81234297 Regional Anesthesia in Trauma Medicine

Embed Size (px)

Citation preview

Anestesi Regional Pada Kasus Trauma

Abstrak Anestesi regional merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memberikan efek analgesia pada pasien baik selama operasi berlangsung maupun setelah operasi. Anestesi regional memiliki beberapa keuntungan, seperti yang diperlihatkan di bidang kemiliteran terbaru bahwa tehnik anestesi regional tidak hanya digunakan pada kasus-kasus yang berada di tingkat prehospital maupun di unit gawat darurat. Tehnik anestesi regional paling sering digunakan pada pasien trauma adalah pada saat di ruang operasi sebagai bagian dari prosedur tindakan anestesi atau sebagai kontrol nyeri pasca operasi. Sementara itu, tehnik infiltrasi maupun tehnik blok saraf tunggal (single nerve block) merupakan tehnik yang sering digunakan oleh ahli bedah atau dokter umum di ruang gawat darurat pada fase preoperatif. Untuk tehnik anestesi yang lebih canggih seperti tehnik blok plexus (plexus block procedure) atau pemasangan kateter regional (regional catheter placements) lebih umum digunakan oleh ahli anestesi pada saat operasi atau kontrol nyeri pasca operasi. Tehnik ini memberikan keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan anestesi intravena, tidak hanya di fase preoperatif namun juga pada fase akut pada pasien traumatik serta selama perjalanan menuju rumah sakit. Ahli anestesi memiliki pengalaman yang lebih baik mengenai penggunaan tehnik regional serta mereka mampu menggunakan anestesi regional di luar ruang operasi dan tatalaksana awal pada pasien traumatik. Latar belakang Penekanan saraf perifer dalam waktu yang panjang melebihi waktu yang semestinya akan menyebabkan analgesia yang lebih dalam pada bagian distal dari tempat penekanan saraf. Hal tersebut merupakan dasar dari metode anestesi masa lampau yang diperkenalkan pada abad ke-16 oleh seorang ahli bedah militer asal Prancis, Ambroise Par (1510-1590). Dominique Jean Larrey (1766-1842), seorang kepala ahli bedah pasukan Napoleon Bonaparte, menjelaskan

penelitiannya tentang penggunaan cold injury pada fungsi persarafan dan efek1|r egi onal ane sthe si a in tr auma me dicine - 2 01 2

analgesia yang ditimbulkannya pada prajurit-prajurit mendapat tindakan amputasi. Kandungan anestesi yang dimiliki oleh kokain pertama kali dikenal pada abad ke19. Pada tahun 1984, Carl Koller (1862-1944) menyadari akan pentingnya penemuan tersebut kemudian memasukkan larutan kokain kedalam kornea katak. Dia mempresentasikan penemuannya tersebut pada pertemuan Perkumpulan Ahli Mata Jerman (German Ophthalmological Society) di kota Heidelberg di akhir tahun tersebut. Bertahun-tahun setelah itu, sebagian besar tehnik anestesi regional telah berkembang dan berlanjut hingga masa sekarang, sama seperti pada tahuntahun tersebut. Penggunaan kokain sebagai blok pleksus brachialis pada operasi, pertama kali dilakukan di tahun 1884 oleh Crile [1]. Blok perkutaneus pertama kali dilakukan pada tahun 1911 oleh Hirschel dan di tahun yang sama oleh Kuflenkampf [2,3]. Pada tahun 1884, tahun yang sama pada saat Koller mempresentasikan penemuannya, Corning menampilkan anestesi epidural yang pertama, dan mempublikasikan prosedur tindakannya di New York Medical Journal pada tahun 1885 [4]. Pada tahun 1898, Bier (1861-1949) dan residennya Hildebrand (18681954) menampilkan anestesi spinal pertama dan mempublikasikan pengalaman pribadinya setelah melakukan percobaan diantara mereka secara bergantian. Dimana Hildebrand mendapatkan efek analgesia yang baik dari anestesi spinal yang dilakukannya. Kedua ahli tersebut sempat mengalami nyeri kepala yang berat setelah melakukan percobaan tersebut sehingga Bier merasa pesimis terhadap prospek penggunaan anestesi spinal dan hingga bertahun-tahun lamanya sebelum pada akhirnya anestesi spinal berkembang menjadi salah satu tehnik regional anestesi [5]. Pada tahun 1908, Bier menjelaskan tentang anestesi lokal melalui injeksi intravena, yang disebut sebagai Bier block [6]. Banyak dari tehnik anestesi pada jaman lampau masih digunakan hingga saat ini dan seringkali dikombinasikan dengan tehnik atau obat terbaru saat ini. Anestesi regional terbaru membolehkan penggunaan obat anestesi jangka panjang (long-acting) atau jangka pendek (short-acting) tergantung dari kebutuhan waktu yang diinginkan untuk meredakan nyeri. Pengenalan jarum dan kateter khusus yang digunakan untuk blok saraf regional dilakukan di akhir abad

2|r egi onal ane sthe si a in tr auma me dicine - 2 01 2

ke-19 dan awal abad ke-20 dan tehnik terbaru yang lebih canggih meliputi stimulasi saraf (nerve stimulation) dan ultrasonography guidance, membantu pada ahli anestesi dalam melakukan anestesi regional dan meningkatkan presisi serta keamanan pada penggunaan tehnik blok saraf perifer dan neuroaksial pada pasien yang mengalami nyeri akut [7]. Tehnik anestesi regional menawarkan kontrol nyeri yang lebih baik dan umum digunakan selama operasi berlangsung maupun post operasi, penggunaan tehnik meminimalisir penggunaan jumlah obatobatan anestesi dan analgesia intravena yang digunakan sebagai kontrol nyeri. Selain itu, hasil penelitian didapatkan bahwa tehnik anestesi regional mempercepat masa pemulihan, mengurangi penggunaan ruang perawatan intensif (intensive care unit) dan lama rawat inap, meningkatkan fungsi jantung paru, menurunkan kejadian infeksi dan respon neuroendokrin akibat stress, serta mengembalikan fungsi sistem pencernaan lebih cepat [8]. Tehnik anestesi regional tidak hanya memiliki efek analgesia yang sangat baik namun juga tidak memiliki efek sedasi sehingga akan lebih mudah mengawasi status mental pasien terutama pada pasien yang mengalami cedera kepala. Walaupun demikian, tehnik anestesi regional sampai saat ini masih jarang digunakan pada kasus-kasus trauma terutama pada cedera yang bersifat akut [9]. Satu penelitian melaporkan bahwa hampir 36 % pasien dengan fraktur panggul akut di ruang gawat darurat tidak mendapatkan tindakan analgesia dan beberapa diantaranya dipertimbangkan untuk dilakukan blok saraf regional [10, 11]. Dibandingkan dengan pasien bedah elektif, dimana kebutuhan akan analgesia didapatkan pada periode perioperatif, sebaliknya pada pasien traumatik selama fase akut membutuhkan pemantauan yang ketat dan pengelolaan nyeri di tingkat pra-rumah sakit atau di lokasi peperangan selama perjalanan ke rumah sakit serta selama perawatan selanjutnya di ruang operasi dan unit perawatan intensif (ICU). Tingkat stress dan respon inflamasi pada pasien trauma lebih tinggi dibandingkan dengan pasien bedah elektif [8]. Selain itu, pasien trauma sangat bervariasi tergantung pada jumlah serta tingkat keparahan dari luka yang dialaminya yang akan berpengaruh pada bervariasinya tingkat kesadaran,

