2
Editorial Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 8, Agustus 2010 Infeksi Helicobater pylori Tetap Harus Diwaspadai Ari Fahrial Syam Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Helicobacter py- lori (H pylori) tetap menarik untuk dibahas. 1 Laporan dari berbagai pusat penelitian termasuk juga dari senter-senter pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa insidens infeksi H pylori ini sudah menurun. Tetapi kita tetap harus waspada bahwa infeksi ini sebenarnya masih ada di tengah-tengah kita. Mengingat dampak klinis yang terjadi akibat infeksi ini begitu luas dari hanya dispepsia fungsional, gastritis kronis, ulkus peptikum sampai terjadinya kanker lambung. Di tingkat organisasi profesi saat inipun kita sudah mempunyai Konsensus Nasional mengenai Penatalaksanaan Infeksi Helicobacter pylori yang telah mengalami revisi dan revisi terakhir pada tahun 2003. 2 Penelitian yang dilakukan oleh Saragih et al. 3 yang melakukan evaluasi terhadap hasil pemeriksaan endoskopi dan hasil pemeriksaan histopatologi selama 8 tahun menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah pasien dengan dengan infeksi H. pylori walau ternyata insidens penurunan H. pylori ini tidak diikuti dengan penurunan metaplasia dan kejadian kanker lambung. Sebagaimana kita ketahui bahwa Penyakit infeksi Helicobacter pylori telah mengantarkan penemunya Prof Barry Marshall dan Dr. Robin Warren mendapat hadiah Nobel Kedokteran pada tahun 2005. Penemuan kuman ini telah mengubah cara tatalaksana pasien dengan gastritis atau ulkus peptikum yang sebelumnya hanya memberikan anti asam tetapi saat ini juga harus dengan antibiotik jika ditemukan pula kuman sebagai penyebab terjadinya ulkus peptikum. Jadi, jika ditemukan lesi di gastroduodenum kemudian ditemukan pula kuman H. pylori maka harus dilakukan eradikasi yaitu dengan memberikan kombinasi 2 buah antibiotik dikombinasi dengan pemberian penghambat pompa proton dosis ganda. Dengan melakukan eradikasi kuman tersebut kita telah memutus kelanjutan perjalanan infeksi ini sebagai penyebab terjadinya kanker lambung di masa datang. Sampai sejauh ini kami telah melakukan berbagai penelitian infeksi H. pylori baik dalam hal diagnosis maupun tatalaksana. Seperti dijelaskan dalam sari pustaka oleh Kho yang dipublikasi pada MKI edisi ini infeksi H. pylori didiagnosis dengan metode invasif maupun non invasif. Tentu sebelum kita melangkah untuk mendeteksi adanya kuman maka kita perlu mengidentifikasi kasus-kasus yang perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi H. pylori. Sesuai dengan konsensus nasional H. pylori, pasien dengan dispepsia sebelum diperiksa H. pylori perlu diberikan terapi empirik terlebih dahulu yaitu dengan anti asam seperti penghambat resepetor H2 atau penghambat pompa proton 349

672-731-1-PB

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 672-731-1-PB

Editorial

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 8, Agustus 2010

Infeksi Helicobater pyloriTetap Harus Diwaspadai

Ari Fahrial Syam

Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Helicobacter py-

lori (H pylori) tetap menarik untuk dibahas.1 Laporan dari

berbagai pusat penelitian termasuk juga dari senter-senter

pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa insidens infeksi

H pylori ini sudah menurun. Tetapi kita tetap harus waspada

bahwa infeksi ini sebenarnya masih ada di tengah-tengah

kita. Mengingat dampak klinis yang terjadi akibat infeksi ini

begitu luas dari hanya dispepsia fungsional, gastritis kronis,

ulkus peptikum sampai terjadinya kanker lambung. Di tingkat

organisasi profesi saat inipun kita sudah mempunyai

Konsensus Nasional mengenai Penatalaksanaan Infeksi

Helicobacter pylori yang telah mengalami revisi dan revisi

terakhir pada tahun 2003.2 Penelitian yang dilakukan oleh

Saragih et al.3 yang melakukan evaluasi terhadap hasil

pemeriksaan endoskopi dan hasil pemeriksaan histopatologi

selama 8 tahun menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah

pasien dengan dengan infeksi H. pylori walau ternyata

insidens penurunan H. pylori ini tidak diikuti dengan

penurunan metaplasia dan kejadian kanker lambung.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Penyakit infeksi

Helicobacter pylori telah mengantarkan penemunya Prof

Barry Marshall dan Dr. Robin Warren mendapat hadiah Nobel

Kedokteran pada tahun 2005. Penemuan kuman ini telah

mengubah cara tatalaksana pasien dengan gastritis atau ulkus

peptikum yang sebelumnya hanya memberikan anti asam

tetapi saat ini juga harus dengan antibiotik jika ditemukan

pula kuman sebagai penyebab terjadinya ulkus peptikum.

