126

Click here to load reader

6. III.pendekatan Dan Metodologi

  • Upload
    ikrar

  • View
    159

  • Download
    36

Embed Size (px)

DESCRIPTION

metodologi

Citation preview

Page 1: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

3.1 PENDEKATAN

Sebagaimana telah diketahui bahwa pembangunan suatu bendungan

disamping mempunyai manfaat yang sangat besar bagi manusia juga menyimpan

potensi bahaya yang sangat besar, dimana bila bendungan tersebut runtuh dapat

mengakibatkan bencana yang sangat besar di daerah hilir. Hal tersebut disebabkan

oleh karena umumnya pembangunan bendungan seringkali diikuti dengan pesatnya

perkembangan masyarakat di daerah hilir yang berkembang menjadi daerah

pemukiman, pertanian, industri, perdagangan dan banyaknya fasilitas umum, hal ini

menyebabkan makin bertambahnya tingkat bahaya akibat keruntuhan bendungan.

Kegagalan atau keruntuhan bendungan dapat terjadi pada bendungan yang

sudah atau akan dibangun. Keruntuhan bendungan dapat diakibatkan oleh overtopping

ataupun rembesan atau bocoran. Keruntuhan bendungan yang diakibatkan oleh

overtopping terjadi apabila air melimpah melalui puncak bendungan yang

menyebabkan erosi dan longsoran. Keruntuhan bendungan juga dapat diakibatkan

oleh rembesan atau bocoran yang membawa material bendungan yang disebut erosi

atau piping. Akibat keruntuhan tersebut di atas, air yang tertampung di waduk akan

mengalir ke lembah sungai di hilir bendungan dengan debit yang sangat besar dan

kecepatan yang sangat tinggi. Kejadian yang demikian dapat menyebabkan terjadinya

kerugian jiwa dan materi serta kehancuran infrastruktur yang ada.

Untuk mengantisipasi hal terburuk yang diakibatkan oleh kegagalan Bendungan

Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ

Patok maka Sesuai dengan PP Nomor 37 Tahun 2010, tentang Keamanan

Bendungan, dimana setiap bendungan harus dilengkapi dengan Rencana Tindak

Darurat (RTD) dalam rangka antisipasi penyelamatan jiwa dan harta benda, apabila

terjadi keruntuhan bendungan. Maka Satker Bina OP Ditjen SDA, Kementerian

Pekerjaan Umum menyelenggarakan kegiatan “Penyusunan Rencana Tindak Darurat (Emergency Action Plan) Bendungan Way Rarem, Bendungan Way

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-1

PENDEKATAN DANMETODOLOGI

Page 2: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok, Paket BOP-CS-08”, yang akan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan dokumen rencana tindak

darurat keruntuhan Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan

Sermo, dan Bendungan Situ Patok. Hal tersebut bukan hanya merupakan pemenuhan

terhadap Peraturan Pemerintah (PP) dan Kepmen PU, namun juga merupakan salah

satu wujud pemenuhan terhadap konsesi pembangunan yang berwawasan lingkungan

dan berkelanjutan.

3.1.1. Pendekatan Teknis

Agar menghasilkan analisis yang akurat, khususnya dalam penetapan wilayah

genangan banjir yang diperkirakan sebagai akibat keruntuhan Bendungan Way Rarem,

Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok, maka

diperlukan upaya pendekatan secara teknis meliputi :

I. Standard dan Peraturan Teknis

Standard dan peraturan teknis yang dipergunakan tim Konsultan dalam

pelaksanaan pekerjaan “Penyusunan Rencana Tindak Darurat (Emergency Action Plan) Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok” ini adalah menggunakan

Standard Nasional Indonesia yang berlaku di lingkungan Direktorat Jenderal

Sumber Daya Air, seperti KP Irigasi, dan Direktorat Jenderal Cipta Karya yang

menyangkut prasarana sosial dasar dan pemukiman. Pedoman-pedoman lain dari

Kementerian Pekerjaan Umum akan diikuti dan bila memerlukan adanya

perubahan, harus didiskusikan/ dibahas bersama serta disetujui secara tertulis

oleh Pemberi Kerja/Direksi Pekerjaan.

Beberapa Peraturan Pemerintah dan Perundang-undangan yang digunakan

sebagai dasar acuan dalam pekerjaan “Penyusunan Rencana Tindak Darurat (Emergency Action Plan) Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok” adalah sebagai

berikut :

Undang Undang Dasar 1945 pasal 33.

Undang Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Undang Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-2

Page 3: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Undang Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran

Masyarakat Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa

Konstruksi.

Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan

Pembinaan Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah, No. 37 Tahun 2010 tentang Konsepsi Keamanan

Bendungan.

Peraturan Perundang-undangan di bidang Lingkungan Hidup.

Peraturan Perundang-undangan antara lain P.P. 35 th 1991 tentang Sungai,

Keppres 55 th 1993 tentang Pembebasan Tanah dan Pemukiman dan lain

sebagainya.

Kepmen PU Nomor 72/PRT/1997, tentang Keamanan Bendungan.

Keputusan Ditjen SDA Nomor 257/KPTS/D/2011, tentang Pedoman Teknis

Konstruksi Bangunan Sipil, dan Klasifikasi Bahaya Bendungan.

Perda Terkait

II. Referensi

Pedoman Penyiapan Rencana Tindak Darurat, Keputusan Direktur Jenderal

Pengairan, Nomor 94/KPTS/A/1998, tanggal 30 Juli 1998, Departemen

Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Pengairan, Balai Keamanan

Bendungan. “Dimana substansi dari pedoman tersebut pada dasarnya adalah

merupakan tindak lanjut dari Permen PU Nomor 72/PRT/1997, yang bertujuan

menyediakan pedoman kepada para pemilik bendungan dalam rangka

menyiapkan panduan rencana tindak darurat untuk bendungan tertentu yang

mempunyai klasifikasi bahaya tinggi, yang penentuan klasifikasinya

didasarkan pada jarak terhadap bendungan dan tingkat

kepadatannya/densitas”.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-3

Page 4: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Dam Safety Project, Guidelines for Downstream Hazard Clasification, Colenco

Power Consulting Ltd Association with PT. Gamma Epsilon, PT. Indah Karya,

PT. Kwarsa Hexagon, PT. Binatama Wirawredha Konsultan, June 1997.

Substansi dari panduan di atas adalah “Memberikan arahan tentang tahapan-

tahapan penysusunan Panduan RTD, metode dan software yang digunakan

dalam analisis, serta penysunan outline panduan”

Pedoman Teknis Konstruksi dan Bangunan Sipil, Klasifikasi Bahaya

Bendungan, Keputusan Direktur Jenderal Sumber Daya Air Nomor

257/KPTS/D/2011, tanggal 30 Mei 2011. Pedoman klasifikasi terhadap

bahaya bendungan dalam lampiran keputusan ini adalah “Klasifikasi dibagi

menjadi 4 yaitu sangat tinggi , tinggi, sedang dan rendah.

Laporan Inspeksi Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak,

Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok, 2008. “Laporan tersebut

memuat hasil inspeksi terakhir yang dilakukan oleh Balai Wilayah Sungai

terhadap Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan

Sermo, dan Bendungan Situ Patok.

K. Mahmood and V. Yevjevich. 1975. Fort Collins, Colorado. USA. Water

Resources Publications. Unsteady Flow in Open Channel. Volume I & II.

”Referensi ini menyajikan teknik perhitungan dari model matematis unsteady

flow dengan menggunakan persamaan kekekalan masa dan kekekalan

momentum, dimana pemecahannya menggunakan teknik numeric Beda

Hingga/finite difference dan Matriks Jacobi”.

Ven Te Chow. 1969. University of Illinois. USA. Open Channel Hydroulics.

“Peggunaan referensi ini terutama ditujukan untuk mendapatkan angka

koefisien limpasan secara empiris yang akan diperbandingkan dengan record

yang ada di lapangan, serta untuk mendapatkan angka kekasaran Manning

pada main channel dan flood plain secara empiris pula”.

Henderson. 1966. University of Canterbury, Christchurch, New Zealand.

Substansi yang dibutuhkan dari referensi ini adalah, “untuk

memperbandingkan hasil hidrograf banjir di setiap section yang telah dihitung

berdasarkan unsteady model, hasil diperbandingkan dengan persamaan St.

Venant yang disimplifikasikan, sebagai salah satu cara mengontrol hasil

perhitungan yang dilakukan dengan software ZhongXing-HY21 dan BOSS

DAMBRK”.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-4

Page 5: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Ven Te Chow. 1981. University of Illinois. Handbook of Applied Hydrology.

Penggunaan referensi ini untuk “menghitung hujan wilayah yang

perhitungannya didasarkan pada hujan titik, dengan angka Faktor Reduksi

Area”.

C.S. Desai. 1979. Virginia Polytechnic Institute and State University,

Blacksburg, Virginia. USA. Elementary Finite Element Method. “Dalam

Pemecahan persamaan Model Matematis Unsteady Flow dengan

menggunakan Metode Beda Hingga/Finite Difference, diperlukan weighting

factor secara vertical (time) dan secara horizontal (distance/jarak antar section,

dimana di dalam buku ini dilakukan dengan Teori Priezman)”.

Hidrologi untuk Pengairan, Ir. Suyono Sosrodarsono, Kensaku Takeda. “Buku

Hidrologi Suyono digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelusuran

banjir melalui waduk/storage routing, dalam rangka untuk mengetahui apakah

debit PMF mengalami overtopping atau tidak”.

Fluid Mechanics for Civil Engineers, N. B Webber, S.I Edition. Referensi ini

digunakan “untuk menguji kekentalan/viscositas air waduk, pengaruhnya

terhadap hidrograf outflow dari waduk”.

SNI, SK-SNI, SKBI serta spesifikasi SII, JIS, ASTM, AASHO. ”Referensi yang

terkait dengan standard desain”.

Design of Small Dam USBR, National Standard Flood Control DGWRD 1993.

”Referensi untuk perhitungan PMF dengan menggunakan Metode Isohyet”

Standard Perencanaan KP 01 sampai KP 06 Dit. Jend. Air 1986. ”Referensi

yang terkait dengan standard desain”.

3.1.2. Sistematika Pelaksanaan Pekerjaan

Metode pelaksanaan diuraikan sebagai dasar dan tata cara pelaksanaan

pekerjaan, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesalahan dan seluruh

kegiatan dapat dikoordinir dan dipantau dengan mudah. Untuk memudahkan

pembahasan metode pelaksanaan pekerjaan “Penyusunan Rencana Tindak Darurat (Emergency Action Plan) Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok”, maka lingkup pekerjaan

dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) kelompok kegiatan sebagai berikut :

A. Pekerjaan persiapan.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-5

Page 6: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

B. Tahap analisa awal.

C. Tahap pekerjaan survai rinci.

D. Tahap analisis.

E. Tahap penyusunan RTD.

F. Tahap penyusunan laporan.

G. Tahap diseminasi dan persentasi.

A. Tahap Persiapan

Terdiri dari kegiatan :

1. Mobilisasi tenaga

Sesuai dengan kebutuhannya, pada tahap awal setelah ditandatanganinya

kontrak kerjasama antara PPK Direktorat Bina OP dengan PT. Dehas

Inframedia Karsa yang dimobilisasi pertama kali adalah Team Leader , TA.

Hidrolika 1 dan TA. Hidrologi, diikuti TA. Bendungan dan TA. Geodesi pada

minggu ke-2 April. Sedangkan tenaga ahli yang lain dimobilisasi sesuai

kebutuhan, seperti di jelaskan dalam Tabel Jadwal Penugasan Personil di Bab I.

2. Mobilisasi bahan

3. Mobilisasi alat, misalnya kendaraan, hardware, software, dll.

4. Inventarisasi kondisi sosial sosial ekonomi pada lokasi studi

5. Peninjauan Lokasi Studi

6. Mobilisasi tenaga teknis ke lokasi studi guna persiapan pelaksanaan kegiatan

survai lapangan.

B. Tahap Analisa Awal

1. Pengurusan ijin survai dan kelengkapan administrasi lainnya.

2. Pengumpulan data sekunder dan studi terdahulu, meliputi:

a. Peta DEM skala 1 : 25.000

b. Peta administrasi

c. Peta tata guna lahan.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-6

Page 7: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

d. Dokumen DED Bendungan Way Rarem,

Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ

Patok.

e. Dokumen OP Bendungan Way Rarem,

Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ

Patok.

f. Kabupaten dalam Angka

g. Data hidrologi.

h. Dokumen/studi terdahulu yang terkait.

3. Survai pendahuluan berupa orientasi lapangan, mulai waduk sampai dengan

wilayah hilir yang diperkirakan akan menerima dampak dari keruntuhan

Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan

Bendungan Situ Patok.

4. Kajian studi harus dilakukan secara rinci sebelum survai dilakukan agar

maksud, tujuan dan sasaran yang hendak dicapai oleh kegiatan penyusunan

RTD Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan

Sermo, dan Bendungan Situ Patok.

5. Analisa awal dan penetapan wilayah survai sesuai dengan hasil kajian

terhadap analisis awal keruntuhan bendungan. Dimana wilayah survai tersebut

dapat berkembang sesuai dengan hasil analisis keruntuhan bendungan yang

telah final (dam break analysis).

C. Tahap Pekerjaan Survai Rinci

1. Pengukuran poligon batas genangan banjir di wilayah hilir waduk yang

diperkirakan akan terkena dampak banjir keruntuhan Bendungan Way Rarem,

Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok,

dengan dasar Peta Bakosurtanal skala 1 : 25.000.

2. Survai inventory fasilitas umum di wilayah hilir waduk yang diperkirakan

terkena resiko bencana keruntuhan bendungan, seperti misalnya jembatan,

bangunan air, fasilitas pendidikan, fasilitas umum dan lain-lain.

3. Pengukuran tachimetri waduk, untuk mengetahui hubungan antara elevasi

muka air waduk dengan luas area genangan.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-7

Page 8: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

4. Pengukuran bathimetri untuk mengetahui hubungan antara elevasi muka air

waduk dengan volume tampungan waduk terkini.

5. Survai Sosek dilakukan terhadap penduduk di wilayah Penduduk Terkena

Risiko (PenRris), misalnya jumlah jiwa/KK, usia, jenis kelamin, harta

kepemilikan dan lain-lain, dimana wilayah PenRis tersebut mengacu pada peta

genangan banjir hasil analisis keruntuhan bendungan.

6. Survey kelembagaan yang terkait dengan lembaga pengelola bendungan,

lembaga pengelola waduk (irigasi), dan lembaga penanggulangan bencana

daerah, serta survey ketersediaan alat yang terkait dengan kegiatan evakuasi

dan pengungsian.

D. Tahap Analisis

1. Analisis hidrologi untuk menentukan besaran hujan PMP dan banjir rancangan

PMF, baik dengan kaidah Hersfield maupun Isohyet, dengan menggunakan

data dasar hujan harian maksimum tahunan yang terdapat di dalam dan di

sekitar DTA Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan

Sermo, dan Bendungan Situ Patok.

2. Kajian OP Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan

Sermo, dan Bendungan Situ Patok, bertujuan melakukan penelaahan operasi

instrumen bendungan, khususnya yang terkait dengan banjir.

3. Penyiapan input data yang terkait dengan program Dam Break, yang terdiri

dari hidrograf inflow PMF, lengkung kapasitas waduk, koordinat dan dimensi

hidrostructure di sepanjang alur sungai, kondisi batas bawah hilir waduk

(downstream boundary), koefisien kekasaran Manning, dan lain-lain.

4. Analisis DBA dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak DBA, untuk

mengetahui elevasi, kedalaman, kecepatan, waktu kedatangan banjir dan

waktu surut banjir di setiap lokasi terpilih (interset poin) di wilayah hilir waduk.

5. Peta Banjir yang dihasilkan bertujuan untuk mengetahui wilayah mana saja

yang terkena resiko banjir serta berapa kedalaman, kecepatan dan durasi

banjirnya di masing-masing wilayah.

6. Penetapan klasifikasi hazard terhadap wilayah yang masuk katagori PenRis.

7. Menghitung nilai kerugian yang ditimbulkan oleh banjir di setiap wilayah

genangan banjir.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-8

Page 9: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

8. Menetapkan jalur evakuasi dan area pengungsian yang dipastikan aman

terhadap bencana banjir yang ditimbulkan oleh keruntuhan Bendungan Way

Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ

Patok.

9. Menghitung biaya evakuasi dan pengungsian.

E. Tahap Penyusunan Konsep Panduan RTD

1. Mendiskripsikan organisasi yang terkait dengan bencana keruntuhan

bendungan, yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan

Satuan Pengelola Bendungan (SPB).

2. Mendiskripsikan tugas, fungsi dan tanggung jawab masing-masing anggota

organisasi terkait dengan bahaya keruntuhan bendungan dan bencana banjir.

3. Mendiskripsikan nama, alamat dan nomor telpon dari masing-masing anggota

organisasi yang bertanggung jawab terhadap bahaya keruntuhan bendungan.

4. Mendiskripsikan tata upaya evakuasi, pengungsian, pengakhiran keadaan

darurat, deevakuasi dan rehabilitasi sesuai dengan undang-undang dan

peraturan yang berlaku.

5. Mendiskripsikan kebutuhan sarana prasarana evakuasi dan pengungsian.

F. Tahap Penyusunan Laporan

1. Laporan RMK diserahkan 2 minggu setelah penandatanganan kontrak

kerjasama yaitu pada tanggal 4 April 2014, sebanyak 10 copy.

2. Laporan Pendahuluan diserahkan 1 bulan setelah penandatanganan kontak

kerjasama yaitu tanggal 21 April 2014, sebanyak 10 copy dan didiskusikan

dengan Pengguna Jasa.

3. Laporan Bulanan sebanyak 5 copy diserahkan setiap tanggal 21 setiap

bulannya.

4. Laporan Antara sebayak 10 copy diserahkan pada awal bulan Agustus 2014

5. Laporan Hasil Pengukuran Topografi

6. Laporan Hasil Pengukuran Bathimetri dan Tachimetri

7. Laporan Hasil Analisis DBA dan Hazard Klasifikasi.

8. Laboran Peta Banjir Ukuran A1.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-9

Page 10: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

9. Laboran Peta Banjir Ukuran A3.

10. Buku Panduan RTD

11. Konsep Laporan Akhir sebanyak 10 copy untuk didiskusikan dengan

Pengguna Jasa 3 minggu sebelum kontrak berakhir, yaitu awal Nopember

2014.

12. Laporan Utama merupakan hasil perbaikan dari Konsep Laporan Akhir dan

diserahkan pada saat kontrak berakhir sebanyak 10 copy.

