59356075 CRS Impaksi Perikoronitis Dan Operkulitis

Embed Size (px)

Citation preview

CLINICAL REPORT SESSION (CRS) IMPAKSI GIGI, PERIKORONITIS, DAN OPERKULITIS

Disusun oleh: Eva Noviani Lestari Marry Nadya Elmiera Partisipan: Khairuli Amri Cyndee Bayu Naga Dewata Vivi Herlianty Mamonto Dini Paramita Defrin Dety Nur Rachmawati 12010011028 12010011044 12010011057 12010011068 12010011021 12010011035 12010011007

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN GIGI DAN MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM RSUD AL IHSAN BANDUNG 20101

BAB I KASUS1.1.

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Alamat No. Telp Tanggal Pemeriksaan : Ibu H. : 47 tahun : Perempuan : Pengajar : Jagabaya : 08558644219** : 21 Desember 2010

1.2. ANAMNESA Keluhan utama : Nyeri gigi rahang bawah bagian kiri Sejak lebih dari 1 satu minggu yang lalu, pasien mengeluh nyeri pada gigi di rahang kiri bawah. Nyeri dirasakan berdenyut yang pada mulanya hilang timbul dan menjalar hingga ke telinga kiri disertai nyeri kepala. Sejak 4 hari yang lalu, nyeri semakin memburuk dan terasa terus menerus. Pasien sudah berobat ke puskesmas dan diberikan antibiotik dan anti nyeri. Namun nyeri tidak membaik Pasien memiliki riwayat diabetes melitus dan gastritis. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, jantung, ginjal, alergi dan gangguan pembekuan darah. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan mengunakan tusuk gigi. Pasien memiliki kebiasaan sikat gigi 3 kali sehari dan cara menggosok gigi secara vertikal. Untuk keluhannya tersebut, pasien datang ke poliklinik gigi RSUD Al-Ihsan Bandung.

2

1.3. GENERAL SURVEY Keadaan umum Kesadaran Tanda vital : Tampak sakit ringan. : Komposmentis. : Dalam batas normal

1.4. EXTRA ORAL 1.5.

Wajah asimetris (bengkak di bagian pipi kiri). Temporomandibula joint tidak ada kelainan. Tidak ada pembesaran KGB. INTRA ORAL Oral higiene Bibir Gingiva Lidah Dasar mulut Palatum Tonsil : Baik : Normotonus : Gingivitis regio atas bagian depan : Ukuran normal, warna merah muda, papil normal : Tidak hiperemis, tidak bengkak, tidak ada lesi : Baik dan dalam : Tidak ada kelainan

Mukosa bukal : Tidak ada kelainan

1.6. GIGI GELIGI 8 8 7 7 6 6 5 5 4 4 3 3 2 2 1 1 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8

3

1.7. STATUS LOKALIS Gigi Caries Sondasi Dingin Perkusi Tekanan Palpasi Mobilitas Saku Gusi 3.8 + Bengkak

Jaringan sekitar status lokalis : Gingivitis 1.8. USULAN PEMERIKSAAN Rongent Panoramic

1.9.

DIAGNOSA BANDING 3.8 Impaksi dengan perikoronitis dan operkulitis 3.8 Impaksi dengan periodontitis

1.10. DIAGNOSA KERJA 3.8 Impaksi dengan perikoronitis dan operkulitis

4

1.11. RENCANA PERAWATAN Pro kontrol gula darah Pro ekstraksi 3.8 Pro R/ Amoxicilin 500 mg 3 x 1 tablet Pro R/ Asam Mefenamat 500 mg 3 x 1 tablet (setelah makan)

1.12. KONSELING Harus dicabut giginya ketika sudah tidak infeksi Menjaga kebersihan mulut (oral hygiene) dengan baik: Sikat gigi yang benar dan teratur. Flossing. Mouthwash. Pembersih lidah Dental check up 6 bulan sekali.