3|r egi onal ane sthe si a in tr auma me dicine - 2 01 2

pernapasan, dan stabilitas hemodinamik pada masing-masing pasien, dimana halhal tersebut dapat diperburuk dengan pemberian obat analgesik parenteral. Pengalaman sebelumnya mengenai perawatan prajurit militer yang terluka di daerah konflik baru-baru ini mengarah pada penggunaan tehnik anestesi regional untuk mendapatkan efek analgesia dan anestesia stadium operasi [7,12,13]. Ahli anestesi memiliki peran penting dalam hal ini bersama-sama dengan ahli bedah dan dokter di ruang gawat darurat untuk memberikan pengobatan yang aman dan tepat baik selama perjalanan menuju rumah sakit. Pengalaman ini, diperkuat dengan hasil penelitian tentang penggunaan tehnik blok saraf di ruang gawat darurat [10, 11, 14] yang menyatakan bahwa penggunaan anestesi regional lebih efektif dalam penanganan pasien-pasien trauma akut dibandingkan menggunakan regimen opioid intravena. Analgesia regional pada fase awal trauma Salah satu manfaat dari penggunaan anestesi regional adalah untuk mengurangi penggunaan obat opioid intravena sebagai terapi nyeri yang adekuat. Penggunaan blok saraf perifer, membutuhkan obat anestesi lokal dengan masa kerja lama namun dengan onset yang cepat sehingga meminimalisir respon stress terhadap kerusakan jaringan dan mengurangi terjadinya efek yang tidak diinginkan akibat efek samping dari penggunaan opioid seperti depresi pernapasan, peningkatan sedasi, pruritus, dan rasa mual [8]. Keuntungan lainnya dari penggunaan blok saraf perifer di tingkat pre-hospital meliputi keamanan dalam transportasi menuju rumah sakit, mengurangi kebutuhan akan pengawasan pada kasus-kasus korban trauma yang bersifat massal, atau korban dengan kondisi stabil, nyaman, dan pasien sadar sehingga kebutuhan akan pegawai yang bertugas mengawasi pasien bisa dikurangi [11]. Literatur terbaru dari pengalaman yang di dapatkan dari medan pertempuran bahwa penggunaan anestesi regional sebagai terapi awal pada korban trauma mampu meningkatkan tingkat keselamatan korban dan mengurangi nyeri dan komplikasi cidera lainnya. Selain memiliki keuntungan jangka pendek yaitu sebagai kontrol nyeri jangka pendek. Penggunaan anestesi regional lebih awal pada kasus cedera ekstremitas memiliki keuntungan jangka

4|r egi onal ane sthe si a in tr auma me dicine - 2 01 2

panjang yaitu dapat mengurangi insidensi terjadinya nyeri kronis akibat sequelae, seperti causalgia dan gangguan stress pasca trauma [13]. Teknik anestesi regional yang digunakan sebagai kontrol nyeri sebelum operasi dapat juga digunakan pada tingkat pra-rumah sakit atau ruang gawat darurat, namun penggunaannya harus mendapatkan pengawasan yang adekuat, baik dari segi peralatan maupun penyedia layanan. Tidak semua tehnik regional anestesi sesuai digunakan pada tingkat pra-rumah sakit atau pada ruang gawat darurat dan tidak semua penyedia layanan kesehatan terlatih maupun berpengalaman dalam menggunakan tehnik anestesi regional. Terutama tehnik anestesi neuroaksial seperti CTEC (continuous thoracic epidural catheters) yang umum digunakan pada operasi regio abdomen atau fraktur costae, dimana dapat terjadi komplikasi yang serius seperti hipotensi dan cedera medula spinalis. Penggunaan tehnik ini sangat bergantung pada keahlian dan staffing model di ruang gawat darutat. Blok ekstremitas di sisi lain seringkali mudah dilakukan, walaupun tanpa adanya USG maupun stimulasi saraf, dan memiliki resiko terjadinya hipotensi atau komplikasi yang relatif rendah. Fraktur costae dan fraktur ekstremitas bagian bawah seringkali kita temui di unit gawat darurat. Jenis cedera seperti ini juga relatif mudah untuk ditangani dengan tehnik anestesi regional. Beberapa penelitian telah membandingkan tehnik anestesi regional dengan pemakaian opioid di unit gawat darurat dan penanganan awal dirumah sakit. Kelayakan digunakannya tehnik kateter blok saraf kontinyu (continous nerve block catheter) untuk efek jangka panjang juga telah diteliti. Cedera panggul dan ekstremitas bawah Buckenmaier et al. mengilustrasikan kelebihan blok saraf perifer pada tatalaksana nyeri yang berkepanjangan dan intervensi pada kasus bedah berulang seperti yang dilaporkan pada penggunaan continous lumbar plexus dan sciatic nerve catheters pada seorang tentara yang mengalami cedera pada ekstremitas bawah akibat peperangan. Kemampuan obat anestesi lokal dalam memberikan efek anestesi dan analgesik pada pemberian via lumbar dan kateter sciatic selama proses evakuasi hingga menjalani perawatan di rumah sakit selama 16 hari sangat

