5_Isi Jilid I

Embed Size (px)

Citation preview

PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN SEHAT DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Fachrur Rozi dan Ruly Krisdiana Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang

ABSTRAKKetahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati. Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur dan pelaksanaannya bulan Juli-September 2005. Jumlah responden total adalah 100 orang dengan distribusi secara proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40% produsen (petani), 10% pedagang, dan 10% pengolah (industri). Analisis data disajikan dalam bentuk grafis dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan lebih 85% dari responden menyatakan ubijalar ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19) lebih baik untuk atribut rasa manisnya dibanding ubijalar yang sudah ada di pasaran. Sedang atribut warna ungu, mencapai hampir 80% memberikan respon pada ketertarikan warnanya. Dari segi produktivitas hasil, lebih dari separuh jumlah responden produsen menyatakan ubijalar ungu mempunyai produktivitas lebih baik dari ubi yang ada di pasaran. Perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar Rp 200-350 lebih tinggi dari harga ubijalar biasa, Demikian pula, produsen memberikan perbedaan harga berkisar Rp 190-270. Manfaat ekonomi atau keuntungan mengusahakan ubijalar ungu sangat menarik dengan tingkat pengembalian untuk berinvestasi (marginal rate of return/MRR) sebesar 350,28% jauh diatas bunga bank. Disamping itu berdampak sosial yaitu peningkatan kesehatan masyarakat dengan dikonsumsinya makanan sehat yang mengandung antioksidan. Kata kunci : ubijalar, daging ungu, makanan sehat, ketahanan pangan

PENDAHULUAN Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan citarasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati ( Suda I et al, 2003). Di Jepang, ubijalar warna ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna alami untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam darah. Juga dapat menghalangi munculnya sel kanker serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung koroner (Yoshinaga M, 1995). Pigmen antosianin pada ubijalar lebih tinggi konsentrasinya dan lebih stabil bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena itu, beberapa industri pewarna dan minuman berkarbonat telah menggunakan ubijalar berwarna ungu sebagai bahan baku produknya. Demikian pula, industri ice cream, minuman beralkohol, pie dan roti. Pengamatan di lapang yang banyak kita temui adalah ubijalar warna daging putih, kuning maupun orange. Oleh karena itu, peluang ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Menurut Yusuf (2003) saat ini ada dua varietas introduksi dari Jepang yang telah diusahakan secara komersial yaitu Ayamurasaki dan Yamagawamurasaki yang warna daging umbinya sangat gelap dengan potensi hasil 15-20 t/ha dengan. Disamping itu Balitkabi juga memiliki tiga klon harapan ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi untuk dilepas 1-2 tahun mendatang. Klon-klon tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19 yang potensi hasilnya tinggi (22,5 27,5 t/ha) dengan bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%).

39

Sejauh ini, pemanfaatan ubijalar berwarna daging ungu di Indonesia masih terbatas pada beberapa jenis produk pangan saja inipun dalam jumlah kecil, paling banyak dijumpai di pasaran adalah kripik. Untuk itu, diperlukan sosialisasi dan promosi keunggulan dari produk ubijalar ini. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi dan pengembangan agroindustri ubijalar sekaligus membuka peluang pasar untuk produk-produk olahannya.

METODOLOGI Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Malang-Jawa Timur. Pemilihan daerah tersebut didasarkan pada potensi wilayah yang memungkinkan dapat dikembangkan dan dipasarkan produk yang ditawarkan. Pelaksanaan penelitian bulan Juli-September 2005. Responden dikelompokkan atas produk yang ditawarkan kepada mereka yaitu ubijalar daging ungu. Penarikan sample dilakukan dengan stratified random sampling atas dasar pelaku dalam pengguna produk. Jumlah responden masing-masing wilayah 50 responden, sehingga total adalah 100 orang. Distribusi responden secara proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40% produsen (petani), 10% pedagang, dan 10% pengolah (industri). Data yang dikumpulkan meliputi analisa usahatani dan opini, persepsi dan respon dari responden. Analisis data disajikan dalam bentuk tabulasi silang dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Klon Ubijalar Ungu

Balitkabi memiliki tiga klon harapan ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi untuk dilepas tahun depan (2007). Klon-klon tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19. Perbedaan dari ketiga jenis tersebut adalah tampilan warna ungu. Kepekatan warna ungu selain beda kandungan antosianin juga untuk tujuan penggunaan produk olahan (Yusuf, M et al, 2003). Beberapa potensi dan keunggulannya klon ubijalar ungu, antara lain:Tabel 1. Karakteristik Klon Ubijalar Ungu Aspek produksi: Umur panen : 120 hst (areal dataran rendah) 135 hst (areal dataran sedang) 180 hst (areal dataran tinggi) Produktivitas : 22,5 27,5 t/ha Bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%) Ukuran umbi : panjang 14 cm diameter 7 cm Warna kulit umbi: merah tua Warna daging umbi: ungu tua Tahan penyakit kudis (Spaceloma batacas SP) Aspek mikro nutrien: Rasa enak manis Sebagai zat pewarna alami untuk makanan Mengandung Antosianin tinggi 3,5% Aspek Pangan: Produk makanan ringan: kripik Produk antara: tepung Produk akhir: mie, es krim, bakpao, dan kue-kue.

Aspek Kesehatan Penawar racun, membantu menyerap kelebihan lemak dalam darah, menghalangi munculnya sel kanker, mencegah sembelit, dan baik untuk penderita jantung koroner.

2. a.

Respon Produsen Ubijalar Ungu Aspek Teknis

Kajian persepsi petani produsen dengan melihat lima faktor yang diperkirakan dapat menjadi dasar penilaian petani. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat produktivitas yang dicapai, kebutuhan biaya, resiko kegagalan dalam pengelolaan, umur yang pendek, dan kemudahan dalam pemeliharaan (budidaya). Sedangkan dasar penilaian petani terhadap ubijalar berdaging ungu yang ditawarkan adalah dengan memberikan respon lebih baik, lebih jelek atau sama saja dibanding jenis ubijalar yang biasa petani usahakan.

40

Prinsip produsen (petani) mengusahakan tanaman yang menguntungkan dan mudah dalam penjualan. Persepsi petani dengan melihat tampilan fisik ubijalar ungu hasil dari Balitkabi, maka 58% menyatakan lebih baik. Besarnya respon yang demikian, karena petani belum tahu peta pasar nantinya. Lain halnya dengan ubijalar yang sudah mereka usahakan pasarnya sudah jelas. Karena pasar belum diketahui dengan pasti, persepsi petani banyak mengarah pada penilaian variabel sama saja dengan ubi yang mereka usahakan dan variabel tersebut mempunyai proporsi nilai lebih tinggi. Faktor-faktor yang lain selain produktivitas dianggap sama saja oleh petani dengan ubi yang biasa. Perlu dicermati bahwa respon untuk variabellebih jelek mempunyai nilai rendah (< 27%), hal ini dapat disimpulkan sesungguhnya petani bisa menerima ubijalar ungu tersebut hanya saja kejelasan pasar perlu petani diyakinkan.Persentase (%)100

Lebih baik

Lebih jelek

Sama saja

80

60

40

20

0

Produktivitas B. Produksi

Resiko

Umur

Budidaya

Sec. umum

Gambar 1. Respon produsen terhadap ubijalar ungu

b. Aspek Ekonomis Tingkat harga merupakan tolok ukur petani (produsen) dalam memperoleh pendapatan dari usahatani ubijalar. Harga per satuan yang tinggi akan mencerminkan juga tingginya pendapatan yang diperoleh. Kelebihan-kelebihan lain dari ubijalar ungu tidak banyak menarik petani seperti warna, kandungan gizi dan ukuran karena selama ini ubijalar banyak dijual ke industri saos. Harga ubijalar biasa yang ada di tingkat petani (putih atau kuning) Rp 600,- per kg. Dengan melihat fisik ubijalar ungu yang akan di launching di lapang, petani berani memberikan perbedaan kenaikan tingkat harga rata-rata Rp 192,- per kg atau 32% dari harga ubi biasa. Dengan begitu penerimaan petani terhadap ubijalar ungu dengan menetapkan tingkat harga berkisar Rp 790-800,- per kg. 3. a. Respon Konsumen Ubijalar Ungu Aspek Fisik

Beberapa faktor yang umumnya dijadikan pertimbangan dalam memilih atau menentukan barang kebutuhan khususnya pangan yaitu rasa, warna, ukuran, dan kandungan gizi. Dalam proses pemasaran hasil faktor-faktor tersebut sangat menentukan karena berkaitan dengan sifat atau kecenderungan pembeli untuk memilih. Dalam era globalisasi dan pesatnya informasi, konsumen memilih barang untuk dibeli tidak hanya mempertimbangkan harga murah, tetapi kemanfaatan untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Komoditas pangan misalnya selain murah, barang tersebut harus mampu memberikan nilai lebih, misalnya kebutuhan kesehatan tubuh yang tercermin dari kandungan gizi. Klon ubijalar ungu yang akan di launching ke pasaran memperoleh respon dari konsumen cukup baik. Pada Gambar 2. menunjukkan bahwa 93% responden menyatakan ubijalar tersebut cukup baik dibanding ubijalar yang sudah ada di pasar (daging putih ataupun orange/kuning). Konsumen paling tertarik pada kandungan gizi yang ada pada ubijalar tersebut, disamping rasa manis cukup terasa dan keunikan warna ungunya (5 cm) dan umbi kecil (diameter >5 cm) lalu dimasukkan ke dalam goni dan ditimbang.

Tabel 3. Pengelompokan Warna Daging Umbi, Bentuk Umbi dan Rasa Umbi Berdasarkan Skala Warna daging umbi K K1 K2 K3 K4 M M1 M2 M3 M4 P P1 P2 P3 P4 = Kuning = sangat pucat = pucat = sedang = pekat = Merah = sangat pucat = pucat = sedang = pekat = Putih = sangat pucat = pucat = sedang = pekat Bentuk umbi 1 = sangat jelek 2 = jelek 3 = bagus 4 = sangat bagus Rasa umbi 1 = tidak enak 2 = agak enak 3 = enak 4 = sangat enak

76

HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Hasil Rata-rata Jumlah umbi di Kabupaten Tapanuli Selatan dari enam varietas yang diuji berkisar antara 1,4-2,2 buah/tanaman. Varietas Racik Kuning mempunyai jumlah umbi terbanyak (2,4 buah) dan yang paling sedikit pada varietas Muara Takus dan Jago masing-masing 1,4 buah (Tabel 4). Panjang umbi yang terpanjang diberikan oleh varietas Racik Kuning (15 cm) dan terendah varietas Jago (11,0 cm). Diameter umbi berkisar antara 14,0 20,0 cm, diameter umbi terlebar terdapat pada varietas Bako (20,0 cm) dan terkecil varietas Jago (14,0 cm)Tabel 4. Rataan Jumlah Umbi/Pohon, Panjang Umbi/Buah, Lingkaran Umbi/Buah, Bobot Umbi/Pohon dan Produksi Umbi/Ha Varietas Ubi Jalar, Bintuju Tapanuli Selatan, MK 2004. Varietas Cangkuang Racik Kuning Sari Muara Takus Bako Jago Jml umbi/ pohon (buah) 2,0 b 2,4 c 2,0 b 1,4 a 2,2 bc 1,4 a Panjang umbi/buah (cm) 13,8 c 15,0 d 13,2 c 12,0 b 12,2 b 11,0 a Diameter umbi/buah (cm) 17,0 abc 19,0 bc 18,0 abc 15,0 ab 20,0 c 14,0 a Bobot umbi/batang (g) 408,6 bc 476,7 c 430,4 bc 371,2 ab 435,8 bc 310,5 a Produksi umbi/ha (t/ha) 16,3 bc 19,1 c 17,1 bc 14,1 ab 17,2 bc 12,6 a

