41
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 L atar Belakang Infeksi virus dengue menyebabkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi dari penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) hingga demam berdarah dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome). 1 Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan suatu keadaan infeksi dari Demam Berdarah Dengue yang ditandai dengan adanya kegagalan dari sirkulasi, termasuk menyempitnya tekanan nadi (<20 mmHg), atau frank shock. Pada pemeriksaan pasien mungkin didapatkan hati yang teraba serta peningkatan kadar enzim hati. Pada awalnya pasien terlihat letargi atau gelisah dan kemudian jatuh ke dalam syok. 2,3 Setiap tahunnya, lebih dari 250.000 kasus DBD/DSS dilaporkan dari perkiraan 50 juta kejadian infeksi dengue. 2 DBD telah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Incidence Rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun 2000. 3 Pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali beresiko tinggi (AI > 55 per 100.000 penduduk). 4 1

4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi virus dengue menyebabkan spektrum manifestasi klinis yang

bervariasi dari penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),

demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) hingga demam berdarah dengue

yang disertai syok (dengue shock syndrome). 1

Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan suatu keadaan infeksi dari

Demam Berdarah Dengue yang ditandai dengan adanya kegagalan dari sirkulasi,

termasuk menyempitnya tekanan nadi (<20 mmHg), atau frank shock. Pada

pemeriksaan pasien mungkin didapatkan hati yang teraba serta peningkatan kadar

enzim hati. Pada awalnya pasien terlihat letargi atau gelisah dan kemudian jatuh

ke dalam syok.2,3

Setiap tahunnya, lebih dari 250.000 kasus DBD/DSS dilaporkan dari

perkiraan 50 juta kejadian infeksi dengue.2 DBD telah ditemukan di seluruh

provinsi di Indonesia. Incidence Rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk

pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun

2000.3 Pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali beresiko tinggi

(AI > 55 per 100.000 penduduk).4

Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit

disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya

pemukiman baru, kurangnya prilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang

nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta

adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.2,5,6

Dalam perawatan pasien dengan DSS diperlukan terapi cairan yang sesuai

mengingat DSS merupakan suatu hipovolemic syok yang dapat mengancam

nyawa apabila tidak ditangani dengan baik.

1

Page 2: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dengue Shock Syndrome

Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan suatu keadaan infeksi yang

mencakup seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue dan ditambah dengan

manifestasi kegagalan sirkulasi, yaitu: nadi cepat dan lemah dengan penyempitan

tekanan nadi (<20 mmHg) atau penurunan tekanan darah dan akral dingin. DSS

merupakan keadaan yang mengancam jiwa dari infeksi virus dengue pada

manusia.7

2.2 Epidemiologi Infeksi Virus Dengue

Virus dengue merupakan infeksi arboviral utama pada wilayah tropis dan

subtropis dan terdapat di lebih dari 100 negara.8 Sekitar dua per lima dari populasi

dunia tinggal di kawasan yang beresiko terjadinya infeksi dengue. Setiap

tahunnya, lebih dari 250.000 kasus DBD/DSS dilaporkan dari perkiraan 50 juta

kejadian infeksi dengue.2 Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali

lipat peningkatan penyebaran ke negara-negara baru, dan dalam dekade ini, dari

kota ke lokasi pedesaan.8

2

Page 3: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

Gambar 2.1 Distribusi epidemik dengue di dunia. Merah: Wilayah dimana

terdapat laporan adanya epidemik. Kuning: Wilayah yang terdapat aedes aegypti9

Sampai saat ini, DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia.

200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence Rate meningkat

dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27

per 100.000 penduduk pada tahun 2000.3 Pada tahun 2007 seluruh provinsi di

pulau Jawa dan Bali beresiko tinggi (AI > 55 per 100.000 penduduk). Sedangkan

pada tahun 2009, hampir seluruh provinsi di pulau Kalimantan beresiko tinggi.

Terdapat perubahan pola kelompok umur yang terserang, menjadi seluruh

kelompok umur, terutama usia produktif. Sedangkan dari segi jenis kelamin,

resiko terkena DBD pada laki-laki dan perempuan hampir sama. Angka Kematian

nasional (AK) pada tahun 2009 yaitu 0,89% dan telah berhasil mencapai target.