13. Laporan Ringkas

14. Soft copy dari seluruh laporan yang telah dibuat.

G. Tahap Persentasi dan Diseminasi

1. Persentasi Laporan Pendahuluan

2. Persentasi Laporan Antara.

3. Persentasi Konsep Laporan Akhir.

4. Konsultasi dan Sosialisasi Panduan RTD

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-10

Page 11: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

A1(1-7)

TIDAKTIDAK

YA

TIDAK

YA

YA

(SP)LIHAT TABEL

(SD)LIHAT TABEL

A2 SP1-4 A3 SP1-7

A2 SD1-4

A3 SD1-7

BSP1-13

BSD1-3

DSP1-8

D SD

TIDAK

YA

C1 SP1-4

C SD1-3

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-11

Gambar 3.1. Bagan Alir Rencana Kegiatan Paket BOP-CS-08

MULAI

DS A3

MOBILISASIALAT

YA

DSA1

MOBILISASIPERSONIL

TENAGA AHLI T. SUB PROFT. PENDUKUNG

DS A2

MOBILISASIBAHAN/ATK

BAHAN / ATK

PETA DEM

YA

DS B

PENGUMPULAN DATA DAN ANALISA AWAL

DRAFT LAP. PENDAHULUAN

TIDAK

I

DS D

PRESENTASI LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN

TIDAK

A2 A3

B

D

A

C

DS C

PENYUSUNAN LAP. BLN RUTIN SETIAP

BULAN

LAP. BULANAN KE 1 - KE 7

BASE CAMPKOMP./N.BOOK/ PRINTER/

PLOTER/KAMERA

MOBILSPD MOTOR PERALATAN SURVAISOFTWARE DBA

Page 12: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

E1 SP1-10

TIDAKTIDAK

YA

YA

TIDAK

YA

TIDAK

G SP1-6

G SD1-3

I SD1-3

E1 SD1-2

H SP1-10

H SD1-2

I SP1-8E2

TIDAK

E2 SD1-3

E2 SP1-9

TIDAK

F SP1-3

F SD

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-12

I

DS E1

PENGUKURAN BATHIMETRI & TACHIMETRI

PETA DAERAH GENANGAN WADUK

VOL WADUK

DS G

ANALISIS HIDROLOGI

Q1000 , PMF ,KAP. CHANEL

YA

G

DS H

ANALISIS HIDROLIKA/ DBA

GAMBARAN BANJIR

H

DS I

SURVAI SOSEK

HAZARD KLASIF.

ANALISA SOSEK

ANAL. KERUGIAN

I

DS E2

PENGUKURAN POLIGON BATAS

BANJIR

PEMASANGAN PATOK BM

KOREKSI PETA BANJIR

II

DS F

SURVAI INVENTORI DI

HILIR

SKEMA PENGALIRAN

YA

Page 13: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

TIDAK

M SP

M SD

L SD1-2

L SP1-9

TIDAKTIDAK

J SP1-4

J SD

K SP1-8

K SD

N SP1-10

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-13

DS M

PENYUSUNAN DRAFT LAPORAN AKHIR

DRAFT LAPORAN AKHIR

KONSULTASI RTD DI PEMDA TERKAIT

PENGESAHAN RTD BENDUNGAN

L

M

TABEL A1(1-7)

A1.1 SP1-11A1.1 SD1-5

A1.2 SP1-11A1.2 SD1-5

A1.3 SP1-10A1.3 SD1-4

A1.4 SP1-10A1.4 SD1-4

A1.5 SP1-10A1.5 SD1-4

A1.6 SP1-10A1.6 SD1-4

A1.7 SP1-10A1.7 SD1-4

K

DS J

PENY. LAP. ANTARA

LAPORAN ANTARA

YA

J

DS K

MENYUSUN RTD DAN DISKUSI

DRAFT RTD

II

NSOSIALISASI RTD

KESEPAKATAN PENGELOLA DAN

PEMDA

YA

PRESENTASI LAP. ANTARA

III

Page 14: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

P SD1-17

O SP1-8

O SD

P SP1-17

3.2 METODOLOGI

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-14

O

DS O

PRESENTASI DRAFT LAPORAN AKHIR

TIDAK

YA

DS P

PENYERAH OUTPUT / KELUARAN

TIDAK

YA

SELESAI

P A

III

PERBAIKAN LAPORAN

OUTPUT LENGKAP SESUAI KAK

Page 15: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Pekerjaan persiapan merupakan langkah awal dari semua kegiatan yang

dijadwalkan. Dalam persiapan pekerjaan ini secara garis besar ada 3 kelompok

kegiatan yang harus dilaksanakan sebagai penunjang kelancaraan pelaksanaan

pekerjaan pokok yaitu :

I. Mobilisasi personil, bahan dan alat.

II. Persiapan administrasi

III. Pengumpulan data sekunder yang terkait dengan studi (data teknis Bendungan

Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ

Patok, data hasil inspeksi Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak,

Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok, dan peta topografi digital skala 1 :

25.000)

IV. Penyiapan software DBA dan penyiapan hardware pendukungnya.

3.2.1 Persiapan Administratif

Yang dimaksud kegiatan Persiapan Administratif ialah kegiatan persiapan yang

berhubungan dengan penyiapan surat – surat tugas, penyiapan dan mobilisasi

personil, penyiapan dan mobilisasi peralatan serta kegiatan lainnya yang berhubungan

dengan keperluan pelaksanaan pekerjaan pokok.

1. Pengurusan Surat Menyurat Administrasi

Setelah ditandatanganinya kontrak kerjasama, konsultan menyelesaikan

syarat-syarat administrasi antara lain :

Surat jaminan penerbitan Uang Muka dari lembaga keuangan yang diakui

pemerintah (BI).

Surat tugas personil dan peralatan

2. Penyiapan Personil dan Peralatan

Pembuatan jadwal keterlibatan personil sesuai dengan fungsi dan tanggung

jawabnya. Dengan jumlah dan jadwal personil tersebut mampu menyelesaikan

tidap tahapan pekerjaan dengan baik dan tepat waktu.

Penyusunan jadwal penggunaan peralatan sesuai dengan fungsi dan

ketelitiannya. Dengan jumlah dan jadwal peralatan tersebut akan menunjang

kepada terselesaikannya pekerjaan dengan baik dan tepat waktu.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-15

Page 16: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

3. Penyiapan Kantor Lapangan

Dalam penyelesaian pekerjaan ini, kegiatan lapangan memerlukan waktu

yang cukup lama, untuk itu ditempatkan kantor proyek di lapangan dengan

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Kantor lapangan ditempatkan pada daerah yang strategis.

Jika memungkinkan letak kantor lapangan dekat dengan jalan raya yang

dilewati kendaraan umum.

Tersedianya sarana komunikasi yang baik, khususunya dari sisi kualitas

transmisi, agar baik hubungan telepon, fax maupun surat elektronik dapat

berjalan dengan lancar.

Tersedianya penerangan yang baik.

Tersedianya sarana air bersih dan MCK yang baik.

Dapat menampung seluruh personil yang ditugaskan di proyek.

Berada pada lingkungan yang aman dan nyaman.

3.2.2 Pengumpulan Data Sekunder

Untuk kebutuhan kegiatan “Penyusunan Rencana Tindak Darurat (Emergency Action Plan) Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok”, dibutuhkan data sekunder sebagai

penunjang. Data yang harus dikumpulkan tersebut antara lain meliputi :

Data Hidroklimatologi yang ada di wilayah sekitar DTA Bendungan Way Rarem,

Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok.

Data Teknis Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan

Sermo, dan Bendungan Situ Patok.

Dokumen inspeksi Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak,

Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok.

Dokumen OP Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan

Sermo, dan Bendungan Situ Patok.

Peta topografi digital Bakosurtanal skala 1 : 25.000.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-16

Page 17: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Laporan–laporan studi terdahulu di wilayah kajian yang berhubungan dengan

analisis yang akan dilakukan.

Penyiapan software dan hardware yang akan digunakan untuk mendukung

rencana analisa terhadap simulasi keruntuhan bendungan.

Setelah terkumpul data – data tersebut dikaji dan dievaluasi serta dianalisa

sesuai dengan aturan yang berlaku.

3.2.3 Evaluasi Data Sekunder

Data sekunder yang telah diperoleh tidak semuanya akan bisa memberikan

informasi yang baik bagi kegiatan “Penyusunan Rencana Tindak Darurat (Emergency Action Plan) Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok” ini, untuk itu perlu dievaluasi

terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan studi. Untuk mengevaluasi data

sekunder akan dilakukan dengan beberapa metode statistik yang sudah lazim dipakai

dalam kegiatan studi, maupun melakukan uji validitas berdasarkan kondisi empiris

maupun acuan dari para Pakar.

3.2.4 Analisa Data

Berdasarkan data lapangan yang telah dikumpulkan dan telah dilakukan analisa

pendahuluan, selanjutnya data tersebut dianalisa secara lebih terinci.

1. Validasi dan perbaikan peta topografi wilayah lembah di hilir bendungan,

dimaksudkan agar Peta DEM yang didapat dari Bakosurtanal telah valid dan siap

digunakan sebagai salah satu faktor input menjalankan software dambreak, yaitu

Xong Zhing HY21.

2. Analisa sosial ekonomi kependudukan di wilayah hilir bendungan dan sekitarnya.

3. Analisa hidrologi untuk menetapkan debit banjir rancangan berbagai kala ulang dan

debit banjir rancangan PMF.

4. Kaji ulang lengkung kapasitas waduk.

5. Analisa penelusuran banjir melalui waduk untuk menetapkan apakah banjir

rancangan PMF overtopping atau tidak, jika tidak maka analisa keruntuhan

bendungan akan disimulasikan diakibatkan oleh piping.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-17

Page 18: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

6. Analisa awal keruntuhan bendungan yang hasilnya akan digunakan sebagai acuan

untuk pengukuran topografi wilayah genangan di lembah hilir bendungan.

3.2.5 Survey Lapangan (Data Primer)

1. Survey terhadap wilayah kajian

2. Survey kondisi sosial ekonomi dan sarana prasarana umum, khususnya di wilayah

hilir bendungan.

3. Survey pengukuran poligon batas genangan banjir wilayah lembah hilir bendungan

serta survey hidro inventori di sepanjang alur sungai wilayah hilir waduk.

Untuk dapat mengenal lebih jauh tentang kondisi lokasi daerah kajian, perlu

dilakukan peninjauan lapangan pendahuluan. Dalam melaksanakan peninjauan

pendahuluan ini, sekaligus dilakukan pula pemilihan dan penentuan lokasi daerah yang

akan distudi atau menindaklanjuti hasil simulasi awal keruntuhan bendungan dengan

menggunakan peta topografi dasar 1 : 25.000.

Selanjutnya dari hasil peninjauan lapangan ini dapat disusun Konsep Laporan

Pendahuluan yang berisikan uraian tentang kondisi lokasi pekerjaan, metode

pelaksanaan dan rencana kerja konsultan untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai

dengan KAK. Sebelum didefinitifkan laporan pendahuluan ini terlebih dahulu

didiskusikan dengan Tim Teknis untuk mendapat koreksi dan penyempurnaan serta

persetujuan dari Tim Teknis yang ditunjuk.

a. Pengenalan lokasi studi

Orientasi dan survey lapangan pendahuluan dilakukan bersama oleh Tim Teknis

dan Tim Konsultan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk :

a)Mengidentifikasikan batas daerah survey mulai hulu sampai bagian hilir di

sepanjang sungai di hilir waduk sampai pertemuannya dengan sungai/laut,

dengan lebar daerah terkena dampak ditentukan berdasarkan simulasi awal

keruntuhan Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Tengkorak, Bendungan

Sermo, dan Bendungan Situ Patok.

b)Bersama data sekunder lainnya yang telah terkumpul, hasil orientasi dan survey

lapangan pendahuluan dianalisis dan digunakan sebagai dasar pelaksanaan

survey lanjutan.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-18

Page 19: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

b. Survey Hidro Inventori

Survey hidro inventori dimaksudkan untuk mengetahui secara detail jenis dan

dimensi hidro struktur yang ada di sepanjang sungai sungai di hilir bendungan,

dalam rangka analisis hidrolis simulasi keruntuhan bendungan di wilayah hilir.

c. Simulasi Uji Coba Software Analisis Awal Keruntuhan Bendungan

Pada tahap ini diharapkan, Konsultan dapat mempunyai gambaran sebaran dan

luas genangan yang akan ditimbulkan oleh keruntuhan Bendungan Way Rarem,

Bendungan Way Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok.

Dimana luas dan lebar genangan hasil simulasi tersebut akan digunakan sebagai

acuan untuk survey pengukuran poligon terhadap batas genangan banjir di wilayah

hilir Waduk. Pada simulasi awal tersebut, disamping memanfaatkan data teknis

bendungan, juga menggunakan peta dasar topografi DEM skala 1 : 25.000. Hasil

identifikasi awal terhadap keberadaan bangunan air ataupun bangunan prasarana di

sepanjang wilayah hilir waduk juga digunakan sebagai input pada simulasi tersebut.

Hal tersebut tentu bersifat sementara sampai dilakukan deliniasi ulang terhadap

garis kontur DEM yang benar di wilayah lembah hilir waduk.

3.2.6 Pengukuran Topografi/Poligon Batas Genangan Banjir

Pengukuran ini dimaksudkan untuk mendapatkan data garis kontur batas

genangan yang benar yang akan dijadikan dasar bagi proses deliniasi garis kontur

Peta DEM yang berasal dari Bakosurtanal. Dimana data ini selanjutnya akan dijadikan

sebagai dasar untuk mengetahui volume tampungan sungai maupun volume

tampungan lembah di hilir waduk yang sangat berpengaruh pada hydrograph banjir di

setiap lokasi terpilih (interest point) yang dianalisis.

Pengukuran posisi setiap titik terpilih dilakukan dengan bantuan alat GPS.

Konsep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi jarak, yaitu dengan

pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah

diketahui. Secara vektor, prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS diperlihatkan

pada gambar berikut di bawah ini.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-19

Page 20: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Gambar 3.2. Prinsip Dasar Penentuan Posisi Dengan GPS

Pada pengamatan dengan GPS, yang dapat diukur adalah jarak antara

pengamat dengan satelit (bukan vektornya), agar posisi pengamat dapat ditentukan

maka dilakukan pengamatan terhadap beberapa satelit sekaligus secara simultan.

Gambar berikut adalah ilustrasi prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS.

Gambar 3.3. Prinsip Dasar Penentuan Posisi Dengan GPS

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-20

Page 21: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Secara garis besar metode penentuan posisi dengan GPS dapat

dikelompokkan atas metode yaitu absolute dan defferensial. Penentuan posisi secara

absolut umumnya disebut point positioning adalah metode penentuan posisi secara

instan dengan menggunakan satu receiver dan tipe navigasi, metode ini tidak

dimaksudkan untuk aplikasi-aplikasi yang menuntut ketelitian posisi yang tinggi.

Umumnya digunakan untuk pelayanan navigasi. Penentuan posisi secara defferensial,

posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui

koordinatnya. Penentuan posisi secara differensial hanya dapat dilakukan minimal

menggunakan dua receiver dan tipe pemetaan ataupun tipe geodetik.

Penentuan posisi dengan menggunakan GPS memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Posisi yang diberikan adalah posisi 3-D, yaitu (X,Y,Z) atau (L,B,H)

b. Tinggi yang diberikan oleh GPS adalah tinggi ellipsoid

c. Datum dan posisi yang diperoleh adalah WGS (World Geodetic Systems) 1984

yang menggunakan ellipsoid referensi GRS 1980

d. Ketelitian posisi yang diperoleh tergantung pada metode penentuan posisi,

geometri satelit, tingkat ketelitian data dan metode pengolahan data.

e. Penentuan posisi dapat dilakukan dengan beberapa metode absolute positioning

dan differential positioning.

f. Posisi titik dapat ditentukan terhadap pusat massa bumi ataupun terhadap titik

lainnya yang telah diketahui koordinatnya.

g. Spektrum ketelitian posisi yang diberikan berkisar dan sangat teliti (orde : mm)

sampai kurang teliti (orde : puluhan meter).

Gambar 3.4. Posisi Titik P Dalam Sistem Koordinat GPS

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-21

Page 22: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

GPS telah banyak diaplikasikan, terutama di Amerika Utara, Eropa, Australia

dan Jepang, untuk keperluan-keperluan dan proyekproyek yang memerlukan informasi

mengenai posisi. Saat mi GPS telah banyak digunakan di Asia, Afrika, termasuk juga

di Indonesia (Abidin, 1995).

Survey topografi dimaksudkan untuk mengetahui letak dari daerah studi secara

topografi (meliputi koordinat dan elevasi), hal ini bertujuan untuk mempermudah

mengidentifikasi daerah studi.

Pelaksanaan survey topografi adalah dengan memasang BM (Branch Mark),

jika dimungkinkan pemberian inisialisasi BM tersebut mengacu (diikatkan) pada

referensi yang sudah baku secara nasional yaitu TTG ( titik tetap geodesi) serta

membuat peta situasi pada daerah yang distudi.

Pada garis besarnya lingkup pekerjaan survey topografi adalah :

a. Pekerjaan Persiapan

b. Pekerjaan Lapangan

c. Inventarisasi atau pemasangan Benchmark (BM), Pemasangan CP dan patok-

patok.

d. Pengukuran kerangka dasar horizontal, vertikal, dan situasi

e. Pekerjaan perhitungan dan penggambaran

f. Perhitungan draft di lapangan – perhitungan definitif

g. Penggambaran peta situasi

h. Pekerjaan pembuatan Laporan.

Spesifikasi Teknis Pengukuran Topografi 1. Pemasangan Titik Tetap (BM), CP dan patok

Ukuran BM yang adalah 1,00 m x 0,20 m x 0,20 m, terbuat dari campuran pasir,

split dan semen PC dengan perbandingan ukuran (1 : 2 : 3). Ditengahnya dipasang

rangka besi, diatasnya dipasang baut serta diberi kode nomor, BM ditanam di

dalam tanah, muncul + 20 cm dipermukaan tanah.

BM tersebut di atas akan digunakan sebagai referensi pengukuran yang dilakukan,

koordinat BM diukur dengan mengikatkan pada titik referensi yang ada atas

persetujuan direksi dengan menggunakan Geodetic GPS.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-22

Page 23: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

2. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemasangan BM adalah sebagai berikut :

a. Dipasang pada tempat yang aman dan tanahnya stabil.

b. Diusahakan 2 BM tersebut saling terlihat.

c. Mudah dicari.

d. Tidak terletak dibawah jaringan listrik tegangan tinggi, tidak tertutup pepohonan

atau rumah, agar pengamatan GPS tidak terganggu.

Pengikatan Koordinat GPS

Pengikatan koordianat GPS dilakukan untuk menyatukan sistem koordinat lokasi

yang dipetakan / diukur dengan sistem koordinat Peta Rupa Bumi (UTM)

1. Metode Pengamatan GPS

Pada dasarnya pengamatan GPS ditujukan untuk mengetahui posisi relatif dari

titik-titik tertentu dipermukaan bumi dengan cara menentukan jarak baseline

antara 2 titik yang direferensikan terhadap obyek yang sama (dalam hal ini

satelit) dan diamati pada waktu yang bersamaan.