Perbedaan panjang dan diameter umbi dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman yang dicirikan oleh bentuk masing-masing varietas. Disamping itu kesuburan dan struktur tanah serta iklim sangat menetukan pertumbuhan dan perkembangan umbi. Secara umum bentuk umbi dari varietas yang diuji adalah tergolong bulat dan lonjong. Varietas Racik Kuning menghasilkan umbi besar terberat (476,7 g) kemudian diikuti oleh varietas Bako (435,8 g dan terendah varietas Jago. Perbedaan berat umbi (besar dan kecil) dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman. Produksi umbi per hektar tertinggi terdapat pada varietas Racik kuning (19,1 t/ha), kemudian diikuti oleh varietas Bako (17,2 t/ha) dan terendah varietas Jago (12,6 t/ha). Perbedaan produksi umbi antar varietas disebabkan oleh sifat genetik dan daya adaptasinya terhadap lingkungan. Varietas yang mempunyai daya adaptasi baik akan memberikan produksi yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Disamping itu produksi ubi jalar juga dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, hama dan penyakit. Warna dan Penampilan Umbi Warna kulit umbi dari varietas Jago, Racik kuning, dan Muara takus adalah bewarna kuning, sedangkan varietas Sari, Bako, Kidal dan Cangkuang bewarna merah. Sedang warna daging umbi varietas bako warnanya putih dan varietas lainnya adalah bewarna kuning (Tabel 5) Varietas Racik Kuning dan Muara takus mempunyai bentuk umbi yang paling bagus, hal ini dicirikan oleh bentuk umbi yang tidak terlalu banyak lekukannya.Tabel 5. Warna Kulit Umbi, Warna Daging Umbi dan Bentuk Umbi Varietas Ubi Jalar, Bintuju Tapanuli Selatan, MK 2004 Varietas Cangkuang Racik Kuning Sari Muara Takus Bako Jago Warna kulit umbi M3 K3 M3 K3 M4 K3 Warna daging umbi K2 K3 K3 K3 P2 K2 Bentuk umbi 3 4 3 4 2 3

77

KESIMPULAN 1. Teknologi budidaya mulai dari pengolahan tanah, pembuatan guludan, jarak tanam, pemupukan, penyiangan, pembalikan/pemangkasan batang dan pemilihan varietas yang sesuai spesifik dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Keragaan hasil terbaik ditunjukkan oleh varietas Racik Kuning dengan hasil 19,1 t ha-1, Bako dengan hasil 17,2 t ha-1, Sari dengan hasil 17,1 t ha-1, dan Cangkuang dengan hasil 16,3 t ha-1.

2.

DAFTAR PUSTAKA Adri Yaswar, mulyasdi, dan M.yusuf, 1996. Pengujian Daya Hasil Beberapa Klon dan Varietas Ubi Jalar di Tanah Andosol Gadut, Bukittinggi. Risalah Seminar Balittan Sukarami Vol. IV Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan umbi-umbian Malang, 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan umbi-umbian Malang. 154 hal BPS, 2004. Biro Pusat Statistik Sumatera Utara Ginting E, 1994. Proporsi penggunaan Ubi Jalar dalam Menu Sehari-hari dalam Rangka Mengurangi Konsumsi Beras. Risalah seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro Industri, Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang Yusuf M, 1994. Penampilan Klon-klon Ubi Jalar dan Potensi Pengembangannya. Risalah seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro-Industri, Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Puslitbangtan, 1996. Diskripsi Varietas Unggul Palawija. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Supriadi dan St.A. Rahayuningsih, 1994. Evaluasi Ketahanan Klon Ubi Jalar Terhadap Hama Boleng. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro-Industri. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang Yudi Widodo dan SS. Antarlina, 1996. Teknologi Produksi dan Agro-industri Ubi Jalar. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 4 Jagung, Sorgum, Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Zuraida, N., Minantyorini dan A. Dimyati. 1994. Seleksi Klon Ubi Jalar Berdasarkan Sifat-Sifat Kualitatif Umbi. Risalah seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro-Industri, Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang.

78

PEMANFAATAN PUPUK GUANO ALAM UNTUK TANAMAN KENTANG DI DATARAN MEDIUM KABUPATEN TAPANULI SELATAN, SUMATERA UTARA Darwin Harahap, Ali Jamil, dan Khadijah EL Ramija Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara

ABSTRAKPemanfaatan pupuk guano alam untuk tanaman kentang di dataran medium Tapanuli Selatan, dilaksanakan di Desa Pargarutan Kecamatan Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan pada ketinggian tempat 560 meter dpl, jenis tanah ultisol. Berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Oktober 2003. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian guano alam untuk tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan Penelitian di susun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan: G0=tanpa bahan organik; G1=pemberian pupuk kandang sapi 20 ton/ha; G2=pemberian pupuk guano 5 ton/ ha; G3=pemberian pupuk guano 10 ton/ha; G4=pemberian pupuk guano 15 ton ha-1; G5=pemberian pupuk guano 20 ton /ha, masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Bibit kentang yang ditanam adalah varietas granola. Sebagai pupuk dasar diberikan Urea, SP36 dan KCl dengan takaran masing-masing 200 kg/ha, 400 kg/ha dan 200 kg/ha. Ukuran plot 3 x 4 meter (50 tanaman/plot), jarak tanam 30 x 80 cm. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian guano alam 15 ton ha -1 memberikan produksi tertinggi (15,75 ton ha-1) dan lebih besar dari tanpa pemberian bahan organik (8,60 ton), sedangkan pemberian pupuk kandang sapi 20 ton ha-1 memberikan hasil 13,10 ton. Kata kunci : guano alam, kentang, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara

PENDAHULUAN Dalam budidaya tanaman hortikultura yang meliputi tanaman sayuran, buah-buahan dan tanaman hias, penggunaan pupuk organik sebagai pupuk dasar merupakan suatu keharusan. Pupuk organik berasal dari pelapukan bahan-bahan organik yaitu sisa-sisa yang berasal dari tanaman, hewan dan manusia merupakan sumber hara bagi tanaman serta sumber energi dari sebagian besar organisme tanah (Dardak, 1982; Tisdale, 1985; Sotedjo dkk, 1990). Penurunan bahan organik tanah karena mengalami proses dekomposisi ataupun mengalami pencucian, pemberian pupuk organik diharapkan dapat meningkatkan produksi karena selain menyediakan unsur hara bagi tanaman juga dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah (Nurtika dan Sumarna, 1992). Di Kabupaten Tapanuli Selatan banyak terdapat deposit pupuk guano yang berasal dari kotoran/ limbah kelelawar yang ditemukan disekitar gua-gua pegunungan, lokasinya terdapat di Kecamatan Sosopan. Petani sayuran di daerah tersebut telah memanfaatkan pupuk guano tersebut tetapi dosis yang digunakan belum tepat. Kentang merupakan komoditas sayuran penting di Indonesia yang dikonsumsi oleh penduduk yang berusia tua/muda tanpa memperhatikan tingkat sosial. Komoditas ini mempunyai prospek yang cerah, karena usahataninya dapat menaikan taraf pendapatan petani, berfungsi sebagai bahan baku industri, dibutuhkan setiap saat berpeluang ekspor, dan merupakan sumber vitamin C. Luas panen kentang di Sumatera Utara pada tahun 2004 adalah 10.592 ha, dengan rata-rata produksi 19,16 ton ha-1, dan total produksi 20.204 ton. Produktivitas ini masih rendah bila dibandingkan dengan potensi produksi yang mencapai 40 ton ha -1 (Balithor Lembang, 1989). Salah satu masalah yang menjadi tantangan dalam budaya kentang di Tapanuli Selatan adalah penggunaan bahan organik yang kurang tepat karena tanaman kentang sangat memerlukan bahan organik dilain pihak ketersedian pupuk organik di dataran tinggi Tapanuli Selatan relatif memiliki potensi yang tinggi. Pupuk guano ini sudah banyak digunakan petani dalam usaha tani sayurannya tetapi takaran, kondisi pupuk yang tepat diberikan ketanaman belum diketahui. (Bangun, 2000 dan Ali Jamil 2000). Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu dilaksanakan pengkajian pemanfaatan pupuk guano alam untuk tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian guano alam dan untuk tanaman kentang di dataran medium Tapanuli Selatan.

79

BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan di Desa Pargarutan Kecamatan Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ketinggian 560 meter dpl, berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Oktober 2003. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan sebagai berikut : G0 = tanpa pemberian bahan organik G1 = pemberian pupuk kandang sapi 20 ton ha -1 G2 = pemberian guano 5 ton ha -1 G3 = pemberian guano 10 ton ha -1 G4 = pemberian guano 15 ton ha -1 G5 = pemberian guano 20 ton ha -1 Luas petak percobaan 3 x 4 m dengan jarak tanam 30 x 80 cm, varietas kentang yang digunakan adalah varietas granola. Pupuk buatan yang diberikan berupa Urea (200 kg/ha), SP-36(400 kg ha-1) dan KCl (200kg ha-1). Pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama/penyakit dilakukan sesuai dengan rekomendasi Badan Litbang Petanian. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, jumlah umbi/sampel, jumlah umbi/petak, berat umbi/sampel, berat umbi/petak dan produksi/ha. Data dianalisis secara statistik menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan diikuti dengan uji beda rata-rata yaitu Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5% (Steel and Torrie, 1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisa Guano Alam Data hasil analisa guano alam yang akan digunakan untuk percobaan ini disajikan pada Tabel 1.Tabel 1. Hasil Analisa Guano Alam di Kabupaten Tapanuli Selatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. pH H2O pH KCl C-organik (%) N (%) (C/N) P2O5 (mg/100 g) Ca+(me/100 g) Mg+ (me/100 g) Na+ (me/100 g) K+ (mc/100 g) KTK (me/100 g) Kejenuhan basa (%) Kejenuhan Al (%) Al3+ (me/100 g) H+ (me/100 g) Fe+ ( ppm) Mn+ (ppm) Cu+ (ppm0 Zn+ (ppm) Parmeter Nilai 3,80 3,41 16,41 3,27 5,02 49,20 27,98 1,92 0,49 2,86 43,70 76,09 16,93 7,40 7,12 84,00 12,40 9,00 18,00

Tinggi Tanaman dan Jumlah Cabang Utama Pengaruh pemberian pupuk guano alam terhadap tinggi tanaman dan jumlah cabang utama tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan di sajikan pada Tabel 2.

80

Tabel 2. Pengaruh Pemberian Pupuk Guano Alam Terhadap Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang Utama Tanamam Kentang di Dataran Medium Kabupaten Tapanuli Selatan Perlakuan Tinggi Tanaman/cm Jumlah Cabang Utama

Go = tanpa bahan organik G1 = pupuk kandang sapi 20 ton ha-1 G2 = Guano alam 5 ton ha-1 G3 = Guano alam 10 ton ha-1 G4 = Guano alam 15 ton ha-1 G5 = Guano alam 20 ton ha-1 Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama pada kolom tidak pada taraf 5%

38,50 a 1,90 a 46,40 b 3,60 b 45,70 b 3,50 b 46,80 b 4,70 c 47,40 b 4,70 c 47,30 b 4,80 c berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan

Pemberian pupuk guano alam memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman. Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan G4 (guano alam 15 ton ha -1) yaitu 47,40 cm, berbeda nyata dengan G0 (tanpa pemberian bahan organik) dengan tinggi 38,50 cm dan tidak berbeda nyata dengan G1 (pupuk kandang sapi 20 ton ha-1) dengan tinggi 46, 40 cm. Sedangkan untuk jumlah cabang utama, pemberian guano alam memberikan pengaruh nyata, dimana jumlah cabang utama terbanyak diperoleh pada perlahanan G3 (guano alam 10 ton ha -1) dan G4 (guano alam 15 ton ha-1) yaitu 4,70 dan yang terendah adalah perlakuan G0 (tanpa pemberian guano alam) yaitu (1,90). Sedangkan perlakuan G1 (pemberian pupuk sapi 20 ton ha -1) mempunyai jumlah cabang utama sebanyak 3,60. Komponen Produksi Pengaruh pemberian pupuk guano alam terhadap jumlah umbi/sampel, jumlah umbi/petak, berat umbi/sampel, berat umbi/petak dan hasil/ha tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan disajikan pada Tabel 3.Tabel 3. Pengaruh pemberian Pupuk Guano Alam Terhadap Jumlah Umbi/Sampel, Jumlah Umbi/Petak, Berat Umbi/Sampel, Berat Umbi/Petak dan Hasil/Ha Tanaman Kentang di Dataran Medium Kabupaten Tapanuli Selatan Perlakuan Jumlah umbi/sample (buah) Jumlah umbi/petak (buah) Berat umbi/ sampel (gr) Berat umbi/ petak (kg) Hasil/ha (ton)