5|r egi onal ane sthe si a in tr auma me dicine - 2 01 2

baik dalam mengontrol nyeri dan menghindari resiko yang terkait dengan paparan opioid dosis tinggi, anestesi umum, dan blok saraf yang berulang [12]. Walaupun pada akhirnya harus dilakukan amputasi pada ekstremitas yang cedera, pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri tungkai bayangan (phantom limb pain) maupun sindrom nyeri kronis lainnya. Menurut pengalaman di bidang militer terdahulu sampai dengan saat ini, para ahli di Eropa telah menjelaskan prosedur blok saraf tunggal yang dilakukan di medan pertempuran oleh dokter yang bekerja di tingkat pra rumah sakit dan ahli anestesi yang bekerja di tempat kejadian dan selama transportasi menuju rumah sakit. Injeksi tunggal pada blok saraf femoral dilakukan pada pasien dengan nyeri lutut setelah mengalami trauma telah terbukti mampu memberikan efek analgesia yang efektif dan membantu dalam proses transportasi. Barker et al. meneliti efek dari pemberian blok saraf femoral single-shot dibandingkan dengan analgesia intravena yaitu metamizole yang diberikan sebelum rawat inap. Penelitian dengan metode randomized

control trial ini memperlihatkan blok saraf femoral memberikan efek anti nyeri lebih awal dan menekan respon saraf simpatis. Penggunaan blok saraf femoral oleh ahli yang berpengalaman merupakan tehnik yang aman, mudah dilakukan, dan menyebabkan keterlambatan pengahantaran yang minimal [11]. Merujuk pada keamanan dan kemudahan dalam mengidentifikasi lokasi anatomi sekitar saraf femoralis, beberapa penelitian telah mendapatkan keuntungan dari tehnik blok saraf femoralis atau blok kompartemen fascia iliaca yang dilakukan di ruang gawat darurat. Kedua tehnik blok saraf ini mudah untuk dilakukan dan telah terbukti efektif meredakan nyeri pada kasus fraktur collum femoris dan fraktur pelvis. Nyeri akut yang timbul pada fraktur femur diketahui sebagai salah satu nyeri yang sangat menyakitkan dari kasus-kasus fraktur [15]. Penggunaan blok saraf pada pasien tersebut memberikan efek analgesia yang lebih cepat dan meningkatkan kepuasan pasien jika dibandingkan dengan pemberian opioid parenteral maupun intramuskular [14, 16]. Mutty et al. telah mendemonstrasikan blok saraf femoral secara signifikan mampu mengurangi nyeri akut pada fraktur femoris distal jika dibandingkan

6|r egi onal ane sthe si a in tr auma me dicine - 2 01 2

dengan pemberian opioid intravena. Lima puluh empat pasien telah mendapatkan terapi blok saraf perifer secara acak. Masing-masing pasien mengalami penurunan rasa nyeri sekitar 3,6 poin dibandingkan dengan pemberian anti nyeri intravena hydromorphone. Hasil tersebut didapatkan setelah lima menit awal perlakuan [16]. Penelitian yang sama dilakukan oleh Wathen et al. yang membandingkan efek analgesia dari tehnik fascia iliaca compartment nerve block (FICB) dengan pemberian injeksi morphine intravena pada pasien anak-anak yang mengalami fraktur femur akut yang dilakukan di unit gawat darurat. Melalui penelitian yang menggunakan metode controlled unblinded, diperoleh lima puluh lima pasien yang telah dipilih secara acak untuk mendapatkan metode FICB atau injeksi morphine intravena. Kelompok pasien yang mendapatkan FICB mengalami penurunan skor nyeri pada 30 menit dan 6 jam setelah dilakukan intervensi, disertai lebih sedikit kejadian depresi pernapasan, dan penurunan terjadinya spasme otot [14]. Selain itu, dari pihak dokter, perawat, orang tua, dan pasien menunjukkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi pada kelompok yang diintervensi dengan metode FICB. Penelitian ini memperkuat penelitian-penelitian serupa dalam skala kecil sebelumnya tentang efikasi dari penggunaan metode blok saraf femoral (femoral nerve blockade). Dari kedua penelitian tersebut, prosedur intervensi dilakukan oleh para residen orthopedi dan dokter ruang gawat darurat yang telah dilatih oleh para ahli anestesi. Hasil yang terlihat menjanjikan dari metode injeksi tunggal menyebabkan adanya penelitian lanjutan yang

membandingkan injeksi suntikan tunggal (single-shot injection) dengan pemasangan kateter awal (early catheter placement) sebagai agen kontrol nyeri yang bersifat kontinyu. Stewart et al. menjelaskan mengenai prosedur pelaksanaan blok saraf femoral yang dilakukan oleh dokter gawat darurat meliputi pemasangan continuous catheters pada 40 pasien pediatrik yang mengalami fraktir femur [17]. Salah satu kekurangan dari studi nonblinded ini adalah adanya potensi bias yang bersifat subjektif baik dari pihak pasien dan peneliti. Pada penelitian yang lebih lanjut, Foss et al. [10] melakukan penelitian dengan metode randomized doubleblind placebo-controlled trial yang membandingkan efek FICB dengan pemberian morfin intramuskular pada pasien yang mengalami fraktur panggul akut.

7|r egi onal ane sthe si a in tr auma me dicine - 2 01 2

Keseluruhan dari empat puluh delapan pasien yang mendapat injeksi intragluteal dan blok pada fascia iliaca. Kelompok FICB menerima mepivacaine 1% dengan epinefrin dan pemberian injeksi larutan saline fisiologis intramuskular. Sedangkan kelompok morfin menerima injeksi morfin 0,1 mg/kgBB dan salin fisiologis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bhwa penerima FICB memiliki efek analgesia yang lebih tinggi baik pada saat istirahat maupan pada saat pergerakan dinamis mengangkat kaki setinggi 15 derajat. Selain itu, FICB yang dilakukan oleh ahli anestesi membutuhkan waktu rata-rata 4 menit. Kemudian dari penelitian tersebut diketahui tidak ada efek samping dari penggunaan FICB sedangkan pada kelompok morfin memiliki kecenderungan untuk terjadi penurunan saturasi oksigen pada 60 dan 180 menit meskipun telah mendapatkan suplemen oksigen. Cedera ekstremitas atas dan bahu Blok regional pleksus brachialis pada bedah ekstremitas atas memberi efek pereda nyeri yang baik pada fase pre operatif. Pleksus brachialis dapat di blok melalui berbagai pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan aksial (axially approach), infraklavikula (infraclavicular approach), dan interskalenus