1.13. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam : ad bonam : ad bonam

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1. Impaksi Gigi 2.1.1. Definisi Impaksi gigi adalah gagalnya gigi untuk tumbuh secara sempurna pada posisinya. Adanya gigi yang terpendam di dalam tulang rahang atau terhalang jaringan gusi dan tidak berhasil muncul ke permukaan. 2.1.2. Epidemiologi Seorang ahli bernama Ricketts (1980) menyatakan bahwa evolusi manusia menyebabkan berkurangnya ukuran rahang yang berhubungan dengan kondisi dan kebiasaan diet/makanan. Jadi ukuran rahang manusia sekarang cenderung makin kecil sehingga kasus gigi geraham bungsu yang impaksi sekarang cenderung meningkat. 2.1.3. Etiologi 2.1.3.1 Lokal Etiologi lokal antara lain: 1. Faktor Genetik (ketidaksesuaian antara ukuran rahang yang kecil dengan bentuk gigi yang besar). 2. Posisi gigi disebelahnya. 3. Kepadatan tulang atau jaringan lunak berlebih yang menutupinya. 4. Ankilosis, perlekatan gigi pada tulang. 5. Odontogenic tumor. 6. Cleft lip and palate.7. Supernumerary teeth.

2.1.3.2 Sistemik Etiologi sistemik antara lain: 1. Syndrome cleidocranial dysplasia. 2. Defisiensi hormon-hormon endokrin. 3. Down syndrome.6

4. Radiasi. 2.1.4. Gejala Gejala impaksi gigi antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nyeri kepala. Ketegangan atau nyeri pada leher. Nyeri telinga. Nyeri lokal, rasa sakit, atau rasa kaku pada rahang di area gigi yang impaksi. Trismus. Pembengkakan pada gusi di atas gigi yang impaksi. Bau mulut akibat adanya infeksi.

2.1.5. Klasifikasi 2.1.5.1 Menurut Pell & Gregory Berdasarkan hubungan antara ramus mandibula dengan molar kedua dengan cara membandingkan lebar mesio-distal molar ketiga dengan jarak antara bagian distal molar kedua ke ramus mandibula.Kelas I Kelas II Kelas III Ukuran mesio-distal gigi molar ketiga lebih kecil dibandingkan jarak antara

distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula. Ukuran mesio-distal gigi molar ketiga lebih besar dibandingkan jarak antara distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula. Seluruh atau sebagian besar molar ketiga berada di dalam ramus mandibula.

Gambar 2.1. Posisi Impaksi Gigi Menurut Pell & Gregory Berdasarkan Relasi Antar Gigi Berdasarkan letak molar ketiga di dalam tulang:

7

Posisi A Posisi B Posisi C

Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada setinggi garis oklusal. Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada di bawah bidang oklusal tapi masih lebih tinggi daripada garis servikal molar kedua. Bagian tertinggi molar ketiga terletak di bawah garis servikal molar kedua.

Kedua klasifikasi ini digunakan biasanya berpasangan. Misalkan kelas I tipe B, artinya panjang mesio-distal gigi molar ketiga lebih kecil dibandingkan jarak distal molar kedua ke ramus mandibula dan posisi molar ketiga berada di bawah garis oklusal tapi masih di atas servikal gigi molar kedua.

Gambar 2.2. Posisi Impaksi Gigi Menurut Pell & Gregory Berdasarkan Kedalaman M3 Bawah Terhadap Tulang Mandibula 2.1.5.2 Menurut George Winter Klasifikasi yang dicetuskan oleh George Winter ini cukup sederhana. Gigi impaksi digolongkan berdasarkan posisi gigi molar ketiga terhadap gigi molar kedua. Posisiposisi ini dinamakan vertikal, horizontal, inverted, mesioangular (miring ke mesial), distoangular (miring ke distal), buko angular (miring ke bukal), linguoangular (miring ke lidah), dan posisi tidak biasa lainnya yang disebut unusual position.

8

Gambar 2.3. Posisi Impaksi Gigi Berdasarkan Sumbu Panjang Gigi Molar Ketiga Rahang Bawah Menurut George Winter 2.1.5.3 Menurut Archer Archer memberikan klasifikasi untuk impaksi yang terjadi di rahang atas. Klasifikasi ini sebetulnya mirip dengan klasifikasi Pell & Gregory. Bedanya, klasifikasi ini berlaku untuk gigi atas.Kelas A Kelas B Kelas C Bagian terendah molar ketiga setinggi bidang oklusal molar kedua. Bagian terendah molar ketiga di atas bidang oklusal gigi molar kedua tapi masih di bawah garis servikal molar kedua. Bagian terendah molar ketiga lebih tinggi dari garis servikal molar kedua.