G0 = Tanpa bahan organik 4,60 a 126,60 a 452,24 a 10,30 a 8,60 a G1 = Pukan sapi 20 ton ha -1 7,50 b 165,50 b 684,28 b 15,70 c 13,10 b G2 = Guano alam 5 ton ha -1 7,20 b 166,30 b 636,30 b 14,40 b 12,00 b G3 = Guano alam 10 ton ha -1 8,60 b 187,50 c 728,40 c 18,20 d 15,20 c G4 = Guano alam 15 ton ha -1 8,50 b 189,40 c 742,20 c 17,90 d 15,75 c G5 = Guano alam 20 ton ha -1 8,70 b 186,50 c 730,50 c 18,70 d 15,42 c Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf P = 5%

Pemberian guano alam memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah umbi/sample dan jumlah umbi perpetak. Jumlah umbi/sample terbesar diperoleh pada perlakuan G4 = guano alam 15 ton ha -1 (8,70) berbeda nyata dengan perlakuan G0 = tanpa bahan organik (4,60) dan tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan perlakuan G1= pukan sapi 20 ton ha -1 (7,50), G2 = guano alam 5 ton ha-1 (7,20), G3 = guano alam 10 ton ha -1 (8,6) dan G5 = guano alam 20 ton ha-1 (8,5). Sedangkan jumlah umbi/petak pemberian guano alam memberikan pengaruh nyata. Dimana jumlah umbi/petak terbanyak diperoleh pada G4 = guano 15 ton ha -1 (189,40) dan yang paling rendah adalah G0 = tanpa bahan organik (126,60). Sedangkan perlakuan G1 = Pemberian pukan 20 ton ha-1 (165,50) juga memberikan perbedaan yang nyata. Berat umbi/sampel terbesar diperoleh pada perlakukan G4 = guano alam 15 ha -1 (742,20 gr) dan terendah adalah G0 = tanpa bahan organik (452,24 gr), sedangkan G1 = pemberian pukan sapi 20 ton ha -1 memberikan hasil 648,28 gr. Kemudian berat umbi/petak terberat diperoleh pada G4 = guano 15 ton-1 (18,90) dan yang terendah adalah G0 = tanpa bahan organik (10,30). Untuk Perlakuan G1= Pemberian Pukan sapi 20 ton ha -1 (15,70 kg) dan berbeda nyata dengan G2 = guano alam 5 ton ha-1 (14,40 kg), G3 = guano dengan 10 ton ha -1 (18,20 kg), G5 = guano 20 ton ha-1 (18,70).

81

Untuk hasil per hektar, hasil tertinggi diperoleh pada G4 = guano alam 15 ton-1 (15,75 ton) tidak berbeda nyata dengan G3 = guano alam 10 ton ha-1 ( 15,20 ton), dan G5 = guano alam 20 ton ha-1 (15,42 ton). Produksi terendah diperoleh pada G0 = tanpa pemberian bahan organik (8,60 ton), sedangkan G1 = pemberian pupuk kandang 20 ton ha -1 dapat menghasilkan produksi 13,10 ton.

KESIMPULAN 1. Hasil kentang per ha tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian guano alam 15 ton ha -1 (15,75) dan terendah adalah tanpa pemberian bahan organik (8,60 ton), sedangkan pemberian pupuk kandang sapi 20 ton ha-1 dapat menghasilkan produksi 13,10 ton. Pemberian guano alam dapat meningkatkan produksi kentang di Kabupaten Tapanuli Selatan.

2.

DAFTAR PUSTAKA Balithor Lembang, 1989. Kentang. Balai Penelitian Hortikultura Lembang Jawa Barat. Bangun. E, Ali Jamil, Darwin Harahap dan M. Nur, 2000. Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Hasil Buncis di Dataran Madiun Tapanuli Selatan. Prosiding Seminar Nasional BPTP Sumatera Utara Medan 1314 Maret 2000. BPS, 2004. Statistik Sayuran Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara. Medan. Dardak, A. 1982. Ilmu Tanah. Pendidikan Diploma Petugas Pertanian Lapangan Terpadu. Fakultas Pertanian USU Medan. Jamil, A : M. Nur, Darwin Harahap dan E. Bangun 2000. Penggunaan Pupuk Organik untuk Meningkatkan Hasil Kentang di Dataran Medium Tapanuli Selatan Prosiding Seminar Nasional BPTP Sumatera Utara, Medan 13-14 Maret 2000. Nurtika, N dan A. Sumarna. 1992. Persyaratan Pupuk Kandang dan Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat di Tanah Andosol. Hasil Penelitian Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Steel, R.G and Torrie. 1980. Principles and Procedure of tatistica, Second Editon. Mc. Graw-Hill Book Company. Sutedjo M M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan PT. Rineka Cipta Yakarta. Tisdale, S. L., W.L. Nelson, and J.D. Braton 1985. Soil Fertility and Fertilizers, 4 th. Ed. Mac. Millon Publising Co. Inc. New York and Collier mac. Millon Publisher London.

82

PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO DENGAN SAMBILATA: ANTIFIDAN NABATI WERENG HIJAU VEKTOR VIRUS TUNGRO I Nyoman Widiarta, Anton Yustiano dan Dede Kusdiaman Bagian Hama dan Penyakit, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,

ABSTRAKPenyakit tungro disebabkan oleh virus, paling efektif ditularkan oleh wereng hijau, Nephotettix virescens. Penyakit tungro menjadi masalah di daerah produksi padi di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan. Sambilata, Andrographis paniculata tanaman herbal di daerah tropik pada dosis sub-lethal diketahui mengurangi kemampuan mengisap wereng hijau. Serangkaian percobaan lapang dilakukan untuk mengetahui efikasi sambilata menghambat penyebaran tungro dan mekanisme kerjanya menghambat penularan tungro. Percobaan lapang dilakukan di daerah endemis tungro di Desa Warung Kondang, Cianjur, Jawa Barat pada MH 2003/04 dan MH 2004/05 dan di Desa Lanrang, Sidrap, Sulawesi Selatan pada MK 2005. Percobaan dilaksanakan dengan Rancangan Acak Kelompok. Efikasi sub-lethal dosis Sambilata dibandingkan dengan jamur entomopatogen Metarhizium dan insektisida an-organik komersial. Kemanpuan antifidan Sambilatan menghambat penularan tungro tergantung dari keberadaan tungro. Pada keberadaan tungro tinggi (89,5% pada petakan kontrol), sedang (22,7% pada petakan kontrol) dan rendah (5% pada petakan kontrol) kemampuan antifidan sambilatan menekan penularan tungro oleh wereng hijau berturut-turut 25%, 47% dan 81%. Kepadatan populasi wereng hijau tidak berbeda nyata antara perlakuan Sambilata dan kontrol. Dengan demikian perbedaan kemampuan mengisap menyebabkan perbedaan keberadaan tungro antar perlakuan dan kontrol. Aplikasi sambilata pada dosis sub-lethal menyebabkan perubahan kebiasaan mengisap wereng hijau dari jaringan floem beralih ke jaringan xilim. Hal tersebut menyebabkan wereng hijau berkurang kemampuannya menularkan virus, sebab virus tungro lebih banyak berada pada jaringan floem. Kata kunci: sub-lethal dosis, sambilata, pengendalian, tungro.

PENDAHULUAN Wereng hijau dan wereng loreng merupakan vektor utama virus penyebab penyakit tungro. Diantara spesies wereng hijau dan wereng loreng terdapat perbedaan efisiensi menularkan virus. Rentang efisiensi penularan virus oleh populasi N. virescens antara 35-83 persen (Rivera and Ou,1965), dibandingkan dengan N. nigropictus yang rentang efisiensinya antara 0-27% (Ling, 1979), spesies wereng hijau lainnya seperti N. malayanus dan N. parvus memiliki kemampuan menularkan virus berturut-turut 40% (IRRI, 1973) dan 7% (Rivera et al., 1968) lebih rendah dari N. virescens. Dengan demikian N. virescens merupakan vektor yang paling efisien menularkan virus tungro dibanding jenis vektor lainnya. Kepadatan populasi wereng hijau berfluktuasi, kebanyakan hanya meningkat pada saat tanaman muda sampai pertengahan pertumbuhan tanaman pada pola tanam padi-padi-padi, tetapi pada pola tanam padi-padi-bera/palawija kepadatan populasi umumnya tidak meningkat sama sekali (Widiarta et al., 1999). Hasil analisis Widiarta et al. (1999) dengan menggunakan analisis faktor kunci (key-factor) menunjukkan bahwa kematian pada periode nimfa termasuk pemencaran imago menjadi faktor kematian kunci (key-factor) untuk populasi wereng hijau pada pola padi-padi-padi maupun padi-padi-bera/palawija. Analisis tanggap bilangan (numerical analysis) diketahui, pada pola tanam padi-padi-padi tidak ditemukan adanya tanggap bilangan antara kematian nimfa dengan kepadatan populasi pemangsa, tetapi tanggap bilangan ditemukan pada pola tanam padi-padi-bera/palawija. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi. Peranan pemencaran imago cukup besar pada pola padi-padi-padi, sedangkan pada pola padi-padi-bera/palawija, pemangsa erat terkait dengan kematian pada periode nimfa. Implikasi dari temuan ini untuk pengendalian tungro adalah pada pola tanam padi-padi-palawija/bera konservasi pemangsa sangat penting untuk menekan populasi wereng hijau vektor penyakit tungro, sedangkan pada daerah pola tanam padi-padi-padi, dapat dilakukan dengan mengurangi kemampuan pemerolehan dan penularan virus oleh wereng hijau dengan mengurangi kemampuan mengisap wereng hijau (antifeedant) sebagai komponen utama pengendalian. Mengurangi aktifitas mengisap wereng hijau sebagai vektor penyakit virus dilaporkan sangat efektif membatasi penularan virus. Beberapa bahan kimia sintetis seperti imidacloprid diketahui dapat menekan aktifitas mengisap beberapa spesies aphid seperti Myzus persicae dan M. nicotiana (Nauen et al., 1998). Cartap, bensultap dan nitempyram yang diaplikasikan pada sub-lethal dosis juga mengurangi kemampuan mengisap wereng hijau N. cincticeps maupun N. virescens (Widiarta et al., 1997 b). Ekstrak Sambilata A. paniculata juga memiliki kemampuan megurangi aktifitas mengisap kedua spesies wereng hijau tersebut (Widiarta et al., 1997 a, b).

83

Hasil pengujian di rumah kaca diketahui bahwa aplikasi sambilata dapat menekan pemerolehan maupun penularan virus tungro oleh wereng hijau (Widiarta et al., 1998). Dengan demikian Sambilata memiliki prospek sebagai salah satu komponen teknologi untuk dirakit dalam pendekatan pengendalian terpadu penyakit tungro terpadu namun masih perlu dilakukan uji efikasi di lapang. Mekanisme kerja antifidan nabati Nimba dalam menekan penyebaran penyakit tungro telah diketahui menyerupai mekanisme kerja varietas tahan (Khan and Saxena, 1985). Pada varietas tahan wereng hijau mengisap pada pembuluh tapis (xylem) sedangkan pada varietas peka lebih banyak mengisap pada pembuluh balik (phloem) (Kawabe, 1985). Aplikasi Nimba menyebabkan wereng hijau lebih banyak mengisap pada pembuluh tapis yang diketahui bukan sebagai tempat berkembangnya virus tungro. Aplikasi antifidan imidacloprid lebih banyak menyebabkan serangga beristirahat daripada mengisap, sehingga penularan virus berkurang (Maruyama and Obinata, 1995). Mekanisme Sambilata menekan pemelorehan dan penularan virus pada Sambilata belum diketahui apakah seperti Nimba atau Imidacloprid atau bukan keduaduanya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efikasi lapang dan mekanisme kerja Sambilata sebagai antifidan nabati vektor terhadap penularan tungro di lapang. Diperkirakan bahwa antifidan nabati Sambilata menghambat penyebaran tungro karena menyebabkan perubahan kebiasaan mengisap wereng hijau lebih banyak mengisap pada pembuluh balik (xylem) yang tidak ada virus tungronya. Efikasi sambilata terhadap penyebaran tungro akan dibandingkan dengan Metharizium anisopliae dan juga insektisida komersial yang dilaporkan dapat menghambat penularan virus melalui pengendalian vektor (Widiarta et al., 2005)