Kegiatan pengamatan dilakukan secara bersamaan untuk beberapa titik

(seseuai dengan jumlah receiver) dan dilakukan dengan kecepatan dan epoch

yang sama.

Lama waktu pengamatan sesuai dengan peralatan yang digunakan dapat

dilihat pada Tabel III-1.

Tabel III-1. Pengamatan GPS

NoPanjang Baseline

Metode Pengamatan

Lama Pengamatan (L1)

Lama Pengamatan

(L1/L2)

1 0 km – 5 km Rapid static 30 menit 15 menit

2 5 km – 10 km Rapid static 50 menit 25 menit

3 10 km – 30 km Static 90 menit 60 menit

4 30 km – 50 km Static 100 menit 120 menit

5 > 5 km Static - 180 menit

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-23

Page 24: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Adapun syarat pengamatan yang harus dipenuhi adalah :

Tersedia minimal 6 buah satelit yang diamati

GDOP < 8

Interval antar epoch ± 15 detik

Tidak terhalang oleh benda-benda lain (obstruction) atau benda-benda

reflector

Kondisi atmosfer dan ionosfer sedang

Menggunakan 3 atau 4 receiver GPS atau lebih secara bersamaan dalam

satu session dengan merk dan jenis receiver yang sama.

Pada pelaksanaan pengamatan, akan didapat minimal 1 common point

antara 2 session pengamatan.

Jaringan kontrol GPS diusahakan berbentuk segitiga, bila digunakan 3

buah receiver maka pada tiap session akan diperoleh 2 baseline non

trivial yang akan digunakan pada saat adjustment (peralatan)

Pada awal pengukuran, ketiga receiver diset pada 3 lokasi dimana salah

satu dari ketiga tugu tersebut merupakan titik referensi (titik referensi

jaringan Nasional) yang mempunyai orde lebih tinggi, dimana harga

koordinat titik Jaringan Nasional tersebut akan dimasukkan sebagai

koordinat awal.

2. Pengolahan Data GPS

Secara garis besar, pengolahan data GPS terdiri dari 2 bagian yaitu

pengolahan data baselaine (baseline processing) dan peralatan hasil baseline

(adjustment)

Baseline processing

Baseline processing dilaksanakan untuk setiap baseline (jarak) hasil

pengamatan. Pemrosesan data dimulai dari titik awal menuju titik berikutnya

dalam 1 session sesuai dengan arah pengamatan, dengan memberikan harga

pendekatan untuk vektor baseline, kemudian dilakukan proses triplle different

phases dengan pengkoreksian cycle slip

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-24

Page 25: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Dengan memasukkan parameter-parameter, tersebut diatas, proses dilakukan

berulang-ulang untuk mencapai harga baseline yang resolve (yang paling baik

dan memenuhi persyaratan)

Peralatan (adjustment)

Perataan hasil GPS pada umumnya menggunakan prinsip perataan kwadrat

terkecil.

Pada proses ini, data-data baseline yang telah di resolve diolah secara simultan

oleh komputer dengan batasan-batasan tertentu sehingga dicapai hasil yang

memenuhi persyaratan ketelitian. Proses perataan jaringan akan menggunakan

perangkat pemroses data.

Hasil perataan antara lain :

Daftar koordinat hasil perataan

Daftar baseline hasil perataan

Variance ratio pada residual setelah perataan

Analisa statistik mengenai residual baseline

Matrik varian-kovarian

Ellips kesalahan posisi horizontal relatif maupun absolut

3. Transformasi Koordinat

Untuk dapat menyajikan koordinat hasil GPS/Geodetik (, , h) kedalam lembar

peta diperlukan koordiant mendatar, untuk itu akan dilakukan transformasi

koordinat dari koordinat sistem GPS ke bidang Proyeksi (bidang peta) dengan

parameter sebagai berikut :

Sistem proyeksi : UTM

Ellipsoid : WGS 84

Lebar zone : 60

Skala faktor pada meridian control : 0,9996

Bagan alir pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 3.5, berikut ini.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-25

DataBaseline-1

DataBaseline-2

DataBaseline-i

DataBaseline-n

Penentuan Vektor BL-1

Penentuan Vektor BL-2

Penentuan Vektor BL-i

Penentuan Vektor BL-n

KONTROL KUALITAS DAN PENGECEKAN

PERATAAN JARINGAN

KOORDINAT DALAM SISTIM WGS-84

TRANSFORMASI KOORDINAT DAN PROYEK

PETA

UTMGEOGRAFIS

Page 26: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

1. Pembuatan patok-patok Poligon

Konsultan akan memasang patok-patok poligon dari kayu dolken diameter 8 cm,

panjang 60 cm untuk dipasang sesuai dengan kondisi lokasi. Patok-patok ini

dipasang pada tempat yang aman dan mudah dicari, pada ujung patok kayu

tersebut dipasang deposing pack berkepala bulat serta diberi kode/ nomor.

2. Pengukuran Kerangka Horisontal

Pengukuran Kerangka Kontrol Horisontal dilakukan dengan metode poligon

tertutup. Poligon utama harus berupa loop/kring yang mengelilingi areal survei yang

akan ditetapkan, sedang untuk poligon cabang merupakan poligon terikat

sempurna pada titik-titik poligon utama.

Alat Ukur yang digunakan untuk pengukuran Poligon Utama :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-26

Gambar 3.5 Bagan Alir Pengolahan Data GPS

Page 27: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Pengukuran sudut menggunakan alat ukur Theodolit T2 atau yang sejenis

( ketelitian 1”)

Pengukuran jarak menggunakan EDM (Electronic Distance Meter)

Perlengkapan penunjang lain seperti prisma/ reflektor, handy talky, dll

Pengukuran Poligon utama dilakukan dengan metode pengukuran berikut :

Sudut Horisontal Poligon diukur minimal 1 (satu) seri rangkap (4 besaran sudut

B – LB – LB – B ), selisih sudut hasil pembacaan tidak boleh lebih dari 5 detik.

Sudut yang dipakai untuk hitungan adalah hasil rata-ratanya

Pengukuran jarak (dengan EDM) maksimum adalah 100 m, pengukuran jarak

akan dilaksanakan kemuka dan kebelakang, masing-masing akan dibaca

minimal 5 (lima) kali display.

Kesalahan penutup sudut tidak boleh lebih dari 10”N, dengan N adalah jumlah

titik poligon.

Kesalahan linier jarak tidak boleh melebihi 1/10.000

Alat Ukur yang digunakan untuk pengukuran Poligon cabang :

Pengukuran sudut horisontal menggunakan Theodolit T2 atau yang sejenis

Pengukuran jarak dilakukan dengan menggunakan meetband dan dicek secara

optis.

Pengukuran Poligon cabang dilakukan dengan metode pengukuran sebagai

berikut :

Sudut Horisontal Poligon diukur minimal 1 (satu) seri ( 2 besaran sudut B – LB

). Sudut yang dipakai untuk hitungan adalah hasil rata-ratanya

Jarak antar titik poligon maksimum adalah 100 m, pengukuran jarak dilakukan 2

kali dan dicek secara optis.

Kesalahan linier jarak tidak boleh melebihi 1/2.500

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-27

Page 28: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Gambar 3.6 Pengukuran sudut antar dua patok

3. Pengukuran Beda Tinggi

Pengukuran Beda Tinggi (Levelling) dilakukan untuk mendapatkan tinggi BM dan

titik-titik poligon dengan mengikatkan titik referensi tinggi yang telah disepakati oleh

Pemberi Tugas. Pengukuran Beda Tinggi ( Levelling ) dilakukan sebagai berikut :

Alat yang digunakan adalah Automatic Level ( seperti Wild NAK-2, Zeiss NI 2

atau sejenisnya)

Bak Ukur dilengkapi dengan nivo bak

Pengukuran dilakukan pada jalur poligon utama dan poligon cabang, dan

merupakan kring tertutup

Sebelum pengukuran dilaksanakan, dilakukan pengecekan alat dengan

pengamatan garis bidik untuk meyakinkan garis bidik sejajar garis arah nivo

Pembacaan benang dilakukan lengkap (benang tengah, benang atas dan

benang bawah).

Pengukuran setiap slag dilakukan double stand dan setiap seksi dilakukan

pengukuran pergi-pulang.

Jarak bidik dari alat ke rambu maksimum 50 m

Posisi alat setiap slag diatur sedemikian rupa sehingga berada pada jarak yang

hampir sama antara rambu muka dan rambu belakang, hal ini untuk

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-28

A

B

C

AB

AC

Page 29: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

menghindarkan kesalahan sistematis yang diakibatkan karena garis bidik

tidak sejajar dengan garis arah nivo.

Untuk rambu panjang 3,00 m, pembacaan benang yaitu antara 0,25 m dan 2,74

m.

Toleransi salah penutup tinggi tidak boleh lebih dari 10D mm, dengan D

adalah panjang seksi pengukuran dalam km.

4. Pengukuran Azimut Matahari

Pengukuran azimuth matahari dilakukan untuk menentukan azimuth awal hitungan

poligon dan mengontrol hasil pengukuran sudut. Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan alat ukur Theodolith T2 dan prisma Roellof dan menggunakan metode

tinggi matahari.

Jika pada penentuan titik kontrol (BM) di lokasi sudah menggunakan pengamatan

dengan Geodetic GPS, maka azimuth awal atau azimut antara 2 (dua) BM tersebut

sudah bisa didapatkan.

Tetapi jika azimut awal pengukuran belum didapatkan, maka bisa dilakukan

penentuan azimut dengan pengamatan matahari (metode tinggi matahari) sebagai

berikut :

Pengamatan azimut matahari dilakukan untuk mendapatkan arah utara Geografis

yang akan digunakan sebagai referensi arah pengukuran serta untuk mengecek hasil

ukuran sudut poligon. Pengamatan dilakukan sebanyak 4 (empat) seri rangkap ( 4 B

dan 4 LB ) pada waktu pagi dan sore, hal ini dimaksudkan untuk menghindari

kesalahan sistematis karena kesalahan interpolasi lintang pengamatan.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-29

Gambar 3.7 Pengukuran Beda Tinggi

Bidang Referensi

Slag 1Slag 2

b1b2

m1

m21

d1d2

Page 30: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Hitungan azimut matahari dilakukan dengan menggunakan metoda Tinggi Matahari, dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Azimut dari arah titik pengamat ke titik sasaran adalah : AS = Am +

Sudut adalah selisih bacaan lingkaran horisontal theodolit ke sasaran S, yaitu

HS dan bacaan sewaktu membidik matahari M, yaitu HM :

= HS - HM

Azimut matahari atau sudut A dari segitiga KU-M-Z dapat ditentukan bila diketahui

3 (tiga) unsur dari segitiga astronomi. 3 (tiga) unsur segitiga astronomis yang

digunakan untuk perhitungan adalah (90 - ), (90 - ) dan (90 - h). Rumus dasar yang

digunakan pada metode ini adalah sebagai berikut :

cos A =

Dimana : A = Azimut Matahari

= Lintang Pengamat (interpolasi peta)

= Deklinasi dari tabel)

h = Heling (data ukuran)

Alat yang dipergunakan adalah :

Theodolite Wild T-2 (atau sejenis)

Prisma Rouloff

Tabel deklinasi matahari terbaru

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-30

U

AMM

(HM)

S(HS)

A

P

Gr

ASAM

Z 90-h=z

90-d

S

M

(80-

)

Gambar 3.8 Penentuan Sudut Alfa

Page 31: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Jam atau stopwatch

5. Perhitungan dan Penggambaran

Perhitungan data lapangan dilakukan langsung dilapangan dengan menggunakan

Komputer. Metode perhitungan poligon dihitung dengan menggunakan Metode

Bowditch, sedangkan perhitungan beda tinggi menggunakan metode perataan

sederhana. Detail situasi akan dihitung dengan menggunakan rumus Tachymetri.

Rumus untuk perhitungan tinggi sistim Tachymetri adalah sebagai berikut :

D = 100 x (BA-BB) x (sin Z)2

HB = HA + Ti + D . tan (90-Z) – BT

Dimana :

HA = Tinggi titik A

HB = Tinggi titik B

BA = Benang Atas

BT = Benang Tengah

BB = Benang Bawah

Z = Bacaan sudut vertikal T-0

Semua prosesing penggambaran dilakukan dengan menggunakan program

komputer Softdesk 8/Autocad versi 14. Sistim koordinat menggunakan sesuai

dengan sistim peta yang sudah ada atau menurut petunjuk pemberi tugas.

Penggambaran dilakukan diatas kertas ukuran A1.

Seluruh hasil perhitungan sebelum digambar harus terlebih dahulu diperiksa dan

disetujui Direksi.

6. Produk yang harus diserahkan untuk kegiatan pengukuran topografi.

Pada akhir pekerjaan selesai dibuatkan laporan yang merupakan ringkasan dari

hasil seluruh pekerjaan.

Dokumentasi dimaksudkan untuk mendapatkan antara lain mengenai kondisi

medan di lokasi pekerjaan serta proses pelaksanaan pekerjaan di lapangan.

Foto-foto dokumentasi diambil pada objek-objek yang penting yang

diperkirakan akan banyak mendukung dalam pemikiran desain.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-31

Page 32: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Pengambilan foto sedemikian rupa sehingga identitas petugas-petugas

lapangan bisa terambil gambarnya.

Ukuran foto adalah Post card dan berwarna, hasil afdruck dari foto-foto difilekan

dalam album yang cukup rapi dan baik

Secara ringkas produk pada kegiatan survey topografi meliputi :

Peta kontur batas genangan keruntuhan Bendungan

Buku Ukur

Diskripsi Bench Mark

Semua hasil pengukuran secara bertahap dilakukan perhitungan sementara di

lapangan untuk memeriksa harga toleransi yang diijinkan. Apabila hasil pengukuran

tersebut melampaui batas toleransi yang diijinkan, maka harus dilakukan pengukuran

ulang dan dilakukan penghitungan kembali untuk mendapatkan hasil yang definitif.

Setelah dilakukan perhitungan data lapangan, secara bertahap akan dilakukan

penggambaran/pemetaan. Dimana hasilnya akan dijadikan dasar bagi proses deliniasi

terhadap kontur yang terdapat di Peta DEM, sebelum dilakukan running ulang

terhadap simulasi keruntuhan bendungan.

3.2.7 Survey Bathimetri dan Tachimetri

Mengingat bahwa waduk-waduk yang di RTD telah beroperasi lebih dari 30 th,

maka diperkirakan volume tampungan waduk telah berkurang akibat terjadinya deposit

sedimen. Apabila volume efektif waduk telah berubah, maka lengkung kapasitas

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-32

b6

b5

b4

b3

b2

b EL. 1

EL. 2EL. 3

EL. 4

EL. 5EL. 6

EL. 7

Gambar 3.9 Sketsa Bentuk Geometrik Sungai

bn

Page 33: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

waduk seharusnya telah berubah pula. Dengan kata lain penelusuran banjir melalui

waduk dengan debit rancangan PMF yang telah diperbarui juga perlu dikaji ulang untuk

menentukan apakah dengan debit PMF akan menyebabkan overtopping atau tidak.

Untuk mengetahui deposit sedimen di waduk, maka diperlukan data hasil

echosounding terakhir sebagai acuan, sebelum Konsultan melakukan survey

bathimetri dan tachimetri setelah mendapat persetujuan dari direksi.

Survey bathimetri terhadap Waduk dilakukan untuk mendapatkan gambaran

kondisi profil/penampang dasar waduk saat ini, sehingga dapat diketahui volume

tampungan dan kecenderungan terjadinya sedimentasi jika dibandingkan dengan hasil

survey bathimetri sebelumnya. Survey pengukuran profil dasar sungai dilakukan

dengan acuan titik berupa patok-patok tetap yang ada di sekitar waduk yang telah

dijadikan acuan dalam pengukuran sebelumnya.

I. Pekerjaan Lapangan

Pemeruman mengukur kedalaman waduk.

Survey Pengukuran Tachimetri dilakukan dari tepi permukaan air sampai ke

elevasi mercu bendungan.

Analisis Data Lapangan

2. Penggambaran Peta Kontur

3. Analisis Volume Waduk dan Area Genangan Waduk.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-33

Water Surface

River Bed

Profil Deposit Sedimen

Puncak Tubuh Bendungan

Gambar 3.10 Sketsa Profil Deposit Sedimen Waduk

Page 34: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

3.2.8 Analisis Hidrologi

Analisis hidrologi terhadap hujan rancangan dengan berbagai kala ulang dan

Probable Maximum Precipitation (PMP) serta banjir rancangan dan Probable Maximum

Flood (PMF) perlu dilakukan sebelum analisa terhadap keruntuhan bendungan

dilakukan. Data hidrologi yang diperlukan adalah :

1. Data yang terkait dengan DTA waduk-waduk tersebut (luas, panjang sungai,

kemiringan, tataguna lahan, dll.)

2. Data lokasi stasiun pencatat curah hujan di sekitar dan di dalam DTA (baik harian

maupun otomatis).

3. Data distribusi hujan harian atau hujan jam-jaman

4. Data aliran anak-anak sungai di sepanjang alur sungai di wilayah hilir waduk.

5. Data lengkung kapasitas waduk (Kurva H-A-V)

6. Data tataguna lahan DAS dan tataguna lahan wilayah hilir waduk.

A. Siklus hidrologi

Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi ini relatif tetap dari masa ke masa. Air di

bumi mengalami suatu siklus melalui serangkaian peristiwa yang berlangsung terus

menerus,dimana kita tidak tahu kapan dan dari mana berawalnya dan kapan pula akan

berakhir. Serangkaian peristiwa tersebut dinamakan siklus hidrologi.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-34

Gambar 3.11 Gambaran Siklus Hidrologi

Page 35: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Air menguap dari permukaan samudera akibat energi panas matahari. Laju dan

jumlah penguapan bervariasi, terbesar terjadi di dekat equator, dimana radiasi matahari

lebih kuat. Uap air adalah murni, karena pada waktu dibawa naik ke atmosfir kandungan

garam ditinggalkan. Uap air yang dihasilkan dibawa udara yang bergerak. Dalam kondisi

yang memungkinkan uap tersebut mengalami kondensasi dan membentuk butir-butir air

yang akan jatuh di samudera, darat, dan sebagian langsung menguap kembali sebelum

mencapai permukaan bumi.