(interscalene approach). Keistimewaan anestesi regional dosis rendah adalah secara poten menurunkan resiko toksisitas dari obat anestesi lokal dan dapat digunakan untuk durasi yang lebih singkat atau pada tatalaksana nyeri dengan intensitas lebih ringan seperti prosedur-prosedur tatalaksana di unit gawat darurat. Pada penelitian prospektif yang dilakukan oleh ODonnell et al. membandingkan blok aksiler yang menggunakan penuntun USG dosis rendah (low-dose ultrasound-guided axillary blocks) dengan anestesi umum pada pasien yang akan menjalani operasi ekstremitas atas di kamar operasi. Saat dibandingkan dengan yang menggunakan anestesi umum, pasien yang menerima low-dose ultrasoundguided axillary blocks experienced mendapat anestesi yang sangat baik, analgesia yang kuat, dan penurunan penggunaan opioid, serta masa penyembuhan yang lebih singkat di rumah sakit dan dapat menjalani rawat jalan lebih awal [18]. Kasus cedera lainnya yang sering ditemui di unit gawat darurat adalah dislokasi

8|r egi onal ane sthe si a in tr auma me dicine - 2 01 2

sendi ekstremitas atas yaitu dislokasi bahu dan siku. Dislokasi bahu, pada umumnya sering membutuhkan sedasi dalam untuk memberikan efek relaksasi karena sedasi ringan tidak memberikan relaksasi terhadap ketegangan otot atau kontrol nyeri. Sedasi sedang atau dalam memerlukan pasien untuk berpuasa terlebih dahulu sehingga butuh waktu yang lebih lama di ruang gawat darurat. Blok interskalenus memberikan efek pereda nyeri yang sangat baik serta relaksasi otot. Pada tehnik tersebut dimana bahu mendapatkan inervasi saraf dari trunkus superior dan medius yang dekat dengan kulit melalui alur skalenus. Kegagalan yang umum terjadi pada metode ini tidak memberikan efek anestesi pada seluruh pleksus brachialis yaitu bagian trunkus inferior yang dibentuk oleh nervus C7 and T1 nerves, dimana bagian tersebut tidak berperan penting dalam relaksasi pada dislokasi bahu. Blaivas et al. melakukakn penelitian terhadap 42 pasien yang diberikan sedasi menggunakan etomidate atau dengan blok interskalenus dengan penuntun USG yang dilakukan oleh dokter ruang gawat darurat. Lama tinggal pasien di unit gawat darurat secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang diberikan sedasi (177,3 37,9menit) dibandingkan kelompok yang diberikan anestesi regional (100,3 28,2 menit). Rata-rata waktu yang dibutuhkan dokter untuk mengevaluasi satu pasien pada kelompok yang diberikan sedasi adalah 47,1 (9,8) menit dan 5 (0.7) menit pada kelompok yang diberikan anestesi regional. Serta tidak satupun dari kelompok anestesi regional mendapatkan obat analgesik tambahan [19]. Fraktur costae (patah tulang iga) Fraktur costae merupakan kasus yang sering diakibatkan oleh trauma tumpul. Dimana fraktur ini menimbulkan nyeri yang sangat hebat dan pasien yang mengalami patah tulang iga lebih dari tiga memiliki resiko yang lebih tinggi terkena komplikasi pada organ paru. Nyeri yang ditimbulkan dapat mengganggu pernapasan dan kemampuan membersihkan sekret dari saluran napas sehingga menyebabkan terjadinya atelektasis dan hipoksia. Tidak kurang dari sepertiga kasus mengalami pneumonia nosokomial dan tingkat kematian akibat flail chest meningkat sampai dengan 16 %. Tatalaksana pada kasus fraktur costae secara

9|r egi onal ane sthe si a in tr auma me dicine - 2 01 2

umum meliputi kontrol nyeri, fisioterapi pernapasan, dan mobilisasi. Pada panduan tatalaksana nyeri pada kasus trauma tumpul dinding dada

merekomendasikan penggunaan anestesi epidural sebagai tehnik analgesia pilihan yang mampu mengatasi nyeri secara optimal, kecuali pada kasus dengan kontraindikasi. Pemasangan anestesi epidural thorax pada keadaan tersebut bermanfaat melipatgandakan fungsi kapasitas vital paru pada pasien dengan napas spontan, mengurangi pernapasan paradoksikal pada segmen yang terganggu, dan mencegah efek samping dari penggunaan opioid narkotik seperti somnolen, depresi pernapasan, dan gejala gastrointestinal [20]. Bulger et al. menunjukkan bahwa penggunaan analgesia epidural thorax berkaitan dengan penurunan rasio terjadinya pneumonia nosokomial dan menurunkan kebutuhan akan ventilasi mekanik. Penelitian prospektif yang dilakukannya meliputi 458 kasus trauma tumpul thorax. Pada pasien dengan fraktur costae lebih dari tiga, kelompok analgesia epidural rata-rata membutuhkan ventilator sebanyak 7,6 hari dibandingkan kelompok opioid sistemik yang membutuhkan 9,1 hari. Jika ditambahkan pada pasien dengan cedera paru, resiko terjadinnya pneumonia meningkat enam kali dibandingkan pada kelompok epidural. Disamping kelebihan-kelebihan tersebut hanya 22 % pasien yang mendapatkan analgesia epidural dikarenakan adanya infeksi, koagulopati, fraktur spinal dan instabilitas hemodinamik sebagai kriteria eksklusi [21]. Tatalaksana nyeri lainnya sebagai alternatif anestesi epidural thorax meliputi blok saraf paravertebralis (paravertebral nerve blocks), injeksi saraf intercostalis (intercostal nerve injections), dan kateter intrapleura (intrapleural catheters). Dari beberapa metode alternatif tersebut blok saraf paravertebralis adalah metode yang paling menjanjikan, meskipun efikasi dari metode ini belum diteliti secara luas. Keterbatasan tehnik analgesia regional Kekurangan dari metode analgesia regional adalah prosedur pelaksanaanya yang rumit dan diperlukan pelatihan serta pengulangan dalam melakukan tehnik tersebut agar tercapai keahlian dalam tehnik analgesia regional. Anestesi regional