Jadi, jika ditemukan lesi di gastroduodenum kemudian

ditemukan pula kuman H. pylori maka harus dilakukan

eradikasi yaitu dengan memberikan kombinasi 2 buah

antibiotik dikombinasi dengan pemberian penghambat pompa

proton dosis ganda. Dengan melakukan eradikasi kuman

tersebut kita telah memutus kelanjutan perjalanan infeksi ini

sebagai penyebab terjadinya kanker lambung di masa datang.

Sampai sejauh ini kami telah melakukan berbagai

penelitian infeksi H. pylori baik dalam hal diagnosis maupun

tatalaksana. Seperti dijelaskan dalam sari pustaka oleh Kho

yang dipublikasi pada MKI edisi ini infeksi H. pylori

didiagnosis dengan metode invasif maupun non invasif.

Tentu sebelum kita melangkah untuk mendeteksi adanya

kuman maka kita perlu mengidentifikasi kasus-kasus yang

perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi H. pylori.

Sesuai dengan konsensus nasional H. pylori, pasien dengan

dispepsia sebelum diperiksa H. pylori perlu diberikan terapi

empirik terlebih dahulu yaitu dengan anti asam seperti

penghambat resepetor H2 atau penghambat pompa proton

349

Page 2: 672-731-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 8, Agustus 2010

selama 2 minggu. Jika tidak ada perbaikan maka perlu

dilakukan evaluasi untuk mengidentifikasi adanya kuman.2

Deteksi kuman H. pylori tentu disesuaikan dengan

kondisi sarana dan prasarana yang ada di lapangan. Saat ini

pemeriksaan non invasif untuk mendeteksi adanya kuman

H. pylori yang tersedia di pasaran kita di Indonesia adalah

pemeriksaan Urea Breath Test (UBT) dan test serologi H.

pylori. Pemeriksaan UBT sendiri sudah merupakan gold stan-

dard dan juga bisa digunakan untuk evaluasi paska eradikasi.

Sedang pemeriksaan H. pylori stool antigen (HpSA) belum

tersedia di pasaran. Pemeriksaan HpSA di Indonesia saat ini

masih terbatas hanya untuk penelitian. Penelitian kami

beberapa tahun lalu dengan HpSA mendapatkan angka

sensitivitas 66,7% dan spesifisitas 78,9%.4 Pemeriksaan

HpSA bukan saja untuk diagnosis tapi juga digunakan

sebagai follow up paska eradikasi.

Sampai sejauh ini pemeriksaan invasif untuk mendeteksi

H. pylori masih menjadi pilihan terutama pada kasus

dispepsia dengan adanya tanda alarm seperti riwayat

hematemeses melena, berat badan turun, adanya anemia yang

tidak diketahui sebabnya dan pasien dengan dispepsia pada

umur >45 tahun. Pemeriksaan endoskopi tentu untuk

mengevaluasi penyebab dari dispepsia dengan tanda alarm

dan dilanjutkan dengan biopsi untuk mendeteksi adanya

kuman H. pylori baik secara histopatologi maupun dengan

cara pemeriksaan rapid urease test dari jaringan biopsi

tersebut. Selain itu jaringan biopsi juga digunakan untuk

mendeteksi adanya kuman H. pylori secara kultur. Evaluasi

kami dari beberapa senter di Indonesia mendapatkan bahwa

pemeriksaan rapid urease test dengan pronto dry

menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas masing 69,7% dan

95,7% dengan accurate rate mencapai 92,7%. Yang menarik

dari penelitian yang kami lakukan bahwa kami mendapatkan

sekitar 10% dengan ulkus peptikum, 15,5% dengan esofagitis

dan 1 kasus dengan kanker lambung pada pasien yang

mengeluh dispepsia.5 Oleh karena itu tetap bahwa endoskopi

menjadi pilihan pertama pada kasus-kasus dispepsia dengan

adanya tanda alarm untuk mengevaluasi adanya kelainan

organik sebagai penyebab dari sindrom dispepsia tersebut.6,7

Tatalaksana infeksi H. pylori adalah jelas dengan

mengeradikasi kuman tersebut. Seperti telah disebutkan di

awal yang menarik bahwa kuman ini membutuhkan minimal 2

jenis antibiotik dan satu jenis penghambat pompa proton.