Presipitasi yang jatuh di permukaan bumi menyebar ke berbagai arah dengan

beberapa cara. Sebagaian akan tertahan sementara di permukaan bumi sebagai es atau

salju, atau genangan air, yang dikenal dengan simpanan depresi. Sebagian air hujan atau

lelehan salju akan mengalir ke saluran atau sungai. Hal ini disebut aliran / limpasan

permukaan. Jika permukaan tanah porous, maka sebagian air akan meresap ke dalam

tanah melalui peristiwa yang disebut infiltrasi. Sebagian lagi akan kembali ke atmosfir

melalui penguapan dan transpirasi oleh tanaman (evapotranspirasi).

Di bawah permukaan tanah, pori-pori tanah berisi air dan udara. Daerah ini dikenal

sebagai zona kapiler (vadoze zone), atau zona aerasi. Air yang tersimpan di zona ini

disebut kelengasan tanah (soil moisture), atau air kapiler. Pada kondisi tertentu air dapat

mengalir secara lateral pada zona kapiler, proses ini disebut interflow. Uap air dalam zona

kapiler dapat juga kembali ke permukaan tanah, kemudian menguap.

Kelebihan kelengasan tanah akan ditarik masuk oleh gravitasi dan proses ini disebut

drainase gravitasi. Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan akan jenuh

air.batas atas zona jenuh air disebut muka air tanah (water table). Air yang tersimpan

dalam zona jenuh air disebut air tanah. Air tanah ini bergerak sebagai aliran air tanah

melalui batuan atau lapisan tanah sampai akhirnya keluar ke permukaan sebagai sumber

air (spring) atau sebagai rembesan ke danau, waduk, sungai atau laut.

Air yang mengalir dalam saluran atau sungai dapat berasal dari aliran permukaan

atau dari air tanah yang merembes di dasar sungai. Kontribusi air tanah pada aliran

tersebut disebut aliran dasar (baseflow), sementara total aliran disebut debit (runoff). Air

yang tersimpan di waduk, danau dan sungai disebut air permukaan (surface water).

B. Presipitasi

Presipitasi adalah istilah umum untuk menyatakan uap air yang mengkondesi dan

jatuh dari atmosfir ke bumi dalam segala bentuknya dalam rangkaian siklus hidrologi. Jika

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-35

Page 36: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

air yang jatuh berbentuk cair disebut hujan (rainfall) dan jika berupa padat disebut salju

(snow).

Analisis dan desain hidrologi tidak hanya memerlukan volume atau ketinggian hujan,

tetapi juga distribusi hujan terhadap tempat dan waktu. Distribusi hujan terhadap waktu

disebut hyterograph. Dengan kata lain hyterograph adalah grafik intensitas hujan atau

ketinggian hujan terhadap waktu.

Kejadian hujan dapat dipisahkan menjadi dua group, yaitu hujan aktual dan hujan

rencana. Kejadian hujan aktual adalah rangkaian dan pengukuran di stasiun hujan

selama periode tertentu. Hujan rencana adalah hyterograph hujan yang mempunyai

karakteristik terpilih. Hujan rencana bukan kejadian hujan yang diukur secara aktual dan

kenyataannya hujan yang identik dengan hujan rencana tidak pernah dan tidak akan

pernah terjadi. Namun demikian, kebanyakan hujan rencana mempunyai karakteristik

yang secara umum sama dengan karakteristik hujan yang terjadi pada masa lalu. Dengan

demikian menggambarkan karakteristik hujan yang diharapkan terjadi pada masa

mendatang.

Karakteristik hujan yang perlu ditinjau dalam analisis dan perencanaan hidrologi

meliputi

Intensitas (i), adalah laju hujan = tinggi air persatuan waktu, misalnya mm/menit,

mm/jam atau mm/hari.

Lama waktu / durasi (t), adalah panjang waktu di mana hujan turun, dalam menit

atau jam.

Tinggi hujan (d), adalah jumlah atau kedalaman hujan yang terjadi selama durasi

hujan dan dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm.

Frekwensi adalah frekwensi kejadian dan biasanya dinyatakan dengan kala

ulang / return period (T), misalnya sekali dalam 2 tahun.

Luas (A), adalah luas geografis daerah sebaran hujan.

Hubungan antara intensitas, durasi dan tinggi hujan dinyatakan dalam persamaan

sebagai berikut :

Sedangkan intensitas rata-rata ( ) dapat diasumsikan sebagai berikut :

Secara kualitatif, intensitas curah hujan disebut juga derajat curah hujan sebagaimana

diperlihatkan pada tabel berikut :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-36

Page 37: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Tabel III-2. Derajat curah hujan dan intensitas curah hujan

Derajat curah hujanIntensitas curah hujan (mm/jam)

Kondisi

Hujan sangat lemah < 1,20 Tanah agak basah atau dibasahi sedikit

Hujan lemah 1,20 – 3,00Tanah menjadi basah semuanya, tetapi sulit

membuat puddel

Hujan normal 3,00 – 18,0Dapat membuat puddel dan bunyi hujan

kedengaran

Hujan deras 18,0 – 60,0Air tergenang di seluruh permukaan tanah dan bunyi keras hujan terdengan berasal

dari genangan

Hujan sangat deras > 60,0Hujan seperti ditumpahkan, sehingga

saluran dan drainase meluap

C. Analisis Hujan

a Hujan Kawasan (Daerah Tangkapan Air = DTA)

Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang terjadi

hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan sangat bervariasi

terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar hujan belum

dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan hujan kawasan

yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan yang

ada di dalam dan/atau di sekitar kawasan tersebut.

Ada tiga macam cara yang umum dipakai dalam menghitung hujan rata-rata

kawasan yaitu : (1) rata-rata aljabar, (2) poligon Thiessen, (3) Isohyet.

b Rata-rata Aljabar

Merupakan metode yang paling sederhana dalam perhitungan hujan kawasan.

Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai pengaruh

yang setara. Cara ini cocok untuk kawasan dengan topografi rata atau datar, alat penakar

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-37

Page 38: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

tersebut merata/hampir merata, dan harga individual curah hujan tidak terlalu jauh dari

harga rata-ratanya. Hujan kawasan diperoeh dari persamaan :

Di mana P1, P2, …., Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1,

2, …., n dan n adalah banyaknya pos penakar hujan.

c Metode Poligon Thiessen

Metode ini dikenal juga sebagai metode rata-rata timbang (weighted mean). Cara

ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk

mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah penakar dibentuk dengan

menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos

penakar terdekat. Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan lainnya

adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili kawasan terdekat.

Hasil metode poligon Thiessen lebih akurat dibandingkan dengan metode rata-rata

aljabar. Cara ini cocok untuk daerah datar dengan luas 500 – 5.000 km2, dan jumlah

penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya.

Prosedur penerapan metode ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut :

Lokasi pos penakar hujan diplot pada peta DAS. Antar pos penakar dibuat garis

lurus penghubung.

Tarik garis tegak lurus ditengah-tengah tiap garis penghubung sedemikian rupa,

sehingga membentuk poligon Thiessen. Semua titik dalam satu poligon akan mempunyai

jarak terdekat dengan pos penakar yang ada di dalamnya dibandingkan dengan jarak

terhadap pos lainnya. Selanjutnya curah hujan pada pos tersebut dianggap representasi

hujan pada kawasan dalam poligon yang bersangkutan.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-38

Page 39: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Gambar 3.12 Metode Poligon Thiessen

Luas areal pada tiap-tiap poligon dapat diukur dnegan planimeter dan luas total

DAS (A) dapat diketahui dengan menjumlahkan semua luasan poligon.

Hujan rata-rata DAS dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Di mana P1, P2, …., Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1,

2, …., n. sedangkan A1, A2, …., An adalah luas areal poligon 1, 2, …., n. serta n adalah

banyaknya pos penakar hujan.

d Metode Isohyet

Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan rata-

rata, namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Cara ini memperhitungkan secara

aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan. Dengan kata lain asumsi metode Thiessen

yang secara membabi buta menganggap bahwa tiap-tiap pos penakar hujan mencatat

kedalaman yang sama untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi.

Metode ini terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut :

Plot data kedalaman air hujan untuk tiap pos penakar hujan pada peta.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-39

P.1

P.2

P.3P.4

A4

A2

A3

A1

Batas DPS

Page 40: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Gambar kontur kedalaman air hujan dengan menghubungkan titik yang

mempunyai kedalaman air yang sama. Interval Isohyet yang umum dipakai

adalah 10 mm.

Hitung luas area antara dua garis Isohyet dengan menggunakan planimeter.

Kalikan masing-masing luas areal dengan rata-rata hujan antara dua Isohyet

yang berdekatan.

Hitung hujan rata-rata DAS dengan persamaan berikut :

Atau

Metode Isohyet cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih

dari 5.000 km2.

Gambar 3.13. Metode Isohyet

e Kriteria Pemilihan Metode

Lepas dari kelebihan dan kelemahan ketiga metode di atas, pemilihan metode

mana yang cocok dipakai pada suatu DAS dapat ditentukan dengan mempertimbangkan

tiga faktor berikut :

Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DTA

Luas DTA

Topografi DTA

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-40

P.1

P.2

P.3P.4

Batas DPS

50

80

110

95

60 7080

90100

A4A2

A3

A1

A5

Page 41: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

1) Jaring-jaring Pos Penakar Hujan

Jumlah pos penakar hujan cukupMetode Isohyet, Thiessen atau rata-rata Aljabar dapat dipakai

Jumlah pos penakar hujan terbatas Metode rata-rata Aljabar atau Thiessen

Pos penakar hujan tunggal Metode hujan titik

2) Luas DTA

DAS besar (> 5,000 km2) Metode Isohyet

DAS sedang (500 s/d 5.000 km2) Metode Thiessen

DAS kecil (< 500 km2) Metode rata-rata Aljabar

3) Topografi DTA

Pegunungan Metode rata-rata Aljabar

Dataran Metode Thiessen

Berbukit dan tidak beraturan Metode Isohyet

D. Analisis Frekuensi dan Probabilitas

Sistem hidrologi kadang-kadang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang luar biasa

(ekstrim), seperti hujan lebat, banjir dan kekeringan. Besaran peristiwa ekstrim

berbanding terbalik dengan frekuensi kejadiannya, peristiwa yang luar biasa ekstrim

kejadiannya sangat langka.

Tujuan analisis frekuensi data hidrologi adalah berkaitan dengan besaran peristiwa-

peristiwa ekstrim yang berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan

distribusi kemungkinan. Data hidrologi yang dianalisis diasumsikan tidak bergantung

(independent) dan terdistribusi secara acak dan bersifat stokastik.

Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai atau

dilampaui. Sebaliknya kala ulang (retrun period) adalah waktu hipotetik di mana hujan

dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui. Dalam hal ini tidak

terkandung pengertian bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap kala

ulang tersebut. Misalnya hujan dengan kala ulang 10 tahunan, tidak berarti akan terjadi

setiap 10 tahun, akan tetapi ada kemungkinan dalam jangka 1000 tahun akan terjadi 100

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-41

Page 42: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

kali kejadian hujan 10 tahunan. Ada kemungkinan selama kurun waktu 10 tahun terjadi

hujan 10 tahunan lebih dari satu kali atau sebaliknya tidak terjadi sama sekali.

Analisis frekuensi memerlukan seri data hujan yang diperoleh dari pos penakar hujan.

Analisis ini didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh

probabilitas besaran hujan di masa yang akan datang. Dengan anggapan bahwa sifat

statistik kejadian hujan yang akan datang masih sama dengan sifat statistik kejadian

hujan masa lalu.

Ada dua macam seri data yang dipergunakan dalam analisis frekuensi, yaitu :

a Data maksimum tahunan

Tiap tahun diambil hanya satu besaran maksimum yang dianggap berpengaruh

pada analisis selanjutnya. Seri data seperti ini dikenal dengan seri data maksimum

(maximum annual series). Jumlah data dalam seri akan sama dengan panjang data yang

tersedia. Dalam cara ini, besaran data maksimum kedua dalam suatu tahun yang

mungkin lebih besar dari besaran data maksimum lam tahun yang lain tidak

diperhitungkan pengaruhnya dalam analisis. Hal ini oleh beberapa pihak dianggap kurang

realistis, apalagi jika diingat bahwa perhitungan permulaan tahun hidrologi tidak selalu

seragam,ada yang berdasar musim ada pula yang mengikuti kalender masehi. Oleh

karena itu beberapa ahli menyarankan menggunakan cara seri parsial.

b Seri parsial

Dengan menetapkan suatu besaran tertentu sebagai batas bawah, selanjutnya

semua besaran data yang lebih besar dari batas bawah tersebut diambil dan dijadikan

bagian seri data untuk kemudian dianalisis seperti biasa. Pengambilan batas bawah

dapat dilakukan dengan sistem peringkat, di mana semua besaran data yang cukup

besar diambil, kemudian diurutkan dari besar ke kecil. Data yang diambil untuk analisis

selanjutnya adalah sesuai dengan panjang data dan diambil dari besaran data yang

paling besar. Dalam hal ini dimungkinkan dalam satu tahun data yang diambil lebih dari

satu data, sementara tahun yang lain tidak ada data yang diambil.

Dalam analisis frekuensi hasil yang diperoleh tergantung pada kualitas dan

panjang data. Makin pendek data yang tersedia, makin besar penyimpangan yang terjadi.

Parameter statistik yang penting dalam analisis hidrologi adalah :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-42

Page 43: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Nilai rata-rata

Simpangan baku (deviasi standar)

Koefisien variasi

Koefisien Skewness

Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat

macam jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu :

1) Distribusi Normal

Di mana :

XT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-

tahunan,

= Nilai rata-rata hitung variat,

S = Deviasi standar nilai variat,

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-43

Page 44: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode

ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang

digunakan untuk analisis peluang.

Nilai KT dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.3. Nilai Variabel Reduksi Gauss

Periode Ulang Peluang KT

T (tahun)1.001 0.999 -3.051.005 0.995 -2.581.010 0.990 -2.331.050 0.950 -1.641.110 0.900 -1.281.250 0.800 -0.841.330 0.750 -0.671.430 0.700 -0.521.670 0.600 -0.252.000 0.500 02.500 0.400 0.253.330 0.300 0.524.000 0.250 0.675.000 0.200 0.84

10.000 0.100 1.2820.000 0.050 1.6450.000 0.020 2.05100.000 0.010 2.33200.000 0.005 2.58500.000 0.002 2.88

1000.000 0.001 3.09

2) Distribusi Log Normal

Di mana :

YT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang

T-tahunan,

= Nilai rata-rata hitung variat,

S = Deviasi standar nilai variat,

KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode

ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang

digunakan untuk analisis peluang.

3) Distribusi Log-Person III

Tiga parameter penting dalam LP III yaitu :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-44

Page 45: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

a) Harga rata-rata

Untuk memperoleh harga rata-rata dilaksanakan dengan mengubah data

terlebih dahulu ke dalam bentuk logaritmis, X=log X

b) Simpangan baku

c)Koefisien Kemencengan

Dari nilai-nilai tersebut logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang

T dapat dihitung dengan rumus :

Di mana K adalah variabel standar (standardized variable) untuk X yang

besarnya tergantung koefisien kemencengan G, yang nilainya dapat dilihat pada

tabel berikut :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-45

Page 46: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Tabel III-4. Nilai K untuk distribusi Log-Person III

4) Distribusi Gumbel.

atau dan

Di mana :

Yn = reduce mean yang tergantung jumlah sampel/data n,

Sn = reduce standard deviation yang juga tergantung pada

jumlah sampel/data n,

YTr = reduce variate yang dapat dihitung dengan rumus berikut :

Nilai Yn dan Sn serta YTr dapat dilihat pada tabel-tabel berikut :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-46

Interval kajadian (Recurrence interval ), tahun (periode ulang)1.0101 1.25 2 5 10 25 50 100

Koef G Persentase peluang terlampaui (Percent chance of being exceeded )99 80 50 20 10 4 2 1

3.0 -0.667 -0.636 -0.396 0.420 1.180 2.278 3.152 4.0512.8 -0.714 -0.666 -0.384 0.460 1.210 2.275 3.114 3.9732.6 -0.769 -0.696 -0.368 0.499 1.238 2.267 3.071 2.8892.4 -0.832 -0.725 -0.351 0.537 1.262 2.256 3.023 3.8002.2 -0.905 -0.752 -0.330 0.574 1.284 2.240 2.970 3.7052.0 -0.990 -0.777 -0.307 0.609 1.302 2.219 2.192 3.6051.8 -1.087 -0.799 -0.282 0.643 1.318 2.193 2.848 3.4991.6 -1.197 -0.817 -0.254 0.675 1.329 2.163 2.780 3.3881.4 -1.318 -0.832 -0.225 0.705 1.337 2.128 2.706 3.2711.2 -1.449 -0.844 -0.195 0.732 1.340 2.087 2.626 3.1491.0 -1.588 -0.852 -0.164 0.758 1.340 2.043 2.542 3.0220.8 -1.733 -0.856 -0.132 0.780 1.336 1.993 2.453 2.8910.6 -1.880 -0.857 -0.099 0.800 1.328 1.939 2.359 2.7550.4 -2.029 -0.855 -0.066 0.816 1.317 1.880 2.261 2.6150.2 -2.178 -0.850 -0.033 0.830 1.301 1.818 2.159 2.4720.0 -2.326 -0.842 0.000 0.842 1.282 1.751 2.051 2.326-0.2 -2.472 -0.830 0.033 0.850 1.258 1.680 1.945 2.178-0.4 -2.615 -0.816 0.066 0.855 1.231 1.606 1.834 2.029-0.6 -2.755 -0.800 0.099 0.857 1.200 1.528 1.720 1.880-0.8 -2.891 -0.780 0.132 0.856 1.166 1.448 1.606 1.733-1.0 -3.022 -0.758 0.164 0.852 1.128 1.366 1.492 1.588-1.2 -3.149 -0.732 0.195 0.844 1.086 1.282 1.379 1.449-1.4 -3.271 -0.705 0.225 0.832 1.041 1.198 1.270 1.318-1.6 -3.388 -0.675 0.254 0.817 0.994 1.116 1.166 1.197-1.8 -3.499 -0.643 0.282 0.799 0.945 1.035 1.069 1.087-2.0 -3.605 -0.609 0.307 0.777 0.895 0.959 0.980 0.990-2.2 -3.705 -0.574 0.330 0.752 0.844 0.888 0.900 0.905-2.4 -3.800 -0.537 0.351 0.725 0.795 0.823 0.830 0.832-2.6 -3.889 -0.490 0.368 0.696 0.747 0.764 0.768 0.769-2.8 -3.973 -0.469 0.384 0.666 0.702 0.712 0.714 0.714-3.0 -7.051 -0.420 0.396 0.636 0.660 0.666 0.666 0.667

