesa ini terbukti kebenarannya. Dalam surveilan infeksi luka operasi bersih yang dilaksanakan oleh dokter dengan angka dasar infection rate 3,75% pada tahun 1985, pada tahun 1986 didapatkan outbreak dengan dugaan penyebabnya (risk factor) adalah penjadwalan, pemberinfection rate 5,85%. Dalam keadaan ini dilakukan analisis tu-

lang ikan seperti yang tercantum dalam gambar 2; didapatkan dugaan penyebab (risk factor) adalah penjadwalan, pembersihan alat dan ruangan, kerja CSSD dan persiapan kulit penderita.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

Gambar 2. Mekanlsine pemecahan masalah

Setelah dilakukan perlakuan terhadap faktor tersebut, maka didapatkan angka infection rate yang menurun dengan tajam seperti tampak pada Gambar 1, sehingga pada tahun 1989 didapatkan infection rate untuk infeksi luka operasi hasil) adalah 0,83% tanpa pembelian antibiotika berlebihan; bahkan mulai tahun 1987 - 1991 ada policy penyempumaan penggunaan antibiotika dengan menekankan profilaksis primer sehingga dengan demikiatl justru mulai tahun 1987 pemakaian antibiotika cenderung menurun dengan drastis. Dari risk factor tersebut di atas jelas bahwa faktor kesadaran petugas claim melaksanakan standard operating procedure adalah sangat penting. Hal yang sama dapat dilihat pada hasil-hasil surveilan yang dilakukan oleh perawat; sehingga proses ini jelas akan berhasil apabila organisasi yang sudah dibentuk secara konsisten melaksanakan intervensi agar proses perubahan perilaku petugas dapat terjadi tents menerus menuju standar yang berlaku. Untuk memantau kesempurnaan pelaksana program maka dipakai sistim kendali seperti bagan di bawah ini.

Perbedaan yang ada, disebabkan oleh karena : 1) Pengamatan perawat hanya dilakukan selama penderita dirawat di rumah sakit, sedangkan pengamatan dokter dilakukan sampai penderita pulang. 2) Populasi yang diamati oleh perawat tidak hanya di bagian Bedah saja, sedangkan populasi pengamatan yang dilakukan oleh dokter terbatas pada UPF Bedah. Dari hasil pengamatan perawat terlihat penurunan angka kejadian phlebitis dari 68,05% menjadi 7,23% di UPF Saraf; penurunan ini pada hakekatnya dapat terjadi karena setiap pentgas pelaksana pelayanan melaksanakan standar perasat pemasangan i.v. kateter sebailc-baiknya. Di dalam program ini juga dicoba untuk menganalisa manfaat program ini bagi penghematan dana; akibat infeksi nosokomial, waktu perawatan bagi penderita infeksi nosokomial bertambah (8 hari), ongkos harian bat7c untuk pembelian antibiotdca maupun pemeriksaan laboratorium dan perawatan jugs menittgkat; maka dengan gads kendali infection rate 3,74% dapat dihemat dana sekitar 90 juta rupiah (tahun 1986). Apabila garis kendali diambil 1,5%, maka penghematan yang didapat adalah 180 juta rupiah total. Dari kenyataan-kenyataan di atas jelaslah bahwa pelaksanaan program pengendalian infeksi nosokomial merupakan program untuk mengendalikan mutu pelayanan rumah sakit yang perlu dilaksanakan oleh setiap rumah sakit dalam ruang lingkup masing-masing. RINGKASAN Telah dilaporkan perjalanan program pengendalian infeksi nosokomial di RSUD Dr. Soetomo mulai tahun 1986 - 1991 dimana didapatkan kenyataan bahwa : 1. Faktor dominan keberhasilan program adalah motivasi petugas untuk melaksanakan standar perasat keperawatan. 2. Program ini mampu mengendalikan pemborosan keuangan.KEPUSTAKAAN 1. Djoko Roeshadi. Lipman Hasil Pengamatan Angka Kejadian Infeksi Luke Operasi untuk Kasus-kauu Bedah Terencana di Laboratorium-UPF. Dmu Bedah FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Simposium Nasimal Infeksi Nosokomial, Surabaya, Juni 1988. Haley RW. Managing Hospital Infection Control for Cost Effectiveness. AHA,1986. Pengendalian Infeksi NosokomiaL Simposium-Lokakarya National, Moh. Malin Abdullah dick. (Ed.), Surabaya, 9 -11 Juni 1988. Snook ID. Hospitals: what they are and how they work. USA: Aspen Pub1, 1981. Wilson L Quality Assurance and Review, Seminar. Australia, August 1982. Wirawan S. Jaminan mum di Rumah Sakit, Bul PERSI 1984; 2: 7.

2. 3.

Dari hasil surveilan perawat mengenai infeksi luka operasi nyata tidak ada perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan hasil yang dilakukan oleh dokter.

4. 5. 6.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 15

Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Mitra Keluarga, JakartaHartati Kurniadi RS Mitra Keluarga, Jakarta

PENDAHULUAN Rumah Sakit Mitra Keluarga adalah rumah sakit swasta yang dibangun dan diasuh oleh Yayasan Mitra Keluarga. Rumah Sakit ini diresmikan oleh Gubemur DKI, Bapak Wiyogo Atmodarminto pada tangga125 Maret 1989. Pada saat diresmikan, rumah sakit ini terdiri dari 5 lantai dengan kapasitas 100 tempat tidur, kemudian pada bulan April 1991 menjadi 6 lantai dengan kapasitas 152 tempat tidur, lalu bulan November 1991 menjadi 7 lantai dengan kapasitas 212 tempat tidur dan sejak bulan Februari 1992 menjadi 8 lantai dengan kapasitas 254 tempat tidur. Karena keterbatasan ruangan, maka Rumah Sakit Mitra Keluarga hanya membedakan ruangan-ruangan atas ruangan anak dan dewasa serta ruangan infeksi dan non infeksi; tidak ada ruangan khusus penyakit dalam, penyakit syaraf, penyakit bedah dan sebagainya. Makalah ini tidak akan membahas infeksi nosokomial dari segi ilmiahnya, tetapi lebih merupakan suatu laporan tentang pengalaman kegiatan awal Tim Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Mitra Keluarga. UPAYA PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL Untuk memberikan kualitas pelayanan yang lebih baik terhadap pasien, maka sejak tahun 1990, salah satu cara pencegahan infeksi nosokomial yang dilakukan adalah, mengikutsertakan perawat-perawatdan beberapadokterdalam Simposium Pengendalian Infeksi Nosokomial. Ketnudian para peserta simposium tersebut mencoba mempraktekkannya di RSMK, meskipun pada waktu itu dari pengamatan jarang sekali terdapat kasus infeksi nosokomial. Melihat perkembangan jumlah pasien serta kapasitas tempat tidur di RSMK, dan untuk tetap menjaga mutu pelayanan rumah sakit maka pada bulan November 1991 dipikirkan perlunya membentuk suatu organisasi khusus untuk pencegahan infeksiDibacakan pada Seminar Terbatas Pengendalian lnfeksi Nosokomial di Rwnah Saki, dengan Sumber Daya Minimal tanggal 22 Februari 1992 di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta.