10 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

merupakan prosedur yang bersifat invasif dengan resiko terjasinya infeksi, cedera saraf, dan resiko prosedur yang lebih spesifik seperti cedera vaskular, pneumothorax, keracunan anestesi lokal, infeksi atau kemungkinan terjadinya sindrom kompartemen (compartment syndrome) pada kasus trauma ekstermitas. Sementara itu, untuk beberapa pasien dengan cedera ekstremitas multipel yang luas memerlukan tehnik continuous catheter, dan seringkali pasien tersebut memerlukan obat analgesik dan sedasi sistemik. Dimana pemberian obat-obatan sistemik ini lebih beralasan dibandingkan penggunaan anstesi regional dalam beberapa kasus. Kendati banyak manfaat yang didapatkan dari tehnik analgesia regional, namun pemanfaatan teknik ini sering tidak dianggap kurang baik atau dianggap tidak cocok digunakan karena adanya potensi risiko atau efek samping dari penggunaan tehnik ini. Kekurangan dari tehnik ini lebih sering dikarenakan kurangnya pelatihan atau kurangnya pengetahuan tentang teknik anestesi regional oleh para staf medis di fase pra-rumah sakit dan di ruang gawat darurat. Sindrom kompartemen (Compartment syndrome) Trauma ekstremitas dapat menyebabkan terjadinya sindrom kompartemen dimana terjadi pembengkakan (edema) dan peningkatan tekanan jaringan otot, kompartemen otot juga menyebabkan penurunan sirkulasi, iskemia dan nekrosis otot yang luas. Salah satu gejala yang terjadi pada sindrom kompartemen adalah meningkatnya rasa nyeri. Meskipun peningkatan rasa nyeri tidak selalu sebagai penanda adanya sindrom kompartemen, namun penatalaksanaan nyeri yang dilakukan pada fase pos-operatif terutama penggunaan anestesi regional dapat menghilangkan gejalanya sehingga menyebabkan keterlambatan diagnosis. Keterlambatan diagnosis dan terapi pada sindrom kompartemen yang terjadi pada trauma orthopedi tulang panjang dapat menyebabkan komplikasi yang lebih parah seperti amputasi, gagal ginjal akibat rhabdomiolisis, dan aritmia jantung. Resiko tersebut lebih tinggi pada pasien yang mengalami fraktur plateau tibia, fraktur akibat tubrukan (crush injury), dan prolonged extrication [15]. Fraktur collum femoralis dan fraktur ankle termasuk fraktur yang jarang menimbulkan komplikasi pada cedera orthopedi. Nyeri yang timbul akibat peregangan pasif

11 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

pada kompartemen yang terkena dapat diduga sebagai gejala awal timbulnya sindrom kompartemen, yang akan mengakibatkan menurunnya penggunaan tehnik anestesi regional lanjutan pada pasien lainnya. Terdapat banyak laporan mengenai terlambatnya diagnosis pada pasien yang mendapatkan analgesia regional terutama pada penggunaan tehnik subarachnoid dan epidural [22]. Sama halnya dengan pasien yang menggunakan opioid. Pada tahun 2009 Mar et al. mempublikasikan sebuah review sistematis yang menganalisis 20 laporan kasus dan 8 kasus serial mengenai sindrom kompartemen dan efek analgesik terhadap penegakan diagnosis. Sebagian besar dari pasien tersebut menggunakan anestesi aepidural (n=23), kateter blok saraf perifer (n = 2) dan pasien yang menggunakan analgesia intravena (n = 3) yang tidak umum digunakan. Dalam penelitian tersebut penulis tidak melakukan uji coba acak terkontrol (randomized controlled trials) atau uji coba berbasis komparatif lainnya. Dalam delapan laporan kasus yang ditelaah oleh penulis nyeri muncul pada fase analgesia pasca operasi, namun gejala tersebut tidak tampak dalam waktu yang lama, sehingga menyebabkan keterlambatan diagnosis. Dari hasil analisis kasus tersebut, penulis berkesimpulan bahwa penyebab yang paling utama dari keterlambatan diagnosis sindrom kompartemen adalah kekeliriuan dalam menilai efek analgesia dan semua hal yang berhubungan dengan efek analgesia juga saling terkait dengan keterlambatan diagnosis. tingkat kecurigaan yang tinggi, proses penilaian keadaan pasien, dan pengukuran tekanan kompartemen merupakan hal penting dalam menegakkan diagnosis awal sindrom kompartemen, terlepas dari keadaan analgesia yang dialami pasien [23]. Pengalaman militer terkini tidak menemukan adanya sindrom kompartemen yang terjadi akibat penggunaan anestesi regional yang efektif. Sebuah review kasus serial tentang terjadinya sindrom kompartemen pada pasien yang mendapat blok saraf perifer atau asentesi neuroaksial menyatakan bahwa terdapat tanda peringatan awal akan terjadinya komplikasi tersebut [23]. Penulis menyimpulkan bahwa penghilangan rasa nyeri dikarenakan pemberian analgesia yang adekuat sebelumnya dan nyeri yang terjadi pada tempat tertentu tidak berhubungan dengan cedera atau tindakan pembedahan dikarenakan tingkat kewaspadaan yang tinggi dan pengawasan yang ketat termasuk melalui

12 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

penggunaan pengawasan tekanan kompartemen. Hal yang sama ditemukan oleh Cometa et al., yang menjelaskan mengenai kasus sindrom kompartemen yang sebelumnya menggunakan analgesia regional kontinyu. Pasien kehilangan rasa nyeri secara utuh dengan pemberian blok saraf perifer kemudian mengeluhkan nyeri yang sangat hebat pada hari kedua pasca operasi meskipun telah mendapat blok saraf yang efektif dan terapi opioid oral. Diagnosis sindrom kompartemen telah ditegakkan dan telah diterapi. Penulis berkesimpulan bahwa sindrom kompartemen dapat didiagnosis pada pasien yang menggunakan anestesi regional yang efektif dan evaluasi klinis serta tingkat kewaspadaan yang tinggi sangat berperan penting pada saat diagnosis ditegakkan[24]. Sehingga hal ini sangatlah penting mengenal resiko akan sindrom kompartemen dan penatalaksanaan sesyuai dengan penyebab, dalam penyelidikan lebih lanjut yang bekerjasama dengan ahli orthopedi mencoba menguraikan bagaimana melakukan pengawasan yang lebih baik terhadap terjadinya dindrom kompartemen tanpa menyangkal keuntungan yang didapatkan dari tehnik anestesi regional. Cedera saraf dan komplikasi tehnik anestesi regional Para praktisi yang terlibat dalam penanganan pasien trauma akut selaiknya selalu waspada akan potensi terjadinya komplikasi dan efek samping dari tehnik anestesi regional. Komplikasi yang tidak selalu muncul tersebut meliputi infeksi, cedera saraf, dan injeksi intravaskular. Cedera saraf perifer merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada anestesi regional. Auroy et al. melaporkan sebanyak dua kasus cedera saraf dan satu kasus kejang dari 11.024 kasus blok pleksus aksiler. Dari 3.459 pelaksanaan blok interskalenus, terdapat satu kasus yang dilaporkan mengalami cedera saraf permanen. Tidak ditemukan adanya komplikasi henti jantung, gagal napas, atau kematian dari 23.784 orang pasien yang mendapat blok regional saraf ekstremitas atas [25]. Sebuah penelitian prospektif pada 257 pasien yang telah menjalani ultrasound-guided interscalene maupun blok saraf supraklavikularis tidak menunjukkan adanya komplikasi neurologis pasca operasi. Meskipun 42 pasien diantaranya mendapat injeksi intraneural oleh two blinded anesthesiologist yang mempelajarinya melalui gambaran USG dan video [26].