Hal tersebut didasarkan pada bukti klinis bahwa eradikasi

dari kuman tercapai jika diberikan 2 macam antibiotik

sekaligus. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

memberikan eradikasi ini yaitu eradikasi ini sangat dianjurkan

jika pada pasien dengan H. pylori tersebut ditemukan

adanya ulkus duodenum, ulkus ventrikuli, MALT lymphoma

gaster derajat keganasan rendah, riwayat kanker, gastritis

kronik aktif (sesuai gambaran pemeriksaan histopatologi),

pascareseksi kanker lambung dini dan gastritis atrofik.1 Dalam

tata laksana ini dikenal 2 macam rejimen terapi yaitu terapi

lini pertama atau disebut terapi tripel dengan menggunakan

2 macam antibotik dan terapi lini kedua atau terapi kuadripel

dengan menggunakan 3 macam antibiotik. Penelitian di

Jepang dengan menggunakan 2 macam antibiotik yaitu

Amoksilin 750 mg/Klaritromisin 400mg/Lansoprazole 30 mg

2 kali/hari selama 1 minggu mencapai angka eradikasi 85,8%.8

Penelitian kami terakhir mengenai eradikasi H. pylori yang

telah dipublikasi di Medical Journal Indonesia bahwa

eradikasi dengan menggunakan antribiotik Amoksilin 1000

g/Klari-tromisin 500 mg/Rabeprazole 20 mg 2 kali /hari selama

2 minggu masih mencapai angka eradikasi di atas 90%.9 Sesuai

anjuran pakar eradikasi dunia Prof. Graham yang dipublikasi

pada Gut (2010) menyampaikan bahwa eradikasi kuman H.

pylori harus mencapai >90-95% dan mengenai jenis rejimen

yang digunakan tentu disesuaikan dengan bukti klinis yang

ada di pusat penelitian yang ada di tingkat lokal. 10

Pada akhirnya memang selalu diperlukan penelitian-

penelitian lokal untuk kuman H. pylori ini sehingga diagno-

sis dan terapi yang dilakukan memang didasarkan pada hasil

penelitian lokal. Penulis lokal dianjurkan untuk juga meng-

gunakan referensi lokal selain referensi luar dalam membuat

suatu penulisan khususnya tentang kuman H pylori ini.

Daftar Pustaka

1. Syam AF, Simadibrata M, Rani AA. Helicobcater pylori: diagnosis

and treatment. Med Progress. 2001;16-8.

2. Saragih JB, Akbar N, Syam AF, Sirait S, Himawan S, Soetjahyo.

E.Incidence of helicobacter pylori infection and gastric cancer:

an 8-year hospital based study. Acta Med Indones. 2007;39(2):79-

81.

3. Perhinpunan Gastroenterologi Indonesia, Kelompok Studi

Helicobacter Pylori. Konsensus Nasional penatalalksanaan Infeksi

Helicobacter pylory, 2003.

4. Syam AF, Rani AA, Abdullah M, Manan C, Makmun D, Simadibrata

M, Djojoningrat D, Sato T. Accuracy of Helicobacter pylori stool

antigen for the detection of Helicobacter pylori infection in

dyspeptic patients. World J Gastroenterol.2009;11(3):386-8.

5. Syam AF, Abdullah M, Rani AA, Nurdjanah S, Adi P, Djumhana A,

Tarigan P, Wibawa ID. Evaluation of the use of rapid urease test:

Pronto Dry to detect H pylori in patients with dyspepsia in

several cities in Indonesia. World J Gastroenterol. 2006;

12(38):6216-8.

6. Syam AF, Abdullah M, Makmun D, et al. Kelainan saluran cerna

bagian atas per endoskopi di RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Kumpulan abstrak KONAS PGI-PEGI X. Medan; 2001.

7. Syam AF. Uninvestigated dyspepsia versus investigated dyspep-

sia. Acta Med Indones. 2005;37(2):113-5.

8. Mamori S, Higashida A, Kawara F, Ohnishi K, Takeda A, Senda E

et al. Age-dependent eradication of Helicobacter pylori in Japa-

nese patients. World J Gastroenterol 2010;16(33):4176-9.

9. A.F. Syam, M. Abdullah, A. A. Rani, S. Nurdjannah, P. Adi, A.

Djumhana, P. Tarigan, I. Wibawa. A Comparison of 5 or 7 days of

rabeprazole triple therapy for eradication of Helicobacter pylori.

Med J Indon. 2010;19(2):113-7.

10. Graham DY, Fischbach L. Helicobacter pylori treatment in the

era of increasing antibiotic resistance. Gut. 2010;59(8):1143-

53.

MS

Infeksi Helicobater pylori Tetap Harus Diwaspadai

350