nosokomial. Oleh sebab itu sejak bulan Desember 1991, mulai dipikirkan bentuk organisasi yang kira-kira cocok untuk RSMK. Maka pada bulan Januari 1992, diresmikanlah organisasi tersebut dengan susunan sebagai berikut : Ketua Tim : Dr. Jan Tambajong. Ketua Pelaksana Harian : Dr. Hartati Kurniadi. Pelaksana Harlan : Para Koordinator Lantai. Pelaksana Ruangan : Perawat-perawat di Ruangan. Meskipun organisasi ini baru diresmilcan pada bulan Januari 1992, tetapi sejak bulan Desember 1991, tim ini sudah mulai berjalan meskipun dengan sepia keterbatasannya. Pencegahan infeksi nosokomial di RSMK terutama ditujukan untuk kepentingan operasional yang berkaitan dengan peningkatan mutu pelayanan (quality assurance) yang kini masih terbatas pada aspek surveilans. Tujuan surveilans tersebut adalah untuk memantau sejauh mana keadaan aseptik/steril di bagian-bagian tertentu dari RSMK telah tercapai agar dapat diambil langkahlangkah perbaikan manajemennya. Upaya pencegahan infeksi nosokomial di RSMK secara umum meliputi : 1. Mengingat kembali tentangkemungkinan terjadinya infeksi nosokomial akibat tingkah laku personil rumah sakit (medik dan paramedik). Perawat dan dokter yang telah mengikuti Simposium Pengendalian Infeksi Nosokomial secara bergantian memberikan ilmu yang mereka peroleh lalu dilanjutkan dengan diskusi. 2. Keharusan untuk mentaati prosedur pelayanan yang telah ditetapkan. Pemantauan pelaksanaan prosedur pelayanan. 3. Peningkatan kemampuan opersonil. Pendidikan dan pelatihan dalam bidang infeksi nosokomial. 4. Pemantauan terjadinya infeksi nosokomial. Dilakukan pengamatan tentang kemungkinan terjadinya

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

infeksi nosokomial di Iantai-lantai perawatan dan ICU. Yang dicatat sebagai infeksi nosokomial adalah semua kasus infeksi yang terjadi sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam dirawat di rumah sakit atau pada waktu masuk tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. Meskipun kultur tidak mendukung ke arah infeksi nosokomial, tetap dicatat sebagai infeksi nosokomial. 5. Penelitian terhadap infeksi nosokomial. Ella terdapat kecurigaan adanya infeksi nosokomial, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium yang dianggap perlu. Selain itu secara teratur diadakan uji sterilitas ruangan dan peralatan di RSMK. MASALAH DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DAN UPAYA UNTUK MENGATASINYA 1. Organisasi ini masih sangat muda sehingga masih harus belajar banyak pada ahlinya. Dipikirkan kemungkinan untuk belajar dan langsung melihat cara pemantauan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. 2. Pengetahuan petugas rumah sakit mengenai infeksi nosokomial masih belum mantap. Akan diusahakan lagi pendekatan secara berkelompok atau secara individu. 3. Masih ada petugas yang belum mengikuti semua prosedur pelayanan yang telah ditetapkan. Koordinator lantai akan tetap memantau secara random dan sekaligus mengingatkan kembali prosedur yang seharusnya dilaksanakan. PEMBICARAAN Sampai saat ini, tim pencegahan infeksi nosokomial RSMK masih harus belajar banyak agar dapat menyqjikan laporan dan data yang setepat mungkin. Untuk itu sebagai langkah berikutnya adalah membetulkan laporan yang saat ini dibuat. Dari formulir pencatatan kasus infeksi nosokomial, yang akan dicatat setiap hari adalah pasien barunya saja; kemudian bila ada yang menunjukkan infeksi nosokomial, maka nama pasien tersebut dicatat di kolom yang tersedia sesuai dengan perlakuannya (kateterisasi/infus dan sebagainya). Selama bulan Desember 1991, dari 223 operasi (seluruh operasi) terdapat satu kasus infeksi nosokomial (0,45%). Dari hasil uji sterilitas, selalu ada perbaikan tetapi belum 100% memuaskan; untuk iw tindakan desinfeksi perlu lebih diperhatikan. Melihat hasil infeksi nosokomial yang cukup rendah, apakah dokter-dokter RSMK sudah berani untuk percaya sepenuhnya akan tindakan asepsis dan antisepsis yang dilakukan di RSMK? Selain mungkin ada baiknya untuk mulai dipikirkan juga pemberian obat standar.

ORGAMSASI PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL STRUKTUR ORGANISASI

DIREKTUR Dr. Jan Tambajong KETUA PELAKSANA HARIAN Dr. Hartati Kurniadi PELAKSANA HARIAN Koordinator Lantai Perawatan dan ICU PELAKSANA RUANGAN Para Perawat di Lantai Perawatan dan ICUTUGAS : DIREKTUR : 1. Bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan upaya pencegahan infeksi nosokomial. 2. Menentukan kebijaksanaan. 3. Mengadakan evaluasi kebijaksanaan. KETUA PELAKSANA HARIAN : 1. Melaksanakan kebijaksanaan berdasarkan prosedur kerja. 2. Koordinasi dengan para koordinator lantai perawatan dan ICU. 3. Memberikan saran kepada Direktur untuk pengembangan prosedur kerja dan perbaikan yang dianggap perlu. 4. Menganalisa data. 5. Mengadakan pertemuan rutin minimal sebulan sekali. 6. Memberikan laporan bulanan kepada Direktur mengenai hasil pencegahan infeksi nosokomial. PELAKSANA HARIAN (Koordinator Lantai/OK/ICU) : 1. Mengawasi pelaksanaan prosedur kerja di ruangan masingmasing. 2. Memberi koreksi bila petugas di ruangan tindakannya tidak sesuai dengan prosedur kerja. 3. Mengumpulkan data dari ruangan. 4. Setiap minggu memberikan laporan kepada Ketua Pelaksana Harian. PELAKSANA, RUANGAN : 1. Melaksanakan prosedur kerja dengan sebaik-baiknya. 2. Bertanggung jawab kepada Koordinator Lantai.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 17

Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSU BekasiDean Wahjudy Satyaputra Panitia Pemantauan Infeksi Nosokomial Rumah Sakit Umum Kabupaten DT. II Bekasi, Jawa Barat

PENDAHULUAN Tujuan umum Rumah Sakit Tipe C adalah peningkatan dan pemantapan pelaksanaan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan serta pemulihan pasien. Khususnya bagi pasien yang memerrukan rujukan di daerah. Mengingat tujuan di atas, sangat disayangkan bila justru pasien atau pengunjung yang datang ke Rumah Sakit menjadi sakit karena mendapatkan infeksi yaitu Infeksi Nosokomial. Nosokomial berasal dari kata Nosos = penyakit dan Komeo = merawat; Nosokomion berarti tempat untuk merawat/ rumah sakit. Jadi Infeksi Nosokomial dapat diartikan infeksi yang berasal atau terjadi di Rumah Sakit. Infeksi Nosokomial dapat membebani kita semua, termama pasien dapat menyebabkan bertambah tingginya biaya perawatan karena waktu rawat nginap dan pengobatannya yang memanjang. Selain itu Infeksi Nosokomial juga dapat menyebabkan kematian. Bila menyimak gambaran kejadian Infeksi Nosokomial, di Indonesia angkanya masih beragam dan masih sulit untuk mendapatkan angka yang pasti. Di RSU Bekasi sendiri, berdasarkan surveilans IN Luka Operasi (ILO) selama 3 bulan tahun 1991 didapatkan angka yang cukup tinggi, sehingga harus mulai dilakukan "pengendalian" dengan seksama. "Panitia Pengendalian IN" di RSU Bekasi dibentuk pada tahun 1990. Tugasnya mengendalikan masalah-masalah yang berkaitan dengan infeksi nosokomial. Dalam usia yang relatif muda (2 tahun), belum banyak yang dilakukan mengingat keterbatasan-keterbatasan yang dijumpai; tetapi usaha pengendalian tetap berjalan secara bertahap dengan menyesuaikan langkahnya sesuai situasi dan kondisi yang ada. Diharapkan apa yang telah dilakukan panitia bisa menjadi basis dalam usaha