Page 47: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Tabel III-5. Reduce Mean Yn

n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 910 0.4952 0.4996 0.5035 0.5070 0.5100 0.5128 0.5157 0.5181 0.5202 0.522020 0.5236 0.5252 0.5268 0.5283 0.5296 0.5300 0.5820 0.5882 0.5343 0.535330 0.5362 0.5371 0.5380 0.5388 0.5396 0.5400 0.5410 0.5418 0.5424 0.543040 0.5436 0.5442 0.5448 0.5530 0.5458 0.5468 0.5468 0.5473 0.5477 0.548150 0.5485 0.5489 0.5493 0.5497 0.5501 0.5504 0.5508 0.5511 0.5515 0.5518

60 0.5521 0.5524 0.5527 0.5530 0.5533 0.5535 0.5538 0.5540 0.5543 0.554570 0.5548 0.5550 0.5552 0.5555 0.5557 0.5559 0.5561 0.5563 0.5565 0.556780 0.5569 0.5570 0.5572 0.5574 0.5576 0.5578 0.5580 0.5581 0.5583 0.558590 0.5586 0.5587 0.5589 0.5591 0.5592 0.5593 0.5595 0.5596 0.5598 0.5599

100 0.5600

Tabel III-6. Reduce Standard Deviation Sn

n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 910 0.9496 0.9676 0.9833 0.9971 1.0095 1.0206 1.0316 1.0411 1.0493 1.056520 1.0628 1.0696 1.0754 1.0811 1.0864 1.0915 1.0961 1.1004 1.1047 1.108030 1.1124 1.1159 1.1193 1.1226 1.1255 1.1285 1.1313 1.1339 1.1363 1.138840 1.1413 1.1436 1.1458 1.1480 1.1499 1.1519 1.1538 1.1557 1.1574 1.159050 1.1607 1.1623 1.1638 1.1658 1.1667 1.1681 1.1696 1.1708 1.1721 1.1734

60 1.1747 1.1759 1.1770 1.1782 1.1793 1.1803 1.1814 1.1824 1.1834 1.184470 1.1854 1.1863 1.1873 1.1881 1.1890 1.1898 1.1906 1.1915 1.1923 1.193080 1.1938 1.1945 1.1953 1.1959 1.1967 1.1973 1.1980 1.1987 1.1994 1.200190 1.2007 1.2013 1.2026 1.2032 1.2038 1.2044 1.2044 1.2049 1.2055 1.2060

100 1.2065

Tabel III-7. Reduce Variate YTr

Return Period Reduce Variate Return Period Reduce VariateYears Years

2 0.3668 100 4.60125 1.5004 200 5.2969

10 2.2510 250 5.520620 2.9709 500 6.214925 3.1993 1000 6.908750 3.9028 5000 8.518875 4.3117 10000 9.2121

E. Uji Kecocokan

Untuk menguji kecocokan (the goodness of fittest test) distribusi frekuensi sampel

data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau

mewakili distribusi frekuensi diperlukan penguji parameter. Dalam hal ini pengujian

parameter yang sering dipakai adalah chi-kuadrat dan Smirnov-Kolmogorov, dengan

uraian sebagai berikut :

a Chi-kuadrat

Uji Chi-Square dimaksudkan untuk menguji simpangan secara vertical

apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat diterima oleh distribusi

teoritis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter x2 , oleh karena itu

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-47

Page 48: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

disebut juga Uji Chi-Square. Perhitungannya dengan menggunakan persamaan

(Shahin, 1976 : 186)

Jumlah kelas distribusi dihitung dengan rumus (Harto, 181 : 80) :

K = 1 + 3,22 log n

dimana :

OF = nilai yang diamati (observed frequency)

EF = nilai yang diharapkan (expected frequency)

K = jumlah kelas distribusi

n = banyaknya data

Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2 < X2Cr.

Harga X2Cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikasi dengan derajat

kebebasannya (level of significant).

Interpretasi hasil uji adalah sebagai berikut :

Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan

dapat diterima,

Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang digunakan

tidak dapat diterima,

Apabila peluang berada di antara 1 – 5%, maka tidak mungkin mengambil

keputusan, perlu data tambahan.

Prosedur uji Chi-Square :

a. Menentukan jumlah kelas dengan memasukkan nilai n (jumlah data)

dalam rumus .

b. Menghitung nilai yang diharapkan (EF: expected frequency) dari masing

masing kelas.

c. Jumlahkan data pengamatan dalam tiap-tiap kelas sebesar OF (OF:

observed frequency).

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-48

Page 49: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

d. Tiap-tiap kelas dihitung nilai:

Σ

e. Jumlahkan seluruh nilai dari point (d) untuk menentukan nilai Chi-Square

hitung.

f. Tentukan derajat kebebasan v = K – m – 1 (nilai m = 2, untuk distribusi

normal dan binomial, dan nilai m = 1, untuk distribusi poisson) dan nilai α

untuk menentukan besarnya nilai Chi-Square kritis (X2cr)

g. Bandingkan nilai X2 hitung dengan X2 kritis, jika X2hit >X2

Cr maka distribusi

frekuensi yang dipilih dapat diterima dan sebaliknya.

Tabel III-8. Nilai Kritis untuk distribusi Chi-Kuadrat (uji satu sisi)

b Uji Smirnov-Kolmogorov

Uji kecocokan Smirnov – Kormogorov, sering juga disebut uji kecocokan non

parametric (non prametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-49

a derajat kepercayaandk 0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.0051 0.0000393 0.000157 0.000982 0.00393 3.841 5.024 6.635 7.8792 0.010 0.0201 0.0506 0.103 5.991 7.378 9.210 10.5973 0.0717 0.150 0.216 0.352 7.815 9.348 11.345 12.8384 0.207 0.297 0.484 0.711 9.488 11.143 13.277 14.8605 0.412 0.554 0.831 1.145 11.070 12.832 15.086 16.7506 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 14.449 16.812 18.5487 0.989 1.239 1.690 2.167 14.067 16.013 18.475 20.2788 1.344 1.646 2.180 2.733 15.507 17.535 20.090 21.9559 1.735 2.088 2.700 3.325 16.919 19.023 21.666 23.58910 2.156 2.558 3.247 3.940 18.307 20.483 23.209 25.188

11 2.603 3.053 3.816 4.575 19.675 21.920 24.725 26.75712 3.074 3.571 4.404 5.226 21.026 23.337 26.712 28.30013 3.565 4.107 5.009 5.892 22.362 24.736 27.688 29.81914 4.075 4.660 5.629 6.571 23.685 26.119 29.141 31.31915 4.601 5.229 6.262 7.261 24.996 27.488 30.578 32.80116 5.142 5.812 6.908 7.962 26.296 28.850 32.000 34.26717 5.697 6.408 7.564 8.672 27.587 30.191 33.409 35.71818 6.265 7.015 8.231 9.390 28.869 31.526 34.805 37.15619 6.844 7.633 8.907 10.117 30.144 32.852 36.191 38.58220 7.434 8.260 9.591 10.851 31.410 34.170 37.566 39.997

21 8.034 8.897 10.283 11.591 32.671 35.479 38.932 41.40122 8.643 9.542 10.982 12.338 33.924 36.781 40.289 42.79623 9.260 10.196 11.689 13.091 36.172 38.076 41.638 44.18124 9.886 10.856 12.401 13.848 36.415 39.364 42.980 45.55825 10.520 11.524 13.120 14.611 37.652 40.464 44.314 46.92826 11.160 12.198 13.844 15.379 38.885 41.923 45.642 48.29027 11.808 12.879 14.573 16.151 40.113 43.194 46.963 49.64528 12.461 13.565 15.308 16.928 41.337 44.461 48.278 50.99329 13.121 14.256 16.047 17.708 42.557 45.722 49.588 52.33630 13.787 14.953 16.791 18.493 43.773 46.979 40.892 53.672

Page 50: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

fungsi distribusi tertentu. Uji ini juga digunakan untuk menguji simpangan

maksimum secara horizontal antara distribusi teoritis dan empiris. Dalam

bentuk persamaan dapat ditulis :

dimana :

Δmaks = selisih data probabilitas teoritis dan empiris

Pe = peluang empiris

Pt = peluang teoritis

Kemudian dibandingkan antara maks dan cr dari tabel. Apabila Δmaks

<Δcr, maka pemilihan metode frekuensi tersebut dapat diterapkan untuk data

yang ada.

Langkah perhitungannya adalah sebagai berikut :

a. Urutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan

tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut :

Menghitung peluang empiris dengan rumus dari Weibull

Dalam hal ini :

Pe = peluang empiris (%)

m = nomor urut data dari seri yang telah diurutkan

n = banyaknya data

b. Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dengan memasukkan

persamaan disribusinya.

c. Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih tersebarnya antara

peluang pengamatan dengan peluang teoritis.

Δ= maksimum [ Pe–Pt ]

d. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov Test) tentukan harga

Δcr, apabila Δ lebih kecil dari harga Δcr maka distribusi teoritis yang

digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima,

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-50

maks = [ Pe – Pt]

Page 51: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

apabila sebaliknya maka teoritis yang digunakan untuk menentukan

persamaan distribusi tidak dapat diterima.

Tabel III-9. Nilai Kritis untuk distribusi Smirnov Kolmogorov

0.200 0.100 0.050 0.010n

5 0.450 0.510 0.560 0.67010 0.320 0.370 0.410 0.49015 0.270 0.300 0.340 0.40020 0.230 0.260 0.290 0.36025 0.210 0.240 0.270 0.32030 0.190 0.220 0.240 0.29035 0.180 0.200 0.230 0.27040 0.170 0.190 0.210 0.25045 0.160 0.180 0.200 0.24050 0.150 0.170 0.190 0.230

n > 50 1.07 1.22 1.36 1.63n0,5 n0,5 n0,5 n0,5

F. Curah Hujan Maksimum Harian Rata-rata

Perhitungan data hujan maksimum harian rata-rata DAS harus dilakukan secara

benar untuk analisis frekuensi data hujan. Dalam praktek sering dijumpai perhitungan

yang kurang pas, yaitu dengan cara mencari hujan maksimum harian setiap pos hujan

dalam satu tahun, kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan hujan DAS. Cara ini tidak

logis karena rata-rata hujan dilakukan atas hujan dari masing-masing pos hujan yang

terjadi pada hari yang berlainan. Hasilnya akan jauh menyimpang dari yang seharusnya.

G. Intensitas Hujan

Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan pe satuan waktu. Sifat umum

hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cendering makin tinggi dan

makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Hubungan antara

intensitas, lama hujan dan frekuensi hujan biasnya dinyatakan dalam lengkung Intensitas-

Durasi-Frekuensi (IDF=Intensity-Duration-Frequency Curve). Diperlukan data hujan

jangka pendek, misalnya 5 menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman untuk

membentuk lengkung IDF. Data hujan jenis ini hanya dapat diperoleh dari pos penakar

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-51

Page 52: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

hujan otomatis. Selanjutnya, berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut lengkung

IDF dapat dibuat dengan salah satu dari beberapa persamaan berikut :

Rumus Talbot :

Rumus Sherman

Rumus Ishiguro

Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian,

maka intensitas hujan dapat dihitung dengan :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-52

Page 53: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Rumus Mononobe

Di mana

I = Intensitas hujan (mm/jam)

T = lama hujan (jam)

R24 = curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm)

H. Limpasan (runoff)

Sebagaimana telah diuraikan da1am siklus hidrologi, bahwa air hujan yang turun dari

atmosfir jika tidak ditangkap oleb vegetasi atau oleh permukaan-permukaan buatan

seperti atap bangunan atau lapisan kedap air lainnya, maka akan jatuh ke perrnukaan

bumi dan sebagian akan rnenguap, berinfiltrasi, atau tersimpan dalam cekungan-

cekungan. Bila kehilangan seperti cara-cara tersebut telah terpenuhi, maka sisa air hujan

akan mengalir langsung di atas permukaan tanah menuju alur aliran terdekat. Dalam

perencanaan drainase, bagian air hujan yang menjadi perhatian adalah aliran permukaan

(surface runoff), sedangkan untuk pengendalian banjir tidak hanya aliran permukaan,

tetapi limpasan (runoff). Limpasan merupakan gabungan antara aliran perrnukaan, aliran-

aliran yang tertunda pada cekungan-cekungan, dan aliran bawah permukaan (subsurface

flow).

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Limpasan

Aliran pada saluran atau sungai tergantung dan berbagai faktor secara bersamaan.

Dalam kaitannya dengan limpasan, faktor yang berpengaruh secara umurn dapat

dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu faktor meteorologi dan karakteristik daerah

tangkapan saluran atau daerah tangkapan air (DTA).

1. Faktor Meteorologi

Faktor-faktor meteorologi yang berpengaruh pada limpasan terutama adalah

karakteristik hujan, yang meliputi :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-53

Page 54: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

a) Intensitas hujan

Pengaruh intensitas hujan terhadap limpasan permukaan sangat tergantung pada

laju infiltrasi. Jika intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, maka akan terjadi limpasan

permukaan sejalan dengan peningkatan intensitas curah hujan. Namun demikian,

peningkatan limpasan permukaan tidak selalu sebanding dengan peningkatan intensitas

hujan karena adanya penggenangan di perrnukaan tanah. Intensitas hujan berpengaruh

pada debit maupun volume limpasan.

b) Durasi hujan

Total limpasan dari suatu hujan berkaitan langsung dengan durasi hujan dengan

intensitas tertentu. Setiap DAS mempunyai satuan durasi hujan atau lama hujan kritis.

Jika hujan yang terjadi lamanya kurang dari lama hujan kritis, maka lamanya limpasan

akan sama dan tidak tergantung pada intensitas hujan.

c) Distribusi curah hujan

Laju dan volume limpasan dipengaruhi oleh distribusi dan intensitas hujan di

seluruh DAS. Secara umum, laju dan volume limpasan maksimum terjadi jika seluruh

DAS telah memberi konstribusi aliran. Namun demikian, hujan dengan intensitas tinggi

pada sebagian DAS dapat menghasilkan limpasan yang lebih besar dibandingkan

dengan hujan biasa yang meliputi seluruh DAS.

Jika kondisi topografi, tanah, dan lain-lain di seluruh DAS seragam, untuk jumlah

hujan yang sama, maka curah hujan yang distribusinya merata menghasilkan debit

puncak yang paling minimum. Karakteristik distribusi hujan dinyatakan dalam “koefisien

distribusi”, yaitu nisbah antara hujan tertinggi di suatu titik dengan hujan rata-rata DAS.

2. Karakteristik DAS

Karakteristik DAS yang berpengaruh besar pada aliran permukaan meliputi (1) luas

dan bentuk DAS, (2) topografi, dan (3) tata guna lahan.

a. Luas dan bentuk DAS

Laju dan volume aliran permukaan makin bentambah besar dengan bertambahnya

luas DAS. Tetapi, apabila aliran permukaan tidak dinyatakan sebagai jumlah total dari

DAS, rnelainkan sebagai laju dan volume per satuan luas, besarnya akan berkurang

dengan bertambah luasnya DAS. Ini berkaitan dengan waktu yang diperlukan air untuk

mengalir dari titik terjauh sampai ke titik kontrol (waktu konsentrasi) dan juga penyebaran

atau intensitas hujan.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-54

Page 55: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran dalam sungai. Pengaruh

bentuk DAS terhadap aliran permukaan dapat ditunjukkan dengan memperhatikan

hidrograf-hidrograf yang tenjadi pada dua buah DAS yang bentuknya berbeda namun

mempunyai luas yang sama dan menerima hujan dengati intensitas yang sama,

sebagaimana terlihat pada gambar berikut :

Gambar 3.14. Pengaruh bentuk DAS pada aliran permukaan

Bentuk DAS memanjang dan sempit cenderung menghasilkan laju aliran

permukaan yang lehih kecil dibandingkan dengan DAS yang berbentuk melebar atau

melingkar. Hal ini terjadi karena waktu konsentrasi DAS yang memanjang lebih lama

dibandingkan dengan DAS melebar, sehingga terjadinya konsentrasi air di titik kontrol

lebih lambat yang berpengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. Faktor bentuk

juga dapat berpengaruh pada aliran permukaan apabila hujan yang terjadi tidak serentak

di seluruh DAS, tetapi bergerak dari ujung yang satu ke ujung lainnya. misalnya dari hilir

ke hulu DAS. Pada DAS memanjang laju aliran akan lebih kecil karena aliran permukaan

akibat hujan di hulu belum memberikan konstribusi pada titik kontrol ketika aliran

permukaan dan hujan di hilir telah habis, atau mengecil. Sebaliknya pada DAS melebar,

datangnya aliran permukaan dari semua titik di DAS tidak terpaut banyak, artinya air dari

hulu sudah tiba sebelum aliran dari hilir mengecil/habis.

b. Topografi

Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan

kerapatan parit dan/atau saluran, dan bentuk-bentuk cekungan lainnya mempunyai

pengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan kemiringan curam

disertai parit/saluran yang rapat akan menghasilkan laju dan volume aliran permukaan

yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan parit yang jarang dan

adanya cekungan-cekungan. Pengaruh kerapatan parit, yaitu panjang parit per satuan

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-55

Page 56: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

luas DAS, pada aliran permukaan adalah memperpendek waktu konsentrasi, sehingga

memperbesar laju aliran permukaan.

c. Tata guna lahan

Pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran

permukaan (C), yaitu bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran

permukaan dan besarnya curah hujan. Angka koefisien aliran permukaan ini merupakan

salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0

sampai 1. Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi dan terinfiltrasi

ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan

mengalir sebagai aliran permukaan. Pada DAS yang masih baik, harga C mendekati nol

dan semakin rusak suatu DAS, maka harga C makin mendekati satu.

Memperkirakan Laju Aliran Puncak

Ada beberapa metode untuk memperkirakan laju aliran puncak (debit banjir). Metode

yang dipakai pada suatu lokasi lebih bvnyak ditentukan oleh ketersediaan data. Dalam

praktek, perkiraan debit banjir dilakukan dengan beberapa metoda dan debit banjir

rencana ditentukan berdasarkan pertimbangan teknis (engineering judgement). Secara

umum, metode yang umum dipakai adalah (1) metode rasional dan (2) metode hidrograf

banjir.

1) Metode Rasional

Metode untuk memperkirakan laju aliran permukaan puncak yang umum dipakai

adalah metode Rasional USSCS (1973). Metode ini sangat simpel dan mudah

penggunaannya, namun penggunaannya terbatas untuk DAS-DAS dengan ukuran kecil,

yaitu kurang dan 300 ha (Goldman et.al., 1986). Karena model ini merupakan model

kotak hitam, maka tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan dan aliran

permukaan dalam bentuk hidrograf. Persamaan matematik metode Rasional dinyatakan

dalam bentuk :

di mana Qp adalah laju aliran permukaan (debit) puncak dalam m3/detik. C adalah

koefisien aliran permukaan (0 < C < 1), I adalah intensitas hujan dalam mm/jam, dan A

adalah luas DAS dalam hektar.

