12

6 2. TINJAUAN PUSTAKA Rastrelliger kanagurta Cuvier …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/52987/2/BAB II... · sebagian tersembunyi, tertutup oleh tulang lakrimal yang

  • Upload
    buicong

  • View
    227

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Biologis dan Ekologis Ikan Kembung Lelaki(Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817)

Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) menurut

taksonominya diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin 1984):

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Subordo : Scombroidea

Famili : Scombridae

Genus : Rastrelliger

Spesies : Rastrelliger kanagurta (Cuvier 1817)

Gambar 2. Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817)(Dokumentasi pribadi)

Ikan kembung (Rastrelliger spp) dapat dibedakan menjadi 3 spesies yaitu

Rastrelliger kanagurta, Rastrelliger brachysoma, dan Rastrelliger neglectus

(Collete & Nauen, 1983). Sedangkan ikan kembung di Teluk Jakarta terdiri dari 2

7

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan

kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(Sujastani 1974). Ikan kembung

lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan periode pemijahan di Teluk

Jakarta dan Laut Jawa terjadi dalam dua periode yaitu musim timur mulai Juni,

Juli, hingga Agustus dan periode musim barat pada Februari hingga April

(Burhanuddin 1984).

Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) memiliki ciri-ciri morfologi

sebagai berikut : kepala lebih panjang dibandingkan dengan tebal tubuh, rahang

sebagian tersembunyi, tertutup oleh tulang lakrimal yang memanjang hingga tepi

rongga mata, bukaan insang sangat panjang, terlihat ketika mulut sedang terbuka,

memiliki kantung renang, memiliki sirip punggung pertama berjari-jari keras IX-

XI; sirip punggung pertama berjari-jari lemah 11-13+5; finlet pada sirip anal 11-

12+5; serta finlet pada sirip dada 19-22; V, 1+5.

Ikan kembung lelaki dalam keadaan hidup berwarna keemasan pada

bagian punggung, sedangkan dalam keadaan mati berwarna garis kegelapan pada

bagian punggung dan tanda hitam dekat batas bawah sirip dada; sirip punggung

berwarna kekuningan dengan corak hitam, sirip ekor dan sirip dada berwarna

kekuningan. Daerah penyebaran ikan kembung lelaki di perairan pantai Indonesia

dengan konsentrasi terbesar di perairan Laut Jawa, Kalimantan, Sumatera Barat,

dan Selat Malaka.

Ikan kembung lelaki hidup di perairan pantai dan tersebar di wilayah

Indo-Pasifik barat dengan suhu perairan kurang lebih 170C. Ikan kembung lelaki

dewasa banyak ditemukan di lepas pantai dan pesisir yang dalam. Ikan ini

memakan plankton dan biasa ditemukan bergerombol di kolom perairan.

Ikan kembung lelaki cenderung berenang mendekati permukaan air pada

waktu malam hari dan pada siang hari turun ke lapisan yang lebih dalam. Gerakan

vertikal ini dipengaruhi oleh gerakan harian plankton dan mengikuti perubahan

suhu, faktor hidrografis dan salinitas air laut . Ikan kembung lelaki biasanya dijual

dalam bentuk segar atau diproses menjadi ikan pindang dan ikan asin seperti peda

yang lebih tahan lama. Ikan kembung lelaki yang masih kecil juga sering

digunakan sebagai umpan hidup untuk memancing cakalang (Widyantoro 2009).

8

2.2. Alat Tangkap Ikan Kembung Lelaki

Alat tangkap ikan berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1985

merupakan sarana dan perlengkapan atau benda lainnya yang dipergunakan untuk

menangkap ikan. Ikan kembung lelaki dapat tertangkap menggunakan alat

tangkap pukat udang (high opening bottomtrawl), pancing (handline), jaring

insang (gill net), jaring angkat (lift net) dan pukat cincin (purse seine) (Moazzam

et al. 2005).

Berdasarkan data yang diperoleh, payang merupakan alat tangkap yang

dominan digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan kembung lelaki di PPI

Kamal Muara (Instalasi Riset Perikanan Teluk PPI Kamal Muara, 2010). Alat

tangkap jaring payang merupakan pukat kantong yang digunakan untuk

menangkap ikan pelagis (pelagic fish).

Menurut Monintja (1991) in Irnawati (2004), jaring pada payang terdiri

dari sebuah kantong berukuran besar, dua buah sayap, dua tali ris diujung sayap

jaring, tali selambar, serta pelampung dan pemberat. Kantong merupakan satu

kesatuan yang berbentuk menyerupai bangun kerucut, semakin ke arah ujung

kantong jumlah mata jaring semakin berkurang dan ukuran mata jaringnya

semakin kecil. Ikan hasil tangkapan akan terkumpul di bagian kantong ini.