pengendalian infeksi nosokomial di RSU Bekasi di masa-masa mendatang. MENGENAI RUMAH SAKIT UMUM (TIPE C) KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BEKASI Sejarah Awal dari RS Bekasi bermula pada tahun 1939. Pada saat itu masih berupa poliklinik saja dengan sarana yang sangat minim yaitu berupa kamar periksa, kamar suntik dan 1 kamar balut. Setelah kemerdekaan RI, poliklinik Bekasi mengalami perubahan menjadi RS Pembantu dengan adanya penambahan ruapg perawatan pasien. Pada tahun 1956, sejalan dengan perubahan status Bekasi dari Kewedanaan menjadi Kabupaten, Rumah Sakit Pembantu diubah menjadi Rumah Sakit Umum. Walaupun begitu ketenagaan dokter masih bersifat part timer yang datang 2 x dalam seminggu. Pada tahun 1979, dengan SK. Men.Kes. RI No. 151/ Men.Kes/SK/II/79 RSU Bekasi ditetapkan sebagai RS tipe C, yang melaksanakan 4 bidang spesialis dasar. Kondisi saat ini Saat ini RS Bekasi yang terletak di jantung kota Kabupaten Bekasi dan berjarak 15 menit perjalanan ke arah timur d Ibukota Jakarta, mempunyai luas bangunan keseluruhan 6270 m2 dari 10.000 m2 lahan yang ada. Pelayanan yang dilakukan meliputi : Pelayanan gawat darurat 24 jam; Poliklinik spesialis (9 bidang spesialis); Pelayanan penunjang berupa Radiologi, Laboratorium dan lainlain; Pelayanan rawat nginap berkapasitas 171 tempat tidur. Ketenagaan yang ada sampai akhir tahun 1991 seluruhnya 308 orang, bila dikelompokkan berdacarkan jenis keahlian terdiri dari 17 dokter ahli, 17 dokter umum, 4 dokter gigi dan lain

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

sebagainya. Jumlah tenaga yang telah mendapat Pelatihan Pengendalian Infeksi Nosokomial berjumlah 2 orang dokter dan 2 orang paramedis. Berdasarkan data yang diambil dari laporan RSU Bekasi tahun 1991 kami mencatat : Jumlah kunjungan pasien rawat jalan sebanyak 96.549 orang. Rata-rata BOR sebesar 70,67%, rata-rata LOS = 3,96 hari. Lima penyakit utama yang ditemukan di rawat jalan adalah : 1. TBC, 2. Common cold, 3. Tonsilitis, 4. Diare dan gastroenteritis, 5. Penyakit mata dan adnexanya. Yang ditemukan di rawat nginap : 1. Demam tifoid/sebab lain, 2. Diare dan gastroenteritis, 3. Penyakit saluran nafas, 4. Trauma kepala, 5. Penyakit saluran cema lainnya. Kenyataan bahwa penyakit infeksi masih tinggi kejadiannya di Rumah Sakit Bekasi. PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL RUMAH SAKIT UMUM BEKASI Infeksi Nosokomial sebetulnya bukan hal baru; sudah sejak lama disadari oleh pewgas-petugas di lingkungan RS kami, tetapi usaha yang dilakukan kurang terarah sehingga hasilnya kurang memadai. Pala bulan Oktober 1990, melalui SK Direktur No. 848/ 2378/Kepeg dibentuklah Panitia Pengendali Infeksi Nosokomial di RSU Kabupaten DT. II Bekasi, sebagai tindak lanjut pelatihan PIN yang diselenggarakan di Bandung. Panitia itu selanjutnya bertanggung jawab atas segala aspek yang mempengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial termasuk usaha memperkecil angka kejadian dan mencegah Infeksi Nosokomial di Rumah sakit. Mengingat ruang lingkup kerja yang sangat luas, Panitia yang dibentuk perlu terdiri dad semua unsur-unsur yang ada di lingkungan Rumah sakit, baik UPF, Instalasi maupun unsur-unsur lainnya. Kami juga melibatkan kepala ruangan sebagai anggota panitia karena disadari akan pentingnya peranan perawat dalam usaha Pengendalian Infeksi Nosokomial. Struktur kepanitiaan PIN seperti di atas dibuat dengan mengadaptasi bentuk yang ada di RSHS, dengan mempertimbangkan kondisi yang ada. Sejak ditetapkan, panitia telah melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan perencanaan yang dibuat, kegiatan tersebut adalah : Mempublikasikan Infeksi Nosokomial pada rapat koordinasi di lingkungan RSU Bekasi. Setiap bulan Direktur RS mengadakan rapat dengan semua kepala UPF, Instalasi dan pejabat struktural lainnya. Pada kesempatan ini, ketua PPIN mengemukakan informasi mengenai PIN. PHIN sendiri secara berkala mengadakan pertemuan untuk membahas masalah-masalah IN. Mempublikasikan IN pada kesempatan pelatihan proses keperawatan bagi kalangan paramedis. Perlu diketahui di RSU Bekasi sampai saat ini telah dilakukan 5 gelombang pelatihan proses keperawatan, yang maksudnya untuk meningkatkan keterampilan tenaga perawat RS. Di antara 50 jam materi yang diberikan 10% adalah tentang

STRUKTUR PIN DI RSU BEKASI

Keterangan : PPIN : Panitia Pemantau IN. tugasnya membuat kebijaksanaan upaya PIN. anggotanya adalah waki! dari Unit-unit/unsur yang terkait. PHIN : Panitia Harian IN. diharapkan sebagai motor dari kegiatan PIN. diketuai oleh tenaga medis yang telah mendapatkan pelatihan PIN. anggota lain adalah dari unsur keperawatan, sebab mereka yang lebik erat kaitannya dengan perawatan. TPIN : Tim Pengendali IN. dipimpin oleh kepala perawatan dibantu kepala-kepala ruangan, hal ini memudahkan dalam pelaksanaan Surveilans.