Metode rasional dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa hujan yang terjadi

mempunyai intensitas seragam dan merata di selunuh DTA selama paling sedikit sama

dengan waktu konsentrasi (tc) DTA. Jika hujan yang terjadi lamanya kurang dan tc. maka

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-56

Page 57: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

debit puncak yang terjadi lebih kecil dan Qq karena seluruh DTA tidak dapat memberikan

konstribusi aliran secara bersama pada titik kontrol (outlet). Sebaliknya, jika hujan yang

terjadi lebih lama dan tc, maka debit puncak aliran permukaan akan tetap sama dengan

Qp.

Koefisien aliran permukaan (C).

Koefisien C didefinisikan sebagai nisbah antara puncak aliran permukaan terhadap

intensitas hujan. Fakton ini merupakan variabel yang paling menentukan hasil

perhitungan debit banjir. Pemilihan harga C yang tepat memerlukan pengalaman hidrologi

yang luas. Faktor utama yang mempengaruhi C adalah laju infiltrasi tanah atau

prosentase lahan kedap air, kemiringan lahan, tanaman penutup tanah, dan intensitas

hujan. Permukaan kedap air, seperti perkerasan aspal dan atap bangunan, akan

menghasilkan aliran hampir 100% setelah permukaan menjadi basah, seberapa pun

kemiringannya.

Koefisien limpasan juga tergantung pada sifat dan kondisi tanah. Laju infiltrasi

menurun pada hujan yang terus menerus dan juga dipengaruhi oleh kondisi kejenuhan air

sebelumnya. Faktor lain yang mempengaruhi nilai C adalah air tanah, derajad kepadatan

tanah, porositas tanah, dan simpanan depresi. Harga C untuk berbagai tipe tanah dan

penggunaan lahan di sajikan dalam Tabel berikut :

Tabel III-10. Koefisien limpasan untuk metode Rasional (McGuen, 1989)

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-57

Diskripsi lahan/karakter permukaanBusiness

perkotaanpinggiran

Perumahanrumah tunggalmultiunit, terpisahmultiunit, tergabungperkampunganapartemen

Industriringanberat

Perkerasanaspal dan betonbatu bata, paving 0,50 - 0,70

Atap 0,75 - 0,95Halaman, tanah berpasir

datar 2% 0,05 - 0,10rata-rata, 2 - 7% 0,10 - 0,15curam 7% 0,15 - 0,20

Halaman, tanah beratdatar 2% 0,13 - 0.17rata-rata, 2 - 7% 0,18 - 0,22curam, 7% 0,25 - 0,35

Halaman kereta api 0,10 - 0,35Taman tempat bermain 0,20 - 0,35Taman, pekuburan 0,10 - 0,25Hutan

datar, 0 - 5% 0,10 - 0,40bergelombang, 5 - 10% 0,25 - 0,50berbukit, 10 - 30% 0,30 - 0,60

Diskripsi lahan/karakter permukaan Koefisien aliran, CBusiness

perkotaan 0,70 - 0,95pinggiran 0,50 - 0,70

Perumahanrumah tunggal 0,30 - 0,50multiunit, terpisah 0,40 - 0,60multiunit, tergabung 0,60 - 0,75perkampungan 0,75 - 0,40apartemen 0,50 - 0,70

Industriringan 0,50 - 0,80berat 0,60 - 0,90

Perkerasanaspal dan beton 0 70 - 0,95batu bata, paving 0,50 - 0,70

Atap 0,75 - 0,95Halaman, tanah berpasir

datar 2% rata-rata, 2 - 7%curam 7%

Halaman, tanah beratdatar 2% rata-rata, 2 - 7%curam, 7%

Halaman kereta apiTaman tempat bermain Taman, pekuburan Hutan

datar, 0 - 5% bergelombang, 5 - 10%

Page 58: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Harga C yang ditampilkan pada tabel tersebut belum memberikan rincian masing-

masing faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai C. Oleh karena itu, Hassing

(1995) menyajikan cara penentuan faktor C yang mengintegrasikan nilai yang

merepresentasikan beberapa faktor yang mempengaruhi hubungan antara hujan dan

aliran, yaitu topografi, permeabilitas tanah, penutup lahan, dan tata guna tanah. Nilai

koefisien C merupakan kombinasi dan beberapa faktor yang dapat dihitung berdasarkan

tabel berikut.

Tabel III-11. Koefisien aliran untuk metode Rasional (Hassing, 1995)

Koefisien aliran C = C1 + C2 + C3

Topografi, C1 Tanah, C2 Vegetasi, C3

Datar (< 1%) 0.03 Pasir dan gravel 0.04 Hutan 0.04Bergelombang (1 - 10%) 0.08 Lempung berpasir 0.08 Pertanian 0.11Perbukitan (10 - 20%) 0.16 Lempung dan lanau 0.16 Padang rumput 0.21Pegunungan (> 20%) 0.26 Lapisan batu 0.26 Tanpa tanaman 0.28

Table-tabel tersebut menggambarkan nilai C untuk penggunaan lahan yang

seragam, di mana kondisi ini sangat jarang dijumpai untuk lahan yang relatif luas. Jika

DAS tendiri dari berbagai macam penggunaan lahan dengan koefisien aliran permukaan

yang berbeda, maka C yang dipakai adalah koefisien DTA yang dapat dihitung dengan

persamaan berikut :

Di mana

Ai = luas lahan dengan jenis penutup tanah i,

Ci = koefisien aliran permukaan jenis penutup i,

n = jumlah jenis penutup lahan.

Cara lain penggunaan rumus Rasional untuk DAS dengan tata guna lahan tidak

homogen adalah dengan substitusi persamaan-persamaan tersebut yang hasilnya

sebagai berikut :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-58

Page 59: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Waktu konsentrasi (tv). Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang

diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat

keluaran DTA (titik kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil

terpenuhi. Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu

konsentrasi, maka setiap bagian DTA secara serentak telah menyumbangkan aliran

terhadap titik kontrol. Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah

dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Kirpich (1940), yang dapat ditulis

sebagai berikut :

di mana tc adalah waktu konsentrasi dalam jam, L panjang saluran utama dari hulu

sampai penguras dalam km, dan S kemiringan rata-rata saluran utama dalam m/m.

Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakannya menjadi dua

komponen, yaitu (1) waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan

sampai saluran terdekat t0 dan (2) waktu perjalanan dan pertama masuk saluran sampai

titik keluaran td, sehingga :

menit

menit

Di mana

n = angka kekasaran Manning,

S = kemiringan lahan,

L = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m),

LS = panjang lintasan aliran di dalam saluran/sungai (m),

V = kecepatan aliran di dalam saluran (m/detik).

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-59

Page 60: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Intensitas hujan (I). Intensitas hujan untuk tc tertentu dapat dihitung dengan rumus

Mononobe atau lengkung Intensitas-Durasi-Frekuensi Hujan.

Gambar 3.15. Langkah-langkah pemakaian rumus rasional

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-60

to = waktu limpas permukaan(dari titik terjauh, P kesaluran terdekat, titik Q)

td = waktu limpas saluran (darititik Q ke titik P)

DAS dengan tata guna lahan tidak seragam

Dibagi-bagi menjadi sub-DAS sesuai dengan tata

guna lahan (koef. C homogen)

Ukur luas tiap-tiap sub-DAS

(ha) DAS Luas1

n

iiAA

n

ii

n

iii

DAS

A

CAC

1

1

Gambungan C Koef.

Ukur jarak limpas permukaan PQ (m)

Ukur panjang saluran QR (m)

Perkirakan kecepatan aliran dalam saluran =V dan hitung

td = (PQ/60V) (menit)

Ukur jarak limpas permukaan PQ (m)

Hitung waktu limpas permukaan to

tc = to = td (menit)

Pakai kurva intensitas Hujan, diperoleh I

Hitu

ng d

ebit

di ti

tik k

ontro

l :Q

= 0

.002

778

CIA

Page 61: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Gambar 3.16 Metode yang digunakan dalam memperkirakan debit banjir berdasarkan

ketersediaan data

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-61

Catatan :* GEV = Gumbell Extreem Value** Berlaku untuk luas DAS yang kecil

Mulai

DataHidrologi

Perlu Hidrograf ?

MetodeHidrograf Satuan

AnalisisFrekuensi

Data hujan dan aliran tersedia ?

Ada data debit ?

TurunkanHidrografSatuan

TurunkanHidrograf

Satuan Sintetis

Konversi dengan hujan rencana

Hidrograf aliran permukaan

Tambah aliran dasar

Hidrograf satuan sintetis

Data cukup panjang ?

Plot data dan sesuaikan

dengan distribusi GEV*

Perkirakan Qtr

dari grafik distibusi GEV

Bandingkan hasil perkiraan Qtr

Perkirakan Qrencana dari

rekaman data

Hitung Qtr dari Qrencana

Perkirakan hujan DAS rencana

Hitung Qtr dengan rumus Rasional**

Qtr

atau Qtr dan hidrograf

Selesai

Page 62: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

2) Metode Hidrograf

Hidrograf dapat didefinisikan sebagai hubungan antara salah satu unsur aliran

terhadap waktu. Berdasarkan definisi tersebut dikenal ada dua macam hidrograf, yaitu

hidrograf muka air dan hidrograf debit.

Hidrograf muka air tidak lain adalah data atau grafik hasil rekaman AWLR

(Automatic Water Level Recorder), sedangkan hidrograf debit yang dalam pengertian

sehari-hari disebut hidrograf diperoleh dari hidrograf muka air dan lengkung debit.

Hidrograf tersusun dari dua komponen yaitu aliran permukaan, yang berasal dari

aluran langsung air hujan dan aliran dasar (base flow). Aliran dasar berasal dari air tanah

yang pada umumnya tidak memberikan respon yang cepat terhadap hujan. Hujan juga

dapat dianggap terbagi dalam dua komponen, yaitu hujan efektif dan kehilangan (losses).

Hujan efektif adalah bagian hujan yang menyebabkan terjadinya aliran permukaan.

Kehilangan hujan merupakan bagian hujan yang menguap, masuk ke dalam tanah,

kelembaban tanah dan simpanan air tanah.

Hidrograf aliran langsung dapat diperoleh dengan memisahkan hidrograf dari aliran

dasarnya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya adalah metode garis

lurus (straight line method), metode panjang dasar tetap (fixed base method) dan ketode

kemiringan berbeda (variable slope method).

Metode garis lurus merupakan metode yang paling sederhana. Garis lurus ditarik

dari titik terendah sisi resesi hidrograf sebelumnya (A), sampai titik di sisi resesi hidrograf

yang ditinjau (B). Titik B didapat dari penggambaran sisi resesi tersebut dalam kertas

berskala semi logaritmis. Titik B merupakan titik penyimpangan terendah garis tersebut

terhadap garis lurus yang dianggap mewakili saat terjadinya aliran dasar.

Metode panjang dasar tetap hampir sama dengan metode sebelumnya. Dalam

metode ini diperhatikan adanya perbedaan kecepatan respon antara air permukaan dan

air bawah permukaan. Oleh sebab itu pada saat air permukaan naik, aliran dasar turun

terus sampai dianggap mencapai titik terendah di bawah titik puncak aliran permukaan,

selanjutnya titik diperoleh dari persamaan (Linsley, 1988) :

Di mana

T = waktu dalam hari,

A = luas DAS dalam mil persegi.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-62

Page 63: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Gambar 3.17. Berbagai metode pemisahan aliran langsung

Metode kemiringan berbeda dianggap sebagai metode yang paling teliti di antara

ketiga metode. Metode ini merupakan penggabungan dari kedua metode terdahulu.

3) Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan

efektif yang terjadi merata di seluruh DAS dan dengan intensitas tetap selama satu

satuan waktu yang ditetapkannya, yang disebut hujan satuan. Hujan satuan adalah curah

hujan yang lamanya sedemikian rupa sehingga lamanya limpasan permukaan tidak

menjadi pendek, meskipun curah hujan itu menjadi pendek. Jadi hujan satuan yang dipilih

adalah yang lamanya sama atau lebih pendek dari periode naik hidrograf (waktu dari titik

permulaan aliran permukaan sampai puncak). Periode limpasan dari hujan satuan

semuanya adalah kira-kira sama dan tidak ada sangkut pautnya dengan intensitas hujan.

Hidrograf satuan merupakan model sederhana yang menyatakan respon DAS

terhadap hujan. Tujuan dari hirograf satuan adalah untuk memperkirakan hubungan

antara hujan efektif dan aliran permukaan. Konsep hidrograf satuan pertama kali

dikemukakan oleh Sherman pada tahun 1932, yang menyatakan bahwa suatu sistem

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-63

(a) Metode Garis Lurus (a) Metode Panjang Dasar Tetap

(a) Metode Kemiringan Berbeda

Aliran langsung

Aliran dasar

Aliran langsung

Aliran dasar

Aliran langsung

Aliran dasar

(a) Metode Garis Lurus (a) Metode Panjang Dasar Tetap

(a) Metode Kemiringan Berbeda

Aliran langsung

Aliran dasar

Aliran langsung

Aliran dasar

Aliran langsung

Aliran dasar

Page 64: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

DAS mempunyai sifat khas yang menytakan respon DAS terhadap suatu masukan

tertentu.

4) Hidrograf Satuan Sintetis

Untuk menurunkan hidrograf satuan diperlukan rekaman data limpasan dan data

hujan, padahal sering kita jumpai ada beberapa DAS tidak memiliki catatan limpasan.

Dalam kasus ini hidrograf satuan diturunkan berdasarkan data-data dari sungai pada

DAS yang sama atau DAS terdekat yang mempunyai karakteristik sama. Hasil dari

penurunan hidrograf satuan ini dinamakan hidrograf satan sintetis, yang mencakup tiga

jenis, yaitu :

HSS yang mengkaitkan karakteristik hidrograf(debit puncak, waktu dasar,

dsb) dengan karakteristik DAS (Snyder, 1938; Gray, 1961)

HSS berdasarkan hidrograf satuan tak berdimensi (SCS, 1972)

HSS berdasarkan model simpanan DAS (Clark, 1943).

HSS Snyder

Ada tiga parameter hidrograf yaitu : lebar dasar hidrograf, debit puncak dan

kelambatan DAS (basin lag).

Snyder beranggapan bahwa karakteristik DAS yang mempunyai pengaruh kuat

terhadap hidrograf satuan sintetik adalah luas DAS, bentuk DAS, topografi, kemiringan

saluran, kerapatan sungai dan daya tampung saluran. Rumus-rumus yang dipakai adalah

a) Keterlambatan DAS (basin lag)

Di mana :

tp = keterlambatan DAS (jam),

L = panjang sungai utama dari outlet ke batas hulu (km),

Lc = jarak antara outlet ke titik pada sungai yang terdekat dengan titik

pusat (centriod) DAS,

C1 = 0,75 (C1 = untuk sistem Inggris)

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-64

Page 65: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Ct = koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah

yang sama,

tr = durasi hujan.

b) Debit puncak per satuan luas dari hidrograf satuan standar

Di mana

C2 = 2,75 (640 untuk sistem Inggris)

Cp = koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada

daerah yang sama.

HSS Gama 1

Metode ini dikembangkan oleh DR. Ir. Sri Harto, berdasarkan penelitian 30 DPS

di pulau Jawa. Satuan hidrograf sintetik Gama I dibentuk oleh tiga komponen dasar

yaitu waktu naik (TR), debit puncak (Qp), waktu dasar (TB), dengan uraian sebagai

berikut :

1. Waktu naik (TR) dinyatakan dengan rumus :

Di mana :

TR = Waktu naik (jam)

L = Panjang sungai (km)

SF = Faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah

panjang sungai tingkat I dengan jumlah panjang sungai

semua tingkat.

SIM = Faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara

factor lebar (WF) dengan luas relatif DAS sebelah hulu

( RUA )

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-65

Page 66: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

WF = Faktor lebar adalah perbandingan antara lebar DPS

yang diukur dari titik di sungai yang berjarak 3/4 L dan

lebar DPS yang diukur dari titik yang berjarak 1/4 L dari

tempat pengukuran (lihat gambar).

2. Debit puncak (Qp) dinyatakan dengan rumus :

di mana :

Qp = Debit puncak (m3/dt)

JN = Jumlah pertemuan sungai

TR = Waktu naik

3. Waktu dasar (TB) dinyatakan dengan rumus :

di mana :

TB = Waktu dasar (jam)

TR = Waktu naik (jam)

S = Kelandaian sungai rata-rata

SN = Frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah

segmen sungai-sungai tingkat I dengan jumlah sungai

semua tingkat.

RUA = Luas DPS sebelah hulu (km) (lihat gambar).

Beberapa parameter penting dalam perhitungan HSS Gama 1 adalah sebagai

berikut ini :

1. Faktor-sumber, (SF) yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai-

sungai tingkat satu dengan jumlah panjang sungai-sungai semua

tingkat.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-66

Page 67: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

2. Frekuensi-sumber, (SN) yaitu perbandingan antara jumlah pangsa

sungai-sungai tingkat satu dengan jumlah pangsa sungai-sungai semua

tingkat.

3. Faktor-lebar, (WF) yaitu perbandingan antara lebar DAS yang diukur

dititik di sungai yang berjarak 0,75 L dengan lebar DAS yang diukur

dititik di sungai yang berjarak 0,25 L dari stasiun hidrometri.

4. Luas DAS sebelah hulu , (RUA) yaitu perbandingan luas DAS yang

diukur di hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun

hidrometri dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS,

melewati titik tersebut.

5. Faktor simetri, (SIM) yaitu hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan

luas DAS sebelah hulu (RUA) .

6. Jumlah pertemuan sungai, (JM) adalah jumlah semua pertemuan sungai

didalam DAS tersebut. Jumlah ini tidak lain adalah jumlah pangsa

sungai tingkat satu dikurangi satu.

7. Kerapatan-jaringan-kuras, (D) yaitu jumlah panjang sungai semua

tingkat tiap satuan luas DAS.

Penetapan tingkat-tingkat sungai dilakukan dengan cara Strahler (1964) yang

pada dasarnya sebagai berikut :

1. Sungai-sungai paling ujung adalah sungai-sungai tingkat satu.

2. Apabila dua buah sungai dengan tingkat yang sama bertemu akan

terbentuk sungai satu tingkat lebih tinggi.

3. Apabila sebuah sungai dengan suatu tingkat bertemu dengan sungai

lain dengan tingkat yang lebih rendah maka tingkat sungai yang

pertama tidak berubah.