Klasifikasi untuk impaksi kaninus rahang atas diantaranya:Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Kelas V Kaninus terletak di palatum Di bukal Di daerah palatum dan bukal/labial. Prosesus alveolaris Daerah tidak bergigi.

2.1.6. Komplikasi Komplikasi impaksi gigi antara lain: 1. Pericoronitis. Posisi gigi yang belum erupsi sempurna akan memudahkan makanan, debris dan bakteri terjebak di bawah gusi yang di bawahnya terdapat gigi bungsu sehingga menyebabkan infeksi pada gusi yang disebut pericoronitis. Jika tidak segera ditangani infeksi tersebut akan menyebar ke tenggorokan atau leher.9

Gambar 2.4. Impaksi molar tiga menyebabkan infeksi gusi diatasnya 2. Crowding gigi/berjejal. Gigi impaksi dapat mendorong gigi-gigi lain di depannya sehingga bergerak dan berubah posisi.

Gambar 2.5. Gigi molar tiga mendesak gigi molar dua 3. Gigi berlubang. Posisi gigi impaksi sulit dijangkau sehingga sulit dibersihkan dan menjadi berlubang. 4. Merusak gigi depannya. Tidak hanya gigi impaksinya saja yang berlubang tetapi gigi di depannya juga berlubang karena sulit dibersihkan. 5. Infeksi pada tulang sekitarnya. 6. Kista. Para ahli menyatakan bahwa 50% kasus kista berhubungan dengan gigi geraham impaksi pada rahang bawah. Mahkota gigi impaksi tumbuh dalam suatu selaput. Jika selaput tersebut menetap dalam tulang rahang akan terisi oleh cairan yang akhirnya membentuk kista yang dapat merusak tulang, gigi, dan saraf.

10

Gambar 2.6. Impaksi gigi molar tiga menyebabkan terbentuknya kista 7. Tumor / Karsinoma. 2.1.7. Penanganan Kalsifikasi gigi geraham bungsu terjadi mulai umur 9 tahun dan mahkota gigi selesai terbentuk umur 12-15 tahun. Jadi gigi geraham bungsu sudah dapat dilihat melalui rontgen pada umur 12-15 tahun walaupun gigi tersebut belum tumbuh. Dengan demikian pencabutan gigi geraham bungsu yang impaksi dapat dilakukan antara umur 12-18 tahun atau setelah gigi molar atau geraham kedua tumbuh. Tentu saja sebagai persiapannya dilakukan rontgen foto sebelum dilakukan pencabutan. Pencabutan gigi geraham bungsu pada usia 12-18 tahun dikenal dengan pencabutan preventif dan ini sangat dianjurkan mengingat pada usia tersebut akar gigi masih pendek sehingga memudahkan operasi dan mempercepat waktu penyembuhan dan menghindari terkenanya saraf pada rahang. Setelah operasi gigi geraham bungsu pasien akan mengalami pembengkakan 3-4 hari yang merupakan reaksi normal dari tubuh untuk penyembuhan. Pasien tidak perlu khawatir karena pembengkakan yang tidak disertai demam bukan merupakan gejala infeksi dan pembengkakan ini akan hilang tanpa meninggalkan bekas. Pasien yang menjalani operasi gigi geraham bungsu cukup mendapat antibiotika, analgetik atau penahan sakit, dan obat anti inflamasi atau anti radang. Selama pembengkakan pasien dapat makan makanan lunak, melakukan aktivitas sehari-hari seperti sekolah, atau bekerja tetapi tidak diperkenankan untuk olah raga terlebih dahulu. Setelah satu minggu benang jahitan dapat dibuka dan obat sudah dapat dihentikan. Dengan demikian pencabutan gigi geraham bungsu merupakan tindakan yang bijaksana sebab mencegah komplikasi yang lebih buruk dan kekhawatiran akan efek operasi tidak akan terjadi sebab dilakukan pada usia yang tepat.