BAHAN DAN METODA Penyiapan Ekstrak Sambilata Ekstrak kasar Sambilata yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil ekstraksi tanaman Sambilata. Secara garis besar, proses pembuatan ekstrak kasar Sambilata adalah sebagai berikut: bagian daun dan batang tanaman Sambilata dikeringkan di bawah sinar matahari, kemudian bagian daun dipisahkan dari batang. Bagian batang dipotong-potong sepanjang 3 cm. Batang dan daun direndam dalam 4 l methanol teknis dalam tabung. Dilakukan maserasi selama 7 hari. Hasil maserasi selanjutnya disaring (filtrasi). Kemudian filtrat tersebut dievaporasi dengan menggunakan vakum evaporator sampai berbentuk pasta (Hermawan et al., 1993). Pengaruh Terhadap Penularan Tungro Efikasi lapang. Bibit padi peka tungro Ciherang umur 21 hari setelah sebar ditanam pada sawah petani di daerah endemis tungro. Uji lapang dilaksanakan di Desa Warungkondang, Cianjur-Jawa Barat pada Musim Hujan 2003/2004 dan 2004/2005 dan di Lanrang, Sulawesi Selatan pada musim tanam 2005. Varietas padi yang digunakan di Lanrang adalah TN-1 yang peka tungro. Tanaman dipelihara sesuai dengan budidaya padi petani setempat. Pupuk yang diaplikasikan petani di lokasi percobaan adalah Urea 300 kg/ha, TSP 100 kg/ha dan KCl 50 kg/ha. Pemupukan Urea diberikan dalam 3 kali aplikasi yaitu 100 kg Urea/ha sebagai pupuk dasar, yang diberikan bersama dengan 100 kg TSP/ha dan 50 kg KCl/ha pada saat tanam, selanjutnya masing-masing 100 kg Urea/ha pada saat tanaman mencapai fase anakan maksimum dan primordia. Gulma disiang secara mekanis dengan cara mencabut dengan tangan, kemudian dibenamkan kedalam tanah. Pestisida tidak diaplikasikan kecuali untuk perlakuan. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 6 perlakuan dengan 4 ulangan setiap perlakuan. Ukuran petakan setiap ulangan adalah 5m x 4m. Perlakuan yang dicoba seperti pada tabel 1 dan 2. Aplikasi dilakukan pada saat puncak kedatangan imigran 2 minggu setelah tanam (MST) dan diulang setiap dua minggu sampai saat sebelum terjadinya puncak penularan tungro yang kedua yaitu saat tanaman berumur 6 MST.Table 1. Perlakuan Uji Lapang Sambilatan Menekan Penularan Tungro di Warungkondang, Cianjur-Jawa Barat pada MH 2003/04 dan MH 2004/05 Nomor 1. 2. 3. 4. 5 6 Perlakuan Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 1 x 1,7 x 107 konidia/ml Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 10 x 1,7 x 107 konidia/ml Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 100 x 1,7 x 10 7 konidia/ml Aplikasi antifidan hayati sambilata Aplikasi insektisida komersial Kontrol

84

Table 2. Perlakuan Uji Lapang Kemampuan Antifidan Hayati Sambilata Menekan Penularan Tungro di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005 Nomor 1. 2 3. 4. 5 6 Perlakuan Aplikasi antifidan hayati sambilata konsentrasi 40 ppm Aplikasi antifidan hayati sambilata konsentrasi 100 ppm Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 10 x 1,7 x 107 konidia/ml Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 100 x 1,7 x 10 7 konidia/ml Aplikasi insektisida komersial Kontrol

Variabel yang diamati adalah populasi wereng hijau dan keberadaan tungro. Keberadaan tungro diamati secara visual dari 100 rumpun tanaman setiap petak ulangan. Kepadatan populasi wereng hijau untuk percobaan di Desa Warung Kondang diamati dengan visual dari 32 rumpun setiap petak, sedang kan pada percobaan di Lanrang digunakan jaring perangkap 10 kali ayunan setiap petak ulangan. Pengamatan dilakukan mulai saat tanaman umur 2 MST diulang setiap 2 minggu sampai tanaman umur 8 MST. Manajemen data. Persentase keberadaan tungro dari masing-masing perlakuan ditransformasi, dengan rumus (x+1)1/2, dalam rumus tersebut x adalah keberadaan tungro, kemudian diuji dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji-DMRT pada taraf 5%. Kepadatan populasi, jumlah telur dan hasil panen setelah ditransformasi log (x+1) diuji dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji-DMRT pada taraf 5%. Mekanisme Kerja Sambilata Bibit tanaman padi varietas IR-64 berumur 20 hari setelah sebar dibersihkan dari lumpur, kemudian akarnya direndam dalam gelas plastik yang berisi zat pewarna erithrosin 2%, dibiarkan direndam selama minimal 6 jam. Erithrosin merupakan zat pewarna yang berwarna merah, dapat diserap oleh akar tanaman padi. Setelah 6 jam bibit tanaman padi disemprot dengan ekstrak daun Sambilata sesuai dengan konsentrasi yang diujikan. Dua imago betina wereng hijau betina dewasa dimasukkan ke dalam kantong plastik (ukuran 5x8 cm) yang ditempelkan pada batang padi. Wereng hijau diberi kesempatan untuk mengisap cairan tanaman selama 24 jam. Setelah 24 jam embun madu yang dikeluarkan oleh wereng hijau diambil ditampung dalam kantong plastik dan diamati warnanya dengan alat spektrofotometer. Perbedaan warna embun madu memberi petunjuk perbedaan lokasi wereng hijau mengisap cairan tanaman, apakah dari xylem atau phloem. Uji ini merupakan modifikasi dari metode yang digunakan Oya and Sato (1981) untuk mepelajari kebiasaan mengisap wereng hijau

HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan Populasi Wereng Hijau Kepadatan populasi wereng hijau sebelum aplikasi tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 3, 4, dan 5).Tabel 3. Populasi Wereng Hijau Pada Uji Lapang Sambilata di Cianjur Akhir MH 2003/04 Perlakuan7

Seb-1 (2MST)

Populasi serangga/32 rumpun Set-1 (4MST) Seb-2 (5MST)

Set-2 (7MST)

M. anisopliae konst, 1,7 x 10 kon/ml 17,00 a 16,00 b 8,50 a 12,75 a M. anisopliae konst, 1,7 x 108 kon/ml 17,00 a 10,75 ab 8,50 a 7,75 a M. anisopliae konst, 1,7 x 109 kon/ml 14,00 a 7,25 a 7,00 a 9,00 a Insektisida nabati Sambilata 20,25 a 7,75 a 10,00 a 20,25 b Insektisida Baycarb 12,75 a 6,75 a 11,25 a 17,33 ab Kontrol 18,00 a 8,25 a 10,00 a 23,33 b Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%. Seb-: Sebelum aplikasi; Set-: Setelah apalikasi

85

Tabel 4. Populasi Wereng Hijau Pada Uji Lapang Sambilata di Cianjur Musim Tanam 2004/05 Perlakuan7

Populasi serangga/32 rumpun Seb-1 (2MST) Set-1 (4MST) Seb-2 (5MST) Set-2 (7MST)

M. anisopliae konst. 1,7 x 10 kon/ml 10,25 a 3,75 a 3,75 a 2,25 a M. anisopliae konst.1,7 x 108 kon/ml 10,75 a 2,75 a 2,75 a 2,00 a M. anisopliae konst. 1,7 x 109 kon/ml 14,75 a 3,00 a 3,00 a 1,75 a Insektisida nabati Sambilata 11,75 a 2,75 a 2,75 a 1,50 a Insektisida (Baycarb) 9,25 a 4,50 a 4,50 a 3,75 b Kontrol 13,75 a 6,50 a 6,50 a 3,25 b Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%.. Seb-: Sebelum aplikasi; Set-: Setelah apalikasi Tabel 5. Populasi Serangga Wereng Hijau Sebelum Aplikasi di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005 Perlakuan8

Populasi serangga/10 ayunan Seb-1(2MST) Seb-2(4MST) Seb-3(6MST)

M. anisopliae konst 1,7 x 10 konidia/ml 10,00a 25,00a 27,25a M. anisopliae konst 1,7 x 109 konidia/ml 16,00a 27,00a 33,25a Sambilata 40 ppm 9,25a 16,50a 19,75a Sambilata 100 ppm 17,25a 19,50a 23,00a Insektisida (Confidor) 18,25a 9,50a 13,25a Kontrol 27,75a 21,75a 16,25a Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%. Seb-: Sebelum aplikasi Tabel 6. Populasi Serangga Wereng Hijau Setelah Aplikasi di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005 Perlakuan Set-1(2MST) Populasi serangga/10 ayunan Set-2(4MST) Set-3(6MST)

M. anisopliae konst.1,7 x 108 konidia/ml 12,50a 37,50a 33,00ab M. anisopliae konst 1,7 x 109 konidia/ml 10,75a 32,75a 35,25a Sambilata 40 ppm 7,75a 43,50a 35,00ab Sambilata 100 ppm 11,25a 30,75a 26,00ab Insektisida (Confidor) 12,50a 5,50a 7,50b Kontrol 14,50a 50,00a 28,00ab Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%. Seb-: Set-: Setelah apalikasi

Dari ketiga tabel tersebut dapat dikatakan bahwa pengujian dilakukan mulai dari kondisi kepadatan populasi yang sama sehingga keadaan populasi setelah aplikasi adalah dampak dari perlakuan. Dampak dari perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4 untuk pengujian di Warung Kondang dan pada Tabel 6 untuk pengujian di Lanrang. Kepadatan populasi wereng hijau setelah aplikasi Sambilata tidak berbeda nyata dengan kontrol pada ketiga lokasi. Aplikasi jamur M. anisopliae pada aplikasi ke-1 tidak memberikan dampak yang nyata terhadap kepadatan populasi wereng hijau. Dampak aplikasi ke-2 nyata menekan populasi wereng hijau. Kepadatan populasi wereng hijau berbeda nyata lebih rendah dari kepadatan populasi pada petak kontrol maupun petak yang diaplikasi insektisida nabati Sambilata. Hasil uji efikasi lapang terlihat mendukung perkiraan bahwa dampak aplikasi jamur entomopatogen mempunyai tenggang waktu dan baru terlihat pada generasi berikutnya. Aplikasi ke-1 saat tanaman berumur 3 MST bertepatan dengan generasi imigran imago wereng hijau (Widiarta et al., 1999), sedangkan aplikasi ke-2 saat tanaman umur 5 MST bertepatan dengan puncak kepadatan populasi stadia nimfa kecil (Suzuki et al., 1992). Dampak dari aplikasi pertama menekan keperidian serangga pendatang (generasi migran), aplikasi ke-2 bekerja mematikan nimfa turunan dari generasi migran, sehingga populasi yang rendah pada 7 MST adalah dampak ganda dari entomopatogen yang secara tidak langsung menekan keperidian dan secara langsung mematikan nimfa. Kemampuan menekan populasi generasi pertama setelah imigran diperkirakan berimplikasi positif untuk menekan puncak penularan tungro yang kedua. Sedangakan Samabilata pada dosis yang digunakan tidak mematikan wereng hijau (Widiarta et al., 1997a,b). Keberadaan Penyakit Tungro Keberadaan penyakit tungro tidak berbeda nyata pada antar petak perlakuan (Tabel 7) sebelum aplikasi. Aplikasi jamur entomopatogen menyebabkan keberadan tungro pada petak perlakuan jamur

86

entomopatogen nyata lebih rendah dari keberadaan tungro pada petak kontrol terutama aplikasi Metarhizium dengan konsentrasi konidia 1,7 x 109 kon/ml (Tabel 8). Begitu juga dampak aplikasi insektisida nabati Sambilata dan insektisida komersial (Tabel 8).Tabel 7. Persentase Keberadaan Tungro Sebelum Aplikasi Sambilata, di Cianjur Akhir MH 2003/04 Perlakuan Sebelum-1 (2MST) Keberadaan Tungro/100 Rumpun Sebelum-2 Sebelum-3 (5MST) (8MST) Sebelum-4 (11MST)

M.anisopliae konst. 1,7 x 107 kon/ml 12,25 a 4,75 a 26,00 a 30,75 a M.anisopliae konst. 1,7 x 108 kon/ml 9,25 a 3,00 a 15,00 a 20,00 a 9 M.anisopliae konst. 1,7 x 10 kon/ml 8,25 a 2,25 a 14,00 a 17,75 a Insektisida nabati Sembilata 5,75 a 3,25 a 20,00 a 23,25 a Insektisida Baycarb 4,75 a 5,00 a 12,00 a 16,00 a Kontrol 6,00 a 6,00 a 23,25 a 26,25 a Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5% Tabel 8. Persentase Keberadaan Tungro Setelah Aplikasi Sambilata, di Cianjur Akhir MH 2003/04 Perlakuan Setelah-1 (4MST) Keberadaan Tungro Setelah-2 Setelah-3 (7MST) (10MST) Setelah-4 (13MST)

M.anisopliae konst. 1,7 x 107 kon/ml 6,75 a 10,00 a 27,25 b 19,75 ab M.anisopliae konst. 1,7 x 108 kon/ml 6,25 a 6,25 a 17,00 a 17,00 ab M.anisopliae konst. 1,7 x 109 kon/ml 5,25 a 7,75 a 16,00 a 12,00 a Insektisida nabati Sambilata 5,00 a 14,00 ab 19,75 a 12,00 a Insektisida Baycarb 4,25 a 11,00 a 17,25 a 11,25 a Kontrol 15,50 b 17,75 b 25,25 b 22,75 b Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5%.