Hanya saja, sebagian besar provinsi (61,3%) belum mencapai target. Terdapat

penurunan AK, mulai dari 41,4% pada tahun 1968 menjadi 0,89% pada tahun

2009. Tetapi jumlah kematian terus meningkat.4 Pada beberapa daerah tropik dan

subtropik, jumlah kasus DBD tidak pernah menurun. Bahkan cenderung terus

mengalami peningkatan. Di Indonesia, jumlah kasus pada tahun 2008 mencapai

137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86%

serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang

atau CFR 0,89%.10

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan dan

penyebaran virus Dengue, yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi

yang tidak dapat dikendalikan dan tidak terencana, tidak terdapat kontrol vektor

nyamuk di daerah endemis, dan peningkatan sarana transportasi.2

2.3 Virologi Virus Dengue

Virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae.

Virus dengue memiliki 4 jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-

4. Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan

Aedes albopictus yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Infeksi virus dengue

3

Page 4: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

dari salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang

bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat

kurang, sehingga tidak akan memberikan perlindungan yang memadai terhadap

serotipe yang lain tersebut. Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat

terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue

dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus

dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan

bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe

DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan benyak yang

menunjukkan manifestasi klinis yang berat.11

Virus dengue memiliki genom yang terdiri dari RNA rantai tunggal (single

stranded), dikelilingi oleh nukleokapsid ikosahedral dan ditutupi oleh amplop

lipid. Diameter virion sekitar 50 nm. Genom flavivirus panjangnya 11 kb

(kilobase), disusun oleh 3 gen protein struktural yaitu yang mengkode

nukleokapsid atau protein inti (core: C), protein membran (membrane: M), dan

protein amplop (envelope: E), dan 7 gen protein non struktural (NS) yaitu NS1,

NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5. Virus dengue memiliki komponen biologis

yang penting yaitu glikoprotein E yang terdapat pada amplop virus untuk

menginfeksi sel target, yang mengandung komponen yang dibutuhkan untuk

berikatan dan melakukan fusi dengan sel target dan juga untuk berinteraksi

dengan reseptor di sel target. Sel target primer yang telah diketahui pada infeksi

virus dengue adalah monosit dan makrofag. Kemungkinan sel target lain adalah

sel dendritik dari monosit imatur (immature monocyte-derived dendritic cells).12

Di Indonesia, serotipe 1, 2, 3, dan 4 telah berhasil diisolasi dari darah

pasien. Dari sebagian besar pasien DBD derajat berat maupun yang meninggal,

diisolasi DEN-3. Selama 17 tahun terakhir serotipe yang mendominasi adalah

serotipe DEN-2 dan DEN-3. Fakta yang ada sekarang adalah semua jenis virus

dapat ditemukan pada kasus fatal yang berarti semua serotipe virus dengue dapat

saja membuat kematian.6

2.4 Patogenesis Infeksi Virus Dengue

4

Page 5: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

Peranan Sistem Imun Dalam Patogenesis Infeksi Virus Dengue

Ketika nyamuk menggigit manusia, virus dengue diinjeksikan ke dalam

aliran darah. Selain ke aliran darah, virus dengue juga terdapat pada epidermis dan

dermis. Hal tersebut berakibat pada infeksi sel-sel Langerhans, atau yang disebut

juga epidermal dendritic cells (DC), dan keratinosit.13 Untuk terjadi infeksi, virus

dengue harus masuk ke dalam sel, diikuti dengan pelepasan nukleokapsid. Hal

tersebut dapat tercapai dengan cara fusi antara membran virus dengan membran

selular.14 Sel yang terinfeksi kemudian bermigrasi dari tempat terjadinya infeksi

menuju limfa nodi. Monosit dan makrofag yang terdapat di dalam limfa nodi akan

menjadi target infeksi selanjutnya.13 Monosit dan makrofag merupakan sel target

virus dengue yang utama.14 Akibatnya, infeksi yang terjadi akan semakin banyak

dan virus akan terdiseminasi melalui sistem limfa. Hal tersebut akan berujung

pada viremia primer, dimana selanjutnya sel-sel lain seperti monosit, myeloid DC,

serta makrofag pada hati dan spleen ikut terinfeksi. Studi yang dilakukan terhadap

primata non-manusia menunjukkan bahwa leukosit juga dapat terinfeksi virus

dengue. Proses infeksi tersebut akan mengakibatkan apoptosis, terutama pada sel

dendritik dan sel endotelial.13 Apoptosis sel dendritik, baik secara langsung

maupun tidak langsung, mengakibatkan peningkatan virus dengue dalam darah

dan produksi sitokin yang berimplikasi pada keparahan penyakit. Apoptosis

secara langsung terjadi melalui replikasi virus didalam sel yang terinfeksi,

sedangkan apoptosis tidak langsung terjadi akibat adanya sitokin dan protein-

protein virus yang disekresikan oleh sel yang terinfeksi. Apoptosis juga dapat

terjadi pada sel yang tidak terinfeksi akibat adanya protein dan sitokin yang

disekresikan oleh sel yang terinfeksi. Karena itu, induksi apoptosis akibat infeksi