Infeksi Nosokomial yang diberikan oleh dokter ataupun perawat dari PHIN. Bekerjasama dengan PKMRS dalam acara penyuluhan kepada pengunjung/penunggu pasien tentang masalah-masalah yang bersangkutan dengan terjadinya Infeksi Nosokomial. Penyuluhan sekali seminggu dengan mated yang bervariasi. Bagi pengunjung RS juga penyuluhan dilakukan melalui papan informasi yang disediakan di ruangan tunggu poliklinik. Mempersiapkan pedoman prosedur-prosedur tetap. Melengkapi kebijaksanaan-kebijaksanaan umum Rumah sakit, saat ini sedang dipersiapkan : kebijaksanaan penggunaan antiseptik dan desinfektan, kebijaksanaan isolasi ruang perawatan, kebijaksanaan kamar operasi. Memberikan usulan/kebijaksanaan atas hasil pemeriksaan sampling lingkungan RS yang dilakukan setiap tahun. Melakukan Surveilans IN. Luka Operasi (lampiran). EVALUASI Selama pelaksanaan kegiatan Pengendalian IN, panitia masih menjumpai kendala-kendala, misalnya saja : Informasi IN; di kalangan panitia sendiri masih belum

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 19

seragam, agak sulit mengharapkan input/ide dari Unit/Instalasi yang bersangkutan guna melaksanakan kegiatan PIN. Masih diperlukan usaha memotivasi tenaga kesehatan dalam pengendalian IN. Panitia adalah tenaga-tenaga fungsional yang mempunyai kesibukan sehingga kendala waktu sulit ditanggulangi; ada pemikiran untuk mempersiapkan tenaga yang khusus berkonsentrasi pada pengendalian IN (ICN) yang dikaitkan dengan kedudukan struktural di keperawatan, dengan demikian petugas tersebut bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya pada masalah IN. Dipandang dari garis operasional juga bisa lebih terkendali. Sistim informasi RS yang berjalan perlu ditingkatkan. Untuk membuat suatu kebijaksanaan dalam Pengendalian IN perlu dukungan data yang akurat dari berbagai unsur di RS; sebagaimana diketahui permasalahan PIN begitu lugs dan kompleks. Selama ini Pengendalian IN di RS Bekasi dititik beratkan

pada kegiatan yang tidak memerlukan banyak dana. Ada beberapa kondisi prasarana dan sarana yang kurang memadai; padahal untuk memperbaiki/penyediaannya cukup mahal. Dengan dukungan pimpinan dan staf RS diharapkan pertimbangan PIN dapat dimasukkan ke dalam perencanaan RS secara keseluruhan. PENUTUP Dari kenyataan yang ada, harus disadari bahwa Pengendalian IN harus mulai dilaksanakan secara profesional. Keterlibatan semua unsur sangat diperlukan, karena penyelenggaraan Pengendalian IN harus dilaksanakan secara integratif dan lintas program. Di RSU Bekasi dengan segala kondisi yang ada, perhatian pada Infeksi Nosokomial semakin besar. Kendala yang ada dicoba tanggulangi dengan memperhatikan segi-segi lainnya.

Sterilitas Udara Ruang Operasi dan Peralatan Bedah serta Higiene Petugas Beberapa Rumah Sakit di JakartaPudjarwoto Trlatmodjo Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Untuk mendapatkan gambaran mengenai sumber penularan kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit, telah dilakukan pemeriksaan mikrobiologis terhadap udara ruang operasi dan bebrapa jenis ruang perawatan, serta peralatan bedah. Di swiping im diperiksa pula hygiene petugas melalui pemeriksaan terhadap tangan (hand swab) perawat. Dari hasil pemeriksaan tampak bahwa angka kuman pada beberapa ruang bedah mencapai lebih dari 5 CPU/15' sehingga melebihi ambang batas yang ditetapkan. Staphylococcus merupakan bakteri penyebab infeksi nosokomial yang paling banyak mencemari udara ruang operasi. Angka kuman pada beberapa ruang perawatan berkisar antara 10-300 CPU/15'. Sebesar 34,4% tangan petugas rumah sakit (perawat) diketahui terkontaminasi oleh beberapa jenis mikroba penyebab infeksi nosokomial seperti E. coli, Staphylococcus, Pseudomonas, Proteus, Streptococcus dan spesies jamur Aspergillus sp. Beberapa jenis perlengkapan bedah d>7cetahui tidak steril dan ditemukan mengandung bakteri.

PENDAHULUAN Walaupun pemeliharaan kesehatan saat ini telah menjadi lebih baik antara lain karena telah digunakannya cara-cara baru dan modem untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengobatan penyakit, namun insiden infeksi nosokomial masih harus mendapat perhatian lebih banyak. Beberapa negara melaporkan bahwa rata-rata 5-10% penderita yang dirawat di rumah sakit akan mendapat infeksi yang ditularkan oleh seseorang atau dari suatu alat selama ia dirawat. Pasien bedah merupakan pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapatkan infeksi nosokomial, lebih-lebih apabila dirawat di rumah sakit dengan tingkat hygiene lingkungan rumah sakit yang masih belum sesuai dengan yang dipersyaratkan. Angka infeksi nosokomial untuk luka bedah di Indonesia dilaporkan sebesar 2,3-18,3%(1). Public Health Laboratory Service (1960) menulis, 5-19% pen-

derita yang dioperasi mengalami luka postoperasi dengan frekuensi infeksi luka yang berbeda tergantung dari jenis operasi yang dilakukan. Dalam upaya menanggulangi kejadian infeksi nosokomial, tinjauan epidemiologi terhadap masalah pencemaran dan infeksi nosokomial perlu dilakukan karena pada dasarnya kejadian infeksi nosokomial melibatkan unsur manusia, lingkungan dan mikroba yang satu sama lain sating terkait. Dalam hubungan ini kegiatan survai epidemiologi yang diarahkan untuk survai .infeksi nosokomial dapat meliputi: pengenalan konsep survai epidemiologi di rumah sakit untuk pencegahan dan penanggulangan infeksi nosokomial, pengembangan teknologi pengamatan infeksi nosokomial, pengumpulan data rutin untuk memperoleh gambaran tentang berbagai aspek epidemiologi infeksi nosokomial, penelitian KLB (Kejadian Luar Biasa) infeksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 21

nosokomial yang terjadi di beberapa rumah sakit serta melaksanakan berbagai survai dan studi dalam rangka pengumpulan data dasar infeksi nosokomial(2). Beberapa cara transmisi penyebab infeksi nosokomial adalah dengan cara air-borne yaitu melalui udara, inhalasi, dan lain-lain. Di samping itu transmisi kuman dapat berlangsung dengan cara contact spread yaitu mclalui tangan petugas, alatalat, serta dapat pula terjadi dengan cara wound precaution yaitu melalui perawatan postoperasi, alat-alat untuk tindakan invasif, dan lain-lain(3). Untuk mendapatkan gambaran mengenai sumber-sumber penularan dan kemungkinan rute penyebaran kuman penyebab infeksi nosokomial sebagai salah satu upaya pengumpulan data dalam pemecahan masalah infeksi nosokomial, dalam makalah ini disajikan data hasil studi mengenai pencemaran mikroba pada beberapa peralatan bedah, udara ruang operasi dan usap tangan petugas (hand swab) yang berasal dari 6 rumah sakit di Jakarta yaitu RS. I, RS. II, RS. III, RS. IV, RS. V dan RS. VI untuk mendeteksi sampai seberapa besar pencemaran yang terjadi oleh mikroba penyebab infeksi nosokomial. BAHAN DAN CARA 1. Kriteria bahan penelitian Obyek penelitian adalah udara ruang operasi, alat-alat dan perlengkapan bedah dan personil rumah sakit (perawat) yang sering mengadakan kontak langsung dengan pasien. Pemeriksaan milcrobiologis dilakukan terhadap beberapa jenis sampel berikut ini : Alat-alat untuk keperluan operasi pasien seperti gunting, kain kasa, sarung tangan, baju operasi, handuk dan lain-lain yang berada dalam keadaan siap pakai. Udara ruang bedah/ruang operasi, serta beberapa ruang perawatan seperti ruang kebidanan, ruang penyakit dalam, ruang anak-anak, ruang bayi. Usap tangan (hand swab) personil rumah sakit yang sedang dinas di bangsal-bangsal perawatan. 2. Cara pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis. Sampel alatalat dan perlengkapan bedah diambil dengan cara swab, yaitu dengan lidi kapas steril yang terlebih dahulu dibasahi dengan PBS (Phosphate Buffer Saline) kemudian diusapkan pada alatalat yang diperiksa. Kemudian lidi kapas segera dimasukkan ke dalam media PBS yang telah disiapkan dalam tabung reaksi (tube). Cara yang sama juga dilakukan untuk pengambilan sampel dari hand swab. Pengambilan sampel udara dilakukan dengan media Agar Darah dalam petridisk yang dibuka selama 15 menit dalam ruang yang diperiksa. Transportasi sampel ke laboratorium dengan menempatkan sampel dalam boks berisi es. 3. Identifikasi mikrobiologi Dilakukan dengan menggunakan metode yang telah dibakukan oleh WHO (1987)(4) dan Manual for Clinical Microbiology(5). Dalam identifikasi ini pertama dilakukan kultur terhadap