Keberadaan tungro pada MH 2004/05 lebih rendah dibandingkan pada pengujian MH 2003/04, akan tetapi kecenderungannya konsisten seperti pada musim sebelumnya. Keberadaan tungro pada percobaan sebelum aplikasi tidak berbeda nyata, akan tetapi setelah aplikasi saat tanaman umur 6 minggu setelah tanam (MST) keberadaan tungro pada petak perlakuan nyata lebih rendah dari kontrol (Tabel 9).Tabel 9. Presentase Keberadaan Tungro Pada Uji Lapang Sambilata di Cianjur, MH 2004/2005 Perlakuan Keberadaan tungro pada 6 MST/plot

M. anisopliae konsentrasi 1,7x107 kon/ml 1,75 a 8 M. anisopliae konsentrasi 1,7x10 kon/ml 2,25 a M.anisopliae konsentrasi 1,7x 109 kon/ml 1,25 a Insektisida hayati Sembilata 1,00 a Insektisida Baycarb 2,25 a Tanpa insektisida 5,50 b Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5%

Keberadaan penyakit tungro pada saat 2 MST berada diatas ambang kendali karena besar dari 0,02%, dan tidak berbeda nyata antar petak perlakuan (Tabel 10). Sedangkan pada petak yang diaplikasi Sambilata kepadatan populasi wereng hijau tidak berbeda dengan kontrol, namun keberadaan penyakit tungro nyata lebih rendah dari kontrol. Dengan demikian keberadaan tungro yang rendah disebabkan oleh berkurangnya aktifitas mengisap wereng hijau. Keberadaan tungro yang lebih rendah menyebabkan kehilangan hasil lebih rendah. Wereng hijau jarang dilaporkan mencapai tingkat populasi yang dapat menimbulkan kerusakan secara langsung (Widiarta et al, 1990). Kehilangan hasil dapat dikatakan disebabkan oleh penyakit tungro karena populasi wereng hijau rendah. Hal ini sejalan dengan keberadaan penyakit tungro setelah diaplikasi jamur entomopatogen, insektisida hayati (Sembilata) dan insektisida pembanding (Baycarb 500 EC)

87

menunjukkan keberadaan penyakit tungro petak kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan petak yang memakai perlakuan tersebut di atas.Tabel 10. Keberadaan Tungro di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005. Perlakuan8

Keberadaan tunngro (%) 2MST 4MST 6MST 8MST

M. anisopliae konst. 1,7 x 10 konidia/ml 0,40a 2,80a 9,00a 68,70a M. anisopliae konst. 1,7 x 109 konidia/ml 0,20a 1,65a 16,40a 80,20a Sambilata 40 ppm 0,50a 2,30a 24,00a 75,90a Sambilata 100 ppm 0,80a 5,45a 26,25a 67,40a Insektisida (Confidor) 0,40a 3,80a 4,60a 23,35b Kontrol 0,40a 4,45a 26,00a 89,55a Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5%

Keberadaan serangan tungro tinggi mencapai 89% pada petak kontrol. Perlakuan pengendalian wereng hijau (vektor penyakit tungro) dengan jamur entomopatogenik Metarhizium atau antifidan nabati Sambilata mampu menekan keberadaan tungro 20% lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pengendalian vektor dengan insektisida an-organik mampu menekan keberadaan tungro 60% lebih rendah dari kontrol. Pengendalian hayati tidak dapat dilakukan dengan berpedoman pada ambang kendali seperti pada pengendalian dengan insektisida an-organik. Mekanisme Kerja Sambilata Berdasarkan pengukuran panjang gelombang terhadap embun madu yang dikeluarkan oleh wereng hijau diketahui bahwa aplikasi ekstrak daun Sambilata berpengaruh terhadap lokasi mengisap wereng hijau (Tabel 11).Tabel. 11. Rata- rata Panjang Spektrum Embun Madu Yang Dihasilkan Wereng Hijau Mengisap Pada Tanaman Padi Yang Diaplikasi Sambilata Perlakuan Rata-rata panjang spektrum (nm) S.E. (Standard error) 0,05 0,07 0,08 0,05

0 ppm 0,44 10 ppm 0,39 100 ppm 0,25 1000 ppm 0,18 ** Keterangan : ** berbeda nyata antara perlakuan dengan perlakuan 0 ppm pada p 3.5 m, cocok untuk daerah semi-tropis dan tropis.

Adapun kerangka untuk untuk medirikan greenhouse dapat berupa: besi baja kotak, besi siku, pipa baja galvanis ataupun kayu balok. Sedangkan berdasarkan bentuknya, rumah tanam dibedakan dalam bermacam-macam antara lain: tipe Venlo, Vinery, Mansard, Arch, Standard peak, Quonset, Even span Uneven span, Sawtooth, Hillside dan Ridge-furrow gutter connected multispan (Hanan, 1998). Bentukbentuk rumah tanam ini dibuat berdasarkan berbagai pertimbangan kondisi iklim setempat dan lokasi (altitute) greenhouse dimana akan dibangun serta kondisi topografi setempat. Bahkan akhir-akhir ini jenis tanaman yang akan dibudidayakan sangat mempengaruhi jenis dan tipe rumah tanam yang akan dikembangkan apakah tipe single span (satu atap saja) atau multispan (lebih dari satu atap terhubung untuk memperluas ruangan tanam).

127

Untuk lebih menekan biaya produksi hortikultura di daerah tropis yang notabene petani dengan low income, selain menurunkan biaya investasi (konstruksi) yang sekecil mungkin, sistem ventilasi alamiah adalah metode termurah yang harus diaplikasikan. Konsekuensinya adalah pemilihan jenis tanaman yang akan dibudidayakan dan metode pendinginan (dengan ventilasi alamiah) harus benar-benar dikombinasikan dengan baik agar diperoleh hasil dan kualitas yang maksimal. Seperti diketahui, sistem ventilasi alamiah banyak dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu perbedaan suhu (bouyancy effect) dan kecepatan (atau arah) angin. Untuk daerah tropis, arah dan kecepatan angin merupakan faktor penentu dalam mendisain tropical greenhouse. Gambar 1 dan 2 menggambarkan diagram aliran udara dari beberapa tipe greenhouse. Dapat dijelaskan bahwa tipe greenhouse yang selama ini diadopsi di Indonesia umumnya kurang memberikan efek pergantian udara (ventilasi) yang baik (Gambar 1). Ventilasi dari atap kurang begitu dimaksimalkan karena kesalahan disain, padahal ventilasi atap akan memberikan kontribusi pertukaran udara (air exchange rate) didalam greenhouse 20 hingga 40%. Selain itu, pemanfaatan ventilasi atap yang dikombinasikan dengan cukupnya tinggi ruangan greenhouse juga membantu dalam pendinginan udara di ruangan (Harmanto et al., 2006(b); Munoz et al., 1999). Gambar 2 menunjukkan dua arah aliran udara yang berbeda bahwa aliran udara pada atap kurang begitu efektif masuk ke dalam ruangan greenhouse (chamber), sedangan angin dari samping hanya memberikan sedikit kontribusi apabila bukaan ventilasi kecil atau terhalang oleh tingginya tanaman yang dibudidayakan.

(a) Windward direction

(b) Leeward direction

Gambar 1. Diagram aliran udara (ventilasi) dari greenhouse yang ada selama ini

Modifikasi dari greenhouse seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 akan memberikan ventilasi alamiah yang lebih baik apabila ditinjau dari dua macam arah angin yang berbeda.

net

plastik

net

(a) Windward directionnet

(b) Leeward direction

plastik

net

(a) Arah angin dari sebelah kiri

(b) Arah angin dari sebelah kanan

Gambar 2. Diagram aliran udara (ventilasi) dari screenhouse yang dimodifikasi

Kemiringan dan disain atap yang agak miring memberikan venetrasi aliran udara apabila arah angin dari sebelah kiri dan menghadap bukaan ventilasi (windward direction) ke dalam greenhouse. Sedangkan

128

apabila arah angin berasal dari sebelah kanan menuju belakang bukaan ventilasi (leeward direction) akan memberikan efek hisap dari dalam ruangan greenhouse (karena perbedaan tekanan udara panas didalam greenhouse dan udara dingin diluar) keluar lewat bukaan pada atap sehingga udara panas di dalam greenhouse akan terhisap keluar. Hal ini akan memberikan sistem aerasi udara yang lebih baik apabila sistem ventilasi alamiah diterapkan.KINERJA DARI ADAPTED SCREENHOUSE DENGAN BERBAGAI TIPE NET

Sejak diperkenalkannya net untuk penutup rumah tanam pada akhir-akhir ini bahkan ada yang dilengkapi dengan ultraviolet (UV) absorbing, penggunaan net semakin jadi kebutuhan. Hal ini disebabkan net sebagai penutup greenhouse mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: 1). memperbaiki sistem ventilasi udara secara alami; 2). sebagai pengontrol hama tertentu (trips, whiteflies); 3). menekan populasi hama; dan 4). menekan penggunaan pestisida. Bethke (1990) merekomendasikan penggunakan beberapa jenis ukuran net didasarkan atas ukuran thorax dari hama insekta yang akan diblok agar tidak masuk ke rumah tanam. Tipe dan jenis net yang harus digunakan untuk menekan serangan beberapa jenis hama dituangkan kedalam Table 1.Tabel 1. Jenis Net Yang Diperlukan untuk Menekan Jumlah Hama Pengganggu Jenis hama insekta (Serpentine) Leafminers (Sweet potato) Whiteflies (Melon) Aphids (Greenhouse) Whitefly (Silver leaf) Whitefly (Western flower) Thrips Sumber: Bethke, 1990 Micron 640 462 340 288 239 192 Ukuran lubang net (screen) Inchi 0,025 0,018 0,013 0,0113 0,0094 < 0,0075 Mesh 40 52 78 81 123 132

Meskipun net membantu menekan jumlah serangan hama pengganggu ke dalam greenhouse, penggunaannya akan menurunkan laju ventilasi (air exchange rate) dan kenaikan suhu udara dalam greenhouse. Oleh karena itu perbaikan konstruksi perlu diperhatikan, salah satunya adalah disain tinggi greenhouse. Dengan tinggi yang cukup akan meningkatkan volume (ruangan) udara sehingga sistem aerasi akan lebih baik yang pada gilirannya akan menurunkan suhu udara di dalamnya. Untuk daerah tropis, ketinggian greenhouse lebih dari 4,5-5 meter sangat direkomendasikan (Connelan, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran net sangat mempengaruhi kinerja iklim mikro, laju ventilasi, hasil dan kualitas produk serta tingkat serangan hama tanaman. Dari tiga jenis net (78; 52 dan 40mesh) yang diuji, ukuran net 100 0,00 0,7 62 115 Lapisan tanah II III 6,8 5,5 1,32 0,16 8 61 305 149,89 52,36 18,10 5,80 0,60 0,67 25,17 20,61 > 100 0,00 0,2 45 69 7,2 5,8 0,36 0,05 7 38 269 83,50 42,29 17,34 7,35 0,53 0,40 25,82 20,71 > 100 0,00 0,2 40 56 IV 7,2 5,7 0,42 0,06 7 43 341 97,58 41,29 17,55 7,08 0,66 0,47 25,76 20,31 > 100 0,00 0,4 48 63 Komposit 6,4 5,2 0,376 0,15 9 71 121 122,73 43,30 17,59 8,56 0,12 0,70 24,97 21,67 > 100 0,00 0,4 42 60