13 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

Toksisitas dari obat anestesi lokal menjadi perhatian dari pelaksanaan tehnik anestesi regional, terutama pada penggunaan obat anestesi lokal dalam jumlah besar. Insidensi terjadinya komplikasi tersebut sangat jarang dan dapat dicegah melalui penggunaan tehnik anestesi regional dosis rendah. ODonnell et al. telah menunjukkan efek penghilang rasa sakit yang baik pada pasien yang akan menjalani operasi bedah trauma ekstremitas atas dimana digunakan anestesi lokal dosis rendah pada blok pleksus brachialis aksiler [18]. Banyak praktisi enggan untuk melakukan teknik anestesi regional di tingkat pra-rumah sakit mengingat tingginya kekhawatiran terjadinya infeksi. Meskipun telah banyak prosedur steril seperti tindakan pemasangan selang pada dinding dada (chest tube) dan pemasangan kateter vena sentral dilakukan di lokasi kejadian, namun beberapa ahli berpendapat untuk tidak mengambil resiko untuk terjadinya infeksi dengan melakukan pemsangan blok saraf perifer dalam kondisi yang tidak layak dimana nyeri yang diasakan pasien masih dapat ditangani dengan cara lain dengan resiko infeksi yang lebih rendah. Walaupun demikian, penggunaan opioid dalam jumlah besar juga memiliki resiko tersendiri, seperti depresi pernapasan, sedasi yang dalam, dan dibutuhkan alat pelindung jalan napas dan ventilasi selama dalam perjalanan. Keengganan para praktisi untuk melakukan teknik anestesi regional dalam perjalanan sebagai terapi awal pada kasus trauma dipengaruhi juga oleh adanya ketakutan praktisi jika sampai mencederai saraf. Adanya kerusakan saraf sebelumnya merupakan kontraindikasi relatif untuk dilakukannya tehnik neuraxial dan blok saraf perifer sesuai dengan panduan yang dibuat oleh American Society of Regional Anesthesia (ASRA). Penilaian terhadap adanya cedera yang luas dan gangguan neurovaskular pada psien trauma akut menjadi sulit dilakukan dan merupakan tantangan tersendiri dikarenakan adanya perubahan status mental akibat dari cedera kepala, intoksikasi, atau sedasi. Resiko trauma langsung oleh jarum suntik pada serabut saraf dapat dikurangi dengan adanya USG sebagai penuntun seperti pada FICB. Meskipun obat anestesi lokal dosis tinggi berakibat toksik bagi saraf, namun jika masih dalam dosis terapi obat anestesi lokal sangat aman digunakan [8]. Implikasi pada aspek medikolegal juga

14 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

harus mendapatkan perhatian. Efek simpatektomi dari penggunaan blok saraf perifer adalah peningkatan aliran darah pada ekstremitas yang dibius dan terbukti bermanfaat memperbaiki kerusakan vaskular yang ada pada ekstremitas yang mengalami cedera. Dari penelitian ini juga disimpulkan bahwa keberhasilan blok saraf perifer pada pasien dengan gangguan neurovaskular, resiko dan keuntungannya mesti dilihat kasus per kasus. Orebaugh et al. melakukan penelitian dengan metode retrospektif mengenai komplikasi yang dapat tejadi pada tehnik anestesi regional. Analisis kasus meliputi 5436 kasus blok perifer non-kateter secara berurutan (interscalene, axillary, femoral, sciatic, and popliteal). Semua prosedur tersebut dilakukan oleh staf anestesi dengan atau tanpa menggunakan USG sebagai penuntun. Sebanyak 3290 prosedur dilakukan menggunakan stimulasi saraf, namun tanpa tuntunan USG. 2146 prosedur lainnya menggunakan stimulasi saraf dengan penuntun USG. Total ditemukan delapan kasus yang menampakkan efek samping (5 pasien mengalami kejang dan 3 cedera saraf) pada kelompok yang tidak menggunakan penuntun USG dan tidak ditemukan efek samping pada kelompok yang menggunakan USG [27]. Tidak terdapat perbedaan antara kedua kelompok tersebut berdasarkan jumlah pasien yang mengalami kejang dengan blok ekstremitas bawah maupun cedera pada saraf. Meskipun tingkat keamanan dari blok saraf perifer yang dikombinasikan dengan penuntun USG semakin banyak digunakan, potensi resiko toksisitas dari obat anestesi lokal tidak dapat diminimalisir. ASRA dan ASA merekomendasikan kemampuan pengawasan yang lebih adekuat, seperti oksimetri (pulse oxymetri), tekanan darah, dan EKG disertai dengan persiapan yang sama baiknya dengan peralatan resusitasi yang lengkap dan obat-obatan yang tepat sebagai bagian dari keamanan prosedur saat dilakukan tehnik anestesi regional. Pasien lansia Belum banyak literatur-literatur mengenai anestesi regional pada lansia, terutama mengenai penggunaan tehnik ini di ruang gawat darurat. Beaudoin et al. menjelaskan melalui suatu penelitian prospektif dengan jumlah sampel 13 pasien dengan usia rata-rata 82 tahun menggunakan blok saraf femoralis dengan