Penetapan parameter-parameter yang disebutkan diatas dapat dilakukan dengan

mudah, namun memerlukan kesabaran dan peta yang digunakan dengan skala 1:

50.000. Untuk itu pengukuran dianjurkan paling tidak dilakukan pengulangan sebanyak

tiga kali, untuk memperoleh pengukuran yang lebih baik.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-67

Page 68: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Dalam pemakaian cara ini masih ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan,

diantaranya sebagai berikut :

Koefisien tampungan dipergunakan untuk menetapkan liku-resesi hidrograf-

satuan yang pada dasarnya dapat didekati dengan persamaan

eksponensial (Van Dam, 1979). Koefisien Tampung, K dirumuskan sebagai

berikut :

K = 0,5617 x A0,1798 x D0,0452 / S0,1446 / SF1,0897

dengan :

SF = faktor sumber

A = luas DAS (km2)

S = landai sungai rerata

K = koefisien tampung (jam)

D = kerapatan jaringan kuras

Sisi naik hidrograf satuan mengikuti persamaan garis lurus, sedangkan sisi

resesi merupakan eksponensial dengan persamaan sebagai berikut :

Qt = Qp .

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-68

TR

TB - 1

Qt=Qp*e^(-t/K)

Qp

Q

t

TB

Gambar 3.18. Sketsa HSS Gama 1

Page 69: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Dalam menetapkan hujan rata-rata DAS, masih perlu mengikuti cara-cara

yang ada. Akan tetapi, apabila dalam praktek analisis tersebut sulit, maka

dapat disarankan untuk menggunakan cara yang disebutkan berikut ini,

dengan mengalikan hujan titik dengan faktor reduksi hujan, sebesar :

B = 1,5518 A–0,1491 N–0,2725 SIM–0,0259 S–0,0733

Penetapan Hujan efektif untuk memperoleh hidrograf dilakukan dengan

menggunakan indeks-infiltrasi atau metode indeks. Untuk memperoleh

indeks ini agak sulit. Untuk ini, dipergunakan pendekatan dengan mengikuti

petunjuk Barnes (1959). Perkiraan dilakukan dengan mempertimbangkan

pengaruh parameter DAS yang secara hidrolik dapat diketahui pengaruhnya

terhadap indeks infiltrasi. Persamaan pendekatannya dipengaruhi fungsi

luas DPS dan frekuensi sumber SN., dirumuskan sebagai berikut :

= 10,4903 – 3,859 . 10-6 . A2 = 1,6985 . 10-13 . (A/SN)4

dimana :

= indeks infiltrasi, dalam mm/jam

A = luas DPS dalam km2

SN = frekuensi sumber, tidak berdimensi

Untuk memperkirakan aliran-dasar dipergunakan persamaan pendekatan

berikut ini. Persamaan ini merupakan pendekatan untuk aliran dasar yang

tetap, dengan memperhatikan pendekatan Kraijenhoff van der Leur (1967)

tentang hidrograf air laut.

Aliran Dasar dapat didekati sebagai fungsi luas DPS dan kerapatan jaringan

sungai yang dirumuskan sebagai berikut :

QB = 0,4751 . A0,6444A D0,9430

Dimana :

QB = aliran dasar (m3/dt)

A = luas DPS (km2)

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-69

Page 70: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

D = kerapatan jaringan sungai (km/km2)

Metode Nakayasu

Hidrograf satuan sintetik metode DR. Nakayasu telah berulang kali diterapkan di

Jawa Timur terutama pada DTA kali Brantas. Hingga saat ini hasilnya cukup

memuaskan. Penggunaan metode ini memerlukan beberapa karakteristik

parameter daerah alirannya sebagai berikut:

1. Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak hidrograf (time of

peak)

2. Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf (time lag)

3. Tenggang waktu hidrograf (time base of hydrograph)

4. Luas daerah tangkapan air

5. Panjang alur sungai utama terpanjang (length of the longest channel)

6. Koefisien pengaliran.

Rumus dari hidrograf satuan Nakayasu adalah :

dengan :

Qp = Debit puncak banjir (m3/det)

Ro = Hujan satuan (mm)

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-70

Gambar 3.19. Sketsa Penetapan WF dan RUA

Page 71: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Tp = Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir

(jam)

T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak

sampai 30% dari debit puncak

A = Luas daerah tangkapan sampai outlet

Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan pendekatan rumus sebagai berikut

:

tr = 0,5 tg sampai tg

tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir

(jam). tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut :

Sungai dengan panjang alur L 15 km :

tg = 0,4 + 0,058 L

Sungai dengan panjang alur L 15 km :

tg =0,21 L0,7

dimana :

tr = Satuan Waktu hujan (jam)

= Parameter hidrograf, untuk

= 2 => Pada daerah pengaliran biasa

=1,5 => Pada bagian naik hydrograf lambat, dan

turun cepat

= 3 => Pada bagian naik hydrograf cepat, turun

lambat

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-71

Page 72: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

1. Pada waktu naik : 0 < t < Tp

dimana,

Q(t) = Limpasan sebelum mencari debit puncak (m3)

t = Waktu (jam)

2. Pada kurva turun (decreasing limb)

a. Selang nilai : 0 t (Tp+T0,3)

b. Selang nilai: (Tp+T0,3) t (Tp + T0,3 + 1,5 T0,3)

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-72

Gambar 3.20. Sketsa HSS Nakayasu

Page 73: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

c. Selang nilai : t > (Tp + T0,3 + 1,5 T0,3)

Rumus tersebut diatas merupakan rumus empiris, maka penerapannya terhadap

suatu daerah aliran harus didahului dengan suatu pemilihan parameter-parameter

yang sesuai yaitu Tp dan , dan pola distribusi hujan agar didapatkan suatu pola

hidrograf yang sesuai dengan hidrograf banjir yang diamati.

Hidrograf banjir dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

dimana :

Qk = Debit Banjir pada jam ke - k

Ui = Ordinat hidrograf satuan (I = 1, 2, 3 .. .n)

Pn = Hujan netto dalam waktu yang berurutan (n = 1,2,..n)

HSS tak berdimensi SCS

Hidrograf tak berdimensi SCS (Soil Conservation Services) adalah hidrograf satuan

sintetis, di mana debit dinyatakan sebagai nisbah debit (q) terhadap debit puncak (qp) dan

waktu dalam nisbah waktu (t) terhadap waktu naik dari hidrograf satuan (Tp). jika debit

puncak dan waktu kelambatan dari suatu durasi hujan efektif diketahui, maka hidrograf

satuan dapat diestimasi dari hidrograf sintetis tak berdimensi untuk suatu DAS.

I. Probable Maximum Flood (PMF)

Debit banjir yang digunakan untuk perhitungan Analisis Keruntuhan Bendungan

(Dam Break Analysis) adalah debit banjir PMF (Probable Maximum Flood) dengan

hujan maximum PMP (Probable Maximum Precipatation) dihitung dengan metode

Hersfield, dimana merupakan debit rancangan terbesar yang diperkirakan berpeluang

sekali terjadi sepanjang eksistensi umur waduk. Sebagai pembanding Konsultan tetap

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-73

Page 74: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

akan menghitung debit banjir PMF metode Isohyet dan memperbandingkannya dengan

debit rancangan kala ulang 10.000 tahunan.

Untuk perhitungan banjir tersebut diambil asumsi-asumsi sebagai berikut :

1. Hujan efektif diperhitungkan terhadap beberapa faktor yaitu faktor reduksi area,

faktor reduksi hujan dan besarnya faktor kehilangan.

2. Debit banjir dihitung dengan menggunakan data hujan (stasiun penakar hujan di

dalam dan di sekitar DAS Waduk Gondang), serta data pengamatan debit (di

sekitar damsite).

3. Dari hasil perhitungan dari metode tersebut yang akan dipakai sebagai dasar

perhitungan Analisis Keruntuhan Bendungan.

Curah Hujan Rancangan

Curah hujan rancangan yang akan digunakan ditentukan berdasarkan hujan

maksimum boleh jadi yang memperhitungkan Faktor Keamanan. Analisis hujan

maximum boleh jadi (PMP) dihitung dengan menggunakan metode Hersfield (Guide

Line for Design Floods, Bina Program Guide Line No : 5) sebagai berikut :

dimana :

XPMP = hujan banjir maximum boleh jadi

X = nilai rata-rata hujan / banjir

K = faktor koefisien Hersfield

S = standard deviasi

Distribusi Hujan

Untuk mentransformasi curah hujan rancangan menjadi debit banjir rancangan

diperlukan besaran distribusi hujan setiap jamnya. Distribusi hujan yang digunakan

berdasarkan data hujan jam-jaman yang tersedia pada lokasi DTA. Sedangkan untuk

lokasi yang tidak mempunyai data hujan jam-jaman, digunakan distribusi hujan yang

dianjurkan seperti pada PSA-007 dengan estimasi durasi hujan 6 jam, 12 jam, dan 16

jam.

Hidrograf Satuan Sintetik Gama - I

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-74

Page 75: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Hidrograf satuan sintetik ini dikembangkan oleh Sri Harto yang diturunkan

berdasarkan teori hidrograf satuan sintetik yang dikemukakan oleh Sherman. Hidrograf

Satuan Sintetik Gama-I merupakan persamaan empirik yang diturunkan dengan

mendasarkan pada parameter-parameter. DPS (Daerah Pengaliran Sungai) terhadap

bentuk dan besaran hidrograf satuan parameter-parameter DPS tersebut yaitu faktor

sumber (SF), frekuensi sumber (SN), faktor lebar (WF), luas relatif (RUA), faktor

simetris (SIM) dan jumlah pertemuan sungai.

Karakteristik hidrograf satuan sintetik Gama-I dapat dillihat pada gambar berikut

di bawah ini :

SKETSA PENETAPAN WF SKETSA PENETAPAN RUA

Satuan hidrograf sintetik Gama-I dibentuk oleh tiga komponen dasar yaitu

waktu naik (TR), debit puncak (QP), waktu dasar (TB) dengan uraian sebagai berikut :

* Waktu naik TR dinyatakan dalam persamaan :

TR = 0,43 (L/100 SF)3 + 1,0665 SIM + 1,2775

dimana :

TR = waktu naik (jam)

L = panjang sungai (km)

SF = faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai

tingkat I dengan panjang sungai semua tingkat.

SIM = faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-75

U = 0,75 L

V = 0,25 L

WU

WL

WF=WU/WL

Gambar 3.21. Sketsa Bentuk DTA

Page 76: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

(WF) dengan luas relatif DAS sebelah hulu (RUA).

WF = faktor lebar yaitu perbandingan antara lebar DPS yang diukur dari

titik di sungai yang berjarak 3/4 L dan lebar DPS yang diukur dari

titik yang berjarak 1/4 L dari tempat pengukuran.

Debit Puncak (QP) dinyatakan dengan rumus :

QP = 0,1836 . A 0,5886 . TR -0,4008 . JN 0,2381

dimana :

QP = Debit Puncak (m3/det)

N = Jumlah Pertemuan Sungai

TR = Waktu naik

* Waktu dasar (TB) dinyatakan dengan rumus :

TB = 27,4132 . TR 0,1457 . S -0,0956 . SN 0,7344 . RUA 0,2574

dimana :

TB = Waktu Dasar

TR = Waktu Naik

S = Landai Sungai Rata-rata

SN = Frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah segmen

sungai-sungai tingkat I dengan jumlah sungai semua tingkat.

RUA = Luas relatif DAS hulu.

* Koefisien Penampungan (K) dinyatakan dengan rumus :

K = 0,5617 . A 0,1798 . S -0,1446 . SF -1,0697 . D 0,0452

dimana :

K = Koefisien penampungan

A = Luas DAS (km2)

S = Landai sungai rata-rata

SF = Faktor Sumber

D = Kerapatan drainase

* Recession Curve

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-76

Page 77: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Qt = Qp . e -(L/K)

dimana :

Qt = Debit pada waktu t (m3/det)

Qp = Debit puncak (m3/det)

t = Waktu dari saat terjadinya debit puncak (jam)

K = Koefisien tampungan.

Hidrograf Banjir Rancangan PMF

Hidrograf banjir PMF dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Qk U Pi

n

i n i

1

1 . ( )

dimana :

Qk = Debit Banjir pada jam ke - k

Ui = Ordinat hidrograf satuan (I = 1, 2, 3 ...... .n)

Pn = Hujan netto dalam waktu yang berurutan (n = 1, 2, 3 ......... n)

Bf = Aliran dasar (base flow)

Untuk perhitungan dengan Metode Gamma I, parameter yang dibutuhkan adalah

luas daerah pengaliran sungai DAS.

J. Analisa Lengkung Kapasitas Waduk

Analisa lengkung kapasitas waduk ditujukan untuk keperluan penelusuran banjir

(hydrograph PMF atau debit dengan kala ulang tertentu) melalui waduk dan spillway

(reservoir flood routing).

Berdasarkan pada data teknis Bendungan Way Rarem, Bendungan Way

Tengkorak, Bendungan Sermo, dan Bendungan Situ Patok, lengkung kapasitas waduk

dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini.

Routing Waduk digunakan untuk mengetahui apakah dengan debit rancangan

PMF, waduk akan mengalami overtopping atau tidak. Jika tidak, maka analisis

terhadap keruntuhan bendungan akan disimulasikan hanya disebabkan oleh piping.

Metode perhitungan routing yang digunakan adalah berdasarkan persamaan:

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-77

Page 78: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Sj+1 – Sj = ((Ij + Ij+1) ∆t – ((Qj + Qj+1)/2)∆t

Dimana :

S = fungsi tampungan

Q = hidrograf outflow

I = hidrograf inflow

∆t = interval durasi

Q = C L H 3/2

Dimana:

Q = debit desain (m3/dt)

C = koefisien debit antara 1,8 – 2.7

L = panjang mercu spillway : 50 m

H = kedalaman muka air (m)

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-78

Gambar 3 - 22 (3/4)LENGKUNG KAPASITAS WADUK WAY RAREM (ANALISIS AWAL)

35

40

45

50

55

1,500 11,500 21,500 31,500 41,500 51,500 61,500 71,500 81,500 91,500 101,500 111,500 121,500

Volume Tampungan (ribu m3)

Elev

asi (

+ m

)

050100150200250300350400450500550600650700750Luas Genangan (Ha)

Volume-AwalLuas-Awal

Gambar 3.22 (1/4)LENGKUNG KAPASITAS WADUK WAY RAREM (ANALISIS AWAL)

Page 79: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Gambar 3 - 22 (4/4)LENGKUNG KAPASITAS WADUK WAY TENGKORAK (ANALISIS AWAL)

94

97

100

103

15 115 215 315 415 515 615

Volume Tampungan (ribu m3)

Elev

asi (

+ m

)1357

Luas Genangan (Ha)

Volume-AwalData VolumeData LuasLuas-Awal

Gambar 3 - 22 (1/4)LENGKUNG KAPASITAS WADUK SERMO (ANALISIS AWAL)

100

105

110

115

120

125

130

135

140

253 5,253 10,253 15,253 20,253 25,253 30,253

Volume Tampungan (ribu m3)

Elev

asi (

+ m

)

2122232425262Luas Genangan (Ha)

Volume-AwalLuas-Awal

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-79

Gambar 3.22 (2/4)LENGKUNG KAPASITAS WADUK WAY TENGKORAK (ANALISIS AWAL)

Gambar 3.22 (3/4)LENGKUNG KAPASITAS WADUK SERMO (ANALISIS AWAL)

Page 80: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Dimana setiap 5 tahun sekali setelah beroperasi, lengkung kapasitas Waduk tersebut

di atas seharusnya dikaji ulang. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya sedimentasi

di dalam waduk yang berakibat berkurangnya volume efektif waduk.

3.2.9 Simulasi Keruntuhan Bendungan

Setelah dilakukan analisis inflow hidrograf ke waduk berdasarkan hujan PMP

sehingga menghasilkan hidrograf PMF, maka dapat dievaluasi apakah banjir tesebut

mengakibatkan overtopping pada puncak bendungan atau tidak. Apabila tidak terjadi

Overtopping, maka analisis terhadap keruntuhan bendungan dilakukan terhadap

Piping, atau simulasi keruntuhan akibat overtopping tetap dapat dilakukan atas asumsi

terjadinya landslide di sekitar waduk atau oleh akibat lainnya seperti adanya sabotase

dan lain-lain.

Selain itu deliniasi terhadap Peta DEM, khususnya di wilayah lembah di hilir

bendungan termasuk dimensi bangunan-bangunan air yang berada di sungai yang

perlu diperhitungkan juga harus dipersiapkan terlebih dahulu. Setelah data-data

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-80

Gambar 3.22 (4/4)LENGKUNG KAPASITAS WADUK SITU PATOK (ANALISIS AWAL)

Gambar 3 - 22 (2/4)LENGKUNG KAPASITAS WADUK SETU PATOK (ANALISIS AWAL)

18

21

24

27

30

33

36

1,200 2,400 3,600 4,800 6,000 7,200 8,400 9,600 10,800 12,000 13,200 14,400 15,600 16,800 18,000

Volume Tampungan (ribu m3)

Elev

asi (

+ m

)

050100150200250300350400450500550600650700750Luas Genangan (Ha)

Volume-AwalLuas-Awal

Gambar 3.22 (4/4)LENGKUNG KAPASITAS WADUK SITU PATOK (ANALISIS AWAL)

Page 81: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

tersebut di atas disiapkan, maka pekerjaan analisis untuk keruntuhan bendungan

dapat mulai dilaksanakan.

Software DBA digunakan untuk membuat hidrograf aliran keluar dari

bendungan dan merouting banjir yang terjadi secara hidrolis di sepanjang lembah hilir

serta menggambarkan peta genangan banjir yang terjadi secara otomatis.

Persamaan dasar yang digunakan dalam model simulasi adalah persamaan

St. Venant yang lengkap untuk aliran unsteady yang dikaitkan dengan persamaan

batas internal (internal boundary equations) sebagai aliran berubah cepat (rapidly

varied flow) lewat bangunan seperti bendung dan jembatan / timbunan yang dapat

berkembang menjadi rekahan yang tergantung pada waktu (time dependent). Juga

digunakan persamaan batas external (external boundary equations) di ujung hulu dan

hilir dari routing reach. Sistem persamaannya diselesaikan dengan metode finite-

difference implisit 4 titik timbang non-linier, disamping itu untuk software DBA

(ZhongXing-HY21) digunakan penyelesaian cara finite element. Alirannya dapat

berupa aliran subkritis maupun superkritis atau berupa kombinasi dari keduanya. Sifat

zat cair dari aliran dapat mengikuti prinsip-prinsip aliran Newton atau bukan

(Newtonian or non Newtonian flow).

Hidrograf ditentukan sebagai masukan berupa deret kala (time series).

Kemungkinan keberadaan bendungan di hilir yang dapat direkahkan oleh banjir,

penyempitan aliran karena adanya jembatan/timbunan, aliran masuk dari anak sungai,

adanya belokan-belokan sungai, tanggul yang terletak di sepanjang sungai hilir, dan

pengaruh pasang-surut muara ditinjau secara baik selama merambatnya gelombang

banjir ke hilir.