masing-masing sampel dengan media spesifik. Dari tahap kultur kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis melalui pewarnaan gram dan uji biokimia serta uji serologi untuk identifikasi jenis-jenis mikroba tertentu. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini telah dapat diperiksa sejumlah 105 spesimen yang terdiri dari sampel ruang bedah dan ruang perawatan 30 spesimen, hand swab dari perawat 64 spesimen dan usap alat dan perlengkapan bedah 11 spesimen. Angka pencemaran ruang bedah dari 6 ruang bedah yang berasal dari 6 numah sakit adalah berkisar antara 38 CPU/15'. Ambang batas pencemaran mikroba yang diperkenankan untuk ruang bedah adalah 5 CPU/15'. Berdasarkan pada persyaratan tersebut di atas maka dapatlah dikemukakan bahwa 4 ruang bedah dari 4 rumah sakit masih belum memenuhi standar mikrobiologi yang ditetapkan. Ke empat ruang bedah tersebut adalah ruang bedah RS. III dengan angka kuman sebesar 5 CPU/15', ruang bedah RS. IV dengan angka kuman 7 CPU/15', ruang bedah RS. V dengan angka kuman 8 CPU/15' dan ruang bedah RS. VI dengan angka kuman 7 CPU/15' (tabel 1). Ruang bedah RS. I dan RS. II mempunyai angka kuman sama yaitu 3 CPU/15'. Nilai pencemaran dari dua kamar bedah tersebut belum tentu memenuhi standar karena waktu penangkapan kuman hanya berlangsung 15 menit sedangkan persyaratan yang ditetapkan 30 menit. Beberapa jenis kuman yang terdeteksi mencemari ruang bedah adalah Staphylococcus sp dan kuman gram negatip yang dalam pemeriksaan ini belum jelas nama genusnya. Mikroba lain yang ditemukan adalah jenis jamur Aspergillus sp. Di sini Staphylococcus ditemukan pada sebagian besar ruang bedah (4 ruang bedah). Dua ruang bedah yang tidak tercemar Staphylococcus adalah ruang bedah dari RS. III dan RS. VI, tetapi nilai pencemarannya di atas ambang batas yang dipersyaratkan (tabel 1).Tabel 1. Besarnya pencemaran mikroba pada ruang bedah dan bebe rapa ruang perawatan dari 6 rumah sakit di Jakarta berda sarkan jumiah mikroba yang tertangkap dengan media Agar Darah selama 15 menit (N = 30) Angka kuman (dalam CPU/15 menit) RS. I 3 18 53 30 34 138 = = = RS. II 3 25 19 10 28 85 RS. III RS. IV 5 7 33 12 24 37 36 89 187 21 34 111 RS. V 8 35 300 32 80 455 Range RS. VI 7 3-8 32 12-35 48 19-300 96 74 257 10-96 28-89 3-300

Ruang Bedah Kebidanan Penyakit dalam Perawatan bayi Perawatan anak Total Keterangan : N RS.I s/d RS. VI CPU

Jumlah ruang diperiksa Kode rumah sakit yang diteliti Colony Plate Unit

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

Dari 5 jenis ruang perawatan yang diperiksa yaitu ruang kebidanan, ruang penyakit dalam, ruang perawatan bayi dan ruang perawatan anak tampak adanya variasi nilai pencemaran mikroba. Angka pencemaran terendah diketahui terdapat pada ruang kebidanan dengan nilai pencemaran sebesar 1235 CPU/ 15', sedangkan angka pencemaran tertinggi terdapat pada ruang penyakit dalam dengan nilai pencemaran sebesar 19300 CPU/15'. Dilihat dari jenisnya Staphylococcus merupakan mikroba yang paling dominan mencemari berbagai ruang perawatan tersebut. Beberapa jenis mikroba lain yang ditemukan antara lain adalah Streptococcus dan bakteri gram negatip yang dalam pemeriksaan ini belum jelas nama genusnya, serta beberapa jenis jamur yaitu Aspergillus sp dan Mucor sp. Dilihat dari jumlah mikroba pencemar per rumah sakit tampak pula bahwa angka pencemaran terkecil terdapat pada RS. II, sedangkan angka pencemaran terbesar dijumpai pada RS. V. Petugas rumah sakit seperti dokter, bidan, perawat dan lainlain dapat merupakan sumber atau media transmisi/penularan kuman-kuman patogen, karena di samping dapat berperan sebagai carrier dari bakteri tertentu, dapat pula membawa kuman karena kontak dengan para pasien yang telah terinfeksi sebelumnya; atau tangan petugas terkontaminasi oleh kuman yang mengandung CFA (Colonizing Factor Antigen) dan bila kuman ini menginfeksi seseorang dapat menjadi patogen di dalam tubuh. Dari hasil pemeriksaan mikrobiologis terhadap tangan petugas rumah sakit tampak bahwa sebesar 34,4% tangan petugas (perawat) membawa bakteri penyebab infeksi nosokomial (tabel 2). Beberapa jenis kuman yang terdeteksi mengkontaminasi tangan petugas antara lain adalah E. coli, Staphylococcus, Pseudomonas, Proteus, Streptococcus dan Jamur. Di sini ditemukan pula adanya kontaminasi ganda pada 3 orang petugas, yaitu satu petugas terkontaminasi oleh Staphylococcus + Proteus dan dua orang petugas oleh Staphylococcus + Jamur Aspergillus sp. Staphylococcus merupakan bakteri yang paling banyak mencemari tangan petugas yakni sebesar 18,7% (12 dari 64). Kemudian berturut-turut Pseudomonas 6,2%, Proteus 4,6%; E. coli dan Streptococcus serta Jamur Aspergillus masing-masing sebesar 3,1% (gambar 1). Pola infeksi nosokomial dapat berubah dari waktu ke waktu dan perubahan tersebut terjadinya bersamaan dengan pemakaian serta makin meluasnya penggunaan antibiotik(6). Sebelum tahun 1950-an yakni pada waktu antibiotik Penicillin barn dipakai, infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh Pneumococcus dan Streptococcus. Kemudian sejak tahun 1950-an yakni setelah meluasnya pemakaian antibiotik Penicillin, dilaporkan penyebab utama infeksi nosokomial adalah bakteri gram positip Staphylococcus yang kebal (resisten) terhadap Penicillin dan sampai kini diperkirakan masih merupakan penyebab infeksi nosokomial walaupun telah banyak bermunculan jenis antibiotik baru. Hal ini terbukti dengan tingginya angka pencemar-

Tabel 2.