virus dengue berkontribusi terhadap keparahan penyakit dengan cara

menyebabkan viremia yang tinggi, produksi sitokin inflamasi, penurunan

presentasi antigen, dan rendahnya aktivasi sel T yang spesifik terhadap virus

dengue. Sedangkan apoptosis sel-sel endotel akibat virus dengue berkaitan dengan

terjadinya DHF/DSS. Apoptosis sel endotel dapat terjadi secara langsung (melalui

replikasi virus pada sel yang terinfeksi) atau melalui aktivasi sistem komplemen.5

5

Page 6: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

Gambar 2.2 Apoptosis Sel Dendritik akibat Infeksi Virus Dengue13

Mekanisme Terjadinya Syok dan Perdarahan

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary

heterologous infection yang dirumuskan oleh Suvatte dapat dilihat pada Gambar

2.2. Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan menderita DHF apabila

mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus dengue yang berbeda dalam

jangka waktu tertentu, yang berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun. Respons

antibodi anamnestik akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan

pada seorang pasien mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan

menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus

dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat

terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya

virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan

mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat

aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh

darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.

6

Page 7: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari

30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan

adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya

cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi

secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir

fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.3

Gambar 2.3 Mekanisme terjadinya syok pada DBD3

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-

antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi

trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel

pembuluh darah (gambar 2.3). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan

perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan

kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran

ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini

akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)

sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan

pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif

7

Page 8: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

(KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP

(fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.13

Gambar 2.4 Mekanisme Perdarahan pada DBD3

Akibat lain yang ditimbulkan akibat agregasi trombosit yaitu gangguan

fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak tetapi

tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi

faktor Hageman yang akan mnegakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler

melalui aktivasi sistem kinin. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh

trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi

trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan

memperberat syok yang terjadi.3

Selain itu, menurut Simmons, interaksi antara dengue nonstructural

protein 1 (NS1) dengan glycocalyx pada lapisan permukaan menyebabkan

pelepasan heparan sulfat ke sirkulasi sehingga menyebabkan kebocoran protein.

Hilangnya protein-protein koagulasi yang esensial terhadap koagulasi diduga

memegang peranan penting dalam terjadinya koagulopati (biasanya

8

Page 9: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

bermanifestasi sebagai peningkatan partial-thromboplastin time dengan kadar

fibrinogen rendah). Heparan sulfat juga berfungsi sebagai antikoagulan dan

berkontribusi terhadap terjadinya koagulopati.15

2.5 Spektrum Klinis Penyakit

Faktor daya tahan tubuh pasien dan virulensi virus mempengaruhi

spektrum klinis dari infeksi virus dengue yang dapat menyebabkan keadaan yang

bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang

tidak spesifik (undifferentiated fever), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih

berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) serta Dengue Shock Syndrome

(DSS).7

Gambar 2.5. Spektrum Klinis Penyakit7

2.6 Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue (DBD) ditandai dengan demam tinggi (≥38,50C),

mendadak 2 sampai 7 hari,. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,

tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa pasien mengeluh

nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun

jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di

epigastrium dan dibawah tulang iga. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah

uji tourniquet (rumple leede) positif, kulit dapat dengan mudah memar dan

perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah.

Pada DBD terdapat juga petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas,

9

Page 10: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari

demam. Perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam

sedangkan epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan hanya sekitar

pada 10% kasus. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable

sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan.7

Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini

terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan

sirkulasi yang bervariasi dalam berat ringannya. Pada kasus dengan gangguan

sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat

pasien dapat mengalami syok.16 Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan

kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <

100.000/ul biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi

sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi

yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.

Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan

nilai hematokrit merupakan tanda patogsangat unik untuk DBD, kedua hal

tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu

diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau

oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis,

limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum

suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan.

Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan

fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT

memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga

terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat.

Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan.