11

2.2. Perikoronitis 2.2.1. Definisi Perikoronitis adalah suatu peradangan pada gusi di sekitar mahkota dari gigi yang sedang mengalami erupsi sebagian. Definisi lain menyebutkan bahwa perikoronitis merupakan peradangan jaringan lunak di sekeliling gigi yang akan erupsi. Apabila sudah timbul pernanahan maka disebut abses perikoronal. Perikoronitis paling sering terjadi pada erupsi gigi molar ketiga yang biasa terjadi pada akhir masa remaja atau pada awal usia 20 tahun. Perikoronitis merupakan suatu kondisi yang umum terjadi pada molar impaksi dan cenderung muncul berulang, bila molar belum erupsi sempurna. Akibatnya, dapat terjadi destruksi tulang di antara gigi molar dan geraham depannya.

Gambar 2.7. Perikoronitis 2.2.2. Epidemiologi Pericoronitis lebih sering mengenai molar tiga pada rahang bawah dibandingkan molar tiga rahang atas. Hal ini disebabkan insidensi terhadap impaksi partial pada rahang atas lebih jarang terjadi dan juga berhubungan dengan jarak dengan anterior border mandibula. Predileksi perikoronitis terhadap molar tiga berkaitan dengan umur erupsi gigi. Sebagian besar kasus sering terjadi pada umur dewasa muda. Tercatat dari 245 pasien didapatkan 81% berumur 20-29 tahun dan 13% berumur 30-39 tahun.

12

Gambar 2.8. Lokasi Perikoronitis 2.2.3. Faktor Risiko Faktor risiko perikoronitis menurut British Association of Oral and Maxillofocal Surgeons meliputi :1. Keadaan dimana gigi sedang mengalami erupsi, terutama gigi molar tiga.

2. Terbentuknya lapisan gusi karena erupsi gigi. 3. Keadaan gigi yang bersinggungan dengan jaringan perikoronal gigi yang tidak erupsi atau erupsi sebagian. 4. Riwayat perikoronitis sebelumnya.5. Oral hygiene yang buruk.

6. Infeksi saluran nafas. 2.2.4. Etiologi Perikoronitis merupakan suatu proses infeksi yang sampai saat ini penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Beberapa literatur menghubungkan penyebab infeksi ini dari flora normal mulut. Adanya keterlibatan Streptococcus viridans, Spirochaeta dan Fussobacteria. Penelitian lain mengatakan adanya campuran infeksi Prevotella intermedia, Peptostreptococcus micros, Fusobacterium nucleatum, Actinomycetes comitans, Veilonella dan Capnosytopaga. Walaupun infeksi perikoronitis berhubungan juga dengan bakteri anaerob, tetapi penyebab mikro organismenya berbeda dengan yang melibatkan periodontitis. Hal ini berkaitan erat dengan patogenesis dimana peradangan terjadi akibat adanya celah pada perikoronal yang menjadi media subur bagi koloni bakteri, disertai berbagai trauma dari gigi yang bersebelahan. Faktor lain yang berperan diantaranya stress emosional, merokok, daya tahan tubuh yang rendah, penyakit sistemik, dan infeksi saluran pernafasan atas.13

2.2.5. Patogenesis Proses inflamasi pada perikoronitis terjadi karena terkumpulnya debris dan bakteri di saku gusi perikoronal gigi yang sedang erupsi atau impaksi. Adanya akumulasi dari plak dan sisa-sisa makanan di saku gusi perikoronal sulit diraih saat membersihkan gigi. Pada saku gusi perikoronal ini akan terjadi proses inflamasi akut dengan gejalagejala inflamasi, sedangkan bila proses inflamasi kronis bisa timbul gejala ataupun tanpa gejala. Apabila debris dan bakteri terperangkap jauh ke dalam saku gusi perikoronal maka akan terbentuk abses. Inflamasi bisa juga terjadi karena trauma yang dihasilkan dari erupsi gigi molar rahang atas.