Distribusi kuman penyebab infeksi nosokomial yang terdeteksi pada usap tangan (hand swab) petugas rumah sakit (perawat) yang bertugas di beberapa rumah sakit di Jakarta (N = 64) Jumlah petugas diperiksa 11 Jumlah petugas tercemar 3 Mikro organisms Staphylococcus (2) Pseudomonas (1) Staphylococcus + Proteus (1) Proteus (2) Staphylococcus (1) Staphylococcus (2) Staphylococcus + Jamur (2) Pseudomonas (1) Staphylococcus (1) Pseudomonas (1) E. coli (1) Streptpcoccus (2) Proteus (1) Staphylococcus (1) Staphylococcus (2) Pseudomonas (1) E. coil (1)

Kode Rumah Sakit RS. I

RS. II RS. III

10 14

3 5

RS. IV RS. V RS. VI

10 9 10

3 4 4

Jumlah % Keterangan : N RS. I s/d RS. VI = =

64 100

22 34,4

Total petugas diperiksa Kode umiak sakit yang diteliti

Gambar 1. Jenis bakterl penyebab infeksi nosokomial dan besarnya pen cemaran (dalam %) pada usap tangan (hand swab) petugas rumah sakit (perawat) dl beberapa rumah sakit di Jakarta (N = 64)

Keterangan : A = Streptococcus B = Proteus C = Pseudomonas D = Staphylococcus E = E. coli

= 3,1% = 4,6% = 6,2% = 18,7% = 3,1%

N = Jumlah sampel diperiksa = 64

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 23

an oleh Staphylococcus di lingkungan rumah sakit. Angka kejadian infeksi nosokomial yang disebabkan oleh Staphylococcus memerlukan penelitian yang lebih mendalam di lingkungan perawatan. Alat-alat dan perlengkapan operasi bedah dapat menjadi alat transmisi kuman-kuman penyebab infeksi nosokomial; dan angka infeksi nosokomial untuk luka bedah di Indonesia dilaporkan cukup tinggi (2,318,3%). Tabel 3 memberikan informasi tentang kondisi sterilitas alat-alat dan perlengkapan operasi bedah yang ada di beberapa rumah sakit di Jakarta. Di sini terlihat bahwa masih terdapat alat-alat dan perlengkapan bedah yang slap pakai tetapi dalam keadaan tidak steril; dari 11 jenis perlengkapan bedah yang diperiksa terdapat 4 jenis yang terdeteksi tidak steril: Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah proses sterilisasi yang tidak sempurna atau penanganan yang kurang hygienis. Apabila keadaan tidak steril ini akibat dari cara sterilisasi yang tidak sempllma, kiranya beberapa hal penting yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan sterilitas yang optimal adalah tercapainya holding time (waktu sterilisasi) dan meratanya temperatur ke setiap bagian yang disterilisasi.Tabel 3. Kondisi aterilitas beberapa Jenis peralatan operasi bedah dari beberapa rumah sakit dl Jakarta Jumlah Kuman/swnb 0 0 0 2x104 0 3x104 0 35x104 2x104 0 0 Mikro organisme Bakteri gram (+) kokus Bakteri gram () batang Bakteri gram (+) kokus Bakteri gram (+) kokus Pertimbangan Stern Steril Steril Tidak steril Steril Tidak steril Stern Tidak steril Tidak steril Steril Steril

operasional yang rendah. Temperatur dan holding time yang perlu diprhatikan dalam sterilisasi dengan autoclave adalah 132C selama 2 menit, 121C 12 menit dan 116C 30 menit. Dengan memperhatikan temperatur dan holding time secara tepat seperti tersebut di atas maka diharapkan diperoleh kondisi sterilitas yang optimal pada alat-alat yang disterilkan. Apakah tingginya angka infeksi nosokomial pada pasien luka bedah ini adalah akibat'dari perlengkapan dan alat operasi bedah yang kondisi sterilitasnya kurang memadai? Hal ini perlu diteliti dari berbagai aspek secara lebih mendalam. KESIMPULAN DAN SARAN Bakteri gram positip Staphylococcus merupakan salah satu mikroba penyebab infeksi nosokomial yang dominan sebagai pencemar pada anggota tubuh/tangan petugas rumah sakit/perawat, udara di berbagai ruang perawatan seperti ruang perawatan bayi, kebidanan, anak, penyakit dalam dan lain-lain. Bahkan udara pada beberapa ruang operasi/ruang bedah dan beberapa peralatan bedah menunjukkan indikasi tidak steril dan tercemar Staphylococcus. Beberapa jenis mikroba lain yang terdeteksi mencemari udara dan peralatan medis serta petugas antara lain adalah E. coli, Pseudomonas, Streptococcus, Proteus dan Jamur. Proteksi terhadap para pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian infeksi nosokomial perlu dilakukan secara lebih saksama. Di samping itu peningkatan hygiene di rumah sakit dengan cara meningkatkan tindakan sterilisasi, desinfeksi dan antisepsis perlu dilakukan secara lebih saksama, tidak terkecuali peningkatan cara cuci tangan para petugas/ perawat.

Nama/Asal bahan Instrumen/Ruang OK darurat V Kain kasa/Ruang OK Pam Kain kasa/Ruang instalasi bedah Handuk/Instalasi bedah Sarung tangan/ Instalasi bedah Baju operasi/ Instalasi bedah !Cain kasa/ Kebidanan Alat operasi/ OK mata Instmnen/ Instalasi bedah Kain kasa/ Bedah umum Mat operast/ OK Bedah sesar

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Effendy A, Ibrahim R, Mubarak Z Insiden infeksi nosokomial di RSU DR. Z. Abidin Banda Aceh (Penelitian Pendahuluan). MKT 1988; 3(1): 135. Surachmad S, Sutoto, Josodipuro K. Kumpulan Makalah Penataran Isolasi Penderita Penyakit Menular (Infeksi Nosokomial dan Pencegahannya). Dep Kes RI, Jakarta 1984. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan Pemukiman. Pentaloka Survailans Epidemiologi bagi Para Kepala Dinas Kesehatan Dati II. Dep Kes RI, Jakarta 1990. WHO, CDD Program for Central Diarrhoeal Diseases. Manual for Laborstot), Investigation of Acute Enteric Infection, 1987. Lennette EH, Ballows A, Flimsier JW, Shadomy HJ (eds). Manual for Clinical Microbiology. American Society for Microbiology Association PubL Washington, 1985. Usman Chatib Warsa. Aspek Mtkrobiologi Infeksi Nosokomial. Maj Informasi Kesehatan No. 19, Januari 1987. Dibawakan Pada Seminar Penyakit Menular di Jakarta, 4 Febtuart 1986. Janes, Sototo, Punjabi NH. Infeksi Nosokomial Saluran Cema (INSC) pada Penderita Anak di Rumah Sakit Khusus Penyakit Menular, Jakarta. Medika (Sept.) 1985; 11(a): 8518.