Berat ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada

pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral.Fase

penyembuhan ditandai dengan pembentukan lesi makulopapula yang biasanya

gatal dan sembuh dengan deskuamasi selama sekitar 1 sampai 2 minggu.17

2.8 Dengue Shock Syndrome

10

Page 11: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3

sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian

jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar

mulut, nadi cepat-Iemah, tekanan nadi <20 mmHg atau hipotensi (tekanan sistolik

menurun sampai 80 mmHg atau kurang). Syok merupakan tanda kegawatan yang

harus mendapat perhatian serius, oleh karena bila tidak diatasi sebaik-baiknya dan

secepatnya dapat menyebabkan kematian. Pasien dapat dengan cepat masuk ke

dalam fase kritis yaitu syok berat (profound shock), pada saat itu tekanan darah

dan nadi tidak dapat terukur lagi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun

sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan

adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui

atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai

penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga

memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-

3 hari kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam

pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya

nafsu makan. Sebagian besar pasien masih tetap sadar walaupun telah memasuki

fase terminal. Pasien dengan perdarahan intraserebral dapat disertai kejang dan

koma. Ensefalopati dapat terjadi berhubungan dengan gangguan metabolik dan

elektrolit.7,16

Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang

setelah demam turun. Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada

denyut nadi dan tekanan darah, akral (ujung) ekstremitas teraba dingin, disertai

dengan kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi,

sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara.

Pasien biasanya akan sembuh spontan setelah pemberian cairan dan elektrolit.

Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah

beberapa hari demam. Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara hari

sakit ke 3-7, terdapat tanda kegagalan sirkulasiberupa kulit teraba dingin dan

lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien

menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba. Pada saat akan terjadi

11

Page 12: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

syok, beberapa pasien tampak sangat lemah, dan sangat gelisah. Sesaat sebelum

syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut.17

2.9 Kriteria Diagnosis dan Derajat Penyakit

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun

1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini

dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).7

Kriteria Klinis DBD

a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus

selama 2-7 hari, bersifat bifasik.

b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:

Uji torniquet positif,

Petekie, ekimosis, purpura,

Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan

atau melena.

Kriteria Laboratoris DBD

a. Trombositopeni (100.000/l atau kurang).

b. Adanya bukti kebocoran plasma akibat meningkatnya permeabilitas

vaskuler yaitu hemokonsentrasi, yang dapat dilihat dari peningkatan

hematokrit 20% atau lebih atau adanya efusi pleura, ascites dan

hipoproteinemia.

Diagnosis DSS dapat ditegakkan apabila telah memenuhi empat kriteria diagnosis

DBD, ditambah dengan adanya bukti kegagalan sirkulasi dengan manifestasi

sebagai berikut:7

a. Nadi yang cepat dan lemah

b. Tekanan nadi yang menyempit (<20 mmHg)

Atau apabila apabila ditemukan:

a. Hipotensi berdasarkan umur

b. Kaki dan tangan dingin dan pasien tampak gelisah.

DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat penyakit:7

12

Page 13: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya menifestasi

perdarahan ialah uji torniquet.

Derajat II : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau

perdarahan lain.

Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,

tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di

sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.

Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan

tekanan darah tidak terukur.

Catatan : Adanya trombositopenia disertai hemokonsentrasi membedakan DBD

derajat I/II dengan DD.

2. 10 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

1. Darah

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menskrining pasien

demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar

hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat

adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.7

Uji tourniquet ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan

vaskular. Uji ini juga dapat memberikan hasil positif pada infeksi virus

selain virus dengue. Pemeriksaan dilakukan dengan membendung

lengan atas menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah

diastolik dibagi 2 selama 5 menit. Hasil positif bila ditemukan 10 atau

lebih petekie per 2,5 cm2 atau 1 inchi.7

Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DHF

merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Selain

hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.

Masa pembekuan masih dalam batas normal, tetapi masa perdarahan

biasanya memanjang. Pada pemeriksaan kimia darah tampak

hipoproteinemia, hiponatremia serta hipokloremia pada kebocoran

13

Page 14: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

plasma. Serum alanin-aminotransferase (SGOT/SGPT), ureum dan pH

darah mungkin meningkat.

IgM terdeteksi pada hari ke-5, meningkat sampai minggu III,

menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer mulai

terdeteksi pada hari ke-14, sedangkan pada infeksi sekunder mulai hari

ke-2.12

Tabel 1. Interpretasi pemeriksaan IgM dan IgG12

2. Urine

Dapat ditemukan albuminuria ringan.12

3. Sumsum tulang

Pada awalnya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari

ke-5 dengan gangguan maturasi sedangkan pada hari ke-10 biasanya

sudah kembali normal.12

4. Serologi 6

a. Uji Hambatan Hemaglutinasi yang merupakan standar baku emas

WHO untuk mendiagnosis infeksi virus dengue. Titer uji hambatan

Hemaglutinasi pada fase akut akan meningkat 4 kali atau lebih

pada fase rekovalesensi.

b. Uji fiksasi komplemen dan uji netralisasi

c. Uji ELISA

d. Uji Dengue Blot Dot imunoasai Dengue Stick

5. Isolasi virus 12

Ada beberapa cara isolasi dikembangkan , yaitu :

a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.