Tabel 2. Hasil Analisa Tanah pada Saat PanenMetode Uji Tanah Hara P (Phosphate) Tanah Jaringan Tersedia Total (%) Total (ppm) (ppm) 0,44 0,25 0,23 0,28 0,18 0,15 0,28 0,17 0,15 0,32 0,21 0,18 Hara K (Kalium) Tanah Jaringan Tersedia Total (%) Total (ppm) (ppm) 1,18 0,81 0,66 1,2 1,79 1 1,11 0,72 0,61 1,23 0,84 0,69 Perlakuan petani Hara P (Phospate) Tanah Jaringan Total (%) Total (%) Tersedia me % 0,34 0,24 0,26 0,29 Jaringan Total (%) 1,16 1,18 1,11 1,11 0,15 0,16 0,17 0,22 Hara K (Kalium) Tanah Total (%) 0,75 0,85 0,72 0,68 0,16 0,13 0,14 0,17

Perlakuan 25 TSP 50 TSP 75 TSP 100 TSP Perlakuan 25 KCl 50 KCl 75 KCl 100 KCl

Perlakuan 50 TSP 100 TSP 150 TSP 200 TSP Perlakuan 75 KCl 125 KCl 175 KCl 225 KCl

Tersedia me % 0,64 0,68 0,61 0,6

133

Analisis Korelasi dan Regresi Hasil uji korelasi antara produksi gabah kering panen dengan dosis rekomendasi pemupukan menunjukkan bahwa tertinggi/kedekatannya dengan produksi padi berturut-turut adalah rekomendasi pemupukan melalui metode uji tanah untuk pupuk K yaitu sebesar 0,388 untuk uji tanah K dan 0,241 untuk uji tanah P. sedang untuk perlakuan petabi paling kecil nilai koefisien (r) yaitu sebesar 0,032 (Tabel 3).Tabel 3 Nilai koefisien Kerelasi Beberapa Metoda Rekomendasi Pemupukan Terhadap Poduksi Gabah Kering Panen D.I. Yogyakarta Metode rekomendasi pemupukan Uji tanah P Uji tanah K Perlakuan petani P Perlakuan petani K Nilai Korelasi 0,241 0,388 0,190 0,032

Uji kalibrasi metode uji tanah dan perlakuan petani Proporsi pupuk yang digunakan untuk tanaman pangan terutama padi telah mencapai 85% dari total pupuk untuk sektor pertanian. Untuk itu penggunaannya harus efektif dan efisien. Beberapa metode untuk menentukan dosis rekomendasi pemupukan P dan K telah dikembangkan dalam rangka meningkatkan produksi padi di lahan sawah. Agar lebih tepat dan akurat perlu dikaji metode yang terbaik untuk D.I. Yogyakarta ini. Hasil analisis regresinya berdasarkan hasil kalibrasi di lahan sawah menunjukkan bahwa untuk metode uji tanah untuk pupuk P (Y=0,6912 + 8,8608 X +- 17203 X), metode uji tanah K (Y=2,0504 + 4,0408 X 0,7704 X), metode ommision plot P (Y= 5,2058 + 1,728 X 0,2899 X ) dan metode ommision plot K (Y= 3,6649 + 3,035 X 0,5596 X (Tabel 4 dan Gambar 1 dan 2). Penggunaan pupuk P (SP-36) sebagai sumber P untuk padi sawah telah dilakukan sejak lama bersama-sama pupuk Urea. Efisiensi pupuk P lebih rendah dari pupuk N dan K. Hasil pengkajian kalibrasi pemupukan P berdasarkan metode uji tanah, dengan dosis 75 kg/ha menunjukkan terbaik diantara perlakuan lainnya dan berbeda nyata yaitu hasil gabah kering panen mencapai 10 t/ha dan 7 t/ha pada uji tanah pupuk K, perlu diketahui bahawa pada uji tanah pupuk P pupuk selain P dioptimalkan begitu juga untuk uji tanah pupuk K, selain pupuk K dioptimalkan terlebih dahulu. Pada perlakuan petani hasil gabah kering panen dapat mencapai 8 ton/ha, namun dosis pupuk yang diberikan masih terlalu tinggi yaitu 150 kg/ha TSP/SP36 dan 75 kg/ha KCl, hal ini kurang efisien. Di Daerah Nomporejo walaupun status hara P dan K tinggi namun mampu merespon pemupukan yang berlebihan walaupun hasil yang dicapai menurun dengan meningkatnya pemberian pupuk. Metode uji tanah untuk menentukan rekomendasi pemupukan, hasil gabah kering panen menunjukkan lebih tinggi dibandingkan dari hasil pengkajian pemupukan P berdasarkan perlakuan petani. Namun untuk pengkajian pupuk K, perlakuan petani lebih tinggi dari metode uji tanah, kemungkinan dosis pemupukan K yang lebih besar/banyak dari metode uji tanah. Hal ini menunjukkan bahwa metode uji tanah dalam menentukan rekomendasi pemupukan di Yogyakarta ini dipandang lebih baik dan dapat dikembangkan dari metode lainya baik dari segi efisiensi maupun cara melakukannya.12

Hasil gabah kering panen ( ton/ha )

10

8

6

3 4

4

2 1

1 y = -0.6912 + 8.8608x - 1.7203x2R 2 = 0.5974

( meto de uji tanah P ) ( meto de uji tanah K ) ( meto de o misio n plo t P )

2 y = 2.0504 + 4.0408x - 0.7704x2R 2 = 0.1 9772 3 y = 5.2058 + 1.7281x - 0.2899x

2

R 2 = 0.47

4

y = 3.6649 + 3.1 035x - 0.5596x2 R 2 = 0.524

( meto de o misio n plo t K )

0 0 1 2 3 4 5

Takaran pupuk ( kg/ha )

Gamb.1 Tanggap padi sawah terhadap pemupukan berdasarkan metode uji tanah di Nomporejo, Galur, Kulon Progo

134

Tabel 4 Rata-rata Hasil Gabah pada Berbagai Metode Pemupukan Perlakuan kg/ha 25 TSP 50 TSP 75 TSP 100 TSP Metode uji tanah Gabah kering panen ton/ha 6,633 b 9,600 ab 10,958 a 7,045 ab Perlakuan kg/ha 50 TSP 100 TSP 150 TSP 200 TSP Perlakuan petani Gabah kering panen ton/ha 6,763 b 7,146 b 8,171 a 7,361 b

25 KCl 5,449 b 75 KCl 6,242 b 50 KCl 6,666 ab 125 KCl 7,535 a 75 KCl 7,624 a 175 KCl 8,038 a 100 KCl 5,759 b 225 KCl 7,126 ab Keterrangan: Angka-angka pada kolom yang sama, yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata dalam taraf 5%.

KESIMPULAN 1. Metode untuk menentukan rekomendasi dosis pemupukan terbaik adalah metode uji tanah, baik untuk pupuk P maupun pupuk K. 2. Dosis pemupukan pupuk P maupun pupuk K terbaik adalah 75 kg/ha.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Uji Tanah Sebagai Dasar Pemupukan Spesifik Lokasi. Tim Uji Tanah Proyek Pembinaan Kelembagaan Pertanian/ARMP-II bekerjasama dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 2000. Murwati, Noor Amali, dan Hj. Hayatun Fardah. 2000. Hara Tanaman Padi, Jagung, dan Kedele. Badan Litbang Pertanian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. .Price, G.A. 1978. Plant and Soil Analysis a system for detecting nutrient seed of crops., In Palnt nutrient, Proc. Of the 8 th Inter, Colloqium on Plant Analysis and Feretilizer Problem. 28 Aug-1 Sep, 1978. Aucland, New Zealand. Soepardi, G. 1979. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Faperta IPB Bogor. Sri Adiningsih J. 1998. Peranan Efisiensi Penggunaan Pupuk untuk Melestarikan Swasembada Pangan. Inovasi Teknologi Pertanian. Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta. Hal: 151-163

135

PENGKAJIAN DAYA HASIL LANJUTAN BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA TIGA JENIS TANAH BERBEDA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA Damasus Riyanto, Mulud Suhardjo dan A.M. Sudihardjo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRAKPengujian daya adaptasi dan hasil lanjutan beberapa varietas kedelai pada berbagai lokasi dengan jenis tanah dan iklim yang berbeda akan memberikan masukan bagi pengembangan benih-benih unggul kedelai serta mendapatkan calon varietas unggul yang cocok dengan kondisi spesifik lokasi. Pengkajian dilakukan di lahan petani (On Farm Research) dengan menggunakan 3 varietas kedelai yaitu: Cikuray (kedelai hitam), Burangrang, dan Wilis di 3 lokasi dengan jenis tanah yang berbeda, yaitu: Typic Tropaquepts (liat halus), Imogiri-Bantul, Typic Haplustalfs liat halus), Pathuk-Gunungkidul dan Typic Fragiaquepts (berpasir), Mlati-Sleman. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa prosentase daya tumbuh (7 HST) tidak berbeda nyata jika ditanam di lokasi dengan jenis tanah dan tekstur berbeda, sedangkan hasil biji kering panen menunjukkan bahwa hasil tertinggi diraih oleh varietas Burangrang (2,10 ton/ha) pada tanah bertekstur liat dan tidak berbeda nyata dengan varietas Wilis (2,04 ton/ha). Sedangkan di tanah berpasir, kedelai varietas Wilis memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Burangrang dan berbeda nyata dengan varietas Cikuray (1,62 ton/ha). Hama penyakit utama yang menyerang tanaman kedelai di 3 lokasi berbeda adalah ulat grayak, yaitu rata-rata sekitar 25%. Varietas Burangrang dan Wilis lebih tahan pada hama penggerek daun dibandingkan Varietas Cikuray, namun varietas Burangrang kurang tahan terhadap penyakit sklerotis dibandingkan varietas Wilis dan Cikuray. Secara umum penanaman kedelai di tanah Typic Haplustalfs- Gunungkidul memiliki jumlah polong lebih tinggi pada varietas yang sama jika dibandingkan di tanah Typic Tropaquepts (Bantul) dan Typic Fragiaquepts (Sleman), karena memiliki kandungan P 2O5 yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan serapan hara P yang sangat berperan dalam pembentukan polong biji kedelai. Penambahan bahan zeolit ternyata juga meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara N, P dan K yaitu 21% lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi zeolit (kontrol petani) serta meningkatkan kapasitas penahan air (kelembaban tanah), terutama pada tanah berpasir (lokasi pengkajian kabupaten Sleman). Kata kunci : daya adaptasi, jenis tanah, serapan hara, aplikasi bahan ameliorant.

PENDAHULUAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai luas 318.580 ha, dimana wilayahnya terdiri dari beberapa agroekosistem yang menyebabkan terbentuknya jenis tanah dan agroklimat yang berbeda. Sedangkan klas tekstur tanah yang dominan pada sebaran tanah-tanah utama di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah liat, lempung berdebu dan pasir halus. Sehingga secara umum memiliki karakteristik sifat-sifat kimia, biologi, fisika tanah serta tingkat produktivitas yang berbeda. Produksi tanaman kedelai di tingkat Nasional akhir-akhir ini semakin menurun, yaitu pada tahun 2002 produksinya telah mencapai 1,38 juta ton, namun pada tahun 2004 turun menjadi 1,07 juta ton. Penurunan produksi tersebut mengharuskan Pemerintah mengimpor bahan pangan kedelai untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus bertambah. Ketergantungan kepada sistem impor ini akan riskan bagi ketahanan pangan nasional. Untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kebutuhan kedelai per tahun adalah 95.653 ton, sedang produktivitasnya hanya sekitar 64.906 ton per tahun, sehingga kekurangannya sebesar 30.747 ton perlu didatangkan dari luar provinsi. Oleh karena itu produksitivitas tanaman kedelai perlu terus dipacu dengan mengembangkan inovasi teknologi pertanian di berbagai komponen, baik dalam hal pengembangan suatu rakitan teknologi yang merupakan gabungan dari penyiapan lahan optimal, pemupukan yang berimbang sesuai dengan spesifik lokasi, pemeliharaan yang intensif, pengendalian hamapenyakit, pemilihan varietas unggul yang sesuai dan dapat beradaptasi dengan kondisi agroekologi setempat serta diikuti pula dengan penanganan pasca panen yang tepat.