Salah satu cara sterilisasi yang digunakan di rumah sakit adalah dengan autoclave (panas uap). Cara ini paling umum digunakan karena dapat diandalkart, mudah pelaksanaannya dan dapat diterapkan pada hampir 80% kebutuhan bahan yang ada serta biaya

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

Peranan Laboratorium dalam Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi NosokomialDalima ArI Wahono Astrawlnata Panitia Infeksi Nosokomial Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo/ UPF Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Pengendalian infeksi nosokomial (IN) merupakan tanggung jawab suatu panitia/tim pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi di Rumah Sakit (RS). Salah satu aspek penting dalam penanggulangan IN adalah surveillans, di mana laboratorium turut berperan serta(1,2). PERAN UNIT LABORATORIUM Laboratorium Rumah Sakit, khususnya laboratorium mikrobiologi mempunyai peranan yang cukup penting dalam membantu program surveillans, dan pencegahan serta penanggulangan infeksi nosokomial. Peran tersebut mencakup beberapa hal, antara lain(2,3) : Kerja sama dalam suatu tim/panitia penanggulangan infeksi RS Identifikasi secara tepat mikroorganisme penyebab IN Pelaporan berkala data pola kuman RS dan pola antibiogram Pelacakan secara tepat penyebab infeksi tertentu RS Melakukan pemeriksaan mikrobiologik bilamana diperlukan terhadap petugas atau lingkungan Rumah Sakit Dalam hal penanggulangan infeksi nosokomial, peran laboratorium yang cukup penting dapat berjalan dengan baik bilamana beberapa anggota tim penanggulangan infeksi nosokomial berasal dari unit laboratorium. Anggota tim tersebut harus yang betul-betul mengetahui kemampuan pemeriksaan mikrobiologik di laboratorium rumah sakitnya sehingga dapat menjalankan tugas sesuai kemampuan dan sarana yang tersedia. Komunikasi yang lancar dan hubungan yang baik antara bidang perawatan (Dokter/Perawat), Tim Pelaksana Harian Penanggulangan IN dan petugas laboratorium merupakan modal utama berjalannya suatu program penanggulangan infeksi nosokomial; terlebih lagi bilamana program tersebut didukung sepenuhnya oleh kebijakan rumah sakit(1,3,4).

PERANAN ANGGOTA PANITIA Anggota panitia yang berasal dari unit laboratorium (Dokter Spesialis Patologi Klinik, Ahli Mikrobiologi/Biologi, Analis Laboratorium Kesehatan) harus dapat menyumbangkan pikiran dan pendapatnya dalam menyusun program penanggulangan IN, terutama yang menyangkut pemeriksaan laboratorium. Mereka harus dapat menekankan bilamana pemeriksaan perlu dilakukan dan apakepentingannya serta bilamana pemeriksaan tersebut tidak perlu dilakukan. Hal ini panting, terutama bila menyangkut soal pembiayaan yang harus dipikul oleh rumah sakit. Selain itu anggota tim dari unit laboratorium bersama-sama anggota tim yang lain secara berkelanjutan perlu memberi penataran dan penjelasan khususnya mengenai cara-cara pengambilan dan pengiriman bahan yang tepat, dan cara-cara pencegahan infeksi nosokomial kepada petugas RS yang lain. Sehingga secara seluruh program penanggulangan infeksi nosokomial melalui pengumpulan data maupun tindakan pencegahan dapat berjalan dengan baik(1,3,5). TUGAS LABORATORIUM RS Khususnya dari segi pemeriksaan, laboratorium RS dituntut untuk dapat mengidentifikasi mikroorganisme penyebab secara benar dalam waktu sesingkat mungkin. Hasil biakan yang dikeluarkan harus dapar dijamin telah melalui tahap prainstrumentasi, instrumentasi dan pasca instrumentasi yang benar. Pada tahap prainstrumentasi yang perlu diperhatikan adalah : tindakan a/antisepsis yang benar cara pengambilan bahan yang baik pemilihan bahan pemeriksaan yang sesuai cara pengiriman yang tepat Dalam hal ini termasuk menyiapkan wadah penampung steril dan mengetahui cara penyimpanan yang benar sebelum dikirim.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 25

Pada tahap instrumentasi laboratorium RS dituntut memiliki kemampuan : cara-cara pemeriksaan yang benar sesuai dengan prosedur yang seharusnya dijamin dengan pemantapan mutu secara berkala Sedangkan tahap pasca instrumentasi menuntut : ketelitian pencatatan kemampuan pengolahan dan penyimpanan data kecepatan penyebaran informasi ke pihak-pihak yang memerlukan Anggota tim dari laboratorium harus mampu menilai hasil yang dikeluarkan oleh laboratoriumnya dari sudut pandang epidemiologi dan infeksi nosokomial. Hasil yang keluar harus mampu dipastikan betul-betul sebagai penyebab infeksi dan bukan suatu kontaminan atau suatu kolonisasi belaka; sehingga pada akhirnya ketajaman data surveilans dapat diperoleh dan dipakai sebagai dasar untuk penyusunan program selanjutnya(1,2,3). SURVEILANS LABORATORIUM Surveilans laboratorium adalah pengumpulan data dari hasil laboratorium, khususnya laboratorium mikrobiologi terhadap biakan kuman dari bahan yang diperiksa. Surveilans dapat dilakukan secara aktif yaitu dengan memeriksa bahan yang telah ditetapkan oleh panitia pengendalian IN atau secara pasif dengan mengevaluasi hasil yang diperoleh dari pemeriksaan seharihari(1,6). DATA LABORATORIUM Data laboratorium merupakan salah satu data penting dalam surveilans infeksi nosokomial. Gabungan antara data yang diperoleh dari laboratorium dengan hasil surveilans klinik mutlak dilakukan untuk mendapatkan gambaran angka kejadian IN yang tepat. Berdasarkan gambaran angka kejadian tersebut, dapat ditentukan tindakan pencegahan selanjutnya. Tindakan pencegahan harus dapat dilakukan secepatnya berdasarkan penyebab yang ada dan permasalahan yang ditimbulkan. Dalam hal mikroorganisme penyebab infeksi, maka diperlukan identifikasi dan pelaporan yang cepat dan tepat; hal ini penting karena bila masih diperlukan data tambahan, besar kemungkinan penderita yang bersangkutan masih dalam perawatan di rumah sakit(3,6). PELAPORAN DATA Pelaporan data yang periodik atau berkalapun harus segera dapat disebar luaskan; karena bila tidak, data itu tidak akan ada manfaatnya lagi. Pada keadaan tertentu, laboratorium dituntut untuk segera melaporkan bilamana ditemukan kuman-kuman patogen seperti : N. meningitidis dalam cairan otak M. tbc pada petugas RS S. aureus dari neonatus S. pyogenes pada apusan tenggorok Hasil tersebut dilaporkan sebelum hasil lengkapnya selesai. Di sini letak pentingnya sarana komunikasi antara laboratorium dengan ruang perawatan(2,3,6).