14

Ig M Ig G Interpretasi

+ - Infeksi primer

- + Kemungkinan infeksi sekunder

+ + Infeksi sekunder

Page 15: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk

A. albopictus.

c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri

pada larva.

b. Pemeriksaan Radiologi

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan

namun apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat

dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada

sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi

badan sebelah kanan). Ascites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan

pemeriksaan USG.7,12

2.8 Penatalaksanaan Dengue Shock Syndrome

Dengue Shock Syndrome ialah suatu hipovolemik syok yang diakibatkan oleh

perembesan plasma dimana ditandai dengan peningkatan sistemik vaskular

resistensi bermanifestasi sebagai tekanan nadi menyempit dengan selisih

sistol dan diastol < 20 mmHg, bibir biru, tangan kaki dingin, tidak ada

produksi urin. Syok merupakan keadaan kegawatan. Penanganan utama

adalah dengan memberikan terapi cairan yang cukup yang berguna untuk

memperbaiki kekurangan volume plasma. Sebagian besar DSS akan

merespon dengan pemberian 10 ml/kgBB pada anak-anak atau 300–500 ml

pada orang dewasa selama 1 jam atau bolus jika perlu.7

Indikasi pemberian cairan intravena

Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral atau muntah

Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral

Ancaman syok atau dalam keadaan syok

2.8.1Terapi cairan pada pasien yang masuk ke rumah sakit dengan DHF

grade III (syok yang terkompensasi).

15

Page 16: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

Pada pasien dalam kondisi syok yang terkompensasi (tekanan darah

systole normal tetapi ada tanda-tanda kebocoran plasma seperti berkurangnya

perfusi dan naiknya hematokrit) dilakukan terapi dengan cairan kristaloid isotonic

10-15 ml/kg/jam diatas satu jam dan juga tambahan oksigen jika dibutuhkan. Jika

keadaan pasien membaik terapi dilanjutkan ke dalam BOX B pada bagan yaitu

pemberian kristaloid IV sebanyak 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam kemudian

berturut-turut diturunkan menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan 2-3

ml/kg/jam selama 2-4 jam berikutnya. Jumlah cairan per hari tidak boleh melebihi

3 liter untuk menghindari kelebihan cairan pada pasien. Evaluasi hematocrit

pasien setiap 8-12 jam atau jika dibutuhkan, evaluasi ulang status hemodinamik

16

Page 17: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

termasuk jumlah urin dan pantau apakah ada tanda-tanda pendarahan pada pasien.

Jika pasien stabil dan hematocrit naik sebesar 10% lakukan evaluasi ulang dan

pertimbangkan perlunya menambah jumlah cairan yang masuk. Jika pasien tidak

stabil dan hematocrit naik lakukan ulang langkah pada BOX B. Jika pasien tidak

stabil dan terjadi penurunan hematocrit cari kemungkinan adanya tanda

pendarahan pada pasien dan pertimbangkan untuk melakukan tranfusi fresh whole

blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika kondisi pasien

stabil selama 48 jam hentikan pemberian cairan IVF dan lakukan terapi

maintenance fluid atau menggunakan ORS.

Jika pasien tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi pada BOX A

masukkan cairan kristaloid atau koloid secara bolus sebanyak 10-20 ml/kg/jam

selama 1 jam. Jika pasien membaik dan hematocrit turun lanjutkan kedalam BOX

B, jika pasien tidak membaik dan hematocrit terus naik ulangi pemberian

koloid/kristaloid dengan dosis yang sama sekali lagi. Pemberian kristaloid pada

keadaan ini seperti Ringer’s lactat atau 0.9 NaCl solutions, sementara untuk

koloid seperti dextran, starch, atau gelatin. Jika pasien membaik lanjutkan ke

BOX B, jika pasien tidak membaik pertimbangkan untuk pemberian inotropes

dan rujuk ke tertiary center. Penggunaan inotropes disini harus melalui

pertimbangan yang hati-hati dan dilakukan setelah terapi cairan yang adekuat

sudah diberikan.

- Untuk menghitung jumlah Dopamine yang ditambahkan ke dalam 100 ml

cairan IV :

- Untuk menghitung volume obat yang akan ditambahkan ke dalam 100 ml

cairan IV :

- Dosis Dopamine yang disiapkan : 40 mg/ml dan 80 mg/ml

Jika setelah dilakukan terapi pada BOX A pasien tidak mengalami perbaikan

dan muncul tanda-tanda pendarahan maka pertimbangkan untuk pemberian

17

Page 18: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

tranfusi fresh whole blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika

pasien membaik lanjutkan ke dalam BOX B, dan jika tidak terjadi perbaikan

pertimbangkan pemberian inotropes.