Semakin kecil ukuran mata jaring maka akan semakin kecil kemungkinan ikan

meloloskan diri. Bentuk dan bagian-bagian alat tangkap payang dapat dilihat pada

Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk dan bagian-bagian pada alat tangkap payang(auxis.tripod.com/fishing.htm)

Spesifikasi alat tangkap payang yang digunakan oleh nelayan di PPI

Kamal Muara adalah jaring berukuran panjang ±16 m dengan lebar ±10 m,

9

ukuran mata jaring bagian kantong mencapai 1 inchi – 3 inchi dan ukuran mata

jaring bagian sayap 8 inchi, serta tali ris berjenis marlon pada bagian sayap

sepanjang ±8 m. Jenis kapal yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini

adalah perahu motor dengan ukuran 5-6 GT.

2.3. Hubungan Panjang Bobot

Dalam perhitungan untuk menduga suatu pertumbuhan terdapat dua model

yang dapat digunakan yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model

yang berhubungan dengan panjang (Effendie 1979). Model-model tersebut

menggunakan persamaan matematik untuk menggambarkan suatu pertumbuhan.

Analisis pola pertumbuhan menggunakan data panjang bobot. Persamaan

hubungan panjang bobot ikan yang dihasilkan dari perhitungan dimanfaatkan

untuk menjelaskan pola pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap sebagai suatu

fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari

panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga

bobot melalui panjang (Effendie 1979).

Effendie (2002) menjelaskan bahwa jika nilai panjang dan bobot diplotkan

dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb. Hasil analisis

hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b) yaitu harga

pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memiliki pola

pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan

pertambahan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik

(b≠3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pola

pertumbuhan allometrik positif (b>3) menyatakan pertambahan bobot lebih cepat

dibandingkan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan allometrik negatif

(b<3) menyatakan pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan

bobot.

2.4. Sebaran Frekuensi Panjang

Dalam melakukan pendugaan stok suatu spesies ikan digunakan masukan

berupa data komposisi umur. Menurut Sparre & Venema (1999) in Ruth (2011),

10

bagian tubuh ikan berupa sisik dan otolith pada bagian kepala ikan memiliki

lingkaran-lingkaran tahunan yang digunakan sebagai metode untuk menghitung

data komposisi umur pada perairan beriklim sedang. Lingkaran yang terbentuk

pada sisik dan otolith pada ikan disebabkan oleh fluktuasi yang kuat dalam

berbagai kondisi lingkungan perairan dari musim panas ke musim dingin serta

sebaliknya.

Tujuan analisis data berdasarkan sidik frekuensi panjang digunakan untuk

menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis

tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang

kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999 in Ruth

2011).

Menurut Pauly (1984), fungsi sidik frekuensi panjang adalah menentukan

umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur

kompleks. Setelah komposisi umur diketahui melalui sidik frekuensi panjang,

selanjutnya parameter pertumbuhan dapat ditentukan dengan metode estimasi

yang sesuai. Metode berbasis panjang selain digunakan untuk menduga parameter

pertumbuhan juga dapat digunakan unruk menduga mortalitas total dari hasil

tangkapan yang dilinierkan (King 1995).

2.5. Pertumbuhan

Effendie (2002) menyatakan pertumbuhan suatu individu merupakan

pertambahan bobot atau panjang dalam satuan waktu, sedangkan pertumbuhan

dalam suatu populasi dinyatakan dengan penambahan jumlah individu. Namun

jika ditelaah lebih lanjut, pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks

yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang selanjutnya dibagi menjadi dua bagian

besar yaitu faktor dalam dan faktor luar.. Faktor dalam umumnya adalah faktor

yang sulit dikontrol, antara lain keturunan, parasit, dan penyakit. Sedangkan

faktor luar yang paling mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu

perairan.

Pada perairan tropis, makanan merupakan faktor yang lebih penting

daripada suhu perairan (Effendie 2002). Ada beberapa metode yang umum

digunakan untuk menduga parameter-parameter pertumbuhan (K=koefisien

11

pertumbuhan; L∞ = panjang asimtotik; t0 = umur ikan ketika panjangnya sama

dengan nol), yaitu plot Gulland & Holt, plot Ford Walford, metode Chapman, dan

plot von Bertalanffy.

Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan penentuan ukuran

badan sebagai suatu fungsi umur (Ruth 2011). Umur secara teoritis ikan pada saat

panjang sama dengan nol, dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan

empiris Pauly (Pauly 1983 in Lelono 2007). Menurut Ambarini (1997) persamaan

pertumbuhan ikan kembung lelaki di Teluk Jakarta Lt = 27,5 (1-e 0,53(t-0,32)). Nilai

b (koefisien regresi) yang didapat sebesar 2,3221. Nilai ini lebih kecil

dibandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Laut Jawa sebesar 3,193.

Faktor yang mempengaruhi diantaranya faktor lingkungan seperti suhu perairan.

2.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Banyak faktor yang berperan di suatu lingkungan perairan sehingga

menyebabkan berkurangnya kesempatan hidup individu ikan dalam suatu

populasi. Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan

mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z)

adalah hasil penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas

alami (M) (King 1995).

Mortalitas alami merupakan mortalitas yang disebabkan oleh pemangsaan,

penyakit, stress, pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999).

Menurut Beverton & Holt (1957), predasi merupakan faktor eksternal yang umum

sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan

nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy, yaitu K (koefisien pertumbuhan)

dan L∞ (panjang maksimum teoritis suatu jenis ikan). Ikan yang pertumbuhannya

cepat (nilai koefisien pertumbuhan (K) tinggi) memiliki laju mortalitas alami (M)

yang tinggi dan sebaliknya. Mortalitas alami berhubungan dengan L∞, karena

pemangsa bagi ikan berukuran besar lebih sedikit dari ikan kecil yang lebih

mudah dimangsa jenis ikan lain. Menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema

(1999), berdasarkan penelitiannya terhadap 175 stok ikan yang berbeda, faktor

lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain

faktor panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan. Sedangkan mortalitas

12

penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas

penangkapan oleh manusia (Sparre & Venema 1999).

Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur

yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Oleh karena itu laju eksploitasi

juga dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan

jumlah total ikan yang mati karena semua faktor, baik faktor alami maupun

faktor penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga

bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan

(F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama

dengan 0,5. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu

diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian

stok ikan (King 1995).

2.7. Model Surplus Produksi

Model surplus produksi didasarkan pada asumsi bahwa CPUE merupakan

fungsi dari f, baik bersifat linear seperti pada model Schaefer maupun bersifat

eksponensial seperti pada model Fox. Dalam model surplus produksi Schaefer

mengasumsikan bahwa kenaikan bersih biomassa adalah fungsi dari besarnya

populasi (Atmadja et al. 2003).

Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan

tingkat upaya optimum (biasa disebut fMSY atau effort MSY), yaitu suatu

upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari

tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut

hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY)

(Sparre & Venema 1999). Dari model ini dapat diperoleh estimasi besarnya

kelimpahan (biomassa) dan estimasi potensi dari suatu jenis atau kelompok

jenis (species group) sumberdaya ikan (Widodo & Nurhakim 1998).

Pada kondisi dimana perikanan tangkap berkembang secara bertahap,

populasi ikan membutuhkan waktu penyesuaian terhadap tekanan alat tangkap

yang semakin bertambah. Periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

keseimbangan tidak pernah diketahui. Hasil penelitian terakhir mendapatkan

bahwa banyak stok ikan sudah mengalami penurunan secara terus menerus sejak

13

pertama kali ditangkap, dan populasi ikan berkurang 80% dalam 15 tahun sejak

pertama kali dieksploitasi (Myers & Worm, 2003 in Wiadnya et al. 2009).

Implikasinya adalah bahwa banyak stok populasi ikan yang tidak pernah

mencapai kondisi keseimbangan.

Model surplus produksi merupakan model yang sangat sederhana dengan

biaya yang relatif murah (Widodo & Nurhakim 1998). Model ini dikatakan

sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak

perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu

penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau

produksi yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan, dan upaya

penangkapan (Sparre & Venema 1999).

Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam

penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan

dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang

tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus

menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus

dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005).

Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model surplus produksi banyak

digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis.

Model surplus produksi dapat diterapkan bila data hasil tangkapan

total (berdasarkan spesies), hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit

effort/CPUE) atau per spesies, atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya

penangkapannya dalam beberapa tahun tersedia (Sparre & Venema 1999).

Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang

benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal amat sulit ditentukan.

Oleh sebab itu penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan

didukung dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan

menggunakan beberapa metode lain. Model ini dapat dipergunakan dalam

menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, udang dan krustasea

lainnya, serta moluska (Widodo & Nurhakim 1998).

Persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai

berikut (Sparre & Venema 1999):

14

(1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya

tangkap relatif

(2) Distribusi ikan menyebar merata

(3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan

tangkap yang seragam.

Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi menurut Sparre

&Venema (1999) adalah :

(1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium

Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah sama

dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu)

ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.

(2) Asumsi biologi

Alasan biologi yang mendukung model surplus produksi telah

dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema

(1999) sebagai berikut :

a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang,

dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang

lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan

meningkatkan jumlah rekrutmen.

b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan

menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil.

Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh

makanan lebih sedikit; dengan demikian dalam fraksi yang lebih

besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup, dan

dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan

c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat

kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan

stok yang telah dieksploitasi

(3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap

Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas

penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini

tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya

15

penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas

penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih

adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.

2.8. Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan

Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan

memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin secara sumberdaya. Hal ini

dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Sehubungan

dengan hal itu terdapat analisis Total Allowable Catch (TAC) atau jumlah

tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dan Maximum Sustainable Yield (MSY)

atau jumlah maksimum tangkapan lestari (Poernomo 2009).

Analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan

yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC) dan tingkat pemanfaatan

sumberdaya ikan (TP). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai

tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) suatu

sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan

atau metode (Boer & Aziz 1995). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan

(JTB/TAC) adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (MSY).

Akan tetapi manajemen perikanan menganut azas kehati-hatian

(Precautionary approach), maka TAC ditetapkan sebesar 80% dari potensi

tersebut (Atmaji 2007).

2.9. Pengelolaan Perikanan

Menurut Boer & Aziz (2007), pengelolaan sumberdaya perikanan

bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan

pangan, bahan baku industri, penghasil devisa serta mengetahui porsi optimum

pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan. Selain itu pengelola perikanan

memiliki tugas untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan

berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Pendekatan yang umum digunakan

dalam studi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah pendekatan struktural

atau analitik yaitu pendekatan dengan cara menjelaskan sistem sumberdaya

16

perikanan melalui komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut.

Komponen-komponen tersebut adalah rekrutmen, pertumbuhan dan mortalitas.

Pendekatan secara struktural cukup ideal namun berbiaya termahal

serta membutuhkan waktu yang cukup lama, dimana untuk dapat memahami

setiap komponen diperlukan penelitian khusus yang beragam, mulai dari

aspek biologi hingga aplikasi model-model kuantitatif sebagai alat bantu

studi. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan global yang menjelaskan

sistem sumberdaya perikanan tanpa memperhatikan komponen yang

membentuknya, melainkan berdasarkan data maupun informasi yang paling

mudah dikumpulkan, seperti data tangkapan, upaya tangkap, produksi dan

nilai produksi serta informasi lain yang diperoleh melalui sistem pelaporan

kegiatan armada perikanan di pelabuhan, tempat pelelangan ikan atau tempat lain

yang telah ditentukan (Boer & Aziz 2007).

Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi

yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource

conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations)

dan pengayaan (enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan

sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo & Suadi

2002).

Dalam pengelolaan perikanan sangat sulit untuk mengatur dan

merubah kondisi yang telah ada sehingga upaya yang mungkin dilakukan

adalah hanya berupa pembatasan seperti tidak mengijinkan perahu penangkap

baru yang akan masuk ke perairan serta membatasi jumlah tangkapan

nelayan tanpa mengurangi jumlah perahu nelayan yang telah ada saat ini.

Menurut Widodo & Suadi (2006), proses penipisan stok sering dibarengi

dengan lima kombinasi yaitu penurunan produktivitas perikanan atau hasil

tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), penurunan hasil tangkapan

total yang didaratkan, penurunan bobot rata-rata ikan, perubahan dalam struktur

umur populasi ikan (ukuran, umur), serta perubahan komposisi spesies ikan

(ekologi perikanan).

Pengelolaan perikanan harus ditentukan melalui beberapa tahap

diantaranya tahap awal, saat produksi ikan masih berada di bawah nilai

17

tangkapan maksimum lestari (MSY), maka kebijakan harus ditujukan terutama

untuk mendorong perkembangan perikanan. Setelah batas kemampuan (potensi,

daya dukung) dari stok ikan telah tercapai (MSY), laju perkembangan

penangkapan ikan mulai dikurangi. Selanjutnya ketika nilai tangkapan berada di

atas ambang nilai MSY, semua kebijakan akan lebih bersifat sebagai usaha

pembatasan (Widodo & Suadi 2006).