METODOLOGI Pengkajian dilakukan pada tahun anggaran 2004 di areal dengan 3 jenis tanah yang berbeda, yaitu: Typic Haplustalf di Desa Gelantung, Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul (tekstur liat), Typic Fragiaquepts di Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman (tekstur pasir berlempung) dan Typic Tropaquepts di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Varietas kedelai yang digunakan adalah Cikuray (kedelai hitam), Wilis dan Burangrang. Ukuran petak mengikuti luasan lahan petani (On Farm Research) dengan jarak tanam 40 x 15 cm. Dosis pemupukan yang diaplikasikan adalah 50 kg/ha

136

Urea, diberikan 2 x yaitu saat tanam benih kedelai dan saat primordia (30 HST). SP-36 sebanyak 100 kg/ha dari KCl sebanyak 75 kg/ha. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Pengambilan data meliputi: prosentase daya tumbuh, pertumbuhan agronomis tanaman, jumlah polong, berat biji kering panen (ton/ha), berat 100 butir biji kedelai, analisis serapan hara N, P, K di daun dan biji saat panen, sifat-sifat karakteristik kimia dan fisika tanah, pengamatan hama penyakit yang menyerang serta pengamatan data iklim (curah hujan selama 10 thaun terakhir).

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisa laboratorium dapat diketahui bahwa ketiga karakteristik yang berbeda yang disajikan pada Tabel 1 berikut lokasi pengkajian memiliki

Tabel 1. Sifat Karakteristik Tanah di 3 Lokasi Pengkajian Berbeda di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Lokasi Patuk, Gunungkidul Mlati, Sleman Imogiri, Bantul Struktur Gumpal Lepas Gumpal Pasir 10,8 46 4 Tektur Debu 15,5 35 35 Liat 73,7 19 61 pH 5,2 5,8 6,5 C-org N ---%--1,00 1,77 1,22 0,09 0,16 0,11 K2O5 P2O5 ---ppm--24 34 84 96 38 21 KTK me/100g 14,61 16,15 48,20

Berdasarkan analisa laboratorium terlihat bahwa di lokasi Patuk, Gunungkidul memiliki klas tekstur liat, dengan kadar C-organik rendah, dan KTK rendah. Sedang di lokasi Mlati, Sleman memiliki klas tekstur berpasir, C-organik rendah, dan kadar KTK tanah rendah dengan tingkat produktivitas tanah rendah, selanjutnya di lokasi Imogiri, Bantul klas tekstur liat, C-organik rendah, dan kadar KTK tanah sedang dengan tingkat produktivitas tanah adalah sedang. Pengamatan daya tumbuh (7 HST) pada ke-3 lokasi pengkajian ternyata memberikan hasil ratarata di atas 90%, hal ini menunjukkan bahwa kualitas benih yang diaplikasikan tergolong baik dan sesuai persyaratan standart pensertifikasian benih kedelai yang berlaku. Walaupun ditanam pada lahan yang relatif kurang produktif, masih terlihat memberikan tingkat daya tumbuh yang baik (Tabel 2).Tabel 2. Prosentase Daya Tumbuh Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta.Lokasi Cikuray Varietas Burangrang Wilis Rerata 93,33 92,00 92,33 92,55

Patuk, Gunungkidul 92 a 94 a 94 a Mlati, Sleman 91 a 92 a 93 a Imogiri, Bantul 90 a 93 a 93 a Rerata 91 93 93,66 *) Rerata yang didampingi notasi yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.

Produktivitas beberapa varietas kedelai yang dikaji ternyata memberikan hasil yang berbeda pada lokasi pengkajian yang sama (Tabel 3).Tabel 3. Produksi Berat Kering Panen Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (ton/ha). Lokasi Varietas Burangrang Rerata 1,90 1,79 2,01 1,90

Cikuray

Wilis

Patuk, Gunungkidul 1,70 b 1,98 a 2,03 a Mlati, Sleman 1,62 b 1,84 ab 1,92 a Imogiri, Bantul 1,89 b 2,10 a 2,04 a Rerata 1,73 1,97 1,99 *) Rerata yang didampingi notasi yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

Secara umum varietas Burangrang dan Wilis memberikan hasil yang lebih tinggi pada lokasi yang sama dibandingkan dengan pengujian daya hasil varietas Cikuray (kedelai hitam). Hal ini sesuai dengan penelitian Riyanto D. (2004), yang menunjukkan bahwa hasil rata-rata pengkajian UML dan UDHL kedelai di Bantul untuk varietas pembanding Burangrang dan Wilis ternyata memberikan hasil lebih tinggi, yaitu

137

masing-masing 2,10 ton/ha dan 2,08 ton/ha dan berbeda nyata dengan daya hasil varietas Cikuray (1,89 ton/ha)Tabel 4. Jumlah Polong Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (ton/ha) Lokasi Cikuray Varietas Burangrang Wilis Rerata 21,2 24,5 23,0 22,9

Patuk, Gunungkidul 21,3 b 20,7 a 21,7 b Mlati, Sleman 26,6 b 22,5 a 24,3 a Imogiri, Bantul 23,4 b 22,1 a 23,5 b Rerata 23,7 21,7 23,2 *) Rerata yang didampingi notasi yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

Pada pengkajian tanah bertekstur pasir (di lokasi Mlati, Sleman), ternyata varietas Wilis memberikan hasil biji kering lebih tinggi daripada varietas Burangrang, yaitu masing-masing 1,92 ton/ha dan 1,84 ton/ha serta berbeda nyata dengan varietas Cikuray (1,62 ton/ha). Pada umumnya semua varietas yang dikaji masih diserang oleh hama daun ulat grayak (Spodoptera sp), namun populasinya masih dapat ditolelir dan di bawah ambang batas yang diperkenankan (Tabel 5). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Muchlish, M.A. (2001), yang menyebutkan bahwa ulat grayak merupakan hama daun utama pada pertanaman kedelai di hampir sebagian besar wilayah Indonesia dan hingga saat ini belum ada varietas kedelai yang bereaksi toleran terhadap hama tersebut.Tabel 5. Hama Penyakit Utama Yang Menyerang Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Patuk, Gunungkidul Ulat Karat grayak daun Hama Penyakit Utama yang menyerang Mlati, Sleman Imogiri, Bantul Ulat Penykt Ulat Karat Pnykt grayak Skerotium grayak daun Hamprosema

Varietas

Penykt Skerotium 1 1 1 berikut :

Cikuray 3 1 3 2 3 1 2 Burangrang 2 2 2 1 2 1 2 Wilis 2 2 2 1 2 1 1 Keterangan : Pengamatan HPT kedelai menggunakan system skoring (prosentase yang terinfeksi) sebagai 1 = tahan; 2 = sedikit terinfeksi; 3 = kurang tahan

Kandungan hara makro N, P dan K pada daun dan biji tersaji pada Tabel 6 dan Tabel 7, dengan hasil analisis laboratorium ternyata konsentrasi hara N, P, K di biji kedelai ternyata lebih tinggi daripada di daun kedelai yang sehat. Hal ini sesuai dengan penelitian Fauconnier (1986), yang mengemukakan bahwa kadar N optimum pada akhir stadia pembungaan di bagian daun tanaman adalah 4,5-5,5%; P 0,35-0,60% dan K 2,53,7%.Tabel 6. Serapan Hara N, P, K dengan Perlakuan Penambahan Zeolit Pada Tanaman Kedelai di Lokasi Mlati, Sleman (Klas Tekstur Berpasir) Varietas Cikuray Burangrang Wilis Serapan hara pada daun tanaman kedelai saat panen di lokasi Mlati, Sleman di lokasi petani (kontrol) N (%) P (%) K (%) N (%) P (%) K (%) 2,1 2,5 2,4 0,22 0,26 0,28 0,58 0,83 0,87 1,7 2,08 1,8 0,18 0,20 0,22 0,51 0,71 0,76

Tabel 7. Serapan Hara N, P, K dengan Perlakuan Penambahan Zeolit Pada Biji Kedelai di Lokasi Mlati, Sleman (Klas Tekstur Berpasir) Varietas N (%) Cikuray Burangrang Wilis 5,4 6,8 6,6 Serapan hara pada tanaman kedelai saat panen (90 HST) di lokasi Mlati, Sleman di lokasi petani (kontrol) P (%) K (%) N (%) P(%) K(%) 0,60 0,75 0,70 1,75 1,80 1,92 4,37 5,50 5,41 0,49 0,51 0,56 1,42 1,68 1,57

138

Sedangkan menurut hasil pengkajian Novianti, et. al. (1997), selain penambahan unsur hara makro N, P, K melalui aplikasi di tanah, dapat juga dilakukan penambahan unsur hara melalui penyemprotan Pupuk Pelengkap Cair (PPC) melalui daun dan hasil biji kering kedelai di beberapa lokasi antara di Ngawi dan Way Abung menunjukkan peningkatan yang nyata.

KESIMPULAN 1. Hasil biji kering panen menunjukkan bahwa hasil tertinggi diraih oleh varietas Burangrang (2,10 ton/ha) pada tanah bertekstur liat dan tidak berbeda nyata dengan varietas Wilis (2,04 ton/ha). Sedangkan di tanah berpasir, kedelai varietas Wilis memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Burangrang dan berbeda nyata dengan varietas Cikuray (1,62 ton/ha). Hama penyakit utama yang menyerang tanaman kedelai di 3 lokasi berbeda adalah ulat grayak, yaitu rata-rata sekitar 25%. Varietas Burangrang dan Wilis lebih tahan pada hama penggerek daun dibandingkan varietas Cikuray, namun varietas Burangrang kurang tahan terhadap penyakit sklerotis dibandingkan varietas Wilis dan Cikuray. Penanaman kedelai di tanah Typic Haplustalfs-Gunungkidul memiliki jumlah polong lebih tinggi pada varietas yang sama jika dibandingkan di tanah Typic Tropaquepts (Bantul) dan Typic Fragiaquepts (Sleman), karena memiliki kandungan P2O5 yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan serapan hara P yang sangat berperan dalam pembentukan polong biji kedelai. Penambahan bahan zeolit ternyata juga meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara N, P dan K yaitu 21% lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi zeolit (kontrol petani) serta meningkatkan kapasitas penahan air (kelembaban tanah), terutama pada tanah berpasir (lokasi kabupaten Sleman).

2.

3.

4.

DAFTAR PUSTAKA Adi Sarwanto, T.H., Kuntyastuti dan Suhartina. 1996. Paket Usahatani Kedelai Setelah Padi di Lahan Sawah dalam Prosiding Pemantapan Usahatani Palawija untuk Mendukung Sistem Usahatani Berbasis Padi dengan Wawasan Agribisnis (SUTPA) Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Malang. Adisarwanto, T., Budi Santoso, Marwoto, Suryanto dan Sumarno. 1993. Keragaan Paket Teknologi Produksi Kedelai di Lahan Sawah dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanah bagian III. Puslittanak-Bogor. Fauconnier, Ing. Agr. Agr. 1986. Fertilizing for High Yield Soya. IPI Bulletin 9. International Potash Institute. Bern-Switzerland. Marwan, I., Sumarno, A. S. Karama dan A.M. Fagi. 1990. Teknologi Pengelolaan Kedelai. Laporan Khusus Puslitbangtan-Bogor. Badan Litbang Pertanian. Novianti S., Fathan M. dan Sri Hutami. 1997. Peranan Pupuk Pelengkap Cair terhadap Peningkatan Hasil Kedelai. dalam Kinerja Penelitian Tanaman Pangan Buku 5. Puslitbangtan-Bogor. Badan Litbang Pertanian Riyanto, D., Reki Hendrata dan A.M. Sudihardjo. 2004. Laporan Pengkajian Pertanaman Kedelai di Lahan Sawah Setelah Padi. Kerjasama BPTP Yogyakarta dan P.T. PUSRI Cabang Yogyakarta. Riwanodjo dan T. Adisarwanto. 1991. Kajian Pemberian PPC/ZPT terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Sawah. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Puslitbangta-Bogor. Sumarno, D.M., Arsyad dan I. Manwan. 1990. Teknologi Usahatani Kedelai. Risalah Lokakarya Pengembangan Kedelai. Puslitbangtan-Bogor. Tim Survai Puslittanak. 1994. Laporan Survei dan Pemetaan Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Bagian Proyek Pengembangan Sumberdaya TanahPuslittanak-Bogor Tisdale, S.L., W.L. Nelson and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. Mac Millan Publishes Company New York.