15 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

penuntun USG oleh seorang dokter ruang gawat darurat. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan prosedur ini adalah 8 menit dan tidak didapatkan adanya komplikasi dengan penurunan rasa nyeri sebesar 44% dalam waktu 15 menit dan 67% pada 30 menit setelah dilakukan blok. Penulis menyimpulkan bahwa metode blok saraf femoralis dengan penuntun USG laik untuk dilakukan di unit gawat darurat dan berhasil menurunkan skor nyeri [28]. Koagulopati dan antikoagulan Pemberian antikoagulan setelah pembedahan merupakan terapi standar setelah pembedahan dan banyak pasien yang mendapat terapi koagulan atau trombolitik bahkan sebelum pembedahan dilakukan. Hal ini menyebabkan perdarahan yang signifikan selama prosedur anestesi regional berlangsung atau selama pelepasan kateter atau penggunaan continuous peripheral nerve catheters pada fase pasca operasi. Bickler et al. mengemukakan terjadinya ekimosis yang signifikan pada pasien yang batal dipulangkan setelah menggunakan kateter blok nervus sciatic dan femoralis dimana pasien mengkonsumsi enoxaparin, suatu turunan dari heparin [29]. Konferensi Konsensus ASRA Ketiga (ASRAs Third Consensus Conference) tentang penggunaan anestesi regional dan antikoagulan disarankan untuk menggunakan pedoman yang sama untuk anestesi regional perifer seperti yang digunakan untuk prosedur anestesi regional neuraxial [30]. Sebuah review dari semua kasus yang dipublikasikan tentang timbulnya perdarahan yang signifikan atau timbulnya memar setelah dilakukan tindakan anestesi pleksus maupun perifer pada semua pasien dengan kemunduran fungsi saraf, pemulihan neurologis lengkap dalam waktu 6 sampai 12 bulan. Sementara itu, perdarahan yang terjadi pada pasien yang menggunakan terapi antikoagulan terjadi penurunan hematokrit, perdarahan yang terjadi bukan karena iskemik sel saraf yang irreversibel [31]. Untuk mengurangi resiko komplikasi pada pasien yang sedang menjalani terapi koagulan dibutuhkan komunikasi yang baik antara dokter dengan klinisi yang melakukan pemasangan maupun pelepasan blok saraf atau penggunaan kateter

16 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

blok saraf mengenai jadual pemberian dan dosis obat antikoagulan untuk menghindari waktu pelaksanaan prosedur bersamaan dengan saat konsentrasi puncak dari obat antikoagulan di dalam tubuh pasien. Ketersediaan personil yang berpengalaman Ruang gawat darurat adalah tempat dimana anestesi regional dapat dengan mudah dan aman untuk dilakukan, namun tehnik ini menjadi jarang digunakan karena kebanyakan dokter di ruang gawat darurat tidak mengenal tehnik regional maupun blok saraf perifer yang lebih kecil. Pemasangan kateter kontinyu pada blok saraf perifer, blok pleksus saraf atau anestesi epidural pada saat ini jarang diketahui oleh banyak dokter. Beberapa dokter atau paramedis yang bertugas di tingkat pra-rumah sakit telah mendapat pelatihan dan pengalaman yang adekuat dalam melakukan prosedur tersebut dan kelaikan dari kalangan non medis dalam melakukan prosedur ini masih menjadi kontroversi. Para praktisi yang kurang ahli dalam penggunaan anestesi regional menyebabkan waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan prosedur tersebut akan lebih banyak dan keterlambatan dalam menangani pasien lainnya dengan cedera yang lebih parah. Konsultasi pada praktisi lainnya, seperti ahli anestesi untuk melakukan anestesi regional juga akan menimbulkan keterlambatan penanganan. Disamping peningkatan pelatihan terhadap para dokter yang bekerja di ruang gawat darurat, ketersediaan ahli anestesi di ruang gawat darurat juga dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Kesimpulan Telah banyak terdapat laporan-laporan mengenai tehnik anestesi regional yang berhasil dilakukan oleh para dokter di Eropa di lapangan. Di Eropa para dokter umum dan ahli anestesi menggunakan sistem pengobatan darurat dan membawanya menggunakan ambulans menuju lokasi terjadi kecelakaan. Para dokter tersebut dapat menggunakan kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya dalam melakukan tehnik anestesi regional pada kondisi penanganan trauma akut. Selain tiu, pengalaman terbaru dari bidang militer menunjukkan hasil17 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

yang menjanjikan terhadap pasien yang mendapat anestesi regional terutama pada penggunaan tehnik kateter kontinyu baik setelah terjadi cedera maupun selama transportasi menuju rumah sakit. Dimana pengalaman tersebut dapat diterapkan pada seluruha masyarakat sipil pada tahun-tahun selanjutnya seperti penggunaan kateter kontinyu untuk analgesia jangka panjang. Sangat penting bagi para ahli anestesi untuk mengambil inisiatif sebagai pelopor dalam mengadaptasi tehnik anestesi regional di luar lingkungan kamar operasi dan menggunakannya di ruang gawat darurat dan di tingkat pelayanan kesehatan pra-rumah sakit.

18 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

Referensi1. G. W. Crile, Anesthesia of nerve roots with cocaine, Cleveland Medical Journal, vol. 2, article 355, 1897. 2. G. Hirschel, Die anaesthesierung des plexus brachialis fuer die operationen der oberen extremitaet, Mnchen Med Wochenschr, vol. 58, pp. 1555 1556, 1911. 3. D. Kulenkampff, Die anaesthesierung des plexus brachialis, Zentralblatt fur Chirurgie, vol. 38, pp. 13371346, 1911. 4. J. L. Corning, Spinal anesthesia and local medication of the cord, New York Medical Journal, vol. 42, pp. 483485, 1885. 5. A. Bier, Versuche ber cocainisirung des rckenmarkes, Deutsche Zeitschrift fr Chirurgie, vol. 51, no. 3-4, pp. 361369, 1899. 6. A. Bier, ber einen neuen weg lokalanasthesie an den gliedmassen zu erzeugen, Verhandlungen der Deutschen Gesellschaft fr Chirurgie, vol. 27, pp. 204214, 1908. 7. A. R. Plunkett, D. S. Brown, J. M. Rogers, and C. C. Buckenmaier, Supraclavicular continuous peripheral nerve block in a wounded soldier: when ultrasound is the only option, British Journal of Anaesthesia, vol. 97, no. 5, pp. 715717, 2006. 8. R. J. Malchow and I. H. Black, The evolution of pain management in the critically ill trauma patient: emerging concepts from the global war on terrorism, Critical Care Medicine, vol. 36, supplement 7, pp. S346S357, 2008. 9. E. M. Davidson, Y. Ginosar, and A. Avidan, Pain management and regional anaesthesia in the trauma patient, Current Opinion in Anaesthesiology, vol. 18, no. 2, pp. 169174, 2005. 10. N. B. Foss, B. B. Kristensen, M. Bundgaard et al., Fascia iliaca compartment blockade for acute pain control in hip fracture patients: a randomized, placebo-controlled trial, Anesthesiology, vol. 106, no. 4, pp. 773778, 2007.