Gambar 2.9. Patogenesis Perikoronitis 2.2.6. Manifestasi klinis Biasanya terjadi secara unilateral. Perikoronitis terbagi dalam bentuk manifestasi : a. Perikoronitis Akut: -

Rasa sakit menusuk yang hilang timbul. Trismus dan disfagia. Operkulum gingiva di daerah infeksi bengkak, hiperemis, dan disertai supurasi. Limfadenopati submandibular. Rasa sakit yang pada mulanya lebih terlokalisasi dan selanjutnya menyebar ke bagian telinga, tenggorokan, serta dasar mulut. Sakit pada palpasi. Rasa tidak enak (foul taste).14

b. Perikoronitis subakut: Peradangan dan supurasi di operkulum berkurang. Rasa sakit tumpul yang terus menerus. Gambaran sistemik seperti peningkatan suhu, nadi, frekuensi pernapasan, dan sakit pada nodul submandibular. c. Perikoronitis kronik: Rasa sakit tumpul yang kambuh secara periodik. Pemeriksaan radiologis menunjukkan gambaran kawah yang radiolusen. Pembentukkan kista paradental.

2.2.7. Perawatan Fokus perawatan adalah menanggulangi infeksi. Namun strategi perawatan tergantung dari dua faktor, pertama dari beratnya infeksi dan yang kedua penyebaran dari infeksi tersebut. Untuk infeksi yang telah menyebar ke KGB atau rongga fasialis maka membutuhkan terapi yang lebih ekstensif. Perikoronitis yang terlokalisasi dan dalam tahap ringan-sedang dapat ditangani secara konservatif yaitu dengan debridemen dan drainase dari pericoronal pocket. Jika terdapat abses maka harus dilakukan drainase yang dilakukan dengan cara insisi. Monitoring pasca perawatan diperlukan untuk memastikan resolusi dari fase akut. Setelah itu perlu dilakukan koreksi secara operatif, salah satunya adalah reseksi jaringan perikoronal untuk mencegah berulangnya infeksi. Umumnya debridemen dan drainase memberikan hasil berupa pengurangan gejala namun beberapa klinisi menggunakan antibiotik sistemik dan sebagian lagi menggunakan antibiotik topikal walaupun keuntungan baik dari segi efektifitas dan biaya belum diketahui. Jika gigi yang terkena nonfungsional atau dianggap tidak dapat digunakan karena malposisi atau alasan lain ekstraksi biasanya dianggap patut untuk dilakukan. Jika perikoronitis terbatas dan tidak ada tanda-tanda abses, maka dapat langsung dilakukan ekstraksi atau ditunggu sampai fase akut terlewati namun jika terdapat pus sebelumnya dilakukan irigasi dan drainase, dan jika dalam keadaan gawat darurat perlu diberikan antibiotik profilaksis sesudah ektraksi.

15

Dalam keadaan perikoronitis dengan tanda adanya penjalaran regional maka terapi dilakukan seperti diatas dan ditambah dengan terapi antimikroba secepatnya. Ekstraksi ditunda sampai infeksi telah terlokalisir atau hilang. 2.2.8. Komplikasi Komplikasi perikoroniti antara lain: 1. Perikoronal abses terjadi apabila peradangan / infeksi lebih terlokalisasi. 2. Disfagia terjadi apabila infeksi menyebar ke arah posterior menuju ke ruang oropharyngeal atau kearah medial pada bagian dasar lidah. 3. Trismus terjadi karena kelainan pada TMJ. 4. Komplikasi toksik sistemik seperti demam, leukositosis, dan malaise.5. Pembesaran kelenjar getah bening submaxilla, servikal posterior, deep cervical,

dan retrofaring. 2.2.9. Prognosis Prognosis penyakit perikoronitis biasanya baik. Kebanyakan faktor lokal dapat diobati dengan obat-obatan dari golongan antibiotik jika disebabkan oleh infeksi. Pada kasus perikoronitis berulang sebaiknya dilakukan pencabutan untuk menghindari berbagai komplikasi yang kemungkinan akan timbul jika tidak dilakukan pencabutan sedini mungkin. 2.3. Operkulitis 2.3.1. Definisi Merupakan peradangan sebagian kecil gusi yang terdapat di oklusal gigi, biasanya terdapat pada gigi molar tiga bawah.