2.8.2 Terapi cairan untuk pasien yang masuk ke rumah sakit dengan syok

DHF grade IV/DSS (syok hypotensive)

Jika pasien masuk dalam keadaan syok yang hipotensif (tekanan darah

sistol <90 mmHg atau MAP <70 mmHg atau tekanan darah sistol turun >40

mmHg) perhatikan terapi cairan tetap berdasarkan hematrokit, berikan cairan

18

Page 19: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

isotonic kristaloid/koloid dalam waktu 15 menit, dan juga berikan support

oksigen. Jika keadaan pasien membaik, berikan kristaloid/koloid 10 ml/kg/jam

selama 1 jam kemudian lanjutkan dengan 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan

turunkan menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam kemudian 2-3 ml/kg/jam selama

2-4 jam. Jumlah cairan per hari tidak boleh melebihi 3 liter untuk menghindari

kelebihan cairan pada pasien. Evaluasi hematocrit pasien setiap 8-12 jam atau jika

dibutuhkan, evaluasi ulang status hemodinamik termasuk jumlah urin dan pantau

apakah ada tanda-tanda pendarahan pada pasien. Jika pasien stabil dan hematocrit

naik sebesar 10% lakukan evaluasi ulang dan pertimbangkan perlunya menambah

jumlah cairan yang masuk. Jika pasien tidak stabil dan hematocrit naik lakukan

ulang langkah pada BOX B. Jika pasien tidak stabil dan terjadi penurunan

hematocrit cari kemungkinan adanya tanda pendarahan pada pasien dan

pertimbangkan untuk melakukan tranfusi fresh whole blood sebanyak 20 ml/kg

atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika kondisi pasien stabil selama 48 jam hentikan

pemberian cairan IVF dan lakukan terapi maintenance fluid atau menggunakan

ORS.

Jika tidak terjadi perbaikan pada pasien masukkan cairan koloid 10-20

ml/kg/jam selama ½-1 jam lalu cek parameter hemodinamik. Jika keadaan pasien

membaik dan hematocrit turun kurungan IVF rate menjadi 7-10 ml/kg/jam selama

1-2 jam dan jika kondisi pasien stabil lanjutkan ke BOX B. Jika hematokri naik

dan keadaan pasien tidak membaik setelah pemberian cairan kristaloid/koloid

yang kedua ulangi pemberian cairan kristaloid/koloid 20 ml/kg/jam selama 1 jam.

Jika pasien membaik lanjutkan ke BOX B, jika pasien tidak membaik

pertimbangkan untuk pemberian inotropes dan rujuk ke tertiary center.

Jika setelah dilakukan terapi pada BOX A pasien tidak mengalami

perbaikan dan muncul tanda-tanda pendarahan maka pertimbangkan untuk

pemberian tranfusi fresh whole blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10

ml/kg. Jika pasien membaik lanjutkan ke dalam BOX B, dan jika tidak terjadi

perbaikan pertimbangkan pemberian inotropes.

19

Page 20: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

2.9 Jenis terapi cairan pada DSS

Berdasarkan penggunaan secara klinis sehari – hari, cairan intravena dapat

dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu cairan kristaloid dan koloid

a. Kristaloid

Komposisi cairan kristaloid mirip cairan ekstraseluler. Untuk mengatasi

defisit volume intravaskular yang sama efektifnya dengan pemberian

koloid diperlukan pemberian kristaloid dalam jumlah yang cukup, yaitu 3-

4 kali cairan koloid. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler

sekitar 20-30 menit. Ada beberapa keuntungan pemakaian cairan kristaloid

antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan,

tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik dan dapat disimpan lama.

Kerugian yang dapat timbul diantaranya edema perifer dan paru yang

dikemukakan oleh Heugman et al (1972). Beliau mengemukakan bahwa

walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang

interstisial (sekitar ¾) sehingga timbul edema perifer dan paru serta

berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,

apabila seseorang dapat infus 1 liter NaCl 0,9%.

20

Page 21: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

Kristaloid dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial karena

kristaloid akan lebih menyebar jika dibandingkan dengan koloid. Larutan

Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan

untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis. Laktat yang terkandung di

dalamnya akan mengalami metabolisme menjadi bikarbonat di hati. NaCL

0,9% juga sering digunakan, akan tetapi jika diberikan berlebih akan

menyebabkan asidosis hiperkloremik dan menurunnya kadar bikarbonat

plasma akibat peningkatan klorida.