EVALUASI DATA Anggota tim unit laboratorium juga dituntut untuk dapat mengevaluasi dan menganalisa kumpulan data laboratorium mikrobiologi sehingga pola mikroorganisme penyebab infeksi di RS tersebut dari waktu ke waktu dapat diketahui dan dipelajari. Selain itu pola resistensi terhadap antimikroba yang digunakan RS tersebut untuk masing-masing mikroorganisme perlu dilaporkan dari waktu ke waktu. Hal ini diperlukan untuk melihat efektivitas antimikroba yang dipakai dan menghentikan penggunaan antimikroba yang sudah tidak efektif lagi. Dalam hal ini tim penanggulangan IN akan terlibat kerjasama dengan panitia atau komisi antibiotika dan terapi RS. Berdasarkan data laboratorium dari tim IN maka komisi antibiotika akan dapat menentukan pemilihan jenis antimikroba yang masih boleh digunakan dan yang perlu ditarik, sehingga pada akhimya akan menyederhanakan jenis antimikroba yang dipakai, mencegah pemborosan dana dan menekan tingkat resistensi kuman(1,2,3). KEJADIAN LUAR BIASA Pada kejadian luar biasa (KLB) di mana terjadi peningkatan tiba-tiba angka kejadian infeksi nosokomial, maka pihak laboratorium RS harus siap dengan petugas dan tatacara penanggulangan KLB tersebut. Dalam hal ini terutama dituntut kecepatan dalam diagnosis penyebab kejadian dan pola penyebarannya. Pemeriksaan tidak saja perlu dilakukan terhadap pasien yang dicurigai terkena infeksi nosokomial, tetapi mungkin juga diperlukan pemeriksaan terhadap petugas dan lingkungan RS. Hal ini tentu harus diperlakukan secara khusus dan di luar kegiatan rutin yang memang sudah ada(2,3). PEMERIKSAAN LINGKUNGAN RS Pemeriksaan rutin atau periodik terhadap petugas atau lingkungan RS tanpa indikasi, sama sekali tidak dibenarkan; selain membuang dana yang besar, pemborosan tenaga dan waktu, nilai informasi yang didapat juga tidak banyak manfaatnya. Pemeriksaan lingkungan atau petugas rumah sakit akan bermanfaat bila memang dibutuhkan, misalnya pada saat terjadi kejadian luar biasa di ruang operasi, atau peningkatan infeksi nosokomial di suatu ruang perawatan. Beberapa hal yang perlu diperiksa bila terjadi KLB di ruang operasi antara lain : permukaan meja operasi peralatan-peralatan lain dalam ruang operasi lantai udara air Sebaliknya, beberapa hal yang perlu dilakukan secara terus menerus adalah memeriksa sterilitas alat-alat perlengkapan operasi yang disterilkan di pusat sterilisasi rumah sakit atau pemeriksaan berkala formula makanan bayi. Selain itu alat-alat yang tidak dapat disterilkan dengan autoklaf tetapi menggunakan larutan desinfektan, dari waktu ke waktu perlu diperiksa sterilitasnya. Hal ini berlaku untuk peralatan anestesi, alat-alat endoskopi atau tuba endotrakeal(2,3).

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993

Di bawah ini beberapa pemeriksaan yang mungkin diperlukan untuk suatu surveilans mikrobiologik infeksi nosokomial : Ujung kateter intravena pada phlebitis (infeksi luka infus/ ILI)(7). Ujung kateter urin atau win yang diaspirasi langsung dari ujung proksimal kateter urin pada infeksi saluran kemih (ISK)(8). Pus dari bagian dalam infeksi luka operasi (ILO)(9). Bahan darah pasien sepsis, khususnya neonatus(7). Apusan rektal pasien enteritis, terutama neonatus(10).

KEPUSTAKAAN Astrawinata DAW. Peranan Laboratorium dalam Penanggulangan Infeksi Nosokomial. Penataran/Pelatihan Pengendalian Infeksi Nosokomial RSCM, Jakarta, 1989. 2. Ryan KJ. Nos000mial Infections and Infection Control. In: Sherris, JC. (ed.) Medical Microbiology : an introduction to infectious diseases. New York: Elsevier, 1984: 655-63. 3. McGowan, JE Jr. Role of the Microbiology Laboratory in Prevention and Control of Nosocomial Infections. In: Lennette EH et al (ads). Manual of Clinical Microbiology. 4th ed. Washington DC: ASM Pub1.,1985:110-22. 4. de Leon SP. Organizing for Infection Control. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 56-60. 5. Wenzel RP. The Infection Control Committee. In: WenzelRP(ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 109-15. 6. Thompson RL. Surveillance and Reporting of Nosocomial Infections. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 70-82. 7. Hammy BH. Nosocomial Bloodstream and Intravascular Device-Related Infections. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 283-319. 8. Garibaldi RA. Hospital Acquired Urinary Tract Infections : Epidemiology and Prevention. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 335-43. 9. Mayhall CG. Surgical Infections Including Bums. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 344-84. 10. Hughes JM, Jarvis WR. Nosocomial Gastrointestinal Infections. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 405-39. 1.

KESIMPULAN Dan bahasan di atas jelas suatu program penanggulangan infeksi nosokomial RS merupakan suatu program terpadu yang melibatkan semua unsur di rumah sakit tersebut. Program dapat berjalan dengan baik apabila koordinasi antar semua unsur yang terlibat baik, adanya kerjasama antar masing-masing unsur serta kesadaran untuk berperan aktif, dan yang tidak kurang pentingnya adalah dukungan penuh dari pimpinan RS. Dalam hal ini peran laboratorium RS, khususnya laboratorium mikrobiologi merupakan salah Satu mata rantai yang penting.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 27

Kebiasaan Cuci Tangan Petugas Rumah Sakit dalam Pencegahan Infeksi NosokomialD. Anwar Musadad, Agustin Lubls, Kasnodlhardjo Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Tangan tidak pernah bebas dari berbagai macam kuman. Kuman-kuman tersebut bisa berasal dari benda atau alat yang terkontaminasi, atau tinggal secara menetap pada tangan(1). Dengan demikian kebiasaan cuci tangan sebelum melakukan sesuatu pekerjaan menjadi penting artinya dalam upaya pencegahan infeksi. Di Rumah Sakit (RS) kebiasaan cuci tangan petugas merupakan perilaku yang mendasar sekali dalam upaya mencegah cross infection (infeksi silang), mengingat RS sebagai tempat berkumpulnya segala macam penyakit, baik menular maupun tidak menular. Demikian pula RS selalu dihuni, dikunjungi dan digunakan oleh berbagai macam pejamu yang rentan sehingga mudah terjadi infeksi nosokomial. Dari berbagai tulisan diketahui bahwa kejadian infeksi silang di RS kebanyakan terjadi melalui tangan petugas RS yang tercemar kuman karena kontak dengan pasien/penderita, karier, bahan/alat atau dengan lingkungan yang tercemar(2,3,4,5). Bahkan tangan petugas RS tidak saja merupakan alat pasif dalam penyebaran bakteri gram negatif, tetapi dapat juga merupakan reservoar organisme nosokomial(4). Mengingat pentingnya cuci tangan dalam pencegahan infeksi nosokomial, maka dilakukan studi tentang kebiasaan cuci tangan petugas RS. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan di seluruh Rumah Sakit Umum (RSU) Pemerintah yang ada di DKI Jakarta. Sebagai responden penelitian adalah tenaga paramedik perawatan (PP) dan tenaga medik (dokter). Jumlah responden keseluruhan 415 orang, terdiri dari 293 orang PP dan 122 orang dokter yang diambil secara systematic random sampling dari daftar petugas yang ada di masing-masing RS.

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan daftar pertanyaan, pengamatan perilaku dan pemeriksaan laboratorium dari spesim