2.3.2 Epidemiologi Operkulitis paling sering terjadi pada erupsi gigi molar ketiga yang biasa terjadi pada akhir masa remaja atau pada awal usia 20 tahun. 2.3.3. Patofisiologi16

Operkulitis terjadi karena tidak sempurnanya resorpsi jaringan lunak di atas gigi sehingga membentuk kantung gigi yang menyebabkan makanan dapat terselip dan menimbulkan proses inflamasi. 2.3.4. Gejala Pada operkulitis biasanya tidak disertai gejala, pasien hanya merasakan nyeri pada struktur gigi yang terlibat tanpa disertai dengan pembengkakan. 2.3.5. Terapi Terapi yang dapat dilakukan adalah menenangkan proses infeksi. Bila ruangan tidak cukup untuk erupsi gigi maka dilakukan ekstraksi gigi. Bila ruangan cukup untuk erupsi, maka dapat dilakukan operkulektomy. 2.3.6. Prognosis Prognosis penyakit operkulitis biasanya baik. Kebanyakan faktor lokal dapat diobati dengan obat-obatan dari golongan antibiotik jika disebabkan oleh infeksi.

2.4. Periodontitis 2.4.1. Definisi Periodontitis adalah inflamasi yang mengenai periodontium, yaitu jaringan yang mengelilingi dan mendukung gigi (gingival, cementum, alveolar bone, periodontal ligament). 2.4.2. Patofisiologi Periodontitis terjadi ketika peradangan atau infeksi pada gusi (gingivitis yang tidak diobati). lalu peradangan tersebut menyebar dari gusi (gingiva) ke ligament dan tulang yang mendukung gigi. Hilangnya dukungan menyebabkan gigi menjadi longgar dan akhirnya lepas. Plak dan tartar terakumulasi di dasar gigi. Peradangan menyebabkan timbulnya saku gusi diantara gusi dan gigi yang terisi plak dan tartar. Plak terperangkap di dalam jaringan lunak yang membengkak. Peradangan selanjutnya menyebabkan destruksi

17

jaringan dan tulang diseklitar gigi. Karena plak mengandung bakteri, maka akan timbul abses gigi yang mengakibatkan destruksi tulang lebih lanjut. 2.4.3. Etiologi Periodontitis disebabkan oleh mikroorganisme yang menempel dan tumbuh pada permukaan gigi. 2.4.4. Klasifikasi Klasifikasi periodontitis antara lain:1. Gingivitis 2. Chronic periodontitis 3. Aggressive periodontitis 4. Periodontitis as a manifestation of systemic disease 5. Necrotizing ulcerative gingivitis/periodontitis 6. Abscesses of the periodontium 7. Combined periodontic-endodontic lesions

Luasnya penyakit mengacu pada proporsi gigi yang dipengaruhi oleh penyakit, yaitu persentase tempat (situs). Situs didefinisikan sebagai posisi di mana pengukuran menyelidik diambil sekitar gigi masing-masing dan pada umumnya menyelidiki sekitar enam lokasi setiap gigi, yaitu:1. mesiobuccal

2. mid-buccal 3. distobuccal 4. mesiolingual 5. mid-lingual 6. distolingual Jika sampai 30% dari situs di mulut yang terkena, manifestasi adalah klasifikasi sebagai lokal, jika > 30% maka disebut generalisata.

18

Tingkat keparahan penyakit mengacu pada jumlah serat ligament periodontal yang telah hilang, disebut clinical attachment loss. Menurut American Academy of Periodontology, klasifikasi keparahan adalah sebagai berikut: 1. Mild : 12 mm of attachment loss : 34 mm of attachment loss 2. Moderate

3. Severe : 5 mm of attachment loss 2.4.5. Gejala Pada stadium awal, periodontitis memiliki sedikit gejala dan beberapa kasus terjadi progresivitas karena tidak diobati. Gejala periodontitis, antara lain:1. Kemerahan atau pendarahan gusi saat menggosok gigi, menggunakan dental floss

atau menggigit makanan yang keras 2. Pembengkakan gusi 3. Halitosis atau bau mulut 4. Resesi gusi yang menyebabkan terlihatnya pemanjangan gigi (dapat disebabkan oleh menyikat gigi mengggunakan sikat yang keras cara yang tidak tepat) 5. Dalamnya saku antara gigi dan gusi 6. Lepasnya gigi

Gambar 2.10. Gejala periodontitis nyeri, kemerahan, gusi bengkak, dengan banyaknya plak 2.4.6. Pencegahan Pencegahan periodontitis, yaitu dengan melakukan daily oral hygiene, meliputi: 1. Menyikat gigi secara teratur (minimal 2 kali sehari) dengan mengarahkan sikat gigi secara vertikal dari garis gusi ke ujung gigi dengan menggunakan sikat gigi berbulu lembut.19

2. Flossing (1 kali sehari) serta membersihkan gigi belakang terakhir, molar ketiga,

di setiap kuartal.3. Menggunakan obat kumur antiseptik (Chlorhexidine berbasis glukonat) 4. Check-up gigi setiap 6 bulan sekali.