Cairan Kristaloid dapat bersifat isotonik, hipotonik maupun hipertonik

terhadap plasma. 10

Cairan Hipotonik

Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh

karena itu penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan

intraseluler seperti pada dehidrasi kronik dan pada kelainan

keseimbangan elektrolit terutama pada keadaan hipernatremi yang

disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes insipidus. Cairan ini

tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada kegawatan.

Contohnya dextrosa 5%

Cairan Isotonik

Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat

dan plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi

intravaskuler yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 3 kali lebih

besar dari kehilangannya. Cairan ini cukup efektif sebagai cairan

resusitasi dan waktu yang diperlukan pun relatif lebih pendek dibanding

dengan cairan koloid.

Cairan Hipertonik

Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler

utama. Oleh karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik

cairan intraseluler ke dalam ekstraseluler. Peristiwa ini dikenal dengan

infus internal. Disamping itu cairan natrium hipertonik mempunyai efek

inotropik positif antara lain memvasodilatasi pembuluh darah paru dan

21

Page 22: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena dapat

mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi

jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%

b. Koloid

Koloid disebut juga sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan

volume plasma lebih besar dari volume yang diinfuskan. Koloid iso-

onkotik mengekspansikan volume plasma sebesar volume yang diinfuskan

dan dikenal sebagai substitute plasma atau cairan pengganti plasma.

Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik, sehingga

menghasilkan tekanan onkotik. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan

yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang

menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6

jam) dalam ruang intravaskular. Darah dan produk darah (human albumin,

fraksi protein plasma, fresh frozen plasma, larutan imunoglobulin)

menghasilkan tekanan onkotik karena mengandung molekul protein besar.

Larutan koloid biasanya diberikan dalam jumlah yang sama dengan

volume kehilangan darah. Volume awal distribusi sama dengan volume

plasma. Koloid yang ideal meliputi : 11

o Stabil dengan efek kerja lama

o Bebas pirogen, antigen dan toksin

o Bebas dari risiko transmisi penyakit

o Efek ekspansi volume plasma bertahan sampai beberapa jam

o Metabolisme dan ekskresi tidak berefek negatif terhadap pasien

o Tidak ada efek merugikan

Kerugian koloid yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik,

koagulasi,dan lain-lain. Berdasarkan pembuatannya terdapat 2 jenis larutan

koloid, yaitu koloid alami dan koloid sintesis. Contoh koloid alami adalah

albumin, sementara koloid sintesis seperti dekstran, gelatin, dan hestartach.

22

Page 23: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

Sifat – Sifat Kristaloid Koloid

1. Berat molekul Lebih Kecil Lebih besar

2. Distribusi Lebih cepat Lebih lama dalam

sirkulasi

3. Faal Hemostasis Tidak ada pengaruh mengganggu

4. Penggunaan untuk

koreksi perdarahan

Diberikan 3-4x dari

jumlah perdarahan

Sesuai dengan jumlah

perdarahan

5. Reaksi Anafilaksis Tidak ada Ada (jarang)

6. Harga Murah Mahal

Pemberian kristaloid/koloid pada pasien DSS

Kristaloid (larutan Ringer’s lactate or 0.9 NaCl) dianjurkan sebagai terapi

cairan yang aman dan seefektif larutan koloid dalam mengurangi angka kejadian

syok dan kematian pada.8-12 Dibandingkan dengan kristaloid,koloid sering

dihungkan dengan meningkatnya rersiko terjadinya reaksi alergi pada pasien dan

juga muncul tanda-tanda pendarahan yang baru, selain itu koloid juga memounyai

harga yang lebih mahal. Meskipun tidak ada data yang cukup kuat yang

menunjukkan kelebihan penggunaan salah satu cairan dalam penangan DSS tetapi

penggunaan koloid lebih direkomendasikan terutama dalam penangan pasien yang

keadaan hemodinamiknya tidak stabil dan sebagai rescue fluid jika setelah

pemberian terapi cairan yang pertama status kardiovaskular pasien tidak

membaik.