139

PEMUPUKAN P DAN K TERHADAP HASIL KEDELAI SETELAH PERTANAMAN PADI DI LAHAN SAWAH Mulyadi dan Sarjiman Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRAKBudidaya kedelai di lahan sawah merupakan salah satu alternatif yang perlu dikembangkan dalam upaya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Penanaman kedelai dalam sistem rotasi dengan padi di lahan sawah dapat memberikan keuntungan teknis, yaitu: menekan populasi beberapa macam hama dan penyakit, pemanfaatan air lebih efisien, memelihara kesuburan tanah, meningkatkan intensitas tanam/produktivitas lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk P dan K terhadap hasil kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah. Penelitian dilaksanakan dalam musim kemarau pada tanah Typic Fragiaquepts di Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian menggunakan kedelai varietas Wilis yang ditanam dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 10 perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali. Perlakuan terdiri dari kombinasi tidak lengkap dari dosis pupuk sumber P yaitu: 0, 25, 50 dan 100 kg SP-36/ha dan dosis pupuk sumber K yaitu: 0, 37,5, 75 dan 150 kg KCl/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 50 kg Urea/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan P dan K tidak berpengaruh meningkatkan hasil biji kedelai. Rata-rata hasil biji kedelai kering tanpa pemupukan P dan K cukup tinggi yaitu sekitar 1,66 ton/ha. Pengembangan budidaya kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah selain merupakan alternatif untuk peningkatan produksi kedelai dengan biaya input yang relatif rendah juga berpotensi dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah. Kata kunci: kedelai, pupuk, fosfat, kalium, sawah.

PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan salah satu tanaman leguminosae (kacang-kacangan) yang dikenal akarnya mampu menambat nitrogen dari udara melalui simbiose dengan bakteri Rhizobium sp. dan hasil bijinya mengandung protein tinggi, yaitu berkisar 35-43 % (Suprapto, 1995). Biji kedelai, selain sebagai bahan makanan juga merupakan bahan dasar untuk industri sedangkan batang dan daunnya juga dapat bermanfaat sebagai pakan ternak, pupuk hijau dan akar-akar yang tertingal dalam tanah maupun daun yang rontok dapat memperbaiki kesuburan tanah (Anonim, 1995). Penanaman kedelai pada suatu lahan berpotensi memberikan kontribusi dalam perbaikan kesuburan tanah khususnya dalam penyediaan nitrogen (N) dan kegemburan tanah untuk pertanaman berikutnya. Keadaan lingkungan tumbuh yang baik untuk tanaman kedelai adalah tanah gembur dan cukup lembab dengan kadar unsur-unsur hara yang tinggi dan seimbang, penyinaran matahari yang cukup sejak tumbuh sampai pematangan polong, air diperlukan dari sejak tumbuh sampai pengisian polong dan pada masa pematangan polong lahan harus kering. Kekurangan air terutama pada fase pengisian polong akan sangat menurunkan hasil biji baik karena berkurangnya jumlah polong maupun jumlah biji bernas (Suprapto, 1995). Upaya peningkatan produksi kedelai baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi masih perlu terus dilakukan untuk menekan impor dan mengimbangi kebutuhan kedelai yang cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Sebagai komoditas pertanian, kedelai mempunyai nilai ekonomi dan peluang pasar cukup tinggi. Penanaman kedelai dalam sistem rotasi dengan padi sawah berpotensi menekan populasi beberapa macam hama dan penyakit yang umumnya menyerang padi, meningkatkan efisiensi pemanfaatan air, menjaga keseimbangan unsur hara, meningkatkan intensitas tanam dan produktivitas lahan. Bahkan biaya usahatani untuk tenaga kerja mengolah tanah maupun pemupukan N berpotensi untuk dapat ditekan. Schlegel dan Schemith (1976) mengemukakan bahwa pengikatan N2 udara secara simbiotik memungkinkan perolehan nitrogen sebanyak 100-300 kg/ha/tahun. Di lain pihak, hasil penelitian tanpa olah tanah dan tanpa pemupukan N tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji kedelai (Sarjiman, et. al., 2000). Selain unsur hara N, untuk mendukung pertumbuhan dan hasil biji yang tinggi tanaman kedelai juga memerlukan unsur hara P dan K dalam jumlah yang yang banyak. Untuk menghasilkan setiap 1,0 ton biji, tanaman kedelai menyerap hara P dan K masing-masing sebanyak 4,17-5,64 kg P dan 17,33-25,28 kg K (Tisdale, et al., 1985; Suprapto, 1995;). Meskipun demikian, sementara ini berkaitan dengan pemupukan P dan K untuk pertanaman kedelai yang ditanam setelah pertanaman padi di lahan sawah dianggap tidak mutlak harus dilakukan, khususnya pada lahan-lahan sawah intensif yang umumnya penggunaan pupuk P

140

maupun K/jerami dikembalikan telah umum dilakukan pada saat penanaman padi. Hal ini didasari pada anggapan bahwa pada tanah bekas ditanami padi masih terkandung cukup banyak unsur-unsur hara P dan K yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanaman kedelai. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian tentang pemupukan P dan K dalam budidaya kedelai setelah padi di lahan sawah. Diharapkan informasi ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan untuk pengembangan teknologi dan usahatani kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah. BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan pada lahan sawah di Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Jenis tanah di lokasi penelitian adalah Typic Fragiaquept, sangat halus, mineral campuran, isohyperthermik (Puslittanak, 1994) dengan sifat fisik dan kimia tanah lapisan atas (0-20 cm) seperti disajikan dalam Tabel 1. Secara umum, tanah di lokasi penelitian mempunyai tekstur lempung, reaksi tanah agak masam, kadar bahan organik dan N rendah, kadar P, K, Ca, Mg tinggi dan kapasitas tukar kation sedang. Tanah demikian dapat diinterpretasikan sebagai tanah yang mempunyai kemampuan memegang air sedang dan menyediakan unsur hara makro cukup tinggi kecuali N. Penanaman kedelai dilakukan setelah pertanaman padi menjelang musim kemarau dalam sistem rotasi tanaman padi-padi-kedelai. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 10 perlakuan dan masing-masing diulang 3 kali. Ukuran petak perlakuan adalah 4,80 m x 5,4 m. Macam perlakuan terdiri dari kombinasi perlakuan dosis pupuk sumber P (SP-36) dan sumber K (KCl) seperti disajikan dalam Tabel 2. Sebagai pupuk dasar digunakan Urea 50 kg/ha yang diberikan pada semua petak perlakuan. Benih kedelai varietas Wilis ditanam secara tugal (2 biji/lubang) dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm. Pupuk Urea dan SP-36 seluruhnya diberikan pada umur 10-15 hari setelah tanam (HST), sedangkan pupuk KCl diberikan 2 kali yaitu setengah dosis diberikan pada umur 10-15 HST bersamaan dengan pemberian pupuk Urea dan SP-36 dan sisanya diberikan pada umur 28 HST. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara dibenamkan dalam tanah di sekitar rumpun tanaman. Data yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang per tanaman, berat biji kering dan brangkasan kering (daun, batang, kulit polong). Data tinggi tanaman dan jumlah cabang dikumpulkan dari pengamatan terhadap 10 tanaman contoh per petak perlakuan sedangkan berat biji dan brangkasan dikumpulkan dari hasil seluruh tanaman per petak. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik menggunakan analisis sidik ragam (Analysis Of Variance/ANOVA) dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan digunakan uji beda nyata terkecil/BNT (Least Significant Different/LSD) pada taraf 5%. Untuk analisis data secara statistik dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SAS Versi 5 (SAS Institute Inc. 1985).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data pertumbuhan, biji kering dan brangkasan kering (batang, daun, kulit polong kering) serta indek panen (perbandingan biji kering terhadap total biomas kering) disajikan dalam Tabel 3. Pemupukan P dan K masing-masing sampai dengan dosis 100 kg SP-36 dan 150 kg KCl/ha ternyata tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, hasil biji kering dan brangkasan kering maupun indek panen. Hal ini nampaknya disebabkan ketersediaan unsur hara P dan K di dalam tanah pada lahan sawah yang digunakan untuk penelitian cukup tinggi (Tabel 1). Keadaan lahan sawah dengan kadar P dan K yang cukup tinggi tersebut banyak dijumpai di sebagian besar wilayah Kabupaten Bantul (Mulyadi et al., 2004) dan mungkin juga daerah-daerah persawahan di wilayah lainnya dimana petani umumnya melakukan pemupukan P dan K/jerami sisa panen dikembalikan ke lahan. Untuk itu, penyisipan tanaman kedelai dalam sistem rotasi tanaman padi-padi-kedelai cukup berpotensi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P dan K di lahan sawah karena residu penggunaan pupuk dalam pertanaman padi sawah sebelumnya dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan dan hasil biji kedelai dengan tingkat hasil yang cukup tinggi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3 bahwa kisaran rata-rata hasil biji kering kedelai untuk semua perlakuan pemupukan P dan K adalah cukup tinggi, yaitu 1,64 1,92 ton/ha bahkan rata-rata hasil biji kering tanpa pemupukan P dan K mencapai 1,66 ton/ha. Hasil ini masih relatif lebih tinggi daripada rata-rata hasil kedelai di Daerah Istimewa Yogyakarta yang umumnya hanya berkisar 1,06 1,26 ton/ha (BPS Provinsi DIY, 2005).

141

Tabel 1. Sifat Tanah Fisik dan Kimia Tanah Lapisan Atas (0-20 Cm) di Lokasi Penelitian

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Tekstur - Pasir (%) - Debu (%) - Liat (%) pH H2O pH KCl C organik (%) N total (%) C/N P2O5 Potensial (mg/100 g tanah) K2O Potensial (mg/100 g tanah) Kation-kation dapat ditukar - Ca (me/100 g tanah) - Mg (me/100 g tanah) - K (me/100 g tanah) - Na (me/100 g tanah) Kapasitas Tukar Kation/KTK (me/100 g tanah)

Harkat Lempung (Loam) 45 40 15 5,8 5,3 1,65 0,14 12 155 78 13,35 4,94 1,05 0,52 18,64

Tabel 2. Macam Perlakuan Kombinasi Pemupukan P Dan K untuk Kedelai di Lokasi Penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Perlakuan Dosis Pupuk (kg/ha) SP-36 0 25 50 100 50 50 50 0 25 100 KCl 75 75 75 75 0 37,5 150 0 37,5 150

Tabel 3. Pengaruh Dosis Pemupukan P dan K Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Varietas Wilis di Lahan Sawah, Desa Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Perlakuan dosis Tinggi Berat Berat biji pupuk tanaman saat Jumlah cabang brangkasan Indek panen kering panen kering SP-36 KCl kg/ha cm batang/tan ton/ha ton/ha (%) 0 75 37,22 a 2,50 ab 1,84 a 1,52 a 54,67 a 25 75 35,16 a 2,66 ab 1,92 a 1,62 a 54,22 a 50 75 31,80 a 2,66 ab 1,79 a 1,58 a 53,22 ab 100 75 36,34 a 2,39 b 1,81 a 1,59 a 53,30 ab 50 0 33,71 a 2,51 ab 1,59 a 1,41 a 52,66 ab 50 37,5 35,82 a 2,83 ab 1,76 a 1,51 a 53,91 ab 50 150 36,24 a 3,15 a 1,84 a 1,75 a 51,31 b 0 0 36,53 a 2,29 b 1,66 a 1,38 a 54,76 a 25 37,5 33,80 a 2,64 ab 1,76 a 1,48 a 54,23 a 100 150 33,42 a 2,13 b 1,64 a 1,40 a 53,94 a KK (%) 9,43 16,16 18,27 18,58 2,85 BNT 5% 5,66 0,72 0,55 0,49 2,62 Keterangan: Angka dalam kolom yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

142

KESIMPULAN 1. Pemupukan P dan K sampai dengan dosis 100 kg SP-36 dan 150 kg KCl/ha pada pertanaman kedelai setelah padi di lahan sawah yang biasa dipupuk P dan pengembalian jerami tidak meningkatkan hasil biji kedelai. Rata-rata hasil biji kedelai kering tanpa pemupukan P dan K cukup tinggi yaitu sekitar 1,66 ton/ha. Pengembangan budidaya kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah selain merupakan alternatif untuk peningkatan produksi kedelai dengan biaya input yang relatif rendah juga berpotensi dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah.

2.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1995. Kedelai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta BPS Provinsi DIY. 2005. Statistik Pertanian Tanaman Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta 2004. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DIY, Yogyakarta. Mulyadi, I. Purwanto, A. M. Gusmida, Sunaryana, Salamhadi, dan Budiono. 2004. Prosiding Seminar Nasional. Penerapan dan Inovasi Teknologi dalam Agribisnis Sebagai Upaya Pemberdayaan Rumah Tangga Tani. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Puslittanak, 1994. Laporan Akhir; Survai dan Pemetaan Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Hutan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Akhir No. 03/PSDT/02.0202.01/94. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittamnak), Badan Litbang Petanian, Deptan. Sarjiman, Aliudin, dan Suharno. 2000. Lap