A. Rekahan

Sebelum bendungan mengalami keruntuhan total, didahului oleh terjadinya

rekahan (breaching). Rekahan adalah lubang yang terbentuk dalam tubuh bendungan

pada saat runtuh. Sebenarnya mekanisme keruntuhannya tidak begitu dipahami, baik

untuk bendungan urugan tanah maupun bendungan beton. Untuk meramal banjir di

daerah hilir akibat keruntuhan bendungan, biasanya dianggap bahwa bendungan

runtuh secara total dan secara mendadak.

Para peneliti dari gelombang banjir akibat keruntuhan bendungan seperti Ritter

(1892), Schoklitich (1917), Dressler (1954), Stoker (1957) dan Barnes (1969)

menganggap bahwa rekahan tersebut meruntuhkan seluruh tubuh bendungan dan

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-81

Page 82: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

terjadi secara mendadak. Sedangkan peneliti lain seperti Schoklitsch (1917) dan US

Army Corps of Engineers (1960) mengakui perlunya anggapan rekahan sebagian,

dibandingkan rekahan total, tetapi mereka masih menganggap bahwa rekahan terjadi

secara mendadak. Asumsi rekahan total dan kejut ini digunakan dengan alasan untuk

memudahkan bila diterapkan teknik matematika untuk menganalisis gelombang banjir

dari keruntuhan bendungan. Asumsi asumsi ini agak cocok bila dipakai untuk

bendungan beton pelengkung (concrete arch dam). Sedangkan untuk bendungan

urugan maupun concrete gravity dam kurang cocok.

Rekahan tersebut ada dua jenis, yaitu:

- Rekahan karena overtopping

- Rekahan karena piping

a. Rekahan Karena Overtopping

Rekahan karena overtopping disimulasikan berupa rekahan yang berbentuk segi

empat, segitiga atau trapesium. Rekahan tersebut makin lama makin membesar

dengan waktu secara progresip dari puncak bendungan ke bawah sampai mencapai

pondasi. Aliran yang melewati rekahan diperhitungkan sebagai aliran melewati

ambang lebar (broad crested Bendung).

Bentuk dari terminal breach ditentukan oleh parameter (Z) yang

mengidentifikasikan lereng samping dari rekahan, yaitu lereng vertikal : Z horisontal,

dan parameter (b) yang disebut lebar terminal dari dasar rekahan.

Rentangan (range) dari nilai parameter lereng samping Z adalah : 0<Z<2. Nilai

ini tergantung dari lereng alam dari material yang dipadatkan dan dibasahi. Bentuk-

bentuk segipanjang, segitiga atau trapesium ditentukan dengan menggunakan

kombinasi nilai-nilai Z dan b.

Lebar terminal b dihubungkan dengan lebar rata-rata dari rekahan b, kedalaman

rekahan h dan lereng rekahan (Z), sedemikian rupa sehingga :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-82

Page 83: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

b = bbar - 0,5 Zhd ..........................(1)

Seperti terlihat pada gambar di atas, rekahan tersebut dimulai pada satu titik

kemudian membesar dengan kecepatan linier atau nonlinier dalam selang waktu

keruntuhan hingga tercapai lebar terminal b dan dasar rekahan tererosi hingga

elevasi h bm yang biasanya merupakan elevasi dasar waduk atau outlet channel.

Jika < 1 menit, lebar rekahan dimulai dengan nilai b bukan dari nol. Ini lebih

menunjukkan peristiwa kehancuran karena ambruk (collapse failure) dari pada

kehancuran karena erosi.

Elevasi dasar rekahan di simulasikan sebagai fungsi dari waktu () menurut

hubungan berikut ini :

hb = hd - (hd - hbm) (tb / ) untuk 0 < tb < ................(2)

dimana :

hbm = elevasi final dari dasar rekahan

tb = waktu sejak mulai terjadi rekahan

= pangkat yang menunjukkan non linieritas yang besarnya antara

1 sampai 4

kalau = 1 adalah kecepatan rekahan linier

kalau = 2 adalah kecepatan rekahan nonlinier kuadratik.

biasanya digunakan = 1

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-83

b

hbmhb

ho

Dam Breach

h1

2

Gambar 3.23. Tampak depan dari formasi perubahan ukuran rekahan yang terjadi pada tubuh dam akibat overtopping

Page 84: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Lebar dasar kejut (b) dari rekahan di berikan sebagai hubungan sebagai berikut :

bi = b (tb / ) untuk 0 < tb < .....................................(3)

bi= lebar kejut rekahan

Selama simulasi dari keruntuhan bendungan, formasi rekahan yang

sesungguhnya dimulai bila elevasi muka air (h) melebihi suatu nilai hf. Gambaran ini

memungkinkan adanya simulasi suatu pelimpahan (overtopping) dari suatu

bendungan dimana rekahannya tidak akan terbentuk sampai aliran airnya cukup besar

melewati mercu bendungan.

b. Rekahan Karena Piping

Keruntuhan bendungan akibat piping dapat disimulasikan dengan menentukan

elevasi sumbu dari pipingnya. Ini disimulasikan sebagai rekahan lubang (orifice)

berbentuk segipanjang.

Rekahan karena piping disimulasikan sebagai lubang (orifice), rekahan

berbentuk segiempat yang tumbuh dengan waktu keatas dan kebawah dalam tubuh

bendungan. Aliran kejut (instanteneous flow) lewat rekahan tersebut dihitung dengan

rumus orifice atau sebagai ambang lebar, tergantung pada posisi muka air di waduk

dan puncak dari orifice.

Debit yang keluar dari kedua macam rekahan tersebut merupakan hidrograf

banjir yang terjadi pada penampang melintang 0 (permulaan), yang harus ditelusur ke

hilir di sepanjang lembah sungai dengan metode “Unsteady flow”.

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-84

b

hbm

hf

hd

Gambar 3.24. Tampak depan dari formasi berubahan ukuran rekahan yang terjadi pada tubuh dam akibat piping

Page 85: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

c. Pemeriksaan Parameter Rekahan

Cara lain untuk memeriksa kebenaran parameter rekahan (bbar dan ) adalah

dengan menggunakan persamaan berikut ini :

Qp* = 370 ( Vr hd )0,5 ............................................. (4)

Qp = 3,1 bbar [C / +C/(hd)0,5]3 ........................... (5)

C = 23,4 As / bbar .............................................. (6)

dimana :

Qp* = debit puncak yang diharapkan lewat rekahan.

Qp = debit puncak yang diharapkan lewat rekahan.

Vr = volume waduk.

As = luas permukaan waduk pada puncak bendungan.

Persamaan (4) dikembangkan oleh Hagen (1962) untuk data historik bagi 14

keruntuhan bendungan dan menghasilkan lingkungan maksimum dari seluruh 14 buah

debit yang diamati.

Rumus (5) dan (6) dibuat Fread (1981) dan digunakan oleh National Weather

Service dalam Simplified Dam Break Model, SMP DBK (Wetmore dan Fread, 1984).

Setelah dipilih bbar dan , persamaan (5) dapat dipakai untuk menghitung Qp yang

kemudian dapat dibandingkan dengan Qp*, maka bbar kecil dan/atau terlalu besar.

Fread menemukan bahwa Persamaan (6) merupakan “over estimasi” debit

puncak untuk tiap kegagalan dari 21 bendungan, (termasuk 14 kegagalan yang

disebutkan sebelumnya, rata-rata 130%.

d. Algoritma Komputasi Hidrolik

Untuk penelusuran gelombang banjir akibat keruntuhan bendungan digunakan

metode yang dikenal sebagai metode gelombang dinamik. Metode ini didasarkan atas

aliran tidak permanen yang digunakan untuk menelusur hidrograf banjir akibat

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-85

Page 86: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

keruntuhan bendungan. Metode ini didasarkan atas versi yang diperluas dari

persamaan-persamaan aslinya yang dibuat oleh Barre de Saint-Venant (1871). Koefisien satu-satunya yang harus diekstrapolasikan adalah koefisien tahanan aliran.

Koefisien tersebut bukanlah parameter sensitif dalam mempengaruhi perubahan

dari gelombang banjir akibat perambatannya melewati lembah di hilir bendungan.

Persamaan Saint de Venant setelah ditambah dengan efek

pelebaran/penyempitan, channel sinuosity (perbandingan panjang palung terhadap

panjang flood plain) dan kekekalan massa menjadi sebagai berikut :

dan kekekalan momentum sebagai berikut :

Dimana :

h = elevasi muka air

A = penampang melintang aktif dari aliran

Ao = penampang aliran tidak aktif dari aliran (off cannal)

s = faktor sinuosity yang beragam dengan h

x = jarak memanjang menurut lembah

t = waktu

q = aliran masuk atau aliran keluar samping per jarak panjang menurut

sepanjang lembah (aliran masuk positif dan aliran keluar negatif)

= koefisien momentum untuk distribusi kecepatan

g = percepatan gravitasi

Sf = lereng gesekan batas

Se = lereng pelebaran-penyempitan

Dalam persamaan momentum effect dari aliran samping yang masuk atau keluar

secara tegak lurus terhadap arah aliran pokok:

1. Aliran masuk samping :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-86

Page 87: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

L’ = 0

2. Aliran keluar rembesan samping :

L’ = 0,5qQ/A

3. Bulk lateral outflow

L’ = qQ/A

Lereng gesekan batas (Sf) dalam persamaan (8) dihitung dari persamaan

Manning untuk aliran uniform dan persamaan :

Sf = (n2 Q Q) / (2.21A2R4/3) = Q Q/K2

dimana :

n = koefisien manning untuk tahanan gesekan

R = radius hidrolika

K = faktor conveyance (angkut)

Faktor conveyance K dihitung sebagai berikut :

Kl = (1.49 / nl)Al Rl^(2/3)

Kc = (1,49 Ac Rc 2/3) (nc

(2/3)

Kr = (1,49 / nr) Ar Rr 2/3

K = Kl + Kc + Kr

dalam mana indeks l dan r menunjukkan flood plain kiri channel dan flood plain

kanan. Faktor sinuosity’s merupakan perbandingan bobot (weighted ratio) dari jarak

sepanjang flood plain. Ini beragam dengan kedalaman aliran menurut hubungan

berikut ini :

=

= 1.06 bila karakteristik flood plain tidak ditentukan dan penampang

totalnya diperlakukan sebagai penampang komposit.

Suku Se ditentukan sebagai berikut :

Se = (kce (Q/A)2 / 2g x)

kce = koefisien pengembangan penyusutan yang bergerak dari

0 1 (+ jika penyusutan dan - kalau pengembangan)

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-87

Page 88: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

(Q/A)2 = perbedaan dalam suku (Q/A)2 pada dua buah penampang yang

berdekatan berjarak x.

Diberlakuan ketentuan dalam DAMBRK untuk mengubah (secara otomatis)

kontraksi terhadap koefisien perluasan dan sebaliknya, jika perubahan arah aliran

dari hilir ke hulu di kasus mana nilai yang dihitung, negatif. Koefisien

perluasan/kontraksi (Kce) sementara diubah ke kn untuk aliran kebalikannya

dengan menggunakan hubungan sebagai berikut:

Kn = - Kce

Dimana :

= 3 jika Kce > 0

= jika Kce > 0

e. Teknik Pemecahan Persamaan St. Venant

1. MODEL MATEMATIS

Model mathematis persamaan Saint de Venant untuk aliran ”unsteady flow”

pada saluran terbuka adalah sebagai berikut :

Persamaan kekekalan massa

...................................(1)

Persamaan kekekalan momentum

.... ...................................

.(2)

dimana : y = elevasi muka air

A = penampang melintang aktif dari aliran

Q = debit aliran

x = jarak memanjang menurut lembah

t = waktu

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-88

Page 89: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

= koefisien momentum untuk distribusi kecepatan

g = percepatan gravitasi

K = Conveyance (daya angkut sungai/saluran)

K = ............................................ .....(3)

n = koefisien kekasaran Manning

R = jari-jari hidrolis

Persamaan (1) dapat dirubah menjadi :

Jika ....................................................(4)

Maka persamaan kekekalan massa menjadi :

...................................................................(5)

dimana : = lebar sungai/saluran bagian atas

Persamaan (2) dapat dirubah menjadi :

Jika .. ....(6)

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-89

Page 90: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Maka persamaan kekekalan momentum menjadi :

…..................(7)

2. METODE BEDA HINGGA (FINITE FIFFERENCE)

Known Q, y

t = waktu 1/2 1/2 Unknown Q, y

N+1 Faktor pembobot

Δt

N

Δx

J J+1 (X = Jarak)

Persamaan (5) dapat dirubah menjadi : F(I)=E1+E2=0

......(8)

..........(9)

Jika F(I) = 0 adalah persamaan kekelan massa, maka :

F(I)= +

...................(10)

Persamaan (7) dapat dirubah menjadi : F(I+1)=G1+G2+G3+G4+G5=0, dimana :

....................(11)

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-90

1 10

Gambar 3.25. Skema Preismann

Page 91: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

......(12)

..(13)

………...(14)

............................................................ ...........(15)

Maka :

F(I) = E1+E2=0 ......................................................... ..............(16)

F(I+1) = G1+G2+G3+G4+G5=0

.....................................................(17)

Persamaan F(I) dan F(I+1) merupakan persamaan non-linier dengan 4 bilangan yang

tidak diketahui, yaitu :

Dimana : = Debit pada section ke-J pada waktu ke- N+1

= Debit pada section ke-J+1, pada waktu ke N+1

= Elevasi muka air pada section ke-J, pada waktu ke N+1

= Elevasi muka air pada section ke-J+1, pada waktu ke N+1

3. KONDISI BATAS ATAS DAN BATAS BAWAH

Sehubungan hanya terdapat 2 persamaan dengan 4 bilangan tidak diketahui

(anu), maka untuk memecahkan persoalan tersebut diperlukan 2 persamaan

tambahan, yaitu :

a. Kondisi batas atas (upper boundary condition), yang merupakan hydrograph inflow

PMF atau Q=f(t), yang menyebabkan keruntuhan bendungan (sejak terjadi

rekahan sampai kehancuran total).

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-91

Page 92: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

b. Kondisi batas bawah (lower boundary condition), merupakan channel control

control atau rating curve H=f(Q), tinggi gelombang pasang di muara sungai,

bangunan struktur lanilla, misalnya tanggul, jalan kereta api, bukit, dan lain-lain

tergantung sampai batas mana banjir yang ditimbulkan oleh keruntuhan

bendungan terjadi.

Dengan tambahan dua persamaan di atas, maka persoalan tersebut dapat

diselesaikan secara numerik. Dengan kata lain jika terdapat sebanyak M buah cross

section maka akan terdapat (2M-2) persamaan dengan 2M bilangan tidak diketahui,

dimana untuk memecahkan persoalan tersebut diperlukan 2 persamaan tambahan

yang berupa hydrograph PMF Q=f(t) di bagian hulu (section ke-0) dan tinggi

gelombang pasang yM=C, control channel, dan lain-lain di bagian hilir (section ke-M),

dimana batas banjir diperkirakan terjadi.

4. ANALISIS NUMERIK (METODE NEWTON-RAPHSON)

Setelah didapat sebanyak 2M bilangan tidak diketahui berupa debit aliran (Q)

dan elevasi muka air (y) dalam 2M persamaan, maka selanjutnya untuk mendapatkan

jawabannya digunakan metode Newton-Raphson yang diilustrasikan sebagai berikut

di bawah ini :

Jika diberikan vektor nilai awal : ,

maka akan terdapat vektor galat :

Sehingga persamaan di atas dapat dirubah menjadi :

Dengan menggunakan Teori Ekspansi Deret Taylor, dimana :

f (m + h) = f(m) + h.f’(m) , yang mana

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-92

Page 93: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

f’(m) = turunan pertama dari fungsi f(m)

maka persamaan di atas dapat dirubah menjadi berikut di bawah ini :

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-93

Page 94: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Atau dapat disusun menjadi :

Persamaan di atas selanjutnya dapat dirubah menjadi bentuk Matriks Jacobi yang bersifat banded sebagai berikut :

Selanjutnya dilakukan iterasi sampai didapat nilai ABS(ε) yang cukup kecil (memenuhi

syarat konvergensi).

Jika ABS(ε) telah memenuhi syarat (0,01< ε <0,1), maka :

dst

3.2.10 Pemetaan Genangan Banjir

Setelah dilakukan penelusuran banjir terhadap hydrograph outflow

keruntuhan bendungan ke arah hilir waduk dengan menggunakan software

ZhongXing-Hy21 yang secara numerik telah dijelaskan sebelumnya, maka output yang

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-94

=

Matriks Jacobi (A) Vektor Galat (b) Vektor c

Page 95: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

didapat adalah hydrograph banjir di setiap lokasi terpilih di wilayah lembah hilir waduk

yang terdiri dari informasi-informasi sebagai berikut :

Hydrograph banjir di lokasi terpilih Q = f(t) m3/dt

Elevasi banjir di lokasi terpilih H = f(t) m

Waktu perambatan banjir di lokasi terpilih (t)

Waktu surutnya banjir di setiap lokasi terpilih (t)

Kecepatan banjir di setiap lokasi terpilih (v)

Peta genangan banjir di seluruh wilayah yang terdampak.

Dimana output peta genangan tersebut di atas jika dioverlaykan dengan peta

wilayah administrasi yang mengcover wilayah pemukiman dan juga mengcover peta

infrastruktur dan fasilitas umum, maka akan didapatkan klasifikasi bahaya banjir

keruntuhan bendungan.

3.2.11 Penentuan Klasifikasi Tingkat Bahaya

Setelah penggambaran peta banjir yang dioverlaykan dengan peta

permukiman dan peta prasarana umum, selanjutnya dilakukan pengklasifikasian

terhadap tingkat bahaya banjir yang terjadi dengan menggunakan acuan Surat

Keputusan Dirjen SDA Nomor 257/KPTS/D/2011, tentang Pedoman Klasifikasi

Bahaya Bendungan yang dideskripsikan sebagai berikut di bawah ini.

Tabel III-12. Klasifikasi Bahaya.Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen SDA PU, tahun 2011.

Jumlah Keluarga Kumulatif

Jarak Bagian Hilir dari Bendungan (km)

0 – 5 0 – 10 0 – 20 0 – 30 0 - >30

0 1 1 1 1 1

1 – 20 3 3 2 2 2

21 – 200 4 4 4 3 3

>200 4 4 4 4 4

Keterangan :Klasifikasi Bahaya = 1 : bahaya rendah

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-95

Page 96: 6. III.pendekatan Dan Metodologi

Laporan Pendahuluan

Klasifikasi Bahaya = 2 : bahaya sedang

Klasifikasi Bahaya = 3 : bahaya tinggi

Klasifikasi Bahaya = 4 : bahaya sangat tinggi

RTD Bend. Way Rarem, Way Tengkorak, Sermo dan Situ Patok III-96