Pemberian kristaloid yang diberikan contohnya adalah normal salaine atau

ringer laktat, smentara untuk koloid adalah gelatin-based, dextran-based, dan

starch-based. Salah satu pertimbangan dalam pemberian cairan ini adalah

pengaruhnya terhadap koagulasi. Dextrans mungkin akan mengikat factor von

Willebrand/factor VIII dan mengganggu koagulasi. Tetapi dextrans deikatakan

tidak memiliki pengaruh klinis yang cukup signifikan sebagai cairan resusitasi

dalam pasien syok. Dextran 40 juga berpotensi menyebabkan gangguan ginjal

23

Page 24: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

pada pasien hipovolemik. Gelatin mempunyai efek yang paling sedikit terhadap

koagulasi tetapi mempunyai resiko menyebabkan alergi yang paling besar. Reaksi

alergi juga ditemukan beberapa pada pasien dengan terapi cairan dextran 70.20

Dalam sebuah penelitian yang mengevaluasi 74 pasien yang 66

diantaranya dinyatakan meninggal, dikatakan bahwa tidak ada perbedaan berarti

pada prognosis pasien dalam penggunaan kristaloid/koloid. Penggunaan koloid

sebagai cairan resusitasi juga dikatakan tidak signigikan terbukti dalam

mengurangi resiko kematian pada pasien DSS jika dibandingkan dengan

kristaloid.12

Penelitian dengan hasil serupa juga mengatakan tidak ada perbedaan yang

signifikan dalam penggunaan kristaloid/koloid, bahkan menunjukkanpenggunaan

human albumin tidak dianjurkan. Untuk larutan koloid jenis lain seperti

succinylated gelatin (Gelofusine) atau polygeline (Haemaccel) dikatakan

mempunyai protein asing bagi tubuh sehingga dimungkinkan terjadinya reaksi

anaphylaxis, sementara di larutan saline tidak.13

Sementara itu dalam penelitian lain disebutkan bahwa meskipun

kebanyakan pasien DSS mengalami perbaikan kondisi hanya dengan pemberian

cairan kristaloid, tetapi 10-20% pasien mengalami kebocoran plasma yang

membutuhkan terapi cairan dengan menggunakan koloid. Penelitian sebelumnya

mengatakan bahwa penggunaan iso-oncotic koloid termasuk plasma tidak

seefektif penggunaan hyperoncotic koloid. Hal ini terjadi karena larutan

hyperoncotic koloid mempertahankan cairan intravaskular lebih baik dan

menurunkan hematocrit sekitar 6-10% dalam beberapa kasus sementara cairan

kristalod dan iso-oncotic koloid termasuk plasma hanya mampu menurunkan

hematrokrit hingga 2-3%. Tetapi Dextran dan haes-steril tidak dapat diberikan

sebagai cairan resusitasi pada pasien syok karena sifatnya yang

hiperoncotic.Untuk menurunkan hematrokit dalam presentase ini dua larutan

koloid ini harus diberikan secara bolus dalam dosis 10 ml/kg/jam. Kebanyakan

tenaga medis salah mengartikan jika penggunaan koloid hanya diberikan pada

pasien dengan kondisi syok tetapi pada kenyataannya penggunaan koloid juga

bisa diberikan pada pasien DSS yang menunjukkan tanda-tanda kelebihan cairan

24

Page 25: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

atau keadaan hematrokrit pasien yang tingi-tinggi yang bersifat persisten.Dalam

penelitian ini 79.8% persen pasien mengalami syok sementara sisanya tidak,

kesimpulannya adalah pemeberian koloid sama-sama terlihat efektif terutama

dalam kemampuannya mempertahankan cairan intravaskular yang terlihat dengan

menurunnya kadar hematocrit pasien dan juga tidak ditemukan adanya reaksi

alergi atau efek samping serius yang terjadi pada pasien.14

2.10. Komplikasi Terapi Cairan

Komplikasi terapi cairan yang paling umum terjadi adalah kelebihan cairan.

Tanda-tanda kelebihan cairan pada pasien:15

Tanda dan gejala awal seperti edema pada kelopak mata, distensi abdomen

(asites), takipneu, dyspneu ringan.

Tanda dan gejala selanjutnya termasuk semua yang di atas disertai dengan

distress pernafasan sedang hingga berat, sesak nafas dan wheezing (bukan

akibat asma) dimana merupakan tanda dari edema paru interstisial dan

krepitasi.

25

Page 26: 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc

BAB III

KESIMPULAN

Dengue Shock Syndrome adalah suatu keadaan infeksi yang mencakup

seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue dan ditambah dengan manifestasi

kegagalan sirkulasi, yaitu: nadi cepat dan lemah dengan penyempitan

tekanan nadi (<20 mmHg) atau penurunan tekanan darah dan akral dingin.

Pengobatan pada pasien DSS bersifat suportif terutama dengan terapi cairan.

Evaluasi ketat dan keberhasilan terapi cairan menentukan prognosis pasien

DSS.

Kristaloid dan koloid keduanya bisa digunakan dalam pengangan DSS

dengan mempertimbangkan beberapa hal dan tergantung dari derajat

penyakitnya.

26