2.4.7. Pemeriksaan dan Tes Pada pemeriksaan mulut dan gigi menunjukkan lunak, bengkak, gusi merah-ungu. Simpanan plak dan kalkulus dapat terlihat di dasar gigi, dengan kantong membesar di gusi. Gusi biasanya tidak menimbulkan rasa sakit atau sedikit nyeri, kecuali jika terdapat abses gigi. Gigi dapat lepas dan gusi mungkin akan surut. Radiologi gigi menunjukkan hilangnya pendukung tulang dan juga dapat menunjukkan adanya deposit plak di bawah gusi. 2.4.8. Pengobatan Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan, menghilangkan kantong jika ada, dan mengobati penyebab yang mendasari. Permukaan gigi atau disekitar gigi harus diperbaiki. Serta mengobati kondisi lainnya. Membersihkan gigi secara menyeluruh, yaitu cara menyikat gigi, menggunakan dental floss dan pembersih lidah, penggunaan obat kumur, serta melakukan pembersihan gigi ke dokter gigi lebih dari 2 kali setahun Pembedahan mungkin diperlukan. Saku gusi mungkin perlu dibuka dan dibersihkan. Ekstraksi gigi mungkin perlu dilakukan agar masalah tidak bertambah buruk dan menyebar ke gigi terdekat. 2.4.9. Komplikasi Komplikasi periodontitis, antara lain: 1. Infection or abscess of the soft tissue (facial cellulitis) 2. Infection of the jaw bones (osteomyelitis) 3. Return of periodontitis 4. Tooth abscess 5. Tooth loss 6. Tooth flaring or shifting20

7. Trench mouth 2.5. Pencabutan Gigi 2.5.1 Indikasi 1. Gigi sebagai fokus infeksi2. Gigi dengan pulpa nonvital yang tidak dapat dirawat 3. Gigi dengan periodontoclasia berat

4. 5. 6. 7. 9.

Gigi yang tidak dapat dirawat Apicoectomy Opdent Endodonsi Sisa akar

8. Gigi impaksi, supernumerary mengganggu

10. Malposisi ekstrem 11. Gigi yang menyebabkan trauma jaringan lunak. 2.5.1 Kontraindikasi A. Kontra indikasi sistemik 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. Kelainan jantung Kelainan darah Diabetes mellitus Penyakit ginjal Penyakit hepar Toxic goiter Kehamilan Terapi dengan antikoagulan. Radang akut Infeksi akut Malignancy oral.

B. Kontra indikasi local

DAFTAR PUSTAKA1. Kamus Kedokteran Dorland edisi ke 20. Jakarta: EGC.21

Mansjoer Arif, dkk: Kapita Selekta Kedokteran. Editor Arif Mansjoer, dkk, Edisi 3, Volume 1, Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2000.2. 3. Topazian et al. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. Philadelphia: Saunders.

2002.4. Pericoronitis. [email protected].

Newman, dkk. Carranzas Clinical Periodontology. 10th ed. Saunders Elsevier. 2006.5. http://en.wikipedia.org/wiki/Periodontitis 6. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001059.htm

22

DAFTAR PUSTAKA7. Kamus Kedokteran Dorland edisi ke 20. Jakarta: EGC. 8. Mansjoer Arif, dkk: Kapita Selekta Kedokteran. Editor Arif Mansjoer, dkk,

Edisi 3, Volume 1, Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2000.9. Topazian et al. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. Philadelphia: Saunders.

2002.

10. Pericoronitis. [email protected].

11. Newman, dkk. Carranzas Clinical Periodontology. 10th ed. Saunders Elsevier. 2006.

23