19 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

11.

R. Barker, A. Schiferer, C. Gore et al., Femoral nerve blockade administered preclinically for pain relief in severe knee trauma is more feasible and effective than intravenous metamizole: a randomized controlled trial, Journal of Trauma, vol. 64, no. 6, pp. 15351538, 2008. C. C. Buckenmaier, G. M. McKnight, J. V. Winkley et al., Continuous peripheral nerve block for battlefield anesthesia and evacuation, Regional Anesthesia and Pain Medicine, vol. 30, no. 2, pp. 202205, 2005. R. M. Gallagher and R. Polomano, Early, continuous, and restorative pain management in injured soldiers: the challenge ahead, Pain Medicine, vol. 7, no. 4, pp. 284286, 2006. J. E. Wathen, D. Gao, G. Merritt, G. Georgopoulos, and F. K. Battan, A randomized control trial comparing a fascia iliaca compartment nerve block to a traditional systemic analgesic for femur fractures in a pediatric emergency department, Annals of Emergency Medicine, vol. 50, no. 2, pp. 162171, 2007.

12.

13.

14.

15.

C. E. Mutty, E. J. Jensen, M. A. Manka, M. J. Anders, and L. B. Bone, Femoral nerve block for diaphyseal and distal femoral fractures in the emergency department: surgical technique, Journal of Bone and Joint Surgery A, vol. 90, supplement 2, pp. 218226, 2008.

16.

C. E. Mutty, E. J. Jensen, M. A. Manka, M. J. Anders, and L. B. Bone, Femoral nerve block for diaphyseal and distal femoral fractures in the emergency department, Journal of Bone and Joint Surgery A, vol. 89, no. 12, pp. 25992603, 2007. B. Stewart, C. T. Smith, L. Teebay, M. Cunliffe, and B. Low, Emergency department use of a continuous femoral nerve block for pain relief for fractured femur in children, Emergency Medicine Journal, vol. 24, no. 2, pp. 113114, 2007. B. D. O'Donnell, H. Ryan, O. O'Sullivan, and G. Iohom, Ultrasoundguided axillary brachial plexus block with 20 milliliters local anesthetic mixture versus general anesthesia for upper limb trauma surgery: an

17.

18.

20 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

observer-blinded, prospective, randomized, controlled trial, Anesthesia and Analgesia, vol. 109, no. 1, pp. 279283, 2009. 19. M. Blaivas, S. Adhikari, and L. Lander, A prospective comparison of procedural sedation and ultrasound-guided interscalene nerve block for shoulder reduction in the emergency department, Academic Emergency Medicine, vol. 18, no. 9, pp. 922927, 2011. 20. B. J. Simon, J. Cushman, R. Barraco et al., Pain management guidelines for blunt thoracic trauma, Journal of Trauma, vol. 59, no. 5, pp. 1256 1267, 2005. 21. E. M. Bulger, T. Edwards, P. Klotz, and G. J. Jurkovich, Epidural analgesia improves outcome after multiple rib fractures, Surgery, vol. 136, no. 2, pp. 426430, 2004. 22. E. T. Davis, A. Harris, D. Keene, K. Porter, and M. Manji, The use of regional anaesthesia in patients at risk of acute compartment syndrome, Injury, vol. 37, no. 2, pp. 128133, 2006. 23. G. J. Mar, M. J. Barrington, and B. R. McGuirk, Acute compartment syndrome of the lower limb and the effect of postoperative analgesia on diagnosis, British Journal of Anaesthesia, vol. 102, no. 1, pp. 311, 2009. 24. M. A. Cometa, A. T. Esch, and A. P. Boezaart, Did continuous femoral and sciatic nerve block obscure the diagnosis or delay in treatment of acute lower leg compartment syndrome? A case report, Pain Medicine, vol. 12, no. 5, pp. 823828, 2011. 25. Y. Auroy, D. Benhamou, L. Bargues et al., Major complications of regional anesthesia in France: the SOS Regional Anesthesia Hotline Service, Anesthesiology, vol. 97, no. 5, pp. 12741280, 2002. 26. S. S. Liu, J. T. YaDeau, P. M. Shaw, S. Wilfred, T. Shetty, and M. Gordon, Incidence of unintentional intramural injection and postoperative neurological complications with ultrasound-guided interscalene and supraclavicular breve blocks, Anaesthesia, vol. 66, pp. 168174, 2011.S 27. S. L. Orebaugh, B. A. Williams, M. Vallejo, and M. L. Kentor, Adverse outcomes associated with stimulator-based peripheral nerve blocks with

21 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2

versus without ultrasound visualization, Regional Anesthesia and Pain Medicine, vol. 34, no. 3, pp. 251255, 2009. 28. F. L. Beaudoin, A. Nagdev, R. C. Merchant, and B. M. Becker, Ultrasound-guided femoral nerve blocks in elderly patients with hip fractures, American Journal of Emergency Medicine, vol. 28, no. 1, pp. 7681, 2010. 29. P. Bickler, J. Brandes, M. Lee, K. Bozic, B. Chesbro, and J. Claassen, Bleeding complications from femoral and sciatic nerve catheters in patients receiving low molecular weight heparin, Anesthesia and Analgesia, vol. 103, no. 4, pp. 10361037, 2006. 30. T. T. Horlocker, D. J. Wedel, J. C. Rowlingson, and F. K. Enneking, Executive summary: regional anesthesia in the patient receiving antithrombotic or thrombolytic therapy, Regional Anesthesia and Pain Medicine, vol. 35, no. 1, pp. 102105, 2010. 31. T. T. Horlocker, D. J. Wedel, J. C. Rowlingson et al., Regional Anesthesia in the patient receiving antithrombotic or thrombolytic therapy; American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine evidence-based guidelines (Third Edition), Regional Anesthesia and Pain Medicine, vol. 35, no. 1, pp. 64101, 2010.

22 | r e g i o n a l a n e s t h e s i a i n t r a u m a m e d i c i n e - 2 0 1 2